PENDAHULUAN Skleritis adalah gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel, dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik.1 Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa skleritis merupakan penyakit yang jarang dijumpai. Insiden penyakitnya sangat sulit ditemukan.
Prevalensi skleritis diperkirakan mencapai 6 kasus dari 10.000 populasi, 94% diantaranya dengan skleritis anterior dan 6% adalah skleritis posterior. Dari data internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis.
Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan gejala bertambah hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis itu sendiri dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasioantara perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1. Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata orang yang menderita skleritia adalah usia 52 tahun.
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang skleritis ini maka inilah yang menjadi alasan penulis dalam menyusun referat ini. Penulisan referat ini hendaknya dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
TINJAUAN PUSTAKA
A. SKLERA
1. ANATOMI SKLERA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat pengikat yang tebal, yang tersusun tersusun oleh serat kolagen, kolagen, jaringan fibrosa fibrosa dan proteoglikan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.
Gambar 1. Anatomi Mata
(Dikutip dari kepustakaan Subramanian, 2008)
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera.
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan
otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior.
Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.
Gambar 2. Sklera
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6 ang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.
Gambar 3. Struktur Sklera
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10- 16 μm dan lebar 100140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.
Gambar 4. Histologi Sklera
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
2. FISIOLOGI SKLERA
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket . Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.
B. SKLERITIS 1. DEFINISI
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
2. EPIDEMIOLOGI
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.
Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.
3. ETIOLOGI
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu: 1. Penyakit Autoimun Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis nodosa, Polikondritis berulang, Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus sistemik, Pioderma gangrenosum, Kolitis ulserativa, Nefropati IgA, Artritis psoriatic
2. Penyakit Granulomatosa Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (jarang)
3. Gangguan metabolik Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif Infeksi Onkoserkiasis,
Toksoplasmosis,
Herpes
Zoster,
Herpes
Simpleks,
Infeksi
oleh
Pseudomonas,Aspergillus, Streptococcus, Staphylococcus
4. Lain-lain Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam atau basa), Mekanis (cedera tembus), Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak Tidak diketahui
4. PATOFISIOLOGI
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.
5. KLASIFIKASI
Skleritis diklasifikasikan menjadi:3
1. Episkleritis
a. Simple
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda yang berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an.
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan dengan penyakit sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis rematoid, 7% dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3% dihubungkan dengan gout.
2. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
Gambar 5. Skleritis Anterior
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
a. Difus Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan gout.
b. Nodular Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun.
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu: i. ii.
Dengan inflamasi Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)
3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari
pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.
Gambar 6. Skleritis Posterior
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
6. DIAGNOSIS
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
ANAMNESIS
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen.
Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.
Gambar 7. Skleritis
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti :
Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
Penyakit infeksi
Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata -obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
lserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit ginjal,
hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya terhadap pengobatan.
PEMERIKSAAN FISIK SKLERA
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi
lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sclera edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.
3. Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi :
Kompleks imun serum
Faktor rematoid serum
-rata Sedimen Eritrosit
PEMERIKSAAN RADIOLOGI.
Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam menentukan penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut :
Ultrasonography ( Scan A dan B)
-Scan
Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain :
usapan dan kultur
7. DIAGNOSIS BANDING
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:
Konjunctivitis alergika
Episkleritis
Gout
Herpes zoster
Rosasea okular
Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
Uveitis anterior nongranulomatosa
8. PENATALAKSANAAN
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid sangat bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada
usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian kemoterapi.
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium inijarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.
9. KOMPLIKASI
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sclera atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan.
10. PROGNOSIS
Prognosis
skleritis
tergantung
pada
penyakit
penyebabnya.
Skleritis
pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata.
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe skleritis yang 16
PENUTUP
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis, skleritis anterior dan skleritis posterior.
Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73
2. Gaeta, TJ. Scleritis. http://www.emedicine.com. [diakses 30 November 2008]
3. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of Congress Catalog. 1988; 111-6
4. Subramanian M. Eye. http://www.medlineplus.com [diakses 30 November 2008]
5. Bolumleri. Sklera. http://www.eyestar.com.tr/htm/sklera.htm [diakses 30 November 2008]
6. Galor A, Thorne J. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis. http://www.pubmed.com [diakses 30 November 2008]
7. Maza, MS. Scleritis. http://www.emedicine.com [diakses 30 November 2009]
8. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20
9. Chern KC. Iridocyclitis and Traumatic Iritis. In: Emergency Ophthalmology. Boston, Massachusetts: McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2002
10. Kanski JJ. Disorders of The Cornea and Sclera. In: Clinical Ophthalmology. Third Edition. Wallingston, Surrey: Great Britain by Butler and Tanner Ltd, Frome and London. 1994. 146-9.
11. Rootman J. Diseases of The Orbit. Second Edition. East Washington Sayare Philadelpia: Library of Congress Cataloging in Publication Data. 1988: 373.
12. Newell FW. The Sclera. In: Ophthalmology Principles and Concepts. Fifth Edition. St.Louis Toronto London: The CV Mosby Company. 1982. 220-1
KONSEP ASKEP
1. Pengkajian a. Identitas klien dan keluarga b. Riwayat kesehatan Keluhan utama : pasien mengeluh nyeri yang hebat menyebar kedahi,alis,rahang dan sinus, ada bercak merah pada sclera, penglihatan kabur,mata berair, peka terhadap cahaya. Pemeriksaan Fisik Muncul tanda – tanda seperti : -
Kemerahan pada sclera
-
Fotofobia
-
Sclera membengkak
-
Konjingtivita kemosis
-
Terdapat benjolan berwarna biru jingga
c. Pemeriksaan Laboratorium
2. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan peradangan pada sclera b. Resiko cedera / injuri berhubungan dengan keterbatasan penglihatan c. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan mata 3. Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan No
Diagnosa keperawatan
1.
Rasa nyaman terpenuhi setelah (nyeri) berhubungan dilakukan asuhan dengan peradangan keperawatan 3 X 24 jam dengan kriteria pada slera hasil :
Tujuan
Gangguan rasa nyaman
Intervensi
Berikan
Rasionalisasi
kompres mata dengan air hangat.
Meminimali sasi nyeri yang dirasakan oleh klien
Melaporkan pengurangan rasa nyeri / nyeri hilang Dapat beristirahat dengan nyaman Istirahatkan
mata.
Ciptakan lingkungan tidur yang nyaman, aman dan tenang
Kaji tingkat nyeri yang dialami oleh klien
Mengurangi aktivitas mata yang bisa meningkatk an peradangan mata. Merupakan suatu cara pemenuhan rasa nyaman kepada klien dengan mengurangi stressor yang berupa kebisingan Mengetahui tingkat nyeri untuk memudahka n intervensi
selanjutnya
2.
Resiko cedera / injuri berhubungan keterbatasan penglihatan
dengan
Cedera tidak terjadi setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 X 24 jam dengan kriteria hasil :
Tidak ada laporan cedera dari pasien Penglihatan membaik
Kolaborasi pemberian analgetik
Kolaborasi pemberian anti inflamsi non steroid
Atur lingkungan sekitar pasien, jauhkan benda-benda yang dapat menimbulkan kecelakaan.
Orientasikan pasien terhadap lingkungan, dekatkan alat yang dibutuhkan pasien ke tubuhnya.
Awasi/temani pasien saat melakukan aktivitas
Analgetik dapat menekan reseptor nyeri Anti inflamasi dapat mengurangi peradangan Mencegah cedera dan meningkatk an kemandirian
Mengontrol kegiatan pasien dan menurunkan bahaya keamanan.
Meminimal kan resiko cedera, memberikan perasaan aman bagi pasien.
3
Gangguan body image berhubungan perubahan mata
dengan
Pasien dapat menerima keadaan tubuhnya setelah dilakukan asuhan keperawatan selam 3 X 24 jam dengan kriteria hasil :
Anjurkan klien untk mempelajari ADL
Kaji tingkat koping klien dalam menerima penyakitnya.
Meningkatk an respon stimulus dan semua ketergantun gannya
Klien mengetahui penyakitnya dan perhatian dengan kondisi tubuhnya
Ajak klien mendiskusikan keadaannya
Jelaskan perubahan yang terjadi pada tubuh klien.
Berikan kesempatan klien untuk
Dengan mengetahui tingkat koping klien dapat mempermud ah rencana tindakan keperawatan selanjutnya
Memberikan penjelasan lebih lanjut kepada klien dan menambah pemahaman klien tentang kondisi tubuhnya saat ini Klien dapat memahami kondisi fisik yang dialamimya sekarang. Memberikan kenyamanan kepada klien
menentukan keputusan tindakan yang dilakukan
Catat jika ada tingkah laku yang menyimpang.
dalam menentukan apa yang terbaik untuk dirinya Tingkah laku yang menyimpan g menunjukka n pasien sudah masuk ke tahap gangguan jiwa, dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
4. Implementasi Keperawatan Dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah disusun, dan mencatat respon klien maupun data – data objektifnya.
5. Evaluasi
Menunjukkan tanda – tanda perbaikan
Resolusi infeksi
Pasien memiliki pengetahuan yang adekuat tentang tindakan dan pencegahan pada scleritis