TINDAK PIDANA MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt)
SKRIPSI
Oleh :
PRASETYO HARIBOWO NIM. E1A006080
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini di Propinsi Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Banyumas terdapat kecenderungan meningkatnya kasus kejahaan terhadap pencurian kendaraan bermotor (Curanmor). Selain melukai korban kejahatannya, pelaku juga tega untuk menghilangkan n yawa orang lain. Perhatian yang cukup besar diberikan oleh media, baik media cetak maupum media elektronik nasional. Pemberitaan kasus kejahatan curanmor hampr tiap hari menghiasi malahan depan media cetak nasional maupun disiarkan dalam program khusus kriminal yang tampil di setiap stasiun televisi nasional. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak akan dapat terelakan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi di Kabupaten Banyumas. Dinas Perhubungan Kabupaten Banyumas mengatakan bahwa laju pertumbuhan kendaraan bermotor sudah sangat tidak sebanding dengna panjang jalan yang ada di Kabupaten Banyumas khususnya di Kota Purwokerto, bahwa panjang jalan di Purwokerto sudah tidak begitu edial lagi menampung volume kendaraan bermotor. Keadaan seperti itu secara tidak langsung akan membawa dampak terhadap perkembangan Kabupaten Banyumas khususnya kota Purwokerto. Hal ini semakin dapat dibuktikan dengan terbatasnya lahan parkir kendaraan bermotor, sehingga orang
3
tidak lagi mengindahkan faktor keselamatan dalam memarkir kendaraan bermotornya.
Kelalaian
dalam
memperhatikan
faktor keselamatan
akan
memudahkan terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Tempat parkir pinggir jalan, kantor, sekolah, kampus dan pusat pertokoan merupakan tempat yang paling rawan dalam terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Indikasi meningkatnya kejahatan pencurian kendaraan bermotor tidak saja disebabkan oleh laju pertumbuhan kendaraan bermotor semata, namun juga diperhatikan dengan banyaknya laporan kehilangan kendaraan bermotor yang diterima pihak berwajib dalam hal ini pihak Kepolisian. Laporan yang diterima pihak Kepolisian Polres Banyumas selama tahun 2012 menyebutkan bahwa angka kejahatan pencurian kendaraan bermotor cukup tinggi. Angka kejahatan pencurian kendaraan bermotor di wilayah hokum Polres Ban yumas selama tahun 2012 untuk satu komplotan saja telah melukan pencurian sebanyak 26 kali. (Sumber Polres Banyumas tahun 2012).
Suatu kenyataan hidup dalam perkembangan sejarah manusia tidak ada seorangpun yang mampu hidup menyendiri terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun sifatnya hanya untuk sementara waktu. Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya mungkin terjadi dalam dongeng belaka. Namun dalam kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi (CST. Kansil, 1980: 27). Sudah menjadi kodrat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri artinya dalam pergaulan hidup manusia sangat
4
tergantung pada manusia lain yaitu hasrat untuk hidup berkelompok, berkumpul, dan berdamping-dampingan serta saling mengadakan hubungan antar sesamanya dalam masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus bekerjasama dan mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Adakalanya dalam hubungan antar manusia tersebut terdapat perbedaan perbedaan kepentingan dan tujuan, sehingga menimbulkan pertikaian-pertikaian antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan bahkan antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia yang lainnya. Keadaan seperti ini tentu saja dapat mengganggu keserasian hidup bersama yaitu rasa aman, nyaman dan senantiasa harmonis dalam suatu masyarakat.
Untuk itu
dibutuhkan seperangkat aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang berfungsi menciptakan dan menjaga hubungan dalam masyarakat agar selalu harmonis. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu.
Berkaitan
dengan tindak pidana Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987: 1). Perbuatan dapat dikatakan
menjadi suatu tindak pidana apabila
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a. melawan hukum; b. merugikan masyarakat; c. dilarang oleh aturan pidana; d. pelakunya diancam dengan pidana (M. Sudrajat Bassar, 1982: 2).
5
Berkenaan dengan masalah tindak pidana, maka perlulah disebut tentang hubungan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan itu. Oleh karena hubungan antara keduanya ini sangat erat sekali, tidak mungkin ada suatu tindak pidana tanpa perbuatannya karena timbulnya suatu tindak pidana disebabkan oleh adanya orang yang berbuat. Kedua faktor ini penting untuk kepentingan penjatuhan pidana, oleh karena tidak setiap orang yang melakukan tindak
pidana
akan
dijatuhi
pidana,
kecuali
orang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu (M. Sudrajat Bassar, 1986: 4). Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, dinamakan perbuatan pidana. Perbuatan pidana menurut ujud atau sifatnya bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu perbuatan yang melawan (melanggar) hukum (Moeljatno, 1982: 2). Suatu tindak pidana atau perbuatan pidana mengandung unsur-unsur. Menurut Moeljatno unsur-unsur dalam tindak pidana adalah : 1. perbuatan (manusia); 2. yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil) dan 3. bersifat melawan hukum (syarat materiil). Syarat formil unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan itu memenuhi rumusan dalam undang-undang pidana.
Sedangkan syarat materiil
yaitu bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak patut/tidak boleh dilakukan masyarakat (Moeljatno, 1982: 22).
6
Dalam hukum pidana dikenal suatu azas yang merupakan dasar dari hukum pidana yakni azas legalitas yaitu “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. (Moeljatno, 1990: 3). Dalam tindak pidana sifat yang selalu ada adalah sifat melanggar hukum (wederrecthtelijkeheid, onrechmatigheid). Artinya tidak ada suatu pidana tanpa adanya sifat melanggar hukum (Prodjodikoro, 1980: 1). Menurut Muljatno bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : 1. menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; 2. menentukan kapan dan dalam hal apa kemudian mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan; 3. menentukan dengan cara bagaimana mengenakan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Bambang Poernomo, 1982 : 22). Di sini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen Straf zender schuld atau Nulla Poena, Sine culpa (Culpa di sini dalam arti luas, meliputi kesengajaan). Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut tidak diragukan lagi. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila
7
ada orang yang dijatuhi pidana sama sekali tidak bersalah (Sudarto, 1990 : 1).
Unsur-unsur dari kesalahan itu sendiri terdiri dari : 1. Kemampuan bertangung jawab si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal. 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Tidak adanya alasan pemaaf. (Sudarto, 1990 : 3). Lebih lanjut Moeljatno mengatakan, bahwa untuk adanya kemampuan beratanggung jawab harus ada : a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk sesuai dengan hukum dan melawan hukum; b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya tadi. (Moeljatno, 1987 : 165). Berdasarkan definisi hukum pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa Hukum Pidana menitikberatkan pada perbuatan-perbuatan mana yang dilarang, juga mengatur keadaan-keadaan yang memungkinkan adanya pemidanaan kepada orang yang telah melanggar larangan dan bentuk pidana serta cara pengenaan pidana. Untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana, dapat dilihat pada ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum positif) yaitu : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Peraturan-peraturan atau undang-undang yang merupakan ketentuan hukum pidana di luar KUHP.(M. Sudrajat Bassar, 1986: 3).
8
Pidana sebagai sarana pengenaan atau nestapa terhadap pelaku tindak pidana, Sudarto mengatakan bahwa : Hukum Pidana sebagai sarana pertama dalam menanggulangi kejahatan di samping sebagai kontrol sosial atau pengendalian masyarakat. Sebagai kontrol sosial, fungsi hukum pidana adalah subsider, artinya hukum pidana baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang memadai. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana membedakan dari lapangan hukum lainnya, sehingga hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma yang diakui dalam hukum (Sudarto, 1990 : 10). Dijelaskan lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa hukum pidana mempunyai fungsi yang khusus ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya, dengan sanksi berupa pidana (Sudarto, 1990 : 10)
Pengenaan hukum pidana, adalah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas lima macam pencurian, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP); Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP); Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP); Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP).
9
Mengenai hal ini dalam KUHP tindak pidana pencurian selengkapnya dirumuskan dalam KUHP yaitu sebagai berikut : Pasal 362 : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan khusus. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP. Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dalam tindak pidana yang penulis teliti terdapat unsur “memberatkan” sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP, yaitu : Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujun tahun dihukum : Ke-5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya, dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan
10
jalan memakai kunci palu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Berkenaan dengan rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, R. Soesilo mengatakan : Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kwalifikasi dan diancam hokuman yang lebih berat. Apakah yang diartikan dengan pencurian denan pemberatan itu? Ialah pencurian biasa disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut : Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. ”Malam” = waktu antara matahari terbenam dan terbit. Rumah (woning)= tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam, artinya untuk makan, tidur dsb. Sebuah gudang atau toko yang tidak didiami siang malam, tidak masuk pengertian rumah sebaiknya gubug, kereta, perahu dsb yang siang malam dipergunakan sebagai kediaman, masuk sebutan rumah. Pekarangan tertutup = suatu pekarangan yang sekelilingnya ada tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar kawat dsb. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga orang tidak dapat masuk sama sekali. Disini pencuri itu harus betul-betul masuk ke dalam rumah dsb, dan melakukan pencurian disitu. Apabila ia berdiri diluar dan mengait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau mengulurkan tangannya saja ke dalam rumah untuk mengambil barang itu, tidak masuk disini. (R. Soesilo, 1988 : 251). Oleh karena itu dalam Putusan Perkara Pengadilan Negeri Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt terdakwa didakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Barangsiapa; Mengambil sesuatu barang; yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain; Dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak; Untukdapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.
Pada
Putusan
Perkara
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.
69/Pid.B/2012/PN.Pwt, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto telah menyatakan
11
bahwa perbuatan terdakwa Akhmad Rofik als Rofik bin M. Sobichin, telah memenuhi rumusan delik dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Oleh karena itu terdakwa kemudian dijatuhi keputusan berupa pidana penjara selama 1(satu) tahun. Terhadap perkara tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan tunggal, yaitu perbuatan terdakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
dan
mengkaji
putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.
69/Pid.B/2012/PN.Pwt. tentang tindak pidana melakukan pencurian dengan Pemberatan.
B. Perumusan Masalah
Atas
dasar
latar
belakang
tersebut,
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penerapan unsur – unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP dalam tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt. 2.
Apa yang menjadi dasar
pertimbangan Hukum Hakim dalam memutus
perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt.
dalam
12
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penerapan unsur – unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP dalam tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hukum Hakim dalam memutus perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
:
69/Pid.B/2012/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian dengan pemberatan. 2. Kegunaan secara praktis Dalam penegakan hukum diharapkan dapat sebagai sumbangan pemikiran yang dapat dipakai para pengambilan kebijakan para penegak hukum khususnya dalam menangani masalah tindak pidana pencurian dengan pemberatan.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana 1. Istilah Tindak Pidana
Seperti diketahui bahwa atas dasar asas konkordansi Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dulu bernama Wetbook van Stafrect voor Indonesie merupakan semacam kutipan dari WvS Nederland. Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan. (Teguh Prasetyo, 2010 : 45).
Istilah tindak pidana adalah suatu pengertian yang mendasar dalam hukum pidana yang ditujukan pada seseorang yang dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Pemakaian istilah demikian, oleh masing-masing sarjana didefinisikan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena istilahistilah tersebut merupakan suatu terjemahan atau alih bahasa dari kata “strafbaar feit yang berasal dari bahasa Belanda. Strafbaar feit” diartikan secara umum oleh masyarakat berupa “delik” atau “kajahatan” dan oleh para sarjana diartikan berbeda-beda yaitu sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana atau tindak pidana.
14
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan starfbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni keta delictum. Menurut Kartanegara i stilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaarfeit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Di dalam KUHP apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak dijelaskan secara jelas. (Satochid Kartanegara, 1990: 74). Penggunaan istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat dihukum (PAF. Lamintang, 1984: 72). Sedangkan Sudarto mengatakan : Strafbaar feit dalam istilah tindak pidana di dalam perundang-undangan negara kita dapat dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksud juga sebagai istilah tindak pidana, yaitu.
a. Peristiwa pidana (UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1)). b. Perbuatan pidana (UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU mengenai : tindak sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, Pasal 5 ayat 3b). c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (UU Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang : Perubahan Ordonantie tijdelijke by zondere strafbepalingen S. 1948 – 17 dan UU RI (dahulu) No. 8 tahun 1948 Pasal 3.
15
d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman (UU Darurat NO. 1951, tentang Penyelesaian perselisihan perburuhan, Pasal 19, 21, 22). e. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Pasal 129). f. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 1 dan sebagainya). g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tnetang kewajiban kerja bakti dalam rangka permasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan, Pasal 1).(Sudarto, 1990: 23). Dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, dapat dilihat bahwa pembuat undang-undang pada saat itu masih memakai istilah tindak pidana yang berbeda-beda dalam setiap undang-undang. Mengenai istilah tindak pidana itu sendiri Sudarto berpendapat : Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Tindakan Pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. (Sudarto, 1990: 25).
16
Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undangundang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” (dalam pidatonya yang berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, 1955 (Sudarto, 1990: 33). Sedangkan Satochid Kartanegara dalam kuliah-kuliahnya telah menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari Strafbaar feit” (Satochid Kartanegara, tanpa tahun: 74). Menurut Moeljatno dalam sari Kuliah Hukum Pidana I, Utrecht memakai istilah peritiwa pidana, beliau berpendapat bahwa perbuatan itulah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan, sedangkan Tirtahamidjaja (Pokok-pokok Hukum Pidana 1955) memakai istilah “pelanggaran pidana” untuk mengartikan strafbaar feit. (Moeljatno, 1983: 9). Selanjutnya Moeljatno lebih setuju menggunakan istilah perbuatan pidana, hal ini dikatakan dalam pidato yang berjudul : “Pertanggungjawaban Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”. Beliau mengatakan sebagai berikut.: Perbuatan itulah keadaan yang dilakukan oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukannya, yang selanjutnya dikatakan “Perbuatan ini menunjuk kepada baik akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. (Sudarto, 1990: 24). Terhadap rumusan Moeljatno tersebut kiranya belum terdapat pengertian yang jelas (masih abstrak) mengenai tindak pidana dan masih belum tampak batasan terhadap pengertiannya. Namun menurut Bambang Poernomo istilah “Perbuatan Pidana” dari Moeljatno mengandung dua pengertian, yaitu : 1) Adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan; 2) Perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidananya. (Bambang Poernomo, 1985: 129).
Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana, yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidanan atau sanksi pidana. (Wirjono Prodjodikoro, 1980: 50).
17
Sekalipun pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana ini masih belum ada keseragaman, namun Moeljatno masih tetap mempertahankan pendapatnya dengan mengatakan : Bahwa istilah perbuatan pidana adalah lebih utama untuk mengartikan strafbaar feit daripada tindak pidana. Bahwa tindak pidana sebagai perbuatan pidana diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1993: 11).
Dari berbagai perbedaan pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana tersebut, bukan merupakan hal yang prinsip karena yang terpenting menurut Sudarto adalah pengertian atau maksud dari tindak pidana itu sendiri, bukan dari istilahnya. (Sudarto, 1990: 12). 2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana yang merupakan pendapat para sarjana terdapat perbedaan dalam mendefinisikannya, ini dikarenakan masing-masing sarjana memberikan definisi atau pengertian tentang tindak pidana itu berdasarkan penggunaan sudut pandang yang berbeda -beda. Pompe dalam bukunya Sudarto mengatakan, tindak pidana sebagai
“suatu tingkah laku yang dalam ketentuan undang-undang dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat dipidana”. (Sudarto, 1990: 3). Beliau
juga
membedakan
mengenai
pengertian
tindak
pidana
(strafbaar feit) menjadi dua, yaitu : 1. Definisi teori memberikan pengertian “ strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
18
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; 2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undangundang dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum (Bambang Poernomo, 1985: 91). Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, seangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda "straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Seperti dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata "straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft ", adalah merupakan istilah-istilah konvensional. (Moeljatno, 1987). . Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan
istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt gestraft" . Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman. (Sudarto, 1990: 24) . Lebih lanjut dikatakan oleh Moeljatno bahwa "dihukum" berarti "diterapi hukum" baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas
19
dari pada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata. (Muladi & Barda Nawawi Arief, 1992: 1). Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Sudarto mengatakan bahwa "penghukuman" berasal dari kata dasar "hukum", sehingga dapat diartikan sebagai
"menetapkan
(berechten).
hukum"
Menetapkan
atau
hukum
"memutuskan
untuk
suatu
tentang
peristiwa
hukuman"
tidak
hanya
menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. (Sudarto, 1990: 68).
Di dalam membicarakan masalah pidana, khususnya dalam perkara pidana,
oleh
hakim
disinonimkan
perkataan
"penghukuman"
dengan
"pemidanaan" atau "pemberian/penjatuhan pidana". Menurut Sudarto dalam hal ini "penghukuman" mempunyai makna yang sama dengan "sentence" atau "veroordeling" misalnya dalam pengertian "sentenced conditionally atau voorwardelyk veroordeeled " yang sama artinya dengan "dihukum pidana bersyarat". (Sudarto, 1990: 72). Dari pendapat dua sarjana di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembagian pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang
20
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. (Sudarto, 1990: 7). Saleh mengatakan bahwa, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. (Muladi, 1984: 2). Sir Rupert Cross, mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan. (Muladi, 1984: 22). Dengan cara lain Hart mengatakan bahwa pidana harus : a) mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lailn yang tidak menyenangkan; b) dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c) dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum; d) dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e) dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. (Muladi, 1984: 22). Sejalan dengan perumusan seperti dikemukakan tersebut di atas Ross mengatakan, bahwa pidana adalah reaksi sosial yang : a. Terjadi berhubung dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum; b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar; c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensikonsekuensi lain yang tidak menyenangkan, dan menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar (Muladi, 1984: 17). Definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :
21
1. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan; 2. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. (Barda Nawawi Arief, 1992: 4).
Sedangkan PAF. Lamintang, mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaaan atau suatu alat belaka. Hal itu berarti pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak
mungkin
dikemukakan
dapat
oleh
mempunyai
Lamintang
tujuan.
tersebut
di
Pernyataan atas
adalah
yang untuk
mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang sering diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan "tujuan pidana". (PAF. Lamintang, 1984: 36-37). b. Unsur-unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana . suatu pengertian
Tindak pidana adalah merupakan
yuridis, lain halnya
dengan istilah “perbuatan
jahat” atau “kejahatan” (crime atau vebrechen atau misdaad)
yang
bisa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis) (Sudarto, 1990: 24). Pengertian unsur tidak pidana hendakya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
22
tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang perama (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur).
Misalnya
unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. (Sudarto, 1990: 43). Sedangkan PAF. Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. (PAF. Lamintang, 1984: 123). Yang dimaksud unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu : Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa) 2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUHP. 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
23
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. 5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah : a. sifat melanggar hukum b. kualitas dari si pelaku c. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. (PAF. Lamintang, 1984: 184). Selanjutnya di dalam kuliah-kuliah, Kartanegara menggunakan perkataan “unsur” sebagaimana kumpulan bagi apa yang disebut bestandel dan element. (PAF. Lamintang, 1984: 186). Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) ada beberapa pendapat para sarjana yaitu pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis.
Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu : a. Simons Unsur-unsur Strafbaar feit adalah : 1) perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. 2) diancam dengan pidana (strafbaar gesteld). 3) melawan hukum (onrechtmatig). 4) dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand) 5) oleh orang yang mempu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon). Simons mengatakan adanya unsur objektif dan unsur subjektif
dari stafbaar feit adalah : 1) Yang dimaksud dengan unsur objektif ialah : perbuatan orang 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
24
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar´ atau “di muka umum”. Sedangkan unsur subjektif dari strafbaar feit adalah : 1. orangnya mampu bertanggung jawab; 2. adanya kesalahan (dolus atau culpa). dilakukan dengan kesalahan.
Perbuatan harus
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. b. Van Hamel :
Strafbaar feit adalah Een wettelijk omschre ven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi unsur-unsurnya : 1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang 2. bersifat melawan hukum 3. dilakukan dengan kesalahan dan, 4. patut dipidana.
c. Mezger
Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian unsur-unsurnya adalah : 1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subjektif) 3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang 4. diancam dengan pidana. d.
Wirjono Prodjodikoro
25
Beliau mengemukakan definisi pendek yakni : tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. (Sudarto, 1990: 25). .
Dari pendapat beberapa sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal reponsibility. Sedangkan pandangan para sarjana yang beraliran dualistis tentang adanya unsur-unsur tindak pidana, yaitu : a. Vos Strafbaar feit hanya berunsurkan : 1. Kelakuan manusia dan 2. Diancam pidana dalam undang-undang b. Pompe Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit , yang diancam pidan adalam ketenteuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. c. Moeljatno Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau mememberikan arti tentang strafbaar feit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 1) perbuatan (manusia); 2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formal dan 3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. (Sudarto, 1990: 26).
Menurut Mezger yang dikutip oleh Sudarto mengatakan Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada
26
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (Sudarto, 1990: 5).
Jadi pada dasarnya Hukum Pidana
berpokok kepada 2 (dua) hal, ialah : a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. b. Pidana Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib (tuchtmaatregel, Masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP yaitu : a. Pidana Pokok, 1) Pidana mati, 2) Pidana penjara, 3) Kurungan, 4) Denda b. Pidana tambahan: 1) pencabutan hak-hak tertentu, 2) perampasan barang-barang tertentu, 3) pengumuman putusan hakim. (Sudarto, 1990: 5). Berkaitan dengan pengertian hukum pidana, Simons memberikan definisi bahwa :
27
1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati. 2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan; 3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana. (Sudarto, 1990: 5). Di samping itu Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht)
dan mengenakan suatu nestapa
(penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut. Pengertian hukum pidana tersebut disebut juga ius poenale. (Sudarto, 1990: 5). Dari pengertian mengenai hukum pidana tersebut di atas, maka dapat didefinisikan bahwa Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata Pidana berarti hal yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Adanya berbagai istilah tersebut menurut Poernomo sebagai akibat dari adanya pengaruh bahasa dari “ strafbaar feit”
ke dalam bahasa
Indonesia. Namun di sini belum jelas apakah alih bahasa tersebut dimaksudkan juga untuk mengalihkan makna dari pengertiannya (Bambang Poernomo, 1982: 125).
Berkaitan dengan fungsi Hukum Pidana, Sudarto mengatakan : Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi, yaitu :
28
a. Fungsi hukum pidana yang bersifat umum Oleh karena hukum pidana merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang “ sozialrelevent” artinya ada sangkut pautnya dengan masyarakat ia pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila. Demikian juga hukum pidana. Sangat mungkin ada perbuatan seseorang seseorang yang sangat tercela dan berentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum pidana/negara tidak turun tangan/campur tangan, karena tidak dinyatakan secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Di samping itu, seperti pada lapangan hukum lainnya, hukum pidanapun tidak hanya mengatur masyarakat begitu saja, akan tetapi juga mengaturnya secara patut dan bermanfaat (zweckmassing). Ini sejalan dengan anggapan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju ke policy ke policy dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dengan demikian hukum pidana harus dapat menyelenggarakan masyarakat yang tata tenteram kerta raharja. raharja. b. Hukum Pidana yang Bersifat Khusus. Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (Rechtsguterchutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya ialah tajam, jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-beda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva, misalnya masyarakat, negara, dan sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dengan demikian hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat. (Sudarto, 1990: 7).
3. Rumusan Tindak Pidana
Di dalam KUHP, juga di dalam perundang-undangan pidana yang lain, tindak pidana dirumuskan di dalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau lec certa merupakan certa merupakan hal
29
yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan tindak pidana juga diharapkan sejauh mungkin memenuhi ketentuan kepastian hukum itu, walaupun sebenarnya hal itu tidak mungkin sepenuhnya. Untuk benar-benar tahu apa yang dimaksud di dalam pasal-pasal itu masih diperlukan penafsiran-penafsiran. (Teguh Prasetyo, 2010 : 53-54). Sebagaimana kita diketahui bahwa sumber hukum pidana ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis (hukum pidana adat). Agar supaya orang dapat mengetahui bagaimana hukumannya tentnag sesuatu persoalan, maka aturan hukum itu harus dirumuskan. Demikian pula keadaannya dalam hukum pidana. Permusan aturan hukum pidana yang tertulis terdapat dalam KUHP dan dalam peraturan undang-undang lainnya. Menurut Sudarto : Syarat utama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan. (Sudarto, 1990: 30) . Selanjutnya
Sudarto
mengatakan
bahwa perbuatan
yang
memenuhi atau mencocoki rumusan delik dalam undang-undang adalah perbuatan konkrit dari si pembuat itu harus mempunyai sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang. Perbuatan itu harus masuk dalam rumusan delik itu. (Sudarto, 1990: 31)
30
Perumusan dari perbuatan yang dapat dipidana itu berupa suatu larangan atau perintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu. Perintah atau larangan itu bisa disebut norma. Atas pelanggaran norma itu si pembuat dikenakan sanksi yang disebut pidana. Di dalam KUHP perumusan delik itu biasanya dimulai dengan “Barang siapa” dan selanjutnya dimuat lukisan perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang diperintahkan oleh undang-undang. Lukisan ini merupakan suatu abstraksi dan tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu, seperti telah dikemukakan di atas.(Sudarto, 1990: 31).
4. Jenis-jenis Tindak Pidana
Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana, (Taguh Prasetyo, 2010 : 55).
Menurut sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya. Dalam Buku II KUHP diatur tentang Kejahatan
31
sedangkan dalam Buku III diatur tentang Pelanggaran. Dengan kata lain KUHP tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan jenis tindak pidana tersebut, tetapi KHUP hanya memasukan dalam kelompok pertama kejahatan dan kelompok kedua pelanggaran. (Sudarto, 1990: 50). Di dalam ilmu pengetahuan untuk mencari secara intensif ukuran kedua jenis tindak pidana tersebut, didapati ukuran dua jenis delik, ialah : 1. Perbedaan jenis tindak pidana yang bersifat kualitatif
a. Rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undangundang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan”. b. wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal memparkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quita prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima sebab ada kejahatan, yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang memang benar -benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan, maka dicari ukuran lain (Sudarto, 1990: 33) . Antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang
32
dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan daripada “kajahatan”. (Sudarto, 1990: 51). 2. Delik formil dan delik materiil
Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipemasalahsalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksedentalia (hal yang kebetulan). Sebaliknya di dalam delik materiil titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. (Teguh Prasetyo, 2010 : 57). Selanjutnya Sudarto mengatakan : Delik formil, ialah delik yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik, misalnya, Pasal 160, 362 KUHP dll.. Sedangkan delik materiil, adalah delik yang permusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan, misal Pasal 338 KUHP. (Sudarto, 1990: 34). 3. Delik Dolus dan Delik Culpa Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (sculd) . a. Delik Dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas. Misalnya kata dengan sengaja,tetapi mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada, seperti “….diketahuinya dan sebagainya. Contoh : Pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP. b. Delik Culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misalnya : Pasal 195, 197, 201, 231 ayat (4) dan Pasal 359, 360 KUHP. (Sudarto, 1990: 51). 4. Delik
Commissionis, delik
Ommissionis
Commi ssioni s perommision is commissa.
dan delik
33
Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuatau sesuatu yang dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya (to commit = melakukan; to omit = meniadakan ). a. Delik Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. b. Delik Ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 552 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531). c. Delik Commissionis per ommissionis commissa: delik yang berupa pelangaran larangan (dua delik commisionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).(Sudarto, 1990: 52). 5. Delik tungal dan delik berganda
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali b. Delik berganda : delik baru yang merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHAP (penahanan sebagai kebiasaan) (Sudarto, 1990: 52). 6.
Delik
yang
berlangsung
berlangsung terus
terus
(voortdurende
dan en
delik
yang
tidak
niet
voortdurende
. (af lopende delicten) Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang berlangsung terus, misalnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP). 7. Delik aduan dan bukan delik aduan
34
Delik aduan (klachtdelic) adalah tindak pidana yang penututnya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. a. Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misal : penghinaan (Pasal 310 dan seterusnya jo Pasal 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (perampasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo ayat 2) (Sudarto, 1990: 63). b. Bukan delik aduan : delik yang penuntutannya tidak memerlukan adanya pengaduan. (Sudarto, 1990: 53). 8. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi .
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955, UU Darurat tentang Tindak Pidana Ekonomi (Sudarto, 1990: 53). 9. Kejahatan Ringan
Dalam KUHP, kejahatan-kejahatan ringan antara lain : Pasal 364, 373, 375, 482, 384, 352, 302 (1), 315, 407 KUHP. (Sudarto, 1990: 53).
B. Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Tindak pidana pencurian pertama yang diatur dalam KUHP di dalam Buku II KUHP adalah tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang memuat semua unsur dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367, meliputi beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut :
35
a. Pencurian biasa (Pasal 362); b. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi (Pasal 363); c. Pencurian ringan (Pasal 364); d. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365); e. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367). (R. Soesilo, 1989: 249255). Rumusan tersebut adalah jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan khusus. Sedangkan mengenai tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam diatur dalam Pasal 363 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut : (1) Dincam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : Ke-1 pencurian ternak; Ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau banyak perang. Ke-3 pencurian di waktu malah hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ diketahui atau tidak diketahui oleh yang berhak; Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu; (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
36
Tindak
pidana
pencurian
ringan
dalam
Pasal
364
KUHP
dirumuskan sebagai berikut : Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362, dan Pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarnagna tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP. Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan : (2) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Unsur istimewa yang kini ditambahkan pada pencurian biasa ialah “mempergunakan kekerasan atau ancaman kekerasan” dengan dua macam maksud, yaitu ke – 1 maksud untuk mempersiapkan pencurian, dan ke-2 maksud untuk mempermudah pencurian. Maksud yang ke – 1 perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan mendahului pengambilan barang, misalnya memukul atau menembak atau mengikat penjaga rumah. Sedangkan dalam maksud yang ke – 2 pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, misalnya
37
memukul si penghuni rumah atau mengikatnya atau menodong mereka agar mereka diam saja dan tidak bergerak, sementara pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah. (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 24). Tindak pidana pencurian biasa dalam Pasal 365 KUHP dirumuskan sebagai berikut : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. (2) Dinacam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun: Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak, atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, atau pakaian jabatan palsu; Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lilma belas tahun; (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati yang dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah hal yang diterangkan dalam no. 1 dan No. 3. (Prodjodikoro, 1986 : 24 – 25).. Tindak pidana pencurian ringan diatur dalam Pasal 367 KUHP yang rumusannya sebagai berikut : (1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan,
38
dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana; (2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan; (3) Jika menurut lembaga matriarlkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas, berlaku juga bagi orang itu. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan atau di dalam doktrin juga sering disebut gewualificeerde distal atau pencurian berkualifikasi, yaitu pencurian dalam bentuk pokok atau pencurian biasa ditambah
dengan
unsur-unsur
yang
memberatkan.
Pencurian
dengan
pemberatan diatur dalam pasal 363 KUHP. Pasal 363 KUHP merumuskan : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; Ke-1. pencurian ternak; Ke-2. pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; Ke-3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; Ke-4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang ataulebih dengan bersekutu; Ke-5. pencurian yang untuk masuk ketempat melaukankejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau
39
memanjatkan atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pekaian jabatan palsu; (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun (Moeljatno, 1996 : 129). Unsur-unsur Pasal 363 KUHP adalah sebagai be rikut : 1. Barangsiapa; 2. Mengambil suatu barang yang sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum; 3. diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; 4. yang dilakukan oleh dua oang atau lebih dengan bersekutu; Dari unsur-unsur tesebut di atas dapat disimpulkan bahwa, yang dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa, yang disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut : a. Bila yang dicuri itu adalah ternak; Menurut Pasal 101 KUHP, ternak berarti hewan yang berkuku satu, hewan yang memakan biak dan babi. b. Apabila pencurian dilakukan pada waktu sedang terjadi bermacam-macam bencana, seperti kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang. Menurut Soesilo, antara terjadinya mapapetaka dengan pencurian itu harus ada hubungannya, artinya pencuri harus betul-betul mempergunakan kesempatan itu guna melakukan pencurian (R. Soesilo, 1984 : 1290).
40
c. Pencurian dilakukan pada waktu malam hari di dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang mudah ada rumahnya dilakukan oleh orang yang ada disitu tanpa sepengetahuan atau tanpa dikehendaki oleh yang berhak. Menurut Pasal 98 KUHP, pengertian malam hari adalah waktu diantara matahari terbenam dan matahari terbit. Pengertian kediaman menurut Lamintang, mendasarkan pada yurisprudensi dari perkataan “worning” adalah setiap tempat yang dipergunakan oleh manusia sebagai tempat kediaman, sehingga termasuk di dalamnya juga gerbong-gerbong kereta api atau gubug-gubug terbuat dari kaleng-kaleng atau karton-karton yang didiami oleh para tunawisma, kapal-kapal atau mobil-mobil yang dipakai sebagai tempat kediaman dan lain-lainnya (Lamintang, 1979 : 151). Sedangkan pengertian pekarangan tertutup, ialah dataran tanah yang ada pada sekelilingnya ada pagarnya (tembok, bambu, pagar tumbuh-tumbuhan yang hidup) dan tanda-tanda lain yang dianggap sebagai batas (Sughandi, 1980 : 379). d. Jika pencurian itu dilakukan dua orang atau lebih secara bersama-sama Unsur bersama-sama ini dapat dihubungkan dengan perbuatan turut serta menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (Anwar, 1994 : 22). e. Apabila untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu, pencurian itu dilakukan dengan jalan membongkar, memecah, memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian palsu. Pengertian membongkar ialah mengadakan perusakan yang agak besar, misalnya membongkar tembok, pintu, jendela dan sebagainya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang rusak, pecah dan sebagainya. Apabila pencurian hanya mengangkat daun pintu dari engsel tidak terdapat kerusakan apa-apa, tidak dapat diartikan memongkar (Sughandi, 1980 : 380). Menurut Anwar, pengertian pembongkaran ditujukan terhadap benda-benda yang besar, perusakan terhadap barang-barang yang kecil (Anwar, 1994 : 22). Sedangkan mengenai pengertian kunci palsu, menurut Pasal 100 KUHP adalah “dengan anak kunci palsu termasuk alat-alat yang tidak diperuntukkan untuk membuka kunci”.
C. Pidana dan Pemidanaan
41
1. Istilah Pidana dan Pemidanaan
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar pembenaran atau rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaannya itu sendiri. (Hamzah dan Rahayu, 1983: 21). Di dalam menjatuhkan hukuman atau pidana pemerintah selalu dihadapkan pada suatu paradoxialitas.
Mengenai paradoxialitet itu, Utrecht
sebagaimana dikutip oleh Bawengan yang menyatakan : Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia (menselijke warrdigheid, persoonlijkheid ) tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya, Pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh Pemerintah Negara sendiri diserang, misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak Pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap siapapun juga, sedangkan pada pihak lain Pemerintah Negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu. Paradoxialitet ini hendak dilindungi dan dibela itu. Paradoxialitet ini oleh Franz von Liszt dilukiskan sebagai "Rechtsguterschutz durch Rechtsguterverletzung" (melindungi hak, kepentingan dan sebagainya dengan menyerang, memperkosa hak, kepentingan, dan sebagainya). (Bawengan, 1973: 59 - 60). Karena adanya paradoxialitet inilah orang berusaha untuk menunjukkan, alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan pemidanaan. Dari alasan-
42
alasan tentang dasar pembenar dari suatu pemidanaan itulah lalu timbul teoriteori tentang tujuan pemidanaan. Kedua teori ini --dasar pembenar tujuan pemidanaan-- sangat berkaitan, yang sering hanya disebut dengan teori-teori pemidanaan (straftheorieen). Teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu : 1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive / vergelding theorieen) 2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen) 3. Teori gabungan (verenigingstheorieen). ad. 1. Teori Absolut
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah "untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice); sedangkan
pengaruh-pengaruhnya
sekunder. (Barda Nawawi Arief, 1992: 10).
yang
menguntungkan
adalah
43
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Kant di dalam bukunya "Philosophy of Law" sebagaimana dikutip Muladi mengatakan :
" ……Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya kaena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masayrakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum" (Arief, 1992: 11) . Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant memandang pidana sebagai "Kategorische imperatief" yakni : seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).(Muladi, 1984: 10) Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai
konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujuan dari cita-susila, maka pidana merupakan "Negation der Nagetion" (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran). (Muladi, 1984: 10)
44
Kedua pendapat sarjana tersebut di atas yaitu Kant dan Hegel, mendasarkan pada "the philosophy of vengeance" atau filsafat pembalasan di dalam mencari dasar pembenar dari pemidanaan (Lamintang, 1986: 14). Pengaruh filsafat pembalasan seperti diuraikan di atas pada hakikatnya tidak saja nampak pada abad-abad yang lampau, melainkan juga sampai pada abad sekarang ini, walaupun dengan menggunakan cara dan keterangan yang berbeda-beda. Seorang sarjana "pembaharu" ajaran absolut, yang menurut Utrecht disebut sebagai pemberi baju baru kepada suatu teori hukuman yang sudah tua sekali, ialah Leo Polak. Oleh Polak dikatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antara mereka secara nyata (Muladi, 1984: 11). Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan hipotetis (hypothetisch leed) yang dialami oleh tiap-tiap penduduk yang menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan. Menurut Polak, keuntungan yang semula diperoleh seseorang penjahat harus diobjektifkan, karena itulah teorinya disebut "teori yang mengobjektifkan" (obyechtiverings theorie). (Barda Nawawi Arief, 1992: 14). Dari pendapat beberapa tokoh aliran absolut --kaum retributivest-- yang pada intinya mengatakan pidana mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat lain yang diharapkan lebih lanjut. Cateris paribus, dunia akan menjadi baik, bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas
45
penjahat. Hal ini kadang-kadang menyebabkan pandangan retributif ini dikategorikan sebagai teori pembalasan denda (the vindictive theory of punishment). (Muladi, 1984: 50). Menurut Walker,
penganut teori retributif ini dapat dibagi dalam
beberapa golongan, yaitu : 1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivest) retributivest) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat. 2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam : a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat "pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa. b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), distribution), disingkat dengan sebutan teori "distributive" yang berpendapat bahwa, pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan" dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal "strict liability" . (Arief, 1992: 12 - 13). Dijelaskan selanjutnya oleh Walker (dalam Arief) bahwa hnaya golongan pertama sajalah (the pure retributivist) retributivist) yang mengemukakan alasanalasan atau dasar pembenaran untuk pengenaan pidana. Oleh karena itu golongan ini dapat disebut golongan "Punishers" (penganut aliran/teori pemidahaan) (Arief, 1992: 14) .
Sedangkan penganut golongan 2a dan 2b di atas, menurut Walker (dalam Arief, 1992: 17) tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan
46
pidana, tetapi mengajukan men gajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan pidana. Oleh karena itu kedua golongan ini lebih dekat dengan paham yang non-retributive. non-retributive. Teori retribution retribution ini menurut Kaplan (dalam Muladi) dibedakan lagi menjadi dua teori, yaitu : 1. Teori pembalasan (the revengetheory), revengetheory), dan 2. Teori penebusan dosa (the expiation theory). (Muladi, 1984: 35). Menurut Kaplan, kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda tergantung tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana; yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita menghutangkan sesuatu kepadanya atau karena ia berhutang sesuatu kepada kita. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat "telah dibayarkan kembali" (the criminal is paid back); back); sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar kembali hutangnya (the criminal pays back) (Muladi, 1984: 12). Menurut Sudarto , sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan yang modern, misalnya van Bemmelen, Pompe dan Enschede . Pembalasan di sini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana; maka dapat dikatakan ada azas pembalasan yang negatif. Hakim hanya menetapkan batas-batas dari pidana; pidana tidak boleh melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldings behoefte). behoefte). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada
47
kehidupan masyarakat sehari-hari (prevensi special) dan special) dan di samping itu beratnya pidana pid ana tidak boleh melebihi kesalahan k esalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan, CHR. J. Enschede menganggap pembalasan sebagai batas atas pidana dan pemidanaan (bovengrens) (bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja dia berpendapat bahwa tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas-batas pembalasan. (Muladi, 1984: 12 - 14). Berkaitan dengan teori absolut (retribution), (retribution), Cristiansen memberikan karakteristik teori ini sebagai berikut : a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya dalamn ya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; e. pidana melihat kebelakang; kebelaka ng; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar (Arief, 1992: 12-13). ad. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa pemidanaan itu sendirilah yang menjadi tujuan pemidanaan, melainkan pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pada pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh
48
karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). (Bawengan, 1973: 44).
Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatum est" (karena orang berbuat kejahatan) melainkan "ne peccetur" (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Mengenai teori relatif ini Andenaes dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence) karena salah satu tujuannya adalah melindungi kepentingan masyarakat. (Muladi, 1984: 14) Menurut Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reductive (the reductive poin of review) karena dasar pembenaran pidan adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu penganut teori ini disebut "Reducers" (Muladi, 1984, 14). Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka teori relatif atau teori tujuan ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu : a. Teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen) b. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorieen) ad. a. Teori-teori Pencegahan Umum
Tujuan pemidanaan dari teori ini adalah ingin membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.
49
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan berpendapat bahwa
Andenaes maka, Veen
ada tiga fungsi pengaruh dalam pengertian "general
prevention", yaitu : a. menegakan kewibawaan (gezagshandhaving); b. menegakan norma (normhandhaving); c. membentuk norma (normvorming). (Barda Nawawi Arief, 1992: 18).
Termasuk dalam pengertian teori-teori pencegahan umum, yaitu apa yang disebut : 1. afschrikkingstheorieen atau teori-teori membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat jera warga masyarakat agar mereka itu tidak melakukan kejahatan-kejahatan. 2. De leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperken alkan oleh Anselm von Feurbach . (Bawengan, 1973: 45). Berkaitan dengan teori relatif (utilitarian theory) Christiansen mengemukakan secara terperinci ciri-ciri pokok atau karakteristik dari aliran itu sebagai berikut : a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (Barda Nawawi Arief, 1992: 17).
50
ad. 2. Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theori een)
Prevensi special dimaksudkan ada pengaruh pidana terhadap terpidana. Dengan demikian pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan formation atau rehabilitation theory. (Muladi, 1984 : 51). ad. 3. Teori Gabungan
Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori ini adalah Rossi (1787 - 1884) .
Teori Rossi disebut teori gabungan karena
sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai peng aruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general . (Muladi, 1984: 47).
Teori seperti ini nampaknya mempunyai kecenderungan yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Muladi sebagai "retributivisme teleologis" atau aliran integratif. Menurut pandangan ini maka tujuan pemidanaan bersifat
51
plural,
karena
menghubungkan
prinsip-prinsip
teleologis,
misalnya
"ulititarianism" dan prinsip-prinsip "retributivist" di dalam satu kesatuan, sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif. (Muladi, 1984: 51).
Aliran ini menganjurkan kemungkinan untuk menandaskan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus: "retribution" dan bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitas yang kesemuanya dilihat sebagai sarana-sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat. (Muladi, 1984: 52).
Teori integratif ini nampaknya telah memperluas tujuan pemidanaan yang menfokuskan pada perbaikan narapidana sebagai pelaku kejahatan / tindak pidana di samping sebagai tujuan awalnya adalah prevensi general. Menanggapi perkembangan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut di atas Grupp menyatakan, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada : 1. anggapan-anggapan seseorang terhadap hekikat manusia; 2. informasi yang diterima seseorang sebagasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat; 3. macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin dicapai; 4. penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menetapkan teori tertentu, dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat
52
dilakukan untuk menemukan (Muladi 1984: 52). 2. Tujuan Pemidanaan
persyaratan-persyaratan
tersebut.
Di muka sudah disebutkan tentang pengertian pidana serta teori pemidanaan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dikemukakan tentang tujuan pemidanaan di Indonesia -sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum-- yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pemidanaan --khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana-sebagai tahap eksekusi dalam penegakkan hukum. (Muladi, 1984: 34). Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah KUHP. Untuk mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP yang sekarang masih berlaku tampaknya tidak mudah, mengingat dalam KUHP tersebut tidak secara jelas mencantumkan tujuan pemidanaan. Upaya yang dapat ditempuh guna mengetahui tujuan pemidanaan tersebut adalah dengan menganalisis terhadap ketentuan-ketentuan lain maupun dari doktrin yang berkaitan. Apabila kita telusuri KUHP lebih jauh dengan melilhat historisnya, maka dapat diketahui bahwa KUHP kita ini adalah warisan dari W.v.S negeri Belanda yang berdasarkan asas konkordansi. W.v.S negeri Belanda mempunyai memori penjelasan yang disebut Memorie van Toelichting (M.v.T) yang secara yuridis masih dapat diberlakukan di Indonesia. Dari M.v.T ini tampaknya ada yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang menyebutkan (terjemahan) sebagai berikut :
53
Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan obyektif dan subjektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hakhak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu ? Kerugian apakah yang ditimbulkannya ? Apakah kejahatan yang dipersalahkan si penjahat dulu ? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah yang pertama ke arah jalan sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak ? Batas antara minimum dan maksimum harus dtetapkan seluasluasnya, sehingga meskipun semua pernyataan di atas itu dijawab, dengan merugikan terdakwa, maksimum pidana yang benar itu sudah memadai. (Sudarto, 1990: 56). Dilihat dari M.v.T tersebut terlihat bahwa hakim dalam memutus (memidana) cenderung melihat ke belakang, tentang apa yang telah terjadi ? perbuatan apakah yang telah dilakukan ? siapakah orang yang telah melakukan ? Hakim tidak melihat ke arah muka (prospektif). Selain dari M.v.T tampaknya ada
suatu
peraturan
perundang-undangan
yang
mencerminkan
bahwa
pemidanaan kita ini menganut teori retributif yakni dari Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 3 September no. 5 Tahun 1973 yang isinya meminta hakim-hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan pidana hendaknya benar-benar setimpal dengan perbuatan dan sifat setiap kejahatan. Dari definisi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa KUHP sekarang mempunyai tujuan pemidanaan yang cenderung ke arah pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, karena dalam pemidanaan tersebut cenderung melihat ke belakang dan dalam pemidanaan tersebut tidak terkandung adanya tujuan lain misalnya kesejahteraan masyarakat atau perbaikan narapidana. Karakteristik inilah yang dapat
54
dimasukan dalam aliran retributif. Tujuan pemidanaan te rsebut di atas tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di Indonesia sehingga perlu dirumuskan kembali tujuan pemidanaan yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. (Sudarto, 1990: 70-71). Rumusan di atas oleh Moeljatno dikatakan bahwa dasar pidana kita lain daripada yang lain. Tujuan pidana itu adalah kompleks, yang dengan singkat dapat disimpulkan, bahwa bukan saja harus dipandang untuk mendidik si terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat yang lainnya (membimbing) tapi juga untuk melindungi dan memberi ketenangan bagi masyarakat (mengayomi). (Moeljatno, 1985: 60) . Lebih lanjut dikatakan oleh Moeljatno bahwa segi menentramkan kembali masyarakat dari goncangan yang ditimbulkan karena perbuatan pidana, yang sering dikatakan sebagai mengembalikan suasana "adem tentrem tata raharjo" harus ternyata dalam tujuan pidana kita. (Moeljatno, 1985: 66 - 67). Dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, dalam salah satu laporannya menyatakan : Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dankeselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsurunsur yang bersifat : 1. kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
55
2. edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan; 3. keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat. (Barda Nawawi Arief, 1986: 148). Definisi tersebut di atas yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, terlihat bahwa terdapat pergeseran tujuan pemidanaan, dari tujuan pemidanaan seperti yang terkandung dalam KUHP. Tujuan pemidanaan yang dikehendaki tidak hanya sebagai pengimbalan semata, namun terkandung adanya tujuan lain misalnya
kesejahteraan
masyarakat
atau
perbaikan
narapidana.
Tujuan
pemidanaan selain dilakukan dengan beroritentasi ke muka (prospektif) hal lain terlihat
bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna. Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari "perilaku menyimpang" yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atauketeraturan sosial;
dapat
ketegangan
menimbulkan
sosial;
dan
ketegangan
merupakan
individual
ancaman
riil
maupun atau
ketegangan-
potensiil
bagi
berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan di samping
56
merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial. (Sadli, 1976: 56).
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian
masalah
pengendalian
atau
penanggulangan
kejahaan
dengan
menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial. (Muladi, 1984: 148 - 149).
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai "older pilosophy of crime control" (Gene Kassebaum dalam Muladi, 1984: 149). Dilihat
sebagai
suatu
masalah
kebijakan,
maka
ada
yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan
57
peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu (a vestige of our savege past) yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindak perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Atas dasar pendangan yang demikian, maka Smith & Hogan yang disitir oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan "a relic of barbarism" ) (Muladi, 1984: 147).
Dasar
pemikirannya
adalah
adanya
paham
determinisme
yang
menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. (Muladi, 1984: 150). Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi masalah. Berkaitan dengan hal tersebut Sudarto berpendapat bahwa apabila hukum pidana hendak digunak an hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminil atau "social defence planning" yang inipun harus merupakan bagian integral dari rencana Pembangunan Nasional. (Sudarto, 1990: 104 ).
58
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif atau legal research yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsepsi ini memandang bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi ini juga memandang hukum sebagai suatu sistem normatatif yang bersifat otonom; terhadap dan terlepas dari kehidupan masyarakat. (Ronny Hanitijo Soemitro, 1982: 10). 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu. penelitian yang menggambarkan keadaan dari obyek atau masalahnya yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu, mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dari bahan-bahan mengenai obyek masalahnya. (Ronny Hanitijo Soemitro, 1982 : 10). 3. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto. 4. Sumber Data
59
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, buku buku literatur, dokumen dan arsip atau haisl penelitian terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt. 5. Metode Pengumpulan Data Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen dan artsip atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 69/Pid.B/2012/PN.Pwt. 6. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistimatis. 7. Metode Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normatif kualitatif , yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan noma-norma, teori dan doktrin hukum pidana. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007 : 25).
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
III.
A. Hasil Penelitian 1. Duduk Perkara
Terdakwa AKHMAD ROFIK als. ROFIK bin M. Sobichin pada hari Selasa tanggal 07 Pebruari 2012 sekitar jam 23.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2012, bertempat di Parkir Rumah Sakit Hidayat Purwokerto, Jalan Supriyadi No. 22 Purwokerto, ikut kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak, dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya dengan jalan membongkar memecah, atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas terdakwa yang sudah berniat melakukan aksi untuk mengambil barang orang lain berupa sepeda motor dengan bekal sebuah kunci letter T untuk melakukan aksinya tersebut lalu terdakwa melaksanakan niatnya masuk ke dalam area parkiran yang berada di lingkungan Parkir Rumah Sakit Hidayat Purwokerto, ikut Kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas dengan cara membuka yang saat itu dirantai serta dikaitkan dengan menggunakan kunci gembok, sedangkan gembok tersebut dalam keadaan tidak terkunci, kemudian terdakwa mendekati sebuah sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009, No. Pol. R-6925-NS, Noka : MH330C00291457000, No. Sin : 30C-457046 milik saksi MIRA YULI PRABANDARI als. MIRA binti ACHMAD FATONI selanjutnya terdakwa mengeluarkan sebuah Kunci letter T dari saku celana yang telah dipersiapkannya, lalu dimasukkan dengan paksa ke rumah Kunci sepeda motor kemudian diputar
61
searah jarum jam sampai Kunci stang terbuka, setelah berhasil sepeda motor terdakwa bawa keluar dari tempat parkir dan sepeda motor terdakwa naiki dengan mesin dalam keadaan mati sampai ke sebelah timur Rumah Sakit selanjutnya setelah keadaan aman sepeda motor terdakwa hidupkan mesinnya dan langsung dibawa pergi dan disembunyikan dalam sebuah rumah. Akibat perbuatan terdakwa maka saksi MIRA YUU PRABANDARI als. MIRA binti ACHMAD FATONI mengalami kerugian seluruhnya sekitar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
2.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.
3. Alat Bukti Saksi
Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alatalat bukti saksi yang disebelumnya telah disumpah dan juga keterangan terdakwa, yaitu : a. Alat Keterangan Saksi 1) Saksi Mira Yuli Prabandari
-
Saksi sebelum memberikan keterangan di persidangan telah memberikan keterangan di hadapan penyidik, dan keterangan yang diberikan benar serta tidak ada perubahan;
- Saksi bekerja sebagai perawat di RS Hidayah Purwokerto dan pada hari Selasa tanggal 7 Pebruari 2012 bertugas piket malam dan telah kehilangan sepeda motor;
- Saksi berangkat bekerja ke RS Hidayah menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam No. Pol R-6923-NS milik kakak saksi, dan sampai di RS Hidayah sekitar jam 21,00 WIB lalu sepeda motor diparkir di tempat parkiran karyawan di sebelah timur RS tersebut dalam keadaan terkunci;
- Sekitar jam 23.30 WIB sewaktu saksi akan menutup pintu gerbang, diberitahu oleh oleh saksi Puji bahwa sepeda motor saksi tidak ada di tempat parkiran;
62
- Setelah diberitahu sepeda motor saksi tidak ada, saksi melanjutkan bekerja dan baru pagi harinya saksi mengecek ke tempat parkiran dan ternyata benar sepeda motor yang saksi pakai sudah tidak ada;
- Saksi selanjutnya lapor polisi yaitu pertama melalui telepon dan polisi sekitar jam 08.00 WIB saksi datang ke kantor;
- Saksi tidak Pernah dimintai ijin oleh orang lain untuk mengambil sepeda motor tersebut; - Harga sepeda motor tersebut sekitar Rp. 15.000.000 (lima Belas juta rupiah); - Sepeda motor tersebut Hari itu juga sekitar jam 10.00 Wib dapat diketemukan oleh polisi dan kondisinya sudah berubah, plat nomor dan tebeng sudah dilepas, serta stiker dan stikernya sudah dilepas, kemudian lubang kunci kontaknya rusak;
- Sepeda motor yang diajukan di persidangan adalah benar sepeda motor yang hilang.
2) Saksi Paryono Nurokhman
- Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 04.30 Wib saksi dan saksi Danang telah menangkap terdakwa di rumah isteri siri terdakwa di desa Dawuhan Wetan Rt. 05/03 Kel. Dawuhan Wetan Kec. Kedungbanteng, Kab. Banyumas;
- Terdakwa ditangkap karena telah mengambil sepeda motor milik orang lain; - Terdakwa merupakan orang yang dalam pengawasan polisi karena Pernah tersangkut kasus curanmor;
- Pada hari selasa tanggat 7 Pebruari 2012 ada laporan pencurian sepeda motor lalu saksi ditugaskan untuk melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap pelaku curanmor tersebut;
- Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 saksi mendapat informasi dari warga bahwa telah melihat terdakwa membawa sepeda motor ke rumah isteri sirinya di desa Dawuhan dengan ciri-ciri sesuai laporan, lalu saksi pergi ke desa tersebut dan melakukan penyelidikan, dan sekitar jam 04.30 Wib saksi dan tim berhasil menangkap terdakwa. Pada saat ditangkap
63
ditemukan sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam tetapi plat nomor dan tebeng sepeda motor tersebut sudah di lepas dan kunci letter T diatas almari;
- Terdakwa mengakui telah mengambil sepeda motor tersebut di Parkiran karyawan RS Hidayah Purwokerto dengan cara merusak dudukan / lubang kunci kontak sepeda motor menggunakan kunci T;
- Ternyata sepeda motor tersebut adalah milik Mira Yuli Prabandari yang diparkir di tempat parkiran RS Hidayah Purwokerto;
- Terdakwa dalam mengambil sepeda motor tersebut tanpa seijin pemiliknya; - Barang bukti kunci T dan sepeda motor yang diajukan di persidangan adalah benar sepeda motor yang ditemukan di rumah isteri terdakwa. 3) Saksi Danang Oktarian Isprianto
-
Saksi sebelum memberikan keterangan di persidangan memberikan keterangan di hadapan penyidik, dan keterangan yang
-
Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 04.30 Wib saksi dan saksi Paryono telah menangkap terdakwa di rumah isteri siri terdakwa di desa Dawuhan Wetan Rt. 05/03 Kel. Dawuhan Wetan Kec, Kedungbanteng, Kab. Banyumas karena telah mengambil sepeda motor milik orang lain;
-
Terdakwa merupakan orang yang dalam pengawasan polisi karena pernah tersangkut kasus curanmor;
-
Pada hari selasa tanggal 7 Pebruari 2012 ada laporan pencurian sepeda motor lalu saksi ditugaskan untuk melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap pelaku curanmor tersebut;
-
Pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 saksi mendapat informasi dari warga bahwa telah melihat terdakwa membawa sepeda motor ke rumah isteri isrinya di Desa Dawuhan dengan ciri - ciri sesuai laporan, lalu saksi pergi ke desa tersebut dan melakukan penyelidikan, dan sekitar jam 04.30 Wib saksi dan tim berhasil menangkap terdakwa;
64
-
Saat ditangkap ditemukan sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam tetapi plat nomor dan tebeng sepeda motor tersebut sudah di lepas dan kunci letter T diatas almari;
-
Terdakwa mengakui telah mengambil sepeda motor tersebut di Parkiran karyawan RS Hidayah Purwokerto dengan cara merusak kunci kontak sepeda motor menggunakan kunci T;
-
Ternyata sepeda motor tersebut adalah milik Mira Yuli Prabandari yang diparkir di tempat parkiran RS Hidayah Purwokerto;
-
Terdakwa dalam mengambil sepeda motor tersebut tanpa seijin pemiliknya;
-
Akibat dari perbuatan terdakwa saksi Mira Yuli Prabandari mengalami kerugian sekitar Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah);
-
Atas keterangan saksi - saksi tersebut terdakwa menyatakan benar dan tidak berkeberatan.
Terhadap keterangan saksi NANI SUMARNI dan saksi PUJIONO als. PUJI karena sudah dipanggil secara patut tetapi tidak hadir di persidangan, maka atas permohonan Penuntut Umum dan dengan persetujuan terdakwa keterangan saksi-saksi tersebut dibacakan sesuai dengan berita acara penyidik yang menerangkan sebagai berikut: d) Saksi Nani Sumarni
-
Saksi mengetahui adanya kejadian kehilangan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam No. Pol R-6925-NS, pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 06.30 Wib, saksi mengetahui karena diberitahu oleh saksi Puji selaku cleaning service RS HIdayah Purwokerto;
-
Sepeda motor yang hilang adalah milik teman saksi bernama MIRA perawat RSU Hidayah Purwokerto;
-
Sebelum hilang sepeda motor tersebut diparkir di tempat parkiran karyawan RSU
65
Hidayah yang terletak di sebelah timur RSU Hidayah;
-
Pada saat saksi memarkir sepeda motor ditempat parkiran, gemboknya belum dikunci namun biasanya dikunci;
-
Di tempat parkiran tersebut ada sekitar 10 sepeda motor termasuk milik saksi;
-
Saksi tidak tahu sepeda motor milik Mira dikunci stang atau tidak, dan saksi juga tidak tahu siapa yang mengambil sepeda motor milik Mira tersebut;
-
Akibat kejadian tersebut saksi Mira mengalami kerugian sekitar Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah).
e)
-
Saksi Pujiono als. Puji
Pada hari Selasa tanggal 7 Pebruari 2012 sekitar jam 23.00 Wib saksi mengetahui sepeda motor milik saksi Mira perawat RS Hidayah yang diparkir di tempat parkiran karyawan RS Hidayah Purwokerto sudah tidak ada, lalu saksi memberitahukan kepada saksi Mira;
-
Sepeda motor yang dipakai Mira adalah Yamaha Jupiter Z warna merah hitam, nomornya saksi tidak tahu;
-
Saksi berusaha mencari kesekeliling rumah sakit tetapi tidak ketemu;
-
Saksi bekerja di RS Hidayah sebagai Cleaning Service dan merangkap jaga malam dengan tugas membersihkan ruangan rumah sakit, menutup pintu utama Rumah Sakit Hidayah dan menutup pintu parkiran karyawan setiap harinya sekitar jam 23.00 Wib.;
-
Saat itu saksi hanya menutup pintu tempat parkiran dan tidak menggemboknya karena gemboknya rusak;
-
Saksi tidak tahu siapa yang mengambil sepeda motor milik saksi Mira;
-
Akibat kejadian tersebut saksi mira mengalami kerugian sekitar Rp. 10.000.000,(Sepuluh juta rupliah);
Atas keterangan saksi Nani Sumarni dan Pujiono als. Puji tersebut terdakwa menyatakan tidak tahu.
66
b. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Di persidangan telah didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Pada hari Selasa tanggal 07 Pebruari 2012 sekitar jam 23.00 Wib terdakwa telah mengambil sebuah sepeda motor milik orang lain di tempat parkiran karyawan Rumah Sakit Hidayah Purwokerto.
- Sepeda motor yang diambil adalah Yamaha Jupiter 2 warna merah hitam, No pol. R-6925-NS dalam keadaan terkunci;
- Di tempat parkiran banyak sepeda motor dan terdakwa mengambil sepeda motor tersebut karena letaknya paling dekat dan mudah;
- Cara mengambil sepeda motor tersebut adalah terdakwa masuk ke tempat parkiran melalui pintu yang dirantai dan ada gemboknya tetapi gemboknya tidak terkunci, setelah masuk ke tempat parkiran terdakwa menuju ke sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam, kemudian terdakwa mengeluarkan kunci letter T dari saku celana yang sudah dipersiapkan, lalu terdakwa memasukkan kunci T tersebut secara paksa ke dudukan / lubang kunci kontak sepeda motor Yamaha Jupiter Z tersebut dan diputar searah jarum jam sampai kunci stang sepeda motor tersebut terbuka;
- Setelah kunci terbuka lalu sepeda motor tersebut di bawa keluar dari parkiran dengan dinaiki tetapi mesin dalam keadaan mati, sampai di sebelah timur rumah sakit terdakwa menghidupkan mesin sepeda motor dan membawa sepeda motor tersebut ke rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedungbanteng;
- Terdakwa kemudian melepas tebeng depan dan plat nomor sepeda motor tersebut; - Rencananya sepeda motor tersebut akan digadaikan / dijual di Wonosobo malam itu juga, akan tetapi karena khawatir dengan isteri yang sedang hamil, lalu terdakwa pulang ke rumah isteri terdakwa dulu, tetapi pagi-pagi sudah ada polisi dan menangkap terdakwa;
67
- Terdakwa dalam mengambil sepeda motor tersebut tanpa seijin pemiliknya; - Sebelum mengambil sepeda motor tertakwa awalnya pergi naik angkutan umum turun di depan Moro lalu duduk-duduk di depan Moro sampai malam, setelah Itu terdakwa jalan kaki kearah timur dan sampai di RS Hidayah Mersi Purwokerto, lalu terdakwa masuk ke Rumah Sakit tersebut dan duduk di depan Mushola Rumah sakit sambil melihat kearah parkiran sepeda motor, setelah situasi aman terdakwa langsung menuju parkiran sepeda motor karyawan dan mengambil sepeda motor Jupiter Z warna merah hitam;
- Terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena sudah 2 milnggu tidak bekerja, tidak mempunyai uang dan isteri sebentar lagi akan melahirkan;
- Kunci letter T yang dibawa oleh terdakwa adalah dibuat sendiri oleh terdakwa dengan menggunakan grenda;
- Terdakwa Pernah dihukum 2 kali yaitu pada tahun 2008 dihukum 4 bulan karena kasus pencurian rokok dan tahun 2010 dihukum 1 tahun 6 bulan karena kasus pencurian sepeda motor;
- Barang bukti sepeda, tebeng dan plat nomor yang diajukan di persidangan adalah benar yang diambil dari RS Hidayah Purwokerto dan kunci T adalah yang digunakan untuk membuka kunci kontak;
- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi;
5. Barang Bukti Barang bukti, bahwa didepan persidangan Penuntut Umum menunjukan barang bukti berupa;
68
a. 1 (satu) Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol. R-6925-NS Noka : MH330C00291457000, Nosin : 30C457046. b. 2 (dua) buah tebeng sepeda motor Yamaha Jupiter warna merah. Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi Mira Yuli Prabandari als. Mira. c. 1 (satu) buah kunci T, dirampas untuk dimusnahkan. 6. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum menuntut supaya majelis hakim memutuskan sebagai berikut; a. Menyatakan terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN terbukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“PENCURIAN
DENGAN
PEMBERATAN” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP” ; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. c. Menyatakan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) Unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam tahun 2009 No. Pol. R6925-NS Noka MH330C00291457000, Nosin : 30C-457046 2) 2 (dua) buah Tebeng sepeda Motor Yamaha Jupiter warna Merah. Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi MIRA YULI PRABANDARI als. MIRA. 3) 1 (satu) buah Kunci T, dirampas untuk dimusnahkan. d. Menetapkan supaya terpidana membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu ripiah).
69
7. Pertimbangan Hukum Hakim
Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu : melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Segala kejadian yang terjadi di persidangan sebagaimana dalam berita acara sidang, dan untuk menyingkat putusan ini dianggap masuk dan menjadi satu didalamnya karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini. Di persidangan Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti yang telah disita menurut hukum, dan telah mendengarkan juga keterangan para saksi dan keterangan terdakwa Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan ke persidangan yang saling bersesuaian maka, didapat fakta hukum sebagai berikut: -
Saksi Mira Yuii Prabandari pada hari Selasa tanggal 7 Pebruari 2012 saat bertugas piket malam, telah kehilangan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R6923-NS milik kakaknya;
-
Sepeda motor diparkir di tempat parkiran karyawan RS Hidayah Kel. Mersi Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas di sebelah timur RS tersebut dalam keadaan terkunci;
-
Terdakwa mengambil sepeda motor menggunakan Kunci T secara paksa ke lubang Kunci kontak sampai Kunci sepeda motor tersebut terbuka.
-
Hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 sekitar jam 04.30 Wib. terdakwa telah ditangkap oleh saksi Paryono dan saksi Danang di rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedungbanteng Banyumas;
-
Tebeng depan dan plat nomor sepeda motor serta stiker telah dilepas oleh terdakwa;
-
Akibat perbuatan terdakwa saksi Mira Yuli Prabandari mengalami kerugian sekitar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah);
70
-
Terdakwa pernah dihukum 2 kali yaitu pada tahun 2008 dihukum 4 bulan karena kasus percurian rokok dan tahun 2010 dihukum 1 tahun 6 bulan karena kasus pencurian sepeda motor;
-
Barang bukti sepeda motor, tebeng dan plat nomor yang diajukan dipersidangan adalah milik saksi Mira Pribandari dan kunci T adalah aiat yang digunakan terdakwa untuk membuka paksa kunci kontak sepeda motor.
Untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan unsur-unsur pasal yang terkandung dalam dakwaan Penuntut Umum. Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan Dakwaan Tunggal yaitu melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP yang mengandung unsurunsur sebagai berikut: 1. Baranasiapa; 2. Mengambil sesuatu Barang ; 3. yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain; 4. Dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak; 5. Untuk dapat masuk ke tempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.
ad. 1. Unsur barana siapa
Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan barangsiapa adalah siapa saja orang sebagai subjek hukum yang mampu untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, baik sendiri-sendiri atau secara bersama-sama.
71
Di persidangan telah diajukan Terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN dan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang membenarkan identitasnya sebagaimana terurai dalam surat dakwaan sehingga tidak terjadi kesalahan orang (error in persona). Unsur barang siapa hanya merupakan kata ganti orang, dimana unsur ini baru mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan dengan unsur-unsur lain dari perbuatan yang didakwakan.
ad. 2. Unsur mengambil sesuatu barang
Menimbang, bahwa
yang
dimaksud
"mengambil"
adalah
memindahkan barang yang bukan miliknya menjadi dalam kekuasaannya dan barang tersebut menjadi berpindah tempat, sedangkan yang dimaksud "barang" adalah semua benda yang berwujud/dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta gas yang disalurkan melalui pipa. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan telah diperoleh fakta bahwa pada hari Selasa tanggal 07 Pebruari 2012 sekitar jam 23.00 WIB. saksi Mira Yuli Prabandari telah kehilangan sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-milik kakaknya, yang semula diletakkan di tempat parkiran RS Hidayat Mersi Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas.
72
Menimbang, bahwa saksi Paryono Nurokhman dan saksi Oktavian Isparianto pada hari Rabu tanggal 8 Pebruari 2012 setdtar pi 04.30. Wib. telah menangkap terdakwa dan menemukan sepeda motor milik saksi Mira Prabandari di rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedungbanteng Kab. Banyumas. Menimbang, bahwa dipersidangan terdakwa menerangkan telah mengambil sepeda motor di parkir RS. Hidayah dan membawanya ke rumah isterinya dengan cara membuka paksa kunci kontak dengan menggunakan kunci T yang sudah dipersiapkan terdakwa. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z wama merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6925-NS sudah berpindah tempat yang semula berada di tempat parkiran RS Hidayah berpindah kedalam penguasaan terdakwa, oleh karena itu unsur mengambil sesuatu barang telah terpenuhi. ad. 3. Unsur yang sama sekali atau sebagian milik orana lain
Berdasarkan fakta hukum di persidangan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS yang telah diambil oleh terdakwa dari tempat parkir karyawan RS. Hidayah Purwokerto adalah bukan milik terdakwa melainkan milik kakak saksi Mira Yuli Prabandari yang saat itu dipakai oleh saksi Mira Yuli Prabandari untuk tugas piket malam di RS Hidayah Purwokerto. Oleh karena itu unsur yang sama sekali atau sebagian milik orang lain telah terpenuhi. ad. 4.
Unsur dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak
Yang dimaksud dengan "melawan hak" adalah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau hak yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Bahwa yang dimaksud “Melawan Hak" dalam perkara a quo adalah berarti sebagai suatu sikap bathin (kesalahan) seseorang akan memiliki dengan mengambil benda milik orang lain yang bertentangan dengan hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai (asas-asas) hukum dalam masyarakat; Dari fakta hukum di persidangan terdakwa telah mengambil 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS milik kakak saksi Mira Yuli
73
Prabandari saksi yang saat itu dipakai oleh saksi Mira Yuli Prabandari tanpa seijin pemiliknya. Terdakwa menerangkan sepeda motor tersebut rencananya akan dijual/digadaikan di Wonosobo, dan akibat perbuatan terdakwa saksi Mira Yuli Prabandari mengalami kerugian sekitar RP 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Perbuatan terdakwa mengambil 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS dan hendak menjual/menggadaikannya adalah wujud dari perbuatan “memiliki barang dengan melawan hak", oleh karena itu unsur memiliki barang dengan melawan hak telah terpenuhi. ad. 5.
Unsur untuk dapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yanq diambilnya dengan jalan membongkar.
Bahwa yang dimaksud dengan "membongkar"
membuka secara paksa, tidak
menggunakan cara yang lazim atau tidak sebagaimana umumnya. Berdasarkan fakta hukum dipersidangan, terdakwa daiam mengambil 1 (satu) Unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol R-6923-NS di tempat parkiran karyawan RS Hidayah kel. Mersi Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas dilakukan dengan cara memasukkan kunci T secara paksa ke lubang kunci kontak sepeda motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R-6923-NS dan diputar searah jarum jam sampai kunci stang sepeda motor tersebut terbuka, setelah kunci terbuka kemudian terdakwa membawa sepeda motor tersebut ke rumah isteri terdakwa di desa Dawuhan, Kec. Kedung banteng Kab. Banyumas. Terdakwa dalam membuka sepeda motor tersebut tidak dengan cara yang lazim yaitu merusak kunci sepeda motor dengan menggunakan kunci T, oleh karena itu unsur Untuk dapat masuk ke tempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yang dfambilnya dengan jalan membongkar telah terpenuhi; Oleh karena unsur-unsur selain unsur Kesatu "barang siapa" tersebut telah terbukti dilakukan oleh Terdakwa sendiri bukan oleh orang lain, sedangkan dari hasil pemeriksaan dipersidangan tidak diketemukan bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa tidak dapat
74
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan dan tidak diketemukan alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf atau hapusnya kesalahan dengan demikian maka unsur Kesatu juga telah terbukti. Atas dasar pertimbangan tersebut maka unsur dari Pasal 363 ayat (1) Ke-5 KUHP telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa maka terdakwa harus dinyatakan salah. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis telah mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari bukti mana Majelis memperoleh keyakinan bahwa terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pencurian dalam keadaan memberatkan" sebagaimana dakwaan Penuntut Umum dan karena selama pemeriksaan di persidangan mejelis tidak menemukan alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus kesalahan terdakwa maupun meniadakan pertanggung jawaban pidana, sehingga oleh karenanya terdakwa dipandang mampu untuk mempertanggung jawabkan atas perbuatannya dan kepadanya harus dijatuhi pidana setimpal dengan perbuatannya. Selama pemeriksaan perkara ini terdakwa berada dalam tahanan, maka lamanya terdakwa ditahan akan dikurangkan seluruhnya dari pidana dijatuhkan. Majelis Hakim tidak menemukan cukup alasan untuk mengalihkan atau menangguhkan jenis penahanan terdakwa, maka diperintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. Mengenai barang bukti berupa :
-
1 (satu) Unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam tanpa plat nomor, tahun 2009 Noka : MH330C00291457000, Nosin : 30C457046;
-
2 (dua) buah Tebeng Yamaha Jupiter warna Merah; dan
-
2 (dua) buah Plat Nomor Polisi R-6925-NS.
oleh karena terbukti milik kakak saksi Mira Prabandari dikembalikan kepada yang berhak melalui saksi Mira Prabandari.
-
1 (satu) buah Kunci T, oleh karena merupakan alat untuk melakukan tindak pidana maka
75
sepatutnya untuk dimusnahkan; Oleh karena terdakwa telah dinyatakan salah dan dtjatuhi prdana maka harus dibebani membayar biaya perkara. Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan perlu diperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman atas diri terdakwa, yaitu : Hal-hal yang memberatkan :
-
Perbuatan terdakwa merugikan saksi Mira Yuli Prabandari;
-
Terdakwa Pernah dihukum sebanyak 2 kali karena kasus pencurian;
Hal-hal yang meringankan;
-
Selama proses penangkapan, penyidikan dan pemeriksaan Terdakwa berterus terang dan kooperatif;
-
Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya. Setelah Majelis Hakim memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan atas diri terdakwa, kemudian dihubungkan dengan faktor lain yaitu tujuan dari pemidanaan itu sendiri yang semata-mata bukan bertujuan untuk memberikan pembalasan berupa pidana kepada terdakwa, akan tetapi juga memberikan suatu pelajaran bagi terdakwa agar ia memperbaiki kelakuannya dan dapat kembali kepada masyarakat serta secara preventif mencegah orang tain melakukan tindak pidana yang sama.
8. Putusan Hakim a.
Menyatakan terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK Bin M. SOBICHIN tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "PENCURIAN DALAM KEADAAN MEMBERATKAN";
b.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AKHMAD ROFIK Als ROFIK
Bin
M.
SOBICHIN dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
c.
Menetapkan lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan selumhnya dari pidana yang dijatuhkan;
d.
Memerintahkan terdakwa tetap ditahan ;
76
e.
Menetapkan barang bukti berupa :
1 (satu) Unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z warna Merah Hitam tahun 2009 No. Pol. R6925-NS Noka : MH330C00291457000, Nosin: 3OC 457046)
2 (dua) buah Tebeng sepeda motor Yamaha Jupiter warna Merah. Dikembalikan kepada yang berhak yaitu melalui saksi MIRA YULI PRABANDARI als. MIRA.
f.
1 (satu) buah Kunci T, dimusnahkan.
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (Seribu Rupiah).
Mengingat, Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, Undang-Undang 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, serta Peraturan-Peraturan lain yang bersangkutan.
B. Pembahasan Untuk mencapai kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya pada Putusan Perkara No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, telah meneliti secara cermat dan seksama semua perbuatan, kejadian atau keadaan-keadaan yang berlangsung selama persidangan dimana fakta-fakta yang digali dari alat-alat bukti yang berupa saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti, ternyata bersesuaian satu sama lainnya sehingga memperoleh keyakinan bahwa benar perbuatanya merupakan tindak pidana membantu melakukan pencurian dengan pemberatan yaitu melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.
1. Penerapan Unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.
77
a. Unsur Barangsiapa
Menurut Sudarto pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana ialah manusia (naturlijk personen). Pengertian barangsiapa adalah menunjukkan pengertian seseorang sebagai subyek hukum penanggung hak dan kewajiban. Unsur barangsiapa pada Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP adalah menunjuk pada orang yang melakukan tindak pidana dan ini menunjukkan perbuatan manusia. Dengan kata lain, unsur barangsiapa adalah menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang yang memenuhi semua unsur tindak pidana oleh karena itu unsur barangsiapa dalam hal ini tidak boleh diartikan lain kecuali manusia. (Sudarto, 1990: 10). Apabila dikaitkan dengan Putusan Perkara Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, unsur barangsiapa dalam hal ini adalah Ahmad Rofik als Rofik bin M. Sobichin, umur 19
tahun, kebangsaan Indonesia, agama Islam, pekerjaan
buruh, bertempat tinggal di Jalan Kober Gg. Dondong RT.03/01, Kelurahan Kober Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Dengan demikian unsur
barangsiapa dalam putusan Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt telah
terpenuhi.
b. Unsur mengambil sesuatu barang.
Unsur-unsur pokok dari tindak pidana pencurian atau yang menurut Prodjodikoro disebut dengan “unsur khas” dari tindak pidana pencurian
78
(diefstal)
adalah
mengambil
barang
orang
lain
untuk
memilikinya.
(Prodjodikoro, 1986 : 13).
Perbuatan mengambil sudah dimulai pada saat seseorang berusaha melepaskan kekuasaan atas benda dari pemiliknya (Anwar, 1982 : 17). Sedangkan
menurut Soesilo,
mengambil
artinya
mengambil
untuk
dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru saja memegang barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri, akan tetapi ia baru “mencoba mencuri”. (Soesilo, 1986 : 250).
Jika
dihubungkan
dengan
Putusan
Perkara
Nomor
:
69/Pid.B/2012/PN.Pwt unsur mengambil terungkap dari fakta di persidangan yaitu pada hari Selasa sekitar pukul 23.00 WIB korban telah kehilangan motor. Berdasarkan keterangan saksi dan saksi Danang Oktavian Asparianto telah menangkap terdakwa dan menemukan sepeda motor milik saksi korban di rumah isteri terdakwa di Desa Dawuhan Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Terdakwa telah mengambil dengan tanpa ijin dan dengan maksud ingin memiliki barang milik korban, berupa satu sepeda motor Yupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol. R-6923-NS milik kakak korban.
79
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka unsur “mengambil sesuatu barang” telah terpenuhi.
c. Unsur yang sama sekali atau sebagian milik orang lain
Segala sesuatu yang meruakan bagian dari harta kekayaan (seseorang) yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi objek tindak pidana pencurian. (PAF. Lamintang, 1989: 21). Berdasarkan fakta hukum di persidangan bahwa 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Yupiter Z warna merah hitam tahun 2009 No. Pol. R-6925-NS telah diambil oleh terdakwa dari tempat parker karyawan RS Hidayah Purwokerto adalah bukan milik terdakwa melainkan milik kakak saksi Mira Yuli Prabandari.
d. Unsur dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak
Salah satu unsure dari perbuatan melawan hukum adalah perbuatan tersebut harus melanggar undang-undang yang berlaku dan merugikan orang lain. (Munir Fuady, 2005 : 11). Berdasarkan
penelitian
terhadap
Putusan
Perkara
No.
69/Pid.B/2012/PN.Pwt. ditemukan fakta hukum di persidangan bahwa
80
terdakwa mengambil 1 unit sepeda motor sebagaimana tersebut di atas adalah termasuk pencurian yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan mengenai menimbulkan kerugian terhadap orang lain adalah akibat perbuatan terdakwa saksi korban menderita kerugian sebesar kurang lebih 15.000.000,- (lima belas jura rupiah).
e. Unsur untuk dapat masuk ketempat kejahtan itu atau untuk dapat mencapai barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.
Menurut R. Soesilo, yang dimaksud dengan “untuk mencapai barang yang diambilkan harus dengan jalan “membongkar” adalah sama dengan ini berarti bahwa pembongkaran dsb itu untuk masuk ketempat tersebut kejahatan tersebut. Atau membongkar sama dengan memaksa secara paksa, tidak menggunakan cara yang lazim atau tidak sebagaimana umumnya. (R. Soesilo, 1988 : 45).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta hukum bahwa terdakwa mengambil 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Yupiter tahun 2009 dilakukan dengan cara memasukkan kkunci T secara paksa ke lubang kunci kontak sepeda motor tersebut.
2. Dasar Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan 69/Pid.B/2012/PN.Pwt.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :
81
Untuk keyakinan Hakim itu sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah. Dalam system negatief wettelijk ada dua hal yang merupakan syarat yaitu wettelijk dan negatief. Wettelijk dimaksudkan dengan alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan negatief adalah dengan alat bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang saja belum cukup bagi hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim, dengan demikian antara alat bukti dan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan kausa (sebab-akibat). Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang diakui adalah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Rumusan tersebut di atas apabila dihubungkan dengan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, yang dijadikan pertimbangan yuridis oleh hakim adalah semua fakta yang terungkap dipersidangan. Fakta yang dimaksud adalah dalam bentuk alat-alat bukti seperti yang dikehendaki secara limitatif oleh Pasal 184 KUHAP. Dalam persidangan alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah keterangan saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti..
1. Alat bukti keterangan saksi
82
Kesaksian adalah suatu keterangan dengan lisan di muka hakim dengan sumpah tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu yang ia dengar, lihat dan alami dan ia rasakan, ketahui dan dinyatakan di muka persidangan. Untuk sahnya keterangan saksi menurut KUHAP adalah sebagai berikut : a. Pasal 160 ayat (3) KUHAP, Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. b. Pasal 1 butir 27 KUHAP Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Jika dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa hakim telah memeriksa 5 (lima) orang saksi yaitu saksi (1) Mira Yuli Prabandani, (2) Paryono Nurokhman, (3) Danang Oktarian Isprianto (4) Nani Sumarni dan (5) saksi Pujiono als Puji dengan terlebih dahulu disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
2. Alat bukti keterangan terdakwa
Pasal 189 ayat (1) KUHAP merumuskan tentang pengertian keterangan terdakwa yaitu sebagai berikut :
83
keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di siding pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Rumusan Pasal 189 KUHAP di atas diketahui bahwa keterangan terdakwa itu adalah sama dengan artinya pengakuan dari terdakwa.
Guna
menentukan kesalahan terdakwa tidaklah cukup hanya dari pengakuan terdakwa melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Dengan demikian keterangan terdakwa baru dapat menjadi alat bukti apabila keterangan terdakwa itu dibarengi dengan alat-alat bukti yang lain disamping keterangan-keterangan dari pihak si korban yang membenarkan tentang pengakuan dari terdakwa. Jika dihubungkan dengan kasus yang penulis teliti terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt dapat disimpulkan bahwa keterangan terdakwa itu sama dengan arti pengakuan dari terdakwa. Pengakuan yang dimaksud di sini adalah ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dengan suatu tuduhan atas dirinya mengenai perbuatan dan kesalahan yang diucapkan di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Keterangan terdakwa yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa di luar sidang ialah keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, keterangan itu dicatat dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh penyidik dan tersangka. Dalam memberikan keteranganpun terdakwa harus diikuti dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan saksi di samping
84
juga keterangan dari korban yang membenarkan tentang pengakuan dari si terdakwa. Proses peradilan dalam putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, apabila dikaitkan dengan rumusan tersebut di atas telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sehingga telah mengungkap fakta-fakta hukum yang terbukti benarnya bahwa telah terjadi tindak pidana melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (1) ke5 KUHP, sehingga terdakwa Akhmad Rofik als Rofik bin M, Sobichin dapat dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan. Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor : 43/Pid.B/2000/PN.Bjn juga telah mempertimbangkan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP. Dalam hubungannya dengan majelis yang menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu), hal ini menurut hemat penulis telah sesuai dengan tujuan pidana dan pemidanaan. Berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang telah diajukan dalam perkara tersebut di atas dan ditinjau dari persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain, dengan mempertimbangkan nilai pembuktian masing-masing alat bukti, di samping itu juga telah mempertimbangkan halhal yang memberatkan dan meringankan para terdakwa sesuai dengan Pasal
85
27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta mendasarkan pada fakta di persidangan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Maka hakim berkeyakinan dan berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan. Berdasarkan pemeriksaan selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada terdakwa yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap mereka, maka para terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Oleh karena itu hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa yaitu 1 (satu), dikurangi masa tahanan yang telah dijalani untuk seluruhnya. Dasar penjatuhan pidana tersebut di atas oleh hakim didasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta mendasarkan pada tidak ditemukannya alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa. Dalam menjatuhkan putusan persidangan para terdakwa juga hadir, dengan demikian pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan dengan dihadiri oleh terdakwa. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 196 ayat (1) dan (2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut :
86
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain. (2) Dalam hal terdakwa lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa saja. Berdasarkan
hasil
penelitian
terhadap
Putusan
Perkara
No.
69/Pid.B/2012/PN.Pwt juga ditemukan bahwa Hakim di dalam menjatuhkan pidana juga mendasarkan pada masalah-masalah sosial yaitu masalah korban, masalah terdakwa dan dampak kepada masyarakat. Mengenai masalah sosial korban menurut Moeljatno, yaitu “pidana k ita bukan saja harus dipandang untuk mendidik si terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat yang lainnya (membimbing) tapi juga untuk melindungi dan memberi ketenangan bagi masyarakat (mengayomi) (Moeljatno, 1985 : 60). Tujuan pemidanaan yang dikehendaki tidak hanya sebagai pengimbalan semata, namun terkandung adanya tujuan lain misalnya kesejahteraan masyarakat atau perbaikan narapidana. Pemidanaan selain dilakukan dengan berorientasi ke muka (prospektif) hal lain terlihat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan
pembinaan
sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna. Sebagaimana halnya dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt., hakim juga telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, yang di dalamnya terdapat suatu kepentingan
para
terdakwa,
keadaan
keluarga
korban,
dan
juga
87
mempertimbangkan hal-hal yang memberikan perhatian dan perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang memberatkan terdakwa : - Perbuatan terdakwa merugikan saksi Mira Yuli Prabandari; - Terdakwa pernah dihukum sebanyak 2 kali karena kasus pencurian.. Hal-hal yang meringankan terdakwa : - Selama proses penangkapan, penyidikan dan pemeriksaan terdakwa berterus teran dan kooperatif. - Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.
88
BAB V P E N U TU P
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang dipaparkan di muka maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : 2.
Penerapan Unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP a. Unsur Barangsiapa
Pengertian barangsiapa adalah menunjukkan pengertian seseorang sebagai subyek hukum penanggung hak dan kewajiban. Unsur
barangsiapa pada
Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP adalah mennjuk pada orang yang melakukan tindak pidana dan ini menunjukkan perbuatan manusia. Dalam Putusan perkara Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt, unsur barangsiapa dalam hal ini adalah Akhmad Rofik als Rofik Bin M. Sobichin. b. Unsur mengambil sesuatu barang
Mengambil adalah memindahkan barang yang bukan miliknya menjadi dalam kekuasaannya dan barang tersebut menjadi berpindah tempat, Sedangkan yang dimaksud barang adalah semua benda yang berwuju dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta
gas
yang
disalurkan.
Dalam
Putusan
Perkara
Nomor
:
69/Pid.B/2012/PN.Pwt terungkap bahwa terdakwa telah mengambil sepeda motor No.Pol. R-6925-NS Noka: MH330COO291457000, No.Sin: 30C-
89
457046 milik saksi Mira Prabandari yang semula diletakkan di tempat parkiran RS Hidayah Mersi Purwokerto Timur Kab. Banyumas, dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi.
c. Unsur yang sama sekali atau sebagian milik orang lain
Unsur-unsur pokok dari tindak pidana pencurian adalah mengambil barang orang lain untuk dimilikinya Pada Putusan Perkara Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt unsur sama sekali atau sebagian milik orang lain. Dari fakta yang terungkap di persidangan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah hitam tahun 2009 telah diambil terdakwa dari tempat parkir Rumah Sakit Hidayah Purwokerto adalah bukan milik terdakwa melainkan milik kakak saksi Mira Yuli Prabandari yang saat itu dipakai oleh saksi Mira Yuli Prabandari. d. Unsur dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dengan mendasarkan pada keterangan para saksi terdakwa melakukan pencurian sepeda motor tersebut hendak menjual/menggagaikannya adalah wujud dari perbuatan memiliki barang dengan melawan hak, maka unsur inipun telah terpenuhi. e. Unsur untuk dapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.
90
Pembongkaran (braak ) terjadi apabila dibuatnya lubang dalam suatu tembok-dinding suatu rumah, dan perusakan (verbreking ) terjadi apabila hanya satu rantai pengikat pintu diputuskan, atau kunci dari suatu peti. Berdasarkan fakta di persidangan terdakwa mengambil sepeda motor tersebut di tempat perkiran Rumah Sakit Hidayah Purwokerto dengan cara memasukkan kunci T secara paksa ke lubang kunci kontak sepeda motor Yamaha Yupiter Z No. Pol. R-6923-NS dan diputar ssearah jarum jam sampai kunci stang sepeda motor tersebut terbuka.
3.
Dasar pertimbangan hukum hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut adalah Pasal 363 ayat (1) ke-5, Pasal 84 KUHAP tentang dasar mengadili dan Pasal 183 KUHAP tentang dasar memutus, dimana perbuatan telah memenuhi rumusan Undang-undang, melawan hukum dan juga tidak ada alasan pembenar dan pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja dan tidak ada alasan pemaaf. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang diakui adalah: a. b. c. d. e.
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa
91
berdasarkan Pasal tersebut, Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara NO. 69/Pid.B/2012/PN.Pwt mempunyai 3 (tiga) alat bukti, yaitu: 1. Alat bukti keterangan saksi
Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
:
69/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa hakim memeriksa 5 (lima) orang saksi yaitu saksi (1) Mira Yuli Prabandari, (2) Paryono Nurakhman, (3) Danang Oktarian Isprianto, (4) Nani Sumarni dan Pujiono als. Puji dengan disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. 2. Alat bukti keterangan terdakwa
Dalam persidangan telah didengar keterangan terdakwa hal ini sesuai dengan Pasal 189 ayat (1) KUHAP. 3. Barang bukti
Dipersidangan telah diperlihatkan barang bukti berupa : -
1 (satu) Sepeda Motor Yamaha Jupiter warna merah hitam Tahun 2009 No. Pol. R-6925-NS Noka: MH330C00291457000, Nosin: 30C-457046.
-
Kunci T yang digunakan pelaku untuk mengambil motor milik korban. Hakim
dalam
menjatuhkan
putusan
terhadap
Perkara
Nomor
:
69/Pid.B/2012/PN.Pwt juga telah mempertimbangkan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.
92
Adanya hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Hal-hal yang memberatkan terdakwa: -Perbuatan terdakwa merugikan korban. -Terdakwa pernah dihukum sebanyak 2 kali karena kasus pencurian. Hal-hal yang meringankan terdakwa: -Selama proses penangkapan, penyidikan, dan pemeriksaan , terdakwa berterus terang dan kooperatif. -Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya. Berdasarkan pemeriksaan selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada terdakwa Akhmad Rofik als. Rofik bin M. Solichin yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dikurangi masa penahanan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4), serta mendasarkan pada fakta bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, maka hakim berkeyakinan dan berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana melakukan pencurian dalam keadaan yang memberatkan.
93
Saran.
Saran yang penulis berikan kepada Majeleis Hakim terkait penulisan ini adalah Sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana hendaknya hakim didalam mengadili harus lebih cermat dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, karena berkaitan dengan kondisi korban dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan harus memenuhi rasa keadilan hukum, keadilan moral dan keadilan masyarakat
94
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Nawawi, .Barda, tt. Hukum Pidana II. Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. Bassar, M. S., 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Ghalia, Bandung Kansil, C.S.T., 1980. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. Lamintang, PAF., 1989. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung. Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ketiga, Bina Aksara, Jakarta. ________, 1982. Azas-azas Hukum Pidana. PT. Bina Aksara, Jakarta. ________, 1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cetakan keenambelas, Bumi Aksara, Jakarta. Prasetyo, Teguh, 2010. Hukum Pidana, Rajawali Pers, Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono., 1980. Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Eresco, Bandung. Poernomo, Bambang., 1982. Asas-asas Hukum Pidana, cetakan kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soemitro, Hanitijo, Ronny. 1986 Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekanto, Soerjono & Memudji, S. 1985 Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , CV. Rajawali, Jakarta. Saleh, R., 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif. Aksara, Jakarta. Sudarto, 1990. Hukum Pidana Jilid IA-IB, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. Soesilo, R., 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor.