SUMM SUMMER ERHI HILL LL SCHO SCHOOL OL (S (Sekol ekolah ah Al Altern ternatif atif yang Membebaskan Menu Menuru rutt A.S A .S.. Neill Neill))
Khrisma Wibisono
PT Evolitera Jakarta, 2010
SUMMERHILL SCHOOL (Sekolah Alternatif yang Membebaskan Menurut A.S. Neill) oleh Khrisma
Editor
Wibisono
: Evolitera
Cover & Layout : Evolitera
PT Evolitera EvoHackSpace – Jalan Kayu Putih IV Blok D, No. 1, 3rd floor East Jakarta 13260, INDONESIA
Published at www.evolitera.co.id by PT Evolitera Jakarta, 2010
ISBN:
© Khrisma Wibisono, 2010
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta Hak Cipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana
Pasal 73: 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Halaman ini sengaja dikosongkan
KATA PENGANTAR
Buku yang saya tulis ini merupakan sebuah analisis terhadap buku utama karangan A. S. Neill, Summerhill School: A New View of Childhood , yang dilengkapi dengan dua karyanya yang juga sangat penting, Summerhill dan Neill! Neill! Orange Peel!. Sesuai dengan tahap tahap analisis yang ‐
dilakukan, saya berusaha untuk menemukan pemikiran dan konsep konsep ‐
dasar dari buku buku tersebut. Kemudian, bertitik tolak dari sana, saya ‐
mencoba membuat interpretasi lebih lanjut. Tahap terakhir, saya memberikan aproriasi: “Bagaimanakah situasi sistem pendidikan yang di Indonesia, jika dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di Sekolah Summerhill? Bagaimanakah Summerhill School membuka dunia kemungkinan di hadapan saya sehingga saya memahami situasi eksistensi dengan cara pandang yang berbeda?” Untuk itu semua, pada akhirnya, saya mencoba untuk mengadakan sebuah refleksi filosofis berdasarkan buku
‐
buku karya Neill itu. Tujuan utama dari buku ini adalah untuk mengungkapkan pembacaan dan pendalaman saya atas pemikiran A. S. Neill tentang salah satu model pendidikan alternatif yang membebaskan, yang masih ada sampai sekarang, Sekolah Summerhill. Saya juga berharap agar buku ini menambah jumlah literatur yang memberikan sumbangan ide ide tentang pendidikan alternatif ‐
di sekolah, dan merangsang refleksi filosofis mengenai pendidikan dewasa ini oleh para ahli pendidikan, pendidik/guru, mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan, dan mungkin para orangtua yang sedang mendidik anak anak mereka.
‐
DAFTAR ISI
SUMMERHILL SCHOOL
1
A. Alexander Sutherland Neill
4
B. Sekolah Summerhill
9
KONSEP KONSEP DASAR PENDIDIKAN ‐
15
A. Sikap Hidup
17
B. Disiplin
19
C. Kebebasan
25
D. Komunitas
27
E. Aplikasi dari Konsep konsep Awal Pendidikan ‐
28
1. Imajinasi
31
2. Humor
35
3. Pendidikan Seks
37
Rangkuman
KAJIAN FILOSOFIS ATAS PEMIKIRAN NEILL
42
44
1. Kebaikan Alami Anak
46
2. Permainan
47
3. Swa atur
50
4. Ketulusan
51
5. Komunitas
52
‐
Rangkuman
78
TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN NEILL
81
1. Prinsip ‘Swa atur’ [Self Regulation]
82
2. Tanggapan tanggapan OFSTED
105
‐
‐
‐
Rangkuman
116
BEBERAPA CATATAN KRITIS ATAS PEMIKIRAN NEILL
119
Tentang Prinsip Swa atur
119
Tentang Prinsip Swakelola
120
Tentang Kebaikan Alami Anak
127
Catatan Akhir: Apakah itu ‘Manusia Summerhillian”?
128
‐
DAFTAR PUSTAKA
131
Halaman ini sengaja dikosongkan
Summerhill School
SUMMERHILL SCHOOL
“Semua
kejahatan,
semua
kebencian,
semua
perang
dapat
direduksikan menjadi ketidakbahagiaan”, demikian ungkapan A. S. Neill, pendiri Sekolah Summerhill. Dewasa ini, di seluruh dunia, pendidikan bergerak menuju semakin banyak tes, ujian, dan kualifikasi. Nampaknya, itu adalah sebuah kecenderungan baru bahwa penilaian dan kualifikasi memberi definisi sekolah. Bahwa masyarakat diperlakukan seperti anak yang tidak diberi kebebasan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Namun, bagi kebanyakan anak anak di dunia, hal ini adalah harapan yang ‐
normal dari para orangtua, sekolah dan masyarakat kita. Sekarang ini, mungkin para ahli pendidikan dan keluarga merasa gelisah dengan lingkungan yang terlalu membatasi kebebasan anak. Mereka mulai mencari jawaban jawaban alternatif atas arus utama pendidikan di sekolah sekolah. ‐
‐
Salah satu jawabannya adalah pendidikan yang demokratis atau ‘bebas’. Terdapat banyak bentuk sekolah demokratis di segala penjuru dunia, dari Israel sampai Jepang, dari Selandia Baru dan Thailand sampai Amerika Serikat. Yang paling tua dan paling terkenal dari sekolah jenis ini adalah Summerhill yang terletak di pantai sebelah timur Inggris.
Sekolah Summerhill didirikan pada 1921 ketika hak hak individu ‐
kurang dihargai dibandingkan sekarang. Anak anak dipukuli di kebanyakan ‐
rumah dan disiplin dipandang sebagai kunci untuk merawat anak. Dengan menekankan self government dan kebebasan, sekolah ini berjuang selama ‐
lebih dari 80 tahun melawan berbagai tekanan penyesuaian diri, agar mampu memberikan hak kepada anak anak untuk mampu membuat ‐
1
Summerhill School
keputusannya sendiri dalam bertindak. Kini, sekolah ini menjadi sebuah komunitas demokratis yang berkembang pesat. Sekolah ini menunjukkan bahwa anak anak belajar menjadi percaya diri, toleran dan penuh perhatian ‐
ketika mereka diberi ruang untuk menjadi diri mereka sendiri.
Summerhill sering dikatakan sebagai sekolah “do as you like”, surga ‐
‐
‐
bagi anak anak, karena di Summerhill, anak anak bebas melakukan apa saja ‐
‐
sesuka mereka, entah belajar ataupun bermain sepanjang hari hingga berbulan bulan dan bertahun tahun. Sesuai dengan jadwal terstruktur, ada ‐
‐
akses bebas untuk mengembangkan seni, melakukan pekerjaan tukang kayu dan komputer. Juga, terdapat tempat tempat terbuka, bukan di kelas, di ‐
mana anak anak dapat bermain bergelantungan, menghibur diri mereka ‐
sendiri, bergaul, bermain main, menjadi kreatif, dan lain lain. Di sana, orang ‐
‐
‐
orang dewasa tidak membuat sesuatu pun yang mendorong anak anak ‐
untuk melakukan sesuatu – anak anak perlu membuatnya sendiri untuk diri ‐
mereka sendiri. Maka, olahraga, permainan, dan hiburan lain semuanya diciptakan oleh siswa dan orang dewasa, tergantung kebutuhan. Di sini, nampak jelas bahwa permainan, olahraga, dan hal hal yang menarik ‐
perhatian anak anak menjadi elemen penting dalam pendidikan. ‐
Bagi Neill, tujuan hidup adalah untuk menemukan kebahagiaan, yakni menemukan apa yang diminati. Maka, pendidikan harus menyiapkan anak untuk menjalani kehidupan. Baginya, dunia ini menderita akibat begitu banyak kebencian. Penyelamatan jiwa datang dari cinta. Lingkungan penuh kasih sayang, tanpa disiplin orangtua, akan mengatasi hampir seluruh ‐
masalah di masa kanak kanak. Anak ‘bermasalah’ akan mampu mengatasi ‐
neurosisnya yang bermula dari disiplin orangtua. Maka, suatu keberhasilan
2
Summerhill School
dalam pendidikan bukan diukur dari berapa nilai yang ia dapatkan, berapa banyak pengetahuan yang ia peroleh, seberapa tinggi jabatan kerja yang dia raih, seberapa besar uang yang dihasilkannya ketika bekerja, melainkan dari kebahagiaan yang diraih dan dirasakan oleh anak anak. ‐
Dari
sini,
muncul
pertanyaan pertanyaan: ‐
bagaimana
sistem
pendidikan yang diterapkan dalam Summerhill? Kebebasan seperti apa yang diterapkan Neill dan para staf Summerhill? Seberapa bebaskah sekolah ini? Bagaimana peran kebebasan dan self government atau self discipline ‐
‐
berkaitan satu sama lain? Bagaimana relasi kebebasan dan permainan dapat dijelaskan sebagai unsur unsur penting dari pendidikan? Bagaimana ‐
keduanya itu berkaitan erat dengan kebahagiaan anak? Seberapa jauh sekolah ini bertentangan dengan kurikulum pendidikan di Inggris atau arus utama pendidikan sekolah di sana? Apakah pendidikan di Summerhill sungguh merupakan usaha untuk memanusiakan anak anak sebagai ‐
manusia sebagaimana juga andaian dalam arus utama pendidikan?
3
Summerhill School
A. Alexander Sutherland Neill
Alexander Sutherland Neill – biasa disebut A. S. Neill – lahir di Forfar, Angus, Skotlandia, pada 17 Oktober 1883 sebagai salah satu dari 8 anak dari seorang guru sekolah. Neill bertugas menjadi guru pada 1899 di sekolah ayahnya. Setelah gagal diterima di sebuah teachers college, dia akhirnya masuk dan menjalani studi di Universitas Edinburgh dan memeroleh gelar
master of arts pada tahun 1912. Pada 1914, dia menjadi kepala Sekolah Gretna Green di Skotlandia.
Dalam tulisan tulisannya, dia menggambarkan dirinya sebagai ‐
“seorang Nietzschean yang memprotes pengajaran anak yang menjadi penurut dan rendahan”, dan dia menulis dalam karya A Dominie’s Log 1 bahwa
dia
“sedang
mencoba
membentuk
pikiran
yang
akan
mempertanyakan dan merusak dan membangun kembali”. Dari sini, dia menjadi seorang pendidik progresif Skotlandia, penggagas dan pendiri Sekolah Summerhill, yang sampai sekarang tetap terbuka dan terus berlanjut atas dasar filsafat pendidikan yang Neill ungkapkan. Dia dikenal sangat baik sebagai seorang pencetus kebebasan pribadi anak anak. ‐
1
A Dominie’s Log adalah karya A. S. Neill yang
pertama, yang berisikan catatan-catatan harian tak resmi dan gagasan-gagasannya mengenai pendidikan sekolah yang dibuatnya hanya untuk dirinya sendiri. Catatancatatan harian ditulisnya ketika dia menjadi guru muda di Sekolah Gretna Green, Skotlandia, dan saat kode pendidikan Skotlandia melarang penulisan catatan-catatan atau pendapat-pendapat pribadi dalam buku harian resmi yang dimiliki guru [lih. Neill, 1972, 367].
4
Summerhill School
Neill percaya bahwa kebahagiaan anak adalah pertimbangan yang paling penting dalam pendidikan anak. Neill juga yakin bahwa kebahagiaan ini tumbuh dari sebuah perasaan akan kebebasan pribadi dalam diri anak. Bagi Neill, merampas kebebasan selama masa kanak kanak dan semua ‐
pengalaman ketidakbahagiaan karena anak tertekan berpengaruh banyak bagi gangguan psikologis pada masa dewasa nantinya. Gagasan ini kontroversial pada waktu itu. Dewasa ini, sementara tidak diterima hampir di seluruh dunia, konsep itu sungguh mendapatkan dukungan dukungan ‐
lain, misalnya beberapa gerakan tanpa sekolah [unschooling movement ].
Neill mendirikan Summerhill School atas dasar keyakinan bahwa anak anak tidak boleh dipaksa untuk mengikuti pelajaran pelajaran. Sebagai ‐
‐
tambahan pada kebijakan progresif mengenai kehadiran di dalam kelas ini, sekolah ini bersifat demokratis. Rapat rapat Umum diadakan dengan tujuan ‐
untuk menentukan aturan aturan sekolah dan para siswa memiliki hak suara ‐
yang setara dengan staf sekolah.
Bagi Neill, Summerhill School menunjukkan bahwa bebas dari paksaan yang lazim dalam sekolah tradisional menyebabkan para siswa memberikan reaksi lebih karena motivasi berasal dari diri mereka sendiri dan bukan karena menuruti kemauan orang lain [self indulgence]. Anak anak ‐
‐
yang masuk Summerhill cenderung menampilkan diri dengan suatu skeptisisme yang sehat dan dewasa terhadap masyarakat orang dewasa. Semua kecenderungan ini mungkin lebih hebat mengingat bahwa anak anak ‐
yang diterima di Summerhill seringkali berasal dari keluarga dengan latar belakang problematis, di mana konflik atau pengabaian orangtua menyebabkan ketidakbahagiaan dan tampak dalam diri anak anak yang ‐
5
Summerhill School
datang. Sebagai seorang Freudian, Neill sangat menentang represi seksual dan pembebanan nilai nilai Victorian yang keras pada masa kanak kanak. ‐
‐
Baginya, menjadi anti seks berarti menjadi anti kehidupan. ‐
‐
Pada saat menjabat sebagai kepala Sekolah Summerhill, Neill mengajar
aljabar,
geometri,
dan
keterampilan
mengolah
logam
[metalworking]. Dia sering mengatakan bahwa dia lebih mengagumi mereka yang memiliki keterampilan daripada mereka yang murni pandai secara intelektual. Dia juga memberikan “les privat” kepada para siswa, yang diisi dengan pembicaraan mengenai persoalan persoalan pribadi dan merupakan ‐
suatu bentuk psikoterapi. Namun, di kemudian waktu, dia mengabaikan ”les privat” ini setelah menyadari bahwa anak anak yang tidak mendapat “les ‐
privat” juga sembuh dari kebiasaan nakalnya. Maka, dia berkesimpulan bahwa bukan psikoterapi, tetapi kebebasanlah obatnya.
Selama mengajar, dia menulis lusinan buku, termasuk seri seri ‐
Dominie 2 , dimulai dengan A Dominie’s Log (1915). Bukunya yang paling Radical Approach to Child Rearing Child Rearing (1960) berpengaruh adalah Summerhill: A Radical Approach yang membuat keributan dalam perkumpulan perkumpulan pendidikan ‐
Amerika Serikat. Karyanya yang terakhir adalah autobiografi, Neill, Neill,
Orange Peel! (1972). Dia juga menulis buku buku yang berisikan cerita cerita ‐
‐
Last Man Alive (1939). lucu untuk anak anak, seperti The Last Man ‐
A. S. Neill menikah dua kali. Istri keduanya, Ena Wood Neill mengurus sekolah Summerhill bersamanya selama beberapa dekade sampai anak perempuannya, Zoë Readhead, mengambil alih sekolah itu sebagai kepala sekolah. 2
Kata “Dominie” biasa dipakai oleh orang-orang Skotlandia, dan kata itu berarti “guru”. Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill.. http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill
6
Summerhill School
Penyokong terbesar dalam bidang pendidikan bagi Neill adalah pendidik asal Inggris, Homer Lane. Neill juga adalah pengagum dan sahabat dekat inovator psikoanalisis, Wilhelm Reich, dan ia adalah seorang siswa psikoanalisis Freudian. Seorang penyumbang utama di bidang pendidikan libertarian [libertarian education] adalah Bertrand Russell. Russell mendirikan
Beacon Hill School , Inggris, yang merupakan salah satu dari beberapa sekolah yang sering dibanding bandingkan dengan Summerhill. Russell ‐
adalah seorang koresponden Neill dan dia juga memberikan dukungannya untuk Sekolah Summerhill.
Banyak pihak menuduh bahwa Neill itu naif dan memiliki idealisme tidak realistis. Neill juga pada gilirannya mendapat kritik bahwa ia membawa gagasan Freudian mengenai represi ke dalam ranah pendidikan. Banyak orang telah salah memahami kebebasan seksual di Summerhill, seperti Max Rafferty, Direktur Pendidikan California. Mengenai hal itu, Rafferty misalnya menulis, dia “lebih baik segera mengirim anak anaknya ke tempat ‐
lokalisasi/pelacuran”3 daripada ke Summerhill.
Gagasan Neill tentang kebebasan dan pendidikan yang dianggap kontroversial waktu itu, memengaruhi banyak pendidik progresif yang muncul setelah dia, khususnya John Holt, yang memelopori pergerakan tanpa sekolah [unschooling]. Karya karya Neill terdiri atas: A Dominie’s Log ‐
of Bunkie (1919), Carroty Broon Carroty Broon (1915), A Dominie Dismissed (1916), Booming of Bunkie (1920), A Dominie in Doubt (1920), A Dominie Abroad (1922), A Dominie’s Five (1924), The Problem Child (1926), The Problem Parent (1932), Is Scotland 3
Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill.
7
Summerhill School
Educated? (1936), That Dreadful School (1937), The Problem Teacher (1939), The Last Man Last Man Alive (1939), Hearts Not Heads Not Heads in the School (1945), The Problem Family (1949), The Free Child (1953), Summerhill: A Radical Approach Radical Approach to Child Rearing (Preface by Erich Fromm) (1960), Freedom, Not License! (1966), Talking of Summerhill (1967), Children's Rights: Toward the Liberation of the Child (with Leila Berg, Paul Adams, Nan Berger, Michael Duane, and Robert Ollendorff) (1971), dan “Neill! Neill! Orange Peel!”: An Autobiography by Autobiography by A. A. S. Neill, the World famous Headmaster of Headmaster of Summerhill Summerhill School School 4 (1972).5 ‐
4
5
Buku “Neill!
Neill! Orange Peel! ”: An Autobiography by A. S. Neill, the World-famous Headmaster of Summerhill School ini biasanya cukup disebut “Neill! Neill! Orange Peel! ”. Maka, agar konsisten, untuk buku itu, seterusnya saya akan memakai sebutan “Neill! Neill! Orange Peel!”.
Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/A._S._Neill.
8
Summerhill School
B. Sekolah Summerhill Summerhill didirikan pada 1921 di Hellerau, sebuah pinggiran kota Dresden, Jerman. Sekolah ini adalah bagian dari sekolah internasional yang disebut Neue Schule. Terdapat banyak fasilitas hebat dan banyak antusiasme, tetapi selama berbulan bulan berikutnya, Neill semakin tidak ‐
bahagia dengan sekolah itu. Dia merasa sekolah itu dijalankan oleh para idealis – anak anak tidak diperbolehkan bersentuhan dengan tembakau, ‐
dansa, dan gedung bioskop – sementara Neill ingin agar anak anak ‐
menjalani hidupnya sendiri. Neill hanya mewujudkan kebebasan mutlak sesuai rencananya mengenai pendidikan. Neill melihat bahwa semua paksaan dari luar itu salah, bahwa paksaan dari dalam adalah satu satunya ‐
nilai. Bagi Neill, jika anak ingin bermalas malasan dalam melakukan sesuatu, ‐
bermalas malasan itu adalah satu hal yang penting bagi kepribadian anak ‐
pada saat itu. Setiap saat dari kehidupan anak yang sehat adalah suatu saat yang sedang berjalan. Menurut keprihatinan Neill, anak tidak memiliki waktu untuk duduk dan bermalas malasan. Bermalas malasan yang dianggap ‐
‐
abnormal itu adalah sebuah kesembuhan, dan maka dari itu, bermalas
‐
malasan itu penting ketika muncul.
Bersama dengan Frau Neustatter – kemudian menjadi istri pertamanya, Neill memindahkan sekolahnya ke Sonntagsberg di Austria. Lingkungannya sangat indah, dengan sebuah kastil di puncak pegunungan, tetapi
masyarakat
setempat,
sebuah
bermusuhan.
9
komunitas
Katolik,
bersikap
Summerhill School
Pada 1923, Neill telah memindahkannya ke kota Lyme Regis, Dorset, di sebelah selatan Inggris, di sebuah rumah yang disebut Summerhill, tempat Neill mulai menjalankan sekolahnya dengan lima orang siswa. Sekolah berjalan terus di sana sampai 1927, ketika dipindah ke tempat sekarang di Leiston di wilayah Suffolk. Ia menjadikan Summerhill sebagai nama sekolah itu.
Neill menjalankan sekolahnya dengan Ny. Lins, begitu dia dikenal, sampai perang membutuhkan tempat evakuasi di rumah Leiston dan mereka pindah ke Ffestiniog di Wales. Ny. Lins sakit dan membutuhkan perawatan intensif sampai akhirnya meninggal. Neill kemudian menikah dengan seorang staf sekolah, Ena Wood – yang sempat merawat Ny. Lins di samping memasak dan menjadi ibu asrama di sekolah itu. Setelah perang, mereka kembali ke Leiston, ke Summerhill yang sudah bobrok yang telah digunakan oleh tentara dan ditinggalkan dalam keadaan menyedihkan. Neill memperbaiki dan membersihkan gedung gedung sekolahnya. Sekolah itu ‐
berlanjut menjadi kontroversial, digambarkan oleh pers sebagai sekolah “do
as you please” .
Dana untuk siswa yang ia peroleh melonjak selama bertahun tahun ‐
sebelum akhirnya menurun tajam di akhir 1950 an, padahal jumlah siswa ‐
mencapai sekitar 25 orang. Pada saat itu, Neill didatangi Harold Hart, seorang penerbit dari Amerika Serikat, yang ingin menerbitkan kumpulan buku buku Neill. Mereka menerbitkan Summerhill: A Radical Approach to ‐
Childhood . Buku itu sukses dengan cepat di Amerika Serikat dan menjadi buku dengan penjualan terbaik non fiksi nomor satu di seluruh negara. Buku itu lalu diterbitkan di Inggris dan banyak negara lain. Summerhill mengalami
10
Summerhill School
perbaikan. Jumlah siswa meningkat dan banyak dari Amerika Serikat. Minat pada sekolah itu berkembang sampai berbus bus para pengunjung datang. ‐
Lama kelamaan, Neill dan komunitasnya merasa lelah akan perhatian itu ‐
dan menarik diri masuk ke dalam suatu masa tenang.
Di akhir tahun 1960 an, keberhasilan Neill mendirikan Summerhill ‐
akhirnya diakui dan dia diberi gelar kehormatan dalam bidang pendidikan dari Universitas Newcastle, Universitas Exeter, dan Universitas Essex. Neill juga diakui sebagai salah seorang dari 12 orang paling top yang memengaruhi persekolahan di Inggris selama milenium terakhir versi Times
Educational Supplement (31.12.1999).
Neill menjalani hari hari terakhir dengan mengambil bagian yang ‐
kurang aktif di sekolah tetapi tetap terlibat dengan apa yang sedang terjadi. Pada 1973, kesehatannya menurun dan dia dirawat di Ipswich Hospital . Kemudian dia dibawa ke rumah sakit kecil setempat, tempat dia meninggal pada 23 September 1973. Lima hari kemudian mulai masa baru di Summerhill. Ena Neill meneruskan sekolah itu sampai pensiun pada 1985 ketika anak perempuannya, Zoë Readhead, kepala guru saat itu, mengambil alih.
Sekarang ini, Summerhill sudah berjalan tanpa selang henti sejak 1921 dan juga belum berubah secara fundamental. Kesuksesannya dalam memberikan lingkungan yang membahagiakan untuk anak anak dan ‐
menciptakan laki laki dan perempuan yang seimbang, terletak dalam ‐
gagasan Neill yang berlanjut sampai sekarang: “Fungsi anak adalah menjalani hidupnya sendiri – bukan hidup yang orangtuanya pikir harus
11
Summerhill School
dijalani, atau hidup yang bergantung pada tujuan dari pendidik yang merasa dirinya tahu yang terbaik.”
Summerhill adalah sekolah internasional dengan anak anak yang ‐
berasal dari Inggris, Jerman, Norwegia, Belanda, Switzerland, Israel, Amerika Serikat, Korea, Taiwan, Jepang, Perancis, dan lain lain. Hal ini ‐
menciptakan lingkungan multikultural yang menakjubkan. Summerhill, yang luas tanahnya 11 acres [= 5,11 ha], menggelar konferensi tahunan Friends of
Summerhill Trust . Ini adalah yayasan amal untuk membantu mencari dana bagi Summerhill dan juga menyebarluaskan ide ide Summerhill ke seluruh ‐
dunia.
Bagi Neill, Summerhill sangat istimewa dan menyenangkan. Pelajaran pelajarannya boleh dipilih sesuai minat dan kemauan anak. Jika ‐
anak mau belajar, belajarlah ia. Jika tidak mau belajar, silakan saja. Jika perlu, biarkan dia bertahun tahun tidak pernah masuk sekolah, jika memang ‐
itu keinginannya. Ada jadwal dan pengaturan waktu tetapi hanya berlaku untuk guru, bukan untuk siswa. Sedangkan aturan aturan bagi anak anak ‐
‐
biasanya ditentukan bersama dalam sebuah kegiatan rapat, Rapat Umum6 . Biasanya anak anak, yang jumlahnya biasanya berkisar 80 90 orang, ‐
‐
membentuk kelas berdasarkan usia, tetapi kadang kadang menurut minat ‐
mereka. Para staf sekolah, yang berjumlah 12 staf purna waktu, tak punya ‐
metode mengajar yang baru, karena bagi mereka ‘mengajar’ tidak terlalu penting. Memiliki metode baru atau tidak, akhirnya ternyata tidak berarti. 6
Rapat atau Pertemuan Umum Sekolah, tempat undang-undang sekolah dibuat dan diubah, diadakan setiap hari Senin, Rabu dan Jumat pada pukul 13.45-14.30 waktu setempat, tergantung pada apa kepentingannya. Undang-undang ini adalah peraturan-peraturan sekolah, dibuat dengan pemungutan suara mayoritas untuk menentukan apakah akan diberlakukan atau tidak. Pertemuan Umum ini dihadiri oleh semua staf dan semua murid yang memiliki hak satu suara yang setara. Pertemuan ini tidak diwajibkan, tetapi biasanya dihadiri para staf dan anak-anak. Lih. www.summerhillschool.co.uk/themeeting.htm.
12
Summerhill School
Jika anak ingin memelajari suatu mata pelajaran, maka ia akan mempelajarinya, tak peduli bagaimana cara atau metode pengajarannya.
Ada banyak pelajaran di Summerhill. Barangkali sekelompok anak usia 12 di Summerhill kalah bersaing dengan siswa siswa seumur mereka di ‐
sekolah biasa, jika yang dipertandingkan adalah menulis halus, mengeja kata, atau aritmatika. Namun, dalam ujian yang membutuhkan orisinalitas, anak anak Summerhill akan ”melindas habis semua lawan” [Neill, dlm. ‐
Naomi 2004, 264]. Sekolah ini tidak memakai tes kenaikan kelas. Kadang Neill memberikannya hanya untuk main main dan anak anak menyukainya. ‐
‐
Bagi Neill, pandangan bahwa belajar dari buku buku sama dengan ‐
pendidikan adalah pandangan yang hanya dimiliki orang yang suka menonjol nonjolkan ilmunya. 7 Buku bukanlah hal yang penting di antara ‐
segenap perlengkapan sekolah. Yang dibutuhkan anak hanya ‘3R’: membaca [r eading], menulis [w riting], menghitung [r eckoning], ditambah alat alat ‐
keterampilan, tanah liat, olahraga, teater, cat air, dan kebebasan.
Akan tetapi, para guru Summerhill mengajarkan bidang bidang studi ‐
tertentu untuk UMPT karena memang ada siswa yang berminat untuk kuliah. Biasanya, mereka mulai serius belajar mengarah ke UMPT sejak usia 14, selama + 3 tahun. Tidak semua lolos saat pertama kali mencoba, tetapi yang penting adalah mereka mencoba lagi. Maka, semua guru Summerhill dituntut juga memiliki kualifikasi mengajar sesuai aturan standar umum di luar sekolah ini.
7
Dengan pernyataan ini, Neill secara tak langsung mengkritik Intelektualisme, yaitu aliran atau paham pendidikan yang cenderung menekankan dimensi intelektual manusia saja.
13
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
(halaman ini sengaja dikosongkan)
14
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
KONSEP KONSEP DASAR PENDIDIKAN ‐
MENURUT A.S. NEILL
Dalam catatan hariannya, A Dominie’s Log, A. S. Neill mencoba merumuskan gagasan gagasan tentang pendidikan yang paling asli, yang ‐
menyatakan bahwa tidak ada otoritas pada pendidikan yang sesungguhnya. Awalnya, muncul dalam benak Neill pertanyaan pertanyaan mengenai ‐
seluruh pengajarannya demikian: “malam ini sesudah siswa siswiku pergi, ‐
aku duduk di sebuah bangku dan berpikir ‘Apa artinya semua ini? Apa yang sedang aku coba lakukan? Anak anak laki laki akan ke ladang untuk ‐
‐
membajak; anak anak perempuan akan pergi ke pertanian sebagai pelayan’” ‐
[Neill, 1972, 368]. 8
Pertanyaan pertanyaan ini muncul saat Neill menyadari bahwa ‐
pekerjaannya sebagai guru adalah sia sia saja, tidak ada manfaatnya, karena ‐
pendidikan pada saat itu diharuskan punya tujuan untuk mendidik generasi baru yang akan lebih baik daripada generasi sebelumnya. Menurutnya, sistem pendidikan itu bertujuan menghasilkan model manusia yang sama seperti yang ada pada masa itu. Neill mengungkapkan: “aku dapat mengajari mereka membaca, dan mereka akan membaca serial serial dalam ‐
mingguan mingguan yang berisi omongan tolol; aku dapat mengajari ‐
mereka menulis, dan mereka akan segera menulis catatan catatan ‐
menyedihkan untukku; aku dapat mengajari mereka menghitung, dan
8
Tonight after my bairns had gone away, I sat down on a desk and thought, “What does it all mean? What am I trying to do? These boys are going out to the field to plough; these girls are going to farms as servants.”
15
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
mereka tidak akan pernah menghitung lebih daripada gaji mingguan mereka yang menyedihkan. Tiga M [Three R’s] 9 hanyalah kesia siaan” [Neill, 1972, ‐
369]. 10 Tiga M adalah implikasi dari orientasi pendidikan saat itu yang dicampur baurkan ‐
dengan
perdagangan,
ekonomi,
dan
konvensi
masyarakat. Artinya, pendidikan cenderung menghasilkan orang orang yang ‐
menjalani hidupnya hanya untuk mencari nafkah sebagai pekerja, seperti tukang masak, tukang kayu, juru ketik, dan stenografis.
Bagi Neill, pendidikan memiliki satu tujuan utama, yakni menjalani hidup itu sendiri. Neill berkeyakinan bahwa tujuan hidup adalah untuk menemukan kebahagiaan, yang berarti menemukan apa yang diminati. Pendidikan seharusnya membantu seorang anak agar siap untuk hidup, siap untuk menjalani hidupnya sendiri [Neill, 1968, 36]. Gagasan Neill mengenai pendidikan ini memiliki keterkaitan dengan empat hal yang tercantum berikut, yakni: (1) sikap hidup [attitude], (2) swa disiplin [self discipline], (3) ‐
‐
kebebasan, dan (4) komunitas.
9
10
‘Three R’s’ atau ‘Tiga M’ adalah standar umum pendidikan saat itu, yakni membaca [reading], menulis [writing], dan menghitung [reckoning]. Menurut Neill, Tiga M ini sangat dipentingkan karena pendidikan pada zamannya bertujuan utama untuk memberantas buta huruf [bdk. Neill, 1972, 442]. I can teach them to read, and they will read serials in the drivelling weeklies; I can teach them to write, and they will write pathetic notes to me by and by; I can teach them to count, and they will never count more than the miserable sum they receive as a weekly wage. The “Three R’s” spell futility.
16
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
4. Sikap Hidup [Attitude Attitude]]
Menurut Neill, sesuatu itu disebut pendidikan bila guru menolong para siswa menemukan sebuah sikap hidup [attitude]11 . Bertitik tolak dari catatan hariannya ini, mendidik berarti berupaya membuat anak didik sadar akan apa makna hidup, atau menolong mereka menemukan sikap hidupnya masing masing. Dalam hal ini, Neill menyadari, kebanyakan yang dia ajarkan ‐
kepada mereka akan dilupakan dalam setahun, tetapi sebuah ‘sikap hidup’ akan terus bersama dengan diri seseorang sepanjang hidupnya.
Dalam catatan hariannya, Neill berkata: “kebanyakan yang aku ajarkan kepada mereka akan mereka lupakan dalam satu dua tahun, tetapi sebuah sikap hidup tinggal dengan seseorang sepanjang hidup. Aku ingin anak anak ini memeroleh kebiasaan untuk melihat hidup mereka dengan ‐
jujur” [Neill, 1972, 370]. 12 Jelaslah, menurut Neill, keterampilan membaca, menulis, dan menghitung, ditambah dengan keterampilan mengolah kayu, menggambar, pelajaran geografi, dan pelajaran pelajaran lainnya akan ‐
mudah dilupakan, tetapi sebuah sikap hidup tidak akan pernah hilang dalam diri seseorang.
Sebuah sikap hidup tumbuh dengan sendirinya atau secara alami dalam diri seseorang dan akan dimiliki sepanjang hidupnya. Dengan sikap hidup yang ditemukannya sendiri, orang akan mampu dan memiliki kebiasaan untuk melihat hidupnya dengan jujur. Orang yang memiliki sikap hidup itu jujur dalam melihat atau memandang kehidupan. 11 12
Sikap hidup [attitude] adalah sikap menghadapi kehidupan. Most of the stuff I teach them will be forgotten in a year or two, but an attitude remains with one throughout life. I want these boys and girls to acquire the habit of looking honestly at life. I want these boys and girls to acquire the habit of looking honestly at life.
17
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Neill mengatakan, para siswa diajarkan untuk melihat hidupnya dengan jujur, maka dia sendiri sebagai pendidik harus berusaha untuk melihat hidupnya dengan jujur. Menjadi jujur membuat seseorang sampai pada hal yang sebenarnya. Bagaimana seorang siswa sebagai manusia muda bisa memeroleh sikap hidup dalam dirinya dan memandang hidup dengan jujur? Menurut Neill, pengetahuan diri [self knowledge] harus ada sebelum ‐
‐
semua pelajaran dan keterampilan yang perlu diajarkan. Pengetahuan diri dipandangnya sebagai jalan bagi siswa untuk melihat hidupnya sendiri dengan jujur. Bagi Neill, seseorang harus memeriksa dirinya, sehingga dia akan menemukan identitas dirinya. Pemeriksaan diri di sini terkait erat dengan proses menemukan identitas diri yang tak tergantikan: “Aku bertanya tanya berapa banyak anak anak yang duduk sambil berkata: ‘Aku ‐
‐
harus memeriksa diriku, sehingga aku dapat menemukan manusia seperti apa aku ini’” [Neill, 1972, 370]? 13
Neill menambahkan, dengan sebuah sikap hidup, orang mampu membongkar semua konvensi,
ketakhayulan, dan kemunafikan di
sekitarnya. Orang yang bersikap hidup kuat sering dipandang sebagai orang yang tidak mudah hanyut dalam arus pandangan umum masyarakat di sekitarnya. Namun ia justru memiliki kemampuan untuk membongkar dan melucutinya.14 Untuk itu, dalam pendidikan, para siswa dituntun untuk memiliki keraguan 15 terhadap segala hal, sebagaimana Neill mengatakan: “Aku tekun merobek kain kain kemunafikan dari fakta fakta kehidupan; aku ‐
13 14 15
‐
I wonder how many of them have sat down saying: ‘I must examine myself, so that I may find what manner of man I am?
Bdk. teori “dekonstruksi” dari Jacques Derrida [lih. Bertens, 2006, 371]. Bdk. istilah Descartes “keraguan metodis” sebagai jalan untuk menemukan subjektivitas [cogito] sebagai kebenaran dan kepastian kokoh [lih. Hardiman, 2004, 37-39].
18
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
akan memimpin para siswaku untuk meragukan segala hal” [Neill, 1972, 377].16 Dalam hal ini, pendidikan seharusnya membuat para siswa terlatih untuk berpikir, sebagaimana Neill mengatakan: “Aku tidak ingin anak anak ‐
dilatih untuk membuat sup ercis dan kerangka kerangka foto, aku ingin ‐
mereka dilatih untuk berpikir” [Neill, 1972, 442]. 17 Maka, dapat dikatakan bahwa seseorang itu terdidik bila ia sudah menelanjangi semua konvensi, ketakhayulan, dan kemunafikan.
5. Disiplin
Neill membagi konsep disiplin menjadi dua konsep, yakni (1) kedisiplinan [discipline], yang ditetapkan oleh para [guru dan staf] penegak kedisiplinan sekolah untuk para siswa, dan (2) swa disiplin [self discipline]. ‐
‐
Yang diakui sebagai unsur penting dalam pendidikan, terutama yang mendukung tujuan pendidikan, adalah disiplin yang kedua, swa disiplin. ‐
Lalu, mengapa kedisiplinan ditolaknya, sedangkan swa disiplin menjadi ‐
unsur penting dalam pendidikan?
Kedisiplinan [discipline] dipahami sebagai aturan aturan bagaimana ‐
harus bertingkah laku sebagaimana ditetapkan dengan keras oleh para guru atau staf sekolah pendisiplin untuk para siswa. Neill mengatakan bahwa seharusnya kedisiplinan sekolah dihapuskan, karena alasan: (1) dilandasi kebutuhan guru atau pendidik akan harga diri, (2) terkait erat dengan 16
I am determined to tear all the rags of hypocrisy from the facts of life; I shall lead my bairns to doubt everything. 17 I don’t want children to be trained to make pea-soup and picture frames, I want them to be trained to think .
19
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
hukuman, (3) sarat dengan praktik militerisme, dan (4) tidak memperlakukan anak sebagai manusia.
Pertama, kedisiplinan, bagi Neill, muncul sebagai sebuah sikap dari guru untuk dihargai di hadapan para siswa. Kedisiplinan terkait erat dengan kebutuhan seorang penegak kedisiplinan akan gengsi atau harga diri. Kedisiplinan membuat guru menjaga jarak dari para siswa dan memeroleh harga diri [bdk. Neill, 1972, 415]. 18 Kedisiplinan menciptakan rasa takut bagi siswa siswi untuk melakukan sesuatu yang dianggap salah. Rasa takut itu ‐
pun membuat mereka menghormati atau menghargai gurunya. Dengan demikian, kedisiplinan menciptakan “jurang pemisah” antara siswa dan guru yang diciptakan oleh orang dewasa, bukan anak anak. Tentulah, dalam ‐
jurang pemisah itu, posisi guru atau orang dewasa ada di atas anak anak ‐
atau para siswa. Neill sendiri mengakui: “aku adalah seorang pendisiplin yang buruk sekali” [Neill, 1972, 371]. 19 Dalam hal ini, Neill bisa dikatakan sebagai orang yang tidak suka mendisplinkan orang lain; dia adalah pribadi yang kendor: “Aku menyadari bahwa biasanya aku sangat, sangat kendor; aku tidak peduli apakah mereka berbicara atau tidak. Sesungguhnya, jika dengungan dari obrolan berhenti, aku merasa bahwa sesuatu telah terjadi … ” [Neill, 1972, 371]. 20 Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa Neill sebagai guru ada di pihak siswa siswinya. Maka, kedisiplinan menurut Neill sungguh ‐
ada karena guru guru ingin menjadi dewa dewa kecil yang dibentengi oleh ‐
‐
harga diri [bdk. Neill, 1972, 17].
18 19 20
Sikap seperti ini bertentangan dengan sikap Neill yang menekankan pentingnya untuk berada setara dengan anak-anak atau para siswa, khususnya bagi orangtua, guru, atau pendidik. I am an atrociously bad disciplinarian . I find that normally I am very, very slack; I don’t mind if they talk or not. Indeed, if the th e hum of conversation stops, I feel that something has happened ….
20
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Kedua, disiplin macam ini terkait erat dengan hukuman, terutama untuk siswa atau anak yang dianggap melakukan kenakalan atau pelanggaran atas sebuah peraturan. Dalam hal ini, hukuman dapat disimbolkan dengan tawse [bdk. Neill, 1972, 19]. 21 Tawse sarat dengan tindakan seorang guru yang menghukum siswa dengan mencambukinya dengan tawse (ikat pinggang) karena siswa itu dianggap melakukan kesalahan atau pelanggaran atas sebuah peraturan, atau bahkan karena kenakalan seorang siswa. 22 Tawse memiliki arti bahwa guru benar benar ‐
tidak mau diremehkan atau tidak ingin harga dirinya hilang, dengan cara menjaga jarak dari anak anak (tidak setara). Maka, Neill sendiri menentang ‐
adanya peraturan peraturan dan disiplin. ‐
Ketiga,
kedisiplinan
sarat
dengan
militerisme.
Kedisiplinan
berimplikasi ketaatan dari para siswa yang mau tak mau berada di posisi yang lebih rendah daripada seorang pendisiplin. Inilah ketaatan kepada seseorang yang superior. Ketaatan ini menampilkan otoritas seorang guru atau pendidik, layaknya otoritas yang dimiliki seorang sersan mayor di atas para serdadunya. Para siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar di ‐
sekolah seolah olah berada di barak militer. Karena ia membenci ‐
kedisiplinan di dalam sekolah, misi Neill adalah meniadakan militerisme dalam sekolah sekolah: “Itulah yang ingin aku lakukan di Skotlandia; aku ‐
ingin menghancurkan praktik militerisme di sekolah sekolah kita, dan, ‐
sebagaimana kebanyakan guru menyebut praktik militerisme mereka
21 22
adalah kata yang dipakai orang-orang Skotlandia yang berarti “ikat pinggang” yang biasa digunakan untuk menghukum anak-anak. Neill secara pribadi memiliki pengalaman sebagai seorang kepala sekolah pendisiplin dan pernah menghukum seorang anak dengan menggunakan tawse karena menghinanya, sampai Neill tiba-tiba menyadari perbuatannya itu: “ … until the day when I myself, as a headmaster, belted a boy for insolence.
Tawse
A new, sudden thought came to me. What am I doing? This boy is small, and I am big. Why am I hitting someone not my own size? I put my tawse in the fire and never hit a child again ” [Neill, 1972, 19].
21
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
kedisiplinan, aku mengutuk kedisiplinan” [Neill, 1972, 426 427]. 23 Neill yakin ‐
bahwa melalui kedisiplinan atau militerisme ini, guru atau pendidik merasa dihargai, menjaga jarak dari para siswanya, dan menjadi seorang pendisiplin. Neill pun menambahkan bahwa “kemalasan mental adalah akar dari militerisme yang ada di sekolah sekolah” [Neill, 1972, 430]. 24 Maka, ‐
kedisiplinan yang diciptakan dan hanya berlaku bagi para siswa itu bagi Neill tidak lain adalah praktik militerisme.
Keempat, pada akhirnya, kedisiplinan tidak memperlakukan anak atau siswa sebagai manusia. Kedisiplinan, sebaliknya, justru menciptakan ketakutan pada anak anak untuk melakukan hal hal sesuai yang mereka ‐
‐
kehendaki. Perkembangan mereka menjadi terbatas karena kedisiplinan dalam bentuk aturan aturan ini atau itu. Kedisiplinan dipandangnya sebagai ‐
yang menciptakan kemalasan25 mental, bukan kemalasan fisik [bdk. Neill, 1972, 427]. 26 Suasana disiplin atau kedisiplinan yang membuat para siswa harus diam ketika pelajaran berlangsung itu sarat dengan suasana yang tidak manusiawi.
23 24 25
26
Ungkapan ini disampaikan Neill ketika berhadapan dan berdebat dengan Mr. Simpson, seorang mantan Kepala Institut Pendidikan di Skotlandia. It is mental laziness that is at the root of militarism in our school.
Dalam sebuah wawancara, Zoë Neill Readhead, putri Neill, Kepala Sekolah Summerhill, mengatakan: “Laziness is a passing thing – I don’t even use the word. I think we all have times in our lives when we are unmotivated to certain things – but when we are able to pursue the things that we want – then we become motivated again. ” Dari ungkapan Zoë ini, artinya, kemalasan berarti suatu keadaan di mana kita tidak terdorong atau tidak ada kehendak [unmotivated ] untuk melakukan hal-hal tertentu.
Neill membagi kemalasan menjadi dua jenis kemalasan, yakni kemalasan fisik dan kemalasan mental. Kemalasan fisik adalah ketika orang malas untuk melakukan atau bertindak sesuatu, sedangkan kemalasan mental adalah ketika orang cenderung menunggu perintah dari atasan, orang yang berkuasa, dan malas untuk memikirkan apa yang hendak dia lakukan. Bdk. pernyataan Neill berikut: “Yet, though I am lazy phisically I am not lazy mentally. ”
22
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Di satu sisi, uraian di atas menunjukkan bahwa kedisiplinan bertentangan dengan harapan Neill bahwa pendidikan memberikan kebebasan bagi anak agar menjadi manusia, sebagaimana diungkapkan: “Aku tidak menyukai kedisiplinan yang ketat, karena aku benar benar ‐
percaya bahwa seorang anak seharusnya memiliki kebebasan sebanyak mungkin. Aku ingin seorang siswa menjadi manusia, dan aku sendiri berusaha untuk menjadi manusia” [Neill 1972, 371]. 27 Namun, di sisi lain, Neill mengatakan bahwa disiplin itu tetap perlu. Disiplin seperti apakah yang dimaksudkan Neill? Disiplin yang bagi Neill perlu itu adalah swa disiplin [self discipline]. ‐
‐
Swa disiplin ini adalah satu satunya disiplin yang manusiawi baginya, ‐
‐
disiplin yang didorong oleh minat atau keinginan pribadi. Maka, jika para siswa di kelas menjadi bermalas malasan mengikuti pelajaran tidak ‐
seharusnya mereka disalahkan karena kemalasannya. Alasannya adalah para siswa tidak berminat pada pelajaran yang diajarkan pada saat itu, dan minat atau keinginan pribadi tidak bisa dipaksakan oleh orang lain. Dalam catatan hariannya, Neill mengatakan: “Jika seorang anak laki laki mengasah pensilnya sementara aku sedang menjelaskan peristiwa peristiwa yang membawa sejarah Great Rebellion, aku mengalihkan dia pada pembicaraan tentang kelinci, dan biasanya aku membuat dia duduk tegak. Aku tahu bahwa aku sedang mengajar dengan buruk jika seluruh kelas bermalas malasan, dan di saat saat aku lebih bijaksana, aku cukup jujur untuk tidak mempersalahkan para siswa” [Neill, 1972, 371]. 28 ‐
‐
‐
27
‐
I do not like strict discipline, for I do believe that a child should have as much freedom as possible. I want a bairn to be human, and I try to be human myself. . 28 If a boy whets his pencil while I am describing the events that led to Great Rebellion, I sidetrack him on the topic of rabbits, and I generally make him sit up. I know that I am teaching badly if the class loafing and I am honest enough in my saner moments not to blame the bairns .
23
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Dari sini, Neill menjelaskan bahwa guru atau pendidik tidak patut menyalahkan setiap siswa yang tidak mau tunduk atau menuruti perintah kita; swa disiplin terkait erat dengan kebebasan. ‐
Dalam sistem pendidikan di sekolah sekolah, menurut Neill, swa ‐
‐
disiplin sangat perlu untuk diperhatikan. Swa disiplin bukanlah disiplin yang ‐
diberikan atau dipaksakan dari luar – yang biasanya diberikan oleh guru atau orangtua – melainkan disiplin yang muncul dan berkembang dari dalam dan untuk diri si anak sendiri. Dengan perkataan lain, disiplin satu satunya yang ‐
dibutuhkan dalam pendidikan bagi Neill adalah disiplin yang didorong oleh minat atau keinginan pribadi si anak. Swa disiplin yang dimaksudkan Neill ini ‐
terkait dengan keyakinannya bahwa siapa pun tak akan pernah belajar sesuatu yang dipaksakan. Dengan perkataan lain, siapa pun akan belajar sesuatu ketika diberi kebebasan [bdk. Sindhunata, 2008, 3], dan hasilnya adalah swa disiplin. Saya melihat, hal ini berkaitan dengan keyakinan utuh ‐
Neill tentang anak anak sebagai makhluk yang baik, bukan yang jahat. ‐
Menurutnya, “anak memiliki pembawaan alami bijaksana dan realistis” [Neill, 1993, 9], 29 sebagaimana Neill juga mengatakan pada bagian akhir catatan hariannya: “Aku telah mengeluarkan semua kebaikan kodrati siswa
‐
siswa ini” [Neill, 1972, 467]. 30 Swa disiplin ini terkait dengan pandangan Neill ‐
mengenai swa atur [self regulation] yang diterapkan dalam Summerhill. ‐
29 30
‐
... a child is innately wise and realistic. I have brought out all the innate goodness of these bairns.
24
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
6. Kebebasan
Dalam pemikiran Neill tentang pendidikan, kebebasan adalah hal yang penting. Lalu, apakah kebebasan itu menurut Neill? Neill menjelaskan konsep kebebasan demikian. Pertama, bagi Neill, kebebasan tidak bisa lepas dari minat atau keinginan seseorang. Kedua, karena minat atau keinginan seseorang berimplikasi pada kebahagiaan jika terwujud, maka kebebasan juga memberikan atau terkait erat dengan kebahagiaan seseorang. 31 Pendeknya, kebebasan berarti keadaan di mana orang dapat melakukan apa saja sesuai keinginan atau minat pribadinya sehingga ia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Neill mengatakan: “Aku berupaya keras untuk membagikan kebahagiaan kepada para siswa. Sekarang ini, aku bermain layang layang bersama mereka setiap hari, dan aku tidak pernah lelah untuk ‐
melakukannya. Anak anak laki laki membawakan aku kertas kertas komik, ‐
‐
‐
… ” [Neill, 1972, 415 416]. 32 Dari sini, tampak jelas, Neill menekankan ‐
pentingnya perhatian pada apa yang diminati anak anak, apa yang ‐
membuat anak anak bahagia. Kebahagiaan itu justru muncul dengan ‐
melakukan hal hal sangat manusiawi yang digemari anak anak. Neill ‐
‐
menambahkan:
31 32
Bagi Neill, kebahagiaan adalah tujuan utama dalam pendidikan [lih. Neill, 1968, 36]. I try hard to share the bairns’ joys. At present I am out with them every day flying kites, and I never tire of this. The boys bring me their comic papers…
25
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
“ …pokoknya, aku pikir bahwa keinginanku yang utama adalah membuat anak bahagia. […] Seorang anak laki laki memiliki sifat keras, tidak memikat, suka memberontak, dan tidak taat. Aku mencoba semua cara – dengan menyesal aku mengatakan bahwa aku pernah memakai tawse. Aku tidak berpengalaman saat itu; tetapi aku melakukannya dengan cara yang benar. Suatu hari aku melihat bahwa dia memiliki bakat menggambar. Aku membawa turun beberapa sketsa tinta dan menunjukkan kepadanya. Aku memberikan gambar gambar untuk ditiru, dan minatnya dalam seni tumbuh. Aku memikat hatinya dengan membuatnya menarik bagiku. Dia menemukan bahwa aku hanyalah manusia” [Neill, 1972, 373].33 ‐
‐
Pernyataan ini menunjukkan bahwa memberikan kebebasan kepada para siswa atau anak anak berarti memberikan kebahagiaan kepada mereka, ‐
membuat anak anak dan guru atau pendidik benar benar menjadi manusia. ‐
33
‐
… in the main I think that my chief desire is to make the bairn happy. […] A boy was dour and unlovable and rebellious and disobedient. I tried all ways – I regret to say I tried the tawse. I was inexperienced at the time; yet I hit upon the right way. One day I found he had a decided talent for drawing. I brought down some of my pen-and-ink sketches and showed him them. I gave him pictures to copy, and his interest in art grew. I won him over by interesting myself in him. He discovered that I was only human after all.
26
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
7. Komunitas
Di samping menekankan pentingnya kebebasan, Neill juga melihat pentingnya anak untuk memerhatikan sesamanya dalam komunitas. Apa yang dapat dikatakan mengenai komunitas? Adanya komunitas itu dapat disadari sejak seseorang menyadari bahwa orang lain juga memiliki hak
‐
haknya, sebagaimana Neill mengatakan “anak harus diberitahu bahwa orang orang lain memiliki hak haknya” [Neill, 1972, 374]. 34 Dengan ‐
‐
perkataan lain, orang orang pun memiliki kebebasannya, dan perlu ‐
ditanamkan ke dalam diri para siswa ide tentang komunitas [bdk. Neill, 1972, 374]. Neill menambahkan, “jika aku mengganggu komunitas, komunitas akan menghukum aku dengan pengasingan dan kebencian. Kita semua memiliki hak untuk menjalani hidup kita sendiri sendiri, tetapi dalam ‐
menghayatinya kita harus hidup dalam harmoni dengan komunitas” [Neill 1972, 374]. 35
Implikasi dari penjelasan Neill ini adalah pemahaman tentang kebebasan. Orang boleh melakukan apa saja yang ingin ia lakukan asalkan ia tidak mengganggu kebebasan orang lain [bdk. Neill, dlm Naomi, 2004, 282]. Dalam praktik, pandangan Neill tentang kebebasan dan komunitas ini berkaitan dengan prinsip swakelola [self government ] yang kemudian ‐
diterapkan dalam Rapat Umum demokratis di Summerhill.
34 35
... the bairn must be told that others have rights. If I offend against the community, the community will punish me with ostracism or bitterness. We have all rights to live our own lives, but in living them we must live in harmony with community.
27
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
8. Aplikasi dari Konsep konsep Dasar Pendidikan ‐
Pada bagian ini, saya akan membahas penerapan konsep konsep ‐
dasar tersebut di atas. Konsep konsep dasar pendidikan yang disaring dari A ‐
Dominie’s Log inilah yang diterapkan oleh Neill sewaktu menjabat Kepala Sekolah Gretna Green, Skotlandia. Bagian penjelasan tentang aplikasi pendidikan di bawah ini terbagi menjadi dua pokok bahasan, yakni sistem koedukasi dan bentuk pengajaran. Sistem pendidikan yang dikehendaki oleh Neill adalah sistem koedukasi [bdk. Neill, 1993, 86]. 36 Neill sendiri mengagumi sistem koedukasi, dan ia berpendapat bahwa sistem koedukasi adalah hal terhebat dalam sistem
pendidikan
negerinya.
Baginya,
sekolah sekolah ‐
seharusnya
menerapkan sistem koedukasi ini karena hidup kita di dunia ini bersifat koedukasional [bdk. Neill, 1993, 86]. Dengan sistem koedukasi, para siswa lekas belajar interdependensi antarseks; anak laki laki dan perempuan mulai ‐
lekas memahami satu sama lain. Pergaulan antara anak laki laki dan ‐
perempuan nampak sangat sehat. Seorang anak laki laki atau perempuan ‐
tidak lagi memiliki ilusi dan delusi atau khayalan terhadap lawan jenisnya. Hal ini dipandang Neill dapat mengatasi perspektif keliru yang dimiliki anak laki laki atau perempuan terhadap lawan jenisnya. Misalnya, ketika ‐
berbicara tentang Gerakan Kaum Perempuan sewaktu mengajar, Neill mendapati bahwa semua siswa menyetujui bahwa perempuan tidak seharusnya memiliki hak suara dengan berbagai alasan yang menyudutkan
36
Koedukasi adalah sistem pendidikan bersama untuk anak laki-laki dan perempuan. Koedukasi di sini bukanlah sistem di mana anak laki-laki dan perempuan duduk dan belajar bersama dalam satu kelas namun lalu menginap di tempat yang terpisah, melainkan mereka hidup bersama membentuk suatu komunitas dalam model asrama.
28
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
keberadaan perempuan. 37 Ini adalah salah satu contoh bagaimana kesepakatan atau stereotipe masyarakat begitu menentukan pemikiran anak anak waktu itu. Berkaitan dengan sistem ini, Neill menambahkan: ‐
“Semua bahaya pemujaan kaum perempuan disingkirkan; anak anak laki ‐
‐
laki melihat bahwa anak anak perempuan adalah manusia biasa dengan ‐
banyak kekurangan dan kelebihan” [Neill, 1972, 386].38 Dalam sistem koedukasi yang sesungguhnya, anak anak hampir tidak lagi memendam ‐
rasa ingin tahu mereka yang memalukan tentang seks. Dapat dikatakan, anak anak tidak lagi cemas atau penasaran mengenai seks [bdk. Neill, 1993, ‐
86]. Maka, memisahkan anak laki laki dan anak perempuan, dipandang ‐
Neill, akan merusak perspektif mereka dalam memandang dan menilai lawan jenis [bdk. Neill, 1972, 386 387]. ‐
Di sini, sebenarnya, pendidikan seks pun diterapkan secara langsung melalui pergaulan sehari hari antara anak laki laki dan perempuan. Di ‐
‐
samping memberikan pendidikan tentang seks kepada anak anak di dalam ‐
kelas, sistem koedukasi ini dapat dikatakan sebagai sebuah sikap pendidikan yang tidak lagi mengabaikan apa itu seks. Koedukasi menjadi jalan untuk menjunjung seks ke kedudukannya yang pantas sebagai hal yang indah dan menakjubkan, sebagai fakta hidup yang normal atau alami. Sistem pendidikan semacam ini membuat anak menjadi jujur terhadap hidupnya sendiri, khususnya tentang seks. Maka, sistem koedukasi ini menjadi sistem pendidikan yang membuat hidup para siswa menjadi sehat.
37
Alasan-alasan yang menyudutkan posisi perempuan itu adalah: “They
can’t fight like men,” said a boy. [...] “Women speak too much,” said Margaret Steel [a lassie]. [...] “Women have not the bairns,” said a boy [lih. Neill, 1972, 401]. 38 All danger of putting women on a pedestal is taken away; the boys find that the girls are ordinary humans with many failings and many virtues.
29
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Penerapan dari konsep konsep di atas juga berlaku dalam pengajaran ‐
‐
pengajaran yang Neill lakukan di Gretna Green. Dalam hal ini, saya menangkap bahwa Neill membuat sebuah kurikulum sendiri, lepas dari kurikulum standar nasional negara setempat. Neill memasukkan karangan, membaca, dan aritmatika ke dalam kurikulum. Latihan dan musik akan dimasukan ke dalam waktu bermain, dan membuat sketsa akan menjadi hobi sampingan selama hari hari musim panas [Neill, 1972, 442]. ‐
Dalam pemahaman saya, mengenai apa saja yang diajarkan dan bagaimana
bentuk
pengajarannya,
Neill
membagi
bentuk bentuk ‐
pengajaran menjadi dua macam, yakni (1) pengajaran edukasional [yang mendukung tujuan pendidikan yang Neill kemukakan] dan (2) pengajaran non edukasional – yang Neill ingin benahi atau buang dari pengajaran sekolah.
Pertama tama, pengajaran harus sesuai dengan makna dan tujuan ‐
pendidikan, yakni demi hidup itu sendiri. Hal ini tentu terkait dengan pemberian kebebasan dan pengembangan diri anak anak sebagai manusia ‐
dengan memiliki sebuah sikap hidup. Pengajaran di sini dikembalikan kepada ego anak sendiri. Di sini, usia anak anak adalah saat di mana ego ‐
perlu dipentingkan dan ditekankan. Itu semua demi tujuan pendidikan sebagai jalan mempersiapkan diri setiap anak untuk menjalani hidupnya sendiri. Dua hal penting yang menunjang pengajaran edukasional adalah imajinasi dan humor. Selain itu, pengetahuan tentang seks sebagai fakta hidup yang normal pun layak dibuka di hadapan para siswa. Berikut adalah tiga pokok utama pengajaran edukasional Neill:
30
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
1. Imajinasi Pada prinsipnya, bentuk pengajaran yang dipilih oleh Neill adalah yang menyokong dan merangsang kemampuan anak untuk berimajinasi dan berpikir secara otentik. Maka, imajinasi ditekankan dalam pengajaran dan merupakan hal penting yang perlu ditanamkan ke dalam diri anak anak. ‐
Neill berpendapat: “bangsa ini menderita kekurangan imajinasi; sedikit dari kita dapat berimajinasi tentang keadaan masyarakat yang lebih baik, sebuah kehidupan yang lebih utuh” [Neill 1972, 376]. 39 Di sini, nampak jelas bahwa imajinasi adalah salah satu aspek penting dalam diri anak yang dilupakan banyak orang tetapi sebenarnya dapat membuat hidup lebih utuh jika dikembangkan. Neill tidak menginginkan pengajaran yang menuntun orang cukup hanya mencari nafkah, cukup menjadi seorang pekerja, karena hidup manusia itu tidak hanya untuk bekerja dan mencari nafkah saja. Guru perlu memberikan bentuk pengajaran yang mampu menstimulasi imajinasi seorang anak. Maka, mata mata pelajaran yang menurut Neill perlu ‐
diajarkan adalah mata pelajaran yang penuh dengan ide ide dan dalam ‐
bentuk cerita.
Bagi Neill, mengajar bahasa Inggris bukanlah mengajarkan gramatika yang berubah setiap saat sampai dengan mengarang sebuah tulisan. Semua yang dibutuhkan anak adalah mengetahui bagaimana berbicara dan bagaimana menulis dengan benar. Maka, Neill ingin menghilangkan istilah subjek, predikat, objek, keterangan, kata benda, kata kerja, dan sebagainya. Berbicara dan menulis dengan baik berarti penggunaan idiom yang baik, dan
39
The nation suffers from lack of imagination; few of us can imagine a better state of society, a fuller life.
31
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
idiom adalah penyusunan kata kata paling baik dari orang orang terbaik ‐
‐
pada waktunya.
Sebagai latihan menalar, para siswa lebih baik menggunakan waktu untuk belajar matematika daripada memelajari gramatika dan analisis kalimat yang bagi Neill dapat sangat melelahkan. Juga, mengajar pengejaan terkait dengan logika. “Pengejaan melemparkan logika itu ke udara. Aku katakan kepada seorang anak bahwa ‘cough’ adalah ‘coff ’, dan logika membuatnya mengira bahwa ‘rough’ adalah ‘roff ’ and ‘through’ adalah ‘throff ’” [Neill, 1972, 384]. 40
Selain itu, kegiatan yang merangsang anak mengeluarkan ide ide ‐
adalah membaca drama atau cerita [bdk. Neill, 1972, 382]. 41 Anak anak ‐
sangat suka dengan bacaan yang bernuansa drama ketimbang prosa karena memang, menurut Neill, prosa itu mematikan jiwa tulisan. Neill menginginkan sebuah buku bacaan yang secara khusus disajikan untuk anak anak. Neill juga ingin melihat cerita lengkap dengan dialog cemerlang; ‐
setiap rajutan ceritanya dimulai dengan dialog [bdk. Neill, 1972, 384]. Kemudian, naskah naskah drama juga perlu disajikan dalam pengajaran bagi ‐
para siswa. Menurut Neill, anak anak akan menemukan banyak ide di ‐
dalamnya. Misalnya, dalam suatu pengajaran, Neill menceritakan: “Aku harus membacakan kembali Widowers’ Houses karya Shaw ... . Aku ingin menunjukkan hal hal alami di dunia ini – jiwa dan tubuh yang berputar untuk ‐
40
Now Spelling throws logic to the winds. I tell a child that ‘cough’ is ‘coff’, and logic leads him to suppose that rough is ‘roff’ and ‘through’ is ‘throff’. 41 Neill menceritakan betapa menariknya cerita itu, demikian: “A West African came to school the other day, and asked me to allow him to tell [for a consideration] the story of his home life. [...] He talked for half-anhour about habits of his home, the native schools, the dress of the children; then he sang the native version of ‘Mary had a Little Lamb’ [great applause]. The lecture was first rate. ”
32
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
memeroleh keuntungan, kesengsaraan kemiskinan dan kedinginan, keletihan kerja keras” [Neill, 1972, 389]. 42 Di sini, Neill melihat bahwa cerita atau drama yang penuh dengan dialog menjadi sarana untuk merangsang perkembangan imajinasi anak anak. ‐
Di samping itu, Neill menganggap bahwa membuat sketsa, musik, dan puisi adalah pelajaran yang menarik dan penting bagi anak anak. Baginya, ‐
mengajarkan anak membuat sketsa, belajar musik, dan puisi dimaksudkan untuk membuat seorang anak menyadari kehidupan yang lebih lengkap dengan keindahan yang senantiasa ada di dalamnya. Membuat sketsa adalah proses belajar yang menyenangkan dan akan lebih membangkitkan selera [taste] inheren yang baik dibandingkan cabang cabang menggambar ‐
lainnya. Menggambar lebih sketsa berarti sebuah seni, bukan sekadar untuk mengembangkan pengamatan dan semata mata tergolong dalam Estetika. ‐
Juga, puisi penting bagi anak anak karena bagi Neill, puisi dimaksudkan ‐
untuk menguji kemampuan mereka dalam menghargai suara [bdk. Neill, 1972, 380]. Dalam hal ini, puisi panjang dibenci oleh anak anak, dan tidak ‐
baik meminta mereka menghafalkan puisi yang panjang itu. Neill memerhatikan bahwa para siswanya memiliki kecintaan murni akan puisi.
Berkaitan dengan aspek imajinasi, tulisan tangan juga menjadi hal yang penting untuk mengembangkan daya imajinasi anak. Tulisan tangan bukanlah suatu ilmu pengetahuan praktis, melainkan sebuah seni layaknya menggambar sketsa. Tulisan tangan adalah seni yang orang buat menjadi sebuah gaya bahasa yang membuat tulisan itu baik. Dalam kaitannya dengan pelajaran menulis dengan tangan ini, bagi Neill, orang cenderung 42
I must re-read Shaw’s Widowers’ Houses ... . I want to direct this innate things in the world – the grinding soul and body in order to gain profits, the misery of poverty and cold, the weariness of toil.
33
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
praktis. Neill mengatakan: “dulu aku biasanya melihat sebuah pengumuman di Universitas Edinburgh: ‘John Brown, Practical Chimney Sweep’. Aku dulu seringkali bertanya tanya apa itu tukang pembersih cerobong asap dalam ‐
penjelasan teoretisnya, dan aku seringkali berharap aku dapat bertemu” [Neill, 1972, 382]. 43 Neill berpendapat, “seharusnya guru menjelaskan gagasan atau teorinya tentang apa itu tukang sapu, pegawai kereta api, pembajak, pelayan” [Neill, 1972, 382]. 44
Juga, bagi Neill, aritmatika adalah seni bukanlah sains. Ia menegaskan agar orang kembali prinsip pertama, yakni mengajukan pertanyaan yang membuat anak berpikir sepanjang waktu. Sementara itu, pelajaran ilmu alam akan menjadi pelajaran yang menyedihkan jika hanya berupa pengamatan tanpa dikombinasikan dengan kecerdasan berpikir, misalnya dalam kasus Darwin. Dalam hal ini, pengamatan seharusnya mengikuti fantasi, kata Neill. Dari pengalaman hidupnya, Neill menambahkan sesuatu yang menarik dari pelajaran ilmu alam: “Aku memeroleh sedikit ilmu alam dari buku murah Grant Allen tentang tanaman. Buku ini menyenangkan karena penuh dengan imajinasi yang mendekati gaya Yankee. Buku ini meneorisasikan semua hal – rumput mengembangkan selembar tipis daun yang panjang agar bisa mengarah ke matahari; tembakau liar memiliki daun yang lebar karena ia tidak perlu memedulikan kompetisi dengan tanaman lainnya, ia dapat tumbuh di tanah liat lembab di pinggiran jalan kereta api ...” [Neill, 1972, 407]. 45
43
I used to see a notice in Edinburgh: ‘John Brown, Practical Chimney Sweep’. I often used to wonder what a theoretical chimney sweep might be, and I often wished I could meet one. 44 … a teacher should turn out theoretical sweeps, railwaymen, ploughmen, servants. 45 I got my scanty Nature Study from Grant Allen’s little shilling book on plants. It was a delightful book full of an almost Yankee imagination. It theorised all the way – grass developed a long narrow blade so that it might edge its way to the sun; wild tobacco has a broad blade because it doesn’t need to care tuppence for the competition of other plants, it can grow on wet clay of railway bankings .
34
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Maka, dalam pelajaran ilmu alam, anak anak pun dituntun membuat sebuah ‐
teori, sehingga imajinasi di sini menjadi penting.
Akhirnya, pendidikan yang merangsang anak menjadi imajinatif menemukan penerapannya dalam tes atau ujian. Naskah ujian seharusnya dibuat dengan model yang menekankan kemampuan para siswa untuk mengembangkan ide ide [bdk. Neill, 1972, 409 410]. Neill mengecam ‐
‐
sebuah sistem ujian yang membatasi waktu, yang tercantum di setiap kertas ujian. Bertolak dari pengalaman kuliahnya, Neill mengatakan: “Blyth Webster, pengajar muda sastra Inggris yang bersih dan rapi di Universitas Edinburgh, dulu menyediakan waktu tak terbatas bagi kami untuk mengerjakan tugas tugas Inggris Kuno” [Neill, 1972, 409].46 Alasannya, ‐
setiap siswa menulis dan berpikir dengan kecepatan berbeda beda, dan ‐
batas waktu selalu tidak adil. Dalam praktiknya, untuk ujian mata pelajaran sejarah, Neill sebagai pengawas membolehkan setiap siswa menggunakan buku
pelajaran.
Neill
yakin
bahwa
naskah
ujian
tersebut
akan
menyingkapkan tiap anak jenius yang kemampuannya terabaikan.
2. Humor Neill juga menganggap humor adalah hal yang sangat penting dalam pengajaran. Baginya, humor membuat seseorang dipandang layak, baik hati, dan manusiawi. Kejenakaan membuat orang menjadi gembira. Maka dapat dikatakan, rasa humor adalah rasa kegembiraan. Dalam kaitannya dengan kegiatan mengajar, Neill mengatakan: “buatlah suara menyerupai seekor 46
Blyth Webster, the racy young lecturer in English in Edinburgh University, used to allow us an indefinite time for our Old English papers.
35
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
bebek dan mereka akan berteriak, tetapi ceritakan kepada mereka lelucon terbaik dan mereka akan bosan menangis” [Neill, 1972, 375].47 Dalam praktiknya, aspek imajinasi dan humor dapat digabungkan dalam pengajaran di kelas, sebagaimana Neill memberi contoh demikian: “dalam pelajaran mengarang, aku memberi banyak otobiografi – sebuah topi, satu sen, sebuah sepatu bot tua, sebuah hidung, sebuah gigi. Hari ini aku minta mereka menggambarkan dari sudut orang pertama tentang perjalanan seekor siput sampai di ujung jalan” [Neill, 1972, 375].48 Dengan demikian, humor tetaplah perlu dimasukkan dalam pengajaran karena humor pun tak bisa lepas dari hidup yang utuh.
47 48
Make a noise like a duck and they will scream, but tell them your best joke and they will be bored to tears. In their composition I give them many autobiographies – a tile hat, a penny, an old boot, a nose, a tooth. Today I asked them to describe in the first person a snail’s journey to the end of the road.
36
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
3. Pendidikan Seks Bagi Neill, pemahaman tentang seks harus masuk dalam skema pendidikan, dan pandangan akan seks perlu diperbaharui menjadi sesuatu yang dapat dijelaskan secara rasional kepada anak anak. Untuk itu, seks ‐
perlu diangkat hingga mencapai kedudukan yang pantas sebagai sebuah anugerah indah dan menakjubkan, sebagaimana Neill mengungkapkan: “Cita cita sebagian dari kami adalah untuk mengangkat seks ke posisinya ‐
yang pantas sebagai sesuatu yang indah menakjubkan” [Neill, 1972, 397]. 49
Atas dasar pengamatan Neill, pendidikan sekarang ini memiliki sikap yang mengabaikan seks, dan hasilnya, seks tetaplah sebuah kesunyian yang disepakati
diam diam. ‐
Di
masa
hidupnya,
para
guru
diharuskan
menyampaikan dan mengajarkan kepada anak anak bahwa kelahiran adalah ‐
suatu aib bagi kemanusiaan. Namun, Neill ingin agar anak anak diberi ‐
penjelasan dan pemahaman rasional mengenai seks sebagai fakta kehidupan normal [bdk. Neill, 1972, 397]. 50 Pada kenyataannya, Neill menghadapi masalah berkenaan dengan hal ini: “Bagaimana bisa aku mengajak siswa siswiku untuk mendapatkan sebuah pandangan dasar ‐
rasional tentang seks dan bukan sebuah pandangan konvensional yang munafik? Bagaimana bisa aku menyampaikan kepada mereka realisasi bahwa keutamaan kita kebanyakan adalah pengecut, bahwa moralitas seks kita hanya didasarkan atas pertanggungjawaban” [Neill, 1972, 397]? 51 Neill
49 50
51
The ideal some of us have is to raise sex to its proper position as a wondrous beautiful thing .
Keinginan Neill ini terbentur dengan kenyataan yang dia hadapi di Sekolah Gretna Green bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa; jika Neill menyebutkan seks di sekolah, ia pasti dipecat suatu ketika. Keinginannya untuk memasukkan dan memperkenalkan seks dalam skema pendidikannya akan terwujud jika ada seorang dermawan yang akan datang terus dan menawarkan kepadanya sebuah sekolah privat yang sesuai dengan harapannya. How can I bring my bairns to take a rational elemental view of sex instead of a conventional hypocritical one? How can I convey to them the realisation that our virtue is mostly cowardice, that our sex morality is founded on mere responsibility?
37
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
mengatakan bahwa para siswa sebaiknya mendapat pendidikan seks ketika mereka berusia sembilan tahun. Kisah tentang kelahiran bayi sangat menyenangkan. Bagi Neill, menghilangkan atau menutup nutupi seks ‐
sebagai kebenaran yang sesungguhnya di hadapan seorang anak adalah tindakan kejam. Pendidikan tentang seks, yakni memberi penjelasan rasional tentang seks kepada para siswa, menjadi pendekatan lebih lanjut dari sistem koedukasi. Pendidikan seks ini menjadi sarana agar para siswa menjalani hidup yang lebih sehat. Singkatnya, Neill ingin para siswanya mengenal seks sebagai sesuatu yang sehat dalam kehidupan.
Sementara itu, model pengajaran non edukasional atau yang tidak sesuai dengan apa itu pendidikan adalah model sebaliknya, yakni yang menyederhanakan segala hal dan mematikan kemampuan berpikir seorang anak. Hal ini diungkapkan oleh Neill demikian: “Sangatlah sulit bagi setiap guru untuk menjauh dari sebuah kebiasaan. Upaya terus menerus untuk ‐
menyederhanakan dan memudahkan berbagai hal mematikan intelek” [Neill, 1972, 410]. 52 Tentu saja, model pengajaran semacam ini akan membuat anak tidak kritis dengan situasi yang dihadapinya. Model ini membuat orang tidak mampu membongkar semua konvensi, ketakhayulan, dan kemunafikan dalam masyarakat. Maka, model pengajaran seperti ini perlu dibuang dan digantikan dengan yang benar benar mendidik anak – ‐
termasuk cara pengajaran setiap mata pelajaran yang diajarkan para guru di sekolah. Ada beberapa hal yang tergolong non edukasional, misalnya lagu patriotis yang kerap dikumandangkan di sekolah sekolah, mata pelajaran ‐
52
It is extremely difficult for any teacher to keep from getting into a rut. The continual effort to make things simple and elementary for children is apt to deaden the intellect.
38
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
sejarah, dan agama. Berikut adalah beberapa unsur yang Neill saringkan sebagai ‘non edukasional’: ‐
1. Lagu lagu Patriotis ‐
Neill menentang pengajaran yang menuntun anak anak untuk ‐
memiliki semangat patriotis. Biasanya, lagu lagu patriotis diterbitkan untuk ‐
digunakan di sekolah. Neill sendiri tidak mengerti kekuatan dari mengajarkan anak anak untuk menjadi patriotis. Baginya, orang yang ‐
berpandangan bahwa seorang guru dapat mengajar siswanya untuk mencintai tetangga atau negaranya adalah orang bodoh. Mengibarkan bendera adalah sebuah kesia siaan terakhir dari sebuah cita cita mulia. Neill ‐
‐
merasa aneh bahwa semua orang bergelar ini menyebarkan imperialisme dan patriotisme, dan lagu “Make the Foreigner Pay ” [buatlah orang asing membayar] adalah musuh bagi kaum buruh. Mereka secara khusus tidak ingin melihat negara yang tidak lagi memiliki kawasan gembel dan perbudakan. Mereka sangat sibuk memikirkan sebuah skema untuk memperluas kekaisaran sampai ke luar negeri, namun mereka tidak punya waktu untuk berpikir tentang kekaisaran di rumah sendiri.
Neill menolak mengajarkan para siswa untuk menyanyikan ”Britons
never, never, never shall be slaves” [“warga Britania Raya tidak pernah, tidak pernah, tidak pernah akan menjadi budak”]. Menurut Neill, pandangan utama dari si pecinta tanah air, si patriot, adalah bahwa seseorang harus siap mati demi negaranya. Memang mati demi negara adalah hal hebat, tetapi bagi Neill, lebih hebat lagi, jika orang hidup demi negara. Akan tetapi, orang yang berusaha hidup demi negaranya biasanya memeroleh julukan sebagai
39
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
“pengkhianat”. Meskipun demikian, Neill tetap menekankan pentingnya bagaimana anak anaknya kelak menjadi orang yang mampu hidup, sebagai ‐
tujuan utama dari skema pendidikannya. Dengan demikian, Neill melawan pandangan umum mengenai patriotisme.
2. Pengajaran Sejarah Neill memandang bahwa pengajaran sejarah di sekolah semuanya keliru karena berdasarkan penelitiannya, pengajaran sejarah di sekolah cenderung menekankan peristiwa. Pengajaran sejarah di sekolah biasanya bercerita tentang keangkuhan yang tidak jauh dari kisah tentang raja dan ratu. Dalam pendapat Neill, sebaiknya para guru menceritakan kepada anak anak yang lebih muda dongeng dongeng tentang adipati jahat dan anak ‐
‐
‐
anak yang lebih tua diarahkan untuk berpikir tentang apa makna sejarah.
Dalam hal ini, Neill yakin anak berusia 11 tahun dapat menangkap logika sebab dan akibat. Sejarah seharusnya menceritakan kisah rakyat dan perkembangan mereka tahap demi tahap, dari masa perbudakan ke masa ‐
‐
yang penuh keringat. Pengajaran sejarah juga tidak pernah membuat anak berpikir. Dalam hal ini, Neill mengatakan: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang menyebutkan bahwa Magna Charta ditandatangani karena semua kelas di negara ini pada saat itu bersatu. Aku tidak pernah melihat seseorang menunjukkan bahwa kekhasan utama dalam sejarah Skotlandia adalah kurangnya sebuah pemerintahan pusat yang kuat” [Neill, 1972, 381]. 53 Lagipula, pengajaran sejarah di sekolah hampir selalu memberikan kesan buruk tentang orang dan peristiwa, sebagaimana Neill berpendapat: 53
I have not seen one that mentioned that Magna Charta was signed because all classes in the country happened to be united for the moment. I have not seen one that points out that the main feature in Scots history is the lack of a strong central government .
40
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
“Setiap anak sekolah Skotlandia berpikir bahwa Edward I dari Inggris adalah sekaligus seorang pencuri dan pengganggu orang lemah dalam satu paket. Kehebatan Edward sebagai penjamin hukum diabaikan; setidaknya kita harus memberinya penghargaan untuk kenegarawanannya dalam upaya menyatukan Inggris, Skotlandia, Wales.” [Neill, 1972, 381] 54
Karena itu, Neill yakin bahwa dia akan membuang mata pelajaran sejarah dari kurikulum yang dia buat sendiri di sekolahnya sebelum ada perubahan dalam penulisan sejarah sesuai dengan yang ia harapkan.
3. Pengajaran Agama Berkaitan dengan pengajaran agama, Neill merasa bahwa mengajar agama bukanlah pekerjaannya. Neill sendiri menduga bahwa ia tidak memiliki pandangan yang pasti tentang pengajaran agama kepada anak
‐
anak, meski ia punya dugaan yang sangat samar samar tentang apa arti ‐
agama. Sebagai seorang guru, Neill tidak bisa mendorong anak anak untuk ‐
memeluk suatu agama, tapi ia dapat mencegah mereka agar tidak dengan bodoh menjadi berpandangan sempit. Namun, pada pokoknya, sebagai guru, dia cukuplah menjadi seorang Nietzschean 55 yang memerotes pengajaran yang membuat anak anak menjadi penurut dan rendah diri [bdk. ‐
Hardiman, 2004, 258]. Pengajaran agama, menurut Neill, cenderung dimaksudkan untuk mengajarkan orang bagaimana cara untuk mati. Ini bertentangan dengan tujuan pendidikan (yang ingin Neill tuju), yakni 54
55
Every Scots schoolboy thinks that Edward I of England was a sort of thief and bully rolled into one ... . Edward’s greatness as a lawgiver is ignored; at least we ought to give him credit for his statesmanship in making an attempt to unite England, Scotland, and Wales .
Menjadi seorang Nietzschean di sini, dalam pembacaan saya, berarti bahwa dia terinspirasi untuk mengikuti Nietzsche yang “termashyur sebagai orang yang paling sengit mengoyak-koyak segala sesuatu yang dinilai suci dan luhur dalam agama Kristen dan kebudayaan Barat” [Hardiman, 2004, 258].
41
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
mengajarkan kepada anak anak bagaimana caranya untuk hidup. Bagi Neill, ‐
inilah agama yang sesungguhnya.
Rangkuman Dalam A Dominie’s Log, Alexander Sutherland Neill merumuskan konsep konsep dasar pendidikan dan aplikasinya di Sekolah Gretna Green, ‐
Skotlandia, dan nantinya dikembangkan di Sekolah Summerhill. Neill menyadari bahwa bagian terpenting dalam pendidikan bukanlah apa saja yang diajarkan, bagaimana metodenya, dan peraturan peraturan apa saja ‐
yang harus ditaati oleh para siswa. Jika ketiga hal itu yang diutamakan, maka yang terjadi adalah bahwa anak anak akan menjadi generasi yang sama saja ‐
dengan generasi sebelumnya. Dengan perkataan lain, setiap anak di kemudian hari akan memiliki suatu kepribadian artifisial yang diciptakan dari luar dirinya. Justru di sinilah permasalahan yang ingin diangkat oleh Neill.
Yang paling penting dan utama dalam pendidikan adalah si anak sendiri yang ingin belajar di sekolah. ‘Diri’ dari si peserta pendidikan – anak
‐
anak – menjadi pijakan awal dalam menjalani kehidupan sebagai tujuan utama dari pendidikan menurut Neill. Diri di sini ditekankan dari konsep
‐
konsep Neill tentang sikap hidup, swa disiplin, dan kebebasan. Dengan ‐
menemukan dan memiliki sikap hidup, anak akan mampu membongkar semua konvensi, ketakhayulan, dan kemunafikan di sekitarnya. Maka, ego ditekankan sebagai hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hidup seorang anak demi kehidupan itu sendiri.
42
Konsep konsep Dasar Pendidikan Menurut A.S. Neill ‐
Akan tetapi, Neill juga menyertakan ide tentang komunitas sebagai pembatasan terhadap kebebasan individual anak agar tetap memerhatikan hak hak individu orang lain di dalam komunitasnya. Di sini, yang ingin ‐
ditekankan adalah dimensi sosial sebagai dimensi penting lainnya dalam proses pendidikan. Konsep ini kemudian berkembang di Sekolah Summerhill menjadi konsep ‘swakelola’ dan Rapat Umum sebagai aplikasinya.
Karena itu, menurut Neill, pendidikan bukanlah sesuatu yang mandeg, melainkan senantiasa dinamis dalam kehidupan. Dalam hal ini, pendidikan harus memiliki orientasi dan perhatian pada anak anak. Pendidikan menjadi ‐
hal yang bukan dipaksakan dari luar, tetapi menjadi bagian dari diri anak. Selain itu, pendidikan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang karena pendidikan menuntun anak untuk menatap dan menjalani kehidupannya sendiri. Neill yakin kebahagiaan akan terwujud dengan sendirinya dalam diri anak melalui proses pendidikan yang dijalaninya.
43
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
KAJIAN FILOSOFIS ATAS PENDIDIKAN SUMMERHILL
Kebebasan menjadi semboyan pokok dalam model pendidikan Summerhill. Kebebasan itu tampak dari pelajaran pelajaran yang bersifat ‐
fakultatif. Anak anak dapat mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran ‐
‐
pelajaran, bermain main atau melakukan apa saja yang mereka sukai – ‐
bahkan bertahun tahun selama mereka menginginkannya. Di Summerhill, ‐
metode pengajaran tidak terlalu dianggap penting. “Kami tidak memiliki metode pengajaran baru, karena kami tidak menganggap bahwa pengajaran pada dirinya sendiri sangat bermasalah” [Neill, 1993, 9].56
Anak yang ingin belajar akan belajar, tidak peduli bagaimana metode yang digunakan untuk mengajar. Apakah yang dapat ditafsirkan dari pernyataan Neill, “Dalam sekolah kami, kebebasan berarti melakukan apa yang orang inginkan selama tidak mencampuri kebebasan orang lain” [Keohane, 1970, 408]? 57 Dalam praktik Summerhill, anak anak diberi ‐
kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri, dan itu berarti bebas dari keputusan dan intervensi orang dewasa. “Mereka tidak diawasi dan tidak ditunggui. Mereka dibiarkan bebas begitu saja. Tidak ada yang menentukan pakaian apa yang harus mereka kenakan: mereka boleh mengenakan pakaian apa pun dan kapan pun sesuka mereka” [Neill, 1993, 8]. 58 Untuk itu,
56
We have no new methods of teaching, because we do not consider that teaching in itself matters very much. In our school, freedom means doing what you like so long as you do not interfere with the freedom of others. 58 The pupils do not have to stand room inspection and no one picks up after them. They are left free. No one tells them what to wear: they put on any kind of costume they want to at any time. 57
44
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
“kami harus meninggalkan semua kedisiplinan, semua petunjuk, semua anjuran, semua pendidikan moral, semua pengajaran agama” [Neill, 1993, 9].59
Jika demikian, apakah anak tidak memiliki tanggung jawab? Neill menegaskan, “Fungsi anak adalah menjalani hidupnya sendiri – bukan hidup yang harus dijalaninya sesuai dengan apa yang dicemaskan orang tuanya, atau hidup yang sesuai dengan maksud pendidik yang merasa tahu apa yang terbaik. Semua campur tangan dan bimbingan orang dewasa ini hanya menciptakan sebuah generasi robot” [Neill, 1993, 15]. 60
Pemikiran tentang kebebasan yang diterapkan oleh model pendidikan Summerhill ternyata tidak bisa dilepaskan dari enam pokok penting – semua saling terkait – yang diyakinin Neill, yakni: (1) kebaikan alami anak, (2) permainan, (3) swa atur [self regulation], (4) ketulusan, (5) komunitas, dan ‐
‐
(6) kebahagiaan. Sebagian pokok pokok ini sudah dipaparkan dalam Bab II ‐
namun diulang demi kesalingan dengan pokok pokok lainnya. ‐
59
In order to do this, we had to renounce all discipline, all direction, all suggestion, all moral training, all religious instruction. 60 The function of the child is to live his own life – not the life that his anxious parents think he should live, nor a life according to the purpose of the educator who thinks he knows what is best. All this interference and guidance on the part of adults only produces a generation of robots.
45
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
1. Kebaikan Alami Anak Gagasan Neill mengenai kebebasan ini tidak lepas dari premis yang mendasari seluruh filsafat Neill, yakni keyakinannya akan sifat sifat dasar ‐
atau alami anak, yang dikenal dengan ide tentang kebaikan alami anak. Ide tentang kebaikan alami anak ini membuat Neill mendukung apa yang tampak sebagai kebebasan yang luas cakupannya bagi si anak. Neill mengatakan, “Kami mendirikan sekolah yang di dalamnya kita harus membiarkan anak anak bebas menjadi diri mereka sendiri. Semua yang dibutuhkan untuk mewujudkan itu adalah bahwa kami memiliki keyakinan utuh tentang anak sebagai makhluk baik, bukan jahat. Selama lebih dari 50 tahun, kepercayaan ini tidak pernah luntur; justru makin menjadi keyakinan akhir kami” [Neill, 1993, 9].61 ‐
Neill tidak percaya bahwa rata rata anak lahir sebagai automaton 62 yang ‐
lumpuh, penakut, dan tanpa jiwa, melainkan dengan kemampuan penuh untuk mencintai dan kagum akan kehidupan [lih. Berryman, 2000, 51]. 63 Pendapat Berryman tampak jelas dalam pernyataan Neill, “seorang anak itu secara alami bijaksana dan realistis. Jika seorang anak dibebaskan dari segala bentuk nasehat orang dewasa, dia akan berkembang sejauh dia mampu berkembang” [Neill, 1993, 9]. 64 Dengan keyakinan itu, Summerhill diciptakan sebagai sebuah tempat di mana orang dihargai punya kemampuan alami. Mereka yang ingin menjadi sarjana akan menjadi
61
Well, we set out to make a school in which we should allow children freedom to be themselves. … All it required was what we had - a complete belief in the child as a good, not an evil, being. For fifty years this belief in the goodness of the child has never wavered; it rather has become a final faith. 62 Automaton adalah manusia yang berperilaku seperti mesin [lih. Alwi, 2001, 77]. 63 Neill does not believe that the average child is born a cripple, a coward or a soulless automaton, but with full potentialities to love and be fascinated by life. 64 … a child is innately wise and realistic. If left to himself without adult suggestion of any kind, he will develop as far as he is capable of developing.
46
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
sarjana; sementara mereka yang hanya mampu menyapu jalanan akan menjadi tukang sapu jalanan.
Dengan keyakinan mendasar akan kebaikan alami anak ini, fokus atau perhatian utama pendidikan Summerhill adalah anak anak, bukan harapan ‐
orang dewasa, “Satu kata yang paling sesuai untuk melukiskan Summerhill adalah siswa” [Neill, 1993, 8]. 65 Ketika Neill bersama istri pertama mulai membangun sekolah itu, mereka memiliki satu ide utama, “menyesuaikan
sekolah dengan anak – bukan menyesuaikan anak dengan sekolah” [Neill, 1993, 9]. 66 Ini tentu bertentangan dengan sekolah sekolah biasa yang berdiri ‐
berdasarkan
pandangan
orang
dewasa
bahwa
anak anak ‐
harus
menyesuaikan diri dengan tuntutan sekolah, meskipun seringkali dengan argumen demi kebaikan anak. Bagi Neill, pandangan itu salah sebab menekankan konsepsi orang dewasa mengenai bagaimana anak harus berkembang dan belajar [lih. Neill, 1993, 9]. 67
2. Permainan Kebebasan anak di Summerhill terwujud dalam hak anak untuk bermain. Summerhill adalah sekolah yang membiarkan anak anak ‐
sepenuhnya bebas bermain sesering yang mereka suka. Dari sini, Summerhill dikatakan sebagai sekolah yang memandang permainan sebagai unsur paling penting yang merupakan kebutuhan anak sesuai dengan persepsi anak. “Jika seorang anak yang bebas diminta membuat jadwal
65
Just a word about Summerhill pupils. ... to make the school fit the child – instead of making the child fit the school. 67 It was wrong because it was based on an adult conception of what a child should be and of how a child should learn. 66
47
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
hariannya, hampir pasti ia akan memberikan banyak waktu untuk bermain dan sedikit waktu untuk belajar” [Neill, 1968, 69]. 68
Mengenai permainan, Neill melihat ada kesamaan dalam siklus kehidupan manusia dengan siklus kehidupan binatang. “Mengapa anak anak ‐
manusia dan anak anak kucing suka bermain main, aku tidak tahu ‐
‐
jawabannya. Aku yakin bahwa hal ini berkaitan dengan masalah energi. […] Salah satu teori yang diterima secara umum adalah bahwa anak anak ‐
bermain untuk mempersiapkan diri bagi kehidupannya kelak. Jadi, ketika seekor kucing bermain main dengan tali, ia mempersiapkan diri untuk ‐
mengejar tikus” [Neill, 1993, 32]. 69
Bagi Neill, masa kanak kanak – bukan seperti masa orang dewasa – ‐
adalah masa bermain main, dan tidak seorang anak pun pernah merasa ‐
cukup dalam bermain. Orang dewasa cenderung mengabaikan hal ini, karena cenderung menganggap bahwa bermain bagi kita sama saja dengan membuang waktu [lih. Neill, 1968, 68]. 70 Neill melihat bahwa kecemasan orang dewasa adalah akar dari penolakan orang dewasa terhadap anak anak ‐
yang terlalu banyak bermain. Orang tua cemas bahwa jika anak bermain sepanjang hari, dia tidak akan pernah belajar sesuatu dan dia tidak akan pernah mampu menghadapi ujian ujian. Neill mengatakan bahwa sangat ‐
sedikit orang yang akan menerima jawaban, “Jika anakmu bermain apa saja yang dia suka, dia akan mampu mengerjakan ujian ujian masuk perguruan ‐
tinggi setelah dua tahun belajar dengan intensif, dibandingkan belajar 68
If a free child were asked to make a timetable, he would almost certainly give to play many periods and to lessons only a few. 69 Why children and kittens play I do not know. I believe it is a matter of energy. … the one [of many theories about play] generally accepted being bahwa the young play in order to practise activity for later life, so that when a kitten chases a string it is getting ready for the subsequent mouse. 70 We forget all about it – because play, to us, is a waste of time.
48
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
selama lima, enam, atau tujuh tahun seperti biasa di sekolah yang mengabaikan permainan sebagai suatu faktor dalam hidup” [Neill, 1993, 39]. 71
Teori yang dianut dalam Summerhill, demikian pendapat Neill, adalah bahwa seorang anak yang cukup bermain akan siap bekerja dan menghadapi berbagai kesulitan. Neill membuktikan bahwa teorinya benar karena para siswa senior mampu melakukan pekerjaan dengan baik bahkan ketika melakukan banyak pekerjaan yang tidak menyenangkan [lih. Neill, 1993, 32]. 72
Permainan yang dimaksud Neill di sini bukanlah dalam pengertian olahraga dan permainan yang terorganisir, melainkan dalam pengertian fantasi.
Dikatakan,
“permainan permainan ‐
terorganisasi
melibatkan
kecakapan, persaingan, kerjasama tim. Namun anak anak biasanya tidak ‐
membutuhkan kecakapan apa pun, banyak persaingan, mampu kerjasama tim” [Neill, 1993, 32]. Jika dibebaskan, anak anak cenderung menghindari ‐
pertandingan pertandingan tim dan lebih menyukai permainan fantasi [lih. ‐
Neill, 1993, 34]. 73
Kebijakan Summerhill dengan tegas menyatakan bahwa permainan kreatif dan imajinatif adalah bagian hakiki dari masa kanak kanak dan ‐
71
Hundreds of times I have heard the anxious query, ‘But if my boy plays all day, how will he ever learn anything; how will he ever pass exams?’ Very few will accept my answer, ‘If your child plays all he wants to play, he will be able to pass college entrance exams after two years’ intensive study, instead of the usual five, six, or seven years of learning in a school that discounts play as a factor in life.’ 72 The Summerhill theory is that when a child has played enough he will start to work and face difficulties, and I claim that this theory has been vindicated in our old pupils’ ability to do a good job even when it involves a lot of unpleasant work. 73 When children are free they tend to bypass team games in favour of, for want of a better name, fantasy play.
49
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
perkembangan diri anak. Permainan yang secara spontan dan alami muncul tidak seharusnya dirusak atau dialihkan oleh orang dewasa menjadi pengalaman pengalaman belajar. Permainan adalah milik anak. 74 Bagi Neill, ‐
permainan imajinatif, spontan dan alami yang muncul dari si anak sendiri adalah permainan sejati anak anak. ‐
3. Swa atur [Self regulation] ‐
‐
Pemikiran mengenai kebebasan dalam pendidikan Summerhill itu juga terkait dengan pemikiran Neill mengenai swa atur [self regulation]. Swa atur ‐
‐
‐
sendiri merupakan implikasi dari keyakinan akan sifat dasar manusia, sebuah keyakinan bahwa tidak ada dan tak pernah ada dosa asal [lih. Neill, 1993, 36]. Swa atur bagi Neill mengimplikasikan hak seorang bayi untuk hidup dengan ‐
bebas tanpa otoritas dari luar dalam hal hal jasmani dan rohani. Misalnya ‐
bahwa bayi akan minum ASI ketika lapar; bahwa bayi akan memiliki kebiasaan kebiasaan bersih hanya ketika ia menginginkannya; bahwa bayi ‐
tidak akan pernah diserang atau ditampar; bahwa bayi akan selalu dicintai dan dilindungi. 75 Dengan perkataan lain, swa atur berarti perilaku yang ‐
berasal dari diri sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Gagasan tentang swa atur ini merupakan perkembangan dari gagasan Neill tentang swa ‐
‐
disiplin [self discipline]. 76 ‐
74
Creative and imaginative play is an essential part of childhood and development. Spontaneous, natural play should not be undermined or redirected by adults into learning experiences. Play belongs to the child [Summerhill Policy Statement]. 75 Self-regulation implies a belief in human nature, a belief that there is not, and never was, original sin. Selfregulation means the right of the baby to live freely, without outside authority. It means that the baby feeds when it is hungry; that it becomes clean in habits only when it wants to; that it is never stormed at nor spanked; that it shall always be loved and protected. 76
Gagasan tentang swa-disiplin ini oleh Neill dituliskan dalam buku catatan hariannya sebagai Kepala Sekolah Gretna Green, Skotlandia, yakni A Dominie’s Log.
50
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
4. Ketulusan Ketulusan adalah salah satu karakteristik yang utama dalam model pendidikan Summerhill. Neill melihat bahwa satu hal yang sangat mencolok dalam Summerhill adalah ketulusan sepenuhnya di antara para siswa. Urusan memiliki ketulusan dalam dan bagi kehidupan sangatlah vital. Ini adalah hal yang paling vital di dunia. Jika anak memiliki ketulusan, semua kebaikan lain akan bertambah dengan sendirinya pada dirinya. Penemuan terhebat yang Neill lakukan di Summerhill adalah bahwa seorang anak lahir sebagai makhluk yang tulus [lih. Neill, 1993, 46]. 77
Ketulusan ini tidak bisa dilepaskan dari kebebasan karena kebebasan ini menjadi jalan bagi anak melakukan apa saja dengan tulus, tampil apa adanya dan tidak dibuat buat. Neill sendiri mengatakan, “Kebebasan itu ‐
perlu bagi anak karena hanya dalam kebebasan dia dapat bertumbuh dengan caranya yang alami – cara yang baik. Aku melihat hasil ketidakleluasaan dalam diri para siswa baru yang datang dari sekolah
‐
sekolah lain. Mereka itu penuh dengan ketidaktulusan, menunjukkan kesopanan yang tidak sungguh sungguh dan kelakuan yang palsu” [Neill, ‐
1993, 46]. 78
77
The most striking thing about Summerhill is this absolute sincerity among the pupils. This business of being sincere in life and to life is a vital one. It is really the most vital one in the world. If you have sincerity, all other things will be added to you. ... Possibly the greatest discovery we have made in Summerhill is that a child is born a sincere creature. 78 Freedom is necessary for the child because only under freedom can he grow in his natural way – the good way. I see the results of constraint in new pupils coming from other schools. They are bundles of insincerity, with an unreal politeness and phoney manners.
51
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
5. Komunitas Gagasan Neill tentang kebebasan sebenarnya sudah menjelaskan bahwa kebebasan tetap memiliki batas batasnya. Ini berarti bahwa ‐
keinginan anak tidak perlu dituruti semuanya: “setiap orang harus tahu bahwa ada batas batas untuk seberapa jauh seseorang dapat melakukan apa ‐
yang ia inginkan. Bagi Neill, tidak ada yang disebut sebagai kebebasan penuh” [Darling, 1992, 46]. 79 Pemikirannya ini sebenarnya sudah dikembangkan Neill sejak sebelum mendirikan Summerhill ketika ia mengatakan bahwa ia harus menanamkan ide tentang komunitas karena para siswa harus diberitahukan bahwa orang lain memiliki hak haknya [lih. ‐
Neill, 1972, 374]. 80
Di sini, tampak jelas bahwa di satu pihak Neill tidak ingin anak anak ‐
ditekan oleh kedisiplinan dari orang dewasa, tetapi di pihak lain Neill juga tidak ingin anak anak menjadi manja, bebas melakukan apa saja seraya ‐
mengabaikan kebebasan orang lain. Neill melihat bahwa kemanjaan anak
‐
anak adalah akibat kebijakan yang terlalu berhati hati yang bertumpu di atas ‐
dasar kegagalan untuk memahami perbedaan antara kebebasan dan izin.
Neill membedakan kebebasan menjadi dua macam, yakni kebebasan individual dan kebebasan sosial. Kebebasan individual adalah melakukan sesuka hati apa saja yang hanya berpengaruh pada pribadi orang tersebut dan hanya berkaitan dengan dirinya saja, seperti yang Neill katakan: “dia boleh main main sepanjang hari dan tak masuk sekolah, karena mau belajar ‐
atau tidak adalah urusannya sendiri” [Neill, dlm. Naomi, 2004, 288]. Bagi 79
The child’s every wish need not be granted: everyone has to recognise that there are limits to how far one can do what one wants. There is, says Neill, no such things as complete freedom. 80 I must inculcate the idea of a community; the bair ns must be told that others have rights.
52
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Neill, kebebasan inilah yang harus ada untuk anak. Namun, Neill menolak kebebasan sosial yang berlebih, sebagaimana tampak dari pernyataan berikut: “tapi kalau dia ingin bermain terompet di ruang kelas meski tak mau belajar, ia akan dilarang, karena mengganggu anak anak lain yang ingin ‐
belajar” [Neill, dlm. Naomi, 2004, 288].
Kebebasan, bukan Licence [Boleh] Komunitas sekolah Summerhill menentukan garis batas antara ‘kebebasan’ dan ‘licence [boleh]’, antara apa yang dianjurkan dan apa yang tidak.
‘Boleh’ berarti bahwa seseorang boleh melanggar hak hak dan ‐
kebebasan orang lain. ‘Boleh’ berarti meninggalkan hak hak orang lain; ‐
dengan anak anak normal, ‘boleh’ secara otomatis disingkirkan oleh daya ‐
perasaan komunitas – suatu daya paling potensial dalam setiap kumpulan anak anak atau orang dewasa. Maka, cara untuk mengatasi ‘boleh’ adalah ‐
self government (prinsip swakelola) [lih. Gill, dlm. D’Cruz, 1979, 344]. ‐
Pemilahan antara ‘kebebasan’ dan ‘boleh’ dikembangkan Neill dalam istilah distribusi hak yang diterapkan dalam lingkungan rumah. Dasar pemilahan antara ‘kebebasan’ dan ‘boleh’ ini tidak lepas dari definisi tentang kebebasan menurut Neill yang disebutkan sebelumnya. Penjelasannya diuraikan secara skematis sebagai berikut: 1. Rumah dengan kedisiplinan: orangtua memiliki semua haknya; anak
‐
anak tidak berhak atas apa pun. 2. Rumah anak manja: anak anak memiliki semua haknya; orangtua ‐
tidak berhak sama sekali.
53
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
3. Rumah yang [bebas] layak: orangtua dan anak anak memiliki hak ‐
yang setara [bdk. Darling, 1992, hlm 46].
Berdasarkan penjelasan tersebut, Neill menambahkan: “Jika seorang anak berusia tiga tahun ingin berjalan jalan di atas meja makan, Anda harus ‐
melarangnya. Anak itu harus patuh. Namun, di sisi lain, jika perlu, Anda harus patuh kepadanya. Aku keluar dari kamar anak anak kecil jika mereka ‐
memintaku untuk keluar” [Neill, 1968, 105 106].81 ‐
Pandangan yang diungkapkan Neill adalah bahwa anak anak memiliki ‐
hak haknya sama dengan orang dewasa: ada kewajiban untuk menghargai ‐
hak hak anak anak yang sama dengan kewajiban anak anak untuk ‐
‐
‐
menghargai hak hak orang dewasa. Maka, Neill patuh pada keinginan ‐
‐
keinginan anak anak dengan cara yang sama anak anak patuh pada ‐
‐
keinginan keinginannya. ‐
Kenyataan
akan
masa
kanak kanak ‐
tidak
memengaruhi hak atau kewajiban untuk menghargai hak orang [Darling, 1992, 46]. Dengan demikian, kebebasan bukan berarti boleh melakukan apa saja dengan semena mena tanpa memerhatikan hak atau kebebasan orang ‐
lain, dan ini berlaku baik bagi anak anak maupun bagi orang dewasa. Prinsip ‐
yang harus dipegang oleh orang dewasa untuk menjaga kesetaraan dengan anak anak adalah: ”engkau harus ada di sisi anak. Tidak di atas dia, tidak di ‐
bawah dia. Melainkan seiring, sejajar, dengan dia” [Neill, dlm. Naomi, 2004, 282]. Kebebasan yang diperkenalkan Neill berisi inti universal nilai kebebasan, yaitu hak setiap orang dan kelompok untuk mengurus dirinya
81
If a baby of three wants to walk over the dinning table, you simply tell him must not. He must obey, that’s true. But, on the other hand, you must obey him when necessary. I get out of small children’s rooms if they tell me to get out.
54
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
sendiri lepas dari paksaan [lih. Magnis Suseno, 1987, 117]. Inti universal ini ‐
yang lalu, dalam Summerhill, diwujudkan dalam praktik swakelola.
Rapat Umum: Swakelola dan Demokrasi Summerhill
adalah
sekolah
dengan
prinsip
swakelola
[self
‐
government ], sekolah demokratis, dan prinsip ini tertuang dalam bentuk dalam Pertemuan Umum. “Segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial, atau kelompok, termasuk hukuman untuk pelanggaran sosial, ditentukan melalui pemungutan suara dalam Pertemuan Umum setiap Sabtu malam” [Neill, 1993, 16]. 82 Dalam Pertemuan Umum, semua pembicaraan akademis dihindari [Neill, 1993, 19]. 83 Pertemuan Umum ini dihadiri oleh semua staf dan semua siswa, dan semuanya memiliki hak satu suara yang setara. “Hak suaraku memiliki bobot yang sama dengan hak suara anak berusia tujuh tahun” [Neill, 1993, 16]. 84 Setiap kali memulai pertemuan, dipilih seorang pemimpin pertemuan yang bertugas untuk sekali pertemuan saja. Anak anak akan melakukan pemungutan suara untuk ‐
mengundang undangkan suatu peraturan berdasarkan manfaat manfaat ‐
‐
yang mereka pikirkan sendiri. Dalam Pertemuan Umum tidak ada terdakwa di
Summerhill
yang
pernah
memperlihatkan
tanda tanda ‐
sikap
membangkang atau benci kepada pemegang otoritas komunitas. Sering kali anak yang baru saja dijatuhi hukuman dipilih sebagai pemimpin dalam Pertemuan Umum selanjutnya.
82
Everything connected with social, or group, life, including punishment for social offences, is settled by vote at the Saturday night General Meeting. 83 In a General Meeting, all academic discussions are avoided. Children are eminently practical and theory bores them. 84 My vote carries the same weight as that of a seven-year-child.
55
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Pertemuan Umum menjadi praktik swakelola, praktik demokrasi yang berlaku bagi semua peserta, anak anak dan orang dewasa. “Praktik ‐
demokrasi tidak harus menunggu sampai usia pemungutan suara, dua puluh satu tahun – dan demokrasi semacam ini sama sekali bukanlah demokrasi; menjadi salah satu dari ribuan orang yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan satu hak suara bagi seorang kandidat bukanlah demokrasi. Dalam Summerhill, kami semuanya dapat bertemu dalam satu aula, semua berbicara, semua menyampaikan suara dalam acara semacam rapat kota” [Neill, 1993, 23]. 85
Demokrasi ini tidak menyisakan ketakutan dan kebencian. Namun, pada kenyataannya, kesetaraan dalam pertemuan ini tetap diragukan dan dipertanyakan banyak orang. Neill sendiri mengakui itu, “Seperti perkataan orang orang bijak, dalam praktiknya pendapat pendapat orang dewasa diperhitungkan. Bukankah anak usia enam tahun menunggu dulu bagaimana pendapat Anda sebelum ia mengangkat tangan untuk berpendapat? Aku [Neill] kadang berharap demikian, karena terlalu banyak usulanku ditolak. Anak anak yang bebas tidak mudah dipengaruhi; ketiadaan rasa takut ini adalah hal terbaik yang dapat terjadi pada diri seorang anak” [Neill, 1993, 14]. 86 ‐
‐
‐
Tampak bahwa prinsip swakelola ini mau menekankan juga perbedaan antara pembatasan kebebasan dan peraturan yang disepakati bersama, yang dalam hal ini memenuhi pengertian tatanan normatif bukan atas dasar 85
Democracy should not wait until the age of voting, twenty-one – and then it is not democracy at all; to be one of thousands registering a vote for a candidate is not democracy. In Summerhill we can all meet in one hall, all speak, all vote in a sort of town meeting . 86 Says the knowing one, in practice of course the voices of the grown-ups count. Doesn’t the child of six wait to see how you vote before he raises his hand? I wish he sometimes would, for too many of my proposals are beaten. Free children are not easily influenced; the absence of fear is the finest thing that can happen to a child.
56
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
paksaan tetapi berdasarkan pengakuan komunitas sendiri. Itu sebabnya prinsip perlunya ada peraturan yang ditentukan bersama jarang ada yang ditolak.
Namun, di sisi lain, berkaitan dengan Pertemuan Umum, Neill mengakui bahwa demokrasi bukanlah sistem yang sempurna karena dalam praktiknya keputusan mayoritas tidak selalu memuaskan. Neill mengatakan: “ … tetapi aku tidak menemukan pilihan lain selain sistem diktator, dan kediktatoran lebih tidak bisa diterima. … Pada umumnya, kelompok minoritas merasa kurang sreg dengan keputusan mayoritas, dan kemudian mereka menyikapinya dengan menunggu waktu yang tepat untuk memperjuangkan kepentingan mereka” [Neill, 1993, 21]. 87 Neill melihat bahwa uji bagi praktik swakelola bergantung pada mau tidaknya anak anak ‐
‐
untuk tetap mempraktikkannya. Pada kenyataannya, usulan Neill untuk menghapusnya, atau membatasi cakupannya, mendapat reaksi keras dari pihak anak anak sendiri. “Aku pernah mengusulkan untuk menghapusnya ‐
dua kali tetapi aku tidak berani melakukannya lagi” [Neill, 1993, 22]. 88 Berkaitan dengan ini, Neill menambahkan bahwa keputusan yang berdasarkan suara mayoritas mementingkan kepentingan umum sehingga beresiko menentang kepentingan individu – dianggap oleh pihak anak yang anti sosial. Dalam bahkan etika politik, bagaimanapun ‘diktator mayoritas’ ‐
bukannya tidak mungkin terjadi. Bagaimana Summerhill mengatasi resiko kemungkinan munculnya diktator mayoritas? Dalam hal ini, komunitas melalui prinsip ini bertugas melindungi hak individual anak yang dirugikan
87
... but I can see no alternative barring dictatorship. ... In general the minority does not feel strongly about a majority vote, and when it does it has simply to lump it. 88 I have suggested abolition twice but would not dare ever to do so again.
57
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
oleh tindakan anti sosial. Maka, bagi Neill, sistem demokratis ini juga ‐
bertujuan untuk menjamin kebebasan individual anak [bdk. Neill, 1993, 27].
Kebebasan: Jalan menuju Kebahagiaan Pemahaman Neill tentang kebebasan dalam model pendidikan Summerhill terkait erat dengan pandangannya tentang kebahagiaan. Dalam pandangan Neill yang dianalisis oleh Berryman, tujuan pendidikan itu sama dengan tujuan kehidupan: tujuan pendidikan, sebagaimana tujuan kehidupan, adalah bekerja dengan gembira dan menemukan kebahagiaan. Neill memperluas keyakinannya ini sampai tingkat tertentu, yaitu pada pernyataan lebih lanjut bahwa hal ini hanya dapat dicapai ketika seseorang menjalani hidupnya sendiri [lih. Berryman, 2000, 52 53].89 ‐
Oleh karena itu, keberhasilan dalam pendidikan Summerhill tidak ditentukan dari pencapaian prestasi akademis, melainkan dari seberapa mampu seorang anak menjalani hidupnya sendiri, seberapa bahagia dia dengan dirinya dan hidupnya. Dengan mengatakan ini, Neill tidak anti
‐
intelektual sebagaimana yang diklaim banyak orang, tetapi ia tidak percaya bahwa anak harus dipaksa mengikuti jalan akademis ketika hal ini bukanlah untuk mereka. Bagi Neill ini adalah tindakan yang menghancurkan kehendak anak, sekaligus menghancurkan kebahagiaan masa depan mereka [lih. Berryman, 2000, 53]. 90
89
90
… the aim of education is synonymous with the aim of life: the aim of education, as is the aim of life, is to work joyfully and find happiness. Neill does to a certain degree enlarge on this belief, to further claim that this can only be achieved when one lives one’s own life. Neill is not anti intellectual as many have claimed, but does not believe the child should be forced down an academic path when it is not for them, an action that in destroying the will of the child, destroys their future happiness.
58
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Pendapat Neill yang terkenal adalah: “Aku lebih baik melihat sebuah sekolah yang menghasilkan seorang tukang sapu jalanan yang bahagia daripada seorang cendekiawan neurotis” [Neill, 1993, 5]. 91 Dalam kesempatan lain,
Neill
memberi pendapatnya tentang bagaimana
kebahagiaan dapat diciptakan dalam sekolah: “bagaimana kebahagiaan dapat dilimpahkan? Jawabanku pribadi adalah: Buang otoritas. Biarkan anak menjadi dirinya sendiri. Jangan tekan dia. Jangan ajari dia. Jangan kuliahi dia. Jangan beri penilaian padanya. Jangan paksa dia melakukan apa pun” [Neill, 1968, 260]. 92 Sesuai keyakinan Neill bahwa pendidikan adalah sebuah persiapan bagi kehidupan [Neill, 1968, 36], 93 maka, dapat dikatakan bahwa kebebasan dari setiap bentuk intervensi orang dewasa adalah jalan paling awal bagi anak untuk memeroleh kebahagiaan.
Kebebasan dan Kebahagiaan dalam Proses Pendidikan Pada bagian ini, saya akan membahas secara lebih mendalam analisis filosofis tentang konsep kebebasan dan kebahagiaan dalam proses pendidikan. Maka, dalam bagian ini, saya akan membahas dua pokok bahasan: (1) pemahaman tentang kebebasan dan (2) pemahaman tentang kebahagiaan dalam proses pendidikan.
91 92
93
I would rather see a school produce a happy street cleaner than a neurotic scholar. How can happiness be bestowed? My own answer is: Abolish authority. Let the child be himself. Don’t push him around. Don’t teach him. Don’t lecture him. Don’t evaluate him. Don’t force him to do anything. Education should be a preparation for life.
59
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
1. Kebebasan dalam Proses Pendidikan Dalam pembahasan tentang kebebasan dalam proses pendidikan, saya akan merujuk pada pemikiran dua filsuf dengan dua aliran berbeda, yakni Jean Jacques Rousseau (naturalisme atau pendidikan naturalistik) dan ‐
John Dewey (pendidikan liberal yang terkenal dengan ‘kebebasan radikal’). Istilah ‘naturalisme’ atau ‘pendidikan naturalistik’ sebenarnya merupakan sebuah aliran pemikiran dari ‘pendidikan berdasarkan alam’. ‘Pendidikan berdasarkan Alam’ ini sebenarnya pertama kali bukan dicetuskan oleh Rousseau, melainkan oleh Comenius yang lahir seratus dua puluh tahun sebelum Rousseau [bdk. Schofield, 1972, 59]. Namun hanya Rousseau yang melancarkan kritik dengan berapi api terhadap pendidikan ‐
Renaissance yang menjadi ‘formal’ dan ‘verbal’ dan tidak menghargai perbedaan perbedaaan ‐
individual
[Schofield,
1972,
56 57]. ‐
Maka,
Rousseaulah yang dikenal sebagai salah seorang pembaharu radikal dan progresif [bdk. Gill, dlm D’Cruz, 1979, 337]. Sedangkan, istilah ‘kebebasan radikal’ yang diaplikasikan dalam teori pendidikan merujuk pada analisis kritis non Marxian atas proses pendidikan dan institusi institusi yang ‐
‐
membatasi proses tersebut. Meskipun terdapat sekumpulan karya cukup besar tentang pendidikan non Marxian yang dapat digolongkan sebagai ‐
‘radikal’, pandangan Ivan Illich, Paulo Freire, dan John Dewey sepatutnya mewakili maksud karya tersebut [bdk. Lichtenstein, 1985, 39]. Di antara tiga pemikir pendidikan itu, hanya Dewey yang saya pilih untuk membantu analisis pada bagian ini dalam konteks pemikiran Neill karena seperti Rousseau, Dewey ternyata memiliki gagasan tentang kodrat manusia yang senada dengan ‘kebaikan alami anak’ Neill.
60
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Kebebasan dalam ‘Naturalisme’ Rousseau Rousseau menjelaskan tentang pendidikan dalam karyanya Émile, ou
de l’education [1762] yang tersusun sebagai ‘pendidikan negatif’ – juga disebut ‘pendidikan naturalistik’. Baginya, pendidikan akan mencegah seorang anak agar tidak dirusak oleh masyarakat dan menjauhkannya dari semua pengaruh yang tidak diinginkan, termasuk orang orang lain secara ‐
keseluruhan [bdk. O’Hear, 1981, 7]. Memberi penjelasan demikian, Rousseau bermaksud untuk menghindari kejahatan kejahatan dari masyarakat ‐
artifisial agar kebaikan alami anak dapat bebas membuka dirinya secara spontan. Dia menganjurkan untuk memberi kesempatan bebas bagi perkembangan anugerah pribadinya,
alami anak,
kemampuan kemampuan ‐
pengolahan sifat sifat ‐
alaminya,
alami
kecenderungan
‐
kecenderungan alaminya. Sejak seorang anak dilahirkan dengan kebaikan alami, insting insting, kecenderungan kecenderungan, dan perasaannya itu ‐
‐
harus diberi ekspresi penuh dan bebas [lih. Wilds, 1942, 384]. 94
Namun Rousseau menyadari bahwa kembali ke keadaan alamiah itu tidak mungkin terjadi ketika manusia sudah menjadi beradab. Rousseau juga berpendapat bahwa keadaan alamiah tidak berarti bahwa manusia lalu mencari cara untuk menjadi orang orang liar yang santun dalam arti harafiah ‐
tanpa bahasa, tanpa ikatan sosial, dan dengan kemampuan akal budi yang belum berkembang. Melainkan, Rousseau berpendapat bahwa seseorang yang telah terdidik dengan pantas akan terlibat dalam masyarakat, tetapi berhubungan dengan para sesama warganegara melalui cara baru yang 94
Rousseau aims at warding off the evils of artificial society so that the natural goodness of the child may be free to unfold itself in all its spontaneity. He proposes to give free play to the development of the natural endowments of the child, the cultivation of its own individual nature, its own natural capacities, its own natural inclinations. Since the child at birth is by nature good, its instincts, inclinations, and feelings are to be given full and free expression.
61
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
alami.95 Dengan cara alami ini dimaksudkan sebagai kepolosan alamiah: tidak egois, tetapi tidak juga altruis, tetapi mencintai diri secara spontan dan bebas dari tekanan orang lain.
Pertanyaannya adalah: jika manusia tidak lagi sosial secara alami, bagaimana seseorang bersosialisasi dengan orang lain? Dengan cara cara ‐
alami bagaimana, manusia dapat menjalin hubungan dengan sesamanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rousseau menjelaskan apa yang disebutnya sebagai dua bentuk cinta diri: amour propre dan amour de soi . ‐
‐
Amour de soi adalah suatu bentuk alami cinta diri yang tidak tergantung ‐
dengan keberadaan sesamanya. Rousseau menegaskan bahwa dengan kodrat alaminya, setiap orang memiliki perasaan cinta terhadap dirinya. Sebaliknya, amour propre adalah cinta diri yang tidak alami dan merupakan ‐
‐
produk negatif dari proses sosialisasi. Tidak seperti amour de soi , amour
‐
propre adalah sebuah cinta diri yang tergantung pada pembandingan diri ‐
seseorang dengan orang lain. Secara hakiki, cinta diri jenis ini terdapat ‐
dalam diri seseorang yang meletakkan harga dirinya pada superioritas menurut persepsi orang lain. Cinta diri semacam ini menghasilkan kejijikan, ‐
permusuhan, dan persaingan yang tidak keruan. 96
Filsafat pendidikan Rousseau tidak dibangun sekedar demi kesesuaian dengan teknik teknik khusus yang menjamin siswa akan menyerap informasi ‐
dan konsep konsep. Filsafat pendidikan Rousseau lebih baik dipahami ‐
sebagai sebuah cara untuk menjamin bahwa karakter siswa dikembangkan sedemikian rupa sehingga ia memiliki pengertian yang sehat tentang harga diri dan moralitas. Hal ini akan memungkinkan siswa memiliki budi luhur 95 96
Lih. http://www.iep.utm.edu/r/rousseau.htm#SH5b. Bdk. http://www.iep.utm.edu/r/rousseau.htm#SH5b.
62
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
bahkan ketika ia hidup di dalam masyarakat yang tidak alami dan tidak sempurna. 97
Dari paparan singkat tentang Rousseau ini, dapat kita lihat bahwa pertama tama Neill memiliki dasar pemikiran yang senada dengan ‐
Rousseau, yakni tentang ‘kebaikan alami anak’. Dengan berpedoman pada ‘kebaikan alami anak’, seperti Rousseau, Neill juga berpendapat bahwa secara
hakiki,
masyarakat,
khususnya
orangtua
dan
guru,
telah
membelokkan dan merusak, merintangi dan mengondisikan, diri anak anak ‐
yang menurut kodratnya baik ini. Gill [dlm. D’Cruz, 1979, 340] melihat bahwa dengan cara yang sama dengan Rousseau Neill melihat bahwa anak anak ‐
telah dibuat tidak bebas, dan tidak mampu menjadi diri mereka lagi. Rousseau melihat bahwa pelaku kejahatannya adalah masyarakat, yang diwakili oleh mereka yang terlibat paling dekat dengan anak anak. Dengan ‐
keyakinan tentang kebaikan alami manusia, Gill mengatakan bahwa solusi Rousseau untuk menjawab pertanyaan tentang asal usul kejahatan adalah ‐
sosialisasi dosa serta pengalihan tanggung jawab dan rasa bersalah individu ke masyarakat secara kolektif. Dengan cara yang sama, rupanya, “Neill dengan jujur juga menyalahkan sesama” [Gill, dlm. D’Cruz, 1979, 340].98
Jika Rousseau memandang perlunya ‘cinta diri’ yang tak tergantung ‐
pada orang lain [amour de soi ], Neill melihat anak anak harus memiliki ‐
prinsip swa atur, yakni suatu kebebasan untuk menentukan hal hal yang ia ‐
97
98
‐
Lih. http://www.iep.utm.edu/r/rousseau.htm#SH5b. Pengajaran moral ini dapat mulai dipelajari ketika Émile memasuki masa remaja [usia 15-20 tahun], yang juga disebut sebagai masa pendidikan intelektual sejati dan masa pendidikan moral. Di usia lima belas tahun, akal budinya akan berkembang dengan baik, dia akan mampu berurusan dengan emosi-emosi keremajaannya yang berbahaya, dan dengan isu-isu moral dan agama [bdk. Rousseau, 1977, xiv]. Neill, in similar fashion, puts the blame squarely on others.
63
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
butuhkan atau ia inginkan. Prinsip swa atur ini dibutuhkan dalam pendidikan ‐
agar anak memiliki ‘sikap hidup’ yang diperlukan dalam hidupnya. Telah dikatakan dalam bab sebelumnya, ‘sikap hidup’ membuat anak kelak menjadi orang yang jujur dalam melihat kehidupannya karena ia memiliki ‘pengetahuan diri’ sebagai bekal untuk memeroleh identitas dirinya. Oleh ‐
karena itu, anak berkembang menjadi sadar akan apa makna hidupnya.
Akan tetapi, ada perbedaan antara Neill dan Rousseau. Perbedaannya itu dapat dijelaskan demikian: jika Rousseau tidak melihat signifikansi pada teknik teknik khusus yang paling menjamin siswa untuk menyerap informasi ‐
dan konsep konsep, Neill justru masih melihat pentingnya pelajaran ‐
‐
pelajaran dengan metode metode yang digunakan di sekolah sekolah ‐
‐
umum meskipun Neill tidak menekankan metode secara berlebihan. Lebih dari itu, Neill bersama staf staf lain pun memberikan kesempatan bagi para ‐
siswa yang ingin masuk universitas untuk mengikuti pelajaran pelajaran ‐
yang menjadi bahan ujian masuk universitas [bdk. Neill, 1993, 11]. Semua ini menunjukkan bahwa meskipun anak dibebaskan untuk tidak mengikuti pelajaran, Neill tetap memberikan kebebasan bagi anak anak yang ingin ‐
mengikuti pelajaran, termasuk pelajaran sebagai persiapan ujian masuk universitas bagi anak anak yang menginginkannya. ‐
64
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Kebebasan Radikal menurut Dewey Penjelasan Dewey tentang kebebasan radikal mencakup enam sub pokok bahasan: (1) pluralitas, (2) perkembangan individu, (3) solidaritas, (4) prinsip egaliter, (5) partisipasi, dan (6) revolusi sosial. Pertama, Dewey menekankan pentingnya pluralitas yang mencakup berbagai ras, agama, dan adat istiadat dalam lingkungan sekolah sebagai salah satu aspek ‐
penting dalam pendidikan. Lichtenstein menganalisis [1985, 42] bahwa Dewey melihat proses pendidikan telah “dikooptasi oleh sebuah filsafat industrial tentang efisiensi sosial,’ dan bahwa proses pendidikan telah didominasi oleh kepentingan kepentingan sempit dari sedikit orang.” ‐
Bagi Dewey, pemusatan kekuasaan “untuk mendidik di tangan tangan ‐
suatu kelas profesional yang beroperasi dalam kepentingan kepentingan ‐
sebuah sistem industri telah mengakibatkan sebuah kekosongan pluralisme yang hampir seluruhnya dalam lingkungan pendidikan” [Lichtenstein, 1985,
ibid.]. Dewey membayangkan situasi alternatif yang pluralistik lewat pemaparan berikut: “percampurbauran kaum muda dari ras ras berbeda, ‐
agama agama berbeda, dan adat istiadat yang tidak sama di sekolah ‐
‐
menciptakan sebuah lingkungan yang baru dan lebih luas bagi semua orang” [Lichtenstein, 1985, 42]. 99
Kedua, Dewey memandang bahwa pendidikan tidak seharusnya melakukan penindasan atas inteligensi siswa. Sebaliknya, pendidikan adalah pembebasan bagi setiap perkembangan individu yang terarah pada 99
Dewey saw that the education process had been “co-opted by an industrial philosophy of social efficiency,” and that it had come to be dominated by the narrow interests of the few. The centralization of the power to educate in the hands of a professional class operating in the interests of an industrial system has resulted in an almost total absence of pluralism in the sphere of education. The pluralistic alternative to this situation is best described by Dewey: […] The intermingling in the school of youth of different races, differing religions, and unlike customs for all a new and broader environment.
65
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
kemajuan sosial [bdk. Keohane, 1970, 404]. Dewey mengamati dan melihat suatu bentuk penurunan diri yang menghambat perkembangan manusia. ‐
Dalam pendapat Lichtenstein [1985, 43], meskipun kritik kritik Dewey ‐
ditujukan pada situasi kelas pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, ‐
‐
namun kritik kritik itu berlaku juga pada situasi kelas dewasa ini, ‐
“Sentralisme birokrasi menempatkan guru dalam hubungan kepatuhan dengan administrasi dan kontrol terhadap proses pendidikan berada di luar guru. Dewey juga melihat bahwa penindasan tidak demokratis atas individualitas para guru terkait dengan penindasan terhadap inteligensi para siswa” [Lichtenstein, 1985, 43]. 100
Dalam
pendapat
Lichtenstein,
Dewey
“secara
konsisten
memertimbangkan pendidikan, secara ideal, sebagai ‘sebuah pembebasan kemampuan individu dalam suatu pertumbuhan progresif yang tertuju pada tujuan tujuan sosial,’ yang adalah cita cita kooperatif manusia beserta hasil ‐
‐
‐
hasilnya” [lih. Lichtenstein, 1985, 43]. 101
Sedangkan, terkait dengan perkembangan individu manusia, Keohane [1970, 402] berpendapat bahwa ide Dewey tentang kodrat manusia jauh lebih cocok dengan pandangan Rousseau dan Neill dibandingkan dengan teologi Calvinis, tempat ketiga orang itu pernah dididik. Mengapa? Karena, sekolah yang berpusat pada anak yang didasarkan atas kebutuhan ‐
‐
‐
kebutuhan dan minat minat anak sendiri dan yang dicurahkan pada ‐
pertumbuhan anak sepenuhnya sebagai individu yang lengkap, ekspresif, 100
Bureaucratic centralism puts the teacher in a subservient relationship with the administration and externalizes the control of the educational processes outside of the teacher. Moreover, the “undemocratic suppression of the individuality of teachers,” Dewey said, “is linked to a suppression of the intelligence of students.” 101 Dewey consequently regarded education, ideally, as “a freeing of individual capacity in a progressive growth directed to social aims,” where these aims were “cooperative human pursuits and results.”
66
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
dan unik tidak pernah dapat dipahami oleh orang yang menerima apa yang wajib ribuan anak hafalkan dari Katekismus Heidelberg [Keohane, ibid.]. Dengan itu, Keohane maksudkan: “Aku secara alami diarahkan untuk membenci Allah dan sesamaku, mudah jatuh pada semua kejahatan dan tidak mampu berbuat kebaikan apa pun” [Ibid.]. 102 Meskipun demikian, bagi Dewey, perkembangan manusia tidaklah seperti keyakinan Neill, yaitu bahwa seorang anak yang tumbuh dengan caranya sendiri itu tidak mampu berbuat kejahatan [lih. Keohane, 1970, 402]. Perkembangan manusia juga ditentukan oleh kebiasaan kebiasaan yang terbentuk secara sosial. ‐
Sementara itu, akal budi berkembang atas dasar kebiasaan, dan bahasa yang memungkinkan terjadinya komunikasi, adalah contoh yang paling jelas dari sangat pentingnya peran sosial [bdk. Keohane, 1970, 402].
Ketiga, Dewey menekankan pentingnya solidaritas antarsiswa yang berasal dari kelas kelas sosial berbeda yang tergabung dalam sebuah ‐
komunitas. Ini karena bagi Dewey, sebagaimana dicatat oleh Lichtenstein [1985, 43 44], sistem pendidikan dipelihara oleh sebuah masyarakat berkelas ‐
yang di dalamnya “pengaruh pengaruh mendidik sebagian menjadi majikan, ‐
sebagian lain menjadi budak. Dan pengalaman masing masing golongan ‐
kehilangan makna, ketika interaksi bebas dari macam macam pengalaman ‐
hidup itu dihalangi.” Dalam analisis Lichtenstein [Ibid.], Dewey mengimpikan sebuah komunitas di mana kelompok kelompok yang terpisah, dengan ‐
berbagai pandangan dunia yang bertentangan, dapat berbagi pengetahuan mereka 102
dalam
sebuah
proses
“rekonstruksi
pengalaman”
yang
Dewey’s idea of human nature is surely far more congenial to Rousseau and to Neill than to the Calvinist theology in which all three were reared. Dewey’s child-centered school – based on the child’s own needs and interests and devoted to his full growth as a complete, expressive, unique individual – could never have been conceived by one who accepted what thousands of children have been obliged to recite from the Heidelberg Catechism: “I am by nature inclined to hate God and my neighbor, prone to all evil and incapable of any good.”
67
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
berkelanjutan.103 Inilah sebuah komunitas yang terbentuk atas dasar kebersamaan dan interaksi yang bebas serta terbuka.
Keempat, sebagai salah satu pemikir pendidikan progresif, Dewey mencita citakan sebuah proses pendidikan yang menghasilkan sebuah ‐
sistem sosial egaliter yang di dalamnya setiap orang memiliki akses yang sama terhadap sumber sumber pendidikan [lih. Lichtenstein, 1985, 45]. ‐
“Fasilitas fasilitas sekolah harus dijamin dengan amplitudo dan efisiensi ‐
sedemikian sebagaimana dalam kenyataannya dan bukan sekadar hendak mengurangi efek ketidaksetaraan ekonomi, dan melestarikan kekayaan bangsa untuk masa depan” [Dewey, dlm. Lichtenstein, 1985, 44]. Lictenstein juga mencatat bahwa dengan tajam Dewey menegaskan, “adalah suatu kekejaman terhadap etika kehidupan modern andaian bahwa ada dua tujuan hidup berbeda yang ditempatkan dalam bidang bidang yang berbeda; ‐
bahwa sekelompok kecil orang yang terdidik hidup di sebuah tataran budaya eksklusif dan tertutup, sementara kebanyakan orang berjerih payah di bawahnya di tingkatan kebutuhan praktis yang mengarah ke komoditas material” [Lichtenstein, 1985, 44]. 104
Kelima, bagi Dewey, proses pendidikan berjalan dengan partisipasi individu dalam kesadaran sosial [bdk. Lichtenstein, 1985, 45]. “Cita cita ideal ‐
partisipatoris Dewey adalah sebuah alternatif pendidikan maupun sosial 103
...
“influences which educate some into masters, educate some into slaves. And the experience of each party loses in meaning, when the free interchange of varying modes of life-experience is arrested.” Dewey envisions a community in which separate groups, with conflicting views of the world, can share their knowledge in a continual process of “reconstructing experience.” 104 “School facilities must be secured of such amplitude and efficiency as will in fact and not simply in name discount the effects of economic inequalities, and secure to all the wards of the nation equality of equipment for their future careers.” Even more poignantly, Dewey asserted that it is a “flat hostility to the ethics of modern life to suppose that there are two ends of life located on different planes; that the few who are educated are to live on a plane of exclusive and isolated culture, while the many toil below on the level of practical endeavor directed at material commodity.
68
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
yang akan membuang pembagian pembagian kelas yang mendefinisikan ‐
institusi institusi pendidikan di zamannya. Dia mengimpikan sebuah ‐
masyarakat yang di dalamnya pembagian kerja mental dan fisik, yang tercerminkan dalam pembagian antara pendidikan bebas dan pendidikan kejuruan, akan dilenyapkan. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah praksis pendidikan Freireian: ‘Persoalan pendidikan dalam sebuah masyarakat demokratis adalah membuang dualisme [ini] dan membangun sebuah pembelajaran yang menjadikan pikiran sebagai sebuah pedoman praktik bebas bagi semua orang’” [Lichtenstein, 1985, 45].105
Keenam, mengenai pokok bahasan ini, Dewey melihat ilmu pengetahuan berpotensi untuk mendukung sebuah transformasi sosial demi masa depan alternatif yang humanistis dan demokratis [bdk. Lichtenstein, 1985, 47]. Bagi Dewey, “ilmu pengetahuan telah direbut oleh industri dan dibuat untuk melayani tujuan tujuan dehumanisasi” [Lichtenstein, 1985, 47]. ‐
Akan tetapi, bagi Dewey, “ilmu pengetahuan dapat menjadi progresif dan manusiawi. Ilmu pengetahuan dapat membebaskan pikiran pikiran orang ‐
dan menciptakan pengetahuan baru serta memerluas batas batas ‐
kemampuan kreatif kita. Ilmu pengetahuan menandakan emansipasi pikiran dari kesetiaannya terhadap tujuan tujuan biasa dan memungkinkan untuk ‐
pencapaian secara sistematis tujuan tujuan yang baru. Ilmu pengetahuan ‐
adalah agen kemajuan dalam tindakan” [dlm. Lichtenstein, 1985, 47]. 106
105
Dewey’s participatory ideal was a social and educational alternative that would do away with the class divisions which defined contemporary educational institutions. He envisioned a society in which the division of mental and physical labor, reflected in the division between liberal and vocational education, would be eliminated. What was required was a Freireian praxis education: “The problem of education in a democratic society is to do away with [this] dualism and to construct a course of studies which makes thought a guide of free practice for all. …” 106 Science has been captured by industry and made to serve dehumanizing purposes. However, to Dewey, science can be progressive and humane. It can liberate people’s minds and create new knowledge and extend the boundaries of our creative capacities. “Science marks the emancipation of mind from devotion
69
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Dari pembahasan tentang “kebebasan radikal” pendidikan dalam enam butir pemikiran Dewey, kita akan melihat “kebebasan radikal” dalam proses pendidikan menurut Neill yang akan saya jabarkan juga dalam enam butir. Pertama, Neill secara tidak langsung juga menekankan pentingnya pluralitas dalam proses pendidikan, sebagaimana Neill mengatakan: “Anak
‐
anak tidak perlu diajarkan tentang toleransi ras ketika mereka hidup dalam semacam keluarga besar antar ras” [Neill, 1993, xxii]. 107 Dalam catatannya, ‐
Neill juga menambahkan: “Selama tiga puluh tahun, kami pernah memiliki siswa siswa dari Norwegia, Swedia, dan Denmark – kadang kadang dua ‐
‐
puluh orang sekali waktu. Kami juga pernah memiliki siswa siswa dari ‐
Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Kanada [Neill, 1968, 91]. 108 Bahkan, pernah sepertiga dari semua anak Summerhill berasal dari Jepang [Neill, 1993, xxiii], dan banyak anak berkebangsaan Amerika [Neill, 1993, 143]; pernah juga ada yang dari Indonesia [Appleton, 1992, 4]. Selain itu, Neill menekankan pentingnya kebebasan beragama, karena baginya, persoalannya bukanlah agama yang dianut, mampu beriman atau tidak, melainkan bagaimana mendukung kebebasan manusia dan menghapus penindasan kebebasan manusia [lih. Neill, 1993, 121]. Meskipun demikian beragam asal negara, kebangsaan, ras, dan agama mereka, mereka semua adalah warga Summerhill.
Kedua, tentang perkembangan individu, sejak awal, Neill menekankan pentingnya perhatian utama pada anak dalam proses pendidikan. Dalam hal to customary purposes and makes possible the systematic pursuit of new ends. It is the agency of progress in action.” 107 Children do not need to be taught about racial tolerance when they are in a sort of extended family that is an inter-racial group. 108 For thirty years, we have had pupils from Norway, Sweden, and Denmark - sometimes twenty at a time. We have also had pupils from Australia, New Zealand, South Africa, and Canada.
70
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
ini, telah dikatakan, Neill memiliki pandangan tentang kodrat alami manusia yang senada dengan Dewey. Seperti halnya Dewey, Neill juga memiliki keprihatinan akan kooptasi proses pendidikan, namun berbeda dengan Dewey, Neill cenderung menyoroti kooptasi tersebut dilakukan oleh masyarakat Inggris dengan nilai nilai sebagai represi, pendidikan moral, dan ‐
pengajaran agama yang ketinggalan zaman [lih. Keohane, 1970, 404]. Namun, bagi Dewey, perkembangan manusia bukanlah seperti yang diyakini Neill bahwa anak dibebaskan untuk berkembang secara alami sesuai dengan kemampuannya, melainkan bahwa pertumbuhan intelegensi anak terarah pada tujuan tujuan sosial. Memang Neill secara khusus lebih memerhatikan ‐
perkembangan individual anak untuk siap menjalani kehidupannya sendiri di masa depan. Meskipun demikian, Neill sesungguhnya tetap memerhatikan signifikansi pendidikan anak yang mengarahkannya untuk memerhatikan kepentingan sosial yang tampak dalam prinsip swakelola dengan pertemuan umumnya. Dalam prinsip ini, dimensi sosial sangat ditekankan melalui mekanisme demokratis yang memungkinkan anak staf mampu memiliki hak ‐
suara yang setara. Kelakuan anti sosial juga dibahas dan diatasi bersama ‐
‐
sama dalam pertemuan ini. Maka, tidak ada yang disebut dengan ‘kebebasan sosial’ atau ‘izin’ untuk melakukan segalanya sewenang wenang ‐
tanpa memerhatikan kepentingan orang lain di Summerhill.
Ketiga, berbeda dengan Dewey yang menyadari pentingnya solidaritas antarkelas sosial dalam diri para siswa, Neill tidak secara khusus menyoroti signifikansi solidaritas semacam itu. Neill lebih menyoroti anak
‐
anak ‘bermasalah’ akibat pendidikan umum yang cenderung mendikte dan menekan. Neill tampaknya hanya ingin berupaya mencari cara untuk ‘menyembuhkan’ mereka, yakni melalui kebebasan sebagai faktor aktif
71
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
‘penyembuhan’ ini [lih. Neill, 1993, 6]. Maka, solidaritas yang ditekankan adalah solidaritas terhadap anak anak yang bermasalah akibat tekanan dan ‐
belenggu orang dewasa.
Keempat, seperti Dewey, Neill juga menekankan pentingnya egalitarianisme, namun sasaran dari sistem egaliter yang dimaksud oleh kedua tokoh pendidikan ini berbeda. Jika Dewey mencita citakan proses ‐
pendidikan dengan sebuah sistem sosial egaliter yang memungkinkan setiap orang memiliki akses sama terhadap sumber sumber pendidikan, Neill ‐
menekankan pentingnya sistem sosial egaliter antara guru dan siswa dalam proses pendidikan. Bagi Neill, signifikansi egalitarianisme terletak dalam pembentukan komunitas dengan prinsip swakelola. Kelima, bagi Neill, partisipasi individual anak sudah diperhitungkan sejak awal masuk Summerhill, yakni bagaimana anak dibebaskan untuk mengikuti pelajaran apa pun, atau tidak mengikuti pelajaran apa pun, dan untuk melakukan kegiatan apa pun, sesuai dengan kebutuhan mereka masing masing tanpa anjuran orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk ‐
merancang pendidikannya sendiri [prinsip swa atur]. ‐
Keenam, berbeda dengan Dewey, Neill tidak memandang pendidikan sebagai pendukung sebuah transformasi sosial demi masa depan yang humanistis. Akan tetapi, bagi Neill, pendidikan itu bertujuan agar anak memeroleh kebahagiaan dalam hidupnya di masa depan. Neill melihat bahwa proses humanisasi melalui pendidikan itu pertama tama terjadi pada ‐
diri anak itu sendiri. Maka, menurut Neill, ukuran dari keberhasilan proses pendidikan yang humanistis adalah kebahagiaan anak.
72
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Dari seluruh penjabaran di atas, dapat dikatakan, di samping memiliki kesamaan dengan Rousseau dan Dewey, Neill memiliki perbedaan mendasar dalam proses pendidikan dengan kedua filsuf tersebut. Seperti Rousseau, Neill menekankan keberpusatan pada anak [child centeredness] dalam ‐
‐
‐
proses pendidikan dengan mengangkat ‘kebaikan alami anak’, sehingga diperlukan pembebasan anak dari pengaruh masyarakat dalam pendidikan yang memberi paksaan dan tekanan dari luar. Kebebasan itu diberikan agar anak mampu menentukan sendiri apa yang ingin dia lakukan. Akan tetapi, Neill tetap menyediakan pelajaran pelajaran seperti sekolah sekolah umum, ‐
‐
karena memang sebagian anak ingin belajar. Kemudian, dengan Dewey, Neill juga memiliki kesamaan, khususnya dalam pemahaman tentang kodrat manusia, namun Neill tidak mengarahkan perkembangan manusia itu semata mata demi tujuan tujuan sosial. Bagi Neill, sikap dan kelakuan sosial ‐
‐
akan muncul dengan sendirinya ketika anak anak disembuhkan dari tekanan ‐
orang dewasa dan bahagia dengan dirinya dan hidupnya.
Kebahagiaan dalam Proses Pendidikan Kebahagiaan merupakan bagian yang penting dalam proses pendidikan dan perkembangan hidup manusia. Apa itu kebahagiaan dalam kaitannya dengan proses pendidikan? Atau, bagaimana korelasi antara kebahagiaan dan proses pendidikan manusia? Pada pokok pembahasan ini, untuk menjawab pertanyaan tentang kebahagiaan dalam konteks pendidikan Neill, saya akan merujuk sedikit ke pemikiran Aristoteles dan Rousseau.
73
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Aristoteles melihat tujuan pendidikan itu sama dengan tujuan tertinggi dan terakhir dalam hidup manusia, yakni bukan kebaikan demi kebaikan itu sendiri, melainkan eudaimonia, well being, atau kebahagiaan. ‐
“Karena kami memilih kebahagiaan pada dirinya, dan tidak pernah dengan sebuah pandangan lebih lanjut apa pun; sebaliknya kami memilih kehormatan, kenikmatan, intelek … karena kami percaya bahwa melalui itu kami akan menjadi bahagia” [Durant, 1933, 85]. Akan tetapi, menurut Durant [1933, 85], Aristoteles menyadari bahwa menyebut kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi adalah sebuah kebenaran yang tak dapat disangkal [truism]. Padahal, apa yang diinginkan adalah suatu pemahaman yang lebih jelas
mengenai
sifat sifat ‐
dasar
kebahagiaan
dan
jalan
untuk
mencapainya.109 “Kondisi utama kebahagiaan, yang kemudian menghalangi prasyarat prasyarat fisik tertentu, adalah hidup akal budi – kemuliaan dan ‐
kekuatan khusus manusia. Keutamaan, atau lebih keunggulan, akan bergantung pada keputusan jelas, kontrol diri, keselarasan hasrat, ‐
keterampilan seni alat alat; itu bukanlah kepemilikan orang yang sederhana, ‐
bukan pula pemberian dari maksud tak sengaja, melainkan pencapaian pengalaman di dalam diri manusia yang sepenuhnya berkembang” [Ibid., 86]. 110 Maka dari itu, sebagai keutamaan, kebahagiaan dicari oleh manusia demi dirinya sendiri.
Sedangkan, Rousseau sudah melihat bahwa “keadaan asali itu baik dan membahagiakan” [Hardiman, 2004, 118], bukan tujuan akhir yang akan 109
“For we choose happiness for itself, and never with a view to anything further; whereas we choose honor, pleasure, intellect … because we believe that through them we shall be made happy.” But, he realizes that to call happiness the supreme good is a mere truism; what is wanted is some clearer account of the nature of happiness, and the way to it. 110 The chief condition of happiness, then barring certain physical pre-requisites, is the life of reason – the specific glory and power of man. Virtue, or rather excellence, will depend on clear judgment, self-control, symmetry of desire, artistry of means; it is not the possession of the simple man, nor the gift of innocent intent, but the achievement of experience in the fully developed man.
74
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
dicapai. Manusia seharusnya dibiarkan mengikuti hasrat hasrat alaminya ‐
yag bersumber pada cinta diri dan bebas dari pengaruh kebudayaan artifisial ‐
yang membusukkan manusia. Jika demikian, manusia akan bebas dari alienasi terhadap dirinya, bebas dari kepalsuan dan kemunafikan, dan ia tetap menjaga kelestarian kodrat asalinya [bdk. Magee, 2008, 127]. Di sini, peran pendidikan adalah membantu manusia untuk memperbaiki diri agar dalam perkembangan dirinya (1) ia akan menjadi manusia yang kebaikan alaminya telah dilindungi dan dibiarkan untuk berkembang dan tidak terkontaminasi pengaruh merusak masyarakat; (2) di saat yang sama, dia akan menjadi anggota masyarakat yang mampu memerankan tugas apa pun yang dibutuhkan seorang warganegara. Ini semua adalah jalan menuju kebahagiaan yang dibuka oleh Rousseau [bdk. Rousseau, 1977, x]. Bagaimana atau dalam situasi mana orang bisa sampai pada kebahagiaan? Sebuah situasi penting untuk mencapai kebahagiaan adalah ketika manusia memeroleh kebijaksanaan [bdk. Rousseau, 1977, xii]. Kebijaksanaan sendiri dipahami Rousseau sebagai kemampuan “mengurangi perbedaan antara hasrat dan kekuatan kita, dalam membentuk sebuah keseimbangan sempurna antara kekuatan dan kehendak” [Rousseau, 1977, xii].111
Bagi Neill sendiri, kebahagiaan adalah sangat penting dalam proses pendidikan karena tujuan hidup manusia adalah untuk menjadi bahagia. Neill mengatakan: “Kebahagiaan dan well being [kesejahteraan] anak anak ‐
‐
bergantung pada tingkat cinta dan restu yang kita berikan kepada mereka” [Neill, 1968, 114]. 112 Anak bermasalah yang tidak bahagia sedang berperang melawan dirinya dan akibatnya, berperang melawan dunia. Neill yakin 111
… ‘decreasing the difference between our desires and our powers, in establishing a perfect equilibrium between the power and the will’. 112 The happiness and well-being of children depend on the degree of love and approval we give them.
75
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
bahwa masalah masalah sosial adalah hasil dari kebencian, dan bahwa ‐
ketika cinta menggantikan ketakutan dalam perkembangan anak, kemudian kebencian menghilang, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain [bdk. Berryman, 2000, 52]. “Neill berkeyakinan bahwa tujuan pendidikan searti dengan tujuan kehidupan: tujuan pendidikan, yang adalah tujuan kehidupan, adalah untuk bekerja dengan gembira dan menemukan kebahagiaan. Neill memperluas ke tingkat tertentu mengenai keyakinannya ini, untuk kemudian menegaskan bahwa hal ini hanya bisa dicapai ketika seseorang menghayati hidupnya sendiri” [Berryman, 2000, 52 53]. 113 ‐
Namun, dalam hal ini, Neill bukanlah seorang yang anti intelektual, tetapi ‐
dia tidak yakin bahwa seorang anak harus dipaksa mengikuti jalan akademis, padahal hal ini tidak sesuai untuk mereka. Bagi Neill, paksaan itu adalah tindakan yang menghancurkan kehendak anak dan menghancurkan kebahagiaan masa depan anak [bdk. Berryman, 2000, 53].
Sesuai dengan keyakinan di balik sistem pendidikan Summerhill, Neill menekankan bahwa pendidikan harus memerhatikan sisi instingtif anak. Dalam terminologi psikologis Freudian, Neill menjelaskan, kondisi bawah
‐
sadar [the unconscious] lebih penting daripada kesadaran pikiran [the
conscious mind ]. Dari sini, teori yang dipegang Neill adalah bahwa anak harus bebas mengekspresikan dirinya dengan cara yang dituntut oleh ‘daya pengendali dinamis’, yang dapat kita sebut sebagai Id , ketidaksadaran, ‘daya hidup’, apa yang kita kehendaki. Jika diberi kebebasan, daya tersebut akan mengekspresikan dirinya dalam cinta dan kreasi; jika ditekan, daya itu akan menemukan sebuah jalan keluar dalam bentuk tindakan merusak, 113
Neill believes the aim of education is synonymous with the aim of life: the aim of education, as is the aim of life, is to work joyfully and find happiness. Neill does to a certain degree enlarge on this belief, to further claim that this can only be achieved when one lives one’s own life.
76
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
kebencian, rasa sakit pada badan dan jiwa. [bdk. Gill, dlm. D’Cruz, 1979, 339]. Neill menambahkan, cinta dan restu akan menyembuhkan kebanyakan anak muda yang anti sosial [Neill 1968, 260]. “Aku telah membuktikan dengan ‐
tindakan bahwa kebebasan dan tidak adanya kedisiplinan moral telah menyembuhkan banyak anak yang masa depannya sebelumnya tampak sebagai sebuah kehidupan dalam penjara” [Neill, 1968, 260]. 114 Maka, kebahagiaan anak dalam proses pendidikan itu sangat penting karena kebahagiaan adalah sebuah keadaan di mana anak tidak lagi berkelakuan anti sosial tetapi memiliki sikap dan tindak tanduk yang juga memerhatikan ‐
‐
kepentingan kepentingan sosial. ‐
Lalu muncul pertanyaan: ketika menyadari bahwa ia berbeda dengan anak anak dari sekolah lain, apakah anak ‘bermasalah’ tetap bahagia? ‐
Menjawab pertanyaan ini, Neill menyampaikan sebuah contoh tentang kasus Mervyn, yang antara usia tujuh dan tujuh belas tahun hampir tidak mengetahui bagaimana membaca karena tidak pernah mengikuti satu kelas pun. Ketika meninggalkan Summerhill dan memutuskan menjadi pembuat alat perkakas, dia dengan cepat belajar bagaimana membaca dan dalam waktu singkat menyerap semua pengetahuan teknis yang dia butuhkan melalui pembelajaran diri. Selanjutnya, Mervyn dewasa pantas dikagumi dan menjadi orang sukses. Dari contoh ini, pertama tama jelas bahwa Mervyn ‐
sebagai seorang anak yang tidak bisa membaca sampai usia tujuh belas tahun berbeda dengan anak anak lain dari sekolah lain yang bisa membaca. ‐
Namun Mervyn yang sukses sebagai ahli perkakas ketika dewasa menandakan bahwa anak ‘bermasalah’ di Summerhill tetap bahagia meskipun berbeda dengan anak anak lain sebayanya dari sekolah lain. ‐
114
I have proved in action that freedom and the absence of moral discipline have cured many children whose future had appeared to be a life in prison.
77
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Rangkuman Peradaban, kebudayaan, dan struktur masyarakat, yang diperankan oleh orang orang dewasa, telah merusak, menekan, menindas, dan ‐
mengasingkan individu individu manusia di dalamnya, khususnya anak ‐
‐
anak. Mereka telah dibuat terbelenggu dan tidak bebas; mereka telah diintervensi oleh orang orang dewasa sehingga menjadi generasi robot yang ‐
tidak tahu arah. Melihat hal ini, dengan hasrat untuk melepaskan belenggu orang dewasa pada anak anak, Neill membangun Sekolah Summerhill yang ‐
menekankan pentingnya kebebasan dari pengaruh masyarakat.
Kebebasan yang menjadi semboyan bagi model pendidikan Summerhill artinya bermakna melakukan apa yang orang inginkan selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Implikasinya adalah bahwa anak bebas dari segala bentuk intervensi orang dewasa – semua kedisiplinan, petunjuk, anjuran, pendidikan moral, dan pengajaran agama. Dasar dari kebebasan ini adalah gagasan mengenai kebaikan alami manusia [anak]: anak pada dasarnya baik, tidak jahat; dia akan berkembang secara alami jika dilepaskan dari pengaruh orang dewasa. Cara alami perkembangannya adalah melalui permainan yang lebih menekankan fantasi. Fase bermain ini penting karena merupakan persiapan anak untuk mampu menjalani hidup dengan berbagai kesulitan di masa depan. Kebebasan membawa swa
‐
disiplin dan swa atur. Karakteristik paling utama dari kebebasan model ini ‐
adalah ketulusan yang dipandang Neill sebagai hal paling vital dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi kebebasan dalam model pendidikan Summerhill ini bersifat terbatas; batasannya terletak pada komunitas sehingga orang tidak bisa seenaknya mengganggu kebebasan orang lain.
78
Kajian Filosofis Atas Pendidikan Summerhill
Maka, kebebasan bukanlah sebuah izin untuk melakukan apa saja sesuka hati tanpa memerhatikan eksistensi orang lain. Implikasi dari pernyataan ini adalah prinsip swakelola melalui kegiatan Rapat Umum, di mana ditekankan kesamaan hak untuk berpendapat dan mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas terhadap berbagai persoalan komunal. Maka dari itu, dengan menjalankan kebebasan model pendidikan Summerhill, anak akan memeroleh kebahagiaan setelah mendapatkan ruang untuk memutuskan apa yang ingin dilakukan dan untuk mampu memerhatikan kebutuhan teman temannya dalam komunitas. Kebahagiaan adalah dasar pendidikan ‐
sekaligus tujuan dari pendidikan yang sama dengan tujuan dari kehidupan.
Dengan melihat pemikiran Rousseau tentang kebahagiaan dan Dewey tentang kebebasan radikal dalam proses pendidikan, dengan jelas dapat dikatakan bahwa Neill menginginkan proses pendidikan yang berpusat
‐
pada anak [child centered ]. Pendidikan bertugas untuk mengembangkan ‐
‐
‘kebaikan kodrati’ dari dalam diri anak dengan memberi kebebasan anak untuk mengikuti pelajaran atau tidak sesuai dengan minatnya. Karena itu, secara
khusus,
proses
pendidikan
yang
Neill
kembangkan
tidak
mengarahkan perkembangan anak demi tujuan tujuan sosial. Pendidikan ‐
sekaligus proses penyembuhan bagi ‘anak bermasalah’ agar memeroleh kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagai sesuatu yang dicari demi dirinya karena merupakan nilai tertinggi, bagi Neill, kebahagiaan muncul akibat perasaan dicintai dan direstui, dan kebahagiaan merupakan suatu keadaan bahwa anak juga memerhatikan kebutuhan kebutuhan sesamanya dan tidak ‐
lagi bertingkah laku anti sosial. Dengan demikian, kebahagiaan berarti ‐
kesiapan anak untuk menjalani hidupnya di masa depan, sekalipun berbagai kesulitan berdatangan.
79
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN A. S. NEILL
Dalam bab ini, saya akan membahas tanggapan tanggapan atas ‐
pemikiran A. S. Neill yang terwujud dalam model pendidikan Sekolah Summerhill. Tanggapan tanggapan ini saya sajikan berdasarkan butir butir ‐
‐
pemikiran Neill yang menjadi landasan pendekatan pendidikan Summerhill, yakni: pemikiran tentang (1) self regulation (swa atur) dan (2) self ‐
‐
‐
government (swakelola). Dalam menguji seberapa memadai dua butir pemikiran tersebut, saya menyertakan tiga pemikir pendidikan, seperti Robin Barrow dan Ronald Woods 115 dalam kajian tentang “swa atur”, serta ‐
John Darling 116 dalam kajian tentang “swakelola”. Mereka bertiga memberikan kajian filosofis secara khusus atas pemikiran Neill dalam pendidikan Summerhill. Kemudian, saya juga akan menyertakan tanggapan praktis dan kritik dari pihak inspektorat pendidikan Inggris OFSTED terhadap model pendidikan Summerhill.
115
116
Robin Barrow adalah seorang Profesor Pendidikan di Universitas Simon Fraser, British Columbia. Dia adalah penulis buku-buku seperti The Philosophy of Schooling, Radical Education, Common Sense and the Curriculum, Giving Teaching back to Teachers , dan sebagai penulis rekanan dengan Geoffrey Milburn dalam buku A Critical Dictionary of Educational Concepts. Sedangkan, Ronald Woods pernah menjadi Dosen Senior Filsafat Pendidikan di Universitas Leicester hingga akhir-akhir ini. Dia sekarang menjadi editor dari buku Education and its Disciplines. Mereka berdua menjadi penulis rekanan untuk buku An Introduction to Philosophy of Education . John Darling adalah Dosen Pendidikan di Universitas Aberdeen, Inggris. Dia pernah mengajar filsafat dan pendidikan di berbagai universitas dan perguruan tinggi, dan juga pernah mengajar di sekolah-sekolah dasar. Dia telah menerbitkan banyak artikel tentang filsafat pendidikan dasar dan tentang teori-teori pengajaran dan pembelajaran yang berpusat pada anak.
81
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
1. Prinsip Swa atur (Self Regulation) ‐
‐
Pada bagian ini, saya akan melihat tanggapan kritis dari Barrow dan Woods 117 mengenai prinsip ‘swa atur’ yang dikembangkan Neill dalam ‐
model pendidikan Summerhill.
a. Prinsip Swa atur ‐
Telah dikatakan sebelumnya, bagi Neill, ‘swa atur’ adalah hak anak ‐
untuk hidup dengan bebas tanpa otoritas dari luar dalam hal hal baik psikis ‐
maupun jasmani. Artinya, anak makan ketika ia lapar; ia bersih dalam kebiasaan kebiasaannya hanya ketika ia menginginkannya; ia tidak pernah ‐
diserang atau ditampar. Dengan mengambil contoh dari Neill, hal ini berarti, misalnya, ketika anak perempuannya masuk ke dalam masa berminat besar terhadap kacamatanya, lalu mengambil kacamata itu dari hidungnya untuk melihat seperti apa bentuknya, Neill ‘tidak memerotes’, dan anak itu dibolehkan bermain dengan benda yang mudah pecah. Jika anak anak ‐
memasuki suatu masa mencuri, mereka seharusnya bebas menjalaninya, dan mereka seharusnya bebas untuk memilih tidak mengikuti pelajaran
‐
pelajaran sekolah jika mereka memilihnya. Implikasinya, ‘swa atur’ berarti ‐
kebebasan utuh seseorang untuk menentukan hidupnya sendiri, dan Neill menganggap konsep ini juga berlaku bahkan untuk anak anak. Bagi Barrow ‐
dan Woods, ada dua kekeliruan di sini: pertama, selain kutipan di atas, Neill tidak mengartikan ‘swa atur’ seperti itu. Artinya, Neill hanya melakukannya ‐
sebagai alternatif, tetapi dia sebetulnya tidak percaya bahwa anak anak ‐
melakukan ‘swa atur’ atau ‘mengatur diri’. Kedua, jika hal ini berarti ‘swa ‐
117
‐
‐
Untuk selanjutnya, agar tidak terlalu panjang, saya hanya akan menggunakan satu nama ‘Barrow’ untuk mewakili Barrow dan Woods.
82
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
atur’, maka pernyataan bahwa bayi atau anak anak dapat ‘swa atur’ itu ‐
‐
absurd [Barrow, 1988, 101 102]. ‐
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan seorang bayi yang ‘swa atur’? ‐
Barrow
menjelaskan,
“orang
dewasa
yang
‘mengatur diri’ ‐
atau
‘menentukan diri’ adalah orang yang menentukan keputusan keputusannya ‐
‐
sendiri, dan tidak tunduk pada setiap pembatasan kebebasan untuk melakukannya. Namun memutuskan sesuatu dalam setiap pengertian, bahkan keputusan yang buruk dan bodoh sekalipun, menurut definisinya menyangkut suatu tingkat kemampuan kognitif” [Barrow, 1988, 102]. 118
Dari sini, bagi Barrow, menentukan sebuah cara bertindak bagi setiap orang berarti merefleksikan pilihan pilihan yang ada, menimbang nimbang ‐
‐
dan memilih salah satu. Orang yang cenderung hanyut atau mengikuti reaksi yang langsung muncul terhadap berbagai stimulus tidaklah sedang mengatur dirinya, atau tidak sedang melakukan ‘swa atur’. Bagi Barrow, ‐
‘swa atur’ atau mengatur hidup itu mencakup: (1) memunyai pegangan ‐
gagasan tentang sarana untuk mencapai tujuan tujuan, (2) memunyai ‐
sebuah pengetahuan tentang apa yang akan terjadi bila ia cenderung melakukan hal ini daripada hal itu, (3) dengan sadar membuat keputusan
‐
keputusan dalam terang pengetahuan itu, dan (4) memunyai pemahaman tentang gagasan bahwa orang dapat mengatur hidupnya sendiri [bdk. Barrow, 1988, 102]. “Bayi yang tidak diberi makan hingga ia menangis demi makanan tidak sedang ‘mengatur’ hidupnya. Ia sedang bereaksi langsung
118
A self-regulating or self-determining adult, as we have seen, is one who makes his own choices and is not subject to any restrictions on his freedom to do so. But to make a choice in any meaningful sense, even to make a bad or foolish choice, involves by definition a degree of cognitive ability.
83
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
terhadap stimulus rasa lapar” [Barrow, 1988, 102]. 119 Maka, bagi Barrow, pernyataan bahwa seorang bayi atau anak itu mampu melakukan ‘swa atur’ ‐
itu tidaklah mungkin.
Kemudian, bagi Barrow, muncul pertanyaan bagi Neill: apa itu diri? “Konsep diri orang dewasa mungkin cenderung tidak jelas, tetapi apa itu diri bayi yang baru saja dilahirkan? Tidakkah gagasan diri individual terkait dengan konsep konsep seperti kepribadian dan karakter, dan tidakkah dua hal ini yang berkembang, menjadi ada atau dibutuhkan ketika seseorang tumbuh semakin tua? Masuk akalkah membicarakan ‘diri’, ‘karakter’, atau ‘kepribadian’ bayi yang baru saja lahir, atau bahkan ‘diri’ atau ‘kepribadian’ yang potensial? Tidakkah seluruh pokoknya adalah bahwa entah orang suka atau tidak, bayi lahir tanpa diri yang teridentifikasikan, dan bahwa kodrat diri dan kepribadian yang akan mereka kembangkan terikat dengan lingkungan tempat mereka tumbuh berkembang” [Barrow, 1988, 102]?120 ‐
Bagi Barrow, biasanya orang mengatur hidup anaknya, dengan memberi makan, meletakkannya di tempat tidur, dan sebagainya. Di sini, orang tanpa sadar sedang memengaruhi perkembangan sebuah jenis tertentu dari ‘diri’. Fakta bahwa ibu cenderung menyusui daripada memberikan botol susu, bagi Barrow, secara jasmani, dapat memengaruhi kodrat diri yang akan berkembang dalam diri anak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, faktor
‐
119
The baby that is not fed until it cries out for food is not ‘regulating’ its life, it is responding automatically to the stimulus of hunger. 120 The concept of the adult self may be somewhat obscure, but what constitutes the self of the newborn baby? Is not the notion of the individual’s self inextricably linked with such concepts as personality and character, and are not these things that develop, come into being or are acquired as one grows older? Does it make sense to talk of the ‘self’, ‘character’, or ‘personality’ of the newborn baby, or even of its potential ‘self’ or ‘personality’? Isn’t the whole point that whether one likes it or not, babies are born without identifiable selves and that the nature of the self and personality they will develop is inescapably bound up with the environment in which they grow up? Sebagai catatan, bagi Barrow, mengatakan hal ini
bukanlah berarti perlu menyangkal sangat pentingnya susunan genetis individu manusia.
84
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
faktor – seperti tingkat keamanan, kasih sayang, perhatian orangtua, dan interaksi dengan anak anak lain – dalam perkembangan setempat akan ‐
memberikan pengaruh bagi perkembangan ‘diri’ yang unik tersebut. Pendeknya, anak anak benar benar tidak bisa mengatur diri sejak lahir, sejak ‐
‐
dirinya sendiri dibentuk, dan sejak kurang akan pemahaman, kesadaran kognitif, dan pengetahuan yang penting tentang apa pun yang dengan masuk akal dapat diistilahkan ‘peraturan’ atau ‘penentuan’ [lih. Barrow, 1988, 102 103]. ‐
Namun Barrow melihat sesuatu yang agak kontradiktif dalam pemikiran Neill. Telah dikatakan oleh Neill – dan bagi Barrow itu adalah perkataan sembrono – bahwa anak tidak seharusnya melakukan apa pun hingga dia memiliki pendapat bahwa itu harus dilakukan. Barrow melihat, Neill sesungguhnya tidak yakin bahwa anak sepenuhnya mampu melakukan ‘swa atur’, bahkan jika itu dimungkinkan [Barrow, 1998, 103]. Telah ‐
disinggung di atas, ketika seorang dewasa bertanggung jawab untuk menyediakan dan memelihara sebuah bentuk lingkungan tertentu bagi anak yang tumbuh – sekalipun lingkungan itu relatif bebas dan negatif – dia sebenarnya sudah mulai campur tangan dengan perkembangan anak. Kemudian, Barrow melihat, dalam pengertian luas, anak anak Neill tunduk ‐
pada peraturan yang ditentukan oleh mayoritas anak anak lain. Ada ‐
sejumlah contoh yang dapat ditemukan dalam tulisan Neill yang mengindikasikan bahwa sebenarnya Neill menginginkan orang orang ‐
dewasa mengatur hidup anak secara langsung pada tingkat tertentu. Barrow memberi contoh anak berusia tujuh tahun yang memutuskan untuk menendang pintu kantor Neill, tidak akan menemukan bahwa kelakuan semacam itu dapat ditoleransi. Neill juga mengatakan bahwa anak berusia
85
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
tiga tahun tidak seharusnya dibolehkan melukis pintu depan dengan tinta merah, atau seorang anak tidak seharusnya bebas berjalan di atas meja makan, berdiri di atas piano, bermain di jalan keluar api, memukul mukul ‐
tuts piano dengan martil kayu, atau melompat ke atas sofa dengan memakai sepatu. Seorang anak juga tidak dapat dibiarkan mengatur pakaian untuk dirinya yang ia pilih untuk dipakai, karena sebagaimana Neill mengakui dengan merujuk pada anak perempuannya sendiri, jika ia membiarkannya, anak itu akan berlari lari dengan badan telanjang sepanjang hari di semua ‐
cuaca dan mereka merasa bahwa mereka harus ‘menggertaknya hingga berpakaian sesuai dengan apa yang harus dia pakai [lih. Barrow, 1988, 103]. 121
Barrow menyatakan bahwa mungkin kebanyakan dari kita berpikir bahwa contoh contoh yang Neill berikan – orang dewasa seharusnya turut ‐
campur tangan – sungguh bijaksana. Barrow menegaskan lagi, pendapat sederhana bahwa anak anak seharusnya ‘mengatur diri’ jelas tidak ‐
memadai,
ketika
orang
‐
mengungkapkan
contoh contoh ‐
mengenai
kebutuhan orang dewasa untuk intervensi dalam perkembangan anak. Lalu, mengatakan bahwa membebani segala hal dengan otoritas itu keliru menjadi sangat kontradiktif [Barrow, 1988, 103 104]. Bagi Barrow, “istilah ‐
‘swa atur’ menjadi sebuah semboyan yang rapuh untuk mengumpulkan ‐
dukungan bagi sudut pandang tertentu dan mengaburkan apa yang sebenarnya
121
menjadi
persoalannya.
Karena
apa
yang
sebenarnya
The seven-year-old child, for instance, who has decided to kick Neill’s office door, will not find such behaviour tolerated. A three-year-old should not be allowed to paint the front door with red ink. A child should not be free to walk over the dining table, stand on piano, play on the fire escape, take a wooden mallet to the keys of a piano, or leap onto a sofa with its shoes on. A child cannot be left to regulate for itself the clothes that it chooses to wear, for as Neill admits with reference to his own daughter, if they ‘had allowed it, she would have run about naked all day in all weathers’ and so they felt that the had to ‘bully her into wearing what we think she ought to wear’.
86
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dipersoalkan, menurut Barrow, bukanlah apakah anak seharusnya membuat keputusan keputusannya ‐
sendiri
atau
keputusan keputusan ‐
dibuat
untuknya. Akan tetapi, sejauh apa dan wilayah mana dia seharusnya dibiarkan melakukan apa yang dia rasa dia ingin lakukan dan bukan tunduk pada pengekangan pengekangan sengaja yang berasal dari anak anak lain ‐
‐
atau orang dewasa [Barrow, 1988, 103 104]. 122 ‐
Bagi Barrow, pertama tama, penting untuk membedakan dua ‐
pertanyaan berbeda yang tidak selalu Neill lakukan: (1) Hal hal macam apa ‐
yang harus diputuskan anak anak dengan bebas bagi mereka sendiri, atau ‐
yang harus dilakukan sesuai pilihan mereka? (2) Sebagai persoalan fakta, apa cara terbaik untuk membawa anak anak ke dalam pengertian bahwa mereka ‐
akan berkelakuan lebih dengan cara cara tertentu daripada cara cara lain ‐
‐
[lih. Barrow, 1988, 104]? Pertanyaan terakhir itu bersifat empiris. Pertanyaan terakhir ini menjadi pertanyaan besar ketika Neill membuat pernyataan empiris bahwa jika Anda membiarkan anak anak bebas untuk melakukan ‐
apa yang mereka ingin lakukan – atau apa yang bebas mereka lakukan dengan tunduk pada tekanan dari anak anak lain – pada kenyataannya, ‐
dalam jangka panjang, mereka akan membuat pilihan pilihan yang baik dan ‐
berakal sehat. “Jelasnya, pernyataannya bahwa anak anak seharusnya tidak ‐
pernah ‘diserang atau dipukul’ hanyalah sebuah pernyataan empiris, yang meliputi keyakinan bahwa mengintimidasi anak dengan menyerang atau memukul dalam jangka panjang bersifat tidak produktif” [Barrow, 1988,
122
The term ‘self-regulation’, pregnant with desirable overtones and emotive force, is serving as a loose slogan to rally support for a particular point of view and obscuring what is really at issue. For what is really at issue is not whether the child should make his own decisions or have them made for him, but the degree to which and the areas in which he should be left to do what he feels like doing rather than being subject to the deliberate restraints of either other children or adults.
87
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
104]. 123 Bagi Barrow, seberapa benar hal ini tidak akan diuji melalui penyelidikan filosofis. Secara intuitif, dan berdasarkan keterangan para psikolog, seseorang mungkin berpikir bahwa Neill memang benar setidaknya dengan berpendapat bahwa pada umumnya ‘menyerang dan memukul’ bukanlah sarana efektif.
Namun, bagi Barrow, sikap orang atas pernyataan yang lebih luas bahwa tanpa pengawasan dan petunjuk orang dewasa, anak anak akan ‐
membuat keputusan keputusan yang baik, sangat tergantung pada tingkat ‐
mana orang punya pandangan tentang sebuah keputusan yang baik. “Contohnya, kita diberitahu tentang kasus Mervyn, yang antara usia tujuh dan tujuh belas ... tidak pernah mengikuti satu kelas pun. Di usia tujuh belas tahun, dia hampir tidak mengenali bagaimana membaca” [Barrow, 1988, 104]. 124 Bagi sebagian orang, ini adalah contoh tentang sebuah keputusan yang kurang masuk akal. Namun demikian, Barrow mengatakan, butir pemikiran yang ingin disampaikan Neill adalah bahwa ketika Mervyn meninggalkan sekolah dan memutuskan menjadi seorang pembuat alat perkakas, dia dengan cepat mengajari dirinya sendiri bagaimana membaca dan dalam waktu singkat menyerap semua pengetahuan teknis yang dia butuhkan melalui pembelajaran diri [Barrow, 1988, 104]. Bagi Neill, Mervyn ‐
yang telah dewasa ini pantas dikagumi dan menjadi orang sukses. Lalu, Barrow membayangkan apakah Mervyn dapat melakukan sesuatu yang lebih baik, dengan pertimbangan dan jalan yang dia pilih, jika di usia lebih awal dia sudah memiliki lebih banyak kemungkinan yang terbuka baginya. 123
Clearly his claim that children should never be ‘stormed at or spanked’ is just such an empirical claim, involving the belief that to intimidate the child by storming at him or spanking him is in the long run counter-productive. 124 For instance we are told of the case Mervyn, who ‘between the ages of seven to seventeen … never attended a single class. At the age of seventeen he hardly knew how to read.’
88
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Barrow menambahkan: “Dan jika hal ini tampak sebagai sebuah anjuran tanpa dasar dalam kaitannya khusus dengan individu tertentu itu, tidakkah orang sah untuk bertanya tanya, tidakkah bagi setiap Mervyn ada seorang ‐
anak lain yang kehidupan dewasanya sama sekali dibatasi oleh pilihan yang dia buat sebagai seorang anak yang tidak mengikuti pelajaran apa pun” [Barrow, 1988, 104 105]? 125 ‐
Bagi Barrow, ini semua adalah pertanyaan empiris. Dari sudut filosofis, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana seseorang memutuskan di wilayah mana kebebasan anak harus dibatasi, dengan asumsi bahwa setidaknya kadang kadang anak anak tidak membuat keputusan yang ‐
‐
sehat. “Kriteria apa yang digunakan orang untuk membedakan antara apakah orang harus bebas melakukan jika mereka memilih dan apakah mereka tidak seharusnya bebas melakukan apa yang mereka pilih maupun yang tidak? Kriteria apa yang Neill punya dalam pikirannya untuk membedakan antara anak yang mengganggu pekerjaannya dengan bermain main dengan kacamatanya dan anak yang melakukan hal yang ‐
sama dengan cara menendang nendang pintu kamarnya” [Barrow, 1988, ‐
105]? 126 Barrow melihat, pertanyaan pertanyaan ini mungkin dijawab Neill ‐
dengan sebuah perbedaan antara ‘kebebasan’ dan ‘izin’, yang menurut Barrow adalah jawaban yang
tidak memadai. Maka, pembahasan
tanggapan kritis dari Barrow mengenai ‘swa atur’ ini berkaitan dengan ‐
bagian selanjutnya, yakni tanggapan kritis tentang ‘kebebasan’ dan ‘izin’.
125
And if that seems a groundless suggestion in relation to this particular individual, may one not legitimately wonder whether for every Mervyn there is not another child whose adult life is severely restricted by the choice he made as a child not to attend any lessons? 126 What criteria does one use to distinguish between what people should be free to do whether they choose to and what they should not be free to do whether they choose or not? What criteria does Neill have in mind for distinguishing between the child who interferes with his work by playing with his glasses and the child who does the same thing by kicking his door?
89
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
b. ‘Kebebasan dan Izin’ Pada bagian ini, saya akan memaparkan tanggapan Barrow atas perbedaan antara ‘kebebasan’ dan ‘izin’, dan bagian ini merupakan lanjutan dari bagian sebelumnya tentang ‘swa atur’. Pertanyaan ‘di wilayah mana ‐
kebebasan anak harus dibatasi’ dijawab Neill dengan pemikirannya tentang perbedaan antara ‘kebebasan’ dan ‘izin’. Neill pernah mengatakan: “Seluruh gerakan kebebasan itu rusak dan rendah karena sangat banyak pendukung kebebasan tidak meletakkan kakinya di atas tanah ... Inilah perbedaan antara kebebasan dan izin yang tidak dapat dimengerti oleh banyak orang tua” [dlm. Barrow, 1988, 105]. 127 Menurut Barrow, muncul pertanyaan: apakah maksud dari perbedaan ini? Bagi Barrow, hal itu tidak dikatakan oleh Neill. Yang diberikan hanyalah sedikit contoh tentang ‘kebebasan’ dan ‘izin’. Dari contoh contoh yang Neill berikan, Barrow melihat, ‘kebebasan’ ‐
biasanya merujuk pada kebebasan yang dapat diterima dan diinginkan, sedangkan ‘izin’ biasanya merujuk pada kebebasan yang tidak dapat diterima dan tidak diinginkan. “Kita tidak sedikitpun semakin mengetahui apakah yang membuat beberapa kebebasan diinginkan [kebebasan bona
fide] dan kebebasan yang tidak diinginkan [izin]. Apa perbedaan antara pelatihan toilet, yang mestinya tidak kita lakukan, dan mengatur kebiasaan tidur anak, yang mungkin kita lakukan? Mengapa anak seharusnya bebas bermain main dengan perhiasan ibunya yang mudah pecah tetapi tidak ‐
boleh berloncat loncat di sofa ibunya” [Barrow, 1988, 105]? 128 ‐
127
‘The whole freedom movement is marred and despised because so many advocates of freedom have not got their feet on the ground … It is this distinction between freedom and licence that many parents cannot grasp.’ 128 We are no nearer knowing what it is that makes some freedoms desirable [i.e. bona fide freedoms] and others undesirable [i.e. licence]. What is the distinction between toilet training, which we should not indulge in, and regulating the child’s sleeping habits, which we may? Why should the child be free to play with his mother’s breakable ornaments and not to jump on her sofa?
90
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Menurut pemahaman Barrow, Neill pada prinsipnya memberikan dua jawaban lain untuk menjelaskan perbedaan antara kebebasan dan izin yakni: (1) anak anak seharusnya bebas melakukan apa pun yang tidak mengganggu ‐
kebebasan orang lain dan (2) mereka seharusnya bebas melakukan apa pun yang tidak membahayakan diri mereka [Barrow, 1988, 105]. Menurut Barrow, secara hakiki jawaban ini dapat diterima karena menjelaskan kebanyakan contoh Neill. Misalnya, “anak tidak seharusnya bermain di pintu darurat, tidak memakai pakaian atau memiliki jendela jendela yang tidak ‐
dipalangi, karena pertimbangan menjauhkan bahaya dari dirinya. Anak tidak seharusnya menendang nendang pintu kamar kerja karena mencampuri ‐
kebebasan orang lain” [Barrow, 1988, 105 106]. 129 ‐
Namun Barrow memberikan dua catatan tentang topik ini. Pertama, sebagai catatan sederhana, dalam keterangan kriteria untuk membatasi kebebasan itu, beberapa contoh Neill masih tampak kontradiktif. Bagi Barrow, pertanyaannya adalah: bukankah anak yang bermain benda benda ‐
milikku yang mudah pecah sehingga merusakkan beberapa darinya, atau anak yang bermain main dengan kacamataku sementara aku sedang ‐
bekerja, tetap mengganggu kebebasanku. Dan ini tidak kurang mengganggu dibandingkan dengan anak yang menendang nendang pintu kamarku ‐
[Barrow, 1988, 106]? Kedua, sebagai catatan yang terkait dan penting, meskipun dapat dipahami, kriteria itu pada kenyataannya tidaklah mudah digunakan dalam praktik. Sebabnya, pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah itu berbahaya bagi anak di mata orang, dan apakah itu mengganggu kebebasan orang lain di mata orang. Bagi Barrow, tidaklah masuk akal untuk 129
… the child should not play on the fire escape, wear no clothes or have unbarred windows, because of the consideration of avoiding harm to himself. The child should not kick down the study door because that interferes with somebody else’s freedom … .
91
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
berpendapat bahwa anak anak yang membuat banyak keributan, yang ‐
mencuri, yang melempar batu ke jendela jendela rumah kaca orang lain, ‐
atau bahkan bayi bayi yang diberi makan hanya dan selalu ketika menangis ‐
minta makan, sedang mengganggu kebebasan orang lain, dan bahwa oleh karena itu, mereka seharusnya dihentikan dari perbuatan perbuatan ‐
semacam itu [Barrow, 1988, 106]. 130
Juga, seseorang tidak saja
membahayakan dirinya ketika melakukan hal hal seperti jatuh dari jendela. ‐
Kemudian,
muncul
pertanyaan:
mengapa
orang
tidak
seharusnya
berpendapat bahwa anak yang diberikan kebebasan untuk memilih tidak mengikuti
semua
pelajaran
dan
melakukannya,
mungkin
akan
membahayakan dirinya dalam jangka panjang? Barrow menegaskan: “Jika kita memahami pendidikan sebagai memprakarsai orang ke dalam kegiatan
‐
kegiatan yang berguna di kemudian hari, hampir dengan sendirinya, anak yang
tidak
mengikuti
pendidikan
dalam
pengertian
ini
sedang
membahayakan dirinya” [Barrow, 1988, 106]. 131 Barrow juga memberikan kesimpulan dari uraian di atas. Jelaslah, bagi Barrow pertanyaannya adalah: apakah pendapat anak anak semestinya ‐
bebas memutuskan bagi diri mereka sendiri itu akhirnya tidak dapat diselesaikan tanpa rujukan ke pandangan seseorang secaramenyeluruh tentang apa itu pendidikan dan untuk apa pendidikan itu? “Contoh sederhananya, jika orang tadinya percaya bahwa pendidikan berarti mengisi anak anak dengan informasi [dan karena itu percaya bahwa pendidikan ‐
berharga bagi anak untuk memeroleh informasi itu], orang akan secara alami menyimpulkan bahwa akan terjadi kerugian bagi anak untuk memilih 130
131
Di sini, Barrow tidak berpendapat bahwa anak-anak memang seharusnya demikian, namun ia hanya sekadar menguraikan kompleksitas dalam rumusan ‘bebas melakukan apa yang tidak mencampuri kebebasan orang lain’ [Barrow, 1988, 106]. If we conceive of education as initiating people into worthwhile activities then, almost by definition, the child who opts out of education in this sense is harming himself.
92
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
tidak mengikuti proses pendidikan ini” [Barrow, 1988, 106]. 132 Dari sini, Barrow menyatakan bahwa jika orang percaya bahwa pendidikan berguna bagi anak untuk mengembangkan daya daya rasional, maka orang akan ‐
menyimpulkan bahwa anak tidak seharusnya kehilangan kesempatan untuk menanamkan daya daya itu. “Sebaliknya, mengadopsi pandangan bahwa ‐
anak anak seharusnya bebas untuk memilih tidak mengikuti pelajaran ‐
‐
pelajaran secara implisit berarti mendaku bahwa hal ini tidak akan membahayakan mereka dalam pengertian apa pun, yang jelas merupakan sebuah dakuan besar” [Barrow, 1988, 106].133
c. Prinsip Swakelola [Self Government ] ‐
Mengenai prinsip swakelola yang identik dengan demokrasi, sudah dikatakan sebelumnya, Neill menegaskan bahwa setiap anak dan setiap guru – termasuk Neill sendiri – sebagai orang dewasa memiliki hak sama dengan punya satu suara masing masing dalam menentukan peraturan peraturan. ‐
‐
Namun, seberapa memuaskan dan memadai konsepsi Neill tentang sebuah demokrasi dengan prinsip swakelola? Bagi John Darling, pertama tama yang ‐
patut dipertanyakan adalah asumsi Neill yang jelas kelihatan, yaitu bahwa Summerhill sebagai komunitas seharusnya dilihat sebagai yang terdiri atas dua kelompok yang eksklusif satu sama lain [Darling, 1992, 50]. Darling mengamati berdasarkan butir butir berikut ini. ‐
132
If, simply by way of example, one believed that education was about filling children with information [and hence believed that it was valuable for the child to acquire such information], one would naturally conclude that it would be to the detriment of the child to opt out of this process. 133 Conversely, to adopt the view that children should be free to opt out of lessons is implicitly to claim that this cannot harm them in any sense, which is evidently a large claim.
93
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Tentang Kesetaraan Mengenai
kesetaraan
dalam
komunitas
Summerhill,
patut
dipertanyakan: apakah pada kenyataannya kesetaraan itu berjalan dengan baik? Ataukah sebenarnya kesetaraan itu tidak sepenuhnya berlaku? Di wilayah mana saja kesetaraan itu berlaku bagi semua pihak, staf dan anak
‐
anak, sehingga tercipta demokrasi? Darling mencoba mempertimbangkan kembali kesetaraan dalam prinsip swakelola.
Posisi Pegawai Kebersihan Perempuan Dalam konteks pembuatan keputusan demokratis, menurut Darling, tidak disebutkan keberadaan para petugas kebersihan perempuan muda di sekolah itu. “Neill tampaknya malu dan menyesali peran mereka sebagai pegawai kebersihan, tetapi Neill melihat mereka [dan meluas, sekolah itu] teruntungkan berkat pengalaman kebebasan Summerhill. Dalam suatu lingkungan bebas di mana mereka tidak diperintah, mereka bekerja lebih giat dan lebih baik daripada para pembantu perempuan yang ada di bawah otoritas” [Darling, 1992, 50]. 134 Di sini, kita tidak akan menjelajahi koherensi pernyataan bahwa para perempuan ini tidak berada di bawah otoritas. Perlu dicatat, pekerjaan mereka mendapat pengaruh langsung, baik yang baik maupun yang buruk, dari tingkah laku orang lain. Misalnya, para siswa yang rapi memudahkan pekerjaan mereka untuk membersihkan. Dengan patokan ini, para pegawai kebersihan tampak akan mendapatkan pernyataan yang baik dari pemerintahan sekolah [lih. Darling, 1992, 50].
134
Neill is somewhat embarrassed and apologetic about their role as employees, but sees them [by extension, the school] as benefiting from the experience of Summerhill freedom. In a free atmosphere where they are not bossed, they work harder and better than maids do who are under authority.
94
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Ketidaksetaraan Kekuasaan Darling mencurigai, ada sebuah kasus prima facie bahwa kekuasaan tidak terbagi rata bahkan di antara mereka yang melakukan pemungutan suara. “Para guru tidak hanya lebih tua dan lebih berpengalaman daripada anak anak, tetapi mereka juga sangat terpelajar. Masuk akal untuk ‐
mengandaikan bahwa dalam pembicaraan, mereka lebih pandai bicara, dan bahwa mereka bisa lebih persuasif tanpa kelihatan daripada kebanyakan siswa” [Darling, 1992, 50]. 135 Berkaitan ini, Darling menyoroti, Neill kemudian membantah pernyataan ini bahwa bahaya ini dapat diatasi dengan sikap para siswa yang tidak terpesona pada pengaruh pengaruh para ‐
guru tersebut. Memang bagi Neill, ketidaktakutan mereka dapat menolong untuk melawan tekanan lahiriah, tetapi ketidaktakutan tidak memberikan pembelaan terhadap bentuk bentuk bujukan yang kurang kelihatan. Juga, ‐
bagi Darling, orang dewasa sering mudah tidak sadar bahwa di tingkat tertentu, mereka menggunakan beragam manipulasi [Darling, 1992, 50].
Lebih
khusus,
Darling
melihat,
kadang kadang ‐
Neill
sendiri
menggunakan pengaruhnya. Para siswa menyadari bahwa Neill terkenal. Selain itu, para siswa juga akan sadar bahwa mereka tidak akan masuk ke sekolah itu jika tidak ada fakta bahwa para orangtua sangat menghargai Neill dan pandangan pandangannya. Lagipula, filsafat sekolah ini berasal ‐
dari Neill sendiri, maka etosnya pun ditentukan oleh Neill. Dia membuat kerangka dasar yang meliputi jadwal pelajaran pelajaran [yang fakultatif] di ‐
pagi hari. Bahkan susunan pemerintahan demokratis dalam komunitas
135
Teachers, after all, are not just older and more experienced than children; they are highly educated. It is reasonable to suppose that in discussion the will be more articulate and that they could be more subtly persuasive than most pupils.
95
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dibentuk oleh Neill sendiri. Maka dari itu, Neill dengan jelas menggunakan pengaruhnya yang besar terhadap sekolah ini [Darling, 1992, 50].
Di samping itu, Neill juga tampak mengekang diri dalam rapat rapat ‐
sekolah. Banyak hasil pembicaraan mungkin muncul dari perhatiannya sendiri, sekecil apa pun. Dia cenderung menilai prosesnya. Setiap kali pembicaraan
cenderung
memengaruhi
kepentingan kepentingannya ‐
sendiri, kadang kadang dia ditolak, sebagaimana dia dengan hati hati ‐
‐
mengatakannya sendiri. “Contohnya, Neill gagal mengusulkan sebuah larangan bagi sumpah serapah dalam pertemuan dengan calon calon ‐
orangtua ketika mereka mengunjungi sekolah itu! Dia juga kalah ketika mengusulkan bahwa para siswa di bawah usia enam belas tahun dilarang merokok” [Darling, 1992, 50]. 136
Lalu, Darling juga melihat dari tulisan Neill sendiri bahwa Neill dapat membuat keputusan keputusan yang cukup otokratik. Misalnya, Neill ‐
melarang minuman keras di Summerhill. Selain itu, karena selalu gelisah ketika anak anak suka bermain perang perangan dengan pedang kayu, Neill ‐
‐
mendesak agar ujung ujungnya ditutupi dengan karet dan kain. Dalam ‐
tulisannya, Neill membuat larangan larangan itu dengan alasan common ‐
sense. Dengan cara yang sama, Neill tidak malu untuk melarang anak anak ‐
memanjat atap sekolah atau bersepeda di luar halaman sekolah dengan alasan demi keselamatan. Dia melihat bentuk veto ini lebih sebagai ungkapan perhatian manusia yang alami daripada sekadar sebuah manifestasi otoritas atau kekuasaan. Neill cukup terbuka atas beberapa 136
Neill failed, for example, to have a ban imposed on swearing in the hearing of prospective parents when they were visiting the school! He was also defeated when proposing that pupils under 16 be forbidden to smoke.
96
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
unsur kekuasaan manajerial. Bagi Neill, ada beberapa aspek kehidupan sekolah yang tidak masuk di bawah rezim prinsip swakelola dalam rapat umum mingguan. Sebagai contohnya, istrinya berwenang membuat perencanaan susunan kamar kamar tidur. Neill sendiri berwenang ‐
mengangkat para guru dan meminta mereka pergi jika mereka dianggap tidak sesuai [Darling, 1992, 51].
Susunan susunan Rumah Tangga ‐
Pada
gilirannya,
Darling
melihat
pentingnya
untuk
mempertimbangkan setiap kekuasaan yang tersembunyi itu, dan hal pertama yang dipertimbangkan secara kritis adalah mengenai susunan
‐
susunan rumah tangga. Menurut Darling, dapat dipertanyakan, mengapa para siswa tidak secara bersama sama memisah misahkan susunan kamar ‐
‐
tidur mereka sendiri sehingga, sejauh mungkin, kelompok kelompok yang ‐
ingin tidur bersama dapat melakukannya? Apakah Neill takut akan akibat dari keputusan keputusan semacam itu? “Meskipun Neill keberatan dengan ‐
larangan masyarakat terhadap seks kaum muda, permintaan seorang siswa perempuan dan laki laki untuk sebuah kamar tidur bersama bagi mereka ‐
berdua ditolak oleh Neill dengan alasan bahwa setiap skandal yang diakibatkan dapat menyebabkan sekolah ini akan ditutup. Dengan alasan ini, dia menyatakan persoalan itu lebih bersifat ekonomis daripada moral” [Darling 1992, 51]. 137
137
Although Neill objected to society’s taboo on youthful sex, when a girl pupil and a boy pupil asked for a bedroom for themselves, this was refused by Neill on the grounds that any resultant scandal might mean that the school would be closed down. On these grounds, he declared the issue to be an economic one rather than a moral one.
97
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Namun, dari pengamatan Darling, ‘kepentingan kepentingan sekolah ‐
itu’ tampaknya menjadi sebuah pertimbangan yang anehnya tradisional bagi sebuah institusi radikal semenjak setiap perbuatan radikal apa pun dapat dengan mudah dilarang. Menghadapi hal ini, Neill mengatakan bahwa kesejahteraan
sekolah
punya
bobot
yang
pantas
yang
perlu
dipertimbangkan oleh orang orang tertentu yang meminta sebuah kamar ‐
tidur bersama [Darling, 1992, 51]. Dari sini, Darling melihat, pandangan Neill – orang orang muda yang dididik dalam lingkungan Summerhill yang tidak ‐
ditekan tidak akan menjalin relasi seks – menjadi sebuah pandangan yang sekilas aneh, seolah olah membuat orang tenang tetapi tampaknya keliru. ‐
Akan tetapi, dalam setiap kasus, dugaan akan kurangnya komitmen yang diduga dari sepasang kekasih itu terhadap kepentingan kepentingan ‐
Summerhill tampak sebagian besar tidak relevan. “Jika para anggota komunitas lainnya sungguh berkomitmen [dan itulah anjuran anjuran yang ‐
Neill berikan] maka mereka seharusnya dibolehkan untuk mengatur hal hal ‐
yang memengaruhi kepentingan kepentingan sekolah termasuk hidup ‐
bersama sebagai suami istri. Hak untuk mengontrol pembagian kamar tidur ‐
yang dipegang Neill hanya menunjukkan kepercayaan diri yang terbatas ‐
dalam proses demokratis” [Darling, 1992, 51]. 138
Pengangkatan Guru Bagi Darling, hal kedua yang juga patut dipertimbangkan adalah mengenai pengangkatan para guru. Darling mengamati, suatu ketika Neill berada di bawah tekanan dari para guru Summerhill untuk mengubah 138
If the rest of the community did have the commitment [and that is what Neill’s comments suggest] then they should have been allowed to regulate matters affecting the school’s interests including pupil cohabitation. Neill’s retention of the right to control bedroom allocation shows only limited confidence in the democratic process.
98
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
susunan waktu tradisional. Sesuai saran Neill sendiri, hal ini dibicarakan dalam pertemuan mingguan. Namun jika daftar waktu pelajaran juga sah menjadi perhatian para siswa, demikian juga bisa terjadi dengan pengangkatan orang orang yang akan mengajar mereka. Sementara, juga ‐
diberlakukan anjuran bahwa, jika para siswa membuat kesalahan, mereka hanya tinggal meralatnya. Dalam sekolah sekolah mainstream, hal seperti ini ‐
tidak akan mudah diselesaikan, bahkan ketika melibatkan guru yang paling buruk sekalipun. Darling menyoroti bahwa Summerhill memelihara dan menjalankan hak untuk memecat para guru [Darling, 1992, 51], “Mereka diangkat oleh Neill dengan prinsip ‘coba coba dan gagal’ [trial and error ]: ‐
‘Mari kita lihat bagaimana Anda bekerja bersama anak anak’,” kata Neill ‐
kepada salah satu calon anggota staf. Kenyataannya, cara pengangkatan Neill tampak berjalan sambil lalu. Dia mengalami kesulitan besar untuk menyingkirkan guru yang terbukti tidak sesuai. Maka, bahkan pada tingkat
ad hominem, seseorang dapat mengatakan bahwa melibatkan para siswa dalam pengangkatan staf sama sama memuaskan dengan menyerahkan ‐
lagi tugas itu kepada Neill” [Darling, 1992, 51 52]. 139 ‐
Dari uraian di atas, Darling menyoroti bahwa hak memberikan suara yang sama tidak membutuhkan kekuasaan yang sama. Keterbatasan paling signifikan dalam demokrasi Summerhill terletak dalam kekuasaan Neill untuk menentukan tingkat kompetensi pertemuan sekolah. Benarlah bahwa kekuasaan kekuasaan yang diperoleh komunitas Summerhill jauh melebihi ‐
pembuatan keputusan sederhana yang dipercayakan sekolah sekolah ‐
139
They were appointed by Neill on a trial and error basis: “Let see how you get on with children”, Neill said to one prospective member of staff. In fact, Neill’s appointment procedures seem to have been casual, if not positively whimsical; and he had great difficulty in bringing himself to get rid of teachers who proved unsuitable. So, even at the ad hominem level one could argue that involving pupils in making staff appointments would have been at least as satisfactory as leaving the job to Neill.
99
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
mainstream kepada komisi komisi siswa. Namun Neill tetaplah pemilik ‐
Summerhill dan bertindak sebagai pemilik. Menurut Darling, masuk akal bahwa komunitas mendapat kesempatan untuk mengangkat staf baru. “Jika seandainya ada daya demokratis yang nyata, komunitas tentu sudah
menuntut hak untuk melakukan pengangkatan semacam itu” [Darling, 1992, 52]. 140
Bagaimanapun juga, pengangkatan guru guru memengaruhi ‐
kepentingan kepentingan setiap orang. ‐
Pentingnya ‘Peran Polisi’ Darling menambahkan sebuah butir penjelasan tentang prinsip swakelola dalam rapat umum. Telah disampaikan sebelumnya bagaimana pandangan pandangan Neill terhadap bahaya otoritas orang dewasa. ‐
Namun demikian, Darling menganjurkan, sewajarnya tidak hanya Neill tetapi guru guru lain seharusnya juga melepaskan diri dari otoritas. ‐
Seberapa jauh sistem otoritas kolektif Summerhill menyediakan sebuah pengganti yang memadai? Pertemuan sekolah berfungsi baik sebagai sebuah parlemen yang menyusun aturan aturan maupun sebagai sebuah ‐
pengadilan yang bertindak sebagai hakim untuk memutuskan pengaduan dan menghukum yang bersalah. Akan tetapi, bagi Darling, apa yang tidak disediakan adalah pengganti untuk peran polisi yang akan mencegah kelakuan anti sosial atau untuk mengambil tindakan langsung jika terjadi ‐
pelanggaran. Secara tradisional, peran itu adalah tanggung jawab penting guru kelas dan guru kepala. “Persoalan ini tidak pernah ditunjukkan atau dibicarakan
140
oleh
Neill,
dan
pengamatan pengamatan ‐
If there had been real democratic power, the community would have appointments.
100
selanjutnya
demanded the right
to make such
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
merupakan campur tangan berdasarkan kisah kisah relevan Neill selama di ‐
Summerhill” [Darling, 1992, 52]. 141 Dari sini, Darling melihat secara garis besar bahwa para individu harus dipersiapkan untuk membela diri mereka. Darling mencatat, Neill cukup siap untuk tiba tiba berurusan dengan seseorang yang menyalahgunakan taman ‐
atau pintu yang baru saja dicat. Namun sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman, Neill cukup berpendidikan untuk mampu melindungi wilayahnya sendiri. Apa jadinya seandainya tingkah laku Neill ternyata terlalu kaku? Darling menunjukkan bahwa Neill secara efektif mengakui bahwa ada situasi situasi semacam itu. Neill menggambarkan bagaimana ‐
dia perlu campur tangan ketika seorang anak laki laki di Summerhill ‐
melakukan teror terhadap anak anak lain. Ketika dia berbicara kepada anak ‐
laki laki itu, Neill ditendang dan digigit. Maka anak itu diberitahu bahwa ‐
setiap serangan berikutnya akan menimbulkan pembalasan dendam. Meskipun tampaknya Neill membatasi diri dengan hanya memukul, bukan menendang atau menggigit, cara itu ternyata memiliki efek yang diharapkan. Neill menyimpulkan bahwa ia bukan memberi hukuman, melainkan sebuah pelajaran penting bahwa orang tidak dapat melukai orang lain demi kepuasannya sendiri. Darling lalu tertarik untuk membandingkan kejadian itu dengan bagian lain dalam refleksi refleksi Neill: ada orangtua ‐
(dalam bayangan imajiner) yang menusukkan peniti kepada bayinya karena bayi itu melakukannya kepada seorang anak. Meskipun ada kemiripan dengan kasus di atas, Neill keberatan terhadap tindakan orangtua itu dengan dua alasan: (1) tindakan orangtua itu tidak menambah pemahaman baru bagi si bayi, dan (2) sementara anak yang diteror itu dapat diamankan
141
This issue is never identified or discussed by Neill, and the observations that follow are interferences based on relevant episodes in Neill’s accounts of life at Summerhill.
101
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dari serangan serangan selanjutnya, kerugian yang dialami bayi itu tidak ‐
bisa segera dihapus [Darling, 1992, 52]. Darling melihat, kekhasan dari ulasan ulasan Neill tentang kelakuan ‐
anti sosial terletak dalam fokus perhatian Neill yang cenderung terarah pada ‐
pelakunya ketimbang pihak korban yang dirugikan karena kelakuannya. Bagi orang yang harus mengelola suatu kelompok sosial, seperti kelas atau sekolah, menurut Darling, hal ini jarang menjadi prioritas utama. Biasanya, yang menjadi prioritas utama adalah pihak yang dirugikan karena penting untuk memastikan bahwa hak hak setiap orang dihormati [Darling, 1992, ‐
52 53]. “Neill sadar akan konflik ini, tetapi dia biasanya siap untuk melihat ‐
sejumlah ketidaknyamanan yang dibuat oleh para warga Summerhill daripada mencegah kelakuan anti sosial dengan intervensi tangan baja” ‐
‐
[Darling, 1992, 53]. 142 Dari pengamatan Darling, patut diperhatikan bahwa jika korban yang menderita adalah orang dewasa, secara umumnya Neill tampak tidak peduli dan membatasi diri hanya dengan mencemaskan kerugian yang dapat terjadi pada anak anak jika dipaksa untuk berhenti ‐
melakukan hal hal ceroboh. “Ketika kita mengingat ingat bagaimana anak ‐
‐
‐
anak Summerhill terus membuat kegaduhan kendati mereka tahu bahwa seorang staf perempuan sedang sakit, Neill membatasi diri dengan mempertimbangkan betapa orang dewasa terlalu cepat memaksakan kepada anak anak contoh contoh bertingkah laku yang nyaman bagi kita – ‐
‐
‐
maka tampaknya wanita malang itu memang harus menderita!” [Darling, 1992, 53] 143
142
Neill is aware of this conflict, yet he is usually prepared to see a certain amount of unpleasantness being created for the inhabitants of Summerhill rather than stop antisocial behaviour by heavy-handed intervention. 143 When recalling how Summerhill children continued to make a lot of noise despite the fact that they knew a female member of staff was ill, Neill confines himself to reflecting that we adults are much too ready to force on children patters of behaviour that are convenient to us – so it seems that the poor lady just had to suffer!
102
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Darling melihat, ‘membela diri sendiri’ adalah sebuah kemampuan yang berguna dan tidak mungkin diperoleh ketika seseorang hidup di bawah perlindungan yang ketat. Namun harus diakui bahwa sebagian tidak beruntung ketika yang terjadi adalah pembelaan diri. Bayi bayi tentu masuk ‐
‐
dalam kelompok ini, dan juga orang sakit: mereka harus memiliki hak hak ‐
mereka yang dipertahankan oleh orang lain. Guru yang sakit dapat kemudian mengambil tindakan melawan anak anak yang membuat ‐
kegaduhan melalui pengadilan Summerhill. Namun guru itu tidak memeroleh perlindungan langsung dari kekuatan polisi Summerhill karena memang tidak ada [Darling, 1992, 53]. “Perkataan yang hampir sama muncul dalam bentuk ‘para petugas jam tidur’ yang pekerjaannya (yang dilakukan melalui sistem rotasi siswa) adalah mengejar anak anak untuk tidur – tetapi ‐
kegiatan ini secara khas dipertahankan Neill lebih karena alasan bahwa kelelahan berbahaya bagi kesehatan daripada karena larut malam itu terasosiasikan dengan kelakuan anti sosial” [Darling, 1992, 53].144 ‐
Darling menyimpulkan prinsip swakelola sebagai berikut. Dalam mempertimbangkan kelayakan demokrasi sekolah, kebaikan alami anak
‐
anak menjadi landasannya. Untuk itu, Darling mempertimbangkan dua posisi ekstrim. Pertama, terdapat sebuah pandangan positif dan optimistis bahwa anak anak itu bijaksana dan realistis. Dalam pandangan ini, tidak ada ‐
alasan apa pun untuk tidak melibatkan anak anak dalam proses menentukan ‐
keputusan. Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa anak anak ‐
secara umum memiliki kekurangan dalam hal akal sehat, dan menyimpulkan bahwa pendidikan sekolah seharusnya berjalan secara tidak demokratis, 144
The nearest equivalent appears to be the ‘bedtime officers’ whose job [taken in rotation by pupils] was to chase children to bed – but this practice was, characteristically, defended by Neill on the grounds that exhaustion is a health hazard rather than because late nights are associated with antisocial behaviour.
103
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
seperti sebelumnya. Akan tetapi, jika keadaan menyedihkan tentang siswa di sekolah ini pada umumnya benar, maka, menurut pendapat Callan yang dikutip oleh Darling, pasti ada sesuatu yang secara radikal keliru dengan proses pendidikan di sekolah seperti yang diyakini secara tradisional. Tidak mungkinkah bahwa penyebab para siswa kekurangan akal sehat itu terletak dalam ketundukan mereka yang tanpa akhir kepada keputusan keputusan ‐
baik menurut orang lain? Jika demikian, paternalisme145 seharusnya digantikan dengan demokrasi. Menurut Darling yang mengutip pendapat Callan, dari premis manapun kita memulainya, kita akan berakhir dengan kesimpulan yang sama [lih. Darling, 1992, 55].
Darling menambahkan, banyak pengelolaan sekolah dewasa ini menyarankan
sebuah
suasana
politis
yang
bertentangan
dengan
perkembangan demokrasi sekolah. Di sini, Summerhill ibadat pemberi peringatan bahwa ada cara cara lain yang tidak berlawanan dengan ‐
demokrasi sekolah. Partisipasi dalam penentuan keputusan bersama ‐
membantu perkembangan kedewasaan, memajukan perkembangan pribadi, dan se edukatif seperti yang Neill pikirkan, sehingga Darling sepakat bahwa ‐
‘pengawasan ketat dari pusat’ dapat membuat sekolah sekolah berjalan ‐
lebih lambat dan kurang efektif dalam memajukan tujuan tujuannya yang ‐
sepantasnya [Darling, 1992, 56].
145
Paternalisme adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, seperti hubungan antara ayah dan anak [Alwi, 2001, 836].
104
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
2. Tanggapan tanggapan OFSTED146 ‐
Selanjutnya, pada bagian ini, saya ingin membahas tanggapan
‐
tanggapan dari para inspektur sekolah dalam OFSTED 147 terhadap model pendidikan Summerhill. Dalam kunjungan dan inspeksi yang mereka lakukan pada Maret 1999, OFSTED menjelaskan bahwa ada enam keluhan. Enam keluhan itu dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) yang diterima dan (2) yang tidak diterima oleh pihak sekolah Summerhill.
Keluhan keluhan yang diterima Summerhill mencakup tiga macam ‐
keluhan dari hasil pengamatan OFSTED, yakni: (1) masalah kesehatan dan keselamatan, (2) masalah keselamatan berkenaan dengan kunci kunci ‐
jendela dan bahan untuk lantai, dan (3) masalah pengajaran dan perencanaan kurikulum. Pertama, mengenai masalah kesehatan dan keselamatan, OFSTED melihat kemajuan kemajuan yang lebih baik di ‐
Summerhill. Selain itu, OFSTED juga mendapat informasi dari beberapa anak Summerhill bahwa telah dibentuk sebuah komisi kesehatan dan keselamatan yang terdiri atas para staf dan anak anak. Kedua, mengenai ‐
keselamatan berkenaan dengan kunci kunci jendela dan bahan lantai, dalam ‐
pengawasannya, OFSTED melaporkan bahwa hal hal ini telah diurusi dan ‐
jendela jendela telah diberi kunci kunci. Ketiga, berdasarkan pengamatan ‐
‐
OFSTED, masalah pengajaran dan perencanaan kurikulum masih menuntut perhatian, namun OFSTED melihat bahwa pihak sekolah ini sedang mengambil tindakan dengan masalah ini. 146
147
Lih. Report of an Inquiry into Summerhill School– Leiston, Suffolk , Januari 2000, http://www.selfmanagedlearning.org/Summerhill/RepMain.htm. Office for Standards in Education, Children's Services and Skills (OFSTED) adalah sebuah departemen pemerintah non-kementerian Inggris di bawah kekuasaan Her Majesty's Chief Inspector of Schools In England (HMCI). Agar lebih ringkas, saya akan menggunakan kata “OFSTED” yang merujuk pada “para inspektur pendidikan Inggris dalam OFSTED”.
105
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Keluhan keluhan yang tidak diterima oleh pihak Summerhill terdiri ‐
atas tiga macam keluhan, yakni: (1) masalah persediaan toilet, (2) masalah penilaian siswa, dan (3) masalah keberatan terhadap filsafat sekolah Summerhill.
a. Masalah Persediaan Toilet Keluhan pertama yang tidak diterima oleh pihak Summerhill adalah masalah persediaan toilet. Berdasarkan inspeksi OFSTED, sekolah ini memiliki tiga puluh toilet dan itu adalah jumlah yang memadai. Permasalahannya, bagi OFSTED, adalah sekolah tidak memisahkan toilet
‐
toilet itu; laki laki dan perempuan, staf dan anak anak, semuanya ‐
menggunakan
‐
toilet toilet ‐
yang
sama.
Alasannya,
dapat
terjadi
kemungkinan kemungkinan tindakan penganiayaan anak. Permasalahan ini ‐
termasuk permasalahan perlindungan anak. OFSTED berpendapat bahwa pelaku penganiayaan dapat menakut nakuti anak sehingga hal ini tidak ‐
dilaporkan secara publik. Para pelakunya biasanya beroperasi dengan diam
‐
diam, dan gagasan bahwa toilet toilet di Summerhill membuka peluang bagi ‐
penganiayaan seksual.
Akan tetapi, terhadap keluhan ini, pihak Summerhill mengajukan alasan mengapa sekolah ini tidak mau berkompromi dengan apa yang dianjurkan OFSTED, yaitu keinginan untuk melihat Summerhill sebagai sebuah keluarga besar, dengan hubungan timbal balik yang setara dan ‐
terbuka. Ini adalah pusat dari seluruh filsafat Summerhill. Gagasan sekolah yang menjadi sebuah bentuk keluarga dengan jelas sangat kuat, dan warga komunitas sekolah, juga para orangtua, percaya bahwa sebagaimana dalam
106
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
sebuah rumah keluarga, mereka tidak memiliki toilet toilet yang terpisah. ‐
“Sesungguhnya, di mata banyak siswa dan orangtua, memulai memisahkan toilet toilet adalah kesemuan yang tidak berarti.” 148 Di atas semua itu, diakui ‐
bahwa Summerhill adalah sebuah komunitas yang menciptakan budaya aman dan suportif bagi anak anak serta bagi proses proses yang berkaitan ‐
‐
dengan setiap persoalan yang dapat muncul. Maka, susunan susunan toilet ‐
termasuk pokok penting bagi prosedur demokratis Summerhill sendiri dan tidak ada alasan untuk campur tangan negara dalam permasalahan ini.
b. Masalah Penilaian Siswa Pandangan yang dianut Summerhill adalah bahwa penilaian dan pengujian ‘formal’ anak anak seharusnya diadakan dengan persetujuan ‐
anak. Keluhan melawan pandangan ini karena dianggap menghambat ‘kemajuan siswa siswa’ sebagaimana staf tidak mampu mengenali ‘masalah ‐
‐
masalah pendidikan para siswa’. Berdasarkan wawancara dengan staf Summerhill, diindikasikan bahwa awalnya, mereka sungguh membuat catatan catatan tentang anak anak. Akan tetapi, mereka sedang meninjau ‐
‐
cara cara mereka untuk melihat apakah mereka perlu mengembangkan ‐
susunan susunan. Tinjauan ini diinginkan, dan harapannya, sekolah dapat ‐
mengembangkan
cara caranya ‐
sementara
tetap
menjaga
filsafat
pendidikannya.
Berkenaan dengan masalah ini sekolah Summerhill ini memiliki Catatan Perhatian Khusus [Special Attention List ] yang digunakan untuk mencatat semua anak anak baru dan setiap anak yang bermasalah. ‐
148
Lih. http://www.selfmanagedlearning.org/Summerhill/RepMain.htm, hlm. 10.
107
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Terdapat juga catatan catatan tentang anak anak secara individual. ‐
‐
Penilaian garis dasar seperti kemampuan membaca, berbicara, dan berhitung dibuat untuk para pendatang baru. Para guru membuat sebuah catatan tentang kemajuan akademis dan menulis secara bertahap laporan
‐
laporan tentang anak anak yang mengikuti pelajaran pelajaran mereka. ‐
‐
Summerhill baru saja menentukan kembali prosedur bagaimana para orangtua asrama menuliskan laporan laporan tentang anak anak yang ‐
‐
mereka asuh. Meskipun demikian, sekolah tidak mengirimkan laporan
‐
laporan ke kelompok kelompok orang ketiga di luar sekolah tanpa ‐
persetujuan anak.
Alasan lain yang ditekankan oleh staf adalah Summerhill adalah sebuah sekolah asrama yang sangat kecil yang merupakan sebuah komunitas yang terajut dengan rapat. Para staf merasa, mereka peka akan setiap masalah dan mereka mampu berurusan dengan mereka. Namun, jelas bahwa mereka tidak disiapkan untuk memaksa anak anak untuk diuji secara ‐
formal melawan kehendak mereka. Mereka memberikan masukan pada penampilan anak anak di dalam kelas dan melihat hal ini pantas dilakukan ‐
untuk membantu anak anak belajar. Tampaknya, penilaian diri dianjurkan ‐
‐
oleh anak anak sendiri, dan hal ini kelihatan menjadi cara yang dihargai oleh ‐
anak anak. ‐
108
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Hal lain yang disoroti adalah UMPT. 149 Jelas, anak anak mampu ‐
mengerjakan ujian ujian semacam itu dan mendapat hasil yang baik. ‐
Kesimpulan yang disampaikan OFSTED bahwa kemajuan siswa dihalangi di Summerhill tidak didukung oleh fakta fakta yang benar tentang nilai nilai ‐
‐
UMPT, meskipun sekolah ini tidak menekankan pentingnya nilai nilai tinggi ‐
dalam UMPT sebagai tujuan utamanya. Summerhilll menunjukkan, melalui fakta fakta substansial yang dilihat, beberapa siswa berhasil dalam ujian ‐
‐
ujian akademis di Summerhill, padahal mereka jelas gagal secara akademis di lingkungan pendidikan sekolah negeri. Maka, kasus yang diungkapkan oleh OFSTED tidak didukung fakta fakta. ‐
c. Masalah Keberatan terhadap Filsafat Summerhill Dikatakan, Summerhill memiliki dasar filsafat pendidikan yang mendukung adanya demokrasi dan pelajaran pelajaran fakultatif, dan ini ‐
membuat Summerhill digolongkan sebagai ‘sekolah alternatif’ dan ‘sekolah bebas’. Dari sini, muncul keluhan dari OFSTED yang menjadi inti tantangan bagi
filsafat
Summerhill.
Keluhan
ini
mencakup
sejumlah
kunci
permasalahan yang perlu dianalisis secara terpisah, yakni: (1) dugaan penyimpangan, (2) pelajaran pelajaran fakultatif, (3) pencarian kemalasan, ‐
(4) kurikulm formal, dan (5) harapan harapan nasional. ‐
1.
149
Ujian Masuk Perguruan Tinggi [UMPT] di Inggris dikenal dengan sebutan General Certificate of Secondary Education [GCSE], yakni nama untuk sebuah kualifikasi akademis yang diberikan dalam mata pelajaran yang ditentukan, pada umumnya dilakukan dengan sejumlah mata pelajaran oleh siswa-siswi berusia 13-16 tahun dalam pendidikan sekunder di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara sebagai persiapan untuk masuk universitas atau perguruan tinggi. Lih.http://en.wikipedia.org/wiki/GCSE.
109
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Dugaan ‘penyimpangan’ Sekolah Summerhill diduga oleh OFSTED melakukan ‘penyimpangan’ dengan membuat kebingungan kebebasan pendidikan dengan adanya kehendak negatif untuk tidak diajar. Hasilnya, banyak siswa telah dibiarkan untuk salah memahami latihan kebebasan pribadi sebagai alasan bagi kemalasan. Akan tetapi, tuntutan ini tidak dapat dibenarkan. Telah dikutip fakta fakta kuantitatif dari hasil hasil UMPT untuk menunjukkan bahwa ‐
‐
fakta fakta yang dianggap mengancam dugaan dari ‘penyimpangan’ ‐
tersebut tidak dapat dibenarkan. Juga tidak ditemukan fakta terpercaya lainnya yang menunjukkan bahwa Summerhill telah ‘menyimpang’ dari filsafat asalinya. Dalam hal ini, para inspektur telah gagal untuk berpedoman pada kriteria OFSTED sendiri untuk praktik inspeksi yang efektif, yakni fakta fakta empiris. Dari sini, tidak tampak ada ‘penyimpangan’ yang ‐
ditandai dengan ‘pencarian kemalasan’. Diduga bahwa perhatian OFSTED lebih tertuju pada pelajaran pelajaran fakultatif. ‐
2. Pelajaran pelajaran yang fakultatif ‐
OFSTED menuntut, sebagai sebuah perbaikan, bahwa semua siswa harus ‘terlibat dalam proses pembelajaran secara teratur’. Perbaikan ini mengindikasikan bahwa satu satunya ‘pembelajaran’ yang dapat diterima ‐
adalah yang ada ‘dalam pelajaran pelajaran terjadwalkan atau program ‐
‐
program studi yang mendukung diri yang ditentukan’. Asumsinya adalah bahwa apa yang anak anak lakukan di luar dua model ini bukan merupakan ‐
pembelajaran. Tuntutan ini dipertimbangkan Summerhill dalam dua bagian.
Pertama, tidak ada bukti untuk membenarkan pernyataan bahwa filsafat
110
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
sekolah ini, dalam kaitannya dengan masalah ini, telah berubah sejak lahirnya pada 1921. Kedua, tampak bahwa prinsip pendirian Summerhill dipahami oleh semua orang yang berhubungan dengan sekolah ini. Juga jelas dari bukti alasan mengapa Summerhill sangat dihargai oleh sangat banyak orangtua dan anak anak di Summerhill, dan sebuah alasan utama ‐
bagi mereka yang memiliki sekolah ini.
Bukti nyata yang dimiliki mengenai permasalahan ini berasal dari berbagai sumber. Pertama, yang dilakukan adalah menganalisis hasil survei berdasarkan daftar pertanyaan bagi para mantan siswa Summerhill. Contohnya terdiri atas 40 mantan penghuni Summerhill yang telah mengikuti sekolah dari 1930 an hingga awal 1990 an. Memang mereka tidak ‐
‐
bisa mewakili semua mantan warga Summerhill, namun kehadiran mereka benar benar menentukan fakta fakta baru baru mantan warga Summerhill. ‐
‐
‐
Mereka menjalani semua pelajaran pelajaran fakultatif. Ketika ditanya ‐
apakah ini menguntungkan atau tidak, sebanyak 92,3% dari mereka menyatakan bahwa hal itu adalah sebuah keuntungan.
Kedua, penelitian dilakukan dengan menganalisis 19 orang yang baru saja meninggalkan Summerhill. Hasilnya sama dengan penelitian pertama. 15
orang
responden
melihat
pelajaran pelajaran ‐
sebagai
sebuah
keuntungan, sedangkan sisanya memiliki pandangan macam macam. Tak ‐
ada yang menganggapnya sebagai sebuah kerugian. Ketiga, bukti bukti ‐
selanjutnya berasal dari para siswa Summerhill sekarang ini. Semua anak yang diwawancarai, baik secara formal maupun informal, memberikan tanggapan sangat positif terhadap pelajaran pelajaran fakultatif. Kemudian, ‐
keempat , fakta fakta didapat dari kalangan guru Summerhill. Semuanya ‐
berkomitmen dengan kebijakan sekolah meskipun terdeteksi bahwa ada
111
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
satu guru yang mengganggap kehadiran di kelas kelas yang berubah ubah ‐
‐
sebagai sebuah masalah. Lalu, kelima, bukti bukti terakhir berasal dari para ‐
orangtua yang tinggal di Inggris dan luar negeri. Mereka semua mendukung kebijakan Summerhill dalam hal ini dan dipertentangkan dengan pelajaran
‐
pelajaran yang diwajibkan. Kebijakan ini merupakan alasan utama mengapa mereka memilih sekolah ini sebagai tempat pertama untuk menyekolahkan anak anak mereka. ‐
Maka, asumsi bahwa apa yang anak anak lakukan di luar pelajaran ‐
‐
pelajaran wajib bukanlah pembelajaran, dibantah dengan keseimbangan bukti bukti hasil penelitian tentang bagaimana anak anak belajar. Maka, ‐
‐
sulit untuk mengetahui bagaimana menanggapi asumsi asumsi Sekretaris ‐
Negara tentang pembelajaran yang tidak didukung dengan fakta empiris.
3. Pencarian kemalasan Laporan OFSTED juga mengungkapkan permasalahan ‘kemalasan’. Sepenggal bukti kunci yang ditemukan para inspektur adalah ketika salah seorang dari mereka membuntuti dua orang gadis berusia sebelas tahun sepanjang hari. Inspektur itu memberi kesimpulan bahwa mereka bermalas
‐
malasan sepanjang hari. Namun sebenarnya, menurut salah seorang gadis itu, dia tidak mengikuti pelajaran hari itu karena merasa diintimidasi oleh kelompok terakhir para inspektur yang mengunjungi sekolah ini. Orangtua mereka pun mendukung anak anak perempuan mereka dan sangat tidak ‐
menyukai
cara
bertindak
dari
inspeksi
OFSTED.
Padahal,
pada
kenyataannya, anak anak di Summerhill juga memiliki banyak kesempatan ‐
untuk melakukan kegiatan olahraga dan permainan. Namun hal ini tidak
112
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
dipandang OFSTED sebagai pembelajaran karena itu semua tidaklah diatur dan diawasi oleh guru secara formal.
4. Kurikulum formal Yang menjadi inti dari perhatian OFSTED adalah gagasan tentang kurikulum yang tepat. Di Summerhill, anak anak menciptakan kurikulum ‐
mereka sendiri, meskipun ada jadwal dan susunan formal pelajaran
‐
pelajaran. Gagasan tentang kurikulum seperti apa yang seharusnya ada itu penting bagi OFSTED, tetapi tentu saja sebuah sekolah bebas tidak harus memenuhi Kurikulum Nasional. Namun setiap gagasan bahwa ada kurikulum yang secara objektif tepat bagi anak anak tampak salah ‐
dimengerti oleh OFSTED. Perubahan perubahaan yang baru dilakukan dan ‐
ditampilkan dalam Kurikulum Nasional justru mengindikasikan bahwa tidak ada keseimbangan yang secara objektif tepat dari berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari anak.
Faktor pertimbangan lainnya dalam mengevaluasi pendekatan Summerhill terhadap kurikulum adalah bahwa mayoritas anak tidak tinggal di Inggris. Menanggapi hal ini, pihak Summerhill mengatakan, sekolah ini bukanlah sebuah sekolah di mana anak anak berasal dari latar belakang ‐
etnis berbeda di Inggris, melainkan sebuah sekolah internasional di mana kebanyakan anak akan kembali ke negara mereka masing masing untuk ‐
melanjutkan pendidikan mereka. Namun pernyataan keberatan ini tidak cukup menjawab dan masih berhadapan dengan perhatian bahwa OFSTED sedang mempraktikkan kriteria yang tidak memadai bagi sebuah sekolah internasional. Keluhan itu merujuk pada ‘harapan harapan nasional’, dan hal ‐
113
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
ini tampaknya menandakan adanya etnosentrisme dalam inspeksi OFSTED. Pihak Summerhill tidak dapat menerima bahwa anak anak Jepang, Taiwan, ‐
Korea, Jerman, atau Amerika harus tunduk pada keperluan pemerintahan Inggris berkenaan dengan apa yang pantas bagi mereka untuk belajar demi mempersiapkan hidup mereka di negara mereka masing masing. ‐
5. Harapan harapan nasional ‐
Ulasan keluhan juga membuat referensi tentang pentingnya pembelajaran anak anak diarahkan sejajar dengan harapan harapan ‐
‐
nasional, meski Sekretaris Negara Inggris tidak menyebutkan apa definisi lengkapnya. Gagasan ‘harapan harapan nasional’ tentang setiap sekolah itu ‐
ternyata tidak bisa diterima di dalam masyarakat pluralistis dan demokratis. ‘Harapan harapan nasional’ itu tampaknya merujuk ke Kemampuan ‐
‐
kemampuan Kunci [Key Skills] yang dianjurkan oleh DfEE [The Department
for Education and Employment ], yakni: (1) komunikasi, (2) aplikasi angka, (3) teknologi informasi, (4) kerjasama dengan orang lain, (5) pengembangan pembelajaran dan penampilan sendiri, dan (6) penyelesaian masalah. Dari bukti bukti, Summerhill memiliki perhatian besar pada nomor (1), (4), (5), ‐
dan (6), tidak lebih buruk dari sekolah sekolah lain dengan penekanan pada ‐
nomor (2) dan (3). Pihak Summerhill kembali menghadapi dilemma bahwa anak anak Summerhill belajar bagaimana ‘bekerjasama dengan orang lain’, ‐
tetapi hal ini tidak diajarkan dan bukan bagian dari kurikulum. Selain itu, dokumen lain dari DfEE memberikan petunjuk bahwa harapan lainnya adalah ‘pembelajaran untuk sukses’. Dengan ini, tampaknya, Sekretaris Negara ingin menghentikan Summerhill sebagai penyedia lingkungan di mana ‘pembelajaran di kelas ditiadakan’.
114
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Namun ada sebuah inisiatif baru dari Pemerintah, yakni ‘learndirect ’ – tadinya di Universitas untuk Industri. Dalam rencana perkembangan mereka ‘A new way of learning’ [1999], mereka menyatakan keinginan untuk memeromosikan
sebuah
masyarakat
pembelajaran
dan
sebuah
pembelajaran abadi. Hal ini tampaknya sudah dilakukan anak anak ‐
Summerhill. Maka, Summerhill tidak membutuhkan sebuah organisasi seperti ‘learndirect ’ yang tampaknya dirancang untuk menjalankan aksi perbaikan pembelajaran. Selain itu, wilayah aksi perbaikan lainnya mencakup ‘inteligensi emosional’. Yang terkait dengan kualitas kesadaran
‐
diri, kepekaan terhadap sesama, kemampuan untuk berurusan dengan persoalan dan integritas emosional. Neill sendiri sudah mengetahui lebih dahulu pentingnya ‘inteligensi emosional’ dan kebahagiaan anak.
115
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
Rangkuman Dari tanggapan tanggapan atas pemikiran Neill yang diuraikan di atas, ‐
dapat dirangkumkan beberapa hal. Pertama, penilaian atas prinsip ‘swa atur’ ‐
dalam pemikiran Neill yang menekankan pentingnya kebebasan anak tanpa campur tangan orang dewasa ternyata juga tergantung pada bagaimana kita memahami definisi dan tujuan pendidikan. Kebebasan seperti yang ditekankan dalam prinsip swa atur ini hanya berlaku dalam sebuah institusi ‐
pendidikan yang memiliki pandangan bahwa anak seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa prinsip swa atur – atau yang lebih dikenal sebagai ‐
determinasi diri – justru sulit terlaksana pada anak anak, karena dibutuhkan ‐
‐
tingkat kemampuan kognitif tertentu untuk mengatur diri. Maka, mau tidak mau, di samping diberi kebebasan memilih untuk mengikuti pelajaran atau tidak, anak anak tetap membutuhkan tuntunan orang dewasa sampai ‐
tingkat tertentu agar anak mampu menjalani prinsip swa atur dalam proses ‐
pendidikan.
Kedua, prinsip
swakelola
yang
diterapkan ini
penting
bagi
pertumbuhan aspek sosial anak anak. Namun seberapa demokratis ‐
pemerintahan sekolah Summerhill, atau apakah demokrasi dalam pemerintahan sekolah itu berjalan sepenuhnya, perlu ditinjau kembali dengan teliti melalui pelaksanaan prinsip swakelola. Jika Neill menekankan prinsip swakelola dengan sistem pemungutan suara – baik siswa maupun staf memiliki kesempatan yang sama – untuk menentukan aturan aturan ‐
sekolah ternyata suara yang sama itu tidak berarti kekuasaan yang sama. Ada kekuasaan eksklusif di luar prinsip swakelola dari pihak Neill (dan istrinya) Ketidakikutsertaan seluruh anggota komunitas dalam proses proses ‐
116
Tanggapan Atas Pemikiran A.S. Neill
tertentu menyangkut kepentingan bersama, memudarkan proses demokrasi dan memperlihatkan keterbatasan kepercayaan diri dalam proses tersebut. ‐
Ketiga, model pendidikan Summerhill juga mendapat kritik dari dewan pendidikan pemerintah Inggris. Upaya menghadapi dan menanggapi keluhan keluhan ‐
itu
merupakan
perjuangan
Summerhill
untuk
mempertahankan filsafat pendidikannya. Tidak dapat disangkal bahwa filsafat pendidikan Summerhill dan praktik praktiknya mendapat dukungan ‐
penuh dari para orangtua, anak anak dan staf Summerhill sendiri. Karena ‐
prinsip prinsip dasarnya dalam mendukung suatu bentuk demokrasi dan ‐
dalam menyediakan pelajaran pelajaran fakultatif, Summerhill telah ‐
dikategorisasikan sebagai ‘sekolah alternatif’ dan ‘sekolah bebas’. Inspeksi
‐
inspeksi memang dibutuhkan demi kebutuhan melindungi hak hak anak ‐
‐
anak meskipun perlindungan itu sendiri berlangsung melalui proses dan struktur sekolah sendiri. Jelaslah bahwa Summerhill menyediakan sebuah lingkungan pendidikan sejati bagi anak anak di sana. ‐
117
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
(halaman ini sengaja dikosongkan)
118
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
BEBERAPA CATATAN KRITIS ATAS PEMIKIRAN NEILL Teori pendidikan Neill ini cukup dominan dan berpengaruh bagi berbagai bentuk sekolah alternatif lainnya. Namun pemikiran Neill tentang pendidikan ini masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.
Tentang Prinsip Swa atur ‐
Telah dikatakan sebelumnya, Neill menegaskan bahwa ’swa atur’ ‐
adalah hak anak untuk hidup bebas dari otoritas luar dalam hal hal baik ‐
psikis maupun jasmani. Robin Barrow melihat ada dua kekeliruan dalam pengertian ’swa atur’. Pertama, Neill sebenarnya tidak memberikan arti apa ‐
itu ’swa atur’ seperti yang tertulis sebelumnya; dia hanya melakukannya ‐
sebagai jalan alternatif, tetapi tidak yakin bahwa anak anak melakukan ‐
prinsip ’swa atur’. Kedua, jika hal ini adalah ’swa atur’, maka pernyataan ‐
‐
bahwa anak anak dapat melakukan ’swa atur’ itu absurd. ‐
‐
Pada pokoknya, prinsip swa atur membutuhkan suatu kemampuan ‐
kognitif tertentu – dalam hal ini setaraf dengan orang dewasa. Seorang anak juga lahir tanpa diri yang teridentifikasi. Kodrat diri dan kepribadian yang dikembangkannya terikat dengan lingkungan di mana ia tumbuh berkembang. Neill tampaknya juga tidak yakin bahwa anak seharusnya sepenuhnya melakukan ’swa atur’. Tanggung jawabnya untuk menyediakan ‐
dan memelihara sebuah bentuk lingkungan yang relatif bebas bagi anak yang tumbuh berkembang adalah fakta bahwa dia sudah turut campur tangan dalam perkembangan anak. Selain itu, Neill juga berharap bahwa
119
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
orang orang dewasa mengatur hidup anak secara langsung sampai tingkat ‐
tertentu. Misalnya, ketika anak sudah mengganggu hak pribadi orang lain. Di sini, muncul pertanyaan: Kriteria apa yang digunakan untuk membedakan mana yang bebas dilakukan anak?
Tentang Prinsip Swakelola Catatan kritis tentang prinsip swakelola Neill terdiri atas dua butir: (1) ketidaksetaraan hak dalam swakelola, dan (2) masalah minoritas dalam swakelola.
1. Ketidaksetaraan Hak dalam Swakelola Darling mencatat beberapa hal berkenaan prinsip swakelola yang diterapkan Neill ini. Menurut Darling, yang patut dipertanyakan pada permulaan adalah asumsi Neill bahwa komunitas Summerhill tampak terdiri atas dua kelompok yang saling eksklusif satu sama lain, yakni kelompok siswa dan kelompok staf. Pertama, Darling mencatat sesuatu yang kontradiktif dengan
sistem
demokratis
dengan
mempertanyakan
kesetaraan yang dicita citakan Neill. ‐
Di sini, Darling mengamati, kesamaan hak dalam memberikan suara dalam praktik swakelola tidak berarti kesamaan kekuasaan. Keterbatasan paling penting dalam demokrasi Summerhill terletak dalam kekuasaan Neill yang menentukan tingkat kompetensi pertemuan sekolah. Dalam hal ini, Neill seharusnya juga memberikan kesempatan bagi anak anak untuk ‐
mempertimbangkan dan menentukan pengangkatan guru dan susunan rumah tangga, karena anak anak adalah pihak pertama yang merasakan ‐
pengaruhnya.
120
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
Kedua, permasalahan yang pantas dipertimbangkan menurut Darling adalah tidak adanya peran ’polisi’ dalam komunitas Summerhill yang berfungsi
untuk
mencegah
perbuatan
anti sosial ‐
dari
anak anak ‐
’bermasalah’. Berjalannya demokrasi dalam rapat umum sekolah tidak diikuti peran ’polisi’, sehingga dikuatirkan bahwa anak anak yang dirugikan ‐
akibat tindakan anti sosial kurang diperhatikan, dan mereka terpaksa ‐
’membela diri’. Demi kemajuan prinsip swakelola ini, perlu dibentuk sebuah komisi khusus sebagai ’polisi’ yang bertindak langsung mencegah tindakan
bullying atau anti sosial sebelum dibicarakan dan diputuskan bersama dalam ‐
pertemuan umum sekolah. Maka dari itu, dua catatan kritis Darling sekiranya menjadi masukan bagi prinsip swakelola Summerhill agar secara radikal semakin demokratis.
2. Masalah Minoritas dalam Swakelola? Dikatakan sebelumnya, menurut Neill, dalam prinsip swakelola yang diterapkan dalam pertemuan umum sekolah, keputusan setiap perkara ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Neill juga menegaskan bahwa keputusan berdasarkan suara mayoritas itu identik dengan kepentingan sosial, dan suara minoritas tidak menentukan suatu keputusan karena tidak identik kepentingan sosial. Di sini, ada kesenjangan sosial antara mayoritas dan minoritas, dan mayoritas diuntungkan karena dinyatakan sebagai kepentingan atau kehendak sosial, lawan dari kepentingan invidual yang secara tidak langsung diidentikkan dengan minoritas. Di sini, terdapat masalah minoritas yang posisinya cenderung diabaikan karena dianggap tidak sosial, atau anti sosial. Apakah dengan demokrasi berdasarkan prinsip ‐
mayoritas, maka mempertahankan prinsip mayoritas, maka mengorbankan
121
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
hak individu itu diperbolehkan? Sebelum kita mengevaluasi gagasan Neill ini, saya mengajak pembaca menilik sejenak pandangan Rousseau tentang ’kehendak umum’ [volonté générale] yang secara umum memiliki penekanan dan problematika senada dengan Neill.
Bagi Rousseau, untuk melestarikan keadaan aslinya, manusia harus membentuk persekutuan yang menciptakan sebuah lembaga moral kolektif, yakni: ’negara’ atau ’kedaulatan rakyat’. Agar spontanitas alami manusia tidak disingkirkan, negara harus mencerminkan kedaulatan rakyat; kehendak negara identik dengan kehendak rakyat. Kedaulatan rakyat tidak lain adalah pelaksanaan ’kehendak umum’ [bdk. Hardiman, 2004, 119]. ’Kehendak umum’ adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah pada kepentingan bersama atau umum [Magnis Suseno, 1987, 240]. ‐
Kehendak umum itu muncul melalui penyaringan dari kehendak semua orang melalui pemungutan suara, dan kehendak mayoritaslah yang menentukan kehendak umum. Kehendak negara harus identik dengan kehendak umum itu, sehingga negara betul betul menjadi republik [res ‐
publica] atau ’urusan umum’ [bdk. Magnis Suseno, 1987, 240]. Di sini, ada ‐
identitas antara rakyat dan negara bahwa manusia memasukkan diri seluruhnya ke dalam negara. Rousseau juga menolak adanya lembaga perwakilan rakyat karena baginya kedaulatan rakyat tidak dapat diwakilkan. Maka, Rousseau adalah pendukung demokrasi langsung.
Dari penjelasan di atas, tampak ada masalah besar tentang posisi minoritas. Implikasi dari negara ideal Rousseau di atas adalah bahwa semua warga negara tanpa perkecualian harus menyetujui kehendak negara, yang ditentukan oleh suara mayoritas. Padahal masih ada minoritas sebagai pihak
122
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
yang tidak setuju dengan kehendak negara tersebut. Bagi Rousseau, minoritas yang tidak sekehendak itu belum dapat membedakan antara kepentingan egois sendiri dan kepentingan umum yang sebenarnya juga kepentingan mereka dan karena itu sebenarnya juga mereka kehendaki. Minoritas yang kalah itu dianggap keliru terhadap kehendak umum yang adalah kehendak mereka sendiri yang sejati. Minoritas memiliki mental yang belum memadai, kurang rasional, dan belum matang dalam kesadaran sebagai warga negara. Tidak mungkin ada dialog dengan minoritas karena dialog mengandaikan bahwa kedua belah pihak belum sampai kebenaran penuh dan mau belajar satu sama lain. Namun, kita tidak bisa belajar dari minoritas sebagai pihak yang keliru. Jalan satu satu untuk menghadapi ‐
minoritas adalah membuat mereka menjadi sadar. Minoritas harus bertobat lebih dulu dari sifat keras kepala [kengototan] dalam perspektif egois, lalu dapat diterima kembali sebagai kawan sederajat. Itu semua adalah atas nama kehendak minoritas sendiri yang sebenarnya, yang hanya belum mau mereka akui.
Tampak ada keanehan bahwa ada dua pihak yang memiliki kehendak yang saling berlawanan. Sebenarnya kedua pihak menyatakan bahwa mereka menghendaki apa yang paling sesuai dengan kepentingan umum. Menghadapi hal ini, Rousseau mengatakan bahwa kehendak umum sebagai yang berpihak pada kepentingan umum adalah kehendak mayoritas. Dari sini, tampak jelas, kehendak umum sebagai asas demokrasi ternyata menjadi asas totalitarianisme. Pandangan Rousseau menjadi semakin kentara sebagai totaliter dalam ungkapannya bahwa: “Siapa yang menolak untuk taat terhadap kehendak umum, akan dipaksa untuk itu oleh seluruh masyarakat” [Magnis Suseno, 1987, 247]. Dipaksa di sini berarti diberi ‐
123
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
penerangan atau penyuluhan agar kelompok minoritas sadar, dan jika tidak mau, disingkirkan jika perlu. Kelompok minoritas yang tidak mau menunjukkan kesadaran yang benar terhadap kepentingan umum tidak mendapat
tempat di
negara Rousseau.
Paham
kehendak umum
mengizinkan untuk menghancurkan mereka yang tidak mau sekehendak. Dalam pemikiran Rousseau, kita melihat bahwa suatu demokrasi pun dapat menjadi totaliter jika tidak memberikan jaminan jaminan kepada minoritas, ‐
misalnya dengan pengakuan terhadap hak hak asasi manusia. Maka, jika ‐
kehendak umum selalu mencerminkan kepentingan umum dan dengan demikian selalu benar, ajaran Rousseau ini membenarkan ’tirani mayoritas’, ’penindasan atas minoritas’, dan ’absolutisme negara demi kedaulatan rakyat’.
Kemudian, jika kita kembali meneliti prinsip swakelola Neill, tampaknya terdapat problematika yang sama. Bagi Neill, dalam swakelola, setiap orang memiliki kesamaan hak suara, namun dalam pemungutan suara, suara terbanyak menjadi penentu akhir dari sebuah keputusan sebagai hasil rapat umum mingguan ini. Swakelola ini dipandang Neill sebagai penjamin kebebasan individual, sehingga setiap individu berhak menyatakan pendapatnya. Namun, Neill menekankan bahwa suara mayoritaslah yang benar, maka mayoritas menentukan adanya keputusan. Dalam hal ini, minoritas kalah, dan senantiasa menunggu waktu untuk kembali menyatakan pendapatnya. Pandangan Neill tentang demokrasi yang terdapat dalam prinsip swakelola ini senada dengan pandangan Rousseau tentang kehendak umum. Dengan mengutamakan kepentingan mayoritas sebagai kepentingan umum, Neill menyetujui pengabaian atas kehendak minoritas. Mereka yang tidak setuju dengan kehendak mayoritas
124
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
dianggap mementingkan kepentingan individual. Neill juga mengidentikkan kepentingan individual dengan sikap anti sosial. Implikasinya, Neill ‐
menyetujui bahwa kepentingan individual harus mengalah terhadap kepentingan sosial. Prinsip swakelola yang tadinya bercita cita untuk ‐
menjamin kebebasan individual setiap orang justru ingin menyingkirkan minoritas, kehendak yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan umum. Dari sini, dapat dicurigai bahwa prinsip swakelola Summerhill yang menjadi asas demokrasi ini dapat jatuh menjadi asas totalitarianisme karena mengidentifikasikan kebebasan individual manusia dengan kepentingan umum.
Kemudian muncul pertanyaan berikut yang lebih bersifat empiris: benarkah
swakelola
mengabaikan
kepentingan
minoritas,
hak hak ‐
individual? Apakah dapat dibenarkan bahwa Neill menyetujui penindasan terhadap hak hak individual dalam minoritas dalam prinsip swakelola? ‐
Menghadapi persoalan dan tuduhan ini, Neill menyatakan keberatannya bahwa minoritas tetap mendapat ruang kebebasan individual. Bagi Neill, demokrasi Summerhill dalam praktik swakelola memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk menjadi pemimpin dan sekretaris dalam Rapat Umum, termasuk mereka yang dicap berperilaku anti sosial atau yang tidak ‐
setuju dengan kepentingan umum. Kata Neill: “Kerap kali, anak yang baru saja mendapat hukuman dipilih menjadi pemimpin untuk Rapat Umum selanjutnya” [Neill, 1993, 23]. 150 Kemudian, selain itu, peran pemimpin di sini sangat penting dalam proses Rapat Umum ini. Keberhasilan rapat sangat bergantung
pada
lemah kuatnya ‐
pemimpin.
Pemimpin
rapat
ini
menentukan suatu permasalahan atau kasus layak atau tidak untuk 150
Often, the boy who has just been sentenced is elected chairman for the next General Meeting .
125
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
dibicarakan. Pemimpin juga berwenang untuk mendenda peserta yang membuat kegaduhan dalam rapat [bdk. Neill, 1993, 17]. Pemimpin rapat yang dipilih bertugas hanya untuk satu kali rapat saja. Selain itu, contoh lain bahwa minoritas mendapat hak haknya dalam sistem demokrasi Summerhill ‐
adalah ketika sebagian orang memperjuangkan agar ruang istirahat tidak boleh digunakan untuk bermain sepakbola. Awalnya, Neill mengusulkan agar sepakbola dilarang dimainkan dalam ruangan, tetapi usulnya tidak disepakati mayoritas anak sehingga Neill harus betah bekerja dengan suara gaduh karena sepakbola. Kemudian, setelah terjadi perdebatan umum yang sengit dalam beberapa kali rapat, larangan bermain sepakbola dalam ruangan disetujui oleh mayoritas [bdk. Neill, 1993, 17 18]. Inilah cara ‐
bagaimana hak hak minoritas tetap diperhatikan dalam sistem demokrasi ‐
Summerhill.
126
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
Tentang ‘Kebaikan Alami Anak’ Telah dikatakan bahwa paham ‘kebaikan alami anak’ Neill menjadi landasan kelayakan demokrasi sekolah, dan bahwa demokrasi dalam prinsip swakelola menjamin hak semua pihak, termasuk minoritas. Seperti paham ‘manusia’ Rousseau, paham ‘kebaikan alami anak’ mengimplikasikan bahwa anak akan berkembang jika bebas dari pengaruh orang dewasa dan mengikuti
dorongan dorongan ‐
alami.
Jika
demikian,
anak
tidak
merencanakan kehidupannya dan tidak bermasyarakat. Dengan paham ‘kebaikan alami anak’, agaknya Neill memahami anak bukanlah makhluk sosial dan rasional [bdk. Magnis Suseno, 1987, 257]. Padahal, upaya untuk ‐
membangun struktur sosial dengan mekanisme demokrasi yang secara optimal mendukung otonomi manusia membutuhkan paham ‘otonomi manusia’ sebagai makhluk sosial dan rasional [lih. Magnis Suseno, 1987, ‐
258]. Dengan paham ‘anak’ Neill ini, upaya untuk memasukkan anak ke dalam hidup komunitas sekaligus mempertahankan kebebasannya akan gagal. Maka, cita cita ideal Neill akan prinsip swakelola yang menjamin hak ‐
‐
hak semua individu dalam komunitas bertentangan dengan ‘kebaikan alami anak’ sebagai keyakinan dasar Summerhill. Dengan demikian, paham ‘kebaikan alami anak’ tidak dapat dijadikan sebagai landasan upaya membangun komunitas yang menjamin otonomi dan hak hak setiap ‐
individu.
127
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
Catatan Akhir: Apakah itu ’Manusia Summerhillian’? Untuk mengawali catatan akhir berkaitan dengan teori pendidikan Neill, saya ingin melihat kembali definisi etimologis ’pendidikan’. Secara etimologis, dengan merujuk pada Ducasse, ’mendidik’ itu berasal dari kata Latin ”educere” . Educere berasal dari dua kata Latin, yakni ”ex” [’keluar dari’ atau ’dari dalam’] dan ”ducere” [’menarik’ atau ’membentangkan’]. Maka,
educere berarti ’menarik keluar/dari dalam’ atau ‘mengeluarkan’. Sayangnya teori ini memudar ketika sekolah gagasan lainnya menyangkal bahwa mendidik tidak berasal dari kata educere tetapi dari ”educare”.
Educare sendiri berasal dari kata Latin “dux” yang berarti ‘pemimpin’, ‘penganjur’, atau ‘penuntun’. Educare di sini berarti ‘membentuk’, ‘melatih’, atau ‘menuntun’. Dari sini, perlu disadari bahwa ada dua aliran paling besar dalam pemikiran pendidikan yang saling berlawanan, yakni (1) aliran formalis dan (2) aliran naturalis. Aliran formalis berpandangan bahwa pendidikan adalah sebuah kedisiplinan dan bahwa anak anak belajar apa ‐
yang baik bagi mereka itu dilihat tetapi tidak didengarkan, dan dengan pendidikan mereka dibuat menjadi orang orang dengan kemampuan ‐
spesifik. Sebaliknya, kaum naturalis berpendapat bahwa pendidikan seharusnya sekedar ’membiarkan anak berkembang’. Kemudian, Ducasse memperluas definisi ini dengan mengatakan bahwa pendidikan mengambil tempat melalui ’instruksi’, ’pelatihan’, dan ’indoktrinasi’ [lih. Schofield, 1972, 32]. Di sini, tampak bahwa pendidikan terkait dengan ’instruksi’, ’pelatihan’, dan ’indoktrinasi’. Segera dengan merujuk pada Peters, Schofield mengantar kita
pada
penjelasan
bahwa
”’pendidikan’
dan
’pelatihan’
saling
berhubungan dengan sejumlah alasan: mungkin karena kita merasa bahwa pendidikan harus mencakup pelatihan, atau karena kita berpikir bahwa baik
128
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
pendidikan maupun pelatihan mencakup pengajaran dan instruksi. Kita dapat mengatakan bahwa ’pengajaran’, ’pelatihan’, dan ’instruksi’ bersifat edukasional [berhubungan dengan pendidikan], tetapi ketiganya itu bukanlah ’pendidikan’” [Schofield, 1972, 35]. 151
Dari sini, jika dilihat dari seluruh filsafat pendidikan Neill dan aplikasinya, dapat dikatakan bahwa Neill sebenarnya memiliki pemahaman tentang pendidikan yang merujuk pada dua asal kata berbeda tersebut. Di satu sisi, ’mendidik’ dalam Summerhill berarti educere yang tampak pada penekanan keberpusatan pada anak. Pendidikan dalam pengertian ini ‐
‐
dilandasi ’kebaikan alami anak’. Sisi instingtif atau ’Daya Hidup’ anak diperhatikan dan dibentangkan dari dalam diri melalui kebebasan yang diberikan untuk menentukan apa yang ingin dilakukannya. Dalam hal ini, anak bebas memutuskan untuk mengikuti atau tidak pelajaran pelajaran ‐
yang sifatnya fakultatif. ’Kebaikan alami anak’ juga menjadi dasar bagi adanya sistem demokrasi dalam prinsip swakelola.
Di sisi lain, bagi Neill, ’mendidik’ juga dapat berarti sebagai educare yang secara keseluruhan terletak dalam peran Neill yang mendirikan seluruh filsafat dan sistem pendidikan Summerhill. Dalam hal ini, konsep ’kebaikan alami anak’ yang dicetuskan oleh Neill memiliki unsur educare, yakni bagaimana orang dewasa seharusnya memperlakukan anak anak. Peran ‐
Neill sebagai seorang pendidik, pembimbing, dan penuntun muncul pada bagaimana dia menerapkan prinsip swa atur dan prinsip swakelola. Neill ‐
bersama istrinya juga berwenang menentukan beberapa hal yang tidak 151
… ‘education’ and ‘training’ are connected, for a number of reasons: perhaps because we feel that education must involve training, or because we think that education and training both include teaching and instruction. … We can say that ‘teaching’, ‘training’, and ‘instruction’ are ‘educational’, but not that they are ‘education’.
129
Beberapa Catatan Kritis Atas Pemikiran Neill
dibicarakan dalam Rapat Umum mingguan. Selain itu, sisi educare Summerhill tampak jelas dalam peran Neill dan para staf [guru dan orangtua asuh] yang selalu memerhatikan seluruh aktivitas anak anak. Bentuk ‐
perhatian mereka itu terdapat dalam bagaimana mereka sebagai orang dewasa selalu hadir bersama anak anak. Dalam pelajaran pelajaran yang ‐
‐
sifatnya fakultatif, para guru memiliki tanggung jawab penuh untuk mengajar dan membimbing anak anak yang ingin belajar. ‐
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa pendidikan yang dikembangkan Neill secara inheren merujuk educere dan educare. Kedua arti pendidikan itu justru tidak saling bertentangan, tetapi saling mendukung satu sama lain dalam menerapkan filsafat pendidikan Neill dalam Sekolah Summerhill. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik pandangan kaum formalis maupun pandangan kaum naturalis didamaikan dalam model pendidikan Summerhill. Maka, pendidikan adalah proses perkembangan diri anak sepenuhnya dengan memiliki rasa percaya terhadap diri dan lingkungannya sehingga menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Lalu, muncul
pertanyaan:
apakah
itu
manusia
summerhillian?
Manusia
summerhillian adalah manusia yang menemukan identitas dirinya dan terlibat dengan perkembangan lingkungannya sehingga bahagia dalam hidupnya.
130
DAFTAR PUSTAKA 1. Pustaka Utama Neill, A. S. 1993, Summerhill School: A New View of Childhood , New York: St. Martin Press. ________ 1972, “Neill! Neill! Orange Peel!”: An Autobiography by A. S. Neill,
the World famous Headmaster of Summerhill School , New York: Hart ‐
Publishing Co., Inc. ________ 1968, Summerhill , Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
2. Pustaka Pendukung Alwi, Hasan dkk. 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. Appleton, Mattew 1992, “School as Community: The Ecology of Childhood – A View from Summerhill School”, Journal of Alternative Education, Summer, hlm. 1 7. ‐
Barrow, Robin & Ronald Woods 1988, An Introduction to Philosophy of
Education, London & New York: Routledge. Berryman, Timothy 2000, Education for Peace Requires the Growth of the
Whole Child . University of New England, hlm. 50 72. ‐
Bertens, K. 2006, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Darling, John 1992, “A. S. Neill on Democratic Authority: A Lesson from Summerhill?”, Oxford Review of Education, Vol. 18, No. 1, hlm. 45 57. ‐
Durant, Will 1933, The Story of Philosophy , New York: Garden City Publishing Co., Inc.
131
Fromm, Erich 1981, A Foreword , dlm: Neill, A. S. 1960, Summerhill – A Radical
Approach to Child Rearing, New York: Hart Publishing Co., hlm. IX XVI. ‐
Gill, Peter 1979, A. S. Neill: The Education of The Free Child , dlm: D’Cruz, J. V. and Wilma Hannah [ed.], Perceptions of Excellence: Studies in
Educational Theory , Melbourne: The Polding Press, hlm. 335 348. ‐
Hardiman, F. Budi 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. Keohane, Mary 1970, “A. S. Neill: Latter Day Dewey?”, The Elementary ‐
School Journal , Vol. 70, No. 8, hlm. 401 410. ‐
Lichtenstein, Peter M. 1985, “Radical Liberalism and Radical Education: A Synthesis and Critical Evaluation of Illich, Freire, and Dewey”,
American Journal of Economics and Sociology , Vol. 44, No.1, hlm. 39 53. ‐
Magee, Bryan 2008, The Story of Philosophy , Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Magnis Suseno, Franz 1987, Etika Politik: Prinsip prinsip Moral Dasar ‐
‐
Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia. Neill, A. S. 2004, Summerhill: Sekolah Radikal , dlm: Naomi, Omi Intan (penterj & ed.), Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif,
Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 261 289. ‐
O’Hear, Anthony 1981, Education, Society & Human Nature: An Introduction
of the Philosophy of Education, London: Routledge & Kegan Paul. Prent, K. dkk. 1969, Kamus Latin – Indonesia, Semarang: Penerbitan Yayasan Kanisius. Rousseau, Jean Jacques 1977, Émile, London: Everyman’s Library. ‐
Schofield, Harry 1972, The Philosophy of Education: An Introduction, London: George Allen & Unwin Ltd. Sindhunata 2008, Tanda tanda Zaman: Angsa yang Kesepian, dlm: BASIS, ‐
Melawan Pendidikan Turbo, No. 07 08, Tahun ke 57. ‐
132
‐