PERCOBAAN VIII
LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS INTRUMENTASI “Pergeseran
Bathokromik dan Hipsokromik Senyawa Kromofor ”
Dosen Pengampu Matakuliah: 1. Drs. Mohammad Ibnu Sodiq, M.Si 2. Dr. Sc. Anugrah Ricky Wijaya, S.Si, M.Sc
Oleh: Kelompok 5 Offering H 1. Mukh. Syahrul Jamil
(140332604114) (140332604114)
2. Natasha Khilmi
(140332601350) (140332601350) ***
3. Ni’matus 3. Ni’matus Sholihah Sholihah
(140332603404)
LABOLATORIUM KIMIA ANALITIK JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MALANG
April 2017
Pergeseran Bathokromik dan Hipsokromik Senyawa Kromofor
A. TUJUAN 1. Mengidentifikasi terjadinya pergeseran panjang gelombang maksimum penyerapan sinar oleh senyawa metil oranye pada berbagai pelarut. 2. Menentukan jenis transisi elektron pada senyawa metil oranye berdasarkan absorptivitas molarnya. 3. Menggambar kurva (plot) antara panjang gelombang maksimal senyawa metil oranye sebagai konstanta dielektrikum pelarut.
B. DASAR TEORI
Spektrofotometer UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometer UV dan Visible. Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Pada spektrofotometer UV-Vis digunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni sumber cahaya UV dan sumber cahaya visible. Spektrofotometer ini termasuk spektrofotometer berkas ganda. Pada spektrofotometer berkas ganda blanko dan sampel dimasukan atau disinari secara bersamaan, sedangkan skema spektrofoto- meter UV-Vis seperti yang tertera pa da gambar berikut.
Energi yang dimiliki sinar UV-Vis mampu menyebabkan perpindahan elektron atau yang disebut transisi elektronik. Transisi elektronik dapat diartikan sebagai perpindahan elektron dari satu orbital ke orbital yang lain. Disebut transisi elektronik karena elektron yang menempati satu orbital dengan energi terendah dapat berpindah ke orbital lain yang memiliki energi lebih tinggi jika menyerap energi, begitupun sebaliknya elektron dapat berpindah dari orbital yang memiliki energi lebih rendah jika melepaskan energi. Energi yang diterima atau diserap berupa radiasi elektromagnetik. Energi yang terserap kemudian akan dihitung dan dianalisis. Hasilnya akan memberikan gambaran mengenai materi yang menyerap energi
tersebut. Jumlah cahaya yang diserap proporsional dengan banyaknya partikel yang menyerap. Pada penyerapan di wilayah ultraviolet dan sinar tampak berasal dari eksitasi elektron ikatan yang ada dalam molekul. Panjang gelombang yang spesifik ada hubungannya dengan tipe ikatan yang dimiliki oleh suatu molekul. Dengan kata lain, puncak-puncak serapan yang spesifik ini merupakan karakteristik dari gugus fungsi dalam sampel, jika sampel tersebut mengandung senyawa organik. Dalam hal ini, inf ormasi yang diberikan sangat berguna untuk penentuan struktur, walaupun tidak dapat digunakan untuk memastikan struktur sebuah senyawa. Berdasarkan mekanika kuantum transisi elektronik yang dibolehkan atau tidak dibolehkan (terlarang) disebut kaidah seleksi. Berdasarkan kaidah seleksi, suatu transisi elektronik termasuk: 1. Transisi diperbolehkan bila nilai ε sebesar 10 3 sampai 106. 2. Transisi terlarang bila nilai ε sebesar 10-3 sampai 103. Selain dengan melihat harga ε kaidah seleksi dapat dapat dinyatakan dengan simetri dan spin. Berdasarkan simetri dan spin suatu transisi elektronik diperbolehkan bila: 1. Berlangsung antara orbital-orbital dalam bidang yang sama. 2. Selama transisi orientasi spin harus tetap. Dalam satu molekul terdapat dua jenis orbital yakni orbital ikatan ( bonding orbital ) dan Orbital Anti-ikatan (antibonding orbital ). Orbital ikatan dibagi menjadi beberapa jenis yakni orbital ikatan sigma (σ, = ikatan tunggal) dan orbital phi ( , = ikatan rangkap), sedangkan orbital nonikatan berupa elektron bebas yang biasanya dilambangkan dengan n . Orbital nonikatan umumnya terdapat pada molekul-molekul yang mengandung atom nitrogen, oksigen, sulfur dan halogen. Orbital ikatan sigma (σ) dan orbital phi ( ) terbentuk karena terjadinya tumpang tindih dua orbital atom atau orbital-orbital hibrida. Dari dua orbital atom dapat dibentuk dua orbital molekul yakni orbital ikatan dan orbital anti ikatan. Dengan demikian jika suatu molekul mempunyai orbital ikatan maka molekul tersebut mempunyai orbital anti-ikatan. Orbital anti-ikatan biasanya diberi notasi atau tanda asterik atau bintang (*) pada setiap orbital yang sesuai. Orbital ikatan α orbital anti -ikatannya adalah α*, sedangkan orbital ikatan orbital anti-ikatannya adalah *. Terjadinya transisi elektronik atau promosi elektron dari orbital ikatan ke orbital anti-ikatan tidak menyebabkan terjadinya disosiasi atau pemutusan ikatan. Dalam proses transisi ini tidak semua elektron ikatan terpromosikan ke orbital anti-ikatan.
Berdasarkan jenis orbital tersebut maka, jenis-jenis transisi elektronik dibedakan menjadi empat macam, yakni sebagai berikut. 1) Transisi σ → σ* 2) Transisi → * 3) Transisi n → * 4) Transisi n → σ* Transisi σ → σ* tidak begitu penting karena puncak absorbsi berada pada daerah ultraviolet vakum yang berarti tidak terukur oleh peralatan atau instrumen pada umumnya. Walaupun transisi → * pada ikatan ganda terisolasi mempunyai puncak absorbsi di daerah UV vakum tetapi transisi → * tergantung pada konjugasi ikatan ganda dengan suatu gugus fungsi substituen. Akibatnya transisi → * pada ikatan ganda terkonjugasi mempunyai puncak absorbsi pada daerah ultraviolet dekat, dengan panjang gelombang lebih besar dari 200 nm. Dengan demikian transisi yang penting adalah transisi → * serta beberapa transisi n→ * dan n→σ*. Tipe-tipe serapan yang terjadi akan menyesuaikan dengan elektron yang dimiliki oleh molekul. Karena banyaknya transisi yang mungkin, biasanya spektrum UV-vis akan berupa puncak-puncak yang lebar yang sulit dipisahkan satu sama lain. Itulah sebabnya, informasi yang diberikan sebenarnya tidak spesifik untuk tiap gugus fungsi, namun pola dan profil serapan lebih banyak digunakan sebagai konfirmasi yang kuat kan keberadaan senyawa organik. Zat yang dapat dianalisis dengan spektrofotometri UV-Vis yaitu zat dalam bentuk larutan dan zat yang tidak tampak berwarna maupun berwarna. Terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan yaitu: 1) Kromofor. Kromofor berasal dari bahasa latin yang artinya “ chromophorus” yang berarti pembawa warna. Pada mulanya pengertian kromofor digunakan untuk sistem yang menyebabkan terjadinya warna pada suatu senyawa. Kemudian diperluas menjadi suatu gugus fungsi yang mengabsorbsi radiasi elektromagnetik, termasuk yang tidak memberikan warna. Jadi kromofor adalah gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorbsi radiasi elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet dan daerah cahaya tampak. 2) Auksokrom ( Auxochrom = auxiliary chromophores), yakni gugus yang berpengaruh (namun sedikit) terhadap absorpsi UV, tetapi berdampak cukup signifikan pada absorbansinya.
3) Geseran batokromat atau geseran batokromik (Bathochromic shift) atau geseran merah, yakni geseran atau perubahan λ maks ke arah yang lebih besar. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah adanya perubahan struktur, misalnya adanya auksokrom atau adanya pergantian pelarut. 4) Geseran hipsokromat (Hypsochromic shift) atau pergeseran hipsokromik atau pergeseran biru, yakni geseran atau perubahan λ maks ke arah yang lebih kecil. Munculnya gejala ini juga sering disebabkan oleh adanya penghilangan auksokrom atau oleh adanya pergantian pelarut. Seperti yang dibahas diatas, ada dua macam pergeseran panjang gelombang maksimum senyawa kromofor, yaitu pergeseran batokromik dan hipsokromik. Berbagai faktor yang mengakibatkan terjadinya pergeseran salah satunya adalah faktor penggantian pelarut dari polar ke non polar atau sebaliknya. Kepolaran pelarut mempengaruhi λ maks karena kepolaran molekul biasanya berubah jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya. Pergeseran panjang gelombang maksimum kearah batokromik atau hipso-kromik terkait erat dengan jenis transisi elektron didalam senyawa, apakah transisi n→ * atau → *. Jika suatu senyawa kromofor mempunyai transisi n→ *, maka pergantian pelarut dari non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran hipsokromik. Hal ini disebabkan adanya solvasi yang terjadi lebih kuat karena adanya pasangan elektron bebas dan hal ini menyebabkan turunnya energi n. kadang-kadang juga terjadi karena adanya molekul-molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi, sehingga transisinya memerlukan energi yang lebih besar maka terjadi pergeseran λ yang lebih kecil. Jika transisinya → *, maka pergantian pelarut dari non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik . Pada umumnya transisi → * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya transisi → * suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi → * molekul itu dalam pelarut nonpolar sehingga menggeser λ maks ke λ yang lebih tinggi.
C. ALAT DAN BAHAN 1. Alat-alat
Spektrofotometer UV-VIS (200-800 nm)
Peralatan gelas yang sesuai
Pipet tetes
Pipet volume
Labu takar
2. Bahan
Metil oranye 0.001 M (33mg/mL)
Pelarut: air, glikol, methanol, etanol
D. CARA KERJA
Larutan Metil Oranye 0.001 M
Dipipet sebanyak 0.5 mL Ditambahkan air(pelarut) hingga volume 50 mL Direkam spketrum serapannya mulai panjang gelombang 500-200 nm Ditentukan panjang gelombang maksimalnya Dilakukan hal yang sama untuk ketiga pelarut lain : glikol, metanol dan etanol Hasil
E. DATA PENGAMATAN
Pelarut air
Pelarut glikol
Pelarut etanol
Pelarut metanol
Dari spektra diatas, dapat dibuat tabel λ maks dan absorbansi metil oranye pada masing-masing pelarut. No.
Jenis Pelarut
Konstanta
λ maks
dielektrikum
(nm)
Absorbansi
1
Air
80.1
462.00
0.032
2
Glikol
41.4
452.00
0.018
3
Metanol
33.3
420.00
0.018
4
Etanol
25.3
420.00
0.014
Tabel λ maks dan absorbansi metil oranye pada beberapa jenis pelarut
F. ANALISIS DATA
1)
Gambar spektrum serapan metil oranye dalam beberapa pelarut dalam satu kurva
Ket: 1. Spektrum berwarna hitam : milik metil oranye dalam air 2. Spektrum berwarna merah : milik metil oranye dalam glikol 3. Spektrum berwarna hijau
: milik metil oranye dalam metanol
4. Spektrum berwarna kuning : milik metil oranye dalam etanol
2) Perhitungan nilai ɛ metil orange pada masing-masing pelarut, beserta jenis transisi elektron yang terjadi. Pada percobaan ini, lebar kuvet (b) yang digunakan yaitu 1,0 cm dan konsentrasi larutan metil oranye yang dipakai yaitu: = 0.001
mol metil oranye Konsentrasi metil oranye
=
X 0.0005 L = 5 x 10− mol
5 x 107
.
= 110−
Sesuai dengan hukum Lambert-Beer, dimana A= ɛ.b.c. Maka nilai dari ɛ dapat dihitung melalui persamaan =
.
.
a. Pelarut Air, absorbansi= 0.032
=
. 0.032
=
1 . 110−
= 3200
.
b. Pelarut Glikol, absorbansi= 0.018
=
. 0.018
=
1 . 110−
= 1800
.
c. Pelarut Metanol, absorbansi= 0.018
=
. 0.018
=
1 . 110−
= 1800
.
d. Pelarut Etanol, absorbansi= 0.014
=
. 0.014
=
1 . 110−
= 1400
.
Berikut adalah tabel hasil dari perhitungan diatas.
No
Pelarut
A
b (cm)
C (mol/L)
(L/mol.cm) atau (
)
.
1.
Air
0.032
1,0
10-5
3200
2.
Glikol
0.018
1,0
10-5
1800
3.
Metanol
0.018
1,0
10-5
1800
4.
Etanol
0.014
1,0
10-5
1400
Tabel . nilai metil oranye pada masing-masing pelarut
Berdasarkanhasil perhitungan nilai (absortivitas molar) diperoleh hasil bahwa metil oranye pada beberapa pelarut tersebut memiliki < 10.000. Hal ini dkarenakan pengukuran nilai Absorbansi tidak masuk rentang daerah Lambert-Beer (0.2-0.8), sehingga perhitungan nilai nilai tidak dapat dijadikan dasar penentu jenis transisi. Nilai (absortivitas molar) dapat dijadikan dasar penentu jenis transisi apabila abrobansi yang terukur masuk dalam rentang hukum Lambert Beer. 3) Berdasarkan jenis transisi elektron yang terjadi, maka terjadi pergeseran panjang gelombang maksimum. Berdasarkan
pergeseran
panjang
gelombang akibat kepolaran dari pelarut,
menunjukkan bahwa pergseran dari pelarut non polar ke polar menghasilkan pergeseran panjang gelombang maksimal yang dihasilkan
semakin besar (pergeseran bathokromik),
yang berarti memiliki transisi → *.Pada transisi → * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu (metil oranye). Interaksi dipol-dipol antara metil oranye dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi metil oranye dalam keadaan tereksitasi menjadi turun.
Akibatnya transisi → * metil oranye dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi → * metil oranye dalam pelarut nonpolar, sehingga menggeser λ maks ke λ yang lebih tinggi. 4) Kurva panjang gelombang maksimum (nm) vs konstanta dielektrikum
panjang gelombang maksimum (nm) vs konstanta dielektrikum 470
) 460 m n 450 ( l a m i 440 s k a 430 m λ
Series1
420 410 0
20
40
60
80
100
konstanta dielektrikum
Dari hasil kurva diatas dapat diperoleh kecenderungan yang terjadi, yaitu semakin besar nilai konstanta dielektrikum (dari pelarut non- polar ke polar) maka λ maksimum yang dihasilkan juga semakin besar.
G. PEMBAHASAN/DISKUSI
Pada percobaan ini bertujuan untuk mengamati pergeseran (batokromik dan atau hipsokromik) pada senyawa metil oranye. Berdasarkan data hasil pengamatan dan analisa data diatas diperoleh kenaikan λ maksimum dari pelarut non polar ke polar, maka jenis transisi yang terjadi yaitu transisi → *, akan tetapi jika dilihat dari nilai <10.000 jenis transisinya bukan → *, hal ini dikarenakan nilai absorbansi yang dihasilkan dari percobaan ini tidak memenuhi rentangan Absorbansi dari hukum Lambert Beer (0.2-0.8), sehingga kita tidak bisa memakai nilai tersebut sebagai acuan untuk menentukan jenis transisi pada percobaan ini. Pada perccobaan ini, keempat pelarut memiliki tingkat kepolaran yang
berbeda.
Berikut ini merupakan tabel pelarut yang digunakan dalam percobaan dengan urutan pelarut mulai dari yang kurang polar ke yang lebih polar.
Rumus
No
Pelarut
1.
Etanol
C2H6O
0,654
2.
Metanol
CH4O
0,762
3.
Glikol
C2H6O2
0,790
4.
Air
H2O
1,000
Kimia
Polaritas Relatif
Tabel 3. Polaritas relatif beberapa pelarut yang digunakan dalam percobaan
Pada hasil percobaan, dapat diketahui bahwa pergeseran λ maks
dipengaruhi oleh
kepolaran pelarut yang digunakan. Dari data percobaan diperoleh hasil bahwa λ maks etanol= metanol etanol atau sebaliknya yaitu etanol yang harusnya memiliki λ maks< metanol. Terjadinya penyimpangan pada metil oranye pada pelarut etanol atau metanol mungkin disebabkan karena adanya gangguan air dalam larutan stok (metil oranye yang digunakan dalam percobaan). Pelarut yang digunakan sebagai pelarut metil oranye dalam larutan stok adalah air. Hal ini menyebabkan adanya interaksi antara kedua pelarut yaitu air dan metanol sedikit lebih kuat dibandingkan interaksi antara metanol dengan metil oranye, sehingga menyebabkan λ maks pada pelarut metanol = etanol. Dari plot λ maks dengan konstanta dielektrikum menunjukkan bahwa semakin polar suatu pelarut yang digunakan maka λ maks akan bergeser kearah λ maks yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan jenis transisi yang terjadi yaitu transisi → * pada senyawa metil oranye. Hal ini disebabkan adanya transisi → * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu (metil oranye). Interaksi dipol-dipol antara metil oranye dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi metil oranye dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya transisi → * metil oranye dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi → * metil oranye dalam pelarut nonpolar sehingga menggeser λ maks ke λ yang lebih tinggi. Sehingga semakin polar pelarut yang d igunakan maka energi yang dibutuhkan untuk transisi makin rendah, yang menyebabkan terjadinya pergeseran λ maks ke arah yang lebih tinggi.
H. KESIMPULAN
Dari percobaan ini dapat diseimpulkan bahwa transisi elektron yang terjadi pada metil oranye dalam percobaan ini adalah transisi → *. Akibat transisi → * dalam metil orange dalam pelarut etanol, metanol, glikol dan air menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik.
I. Daftar Pustaka 1) Tim Dosen. 2017. Buku Petunjuk Praktikum Analisis Instrumentasii. Laboratorium Kimia FMIPA: Malang 2) Skoog, D.A. 1980. Principles of Instrumental Analysis. Holt-Saunders International Edition 3) Iqbal,Nm. 2009. Spektrofotometri UV-VISi(online) (http://xbaliqmekey.blogspot.co.id/2009/09/spektrofotometri-uv-vis.html) diakses pada tanggal 05 April 2017
G. Tugas
1. Tulislah rumus struktur metil oranye! 2. Apa yang dimaksud kromofor, pergeseran batokromik, dan hipsokromik? 3. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran panjang gelombang maksimum (bathokromik dan hipsokromik)! 4. Mengapa transisi nπ* menunjukkan pergeseran hipsokromik jika pelarut diubah dari non polar menjadi polar? 5. Mengapa transisi
ππ
* menunjukkan pergeseran batokromik jika pelarut diubah dari
non polar menjadi polar?
Jawab
1.
Metil Oranye
2.
a. Kromofor adalah gugus fungsi yang menyerap atau mengabsorbsi radiasi elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet dan daerah cahaya tampak. b. Pergeseran batokromik yakni pergeseran atau perubahan λ maks ke arah yang lebih besar. c. Pergeseran hipsokromik yakni pergeseran atau perubahan λ maks ke arah yang lebih kecil.
3.
#Pelarut Kepolaran pelarut mempengaruhi λ maks karena kepolaran molekul biasanya berubah jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya. Pergeseran panjang gelombang maksimum kearah batokromik atau hipsokromik terkait erat dengan jenis transisi elektron didalam senyawa, apakah transisi n→ * atau → *. Jika suatu senyawa kromofor mempunyai transisi n→ *, maka pergantian pelarut dari non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran hipsokromik. Hal ini disebabkan adanya solvasi yang terjadi lebih kuat karena adanya pasangan elektron bebas dan hal ini menyebabkan turunnya energi n. kadang-kadang juga terjadi karena adanya molekulmolekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi, sehingga transisinya memerlukan energi yang lebih besar maka terjadi pergeseran λ yang lebih kecil. Jika transisinya → *, maka pergantian pelarut dari non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik . Pada umumnya transisi → * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya transisi → * suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi → * molekul itu dalam pelarut nonpolar sehingga menggeser λ maks ke λ yang lebih tinggi. #pH Adanya perlakuan pada pH yang menyebabkan terjadinya stabilisasi spesies oleh resonansi pada keadaan transisi maka energi yang dibutuhkan untuk transisi akan semakin rendah, akibatnya akan terjadi pergeseran λ kearah yang yang lebih tinggi. Hal ini berlaku sebaliknya, apabila dengan perlakuan pH menyebabkan kurang stabilnya spesies pada keadaan transisi maka energi yang dibutuhkan untuk transisi akan semakin tinggi, akibatnya akan terjadi pergeseran λ kearah yang yang lebih rendah.
4. Jika suatu senyawa kromofor mempunyai transisi n→ *, maka pergantian pelarut dari non polar ke polar menyebabkan terjadinya pergeseran hipsokromik. Hal ini disebabkan adanya solvasi yang terjadi lebih kuat karena adanya pasangan elektron bebas dan hal ini menyebabkan turunnya energi n. kadang-kadang juga terjadi karena adanya molekul-molekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi, sehingga transisinya memerlukan energi yang lebih besar maka terjadi pergeseran λ yang lebih kecil. 5. Sebab pada umumnya transisi → * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih
polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya transisi → * suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi
→ * molekul itu dalam pelarut nonpolar sehingga menggeser λ maks k e λ yang lebih tinggi.
Lampiran Dokumentasi Praktikum Analisis Instrumentasi PERGESERAN BATHOKROMIK DAN HIPSOKROMIK SENYAWA KROMOFOR
(Pengambilan Metil Orange)
(Pelarutan dengan etanol)
(Pelarutan dengan metanol)
(Pelarutan dengan glikol)
(Larutan Mo dengan berbagai pelarut)
(Perekaman spektrum serapan 500-200 nm)