I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan
Pemerintah di masa Orde Baru sangat banyak memberikan perhatian pada pembangunan pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung penuh peran tersebut dalam setiap tahap pembangunan pertanian, seperti menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara intensif telah diterapkan sejak REPELITA I pada tahun 70-an dan berhasil memacu produksi cukup tinggi, namun juga menyebabkan menyebabkan merosotnya kualitas dan dan kesuburan lahan. Atas dasar Pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkonsentrasinya pengembangan teknologi pangan pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada ekosistem lainnya seperti pada lahan-lahan kering. Perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan perkebunan skala besar) menjadi sangat sangat kurang. Sebagai Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas tertentu) menjadi sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistemn persawahan. Pada saat teknologi lahan sawah mencapai tahap levelling off, teknologi lahan kering maupun agroekosistem lainnya belum mampu meningkatkan produktifitas tanaman secara signifikan Sama halnya peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Kebijakan pengembangan komoditas pangan yang terfokus pada padi secara monokultur telah mengabaikan mengabaikan potensi pengembangan pengembangan sumberdaya lainnya terutama di lahan-lahan kering. Menurut data BPS tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5 %) adalah lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 %) lahan sawah. Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar
1
daripada lahan basah/sawah yang hanya 7.7 juta ha, dan separuh areal luasannya 3.24 juta ha berada di Jawa (Minardi, 2009). Survei Pertanian-BPS memberikan angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-turut adalah hutan rakyat (16.5%), perkebunan (15.8%), tegalan (15%), ladang (5.7%), padang rumput (4%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14%) dari total lahan kering, sudah barang tentu merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan Selama ini makna tentang agoekosistem lahan kering tidak berkonotasi tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering dalam hal ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah pertanian. Ketiga, Ketiga, dimaknai sebagai sebagai kawasan pertanian pertanian di wilayah hulu dari suatu Daerah Aliran Sungai ( Upland Agriculture) (Notohadiprawiro, 1989). Dalam makalah ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah pada konotasi kedua yaitu wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula didalamnya
karena
merupakan
bagian
integral
dari
sistem
pertanian
agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman perkebunan, sayuran dan peternakan.
1.2 Perumusan Masalah
Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan. Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan pendapatan dan pemerataan pendapatan, dan perluasan tenaga kerja. Bahkan sesungguhnya dimensi keberlanjutan ( sustainability) juga harus menjadi bagian integral dari pembangunan pertanian. Hal ini berlaku umum, termasuk pula pada pembangunan pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.
2
Urgensi Peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan pertanian agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya tidak langsung adalah kaitan kedepan dan kebelakangnya. Kedua, berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan devisa (mengurangi impor). Keempat, realisasi dan komitmen untuk mewujudkan keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa, karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering dominan di wilayah tersebut. Keenam, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pengembangan sistem pertanian terpadu berbasis prinsip konservasi konservasi dan keberlanjutan (Kadekoh, 2010). Melihat peranan lahan lahan kering sangat penting dalam menunjang kegiatan pertanian maka sangat penting pula untuk menelaah yang terkait dengan pengembangannya secara ramah lingkungan, menata pengembangan sumberdaya yang berkelanjutan, kesejahteraan petani serta penciptaan lapangan kerja. Struktur pertanian lahan kering ini umumnya didominasi oleh usaha pertanian yang berskala kecil oleh karenanya sangat membutuhkan sentuhan teknologi tepat guna spesifik lokasi agar terjadi peningkatan nilai tambah. Secara umum pemanfaatan lahan kering baik dataran rendah maupun dataran tinggi telah menerapkan konsep pengembangan pertanian terpadu dimana terdapat komponen pemeliharaan tanaman, komponen pemeliharaan ternak serta penanganan penanganan limbahnya walaupun sering teknologi yang diterapkan masih bersifat tradisional. Pada aspek pemeliharaan pemeliharaan tanaman, tanaman, komponen produksi produksi masih sering dilaporkan rendah, peningkatan bobot ternak misalnya sapi juga rendah yang berkisar 250-350 gram per ekor per hari serta limbah ternak dan tanaman sering tidak dimanfaatkan (Kariada, et. al. 2002). Realita dan permasalahan di atas melatarbelakangi munculnya konsep sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pada optimalisasi potensi sumber daya secara bijaksana dan lebih
3
alamiah
agar
mampu
diberdayakan
secara
berkelanjutan
( sustainable
development ) dengan mengedepankan aspek pengembangan pertanian berjangka
panjang. Konsep pertanian terpadu mengharapkan agar terjadi suatu keseimbangan alamiah yang menekankan pada aspek konservasi sumberdaya, menekan dampak negatif, memelihara keseimbangan lingkungan, meningkatkan efisiensi dengan pemanfaatan/mengembalikan bahan organik ke dalam tanah serta meningkatkan rasa percaya diri petani terhadap profesinya bahwa pertanian adalah sumber pendapatan yang sarat dengan makna kehidupan (Kariada, et. al., 2004).
1.3.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menyajikan : 1.
Analisis pemanfaatan potensi agroekosistem lahan kering.
2.
Konsep pertanian terpadu pada lahan kering.
3.
Strategi pengembangan sistem pertanian terpadu yang ramah lingkungan dengan menekankan pada optimalisasi pemanfataan potensi sumberdaya pertanian lokal pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.
4
II. ANALISIS PEMANFAATAN POTENSI DARI AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI INDONESIA
2.1 Agroekosistem Lahan Kering
Penggunaan istilah lahan kering di Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Sementara menurut
Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas ( upland ) atau lahan yang terdapat terdapat di wilayah kering (kekurangan air) air) yang tergantung pada pada air hujan sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat perluasan areal (2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering dataran rendah, dan lahan kering dataran tinggi. Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai diwilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan (2) lahan kering beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Wilayah pengembangan pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia berdasarkan dua kategori tersebut diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya.
2.2. Pemanfaatan Potensi Lahan Kering
Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan dapat dikembangkan padi gogo, padi legowo, jagung, sorghum, kedele dan palawija lainnya. Ketersediaan lahan ini cukup luas terutama di luar P. Jawa. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7 provinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075 ha) Lampung (802 341 ha), Jawa Barat (184 160 ha), 5
Banten (36 631 ha), NTT (550 075 ha) dan Kalimantan Barat (2 211 632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009). Untuk
pengembangan pengembangan
komoditas
perkebunan, dapat dinyatakan bahwa hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usahatani lahan kering. Kontribusinya terhadap devisa dan pendapatan petani serta dalam penyerapan tenaga kerja sangat berarti bagi pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir ini. Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba, babi, unggas masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi nyata yang revolusioner. Ternak ruminasia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan nonlandbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak
dari lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara usahatani ternak dengan tanaman karet ( rubber ruminat ), ), usaha ternak dibawah pohon kelapa ( coco-beaf ), ), usaha ternak dibawah kebun kelapa sawit ( palm-oilbeef ), ), dan kombinasi tanamn pangan dengan ternak ( Crops Livestock SystemCLS ). ). Usaha ternak ruminansia dengan sistem landbase dilakukan pada padang
penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan IV yang banyak terdapat di KTI. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering seperti NTB, NTT dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan. Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem usahatani lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al., 2004). Menurut Arsana et al., (2004) dengan rata-rata kepemilikan lahan 50 are,
6
pendapatan rumah tangga petani di NTT yang mengusahakan diversifikasi usahatani di lahan kering mencapai Rp 3.24 juta. Kontribusi pendapatan dari usahatani tumpangsari kacang tanah dan ubi kayu pada MK II 31.4%, ternak sapi 25.5 %, kelapa dan kopi 19.9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan usahatani padi pada MK 6.2%. Terlihat bahwa peran sapi cukup tinggi. Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan ruminasia dilahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran padat segar ( feces) rata-rata 7.5 ton per tahun yang mengandung sekitar 15 kg N, 15 kh P2O5 dan 20kg K2O (Hasnudi dan Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara, kotoran ternak mampu memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pengembangan Pengembangan
peternakan
dilahan
kering
membutuhkan hijauan pakan. Tanaman Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa) dan ada pepohonan. Tanaman rerumputan dapat ditanam di lahan-lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui rhizobium yang terdapat pada bintil akar.
7
III. KONSEP PERTANIAN TERPADU PADA LAHAN KERING
3.1
Konsep Pertanian Terpadu
Sistem pertanian lahan kering pada umumnya belum dipahami secara mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta keterbatasan sentuhan teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem usahatani yang ada masih terbatas. Kerusakan fungsi lahan sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Sementara itu pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marjinal ditandai dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan terbatas serta terbatasnya pelaksanaan konservasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin et al., dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah masalah klasik di kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal, terencana dan berkelanjutan. Teknologi sepadan diperlukan untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering baik bagi lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang dipandang tepat adalah teknologi yang berasaskan intergrated farming system (pertanian terpadu) yaitu suatu sistem pertanian yang
efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan. Pengertian usahatani integrasi menurut Suwandi dalam Kariada (2004) adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara optimal dan terpadu lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen usahatani pangan, palawija, hortikultura, hortikultura,
ternak, dan dan ikan selama selama setahun. setahun. Sedangkan Sedangkan usahatani usahatani
tidak terintegrasi hanya dengan satu komoditas selama setahun. Sistem Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan
8
produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian ini. Solusi yang dapat diberikan kepada petani untuk mengatasi kelemahan revolusi hijau menurut Artaji (2011) adalah pengelolaan usahatani dengan model intergrated farming system yang mencakup:
(1) Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll. Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, (2) Integrated Nutrient
yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam jumlah yang tepat dan tanaman tanaman dapat berproduksi berproduksi optimal. (3) Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati, perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan serangan hama/penyakit. (4) Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih lainnya dalam sistem vertigasi. (5) Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada hubungan hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan. (6) Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien
(zero
waste
management).
9
Rural Industries Industr ies Research and Development Corporation (RIRDC) (2002)
menyebut sistem usahatani integrasi dengan bio-cyclo farming atau integrated biosystems yang didefinisikan sebagai sistem yang menghubungkan beberapa
aktivitas produksi pangan yang berbeda, dengan aktivitas lain seperti pengolahan limbah dan pembuatan bahan bakar. Integrated biosystems adalah sistem pertanian dimana produksi dan konsumsi berlangsung pada suatu siklus tertutup, output
dari
suatu
operasi
menjadi
input
untuk
yang
lainnya
secara
berkesinambungan. berkesinambungan. Sistem ini memungkinkan adanya hubungan fungsional antara aktivitas produksi pangan yang berbeda, seperti pertanian, perikanan, dan industri pangan, dengan aktivitas lainnya seperti pengelolaan limbah, penggunaan air dan degenerasi bahan bakar. Pangan, pupuk, pakan ternak dan bahan bakar dapat diproduksi dengan input atau sumberdaya minimum, seperti yang terlihat pada bagan aliran bahan dalam sistem pertanian terpadu berikut (Gambar 1).
Gambar 1. Aliran Bahan Dalam Sistem Pertanian Terpadu
Salah
satu
bentuk
pertanian
terpadu
yang
telah
dilakukan
pada
agroekosistem lahan kering di Indonesia adalah integrasi tanaman-ternak (ITT) atau pola Crop-Livestock System (CLS) dan integrasi tanaman-ternak-ikan (ITTI). Semua integrasi tersebut termasuk dalam model pertanian terpadu dalam satu
10
siklus biologi (Integrated Bio Cycle Farming) karena tidak ada limbah terbuang, semua bermanfaat. Tanaman dapat berupa tanaman pangan atau tanaman perkebunan yang kemudian diintegrasikan dengan ternak sapi, domba, kambing, dan berbagai jenis ikan. Memadukan tanaman, ternak dan ikan pada sistem Integrated Bio Cycle Farming mempunyai kelebihan ditinjau dari ekologi dan ekonomi. Ditinjau dari
ekologi Sistem pertanian terpadu bersifat produktif dan menguntungkan karena melaksanakan daur ulang secara intensif. Limbah dari satu kegiatan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara kegiatan yang lain. Selain itu ikan merupakan sumber protein hewani hewani untuk rumah tangga petani (Sutanto (Sutanto 2002). 2002).
Limbah
pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri terkonsep dengan jelas. Sistem ini secara kondusif telah melaksanakan konservasi sumberdaya alam, karena mendorong stabilitas habitat dan keanekaragaman kehidupan alami di lingkungan pertanian dan sekitarnya. Sistem terpadu ini mengoptimumkan mengoptimumkan penggunaan sumberdaya yang berasal dari usahatani itu sendiri maupun yang ada di sekitarnya, dan mendorong konservasi habitat daripada merusaknya. Adapun keuntungan atau manfaat ekonomi atas penyelenggaraan usahatani terpadu terpadu bagi petani dan keluarga adalah adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan Menyediakan kebutuhan pangan dan gizi yang bervariasi bervariasi bagi keluarga petani. 2. Memberikan pendapatan yang tidak tergantung kepada musim. Pendapatan itu dapat diperoleh secara bersinambung dari waktu ke waktu dengan jarak yang tidak begitu lama. Hasil pertanian dan perikanan diharapkan mampu mencukupi kehidupan jangka pendek, sedangkan hasil peternakan dan perkebunan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan jangka menengah Selain itu usahatani tersebut dapat mengurangi resiko kegagalan hasil. 3. Mengefektifkan
tenaga
kerja
keluarga.
Dengan
usahatani
integrasi
pengangguran tak kentara dapat dihindarkan dan produktivitas tenaga kerja keluarga dapat ditingkatkan. 4. Usahatani integrasi juga dapat meningkatkan produktivitas penggunaan lahan dan modal, serta menjaga kelestarian alam. Dengan usahatani integrasi
11
kesuburan lahan akan dapat dipertahankan, berkat tersedianya pupuk kandang yang dihasilkan hewan ternak. Konsep terapan sistem Integrated Bio Cycle Farming akan menghasilkan langkah pengamanan terhadap ketahanan dan ketersediaan ketersediaan pangan dan energi secara regional regional maupun nasional nasional yang yang tercakup dalam F4 (Artaji, 2011), yaitu : (1) F1 (FOOD); Pangan manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan, jamur, sayuran, dll.), produk peternakan (daging, susu, telor, dll.), produk budi-daya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurame, dll.) dan hasil perkebunan (salak, kayumanis, sirsak, dll.) (2) F2 (FEED); Pakan ternak termasuk di dalamnya ternak ruminansia (sapi, kambing, kerbau, kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll.), pakan ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi). Dari budidaya tanaman padi akan dihasilkan produk utama beras dan produk sampingan bekatul, sekam padi, jerami dan kawul, semua produk sampingan apabila diproses lanjut masih mempunyai kegunaan dan nilai ekonomis yang layak kelola. Jerami dan malai kosong (kawul) dapat disimpan sebagai hay (bahan pakan kering) untuk ternak ruminansia atau dibuat silage (makanan hijau terfermentasi), sedangkan bekatul sudah tidak asing lagi sebagai bahan pencampur pakan ternak (ruminansia, unggas dan ikan). Pakan ternak ini berupa pakan hijauan dari tanaman pagar, azolla, dan eceng gondok. (3) F3 (FUEL); Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas (bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industri kecil. Hasil akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk organik cair dan kompos. Pemakaian tenaga langsung lembu untuk penarik pedati, kerbau untuk mengolah lahan pertanian sebenarnya adalah produk berbentuk fuel/energi. Sekam padi dapat dikonversi menjadi energi (pembakaran langsung maupun gasifikasi) dan masih akan menghasilkan abu maupun arang sekam yang dapat diimplementasikan sebagai pupuk organic, sementara apabila energi
12
sekam padi digunakan untuk gas diesel engine akan didapatkan lagi hasil sampingan berupa asap cair (cuka kayu) yang dapat digunakan untuk pengewet pengewet makanan atau campuran pestisida organik. (4) F4 (FERTILIZER); Sisa produk pertanian melalui proses decomposer decomposer maupun pirolisis akan menghasilkan organic fertilizer dengan berbagai kandungan organic fertilizer bukan unsur hara dan C-organik yang relative tinggi. Bio/ organic
hanya sebagai penyubur tetapi juga sebagai perawat tanah (soil conditioner), yang dari sisi keekonomisan maupun karakter hasil produknya tidak kalah dengan pupuk buatan (anorganik fertilizer) bahkan pada kondisi tertentu akan dihasil-kan bio pestisida (dari asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis gasifikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (bio preservative). Pola CLS antara tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Dalam sistem ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya sebagai komponen kedua. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra, hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningk atkan
hasil
ternak,
menurunka n
biaya peny penyia iang ngan an
dan dan
mempermudah pengumpulan hasil perkebunan. (Moningka et al ., 1993 dalam Kariada, 2004) menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain : (1) Tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress karena panas; (2) Meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke dalam tanah; (3) Meningkatkan kualitas pakan ternak dan membatasi pertumbuhan gulma; (4) Mengurangi penggunaan herbisida; (5) Meningkatkan hasil tanaman
perkebunan
dan
(6)
Meningkatkan
keuntungan
ekonomis
termasuk hasil ternaknya
13
IV. STRATEGI DAN LANGKAH OPERASIONAL
4.1
Pengembangan Konsep Integrasi Ternak dan Tanaman (ITT)
Pengembangan Pengembangan pertanian berwawasan berwawasan lingkungan lingkungan di pedesaan pedesaan mempunyai sasaran
untuk
meningkatkan
pemberdayaan, pemberdayaan, kapasitas, kapasitas,
pendapatan
dan
kesejahteraan
masyarakat,
kemandirian dan dan akses masyarakat pertanian dalam dalam
pembangunan pembangunan berkelanjutan. berkelanjutan. Langkah-langkah Langkah-langkah yang diperlukan adalah melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, efisiensi pemanfaatan input serta pengembangan
potensi
sumberdaya
lokal.
Indikator
tercapainya
sasaran
pengembangan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan antara lain dicirikan oleh: 1. Petani mampu akses langsung dengan teknologi spesifik lokasi yang diintroduksikan oleh berbagai pihak, baik peneliti maupun instansi lainnya. l ainnya. 2. Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok tani mandiri yang selalu menyuarakan menyuarakan konsep ramah lingkungan. 3. Aktivitas para petani/kelompok tani berkelanjutan walaupun dengan binaan yang sangat minimal. 4. Para petani mengerti dan menyadari untuk berproduksi sehat dan berkualitas dengan standard yang telah ditetapkan untuk menjamin daya saing yang akan berhadapan dengan perdagangan bebas. 5. Para petani mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan input dan peningkatan produktivitas yang ramah lingkungan melalui kreativitas kelompok tani. 6. Meningkatnya produktivitas lahan serta menurunnya intensitas serangan OPT dan penyakit. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam suatu zona agroekologi lahan kering tertentu dapat diciptakan suatu aktivitas terpadu yang mampu menciptakan suatu sistem sistem holistic yang yang saling memberikan peningkatan peningkatan nilai nilai tambah. Pada lahan-lahan kering secara umum para petani telah memiliki ternak baik ternak sapi, kambing, ayam maupun babi serta mengelola usaha pertanian walaupun dalam skala kecil. Dalam kegiatan yang bersifat holistik maka ada langkah-
14
langkah
operasional
introduksi
teknologi
yang
mampu
meningkatkan
produktivitas, efisiensi dan partisipasi para petani. Dalam sistem ini terdapat beberapa aspek penting dalam pelaksanaannya yaitu : (a) meningkatkan produktivitas pada aspek peternakan, (b) meningkatkan produktivitas pada aspek tanaman, (c) meningkatkan efisiensi inputan/saprodi, (d) meningkatkan daya dukung tanah dan air, (e) serta secara simultan membenahi teknologi introduksi melalui berbagai kajian-kajian kajian-kajian kecil yang mampu mendukung aktivitas integrasi. Beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan meliputi; (1) peningkatan produktivitas Ternak (Sapi); (2) melakukan pengolahan limbah ternak dan tanaman menjadi pupuk organik; (3) melakukan introduksi pupuk organik dalam meningkatkan produktivitas tanaman; (4) dan melakukan pemberdayaan sumberdaya air melalui pembangunan bak-bak penampung air hujan (embung)
4.1.1
Meningkatkan Produktivitas Ternak (Sapi)
Dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi maka pemilihan bibit sapi menjadi prioritas terutama untuk sapi penggemukan perlu memilih bibit yang sudah besar dengan berat awal awal rata-rata 250 s/d 300 kg. Bibit sapi yang yang besar akan lebih cepat peningkatan bobotnya bila dibandingkan dengan sapi yang lebih kecil. Beberapa hasil pengkajian introduksi teknologi bioplus (bio-cas 5 cc/ekor/hari, HMT 10% dari bobot sapi serta pakan penguat dedak 2 kg/ekor/hari) menunjukkan bahwa rata-rata rata-rata PBB sapi sapi yang berat berat awalnya
300 kg mampu mampu
meningkat mencapai rata-rata 0.640 kg/ekor/hari pada sapi Bali (Kariada, et. al., 2004), sementara pada sapi Ongole sebesar s ebesar 0,90 kg/hari/ekor (Herry, et al.; 1996). Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan penguat pada sapi ternyata t ernyata mampu menghasilkan peningkatan bobot secara , menyatakan hal ini disebabkan karena pakan penguat nyata. Parwati et al. (1999) ,
atau konsentrat lebih banyak mengandung karbohidrat sederhana dan lebih sedikit kandungan serat kasarnya sehingga penambahan konsentrat akan meningkatkan nilai cerna keseluruhan keseluruhan pakan (Blakely (Blakely and Bade, 1998). Meningkatnya PBB sapi pada pemberian probiotik disebabkan karena Biocas mengandung mikrobamikroba yang dapat membantu memecahkan karbohidrat kompleks menjadi
15
senyawa – senyawa senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh saluran pencernaan sapi (Guntoro et al., 2001).
Probiotik merupakan kumpulan
mikroorganisme yang mampu menguraikan bahan-bahan organik komplek pada pakan menjadi bahan organik sederhana sehingga mempermudah diserap oleh saluran pencernaan kedalam tubuh sebagai bahan sari-sari makanan untuk membangun tubuh dengan sempurna.
Gambar 2. Peternakan Sapi pada Sistem Integrated Bio Cycle Cycle Farming
Selain memperhatikan kondisi pakan ternak (HMT segar, HMT olahan, pakan penguat dan probiotik), maka faktor kesehatan ternak juga memegang peranan yang yang sangat penting dalam peningkatan peningkat an bobot sapi. Pada
umumnya
pemeliharaan ternak secara tradisional belum memperhatikan tentang kesehatan hewan. Kesehatan hewan baru mendapatkan mendapatkan perhatian perhatian saat hewan tersebut sudah sakit, dan hal ini biasanya terlambat untuk mendapatkan penanganan, dan hal ini akan berakibat fatal bagi peternak.
4.1.2
Pengolahan Limbah Ternak dan Tanaman menjadi Pupuk Organik
Pada umumnya para petani di pedesaan meliliki ternak sapi berkisar 2-3 ekor/KK. Kotoran sapi yang bercampur sisa-sisa pakan ataupun limbah organik lainnya dapat dijadikan pupuk organik dengan prosesor cacing untuk pembuatan pupuk kascing. Dengan pembuatan pupuk kascing ini di tingkat petani dan
16
merupakan kegiatan rutin maka para petani akan selalu memiliki stok pupuk organik sehingga tidak pernah tergantung tergantung pada gejolak harga pupuk pupuk an-organik di tingkat pasar. pasar.
Hal ini merupakan merupakan suatu kekuatan kekuatan selain menekan biaya biaya input
sehingga terjadi terjadi efisiensi tinggi juga secara secara simultan dapat menekan menekan pemanfaatan pupuk anorganik. Pada proses pembuatan pupuk organik kascing diperlukan beberapa langkah mulai dari persiapan hingga pelaksanaan dan panen (Gambar 2). Dalam pelaksanaannya diperlukan : (a) bak prosesing beratap, (b) cacing, (c) bahanbahan dasar yang diproses yaitu limbah ternak sapi dan limbah tanaman/ sayuran, sebagai sumber sumber makanan cacing, cacing, (d) sumber air air untuk menjaga kelembaban, (e) (e) Menjaga agar tidak dimakan semut. semut.
Proses ini sangat sangat sederhana sederhana dan dapat dapat
dilakukan dengan baik oleh para petani. p etani. Dalam tahap awal bahan-bahan mentah seperti limbah ternak dan limbah tanaman dimasukkan ke dalam bak penampungan dengan luas bangunan yang bervariasi sesuai banyaknya limbah ternak. Untuk kepemilikan sapi 3 ekor sapi dapat dibuat dibuat bak penampungan penampungan yang beratap beratap dengan luas luas 3 x 4 m dan diberi dinding batako 2 susun agar kompos dapat dikumpulkan untuk diproses hingga panen selama sekitar sekitar 30 hari.
Adapun proses tersebut tersebut seperti terlihat pada
Diberikan cacing
Limbah ternak dan tanaman
Pupuk kascing siap
Gambar 3 berikut. Gambar 3. Proses Pembuatan Pupuk Kascing.
17
Komposisi nutrisi pupuk organic kascing dapat diketahui dengan melakukan analisis kimia, seperti hasil analisis kimia pupuk kascing dari daerah Tabanan berikut (Tabel 1) (Kariada et al., 2004) Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dan dan pupuk kompos di dusun dusun Pemuteran Candikuning Baturiti Tabanan No. 1 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian
Analisis kascing
PH C-org (%) N-Total (%) P Tersedia (ppm) K Tersedia (ppm) Kadar Air (%)
9.45 (A) 17.64 (ST) 0.70 (T) 624.25 (ST) 11.842.40 (ST) 13.18 (KU)
Keterangan : Tekstur : pasir berlempung A = alkalis, T = tinggi, ST = sangat tinggi, KU = kering udara, R = rendah, S = sedang, AM = agak masam.
Data di atas menunjukkan bahwa bahwa kadar nutrient pupuk pupuk organic kascing kascing adalah sangat baik apabila diaplikan ke dalam tanah akan mampu meningkatkan pH tanah serta mampu melepaskan beberapa unsure-unsur nutrisi yang terjerap, misalnya Al-P. Sementara menurut menurut Kartini (1999) kandungan kandungan unsure hara pupuk pupuk kascing adalah N (1.99%), P (3.92%), K (0.69 %), S (0.92%), Cu (0.045 %) dan Fe (0.081 %) serta mengandung zat tumbuh (Auksin) yang mampu merangsang pertumbuhan akar dengan dengan baik.
Dengan kondisi kondisi seperti seperti maka pupuk pupuk kascing kascing
sangat baik diaplikasikan pada tanam-tanaman pangan maupun perkebunan.
4.1.3
Introduksi Pupuk Organik Dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman
Beberapa kajian introduksi pupuk organic kascing pada tanaman telah dilaporkan mampu meningkatkan hasil secara secara nyata.
Data beberapa beberapa produksi tanaman tanaman
sayuran yang yang dikompilasi dikompilasi sejak tahun tahun 2000 menunjukkan sebagai berikut (Tabel 2) (Kariada et. al. 2000)
18
Tabel 2. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Jumlah dan Lebar Daun, Diameter Batang dan Bobot Tanaman Sawi pada Umur 16 HST. Cara Pemberian Perlakuan *) P0 =cara petani P1 = Fine compost P2 = Kastcing P3 = ½ P0 + ½ P1 P4 = ½ P0 + ½ P2
Tinggi tanaman (cm) 28.23
Jumlah daun (helai) 6.34
Lebar daun (cm) 9.47
Diameter batang (cm) 0.64
Bobot tanaman (gram) 57.26
37.63
7.34
12.59
0.84
105.16
235.11 d
44.41
9.34
14.81
1.12
125.36
280.88 e
31.34
6.38
10.36
0.63
80.42
170.14 b
33.20
7.56
11.10
0.82
93.78
210.07 c
Produksi (kg/are) 128.26 a
Tingginya hasil yang ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kascing diakibatkan oleh komposisi unsur hara yang dikandung oleh pupuk kascing cukup baik (Tabel 1). Unsur hara yang dikandung dikandung ini sangat sangat sesuai dengan dengan kebutuhan tanaman sayuran yang membutuhkan kation-kation makro maupun mikro seperti di atas. Komposisi unsur unsur yang dikandungnya dikandungnya pun sangat berimbang berimbang sehingga ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi diabsorpsi oleh akar pada pada fase generatif generatif akan terpenuhi terutama pada saat fase-fase absorpsi nitrogen dalam pembentukan akar, batang dan daun (Soepardi dalam Kariada et. al. 2000). Sementara pada pemberian pupuk anorganik (NPK) justru memperlambat ketersediaan unsur hara akibat dari sifat fisik tanah di lokasi lahan l ahan kering tersebut teksturnya berpasir yang berarti aerasinya aerasinya sangat baik. baik.
Pupuk kimia Nitrogen akan mudah mengalami mengalami
pencucian, demikian pula P dan K akan menjadi tidak berimbang karena faktor N yang berkurang Beberapa data pengkajian yang dilakukan di tempat lain seperti di lahan kering daerah pinggiran perkotaan tentang pengkajian pupuk organic kascing terhadap sifat fisik tanah dengan komoditi kacang panjang menunjukkan terjadinya peningkatan pH tanah, C-organik dan produksi (Tabel 3) (Kariada et al., 2004).
19
Tabel 3. Pengaruh Beberapa Perlakuan Pupuk Pupuk Organik Kascing terhadap pH Tanah, C-Org. Tanah dan Produksi Kacang Panjang Dibandingkan dengan Perlakuan NPK Dosis (kg/Ha)
C-Organik Tanah (%)
pH Tanah
Produksi (T/Ha)
Pupuk Kascing 0 2500 5000 7500
6.01 6.20 6.33 6.51
1.20 1.29 1.42 1.67
2.42 4.32 4.76 4.73
100
6.02
1.14
2.45
Pupuk NPK
Dari data tersebut di atas ternyata perlakuan pupuk organik kascing memberikan perbaikan terhadap sifat fisik tanah dimana pH dan C-Organik tanah tertinggi diperoleh pada dosis 7.500 kg/ha masing-masing 6.51 dan 1.67% sementara bila dibandingkan dibandingkan dengan dengan perlakuan perlakuan pupuk pupuk kimiawi
dengan dosis dosis
anjuran hanya hanya mampu menghasilkan menghasilkan pH pH 6.02 dan dan C-org tanah 1.14%. 1.14%. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organic kascing mampu memperbaiki sifat f isik tanah. Pengaruh perlakuan pupuk organik kascing dan kombinasinya dengan NPK pada tanaman cabai merah menunjukkan bahwa jumlah buah yang dihasilkan oleh perlakuan kascing menunjukkan jumlah terbanyak (Tabel 4) (Kariada, et. al. 2000). Hal ini diakibatkan oleh selain pupuk kascing mampu memperbaiki struktur tanah, pupuk ini juga ditengarai mengandung zat tumbuh auksin, giberelin dan sitokinin (Anonim, 1999). Tabel 4.
Rata-rata Jumlah Jumlah Buah Cabai per Tanaman di Desa Tonja, Kota Denpasar Perlakuan
P0 (Kontrol) P1 (Fine Compost) P2 (Kascing) P3 (1/2 P0 + 1/2 P1) P3 (1/2 P0 + 1/2 P2)
Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Tanaman (buah) 91.20 128.90 140.56 114.00 117.10
Sementara itu, data-data pengkajian pupuk organic kascing pada bawang merah di daerah pinggiran perkotaan menunjukkan bahwa
perlakuan pupuk Kascing Kascing
20
dengan dosis 5 ton/Ha memberikan rata-rata hasil yang terbaik untuk seluruh parameter pengukuran. Produksi yang dicapai mencapai 15.07 ton/Ha (Tabel 5) (Kariada, 2003). Tabel 5. Rata-rata Tinggi dan Jumlah Jumlah Umbi Tanaman Bawang Merah Var. Philippina. Perlakuan
P1 (Cara petani) P2. (NPK 10050-50) P3 (Pukan babi 5 t/Ha) P4 (Kascing 5 t/Ha)
4.1.4
Rata-rata tinggi (cm) 33.45 34.75
Jumlah Umbi per rumpun 9.15 10.35
35.50
10.65
11.28
39.35
10.50
15.07
Produksi (kg/Ha)
10.69 10.80
Pemberdayaan Sumberdaya Air Melalui Pembangunan Bak-bak Penampung Air Hujan (Embung)
Dengan mengambil contoh pada pengembangan teknologi integrasi pada lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Kecamatan Baturiti Tabanan Bali, maka diperoleh diperoleh data-data monografi monografi wilayah yang menunjukkan bahwa bahwa terjadi musim kemarau selama selama 5 bulan mulai dari bulan Juli hingga Nopember. Dampak yang ditimbulkannya ditimbulkannya adalah banyak petani menjual ternaknya pada bulan-bulan tersebut walaupun belum siap dijual dengan alasan kesulitan pakan baik yang bersumber dari rumput-rumputan (HMT) maupun dari limbah sayuran serta tidak melakukan budidaya sayuran. Untuk mengantisipasi kesulitan air, para petani menampung air dalam bak penampungan yang digunakan untuk kebutuhan sapi, mengoptimalkan mengoptimalkan hijauan maupun sayuran sayuran yang berasal berasal dari limpasan curah hujan. Tabel 6, Gambar Gambar 4 dan 5 berikut menunjukkan menunjukkan keadaan keadaan curah hujan hujan di wilayah tersebut.
21
Tabel 6. Rata-rata curah hujan per bulan di Baturiti Tabanan selama 5 tahun (1998 -2002) Tahun
1998 1999 2000 2001 2002 Ratarata
Total curah hujan (mm) Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des Total 378 580 483 318 153 152 161 57 345 222 480 399 3728 316 402 441 563 103 65,9 109 65,5 11,2 495 661 369 3602, 4 993 851 982 - 411 83,8 34,2 94,9 10,2 178 630 107 4374, 9 613 218 377 344 111 91,9 21 10,1 13,7 88,3 4 101 1993, 1 151 738 340 293 54.6 15,1 23,1 25,8 42,1 - 176 508 2366, 9 490 558 525 380 166 82 70 51 84 197 390 297 3213
mm/bln 600
558 525
500
490 390
380
400
297 300 197
166
200 100
84
82
70
Juni
Juli
51
0
Jan
Feb
M ar
Apr
M ei
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Bulan
Gambar 4. Rata-rata Curah Hujan Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Baturiti Tabanan
JHH/bln 25 20
19
20
20 16
16
17
15 11
11
11 8
10
7
8
5 0
Jan
Feb
Mar
Ap prr
Mei
Jun
Jul
Ag gs s
Sep
Okt
Nop
Des
Bulan
Gambar 5. Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamtan Baturiti Tabanan
Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 7. Nampak bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran
22
serta memelihara memelihara ternak sapi potong pada bulan-bulan bulan-bulan kering tersebut. tersebut. Hal ini mengindikasikan mengindikasikan pentingnya menyimpan air dalam embung. Tabel 7.
Rata-rata hari hujan per bulan di Baturiti selama selama 5 tahun (1998 2002). Jan
Feb
Total hari hari hujan hujan (hari/bulan) Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop
1998
16
20
20
15
11
13
11
8
11
16
18
11
170
1999 2000 2001 2002 Ratarata
19 18 20 24
20 21 26 15
20 23 16 19
20 12 18
6 19 13 8
8 12 18 5
9 6 4 9
8 5 7 6
6 2 13 9
14 10 14 0
18 21 7 17
22 12 19 21
170 149 169 151
19
20
20
16
11
11
8
7
8
11
16
17
162
Tahun
Des
Total
Beberapa pengkajian pengelolaan sumberdaya air menunjukkan bahwa penampungan air limpasan hujan dapat diberdayakan untuk keperluan ternak dan tanaman hingga perioda 6 bulan tergantung besarnya penampuangan air yang dibuat. Menurut hasil penelitian pemanfaatan embung yang dilakukan oleh Suprapto, et al. (2000) di Desa Patas Buleleng menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas usahatani di musim kemarau dengan indeks penanaman yang meningkat pada tanaman-tanaman jagung, sayuran, padi gogo, kacang tanah dan lain-lainnya yang berkisar 0.25 – 0.30 ha per petani dan pendapatan petani meningkat sekitar 11.9%. Oleh karena itu air yang ditampung ditampung dalam embung embung akan memberikan nilai tambah yang cukup baik. Embung memiliki peran penting karena berfungsi sebagai depot air yang bisa dimanfaatkan pada saat tanaman membutuhkan air, selain juga bermanfaat untuk ternak dan dan kebutuhan sehari-hari. sehari-hari. Melihat besarnya manfaat manfaat embung maka pengembangan pengembangan teknologi embung embung pada pada daerah-daerah daerah-daerah lahan kering di Baturiti sangatlah bermanfaat, dengan melihat daya dukung daerah masing-masing. Berdasarkan potensi seperti ini maka upaya-upaya dalam membangun embung permanen dalam skala rumah tangga akan mampu digunakan lebih baik untuk kebutuhan ternak, prosesing pupuk organik kascing maupun untuk tanaman bernilai tambah tinggi seperti kentang, cabai, bawang dan lainnya (Gambar 6).
23
Gambar 6. Embung sebagai Penampungan air (Model Embung Permanent). Permanent).
Dengan introduksi embung permanen maka intensitas tanam sayuran dapat dilakukan secara berlanjut pada saat musim kemarau tiba. Pembangunan Pembangunan embungembung penyimpan air skala rumah tangga adalah strategis karena tidak membutuhkan
biaya
besar
dan
diharapkan
dapat
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan daya dukung lahan dalam kegiatan usahatani sehingga akan dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga tenaga kerja dan pendapatan pendapatan petani. Beberapa tulisan tentang pentingnya peran embung sebagai bak penampung air dapat dilaporkan seperti seperti pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Pemanfaatan Embung untuk Tujuan Pertanian di beberapa Daerah Sasaran/Topik Lahan kering dataran rendah
Lokasi Grokgak Buleleng Bali
Lahan kering dataran tinggi
Baturiti Tabanan Bali
Lahan sawah tadah hujan Embung : kolam penampung air serbaguna Embung : sumber air lahan kering Cubang : rumah penampung air
Pati, Cilacap Rembang Jateng -
Kintamani, Bangli, Bali
Kepentingan SUT terpadu : konservasi tanah dan air, tanaman (pola tanam), ternak. SUT terpadu : konservasi tanah dan air, tanaman, ternak Budidaya tanaman pangan (pola tanam) Diseminasi teknologi embung
Diseminasi teknologi embung Integrasi tanaman dan ternak
Referensi Suprapto, et al., 2000,2001
Kariada, et al., 2002 Mulyadi dan Suprapto, 2000 Syamsiah, et al., 1994 Retno., 1994 Dresta, 2003.
24
Dengan kondisi seperti di atas, maka dalam pengembangan pertanian lahan kering dibutuhkan adanya konsep integrasi ternak sapi potong dan sayuran serta aspek konservasi sumberdaya air dan tanah melalui penanaman tanaman pakan ternak sehingga sekaligus sebagai sebagai pelindung tanah dan sumber HMT ternak (Gambar 7).
Gambar 7. Konservasi Lahan Menggunakan Penanaman Rumput Gajah pada Setiap Galengan Lahan.
4.2 Pengembangan Konsep Integrasi Tanaman, Ternak dan Ikan (ITTI)
Dalam makalah ini, makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula di dalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian agroekosistem lahan kering. Salah satu konsep penerapan pertanian terpadu yang dapat meningkatkan pendapatan usahatani sawah irigasi adalah konsep integrasi tanaman padi, perikanan dan peternakan (integrasi Padi, Ikan, Itik, Azolla dan Sapi),
integrasi
ini
disamping
mendatangkan
pendapatan
sampingan,
penggabungan usaha tani terpadu yang berpijak pada pemanfaatan hubungan saling menguntungan antara satu sama lain ini (simbiosis mutualisme), juga memberikan dampak lingkungan yang positif bagi pertanian berkelanjutan.
25
Bentuk integrasi tanaman padi, ikan, itik, azolla dan sapi baru bisa dilaksanakan pada sawah yang airnya lancar. Ketersediaan air yang cukup lancar tersedia untuk mengairi usahatani lahan sawah irigasi diagroekosistem lahan kering ini adalah syarat mutlak bisa dilakukannya usahatani terpadu ITTI. Sistem pengelolaan dengan mengintegrasikan tanaman padi, itik, ikan, azolla dan sapi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi, meningkatkan pendapatan petani dari hasil samping pemeliharaan sapi, itik, dan ikan, menekan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida anorganik, menyediakan pakan sapi dari limbah pertanian (jerami padi), menyediakan pakan ikan dan itik dari azolla, menyediakan pupuk organik dari limbah sapi dan biogas untuk energi alternatif bagi petani. Penggabungan beberapa jenis komoditas dalam ekosistem sawah irigasi yang memiliki hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) ini tidak hanya memberikan keuntungan pada ekosistem itu sendiri, namun juga keuntungan bagi petani yang mengusahakannya, yaitu : dapat meningkatkan pendapatan
dan
pemenuhan
karbohidrat
serta
protein
hewani.
Dengan
mengusahakan padi, sekaligus ikan, azolla, bebek dan itik ini tentu saja memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan bila kita hanya mengusahakan mengusahakan satu komoditas saja. Pengusahaan tanaman padi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan semata namun juga untuk memenuhi kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat. Sedangkan adanya ikan dan bebek ini secara langsung maupun
tidak
langsung
akan
menjadi
sumber
protein
hewani.
Karena dengan adanya kotoran yang berasal dari bebek, sapi serta ikan menjadi pupuk organik yang selain dibutuhkan tanaman padi, juga dapat memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanahnya. Kotoran yang dihasilkan oleh bebek maupun sapi dapat dimanfaatkan sebagai media makanan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang menjadi makanan alami ikan. Sedangkan perilaku bebek dan ikan yang suka mengaduk-aduk tanah dalam mencari makanan dapat menyebabkan menyebabkan struktur tanah t anah sawah menjadi lebih baik.
26
Tidak semua lokasi bisa menerapkan usaha integrasi ini karena selain memerlukan penanganan lebih intensif juga harus memenuhi beberapa kondisi tertentu. Karena dalam penanaman padi ini juga mengikut sertakan ternak ikan, maka sistem penanamannya pun harus memberikan keleluasan bagi ikan maupun pertumbuhan azolla itu sendiri. Jadi, dalam hal ini budidaya minapadi-azolla sangat dianjurkan menggunakan cara tanam sistem legowo. Teknologi legowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak anam antar rumpun dan antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar jarak antar barisan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir dari pertanaman yang memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir ( border effect ) seperti yang terlihat pada Gambar 8 (Anonim, 2010).
Gambar 8. Teknologi Legowo dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak Ikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumpun padi yang berada di barisan pinggir hasilnya 1.5 – 1.5 – 2 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan produksi rumpun padi yang berada di bagian dalam (Anonim, 2010). Cara tanam legowo ini tidak lain adalah merupakan upaya rekayasa ruang tumbuh menjadi barisan tanaman pinggir yang diharapkan dapat meningkatkan produksi padi. Adanya ruang antar baris tanaman yang lebih lebar tentu saja memberikan perkembangan perkembangan ikan dan tanaman azolla tumbuh secara baik. Selain untuk tujuan tersebut, penggunaan cara legowo akan mempermudah bagi kita dalam pemeliharaan ikan, azolla serta tanaman padi itu sendiri.
27
Azola adalah sejenis tumbuhan paku air biasa ditemukan di perairan tenang seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Para petani biasanya menganggap azola sebagai gulma atau limbah pertanian. Azola termasuk ordo Salviniales, famili Azollaceae, dan terdiri atas enam spesies, yaitu : A. filiculoides, A. caroliana, A. mexicua, a. microphylla, A. pinnata, dan A. nilotica. Spesies yang banyak di Indonesia terutama di pulau Jawa adalah A. pinnata, dan biasa tumbuh bersama-sama padi (Gambar 9). Azola dapat digunakan sebagai salah satu sumber protein nabati penyusun ransum ikan dan itik, karena mengandung protein yang cukup tinggi. Azola mengandung protein kasar 2430%, kalsium 0.4-1%, fosfor 2-4.5%, lemak 3-3.3%, serat kasar 9.1-12.7%, pati 6.5%, dan tidak mengandung senyawa beracun (Lumpkin et al ., dalam Anonim 2010).
Gambar 9. Tanaman Azolla pinnata pada Areal Persawahan
Tanaman Azolla Sp. memang sudah tidak diragukan lagi konstribusinya dalam
mempengaruhi
peningkatan
tanaman
padi.
Azolla
bisa
mampu
menambatkan N2-udara karena berasosiasi dengan sianobakteri (Anabaena azollae) yang hidup di dalam rongga daunnya. Asosiasi Azolla-Anabaena memanfaatkan energi yang berasal dari fotosintesis untuk mengikat N2-udara. Dimana kemampuan mengikat N berkisar antara 400 – 500 kg N/ha/th. Azolla relatif tahan pada kondisi asam, sehingga untuk mengembangkannya tidak memerlukan perlakuan tertentu (Sutanto dalam Anonim 2010). Pemanfaatan
azolla
sebagai
pupuk
pengganti
urea
memang
memungkinkan. Pasalnya, bila dihitung dari berat keringnya dalam bentuk
28
kompos (azolla kering) mengandung unsur Nitrogen (N) 3 – 5 persen, Phosphor (P) 0.5 – 0.9 persen dan Kalium (K) 2 – 4.5 persen. Sedangkan hara mikronya berupa Calsium (Ca) 0.4 – 1 persen, Magnesium (Mg) 0.5 – 0.6 persen, Ferum (Fe) 0.06 – 0.26 persen dan Mangan (Mn) 0.11 – 0.16 persen. Berdasarkan komposisi kimia tersebut, bila digunakan untuk pupuk mempertahankan kesuburan tanah, setiap hektar areal memerlukan azolla sejumlah 20 ton dalam bentuk segar, atau 6-7 ton berupa kompos (kadar air 15 persen) atau sekitar 1 ton dalam keadaan kering. Bila azolla diberikan secara rutin setiap musim tanam, maka suatu saat tanah itu tidak memerlukan pupuk buatan lagi. Hal itu dimungkinkan, karena pada penebaran pertama 1/4 bagian unsur yang dikandung azolla langsung dimanfaatkan oleh tanah. Seperempat bagian ini, setara dengan 65 Kg pupuk Urea. Pada musim tanam ke-2 dan ke-3, azolla mensubstitusikan 1/4 – 1/3 dosis pemupukan. Dibanding pupuk buatan, azolla memang lebih ramah lingkungan. Cara kerjanya juga istimewa, karena azolla mampu mengikat Nitrogen langsung dari udara (Anonim, 2010). Keunggulan lain dari tanaman azolla ialah mampu menekan gulma air yang lain, sehingga dapat menghemat biaya penyiangan dan penggunaan herbisida. Azolla yang ditanam bersama-sama padi merupaka salah satu kelebihan, karena tidak diperlukan tambahan waktu untuk memproduksi biomassa. Selain sebagai pupuk hayati dan pengendali gulma air penggunaan azolla ini kini lebih banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Dengan adanya pengintegrasian padi, ikan, itik, azolla dan sapi selain menjadikannya sebagai pakan perikanan juga konstribusi dapat digunakan untuk peningkatan produksi padi. Terlibatnya itik dalam integrasi ini selain memberikan tambahan keuntungan juga memberi keuntungan lain berupa adanya tambahan pupuk dari kotoran itik, meningkatkan kadar oksigen dalam tanah, dan meminimalkan gangguan gulma dan hama (serangga, siput, keong mas) karena dimakan oleh itik. Pakan untuk itik juga dapat dikurangi karena mendapat pakan tambahan dari organisme pengganggu tumbuhan seperti gulma, serangga, siput, dan keong mas dari sawah. Kehadiran ternak sapi dalam sistem usahatani padi merupakan komponen usaha yang bersifat saling melengkapi dan memberikan manfaat yang
29
cukup besar kepada petani, disamping itu juga dapat mendorong petani untuk mengelola usahataninya secara optimal. Kotoran ternak sapi merupakan pupuk organik yang baik bagi tanah, jika kualitas pakan baik maka kualitas kotoran pun akan baik. Selain untuk pupuk organik kotoran ternak sapi juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Feses yang dihasilkan oleh ternak sapi dapat memberikan manfaat positif pada ekosistem sawah. Kadar unsur hara yang terdapat dalam kotoran ternak berbedabeda tergantung jenis makanannya. Komposisi unsur hara dari kotoran sapi yang berupa kotoran padat mengandung : 0.4 % Nitrogen, 0.2 % Fosfor, 0.10% Kalium dan 85% air. Untuk kotoran cair (urine) mengandung : 1% Nitr ogen, 0.5% Fosfor, 1.5% Kalium dan 92% Air (Lingga et al ., dalam Anonim 2010). Limbah yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tanaman padi sawah berupa jerami selain dapat dimanfaatkan sebagai sebagai sumber bahan organik tanah juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Walaupun karakteristik jerami ditandai dengan rendahnya kandungan nitrogen, kalsium, dan fosfor, sedangkan kandungan serat kasarnya termasuk tinggi sehingga dapat mengakibatkan daya cerna rendah dan konsumsinya menjadi terbatas tetapi hal ini dapat dipecahkan jika jerami ingin dijadikan pakan bagi ternak sapi yang bermutu maka terlebih dahulu perlu ditambahkan urea dan tetes (molasses) dimana proses ini biasa disebut amoniasi jerami. Urea dapat digunakan untuk memperbaiki kandungan nitrogen jerami padi yang sekaligus pula mampu meningkatkan konsumsi dan daya cernanya. Pengaturan air pengairan pada budidaya tanaman padi sawah merupakan faktor penting sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Teknik pengaturan air sebagai berikut : • Pengaturan air macak-macak dilakukan pada saat tanam sampai 3-4 HST. Genangan air yang berlebihan pada awal pertumbuhan akan menghambat pertubuhan tunas padi. Tinggi air cukup 3-5 cm dari permukaan tanah. • Pengaturan air macak-macak juga dilakukan pada saat aplikasi pupuk susulan pertama dan kedua, agar penyerapan pupuk oleh tanaman lebih efektif.
30
• Setelah 10-15 HST (sesudah penyiangan dan pemupukan susulan pertama) air dimasukkan mengikuti pertumbuhan tanaman. • Pada pintu pemasukan dan pengeluaran air dipasang saringan untuk mencegah keluar ikan.
31
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.
Jumlah areal yang bercirikan usahatani lahan kering kurang lebih 65.7 juta hektar (90.5 %) mencapai luasan terbesar dibanding lahan basah namun kontribusi pada subsektor pertanian masih rendah, sehingga masih perlu mendapat perhatian yang lebih dalam pengembangannya.
2.
Potensi pemanfaatan lahan kering untuk komoditas pangan yang dapat dikembangkan antara lain padi gogo, padi legowo, jagung, sorghum, kedele dan palawija lainnya. Sedangkan untuk potensi peternakan yang dapat terus dikembangkan dikembangkan adalah peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba, babi, unggas.
3.
Berbagai
pemanfaatan
dil aksa nak an
seca ra
potensi
lahan
ter padu ,
kering
dan
tersebut
u n t u k mendukung
keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi teknologi yang dirancang berdasarkan kesesuaian dengan kondisi wilayah baik bio-fisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal 4.
Agroekosistem lahan kering yang diacu dalam makalah ini adalah wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula didalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman perkebunan,sayuran dan peternakan.
5.
Dalam pengelolaan lahan kering untuk tujuan pengembangan pertanian yang ramah lingkungan dibutuhkan adanya konsep keterpaduan antara berbagai komponen teknologi teknologi melalui integrasi ternak dan tanaman (ITT) dan integrasi tanaman
ternak
pendukungnya
dan
yaitu
ikan inovasi
(ITTI)
serta
teknologi
memodifikasi
yang
dirancang
faktor-faktor berdasarkan
32
kesesuaian kesesuaian dengan kondisi wilayah baik bio fisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. 5.2 Saran
1.
Mandat penelitian pertanian dalam rangka menemukan teknologi dan mempercepat arus transformasi teknologi ke tingkat pengguna sebaiknya di gali dan berada di sekitar petani dengan membangun suatu sistem yang holistik, dilaksanakan bersama-sama dengan petani dengan orientasi peningkatan nilai tambah.
2.
Dukungan yang utama dibutuhkan masyarakat tani adalah pengakuan bahwa para petani itu mampu melakukan aktivitasnya sendiri dengan sentuhan teknologi tepat guna yang dirasakan bermanfaat untuk untuk aktivitasnya. aktivitasnya. Oleh karena itu, bantuan fisik dari pemerintah yang dibutuhkan terutama komponen ternak dalam jumlah yang mampu memberdayakan diri petani. Dengan rata-rata petani memiliki 0.5 ha lahan maka minimal petani butuh bantuan ternak sebanyak 5 ekor untuk mencukupi kebutuhan pupuk organic serta sebagai sebagai tabungannya. Bantuan Bantuan bersifat kecil dan tidak langsung langsung kepada petani cenderung akan tidak memandirikan petani.
3.
Dibutuhkan tenaga kerja yang lebih intensif. Sistem pertanian terpadu akan selalu tersedia apabila komponen-komponen yang ada selalu dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik dan penggunaanya tidak berlebihan, sehingga dapat selalu tersedia dan dapat dimanfaatkan. Jadi banyaknya pemnafaatan sumberdaya alam saat ini akan sangat membantu kelestarian kompponen dari sistem pertanian
4.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji upaya konservasi tanah dan air termasuk teknologi penampungan air secara terpadu pada agroekosistem lahan kering.
5.
Pada sub sektor ternak perlu diarahkan untuk kerjasama dalam pengkajian feeding strategy untuk mengatasi masalah kekurangan pakan pada musim
kemarau, pendirian breeding stock untuk ternak sapi dalam rangka perbaikan mutu genetik termasuk didalamnya penggunaan indigenous stocks serta aspek kesehatan ternak
33
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999.Pupuk 1999.Pupuk Cacing Cacing ternyata ternyata Lebih Lebih dahsyat. Bisa Dongkrak Produksi 150 150 Persen. Kiat berkelit berkelit dari Krisis Pupuk Ala Petani Petani Bali. Majalah Agrobis, No. 304 304 Minggu I Februari 1999. Anonim. 2010. Konsep Pertanian Terpadu dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani Lahan Sawah Irigasi.http://fkthldeptankabbone.wordpress.com/2010/06/02 [20 Desember 2011) Arsana, D. IGAK, IGAK Sudaratmaja, dan IN Suyana. 2004. Keragaan Usahatani Tanaman-Ternak di Lahan Irigasi dan Lahan Kering di Bali. Dalam:Prosiding Seminar “Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.Jaka P ertanian.Jakarta. rta. Artaji, W. 2011. Sistem Pertanian Terpadu - Model Pertanian Terpadu dalam Satu Siklus Biologi (Integrated Bio Cycle farming). http://ekonomi kompasiana.com/agrobisnis/2011/10 kompasiana.com/agrobisnis/2011/10/12. /12. [20 [ 20 Desember 2011] Bamualim, A. 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan berwawasan Lingkungan. IPB. Bogor. Biro Pusat Statistik. 2004. Potensi Lahan Pertanian . BPS. Jakarta. Direktorat Perluasan Areal. 2009. Pedoman teknis Perluasan Tanaman Pangan Lahan kering Tahun 2009. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen PLA. Jakarta. Guntoro, S., M. Londra, Londra, M. Mastra S. dan Sriyanto. 2001. Pengkajian integrasi pengembangan pengembangan ternak dan tanaman kopi. Proyek Proyek PAATP - BPTP Bali. Bali. Hasnudi dan E. Saleh. 2004.Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usahatani Terpadu di Indonesia. Digitized by Universitas Sumatera Utara Digital Library. Herry A. H. 1996. Teknologi Bioplus untuk Hewan Ternak. FKH-UNAIR, Surabaya. Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan dengan Sistem Polikultur. Http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/imag Http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosidinges/stories/bptp/prosiding%2007/1-4.pdf {20/12/2011] %2007/1-4.pdf {20/12/2011] Kariada, I.K., I.M. I.M. Londra, FX. Loekito, Loekito, dan I.G. Pastika. Pastika. 2002. 2002. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Lahan Kering Dataran Tinggi Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali. __________. 2003. Laporan Laporan Uji Adaptasi Adaptasi Beberapa Jenis Pupuk Terhadap Produksi Bawang Merah Di Daerah Pinggiran Pinggiran Perkotaan Denpasar. Denpasar. BPTP Bali.
34
__________. 2003. Integrasi Usahatani Sapi Potong Dengan Sayuran Di Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah __________. __________. 2004. Laporan Akir Pengkajian Pengkajian Sistim Usaha Tani Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali. Kartini, N. L. 1999. Pupuk Kascing Kascing Siap Antarkan Antarkan Bali Menuju Pertanian Organik. Organik. Majalah Prima, Minggu ke-3 Februari 1999. Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Mulyadi dan Suprapto. 2000. Prospek Embung dalam Menunjang Menunjang Kelestarian Produksi Produksi Pertanian di Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Mendukung Mendukun g Ketahanan Pangan Nasional. BPTP Bali. Notohadiprawiro, T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Makalah disampaikan pada Likakarya Evaluasi Proyek Pengembangan Palawija SECDPUSAID Bogor, 6-8 Desember. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada (2006) Parwati, I.A.., N. Suyasa, S. Guntoro Dan Dan M. Rai Yasa. Yasa. 1999. Pengaruh Pemberian Pemberian Probiotik Dan Laser Punctur Dalam Meningkatkan Berat Badan Sapi Bali. Makalah Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner, Pulitbang Peternakan Bogor. Ratnawaty, S., M. Ratnada, Yusuf dan JJ. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Dalam:Prosiding Seminar “Sistem dan Kelembagaan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. RIRDC. 2002. Introduction: what is an integrated biosystem? Di dalam: Warburton K, Pillai-McGarry U, Ramage D, editor. Integrated Biosystems for Sustainable Development . Proceedings of the INFORM 2000 National Workshop on Integrated Food Production and Resource Management . Queensland: RIRDC. hlm 1. Suprapto., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra dan I.M. Rai Yasa. 2000. Laporan Akhir Penelitian Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. IP2TP Denpasar. Bali Suprapto., I.N. Adijaya., dan I.M. Rai Yasa. 2001. Laporan Akhir Penelitian Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. BPTP Bali.
35
STRATEGI PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING YANG YANG RAMAH RAMAH LINGKUNGAN MELALUI SISTEM
INTEGRATED INTEGRATED BIO CYCLE FARMING FARMING
DOSEN : DR. IR. HARIYADI, MS
Tugas Individu pada Mata Kuliah Agronomi Lanjut
Tema Makalah “Sistem Pertanian Terpadu”
Oleh :
Nur Sakinah (A252110011)
PROGRAM STUDI AGRONOMI DAN HORTIKULTURA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011/2012
36