A. Pendahuluan
Membincang konsep agama atau sama dengan tradisi dalam ilmu antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan "tradisi besar" (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal . Apalagi bila hal ini berkaitan dengan konsep agama pada masyarakat desa yang seringkali berbaur dengan tradisi atau kebudayaan yang ada.
Masyarakat pedesaan dapat dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki ciri-ciri tersendiri dalam hidup bermasyarakat, hal ini biasanya tampak dalam perilaku kesehariannya yang berbeda dengan masyarakat perkotaan. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Tetapi, setelah adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah tidak berlaku.
Adapun karakteristik yang selama ini ada dalam masyarakat pedesaan antara lain: menjunjung tinggi nilai kesopanan, menghargai orang lain lebih-lebih terhadap yang lebih tua, mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan, gotong royong atau sambatan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan religious. Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Karena budaya bukan hanya mencakup masalah keagamaan namun juga masalah ekonomi, social, politik, ilmu pengetahuan serta pandangan hidup masyarakat.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan, di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
B. Konsep Keagamaan Masyarakat Desa
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta âgama yang berarti tradisi. Disamping itu agama juga diistilahkan dengan religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali. Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Wacana keagamaan yang dimaksudkan disini adalah ungkapan-ungkapan yang muncul di masyarakat, sebagai cerminan dari pengetahuan keyakinan agama. Wacana keagamaan lokal yang berkembang pada masyarakat menyiratkan adanya pola pemahaman keagamaan yang mereka sebut sebagi salaf (tradisional). Masyarakat jawa sendiri misalnya, mereka dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan tradisi sosial. Disetiap Masyarakat memiliki nilai-nilai lokal yang menerapkan tata nilai sosial hidup rukun atau tepo seliro dan tolong menolong atau guyub dalam kehidupan sosial sehari-harinya . Bagi masyarakat Jawa secara umum, agama merupakan kekuatan dominan di dalam ritus-ritus, kepercayaan-kepercayaan turut serta membentuk karakter interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari bagi kebanyakan masyarakat. Namun sifat keagamaan masyarakat Jawa, mempunyai fenomena yang berbeda antara Islam Pesisir Jawa dan Islam Jawa Pedalaman . Statemen tersebut merupakan gambaran fenomena keagamaan yang melekat dalam masyarakat Jawa.
Atas dasar budaya dan tradisi yang dianut dan dijaga masyarakat, hal ini berdampak pada pola keagamaan masyarakat desa. Dari sejarahnya agama mendekatkan diri terhadap masyarakat melalui budaya-budaya yang telah mereka miliki, sehingga paradigma keagamaan mereka masih terikat kuat dengan budaya yang mereka miliki. Paradigma spiritualitas disini diartikan sebagai cara pandang yang bersumber dari spirit keagamaan seseorang akan menjadi keyakinan dan dasar dari seluruh aktivitas atau realita sosial dalam suatu masyarakat.
C. Pola Keagamaan Masyarakat Desa
Konsep agama masyarakat desa yang berdasarkan pada system kebudayaan dan tradisi ini tidak berhenti hanya pada satu pola saja, namun terdapat beberapa pola keagamaan yang dimiliki masyarakat desa. Berdasarkan cara beragamanya, pola keagamaan masyarakat pedesaan memiliki suatu perbedaan, yang perbedaan pola keagamaan tersebut antara lain :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya bagi seseorang yang menganut cara beragama ini keyakinannya dalam beragama akan kuat , sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, apalagi bertukar agama, tidak ada keinginan sama sekali. Dengan demikian cara beragama tradisional kurang dapat meningkatkan ilmu amal keagamaannya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Secara umum orang yang mengukuti cara agama formal ini adalah orang-orang yang tidak kuat dalam beragama, mudah terpengaruh oleh lingkunagan bahkan mereka rela menukar agamanya demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan sedangkan dia tidak dapat memenuhinya sendiri. Mereka sudah ada keinginan untuk meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya walupun hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama dan memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
D. Penutup
Melalui berbagai pola keagamaan masyarakat desa diatas, dapat dilihat secara jelas bahwa kegiatan-kegiatan spiritual yang mereka lakukan juga berkaitan erat dengan kebudayaan yang ada di masyarakat. Sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya. Hal ini menyatakan bahwa masyarakat memiliki ikatan yang sangat erat antara budaya dan kepercayaan atau agama.
Salah satu ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religi yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Secara garis besar pola kegamaan masyarakat desa didasarkan pada kebudayaan, tradisi, kepercayaan-kepercayaan yang telah ada pada masa leluhur mereka.
Daftar Pustaka
Syamsul Arifin dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta : SIPRESS, 1996) hal. 50-51.
http://irham.ngeblogs.com/2010/01/22/kehidupan-masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat-perkotaan/
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73883
http://islamkuno.com/2007/12/17/agama-dan-masyarakatsuatu-tinjauan-fungsi-agama-terhadap-masyarakat/
http://dunia-shohib.blogspot.com/2006/03/pola-keberagaman-kota-versus-desa.html
Categories berbagi berbagai ilmu