SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS DALAM KEHAMILAN
Maisuri T. Chalid
Fetomaternal Makassar
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang
multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang
mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi1. SLE
merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi
dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri.2 Karakteristik primer peyakit ini
berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE
melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi,
darah, membran serosa, jantung dan ginjal.2,3
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000
pasien telah didiagnosa sebagai SLE. 3 Prevalensi SLE di Amerika Serikat
yaitu antara14,6/100.000-50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-
1,6/100.000 per tahun. Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara
telah melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000. 4
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan
terhadap penyakit ini. 3 Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000
pada wanita kulit putih di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada
wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi
yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia,
19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada Amerika latin. 5
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang
berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970
ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990
insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk
di Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000
perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986
mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan. 1
ETIOLOGI
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun
diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan 3
Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana
sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap
sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya
dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B
untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang
antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri,
maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu
disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam
SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. 3
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat
dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang
peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya
spesifik untuk pasien SLE. 3 Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun
pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang
larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada
organ yang bersangkutan. 1
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung
darah. 3
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang
normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada
pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau
bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun lainnya.6
Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga
menderita SLE. 1 Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien
memiliki manifestasi klinik yang berbeda) 4 sedangkan non-identik 2-9%.1
Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk
menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. 4
Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-
DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah
terbukti. 1
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan
bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong
dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal. 3
Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon
autoimun pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk,
flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan
beberapa obat-obatan. 3
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T
adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian
lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus,
misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan
fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu
tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari
sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai
antigen asing dan memberikan respon autoimun. 3
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan
tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom
ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. 7 Jarang
terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan,
maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium. 4
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan
menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi.
Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya
memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE
memiliki level androgen yang abnormal. 3 Penelitian lain menyebutkan bahwa
hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. 1
GEJALA KLINIK
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap
serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti demam,
malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
menggigil. 1 Banyak wanita SLE menderita flare pada fase postovulasi dari
siklus menstruasi, dan mengalami resolusi ketika telah terjadi haid. 4
Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan
biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula
terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris,
nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis.
Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid.
Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. 1 Paling sering mengenai
interfalangeal proksimal (PIP) dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan,
siku dan lutut. 4
Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-
90%). Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas. 1
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis
dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah
berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. 1
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung,
atau vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi
ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari. 3
Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang
terdapat urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan setelah penyakit tenang secara
klinis dan serologis. 1
G i n j a l
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas
terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler.
Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin
di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan
imunoglobulin yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-
kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama
(pola "full house").2
Sistem saraf
Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental
ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap
daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin
tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit kepala.8
Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin.
Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan
ingatan dan konsentrasi ringan. 3
Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). 3
Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri dan arithmia.8
P a r u
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. 8 Diagnosis
pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah
disingirkan seperti infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa
takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary
hemorhage.4 Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan
tersebut. 8
Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang
traktus intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan
kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. 4 Retensi
cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.
3
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots
pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi
secara tiba-tiba.3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital,
perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1
Komplikasi pada kehamilan
Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi.
Sekitar 75% kehamilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya
prematur, 25% sisanya mengalami keguguran. Resiko keguguran lebih tinggi
pada wanita dengan antibodi antifosfolipid, penyakit ginjal aktif atau
hipertensi, atau kombinasi lainnya. Selama kehamilan antibodi
antifosfolipid dapat melintasi plasenta dan menyebabkan trombositopenia
pada janin, namun biasanya bayi tetap dapat lahir dengan aman. Risiko bayi
dengan lupus neonatus yang lain, sekitar 3% kehamilan SLE, dan biasanya
membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan jantung, namun hal ini dapat
diobati. 3
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare selama
kehamilan. Sebagian besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan dua
bulan setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami remisi selama 6 bulan
beresiko rendah untuk mengalami flare. Terdapat peningkatan resiko
perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat anti-SLE
maupun oleh SLE itu sendiri. Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil
dengan SLE. 3
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka terhadap
aktivitas penyakit dan mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE
menyimpulkan bahwa terdapat eksaserbasi aktivitas penyakit pada 50%
kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau pospartum.9
Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah
dipertimbangkan. Disamping keadaan janin, perlu pula dipertimbangkan
terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin permanen) gejala ikutan berupa
kerusakan organ (yang mungkin akan mempengaruhi keselamatan maternal).
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus nefritis
berhubungan dengan meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi
pospartum.9
Hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal yang baru terjadi
pada wanita hamil dengan lupus dapat menggambarkan terjadinya lupus
nefritis aktif atau pembentukan preeklampsia. Membedakan antara permulaan
SLE dan preeklampsia adalah sulit. Penelitian Buyon dkk menemukan bahwa
kadar C4 lebih rendah pada kehamilan dengan preeklampsia dibandingkan
kehamilan normal, dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar C3 dan C4 yang
lebih rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya kadar
C3 dan C4 pada kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit
tersebut. Satu pasien dengan SLE yang mengalami preeklampsia tidak
memiliki perubahan pada kadar komplemennya. Penemuan ini menyebutkan bahwa
pengujian terhadap kadar komplemen mungkin berguna untuk membedakan
kejadian preeklampsia dengan flare penyakit pada pasien SLE. Insiden
preeklampsia meningkat pada pasien SLE. 9
Terdapat hubungan yang jelas antara lupus antikoagulan dengan antibodi
antikardiolipin dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, pertumbuhan
janin terhambat, preeklampsia dini, dan kematian janin berulang. Pada
wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki insiden
tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta hipertensi paru.
(Khamashta dkk, 1997; Silver dkk, 1994) 6
Penelitian secara histologi dan imunofluoresens terhadap 10 plasenta
SLE oleh Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua vaskulopathy pada 5
dari 10 plasenta yang diteliti. Hanly dkk, meneliti 11 pasien SLE, dan
menemukan bahwa plasenta tersebut lebih kecil dan lebih ringan
dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu diabetes. Kurangnya berat
plasenta berhubungan dengan SLE aktif, lupus antikoagulan, trombositopenia
dan hipokomplemenemia, tapi tidak berhubungan dengan berkurangnya berat
lahir. Infark plasenta, seperti yang ditemukan pada pasien dengan sindrom
antibodi fosfolipid, sangat jelas berhubungan dengan pertumbuhan janin
mungkin menyebabkan kematian janin, tapi prematuritas dan bayi kecil masa
kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE. 9
Menurut Chamley (1997), trombosit dapat dirusak langsung oleh
antibodi antifosfolipid, atau secara tidak langsung melalui ikatannya
dengan (2-glikoprotein I, yang menyebabkan trombosit mudah beragregasi.
Menurut Rand dkk (1997a, 1997b, 1998) fosfolipid pada sel endotel atau
membran sinsitiotrofoblas mungkin dirusak secara langsung oleh antibodi
antifosfolipid atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan (2-
glikoprotein I atau annexin V. Hal ini mencegah sel membran untuk
melindungi sinsitiotrofoblas dan endotel sehingga membran basal terbuka.
Telah diketahui bahwa kerusakan trombosit mengikuti terbukanya membran
basal endotel dan sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus.
Terdapat mekanisme lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan
bahwa antibodi antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator prostaglandin
E2 oleh desidua. Telah digambarkan pula terjadinya penurunan aktivitas
fibrinolitik akibat penghambatan prekalikrein oleh lupus antikoagulan
(Sanfelippo dan Dryna, 1981). Terdapat pula laporan lain mengenai penurunan
aktivitas protein C atau S disertai sedikit peningkatan aktivitas
prothrombin (Ogunyemi dkk, 2001; Zangari dkk, 1997). Amengual dkk (1998)
memberikan bukti bahwa trombosis dengan sindrom antifosfolopid disebabkan
oleh aktivasi jalur faktor jaringan.6
Diagnosis
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11
manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) :
7,10
Eritema fasial (butterfly rash)
Lesi diskoid
Fotosensitivitas
Oral ulcers
Arthritis
Serositis (pleuritis or perikarditis)
Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular
casts)
Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau
limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau
anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
Abnormal ANA titer
PENATALAKSANAAN / REHABILITASI
Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun,
pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang
mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian dapat
memperpanjang remisi dan survival rate.1
Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya.
Penatalaksanan utama adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat
memberikan "istirahat" pada jiwa dan raga, perlindungan dari sinar
matahari (bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi
pencegahan infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat
memperberat penyakit.1
Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat
berhubungan dengan aktivitas penyakit, maka kontrasepsi merupakan bagian
yang penting untuk penanganan pasien SLE. Tampaknya kondom dan diafragma
merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun kurang efektif. 9 Penggunaan
IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko infeksi yang
lebih besar. 6
Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan
cukup baik oleh dialisis dan transplantasi ginjal. 1
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien
sedang mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif. 1 Seperti disebutkan
sebelumnya angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan
preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama apabila terjadi
kelainan ginjal dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk.
Abortus buatan dapat dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya
kehamilan menunjukkan gejala-gejala azotemia, maka kehamilan harus
diakhiri. Dan kehamilan tidak dianjurkan bagi SLE dengan komplikasi ginjal.
11
Prenatal care
Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol kehamilannya
setiap dua minggu pada trimeester pertama dan kedua dan sekali seminggu
pada trimester ketiga. Pada setiap kunjungan harus selalu ditanyakan
tentang tanda dan gejala aktifnya SLE. Darah dan urin sebaiknya diperiksa
juga. 12
Obat-obat antirematik dengan kehamilan
Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian
prednison pada wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada
pengobatan SLE pada kehamilan. Pada umumnya dosis yang digunakan kurang
lebih sama dengan penderita yang tidak hamil. Meskipun telah ditemukan
meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang percobaan, tetapi efek
teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga efek supresi pada
ginjal neonatus sangatlah rendah. Salah satu alasan yang menyebabkan
pemberian prednison cukup aman adalah didapatkannya 11-(-oldehidrogenase
pada plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11- ketoform yang
tidak aktif, dan hanya 10 % yang aktif dan dapat mencapai janin. Efek
glukokortikoid pada ibu diantaranya adalah penambahan berat badan, striae,
acne, hirsutism, supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan.
Kemudian pemberian glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan
intoleransi glukosa. Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid
harus dilakukan skrining untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid
juga menyebabkan retensi air dan natruim yang mungkin menyebabkan
hipertensi yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terganggu. 9,12 Penelitian terbaru mengatakan pemberian glukokortikoid
hanya diberikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh SLE. 12
Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine,
methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan
dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada
keadaan tertentu pada SLE yang sangat berat misalkan pada Progressive
proliferative glomerulonefritis12
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperte
kloroquin dan hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang
cukup berat, dikarenakan ototoksisitasnya. Akan tetapi banyak bayi yang
dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria ternyata normal. 12
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan
dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan kelainan yang
cukup serius. Yaitu dapat menyebabkan kelainan faktor pembekuan darah pada
fetoneonatal. Pemberian aspirin dua minggu sebelum partus dapat menyebabkan
perdarahan intrakranial pada bayi-bayi prematur. Indometasin dilaporkan
berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus. Yang mana bisa
menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh darah
pulmo, gangguan oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan
menurunnya produksi uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal.
Asetaminophen dan codein bisa dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil
dengan SLE. 12
Penanganan obstetrik.
Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE
terutama setelah umur kehamilan > 20 minggu adalah deteksi hipertensi dan
proteinuria. Karena risiko terjadinya insufisiensi uteroplasenter .
Dilakukan pemeriksaan USG setiap 4 – 6 minggu mulai usia kehamilan 18 -20
minggu. Dilakukan NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu dan
pengukuran cairan amnion. Juga ibunya disuruh menghitung gerakan janin
setiap hari. USG dan pemeriksaan kesejahteraan janin harus dilakukan lebih
sering bila didapatkan SLE yang aktif, hipertensi, proteinurin, gangguan
pertumbuhan janin, dan bila didapatkan sindroma antifosfolipid. 9,12
SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan
pemberian steroid sesegera mungkin. Sebaiknya pemberian glukokortikoid
dosis tinggi yaitu hidrokortison 110 mg/IV tiap 8 jam diberikan pada waktu
persalinan dan seksio sesarea pada semua pasien yang mendapatkan pemberian
steroid yang menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya insufisiensi
adreanal yang berat. Diberikan hidrokortison secara intravena 100 mg tiap 8
jam. Kemudian penanganan neonatus yang adekuat diperlukan setelah
persalinan berkaitan dengan neonatal heart block dan manifestasi SLE
lainnya. 12
Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui bayinya
jika memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin jauh lebih besar
dari kerugiannya. Jika janin lahir dengan berat badan rendah (BBRL) dan
ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar, secara
teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin melalui
ASI patut dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan melalui
ASI sangat kecil sehingga kami rasa kekhawatiran tersebut hanya bersifat
teoritis 9,12
Ringkasan
SLE adalah suatu penyakit yang kronis, rekuren, dan dapat menyebabkan
kegagalan multi organ yang cukup menyulitkan untuk mendiagnosa penyakit
ini secara tepat, sehingga diperlukan kombinasi dari manifestasi klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang akurat sangatlah penting karena
dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas baik pada ibu maupun pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala.
Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h:
150-9.
2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik.
3th edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-
8,468-9,650.
3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.
Available
from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic
lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.
4. Lamont DW. Sistemic Lupus Erythematosus. 2001 December 4. Available
from: URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic564. Accessed: 2004
September 17.
5. Lehman TJA. Sistemic Lupus Erythematosus. 2004 August 15. Available:
URL: http://goldscout.com/page2.html. Accesed: 2004 September 17.
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD,
editors. In: Williams obstetrics: medical and surgical complications
in pregnancy. 21st edition. New York, Chicago: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2001. p:1389-1394.
7. National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases.
Sistemic Lupus Erythematosus. 1999 May 7. Available: URL:
http://healthlink.mcw.edu/article/926062834.html. Accesed: 2004
September 17.
8. Nirula A. Sistemic Lupus Erythematosus. 2002 November 11. Available:
URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm.
Accesed: 2004 September 17.
9. Parke AL. Systemic lupus erythematosus, connective tissue disorders,
and the vasculitides. In: Gleicher N, editor. Principles and practice
of medical therapy in pregnancy. 2nd edition. Norwalk, Connecticut,
California: Appleton & Lange; 1992. p: 421-6.
10. Djuanda S. Penyakit jaringan konektif. Dalam: Juanda A, Hamzah M,
Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 3. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia; 1999. h: 242-5.
11. Hudono ST. Penyakit lain-lain. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin BA,
Rachimhadhi T, editor. Ilmu kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 1997. h: 578.
12. Branch WD, Porter TF, autoimune disease. In: DK james, PJ Steer, CP
Wefer, B Gonk, editor.High risk pregnancy, management options. Second
edition.London, W.b saunders.1999. p : 853-864.