Teologi Al-‘Ashr dan Daya Saing Bangsa Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim *) Ahmad Dahlan: Kyai Al-‘Ashr Surat Al-‘Ashr adalah salah satu surat yang paling pendek di dalam Al-Qur’an yang mungkin menjadi salah satu andalan bacaan sholat bagi sebagian muslim karena sangat mudah dihafal. Surat yang ke-103 dalam Al- Qur’an hanya terdiri dari tiga ayat yang ayat yang artinya: “Demi masa (1), sesungguhnya manusia berada dalam kerugian (2), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan s aling menasihati untuk kesabaran (3).”
Muhammad Abduh dalam kitab Risalah Tauhid menukil perkataan dari Imam Syafi’i: “Seumpama Allah tidak menurunkan kepada makhluknya hujjah, kecuali surat ini (Al- ‘Ashr), niscaya surat ini telah mencukupi untuk memberikan petunjuk. ” Begitu istimewa istimewa kandungan Surat Al-‘Ashr menurut Imam Syafi’i sehingga menurutnya pesan yang disampaikan dalam Al-‘Ashr ini telah mewakili surat-surat lain di dalam Al- Qur’an yang jumlahnya 114 surat itu. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan kandungan Surat Al- ‘Ashr ini dengan mengutip pendapat Ar-Razi bahwa umat manusia bakal menderita kerugian yang telak apabila tidak memegang empat prinsip yang terkandung dalam Al- ‘Ashr, yaitu iman, amal salih, saling berwasiat kepada kebenaran dan kesabaran. (Azaki Khairuddin, 2015) Sukriyanto AR (2015) dalam pengajian Islam Berkemajuan di TVMu menjelaskan bahwa Al- ‘Ashr menyampaikan empat kesadaran yang harus dimiliki oleh setiap manusia, yakni kesadaran waktu, visi hidup, amal sholih, dan tanggung jawab sosial apabila ingin berhasil menjadi manusia utama yang diidealkan oleh Allah. Pertama yakni kesadaran waktu. Secara makna, wal-‘ashri berarti “demi waktu yang bergerak ke depan”, “ke masa depan”, “demi waktu yang bergerak maju”, “demi masa yang menuju masa depan”, atau “demi kehidupan yang senantiasa bergerak maju.” Kata al-‘ashr juga berarti modern (Azaki Khairuddin, 2015). Al-‘Ashr menjadi landasan ideologi tentang peradaban Islam yang berkemajuan, yang senantiasa sesuai bahkan menjadi pelopor perkembangan perkembangan zaman. Pendalaman makna ini mengantarkan kepada pemahaman bahwa waktu adalah sumber sumber daya sangat penting. Sebagai konsekuensi, manusia yang sadar akan makna ini akan menggunakan waktu 24 jam sehari/7 hari seminggu sebaik mungkin untuk kerja-kerja produktif atau kreatif. Mereka akan menciptakan sarana-sarana kebudayaan seperti alat transportasi, alat komunikasi, dan berbagai teknologi lain yang mempu menghemat waktu serta meningkatkan kualitas dan kuantitas luaran. Kemudian yang kedua yaitu kesadaran tentang visi hidup. Bahwa manusia berasal dari Tuhan dan sedang melakukan perjalanan untuk kembali kepada Tuhan (keimanan). Menyadari akan visi kembali kepada Tuhan, manusia akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk bekerja mencari ridha Tuhan. Hal tersebut dilakukan dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Ini adalah cara hidup yang paling efisien karena manusia tidak perlu menebak-nebak tanpa kompas acuan yang pasti, tidak banyak menciptakan waste, dalam waste, dalam mengarungi ombak samudra kehidupan.
Kesadaran yang ketiga adalah kesadaran amal shalih. Bahwa manusia mengemban misi sebagai khalifah di muka bumi sehingga ia seharusnya tidak mensibukkan dirinya hanya untuk ibadahibadah ritual. Manusia memiliki kewajiban untuk beramal shalih, memberikan manfaatkan kepada orang-orang di sekitar sebaik mungkin dengan ilmu, ketrampilan, atau harta yang dimiliki, menjadi pencerah bagi umat muslim maupun umat manusia secara umum dengan kehadirannya sebagai solusi atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi (QS Al-Baqarah: 30, Hud: 60). Lalu yang terakhir adalah kesadaran tanggung jawab sosial. Bahwa manusia memiliki kewajiban untuk saling menasihati satu sama lain demi terwujudnya kesalihan kolektif, alih-alih kesalihan pribadi. Sebagai khalifah, manusia dipercaya oleh Allah untuk membangun peradaban sebagaimana Nabi Muhammad beserta sahabat-sahabatnya mengubah perkampungan Yastrib yang terbelakang menjadi Madinah Al-Munawwarah. Madinah merupakan sebuah negara-kota modern yang menjadi kiblat tata kelola masyarakat yang memenuhi kriteria baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sebuah model tatanan masyarakat paripurna yang adil dan makmur dan senantiasa di bawah lindungan Allah. Untuk bisa membangun peradaban yang demikian, gotong royong dan usaha kolektif tak pelak wajib dilakukan dengan prinsip saling menasihati, mendukung, dan kolaborasi serta keinsyafan bahwa perubahan transformatif selalu berproses sehingga dibutuhkan kesabaran. KH Ahmad Dahlan dalam perjalanan haji yang kedua sekitar tahun 1902-1903 sempat bermukim untuk beberapa waktu di Mekkah dan tinggal di rumah kemenakannya Kyai Bakir. Oleh Kyai Bakir, Ahmad Dahlan diperkenalkan dengan beberapa ulama yang tinggal atau sedang ada di Mekkah. Kebetulan pada musim haji itu Syekh Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, juga berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ahmad Dahlan kemudian dipertemukanlah oleh Kyai Bakir dengan Rasyid Ridha. Pada pertemuan itu, Rasyid Ridha memberikan sebuah buku tafsir Jus ‘Amma yang ditulis oleh Muhammad Abduh kepada Ahmad Dahlan. Di dalam kitab tafsir itu, Muhammad Abduh ketika menjelaskan tentang Al- ‘Ashr mengutip pendapat dari Imam Syafii bahwa seandainya tidak ada surat lain di Al- Qur’an selain surat Al-‘Ashr, sesungguhnya itu sudah cukup (Sukriyanto AR, 2015). Redaksi lengkapnya bisa disimak di paragraf kedua tulisan ini. Sepulang dari haji dan kembali ke tanah air Ahmad Dahlan menyampaikan ajaran yang terkandung dalam surat Al- ‘Ashr ini kepada para jamaah pengajiannya di berbagai tempat secara berulangulang. Kyai Abdurrahman bahkan mengatakan bahwa Ahmad Dahlan dijuluki sebagai Kyai Al- ‘Ashr oleh para jamaahnya di Pekalongan karena selama berbulan-bulan yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan pasti berkaitan tentang Surat Al- ‘Ashr (Sukriyanto, 2015). KRH. Hadjid mencatat bahwa Ahmad Dahlan mengulang-ulang pelajaran tentang Al- ‘Ashr selama 7 bulan. Pengulanganpengulangan ini dimaksudkan agar Surat Al- ’Ashr tidak hanya berhenti sebagai bacaan, tetapi juga kandungannya dimengerti dan pesannya diamalkan secara disiplin oleh para jamaah pengajiannya di kehidupan sehari-hari. Ahmad Dahlan ingin agar murid-murid dan jamaahnya bisa menginternalisasi dan mempraktikkan semangat Islam yang berkemajuan. Peran Muhammadiyah mengangkat daya saing bangsa Islam adalah din at-tanwir atau agama pencerahan yang berupaya membebaskan manusia dari segala bentuk kebodohan dan keterbelakangan menuju pada kehidupan yang terang-benderang
sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 257, takhrij min Al-dhulumat ila Al-nur. Kehidupan Al-dhulumat adalah kehidupan yang gelap karena absen atau hirau akan petunjukpetunjuk Allah sehingga membuat masyarakat musyrik, tahayul, malas, bebal, intoleran, korup, saling memusuhi dan segala bentuk keadaan lain yang membuat masyarakat tidak dapat bergerak maju dan menata diri dalam tatanan yang beradab. Sebaliknya, kehidupan al-nur adalah kehidupan masyarakat yang ditata sesuai dengan nilai keadaban yang terinspirasi dari petunjuk-petunjuk Allah sehingga menghasilkan masyarakat yang jujur, adil, makmur, saling menghormati, serta kaya akan daya imajinasi dan inovasi tinggi. Untuk mencipatkan masyarakat yang demikian, pembangunan peradaban harus mencari referensi dari petunjuk-petunjuk Allah yang disampaikan di dalam Al- Qur’an melalui ayat-ayat yang ditafsirkan secara tepat dan kontekstual atau melalui pengalaman Nabi Muhammad yang terekam dalam catatan yang memenuhi kriteria Al-sunnah Al-maqbulah. Diantara petunjuk- petunjuk Allah itu terdapat di dalam Surat al’Ashr yang mengangkat semangat Islam yang berkemajuan dengan empat kesadaran yang mampu mengantarkan manusia menjadi manusia yang tidak rugi alias manusia utama yang diidealkan oleh Allah. Etos dan ajaran Al- ‘Ashr ini dapat menjadi bekal untuk menyorot dan memprakarsai solusi terhadap berbagai macam persoalan di Indonesia. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) tentang Global Competitiveness Report 20152016, daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-37. Posisi Indonesia berada di bawah negaranegara tetangga Singapura (2), Malaysia (18), dan Thailand (32). Rangking Indonesia ini merosot tiga peringkat dibanding dengan laporan periode sebelumnya pada 2014-2015. Pemeringkatan ini didasarkan pada penilaian performa 12 pilar di 140 negara yang diriset: institusi, infrastruktur, kondisi makro ekonomi, kesehatan dan pendidikan primer, pendidikan tinggi dan vokasi, efisiensi pasar komoditas, efisiensi pasar tenaga kerja, kemajuan pasar finansial, kesiapan teknologi, besaran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi. Dari ke-12 pilar tersebut apabila dinilai secara individu pilar yang berada di peringkat terbaik adalah pilar besaran pasar (market size), yakni di peringkat 10 dari 140 negara. Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta orang merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara. Total GDP I ndonesia sebesar USD 878 milyar dan memiliki nilai konsumsi domestik sebesar 57% dari GDP (McKinsey, 2012). Dalam laporan yang sama, McKinsey memprediksikan bahwa pada 2030, 71% dari populasi Indonesia atau sebanyak 209 juta orang akan menjadi masyarakat urban dan 90 juta diantaranya bakal menjadi consuming class. Pilar market size yang memiliki rangking sangat baik ini harus ditinjau secara kritis karena hal itu menjadi baik apabila pasar yang besar itu didominasi oleh produk-produk domestik, tidak semata-mata digempur oleh produk-produk impor. Meskipun neraca perdagangan dalam beberapa tahun terakhir positif atau nilai ekspor lebih besar dari nilai impor, perlu ditelaah lebih lanjut tentang jenis komoditi. Apabila dilihat secara detail, komoditi ekspor Indonesia adalah barang-barang dengan nilai tambah yang minimum seperti minyak, hasil sawit, karet, emas dan permata, alas kaki, kayu, dan pakaian. Sedangkan komoditi yang diimpor dari negara lain memiliki nilai tambah yang tinggi seperti mesin-mesin dan peralatan listrik (Laporan Perkembangan Ekspor-Impor 2011-2015 Kemendag RI).
Dalam laporan WEF ini, secara individu yang menduduki peringkat-peringkat yang terburuk di antara 12 pilar adalah efisiensi pasar tenaga kerja (peringkat 115/140), kesiapan teknologi (peringkat 85/140), serta kesehatan dan pendidikan primer (peringkat 80/140). Ketiga pilar tersebut saling terkait satu sama lain yang memiliki letak permasalahannya pada manusia, baik ketrampilan dan etos kerjanya, kemampuan adaptasinya, maupun tingkat kesehatan dan pendidikannya. Pilar efisiensi pasar tenaga kerja mengevaluasi tingkat fleksibilitas perpindahan tenaga kerja dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain apabila dibutuhkan secara cepat, insentif yang jelas yang mendukung tenaga kerja untuk memberikan kontribusi terbaik, serta budaya kerja meritokratik. Indonesia berada di peringkat yang sangat buruk di pilar ini, mengindikasikan produktivitas yang rendah, kurangnya inovasi secara bottom-up, kurangnya tenaga kerja yang terampil, dan rasio kurang imbang antara pria dan wanita di dunia kerja. Selanjutnya, pilar di mana Indonesia sangat terpuruk adalah pilar kesiapan teknologi yang mengevaluasi kemampuan suatu negara menerapkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk mendorong produktivitas. Rangking yang buruk dalam pilar ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarat Indonesia yang masih buta atau masih menjadi pengguna primitif internet serta kualitas infrastruktur jaringan yang buruk. Pada pilar kesehatan dan pendidikan primer, posisi Indonesia masih sangat rendah. Pilar ini mengevaluasi tentang tingkat kesehatan masyarakat suatu negara melalui berbagai indikator antara lain malaria, tuberkolosis, HIV/AIDS, mortalitas, dan tingkat harapan hidup. Pilar ini juga mengevaluasi kualitas pendidikan dasar dan tingkat masyarakat yang meraih pendidikan dasar. Rangking yang buruk di pilar ini mengindikasikan bahwa tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat Indonesia dinilai rendah sehingga kurang mendukung produktivitas dan ketrampilan. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah berlanggam Islam yang berkemajuan dan memiliki misi pencerahan seyogyanya menjadikan problematika akut daya saing ini sebagai lahan dakwah dalam rangka mengantarkan masyarakat dari al-dhulumat atau masyarakat yang berdaya saing rendah menuju al-nur atau masyarakat yang berdaya saing tinggi. Etos dan ajaran yang terkandung dalam Al-‘Ashr menjadi modal penting. Semangat Al- ‘Ashr memampukan lahirnya berbagai prakarsa konkret yang merupakan manifestasi amal shalih (‘amil al-sholih) demi terwujudnya Indonesia yang maju, modern, dan berdaya saing (Al-‘ashr), berlandaskan pada nilai-nilai keadaban yang terinspirasi dari nilai-nilai keimanan kepada Tuhan (alladzina amanu) dan dibangun secara gotong royong sebagai wujud tanggung jawab sosial (tawashau bi al-haq wa tawashau bi al-sabr). Kejahiliyahan klasik di Indonesia seperti takhayul, bidah, dan khurafat saat ini sudah mulai terkikis walaupun belum sepenuhnya. Muhammadiyah berkontribusi besar dalam pencapaian itu yang selama satu abad terakhir selalu konsisten menyeru kepada masyarakat dengan ilmu (bil-hikmah), ramah, tata krama, dan bijaksana (mau’izati al-hasanah), dan dialogis (jadilhum billati hiya ahsan) agar masyarakat terlepas dari belenggu kejumudan sehingga menjadi manusia yang utuh yang memanfaatkan akal dan memiliki pemahaman ketuhanan yang lebih hakiki sebagai konsekuensi doktrin tauhid laa ilaaha ila Allah.
Tugas yang lebih penting bagi Muhammadiyah di perjalanan abad kedua ini antara lain adalah membebaskan masyarakat dari bentuk-bentuk kejahiliyahan baru berupa segala masalah, baik yang bersumber pada tataran sistem maupun individu, yang menghambat masyarakat Indonesia dalam ikhtiar membangun negara yang berdaya saing tinggi dan negara utama (al-madinah al fadhilah). Untuk melaksanakan tugas penting ini, strategi jihad harus berubah dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al muaradhah) menuju perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li almuwajahah) dengan kiprah Muhammadiyah berkarya menghasilkan berbagai macam inisiatif nyata sebagai solusi daya saing rendah di Indonesia ini. Dengan komitmen dan ikhtiar terbaik dari warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah menggunakan segala sumber daya (badlu al-juhdi), insya Allah Muhammadiyah dapat berkontribusi besar dalam menciptakan negara Indonesia yang berdaya saing tinggi yang sesuai dengan kriteria masyarakat paripurna sesuai nafas baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. *) Muhammad Ghufron Mustaqim adalah alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan aktif sebagai anggota Majelis Pendidikan Kader PWM DIY.