PERKEMBANGAN PLANKTONOLOGI
Sebenarnya sejak zaman dahulu orang telah memanfaatkan dan melihat gejala perubahan laut yang disebabkan oleh plankton. Namun mereka tak dapat memahaminya dan menerangkannya, apalagi kenal dengan istilah plankton yang baru diperkenalkan di akhir abad 19. Sejak lama misalnya, masyarakat di Asia mengkonsumsi berbagai jenis zooplankton sebagai sumber protein. Sekitar 1700 tahun lalu penduduk Cina sudah memanen plankton ubur-ubur sebagai bahan makanan yang mempunyai cita rasa yang khas. Selain di Cina, di Jepang pun sudah sejak lama orang mengkonsumsi plankton ubur-ubur Rhopilema esculenta yang tergolong makanan yang banyak penggemarnya, yang disana disebut “kurage”. Ubur -ubur yang sebagian besar tubuhnya terdiri dari air ini ukurannya bisa sampai sekitar 50 cm.
DI INDONESIA
Jenis plankton yang sudah lama dikenal dan menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat pesisir di Indonesia antara lain adalah rebon. Rebon atau jambret sebagaimana yang dikenal masyarakat, sebenarnya adalah campuran berbagai jenis hewan seperti udang kecil, sebagian besar terdiri dari zooplankton sergestid, misid dan larva udang paneid. Rebon sangat popular sebagai bahan dasar untuk pembuatan terasi dan petis.
Indonesia juga sudah sejak dulu mengenal budidaya bandeng dalam tambak. Ratusan tahun lalu, pada zaman Hindu abad 13-14, telah ditulis dalam kitab Kutaranemawa undang-undang tentang siwakan atau pengaturan air yang diduga merupakan awal pemeliharaan bandeng dalam tambak di Indonesia. Untuk itu diperlukan nener atau benih ikan bandeng yang masih sangat muda, yang tak lain adalah plankton berukuran beberapa mm, yang dikumpulkan dari perairan pesisir pantai. Pengetahuan nelayan untuk mengenali dan tidak salah memilih nener yang sangat muda ini telah berkembang dan diturunkan dari generasi. Hinga sekarang budidaya bandeng masih banyak mengandalkan pasokan nener dari alam. Di pantai selatan Jawa, pada musim-musim tertentu, banyak nelayan menangkap ikan impugn, terutama di muara-muara sungai. Ikan impugn ini merupakan kumpulan dari berbagai plankton berupa larva ikan, termasuk larva ikan sidat (eel) yang secara naluri mencari dan akan memudiki sungai tempat induknya berasal, setelah menempuh perjalanan panjang, dari tempat mereka lahir jauh di tengah samudra. Pada musimnya, ikan imun jumlahnya sangat melimpah di pantai.
UMUM
Orang pun kadang-kadang menyaksikan laut tiba-tiba berubah warna tetapi orang belum tahu gejala apa itu, dan apa penyebabnya. Nama Laut Merah (Read Sea) di depan Saudi Arabia, telah lama digunakan para pelaut, dan baru kemudian hari diketahui bahwa warna kemerah-merahan yang sering muncul di perairan tersebut disebabkan oleh ledakan populasi fitoplankton Trichodesmium erythraeum, yang mengandung pigmen berwarna coklat kemerahan. Para pelaut zaman dahulu pun tahu apabila warna air laut berubah dari biru jernih menjadi biru kehijauan bearti daratan sudah dekat, meskipun daratan belum lagi terlihat. Tetapi mereka tak dapat
menerangkan bahwa sebenarnya perubahan ini karena pigmen kuning fitoplankton yang sangat banyak di perairan pantai bercampur dengan warna biru air laut dan member nuansa biru kehijauan. Orang juga sering melihat air laut berubah warna yang kadangkadang diikuti dengan kematian ikan secara missal. Namun orang tak mengerti bahwa perubahan warna itu disebabkan oleh ledakan populasi fitoplankton jenis tertentu yang beracun atau menggangu lingkungan, yang bagi orang sekarang lebih dikenal dengan istilah HAB ( Harmful Algal Bloom). Pada malam hari orang sering dapat melihat cahaya kelap-kelip bagai kunag-kunang di laut tanpa mengerti bahwa itu disebabkan oleh plankton.
Banyak
bioluminesensi
jenis
zooplankton
(bioluminescence)
atau
yang cahaya
dapat
menimbulkan
hayati.Bioluminesensi
sebenarnya adalah hasil reaksi enzimatis lusiferin-lusiferase yang menghgasilkan cahaya dingin kebiru-biruan. Ostrakod mislanya adalah krustasea yang banyak ditemukan dapoat bercahaya. Di perairan pantai juga orang sering dapat melihat Noctiluca scintillans yang bersinar terang pada malam hari apabila laut tersibak ombak yang dilalui kapal. Sejak lama orang juga sering mengalami gangguan karena plankton ketika sedang berenangh di laut. Bagi mereka yang sering mandi di laut mungkin pernah
merasakan sengatan perih yang disebabkan oleh
plankton ubur-ubur. Semua ubur-ubur mempunyai sel-sel penyengat (nematosis) pada tubuh dan tentakelnya, yang mirip ratusan atau ribuan anak panah mikroskopis dan beracun yang siap ditembakkan. Bila ada mangsanya, misalnya ikan kecil, atau kebetulan ada manusia yang sedang berenang dan menyentuhnya, serangkaian arsenal panah beracun itu ditembakan serentak. Serangan ini pada manusia akan menimbulkan rasa gatal hingga perih. Ada ubur-ubur api (Physalia physalis) yang sengatannya seperti membakar dan menyebabkan kulit korban bisa melepuh bagai disundut api. Ada pula ubur-ubur kotak ( Chironex fleckeri),
yang sengatannya bagai tawon, maka dijuluki tawon laut ( Sea wasp). Dalam kasus tertentu sengatan tawon laut ini, yang terdapat antaralain dari Australia hingga Filuipina yang bisa menyebabkan kematian.
SEJARAH
Meskipun plankton terdapat di seluruh permukaan laut dunia, namun orang mulanya tidak menyadari kehadirannya. Ukurannya yang umumnya mikroskopis membuatnya luput dari perhatian orang banyak. Oleh sebab itu ketika Antony van Leeuwenhoek pertama kali menciptakan mikroskop yang sangat sederhana pada tahun 1676, ia sebenarnya membuka babak baru untuk melihat alam ini, dalam skala mikro. Ia membuktikan bahwa dalam air, baik air tawar maupun air laut,terkandung kehidupan yang begitu kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk berbagai tumbuhan renik, yang tak pernah diketahui orang sebelumnya. Ini merupakan temuan dasar yang terpenting yang memungkinkan berkembangnya planktonologi di kemudian hari, yakni ilmu yang mempelajari segala aspek kehidupan plankton (ada juga yang menyebutnya planktonologi).
Tetapi perhatian untuk mengkaji lebih serius plankton laut baru dimulai sekitar paruh kedua abad 19 adalah G.V.Thompson yang pertama kali mengoleksi plankton dengan menggunakan jarring halus, dan melakukan pengamatan berkala di Irlandia tahun 1828. Kemudian disusul oleh Johannes Muller di Jerman yang mulai mengadakan kajian
taksonomi, sekitar tahun1845. Istilah plankton sendiri baru diintroduksi oleh Victor Hensen tahun 1887, yang berakar dari bahasa Yunani (Planktos) yang bearti menghanyut atau mengembara. Ia pulalah yang memulai penelitian plankton secara kuantitatif hingga ia dijuluki juga sebagai Bapak Planktonologi Kuantitatif. Dari situ diletakanlah fondamen yang lebih kokoh untuk pengembangan planktonologi lebih lanjut.
Victor Hensen (1835-1924), perintis dalam penelitian kuantitatif plankton. Tahun 1887 ia mengenalkan istilah “plankton”.[Kanan] Gambar jaring plankton untuk penarikan vertical yang didesain oleh Hansen (Sumber : Lenz,2004)
Sumbangan
yang
sangat
bermakna
bagi
perkembangan
planktonologi adalah dari ekspedisi kapal HMS Challenger yang dilaksanakan keliling dunia selama tiga setengah tahun (1872-1876). Ekspedisi dari Inggris ini dipandang pula sebagai peletak fondasi pengetahuan oseanografi modern yang meliputi aspek fisika,kimia,biologi dan geologi. Alat penangkap plankton yang disebut Plankton trawl net sudah digunakan di kapal itu, ditujang dengan penggunaan mikroskop yang sederhana yang tersedia dalam laboratoriumnya. Laporan akhir ekspedisi berjudul “The Challenger Report diterbitkan dari tahun 1880 ”
hingga 1895 terdiri dari 50 volum besar mencakup seluruh aspek ilmu kelautan. Para penelitiannya mendeskripsikan penemuan 4417 jenis yang baru dikenal di dunia pengetahuan. Laporan tersebut juga
meliputi
banyak hal mengenai plankton seperti diatom,copepod,radiolarian, dan
sebagainya. Ekspedisi historis Challenger ini juga memasuki dan mengoleksi plankton di perairan Indonesia di Laut Banda, Laut Seram dan Laut Sulawesi.
Studi-studi awal tentang fisiologi dan ekologi plankton dilakukan oleh W.B. Carpenter (1856) yang menunjukan bahwa fitoplankton membutuhkan sinar matahari,air,asam karbonat, dan ammonia untuk melaksanakan fotosintesis. Selanjutnya oleh Paul Regnard (1891) dibuktikan bahwa fotosintesis oleh fitoplankton itu hanya terjadi pada lapisan yang teratas saja, sampai kedalam sekitar 30 m. Karl brandt (1899) selanjutnya menunjukan bahwa kelimpahan fitoplankton tidak hanya merupakan respon terhadap cahaya matahari dan suhu tetapi tak kalah pentingnya adalah hara nitrat. Pada pertengahan decade 1930-an mikrobiologi laut (termasuk bakterioplankton) mulai dirintis oleh Claude Zobell, dari Scripps Institution
of
Oceanography,
California.
Namun
perkembangan
bakterioplankton laut ini baru berkembang pesat setelah usai Perang Dunia II yang lalu.
Pengembangan pengetahuan mengenai produktivitas primer fitoplanktoon di laut mendapat dorongan kuat dengan rintisan SteemannNielsen yang mengintroduksi aplikasi perunut (tracer) radioisotop 14C untuk mengukur laju proses fotosintesis. Pekerjaannya dalam ekspedisi “Galathea (1950-1952) keliling dunia telah membuka cakrawala baru ”
dalam melihat produktivitas perairan dalam skala global.
Sampai akhir decade 1950-an ekspedisi-ekspedisi oseanografi masih banyak dilakukan sendiri-sendiri oleh lembaga dan Negara tertentu saja. Dilaksanakannya IGY (International Geophysical Year ). Timbul kesadaran yang meningkat di berbagai penjuru dunia bahwa masalah kelautan yang begitu luas tidak mungkin di hadapi sendiri-sendiri, namun memerlukan kerjasama banyak Negara di dunia. Muncullah berbagai program-program internasional dimana-mana, slah satu yang sangat terkenal IIOE ( International Indian Ocean Expedition) pada pertengahan decade 1960-an yang disponsori oleh IOC ( International Oceanographic Commission) UNESCO, yang diikuti oleh banyak Negara, termasuk Indonesia. Plankton dan produktivityas primer merupakan salah satu komponen penting dalam ekspedisi terkordinasi ini, dan
adanya pemilahan zooplankton (zooplankton sorting centre). Keberhasilan kordinasi dan pelaksanaan IIOE menjadi acuan berkembangnya berbagai program kerjasama regional lainnya, seperti CSK (Coorperative Study of the Kuroshio) dan banyak lainnya lagi diberbagai penjuru dunia.
Seiring dengan itu, di dunia telah berkembang pula teknologi modern
yang
semakin
canggih,terutama
yang
didukung
oleh
perkembangan dalam bidang elektronika,computer,komunikasi dan informatika. Pengamatan struktur detail sel plankton misalnya, kini dapat dilaksanakan dengan SEM (Scanning Electron Microscope). Analisis dengan teknik fluoresensi dan kromatografi HPLC ( High Performance Liquid Chromatography ) digunakan sebagai acuan umum untuk mengukur kandungan klorofil dan berbagai pigmen yang mencirikan komposisi fitoplankton. Perkembangan biokimia telah dimanfaatkan dalam kajiankajian
fisiologi
plankton
yang
kini
mengarah
ke
fisiologi
lingkungan,sedangkan penelitian genetika dilakukan dengan analisis DNA. Pemanfaatan inderaja (remote sensing) dengan memanfaatkan teknologi satelit kini sudah meluas pula penggunaannya untuk memantau klorofil fitoplankton dalam skala global dari waktu ke waktu. Demikian
pula untuk penetapan posisi pengambilan sampel plankton di lapangan sudah dapat dilakukan dengan sangat mudah,cepat dan akurat dengan penggunaan GPS (Geographic Positioning System) yang portable, berkat kemajuan teknologi satelit. Pemetaan sudah dilakukan dengan GPS (Geographic Positioning System) yang berdasarkan pada data dan informasi berkordinat. Teknologi modern yang telah membuka pula pemahaman baru akan pentingnya femtoplankton yakni plankton yang berukuran lebih kecil dari bakteri,terutama virus laut (virioplankton), dan perannya dalam ekologi laut. Perkembangan berbagai teknologi modern kini telah mendorong pula berkembangnya pendekatan-pendekatan baru dalma kajian tentang peran plankton dalam perspektif global, misalnya dalam pengendalian iklim global ( global climate) yang mempengaruhi kehidupan di seantreo planet bumi ini,tidak saja yang ada di dalam laut. Demikian pula tentang peranan plankton dalam daur karbon ( carbon cycle) di bumi ini. Kemajuan teknologi dalam lima decade terakhir ini tampaknya telah mengantarkan dimensi penelitian plankton makin melebar sekaligus juga makin mendalam, dari dunia mikro yang menukik hingga tingkat molecular samapi dimensi dengan skala global.