PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IMAM ALGHAZALI DAN IMAM ZARKASYI
SKRIPSI
Oleh : RISKI AYU OKTAVIANTI NIM : D01212093
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2016
ABSTRAK
Riski Ayu Oktavianti, Perbandingan Konsep Pendidikan Akhlak Imam alGhazali dan K.H. Imam Zarkasyi
Program Studi Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Keyword: Perbandingan, Pendidikan Akhlak, Imam al-Ghazali, K.H. Imam
Zarkasyi Skripsi ini mengkaji tentang perbandingan konsep pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi. Rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana perbandingan konsep hakikat pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, bagaimana perbandingan konsp tujuan pendidikan akhlak menurut Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, Bagaimana perbandingan konsep metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, dan Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi dengan perkembangan pendidikan akhlak di era modern. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan metode pengumpulan datanya menggunakan menggunakan studi pustaka dan dokumentasi. Dalam analisis atau pengolahan data, penulis menggunakan metode analisis isi, analisis deskriptif, dan metode komparatif. Hasil penelitian ini adalah adanya perbedaan dari kedua tokoh (Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi) dalam perumusan pengertian hakikat pendidikan akhlak dan metode pendidikan akhlak, al-Ghazali menggunakan metode Tazkiyah an-Nafs dan riyadloh. Sedangkan Zarkasyi menggunakan metode keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pelatihan. Disamping itu adanya persamaan dalam tujuan pendidikan akhlak yaitu menciptakan manusia yang sempurna yang mampu mendekatkan diri kepada Allah agar tercapainya kebagahagiaan di dunia dan akhirat. Serta relevansinya konsep pendidikan akhlak dari kedua tokoh dalam pembinaan akhlak masyarakat di era modern.
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM............................................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................................... ii PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ..................................................... iii ABSTRAK .......................................................................................................... iv MOTTO .............................................................................................................. v PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi KATA PENGANTAR........................................................................................ vii DAFTAR ISI....................................................................................................... BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Msaalah .................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 6 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 7 E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..................................... 8 F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional .......................................... 8 G. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 9 H. Metode Penelitian .............................................................................. 11 I.
Sistematika Penelitian ........................................................................ 15
BAB II: LANDASAN TEORI
A. Hakikat Pendidikan Akhlak ............................................................... 17 B. Tujuan Pendidikan Akhlak ................................................................ 27 C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ................................................... 32 D. Proses Pembentukan Akhlak.............................................................. 45 E. Factor-faktor Pendidikan Akhlak ....................................................... 50
F. Metode Pendidikan Akhlak................................................................ 54 BAB III: BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI
A. Imam al-Ghazali................................................................................. 62 1. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali ........................................... 62 2. Riwayat Pendidikan Imam al-Ghazali ................................... 63 3. Karya-karya Imam al-Ghazali................................................ 65 B. K.H. Imam Zarkasyi .......................................................................... 69 1. Riwayat Hidup K.H. Imam Zarkasyi ..................................... 69 2. Riwayat Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ............................. 71 3. Karya-karya K.H. Imam Zarkasyi ......................................... 79 BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI
A. Perbandingan Konsep Hakikat Pendidikan Akhlak menurut Imam alGhazali dan K.H. Imam Zarkasyi ............................................................ 84 B. Perbandingan Konsep Tujuan Pendidikan Akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi.......................................................................... 100 C. Perbandingan Konsep Metode Pendidikan Akhlak menurut Imam alGhazali dan K.H. Imam Zarkasyi ............................................................ 104 D. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi dengan Perkembangan Pendidikan Akhlak Era Modern ..................................................................................................... 131 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 134 B. Saran ....................................................................................................... 136 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berkembangnya zaman, syariat Islam semakin tenggelam dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini. Para Shalaf al-Shalih memotivsi manusia untuk berpegang teguh kepada al-Kitab dan al-Sunnah serta menjauhi bid’ah. Bahkan mereka mengkhwatirkan apa yang diperolehnya baik itu berupa pakaian, kendaraan, pernikahan bahkan jabatannya. Mereka takut bila kenikmatan dunia termasuk kenikmatan akhirat yang dipercepat hanya dirasakan didunia saja. Jika dilihat dari kacamata pendidikan, hal yang demikian itu sangat mungkin terjadi, karena memang selama ini pendidikan kita di Indonesia lebih berkonsentrasi kepada pembangunan ekonomi pragmatis dengan orientasi keuntungan jangka pendek yang lebih kasat mata. Selama ini pendidikan kita lebih banyak menggunakan literature barat yang steril dan terlepas dari nilai-nilai, penanaman keimanan dan keislaman. Oleh karena itu, sumber-sumber informasi perlu diseimbangkan dengan banyak menulis literature ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai Islam, tapi hal itu bukan berarti mendikotomikan antara umum dan ilmu agama. Pendidikan yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan melahirkan pendidikan yang bersifat dogmatis.
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi kepribadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thayyibun Wa Rabbun Ghafur. 1 Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan akhlakul karimah. Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhormat kedalam jiwa manusia. Tujuan pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk menekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kehebatan, kemegahan, kegagahan atau mendapatkan keduudkan dan menghasilkan uang. Karena kalau pendidikan tidak diarahkan kepada mendekatkan diri kepada Allah, akan menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan. Akhlak menempati posisi yang sangan penting dalam Islam. Ia dengan takwa yang akan dibicarakan nanti, merupakan buah pohon Islam yang berakaran akidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad). Dari hadits diatas telah dijelaskan bahwa akhlak Nabi Muhammad yang diutus menyempurnakan alkhal manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al- Qur’an yang
1
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 24
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
menjadi sumber uatma agama dan ajaran Islam. 2 Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 3
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab:21) Akhlak adalah sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Karena itu, selain dengan akidah, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan syari’ah. Dalam garis besarnya akhlak dibagi menjadi dua. Pertama adalah akhlak terhadap makhluk semua ciptaan Allah. Akhlak terhadap Allah dijelaskan dan dikembangkan oleh ilmu tasawuf dan tarikat-tarikat, sedang akhlak terhadap makhluk dijelaskan oleh ilmu akhlak. 4 Dari problematika di atas, penulis ingin mengangkat seorang figure klasik yaitu Imam Ghazali. Dikenal sebagai seorang teolog, filosof teoritik dan aplikatif. Sebelum diselami secara mendalam pemikiran Al-Ghazali tentang pendiidkan akahlak, penting bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu beberapa pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran
2
Ibid, h. 348 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Surabaya : Mahkota, 2010), h. 420 4 Daud, Pendidikan Agama Islam, h. 352 3
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
tentang pendiidkan akhlak. Pertama tentang tujuan manusia. Mengenai tujuan hidup manusia, Al-Ghazali menyatakan: “Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi”. Dari pernyataan Imam Ghazali diatas, dapat dipahami bahwa manusia mempunyai dua tujuan hidup. Pertama, sebagai perantara yang harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai tujuan akhir yang akan dicapai setelah hancurnya dunia.5 Dari
permasalahan
diatas
dapat
ditarik
benag
merah
antara
permasalahan pendidikan yang kurang baik dengan penglaman Al-Ghazali dan pemikiran-pemikiran beliau yang berkaitan dengan akhlak, yaitu kosongnya pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah dan suri tauladan dari guru. Sejalan dengan itu, tokoh modern dalam pendidikan Islam di Indonesia, KH. Imam Zarkasyi pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor yang merumuskan pemikiran tentang pembentukan karakter (akhlak) yang disebutnya dengan panca jiwa Adapun panca jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang pertama: Jiwa keikhlasan adalah jiwa yang berarti sepi ing pamr ih, yakni bebrbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat
5
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendiidkan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) hlm. 37
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
semata-mata untuk ibadah lillah. Kedua: Jiwa kesederhanaan adalah sederhana yang tidak berarti pasif atau nerimi, tidak juga berarti miskin dan melarat. Ketiga: Kemandirian (berdikari) yaitu kesanggupan menolong diri sendiri tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri akan tetapi pesantren sebagai lembaga juga harus berdikari agar tidak mengharapkan belas kasih. Panca jiwa keempat: Ukhuwwah Islamiyyah yaitu kehdupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah akan tetapi tidak hanya d pesantren, ketika keluar para santri juga dapat memberikan pengaruh terhadap persatuan umat dalam masyarakat. Dan yang kelima: Jiwa bebas yaitu bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negative dari luar masyarakat. 6 Imam Zarkasyi dengan Panca Jiwanya menjadikan landasan sebagai pembentukan karakter (akhlak). Selain panca jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor, Imam Zarkasyi juga menekankan pada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi tinngi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berfikiran bebas. Kriteria atau sifat-sifat utama ini dikenal sebagai Motto Pondok Gontor.
6
Panitia Penulisan Riwayat Hidup dan Perjuangan KH. Imam Zarkasyi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pondok Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996). Cet. Ke-1 hlm. 58-64
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Melihat pemaaran latar belakang di atas, melalui judul “Perbandingan Konsep Pendidikan Akhlak Imam Al- Ghazali dan Imam Zarkasyi”. B. Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang di atas, serta untuk membatasi penulisan ini, maka penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana perbandingan konsep hakikat pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi? 2. Bagaimana perbandingan konsep tujuan pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi? 3. Bagaimana perbandingan konsep metode pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi? 4. Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Ghazali
dan KH. Imam Zarkasyi dengan perkembangan pendidikan
Modern? C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui secara mendalam tentang perbandingan konsep hakikat pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi 2. Mengetahui secara mendalam tentang perbandingan konsep tujuan pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
3. Mengetahui perbandingan konsep metode pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi 4. Mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi dan relevansinya dengan Pendidikan Islam. D. Kegunaan Penelitian
Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Secara teoritis Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memperdalam teori pendidikan Islam yang berhubungan dengan kajian konsep pemikiran dua tokoh pendidikan Islam dalam menanamkan akhlak mulia. Serta sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk refrensi penelitian-peneltian berikutnya yang masih berhubungan dengan topic penelitian ini. 2. Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan: a. Bagi penulis, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan menambah wawasan penulis tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kontribusi pendiidkan Islam, khususnya dalam menanamkan akhlak mulia menurut Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi b. Bagi lembaga pendidikan, hasil dri penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam menanamkan akhlak mulia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang maksimal demi kemajuan bangsa.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
c. Bagi pihak lain yang membaca tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kontribusi pendiidkan Islam (perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi) dalam menanamkna akhlak mulia, ataupun sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti berikutnya. E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas. Peneliti ingin memberikan batasan masalah dengan fungsi sebagai penyempit obyek yang akan diteliti agar fokus dalam penelitian ini tidak melebar luas. Dalam hal ini yang menjadi tolak ukur dalam pembatasan masalah adalah kontribusi pendidikan Islam dalam menanmkan akhlak mulia perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami karya tulis ini, agar semua pihak mempunyai konsep yang sama terhadap istilah yang digunakan, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut : 1. Pendidikan
: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. 7
7
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 263
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
2. Akhlak
: budi pekerti 8
3. Perspektif
: sudut pandang. 9
4. Studi
: penelitian ilmiah, kajian telaahan. 10
5. Komparatif
: berkenaan atau berdasarkan perbandingan. 11
Dari definisi di atas, maka yang dimaksud dengan Pendidikan Islam Perspektif Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi (Studi Komparatif Dalam Pendiidkan Akhlak) adalah untuk mengetahui bentuk sumbangan Pendidikan Islam dalam menanamkan akhlak mulia melalui sudut pandang yang berbeda yaitu menuurut Imam Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. G. Penelitian terdahulu
Pada dasarnya segala sesuatu yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sesuatu yang telah ada sejak dulu. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan saat ini bukanlah penelitian yang murni baru, melainkan penelitian yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Sehingga penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut : Pertama, penelitian yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak : Studi Komparasi Pendidikan Akhlak Menurut Imam Ghazali dan Syed Muhammad
8
Ibid, 20 Ibid, 864 10 Ibid, 1093 11 Ibid, 584 9
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
Naquib Al Attas. Dari skripsi ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan di antara dua pemikiran tokoh (Imam Al Ghazali dan Syed Muhammad Naquib Al Attas) tentang konsep Pendidikan Akhlak. Menurut Imam Al Ghazali konsep pendidikan akhlak melalui metode tazkiyah al nafs, mujahadah, dan riyadhoh. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al Attas konsep pendiidan akhlak melalui konsep t a’dib yang mana sudah mencakup unsur -unsur pengetahuan, pengajaran, dan penyuluhan yang baik. Dan penekanannya cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti, sebagai upaya pembentukan akhlakul karimah guna mendekatkan diri kepada Allah demi mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat. Kedua skripsi yang berjudul, Konsep Pemikiran Imam Al Ghazali dan Ki Hadjar Dewantara (Studi Komparasi Pendidikan Karakter). Dari skripsi ini telah dipaparkan tentang perbedaan dua tokoh tentang pendidikan karakter. Menurut Imam Ghazali pendidikan karakter di mulai dari akhlak yang baik. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendiidkan karakter berupa pengajaran pembiasaan yang bersifat global dan spontan. Dari uraian kajian kepustakaan diatas penulis dapat memberikan simupulan bahwa masih belum ada penelitian yang mengkaji tentang konsep pendiidkan akhlak Imam Al Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi sebagai suatu kajian komparatif.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
H. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah sebagai berikut : 1. Jenis penelitian Berdasarkan sumber data, maka penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kualtatif karena data yang terkumpul dan disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka. 12 Sedangkan jenis penelitian ini dalam
penelitian
kualtatif,
termasuk
penelitian
kepustakaan
(library/research) yaitu penelitian yng dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.
13
Jadi studi teks peustaka disini adalah study teks yang
seluruh subsatnsinya diolah secara filosofis atau teoritis. 14 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. 15 Ditinjau dari segi sumbernya, data penelitian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.
12
Burhan Bungin, Peneltian Kualitatif, (Jakarta: Putra Grafika, 2007), h. 112 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004),
13
h.3 14
Noeng Muhajir, Metodelogi Penelitian Kualtatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1986), h. 158 Suharsimi Ariknto, Prosedur Penelitian (Jakarta : Rineke Cipta, 2006), h. 129
15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
a. Data primer adalah data yang diperoleh atau bersumber dari tangan pertama atau sumber utama sebagai informasi yang dicari. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru. Sumber data primer yang digunakan penulis sebagai berikut : 1) Kitab Ihya’ l Ulumuddin. (Semarang: PT. Toha Putra, 2004) 2) Imam Zarkasyi dan Zainudin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (Ponorogo: Fananie Center, 1934) b.
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau bersumber dari tangan kedua, yaitu karya-karya lain yang mendukung dan melengkapi pembahasan penelitian yaitu buku-buku yang relevan dengan pembahasan penelitian ini, serta data berupa transkip, artikel, serta internet. Adapun data sekunder yang digunakan adalah : 1) Abdullah bin Nuh, Mendaki Tanjakan Ilmu dan Tobat, Jakarta: Mizan, 2014 2) Muhammad Al-Baqir, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Jakarta: Mizan, 2014 3) Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 cetakan ke-1 4) A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali, Yogyakarta: BPFE, 1984 5) Misbach, dkk, K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996 cetakan ke-1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
6) Misbach, dkk, KH. Imam Zarkasyi di Mata Umat,Ponorogo: Gontor Press, 1996 7) Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005 8) Kafrawi Ridwan, Santri Inklusif, Jakarta: Penamadani,2006 cetakan ke-2 9) Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren, Ponorogo: Trimurti Press, 2005 10) Mardiyah, Kepemimpinan Kiyai Dalam Memelihara Budaya Organisasi, Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012 11) Staf Sekretariat Pondok Modern, Serba-serbi Singkat Tentang Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo: Darussalam, 1997 Edisi ke-5
3. Teknik Pengumpulan Data Pekerjaan mengumpulkan data bagi penelitian kualitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi dan menyajikan atau dengan kata lain memilih dan meringkas dokumen-dokumen yang relevan. Adapun tehnik-tehnik yang digunakan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
sebagai tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan tehnik: 16 a. Studi pustaka, dimulai denga mengumpulkan kepustakaan yaitu mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan mengenai tokoh dan topic yang bersangkutan. 17 b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable 18 dan mengumpulkan data melalui penggalan tertulis, seperti arsip-arsip, artikel-artikel, serta juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. 4. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang yang lain. 19 Analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga
16
Noeng, Metodologi, Ibid, h.30 Anton Bakker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 63 18 Ibid, h. 70 19 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika, 1996),h.104 17
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
memperoleh ganbaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan sebaliknya. 20 Jadi, bentuk anlisis ini dilakukan merupakan penjelasan-penjelasan, bukan berupa angka-angka statistic atau bentuk angka lainnya. Data yang diperoleh merupakan bahan mentah yang harus dianalisis. Adapun tehnik analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Metode content analysis (analisis isi) yakni analisis alamiah tentang isi pesan suatu komunikasi. 21 Tehnik penelitian ini untuk membuat inferensi-inferensi
yang
dapat
ditiru,
dan
sahih
data
dengan
memperhatikan konteksnya. 22 b. Metode dokumentasi, yaitu mencari data atau informasi mengenai halhal atau variable yang berupa catatan, transkip, terbitan pemerintah dan lain-lain. Serta dalam mengelolah data tersebut peneliti lebih memfokuskan pada isi buku atau pemikiran yang ada kaitannya dengan wacana pemikiran yang penulis bahas, yang selanjutnya data kualitatif tersebut dipaparkan secara sistematis. 23
20
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta , 2004), cet, 4, h. 89 21 Noeng, Metodologi, Ibid . h. 49 22 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h. 172-173 23 Noeng, Metodologi, Ibid. h. 60
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
c. Metode analisis deskriptif, yaitu suatau metode yang menguraikan secara teratur seluruh konsepsi dari tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat. 24 d. Metode analisis historis, dengan metode ini penulis bermaksud untuk menggambarkan sejarah biografis meliputi riwayat hidup, latar belakang pemikiran serta karya-karyanya. 25 e. Metode komparasi, yaitu metode dengan cara menggunakan logika perbandingan teori dengn teori lain untuk mendapatkan keberagaman teori, yang mempunyai persamaan dan perbedaan dan berkonsentrasi pada deskripsi yang rinci mengenai sifat atau ciri dari data yang dikumpulkan untuk menghasilkan pernyataan teoritis secara umum. 26 I. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab untuk mempermudah dalam mengarahkan penulisan skripsi dan agar dapat dipahami secara sitematis. Bab pertama berisi pendahuluan. Bab ini sebagai pengantar penelitian yang mempunyai unsur-unsur latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
24
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h. 100 Anton, Metodologi, Ibid. h. 70-86 26 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kulit atif, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), h. 244 25
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang konsep pendidikan akhlak dalam perspektif pendidikan Islam. Pembahasan ini meliputi, pengertian pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, proses pembentukan akhlak, metode pendidikan akhlak, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan akhlak. Bab ketiga berisi tinjauan umum tentang profil kedua tokoh, meliputi biografi dan karya-karya penting kedua tokoh Imam Al-Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. Serta tentang pemikiran kedua tokoh tentang konsep pendidikan akhlak. Bab keempat adalah analisis. Merupakan pokok pembahasan dari seluruh pembahasan dalam skripsi ini, oleh karenanya dalam bab ini dikemukakan analisis relevansi pemikiran kedua tokoh, yaitu Imam Al-Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. Dalam bab ini dilakukan analisa komparatif (persamaan dan perbandingan) serta relevansi dari kedua pemikiran tokoh dalam perspektif pendidikan Islam. Bab kelima yaitu bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saransaran penulis.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Hakikat Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama kata raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Istilah lain yang digunakan untuk menuju konsep pendidikan Islam ialah ta’lim. Menurut Dr. H. Veithzal Rivai Zainal, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dan wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotorik dan afeksi. 1 Dari al-Attas, Dr. H. Veithzal Rivai Zainal telah mengutip istilah ta’dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam berasal dari kata adab dan pada pendapatnya, berrarti pengenalan dan pengakuan tntang hakikat bahwa pngetahuan dan wujud bersifat teratur
1
Veithzal Rivai Zainal, Islamic Education Management, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal.
72
18 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
secara hierarki sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal. Kata ta’dib dinyatakan sebagai cara Tuhan dalam mendidik Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga Istilah itu mengandung makna yang amat dalam, menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: formal, informal, dan nonformal. 2 Menurut KH. R. Zainudin Fananie yang dimaksud dengan pendidikan bukanlah hanya yang di tangan guru-guru sekolah atau ibu bapak dalam rumah tangga saja, tetapi mengandung segala yang dapat mempengaruhi kebaikan kepada roh manusia semenjak kecil sampai dewasa, sehingga menjadi orang tua sekalipun. 3
2
Ibid, hal. 74 KH. Zainudin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (Jakarta: PT. Arya Surya Perdana, 2010) hal. 5 3
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
Ki Hajar Dewantara menyatakan yang dikutip oleh Veithzal Rivai: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Muhammah Natsir juga mengatakan yang dikutip oleh Veithzal Rivai: “Yang dinamakan pendidikan dinamakan pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”. Seementara itu menurut Marimba dikutip oleh Veithzal Rivai, yang dimaksud dengan pendidikan adalah: “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”. Sedangkan Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan bahwa, “Pendidikan adalah pengembangan fungsi-fungsi fungsi-fungsi psikis melalui latihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit”.4 Pengertian pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengertian pengajaran, sehingga sulit untuk dipisahkan dan dibedakan. Pendidikan tidak dapat dilaksanakan tanpa ada pengajaran, pengajaran tidak akan berarti jika tanpa diarahkan ketujuan pendidikan. Selain itu pendidikan merupakan
uasaha
pembinaan
pribadi
secara
utuh
dan
lebih
4
Veithzal Rivai Zainal, Islamic Education Management , hal. 72
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
menyangkut masalah citra dan nilai. Sedang pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai keterampilan fisik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani dan rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dab berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. 2. Pengertian Akhlak Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khuluq, al-khuluq , yang secara bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.5 Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak adalah sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik Karakteristik -karakteristik ini membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam
5
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 346
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
kondisi yang berbeda-beda. 6 Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa sseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu. Karakter yang merupakan suatu keadaan jiwa itu menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara mendalam, dan keadaan ini ada dua jenis. Pertama, alamiah bertolak dari watak, misalnya pada orang yang mudah sekali marah hanya karena masalah terlalu kecil, atau yang takut menghadapi insiden hanya perkara sepeleh. Orang terkesiap berdebar-debar disebabkan suara amat lemah yang menerpa gendang telinganya, atau ketakutan lantaran mendengar suatu berita. Atau tertawa berlebih-lebihan hanya karena sesuatu yang amat sangat biasa telah membuatnya kagum, atau sedih sekali hanya karena masalah tidak terlalu memprihatinkan yang telah menimpanya. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan, dan pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipetimbangkan dan dipikirkan namun kemudian melalui praktik
terus-menerus
akhirnya
menjadi
karakter
yang
tidak
memerlukan pertimbangan pemikiran lebih dahulu. 7 Menurut Abdullah Dirraj yang dikutip oleh Mansur, akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak
6
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 26 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) cetakan ke-3 hal. 221 7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak jahat). Menurutnya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, perbuatan itu dilakukan berulang-ulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Jadi apabila terdapat perbuatan namun hanya dilakukan sekali dan setelah itu tidak pernah dilakukan kembali, perbuatan tersebut tidak dinamakan akhlak. Kedua, perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain, sehingga menimbulkan ketakutan atau bujukan dengan harapan yang indah-indah dan sebagainya. Dapat dikatakan, apabila perbuatan itu dilakukan karena adanya paksaan yang dipengaruhi oleh unsur dari luar dirinya, maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan akhlak.
8
Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawali berpikir panjang, merenung dan memaksaakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seseorang yang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru melahirkan perbuatan-
8
Ibid, hal. 22-23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berpikir panjang, seperti orang bakhil. Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin dipandang orang. Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak. 9 Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengakuinya bahwa Dia-lah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap segala makhlukNya. Segala apa yang ada di dunia ini, dari gejala-gejala yang bermacam-macam dan segala makhluk yang beraneka wrna, dari biji dan binatang melata di bumi sampai kepada langit yang berlapis semuanya milik Tuhan dan diatur oleh-Nya. Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yag menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua ini terkandung dalam ajaran Al- Qur’an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang didatangkan dari Nabi Muhammad SAW. 10 Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling
9
Ali Abdul Halim Mahmud, hal. 34 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997) hal. 66
10
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu: 11 Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si A misalnya sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan dimanapun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut kadang-kadang dermawan, dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga si B kita mengatakan bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat beribadah tersebut telah dilakukannya di manapun ia berada. Kedua, perbuatan akhlak adalah yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa dan
11
Ibid, hal. 74
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
sebagainya bukanlah perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan
pada
sifat
yang
pertama,
maka
pada
saat
akan
mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran lagi. Hal yang demikian tak ubahnya dengan seseorang yang sudah mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka pada saat dating
panggilan
shalat
ia
sudah
tidak
merasa
berat
lagi
mengerjakannya, dan tanpa pikir-pikir lagi ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu jika ada seseorang yang melakukan melakukan suatu perbuatan, perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk kedalam akhlak dari orang yang melakukannya. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita meyaksikan orang berbuat kejam, sadis, jahat dan seterusnya, tapi perbuatan tersebut kita lihat dalam pertunjukan film, maka perbuatan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena perbuatan tersebut bukan perbuatan yang sebenarnya. Berkenaan dengan ini, maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain sebagai berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan sesungguhnya bahwa perbuatan tersebut memang dilakukan dengan sebenarnya. Hal ini perlu dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara, atau berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang sesungguhnya dapat dilakukan melalui cara yang kontinyu dan terus-menerus. Kelima, sejalan dengan ciri yaang keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin di puji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap yang dikehendaki manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an al- Qur’an dan hadits yang akan timbul perbuatan atau kebiasaan secara mudah tanpa mmerlukan perbuatan dan kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan dan kebiasaan yang buruk maka disebut akhlak tercela.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
3. Pendidikan Akhlak Setelah
dijelaskan
secara
terpisah
mengenai
pengertian
pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Disamping terbiasa melakukan akhlak mulia. 12 B. Tujuan Pendidikan Akhlak
“al-umur bi maqashidiha”, maqashidiha ”, Dalam qawaid qawa id ushul fiqh dinyatakan bahwa: “al-umur bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Hal ini menunujukkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Karena itulah, tujuan pendidikan Islam
12
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 63
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan yang lain. Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan. 13 Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorintasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidupbukan karena kebetukan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertent. Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah dan menjadi khalifah di muka bumi. Firman Allah SWT:
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al- An’am: 162]14
13
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet.1, h. 72 Ahmad Hatta, Tafsi Qu’a Pekata Dilegkapi dega Asbabu Nuzul da Tejemah , (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011), h. 150 14
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
Upaya dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin, walaupun pda kenyataannya manusia tidak mungkin menemukan kesempurnaan dalam berbagai hal. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Irsan alKaylani dalam buku karangan Abdul Mujib, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT., dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik dan psikis; (2) mengetahui ilmu Allah SWT., melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreatifitas makhluk-Nya; dan (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya. Tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu: 15 1. Tujuan pendidikan jasmani Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik. Fisik memang bukan tujuan utama dan segala-galanya, namun ia sangat berpengaruh dan memegang peran penting, sampai-sampai kecintaan Allah terhadap
15
Ibid, h. 78
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
orang mukmin lebih diprioritaskan untuk orang yang mempunyai keimanan yang kuat dan fisik yang kuat dibanding dengan yang mempunyai keimanan yang kuat tetapi fisiknya lemah. 16 2. Pendidikan Rohani Orang yang menerima ajaran Islam dengan baik akan menerima seluruh cita-cita ideal Al-Qur’an secara utuh. Peningkatan kualitas jiwa yang hanya setia kepada Allah serta melaksanakan moral Islam yang dicontohkan Nabi merupakan bagian pokok tujuan umum pendidikan. 17 Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua, berupaya memurnikan dan menyucikan diri manusia secara individual dari sikap negatif. 18 3. Pendidikan Akal Tujuan pendidikan akal, terikat perhatiannya dengan perkembangan intelegensi yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya yang mampu memberi pencerahan diri. Memahami pesan ayat-ayat Allah akan membawa iman kepada Pencipta. Kegagalan dalam ketegori ini dipandang sebagai model penyimpangan akal manusia dari kebenaran. 19 Tahapan pendidikan akal ini adalah:
16
M. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qu’a, (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 64 Ibid 18 Abdul Mujib, h. 79 19 M. Suyudi, h. 65 17
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
a. Pencapaian kebenaran ilmiah. b. Pencapaian kebenaran empiris. c. Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis. 4. Pendidikan Sosial Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas sosial. Identitas individu di sini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup bermasyarakat
yang plural
(majemuk). Tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sewaktu hidupnya, yaitu pembentukan moral yag tinggi karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis. Tujuan tersebut berpijak pada hadits Nabi SAW.:
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik bin Anas dari Anas bin Malik). 20
20
Abdul Mujib, h. 80
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Secara garis besar, lapangan pendidikan akhlak Islami amatlah luas, seluas ajaran agama Islam itu sendiri, karena esensi dari akhlak adalah ketentuan kebaikan dan keburukan dari perbuatan manusia. Padahal, perbuatan manusia tersebut jelas tidak statis. Dengan demikian, seluruh ajaran Islam pun pada dasarnya bermuatan akhlak. Penegasan seperti itu dapat ditarik dari pemahaman tentang hadits nabi, bahwa pilar Islam adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Tiga pilar tersebut dapat diilustrasikan sebagai sebuah sistem menyeluruh ajaran Islam. Kalau iman sebagai pondasi, Islam sebagai ketundukan nyata berupa perbuatan konkret terhadap normanorma, maka ihsan adalah sifat atau kualitas dari pelaksanaan ajaran Islam yang didasarkan pada iman dan Islam tersebut. Dengan demikian, akhlak adalah kualitas pelaksanaan atau aplikasi ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh, kalau orang berhaji ada akhlaknya, orang beriman kepada Allah ada akhlaknya, orang meyakini hari pembalasan ada akhlaknya, dan seterusnya. 21
Ruang lingkup pendidikan Islam adalah sama dengan ruang lingkup Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak
21
TIM Penyusun MKD UIN SA Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN SA Press, 2013) cet.3, hal. 105
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Berbagai bentuk dan ruang lingkup pendidikan akhlak yang dmikian itu dapat dijelaskan sebagai berikut: 22 1. Akhlak Terhadap Allah Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagaimana telah disebut diatas. Ada beberapa alasan mengapa manusia harus berakhlak kepada Allah. Pertama, karena Allah-lah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan ke luar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. Kedua, karena Allah yang telah memberikan
perlengkapan
pancaidera,
berupa
pendengaran,
penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Ketiga, Karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Keempat, Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.
22
Abudin Nata, Akhla Tasawuf.. hal. 148
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
Namun demikian sungguhpun Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia sebagaimana disebutkan di atas. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah di antaranya dengan tidak menyekutukan-Nya. Dari penjelasan diatas terhadap beberapa kewajiban kepada Allah yang harus dilaksanakan, diantaranya: 23 a. Beriman kepada Allah
“Sesungguhnya orang -orang yang beriman itu hanyalah orangorang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar,” (Q.S al-Hujurat: 15) 24
Pengertian beriman kepada Allah disini adalah meyakini keberadaan Allah beserta sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Maka dari itu kita harus yakin bahwa Allah itu ada serta Dia memiliki sifatsifat yang mulia. Beriman kepada Allah merupakan dasar utama keimanan, dari sinilah melahirkan ketaatan terhadap yang lainnya.
23
Heri Juhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), cet. 3,
hal. 26 24
Ahmad Hatta, h. 517
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
Hanya ketaatan yang berdasarkan keimanan kepada Allah sajalah yang benar dan akan diterima. Kebaikan dari beriman kepada Allah adalah musyrik, meyakini adanya Tuhan atau kekuasaan selain Allah. Perbuatan musyrik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni Allah, kecuali bertaubat dengan sungguh-sungguh. b. Taat kepada Allah
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang- orang yang beruntung”. (Q.S an-Nur: 51) 25
Buah dari beriman kepada Allah adalah ketaatan terhadap-Nya orang yang benar-benar beriman kepada Allah akan taat kepada semua perintah-Nya serta menjauhi semua larangan-Nya. Kebalikan dari taat kepada Allah adalah ingkar terhadap-Nya. Orang yang melakukan perbuatan kufur disebut kafir. Orang kafir menolak keberadaan Allah serta menolak semua perintah-Nya.
25
Ibid, h. 356
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
c. Berdzikir kepada Allah
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)- Ku”. (Q.S al-Baqarah: 152) 26
Berdzikir artinya megingat Allah. Berdzikir bisa dilakukan dengan mengingat Allah dalam hati atau menyebutnya dengan lisan. Kebalikan dari berdzikir adalah menolak dari mengingat Allah. Orang seperti itu akan selalu gampang gelisah, mudah putus asa, serta mudah disesatkan oleh setan. d. Berdo’a kepada Allah
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. [Q.S. Ghafir: 60] 27
26
Ibid, h. 23 Ibid, h. 499
27
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
Berdo’a artinya mengajukan permohonan kepada Allah. Berdo’a merupakan bukti pengakuan kita terhadap kekuasaan Allah, karena dengan kekuasaan dan bantuan-Nya lah semua permintaan dan kebutuhan bisa terpenuhi. e. Bersyukur kepada Allah
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab- Ku sangat pedih".” [Q.S. Ibrahim:7] 28
Bersyukur secara sederhana dapat diartikan sebagai ungkapan terima kasih kita kepada Allah, yaitu dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Serta memanfaatkan semua yang dianugrahkan Allah secara benar. Syukur merupakan ciri utama dari iman, dengan demikian orang yang tidak pernah bersyukur kepada Allah berarti ia kurang beriman kepada Allah. 2. Akhlak terhadap Sesama Manusia Lingkup akhlak ini berangkat dari keimanan bahwa semua manusia adalah sama dan selevel dalam pandangan Allah swt.
28
Ibid, h. 255
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
Keimanan dan tauhilah yang mengharuskan manusia untuk berbuat baik terhadap sesama. Dalam nuansa tauhid jugalah manusia disadarkan bahwa semua manusia adalah keluarga besar Allah. Artinya, semua manusia diurus, ditanggung, dan dirawat oleh Allah. Rasulullah SAW., menjelaskan bahwa Allah tidak menengok pada bentuk rupa dan tubuh kalian, tetapi menengok pada hati dan perbuatan kalian. Disini dapat dilihat, bahwa hati dan perbuatan itu tidak lain adalah akhlak itu sendiri. Akhlak adalah sifat batin yang melekat sehingga menjadi bentuk rohani tiap-tiap orang. Bentuk inilah yang menjadi sumber perbuatan akhlak setiap manusia dan dinilai oleh Allah. Tentunya sudah menjadi keyakinan setiap muslim bahwa rohanilah yang abadi dari manusia, bukan jasmaninya. Dengan demikian, maka jelaslah betapa penting membentuk rohani dan ilmu untuk upaya ini adalah akhlak. Akhlak yang akan menentukan keadaan manusia di akhirat kelak. Terkait dengan lingkup akhlak terhadap sesama manusia, maka konsep yang muncul adalah hak dan kewajiban sesama manusia. Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus berjalan seimbang. Artinya disamping menikmati hak-haknya manusia harus juga melaksnakan kewajibannya. 29
29
TIM MKD UIN SA Surabaya, hal. 116
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
3. Akhlak terhadap Lingkungan Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu yang di sektar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan di AiQur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya
dan
manusia
tehadap
alam.
Kekhalifahan
mngandung arti pengayom, pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan pnciptanya. 30 Menurut
pandangan
agama
Islam,
seseorang
tidak
diperbolehkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap
semua
mengantarkan
proses
manusia
yang
sedang
bertanggung
terjadi.
jawab,
Yang
sehingga
demikian ia
tidak
melakukan perusakan. Karena dengan adanya perusakan terhadap lingkungan berarti manusia telah mekakukan kerusakan terhadap
30
Abudin Nata, hal.150
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
dirinya sendiri. Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT., dan menjadi miikNya, serta semuanya memiki ketergantugan kepada-Nya. Hal ini mngantarkan seorang muslim untuk menyadari bahwa semua yang ada di bumi ini adalah makhluk ciptaan Tuhan yang harus diperlakukan secara baik. Dari penjelasana diatas Allah telah berfirman:
“ Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik ”. [Q.S. al-Hasr:5] 31 Dari ayat di atas di jelaskan bahwa alam dengan segala isinya telah ditundukkan Tuhan kepada manusia, sehingga dengan mudah manusia dapat memanfaatkannya. Jika demikian, manusia tidak akan mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat. 4. Akhlak terhadap Diri Sendiri Sebagai makhluk ciptaan Allah di antara makhluk-makhluk lain, manusia harus memikirkan apa yang ada di dalam dirinya sendiri, disamping juga harus mau memperhatikan makhluk-makhluk di luar dirinya, termasuk alam semesta. Tujuan dari berpikir dan perhatian
31
Ahmad Hatta, h. 545
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
tersebut adalah mengetahui kebesaran Sang Pencipta yang memberikan anugrah terhadap hamba-hamba-Nya. Aktivitas seperti itu di dalam agama disebut dengan zikir. Manusia yang baik adalah manusia yang mau berdzikir seperti itu. Iman kepada Allah berkonsekuensi agar manusia berdzikir kepada makhluk-makhluk ciptaan Allah sebagai sarana meneladani kebaikan dan keagungan Allah SWT. Bahkan Allah pun menganjurkan seorang hamba agar mau memikirkan dirinya sendiri.
Dan
ini
mendapatkan
penekanan
kuat
sebagaimana
diperintahkan dalam bentuk sindiran, yaitu kata
(apakah mereka tidak mau memikirkan diri mereka). Hamba yang tidak mau berdzikir dengan mrenungkan diri sendiri akan mendapat kerugian, karena kehilangan berbagai hikmahnya, sehingga menjadi manusia yang keras dan kasar batinnya. 32 Diantara hikmah memikirkan dan berdzikir adalah menjadikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran diri dan akhlak yang mulia. Di antara kesadaran tersebut adalah kesadaran manusia bahwa dirinya adalah ciptaan Allah yang sangat ajaib, unik, dan menyimpan seribu satu rahasia Illahi. Puncak dari kegiatan ini adalah
32
TIM MKD UIN SA, hal. 1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
menyadari bahwa di dalam diri manusia ada beragam anugerah dan nikmat Allah baik yang dimensi dohir dan batin. Manusia merupakan makhluk unik yang berbeda dengan makhluk Allah yang lain, karena ia terdiri dari dua esensi yang menyatu, yaitu tersusun dari bentuk dohir ( khalq) dan bentuk batin (khuluq). Kedua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, manusia dapat memposisikan dirinya menjadi dua entitas, sebagaimana kemampuannya untuk individualisasi. Kemampuan individualisasi ini telah dinyatakan oleh Allah sendiri sebagaimana himbauannya agar manusia selalu introspeksi. Memeriksa diri sendiri adalah melibatkan upaya membagi diri ini menjadi dua: diri sebagai subjek, dan diri sebagai objek. Hal ini dilakukan dalam dua pola. Pertama, pola subjektifikasi, yaitu dengan cara membayangkan dirinya berperilaku di tengah-tengah masyarakat sebagai sosok orang lain. Orang tersebut dikoreksi, bahwa selama melakukan sesuatu pada saat tertentu dan tempat tertentu apakah sudah baik dan benar, atau melakukan kesalahan dan seterusnya. Kedua, pola objektifikasi, yaitu dirinya diimaginerkan sebagai orang lain sebagai warga masyarakat yang selalu memantau dan mengoreksi dirinya tersebut, bahwa selama ini telah melakukan apa, bagaimana dan seterusnya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
Yang jelas, manusia memiliki dua lapis kewaiban, kewajiban syar’iyah-formal dan kewajiban moral. Adapun kewajiban moral seseorang terhadap dirinya sendiri adalah kewajibannya untuk memperlakukan dirinya secara baik. Misalnya, dengan menerima dirinya dengan penuh optimisme, apa adanya, tidak pernah menyesali keberadaannya, bahkan menggunakan segala potensi yang ada baik jasmani, maupun rohani untuk dikembangkan sebagaimana seharusnya. Dalam hal ini, manusia harus mempertimbangkan dirinya dalam dua dimensi, yaitu jasmani dan rohani. Terkait dengan rohani, batin atau jiwa, manusia harus berakhlak dan berbuat baik. Disini, agama memberikan norm-norma, etiket atau adab sebagaimana prinsipnya yang telah diberikan oleh al- Qur’an. Di antara norma-norma itu adalah sebagai berikut: a. Menggunakan akalnya untuk berpikir dengan baik, merawatnya dan mengokohkannya
dengan
ilmu-ilmu
berpikir
yang
benar,
memberikan asupan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, tidak boleh merusaknya atau dengan membiarkannya sia-sia, seperti melamun, dan berangan-angan kosong atau berpikir ke arah khurafat dan takhayyul, maupun dirusak dengan makanan dan minuman yang memabukkan. b. Menggunakan daya rasa hatinya denga baik, merawat dan membersihkan intuisi dan mendengarkan suaranya, membersihkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
hati dari penyakit-penyakitnya, semisal, sombong, keras hati, dengki/hasad, mengancam, berdusta, menipu, berprasangka buruk baik kepada sesama manusia ataupun kepada Allah. Sebaliknya seseorang harus menghiasinya dengan baerbaik sangka, bersyukur, menerima kenyataan yang ada, berkehendak baik yang kuat, dan lain sebagaimana. c. Menggunakan daya nafsu (hawa dan syahwatnya) dengan proporsional. Didalam ajaran agama Islam hawa dan dorongan nafsu, baik berupa keinginan terhadap makanan dan minuman, maupun seksusal, pangkat, jabatan, dan kekayaan tidaklah dilarang adanya. Sebab semua itu menjadi unsur dari manusia itu sendiri. karena jika tidak ada hawa nafsu, maka manusia tidak akan punya keinginan terhadap apapun di dunia ini, seperti keinginan mempunyai pasangan hidup, dan memiliki anak, sehinga pada akhirnya tidak ada kegiatan duniawi. Oleh sebab itu, Islam melarang untuk dihilangkannya hawa nafsu dari diri manusia secara total. Dan ibadah puasa dalam Islam bukanlah pemicu untuk mnghilangkan hawa nafsu, tetapi dimaksudkan untuk mengontrol hawa nafsu dan menggunakannya untuk kebaikan berdasarkan tuntunan akal dan hati nurani manusia. Di dalam Islam, manusia dilarang keras membunuh potensi-potensi rohani karena semuanya adalah anugrah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
dari Allah. Kewajiban manusia adalah menggunakan semuanya dengan baik sesuai dengan tuntunan hukum akhlak Islam. Dari sini ada hal penting yang harus diketahui dan disadari oleh orang beriman, dimana pandangan moralnya tentang harga diri manusia itu sangatlah berbeda dengan orang barat. Dimana moral seorang muslim harus berdasarkan sistem moral Islam yang sesuai dengan ajaran yang terkandung di dalam al- Qur’an dan hadits Nabi. D. Proses Pembentukan Akhlak
Pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk kepribadian manusia dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Tujuan dari pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan pmbentukan akhlak itu sendiri, yaitu membangun mental dan pribadi Muslim yang ideal. Citra Muslim ideal harus terpenuhi, paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi, yakni: kokoh pada rohaninya, kokoh ilmu pengetahuannya, dan kokoh fisiknya. Jika tiga hal diatas sudah terpenuhi, berarti sudah tercapai cita-cita Nabi dalam menginginkan citra manusia beriman yang benar, bertubuh sehat dan berilmu pengetahuan yang benar dan berguna. Tiga hal diatas penting diwujudkan karena beberapa hal. Pertama, akhlak adalah bingkai atau wadah agama. Agama yang tidak ditanamkan di dalam bingkai (wadah) yang baik tidak akan mudah tumbuh sehat dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
bermanfaat. Kedua, Allah senantiasa menyeru kepada manusia agar selalu berkeinginan untuk menmbah ilmu pengetahuan. Ilmu dapat menyuburkan rohani dan keimanan. Ketiga, badan atau jasmani yang sehat, karena badan yang sehat dapat memaksimalkan kerja organ tubuh dan fungsi fisio-psikis yang membawa pengaruh positif terhadap kerja rohani. 33 Dengan demikian, pendidikan akhlak tersebut dimaksudkan agar potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu, amarah, nafsu syahwat, pembawaan fitrah dan ghazirah, kata hati, hati nuranidan intuisi dibina, ditumbuhkan dan diarahkan secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat. Muhammad
Athiyah
al-Abrasyi
yang
dikutip
oleh
Marimba
mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam. 34 Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu untuk mnjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam. 35 Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu di bentuk, karena akhlak adalah insting yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini
33
Mansur Ali Rajab, Ta’amulat fi Falsafat al Akhla, (Mesir Baru: Maktabah al-Anjalu, 1961)
hal. 78-79 34
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet.2, hal.15 35 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, ), cet. 4, hal. 48-49
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kcenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau instuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga dengan bahwa akhlak adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meninggikan senidirinya. Demikian sebaliknya. 36 Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. 37 Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari Ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan akhlak adalah hasil usaha. Imam Ghazali mengatakan sebagai berikut:
36
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 54 Ibid., hal.90
37
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
.
Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batalah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.38 Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan melalui berbagai lembaga
pendidikan
dan
melalui
berbagai
macam
metode
terus
dikembangkan. Ia menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan seterusnya. Sebaliknya keadaan juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan seterusnya. Ini menunjukkan akhlak memang perlu dibina. Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tentangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan di bidang iptek. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia
38
Ibid., hal. 54
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
ini, yang baik atau yang buruk, karena ada alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik dan yang buruk dapat dilihat melalui pesawat televisi, internet, faximil, dan lainnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan, yang menyuguhkan adegan maksiat juga banyak. Demikian pula produk obatobat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistik dan hedonistik semakin menggejala. Semua ini jelas membutuhkan akhlak. Dari uraian diatas dapat dikatan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghaasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Disinilah letak peran dan fungsi lembaga pendidikan. 39 Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya.. potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk didalamnya akal, nafsu
39
Abudin Nata, hal. 155
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani, dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat. E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Untuk menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah populer: Pertama, aliran nativeisme,
menurut aliran ini bahwa faktor yang
paling berpengaruh terhadap pembentkan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapt berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, dan hal ini kelihatannya erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diruraikan di atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan. Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini tampak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Ketiga, aliran konvergensi. Menurut aliran ini bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembianaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fithrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intentif melalui berbagai metode. Aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” [Q.S an-Nahl:78] 40
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan yang dilakukan Luqmanul Hakim kepada anaknya yang terlihat pada ayat yang berbunyi:
40
Ahmad Hatta, h. 275
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada- Kulah kembalimu” [Q.S. Luqman: 1314]41 Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Luqman, juga berisi materi pelajaran, dan yang utama di antaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah-satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak. Kesesuaian teori konvergensi tersebut diatas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi:
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari) 42 41
Ibid, h. 412 Bukhori, Kitab Jenazah, no. hadits 1296
42
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
Hadits diatas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya, yakni tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan. Dan di dalam hadits Nabi banyak dijumpai anjuran agar orang tua membina anaknya. Misalnya hadis yang berbunyi:
,
“Didiklah anakmu sekalian dengan tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai keluarganya dan membawa al- Qur’an, karena orang yang membawa (hafal) al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, di hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya bersama para Nabi dan kekasihnya.” (HR. Al-Dailami dari Ali) 43
Selain itu ajaran Islam juga sudah memberi petunjuk yang lengkap kepada kedua orang tua dalam pembinaan anak ini. Petunjuk tersebut misalnya dimulai dengan cara mencari calon atau pasangan hidup yang beragama, banyak beribadah pada saat seorang ibu sedang mengandung anaknya, mengadzani pada telinga kanan dan mengiqomati pada telinga kiri, pada saat anak tersebut dilahirkan, memberikan makanan madu sebagai
43
Abudin Nata, h. 164
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
isyarat perlunya makan yang bersih dan halal, mencukur rambut dan mengkhitanannya sebagai lambang suka pada kebersihan, memotong akikah sebagai isyarat menerima kehadirannya, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca al-Quran, beribadah terutama shalat lima waktu pada saat anak mulai usia tujuh tahun, mengajarkan cara bekerja di rumah tangga, dan menikahkannya pada saat dewasa. 44 F. Metode Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilhat dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW., yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Perhatian Islam yang demikian terhadap pendidikan akhlak, dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatanperbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin. Perhatian Islam dalam pendidikan akhlak selanjutnya dapat dianalisis pada muatan akhlak yang terdapat pada seluruh aspek ajaran Islam. Ajaran Islam tentang keimanan misalnya sangat erat dengan mengerjakan serangkaian amak sholeh dan perbuatan terpuji. Iman yang tidak disertai
44
Ibid, hal. 165
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
dengan amal sholeh dinilai sebagai iman yang palsu, bahkan dianggap sebagai kemunafikan. Sebetulnya metode atau cara-cara pendiikan akhlak dapat dirujuk pada praktik Rasulullah dalam membentuk watak dan kerpibadian sahabatnya menjadi Muslim sejati. Demikian juga praktik para sahabat, tabi’in dan para ulama’ di dalam menciptakan kepribadian umat Islam. Semua adalah bahan-bahan yang patut menjadi contoh nyata dalam upaya ini. Rasul telah memperagakan sifat rahmat (kasih sayang). Dalam pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan penting dalam pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang memberi makna pada materi, tanpa metode, materi pelajaran tidak dapat di proses secara efisien dan efektif dalam mengejar tujuan.
Di dalam al- Qur’an ada beberapa
isyarat tentang metode pendidikan akhlak dan dapat dikelompokkan menjadi tiga: 45 1. Metode Hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi Adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai satu topik dan sengaja diarahkan pada satu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik. Dalam perckapan itu, bahan pembicaraan tidak dibatasi yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, seperti sains, filsafat, seni, dan agama. Kadang-kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang juga tidak ada kesimpulan karena salah
45
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. 1, hal. 137
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
satu pihak tidak puas terhadap pendapat pihak lain. Jenis-jenis hiwar ini ada 5 macam yaitu sebagai berikut: 46 a. Hiwar khitabi merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dan hamba-Nya. b. Hiwar washfi, yaitu dialog antara Tuhan dan makhluk-Nya, misalnya surah al-Baqarah ayat 30-31.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama bendabenda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! ” [Q.S. al-Baqarah: 30-31] 47
46
Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1996), cet.3, hal. 286 47 Ahmad Hatta, h. 6
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
c. Hiwar qishashi adalah percakapan yang baik bentuk maupun rangkaian ceritanya sangat jelas. Hiwar ini merupakan bagian maupun uslub kisah dalam alqur’an. Misalnya kisah Syuaib dan kaumnya yang terdapat dalam surah Hud ayat 84-85.
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu´aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)" Dan Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan ”. [Q.S. Hud: 84-85] 48 d. Hiwar jadali adalah hiwar yang bertujuan untuk memantapkan hujja, baik dalam rangka menegakkan kebenaran maupun menolak kebatilan. Cntohnya terdapat dalam surah an-Najm ayat 1-5.
48
Ibid, h. 231
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” [Q.S. an-Najm: 1-5] 49 e. Hiwar Nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik sahabat-sahabatnya. 2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi Adalah penyajian bahan pembelajaran yang menampilkan cerita-cerita yang terdapat dala al- Qur’an dan hadits Nabi. Kisah Qurani bukan semata-mata karya seni yang indah, tetapi juga cara mendidik umat agar beriman kepada-Nya. Dalam pendidikan Islam, kisah merupakan metode yang sangat penting karena dapat menyentuh hati manusia. Kisah menampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh sehingga pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya. Beberapa keistimewaan metode kisah qur’ani dan nabawi:50 a. Kisah yang memikat dan menarik perhatian pembaca, tanpa memakan waktu lama. Kisah seperti ini mengundang si pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, serta terkesan oleh watak pribadi pelaku kisah itu.
49
ibid, h. 526 Herry Noer Ali, hal. 332
50
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
b. Kisah qur’ani dan nabawi menyentuh nurani manusia dalam keadaannya yang utuh menyeluruh, sebagaimana terjelmah dalam tokoh-tokoh utama yang sengaja ditampilkan al- Qur’an kepada umat manusia. c. Kisah qur’ani dapat membangkitkan berbagai perasaan, seper ti rasa khauf, ridla, dan cinta terhadap yang patut diridlai dan dicintai serta rasa benci terhadap segala sesuatu yang patut di benci. d. Memberikan kesempatan mengembangkan pola pikirnya sehingga terpuaskan sebagaimana terlukiskan. 3. Metode Amtsal (perumpamaan) Qurani Adalah penyajian bahan pembelajaran dengan mengangkat perumpamaan yang ada dalam al- Qur’an. Metode ini mempermudah peserta didik dalam memahami konsep yang abstrak. Ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda yang konkret, seperti kelemahan Tuhan orang kafir yang diumpamakan dengan sarang laba-laba. Sarang itu lemah sekali, bahkan disentuh dengan lidi pun dapat rusak. Metode ini sama seperti yang disampaikan oleh Abdurrahman Saleh Abdullah. Metode ini mempunyai kelebihan karena dapat memberikan pemahaman konsep abstrak bagi peserta didik serta dapat memberi kesan yang mendalam. Selain itu, dapat pula membawa pemahaman rasional yang muda dipahami, sekaligus dapat menumbuhkan daya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
motivasi untuk meningkatkan imajinasi yang baik dan meninggalkaan imajinasi yang tercela. 4. Metode Keteladanan Adalah memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini meupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidikan baik secara institusional maupun nasional. Pelajar cenderung meneladani pendidiknya. Ini dilakukan oleh semua ahli pendidikan, baik di Barat maupun di Timur. Secara psikologis, pelajar memang senang meniru. Metode ini secara sederhana merupakan cara memberikan contoh teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu peserta didik tidak segan-segan dan menirunya dan mencontohnya, seperti shalat berjamaah, bakti sosial, dan partisipasi dalam kegiatan yang baik. 5. Metode Pembiasaan Adalah membiasakan peserta didik untuk melakukan sesuatu sejak ia lahir. Inti dari pembiasaan ini adalah pengulangan. Jadi, sesuatu yang dilakukan peserta didik hari ini akan diulang keesokan harinya dan begitu seterusnya. Metode ini akan semakin nyata manfaatnya jika didasarkan pada pengalaman. Artinya, peserta didik dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang bersifat terpuji. Misalnya, anak dibiasakan untuk mengucap salam ketika masuk rumah, kelas, dan lain-lain. Pembiasaan ini juga dapat
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
diartikan dengan pengulangan. Oleh sebab itu, metode ini juga berguna untuk menguatkan hafalan peserta didik. 6. Metode Ibrah dan mau’izhah Adalah metode yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan atau kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan. Sementara itu, metode mau’izhah adalah metode yang bertujuan
untuk
memberikan
motivasi
dengan
menggunakan
keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan. 7. Metode targhib dan tarhib Adalah penyajian pembelajaran dalam konteks kebahagiaan hidup akhirat. Targhib berarti janji Allah terhadap kesenangan dan kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Sedangkan tarhib adalah metode pendidikan dalam konteks hukuman (ancaman Allah) akibat perbuatan dosa yang dilakukan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI A. Imam Al-Ghazali 1. Riwayat Hidup
Ia adalah Zainuddin, Hujjatul Islam Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Nasyaburi, AlFaqih
Ash-Shufi,
Asy-Syafi’i,
Al-Asy’ari.1 Kadang
diucapkan
Ghazzali, (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampong kelahirannya.2 Ia lahir pada tahun 450H/1058M di kota Thus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naysabur. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Masa mudanya bertepatan dengan munculnya para cendikiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukkan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegak disana. Sarana kehidupan mdah didapatkan, masalah pendidikan sangat
1 2
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. 1, hal.9
64
diperhatikan, pendidikan dan biaya kehidupan para penuntut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Walaupun ayah al-Ghazali seorang buta huruf dan miskin, beliau memperhatikan
masalah
pendidikan
anaknya.
Sesaat
sebelum
meninggal, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang sufi agar memberikan pendidikan kepada kedua anaknya, Ahmad dan Ghazali. 2. Riwayat Pendidikan Imam al-Ghazali
Al-Ghazali memulia pendidikannya di wilayah kelahirannya, Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Kehausan al-Ghazali akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak intelektualnya mulai berkembang. Ia cenderung untuk mengetahui, memahami, dan mendalami masalah-masalah yang hakiki. 3 Selanjtnya ia pergi ke Naisabur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuanterpenting di dunia Islam. Di kota Naisabur inilah al-Ghazali berguru pada Imam al-Haramain Abi alMa’ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermdzhab Syafi’i yang pada saat itu menjdi guru besar di Naisabur.4 Di antara mata pelajaran yang dipelajari al-ghazali di kota tersebut adalah teologi, hokum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.
Ilmu-ilmu
yang
dipelajarinya
inilah
yang
kemudian
mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari. Hal ini
3
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. 1, hal.11 4
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), cet. 1, hal. 209
65
antara lain terlihat dari karya tulisnya yang dbuat dalam berbagai bidang dalam ilmu pengetahuan. Dalam ilmu kalam, al-Ghazali menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi Ilm al-Kalam (Tujuan Mulia dari Ilmu Kalam). Dalam bidang Taswuf dan Fiqh ia menulis buku Ihya’ Ulum al Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) dalam Ilmu Hukum Islam ia menulis kitab al- Mustasyfa’ (Yang Menyembuhkan), dan dalam Ilmu Filsafat ia menulis kitab Maqasidal-Falasifah (Tujuan dari Filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (Kekacauan dari Filsafat). 5 Karena demikian banyak keahlian yang secara prima dikuasai al-Ghazali, maka tidaklah mengherankan jika kemudian ia mendapat bermacam gelar yang mengharukan namanya, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syaikh al-Sufiyyin (Guru Besar Tasawuf), dan Imam al0Murabin (Pakar Bidang Pendidikan). Dalam pada itu sejarah filsafat Islam mencatat behwa al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu yang dicapai melalui panca indera maupun akal pikiran. Ia misalnya ragu terhadap ilmu kalam yang dipelajarinya dari al-Juwainy. Hal ini disebabkan dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan, sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul-betul benar di antara semua aliran. 6
5
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. 2, hal. 42 6 Ibid, hal.43
66
Sebagaimana halnya dalam ilmu kalam, dalam ilmu filsafat pun alGhazali meragukannya, karena dalam filsafat dijumpai argumenargumen yang tidak kuat, dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan agama Islam. Ia akhirnya mengambil sikap menentang filsafat. Dan pada saat itulah al-Ghazali menulis buku yang berjudul Maqasid al-Falsafah (Pemikiran Kaum Filosof). Buku ini dikarangnya untuk kemudian mengkrtik dan menghantam filsafat. Kritik itu muncul dalam buku lainnya yang berjudul Tahafut alFalasifah (Kekacauan Pemikiran Filosof-Filosof).7 Pada akhirnya perjalanan intelektualnya, tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu diri al-Ghazali. Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya. Pengetahuan mistiklah cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya. Itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali. 3. Karya-karya Imam al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir dalam Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya, meliputi berbagai ilmu pengetahuan, antara lain; filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf, akhlak dan otobiografinya.
7
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 210
67
Didalam muqaddimah kitab Ihya’ Ulum al -Din, Dr. Badawi Thabana, menulis hasil-hasil karya Ghazali yang berjumlah 47 kitab: 8 a. Kelompok filsafat dan ilmu kalam
1) Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filosof) 2) Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) 3) Al-Iqtishod fi al- I’tiqad (Moderasi dalam Aqidah) 4) Al-Munqid min al-Dhalal (Pembebas Dari Kesesatan) 5) Al- Maqashidul Asna fii Ma’ani Asmillah al -Husna (Arti Namanama Tuhan Allah Yang Hasan) 6) Faishalut Tafriqoh baina al-Islam wa az-Zindiqah (Perbedaan antara Islam dan Zindiq) 7) Al-Qishasu al-Mustaqim (Jalan untuk Mengatasi Perselisihan Pendapat) 8) Al-Mustadhiri (penjelasan-penjelasan) 9) Hujjatu al-Haq (Argumen Yang Benar) 10) Mufsilul Khilaf fii Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan Dalam Ushuluddin) 11) Al- Muntahal fi ‘Ilmil Jidal (Tata Cara Dalam Ilmu Diskusi) 12) Al- Madhun bin ‘Ala Ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada Bukan Ahlinya) 13) Mahkun Nadhar (Metodologika) 14) Asraar ‘Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama)
8
68
15) Al- Arba’in fi Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin) 16) Iljamul Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam (Menghalangi Orang Awwam Dari Ilmu Kalam) 17) Al-Qulul Jamil fi ar-Raddi ala man Ghayarul Injil (Kata yang Baik untuk Orang-orang yang Mengubah Injil) 18) Mi’yarul ‘Ilmi (Timbangan Ilmu) 19) Al-Intishar (Rahasia-rahasia Alam) 20) Isbatun Nadlar (Pemantapan Logika) b. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
1) Al-Basith (Pembahasan yang Mendalam) 2) Al-Wasith (Perantara) 3) Al-Wajiz (Surat-surat Wasiat) 4) Khulashatul Mukhtashar (Intisari Ringkasan Karangan) 5) Al-Mustasyfa (Pilihan) 6) Al-Mankhul (Adat Kebiasaan) 7) Syifakhul ‘Alil fi Qiyas wa at -Ta’lil (Penyembuh yang Baik Dalam Qiyas dan Ta’lil) 8) Adz- Dzari’ah
ila
Makarimi
as-Syari’ah
(Jalan
Kepada
Kemuliaan Syari’ah) c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf
1) Ihya’ Ulum al -Din (Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama) 2) Mizanul Alam (Timbangan Amal) 3) Kimiyau as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
69
4) Minhajul ‘Abidin (Pedoman Beribadah) 5) Ad-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah (Mutiara Penyingkap Penyingkap Ilmu Akhirat) 6) Al-‘Ainis Al-‘Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan) 7) Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla (Mendekatkan diri kepada Allah) 8) Akhlah al-Abrar Wan Najat minal Asrar (Akhlak yang Luhur dan Menyelamatkan dari Keburukan) 9) Bidayatul Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk) 10) Misykatul 10) Misykatul Anwar (Relung-relung cahaya) Ghayyah (Permulaan dan Tujuan) 11) Al 11) Al Mabadi wal Ghayyah 12) Talbis al-Iblis (Tipu daya Iblis) 13) Nashihat 13) Nashihat al-Mulk (Nasihat untuk Raja-raja) ‘Ulum al -Laduniyyah -Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni) 14) Al14) Al-‘Ulum 15) Al-Risalah 15) Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci) Ma’khadz (Tempat Pengambilan) 16) Al16) Al- Ma’khadz (Tempat 17) Al-Amali 17) Al-Amali (Kemuliaan) d. Kelompok Ilmu Tafsir
1) Yaqutu at-Ta’wil at-Ta’wil fi Tafsriri Tafsriri at-Tanzil (Metodologi Ta’wil dalam Tafsir yang Diturunkan) 2) Jawahir al-Qur’an al-Qur’an (Rahasia yang Terkandung dalam ALQur’an) 3)
70
B. Biografi KH. Imam Zarkasyi
1. Riwayat Hidup Terdapat sebuah desa terpncil, sekitar 11 kilometer dari arah Selatan kota Ponorogo. Di awal abad XX, tempat ini tidak banyak dikenal orang, kecuali oleh masyarakat sekitarnya. Walau begitu, di penghujung abad XIX, kawasan ini pernah terkenal karena keharuman pesantren di dalamnya. Desa di pinggir sungai itu bernama Gontor. Bila di awal abad XX itu orang dating kedesa ini, niscaya dia dapat menyaksikan sebuah rumah berbentuk joglo atau bucu. Halamnnya yang luas, ditumbuhi pohon asam jawa, pohon sawo, dan pohon manga, mengesankan sebuah rumah kuno yang asri. Ruang tamu luarnya luas terbuka dengan pilar-pilar yang menonjol. Ruang tamu tengahnya lapang dan kamar tidurnya terletak di seluruh sudut, suatu tata ruang yang lazim dimiliki keluarga priyai kuno. Lantainya terbuat dari pelesteran semen yang diaci, agak mengkilat dan bersih. Di sebelah barat rumah itu terdapat sebuah masjid kecil, didirikan oleh kyai Sulaiman Djamaludin sekitar tahun 1750-an. Dia adalah pendiri Pondok Gontor lama dan tokoh babad desa Gontor. Temboktembok di dalam masjid itu sudah mulai lapuk. Lantainya yang terbuat dari laur-lajur bamboo yang ditumpuk memperkuat kesan ketuaannya. Di dalam rumah inilah Imam Zarkasyi dilahirkan sebagai putera bungsu Kyai Santoso Anom Besari, ragil dari tujuh bersaudara. Seperti saudara-saudaranya, Imam Zarkasyi dilahirkan di desa Gontor, di
71
kompleks Pondok Gontor lama itu sendiri. Ia lahir pada tanggal 21 Maret 1910. Kakaknya enam orang, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Empat orang telah menikah. Kakak tertuanya tinggal di dalam kompleks Pondok, sedang tiga lainnya tinggal di Ponorogo. Keenam saudara Imam Zarkasyi itu, secara berurutan, adalah R.H. Rachmat Sukarto (menjadi Kepala Desa Gontor); R. Ngt. Sumiyah Harjodipuro (menikah dan tinggal di kota Ponorogo); R. Ngt. Sukatmi Ibnu Hajar Imam Besari (menikah dan tinggal di kota Ponorogo); R.H. Ngt. Sumilah Imam -qadhi dan tinggal di Kawedanan Ngulama (istri seorang na’ib al -qadhi Sampung, sebelah barat kota Ponorogo); RH. Ahmad Sahal, dan R.H. Zainudin Fananie. Ayah mereka, Kyai Santoso Anom Besari, adalah kyai terakhir Pondok Gontor lama. Sikap wara’ nya sangat menonjol. Wataknya W ataknya yang pendiam, zuhud dalam beribadah, berbudi pekerti luhur, dan berakhlak mulia lebih mencerminkan seorang keturunan Kyai yang berpengaruh ketimbang keturunan priyai atau bangsawan. Karena itu, meski kemampuannya kemampuannya dalam memimpin pondok tidak sebaik orang tuanya, ia tetap dihormati dan disegani. 9 Masa kanak-kanak Imam Zarkasyi bukanlah masa menyenangkan. Ia lahir dan dibesarkan pada zaman penjajahan, zaman paceklik. Dalam usia belum genap 10 tahun (sekitar 1918), Imam Zarkasyi menjadi
9
Misbach, Muhammad Ghufron, dkk; K.H Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), cet. 1, hal. 3
72
yatim. Ayahnya meniggal dunia saat kondisi Pondoknya sangat mundur dan belum memiliki generasi penerus. Ia sama keenam saudaranya merasa sangat terpukul sebab ayahnyalah satu-satunya orang yang menjadi figure dalam keluarga dan masyarakat saat itu. Keprihatinan yang sangat mendalam justru dirasakan oleh ibunya, Ibu Nyai Santoso. Selain kehilangan pendamping yang sangat berperan dalam hidupnya, ia juga harus menggantikan peran sang suami sebagai figure keluarga. Dengan demikian, ia harus menghidupi tujuh putera-puterinya, khususnya mereka yang belum menikah. 10 2. Riwayat Pendidikan Imam Zarkasyi
Sesuai dengan pesan dan wasiat ibunya, Imam Zarkasyi mulai belajar di pondok pesantren dan sekolah kurang lebih 10 tahun. Sekolah yang dimasukinya pada tingkat dasar adalah Sekolah Desa. Sekolah yang terletak di Desa Nglumpang (sebelah timur Gontor) ini adalah satu-satunya sekolah di daerah Gontor dan sekitarnya. Pondok pesantren di sekitar Gontor waktu itu cukup banyak Keahlian kyainya pun berbeda-beda. Di Malo, sebelah selatan Gontor, terdapat pondok yang dipimpin Kyai Zaid, ahli tasawuf. Di Joresan, terdapat pondok Kyai Mansyur dengan ahli tauhid dan tafsir, serta dikenal juga sebagai ahli khitabah (pidato).
10
Ibid, hal. 6
73
Untuk dapat sekolah dan mondok, Imam Zarkasyi memilih mondok di Joresan, seperti kedua kakaknya. Untuk daerah Ponorogo, pondok ini cukup terkenal, terbukti dari santri-santrinya yang tidak saja berasal dari daerah setempat, tapi juga dari luar daerah ponorogo. Kegiatan mengaji kitab di pondok ini dapat diikuti Imam Zarkasyi dengan memanfaatkan waktu di luar jam belajar di sekolah desa. Sbab, seperti umumnya pondok pesantren, waktu belajar berlangsung sore dan malam hari, sehingga kegiatan membaca ekstra itu tidak mengganggu masa belajar di sekolah pagi harinya. Di pondok ini, Imam Zarkasyi mengaji kitab-kitab Ta’limu al Muta’allim, as-Sullam, Safinatun-Najah, dan Taqrib,
di bawah
bimbingan Kyai Anwar dan Kyai Syarif. Selama mondok, Imam Zarkasyi banyak dikenal oleh para santri di pondok itu karena ia adalah santri yang pandai membaca kitab. Imam Zarkasyi memang terkenal tekun dalam belajar. Ia sering tidak tampak dalam acara-acara tradisi zanji, dhiba’an, dan lain-lain. Dalam acara keagamaan seperti bar seperti itu, ia lebih senang tinggal di kamar dan menekuni membaca kitab-kitab. Seperti jejak kedua kakaknya, setelah menyelesaikan Sekolah Desa selama tiga tahun, Imam Zarkasyi melanjutkan studinya ke sekolah Ongko Loro di Jetis. Sama seperti ketika di Sekolah Desa, sambil sekolah di pagi hari, di sore harinya Imam Zarkasyi mondok di Pondok Pesantren Josari di bawah bimbingan Kyai Mansyur. Pelajaran utama di
74
pondok ini adalah Tauhid. Disini Imam Zarkasyi tidak tampak menonjol dalam pelajaran, tapi memiliki kelebihan dalam ketekunan dalam belajar dan ibadah, seperti membaca kitab pada waktu-waktu tertentu, puasa sunnah dan shalat Tahajjud. Setelah menyelesaikan belajarnya di Sekolah Ongko Loro dan di Pondok Josari pada tahun 1925, Imam Zarkasyi berencana melanjutkan pelajarannya ke Solo. Ketika itu kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dan belajar telah mendorong dirinya untuk memilih kota Solo sebagai tempat belajar selanjutnya. Di awal abad 20, kota Solo merupakan kota pelajar yang diidamkan kebanyakan santri asal daerah Ponorogo. Disana terdapat paling tidak tiga perguruan agama yang dipandang maju: Pesantren Jamsaren, Madrasah Arabiyah Islamiyah, dan Madrasah Manbaul Ulum. Tiga lembaga pendidikan Isla yang sudah maju inilah yang menjadi tujuan Imam
Zarkasyi
ketika
itu.
Maksud
ini
disampaikan
dan
dimusyawarahkan dengan kakak-kakaknya, orang-orang yang secara langsung memikirkan biaya belajarnya. Karena biaya belajar disana dipandang tidak kecil, musyawarah itu tidak segera membuahkan kesepakatan bulat. Sementara Imam Zarkasyi menunggu kepastian dari kakakkakaknya itu, terbetik berita bahwa beberapa kawan sekolahnya telah berangkat ke Solo. Bahkan ada yang telah belajar di sana. Mendengar itu semua, semangat Imam Zarkasyi bukan mengendor tapi justru
75
bertambah membara. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dari berbagai kemungkinan dan dengan melihat tekad Imam Zarkasyi yang kuat, akhirnya kakak-kakaknya menyetujui rencananya untuk melanjutkan belajarnya di Jamsaren Solo itu. Pada tahun 1925, dalam usia 15 tahun, Imam Zarkasyi kemudian berangkat ke Solo. Tanpa diantar oleh kakak-kakaknya, ia mendaftarkan diri di tiga lembaga pendidikan Islam yang sudah ia rencanakan sejak masih berada di Ponorogo. Pertama, ia belajar di Pesantren Jamsaren, tempat ia mengkaji kitab di malam hari; kedua, di Madrasah Arabiyah Islamiyah, tempat ia bersekolah di pagi hari; dan ketiga, ia belajar di Madrasah Manbaul Ulum di Sore Hari. Disamping menyelengarakan pengajian kitab-kitab keagamaan. Pesantren Jamsaren dipenuhi oleh bermacam-macam kegiatan ekstra, seperti kepanduan, acrobat, baris-berbaris, diskusi, dan olahraga. Dari sekian banyak kegiatan ekstra ini, Imam Zarkasyi aktif dalam kegiatan diskusi, kepanduan, olahraga, dan baris-berbaris. Adapun kitab-kitab yang dipelajari di Pondok Pesantren Jamsaren ini, antara lain kitab. Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Wahab, al- Hikam, Ihya’ Ulum al-Din, Tafsir al-Jalalain, Safinatun-Najat, dan Qira’at Syatibi. Lima tahun lamanya Imam Zarkasyi menuntut ilmu di Solo. Masa selama itu benar-benar di manfaatkannya seoptimal mungkin untuk menimba
ilmu
dan
pengalaman
yang
sebnyak-banyaknya.
76
Ketekunannya itu membuat Ustadz al-Hasyimi yang berpikiran maju memandangnya sebagai seorang pemuda potensial. Setelah selesai belajar di Solo, Imam Zarkasyi mendapat tawaran untuk belajar ke Mesir, tetapi nasib belum baik, ia tergeser oleh calon lain dari keturunan Arab. Karena tidak jadi belajar ke M esir, ia mencari jalan lain, yaitu mencari guru yang pernah belajar di Mesir. Untuk itu al-Hasyimi menyarankan kepadanya untuk melanjutkan studi ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Di daerah ini telah banyak ulama lulusan Mesir. Keberangkatan Imam Zarkasyi ke Padang Panjang, bagi masyarakat santri di Jawa, merupakan langkah kontroversial atau melawan arus, karena masyarakat santri pada waktu itu mempunyai kecederungan mondok di Tebu Ireng Jombang atau di Tremas Pacitan. Karena dorongan niat yang kuat dan dukungan penuh dari kakak-kakaknya, Imam Zarkasyi berangkat dengan hati yang mantap ke Padang Panjang pada tahun 1930. Di Padang Panjang, sekolah yang pertama-tama dimasuki oleh Imam Zarkasyi di sana adalah Sumatra Thawalib School. Lembaga pendidikan ini pada mulanya adalah sebuah surau yang didirikan pada tahun 1914. Surau yang menjalankan pendidikan tradisional ini kemudian diperbaharui pada tahun 1921 dan dipimpin oleh Syaikh Abdul Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan julukan Haji Rasul. Masa belajar sekolah ini 7 tahun, terdiri atas 4 tahun tingkat ibtidaiyah
77
dan 3 tahun tingkat Tsanawiyah. Imam Zarkasyi mulai belajar di Thawalib School langsung duduk di kelas IV (II Tsanawiyah), dan berhasil menamatkan pelajarannya dengan baik dalam waktu 2 tahun. Setelah lulus dari Thawalib School, Imam Zarkasyi melanjutkan pendidikannya di Normal Islam School (Kulliyatul Muallimin alIslmiyah). Sekolah ini didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus. Untuk dapat diterima di sekolah ini, semua calon siswa harus mengikuti ujian masuk yang cukup berat. Penerimaan siswa sangat efektif, karena sekolah ini terkenal dan diminati banyak orang. Normal Islam pada masa itu dianggap sebagai sekolah yang modern, baik kurikulumnya maupun ditaktik dn metodiknya, di samping bangunannya. Isi kurikulumnya meliputi ilmu pengetahuan umum, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Dari ustadz Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi mempelajari beberapa ilmu, khususnya bahasa Arab. Di sini ia baru menemukan cara-cara mengajarkan bahasa Arab atau bahasa Inggris yang betul. Selain itu, Imam Zarkasyi juga memperoleh wawasan tentang pendidikan Modern, sebab Ustadz Mahmud Yunus adalah seorang pembaharu sistem pendidikan madrasah. Dari gurunya ini ia mulai mengenal sistem sekolah yang baik dengan kurikulum yang tersusun teratur. Di Norma Islam Imam Zarkasyi mempelajari bahasa Arab dan bahasa Inggris lebih intensif, sehingga menguasai kedua bahasa tersebut
78
secara aktif. Apalagi sekolah ini menerapkan sistem asrama meskipun hanya sekitar 70 siswa saja yang bisa tertampung dan semua penghuni asrama harus menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Imam Zarkasyi termasuk murid kesayangan ustadz Mahmud Yunus. Prestasi belajarnya tinggi, terutama dalam pelajaran bahasa Arab dan Ilmu Pasti (Aljabar, Ilmu ukur, dan Ilmu Alam). Kegemaran dan ketekunannya membaca buku menonjol. Karenannya, ia rajin mengunjungi perpustakaan Normal Islam yang dipandang sebagai perpustakaan paling besar dan paling lengkap di kota Padang. Buku yang disukainya adalah mengenai kependidikan dan Ilmu Jiwa, dan sastra Arab. Imam Zarkasyi kurang begitu berminat pada masalah-masalah politik. Perhatiannya lebih banyak dicurahkan kepada masalah-masalah pengembangan pendidikan dan dakwah. Norma Islam dinilai sebagai lembaga pendidikan yang berhasil dalam mencetak kader-kader pemimpin umat. Diantara factor-faktor yang mendukung keberhasilan ini ialah adanya guru-guru yang menanamkan ruh jihad, buku-buku bacaan siswa yan membangkitkan semangat perjuangan, dan situasi zaman pra-kemerdekaan memang membakar semangat pembebasan. Ustadz Mahmud Yunus tahu benar potensi yang ada pada diri muridnya,
Imam
kesungguhannya
Zarkasyi. mengingat
Ketekunannya pelajaran,
membaca
keaktifannya
buku, dalam
berorganisasi dan dalam kegiatan ekstrakurikuler, sejak dini telah
79
menarik perhatian Direktur Normal Islam yang juga dikenal sebagai salah seorang tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Maka setelah menyelesaikan pelajarannya di Normal Islam pada tahun 1935, Imam Zarkasyi langsung ditugasi oleh Ustadz Mahmud Yunus untuk menjadi Direktur Kweekschool Muhammadiyah di Padang Sidempuan. Dengan niat bulat akhirnya ia berangkat ke Padang Sidempuan. Ia menulis surat kepada kakaknya, K.H. Ahmad Sahal, bahwa kepulangannya diundur satu tahun lagi. K.H. Ahmad sahal waktu itu sempat bingung karena adiknya dapat menyelesaikan pelajaran dengan cepat. Namun, dalam pada itu, Pak Sahal juga merasa senang karena adiknya inilah yang diharapkan mampu meneruskan aktifitasnya sebagai pendidik di masa dating. Ada dua keuntungan bagi Imam Zarkasyi ketika memimpin sekolah ini. Pertama, ia memperoleh surat keterangan yang dianggap lebih penting dari ijazah yang diperoleh dari sekolah itu. Kedua, ia dapat mempraktikkan pengajaran bahasa Arab dengan metode baru. Setelah mengetahui hal ini, kakaknya lalu memakluminya. Setelah berjalan beberapa bulan, usaha Imam Zarkasyi menampakkan hasil yang menggembirakan, masyarakat mengakui hasil usaha itu, dan muridmurid gembira karena dalam beberapa bulan sudah mulai dapat bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Disinilah Imam Zarkasyi yang pada waktu itu berusia 25 tahun, mendapat kesempatan mempraktikkan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya; bukan saja sebagai guru, melainkan
80
sekaligus sebagai administrasi sekolah. Ia memimpin Kweekschool ini selama satu tahun. Selanjutnya, sekolah itu diserahkan kepada kawannya, H. Oemar Bakri untuk melanjutkan usaha yang telah dirintisnya itu. Ia kemudian kembali pulang ke Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Setelah Imam Zarkasyi menyelesaikan pendidikannya di Padang Pajang, maka lengkaplah sudah pengalamannya. Ia telah mengetahui kelemahan dan kelebihan dua sistem Pendidikan Islam, yaitu pesantren dan madrasah. Pesantren memiliki kelemahan dalam bidang metodologi pengajaran, sedangkan madrasah memiliki kelebihan dalam bidang ini. Pesantren memiliki keunggulan dalam sistem pendidikan dengan sistem kehidupan pondoknya di bawah pengasuhan kyai, sedangkan madrasah tidak memiliki kelebihan ini. 3. Karya-karya K.H. Imam Zarkasyi
Sebelum memahami karya-karya yang dihasilkan K.H. Imam Zarkasyi, sebaiknya jika terlebih dahulu memahami pemikirannya tentang makna karya. Karya dalam pandangan K.H. Imam Zarkasyi, secara mendasar dihubungkan dengan prinsip amal jariah yang membawa manfaat kepada orang lain. Semakin besar manfaat karya seseorang besar nilai amal jariah dari karya itu. Sehingga, karya yang bermanfaat merupakan salah satu bentuk ibadah dan realisasi ketakwaan serta menjadi ukuran kebesaran seseorang.
81
Seperti yang selalu jadi tekadnya ketika mulai merintis sistem pesantren modern, ia mengatakan, “Apabila saya tidak berhasil mengajar melalui pesantren, maka saya akan mengajar denga n pena”. Hal ini menunjukkan karya K.H. Imam Zarkasyi, merupakan amal yang bermanfaat bagi orang lain, bisa berupa keebrhasilan anak didiknya atau hasil karya tulis. Karya yang bermanfaat seringkali beliau jadikan sebagai ukuran orientasi dan target seseorang ketika memilih suatu bidang kehidupan. Pernah salah seorang santri meminta izin untuk menjadi lurah. Pertanyaan yang pertama diajukan beliau adalah apa karya yang bermanfaat yang akan disumbangkan untuk masyarakatnya sebagai seorang lurah. Seorang santri yang mengajar mengaji satu atau dua orang dengan ikhlas di surau, di tengah hutan, adalah orang besar, karena ia telah berkarya dan bermanfaat bagi orang di tengah hutan yang mungkin orang ain tidak melakukannya. Bahkan hakikat ijazah seorang santri bagi beliau adalah pengakuan masyarakat terhadap karyanya yang bermanfaat di tengah-tengah mereka. Itulah
pokok-pokok
pikiran
K.H.
Imam
Zarkasyi
telah
meninggalkan karya besar dan banyak. Karya Tulis
Karya beliau dalam bentuk tulisan, di antaranya adalah: a. Durus al-Lugah al-Aarabiyyah I & II, merupakan buku pelajaran bahasa Arab Dasar dengan sistem Gontor.
82
b. Kamus Durus al-Lugah al-Arabiyyah I & II, c. Al-Tamrinat I, II, & III, merupakan buku latihan dan pendalaman kaidah-kaidah tata bahasa Arab, gaya bahasa, kalimat, dan kosa kata. d. Dalil al-Tamrinat I, II & III e. Amtsilah al-Jumal I & II, merupakan buku yang berisi contohcontoh I’rab dari kalimat yang benar. f. Al-Alfazh al-Mutarodifah, buku tentang sinonim beberapa kata dasar bahasa Arab. g. Qawa’id al -Iml a’, buku tentang kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab yang benar. h. Pelajaran Membaca Huruf Arab I A, I B, dan II, dalam bahasa Jawa. i.
Pelajaran Tajwid, dalam bahasa Indonesia, buku pelajaran tentang kaidah membaca Al-Qur’an secara benar.
j.
Ilmu Tajwid, dalam bahasa Arab, lanjutan pelajaran tentang kaidah membaca Al-Qur’an secara benar.
k. Bimbingan Keimanan, buku pelajaran aqidah untuk tingkat dasar dan anak-anak. l.
Ushuluddin,buku pelajaran aqidah Ahlussunnah wal Jamaah untuk tingkat menengah dan tingkat lanjutan.
m. Pelajaran Fiqh I & II, buku pelajaran fiqh tingkat menengah dan dapat dipergunakan untuk praktik beribadah secara praktis dan sederhana bagi pemula.
83
n. Senjata Pengandjoer, ditulis bersama kakak kandungnya, K.H. Zainudin Fananie. o. Pedoman Pendidikan Modern. p. Kursus Agama Islam ditulis bersama kakaknya K.H. Zainudin Fananie. q. Beberapa makalah dan pokok pikiran.
BAB IV ANALISI PERBANDINGAN PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DAN K.H. IMAM ZARKASYI
Sebelumnya pada kajian teori telah dijelaskan konsep pendidikan akhlak. Yang mana disebutkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Disamping terbiasa melakukan akhlak mulia. 1 Maka pada bagian ini akan dijelaskan analisis konsep pendidikan akhlak dari perspektif Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi.
1
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kon temporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 63
85
A. Perbandingan Konsep Hakikat Pendidikan Akhlak menurut Imam alGhzali dan K.H. Imam Zarkasyi 1. Imam al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali akhlak adalah tabiat (kebiasaan), perangai atau watak yang sudah melekat pada jiwa manusia dari sejak ia lahir. Menurut Imam al-Ghazali lafadz, khuluq (kata tunggal dari akhlaq) dan khalq (bentuk ciptaan atau fisik) adalah dua kata yang sering digunakan bersama-sama. Jadi, yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahiriah, sedangkan yang dimaksud dengan khuluq adalah sifat batiniah. Hal ini mengingat behwa manusia terdiri atas tubuh yang dilihat dan dicerap oleh penglihatan mata (bashr ), dan ruh (jiwa) yang hanya dapat dicerap oleh penglihatan batin. Masingmasing dari keduanya mempunyai bentuk atau rupa, adakalanya buruk dan adakalanya baik. Tentunya, ruh atau jiwa yang (hanya) dapat dicerap oleh bashirah (penglihatan batin) lebih tinggi derajatnya daripada tubuh yang dapat dicerap oleh bashar (penglihatan mata). Karena itulah, Allah memuliakan ruh dengan menisbahkannya kepada diri-Nya, seperti dalam firman-Nya:
86
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". Dalam
firman-Nya
itu,
ditegaskan
bahwa
tubuh
dinisbahkan pada tanah, sedangkan ruh dinisbahkan kepada Allah Swt., Tuhan Semesta Alam. Adapun yang dimaksud dengan ruh dan nafs (jiwa) dalam ungkapan seperti ini, adalah sama saja. 2 Kata akhlaq berarti suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah, dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Maka, apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal sehat dan syariat, dapatlah ia disebut sebagai perangai atau akhlak yang baik. Sebaliknya, apabila yang timbul darinya adalah perbuatan-perbuatan yang buruk, ia disebut sebagai akhlak yang buruk pula. 3 Disebut perangai atau watak yang menetap kuat dalam jiwa, karena seseorang yang jarang atau hanya sesekali saja menyumbangkan hartanya untuk keperluan tertentu, tidak dapat disebut
sebagai
seorang
yang
berwatak
dermawan.
Yaitu,
sepanjang hal itu tidak merupakan sesuatu yang menetap kuat 2
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din, juz. III, h. 49 Muhammad al-Baqir, Percikan Ihya’ Ulum al -Din, Mengobati Penyakit Hati dan Membentuk Akhlak Mulia. (Jakarta: Mizania, 2014), h. 29 3
87
dalam jiwanya. Karena itu, kami mempersyaratkan bahwa ia harus merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa harus dipikirkan atau drencanakan sebelumnya atau ketika menahan amarah hatinya, melakukan semua itu dengan berat hati atau dengan susah payah maka tidaklah dapat dikatakan bahwa orang itu berwatak dermawan atau pemaaf. Oleh sebab itu, haruslah dipenuhi empat syarat, yaitu: a. Adanya perbuatan yang baik dan buruk b. Adanya kemampuan untuk melakukan kedua-duanya. c. Pengetahuan tentang kedua-duanya. d. Adanya
sesuatu
dalam
jiwa,
yang
membuatnya
cenderung pada salah satu dari kedua-duanya, serta dengan mudah dapat dikerjakan yang baik atau yang buruk. Jelas
bahwa
suatu
khuluq
tidaklah
identik
dengan
perbuatan. Sebab, adakalanya seseorang berwatak dermawan, tetapi dia tidak menyumbangkan sesuatu. Baik karena dia tidak memiliki sesuatu ataupun karena adanya hambatan lainnya. Sebaliknya,
adakalanya
dia
berwatak
kikir,
tetapi
dia
menyumbang, baik karena terdorong oleh suatu kepentingan dirinya ataupun karena ingin dipuji. Yang benar adalah bahwa apa yang disebut dengan perangai atau watak ialah sesuatu yang dengannya jiwa manusia
88
memiliki
kesiapan
bagi
timbulnya
kedermawaan
ataupun
kekikiran. Dengan kata lain, ia adalah bentuk atau rupa batiniah dari jiwa seseorang.4 Demikian pula yang berkaitan dengan batin seseorang. Di perlukan adanya 4 hal potensial yang ke semuanya harus dalam keadaan baik, sehingga denganya akhlak baik seseorang dapat menjadi sempurna. Ke empat hal potensial ini adalah kekuatan pengethuan, kekuatan emosi (ghadab), kekuatan syahwat, dan kekuatan yang menyeimbangkan antara ketiga potensi tersebut. 5 Maka, apabila ke empat hal potensial ini ada pada diri seseorang, secara seimbang dan serasi, dapatlah dikatakan bahwa dia memiliki akhlak atau perangai yang baik. Kemampuan atau kekuatan pengetahuan akan menjadi baik dan sempurna bagi seseorang, apabila hal itu mampu memudahkan baginya untuk membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara hak dan yang batil dalam hal kepercayaan, antara yang baik dan yang buruk dalam hal perbuatan. Maka, jika kekuatan ini dalam keadaaan sempurna, niscaya akan membuahkan hikmah (kearifan). Sebab, hikmah adalah puncak dari akhlak yang baik.
4
Ibid, h. 32 Al-Ghazali, Kimiyau as-Sa’adah, (Al-Mishbah), h. 17
5
89
Adapun kekuatan emosi (ghadab), ia menjadi baik apabila tetap berada di dalam batas yang di benarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang memuncak ataupun mereda. Adapun yang dimaksud dengan kekuatan
keseimbangan
adalah dikendalikannya ambisi dan emosi oleh akal dan syari’at. Akal dapat diumpamakan sebagai seorang pemberi nasihat dan arahan. Sedangkan kekuatan keseimbangan adalah sesuatu yang mampu bertindak dan yang melaksanakan apa yang diarahkan atau diperintahkan oleh akal. Adapun emosi adalah objek yang padanya perintah tersebut ditujukan. Ia dapat di umpamakan sebagai anjing berburu yang perlu di latih sedemikian rupa, sehingga melukaukan pengejaran atau berhenti sesuai dengan yang di perintahkan, dan bukannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya sendiri. Adapun kekuatan ambisi dapat di umpamakan sebagai seekor kuda yang ditunggangi dalam suatu perburuan. Adakalanya ia terlatih baik dan jinak, da nadakalanya ia bersifat liar dan tak terkendali. Barangsiapa memiliki semua sifat ini dalam keadaan sedang, moderat, dan seimbang maka dia tak dirgaukan lagi adalah seorang
yang
berakhlak
sempurna.
Barangsiapa
memiliki
sebagiannya saja bukan semuanya dalam keadaan sedang dan seimbang, dia dapat dianggap berakhlak baik dalam kaitannya dengan sifat tersebut secara khusus. Sama halnya seperti seorang
90
yang memiliki keindahan pada bagian-bagian tertentu saja dari wajahnya, bukan pada wajahnya secara keseluruhan. Adanya kebaikan, sifat “sedang”, dan moderat dalam kekuatan
emosional
(kemarahan,
ghadhabiyah)
disebut
“keberanian”, sedangkan kebaikan dalam kekuatan ambisi (hawa nafsu, syahwat) disebut ‘iffah (penahanan nafsu dari perbuatan tercela). Manakala kekuatan emosional menyimpang dari sifat moderatnya dan lebih cenderung kea rah yang ekstrem atau berlebihan, hal itu disebut “kenekatan”. Sebaliknya, jika ia lebih cenderung kea rah kekurangan, hal itu disebut “kepengecutan”. Jika kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) lebih cenderung kearah berlebihan, hal itu dsebut “kerasukan”. Adapun jika ia lebih cenderung kearah kekurangan, hal itu disebut “kebekuan” atau “kejumudan”. Hal yang paling dipujik an adalah keadaan “tengah-tengah”, dan itulah yang disebut fadhilah (kebajikan). Sedangkan kedua ujung yang ekstrem adalah keburukan yang tercela. Jika sifat keseimbangan (keadilan) telah hilang taka da lagi ujung yang berlebihan ataupun yang berkurangan. Yang ada hanyalah sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, kezaliman. Adapun jika sifat hikmah digunakan secara gegabah dan berlebihan dalam tujuan-tujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan. Sedangkan jika digunakan secara
91
berkurangan, hal itu disebut kedunguan. Pada hakikatnya, posisi yang tengah-tengah itulah yang layak dan khusus disebut hikmah. 6 Maka dari lurusnya empat potensial ini bisa muncul budi pekerti yang baik semua. Karena dari lurusnya kekuatan akal bisa menghasilkan penalaran yang bagus, kejernihan hati, kecerdasan berfikir,
kebenaran
dugaan,
kecerdasan
berfikir
terhadap
perbuatan-perbuatan yang halus dan bahaya-bahaya jiwa yang tersembunyi.7 Al-Ghazali mendefinisikan akhlak yang dikutip Abidin Ibnu Rusn sebagai berikut: 8 “Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal maupun syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak buruk.” Sedangkan arti pendidikan menurut al-Ghazali adalah: “Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.” Berangkat dari pengertian pendidikan dan akhlak yang telah disebutkan, maka pendidikan apapun, menurut al-Ghazali, harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. 9
6
Muhammad al-Baqir, h. 33 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din, juz III, h. 53 8 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet.1, h. 99 7
92
Menurutnya di dalam hati manusia terdapat dua tentara, yaitu ego dan nafsu. Di dalam kitab nafsu dan ego tidak akan pernah bersatu. Seseorang bisa dikatakan mempunyai akhlaqul karimah (akhlak yang terpuji), apabila manusia dapat menguasai ego dan nafsunya secara seimbang. Pada dasarnya pendidikan menurut Imam al-Ghazali adalah suatu proses pembinaan kejiwaan manusia agar terciptanya pribadi yang mulia. Hal ini diperkuat oleh Marimba yang dikutip oleh Ibnu Rusn, bahwa pendidikan adalah suatu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh guru terhadap perkembangan jasmani dan ruhani murid menuju terbentuknya kepribadian yang utama. 10 Demikian pula al-Ghazali merumuskan pendidikan dalam kitab Ihya’ Ulum al -Din: “Sesungguhnya hasil ilmu itu adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat..”11 2. K.H. Imam Zarkasyi
Akhlak menurut K.H. Imam Zarkasyi adalah etika. Menurutnya, perkataan etika, moral, atau budi pekerti ini sangat umum, sehingga pelajaran tentang etika mengandung banyak hal yang saling berhubungan. Akhlak atau etika yang perlu bagi umat muslim sebagai guru agama Islam di Negara Indonesia ialah suatu pelajaran yang sangat dibutuhkan pada masa peralihan dan pembangunan sekarang ini. Sebab, etika atau budi pekerti tidak lain ialah ilmu bertindak atau pengetahuan tentang hal-hal yang 9
Ibid. Abidin Ibnu Rusn, h. 54 11 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din juz I, h. 13 10
93
menunjukkan kepada kita jalan yang baik untuk dapat hidup di dalam masyarakat. K.H. Imam Zarkasyi mengakatakn bahwa akhlak atau etika itu “sukar”. Di katakana “sukar” karena etika berhubungan dengan agama, sedangkan agama mengandung beberapa unsur-unsur yang dapat diringkas dalam tiga hal: a. Unsur kepercayaan b. Unsur budi pekerti yang berhubungan dengan pekerjaan atau perangai (akhlak) c. Unsur perasaan Unsur pertama adalah kepercayaan. Keyakinan atau I’tiqad dapat diartikan keyakinan terhadap sesuatu. Arti keyakinan disini tidak lebih diartikan keyakinan pada agama, namun keyakinan seseorang terhadap sesuatu. K.H. Imam Zarkasyi mengatakan: “kepercayaan tidak dapat di terangkan dengan jelas, tetapi cukup sebagaimana seseorang itu telah mempercayai kepercayaan. Jika seseorang telah percaya kepada sesuatu, maka segala perhatiannya akan ditujukan kepadanya dan tidak dapat mendengarkan pikiranpikiran lain dengan tenang. Oleh sebab itu, di samping perlu ada kepercayaan, perlu juga ada pengetahuan.” 12
12
Ceramah disampaikan di depan Latihan Guru-guru Agama Islam, tahun 1946. Yang kemudian di kutip di buku karangan TIM Penyusun Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 272
94
Unsur kedua adalah Budi pekerti dapat di pahami lebih mudah daripada kepercayaan, sebab budi pekerti berhubungan dengan hal-hal yang kongkret yang dapat dijelaskan. Dikatakan kongkret karena budi pekerti dapat terlihat dalam bentuk perilaku. Karena perilaku seseorang merupakan penjabaran keimanan seseorang. Jika keimanan dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu dan berbuat baik. Maka seseorang tersebut mempunya budi pekerti yang baik. Inilah yang disebut dengan budi pekerti. Unsur ketiga yaitu unsur sentiment. Adapun sentiment ialah suatu hal yang pada masa dahulu, zaman penjajahan, kita kobarkobarkan, berhubungan dengan usaha menginsyafkan kepada bangsa akan kedudukan bangsa asing yang berkuasa di negeri kita. Menurutnya sentiment harus dihilangkan, karena berhubungan erat dengan persatuan dan perjuangan. Menurut K.H. Imam Zarkasyi Akhlak adalah petunjuk dan pedoman yang harus diikuti manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman-pedoman itu bagi umat Islam diambil dari kitab suci alQur’an dan hadits-hadits Nabi. Akhlak yang berdasarkan agama itu adalah yang sederhana sekali, tetapi paling efektif (paling banyak hasilnya) dalam masyarakat. 13
13
TIM Penyusun, K.H. Imam Zarkasyi, h. 272
95
K.H. Imam Zarkasyi menjelaskan bahwa di dalam etika atau akhlak ada suatu hal yang kita namakan “ ideal ” yang berarti sebagai ancer-ancer atau ukuran-ukuran penilaian kita terhadap sesuatu hal. Oleh karena itu etika sering dinamakan satu ilmu yang normative. Jadi penilaian itu dapat kita selesaikan dengan mempunyai norma atau mempunyai suatu ukuran yang pasti yang telah ditetapkan. K.H. Imam Zarkasyi juga menambahkan, bahwa setiap perbuatan moral dan perbuatan budi pekerti terdapat unsur yang menyertainya. Ideal yang dimaksud K.H. Imam Zarkasyi adalah ukuran penilaian pasti. Yaitu penilaian yang berdasarkan dari ajaran agama yaitu al-Qur’an dan hadits. Sedangkan unsur pikiran berarti harus menjalankan perbuatan itu agar dapat mengetahui hikmahhikmah dan faedah-faedah yang dapat diambilnya. K.H. Imam Zarkasyi pun mengatakan bahwa tidaklah dapat dikatakan seseorang itu telah bermoral atau beretika jika hanya mengikuti banyak orang atau hanya terpengaruh oleh perasaan suasana atau sentiment.14 Menurutnya hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’an surat al-Zumar ayat 9:
14
Ibid, h.276
96
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Disini K.H. Imam Zarkasyi juga memberikan beberapa syarat terhadap pikiran yang tenang, yaitu: teliti, possitif, dan kritis. Teliti berarti seseorang harus teliti di dalam segala hal. Tidak boleh hanya percaya kepada perkataan seseorang. Oleh karena orang itu kelihatannya beragama atau selalu memakai termterm yang berhubungan dengan agama, sentiment atau perasaan kita tentu condong kepada orang yang begitu sifatnya. Tetapi, pikiran yang tenang harus menjauhkan kecondongan itudan melihat kepada pokok yang dibicarakan oleh orang kita sukai itu. Teliti berarti juga kita harus menerima segala hal tidak dengan sesuatu hal yang kita namakan vooroordeel atau kesan-kesan yang tidak baik sebelumnya. K.H. Imam Zarkasyi mengumpamakan: “Jika kita melihat sesuatu hal yang terjadi di dalam masyarakat. Lebih dahulu jangan kita berperasaan hal ini tidak cocok dengan agama, tapi hendaklah diselidiki betul-betul, sampai kemana mudlaratnya, atau sampai kemana faedahnya. Positif. Kita harus bersifat positif. Artinya jangan kita selalu percaya kepada keyakinan-keyakinan orang banyak. Sudah terbukti bahwa agama itu sukar artinya. Di dalam satu agama saja
97
banyak aliran yang bermacam-macam. Dan setengah dari aliran itu tidak cocok sama sekali dengan pokok agama itu sendiri Kritis, artinya selalu menyelidiki. Jadi, jangan sampai kita melihat suatu barang itu hanya sekedar melihat dan menyaksikan, tetapi juga mencari hal-hal yang berhubungan dengan itu, dengan keinsyafan bahwa mungkin masih ada hal yang belum dapat diketahui. Itulah pokok dari sifat-sifat pikiran yang perlu diketahui. Karena hal-hal itu semua sering bertentangan dengan unsur-unsur perasaan yang ada di tiap-tiap agama. Menurut K.H. Imam Zarkasyi yang dimaksud dengan pendidikan itu bukanlah hanya yang di tangan guru-guru sekolah atau ibu bapak dalam rumah tangga saja; tetapi mengandug segala yang dapat mempengaruhi kebaikan pada roh manusia semenjak kecil sampai dewasa, sehingga menjadi orang tua sekalipun. Manusia selalu menerima didikan, asal masih mempunyai roh kesucian (kemanusiaan), atau pikiran yang sehat. 15 Dari penjelasan diatas dapat diambil perbandingan antara kedua tokoh tentang hakikat pendidikan akhlak. Menurut Imam Ghazali akhlak adalah suatu tabiat atau perangai yang sudah melekat pada jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya 15
Imam Zarkasyi, Pedoman pendidikn Modern, (PT, Arya Surya Perdana, 2010), h. 4, dicetak kembali setelah 76 tahun.
98
perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut akal dan syariat, maka hal tersebut dinamakan akhlak yang baik. Demikian pula para ulama mendefinisikan akhlak merupakan suatu sifat tertanam dalam diri dengan kuat melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawali berpikir panjang, merenung dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seseorang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak. 16 Menurut Imam Ghazali akhlak yang baik adalah yang mempunyai empat kekuatan potensial
yang
ada
dalam
jiwa
manusia
(nafsu,
amarah,
pengetahuan, dan keadilan). Keempat potensial ini haruslah seimbang dan saling mengharmonisasikan satu sama lain. Seseorang yang bagus dengan kekuatan kebenciannya dan mampu untuk mengendalikannya maka disebut syaja’ah (pemberani), lalu seseorang
yang
bagus
kekuatan
syahwatnya
dan
mampu
mengendalikannya maka dapat menimbulkan sifat pemaaf. Sifat pengetahuan yang baik ialah yang dapat membedakan antara pernyataan yang benar dan salah, antara perbuatan yang baik dan yang buruk. Melalui cara kerja pengetahuan yang demikian, maka kebijakan (hikmah) akan timbul dalam jiwa. Keadilan yang sehat
16
Ali Abdul Halim Mahmud, h. 34
99
dapat mengendalikan kekuatan nafsu dan amarah dengan mengikuti keputusan akal dan syariah. Oleh karena itu akan muncullah sifat adil dalam diri manusia. Sedangkan pendidikan akhlak menurut Imam Ghazali adalah proses menghilangkan akhlak yang buruk dan menanmkan akhlak yang baik. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa adanya perubahan akhlak bagi seseorang adalah mungkin, misalnya dari sifat kasar kepada sifat kasihan. Perubahan akhlak dapat diadakan melalui jalan pendidikan. Jika akhlak tidak ada kemungkinan untuk berubah maka wasiat, nasehat, dan pendidikan tidak berarti apaapa. Hal ini sesuai dengan arti pendidikan itu sendiri. pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani dan rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dab berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. Dengan demikian pendidikan akhlak menurut Imam Ghazali adalah suatu proses yang dapat menghilangkan atau membersihkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri seseorang dan menanamkan atau mengisi jiwa dengan sifat-sifat terpuji sehingga memunculkan tingkah laku yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan.
100
Berbeda dengan K.H. Imam Zarkasyi, menurutnya akhlak adalah etika, moral, dan budi pekerti. Definisi pendidikan akhlak menurut beliau adalah ilmu bertindak atau pengetahuan tentang hal-hal yang menunjukkan kita kepada jalan yang baik untuk hidup dalam masyarakat. Beliau juga menekankan, bahwa arti akhlak itu adalah petunjuk dan pedoman yang harus diikuti dalam kehidupan. K.H. Imam Zarkasyi sebagai salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam
Gontor
(PMDG)
telah
lama
menyadari
akan
pentingnya penanaman nilai akhlak sebagai salah satu solusi yang utama untuk permasalahan yang dihadapi pada masa itu. Sebagai bentuk perhatian lembaga pendidikan yang K.H. Imam Zarkasyi rintis terhadap pentingnya penanaman nilai akhlak, beliau menulis buku etiquette atau etika, dan dijadikan buku pegangan para santri Pondok Gontor yang wajib dipelajari oleh mereka. B. Perbandingan Konsep Tujuan menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi 1. Imam al-Ghazali
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru, dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
101
Al-Ghazali mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugsa pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan paling penting dalam pendidikan. Sesuai penegasan beliau: “Manakala seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan dunia, hendaknya ia menjaganya dari siksaan api neraka, dengan cara mendidik dan melatihnya serta mengajarnya dengan keutamaan akhirat. Karena akhlak yang baik merupakan sifat Rasulullah.” Hal ini sesuai dengan hadits yang di riwayatkan Aisyah ra.: 1.
“Rasulullah itu budi pekertinya al-Qur’an”. Setelah
menjelaskan
peranan
pendidikan
akhlak
sebagaimana
diuraikan diatas, al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan tujuan pendidikan akhlak; Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 17 Karena itu ia bercitacita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan akhlak itu. Adapun tujuan pendidikan akhlak adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Ghazali yang dikutip Ibnu Rusn, pendidikan dalm prosesnya haruslah mengarah pada pendekatan diri 17
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), cet. II, h. 86
102
kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia akhirat. 18 Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. 2. K.H. Imam Zarkasyi
Dalam merumuskan tujuan pendidikan akhlak, K.H. Imam Zarkasyi tidak menjelaskan secara rinci dalam berbagai karyanya. Namun dalam buku pedoman pendidikan modern, beliau sependapat dengan kakaknya Zainuddin Fnanaie yang menuliskan arah dan tujuan pendidikan akhlak sebagai berikut: “Pendidikan budi pekerti atau moral itu menuju: 1. Kejujuran dan kelurusan hati, dan dalam pemeliharaan tabiat-tabiat yang berguna besar bagi manusia dalam pergaulan hidup; 2. Tertanamnya benih kebaikan, menjauhkan rasa benci dan menjauhkan akan segala kejahtan; 3. Tertanamnya tabiat yang baik yang amat berguna bagi pergaulan hidup bersama serta menjadi dasar bagi segala amal dunia dan akhirat”.19 Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah adanya keselarasan antara perbuatan, sikap, pikiran, dan hati seseorang dalam bergaul di kehidupan sosial yang dapat menghasilkan tertanamnya kerpibadian yang baik dan menghilangkan kerpibadian yang jelek dari hati dan pikirannya sehingga dapat hidup dalam bermasyarakat yang baik, dan berguna sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
18 19
Abidin Ibnu Rusn, h. 57 K.H. Imam Zarkasyi, Pedoman Pendidikan Modern, (PT. Arya Surya Perdana, 2010)
103
Dari konsep tujuan pendidikan akhlak kedua tokoh diatas terdapat perbedaan penafsiran dalam merumuskan tujuan pendidikan akhlak. Menurut Imam Ghazali tujuan pendidikan akhlak adalah agar terciptanya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat dengan menghilangkan segala perbuatan tercela dan mengisinya dengan perbuatan terpuji. Menurutnya tujuan akhir dari pendidikan akhlak
yaitu
memutuskan
diri
dari
kecintaan
duniawi
dan
menancapkan dalam diri kita cinta kepada Allah. Maka tidak ada lagi sesuatu yang dicintainya selain berjumpa dengan dzat Illahi Rabbi, dan tidak menggunakan semua hartanya kecuali karenaNya. Sedangkan menurut K.H. Imam Zarkasyi tujuan dari pendidikan akhlak yang diorientasikan dalam pondok Gontor tersebut adalah untuk membentuk pribadi yang alim, muslim yang mukmin berakhlak karimah, yang dihiasi dengan badan yang sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas, yang tertuang di motto pondok modern, sehingga dia bahagia
dalam
kehidupannya
sebagai
individu
dan
dalam
bermasyarakat. Disamping itu juga dituntut untuk menjadi manusia yang berpegang teguh kepada iman, islam, dan ihsan. Serta diharapkan ketika hidup bermasyarakat luar mampu menciptakan kehidupan yang harmonis antar sesama. Disamping itu pula terdapat kesamaan dalam tujuan pendidikan akhlak diantara keduanya yaitu menjadikan manusia sempurna yang
104
nantinya akan bahagia di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Mujib, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT., dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik dan psikis; (2) mengetahui ilmu Allah SWT., melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreatifitas makhlukNya; dan (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya. C. Perbandingan Metode Pendidikan Akhlak menurut Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi 1. Imam al-Ghazali
Telah diketahui bahwa akhlak yang baik bersumber pada kekuatan akal yang moderat dan proposional, hikmah yang sempurna, emosi (ghadab), dan ambisi (syahwat ) yang seimbang dan terkendali sepenuhnya oleh akal dan syariat. Keseimbangan dan keserasian seperti ini dapat dicapai melalui dua cara: a. Melalui anugrah Ilahi dan kesempurnaan fitri. Yaitu, ketika seseorang manusia dicipta dan dilahirkan dalam keadaan memiliki akal yang sempurna, dan perangai yang baik, dengan kekuatan ambisi dan emosi yang terkendali, sedang, seimbang, dan proposional, serta bersesuaian dengan akal dan syariat.
105
b. Dengan memperoleh perangai-perangai ini melalui perjuangan melawan
nafsu
dan
latihan-latihan
ruhani.
Yakni
dengan
memaksakan atas diri seseorang perbuatan-perbuatan tertentu yang merupakan bah dari suatu jenis perangai yang dimiliki. Dalam hal ini Imam Ghazali merumuskan metode pendidikan akhlak melalui penyucian jiwa/diri seseorang ( tazkiyah an-Nafs), dan dengan melalui latihan-latihan (riyadlah). Pertama, melalui penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), dalam metode ini al-ghazali memberi perumpamaan seorang dokter dan guru dalam mengobati pasien dan muridnya. Apabila seorang dokter mengobati semua orang sakit suatu cara pengobatan yang sama, niscaya dia akan menyebabkan kematian atas kebanyakan dari mereka. Demikiann pula seorang guru, seandainya dia memerintahkan satu jenis latihan kejiwaan atas semua muridnya, niscaya dia akan membinasakan mereka dan mematikan hati mereka. Metode ini sama halnya dengan pembinaan badan. Untuk menghindari badan dari berbagai penyakit, maka harus menjauhi berbagai sumber-sumber yang menjadi penyakit jiwa. Adapun jiwa yang sakit harus disucikan sebagaimana pengobatan bagi badan yang sakit Metode ini terdiri dari dua tahapan, yaitu dengan cara pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela; dan dengan penghiasan diri dengan moral dan sifat-sifat terpuji.
106
Dalam proses metode ini al-Ghazali menekankan pentingnya seorang akhlak sebagai panutan penyucian diri dan pembersihan diri, serta menghias diri dengan akhlak terpuji. Menurutnya seorag sufi harus memahami tingkat-tingkat atau kondisi penyakit jiwa yang dialami oleh murid. Karena itu bagi seorang guru harus benar-benar mengetahui kondisi jiwanya. Dalam proses penyucian jiwanya hendaknya seseorang mengetahui cela-cela yang ada pada dirinya. Sebab, kebanyakan dari manusia, mereka tidak mengetahui kekurangan-kekurangan pada dirinya. Ia dapat melihat kotoran yang ada pada oarang lain, namun ia tidak dapat melihat pelepah daun kurma pada dirinya sendiri. hal ini ada 4 cara agar manusia menghendaki untuk melihat cela-cela yang ada pada dirinya, di antaranya: 20 a. Hendaknya ia duduk dan berkumpul di samping seorang syaikh yang pandai melihat pada kekurangan diri, yang selalu memperhatikan pada bahaya-bahaya yang samar. Dan ia menetapkannya, bahwa kekurangan-kekurangan yang demikian ini, ada pada dirinya sendiri. kemudia ia mengikuti petunjuk guru di dalam usahanya. b. Hendaknya ia mau mencari teman yang benar, yang kuat pengetahuannya tentang agama, maka ditugaskan temannya untuk mengoreksi dirinya tentang hal ikhwal da perbuatannya.
20
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din, h. 62
107
Maka apa yang tidak disenangi dari akhlak, dan perbuatannya, baik secara batin maupun lahir, hendaknya ia memberitahukan kepadanya. c. Hendaknya ia mau mengambil manfaat dari perkataanperkataan musuhnya. d. Hendaknya
ia
sering-sering
berkumpul
denga
sesama
temannya. Maka setiap apa yang bisa dilihat dari perbuatan yang tercela dari oarang-orang, hendaklah dicarinya pada dirinya sendiri dan hendaknya diumpamakan untuk dirinya sendiri, karena sesungguhnya orang mukmin itu adalah sebagai cerminan untuk orang mukmin lainnya. Kedua, melalui latihan-latihan (riyadlah), secara istilah riyadlah yang digunakan oleh al-Ghazali berarti memperbaiki akhlak dan mengobati penyakit hati atau batin agar jiwa menjadi bersih dan sehat. Penyakit hati lebih berbahaya dari penyakit badan. Penyakit hati itu berpangkal pada nafsu. Bagi al-Ghazali nafsu mempunyai kecenderungan kuat ke arah hal-hal yang buruk tetapi pada nafsu pula terdapat kekuatan hidup manusia. Oleh karena itu, menundukkan nafsu bukan berarti menghilangkannya secara keseluruhan dari hidup manusia, tetapi mengembalikannya keada jalan yang lurus. Menurut al-Ghazali yang dikutip Baqir nafsu manusia dapat dilatih dan dididik dengan cara mencegah diri dari sesuatu, atau
108
merasa akrab dan senang pada sesuatu, di antara kenikmatankenikmatan duniawi. Bahkan dari segala sesuatu yang kelak dia akan berpisah dengannya ketika mati. 21 Adapun metode tazkiyah an-Nafs dan metode riyadlah bagi masing-masing orang tentunya berbeda sesuai dengan perbedaan dan situasi mereka. Akan tetapi, intinya adalah melatih setiap individu untuk meninggalkan apa saja di antara hal-hal duniawi yang menimbulkan kesenangannya. Orang yang senang dengan harta, jabatan, kedudukan, atau pujian terhadap kehebatannya berceramah, atau dengan pujian terhadap
kekuatannya
dalam
menjabat,
dan
semua
yang
menimbulkan kesenangan hendaknya ditinggalkan terlebih dahulu. Kemudian,
jika
telah
meninggalkan
semua
yang
menyebabkan kesenangannya itu, hendaklah dia mengasingkan diri dari khalayak ramai, lalu mulai menjaga hatinya agar tidak menyibukkannya
selain
dengan
dzikir
dan
merenungkan
keagungan-Nya. Dan hendaknya terus mengamati kemungkinan timbulnya gejala-gejala syahwat dan keraguan-keraguan dalam hatinya, sehingga dengan demikian dapat segera menghapus sumbernya. Sebab, setiap keraguan ada penyebabnya, dan tidak akan hilang kecuali dengan menghilangkannya penyebab tersebut. Hendaknya keadaan seperti itu, dijaga terus sepanjang sisa 21
Muhammad al-Baqir, h. 43
109
hidupya, mengingat bahwa jihad tidak ada batas akhirnya selain kematian. 2. K.H. Imam Zarkasyi
Untuk mewujudkan ide-idenya, K.H. Imam Zarkasyi beserta kakak-kakaknya memilih menghidupkan kembali Pondok Modern Darussalam Gontor yang telah lama ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Pondok Gontor yang telah dihidupkan kembali ini dibangun di atas warisan dan tradisi leluhur pesantren yang diintergrasikan dengan sistem dan metode pendidikan modern. Dalam artian, idealism, jiwa, dam filsafat hidup berikut sistem asramanya tetap mengacu kepada khazanah dunia pesantren, tetapi penyelenggaraannya dilakukan secara efektif dan efisien dengan berbekal nilai, falsafah, orientasi yang menjadi dasar dari perumusan visi, misi, dan tujuan pondok pesantren. 22 Sebelumnya akan dibahas pengertian pesantren menurut K.H. Imam Zarkasyi. Untuk memperoleh pengertian tentang pondok pesantren K.H. Imam zarkasyi tidak membuat analisa terlalu mendalam dengan meninjau sejarah pondok terlalu jauh sampai ke zaman kuno. Tetapi membandingkannya dengan sistem pendidikan Mandala dan sebagainya. Dalam pada itu K.H. Imam Zarkasyi tidak dapat menerima pengertian pondok pesantren sebagaimana definisi yang diberikan oleh para Orientalis, misalnya snouck Hurgronje, yang 22
122
TIM Penyusun Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern , h.
110
memperlihatkan bentuk lahir pesantren saja, (misalnya bahan dan bentuk rumah tempat kediaman para santri dengan segala tradisinya yang statis). Sebab memang bukan itu hakekat pondok pesantren yang telah memberikan banyak jasa kepada bangsa Indonesia. Dalam hal ini K.H. Imam Zarkasyi menjelaskan definisi pesantren secara umum. Menurutnya pesantren adalah: “Lembaga Pendidikan Islam dengan sistem asrama, Kyai sebagai central figurnya, dan masjid menjadi titik pusat yang menjiwainya.” 23 Hakekat pondok pesantren terletak pada isi/jiwanya, bukan pada kulitnya. Dalam isi itulah kita temukan jasa pondok pesantren bagi umatnya. Adapun pokok isi dari pondok pesantren adalah pendidikan. Selama beberapa abad pondok pesantren telah memberikan pendidikan (rohaniyah) yang sangat berharga kepada para santri dan kader-kader muballigh dan pemimpin umat dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam pendidikan itulah terjalin jiwa yang kuat yang sangat menentukan filsafat hidup para santri. Adapun pelajaran/pengetahuan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun tinggal di pondok pesantren hanyalah merupakan kelengkapan atau tambahan.24 Kehidupan dalam pondok pesantren dijiwai oleh suasanasuasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa yang diterapkan
23
Pondok Pesantren Jiwa dan Masa depannya. Sambutan Bapak K.H. Imam Zarkasyi pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap Pertama di Yogyakarta, 4-7 Juli 1965. Kemudian di kutip dalam buku Serba-serbi Singkat Pondok Modern Darussalam Gontor, (Ponorogo: Darussalam Prees, 1997), edisi. V, h. 2 24 Ibid.
111
pada santri-santrinya oleh K.H. Imam Zarkasyi. Adapun Panca Jiwanya adalah sebagai berikut: a. Jiwa Keikhlasan Sepi ing Pamrih artinya tidak karena didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. Semata-mata karena untuk ibadah.25 Hal ini meliputi segenap suasana pondok pesantren. Jiwa keikhlasan di pondok pesantren Gontor, dalam pelaksanaannya tidak didasarkan atas suatu ilmu manajemen, akan tetapi atas refleksi diri pribadi kyai. Jiwa-jiwa keikhlasan yang meliputi seluruh kegiatan guru dan terutama kyai yang demikian adalah sesuatu yang wajib diketahui oleh seluruh santri Darussalam agar menjadi uswah hasanah (teladan yang baik).
Kyai ikhlas
dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar, Lurah Pondok (asisten) ikhlas dalam membantu. Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dalam suasana keikhlasan yang mendalam. Dengan demikian terdapatlah suasana hidup yang harmonis antara Kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta hormat. Dengan keteladanan itu terciptalah suatu pola pikir yang baik bahwa mereka sedang berada dalam suatu kancah perjuangan yang dipenuhi dengan jiwa dan suasana keikhlasan. 26
25 26
Ibid. Tim Penyusun, K.H. Imam Zarkasyi, h. 59
112
b. Jiwa Kesederhanaan Jiwa kesederhanaan adalah sikap dan tutur kata yang tidak berlebihan, tidak dibuat-buat, apa adanya tanpa rasa rendah diri. Namun sederhana disini bukanlah untuk kemelaratan atau kemiskinan, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Sederhana disini mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi berbagai macam kesulitan. Kehidupan di pondok Gontor dikelilingi oleh suasana yang sangat
sederhana.
Jiwa
kesederhanaan
di
Pondok
Modern
Darussalam Gontor ditanamkan kepada para santri melalui cara hidup dan pola piker santri sehari-hari. Di dalam kehidupan sehariharinya para santri biasakan untuk hidup sederhana. Dari segi makanan, pakaian, bahkan tempat tidur harus dibiasakan dengan kesederhanaan. Dalam hal makanan, para santri tidak dibiasakan makanan yang mewah dan mahal. Cukup makanan yang sederhana namun mencukupi kriteria makanan yang sehat dan bergizi; pakaian pun tidak perlu yang mahal-mahal dan berlebihan, tetapi cukup pakaian yang suci, tidak nerawang dan dapat menutup aurat; bahkan tempat tidur pun tidak perlu yang empuk, tetapi cukup dipakai
untuk
istirahat
sehari-harinya.
Adapun
dalam
kesederhanaan pola pikirnya, para santri dianjurkan tetap berfikir
113
sederhana, artinya tidak melebih-lebihkan dan tidak menghayal yang bukan-bukan. 27 Dengan demikian jiwa sederhana yang terpancar pada diri santri adalah jiwa besar, yang berani maju dan pantang mundur dalam segala hal. Bahkan dengan adanya jiwa sederhana ini hidup dan tumbuhlah mental-mental/karakter-karakter kuat dalam diri santri, yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan. 28 c. Jiwa Kesanggupan Menolong Diri Sendiri/Berdikari (Berdiri diatas Kaki Sendiri) Kesanggupan menolong diri sendiri adalah berdikari yang dalam praktiknya bukan saja harus berlatih mengurus segala kepentingannya
sendiri,
melainkan
juga
sikap
yang
tidak
menggantungkan diri atau meminta bantuan kepada orang lain. Kemandirian atau kesanggupan menolong diri sendiri ditanamkan oleh pesantren sebagai senjata hidup yang ampuh. Jiwa kemandirian di pondok ini, tidak hanya diterapkan kepada para santrinya saja supaya mereka sanggup belajar dan mengurus segala kepentingan sendiri, akan tetapi pondok pesantern itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupan kepada belas kasihan pihak lain. Inilah yang dinamakan selfbedruiping system 27 28
Ibid, h. 60 Serba-serbi Singkat Pondok Modern Darussalam Gontor, h. 4
114
(sama-sama memberikan iuran, dan sama-sama memakai). Jiwa kemandirian ini diterapkan pada diri santri sejak awal mereka memasuki pondok pesantren. Para santri dituntu untuk dapat memikirkan kebutuhan sehari-harinya dan bagaimana cara mereka mengatur anggaran tiap bulannya. Di dalam pesantren Gontor santri dididik melalui kegiatan yang bertujuan menanamkan jiwa kemandiriannya. Penerapan jiwa kemandirian ini menimbulkan pengalaman berharga
para
santri,
di
antaranya
adalah
pendidikan
kepemimpinan dan pendidikan keterampilan. Pendidikan kepemimpinan ini tersedia dalam kegiatan berupa orrganisasi yang ada di gontor; a) organisasi yang makro (Organisasi Pelajar Pondok Modern), organisasi ini adalah kegiatan santri untuk tingkat menengah. Organisasi ini bertujuan untuk mendidik para santri agar dapat memikirkan dan mengatur semua kegiatan kehidupan sehari-hari santri, dimulai dari menyediakan kebutuhan hingga menegakkan disiplin santri. Kegiatan OPPM ini menangani beberapa kegiatan yang dibagi menjadi bagian-bagian, seperti koperasi pelajar, kesenian, olahraga, kesehatan, keamanan, bahasa, informasi, kantin pelajar, koperasi dapur dan lain sebagainya. b) Organisasi Mikro (organisasi dikamar/asrama) yaitu organisasi yang berhubungan dengan kegiatan yang ada dalam
115
kamar dan asrama. Besar kecilnya organisasi yang dipimpin tergantung kemampuan individual santri. Selain itu ada kegiatan-kegiatan ekstra yang dapat menambah bekal kepemimpinan para santri. Kegiatan ekstra ini ada yang wajib diikuti dan tidak wajib diikuti. Adapun kegiatan ekstra yang wajib diikuti adalah latihan pidato tiga bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Inggris), latihan kepramukaan, dan olah raga tiap hari Selasa dan Jum’at pagi. Sedangkan kegiatan ekstra yang tidak wajib diikuti adalah kegiatan dari cabang-cabang olahraga, kesenian, keterampilan, dan lain-lain. K.H.
Imam
Zarkasyi
menuturkan
bahwa
mental
skill
(keterampilan mental) jauh lebih penting daripada job skill (keterampilan
kerja).
Maka,
dalam
hal
mendidik,
beliau
menekankan kepada mental skill. Para santri dilatih untuk cakap dan terampil mengorganisir suatu kegiatan, memimpin suatu kepanitiaan, memimpin kelompok-kelompok kegiatan santri, dan lain-lain. Selain menjadi prinsip pendidikan pesantren, kemandirian juga merupakan ciri khas keberadaan pesantren. Seperti pesantrenpesantren lainnya, Pondok Gontor berstatus swasta penuh yang hidup
dan
berkembang
atas
usaha-usaha
manidiri.
tidak
menggantungkan bantuan dan belas kasih dari pihak lain. Untuk menggambarkan
prinsip
ini
K.H.
Imam
Zarkasyi
sering
116
mengungkapkan dengan kata-katanya yang diplomatis, “Kami bukan maju karena dibantu, tapi dibantu karena maju. ” 29 d. Jiwa Ukhuwwah Islamiyah Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yng akrab, segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan persaudaraan sesame umat muslim. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat sepulang para santri dari pondok.30 Para santri yang belajar di Pondok Gontor berasal dari berbagai daerah, suku, budaya, dan kelompok keagamaan. Mereka tinggal bersama di dalam asrama, serta saling mengenal dan berbagi pengalaman antar mereka. Pada masa-masa awal diberlakukannya sistem asrama ini, perbedaan-perbedaan itu menjadi sumber konflik dan perpecahan antar santri. Padahal pada saat berdirinya Pondok Pesantren Gontor, bangsa Indonesia sedang berupaya menggalanag rasa persatuan dan kebangsaan. Untuk mengatasi ini hal-hal yang berbau kesukuan dihilangkan. Tidak jarang K.H. Imam Zarkasyi berteriak-teriak kepada santrinya, “Saya bukan orang Jawa, saya orang Indonesia.” Jiwa ukhuwwah diniyah merupakan
29
persaudaraan
akrab
yang
dijalin
dengan
rasa
Ibid, h. 60-63 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 102 30
117
keagamaan. Rasa keagamaan dalam diri manusia merupakan fitrah sejak lahir untuk berbuat baik dan menahan diri dari perbuatan kejahatan, yaitu kejahatan yang menyebabkan perpecahan, bahkan peperangan. Inilah perasaan yang menguasai perbuatan, yaitu sebuah sikap perasaan takut kepada Allah SWT. K.H.
Imam
Zarkasyi
mengatakan
bahwa
agama
dapat
mempersatukan perbedaan yang ada, dari perbedaan suku dan bangsa. Perasaan ukhuwwah diniyah juga dapat mengalahkan rasa dendam dan dengki, juga sifat yang selalu mementingkan diri sendiri. Dengan jiwa ukhuwwah diniyyah manausia akan menjadi mulia dan dapat memahami hakikat hidup, serta tidak keras kepala. Serta akan menjadikan manusia itu kuat untuk menerima persaudaraan dan persatuan bangsa dan Negara. Selain itu K.H. Imam Zarkasyi memberikan upaya-upaya sistematis yang dilakukan sepanjang proses pendidikan di dalam sistem pondok: Pertama, ketika para calon santri resmi diterima sebagai santri, mereka harus meninggalkan bahasa daerah masingmasing
dan
wajib
menggunakan
bahasa
Indonesia
dalam
percakapan mereka sehari-hari. Setelah setengah tahun mereka harus meninggalkan bahasa Indonesia dan harus memaksakan diri berbicara dalam bahasa Arab atau Inggris. Kedua, para santri yang datang dari berbagai suku dan daerah, ditempatkan secara acak dalam beberapa kamar, dan tidak dikelompokkan berdasarkan pada
118
suku maupun daerah, seperti yang berlaku di kebanyakan pondok pesantren yang ada pada masa itu. Keinginan kuat K.H. Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya untuk menanamkan jiwa ukhuwwah Islamiyyah dan semangat kebangsaan terlihat juga pada penamaan bangunan-bangunan asrama dan sekolah, seperti Gedung Indonesia Satu, Indonesia Dua, Indonesia Tiga, Tujuh Belas Agustus, Mesir, Tunis, Saudi, dan seterusnya. Dengan demikian, adanya jiwa ukhuwwah diniyyah diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai toleransi, menghargai orang lain, tidak berburuk sangka, dapat dipercaya, bersahabat, cinta damai, peduli, memiliki rasa saling menghormati akan perbedaan dan persaudaraan dan kerjasama. e. Jiwa Bebas Jiwa bebas adalah sikap yang merasa bebas berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bebas dari pengaruh-pengaruh asing yang di bawah oleh penjajah ke Indonesia. Dengan adanya Jiwa bebas menjadikan santri agar berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun dalam suasana kebebasan ini serig kali ditemui unsur-unsur negatif. Apabila kebebasan itu disalah gunakan, sehigga terlalu bebas dan dapat mengakibatkan hilangnya arah dan tujuan hidup. Bebas disini bukanlah bebas untuk dipengaruhi,
119
berpegang teguh pada tradisi yang dianggapnya telah memberikan keuntungan sehingga tidak mau menoleh dan melihat keadaan sekitarnya. Kebebasan dikembalikan kepada aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis disiplin yang positif, dengan penuh tanggung jawab. Baik di dalam kehidupan Pondok Pesantren maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dari
jiwa
bebas
ini
diharapkan
muncul
nilai-nilai
kedisiplinan, jiwa besar, tanggung jawab, memiliki impian, tujuan hidup, serta memiliki kemampuan untuk menyampaikan gagasan maupun perasaan secara terbuka dan bebas dari pengaruh asing. 31
,
,
“Metode itu lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru it u sendiri.”32
Ungkapan di atas mengandung makna bahwa sebuah kurikulum, betapapun hebatnya ia dirancang, tidak menjamin berhasilnya suatu proses pendidikan dan pengajaran. Kurikulum yang baik itu memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah metode bagaimana ia ditransmisikan dan ditransformasikan. Dalam hal apapun, metode itu berperan penting dalam keberhasilan dalam 31 32
TIM Penyusun, K.H. Imam Zarkasyi, h. 65 Abdullah Syukri Zarkasyi, h. 133
120
penyelenggaraan suatu proses. Tetapi metode yang baik juga bukan jaminan bahwa suatu proses itu akan adapt membawa hasil yang optimal, sebab metode itu yang menggunakan adalah manusia. Karena itu wujud manusia itu lebih menentukan daripada metode. Tetapi persoalannya bukan semata pada manusia ataupun kualifikasi tertentu yang terkait secara langsung dengan kecakapan intelektual maupun metodologinya. Justru persoalan yang krusial terletak pada jiwa/ruh manusia. Meskipun sama-sama menguasai materi dan sama-sama memiliki metode yang canggih, tetap akan berbeda hasilnya antara seseorang yang mendidik dengan idealisme yanag tinggi dengan seseorang yang pragmatis. Akan berbeda hasil pendidikan yang dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki jiwa perjuangan dan semangat pengorbanan
dengan
seseorang
yang
mendidik
sekedar
menjalankan tugas dan sekedar mencari penghidupan. Karena itu, jika ingin memperoleh hasil yang maksimal, seseorang harus mendidik secara total. Hal ini mengingat bahwa tugas seorang pendidik bukan hanya transfering knowledge, tetapi lebih dari itu adalah transforming student’s personality and mental attitude. Mengingat bahwa pendidikan bukan hanya terbatas pada pengajaran, maka metode pendidikan itu jelas lebih las daripada metode pengajaran. Pembaruan di bidang metode ini juga merupakan konsekuensi logis dari pembaruan di bidang
121
kelembagaan yang mengintegrasikan antara pesantren dan madrasah/sekolah. Berikut akan dibahas metode pendidikan akhlak yang diterapkan di Gontor, yang meliputi metode keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pelatihan . 33 1) Keteladan
Keteladanan merupakan metode pendidikan yang efektif dan efisien. Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan praktik pendidikan yang dilaksanakan oleh Raslullah SAW. Disebutkan dalam firman Allah:
.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Dalam waktu yang singkat, Nabi SAW telah berhasil membawa bangsa arab keluar dari kebobrokan sistem dan tatanan kehidupan era jahiliyah dan kegelapan menuju sistem dan tatanan kehidupan yang unggul dan bermartabat di bawah sinaran cahaya tauhid.
33
Ibid, h. 134
122
2) Penciptaan Lingkungan (Conditioning)
Lingkungan memainkan peran penting dalam proses pendidikan akhlak. Dalam pendidikan pesantren dengan sistem asramanya dengan tepat dapat disebut sebagai adanya suatu kesadaran mengenai betapa pentingnya peran lingkugan dalam proses pendidikan akhlak dan pembelajaran yang efektif. Pengarahan (Learning by Intruction ) Pengarahan merupakan metode yang penting dalam pendidikan. Metode ini digunakan dalam segala aspek kehidupan dipesantren, agar para santri dapat merasakan nilainilai pendidikan dan sekaligus sarana internalisasi nila-nilai pesantren yang paling efektif.
3) Pelatihan
Pengarahan
saja
tidak
cukup,
maka
para
santri
mendapatkan pelatihan-pelatihan hidup sehingga mereka bisa terampil dalam bersikap dan menyikapi kehidupan, memiliki wawasan yang luas, baik wawasan keilmuan, pemikiran, dan pengalaman yang luas. Hal ini sesuai dengan motto pondok yaitu berpengetahuan luas. 34
34
Mardiyah, Kepemimpinan Kyai dalam Memelihara Budaya dan Organisasi, (Malang: Aditya Media Publishing, 2012), h. 182
123
Dalam metode pendidikan akhlak keduanya terdapat perbedaan dalam menerapkan metode tersebut. Menurut Imam Ghazali metode yang digunakan dalam mendidik akhlak yaitu melalui metode tazakiyah an-nafs dan metode riyadloh. Dalam metode tazakiyah an-Nafs, Imam Ghazali menganalogikan dengan metode pembinaan badan. Untuk menghilangkan badan dari rasa sakit, maka harus menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit badan. Begitu pula dengan jiwa. Untuk menghindarkan jiwa dari penyakit maka haruslah menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit di jiwa. Pada metode ini seseorang harus berusaha untuk menyesuaikan diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Setelah jiwanya kosong dari sifat-sifat tercela, maka seseorang itu harus menghiasi dirinya dengan moral dan sifat-sifat terpuji. Dalam proses penyucian jiwa ini Imam Ghazali menekankan pentingnya seorang pembimbing akhlak sebagai panutan untuk melakukan penyucian diri, pencerahan, dan pembersihan jiwa. Hal ini seorang guru yang ahli dalam bidang tasawuf harus memahami tingkat-tingkat atau kondisi penyakit jiwa yang dialami oleh muridnya. Setelah melakukan penyucian jiwa tahap selanjutnya yaitu melalui metode pelatihan ( Riyadloh). Dalam metode ini seseorang harus memotivasi dirinya sendiri untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan cara memusatkan perhatian kepada tercapainya suatu tujuan dan kreatifitas tanpa terganggu oleh dorongan nafsu, kecemasan, atau adanya ancaman (rintangan), atau pengaruh orang sekitarnya sehingga ia tetap teguh degan
124
motivasi dan konsentrasinya. Dengan metode ini perangai-perangai dan akhlak yang baik dapat diperoleh melalui perjuangan melawan nafsu. Seseorang yang memiliki nafsu amarahnya yang tinggi, maka orang tersebut harus melawan nafsu itu dengan cara melakukan perlawanan batin, yaitu harus membiasakan memiliki sifat pemaaf. Berbeda dengan metode pendidikan akhlak K.H. Imam Zarkasyi yang diterapkan di Pondok Gontor. Beliau menerapkan nilai-nilai pendidikan akhlaknya melalui Panca Jiwa dan Motto Pondok Modern Darussalam Gontor yang menjadi bagian dari kepribadian yang tidak terpisahkan antara dirinya dan pesantren. Nilai-nilai ini diterapkan dalam metode keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pelatihan. Dalam metode keteladanan, para santri harus menyontoh keikhlasan yang dijiwai oleh para kyai dan guru-gurunya. Metode ini secara sederhana merupakan cara memberikan contoh teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu peserta didik tidak segansegan dan menirunya dan mencontohnya, seperti shalat berjamaah, bakti sosial, dan partisipasi dalam kegiatan yang baik. Dan jiwa keikhlasan ini merupakan urutan pertama dalam Panca Jiwa yang menjadi pedoman nilai akhlak di Pondok Gontor. Jiwa keikhlasan merupakan pangkal dari segala jiwa pondok dan kunci dari diterimanya amal disisi Allah Swt. Segala sesuatu yang dilakukan oleh para Kyai dan asatidz dengan niat semata-semata ibadah, lillah, ikhlas hanya untuk Allah semata. Di pondok diciptakan suasana di mana semua tindakan didasarkan pada
125
keikhlasan. Disini para santri dapat melihat keteladanan seorang kyai dan guru untuk ikhlas dalam bergaul, dalam nasihat-menasihati, dalam memimpin dan dipimpin, ikhlas mendidik dan dididik, serta ikhlas berdisiplin. Pendidikan keikhlasan juga terlihat melalui keteladanan para
pendiri
Penanaman
pondok nilai-nilai
dengan
mewakafkan
keikhlasan,
pondok
perjuangan,
seluruhnya. pengorbanan,
kesungguhan, kesederhanaan, tanggung jawab, dan lainnya akan lebih mudah dan tepat sasaran dengan pemberian keteladanan. Penanaman nilai-nilai semacam di atas tidak bisa hanya dilakukan melalui pengarahan, pengajaran, diskusi, dan sejenisnya, karena hal tersebut lebih menyangkut masalah perilaku, bukan semata-mata masalah keilmuwan. Penanaman nilai keikhlasan ini dipilih karena ia merupakan asas utama dari seluruh proses pendidikan di pondok. Karena, keikhlasan menempati urutan pertama dari kelima jiwa Pondok; keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah islamiyah, dan jiwa bebas. Keikhlasan adalah pangkal dari seluruh jiwa Pondok lainnya. Jiwa sederhana, manidir, ukhuwwah, dan jiwa bebas harus didasari oleh keikhlasan yang mendalam, agar jiwa-jiwa itu menjadi benar-benar bermakna di hadapan Allah SWT. Kyai ikhlas dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik diri sendiri, dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan. Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang disegani
126
dan santri yang taat, cinta, dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan para santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, dimana pun dan kapan pun. Jika
diperhatikan
dalam
sejarah
perkembangan
PMDG,
keteladanan di bidang keikhlasan itu benar-benar terlihat dalam segala gerak dan perbuatan para pengasuh. Di bidang material, misalnya, hingga usia pondok 10 tahun, pondok tidak pernah menarik sepeser pun uang sekolah dari santrinya. Segalanya dipenuhi oleh pengasuh. Dari dulu sampai saat ini para kyai pimpinan pondok tidak pernah menerima gaji dari pondok, mereka malah banyak berkorban untuk pondok. Keteladanan dalam hal keikhlasan juga dilakukan melalui pewakafan pndok oleh para pendirinya. K.H. Imam Zarkasyi menjelaskan
bahwa
semua
saja
harus
benar-benar
memahami
pewakafan ini. Para pengurus menjadi teladan dalam pendidikan keikhlasan. Mereka ikhlas meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk mengurusi organisasi atau apa saja yang diamanatkan kepada mereka. Mereka tidak ada yang menerima gaji dari pomdok. Para Kyai tidak menerima gaji dari kedudukannya. Tidak ada tunjangan jabatan kyai, tunjangan jabatan direktur, tunjangan jabatan ketua lembaga, dan seterusnya. Demikian pula para pengurus di kegiatan santri; baik OPPM maupun Gerakan Pramuka juga tidak ada yang menerima imbalan materi karena posisi yang mereka duduki. Pengabdian mereka terlalu mahal harganya dan tidak mungkin dihargai dengan ukuran-ukuran
127
materi semata. Mereka melakukan semuanya itu demi ibadah, ikhlas lillah. Pendidikan dengan metode keteladanan tidak hanya terbatas pada bidang-bidang
moral.
Keteladanan
juga
diwujudkan
melalui
produktifitas dalam berkarya. Seorang pemimpin dan semua pendidik harus menjadi teladan bagi anak didiknya. Metode penciptaan lingkungan,merupakan salah satu metode pendidikan akhlak yang efektif yang ditrapkan di Pondok Gontor. Dengan berada dalam lingkungan yang sama antara guru dan murid, lebih memungkingkan terjadinya interaksi dan proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung terus menerus. Santri bukan hanya dapat belajar langsung kepada gurunya mengenai persoalan-persoalan keilmuan, tetapi juga belajar mengenai persoalan-persoalan kehidupan. Kyai dan guru dalam lingkungan pesantren itu merupakan figur-figur yang menjadi sumber keteladanan bagi para santri dalam semua dimensi kehidupan. Terlebih lagi dalam sistem pendidikan pesantren, lingkungan dirancang secara sistematis untuk menjadi bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan. Santri diwajibkan tinggal dikampus dengan menempati asrama-asrama yang telah ditentukan. Kehidupan mereka selama 24 jam diatur dan diprogram dengan kegiatan-kegiatan yang produktif, dan kondusif untuk pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dalam kehidupan asrama para santri memperoleh pendidikan
128
akhlak, keasyarakatan, kebersamaan dan nilai-nila sosial lainnya. Selain itu juga para santri akan terbiasa dengan melaksanakan disiplin-disiplin yang ada di pondok serta di lingkungan asrama mereka. Selanjutnya metode pengarahan, melalui metode ini para santri diarahkan kepada hal-hal yang dapat mendatangkan efek positif untuk dirinya. Dalam metode ini santri-santri diarahkan untuk memahami arti penting pendidikan. Para santri diarahkan agar mereka tidak salah melangkah
dalam
bertindak
dan
berbuat
sesuatu.
Pada
awal
pembelajaran santri diarahkan melalui kegiatan Apel Tahunan atau yang biasa disebut dengan Pekan Khutbatu al-‘Arsy (PKA). Dalam apel ini wajib diikuti oleh seluruh warga Pondok Modern Darussalam Gontor dari santri bahkan sampai pada para guru-gurunya. Santri atau guru yang tidak ikut dalam acara ini akan dikenakan sanksi yaitu skors selama satu tahun. Acara ini diawali dengan upacara yang dipimpin oleh Pimpinan Pondok. Dalam amanatnya Pimpinan Pondok memberikan arahan kepada para santri dan guru khususnya pada santri-santri baru tentang nasihat-nasihat dan hal-hal yang akan menjadi bekal kehidupan di dalam pondok nantinya. Salah satu nasihat beliau adalah para santri harus tahu tujuan mereka mondok adalah hanya untuk mencari ilmu dan mendapat ridlo Allah. Dalam metode ini mendidik santri harus dengan mengarahkan santrinya, tidak boleh santri itu dilepas tanpa kontrol. Untuk mengarahkan para santri harus dengan pantauan, bukan sekedar diminta untuk bergerak, tetap diarahkan
agar bergeraknya, pola
129
pikirnya, pola mentalnya menjadi baik dan terarah, agar nanti para santrinya tidak sesat, tidak sembarangan, dan tidak ngawur. Yang terakhir adalah metode pelatihan. Pendidikan di pondok dan dimanapun selalu membutuhkan proses. Salah satu proses pendidikan tersebut yaitu dengan melakukan pelatihan. Dengan melalui penciptaan lingkungan yaitu waktu 24 jam santri dipondok, telah diatur sedemikian rupa bahkan sudh menjadi kurikulum kehidupan santri di pondok. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali semuanya adalah kegiatan yang syarat
akan
pelatihan,
pendidikan,
pengajaran
dengan
segala
disipilinnya. Dalam pelatihan pendidikan akhlak, K.H. Imam Zarkasyi telah menerapkannya di pondok Gontor dengan menerapkan segala kedisiplinan untuk para santrinya. Misalnya, santri dibiasakan disiplin agar selalu sholat lima waktu dimasjid. Dengan adanya pelatihan kedisiplinan ini, maka para santri akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dipondok terutama baik dalam melakukan ibadah kepada Allah. Jika beribadah kepada Allah sudah baik, maka hubungan sesama manusia atau teman sebayanya pun akan baik. Tidak hanya disiplin, santri juga harus dilatih untuk hidup sederhana. Mulai dari cara mereka berpakaian, makan, tempat tidur, serta dalam bersikap mereka harus untuk selalu sederhana. Hal ini bertujuan agar tidak adanya kesenjangan sosial antar sesama teman. Dengan adanya jiwa kesederhanaan seperti ini, maka akan timbullah jiwa ukhuwah diniyah sesama antar teman. Dari sinilah tumbuh kerelaan untuk saling berbagi dalam suka dan duka,
130
hingga kesenangan dan kesedihan bisa dirasakan bersama. Santri ditanamkan dalam kebersamaan dan tolong menolong. Jiwa ukhuwah ini tampak pada pergaulan sehari-hari santri yang ditanamkan adanya saling menghormati sesama teman, juga menghormati antara santri senior dan santri junior. Interaksi antar santri dalam berbagai kegiatan selama menyelesaikan belajarnya di pondok, tidak lain merupakan latihan hidup bermasyarakat.
D. Relevansi Konsep Pendidikan AkhlaknPerspektif Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarksyi
Dari hasil penjelasan terhadap pemikiran Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi, telah diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: “Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara kepada Allah dan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat”. Seiring dengan kemajuan zaman khususnya di era modern seperti ini, telah terjadi pergeseran akhlak ditengah masyarakat. Banyak orangorang yang berilmu namun tidak berakhlak. Mereka mengutamakan pendidikan akalnya, tetapi tidak mementingkan pendidikan akhlaknya. Pada hakikatnya pendidikan memang erat kaitannya dengan pembentukan mental yang berakhlak. Hal ini sama dengan pernyataan Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi bahwa pendidikan apapun itu bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. K.H. Imam Zarkasyi telah menerapkan
131
pendidikan mental dan akhlak kepada para santrinya melalui kemandirian. Mandiri dalam melakukan hal apapun. Bahkan saat para santri ujian mereka dituntut untuk mandiri dalam berpikir artinya para santri tidak boleh mencontek kepada temannya dan harus dituntut untuk melakukan kejujuran terhadap dirinya sendiri. hal ini jauh berbeda dengan pendidikan pada era modern seperti ini. Banyak sekali masyarakat yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri apalgi jujur kepada orang lain. Misalnya banyak pejabat yang melakukan kecurangan dan korupsi, selain itu banyak para siswa yang tidak jujur pada saat melakukan ujian. Ini disebabkan kemunduran pendidikan akhlak di era modern ini. Semakin kesini akhlak dan sikap pelajar di Indonesia sudah mulai luntur dan menghilang. Bahkan dari segala jenjang pendidikan tidak ada bedanya. Realita yang ada anak usia tingkatan SD sudah berani untuk mencoba menghisap sebatang rokok. Bahkan anak SMP pun sudah berani melakukan tindak kejahatan asusila. Dengan kemajuan teknologi pada era modern seperti ini justru membawa banyak efek keburukannya di banding kebaikannya. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep pendidikan akhlak yang sudah diterapkan oleh Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi. Mereka lebih mementingkan pendidikan akhlak. Karena menurut mereka pendidikan adalah segala proses yang dapat mempengaruhi kebaikan pada roh manusia yang dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari permasalahan di atas dapat ditarik benang merah antara permasalahan pendidikan di negeri ini. Bila ditinjau dengan konsepsi
132
Imam al-Ghazali yang terdapat dalam berbagai karyanya yang berkaitan dengan akhlak dan konsepsi Imam Zarkasyi yaitu kurangnya penekanan pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah, suri tauladan dari guru dan lingkungan yang tidak kondusif. Hal ini, berdampak pada muridmuiridnya dalam mencapai tujuan pendidikan, hingga bisa dikatakan pendidikan "telah gagal" dalam membentuk anak didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Integrasi kedua konsep pendidikan Akhlak yang disampaikan oleh kedua tokoh ini, yaitu Imam al-Ghazali dan Imam Zarkasyi sangat mungkin dilakukan dan relevan dizaman modern ini. Imam Al-Ghazali yang lebih cenderung perbaikan kedalam diri atau jiwa dengan tazkiyah an-nafs-nya, menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan dalam belajar diniatkan untuk ber-taqarrub kepada Allah swt., sedangkan Imam Zarkasy dengan penciptaan lingkungan pendidikan yang baik, pengarahan kepada perbuatan baik dan keteladanan dari guru atau komponen pendidik yang berada diluar anak didik. Selain itu juga, hal yang tidak lebih penting dari keduanya, serta keduanya menyepakatinya adalah diperlukannya pelatihan atau riyadloh agar tercipta dan tertanan dalam jiwa anak didik perbuatan baik yang tanpa berpikir lagi. Dengan demikian, pendidikan yang bersifat kedalam atau intern dan yang bersifat keluar atau ekstern perlu mendapat porsi yang seimbang. Pendidikan di era modern ini tidak akan berhasil tanpa menggabungkan keduanya. Pendidikan karakter sangat penting diterapkan dalam dunia
133
pendidikan, akan tetapi pendidikan akhlak yang didalamnya ada unsur pendidikan ilahiyah juga wajib disematkan. Konsep pendidikan Imam alGhazali yang cenderung bersifat kedalam dan Imam Zarkasy yang cenderung keluar sangat relevan untuk difusikan menjadi sebuah konsep pendidikan Islam, yang pada akhirnya dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendidikan akhlak perspektif Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi. Maka berikut ini akan dipaparkan kesimpulan dari kajian tersebut. Pertama, konsep pendidikan akhlak yang menurut Imam al-Ghazali merupakan proses menghilangkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri dan menanamkan sifat-sifat terpuji, yang mana bertujuan untuk menghasilkan insan kamil dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga manusia dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan akhlak yang dikemukakan al-Ghazali lebih menekankan pada unsur jiwa yang mana mempunyai kedudukan sentral pada diri manusia sehingga dalam metode pendidikan akhlak, beliau memilih menggunakan metode penyucian jiwa dan pelatihan jiwa. Kedua, konsep pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh K.H. Imam zarkasyi adalah suatu proses atau pedoman yang menunjukkan manusia kepada kebaikan
yang harus diikuti dalam kehidupan sehari-hari agar
tercapainya kebhagiaan di dunia dan akhirat. Pendidikan yang dikemukakan K.H. Imam Zarkasyi lebih menekankan kepada perbaikan moral dan perilaku seseorang agar dapat bergaul dengan baik, serta mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam pembentukan akhlak, K.H. Imam
135
Zarkasyi menerapkan nilai-nilai panca jiwa melalui metode keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan, dan pelatihan. Ketiga, Imam al-Ghazali dan K.H.Imam Zarkasyi sependapat bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk manusia yang sempurna melalui keselarasan antara perbuatan, sikap, pikiran, dan hati, sehingga tertanam kepribadian dan perangai yang baik dalam bergaul di kehidupan sehari-hari. Dan menjauhkan diri dari segala sifat-sifat tercela dan segala kejahatan agar mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. B. SARAN
Terlepas dari hasil-hasil yang dirumuskan di atas, kajian ini sangat memiliki keterbatasan. Mengungkapkan dimensi pemikiran Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi sebagai studi komparasi ternyata cukuplah kompleks. Saran-saran penulis: 1. Penelitian tentang pemikiran tokoh semacam ini telah banyak dilakukan, namun secara akademis hal ini masih relevan karena dapat membuka cakrawala dan wacana intelektual yang luas bagi insan akademik dan non akademik. 2. Penelitian tentang pemikiran tokoh klasik dan kontemporer juga perlu dilakukan sebagai bahan perbandingan, pembaharuan, dan wawasan pemikiran dalam pendidikan Islam. 3. Mengembangkan konsep pemikiran dalam metode pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi dalam pendidikan Islam
136
harus memerlukan kesabaran, ketekunan, dan komitmen serta proses kesinambungan. 4. Mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan serta menghias diri dengan akhlak Islam dan senantiasa memberikan teladan dan sikap dalam kehidupan sehari-hari sesuai yang telah diajarkan Imam alGhazali dan K.H. Imam Zarkasyi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2006 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendiidkan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997 __________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005 __________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, RajaGrafindo Persada, 2001
Jakarta: PT.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: AlMa’arif, 1980 Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani, 1995 Anton Bakker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1992 Bukhori, Kitab Jenazah, no. hadits 1296 Burhan Bungin, Peneltian Kualitatif, Jakarta: Putra Grafika, 2007 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan, Surabaya : Mahkota, 2010 Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din juz I Ghazali, Ihya’ Ulum al -Din, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr) Ghazali, Kimiyau as-Sa’adah, (Al-Mishbah),
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978 Heri Juhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012 Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1996 Imam Zarkasyi, Pedoman pendidikn Modern, PT, Arya Surya Perdana, 2010 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta , 2004 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kulitatif, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Mansur Ali Rajab, Ta’amulat fi Falsafat al Akhlaq, Mesir Baru: Maktabah alAnjalu, 1961 Mardiyah, Kepemimpinan Kyai dalam Memelihara Budaya dan Organisasi, Malang: Aditya Media Publishing, 2012 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004 Misbach, Muhammad Ghufron, dkk; K.H Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Moh. Zuhri, Terjemahan Ihya’ Ulum al -Din, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 2009 Muhammad al-Baqir, Percikan Ihya’ Ulum al -Din, Mengobati Penyakit Hati dan Membentuk Akhlak Mulia. Jakarta: Mizania, 2014 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id