POLA – POLA KEBUDAYAAN: Telaah Atas Buku Patterns Buku Patterns of Culture Karya Ruth Benedict (Bagian II) Oleh, Miftahuddin
Prolog
Setiap individu individu hidup hidup dalam suatu masyarakat. masyarakat. Setiap masyarakat masyarakat memiliki kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan itu dialami oleh individu – individu dalam masyarakat. Relasi antara manusia dan kebudayaan merupakan sebuah proses dinamis yang yang
berd berdim imen ensi si
sosi sosioo-ps psik ikol olog ogis is..
Arti Artiny nyaa
tiap tiap
indi indivi vidu du
akan akan
meng mengik ikut utii
perke perkemba mbanga ngan n budaya budaya yang yang terus terus meneru meneruss berlan berlangsu gsung ng dalam dalam sebuah sebuah perada peradaban ban masyar masyaraka akat. t. Yang Yang harus harus dicata dicatatt adalah adalah bahwa bahwa kebuda kebudayaa yaan n tiap tiap – tiap tiap kelomp kelompok ok masyarakat mempunyai corak yang beragam, sehingga tidak bisa dianggap sama. Masing – masing kebudayaan memiliki keunikannya sendiri. Memahami kebudayaan suatu masyarakat, tidak bisa dilakukan dengan ukuran – ukuran ukuran di luar kebudayaan kebudayaan itu. Pemahaman kebudayaan kebudayaan harus dibingkai dibingkai dalam kebudayaan itu sendiri. Menggambarkan kebudayaan dengan ukuran – ukuran dari “luar” akan menyesatkan pemahaman. Oleh karena itu memahami kebudayaan suatu masyarakat harus dipahami dari jiwa kebudayaan. Caranya dengan melihat apa yang tampak tampak pada pada bentuk bentuk lahirn lahirnya. ya. Dengan Dengan kata kata lain, lain, penget pengetahu ahuan an tentan tentang g perila perilaku ku manu manusi siaa yang yang megu meguas asai ai peri perilak laku u indi indivi vidu du dan dan masy masyar arak akat at
itul itulah ah yang yang akan akan
membawa pemahaman kepada jiwa kebudayaan itu sendiri. Adalah Ruth Benedict (1887-1948) 1, salah seorang antropolog yang menaruh perhatian mendalam pada jiwa kebudayaan masyarakat, dengan mengambil contoh kebu kebuda daya yaan an tiga tiga bang bangsa sa prim primit itif: if: Zuni Zuni,, Dobu Dobu dan dan Kwak Kwakiu iutl tl,, yang yang memi memilik likii karak karakte teris ristik tik masi masing ng – masi masing ng dili diliha hatt dari dari bent bentuk uk – bent bentuk uk lahi lahirn rnya ya.. Keti Ketiga ga kebudayaan ini masing – masing dirembesi oleh sikap – sikap yang asasi dari individu dalam dalam masyar masyaraka akat. t. Ketiga Ketiganya nya bukah bukah sekeda sekedarr fenome fenomena na hubung hubungan an – hubung hubungan an fungsi fungsiona onall dalam dalam masyar masyaraka akat, t, tetapi tetapi lebih lebih merupa merupakan kan watak watak kebuda kebudayaa yaan n yang yang sesunggunya.
1
Ruth Benedict (1887-1948) adalah seorang antropolog terkemuka abad dua puluh yang menekuni disiplin antropologi di Columbia University, New York. Karya Karya - karya utamanya adalah: Concept of the Guardian Spirit in North America (1923); Patterns of Culture (1934); Zuni Mythology (1935); Race : Science and Politics (rev. ed. 1943); The Chrysanthemum and the Sword : Patterns of Japanese Culture (1946).
1
Kebudayaan Tiga Suku: Zuni, Dobu dan Kwakiutl Zuni, merupakan sebuah suku bangsa Indian-Pueblo (Amerka Utara),
termasuk golongan bangsa primitif yang paling terkenal di kalangan bangsa Barat. Suku Zuni merupakan suatu bangsa yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan perdamaian. Mereka memiliki ritual upacara – upacara yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam macamnya. Tradisi mengkultuskan dewa – dewa bertopeng, pengobatan, matahari, jimat – jimat suci, perang dan kematian merupakan area – area ritual upacara. Dapat dinyatakan bahwa tak ada lapangan aktivitas paling penting selain ritual upacara.2 Bagi suku Zuni, ritual upacara menjadi kewajiban bagi semua individu, untuk mengikutinya secara penuh, sesuai dengan tata upacara yang runtut, berikut dengan mantra – mantra yang banyak. Mereka memperhatikan sampai persoalan – persoalan kecil dalam hal upacara – upacara ritual ini. Perbuatan – perbuatan ritual ini menurut anggapan orang Zuni, memiliki makna adikodrati. Setiap ritual akan mendatangkan hasil yang diinginkan oleh manusia, sepanjang sesuai tata cara dan syarat – syarat ritualnya, termasuk didalamnya ketelitian dalam pembacaan mantra, persembahan persembahan qurban yang tiada cacat, dan kesesuaian pakaian yang dikenakan. Menurut kepercayaan Zuni setiap piranti ritual upacara memiliki makna masing – masing dan tidak boleh diambil dari selain yang diajarkan. Sebagai contoh, bulu elang untuk pakaian yang dilekatkan di topeng harus diambil dari bahu burung, tidak boleh dari dada karena akan berakibat tertentu pada individu. Meminjam kata kata orang Zuni, “orang harus tahu caranya”.3 Orang Zuni pada umumnya memusatkan ritualnya pada harapan akan curah hujan. Ilustrasi ritual yang mereka lakukan adalah mengguling-gulingkan batu – batu bundar di atas tanahuntuk meniru bunyi guntur, air dipercik – percikkan untuk mendatangkan hujan, semangkok air diletakkan diatas altar supaya sumber – sumber air terisi, orang membuat buih sabun dari sejenis tumbuh – tumbuhan supaya awan berbondong – bondong di langit, asap tembakau dikepul-kepulkan supaya dewa – dewa tidak menutup nafas mereka dengan kabut. 4 Pakaian dan piranti pada saat ritual pun datur menurut kepercayaannya. Pertama – tama mereka mengumpulkan dahan – dahan wilga untuk dibuat tongkat – tongkat doa, mengikat bulu – bulu burung pada tongkat doa dengan benang kapas, melukisi tongkat – tongkat, mempersembahkan 2
Ruth Benedict, Patterns of Culture, Haughton Mifflin Company, Boston, 1934, 1959, hlm. 59 Ibid ., hlm. 60 4 Ibid ., hlm. 61 3
2
tongkat – tongkat wilga yang berbulu untuk dewa-dewa dengan membaca mantra – mantra.5 Jika orang Zuni ditanya apa maksud upacara ritualnya, maka mereka akan menjawab: “supaya turun hujan”. Hujan merupakan sumber kemakmuran karena hujan merupakan syarat bagi suburnya tumbuh – tumbuhan. Agaknya kepercayaan ini mudah dipahami karena suku Zuni mendiami daerah gurun pegunungan. Ritual – ritual Zuni selalu dikaitkan dengan ada tidaknya hujan. Berkah dengan air adalah sinonim dengan semua berkah – berkah. Di rumah – rumah orang Zuni terdapat rumah air, tangga air, dan skalpa air. Orang Zuni bahkan menganggap bahwa Dewa – Dewa Bertopeng adalah hujan dan dengan tarian – tariannya orang Zuni memaksa supaya dewa – dewa itu betul – betul berupa hujan, dan turun menumpahi orang – orang.6 Singkat kata, masyarakat Zuni merupakan tipikal masyarakat yang masih murni menghubungkan dirinya dengan fenomena alam disekitarnya, dengan kepercayaan dan ritual-ritualnya maupun pola – pola penyatuan masyarakatnya yang membenci kekuasaan dan kekerasan, dimana pola kebudayaan suku Zuni ini berlawanan dengan suku Dobu yang menjadi konsentrasi kedua dari studi Ruth Benedict. Dobu, adalah sebuah pulau yang terletak didekat pantai selatan Irian. Suku
Dobu menempati daerah yang paling selatan dari pulau ini. Kawasan dimana suku Dobu tinggal merupakan pegunungan padas, dimana hanya sedikit lahan yang dapat ditanami, demikian juga dengan sumber – sumber ikan tidak banyak didapati. Singkat kata, Dobu adalah daerah miskin dan gersang. Namun Dobu terkenal bukan karena kemiskinannya, tetapi karena berbahayanya. Mereka ini dikenal sebagai ahli – ahli sihir yang memiliki kesaktian hitam dan ahli –ahli perang yang suka berkhianat. Beberapa generasi yang lalu, sebelum kulit putih datang, mereka adalah pemakan daging manusia, kanibal. Mereka adalah orang liar dan buas yang paling ditakuti oleh para penduduk di pulau – pulau sekitarnya. 7 Suku Dobu tidak mengenal undang – undang atau hukum. Mereka juga tidak mempunyai organisasi sosial dan pemimpin – pemimpin. Mereka suka berkhianat dan saling bermusuhan. Ini bukan sifat anarkis, tetapi memang merupakan bentuk – bentuk sosial yang berlaku di Dobu. Suku Dobu menghargai penipuan dan 5
Ibid ., hlm. 61 Ibid ., hlm. 64 7 Ibid ., hlm. 131 6
3
pengkhianatan, dan menjadikan sifat – sifat ini nilai – nilai kesusilaan yang diakui dalam masyarakatnya.8 Pada masyarakat Dobu terdapat permusuhan tradisional antar marga dari garis keturunan perempuan (susu). Permusuhan dilakukan dengan saling menyihir antara satu marga dengan marga lainnya, dalam satu desa maupun dengan pendatang dari desa lainnya. Ancaman bahaya dari sihir - sihir marga lainnya selalu muncul setiap saat disebabkan oleh iri hati yang muncul akibat masuknya penduduk ke sebuah desa. Institusi perkawinan pada masyarakat Dobu diperuntukkan sebagai sebuah arena permusuhan. Perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pemuda dari desa lain dengan maksud agar terjadi permusuhan antara desa – desa itu. Perkawinan dimulai dengan tindakan permusuhan dari mertua perempuan. Mereka sendiri yang menutup rapat – rapat pintu rumah, dimana pemuda itu tidur bersama anak perempuannya, dan dengan begitu sang pemuda masuk perangkap dan bisa dipertunangkan secara resmi di depan umum. Jika seorang pemuda sudah terperangkap seperti itu maka mertua perempaun mengarak pemuda dan anak gadisnya keluar rumah, lalu didudukkan di atas tikar. Orang – orang menyaksikan hal itu dengan diam selama setengah jam, lalu mereka semua pulang. Prosesi ini menandakan bahwa pemuda dan gadis telah dipertunangkan (dinikahkan) secara resmi.9 Sejak pernikahan resmi itu, seorang suami harus bekerja keras untuk mertuanya. Segera mertua perempuannya memberi alat bercocok tanam, seraya berkata: “sekarang, kerja!”. Ia harus membuat kebun dibawah pengawasan mertuanya. Ia harus menanam ubi di kebun mertuanya dan hasilnya diperuntukkan bagi keluarga mertua tersebut. Mertua memperlakukan menantunya tersebut secara sewenang – wenang dan menikmati kekuasaan atas anak menantunya ini.10 Orang –orang Dobu berpegang erat pada milik pribadi, dan ini sangat jelas dinyatakan dalam anggapannya mengenai hak milik atas ubi – ubi yang bersifat turun temurun. Pertumbuhan ubi dipercepat dengan nyanyian – nyayian sihir. Dogma umum yang berlaku dalam masyarakat ialah bahwa ubi dari garis keturunan sendiri bisa tumbuh baik dalam kebunnya dan akhirnya bisa masak disana karena mantra – mantra sihir yang mereka warisi. 11
8
Ibid ., hlm. 131 Ibid ., hlm. 134 10 Ibid., hlm. 134 11 Ibid., hlm. 139 9
4
Irihari, curiga, dan kesadaran hak milik perorangan yang berlebih – lebihan yang ada pada masyarakat Dobu sebagaimana yang terjadi pada perkawinan dan pertanian, merupakan bukti bahwa seluruh sikap hidupnya merupakan perjuangan mati-matian, dan setiap keuntungan diperoleh atas kerugian lawannya. Orang – orang Dobu suka selingkuh dan suka berkhianat. Menurut pandangan umum masyarakat Dobu, manusia baik adalah manusia yang berhasil mendesak orang lain dari kedudukannya.12 Sifat saling curiga dan permusuhan pada masyarakat Dobu juga mewujud pula dalam kepercayaannya. Orang – orang Dobu tak mengenal pemujaan dengan makhluk – makhluk ghaib, mereka lebih percaya kepada mantra – mantra sihir yang diturunkan secara turun temurun. Mereka sangat menyandarkan hidupnya kepada mantra – mantra sihir. Tiap – tiap perbuatan dan tindakan selalu mempunyai mantra – mantranya sendiri dan salah satu anggapan yang paling aneh (menurut Benedict) dari orang – orang Dobu adalah bahwa tak ada sesuatu yang berhasil tanpa penggunaan magis. 13 Ketergantungan pada mantra – mantra sihir magis bagi kalangan Dobu terjadi pada seluruh aspek kehidupannya, baik pada sektor pertanian dengan tradisi upacara berkebunnya, pada sektor penyembuhan penyakit dan saling serang untuk mendatangkan penyakit, dalam dunia perdagangan dengan wabu – wabu (suatu adat perdagangan yang jahat, tidak jujur).14 Singkat kata, kehidupan orang Dobu diwarnai oleh bentuk
- bentuk
permusuhan dan kejahatan. Pranata – pranata yang ada merupakan instrumen untuk menyuburkan permusuhan dan kejahatan tersebut. Mereka mengobarkan semangat bahwa hidup ini adalah perjuangan mati-matian , dimana musuh – musuh saling menghadapi, dimana setiap orang berlomba – lomba untuk mendapatkan keuntungan – keuntungan duniawi sebanyak – banyaknya. Kecurangan dan kekejaman adalah senjata – senjatanya, yang ampuh dan terpercaya dalam perjuangan itu.15
Kwakiutl, merupakan salah satu suku indian yang tinggal di daerah pesisir
Barat Laut Amerika. Seperti halnya dengan kebanyakan bangsa Indian Amerika 12
Ibid., hlm. 142 Ibid., hlm., 143 14 Ibid., hlm. 159 15 Ibid., hlm. 172 13
5
lainnya, kebudayaan Kwakiutl dapat digolongkan ke dalam kelompok Dionysia, yang memiliki keunikan. Salah satu keunikannya adalah pada ekspresi kepercayaannya pada yang ghaib ditunjukkan dengan tarian – tarian kepercayaan yang disertai dengan kanibalisme. Tarian – tarian Kwakiutl yang dijalankan oleh kelompok – kelompok keagamaan, dilakukan dengan jalan menyerang penonton, menggigit lengannya sehingga segumpal daging masuk ke dalam mulutnya. Selanjutnya penari kanibal yang sudah ekstase, memakan daging manusia yang dihidangkan oleh gadis – gadis. Makanan yang dihidangkan adalah daging manusia yang disembelih dari budak – budak yang ada di sana. 16 Suku Kwakiult memiliki kepemilikan ekonomi yang banyak, baik tanah maupun laut yang ditanami terong dan ubi hutan. Ada kekayaan yang lebih penting bagi mereka yakni benda – benda keramat khusus seperti balok – balok rumah dan sendok – sendok khusus yang memiliki keagungan dan diwariskan secara turun temurun. Mereka juga mengakui hak – hak istimewa dan gelar kebangsawanan. Gelar kebangsawanan ini hanya mereka wariskan secara turun temurun kepada anak laki – laki tertua,
sedangkan anak lainnya tidah mempuanyai hak istimewa ini. Hak
istimewa ini juga diikuti dengan hak untuk mendapatkan warisan kekayaan yang jumlahnya besar.17 Adalah suatu penghinaan jika wanita dikawinkan dengan orang – orang biasa, bukan bangsawan. Mereka ini dihina sebagai “ berkumpul seperti anjing”, dan anakanak mereka akan terhina. Untuk bisa keluar dari penghinaan ini mempelai pria harus mengumpulkan kekayaan yang sangat banyak agar diakui memiliki kehormatan khusus. Perkawinan sebenarnya bukan jalan satu – satunya untuk mendapatkan hak – hak istimewa. Cara yang paling dihargai adalah dengan jalan membunuh pemilik – pemilik hak itu. Orang – orang yang membunuh pemilik hak istimewa tersebut dapat menggantikan seluruh hak yang dimilikinya, baik istri, kebangsawanan, benda – benda pusaka, maupun tarian – tarian sucinya. 18
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa watak Dionysis suku Kwakiult sangatlah dahsyat, baik dalam hal upacara – upacara keagamaan, persaingan ekonomi, perkawinan, maupun kematian. 16
Ibid., hlm.178 Ibid ., hlm. 183 18 Ibid ., hlm.185 17
6
Tabiat Masyarakat
Ketiga kebudayaan, Zuni, Dobu dan Kwakiutl tidaklah semata – mata kumpulan perbuatan – perbuatan dan kepercayaan – kepercayaan yang heterogen, namun masing masing itu pada hakekatnya memiliki tujuan – tujuan tertentu yang akan dicapai dan yang akan diperjuangkan melalui pranata-pranatanya. Kebudayaan – kebudayaan itu saling berbeda, karena dalam kebudayaan yang satu tidak terdapat ciri pada kebudayaan yang lainnya, begitupun bentuknya juga berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan kebudayaan disebabkan karena orientasi yang berbeda. Masing – masing memiliki tujuan dan cara cara untuk melakukannya. Kebudayaan yang satu tidak bisa diukur dari kebudayaan yang lainnya karena memang mereka itu tidak bisa diperbandingkan. 19 Tentu tidak semua kebudayaan menyusun bagian – bagian dari semua perilaku masyarakat sebagai sebuah keteraturan. Hal ini disebabkan oleh karena setiap perilaku masyarakat memiliki tujuan yang sama, dan oleh karenanya pada saat tertentu dapat membelokkan arah perilakunya sesuai dengan motiv yang mendasarinya. Bahkan kadang – kadang terjadi pertentangan aktivitas – aktivitas mereka pada permulaan dan akhirnya. Dengan kata lain kebudayaan suatu masyarakat mempunyai strukturnya masing – masing. Perbedaan struktur kebidayaan ini dilatari oleh nilai – nilai sosial yang dipegangi oleh kelompok masyarakat. Watak kebudayaan dalam konteks ini merupakan akumulasi dari saling pengaruh antara tabiat masyarakat dan pranata – paranata sosial yang ada. Dengan kata lain ada saling pengaruh antara organisasi masyarakat dan kebudayaan.
Individu dan Pola Kebudayaan
Masyarakat dan individu tak saling bertentangan, tetapi sebaliknya bahkan saling membutuhkan.20 Kebudayaan memberi bahan – bahan untuk membangun kehidupan individu. Kalau bahan – bahan ini tandus, maka individu menderita 19
Ibid ., hlm. 223 Ibid ., hlm 251
20
7
karenanya, sebaliknya jika subur maka setiap individu mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mempergunakannya. Jika kita menjumpai perilaku masyarakat yang aneh, maka bukanlah mereka itu orang – orang psychopath. Mereka itu adalah bagian dari budaya masyarakatnya, yang merupakan representasi dari nilai – nilai yang diagungkan bersama dalam masyarakat. Jika terdapat sesuatu yang sangat khusus dan oleh komunitasnya dianggap menyimpang, maka ini yang kemudian dapat dikatakan sebagai kegagalan menyesuaikan dengan corak kebudayaannya. Orang – orang homoseksual misalnya tidak dapat serta merta disisihkan dari lingkungan pergaulan masyarakat karena sifat – sifat aslinya itu. Mereka ternyata tidak selalu orang – orang yang gagal. Ada masyarakat – masyarakat yang memandangnya sangat tinggi dan terhormat. Adat Yunani memberikan penghargaan yang tinggi pada homoseksualitas, dan merupakan syarat yang penting bagi kehidupan. Ini berbeda dengan orang – orang Indian yang memberikan citra kepada kaum homoseksualitas secara biasa dengan predikat sebagai orang – orang yang memiliki bakat khusus.21 Begitu pula dengan beberapa kebudayaan “abnormal” lain di dunia ini tidak selalu oleh komunitasnya dikatakan keliru. Sebagai contoh, di Siberia beberapa suku tertentu dikuasai oleh Syaman, (sejenis roh yang masuk dalam diri seseorang). Orang – orang yang dihinggapi syaman ini biasanya dianggap memiliki kesaktian khusus dan ditempatkan dalam struktur sosial masyarakat yang tinggi.22 Cara – cara menggambarkan masyarakat dengan memandang nilai – nilai yang ada pada masyarakat itu sendiri akan menghasilkan pencitraan kebudayaan yang holistih sekaligus unik. Holistik karena ia dipandang sebagai keseluruhan aktivitas – aktivitas individu dalam masyarakat. Unik karena setiap kebiudayaan memiliki cirinya masing – masing.
Epilog
Karya Ruth Benedict telah memberi gambaran kepada kita bahwa masyarakat merupakan laboratorium bentuk – bentuk sosial dan kebudayaan, dimana kita dapat mempelajarinya.23 Untuk dapat memahami bentuk – bentuk kebudayaan serta proses perkembangannya, diperlukan kajian mengenai kebudayaan primitif. Ini juga penting 21
Ibid., hlm. 263 Ibid ., hlm. 267 23 Ibid ., hlm. 17 22
8
untuk menghubungkannya dengan
perkembangan kebudayaan masa sekarang
(modern). Kajian mengenai suku – suku primitif ini memberikan gambaran yang nyata tentang variasi – variasi perilalu manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Benedict melakukan penelitian pada tiga kebudayaan primitif, dua dari bangsa Amerika (Zuni dan Kwakiult) dan satu dari Melanesia (Dobu). Kwakiult dan Dobu digolongkan ke dalam kebudayaan Dionysia atau Faustinia, sedangkan Zuni digolongkan ke dalam kebudayaan Appolonisia. Kebudayaan Dionysia dicirikan dengan perselisihan, penderitaan, pengagungan emosi, individualisme, aksi yang berlebih – lebihan. Sedangkan kebudayaan Appolonisia ditandai dengan hal yang sebaliknya, yakni ada keteraturan, upacara (ritual) formal, menyukai perdamaian, memiliki sosialisasi yang tinggi, menghindari kekerasan dan perselisihan. Asumsi – asumsi teoritis yang dibangun oleh Benedict banyak didasarkan disamping pada hubungan – hubungan individu dalam masyarakat, tetapi juga pada keadaan jiwa individu dalam hubungannya dengan kebudayaan. Bahkan dengan analisa psikiatrisnya ia mencoba mentolerer perilaku kebudayaan “abnormal” yang ada dalam masyarakat. Benedict seolah memberikan pembenaran teoritis atas itu semua dalam bingkai keunikan kebudayaan.
9