1.
C. E3M6V5 Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran. Terdiri dari penilaian terhadap tiga komponen respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni: - Respon buka mata - Respon motorik - Respon verbal Setiap penilaian mencakup poin-poin, dengan nilai total 3-15
Jenis Pemeriksaan Nilai Respon buka mata (Eye Opening, E) Respon spontan (tanpa stimulus) 4 Respon terhadap suara/perintah 3 Respon terhadap nyeri 2 Tidak ada respon 1 Respon verbal (V) Orientasi baik 5 Berbicara mengacau (bingung/disoriented) 4 Kata terucap jelas dengan substansi tidak jelas, tidak 3 membentuk kalimat (misalnya, “aduh bapak..”) Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) 2 Tidak ada suara 1 Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6 Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus 5 saat diberi rangsang nyeri) 4 Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 3 Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat 2 diberi rangsang nyeri) Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau 1 keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) Tidak ada respon Interpretasi hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol: E…V…M…
Berdasar Advanced Trauma Life Support, GCS digunakan untuk menentukan derajat cedera kepala
Derajat Cedera Kepala Cedera Kepala Ringan (CKR) Cedera Kepala Sedang (CKS) Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS 14 – 15 9 – 13 3–8
Referensi: Committee on Trauma, American College of Surgeons.2008. ATLS: Advanced Trauma Life Support Program for Doctors (8th ed.). Chicago: American College of Surgeons. 2.
E. Gangguan skizoafektif tipe manic Pembahasan: Gangguan manik tanpa gejala psikotik dengan pedoman diagnostik sebagai berikut: episode seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya satu minggu dan cukup berat sehingga mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan biasa dan aktivitas sosial. Perubahan suasana perasaan (mood) seharusnya disertai dengan enersi yang meninggi dan beberapa gejala (khususnya percepatan berbicara, kebutuhan tidur yang kurang, grandiositas, dan terlalu optimis) Gangguan manik dengan gejala psikotik merupakan bentuk mania yang lebih berat. Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi waham dan iriitabilitas serta kecurigaan menjadi waham kejar. Selain itu, wham kebesaran atau religius tentang identitas seringkali mencolok dan gagasan yang takabur dan percepatan bicarany mengakibatkan individu tidak dapat dipahami. Gangguan Skizoafektif tipe manik memiliki pedoman diagnostik sebagai berikut: suasana perasaan harus meningkat menonjol atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi dengan irritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih gejala skizofrenik yang khas seperti: a) Thought echo, thought insertion atau withdrawl dan thought broadcasting b) Waham dikendalikan, waham dipengaruhi, atau passivity yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak atau pikiran, perbuatan atau perasaan khusus; persepsi delusional. c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal perilaku pasien di antara perilaku mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, mampu berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Sumber: - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III. 1993. editor Dr, Rusdi Maslim.
3. B. Miopi simplek Pandangan kabur pada anak usia 12 tahun, tanpa adanya keluhan lain, dan membaik dengan penggunaan lensa sferis negatif, merupakan kondisi dari diagnosis Miopia Simplek. Hipermetrop: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan di belakang retina. Penyebab hipermetrop adalah sumbu mata terlalu pendek (hipermetropia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu lemah (hipermetrop pembiasan). Gejalanya timbul keluhan lelah, pusing, dan nyeri kepala. Miopia: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibias di depan retina, tajam penglihatan selalu kurang dari pada 5/5. Penyebab miopia adalah sumbu mata terlalu panjang (miopia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu kuat (miopis pembiasan). Gejala yang timbul: penglihatan untuk jauh kabur, jika miopia terlalu tinggi memungkinkan timbul keluhan astenovergen sampai dengan strabismus konvergen. Jika terdapat perbedaan yang terlalu tinggi derajat miopia satu mata dengan lainnya, dapat terjadi ambliopia. Pengobatan miopia dengan lensa sferis negatif yang terkecil. Presbiop: umumnya timbul mulai umur kira-kira 40 tahun. Di mana pungtum proksimum letaknya jauh dari jarak baca seseorang (lebih dari 35 cm). Agar pungtum proksimum letaknya lebih dekat daripada jarak baca, maka perlu ditambah adisi sferis positif. Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan adanya suatu astigmat. Referensi: Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto. 4. A. Mematikan dengan gliserin dan dikeluarkan Pada kasus anak di atas terdapat benda asing di telinga bagian luar yang berupa benda hidup. Liang telinga luar terdiri dari cartilago dan tulang yang dilapisi oleh periosteum dan kulit. Bagian tulang merupakan bagian yang sangat sensitive. Karena itulah percobaan mengeluarkan benda asing di telinga terasa sangat sakit. Liang telinga luar menyempit pada bagian persambungan antara cartilago dan tulang. Benda asing dapat terjepit disini sehingga membuat semakin sulit pada pengangkatan benda asing. Percobaan mengambil benda asing dapat membuat benda tersebut semakin masuk kedalam dan tersangkut pada tempat penyempitan tersebut. Benda asing yang sering terdapat pada telinga adalah manik-manik, mainan plastik, kelereng, biji jagung. Serangga lebih sering pada pasien berumur lebih dari 10 tahun. Bila benda asing tersebut adalah serangga yang hidup, maka pergerakan serangga dapat menyebabkan nyeri hebat dan bila tidak segera diatasi dapat terjadi infeksi. Pada beberapa kasus pasien dengan benda asing di telinga adalah tanpa gejala, dan pada anak-anak ditemukan secara kebetulan. Pasien yang lain mungkin merasa sakit dengan gejala seperti otitis media, pendengaran berkurang, atau rasa penuh ditelinga. Beberapa kasus sering ditemukan pada anak-anak berumur kurang dari 8 tahun. Bila benda asing tersebut masih hidup maka harus dimatikan terlebih dahulu dengan
memasukkan tampon basah ke liang telinga lalu meneteskan cairan anestesi local seperti lidokain atau desinfektan lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat. Sumber: Sosialisman et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 58. 5. B. Pubertas prekoks dependen gonadotropin Sebagian besar anak akan mengawali pubertas pada umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan 9-14 tahun untuk anak laki-laki. Pubertas prekoks didefinisikan sebagai suatu keadaan saat terjadi perkembangan seksual sekunder yang terjadi sebelum umur 8 tahun pada anak perempuan dan sebelum umur 9 tahun pada anak laki-laki. Etiologi dan klasifikasi: 1. Pubertas prekok lengkap/sejati/dependent/sentral/tergantung gonadotropin (Gonadotropin-dependent precocious puberty) Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh aktivitas prematur dari poros hipotalamushipofisis, GnRH yang menstimulasi pelepasan Gonadotropin sebelum waktunya. 2. Pubertas prekok tidak lengkap/semu/independent/perifer/tidak tergantung gonadotropin (Gonadotropin-independent precocious puberty) Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh sekresi gonadotropin ektopik atau sekresi steroid seks otonom tidak dipengaruhi oleh poros hipotalamus-hipofisis-gonad atau aktivitas GnRH, dan hal ini memicu terjadinya pubertas sebelum waktunya. 3. Varian Perbedaan etiologi dan manifestasi klinis Gonadotropin-dependent precocious puberty dan Gonadotropin-independent precocious puberty Klasifikasi dan Etiologi Manifestasi Klinis Idiopatik - Isoseksual Gonadotropin- Melibatkan aktivasi dependent precocious Kelainan SSP (tumor atau nontumor): hipotalamuspuberty - Hypothalamic Hemartoma, hipofisis-gonad - Gliomas - Perkembangan Hipotiroidisme berkepanjangan seksual mengikuti dan tidak diobati urutan yang terjadi pada pubertas normal - Peningkatan GnRH dan LH/FSH Gonadotropinindependent precocious puberty
Pria Tumor pensekresi gonadotropin: Gangguan adrenal:
- Isoseksual atau heteroseksual - Peningkatan kadar
-
Variasi perkembangan pubertas
Congenital Adrenal hyperplasia: menyebabkan produksi hormon androgen berlebih akibat terjadinya hyperplasia kelenjar adrenal. - Adrenal tumors: hal ini juga memacu terjadinya pubertas prekoks akibat sekresi berlebih hormon androgen Produksi androgen berlebihan Pematangan dini sel leydig dan sel benih Wanita - Kista ovarium - Noplasma pensekresi estrogen - Pria dan wanita - Hipotiroidisme berat - Sindroma McCune Albright Telarke prematur Menarke prematur Adrenarke prematur Ginekomastia adolesen
hormon sex tanpa disertai peningkatan GnRH dan LH/FSH - Perkembangan seks sekunder tidak sinkron
Delayed Puberty Seorang anak dinyatakan mengalami delayed puberty atau pubertas yang terlambat jika dirinya belum menunjukkan perkembangan payudara menjelang usia 13 atau belum mengalami menarche menjelang usia 16 tahun, untuk anak perempuan dan belum mengalami pembesaran pada alat kelamin menjelang usia 14 tahun, untuk anak laki-laki. Jika melihat pilihan jawaban pada kasus ini: Pubertas prekoks independen gonadotropin, Pubertas prekoks parsial, Hipertrofi adrenal kongenital (yang dimaksud adalah hiperplasi adrenal kongenital), merupakan satu istilah yang sama sehingga bukan merupakan jawaban yang tepat. Referensi: 1. Pulungan AB. 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam : Jose RL Batubara dkk, penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2. Styne DM. 1998. Pubertas.Dalam: Greenspan FS, Baxter JD, penyunting.Endokrinologi Dasar dan Klinik Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 3. Setiyohadi B. 2007. Kesehatan Remaja. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia.
6.
B. Pirazinamid Pirazinamid merupakan obat TB yang bersifat bakterisidal. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksisitas dengan peningkatan serum SGOT dan SGPT. Pada pasien dengan dengan hepatitis akut atau klinis ikterik maka pemberian OAT ditunda sampai hepatitis akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan di mana obat TB sangat diperlukan, maka diberikan streptomisin dan etambutol selama 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid. Tidak diberikan pirazinamid. Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, SGOT dan SGPT meningkat 3 kali lipat, maka OAT tidak diberikan, dan apabila dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika peningkatan kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan pirazinamid. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Tabel 1. Efek Samping Ringan OAT
Tabel 2. Efek Samping Berat OAT
Jika pasien mengeluh gatal-gatal, maka diberikan antihistamin terlebih dahulu sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika timbul kemerahan maka hentikan OAT terlebih dahulu. Sumber: Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. 7. C. Massage glans penis 1. Fimosis Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke belakang (proksimal)/membuka. Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga sulit untuk keluar (Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat ditarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa, tahun 2008). Keadaan yang dapat menimbulkan fimosis adalah: 1) Bawaan (kongenital), paling banyak 2) Peradangan (Purnomo, tahun 2003) 2. Parafimosis Parafimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup. Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak. Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993). Pengobatan: Preputium dikembalikan secara manual dengan memijat glans penis selama 3-5 menit Gagal insisi dorsum Setelah edema dan proses inflamasi menghilang sirkumsisi 8. B. Ventrikel kiri dan atrium kiri Ukuran jantung dalam proyeksi radiologi foto polos tidak dihitung menggunakan pengukuran absolut namun menggunakan rasio diameter transvesal jantung terhadap diameter transversal rongga thoraks yang disebut sebagai Cardio-Thoracic Ratio (CTR). Pengukuran CTR dilakukan menggunakan foto polos proyeksi Postero-Anterior (PA) dalam posisi erect, karena bila dilakukan dengan proyeksi Anteroposterior atau dalam posisi supine akan mengubah dimensi dada dan organ visera di dalamnya. CTR dinilai normal apabila nilainya kurang dari 50% kecuali pada orang lanjut usia lebih dari 60 tahun, toleransi rasio ukuran jantung tersebut bisa bisa sedikit membesar tanpa adanya keadaan patologis. o Jarak batas kanan terluar jantung dengan linea mediana
o Jarak batas kiri terluar jantung dengan linea mediana o Diameter transversal dinding dada
= CTR 60% pada wanita usia 30 tahun menandakan terjadinya pembesaran jantung (cardiomegali), sesuai dengan anatomi jantung yang terproyeksi pada foto polos thoraks, pinggang jantung yang terbentuk oleh sudut antara atrium kiri dan ventrikel kiri, dan apeks jantung yang merupakan bagian dari ventrikel kiri tenggelam dalam diafragma menunjukkan adanya pembesaran jantung sebelah kiri (atrium dan ventrikel kiri). Referensi: Browne, RFJ; O'Reilly G, McInerney D (June 2004). "Extraction of the Two-Dimensional Cardiothoracic Ratio from Digital PA Chest Radiographs: Correlation with Cardiac Function and the Traditional Cardiothoracic Ratio" (PDF). Journal of Digital Imaging 17 (2): 120–3 Gambar diperoleh dari http://www.crkirk.com/thumbnail/investigations/cxr.htm 9. E. Scurvy Defisiensi vitamin: Beri-beri Defisiensi vitamin B1 (thiamine) Manifestasi Klinis: berat badan turun drastis, gangguan syaraf, lemah dan lesu, pembengkakan tungkai bawah, sesak napas, gangguan denyut jantung dan tak jarang menimbulkan kematian karena gagal jantung Pellagra
Defisiensi vitamin B3 (nistatin) Manifestasi Klinis: 4D ‘diarrhea, dermatitis, dementia, death’ Klinis yang mencolok: rush, bersisik, mengelupas, terutama pada bagian yang tak terlindung dari sinar matahari. Tampak seperti penderita lepra (kusta) disebut ‘Asturian leprosy’
Scurvy
Defisiensi vitamin C
Manifestasi Klinis: Khas: terjadinya perdarahan di bawah jaringan pelindung tulang dan di sekitar gigi. letih dan lesu (malaise and lethargy), sesak napas, nyeri tulang, kulit menjadi kasar dan mudah memar (bruising) dan gusi bengkak serta gigi goyang Daftar Pustaka: 1. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2. http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid=000342 3. http://img.wikinut.com/img/3dp3.ai3ty0adjde/jpeg/0/Scurvy.jpeg 4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/438830 5. http://www.redorbit.com/news/health/110093/gastrointestinal_beriberi_a_previously_unreco gnized_syndrome/ 10. C. Miliaria rubra Pembahasan: Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai dengan vesikel miliar, tersebar di tempat predileksi. Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan histopatologi - Miliaria Kristalina (sudamina) Terdiri atasvesikel miliar (1-2 mm) subkorneal, tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan garukan dan deskuamasi dalam beberapa hari. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum korneum.
- Miliaria rubra (prickly heat) Merupakan jenis tersering, vesikel miliar atau papulovesikel di atas dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum.
-
Miliaria pustolosa Berasal dari miliaria rubra vesikelnya berubah menjadi
dimana pustule.
Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum. - Miliaria profunda Merupakan kelanjutan miliaria rubra berbentuk papul, mirip folikulitis, dapat disertai pustule. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di dermo epidermal junction.
11. D. Paget’s disease Penyakit paget pada tulang (Osteitis deformans) adalah suatu penyakit metabolisme pada tulang, di mana tulang tumbuh secara tidak normal, menjadi lebih besar dan lunak. Kelainan ini dapat mengenai tulang manapun, tetapi yang paling sering terkena adalah tulang panggul, tulang paha, tulang tengkorak, tulang kering, tulang belakang, tulang selangka dan tulang lengan atas. Diagnosa penyakit paget sudah dapat diduga dari keluhan dan symptom, tetapi dengan radiography dapat memastikan diagnosa. Pasien penyakit paget derajat pertama sangat relatif, biasanya dapat ditemukan dari pemeriksaan tes serum alkalifospat setiap 2 hingga 3 tahun. Jika ditemukan peningkatan serum alkali posfatase dan adanya deteriorsi yang luas pada gambaran CT scan tulang, itu merupakan suatu petunjuk adanya aktivitas dari penyakit paget’s. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis paget disease adalah: 1. Biochemical marker Adanya banyak biochemical markers yang menandakan adanyan penyakit paget, tetapi 2 yang paling penting adalah adanya peningkatan total alkali posfatase dan urinary pyrydinoline. 2. Radiography Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan dua keadaan pada tulang, yaitu litik dan sklerotik. Pada pemeriksaan radiography pada pasien asimptomatik memberikan gambaran lokasi pembengkakan dari tulang. Radiography biasanya mempunyai spesifitas yang tinggi dan sensifitas yang rendah. 3. Rontgen tulang (menunjukkan adanya peningkatan kepadatan tulang, penebalan, pembengkokan dan pertumbuhan berlebih). 4. Scanning tulang dapat digunakan pada kasus suspek atau dugaan penyakit paget. 5. Pemeriksaan darah (peningkatan serum alkalin fosfatase). Referensi: Ralston, Stuart H. (Feb 14, 2013). "Paget's Disease of Bone". New England Journal of Medicine 368 (7): 644–650.
12. B. Abortus inkomplit Klasifikasi Abortus Abortus dapat dibagi atas dua golongan, yaitu: Menurut terjadinya dibedakan atas: 1. Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. 2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi: 1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica), yaitu abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli. 2) Abortus kriminalis, yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional. Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut: 1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. 2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. 3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. 4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. 6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. 7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. 8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis. Abortus Iminens
Nyeri (-)
Portio Tertutup
Insipiens
(+)
Terbuka
Incomplete Complete
(-) (-)
Terbuka Terbuka
Jaringan Masih dalam cavum uteri Masih dalam cavum uteri Teraba jaringan (-)
Referensi: Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008. 13. E. Terdapat kumpulan cairan di alveoli pada kanan dan kiri lapang paru Pada pasien di atas menunjukkan gejala-gejala pneumonia. Diagnosis Pneumonia Berat Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: Kepala terangguk-angguk Pernapasan cuping hidung Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll) Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: Napas cepat: Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit Suara merintih (grunting) pada bayi muda Pada auskultasi terdengar: Crackles (ronki) Suara pernapasan menurun Suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya Kejang, letargis atau tidak sadar Sianosis Distres pernapasan berat.
Referensi: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: WHO. 14. A. 10 Pembahasan: Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut: Campak Jumlah Positif Negatif Vaksin (-) 100 (A) 990 (B) 1000 Vaksin (+) 10 (C) 900 (D) 1000 Total 110 1890 2000 Untuk menentukan faktor resiko kasus tersebut dengan menggunakan rumus : RR = (A/A+B) (C/C+D) = (100/1000) (10/1000) = 10 15. D. Autonomy Autonomi: prinsip tentang kemandirian, kebebasan, dan membiarkan inividu bebas menentukan pilihn dan tindakan yang diinginkan.
Dalam kasus di atas pasien berhak menolak saran dokter untuk tidak dilakukan rawat inap. Sehingga dokter harus menghormati dasar etika autonomi dalam menanggapi keputusan pasien. Sumber: Hanafiah, MJ. 2009. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 16. B. Kuning Pembagian Triage: Segera-Immediate (merah): pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax, distress pernapasan (RR < 30x/mnt), perdarahan internal, dsb. Tunda-Delayed (kuning): pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya: pendarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan pendarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb. Minimal (hijau): pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya: Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial. Expextant (hitam): pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya: luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna: merah, kuning, hijau, hitam. 17. B. Astigmatisme miopius simpleks Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan adanya suatu astigmat. Jenis astigmatisme ada 5, yaitu: 1. Astigmatisme Myopia Simplek, atau simple atau sederhana, yaitu kondisi astigmatisme di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satu lagi jatuh di depan retina. Misal resepnya C-1.00×90 2. Astigmatisme Hypermetropia Simplek, di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satunya jatuh di belakang retina. Misal resepnya C+1.00×90 3. Astigmatisme myopia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di depan retina. Misal resepnya S-1.00-1.00×90 4. Astigmatisme hypermetropia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di belakang retina. Misal resepnya S+1.00+1.00×90 5. Astigmatisme Mixtus, di mana sinar jatuh dengan satu meredian di depan retina dan satu lagi di belakang retina. Misal resepnya S +1.00-1.00×90 Referensi:
Ilyas, Sidarta. dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta. 18. E. Intermediate insulin Para ahli sepakat bahwa insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan fi nansial),sosiokultural (sikap Muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat. Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya:
Insulin kerja cepat (Rapid Insulin) Insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari, atau regimen basal-bolus. Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat efektif digunakan: Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah. Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial pada anak prapubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi, balita, dan anak prasekolah). Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau pompa insulin. Hiperglikemia dan ketosis saat sakit.
-
Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting). Terlihat lama kerja relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15 menit, dan puncak kerja 30-90 menit. Insulin Kerja Pendek (short acting) Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai insulin ’reguler’. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah juga pada penderita DM tipe I usia balita. Kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari.
Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat lama kerja relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30 – 60 menit, dan puncak kerja 2-4 jam. -
Insulin Kerja Menengah (intermediate acting) Digunakan dalam regimen dua kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian besar diabetisi anak menggunakan insulin jenis ini. DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum, dan tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik yang baik.
Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediateacting). Terlihat lama kerja relatif 12 -24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam, dan puncak kerja 4-12 jam. -
-
Insulin Kerja Panjang (long acting) Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal bolus.
Profil farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting). Terlihat lama kerja relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan puncak kerja 12-24 jam. Insulin kerja campuran Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut: Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah. Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya. Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran yang rumit. Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil
. Profil farmakokinetik insulin kerja campuran -
Insulin Basal Analog Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja panjang sampai dengan 24 jam, yang termasuk insulin ini: insulin glargine, detemir, dan NPH. NPH : Insulin ini tidak direkomendasikan untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun.
Insulin glargine dan detemir direkomendasikan sebagai insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH, glargine dan detemir dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik pada kelompok usia 5-16 tahun, namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna. Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal berat.
Sesuai dengan penjelasan di atas dan informasi yang ada pada soal, maka insulin yang tepat untuk anak ini adalah insulin intermediete. Referensi: Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Ukk Endokrinologi Anak Dan Remaja, Ikatan Dokter Anak Indonesia World Diabetes Foundation 2009.
19. B. Vibrio kolera Pasien mengalami diare akut yang berlangsung selama 2 hari. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Diare yang dialami pasien merupakan diare sekretorik yang khas, yaitu diare dengan volume feses banyak. Penyebab diare tersebut antara lain adalah enterotoksin Vibrio cholera, atau Enteroksik E.coli (ETEC). Karakteristik Non Inflamatory Inflamatory Penetrating Gambaran Feses Watery Volume >> Bloody, mucus Mukus, volume Leukosit (-) volume sedang, sedikit, Leukosit Leukosit PMN MN Demam (-) (+) (+) Nyeri perut (-) (+) (+)/(-) Dehidrasi (+++) (+) (+)/(-) Tenesmus (-) (+) (-) Komplikasi Hipovolemik Toksik Sepsis Pada kasus di atas pemeriksaan karakteristik feses dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya tanda dehidrasi, maka mengarah pada diare akut yang disebabkan oleh vibrio kolera.
Transmisi penularan kolera menularkan kolera adalah air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Vibrio cholera. Vibrio cholera berkoloni pada mukosa usus halus. Setelah mencapai usus halus, maka bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin. Toksin yang dilepaskan berupa enterotoksin. Toksin kolera dapat memengaruhi transpor cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorbs cairan. Manifestasi klinis yang muncul adalah: Diare cair dan muntah setelah masa inkubasi 6-72 jam Diare cair dalam jumlah banyak Konsistensi seperti air cucian beras Berbau amis Tenesmus (-) Demam tidak tinggi Tanda-tanda dehidrasi berat segera muncul: kesadaran menurun, takikardi, takipneu, mata cekung, turgor kulit kembali lambat, oliguria. Kehilangan cairan dapat berlangsung selama 7 hari. Diagnosis pasti kolera ditegakkan dengan kultur tinja ditemukan adanya V.cholerae O1 atau O139. Rotavirus Virus merupakan penyebab infeksi pada anak-anak. Rotavirus menyebabkan infeksi pada epitel mukosa usus, infeksi sel-sel radang di lamina propia, pemendekan jonjot usus, pembengkakan mitokondria, dan bentuk mikrovili tidak teratur, sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan absorbs cairan/elektrolit pada usus halus dan terjadinya gangguan pencernaan makanan akibat kerusakan epitel mukosa.
Eschericia coli Eschericia coli memiliki 5 golongan yang dapat meyebabkan diare, yaitu: Enterotoxic E.coli (ETEC) Memiliki 2 faktor virulensi yang penting, yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada eritrosit usus halus dan enterotoksin, yaitu heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menginvasi mukosa usus atau merusak mikrovili. Enteropathogenic E.coli (EPEC) Bakteri membentuk koloni di usus dan tidak mampu menembus dinding usus. Bakteri ini sering menimbulkan manifestasi diare berair, disertai muntah, dan demam pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun terutama bagi yang tidak minum ASI (proong diarrhea). Enteroinvasive E.coli (EIEC) Sering menyebabkan KLB karena keracunan makanan (food borne). Bakteri dapat menembus mukos usus halus, berkoloni dan menyebabkan disentri basiler. Dalam pemeriksaan feses sering ditemukan eritrosit dan leukosit.
Enteroadherent E.coli (EAEC) Bakteri ini mengeluarkan sitotoksin yang menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7 hari (prolonged diarrhea). Enterohemoragic E.coli (EHEC) Transmisi berupa daging yang kurang matang dimasak. Diare disertai nyeri perut hebat (kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas, diare cair, darah (+). Sumber: 1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Goldfinger SE: Constipation, Diarrhea, and Disturbance of Anorectal Function, In: Barunwald, E, Isselbacher, K. J., Petersdorf, R. G., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci AS (Eds) : Harrison’s Principle of Internal Medicine, 11th Ed. McGrawHill book Company. 20. D. Gangguan mental organik Pembahasan: Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan di mana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak di mana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia, Depresi). Gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak. Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh. Pada kasus d iatas, terdiagnosis Gangguan Mental Organik. Gangguan mental organik adalah diagnosis gangguan jiwa yang dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera, atau rudapaksa otak yang akibatnya disfungsi otak. Pada kasus di atas, pasien sebelumnya mengalami kejang-kejang. Sumber: - Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540. - Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42. - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. hal 3 21. B. Tension type headache Nyeri kepala tipe tegang (Tension type headache-TTH ) didefinisikan sebagai serangan nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari, dengan
sifat nyeri biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, bilateral, tidak dipicu oleh aktifitas fisik dan gejala penyertanya tidak menonjol. Tension type headche adalah penyebab tersering nyeri kepala primer kronik/berulang, berhubungan dengan kontraksi otot-otot wajah dan leher. Episode TTH biasanya dikaitkan dengan peristiwa yang stessfull secara fisik dan mental.
Referensi: Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society (2004). "The International Classification of Headache Disorders: 2nd edition". Cephalalgia 24 (Suppl 1): 9–160. Martin V, Elkind A. (2004) Diagnosis and classification of primary headache disorders. In: Standards of care for headache diagnosis and treatment. Chicago (IL): National Headache Foundation. Gambar diperoleh dari https://uvahealth.com/services/neurosciences/conditions-andtreatments/11515 22. A. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya ± 60x45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio sedangkan yang tidak dibuahi lebih besar yaitu berukuran ± 90x40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdapat dua lapisan dan dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, yaitu telur yang tanpa lapisan albumin atau albuminnya terlepas karena proses mekanik. Dalam lingkungan yang sesuai (tanah liat, kelembapan tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25o-30 oC), telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam waktu ±3 minggu.
Gambar telur cacing Ascaris lumbricoides 23. E. Pure tone audiometry Gangguan pendengaran pada bayi dan anak umumnya didahului dengan keterlambatan bicara (delayed speech). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar. Tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak adalah: Audiometri nada murni (pure tone audiometry) Pemeriksaan dilakukan pada anak usia ≥ 4 tahun yang kooperatif. Alat yang digunakan adalah audiometer dan dicatat sebagai audiogram. Sumber suara digunakan nada murni (pure tone), yaitu bunyi yang terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan melalui hantaran suara (air cinduction) melalui headphone serta hantaran melalui tulang (bone conduction) diperiksa melalui pemasangan bone vibrator pada posesus mastoid. Suara dengan intesitas tersendah dicatat untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian. Behavioral Observation Audiometry (BOA) Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respons yang disadari. BOA untuk mengetahui respons subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk penilaian rehabilitasi pendnegaran, yaitu pada pengukuran alat bantu dengar. Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi. BA dibedakan menjadi: Behavioral Reflex Audiometry Respons yang dapat diamati antara lain mengejapkan mata, melebarkan mata, mengerutkan wajah, berhenti menyusu, denyut jantung meningkat, reflex Moro. Dilakukan pengamatan respons yang bersifat refleks terhadap stimulus bunyi. Behavioral Respon Audiometry Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan stimulus akustik akan menghasilkan pola respon khas, yaitu menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Teknik yang sering digunakan adalah Tes distraksi dan Visual
Reinforcement Audiometry (VRA). Pada tes VRA stimulus bunyi diberikan bersama stimulus visual, maka bayi akan memberi respons berupa orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Pemeriksaan VRA dapat digunakan untuk memnentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara, maka respons yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik. Otoacoustic Emission (OAE) Pemeriksaan untuk menilai fungsi koklea yang obyektif, tidak invasive, tidak membutuhkan waktu lama. Efisien untuk pemeriksaan skrinning pendengaran bayi baru lahir. Pemeriksaan juga digunakan untuk: memonitor efek ototoksik obat, diagnois euroati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dnegar, skrining noise induced hearing loss, pemeriksaan penunjang gangguan koklea. Terdapat 2 jenis OAE, yaitu Spontaneous OAE (SPOAE) dan Evoked OAE. Auditory Brainstem Respons/Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) Merupakan pemeriksaan menilai integritas sistem auditorik, obyektif, tidak invasive. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma. Bermanfaat pada kondisi pasien bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensia rendah, dan cacat ganda. Pemeriksaan yang dialakukan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII. Sumber: Swento, R. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 31- 42. 24. D. Glomerulonefritis akut Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi. Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus. Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah setelah infeksi bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi Streptococcus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau glomerulonefritis progresif cepat. Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada analisis urine ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab umum (80%) dari sindrom nefris akut
adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu dipikirkan diagnosa diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS. Gambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur < 4 tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya, ditemukan penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan infeksi kuman Streptococcus dan adanya gejala klinis yang mengarah ke penyakit ginjal kronis/CKD (anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi ventrikel kiri). Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut, yang timbul setelah infeksi Streptococcus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi Streptococcus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Referensi: Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute glomerulonephritis and the nephrotic syndrome. Arch Intern Med. 2001;161(1):25-34. Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer; 2009. h. 743-55. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford; 2003. h. 367-80. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339(13):888-99. 25. C. STEMI Infark myokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari STEMI, Non STEMI, dan Unstable angina. Diagnosis infark myokard akut ditegakkan berdasar anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST ≥ 2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan, atau ≥ 1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis meskipun tanpa pemeriksaan cardiac enzym sekalipun diagnosis STEMI dapat ditegakkan, mengingat terapi harus diberikan pada penderita sesegera mungkin. Prinsip penatalaksanaan infark miokard adalah time is muscle. Sebagian besar penderita STEMI akan mengalami evolusi pada pemeriksaan EKG dengan munculnya gelombang Q, dan disebut sebagai Q-wave Myocardial Infarction, dan sebagian kecil menetap menjadi Non Q-wave MI.
Normal
ST Elevasi
ST Elevasi; T inversi
T Inversi
Q Patologis
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak oleh oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya. Stenosis arteri yang berkembang lambat biasanya tidak memicu STEMI, karena tumbuhnya pembuluh darah kolateral yang mengompensasi. Jika obstruksi trombus bersifat parsial, sementara, atau sirkulasi kolateral telah terbentuk maka pasien akan mengalami Non ST-Elevatin Acute Coronary Syndrome (Non STEMI, Unstabla angina) Referensi: Alwi. I. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 26. B. Rehidrasi 30 cc/kgBB/1 jam pertama di puskesmas, lalu dirujuk ke rumah sakit Anak usia < 1 tahun keluhan buang air besar cair, frekuensi 5x/hari, muntah (+), malas minum. Pemeriksan fisik: mata cekung, turgor kembali lambat, nadi lambat. Sesuai dengan definisinya, anak ini mengalami diare cair akut, yaitu buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih sering dari biasanya dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari. Terdapat lima lintas tatalaksana diare yang direkomendasikan IDAI: 1. Rehidrasi 2. Dukung nutrisi 3. Suplemen zinc 4. Antibiotik selektif 5. Edukasi orang tua Salah satu komplikasi diare yang paling sering adalah dehidrasi sehingga dalam pemberian cairan yang tepat perlu disesuaikan dengan derajat diare: KATEGORI TANDA DAN GEJALA 2 atau lebih tanda berikut: Dehidrasi berat Letargi atau penurunan kesadaran Mata cowong Tidak bisa minum atau malas minum Cubitan kulit kembali dengan sangat lambat (> 2 detik) Dehidrasi tak berat 2 atau lebih tanda berikut:
Tanpa dehidrasi
Gelisah Mata cowong Kehausan Cubitan kulit kembali dengan sangat lambat (> 2 detik) Tidak ada tanda gejala yang cukup untuk mengelompokkan dalam dehidrasi berat atau tak berat
Berdasarkan klasifikasi di atas,kasus ini memenuhi kriteria dehidrasi berat. Tatalaksanan dehidrasi berat menggunakan rencana terapi C. Pasien dalam kasus ini sudah berada di puskesmas, berarti terdapat akses intravena (I.V.). Segera berikan 100 cc/kgBB cairan Ringer Laktat (RL) (atau cairan normal salin, atau ringer asetat bila RL tidak tersedia), sebagai berikut: Pemberian Pertama Pemberian Kedua 30ml/kg dalam 70 cc/kg dalam Bayi < 1 tahun 1 jam 5 jam Anak 1-5 tahun 30 menit 2 ½ jam Daftar pustaka: Modul Diare. UKK Gastro-Hepatologi IDAI Edisi Pertama 2009. 27. E. Dermatografisme Pembahasan: Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit yang ditandai dengan adanya edema setempat yang timbul cepat dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, bagian tepi meninggi, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subjektif berupa sensasi gatal disertai rasa tertusuk atau tersengat. Klasifikasi berdasrkan lamanya serangan dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Urtikaria akut (bila berlangsung < 6 minggu) 2. Urtikaria kronis (bila berlangsung > 6 minggu) Kriteria diagnostik - Keluhan subjektif: gatal, rasa panas, tersengat, terbakar atau tertusuk - Predileksi: kulit dan mukosa, lokal maupun generalisata - Urtikaria dengan atau tanpa angioedema, bila dengan angioedema dapat sulit bernapas, juga dengan atau tanpa kelainan sistemik - Bila mengenai submukosa, subkutis, dan organ lainnya dapat angioedema. - Bentuk urtikaria: teratur atau tak beraturan - Ukuran: bervariasi dari miliar, lentikuler sampai plakat - Pada urtikaria fisik dapat berbentuk linear (dermografism) atau bentuk yang mengikuti bentuk tekanan. - Urtikaria akibat penyinaran biasanya berbentuk popular urtikaria, terjadi 18-72 jam setelah paparan.
-
Urtikaria kolinergik, timbul setelah berkeringat, gatal, ukurannya kecil kemudian meluas dan melebar. - Gejala sistemik yang menyertai: pusing, sakit kepala, mual dan muntah, nyeri perut dan diare, serta dapat kesulitan bernapas. Pemeriksaan penunjang: - Pemeriksaan laboratorium darah rutin, urine, feses untuk mencari infeksi lokal - Pemeriksaan jumlah eosinofil dalam darah tepi, kadar IgE dalam darah - Pada dugaan urtikaria dingin: cyroglobulin, cold hemolysin - Uji kulit dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi kulit (minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang) dan memenuhi syarat uji kulit. Dilakukan ditahap lanjut: uji dermografism, uji ice cube, uji temple tertutup, uji tusuk bila uji temple negative, uji provokasi peroral bila uji tusuk negative, uji serum autolog. Tes foto temple dilakukan pada urtikaria akibat fotosensitivitas. - Tes mecholyl intradermal bila diduga urtikaria kolinergik. - Uji eliminasi makanan bila diduga alergi terhadap makanan. Sehingga pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skenario tersebut adalah dengan dermatografisme.
28. C. Mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan pasien, hal ini wajar pada setiap wanita dan berlangsung fisiologis Klimakterium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium. Menopause adalah haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir. Bagian klimakterium sebelum menopause disebut premenopause dan sesudah menopause adalah pascamenopause. Senium adalah masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis. Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal, yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Pada wanita dalam klimakterium terjadi perubahan-perubahan tertentu yang dapat menimbulkan gangguangangguan ringan atau kadang-kadang berat. Perubahan dan gangguan itu sifatnya berbeda-beda menurut waktunya klimakterium. Pada permulaan klimakterium kesuburan menurun, pada masa pramenopause terjadi kelainan pendarahan, sedangkan terutama pada masa pascamenopause terdapat gangguan vegetatif, psikis, dan organis. Gangguan vegetatif biasanya berupa rasa panas
dengan keluarnya keringat malam, dan perasaan jantung berdebar-debar. Dalam masa pascamenopause, dan seterusnya dalam senium, terjadi atrofi alat-alat genital. Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 29. B. Respiratory Disstress Syndrome Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas didapatkan bahwa bayi tersebut mengalami sindrom gawat napas yang dapat disebabkan karena bayi lahir saat umur kehamilan ibu 34 minggu sehingga paru-paru belum matur sehingga menyebabkan bayi mengalami gawat napas. Sindrom gawat napas (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. Gangguan pernapasan ini sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnoe (> 60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA. Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, pendarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara di antara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS. Etiologi RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS, yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesarea. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur di mana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH). Patofisiologi Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernapasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). Manifestasi Klinis Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS, yaitu: 1) Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.
2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. 3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. 4) Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat. Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe: 0 Frekuensi < 60x/menit Napas Tidak ada Retraksi retraksi Tidak sianosis Sianosis
Air Entry Udara masuk Merintih Tidak merintih
1 60-80 x/menit
2 > 80x/menit
Retraksi ringan
Retraksi berat
Sianosis hilang dengan O2
Sianosis menetap walaupun diberi O2
Penurunan ringan udara masuk Dapat didengar dengan Dapat didengar stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe gangguan pernapasan ringan Skor < 4 gangguan pernapasan sedang Skor 4 – 5 gangguan pernapasan ringan (pemeriksaan gas darah Skor > 6 harus dilakukan) Penunjang/Diagnostik Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn Test Blood culture
Indication May indicate bacteremia Not helpful initially because results may take 48 hours Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually used unless high oxygen requirement) Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection count with differential
Lumbar puncture Pulse oximetry
Neutropenia correlates with bacterial infection Low hemoglobin level shows anemia High hemoglobin level occurs in polycythemia Low platelet level occurs in sepsis If meningitis is suspected Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation
Komplikasi Penyakit Komplikasi jangka pendek dapat terjadi: 1. Kebocoran alveoli: apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap. 2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: pendarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi: 1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi. 2. Retinopathy of Premature (ROP) 3. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi. Referensi: HanifaWiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 30. B. 5/10 Pembahasan: - Case Fatality Rate adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan kegawatan/keganasan penyakit tersebut.
CFR
-
-
jumlah kematian penyakit X 100% jumlah kasus penyakit X
Sehingga berdasarkan kasus tersebut CFR = 5/10 Crude Death Rate adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi jumlah penduduk pada pertengahan tahun. jumlah semua kematian CDR k (konstanta) jumlah semua penduduk jumlah semua kematian CDR k (konstanta) jumlah semua penduduk Maternal Mortality Rate Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/melahirkan/nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup. jumlah kematian ibu MMR 100.000 jumlah kelahiran hidup
31. E. Neuromuscular junction Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun di mana antibodi terbentuk terhadap reseptor acetylcholine postsynaptic pada Neuromuscular Junction (NMJ) otot skelet, hal ini mengakibatkan penurunan reseptor acetylcholine di membran post synaps sehingga menimbulkan karakteristik perlemahan otot skelet yang progresif setelah aktivitas dan diikuti perbaikan kekuatan setelah istirahat. Neuromuscular junction adalah penghubung antara sistem saraf dengan otot, hubungan ini dibentuk antara serabut saraf efferen dengan serabut otot melalui celah yang disebut synaps.
Kontraksi otot normalnya terjadi setelah aktivasi reseptor acetylcholin post sinap menyebabkan influx ion Na+ ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel otot diikuti terbukanya kanal natrium, diikuti keluarnya kalsium dari retikulum sarkoplasma. Ketika
jumlah kalsium dalam otot telah mencapai threshold, maka terjadi kontraksi otot. Penurunan jumlah reseptor acetylcholin karena antibodi yang terbentuk pada MG mengakibatkan gangguan kontraksi karena depolarisasi tidak terjadi. Otot-otot kecil seperti otot ocular dan bulbar merupakan bagian yang paling umum terimbas dan paling berat gejalanya, meskipun kebanyakan penderitanya mengalami kelemahan umum dengan berbagai tingkat keparahan. Myasthenia gravis dapat berevolusi menjadi kegawatan yang mengancam jiwa apabila terjadi perburukan akut menyebabkan kelemahan generalisata terutama otot-otot pernapasan. Myasthenia Gravis kini merupakan keadaan yang dapat diobati bahkan disembuhkan, terapi farmakologi seperti anticholinesterase yang mencegah degradasi acetylcholin, obat-obat antisupresan untuk mencegah terbentuknya antibodi, dan terapi plasmapharesis serta imunoglobulin intravena (IVIG) telah tersedia pada masa sekarang. Referensi: Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. 2008. Lifetime course of myasthenia gravis. Muscle Nerve;37(2):141-9. McGrogan A, Sneddon S, de Vries CS. 2010. "The incidence of myasthenia gravis: a systematic literature review".Neuroepidemiology 34 (3): 171–183 Gambar diperoleh dari http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=200734 32. A. Gangguan konversi Pembahasan: Pada kasus di atas terdiagnosis Gangguan Konversi di mana untuk diagnosis pasti harus memiliki kriteria di bawah ini, yaitu: a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44 (adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh). b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan problem dan peristiwa yang “stressfull” atau hubungan interpersonal yang terganggu. Hipokondriasis: kriteria diagnostik pasti hipokondriasis di antaranya sebagai berikut. a) Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun adanya preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampakan. b) Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya. Gangguan Somatisasi: diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut di antaranya: a) Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya dasar kelainan fisik yang memadai, yang sudah berlangsung sekurangnya 2 tahun.
b) Selalu tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya. c) Terdapat hendaya dalam taraf tertentu dalam berfungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhannya dan dampak pada perilakunya. Malingering merupakan suatu perilaku berpura-pura terkena penyakit (bahkan dengan mencederai diri) yang dengan sengaja ditimbulkan karena alasan tertentu, yang umumnya timbul untuk maksud tertentu seperti menghindari hukuman, ingin mendapatkan kompensasi, mencari sensasi, dan sebagainya. Sindroma malingering terdiri dari gejala fisik berupa: (1) Dibuat sesuai keinginan dan kesadaran pasien (di bawah kendali volunter) dengan tujuan yang jelas yang dapat dikenali dari situasi lingkungannya (dalam rangka menghindari kewajibab tertentu yang ingin dihindari). (2) Penyajian bentuk gejala dapat berupa: a. seluruhnya dibuat-buat, misalnya mengeluh nyeri perut yang hebat seperti kolik ginjal b. dengan sengaja menimbulkan penyakit, misalnya menyuntikkan air liur ke dalam kulit c. melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada sebelumnya, misalnya membiarkan dirinya disuntik penisilin padahal mengetahui bahwa dirinya alergi terhadap obat tersebut. Gejala fisiknya berupa: a. dibuat sesuai kehendak pasien dengan tujuan yang jelas b. gejala-gejala yang muncul tidak sesuai dengan ciri-ciri gangguan seperti biasanya. Factitious disorders atau gangguan buatan adalah suatu kondisi di mana orang memperlihatkan bahwa ia mempunyai penyakit fisik atau mental, yang mana sebenarnya dia tidak benar sakit. Para penderita FD ini memperlihatkan sakitnya kepada orang-orang di sekitar mereka yang tidak memperhatikan mereka. Pada dasarnya FD ini berkaitan dengan kondisi psikiatrik di mana individu berpura-pura dalam memerankan sakitnya yang maksudnya hanya untuk memperlihatkan saja. Pada gangguan buatan ini pasien secara sengaja menghasilkan tanda gangguan medis atau mental dan salah menggambarkan (misrepresent) riwayat penyakit dan gejalanya. Tujuan satu-satunya yang tampak dari perilaku adalah mendapatkan peranan dari seorang pasien. Kriteria diagnostik untuk gangguan buatan adalah sebagai berikut: a. Menimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat tanda atau gejala fisik atau psikologis. b. Motivasi untuk perilaku adalah untuk mendapatkan peranan sakit (sick role). c. Tidak terdapat keuntungan eksternal untuk perilaku (seperti tujuan ekonomi, menghindari tanggung jawab hukum, atau memperbaiki kesejahteraan fisik seperti pada malingering). Sumber: - Anonima, Mental Health: Factitious Disorder, August 08th, 2006, available at http://www.webmd.com/content/article/60/67132.htm
-
Elwyn, Todd S., Factitious Disorders, http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe
April
13th,
2006,
available
at
33. A. Keratitis Bakteri gram negatif Disebut bakteri gram negatif karena bakteri ini mempunyai sifat kebalikan dari bakteri gram positif, yaitu apabila bakteri tersebut diberi pewarna gram dan diamati dengan menggunakan mikroskop maka warnanya akan berubah menjadi merah. Hal ini terjadi karena bakteri gram negatif memiliki struktur lapisan peptidoglikan yang sangat tipis serta kandungan lemak penyusun dindingnya sangat tinggi. Beberapa contoh bakteri yang termasuk bakteri gram negatif adalah Salmonella typhi, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella pneumonia. Kelompok
Obat
Aminoglycosides
Amikacin, Astromicin, Dibekacin, Dihydrostreptomycin, Framycetin, Gentamicin, Isepamicin, Kanamycin,Micronomicin, Neomycin, Netilmicin, Paromomycin, Sisomicin, Streptomycin, Tobramycin
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda atau interstisial (Ilyas, 2004) Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. 1. Berdasarkan lapisan yang terkena. Keratitis dibagi menjadi: a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel) Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004). b. Keratitis Marginal Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004). c. Keratitis Interstisial Keratitis interstitial adalah kondisi serius di mana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich, 1993).
2. Berdasarkan penyebabnya Keratitis diklasifikasikan menjadi: a. Keratitis Bakteri Etiologi Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
Gejala klinis Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur (Kanski, 2005). Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea. Pemeriksaan laboratorium Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram (Biswell, 2010).
b. Keratitis Jamur Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland, 2000). Etiologi Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan: 1) Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa. 2) Jamur bersepta: Furasium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp., Cladosporium sp., Penicillium sp., Paecilomyces sp., Phialophora sp., Curvularia sp., Altenaria sp.. 3) Jamur tidak bersepta: Mucor sp., Rhizopus sp., Absidia sp. 4) Jamur ragi (yeast), yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Cryptococcus sp., Rodotolura sp. 5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp., Coccidiodidies sp., Histoplastoma sp., Sporothrix sp. Gejala klinis Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut: 1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama. 2) Lesi satelit. 3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh. 4) Plak endotel. 5) Hipopion, kadang-kadang rekuren. 6) Formasi cincin sekeliling ulkus. 7) Lesi kornea yang indolen. 34. A. Karsinoma nasofaring
Gejala klinis khas pada kasus ini adalah adanya benjolan dalam cavum nasi sejak 3 bulan yang lalu. Hal ini mengarah pada kronisitas dan keganasan. Manifestasi klinis karsinoma nasofaring dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: Gejala nasofaring sendiri Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawag mukos (creeping tumor). Gejala telinga Gangguan pada teinga yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan berupa tinnitus dan rasa tidak nyaman di telinga sampai nyeri (otalgia). Gejala mata dan saraf Gangguan pada saraf dapat mengenai N.III – N.XII. Gejala yang muncul adalah diplopia, neuralgia trigeminal, sindrom Jackson, dan destruksi tulang tengkorak. Metastase atau gejala di leher Metastase ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.
Sumber: 1. Roezin, et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 183 2. Kelompok Studi Perhati – KL. 2007. Guideline Penyakit THT-KL. 35. D. Volume meningkat, osmolaritas menurun Pada keadaan dehidrasi menimbulkan penurunan volume cairan ekstra seluler (CES) terutama jika kehilangan Na+ melalui keringat. Hal ini akan menyebabkan tekanan osmotik efektif plasma meningat dan akan terjadi peningkatan sekresi vasopresin serta perangsangan mekanisme haus. Air akan diretensi oleh tubuh, dan terjadi pengenceran plasma yang hipertonik ini serta terjadi pemasukan air yang meningkat. Peningkatan osmolalitas CES
Rasa Haus
Peningkatan sekresi vasopresin
Peningkatan masukan air
retensi air
Pengenceran CES
Mekanisme mempertahankan tonisitas CES. *Garis terputus-putus menggambarkan inhibisi (J. Fitzsimmons) Rangkuman stimulus (pengaturan) rasa haus: Peningkatan Rasa Haus Penurunan Rasa Haus Osmolalitas Osmolalitas Volume darah Volume darah Tekanan darah Tekanan darah Angiotensin II Angiotensin II Kekeringan mulut
Distensi lambung
Referensi: Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. EGC. Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC. 36. D. Hernia ireponibel Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Penyebab dari hernia adalah adanya peningkatan tekanan intraabdominal akibat adanya tindakan valsava maneuver seperti batuk, mengejan, mengangkat
benda berat atau menangis. Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah faktor congenital, yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu kehamilan yang dapat menyebabkan masuknya isi rongga perut melalui kanalis inguinalis, faktor yang kedua adalah faktor yang didapat seperti hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat dan faktor usia, masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika cukup panjang maka akan menonjol keluar dari anulus ingunalis eksternus. Apabila hernia ini berlanjut tonjolan akan sampai ke skrotum karena kanal inguinalis berisi tali sperma pada lakilaki, sehingga menyebakan hernia. Klasifikasi hernia berdasarkan sifatnya adalah: Hernia reponibel Bila isi hernia dapat keluar masuk, tetapi kantungnya menetap. Isinya tidak serta merta muncul secara spontan, namun terjadi bila disokong gaya gravitasi atau tekanan intraabdominal yang meningkat. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. Hernia ireponibel Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun sumbatan usus. Hernia ireponibel mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadi obstruksi dan strangulasi daripada hernia reponibel. Hernia akreta Yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium kantong hernia. Hernia inkarserata Yaitu bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia. Hernia ireponibel yang mengalami obstruksi dapat juga disebut dengan inkarserata. Nyeri dan muntah muncul saat erjadi inkarserasi karena ileus. Hernia strangulata Suplai darah untuk isi hernia terputus. Kejadian patologis selanjutnya adalah oklusi vena dan limfe; akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan pembengkakan lebih lanjut; dan sebagai konsekuensinya peningkatan tekanan vena. Terjadi perdarahan vena, dan berkembang menjadi lingkaran setan, dengan pembengkakan akhirnya mengganggu aliran arteri. Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Jika isi hernia abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis yang terjadi bersifat steril, tetapi strangulasi usus yang paling sering terjadi dan menyebabkan nekrosis yang terinfeksi (gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi permeabel terhadap bakteri, yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan dari sana menuju pembuluh darah. Usus yang infark dan rentan, mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong hernia) dan cairan lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial menyebabkan peritonitis. Terjadi syok sepsis dengan gagal sirkulasi dan kematian. Hernia didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan penunjang jarang dilakukan dan jarang memiliki nilai. Info tambaha : Seringkali muncul pertanyaan mengenai hernia inguinalis dan membedakan antara hernia inguinalis direk dan indirek. Berikut dilampirkan pembahasan singkat.
Usia
Perbedaan Hernia Inguinalis Indirek Dan Hernia Inguinalis Direk Indirek Direk Usia berapapun, terutama Usia lebih tua muda
Penyebab Bilateral Penonjolan saat batuk Muncul saat berdiri Reduksi saat berbaring Penurunan ke skrotum Oklusi cincin internus Leher kantong Strangulasi Hubungan dengan pembuluh darah epigastrik inferior
Kongenital 20% Oblik Tidak segera mencapai ukuran terbesarnya Tidak tereduksi dengan segera Sering Terkontrol Sempit Tidak jarang Lateral
Didapat 50% Lurus Mencapai ukuran terbesar dengan segera Tereduksi segera Jarang Tidak terkontrol Lebar Tidak biasa Medial
Sumber: 1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta, EGC, Hal: 523-537 2. Sabiston. 1995. Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua. Jakarta : EGC. Hal : 228, 243. 3. Henry MM, Thompson JN. 2005. Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier Saunders, page 431-445. 37. A. Paraphimosis
Parafimosis adalah keadaan di mana preputium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup. Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak. Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993). Balanitis adalah infeksi pada glans penis (kepala penis) yang dapat terjadi pada mereka yang tidak bersunat karena masalah higiene yang buruk. Gejalanya berupa bengkak pada kepala penis dan bisa disertai nyeri. Umum dialami pada pria, khususnya pria yang tidak disunat. Biasanya infeksi ini disebabkan oleh preputium atau kulup yang menutupi glans penis dan jarang dibersihkan dan menjadi tempat berkumpulnya smegma, suatu lapisan pelumas bersifat lemak yang karena bercampur dengan tetesan urine dapat menimbulkan bau tak sedap. Akumulasi smegma yang berlebihan dapat menciptakan suatu kondisi bernama balanitis, suatu peradangan akibat keikutsertaan bakteri dalam tumpukan smegma menginfeksi glans penis. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada
dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi. Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis. Penyebab Orchitis, antara lain: Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis). Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke 4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening. Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya Coxsackievirus, Varicella, dan Echovirus. Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis, yakni infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis). 38. E. Nekrosis Koagulatif Nekrosis Koagulatif ditandai dengan pembentukan substansi gelatinous pada jaringan yang mati, dengan bentuk sel tetap. Koagulasi terjadi karena proses denaturasi protein, menyebabkan albumin menjadi zat putih padat. Nekrosis tipe ini terjadi pada keadaan hipoksik seperti infark jaringan, dapat terjadi terutama pada ginjal, jantung, dan kelenjar adrenal. Iskemia berat merupakan penyebab tersering nekrosis koagulatif.
Area yang mengalami nekrosis koagulatif pada jantung (panah kuning) Nekrosis Kaseosa dapat dianggap sebagai perpaduan dari nekrosis koagulatif dan likuefaktif, khas disebabkan oleh mycobacteria (ex. Tuberculosis), jamur, atau beberapa zat kimia. Jaringan nekrosis membentuk substansi putih lembek seperti keju yang mencair-perkejuan. Sel yang mati terdisintegrasi namun tidak sepenuhnya tercerna, meninggalkan partikel granular (granuloma). Pengamatan dengan mikroskop menampakkan debris granular amorphous dikelilingi peradangan berbatas tegas. Nekrosis Fibrinoid merupakan bentuk nekrosis pembuluh darah spesifik yang diperantarai oleh proses imun, ditandai dengan terbentuknya deposit komplek antigenantibodi beserta fibrin yang ditemukan dalam dinding arteri. Nekrosis Likuefaktif berkebalikan dengan nekrosis koagulatif, ditandai dengan perubahan sel mati menjadi bentuk massa cair. Proses ini khas pada infeksi bakterial
(terkadang fungal), yang menyebabkan respons inflamasi. Massa cair yang terbentuk sering berwujud kekuningan karena adanya leukosit yang mati, dikenal dengan pus. Infark pada otak sering menghasilkan nekrosis tipe ini, karena otak mengandung sedikit jaringan ikat, dan banyak terdapat enzim cerna; sehingga sel yang ada segera terdegradasi oleh enzim tersebut. Nekrosis Enzimatik spesifik terjadi pada jaringan lemak disebut juga nekrosis lemak, terjadi karena kerja enzim lipase teraktivasi pada jaringan berlemak seperti pankreas. Sebagai contoh, apabila terjadi pankreatitis akut yang menyebabkan enzim-enzim pankreas akan keluar ke rongga peritonium menyebabkan reaksi saponifikasi lemak melibatkan ion kalsium, magnesium, dan natrium membentuk substansi putih menyerupai kapur. Deposit kalsium yang terbentuk biasanya cukup besar dan dapat tampak pada pemeriksaan radiografis. Referensi: Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N. & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran Pathological Basis of Disease. 8 edn, (Saunders Elseveir). McConnell, T. H. 2007. The Nature of Disease: Pathology for the Health Professional. (Lippincott Williams & Wilkins).
39. D. 5 cc/KgBB/jam Pendekatan diagnosis demam: Algoritma Kasus (Susyanto,2011) Demam 1-7 hari
Tentukan ada/ tidaknya infeksi lokal
Tidak Tentukan apakah penderita malaria/bukan Bukan malaria
Tentukan apakah ada gejala/ tanda infeksi dengue
Ya
Tidak ada
Tentukan adakah tanda kebocoran plasma
Ya
Tidak ada
DHF
DF
Tentukan derajat DHF
Tentukan tatalaksana DHF = Dengue Haemmorragic Fever; DF = Dengue Fever
Ya Diagnosis sesuai fokal Tetap pertimbangkan kemungkinan infeksi sistemik
DIAGNOSIS DEMAM
DIDASARKAN PADA KEADAAN Demam atau riwayt demam mendadak tinggi selama 2-7 hari Manifestasi pendarahan (sekurangkurangnya uji bendung positif) Infeksi virus dengue : demam dengue, Pembesaran hati demam brdarah denguee, dan Sindrom Tanda-tanda gangguan sirkulasi syok dengue Penngkatan nilai hematokrit, trombositopenia (100 000/μl atau kurang), dan leukopenia Ada riwayat keluarga atau tetangga sekitar menderita atau tersangka demam berdarah dengue DIAGNOSIS DHF Demam: tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari Terdapat manifestasi pendarahan ditandai dengan: uji bendung positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena Kriteria Klinis Pembesaran hati Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dantangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) danpasien tampak gelisah. Trombositopenia (100 000/μl atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut: Kriteria Laboratorium - Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar - Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan - Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia. DIAGNOSIS DITEGAKKAN JIKA MEMENUHI KRITERIA: 2 DARI KRITERIA KLINIS + THROMBOSITOPENIA DAN HEMOKONSENTRASI ATAU PENINGKATAN HEMATOKRIT HEMATOKRIT 2 DARI KRITERIA KLINIS + HEPATOMGALI SUGGESTIVE DHF SEBELUM MUNCUL TANDA ADANYA KEBOCORAN PLASMA
Setelah ditentukan diagnosisnya, maka dalam penatalaksanaannya disesuaikan dengan derajat demam dengue. Derajat penyakit demam dengue diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Manajemen of DHF grade I, II (kasus non-syok) Manajemen caiaran penunjang (oral+i.v.) untuk DHF grade I, II, yaitu kebutuhan maintenan cairan dalam sehari (M) + 5% defisit (oral dan i.v. secara bersamaan) diberikan dalam waktu 48 jam. Kecepatan cairan IV yang diberikan ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Daftar Pustaka: 1. Susyanto, M.B.E.S. 2011. Anak dengan Demam 1-7 Hari dalam Study Guide Panduan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak. Program Pendidikan Profesi Dokter FKIK UMY 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed. 3. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.
40. B. Pemberian tranfusi PRC Analisis kasus pada soal ini: Keluhan: Anak 3 tahun, pucat sejak 1 bulan yang lalu, tampak malas bermain, mudah lelah dan nafsu makan menurun. Berdasarkan informasi keluhan, kasus ini mengarah pada anemia berat. Pemeriksaan fisik: Inspeksi: mukosa bibir pucat - Auskultasi: bising sitolik derajat 3/6 Pada anak-anak seringkali terdengar bising sistolik yang innocent. Pada keadaan anemia dan keadaan demam seringkali terdengar bising jantung faali, dalam hal ini kita sebut hemic murmur yang tidak menunjukkan kelainan jantung organik. Hal ini disebabkan aliran darah yang menjadi lebih cepat dari biasa dan kepekatan darah yang menurun. Bising inosen adalah bising yang tidak berhubungan dengan kelainan organik atau kelainan struktural jantung. Bising ini sering sekali ditemukan pada anak normal; pada lebih dari 75% anak normal pada suatu saat dapat ditemukan bising inosen. Bising ini dibedakan dari bising fungsional, yaitu bising akibat hiperaktivitas fungsi jantung sehingga curah jantung meningkat, misalnya pada anemia atau tirotoksikosis. Karakteristik bising inosen: 1. Hampir selalu berupa bising ejeksi sistolik, kecuali dengan vena (venous hum) dan bising a. Mamaria (mammary soufle) yang bersifat bising kontinu. 2. Berderajat 2/6 atau kurang, sehingga tidak disertai getaran bising Penjalarannya terbatas, meskipun kadang-kadang dapat terdengar pada daerah luas di prekordium. 3. Cenderung berubah intensitasnya dengan perubahan posisi; biasanya bising ini terdengar lebih baik bila pasien terlentang dan menghilang atau melemah bila pasien duduk, kecuali pada dengung vena yang justru baru dapat terdengar bila pasien duduk. 4. Tidak berhubungan dengan kelainan struktural jantung. Maka bising yang ditemukan pada kasus ini bukan merupakan pertanda gagal jantung. Pemeriksaan Laboratorium: Hb: 4.5, Ht: 22%, MCV: 56, MCH: 24, RDW: 16%, Leukosit: 6.000, Trombosit: 220.000, LED 1 jam: 8mm, LED 2 jam: 15mm, Hitung retikulosit: 4%. Batasan anemia berdasarkan umur:
Kadar Hb pada anak ini < 12,5 g/dL sehingga dapat dikatakan anemia. Pendekatan etiologi dan jenis anemia pada anak dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV), pada klasifikasi jenis ini, anemia dalam kasus ini termasuk anemia mikrositik (MCV kurang dari 80 fL) dan nilai MCH (mean concentration hemoglobin) = 24 pg termasuk rendah (normal 26-32 pg) sehingga dalam kasus ini didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Nilai RDW meningkat (RDW normal 11,5-14,5%) peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel. Klasifikasi anemia berdasarkan MCV dan RDW:
Berdasarkan analisis di atas, anak dalam kasus ini mengalami Anemia Defisiensi Besi, (thalasemia disingkirkan karena tidak ada hepatosplemomegali) sesuai teori pada anamnesa ditemukan gejala dan tanda sebagai berikut: a. Keluhan anemia pada umumnya: iritabel, lesu, cepat lelah, kurang perhatian, perkembangan kepandaian lambat, Hb rendah. b. Kardiomegali, bising sistolik, gangguan pertumbuhan epitel. c. Glositis, stomatitis, atropi papil lidah, sudut bibir pecah-pecah. Penatalaksanaan anemia: Berdasarkan WHO (2013), Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%) tanpa gizi buruk, maka anemia diterapi dirumah dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Indikasi transfusi: Beri transfusi darah sesegera mungkin untuk: Semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan beberapa tampilan klinis berikut: o Dehidrasi yang terlihat secara klinis o Syok o Gangguan kesadaran
Gagal jantung o Pernapasan yang dalam dan berat o Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit). o
Derajat bising, yang dibagi dalam skala 1-6: 1. Derajat I, bising sangat lemah yang hanya terdengar oleh pemeriksa yang berpengalaman di tempat yang tenang. 2. Derajat II, bising lemah tapi mudah di dengar, penjalaran terbatas. 3. Derajat III, bising cukup keras, tidak disertai dengan getaran bising, penjalaran sedang sampai luas. 4. Derajat IV, bising yang keras dengan disertai getaran bising, penjalaran luas. 5. Derajat V, bising keras, yang juga terdengar meskipun stetoskop tidak seluruhnya menempel di dinding thoraks, penjalaran luas. 6. Derajat VI, bising sangat keras, terdengar bila stetoskop diangkat 1 cm dari dinding thoraks, Penjalaran sangat luas. Daftar Pustaka: 1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010. 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed 3. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. www.uptodate.com 4. Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p : 3-16. 5. Markum. H.M.S. 2005. Anamnesis dan Pemriksaan Fisis. Hal; 95-100, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 6. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. 2008. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders.
41. C. Pemberian cairan intravena 250 cc dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 600 cc dalam 5 jam pertama Pada kasus di atas anak mengalami diare dengan dehidrasi berat. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya anak tampak lemas, tidak mau menyusu, dan turgor elastisitas kulit kembali sangat lambat ≥ 2 detik.
Sumber: World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
42. C. Karbunkel Pembahasan: Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis pada folikel rambut yang disebabkan oleh Staphylococus aureus gram positif. Terdapat dua tipe, yaitu folikulitis superfisialis dan folikulitis profunda. Lesi berupa pustul dengan dasar eritematosa dan predileksi paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas. Faktor yang mempengaruhi timbulnya folikulitis diantaranya adalah paparan senyawa kimia ditempat kerja, penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi, higiene yang buruk, DM, kelelahan dan kurang gizi. Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu singkat membesar membentuk nodula eritematosa. Penyebabnya adalah staphylococcus aureus. Predileksi pada bagian tubuh yang berambut dan mudah terkena iritasi, gesekan atau tekanan atau daerah yang lembap seperti ketiak, bokong, punggung, leher, dan wajah. Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit diantaranya adalah higiene yang kurang, musim psanas karena sering berkeringat, obesitas, DM, hiperhidrosis, anemia, stress emosional. Karbunkel adalah gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal dari jaringan subkutan yang padat. Biasanya terasa nyeri pada lesi dan malaise. Lesi berupa makula eritematosa yang kemudian menjadi nodula lentikuler hingga numuler, regional, bentuk teratur dan tampak fistula mengeluarkan pus. Predileksi pada daerah tengkuk, punggung dan bokong. Faktor yang mempengaruhi timbuknya karbunkel adalah higiene yang kurang, DM, hiperhidrosis, obesitas, lingkungan yang kotor.
Hidradenitis suppurativa adalah penyakit kulit yang mengenai kelenjar apokrin yang menuju ke kulit. Ditandai dengan adanya nodul bulat yang berulang, nyeri, yang dapat membentuk abses dan sinus dengan supurasi dan jaringan parut hipertrofik dari kelenjar apokrin. Faktor resiko yang mempengaruhi adalah genetik, hormonal dan imunologi. Lesi berupa nodul yang terasa nyeri kemudian menjadi abses, sinus, scar. Predileksi pada aksila, pangkal paha, perineum dan perianal, bokong, lipatan mamae dan intermamae.
43. B. Kondom Pada umumnya klien pascapersalinan ingin menunda kehamilan berikutnya paling sedikit 2 tahun lagi, atau tidak ingin tambahan anak lagi. Konseling tentang keluarga berencana atau metode kontrasepsi sebaiknya diberikan sewaktu asuhan antenatal maupun pascapersalinan. Klien pascapersalinan dianjurkan: Memberi ASI eksklusif (hanya memberi ASI saja) kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan. Sesudah bayi berusia 6 bulan diberikan makanan pendamping ASI, dengan pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun.
Tidak menghentikan ASI untuk mulai suatu metode kontrasepsi. Metode kontrasepsi pada klien menyusui dipilih agar tidak mempengaruhi ASI atau kesehatan bayi. INFERTILITAS PASCAPERSALINAN Pada klien pascapersalinan yang tidak menyusui, masa infertilitas rata-rata berlangsung sekitar 6 minggu. Pada klien pascapersalinan yang menyusui, masa infertilitas lebih lama. Namun, kembalinya kesuburan tidak dapat diperkirakan. METODE AMENOREA LAKTASI (MAL) Menyusui secara eksklusif merupakan suatu metode kontrasepsi sementara yang cukup efektif, selama klien belum mendapat haid, dan waktunya kurang dari 6 bulan pascapersalinan. Efektivitas dapat mencapai 98%. Efektif bila menyusui lebih dari 8 kali sehari dan bayi mendapat cukup asupan per laktasi. SAAT MULAI MENGGUNAKAN KONTRASEPSI Waktu mulai kontrasepsi pasca persalinan tergantung dari status menyusui. Metode yang langsung dapat digunakan adalah: Spermisida Kondom Koitus interuptus Klien menyusui: Klien menyusui tidak memerlukan kontrasepsi pada 6 minggu pascapersalinan. Pada klien yang menggunakan MAL waktu tersebut dapat sampai 6 bulan. Jika klien menginginkan metode selain MAL, perlu didiskusikan efek samping metode kontrasepsi tersebut terhadap laktasi dan kesehatan bayi. Sebagai contoh pil kombinasi dan suntikan kombinasi merupakan pilihan terakhir. Pil kombinasi, meskipun dengan pil dosis rendah (30-35 µg EE) akan mengurangi produksi ASI, dan secara teoritis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan normal bayi pada 6-8 minggu pascapersalinan. Tunggulah 8-12 minggu pascapersalinan sebelum mulai pil kombinasi atau suntikan kombinasi. Referensi: Abdul Bari Saifuddin, dkk. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 44. C. Pertusis Diagnosis Banding Batuk Kronik
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit. Diagnosis Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna: Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah Perdarahan subkonjungtiva Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Referensi: WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta. 45. B. M. leprae Pembahasan: Kriteria diagnosis Morbus Hansen (lepra, kusta), berdasarkan kriteria WHO 1997 terdapat tanda cardinal berupa: - Kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematosa dengan anestesi yang jelas. - Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi. - Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai 1 tanda utama tersebut. Penyebab MH adalah Mycobacterium leprae yang bersifat interseluler obligat, basil tahan asam, 1 – 8 x 0,2 – 0,5 mikron. Pada pemeriksaan histopatologik akan didapatkan sel Virchow (sel lepra, sel busa)
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) Pausi Basiler (PB) 1. Lesi Kulit - 1-5 lesi - Distribusi tidak simetris - Hilangnya sensasi yang jelas 2. Kerusakan saraf (menyebabkan - Hanya 1 hilangnya sensansi / kelemahan otot cabang saraf yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) 3. BTA -
Multi Basiler (MB) - >5 - Distribusi lebih simetris - Hilangnya sensasi kurang jelas - Banyak cabang saraf +
Klasifikasi Ridley Jopling (1960) membaginya menjadi: - Lepromatosa (LL) - Borderline Lepromatosa (BL) - MD Borderline (BB) - Tuberkuloid (TT) - Borderline Tuberkuloid (BT) - Intermediet (I)
1. 2. 3.
Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Multibasiler (MB) Sifat Lepromatosa (LL) Borderline MD Borderine Lepromatosa (BL) (BB) Lesi Bentuk Makula, Infiltrat Makula, plakat, Plakat, kubah, difus, papul, nodul papul punch Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, outdapat praktis tidak ada masih ada kulit dihitung, kulit kulit yang sehat yang sehat sehat jelas ada Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, berkilat Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas Anestesi Biasanya tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas BTA Lesi Kulit Banyak (ada Globus) Banyak Agak banyak Sekret hidung Banyak (ada Globus) Biasanya negatif Negatif Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Pausibasiler (PB) Sifat Turbekuloid Borderline Intermediate (I) (TT) Tuberkuloid (BT)
1. Lesi - Bentuk -
Jumlah
-
Distribusi Permukaan
Makula dibatasi Makula dibatasi infiltrat infiltrate, infiltrate saja Satu, dapat Beberapa saja atau beberapa satu dengan satelit Asimetris Asimetris Kering bersisik Kering bersisik
-
Batas
Jelas
Jelas
-
Anestesi
Jelas
Jelas
2. BTA - Lesi Kulit 3. Tes Lepromin
Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ negatif Positif kuat (3+) Positif lemah
Infiltrat saja Satu atau beberapa Variasi Halus, agak berkilat Dapat jelas, atau tidak Tidak ada sampai tidak jelas Biasanya negatif Positif lemah, atau negatif
Penatalaksanaan: Diberikan berdasarkan regimen Multi Drug Therapy (MDT) 1. Pausibasiler - Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas - DDS 100 mg/bulan A. Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan. 2. Multibasiler - Rifampisin 600 mg/bulan, dosis tunggal - Lamprene 300 mg/hari, dosis tunggal Ditambahkan - Lamprene 50 mg/hari - DDS 100/hari A. Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan Release From Treatment (RTF), meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+). Sumber: - Kokasih, A et all. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edn. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 73-88 - Barakbah, Jusuf et all. 2008. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 41-54 - WHO, diambil dari: http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf
46. D. Hookworm Hookworm Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada 2006; Prasetyo, 2003)
Trichuris trichiura Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembap dan tempat yang teduh. (Gandahusada, 2006 dan Prasetyo, 2003)
47. A. Ergotamin Migrain merupakan sebuah gangguan kompleks yang ditandai oleh perulangan episode nyeri kepala, unilateral, dan dalam beberapa keadaan berhubungan dengan gejala visual dan sensoridikenal dengan aura, yang sering muncul mendahului nyeri kepala namun dapat pula terjadi setelah serangan. Secara epidemiologi, migraine lebih banyak terjadi pada perempuan dan diduga kuat berhubungan dengan faktor genetik.
Pengobatan migraine terdiri dari terapi pada keadaan akut (abortive) dan preventif (profilaktik). Pasien dengan serangan berulang seringnya memerlukan keduanya. Penelusuran faktor pencetus migrain juga harus diidentifikasi untuk meminimalkan serangan ulang. Pengobatan dalam keadaan akut, bertujuan untuk membalikkan atau setidaknya menghentikan progresivitas nyeri kepala yang berlangsung. Pengobatan preventif tidak diberikan pada saat serangan, bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan serangan migraine, dan apabila terjadi episode serangan maka penderita akan lebih responsive terhadap pengobatan abortive. Prioritas pengobatan pada keadaan serangan seperti pada kasus selain terapi farmakologi juga meliputi menyediakan lingkungan yang mendukung seperti ruang istirahat yang gelap dan sunyi, karena penderita migrain dalam serangan serin mengalami photophobia dan phonophobia. Sejumlah pengobatan abortive dapat digunakan dalam keadaan serangan baik berupa analgesik tunggal ataupun dalam kombinasi dengan senyawa lain, selain itu terdapat pula golongan obat migraine-specific seperti triptan dan ergot alkaloid. Ergot dan dihydroergotamine merupakan pengobatan yang telah lama ada untuk migraine, dan terbukti memiliki efektivitas yang setara, dan harga yang lebih murah dibandingkam golongan triptan yang lebih baru. Referensi: American Academy of Neurology. 1995. Practice parameter: appropriate use of ergotamine tartrate and dihydroergotamine in the treatment of migraine and status migrainosus (summary statement). Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology;45(3 Pt 1):585-7. Bartleson JD, Cutrer FM. 2010. "Migraine update. Diagnosis and treatment". Minn Med 93 (5): 36–41. 48. E. 2 tahun bebas dengan penurunan dosis sebelumnya Syarat penghentian obat anti epilepsi: Penghentian penggunaan OAE dimulai 2 sampai 5 tahun bebas bangkitan kejang. 1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan 2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan 3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE: Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. Epilepsi simtomatik. Gambaran EEG abnormal. Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
Penggunaan OAE lebih dari 1. Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi. Referensi: Ahmed Z, Spencer S.S 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003.: Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. 49. C. Asosiasi longgar Pembahasan: - Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien dengan mengombinasikan suku kata lain. - Apraksia: suatu kondisi di mana seseorang tidak bisa lagi melakukan gerakan ketika diminta untuk melakukannya. Tidak ada yang salah dengan otot-ototnya. Orang tersebut juga memahami perintah dan ingin membuat gerakan, tetapi tidak dapat secara fisik melakukannya. - Asosiasi longgar: mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Contoh: “saya mau makan. Semua orang dapat berjalan”. Bila ekstrim, maka akan terjadi inkoherensi. Asosiasi yang sangat longgar dapat dilihat dari ucapan seorang penderita seperti berikut ini, “….Saya yang menjalankan mobil kita harus membikin tenaga nuklir dan harus minum es krim…”. - Ekolalia: pengulangan kata atau frasa seseorang oleh seseorang lain (psikopatologis), cenderung berulang dan menetap, dapat diucapkan dengan mengejek atau intonasi terputus-putus. - Logorrhoe: bicara yang banyak sekali, berkaitan atau berhubungan, dan logis. 50. B. Anticholinergik Pembahasan: Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut, tardiv diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson). a) Reaksi Distonia Akut (ADR) Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang
tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine. b) Akatisia EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. c) Sindrom Parkinson Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahuntahun. Manifestasinya meliputi: Akinesia: yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia. Tremor: khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap medikasi antikolinergik. Gaya berjalan membungkuk: menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan hilangnya ayunan lengan. Kekakuan otot: terutama dari tipe cogwheeling. d) Tardive Diskinesia Merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu memengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktivitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Penatalaksanaan: a) Reaksi Distonia Akut (ADR) Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit. b) Akatisia Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu. c) Sindrom Parkinson Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. d) Tardive Diskinesia Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gammaaminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi
depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan. 51. B. Oftalmoskopi Perimeter dan kampimeter: alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan terutama daerah sentral atau parasentral. Oftalmoskop: merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat fundus okuli. Terdapat 2 kegunaan, yaitu memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh seperti pada kornea, lensa dan badan kaca, serta memeriksa fundus okuli terutama retina dan papil saraf optik. Gonioskopi: dapat melihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai adanya glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut. Tonometri: suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan alat yang disebut tonometer. Dikenal beberapa alat tonometer seperti alat tonometer Schiotz dan tonometer aplanasi Goldman. Referensi: Ilyas, Sidarta. 2009. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI. 52. D. BPPV BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yag sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya. Diagnosis BPPV dapat dilakukan dengan melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus pada posisi tersebut. Pemeriksaan untuk memprovokasi timbulnya nistagmus adalah perasat Dix Hallpike, perasat side lying, dan perasat roll. Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat arah fase cepat nistagmus yang abnormal: Fase cepat ke atas, berptar ke kanan : BPPV kanalis posterior kanan Fase cepat ke atas, berputar ke kiri : BPPV kanalis posterior kiri Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan : BPPV kanalis anterior kanan Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri : BPPV kanalis anterior kiri Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior sebanyak 49% dan kanalis anterior sebanyak 12%. PERBEDAAN VERTIGO CENTRAL DAN PERIFER Gejala dan Tanda Perifer Sentral Onset Mendadak/bertahap Mendadak/bertahap Tingkat keparahan Berat Sedang
Paroksismal/Terus menerus Berkaitan dengan perbahan gerakan Mual, muntah Tipe nistagmus Intensitas nistagmus Penurunan pendengaran Gejala berkaitan CNS
Paroksismal
Konstan
Ya
Tidak
Sering dan mencolok Horizontal atau torsional, tidak pernah vertikal Intensitas menurun Kadang-kadang Tidak ada
Jarang dan ringan Horizontal, torsional, vertikal Tidak terpengaruh Sering Ada
Sumber: Bashiruddin, J. (2009). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 104-113. 53. A. Sindroma metabolic Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEPATP III), Sindrom Metabolik ditegakkan setidaknya memenuhi 3 kriteria berikut: 1. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2. Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L); 3. Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L); 4. Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi); 5. Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥ 110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) Info: Perbandingan kriteria Sindroma Metabolik menurut beberapa konsensus dirangkum dalam tabel berikut: Unsur NCEP ATP WHO AHA IDF Sindrom III Metabolik Dalam Dalam Dalam Dalam pengobatan Hipertensi pengobatan pengobatan pengobatan antihipertensi atau antihipertensi antihipertensi antihipertensi TD ≥130/85 mmHg atau TD atau atau TD ≥130/85 TD ≥ 140/90 ≥130/85 mmHg mmHg mmHg Plasma TG ≥150 Plasma TG Plasma TG≥150 Dislipidemia Plasma TG ≥150 mg/dL, mg/dL dan atau ≥150 mg/dL, mg/dL HDL-C: L < 40 g/dL P< 50 mg/dL
HDL-C: L < 35 mg/dL P< 40 mg/dL
HDL-C: L < 40 mg/dL P< 50 mg/dL
HDL-C: L < 40 mg/dL P< 50 mg/dL atau dalam
Obesitas
Gangguan Metabolisme Glukosa Lain-lain
pengobatan dislipidemia Lingkar IMT > 30kg/m2 Lingkar Obesitas sentral pinggang: dan atau pinggang (lingkar perut) L >102 cm, rasio perut- L >102 cm, Asia: P>88cm pinggul: P>88cm L>90 cm L >0,90 P>80 cm P>0,85 (nilai tergantung etnis) GD puasa ≥ DM tipe 2 atau GD puasa GD puasa ≥100 110 mg/dL TGT ≥100 mg/dL atau diagnosis mg/dL DM tipe 2 Mikroalbuminuri ≥20 µg/menit (rasio albumin: kreatinin ≥ 30)
3 DM tipe 2 atau Minimal 3 Obesitas sentral + 2 TGT dan 2 kriteria kriteria di atas kriteria di atas. Jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria Keterangan: TD = Tekanan Darah; L = Laki-laki; P = Perempuan; TG = Trigliserida; HDL-C = Kolesterol HDL; IMT = Indeks Massa Tubuh; DM = Diabetes Melitus; TGT = Toleransi Glukosa Terganggu; GD = Gula Darah Kriteria Diagnosa
Minimal kriteria
Referensi: 1. Alberti, KGMM; Zimmet .1999. "Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications". World Health Organization. pp. 32–33. 2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (May 2001). "Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III)". JAMA: the Journal of the American Medical Association 285 (19): 2486–97. doi:10.1001/jama.285.19.2486.PMID 11368702 3. Grundy SM, Brewer HB, Cleeman JI, Smith SC, Lenfant D, for the Conference Participants. 2004. Definition of metabolic syndrome: report of the National, Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association conference on scientific issues related to definition. Circulation.
54. A. Ileus Obstruktif Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut. Ileus dibagi menjadi ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus obstruktif disebut juga ileus mekanik adalah keadaan di mana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
Berdasarkan letak obstruksinya, ileus obstrktif dibagi menjadi: Ileus obstruktif letak tinggi Mengenai usus halus yaitu dari gaster sampai ileum terminal Ileus obstruktif letak rendah Mengenai usus besar yaitu dari ileum terminal sampai rectum Berdasarkan stadiumnya, ileus obstruktif dibagi menjadi: Obstruksi sebagian (partial obstruction) Obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih bisa melewati, dapat flatus, dan defekasi sedikit. Obstruksi sederhana (simple obstruction) Obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) Obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangguan. Manifestasi klinis muncul sebagai berikut: Obstruksi sederhana Manifestasi klinis yang muncul adalah nyeri kram pada perut disertai kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal imbul muntah yang banyak dan jarang menjadi muntah fekal. Tanda vital normal namun akan berlanjut dengan dehidrasi karena kehilangan cairan dan elektrolit. Distensi abdomen tidak ada atau minimal. Bising usus meningkat dan metallic sound didengar sesuai dnegan timbulnya nyeri pada daerah obstruksi. Obstruksi disertai proses strangulasi Geala yang muncul adalah nyeri hebat abdomen disertai perburukan gejala. Apabila muncul tanda strangulasi berupa nyeri iskemik, yaitu nyeri sangat hebat, menetap, tidak menyurut maka merupakan keadaaan emergensi. Obstruksi komplit Gejala yang muncul adalah nyeri hebat yang terus-menerus, bobrygmus timbul sesuai dengan nyeri, muncul konstipasi. Muntah fekal bisa terjadi. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan distensi abdomen, gerakan usus akan tampak pada pasien kurus, terdengar metallic sound. Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis: syok, oliguria, meteorismus, hiperperistaltik berkala, kolik, flatus (-), defekasi (-). Pemeriksaan fisik: pembesaran perut, distensi abdomen, bising usus meningkat atau tidak terdengar sama sekali. Pemeriksaan radiologi: Untuk menegakkan diagnosis secara radiologis dilakukan foto abdomen 3 posisi. Ileus obstruktif letak tinggi Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal junction) dan kolaps usus di bagian distal sumbatan. Coil spring appearance
Herring bone appearance Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign) Ileus obstruktif letak rendah Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi. Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen. Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sumber: 1. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal: 623. 2. Sutton, David. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Edisi 7. London: Churchill Livingstone. 55. C. Kista Entamoeba histolitica Pasien mengeluhkan diare dengan frekuensi 5-8x/hari yang disertai lender dan darah. Hal ini menunjukkan pathogen yang menginvasi mukosa usus. Pasien telah diberikan antibiotik tidak membaik, dikarenakan penyebabnya berupa entamoeba. Diare yang disebabkan oleh Entamoeba histolitica adalah diare diesrtai darah dan lender yang dapat terjadi hingga 10 kali/hari. Sifat khas pada diare Amoeba adalah: Volume tinja setiap kali buang air besar lebih banyak Bau tinja menyengat Warna tinja umumnya merah tua denga darah dan lender bercampur feses Entamoeba histolitica memiliki bentuk trofozoit dan kista. Ciri-ciri morfologi sebagai berikut: Trofozoit Ukuran 10-60 µm. Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit. Terdapat 1 inti entamoeba ditandai dengan karyosom padat yang terletak di tengah inti, serta kromatin yang terletak di pinggiran inti. Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar disebut pseudopodia. Kista Ukuran 10-20 µm. Bentuk memadat mendekati bulat. Kista matang memiliki 4 buah inti Entamoeba. Tidak dijumpai eritrosit di dalam sitoplasma. Kista yang belum matang memiliki glikogen berbentuk seperti cerutu, namun biasanya menghilang setelah kista matang. Sumber: Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N. Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, San Francisco: University of California.
56. A. Ruptur uretra Ruptur uretra anterior disebabkan oleh straddle injury (cedera selangkangan), di mana terjadi kontusio dinding uretra, ruptur uretra parsial atau ruptur totalis dinding uretra. Uretra anterior dibungkus corpus spongiosum. Di mana corpus spongiosum bersama dengan corpus kavernosum dibungkus fascia buck dan fascia colles. Jika ruptur beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tapi masih berbatas pada fascia Buck yang secara klinis tampak hematoma pada penis. Jika fascia buck robek, ekstravasasi darah dan urine dibatasi fascia colles yang klinisnya tampak sebagai hematoma sampai skrotum dan dinding abdomen. Robekan ini memberikan gambaran Butterfly apperiance, yang merupakan tanda khas dari ruptur uretra. 57. E. Hipospadia
Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat di tarik ke belakang (proksimal)/membuka.Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga sulit untuk keluar (Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat di tarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa,tahun 2008) . Hipospadia: kelainan bawaan lahir pada anak laki-laki yang dicirikan dengan letak abnormal lubang kencing tidak diujung kepala penis seperti seharusnya, tetapi berada lebih bawah. Kelainan ini jarang ditemukan, angka kejadian kasus hipospadia 1 : 250-400 kelahiran. Penyebab dari hipospadia sampai saat ini belum dapat diijelaskan secara pasti, namun teori-teori yang berkembang umumnya mengaitkan kelainan ini dengan masalah hormonal. Sebuah teori mengungkapkan kelainan ini disebabkan oleh penghentian prematur perkembangan sel-sel penghasil androgen di dalam testis, sehingga produksi androgen terhenti dan mengakibatkan maskulinisasi inkomplit dari alat kelamin luar. Proses ini menyebabkan gangguan pembentukan saluran kencing (uretra), sehingga saluran ini dapat berujung di mana saja sepanjang garis tengah penis tergantung saat terjadinya gangguan hormonal. Semakin dini terjadinya gangguan hormonal, maka
lubang kencing abnormal akan bermuara semakin mendekat ke pangkal. Diagnosis hipospadia Hipospadia sangat mudah dikenali saat pemeriksaan fisis bayi laki-laki yang baru lahir. Tidak adanya lubang kencing di ujung kepala penis, serta bentuk penis melengkung menjadi ciri khas bayi laki-laki dengan hipospadia. Pada kelainan yang sangat berat, jenis kelamin bayi seringkali sukar untuk dikenali sebagai laki-laki atau perempuan jika berdasar dari pemeriksaan fisik semata. Dalam hal tersebut, penderita akan disarankan untuk menjalani pemeriksaan kromosompenanda-kelamin (sex chromatin). Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna meskipun jarang dilakukan adalah pemeriksaan radiologis urografi (IVP, sistouretrografi) untuk menilai gambaran saluran kemih secara keseluruhan dengan bantuan kontras. Pemeriksaan ini biasanya baru dilakukan bila penderita mengeluh sulit berkemih. 58. C. AV blok Gangguan konduksi nodus AV (AV Blok) tampak pada pemeriksaan EKG sebagai abnormalitas interval PR, gambaran ini menunjukkan kelainan impuls listrik dari atrium menuju nodus AV dan Bundle of His serta cabang-cabangnya di ventrikel. Interval PR normal berkisar 0.12 – 0.20 detik. Berdasar pemeriksaan EKG AV blok dibagi 3, yaitu: AV blok derajat I: interval PR memanjang lebih dari 0.20 detik AV blok derajat II: terjadi kegagalan impuls dari atrium untuk mencapai ventrikel secara intermiten sehingga denyut ventrikel berkurang. AV blok derajat II dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: Mobitz I Interval PR memanjang secara progresif sampai suatu ketika kompleks QRS menghilang. Mobitz II interval PR tetap namun didapatkan denyut ventrikel/komplek QRS menghilang (drop beat) dapat terjadi reguler seperti 2:1, 3:1 atau tidak teratur.
AV blok derajat III: blok jantung komplit di mana terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari atrium tidak mencapai ventrikel, sehingga masing-masing berjalan sendiri sesuai impuls intrinsiknya.
Referensi: Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 59. B. Paracetamol 120-180 mg/kali beri Kasus pada soal ini mengarah pada infeksi virus dengue. Langkah diagnosis bedasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesis (IDAI): Anamnesis - Demam merupakan tanda utama (suhu 38,5 0C), terjadi mendadak tinggi, selama 27 hari - Disertai lesu tidak mau makan, dan muntah - Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut. - Diare kadang-kadang dapat ditemukan - Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan Pemeriksaan fisik - Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri d ibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD. - Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dn syok. - Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan peritoneal selama 24-48 jam. - Perdarahan dapat berupa petekie (terprovokaasi uji RL (+), hematemessis,dan melena, ataupun hematuria. Kasus ini tidak menunjukkan tanda-tanda syok di mana denyut nadi dan frekuensi pernapasannya masih baik, sehingga anak ini dapat didiagnosis sebagai suspek demam dengue berdasarkan klinisnya. Hal ini juga sesuai dengan kriteria klinis demam dengue berdasarkan WHO (2013), yaitu : Demam tinggi mendadak, ditambah gejala penyerta 2 atau lebih: - Nyeri kepala - Nyeri retro orbita - Nyeri otot dan tulang - Ruam kulit - Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan - Leukopenia - Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif. - Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, hipoproteinemia). Terapi medikamentosa yang dianjurkan:
-
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian paracetamol bukan aspirin ataupun ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang pendarahan. Dosis paracetamol yang dianjurkan adalah 10-15mg/kgBB/kali per 6 jam. - Diusahakan tidak memberika obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. - Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan. - Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati. Anak dalam soal ini memiliki berat 12 kg sehingga dosis paracetamol yang diperlukan adalah 120-180 mg/kali beri. Referensi: 1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010. 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed.
60. A. Nadi 120 x/menit Kasus pada soal ini mengarah pada sindrom syok dengue (meskipun informasi yang terdapat pada soal kurang lengkap). DIAGNOSIS DEMAM DIDASARKAN PADA KEADAAN Demam atau riwayt demam mendadak tinggi selama 2-7 hari Manifestasi perdarahan (sekurangkurangnya uji bendung positif) Pembesaran hati Infeksi virus dengue: demam dengue, demam berdarah dengue, dan sindrom Tanda-tanda gangguan sirkulasi syok dengue Peningkatan nilai hematokrit, trombositopenia (100 000/μl atau kurang), dan leukopenia Ada riwayat keluarga atau tetangga sekitar menderita atau tersangka demam berdarah dengue Pada anak, hipotensi biasanya baru terjadi pada syok yang telah lanjut, oleh karena itu hipotensi tidak merupakan keharusan untuk diagnosis syok. Syok pada kasus ini termasuk syok hipovolemik dimana faktor resiko untuk kasus ini selain kebocoran plasma juga adanya keluhan klinis muntah. Pada fase awal, terjadi kompensasi tubuh, secara klinis dapat dijumpai takikardi (usia 10 tahun normalnya 60-110 denyut/menit), ekstremitas dingin, capllary refill yang mulai memanjang, pulsasi perifer melemah, sementara tekanan darah masih normal. Tanda awal yang utama adalah takikardi dan penurunan perfusi perifer. Referensi: 1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010. 2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed.
61. B. Pemfigus vulgaris
Pembahasan: Etiologi Usia Keluhan Kelainan kulit Nikolsky Sign Predileksi Kelainan Mukosa Mulut Histopatologi
Imunoflouresensi langsung Terapi
Pemfigus Vulgaris Pemfigoid Bulosa autoimun Disangka autoimun 30-60th Biasanya usia tua Tidak gatal Tidak gatal Bula, dinding kendur, krusta Bula berdinding tegang bertahan lama + generalisata Perut, lengan bagian fleksor, lipat paha, tungkai medial 60% 10-40% Bula intraepidermal, Celah diantara dermalakantolisis epidermal, bula subepidermal, sebukan terutama eosinofil Ig G dan komplemen di Ig G seperti pita di membran epidermis basal Kortikosteroid (prednison Kortikosteroid (prednison 60-150 mg/hr, sitostatika) 40-60 mg/hr)
62. B. Ekstraksi moluskul bodies Pembahasan: Pada kasus di atas, pasien terdiagnosis Moluscum Kontagiosum. Moluscum Kontagiosum merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Poxvirus. Terutama menyerang pada anak-anak dan juga menyerang pada dewasa sebagai infeksi menular seksual. Penyakit ini tidak ada keluhan. Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk kubah miliar, di tengahnya terdapat delle. Jika dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih seperti nasi yang merupakan badan moluskum. Terkadang berbentuk lentikular dengan warna ptuih seperti lilin. Penatalaksanaan pada penyakit ini adalah dengan ekstraksi moluskum bodies yaitu dapat dengan bedah kuretase/enukleasi atau dengan topikal seperti TCAA 25-35%, tinctura podofilin 10-25%, Kantaridin 0,7-0,9%.
63. A. Indomethacin Sasaran pengelolaan Arthritis Gout terdapat 3 hal, yaitu: Mengobati serangan akut. Mencegah episode serangan akut (profilaksis). Menurunkan kelebihan kadar urat untuk mencegah arthritis, dan deposisi kristal urat dalam organ. Pengobatan Gout serangan akut seperti pada kasus, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi yang berlangsung. American College of Rheumatology (ACR) merekomendasikan pemberian terapi farmakologi dalam kasus akut segera dalam 24 jam sejak onset serangan, pilihan terapi yang direkomendasikan oleh adalah Nonsteroidal anti-inflammatory drugsNSAIDs, corticosteroids, dan colchicine. Ketiganya memiliki ‘Level of Evidence: A’ sehingga pemilihan modalitas terapi disesuaikan dengan pertimbangan dokter dan pilihan pasien bagi masing-masing kasus. Pengobatan monoterapi ditujukan bagi serangan akut derajat ringan-sedang yang melibatkan 1-2 sendi besar, atau beberapa sendi kecil; sedangkan terapi kombinasi ditujukan bagi serangan akut berat yang melibatkan 1-2 sendi besar atau poliartikular. NSAIDs merupakan obat pilihan pada pasien gout serangan akut yang tidak memiliki penyakit komorbid sistemik lain, karena NSAIDs selain memiliki efek anti inflamasi juga analgetik, terutama agen dengan onset cepat. Jenis obat yang banyak dipilih untuk gout serangan akut adalah Indometasin (Level of Evidence : A) 150-200mg selama 2-3 hari, dilanjutkan 75-100mg/hari sampai dengan 7 hari atau peradangan dan nyeri membaik. Kolkisin oral merupakan modalitas pilihan dalam tatalaksana gout arthritis akut terutama dalam 36 jam sejak onset serangan. Dosis yang direkomendasikan adalah loading dose 1.2 mg dilanjutkan 0.6 mg 1 jam kemudian, kemudian 0.6 mg tiap 12 jam sampai dengan keluhan membaik. Kortikosteroid yang direkomendasikan untuk serangan akut diberikan melalui rute oral. Pada gout serangan berat atau melibatkan poliartikular yang membutuhkan injeksi kortikosteroid, atau kombinasi kortikosteroid dan NSAIDs.
Obat penurun asam urat seperti Allopurinol atau obat urikosurid (ex. Probenesid) tidak boleh diberikan dalam stadium akut, kecuali pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat dan mengalami serangan akut. Referensi: Khanna et. al., 2012. 2012 American College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis. Arthritis Care & Research Vol. 64, No. 10, pp 1447–1461 Tehupeiroy. E. S. 2006. Artritis Pirai (Gout). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 64. D. Atonia uteri Pada pasien di atas terdapat dua kemungkinan penyebab perdarahan pasca salin, yaitu atonia uteri dan laserasi jalan lahir akibat penggunaan forsep. Tetapi pada kasus di atas memiliki faktor resiko paling banyak terjadinya atonia uteri, yaitu multiparitas, kala 1 lama, dan bayi yang cukup besar. Perdarahan pasca salin (PPS) adalah perdarahan yang mencapai 500-1000 cc setelah anak lahir yang bisa diakibatkan oleh atonia uteri, perlukaan jalan lahir, sisa jaringan plasenta, dan kelainan faktor pembekuan. Secara klasik WHO mengklasifikasikan PPS sebagai: Perdarahan pasca salin primer/dini yaitu perdarahan ≥ 500 cc dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir.
Perdarahan pasca salin sekunder/lanjut, yaitu perdarahan ≥ 500 cc sesudah 24 jam pertama setelah persalinan. Penyebab PPS adalah 1 atau lebih dari 4 faktor di bawah ini: Tone (gangguan kontraksi uterus) Tissue (sisa produk konsepsi) Trauma (robekan jalan lahir) Thrombin (gangguan fungsi koagulasi) Penyebab terbanyak PPS dini adalah atonia uteri. Akan tetapi pemeriksaan klinis harus dilakukan dengan seksama untuk menyingkirkan sebab lain atau penyebab plasenta lainnya, seperti: Sisa jaringan (plasenta, membran, bekuan darah) Laserasi vagina/serviks atau hematom Ruptur uteri Hematom ligamentum latum Perdarahan ekstragenital (misalnya ruptur subkapsula hepar) Inversio uteri Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis kemungkinan yang selalu ada kadang-kadang ada Atonia uteri Uterus tidak Syok berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir Robekan jalan lahir Perdarahan segera Pucat Darah segar yang Lemah mengalir segera Menggigil setelah bayi lahir Uterus kontraksi baik Plasenta lengkap Plasenta belum lahir Tali pusat putus Retensio plasenta setelah 30 menit akibat traksi berlebihan Perdarahan segera Inversio uteri akibat Uterus kontraksi baik tarikan Perdarahan lanjutan sebagian Plasenta atau Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya sebagian selaput tinggi fundus tidak berkurang plasenta (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap Perdarahan segera
Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir) Perdarahan segera (inversi komplit mungkin tidak menimbulkan perdarahan) Nyeri sedikit atau berat Subinvolusi uterus Nyeri tekan perut bawah Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Perdarahan sekunder. Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi) Perdarahan segera (perdarahan intraabdominal dan/atau vaginum) Nyeri perut berat (kurangi dengan ruptur)
Syok neurogenik Pucat dan limbung
Inversio uteri
Anemia Demam
Perdarahan terlambat Endometritis atau plasenta (terinfeksi tidak)
Syok Nyeri tekan perut Denyut nadi ibu cepat
Robekan dinding (ruptura uteri)
sisa atau
uterus
Referensi: Abdul Bari Saifuddin dkk. 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Made Kornia Karkata dkk. 2012. Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 65. C. Oligoasthenozoospermia
Analisis Sperma adalah suatu pemeriksaan yang penting untuk menilai fungsi organ reproduksi pria (untuk mengetahui apakah seorang pria fertil atau infertil). Semen harus diperiksa dari seluruh ejakulat. Karena itu mengambilnya dari tubuh harus dengan masturbasi atau coitus interuptus (bersetubuh dan waktu ejakulasi, persetubuhan dihentikan dan mani ditampung semua). Ada juga bersetubuh dengan menggunakan kondom khusus. Sebelum melakukan pemeriksaan disarankan untuk berpuasa bersetubuh (abstinensi) terbaik sekitar 3-5 hari. Pemeriksaan semen terbaik selambatnya sejam sesudah ejakulasi. Semen adalah cairan putih atau abu-abu, terkadang kekuningan, yang dikeluarkan dari uretra (pipa di dalam penis) pada saat ejakulasi. Fungsi semen adalah membawa jutaan sperma ke dalam saluran reproduksi wanita. Karakteristik Semen Menurut WHO, berikut adalah empat kriteria yang dilihat dalam pengujian semen: 1. Volume Pria subur rata-rata mengeluarkan 2 hingga 5 cc semen dalam satu kali ejakulasi. Secara konsisten mengeluarkan kurang dari 1,5 cc (hypospermia) atau lebih dari 5,5 cc (hyperspermia) dikatakan abnormal. Volume lebih sedikit biasanya terjadi bila sangat sering berejakulasi, volume yang lebih banyak terjadi setelah lama “berpuasa”. 2. Konsentrasi sperma Pria subur memiliki konsentrasi sperma di atas 20 juta per cc atau 40 juta secara keseluruhan. Jumlah di bawah 20 juta/cc dikatakan konsentrasi sperma rendah dan di bawah 10 juta/cc digolongkan sangat rendah. Istilah kedokteran untuk konsentrasi sperma rendah adalah oligospermia. Bila sama sekali tidak ada sperma disebut azoospermia. Semen pria yang tidak memiliki sperma secara kasat mata terlihat sama dengan semen pria lainnya, hanya pengamatan melalui mikroskoplah yang dapat membedakannya. 3. Morfologi sperma Sperma normal memiliki bentuk kepala oval beraturan dengan ekor lurus panjang di tengahnya. Sperma yang bentuknya tidak normal (disebut teratozoospermia) seperti kepala bulat, kepala pipih, kepala terlalu besar, kepala ganda, tidak berekor, dll, adalah sperma abnormal dan tidak dapat membuahi telur. Hanya sperma yang bentuknya sempurna yang disebut normal. Pria normal memproduksi paling tidak 30% sperma berbentuk normal. 4. Motilitas (pergerakan) sperma Sperma terdiri dari dua jenis, yaitu yang dapat berenang maju dan yang tidak. Hanya sperma yang dapat berenang maju dengan cepatlah yang dapat mencapai sel telur. Sperma yang tidak bergerak tidak ada gunanya. Menurut WHO, motilitas sperma digolongkan dalam empat tingkatan: Kelas a : sperma yang berenang maju dengan cepat dalam garis lurus seperti peluru kendali. Kelas b: sperma yang berenang maju tetapi dalam garis melengkung atau bergelombang, atau dalam garis lurus tetapi lambat. Kelas c : sperma yang menggerakkan ekornya tetapi tidak melaju. Kelas d: sperma yang tidak bergerak sama sekali.
Sperma kelas c dan d adalah sperma yang buruk. Pria yang subur memproduksi paling tidak 50% sperma kelas a dan b. Bila proporsinya kurang dari itu, kemungkinan akan sulit memiliki anak. Motilitas sperma juga dapat terkendala bila sperma saling berhimpitan secara kelompok sehinga menyulitkan gerakan mereka menuju ke sel telur. Penghitungan Sperma (Sperm Count) Kesuburan pria ditentukan oleh kombinasi keempat kriteria di atas, yaitu jumlah sperma berbentuk sempurna dalam semennya yang dapat bergerak agresif. Misalnya, seorang pria yang memproduksi 20 juta sperma per ml, 50% -nya bermotilitas bagus dan 60% -nya berbentuk sempurna, maka dia dikatakan memiliki hitungan sperma 20 x 0,5 x 0,6 = 6 juta sperma bagus per ml. Bila volume ejakulasinya adalah 2 ml, maka total sperma bagus dalam sampelnya adalah 12 juta. Standar yang telah ditetapkan WHO adalah: Volume: 2 ml atau lebih pH: 7,2 sampai dengan 8,0 Konsentrasi spermatozoa: 20 juta spermatozoa / ml atau lebih Jumlah total spermatozoa: 40 juta spermatozoa per ejakulasi atau lebih Motilitas spermatozoa: Dalam waktu 1 jam setelah ejakulasi, sebanyak 50% dari jumlah total spermatozoa yang hidup, masih bergerak secara aktif. Morfologi permatozoa: 30% atau lebih memiliki bentuk yang normal Vitalitas spermatozoa: 75% atau lebih dalam keadaan hidup Jumlah sel darah putih: lebih sedikit dari 1 juta sel/ml Macam dan definisi dari kesimpulan tersebut adalah: 1. Normozoospermia: karakteristik normal. 2. Oligozoospermia: konsentrasi spermatozoa kurang dari 20 juta per ml. 3. Asthenozoospermia: jumlah sperma yang masih hidup dan bergerak secara aktif, dalam waktu 1 jam setelah ejakulasi, lebih dari 50%. 4. Teratozoospermia: jumlah sperma dengan morfologi normal kurang dari 30%. 5. Oligoasthenoteratozoospermia: kelainan campuran dari 3 variabel yang telah disebutkan sebelumnya. 6. Azoospermia: tidak adanya spermatozoa dalam sperma. 7. Aspermia: sama sekali tidak terjadi ejakulasi sperma. Dari interpretasi inilah, awal masalah ketidaksuburan sebuah pasangan dapat terungkap. Apabila hasil analisis sperma menyatakan nilai normal, kemungkinan besar penyebab ketidaksuburan terdapat pada sang wanita. Oleh karena itu, analisis kesuburan wanita dapat dijalankan sebagai langkah lanjut. Berikut ini beberapa hal yang akan diperiksa saat analisis sperma dilakukan: Hitungan sperma (sperm count). Angka yang normal untuk ini adalah 200 juta per centimeter kubik.
Kelincahan gerak (motilitas). Uji ini, yang diberi nilai dari buruk sampai istimewa, menyatakan tingkat aktivitas sperma. Jika sperma tidak bergerak, mereka tidak dapat sampai ke telur. Morfologi: memberi informasi tentang bentuk sperma. Bisa mikro (dalam hal ini berarti terlalu kecil), bisa makro (dalam hal ini berarti terlalu besar). Ukuran yang diharapkan adalah sedang. pH: semen harus bersifat agak basa -7,0 hingga 8,5. Viskositas: semen harus mudah dituang. Volume: yang normal dalam hai ini adalah dua hingga lima sentimeter kubik (kira-kira 1/2 hingga 1 sendok teh). 66. A. Prolaps uteri Prolapsus uteri adalah pergeseran letak uterus ke bawah sehingga serviks berada di dalam orifisium vagina (prolapsus derajat 1), serviks berada di luar orifisium (prolapsus derajat 2), atau seluruh uterus berada di luar orifisium (prolapsus derajat 3). Prolapsus uteri disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya karena kelemahan jaringan ikat di rongga panggul, perlukaan jalan lahir. Menopause juga faktor pemicu terjadinya prolapsus uteri. Pada prolapsus uteri gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang kala penderita dengan prolaps yang sangat berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan. Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan turun dan peranakan terbalik. Dewasa ini penentuan letak alat genital bertambah penting artinya bukan saja untuk menangani keluhan-keluhan yang ditimbulkan olehnya, namun juga oleh karena diagnosis letak yang tepat perlu sekali guna menyelenggarakan berbagai tindakan pada uterus. Prolapsus uteri adalah keadaan dimana turunnya uterus melalui hiatus genitalis yang disebabkan kelemahan ligamen-ligamen (penggantung), fasia (sarung) dan otot dasar panggul yang menyokong uterus. sehingga dinding vagina depan jadi tipis dan disertai penonjolan kedalam lumen vagina. Sistokel yang besar akan menarik utero vesical junction dan ujung ureter kebawah dan keluar vagina, sehingga kadang-kadang dapat menyebabkan penyumbatan dan kerusakan ureter. Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk dasar panggul. Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause, persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Oleh karena itu prolapsus uteri tersebut akan terjadi bertingkat-tingkat. Anatomi ANATOMI PANGGUL dan STRUKTUR PENYANGGA ORGAN PANGGUL Secara anatomis, organ panggul seperti vagina – uterus – kandung kemih dan rectum dipertahankan pada posisi yang normal dalam panggul oleh sepasang muskulus levator ani bilateral yang kearah posterior mengalami fusi.
Celah muskulus levator ani di bagian anterior disebut sebagai hiatus levator ani. Ke arah inferior, hiatus levator ani tertutup dengan diafragma urogenitalis. Saat masuk kedalam panggul, urethra – vagina dan rektum melintas hiatus levator ani dan diafragma urogenitalis. Fascia endopelvikum adalah fascia organ visera panggul yang membentuk kondensasi bilateral dalam bentuk ligamentum (yaitu ligamentum pubourethralis – kardinalis dan uterosakralis). Ligamentum tersebut menempelkan organ dengan fascia dinding lateral pelvis dan tulang panggul. Corpus Perineal adalah titik pusat seluruh otot panggul. Meskipun saat meneran isi cavum abdomen mendesak organ panggul, organ panggul akan tetap berada pada tempatnya dan berada diatas “levator sling” dan corpus perinealis. Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk dasar panggul. Prolapsus uteri terjadi ketika ikatan sendi atau otot-otot dasar panggul meregang atau melemah, membuat sokongan pada uterus tidak adekuat. Faktor penyabab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause. Persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah Etiologi Etiologi dari prolapsus uteri terdiri dari: kelemahan jaringan ikat pada daerah rongga panggul, terutama jaringan ikat tranversal. Pertolongan persalinan yang tak terampil sehingga meneran terjadi pada saat pembukaan belum lengkap. Terjadi perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan lemahnya jaringan ikat penyangga vagina. Serta ibu yang banyak anak sehingga jaringan ikat di bawah panggul kendor. Menopause juga dapat menyebabkan turunnya rahim karena produksi hormon estrogen berkurang sehingga elastisitas dari jaringan ikat berkurang dan otot-otot panggul mengecil yang menyebabkan melemahnya sokongan pada rahim Dasar panggul yang lemah oleh kerusakan dasar panggul pada partus (rupture perinea atau regangan) atau karena usia lanjut. Menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Tekanan abdominal yang meninggi karena ascites, tumor, batuk yang kronis atau mengejan (obstipasi atau strictur dari tractus urinalis). Partus yang berulang dan terjadi terlampau sering. Partus dengan penyulit. Tarikan pada janin sedang pembukaan belum lengkap. Ekspresi menurut creede yang berlebihan untuk mengeluarkan placenta. Jadi, tidaklah mengherankan jika prolapsus genitalis terjadi segera setelah partus atau dalam masa nifas. Ascites dan tumor-tumor didaerah pelvis mempermudah terjadinya hal tersebut. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, factor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus. Fisiologi Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligament, fascia serta otot-otot dasar panggul. Te Linde (1966) membagi atas 4 golongan, yaitu : Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan ditutupi oleh peritonium :
ligamentum rotundum (lig teres uteri): ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan. Ligamentum sacrouterina : ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sacrum kiri dan kanan. Ligamentum cardinale (Mackenrodt): ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah a v uterina. Ligamentum latum: ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya. Ligamentum infundibulopelvikum (lig. Suspensorium ovarii): ligamentum yang menahan tuba fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, a v ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya. Jaringan-jaringan yang menunjang vagina Fasia puboservikalis (antara dinding depan vagina dan dasar kandung kemih) membentang dari belakang simfisis ke serviks uteri melalui bagian bawah kandung kencing, lalu melingkari urethra menuju ke dinding depan vagina. Kelemahan fasia ini menyebabkan kandung kencing dan juga uretra menonjol ke arah lumen vagina. Fasia rektovaginalis (antara dinding belakang vagina dan rectum). Kelemahan fasia ini menyebabkan menonjolnya rektum ke arah lumen vagina. Kantong Douglas Dilapisi peritonium yang berupa kantong buntu yang terletak antara ligamentum sacrouterinum di sebelah kanan dan kiri, vagina bagian atas di depan dan rektum di belakang. Di daerah ini, oleh karena tidak ada otot atau fasia, tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan hernia (enterokel). Otot-otot dasar panggul, terutama otot levator ani Dasar panggul terdiri dari: - diafragma pelvis - diafragma urogenital - otot penutup genitalia eksterna Diafragma pelvis: - otot levator ani: iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis - koksigeus - fasia endopelvik Fungsi levator ani: mengerutkan lumen rektum, vagina, urethra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang pubis, sehingga organ-organ pelvis di atasnya tidak dapat turun (prolaps).
mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer, sehingga ligamen-ligamen tidak perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ pelvis diatasnya. Sebagai sandaran dari uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot levator rusak atau mengalami defek maka ligamen seperti ligamen cardinale, sacrouterina dan fasia akan mempunyai beban kerja yang berat untuk mempertahankan organ-organ yang digantungnya, sebaliknya selama otot-otot levator ani normal, ligamen-ligamen dan fasia tersebut otomatis dalam istirahat atau tidak berfungsi banyak. M. Pubovaginalis berfungsi sebagai: Penggantung vagina. Karena vagina ikut menyangga uterus serta adnexa, vesica urinaria serta urethra dan rectum, maka otot ini merupakan alat penyangga utama organ-organ dalam panggul wanita. Robekan atau peregangan yang berlebihan merupakan predisposisi terjadinya prolapsus cystocele dan rectocele. Sebagai sphincter vaginae dan apabila otot tersebut mengalami spasme maka keadaan ini disebut vaginismus. M. puborectalis berfungsi sebagai: penggantung rectum mengontrol penurunan feces memainkan peranan kecil dalam menahan struktur panggul. M. iliococcygeus berfungsi sebagai: Sebagai lapisan musculofascial. Diafragma urogenital Fungsi diafragma urogenital: memberi bantuan pada levator ani untuk mempertahankan organ-organ pelvis Patologi Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri kompleta atau totalis. Sebagai akibat persalinan, khususnya persalinan yang susah terdapat kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam fascia endopelvika dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul. Dalam keadaan demikian tekanan intraabdominal memudahkan penurunan uterus, terutama apabila tonus oto-otot berkurang. Jika serviks uteri terletak di luar vagina, maka ia menggeser dengan celana yang dipakai oleh wanita dan lambat laun bias berbentuk ulkus, yang dinamakan ulkus dekubitus. Jika fascia didepan dinding vagina kendor oleh suatu sebab, biasanya trauma obstetric, ia terdorong oleh kandung kencing ke belakang dan menyebabkan menonjolnya dinding depan vagina ke belakang, hal ini dinamakan sistokel. Sistokel ini pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar kar\ena persalinan berikutnya, terutama jika persalinan itu berlangsung kurang lancar, atau harus diselesaikan dengan menggunakan peralatan. Urethra dapat pula ikut serta dalam penurunan itu den menyebabkan urethrokel. Uretherokel ini harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal, hanya dibelakang urethra ada lubang yang menuju ke kantong antara urethra dan vagina.
Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina, ini dinamakan rectokel. Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun, oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong hernia ini adalah usus halus atau sigmoid. Klasifikasi
Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu: A) Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina Prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol keluar dari introitus vagina Prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari vagina; prolapsus ini juga disebut prosidensia uteri B) Prolapsus uteri tingkat I, serviks mencapai introitus vagina Prolapsus uteri tingkat II, uterus keluar dari introitus kurang dari setengah bagian Prolapsus uteri tingkat III, uterus keluar dari introitus lebih besar dari setengah bagia
C) Prolapsus uteri tingkat I, serviks mendekati prosesus spinosus Prolapsus uteri tingkat II, serviks terdapat antara prosesus spinosus dan introitus vagina Prolapsus uteri tingkat III, serviks keluar dari introitus. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi D ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (prosidensia uteri). Prosidensia uteri adalah suatu penyimpangan anatomi yang paling kompleks. Dapat menjadi sistokel karena kendornya fasia dinding depan vagina (misal trauma obstetrik) sehingga vesika urinaria terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong ke belakang. Dapat terjadi rektokel, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina, oleh karena trauma obstetrik atau lainnya, sehingga rekrum turun ke depan dan menyebabkan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan. Diagnosa Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan vaginal dengan menggunakan Spekulum Sim yang berdaun tunggal. Pasien diminta meneran dan pada saat yang bersamaan dokter menekan dinding posterior vagina. Dengan cara ini dapat terlihat penurunan dinding depan vagina beserta sistokel dan pergeseran muara urethra. Selanjutnya mintalah pasien meneran sambil menekan dinding anterior vagina, dengan cara ini dapat terlihat enterokel dan rektokel. Pemeriksaan rektal sering berguna untuk menunjukkan adanya rektokel dan membedakannya dengan enterokel. Keluhan-keluhan penderita, kehamilan, fisik dan pemeriksaan ginekologik umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia. Friedman dan Little (1961) menganjurkan cara pemeriksaan sebagai berikut: 1. Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan, dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal, atau porsio sampai introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi, ditentukan pula panjangnya serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari biasa dinamakan elongasio kolli. 2. Pada sistokel dijumpai didinding vagina depan benjolan kistik lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita mengejan. Jika dimasukkan ke dalam kantung kencing kateter tersebut dekat sekali pada dinding vagina. Uretrokel letaknya lebih kebawah dari sistokel, dekat pada orifisium urethrae eksternum. 3. Menegakkan diagnosis rektokel yaitu menonjolnya rektum ke lumen vagina sepertiga bagian bawah. Penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke distal, kistik dan tidak nyeri. Untuk memastikan diagnosis, jari dimasukkan kedalam rektum, dan selanjutnya dapat diraba dinding rektokel yang menonjol kelumen vagina. Enterokel menonjol kelumen vagina lebih atas dari rektokel. Pada pemeriksaan rektal dinding rektum lurus, ada benjolan ke vagina terdapat diatas rektum. 4. Endoskopi. Visualisasi sistoskopi peristaltik usus di bawah dasar vesika urinaria atau trigonum dapat mengidentifikasi enterokel anterior pada beberapa pasien.
5. Fotografi. Fotografi pada stadium II dan prolaps yang lebih besar dapat digunakan baik untuk membuktikan kebenaran perubahan kondisi masing-masing pasien. Prosedur immaging. Teknik imaging yang berbeda telah digunakan untuk melihat anatomi dasar pelvik, defek penunjang, dan hubungan antara organ yang berdekatan. Teknik ini mungkin lebih akurat dari pemeriksaan fisis dalam menentukan organ mana yang terlibat dalam prolaps organ pelvik. Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Junizaf. 2002. Buku Ajar Uroginekologi. Jakarta: Subbagian UroginekologiRekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi. FKUI/RSUPN-CM. 67. B. 36% derajat II Penghitungan luas luka bakar dengan Rules of nine: Luas permukaan kepala :9% Luas pernukaan kedua lengan : 18 % Luas pernukaan dada :9% Luas pernukaan perut :9% Luas pernukaan punggung :9% Luas pernukaan pinggang :9% Luas pernukaan kedua paha : 18 % Luas pernukaan kedua betis : 18 % Luas pernukaan daerah perineum + genital : 1 %
Pembagian derajat luka bakar: Derajat I: Kerusakan terbatas pada
Derajat II: Kerusakan
Derajat III: meliputi
Kerusakan
seluruh
lapisan epidermis (superficial) Kulit kering, hiperemik berupa eritem Tidak dijumpai bula Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 5-10 hari
epidermis dan sebagian dermis, berupa inflamasi disertai proses eksudasi Dijumpai bula Nyeri karena ujungujung saraf sensorik teriritasi Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas kulit normal
dermis dan lapisan yang lebih dalam Organ- organ kulit seperti folikel rambut, kel.keringat dan kel.sebasea rusak Tidak dijumpai bula Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung-ujung saraf sensorik telah rusak Penyembuhan luka lama, karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka
Derajat II: dibedakan menjadi 2: Derajat II Superficial: Kerusakan mengenai superficial dermis. Organ- organ kulit seperti folikel rambut, kel.keringat dan kel.sebasea masih utuh Penyembuhan spontan dalam 10–14 hari. Derajat II Deep: Kerusakan hampir seluruh dermis. Organ- organ kulit seperti folikel rambut, kel.keringat dan kel.sebasea masih utuh Penyembuhan lebih lama, tergantung dari biji epitel yang tersisa (> 1bulan). 68. A. Anak kandung Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Ada 2 bentuk informed consent, yaitu: Implied consent Implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada di tempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Expressed consent
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung risiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi. Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Individu yang dapat memberikan persetujuan adalah orang yang berusia 18 tahun atau lebih atau telah menikah dan berkompeten. Individu yang dianggap tidak berkompetan apabila mengalami gangguan jiwa dan menderita nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Persetujuan tindakan medis pada individu yang tidak berkompeten diberikan kepada suami atau istri, orang tua yang sah atau anak yang berkompeten, saudara kandung, wali. Pada kasus di atas anak kandung dan istri ke-2 nya berha memberikan persetujuan tindakan medis, namun dalam kondisi di atas istri ke-2 sedang dalam perjalanan sedangkan yang berada di RS adalah anak kandungnya, sehingga anak kandungnya berhak memberikan persetujuan tindakan medis tanpa harus menunggu istri pasien. Referensi: 1. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996. 2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 69. C. (160 x 120) / (80 x 40) Pembahasan: Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut: Riwayat Rubella Jumlah Positif Negatif Katarak Kongenital (+) 160 (A) 40 (B) 200 Katarak Kongenital (-) 80 (C) 120 (D) 200 Total 110 1890 2000 Untuk menentukan Odd Ratio kasus tersebut dengan menggunakan rumus: OR = A x D BxC
= 160 x 120 40 x 80 70. B. Laringomalasia Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Kelainan ini ditandai dengan adanya kolaps struktur epiglotis pada saat inspirasi akibat memendeknya plika ariepiglotika, prolaps mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, atau melekuknya epiglotis ke arah posterior. Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernapasan. Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi saluran napas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan hanya timbul bila usaha bernapas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan. Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi. Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi napas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Referensi : Stern RC. Congenital anomalies. In: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson textbook of pediatric. 16th ed, Philadelphia: WB Saunders, 2000: p. 1271-2. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5 Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB editors. Otorhinolaryngology head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003: p. 1049-51 Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: BalaiPenerbit FK-UI. 2007: p. 231-236 Bye MR. Laryngomalacia. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527. 71. A. Tuberkulosis paru Beberapa gambaran radiologis penyakit paru: A. Tuberkulosis (TB paru): Tanda radiologi TBC dibagi 3 macam: TBC aktif : bercak, berawan, cavitas. TBC lama tenang : bintik kalsifikasi, fibrosis. TBC lama aktif : bila terdapat minimal 1 tanda kategori 1 dan minimal 1 tanda kategori 2 dengan lokasi di apex paru. NB : Lokasi utama untuk penyakit TBC adalah di apex paru, dengan kata lain bila perselubungannya tidak terdapat di apex paru, maka suspek TBC bisa dihilangkan. B. Penyakit bronkopneumoni : bercak, berawan, lokasi bisa di lapangan tengah dan bawah paru. C. Penyakit pneumoni : berawan, lokasi bisa diatas, ditengah, maupun di lapangan bawah paru. Pneumonia dibagi menjadi 2 : pneumonia dan pneumonia lobaris (bila mengenai lobus tertentu). D. Tumor : berawan, lokasi di atas, tengah, atau lapangan bawah paru. E. Efusi pleura : sinus costophrenicus tumpul, berawan. F. Pneumothorax : terjadi pada pleura. Gambarannya lussen avascular, diafragma normal (di ICS 10) G. Emfisema : terjadi pada paru, radiolussen vascular, diafragma letak rendah (ICS 10-11), sela iga melebar, jantung ramping.
Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa: • bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah • bayangan berawan atau berbercak • Adanya kavitas tunggal atau ganda • Bayangan bercak milier • Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral • Destroyed lobe sampai destroyed lung • Kalsifikasi • Schwarte. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut: Lesi minimal (Minimal Lesion): Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. Lesi luas (FarAdvanced): Kelainan lebih luas dari lesi minimal Pedoman Nasional Tuberkulosis dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 menyebutkan secara tegas bahwa: “Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis”. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Diagnosis TB paru Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. ALUR DIAGNOSIS TB
Keterangan:
· Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain. · Antibiotik non OAT: Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).
Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 72. D. Lesi Hiperdens dengan perifokal edema Pasien dengan stroke perdarahan sering datang dengan keluhan defisit neurologis fokal serupa dengan yang mengalami stroke iskemik, sehingga pencitraan otak merupakan langkah krusial yang semestinya dilakukan dalam evaluasi pasien dengan presentasi klinis stroke. Computed Tomography Scan (CT-Scan), merupakan proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar-X untuk mengambil gambar otak. Dengan menggunakan komputer, beberapa seri gambar sinar-X akan memperlihatkan gambar tiga dimensi kepala dari beberapa sudut. CT scan dapat menunjukkan ; jaringan lunak, tulang, otak dan pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak yang abnormal, dan dapat menentukan penyebab stroke , apakah karena insufisiensi aliran darah (stroke iskemik), rupture pembuluh darah (hemoragik) atau penyebab lainnya. CT scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah, pembekuan darah, dan masalah lainnya. Gambaran Radiologis CT-Scan 1. Stroke hemoragik (Perdarahan) a. Tampak gambaran lesi hiperdens (warna putih) dengan batas tegas b. Pada setadium lanjut akan terlihat edema disekitar perdarahan ( edema perifokal) yang dapat menyebabkan pendesakan. Pada perjalanannya jika sel-sel darah telah lisis dan terabsopsi maka gambaran tersebut akan berevolusi menjadi lesi yang tampak sebagai gambaran hipodens (warna hitam).
Gambaran CT-Scan Stroke hemoragik akut, Lesi hyperdens (putih-panah merah) menunjukkan area perdarahan yang dikelilingi area edema hypodens (hitam-panah biru) disekelilingnya. 2. Stroke Non hemoragik (Iskemik/Infark) a. Pada stadium awal sampai 6 jam pertama, tak tampak kelainan pada CT-Scan. Kadang kadang sampai 3 hari belum tampak gambaran yang jelas. Sesudah 4 hari tampak gambaran lesi hipodens (warna hitam), batas tidak tegas. b. Fase lanjut, densitas akan semakin turun, batas juga akan semakin tegas, dan bentuk semakin sesuai dengan area arteri yang tersumbat. c. Fase akhir, terlihat sebagai daerah hipodens dengan densitas sesuai dengan densitas liquor dan berbatas tegas. Progresivitas Stroke Iskemik dengan pencitraan CT-Scan
Gambaran hipodensitas (gelap) menunjukkan evolusi area yang mengalami iskemik, dalam gambar menunjukkan area yang divaskularisasi Arteri Cerebri Medialis. (A) Gambaran hari ke-2 setelah serangan (B) Gambaran hari ke-4 setelah serangan
More info 1. Gambaran ring enhancement pada pencitraan otak (CT Scan dan MRI) paling baik dilakukan menggunakan kontras. Lesi ini dapat terlihat pada beberapa keadaan patologis seperti limfoma yang melibatkan susunan saraf pusat, abses otak, dan khas pada penderita HIV yang mengalami toxoplasmosis. 2. Terminologi ‘hyperintens’ dan ‘hypointens’ digunakan dalam interpretasi hasil pencitraan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Referensi: Ekayuda, Iwan, Sjahriar Rasad, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik, Departmen Radioligi FK UI-RSCM, 2005 Yock-Corrales A, Mackay MT, Mosley I, Maixner W, Babl FE. Acute childhood arterial ischemic and hemorrhagic stroke in the emergency department. Ann Emerg Med. Aug 2011;58(2):156-63. Gambar diperoleh dari http://posterng.netkey.at/esr/viewing/index.php?module=viewing_poster&task=viewsection &pi=108919&ti=341796&searchkey= http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=117&seg_id=229 0 73. D. Gangguan hipokondrik Pembahasan: Gangguan Konversi dimana untuk diagnosis pasti harus memiliki kriteria dibawah ini yaitu: a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44 (adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh) b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan problem dan peristiwa yang “stressfull” atau hubungan interpersonal yang terganggu. Ciri utama dalam gangguan somatoform adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Biasanya penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi. Ciri utama dalam gangguan hipokondrik adalah adanya preokupasi yang menetap akan kemungkinan menderita satu atau lebih gangguan fisik yang serius dan progresif. Pasien menunjukkan keluhan somatik yang menetap atau preokupasi yang menetap dengan penampilan fisiknya. Pengindraan dan penampilan yang normal sebenarnya biasa dan oleh pasien seringkali ditafsirkan sebagai abnormal dan tidak mengenakkan, mekipun pemeriksaan yang berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun
adanya preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampakan. Pada penderita terdapat penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit ataupun abnormalitas fisik yang melandasi keluahan-keluhannya. Gangguan undiferentiated somatoform: bilamana keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi, dan menetap, akan tetapi gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi. Misalnya saja cara mengemukakan keluhan-keluhan tidak dramatis dan tidak kuat, keluhannya tidak terlalu banyak atau tidak ada gangguan pada fungsi sosial dan fungsi keluarga. Sumber: Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 74. A. Tonsilitis difteri Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada anak usia 2-5 tahun. Tonsilitis difteri disebabkan oleh Coryne bactherium diphteriae yang termasuk kuman gram positif. Gambaran umum tonsillitis difteri dibagi menjadi 3 gejala, yaitu gejala umum, gejala lokal, dan gejala akibat eksotoksin. GEJALA TONSILITIS DIFTERI Gejala Umum Gejala Lokal Gejala Akibat Eksotoksin Miokarditis Kenaikan suhu Tonsil membengkak tubuh Nyeri kepala Kelumpuhan otot palatum Bercak putih kotor menutupi dan otot pernapasan tonsil Tidak nafsu makan Bercak meluas membentuk Ginjal : albuminuria membrane semu Badan lemah Membran semu : Melekat pada dasarnya Mudah berdarah bila diangkat Nadi lambat Pembengkakan kelenjar limfa leher sehingga terjadi bull neck Nyeri menelan atau Burgemeester’s hals Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran kinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. Penatalaksanaan dilakukan sebagai berikut: Isolasi dan karantina Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Bila kultur (-)/Shick test (-) : bebas isolasi Bila kultur (+)/Shick test (-) : pengobatan carier Bila kultur (+)/Shick test (+)/gejala (+) : ADS + Penisilin Bila kultur (-)/Shick test (+) : Toksoid (imunisasi aktif)
Anti Difteri Serum (ADS) Diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur. Dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung usia dan beratnya penyakit. Antibiotika Diberikan Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid Diberikan 1,2 mg/kgBB/hari.
Gambar Tonsilitis Difteri timbul pseudomembran Sumber: 1. Rusmarjono et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 226-221-222. 2. Gambar diambil dari: http://biomedicalephemera.tumblr.com 75. A. Peritonitis Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkna oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi feses atau urin orang yang terinfeksi. Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari. Manifestasi klinis khas pada demam tifoid adalah: Minggu 1 (awal infeksi) Demam tinggi yang berkepanjangan Pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah Nadi 80-100 kali/menit Akhir minggu lebih sering timbul diare Lidah kotor dan tremor Rose spot muncul lebih sering pada kulit putih Splenomegali Minggu 2 Delirium Diare lebih sering kadang berwarna gelap Bradikardi relative
Hepatomegali dan splenomegali Minggu 3 Suhu tubuh berangsur normal Delirium atau stupor Meteorismus Inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Nyeri perut Peritonitis local Minggu 4 Stadium penyembuhan Diagnosis defiitif ditegakkan denggan kultur gal. Pemeriksaan kultur gal memiliki sensitivitas rendah dan membutuhkan waktu yang lama. Uji widal digunakan sebagai penunjang diagnosis. Uji widal menggunakan titer agglutinin O dan H. Titer O yang tinggi ( ≥ 160) menunjukkan adanya infeksi akut. Titer H yang tinggi (≥ 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah terinfeksi. Namun mengingat Indonesia adalah Negara endemis, maka titer yang dibutuhkan harus melebihi angka tersebut. Antigen ) muncul setelah hari ke-6 sedangkan antigen H muncul setelah hari ke-10. Pemeriksaan tunggal dengan Widal dievaluasi kurang baik. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan IgM anti Salmonella dengan reagen TubexRTF. Pemeriksaan ini spesifik terhadap bakteri Salmonella typhii. Anttibodi IgM dapat muncul setelah 3-4 hari munculnya demam. Komplikasi yang muncul adalah: Perdarahan Usus Terjadi sebanyak 25% pada penderita. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien mengalami syok. Perforasi Usus Terjadi sebanyak 3% pada penderita. Muncul pada akhir minggu ke-3. Tanda-tanda terjadinya perforasi usus adalah nyeri abdomen yang tidak tertahankan (akut abdomen) atau nyeri perut yang mengalami perburukan. Adanya cairan atau darah dalam rongga peritoneum akan memberikan rangsangan peritoneum yang menimbulkan nyeri dan defans muscular. Pekak hepar akan menghilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus akan menurun bahkan sampai menghilang. Bila telah terjadi peritonitis bacterial maka akan muncul suhu badan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, penurunan kesadaran, dan syok. Pentalaksanaan diberikan kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis po atau iv selama 10-14 hari. Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol dapat diberikan amoksisilin 100mg/kgBB/hari po atau ampisilin iv selama 10 hari atau kotrimoksazol 48mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis diberikan selama po selama 10 hari. Bila klinis tidak ada perbaikan maka diberikan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson 80mg/kgBb IV/IM sekali sehari selama 507 hari atau sefiksim oral 20mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.
Pada peritonitis prinsip penatalaksanaan adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang dilakukan secara IV. Resusitasi dilakukan dengan larutan isotonic. Sumber: 1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia. 2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC. 76. A. Pecahnya varises esophagus Sirosis hepar secara klinis dibagi menjadi sirosis hepar kompensata dan dekompensata. Sirosis hepar merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik. Manifestasi klinis sirosis yang muncul adalah: Gejala sirosis kompensata: mudah lelah; nafsu makan menurun; perut kembung; mual; berat badan menurun; pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Gejala sirosis dekompensata: timbul gejala hipertensi porta. Pemeriksaan fisik: Spider teleangiektasis Tanda ini muncul di bahu, muka, dan lengan atas. Yaitu suatu lesi vaskuler yang dikelilingi beberapa vena kecil Eritem Palmaris Yaitu warna merah segar pada thenar atau hipithenar telapak tangan. Kontraktur Dupuytren Ginekomastia Atrofi testis hipogondisme Hepatomegali Ukuran hepara bias normal, membesar, atau mengecil. Bila teraba hepar maka perabaan keras dan nodular. Asites ikterus Hipertensi porta, ascites, dan varises bleeding adalah komplikasi yang paling sering pada penderita sirosis. Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati. Varises esophagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke vena porta. Varises terjadi jika terdapat peingkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan vena hepatica lebih dari 10 mmHg. Pasien sirosis hepar dengan tekanan portal yang normal, maka belum terbentuk varises esophagus. Ketika tekanan portal meningkat maka secara progresif akan terbentuk varises yang kecil. Dengan berjalan waktu, terjadi peningkatan sirkulasi hiperdinamik maka aliran darah di dalam varises akan meningkat dan meningkatkan tekanan dinding. Perdarahan varises akibat ruptur yang terjadi karena tekanan dinding yang maksimal.
Gejala khas yang dikeluhkan pada penderita varises esophagus adalah hematemesis, hematocezia atau melena, penurunan tekanan darah dan anemia. Sumber: 1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Jurnalis, Y.D et al. 2007. Sirosis Hepatis dengan Hipertensi Portal dan Pecahnya Varises Esofagus. Majalah Kedokteran Andalas. No.2 Vol.31, Juli-Desember. 77. C. Efek autonom baik simpatis dan parasimpatis Sinus takikardia adalah irama sinus >100 kali per menit, keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil, juga terjadi pada orang dewasa dengan keadaan stress fisiologis maupun patologis seperti kegiatan fisik olah raga, demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi, sepsis, hip[ovolemia, dan PPOK. Obat-obatan seperti atropin, katekolamin, kafein, dan hormon tiroid juga dapat menyebabkan sinus takikardia.
Pasien pada skenario menunjukkan gambaran kecurigaan aktivitas hormon thyroid yang meningkat didukung dengan adanya eksoftalmus yang merupakan salah satu tanda hiperthyroidisme, dengan demikian gambaran EKG berupa sinus takikardia yang terjadi bukan disebabkan proses konduksi yang terjadi dalam jantung namun sebagai akibat peningkatan hormon thyroid. Hormon thyroid dibutuhkan oleh hampir semua proses metabolisme tubuh, sehingga perubahan kadar hormon dalam sirkulasi akan berpengaruh terhadap berbagai sistem organ di antaranya Efek kardiovaskular: meningkatkan kontraktilitas myokard, dan tonus diastolik (Inotropik dan kronotropik positif) secara klinis nampak sebagai peningkatan curah jantung dan denyut nadi . Efek Autonom (Simpatis dan Parasimpatis): Hormon thyroid merangsang ekspresi reseptor beta-adrenergik myokard, serta otot-otot polos dan skelet lainnya. Sehingga sensitivitas terhadap katekolamin meningkat yang mengakibatkan peningkatan aktivitas jantung.
Referensi: Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Djokomoeljanto. R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Gambar diperoleh dari http://www.ceufast.com/courses/viewcourse.asp?id=239#Sinus_Tachycardia 78. C. trichomoniasis Pembahasan: Herpes Simpleks Penyakit yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 atau 2, sering bersifat rekurens, bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan syaraf tepatnya di ganglia dorsalis. Klasifikasi: Herpes simpleks episode pertama lesi primer, herpes simpleks episode pertama lesi non primer, herpes simpleks rekuren, herpes simpleks asimtomatik. - Herpes simpleks episode pertama lesi primer Kelainan kulit berupa vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematosa disertai rasa nyeri. Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina atau uretra, dapat disertai keluhan sistematik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan pembengkakan inguinal. Terdapat keluhan neuropati, pembengkakan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari. - Herpes simpleks episode pertama lesi non primer Umumnya lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer. Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari serta jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan sistemik dan neuropati. - Herpes Simpleks rekuren Lesi lebih sedikit, bersifat lokal, unilateral, lebih singkat dan menghilang selama 5 hari, dapat didahului oleh keluhan parastesia 1-2 hari sebelum timbul lesi dan umumnya mengenai daerah yang sama yaitu penis, vulva, anus, atau bokong. - Herpes Simpleks Asimptomatik Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis antibody herpes positif. Terapi: antivirus acyclovir 5x200mg selama 5 hari Vaginosis bacterial Candidiasis Trichomoniasis Gonorhoe vulvovaginal Etiologi Gadnerella Candida Trichomonas Neisseria vaginalis Albicans Gonorhoe Keluhan Gatal, terasa tidak Gatal pada Gatal di bagian Keluarnya sekret nyaman, nyeri saat genitalia labia mayora, purulen dan nyeri berhubungan interna dan nyeri BAK dan BAK
seksual dan BAK Discharge
Sekret berwarna putih homogen, melekat pada dinding vagina dan vestibulum, berbau amis seperti ikan
Pemeriksaan
Clue cells + (squamous epitelial cell yang dilapisi oleh bakteri), sniff test + (mengeluarkan bau amis setelah ditambahka pottasium hidroxide)
Terapi
Metronidazol 2gr dosis tunggal atau metronidazol 2x500mg selama 7 hari
eksterna
terkadang sakit pinggang Sekret Sekret encer Sekret purulen berwarna putih berwarna kuning atau susu, kehijauan, berbau mukopurulen bergumpal dan berbusa menyerupai susu basi, tidak berbau Eritem dan Cerviks: Edema dan edema, strawberry red eritem pada sediaan apus appearance OUE, sediaan dengan gram Sniff test + apus gram dan sediaan ditemukan basah dengan diplokokus gram KOH negatif intrasel ditemukan blastospora dan pseudohifa Ketokonazol Metronidazol 2gr Sefiksim 400mg 2x200mg dosis tunggal atau peroral dosis selama 7hari metronidazol tunggal 2x500mg selama 7 hari
79. C. VDRL Pembahasan: Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum bersifat kronis dan menahun. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Sifilis mempunyai beberapa stadium infeksi, yaitu: Stadium pertama dari gejala penyakit sifilis bisa ada sebuah luka terbuka yang disebut chancre di daerah genital, rektal, atau mulut. Luka terbuka ini tidak terasa sakit. Pembesaran kelenjar limfe bisa saja muncul. Seorang penderita bisa saja tidak merasakan sakitnya dan biasanya luka ini sembuh dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu, maka dari itu penderita biasanya tidak akan datang ke dokter untuk berobat, tetapi bukan berarti sifilis ini menghilang, tapi tetap beredar di dalam tubuh. Jika tidak diatasi dengan baik, akan berlanjut hingga stadium selanjutnya. Stadium kedua dari gejala penyakit sifilis muncul sekitar 1-6 bulan (rata-rata sekitar 6-8 minggu) setelah infeksi pertama, ada beberapa manifestasi yang berbeda pada stadium kedua ini. Suatu ruam kemerahan bisa saja timbul tanpa disertai rasa gatal di bagianbagian tertentu, seperti telapak tangan dan kaki, atau area lembab, seperti skrotum dan bibir vagina. Selain ruam ini, timbul Gejala Penyakit Sifilis lainnya, seperti demam, pembesaran kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, sakit kepala, kehilangan berat
badan, nyeri otot, dan perlu diketahui bahwa gejala dan tanda dari infeksi kedua sifilis ini juga akan bisa hilang dengan sendirinya, tapi juga perlu diingat bahwa ini bukan berarti sifilis hilang dari tubuh Anda, tapi infeksinya berlanjut hingga stadium laten. Stadium laten adalah stadium di mana jika diperiksa dengan tes laboratorium, hasilnya positif, tetapi gejala penyakit sifilis bisa ada ataupun tidak. Stadium laten ini juga dibagi sebagai stadium awal dan akhir laten. Dinyatakan sebagai sifilis laten awal ketika sifilis sudah berada di dalam badan selama dua tahun atau kurang dari infeksi pertama dengan atau tanpa gejala. Sedangkan sifilis laten akhir jika sudah menderita selama dua tahun atau lebih dari infeksi pertama tanpa adanya bukti gejala klinis. Pada praktiknya, sering kali tidak diketahui kapan mulai terkena sehingga sering kali harus diasumsikan bahwa
penderita sudah sampai stadium laten. Sifilis tersier yang muncul pada 1/3 dari penderita yang tidak ditangani dengan baik. Biasanya timbul 1-10 tahun setelah infeksi awal, tetapi pada beberapa kasus bisa sampai 50 tahun baru timbul, stadium ini bisa dilihat dengan gejala penyakit sifilis berupa timbulnya benjolan seperti tumor yang lunak. Pada stadium ini, banyak kerusakan organ yang bisa terjadi, mulai dari kerusakan tulang, saraf, otak, otot, mata, jantung, dan organ lainnya. Pemeriksaan Penunjang - VDRL: Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)/Serum atau Cerebrospinal Fluid (RPR) merupakan pemeriksaan penyaring atau Skrining Test, dimana apabila VDRL positif maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA (Trophonema pallidum heamaglutinasi). Hasil uji serologi tergantung pada stadium penyakit misalnya pada infeksi primer hasil pemeriksaan serologi biasanya menunnjukkan hasil non reaktif. Troponema palidum dapan ditemukan pada chancre. Hasil serologi akan menunjukan positif 1-4 minggu setelah timbulnya chancre. Dan pada infeksi sekunder hasil serelogi akan selalu pisitif dengan titer yang terus meningkat.
Hasil kualitatif: o REAKTIF : Bila tampak gumpalan sedang atau besar o REAKTIF LEMAH : Bila tampak gumpalan kecil-kecil
o NON REAKTIF : Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan - TPHA: Test TPHA (Treponema pallidum hemaglutination). Tindakan ini untuk mengetahui secara spesifik apakah ada reaksi antibodi terhadap kuman treponema. Jika di dalam tubuh ditemukan adanya kuman ini, maka hasil tes positif. Pasien dinyatakan positif tertular. Berdasarkan kasus tersebut, maka pemeriksaan skrening yang dilakukan pada wanita tersebut adalah dengan pemeriksaan VDRL, jika hasilnya positif dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA Sumber: http://www.penyakitkelamin.net/mengetahui-gejala-penyakit-sifilis/ 80. E. CRL (crown rump length) Pengukuran Biometri pada Trimester Pertama Pada trimester pertama dapat dilakukan pengukuran biometri dari kantong gestasi, yolk sac, crown rump length, dan kadang-kadang diameter biparietal. Satu-satunya parameter yang paling kecil kesalahannya dalam penentuan usia gestasi adalah CRL (kurang dari satu minggu), oleh karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan CRL pada setiap kehamilan trimester pertama, kemudian hasilnya ditulis pada status pasien (termasuk perkiraan tanggal persalinannya). Perkiraan tanggal persalinan jangan dirubah-rubah lagi dan dijadikan patokan dalam penentuan usia gestasi, terutama bila siklus haid tidak teratur, riwayat memakai obat hormonal, dan kehamilan ganda. Pengukuran biometri pada trimester pertama: Kantong gestasi (KG): kantong gestasi dapat dilihat sejak kehamilan 4 minggu melalui USG transvaginal (diameter 4-5 mm) dan sekitar 5-6 minggu (diameter 10 mm) melalui USG transabdominal. Kesalahan pengukuran kantong gestasi dalam penentuan usia gestasi sekitar 1-2 minggu. Crown Rump Length (CRL): pengukuran CRL memiliki akurasi yang baik dengan kesalahan sekitar 5-7 hari, sehingga parameter ini merupakan satu-satunya parameter tunggal dengan kesalahan perhitungan usia gestasi kurang dari satu minggu. Pengukuran CRL hanya dapat dipakai sampai usia gestasi 12 minggu karena pada usia gestasi selanjutnya bentuk tubuh janin akan melengkung, sehingga pengukuran usia gestasi setelah 12 minggu akan memiliki kesalahan lebih dari satu minggu. Waktu terbaik pengukuran CRL adalah pada usia gestasi 8-10 minggu. Yolk Sac (YS): Yolk sac mulai tampak secara sonografis pada usia kehamilan 5-6 minggu, letaknya berdekatan dengan embrio, dihubungkan dengan embrio melalui duktus vitellinus, dan merupakan organ ekstra amniotik yang terletak di antara amnion dan korion. Bila diameter yolk sac ≤ 3 mm atau ≥ 8 mm, menunjukkan prognosa kehamilan buruk. Adanya yolk sac intra uterin merupakan salah satu tanda dari kehamilan intra uterin. Bila yolk sac atau embrio tidak ditemukan pada kantung gestasi dengan diameter lebih dari 25 mm (USG transabdominal) atau 15 mm (USG transvaginal), maka
kemungkinan kehamilan yang ada saat ini adalah suatu kehamilan nir mudigah (blighted ovum). Tabel penentuan usia gestasi Pengukuran biometri pada trimester kedua dan ketiga: Setelah usia kehamilan 12 minggu parameter berikut dapat dipakai dalam pemeriksaan biometri janin, yaitu: DBP (diameter biparietal): pengukuran DBP merupakan pengukuran biometri yang paling popular (sering dilakukan) sekaligus paling sering menimbulkan masalah akibat kesalahan dalam pengukurannya. Waktu terbaik untuk penentuan usia gestasi berdasarkan diameter biparietal adalah 15-24 minggu. Setelah usia 24 minggu terdapat variasi individu janin dalam hal ukuran biometri dan kecepatan tumbuh sehingga penentuan usia gestasi berdasarkan DBP menjadi semakin tidak akurat. PF (panjang femur): pada usia gestasi 12 minggu panjang femur (PF) sudah dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi. Ketepatan pemeriksaan panjang femur (PF) dalam penentuan usia gestasi sama dengan diameter biparietal. PF dapat diukur mulai kehamilan 12 minggu hingga aterm. TBJ (Taksiran Berat Janin): sampai saat ini sangat sulit menentukan TBJ secara akurat. Banyak faktor yang mempengaruhi pengukuran biometri janin, misalnya ras, jenis kelamin, jumlah cairan ketuban, presentasi dan letak janin dan tabel yang digunakan. LK (lingkar kepala) DOF (Diameter Oksipito-Frontalis) DTS (diameter transserebellar) PH (panjang humerus) LP (lingkar perut) Referensi: Judi Januadi Endjun. Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : FKUI. 2009. 81. E. KET (Kehamilan Ektopik Terganggu) Pada pasien di atas gejala-geja yang dialami, yaitu nyeri hebat pada perut bawah dan amenorea mengarahkan kepada gejala kehamilan ektopik terganggu. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil pemeriksaan yang menunjukkan bahwa tes kehamilan (+), Hb rendah, dan adanya nyeri goyang portio. Kehamilan Ektopik Implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik. Etiologi:
Faktor tuba, yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba, pembedahan sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan kehamilan ektopik sebelumnya. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi. Faktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum. Penggunaan hormon eksogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral. Faktor lain, antara lain aborsi tuba dan pemakaian IUD. Patogenesis : Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba, dan kehamilan infundibulum tuba. Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder. Kehamilan intrauterin dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan ektopik. Disebut combined ectopic pregnancy bila terjadi bersamaan dan compound ectopic pregnancy bila kehamilan ektopik terjadi lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion. Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada kehamilan 6-10 minggu, berupa : Hasil konsepsi mati dan diresorpsi Abortus ke dalam lumen tuba Ruptur dinding tuba Uterus menjadi besar dan lembek; endometrium dapat berubah menjadi desidua karena pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis dan trofoblas. Pada endometrium juga dapat ditemukan fenomena Arias-Stella. Manifestasi klinis: Amenore. Gejala kehamilan muda Nyeri perut bagian bawah. Pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat, menyebabkan penderita pingsan sampai syok. Pada abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai ke diafragma bisa menyebabkan nyeri bahu, dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua. Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri pada perabaan, dan kavum Douglas menonjol karena ada bekuan darah. Diagnosis: Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis, yaitu USG, laparoskopi, dan kuldoskopi. Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik terganggu dapat didapatkan dari:
Anamnesis: amenorea dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah. Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat; pada perdarahan dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok. Pemeriksaan ginekologi: ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada pergerakan serviks; uterus dapat teraba agak membesar dan kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan; kavum Douglas menonjol, berisi darah, dan nyeri bila diraba. Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
Referensi: Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008. 82. E. Depresi Teori penerimaan (acceptance) Kubbler Ross, yakni: Tahap Denial (penolakan) Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat.
Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya pasti nanti kembali". Tahap anger (marah) Reaksi respon: timbul kesadaran akan kenyataan kehilangan. kemarahan meningkat kadang diproyeksi ke orang lain, tim kesehatan atau lingkungan.Reaksi fisik: nadi cepat, tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif. Contoh: “Ini terjadi karena dokter tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannnya". Tahap Bargainning (tawar-menawar) Reaksi respon: Pasien berunding dengan cara halus untuk mencegah kehilangan dan perasaan bersalah. Memohon pada Tuhan. Pasien juga mempunyai keinginan untuk melakukan apa saja untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Contoh: "Kalau saja saya sakit, bukan anak saya....", "Kenapa saya ijinkan pergi. Kalau saja dia dirumah ia tidak akan kena musibah ini"., "Seandainya saya hati-hati, pasti hal ini tidak akan terjadi". Tahap Depresi Reaksi respon: sikap menarik diri, perasaan kesepian, tidak mau bicara dan putus asa. Individu bisa melakukan percobaan bunuh diri atau penggunaan obat berlebihan. Reaksi fisik: susah tidur, letih, menolak makan, dorongan libido menurun. Contoh: "Biarkan saya sendiri"., "Tidak usah bawa ke rumah sakit, sudah nasib saya". Tahap Acceptance (Penerimaan) Reaksi respon: reorganisasi perasaan kehilangan, mulai menerima kehilangan. Pikiran tentang kehilangan mulai menurun. Mulai tidak tergantung dengan orang lain. Mulai membuat perencanaan. Contoh: “Ya sudah, saya iklaskan dia pergi.", "Apa yang harus saya lakukan supaya saya cepat sembuh". "Ya pasti dibalik bencana ini ada hikmah yang tersembunyi" 83. C. Abses paru ABSES PARU Abses paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri. Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya, Abses Paru terjadi karena: Abses paru timbul bila parenkim paru obstruksi, infeksi kemudian proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi empyema.
Etiologi Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan peneliti dan teknik penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus. Patofisiologi Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses. Manifestasi Klinis 1. Gejala klinis Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya, yaitu: a. Panas badan berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur > 400oC. b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%). c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75% penderita abses paru. d. 50% kasus Nyeri dada e. 25% kasus Batuk darah f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara napas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi. 2. Pemeriksaan Radiologis Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau 2 – 20 cm. dengan ukuran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus
maka didalam kavitas terdapat air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas). 3. Pemeriksaan laboratorium a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3. bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan shit to the left b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat. c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan fisik Rontgen dada CT scan Drainage postural Fisioterapi dada Pemeriksaan mikrobiologi Terapi medik Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi suportif fisio terapi. Penatalaksanaan Penatalaksanaan abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses paru. 1. Medika Mentosa Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik. Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan Abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin. Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru. Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu. 2. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk mempercepat proses resolusi Abses paru. Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi. 3. Bedah Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila: a. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika. b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi c. Infeksi paru yang berulang d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi. Referensi: Assegaff H. dkk. Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. AUP. Surabaya, 136 – 41. Finegold SM, Fishman JA. Empyema and Lung Abscess in Fishman’s pulmonary Diseases and disorders 3rd ed, Philadelphia. 1998, 2021 – 32. Garry et al. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual Internal Medicina Diagnosis and Therapy 3rd, Oklahoma. 199. 119 – 120. Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess. Chest. 108, 4, 1995, 937 – 41. Hirshberg B et al. Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess, Chest. 115. 3-1999, 746 – 52 84. B. Hematothoraks Trauma thorax Semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. Trauma dada atau thorax adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematopneumothoraks. Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi berikut: 1. Hipoksia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar uga, dan otot pernapasan, kolaps paru dan pnemotoraks 2. Hipovolemia akibat kehilangan cairan pasif dari pembuluh besar, rupture jantung, atau hemotoraks Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intratoraks yang meningkat.
Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan. Etiologi 1. Trauma tembus (penetrating trauma). 1. Luka Tembak 2. Luka Tikam / Tusuk Pada trauma tusuk biasanya diakibatkan oleh luka tembak, atau luka tusuk, dengan penyebaran tenaga pada area yang kecil, tidak seluas trauma tumpul. Pada luka tembak, arah tembakan peluru, tidak dapat dipredikisi dengan jelas, sehingga seluruh organ dada memiliki risiko tinggi. 2. Trauma tumpul (blunt trauma) 1. Kecelakaan kendaraan bermotor 2. Jatuh 3. Pukulan pada dada Pada trauma tumpul, kekuatan hantaman didistribusikan ke area yang luas, dan kerusakan visceral terjadi akibat tahanan, penyebaran kekuatan hantaman, tekanan Tanda dan Gejala pada Trauma Thorax Secara umum tanda dan gejala trauma thorax adalah : 1. Ada jejas pada thorak 2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi 3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi 4. Pasien menahan dadanya dan bernapas pendek 5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan 6. Penurunan tekanan darah 7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher 8. Bunyi muffle pada jantung 9. Perfusi jaringan tidak adekuat 10. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung Jenis-jenis kegawatdaruratan pada trauma thoraks Hematothoraks Hemothoraks adalah suatu keadaan yang paling sering dijumpai pada penderita trauma thoraks yang sering disebabkan oleh trauma pada paru, jantung, pembuluh darah besar. Pada lebih 80% penderita dengan trauma thoraks dimana biasanya terdapat darah>1500ml dalam rongga pleura akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari adanya cedera pada paru- paru, arteri interkostalis, robeknya arterimamaria interna maupun pembuluh darah lainnya seperti aorta dan venacava. Dalam rongga pleura dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematothoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa
terlihat adanya perdarahan yang nyata, distres napas juga akan terjadi karena paru disisi hemothoraks akan kolaps akibat tertekan volume darah. Pada pemeriksaan dapat ditemukan shock,deviasi trakea, suara pernapasan yang melemah (unilateral), vena dileher menjadi kolaps akibat hipovolemia atau penekanan karena efek mekanik oleh darah di intrathoraks. Rib Fracture (Fraktur costae) Fraktur iga (costae) merupakan kejadian tersering yang diakibatkan oleh trauma tumpul pada dinding dada.Walaupun fraktur tulang iga seringmuncul, sukar untuk menentukan prevalensi yang sesungguhnya di antara pasien-pasien dengan cedera serius, karena radiografi anteroposterior sangat kurang sensitive untuk fraktur tulang iga. Iga 4-10 merupakan daerah yang tersering mengalami fraktur. Pasien sering melaporkan nyeri pada dada saat inspirasi dan rasa tidak nyaman. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekandan juga terdapat krepitasi pada daerahfraktur. Fraktur iga bisa juga menjadi petanda adanya hubungan signifikan antara fraktur intrathorakal danextrathorakal. Pernah dilaporkan, 50% pasien mengalami trauma tumpul pada jantung juga terdapat fraktur iga. Fraktur pada iga 8-12 patut dicurigai adanya trauma pada organ abdomen. Organ abdomen yang paling sering cedera adalah liver dan splen. Pasien-pasien dengan fraktur tulang iga sebelah kanan, termasuk iga kedelapan dan dibawahnya,memiliki kemungkinan 19% sampai56% mengalami cedera hati, sedangkan fraktur sisi kiri memiliki kemungkinan 22% sampai 28% mengalami cederasplenn. Trauma tajam lebih jarangmengakibatkan fraktur iga, oleh karenaluas permukaan trauma yang sempit,sehingga gaya trauma dapat melalui selaiga. Fraktur iga bagian bawah juga dapatdiserati adanya trauma pada diafragma. Adanya fraktur iga terutama kurang baik pada anak-anak dan orang tua. Tulang anak-anak cepat mengalami kalsifikasi,konsekuensinya, dinding dada merekalebih rapuh dari pada orang dewasa. Fraktur tulang iga pada anak-anak mengindikasikan suatu tingkat absorpsi energi yang tinggi daripada mungkin pada perkiraan orang dewasa. Dengansuatu kesimpulan, ketiadaan fraktur tulang iga pada anak tidak akan mengurangi perhatian untuk cedera intrathoraks yang parah. Pada suatu penelitian dari 986 pasien anak dengantrauma tumpul dada, 2% memiliki cedera thoraks yang parah tanpa bukti adanya trauma dinding dada. Tiga puluh delapan persen anak dengan kontusio paru tidak memiliki bukti radiografiadanya fraktur tulang iga.Tiga atau lebih fraktur iga yang terjadi berhubungan dengan meningkatnya resiko trauma organ dalam dan mortalitas. Pneumothoraks Pneumothoraks merupakan salah satu kelainan pada rongga pleura ditandai dengan adanya udara yang terperangkap dalam rongga pleura sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan negatif intrapleura dan akan mengganggu proses pengembangan paru. Pneumothoraks merupakan salah satu akibat dari trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi fraktur iga pada parenkim parudan laserasi paru. Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu: Simple pneumothoraks
Simple pneumothoraks yaitu pneumothoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intrathoraks yang progresif. Ciri-cirinya adalah paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsia latau total), tidak ada mediastinal shift. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bunyi napas melemah, hyperresonance (perkusi), pengembangan dada menurun. Tension pneumothoraks Tension Pneumothoraks adalah pneumothoraks yang disertai peningkaan tekanan intra thoraks yang semakin lama, semakin bertambah (progresif). Pada tension pneumothoraks ditemukan mekanisme ventil yaitu udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Ciri-cirinya yaitu terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps paru total, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakea. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi. Open Pneumothorak Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini lebih besar dari pada2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak napas yang hebat. Flail chest Flail chest jarang terjadi, tapi merupakan cedera tumpul dinding dada yang serius. Prevalensi flail chest pada pasien-pasien dengan cedera dinding dada diperkirakan antara 5% sampai13%.Flail chest adalah area thoraksyang “melayang” (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan lebih dari 3 iga , dan memiliki garisfraktur lebih dari 2 (segmented) pada tiap iganya dapat tanpa atau dengan fraktur sternum. Akibatnya adalah:terbentuk area “flail” segmen yang mengambang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi, keadaan ini disebut dengan respirasi pendelluft. Fraktur pada daerah iga manapun dapat menimbulkan flailchest. Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemothoraks, pneumothoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang akan memperberat keadaan penderita. Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu insufisiensi respirasidan jika korban trauma masuk rumah sakit, atelectasis dan berikut pneumonia dapat berkembang. Diagnosis flail chest ditetapkandengan mengobservasi gerakan paradoksal dari tempat yang dicurigai pada keadaan napas spontan. Pada inspirasi, segmen flail ditarik kedalamoleh tekanan negative intrathoraks. Dengan ekshalasi, kekuatan tekanan positif segmen akan menonjol kearah luar. Tamponade jantung Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang berat, trauma tajam yangmengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala trias Beck
yaitu distensi vena leher, hipotensidan menurunnya suara jantung. Kontusiomiokardium tanpa disertai ruptur dapat menjadi penyebab tamponade jantung. Patut dicurigai seseorang mengalami trauma jantung bila terdapat: trauma tumpul di daerah anterior, fraktur pada sternum, trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga IIkiri, garis mid klavikula kiri, arkus kostakiri). Pada otopsi ditemukan sebuah daerah yang terbatas dan tersering pada ventrikel kanan dan menyerupai suatu infark, perdarahan yang mencolok. Kontusio Jantung cedera ini mengacu pada luka atau memar pada miokardium (otot jantung). Kontusio (memar) miokardiumadalah hasil dari cedera yang melibat kankekuatan tumpul yang mengarah ke dada (misalnya kecelakaan lalu lintas). Contusio miokard mungkin berhubungan dengan pneumothoraks, fraktur sternum, fraktur iga, contusio paru atau hemothoraks. Luka memar jantung menyebabkan detak jantung tidak beraturan (aritmia) yang dapat mengancam nyawa. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Fraktur klavikula Klavikula adalah salah satu tulang pada tubuh yang paling sering mengalami cedera dan merupakan fraktur yang paling sering berhubungan dengan proses kelahiran. Klavikula, atau tulang kerah, adalah tulang yang relativelurus yang menghubungkan sternum dengan tulang scapula. Klavikula dapat mengalami fraktur melalui pukulan langsung ke daerah tersebut, atau lebih umum, karena terjatuh pada ujung bahu. Gejala umum termasuk bengkak dan nyeri di dada, yaitu posisi pertengahan antara leher dan bahu. Tanda-tanda fraktur klavikula meliputi: titik perlunakan, krepitasi dan bengkak di tempat fraktur (biasanya di pertengahan klavikula pada anak-anak dan didekat ujung bahu pada orangdewasa). Pasien biasanya merasakan sakit sementara pada saat istirahat yang diperhebat dengan adanya gerakan sendi bahu. Ruptur Trakeobronkial Ruptur trakea dan bronkus utama (rupture trakeobronkial) dapat disebabkan oleh trauma tajam maupun trauma tumpul dimana angka kematian akibat penyulit ini adalah 50%. Pada trauma tumpul ruptur terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat peningkatan hebat dan mendadak dari tekanan saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobron kialini. Kemungkinan kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan percabangan bronkus. Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan hemoptisis, sesak napas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini. Ruptur esophagus Ruptur esofagus lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma tumpul thoraks dan lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus. Akibat ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan penderitanya. Keluhan pasien berupa nyeri tajam yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak napas, sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat
Ruptur Aorta Aorta thorakalis sering bermasalah terhadap kekuatan deselerasi cepat, yang sering terjadi pada suatu kecelakaan kendaraan bermotor (cedera depan), ketika dada terbentur dengan alat kemudi. Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, diperkirakan penyebab kedua tersering kematian pada pasien dengan ceder adada dan lokasi ruptur tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiridekat ligamentum arteriosum. Hanyakira-kira 15% dari penderita trauma dada dengan ruptur aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto thoraks bila didapatkan mediastinum yang melebar, fraktur iga 1dan 2, trakea terdorong ke kanan, gambaran aorta kabur, dan penekanan bronkus utama kiri. Ruptur diafragma Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah thoraks inferior atau abdomen atas yang tersering disebabkan oleh kecelakaan. Trauma tumpul didaerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yangditeruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut, herniasi organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat terjadi. Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intrathoraks atau intra abdominal). Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma, ataupun kita bisa curigai bilaterdapat luka tusuk dada yang didapat kan pada: dibawah ICS 4 anterior, di daerah ICS 6 lateral, didaerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock dan perdarahan pada cavum pleura kiri. Referensi: Bagus, Risang.2009.Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib Di Rumah Anda.Yogyakarta: Aulia Publishing. Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 PMI. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama.Jakarta : Markas Pusat Palang Merah Indonesia 85. C. OD -0,5 OS : -3,5 Klasifikasi Anisometropia 1. Simple anisometropia: di mana refraksi satu mata adalah normal (emetropia) dan mata yang lainnya miopia (simple miopia anisometropia) atau hipermetropia (simple miopia anisometropia). 2. Coumpound anisometropia: di mana pada kedua mata hipermetropia (coumpound hipermetropic anisometropia) atau miopia (coumpound miopia anisometropia), tetapi sebelah mata memiliki gangguan refraksi lebih tinggi dari pada mata yang satunya lagi. 3. Mixed anisometropia: dimana satu mata adalah miopia dan yang satu lagi hipermetropia, ini juga disebut antimetropia.
4. Simple astigmmatic anisometropia: di mana satu mata normal dan yang lainnya baik simple miopia atau hipermetropi astigamatisma. 5. Coumpound astigmatismatic anisometropia: di mana kedua mata merupakan astigmatism tetapi berbeda derajatnya. Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat, yaitu: 1. anisometropia kecil, beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D 2. anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D 3. anisometropia besar, beda refraksi lebih besar dari 2,5 D Penatalaksanaan Anisometropia merupakan salah satu gangguan penglihatan, yaitu suatu keadaan dimana kedua mata terdapat perbedaan kekuatan refraksi, sehingga penatalaksanaan anisometropia adalah memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata. Adapun beberapa penatalaksanan baik menggunakan alat maupun tindakan, yaitu: 1. Kaca mata. Kacamata koreksi bisa mentoleransi sampai maksimum perbedaan refraksi kedua mata 4D. lebih dari 4D koreksi dengan menggunakan kacamata dapat menyebabkan munculnya diplopia. 2. Lensa kontak. Lensa kontak disarankan untuk digunakan untuk anisometropia yang tingkatnya lebih berat. 3. Kacamata aniseikonia. Hasil kliniknya sering mengecewakan. 4. Modalitas lainnya dari pengobatan, termasuk diantaranya: a) Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler b) Refractive cornea surgery untuk miopia unilateral yang tinggi, astigmata, dan hipermetropia c) Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral yang sangat tinggi (operasi fucala) 86. C. Hiperkortisolisme Pada kasus ini yang perlu digarisbawahi adalah: - Pemakaian obat kuat - Pemeriksaan fisik: suhu 390C, tekanan darah 160/90 mmHg, Nadi 120x/menit, muka pucat, moon face, obesitas sentral, striae pada perut dan kulit, bula yang pecah meninggalkan bercak kehitaman pada ekstremitas bawah Kondisi ini mengarah pada keadaan hiperkortisolism. Dalam skenario ini yang menjadi faktor resiko adalah pemakaian obat kuat dimana kandungannya dapat berisi sex steroid.
Manifestasi klinis Cushing syndrome:
Sindrom Chusing: Gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik. Secara etiopatogenesis, cushing syndrome diklasifikasika menjadi 2 kelompok: ACTH- dependent Non-ACTH-dependent - Iatrogenik, terapi ACTH - Iatrogenik, terapi steroid (penyebab - hipersekresi ACTH oleh pituitary ( tersering Cushing’s syndrome) Cushing’s diseases) - Adenoma Adrenocortical - produksi ACTH atau CRH ektopik - Ca adrenocortical oleh faktor non-endokrin neoplasma (contoh: oat cell Ca bronkus) Smart Recall: Untuk mempermudah mengingat gejala dan komplikasi cushing syndrome, digunakan mnemonic "CUSHINGOID" Cataracts Ulcers Skin: striae, thinning, bruising Hypertension/Hirsutism/hyperglycemia Infections Necrosis, avascular necrosis of the femoral head Glycosuria Osteoporosis, obesity Immunosuppression Diabetes
Diagnosis Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan ditemukan peningkatan kortisol plasma. Etiologi dari penyakit ini dapat dijelaskan melalui : 1. Test supresi dexamethasone ( Supresi kortisol pada cushing syndrome karena supresi sekresi ACTH oleh hipofisis) 2. MRI dan CT scan 3. Analisi ACTH dalam darah ( tinggu=adenoma piituitary atau sumber ACTH ektopik; rendah = tumor adrenal primer) Referensi: 1. O’Connor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash Course Pathologi 2nd edition. Elsevier. 2. http://www.medicalmnemonics.com/
87. C. Pielonefritis akut Nephrolithiasis: adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di dalam pelvis atau kalik ginjal atau di dalam saluran ureter. Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu yang besar dengan permukaan kasar yang masuk ke dalam ureter akan menambah frekuensi dan memaksa kontraksi ureter secara otomatis sehingga bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam. Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter. Pielonefritis akut: adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman ini ascending dari bagian bawah ke atas. Kumankuman yang sering adalah Escheria coli,Proteus, Klebsiella spp, dan kokus gram positif. Adapun gejala dan tanda dari pielonefritis akut adalah demam tinggi yang disertai menggigil nyeri di daerah perut dan pinggang, mual maupun muntah. Dapat pula terjadi disuria, frekuensi, dan urgensi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah menilai adanya nyeri pinggang pada regio flank. pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya leukositosis disertai meningkatnya LED, urinalisis terdapat piuria, bakteriuria dan hematuria. Uretritis : adalah peradangan uretra. Gejala utama adalah disuria, buang air kecil yang menyakitkan atau sulit. Gejala uretritis : Discharge (susu atau nanah-suka) dari penis, menyengat atau terbakar saat buang air kecil, gatal, terbakar kesemutan, atau iritasi di dalam penis. Referensi: Purnomo, Basuki. 2007. Dasar-dasar urologi. Sagung seto. Jakarta.
88. A. Sistisis Sistitis: adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih umumnya terjadi pada wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa wanita menderita infeksi kandung kemih secara berulang. Gambaran Klinik Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air kecil dan rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil. Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga dirasakan di punggung sebelah bawah. Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari). Urin tampak berawan dan mengandung darah. Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan diketahui pada saat pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.) Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa menderita inkontinensia uri sebagai akibatnya. Adneksitis atau Salpingo-ooforitis adalah radang pada tuba falopi dan radang ovarium yang terjadi secara bersamaan, biasa terjadi karena infeksi yang menjalar ke atas sampai uterus, atau akibat tindakan post kuretase maupun post pemasangan alat kontrasepsi (IUD) (Sarwono.Winkjosastro, Hanifa.Hal 287.2007). Adnexa atau salpingo-ooporitis terbagi atas: 1.Salpingo ooporitis akuta: disebabkan oleh gonorroe sampai ke tuba dari uterus sampai ke mukosa 2.Salpingo ooporitis kronika: dibedakan menjadi: a. Hidrosalping b. Piosalping c. Salpingitis interstisialis kronika d. Kista tubo ovarial, abses tubo ovarial. e. Salpingitis tuberkulosa 89. B. Transfusi PRC Kasus anemia pada soal ini memunculkan karakteristik dari anemia defisiensi besi : Mata tampak pucat, papil lidah atrofi +, spoon nail +, sclera anikterik, dan apusan darah tepi ditemukan eritrosit mikrositik hipokromik. Penyebab anemia mikrositik hipokrom: Berkurangnya Fe: anemia dei siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, defi siensi tembaga. Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital dan didapat. Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati. Manifestasi Klinis 1. Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah,
mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl, maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas. 2. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah: a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring (‘pharyngeal web’) e. Glositis f. Pica/ keinginan makan yang tidak biasa g. Atrofi mukosa gaster. h. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson kelly ini merupakan kumpulan gejala dari anemia hipokromik mikrositik,atrofi papil lidah dan disfagia. 3. Gejala lain yang dapat menyertai: Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Pada kasus ini Hb <6 g/dL terjadi ketidakefektifan kompensasi yaita adanya peningkatan tekanan darah 160/110 mmHg yang menunjukkan curah jantung meningkat (CO ). Dalam proses yang lebih lanjut menyebabkan hipertrofi miokard sehingga menjadi cardiomegali. Rendahnya level oksigen mengakibatkan jantung bekerja semakin lebih keras sebagai bentuk kompensasi untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap jumlah oksigen hal ini menyebabkan pembebanan terhadap jantung meningkat sehingga lama kelamaan terjadi kegagalan kompensasi yang akhirnya jatuh pada kondisi gagal jantung yang disebut anemia heart disease(AHD). Penatalaksanaan: Terapi utama pada anemia defisiensi besi adalah pemberian preparat Fe, namun melihat nilai Hb dan klinis yang ditunjukkan pada kasus ini maka transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan ( pada kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut). Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. (Rekomendasi A: HTA Indonesia). Referensi: 1. Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. 2003. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia. 2. Bakta I, Ketut, Tjokro. 2007. Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.PDPERSI.FKUI
3. Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice. Philadelphia: FA Davis Company 4. Schrier SL. 2011.Approach to the adult patient with anemia..Available from: www.uptodate.com
90. C. Thalassemia Penegakan diagnosis pada pasien ini didapatkan dari : Anamnesis Menunjukan adanya tanda-tanda anemia, yaitu tampak pucat dan lemas 2 minggu ini. Pasien terlihat rewel, minum ASI sedikit, perut buncit, pertumbuhan dan perkembangan terganggu. Pemeriksaan fisik menunjukkan: Bising jantung yang terjadi merupakan bising yang fisiologis yang disebabkan oleh kondisi anemia. Hepatosplenomegali merupakan manifestasi klinis yang terjadi karena terjadi eritropoiesis ekstrameduler yang memberatkan hati dan limpa. Pada awal-awal kelahiran diperkirakan hepar adalah organ yang berfungsi untuk eritropoiesis, sehingga ketika sumsum tulang tidak mampu memberikan suplai oksigen ke jaringan-jaringan tubuh, maka hepar kembali memproduksi eritrosit. Karena kerja berat dan ditambah eritropoiesis maka terjadi pembengkakkan hati. Pada limpa juga terjadi eritropoiesis ekstrameduler karena sumsum tulang tidak mampu memberikan suplai yang cukup. Limpa juga berfungsi tidak hanya untuk destruksi eritrosit tetapi juga sebagai screening eritrosit normal atau tidak. Mengakibatkan eritrosit yang tidak normal didetruksi. Karena penghancuran berlangsung jauh lebih cepat dan dalam jumlah yang jauh lebih banyak mengakibatkan limpa harus bekerja lebih keras dan akibatnya terjadi pembengkakkan. Anak dengan kelainan hemoglobin (thalasemia) memiliki gejala hepatosplenomegali, dan kelainan tersebut harus disingkirkan dari hemolitik anemia lain nya. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 14,6 g/dl, Ht 32% rendah anemia
Diangnosis thalasemia juga didukung dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan, yaitu pemeriksaan darah rutin dan gambaran darah tepi yang menunjukkan mikrositik hipokrom, jumlah eritrosit di bawah normal, retikuloblastosis, normoblast (+), bentuk eritrosit: anisositosis, poikilositosis. Dari darah rutin didapatkan anemia yang berat dan dari gambaran anemia mikrositik hipokromik dengan jumlah leukosit dan trombosit normal yang merupakan gambaran dari thalasemia.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik juga laboratorium maka diagnosis pada kasus ini mengarah pada thalasemia. Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek, yaitu (kurang dari 100 per hari). Penyebab kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh gangguan structural pembentukan hemoglobin dan gangguan jumlah rantai globin. Anemia defisiensi besi Thalasemia Icterus Splenomegali Perubahan morfologi eritrosit
Sebanding dengan derajat anemia
+ + Tidak sebanding dengan derajat anemia
Sel target MCV MCH Besi serum TIBC
+/Menurun Menurun Menurun <30 Meningkat >360
++ Menurun Menurun Normal/↑ Normal/↓
Saturasi Transferin
Menurun <15%
Meningkat >20%
Besi sumsum tulang
Negatif
Positif kuat
Protoporfirin eritrosit
Meningkat
Normal
Feritin serum
Menurun <20 μg/l
Meningkat >50 μg/l
Elektrofoesis Hb
N
Hb. A2/HbF meningkat
Klasifikasi Secara klinis: Thalasemia mayor memberikan gambaran klinis yang jelas Thalasemia minor memberikan gambaran klinis yang tidak jelas Berdasarkan kelainan struktur Hb yang terjadi: ThalasemiaAlpha ThalasemiaBeta ThalasemiaBeta Mayor (Anemia Cooley) ThalasemiaBeta Minor (ThalasemiaTrait) Referensi: 1. Permono B, Sutaryo, Ugrasena I, Windiastuti E, Abdulsalam M. 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta : IDAI. 2. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins.Vol. 2. Ed.7. Jakarta.Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Bakta IM. 2006. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC 91. E. Tes Coombs Bayi pada kasus ini mengalami ikterus (hiperbilirubinemia) patologis karena terjadi sejak 24 jam pertama kelahiran. Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh bilirubin Indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat menimbulkan kematian atau cacat seumur hidup, oleh sebab itulah maka setiap bayi yang mengalami ikterus harus mendapat perhatian, meskipun tidak semuanya memerlukan pemeriksaan atau pengobatan yang khusus. Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang paling sering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematom dan lain-lain. Resiko adanya infeksi sistemik tidak ada karena berdasarkan informasi dari soal didapatkan hasil laboratorium HbsAg dan penanda HIV ibu negatif. Kemungkinan penyebab utama dari soal ini adalah ibu bergolongan darah O dimana menjadi resiko untuk terjadi inkompabilitas ABO. Pada Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan dengan anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama. Reaksi hemolisis terjadi selagi zat anti dari ibu masih terdapat dalam serum bayi. Diagnosis pasti inkompatibilitas ABO adalah dengan menemukan immunoglobulin G ibu yang bereaksi dengan eritrosit pada bayi. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya anemia hemolitik pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu golongan darah O, adanya test Coombs direk dan indirek yang positif serta didukung dengan peningkatan mikrosferosit pada darah tepi bayi. Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus ). Referensi: 1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Guideline: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. Newman TB, Liljestrand P, Escobar GJ. 2005.Combining clinical risk factors with serum bilirubin levels to predict hyperbilirubinemia in newborns. Arch Pediatr Adolesc Med. 2. Bhutani VK, Johnson LH, Keren R. 2004. Diagnosis and management of hyperbilirubinemia in the term neonate: for a safer first week. Pediatr Clin North Am. 92. B. Os Calcaneus Tendon achilles disebut juga tendo calcaneus, adalah jaringan ikat fibrous yang menghubungkan antara otot dengan tulang (tendon), yang terletak pada tungkai posterior. Tendon achiles berasal gabungan dari tiga otot yaitu gastrocnemius, soleus, dan otot plantaris pedis. Pada manusia, letaknya tepat di bagian pergelangan kaki. Tendon
Achilles adalah tendon paling tebal dan terkuat pada badan manusia. Panjangnya sekitar 15 cm, dimulai dari pertengahan tungkai bawah. Kemudian strukturnya kian mengumpul dan melekat pada bagian tengah-belakang tulang calcaneus. Ruptur tendo achiles paling sering terjadi selama olahraga yang memerlukan hentakan melompat, berputar, dan berlari. Paling sering terjadi pada atlet tenis, bola basket, dan bulutangkis. cedera juga dapat terjadi karena tersandung atau jatuh dari ketinggian. Perawatan sementara adalah mengkompres dengan menggunakan es di daerah yang meradang untuk membantu memperlancar aliran darah, dan mengurangi rasa sakit yang terkait dengan peradangan. Pembedahan diperlukan untuk memperbaiki ruptur tendon. Perawatan pasca operasi memerlukan fisioterapi untuk membantu merenggangkan rehabilitasi dan meningkatkan fleksibilitas terhadap achilles tendon. Referensi: Maffulli, N.; Khan, K. M.; and Puddu, G., (1998), "Overuse Tendon Conditions: Time to Change a Confusing Terminology, Arthroscopy 14(8):840-3. 93. C. Keracunan CO Penyebab utama keracunan dalam mobil kebanyakan dari keluarnya gas karbon monoksida (CO) pada sistem pembuangan yang tidak berfungsi baik karena pipa pembuangan yang tidak dirawat alias bocor. Hanya sedikit sekali keracunan di mobil yang diakibatkan oleh zat-zat yang terdapat dalam perabotan mobil. Ketika seseorang menghidupkan AC dalam waktu lama saat mobil diam dan kondisinya tertutup rapat akan membuat sirkulasi udara tidak berjalan. Akibatnya gas karbon monoksida akan terakumulasi di dalam mobil. Orang yang terpapar gas karbon monoksida yang lama kebanyakan berakhir dengan kematian. Karbon monoksida sangat cepat menyingkirkan oksigen sehingga menghalangi hemoglobin darah mengikat oksigen dan mengalirkannya ke seluruh tubuh hingga ke paru-paru dan otak. Suplai oksigen yang berkurang ini bisa berbahaya bagi jaringan dalam tubuh dan mengakibatkan kematian.
Referensi: Sentra Informasi Keracunan Badan POM, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit, Karbon Monoksida, Jakarta, 2001. 94. D. Cross-sectional Pembahasan: - Penelitian Analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analis dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor resiko dengan efek, antar faktor resiko, maupun antar faktor efek - Penelitian kohort atau sering disebut penelitian prospektif adalah suatu penelitian survey (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara factor resiko dengan efek (penyakit). Faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi dulu kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek yaitu penyakit atau salah satu indicator status kesehatan. Sakit (+) Kelompok Studi
Paparan (+) Sakit (-) Sakit (+)
Kelompok Control
Paparan (-)
Prospektif
Sekarang
Sakit (-)
Waktu mendatang
-
Penelitian case control adalah metode penelitian retrospektif di mana penelitian dimulai dari melihat outcome yang terjadi kemudian dipelajari faktor risiko maupun paparan yang memengaruhi kejadian tersebut.
-
Cross sectional merupakan penelitian yang mempelajari dinamika hubungan hubungan atau korelasi antara faktor-faktor risiko dengan dampak atau efeknya. Faktor risiko dan dampak atau efeknya diobservasi pada saat yang sama, artinya setiap subyek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan faktor risiko serta dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi.
Pada skenario tersebut terjadi keracunan masal yang diakibatkan oleh Escherchia coli. Karena kejadian tersebut terjadi pada saat itu juga kemudian diketahui penyebabnya, maka desain penelitian yang cocok untuk menilai hubungan antara pajanan dan penyakit tersebut dalam waktu yang singkat adalah desain cross sectional. 95. A. Stroke ICH (Intra Cerebral Hemorrhage) Mengacu pada algoritma stroke Gadjah Mada yang diformulasikan untuk membantu menjembatani gap antara ketersediaan sarana kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia dengan standar medis yang ideal, maka pada pasien dengan presentasi diduga stroke, maka terdapat 3 hal yang harus dikaji, yaitu: 1. Penurunan kesadaran 2. Nyeri kepala 3. Refelek patologis babinski
Terdapatnya salah satu tanda tersebut, atau kombinasi di antaranya dapat digunakan untuk membantu menentukan apakah seorang pasien mengalami stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS/ICH) atau stroke non perdarahan (infark). Pada kasus pasien dengan penurunan kesadaran mendadak, diikuti hemiplegia dekstra, dan afasia global setelah kesadaran membaik konsisten dengan presentasi stroke Intra Cerebral Hemorrhage. Di mana terdapatnya satu tanda yaitu penurunan kesadaran saja, disertai gambaran perjalanan penyakitnya sudah memenuhi informasi yang dibutuhkan untuk assesment sesuai dengan algoritma stroke Gadjah Mada.
More Info Subarachnoid Hemorrhage (SAH), yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang antara membran Arachnoid dan Pia mater merupakan salah satu bentuk stroke yang terjadi sekitar 1-7% dari seluruh kasus stroke. SAH menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial diikuti kegagalan regulasi autocerebral, keadaan tersebut bersama dengan vasokonstriksi akut, dan agregasi trombosit mikrovaskular menyebabkan penurunan aliran darah setempat dan iskemia jaringan otak. Tingkat mortalitas SAH mencapai sekitar 50% dan lebih dari 10% penderita meninggal sebelum mendapatkan penanganan
di rumah sakiit. Sedangkkan bagi yaang tertolon ng kemunggkinan besaar akan meengalami ganngguan neurrologik dann kognitif peermanen. Geejaladan tandda Subarachhnoid Hemoorrhage adaalah berikut: Nyeri keepala sangatt hebat terjaadi mendadaak (khas padda SAH) Tanda raangsang mennigeal seperrti kaku kud duk Photophoobia dan nyyeri menyerttai pergerak kan bola maata Mual dann muntah (m menyertai nyeri n kepala)) Kehilanggan kesadarran (sesaat ataupun a berk kepanjangann) Strroke cardiioembolik dan aterotrombotik k merupakkan bagiann dari stro oke non perrdarahan. Refferensi: Kim m EY, Na DG, D Kim SS S, Lee KH, Ryoo R JW, Kim K HK. 20005. Predicttion of hemo orrhagic transform mation in accute ischem mic stroke: role of difffusion-weigghted imag ging and early pareenchymal enhancemen e nt. AJNR Am m J Neuroraadiol. May 2005; 26(5): 10505. Lam msudin. R., 1996. Alggoritma strroke Gadjah h Mada Peenyusunan dan validassi untuk membedaakan stroke perdarahann intraserebrral dengan stroke s iskem mik akut ataau stroke infark. Beerkala Ilmu Kedokterann 1996, XX XVIII(4). 96. C. Nervus N radiialis Fraaktur Os hum merus dapat diklasifikaasikan berdaasar lokasi anatominya a a yaitu F Fraktur p proksimal humerus dapat meelibatkan collum a anatomicum m dan collum chiruurgicum (llebih serinng) os h humerus. C Cedera pada bagian ini dapat melibatkan m cedera n nervus axillaris, menyyebabkan paaralisis M. Teres minnor dan M Deltoidd sehinggaa penderitaa tidak dap M. pat mengaabduksi l lengan atass, dan geraakan fleksii, ekstensi, dan rotasii bahu m melemah. F Fraktur batang hum merus terjaadi pada 1/3 bagian tengah baatang Os humerus, h k kebanyakan n dapat ditaangani tanppa pembedaahan (closeed reductionn), kecuali apabila t terdapat ceddera nervuss besar sepeerti N. Radiialis (18%) yang melew wati sulcus nervus r radialis padda batang huumerus. F Fraktur d distal humeerus palingg sering m melibatkan cedera Nervus radialis. C Cedera yanng terjadi daapat berupaa laserasi n nervus, dan entrapmennt nervus pada lokasi f fraktur kareena pecahann fragmen tuulang. D Defisit mottorik pada cedera N. Radialis m menyebab kem mampuan kehilanggan e ekstensi daan kelemahhan lengann bawah, d dan kehilaangan kem mampuan ekstensi t tangan sertaa jari (drop hand).
Defisit sensori yang terjadi adalah hilangnya sensai pada bagian lateral lengan atas, posterior lengan bawah, dan separuh lateral tangan. Referensi: Wheeless C. R., (2013) Radial Nerve Palsy following Frx of the Humerus. Wheeless' Textbook of Orthopaedics. Mehne DK, Jupiter JB. Fractures of the distal humerus. In: Browner BD, Jupiter JB, Levine AM, et al, eds.Skeletal Trauma. vol 2. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co; 1992:1146. 97. B. Retinopatidiabetikun Retinopati diabetika merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes mellitus pada yang paling sering ditemukan dan berpotensi menyebabkan kebutaan. Retinopati diabetika ini adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai kerusakan dan sumbatan pembuluhpembuluh darah kecil, biasanya ditemukan bilateral, simetris dan progresif, dan diklasifikasikan sebagai: Retinopati diabetika nonproliferatif / retinopati background Retinopati diabetika proliferatif. Makulopati diabetika yang berupa makulopati eksudatif, edema macula dan makulopati iskemik dapat ditemukan pada setiap tingkatan retinopati diabetika. Gambaran klinis retinopati diabetika nonproliferatid berupa mikroaneurisma yang merupakan tonjolan-tonjolan kecil bulat pada kapiler. Pada vena terlihat mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, venous beading. Dapat dilihat berbagai macam perdarahan, baik berbentuk bintik (dot hemorrhages) maupun berbentuk bercak (blot hemorrhages). Kapilerkapiler yang bocor mengakibatkan edema retina terutama di macula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid kekuning-kuningan dalam bentuk eksudat keras (hard exudate). Jika fovea menjadi edema atau iskemik atau terdapat hard exudates, maka tajam penglihatan sentral akan menurun sampai derajat tertentu. Dengan bertambahnya progresinya sumbatan mikrovaskuler, gejala iskemik mungkin menjadi lebih hebat yaitu ditandai adanya sejumlah bercak mirip kapas (cotton wool spots) atau soft exudate. Sedangkan pada retinopati diabetika proliferatif dengan adanya iskemik retina yang progresif maka merangsang terbentuknya pembuluh-pembuluh darah baru (neovascularisasi) yang rapuh baik intra retinal dan pre retinal sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah banyak.Neovaskularisasi ini dapat berproliferasi di permukaan posterior korpus vitreus dan terangkat bila korpus vitreus berkontraksi dan terlepas dari retina. Perdarahan yang berasal dari pembuluh darah ini bisa menyebabkan perdarahan korpus vitreus yang massif. Neovaskularisasi yang terangkat ini mengalami perubahan fibrosa membentuk fibrous retinitis proliferans yang bisa menarik retina sehingga dapat terjadi retinal detachment. 98. D. Endophtalmitis Endophthalmitis merupakan infeksi atau luka yang terdapat di dalam mata seorang penderita yang disebabkan oleh organisme yang beredar melalui aliran darah menuju mata.
Endoftalmitis dapat diklasifikasikan menurut cara masuknya: 1. Endoftalmitis endogen diakibatkan penyebaran bakteri dari tempat lain di tubuh kita melalui aliran darah. Utamanya jamur. Factor predisposisi yang lazim yaitu status imunokompromais, septikimia atau IV drug abuse. 2. Endoftalmitis eksogen dapat terjadi akibat trauma tembus atau infeksi pada tindakan pembedahan yang membuka bola mata. Endoftalmitis endogen sangat jarang, hanya 2-15% dari seluruh endoftalmitis. Utamanya bakteri. Penyebab terjadinya endoftalmitis antara lain: 1. Tindakan pembedahan. 2. Luka yang menembus mata. 3. Bakteri. Penyebab paling banyak adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan spesies Streptococcus. 4. Jamur. Penyebab paling banyak adalah Aspergillus, fitomikosis dan aktinomises. Peradangan yang disebabkan bakteri akan memberikan gambaran klinik rasa sakit yang sangat, kelopak merah dan bengkak, kelopak sukar dibuka, konjungtiva kemotik dan merah, kornea keruh, bilik mata depan keruh. Selain itu akan terjadi penurunan tajam penglihatan dan fotofobia (takut cahaya). Endoftalmitis akibat pembedahan biasa terjadi setelah 24 jam dan penglihatan akan semakin memburuk dengan berlalunya waktu. Bila sudah memburuk, akan terbentuk hipopion, yaitu kantung berisi cairan putih, di depan iris. Gejalanya seringkali berat, yaitu berupa: 1. nyeri mata 2. kemerahan pada sclera 3. fotofobia (peka terhadap cahaya) 4. gangguan penglihatan. Tanda seringkali muncul: 1. Kelopak merah, 2. Bengkak, dan sukar dibuka, 3. Kornea keruh, 4. Bilik mata keruh Endophthalmitis pascaoperasi - sebagian besar endophthalmitis adalah infeksi bakteri setelah operasi katarak. Ini masalah serius dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen. Gejala sedikit bervariasi, tergantung pada apakah infeksi tersebut terjadi awal (enam minggu atau kurang) atau akhir (bulan atau tahun) setelah operasi. Gejala awal dapat termasuk penurunan dramatis dalam visus di mata terkena, sakit mata yang menjadi lebih buruk setelah operasi, mata merah dan kelopak mata bengkak. Akhir gejala cenderung lebih ringan dari gejala awal dan mungkin termasuk penglihatan kabur, peningkatan kepekaan terhadap cahaya terang (fotofobia) dan sakit mata ringan. 99. C. Prophyltiourasil Resume dari kasus ini adalah: - Wanita 24 th, primigravida, trimester II - Keluhan utama: dada berdebar-debar, sering berkeringat
- Pemeriksaan fisi : eksoftalmus, tekanan darah 130/80 mmHg, HR 114 x/menit Dari gejala-gejala yang ditampilkan pada kasus ini mengarah pada kondisi hipertiroid dalam kehamilan. Secara klinis diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan mempertimbangkan gejala dan tanda-tanda umum hipertiroid seperti : takikardi, tekanan nadi meningkat (vasodilatasi perifer), adanya struma difusa, dan kulit yang halus. Terkait dengan kehamilan, penyakit Grave (Grave’s disease) merupakan penyebab hipertiroidism tersering. Tanda-tanda penyakit ini pada umumnya sama dengan hipertiroidism kecuali adanya eksoftalmus (dan pretibial miksedema) yang termasuk ciri khas dari Grave’s disease yang disebut dengan trias Basedow (Hipertiroidisme dengan hiperfungsi kelenjar tiroid, infiltrative ophthalmopathy dengan akibat exophthalmus, infiltrative dermopathy(berupa pre-tibial myxedema)). Namun kepastian diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium karena gambaran klinis hipertiroid sering susah dibedakan dengan status hiperdinamik dalam kehamilan sehingga penilain berdasarkan index wyne termasuk toksik padahal sebenarnya keadaan pasien eutiroid. TERAPI Prinsip pengobatan ialah mengendalikan hipertiroidism ibu tanpa menggaggu fungsi tiroid janin. Pengobatan yang dapat dilakukan pada hipertiroidisme dalam kehamilan ada dua macam: Obat anti tiroid (OAT) atau pembedahan. OAT yang diberikan pada pengobatan hipertiroidism adalah golongan tionamid yaitu propiltiourasil (PTU) dan metimazole (MMI). Iodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat menembus langsung sawar plasenta. Perbandingan PTU dengan Metimazol: MMI transfernya melalui plasenta dan dieksresikan melalui ASI lebih besar dibandingan PTU Bioavailibilitas pada janin, MMI lebih tinggi 4x lipat daripada PTU sehingga lebih menyebabkan efek hipotiroid pada janin. Efek samping MMI dalam penelitian dilaporkan menyebabkan aplasia scalp janin. Dengan perbandingan diatas maka terapi medikamentosa yang lebih dipilih untuk hipertiroidism dalam kehamilan adalah PTU. Keadaan dimana MMI lebih dipilih daripada PTU adalah pada kondisi penyakit graves yang berat.
Referensi: 1. Hartini,S dan Kariadi. 2009. The 2nd Thyroidology Update 2009. PERKENI: Kelompok Studi Tiroidologi Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2. Marx, H; Amin, P; Lazarus, JH (Mar 22, 2008). "Hyperthyroidism and pregnancy.".BMJ (Clinical research ed.) 336 (7645): 663– 7. doi:10.1136/bmj.39462.709005.AE.PMC 2270981. PMID 18356235.
100. A. TSH menurun, FT4 meningkat Kasus ini mengarahkan pada keadaan gangguan fungsi tiroid dimana kata kuncinya didapat dari tanda-tanda yang muncul, yaitu pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan yang bergerak saat menelan, menandakan benjolan ini berasal dari tiroid. Selain itu juga terdapat
tanda yang perlu digaris bawahi yaitu sering berdebar-debar, tangan gemetar, penurunan berat badan meskipun nafsu makan meningkat, mudah lelah, hasil pemeriksaan fisik didapatkan nadi 130 x/menit, mata menonjol dan tangan tremor. Dari gejala ini, dapat dilakukan penilaian terhadap gangguan tiroid yaitu menggunakan index wyne: Indeks Wayne No. Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat Sesak saat kerja 1. Berdebar 2. Kelelahan 3. Suka udara panas 4. Suka udara dingin 5. Keringat berlebihan 6. Gugup 7. Nafsu makan naik 8. Nafsu makan turun 9. Berat badan naik 10. Berat badan turun 11. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10.
Tanda Tyroid Teraba Bising Tyroid Exoptalmus Kelopak Mata Tertinggal Gerak Bola Mata Hiperkinetik Tremor Jari Tangan Panas Tangan Basah Fibrilasi Atrial Nadi Teratur <80 x/menit 80-90 x/menit >90 x/menit
Ada +3 +2 +2 +1 +4 +1 +2 +1 +4
Tidak -3 -2 -2 -2 -1 -
+3
-3 -
TOTAL 20 Hipertiroid : ≥ 20; Eutiroid: 11 – 18; Hipotiroid: <11 GEJALA HIPERTIROID
Nilai +1 +2 +3 -5 +5 +3 +2 +3 -3 -3 +3
HIPERTIROID
Tabel di bawah ini menjelaskan secara singkat tentang gangguan hormon tiroid. HIPERTIROID HIPOTIROID PRIMER SEKUNDER PRIMER SEKUNDER Hipersekresi Overstimulasi Kegagalan dari Kegagalan hormon tiroid yang kelenjar tiroid kelenjar tiroid itu memproduksi tidak berdampak karena produksi sendiri TSH DEFINISI terhadap TSH berlebih (lebih sering) peningkatan TSH (lebih sering) - Kehilangan berat badan dengan - Keterlambatan mental dan fisik tanpa atau peningkatan nafsu makan - Mudah lelah MANIFES - Goiter (pembesaran kelenjar tiroid - Intoleransi terhadap dingin TASI - Gemetar dan mudah tersinggung - kulit dan rambut kering TERSERING - Intoleransi terhadap panas - Keringat berlebih (hiperhidrosis) PEMERIK T3 dan free T4 T3 dan free T4 T3 dan free T4 T3 dan free T4 SAAN TSH TSH TSH TSH LABORATO RIUM - Grave’s disease - Pituitary tumour - Autoimmune - Pituitary disease - Toxic thyroiditis multinodulsr (Hashimoto’s goitre thyroiditis) PENYEBAB (Plummer’s - Grave’s disease disease (sekitar 5%, dari - Toxic adenoma tirotoksikosis - Konsumsi dosis menjadi
tinggi hormon tiroid ( thyrotoxicosis factitia)
hipotiroid karena antibodynya dan kerusakan) - Dampak terapi hipertiroid ( ablasi pembedahan, radioiodine, dan obat) - Defisiensi iodine berat
Hipertiroid adalah sindrom yang disebabkan oleh meningkatnya kadar T3 dan T4 bebas terutama disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar tiroid. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai prinsip tirotoksikosis dan hipertiroidisme, yaitu: Tirotoksikosis: hormon tiroid berlebih Hipertiroidisme: sekresi tiroid berlebih Tirotoksik tidak selalu hipertiroid, namun hipertiroid selalu tirotoksik Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis dan data laboratorium. Pengukuran konsentrasi TSH dengan pemeriksaan TSH yang sensitif merupakan uji penapisan yg paling bermanfaat. Kadar TSH yang rendah biasanya dengan pengukuran T4 bebas, yang diperkirakan meningkat. Kadang disebabkan karena peningkatan T3 darah (toksikosis T3). Referensi: 1. Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku kedokteran: EGC. 2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL. 2007.Buku ajar patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 3. Jameson JL, Weetman AP. 2008.Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill Medical. 4. O’Connor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash Course Pathologi 2nd edition. Elsevier.
101.D. Telinga kanan normal, telinga kiri sakit ringan Tes bisik adalah tes pendengaran yang bersifat semi kuantitatif menentukan derajat ketulian secara kasar. Tes ini memberikan suara bisik berupa kata-kata ke telinga penderita pada jarak tertentu. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Hasilnya berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dengan penderita di mana suara bisik masih dapat terdengar. Nilai normal tes bisik adalah 5/6 - 6/6. Pada kondisi pasien telinga kanan hasil tes bisik 6 m yang berati nilai normal. Pada pemeriksaan telinga kiri hasilnya adalah 4 m sehingga telinga kiri mengalami penurunan ringan.
Referensi: Soetirto, I. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 18. 102. A. Tidur mengorok sudah 1 tahun Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tosil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyebab tonsillitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan oleh infeksi virus. Pada kasus di soal anak menderita tonsillitis kronis dilihat dari onset munculnya gejala selama 1 tahun dan berulang. Tonsilitis kronik merupakan peradangan tonsila palatina yang sifatnya menahun. Tonsilitis kronik dapat berasal dari tonsillitis akut yang mendapatkan pengobatan tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi tempat lain. Tanda klinis tonsillitis kronika adalah: Pilar/plika anterior hiperemis Kripte tonsil melebar Pembesaran kelenjar sub angulus mandibula teraba Muara kripte terisi debris/pus Tonsil tertanam/embedded atau membesar Pembagian pembesaran tonsil menurut Thane & Cody dalam ukuruan T1-T4 sebgai berikut: T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarakpilar anterior-uvula T2: batas medial tonsi melewati ¼ pilr anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterioruvula T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula T4: batas medial tonsil melewati ¾ jaral anterior-uvula sampai uvula atau lebih
Ukuran tonsil menurut Brodsky (2006) Indikasi tonsilektomi menrut The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium adalah: Indikasi absolute: Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal. Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam Tonsil yang akan dilakukan biopsy untuk pemeriksaan patologi Indikasi relative Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun telah diberikan pengobatan edik yang adekuat Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medic Tonsilitis kronik atau berulang pada infeksi yang disebabkan Streptococcus grup A betahemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian β-laktamase Referensi: 1. Rusmarjono et all. (2009). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 226-221-222. 2. Gambar diambil dari : http://www.meddean.luc.edu 103. E. Gangguan cemas menyeluruh Pembahasan: Gangguan panik: gambaran essensial pada gangguan ini adalah adanya serangan anxietas berat yang berulang yang tidak terbatas dengan adanya situasi tertentu ataupun suatu rangkaian kejadian dan karena itu tidak terduga. Seperti pada gangguan anxietas yang lainnya, gejala yang dominan bervariasi pada masing-masing orang, tetapi onset mendadak dalam bentuk palpitasi, nyeri dada, perasaan tercekik, pusing kepala dan
perasaan yang tidak riil merupakan gejala yang lazim. Juga hampir selalu secara sekunder timbul rasa takut mati, kehilangan kendali atau menjadi gila. Pada pedoman diagnostik utnuk diagnosis pasti, beberapa serangan berat dari anxietas otonomik harus terjadi dalam periode kira-kira satu bulan pada keadaan dimana sebenarnya tidak ada bahaya, tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau diduga sebelumya, dengan keadaaan yang relatif bebas dari gejala anxietas dalam periode anatara seranganserangan panik. Gangguan cemas menyeluruh: gambaran essensial pada gangguan ini adalah adanya anxietas yang menyeluruh dan menetap (bertahan lama), tetapi tidak berbatas pada atau hanya menonjol pada setiap keadaan lingkungan tertentu saja (misalnya mengambang atau free floating). Pada pedoman diagnostik penderita harus menunjukkan gejala primer anxietas yang berlangsung hampir setiap hari selama beberapa minggu, bahkan biasanya sampai dengan beberpa bulan. Gejala-gejala ini biasanya mencakup: Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, perasaan gelisah di ujung tanduk, sulit konsentrasi) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemeteran) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, takikardia, takipneu, keluhan epigastrik, mulut kering) Gangguan depresi: individu biasanya memiliki suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala lazimnya adalah: 1. Konsentrasi dan perhatian berkurang 2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang 3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan skalipun) 4. Pasangan masa depan yang suram dan pesimistis 5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri 6. Tidur terganggu 7. Nafsu makan berkurang Sumber: - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 104.C. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) E.coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dan bersifat faultatif anaerob fakultatif. E.coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata. Serogroup E.coli ini menginvasi epitel usus dan menghasilkan penyakit seperti disentri. EIEC melekat dan menginvasi sel epitel usus. Invasi epitel menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat. Serogroup ini mempunyai antigen lipopolisakarida (LPS) yang terkait dengan LPS Shigella. EIEC melakukan fermentasi laktosa dengan lambat dan tidak bergerak.
EIEC menyebabkan sakit yang tidak dapat dibedakan dari disentri basil klasik. Tanda khas adalah demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus dan erburuburu BAB dengan diare cair atau dengan darah. Referensi; Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N. Ornston, 1995, Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, University of California, San Francisco. 105. E. Diare dengan dehidrasi berat Diare pada anak-anak harus dieavaluasi apakah menderita dehidrasi ringa, sedang atau berat yang digunakan untuk memberikan penanganan yang sesuai. KLASIFIKASI TINGKAT DEHIDRASI ANAK DENGAN DIARE Klasifikasi Tanda atau Gejala Dehidrasi Berat Terdapat 2 atau lebih tanda : Letargis / tidk sadar Mata cekung Tidak bias minum atau malas minum Cubitan kulit perut kembali sangat lambat ( ≥ 2 detik) Dehidrasi Ringan/Sedang Terdapat 2 atau lebih tanda dibawah ini : Rewel, gelisah Mata cekung Minum dengan lahap, haus Cubitan kulit kembali lambat Tanpa dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda untuk diklasifikasikan sebagai dehidrasi ringan atau berat Pada kasus diatas pemeriksaan ditemukan clinites (+). Clinitest merupakan skrin untuk mengetahui adanya gula pereduksi dalam feses. Tes ini menunjukkan intoleransi karbohidrat. Gejala muncul akibat respon terhadap asupan laktosa yang terdapat dalam susu. Hasil clinitest sebagai berikut: Normal : tidak terdapat gula dalam feses Positif 1 : gula dalam feses 0,5% Positif 2 : gula dalam feses 0,75% Positif 3 : gula dalam feses 1% Positif 4 : gula dalam feses 2% Referensi: 1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia. 2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
106.
B. Beta blocker Terapi farmakologis yang direkomendasikan pada kasus gagal jantung dengan penurunan Ejection Fraction (NYHA I-IV) meliputi beberapa golongan obat dengan indikasi dan target masing-masing. ACE Inhibitor direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan gejala yang masih berlangsung ataupun telah membaik (Class I, Level of Evidence (LOE) : A), Angiotensin Receptor Blocker direkomendasikan pada pasien gagal jantung yang tidak bisa mendapatkan terapi ACE Inhibitor (Class I, LOE : A).
β-Blocker Direkomendasikan pada semua stadium gagal jantung (ringan-berat) yang stabil, baik karena proses iskemik atau non iskemik dengan syarat tidak terdapat kontra indikasi beta bloker seperti hipotensi. Pengobatan beta bloker sangat penting dan tidak boleh ditunda pemberiannya karena terbukti mengurangi progresivitas penyakit, perburukan klinis (morbiditas) dan mortalitas gagal jantung (Class I, LOE : A). Nitrat (nitroglycerin) Diberikan sebagai tambahan apabila terdapat keluhan angina atau sesak, pemberian jangka panjang tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Pemakaian yan g terlalu sering dapat menimbulkan toleransi (Class IIa, LOE : C). Morfin Morfin dan analog morfin diindikasikan pada stadium awal saja, apabila pasien gelisah dan sesak napas ( Class IIb, LOE : B). Calcium channel blocker Obat penyekat kalsium tidak direkomendasikan sebagai pengobatan rutin pada psien gagal jantung karena terbukti tidak memberikan manfaat. Dapat dipertimbangkan
penggunaanya sebagai tambahan obat hipertensi apabila tekanan darah sulit dikontrol dengan penggunaan ACE inhibitor, ARB, dan Beta bloker (Class III, LOE : A). Referensi: Ghanie A.;(2006). Gagal Jantung kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Yancy C. W., et al.; (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;128:e240e327 107.
B. Permetrin 5%
Pembahasan: Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung. Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Terdapat 4 tanda cardinal: 1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. 2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier). 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok dengan rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lainlain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar,
siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki. 4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut. Pengobatan: Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan hidupnya. Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu: 1. Permetrin Merupakan obat pilihan untuk saat ini, tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah pemakaiannya dan tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan leher anak usia kurang dari 2 tahun. 2. Krotamiton Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, memiliki dua efek sebagai antiskabies dan anti pruritus. Harus dijauhkan dari mata, mulut dan uretra. 3. Emulsi Benzil Benzoas Emulsi Benzil Benzoas 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. 4. Sulfur Dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Preparat ini kurang efektif pada stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari tiga hari. 5. Gama Benzena Heksa Klorida (Gameksan) Kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang menimbulkan iritasi. Pada kasus tersebut terdiagnosis scabies berdasarkan 2 tanda cardinal, yaitu terdapatnya pruritus nocturna serta terdapat gatal-gatal di sela jari tangan, pantat, dan sekitar pusar. Sehingga penatalaksanaan yang aman untuk anak usia 1,5 tahun, yaitu permetrine 5%. 108.A. Ancylostoma caninum Pembahasan: Cutaneus Larva Migran (CLM), sering digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva cacing tambang Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum, yang berasal dari binatang, terutama anjing dan kucing. Penyebab lain diantaranya: gnatostoma, Uncinaria stenocephala, Butnostomum phlebotomum (dari sapi), Strongiloides sterconalis, dll. Penularan: - Kontak dengan larva cacing di tempat-tempat kotor (pasir, tanah, lumpur dll) - Tertelan telur cacing (melalui tangan secara tidak sengaja) Gejala Klinis:
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula – mula , pada point of entry, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok – kelok (snakelike appearance – bentuk seperti ular) yang terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar 2 – 3 mm, panjang 3 – 4 cm dari point of entry, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam atau hari4. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM. Diagnosis Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok – kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya. Penatalaksanaan Topikal: 1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, selama 2 hari berturut – turut. 2. Nitrogen liquid 3. Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya. 4. Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau Cortisone) untuk mengurangi gatal. Sistemik Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan berturut- turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah. Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut-turut. Sumber: - Aisah S. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI. 125-6 (2007) - Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and Medication. Diunduh dari www.emedicine.com. 109.
B. Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit atau sindrom yang mengenai glumerulus yang ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat badan dan didapatkan anasarka. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 – 15 gr/hari. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis urin meninggi. Pasien juga mengeluh sesak napas (hidrotoraks, asites) dan dapat disertai keluhan diare, nyeri perut, anoreksia.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, hipoproteinemia, hiperlipidemia hiperkolesteronemia. Anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena transferin banyak keluar dengan urin Referensi: Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009 110. B. Leptospirosis Resume kasus: Keluhan : mual muntah, badan kuning, BAK coklat seperti teh; Pemeriksaan laboratorium : SGOT 143 dan SGPT 140 keterlibatan sistem hepatobilier Demam 5 hari, Leukosit 12.500m3 infeksi bakerial sistemik
adanya
Infeksi bakteri Leptosira interrogans LEPTOSPIROSIS
Pemeriksaan fisik : perdarahan subkonjungtiva, nyeri tekan gastronekmius dan faktor resiko membersihkan selokan Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptosira interrogans yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena. Nama lain Leptospirosis : mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutterfever. Penularan dari binatang kepada manusia melalui air/tanah yang terkontaminasi. Lebih jarang lewat kontak langsung dengan urin,darah,jar.binatang yang terinfeksi. Siklus Penularan Leptospirosis
Gambaran Klinik Utama Leptospirosis Nyeri tekan gastronekmius: nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis Conjunctival suffusion Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadangkadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal. Sindrom, fase
Manifestasi klinik
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjungtiva suffusion. Demam ringan , Fase imun nyeri kepala, muntah. (3-30 hari). Leptospirosis Demam tinggi, nyeri ikterik kepala, mialgia, ikterik fase gagal ginjal, hipotensi, leptospiremia manifestasi perdarahan, dan pneumonitis, fase imun (sering leukositosis. menjadi satu Sindrom klinik berat : atau Gagal ginjal akut, overlapping) ikterus, manifestasi terdapat perdarahan, dan periode hepato-splenomegali asimptomatik Weil’s disease. (1-3 hari) Leptospirosis anikterik fase leptospiremia (3-7 hari).
Spesimen laboratorium Darah, LCS
Urin
Darah, LCS minggu pertama. Urin minggu kedua.
Manajemen Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, 4 hari setelah onset cukup efektif Profilaksis daerah resiko tinggi : Doxycycline 200mg/minggu Antibiotik efektif : sefotaksim,doxycycline, penicillin, ampicillin, dan amoxicillin . Larutan Glukosa dan garam dapat diberikan secara I.V Dialisis digunakan dalam kasus-kasus serius Pmberian kortikosteroid selama 7-10 hari (tappering off)
Referensi: 1. Pavli A, Maltezou HC.2008."Travel-acquired leptospirosis". J Travel Med 15 (6): 447– 53.doi:10.1111/j.1708-8305.2008.00257.x.PMID 19090801 2. World Health Organization (WHO). 2003.Human Leptospirosis: Guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva. 3.
Zein, Umar. 2007. Leptospirosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. H.1845-48
111. B. TT dan ATS Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. - Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. - Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Tetanus Toxoid
Terdapat 2 jenis toksoid yang tersedia, yaitu toksoid teradsorbsi (adsorbed) (aluminium salt precipitated) dan toksoid cair. Meskipun secara serokonversi adalah hampir sama, toksoid adsorbed lebih disukai karena respon antitoksinnya mencapai titer yang lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan dengan toksoid cair. Tetanus toxoid tersedia dalam bentuk antigen tunggal yang dikombinasi dengan toksoid difteri ( diphteria toxoid tetanus (DT) pada anak, sedangkan pada dewasa dalam bentuk adult tetanus-diphteria (Td)) dan dikombinasi dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aseluler (Dtap atau Tdap). Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus:
Keterangan : Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP: booster tetanus toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan pertusis aselular. 1. Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan air liur; tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka bakar, dan frostbite 2.TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum pernah mendapat imunisasi TdaP. Td lebih baik dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP atau TdaP memang tidak tersedia di Indonesia. 3.Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia. TIG: 250 U i.m. di sisi ekstremitas lain dari pemberian tetanus toksoid 4. Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat tetap diberikan dan sebaiknya berupa adsorbed toxoid 5.Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus 6.Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus dan tidak diperlukan booster lagi. Referensi: 1. CDC. Tetanus. http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf 2. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penalaksanaan Tetanus Pada Anak.
112. E. Quinin + Klindamisin K n Pada prrinsipnya pengobatan p malaria paada ibu ham mil sama deengan penggobatan pad da orang dewasa lainnya. Perbedaann P nya adalah pada pem mberian obaat malaria berdasarkaan umur kehamilan. Pada ibbu hamil tiddak diberikaan Primakuin n. Pengob batan Malaaria falciparum pada Ibu I Hamil Umur Kehamilan K Peng gobatan Trimestter I (0-3 buulan) Kinaa tablet + Klindamisin K selama 7 haari Trimestter II (4-6 bulan) b ACT T tablet selaama 3 hari Trimestter III (7-9 bulan) b ACT T tablet selaama 3 hari Pengob batan Malaaria vivaks pada Ibu Hamil H Umur Kehamilan K Trimestter I (0-3 buulan) Trimestter II (4-6 bulan) b Trimestter III (7-9 bulan) b
Peng gobatan Kinaa tablet selaama 7 hari ACT T tablet selaama 3 hari ACT T tablet selaama 3 hari
Dosis klindamisin k 10 mg/kgB BB diberikann 2 x sehari. Sebagaii kelompok yang berisiiko tinggi pada p ibu ham mil dilakukaan penapisaan/skrining terhadap t malariaa yang dilakkukan sebaikknya sedinii mungkin atau a begitu ibu tahu baahwa diriny ya hamil. Pada faasilitas keseehatan, skrinning ibu ham mil dilakuk kan pada kuunjungannyaa pertama sekali s ke tenaga kesehatann/fasilitas kesehatan. k Selanjutny ya pada ibu i hamil juga diaanjurkan mengguunakan kelaambu berinssektisida settiap tidur. Referennsi: Pedomaan Penatalaaksanaan Kaasus Malariia di Indoneesia. Gebrakk Malaria. Direktorat Jenderal J Pengendalian Penyyakit dan Peenyehatan Lingkungan L . Departemeen Kesehataan Indonesiia. 2012. Jakarta.. 113.A. Amenore primer p
Amenorea Definisi: Amenorea adalah keadaaan tidak terjadinya menstruasi pada seorang wanita. Hal tersebut normal terjadi pada masa sebelum pubertas, kehamilan dan menyusui, dan setelah menopause. Siklus menstruasi normal meliputi interaksi antara komplek hipotalamus hipofisis-aksis indung telur serta organ reproduksi yang sehat (lihat artikel menstruasi). Amenorea sendiri terbagi dua, yaitu: Amenorea primer Amenorea primer adalah keadaan tidak terjadinya menstruasi pada wanita usia 16 tahun. Amenorea primer terjadi pada 0.1 – 2.5% wanita usia reproduksi Amenorea sekunder Amenorea sekunder adalah tidak terjadinya menstruasi selama 3 siklus (pada kasus oligomenorea ), atau 6 siklus setelah sebelumnya mendapatkan siklus menstruasi biasa. Angka kejadian berkisar antara 1 – 5% Penyebab: Penyebab tersering dari amenorea primer adalah: Pubertas terlambat Kegagalan dari fungsi indung telur Agenesis uterovaginal (tidak tumbuhnya organ rahim dan vagina) Gangguan pada susunan saraf pusat Himen imperforata yang menyebabkan sumbatan keluarnya darah menstruasi dapat dipikirkan apabila wanita memiliki rahim dan vagina normal Penyebab terbanyak dari amenorea sekunder adalah kehamilan, setelah kehamilan, menyusui, dan penggunaan metode kontrasepsi disingkirkan, maka penyebab lainnya adalah: Stress dan depresi Nutrisi yang kurang, penurunan berat badan berlebihan, olahraga berlebihan, obesitas Gangguan hipotalamus dan hipofisis Gangguan indung telur Obat-obatan Penyakit kronik dan Sindrom AshermanGambar 2. Komplek hipotalamus-hipofisiaksis indung telur Tanda dan gejala: Tanda amenorea adalah tidak didapatkannya menstruasi pada usia 16 tahun, dengan atau tanpa perkembangan seksual sekunder (perkembangan payudara, perkembangan rambut pubis), atau kondisi di mana wanita tersebut tidak mendapatkan menstruasi padahal sebelumnya sudah pernah mendapatkan menstruasi. Gejala lainnya tergantung dari apa yang menyebabkan terjadinya amenorea. Perkembangan pubertas pada wanita normal digambarkan melalui Stadium Tanner, yaitu:
Pemeriksaan Penunjang: Pada amenorea primer, apabila didapatkan adanya perkembangan seksual sekunder maka diperlukan pemeriksaan organ dalam reproduksi (indung telur, rahim, perlekatan dalam rahim) melalui pemeriksaan USG, histerosalpingografi, histeroskopi, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Apabila tidak didapatkan tanda-tanda perkembangan seksualitas sekunder maka diperlukan pemeriksaan kadar hormon FSH dan LH. Setelah kemungkinan kehamilan disingkirkan pada amenorea sekunder, maka dapat dilakukan pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormone (TSH) karena kadar hormon tiroid dapat mempengaruhi kadar hormon prolaktin dalam tubuh. Selain itu kadar hormon prolaktin dalam tubuh juga perlu diperiksa. Apabila kadar hormon TSH dan prolaktin normal, maka Estrogen/Progestogen Challenge Test adalah pilihan untuk melihat kerja hormon estrogen terhadap lapisan endometrium dalam rahim. Selanjutnya dapat dievaluasi dengan MRI.
Terapi: Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan penyebab dari amenorea yang dialami, apabila penyebabnya adalah obesitas, maka diet dan olahraga adalah terapinya. Belajar untuk mengatasi stress dan menurunkan aktivitas fisik yang berlebih juga dapat membantu. Terapi amenorea diklasifikasikan berdasarkan penyebab saluran reproduksi atas dan bawah, penyebab indung telur, dan penyebab susunan saraf pusat. A. Saluran reproduksi 1) Aglutinasi labia (penggumpalan bibir labia) yang dapat diterapi dengan krim estrogen 2) Kelainan bawaan dari vagina, hymen imperforata (selaput dara tidak memiliki lubang), septa vagina (vagina memiliki pembatas di antaranya). Diterapi dengan insisi atau eksisi (operasi kecil) 3) Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser. Sindrom ini terjadi pada wanita yang memiliki indung telur normal namun tidak memiliki rahim dan vagina atau memiliki keduanya namun kecil atau mengerut. Pemeriksaan dengan MRI atau ultrasonografi (USG) dapat membantu melihat kelainan ini. Terapi yang dilakukan berupa terapi nonbedah berupa dilatasi (pelebaran) dari tonjolan di tempat seharusnya vagina berada atau terapi bedah dengan membuat vagina baru menggunakan skin graft 4) Sindrom feminisasi testis. Terjadi pada pasien dengan kromosom 46, XY kariotipe, dan memiliki dominan X-linked sehingga menyebabkan gangguan dari hormon testosteron. Pasien ini memiliki testis dengan fungsi normal tanpa organ dalam reproduksi wanita (indung telur, rahim). Secara fisik bervariasi dari wanita tanpa pertumbuhan rambut ketiak dan pubis sampai penampakan seperti layaknya pria namun infertil (tidak dapat memiliki anak). 5) Parut pada rahim. Parut pada endometrium (lapisan rahim) atau perlekatan intrauterine (dalam rahim) yang disebut sebagai sindrom Asherman dapat terjadi karena tindakan kuret, operasi sesar, miomektomi (operasi pengambilan mioma rahim), atau tuberkulosis. Kelainan ini dapat dilihat dengan histerosalpingografi (melihat rahim dengan menggunakan foto roentgen dengan kontras). Terapi yang dilakukan mencakup operasi pengambilan jaringan parut. Pemberian dosis estrogen setelah operasi terkadang diberikan untuk optimalisasi penyembuhan lapisan dalam rahim B. Gangguan Indung Telur 1) Disgenesis gonadal. Disgenesis gonadal adalah tidak terdapatnya sel telur dengan indung telur yang digantikan oleh jaringan parut. Terapi yang dilakukan dengan terapi penggantian hormon pertumbuhan dan hormon seksual. 2) Kegagalan Ovari Prematur. Kelaianan ini merupakan kegagalan dari fungsi indung telur sebelum usia 40 tahun. Penyebabnya diperkirakan kerusakan sel telur akibat infeksi atau proses autoimun. 3) Tumor ovarium. Tumor indung telur dapat mengganggu fungsi sel telur normal. C. Gangguan Susunan Saraf Pusat 1. Gangguan hipofisis. Tumor atau peradangan pada hipofisis dapat mengakibatkan amenorea. Hiperprolaktinemia (hormon prolaktin berlebih) akibat tumor, obat, atau kelainan lain dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran hormon gonadotropin. Terapi dengan menggunakan agonis dopamin dapat menormalkan kadar prolaktin dalam tubuh.
2.
3.
Sindrom Sheehan adalan tidak efisiennya fungsi hipofisis. Pengobatan berupa penggantian hormon agonis dopamin atau terapi bedah berupa pengangkatan tumor. Gangguan hipotalamus. Sindrom polikistik ovari, gangguan fungsi tiroid, dan Sindrom Cushing merupakan kelainan yang menyebabkan gangguan hipotalamus. Pengobatan sesuai dengan penyebabnya. Hipogonadotropik, hipogonadism. Penyebabnya adalah kelainan organik dan kelainan fungsional (anoreksia nervosa atau bulimia). Pengobatan untuk kelainan fungsional membutuhkan bantuan psikiater.
114.B. Denial Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat. Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya pasti nanti kembali". 115. D. 24-36 jam LEBAM MAYAT/LIVOR MORTIS • Bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terendah tubuh dan yang bebas tekanan. • Mekanismenya: Orang setelah meninggal sistem kardiovaskulernya berhenti, terjadi stasis aliran darah, pengaruh gaya gravitasi darah menuju bagian tubuh yg terendah tapi masih dalam pembuluh darah. • Darah tetap cair karena masih ada aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. • Lebam mayat mulai nampak 30 menit-1 jam postmortem. Menetap 6-8 jam postmortem. Jadi, sebelum 6 jam pada penekanan masih hilang atau memucat. • Lebam mayat menetap disebabkan karena pembuluh darah sudah penuh terisi sel-sel darah & otot-otot pembuluh darah sudah mengalami kekakuan. KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS) Kekakuan otot baik otot volunter maupun non volunter yang terjadi setelah meninggal,dan didahului oleh relaksasi primer. Mekanismenya: Setelah meninggal, lama-lama kadar ATP habis sehingga protein otot (aktin & miosin) menggumpal & otot kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Mulai muncul 2 jam postmortem pada otot-otot kecil,menetap 12 jam sampai 24 jam, setelah 24 jam menghilang. Faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat: Aktivitas fisik Suhu tubuh & lingkungan yg tinggi Bentuk tubuh kurus PEMBUSUKAN (DECOMPOSITION) Proses kerusakan atau degradasi jaringan yg terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis karena faktor enzim.
Terjadi 24 jam postmortem. Ada warna kehijauan pada perut kanan bawah (daerah sekum). Pembusukan lebih cepat bila: Suhu lingkungan optimal (26,5 oC sampai suhu tubuh normal) Kelembapan udara yang cukup Banyak bakteri pembusuk Tubuh gemuk Menderita penyakit infeksi/sepsis 116. B. Eritromisin Diagnosis Banding Batuk Kronik
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit. Diagnosis Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna: Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah. Perdarahan subkonjungtiva. Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis. Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Tatalaksana Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk. Antibiotik Beri eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius. Oksigen Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman. Tatalaksana jalan napas Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret. - Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. - Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen. Perawatan penunjang • Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT. • Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin. • Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam (≥ 390 C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT. Pemantauan Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi. Komplikasi Pneumonia merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia bila
didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat. Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri antikonvulsan. Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang. Perdarahan dan hernia Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut. Tindakan Kesehatan Masyarakat Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya belum lengkap. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi. Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga. Referensi: WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2009 Jakarta. 117.E. Streptomycin Pasien di atas termasuk ke dalam pasien TB dengan riwayat putus pengobatan atau kategori default. Oleh karena itu, pasien seharusnya mendapatkan pengobatan TB kategori 2, yaitu 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3. Pada beberapa keadaan, terdapat kontraindikasi terhadap obat TB, salah satunya kehamilan seperti pada pasien ini. Pada keadaan hamil, obat TB yang menjadi kontraindikasi adalah streptomisin. PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). d. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. e. Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. f. Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. h. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: · Meningitis TB · TB milier dengan atau tanpa meningitis · TB dengan Pleuritis eksudativa · TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. i. Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru) adalah: 1) Untuk TB paru: · Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. · Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. · Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir. 2) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik. Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 118.D. Primary prevention Pembahasan: Terdapat tiga tingkatan pencegahan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan pathogenesis penyakit: 1. Pencegahan Primer (primary prevention) a. Promosi Kesehatan (Health Promotion), contoh: - Penerapan gaya hidup sehat: Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PBHS) - Kadarzi - Penyuluhan Kesehatan Aplikasi Kesehatan Olahraga - Keselamatan Kerja - Kesehatan Jiwa Pemberantasan vektor (PSN) dan penyehatan lingkungan b. Perlindungan spesifik (Spesific Protection), contoh: - Pencegahan penyakit (Imunisasi, kondom, kelambusasi) - Kontrasepsi (KB) - Alat Pelindung Diri (APD) - Penyemprotan/fogging: Lalat, nyamuk, kecoa - Abatisasi - Tindakan kaporisasi sumber air bersih - Isolasi penderita penyakit menular - Kemopreventif kunjungan ke daerah endemis malaria 2. Pencegahan Sekunder (Secondary prevention) Pencegahan Sekunder: a. Diagnosis dini (Early diagnosis), contoh: - Surveilans penyakit menular dan tidak menular - Surveilans gizi pada Balita dan Ibu Hamil - Surveilans KIA: PWS Ibu Hamil, PWS Imunisas, PWS Gizi
-
Deteksi dini penyakit (pengumpulan dan pemeriksaan sputum, pengambilan darah malaria) - Pemantauan ibu hamil resiko tinggi - Penimbangan anak balita dan pemberian PMT - Penjaringan kesehatan anak sekolah - Sweeping drop-out ibu hamil, imunisasi, gizi kurang/buruk b. Pengobatan tepat (Prompt treatment), contoh: - Distribusi makanan tambahan pada gizi kurang atau buruk. - Pelayanan pengobatan: farmakoterapi, terapi bedah, psikoterapi 3. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention) a. Disability limitation b. Rehabilitasi Pada kasus di atas petugas kesehatan melakukan program membagikan kelambu gratis yang mengandung insektisida yang tidak membahayakan manusia agar masyarakat tidak digigit nyamuk saat tidur. Hal ini dilakukan di daerah malaria yang angka kejadian malarianya tinggi. Hal ini termasuk salah satu Primary Prevention (Spesific Protection). 119.B. L5 Drop foot adalah keadaan ketidakmampuan dorsofleksi dan ekstensi jari-jari kaki akibat cedera pada nervus fibularis comunis, atau paralisis otot-otot tungkai bawah bgaian anterior. Drop foot merupakan sebuah gejala yang dapat muncul karena berbagai penyebab seperti trauma otot dan saraf, cedera medulla spinalis, atau sebagai manifestasi akibat toksin dan penyebab sistemik lain.
Gejala drop foot yang melibatkan kelainan saraf pusat biasanya disebabkan oleh kompresi L5 pada vertebra lumbosakral, gejala lain yang dapat timbul adalah kelemahan pada area yang dipersarafi nervus peroneal sampa dengan tibialis posterior. Nyeri pinggang dan ischialgia juga dapat terjadi oleh karena proses patologis yang sama.
Kelainan pada struktur perifer dapat terjadi spontan, proses trauma dapat dibedakan dengan penyebab sentral di mana kelemahan yang terjadi perifer tidak menyebabkan nyeri pinggang, dan ischialgia. Referensi: Berry H, Richardson PM. Common peroneal nerve palsy: a clinical and electrophysiological review. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Dec 1976;39(12):1162-71. Pritchett J. W., Porembski M. A., (2013). Foot Drop. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1234607 Gambar diperoleh dari http://emedicine.medscape.com/article/1234607 120. B. Family with teens Pembahasan:
121.D. Gangguan afekfif bipolar, episode kini depresi Pembahasan: Gangguan depresi: individu biasanya memiliki suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilngan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala lazimnya adalah: 1. Konsentrasi dan perhatian berkurang. 2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang. 3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan skalipun). 4. Pasangan masa depan yang suram dan pesimistis.
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri. 6. Tidur terganggu. 7. Nafsu makan berkurang. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik: gangguan yang bersifat episodik berulang sekurang-kurangnya dua suasana perasaan mood pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu dan pada episode yang sekarang harus memenuhi kriteria mania. Yang khas pada gangguan ini ialah biasanya ada penyembuhan sempurna antarepisode. Pada episode mania, jarang ditemukan hanya episode mania yang berulang-ulang, mesti terdapat episode depresi meskipun hanya sesekali. Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif: pada episode yang sekarang harus memenuhi kriteria depresif dan sekurang-kurangnya terdapat satu episode afektif pada masa lampau. Yang khas pada gangguan ini ialah biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Refrensi: Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 122.B. Pemberian atropin Pada kasus merupakan kasus keracunan obat nyamuk. Obat nyamuk termasuk golongan organofosfat. Insektisida organofosfat adalah pestisida yang paling toksik ditemukan pada manusia dan paling banyak frekuensinya pada keracunan insektisida. Organofosfat diabsorbsi dengan baik mealui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan jalan utama melalui kulit. Oeganofosfat setelah masu ke dalam tubuh akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChE), sehingga AChE menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Manifestasi klinis utama keracunan adalah gangguan penglihatan, kesukaran bernapas, dan hiperaktif gastrointestinal. Pada keracunana akut timbul gejala dalam 30–60 menit dan mencapai puncaknya dalam 2-8 jam. Tingkat keparahan gejala keracunan adalah: Gejala keracunan ringan: anoreksia, sakit kepala, lemah, gelisah, tremor lidah dan kelopak mata, miosis, dan penglihatan kabur. Gejala keracunan sedang: mual, salvias, lakrimasi, muntah, nadi lambat, fasikulasi otot. Gejala keracunan berat: diare, pupil pinpoint dan tidak bereaksi, pernapasan sulit, edema paru, sianosis, kendali sfingter hilang, kejang, koma, dan blok jantung. Kematian keracunan organofosfat umumnya berupa kegagalan pernafaan. Aritmia jantung lebih sedikit menimbulkan kematian dibandingkan kegagalan pernapasan seperti oedem paru, bronkokonstriksi dan kelumpuha otot pernapasan. Pada kasus di atas pasien mengalami penurunan kesadaran, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami intoksikasi organofosfat dengan gejala berat. Penanganan keracunan insektsida organofosfat harus secepat mungkin dilakukan. Keragu-raguan dalam beberapa menit mengikuti pajanan berat akan meningkatkan timbulnya korban akibat dosis letal. Pemeriksaan saluran napas, pernapasan, dan
sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernapasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum. Penanganan pertama yang dilakukan adalah: Berikan sulfas atropine dosis tinggi Bila organofosfat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan. Bila organofosfat tertelan dan penderita tidak sadar maka tidak boleh dimuntahkan karena bahaya aspirasi. Bila penderita berhenti bernapas, segeralah dimulai pernapasan buatan. Terlebih dahulu bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang menyumbat jalan napas. Bila organofosfat tertelan, jangan lakukan pernapasan dari mulut ke mulut. Perbaikan sistem sirkulasi darah Sumber: 1. Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266 – 268. 2. T. A. Gossel dkk. Principle of Clinical Toxicology. Second Ed. Raven Press. New York. 1990 : 133 –139. 3. Budiyanto, A. et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik : Keracunan insektisida. Jakarta : Bagian Kedokteran forensic Fakultas Keokteran Universitas Indonesia. 123.
D. Etambutol
Efek samping Ethambutol yang tersering adalah toksisitas yang terjadi pada mata dan pencegahan terhadap munculnya efek samping ini masih merupakan kontroversi. Penelitian pada hewan ditemukan bahwa ethambutol memiliki efek toksik pada serabut saraf di ganglion retina. Onset terjadinya keluhan pada mata biasanya lambat, bisa berbulan-bulan setelah mulai terapi (rata-rata antara 3-5 bulan, bahkan ada yang sampai 12 bulan), jarang sekali yang muncul secara akut. Pasien yang terkena akan mengeluh penurunan tajam penglihatan pada kedua mata tanpa disertai rasa sakit, penurunan terhadap kontras dan sensitivitas warna serta gangguan lapang pandang. Pada pemeriksaan fisik, gangguan yang terjadi pada kedua mata didapatkan simetris.
Gambar Pasien dengan TB otak yang sedang dalam terapi ethambutol a dan b adalah gambaran saraf optik kanan dan kiri yang sudah menjadi pucat c dan d adalah gambaran gangguan lapang pandang yang diderita, berupa gangguan cecocentral pada kedua mata
Efek Samping Obat Primer TUBERKULOSIS, yaitu: 1. INH (Isoniazid) • Mual , muntah, lemah. • Gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus, reaksi hipersensitivitas. • Demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK. • Kekurangan vitamin B6, penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik, ginekomastia, gejala reumatik, gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus. 2.
Rifampisin • Warna kemerahan pada urine. • Gangguan saluran pencernaan seperti mual dan muntah. • Gangguan fungsi hati. • Reaksi hipersensitivitas atau alergi. • Trombositopenia dan leukopinia. • Abdominal distress (ketidaknyamanan pada perut). • Keluhan influenza (flu syndrom), demam, nyeri otot dan sendi.
3. Ethambutol • Gangguan penglihatan, neuritis optik (peradangan saraf mata), buta warna • Peradangan saraf tepi • Penyakit asam urat • Ruam • Gatal-gatal • Urtikaria • Penurunan jumlah trombosit 4. Streptomisin • Efek samping yang paling utama adalah kerusakan saraf ke delapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran • Tuli • Gangguan keseimbangan • Demam • Sakit kepala 5. Pirazinamid • Gangguan yang utama adalah hepatitis • Nyeri sendi • Reaksi hipersensitas seperti demam, mual kemerahan , dan reaksi kulit yang lain 124. E. Tidak Perlu Identifikasi Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari finger print (FP), dental record (DR), dan DNA. Serta Secondary Identifiers yang terdiri dari medical (M),
property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem dengan postmortem. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers. Kondisi utama jenazah yang semakin tidak utuh akan semakin mempersulit proses identifikasi jenazah, sehingga memengaruhi keberhasilan penentuan identitas seorang individu. Pada jenazah terbakar dengan keadaan gigi geligi yang masih relatif baik, maka pemeriksaan primer lebih dititikberatkan pada pemeriksaan gigi dibandingkan dengan pemeriksaan primer lain seperti sidik jari namun tetap dikombinasikan dengan pemeriksaan pendukung sekunder. Pada jenazah yang tenggelam dengan pembusukan lanjut keadaan gigi tidak memungkinkan digunakan sebagai bahan prioritas identifikasi sehingga harus menggunakan kombinasi pemeriksaan sekunder. Sebagai tindak lanjut disarankan data identitas penduduk tidak hanya tergantung pada kartu sidik jari melainkan mulai untuk digalakkan kepemilikan kartu identitas yang memuat data rekam gigi atau bila memungkinkan data DNA.
Gambar Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah 125.B. Mastoidektomi Pasien pada soal menunjukkan gejala adanya keluhan keluar cairan yang dirasakan kambuhan dan berlangsung lama. Pada pemeriksaan terdapat jaringan granulasi dan kolesteatoma pad marginal atau atik yang mengarahkan diagnosis pada OMSK Maligna. OMSK benigna OMSK maligna Proses letak peradangan Terbatas pad mukosa, tidak Mengenai tulang mengenai tulang Kolesteatoma +
Letak perforasi
Sentral (terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membrane timpani)
Terapi
Konservatif/medikamentosa
Marginal (sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan annulus atau sulkus timpanikum. Atau di atik (di pars flaksida) Mastoidektomi
Prinsip terapi OMSK maligna adalah pembedahan yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan pengobatan dilakukan sebelum pembedahan. Mastoidektomi yang dapat dilakukan adalah: Mastoidektomi sederhana Dilakukan pada OMSK benigna.Pada kondisi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Mastoidektomi radikal Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatoma yang meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid dihilangkan sehinggga ketoga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi Dilakukan pada pasien dengan OMSK maligna dan kolesteatoma. Sumber: 1. Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 69-74. 2. Boies, Lawrence R. 1997. Buku Ajar penyakit THT, Jakarta: EGC. Hlm 107-118. 126.C. 27 Januari 2014 Untuk menentukan usia kehamilan dapat digunakan rumus Naegele sebagai berikut: Tanggal ditambah 7 Bulan dikurang 3 Tahun ditambah 1 Keterangan: (1 bulan = 30 hari) Rumus ini dibagi menjadi 2 bagian besar dalam aplikasinya, yaitu: 1) Bulan Januari-Maret Rumus: (Tanggal + 7 hari), (bulan + 9), (tahun+0) Misalkan hari terakhir menstruasi pada 20 Februari 2009, maka perkiraan kelahiran bayi adalah (20+7), (2+9), (2009+0) sehingga menjadi 27 November 2009
2) Bulan April-Desember Rumus: (Tanggal+7 hari), (bulan-3), (tahun+1) Misalkan hari terakhir menstruasi pada 11 November 2009, maka perkiraan kelahiran bayi adalah (11+7), (11-3), (2009+1) sehingga menjadi 18 Agustus 2010 Metode ini merupakan metode perhitungan usia kehamilan yang sangat umum dilakukan. Biasanya terdapat range hari lahir dengan selisih hingga 7 hari yang dihitung dari tanggal perhitungan kelahiran berdasarkan hari terakhir menstruasi. 127.D. Impending preeklampsia Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan/atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi. Superimposed preeklampsia-eklampsia adalah timbulnya pre-eklampsia atau eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga gejala, yaitu edema, hipertensi, dan proteinuria. Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya preeklampsia. Tekanan darah ≥140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat >30 mmHg atau tekanan diastolik >15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit. Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau +2; atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, dimabil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila satu atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan: 1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih 2) Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; +3 atau +4 pada pemeriksaan kualitatif 3) Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam 4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium 5) Edema paru-paru atau sianosis. Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gejala-gejala preeklampsia disertai kejang atau koma. Sedangkan, bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa gejala dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan tekanan darah progresif, dikatakan pasien tersebut menderita impending preeklampsia. Impending preeklampsia ditangani sebagai kasus eklampsia.
Referensi: Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. HanifaWiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arief Mansjoer. 2008. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 128.B. 400 Formula Friedewald: Menghitung kolesterol LDL dengan rumus: LDL Cholesterol = TOTAL Cholesterol – (HDL Cholesterol + Trigliserida/5) = 500 - (25 + 375/5) = 500 – 100 = 400 mg/dL More info: Cara ini tidak akurat bila TG diatas 400 mg/dL Friedewald tidak direkomendasikan karena variabilitas 3 pengukuran independen (kolesterol total, kolesterol HDL, dan trigliserida) Referensi : Warnick GR, Knopp RH, Fitzpatrick V, Branson L (January 1990). "Estimating low-density lipoprotein cholesterol by the Friedewald equation is adequate for classifying patients on the basis of nationally recommended cutpoints". Clinical Chemistry
129.B. Osteokondroma Osteokondroma adalah tumor jinak tulang dengan penampakan adanya penonjolan tulang yang berbatas tegas sebagai eksostosis yang muncul dari metafisis, penonjolan tulang ini diliputi oleh cartilago hialin. Tumor ini berasal dari komponen tulang (osteosit) dan komponen tulang rawan (chondrosit). Sepuluh persen dari penderita yang memiliki osteokondroma multipel akan mengalami keganasan tulang yang disebut kondrosarkoma, tetapi penderita yang hanya memiliki satu osterokondroma (soliter), kecil kemungkinan untuk berkembang menjadi kondrosarkoma. Terdapat 2 tipe osteokondroma, yaitu bertangkai (pedunculated) dan tidak bertangkai (sesile). Pada tipe pedunculated, pada foto polos tampak penonjolan tulang yang menjauhi sendi dengan korteks dan spongiosa masih normal. Penonjolan ini berbentuk seperti bunga kol (cauliflower) dengan komponen osteosit sebagai tangkai dan komponen kondrosit sebagai bunganya. Densitas penonjolan tulang inhomogen (opaq pada tangkai dan lusen pada bunga). Terkadang tampak adanya kalsifikasi berupa bercak opaq akibat komponen kondral yang mengalami kalsifikasi.
Gejala pada osteokondroma dapat bermanifestasi sebagai berikut: Benjolan yang terletak dekat persendian terutama lutut dan bahu, tidak menekan struktur yang peka nyeri sehingga tidak menimbulkan keluhan. Nyeri pada saat beraktifitas apabila osteokondroma terletak dekat dengan tendon sehingga pada saat beraktivitas tendon akan berbenturan dan menyebabkan nyeri. Kesemutan dan baal dapat terjadi apabila osteokondroma terletak dekat dengan saraf seperti pada bagian belakang lutut, apabila terjadi penekanan saraf akan menimbulkan sensasi kesemutan atau baal. Referensi: Panagiotis. K., et al.; (2008). "Osteochondromas: Review of the Clinical, Radiological and Pathological Features". In Vivo 22 (5): 633–646. Gambar diperoleh dari http://www.orthopaedicsone.com/download/attachments/42271006/oc5.jpg 130.A. Vibrio colera
Morfologi
Vibrio colera Gram (-) Bentuk koma Memiliki 1 flagel Antigen flagel H: tahan panas Antigen somatic O: terdiri dari lipopolisakarida
Kultur Media
Toksin Perlekatan Manifestasi klinis
TCBS: warna kuning TTGA Tes oksidasi (+) Meragi nitrit Enterotoksin Usus halus Diare cair dan banyak Diare seperti air cucian beras Lendir (+) Darah (-)
Giardia lambia Trofozoit: Seperti jambu monyet Memiliki 4 pasang flagel Inti 1 pasang di anterior
Shigella Gram (-) Bentuk batang Flagel (-)
Kista: Bentuk oval Dinding tipis dan kuat Sitoplsama halus dan letak terpisah Kista baru: 2 inti Kista matang: 4 inti
Kapsul (-) Spora (-)
Mc Conkey
Mc Conkey
SSA
Steatore
DCA Tidak memecah laktosa Memecah glukosa Enterotoksin Sitotoksin Ileum terminalis Diare cair dan sedikit Demam
Feses warna pucat Feses berminyak
Lendir (+) Darah (+)
Endotoksin Eksotoksin Usus halus Diare
Motil (-)
Tenesmus (-) Tanda dehidrasi (+)
Kram perut (+) Perut kembung (+)
Tenesmus (+)
Sumber: 1. Jawetz, Melnick & Adelberg’s. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc. Twenty Second Edition. 2001. Pp 235-237. 2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993. Hal 174-175 131.A. Irritabel bowel syndrome Irritabel bowel syndrome adalah adanya nyeri perut, distensi, dan gangguan pola defekasi. Faktor yang menyebabkan terjadinya IBS adalah gangguan motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensosris, abnormal dari interaksi aksi brain-gut, hipersensitivitas visceral, dan pasca infeksi usus. Gejala IBS dapat berupa diare ataupun konstipasi. Kriteria diagnosis IBS adalah mengikuti kriteria Rome III adalah: Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir dengan rasa nyeri/tidak nyaman di abdomen, disertai dengan adanya 2 dari 3 hal berikut: Nyeri hilang dengan defekasi, dan/atau Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi, dan/atau Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan bentuk feses Gejala lain yang mendukung adalah: Ketidaknormalan frekuensi defekasi Kelainan bentuk feses Ketidaknormalan proses defekasi (mengejan, inkontinensi defekasi, atau rasa defekasi tidak tuntas) Adanya mucus/lender Kembung atau merasakan distensi abdomen Kriteria diagnosis lain, yaitu Kriteria Manning: Gejala yang sering didapat adalah: Feses cair pada saat nyeri Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri Nyeri berkurang setelah BAB Tampak abdomen distensi Gejala tambahan: Lendir saat BAB Perasaan tidak lampias saat BAB Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan farmakoterapi. Modifikasi diet Beberapa makanan yang dapat mencetuskan IBS antara lain gandum, susu, kafein, bawang, coklat, dan beberapa sayuran. Psikoterapi Farmakoterapi
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antispasmodic. Pada IBS konstipasi tidak diberikan obat-obatan laksatif stimulant. Pada IBS tipe diare obat yang digunakan adalah loperamid. Inflammatory Bowel Disease Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang terdiri dari 3 jenis, yaitu Kolitis Ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit dibedakan maka termasuk kategori Indeterminate Colitis. GAMBARAN KLINIK IBD Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn Diare kronik ++ ++ Hematochezia ++ + Nyeri perut + ++ Massa abdomen 0 ++ Fistulasi +/++ Stenosis/striktur + ++ Keterlibatan usus halus +/++ Keterlibatan rectum 95% 50% Ekstra intestinal + + Megatoksik kolon + +/Sumber : Sudoyo, A.W et al. (2006). Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 132.C. Icthyosis lamelar Pembahasan: Iktiosis terkait kromosom X: merupakan iktiosis terbanyak ke-2. Saat lahir biasanya skuama halus tidak terlihat nyata, mulai usia 2-6 bulan hiperkeratosis tebal berwarna coklat gelap sampai kuning kecoklatan menutupi badan, ektremitas dan leher. Skuama tidak didapatkan pada wajah namun didapatkan di periaurikuler. Palmar dan plantar normal, hal ini yang biasanya untuk membedakan dengan iktiosis vulgaris.
Iktiosis Vulgaris: kelainan ini biasanya timbul pada tahun pertama kehidupan. Gambaran khas pada kelainan kulit tampak skuama putih keabuan yang menutupi terutama permukaan ekstensor ekstremitas dan badan. Skuama lebih prominen pada permukaan ekstensor ekstremitas, tidak dijumpai pada sisi fleksor dan daerah diaper. Skuama halus putih dijumpai pada daerah yang luas.
Ekstremitas bawah sering merupakan daerah yang paling berat terkena, skuama melekat ditengah, dengan “cracking” (fisura superfisial pada stratum korneum) pada tepinya. Biasanya pada iktiosis ini juga ditemukan keratosis folikularis dan palmoplantar marking (khas pada iktiosis vulgaris). Iktiosis Lamelar: merupakan iktiosis yang tampak sejak lahir. Pada beberapa minggu pertama kehidupan, membran kolloidon secara bertahap menjadi skuama lebar generalisata. Secara khas ditandai dengan skuama lebar, berwarna coklat gelap, pipih yang membentuk pola mosaik dengan eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama melekat ditengah dan meninggi pada tepinya, sering menimbulkan fisura superfisial. Skuama lebar terdapat pada seluruh tubuh, wajah, fleksura telapak tangan dan telapak kaki.
133.C. Erisipelas Pembahasan: Selulitis adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan di daerah jaringan bawah kulit (Subkutis). Gambaran klinis eritema lokal pada kulit dan system vena dan limfatik pada kedua ektrimitas atas dan bawah. Pada pemeriksaan ditemukan kemerahan yang karakteristik hangat, nyeri tekan, demam dan bakterimia.
Eritrasma adalah penyakit kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium minussitimum ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama halus terutama didaerah ketiak dan lipat paha.
Erisipelas adalah penyakit infeksi akut disebabkan Streptococus beta hemoliticus dengan manifestasi eritema merah cerah, berbatas tegas serta disertai dengan gejala konstitusi (demam, atralgi, dll).
Ektima adalah ulkus superficial dengan krusta tebal dan lengket diatasnya berwarna kuning keabuan kotor disebabkan karena Streptococus B hemoliticus, predileksi biasanya ekstremitas bawah atau daerah terbuka.
134.B. Sindrom nefritik Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut. Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA merupakan istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik. Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal. GEJALA KLINIS SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise. Gejalanya: Onset akut (kurang dari 7 hari) Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30% ditemukan pada anak-anak.
Oliguria Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa ditemukan sedang sampai berat. Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi. Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang. Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada HenochSchoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Gejala lain yang mungkin muncul: Pengelihatan kabur Batuk berdahak Penurunan kesadaran Malaise Sesak napas Pemeriksaan urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada 60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3 menurun. Pada pemeriksaan ‘throat swab’ atau ‘skin swab’ dapat ditemukan streptokokkus. Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). 135.D. Leukimia mieloblastik akut Temuan positif pada kasus ini adalah: - Usia penderita 50 tahun, lemas dan pucat sejak 1 minggu yang lalu + perdarahan gusi - Pemeriksaan fisik: hepatosplenomegali - Laboratorium: anemia (Hb 6,8 g/dL), leukositosis (leukosit > 11.000/mm3), trombositopenia (trombosit < 150.000/mm3) - Leukosit darah tepi terutama polimorfonuklear (PMN)
Dari temuan di atas diperoleh informasi yang perlu dicermati, yaitu:
ORGANOMEGALI: hepatomegali splenomegali
ABNORMALITAS PEMERIKSAAN DARAH anemia leukopenia/leokositosis trombositopenia
Karakteristik khas: LEUKEMIA AKUT: - hepatomegali dan splenomegali ringan - ditemukan manifestasi perdarahan dan infeksi - Onset cepat MDT Dominan sel darah: Polimorfonuklear (PMN)
KRONIS: - hepatomegali dan splenomegali berat - Jarang ditemukasn manifestasi perdarahan dan infeksi - Neutropenia, trombositopenia, limfopenia jarang ditemukan dominasi PMN ini menunjukkan adanya peningkatan produksi granulosit di sumsum tulang MIELOBLASTIK
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT More Info: Perbedaan LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT dan LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT LEUKEMIA LIMFOBLASTIK LEUKEMIA AKUT MIELOBLASTIK AKUT Epidemiologi Terutama menyerang anak < 14 th Menyerang segala usia, (90%) bentuk leukemia paling Peningkatan insidensi ke-2 pada usia sering pada dewasa pertengahan (paruh baya) Tipe Proliferasi Sel Neoplasia limfoblastik (Prekusor sel Neoplasia mieloblas limfosit) (Prekusor sel granulosit dan monosit) Derajat diferensiasi Sel blast tidak menunjukkan Sel blast biasanya diferensiasi menunjukkan diferensiasi Prognosis Anak 2-9 th angka kesembuhan 20-25% sembuh dengan 50-75% kemoterapi
Dewasa 35% sembuh dengan kemoterapi Referensi: O’Connor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash Course Pathologi 2nd edition. Elsevier.
136.C. Defisiensi eritropoietin Pada kasus ini didapatkan Hb penderita 9,1 g/dL maka termasuk dalam kondisi anemia. Menurut kriteria WHO, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia, yaitu: 1. Pendekatan morfologi: Pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan perubahan ukuran eritrosit (Mean Corpuscular volume/MCV) dan respons retikulosit. Dengan menggunakan pendekatan morfologi eritrosit yaitu normositik normokromik dimana merupakan anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL), maka keadaan ini dapat disebabkan oleh: • • •
Anemia pada penyakit ginjal kronik. Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik. Anemia hemolitik: - Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell). - Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun, autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa ular).
Anemia Normositik
Anemia Mikrositik
Anemia Makrositik
Sesuai dengan kasus ini di mana pasien merupakan penderita gagal ginjal kronis sehingga anemia pada kasus ini termasuk anemia penyakit kronis. 2. Pendekatan kinetik: Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam turunnya Hb. Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen: Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah: - Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defi siensi Fe) - Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, mielodisplasia, infl itrasi tumor) - Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi) - Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah (eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme]) - Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan sedikit berkurangnya masa hidup erirosit. Meningkatnya destruksi sel darah merah Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah merah 110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari. Kehilangan darah. Dari penjelasan di atas maka jawaban yang paling sesuai adalah defisiensi eritropoietin. Referensi: 1. Schrier SL. 2011.Approach to the adult patient with anemia.www.uptodate.com 2. Schrier SL.2011.Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult. January 2011. www.uptodate.com 3. Teff eri A.2003. Anemia in adults : A contemporary approach to diagnosis. Mayo Clin Proc. 137.C. Meconium Aspiration Syndrome Meconium Aspiration Syndrome (MAS) terjadi jika mekonium yang tercampur dengan cairan ketuban terhirup oleh fetus dalam uterus atau oleh neonatus selama proses persalinan dan kelahiran. Aspirasi mekonium terjadi jika janin mengalami stres selama proses persalinan berlangsung. Bayi seringkali merupakan bayi post-matur. Faktor resiko terjadinya sindroma aspirasi mekonium: Kehamilan post-matur Pre-eklamsi Faktor maternal (DM, Hipertensi) Bayi Kecil masa kehamilan Korioamnionitis Hipoksia intrauterin (Gawat janin, Persalinan sulit)
Presentasi Klinis Meconium Aspiration Syndrome: Air ketuban bercampur mekonium sebelum kelahiran Pewarnaan kuning/hijau oleh mekonium pada neonatus setelah lahir. Gagal pernapasan yang mengarah pada peningkatan diameter anteroposterior dada Skor APGAR buruk Sianosis More Info Hyaline membrane disease (HMD) juga dikenal sebagai sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome / RDS) Kondisi ini biasanya terjadi pada bayi prematur. HMD terjadi pada sekitar 25% neonatus yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu. Insidens meningkat dengan semakin prematurnya neonatus. Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) adalah suatu penyakit ringan pada neonatus yang mendekati cukup bulan atau cukup bulan, yang mengalami gawat napas segera setelah lahir dan hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 hari. Penyakit ini bersifat self- limiting disease dan tidak ada risiko kekambuhan atau disfungsi paru lebih lanjut. Gejala respirasi membaik sejalan dengan mobilisasi cairan dengan diuresis. *Apabila anda menjumpai soal dyspnea pada neonatus yang muncul pada soal exit exam, biasanya secara sederhana dapat dibagi menjadi prematur (Hyaline membrane disease) dan post matur (Meconium aspiration syndrome). Referensi: Falk. R., (2012). APPROACH TO PEDIATRIC DYSPNEA. Learn Pediatric. The University of British Columbia. Kliegman, RM, HB Jenson, KJ Marcdante, & RE Behrman. 2006. Nelson Essentials of Pediatrics. Elsevier Saunders: Philadelphia. 138. A. bronkodilator + antibiotik Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi: 1. Diagnosis beratnya eksaerbasi Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal Kesadaran Tanda vital Analisis gas darah Pneomonia 2. Terapi oksigen adekuat Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. dapat
dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi. 3. Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut a. Antibiotik Peningkatan jumlah sputum Sputum berubah menjadi purulen Peningkatan sesak Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal. b. Bronkodilator Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator. c. Kortikosteroid Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping. 4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas 5. Ventilasi mekanik Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi 6. Kondisi lain yang berkaitan
- Monitor balans cairan elektrolit - Pengeluaran sputum - Gagal jantung atau aritmia 7. Evaluasi ketat progesivitas penyakit Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik. Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi : - Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit - Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal - Kesadaran menurun - Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg - Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg - Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi - Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura dan emboli masif - Penggunaan NIPPV yang gagal Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan primer/puskesmas
Referensi: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Diagnosis
dan
139.E. 2RHZE/HRZE/5R3H3E3 Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya. a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: · Pasien baru TB paru BTA positif. · Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif · Pasien TB ekstra paru Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: · Pasien kambuh · Pasien gagal · Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 140.A. Proporsi Pembahasan: Macam variabel penelitian: Variabel Nominal, yaitu variabel yang ditetapkan berdasar atas proses penggolongan; variabel ini bersifat diskret dan saling pilah (mutually exclusive) antara kategori yang satu dan kategori yang lain; contoh: jenis kelamin, status perkawinan, jenis pekerjaan. Variabel Ordinal, yaitu variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam atribut tertentu. Jenjang tertinggi biasa diberi angka 1, jenjang di bawahnya diberi angka 2, lalu di bawahnya di beri angka 3 dan seterusnya. Variabel Interval, yaitu variabel yang dihasilkan dari pengukuran, yang di dalam pengukuran itu diasaumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang sama. Contoh: variabel interval misalnya prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu program dinyatakan dalam skor, penghasilan dan sebagainya. Variabel ratio, adalah variabel yang dalam kuantifikasinya mempunyai nol mutlak. Contoh Berat Badan, Tinggi Badan. Pada skenario tersebut responden dapat memberikan pendapat melalui 5 kategori pilihan jawaban yg terdiri dari "sangat tidak setuju", "tidak setuju", "ragu ragu", setuju, " sangat setuju", sehingga ini termasuk dalam variabel ordinal dan untuk menghitung jumlah respons/penilaian masyarakat adalah dengan cara menghitung frekuensi proporsi setiap kategori. Misalnya: Sangat setuju = 20 orang, Setuju = 15 orang dan seterusnya.
141.A. Asam folat Asam folat adalah salah satu vitamin yang termasuk dalam kelompok vitamin B, yaitu vitamin B9, merupakan salah satu unsur penting dalam sintesis DNA (deoxyribo nucleic acid). Unsur ini diperlukan sebagai koenzim dalam sintesis pirimidin. Kebutuhan meningkat pada saat terjadi peningkatan pembentukan sel seperti pada kehamilan, keganasan dan bayi prematur. Pada ibu hamil, asam folat berperan penting dalam pembentukan satu per tiga sel darah merah. Itu sebabnya, ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat umumnya juga mengalami anemia dengan segala konsekuensinya (terlihat pucat dan mudah letih, lesu dan lemas). Bahkan, juga berisiko mengalami persalinan prematur, plasenta lepas sebelum waktunya (solusio plasentae) dan keguguran. Meskipun asam folat dapat dipenuhi oleh nutrisi sehari-hari, ibu hamil tetap memerlukan tambahan asam folat. Itulah sebabnya suplementasi asam folat dianjurkan meskipun status gizi ibu hamil tersebut berada pada “jalur hijau” Kartu Menuju Sehat (KMS) ibu hamil. Kekurangan asam folat juga sangat berpengaruh pada perkembangan sistem saraf utama otak dan tulang belakang janin seperti pada cacat tabung saraf janin (neural tube defect/NTD). Cacat tabung saraf janin sendiri dibagi menjadi 3 bentuk yaitu spina bifida, anensefali, dan encephalocele. Spina bifida adalah adanya celah pada tulang belakang sehingga tidak bisa tertutup sempurna akibat beberapa ruas tulang gagal bertaut. Cacat jenis ini banyak terjadi di antara ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat, yakni 65%. Meski bisa bertahan hidup, namun bayi spina bifida sering disertai kelainan lain seperti kelumpuhan dan tidak ada kontrol untuk buang air besar dan kecil. Anensefali adalah tidak sempurnanya pertumbuhan tengkorak kepala dan otak. Jenis yang sering membawa kematian begitu bayi dilahirkan ini, dialami sekitar 25% dari ibu hamil yang kekurangan asam folat. Encephalocele adalah adanya tonjolan di belakang kepala. Jenis ini diderita sekitar 10% dari ibu yang kekurangan asam folat. 142.C. Kepala PERAWATAN ANTENATAL LANJUTAN Jadwal baku kunjungan antenatal (Focused Antenatal Care) adalah: Tiap 4 minggu dari kehamilan 0 – 32 minggu Tiap 2 minggu pada kehamilan 32 – 36 minggu Tiap minggu selama kehamilan 36 minggu sampai aterm Pada setiap kunjungan antenatal dilakukan pemeriksaan baku berupa: 1. Berat badan 2. Pengukuran Tekanan darah 3. Pengukuran tinggi Fundus Uteri
4. Menghitung frekuensi dan pola detik jantung janin 5. Pemeriksaan presentasi dan posisi janin 6. Pemeriksaan kadar haemoglobin 7. Pemeriksaan Glukosa 8. Pemeriksaan Protein urine Perawatan antenatal sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak 4 kali: Pertama kali pada kehamilan muda Kedua sekitar kehamilan 28 minggu Ketiga sekitar kehamilan 32 minggu Kempat sekitar kehamilan aterm Kesehatan maternal adalah hal yang sangat penting bagi perkembangan janin dan harus memperoleh perhatian yang memadai selama kehamilan. Berat badan ibu Berat badan sebelum kehamilan serta pertambahan berat badan selama kehamilan perlu dalam perkembangan janin. Kenaikan berat badan selama kehamilan berkisar 11–12 kg. Kenaikan berat badan yang tidak memadai merupakan cerminan dari defisit nutrisi, gangguan kesehatan atau kadar hormon tubuh yang tidak sepadan dengan proses anabolisme. Kenaikan berat badan dan penambahan tinggi fundus uteri harus diamati secara ketat selama kehamilan. Tekanan darah Tekanan darah mencerminkan keadaan sirkulasi maternal dan tekanan perfusi darah ke jaringan tubuh. Dalam keadaan normal MAP-Mean Arterial Pressure pada trimester II sedikit lebih rendah dari nilai sebelum kehamilan atau awal kehamilan. MAP = Tekanan Diastolik + 1/3 (Tekanan Sistolik – Tekanan Diastolik) Pada trimester III, tekanan darah pada posisi telentang yang lebih tinggi dibandingkan posisi miring merupakan pertanda adanya ancaman akan terjadinya penyakit hipertensi. Dalam keadaan normal, pada posisi telentang tekanan darah justru lebih rendah dibandingkan posisi miring kekiri. Tinggi fundus uteri Jarak fundus uteri diukur dengan pita pengukur (dari tepi atas simfisis sampai puncak fundus uteri). Perkiraan tinggi fundus uteri diperiksa melalui palpasi abdomen (Leopold I). Denyut jantung janin Denyut Jantung Janin dapat didengarkan dengan Doppler. Pemeriksaan DJJ meliputi frekuensi, akselerasi atau deselerasi atau keteraturan dengan menggunakan alat kardiotokografi atau diperkirakan secara tradisional dengan menggunakan fetoskop (dihitung sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 5 detik dan jeda selama 5 detik di kalikan 4) Pemeriksaan presentasi dan posisi janin Pasien diminta mengosongkan kandung kemih dan kemudian diminta untuk berbaring telentang dengan lutut semifleksi. Dilakukan pemeriksaan palpasi abdomen dengan tehnik LEOPOLD
PEMERIKSAAN ABDOMEN Palpasi abdomen merupakan bagian penting dalam pemeriksaan antenatal. Ini adalah langkah paling mudah dan murah untuk menentukan adanya hambatan pertumbuhan janin, pertumbuhan berlebihan pada kasus hidramnion atau kehamilan kembar. BATASAN LETAK JANIN Letak: Hubungan antara sumbu panjang ibu dengan sumbu panjang janin Misal: Letak lintang , letak memanjang , letak oblique Sikap: Fleksi atau defleksi (dalam keadaan normal semua persendian janin intrauterin dalam keadaan fleksi)
Presentasi: bagian terendah janin (presentasi kepala, presentasi sungsang) Posisi: orientasi dari bagian janin (denominator) dengan panggul ibu Ubun kecil kiri depan, sacrum kiri melintang, dagu kanan depan dan sebagainya Denominator: Ubun ubun kecil pada presentasi belakang kepala Sacrum pada presentasi sungsang Dagu pada presentasi muka Untuk kepentingan deskripsi posisi bagian terendah janin dalam panggul maka panggul dibagi menjadi 8 bagian:
LEOPO OLD I
Leopoldd I Pemerikksa berdiri dikanan daan menghaddap ke arah muka pasieen. Kedua telapak t tanggan ditempaatkan pada fundus f uterri. Untuk menentukan m n tinggi funndus uteri dan d ditentukkan bagian janin yangg berada dii fundus uteri. LEOPO OLD II
Leopoldd II Pemerikksa berdiri dikanan daan menghaddap ke arah muka pasieen. Kedua telapak t tanggan ditempaatkan pada sisi kiri dan n kanan uteerus setingggi umbilikus.. Untuk menentukan m n lokasi baggian pungguung janin da an bagian-bagian kecil janin.
LEOPOLD III
Leopold III Pemeriksaan ini dilakukan dengan perlahan oleh karena dapat menyebabkan perasaan tak nyaman bagi pasien. Pemeriksa berdiri di kanan dan menghadap ke arah muka pasien, bagian terendah janin dipegang di antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan. Untuk menentukan apa yang menjadi bagian terendah janin dan apakah sudah mengalami engagement atau belum. LEOPOLD IV
Leopold IV Pemeriksa berdiri dikanan dan menghadap ke arah kaki pasien. Kedua telapak tangan ditempatkan disisi kiri dan kanan bagian terendah janin. Digunakan untuk menentukan sampai berapa jauh derajat desensus janin. PALPASI ABDOMEN DESENSUS
PERLIMAAN
UNTUK
MENENTUKAN
DERAJAT
Derajat desensus yang diperiksa melalui palpasi abdomen Pada pemeriksaan palpasi abdomen, seorang pemeriksa harus dapat menjawab 6 pertanyaan penting 1. Kesesuaian tinggi fundus uteri dengan perkiraan usia kehamilan
2. Letak janin
3. Presentasi janin dalam uterus Presentasi adalah bagian terendah janin yang menempati bagian bawah uterus. Pada kehamiolan sekitar 30 minggu, 25% janin berada pada presentasi sungsang. Setelah kehamilan 32 minggu, janin normal akan berada pada presentasi kepala.
4. Presentasi kepala janin
Fleksi kepala sempurna Dagu menempel bagian depan dada Bagian terendah subocciput Presentasi normal pada persalinan fisiologis per vagina.
Kelainan sikap defleksi: Hiperekstensi kepala Bagian terendah janin muka Denominator: dagu Pada dagu posterior tidak mungkin terjadi persalinan spontan pervaginam pada janin aterm 5. Posisi janin
Posisi adalah hubungan antara bagian terendah janin (denominator) dengan panggul ibu
Bila janin pada posisi posterior (occiput berputar kearah sacrum dan muka janin berputar ke depan), maka persalinan akan berlangsung lebih lama. Pada presentase belakang kepala (vertex) yang terjadi pada proses persalinan normal per vaginam, maka ubun ubun kecil berada di bagian anterior.
6. Engagement (penurunan kepala) Yang dimaksud dengan engagement adalah desensus diamater biparietal melalui pintu atas panggul. Cara paling mudah untuk menentukan jumlah bagian kepala yang masih berada di atas pintu atas panggul adalah dengan menilai berapa jari bagian kepala janin masih di atas simfisis. Bila kepala sudah engage, maka bagian kepala yang masih ada di atas simfisis adalah 2 jari (2/5) atau kurang.
Engagement biasanya terjadi saat inpartu dan apakah bagian terendah sudah masuk dalam pintu atas panggul atau belum dan sampai berapa jauh masuknya bagian terendah janin (presentasi) dalam pintu atas panggul digunakan pemeriksaan Leopold IV. Bagian terendah janin sudah masuk PAP Bagian terendah janin masih belum masuk PAP
PEMERIKSAAN VAGINA SELAMA KEHAMILAN Pemeriksaan Vaginal Toucher selama kehamilan: Memeriksa kemungkinan adanya tumor uterus atau ovarium. Identifikasi bagian terendah janin. Menilai maturitas servik saat kehamilan aterm.
Menilai kapasitas panggul: Menilai adanya penonjolan spina ischiadica Mengukur conjugata diagonalis Mengukur distansia intertuberosum
Mengukur conjugata diagonalis:
Menilai kapasitas pintu bawah panggul: (Distansia Interspinarum)
Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fiologi/Obstetri Patologi jilid 1. Jakarta: ECG. Vander, Sherman, Luciano. 2005.Parturition: Human Physiology, Ed. 9, McGraw-Hill, New York: 677-678.
Cuningham dkk. Normal Labor and Delivery: William’s Obstetrics. 22nd Ed. USA. McGraw-Hill: 410-440, 2005. Lukas, Efendi. 2009. Bahan kuliah: Fisiologi Kehamilan. Makassar: Universitas Hasanuddin 143.C. Herpes genital Pembahasan: Varicella atau sering disebut cacar air merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus Varicella zoster dengan manifestasi klinis berupa vesikel pada kulit dan mukosa. Gejala klinis - Masa inkubasi 14-16 hari (10-21 hari) - Gejala prodormal: demam subfebris, malaise, cephalgia, anoreksia - Eritema berubah menjadi papula kemudian vesikel dengan penyebearan sentrifugal dari badan ke wajah dan ekstremitas dengan gambaran polimorfik - Vesikel berisi cairan jernih kemudian pecah membentuk krusta Diagnosis: gejala klinis, laboratorium: pengecatan giemsa dan hematiksilin (mengambil bahan kerokan dasar vesikel) Herpes Zooster: penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela-zoster yang terjadi setelah infeksi primer. Biasanya didahului dengan gejala prodormal seperti demam, pusing, malaise serta nyeri pada otot tulang, gatal dan pegal. Awalnya timbul eritema kemudain menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh dan dapat menjadi pustul dan krusta. Predileksi bersifat dermatom sesuai tempat persyarafan dan unilateral. Herpes Simpleks: penyakit yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 atau 2, sering bersifat rekurens, bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan syaraf tepatnya di ganglia dorsalis. Klasifikasi: Herpes simpleks episode pertama lesi primer, herpes simpleks episode pertama lesi non primer, herpes simpleks rekuren, herpes simpleks asimtomatik. - Herpes simpleks episode pertama lesi primer Kelainan kulit berupa vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematosa disertai rasa nyeri. Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina atau uretra, dapat disertai keluhan sistematik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan pembengkakan inguinal. Terdapat keluhan neuropati, pembengkakan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari. - Herpes simpleks episode pertama lesi non primer Umumnya lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer. Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari serta jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan sistemik dan neuropati. - Herpes Simpleks rekuren Lesi lebih sedikit, bersifat lokal, unilateral, lebih singkat dan menghilang selama 5 hari, dapat didahului oleh keluhan parastesia 1-2 hari sebelum timbul lesi dan umumnya mengenai daerah yang sama yaitu penis, vulva, anus, atau bokong.
Herpes Simpleks Asimptomatik Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis antibody herpes positif. Terapi: antivirus acyclovir 5 x 200 mg selama 5 hari Moluscum Kontagiosum: merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Poxvirus. Terutama menyerang pada anak-anak dan juga menyerang pada dewasa sebagai infeksi menular seksual. Penyakit ini tidak ada keluhan. Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk kubah miliar, ditengahnya terdapat delle. Jika dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih seperti nasi yang merupakan badan moluskum. Terkadang berbentuk lentikular dengan warna ptuih seperti lilin. Predileksi pada muka, badan dan ekstremitas. Sifilis: merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Sifilis diklasifikasikan atas sifilis didapat dan sifilis kongenital. - Stadium I secara klinis berupa ulkus tunggal, tepi teratur, dasar bersih, terdapt indurasi, tidak nyeri, terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional. - Stadium II terdapat lesi kulit yang polimorf, tidak gatal, dan lesi di mukosa disertai pembesaran kelenjar getah bening generalisata - Stadium III tidak didapatkan lesi digenital dan dikulit, hanya ditemukan test serologi sifilis yang reaktif - Stadium IV didapatkan gumma, yaitu infiltrat sirkumskrip kronis yang cenderung mengalami pelunakan dan bersifat destruktif. Dapat mengenai tulang, kulit dan mukosa. -
144.C. Fixed drug eruption Pembahasan: Dermatitis medikamentosa dengan gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan simetris. Allergic Drug Eruption adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Fix Drug Eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada tempat yang sama. Fix Drug Eruption dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berwarna merah atau keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi berubah menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Lesi dapat dijumpai di kulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar serta tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Nekrolisis Epidermal Toksik adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan.
Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka bakar. Sindrom Stevens-Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. Sumber: - Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139 - Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142 145.A. Malaria cerebral Kasus ini mengarah pada diagnosis malaria. Faktor risiko dalam kasus ini adalah baru kembali dari Papua (daerah endemis malaria), pemeriksaan fisik: suhu 40 0C, Laboratorium Hb 9,6 g/dl anemia. Pasien tidak sadar mungkin dapat terjadi 2 hal: Menandakan infeksi parasit malaria mencapai otak malaria cerebral Koma hipoglikemi Dengan demikian malaria pada pasien ini termasuk malaria dengan komplikasi. Malaria dengan komplikasi digolongkan sebagai malaria berat, dimana menurut definisi WHO (2006), merupakan infeksi Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi berupa: malaria cerebral, anemia berat (Hb < 5), gagal ginjal akut, edema paru, hipoglikemi, syok, perdarahan, kejang, asidosis dan makroskopis hemoglobinuria Malaria serebral Merupakan komplikasi yang paling berbahaya, mortalitasnya 20-50% dengan pengobatan. Gejalanya ditandai dengan apatis, disorientasi, somnolen, delirium, stupor, koma dan perubahan tingkah laku yang dapat terjadi perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, sering disertai kejang. Pada malaria serebral diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak menyebabkan anoksi otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. Hipoglikemi (gula darah < 40 mg/dl) Pada orang dewasa sering berhubungan dengan pengobatan kina. Hipoglikemi juga sering pada wanita hamil khususnya pada primipara. Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaran. Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian terapi kina (dapat
terjadi 3 jam setelah infus kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbohidrat, dan karena TNF alfa yang meningkat. Kondisi hipoglikemia juga dapat menyertai malaria cerebral. Referensi: 1. Regional Guideline on The Management of Severe Falcifarum Malaria in Level II Hospital. World Health Organization South East-Asia Regional Office New Delhi 2004. 2. Paul NH. 2007.Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI: 1732-44. 3. Iskandar Z, Budi S. 2007.Malaria berat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI:1745-48
146.A. Sistemik Lupus Eritematosus Resume kasus: Keluhan: - Kemerahan pada kedua pipi - Riwayat Personal Sosial: baru saja berganti kosmetika baru. - Selain itu pasien juga mengeluh rambut rontok, sering sariawan, nyeri pada sendi dan kulit menjadi kemerahan jika terkena sinar matahari lama Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) pada tahap awal, sering kali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Kewaspadaan Akan Penyakit SLE Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih. 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan. 3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis. 4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis. 5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik. 6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen. 7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru. 8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis. 9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali). 10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia. 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer. Dari kriteria kewaspadaan diatas, 3 kriteria terpenuhi sesuai dengan kasus disoal ini sehingga diagnosis mengarah pada SLE. Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Kriteria Diagnostik: Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi.
Kriteria SLE dari the American College of Rheumatology (ACR), tahun 1997: Kriteria Malar rash
Discoid rash Fotosensitivitas Ulkus oral Arthritis Serositis
Gangguan Renal
Kelainan neorologis
Batasan Erythema yang fixed,datar/meninggi. Letaknya pada malar, biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial. Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic. Kadang tampak scar yang atofi. Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik. Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri. Arthritis nonerosive melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri, bengkak, atau efusi Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural, pleural friction rub, efusipleura. Pada pericarditis tampak pada ECG, gesekan pericard,efusi pericardium. proteinuria > 0,5 g/hari atau >3+, atau cellular cast berupa eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran. Psikosis Kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
Kelainan hematologis
Anemia hemolitic Leukopenia(< 4000/μl) pada dua kali pemeriksaan Limfopenia (< 1500/μl) pada dua kali pemeriksaan Trombositopenia (< 100.000/μl) pada dua kali pemeriksaan Kelainan imunologis Anti ds-DNA , Anti-Sm (antibody terhadap antigen otot polos) , Antifosfolipid antibody, STS false positve. Antibodi antinuclear ANA test + Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi. Referensi: 1. Current Medical Diagnosis and Treatment .2004. Chapter 20:Arthritis and Musculosceletal disorder. 2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
147.C. Salbutamol
Salbutamol adalah obat golongan β2-adrenergic receptor agonist kerja singkat yang ditujukan untuk mengurangi bronkospasme pada penyakit seperti asthma dan PPOK. Reseptor β2-adrenergic terdapat di seluruh tubuh pada organ-organ otot polos dan skelet, jantung serta pembuluh darah, saluran pencernaan, dan mata. Pada sistem kardiovaskular, aktivasi reseptor β2-adrenergic menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi denyut jantung (Chronotropic dan Inotropic positif), dan pada pembuluh darah menyebabkan dilatasi, sehingga dapat menyebabkan gejala-gejala sebagaimana yang terjadi pada kasus. Efek samping paling sering yang ditimbulkan salbutamol adalah tremor, anxietas, nyeri kepala, kram otot, dan palpitasi. Efek lain yang mungkin terjadi dengan frekuensi lebih jarang adalah takikardia, aritmia, iskemik myokard, dan gangguan tidur. Referensi: Selective beta2 agonists–side effects". British National Formulary (57 ed.). London: BMJ Publishing Group Ltd and Royal Pharmaceutical Society Publishing. March 2008. 148.C. 1 – 2 tahun
Gambar letak – letak posisi undensensus testis
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun – 2 tahun. Cara penanganan Maldesensus Testis: 1. Medikamentosa Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan intranasal. Hormon yang diberikan: a. HCG Hormon ini akan merangsang sel Leydig memproduksi testosteron. Dosis: Menurut Mosier (1984): 1000 – 4000 IU, 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri (1982) : 500 1500 IU, intramuskuler, 9 kali selang sehari. Ahli lain memberikan 3300 IU, 3 kali selang sehari untuk UDT unilateral dan 500 IU 20 kali dengan 3 kali seminggu. Injeksi HCH tidak
boleh diberikan tiap hari untuk mencegah desensitisasi sel Leydig terhadap HCG yang akan menyebabkan steroidogenic refractoriness. Hindari dosis tinggi karena menyebabkan efek refrakter testis terhadap HCG, udem interstisial testis, gangguan tubulus dan efek toksis testis. Kadar testosteron diperiksa pre dan post unjeksi, bila belum ada respon dapat diulang 6 bulan berikutnya. Kontraindikasi HCG ialah UDT dengan hernia, pasca operasi hernia, orchydopexy, dan testis ektopik. Miller (16) memberikan HCG pada pasien sekaligus untuk membedakan antara UDT dan testis retraktil. Hasilnya 20% UDT dapat diturunkan sampai posisi normal, dan 58% retraktil testis dapat normal. b. LHRH Dosis 3 x 400 ug intranasal, selama 4 minggu. Akan menurunkan testis secara komplet sebesar 30 – 64 %. c. HCG kombinasi LHRH Dosis : LHRH 3 x 400 ug, intranasal, 4 minggu . Dilanjutkan HCG intramuskuler 5 kali pemberian selang sehari. Usia kurang 2 tahun: 5 x 250 ug, 3 -5 tahun: 5 x 500 ug, di atas 5 tahun: 5 x 1000 ug. Respon terapi: penurunan testis 86,4%, dengan follow up 2 tahun kemudian keberhasilannya bertahan 70,6%. 2. OPERASI Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: 1. Mempertahankan fertilitas, 2. Mencegah timbulnya degenerasi maligna, 3. Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, 4. Melakukan koreksi hernia 5. Secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos. 149.D. Silicosis PNEUMOCONIOSIS Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Pneumoconiosis terdiri atas beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa contohnya adalah: 1. Silicosis Penyakit ini disebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2 yang terisap masuk ke dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat pada pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Silicosis ditandai dengan sesak napas yang disertai batuk tidak berdahak. Silicosis merupakan penyakit yang terparah di antara semua pneumoconiosis, karena bersigat progresif, yaitu jika pajanan dihentikan maka pneumoconiosis tetap akan berlanjut. 2. Asbestosis
Adalah penyakit kerja yang diakibatkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun yang paling utama adalah Magnesium silikat. Asbes dapat menyebabkan tumor pada pleura yang disebutmesotelioma. Mesotelioma bersifat ganas, tidak dapat disembuhkan dan biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun. Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik beratap asbes, dsb. 3. Bissynosis Adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Banyak dijumpai pada pabrik pemitalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas. 4. Anthracosis Adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu karbon (anthracit).Anthracit bersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi dengan paru-paru (Antaruddin, 2003 dalam Wibawa, 2008). Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batu bara atau pada pekerja yang banyak melbatkan penggunaan batu-bara. SILIKOSIS Silikosis (Silicosis) adalah suatu penyakit saluran pernapasan akibat menghirup debu silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Silikon dioksida (silika, SiO2) merupakan senyawa yang umum ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri elektronik. Silikon dioksida kristalin dapat ditemukan dalam berbagai bentuk yaitu sebagai quarsa, kristobalit dan tridimit. Pasir di pantai juga banyak mengandung silika. Silikon dioksida terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat, serta memiliki struktur lokal yang jelas: empat atom oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat yaitu atom silikon. Terdapat 3 jenis silikosis: 1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada. 2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat. 3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak napas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah. Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosis masif progresif. Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang normal. PENYEBAB Silikosis terjadi pada orang-orang yang telah menghirup debu silika selama beberapa tahun. Silika adalah unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada: buruh tambang logam
pekerja pemotong batu dan granit pekerja pengecoran logam pembuat tembikar. Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan terowongan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun. Bila terhirup, serbuk silika masuk ke paru-paru dan sel pembersih (misalnya makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada awalnya, daerah parut ini hanya merupakan bungkahan bulat yang tipis (silikosis noduler simplek). Akhirnya, mereka bergabung menjadi massa yang besar (silikosis konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat mengalirkan oksigen ke dalam darah secara normal. Paru-paru menjadi kurang lentur dan penderita mengalami gangguan pernapasan. GEJALA Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernapasan, tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernapasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak napas. Mulamula sesak napas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat. Keluhan pernapasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis. Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut: demam batuk penurunan berat badan gangguan pernapasan yang berat. DIAGNOSA o Pemeriksaan yang dilakukan: Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut) Tes fungsi paru o Tes PPD (untuk TBC). PENGOBATAN Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah: membatasi pemaparan terhadap silika berhenti merokok menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. . Silika diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC. PENCEGAHAN Silicosis dapat dicegah dengan memastikan kadar silika selalu di bawah ambang batas. Itu sebab, dust sampling (uji debu) perlu dilakukan berkala untuk memantau kadar silika pada suatu area kerja. Jika ditemukan kadar di atas ambang batas, tindakan perbaikan mesti dilakukan. Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor) juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah tanah, ventilasi yang cukup merupakan prasyarat penting untuk mengurangi kadar debu. Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan respirator (masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah partikel debu terhirup ke dalam paru-paru. 150.A. Amoxicillin, Klaritomicin, Omeprazole Infeksi Helicobacter pylori pada sauran cerna bagian ats mempunyai variasi klinis yang beragam mulai dari asimptomatik hingga tukak peptic. Kuman H. pylori memiliki enzim urease yang dapat memecah ureum menjadi ammonia yang bersifat basa. Diagnostik adanya H.pylori dapat dilakukan secara non-invasif dan invasive. Secara non-invasif dapat dilakukan tes serologi dan urea breath test (UBT). Pemeriksaan invasif adalah gastroskopi, histopatologi, kultur. Pemeriksaan UBT merupakan pemeriksaan gold standart pemeriksaan non-invasif untuk menegakkan diagnosis infeksi H.pylori. Prinsip terapi eradikasi Helicobacter pylori sebagai berikut: Terapi lini pertama Terapi diberikan selama 1 minggu. Urutan prioritas sebagai berikut: PPI + Amoksisilin + Klaritromisin PPI + Metronidazol + Klaritromisin PPI + Metronidazol + Tetrasiklin Dosis yang diberikan adalah: OBAT DOSIS Omeprazole 2 x 20 mg Lansoprazole 2 x 30 mg Rabeprazole 2 x 10 mg Esomeprazole 2 x 40 mg Amoksisilin 2 x 100 mg / hari Klaritromisin 2 x 500 mg / hari Metronidazol 3 x 500 mg / hari Tetrasiklin 4 x 250 mg / hari Terapi lini kedua
Terapi lini kedua diberikan jika terapi lini pertama gagal. Kriteria gagal adalah terdapat hasil positif H.pylori pada pemeriksaan Urea Breath Test/HpSA atau histopatologi setelah 4 minggu pasca terapi. Urutan prioritas sebagai berikut: Collodial bismuth subcitrate + PPI + Amoksisilin + Klaritromisin Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol + Klaritromisin Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol + Tetrasiklin Referensi: Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 151.D. Clostridium botulinum PATOGEN PENYEBAB KERACUNAN MAKANAN Clostridium botulinum Clostridium Staphylococcus perfringens aureus Morfologi Gram positif Gram positif Gram positif Spora tahan panas Endospora (+) Spora (-) Tidak tahan asam Toksin Toksin botulinum Enterotoksin di usus Toksin tahan panas Termolabil Neurotoksik Transmisi Makanan kaleng yang Bahan pangan kering Makanan kaya dikemas tidak sempurna protein Panganan kaleng yang Daging mentah Makanan yang berasam rendah dikonsumsi keadaan dingin Makanan yang disimpan di suhu ruangan Makanan pada lemari pendingin yang suhunya kurang rendah Muncul 12-36 jam 8-24 jam 4-6 jam gejala Manifestasi Muntah Nyeri perut Muntah klinis Pandangan berganda Diare Diare Nyeri perut Mual Hilang nafsu makan Kram perut Paralisisdaerah mata, faring, laring, dan otot pernapasan Lemah Distensi abdomen Demam ringan Referensi:
1. Muliwan, S.W. 2009. Bakteri Anaerob Yang Erat Kaitannya Dengan Problem di Klinik : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: EGC 2. Badan POM RI. Keracunan Pangan Akibat bakteri Patogen. Diunduh dari: http://ik.pom.go.id/v2012/wp-content/uploads/2011/11/Keracunan-Pangan-AkibatBakteri-Patogen3.pdf 152.C. NaCl 0,9% 500 cc Resume klinis pada kasus: - Pasien penurunan kesadaran - Riwayat Diabetes melitus (+) - Pemeriksaan fisik: TD 180/100 mmHg, GDS 530 Pasien pada kasus ini mengalami koma ketoasidosis diabetikum, yang merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Manajemen Ketoasidosis Diabetikum (KAD) Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Target : penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam pertama dan sisanya dalam 12-16 jam berikutnya. Total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5-8 liter. Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Protokol penatalaksanaan KAD dan HHS (Hiperglikemi Hiperosmolar State) Mulai 1L NaCl 0,9% per jam. Kriteria diagnostik KAD: GDS 250 mg/dl, arterial pH 7.3,bicarbonate 15 mEq/l, dan ketonuria sedang atau ketonemia. Kriteria diagnostik HHS: serum glucose 600 mg/dl, arterial pH _7.3, serum bicarbonate 15 mEq/l, dan minimal ketonuria and ketonemia. †15–20 ml/kg/h; ‡serum Na harus dikoreksi pada keadaan hiperglikemia (setiap 100mg/dl glukosa 100 mg/dl, tambahkan 1.6 mEq untuk kereksi sodium (Na)). Bwt, body weight; IV, intravenous; SC,subcutaneous. -
Referensi: 1. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care 2009. 2. Alberti KG.2004. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In: Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 3. Ennis ED, Kreisberg RA. 2000. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 153.E. Tes Rinne kedua telinga negatif, tidak ada lateralisasi Berdasarkan timbulnya keluhan dan tanda adanya perforasi membrane timpani di bagian sentral pada kedua telinga maka kasus pada soal mengarah pada diagnosis otitis media supuratif kronis. Gambaran klinis yang muncul pada OMSK salah satunya adalah adanya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang sering muncul adalah adanya tuli knduktif dan sebagian kecil adalah tuli campuran. Gangguan bervariasi namun jarang mencapai 50dB. Perforasi sentral (sub total) membrane timpani adalah letak perforasi di sentral dan pars tensa membrane timpani serta seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membrane timpani.
Tes Rinne Positif
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Negatif
Lateraisasi ke telinga yang sakit Lateralisasi ke telinga yang sehat
Positif
Tes Swabach Sama dengan pemeriksa Memanjang
Diagnosis Normal Tuli konduktif
Memendek
Tuli sensorineural
Sumber: 1. Soetirto, I et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 17-18. 2. Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 69-74. 3. Boies, Lawrence R. 1997. Buku Ajar penyakit THT, Jakarta: EGC. Hlm 107-118. 154.C. Miopia tinggi Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam: 1. Miopia sangat ringan, di mana miopia sampai dengan 1 dioptri 2. Miopia ringan, di mana miopia antara1-3 dioptri 3. Miopia sedang, di mana miopia antara 3-6 dioptri 4. Miopia tinggi, di mana miopia 6-10 dioptri 5. Miopia sangat tinggi, di mana miopia >10 dioptri Komplikasi pada miopia tinggi berupa ablasio retina, perdarahan vitreous, katarak, perdarahan koroid dan juling esotropia atau juling ke dalam biasanya mengakibatkan mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia. Referensi: Ilyas S, Tanzil M, Salamun dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003:5. 155.B. Denial Pembahasan: Mekanisme koping adalah suatu pola untuk menahan ketegangan yang mengancam dirinya (pertahanan diri/maladaptif) atau untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi (mekanisme koping/adaptif). - Denial (Fase Penyangkalan dan Pengasingan Diri) Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak dapat disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya, bahwa kematiannya sudah
-
-
-
-
dekat, dan mekanisme ini ternyata memang menolong mereka untuk dapat mengatasi shock khususnya kalau peyangkalan ini periodik. Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan antara menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia hadapi. Anger (Fase Kemarahan) Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus menerus. Masanya tiba dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah dekat. Tetapi kesadaran ini seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka yang sudah tua, yang memang hidupnya sudah tidak berguna lagi?" Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan kadang-kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta, maupun Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku pasien tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya. Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan argumentasiargumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh karena kemarahannya. Bargaining (Fase Tawar Menawar) Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan macam-macam hal kepada Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu, maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayaniMu." Depression (Fase Depresi) Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi. Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan. Sebagai orang percaya memang mungkin dia mengerti adanya tempat dan keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan di surga. Namun, meskipun demikian perasaan putus asa masih akan dialami. Acceptance (Fase Menerima) Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami. Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima kenyataan, bahwa kematian sudah dekat, sehingga mereka mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalanpersoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini biasanya membosankan dan mereka seringkali dilupakan oleh teman-teman dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga pada saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar.
156.A. Trunkus superior pleksus brachialis Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi. Sesuai dengan letak pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma lahir pada saraf tersebut dapat dibagi menjadi 1. Trunkus superior pleksus brachialis (C.5-C6): Paralisis Duchene-Erb menyebabkan adduksi dan endorotasi sendi bahu; dan lengan bawah pronasi-ekstensi. serta hilangnya reflek radial dan biseps. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat lengan akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas disebut sebagai waiter’s tip. 2.
Trunkus inferior pleksus brachialis (C.7,8-Th.1): Paralisis Klumpke lebih jarang terjadi pada trauma kelahiran menyebabkan kelemahan pada seluruh otototot tangan yang diprsarafi oleh nervus medianus dan ulnaris. Pergelangan tangan dan metacarpophalank (MCP) dalam keadaan hyperekstensi, dan fleksi pada sendi-sendi interphalank menyebabkan gambaran claw hand. Secara lengkap anatomi dari pleksus brachialis dibagi menjadi: Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan Branches maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan kelainan yang berbeda-beda. 1. Roots: berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1 2. Trunks: dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks 3. Divisions: dari 3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6 division 4. Cords: 6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords 5. Branches: cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu : n.musculocutaneus, n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris Referensi: Solomon L., Warwick D. J., Selvadurai N.; (2010). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. United Kingdom : Holder Arnold Gambar diperoleh dari http://pediatricneuro.com/alfonso/pg220.htm
157.A. Baru Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif. 2) Kasus yang sebelumnya diobati Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Kasus setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 4) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti yang: i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, iii. kembali diobati dengan BTA negative. Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik. Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 158.A. Kesehatan jiwa Pembahasan: Program wajib yang telah standar dilakukan sesuai pengamatan dan pengalaman penulis, antara lain: 1. Promosi Kesehatan (Promkes) a. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat b. Sosialisasi Program Kesehatan c. Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) 2. Pencegahan Penyakit Menular (P2M) a. Surveilens Epidemiologi
3.
4.
5. 6.
b. Pelacakan Kasus: TBC, Kusta, DBD, Malaria, Flu Burung, ISPA, Diare, IMS (Infeksi Menular Seksual), Rabies Program Pengobatan a. Rawat Jalan Poli Umum b. Rawat Jalan Poli Gigi c. Unit Rawat Inap: Keperawatan, Kebidanan d. Unit Gawat Darurat (UGD) e. Puskesmas Keliling (Puskel) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) a. ANC (Antenatal Care), PNC (Post Natal Care), KB (Keluarga Berencana), b. Persalinan, Rujukan Bumil Resti, Kemitraan Dukun Upaya Peningkatan Gizi a. Penimbangan, Pelacakan Gizi Buruk, Penyuluhan Gizi Kesehatan Lingkungan a. Pengawasan SPAL (saluran pembuangan air limbah), SAMI-JAGA (sumber air minum-jamban keluarga), TTU (tempat-tempat umum), Institusi pemerintah b. Survey Jentik Nyamuk
159.B. Rifampicin Pasien TB dengan Diabetes Melitus harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangiefektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasiretinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Jadi obat TB yang harus diperhatikan pada penderita DM adalah Rifampicin dan Ethambutol. Masalah yang muncul pada kasus ini lebih menekankan interaksi obat TB dengan obat antidiabetik, sehingga jawaban yang tepat adalah Rifampicin. Referensi: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Edisi II Tahun 2011.
160.D. Alfa glukosidase inhibitor Glibenklamid Obat ini termasuk golongan sulfonilurea. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Sulfonil urea kerja panjang tidak dianjurkan pada kondisi: penderita lanjut usia, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada: - Pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, - Pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Efek samping: metformin dapat memberikan efek mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikanpada saat atau sesudah makan. Pioglitazon Termasuk golongan tiazolidindion bekerja dengan berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensicairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Alfa glukosidase inhibitor/Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung, flatulens (74%), nyeri perut (19%), diare (31%), dan peningkatan serum transaminases. Repaglinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Referensi: 1. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011. PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2011. 2. Acarbose (Rx). http://reference.medscape.com/drug/precose-acarbose-342701#0 161.C. Tanda-tanda kehidupan Terdapat beberapa alasan kuat bagi penolong untuk menghentika RJP, antara lain: Penolong sudah melakukan bantuan hidup dasar dan lanjut secara optimal, seperti RJP, defibrilasi pada penderita VT/VF tanpa nadi, pemberian vasopresin,
membuka jalan napas, ventilasi dan oksigenasi, serta sudah melakukan semua pengobatan sesuai pedoman yang ada. Penolong sudah mempertimbangkan bahwa penderita terpapar bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang akan menghambat susuna saraf pusat. Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong. Penolong sudah meremak melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau lebih. Penderita yang tidak respons setelah dilakukan bantuan hidup jantung lanjut setidaknya selama 20 menit. Munculnya Return of Spontaneous Circulation (ROSC) atau kembalinya aktifitas jantung dan pernapasan spontan setelah terjadi henti jantung. *Tanda dari ROSC di antaranya pernapasan spontan, batuk, pergerakan tubuh, denyut nadi teraba, dan tekanan darah terukur.
Menurut panduan kursus bantuan hidup dasar, tanda-tanda klinis kematian yang irreversible seperti kaku mayat, lebam mayat, dan pembusukan merupakan keadaan di mana RJP tidak dilaksanakan. Referensi: PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Lanjut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia: Jakarta. PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Dasar. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.
162.C. Cairan RL 600 cc dalam ½ jam Pada kasus di atas pasien anak mengalami diare dengan dehidrasi berat yang ditandai dengan adanya mata cowong dan turgor kembali sangat lambat. Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang diikuti dengan terapi rehidrasi oral.
Umur < 12 bulan Umur ≥ 12 bulan
Pertama, berikan 30 ml/kg Selanjutnya, berikan 70 ml/kg dalam: dalam: 1 jam 5 jam 30 menit 2,5 jam
Pada kasus di atas usia anak 3 tahun dengan berat badan 20 kg sehingga cairan yang dibutuhkan adalah : (30 ml x 20 ) = 600 ml dalam 30 menit dan selanjutnya diberikan (70 ml x 20 ) = 1.400 ml dalam 2,5 jam. Sumber: World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia. 163.D. Penyakit Hirscprung Anak tersebut mengalami penyakit Hirscprung oleh karena tidak adanya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja secara normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, tidak produktif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan pasase usus. Trias gejala adalah: Keterlambatan evakuasi mekonium Muntah hijau Distensi abdomen Pemeriksaan yang dilakukan dalam menunjang diagnosis adalah: Foto polos abdomen dan pelvis Pada proyeksi lateral dapat memperlihatkan gambaran usus berbentuk corong, sebagai transisi antara bagian usus yang kolaps di sebelah distal dengan bagian dilatasi proksimal yang persarafannya normal. Enema barium Usus tidak perlu dikosongkan terlebih dahulu. Barium tampak mengisi bagian yang tidak berdilatasi, terus masuk ke bagian megakolon yang berdilatasi, melalui bagian transisi yang khas berbentuk corong. Biopsi rectal Biopsi hisap melalui rectal untuk mencari sel ganglion submukosa. Biopsi jaringan usus untuk mencari sel ganglion intermienterik. Pemeriksaan tekanan rectal
Sumber: 1. Short, J.R. Sinopsis Pediatri. Tengerang : Penerbit Binarupa Aksara Pubisher. Hlm 244-246. 2. Kartono, D. Kumpula Kuliah Bedah. Tangerang: Penerbit Binarupa Aksara Pubisher. Hlm 141. 3. Gambar dari : http://medicastore.com/penyakit/903/Penyakit_Hirschprung.html 164.A. Hidrokel Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi. Torsio testis intravaginal terjadi karena korda spermatikus, juga testis, terpuntir bersama tunika vaginalis. Torsio testis intravaginal lebih sering terjadi pada sisi kiri karena korda spermatikus kiri lebih panjang daripada yang kanan sehingga lebih mudah terjadi puntiran. Gejala yang timbul adalah rasa sakit yang sedang sampai berat pada testis yang torsio. Kadang-kadang rasa sakit menjalar sepanjang korda spermatikus ke panggul atau abdomen bagian bawah. Gejala penting yang sangat membantu adalah adanya nyeri testis yang hilang timbul dengan hilangnya rasa sakit secara spontan dalam waktu singkat. Keluhan biasanya disertai mual dan muntah. Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis. Penyebab Orchitis, antara lain: Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis). Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke 4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening. Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya coxsackievirus, varicella, dan echovirus.
Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis, yakni infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis). Tumor testis berasal dari sel germinal atau jaringan stroma testis. Lebih dari 90% berasal dari sel germinal. Tumor ini mempunyai derajat keganasan tinggi, tetapi dapat sembuh bila diberi penanganan adekuat. Pasien biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang seringkali tidak nyeri, namun 30% mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut pada skrotum. 165.E. E. Coli Pielonefritis akut: adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman ini ascending dari bagian bawah ke atas. Kumankuman yang sering adalah Escheria coli, Proteus, Klebsiella spp., dan kokus gram positif. Adapun gejala dan tanda dari pielonefritis akut adalah demam tinggi yang disertai menggigil nyeri di daerah perut dan pinggang, mual maupun muntah. Dapat pula terjadi disuria, frekuensi, dan urgensi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah menilai adanya nyeri pinggang pada regio flank. pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya leukositosis disertai meningkatnya LED, urinalisis terdapat piuria, bakteriuria dan hematuria. Organisme penyebab infeksi tractus urinarius yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli, (80% kasus). E.coli merupakan penghuni normal dari kolon. Organismeorganisme lain yang juda dapat menyebabkan infeksi saluran perkemihan adalah: Golongan Proteus, Klebsiela, Pseudomonas, Enterococcus, dan Staphylococcus. Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan Enterococcus dan Staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut dengan hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan Staphylococcus aureus dalam urine harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal. Demikian juga Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih melalui jalur hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi Salmonella pada urin. Referensi: Suyono, Slamet. 2001. “Ilmu Penyakit Dalam”, edisi 3: Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
166.A. Otitis eksterna difusa
Lokasi Kuman penyebab Gejala
Pengobatan
Otitis Eksterna Sirkumkripta Mengenai kulit liang telinga 1/3 luar Staphylococcus aureus atau Staphylococcus albus
Otitis Eksterna Difusa
Mengenai kulit liang telinga 2/3 dalam Pseudomonas Staphylococcus albus Eschericia coli Nyeri hebat tidak sesuai Nyeri tekan tragus besar bisul Liang telinga sangat sempit Liang telinga sempit Nyeri muncul saat KGB regional membuka mulut membesar dan nyeri tekan Gangguan pendengaran Sekret berbau Jika furunkel besar maka menyumbat liang telinga Antibiotika lokal Membersihkan liang telinga Jika dinding tebal: dilakuka insisi Tampon antibiotic kemudian dipasang drain untuk mengalirkan nanah
Sumber: Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 64-77. 167.E. Sampo selenum sulfida 1,8% 10 menit sebelum mandi, 2x/seminggu, selama 7 hari Pada kasus di atas, pasien terdiagnosis Pitiriasis Versikolor. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien berupa gatal, kelainan kulit yang terjadi, yaitu ditandai dengan adanya makula hipo atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di atasnya, serta predileksi terutama pada daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas. Pada pemeriksaan penunjang dengan KOH 10% tampak spora, blastospora dan hifa pendek. Penatalaksaan Pitiriasis Versikolor: Topikal: sampo selenium sulfida 1,8% dioleskan diseluruh daerah yang terinfeksi selama 15-30menit sebelum mandi, 2-3x perminggu. Atau dengan sampo ketokonazol 2%, sampo zinc pyrithione dengan cara pemakaian yang sama. Sistemik: hal ini diberikan apabila lesi luas atau sulit untuk disembuhkan, yaitu dengan ketokonazol 200mg/hari selama 10 hari.
168.A. Psoriasis Psoriasis: peradangan kulit yang kronik residif yang ditandai dengan plak eritematosa, diataasnya tertutup skuama kasar, transparan, berlapis-lapis disertai dengan adanya fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner. » Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang warnanya berubah menjadi putih pada goresan, seperti lilin yang digores, hal ini disebabkan terjadi perubahan indeks bias. Menggores dapat dilakukan dengan pinggir gelas alas. (Istilah ini hanya dikenal di Indonesia) » Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara mengerjakannya yaitu skuama yang berlapis-lapis tersebut dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis, pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan terlihat bintik perdarahan. » Fenomena Koebner terlihat pada letak lesi kulit pada psoriasis yang bersesuaian dengan bagian tubuh yang sering terpajan trauma/gesekan (lutuu, siku, lumbosakral). Tinea Corporis: merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh kelompok dermatofita (Trychopyton sp., Epidermophyton sp., dan Microsporum). Biasanya mengenai pada kulit yang tidak berambut dengan keluhan gatal terutama saat berkeringat dan secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda peradangan lebih jelas dan polimorfik yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, serta terdapat penyembuhan di tengah. Pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan KOH tampak hifa panjang atau artrospora. Pitiriasis Rosea: erupsi kulit yang akut dan sering dijumpai, bersifat swasirna, secara khas dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch) dan sering tanpa disertai gejala. Heral patch biasanya berbatas tegas, berdiameter 2-4cm, berbetuk oval/bulat, berwarna salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di bagian tepi perifer plak. Lesi primer ini biasanya terletak dibagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang di leher atau ekstremitas proksimal. Lesi sekunder antara 2 hari-2 bulan setelah lesi awal, tetapi umumnya dalam 2 minggu setelah plak primer. Erupsi simetris terutama pada badan, leher dan ekstremitas proksimal. Morfologi lesi sekunder tidak khas , dapat berupa makula tanpa skuama, maupun plak tidak khas. Terdapat 2 tipe utama lesi sekunder, yaitu: (1) Plak kecil menyerupai plak primer tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan aksis panjang lines of cleavage dengan distribusi seperti pola pohon cemara. (2) Papul kecil, kemerahan, biasanya tanpa skuama yang secara bertahap bertambah jumlahnya dan menyebar ke perifer. Dermatitis Seboroik: penyakit kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik. Dermatitis ini dapat dimulai pada masa bayi berusia 2 minggu, menyembuh sebelum usia 1 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan papuloskuama membentuk plakat eritemaskuamosa di tempat predileksi (daerah seboroik), yaitu wajah, terutama alis dan nasolabial, skalp, retroaurikuler, sternal. Pada bayi dan anak, relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopik tettapi skuama dan krusta lebih berminyak. Di skalp krusta dapat menebal dan menyerupai topi. Pada orang
dewasa, kelainan kulit lebih kering tempat predileksi terutama daerah berambut atau kepala dan gatal dirasakan bila berkeringat atau udara panas. Tinea Intertriginosa: merupakan salah satu bentuk tinea pedis, keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari terutama jari IV dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum. 169.B. Impetigo Krustosa Pembahasan: Etiologi Keluhan Klinis
Pemeriksaan penunjang Terapi
Etiologi Usia Keluhan Kelainan Kulit
Nikolsky Sign
Dermatitis Kontak Iritan Terpajan bahan iritan Gatal, terbakar/nyeri Terjadi reaksi dermatitis (eritem, kering, sering terdapat likenifikasi, papul), bila iritan kuat dermatitis akut, iritan lemah dermatitis kronis setelah pajanan berulang Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi lokalisata, berbatas tegas, luas sesuai kontak bahan penyebab, efloresensi monomorf. Tes tempel guna membedakan dengan DKA Pemberian antihistamin generasi kedua (untuk mengurangi gatal) Pemberian kortikosteroid oral (prednison 20 mg/hari selama 3 hari) berat
Impetigo Krustosa Staphylococcus aureus dan Streptococus β hemoliticus Anak pra sekolah Gatal dan rasa tidak nyaman Awal lesi berupa vesikel atau pustul berdinding tipis yang mudah pecah membentuk krusta tebal kekuningan, lesi dapat melebar 1-2cm disertai lesi satelit di sekitarnya. Positif
Dermatitis Kontak Alergi Terpajan alergen Gatal Terjadi reaksi dermatitis setelah terjadi pajanan alergen. Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi dapat generalisata atau lokalisata, efloresensi polimorf.
Tes tempel untuk mencari penyebab Pemberian antihistamin generasi kedua (untuk mengurangi gatal) Pemberian kortikosteroid oral (prednison 20 mg/hari selama 3 hari) sedangberat
Impetigo Bulosa Staphylococcus aureus dan Streptococus β hemoliticus Anak sekolah Gatal Vesikel-bula kendor, berisi cairan jernih dan dapat pula timbul hipopion di atas kulit normal. Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritem. Negatif
Predileksi Terapi
Daerah wajah, mulut dan hidung antibiotik
terutama Daerah intertriginosa, dada dan punggung Antibiotik
170.B. Konjunctivitis Vernal Konjungtivitis viral: inflamasi pada konjungtiva yang disebabkan oleh adenovirus (paling sering) coxsaxie dan pikornavirus (lebih jarang). Konjungtivitis viral dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan: sekret berair dan purulen terbatas, adanya folikel konjungtiva dan pembesaran kelenjar getah bening periaurikular, mungkin juga terdapat edema kelopan dan lakrimasi berlebih. Konjungtivitis Vernal: Ditemukan terbanyak pada usia 5–25 tahun. Jika di atas 25 tahun, dipikirkan kemungkinan Konjungtivitis Atopik. Gejala yang muncul : rasa gatal yang sangat pada mata, terutama saat ditempat terbuka yang panas terik. Pada pemeriksaan didapatkan tanda khas adanya cobblestone dikonjungtiva tarsalis superior, yang biasanya terdapat pada kedua mata. Sekret mata pada dasarnya mukoid dan menjadi mukopurulen jika terdapat infeksi sekunder. Konjungtivitis bacterial: dengan gejala mata merah, sekret mata dan iritasi mata. Organisme penyebab tersering adalah konjungtivitis bakteri (gram positif), Neisseria gonorrhoea, Herpes simpleks dan Clamidia. Referensi: Ilyas, Sidarta. 2002. dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto. 171.A. Atropin Penanganan keracunan organofosfat selanjutnya adalah pemberian antidotum. Antidotum yang diberikan adalah sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10–15 menit
sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan menghialngkan gejala-gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernapasan diperbaiki karena atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernapasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernapasan. Sumber: 1. Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266 – 268. 2. T. A. Gossel dkk. Principle of Clinical Toxicology. Second Ed. Raven Press. New York. 1990 : 133 –139. 3. Budiyanto, A. et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik : Keracunan insektisida. Jakarta : Bagian Kedokteran forensic Fakultas Keokteran Universitas Indonesia.
172.C. Artesunat 100 mg + Amodiakuin 400 mg dibagi 4 dosis selama 3 hari + Primakuin hari I
Dalam kasus ini memenuhi Trias malaria, yaitu Dingin (menggigil), Demam, dan Berkeringat. Dari tetes darah tebalnya didapatkan gambaran: Accole form Khas Plasmodium Falciparum stadium cincin (ring)
Pengobatan Lini Pertama Malaria falsiparum menurut berat badan dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin:
*Tablet mengandung 50 mg sodium artesunat; Tablet 200 mg Amodiakuin basa *Dosis obat: Amodiakuin basa = 10mg/kgBB dan Artesunat = 4mg/kgBB Primakuin = 0,75mg/kgBB (P. falciparum untuk hari I)
Pada soal tidak didapatkan informasi mengenai berat badan sehingga pemberian terapi didasarkan pada tabel menurut umurnya ( dalam kotak merah) yaitu Artesunat 2 tablet+ Amodiakuin 2 tablet perhari selama 3 hari, karena eliminasi waktu paruh adalah 2- 5 jam maka dapat terbagi menjadi 4 dosis. Terapi artesunat harus dikombinasikan dengan amodiakuin. Daftar Pustaka : Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata Laksana Malaria.
173.E. Trombosit – hematokrit Kasus soal dinomor ini mengarah pada kasus infeksi dengue dimana secara klinis menunjukkan demam antara 1-7 hari, dengan gejala lain seperti mialgia, nyeri kepala, dan nyeri uluhati. Pada pemeriksaan fisik juga menunjukkan hasil positif terhadap dengue. protein non struktural antigen– 1 (+) atau NS1 antigen muncul pada hari 1 setelah onset demam dan menurun sampai tidak terdeteksi pada hari 5-6. Oleh karena itu, tes ini dapat digunakan untuk diagnosis dini. Parameter standar pemeriksaan hematologi adalah trombosit dan hematokrit yang merupakan bagian penting dari diagnosis biologis infeksi dengue . Sehingga harus dimonitor secara cermat. Trombositopenia (penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000/ ml) adalah indikator konstan dalam DHF. Trombositopenia biasanya ditemukan antara hari ketiga dan kedelapan penyakit sering sebelum atau bersamaan dengan perubahan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20 % atau lebih dianggap sebagai bukti definitif peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma. Parameter yang harus dimonitor pada pasien DHF yang dirawat selama masa kritis: Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda gejala lain Perfusi perifer diperiksa sesering mungkin sesuai indikasi karena merupakan indikator awal syok yang mudah dan cepat muncul.
Vital sign (temperatur, denyu nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah) dipantau setidaknya setap 2-4 jam pada pasien tanpa syok dan setiap 1-2 jam pada pasien dengan syok. Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan harus lebih sering pada pasien dengan kondisi tidak stabil atau pada pasien suspek perdarahan. Perlu dicatat bahwa hematokrit harus dilakukan sebelum dilakukan resusitasi cairan. Jika idak mungkin dilakukan maka pemeriksaan hematokrit dilakukan setelah bolus cairan bukan selama diinfus. Urine output harus dicatat setidaknya setiap 8-12 jam pada kasus tanpa komplikasi dan setiap jam pada pasien dengan syok lama atau orang-orang dengan kelebihan cairan. Selama periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml / kg / jam (perhitangan berdasarkan pada berat badan ideal). Daftar Pustaka : Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.
174.A. Polio Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), untuk bayi dan anak berusia 0 hingga 18 tahun, edisi tahun 2011 yang masih baku dan ditampilkan dalam situs resmi IDAI yang diunduh pada Maret 2014, hingga ada pembaharuan lebih lanjut.
Referensi: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).http://idai.or.id/. Diakses Maret 2014. 175.D. Pungsi pleura + OAT kategori I + kortikosteroid tappering off Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya. a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: · Pasien baru TB paru BTA positif. · Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif · Pasien TB ekstra paru Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: · Pasien kambuh · Pasien gagal · Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: · Meningitis TB · TB milier dengan atau tanpa meningitis · TB dengan Pleuritis eksudativa · TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. 176.E. Dermatitis Kontak Iritan Pembahasan : Pada kasus diatas, pasien terdiagnosis Dermatitis Kontak Iritan dimana UKK sesuai dengan dermatitis dan pasien merasakan keluhan setelah mencuci pakaian secara manual. Hal ini berarti akibat pasien terpajan bahan iritan seperti detergen. Dermatitis Kontak Dermatitis Dermatitis Atopik Iritan Kontak Alergi Etiologi Terpajan bahan Terpajan alergen Multifaktorial, seperti faktor iritan genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik.
Keluhan
Gatal, terbakar/nyeri Gatal
Klinis
Terjadi reaksi dermatitis (eritem, kering, sering terdapat likenifikasi, papul), bila iritan kuat dermatitis akut, iritan lema h dermatitis kronis setelah pajanan berulang Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi lokalisata, berbatas tegas, luas sesuai kontak bahan penyebab, efloresensi monomorf.
Pemeriksaan penunjang
Tes tempel membedakan dengan DKA
Terjadi reaksi dermatitis setelah terjadi pajanan alergen. Lesi membaik bila pajanan dihentikan, lesi dapat generalisata atau lokalisata, efloresensi polimorf.
guna Tes tempel untuk mencari penyebab
Gatal, kulit kering, peradangan dan eksudasi Secara klinis pada - fase infantil (0-2 tahun): di kedua pipi, leher, ekstremitas ekstensor, fosa cubiti, fosa poplitea, simetris, bersifat akut, ditandai makula eritematosa yang gatal dapat diikuti dengan lesi papulovesikuler, bila pecah menjadi basah dan membentuk krusta. - Pada fase anak (2-12 tahun) : di fosa cubiti, fosa poplitea (dapat meluas), simetris, bersifat subakut sampai kronik, bekas garukan menyebabkan lebih banyak erosi dan ekskoriasi. - Fase remaja dan dewasa (usia >12 tahun) bersifat kronik, hilang timbul, hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, terutama ekstensor ekstremitas dan tengkuk serta biasanya simetris. Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria Mayor Pruritus Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya Kriteria Minor Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris Pitiriasis alba Dermatitis di papila mame
Terapi
White dermatografism dan delayed blanched response Keilitis Lipatan infra orbital Dennie – Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap Muka pucat dan eritema Gatal bila berkeringat Intolerans perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi Tes alergi kulit tipe dadakan positif Kadar IgE dalam serum meningkat Awitan pada usia dini Pemberian Pemberian Topikal antihistamin antihistamin - Hidrasi kulit generasi kedua generasi kedua - Kortikosteroid topikal (untuk mengurangi (untuk - Imunomodulator topikal gatal) mengurangi Sistemik Pemberian gatal) - Kortikosteroid (untuk kortikosteroid oral Pemberian mengendalikan eksaserbasi (prednison kortikosteroid akut) 20mg/hari selama 3 oral (prednison - Antihistamin (untuk hari) berat 20mg/hari mengurangi rasa gatal) selama 3 hari) - Anti Infeksi (Eritromisin, sedang-berat Kaltromisin), bila ada infeksi virus asiklovir 3x400 mg/hari selama 10 hari
177.D. Frank breech
Presentasi bokong murni (frank breech) Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong. Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech) Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba kaki. Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete breech atau footling) Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki di samping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki. Referensi: Cunningham FG. William Obstetrics 22nd ed. Mc Grawhill Companies. 2005. 178.B. Lesi praganas Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopik yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut: Kategori temuan IVA 1. Normal Licin, merah muda, bentuk porsio normal 2. Infeksi Servisitis (inflamasi, hiperemis) Banyak fluor Ektropion Polip 3. Positif IVA Plak putih Epitel acetowhite (bercak putih) 4. Kanker leher rahim Pertumbuhan seperti bunga kol Pertumbuhan mudah berdarah
Kategori temuan IVA 1. Negatif
2. Positif 1 (+)
3. Positif 2 (++)
Tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) Bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi Garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar Samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih yang irregular pada serviks Lesi bercak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite lessions yang terletak jauh dari sambungan skuamokolumnar. Lesi acetowhite yang buram, padat, dan berbatas jelas sampai ke sambungan skuamokolumnar Lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas, tebal, dan padat Pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite
Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Referensi: Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 179.E. Tablet Fe hingga 2 bulan setelah Hb normal Anak 5 tahun dengan anemia, tanpa demam dan batuk lama menyingkirkan penyebab anemia karena penyakit kronis, pemeriksaan fisik tidak didapatkan splenomegali menyingkirkan adanya hemolisis dan gangguan hemoglobin (thalasemia). Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan apusan darah tepi:
Maka pada anak ini, termasuk anemia defisiensi besi. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi menurut WHO (2013): Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia,maka segera atasi. Beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Minta orang tua anak untuk datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin,pengobatan harus diberikan selama 3 bulan (Dalam panduan WHO tahun 2009 pengobatan diberikan selama 2 bulan). Dibutuhkan waktu 2 – 4 minggu untuk menyembuhkan anemia dan 1-3 bulan setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan persediaan besi tubuh. Jika anak berumur ≥ 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun waktu 6 bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan adanya infeksi cacing cambuk atau cacing pita. Dosis
Kemasan
1x/hari selama 14 hari
Tablet besi/folat (Sulfas ferosus 200 mg + 250 mikrog folat =60 mg elemental iron) Sirup besi (Ferous fumarat 100 mg/5 ml = 20 mg/ml elemental iron)
3-<6kg
Dosis Berdasarkan BB Anak 6-<10kg 10-<15kg 15-<20kg
20-29kg
–
–
½
½
1
1 ml
1.25 ml
2 ml
2.5 ml
4 ml
Transfusi darah harus diberikan dalam 24 jam pertama hanya dalam keadaan:
-
Hb < 4 g/dl
-
Hb 4–6 g/dl dan anak mengalai distres respiratori
Referensi: 1. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common childhood illnesses – 2nd ed. 2. Lanzkowsky P. 2005.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier
180.C. >103 Dalam kasus sederhana, diagnosis infeksi saluran kemih dapat ditegakkan dan pengobatan diberikan berdasarkan gejalanya saja tanpa konfirmasi laboratorium lebih lanjut. Dalam kasus yang kompleks atau meragukan, mungkin berguna untuk memastikan diagnosis dengan urinalisis, mencari adanya nitrit urin, sel darah putih (leukosit), atau esterase leukosit. Pemeriksaan lain, mikroskopi urin, mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, atau bakteri. kultur urin dianggap positif bila menunjukkan jumlah koloni bakteri lebih besar atau sama dengan 103 unit pembentuk koloni (colony forming unit/CFU) per mL organisme saluran kemih biasa. Sensitivitas antibiotik juga dapat diuji dengan kultur ini, sehingga berguna dalam pemilihan pengobatan antibiotik. Gejala Klinis ISK asimtomatik
Kultur Urine Ditemukan organisme yang sama sebanyak > 105 CFU/mL pada dua kali (berturut - turut) pemeriksaan kultur urin
Pielonefritis atau demam disertai gejala > 104 CFU/mL genito urinaria Gejala sesuai ISK bagian bawah akut
> 103 CFU/mL uropatogen
Spesimen yang diambil dari atau melalui - Kondom (secara lege artis) - Aspirasi kateter (lege artis) CFU = colony forming unit
> 105 CFU/mL > 103 CFU/mL
Referensi: Nicolle LE. 2008. "Uncomplicated urinary tract infection in adults including uncomplicated pyelonephritis". UrolClin North Am 35 (1): 1–12, v. Richardson JP. Infection in the urinary tract. In: Adelman AM, Daly MP (eds). Twenty common problems in geriatrics. Singapore: McGraw-Hill; 2001.p.349-55.
181.E. Terbinafin Terbinafin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan penyakit liver kronik ataupun akut (aktive). Idealnya pemberian terbinafin dilakukan setelah pemeriksaan fungsi liver, karena hepatotoksisitas dapat terjadi pada pasien dengan atau tanpa kelainan liver sebelumnya. Pemakaian terbinafin harus segera dihentikan apabila terjadi peningkatan pada pemeriksaan laboratorium fungsi liver, pemeriksaan fungsi liver direkomendasikan dilakukan berkala bagi pasien yang mendapat terapi terbinafin. Telah dilaporkan kasus terjadinya liver failure, bahkan kematian pada pasien yang mendapatkan terapi terbinafin dengan atau tanpa riwayat penyakit liver sebelumnya. Derajat keparahan penyakit berhubungan positif dengan keparahan penyakit sistemik yang telah ada sebelumnya. Pasien yang memperoleh terapi terbinafin harus diberikan penjelasan untuk segera menghentikan minum obat dan menemui dokter apabila mengalami gejala mual, anoreksia, urin berwarna gelap, dan feses pucat. *Apabila menemui soal seperti pada kasus, melihat pilihan jawaban akan cukup membantu karena dari 5 pilihan hanya 1 jawaban (Terbinafin) yang tidak berasal dari golongan azole. Referensi: http://www.drugs.com/pro/terbinafine.html 182. A. Tekanan positif
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi cukup bulan, apakah bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik. Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini: A. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas jika diperlukan, mengeringkan, merangsang) B. Ventilasi C. Kompresi dada D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan dan frekuensi denyut jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah pemberian oksigen tambahan, penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut jantung, pernapasan, dan status oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan pada tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk resusitasi neonatus: 1. Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan. 2. Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara dibanding dengan oksigen 100%. 3. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen), dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri. 4. Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada langkah awal). 5. Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan. 6. Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan. 7. Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit. 8. Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi. Langkah Awal Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit tengadah untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan stimulasi napas. Membersihkan jalan napas: a. Jika cairan amnion jernih. Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP. b. Jika terdapat mekonium. Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan. Praktek yang dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika terdapat bradikardia persisten. Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak bayi. Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma. Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:
1. Resusitasi diantisipasi 2. VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas 3. Sianosis menetap 4. Oksigen tambahan diberikan. Pemberian oksigen tambahan Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal. Ventilasi Tekanan Positif (VTP) Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai. Pernapasan awal dan bantuan ventilasi Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung. Tekanan akhir ekspirasi Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir. Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan dengan gawat napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan CPAP di ruang bersalin. Alat untuk ventilasi Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥ 34 minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti untuk digunakan pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau untuk pemberian obat melalui trakea. Pemasangan intubasi endotrakeal Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah: 1. Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar. 2. Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu lama. 3. Jika dilakukan kompresi dada. 4. Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir amat sangat rendah. Kompresi dada Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
Medikasi Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang volume atau ke duanya dapat dilakukan. Epinefrin Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena 0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat dipertimbangkan sambil menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL). Pengembang volume Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat diulangi. Perawatan pasca resusitasi Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan. Nalokson Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang bersalin untuk bayi dengan depresi napas. Glukosa Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik iskemik. Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah resusitasi dengan tujuan menghindari hipoglikemia. Hipotermia untuk terapi Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur kehamilan 36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan berat. Hasil penelitian ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan neurologik yang lebih rendah pada bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi terapi hipotermia. Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan dilakukan di fasilitas yang memadai. Penghentian resusitasi Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.
Referensi : Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287. Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics 2010;126:e1400-e1413. 183.B. Luka sedang Luka ringan Luka yang tidak mengakibatkan sakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan Misalnya memar atau lecet: o Yang berdasarkan lokasi dan luasnya dianggap tidak mengakibatkan gangguan fungsi
Luka sedang Luka/cedera di antara luka berat dan luka ringan Misalnya: o Vulnus laceratum o Vulnus scissum o Fracture Yang tidak mengancam nyawa Luka berat Menurut pasal 90 KUHP • Tak dapat diharapkan sembuh • Mengancam nyawa • Halangan bekerja permanen • Kehilangan salah satu indera • Cacat berat • Kelumpuhan • Tak dapat berpikir 4 minggu atau lebih • Gugurnya kandungan 184.E. Rett Syndrome Sindrom Rett (DSM IV) adalah suatu gangguan perkembangan pervasive yang mengenai subtansia gricea cerebri, hanya terjadi pada wanita dan berlaku sejak lahir; sindrom ini bersifat progresif dan dikenal pasti dengan tingkah laku autistik, ataxia, dementia, kejang, dan kehilangan kegunaan tangan dengan fungsi tertentu, dengan atrofi cerebral, hyperamonemia ringan Gejala Gangguan Rett atau Rett sindrom terdiri dari beberapa tahap gangguan; 1. Stage I Gejala gangguan ini dimulai pada usia 6 sampai 18 bulan. Pada tahap ini bayi mulai menghindari kontak mata dan kehilangan minat pada benda-benda mainan. Pada tahap ini bayi mengalami keterlambatan dalam merangkak dan duduk. 2. Stage II Gejala gangguan dimulai pada usia 1-4 tahun. Beberapa gangguan yang muncul : Kehilangan kemampuan untuk berbicara Mengulang-ulang perbuatan yang sama Suka menggerakan tangan seperti sedang mencuci Menangis atau menjerit tanpa adanya provokasi Hambatan atau kesulitan dalam berjalan 3. Stage III Gejala gangguan dimulai berkisar antara usia 2-10 tahun. Meskipun gangguan gerak terus berlanjut, anak dengan gangguan Rett masih mengalami perkembangan perilaku. Beberapa gangguan lain pada tahap ini: Sering menangis atau menjerit tanpa sebab yang jelas
Perilaku waspada Permasalahan atensi Hambatan dalam komunikasi nonverbal 4. Stage IV Tahap gangguan ini merupakan lanjutan dari stage sebelumnya, gejala yang muncul pada usia relatif terutama pada ebilitas (kemampuan) mobilitas diri. Gangguan yang muncul berupa gangguan komunikasi, kesulitan dalam memahami bahasa, gangguan psikomotorik pada tangan. Penderita gangguan Rett terlihat lemah dan beberapa diantaranya didiagnosa mengidap scoliosis. Beberapa fakta, pada tahap ini terjadinya penurunan perilaku mengulang ―bermain-main jari-jari tangan seperti mencuci. 185.B. Stroke perdarahan subarachnoid (PSA) Perdarahan Subarachnoid (PSA/ Subarachnoid Hemorrhage-SAH) yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang antara membran Arachnoid dan Pia mater dapat terjadi secara spontan, karena trauma kepala, dan yang paling sering karena ruptur aneurisma pembuluh darah cerebral.
Gejala klasik PSA adalah nyeri kepala hebat seperti tersengat listrik (thunderclap headache) sering terasa pada bagian occipital. Gejala penyerta yang sering muncul adalah muntah, kejang, dan perubahan status mental sampai dengan koma keseluruhan gejala ini muncul karena proses peningkatan tekanan intra kranial. Gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya rangsang meningeal yang terjadi pada PSA meliputi kaku dan nyeri kuduk, nyeri punggung dan nyeri kedua tungkai muncul dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, terjadi pada 80% kasus PSA. Diagnosis klinis PSA harus dicurigai apabila terdapat satu atau lebih dari 6 karakteristik di bawah ini pada pasien yang mengalami nyeri kepala akut hebat non traumatik dalam 1 jam sejak onset nyeri kepala. Usia ≥ 40 tahun Hilang kesadaran Keluhan kaku dan nyeri kuduk Keluhan yang memberat dengan aktivitas Muntah
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg Referensi: Perry JJ, Stiell IG, Sivilotti ML, Bullard MJ, Lee JS, Eisenhauer M. High risk clinical characteristics for subarachnoid haemorrhage in patients with acute headache: prospective cohort study. BMJ. 2010;341:c5204. Gambar diperoleh dari http://www.mayfieldclinic.com/PE-SAH.HTM#.U2IsQ-SrDgE 186.D. Skizofrenia paranoid Skizoafektif: gangguan-gangguan yang bersifat episodik dengan gejala afektif dan skizofrenik yang sama menonjol dan secara bersamaan ada dalam episode yang sama dari penyakit itu atau setidaknya dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain. Skizofrenia Herbefrenik: suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus. Pada pedoman diagnostik, kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia harus terpenuhi. Diagnosis herbefrenik pertama kali ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda. Kepribadian promorbid secara khas tetapi tidak selalu pemalu dan suka menyendiri. Diagnosis herbrefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinyu selama 2-3 bulan lamanya. Skizofrenia Simpleks: suatu kelainan yang tidak lazim dimana ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh. Tidak terdapat waham maupun halusinasi ataupu manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya dan disertai dengan perubahan yang bermakna pada perilaku dorongan, yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial. Skizofrenia Paranoid: pada pedoman diagnostik, kriteria umum skizofrenia harus dipenuhi dan sebagai tambahan, halusinasi/waham harus menonjol. Halusinasi biasanya berupa halusinasi audiotorik seperti mengancam pasien atau memberi perintah atau halusinasi auditorik tanpa verbal seperti bunyi pluit, bunyi tawa, bunyi mendengung. Selain itu, halusinasi pembauan atau pengecapan-rasa atau bersifat seksual atau lain-lain perasaan tubuh. Waham dapat berupa hampir setiap jenis waham tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi atau “passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam merupakan yang paling khas. Skizofrenia Residual: suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala negatif jangka panjang. Pada pedoman diagnostik, persyaratn di bawah ini harus terpenuhi: a) Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor, aktivitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia. c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” skizofrenia. d) Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis yang dapat menjelaskan hendaya negatif tersebut. Sumber: - Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 187.C. Ascaris lumbricoides Askariasis adalah infeksi yang disebabkan cacing usus Ascaris lumbricoides atau dikenal sebagai cacing gelang yang penularannya dengan perantara tanah (Soil Transmitted Helmints). Morfologi sebagai berikut: Ukuran cacing jantan 10-30 cm; sedangkan betina 25-30 cm Stadium dewasa hidup di rongga usus halus Telur yang dibuahi: bentuk oval melebar; memiliki lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol; berwarna coklat keemasan. Telur berbentuk infektiv dalam waktu 2-3 minggu. Manifestasi klinis yang muncul adalah: Fase larva Timbul gangguan pada paru yang berupa batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thorax tampak infiltrate. Keadaan tersebut dinamakan Sindrom Loeffler. Fase cacing dewasa Terjad gangguan usus ringan yaitu mual, nafsu makan menurun, diare atau konstipasi. Pada keadaan infeksi berat yang menyerang anak-anak dapat terjadi keadaan malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses secara langsung, atau ditemukan cacing dewasa yang keluar melalui anus.
PERBEDAAN TELUR CACING Ascaris Lumbricoides
Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis atau cacing kremi adalah parasit yang menyebabkan infeksi usus yang disebut sebagai oxyuriasis atau enterobiasis. Anak berumur 5-14 tahun lebih sering mengalami infeksi dibandingkan dengan orang dewasa. Morfologi cacing adalah: Telur Berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar. Telur memiliki kulit dua lapisan, yaitu: lapisan luar berupa albuminous, translusen, bersifat mechanical protection. Di dalam telur terdapat bentuk larva. Cacing dewasa Cacing dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Cacing jantan memiliki sayap dan ekornya melingar seperti tanda Tanya. Cacing betina memiliki sayap, bulbus esophagus nampak jelas, ekor panjang dan runcing. Bentuk khas adalah tidak terdapat rongga mulut tetapi dijumpai 3 buah bibir, double bulb oesophagus, terdapat cervical alae. Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perineum. Migrasi tersebut disebut sebagai nocturnal migration. Gejala klinis yang menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid. Penderita sering menggaruk daerah tersebut. Gejala klinis yang lain adalah kurang nafsu makan, berat badan turun, insomnia. Pemeriksaan yang mudah dan sering digunakan adalah Graham Scotch Tape. Waktu pengambilan spesimen adalah pagi hari sebelum penderita BAB dan malam hari sebelum tidur saat gejala rasa gatal muncul di sekitar anus. Sumber: 1. Jawetz, Melnick & Adelberg’s. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc. Twenty Second Edition. 2001. 2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993. 3. Gmbar diambil dari : http://itg.contente.eu/Generated/pubx/173/helminthiasis/intestinal_nematodes.htm
188. E. Syok Septik Syok merupakan keadaan di mana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolism sel/jaringan. Syok septic adalah sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Sepsis adalah keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) adalah respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih gejala: Suhu > 38oC atau < 36oC Frekuensi nadi > 90 x/menit RR > 20 x/menit atau PaCO2 <32 mmHg Leukosit darah > 12.000 /mm3 , < 4.000 / mm3 atau batang > 10%
Sumber: Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 189.A. Diuretik Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obatobatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan. a). Diuretik Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari. b). Diet Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini. c) Terapi antikoagulan Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan heparin harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi heparin intravena, antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi. d) Terapi Obat Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 – 6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai 75 %. Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL. Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Referensi: Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4, Aru W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006 Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.
190.C. Kista lutein Kista teka lutein: pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-kadang tanpa adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi sebesar tinju. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan tetapi seringkali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini ialah akibat pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan. Kista folikel: kista ini berasal dari folikel de Graaf yang tidak sampai berovulasi, namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi kista. Kista yang berdiri sendiri bisa menjadi sebesar jeruk nipis. Bagian dalam dinding kista yang tipis terdiri atas beberapa lapisan sel granulosa, akan tetapi karena tekanan di dalam kista, terjadilah atrofi pada lapisan ini. Kista dermoid: tidak ada ciri-ciri yang khas pada kista dermoid. Dinding kista kelihatan putih, keabu-abuan, dan agak tipis. Konsistensi tumor sebagian kistik kenyal, di bagian lain padat. Tumor mengandung elemen-elemen ektodermal, mesodermal, dan entodermal. Maka dapat ditemukan kulit, rambut, kelenjar sebasea, gigi (ektodermal), tulang rawan, serat otot jaringan ikat (mesodermal), dan mukosa traktus gastrointestinalis, epitel saluran pernapasan, dan jaringan tiroid (entodermal). Bahan yang terdapat dalam rongga kista ialah produk dari kelenjar sebasea berupa massa lembek seperti lemak, bercampur dengan rambut. Rambut ini terdapat beberapa serat saja, tetapi dapat pula merupakan gelondongan seperti konde. Kista cokelat (endometriosis): gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat bervariabel. Lokasi yang sering terdapat ialah pada ovarium, dan biasanya di sini didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil samapi kista besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma). Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas pada endometriosis, yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan endometriosis). Referensi: Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005.
191.D. Hitung jumlah platelet Anak perempuan 5 tahun dengan bintik-bintik merah di tangan: Tidak gatal, tidak ada riwayat keluarga menyingkirkan diagnosis dermatitis atopi. Riwayat demam disangkal menyingkirkan adanya perdarahan karena infeksi atau keganasan dan tidak ada nyeri sendi menyingkirkan adanya infeksi yang menyebabkan petekie seperti Sindrom Henoch-Schonlein Purpura.
Riwayat tanpa demam, nyeri sendi, tidak ada gejala anemia dapat menyingkirkan Leukimia Akut.
Riwayat pemakaian obat disangkal dapat menyingkirkan purpura steroid. Maka perdarahan abnormal pada kasus ini disebabkan karena trombositoenia atau fungsi trombosit abnormal yang ditandai dengan purpura kulit spontan, perdarah mukosa, dan perdarahan nberkepanjangan setelah trauma. Keadaan trombositopenia dengan penyebab yang tidak diketahui, juga dikenal sebagai Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP). ITP bentuk akut lebih sering terjadi pada anak-anak,sementara bentuk kronis lebih sering terjadi pada dewasa muda. ITP paling sering terjadi pada anak antara umur 2 – 7 tahun.
Jumlah trombosit yang sangat menurun hingga di bawah 50.000 permikroliter (trombositopenia) dapat menyebabkan seseorang cenderung mengalami perdarahan yang berasal dari venula-venula atau kapiler-kapiler kecil di mana diketahui bahwa trombosit terutama diperlukan untuk menutup kebocoran-kebocoran kecil di kapiler dan pembuluh kecil lainnya tersebut. Sebagai akibatnya, timbul bintik-bintik perdarahan yang dapat berwarna merah atau ungu di seluruh jaringan tubuh. Pada penderita Purpura Trombositopenia Idiopatik dapat ditemukan trombosit yang dihancurkan oleh pembentukan antibodi yang diakibatkan oleh autoantibodi (IgG). Umur eritrosit menjadi lebih pendek akibat destruksi yang menigkat tersebut. Pemeriksaan penunjang: 1. Hitung trombosit/ platelet biasanya 10-50 x 109/l. Konsentrasi hemoglobin an hitung leukosit biasanya normal kecuali bila terdapat anemia defisiens besi akibat kehilangan darah. 2. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal, prothrombin consumptionmemendek, test RL (+). Referensi: 1. Behrman, Kliegman, Jensen. 2000. Nelson Text Book of Pediatrics; 16th Edition. 2. Hoffbrand.A.V, Pettit.J.E, Moss.H.A.P.2005. Kapita selekta Hematologi Edisi 4. EGC: Jakarta 3. William W. Hay,Jr, Anthony R Hayward, Myron J.Levin, Judith M Sondheimer.2001,Current Pediatric Diagnosisand Treatmen, Lange, 15th Edition, International Edition. 192.E. Malaria Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosa pasti malaria apabila ditemukan parasit malaria dalam darah. Anamnesis: Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan: 1. riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria; 2. riwayat tinggal di daerah endemik malaria; 3. riwayat sakit malaria/riwayat demam;
4. riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; 5. riwayat mendapat transfusi darah Pemeriksaan Fisik 1. Demam (>37,5 ºC aksila) 2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat 3. Pembesaran limpa (splenomegali) 4. Pembesaran hati (hepatomegali) 5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urine berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration). Pemeriksaan Laboratorium Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis. Pada soal ini informasi mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ada sehingga analisis terhadap kasus tidak dapat dilakukan secara ideal. Untuk menjawab soal seperti ini hanya dapat dikerjakan secara praktis melalui kata kunci yang diberikan, yaitu pasien sepulang bepergian dari Kalimantan dalam artian pasien memiliki riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria. More info: Diagnosis Banding Malaria Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut.
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan fisik dan Laboratorium
Uji Diagnostik
Demam tifoid
Demam dengue
Leptospirosis
Demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit perut (diare, obstipasi)
Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari disertai keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering muntah - Uji torniquet positif, - penurunan trombosit - peninggian hemoglobin dan hematokrit pada demam berdarah dengue Tes serologi (antigen dan antibodi).
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah,
lidah kotor, bradikardi relatif, roseola, leukopenia, limfositosis relatif, aneosinofilia,
uji serologi dan kultur.
conjunctival injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri betis yang mencolok
Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test
(MAT) atau tes serologi positif.
Referensi: Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata Laksana Malaria. 193.B. Rhinitis Vasomotor Rhinitis vasomotor memiliki gejala klinis: Dicetuskan oleh gejala non spesifik seperti asap/rokok, bau menyengat, udara dingin, stress/emosi. Hidung tersumbat biasanya bergantian kiri dan kanan tergantung posisi. Rinorea mukoid atau serosa; jarang disertai keluhan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur. Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis: faktor yang memengaruhi timbulnya gejala Pemeriksaan rhinoskopi anterior: khas berupa konka merah gelap atau merah tua, dapat pula pucat; permukaan konka licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi); pada rongga hidung terdapat secret mukoid atau serosa.
Referensi: Irawati, Nina et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 135-138.
194.C. Urtikaria Pigmentosa Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal yang khas terjadi pada anak-anak. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel. Darier’s sign digunakan pada pemeriksaan fisik diagnosis urtikaria pigmentosa, prisnipnya dilakukan dengan merangsang pelepasan histamin sehingga menimbulkan reaksi alergi lokal. Darier’s sign dapat dimunculkan dengan menggosok dengan sedikit penekanan, atau dengan perangsangan thermal akan memunculkan urtika pada area yang diperiksa. Lentiginosis adalah keadaan terbentuknya makula coklat atau coklat kehitaman berbentuk bulat atau polisiklik dengan jumlah yang banyak dan distribusi tertentu. Penyakit ini disebabkan karena bertambahnya melanosit pada taut dermo-epidermal tanpa adanya proliferasi fokal. Klasifikasi lentiginosis dibagi menjadi 3 sebagai berikut : Lentiginosis Generalisata: umumnya multipel, timbul satu demi satu atau dalam kelompok kecil sejak sama anak-anak. Timbul pada waktu lahir dan bertambah sampai masa pubertas, ditemukan pada daerah leher pada bagian atas, tetapi dapat juga ditemukan diseluruh tubuh, sering disertai kelainan jantung, stenosis pembuluh nadi paru dan sub aorta. Lentiginosis Sentrofasial diturunkan secara autosomal dominan, timbul pada waktu tahun pertama kehidupan bertambah jumlahnya pada umur 8-9 tahun. Efloresensi berupa makula kecil berwarna coklat atau hitam dengan distribusi terbatas pada garis horisontal melalui sentral muka tanpa mengenai membran mukosa. Sindrom Peutz-Jegher hampir selalu terjadi pada laki-laki, merupakan kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal dominan. berupa makula hiperpigmentasi yang timbul sejak lahir dan berkembang pada masa anak-anak. Efloresensi berupa makula diselaput lendir mulut berbentuk bulat dan oval, tidak teratur, berwarna coklat kehitaman berukursn 1-5 mm. Dengan predileksi pada bukal, gusi, palatum durum, bibir. Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada fase akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Makula café au lait (CAL) adalah makula atau bercak (patch) hiperpigmentasi berwarna seperti kopi susu, biasanya berbentuk bulat atau oval berbatas tegas dengan permukaan halus dan ukuran yang bervariasi. Makula CAL dapat timbul secara kongenital atau
didapat pada saat lahir, segera setelah lahir atau saat masa kanak-kanak. Pengobatan pada makula CAL umumnya tidak diperlukan. Neurofibromatosis tipe 1 (NF-1) adalah sebuah gangguan genetik pada sistem syaraf yang menyebabkan tumor tumbuh pada syaraf di seluruh tubuh. NF dapat mempengaruhi otak, syaraf tulang belakang, atau kulit. NF-1 merupakan spektrum klinis makula CAL stadium lanjut, bahkan makula CAL dapat merupakan satu-satunya tanda awal penyakit ini. Penyakit ini pertama kali menyerang saat masa kanak-kanak, terutama masa pubertas. NF kadang-kadang didiagnosa pada masa bayi, tapi lebih sering pada anakanak antara 3-16 tahun. Referensi: Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. 195.C. Anemia defisiensi B12 Secara kllinis, pasien pada soal ini menunjukkan gejala anemia. Pendekatan diagnostik berdasarkan morfologi dari ukuran eritrosit didapatkan ukuran sel darah merah termasuk makrositer. Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh: Peningkatan retikulosit Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran peningkat-an MCV. Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defi siensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine, hidroksiurea). Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut). Penggunaan alkohol: penyakit hati, Hipotiroidisme. Kemungkinan anemia dalam kasus ini berarti defi siensi folat atau cobalamin (B12). Perbedaan Anemia defisiensi folat dan anemia defisiensi cobalamin (B12). ANEMIA DEFISIENSI ANEMIA DEFISIENSI VIT. B12 ASAM FOLAT Manifestasi Klinis Gastrointestinal: Lebih sering kurang gizi dibanding defisiensi B12 - nyeri lidah - inspeksi: papil lidah Manifestasi halus dan kemerahan gastrointestinal lebih - anorexia, berat badan berat mengakibatkan turun malabsorbsi - diare Tidak nampak Sistem nervorum: abnormalitas neurologis - rasa kebas - parestesia ekstremitas, kelemahan, dan ataksia - Kemungkinan gangguan sfingter
Penyebab
Anemia pernisiosa Penyebab paling lazim karena tidak ada faktor intrinsik dan adanya atrofi pada mukosa maupun dekstruksi autoimun dari sel parietal. Pasca Gastrektomi sumber intrinsik dibuang menyebabkan gangguan absorbsi B12 anemia Organisme intestinal Abnormalitas Ileum: dijumpai pada tropical sprue Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditas lambung e.c. tumor pensekresi gastrin) Nitrous Oxide
Defisiensi asam folat yang berhubungan dengan: asupan inadekuat: peminum alkohol alkohol mengganggu metabolisme folat, drug user karena malnutrisi. peningkatan utilitas: Kehamilan malabsorbsi
Berdasarkan riwayat pasien yang pernah menjalani gastrektomi 4 tahun yang lalu dan juga gejala klinis khas adanya gejala neurologis yang tampak, maka pada pasien ini termasuk anemia defisiensi cobalamin (B12) Referensi: 1. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. 2011. www.uptodate.com 2. Soenarto. 2007. Anemia Megaloblastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.PDPERSI.FKUI
3. Schrier SL. 2011. Macrocytosis. January 2011. www.uptodate.com 196.D. tetes tebal darah Resume kasus: - Keluhan :BAK putih susu - Riwayat penyakit dahulu: demam hilang timbul disertai bengkak pada kelenjar lipat paha 2 tahun yang lalu - Pemeriksaan fisik: edem tungkai bawah dan skrotum Kasus diatas mengarah pada filariasis. Tanda-tanda yang dapat mngarahkan kasus ini adalah: - BAK seperti susu (Kiluria) Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan. -
Limfedema
Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal. - Pembesaran Scrotum 1. Lymph Scrotum Pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar 2. Hidrokel Hidrokel terjadi karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau kedua scrotum, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi . Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus. Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Tanda paling khas adalah pembesaran kaki dan scrotum yang disertai nyeri atau panas, sehingga pada pasien ini kemungkinan cacing yang menjadi penyebab filariasis adalah Wuchereria brancofti (keterlibatan organ genitourinaria). Untuk mendukung kecurigaan terhadap filariasis maka diperlukan pemeriksaan penunjang diagnosis arasitologi. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott. Mikrofilaria aktif pada malam hari terutama pukul 22.00-02.00 sehingga pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan waktu tersebut. Pengambilan spesimen darah lebih baik diambil dari kapiler dibanding dengan darah vena. More info: Manifestasi klinis sebagai infeksi Wuchereria bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Gejala akut yang tampak biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testis, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma.
Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia. Penatalaksanaan: Pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dosis tunggal 6 mg/kg berat badan, Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun pada penduduk yang berusia 2 tahun ke atas. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis, kecuali: 1. Anak-anak berusia < 2tahun 2. Ibu hamil dan menyusui 3. Orang yang sedang sakit 4. Orang tua yang lemah 5. Penderita serangan epilepsi Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC. Referensi: 1. Kumar, Abbas, Fausto, 2005. Pathologic Basic of Disease : 7th edition, Elsevier Saunders, 8: 409-410 2. Departemen Kesehatan RI DirJen PPM & PL. 2004. Buku 4. Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah. Jakarta. 3. Widoyono.2008.Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga. 4. http://content.nejm.org/cgi/content/full/347/23/1885 5. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 197.E. Luka yang menyebabkan keterbatasan fisik dan aktivitas atau hambatan pekerjaan Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah: • jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; • tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; • kehilangan salah satu panca indera; • mendapat cacat berat; • menderita sakit lumpuh; • terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; • gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Referensi: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia. Pedoman teknik pemeriksaan dan interpretasi luka dengan orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta, 2005. Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. Aplikasi trauma-related injury severity score (TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks mediklegal. J I Bedah Indones. 2005;33(2):37- 43. 198.A. Tinel test Sindrom Karpal Tunnel (Carpal Tunnel Syndrome-CTS) mengacu pada penekanan saraf median pergelangan tangan pada struktur yang disebut karpal tunnel. Saraf median membawa sensasi dari permukaan telapak tangan ibu jari dan jari tangan lainnya (kecuali jari kelingking). Saraf ini juga mengontrol otot yang menggerakkan ibu jari. Karpal tunnel dibentuk oleh tulang pergelangan tangan dan ligamen yang disebut fleksor retinakulum yang mengelilingi pergelangan tangan. Tunnel ini jalur sempit bagi saraf median juga banyak tendon yang mengontrol pergerakan jari tangan. Inflamasi maupun penebalan struktur di dalam ataupun di sekitar karpal tunnel dapat menekan saraf median, mengakibatkan nyeri , mati rasa dan melemahnya tangan dan ibu jari. Terdapat beberapa manuver pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis CTS 1. Tinel test/sign
Dilakukan untuk memeriksa adanya iritasi saraf, dikerjakan dengan cara perkusi ringan di pergelangan tangan bagian volar di atas nervus medianus untuk membangkitkan sensasi kesemutan. Positif apabila rasa kesemutan muncul pada area yang dipersarafi N. Medianus (ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan separuh medial jari manis).
2. Manuver Phalen: siku pasien diletakkan di atas meja, lengan bawah tegak lurus terhadap meja dan pergelangan tangan difleksikan. Posisi ini ditahan selama 60 detik. Tes dikatakan positif bila rasa baal atau kesemutan muncul pada jari-jari sisi radial
Referensi: Spicher, C.; Kohut, G.; Miauton, J. 1999. "At which stage of sensory recovery can a tingling sign be expected? A review and proposal for standardization and grading". Journal of hand therapy : official journal of the American Society of Hand Therapists 12 (4): 298–308. Gambar diperoleh dari http://www.drwolgin.com/Pages/carpaltunnel.aspx 199.A. Heimlich maneuver Kacang-kacangan, biji-bijian atau benda kecil lainnya dapat terhirup anak, dan paling sering terjadi pada anak umur < 4 tahun. Benda asing biasanya tersangkut pada bronkus (paling sering pada paru kanan) dan dapat menyebabkan kolaps atau konsolidasi pada bagian distal lokasi penyumbatan. Gejala awal yang tersering adalah tersedak yang dapat diikuti dengan interval bebas gejala dalam beberapa hari atau minggu kemudian sebelum anak menunjukkan gejala wheezing menetap, batuk kronik atau pneumonia yang tidak berespons terhadap terapi. Pertolongan pertama pada anak yang tersedak adalah mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kasus tersebut anak berusia > 1 tahun sehingga dilakukan perasat Heimlich untuk mengeluarkan benda asing sebagai penangan dini. Referensi: WHO Indonesia. (2013). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 200.E. Malaria falciparum Kasus ini mengarah pada malaria. Faktor resiko dari pasien ini adalah baru pulang dari Papua dimana merupakan daerah endemis malaria. Trias Malaria: Periode dingin (minggigil), Demam, Berkeringat. Pembeda P. Falciparum P.Vivax P. Ovale P. Malariae Fase 48 jam/ 48 jam/ 49-50 jam/ 72 jam/ eritrosit / Demam setiap 24Demam tiap hari ke- Demam tiap hari Demam tiap hari Periode 48 jam/tidak teratur 3 (Tertiana Benigna) ke-3 (Tertiana ke-4 (Quartana) demam (Tertiana/ sub Benigna) Tertian/ Tropikana) Ring Cincin halus Cincin tebal Cincin tebal Cincin tebal Accole form Schuffner’s dot Schuffner’s dot (menempel di dinding) Maurer’s dot (di permukaan eritrosit) Ukuran eritrosit: Ukuran eritrosit: Ukuran eritrosit: Ukuran eritrosit: normal membesar membesar kecil
Tropozoit Schizont Gametosit
Headphone configuration Star in the sky (merozoit >>) Sausage/ crescent/banana shape
Schuffner’s dot
Schuffner’s dot
Schuffner’s dot
Schuffner’s dot
Band form (onameboid) Ziemann’s dot
-
-
-
Referensi: 1. Harijanto PN. 2007. Malaria Dalam: Sudoyo AW,et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:FKUI 2. Matteelli A, Castelli F, Caligaris S. 1997.Life cycle of malaria parasites. In Carosi G, Castelli F. (Ed) Handbook of Malaria Infection in the Tropics. Associazione Italiana
‘Amici di R Follereau’ Organizzazione per la Cooperazione Sanitaria Internazionale. Bologna. 3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC).2013.Malaria. http://www.cdc.gov/dpdx/malaria/