A. Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari kita akan selalu bersentuhan dengan tanda-tanda baik dalam bentuk bahasa, simbol, sikap manusia, dan lain-lain. Setiap tanda yang kita lihat dan tangkap tidak muncul tanpa sebab namun memiliki maksud di baliknya. Karena itu, lahirnya sebuah ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda dan makna dari tanda tersebut yang dikenal dengan semiotika. Kelahiran semiotika tidak dapat dilepaskan dari dua tokoh yang sering dianggap sebagai pelopornya yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh yang tinggal di beda negara ini menetapkan prinsip-prinsip dasar semiotika dengan fokus bahasan yang berbeda. Pada makalah ini, akan diuraikan salah satu pelopor semiotika modern yang lahir dan besar di Eropa yakni Ferdinand de Saussure. Saussure menamakan ilmu tentang tanda ini dengan semiologi. Fokus Saussure dalam kajian semiologinya adalah bahasa karena latar belakang keilmuannya adalah ahli bahasa. Konsep yang diusung Saussure menjadi cikal bakal berkembangnya kajian linguistik sehingga ia pun disebut sebagai Bapak Linguistik Modern. Empat konsep utama yang dibahas oleh Saussure yakni dikotomi signifiant dan signifié, langue dan parole, sinkronis dan diakronis, serta sintagmatik dan paradigmatik. Keempat konsep ini akan diuraikan pada makalah ini setelah sebelumnya diuraikan pula biografi singkat Saussure. B. Biografi Ferdinand de Saussure Mongin1-Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa pada 26 November 1857 dari keluarga Protestan Perancis yang beremigrasi dari daerah Lorraine. Keluarga Saussure pada dasarnya adalah keluarga eksak, ahli ilmu alam, fisika, juga bumi. Mendalami ilmu-ilmu itu merupakan warisan keluarga dan menjadi kebanggaan. Namun Saussure memutuskan untuk beralih dari tradisi tersebut. Pada usia 19 tahun, setelah selama dua semester mengikuti kuliah kimia, fisika, dan ilmu alam di Universitas Jenewa, Saussure muda memutuskan untuk mendalami bidang kesusasteraan dan khususnya bidang linguistik, yang telah dikenalnya pada masa
1
Mongin bisa dikatakan sebagai marga dari keluarga Saussure atau diambil dari nama keturunannya. Keluarganya adalah keluarga yang paling tua dan paling dikenal di Jenewa. Pendiri keturunan ini adalah Mongin atau Mengin Schouel yang berasal dari kota Saulxsure-sur-Moselotte (Lorraine), penasihat dan penjinak burung kenamaan dari Duc de Lorraine.
1
2
remaja. Bakatnya dalam bidang bahasa telah nampak padanya sejak kecil. Pada umur 15 tahun ia menulis karangan “Essai sur les langues” dan tahun 1874 ia mulai belajar bahasa Sansekerta.2 Setelah beralih ke bidang bahasa, pada 1876-1878 ia belajar ilmu bahasa di Leipzig dan pada 1878-1879 di Berlin. Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doctor summa cum laude dari Universitas Leipzig. Setelah meraih gelar doktor, pada 18811891 Saussure mengajar di Ecole Pratique des Hautes Etudes Universitas Paris yang menjadi pusat aliran Strukturalisme. Tahun 1891 ia kembali ke Jenewa dan meneruskan mengajar bahasa Sansekerta dan historis komparatif di Universitas Jenewa. Tahun 1906 ia menjadi guru besar dalam bidang linguistik. Sayangnya, ketika meninggal tahun 1913, ia tidak banyak meninggalkan buku yang diterbitkan.3 Sebenarnya sejak berusia 21 tahun, Saussure telah membuktikan dirinya sebagai ahli linguistik historis yang sangat cemerlang dengan karyanya “Catatan tentang sistem vocal purba dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa”. Meskipun sumbangannya bagi linguistik historis cukup besar, namun ia lebih dikenal karena sumbangannya dalam linguistik umum.4 Berkat buku Course de Lingistique Generale ia dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern dan pencetus Semiologi. Pemikiran semiologinya kemudian berkembang dan sering disebut dengan Mazhab Saussurean. Sebagai seorang sarjana kunci dalam linguistik modern, pengertian dasar linguistik Saussure bisa dilihat khususnya pada sederetan dikotomi (pasangan definisi yang beroposisi) teoritik yang dibangunnya. Empat konsep Saussure itu yakni dikotomi antara langue dan parole, signifiant dan signifié serta sintagmatik dan paradigmatik. Meskipun beberapa istilah ada sebelum Saussure, namun Saussure lah yang pertama menggunakan istilah-istilah tersebut secara sistematis dalam
2
Ferdinand de Saussure, Cours De Linguistique Generale, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univversity Press, 1996), hlm. 2. 3 Martin Krampen, “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”, dalam Serba-Serbi Semiotika, terj. Lucia Hilman, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 55. 4 Yang lebih mengagumkan adalah Saussure dikenal karena sebuah buku yang tidak pernah ditulisnya. Perlu diketahui bahwa buku Course de Lingistique Generale —Pengantar Linguistik Umum— adalah catatan kuliah Saussure di Universitas Jenewa pada 1906-1911yang dikumpulkan para mahasiswanya, dan diterbitkan oleh Charless Ballu dan Albert Sechehay pada tahun 1915 (dua tahun setelah Saussure meninggal). Buku ini menjadi salah satu rujukan utama kajian linguistik umum dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ke bahasa Inggris diterjemahkan oleh Wade Baskin (1966) dan ke bahasa Indonesia oleh Rahayu Hidayat (1988). Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipt, 2012), hlm. 346.
3
perkuliahannya. Melalui pengaruhnya berhasil dibentuk linguistik sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki metode sendiri.5 C. Gambaran Umum Semiotika Secara definitif, istilah semiotika berasal dari kata seme (Yunani) yang berarti penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Karena itu, semiotika atau semiologi (istilah yang digunakan Saussure) diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.6 Sebenarnya persoalan tanda dan fungsi tanda sudah lama dibicarakan, bahkan semenjak zamann Yunani Kuno. Akan tetapi secara formal semiotika diperkenalkan paa abad ke-18 oleh filosof Jerman bernama Lambert. Setelah itu, semiotika menempati posisi mapan dalam khazanah ilmu pada abad ke20. Beberapa tokoh terkemuka abad ke-20 yang konsen pada semiotika di antaranya Ronald Barthes (1915-1980), J. Kristeva, L.J. Prieto, Umberto Eco, dan lain-lain. Secara garis besar, ranah kajian semiotika dibagi menjadi dua, semiotika signifikansi yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan semiotika komunikasi yang dimotori oleh Charles Sander Peirce (1839-1914). Keduanya tinggal dalam dua kawasan yang berbeda, Peirce di Amerika Serikat dan Saussure di Eropa. Meskipun hidup sezaman, tetapi antara keduanya tidak saling mengenal dan keduanya membangun teorinya di atas pijakan yang berbeda Peirce menjadikan logika sebagai landasan teorinya sedangkan Saussure menjadikan model linguistik sebagai landasan teorinya.7 Hal ini tidak terlepas dari latar belakang keilmuan Saussure yakni linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menggunakan kata „semiologi‟, yang sebenarnya jika dikaji memiliki pengertian yang sama dengan semiotika pada aliran Pierce. Kedua kata ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasikan adanya dua tradisi dari semiotik. Tradisi linguistik menunjukkan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan nama-nama Saussure sampai Hjelmslev dan Barthes yang menggunakan istilah semiologi. 5 6
Martin Krampen, “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”, hlm. 56. Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamuka Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm.
3. 7
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 131-132.
4
Sedang yang menggunakan teori umum tentang tanda-tanda dalam tradisi yang dikaitkan dengan nama Pierce dan Morris menggunakan istilah semiotik. Kata semiotika kemudian diterima sebagai sinonim dari semiologi. Jadi, kedua istilah tersebut lebih menunjukkan pada pemikiran tokohnya. Istilah semiotika biasanya menunjukkan C.S. Pierce dan semiologi ditunjukkan pada Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure dalam buku Course in General Linguistic, semiologi adalah suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial. Bahasa mungkin akan menjadi bagian dari psikologi dan dengan sendirinya berkaitan dengan psikologi umum. Semiologi akan menunjukkan apa-apa saja tanda tersebut dan hukum-hukum apa saja yang mengaturnya.8 Saussure mengatakan bahwa bahasa itu selalu tertata dengan cara tertentu. Ia adalah suatu sistem atau struktur, di mana setiap individu yang menjadi bagiannya menjadi tidak bermakna bila dilepaskan dari struktur tersebut. Saussure menegaskan bahwa bahasa harus ditinjau ulang agar linguistik memiliki landasan yang mantap. Kekhasan teori Saussure terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Baginya, bahasa9 adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dan karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tulis, simbol keagamaan, aturan sopan-santun, tanda kemiliteran, dan sebagainya. Hanya bedanya bahasa merupakan yang terpenting di antara sistem-sistem tersebut.10 Baik secara ilmplisit maupun eksplisit, para ahli semiotika yang berkiblat pada Saussure menganggap bahwa tanda-tanda linguistik mempunyai kelebihan dari sistem semiotika lainnya.11 Saussure menyatakan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum, dan untuk itu ia mengusulkan nama semiologi. Linguistik hanyalah bagian dari ilmu umum itu. Hukum yang akan 8
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 82-83. Dalam terjemah asli dari buku Saussure masih digunakan istilah langue. Sementara pada kebanyakan buku lain, kebanyakan penulisnya mengalihbahasakan kata langue dengan bahasa atau linguistik. Hal ini dilakukan mungkin untuk memudahkan pemahaman pembaca. Meskipun demikian, Saussure telah menekankan bahwa tidak ada istilah yang tepat untuk mewakili kata langue, yang penting makna langue adalah seperti apa yang telah dijabarkannya. 10 Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, terj. M.Dwi Marianto, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), hlm. 4. 11 Aart Van Zoest, “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Serba-Serbi Semiotika, terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 2. 9
5
ditemukan oleh semiologi bakan dapat diterapkan pada linguistik dan linguistik akan berkaitan dengan suatu bidang yang khusus dalam kumpulan fakta manusia.12 Bagaimanapun, Saussure telah meletakkan dasar semiotika modern. Dasar-dasar semiotika itu kemudian dikembangkan para pengikut Saussure yang menamakan diri kaum strukturalis atau mazhab Saussurian. Contohnya Levi Strauss menerapkan dalam kajian antropologi budaya, J.Lazan dalam psikoanalisa dan Roland Barthes dalam studi sastra.13 Di bawah panji strukturalisme, linguistik modern berkembang dengan pesatnya hingga sekarang. ada beragam aliran linguistik, seperti relasiobalisme, Praha, London, dan lain-lain yang pada dasarnya semua berkembang dari strukturalisme atau setidaknya terilhami oleh aliran strukturalisme.14 D. Telaah Pemikiran Saussure Saussure memperkenalkan empat konsep penting yang masing-masing ditampilkan secara dikotomis, yaitu (1) signifiant dan signifié; (2) langue dan parole; (3) synchronic dan diachronic; dan (4) syntagmanic (dan associative/paradigmatic. 1. Konsep Signifiant dan Signifié Bagi Saussure, bahasa merupakan sistem tanda yang memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas.15 Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signe linguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yakni signifiant (signifier) dan signifié (signified). Hubungan antara signifiant dan signifié sangat erat, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita. Sedang signifié adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.16 Karena itu suatu tanda adalah kombinasi dari konsep dan citra akustik17.
12
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, hlm. 132-135 Meskipun dalam perkembangan selanjutnya penerapan semiologi (semiotika) dalam variasi kajian banyak didominasi oleh Charles S. Pierce, yang ajarannya lebih terinci dari Saussure. Karena itu, istilah semiotika yang berasal dari tradisi filsafat Anglo Saxon lebih dikenal dan banyak dipergunakan ketimbang semiologi yang dikenal di Eropa Kontinental. Lihat Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, hlm. 135. 14 Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 16. 15 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamuka Sosial Budaya, hlm. 32. 16 Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 348. 17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan ciri dengan bunyi bahasa yang berkaitan dengan tinggi nada, keras suara, dan panjang bunyi. Istilah gambaran akustis ini mungkin nampak terlalu sempit karena di samping pengungkapan bunyi suatu kata, ada juga pengungkapan 13
6
Dalam bahasa sehari-hari, istilah tanda pada umumnya hanya menunjuk citra/gambaran akustis, misalnya sebuah kata house. Orang cenderung melupakan bahwa bahwa kata house menjadi sebuah tanda, hanyalah jika tanda tersebut mengandung konsep tentang „rumah‟. Akibatnya konsep tentang ide panca indera secara tak langsung menyatakan bagian ide tentang keseluruhan. Karena itu, Saussure ingin menegaskan bahwa kata “tanda” (signe) itu untuk menyusun keseluruhan dan untuk menggantikan konsep dan citra bunyi masing-masing dengan signifié dan signifiant.18 Dalam buku Saussure dikemukakan bahwa untuk lebih memudahkan
kita
dapat
memakai
kata
signe
(tanda)
untuk
menunjuk
keseluruhannya, dan mengganti concept (konsep) dan image acoustique (gambaran akustis) masing-masing dengan petanda dan penanda.19 Sebagai tanda linguistik, penanda dan petanda biasanya mengacu pada sebuah acuan atau referen yang berada di alam nyata sebagai sesuatu yang ditandai oleh tanda linguistik itu.20 Sebagai contoh kita ambil kata „kursi‟. Kata ini terdiri dari komponen penanda yakni berupa runtutan fonem /k/u/r/s/i; dan komponen petanda berupa konsep atau makna „sejenis tempat duduk‟. Tanda linguistik ini berupa runtutan fonem dan konsep yang dimiliki runtutan fonem itu yang mengacu pada sebuah referen yakni „sebuah kursi‟.21 Digambarkan sebagai berikut. Signifié/signifiéd/petanda(makna)
Signe lingistique (kata)
Signifiant/signifiér/penanda (bentuk bunyi)
artikulasi, yaitu gambar otot-otot pada tindak pembunyian. Tapi bagi saussure, langue pada dasarnya merupakan khazanah dari apa yang diterima dari luar. Gambaran akustis adalah terutama pengungkapan wajar dari kata sebagai butir bahasa yang abstrak, di luar segala realisasi oleh parole. Jadi, segala artikulatoris dapat dianggap terkandung di dalamnya, atau pendek kata, hanya bersifat sekunder dibanding dengan gambaran akustis. Lihat Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 151. 18 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika, hlm. 13. 19 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 147. 20 Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 348. 21 Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 286.
7
Sejenis tempat duduk
KURSI
/k/u/r/s/i/ Saussure berpendapat bahwa ciri dasar tanda bahasa adalah arbitraritas (kesemenaan). Hubungan antara signifiant dan signifié disebutnya bersifat arbitrer, sewenang-wenang atau tidak ada hubungan wajib antara keduanya. Lambang yang berupa bunyi itu tidak memberi „saran; atau „petunjuk‟ apapun untuk mengenal konsep yang diwakilinya.22 Saussure tidak menerima pendapat yang mengatakan bahwa ikatan mendasar yang ada dalam bahasa adalah antara kata dan benda. Konsep Saussure tentang tanda menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Oleh karena itu, hubungan antara penanda dan petanda bersifat sembarang. Berdasarkan prinsip ini, struktur dasar suatu bahasa tidak lagi dianggap muncul dalam etimologi dan filologi, tetapi bisa ditangkap dengan sangat baik melalui cara bagaimana bahasa itu mengutarakan perubahan. Oleh sebab itu, pandangan “nomenklaturis” menjadi landasan linguistik sama sekali tdk mencukupi.23 Gagasan „rumah‟ dengan konsep „tempat tinggal manusia‟ tidak ada hubungan intern sama sekali dengan urutan bunyi r-u-m-a-h yang merupakan penandanya. Padahal penanda dapat diungkapkan oleh bentuk apapun, sebagai bukti terdapat perbedaan antara bahasa-bahasa dan adanya bahasa-bahasa yang berbeda.24 Contoh lain misalnya antara kata „becak‟ dengan konsep yang dilambangkannya yaitu „alat transportasi beroda tiga‟. Kita tidak dapat menjelaskan mengapa alat transportasi tersebut dilambangkan dengan bunyi „becak. Mengapa, misalnya bukan „mobil‟, atau yang lain. Hal ini tidak bisa dijelaskan karena sifat bahasa yang arbitrer itu. Andaikata ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, tentu lambang yang dalam bahasa Indonesia berbunyi rumah, di Inggris orang juga akan menyebut rumah, sehingga di muka bumi ini tidak akan ada bermacam-macam bahasa. Selain itu, seandainya ada hubungan antara penanda dan petanda, maka 22
Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 46. Mutiullah, Course Outline Semiotika Ferdinand de Saussure disampaikan di perkuliahan Filsafat Bahasa kelas SQH A pada 1 Juni 2015 13:30 , Power Point. Tidak diterbitkan. 24 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 148. 23
8
seseorang yang tidak tahu suatu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut tidak memberi „saran‟ atau „petunjuk‟ apapun untuk mengetahui maknanya.25 Jadi, yang dimaksud semena adalah tanpa motif, artinya semena dalam kaitannya dengan petanda karena penanda tidak memiliki ikatan alami apapun dengan petanda di dalam kenyataan.26 Meski demikian, sarana pengungkapan apapun yang diterima dalam masyarakat pada dasarnya didasari oleh kebiasaan kolektif. Tanda sopan santun yang seringkali nampak sebagai pengungkapan alami, misalnya sedikit membungkuk ketika lewat di hadapan orang yang lebih tua bukannya tidak ditetapkan oleh suatu peraturan atau minimal suatu kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Peraturan itulah yang memaksa orang untuk mempergunakan tanda tersebut, bukannya nilai intrinsik mereka. Karena itu, kata semena (arbitrer) bukan wewenang individu untuk mengganti sebuah lambang bahasa karena lambang itu sudah melembaga dalam suatu masyarakat bahasa. Kata arbitrer tidak boleh memberi gagasan bahwa penanda tergantung dari pilihan bebas penutur.27 Kesemena-menaan itu pada dasarnya dibatasi oleh kesepakatan antar-penutur. Oleh sebab itu bahasa juga memiliki ciri konvensional. Ciri kesepakatan antar penutur (konvensional) ini secara implisit sudah mengisyaratkan bahwa fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial juga diatur dalam suatu konvensi tersebut.28 Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Jika alat transportasi beroda tiga, yang secara arbitrer dilambangkan dengan lambang bunyi becak, maka anggota masyarakat bahasa Indonesia, semuanya, harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhi dan menggantikannya dengan
25
Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 45-46. Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 149. 27 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 148-149. 28 Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, ... hlm. 2. 26
9
lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.29 Hal ini sangat tergantung pada konsensus/kesepakatan masyarakatnya. Bahasa adalah milik bersama dan terberi ke dalam benak individu secara konvensional. Hanya dengan milik bersama itu, setiap individu bisa saling berkomunikasi satu sama lain. Jadi, kalau kearbitreran bahasa terletak pada hubungan antara penanda dan petanda, maka kekonvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya agar tidak menghambat komunikasi antar penutur dan pendengar.30 Dengan demikian, hubungan antara petanda dan penanda saling bertaut begitu saja tanpa harus ada penjelasan yang bersifat logis (arbitrer). Akan tetapi, penautan itu pun bukan bersifat personal, melainkan berdasarkan “kesepakatan” (konvensi) sosial. Saussure tidak memberi batasan secara jelas tentang pengertian petanda, dia baru sampai pada imaji mental, sebuah konsep, dan realitas psikologis. Menurutnya, tanda mengekspresikan gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan dengan pikiran manusia. Jadi, secara implisit tanda dianggap sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan bertujuan menyatakan maksud.31 2. Konsep Langue dan Parole Menurut Saussure, bahasa memiliki dua aspek yakni aspek langue dan aspek parole. Hubungan antara penanda dan petanda ditetapkan berdasarkan sistem kaidah yang dinamakan langue.32 Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota masyarakat bahasa. Langue merupakan fakta sosial dan sistem abstrak yang secara kolektif diketahui, disadari dan seolah telah disepakati bersama oleh semua pemakai bahasa tersebut dan menjadi panduan bagi praktik berbahasa di masyarakat.33 Sementara aspek parole yakni praktik berbahasa di dalam kehidupan masyarakat atau wujud ujaran seorang individu pada suatu saat tertentu. Dalam analisis atas bahasa harus selalu dibedakan kedua aspek itu. Dalam kenyataan kehidupan berbahasa, langue merupakan prinsip-
29
Abdul Chaer, Linguistik Umum, ... hlm. 47. Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 48. 31 Umberto Eco, “Sebuah Pengantar Menuju Logika Kebudayaan”, dalam Serba-Serbi Semiotika, terj. Lucia Hilman, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 43. 32 Umberto Eco, “Sebuah Pengantar Menuju Logika Kebudayaan”, … hlm. 42. 33 Martin Krampen, “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”, … hlm. 57. 30
10
prinsip supra-individual yang mengarahkan parole.34 Jadi parole merupakan wujud pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa. Sifatnya konkret karena parole itu adalah realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam hal ini yang menjadi telaah linguistik adalah langue yang tentu saja dilakukan melalui parole, karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diamati dan diteliti.35 Jadi, langue merupakan sistem yang bersifat sosial serta menjadi acuan untuk melakukan komunikasi bahasa. Sistem ini memiliki konvensinya di tengah masyarakat, sehingga individu tidak akan mampu secara serta-merta melakukan perubahan. Perlu diingat bahwa langue bukan kegiatan penutur tetapi merupakan produk yang direkam individu secara pasif. Parole sebaliknya adalah suatu tindakan individual dari kemauan dan kecerdasannya.36 Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sementara petanda adalah aspek mentalatau konsep dibalik penanda. Persoalan ini memperlihatkan bahwa konsep tersebut tidak bisa dilepaskan dari parole sebagai bentuk bahasa ujaran individu. Selain itu, langue pada suatu bahasa yang digunakan komunitas tertentu juga sangat berpengaruh untuk menemukan arti bahasa tersebut. Menurut Umberto Eco, semiologi yang dikembangkan Saussure lebih mengarah pada semiologi signifikansi37 karena hubungan antara penanda dan petanda dikukuhkan berdasarkan sistem aturan dalam langue.38 Hubungan antara langue dan parole yang saling berkaitan satu sama lain membentuk sebuah struktur, yakni langage.39 Langue perlu agar parole dapat saling dipahami dan menghasilkan segala dampaknya, tetapi parole juga perlu, agar langue terbentuk. Hanya dengan mendengar orang lainlah kita belajar bahasa ibu kita. Bahasa ibu melembaga di dalam otak kita hanya melalui urutan pengalaman yang tak terhitung jumlahnya. Dengan kata lain, parole juga dapat membuat langue berubah. 34
Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamuka Sosial Budaya, … hlm.32. Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 347-348. 36 Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, hlm. 2. 37 Semiotika Signifikansi adalah semiotika yang mempelajari hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah sistem berdasarkan pada konvensi-konvensi tertentu. Oleh karena itu, untuk mencari makna suatu bahasa harus dianalisis hubungan masing-masing unsur dengan memperhatikan aspek aturan-aturan yang dipakai di sekelilingnya. 38 Ali Imron, Semiotika Alquran, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm.13-14. 39 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamuka Sosial Budaya, hlm. 57. 35
11
Kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lain dapat mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, ada saling ketergantungan antara langue dan parole.40 Saussure menggambarkan langue sebagai sebuah kamus yang dibagikan pada setiap pemakai bahasa. Dalam berkomunikasi seorang penutur seakan-akan mencari dalam kamus itu citra akustis yang sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya. Lawan bicaranya memiliki kamus yang sama (kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi komunikasi). Setelah menangkap rangkaian bunyi yang diucapkan penutur, ia mencari konsep dari citra akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kode tersebut. Saussure membayangkan „kamus‟ ini sebagai suatu kumpulan guratan ingatan dalam otak setiap pemakai bahasa. Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Penutur seolah-olah memilih unsurunsur tertentu dari „kamus‟ umum tersebut.41 Jadi, langue tersebut termanifestasikan sebagai parole yakni tindakan berbahasa atau tuturan secara individual. Sebagai contoh, dalam bahasa masyarakat Banjar terdapat kaidah/konsep yang berlaku dalam menunjuk „orang kedua‟ yakni pian, ikam, dan nyawa. Ketiga kata ini sama-sama berarti orang kedua atau kamu dalam kaidah bahasa Indonesia. Ketiganya merupakan konsep yang secara tidak langsung telah disepakati oleh masyarakat Banjar untuk menunjuk suatu makna tertentu. Konsep inilah yang dapat disebut dengan langue. Sementara itu, setiap individu masyarakat Banjar akan menggunakan salah satu kaidah yang ditetapkan tadi dalam praktik komunikasinya. Misalnya, ketika berbicara dengan orang tua atau seseorang yang dihormati, maka ia akan memilih salah satu kata yakni pian, karena kaidah ini dianggap lebih sopan. Sementara, ketika berbicara dengan teman sebaya, maka ia akan memilih menggunakan kata ikam atau nyawa. Pilihan atau penggunaan bahasa secara individual inilah yang disebut dengan parole. 3. Konsep Sinkronik dan Diakronik Telaah bahasa dilakukan dengan cara sinkronik dan diakronik. Telaah sinkronik artinya mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu tertentu saja.. Sedangkan telaah secara diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman
40 41
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, hlm. 86. Martin Krampen, “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”, hlm. 57.
12
bahasa itu digunakan oleh para penuturnya.42 Studi linguistik sinkronik biasa disebut juga linguistik deskriptif, karena berupaya mendeskripsikan bahasa secara apa adanya pada suatu masa tertentu. Linguistik diakronik berupaya mengkaji bahasa pada masa yang tidak terbatas. Kajian ini biasanya bersifat historis dan komparatif karena itu dikenal juga dengan linguistik historis komparatif. Tujuannya untuk mengetahui sejarah struktural bahasa itu beserta dengan segala bentuk perubahan dan perkembangannya. Pernyataan seperti, “kata pena dulu berarti „bulu angsa‟, sekarang berarti alat tulis bertinta” adalah pernyataan yang bersifat diakronik.43 Sebelum muncul pandangan ini, telaah bahasa tpada abad ke XIX selalu dilakukan secara diakronik bahkan dianggap sebagai satu-satunya cara ilmiah dalam mengkaji bahasa. Pada waktu itu belum disadari bahwa bahasa dapat diteliti secara sinkronik.44 Bagi Saussure, langue sebagai objek linguistik merupakan suatu sistem yang semua bagiannya dapat dan harus diamati di dalam saling ketergantungan sinkronis. Linguistik mestinya mempelajari sistem bahasa sebagaimana dipakai sekarang ini dengan tidak memperdulikan perkembangan dan perubahan yang telah menghasilkan sistem itu. Bisa saja kata „sekolah‟ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani skhole
(artinya: waktu luang), tetapi kata itu mendapat
maknanya karenanya kedudukannya dalam sistem bahasa Indonesia sebagai keseluruhan dan tidak terkena/terkait dengan asal-usul itu.45 Saussure menggunakan karakter permainan catur untuk memberikan ilustrasi dan gambaran tentang adanya diferensial bahasa. Bagi orang yang baru datang pada sebuah pertandingan catur, yang penting bukan hanya konfigurasi yg ada saat ia menontonnnya (ia tidak memperoleh lebih banyak wawasan bila ia tahu bagaimana buah-buah catur itu menjadi tertera seperti yang dilihatnya), namun juga bahwa segala macam barang bisa dipakai untuk menggantikan buah-buah catur itu (misal batu akik dipakai untuk menggantikan raja) karena yg menentukan berlangsungnya pertandingan itu adalah hubungan diferensial antara buah-buah catur itu, bukan nilai intrinsiknya. Bila kita melihat bahasa dengan cara seperti melihat permainan catur, di 42
Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 347. Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 14-15. 44 Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 347. 45 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik Dalam Tafsir Alquran Kontemporer „Ala‟ M Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 81. 43
13
mana yang penting adalah kedudukan buah-buahnya pada suatu saat, berarti kita melihatnya dari perspektif sinkronik. Sebaliknya, bila dalam pendekatan kita menggunakan hal historis berarti kita melihatnya dari perspektif diakronik. Saussure lebih mengutamakan aspek sinkronik daripada aspek diakroniknya karena aspek sinkronik memberikan gamabaran yg lebih jelas mengenai faktor-faktor pada satu situasi kebahasaan tertentu.46 Saussure juga mengemukakan metafora lain, yakni seorang seniman yang ingin melukis sebuah panorama pegunungan Alpen, ia harus memilih suatu tempat yang menguntungkan. Menunjukkan pemandangan dari beberapa puncak sekaligus adalah tidak mungkin. Menurutnya, suatu panorama harus diambil dari satu titik, demikian juga halnya dengan langue. Pandangan ini memberikan paradigma baru bahwa kita dapat melakukan penelitian terhadap suatu bahasa tertentu tanpa melihat sejarah bahasa itu. Dengan memprioritaskan deskripsi sinkronis, tidak berarti ia menolak sama
sekali
penyelidikan
diakronis.
Linguistik
historis
(diakronis)
dapat
membandingkan bahasa sebagai sistem-sistem. Kerena itu, sistem harus dilukiskan terlebih dahulu berdasarkan prinsip sinkronis.47 4. Hubungan sintagmatik dan asotisiatif/paradigmatik Hubungan sintagmatik adalah hubungan antar unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Hubungan paradigmatik yakni hubungan antar unsur dalam suatu tuturan dengan unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.48 Hubungan sintagmatik terdapat di antara satuan bahasa di dalam kalimat konkret, sedangkan hubungan paradigmatik adalah hubungan yang terdapat dalam bahasa, namun tidak tampak dalam susunan suatu kalimat. Hubungan ini tampak bila suatu kalimat dibandingkan dengan kalimat lain.49 Sebuah kalimat terdiri atas sejumlah elemen berantai yang saling berhubungan seperti subyek, predikat, obyek, keterangan atau fungsi sintaktis lainnya. Hubungan antar elemen itu merupakan hubungan sintagmatik. Sementara itu, sebuah elemen di 46
Mutiullah, Course Outline Semiotika Ferdinand de Saussure disampaikan di perkuliahan Filsafat Bahasa kelas SQH A pada 1 Juni 2015 13:30 , Power Point. Tidak diterbitkan. 47 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme, hlm. 82-83. 48 Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 350. 49 Abdul Chaer, Linguistik Umum, … hlm. 19.
14
dalam kalimat itu dapat digantikan oleh tanda lain yang berasal dari paradigma yang sama. Karena itu hubungan sintagmatik sering disebut hubungan in presensia, sedangkan hubungan sintagmatik merupakan hubungan in absensia. Contoh hubungan sintagmatik yakni: Ibu membeli sayur Kalimat ini tidak bisa diubah jika hendak mendapatkan satu makna. Jika kita mengambil sekumpulan tanda, “ibu membeli sayur”, maka satu elemen tertentu yakni kata „ibu‟, menjadi bermakna sebab ia bisa dibedakan dengan kata „membeli‟ atau juga „sayur‟. Jika digabungkan seluruh kata akan menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang berurut secara logis). Jika kata „ibu‟ diganti dengan kata Ali atau Mira, maka hal ini bisa saja, meskipun jadinya mengubah arti. Kenapa bisa, karena posisinya sama-sama sebagai subjek. Sementara itu, kata „ibu‟ tidak bisa diganti dengan „berlari‟, „makan‟ atau bentuk predikat lainnya karena itu akan merubah struktur kalimat. Melalui cara ini, „ibu‟ bisa dikatakan memiliki hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan „Ali‟ dan „Mira‟. Hubungan paradigmatik tersebut harus selalu sesuai dengan aturan sintagmatiknya, bagaimana garis x dan garis y dalam sebuah sistem koordinat. Berikut gambaran hubungan paradigmatik dalam beberapa kalimat: Ibu membeli sayur
Ali
makan nasi
Mira membawa baju E. Gagasan Saussure dalam Kajian Islam Seiring dengan perkembangan teori ilmu pengetahuan di bidang bahasa, ilmu linguistik modern tidak hanya berpengaruh dalam linguistik dan ilmu sosial saja. Ilmu ini telah merambah dan memiliki peran yang cukup signifikan juga terhadap pengembangan pendekatan studi Alquran. Pada perkembangan pemaknaan terhadap teks Alquran di masa modern, teori yang dikembangkan Saussure juga digunakan untuk menganalisis teks Alquran. Alquran merupakan representasi nilai religius teologis muslim yang bercorak bahasa sehingga untuk memahami dan mengkajinya maka salah satu pisau analisis yang dapat digunakan adalah pendekatan bahasa.
15
Karena itu, beberapa intelektual muslim telah mencoba mengaplikasikan teori linguistik dalam pengkajiannya. Dalam konteks ini, grand theme yang mereka kembangkan masih berada dalam bingkai ilmu linguistic seperti yang telah dikembangkan Saussure, namun dalam aplikasinya terdapat corak yang berbeda satusama lain. Tokoh yang pernah mengaplikasikan konsep Saussure terhadap penafsiran Alquran antara lain Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid. Dalam kaitannya dengan teori Saussure, Arkoun melakukan eksplorasi sinkronis dan diakronis sekaligus. Melalui eksplorasi sinkronis, ia mengetengahkan analisis terhadap status linguistik dari wacana Qurani, analisis semiotik (sandi kebudayaan,), analisis sosiokritis (proses sosial pengujaran), serta psikokritis (penyajian persepsi). Sedangkan pada wilayah diakronik pembahasan Arkoun lebih mengarah pada konsepnya tentang pembentukan masyarakat kitab, tradisi kitab suci, dan tradisi budaya. Selain aspek sinkronis dan diakronik, Arkoun juga menggunakan konsep langue, parole, dan langage.50 Langue dirumuskan Arkoun sebagai harta asal milik bersama (suatu masyarakat), sedangkan langage dipakai dalam arti sebuah alat yang tersedia bagi manusia untuk mengungkapkan diri secara lisan atau tertulis. Uniknya, pembedaan antara langage, langue dan parole yang berasal dari Saussure dirumuskan dengan cara berbeda oleh Arkoun. Tak hanya memanfaatkan konsep sederhana Saussure, dalam pengkajiannya Arkoun juga menggunakan berbagai metode dan analisis yang dikembangkan beberapa tokoh lain seperti Roland Barthes, Greimas, Hjelmslev yang pada umumnya adalah penerus dan pengembang dari teori Saussure.51 Adapun teori yang digunakan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, terutama pada karyanya Teks Otoritas Kebenaran, yakni teori tentang hubungan antara penanda dan petanda dalam mengkaji tanda. Dengan mengutip Saussure, ia menyatakan bahwa Penanda dan petanda sebagai dua aspek dari tanda bahasa yang tidak saja mengacu pada „benda‟ melainkan pada konsep mental yang serupa dengan makna dan bukan bendanya. Objek tanda bahasa tidak mengarah pada realitas eksternal-objektif secara langsung, tetapi mengacu pada konsep dan gambaran mental yang berdiam dalam
50
Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme, hlm. 3-4. Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 14 51
16
kesadaran masyarakat dan juga dalam bawah sadarnya. Selain itu, Nasr Hamid juga mengaplikasikan konsep langue dan parole dalam analisisnya terhadap Alquran. Baginya, teks Alquran sebagai firman Allah termasuk dalam kategori parole, dan bukan langue. Posisi parole ini dilihat dari segi keberadaannya sebagai teks yang ditujukan pada manusia dalam sebuah konteks kebudayaan tertentu, dan bukan dari pihak yang menuturkan yakni Allah swt. Teks Alquran memang mendasarkan diri pada langue, akan tetapi ia merupakan parole dalam sistem kebahasaan tersebut.52 Penggunaan teori Semiotika Saussure oleh beberapa tokoh tersebut berdasarkan pada asumsi bahwa pada media bahasa yang digunakan Alquran sebagai sarana untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia lewat Nabi Muhammad terdapat sistem tanda. Teks Alquran merupakan sekumpulan tanda yang didalamnya terdapat hubungan dialektika antara penanda dan petanda. Penanda Alquran adalah wujud teks yang berupa bahasa Arab, meliputi huruf, kata, kalimat, ayat, surat maupun hubungan masing-masing unsur. Kompleksitas unsur yang saling berhubungan tersebut juga termasuk tanda Alquran. Sedangkan petanda Alquran merupakan aspek mental atau konsep yang berada di balik penanda Alquran. Hubungan antara penanda dan petanda Alquran ditentukan oleh konvensi yang melingkupi Alquran.53 Alquran adalah dunia tanda sehingga untuk menemukan arti dan maknanya maka harus dengan mengkaji sistem tanda di dalamnya. Konsep-konsep yang berada di balik sistem tanda dicari dengan meneliti pola hubungan antara penanda dan petanda yang ada. Meskipun demikian perlu diingat bahwa bahasa Alquran yang merupakan bahasa agama memiliki kekhasan tersendiri yang seringkali banyak memiliki istilah atau ungkapan metafisik yang sifatnya abstrak. Misalnya kata ajrun (pahala), dzanbun (dosa) yang merupakan tanda abstrak dan tidak memiliki referen (acuan) yang jelas. Selain itu, bahasa Alquran bukan bahasa yang lahir sendiri, tapi berhubungan dengan kultur Arab saat ayat turun, sehingga bahasa Alquran juga tak dapat dilepaskan dari konteks budaya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Alquran memiliki signifikansi yang lebih kompleks daripada bahasa-bahasa lain.54
52
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LkiS, 1995), hlm. 100-108. 53 Ali Imron, Semiotika Alquran, hlm. 41. 54 ukAli Imron, S eumiotik Alquran, hlm. 4-5.
17
Sebuah kajian Alquran yang berusaha untuk menerapkan konsep-konsep semiotika juga coba diterapkan oleh Ali Imron dalam bukunya Semiotika Alquran. Dalam kajiannya, ia menerapkan aspek-aspek semiotika yang diusung C.S. Peirce dan de Saussure dalam mengkaji kisah dalam Alquran yakni kisah Nabi Yusuf. Menurutnya, prinsip hubungan unsur-unsur intrinsik Alquran tidak hanya terbatas pada hubungan antarkata dalam satu kalimat, tetapi hubungan tersebut terjadi dalam konteks yang lebih luas. Hubungan ini misalnya hubungan antara kosakata, kalimat, ayat atau surat, hubungan antar ayat bahkan antarsurat. Hubungan dalam bentuk lain juga dapat ditemukan pada struktur kisah yang terdapat dalam Alquran. Bahasa Alquran sebagai sistem tanda merupakan sistem tanda tingkat pertama, atau disebut sistem semiotika tingkat pertama. Pembacaan semiotika berdasarkan konvensi bahasa ini melahirkan makna tingkat pertama. Sellain itu Alquran juga memiliki konvensi yang lebih tinggi dari konvensi bahasa yakni terkait hubungan internal teks Alquran, latar belakang historis, maupun perangkat „ulumul quran. Konvensi yang lebih tinggi ini disebut sebagai sistem semiotika tingkat kedua. Salah satu penerapan sistem semiotik tingkat pertama dan kedua ini dapat dilihat pada analisis QS. Yusuf: 4 berikut Pembacaan semiotik tingkat pertama memaknai ahada „asyara kaukabā, alsyams, al-qamar, dan sajidin merupakan tanda yang mengacu pada sebelas bintang, matahari, bulan, dan aktivitas sujud dalam arti sebenarnya sebagaimana yang dipahami pelaku mimpi (Yusuf) Pemahaman Yusuf berbeda dengan ayahnya yang mampu menangkap makna lain (konotatif) dari tanda-tanda tersebut namun ia tidak menjelaskan secara eksplisit. Karena itu, makna konotatif tanda itu dapat diketahui . jika memperhatikan tanda-tanda pada ayat berikutnya. Inilah proses pembacaan semiotik tingkat kedua yang berkesimpulan bahwa tanda-tanda tersebut bermakna sebelas saudara Yusuf, Ya‟qub, ibu Yusuf, dan ketundukan orang-orang tersebut kepada Yusuf. Selain itu, tanda-tanda tersebut juga memiliki konotasi lain yakni simbolisme yang menunjukkan kemuliaan dan derajat tinggi yang dimiliki Yusuf.55
55
Selengkapnya Lihat Ali Imron, Semiotika Alquran, hlm. 54-59.
18
F. Penutup Dari uraian di atas, kita dapat merumuskan beberapa kesimpulan
Saussure telah memberikan sumbangan besar bagi semiotika terutama dalam kajiannya dari perspektif linguistik. Empat konsep dikotomi yang ditawarkannya menjadi pijakan bagi perkembangan kajian linguistik modern
Bagi Saussure, bahasa adalah sistem tanda yang menjadi salah satu aspek penting dalam kajian semiologi. Sebagai sistem tanda ia tak dapat dilepaskan dari dua aspek yang melingkupinya yakni penanda dan petanda.
Konsep dikotomi antara langue dan parole jika digabungkan menjadi langage. Kaidah-kaidah yang menentukan gejala-gejala permukaan disebut langue. Langue tersebut termanifestasikan sebagai parole yakni tindakan berbahasa secara individual. Bahasa mempunyai satuan yang bertingkat-tingkat dan saling menjalin
melalui
cara
tertentu
yang
disebut
dengan
hubungan
paradigmatik/asosiatif dan sintagmatik
Untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang prinsip-prinsipnya telah tersebut di atas, bahasa hanya dapat dikaji melalui suatu pendekatan sinkronik, yakni pengkajian bahasa yang hanya membatasi fenomena bahasa pada satu waktu tertentu, tidak meninjau bahasa dalam perkembangannya dari waktu ke waktu (diakronis).
Dalam kajian Alquran, beberapa tokoh telah menerapkan konsep dasar semiotik Saussure dalam memahami dan menganalisa Alquran. Meskipun demikian, dalam penerapannya mereka seringkali melakukan perkembangan maupun penambahan teori-teori dari tokoh-tokoh semiotik selain Saussure.
19
DAFTAR PUSTAKA Arkoun, Mohammed Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994. Berger, Arthur Asa, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, terj. M.Dwi Marianto, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010. Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2012. De Saussure, Ferdinand, Cours De Linguistique Generale, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada Univversity Press, 1996. Eco, Umberto, “Sebuah Pengantar Menuju Logika Kebudayaan”, dalam Serba-Serbi Semiotika, terj. Lucia Hilman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Hidayat, Asep Ahmad, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. Hoed, Benny H., Semiotik & Dinamuka Sosial Budaya, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011. Imron, Ali, Semiotika Alquran, Yogyakarta: Teras, 2011. Krampen, Martin, “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”, dalam Serba-Serbi Semiotika, terj. Lucia Hilman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik Dalam Tafsir Alquran Kontemporer „Ala‟ M Syahrur, Yogyakarta: Elsaq Press, 2007. Mutiullah, Course Outline Semiotika Ferdinand de Saussure disampaikan di perkuliahan Filsafat Bahasa kelas SQH A pada 1 Juni 2015 13:30 , Power Point. Tidak diterbitkan. Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. Van Zoest, Aart, “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Serba-Serbi Semiotika, terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
20