SKRIPSI
AEGYPTI BERDASARKAN PEMETAAN DENSITAS LARVA AED ES AEGYPTI PELAKSANAAN PELAKSANAAN 3M DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS DBD KECAMATAN RAPPOCINI KOTA MAKASSAR
MARHAMAH YUDIN K111 12 042
Skripsi ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
iii
RINGKASAN
Universitas Hasanuddin Fakultas Kesehatan Masyarakat Kesehatan Lingkungan Marhamah Yudin (K11112042) Pemetaan Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di daerah Endemis dan Non Endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar (xvi + 121 Halaman + 23 Tabel + 15 Gambar + 13 Lampiran)
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu pen yakit menular yang ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Transmisi DBD dapat dicegah dengan memutuskan rantai penularan dengan cara pengendalian vektor melalui kegiatan pelaksanaan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah survey observasional dengan pendekatan deskriptif dengan menggunakan kuesioner dan melalui pengamatan langsung dengan menggunakan lembar observasi. Populasinya adalah seluruh rumah yang berada di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD. Penentuan sampel dilakukan dengan metode proporsional random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 115 rumah pada Kelurahan Gunung Sari dan 106 pada Kelurahan Rappocini sedangkan titik koordinat ditentukan dengan menggunakan Geographic Position System (GPS). Hasil penelitian ini menunjukkan densitas larva Aedes aegypti pada daerah endemis DBD yang diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 84,35%, House Index (HI) sebesar 15,65%, Container Index (CI) rendah sebesar 87% sedangkan pada daerah non endemis DBD diperoleh ABJ sebesar 80,19%, HI sebesar 19,81%, CI rendah sebesar 83%. Adapun pelaksanaan 3M yang dilakukan secara lengkap sebesar 84,35% pada daerah endemis DBD dan sebesar 80,19% pada daerah non endemis DBD. Hasil pemetaan yang dilakukan menunjukkan densitas larva pada kategori rendah berdasarkan pelaksanaan 3M tidak lengkap di daerah endemis DBD sebesar 72,2% dan 69,8% pada daerah non endemis DBB. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat agar lebih memperhatikan pelaksanaan 3M sehingga perkembangbiakan larva Aedes aegypti dan transmisi DBD dapat dicegah. Daftar Pustaka : 76 (1999-2015) Kata Kunci : Pemetaan, Densitas Larva, Pelaksanaan 3M, Daerah Endemis, dan Non Endemis DBD
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Azza wajalla atas segala rahmat, hidayah dan nikmat-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Pemetaan Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M Di Daerah Endemis dan Non Endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan di
Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin Makassar. Teriring shalawat dan salam kepada teladan kita rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang senantiasa istiqamah mengikuti jalan dakwahnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dal am menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat arahan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, sehing ga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Yudin Karsudin dan Ibunda Husnul Khatimah yang dengan penuh kasih sayang membesarkan dan mendidik penulis dengan pengorbanan yang tak ternilai harganya, orang tua sekaligus guru terbaik yang telah mengajarkan makna kehidupan dan kesungguhannya. Kepada saudara-saudariku Muh. Tri Kusuma Yudin dan Atika Amalia Yudin, Bapak Hadi Siswanto dan Bapak Abu Syamsi beserta seluruh keluarga yang telah memberikan
dukungan baik moril maupun materil dan senantiasa memanjatkan do’a dan harapan
iv
yang sebesar-besarnya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan dan motivasi kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin sekaligus sebagai penasehat akademik (PA) penulis beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
2.
Ibu Hj. Erniwati Ibrahim, SKM., M.Kes dan Bapak Muh. Fajaruddin Natsir, SKM., M.Kes selaku Pembimbing I dan II yang senantiasa memberikan saran, bimbingan dan kritikan yang sifatnya membangun kepada penulis demi hasil skripsi yang lebih baik.
3.
Bapak Dr. Agus Bintara Birawida, S.Kel., M.Kes selaku penguji bag ian Kesehatan Lingkungan, Bapak Dian Sidik Arsyad, SKM., MKM selaku penguji bagian Epidemiologi dan Bapak Prof. Dr. dr. H. M. Tahir Abdullah, M.Sc., MSPH selaku penguji bagian Biostatistik yang telah memberikan banyak saran/masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.
4.
Kepada Kepala Unit Pelaksanaan Teknis P2T Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kesehatan Kota Makassar, Camat Kecamatan Rappocini, Lurah Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rapppocini, Ketua RW v
09 Kelurahan Gunung Sari dan RW 04 Kelurahan Rappocini yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 5.
Saudara Muh. Faizal M dan Saudari Aisyah Zarkasi yang senantiasa memberikan dukungan dan doa serta menjadi inspirasi dan motivasi bagi penulis.
6.
Sahabat-sahabatku Ayu Arvan, Ulfa, dan Uswatun Khasanah terima kasih telah memberikan dukungan serta kebersamaan dalam susah maupun senang serta canda tawa selama masa perkuliahan.
7.
Teman seperjuangan dalam melakukan penelitian Ana Safitri terima kasih atas semua bantuan dan kebersamaan dalam susah maupun senang serta canda tawa selama menyelesaikan skripsi ini.
8.
Saudara Fajar Septian Anwar, Aswin Renaldy, Yusrin Umar dan Saptian Dwi Putra terima kasih atas bantuannya kepada penulis dalam penyusunan hasil penelitian.
9.
Kawan-kawan Dementor yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat serta menemani hari-hari penulis selama menempuh pendidikan di bangku kuliah, Keslingers 2012, Magang Halmahera Selatan, KKN Profesi Unhas Angkatan 50 Desa Arungkeke Pallantikang Kabupaten Jeneponto, PBL FKM Unhas Kelurahan Benteng, dan para sahabat alumni SMA Negeri 1 Malili.
10. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya, yang telah memberikan banyak bantuan dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Amin. vi
Penulis pun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan pada skripsi ini baik dari segi penyajian materi maupun segi penulisan. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan berikutnya. Wassalamu Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 22 Februari 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................. ......................
ii
RINGKASAN ............................................. .................................................
iii
KATA PENGANTAR ................................................... ..............................
iv
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................ ..............................
1
B. Rumusan Masalah .................................................. ......................
11
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
11
D. Manfaat Penelitian .................................................. ......................
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Pemetaan ..............................................
14
B. Tinjauan Umum tentang Vektor DBD .........................................
17
C. Tinjauan Umum tentang Pelaksanaan 3M ....................................
28
D. Tinjauan Umum tentang Daerah Endemis dan Non Endemis
E.
DBD ............................................. .................................................
31
Kerangka Teori ............................................... ..............................
34
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian ............................................
35
B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti .............................................. ....
37
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ..................................
37
viii
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................... ..............................
43
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................
43
C. Populasi dan Sampel............................................... ......................
43
D. Metode Pengambilan Sampel ................................................... ....
48
E.
Pengumpulan Data.................................................. ......................
52
F.
Pengolahan dan Analisis Data .................................................. ....
53
G. Penyajian Data ................................................ ..............................
55
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian......................................... ....
56
B. Hasil Penelitian ............................................... ..............................
58
C. Pembahasan ..................................................................................
98
D. Keterbatasan Penelitian ................................................... .............
118
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................
120
B. Saran .............................................................................................
120
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 4.1 4.2 5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
Halaman Tingkat Kepadatan Larva Aedes berdasarkan Indikator Density Figure…………………………………………………………….
27
Jumlah Sampel Tiap RT di RW 09 Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar ……………………………
49
Jumlah Sampel Tiap RT di RW 04 Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar……………………………
51
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………………………………
59
Distribusi Kelompok Umur Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
60
Distribusi Pendidikan Terakhir Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016…………………………………………….
61
Distribusi Pekerjaan Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………….………………
62
Distribusi Riwayat Demam Berdarah Dengue dalam Keluarga Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………
63
Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kontainer yang Diperiksa di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makasssar Tahun 2016………………
67
Distribusi Keberadaan Larva Aedes aegypti Berdasarkan Jumlah Kontainer yang Diperiksa di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………………………………………………..
68
Distribusi Rumah Responden Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……........................................................................................
69
x
5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
5.14
5.15 5.16 5.17 5.18
5.19
5.20
Distribusi Frekuensi Menguras Tempat Penampungan Air Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………
73
Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan 3M Menguras Tempat Penampungan Air di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
74
Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan 3M Menutup Tempat Penampungan Air di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
73
Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan 3M Mengubur Barang Bekas di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016…..
76
Distribusi Pelaksanaan 3M Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
77
Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) per RT di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016…
80
Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) per RT di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016…
83
Distribusi House Index (HI) per RT di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………….
85
Distribusi House Index (HI) per RT di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………….
87
Distribusi Rumah Responden Berdasarkan Container Index CI) di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………
89
Distribusi Container Index (CI) berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan rappocini Kota Makassar Tahun 2016…………………………….
90
Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………….
94
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Siklus Hidup Nyamuk ...…………………………………………
22
2.2
Kerangka Teori …………………………………………………..
34
3.1
Kerangka Konsep Penelitian …...………………………………..
37
5.1
Peta Distribusi Riwayat Penyakit DBD dalam Keluarga di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
64
Peta Distribusi Riwayat Penyakit DBD dalam Keluarga di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
66
Peta Distribusi Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………………………………………………………
70
Peta Distribusi Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………………….
71
Peta Distribusi Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………….
78
Peta Distribusi Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………….
79
Peta Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………….
81
Peta Distribusi Peta Distribusi K Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………
84
Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………………………………………………..
86
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
xii
5.10
5.11
5.12
5.13
5.14
Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………………………….
88
Peta Distribusi Container Index (CI) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016…………………………………………..……………
91
Peta Distribusi Peta Distribusi Keberadaan Larva Aedes aegypti dan Container Index (CI) Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016………………………………………………………..
92
Peta Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rapp ocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………….
96
Peta Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016……………………………………….
97
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran: 1. Kuesioner Penelitian 2. Lembar Observasi 3. Master Tabel 4. Output Analisis SPSS 5. Surat Izin Penelitian dari Dekan FKM UNHAS 6. Surat Izin Penelitian dari Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Cq. Kepala UPT P2T, BKPMD Makassar 7. Surat Izin Penelitian dari Walikota Makassar Cq. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik 8. Surat Izin Penelitian dari Kecamatan Rappocini 9. Surat Izin Penelitian dari Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini 10. Surat Keterangan telah Melaksanakan Penelitian di Kelurahan Gunung Sari 11. Surat Keterangan telah Melaksanakan Penelitian di Kelurahan Rappocini 12. Dokumentasi Penelitian 13. Biodata Penulis
xiv
DAFTAR SINGKATAN
3M
Menguras, Menutup dan Mengubur
ABJ
Angka Bebas Jentik
BI
Breteau Index
CDC
Centers for Disease Control and Prevention
CFR
Case Fatality Rate
CGIS
Canada Geographic Information System
CI
Container Index
DBD
Demam Berdarah Dengue
DENV Dengue Virus DF
Density Figure
FAO
Food and Agriculture Organization
GEC
Global Environmental Change
GIS
Geographic Information System
GPS
Global Positioning System
HI
House Index
IR
Incidence Rate
KLB
Kejadian Luar Biasa
P2PL
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
PAHO Pan American Health Organization PI
Pupal Index
xv
PSN
Pemberantasan Sarang Nyamuk
SIG
Sistem Informasi Geografis
SPSS
Statistical Package for Sosial Science
TPA
Tempat Penampungan Air
WHO
World Health Organization
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, yaitu Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Kemenkes RI, 2014). Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan menyebabkan kematian terutama pada anak-anak serta sering menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) (Farahiyah et al., 2014). Insiden DBD telah berkembang secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir (Sedhain et al., 2012). Sekitar 2,5 miliar orang di seluruh dunia hidup di negara-negara yang berisiko DBD (HB et al., 2012). Menurut World Health Organization (WHO), DBD telah menunjukkan peningkatan global sebesar 30 kali lipat selama lima dekade terakhir. Sekitar 50 – 100 juta infeksi baru diperkirakan terjadi setiap tahun di lebih dari 100 negara endemik DBD. Setiap tahun terjadi ratusan ribu kasus DBD parah yang mengakibatkan 20.000 kematian (Dash et al., 2012). Kasus DBD di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melebihi 1,2 juta kasus pada tahun 2008 dan lebih dari 2,2 juta kasus pada tahun 2010 (Pessanha, 2012). Kawasan Asia Tenggara terdiri dari 11 negara dengan populasi 1,3 miliar telah menjadi daerah hiperendemis dengan pelaporan kasus DBD sejak tahun 2000 (WHO, 2011, Dash et al., 2012). Jumlah maksimum kasus
1
2
yang tercatat selama tahun 2010 sebanyak 355.525 kasus dan 1.982 kematian(Dash et al., 2012). Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali dilaporkan oleh David Bylon di Jakarta pada tahun 1779. Pada waktu itu, DBD dikenal dengan demam lima hari yaitu demam yang berlangsung selama lima hari diikuti dengan nyeri tulang (breakbone fever ) atau biasa juga disebut dengan demam patah tulang karena penderita merasakan tulangnya seperti patah pada sendi-sendinya, khususnya lutut (knokkel koorts). Infeksi virus dengue menyebabkan DBD pertama dikenal di Filipina pada tahun 1953, kemudian menyebar ke negara lain seperti Vietnam, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Boekoesoe, 2013). Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Demam berdarah di Indonesia pertama kali ditemukan di Kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (angka kematian sebesar 41,3 %) (Kemenkes RI, 2010). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cukup besar karena dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat dan sering menimbulkan wabah serta penyebarann ya semakin meluas. Pada saat ini, penyakit DBD sudah menjadi masalah yang endemis pada 326 kabupaten/kota. Angka insiden DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada awalnya pola endemik penyakit DBD terjadi setiap lima tahunan,
3
namun dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perubahan yaitu dengan periode antara 2 – 5 tahunan (Abbas et al., 2010). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010, jumlah kasus DBD yang dilaporkan sebanyak 156.086 kasus, jumlah kematian akibat DBD sebanyak 1.358 orang dengan angka kesakitan/ Incidence Rate (IR) sebesar 65,7 per 100.000 penduduk dan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,87% (Kemenkes RI, 2011). Jumlah kasus DBD menurun pada tahun 2011 menjadi 65.725 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 597 orang (IR = 27,67 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,91%) (Kemenkes RI, 2012). Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang (IR = 45,85 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,77%). Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 90.245 kasus dengan IR = 37,27 per 100.000 penduduk. Salah satu indikator dalam upaya pengendalian penyakit DBD adalah Angka Bebas Jentik (ABJ) dimana pada tahun 2013, ABJ di Indonesia sebesar 80,09% dan belum mencapai target nasional yaitu sebesar 95% (Kemenkes RI, 2014). Menurut laporan Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), jumlah kasus DBD yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 sebanyak 3.550 kasus, dengan angka kesakitan (IR) DBD sebesar 44,18 per 100.000 penduduk dan angka kematian (CFR) DBD sebesar 0,93% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2011). Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD yang ditemukan sebanyak 1.876 kasus dengan IR DBD sebesar 22 per 100.000 penduduk
4
dan meninggal 15 yaitu laki-laki 7 orang dan perempuan 8 orang, CFR DBD sebesar 15,55% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Jumlah kasus DBD yang ditemukan pada tahun 2012 sebanyak 2.333 kasus, dengan IR DBD sebesar 28,49 per 100.000 penduduk dan meninggal 23 yaitu laki-laki 12 orang dan perempuan 11 orang, CFR DBD sebesar 50,34% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2013). Kasus DBD meningkat pada tahun 2013 dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 5.030 kasus, IR DBD sebesar 50,89 per 100.000 penduduk dan meninggal 48 yaitu laki-laki 29 orang dan perempuan 19 orang, CFR DBD sebesar 22,46% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2014). Secara nasional, kasus DBD di Provinsi Sulawesi Selatan berada di bawah angka rata-rata nasional, namun tetap perlu mendapat perhatian karena DBD endemis di beberapa kabupaten/kota (Rahim et al., 2013). Data yang bersumber dari Bidang Bina P2PL Dinas Kesehatan Kota Makassar menunjukkan angka insiden DBD berfluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, jumlah kasus DBD sebanyak 182 kasus dengan tidak ada jumlah kematian (Dinkes Kota Makassar, 2011). Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD menurun menjadi 83 kasus dengan 2 kematian akibat DBD (Dinkes Kota Makassar, 2012). Adapun jumlah penderita DBD pada tahun 2012 di seluruh wilayah Puskesmas Kota Makassar sebanyak 86 kasus dengan angka kesakitan/IR sebesar 6,4 per 100.000 penduduk diantaranya terdapat 2 kasus kematian akibat DBD yaitu di Puskesmas Cendrawasih dan Puskesmas Kapasa (Dinkes Kota Makassar, 2013).
5
Akan tetapi, terjadi peningkatan jumlah penderita DBD pada tahun 2013 di seluruh wilayah Puskesmas di Kota Makassar yaitu sebanyak 265 kasus dengan angka kesakitan/IR sebesar 19,6 per 100.000 penduduk diantaranya terdapat 11 kasus kematian karena DBD. Adapun Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah yang terjadi di Makassar pada tahun 2013 berlokasi di wilayah Puskesmas Antang Kecamatan Manggala dengan 39 korban. Berdasarkan hasil penyelidikan, diketahui bahwa penyebab terjadinya KLB DBD tersebut adalah faktor geografis berupa bukit batu dimana terdapat cekungan-cekungan batu yang digenangi air hujan dan menjadi tempat perkembangbiakan larva Aedes aegypti (Dinkes Kota Makassar, 2014). Jumlah kasus DBD pada tahun 2014 sebanyak 139 kasus dan pada tahun 2015 dari bulan Januari hingga Agustus tercatat jumlah kasus DBD sebanyak 124 kasus (Dinkes Kota Makassar, 2015). Adapun Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kota Makassar selama tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2010 sebesar 79,96%, tahun 2011 sebesar 87% dan meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 90% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2014). Kota Makassar merupakan daerah yang paling berisiko tinggi terjangkit DBD di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar, Kecamatan Rappocini merupakan satu dari empat belas kecamatan yang ada di Kota Makassar dengan jumlah kasus DBD tertinggi selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD yang tercatat di Kecamatan Rappocini adalah sebanyak 15 kasus, tahun 2012 sebanyak 9 kasus,
6
tahun 2013 sebanyak 33 kasus, tahun 2014 sebanyak 40 kasus dan pada tahun 2015 dari bulan Januari hingga Agustus tercatat sebanyak 16 kasus DBD. Adapun Angka Bebas Jentik (ABJ) di salah satu Puskesmas di Kecamatan Rappocini yaitu Puskesmas Kassi-kassi yakni pada tahun 2012 sebesar 94%, tahun 2013 sebesar 86% dan 86,2% pada tahun 2014 (Dinkes Kota Makassar, 2015). Jumlah penduduk di Kecamatan Rappocini pada tahun 2013 yaitu sebanyak 152.531 jiwa, luas wilayah sebesar 9,23 km2, dengan kepadatan penduduk sebesar 16.525,57 jiwa/km2 (Dinkes Kota Makassar, 2014). Kecamatan Rappocini terdiri dari 10 kelurahan dengan jumlah kasus DBD tertinggi terdapat di Kelurahan Gunung Sari. Jumlah kasus DBD yang tercatat di Kelurahan Gunung Sari, yaitu pada tahun 2011 sebanyak 4 kasus, tidak terdapat kasus DBD pada tahun 2012, tahun 2013 sebanyak 8 kasus, tahun 2014 sebanyak 29 kasus dan dari bulan Januari hingga Agustus 2015 tercatat 2 kasus DBD (Dinkes Kota Makassar, 2015). Adapun kelurahan dengan jumlah kasus DBD terendah yang terdapat di Kecamatan Rappocini adalah Kelurahan Rappocini. Jumlah kasus DBD yang tercatat di Kelurahan Rappocini, yaitu tidak terdapat kasus DBD pada tahun 2011 sampai tahun 2012, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 2 kasus, dan menurun menjadi tidak terdapat kasus pada tahun 2014 serta pada tahun 2015 dari bulan Januari hingga Agustus terdapat 1 kasus DBD (Dinkes Kota Makassar, 2015). Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah endemis apabila dalam tiga tahun terakhir, setiap tahunnya terdapat penderita DBD atau karena keadaan lingkungannya, misalnya penduduknya yang padat, mempunyai hubungan
7
transportasi yang ramai dengan wilayah lainnya, sehingga mempunyai risiko yang tinggi terjadinya KLB (Sari et al., 2013). Sementara itu, Dinas Kesehatan Kota Makassar belum menentukan endemisitas kasus DBD pada suatu daerah di Kota Makassar meskipun jumlah kasus DBD tinggi bahkan telah menyebabkan KLB di beberapa daerah di Kota Makassar. Oleh karena itu, belum dapat diperoleh informasi mengenai stratifikasi dari kasus DBD di Kota Makassar seperti daerah endemis, sporadis, potensial, dan bebas DBD. Berdasarkan hal tersebut, penentuan jumlah kasus DBD tertinggi dan terendah maka Kelurahan Gunung Sari dikategorikan sebagai daerah endemis DBD karena selama tiga tahun terakhir setiap tahunnya terdapat kasus DBD dan merupakan kelurahan dengan jumlah kasus DBD tertinggi dibandingkan 9 kelurahan lainnya yang ada di Kecamatan Rappocini. Sedangkan berdasarkan data jumlah kasus DBD terendah selama tiga tahun terakhir, maka Kelurahan Rappocini dikategorikan sebagai daerah non endemis DBD meskipun bukan merupakan daerah yang bebas dari kasus DBD. Menurut Abbas et al. (2010) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kejadian DBD antara lain faktor lingkungan, host dan faktor virus itu sendiri. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban dan musim) dan kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Faktor host yaitu kerentanan ( susceptibility) dan respon imun. Selain itu, juga dipengaruhi oleh jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit.
8
Kejadian DBD juga sering dikaitkan dengan perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian vektor DBD. Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD telah dilakukan, diantaranya penanggulangan fokus, pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur), survey jentik dan abatesasi, serta fogging serta fogging massal/kasus massal/kasus (Riyadi et al., 2012). 2012). Cara yang dianggap paling efektif dalam pemberantasan nyamuk DBD adalah memutus mata rantai penularan nyamuk, yaitu mencegah telur nyamuk berkembang menjadi larva dan nyamuk dewasa (Rahim et al., 2013). 2013). Tindakan
Pemberantasan
Sarang
Nyamuk
(PSN)
merupakan
kegiatan
memberantas telur jentik dan kepompong nyamuk n yamuk penular DBD Aedes (Aedes aegypti) aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Kegiatan PSN meliputi menguras tempat penampungan air minimal seminggu sekali dan memberi abate pada tempat penampungan air tersebut, menutup tempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas. Kegiatan ini dikenal dengan kegiatan 3M. Berdasarkan hasil penelitian Riyadi penelitian Riyadi et al. (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan pemberantasan sarang nyamuk dengan keberadaan larva Aedes aegypti aegypti di Kelurahan Ballaparang Kecamatan Rappocini Kota Makassar. Sedangkan menurut hasil penelitian Alupaty penelitian Alupaty (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan 3M dengan kejadian DBD di Kelurahan Kalukuang Kecamatan Tallo Kota Makassar. Rahadian (2012) mengemukakan adanya perbedaan yang bermakna pada distribusi tindakan pencegahan DBD antara responden wilayah endemis dengan
9
non endemis di Semarang (p = 0,01). Selain itu, Peristiowati et al. (2014) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan vektor dan tindakan PSN dengan kejadian penyakit DBD di Kota Kediri. Kepadatan vektor nyamuk Aedes tersebut diukur dengan menggunakan parameter angka Breteau angka Breteau Index yang Index yang menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kepadatan vek tor maka risiko penularan penyakit DBD semakin meningkat. Sedangkan perilaku pemberantasan DBD, yaitu melalui tindakan 3M merupakan cara yang paling tepat dalam pencegahan dan penanggulangan terjadinya KLB penyakit DBD. Tingkat kepadatan vektor DBD dapat diketahui dike tahui salah satunya melalui survei jentik. Survei jentik dilakukan sehingga diperoleh perhitungan untuk mengetahui indeks larva yang meliputi Angka Bebas Jentik (ABJ), House (ABJ), House Index Index (HI), (HI), Container Index (CI), dan Breteau dan Breteau Index (BI). Hasil perhitungan indeks larva yang dilakukan di Kelurahan Mayang Kota Jambi menunjukkan jumlah rumah positif larva (HI) sebesar 12,1%, jumlah kontainer positif larva (CI) sebesar 7,9%, jumlah kontainer positif per jumlah rumah diperiksa (BI) sebesar 5,6% dan ABJ sebesar 87,9%. Tingkat kepadatan jentik di Kelurahan Mayang tersebut termasuk dalam kepadatan sedang dikarenakan keberhasilan kegiatan fogging focus, abatisasi massal, dan pemberantasan sarang nyamuk yang telah dilakukan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota serta peran serta masyarakat setempat (Santoso and Yahya, 2011). 2011). Menurut penelitian Mustamin penelitian Mustamin (2015), salah (2015), salah satu indikator yang digunakan dalam upaya pengendalian DBD adalah keberadaan dan densitas larva dengan melihat angka bebas jentik. Akan tetapi, upaya pengendalian tersebut perlu
10
didukung dengan tersedianya pemetaan keberadaan dan densitas larva Aedes aegypti di daerah endemis maupun non endemis DBD. Pemetaan keberadaan dan densitas larva sangat diperlukan untuk mengetahui wilayah risiko bahaya penyakit DBD. Pemetaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang merupakan sebuah sistem informasi spasial (bersifat keruangan) yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasi dalam sebuah database (Nur, 2015). 2015). Program pencegahan dan pemberantasan DBD dapat dirancang dengan melakukan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan suatu sistem dalam pengambilan keputusan spasial dan mampu
mengintegrasikan
deskripsi-deskripsi
lokasi
dengan
karakteristik
fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Implementasi SIG dalam penanganan kasus DBD diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang dihasilkan menjadi lebih baik (Farahiyah et al., 2014). 2014). Keberadaan suatu sistem informasi geografis dalam dunia medis sangat dibutuhkan khususnya dalam memetakan penyebaran suatu penyakit di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian Hidayatullah (2010), (2010), dapat diperoleh informasi mengenai distribusi penyebaran penyakit demam berdarah melalui peta wilayah Kecamatan Tegalrejo berdasarkan karakteristik orang, waktu dan tempat dengan pendekatan sistem informasi geografis. Selain itu, dengan menggunakan data melalui pemetaan dengan sistem informasi geografis tersebut maka dapat
11
memberikan kemudahan dalam pengambilan keputusan dalam penanganan penyebaran penyakit. Keberadaan sebuah sistem yang mampu mengakomodir seluruh data penyebaran penyakit di suatu wilayah menjadi suatu nilai lebih bagi pengambilan tindakan pencegahan karena keakuratan data dan kemudahan data yang diberikan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pemetaan densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar. 2. Tujuan khusus a. Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
12
b. Untuk memperoleh gambaran Angka Bebas Jentik (ABJ) berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar. c. Untuk memperoleh gambaran House Index (HI) berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar. d. Untuk memperoleh Container Index (CI) berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat institusi Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan/referensi oleh Dinas Kesehatan Kota Makassar maupun instansi kesehatan lain dalam upaya penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), sehingga secara signifikan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat DBD di Kota Makassar. 2. Manfaat ilmiah Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang upaya pengendalian terhadap kejadian luar biasa Demam Berdarah Dengue (DBD) dan dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.
13
3. Manfaat bagi peneliti Penelitian ini merupakan sebuah pengalaman yang berharga bagi peneliti serta sebagai tambahan pengalaman ilmiah dan pengetahuan bagi peneliti sendiri dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan kesehatan yang dimiliki. 4. Manfaat bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat untuk memprediksi lokasi potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk pengembangan strategi pengendalian penyakit DBD sehingga dapat meminimalkan dampak dari penyakit tersebut.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Pemetaan
Pemetaan adalah pengelompokkan suatu kumpulan wilayah yang berkaitan dengan beberapa letak geografis wilayah yang melipu ti pegunungan, dataran tinggi, sumber daya dan potensi penduduk yang berpengaruh terhadap sosial kultural yang memiliki ciri khas khusus dalam penggunaan skala yang tepat (Dalimunthe, 2008). Ada 3 tahap pemetaan, antara lain (Mubarroq, 2015) : 1. Tahap pengumpulan data Langkah awal dalam proses pemetaan dimulai dari pengumpulan data. Data merupakan suatu bahan yang diperlukan dalam proses pemetaan. Data sangat penting untuk melakukan analisis evaluasi tentang suatu data wilayah tertentu. Data yang dipetakan dapat berupa data primer atau data sekunder. Data yang dapat dipetakan adalah data yang bersifat spasial, artinya data tersebut terdistribusi atau tersebar secara keruangan pada wilayah tertentu. Pada tahapan ini data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dahulu menurut jenisnya seperti kelompok kualitatif atau kuantitatif. Pengenalan sifat data sangat penting untuk simbolis atau penentuan dan pemilihan bentuk simbol sehingga simbol tersebut akan mudah dibaca dan dimengerti. Setelah data dikelompokkan dalam tabel-tabel, sebelum diolah
15
ditentukan dahulu jenis simbol yang akan digunakan. Untuk data kualitatif dapat menggunakan simbol batang, lingkaran arsir bertingkat dan sebagainya, sedangkan data kuantitatif perlu melakukan perhitungan-perhitungan untuk memperoleh bentuk simbol yang sesuai. 2. Tahap penyajian data Langkah pemetaan kedua berupa penyajian data. Tahap ini merupakan upaya menggambarkan data dalam bentuk simbol, supaya data tersebut menarik, mudah dibaca dan dimengerti oleh pengguna. Penyajian data pada sebuah peta harus dirancang secara baik dan benar supaya tujuan pemetaan dapat tercapai. 3. Tahap penggunaan peta Tahap penggunaan peta merupakan tahapan yang sangat penting karena menentukan keberhasilan pembuatan suatu peta. Peta yang dirancang dengan baik akan dapat digunakan dan dibaca dengan mudah. Peta merupakan alat untuk melakukan komunikasi, sehingga pada peta harus terjalin interaksi antara pembuat peta dengan pengguna peta. Pembuat peta harus dapat merancang peta sedemikian rupa sehingga peta muda dibaca, diinterpretasi dan dianalisis oleh pengguna peta. Pengguna harus dapat membaca peta dan memperoleh gambaran informasi sebenarnya di lapangan. Agar data yang dibutuhkan dapat menjadi lebih efektif dan efisien, salah satunya pemanfaatan adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG akan memberikan kemudahan kepada para pengguna atau para
16
pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang ak an diambil. SIG adalah suatu sistem berbasis komputer untuk menangkap, menyimpan, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi dan men-display data dengan peta digital. SIG sudah digunakan secara luas untuk mengakses informasi tentang suatu lokasi (Rastuti et al., 2015). Pertama kali sistem informasi geografis digunakan secara nasional adalah di Canada sekitar tahun 1960 oleh Canada Geographic Information System (CGIS) dalam proyek untuk pengembangan kemampuan lahan nasional (National land capability) dengan cara mengkompilasi dan inventarisasi potensi lahan produktif di Canada. Beberapa tahun sejak proyek CGIS Canada tersebut, SIG mulai intensif dikembangkan di berbagai bagian dunia khususnya di Eropa dan Amerika, bahkan badan dunia FAO ( Food and Agriculture Organization) mulai intensif menggunakan SIG sejak tahun 1970 (Darmawan, 2011). SIG atau sistem informasi berbasis pemetaan dan geografi adalah sebuah alat bantu manajemen berupa informasi berbantuan komputer yang terkait dengan sistem pemetaan dan analisis terhadap segala sesuatu, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi sehingga dengan adanya SIG diharapkan tersedia informasi yang cepat dan akurat tentang keadaan di lingkungan (Qoriani, 2012). Sistem Informasi Geografis (SIG) memiliki manfaat sebagai berikut (Bafdal et al., 2011): 1. Sebagai alat analisis komunikasi dan integrasi antardisiplin ilmu terutama yang memerlukan informasi-informasi geosciences.
17
2. Memecahkan masalah seputar akurasi representasi, akurasi prediksi dan keputusan yang diambil berdasarkan representasi, minimalisasi volume data yang digunakan, maksimalisasi kecepatan komputasi, kesesuaian dengan para pengguna, perangkat lunak dan proyek-proyek yang lain mengenai bumi. SIG juga merupakan salah satu alat bantu (tools) yang dapat digunakan untuk menganalisis kondisi suatu daerah terhadap suatu penyakit dalam menentukan tindakan penanganan penyakit tersebut. Adapun data yang diperlukan untuk menganlisis kondisi daerah terhadap penyakit, yaitu data penderita penyakit; data daerah endemi; dan data geografi, seperti kecamatan, kelurahan, dan sebagainya berdasarkan data penderita per tahun. Dalam bidang medis, keberadaan SIG dapat memetakan penyebaran suatu penyakit di suatu wilayah sehingga memberikan kemudahan pengambilan keputusan dalam penanganan penyebaran penyakit tersebut (Hidayatullah, 2010).
B. Tinjauan Umum tentang Vektor DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang banyak ditemukan pada daerah tropis dan subtropis (Kurniawan et al., 2015). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B (virus yang ditularkan melalui artropoda) termasuk ke dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae yang ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina (Anggraeni, 2010, WHO, 1999, Widoyono, 2005). Virus dengue berukuran 50 nm dan memiliki single stranded RNA (Soegijanto, 2004).
18
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) dan nyamuk Aedes albopictus (di daerah pedesaan) dengan empat serotipe virus yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4 (Widoyono, 2005). Serotipe DENV3 merupakan serotipe yang paling banyak bersirkulasi dibandingkan dengan keempat serotipe lainnya. Kasus DBD umumnya mulai meningkat pada sa at musim hujan yaitu antara bulan Oktober – Mei (Dinkes Kota Makassar, 2013). 1. Siklus hidup vektor DBD Nyamuk Aedes merupakan vektor utama penyakit demam dengue. Akan tetapi, Aedes albopictus juga menjadi vektor penyakit DBD di tempat-tempat tertentu seperti Amerika Serikat. Jenis nyamuk Aedes biasanya aktif pada waktu siang hari dan lebih suka menghisap darah manusia daripada hewan. Nyamuknyamuk Aedes berkembang biak dalam kontainer-kontainer bekas seperti botol botol plastik, kaleng-kaleng bekas, ban mobil bekas, tempurung, bak-bak air penampungan yang terbuka, bambu-bambu pagar, tempurung kelapa, pelepah kelapa, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, vas-vas bunga segar yang berisi air dan lain-lain. Pada umumnya, semua jenis nyamuk membutuhkan air untuk kelangsungan hidup karena larva-larva (jentik-jentik) nyamuk melanjutkan hidupnya di air dan hanya bentuk dewasa yang hidup di darat. Telur nyamuk menetas dalam air dan menjadi larva atau jentik. Larva-larva nyamuk hidup dengan memakan organisme-organisme kecil, tetapi ada juga yang bersifat
19
predator seperti larva Toxorhynchite sp. yang memangsa jenis nyamuk lainnya yang hidup di dalam air. Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Sembel, 2009). Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup yang kompleks dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi dan habitat. Siklus hidup nyamuk berawal dengan peletakan telur oleh nyamuk betina. Setelah telur menetas, muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva yang berkembang melalui empat tahap (CDC, 2012). Ukuran larva akan bertambah hingga mencapai tahap akhir yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa. Di dalam kulit pupa nyamuk membentuk diri sebagai betina atau jantan. Tahapan selanjutnya adalah nyamuk dewasa yang muncul dari pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin, dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru (Achmadi, 2011). a. Telur Nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5 – 0,8 mm dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk Aedes meletakkan telurnya di atas permukaan air bersih secara satu per satu. Setiap hari, nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100 butir apabila telah menghisap darah manusia. Telur yang berada pada tempat kering (tanpa air) dapat bertahan hingga ± 6 bulan
20
(Rendy, 2013). Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama dalam bentuk dorman. Namun, apabila tersedia cukup air, telur-telur tersebut dapat menetas 2 – 3 hari sesudah diletakkan (Sembel, 2009). b. Larva Telur menetas menjadi larva atau disebut juga jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, larva Aedes biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air (Sembel, 2009). Larva Aedes mendapatkan udara melalui celah pada ujung belakang badannya, umumnya melalui sebuah tabung (siphon) dengan ciri khas yaitu pendek dan gendut (Achmadi, 2011). Larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat memengaruhi kon disi nyamuk dewasa yang akan dihasilkan. Misalnya, kondisi populasi larva yang memiliki ketersediaan makanan lebih maka akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah (Rendy, 2013). Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 hari (Sembel, 2009). Ada empat tahapan pada perkembangan larva/jentik yang disebut instar sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu (Ditjen P2PL, 2011, Ayuningtyas, 2013): 1) Instar I
: Berukuran paling kecil, yaitu dengan panjang 1 – 2 mm, warna transparan, duri-duri ( spinae) pada dada (thorax)
21
belum begitu jelas dan corong pernafasannya (siphon) belum menghitam. 2) Instar II : Berukuran 2,5 – 3,8 mm, duri dada belum jelas dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. 3) Instar III : Berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II. 4) Instar IV :
Berukuran paling besar 5 mm, struktur anatominya jelas dan lengkap, tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal ), dada (thorax) dan perut (abdomen).
c. Pupa Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk agak pendek, bengkok dengan kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca “koma”(Rendy, 2013). Selain itu, pupa tidak makan, namun tetap aktif bergerak apabila diganggu, berenang naik-turun dari bagian dasar ke permukaan air. Apabila perkembangan pupa sudah sempurna, yaitu sesudah dua atau tiga hari, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang (Sembel, 2009). d. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk tersebut terbang mencari makan.
22
Bentuk nyamuk Aedes dewasa hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan air apabila dalam keadaan istirahat (Sembel, 2009). Nyamuk betina dan jantan muncul dengan perbandingan 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat dengan tempat perkembangbiakannya, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah dan tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan menghisap darah manusia. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 – 3 bulan (Rendy, 2013).
Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Sumber: CDC (2012)
23
2. Kepadatan vektor DBD Kepadatan vektor DBD dapat diketahui dengan melakukan surveilans nyamuk Aedes nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan ini dapat memperoleh distribusi, kepadatan vektor, habitat utama vektor, serta faktor risiko lainnya seperti tempat dan waktu yang berhubungan dengan transmisi virus dengue dan dengue dan level insektisida yang rentan atau resisten untuk menentukan wilayah dan musim yang menjadi prioritas kegiatan pengendalian vektor. Suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi dan memonitoring populasi larva larva nyamuk yaitu dengan melakukan metode survei larva atau jentik. Metode ini paling sering digunakan dibandingkan dengan metode survei maupun nyamuk dewasa karena lebih praktis dibandingkan metode lainnya. Tempat pengambilan sampelnya adalah rumah atau tempat yang dilakukan penyelidikan tempat penampungan air atau kontainer vektor (Rendy, 2013). 2013). Data-data kepadatan vektor dalam metode surveilans ini diperoleh dari kegiatan survei, yaitu survei telur, survei terhadap jentik, pupa, dan nyamuk. a. Survei telur Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ovitrap berbentuk tabung yang dapat dibuat dari potongan kaleng, bambu dan gelas plastik/kaca. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah atau tempat yang gelap dan lembab. Cara kerja ovitrap adalah padel (berupa potongan po tongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan d an
24
berwarna gelap) yang dimasukkan ke dalam tabung tersebut berfungsi sebagai tempat meletakkan telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk n yamuk di padel, kemudian dihitung ovitrap index. index. Perhitungan ovitrap index: index: Ovitrap Index =
Jumlah padel dengan telur × 100% 00% Jumlah padel diperiksa
Kepadatan populasi nyamuk penular dapat diketahui dengan mengumpulkan dan menghitung jumlah telur-telur pada padel tersebut. Kepadatan populasi nyamuk: Jumlah telur Jumlah ovitrap yang digunakan
=………telur per ovitrap
b. Survei jentik Pemeriksaan jentik Aedes dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes nyamuk Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang. 2) Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum, dan lain-lain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu sekitar ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada.
25
3) Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas, tempat minum burung, dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke tempat lain. 4) Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat menggunakan senter. Pada umumnya, terdapat dua metode yang digunakan pada survei jentik, yaitu (Ditjen P2PL, 2011): 2011): 1) Single Larva Metode ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. 2) Visual Metode ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasan ya dalam program DBD mengunakan cara visual. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes jentik Aedes aegypti (Ditjen P2PL, 2011): 2011): 1) Angka Bebas Jentik (ABJ) Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik ×100% Jumlah rumah yang diperiksa
2) House Index (HI) Jumlah rumah yang ditemukan jentik ×100% Jumlah rumah yang diperiksa
26
3) Container Index (CI) Jumlah container dengan jentik Jumlah container yang diperiksa
×100%
4) Breteau Index (BI) Jumlah container dengan jentik dalam 100 rumah ABJ
dan
HI
mengambarkan
luas
penyebaran
vektor,
CI
menggambarkan kepadatan vektor sedangkan BI menunjukkan kepadatan dan penyebaran vektor di suatu wilayah. Berdasarkan standar dari WHO, risiko tinggi penularan DBD jika nilai CI ≥ 5%, HI ≥ 10%, dan BI ≥ 50%. Menurut Pan American Health Organization (PAHO) dalam Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever in the Americas; Guidelines for Prevention and Control 1994, terbagi menjadi tiga klasifikasi tingkat transmisi dengue yaitu rendah (HI < 0,1%), sedang (HI = 0,1 – 5%), dan tinggi (HI > 5%) (Kumayah, 2011). WHO (1973) dalam Taviv (2009) telah mengembangkan suatu parameter kepadatan larva yang merupakan gabungan antara HI, CI, dan BI. Kepadatan larva dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) DF = 1 – 5 menunjukkan kepadatan rendah. 2) DF = 6 – 9 menunjukkan kepadatan tinggi.
27
Tabel 2.1 Tingkat Kepadatan Larva Aedes berdasarkan Indikator Density Fi gure WHO Density Fi gure H ouse I ndex 1 1 – 3
Container I ndex
1 – 2 2 4 – 7 3 – 5 3 8 – 17 6 – 9 4 18 – 28 10 – 14 5 29 – 37 15 – 20 6 38 – 49 21 – 27 7 50 – 59 28 – 31 8 60 – 76 32 – 40 9 77 41 Sumber: WHO, 1973 dalam Taviv, 2009(Taviv, 2009)
Br eteau I ndex
1 – 4 5 – 9 10 – 19 20 – 34 35 – 49 50 – 74 75 – 99 100 – 199 200
c. Survei pupa Tingkat kepadatan nyamuk dewasa dapat didasarkan pada jumlah pupa (semua pupa yang ditemukan di setiap kontainer). Pupal Index (PI): Jumlah Pupa Jumlah Rumah yang Diperiksa
×100%
Pupal Index (PI) dapat ditentukan berdasarkan jenis kontainer atau dengan jenis habitat tertentu seperti ban, vas bunga, drum, pot tanah liat dan lain-lain. Metode ini tidak dapat digunakan untuk survei Aedes aegypti secara rutin, melainkan cocok untuk studi khusus atau digunakan di setiap wilayah sekali selama musim hujan dan sekali selama musim kemarau untuk menentukan jenis wadah yang paling produktif terhadap kepadatan pupa (WHO, 2011).
28
d. Survei nyamuk Survei
nyamuk
dilakukan
dengan
cara
menangkap
nyamuk
menggunakan umpan orang di luar dan di dalam rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding
dalam
rumah.
Penangkapan
nyamuk
dilakukan
dengan
menggunakan aspirator. 1) Landing Rate Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap umpan orang Jumlah penangkap × jumlah jam penangkap 2) Resting per rumah Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap pada penangkap nyamuk hinggap Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan
C. Tinjauan Umum tentang Pelaksanaan 3M
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektor DBD (Kemenkes RI, 2010). Cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
penyebaran
penyakit
demam
berdarah
adalah
dengan
mengendalikan populasi dan penyebaran vektor DBD (Anggraeni, 2010). Pengendalian vektor DBD dapat dilakukan dengan pengelolaan sanitasi lingkungan karena sanitasi lingkungan mempunyai peranan penting untuk memutuskan mata
29
rantai penularan penyakit DBD dengan cara memodifikasi lingkungan yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan vektor DBD (Alupaty, 2013). Upaya pengendalian vektor DBD dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Ditjen P2PL, 2011). Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD) adalah kegiatan memberantas telur, larva, pupa nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor penyakit DBD di tempat-tempat perkembangbiakannya. Kegiatan ini menjadi prioritas utama program nasional dalam pemberantasan dan penanggulangan penyakit DBD yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat sesuai dengan kondisi budaya setempat (Nurjannah, 2013). Keberhasilan kegiatan PSN-DBD diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu lebih atau sama dengan 95% sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Lestari et al., 2014). PSNDBD dalam program kesehatan dikenal dengan istilah 3M. Pelaksanaannya meliputi (Nomitasari et al., 2012): 1. Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali, 2. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air, 3. Memusnahkan barang-barang bekas yang dapat menampung air seperti kaleng dan plastik bekas.
30
Selain kegiatan 3M, kegiatan PSN-DBD ditambah dengan tindakan plus yaitu memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk Aedes aegypti pembawa virus dengue penyebab penyakit DBD. Upaya yang dapat dilakukan, seperti abatesasi, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, mengusir nyamuk menggunakan anti nyamuk, mencegah gigitan nyamuk menggunakan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, tidak menggantung pakaian di dalam kamar serta menggunakan kelambu pada waktu tidur. Menurut Alupaty (2013), pelaksanaan 3M sangat memengaruhi kepadatan larva Aedes aegypti pada tempat penampungan air. Apabila masyarakat kurang atau tidak melakukan kegiatan 3M maka kepadatan larva Aedes dapat meningkat dan potensi penyebaran vektor pun semakin besar. Dengan demikian, pelaksanaan 3M harus dilakukan seutuhnya yaitu menguras tempat penampungan air minimal sekali seminggu, menutup tempat penampungan air dengan rapat, dan mengubur atau membuang barang-barang bekas. Apabila dilakukan hanya satu atau dua saja dari ketiga kegiatan tersebut, hal ini tetap akan memberikan peluang terhadap nyamuk untuk dapat berkembang biak. Kunci pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD adalah pengawasan yang ketat terhadap pelaporan dini hasil pemantauan kepadatan vektor sehingga pengambilan tindakan tidak terlambat saat menerima laporan kasus dari lokasi wabah. Keberadaan jumantik memiliki peran vital dalam pemberantasan DBD karena bertugas memantau populasi nyamuk penular DBD dan jentiknya.
31
Pemeriksaan jentik berkala dilakukan oleh jumantik yang bertugas melakukan kunjungan rumah setiap 3 bulan. Hasil yang didapat jumantik dilaporkan dalam bentuk Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu rasio antara jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik dengan jumlah rumah/bangunan yang diperiksa dikali 100%. ABJ merupakan indikator penyebaran Aedes aegypti. ABJ sesungguhnya bukan jaminan akan adanya penurunan jumlah kasus karena bisa saja daerah berpotensi sarang nyamuk yang tersembunyi atau tidak terpantau seperti kaleng bekas di jalan, rumah kosong, lubang bambu/pohon, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada saat survei jentik memerlukan ketelitian dalam memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk (Tairas et al., 2015).
D. Tinjauan Umum tentang Daerah Endemis dan Non Endemis DBD
Perubahan lingkungan global atau Global Environmental Change (GEC) terutama global warming ikut berperan terhadap kejadian DBD. Setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, berbagai masalah kesehatan melanda termasuk yang paling sering terjadi adalah peningkatan kejadian demam berdarah. Faktor risiko lain infeksi dengue diantaranya tingkat imunitas host, kepadatan penduduk, interaksi vektor dan host, serta virulensi virus. Kepadatan vektor juga berkontribusi terhadap epidemi DBD (Sunaryo and Pramestuti, 2014). Kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti merupakan faktor risiko terjadinya penularan DBD. Semakin tinggi kepadatan nyamuk Aedes aegypti maka
32
risiko masyarakat untuk tertular DBD semakin tinggi. Pada waktu musim hujan, kepadatan nyamuk akan meningkat karena terdapat genangan air yang dapat menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk. Air hujan yang tertampung di kontainer
terutama
perkembangbiakan
barang nyamuk.
bekas
merupakan
Kepadatan
tempat
larva/jentik
potensial
yang
tinggi
bagi akan
meningkatkan populasi nyamuk sehingga meningkatkan pula kemungkinan penyakit DBD terutama di daerah endemis (Lestari et al., 2014). Endemis adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit atau agen infeksi tertentu secara terus-menerus ditemukan di suatu wilayah tertentu, dapat pula dikategorikan sebagai suatu penyakit yang umum ditemukan di suatu wilayah. Suatu daerah dikatakan endemis DBD apabila selama tiga tahun berturut-turut terjadi kasus DBD, walaupun kasus yang terjadi hanya satu atau dua kasus saja. Adapun klasifikasi daerah endemis DBD adalah (Ayuningtyas, 2013): 1. Desa/kelurahan endemis yaitu desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir, terdapat kasus ataupun kematian karena demam berdarah dengue secara berurutan, meskipun jumlahnya hanya satu. 2. Desa/kelurahan sporadis yaitu desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus ataupun kematian karena penyakit demam berdarah dengue tetapi tidak berurutan di setiap tahunnya. 3. Desa/kelurahan potensial yaitu desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ditemukan kasus ataupun kematian karena penyakit DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan
33
wilayah yang lain dan presentasi rumah yang ditemukan jentik lebih atau s ama dengan 5%. 4. Desa/kelurahan bebas yaitu kelurahan atau desa yang dalam tiga tahun terakhir tidak pernah ada penderita DBD dan persentasi rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD, yaitu kurangnya persediaan air bersih, urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan g lobal yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti (Bappenas, 2006 ). Adapun upaya pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan dan penyebaran penyakit DBD ialah melalui program pencegahan/pemberantasan yang dilakukan berdasarkan prioritas. Daerah wabah akan mendapat proritas utama, kemudian daerah endemis, sporadis, dan terakhir daerah potensial (Lestari et al., 2014).
34
E. Kerangka Teori Faktor Iklim
Musim
Kelembaban
Suhu
Faktor Perilaku
Pengetahuan
Sikap Rumah Sekolah Tempat Kerja
Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan Kondisi TPA dan Non TPA
Tindakan 3M
Abatesasi
Fogging
Pelayanan Kesehatan ABJ, HI, CI, BI
Frekuensi Penyuluhan tentang DBD Densitas Aedes aegypti Telur, Larva, Pupa,
Agent virus
Kejadian DBD
Gambar 2.2. Kerangka Teori Sumber: Modifikasi Praditya (2014), Ramlawati (2014), Mustamin (2015)
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang terinfeksi virus dengue. Penyakit ini dapat menyebakan kematian dalam waktu singkat dan menimbulkan wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) (Sallata et al., 2014). Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan dua vektor utama penularan penyakit DBD yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis (Louis et al., 2014). Nyamuk ini hidup di sekitar pemukiman penduduk baik di dalam maupun di luar rumah dan berkembang biak pada berbagai macam tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan langsung dengan tanah dan terlindung dari sinar matahari. Tingginya populasi nyamuk Aedes dapat menyebabkan risiko penyebaran penyakit DBD semakin meningkat (Sallata et al., 2014). Berbagai upaya telah dilakukan oleh instansi kesehatan untuk memutus rantai penularan demam berdarah diantaranya dengan penemuan dan pengobatan penderita, pengendalian vektor dan kerja sama lintas sektor. Pengamatan vektor Aedes aegypti sangat penting terutama untuk mengetahui penyebaran, kepadatan, habitat utama larva/jentik, kemungkinan risiko terjadinya penularan, tingkat
35
36
kepekaan nyamuk terhadap insektisida dan memprioritaskan lokasi serta waktu pelaksanaan pemberantasan vektor. Kegiatan pengendalian vektor yang pernah dilaksanakan yaitu pengasapan ( fogging fogging ) dan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan melibatkan peran serta masyarakat. masyarakat. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) merupakan salah satu upaya pengendalian vektor DBD yang paling efektif (Sunaryo and Pramestuti, 2014). 2014). Pelaksanaan pengendalian vektor di masyarakat dilakukan melalui upaya PSN-DBD dalam bentuk kegiatan 3M (Lestari et al., 2014). 2014). Cara PSN-DBD dilakukan dengan 3 M, yaitu (Bappenas, 2006): 2006): 1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, 2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, 3. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Masyarakat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Keberhasilan PSN-DBD dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Menurut Sunaryo Menurut Sunaryo and Pramestuti (2014), keberadaan (2014), keberadaan jentik Aedes jentik Aedes aegypti di aegypti di suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes nyamuk Aedes aegypti di aegypti di daerah tersebut. Sedangkan ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes jentik Aedes
37
(ABJ), House Index (HI), dan Container Index aegypti adalah aegypti adalah Angka Bebas Jentik (ABJ), House (CI) (Lestari et al., 2014). 2014).
B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti
Berdasarkan dasar pemikiran variabel maka dapat digambarkan pola pikir variabel yang diteliti sebagai berikut:
PELAKSANAAN 3M
-
Menguras
-
PEMETAAN DENSITAS LARVA
-
ABJ
Menutup
-
HI
Mengubur
-
CI
DAERAH ENDEMIS DBD
DAERAH NON ENDEMIS DBD
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Kontainer Kontainer adalah tempat penampungan air (TPA) maupun bukan penampungan air (non TPA) yang berpotensi menjadi tempat nyamuk Aedes nyamuk Aedes aegypti berkembang aegypti berkembang biak yang biak yang berada di sekitar rumah responden di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD (Mustamin, 2015). 2015). Kriteria Objektif:
38
a. TPA
: Wadah yang peruntukannya sebagai tempat menampung air dan memiliki potensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti bak mandi, baskom, drum, ember, dan gentong.
b. Non TPA : Wadah
yang
peruntukannya
bukan
sebagai
tempat
penampungan air namun memiliki potensi sebagai tempat nyamuk Aedes nyamuk Aedes berkembang berkembang biak seperti pot, tatakan dispenser, tatakan kulkas, tempat minum hewan, kaleng/botol bekas, dan sebagainya. 2. Keberadaan larva Aedes larva Aedes aegypti Keberadaan larva Aedes larva Aedes aegypti adalah adanya larva Aedes larva Aedes aegypti pada aegypti pada kontainer yakni TPA dan non TPA di luar maupun di dalam rumah setiap responden di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD yang diukur dengan menggunakan metode visual (Mustamin, 2015). 2015). Kriteria objektif: a. Ada
: Jika ditemukan larva Aedes larva Aedes aegypti pada aegypti pada kontainer.
b. Tidak ada : Jika tidak ditemukan larva Aedes larva Aedes aegypti pada aegypti pada kontainer. 3. Angka Bebas Jentik (ABJ) ABJ adalah angka bebas jentik untuk mengetahui risiko transmisi virus dengue yang engue yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Mustamin, 2015): 2015):
39
Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik ×100% Jumlah rumah yang diperiksa Kriteria objektif: a. Risiko rendah terjadinya transmisi virus dengue ≥ 95 %. b. Risiko tinggi terjadinya transmisi virus dengue < 95%. 4. House Index (HI) HI adalah persentase pemeriksaan jumlah rumah yang diperiksa dan ditemukan jentik pada rumah responden di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Rahim et al., 2013): Jumlah rumah yang ditemukan jentik ×100% Jumlah rumah yang diperiksa Kriteria objektif: a. Risiko rendah terjadinya transmisi virus dengue ≤ 37%. b. Risiko tinggi terjadinya transmisi virus dengue > 37%. 5. Container Index (CI) CI adalah persentase pemeriksaan jumlah kontainer yang diperiksa dan ditemukan jentik pada kontainer responden di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Taviv, 2009): Jumlah container dengan jentik Jumlah container yang diperiksa
×100%
40
Kriteria objektif: a. Risiko rendah apabila angka kepadatan ≤ 20%. b. Risiko tinggi apabila angka kepadatan > 20%. 6. Pelaksanaan 3M menguras tempat penampungan air Pelaksanaan 3M menguras tempat penampungan air adalah upaya pemberantasan sarang nyamuk dengan cara menguras tempat penampungan air minimal sekali dalam seminggu pada setiap rumah responden di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD (Ramlawati, 2014). Kriteria objektif: Melakukan
:
Apabila responden mengaku melakukan kegiatan yaitu menguras tempat penampungan air minimal sekali dalam seminggu dengan cara menyikat dinding bagian dalam tempat penampungan air tersebut yang dibuktikan dengan pengamatan langsung oleh peneliti (kontainer dalam keadaan tidak berlumut dan tidak ditemukan jentik).
Tidak melakukan
:
Apabila tidak sesuai dengan kriteria di atas.
7. Pelaksanaan 3M menutup tempat penampungan air Pelaksanaan 3M menutup tempat penampungan air adalah upaya pemberantasan
sarang
nyamuk
dengan
cara
menutup
tempat-tempat
penampungan air dengan rapat pada setiap rumah responden di Kelurahan
41
Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD (Ramlawati, 2014). Kriteria objektif: Melakukan
:
Apabila melakukan kegiatan menutup rapat tempattempat penampungan air sebelum maupun sesudah digunakan dengan kondisi tutupan tidak rusak/ berlubang baik berdasarkan pengakuan responden dan dibuktikan langsung oleh pengamatan peneliti.
Tidak melakukan
:
Apabila tidak sesuai dengan kriteria di atas.
8. Pelaksanaan 3M mengubur atau membuang barang bekas Pelaksanaan 3M mengubur atau membuang barang bekas adalah upaya pemberantasan sarang nyamuk dengan cara mengubur atau membuang barang barang bekas yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk ke tempat pembuangan sampah pada setiap rumah responden di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD (Ramlawati, 2014) Kriteria objektif: Melakukan
:
Apabila
responden
mengaku
selalu
melakukan
kegiatan yaitu mengubur atau membuang barang barang
bekas
yang
berpotensi
sebagai
tempat
perkembangbiakan nyamuk ke tempat pembuangan sampah.
42
Tidak melakukan
:
Apabila tidak sesuai dengan kriteria di atas.
9. Endemisitas DBD Endemis adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit atau agen infeksi tertentu secara terus menerus ditemukan di suatu wilayah tertentu, dapat pula dikategorikan sebagai suatu penyakit yang umum ditemukan di suatu wilayah (Ayuningtyas, 2013). Kriteria objektif: Daerah endemis DBD
: Desa/kelurahan yang dalam tiga tahun terakhir terdapat kasus ataupun kematian karena demam berdarah dengue dan merupakan desa/kelurahan dengan jumlah kasus DBD tertinggi berdasarkan hasil pendataan Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Daerah non endemis DBD
: Desa/kelurahan yang dalam tiga tahun terakhir terdapat kasus dengan jumlah kasus DBD terendah berdasarkan hasil pendataan Dinas Kesehatan Kota Makassar.
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode survey observasional dengan pendekatan deskriptif yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua kelurahan yang ada di Kecamatan Rappocini, yaitu Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD. 2. Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua minggu, yaitu pada 11 – 26 Januari 2016.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah yang berada di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan Kelurahan
43
44
Rappocini sebagai daerah non endemis DBD, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar. 2. Sampel penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian rumah yang berada di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar yang ditentukan sesuai prosedur sebagai berikut: a. Kelurahan Gunung Sari 1) Kelurahan Gunung Sari terdiri dari 26 RW. Selanjutnya, penentuan daerah endemis yang berdasarkan kriteria jumlah kasus tertinggi maka dipilih RW 09 sebagai daerah endemis DBD sesuai dengan data yang diperoleh dari Puskesmas Minasa Upa selama tiga tahun terakhir yang menunjukkan bahwa kasus DBD tertinggi di Kelurahan Gunung Sari terdapat di RW 09 dengan rincian kasus pada tahun 2013 tidak terdapat kasus DBD sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 3 kasus, dan pada tahun 2015 (hingga bulan Agustus) terdapat sebanyak 3 kasus DBD. 2) Dipilih seluruh RT untuk pengambilan sampel yaitu sebanyak 6 RT. 3) Besar sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus (Lemeshow et al., 1990): 2
n =
Z1-a P (1-P) N 2
2
2
d (N-1) + Z1-a P (1-P) 2
45
Keterangan: n
= Besar sampel 2
Z1-a
= Tingkat kemaknaan yang diinginkan (jika TK 90% = 1,64 ;
2
TK 95% = 1,96 ; dan TK 99% = 2,57) P
= Proporsi subjek dalam populasi, bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,5)
1-P
= Proporsi non subjek dalam populasi
N
= Besar populasi
d2
= Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 8% (0,08) Besar populasi (N) pada RW 09 yaitu sebanyak 483 rumah,
maka besar sampel dapat diperoleh melalui perhitungan sebag ai berikut: 2
n =
Z1-a P (1-P) N 2
2
2
d (N-1) + Z1-a P (1-P) 2
n =
n =
n =
n =
(1,96)2 (0,5) (0,5) (483) 2 (0,08) (483 - 1) + (1,96)2 (0,5) (0,5)
(3,8416)(0,5) (0,5) (483) (0,0064)(482) + (3,8416) (0,5) (0,5) 463,8732 3,0848 + 0,9604 463,8732 4,0452
n = 114,673
46
n = 115
b. Kelurahan Rappocini 1) Kelurahan Rappocini terdiri dari 6 RW. Selanjutnya, dipilih satu RW dari tiga RW, yaitu RW 01, RW 04, dan RW 06 yang berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Makassar selama tiga tahun terakhir tidak terdapat kasus DBD pada ketiga RW tersebut. 2) RW 04 terpilih secara acak ( simple random sampling ) dari ketiga RW, yaitu RW 01, RW 04, dan RW 06 dengan metode mengundi anggota populasi (lottery technique) sebagai daerah non endemis DBD. 3) Dipilih seluruh RT untuk pengambilan sampel yaitu sebanyak 5 RT. 4) Besar sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus (Lemeshow et al., 1990): 2
n =
Z1-a P (1-P) N 2
2
2
d (N-1) + Z1-a P (1-P) 2
Keterangan: n
= Besar sampel 2
Z1-a
= Tingkat kemaknaan yang diinginkan (jika TK 90% = 1,64;
2
TK 95% = 1,96 ; dan TK 99% = 2,57) P
= Proporsi subjek dalam populasi, bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,5)
1- P
= Proporsi non subjek dalam populasi
47
N
= Besar populasi
d2
= Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 8% (0,08) Besar populasi (N) pada RW 04 yaitu sebanyak 358 rumah,
maka besar sampel dapat diperoleh melalui perhitungan sebag ai berikut: 2
n =
Z1-a P (1-P) N 2
2
2
d (N-1) + Z1-a P (1-P) 2
n =
n =
n =
n =
(1,96)2 (0,5) (0,5) (358) 2 (0,08) (358 - 1) + (1,96)2 (0,5) (0,5)
(3,8416)(0,5) (0,5) (358) (0,0064)(357) + (3,8416) (0,5) (0,5) 343,8232 2,2848 + 0,9604 343,8232 3,2452
n = 105,948 n = 106
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel maka jumlah sampel dalam penelitian ini terdiri dari 115 rumah pada RW 09 Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan 106 rumah pad a RW 04 Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD yang terdiri dari rumah dan/atau bangunan.
48
D. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah dengam metode proporsional simple random sampling. Cara pengambilan sampel tersebut adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Notoadmojo, 2005): nh = Keterangan:
NH N
×n
nh
= Jumlah sampel setiap strata
NH
= Banyaknya elemen dari setiap strata
N
= Banyaknya populasi
n
= Jumlah sampel
1. Kelurahan Gunung Sari Jumlah sampel yang diambil di Kelurahan Gunung Sari yaitu sebanyak 115 rumah pada 6 RT. Jumlah sampel pada masing-masing RT diproporsikan menggunakan metode proportional random sampling dengan perhitungan sebagai berikut: a. RT 01 nh =
nh =
b. RT 02
NH N 106 483
×n
nh =
×115
nh =
NH N 41 483
×n
×115
nh = 25,24
nh = 9,76
nh = 25
nh = 10
c. RT 03
d. RT 04
49
nh =
N 120
nh =
e.
NH
483
×n
nh =
×115
nh =
NH N 92 483
×n
×115
nh = 28,57
nh = 21,91
nh = 28
nh = 22
RT 05 nh =
f.
NH
nh =
N
nh =
×n
62 483
RT 06
×115
nh =
NH N 62 483
×n
×115
nh = 14,76
nh = 14,76
nh = 15
nh = 15
Tabel 4.1 Jumlah Sampel Tiap RT di RW 09 Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar No. 1.
Nama RT RT 01
Jumlah Rumah 106
Jumlah Sampel per RT 25
2. 3. 4. 5.
RT 02 RT 03 RT 04 RT 05
41 120 92 62
10 28 22 15
6.
RT 06
62
15
Jumlah 483 Sumber: Data sekunder, 2015
115
Cara pengambilan sampel sebagian rumah pada masing-masing RT di RW 09 Kelurahan Gunung Sari dilakukan secara acak sistematis dengan membuat daftar anggota populasi secara acak antara 1 sampai dengan
50
banyaknya anggota populasi kemudian menentukan angka kelipatan atau interval sampel yaitu dengan membagi jumlah atau anggota populasi dengan jumlah sampel yang diinginkan. Dengan demikian, anggota populasi yang terkena sampel adalah setiap elemen yang mempunyai angka kelipatan atau interval. Misalnya, dari 106 rumah anggota populasi pada RT 01, akan diteliti sebanyak 47 rumah, maka angka kelipatan atau int erval = 106 : 25 = 4,24 yang dibulatkan menjadi 4. Maka sampel yang terpilih adalah rumah dengan nomor urut 002, 006, 010, dan seterusnya sampai 106 hingga diperoleh sampel sebanyak 25 rumah. 2. Kelurahan Rappocini Jumlah sampel yang diambil di Kelurahan Rappocini yaitu sebanyak 106 rumah pada 5 RT. Jumlah sampel pada masing-masing RT diproporsikan menggunakan metode proportional random sampling dengan perhitungan sebagai berikut: a. RT 01 NH
nh =
nh =
b. RT 02
N 73 358
×n
nh =
×106
nh =
NH N 55 358
×n
×106
nh = 21,61
nh = 16,29
nh = 22
nh = 16
c. RT 03
d. RT 04
51
NH
nh =
N
nh =
×106
nh =
68
nh =
e.
×n
358
NH N 68 358
×n
×106
nh = 20,13
nh = 20,13
nh = 20
nh = 20
RT 05 nh =
nh =
NH N 94 358
×n
× 106
nh = 27,83 nh = 28
Tabel 4.2 Jumlah Sampel Tiap RT di RW 04 Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar No. 1.
Nama RT RT 01
Jumlah Rumah 73
Jumlah sampel per RT 22
2. 3. 4. 5.
RT 02 RT 03 RT 04 RT 05
55 68 68 94
16 20 20 28
Jumlah 358 Sumber: Data sekunder, 2015
106
Selanjutnya, cara pengambilan sampel sebagian rumah pada masingmasing RT di RW 04 Kelurahan Rappocini dilakukan secara acak sistematis dengan membuat daftar anggota populasi secara acak antara 1 sampai dengan banyaknya anggota populasi kemudian menentukan angka kelipatan atau
52
interval sampel yaitu dengan membagi jumlah atau anggota populasi dengan jumlah sampel yang diinginkan. Dengan demikian, anggota populasi yang terkena sampel adalah setiap elemen yang mempunyai angka kelipatan atau interval. Misalnya, dari 73 rumah anggota populasi pada RT 01, akan diteliti sebanyak 38 rumah, maka angka kelipatan atau interval = 73 : 22 = 3,32 yang dibulatkan menjadi 3. Maka sampel yang terpilih adalah rumah dengan nomor urut 02, 05, 08, dan seterusnya sampai 73 hingga diperoleh sampel sebanyak 22 rumah.
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni dengan pengambilan data primer dan sekunder. 1. Data primer a. Data densitas larva Aedes aegypti Data ini diperoleh dari hasil observasi langsung pada tempat penampungan air menggunakan metode visual dengan bantuan alat berupa senter dan lembar observasi. b. Data pelaksanaan 3M Data ini diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner. c. Data titik koordinat
53
Data ini diperoleh dengan melakukan pengambilan dan pencatatan titik koordinat pada setiap rumah yang dijadikan sebagai sampel dengan menggunakan aplikasi Global Positioning System (GPS) Essentials pada smartphone, kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk peta distribusi. 2. Data sekunder Data sekunder diperoleh dari Kantor Dinas Kesehatan Kota Makassar, Puskesmas Kassi-kassi, Puskesmas Minasa Upa, Kantor Kelurahan Gunung Sari, dan Kantor Kelurahan Rappocini.
F. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data Pengolahan data yang pada penelitian ini dilakukan menggunakan komputer melalui program Statistical Package for Sosial Science (SPSS 20.0). 2. Analisis data Analisis data dilakukan adalah analasis univariat dan analisis pemetaan. Analisis univariat dengan menggunakan program SPSS 20.0 yaitu menganalisis distribusi frekuensi dan persentase tunggal terkait dengan variabel yang diteliti. Analisis data pemetaan dilakukan secara spasial dengan software ArcGIS 10.1 yaitu dengan overlay peta administrasi (peta analog) lokasi penelitian yang diperoleh dari data sekunder dengan peta citra satelit dari google earth rekaman tahun 2015 dengan resolusi tinggi sehingga dapat diperoleh data raster. Data raster merupakan data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh dimana
54
objek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel . Data raster tersebut tidak memiliki titik koordinat sehingga memerlukan suatu proses georeferencing ke dalam sistem koordinat melalui tahap rektifikasi. Pada tahap ini, diperlukan beberapa titik kontrol lapangan yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan dengan GPS. Rektifikasi merupakan suatu tahapan yang memproyeksikan atau memposisikan peta pada keadaan yang sebenarnya di permukaan bumi. Selanjutnya, peta analog dikonversi ke dalam format digital yang dikenal dengan digitasi peta. Titik koordinat sampel rumah yang dilakukan dengan menggunakan GPS di lapangan dimasukkan ke dalam peta digitasi (peta dasar) lokasi penelitian untuk dianalisis. Analisis data pemetaan dilakukan berdasarkan analisis univariat variabel yang diteliti pada masing-masing kelurahan yang diolah menggunakan SPSS. Data yang diinput pada SPSS selanjutnya di export ke Ms. Excel untuk dimasukkan ke dalam peta dasar sehingga dapat dilihat persebarannya dalam peta. Pemberian atribut pada peta terhadap variabel penelitian sangat penting dilakukan supaya informasi dapat tersajikan dengan baik. Misalnya dengan melakukan gradasi warna pada rumah yang diteliti terhadap variabel penelitian.
55
G. Penyajian Data
Data yang telah dianalisis akan disajikan dalam ben tuk tabel, peta distribusi, disertai narasi yang berisi penjelasan (interpretasi) variabel yang diteliti.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Rappocini merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di Kota Makassar yang merupakan daerah bukan pantai dengan topografi ketinggian antara permukaan laut dengan luas wilayah sebesar 9,23 km2. Kecamatan Rappocini berbatasan langsung dengan Kecamatan Panakkukang di sebelah Utara, Kecamatan Panakkukang dan Kabupaten Gowa di sebelah Timur, Kecamatan Tamalanrea di sebelah Selatan dan Kecamatan Mamajang dan Kecamatan Makassar di sebelah Barat. Pada tahun 2014, Kecamatan Rappocini terdiri dari 10 kelurahan, 573 RT dan 107 RW dengan kategori kelurahan swasembada. Menurut hasil proyeksi penduduk pada tahun 2014, jumlah penduduk di Kecamatan Rappocini sekitar 161,650 jiwa. Berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa jumlah penduduk laki-laki sekitar 78,720 jiwa dan perempuan sekitar 82,930 jiwa. Adapun jumlah sarana (fasilitas) kesehatan di Kecamatan Rappocini pada tahun 2014 tercatat dua rumah sakit umum, empat puskesmas, empat pustu, empat rumah bersalin dan 97 posyandu (BPS, 2015). Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan pada dua kelurahan yang berada di Kecamatan Rappocini, yaitu Kelurahan Gunung Sari dan K elurahan Rappocini.
56
57 1. Kelurahan Gunung Sari Secara administratif, Kelurahan Gunung Sari terdiri dari 26 RW dan 141 RT. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Kelurahan Gunung Sari sebanyak 77.423 jiwa yang terdiri dari laki-laki 39.224 jiwa, perempuan 38.199 jiwa, dengan kepala keluarga sebanyak 24.052 KK. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Gunung Sari adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Karunrung, Kecamatan Rappocini. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungguminasa. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Mangasa, Kecamatan Tamalate. 2. Kelurahan Rappocini Secara administratif, Kelurahan Rappocini terdiri dari 6 RW dan 28 RT. Jumlah penduduk Kelurahan Rappocini sebanyak 4.908 jiwa yang terdiri dari laki-laki 2.454 jiwa dan perempuan 2.454 jiwa. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Rappocini adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bara-Baraya, Kecamatan Makassar. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Buakana, Kecamatan Rappocini.
58 c. Sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Kelurahan
Banta-Bantaeng,
Kecamatan Rappocini. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar.
B. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 11 – 26 Januari 2016 di dua RW yang berbeda kelurahan di Kecamatan Rappocini, yaitu RW 09 Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan RW 04 Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan pengamatan langsung b aik pada tempat penampungan air maupun bukan tempat penampungan air untuk melihat ada tidaknya jentik di setiap kontainer rumah responden dengan menggunakan lembar observasi. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 221 rumah dengan jumlah kontainer sebanyak 638 kontainer yang terdiri dari 115 rumah dengan 329 kontainer pada RW 09 Kelurahan Gunung Sari dan 106 rumah dengan 309 kontainer pada RW 04 Kelurahan Rappocini. Jumlah rumah positif jentik pada RW 09 Kelurahan Gu nung Sari adalah sebanyak 18 rumah sedangkan pada RW 04 Kelurahan Rappocini terdapat 21 rumah positif jentik. Adapun data dari setiap rumah yang diteliti dipadukan dengan titik koordinat rumah tersebut yang diambil di lapangan dengan tingkat akurasi antara
59 2 – 4 meter menggunakan aplikasi Global Positioning System (GPS) Essentials pada smartphone, kemudian dituangkan dalam bentuk peta melalui software ArcGIS Dekstop10.1. Data yang diperoleh tersebut juga diolah/dianalisis menggunakan komputer melalui program SPSS 20.0 dan Ms. Excel yang akan disajikan dalam bentuk tabel disertai interpretasi dan peta distribusi. Hasil penelitian yang diperoleh diuraikan sebagai berikut: 1.
Distribusi karakteristik umum responden Karakteristik umum responden pada penelitian ini adalah jenis kelamin, kelompok umur, pendidikan terakhir, pekerjaan dan riwayat penyakit DBD a.
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Karaktristik jenis kelamin responden disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Kelurahan Gunung Sari n % 57 49,6 58 50,4
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
Kelurahan Rappocini n % 47 44,3 59 55,7
n 104 117
% 47,1 52,9
106
221
100,0
100,0
Jumlah
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki yakni pada Kelurahan Gunung Sari jumlah responden perempuan sebanyak 58 orang (50,4%) sedangkan pada
60 Kelurahan Rappocini jumlah responden perempuan sebanyak 59 orang (55,7%). b.
Karakteristik kelompok umur responden Distribusi umur responden dibagi ke dalam tujuh kelompok umur yang disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.2 Distribusi Kelompok Umur Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Kelompok Umur (tahun)
15 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 66 – 75 ≥ 76
Kelurahan Gunung Sari n % 15 13,0 17 14,8 34 29,6 27 23,5 20 17,4 1 0,9 1 0,9
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
Kelurahan Rappocini n % 17 16,0 19 17,9 26 24,5 22 20,8 15 14,2 6 5,7 1 0,9 106
100,0
Jumlah n 32 36 60 49 35 7 2
% 14,5 16,3 27,1 22,2 15,8 3,2 0,9
221
100,0
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur antara 36 – 45 tahun yakni pada Kelurahan Gunung Sari terdapat 34 responden atau sebesar 29,6% sedangkan pada Kelurahan Rappocini sebanyak 26 responden atau sebesar 24,5%. Adapun kelompok umur yang paling sedikit pada kedua kelurahan tersebut adalah kelompok umur ≥ 76 tahun yaitu masing-masing pada Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini adalah sebanyak 1 orang atau sebesar 0,9%.
61 c.
Karakteristik pendidikan terakhir responden Pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan merupakan salah satu cara untuk melihat pendidikan terakhir yang dimiliki oleh responden. Adapun karakteristik pendidikan terakhir responden disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Terakhir Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Pendidikan Terakhir
Kelurahan Gunung Sari
Kelurahan Rappocini
n
%
0
0,0
1
0,9
1
0,5
1 11 62
0,9 9,6 53,9
16 22 43
15,1 20,8 40,6
17 33 105
7,7 14,9 47,5
41
35,7
24
22,6
65
29,4
Jumlah 115 00,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Tidak pernah sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Perguruan Tinggi
n
%
Jumlah n
%
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan terakhir responden adalah tamat SLTA yaitu pada Kelurahan Gunung Sari sebanyak 62 orang (53,9%) sedangkan pada Kelurahan Rappocini sebanyak 43 orang (40,6%). Adapun pendidikan terakhir yang paling sedikit pada Kelurahan Gunung Sari adalah tamat SD yaitu sebanyak 1 orang (0,9%) sedangkan pada Kelurahan Rappocini adalah terdapat 1 orang (0,9%) responden yang tidak pernah sekolah.
62 d.
Karakteristik pekerjaan responden Secara umum, jenis pekerjaan dibedakan menjadi dua yaitu pekerjaan yang berada di bawah naungan pemerintah (negeri) dan pekerjaan mandiri (swasta). Adapun distribusi jenis pekerjaan responden disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.4 Distribusi Pekerjaan Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Kelurahan Gunung Sari
Kelurahan Rappocini
n 4 11 32 2 14 2 4 38 0 1 0 7
% 3,5 9,6 27,8 1,7 12,2 1,7 3,5 33,0 0,0 0,9 0,0 6,1
n 4 9 45 0 6 0 3 26 7 0 1 5
Jumlah 115 Sumber: Data Primer, 2016
100,0
106
Pekerjaan
Tidak Kerja Sekolah Ibu Rumah Tangga TNI/Polri PNS Pegawai BUMN Pegawai Swasta Wiraswasta/Pedagang Buruh Petani Imam Masjid Pensiunan
% 3,8 8,5 42,5 0,0 5,7 0,0 2,8 24,5 6,6 0,0 0,9 4,7 100,0
Jumlah n 8 20 77 2 20 2 7 64 7 1 1 12 221
% 3,6 9,0 34,8 0,9 9,0 0,9 3,2 29,0 3,2 0,5 0,5 5,4 100,0
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada Kelurahan Gunung Sari bekerja sebagai wiraswasta/pedagang yaitu sebesar 33% atau sebanyak 38 orang sedangkan pada Kelurahan Rappocini sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga (IRT) yaitu
63 sebesar 42,5% atau sebanyak 45 orang. Adapun jenis pekerjaan yang paling sedikit di Kelurahan Gunung Sari adalah responden bekerja sebagai buruh sebesar 0,9% atau hanya sebanyak 1 orang sedangkan pada Kelurahan Rappocini terdapat 0,9% atau sebanyak 1 orang responden yang bekerja sebagai imam masjid. e.
Karakteristik riwayat DBD responden Penyakit demam berdarah pada umumnya dapat menyerang pada semua orang termasuk anak-anak dan penyakit ini sering menimbulkan wabah bahkan kematian. Distribusi karakteristik riwayat DBD dalam keluarga responden disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.5 Distribusi Riwayat Demam Berdarah Dengue dalam Keluarga Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Riwayat DBD dalam Keluarga
Kelurahan Gunung Sari
Jumlah
% 75,7 24,3
n 82 24
% 77,4 22,6
n 169 52
% 76,5 23,5
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Tidak Ya
n 87 28
Kelurahan Rappocini
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa responden pada Kelurahan Gunung Sari memiliki riwayat demam berdarah (pernah atau sedang menderita DBD) dalam keluarga sebesar 24,3% atau sebanyak 28 orang sedangkan pada Kelurahan Rappocini terdapat 22,6% atau sebanyak 24 responden
64 yang mengaku memiliki riwayat penyakit demam berdarah dalam keluarganya. Berdasarkan data tersebut, distribusi responden berdasarkan riwayat penyakit DBD dalam keluarga di Kelurahan Gun ung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.1 Peta Distribusi Riwayat Penyakit DBD dalam Keluarga Responden di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016
65 Gambar 5.1 menunjukkan sebagian besar responden tidak memiliki riwayat penyakit DBD yang menyebar di seluruh RT yang ditunjukkan oleh kotak berwarna hijau. Akan tetapi, distribusi responden yang pernah atau sedang menderita (memiliki riwayat penyakit DBD) terbanyak ditunjukkan pada RT 01 kemudian RT 03. Adapun distribusi responden berdasarkan riwayat penyakit DBD dalam keluarga di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
66
Gambar 5.2 Peta Distribusi Riwayat Penyakit DBD dalam Keluarga Responden di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.2 menunjukkan riwayat penyakit DBD (sedang atau pernah menderita DBD) dalam keluarga di Kelurahan Rappocini yangmana sebagian besar responden yang tidak memiliki riwayat
67 penyakit DBD menyebar di seluruh RT pada kedua kelurahan tersebut yang ditunjukkan oleh kotak berwarna hijau. Selain itu, berdasarkan gambar tersebut, dapat pula diketahui persebaran responden dengan riwayat penyakit DBD terbanyak berada di RT 01. 2.
Analisis univariat variabel penelitian a.
Kontainer dan Keberadaan larva Aedes aegypti Pemeriksaan jentik/larva dilakukan pada kontainer baik TPA maupun non TPA yang ditemukan di dalam maupun di luar rumah responden yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Distribusi responden berdasarkan jumlah kontainer yang diperiksa disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kontainer yang Diperiksa di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Kontainer
Kelurahan Gunung Sari n %
TPA 278 84,5 Non TPA 51 15,5 Jumlah 329 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
Kelurahan Rappocini n %
n
%
260 49
538 100
84,3 15,7
638
100,0
309
84,1 15,9 100,0
Jumlah
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa TPA merupakan kontainer yang paling banyak ditemukan pada Kelurahan Gunung Sari sebesar 84,5% dan 84,1% pada Kelurahan Rappocini. Distribusi keberadaan larva
68 disajikan pada Aedes aegypti berdasarkan aegypti berdasarkan jenis kontainer yang diperiksa disajikan tabel berikut: Tabel 5.7 Distribusi Keberadaan Larva A edes aegypti aegypti Berdasarkan Jumlah Kontainer yang Diperiksa di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Jenis Kontainer
Kel. Gunung Sari
-
n
1 2 0 0 0 0
27 7 195 12 15 1
28 9 195 12 15 1
9,1 2,9 63,1 3,9 4,9 0,3
0,3 11,2 0,9
1 14 0
1 17 4
2 31 4
0,6 10,0 1,3
3
0,9
0
1
1
0,3
2
6
1,8
4
4
8
2,6
0 0
0 1
0 1
0,0 0,3
0 1
1 1
1 2
0,3 0,6
Jumlah 19 Sumber: Data Primer, 2016
310
329
100,0
23
286
309
100,0
TPA Bak Mandi Drum Ember Gentong Baskom Jerigen Non TPA Pot Bunga Tatakan Dispenser Tatakan Kulkas Tempat Minum Hewan Kaleng/Botol Bekas Kolam Ikan Tempat Cat
+
Kel. Rappocini
-
n
%
1 0 2 0 0 0
41 2 204 12 16 0
42 2 206 12 16 0
12,8 0,6 62,6 3,6 4,9 0,0
0 10 2
1 27 1
1 37 3
0
3
4
+
%
Keterangan : + = Ada ditemukan ditemukan / positif larva Aedes larva Aedes aegypti - = Tidak ada ditemukan / negatif larva Aedes larva Aedes aegypti Tabel 5.7 menunjukkan bahwa keberadaan larva Aedes larva Aedes aegypti pada TPA di Kelurahan Gunung Sari paling banyak terdapat pada ember
69 yaitu 2 buah ember positif larva sedangkan keberadaan larva Aedes aegypti pada aegypti pada TPA di Kelurahan Rappocini paling banyak terdapat pada drum yaitu 2 buah drum positif larva. Adapun keberadaan larva Aedes larva Aedes aegypti pada aegypti pada non TPA paling banyak ditemukan pada tatakan dispenser, disp enser, yaitu 10 tatakan dispenser positif larva pada Kelurahan Gunung Sari dan 14 tatakan dispenser yang positif larva pada Kelurahan Rappocini. Adapun distribusi rumah responden berdasarkan keberadaan larva disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5.8 Distribusi Rumah Responden Berdasarkan Keberadaan Larva di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan di A edes edes aegypt aegypti i Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Keberadaan larva
Kelurahan Gunung Sari
Kelurahan Rappocini %
n
%
85
80,2
182
82,4
15,7
21
19,8
39
17,6
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Tidak ada (negatif) Ada (positif)
n
%
n
97
84,3
18
Jumlah
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 115 rumah yang diperiksa di Kelurahan Gunung Sari terdapat 18 rumah (15,7%) yang ditemukan larva Aedes larva Aedes aegypti sedangkan aegypti sedangkan pada Kelurahan Rappocini, terdapat 21 rumah (19,8%) yang ditemukan larva Aedes aegypti dari total 106 rumah yang diperiksa.
70 Adapun distribusi keberadaan larva Aedes larva Aedes aegypti di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.3 Peta Distribusi Keberadaan Larva Aedes Larva Aedes aegypti di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016
Gambar 5.3 menunjukkan bahwa keberadaan larva Aedes aegypti paling banyak terdapat di RT 01 sebanyak 6 rumah yang
71 ditunjukkan oleh kotak berwarna merah. Adapun distribusi keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.4 Peta Distribusi Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016
72 Gambar 5.4 menunjukkan bahwa rumah responden di Kelurahan Rappocini yang ditemukan larva Aedes aegypti paling banyak terdapat di RT 03 sebanyak 7 rumah yang ditunjukkan oleh kotak berwarna merah. b.
Pelaksanaan 3M 1) Menguras tempat penampungan air Pelaksanaan
3M
menguras
tempat
penampungan
air
merupakan salah satu upaya pemberantasan sarang nyamuk untuk menghindari penularan penyakit DBD dengan cara menguras tempattempat
penampungan
air
yang
berpotensi
sebagai
tempat
perkembangbiakan vektor minimal seminggu sekali. Adapun distribusi frekuensi menguras tempat penampungan air responden disajikan dalam tabel berikut:
73 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Menguras Tempat Penampungan Air Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Frekuensi Menguras
Kelurahan Gunung Sari n %
Seminggu 47 40,9 sekali Dua kali atau lebih dalam 67 58,3 seminggu Dua minggu 1 0,9 sekali Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
Kelurahan Rappocini n %
n
%
28
26,4
75
33,9
76
71,7
143
64,7
2
1,9
3
1,4
106
100,0
221
Jumlah
100,0
Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa frekuensi menguras tempat penampungan air oleh responden di Kelurahan Gunung Sari paling banyak dilakukan sebanyak dua kali atau lebih dalam seminggu yaitu sebesar 58,3% atau sebanyak 67 responden. Sedangkan di Kelurahan Rappocini terdapat 76 orang atau sebesar 71,7% responden yang menguras tempat penampungannya sebanyak dua kali atau lebih dalam seminggu. Adapun distribusi responden berdasarkan pelaksanaan 3M menguras tempat penampungan air yang ditentukan berdasarkan frekuensi menguras dan ada tidaknya jentik yang ditemukan pada setiap kontainer dapat dilihat pada tabel berikut:
74 Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan 3M Menguras Tempat Penampungan Air di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Pelaksanaan 3M (Menguras)
Tidak Melakukan Melakukan
Kelurahan Gunung Sari n %
Kelurahan Rappocini n %
n
%
Jumlah
14
12,2
18
17,0
32
14,5
101
87,8
88
83,0
189
85,5
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini melakukan 3M menguras, dimana pada Kelurahan Gunung Sari sebesar 87,8% dan Kelurahan Rappocini sebesar 83%. 2)
Menutup tempat penampungan air Pelaksanaan
3M
menutup
tempat
penampungan
air
merupakan salah satu upaya pemberantasan sarang nyamuk untuk menghindari penularan penyakit DBD dengan cara menutup tempattempat penampungan air dengan rapat baik sebelum maupun sesudah digunakan. Adapun distribusi responden berdasarkan pelaksanaan 3M menutup tempat penampungan air disajikan dalam tabel berikut:
75 Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan 3M Menutup Tempat Penampungan Air di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Pelaksanaan 3M (Menutup)
Kelurahan Gunung Sari n %
Tidak Melakukan Melakukan
Kelurahan Rappocini n %
Jumlah n
%
97
84,3
91
85,8
188
85,1
18
15,7
15
14,2
33
14,9
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini tidak melakukan 3M menutup tempat penampungan air. Persentase responden pada Kelurahan Gunung Sari yang tidak melakukan 3M menutup sebesar 84,3% sedangkan di Kelurahan Rappocini sebesar 85,5% responden yang tidak melakukan 3M menutup tempat penampungan air. 3)
Mengubur atau membuang barang bekas Pelaksanaan 3M mengubur atau membuang barang bekas merupakan salah satu upaya pemberantasan sarang nyamuk untuk menghindari penularan penyakit DBD dengan cara mengubur atau membuang
barang
perkembangbiakan
bekas nyamuk.
yang
berpotensi
Adapun
sebagai
distribusi
tempat
responden
76 berdasarkan pelaksanaan 3M mengubur/membuang barang bekas disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan 3M Mengubur Barang Bekas di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Pelaksanaan 3M (Mengubur)
Tidak Melakukan Melakukan
Kelurahan Gunung Sari n %
Kelurahan Rappocini n %
Jumlah n
%
6
5,2
8
7,5
14
6,3
109
94,8
98
92,5
207
93,7
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini melakukan 3M mengubur/membuang barang bekas. Persentase responden di Kelurahan Gunung Sari yang melakukan 3M mengubur/membuang barang bekas sebesar 94,8% sedangkan di Kelurahan Rappocini sebesar 92,5% responden yang melakukan 3M mengubur/membuang barang bekas. Pelaksanaan 3M berupa menguras, menutup dan mengubur merupakan suatu upaya untuk mengendalikan vektor penyakit DBD berdarah sehingga pelaksanaannya tidak berupa satu atau dua kegiatan melainkan
secara
lengkap
dan
menyeluruh.
Adapun
distribusi
77 pelaksanaan 3M secara lengkap dan menyeluruh yang dilakukan oleh responden disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 5.13 Distribusi Pelaksanaan 3M Responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Pelaksanaan 3M
Kelurahan Gunung Sari
Kelurahan Rappocini
Jumlah
n 6 13
% 5,2 11,3
n 7 16
% 6,6 15,1
n 13 29
78
67,8
67
63,2
145
1
0,9
1
0,9
2
17
14,8
14
13,2
31
0
0,0
1
0,9
1
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
Menguras Mengubur Menguras dan mengubur Menutup dan mengubur Pelaksanaan 3M lengkap Tidak melaksanakan 3M
% 5,9 12,1 65,6
1,0 14,0 0,5 100,0
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini melaksanakan kegiatan 3M berupa menguras dan mengubur. Adapun mengenai lengkap tidaknya pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari menunjukkan bahwa terdapat 17 orang atau sebesar 14,8% responden yang pelaksanaan 3M-nya lengkap sedangkan pada Kelurahan Rappocini hanya terdapat 14 orang atau sebesar 13,2 % yang pelaksanaan 3M-nya lengkap dan terdapat 1 orang atau sebesar 0,9% responden yang tidak melaksanakan 3M.
78 Adapun pemetaan pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 55 Peta Distribusi Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kelurahan Gunung Sari melaksanakan 3M berupa menguras dan mengubur sebesar 67,8% yang ditunjukkan dengan titik berwarna biru. Sementara itu,
79 pemetaan pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.6 Peta Distribusi Pelaksanaan 3M dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kelurahan Rappocini melaksanakan 3M berupa menguras dan mengubur sebesar 63,2% yang ditunjukkan dengan titik berwarna biru.
80 c.
Densitas Larva 1) Angka Bebas Jentik (ABJ) a) ABJ pada Kelurahan Gunung Sari: ABJ =
ABJ =
Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik Jumlah rumah yang diperiksa 97 115
× 100%
× 100%
ABJ = 84,35%
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh ABJ rendah (< 95%) di Kelurahan Gunung Sari yaitu sebesar 84,35%. Adapun distribusi ABJ per RT di Kelurahan Gunung Sari disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.14 Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) per RT di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 RT
Jumlah Rumah 25 10 28 22 15 15
Rumah Negatif 19 8 23 21 14 12
1 2 3 4 5 6 Sumber: Data Primer, 2016
Positif 6 2 5 1 1 3
ABJ (%) 76 80 82,14 95,46 93,33 80
Keterangan
Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah
Tabel 5.14 menun jukkan bahwa nilai ABJ tinggi (≥ 95%) hanya terdapat pada RT 4 sedangkan kelima RT lainnya memiliki
81 nilai ABJ rendah (< 95%). Adapun distribusi ABJ berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.7 Peta Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.7 menunjukkan pola persebaran vektor DBD yang ditentukan dengan ABJ di Kelurahan Gunung Sari, dimana
82 warna kuning menunjukan nilai ABJ tinggi (≥ 95%) dan warna biru menunjukkan nilai ABJ rendah (< 95%). Berdasarkan gambar tersebut dapat pula diketahui bahwa angka bebas jentik yang rendah di Kelurahan Gunung Sari berdasarkan penyebaran pelaksanaan 3M yang tidak lengkap pada keenam RT yang di observasi dengan persentase sebesar 85,2% yang ditunjukkan oleh titik berwarna merah. b)
ABJ pada Kelurahan Rappocini: ABJ =
ABJ =
Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik Jumlah rumah yang diperiksa 85 106
× 100%
× 100%
ABJ = 80,19%
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh ABJ rendah (< 95%) di Kelurahan Rappocini yaitu sebesar 80,19%. Adapun distribusi ABJ per RT di Kelurahan Rappocini disajikan pada tabel berikut:
83 Tabel 5.15 Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) per RT di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Rumah Jumlah Rumah Negatif Positif 1 22 18 4 2 16 14 2 3 20 13 7 4 20 15 5 5 28 25 3 Sumber: Data Primer, 2016 RT
ABJ (%) 81,82 87,5 65 75 89,29
Keterangan
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa seluruh RT di Kelurahan Rappocini memiliki nilai ABJ rendah (< 95%). Adapun distribusi ABJ berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
84
Gambar 5.8 Peta Distribusi dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.8 menunjukkan pola persebaran vektor DBD yang ditentukan dengan ABJ di Kelurahan Rappo cini, dimana dan warna biru menunjukkan nilai ABJ rendah (< 95%). Berdasarkan gambar tersebut dapat pula diketahui bahwa angka bebas jentik yang rendah di Kelurahan Rappocini berdasarkan penyebaran
85 pelaksanaan 3M yang tidak lengkap pada kelima RT yang di observasi dengan persentase sebesar 85,9% yang ditunjukkan oleh titik berwarna kuning.. 2) House Index (HI) a)
HI pada Kelurahan Gunung Sari: HI =
HI =
Jumlah rumah yang ditemukan jentik Jumlah rumah yang diperiksa 18 115
× 100%
× 100%
HI = 15,65%
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh HI rendah (≤ 37%) di Kelurahan Gunung Sari yaitu sebesar 15,65%. Adapun distribusi HI per RT disajikan pada tebel berikut: Tabel 5.16 Distribusi H ouse I ndex (HI) per RT di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 RT
Jumlah Rumah
Rumah
Negatif Positif 1 25 19 6 2 10 8 2 3 28 23 5 4 22 21 1 5 15 14 1 6 15 12 3 Sumber: Data Primer, 2016
HI
24 20 17,86 4,55 6,67 20
Keterangan HI
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa seluruh RT di Kelurahan Gunung Sari memiliki nilai HI rendah (≤ 37%). Adapun distribusi
86 HI berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.9 Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.9 menunjukkan bahwa HI rendah (≤ 37%) pada seluruh RT di Kelurahan Gunung Sari yang ditunjukkan oleh wilayah berwarna biru dengan rumah responden yang sebagian
87 besar melaksanakan 3M secara tidak lengkap sebesar 85,2% yang ditunjukkan titik berwarna merah. b)
HI pada Kelurahan Rappocini: HI =
HI =
Jumlah rumah yang ditemukan jentik Jumlah rumah yang diperiksa 21 106
× 100%
× 100%
HI = 19,81%
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh HI rendah (≤ 37%) di Kelurahan Rappocini yaitu sebesar 19,81%. Adapun distribusi HI per RT disajikan pada tebel berikut: Tabel 5.17 Distribusi H ouse I ndex (HI) per RT di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 RT
Jumlah Rumah 22 16 20 20 28
Rumah Negatif 18 14 13 15 25
1 2 3 4 5 Sumber: Data Primer, 2016
Positif 4 2 7 5 3
HI
18,18 12,5 35 25 10,71
Keterangan HI Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa seluruh RT di Kelurahan Rappocini memiliki nilai HI rendah (≤ 37%). Adapun distribusi keberadaaan larva Aedes aegypti dan HI berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis disajikan pada gambar berikut:
88
Gambar 5.10 Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.10 menunjukkan bahwa HI rendah (≤ 37%) pada seluruh RT di Kelurahan Rappocini yang ditunjukkan oleh wilayah berwarna biru dengan rumah responden yang sebagian
89 besar melaksanakan 3M secara tidak lengkap sebesar 85,9% yang ditunjukkan titik berwarna kuning. 3) Container Index (CI) Distribusi rumah responden berdasarkan tingkat kepadatan (densitas) larva Aedes aegypti yang diukur menggunakan CI disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5.18 Distribusi Rumah Responden Berdasarkan Contain er I ndex CI) di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 CI
Kelurahan Gunung Sari
Jumlah
% 87,0 13,0
n 88 18
% 83,0 17,0
n 188 33
% 85,1 14,9
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Rendah Tinggi
n 100 15
Kelurahan Rappocini
Tabel 5.18 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini memiliki tingkat kepadatan larva rendah (CI ≤ 20%). Pada kelurahan Gunung Sari, CI rendah sebesar 87% sedangkan pada Kelurahan Rappocini sebesar 83%. Adapun distribusi CI berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada tabel berikut:
90 Tabel 5.19 Distribusi Contain er I ndex CI) Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 CI , 3M
Kelurahan Gunung Sari
Kelurahan Rappocini
Jumlah
n
%
n
%
n
%
83
72,2
74
83,0
157
71,0
15
13,0
17
16,0
32
14,5
17
14,8
14
13,2
31
14,0
0
0,0
1
0,9
1
0,5
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
CI rendah, 3M tidak lengkap CI tinggi, 3M tidak lengkap CI rendah, 3M lengkap CI tinggi, tidak melaksanakan 3M
Tabel 5.19 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini memiliki tingkat kepadatan larva rendah (CI ≤ 20%) berdasarkan pelaksanaan 3M yang tidak lengkapa. Pada kelurahan Gunung Sari, CI rendah berdasarkan pelaksanaan 3M tidak lengkap sebesar 72,2% sedangkan pada Kelurahan Rappocini sebesar 83%. Adapun distribusi CI berdasarkan pelaksanaan 3M disajikan pada gambar berikut:
91
Gambar 5.11 Peta Distribusi Container Index (CI) Berdasarkan Pelaksanan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah di Kelurahan Gunung Sari berada pada kategori CI rendah (≤ 20%) dengan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap sebesar 72,2% yang ditunjukkan oleh kotak berwarna kuning. Adapun distribusi CI
92 berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.12 Peta Distribusi Container Index (CI) Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016
93 Gambar 5.12 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah di Kelurahan Rappocini berada pada kategori CI rendah (≤ 20%) dengan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap sebesar 83% yang ditunjukkan dengan kotak berwarna hijau muda dan terdapat satu rumah (0,9%) di RT 04 yang memiliki CI tinggi (> 20%) dengan tidak melaksanakan 3M yang ditunjukkan oleh kotak berwarna merah. d. Pemetaan distribusi densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M Pemetaan merupakan salah satu kegiatan yang diawali dengan pengumpulan data di lapangan, dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyajian data dalam bentuk peta (Mubarroq, 2015). Gambaran lokasi penelitian dipetakan dengan menggunakan software ArcGIS 10.1 berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Adapun pemetaan densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M pada Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada tabel berikut:
94 Tabel 5.20 Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Kategori
Kelurahan Gunung Sari n
Kelurahan Rappocini
Jumlah
% 0,0 2,6
n 1 6
% 0,9 5,7
n 1 9
% 0,5 4,1
10,4 1,7 0,9 14,8 54,8 9,6 5,2
11 0 3 16 55 1 13
10,4 0,0 2,8 15,1 51,9 0,9 12,3
23 2 4 33 118 12 19
10,4 0,9 1,8 14,9 53,4 5,4 8,6
Jumlah 115 100,0 Sumber: Data Primer, 2016
106
100,0
221
100,0
Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 Kategori 6 Kategori 7 Kategori 8 Kategori 9
0 3 12 2 1 17 63 11 6
Keterangan: Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 Kategori 6 Kategori 7 Kategori 8 Kategori 9
= Ada larva, CI tinggi, tidak melaksanakan 3M, pernah DBD = Ada larva, CI tinggi, 3M tidak lengkap, pernah DBD = Ada larva, CI tinggi, 3M tidak lengkap, tidak pernah DBD = Ada larva, CI rendah, 3M tidak lengkap, pernah DBD = Ada larva, CI rendah, 3M tidak lengkap, tidak pernah DBD = Tidak ada larva, CI rendah, 3M tidak lengkap, pernah DBD = Tidak ada larva, CI rendah, 3M tidak lengkap, tidak pernah DBD = Tidak ada larva, CI rendah, 3M lengkap, pernah DBD = Tidak ada larva, CI rendah, 3M lengkap, tidak pernah DBD
95
Tabel 5.20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada kategori 7 yaitu tidak ditemukan larva Aedes aegypti di dalam maupun di luar rumah dengan CI rendah dan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap serta tidak memiliki riwayat DBD (tidak pernah atau sedang menderita DBD) di Kelurahan Gunung Sari sebesar 54,8% dan di Kelurahan Rappocini sebesar 51,9%. Adapun distribusi densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di di Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
96
Gambar 5.13 Peta Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016 Gambar 5.13 menunjukkan bahwa keberadaan da n densitas larva Aedes aegypti yang diukur dengan ABJ dan HI di Kelurahan Gunung Sari berada pada kategori rendah kecuali nilai ABJ yang dilihat berdasarkan persebaran RT yang didapatkan RT 04 merupakan satu-satunya RT dengan ABJ tinggi.
97 Sementara itu, terdapat 62 rumah (53,9%) yang tidak ditemukan larva, CI rendah, tidak pernah atau sedang menderita DBD dan pelaksanaan 3M tidak lengkap yang ditunjukkan oleh kotak berwarna hijau tua. Adapun distribusi densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini sebagai daerah non endemis DBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 5.14 Peta Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pelaksanaan 3M di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2016
98
Gambar 5.14 menunjukkan bahwa keberadaan da n densitas larva Aedes aegypti yang diukur dengan ABJ dan HI di Kelurahan Rappocini berada pada kategori rendah dengan kriteria paling banyak ditemukan sebanyak 55 rumah (51,9%) yang tidak ditemukan larva, CI rendah, tidak pernah atau sedang menderita DBD dan pelaksanaan 3M tidak lengkap yang ditunjukkan oleh kotak berwarna hijau tua.
C. Pembahasan
1. Kontainer dan Keberadaan larva Aedes aegypti Kontainer merupakan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yang berupa genangan air yang tertampung dalam suatu wadah. Tempat potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat berupa TPA, non TPA dan TPA alamiah (Kumayah, 2011). Penggunaan jenis TPA sangat menentukan keberadaan larva Aedes aegypti. Keberadaan larva Aedes aegypti di suatu wilayah merupakan indikator dari potensi keterjangkitan masyarakat terhadap penyakit demam berdarah. Semakin banyak larva Aedes aegypti yang ditemukan di suatu wilayah maka semakin banyak vektor nyamuk DBD sehingga risiko terjadinya penularan DBD akan semakin besar (Desniawati, 2014). Pada penelitian ini, keberadaan larva Aedes aegypti diamati pada setiap kontainer menggunakan metode visual. Berdasarkan hasil pemeriksaan larva pada 115 rumah di Kelurahan Gunung Sari, ditemukan 18 rumah atau sebesar
99 15,7% yang positif larva sedangkan pada Kelurahan Rappocini ditemukan 21 rumah atau sebesar 19,8% positif larva/jentik dari total 106 rumah yang diperiksa. Keberadaan larva/jentik pada kedua kelurahan tersebut tidak begitu tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh jenis Tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan pada setiap rumah responden yang kebanyakan hanya menggun akan ember sebagai tempat penampungan air yang dapat dikuras setiap hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempat yang biasanya ditemukan larva/jentik adalah tempat penampungan air dengan ukuran besar seperti bak mandi. Hasil penelitian Lestari et al. (2014) di Kelurahan Sedangmulyo yang merupakan daerah endemis DBD diketahui bahwa keberadaan larva paling banyak ditemukan pada bak mandi yaitu sebanyak 107 yang positif larva dari total 461 bak mandi yang diperiksa. Selain itu, penelitian Kumayah (2011) juga menunjukkan bahwa jenis kontainer dengan jumlah positif larva terbanyak di Kelurahan Cempaka Putih Barat dan Rawasari yang merupakan zona merah DBD adalah bak mandi. Sedangkan jenis kontainer terbanyak kedua yang ditemukan larva adalah ember. Nyamuk Aedes menyukai tempat untuk berkembang biak berupa tempat penampungan air yang mengandung air jernih, tidak terkena sinar matahari langsung, dan bukan merupakan genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah. Hal ini berkaitan dengan perilaku nyamuk Aedes aegypti terkait tempat perindukannya. Keberadaan tempat penampungan air (TPA) akan
100 menciptakan peluang breeding place bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak. Hal ini dikarenakan sebagian besar siklus hidup nyamuk (telur, larva, dan pupa) terjadi di dalam air (Nugrahaningsih et al., 2010). Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti sangat dekat dengan manusia yang menggunakan air bersih sebagai kebutuhan sehari-hari(Depkes RI, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa TPA yang paling banyak digunakan oleh responden di Kelurahan Gunung adalah ember (62,6%) dan bak mandi (12,8%), sedangkan non TPA yang paling banyak adalah tatakan dispenser (11,2%). Jenis bahan kontainer tersebut paling banyak terbuat dari bahan plastik (86,6%) dan tegel atau keramik (11,6%). Adapun kepemilikan TPA pada Kelurahan Rappocini paling banyak berupa ember (63,1%) dan bak mandi (9,1%) serta non TPA berupa tatakan dispenser (10%) dengan jenis bahan kontainer paling banyak terbuat dari plastik sebesar 88,3% dan tegel atau keramik sebesar 7,1%. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden pada Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini tidak lagi menggunakan bak mandi khususnya yang terbuat dari semen, melainkan menggunakan tempat penampungan air berupa ember yang berbahan plastik. Penggunaan ember menjadi pilihan responden dengan alasan kemudahan dalam membersihkan/menguras air yang ditampung karena memiliki volume air yang kecil. Berdasarkan hasil observasi, keberadaan larva Aedes aegypti pada TPA di Kelurahan Gunung Sari hanya ditemukan pada 2 ember dan 1 bak mandi sedangkan keberadaan larva di Kelurahan Rappocini pada TPA ditemukan p ada
101 2 drum dan 1 bak mandi. Akan tetapi, keberadaan larva pada kedua kelurahan tersebut ditemukan lebih banyak terdapat pada tatakan dispenser yang berupa non TPA. Hal ini disebabkan karena kebersihan TPA cenderung lebih diperhatikan dibandingkan kebersihan non TPA. Kurangnya perhatian pada kebersihan non TPA seperti tatakan dispenser, tatakan kulkas, tempat minum hewan dan sebagainya memungkinkan adanya genangan air pada tempat tersebut sehingga dapat menjadi tempat potensial bagi nyamuk Aedes aegypti untuk meletakkan telurnya. Keberadaan larva yang ditemukan pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Desniawati (2014) yang menyatakan bahwa dari 197 TPA yang diperiksa pada rumah responden yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan, tempat penampungan air paling ban yak terdiri dari 75 ember dan 46 bak mandi. Akan tetapi, dari hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa tempat penampungan air yang paling banyak ditemukan larva terdapat pada bak mandi sebesar 43,47% dan embe r sebesar 41,33%. Bak mandi merupakan tempat yang paling disukai oleh nyamuk Aedes aegypti karena volumenya yang relatif lebih besar dan paling banyak terdapat di dalam rumah sehingga cukup kondusif untuk perkembangbiakan nyamuk (Kumayah, 2011). Selain itu, jenis kontainer juga sangat berpengaruh terhadap keberadaan larva Aedes aegypti. Hal ini terkait dengan sifat dan bahan dari tempat penampungan air tersebut. Pada kontainer yang terbuat dari semen,
102 permukaannya bersifat kasar dan dapat menyerap air sehingga mendukung perkembangan embrio dalam telur nyamuk Aedes aegypti. Sedangkan pada kontainer yang terbuat dari keramik, plastik, kaca, dan kaleng, kurang baik untuk perkembangan embrio telur nyamuk Aedes aegypti. Permukaan kontainer yang kasar diperlukan untuk dapat meletakkan telur dan mengatur sikap nyamuk betina saat bertelur (dapat berpegangan pada permukaan yang kasar). Selain itu, sifat kasar atau licinnya permukaan kontainer sangat mempengaruhi keberadaan mikroorganisme sebagai makanan larva Aedes aegypti. Sehingga biasanya pada permukaan kontainer yang kasar, terdapat banyak mikroorganisme yang dapat mendukung perkembangan larva (Kumayah, 2011). Menurut Widjaja (2011), jenis bahan kontainer sebagai tempat perkembangbiakan jentik Aedes aegypti pada umumnya terbuat dari semen, keramik, plastik, logam, karet dan tanah. Bahan kontainer semen merupakan yang paling banyak ditemukan jentik Aedes aegypti selain semen bahan yang dominan keramik dan plastik. Hal ini terjadi karena bahan semen mudah berlumut, permukaannya kasar dan berpori-pori pada dindingnya. Sedangkan bahan TPA yang terbuat dari plastik paling banyak tidak terdapat larva Aedes aegypti karena bahan ini tidak mudah berlumut, mempunyai permukaan yang halus dan licin serta tidak berpori sehingga mudah dibersihkan (Alupaty, 2013). Jika ditinjau dari volume kontainer, hasil penelitian pada Kelurahan Gunung Sari menunjukkan penggunaan kontainer paling banyak dengan
103 volume kecil (≤ 50 liter) sebesar 56,8% dan pada Kelurahan Rappocini persentase penggunaan kontainer dengan volume kecil (≤ 50 liter) sebesar 61,9%. Hal ini berarti bahwa sebagian besar rumah pada kedua kelurahan tersebut tidak mempunyai tempat penampungan air dalam kapasitas besar (volume > 50 liter) seperti bak mandi. Bak mandi merupakan kontainer yang cukup besar sehingga air yang berada didalamnya tidak cepat dikuras. Selain itu, kondisi bak mandi yang berada di dalam rumah memungkinkan menjadi tempat potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti karena kurangnya cahaya dari luar. Sebaliknya, air dalam kontainer dengan ukuran kecil (volume ≤ 50 liter) seperti ember akan cepat habis dan lebih sering diganti dengan air yang baru sehingga hal ini dapat meminimalkan siklus hidup nyamuk. Focks (2006) menyatakan bahwa volume kontainer dapat memengaruhi jumlah jentik yang dihasilkan pada sebuah kontainer. Kontainer dengan volume besar (>50 liter) akan menjadi tempat perindukan jentik yang secara epidemiologi mempunyai arti yang penting. Hal ini dikarenakan pada kontainer dengan ukuran besar maka kapasitas menampung airnya juga lebih banyak sehingga air yang berada di dalamnya cukup lama karena sulit dikuras dan kondisinya sesuai sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Selain jenis bahan dan volume kontainer, letak kontainer, ketersediaan tutup pada kontainer, kondisi air dalam kontainer dan sumber air kontainer juga dapat memengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti. Berdasarkan hasil observasi di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini, ditemukan
104 kontainer baik di dalam maupun di luar rumah responden yang berisi genangan air. Keberadaan kontainer paling banyak ditemukan di dalam rumah. Letak kontainer tersebut memiliki peranan yang penting terhadap perindukan n yamuk Aedes aegypti. Kontainer yang terletak di dalam rumah berpeluang lebih besar untuk terdapat jentik. Singh et al. (2011) menyatakan bahwa kontainer di dalam rumah 76,24% lebih banyak terdapat jentik Aedes aegypti daripada di luar rumah. Hal ini sesuai dengan kesukaan nyamuk Aedes aegypti untuk beristirahat di tempat-tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan yang terlindung dari sinar matahari secara langsung. Nyamuk Aedes aegypti akan mudah untuk meletakkan telurnya pada kontainer yang terbuka. Hal ini terkait dengan ketersediaan penutup pada suatu kontainer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kontainer yang terbuka (tidak memiliki tutup) positif larva Aedes dan ada pula kontainer yang memiliki tutup ditemukan larva didalamnya. Peneliti berasumsi bahwa keberadaan larva pada kontainer terbuka diakibatkan karena responden tidak melakukan pengurasan minimal sekali dalam seminggu terhadap kontainer tersebut sehingga nyamuk dapat dengan mudah meletakkan telurnya. Sedangkan pada kontainer yang tertutup (memiliki tutup) ditemukan larva/jentik dapat disebabkan karena ketidakrapatan penutup pada kontainer baik sebelum maupun sesudah digunakan. Menurut Hasyimi et al. (2009), terdapat kecenderungan yang signifikan 84% kontainer terbuka menyebabkan
105 nyamuk bebas masuk ke dalam kontainer untuk berkembang biak sedangkan kontainer yang tertutup 7% ditemukan larva/jentik. Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Gunung Sari, ditemukan kontainer dengan kondisi jernih sebesar 98,2% sedangkan di Kelurahan Rappocini ditemukan 96,4% kontainer dengan kondisi air jernih sehingga sangat memungkinkan kontainer tersebut menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes. Adapun jika dilihat dari sumber air kontainer yang digunakan oleh responden menunjukkan pada Kelurahan Gunung Sari paling banyak responden menggunakan air PDAM sebesar 75,7% sedangkan pada Kelurahan Rappocini responden yang menggunakan air PDAM sebesar 52,8%. Berdasarkan hasil penelitian Desniawati (2014), diperoleh persentase positif jentik lebih tinggi pada rumah yang sumber airnya berasal dari air sumur gali daripada rumah yang sumber airnya berasal dari air PDAM. Hal ini dikarenakan dibutuhkannya zat-zat organik yang ada di dalam air selama masa pertumbuhan jentik Aedes aegypti. Zat-zat organik tersebut dapat berasal dari air sumur gali/artetis yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri yang ada di lapisan tanah. Sedangkan pada sumber air PDAM, nyamuk kurang suka karena air PDAM sudah diberi tawas, klor, kapur ataupun bahan-bahan kimia lainnya pada waktu pengolahan air bersih yang dapat membuat jentik nyamuk mengalami kematian jika dosis dari bahan-bahan kimia tersebut berlebihan. Selain itu, keberadaan larva Aedes aegypti juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat. Kondisi lingkungan di Kelurahan
106 Rappocini lebih padat dibandingkan kondisi lingkungan di Kelurahan Gunung Sari yang terlihat dari rumah penduduk yang kecil dan rapat sehingga terkesan lebih padat. Hal ini menyebabkan pencahayaan di dalam rumah kurang sehingga udara di dalam rumah cenderung gelap dan lembab. Kondisi ini mendukung nyamuk larva Aedes aegypti untuk hidup dan berkembang biak. 2. Pelaksanaan 3M Keberadaan larva Aedes aegypti di suatu lingkungan berhubungan langsung dengan perilaku masyarakat. Salah satu upaya untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD maka cara yang dapat dilakukan adalah memodifikasi lingkungan yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan vektor DBD melalui pengelolaan sanitasi lingkungan. Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan untuk menekan habitat larva Aedes aegypti melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu dengan melakukan tindakan 3M (Alupaty, 2013). PSN-DBD dalam program kesehatan yang dikenal dalam istilah 3M merupakan kegiatan yang meliputi menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air, dan mengubur/memusnahkan/ menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air (Rendy, 2013). Kegiatan menguras tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur minimal sekali dalam seminggu dengan menyikat dan menggunakan sabun dalam mengurasnya supaya nyamuk tidak dapat berkembang biak pada tempat tersebut.
107 Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di Kelurahan Gunung Sari diketahui bahwa sebanyak 101 responden (87,8%) menguras tempat penampungan air sedangkan pada Kelurahan Rappocini terdapat 88 responden (83%) menguras penampungan air. Frekuensi menguras/membersihkan tempat penampungan air pada kedua kelurahan tersebut
bervariasi.
Meskipun
demikian,
kebanyakan
responden
menguras/membersihkan tempat penampungan airnya dalam seminggu sebanyak dua kali atau lebih. Hal ini dikarenakan penggunaan tempat penampungan air berupa ember dengan ukuran kecil (volume ≤ 50 liter) sehingga air yang ditampung dapat segera habis dan kembali terisi dengan air yang baru. Hasil penelitian Desniawati (2014) menyatakan bahwa sebagian masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan telah melaksanakan pengurasan seminggu sekali pada tempat-tempat penampungan air, akan tetapi masih ditemukan larva/jentik Aedes aegypti pada TPA tersebut. Hal ini disebabkan pengurasan yang dilakukan masih kurang baik dimana masyarakat hanya membuang air yang berada di TPA yang dianggap sudah kotor dan kemudian mengganti air TPA tersebut tanpa melakukan penyikatan sehingga larva/jentik Aedes aegypti masih dapat ditemukan. Penelitian Salawati et al. (2010) menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Srondol Kecamatan Banyuwangi Kota Semarang memiliki kebiasaan menguras dan menyikat tempat penampungan air lebih dari
108 seminggu sekali dikarenakan tempat penampungan air yang digunakan berukuran besar dan kurangnya ketersediaan air untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kebiasaan menguras tempat penampungan air akan mempengaruhi keberadaan larva pada tempat penampungan air tersebut. Apabila frekuensi menguras tempat penampungan air lebih dari seminggu sekali maka dapat memberikan kesempatan telur nyamuk menetas dan berkembang biak menjadi nyamuk dewasa dimana dalam siklusnya, stadium telur, larva dan pupa hidup di dalam air selama 7 – 14 hari. Pelaksanaan 3M lainnya yang merupakan upaya pemberantasan sarang nyamuk adalah menutup tempat penampungan air. Berdasarkan hasil observasi, pada Kelurahan Gunung Sari diketahui sebanyak 97 responden (84,3%) tidak menutup tempat penampungan air dan hanya 18 responden (15,7%) yang menutup tempat penampungan air. Adapun hasil yang d iperoleh pada observasi di Kelurahan Rappocini yaitu terdapat 91 responden (85,8%) yang tidak menutup tempat penampungan air dan hanya 15 responden (14,2%) yang menutup tempat penampungan air. Hal ini disebabkan karena tempat penampungan air yang digunakan tersebut tidak mempunyai tutup. Selain itu, terkadang responden tidak bersedia menutup kembali tempat penampungan air karena akan menyulitkan atau memperlambat dalam mengambil air. Tempat penampungan air yang tidak tertutup atau tertutup dalam keadaan tidak rapat dan jarang dibersihkan dapat menjadi breeding place bagi nyamuk Aedes aegypti. Tempat penampungan air yang tertutup dalam keadaan
109 longgar lebih disukai nyamuk Aedes aegypti sebagai breeding place dari pada tempat penampungan air yang tidak tertutup. Tutup tempat penampungan air yang jarang dipasang dengan baik dan dalam keadaan longgar serta sering dibuka mengakibatkan ruang di dalam tempat penampungan air relatif lebih gelap dibandingkan tempat penampungan air yang tidak ditutup. Tempat penampungan air yang relatif lebih gelap dan terlindung dari sinar matahari menjadi peluang berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti sehingga responden sebaiknya menutup tempat penampungan air dengan rapat (Salawati et al., 2010). Menurut Purnama (2012), tempat penampungan air yang tertutup lebih sering mengandung larva dibandingkan tempat penampungan air yang terbuka. Hal tersebut dikarenakan penutupnya jarang terpasang dengan baik dan sering terbuka untuk mengambil air di dalamnya. Tempat penampungan air seperti itu lebih disukai nyamuk untuk tempat bertelur karena ruangannya lebih gelap daripada tempat penampungan air yang terbuka. Sementara itu, hasil penelitian terhadap pelaksanaan 3M mengubur/ membuang barang bekas yang dilakukan di Kelurahan Gunung Sari menunjukkan bahwa persentase responden yang melakukan kegiatan mengubur/membuang barang bekas adalah 94,8% sedangkan pada Kelurahan Rappocini, persentase responden yang mengubur/membuang barang bekas sebesar 92,5%. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran mas yarakat terhadap pentingnya
memelihara
sanitasi
lingkungan
yang
berperan
dalam
110 perkembangbiakan vektor DBD terutama adanya barang/barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air hujan. Adapun hasil pada penelitian ini, untuk sampah rumah tangga di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini menggunakan jasa tukang sampah keliling untuk mengambil sampah. Akan tetapi, berbeda dengan Kelurahan Gunung Sari, pada Kelurahan Rappocini terdapat bank sampah yang dikelolah oleh masyarakat setempat. Adanya bank sampah tersebut menyebabkan masyarakat mengolah sendiri barang-barang bekas seperti kaleng/botol bekas yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan vektor DBD. Selain itu, masyarakat di Kelurahan Rappocini juga melaksankan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar rumah mereka setiap hari jumat sehingga dengan adanya pengelolaan lingkungan tersebut maka keberadaan habitat nyamuk dapat diminimalkan. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Rendy (2013) mengemukakan gambaran praktik menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air yang diperoleh dari responden di Kelurahan Sawah Lama sebanyak 60% responden menyingkirkan dengan memberikan ke tukang sampah/loak dan sebanyak 40% responden menyingkirkan dengan cara membakar. Pelaksanaan 3M yang tidak lengkap secara tidak langsung akan menyebabkan kepadatan larva Aedes aegypti sehingga dapat meningkatkan penyebaran penyakit DBD di suatu wilayah. Hasil penelitian menunjukkan
111 masyarakat di Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini tidak melaksanakan 3M secara lengkap dapat disebabkan karena volume kontainer dalam ukuran yang besar misalnya bak mandi sehingga masih ada masyarakat yang malas menguras tempat penampungan air tersebut, kebiasaan menampung air terlalu lama secara terbuka tanpa dilengkapi penutup dan masih ditemukann ya barang barang bekas di sekitar rumah responden dengan alasan masih akan dipergunakan kembali. Oleh karena itu, diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi melalui program pendidikan kesehatan kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama untuk dapat meminimalkan habitat vektor sehingga dapat mengurangi risiko transmisi DBD karena keberadaan larva Aedes erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. 3. Densitas larva Aedes aegypti Densitas atau kepadatan larva Aedes aegypti dapat diketahui dengan melakukan survei pada rumah yang dipilih secara acak melalui survei jentik. Survei ini dapat dilakukan dengan metode visual yakni melakukan pemeriksaan jentik pada setiap kontainer yang berada di sekitar rumah responden tanpa melakukan pengambilan jentik. Berdasarkan hasil survei jentik maka dapat diketahui distribusi dan kepadatan jentik/larva. Larva Aedes aegypti yang berkembang menjadi nyamuk Aedes aegypti akan menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat apabila terjadi kontak dengan manusia. Kontak nyamuk Aedes aegypti dengan penderita DBD akan menyebabkan nyamuk terinfeksi
112 virus dengue dan dapat menyebabkan terjadinya transmisi DBD apabila menggigit manusia sehat (Rahim et al., 2013). Densitas larva yang diukur pada penelitian ini berupa Angka Bebas Jentik (ABJ), House Index (HI) dan Container Index (CI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Kelurahan Gunung Sari memiliki ABJ sebesar 84,35% dan Kelurahan Rappocini memiliki ABJ sebesar 80,19%. Menurut Bahardin (2012), apabila suatu wilayah memiliki nilai ABJ < 95% maka besar kemungkinan untuk terjadi transmisi virus dengue. Sedangkan apabila nilai ABJ suatu wilayah ≥ 95% menunjukkan bahwa daerah tersebut aman dari transmisi virus dengue. Dengan demikian, kedua kelurahan tersebut memiliki peluang lebih besar terhadap terjadinya transmisi virusdengue karena memiliki niali ABJ rendah (< 95%). Hal ini sejalan dengan penelitian Lestari et al. (2014) yang dilakukan pada tiga kelurahan di Kota Semarang, dimana diperoleh nilai ABJ pada Kelurahan Sedangmulyo sebagai daerah endemis DBD sebesar 66,21%, Kelurahan Terboyo Wetan sebagai daerah sporadis memiliki ABJ sebesar 46,25%, dan Kelurahan Pesantren dengan ABJ sebesar 74,42%. Ketiga wilayah yang berbeda stratifikasi endemisitas DBD tersebut memiliki nilai ABJ kurang dari 95% sehingga sensitif terhadap terjadinya penularan pen yakit DBD. Adapun densitas larva yang diukur dengan House Index (HI) pada Kelurahan Gunung Sari diperoleh nilai HI sebesar 15,65% sedangkan pada Kelurahan Rappocini nilai HI yang diperoleh sebesar 19,81%. Hal ini
113 menunjukkan bahwa nilai HI pada Kelurahan Gunung Sari berada pada nilai DF dengan skala 3 dan Kelurahan Rappocini berada pada DF dengan skala 4. HI merupakan indikator untuk menggambarkan penyebaran vektor DBD di daerah tertentu. Menurut Rahim et al. (2013), suatu daerah memiliki risiko tinggi terjadi penularan DBD apabila HI > 37%. Dengan demikian, kedua kelurahan tersebut memiliki risiko rendah terhadap terjadinya penularan DBD karena memiliki nilai HI ≤ 37% dengan skala DF ≤ 5. Akan tetapi, menurut Sambuaga (2011), apabila suatu daerah mempunyai HI lebih dari 5%, daerah tersebut mempunyai risiko tinggi untuk penularan virus dengue. Sedangkan apabila HI kurang dari 5%, masih bisa dilakukan pencegahan untuk terjadinya infeksi virus dengue. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila HI > 15% berarti daerah tersebut sudah ada kasus DBD. Semakin tinggi angka HI, berarti semakin tinggi kepadatan nyamuk, semakin tinggi pula risiko masyarakat di daerah tersebut untuk kontak dengan nyamuk dan juga untuk terinfeksi virus dengue. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh Container Index (CI) pada Kelurahan Gunung Sari yakni terdapat 100 rumah (87%) yang memiliki kepadatan larva rendah (CI ≤ 20%) dan terdapat 88 rumah (83%) yang memiliki kepadatan larva rendah di Kelurahan Rappocini. Hal ini menunjukkan bahwa rumah pada kedua kelurahan tersebut dengan CI ≤ 20% berada pada DF skala ≤ 5 yang berarti rumah dengan nilai CI ≤ 20% memiliki risiko transmisi DBD yang rendah. Pada penelitian Alupaty (2013), menunjukkan bahwa dari
114 114 rumah responden yang diperiksa di Kelurahan Kalukuang Kecamatan Tallo diperoleh nilai CI sebesar 23,29%. Hal ini menunjukkan bahwa pada rumah positif larva/jentik Aedes aegypti memiliki jumlah kontainer yang cukup banyak sehingga berpengaruh pada tingginya angka C I. Nilai
CI
menggambarkan
banyaknya
kontainer
yang
positif
dibandingkan dengan jumlah seluruh kontainer yang terdapat di suatu wilayah karena hanya menjelaskan persentase tempat penampungan air (TPA) atau kontainer yang positif dengan larva/jentik perkembangbiakan nyamuk Aedes sp (WHO, 2011). CI memberikan informasi mengenai proporsi kontainer yang berisi > 1 ekor nyamuk dewasa, tidak memperhitungkan variasi atau kepadatan nyamuk dewasa (Sivagnaname and Gunasekaran, 2012). Oleh karena itu, rumah yang positif ditemukan jentik dengan CI tinggi dan tidak melaksanakan 3M ataupun melaksanakan 3M secara tidak lengkap perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes. 4. Pemetaan distribusi densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pelaksanaan 3M Gambar 5.7 dan 5.8 menunjukkan distribusi kepadatan larva yang diukur dengan angka bebas jentik di Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini. Berdasarkan gambar 5.7 diketahui pada Kelurahan Gunung Sari terdapat satu RT yang memiliki ABJ tinggi (> 95%) sedangkan kelima RT lainnya memiliki ABJ rendah (≤ 95%). Jika dikaitkan dengan pelaksanaan 3M diketahui bahwa responden dengan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap menyebar baik pada
115 daerah dengan ABJ rendah maupun tinggi. Akan tetapi, pada RT 05 yang merupakan daerah dengan ABJ rendah terdapat satu rumah positif larva dengan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap dikarenakan jumlah rumah yang diperiksa lebih sedikit dibandingkan dengan RT 04 yang terdapat satu rumah p ositif larva dengan pelaksanaan 3M tidak lengkap dan merupakan daerah dengan ABJ tinggi. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah rumah yang tidak ditemukan larva/jentik Aedes aegypti dalam suatu wilayah yang padat penduduk maka transmisi DBD akan semakin kecil. Gambar 5.8 menunjukkan ABJ rendah menyebar di semua RT pada rumah yang tidak melaksanakan 3M secara lengkap. Selain itu, diketahui pula bahwa di RT 04 terdapat satu rumah yang positif larva ditemukan pada rumah yang tidak melaksanakan 3M. Hal ini berarti perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan DBD melalui pelaksanaan 3M dapat memengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti. Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan pelaksanaan 3M guna mencegah keberadaan larva Aedes aegypti pada kontainer baik di dalam maupun di luar rumah. Berdasarkan gambar 5.9 dan 5.10 yang menunjukkan HI rendah baik pada Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini dengan keberadaan larva Aedes aegypti yang menyebar pada semua RT dengan rumah responden yang tidak melaksanakan dan atau melaksanakan 3M secara tidak lengkap. Hal ini berarti tidak terdapat kecenderungan antara endemisitas DBD dengan house index
116 sehingga masyarakat yang tinggal baik di daerah endemis dan non endemis memiliki risiko rendah terhadap transmisi virus dengue. Menurut WHO (2011), House Index (HI) merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk memonitor tingkat infestasi nyamuk. Akan tetapi, parameter ini termasuk lemah dalam risiko penularan penyakit apabila tidak menghitung TPA atau kontainer dan data rumah yang positif dengan larva/jentik. Nilai HI menggambarkan persentase rumah yang positif untuk perkembangbiakan vektor sehingga dapat mencerminkan jumlah populasi yang berisiko. HI tidak memperhitungkan jumlah kontainer dengan nyamuk dewasa maupun produksi nyamuk dewasa dari kontainer tersebut (Sivagnaname and Gunasekaran, 2012). Gambar 5.11 dan 5.12 menunjukkan densitas larva Aedes aegypti yang diukur dengan container index di Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini berdasarkan pelaksanaan 3M. Berdasarkan gambar 5.11 diketahui penyebaran rumah dengan risiko tinggi penularan DBD berada pada RT 01 dan 03 Kelurahan Gunung Sari. Hal ini ditentukan dengan banyaknya rumah yang positif larva dengan CI tinggi dan pelaksanaan 3M tidak lengkap yang berada pada RT 01 dan RT 03. Sedangkan pada gambar 5.12 menunjukkan bahwa distribusi CI tinggi dan tidak melaksanakan 3M terdapat satu rumah pada RT 04 Kelurahan Rappocini sedangkan rumah positif larva dengan CI rendah dan pelaksanaan 3M tidak lengkap menyebar paling banyak pada RT 03 dan 04.
117 Hal ini berarti, kedua RT tersebut memiliki risiko penularan DBD yang tinggi dibandingkan dengan ketiga RT lainnya. Gambar 5.13 dan 5.14 menunjukkan bahwa keberadaan dan densitas larva Aedes aegypti yang diukur dengan ABJ dan HI di Kelurahan Gunung Sari dan Rappocini berada pada kategori rendah dimana paling banyak rumah yang ditemukan negatif larva, dengan CI rendah, tidak pernah atau sedang menderita DBD dan pelaksanaan 3M tidak lengkap. Berdasarkan gambar tersebut, tingkat kepadatan (densitas) larva pada penelitian ini tidak berkorelasi dengan stratifikasi endemisitas DBD suatu wilayah dimana ditunjukkan pada Kelurahan Gunung Sari yang terdapat kasus DBD tinggi dan tergolong daerah endemis serta Kelurahan Rappocini yang tidak terdapat kasus DBD dalam tiga tahun terakhir dan tergolong daerah non endemis DBD memiliki kepadatan larva yang tergolong rendah berdasarkan nilai DF yang didapatkan meskipun sebagian besar responden tidak melaksanakan 3M secara lengkap dan tidak pernah atau sedang menderita penyakit DBD. Gambaran distribusi keberadaan dan densitas larva pada rumah responden di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Rappocini berdasarkan pelaksanaan 3M dan riwayat penyakit DBD dalam keluarga menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan yang sama antara keberadaan dan densitas larva dengan pelaksanaan 3M dan riwayat penyakit DBD dalam keluarga. Peneliti berasumsi bahwa kasus DBD berdasarkan riwayat penyakit DBD (pernah atau sedang menderita DBD) cenderung menyebar di seluruh RT
118 karena tingginya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk yang tinggi dan didukung dengan transportasi yang baik memudahkan terjadinya penyebaran penyakit, baik yang terbawa kendaraan maupun penduduk yang telah terinfeksi virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Penularan DBD tersebut dapat terjadi di sekolah, tempat kerja, rumah sakit, dan sebagainya. Selain itu, kondisi rumah penduduk yang kecil, rapat dan padat juga akan sangat memengaruhi penyebaran penyakit DBD karena nyamuk Aedes tidak dapat terbang dengan jarak yang jauh dimana jarak terbang nyamuk Aedes aegypti diperkirakan sekitar 50 sampai dengan lebih 100 meter, sehingga hal ini memungkinkan nyamuk dapat berpindah menularkan virus dengue dari satu rumah penderita ke rumah lainnya (Abbas et al., 2010). D. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan penelitian, antara lain: 1.
Penentuan daerah endemis dan non endemis DBD yang hanya berdasarkan data jumlah kasus DBD tertinggi dan terendah sehingg a tidak dapat diperoleh informasi untuk stratitifikasi endemisitas DBD untuk di daerah lainnya seperti daerah sporadis maupun daerah potensial.
2.
Pemeriksaan keberadaan larva Aedes aegypti hanya dilihat menggunakan metode visual yang mengandalkan penglihatan tan pa pengujian seperti teknik single larva method sehingga larva yang ditemukan di setiap kontainer tidak dapat diidentifikasi lebih lanjut.
119 3.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode wawancara dan observasi menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan lembar observasi. Oleh karena itu, kualitas data mengenai kebenaran, keakuratan, dan kelengkapan data sangat dipengaruhi oleh kejujuran, keterbukaan, dan pemahaman responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan setiap variabel serta kesediaan responden untuk dilakukan pemeriksaan jentik pada setiap kontainer baik di dalam maupun di luar rumah.
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur) yang dilakukan secara lengkap sebesar 14,8% pada daerah endemis DBD dan sebesar 13,2% pada daerah non endemis DBD. 2. Angka Bebas Jentik (ABJ) berada pada kategori rendah berdasarkan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap di daerah endemis DBD sebesar 84,35% sedangkan ABJ di daerah non endemis DBD sebesar 80,19%. 3. House Index (HI) berada pada kategori rendah berdasarkan pelaksanaan 3M yang tidak lengkap di daerah endemis DBD sebesar 15,65% sedangkan HI di daerah non endemis DBD sebesar 19,81%. 4. Container Index (CI) berada pada kategori rendah berdasarkan pelaksanaan 3M tidak lengkap di daerah endemis DBD sebesar 72,2% sedangkan pada daerah non endemis DBD sebesar 69,8%. B. Saran
1. Bagi Puskesmas dan dinas kesehatan Memberikan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat mengenai penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), cara pencegahan yang dapat dilakukan seperti pelaksanaan 3M plus. Hal ini dapat dilakukan melalui 120
121
program Training of Trainer (TOT) antara Puskesmas setempat kepada kader. Keterlibatan kader diharapkan dapat lebih efektif dalam meningkatkan p erilaku (pengetahuan,
sikap,
dan
tindakan)
masyarakat
dalam
melakukan
pemberantasan sarang nyamuk. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan kepada masyarakat seperti melakukan penyuluhan, leaflet , dan media informasi lainnya. 2. Bagi kader Senantiasa melakukan pemantauan jentik berkala secara rutin setiap 3 bulan. 3. Bagi masyarakat Melakukan kegiatan kemasyarakatan sebagai upaya pemberantasan sarang nyamuk misalnya melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal minimal seminggu sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A., Syafar, M. & Arsin, A. A. 2010. Faktor yang Berhubungan d engan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kab. Jeneponto Jurnal MKMI, 6 (2), hal. 65-70 Achmadi, U. F. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Jakarta, Rajawali Pres. Alupaty, S. M. 2013. Pemetaan Distribusi Densitas Larva Aedes aegypti dan Pelaksanaan 3 M dengan Kejadian DBD di Kelurahan Kalukuang Kec. Tallo Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Anggraeni, D. S. 2010. Stop! Demam Berdarah Dengue Jawa Barat, Bogor Publishing House. Ayuningtyas, E. D. 2013. Perbedaan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan Karakteristik Kontainer Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Bafdal, N., Amaru, K. & P, B. M. P. 2011. Buku Ajar Sistem Informasi Geografis, Bandung, Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran. Bahardin, A. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Densitas Larva Aedes aegypti di Kelurahan Daya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Universitas Hasanuddin. Bappenas. 2006. Laporan Kajian Kajian Kebijakan Kebijakan Penanggulangan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular. Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Boekoesoe, L. 2013. Kajian Faktor Lingkungan terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Studi Kasus Di Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. BPS. 2015. Kecamatan Rappocini dalam Angka. Makassar: Badan Pusat Statistik Kota Makassar. CDC.
2012. Mosquito Life-Cycle. [Online]. Available: http://www.cdc.gov/Dengue/entomologyEcology/m_lifecycle.html [Accessed 15 November 2015].
Dalimunthe, I. Z. 2008. Pemetaan Potensi Kelurahan dalam Pelaksanaan Pembangunan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Di Kecamatan Medan Selayang Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Darmawan, M. 2011. Sistem informasi Geografi (SIG) dan Standarisasi Pemetaan Tematik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) hal. 1-13. Dash, A., Bhatiab, R. & Kalra, N. 2012. Dengue in South-East Asia: An Appraisal of Case Management and Vector Control Dengue Bulletin, 36 (1), hal. 1-13. Depkes RI. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Desniawati, F. 2014. Pelaksanaan 3M plus terhadap Keberadaan Larva Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan Bulan Mei-Juni Tahun 2014. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dinkes Kota Makassar. 2011. Profil Kesehatan Kota Makassar 2010. . Makassar: Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Makassar. Dinkes Kota Makassar. 2012. Profil Kesehatan Kota Makassar 2011. Makassar: Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Makassar. Dinkes Kota Makassar. 2013. Profil Kesehatan Kota Makassar 2012. Makassar: Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Makassar. Dinkes Kota Makassar. 2014. Profil Kesehatan Kota Makassar 2013. Makassar: Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Makassar Dinkes Kota Makassar. 2015. Data Sekunder Jumlah Kasus DBD di Kota Makassar. Makassar: Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Makassar. Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan. 2011. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2010. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2011. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan. 2013. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2012. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan
Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan. 2014. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2013. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Ditjen P2PL. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Farahiyah, M., Nurjazuli & Setiani, O. 2014. Analisis Spasial Faktor Lingkungan dan Kejadian DBD Di Kabupaten Demak. Buletin Penelitian Kesehatan, 42 (1), hal. 25-36. Focks, D. A. 2006. Multicountry study of Aedes aegypti pupal productivity survey methodology: findings and recommendations, Geneva, WHO. Hasyimi, M., Harmany, N. & Pangestu. 2009. Tempat-Tempat Terkini yang Disenangi untuk Perkembangbiakan Vektor Demam Berdarah Aedes Sp. Media Litbang Kesehatan, 19 (2), hal. 71-76. HB, U., I, S., L, L., E, M., A, K. & O, H. 2012. Evidence for The Use Of Intravenous Rehydration for Treating Severe Dengue with Plasma Leakage In Children and Adults: A Systematic Review Dengue Bulletin, 36 (14), hal. 149-165. Hidayatullah, A. F. 2010. Aplikasi Sistem Informasi Goegrafis untuk Penanganan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kumayah, U. 2011. Perbedaan Keberadaan Larva Aedes aegypti Di Container Dalam Rumah Di Kelurahan Rawasari dan Cempaka Putih Barat, Jakarta. Skripsi. Universitas Indonesia.
Kurniawan, B., Rapina, R., Sukohar, A. & Nareswari, S. 2015. Effectiveness of The Pepaya Leaf (Carica papaya Linn) Ethanl Extract as Larvacide for Aedes aegypti Instar III Jurnal Majority 4(5), 76-84. Lemeshow, S., Jr, D. W. H., Klar, J. & Lwanga, S. K. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies, England, WHO. Lestari, E., Sianturi, C. L. J., Hestiningsih, R. & Wuryanto, M. A. 2014. Kepadatan Jentik Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) Aedes Sp. Di Daerah Endemis, Sporadis dan Potensial Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. BALABA 10 (02), hal. 71-76. Louis, V. R., Phalkey, R., Horstick, O., Ratanawong, P., Wilder-Smith, A., Tozan, Y. & Dambach, P. 2014. Modeling Tools for Dengue Risk Mapping -A Systematic Review. International Journal of Health Geographics. , 13 (50), hal. 1-15. Mubarroq, H. 2015. Pemetaan Potensi Masyarakat Dengan Menggunakan Metode Partisipatif Sebagai Dasar-Dasar Perencanaan Program Pendidikan Luar Sekolah Di Dusun Bangoan Desa Kedung Peluk Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo J Plus Unesa, 4 (1), hal. 1-8. Mustamin, R. 2015. Studi Keberadaan Larva Aedes aegypti pada Rumah Siswa Sebelum dan Sesudah Intervensi. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Nomitasari, D., Saraswati, L. D. & Ginandjar, P. 2012. Perbedaan Praktik PSN 3M Plus Di Kelurahan Percontohan dan Non Percontohan Program Pemantauan Jentik Rutin Kota Semarang Jurnal Entomologi Indonesia, 9 (1), hal. 32-37. Notoadmojo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta Rineka Cipta. Nugrahaningsih, M., Putra, N. & Aryana, I. W. R. 2010. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Utara. Ucotrophic, 5 (2), Nur, W. O. 2015. Pemetaan Keberadaan Larva Aedes aegypti Sebelum dan Sesudah Penyuluhan PSN DBD Di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Nurjannah. 2013. Hubungan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Akses Air Bersih dengan kejadian DBD pada Siswa Sekolah Dasar Di Kecamatan Palu Selatan Tahun 2012. Skripsi. Universitas Haasanuddin.
Peristiowati, Y., Lingga & Hariyono. 2014. Evaluasi Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dengan Metode Spasial Geographic Information System (GIS) dan Identifikasi Tipe Virus Dengue di Kota Kediri Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28 (2), hal. 126-131. Pessanha, J. E. M. 2012. Risk Assessment and Risk Maps Using A Simple Dengue Fever Model. Dengue Bulletin, 36 (7), p. 73-86. Praditya, I. E. 2014. Peilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan terhadap kepadatan Larva Aedes aegypti Di Wilayah Zona Merah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Purnama, E. C. 2012. Gambaran Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Di Desa Grogol Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Naskah Publikasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Qoriani, H. F. 2012. Sistem Informasi Geografis untuk Mengetahui Tingkat Pencemaran Limbah Pabrik Di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Link, 17 (2), hal. 18. Rahadian, D. A. 2012. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Ibu dan Tindakan Pencegahan Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Endemis dan Non Endemis Jurnal Media Medika Muda, 1-15. Rahim, S. H., Ishak, H. & Wahid, I. 2013. Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Tingkat Endemisitas DBD Di Kota Makassar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Ramlawati. 2014. Hubungan pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M dengan Densitas Larva Aedes aegypti Di Wilayah Endemis DBD Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Rastuti, Abdillah, L. A. & Agustini, E. P. 2015. Sistem Informasi Geografis Potensi Wilayah Kabupaten Banyuasin Berbasis Web Student Colloquium Sistem Informasi & Teknik Informatika (SC-SITI), hal. 53-58. Rendy, M. P. 2013. Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk Aedes Aegypti Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Riyadi, A., Ishak, H. & Ibrahim, E. 2012. Pemetaan Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD Di
Kelurahan Ballaparang Kecamatan Rappocini Kota Makassar Tahun 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Salawati, T., Astuti, R. & Nurdiana, H. 2010. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 6 (1), hal. 57-66. Sallata, M. H. E., Ibrahim, E. & Selomo, M. 2014. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik dan Kimia dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti Di Wilayah Endemis DBD Kota Makassar Sambuaga, J. V. I. 2011. Status Entomologi Vektor Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Perkamil Kecamatan Tikala Kota Manado Tahun 2011 JKL, 1 (1), hal. 54-61. Santoso & Yahya. 2011. Analisis Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Puskesmas Rawasari Kota Jambi Bulan Agustus 2011 Jurnal Ekologi Kesehatan, 10 (4), hal. 8-255. Sari, D. R., Ishak, H. & Ibrahim, E. 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Di Kelurahan Adatongeng Kecamatan Turikale Kabupaten Maros. Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Sedhain, A., Adhikari, S., Bhattarai, G. R., Regmi, S., Subedee, L. R., Chaudhary, S. K., Shaha, M. & Shresthaa, B. 2012. A Clinicoradiological and Laboratory Analysis of Dengue Cases During An Outbreak In Central Nepal In 2010 Dengue Bulletin 36 (13), p. 134-148. Sembel, D. T. 2009. Entomologi Kedokteran Manado, Andi Yogyakarta. Singh, R. K., Mittal, P. K., Yadav, N. K., Gehlot, O. P. & Dhiman, R. C. 2011. Aedes aegypti indices and KAP study in Sangam Vihar, south Delhi, during the XIX Commonwealth Games, New Delhi, 2010 Dengue Bulletin, 35 p. 131-140. Sivagnaname, N. & Gunasekaran, K. 2012. Need For An Efficient Adult Trap For The Surveillance Of Dengue Vectors Indian J Med Res, 136 p. 739-749. Soegijanto, S. 2004. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi Di Indonesia Jilid 1 Surabaya, Airlangga University Press. Sunaryo & Pramestuti, N. 2014. Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8(8), hal 423-429.
Tairas, S., Kandou, G. D. & Posangi, J. 2015. Analisis Pelaksanaan Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa Utara JKMU, 5 (1), hal. 2129. Taviv, Y. 2009. Survei Jentik Tersangka Vektor Chikungunya Di Desa Batumarta Unit 2 Kecamatan Lubuk Raja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009 WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue, Jakarta, Buku Kedokteran EGC. WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever New Delhi, World Health Organization. Widjaja, J. 2011. Keberadaan Kontainer sebagai Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Palu, Sulawesi Tengah Aspirator, 3 (2), hal. 82-88. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis, Semarang, Erlangga.
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN PEMETAAN DENSITAS LARVA AED ES AEGYPTI BERDASARKAN PELAKSANAAN 3M DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS DBD KOTA MAKASSAR No. Responden
:
Titik Koordinat S E
: ________________ : ________________
Tanggal Wawancara
:
(Diisi oleh peneliti)
/
/
I.
1a 1b 1c
Kelurahan/Desa RW RT
(Tanggal/Bulan/Tahun) (Diisi oleh peneliti)
IDENTITAS WILAYAH
: : : II. :
IDENTITAS UMUM RESPONDEN
2a
Nama Responden
2b
Jenis Kelamin
: 1. Laki-laki
2c
Umur
:
2d
Pekerjaan
: 01 = Tidak kerja
2e
Pendidikan
: 1 = Tidak pernah sekolah
2. Perempuan
……………….. tahun
05 = PNS 02 = Sekolah 06 = Pegawai BUMN 03 = Ibu rumah tangga 07 = Pegawai swasta 04 = TNI/Polri 08 = Wiraswasta/ Pedagang 13 = Lainnya
2 = Tidak tamat SD 3 = Tamat SD
3a
3b
(Diisi oleh peneliti)
09 = Pelayanan jasa 10 = Petani 11 = Nelayan 12 = Buruh
4 = Tamat SLTP 5 = Tamat SLTA 6 = Tamat Perguruan Tinggi
III. PENGETAHUAN TENTANG DBD Apakah ada anggota keluarga Anda yang a. Tidak pernah atau sedang menderita penyakit DBD? b. Ya
Menurut Anda, terjadinya DBD?
apa
yang
menyebabkan
a. b. c. d. e.
Kuman Bakteri Virus Parasit Tidak tahu
3c
3d
3e
4a 4b
4c
4d
4e
Menurut Anda, bagaimana gejala yang ditunjukkan oleh seorang yang menderita DBD?
a. b. c. d. e. a.
Panas tinggi atau demam Sakit kepala dan nyeri tulang Bintik merah Semua benar Tidak Tahu Menurut Anda, kapan aktivitas menggigit Pagi hari 09-10.00 dan sore nyamuk Aedes? hari 16.00-17.00 b. Siang hari 13.00-14.00 c. Malam hari 23.00-24.00 d. Sepanjang hari 1 × 24 jam e. Tidak tahu Menurut Anda, dimana habitat larva/jentik a. Air kotor yang bersentuhan nyamuk Aedes? langsung dengan tanah b. Air bersih yang bersentuhan langsung dengan tanah c. Air bersih yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah d. Tidak tahu IV. PELAKSANAAN 3 M Apakah Anda biasa menguras/membersihkan a. Tidak tempat penampungan air? b. Ya Jika “Ya” apakah Anda menyikat dinding bagian dalam tempat penampungan air tersebut? Jika “Ya” berapa kali dalam seminggu Anda membersihkan/menguras tempat penampungan air tersebut?
a. Tidak b. Ya
Apakah Anda menutup tempat penampungan air tersebut sebelum maupun sesudah digunakan? Apakah Anda mengubur/membakar barang bekas yang dapat menampung air?
a. Seminggu sekali b. Dua kali atau lebih dalam seminggu c. Dua minggu sekali d. Satu bulan sekali a. Tidak b. Ya a. Tidak b. Ya
LEMBAR OBSERVASI PEMETAAN DENSITAS LARVA AED ES AEGYPTI BERDASARKAN PELAKSANAAN 3M DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS DBD KOTA MAKASSAR No. Responden
:
Titik Koordinat
Nama Responden
:
S :
Kelurahan/Desa
:
E :
RW/RT
:
Tgl Observasi
:
Sumber air yang digunakan :
Kondisi Air Jenis Kontainer
Vol (L)
Jenis Bahan Jernih
Ke ruh
Keberadaan Larva Tidak Ada
Ada
a. Bak Mandi
b. Baskom T
c. Drum P
d. Ember A
e. Gentong f. Lainnya ______ ______ Keterangan: Keterangan:
M
= Melakukan Kegiatan
TM
= Tidak Melakukan Kegiatan
M
= Melakukan Kegiatan
TM
= Tidak Melakukan Kegiatan
Pelaksanaan 3 M Menguras M Tidak Berlu Berlu mut mut
Menutup M T M
Tidak Rapat
Rapat
Mengubur T M
M
TM
Kondisi Air Jenis Kontainer
Vol (L)
Jenis Bahan Jernih
a.
Pot Bunga
b. Tatakan Dispenser N O N T P A
c. Tatakan Kulkas
d. Tempat Minum Hewan e. Kaleng/ Botol Bekas f. Lainnya ______ ______
Ke ruh
Keberadaan Larva Tidak Ada
Ada
Pelaksanaan 3 M Menguras M Tidak Berlu Berlu mut mut
Menutup M T M
Tidak Rapat
Rapat
Mengubur T M
M
TM
OUTPUT ANALISIS SPSS
1.
Jenis Kelamin a. Kelurahan Gunung Sari Jenis Kelamin Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Laki-laki
57
49.6
49.6
49.6
Perempuan
58
50.4
50.4
100.0
115
100.0
100.0
Total
b. Kelurahan Rappocini Jenis Kelamin Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Laki-laki
47
44.3
44.3
44.3
Perempuan
59
55.7
55.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
2. Kelompok Umur a. Kelurahan Gunung Sari Kelompok Umur Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
15 - 25 tahun
15
13.0
13.0
13.0
26 - 35 tahun
17
14.8
14.8
27.8
36 - 45 tahun
34
29.6
29.6
57.4
46 - 55 tahun
27
23.5
23.5
80.9
56 - 65 tahun
20
17.4
17.4
98.3
66 - 75 tahun
1
.9
.9
99.1
> 76 tahun
1
.9
.9
100.0
115
100.0
100.0
Valid
Total
b. Kelurahan Rappocini Kelompok Umur Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
15 - 25 tahun
17
16.0
16.0
16.0
26 - 35 tahun
19
17.9
17.9
34.0
36 - 45 tahun
26
24.5
24.5
58.5
46 - 55 tahun
22
20.8
20.8
79.2
56 - 65 tahun
15
14.2
14.2
93.4
66 - 75 tahun
6
5.7
5.7
99.1
> 76 tahun
1
.9
.9
100.0
106
100.0
100.0
Valid
Total
3. Pendidikan Terakhir a.
Kelurahan Gunung Sari Pendidikan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tamat SD
Valid
1
.9
.9
.9
Tamat SLTP
11
9.6
9.6
10.4
Tamat SLTA
62
53.9
53.9
64.3
Tamat Perguruan Tinggi
41
35.7
35.7
100.0
115
100.0
100.0
Total
b. Kelurahan Rappocini Pendidikan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak pernah sekolah
1
.9
.9
.9
Tamat SD
16
15.1
15.1
16.0
Tamat SLTP
22
20.8
20.8
36.8
Tamat SLTA
43
40.6
40.6
77.4
Tamat Perguruan Tinggi
24
22.6
22.6
100.0
106
100.0
100.0
Valid
Total
4. Pekerjaan a. Kelurahan Gunung Sari Pekerjaan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Kerja
4
3.5
3.5
3.5
Sekolah
11
9.6
9.6
13.0
Ibu Rumah Tangga
32
27.8
27.8
40.9
2
1.7
1.7
42.6
14
12.2
12.2
54.8
Pegawai BUMN
2
1.7
1.7
56.5
Pegawai Swasta
4
3.5
3.5
60.0
38
33.0
33.0
93.0
Petani
1
.9
.9
93.9
Lainnya
7
6.1
6.1
100.0
115
100.0
100.0
Valid Percent
Cumulative
TNI/Polri PNS Valid
Wiraswasta/Pedagang
Total
Pekerjaan Lainnya Frequency
Percent
Percent
Valid
Pensiunan Total
108
93.9
93.9
93.9
7
6.1
6.1
100.0
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Pekerjaan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Kerja
4
3.8
3.8
3.8
Sekolah
9
8.5
8.5
12.3
45
42.5
42.5
54.7
PNS
7
6.6
6.6
61.3
Pegawai Swasta
2
1.9
1.9
63.2
27
25.5
25.5
88.7
Buruh
7
6.6
6.6
95.3
Lainnya
5
4.7
4.7
100.0
106
100.0
100.0
Ibu Rumah Tangga
Valid
Wiraswasta/Pedagang
Total
Pekerjaan Lainnya Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
101
95.3
95.3
95.3
Imam Masjid
1
.9
.9
96.2
Pensiunan
4
3.8
3.8
100.0
106
100.0
100.0
Valid Total
5. Riwayat DBD dalam Keluarga a.
Kelurahan Gunung Sari Riwayat anggota keluarga terkena DBD Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak
87
75.7
75.7
75.7
Ya
28
24.3
24.3
100.0
115
100.0
100.0
Total
b. Kelurahan Rappocini Riwayat anggota keluarga terkena DBD Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak
82
77.4
77.4
77.4
Ya
24
22.6
22.6
100.0
106
100.0
100.0
Total
6. Penyebab DBD a. Kelirahan Gunung Sari Penyebab DBD Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Kuman
6
5.2
5.2
5.2
Bakteri
15
13.0
13.0
18.3
Virus
38
33.0
33.0
51.3
Parasit
18
15.7
15.7
67.0
Tidak tahu
38
33.0
33.0
100.0
115
100.0
100.0
Valid
Total
b. Kelurahan Rappocini Penyebab DBD Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Kuman
15
14.2
14.2
14.2
Bakteri
14
13.2
13.2
27.4
Virus
31
29.2
29.2
56.6
Parasit
13
12.3
12.3
68.9
Tidak tahu
33
31.1
31.1
100.0
106
100.0
100.0
Valid
Total
7. Gejala DBD a. Kelurahan Gunung Sari Gejala DBD Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Panas tinggi dan Demam Sakit kepala dan nyeri tulang Valid
Bintik-bintik merah Semua Benar Tidak tahu Total
68
59.1
59.1
59.1
3
2.6
2.6
61.7
5
4.3
4.3
66.1
37
32.2
32.2
98.3
2
1.7
1.7
100.0
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Gejala DBD Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Panas tinggi dan Demam
51
48.1
48.1
48.1
1
.9
.9
49.1
Bintik-bintik merah
15
14.2
14.2
63.2
Semua Benar
34
32.1
32.1
95.3
5
4.7
4.7
100.0
106
100.0
100.0
Sakit kepala dan nyeri tulang Valid
Tidak tahu Total
8. Aktivitas Menggigit Nyamuk Aedes a. Kelurahan Gunung Sari Aktivitas menggigit nyamuk Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pagi hari 09.00-10.00 dan
92
80.0
80.0
80.0
Siang hari 13.00-14.00
8
7.0
7.0
87.0
Malam hari 23.00-24.00
6
5.2
5.2
92.2
Sepanjang hari 1 x 24 jam
3
2.6
2.6
94.8
Tidak tahu
6
5.2
5.2
100.0
115
100.0
100.0
sore hari 16.00-17.00
Valid
Total
b. Kelurahan Rappocini Aktivitas menggigit nyamuk Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pagi hari 09.00-10.00 dan
69
65.1
65.1
65.1
Siang hari 13.00-14.00
11
10.4
10.4
75.5
Malam hari 23.00-24.00
11
10.4
10.4
85.8
Sepanjang hari 1 x 24 jam
6
5.7
5.7
91.5
Tidak tahu
9
8.5
8.5
100.0
106
100.0
100.0
sore hari 16.00-17.00
Valid
Total
9. Habitat Larva Aedes a. Kelurahan Gunung Sari Habitat Jentik Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Air kotor yang bersentuhan langsung dengan tanah Air bersih yang bersentuhan langsung dengan tanah Valid
44
38.3
38.3
38.3
7
6.1
6.1
44.3
60
52.2
52.2
96.5
4
3.5
3.5
100.0
115
100.0
100.0
Air bersih yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah Tidak tahu Total
b. Kelurahan Rappocini Habitat Jentik Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Air kotor yang bersentuhan langsung dengan tanah Air bersih yang bersentuhan langsung dengan tanah Valid
36
34.0
34.0
34.0
1
.9
.9
34.9
65
61.3
61.3
96.2
4
3.8
3.8
100.0
106
100.0
100.0
Air bersih yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah Tidak tahu Total
10. Sumber Air Bersih a. Kelurahan Gunung Sari Sumber air yang digunakan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
PDAM
87
75.7
75.7
75.7
Sumur Gali
8
7.0
7.0
82.6
Sumur bor
1
.9
.9
83.5
Sumur Gali dan PDAM
12
10.4
10.4
93.9
Sumur bor dan PDAM
7
6.1
6.1
100.0
115
100.0
100.0
Valid
Total
b. Kelurahan Rappocini Sumber air yang digunakan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
PDAM
56
52.8
52.8
52.8
4
3.8
3.8
56.6
PDAM dan Sumur Gali
42
39.6
39.6
96.2
PDAM dan Sumur Bor
4
3.8
3.8
100.0
106
100.0
100.0
Sumur Gali Valid
Total
11. Kontainer yang Diperiksa a. Kelurahan Gunung Sari Kontainer Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
TPA Valid
Non TPA Total
278
84.5
84.5
84.5
51
15.5
15.5
100.0
329
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Kontainer Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
TPA Valid
260
84.1
84.1
84.1
49
15.9
15.9
100.0
309
100.0
100.0
Non TPA Total
12. Jenis Kontainer yang Diperiksa a. Kelurahan Gunung Sari Jenis Kontainer Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Bak Mandi
42
12.8
12.8
12.8
Baskom
16
4.9
4.9
17.6
2
.6
.6
18.2
206
62.6
62.6
80.9
12
3.6
3.6
84.5
1
.3
.3
84.8
37
11.2
11.2
96.0
Tatakan Kulkas
3
.9
.9
97.0
Tempat Minum Hewan
3
.9
.9
97.9
Kaleng/Botol Bekas
6
1.8
1.8
99.7
Lainnya
1
.3
.3
100.0
329
100.0
100.0
Drum Ember Gentong Pot Bunga Valid Tatakan Dispenser
Total
Jenis kontainer lainnya Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tempat Cat Total
328
99.7
99.7
99.7
1
.3
.3
100.0
329
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Jenis Kontainer Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Bak Mandi
28
9.1
9.1
9.1
Baskom
15
4.9
4.9
13.9
9
2.9
2.9
16.8
195
63.1
63.1
79.9
12
3.9
3.9
83.8
2
.6
.6
84.5
31
10.0
10.0
94.5
Tempat Minum Hewan
1
.3
.3
94.8
Kaleng/Botol Bekas
8
2.6
2.6
97.4
Lainnya
4
1.3
1.3
98.7
Tatakan Kulkas
4
1.3
1.3
100.0
309
100.0
100.0
Drum Ember Gentong Pot Bunga Valid Tatakan Dispenser
Total
Jenis kontainer lainnya Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
305
98.7
98.7
98.7
Jerigen
1
.3
.3
99.0
Kolam Ikan
1
.3
.3
99.4
Tempat cat
2
.6
.6
100.0
309
100.0
100.0
Total
13. Bahan Kontainer a. Kelurahan Gunung Sari Jenis Bahan TPA Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Besi
4
1.2
1.2
1.2
Plastik
284
86.3
86.3
87.5
Semen
2
.6
.6
88.1
Tanah Liat
1
.3
.3
88.4
Tegel
38
11.6
11.6
100.0
Total
329
100.0
100.0
Valid
b. Kelurahan Rappocini Jenis Bahan TPA Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Besi
7
2.3
2.3
2.3
Plastik
273
88.3
88.3
90.6
Semen
3
1.0
1.0
91.6
Tanah Liat
4
1.3
1.3
92.9
Tegel
22
7.1
7.1
100.0
Total
309
100.0
100.0
Valid
14. Volume Kontainer TPA a. Kelurahan Gunung Sari Volume Kontainer Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
lebih kecil atau sama
158
56.8
56.8
56.8
> 50 liter
120
43.2
43.2
100.0
Total
278
100.0
100.0
dengan 50 liter Valid
b. Kelurahan Rappocini Volume Kontainer Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
lebih kecil atau sama dengan 50 liter Valid
> 50 liter Total
161
61.9
61.9
61.9
99
38.1
38.1
100.0
260
100.0
100.0
15. Kondisi Air Kontainer a. Kelurahan Gunung Sari Kondisi air dalam TPA Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Jernih
323
98.2
98.2
98.2
Keruh
6
1.8
1.8
100.0
329
100.0
100.0
Total
b. Kelurahan Rappocini Kondisi air dalam TPA Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Jernih
298
96.4
96.4
96.4
Keruh
11
3.6
3.6
100.0
309
100.0
100.0
Total
16. Keberadaan Larva berdasarkan Jumlah Rumah a. Kelurahan Gunung Sari Larva pada Rumah Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak ada atau Negatif Jentik Valid
Ada atau Positif Jentik Total
97
84.3
84.3
84.3
18
15.7
15.7
100.0
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Larva pada Rumah Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak ada atau Negatif Jentik Valid
Ada atau Positif Jentik Total
85
80.2
80.2
80.2
21
19.8
19.8
100.0
106
100.0
100.0
17. Keberadaan Larva berdasarkan Jumlah Kontainer a. Kelurahan Gunung Sari Kontainer * Keberadaan larva dalam kontainer Crosstabulation Count Keberadaan larva dalam kontainer Tidak ada TPA
Total
Ada
275
3
278
35
16
51
310
19
329
Kontainer Non TPA Total
b. Kelurahan Rappocini Kontainer * Keberadaan larva dalam kontainer Crosstabulation Count Keberadaan larva dalam kontainer Tidak ada TPA
Total
Ada
257
3
260
29
20
49
286
23
309
Kontainer Non TPA Total
18. Keberadaan Larva berdasarkan Jenis Kontainer a.
Kelurahan Gunung Sari Jenis Kontainer * Keberadaan larva dalam kontainer Crosstabulation Count Keberadaan larva dalam kontainer Tidak ada 41
1
42
Baskom
16
0
16
2
0
2
204
2
206
12
0
12
1
0
1
27
10
37
Tatakan Kulkas
1
2
3
Tempat Minum Hewan
3
0
3
Kaleng/Botol Bekas
2
4
6
Lainnya
1
0
1
310
19
329
Ember Gentong Pot Bunga Tatakan Dispenser
Total
Ada
Bak Mandi
Drum
Jenis Kontainer
Total
Jenis kontainer lainnya * Keberadaan larva dalam kontainer Crosstabulation Count Keberadaan larva dalam kontainer Tidak ada
Total
Ada 309
19
328
1
0
1
310
19
329
Jenis kontainer lainnya Tempat Cat Total
b. Kelurahan Rappocini Jenis Kontainer * Keberadaan larva dalam kontainer Crosstabulation Count Keberadaan larva dalam kontainer Tidak ada 27
1
28
Baskom
15
0
15
7
2
9
195
0
195
12
0
12
1
1
2
17
14
31
Tempat Minum Hewan
1
0
1
Kaleng/Botol Bekas
4
4
8
Lainnya
3
1
4
Tatakan Kulkas
4
0
4
286
23
309
Ember Gentong Pot Bunga Tatakan Dispenser
Total
Ada
Bak Mandi
Drum
Jenis Kontainer
Total
19. Keberadaan larva Aedes aegypti ditiap RT a. Kelurahan Gunung Sari RT * Rumah Positif Jentik Crosstabulation Count Rumah Positif Jentik
Total
Tidak ada atau
Ada atau Positif
Negatif Jentik
Jentik
01
19
6
25
02
8
2
10
03
23
5
28
04
21
1
22
05
14
1
15
06
12
3
15
97
18
115
RT
Total
b. Kelurahan Rappocini RT * Larva pada Rumah Crosstabulation Count Larva pada Rumah
RT
Total
Total
Tidak ada atau
Ada atau Positif
Negatif Jentik
Jentik
01
18
4
22
02
14
2
16
03
13
7
20
04
15
5
20
05
25
3
28
85
21
106
20. Container Index (CI) a. Kelurahan Gunung Sari Densitas Larva berdasarkan CI Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Kapadatan rendah <= 20% Valid
Kepadatan tinggi >20 Total
100
87.0
87.0
87.0
15
13.0
13.0
100.0
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Densitas larva berdasarkan CI Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Kepadatan rendah <= 20 %
88
83.0
83.0
83.0
Kepadatan tinggi >20%
18
17.0
17.0
100.0
106
100.0
100.0
Total
21. Frekuensi Menguras a. Kelurahan Gunung Sari Frekuensi menguras/membersihkan tempat penampungan air Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Sekali seminggu Dua kali atau lebih dalam Valid
seminggu Dua minggu sekali Total
47
40.9
40.9
40.9
67
58.3
58.3
99.1
1
.9
.9
100.0
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Frekuensi menguras/membersihkan tempat penampungan air Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Sekali seminggu Dua kali atau lebih dalam Valid
seminggu Dua minggu sekali Total
28
26.4
26.4
26.4
76
71.7
71.7
98.1
2
1.9
1.9
100.0
106
100.0
100.0
22. Pelaksanaan 3M Menguras a. Kelurahan Gunung Sari Pelaksanaan 3M Menguras Kontainer berdasarkan Ada Tidaknya Jentik dan Frekuensi Menguras Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Melakukan Valid
14
12.2
12.2
12.2
Melakukan
101
87.8
87.8
100.0
Total
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Pelaksanaan 3M menguras kontainer berdasarkan ada tidaknya jentik dan frekuensi menguras Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak melakukan
18
17.0
17.0
17.0
Melakukan
88
83.0
83.0
100.0
106
100.0
100.0
Total
23. Pelaksanaan 3M Menutup a.
Kelurahan Gunung Sari Pelaksanaan 3M Menutup Tempat Penampungan Air Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak Melakukan
97
84.3
84.3
84.3
Melakukan
18
15.7
15.7
100.0
115
100.0
100.0
Total
b.
Kelurahan Rappocini Pelaksanaan 3M Menutup Tempat Penampungan Air Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak Melakukan
91
85.8
85.8
85.8
Melakukan
15
14.2
14.2
100.0
106
100.0
100.0
Total
24. Pelaksanaan 3M Mengubur a. Kelurahan Gunung Sari Pelaksanaan 3M Mengubur/Membuang/Membakar Barang Bekas Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak melakukan Valid
6
5.2
5.2
5.2
Melakukan
109
94.8
94.8
100.0
Total
115
100.0
100.0
b. Kelurahan Rappocini Pelaksanaan 3M Mengubur/Membuang Barang Bekas Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Melakukan Valid
Melakukan Total
8
7.5
7.5
7.5
98
92.5
92.5
100.0
106
100.0
100.0
25. Kriteria Pelaksanaan 3M a. Kelurahan Gunung Sari Kriteria Pelaksanaan 3M Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Menguras
6
5.2
5.2
5.2
Mengubur
13
11.3
11.3
16.5
Menguras dan mengubur
78
67.8
67.8
84.3
Menutup dan mengubur
1
.9
.9
85.2
17
14.8
14.8
100.0
115
100.0
100.0
Valid Pelaksanaan 3M lengkap Total
b. Kelurahan Rappocini Kriteria Pelaksanaan 3M Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Menguras
7
6.6
6.6
6.6
Mengubur
16
15.1
15.1
21.7
Menguras dan mengubur
67
63.2
63.2
84.9
Menutup dan mengubur
1
.9
.9
85.8
Pelaksanaan 3M lengkap
14
13.2
13.2
99.1
Tidak melaksanakan 3M
1
.9
.9
100.0
106
100.0
100.0
Total
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Wawancara yang dilakukan dengan responden di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 2. Wawancara yang dilakukan dengan responden di Kelurahan Rappocini
Gambar 3. Pengambilan titik koordinat rumah responden di Kelurahan Rappocini
Gambar 4. Pemeriksaaan jentik pada TPA di rumah responden Kelurahan Gunung Sari
Gambar 6. Kondisi bak mandi setelah dikuras di rumah responden di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 5. Pemeriksaaan jentik pada non TPA di rumah responden Kelurahan Rappocini
Gambar 7. Kondisi TPA berupa bak mandi di rumah responden di Kelurahan Rappocini
Gambar 8. Keberadaan jentik yang ditemukan pada bak mandi yang terbuat dari semen di rumah responden di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 10. Kondisi TPA berupa baskom di rumah responden di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 9. Keberadaan jentik padaTPA berupa bak mandi di rumah responden di Kelurahan Rappocini
Gambar 11. Kondisi TPA berupa baskom di rumah responden di Kelurahan Rappocini
Gambar 12. Keberadaan TPA berupa ember di luar rumah responden di Kelurahan Gunung Sari dalam kondisi tidak tertutup dan tidak rapat
Gambar 13. Kondisi TPA berupa ember dalam keadaan terbuka di Kelurahan Rappocini
Gambar 14. Kondisi TPA berupa gentong yang terbuka di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 15. Kondisi TPA berupa gentong yang tertutup di Kelurahan Rappocini
Gambar 16. Keberadaan jentik yang ditemukan pada tatakan dispenser di rumah responden di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 17. Keberadaan jentik pada non TPA berupa tatakan dispenser di rumah responden di Kelurahan Rappocini
Gambar 18. Keberadaan jentik yang ditemukan pada botol bekas di Kelurahan Gunung Sari
Gambar 19. Keberadaan non TPA berupa tempat cat bekas di pekarangan rumah responden di Kelurahan Rappocini