REFERAT D E N G UE UE H A E M OR OR R H A G I C F E V E R
Disusun oleh : Nadhira Ferasanti Daniraputri 1161050223
Pembimbing : dr. Yulianto Santoso Kurniawan, Sp. A.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2017
KATA PENGANTAR
Puji
dan
syukur
kehadirat
Tuhan
Yang
Maha
Esa,
karena atas
berkat
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat mengenai Dengue Haemorrhagic Fever ini ini ditulis untuk menambah pengetahuan mengenai Dengue Haemorrhagic Fever dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr. Yulianto Santoso Kurniawan, Sp. A yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dan
memberikan
pengarahan
dalam
penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat untuk semua.
Jakarta, 24 Mei 2017
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dosen pembimbing, referat dari: Nama
: Nadhira Ferasanti Daniraputri
NIM
: 1161050223
Universitas
: Universitas Kristen Indonesia
Judul
: Dengue Haemorrhagic Fever : Dengue
Bagian
: Ilmu Kesehatan Anak
Dosen pembimbing
: dr. Yulianto Santoso Kurniawan, Sp.A
Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta, 24 Mei 2017 Dosen pembimbing
dr.Yulianto Santoso Kurniawan, Sp.A
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR.......................... PENGANTAR................................................. ............................................. ............................................ .................................. ............ i LEMBAR PENGESAHAN ................................................. ....................................................................... ............................................ ......................... ... ii ii DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ .............................................. ............................... ....... iii BAB I PENDAHULUAN ......................................... ............................................................... ............................................ ................................. ...........
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................... ........................................................................ ......................................... ................ 4 DAFTAR PUSTAKA ................................................ ...................................................................... ............................................ .................................... .............. 43
iii
BAB I PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari seluruh dunia melaporkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, sejak tahun 1968 – 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. 1 Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengal ami epidemi dengue. Penyakit ini sekarang endemik di lebih dari 100 negara. Wilayah Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat adalah yang paling terkena dampaknya. Kasus di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melebihi 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3,2 juta pada tahun 2015. Pada tahun 2015, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika saja, dimana 1.0200 kasus didiagnosis sebagai demam berdarah berat yang menyebabkan 1181 kematian. 2 Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus dengue yang 500.000 di antaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah anak – anak. Asia tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar merupakan daerah endemis, indonesia bersama dengan bangladesh, india, myanmar, sri langka, thailand, dan timor leste termasuk ke dalam kategori endemik A (endemik tinggi). Di negara tersebut penyakit dengue merupakan alasan utama rawat inap dan salah satu penyebab utama kematian pada anak.3 Di Indonesia, demam berdarah pertama kali ditemukan di kota DKI Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia, dengan Angka Kemati an (AK) mencapai 41,3%. Sejak saat itu penyakit ini menyabar luas ke seluruh Indonesia.4,5 Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) peningkatan sarana transportasi.6 Incidence Rate (IR) penyakit DBD dari tahun 1968 – 2015 cenderung meningkat. Berdasarkan gambar dibawah tiga puncak epidemik terjadi setiap sepuluh tahunan, yaitu tahun 1988, 1998, dan 2007. 4 1
Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI 2016
Pada tahun 1968-1995 di Indonesia kasus DBD terutama menyerang kelompok umur 5-14 tahun, tetapi setelah tahun 1984 insidens kelompok umur lebih dari 15 tahun meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 di provinsi DKI Jakarta, persentase kasus DBD terbanyak merupakan kelompok umur 5-14 tahun (36%), diikuti kelompok umur lebih dari 5 tahun (31%), kelompok 15-44 tahun (22%) dan lebih dari 45 tahun (11%). 5 Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang ( IR/ Angka kesakitan= 50,75 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,83%). Dibandingkan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 100.347 serta IR 39,80 terjadi peningkatan kasus pada tahun 2015. 7
Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI 2016 2
Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2015 dapat dilihat pada gambar dibawah. Provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi tahun 2015 yaitu Bali sebesar 257,75, Kalimantan Timur sebesar 188,46, dan Kalimantan Utara sebesar 112,00 per 100.000 penduduk. 7
Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016 Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2017, terhitung sejak Januari hingga Mei tercatat sebanyak 17.877 kasus, dengan 115 kematian. Angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) di 34 provinsi di 2015 mencapai 50.75 per 100 ribu penduduk, dan IR pada t ahun 2016 mencapai 78.85 per 100 ribu penduduk. Angka ini masih lebih t inggi dari target IR nasional yaitu 49 per 100 ribu penduduk. 8
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya Aegipty (dahulu disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (dahulu Aedes albopictus). Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk dan pejamu manusia; sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan. 2
Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain virus dengue, virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis virus (JEV), yellow fever virus (YFV), west nile virus (WNV), dan tickborne encephalitis virus (TEV). Masing – masing virus tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi reaksi silang secara serologik. Berdasarkan genom yang dimilki, virus dengue termasuk virus (positive sense single stranded) RNA. Genom ini dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein struktural (capsid = C, pre membrane = prM, dan envelope = E) dan tujuh protein non struktural (NS1, NS2A, NSB, NS3, NS4A, NS4B, NS5). 2 Selanjutnya, melalui aktivitas berbagai enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel pejamu polipeptida tersebut membentuk menjadi masing – masing protein. Protein prM yang terdapat pada saat virus belum matur oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi protein M sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstruktural tidak ikut membentuk struktur virus,. Protein NS1 merupakan satu – satunya protein nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai antigen NS1. Masing – masing protein mempunyai peran yang berbeda dalam patogenisitas, repilasi virus, dan aktivasi repons imun, baik humoral maupun selular. 2
4
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat seroti pe virus dengue, yaitu DENV – 1, DENV – 2, DENV – 3, dan DENV – 4. Masing – masing serotipe mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe yang berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu negara atau area geografis tertentu berbeda – beda. Di Indonesia keempat serotipe virus dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV – 3 merupakan galur yang paling virulen. 2
Vektor nyamuk
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai spesies yang paling banyak ditemukan di berbagai belahan dunia antara 45˚ lintang utara dan 35˚ lintang selatan. Nyamuk ini merupakan nyamuk domestik yang mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit manusia (antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari satu individu (multiple bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang sangat potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke individu lain. Hanya nyamuk betina yang menggigit manusia. Stemogiya albopictus (aedes albopictus) selain dapat menularkan keempat jenis dengue, juga merupakan vektor untuk 22 spesies arbovirus lain.
2
Pejamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5 – 7 hari fase demam. Nyamuk kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu. 2
Faktor abiotik
Suhu lingkunga, kelembaban dan curah hujan telah diketahui berperan dalam penyebaran penyakit denue. Perubahan iklim secara global dilaporlan membuat nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan dilaporkan beroengaruh terhadap peningkatan kasus penyakit dengue. 2
5
B. PATOGENESIS INFEKSI DENGUE
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan : 1. Faktor virus, yaitu serotipe, jumlah, virulensi. 2. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan interaksi antara virus dengan pejamu. 3. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk dan kesehatan lingkungan.
Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :
Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe penyebab.
Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary heterologous infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi primer.
Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibodi dapat menunjukan manifestasi klinis berat walaupun pada infeksi primer.
Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi pada saat jumlah virus dalam darah menurun
Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24 – 48) jam dan pada pemeriksaan patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluh darah.
Imunopatogenesis
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel, dan trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai antara lain sitokin, peningkatan aktivasi sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan mediator inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat – zat tersebut akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue. 2
6
Respons Imun Humoral
Respons imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat menimbulkan reaksi silang dengan serotipe
lain
selama
enam
bulan.
Antibodi
yang
dihasilkan
dapat
menguntungkan dalam arti melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme antibody – dependent enchancement (ADE).2 Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa imunoglobulin (Ig) G dengan aktivasi yang berbeda. Antibodi terhadap protein E dapat berfungsi baik untuk neutralisasi maupun berperan dalam mekanisme ADE. Antibodi terhadap protein NSI berperan dalam menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement – dependent lisis). Diketahui bahwa antibodi terhadap protein prM pada virion imatur juga berperan dalam mekanisme ADE. Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik berbeda. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkutan (antibodi homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe lain (antibodi heterotipik). Apabila kemudia terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor Fc ɣ yang banyak terdapat terutama pada monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Komplek imun juga dapat mengaktifkan kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vaskular.
7
Sumber: Whitehead SS, dkk. Prospects for dengue virus vaccine. Nat Rev Microbiol. 2007; 5:518 – 28. Gambar: Model dari antibody – dependent enhancement (ADE)
Respons Imun Selular
Respons imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama dengan respons imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue dapat menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa proliferasi sel T, menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dengan menunjukan fungsinya sel T CD4 lebih banyak dibandingkan dengan fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan produksi sitokin. 2 Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe berbeda, ternyata sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus yang baru. Fenomena ini disebut sebagai original atigenic sin. Dengan demikian, fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada umumnya berperan dalam memacu respons inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel endotel vaskular.
8
Mekanisme Autoimun
Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam pembentukan antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NS1. Protein yang paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis infeksi virus dengue yaitu protein NS1. Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibodi terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat mengekpresian sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Selain antibodi terhadap protein NS1, ternyata antibodu terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. 2 Antibodi terhadap protein prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel. Proses autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel dan trombosit yang disebut sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara keduanya ak an dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit dapat terjadi penghancuran sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesan plasma.
Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain
Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang sangat beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan, akan merugikan pejamu.2 Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi Sindrom Syok Dengue) ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin (cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam melakukan fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling 9
memengaruhi satu sama lain berupa suatu kaskade. Sitokin mana yang paling berperan menyebabkan penyakit yang berat, beberapa penelitian menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, antara lain variasi dalam waktu pengambilan sample pemeriksaan, usia, batasan derajat penyakit, dan juga faktor genetik yang berebeda. Dari beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF- α, IL-1β, IL-6, IL-8, dan IFN-ɣ. Mediator lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbulkan derajat penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10, dan CXCL-11 yang dipicu oleh IFN- ɣ.2
Peran Sistem Komplemen
Sistem komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis infeksi virus dengue. Pada pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi sistem komplemen mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat. Kompleks imun virus dengue dan antibodi pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui jalur alternatif dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular. 2 Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen pada infeksi vris dengeue juga dapat melalui jalur mannose – binding lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan peptida yang mempunyai aktivitas bilogik sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. Kompelemen C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada neutrofil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam peningkatan permeabilitas vaskular sangat besar. 2
Faktor Pejamu
Beberapa faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk terkena infeksi dengue berat, antara lain usia, status gizi, faktor genetik dan penyakit tertentu khususnya yang berhubungan dengan sistem imun. Anak – anak umumnya mempunyai perjalanan penyakit lebih berat dibandingkan dewasa. Mengenai mekanisme yang mendasarinya belum jelas, tetapi diduga
10
anak mempunyai sistem mikrovaskular yang lebih mudah untuk mengalmi peningkatan permeabilitas.2 Bayi usia 6 – 12 bulan mempunyai risiko lebih berat, meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme ADE yang sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan usia lebih dari satu tahun. Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang pernah dilaporkan. Faktor genetik sebagai faktor risiko telah banyak diteliti, pada umumnya berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu, yang menjadi faktor risiko untuk lebih rentan atau seblaiknya lebih kebal terhadap infeksi virus dengue. Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan hubungan antara faktor genetik dengan derajat penyakit dengue. Faktor genetik lain diluar pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-ɣ, dan IL-1, serta gen yang mengkode reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan mannosa binding lectin.
C. MANIFESTASI KLINIS INFEKSI VIRUS DENGUE
Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat asimtomatik/tak bergejala, demam yang tidak khas/sulit dibedakan dengan infeksi virus lain (sindrom virus/viral syndrome, undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan Expanded dengue syndrome/organopati seperti gambar di bawah ini. 2
Sumber: World Health Organization 2011. Gambar. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue 11
Sindrom Virus
Bayi, anak – anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama unttuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat menunjukan manifestasi klinis berupa demam sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan dengan demam sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lain. Manifestasi klinis tersebut pada umumnya ditemukan pada saat dilakukan penelitian mengenai penyebab demam pada kelompok mas yarakat tertentu (survei demam/fever survey). Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau pada saat penyembuhan. Gejala gangguan saluran napas dan pencernaan sering ditemukan.2
Perjalanan penyakit
Sindrom virus akan sembuh sendiri (self limited), namun di khawatirkan apabila di kemudia hari terkena infeksi yang kedua, manifestasi klinis yang diderita akan lebih berat berupa demam dengue, demam berdarah dengue, atau expanded dengue syndrome.
Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis dimulai dengan demam tinggi, mendadak, kontinua, kadang bifasik, berlangsung antara 2 – 7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan pada demam dengue seperti muka kemerahan (facial flushing), anoreksia, mialgia, dan artralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik, mual, muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau nyeri abdomen difus, kadang disertai sakit tenggorok. Faring dan konjungtiva yang kemerahan (pharingeal injection dan ciliary injection) dapat ditemukan pada pemeriksaan fisis. Demam dapat mencapai suhu 40˚C dan dapat disertai kejang demam.2 Manifestasi perdarahan dapat berupa uji tourniquet yang positif, petekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila, muka, dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan berat dapat ditemukan. Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit, namun dapat berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan orangtua. Ruam konvalesens seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada 12
masa penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2 – 4cm bawah arkus kosta. Perlu diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok dengue/SSD). Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila kebocoran plasma l ebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto dada posisi late ral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemitoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding kandung empedu ( gall blader wall thickening ) mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (>20% dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dl dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis.
Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis DBD terdiri atas 3 fase yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit. 2
Gambar. Perjalanan penyakit infeksi dengue
13
Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terj adi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.
Fase Kritis (Fase Syok)
Fase ini terjadi saat demam turun (time of fever defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadin ya syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke 3 – 7. Muntah terus menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm 3 serta kenaikan hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma dan pada umumnya di dahului oleh leukopenia (<5.000 sel/mm 3). Peningkatan hematokrit merupakan salah satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24 – 48 jam. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu, berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga pergantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi. 2
14
Fase Penyembuhan (fase konvalesens)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24 – 48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan diuresis menyusul kemudia. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus lain dapat disetai pruritus umum. Bradikardis dan perubahan elektrokardiografi umumnya dapat terjadi. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura masif dan asites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama f ase kritis dan atau fase pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan. Penyulit dapat terjadi pada fase demam, fase kritis, dan fase konvalensens
Tabel. Penyulit pada fase demam, kritis, dan konvalesens Fase
Gejala Klinis
Demam
Dehidrasi, demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan kejang demam
Kritis
Syok akibat perembesan plasma, perdarahan masif, gangguan organ
Konvalesens
Hipervolemia (jika terapi cairan intravena diberikan secara berlebihan dan atau dilanjutkan sampai fase konvalesens), edema paru akut
Diagnosis banding pada fase demam dan fase kritis DBD
Tabel. Kondisi yang menyerupai fase demam Flu – like syndromes :
Influenza, campak, chikungunya, mononukleosis infeksiosa
15
Penyakit dengan ruam :
Rubella, campak, demam skarlatina, infeksi menungokokus, chikungunya, reaksi obat (drug fever)
Penyakit diare
Rotavirus dan infeksi mikroorganisme enterik lain
Dengan manifestasi neurologis
Meningoensefalitis, kejang demam
Tabel. Kondisi yang menyerupai fase kritis Penyakit infeksi
Gastroenteritis akut, malaria, leptospirosis, tifoid, virus hepatitis, sepsis bakterialis dan syok sepsis
Keganasan
Leukimia akut dan keganasan lain
Gambaran klinis lain
Akut abdomen, apendisitis akut, kolesistisis akut, asidosis laktat, diabetes ketoasisdosis, sindrom kawasaki, trombositopenia dan perdarahan, kelaianan trombosit, gagal ginjal, distres pernapasan
Penyulit infeksi dengue a. Kelebihan cairan (fluid overload)
Kelebihan cairan dapat ditemukan saat fase kritis dan fase konvalesens. Penyulit ini merupakan hal yang serius oleh karena dapat menyebabkan edema paru atau gagal jantung yang akan menyebabkan gagal napas dan kematian. Untuk mencegah penyulit tersebut, harus dilakukan monitor ketat dengan memantau pemberian cairan intravena dari minimal sampai rumatan. Edema paru adalah penyulit yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, pada umumnya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Pada fase penyembuhan edema paru dapat terjadi karena pada fase ini terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, sedangkan volume pemberian intravena tidak disesuaikan. Maka pasien akan mengalami distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, 16
dan dijumpai gambaran edema paru pada foto dada. kelebihan cairan pada umumnya terjadi karena hanya melihat nilai kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit. Gambaran edema paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
Penyebab kelebihan cairan
Pemberian cairan intravena terlalu awal dengan volume yang besar
Menggunakan cairan hipotonik dengan volume yang besar
Tidak menurunkan jumlah volume cairan infus ataupun menghentikannya walaupun sudah masuk ke fase konvalesens
Tidak menggunakan cairan jenis koloid walau sudah ada indikasi
Tidak segera memberikan transfusi darah walaupun sudah jelas ada indikasi perdarahan terutama tersembunyi, tetapi tetap menggunakan cairan jenis kristaloid
Pasien dengan status nutrisi overweight/obesitsa diberikan cairan infus yang tidak sesuai dengan berat badan ideal
Tanda dan gejala dari kelebihan cairan
Tampak saki berat
Distres pernapasan, dispnea, dan takipnea
Hepatomegali yang makin membesar
Abdomen cembung dengan asites masif
Nadi meningkat dengan isi dan tekanan masih kuat Krepitasi dan atau ronkhi dan atau wheezing di semua lapangan paru
Perfusi yang buruk didapatkan pada pasien dengan gagal napas (respiratory failure) oleh karena efusi pleura yang masif dan atau asites
17
b. Gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis yaitu hiponatremia dan hipokalsemia, sedangkan hipokalemia lebih sering pada fase konvalesens.
Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan infus larutan hipotonis yang tidak adekuat.
Hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti albumin masuk ke rongga pleura atau peritoneal
Hipokalemia disebabkan adanya kondisi stres dan pemberian diuretik.
Manifestasi tidak lazim (unusual manifestation)
Enesefalopati – ensefalitis dengue
Beberapa pasien infeksi dengue dapat mengalami manifestasi yang tidak lazim berupa keterlibatan susunan syaraf pusat, yaitu kejang dan penurunan kesadaran. Kondisi ini dapat terjadi pada keadaan syok berat/syok berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok yang disebabkan oleh peradangan otak (ensefalitis) atau ensefalopati. Kedua keadaan ini harus dipertimbangkan apabila pasien mengalami demam 2 – 7 hari disertai adanya penurunan kesadaran dan atau kejang, terutama apabila pasien berasal dari daerah endemis dengue. Ensefalitis telah dilaporkan dalam sejumlah seri kasus dengue, diduga virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Hal ini dibuktikan dengan banyak peneliti yang berhasil mengisolasi virus dengue dari cairan cerebrospinal atau dari jaringan otak dalam beberapa tahun terakhir ini. Ensefalopati terutama berupa hepatoselular – ensefalopati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit dan metabolik, seperti hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, dan kadang – kadang hiperglikemia. Meskipun jarang, perdarahan intrakranial dapat pula menjadi penyebab perubahan status mental pasien. Kejang terjadi akibat hipoksia pada penurunan perfusi di korteks 18
serebri, atau edema otak akibat kebocoran vaskular jaringan otak. Ensefalopati dengue bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak temporer akibat dari koagulasi intravaskular diseminata. Untuk memastikan terjadinya ensefealopati SSD, maka syok harus diatasi terlebih dulu. Apabila syok teratasi, maka evaluasi kembali kesadaran pasien. Pungsi lumbal dikerjakan apabila syok telah teratas i dan kesadaran tetap menurun (hati – hati apabila trombosit <50.000/ul). Pada ensefalopati dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT, dan PTT memanjang, kadar gula dar ah menurun, alkalosis, dan hiponatremia (apabila mungkin periksa kadar amoniak darah)
Perdarahan masif (massive bleeding)
Perdarahan pada infeksi dengue dapat ringan sampai berat yang kadang memerlukan perawatan kedaruratan. Perdarahan hebat umumnya akibat KID dan gagal multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal, hipoksia yang berhubungan dengan syok yang berat dan berkepanjangan, asidosis metabolik yang disertai dengan trombositopenia. Adanya aktivasi koagulasi yang luas menyebabkan pembentukan fibrin intravaskular dan oklusi pembuluh darah kecil yang mengakibatkan ti mbulnya trombosis. Peningkatan penggunaan trombosit pada KID menyebabkan makin menurunnya jumlah trombosit dan faktor pembekuan sehingga memicu perdarahan hebat. Perdarahan berat pada infeksi dengue umumnya terjadi pada saluran cerna berupa hematemesis, hematokezia, dan melena. Hematemesis adalah muntah darah yang secara klinis tampak sebagai muntah darah segar kemerahan atau coklat kehitaman. Melena adalah tinja yang berwarna hitam, sedangkan hematokezia adalah keluarnya darah segar dari anus bercampur tinja. Perdarahan samar pada saluran c erna yang terjadi bersama dengan hemokonsentrasi umumnya sulit untuk didiagnosis. Adanya perdarahan internal atau tersamar pada saluran cerna harus dicurigai apabila setelah evaluasi klinis dan pemberian cairan yang adekuat, namun terjadi kondisi sebagai berikut : 19
Pasien dengan syok refrakter (syok yang tidak berhasil diatasi dengan pedoman syok pada umumnya) dan memiliki hemoglobin dan hematokrit rendah atau penurunan hemoglobin dan hematokrit
Pasien dengan tekanan sistolik dan diastolik yang meningkat atau normal namun denyut nadi masih cepat
Pasien dengan penurunan hematokrit lebih dari 10% selama pemberian cairan
Infeksi ganda (dual infections)
Di daerah endemik terdapat laporan infeksi dengue terjadi be rsamaan dengan infeksi lain seperti, diare akut, pneumonia, campak, cacar air, demam tifoid, infeksi saluran kemih, leptospirosis, dan malaria. Jika pasien infeksi dengue maish mengalami demam setelah fase kritis dan syok terlewati, maka sumber infeksi lainnya harus segera di cari atau penyebab lainnya misal,
Infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit, yaitu infeksi saluran cerna, infeksi saluran pernapasan, misalnya pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi kulit, dan infeksi lainnya
Healthcare associated infection, yaitu tromboflebitis, pneumonia, infeksi saluran kemih (akibat pemasangan kateter), dan sepsis
Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal s yok, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemoliik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diatasi dengan mengisi volum intravsskular, penting diperhaatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan >1mg/kgBB/jam. Oleh karena jika syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi acute kidney
20
injury (AKI), ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien infeksi dengue yang mengalami syok berkepanjangan. Penyebabnya terutama adalah asidosis metabolik, hipokalsemia, dan kardiomiopati. Sehingga tata laksana pada keadaan ini selain memberikan obat – obatan untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia. Miokarditis jarang didapatkan dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien infeksi dengue. Beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat mengalami miokarditis, sehingga jika di dapat kecurigaan terhadap miokarditis, pemberian cairan harus berhati – hati.
D. DIAGNOSIS LABORATORIUM
Penegakan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat sangat penting dalam tata laksana klinis, surveilens, penelitian, dan uji klinis vaksin. Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue adalah :
Isolasi virus
Deteksi asam nukleat virus
Deteksi antigen virus
Deteksi serum respons imun/uji serologi serum imun
Analisis parameter hematologi
Isolasi Virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam.
21
Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic acid/RNA) dapat di deteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT – PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa nested – PCR, one – step multiplex RT – PCR, real time RT – PCR, dan isothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal.
Deteksi antigen virus dengue
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini adalah pemeriksaan NS – 1 antigen virus dengue (NS – 1 dengue antigen), yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1 – 2 hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya.
Gambar. Kinetik NS-1 antigen dengue dan IgM serta IgG anti dengue pada infeksi primer dan sekunder
22
Deteksi respons imun serum
Pemeriksaan respons imun serum berupa Haemaglutination inhibition test (uji HI), complement fixation test (CFT), neutralization test (uji neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue.
Haemaglutination inhibition test (Uji HI)
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini. Uji HI walau sesnitif namun kurang spesifik dan memerlukan dua sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa dini.
Complement fixation test (uji CFT)
Tidak banyak dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosa sulit untuk dilakukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih
Uji Neutralisasi
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu, secara tehnik cukup rumit, oleh karena itu jarang dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin.
Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue
Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah sembilan puluh hari. Pada ingeksi dengue primer, IgG anti dengue, namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS – 1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM anti dengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan infeksi sekunder. Gambar di bawah menunjukan waktu perjalanan penyakit infeksi virus dengue primer dan sekunder, serta metode diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi virus dengue.
23
Gambar. Metode diagnostik deteksi antigen dengue dan pemeriksaan serologi anti dengue
Parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai hematokrit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis demam berdarah dengue.
Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm 3) dan rasio antara neutrofil dan limfosit (neutrofil < limfosit) berguna dalam memprediksi masa kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat masuk fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD
Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/ul dapat ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak di bawah 100.000/ul terjadi pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD. Di samping itu terjadi gangguan fungsi
24
trombosit (trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama fase penyembuhan.
Pada awal demam nilai hematokrit ini masih normal. Peningkatan ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda bahaya dari adanya kebocoran plasma. Trombositopeni di bawah 100.000/ul dan peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan.
E. DIAGNOSIS KLINIS DEMAM BERDARAH DENGUE
Tanda dan gejala demam berdarah dengue pada fase awal sangat menyerupai demam dengue, tanda dan gejala yang berkarakteristik berupa tanda kebocoran plasma baru timbul beberapa hari kemudian. Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis demam dengue yang ditegakkan pada saat masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih perlu dievaluasi lebih lanjut apakah hanya demam dengue atau merupakan demam berdarah dengue fase awal. Pasien demam berdarah menjalani rawat inap dengan tatalaksana yang berbeda dari demam dengue.
Diagnosis klinis demam berdarah dengue
Demam 2 – 7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus (kontinua)
Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan atau melena, maupun berupa uji Tourniquette yang positif
Nyeri kepala , mialgia, artralgia, nyeri retroorbital Dijumpai kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah, atau sekitar rumah
Hepatomegali
Terdapat
kebocoran
plasma
tanda/gejala:
25
yang
ditandai
dengan
salah
satu
-
Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi menurut umur
-
Ditemukan adanya efusi pleura, asites
-
Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Trombositopenia <100.000/mm 3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan
plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis DBD.
WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat. 9 Derajat 1
Demam disertai gejala tidak khas dan satu – satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat 2
Derajat 1 disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan lain.
Derajat 3
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (<20mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat 4
Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
Tanda
bahaya
(warning
signs)
untuk
mengantisipasi
kemungkina
terjadinya syok pada penderita DBD Tanda bahaya (warning signs)
Klinis
Demam turun tetapi keadaan anak memburuk Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen Muntah yang menetap Letargi, gelisah Perdarahan mukosa Pembesaran hati Akumulasi cairan Oliguria Peningkatan
Laboratorium
kadar
hematokrit
bersamaan
dengan
penurunan cepat jumlah trombosit, hematokrit awal tinggi
26
Demam berdarah dengue dengan syok (SSD) :
Memenuhi kriteria DBD
Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi maupun yang dekompensasi
Syok terkompensasi Tanda dan gejala syok terkompensasi
Takikardia
Takipnea
Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20 mmHg
Waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT) >2 detik
Kulit dingin
Produksi urin (urine output) menurun, <1 ml/kgBB/jam
Anak gelisah
Syok dekompensasi Tanda dan gejala syok dekompensasi
Takikardia
Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
Nadi cepat dan kecil
Pernapasan kussmaul atau hiperpne
Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
Expanded dengue syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
Kelebihan cairan
Gangguan elektrolit
Ensefalopati
Perdarahan hebat 27
Gagal ginjal akut
Haemolytic uremic syndrome (HUS)
Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
Infeksi ganda
Kriteria Diagnosis Laboratorium
Kriteria diagnosis laboratoris diperlukan untuk survailans epidemiologi, terdiri atas : Probable dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan
serologi anti dengue Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi genome
virus dengue dengan pemeriksaan RT – PCR, antigen dengue pada pemeriksaan NS1 atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada pemeriksan serologi berpasangan
Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis, namun karena memerlukan tehnologi yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.
F. TATA LAKSANA INFEKSI VIRUS DENGUE Triase
Setiap pasien yang merawat pasien infeksi virus dengue, harus mempersiapkan unit triase sebagai tempat untuk melakukan skrinning, apakah pasien harus menjalani rawat inap atau rawat jalan. Triase dapat dilakukan juga di Puskesmas yang mempunyai tempat perawatan, mempunyai dokter dan perawat yang terlatih. Pada saat seorang pasien datang dengan dugaan menderita infeksi dengue, maka diantar ke unit triase untuk menjalani pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan jasmani yang di teliti dan dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, minimal kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit. Pada pasien dengan demam tinggi, terus menerus, kurang dari 7 hari yang disertai nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan baik spontan maupun hasil uji
28
Tourniquette, jumlah leukosit yang rendah (kurang dari 4.000/mm 3) tanpa atau dengan jumlah trombosit yang menurun dan apalagi bila diketahui ada kasus dengue di lingkungan tempat tinggal atau di sekolah, maka harus dicurigai pasien tersebut menderita infeksi dengue. Di Indonesia belum ada harga normal nilai hematorkrit, namun apabila nilai hematokrit sangat tinggi dibandingkan dengan nilai hematokrit pasien berdasar pengamatan dari pasien – pasien terdahulu, meningkatkan kecurigaan terhadap kemungkinan infeksi virus dengue. Apabila rendah atau biasa, nilai ini merupakan data dasar yang sangat berguna dalam tata laksana selanjutnya. Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat bermanifestasi sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan syok atau expanded dengue syndrome. Oleh karena itu pada pasien tersangka infeksi virus dengue harus diteliti pasien mana yang bisa dilakukan pengobatan rawat jalan dan pasien mana yang harus rawat inap. Pada umumnya paaien pada saat masuk di diagnosis sebagai demam dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan, kecuali bila ditemukan komorbiditas seperti thalasemia, sindrom nefrotik, hipertensi, HIV AIDS atau terdapat risiko tinggi seperti asma bronkhial dan obesitas atau
apabila ditemukan indikasi
sosial seperti rumah yang jauh, tidak ada orang tua, atau pengasuh yang dapat diandalkan. Demikian juga pasien demam dengue yang mengalami muntah persisten atau menolak makan dan minum harus menjalani rawat inap. Pasien dengan demam berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan syok harus menjalani rawat inap.
G. TATALAKSANA PASIEN RAWAT INAP Demam Berdarah Dengue Tanpa Syok (derajat I dan II)
Tata laksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam tata laksana DBD.
29
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah dengan syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian pergantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok. Masalahnya adalah kapan terjadi perembesan plasma dan pemeriksaan sederhana apa yang dapat dipakai sebagai indikator terjadinya perembesan plasma. Perembesan plasma terutama terjadi saat suhu tubuh turun (time of fever defervescence). Pemeriksaan nilai hematokrit merupakan indikator yang sensitif untuk mendeteksi derajat perembesan plasma, sehingga jumlah cairan yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hematokrit. Perlu diperhatikan bahwa kebocoran plasma pada demam berdarah dengue bersifat sementara, sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka waktu lama dapat menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya. Terapi simtomatis diberikan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti pemberian antipiretik dan istirahat.
Penggantian cairan
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. 9
Jenis cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% kecuali bagi pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraseluler dan ekstraseluler. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >500 mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun memiliki efek samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganggu fungsi ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan 30
pada 1) perembesan plasma masif yang ditunjukan dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau 2) pada keadaan syok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus cairan kristaloid yang kedua. Cairan koloid isoonkotik kurang efektif. Pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45% atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak yang lebih besar. 2
Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas, pemberian jumlah cairan harus hati – hati karena mudah terjadi kelebihan cairan, perhitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat badan ideal.2
Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5%. Untuk memudahkan, tabel dibawah ini memperlihatkan kebutuhan volume cairan yang harus diberikan dosis rumatan dan apabila disertai defisit cairan 5%.
Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
BB ideal (kg)
Rumatan (ml)
Rumatan + Defisit 5% (ml)
5
500
750
10
1000
1500
15
1250
2000
20
1500
2500
25
1600
2850
30
1700
3200
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics. 1957; 19:823.
31
Pada tabel dibawah ini memperlihatkan kecepatan dari volume cairan yang akan diberikan. Contoh untuk anak dengan berat badan ideal 20 kg, maka kebutuhan cairan adalah 2.500 ml/24jam dengan kecepatan 5 ml/kgBB/jam. Apabila hematokrit meningkat jumlah cairan harus dinaikkan dan bila menurun jumlah cairan dikurangi.
Kecepatan pemberian cairan Jumlah cairan
Kecepatan (ml/kgBB/jam)
½ rumatan
1,5
Rumatan
3
Rumatan + defisit 5%
5
Rumatan + defisit 7%
7
Rumatan + defisit 10%
10
Sumber : Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823. Banyak ditemukan di klinis adalah pasien yang belum menunjukan peningkatan hematokrit yang berarti (pada keadaan ini diagnosis yang ditegakkan masih DD), namun dikhawatirkan merupakan fase awal sakit DBD, maka volume cairan yang diberikan cukup rumatan atau sesuai kebutuhan. Volume cairan ditingkatkan apabila nilai hematokrit naik dan kemudian
diturunkan
bertahap
seiring
dengan
penurunan
nilai
hematokrit. Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan setelah 24 – 48 jam keadaan umum anak stabil.
Antipiretik
Parasetamol 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu > 38˚C dengan interval 4 – 6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan kompres hangat. 2 Diusahakan tidak memberikan obat – obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.9
32
Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.
Pemantauan
Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda peringatan seperti tertera pada tabel sebelumnya yaitu mengenai tanda bahaya (warning signs).
Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok (mudah dilakukan)
Tanda – tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah harus dilakukan setiap 2 – 4 jam sekali.
Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau pemberian cairan intravena (sebgai data dasar), diupayakan dilakukan setiap 4 – 6 jam sekali.
Volume urin perlu ditampung minimal 8 – 12 jam
Diupayakan jumlah urin ≥1.0 ml/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat badan ideal).
Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil, komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik, dll) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas indikasi
Pantau : darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan sistem koagulasi sesuai indikasi.
Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada dengan posisi lateral kanan dekubitus (right lateral decubitus)
Periksa golongan darah
Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG, dan lainnya.
33
Tata laksana sindrom syok dengue (derajat III dan IV)
Syok pada infeksi dengue merupakan syok hipovolemik akibat terjadi perembesan plasma, fase awal berupa syok terkompensasi dan fase selanjutnya fase dekompenasasi. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibanding apabila pasien sudah jatuh ke dalam fase syok dekompensasi. Prinsip utama tata laksana SSD adalah pemberian cairan yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Selain itu bila ditemukan faktor komorbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan gangguan asam basa, gangguan elektrolit harus diobati dengan segera.
Berikut secara rinci tatalaksana sindrom syok dengue 10 : -
Pergantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10 – 20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20 – 30 ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
-
Pemberian cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan 1 – 4 jam pasca syok. Volume cairan diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam, selanjutnya 5 ml, dan 3 ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
-
Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
-
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
-
Oksigen 2 – 4 liter/menit pada DBD syok.
-
Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
-
Indikasi pemberian darah : Terdapat perdarahan secara klinis : -
Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb
-
Apabila kadar hematokrit tetap >40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil koagulopati atau koagulasi intravaskular
34
desiminata (KID) pada syok berat yang menimbulkan perdarahan masif. -
Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan) untuk mencegah perdarahan hebat.
Tata laksana sindrom syok dengue terkompensasi
Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat pengobatan sebagai berikut :
Berikan terapi oksigen 2 – 4 liter/menit
Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena dengan jumlah cairan 10 – 20 ml/kgBB dalam waktu 1 jam. Periksa hematokrit.
Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 ml/kgBB/jam selama 1 – 2 jam.
Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5 ; 5 ; 3 ; 1,5 ml/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24 – 48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin membaik.
Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula darah untuk menilai kemungkinan adanya A – B – C – S (A=asidosis, B= bleeding/perdarahan, C=calcium, S=sugar/gula darah) yang memperberat syok hipovolemik.
Apabila sudah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera lakukan koreksi.
35
Pemeriksaan laboratorium A-B-C-S
Singkatan
Pemeriksaan
Keterangan
Laboratorium A – Acidosis
Analisa Gas Darah
Indikasi apabila terjadi prolonged shock Apabila
terdapat
keterlibatan
organ,
periksa: fungsi hati dan BUN, kreatinin B – Bleeding
Hematokrit
Apabila
Ht
menurun
pemeriksaan meningkat,
dibandingkan
sebelumnya segera
atau
periksa
tidak
golongan
darah untuk persiapan transfusi Elektrolit, Ca++
C – Calcium
Hipokalsemia terjadi pada hampir semua pasien
DBD
namun
asimtomatik.
Pemberian Ca diperlukan pada kasus berat atau dengan komplikasi. Dosis 1 mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan secara intravena perlahan – lahan (apabila diperlukan dapat diulang setiap 6 jam), kalsium glukonat maksimal 10 ml. S – Blood Sugar
Gula
darah,
Kasus
dextrostix
DBD
berat,
nafsu
makan
menghilang apalagi disertai muntah; dan adanya gangguan fuungsi hati akan menyebabkan beberapa
hipoglikemia. kasus
dapat
Namun terjadi
hiperglikemia.
o
Asidosis
Asidosis yang berat terutama terjadi pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Hal ini menimbulkan eksaserbasi hipotensi, gangguan kontraktilitas otot jantung dan mudah terjadi aritmia bahkan sampai
henti
jantung,
selain
itu
akan
menurunkan
respons
kardiovaskular terhadap katekolamin. Dengan perkataan lain, asidosis yang tidak segera dikoreksi akan memperberat syok hipovolemik.
36
Perdarahan
berat
dapat
menimbulkan
atau
memperberat
syok
hipovolemik. Tanpa pemberian transfusi akan menimbulkan oksigenisasi jaringan yang tidak adekuat, menimbulkan hipoksia jaringan sehingga dapat menyebabkan asidosis dan hal lain yang mempersulit upaya mengatasi syok hipovolemik. Perdarahan dapat terlihat nyata seperti hematemesis dan melena, namun dapat tersembunyi (occult/conccaled bleeding) yang pada umumnya terjadi di dalam rongga usus. Sebelum feses yang berwarna hitam keluar untuk pertama kali, perdarahan usus sulit diketahui. Rasa tidak enak di perut, distensi perut, penurunan peristaltik/bising usus dapat merupakan tanda adanya perdarahan tersembunyi di rongga usus. Indikator lain adanya perdarahan adalah melalui pemeriksaan hematokrit berkala. Pada keadaan syok, hematokrit diperiksa pada saat masuk, setelah resusitasi cairan, selanjutnya setiap 4 – 6 jam. Bila pada pemeriksaan selanjutnya hematokrit menurun atau bila pada pemeriksaan awal hematokrit tidak tinggi namun disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil, harus dicurigai adanya perdarahan. Transfusi dapat berupa darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 ml/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 ml/kgBB.
o
Kalsium
Kalsium pada umumnya menurun pada setiap pasien DBD walaupun umumnya tidak memberikan gejala. Kalsium berperan penting untuk kontraktilitas otot polos dan otot skeletal. Hipokalsemia yang tidak dikoreksi akan menimbulkan insufisiensi kontraktilitas otot jantung. Disfungsi jantung tidak jarang ditemukan pada anak yang mengalami sakit berat, sehingga dengan yang diharapkan. Kalsium glukonat diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan secara intravena perlahan – lahan (apabila diperlukan dapat diulang setiap 6 jam), dosis maksimal 10 ml.
o
Hipoglikemia
Disebabkan asupan yang rendah akibat nafsu makan yang menghilang dan atau muntah. Selain itu adanya gangguan fungsi hati akan 37
menyebabkan hipoglikemi pula. Namun pada beberapa kasus dapat terjadi
hiperglikemia.
Hipoglikemia
yang
tidak
dikoreksi
dapat
menimbulkan gangguan kesadaran, kejang, aritmia bahkan henti jantung sehingga akan mempersulit upaya dalam mengatasi syok. Hipoglikemia merupakan keadaan darurat medis dan harus segera dikoreksi dengan larutan glukosan dengan dosis glukosa 0,5 – 1,0 g/kgBB diberikan secara bolus. o
Apabila hematokrit masih tetap tinggu atau meningkat, berikan bolus kedua. Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10 – 20 ml/kgBB dalam waktu 10 – 20 menit, apabila tidak ada dapat diberikat larutan kristaloid isotonik. Walaupun tidak ditemukan perdarahan tetapi keadaan klinis tidak membaik, pertimbangkan pemberian transfusi.
o
Apabila syok teratasi, pertahankan jumkah cairan 10 ml/kgBB/jam selama 1 – 2 jam, setelah itu jenis cairan diganti dengan larutan kristaloid dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5; 5; 3; 1,5 ml/kgBB/jam. Pada umumnya dalam waktu 24 – 48 jam setelah syok teratasi pemberian cairan intavena sudah tidak diperlukan lagi. Namun apabila tidak teratasi, pasien dapat jatuh ke dalam profund shock, maka seringkali diperlukan bantuan napas buatan dan pemberian obat inotropik, dan memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.
Tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi
Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera, pertolongan terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi profound shock yang mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat berobat sudah dalam syok dekompenasasi, baik yang masih dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh ke dalam profound shock, diberi pengobatan sebagai berikut:
Berikan oksigen 2 – 4 L/menit
Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari 3 – 5 menit, berikan cairan melalui prosedur intraosseus
Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10 – 20 ml/kgBB secara bolus dalam waktu 10 – 20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, gula darah, dan kalsium.
38
Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 ml/kgBB/jam selama 1 – 2 jam.
Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5 ; 5 ; 3 ; 1,5 ml/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24 – 48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena
sudah
tidak
diperlukan.
Pertimbangkan
untuk
mengurangi cairan yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin membaik.
Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia.
Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif, berikan transfusi darah segar ( fresh whole blood) dengan dosis 10 ml/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 ml/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik pertimbangkan pemberian transfusi darah. Pada syok berat (prolonged shock, recurrent shock, profound shock), perdarahan masif, ensefalopati/ensefalitis, atau gagal napas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.
Pemantauan DBD dengan syok
Setiap pasien DBD yang mengalami syok harus dilakukan pemeriksaan berkala 1. Tanda vital setiap 15 – 30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok sudah teratasi 2. Analisa gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah sakit terutama pada pasien syok dekompensasi atau yang mengalami syok yang berkepanjangan. 3. Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusitasi pertama dan kedua, selanjutnya setiap 4 – 6 jam 4. Produksi urin harus ditampung dan diukur
39
5. Apabila ditemukan gangguan fungsi organ atau sistim lain, seperti ginjal, hati, gangguan pembekuan, dan jantung; periksa fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi dan EKG 6. Perhatian khusus harus diberikan untuk kemungkinan terjadinya edema paru akibat kelebihan cairan. Periksa keadaan respirasi (napas cepat, napas cuping hidung, retraksi, ronkhi basah tidak nyaring), peninggian tekanan vena jugularis ( jugular venous pressure/JVP), hepatomegali, asites, efusi pleura. Edema paru jika tidak diobati akan menimbulkan asidosis, sehingga pasien dapat kembali jatuh ke dalam syok.
Tatalaksana expanded dengue syndrome
Tatalaksana kelebihan cairan Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. 11 Hal ini dapat terjadi karena : -
Kelebihan dan atau pemberian cairan yang terlalu cepat
-
Pengguanaan jenis cairan yang hipotonik
-
Pemberian cairan intravena yang terlalu lama
-
Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang hebat
Tanda awal : - Napas cepat -
Tarikan dinding dada ke dalam
-
Efusi pleura yang luas
-
Asites
-
Edema periorbital atau jaringan lunak
Tanda – tanda lanjut kelebihan cairan yang berat -
Edema paru
-
Sianosis
-
Syok irreversibel
Pada keadaan kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis, dihitung kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-C-S apakah telah dikoreksi.2
40
Turunkan jumlah cairan menjadi 1 ml/kgBB/jam, bila tersedia cairan koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid.
Pada stadium lanjut dengan tanda edema paru, furosemid 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan apabila tekanan darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah pemberian furosemid perlu dipantai setiap
15 menit untuk menilai keberhasilan
pengobatan.
Ukur volume diuresis melalui kateter urin
Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid, periksa status volume intravaskular (pemantauan CVP). Apabila volume intravaskular baik, pemberian furosemid dapat diulang untuk kedua kalinya dengan dosis ganda. Namun apabila masih terjadi oliguria maka harus segera dilakukan dialisis, berarti pasien dalam keadaan gagal ginjal akut, keadaan ini mempunyai prognosis yang buruk. Apabila volume intravaskular tidak adekuat maka cek A-B-C-D-S dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
Tatalaksana pada fase pemulihan (recovery phase)
Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan klinis, nafsu makan membaik, dan secara umum tampak membaik
Status hemodinamik dan perfusi perifer yang baik perlu dipantau dengan baik
Didapatkan penurunan kadar hematokrit ke kadar basal dan volume urin yang cukup
Pemberian cairan intravena tidak boleh dilanjutkan lagi untuk mencegah kelebihan cairan karena pada fase pemulihan cairan dari ekstravaskular kembali masuk ke dalam rongga intravaskular
Pada pasien dengan efusi pleura yang luas dan asites, pada fase pemulihan mudah terjadi kelebihan cairan, maka dapat diberikan furosemid untuk mengurangi udem paru. Apabila efusi pleura hanya sedikit dan keadaan umum anak baik, tidak perlu diberikan diuretika karena akan direabsorpsi spontan
41
Mungkin terjadi hipokalemia yang disebabkan oleh stres dan diuresis perlu segera dikoreksi dengan memberikan buah yang kaya kalium atau suplemen
Tidak jarang dijumpai bradikardia, maka perlu pemantauan untuk terjadinya penyulit yang jarang yaitu heart block atau ventricular premature contraction
Tanda – tanda penyembuhan
Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi napas stabil
Suhu badan normal
Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
Nafsu makan membaik
Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut
Volume urin cukup
Kadar hematokrit stabil pada kadar basal
Ruam konvalesens, ditemukan pada 20% - 30% kasus
Kriteria pulang rawat
Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik Nafsu makan membaik
Perbaikan klinis yang jelas
Jumlah urin cukup
Minimal 2 – 3 hari setelah syok teratasi
Tidak tampak distress pernapasan yang disebabkan efusi pleuran atau asites
Jumlah trombosit >50.000/mm 3. Bila masih rendah namun klinis baik, pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang memudahkan untuk mengalami trauma selama 1 – 2 minggu (sampai trombosit normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain yang menyertai (misalnya idiopatik trombositopenia purpura = ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal dalam waktu 3 – 5 hari.
42
DAFTAR PUSTAKA
1) Achmad Umar Fahmi, dkk. Buletin Jendela Epidemiologi. Topik utama: Demam Berdarah Dengue. Pusat Data Surveilens Epidemiologi. Volume 2, Agustus 2010. Jakarta.
2) Dengue
and
Severe
Dengue.
Updated
April
2017.
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
3) Hadinegoro Sri Rezeki, Moedjito Ismoedijanto, Chairulfatah Alex. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Jakarta 4) Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Jakarta. 5) Karyanti Rahma Mulya, Hadinegoro Sri Rezeki. Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo FK UI. 2009. Jakarta. 6) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. . Edisi 3. 2004. Jakarta.
7) Sutarjo Untung Suseno, Johan Roberth. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2016. Jakarta.
8) “Kemenkes Optimalkan PSN Cegah Demam Berdarah Dengue” dipublikasikan pada Kamis, 15 Juni 2017. www.depkes.go.id 9) Soedarmo S. S. P. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. UKK Infeksi & Penyakit Tropis IDAI. 2015. Jakarta.
43