i
POTENSI TEPUNG KEDELAI ( G lyci lyci ne max L .) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI DIAZINON
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh Verantika Indra Susetiyo NIM 142010101036
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2017
i
ii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………..
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………...
ii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………...
1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….. Masalah…………………………………………………..
4
1.3 Tujuan...…………………………………………………..……….. Tujuan...…………………………………………………..………....
4
1.4 Manfaat......…………………………………………………..……..
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…...……………………………………
5
2.1 Pestisida...……………………..………………………………..…...
5
2.2 Diazinon...…………………………………………………..………
12
2.3 Anatomi dan Fisiologi Hati...………………………………………. H ati...……………………………………….
17
2.4 Radikal Bebas...……………………………………………………..
21
2.5 Antioksidan...……………………………………………………….
24
2.6 Kedelai (Glycine (Glycine max L.) L.) ...………………………………………...
27
2.7 Tepung Kedelai...…………………………………………………...
34
2.8 Anatomi Hati Tikus...……………………………………………….
38
2.9 Pemeriksaan Histopatologi...………………………………………..
40
2.10 Kerangka Teori...…………………………………………………..
46
2.11 Kerangka Konsep...………………………………………………..
47
2.12 Hipotesis Penelitian...……………………………………………..
47
BAB 3 METODE PENELITIAN...…………………………………..
49
3.1 Jenis Penelitian...…………………………………………………...
49
3.2 Rancangan Penelitian...…………………………………………….
49
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...………………………………….
50
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian...……………………………………
51
3.5 Variabel Penelitian...……………………………………………….
51
ii
ii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………..
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………...
ii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………...
1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….. Masalah…………………………………………………..
4
1.3 Tujuan...…………………………………………………..……….. Tujuan...…………………………………………………..………....
4
1.4 Manfaat......…………………………………………………..……..
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…...……………………………………
5
2.1 Pestisida...……………………..………………………………..…...
5
2.2 Diazinon...…………………………………………………..………
12
2.3 Anatomi dan Fisiologi Hati...………………………………………. H ati...……………………………………….
17
2.4 Radikal Bebas...……………………………………………………..
21
2.5 Antioksidan...……………………………………………………….
24
2.6 Kedelai (Glycine (Glycine max L.) L.) ...………………………………………...
27
2.7 Tepung Kedelai...…………………………………………………...
34
2.8 Anatomi Hati Tikus...……………………………………………….
38
2.9 Pemeriksaan Histopatologi...………………………………………..
40
2.10 Kerangka Teori...…………………………………………………..
46
2.11 Kerangka Konsep...………………………………………………..
47
2.12 Hipotesis Penelitian...……………………………………………..
47
BAB 3 METODE PENELITIAN...…………………………………..
49
3.1 Jenis Penelitian...…………………………………………………...
49
3.2 Rancangan Penelitian...…………………………………………….
49
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...………………………………….
50
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian...……………………………………
51
3.5 Variabel Penelitian...……………………………………………….
51
ii
iii
3.6 Definisi Operasional...…………………………………. Operasional...………………………………….…………...
51
3.7 Alat dan Bahan...…………………………………………………...
52
3.8 Prosedur Penelitian...……………………………………………….
53
3.9 Analisa Data...…………………………………………………..….
57
3.10 Uji Kelayakan Etik...……………………………………………...
58
3.11 Alur Penelitian...…………………………………………………..
59
DAFTAR PUSTAKA...………………………………………………...
61
iii
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Iklim tropis yang dimiliki Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki tanah yang subur dan cocok untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman. Dalam upaya meningkatkan mutu dan produktivitas dalam bidang pertanian, penggunaan pestisida untuk membasmi hama tanaman sering tidak bisa dihindari. Pestisida yang digunakan diharapkan dapat membantu petani untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali seringkali memberikan risiko keracunan pestisida bagi petani. Risiko keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan pertanian khususnya sayuran. Penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 2014 tercatat sekitar 1.790 formulasi dan 602 bahan aktif pestisida telah didaftarkan untuk mengendalikan hama diberbagai bidang komoditi. World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun, terjadi 1 – 5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa. Sekitar 80% keracunan dilaporkan terjadi di Negara-negara berkembang (Komisi Pestisida, 2014). Berdasarkan studi yang dilakukan di desa Umbulsari, kecamatan Umbulsari, kabupaten Jember, pada bulan April 2015 ditemukan 73 petani melakukan perawatan tanaman jeruk menggunakan pestisida jenis organofosfat. Perawatan
yang
dilakukan
adalah
menggunakan
media
semprot
untuk
mengendalikan populasi hama yang menyerang. Mayoritas petani tersebut mengalami gejala akut keracunan pestisida dengan merasa pusing dan mual jika menghirup aroma pestisida, dan gejala tersebut timbul dengan penyemprotan mayoritas ≤1 jam, penggunaan dosis mayoritas menggunakan dosis tidak sesuai, dan sebagian besar belum menggunakan APD dengan baik (Aribowo et al ., 2016). Organofosfat dikenal sebagai golongan pestisida yang sangat toksik. dikarenakan oleh fosforilasi enzim acetylcholinesterase (AChE) di ujung saraf.
2
Hasilnya adalah hilangnya AChE yang tersedia sehingga organ efektor menjadi terlalu terstimulasi oleh kelebihan asetilkolin. Organofosfat secara efisien diserap jika terhirup dan tertelan, yakni LD50 oral pada tikus adalah antara 3-8 mg/kg, yang cukup beracun, dan pada dasarnya setara dengan penyerapan kulit dengan LD50 dari 8 mg/kg (Bates dan Campbell, 2008). Diazinon merupakan pestisida golongan organofosfat yang banyak dipakai dalam suatu usaha pertanian.untuk memberantas hama pengganggu dan memiliki kemampuan untuk menggantikan organoklorin seperti DDT, aldrin, lindane, dan lain-lain, dan kebutuhan akan penggunaan diazinon dari waktu ke waktu semakin meningkat meskipun telah dilarang penggunaanya sejak 1 Mei 1997. Pelarangan ini karena diazinon menghambat enzim kolinesterase yang berfungsi dalam transmisi sistem saraf. Pada makhluk hidup, penghambatan enzim kolinesterase dapat mengakibatkan terhambatnya penghantaran impuls sehingga mengakibatkan salivasi yang berlebihan, diare, kejang-kejang, kelumpuhan, dan berakhir dengan kematian. Diazinon memiliki persistansi lingkungan yang rendah dibanding organoklorin, tetapi memiliki tingkat keracunan yang lebih tinggi. Hati adalah organ target dan tempat utama dari detoksifikasi dan umumnya tempat utama metabolisme oleh karena itu rentan terhadap berbagai gangguan sebagai akibat dari paparan racun dari luar maupun dalam. Hati memainkan peran penting dalam metabolisme untuk menjaga tingkat energi dan stabilitas struktural dari tubuh (Arthur C. Guyton dan Hall, 2011). Hati juga merupakan tempat dari biotransformasi senyawa beracun untuk mengurangi toksisitas, tapi proses ini juga akan merusak sel-sel hati dan menyebabkan hepatotoksisitas. Paparan insektisida organofosfat, seperti diazinon, dapat mengganggu total protein dan metabolisme albumin, sedangkan albumin sendiri disintesis oleh hati, selain itu Reaktif Oksigen Spesies (ROS) dan jalur apoptosis juga terlibat dalam toksisitas dari diazinon. Tingkat albumin dapat menurun sesuai dengan gangguan fungsi hati setelah terpapar diazinon (Kalender et al ., 2005). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa diazinon dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Diazinon meningkatkan aktivitas enzim fosfatase alkali (ALP), alanine transaminase (ALT), aspartat transaminase (AST), dan menginduksi perubahan histopatologi dan
3
biokimia hati dalam dosis tertentu (Azmi et al ., 2006; Gokcimen et al ., 2007; Kalender et al .,2005). Radikal bebas dapat merusak DNA dan protein, baik melalui oksidasi basa DNA (terutama guanin melalui peroxyl lipid atau alkoxyl radikal) atau melalui kovalen yang mengikat DNA mengakibatkan strand breaks dan cross linking . ROS juga dapat menginduksi oksidasi kritis Sulfhydril (SH) kelompok protein dan DNA, yang akan mengubah integritas selular dan fungsi (Damodar, DSouza, dan Bhat, 2015) Penggunaan diazinon jangka panjang memerlukan hepatoprotektor untuk mencegah efek samping yang ditimbulkan. Cara kerja hepatoprotektor yakni mencegah adanya ikatan radikal hidroksil yang belum stabil pada membran sel hepar. Kandungan dalam hepatoprotektor tersebut dapat merupakan zat alami yang ada pada tumbuhan seperti isoflavon. Isoflavon banyak terdapat pada kacangkacangan. Isoflavon memiliki efek penting dalam proses pencegahan stress oksidatif oleh radikal bebas. Isoflavon pada kedelai telah terbukti menurunkan konsentrasi ROS dan malondialdehid (MDA), serta meningkatkan ekspresi mRNA dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase (GPx) (Ma et al ., 2015). Isoflavon
adalah
kelas
flavonoid
tanaman
dengan
struktur
3-
phenylchromone dan didistribusikan hampir secara eksklusif di kacang-kacangan, termasuk kedelai (Glycine max L.) (Waki et al ., 2016). Kedelai merupakan salah satu dari tujuh produk unggulan Universitas Jember disamping kopi, tebu, dan singkong. Dalam kedelai terdapat daidzein dan genistein yang terutama terakumulasi dalam akar dan daun bibit dan benih (Funaki et al ., 2015). Flavonoid memiliki efek penting dalam proses pencegahan stress oksidatif oleh radikal bebas. Flavonoid memiliki efek sebagai metal ion chelation, radical scavenging, dan membran protective efficiacy. Flavonoid akan menangkap ion bebas dari radikal bebas agar menjadi netral. Flavonoid banyak di dapatkan pada tumbuhan, buah buahan maupun biji-bijian (Kumar dan Pandey, 2013). Kedelai dapat digunakan dalam bentuk olahan seperti tahu, tempe, dan tepung. Pemanfaatan kedelai dalam bentuk lebih aplikatif dan dapat digunakan
4
dalam kehidupan sehari-hari oleh berbagai lapisan masyarakat khususnya dalam bahan pangan yakni dalam bentuk tepung. Selain itu kandungan isoflavon tertinggi terdapat dalam bentuk tepung dibandingkan dengan dalam bentuk isolate yakni kandungan kedelai rata-rata daidzein 67,69%, genistein 89,42%, glycitein 20,02% (Bhagwat et al., 2008). Selain itu, pemberian diet tepung kedelai dapat mengurangi risiko kerusakan hepar tikus wistar jantan akut akibat induksi CCL 4 dengan meningkatkan antioksidan intraselular seperti GSH (Khan, 2012). Adanya kerusakan pada organ hati akibat paparan bahan kimia dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan biokimia dan pemeriksaan histopatologis hati. Salah satu pemeriksaan biokimia hati yang berguna untuk tujuan tersebut adalah pemeriksaan enzim golongan transaminase, yaitu enzim aspartat aminotransferase (AST) yang sering disebut glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan enzim alanin aminotransferase (ALT) atau sering juga disebut glutamate piruvat transaminase (GPT). AST dapat ditemukan pada berbagai tempat di tubuh, tapi lebih berguna sebagai penanda kerusakan hati atau jantung, sedangkan ALT lebih terkonsentrasi pada hati. Kedua enzim ini akan keluar dari sel hati apabila sel hati mengalami kerusakan sehingga dengan sendirinya akan menyebabkan peningkatan kadarnya dalam serum (Widman, 1992; Goldberg, 2000). Sedangkan pemeriksaan histopatologis hati merupakan suatu pemeriksaan yang dapat membuktikan adanya kerusakan hati yang ditandai dengan adanya perubahan struktur hati dari struktur normalnya (Lu, 1995). Sejauh ini belum ada penelitian tentang pengaruh pemberian terapi profilaksis dengan diet tepung kedelai terhadap gambaran histopatologi hati yang diinduksi diazinon. Oleh karena itu, peneliti akan menguji pengaruh dari pemberian tepung kedelai sebagai hepatoprotektor terhadap gambaran histopatologi hati tikus wistar jantan yang di induksi diazinon.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut.
5
a.
apakah pengaruh pemberian tepung kedelai (Glycine max L) sebagai hepatoprotektor terhadap gambaran histopatologi hati tikus wistar jantan yang diinduksi diazinon?
b. berapakah
dosis
efektif
tepung
kedelai
(Glycine
max
L)
sebagai
hepatoprotektor pada tikus wistar jantan yang diinduksi diazinon?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung kedelai (Glycine max L) sebagai hepatoprotektor terhadap gambaran histopatologi hati tikus wistar jantan yang diinduksi diazinon.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini ialah: a. penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian tepung kedelai (Glycine max L)
sebagai hepatoprotektor yang dilihat dari gambaran
histopatologi hati tikus wistar jantan yang diinduksi diazinon. b. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis efektif tepung kedelai (Glycine max L) sebagai hepatoprotektor terhadap gambaran histopatologi hati pada tikus wistar jantan yang diinduksi diazinon.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Keilmuan Penelitian ini dapat dijadikan landasan teori dan sebagai dasar pengembangan penelitian selanjutnya khususnya dalam bidang kedokteran dan toksikologi.
6
1.4.2 Manfaat Aplikatif Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk menggunakan tepung kedelai (Glycine max L) sebagai hepatoprotektor pada masyarakat agroindustri yang menggunakan diazinon sebagai pestisida.
7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
2.1.1 Definisi Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh (Sudarmo, 2005). Secara sederhana, pestisida diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematode, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Menurut Permenkes RI, No.258/Menkes/Per/III/1992, Pestisida adalah semua zat kimia/bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk membrantas atau mencegah hamahama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian, memberantas gulma, mengatur/merangsang pertumbuhan tanaman tidak termasuk pupuk, mematikan dan mencegah hama-hama liar pada hewan-hewan piaraan
dan
ternak,
mencegah/memberantas
hama-hama
air,
memberantas/mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat angkutan, memberantas dan mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan ai r.
2.1.2
Penggolongan Pestisida Penggunaan pestisida sintetis di seluruh dunia selalu meningkat dan
penggunaan pestisida campuran juga sangat banyak ditemukan di area pertanian. Menurut Sudarmo (2005) berdasarkan toksisitas, pestisida organik sintetik dapat digolongkan menjadi: 1.
Golongan Organoklorin.
a.
Toksisitas tinggi (extremely toxic): Endrine (Hexadrine)
8
b.
Toksisitas sedang (moderate toxic): Aldrine, Dieldrin, DDT, Benzene, Brom Hexachloride (BHC), Chlordane, Heptachlor, dan seba gainya.
2.
Golongan Organofosfat
a.
Sangat toksik (extremely toxic): Phorate, Parathion, Methyl Parathion, Azordin,
Chlorpyrifos
(Dursban),
TEPP,
Methamidophos,
Phosphamidon, dan sebagainya. b.
Toksisitas sedang (moderate toxic): Dimethoate, Malathion
3.
Golongan Karbamat
a.
Toksisitas tinggi (extremely toxic): Temik, Carbofuran, Methomyl
b.
Toksisitas sedang (moderate toxic): Baygon, Landrin, Carbaryl.
2.1.2.a Golongan Organoklorin Pestisida golongan organoklorin merupakan pestisida yang sangat berbahaya sehingga pemakainnya sudah banyak dilarang. Sifat pestisida ini yang volatilitas rendah, bahan kimianya yang stabil, larut dalam lemak, dan bitransformasi serta biodegradasi lambat menyebabkan pestisida ini sangat efektif untuk membasmi hama, namun sebaliknya juga sangat berbahaya bagi manusia maupun binatang oleh karena persitensi pestisida ini sangat lama di dalam lingkungan dan adanya biokonsentrasi dan biomagnifikasi dalam rantai makanan. Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling popular dan pertama kali disintesis adalah “ Dichloro-diphenyltrichloroethan” atau disebut DDT.
Tabel 2.1 Klasifikasi Insektisida Organoklorin Kelompok
Cyclodiene
Hexachlorocyclohexan Derivat Chlorinated-ethan
Komponen
Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor, endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex Lindane DDT
9
2.1.2.b Golongan Organofosfat Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Organofosfat merupakan derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan syaraf. Organofosfat senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas 1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus organik (R1 dan R2) serta gugus (X) atau leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkolin. Gugus X merupakan bagian yang paling mudah terhidrolisis. Gugus R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah dimetoksi atau dietoksi. Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen, fluorida, halogen lain dan dimetoksi atau dietoksi. Dalam perkembangannya
dikembangkan
parathion
(O,O-diethylO-p-nitrophenyl
phosphorothioate dan oxygen analog paraoxon (O,Odiethyl-O-p-nitrophenyl phosphate). Parathion digunakan sebagai pengganti DDT, namun efek toksik yang diakibatkan ternyata hampir sama dengan DDT sehingga pemakaiannya mulai dilarang. Meskipun dua jenis pestisida ini memiliki struktur yang berbeda di alam, namun efek toksik yang diakibatkannya identik yang ditandai dengan adanya penghambatan asetilkolinesterase, enzim yang bertanggungjawab untuk inhibisi dan destruksi aktivitas biologis dari neurotransmitter asetilkolin (Bates & Campbell, 2008). Pada keracunan pestisida golongan ini akan terjadi akumulasi ACh yang bebas dan tidak terikat pada ujung persarafan dari saraf kolinergik, sehingga terjadi stimulasi aktivitas listrik yang kontinyu. Pestisida organofosfat yang banyak digunakan antara lain: a.
Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng.
10
b.
Kadusafos, merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut.
c.
Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang.
d.
Klorpirifos, merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi.
e.
Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat nonsistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera.
f.
Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1956. Diazinon merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih ( seed treatment ).
g.
Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.
h.
Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan proinsektisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit.
i.
Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta
11
bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun. Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-
j.
sistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. k.
Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau.
2.1.2.c Golongan Karbamat Insektisida dari golongan karbamat adalah racun s araf yang bekerja dengan cara menghambat AChE. Jika pada golongan organofosfat hambatan tersebut bersifat irreversibel (tidak dapat dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversibel (dapat dipulihkan). Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga merupakan insektisida yang banyak jenisnya. Beberapa jenis insektisida karbamat antara lain: a.
Aldikarb, merupakan insektisida, akarisida, serta nematisida sistemik yang cepat diserap oleh akar dan ditransportasikan secara akropetal. Aldikarb merupakan insektisida yang paling toksik.
b.
Benfurakarb, merupakan insektisida sistemik yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut serta diaplikasikan terutama sebagai insektisida tanah.
c.
Karbaril, merupakan karbamat pertama yang sukses di pasaran. Karbaril bertindak sebagai racun perut dan racun kontak dengan sedikit sifat sistemik. Salah satu sifat unik karbaril yaitu efeknya sebagai zat
12
pengatur tumbuh dan sifat ini digunakan untuk menjarangkan buah pada apel. d.
Fenobukarb (BPMC), merupakan insektisida non-sistemik dengan kerja sebagai racun kontak. Nama resmi insektisida ini adalah fenobukarb, tetapi di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC yang merupakan singkatan dari nama kimianya, yaitu buthylphenylmethyl carbamate.
e.
Metiokarb, nama umum lainya adalah merkaptodimetur. Insektisida ini digunakan sebagai racun kontak dan racun perut.
f.
Propoksur, merupakan insektisida yang bersifat non-sistemik dan bekerja sebagai racun kontak serta racun lambung yang memiliki efek knock down sangat baik dan residu yang panjang. Propoksur terutama digunakan sebagai insektisida rumah tangga (antara lain untuk mengendalikan nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan.
2.2 Diazinon
2.2.1 Definisi Diazinon merupakan jenis pestisida yang termasuk ke dalam golongan organophosphat, yang merupakan suatu bahan kimia yang efektif digunakan untuk membasmi serangga, yang bekerja dengan cara menghambat enzim kolinesterase secara irreversibel, dimana enzim ini berfungsi dalam pemecahan asetilkolin yang bersifat merangsang saraf otot.
Gambar 2.1 Struktur kimia diazinon
2.2.2 Sifat Fisik dan Kimia
13
Sifat fisik dan kimia diazinon yaitu tidak mempunyai warna, mempunyai tekanan uap 8,25 x 10 -5 mmHg pada suhu 25 oC, memiliki rumus molekul C12H21 N2O3PS dengan berat molekul 304,36 g/mol, tingkat kelarutan dalam air 40mg/L pada suhu 25 oC dan memiliki koefisien penyerapan tanah (KOC) sebesar 2,28 (Christensen et al., 2009). Diazinon mempunyai nama dagang Diazion, Spectracide, dan Basudin. Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang tidak persisten dalam tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi secara kimiawi dan biologi. Sekitar 46% dari diazinon yang ditambahkan ke tanah akan hilang dalam 2 minggu. Jika diazinon diaplikasikan ke dalam tanah, tidak akan terikat secara kuat dengan tanah. 28 (Christensen et al., 2009). Menurut Christensen et al. (2009), hidrolisis diazinon lebih lambat pada pH > 6, tetapi cukup signifikan di tanah. Produk utama dari hidrolisis adalah 2isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine. Namun, jika tidak cukup air pada kondisi asam, tetraethyl dithio dan thiopirofosfat diproduksi, keduanya lebih toksik dari diazinon. Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap ser angga dan berbagai cacing tanah. Toksisitas diazinon terhadap mamalia adalah sedang (II), dengan lethal doses (LD50) oral akut masing-masing 96-967 mg kg -1 pada tikus jantan dan 66-635 mg kg -1 pada tikus betina dan LD 50 dermal akut masing-masing tikus adalah >2000 mg kg -1 (katagori III), LD50 inhalasi akut pada tikus 3.5 mg l -1 termasuk kategori III (Wulandari, Harini, dan Listyawati, 2007). LD 50 untuk beberapa spesies burung 3-40 mg kg -1, dan spesies ikan 0.4-8 μg ml -1 (Sumner et al ., 1998).
2.2.3 Toksisitas Secara umum, organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik diantara pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia, dengan diazinon dan malathion merupakan komponen organofosphat yang paling banyak digunakan. Efek sistemik yang timbul pada manusia ataupun pada binatang
14
percobaan yang terpapar, baik secara inhalasi, oral, ataupun melalui kulit, terutama disebabkan oleh penghambatan AChE oleh diazoxon, senyawa metabolit aktif dari diazinon (Services, 2008). Penghambatan AChE terjadi pada hubungan antara saraf dan otot, serta pada ganglion sinap. Asetilkolin merupakan suatu neurotransmiter dari impuls saraf pada post-ganglionik, serabut saraf parasimpatik, saraf somatomotorik pada otot bergaris, serat saraf pre-ganglionik baik parasimpatis dan simpatis serta sinap-sinap tertentu pada susunan saraf. Secara normal, asetilkolin dilepaskan melalui perangsangan pada saraf, yang kemudian akan diteruskan dari motor neuron ke otot volunter, misalkan pada bronkus atau jantung. Asetilkolin yang dilepaskan tersebut kemudian akan dihidrolisa menjadi kolin dan asam asetat oleh enzim asetilkolinesterase (Bates & Campbell, 2008). Sebagai antikolinesterase organofosfat, diazinon menghambat AChE dengan membentuk kompleks fosforilasi yang stabil, sehingga tidak mampu memecah asetilkoline pada hubungan antara saraf dan otot, serta pada ganglion sinap, sehingga terjadi penumpukan asetilkoline pada reseptor asetilkolin, yang menyebabkan terjadinya stimulasi yang berlebihan dan berkelanjutan pada seratserta kolinergic pada parasimpatis postganglionik, hubungan neuromuskular pada otot skeletal, dan hiperpolarisasi dan desentisasi sel-sel pada sistem saraf pusat. Menurut Jaga dan Dharmani (2003) reaksi-reaksi yang terjadi dapat digolongkan menjadi : 1.
Perangsangan terhadap parasimpatik postganglionik, yang berefek pada beberapa organ, antara lain kontriksi pada pupil (miosis), perangsangan terhadap
kelenjar
(salivasi,
lakrimasi,
dan
rhinitis),
nausea,
inkontinensia urin, muntah, nyeri perut, diare, bronkokontriksi, bronkospasme, peningkatan sekresi bronkus, vasodilat asi, bradikardia, dan hipotensi. 2.
Efek nikotinik, terjadi akibat penimbunan asetilkolin pada hubungan otot skeletal dan simpatism preganglionik. Gejala-gejala yang muncul seperti muscular fasciculations, kelemahan, midriasis, takikardia, dan hipertensi.
15
3.
Efek pada sistem saraf pusat terjadi akibat penimbunan asetilkolin pada tingkat cortical, subcortical, dan spinal, terutama pada korteks serebral, hipocampus, dan sistem motorik ekstrapiramidal. Gejala-gejalanya seperti depresi pernafasan, cemas, insomnia, nyeri kepala, lemas, gangguan mental, gangguan konsentrasi, apatis, mengantuk, ataksia, tremor, konvulsi, dan koma (Zafiropoulos et al ., 2014).
4.
Hambatan aktivitas AChE berhubungan dengan stres oksidatif pada sel darah. Jika antioksidan dalam tubuh tidak mampu menangani radikal bebas yang terbentuk akibat terhambatnya AChE, radikal bebas ini akan merusak sel-sel, dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif.
5.
Efek toxic Diazinon juga terjadi pada sel hati, dimana Diazinon juga meningkatkan pelepasan glukosa ke darah dengan jalan mengaktifkan glikogenolisis dan glukoneogenesis, sehingga menjadi predisposisi terjadinya Diabetes Mellitus (Teimori, F, et al., 2008).
2.2.4 Jenis Intoksikasi 2.2.4.a Self Poisoning Pada keadaan ini petani menggunakan pestisida dengan dosis yang berlebihan tanpa memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahaya yang dapat ditimbulkan dari pestisida tersebut. Self poisoning biasanya terjadi karena kekurang hati-hatian dalam penggunaan, sehingga tanpa disadari bahwa tindakannya dapat membahayakan dirinya.
2.2.4.b Attempted Poisoning Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri dengan dengan pestisida, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali karena salah tafsir dalam penggunaan dosis. 2.2.4.c Accidental Poisoning
16
Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di bawah 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan segala benda ke dalam mulut dan kebetutan benda tersebut sudah tercemar pestisida.
2.2.4.d Homicidal Poisoning Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni seseorang. Masuknya pestisida dalam tubuh akan mengakibatkan aksi antara molekul dalam pestisida molekul dari sel yang bereaksi secara spesifik dan non spesifik. Formulasi dalam penyemprotan pestisida dapat mengakibatkan efek bagi penggunanya yaitu efek sistemik dan efek lokal. Efek Sistemik, terjadi apabila pestisida tersebut masuk keseluruh tubuh melalui peredaran darah sedangkan efek lokal terjadi terjadi dimana senyawa pestisida terkena dibagian tubuh.
2.2.5 Tanda dan Gejala Klinik Diazinon diabsorbsi melalui cara yang bervariasi, baik melalui kulit yang terluka, mulut, dan saluran pencernaan serta saluran pernafasan. Melalui saluran pernafasan gejala timbul dalam beberapa menit. Bila terhirup dalam konsentrasi kecil dapat hanya menimbulkan sesak nafas dan batuk. Melalui mulut atau kulit umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan tanda dan gejala. Pajanan yang terbatas dapat menyebabkan akibat terlokalisir. Penyerapan melalui kulit yang terluka dapat menimbulkan keringat yang berlebihan dan kedutan (kejang) otot pada daerah
yang terpajan saja. Pajanan pada mata dapat
menimbulkan gajala berupa miosis atau pandangan kabur saja (Budiyanto et al., 1999) Keracunan diazinon dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor
17
eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi. Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas dan peningkatan sekresi bronkus. Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi nikotinik pusat daripada efek muskarinik (Ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan cheyne stokes dan coma). Penumpukan asetilkolin pada susunan saraf pusat menyebabkan tegang, ansietas, insomnia, gelisah, sakit kepala, emosi tidak stabil, neurosis, mimpi buruk, apatis, bingung, tremor, kelemahan umum, ataxia, konvulsi, depresi pernafasan dan koma. Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah l ebih dari 6 jam, ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut jarang terjadi (Gagnon, M., 2001)
2.3 Anatomi dan Fisiologi Hati
2.3.1 Anatomi Hati Hati atau Hepar merupakan organ terbesar yang ada di dalam tubuh, konsistensinya lunak dan terletak di bawah diafragma dalam cavum abdomen regio hipochondriaca dextra sampai regio epigastrica. Hati paling banyak berada pada kuadran kiri. Hati dilindungi oleh costae pada bagian atasnya. Hati memiliki dua lobus anatomi yaitu lobus kiri dan kanan. Lobus kanan memiliki berat 6 kali lebih berat daripada lobus kiri. Kedua lobus ini pada bagian anterior dipisahkan oleh lipatan dari peritoneum yang disebut ligamentum falciform sedangkan celah posterior dipisahkan oleh dari ligamentum venosus dan pada celah inferior oleh dari ligamentum teres (Sherlock dan Dooley, 2008). Hati mempunyai peran yang sangat penting, di antaranya sebagai tempat penyaringan dan penyimpanan darah, pembentukan empedu, penyimpanan vitamin dan besi, pembentukan faktor koagulasi, serta metabolisme karbohidrat, protein, lemak, hormon, dan zat kimia asing (Arthur C. Guyton dan Hall, 2011). Hati memiliki dua suplai aliran darah. Vena portal membawa darah vena dari usus dan
18
limpa sedangkan arteri hepatica berasal arteri coeliaca untuk mensuplai darah yang kaya oksigen untuk hepar. Pembuluh darah ini masuk memalui celah yaitu porta hepatis yang berada di belakang permukaan inferior dari lobus dekstra. Di dalam porta hepatis, vena porta dan arteri hepatica terbagi menjadi dua cabang untuk lobus dekstra dan sinistra. Hati dipersarafi oleh pleksus hepatic yang merupakan ganglia simpatis dari T7-T10 yang bersinaps di pleksus coeliaca. (Sheilla Sherlock et al., 2008) Struktur histologis hepar terdiri dari beberapa lobus dan tiap lobus terbagi menjadi lobulus-lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri dari lempeng-lempeng sel hepar berbentuk kubus, tersusun radier mengelilingi vena sentralis yang mengalirkan darah dari lobulus. Di antara lempengan sel hepar terdapat kapilerkapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid ini dibatasi oleh sel fagositik atau sel kupffer, yang berfungsi seperti sistem monosit-makrofag. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hepar, juga terdapat saluran empedu (Price dan Wilson, 2006).
2.3.1.a Lobulus Hepar Lobulus hepar sebagai kesatuan histologis berbentuk prisma poligonal, diameter 1-2 mm, penampang melintang tampak sebagai heksagonal dengan pusatnya vena sentralis dan sudut-sudut luar lobuli terdapat kanalis porta (Leeson et al ., 1996).
19
(a) Sistem asinus hati yang terdiri dari tiga zona, yaitu zona 1, zona 2, dan zona 3; (b) Sistem lobulus hati yang terdiri dari vena porta, arteri hepatika dan duktus empedu
Gambar 2.2 Sistem asinus hati dan lobulus hati (Sherlock dan Dooley, 2008).
Pembagian lobulus hepar sebagai unit fungsional dibagi menjadi 3 zona: 1.
Zona 1: zona aktif, sel-selnya paling dekat dengan pembuluh darah, akibatnya zona ini yang pertama kali dipengaruhi oleh perubahan darah yang masuk, disebut juga “ zone of permanent function”
2.
Zona 2: zona intermedia, sel-selnya memberi respon kedua terhadap perubahan dalam darah, disebut juga “intermediate zone”.
3.
Zona 3: zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila kebutuhan meningkat (Leeson et al ., 1996).
Secara fungsi zona 1 memiliki kemampuan untuk glukoneogenesis sedangkan zona 3 memiliki fungsi glikolisis. Glutation pada zona 1 lebih banyak daripada zona 3 sehingga zona 3 lebih meudah mengalami kerusakan. Sitokrom P450 lebih banyak pada zona 3 karena sebagai tempat untuk detoksifikasi beberapa obat seperti fenobarbital. Untuk oksigenasi pada zona 1 lebih banyak daripada zona 3 (Sherlock dan Dooley, 2008).
20
2.3.1.b Parenkim Sel-sel Hepar Parenkim hepar terdiri dari sel sel hepar atau hepatosit, yang tersusun radier, bertumpukan, dan membentuk lapisan sel yang tebal satu sama lain. Parenkim hepar tersusun dalam rangkaian lempeng-lempeng atau lembaran-lembaran cabang dan beranastomosis dengan bebas, membentuk struktur seperti busa. Celah di antara lempeng-lempeng tersebut mengandung sinusoid-sinusoid kapiler yang disebut sinusoid hepar. Hepatosit berbentuk poligonal, berukuran sekitar 20 - 35 µm dengan membran sel yang jelas. Inti sel bulat atau lonjong dengan permukaan teratur dan besarnya bervariasi antara sel yang satu dengan yang lainnya. Setiap inti mempunyai granula kromatin yang tampak jelas dan tersebar dengan satu atau lebih anak inti (Leeson et al ., ., 1996).
2.3.1.c Sinusoid Hepar Sinusoid hepar merupakan suatu pembuluh yang melebar tidak teratur dan hanya terdiri dari satu lapisan sel-sel sel-s el endotel yang tidak kontinyu. Sinusoid kapiler hepar mempunyai batas yang tidak sempurna dan memungkinkan pengaliran makromolekul dengan mudah dari lumen ke sel-sel hepar dan sebaliknya. Sinusoid dikelilingi dan disokong oleh selubung serabut retikuler halus yang penting untuk mempertahankan bentuknya (Juncqueira dan Carneiro, 2007).
2.3.1.d Kanalikuli Biliferus Kanalikuli biliferus merupakan celah tubuler yang hanya dibatasi oleh membran plasma hepatosit dan mempunyai sedikit mikrovili pada bagian dalamnya. Kanalikuli biliferus membentuk anastomosis yang kompleks di sepanjang lempeng-lempeng lobulus hepar dan berakhir dalam daerah porta. Oleh karena itu, empedu mengalir berlawanan arah dengan al iran darah, yaitu dari tengah te ngah ke tepi lobulus. Beberapa kanalikuli biliferus membentuk duktulus biliferus yang bermuara dalam duktus biliferus dalam segitiga porta. Duktus biliferus bersatu dan membentuk duktus hepar (Juncquiera dan Carneiro, 2007).
21
2.3.1.d Triad Portal Triad portal merupakan tempat-tempat di mana tiga atau lebih unit lobulus bertemu dimana terdapat akumulasi jaringan pengikat. Triad portal mengandung cabang dari vena porta, arteri hepatika, dan duktus biliferus (Juncquiera dan Carneiro, 2007).
2.3.2 Fisiologi Hati Hati adalah organ metabolik yang terbesar dan terpenting dalam tubuh. Hati tidak hanya berperan dalam sistem pencernaan dengan kemampuannya untuk mensekresi garam empedu yang membantu penyerapan lemak namun juga dapat berfungsi lain seperti mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa atau obat yang ada dalam tubuh, membentuk protein plasma, menyimpan glikogen dan zat besi, mengaktifkan vitamin D bersama-sama dengan ginjal, merusak sel darah tua yang sudah tidak berfungsi, dan meguraikan menjadi bilirubin. bi lirubin. (Sherwood, 2011) Disamping memiliki fungsi yang beragam hati juga memiliki fungsi regenerasi yang yang baik. baik. Daya Daya regenerasi hepar setelah mengalami trauma
atau
mendapat zat-zat toksik sangat tinggi (Leeson et al ., ., 1996). Pengaturan regenerasi hati ini dipegaruhi oleh hepatocyte growth factor (HGF) (HGF) yang merupakan factor penting dalam pertumbuhan hati. HGF dihasilkan bukan dari hepatosit melainkan mela inkan dihasilkan oleh sel- sel mesenkimal dan jaringan lain. Kehilangan jaringan hepar akibat kerja zat-zat toksik t oksik atau pembedahan memacu suatu mekanisme di mana selsel hepar mulai membelah dan hal ini terus berlangsung sampai perbaikan masa jaringan semula tercapai (Juncquiera dan Carneiro, 2007). Namun pada proses peradangan, fibrosis dan infeksi virus proses ini sangat terganggu terganggu karena fungsi hati memburuk (Arthur C. Guyton dan Hall, 2011).
2.4 Radikal Bebas
2.4.1 Definisi
22
Radikal bebas ( free radical ) merupakan suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, sehingga senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangannya (Winarsi, 2007). Diazinon dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan antioksidan tubuh sehinga dapat menyebabkan kerusakan organ. Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai spesies yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah apabila dua radikal bertemu maka elektron yang tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen (Halliwel, 1994) Radikal bebas adalah salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh yang sangat reaktif dan mengandung unpaired elekron pada orbital luarnya sehingga sebagaian besar radikal bebas bersifat tidak setabil. Radikal bebas berfungsi memberikan perlindungan tubuh terhadap serangan bakteri parasit, tetapi tidak langsung menyerang terhadap sel target, sehingga akan menyerang asam lemak tidak jenuh ganda dari membran sel, protein, dan DNA (Hariyatmi, 2004).
2.4.2 Klasifikasi Radikal Bebas Radikal bebas ditemukan baik melalui faktor eksogen maupun endogen serta mempengaruhi kehidupan sel. Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok ROS, termasuk didalamnya 1 adalah triplet (3O2), tunggal (singlet/ O2), anion superoksida (O2. ), radikal
hidroksil (-OH), (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksinitrit (ONOO), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H 2O2), radikal alkoxyl (LO-), dan radikal peroksil (LO-2) (Arief, 2003). Radikal bebas yang terdapat dalam tubuh manusia secara umum di bagi dua, yaitu radikal bebas endogen dan radikal bebas eksogen (Harliansyah, 2001). Radikal bebas endogen dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang dikatalisis oleh besi (Fe2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase, lipooksigenase, peroksidase, peroksidase, NADPH oksidase dan xantin oksidase (Tuminah, 2000). 2000). Oksigen Oksigen merupakan pereaksi
23
radikal yang bebas dan selektif, dengan bantuan enz im dalam tubuh oksigen dapat berubah menjadi Reaktive Oxigen Species ( ROS ), peristiwa ini berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses detoksifikasi yang melibatkan sitokrom P450 di hepar (Harliansyah, 2001). Radikal bebas eksogen merupakan radikal bebas yang berasal luar tubuh seperti berbagai polutan yang berada di lingkungan yaitu emisi kendaraan bermotor dan industri, asbes, asap rokok, radiasi ionisasi, infeksi bakteri, jamur, virus, obat nyamuk, serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi (Arif, 2007). Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik. Produksi radikal bebas dalam sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi terhadap rangsangan. Secara rutin yakni superoksida yang dihasilkan melalui aktifasi fagosit dan reaksi katalisa seperti ribonukleotida reduktase. Sedang pembentukan melalui rangsangan yakni kebocoran superoksida, hidrogen peroksida dan kelompok ROS lainnya pada saat bertemunya bakteri dengan fagosit teraktifasi. Pada keadaan normal sumber utama radikal bebas adalah kebocoran elektron yang terjadi dari rantai transport elektron, misalnya yang ada dalam mitokondria dan reticulum endoplasma dan molekul oksigen yang menghasilkan superoksida (Arief, 2003).
2.4.3 Efek Radikal Bebas Radikal bebas ini dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai biomolekul penting seperti enzim, DNA, dan juga merusak sel lainnya yang akhirnya dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Selain itu dapat pula terbentuk radikal baru dari atom atau molekul yang elektronya terambil untuk berpasangan dengan radikal bebas sebelumnya. Radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan dapat dihambat dengan penggunaan antioksidan (Ivanova et al., 2000).
24
Apabila ada ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana tingkat kelompok oksigen reaktif (ROS) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas yang akan bereaksi dengan lemak, protein, dan asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu (Arief, 2003).
2.5 Antioksidan
2.5.1 Definisi Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor ) kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya serta dapat memutus reaksi berantai radikal bebas, sedangkan dalam arti sempit antioksidan merupakan suatu senyawa yang mudah sekali teroksidasi dan dapat mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Ardiansyah, 2007). Winarsi (2007) menyebutkan, antioksidan secara biologi merupakan senyawa yang mampu meredam dampak negatif oksidan didalam tubuh, sehingga apabila antioksidan masuk kedalam tubuh mampu melindungi tubuh dari kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Dalam pengertian kimia antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron. Dalam pengertian biologis antioksidan merupakan molekul atau senyawa yang dapat meredam aktivitas radikal bebas dengan mencegah oksidasi sel, termasuk enzim-enzim dan protein- protein pengikat logam. Antioksidan dapat mencegah kerusakan DNA akibat reaksi oksidasi di dalam tubuh. Untuk dapat meredam radikal bebas sebenarnya tubuh sudah memiliki mekanisme pertahan sendiri yaitu dengan adanya antioksidan enzimatik seperti enzim SOD, enzim katalase, GPx, dan antioksidan non enzimatik. Selain yang telah ada dalam tubuh, antioksidan dapat juga berasal dari luar tubuh. Sumber-sumber antioksidan tersebut dapat ditemukan dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari (Sudaryanti, 1999).
25
2.5.2 Jenis-Jenis Antioksidan dan Mekanisme Kerja Antioksidan Favier (1999) dalam Magdalena (2002) menyebutkan, secara garis besar antioksidan dapat di bagi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan antioksidan nonenzimatis. Antioksidan enzimatis terdiri dari enzim-enzim yang dapat mengubah Reaksi Oxygen Species (ROS), molekul-molekul yang menghambat aktivitas enzim, dan molekul-molekul yang dapat menangkap ion metal merupakan katalis potensial dari reaksi radikal bebas, seperti: katalase, alluporino, dan lain-lain. Antioksidan non-enzimatis terdiri dari antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas secara langsung dan dipakai selama radikal bebas berlangsung, seperti Vitamin A, Vitamin B, Vitamin E, glutation, manitol, probucol, dan lain-lain (Favier, 1995 dalam Magdalena, 2002).
2.5.2.a Berdasarkan Mekanisme Kerja Winarsi (2007) menjelaskan, antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier.
2.5.2.a.1 Antioksidan Primer Antioksidan Primer merupakan senyawa yang mencegah terbentuknya radikal bebas yang baru, dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Kumalaningsih, 2007). Antioksidan primer meliputi enzim SOD, katalase, dan GPx. Enzim-enzim yang bekerja sebagai antioksidan akan menghambat
pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai
(polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil (Winarsi, 2007).
2.5.2.a.2 Antioksidan Sekunder
26
Antioksidan sekunder adalah senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar dengan cara mencegah terbentuknya senyawa oksigen reaktif pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya. Antioksidan sekunder meliputi antioksidan non enzimatis berupa vitamin E, vitamin C, betakaroten, dan lain-lain (Kumalaningsih, 2007). Antioksidan non enzimatis akan memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan menangkapnya, akibatnya radikal bebas tidak dapat bereaksi dengan komponen seluler (Winarsi, 2007).
2.5.2.a.3 Antioksidan Tersier Antioksidan tersier merupakan antioksidan yang berperan memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan tersier meliputi jenis enzim seperti metionin sulfoksidan reduktase yang mampu memperbaiki biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2003).
2.5.2.b Berdasarkan Sumber Antioksidan Hariyatmi (2004) menyebutkan, berdasarkan sumbernya antioksidan dibedakan menjadi antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen merupakan antioksidan yang diproduksi oleh tubuh berupa enzim, seperti enzim SOD, katalase, dan GPx. Enzim SOD terle tak di mitokondria membutuhkan Mn (mangan) sedangkan dalam sitosol bekerjanya enzim SOD memerlukan bantuan Cu (tembaga) dan Zn (seng), dengan demikian pengendalian tahap awal radikal bebas yang terbentuk pada tingkat awal memerlukan bantuan mineral, Mn, Cu, dan Zn (Mukono, 2005 dalam Faridah, 2008). GPx adalah enzim yang berperan dalam menghilangkan H2O2 dalam tubuh dan mempergunakannya untuk merubah Glutathione (GSH) menjadi Gluthathione Teroksidasi (GSSG), enzim ini berada di eritrosit mendukung aktivtas enzim SOD bersama-sama dengan enzim katalase dan menjaga konsentrasi oksigen akhir agar stabil dan tidak berubah menjadi
27
peroksidan (Arif, 2007). Enzim katalase berfungsi mendukung aktivitas SOD dan dapat mengkatalisasi berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air, enzim ini berada pada retikulum endoplasma dalam sel (Mukono, 2005 dalam Faridah, 2008). Antioksidan eksogen merupakan antioksidan alami yang berasal dari luar tubuh, diantaranya berasal dari buah-buahan, sayur sayuran dan rempah-rempah, seperti: vitamin E, flavonoid, senyawa fenolik, dan lain-lain. Vitamin E adalah substansi yang larut dalam lemak merupakan antioksidan utama dalam semua membran seluler dan melindungi asam lemak tak jenuh terhadap oksidasi, berbagai penelitian vitamin berfungsi mencegah penyakit pada hepar (Winarsi, 2007). Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam, senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat berwarna kuning yang ditemukan pada tumbuhan. Senyawa flavonoid ini umumnya memiliki sifat antioksidan sehingga mampu menghambat aktivitas karsinogen (Lenny, 2006). Senyawa fenolik merupakan antioksidan yang berperan dalam penghambatan karsinogenik dan menghambat poliferasi sel sehingga mampu menghambat perkembangan tumor setelah inisiasi melalui cell cycle arrest (Jenie et al., 2006).
2.6 Kedelai
2.6.1 Definisi Kedelai (Glycine max L. Merr) adalah tanaman semusim yang diusahakan pada musim kemarau, karena tidak memerlukan air dalam jumlah besar. Kedelai merupakan sumber protein, dan lemak, serta sebagai sumber vitamin A, E, K, dan beberapa jenis vitamin B dan mineral K, Fe, Zn, dan P. Kadar protein kacangkacangan berkisar antara 20-25%, sedangkan pada kedelai mencapai 40%. Kadar protein dalam produk kedelai bervariasi misalnya, tepung kedelai 50%, konsentrat protein kedelai 70% dan isolat protein kedelai 90% (Winarsi, 2010).
28
2.6.2 Taksonomi Kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill . Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabacaee (Polong-polongan)
Genus
: Glycine
Spesies
: Glycine max (L.) Merr
Gambar 2.3 Kedelai
2.6.3 Kandungan Menurut Aparicio et al. pada tahun 2008 kandungan protein kedelai cukup tinggi sehingga kedelai termasuk ke dalam lima bahan makanan yang mengandung berprotein tinggi. Kedelai mengandung air 9%, protein 40 %, lemak 18 %, serat 3.5 %, gula 7 % dan sekitar 18% zat lainnya. Selain itu, kandungan vitamin E
29
kedelai sebelum pengolahan cukup tinggi. Vitamin E merupakan vitamin larut lemak atau minyak. Kebutuhan protein kedelai sebesar 55 g per hari dapat dipenuhi dengan makanan yang berasal dari 157.14 g kedelai. Kandungan gizi biji kedelai disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kandungan gizi 100 g biji kedelai Kandungan Gizi
Karbohidrat kompleks (g) Karbohidrat sederhana (g) Stakiosa (g) Rafinosa (g) Protein (g) Lemak total (g) Lemak Jenuh (g) Monounsaturated Polyunsaturated Kalsium (mg) Fosfor (mg) Kalium (mg) Magnesium (mg) Seng (mg) Zat besi (mg) Serat tidak larut (g) Serat larut (g)
Jumlah
21.00 9.00 3.30 1.60 36.00 19.00 2.88 4.40 11.20 276.00 704.00 1797.00 280.00 4.80 16.00 10.00 7.00
Sumber: Aparicio et al. (2008) dalam Winarsi (2010)
Kedelai mengandung delapan asam amino penting yang rata-rata tinggi, kecuali metionin dan fenilalanin (Suprapto, 1993). Protein kedelai memiliki kandungan asam amino sulfur yang rendah.Metionin, sistein dan threonin merupakan asam amino sulfur dalam protein kedelai dengan jumlah terbatas (Winarsi, 2010). Kedelai mengandung sekitar 18-20% lemak. Kandungan asam amino protein kedelai disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kandungan asam amino kedelai kering per 100 g Asam Amino
Jumlah
30
Isoleusin (g) Leusin (g) Lisin (g) Fenilalanin (g) Metionin (g) Treonin (g) Triptopan (g) Valin (g) Arginin (g) Histidin (g) Alanin (g) Glisin (g) Prolin (g) Serin (g) Asam Aspartat (g) Asam Glutamat (g) Tirosin (g)
5.16 8.17 6.84 5.63 1.07 4.19 1.27 4.16 7.72 3.44 4.02 3.67 5.29 5.41 6.89 19.02 4.16
Sumber: Liu (1999) dalam Winarsi (2010)
Kandungan asam lemak jenuh kedelai utama terdiri dari asam linoleat dan linolenat. Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 35% hanya 12-14% saja yang dapat digunakan oleh tubuh secara biologis. Karbohidrat pada kedelai terdiri dari golongan oligosakarida yang terdiri dari sukrosa, stakiosa, dan rafinosa yang larut dalam air. Kedelai juga mengandung karbohidrat tidak larut air dan tidak dapat dicerna oleh tubuh. Jenis karbohidrat kedelai larut alkohol antara lain selulosa, pentose, galaktosa, rafinosa dan hemiselulosa (Koswara, 1992). Bagian yang dapat dicerna pada karbohidrat kedelai lebih sedikit dibandingkan bagian yang sulit dicerna (Suliantari dan Rahayu, 1990). Komposisi karbohidrat kedelai disajikan pada Tabel 2.5 Tabel 2.5 Komposisi karbohidrat kedelai Komponen
Sellulosa Hemisellulosa Stakiosa Raffinosa Sukrosa Gula-gula lain Sumber: Koswara (1992)
Jumlah (% biji utuh) 4 15 3.8 1.1 5 Sedikit
31
Selain mengandung protein yang tinggi kedelai me mpunyai potensi yang baik sebagai sumber mineral. Beberapa mineral yang terdapat pada kedelai antara lain adalah Fe, Na, K, Ca, P, Mg, S, Cu, Zn, Co, Mn dan Cl. Mineral yang terpenting diantara mineral- mineral tersebut adalah Fe karena selain jumlahnya cukup tinggi, yaitu sekitar 0.9 - 1.5%. Fe juga terdapat dalam bentuk yang langsung dapat digunakan untuk pembentukan hemoglobin darah (Suliantari dan Rahayu, 1990). Secara umum kedelai merupakan sumber vitamin B, karena kandungan vitamin B1, B2, nisin, piridoksin dan golongan vitamin B lainnya banyak terdapat di dalamnya. Vitamin lain yang terkandung dalam jumlah yang cukup banyak ialah vitamin E dan K. Vitamin A dan D terkandung dalam jumlah yang sedikit. Dalam kedelai muda terdapat vitamin C dengan kadar yang sangat rendah (Koswara, 1992).
2.6.4 Antioksidan pada Kedelai Kedelai mengandung berbagai nutrisi, diantaranya mengandung senyawa antinutrien
dan komponen lainnya, misalnya isoflavon yang memiliki efek
menguntungkan pada kesehatan serta berfungsi sebagai fitoestrogen, selain itu kedelai mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan serat. Senyawa antinutrient yang ada dalam kedelai diantaranya lectins, goitrogens, dan beberapa enzim penghambat (Fehily, 2003), sedangkan isoflavon dalam kedelai berupa genistin, daidzin, dan glycitin (Evans et al., 2011). Polifenol merupakan senyawa organik dengan satu atau lebih gugus hidroksil dalam cincin aromatiknya. Senyawa fenolik diklasifikasikan menjadi asam fenolik, flavonoid dan tannin. Asam fenolik terdiri dari dua grup hydroxycbezoid acid dan hydroxycinnamic acids. Sedangkan flavonoid merupakan fenolik yang paling banyak diteliti. Strukturnya memiliki beberapa gugus hidroksil dengan dua cincin karbon. Secara umum flavonoid memiliki struktur karbon yang memiliki dua cincin benzene yang dihubungkan dengan oksigen heterosiklik (Aytul, 2010). Flavonoid dibagi menjadi dua yaitu antosianin dan antoxantin. Antoxantin lebih tidak berwarna sedangkan antosianin lebih memiliki pigmen warna seperti
32
merah, biru maupun ungu. Flavonoid memiliki beberapa subgroup yaitu flavones (apigenin dan luteolin), flavonoles (quercetin, kaempferol, dan myrecetin), flavonoles, isoflavones (genistein dan daidzein). Tanin memiliki dua klasifikasi utama yaitu hydzolysable tannins yang memiliki pusat polyhidrilic alcohol seperti glukosa dan gugus hidroksil contohnya gallic acid (gallotannins) atau ellagic acid (ellagitannins). Condensed tannins merupakan turunan dari flavonol seperti catechin dan epicathecin (Aytul, 2010). Eugenol, carvacol, sequesterene, apigenin, isothymusin, rosameric acid, cirsilineol. Orietin, viscenin, dan rosamiric acid merupakan senyawa fenolik yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Senyawa ini bekerja melalui beberapa mekanisme, yang pertama sebagai hidrogen atom transfer (HAT) yaitu dengan mendonorkan atom hidrogen
dan single elektron transfer (SET) dengan
mentransfer elektron untuk mereduksi metal ion, radikal, dan carbonyls. Mekanisme melalui transfer hidrogen jika dalam jumlah yang banyak dapat menunda ataupun mencegah step inisiasi dengan bereaksi dengan lipid radikal atau secara langsung menghambat tahap propagasi dengan bereaksi pada peroxyl radikal atau radikal akoxyl (Aytul, 2010).
Tabel 2.6 Tahapan peroksidasi lipid dan antioksidan (Aytul, 2010)
Tahapan Inisiasi
Reaksi LH+ R • →L• + RH
Reaksi oleh antioksidan L• + AH→ LH + A• (SET)
Propagasi
L•+O2→ LOO• LOO•+ LH→ L•+ LOOH
LOO• + A• → LOOA (HAT) LOO• + AH → A• + LOOH (SET)
Terminasi
LO•+ LO• → produk non radikal LOO• + LOO• → produk non radikal LO• + LOO• → produk non radikal
-
Karotenoid dan vitamin C lebih hidrofilik dan mungkin lebih meredam efek radikal pada bahan seluler non-lipid. Thiols dan taurine merupakan senyawa
33
hidrofilik kuat yang bersifat memutus rantai radika l bebas dan menjaga protein dari gugus sulfhydryl. Beberapa berikatan dengan golongan metal dan membuatnya tidak bisa menghasilkan radikal bebas seperti pada reaksi fenton atau berikatan dengan membran sel membentuk peroksidasi lipid (Wright et al., 1994).
2.6.5 Manfaat Koswara (2006) menyebutkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari kedelai yang tinggi antioksidan adalah: 1.
Kandungan isoflavon dari kedelai sering dimanfaatkan untuk penanganan
gejala
menopause,
kanker
payudara,
penyakit
kardiovaskuler, osteoporosis, dan meningkatkan kinerja kognitif (Cassidy, 2004). 2.
Ekstrak isoflavon kedelai dapat menurunkan gejala hot flushes (yang merupakan
symptom pada saat menopause dan pasca menopause)
(Dog, 2005) hasil yang sama dalam penelitian dengan metode RCT diketahui isoflavon secara signifikan juga mereduksi gejala hot flushes dan secara statistika berbeda bermakna dibanding dengan placebo yang diberikan (Nahas et al , 2007). 3.
Isoflavon berupa genistein dan daidzein melindungi sel dari kerusakan akibat efek radikal bebas yang memicu penuaan dini. Isoflavon kedelai juga digunakan sebagai terapi pengganti hormon estrogen bagi wanita pasca menopause dan bersifat menjaga kekuatan tulang untuk mencegah terjadinya osteoporosis, selain itu isoflavon kedelai juga memiliki potensi untuk mengurangi oksidasi low density lipoprotein (LDL)
sehingga
mencegah
kerusakan/
timbulnya
penyakit
kardiovaskular (Brouns, 2002). 4.
Isoflavon dari kedelai sebagai suatu fitoestrogen digunakan untuk terapi pengganti hormon estrogen pada wanita dengan gejala menopause, mencegah terjadinya osteoporosis, serta menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah (Patisaul dan Jefferson, 2010; Yang et al., 2012)
34
5.
Mencegah osteoporosis pada wanita pasca menopause dengan cara mereduksi pengurangan massa tulang dan menjaga kekuatan tulang (Shedd-Wise et al., 2011) serta meningkatkan bone mineral density (Wei et al., 2012).
6.
Isoflavon dari kedelai yang dibuat menjadi sediaan vaginal gel 4% efektif untuk menghilangkan kekeringan vagina dan gejala dispareunia sehingga dapat digunakan untuk pengobatan atrofi vagina pada wanita pascamenopause (Lima et al., 2012).
7.
Isoflavon kedelai dengan dosis 100 mg dapat menurunkan kadar LDL dan total kolesterol, selain itu juga mereduksi gejala menopause seperti insomnia, nervousness/perasaan gugup, vertigo, palpitasi, sifat melankolis dan sakit kepala (Han et al., 2002)
8.
Kedelai dapat menurunkan resiko terjadinya kanker payudara dengan catatan dikonsumsi selama masa kanak-kanak dan atau remaja, dikarenakan pada masa itu isoflavon merangsang diferensiasi jaringan payudara sekaligus mengakibatkan penurunan struktur anatomis yang menimbulkan sel-sel kanker (Baber, 2012) sedangkan menurut Mourouti et al . (2013) efek perlindungan kedelai terhadap kanker payudara lebih banyak terjadi pada wanita Asia dan tidak begitu berpengaruh pada wanita Barat.
2.7 Tepung Kedelai
2.7.1 Definisi Tepung kedelai sering dikenal sebagai soyflour dan grit . Bahan tersebut biasanya mengandung 40-50% protein. Tepung kedelai terbuat dari kedelai yang diolah dan digiling atau ditumbuk menjadi bentuk tepung. Penggunaan panas dalam pengolahan diperlukan untuk peningkatan nilai gizi, daya tahan simpan dan meningkatkan rasa (Herman, 1985).
35
2.6.2 Kandungan Komposisi kimia tepung kedelai dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Komposisi kimia tepung kedelai dalam 100 gram Komposisi
Kandungan
Air %
4,87
Protein % N terlarut % N Amino % Lemak % Gula reduksi % Abu %
34,39 4,60 0,05 25,53 0,12 3,72
Nilai cerna protein
75,49
Sumber : Widodo (2001)
Bhagwat et al., pada tahun 2008 dalam jurnalnya “ USDA Database for the Isoflavone Content of Selected Foods” menjelaskan bahwa kandungan isoflavon pada kedelai yang diproses menjadi tepung ternyata lebih tinggi dibandingkan kedelai mentah (belum diproses). Kandungan isoflavon tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.8
Tabel 2.8 Kandungan Isoflavon pada tepung kedelai dan kedelai
36
2.7.2 Jenis Tepung Kedelai Mustakas et al., (1967), memperkenalkan proses pembuatan tepung kedelai skala rumahan yaitu biji kedelai direndam dalam air kemudian direbus dalam air sampai matang. Setelah itu, kedelai dikeringkan dengan sinar matahari. J ika kedelai kering dilanjutkan pengupasan kulit ari. Proses terakhir digiling hingga didapakan tepung
kedelai.
Proses
pemanasan
berupa
perebusan
bertujuan
untuk
menginaktifkan beberapa enzim, di samping untuk menghilangkan bau lungu (beany flavor). Bergantung pada penggunaanya, pemanasan dangan uap pada tahap tertentu dapat diatur sehingga menghasilkan tepung atau bubuk kedelai bebas minyak yang mempunyai nilai NSI ( Nitrogen Solubility Index) berbeda. Nilai NSI menunjukkan persentase total notrogen Kjehdahl yang terekstrak dengan air. beberapa contoh penggunaan tepung kedelai dengan NSI berbeda misalnya tepung kedelai dengan NSI 50-60 digunakan untuk campuran pembuatan r oti, cake, donat dan makaroni, sedangkan tepung kedelai dengan NSI 25-35 digunakan untuk minuman, pancake, waffle, dan makanan sapihan (Winarno, 1993). Berdasarkan kadar lemaknya menurut Mustakas tepung kedelai terdiri tiga kelompok yaitu tepung kedelai berlemak penuh (full fat soy flour), tepung kedelai berlemak rendah (low fat soy flour), dan tepung kedelai bebas lemak (defatted soy flour). 1.
Tepung kedelai berlemak penuh (full fat soy flour) Tepung kedelai dengan lemak penuh dibuat dari bahan baku kedelai utuh dan mengandung protein sebesar 40%. Menurut Hariyadi (1997),
37
proses pembuatan tepung ini cukup sulit untuk diayak dengan ukuran yang sangat halus. Hal ini karena mudahnya terjadi aglomerasi. Aglomerasi
ini
dapat
dicegah
dengan
menggunakan
sistem
penggilingan berulang (Hariyadi, 1997). 2.
Tepung kedelai berlemak rendah (low fat soy flour) Tepung kedelai jenis ini didapat dari proses pengepresan biji kedelai yang dikeluarkan kandungan minyaknya. Kemudian bungkil yang didapat diberi perlakuan panas, dikeringkan, digiling dan diayak. Kadar lemak secara umum pada tepung kedelai berlemak rendah yaitu 5% sampai 6% (Hariyadi, 1997).
3.
Tepung kedelai bebas lemak (defatted soy flour). Tepung kedelai ini dilakukan dengan penghilangan/ekstraksi lemak. Setelah didapatkan emping kedelai dilakukan penggilingan,pengayakan dandidapatkan tepung kedelai. Menurut standart identitas tepung kedelai mensyaratkan bahwa 97% harus lolos pada yakan 100 mesh (Hariyadi, 1997).
2.7.3 Metode Penepungan Penepungan adalah suatu proses penghancuran bahan pangan yang didahului proses pengeringan menjadi butiran-butiran yang sangat halus, kering dan tahan lama serta fleksibel (Asmarajati, 1999). Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan simpan, mudah dicampur (sebagai bahan kompoit), dan lebih cepat dimasak
sesuai tuntutan
kehidupan modern yang serba praktis (Damarjati et al., 2000). Secara umum terdapat dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan dalam produksi tepung yaitu metode basah dan kering. Pada metode basah proses penepungan dilakukan tahap perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan, sedangkan pada metode kering tidak dilakukan tahap perendaman (Suardi et al., 2002). Diantara dua metode tersebut metode basah merupakan metode yang lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih sering
38
digunakan dalam pembuatan tepung skala besar (Suprapto, 1998). Pembuatan tepung kedelai menurut Warisno dan Dahana (2010) menyatakan hal yang dilakukan yaitu 1.
Penyortiran biji kedelai yang akan digunakan pada pembuatan tepung kedelai. Proses ini untuk mendapatkan biji kedelai baik sehingga tepung yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik pula.
2.
Perendaman minimum selama 8 jam. Sebaiknya selama perendaman untuk 1 kg biji kedelai direndam dalam 3 liter air bersih. Setiap 2 -3 jam sekali air diganti. Perendaman dilakukan untuk memudahkan pengelupasan biji.
3.
Pencucian biji kedelai sambil diremas-remas agar kulit bijin ya terlepas.
4.
Perebusan biji kedelai selama 60 menit tiriskan dan biarkan sampai dingin.
5.
Biji kedelai hingga kering selam 2-3 hari pada panas matahari penuh. Selama penjemuran biji kedelai sering dibolak-balik agar kering sempurna. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan mengoven pada suhu 50oC selama 8 jam.
6.
Penggilingan biji kedelai hingga halus.
7.
Pengayakan menggunakan saringan 60 mesh. Hasil penyaringan berupa tepung kedelai yang siap digunakan dan kemas tepung kedelai agar tidak menyerap uap air.
Secara umum pembuatan tepung kedelai dimulai dengan cara merendam biji kedelai yang telah kering dalam air tanpa pemanasan. Biji kedelai yang telah direndam kemudian ditiriskan dan digiling halus sampai menjadi tepung kedelai, kemudian dikeringkan hingga diperoleh kadar air yang rendah (Ngantung, 2003).
2.8 Anatomi Hati Tikus
Hepar tikus terdiri dari empat lobus utama yang saling berhubungan di sebelah belakang. Lobus tengah dibagi menjadi kanan dan kiri oleh bifurcartio yang dalam. Lobus sebelah kiri tidak terbagi, sedangkan lobus sebelah kanan terbagi
39
secara horizontal menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus belakang terdiri dari dua lobus berbentuk daun yang berada di sebelah dorsal dan ventral dari oesophagus sebelah kurvatura dari lambung. Tikus tidak mempunyai kandung empedu. Struktur dan komponen hepar tikus sama dengan mamalia lainnya tersusun dari vena sentralis, sinusoid, dan hepatosit (Syahrizal, 2008). Setiap lobus mengandung kurang lebih satu juta lobulus yang dibentuk di sekitar vena sentralis yang bermuara ke dalam vena hepatika dan kemudian ke dalam vena cava (Arthur C. Guyton dan Hall, 2011). Lobulus terdiri dari sel hepar berbentuk heksagonal yang disebut hepatosit. Sel hepatosit merupakan unit struktural utama pada hepar, sel-sel ini berkelompok membentuk lempenganlempengan yang saling berhubungan, diantara sel hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid (Juncquiera dan Carneir o, 2007). Lobus hati tikus dibagi menjadi tiga zona yang terdiri dari zona 1, zona 2, dan zona 3 yang sama dengan area periportal, midzona dan centrilobular. Hepatosit di zona 1 dekat dengan pembuluh aferen yang mendapat suplai darah yang kaya akan nutrien, sedangkan zona 3 yang terdapat pada bagian ujung dari mikrosirkulasi menerima darah yang sudah mengalami pertukaran gas dan metabolit dari sel-sel zona 1 dan 2. Zona 3 selnya lebih sensitif daripada zona lainnya terhadap gangguan sirkulasi seperti iskemik, anoksia atau kongesti dan defisiensi nutrisi. Zona 2 merupakan daerah transisi antara zona 1 dan 3 yang mempunyai respon yang berbeda terhadap keadaan hemodinamik di dalam asinus dengan ditingkatkannya mikrosirkulasi (Hebel, 1989).
Gambar 2.3. Anatomi Sel Hepar Tikus (Charlotte, 2002)
40
Sinusoid dibatasi oleh dua jenis sel yaitu sel endotel dan sel kupffler yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing dalam darah (Arthur C. Guyton dan Hall, 2011). Hepar menerima semua hasil absorbsi usus melalui pembuluh darah balik (vena) yang akhirnya berkumpul dalam satu vena besar yang disebut vena porta hepatika. Vena porta hepatika berisi banyak nutrien dan xenobiotik yang berasal dari usus. Selain darah dari usus, hepar juga menerima darah balik dari ginjal dan tungkai bawah melalui arteri hepatika (Soemrat, 2003). Secara struktural organ hepar tersusun oleh hepatosit (sel parenkim hepar). Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hepar dalam metabolisme. Selsel tersebut terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel kuffer melapisi sinusoid hepar dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Saluran empedu mulai berperan sebagai kanalikuli yang kecil sekali yang dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktula, saluran empedu interlobular, dan saluran hepar yang lebih besar. Saluran hepar utama menghubungkan duktus kistik dari kandung empedu dan membentuk saluran empedu biasa, yang mengalir ke dalam duodenum (Lu, 1995).
2.9 Pemeriksaan Histopatologi
Hepar yang normal, tanpa jejas mempunyai parenkim yang tidak tumpang tindih satu sama lainnya dan mempunyai kapasitas regenerasi yang luar biasa. Regenerasi yang sukses bergantung pada tipe, derajat, dan lamanya jejas serta integritas dari jaringan yang tersisa. Beberapa jaringan, seperti pada kulit dan hepar relatif baik regenerasinya dibanding jaringan lainnya. Ketiadaan regenerasi, maka jaringan fungsional akan digantikan oleh jaringan fibrotik yang mengandung banyak kolagen (Philips, 1997). Respons hepar terhadap jejas dapat memberikan beberapa tampakan histologis yang melibatkan hepatosit, sel vaskuler, dan saluran empedu (Damjanov, 1996). Kerusakan sel hepar dapat terjadi akibat toksisitas obat, xenobiotik, dan stres oksidatif yang dapat menyebabkan kerusakan hepatoseluler (Jaeschke et al ., 2001). Kerusakan hepar dapat berupa perubahan yang reversibel dan irreversibel,
41
perubahan reversibel dapat berupa pembengkakan sel (degenerasi hidropik) dan perlemakan (steatosis), sedangkan perubahan irreversibel berupa nekrosis sel hepar (Kumar et al ., 2009). Pada sel yang mengalami perubahan yang reversibel, bila rangsangan yang menimbulkan kerusakan mereda dan dapat dikompensasi oleh sel hepar maka sel dapat kembali normal, namun bila kerusakan cukup berat dan terjadi dalam waktu yang lama maka akan menyebabkan terjadi kerusakan yang bersifat irreversibel berupa nekrosis (Kumar et al ., 2009). Secara umum mekanisme kerusakan sel hepar terjadi akibat rusaknya membran sel, gangguan sintesis protein, kerusakan deoxyribo nuclei acid (DNA) (Jaeschke et al ., 2001). Nekrosis sel hepar merupakan perubahan morfologi akibat degradasi progresif oleh enzim-enzim pada sel yang rusak, ditandai oleh perubahan dan destruksi nukleus (Kumar et al ., 2009). Perubahan tersebut dapat muncul dalam tiga pola yaitu kariolisis dimana tampak terjadi pemudaran kromatin, pola karioreksis dimana terjadi fregmentasi dari nukleus yang piknosis serta pola piknosis terjadinya penciutan sel dan peningkatan basofilia akibat pemadatan DNA menjadi massa yang solid (Kumar et al ., 2009). Kematian sel dan jaringan pada tubuh yang hidup disebut nekrosis. Secara mikroskopis jaringan nekrosis seluruhnya berwarna kemerahan dan tidak mengambil zat warna hematoksilin, sering pucat. Pada nekrosis kerusakan banyak terjadi pada inti, perubahan inti di antaranya adalah: 1)
Inti menyusut, batas tidak teratur.
2)
Inti tampak lebih padat, warnanya gelap hitam (piknotik).
3)
Inti terbagi-bagi atas fragmen-fragmen, robek (karioreksis).
4)
Inti tidak lagi mengambil zat warna, karena itu pucat dan tidak nyata (kariolisis) (Price dan Wilson, 2006).
Tampilan morfologik jaringan nekrosis bervariasi, tergantung pada hasil aktivitas litik di dalam jaringan mati. Umumnya perubahan-perubahan lisis yang terjadi pada semua bagian sel, tetapi perubahan pada inti sel adalah petunjuk paling jelas pada kematian sel (Price dan Wilson, 2006). Kerusakan-kerusakan pada hati meliputi:
42
2.9.1 Degenerasi Hidropik Fase ini ditandai dengan adanya vakuola-vakuola yang berisi zat yang menyerupai cairan dalam sel. Adanya vakuola membuat sitoplasma tidak terisi sempurna. Sel umumnya lebih besar, sinusoid hepar tampak lebih sempit bila dibandingkan dangan keadaan normal. Degenerasi ini bersifat reversibel (Himawan, 2003).
2.9.2 Degenerasi Lemak Degenerasi lemak ditandai dengan adanya vakuola lemak intrasitoplasmik yang disebabkan oleh gangguan metabolik dan defisiensi faktor-faktor lipolitik yang penting. Fase terakhir dari degenerasi lemak adalah sel hepar tampak berisi globuli lemak yang besar sehingga nukleus terdasak ke tepi sel (Damjanov, 2006).
2.9.3 Degenerasi Amiloid Penimbunan amiloid, suatu kompleks protein-karbohidrat, tampak dalam celah dissie. Biasanya ditemukan pada penyakit menahun seperti tuberkolosis (Himawan, 2003).
2.9.4 Degenerasi Bengkak Keruh Kerusakan hepar yang disebabkan oleh infeksi atau intoksikasi. Sel hepar bengkak dengan sitoplasma berbutir keruh, disebabkan oleh pengendapan protein yang disebabkan oleh gangguan metabolisme energi dalam sel yang membuat sel tidak mampu memompa natrium keluar dari sel sehingga terjadi perubahan morfologis yang disebut bengkak keruh (Himawan, 2003).
2.9.5 Degenerasi Glikogen
43
Dalam keadaan normal glikogen ditemukan dalam sitoplasma sel hepar. Penimbunan glikogen yang berlebihan terutama tampak pada diabetes melitus, penimbunan glikogen terutama dalam inti dan sedikit saja dalam sitoplasma. Secara biopsi kelihatan buih bergaris-garis halus, sedangkan pada autopsi kelihatan glikogen lisis setelah kematian berlangsung (Himawan, 2003).
2.9.6 Nekrosis Nekrosis adalah perubahan marfologi (kematian) sel hepar atau jarungan hepar diantara sel yang masih hidup. Tahapan nekrosis berkaitan dangan tepi perubahan inti. Perubahan itu adalah piknosis, karyoreksis dan karyolisis. Pada piknosis, inti sel menyusut dan tampak adanya “awan gelap”. “Awan gelap” ini dikarenakan kromatin yang memadat. Pada karyoreksi terjadi penghancuran inti dengan meninggalkan pecahan-pecahan yang terbesar didalam inti. Sedangkan pada saat karyolisis inti menjadi hilang (lisis) sehingga pada pengamatan tampak sebagai sel yang kosong (Price dan Wilson, 2006). Pada penelitian Juryyah (2008) secara umum pemberian formulasi insektisida yang berbahan aktif metofluthrin, d-phenothrin dan d-allethrin per oral menimbulkan efek patologis baik pada parenkim maupun interstisium hati. Perubahan yang ditemukan pada parenkim hati berupa degenerasi dan apoptosis, sedangkan pada interstisium terjadi kongesti. Insektisida golongan piretroid secara umum menyebabkan terjadinya degenerasi hidropis pada hati. Degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam sel (Jones et al , 2007). Paparan zat toksik menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Untuk mempertahankan kekonstanan lingkungan internalnya, suatu sel harus menggunakan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari sel (Price dan Wilson, 2006).
44
Degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia (Underwood 2002). Gangguan metabolisme sel biasanya didahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh (Rusmiati dan Lestari 2004). Pembengkakan tidak hanya terjadi pada endoplasmik retikulum dan mitokondria tetapi air juga mengumpul dalam rongga-rongga sel. Secara mikroskopik, tampak vakuol-vakuol yang jernih tersebar dalam sitoplasma. Kadang-kadang vakuol kecil-kecil bersatu membentuk vakuol lebih besar sehingga inti terdesak ke pinggir (Saleh, 2003). Degenerasi hidropis yang terjadi pasca pemberian formulasi insektisida cukup parah, vakuol yang terbentuk berupa vakuol kecil-kecil dan sedikit vakuol besar tetapi belum mendesak inti ke pinggir. Perubahan ini bersifat reversibel, yaitu jika rangsang yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, sel-sel akan kembali normal (Juhryyah, 2008). Apabila paparan zat toksik pada sel cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel akan mencapai suatu titik hingga sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melanjutkan metabolisme. Perubahan yang reversibel akan menjadi irreversibel, yaitu terjadinya kematian sel. Proses kematian sel dapat terjadi secara apoptosis dan nekrosa. Kematian sel secara apoptosis berbeda dengan nekrosa yang umumnya terjadi akibat cedera pada sel. Nekrosa adalah proses pasif disintegrasi sel, sedangkan apoptosis adalah mekanisme proses aktif yang membutuhkan energi, dimana sel itu sendiri aktif berpartisipasi dalam proses destruksi (Riadi, 2006). Organ hepar dan ginjal tikus sama dengan mamalia lainnya, memiliki kapasitas yang tinggi dalam mengikat bahan kimia, sehingga bahan kimia lebih banyak terkonsentrasi pada organ hepar dan ginjal jika dibandingkan dengan organ lainnya, hal ini berhubungan dengan fungsi kedua hepar dan ginjal dalam mengeliminasi toksikan di dalam tubuh. Ginjal dan hepar memiliki kemampuan untuk mengeluarkan toksikan, akan tetapai organ hepar memiliki kapasitas yang lebih tinggi dalam proses biotransformasi toksikan (Mukono, 2005). Murray (2003) dalam Khotimah (2005) menyebutkan, sel hepar memiliki keterbatasan dalam mendetoksifikasi bahan toksik yang masuk ke dalam tubuh,
45
sehingga tidak semua bahan yang masuk didetoksifikasi dengan sempurna, tetapi ditimbun di dalam darah dan dapat menimbulkan berbagai kerusakan pada sel hepar, diantaranya: terjadinya perlemakan sel hepar (steatosis ), nekrosis hepar, dan sirosis. Perlemakan sel hepar diakibatkan oleh terbentuknya radikal bebas di dalam hepar yang menyebabkan peroksidasi lemak dalam membran sel. Mitokondria terserang dan melepaskan ribosom dari retikulum endoplasmik sehingga pemasokan energi yang diperlukan untuk memelihara fungsi dan struktur retikulum endoplasmik terhenti, sintesis protein menjadi menurun, sel kehilangan daya untuk mengeluarkan trigliserida, dan terjadi degenerasi perlemakan (Koeman, 1987). Nekrosis hepar merupakan kematian hepatosit yang di akibatkan oleh bahan toksik seperti karbon tetraklorida (CCL4) dan lainnya. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma, secara morfologik terjadinya edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, dilatasi polisom, dan akumulasi trigliserid sebagai putiran lemak dalam sel. Kematian sel juga memperlihatkan terjadinya pembengkakan mitokondria, pembengkakan sitoplasma, hancurnya organel beserta inti dan pecahnya membran plasma, meskipun terjadinya kematian sel tapi tidak selalu bersifat kritis karena hepar memiliki kapasitas pertumbuhan kembali (Frack, 1995). Sirosis hepar diakibatkan oleh terjadinya nekrosis sel tunggal yang tidak mengalami pemulihan sehingga menyebabkan terjadinya aktivitas fibroblastik dan pembentukan jaringan perut akibat kurangnya aliran darah ke hepar. Sirosis pada sel hepar ditandai dengan munculnya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hepar (Frack, 1995).
46
2.10 Kerangka Teori
Diazinon
Di metabolisme di hati
Diazoxon Penurunan GSH intraseluler di hepatosit
Tepung Kedelai
Stress oksidatif
Radikal bebas tidak stabil dan cenderung mencari pasangan elektron
Berikatan dengan elektron dari asam lemak tidak jenuh pada membran hepatosit
Isoflavon Daidzein dan Genistein
Donor hidrogen dan elektron
Peroksidasi lipid
Kerusakan hepatosit
Gambar 2.4 Kerangka teori
Diazinon merupakan pestisida golongan organofosfat yang dirubah menjadi metabolit reaktif oleh enzim N-asetyltransferase menjadi diazoxon. Diazoxon merupakan bahan toksik yang ada di hati dan menyebabkan reaksi stres oksidatif. Diazoxon ini akan berikatan dengan gugus sulfhydril yang ada di GSH sehingga GSH akan berkurang. Berkurangnya GSH yang merupakan antioksidan alami dalam tubuh menyebabkan stress oksidatif.
47
Radikal bebas akan menginduksi terjadinya peroksidasi lipid. Proses radikal bebas yang mencari pasangan dengan Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA). PUFA adalah proses peroksidasi lipid. PUFA akan mengalami fragmentasi sehingga membran sel hati menjadi hancur. Isoflavon yang ada dalam tepung kedelai merupakan antioksidan yang dapat mencegah terjadinya peroksidasi lipid yang terjadi pada membran sel hati dengan cara mendonorkan elektron dan hidrogen sehingga terdapat perbaikan dari gambaran histopatologi sel-sel hati.
2.11 Kerangka Konsep Penelitian
Tepung Kedelai Diazinon
Isoflavon Daidzein dan Genistein Perbaikan Gambaran Histopatologi Sel Hati
: Menghambat
: Memicu
Gambar 2.5 Kerangka konsep penelitian
2.12 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pemberian tepung kedelai (Glycine max L.) memiliki pengaruh terhadap perbaikan gambaran histopatologi hati tikus yang diinduksi diazinon.
48
2. Terdapat dosis efektif terhadap perbaikan gambaran histopatologi hati tikus yang diinduksi diazinon.
49
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental sebenarnya (true experimental laboratories) dengan rancangan penelitian post test only control group design.
3.2 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian post test only control group design. Penilaian hanya dilakukan pada posttest yaitu setelah mendapat perlakuan berupa pemberian tepung kedelai. Hasil penelitian dibandingkan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Secara sistematis rancangan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
P
A
K 1
Pemberain normal saline
K 2
Induksi diazinon 40mg/kgBB per oral pada hari ke-36 selama 5 hari
R K 3
K 4
K 5
Pemberian tepung kedelai 15% oral pada hari ke-8 selama 28 hari Pemberian tepung kedelai 10% oral pada hari ke-8 selama 28 hari dan induksi diazinon pada hari ke-36 selama 5 hari Pemberian tepung kedelai 15% oral pada hari ke-8 selama 28 hari dan induksi diazinon pada hari ke-36 selama 5 hari
Gambar 3.1 Skema rancangan penelitian
Keterangan :
50
P
: Populasi
R
:
A
: Adaptasi hewan coba selama 7 hari
K 1 :
Randomisasi
Kelompok kontrol normal
K 2 : Kelompok kontrol positif K 3 : Kelompok perlakuan 1 K 4 : Kelompok perlakuan 2 K 5 : Kelompok perlakuan 3
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah tikus wistar jantan ( Rattus norvegicus) yang diperoleh dari peternak tikus yang ada di Malang. Terdapat kriteria inklusi dan ekslusi yang bertujuan untuk menentukan dapat tidaknya sampel tersebut digunakan. Kriteria inklusi sampel penelitian meliputi tikus wistar jantan ( Rattus norvegicus), tikus sehat (bergerak aktif), usia ± 3 bulan dengan berat 100-200 g. Sedangkan kriteria ekslusi meliputi tikus yang sakit terutama dengan gejala hepatitis (mual, muntah, dan tidak mau makan) dan mati sebelum proses randomisasi. Sampel yang digunakan pada penelitian ini diambil dengan teknik random sederhana ( simple random sampling ) dari populasi tikus yang kemudian akan dibagi menjadi 5 kelompok. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Federer, yaitu: (t-1) (r-1) ≥ 15 (t-1) (r-1) ≥ 15 (5-1) (r-1) ≥ 15 4 (r-1) ≥ 15 r ≥ 4,75 ≈ 5 Pada rumus tersebut, t adalah jumlah perlakuan dan r adalah banyaknya replikasi setiap kelompok perlakuan. Jadi sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 ekor tikus untuk 5 kelompok sehingga jumlah sampel yang digunakan adalah 25 ekor tikus.
51
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di tiga tempat, yaitu di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember untuk pemeliharaan tikus, Laboratorium Biologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember untuk pembuatan tepung kedelai dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember untuk pemeriksaan histopatologi hati tikus. Waktu pelaksanaan adalah bulan Juli 2017.
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis tepung kedelai (Glycine max) pada tikus wistar jantan ( Rattus norvegicus).
3.5.2 Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah gambaran histopatologi hati tikus wistar jantan ( Rattus norvegicus)
3.5.3 Variabel Terkendali: Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah: 1. Usia hewan coba 2. Jenis kelamin tikus 3. Berat badan tikus 4. Pemeliharaan dan perlakuan tikus 5. Waktu dan lama perlakuan tikus 6. Dosis dan frekuensi pemberian diazinon
3.6 Definisi Operasional
52
3.6.1 Tepung Kedelai Tepung kedelai adalah hasil pengolahan kedelai yang dikeringkan dan diproses hingga menjadi bentuk tepung. Metode yang digunakan dalam pembuatan tepung kedelai yaitu penyortiran biji kedelai, perendaman, perebusan, pengeringan, kemudian dilanjutkan penggilingan dan pengayakan. Tepung kedelai yang diberikan kepada tikus setiap hari selama 7 hari dengan dosis 10% dan 15%, dan diberikan 2 jam sebelum induksi diazinon selama 5 hari. Tepung kedelai akan dilarutkan ke corn oil dan diberikan pada tikus secara peroral ( force feeding ) dengan teknik sonde.
3.6.2 Gambaran Histopatologi Hati Tikus Gambaran histopatologi hati adalah gambaran perubahan histopatologi dari hati dimana dalam penelitian ini menggunakan hepar tikus wistar jantan. Kerusakan sel yang diamati meliputi adanya degenerasi melemak (vakuolisasi) dan nekrosis yang dipulas oleh pewarnaan Hematoksilin-Eosin dan diamati di bawah mikroskop masing-masing pada 5 lapang pandang mikroskopik. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dilakukan dengan pembesaran 100x kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 400x.
3.6.3 Dosis dan Frekuensi Pemberian Diazinon Diazinon adalah golongan insektisida jenis organofosfat yang digunakan untuk membunuh hama yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Dosis diazinon yang digunakan pada penelitian ini adalah 40mg/kgBB pada tikus secara peroral dan diberikan satu kali sehari selama 5 hari. Diaz inon yang digunakan dalam bentuk cairan 600g/l, yang didapatkan toko pertanian Pasar Tanjung, Jember. Diazinon dilarutkan dalam corn oil untuk mendapatkan dosis yang diinginkan.
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
53
3.7.1
Alat Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah a. Alat untuk pemeliharaan tikus adalah bak plastik, penutup kawat, tempat makan, botol minum, dan label. b. Alat untuk pembuatan tepung kedelai adalah ayakan 80 mesh, alatalat gelas, oven, Termometer, Colour Reader, Minolta Cr-10, sohxlet, tanur, dan neraca analitik. c. Alat untuk pemberian tepung kedelai adalah beaker glass, pengaduk, spuit sonde, dan handscoon. d. Alat untuk pemberian diazinon adalah beaker glass, pengaduk, spuit sonde, dan handscoon. e. Alat untuk mengambil hati tikus adalah papan fiksasi, scalpel, pisau bedah, dan handscoon.
3.7.2
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah a. Bahan untuk pemeliharaan tikus adalah makanan pellet, air, dan sekam. b. Bahan untuk tepung kedelai adalah kedelai lokal. c. Bahan untuk menyonde adalah diazinon, tepung kedelai, aquadest, corn oil , dan normal salin. d. Bahan untuk membuat sediaan histopatologi hepar adalah Buffer Neutral Formalin (BNF), Parafin, dan Hematoksilin Eosin
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Pemilihan Hewan Coba Jumlah hewan coba adalah 25 ekor tikus wistar jantan ( Rattus norvegicus) dibagi menjadi 5 kelompok secara randomisasi dengan kriteria tikus wistar jantan ( Rattus norvegicus), sehat (bergerak aktif), dan usia ±3 bulan.
54
3.8.2 Adaptasi Hewan Coba Sebelum penelitian dimulai, tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 7 hari di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru. Makanan pelet dan minuman yang diberikan secara ad libitum pada semua kandang.
3.8.3 Usia Tikus Ditentukan usia ±3 bulan karena pada usia tersebut hewan coba telah matur.
3.8.4 Jenis Kelamin Tikus Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan karena relatif lebih kuat dan tidak terganggu oleh kehamilan.
3.8.5 Berat Badan Tikus Berat badan hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100200 gram karena merupakan berat badan ideal dengan luas permukaan besar memudahkan tikus untuk beradaptasi.
3.8.6 Pemeliharaan dan Perlakuan Tikus Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba di sebuah kandang berukuran 45 x 30 x 20 cm dan beralaskan sekam kering. Pada kandang 7 kelompok hewan coba masing-masing berisi 4 ekor hewan coba dengan pemberian makanan pellet dan minuman berupa corn oil secara ad libitum pada semua kandang.
3.8.7 Waktu dan Lama Perlakuan Tikus
55
Perlakuan hewan coba dilakukan selama 15 hari setelah 7 hari diadaptasi. 3.8.8
Pembagian Kelompok Perlakuan Jumlah kelompok pada penelitian ini adalah 5 kelompok dengan masing-
masing kelompok terdiri dari 5 tikus. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Perlakuan Nama Kelompok Kelompok K 1 Kelompok K 2
Kelompok K 3 Kelompok K 4
Kelompok K 5
3.8.9
Perlakuan yang Diberikan Pemberian normal saline Pemberian diazinon 40mg/kgBB per oral pada hari ke15 selama 5 hari Pemberian tepung kedelai 15% per oral pada hari ke-8 selama 7 hari Pemberian diazinon 40mg/kgBB per oral pada hari ke15 selama 5 hari dan pemberian tepung kedelai 10% per oral pada hari ke-8 selama 7 hari dan diberikan 2 jam sebelum I pada hari ke-15 selama 5 hari Pemberian diazinon 40mg/kgBB per oral pada hari ke 15 selama 5 hari dan pemberian tepung kedelai 15% per oral pada hari ke-8 selama 7 hari dan diberikan 2 jam sebelum I pada hari ke-15 selama 5 hari
Pembuatan Tepung Kedelai Pembuatan tepung kedelai dilakukan dengan membeli tepung kedelai yang
diproses di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Adapun proses pembuatannya yakni dimulai dengan penyortiran biji kedelai yang akan digunakan pada pembuatan tepung kedelai. Penyortiran ini untuk mendapatkan biji kedelai baik, sehingga tepung yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik pula. Setelah proses penyortiran dilanjutkan dengan perendaman minimum selama 3 jam. Selama perendaman untuk 200 g biji kedelai direndam dalam 600 mL air bersih. Setiap 1 - 1,5 jam sekali air diganti, lalu ditiriskan kedelai. Setelah itu, dilakukan perebusan selama 5 menit. Kemudian dilanjutkan pengeringan menggunakan panas matahari selama 4 jam dan pengovenan pada suhu 50oC selama 24 jam. Setelah diperoleh kedelai yang kering, dilakukan penggilingan dan diayak menggunakan
56
ayakan 80 mesh dengan pengulangan dua kali agar diperoleh tepung kedelai yang lebih optimal (Hariyadi, 1997). 3.8.10 Penginduksian Diazinon Pada penelitian Ngabekti dan Isnaeni (2000) pemberian diazinon 40, 50, dan 60 mg/KgBB pada tikus selama 5 hari terbukti menyebabkan kongesti, piknosis, dan nekrosis. Diazinon dilarutkan dalam corn oil untuk mendapatkan dosis yang diinginkan. Diazinon memiliki kelarutan yang tinggi dalam lemak dan kelarutannya rendah dalam air sehingga perlu dilarutkan dalam corn oil untuk mendapatkan dosis induksi yang diinginkan (Moshiri, 2013)
3.8.11 Pemberian Tepung Kedelai Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ebuehi OA (2015), pemberian tepung gandum yang dicampurkan dengan tepung kedelai dengan perbandingan sebesar 90:10 selama 28 hari menghasilkan peningkatan kadar SOD, serum dan katalase, dan penurunan signifikan kadar MDA, ALT, AST, dan ALP. Penelitian ini diberikan dosis tepung kedelai sebanyak 10% dan 15 % melalui sonde lambung selama 28 hari setelah adaptasi selama 7 hari pada masingmasing kelompok. Tepung kedelai dilarutkan ke dalam corn oil dan diberikan pada kelompok perlakuan 3, 4, dan 5.
3.8.12 Pemeriksaan Histopatologi Hati 3.8.12.a Pembuatan dan Pewarnaan Histopatologi Hati Tikus 1. Tikus dikorbankan dengan cara dislokasi leher. Kemudian dilakukan
laparatomi untuk mengambil hati. 2. Darah heparin dibiarkan tiga puluh menit kemudian disentrifus
dengan kecepatan 3000 round per minuate (rpm) selama 10 menit kemudian diambil plasmanya. 3. Pemeriksaan histopatologis organ hati dilakukan untuk melihat
adanya tanda- tanda degenerasi dan nekrosis dengan menggunakan
57
metode Parafin dan menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Jaringan hati diambil, kemudian segera difiksasi dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF).
Dibuat sediaan dengan metode
parafin, lalu jaringan dipotong dengan mikrotom setebal 3 sampai 5 mikron, kemudian dilakukan pengecatan dengan hematoksilin eosin yang akan menyebabkan inti berwarna kebiruan dan sitoplasma berwarna merah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada 10 lapangan pandang untuk setiap sediaan (Swarayana, Sudira, & Berata, 2012).
3.8.12.b Pengamatan Preparat Histopatologi Hati Tikus Pengamatan awal gambaran hati tikus dilihat secara umum yang meliputi ada atau tidak respons dari sel inflamatori, sitoplasma keruh, granula meningkat, pembengkakan sel (blebbing ), vakuola lemak pada sitoplasma (microvesicular atau macrovesicular), inti sel terdesak ke tepi, ada atau tidak tanda kematian sel yaitu nekrosis (inti piknotik (memadat), fragmentasi inti sel serta hilangnya inti), dan/ tanda apoptosis pada zona 1, 2, 3, dan sistem asinus. Kemudian dilakukan penilaian dengan skala degenerasi dan nekrosis yang terdapat pada sediaan tersebut. Skala degenerasi dan nekrosis yaitu: 0 = tidak ada, 1 = 1% - 25%, 2 = 26%-50%, 3 = 51%75%, 4 = 76%-100% (Jawi, 2006).
3.9 Analisis Data
Seluruh data dianalisis secara komputerisasi dan dibantu dengan perangkat lunak berupa program statistik. Uji statistik penelitian ini menggunakan uji regresi dan korelasi karena jumlah perlakuan lebih dari 2 dan variabel penelitian ini bebas. Sebelum dilakukan uji tersebut, dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro Wilk karena jumlah sampel <50 dan uji Lavene untuk mengetahui homogenitas. Apabila data yang didapatkan terdistribusi normal dan homogen,
58
maka dilanjutkan dengan uji One Way Annova (p<0.05). Apabila data yang didapatkan terdistribusi tidak normal dan tidak homogen, maka dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis (p>0.05). Seluruh data selanjutnya dianalisis dengan menentukan kurva yang tepat untuk data penelitian ini dengan uji regresi. Kurva yang tepat dapat menghasilkan persamaan yang digunakan untuk menentukan dosis efektif tepung kedelai.
3.10 Uji Kelayakan Etik
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus yang dalam pelaksanaannya harus mendapat sertifikat kelayakan etik, sehingga perlu diajukan ke Komisi Etik Kedokteran, prosedur ini bertujuan untuk menjamin keamanan bagi peneliti maupun hewan coba, melindungi hewan coba, serta memperjelas tujuan dan kewajiban peneliti.
59
3.11 Alur Penelitian
3.11.1 Skema Pembuatan Tepung Kedelai Skema Pembuatan Tepung Kedelai Kedelai 200g
Sortasi
Air
Perendaman 8 jam Limbah cair
Penirisan
Perebusan/pemasakan 60 menit
Tanpa perebusan
Pengeringan dengan sun drying selama 2-3 hari atau oven 50 oC selama 8 jam
Penggilingan 2 kali Pengayakan (60 mesh)
Tepung
Gambar 3.2 Skema pembuatan tepung kedelai
60
3.11.2 Skema Perlakuan terhadap Hewan Coba H 1-7
Ada tasi tikus
H8
Randomisasi 25 ekor tikus
K 1
H 8-35 (28 hari)
H 36-40 (5 hari)
Normal saline
K 2
Normal saline
K 3
Tepung kedelai 15%
diinduksi diazinon 40mg/kgBB per oral
K 4
Tepung kedelai 10%
Tepung kedelai 15%
diinduksi diazinon 40mg/kgB B per oral
diinduksi diazinon 40mg/kgB B per oral
Pembedahan dan pengambilan hati
H 41
K 5
Pemeriksaan histopatologi hati
Analisis statistik
Gambar 3.3 Skema perlakuan terhadap hewan coba
61
DAFTAR PUSTAKA
Amine, A., Hasna, M., Ilhame, B., and Giuseppe, P. 2006. Enzyme inhibition based biosensors for food safety and environmental monitoring. Biosensors and Bioelectronics,1405 – 1423 https://doi.org/10.1016/j.bios.2005.07.012
Aparicio, I. Mateos, C. Mateos-Peinado, A. Jimenez-Escrig, P. Ruperez. 2010. Multifunctional Antioxidant Activity of Polysaccharide Fractions from The Soybean By Product Okara. Carbohydrate Polymers 82 (2010) 245-250.
Ardiansyah. 2007. Antioksidan dan Perannya bagi Kesehatan. Jepang: Tohoku University Sendai
Aribowo, F. P., Dewi, A., Sujoso, P., & Hartanti, R. I. 2016. Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Keracunan Akut Pestisida Organofosfat Pada Petani Jeruk (Studi Di Desa Umbulsari Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember) Determinant of Acute Organophospate Pesticide Intoxication Symptom At Orange Farmers
Arief, Sjamsul. 2010. Radikal Bebas. Artikel . Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/ RS. Dr. Soetomo.
Arthur C. Guyton, & Hall, J. E. 2011. Text Book of Medical Physiology (12th ed.). Philadelpia: Elsevier.
Asmarajati, T. 1999. Pengaruh Blanching dan Suplementasi Bekatul Terhadap Kualitas Cookies. Skripsi. Purwokerto. Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.
Astuti DW. 2010. Cepat Tuntas Kuasai Kimia. Jakarta: Galang Press Group.
Aytul K, K. 2010. Antimicrobial and Antioxidant Activities of Olive Leaf Extract and Its Food Applications. Thesis. Turki: Graduate School od Engineering and Sciences of Izmir Institute of Technology.
62
Azmi, M. A., Naqvi, S. N. H., Azmi, M. A., & Aslam, M. 2006. Effect of Pesticide Residues on Health And Different Enzyme Levels In The Blood Of Farm Workers from Gadap (Rural Area) Karachi-Pakistan. Chemosphere, 64(10), 1739 – 1744. https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.2006.01.016
Baber, R. J. 2012. Chapter I. Phytoestrogen in Health: The Role of Isoflavones. North Shore Private Hospital. Australia.
Bates, N., & Campbell, A. 2008. Organophosphate Insecticides. Handbook of Poisoning in Dogs and Cats, 199 – 204. https://doi.org/10.1002/9780470699010.ch50
Bhagwat, S., Haytowitz, DB, and Holden, JM. 2008. USDA Database for the Isoflavone Content of Selected Foods, Release 2.0. U.S. Department of Agriculture. Agricultural Research Service. Nutrient Data Laboratory.
Bhagwat, S. A., Willis, K. J., Birks, H. J. B., & Whittaker, R. J. (n.d.). 2008. Agroforestry : a refuge for tropical biodiversity ? https://doi.org/10.1016/j.tree.2008.01.005
Brounds, Fred. 2002. Soya Isofalvones: A New and Promising Ingredients for the Health Foods Sector. Food Research International. Vol. 35.
Budiyanto, Arif, dkk. 1999. Ilmu Kedokteran Forensik . Jakarta: Bagian Kedokteran. Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Cassidy, Aedin. 2004. Phytoestrogen and Women’s Health. The Medicine Publishing Company.
Charlotte, L., dan Ownby. 2002. Micrographs Of Pig Liver. http://instruction.cvhs.okstate.edu/histology/HistologyReference/hrd2.htm [Diaskes pada 27 Maret 2017]
Christensen, W.A., James, W.O., Brewer, R.L., Prucha, J.C, Williams, W.O, Thaller, A.M., Hogue, A.T. 1992. Effect of Chlorination of Chill Water on the Bacteriologic Profile of Raw Chicken Carcases and Giblets. J. Am. Vet. Med. Assoc. 200, 60-63
63
Damardjati, D. S., Marwoto, D. K. S. Swas tika D. M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005. Prospek dan Arah pengembangan Agribisnis Kedelai . Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Damjanov, I., dan McCue, P. A. 2000. Histopathology A Color Atlas and Textbook. Penerjemah: Brahm, U. P. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi.Jakarta: Penerbit Widya Medika.
Damjanov, I., Linder, J. 2006. Anderson’s Pathology. 12th E dition. Missouri: Mosby.
Damodar, D., DSouza, U., & Bhat, S. 2015. Protective Role of Vitamin E: on Diazinon-induced Hepatotoxicity by Biochemical and Histological Alterations in Wistar rats. National Journal of Physiology, Pharmacy and Pharmacology, 5(5), 398. https://doi.org/10.5455/njppp.2015.5.2306201569
Dog, T. L. 2005. Menopause: A Review of Botanical Dietary Supplements. The American Journal of Medicine. Vol. 118 (12B).
Ebuehi, O. A., dan Okafor, H. K. 2015. Defatted Soy Fluor Supplementation of Wheat Bread ameliorates Blood Stress in Wistar rats. Nig Q J Hosp Med. 25(3): 156-63
Evans, W. J. 2000. Vitamin E, Vitamin C, and Exercise . Am J Clin Nutr . (72): 647:52.
Evans, J., Elliott, G. Sharma P., Berman, R., Guthrie, N. 2011. The Effects of Synthetic Genistein on Menopause Symptoms Management In Healthy Postmenopausal Women: A Multi-Center, Randomized, Placebo-Controlled Study. Maturitas. Vol. 68.
Faridah, Hanum. 2008. Pengaruh Pemberian Buah Pepaya ( Carica papaya L) Terhadap Anatomi Alveolus Paru-Paru Mencit ( Mus musculus) yang di Inhalasi CCL4 (Karbon Tetrakloria). Skripsi. Tidak di Publikasikan. Malang. Jurusan Biologi UIN MALIKI Malang .
64
Fehily, A. M. 2003. Dietary Importances, SOY (SOYA) BEANS/ Dietary Importance. Elsevier Science Ltd.
Funaki, A., Waki, T., Noguchi, A., Kawai, Y., Yamashita, S., Takahashi, S., & Nakayama, T. 2015. Identification of a Highly Specific Isoflavone 7-Oglucosyltransferase in the soybean (Glycine max (L.) Merr.). Plant & Cell Physiology, 56 (8), 1512 – 20. https://doi.org/10.1093/pcp/pcv072
Gagnon, M. 2001. Diazinon. George Washington University School of Public Health. PubH 243.
Gokcimen, A., Gulle, K., Demirin, H., Bayram, D., Kocak, A., & Altuntas, I. 2007. Effects of diazinon at different doses on rat liver and pancreas tissues. Pesticide Biochemistry and Physiology, 87 (2), 103 – 108. https://doi.org/10.1016/j.pestbp.2006.06.011
Goldberg S. 2000. Clinical Biochemistry Made Ridiculously Simple, McGraw-Hill International.
Halliwell, B. and Gutteridge, J. M. C. 2007. Free Radicals in Biology and Medicine. Oxford: Oxford University Press dalam Henry, J . 2014. Advances in Food and Nutrition Research. Volume 71-Academic Press.
Han, K. K., Soare, J. M., Haidar, M. A., de Lima, G. R, Baracat, E. C. 2002. Benefits of Soy Isoflavone Therapeutic Regimen on Menopausal Symptoms. The American College of Obstetricians and Gynecologist.
Hariyadi, P. 1997. Produk Ekstrudat, Flakes, dan Tepung Kedelai. Makalah Pelatihan Sehari Menuju Industri Makanan Berbasis Kedelai. Surabaya, 31 Maret.
Hariyatmi. 2004. Kemampuan Vitamin E sebagai Antioksidan dan Terhadap Radikal Bebas Pada Usia Lanjut. Journal MIPA. 14 (1) : 52-59
Harliansyah. 2001. Menguyah Halia Menyah Penyakit. Jurnal Penelitian Malaysia. UKM Malaysia. 12: 45-57.
65
Hebel R. & Stromberg MW. 1989. Anatomy of The Laboratory Rat . Baltimore: The William & Wilin Company.
Herman, A.S., 1985. Prinsip dasar Pembuatan dan Pengawasan Mutu Tahu . Bogor: BPPIHP
Himawan. 2003. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Anatomi Patologi. Depok: FK UI
Ivanova E, Ivanov B. 2000. Mechanism of the Extracellular Antioxidant Defend . Exp Pathol and Parasitol. 4: 49-59
Jaeschke H., Ho Y.S., Fisher M.A., Lawson J.A., Farhood A. 1999. Reactive oxygen and inflammatory liver injury. In E.Weiss, D.L.Knook, R.Fraser: Cell of the hepatic sinusoid. Leiden: Kupffer Cell Foundation. Vol 7 p.211 – 15.
Jaga, Kushik & Dharmani, Chandrabhan. Sources of Exposure to and Public Healt h Implications of Organophosphate Pesticides in: Rev Panam Salud Publica/Pan AmJ Public Health. Vol 14(3). 2003.
Jawi I M, Suprapta D N, Sutirtayasa I WP. 2007. Efek Antioksidan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu ( Ipomoea Batatas L) Terhadap Hati Setelah Aktifitas Fisik Maksimal dengan Melihat Kadar AST dan ALT Darah pada Mencit. Dexa Media. 2007; 20 (3).
Jenie, Riris Istighfari. 2006. Efek Antiangiogenik Ekstrak Etanolik Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) Pada Membran Korio Alantois (CAM) Embrio Ayam. Majalah Farmasi 17: 50-55.
Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2007. Veterinary Pathology. 6th ed. Baltimore: Blackwell Publishing.
Junquiera LC and Carneiro J, 2007. Histologi Dasar, Penerjemah. A Dharma, Jakarta: EGC, Hal. 318-331
Juhryyah S. 2008. Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Tikus pada
66
Intoksikasi Akut Insektisida (Metofluthrin, D-Phenothrin, D-Allethrin) dengan Dosis Bertingkat . Skripsi. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Kalender, S., Ogutcu, A., Uzunhisarcikli, M., Açikgoz, F., Durak, D., Ulusoy, Y., & Kalender, Y. 2005. Diazinon-Induced Hepatotoxicity and Protective Effect Of Vitamin E on Some Biochemical Indices and Ultrastructural Changes. Toxicology, 211(3), 197 – 206. https://doi.org/10.1016/j.tox.2005.03.007
Khan, Tajdar Husain. 2012. Soy Diet Diminish Oxidative and Early Promotional Events Induced by CCl 4 in Rat Liver. International Journal of Pharmacology 8 (1): 30-38. https://doi.org/10.3923/ijp.2012.30.38
Khotimah, Siti. 2005. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jinten Hitam Terhadap Kadar GSH Paru dan GSH Hepar Tikus Wistar yang Di Papar Asap Rokok. Penelitian Eksperimental Laboratorium. Surabaya: Program Paskasarjana UNAIR.
Komisi Pestisida. 2014. Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan Beredar TA. 2014 Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian.
Koeman, J.H. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Yogyakarta: UGM Press.
Koswara, S. 2006. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta: Sinar Harapan
Kumalaningsih, S. 2007. Antioksidan, Sumber & Manfaatnya. Antioxidant Center http://antioxidan-center.com/index.ph/Antioksidan/3Antioksi [Diakses pada 27 Maret 2017]
Kumar, S., & Pandey, A. K. (2013). Chemistry and Biological Activities of Flavonoids : An Overview, 2013.
Kumar V, Abbas A. K and Fauso N, 2009. Adaptasi, Cedera dan Kematian Sel, dalam Robbins and Cotran: Dasar Patologi Penyakit, 7 th ED, Jakarta: EGC.
Leeson Thomas S, Leeson C. Roland, Paparo Anthony A. 1996. Buku Ajar
67
Histologi Edisi Kelima. Jakarta: EGC
Lenny, Sovia. 2006. Senyawa Flavoida, Feniproponoida dan Alkaloida. Karya Ilmiah Medan. Departemen Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra.
Lima, S. M. R. R., Yamada, S. S., Reis, B. F., Postigo, S., da Silva M. A.G., Aoki, T. 2013. Effective Treatment of Vaginal Atrophy with Isoflavone Vaginal Gel. Maturitas. Vol. 74.
Liu, C.L., Wang, J.M., Chu, C.Y., Cheng, M.T., Tseng, T.H. 2002. In vivo Protective Effect of Protocatechuic Acid on Tert-butyl hydroperoxide- Induced Rat Hepatotoxicity. Food Chem. Toxicol 40: 635-641.
Lu CF. 1995. Toksikologi Dasar, Ed 2. Jakarta: UI Press.
Magdalena, Maria. 2002. Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran ( Phyllanthus niruri Linn) Terhadap Petanda Kerusakan Hepatoseluler Tikus Strain Wistar Yang Diinduksi Dengan Carbon Tetraclorida. Skripsi tidak di publikasikan. Malang. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Ma, X., Jiang, Z., Zhang, J., & Hu, Y. (2015). Isoflavone Ameliorates H 2 O 2 Induced Injury by Activating the Antioxidant System of Sow Mammar y Gland Cell, (November), 571 – 580.
Menkes RI. 1992. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 258 Tahun 1992 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida
Mouroti, N., Panagiotakos, D.B. 2013. Soy Food Consumptions and Breast Cancer. Maturitas. Vol. 76.
Moshiri, Mohammad., Vahabzadesh, M., Etemad, L., dan Hossei nzadesh, Hossein. 2013. Failure of Intravenous Lipid Emulsion to Reduce Diazinon-induced Acute Toxicity: a Pilot Study in Rats. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. 4: 897-902
68
Mukono. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., and Rodwell V.W. 2000. Biokimia Harper. Edisi 25.Jakarta :EGC. hal: 609-612.
Mustakas, G.C., Albrecht, W.J. dan Bookwalter, G.N. 1972. Production of Vegetable Protein Beverage Base. Dalam Liu, K.S. 1997. Soybeans (Chemistry, Technology, and Utilization).New York: Chapman and Hall
Nahas, E. A. P., Nahas-Neto, J., Orsatti, F. L., Carvalho, E. P., Oliveira, M. L. C. S., Dias, R. 2007. Efficacy and Safety of Soy Isoflavone Extract in Postmenopausal Women: A Randomized, Double-Blind, and PlaceboControlled Study. Maturitas. Vol. 58.
Ngabekti, S. 1998. Residu Pestisida pada Sayuran yang dipasarkan di Kodya Semarang. Laporan Penelitian. IKIP Semarang.
Ngabekti, S. dan Isnaeni, W. 2000. Pemanfaatan Kurkumin untuk Mengeliminir Pengaruh Diazinon terhadap Kerusakan Hati Mencit ( Mus musculus L.). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 1(7): 24-34.
Ngantung, M. 2003. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai Pada Tepung Terigu Terhadap Nilai Gizi Mie Basah Yang Dihasilkan. J Sains & Teknologi. 3(3):110-118.
Patisaul, H. B., Jefferson, W. 2010. The Pros and Cons of Phytoestrogens. Frontiers in Neuroendocrinology. Vol. 31.
Phillips, R.W., Baum, L., , dan Lund, M.R. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi. EGC: Penerbit Buku Kedokteran.
Pramono CSU, 2005. Penggunaan Hewan-Hewan Coba Di Laboratorium . Institut Pertanian Bogor
Price,S.A and Wilson, L.M. 2006. Patofisologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
69
Jakarta: EGC. Hal: 20-23
Radiati. Nabat. P. Frack. 2003. Pengaruh Ekstrak Diklorometan Jahe ( Zingiber Officinale Roscoe) Terhadap Pengikatan Toksin Kolera B-Subunit Conjugasi (FITC) Pada Reseptor Sel Hibridoma LV dan Caco-2. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 16: 58-67.
Riadi D. 2006. Apoptosis Pada Cedera Otak Traumatika. Simposium: Apoptosis Charming to Death. Jakarta. http://www.neuroonkologi.com/articles/Apotosis_pada_cedera_otak_trau matik.pdf [Diakses tanggal 28 April 2017].
Rusmiati, Lestari A . 2004. Struktur histologis organ hepar dan ren mencit ( Mus Musculus L) jantan setelah perlakuan dengan ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L). Vol 1. No 1.
Saleh S, 2003. Patologi Umum. Di dalam: Himawan, editor. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Services, H. (2008). TOXICOLOGICAL PROFILE FOR, (September).
Sherlock, Sheila dan J. D., Dooley. 2008. Disease of Live and Billiary System. London: Blackwell Scientific Publication. Shedd-Wise, K. M., Alekel, D. L., Hofmann, H., Hanson, K. B., Schiferl, D. J., Hanson, L. N., Van Loan, M. D. 2011. The Soy Isoflavones for Reducing Bone Loss Study: 3-Yr Effects on pQCT Bone Mineral Density and Strength Measure in Postmenopausal Women. Journal of Clinical Densitometry: Assessments of Skeletal Health. Vol. 14.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.
Soemrat, Juli. 2003. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta. UGM Press.
Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta:
70
Kanisius
Sudaryanti. 1999. Proceeding of The National Conference on River Health Bioassesment. Malang: Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya.
Suliantari dan Rahayu, W. P. 1990 . Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Bijibijian. Bahan Pengajar Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Insititut Pertanian Bogor.
Sumner, M. E., Miller W.P., H. F. Perjins, D.E. Radcliffe, J. Scifres, J. Kim, dan S.C. Chang. 1998. Use for Gypsum to Improve Physical Properties and Water Relations in Southeastern Soils University of Georgia Research Foundation.
Suprapto, H. S. 1999. Bertanam Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Swarayana I.M.I., Sudira I.W., Berata I.K., 2012. Perubahan Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus) yang Diberikan Ekstrak Daun Ashitaba (Angelica keiskei). Buletin Veteriner Udayana. 4 (2): 119-125.
Syahrizal, Deddy. 2008. Pengaruh Proteksi Vitamin C Terhadap Enzim Transaminase dan Gambaran Histopatologis Hati Mencit yang Dipapar Plumbum. Tesis Tidak Diterbitkan. Medan. Sekolah Pascasarjana Biomedik.
Tim Perumus. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: Jember University Press.
Teimori, F, et al . 2006. Alteration of Hepatic Cells Glucose Metabolism as a Noncholinergic Detoxication Mechanism in Counteracting Induced Oxidative Stress. In: Human & Experimental Toxicology. Vol.25. p.697-70. Available at: www.sagepublications.com. [Diakses pada 27 Maret 2017]
Tuminah, Sulistyowati. 2000. Radikal Bebas dan Antioksidan: Kaitannya dengan Nutrisi dan Penyakit Kronis. Cermin Dunia Kedokteran. 128: 49-51
Underwood JCE. 2002. General and Systemic Pathology. United Kingdom:
71
Churchill Livingstone.
Waki, T., Yoo, D., Fujin o, N., Mameda, R., Denessiouk, K., Yamashita, S., … Nakayama, T. (2016). Biochemical and Biophysical Research Communications Identi fi cation of protein e protein interactions of iso fl avonoid biosynthetic enzymes with 2-hydroxyiso fl avanone synthase in soybean ( Glycine max ( L .) Merr .), 469, 546 – 551. https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2015.12.038
Warisno dan Kres, Dahana. 2010. Meraup Untung dari Olahan Kedelai. Jakarta: PT Agro Media Pustaka.
Wei, P., Liu, M., Chen, D. C., 2012. Systematic Review of Soy Isoflavone Supplements on Osteoporosis in Woman. Asian Pacific Journal of Densitometry.
World Health Organization (WHO). 2010. Pesticide Evaluation Scheme 50 Years Of Global Leadership. Who/Htm/Ntd/Whopes/2010.2, 68.
Widodo, S. 2001. Pengaruh Suhu dan Lama Perkecambahan Biji Kedelai ( Glycine max) terhadap Mutu Kimia dan Nutrisi Tepung yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Widman FK. 1992. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Ed. 9 . Jakarta: EGC. 1992: 327-329
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: Mbrio Press.
Winarsi, Hery. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.
Winarsi, H.D. Muchtadi, F.R. Zakaria, dan B. Purwanta. 2003. Status Antioksidan Wanita Premenopause Yang Diberi Minuman Suplemen ‘Susu Meno’. Proseding seminar nasional PATPI . Yogyakarta.
Wright, D. T., L. A. Cohn, H. Li, B. Fischer, C. M. Li, dan K. B. Addler. 1994. Interactions of Oxygen Radicals with Airway. Environmental Health