PERAN PENGAJARAN FORMAL PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA PERAN PENGAJARAN FORMAL PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA by. Marlia, S.Pd., M.Hum.
Pendahuluan
Bab ini meneliti pemerolehan bahasa kedua dalam pengaturan kelas. Hal itu mempertimbangkan apakah pengajaran formal dibedakan dengan pemerolehan bahasa kedua. Hal ini merupakan persoalan yang penting, karena itu menunjuk pada pad a pertanyaan mengenai peran yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam pemerolehan bahasa kedua. Hal ini juga merupakan persoalan pendidikan yang penting, sebab pedagogi (ilmu mendidik) bahasa bahas a telah memiliki tradisi menjalankan asumsi bahwa tatabahasa dapat diajarkan. Dua jenis yang luas dari pemerolehan bahasa kedua dapat diidentifikasi berdasarkan pengaturan pemerolehan: (1) pemerolehan bahasa bahas a kedua alamiah, dan (2) kelas pemerolehan pemero lehan bahasa kedua (lihat bab 1). Dalam bab 6 beberapa perbedaan pada jenis pemakaian/interaksi dihubungkan dengan dua pengaturan yang telah dipertimbangkan ini. Hal itu menunjukkan bahwa bercakapcakap di kelas dapat berubah, dalam perbandingan dengan secara alami terjadinya percakapan. Suatu pertanyaan penting, oleh karena itu, dengan cara apakah perubahan ini, yang mana sebagian besar disempurnakan oleh usaha untuk mengajar daripada untuk berbicara, mempengaruhi jalan dan tingkat pemerolehan bahasa kedua di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan bagaimana pengajaran formal mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, hal ini mungkin menunjuk pada persoalan yang lebih luas mengenai peran dari faktor lingkungan. Pengajaran bahasa mempunyai banyak tujuan. Salah satunya memiliki tradisi untuk mengajar pelajar dengan sistem formal pada bahasa kedua kedu a (L2), khususnya tatabahasa, tatabahas a, walaupun fonologi dan kosa kata juga mungkin untuk menerima perhatian. Bab ini semata-mata akan dikaitkan dengan peran pengajaran dalam pemerolehan tatabahasa bahasa kedua (L2). Hal itu mempertimbangkan pengajaran formal. Dalam banyak metode pengajaran, suatu asumsi dibuat bahwa memusatkan pada bentuk linguistik membantu pemerolehan dari pengetahuan tatabahasa, atau, untuk meletakkannya dengan cara lainnya, bahwa peningkatan kesadaran pelajar mengenai peran target bahasa yang alami membantu pelajar untuk menginternalisasikan mereka. Dalam kasus tentang metode deduktif ini adalah kasus dirinya dengan jelas. Tetapi, hal ini juga benar dalam metode „habit „habit forming ‟ seperti audio-lingualisme, sebagai tujuan dari penyajian praktik adalah untuk memusatkan pada bentuk spesifik linguistik, yang mana pelajar dianjurkan untuk mempengaruhi dan yang mana pada akhirnya ia akan membentuk kurang lebih penyajian mental yang disengaja/sadar. Tentunya, pemerolehan yang diakibatkan oleh pengajaran tidak mungkin (mendapatkan kecakapan), dengan serta merta. Kebanyakan metode membedakan skill „skill getting’ (mendapatkan dengan „ skill (penggunaan kecakapan) (Rivers dan Temperley, 1978). Pemerolehan skill using’ (penggunaan memerlukan praktik satu sesama atau yang lainnya.
Asumsi lainnya tentang pengajaran formal adalah bahwa pada saat dimana fitur gramatikal diajarkan akan berpengaruh pada saat mereka mempelajarinya. Silabus bahasa disusun sedemikian cara untuk memudahkan hubungan antara pengajaran dan pembelajaran. Namun, kedua asumsi ini dapat dipertanyakan, dipandang dari sudut apa mengetahui pemerolehan bahasa kedua yang natural, dimana pelajar menuruti pemerohan alami yang mengarahkan sebagai hasil dari mempelajari bagaimana berkomunikasi dalam bahasa kedua (lihat bab 3). Tetapi, walaupun bukti-bukti dari pemerolehan bahasa kedua yang alami menyarankan untuk tidak berasumsi tentang pedagogi bahasa tradisional, hal ini tidak menyangkal mereka. Apa yang diperlukan untuk suatu penilaian seksama merupakan bukti tentang kelas pemerolehan bahasa kedua itu sendiri. Penelitian tentang peranan pengajaran formal dapat dilakukan dalam dua cara : pertama, jawaban dari sebuah pertanyaan „apakah pengajaran formal membantu pemerolehan bahasa kedua?‟ dapat ditemukan. Kedua, pertanyaan „pengajaran formal bagaimana yang sebagian besar membantu
pemerolehan bahasa kedua, dapat terjawab. Pada Pad a pertanyaan pertama terdapat anggapan an ggapan bahwa seluruh jenis pengajaran formal berbagi pendapat dasar tertentu dan oleh karena itu, bahwa, dimungkinkan untuk berbicara secara umum mengenai „pengajaran formal‟. Dalam pertanyaan
kedua terdapat anggapan bahwa pengajaran formal secara umum adalah upaya memudahkan dan bahwa persoalan pentingnya adalah apa yang menjadi ciri lebih sukses dari beberapa jenis pengajaran. Ada sedikit keraguan bahwa pengajaran formal dapat sangat bervariasi. Ellis (1984a) mempertimbangkan beberapa dimensi utama ini. Peningkatan kesadaran dapat bervariasi, tergantung tingkat kejelasan yang merupakan aturan penyajian dan juga tingkat perluasan keterlibatan (Sharwood-Smith 1981). Pelatihan pola tatabahasa dapat juga bervariasi berdasarkan intensitas latihan dan teknik khusus yang digunakan. Sifat alami aturan target juga merupakan faktor potensial yang penting – beberapa beberapa aturan mungkin lebih mudah daripada mengajar dan 2 belajar . Tujuan instruksional dapat menjadi aturan internal atau suatu rumus penghafalan, belajar dikemudian hari lebih terasa sebagai beban dibanding diban ding belajar terdahulu. Namun yang lebih penting adalah dari sudut pandang orang yang belajar ; apakah merupakan permaksudan sebagai sebuah usaha untuk berlatih aturan aturan tatabahasa oleh guru, dan mungkin terlihat sebagai teka-teki bagi orang yang belajar, menuntut tidak hanya strategi pembelajaran bahasa, tapi prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar (lihat Hosenfeld 1976).3 Variasi tersebut dapat diberikan pada pengajaran formal, mungkin tidak mengherankan bahwa penyelidikan mengenai efek tersebut pada pembelajaran berisi b erisi studi komparatif , mengarahkan pada pembentukan beberapa jenis cara car a yang lebih efektif. Namun, seperti yang tercantum pada bab 6, studi komparatif ini tidak sesukses dalam menunjukkan menunjukk an satu metode pengajaran yang lebih efektif dari cara lain. Sebagai akibat, perhatian telah terangkat pada satu dari dua pertanyaan – apakah apakah pengajaran formal dengan sendirinya membantu pemerolehan bahasa kedua. Apa yang menjadi perbedaan metoda pengajaran telah bersama-sama merupakan fokus pada bentuk, manisfestasi, sebagai misal, dalam ketentuan umpan u mpan balik oleh guru untuk mengoreksi kesalahan formal (Krashen dan Seliger 1975). Jadi, hal itu telah menjadi alasan bahwa mungkin tidak hanya berbicara tentang peran pengajaran p engajaran secara umum saja, s aja, melainkan topik ini secara logis mengutamakan pertimbangan perbedaan jenis pengajaran yang menyebabkan perbedaan hasil. Studi komparatif telah memberikan jalan pada pertimbangan mengenai apa peran pengajaran formal, pandangan umum, permainan dalam kelas pemerolehan bahasa kedua.
Asumsi lainnya tentang pengajaran formal adalah bahwa pada saat dimana fitur gramatikal diajarkan akan berpengaruh pada saat mereka mempelajarinya. Silabus bahasa disusun sedemikian cara untuk memudahkan hubungan antara pengajaran dan pembelajaran. Namun, kedua asumsi ini dapat dipertanyakan, dipandang dari sudut apa mengetahui pemerolehan bahasa kedua yang natural, dimana pelajar menuruti pemerohan alami yang mengarahkan sebagai hasil dari mempelajari bagaimana berkomunikasi dalam bahasa kedua (lihat bab 3). Tetapi, walaupun bukti-bukti dari pemerolehan bahasa kedua yang alami menyarankan untuk tidak berasumsi tentang pedagogi bahasa tradisional, hal ini tidak menyangkal mereka. Apa yang diperlukan untuk suatu penilaian seksama merupakan bukti tentang kelas pemerolehan bahasa kedua itu sendiri. Penelitian tentang peranan pengajaran formal dapat dilakukan dalam dua cara : pertama, jawaban dari sebuah pertanyaan „apakah pengajaran formal membantu pemerolehan bahasa kedua?‟ dapat ditemukan. Kedua, pertanyaan „pengajaran formal bagaimana yang sebagian besar membantu
pemerolehan bahasa kedua, dapat terjawab. Pada Pad a pertanyaan pertama terdapat anggapan an ggapan bahwa seluruh jenis pengajaran formal berbagi pendapat dasar tertentu dan oleh karena itu, bahwa, dimungkinkan untuk berbicara secara umum mengenai „pengajaran formal‟. Dalam pertanyaan
kedua terdapat anggapan bahwa pengajaran formal secara umum adalah upaya memudahkan dan bahwa persoalan pentingnya adalah apa yang menjadi ciri lebih sukses dari beberapa jenis pengajaran. Ada sedikit keraguan bahwa pengajaran formal dapat sangat bervariasi. Ellis (1984a) mempertimbangkan beberapa dimensi utama ini. Peningkatan kesadaran dapat bervariasi, tergantung tingkat kejelasan yang merupakan aturan penyajian dan juga tingkat perluasan keterlibatan (Sharwood-Smith 1981). Pelatihan pola tatabahasa dapat juga bervariasi berdasarkan intensitas latihan dan teknik khusus yang digunakan. Sifat alami aturan target juga merupakan faktor potensial yang penting – beberapa beberapa aturan mungkin lebih mudah daripada mengajar dan 2 belajar . Tujuan instruksional dapat menjadi aturan internal atau suatu rumus penghafalan, belajar dikemudian hari lebih terasa sebagai beban dibanding diban ding belajar terdahulu. Namun yang lebih penting adalah dari sudut pandang orang yang belajar ; apakah merupakan permaksudan sebagai sebuah usaha untuk berlatih aturan aturan tatabahasa oleh guru, dan mungkin terlihat sebagai teka-teki bagi orang yang belajar, menuntut tidak hanya strategi pembelajaran bahasa, tapi prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar (lihat Hosenfeld 1976).3 Variasi tersebut dapat diberikan pada pengajaran formal, mungkin tidak mengherankan bahwa penyelidikan mengenai efek tersebut pada pembelajaran berisi b erisi studi komparatif , mengarahkan pada pembentukan beberapa jenis cara car a yang lebih efektif. Namun, seperti yang tercantum pada bab 6, studi komparatif ini tidak sesukses dalam menunjukkan menunjukk an satu metode pengajaran yang lebih efektif dari cara lain. Sebagai akibat, perhatian telah terangkat pada satu dari dua pertanyaan – apakah apakah pengajaran formal dengan sendirinya membantu pemerolehan bahasa kedua. Apa yang menjadi perbedaan metoda pengajaran telah bersama-sama merupakan fokus pada bentuk, manisfestasi, sebagai misal, dalam ketentuan umpan u mpan balik oleh guru untuk mengoreksi kesalahan formal (Krashen dan Seliger 1975). Jadi, hal itu telah menjadi alasan bahwa mungkin tidak hanya berbicara tentang peran pengajaran p engajaran secara umum saja, s aja, melainkan topik ini secara logis mengutamakan pertimbangan perbedaan jenis pengajaran yang menyebabkan perbedaan hasil. Studi komparatif telah memberikan jalan pada pertimbangan mengenai apa peran pengajaran formal, pandangan umum, permainan dalam kelas pemerolehan bahasa kedua.
Dengan demikian apa yang menjadi kriteria kelengkapan pengajaran formal? Penulis mengusulkan dua hal (meskipun terdapat kemungkinan ada yang lain). (1) corak khusus tatabahasa yang dipilih untuk menarik perhatian pelajar, dan (2) atensi ini jelas mempusatkan karakteristik corak khusus tatabahasa. Dalam kaitan dengan dua hal ini, pengajaran formal diambil untuk menyertakan pengajaran yang merupakan hasil dari metode deduktif seperti kode kognitif, metode induktif seperti audiolingualisme, dan, juga pengajaran yang didasari material fungsional dimana bahasa khusus berarti untuk merealisasikan beragam cara berbicara atau kategori tatabahasa-semantik diperkenalkan dan digunakan. Hal itu bukan berarti menyertakan pengajaran dimana pelajar didorong untuk menggunakan menggu nakan komunikasi alami dengan sumber bahasa apapun yang dia miliki. (umpamanya seperti seper ti yang digambarkan dalam Proyek BangaloreBangalore Lihat Johnson 1982). Dalam upaya mempelajari efek dari suatu pengajaran, sangat penting untuk membedakan perbedaan aspek pemerolehan bahasa bah asa kedua. Peran pengajaran dalam pemerolehan pem erolehan bahasa kedua harus secara terpisah mempertimbangkan dalam hal efek pengajaran yang berakibat mengarah kepada perkembangan (antara lain urutan umum atau perintah tambahan khusus. Dan efek pengajaran berakibat pada tingkat pengembangan (antara lain kecakapan tingkat pencapaian akhir). Perbedaan ini pada satu pihak dan penilaian dipihak lain juga dipertimbangkan dalam bab 5. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat penting saat mempertimbangkan pengajaran formal karena hal itu mungkin bahwa pengajaran dapat menentukan kedua jalan dan penilaian/kesuksesan, atau hanya salah satunya satun ya saja. Singkatnya, mempelajari peran pengajaran formal dalam pemerolehan bahasa kedua adalah penting dalam hal membangun pemahaman teoritis tentang pemerolehan bahasa kedu a dan untuk ilmu mendidik tentang bahasa. Dalam kasus terdahulu, hal itu dapat menerangkan bagaimana perbedaan dalam kondisi lingkungan mempengaruhi mempengaru hi pemerolehan bahasa kedua. Dalam kasus kas us terakhir, hal itu dapat membantu menguji asumsi pendidikan dasar seperti apakah urutan pola tatabahasa yang diperkenalkan sesuai dengan urutan yang telah diajarkan pada mereka. Pengajaran dapat diambil dari beberapa bentuk berbeda, tapi untuk penggunaan pada bab ini, isu yang dipertimbangkan bukan jenis pengajaran yang paling efektif, tapi apakah pengajaran formal memiliki pengaruh pada dirinya. Sampai saat ini, pengajaran diambil untuk menyiratkan beberapa bentuk peningkatan kesadaran, kesadar an, dengan target ciri-ciri pokok ilmu bahasa. Pengaruh Pen garuh tersebut mungkin dengan jelas mengarah pada pemerolehan bahasa kedua dan/juga untuk penilaian/keberhasilan pemerolehan bahasa kedua. Bab ini memiliki empat sub bab. Pertama, menguji efek pengajaran pada pemerolehan bahasa kedua. Kedua, menguji efek penilaian/kesuksesan yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua. Sub bab ketiga, menjelaskan hasil laporan yang diterima pada kedua sub bab terdahulu. Akhirnya, kesimpulan singkat tentang implikasi teori pemerolehan bahasa kedua dan pengajaran bahasa.
Efek pengajaran formal yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua
Pada bab 3 pengarahan pemerolehan bahasa kedua betul-betul dipertimbangkan dalam hubungan rangkaian umum pengembangan dan tata tertib dalam ciri-ciri pokok tatabahasa yang diperoleh. Bukti untuk dilaporkan secara menyeluruh tentang tata urutan dan perbedaan kecil dalam urutan yang datang dari : (1) pelajaran morfem dan (2) pelajaran longitudinal. Pembahasan ini
merupakan bentuk asli pemerolehan bahasa kedua secara alami dan juga secara campuran (antara lain jika terdapat ekspose alami dan pengajaran. Bab ini kini akan mempertimbangkan pelajaran yang serupa mengenai kelas pemerolehan bahasa kedua. Namun, karena terdapat pandangan relatif mengenai pelajaran, kesimpulan yang dapat digambarkan tentunya akan tentatif. Pelajaran morfem dan longitudinal akan dibahas secara terpisah. Studi morfem dari kelas pemerolehan bahasa kedua
Studi morfem dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama adalah lima studi yang menyelidiki pelajar bahasa kedua. Kelompok yang lain adalah empat studi yang menyelidiki pelajar bahasa asing. Tiga studi mengenai pelajar bahasa kedua menemukan morfem yang sama dalam kelas pemerolehan bahasa kedua seperti dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami. Fathman (1975) menggunakan uji produksi lisan untuk menilai pengetahuan tatabahasa dari dua ratus anak usia 6 hingga 15 tahun dari latar belakang yang berbeda-beda. Beberapa anak yang menerima pengajaran bahasa, sementara yang lainnya dalam kelas. Fathman menemukan korelasi yang sangat signifikan antara morfem dari dua kelompok pelajar dan menyimpulkan bahwa pesan yang didapatnya adalah konstan, tanpa tergantung dengan pengajaran. Perkin dan Larsen Freeman (1975) menyelidiki pesan morfem dari duabelas mahasiswa Universitas Venezuela setelah mereka menjalani dua bulan pengajaran bahasa setelah tiba di Amerika Serikat. Mereka menggunakan dua buah tugas dalam mengumpulkan data : (1) test terjemahan, dan (2) tugas deskripsi berdasarkan film non-dialog. Pada (1) pesan morfem sebelum dan setelah pengajaran berbeda secara signifikan, namun pada (2) tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti menyimpulkan bahwa dimana spontanitas berujar terlibat, pengajaran formal tidak mempengaruhi perkembangan. Turner (1978) menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua dan menemukan bahwa pesan pengajaran dari suatu set tatabahasa morfem tidak berkorelasi tinggi dengan pesan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, pesan pengajaran dan pembelajaran ternyata berbeda. Diambil secara bersama, pelajaran ini memberi kesan tapi tidak membuktikan pengajaran formal tidak mengubah pesan kemahiran morfem tatabahasa saat pelajar sibuk dalam menggunakan bahasa terfokus pada arti dari bahasa tersebut Kedua studi lain mengenai pelajar bahasa kedua memberi kesan bahwa pengajaran dapat memiliki efek pada pesan morfem, meskipun efek itu relatif kecil dan tidak kekal. Lightbown dkk. (1980) menyelidiki performan dari 175 mahasiswa Perancis penutur bahasa Inggris
berdasarkan (1) test penilaian secara tatabahasa, dan (2) pertanyaan komunikasi melibatkan deskripsi gambar. Mereka menemukan bahwa nilai pada (1) hasilnya meningkat sesuai hasil pengajaran, tapi dari nilai secara umum kemudian menurun (antara lain, setelah mahasiswa tidak lagi menerima pengajaran pada bagian tatabahasa yang diujikan). Pada (2) mereka menemukan bahwa pesan dari berbagai morf em kata benda dan kata kerja berbeda dari pesan „secara alami‟. Hal ini terjadi karena mahasiswa jelek dalam hal bentuk jamak dibanding morfem kata kerja, kemungkinan karena efek dari bahasa pertamanya (antara lain, dalam bahasa Perancis bentuk akhir jamak „-s‟ terjadi hanya pada tulisan). Bagaimanapun, saat morfem kata kerja dan kata benda betul-betul dipertimbangkan secara terpisah, pesan yang sesuai terjadi secara alamiah. Pada studi berikutnya, Lighbown (1983) menemukan bahwa pada kelompok mahasiswa yang sama pada studi pertama „overlearnt‟ pada penempatan „-ing‟ kata kerja pada tahap tingkat
pengembangan mereka. Lighbown memberi kesan bahwa hal ini sebagai hasil dari latihan formal secara intensif mengenai morfem ini pada tahap terlalu awal dan latihan yang terkonsentrasi tinggi dapat menunda efek. Meskipun, mahasiswa tidak menggunakan „-ing‟ secara tepat, namun
mengulur-ngulur penggunaan pada kontek yang membutuhkan morfem orang ketiga „-s‟. kemudian, frekwensi „-ing‟ menurun sejalan dengan mahasiswa yang menyortir masing-masing penggunaan „-s‟ dam „=ing‟. Sekali lagi, karenanya, kekacauan pada pesan alami membuktikan
hanya bersifat sementara. Salah satu masalah dari keseluruhan lima kelas studi morfem tentang pelajar bahasa kedua adalah bahwa pelajar yang telah menerima pengajaran lingkungan dimana hal itu memungkinkan bagi mereka untuk mengekpose bahasa kedua diluar kelas. Dengan kata lain, studi mungkin tidak menyentuh efek pembelajaran kelas. Pica (1983) menyebutkan sejumlah studi seperti halnya ekspose tersebut mungkin lebih sedikit telah mengacaukan variabel. Fathman (1978) membandingkan apa yang ia sebut sebagai „pesan sukar‟ dari pelajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing di kelas di Jerman dimana bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk sekolah di Amerika Serikat. Pada kasus terdahulu, pengajaran telah memberikan kecocokan pada dua kriteria yang telah disebutkan : yaitu, yang terstruktur dan yang membutuhkan pemusatan pada bentuk. Pada kasus kemudian, pengajaran formal mini telah diperkenalkan. Meskipun demikian, Fathman melaporkan hubungan positif dalam pesan yang dihasilkan oleh dua kelompok pelajar, meskipun ia tidak mengidentifikasi jumlah perbedaan minornya.
Studi kedua kelas murni yang mempelajari pandangan Pica tersebut adalah sebagaimana menurut Makino (1979). Makino menyelidiki sembilan morfem yang dihasilkan dalam ujian tulis 777 subjek pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di sekolah sekunder Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa pesan morfem yang dihasilkan berkorelasi signifikan dengan pesan yang dilaporkan oleh Dulay dan Burt dan oleh peneliti morfem lainnya (Hakuta 1974 adalah pengecualian). Studi ketiga yang meneliti pandangan Pica adalah Sajavaara (1981a). ia mengumpulkan cara berujar secara spontan dari pelajar berbahasa Finlandia yang belajar bahasa Inggris dan menemukan suatu gangguan pesan.. satu dari perbedaan utama adalah didakam memposisikan rangking suatu tulisan. Pica mencatat bahwa sisten tulisan bahasa Finlandia dan bahasa Jepang berbeda dari bahasa Inggris, tapi hanya pelajar bahasa Finlandia dalam studi Sajaavara berbeda seara alami. Pica melaksanakan studinya mengenai efek pengajaran terhadap pesan morfem. Ia membandingkan enam pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang menerima pengajaran formal di Mexico City baik pada kelompok pelajar alami, maupun pelajar campuran (sebagai contoh, seseorang menerima ekspose dan juga pengajaran) di Philadelphia. Pica memandang pada delapan morfem dan menemukan korelasi signifikan diantara tiga kelompok dan dengan pesan alami Krashen. Pembahasan sembilan morfem tersebut diringkas dalam tabel 9.1. Kesimpulan apa yang dapat digambarkan? Secara umum pengajaran formal tidak tampak memiliki efek terhadap pesan morfem yang dilaporkan untuk alami atau campuran pemerolehan bahasa kedua. Hanya saat data yang digunakan untuk menghitung pesan morfem secara ketat dimonitor (seperti dalam melakukan studi oleh Perkin dan Larsen-Freeman, misalnya) muncul berbeda-beda. Saat data dikumpulkan mencerminkan penggunaan yang komunikatif tentang bahasa kedua (sebagaimana dalam studi Pica, misalnya), pesan morfem adalah sama halnya dengan pesan alami atau berbeda hanya dalam istilah dan hanya dalam satu atau dua segi yang mungkin terlalu „overlearnt‟.
Kesimpulan umum ini membenarkan tanpa bergantung apakah pelajar adalah anak-anak atau dewasa dan yang paling menarik tanpa bergantung dari apakah pelajar orang asing ataukah lingkungan bahasa kedua. Satu-satunya pengecualian adalah studi Sajavaara. Pengajaran formal muncul, lalu, hanya memiliki efek kurang berarti pada pesan order merujuk kepada bahasa yang digunakan secara spontan. Namun, sebagaimana yang telah
tergambar pada bab 3, pesan morfem mengukur secara akurat lebih baik daripada pengetahuan yang didapatnya. Dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang dapat dipercaya, mengenai pengaruh pengajaran pada pengembangan bahasa kedua, penting untuk berbalik ke arah studi longitudinal mengenai struktur transisi. Studi longitudinal tentang kelas pemerolehan bahasa kedua
Allwright (1980 : 165) mengamati : Secara aneh, pendekatan studi kasus sangat berperan pada metodologi bahasa kesatu dan kedua yang didapatkan para peneliti, tidak secara khusus, masuk akal untuk pelajar yang berada dalam kelas. Terdapat sedikit studi longitudinal kelas pemerolehan bahasa kedua. Tiga diantaranya yang akan dibahas disini adalah Felix (1981), Ellis (1984a) dan Schumann (1978b). Bukti studi longitudinal yang tersedia oleh karenanya lebih sedikit dibandingkan apa yang disajikan studi morfem. Studi Felix menarik perhatian tertentu karena subjeknya adalah pelajar kelas asli, contohnya mereka seluruhnya bergantung pada pengajaran formal untuk input bahasa kedua. Terdapat tiga puluh empat murid Jerman usia sepuluh hingga delapan tahun, mempelajari bahasa Inggris pada tahun pertamanya di Sekolah Menengah Atas Jerman. Para murid menerima 45 menit pelajaran bahasa Inggris selama lima hari seminggu. Studi keseluruhan mencapai delapan bulan. Struktur tatabahasa yang Felix laporkan yaitu pada negasi, interogasi, tipe kalimat, dan kata ganti. Untuk setiap pola, kesamaan telah ditemukan antara hasil tutor dan pemerolehan bahasa kedua secara alami. Sebagai contoh, walaupun pelatihan sehari-hari dalam kalimat bulat negatif (misalnya „it isn‟t) selama minggu pertama, murid tidak dapat menghasilkan kalimat yang benar dalam menggunakan „not‟ atau „n‟t‟, sementara ucapan negatif secara spontan dari minoritas selama periode ini memuat penghubung „no‟ (misalnya, „it‟s no my comb‟). Saat kata
kerja utama kalimat negasi diperkenalkan (misalnya penggunaan „don‟t‟/doesn‟t‟), banyak ungkapan negatif anak-anak mengandung pelengkap kalimat negatif diluar (misalnya, „doesn‟t she eat apples‟ = she doesn‟t eat apples). Dengan kata lain, anak -anak banyak menggunakan „don‟t/doesn‟t‟ dalam cara khusus bagi pelajar alami yang menggunakan „no‟. Contoh serupa
mengenai bentuk yang diamati dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami telah dilaporkan untuk pola lain yang diselidiki oleh Felix. Felix berkesimpulan bahwa hasil tutor dan hasil alami pemerolehan bahasa kedua melibatkan proses pembelajaran yang sama dan bahwa …..kemungkinan manipulasi dan kontrol kebiasaan verbal pelajar dalam kelas dalam
faktanya terbatas. (Felix 1981:109) Dalam kelas dimana pengajaran merupakan hal yang sangat formal, pelajar secara konstan dipaksa untuk menghasilkan pola yang mereka belum siap. Felix menduga upaya memecahkan masalah ini merupakan satu dari dua jalan yang ada. Apakah mereka memilih secara acak dari pola repertoir, ketidakbergantungan sintaksis atau kelayakan semantik, ataukah mereka mengikuti aturan yang sama bahwa itu merupakan karakteristik tahapan awal pemerolehan bahasa secara alami. Ellis menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua usia sepuluh hingga tiga belas tahun. Mereka menerima pengajaran penuh (misal, tanpa adanya penutur asli anak-anak). Hal itu selayaknya menunjukkan, bagaimanapun, bahwa bahasa Inggris – bahasa kedua – telah digunakan sebagai media umum komunikasi baik antara guru dan murid dan diantara murid itu sendiri. Jadi, baik kelas dan lingkungan sekolah memberikan kesempatan bagi pengguna bahasa Inggris. Pengajaran bahasa itu sendiri bervariasi, namun secara utama mengenai jenis audio-lingual. Studi mencangkup periode sembilan bulan. Pada saat awal, dua anak merupakan benar-benar pemula, sementara yang lain hampir dikatakan demikian (misal, ia hanya memiliki sedikit perbendaharaan kata bahasa Inggris saja). Ellis menguji negatif, interogatif dan sejumlah frase morfem kata kerja. Kesemua pola ini secara formal diajarkan pada satu waktu atau saat yang lain selama sembilan bulan pembelajaran – beberapa orang pada kesempatan yang lain. Saat ucapan komunikasi dihasilkan oleh pelajar di
kelas setelah dianalisa, ternyata menunjukkan pola pengembangan kurang lebih identik pada penelitian dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami. Hasil ini adalah benar untuk semua pola yang diselidiki. Sebagai contoh, ungkapan penyangkalan anak-anak yang terdiri dari anaforik (misal, „no‟ oleh dirinya sendiri atau „no‟+ pernyataan terpisah). Negasi eksternal
mengikuti, pertama dalam ungkapan ketiadaan kata kerja dan kemudian dalam ungkapan berisikan kata kerja. Penggantian negasi eksternal secara berangsur-angsur oleh negasi internal terjadi. Bersamaan dengan „not‟ digantikan „no‟ sebagai negasi pokok. Ellis, seperti halnya Felix,
berkesimpulan bahwa proses yang sama ditemukan dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami ditempat kerja. Satu-satunya perbedaan antara pemerolehan bahasa secara alami dan di kelas bahwa dapat diamati beberapa pola transisi yang berubah lebih lama (misal, penggunaan interogatif yes/no yang tidak dibalikan) dan beberapa susunan lambat muncul.
Ellis
mengemukakan hal ini sebagai hasil pola penyimpangan komunikasi yang terjadi di kelas. Fakta lebih lanjut untuk penjelasan ini berasal dari Long dan Sato (1983), yang menemukan, sebagai misal, bahwa karakteristik input kelas mendominasi acuan sementara. Dalam studi Schumann percobaan dengan sengaja dibuat untuk mengajar pelajar bahasa kedua dewasa tentang bagaimana untuk ber-negasi. Ini terjadi dalam konteks studi longitudinal dari cara lainnya yaitu pemerolehan bahasa kedua secara alami. Lebih dahulu pada eksperimen pengajaran, ungkapan kalimat negatif pelajar secara pokok adalah ti pe „no + V‟. Pengajaran meliputi periode selama sembilan bulan, dan selama itu perolehan dan spontanitas ungkapan kalimat negatif diperoleh. Pemerolehan ungkapan telah ditunjukkan oleh nilai perkembangan (64 persen benar berlawanan dengan sebelum pengajaran yang hanya mencapai 22 persen). Tetapi, ungkapan secara spontan tidak menunjukkan perubahan signifikan.(20 persen benar sebagaimana 22 persen benar sebelum pengajaran). Schumann berkesimpulan bahwa pengajaran mempengaruhi hasil belajar hanya dalam ujian seperti situasi saat komunikasi normal yang tidak dibuat-buat. Dari kesemua studi ini (yang diringkas pada tabel 9.1), dapat diambil suatu hipotesa : 1. pengajaran bukan proses berbelit-belit yang berperan dalam urutan pengembangan yang jelas dalam transisi pola seperti kalimat negatif, interogatif dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami. 2. ketika pelajar di kelas diperlukan untuk menghasilkan pola melebihi kompetensi mereka, bentuk yang aneh yang biasanya dihasilkan. 3.
simpangan input dapat memperpanjang tahap tertentu dari perkembangan dan melambatkan timbulnya beberapa fitur gramatikal.
4. pelajar kelas dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengajaran formal ketika mereka terfokus pada bentuk (yaitu, dalam suatu ujian terpisah). Bagaimanapun, banyak penelitian dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis ini. Jenis
Studi
Jenis
Subjek
Tingkat
Data
Hasil
Kelas Morfem
Fathman (1975)
Morfem
USA
Perkin dan LarsenFreeman (1975)
Morfem
ESL
260 anak usia 6-15 thn-
Dasar dan
berlatar campuran bahasa
menengah
ESL
Menengah
baru-bahasa pertama Spanyol
Pesan
morfem
yang
didapat
peserta pengajaran signifikan 1. Tes
Pesan
morfem
sebelum
terjemah
setelah pengajaran berbeda
dan
2. ucapan
USA
spontan 3 pelajar bahasa inggris
ESL
Tes oral
pertama 12 mahasiswa-pendatang
Turner (1978)
Kemahiran
Dasar
sebagai bahasa kedua
USA
1. sampel
Pesan pengajaran berbeda dari
ucapan
pesan
spontan
spontanitas tapi relatif sama dalam
2. tes
tes
morfem
dalam
hal
tatabahasa Morfem
Lightbown, dkk. (1980)
ESL
175 tingkat 6, 7 dan 8-bahasa
Campuran
ucapan
Berbeda pesan, kecuali untuk kata
pertama Perancis
tingkat
spontan
kerja dan kata benda
kemampuan-
Canada
utamanya menengah
Morfem
Lightbown (1983)
Morfem
Fathman (1978)
Morfem
Makino (1979)
Morfem
Sajavaara (1981)
Morfem
ESL Canada EFL Jerman EFL Jepang EFL Finlandia
Pica (1983) EFL Mexico
Longitu-
Felix
dinal
(1981)
Longitu-
Ellis
dinal
(1984a)
EFL Jerman ESL Inggris
75 tingkat 6 (juga 36 tingkat
Utamanya
ucapan
Berbeda pesan untuk sejumlah
7 dan 8)
dibawah
spontan
morfem (mis. – ing)
Tes oral
Signifikan
menengah Remaja menerima pelajaran
Campuran
berkorelasi
(tidak
tatabahasa, latihan, dan
tingkat
kontrol dialog
kemampuan
777 remaja dan anak
Campuran
Tulisan
Tidak ada perbedaan signifikan
menerima pengajaran formal
tingkat
pendek-tes
antara pesan morfem dan pesan
kelas
kemampuan
menjawab
alamiah
Remaja menerima pengajaran
?
Tes spontan
Pesan alamiah menjadi terganggu
6 dewasa penutur bahasa
Campuran
Percakapan
Pesan morfem berkorelasi dengan
Spanyol (18-50 thn)
tingkat
panjang
grup itu
menerima pengajaran
kemampuan
dengan para
menerima pengajaran)
formal kelas
tatabahasa dan latihan bahasa
peneliti-
komunikatif
rekaman
34 anak usia 10-11 thn-
Pemula
bahasa pertama Jerman
Percakapan
Menghasilkan
ungkapan
yang
kelas-rekaman
sesuai aturan sebagaimana halnya alamiah
3 anak usia 10-13 thn-bahasa
Pemula
pertama Punjabi dan Portugis
Percakapan
Menghasilkan
ungkapan
yang
kelas-rekaman
sesuai aturan sebagaimana halnya alamiah
Longitu-
Schumann
ESL
1 dewasa-bahasa pertama
Faham kolot
Ucapan
Peningkatan substansial ketepatan
dinal
(1978)
USA
Spanyol
di usia senja
alamiah
keseluruhan
Tabel 9.1 Studi empiris tentang efek pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua
Ringkasan
Studi morfem dan longitudinal mengenai pemerolehan bahasa kedua mengindikasikan bahwa meskipun pengajaran formal
mungkin mengembangkan pengetahuan bahasa kedua,
pengetahuan ini manifestasi dirinya sendiri dalam penggunaan bahasa hanya dimana pelajar mengikuti prosesnya. Itu tidak terjadi, oleh karena itu, terkecuali dalam cara yang relatif sedikit, mempengaruhi jalan alami pemerolehan bahasa kedua yang secara jelas terlihat dalam bertutur komunikasi. Untuk menggunakan perbedaan antara rangkaian dan pesan pengembangan yang dibuat dalam bab 3, kita dapat mengatakan bahwa keseluruhan rangkaian pengembangan tidak dipengaruhi oleh pengajaran formal, sementara pesan pengembangan sangat dipengaruhi. Pengajaran formal mempengaruhi pengetahuan hanya pada bentuk kehatihatian dalam gaya bahasa, bukan pada bentuk logat bahasa (lihat bab 4). Kesimpulan ini, merupakan hal yang tentatif, seperti yang terlihat pada studi pemerolehan bahasa kedua di kelas, terutama longitudinal. Pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua.
Studi tentang pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua telah semakin banyak. Long (1984d), dalam tinjauan seksama riset yang relevan membuat daftar sebelas studi. Namun, kesemua studi ini telah menguj i „kegunaan relatif‟ suatu pengajaran. Bahwa, kesemuanya menyangkut dengan keseluruhan efek pengajaran pada kecakapan bahasa kedua dalam hubungannya pada efek ekspose ringan bahasa kedua secara alamiah. Jadi, tidak ada satupun studi yang menguji „efek absolut‟ pengajaran formal, yaitu, apakah pengajaran dapat
mempercepat pemerolehan pola gramatikal khusus. Juga, seperti halnya studi yang telah menguji campuran pelajar bahasa kedua (antara lain, mereka yang menerima ekspose dan pengajaran), studi tersebut tidak dapat menjawab apakah pengajaran formal yang didalam dirinya lebih efektif daripada ekspose dalam dirinya, tapi hanya, apakah pengajaran ditambah ekspose lebih baik daripada tidak ada pengajaran dan ekspose. Hal ini tidak sepenuhnya memuaskan, dengan alasan, yang akan dipertimbangkan kemudian. Terlebih dahulu, studi, akan dibagi pada dua grup. Grup
pertama berisi sebelas studi hasil pemikiran Long ; hal ini, seperti yang dicatat dibawah, merujuk pada kegunaan relatif. Grup berikutnya berisi satu studi oleh Ellis (1984a) yang merujuk pada efek absolut. Keseluruhan studi hanya memikirkan efek perkembangan gramatikal. Kegunaan relatif pengajaran formal
Mempelajari tipe studi ini dapat lebih lanjut dibagi sebagaimana berikut : (1) studi bagi mereka yang menunjukkan pengaruh pengajaran secara positif, (2) studi bagi mereka yang ambigu, dan (3) studi bagi mereka yang tidak menunjukkan pengaruh dari pengajaran. Long (1983d) mendiskusikan enam studi yang menunjukkan pengaruh positif pengajaran formal. Dua diantaranya membandingkan pengaruh perbedaan jumlah pengajaran pada pelajar yang menerima jumlah yang sama dari ekpose. Empat studi lainnya menyelidiki hubungan antara perbedaan jumlah pengajaran, ekspose dan tingkat kemahiran pelajar. Kesemua studi mencakup anak-anak dan dewasa, suatu cakupan tingkat kemahiran, dan perbedaan target bahasa. Juga, pengujian biasa mengukur tingkat kemahiran poin diskrit (misal, pilihan berganda) dan tipe integratif. Prosedur diadopsi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan Krashen, Seliger dan Hartnett (1974) untuk mencocokan pasangan siswa yang memiliki jumah ekspose yang sama namun berbeda periode pengajaran formal (contohnya, untuk menahan faktor ekspose yang konstan dalam upaya mengukur pengaruh faktor pengajaran). Kedua studi menemukan bahwa pelajar tersebut dengan pengajaran yang lebih memiliki skor tinggi dalam test kemahiran dibandingkan pelajar yang kurang dalam pengajaran. Namun, seperti yang digambarkan oleh Long, tidaklah mungkin untuk memastikan bahwa pengajaran dalam diri yang memiliki pengaruh, sebagaimana kiranya, pelajar yang lebih berpengalaman dalam hal pengajaran lebih banyak berhubungan dengan bahasa kedua. Jadi, hasil yang diperoleh dapat dijelaskan dalam hubungan jumlah keseluruhan hubungan (contohnya, total waktu pengajaran ditambah total waktu ekspose). Dalam upaya untuk menegaskan pengaruh nyata pengajaran formal, penting untuk memperlihatkan bahwa saat pelajar cocok dalam pengajaran namun berbeda dalam ekspose (contohnya faktor pengajaran dipengang konstan dalam upaya menginfestigasi faktor ekspose), tidak terdapat kesesuaian pengaruh nyata untuk ekspose. Dalam kedua studi ini pada kenyataannya ditemukan sebagai kasus, memberi kesan bahwa pengamatan pengaruh nyata pengajaran bukan sekedar hasil dari keseluruhan waktu kontak yang lebih banyak. Bagaimanapun, studi oleh Martin (1980)
menemukan pengaruh nyata untuk ekspose saat pengajaran merupakan untuk pengendali. Dalam suatu kesimpulan, lebih lanjut, studi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan oleh Krashen, Seliger dan Hartnett (1974) menilai bahwa pengajaran adalah membantu, namun dengan bukti-bukti yang tak pasti. Prosedur yang digunakan oleh keempat studi lainnya (Krashen dkk. 1978 ; Briere 1978 ; Carroll 1967 ; Chihara dan Oller 1978) juga bahwa menunjukkan pengaruh nyata pengajaran untuk mengukur secara statistik derajat kesesuaian antara jumlah pengajaran dan ekspose yang berpengalaman dengan siswa yang berbeda pada satu sisi dan nilai kemahiran pada sisi lainnya. Keempat studi menemukan hubungan antara ekspose dan kemahiran, tapi hanya tiga studi yang menemukan hubungan yang sama antara ekspose dan kemahiran. Juga kekuatan hubungan dengan pengajaran lebih kuat dalam dua studi, dan yang terlemah hanya pada satu studi. Pada umumnya, pengajaran merupakan prediktor yang lebih baik dalam hal tingkat kemahiran daripada ekspose. Namun, sekali lahi, hal tersebut sangat sulit untuk memisahkan efek pengajaran dan ekspose dalam studi ini. Long mendiskusikan dua studi dengan hasil ambigu (Hale dan Budar 1970, dan Fathman 1976). Pada kedua kasus studi itu sendiri membuahkan hasil yang mengindikasikan pengajaran tidaklah membantu. Hale dan Budar, sebagai contoh, menulis : Terlihat bahwa mereka (pelajar) yang menghabiskan waktu dua hingga tiga hari dari enam haridalam kelas khusus TESOL menjadi lebih merugikan daripada membantu. (Hale dan Budar 1970:297) Mereka berpendapat bahwa pelajar yang mencapai kemahiran tertinggi dalam waktu sesingkat mungkin merupakan mereka yang mengalami interaksi total dalam bahasa Inggris dan kebudayaannya. Long, menyebutkan bahwa karena rancangan studi Hale dan Budar, variabel seperti pengajaran, latar belakang ekonomi-sosial, jumlah ekspose, dan sikap orang tua apakah bertentangan sehingga tidaklah mungkin untuk menentukan yang bertanggungjawab atas perbedaan dalam tingkat kemahiran yang diamati. Long, juga menunjukkan bahwa permasalahan secara metodologi membuat ragu apa yang dihasilkan Fathman. Tiga studi (Upshur 1968 ; Mason 1971 ; Fathman 1975) menunjukkan tidak ada keuntungan tentang pengajaran. Dalam setiap kasus, perbandingan dibuat antara pengajaran dan ekspose serta ekspose saja, dengan total aktu kontak yang dijaga tetap sama. Long menentang bahwa meskipun hasilnya negatif, terdapat beberapa indikasi baha pengajaran tetap berperan, meskipun secara hasil statistik tidak mencapai signifikan.
Pengambilan semua studi ini secara bersama (digambarkan pada tabel 9.2), Long menyatakan bahwa „sungguh terdapat fakta mengindikasikan bahwa pengajaran bahasa kedua telah membuat perbedaan‟ (1983d: 374). Ia membantah bahwa pengaruhnya (1) pada anak
sebaik pada dewasa, (2) pada pelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut sebaik pada pemula, (3) pada keutuhan sebagaimana halnya pada poin test terpisah, dan (4) dalam perolehan si kaya sebagaimana halnya perolehan si miskin. (3) merupakan signifikan, karena memberi kesan bahwa pengajaran membantu performan komunikatif, dimana test integratif diharapkan untuk mengukur seperti halnya performan yang dimonitor dalam pengamatan yang sejenis dalam poin test terpisah. (4) merupakan pertentangan mengenai hipotesa yang dikemukakan Krashen tentang hal pengajaran yang akan bernilai dalam dalam pemerolehan di lingkungan miskin, saat pelajar mungkin tidak dapat memperoleh input memadai melalui ekspose, tapi tidak signifikan dalam pemerolehan di lingkungan kaya, dimana disana terdapat banyak input yang dapat dimengerti. Dalam pernyataan Long tentang penelitian yang didapat, pengaruh pengajaran formal adalah dapat dimengerti. Pengaruh nyata pengajaran formal
Studi sejenis yang dilaporkan diatas tidak memberi keterangan pada apa yang benar benar terjadi saat pengajaran formal berlangsung. Jika demikian membantu pemerolehan bahasa kedua, siapakah yang melakukannya? Ellis (1984e) memperkenalkan untuk menguji ini. Ia mengukur pengaruh tiga jam pengajaran pada bentuk dan arti dari pertanyaan WH pada kelompok tiga belas pelajar bahasa kedua tingkat dasar berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dua subjek pelajar diselidiki dalam studi longitudinal yang telah dibahas lalu. Ini menunjukkan bahwa pada saat pengajaran, WH interogatif mulai muncul dalam bertutur komunikasi. Seperti ketika anak-anak ini dinilai sedikit dibawah rata-rata kelompok keseluruhan, hal itu diduga bahwa WH interogatif lebih kecil dari subjek „daerah perkembangan terdekat‟ (Vygotsky 1962) ; bahwa, pelajar secara perkembangannya „siap‟ untuk pertanyaan WH.
Namun, hasil yang ditunjukkan bahwa untuk keseluruhan kelompok meningkat tidak signifikan dalam kemampuan anak-anak menggunakan secara tepat dan secara gramatikal dibentuk dengan baik pertanyaan WH sebagaimana hasil pengajaran. Beberapa anak, menunjukkan tanda peningkatan individual. Untuk menetapkan apakah hal ini dapat diturunkan pada pengajaran yang mereka terima, Ellis mengukur partisipasi setiap murid dalam perubahan pengajaran dalam
satu pelajaran. Ia menemukan bahwa itu adalah interaktor rendah yang lebih baik daripada interaktor tinggi yang berkembang dalam kemampuan untuk menggunakan pertanyaan WH dimana merupakan target pelajaran ini. Kemudian keterlibatan aktif dalam pengajaran formal bahasa tidak muncul untuk memfasilitasi pemerolehan bahasa kedua. kedu a. Studi ini tidak dapat dikatakan untuk menunjukkan bahwa pengajaran formal tidak memiliki pengaruh nyata – lebih banyak lagi konfirmasi studi yang dibutuhkan untuk meraih kesimpulan tersebut – tapi tapi hal itu mengindikasikan bahwa kegunaan relatif pengajaran mungkin tidak dihasilkan dari pemerolehan pola yang mengangkat target n atau pelajara. Poin ini akan dibahas kemudian. Diskusi
Terdapat sejumlah permasalahan dengan studi yang dilaporkan pada bab ini, yang membuat keraguan pada kesimpulan dari Long terkait pengaruh positif dari pengajaran formal. Seperti yang telah dicatat dalam enam studi yang dilaporkan bahwa pengajaran adalah membantu, terdapat permasalahan mengenai memutuskan apakah pengaruh hal yang diteliti merupakan hasil dari pengajaran itu sendiri, atau lebih merupakan hubungan kesempatan. Juga terdapat permasalahan mengenai motivasi pelajar. Hal ini dapat mempengaruhi hasil dalam beberapa segi. Sebagai Seb agai misal, pelajar yang termotivasi tinggi lebih menyukai mencari mencar i pengajaran (atau pengajaran lebih) daripada pelajar yang kurang motivasi. Jadi pengaruh motivasi akan luar biasa bersama dengan pengajaran. Dalam beberapa studi (misalnya, Hale dan Budar 1970) pelajar tidak diberikan pilihan tentang apakah mereka harus menerima pengajaran. Dalam beberapa contoh mereka mungkin benci membenci pengajaran (Hale dan Budar melaporkan hanya sebatas ini), dengan hasil bahwa mungkin mereka lebih sedikit menerima manfaat darinya. Akhirnya, tidaklah jelas dalam cara apakah pengajaran formal seharusnya membantu pemerolehan bahasa kedua. Dengan pengecualian studi Ellis, tidak terdapat catatan mengenai kesempatan apa yang ada dalam kelas itu sendiri. Namun, untuk menyanggah bahwa pengajaran dapat membantu pelajar untuk mendapatkan bahasa kedua tidak hanya intuisi bandingan, namun berlawanan pada pengalaman pribadi guru dan murid yang tak terbilang. Dalam istilah luas. Pandangan Long tentang penelitian hanya memperkuat asumsi akal sehat. Apa yang menjadi perhatian, bagaimanapun, bukan apakah pengajaran formal memudahkan penilaian / kesuksesan pemerolehan bahasa
kedua, akan tetapi bagaimana. Pada skor ini, pembelajaran tidaklah membantu. Sebagai hasilnya, hal yang penting untuk diusahakan untuk mencari teori yang lebih baik dari jaaban empiris. Hal ini yang menjadi tujuan bab ini.
Jenis
Studi
Jenis Kelas
Kegunaan
Carroll
Pembelajaran bahasa
relatif
(1967)
asing di USA
Kegunaan
Chihara dan Oller
EFL di Jepang
relatif
(1878)
Kegunaan
Krashen,
relatif
dan Hartnett
Subjek Dewasa-bahasa pertama Inggris
Tingkat Kemahiran Semua tingkat kemahiran
Data Tes integratif
Pengaj memb
Dewasa-bahasa pertama Jepang
Semua tingkat kemahiran
- Tes diskret poin
Pengaj
- Tes integratif Seliger
ESL di USA
Dewasa-campuran bahasa pertama
Semua tingkat kemahiran
Tes diskret poin
Pengaj
Pemula
Tes diskret poin
Pengaj
(1974) Kegunaan
Briere
Bahasa Spanyol
Anak-bahasa Indian lokal bahasa
relatif
(1978)
sebagai bahasa kedua
pertama
memb
di Meksiko Kegunaan
Krashen
relatif
Seliger
dan
ESL di USA
Dewasa-campuran bahasa pertama
Menengah dan mahir
Tes integratif
Pengaj
ESL di USA
Dewasa-campuran bahasa pertama
Semua tingkat kemahiran
Tes integratif
Pengaj
(1976) Kegunaan
Krashen et all
relatif
(1978)
Kegunaan
Hale dan Budar
relatif
(1970)
Kegunaan
Fathman
relatif
(1976)
Kegunaan
Upshur
relatif
(1968)
Kegunaan
Mason
relatif
(1971)
Kegunaan
Fathman
relatif
(1975)
Pengaruh
Ellis
nyata
(1984e)
memb ESL di USA
Remaja-campuran bahasa pertama
Semua tingkat kemahiran
- Tes diskret poin
Ekspo
- Tes integratif ESL di USA
Anak-campuran bahasa pertama
Semua tingkat kemahiran
Tes integratif
Ekspo
ESL di USA
Dewasa-campuran bahasa pertama
Menengah dan mahir
Tes diskret poin
Pengaj
ESL di USA
Dewasa-campuran bahasa pertama
Menengah dan mahir
- Tes diskret poin
Pengaj
- Tes integratif ESL di USA
Anak-campuran bahasa pertama
Semua tingkat kemahiran
Tes integratif
Pengaj
ESL di Inggris
Anak-campuran bahasa pertama
Setelah tingkat pemula
Ucapan spontan dari
Pengaj
tes gambar
Tabel 9.2 studi empiris pengaruh pengajaran pada penilaian/kesuksesan Pemerolehan Bahasa Kedua
Simpulan
Studi tentang kegunaan relatif mengenai pengajaran formal menghasilkan campuran hasil,
namin
secara
umum
mendukung
hipotesis
bahwa
pengajaran
menolong
penilaian/kesuksesan pemerolehan bahasa kedua. Hal itu tidaklah jelas, namun, apakah hal itu adalah pengajaran yang ada dalam dirinya atau beberapa faktor yang berhubungan seperti motivasi dimana yang bertanggungjawab mempengaruhi pengamatan – baik positif atau negatif. Tidak juga jelas bagaimana pengajaran memimpin kearah perkembangan yang cepat, terutama sekali seperti adanya bukti untuk menyatakan bahwa pengajaran formal mungkin tidak memiliki pengaruh nyata. Menjelaskan peran dari pengajaran
Pandangan tentang penelitian empiris kedalam pengaruh pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua telah mengindikasikan bahwa meskipun pengajaran tidak memiliki pengaruh nyata pada rangkaian perkembangan dan sangat sedikit pada urutan perkembangan, ia memiliki pandangan relatif dimana penilaian/kesuksesan mengenai pemerolehan bahasa kedua adalah hal yang penting. Penjelasan mengenai peran pengajaran dalam pemerolehan bahasa kedua akan meliputi hasil ini. Bab ini akan mempertimbangkan tiga kemungkinan penjelasan dipandang dari sudut penelitian empiris yang dilaporkan dalam bab sebelumnya. Hal itu adalah (1) posisi non-interface, (2) posisi interface, dan (3) posisi variabilitas. 1)
Posisi non-interface
Posisi non-interface telah dimajukan sebelumnya oleh Krashen (1982). Krashen, akan disebut kembali, memperkenalkan dua jenis pengetahuan linguistik dalam pemerolehan bahasa kedua. „ Acquisition‟ terjadi secara otomatis ketika pembelajar menggunakan dalam komunikasi alami
dimana memusatkan pada maksud/makna dan dimana terdapat masukan yang dapat dipahami. „ Learning ‟ terjadi sebagai hasil dari pembelajar an formal dimana pembelajar difokuskan pada
sifat yang formal dari bahasa kedua. Pengetahuan „acquired ‟ terdiri dari mengenai peran bahasa kedua yang mana pembelajar dapat menyerukan secara otomatis; Pengetahuan „learnt ‟ terdiri dari pengetahuan metalingual yang mana hanya dapat digunakan untuk memonitor keluaran yang dihasilkan dari pengetahuan yang diperoleh. Krashen membantah bahwa dua jenis pengetahuan keseluruhannya terpisah dan tidak berhubungan. Khususnya bantahan pandangan bahwa pengetahuan „learnt ‟ yang diubah ke dalam pengetahuan „acquired ‟. Dia menuliskan:
Hal yang sangat penting yang juga dibutuhkan untuk dinyatakan adalah bahwa pembelajaran tidak „berubah menjadi‟ tambahan. Pemikiran bahwa kita pertamakali belajar suatu aturan, dan akhirnya, melalui latihan, mendapatkannya, menyebarluas dan mungkin terlihat pada beberapa orang tanpa sadar menjadi jelas….pemerolehan bahasa….terjadi dalam satu jalan, saat pemahaman input berisi struktur yang penerima „tiba‟ untuk memahami, suatu struktur padanya „I + 1‟. (1982:83-4)
Hal ini merupakan posisi yang tidak berhubungan . Krashen mempergunakan sejumlah alasan untuk keterpisahan „pemerolehan‟ dan „belajar‟
pengetahuan : 1. terdapat banyak kasus „pemerolehan‟ dimana tidak terjadi „pembelajaran‟. Hal ini secara luas dilaporkan dalam studi naturalistik pemerolehan bahasa kedua. 2. terdapat kasus dimana „belajar‟ telah dilakukan tetapi gagal menjadi „pemerolehan‟. Krashen mengacu pada kasus „P‟ (Krashen dan Pon 1975), yang „belajar‟ peraturan
seperti orang ketiga tunggal „-s‟, tapi tidak dapat menggunakannya dalam percakapan umum karena ia belum „memperoleh‟ nya.
3. bahkan pelajar yang terbaik dapat menguasai hanya suatu sub satuan kecil yang bersifat kaidah gramatika tentang bahasa yang kedua. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari kaidah tersebut terlalu sulit untuk diikuti pelajar. Krashen menunjukkan bahwa hal ini sering memerlukan seorang linguis sepanjang tahunnya untuk menjelaskan kaidah tersebut, yang mudah diperoleh. Krashen mengakui adanya bahwa kadang-kadang kaidah dapat diajarkan sebelum hal itu diperoleh. Bagaimanapun, dia membantah bahwa hal ini tidak menetapkan bahwa pelajaran adalah suatu prasyarat dari pemerolehan. Dalam pandangan Krashen, setelah diajarkan, suatu kaidah tidak menghalangi untuk memperolehnya selanjutnya. Bukti yang menunjukkan bahwa pelajar dapat sering mengartikulasikan (pandai berbicara) kaidah formal tatabahasa, tetapi tidak dapat digunakan mereka dengan benar dalam komunikasi secara spontan memberi beberapa dukungan pada posisi non-interface. Seliger (1979) membawakan suatu studi yang menarik untuk menyelidiki apakah hal ini merupakan kasus dalam kenyataannya. Beliau ditanya sejumlah pelajar kelas orang dewasa untuk menjelaskan beberapa gambaran dan kemudian meneliti penggunaan a/an mereka di dalam ujaran yang mereka produksi. Beliau juga ditanya oleh pembelajar untuk menyatakan kaidah yang relevan. Hasilnya ditunjukkan dengan jelas bahwa tidak terdapat hubungan antara hasil
sebenarnya dengan pengetahuan yang sadar akan kaidah. Hal ini terjadi, di samping fakta banyak pelajar percaya bahwa pengetahuan mereka mengenai kaidahlah yang telah memandu hasil mereka. satu penafsiran dari studi Selinger adalah bahwa pembelajaran dan pemerolehan tentu saja bagian yang terpisah, walaupun penjelasan lainnya juga mungkin, yang akan memperjelas selanjutnya. Bagaimana cara posisi non-interface meliputi hasil riset yang empiris? Hal itu memberikan suatu penjelasan yang jelas mengenai mengapa pengajaran formal gagal untuk mempunyai efek yang substansial (penting) pada rute pemerolehan bahasa kedua. Rute ini merupakan pemikiran dari „pemerolehan‟ dan akan menjadi penting hanya dalam data yang
diambil dari ujaran secara spontan. Pengajaran formal diarahkan pada peningkatan kesadaran dan demikian, kiranya, hanya mempengaruhi pembelajaran. Jadi, walaupun kelas pembelajar boleh mempelajari kaidah, mereka tidak menunjukkannya dalam percakapan alami sampai mereka sudah memperolehnya. Dengan mengusulkan sebagai fakta bahwa pembelajaran dan pemerolehan itu sepenuhnya terpisah, Krashen dapat menjelaskan mengapa pengajaran formal kelihatannya tidak berdaya untuk menumbangkan urutan pengembangan yang alami. Silabus pengajar merupakan suatu pembelajaran silabus; kepunyaan pelajar dalam pembuatan silabus merupakan suatu silabus pemerolehan. Bagaimanapun, hal ini bukanlah dengan seketika jelas terlihat bagaimana posisi noninterface dapat menjelaskan efek positif yang berakibat pada nilai/suksesnya pengajaran formal
pada pemerolehan bahasa kedua. Hal itu bisa diharapkan bahwa lingkungan kelas akan menunjukkan pemerolehan bahasa kedua menurun dibandingkan mempercepatnya, diberikan pengajaran
formal
hanya
untuk
membantu
pembelajaran.
Bagaimanapun,,
Krashen
mengembangkan argumentasi untuk menjaga teorinya terhadap kritik seperti itu. Krashen (1982), sesungguhnya, mangakui bahwa kelas dapat melakukan lebih baik daripada lingkungan informal, sama halnya dengan yang ditunjukkan penelitian empiris. Dia membantah ini, terutama sekali dalam kasus pemula orang dewasa, para pemula mungkin akan mengalami kesukaran dalam memperoleh masukan yang dapat dimengerti (sumber pemerolehan) dalam keadaan alami, tetapi jauh lebih mungkin untuk memperolehnya di dalam kelas. Dengan begitu, walaupun dunia luar boleh menyediakan lebih masukan kepada pelajar, kelas lebih baik diperlengkapi untuk memastikan bahwa jenis masukan kualitatif yang benar diperlukan untuk pemerolehan yang tersedia. Argumen-argumen ini merupakan suatu pengembangan Krashen
(1976), dimana suatu pembedaan dibuat antara lingkungan exposure-type dengan intake-type. Banyak orang dewasa mungkin hanya mengalami lingkungan exposure-type di dalam suatu pengaturan alami dan dengan begitu tidak akan memperoleh masukan yang diperlukan; yang disesuaikan untuk memastikan pengertian. Di dalam kontras, kelas jauh lebih mungkin untuk memastikan bahwa lingkungan intake-type terjadi dan demikian bertemu dengan kondisi-kondisi itu yang mana pemerolehan dapat berlangsung. Bagaimanapun, kontribusi (sumbangan) pengaturan kelas tidak banyak dihasilkan dari pengajaran formal mulai dari masukan ketetapan yang dapat dimengerti sebagai hasil berlangsungnya komunikasi yang sukses. Krashen (1982) meringkas posisinya mengenai peran di dalam kelas. Nilai dari kelas bahasa kedua, selanjutnya, berada tidak hanya dalam pengajaran tatabahasa, tetapi dalam pembicaraan pengajar, masukan yang dapat dimengerti. Hal itu dapat merupakan suatu tempat efisien untuk mencapai sedikitnya tingkatan intermediate dengan cepat, sepanjang kelas memusatkan pada masukan penyediaan untuk pemerolehan (1982: 59). Bukti apa yang terdapat pada pemerolehan, yang dapat berlangsung dalam kelas? Terrel et al. (1980) membawakan suatu studi untuk menyelidiki apakah kelas pembelajar dapat mengambil struktur yang mana bukan bagian dari silabus pengajaran secara eksplisit. Mereka menemukan bahwa siswa SMP Spanyol sebagai bahasa kedua yang dengan sukses, pertanyaan yang diperoleh membentuk tanpa pengajaran langsung. Terrel et al. menunjukkan bahwa hasil ini dapat dijelaskan hanya oleh siswa yang memiliki sintaksis internal dari pertanyaan bahasa Spanyol sebagai hasil menjawab sejumlah besar pertanyaan pengajar yang digunakan untuk latihan struktur lainnya. Di sisi lain, studi Terrel et al. menunjukkan bahwa „pemerolehan‟
tentang suatu kaidah linguistik dapat terjadi ketika pengajaran diarahkan pada „pembelajaran‟ kaidah linguistik lainnya. Studi mereka memberikan suatu alasan mengapa pengajaran formal mungkin hanya memiliki secara relatif dan bukan suatu efek secara mutlak. Krashen membantah bahwa ketika pengajaran adalah tidak formal (yakni menghubungkan komunikasi), „pemerolehan‟ bahkan lebih mungkin di dalam kelas.
Untuk meringkas, posisi non-interface menjelaskan hasil dari studi empiris yang menyelidiki efek pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua dengan mengusulkan sebagai fakta bahwa ada dua jenis pengetahuan linguistik yang seluruhnya tidak bertalian. Pengajaran formal tidak mempengaruhi rute pengembangan, karena hasil pembelajaran tidak berdaya untuk mengubah urutan pengembangan yang terjadi melalui pemerolehan.
Bagaimanapun, kelas membantu perkembangan lebih cepat sebab mereka merupakan „intake environment’ , mengingat untuk banyak pelajar, khususnya orang dewasa, pengaturan alami hanya memberikan „exposure
environment ‟ dan dengan begitu tidak memungkinkan
pemerolehan berlangsung. Hal itu bukan, bagaimanapun, pengajaran formal yang di dalam dirinya itu meningkatkan pengembangan. Dengan dangkal, Posisi non-interface Krashen nampak untuk meliputi hasil riset empiris. Bagaimanapun, terdapat sejumlah masalah: 1. masalah pertama bertalian dengan fakta bahwa penelitian empiris membahas bagian yang sebelumnya telah kiranya menguji efek kelas dimana bagian terbesar pengajaran adalah formal dibandingkan komunikasi. Maka, Krashen berada dalam posisi membantah bahwa efek positif kesuksesan pemerolehan bahasa kedua yang telah ditunjukkan muncul tidak berkaitan dengan pengajaran formal itu sendiri, tapi, seperti yang digambarkan dalam studi oleh Terrell dkk., bahwa hasil secara kebetulan mengambil struktur dari input kelas yang terjadi dalam proses pengajaran. Krashen mengklaim bahwa pengajaran yang lebih komunikatif daripada keformalan akan menuju pada perkembangan yang cepat. Namun, hal ini dapat didemonstrasikan hanya oleh studi comparatif dan metoda. Krashen melakukan tinjauan sejumlah metoda berbeda untuk menentukan pada tingkat apa hal tersebut mungkin untuk menyediakan input yang dapat difahami, dan menggunakan hasil riset empiris yang tersedia dari efek komparatip metoda yang berbeda (seperti audio lingualisme, kode teori, respon total fisik dan metoda yang alami) untuk mendukung argumentasinya bahwa hal itu merupakan input yang dapat difahami, dibanding pengajaran formal, yang membantu pengembangan. Namun, Krashen tidak mengarah pada studi yang memiliki metoda perbandingan langsung berdasarkan pengajaran tatabahasa formal sejenis atau berlainan dan metoda yang didasarkan atas menyediakan kesempatan untuk kamonukasi asli. Tentu, satu studi yang tersebut dalam catatan Krashen (1981a) – Palmer (1978) – menghasilkan hasil yang tidak mendukung pernyataan Krashen. Hingga lebih seperti halnya studi itu telah dilaksanakan, posisi Krashen harus diperlakukan sebagai tindakan spekulatif. Untuk beberapa pengajar-dan peneliti-dengan tidak sengaja memuaskan penjelasan efek positif yang ditemukan untuk pengajaran formal akan menjadi fokus pada bentuk dibandingkan hanya „masukan lingkungan‟, bahwa hal itu dapat dipertanggungjawabkan.
2. Long (1983d) telah menunjukkan bahwa sebagai anak tidak seharusnya untuk „belajar‟ tapi hanya untuk „mendapatkan‟, mereka hendaknya lebih sedikit bermanfaat dari pengajaran formal dibandingkan orang dewasa. Sekali lagi, hal itu mungkin terjadi untuk „mengebalkan‟ posisi non-interface dengan mengakui (seperti yang dilakukan Krashen)
bahwa keuntungan lingkungan kelas terdiri dari ketetapan peluang yang didapatnya dibandingkan „belajar‟. Namun, sebagai anak mempertimbangkan memiliki lebih sedikit
masalah daripada orang dewasa dalam memperoleh input yang dapat dipahami diluar kelas, mereka seharusnya lebih sedikit terpercaya pada kelas untuk „pemerolehan‟ jadi peneliti harus menunjukkan efek yang lebih besar untuk pengajaran pada orang dewasa daripada pengajaran pada anak. Prediksi ini, bagaimanapun, tidaklah membuktikan. Dengan begitu, sehingga Krashen mengantisipasi bahwa pengajaran akan memiliki efek berbeda-beda pada orang dewasa dan anak-anak, ini tidak sesungguhnya terjadi. 3. Long (1983d) juga mencatat bahwa pengajaran hendaknya menunjukkan efek yang lebih besar pada pemula daripada pelajar telah lanjut, seperti klaim Krahen bahwa suatu hal yang mungkin untuk „belajar‟ hanya aturan tatabahasa yang mudah. Bagaimanapun juga,
peneliti tidak mendukung sepertihalnya klaim ; pelajar lanjutan merupakan keuntungan dari adanya pengajaran formal. Jika kemahiran merupakan hal yang terkait, Krashen juga menambahkan bahwa kelas tersebut membantu para pemula lebih dari para pelajar lanjutan, seperti yang belakangan adalah dalam posisi lebih baik untuk memperoleh input yang dapat dimengerti diluar kelas. Namun penemuan pelajar lanjutan itu juga keuntungan dari pengajaran, bahkan saat banyak pemerolehan dari linkungan tersedia dalam keadaan alami, berlawanan menuju prediksi Krashen. 4. Poin lainnya di munculkan oleh Long merupakan efek pembelajaran kelas hendaknya ditinjau hanya pada tes point tersendiri, tapi riset itu menunjukkan bahwa pengajaran juga mengarah pada peningkatan skor pada tes integratif, dimana dalam istilah krashen hendaknya untuk membuka „pemerolehan‟ pengetahuan.
Berikut ini merupakan kupasan serius tentang posisi Interface. Ini dapat menjadi suatu pemecahan tanpa mengabaikan posisi dasar, jika, seperti pandangan Long, beban terbesar ditunjukan pada „pembelajaran‟ dengan mendefinsikan kembali hal tersebut sebagai hal yang
menyertai lebih dari pengetahuan aturan „sederhana‟ dan menerima hal itu dapat membantu
penampilan pada tes integratif sebaik pada tes poin tersendiri. Solusi lain, bagaimanapun, berada dalam proses penolakan „pemerolehan/pembelajaran‟ pemisah dan mengadopsi posisi Interface.
Posisi Interface
Pernyataan posisi Interface yang meski pelajar menguasai berbagai macam pengetahuan mengenai bahasa kedua, hal ini bukanlah seluruhnya terpisah, dengan hasil bahwa „rembesan‟
dari satu tipe pengetahuan pada tipe lain yang terjadi. Hal itu mungkin untuk membedakan posisi Interface yang lemah dan yang kuat. Posisi Interface yang lemah telah dikemukakan Seliger (1979). Seliger memberikan argumentasi bahwa aturan secara sadar dimana pelajar „belajar‟ sebagai hasil dari pengajaran
formal merupakan keganjilan, dimana pelajar berbeda tersebut menyajikan hasil berbeda dari aturan yang mereka ajarkan. Aturan „yang diajarkan‟ tidak menguraikan pengetahuan internal
yang diserukan komunikasi alami, maka, tidaklah heran, mereka tidak dapat bertanggungjawab untuk perilaku bahasa aktual. Bagaimanapun, aturan yang berkaitan dengan pendidikan melayani sesuai kebutuhan. Ia berperan sebagai „fasilitator pemerolehan‟ dengan memfokuskan pada perhatian pelajar pada „atribut kritikal konsep bahasa sebenarnya yang harus dibujuk‟ (Seliger
1979: 368). Kemudian ia membantu membuat proses testing hipotesis induktif lebih efisien. Seliger juga menyarankan bahwa aturan pendidikan dapat melayani sebagai hal yang dapat membantu dalam mengingat untuk menerima fitur aturan internal dimana jarang digunakan oleh pelajar. Dengan kata lain, Seliger menerima bahwa internalisasi aturan merupakan proses berbeda dari keterlibatan itu dalam mempelajari aturan tentang pendidikan, tapi percaya bahwa pengetahuan aturan pendidikan (1) mungkin saja membuat lebih mudah internalisasi aturan saat pelajar „siap‟ menjalankannya, dan (2) mungkin memfasilitasi penggunaan fitur, dimana meskipun „pemerolehan‟ masih merupakan hal yang „dangkal‟. Namun, Selger tidak mengemukakan bahwa pengetahuan „belajar‟ (atau aturan pedagogi) dirubah kedalam pengetahuan „pemerolehan‟ (atau internalisasi).
Dalam perbandingan, Stevick (1980) membangun sebuah model Pemerolehan Bahasa Kedua (yang dia sebut mesin Levertov) dimana memenuhi arus pengetahuan dari „pembeajaran‟ hingga „pemerolehan‟ dan sebaliknya. Ia menggambarkan bahwa „pembelajaran‟ mungkin
berkaitan pada memori sekunder (dimana mampu menahan ingatan material lebih dari dua menit,
namun hilang secara berkala terkecuali apabila dipraktekan), dan „pemerolehan‟ tersebut mungin
berkaitan dengan memori tersier (dimana berisi material yang tidak pernah hilang, walau jika tidak digunakan). Stevick, seperti halnya Krashen, melihat „pemerolehan‟ sebagai produk
pengalaman komunikasi, tapi membantah bahwa hal itu dapat membuat penggunaan material baru ini telah terekam dan merupakan bagian dari memori sekunder. Jika hal ini terjadi, terdapat kemungkinan bahwa transfer material kedalam memori tersier, contohnya, „pembelajaran‟ menjadi „pemerolehan‟.
Bialystok (lihat, Bialystok dan Fr Öhlich 1977 ; Bialystok 1979 dan 1981) juga membangun sebuah model Pemerolehan Bahasa Kedua yang didasari dua jenis pengetahuan yang dapat saling berinteraksi. Ia menamakan pengetahuan ini „implisit‟ dan „eksplisit‟, tapi jelas
dalam
deskripsinya
bahwa
hal
itu
berkesesuaian
agak
baik
dengan
tipe
„pemerolehan/pembelajaran‟ Krashen. Bialystok mengemukakan bahwa „berlatih‟ adalah seperti
hal mekanis dengan pengetahuan ekplisit berubah kedalam pengetahuan implisit. Lalu pengetahuan implisit dapat dibangun kedalam dua cara : (1) maksud utama adalah „pemerolehan
dibawah sadar‟, dan (2) maksud kedua adalah melalui otomatisasi pengetahuan eksplisit dengan cara berlatih. Searah kemudian, dalam „pemerolehan‟ dan „belajar‟ mungkin terhubung dalam istilah
otomatisnya. Hal ini merupakan pandangan yang dikembangkan oleh McLaughlin (1978b) dalam serangannya pada posisi non antarmuka. McLaughlin merujuk pada perbedaan Schneider dan Shriffin (1977) antara proses „pengawasan dan „otomatis‟. Proses pengawasan membutuhkan
perhatian aktif, jadi hanya sejumlah fitur dapat diawasi pada satu waktu tanpa interfensi pada hal yang sedang terjadi. „otomatis‟ tidak membutuhkan pengawasan aktif atau perhatian. Poin penting adalah „proses otomatis dipelajari mengikuti penggunaan yang lebih awal dari proses pengawasan‟ (McLaughlin 1978b: 319). Kemudian, Pemerolehan Bahasa Kedua membawakan
dari pengawasan menuju mode operasi otomatis. Hal itu, kemudian, tidak perlu untuk menysaratkan dua tipe pengetahuan tak berkait seperti pada perbedaan „pemerolehan/belajar‟.
Sharwood-Smith (1981) berdasar pada pekerjaan Bialystok dan McLaughlin dan membangun model permukaan penuh untuk menghitung peran pengajaran formal dalam Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia berpendapat bahwa pengajaran tersebut bertindak sebagai hal yang pada umumnya yang mana peningkatan pemahaman dapat terjadi, dan menghasilkan pengetahuan eksplisit dilatih hingga teroomatisasi. Ia menulis :
“Apapun pandangan tentang proses yang mendasari dalam pembelajaran bahasa kedua …..jelas dan non-kontroversial untuk dikatakan bahwa kebanyakan penampilan spontan dicapai
melalui latihan. Selama benar-benar melakukan penargetan bahasa, pelajar mendapatkan kendali yang penting lebih dari struktur tersebut, seperti he atau she dapat menggunakannya dengan cepat tanpa refleksi (pemikiran)”. (1981: 166)
Gambar 9.1 menggambarkan reproduksi modelnya Sharwood-Smith. Pembelajar dapat menghasilkan keluaran bahasa kedua dalam tiga cara yang berbeda: (1) hanya menggunakan pengetahuan implisit (yang terkandung), (2) hanya menggunakan pengetahuan eksplisit, dan (3) menggunakan keduanya, yakni pengetahuan ekspisit dan pengetahuan implisit. Ungkapan pelajar mendasari bagian dari masukan bagi bahasa pelajar yang belajar mekanisme. Pada bagian lain dari masukan disusun oleh ucapan pembicara lainnya. Total masukan menyediakan informasi yang dapat memimpin pelajar untuk mengubah komposisi baik pengetahuan yang implisit maupun pengetahuan eksplisit, atau pun kedua-duanya. Hal ini berdasarkan dari model ini bahwa performa yang direncanakan seluruhnya atau sebagian pada dasar pengetahuan eksplisit yang kurang dalam proses otomatisasi dapat memberikan umpan balik kedalam pengetahuan implisit; jika hal ini cukup serng terjadi (contohnya melalui latihan), pengetahuan eksplisit dapat menjadi otomatis sepenuhnya sebagai bagian dari pengetahuan implisit. Pengetahuan eksplisit Pengetahuan implisit Ungkapan pembicara lain Output Input
Gambar 9.1 Input linguistik dan output : tiga sumber feedback potensial (Sharwood-Smith 1981 : 166)
Seberapa baikkah kelemahan dan kekuatan posisi Interface meliputi hasil riset empiris kedalam efek pengajaran formal? Posisi lemah dapat dengan nyaman meliputi kedua kegagalan untuk menemukan efek positif pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua dan untuk menemukan bahwa pengajaran formal mempengaruhi penemuan penilaian/keberhasilan pengembangan. Posisi kuat dapat meliputi penemuan penilaian/keberhasilan, namun kurang nyaman dengan penemuan jalur. Posisi lemah, seperti yang dikemukakan lebih lanjut oleh Selinger, menyatakan bahwa aturan pedagogi tidak akan merubah urutan yang dalam aturan bahasa kedua secara alami „diperoleh‟, seperti halnya efek itu hanya akan dirasakan ketika pembelajar siap untuk
memperoleh aturan tersebut. Bagaimanapun, aturan pedagogi akan meningkatan kecepatan pengembangan, karena aturan-aturan pedagogi tersebut membuat proses „pemerolehan‟ lebih singkat. Dikarenakan pembelajar dilengkapi oleh pengetahuannya tentang aturan pedagogi, maka ia memerlukan waktu yang lebih sedikit untuk merasakan dan menginternalisasikan fitur yang menonjol dari aturan tersebut. Posisi yang kuat, didukung oleh Stevick, McLaughlin, dan Sharwood-Smith, memberikan penjelasan yang meyakinkan mengenai mengapa pelajar kelas melampaui pelajar alami, bahkan saat pengujian kecakapan merupakan satu yang hendaknya mendukung „pemerolehan‟ (sebagai contoh tes integratif). Pelajar kelas memiliki keuntungan dimana mereka dapat menambah implisit mereka atau‟pemerolehan‟ pengetahuan dalam dua cara : (1) langsung, atas pertolongan „masukan lingkungan‟ yang disediakan oleh kelas, dan (2) tidak langsung, dengan otomatisasi
pengetahuan eksplisit melalui latihan. Dalam proses alami yang jelas, pelajar akan hampir secara keseluruhan tepercaya pada (1). Tidaklah jelas, namun, bagaimana kekuatan posisi dapat menjelaskan ketiadaan efek mayor untuk pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua. Jika, seperti yang disarankan, pengetahuan dapat berubah kedalam pengetahuan implisit saat proses otomatisasi, pelajar yang menerima pengajaran formal yang berlatih bentuk linguistik spesifik hendaknya menunjukkan hal ini dalam urutan pemerolehan, bahkan bila mereka tidak secara alami terjadi hingga dikemudian. Dengan kata lain, mengajarkan tatabahasa hendaknya
menumbangkan urutan alam. Terdapat beberapa fakta untuk menyarankan bahwa hal ini sebenarnya berlangsung (mengingat kembali pengamatan Lightbown (1983) bahwa bentuk „overlearnt‟ dapat memaksakan kedalam urutan alami), namun hanya pada tingkat terbatas, tidak
sebanyak model Sherwood-Smith yang daat diprediksi. Jalur dari pengetahuan eksplisit hingga implisit merupakan satu yang cukup terbatas. Satu masalah posisi Interface adalah masih diasumsikan bahwa pengetahuan bahasa kedua dapat menjadi dikotomi sebagai „pemerolehan/belajar‟, atau implisit/eksplisit. Hal itu juga menerima pandangan Krashen bahwa pengetahuan „pemerolehan‟ dalam beberapa jalur primer dan pengetahuan „belajar‟ sekunder. Pandangan alternatifnya adalah untuk memperlakukan
pengetahuan pelajar sebagai variabel. Macam pengetahuan macam pegetahuan yang pelajar interalisasikan tergantung pada interaksi konteks alami. Juga penampilan bahasa kedua juga cukup tersedia. Pengetahuan yang dipakai oleh pelajar tergantung pada sifat alami dari tugas yang ada. Dapat disangkal, pandangan ini bagian dari posisi antarmuka, tapi tidak sepenuhnya diucapkan. Untuk alasan itu, baik sekali untuk memertimbangkan posisi ketiga-posisi variabilitas-sebagai alternatif pada posisi non-antarmuka dan antarmuka. Posisi variabilitas
Posis varibilitas telah dijelasan pada bab 4. untuk merekapitulasi secara singkat, pelajar interlanguage terdiri dari variabilitas non sistimatik dan sistimatik. Variabilitas sistematik merupakan hasil dari konteks linguistik dan situasional. Pelajar percaya dengan sejumlah gaya berbeda disusun dari kehati-hatian hingga logat asli. Gaya mana yang ia pergunakan merupakan fungsi jumlah perhatian yang dia mampu untuk menghargai pada ujarannya (Tarone 1983). Posisi variabilitas dengan tegas menghubungkan antara penggunaan dan pemerolehan. Macam bahasa yang digunakan pelajar dalam menentukan macam pengetahuan yang ia dapatkan. Dengan cara yang sama, pengetahuan yang berbeda digunakan dalam tipe berbeda dari performan bahasa. jadi, memperoleh pengetahuan linguistik yag dirasakan perlu untuk membentuk semacam aktivitas tidak menjamin kemampuan untuk membentuk aktifitas yang berbeda. Sebagai contoh, pengaruh latihan mungkin khusus untuk aktivitas yang didalamnya dilakukan latihan. Bialystok (1982, 1984) mencari untuk mengitung variabel pelajar mengawasi sistem bahasa kedua dengan melakukan pengujian batasan yang dikaitkan dengan berbagai situasi
bahasa. Untuk melakukannya, ia membedakan dua hal yang terlibat secara terus menerus, faktor teranalisa dan kontrol faktor. Faktor teranalisa berkenaan pada tingkat mana pelajar mampu untuk Pra-menyajikan struktur pengetahuan bersamaan dengan isinya (Bialystok 1984). Pelajar yang telah memperoleh pengetahuan yang diteliti mampu untuk mengoperasikan hal itu, mentransformasikan, membandingkan, dan menggunakannya untuk memecahkan permasalahan. Secara kasar, faktor teranalisa bersesuaian pada perbedaan eksplisit/implisit. Kontrol faktor berkenaan pada relatif memudahkan akses bahwa pelajar harus berbeda materi pengetahuan ilmu bahasa ; hal ini berkaitan dengan otomatisasi. Bialystok menegaskan bahwa faktor-faktor ini bukanlah
dikotomi
(bercabang
dalam
dua
bagian)
melainkan
continua
(terus
menerus/berkelanjutan), bahwasanya terdapat tingkatan analisasi dan otomatisasi. Hal ini tepat sekali walaupun untuk mengidentifikasi 4 jenis dasar dari pengetahuan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 9.2. Menggunakan kerangka ini, Bialystok membuat dua poin dasar, (1) tugas yang berbeda memerlukan jenis pengetahuan yang berbeda. Tugas yang paling sulit adalah mereka yang memperoleh pengetahuan yang ditandai atas kedua faktor tersebut (yakni C pada gambar 9.2), sedangkan yang paling sedikit sulitnya adalah yang tidak ditandai atas kedua faktor tersebut (yakni B), sedangkan tugas yang memperoleh pengetahuan dengan ditandai hanya oleh satu faktor saja tetapi yang lainnya tidak ditandai (yakni A atau D) merupakan tingkat intermediate, (2) jenis pelajar yang berbeda dapat dikenali berdasarkan jenis pengetahuan yang mereka kuasai. Untuk contohnya, pembelajar anak-anak dan pembelajar informal orang dewasa akan secara khas ditandai oleh jenis pengetahuan B pada langkah-langkah awal, dan oleh jenis A pada langkahlangkah berikutnya. Pembelajar formal bahasa kedua akan secara khas ditandai oleh jenis pengetahuan D dalam langkah-langkah awal dan jenis C dalam langkah berikutnya. Bialystok dengan seksama menyatakan bahwa „perbedaan kualitatif tidak menyiratkan nilai sebuah keputusan‟ (Bialystok, 1982: 205).
- dianalisa + otomatis A + dianalisa + otomatis C - dianalisa
- otomatis B + dianalisa - otomatis C
+
otomatis
-
Gambar 9.2 Jenis pengetahuan dalam sistem variabel bahasa kedua (berdasar pada Bialystok 1982)
Bagaimana posisi variabel seperti halnya yang digambarkan oleh Bialystok (1982) atau pun Tarone (1983) melaporan hasil dari studi empiris mengenai efek pengajaran formal. Dikarenakan rangkaian natural dari perkembangan merupakan refleksi (pantulan/cerminan) dari satu jenis bahasa tertentu yang digunakan – komunikasi secara spontan – hal tidak akan pernak berubah. Pada model Tarone yang disebut rute alami adalah produk pelajar vernacular style
(gaya bahasa daerah); dalam model Bialystok itu adalah produk jenis pengetahuan A. Suatu perbedaan lainnya akan muncul hanya ketika pelajar dihadapkan dengan semacam tugas yang memerlukan suatu jenis pengetahuan yang berbeda. Dengan begitu pengajaran formal, yang mengembangkan careful style (gaya ketelitian) pelajar (atau jenis pengetahuan C pada gambar 9.2), akan menjadi tidak berdaya untuk mempengaruhi rute dari pemerolehan bahasa kedua sepanjang ini diukur dengan menggunakan tugas yang menyerukan vernacular style (gaya bahasa daerah). Apakah pengajaran formal akan mampu mencapai untuk meningkatkan kendali atas pengetahuan yang diteliti, yang telah ia pelajari; hal itu, untuk otomatisasi melalui praktik. Dari pandangan tentang posisi variabilitas, pertanyaan dari alternatif lainnya tentang pengembangan tidak muncul, seperti yang disebut „pemerolehan‟ yang hanya mer upakan suatu
refleksi (cerminan/pemantulan) dari jenis performa tertentu. Posisi variabilitas dapat juga menjelaskan mengapa pelajar kelas outperform pelajar naturalistik diuji secara terpisah. Pengajaran formal kiranya mengembangkan jenis pengetahuan tersebut (jenis C dalam kerangka Bialystok), hal itu diperlukan untuk melakukan jenis tugas yang diajukan tes ini. Kiranya pengaturan natural tidak mengembangkan jenis pengetahuan ini. Hal itu kurang jelas, bagaimana posisi variabilitas dapat menjelaskan mengapa pelajar kelas juga outperform pelajar naturalistik pada tes integratif. Terdapat sejumlah kemungkinan. Pertama, tes integratif boleh memerlukan analisis dibandingkan pengetahuan yang tidak dianalisis; di sisi lain, mereka menyerukan kurang lebih, jenis pengetahuan yang sama sebagai poin terpisah menguji sejauh faktor yang diteliti berkaitan, berbeda halnya dengan faktor otomatis. Kedua, hal ini mungkin, bahwa terdapat bergeraknya pengetahuan sepanjang rangkaian gaya penulisan dari waktu ke waktu, seperti yang diusulkan oleh Tarone (1983). Dickerson (mengutip dalam Tarone 1982) mengusulkan bahwa kemajuan yang dilanjutkan dalam gaya formal mungkin memiliki pengaruh pada gaya casual (peristiwa secara kebetulan). Suatu masalah dengan penjelasan ini adalah bahwa jika ini merupakan kasus, suatu rangkaian alami yang berbeda hendaknya dihasilkan dari pengajaran formal, kecuali jika pengaruh dilihat hanya dari kepekaan pelajar pada format vernacular (bahasa daerah) yang telah siap untuk muncul (seperti yang diusulkan oleh Selinger 1979). Ketiga, hal itu dapat dihipotesiskan bahwa pengajaran formal itu melakukan lebih dari mengembangkan pengetahuan yang diteliti untuk digunakan dalam gaya careful (gaya ketelitian);
hal
ini
juga
memungkinkan
pengetahuan
yang
tidak
diteliti
untuk
menginternalisasikan bagi digunakan dalam gaya vernacular (bahasa daerah). Poin ini menuntut eksplikasi dengan seksama. Hal itu tidak dapat diasumsikan bahwa pengajaran formal hanya menyokong pada gaya careful (ketelitian) pelajar. Interaksi kelas yang mana membentuk acuan dari pengajaran formal
yang juga boleh bertindak sebagai input pada gaya pelajar vernacular (bahasa daerah). Bukti untuk ini telah dikutip dalam studi Terrel, dkk. (1980). Dalam bab 6 hal itu juga menunjukkan bahwa bahkan dalam suatu kelas formal mungkin berisi berbagai macam interaksi yang berbeda, suatu poin membuat setengah memaksa oleh Bialystok (1981: 65): “…..suatu situasi pembelajaran formal meliputi lebih banyak fitur dibandingkan dengan
yang secara tegas ditunjuk sebagai tujuan pelajaran, seperti percakapan asing, konteks sosial di mana pelajaran terjadi, dan seterusnya, dan banyak lagi dari fitur ini yang mungkin secara bersamaan berasimilasi ke dalam pengetahuan linguistik secara implisit”. Ellis (1984e), dalam studinya yang ditunjukkan lebih awal, juga mengusulkan bahwa kesempatan untuk interaksi komunikasi mungkin terjadi dalam konteks pengajaran formal. Hal itu akan diserukan kembali bahwa Ellis tidak mampu untuk menjelaskan mengapa beberapa siswa memanfaatkan dari pengajaran dalam penggunaan HW question selagi yang lainnya tidak digunakan, dalam kaitannya dengan bagaimana kerapkali mereka mengambil bagian pengajaran pertukaran onal . Bagaimanapun, dia menawarkan bukti kualitatif untuk mengusulkan bahwa siswa yang maju adalah mereka yang terlibat dalam interaksi di mana negosiasi beberapa maksud diambil alih, yang mana kelas sendiri atau dalam sesi pemerolehan di mana data untuk studi telah dikumpulkan. Tetapi, bukan hanya interaksi komunikatif saja yang membantu ke arah pengembangan gaya pelajar vernacular (bahasa daerah) itu. Suatu argumen dapat diberikan bahwa interaksi di mana memusatkan pada bentuk dapat juga membantu, walaupun bukan dalam cara yang para guru pertimbangkan. Pertimbangan, sebagai contohnya, suatu pelajaran yang mana diperoleh siswa untuk memproduksi kalimat seperti “This is a pencil ” dan “These are pencils” dalam rangka berlatih membuat penanda kalimat jamak. Hal ini benar, bahwa seperti
kalimat model informasi tersebut, yang bersifat tatabahasa, yang mana merupakan terget pelajaran, tetapi mereka juga memuat informasi gramatika yang mana tidak ditandai untuk perhatian yang sadar. Siswa memproduksi dan mendengarkan untuk seperti kalimat mungkin memusatkan pada penanda kalimat jamak, tetapi pada waktu yang sama mereka juga mengekspose bagaimana kopula digunakan dalam kalimat yang sama. Berlatih memproduksi
kalimat seperti itu dapat memudahkan pengembangan pengetahuan yang diteliti di mana tanda kalimat jamak berkaitan, tetapi dapat juga secara kebetulan memudahkan pengembangan pengetahuan yang tidak diteliti di mana penggunaan kopula berkaitan (seperti membantu pelajar untuk menginternalisasikan rumusan kalimat “This is a……”). Dengan begitu, sungguhpun pengajaran formal diarahkan pada penguasaan bentuk bahasa kedua secara spesifik, hal itu mungkin, untuk alasan tersebut di atas, juga memimpin untuk penguasaan bentuk bahasa kedua lainnya, tidak ditunjuk dari pandangan pengajar sebagai tujuan dari pelajaran. Bagaimanapun, hal itu diterima bahwa pengajaran formal bertindak sebagai input bagi berbagai gaya antarbahasa dengan pengembangan pengetahuan bahasa kedua dalam jenis tingkatan analisis, itu masih tetap untuk menjelaskan mengapa input ini memungkinkan pembelajar di kelas lebih mengembangkan dengan cepat dbandingkan dengan pembelajar secara natural. Suatu kemungkinan yang kuat bahwa input kelas lebih kaya, dalam pengertian bahwa hal itu merangsang pertumbuhan berbagai jenis pengetahuan, sedangkan masukan naturalistik melayani hanya untuk merangsang pengetahuan yang tidak diteliti secara keseluruhan. Pembelajar yang memiliki akses berbagai gaya lebih baik diperlengkapi untuk pelaksanaan dengan sukses pada kedua poin yang terpisah dan tes integratif yang mana berarti kecakapan terukur. Dalam banyak kasus, pelajar akan memanfaatkan dari akses untuk kedua pengetahuan yang tidak diteliti dan pengetahuan yang diteliti, karena hal ini akan memungkinkan mereka untuk melakukan suatu bidang dari tugas yang berbeda. Ringkasan
Bab ini telah menguji tiga teori posisi yang menunjukkan penjelasan tentang bagaimana pengajaran formal tidak mempengaruhi rangkaian alami Pemerolehan Bahasa Kedua tetapi memfasilitasi perkembangan yang lebih cepat. Posisi non-interface dikemukakan Krashen yang menyatakan bahwa „pemerolehan‟ dan „pembelajaran‟ merupakan hal terpisah. Karena „pemerolehan‟ bertanggungjawab untuk rangkaian alami, „pembelajaran‟ hasil dari pengajaran
formal tidak dapat mempengaruhinya. Namun, kelas yang memberikan peluang bagi input yang dapat dimengerti akan mempercepat „pemerolehan‟. Posisi interface juga memberikan usulan
sebagai fakta mengenai dua jenis pengetahuan bahasa kedua, namun berargumen bahwa mereka berhubungan,
maka,
„pembelajaran‟
itu
(atau
pengetahuan
eksplisit) dapat
menjadi
„pemerolehan‟ (atau pengetahuan implisist) saat hal itu dilatih secukupnya. Versi yang lebih lemah dari posisi ini, bagaimanapun, menyatakan bahwa „pembelajaran‟ tidak banyak berubah kedalam „pemerolehan‟ semudah hal tadi, saat pelajar „siap‟. Keragaman posisi berbeda dari kedua posisi lainnya yakni mengenal keragaman ‟gaya‟ berbeda, masing-masing memohon tipe
pengetahuan yang bervariasi dalam istilah analisasi dan otomatisasi. Gugusan berbeda membutuhkan kegunaan dari jenis pengetahuan berbeda. Pengajaran formal memberikan kontribusi langsung atau tidak langsung pada internalisasi jenis pengetahuan berbeda ini dan karenanya memungkinkan pelajar kelas untuk melaksanakan cangkupan yang lebih luas dalam hal gugus tugas linguistik daripada pelajar alami. Ketiga posisi memperlengkapi argumen untuk mencatat hasil riset empiris kedalam efek pengajaran formal. Hal ini telah dipertimbangkan dalam beberapa bahasan. Terdapat fakta-fakta yang cukup jelas untuk membuat pilihan antara ketiganya. Bukti akan tetap seperti itu dimasa depan hingga ada studi kualitatif percakapan kelas yang diakibatkan oleh pengajaran formal dan tentang pengembangan ilmu bahasa yang mempengaruhi percakapan seperti itu.
Simpulan
Bab ini dimulai dengan penegasan bahwa investigasi peran pengajaran dalam Pemerolehan Bahasa Kedua adalah signifikan untuk kedua teori Pemerolehan Bahasa Kedua dan pedagogy bahasa. Dalam simpulan ini saya harus meringkas dengan mempertimbangkan beberapa implikasi. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua
Studi peran pengajaran dapat menerangkan kontribusi faktor lingkungan dalam Pemerolehan Bahasa Kedua. Lingkungan kelas memberikan jenis input berbeda dari keadaan alami. Jika faktor lingkungan merupakan hal penting bagi Pemerolehan Bahasa Kedua, mungkin dapat diprediksi bahwa (1) jalan kemahiran dalam dua keadaan akan berbeda, dan (2) penilaian/kesuksesan Pemerolehan Bahasa Kedua dalam dua keadaan juga akan berbeda. Peneliti telah mengulas dalam bab yang lalu menunjukkan bahwa (1) sementara tidak muncul, (2) mungkin saja. Kesalahan keadaan kelas untuk mempengaruhi jalan Pemerolehan Bahasa Kedua dapat dijelaskan dalam dua cara. Pertama, mungkin diambil untuk menunjukkan bahwa
determinan sebenarnya dari Pemerolehan Bahasa Kedua adalah internal pelajar lebih daripada faktor lingkungan. Maka, disamping perbedaan dalam input, pelajar bahasa kedua akan mengikuti jalan yang sama karena ia diprogram untuk hal yang sama. Penjelasan kedua membolehkan peran lebih sentral untuk input/interaksi untuk dipertahankan. Kelas Pemerolehan Bahasa Kedua dan Pemerolehan Bahasa Kedua alami mengikuti garis perkembangan yang sama, karena, meskipun terdapat perbedaan dalam jenis input yang ditemukan dalam setiap keadaan, juga terdapat kesamaan. Rangkaian alami merupakan produk satu jenis penggunaan bahasakomunikasi spontan-yang, meskipun terbatas dalam konteks kelas, tetapi terjadi. Penjelasan pertama mengikuti interpretasi penutur asli dari Pemerolehan Bahasa Kedua, penjelasan kedua mengikuti interpretasi interaksi (lihat bab 6). Jelas, apapun interpretasi yang diadopsi, hal itu bahwa Pemerolehan Bahasa Kedua menguasai sifat struktural yang bebas pada perbedaan inhern lingkungan dalam kelas dan keadaan alami. Pengaruh faktor lingkungan nampak membatasi sebagian besar untuk sejauh apa dan berapa banyak perolehan bahasa kedua bagi pelajar.
Pedagogy Bahasa
Melihat pengajaran dari sudit pandang pelajar lebih daripada pengajar adalah bermanfaat. Hal itu melihat kedalam perspektif secara luas yang memandang bahwa pengajaran berdasar pada bunyi silabus dan melibatkan teknik motivasi, hasil berupa pemerolehan. Kecuali jika laporan yang diambil tentang sifat struktural Pemerolehan Bahasa Kedua, kesuksesan bukanlah hal yang pasti. Namun, tidaklah mudah untuk sampai pada rekomendasi kuat berdasar pada hasil riset Pemerolehan Bahasa Kedua. Seperti yang ditulis Hughes (1983: 1-2) : Harus dikatakan pada permulaan bahwa pada saat kini terdapat beberapa implikasi yang jelas untuk menggambarkan perihal mengajarkan bahasa dari studi pengajaran bahasa kedua.
Sikap berdiam diri dilakukan untuk dua alasan. Pertama, harus dikenal bahwa mengajarkan tidaklah sama seperti mempelajari. Dalam pemikiran program mengajarkan jelas bermaksud pada pemahaman bagaimana pelajar belajar, tapi itu juga perlu untuk diambil kedalam faktor non-pelajar. Brumfit (1984), misalnya, menunjuk bahwa walaupun jika pelajar mengikuti jalur tetap, guru mungkin tidak merasa berkeawjiban meyakinklan bahwa pengajarannya juga mengikutinya, sepertinya jauh lebih penting bahaw guru bekerja dari silabus
yang secara logis dia terima. Brumfit berargumen bahaw pengajaran bahasa akan paling berhasil saat mengikuti rencana yang terpecahkan dengan baik yang mengarah dan mengorganisir apa yang guru kerjakan. Alasan kedua untuk berdiam diri adalah, meskipun terdapat tingkat persetujuan antara peneliti Pemerolehan Bahasa Kedua menyangkut apa yang terjadi dalam Pemerolehan Bahasa Kedua. Terdapat jauh lebih sedikit persetujuan tentang bagaimana hal itu terjadi dalam cara tersebut. Hal ini menjadi jelas dalam perbedaan posisi yang telah diadopsi untuk menjelaskan hasil riset kedalam efek pengajaran formal. Namun, walaupun bijaksana untuk bersifat sementara dalam mencari implikasi pedagogi bahasa dari riset Pemerolehan Bahasa Kedua, tetapi cukup bodoh untuk mengabaikan secara keseluruhan riset ini. Seperti catatan Corder (1980: 1), „kita selalu memiliki kewajiban untuk berusaha menjawab pertanyaan praktis dalam menerangkan pengetahuan umum terbaik‟.
Hanya satu isu yang dipertimbangkan disini – apa yang dikemukakan Stern (1983) sebagai dilema kode-komunikasi dalam pedagogi bahasa. pertanyaan kunci adalah seperti : pada tingkat apa seharusnya pengajaran diarahkan untuk meningkatkan kesadaran pelajar tentang sifat formal bahasa kedua, sebagai lawan untuk menyediakan peluang bagi mereka untuk terlibat dalam komunikasi alami? Ini merupakan isu kontroversial. Satu sisi terdapat pendukung apa yang Widdowson (1984: 23) sebut „pendidikan murni……dan ia dihubungkan dengan serba
membolehkan non-intervensi‟. Disisi lain terdapat mereka yang berargumen bahwa mengajar pelajar menjadi analitis memperbesar perkembangan. Saya harus menyingkat sikap apa pada diema
kode
komunikasi
yang
dipegang
pendukung
masing-masing
ketiga
posisi
mempertimbangkan dalam bab sebelumnya. 1. Posisi non-interface Krashen (1982) memberikan penekanan pada peran pengajaran tatabahasa dalam kelas Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia melihat hanya dua penggunaan. Pertama, memfungsikan monitor untuk menyediakan „pembelajaran‟. Namun, penggunaan monitor terbatas pada saat pelajar „belajar‟ mengakses pengetahuannya, dan juga terbatas dengan fakta bahwa hanya
sebagian kecil sub- bab dari total aturan bahasa kedua „dapat dipelajari‟. Kedua, penggunaan pelajaran tatabahasa untuk memuaskan keingintahuan pelajar tentang sistem tatabahasa bahasa kedua-„apresiasi tatabahasa‟, sebagaimana yang disebut Krashen. Krashen (1982) menyimpulkan :
Penggunaan tatabahasa secara sadar adalah terbatas. Tidak semua orang memonitor. Mereka hanya memonitor sebagian dari waktunya dan menggunakan monitor hanya untuk sub- bagian tatabahasa…efek koreksi pribadi pada ketepatan merupakan hal yang sederhana. Pelaku bahasa kedua secara khas mengoreksi diri hanya dalam persentase kecil kesalahannya, bahkan saat dengan sengaja terfokus pada bentuk…….dan bahkan
saat kita hanya memikirkan aspek termudah dari tatabahasa. (1982: 112) Krashen, lebih lanjut, percaya bahwa peran pengajaran adalah membuka kesempatan untuk berkomunikasi, lebih baik dari menggambarkan perhatian melalui kode bahasa kedua. Krashen (1981b) merinci penjelasan karakteristik tentang apa yang dipertimbangkan tentang program efektif pedagogikal : (1) input kelas harus dapat dimengerti; (2) program harus terdiri dari „aktifitas komunikatif‟, untuk menjamin bahwa input menarik dan r elevan; (3) selayaknya
tidak mencoba mengikuti rentetan program tatabahasa; dan (4) input harus cukup banyak (karenanya penting untuk membaca secara luas). Krashen dan Terrell (1983) menguraikan secara singkat sebuah program yang sesuai untuk prinip ini, yang disebut „pendekatan alamiah‟
2. Posisi Interface Sedangkan posisi non interface menegaskan arti penting komunikasi dan memperkecil arti penting kode, posisi interface menyatakan kontribusi tentang kode. Sharwood-Smith (1981) melihat pengajaran tatabahasa sebagai jalan pintas pada kemampuan komunikasi. Maka, pelajar dewasa yang memiliki perhatian menarik menuju fitur kode dapat berlatih disini, diluar ataupun didalam kelas, sampai dapat menggunakannya tanpa sadar didalam bertutur komunikasi. Sharwood-Smith menegaskan bahwa pengajaran tatabahasa (atau „peningkatan kesadaran‟) dapat bermacam-macam bentuk. Ia membedakan dua dimensi dasar : ketelitian
(contohnya apakah pengajaran hanya menawarkan uraan ringkas atau penjelasan yang sangat terstruktur. 3. Posisi Variabilitas Posisi variabilitas menekankan arti penting kesesuaian proses belajar dengan jenis pengajaran. Bialystok (1982: 2005) berkomentar : “……pengajaran harus mempertimbangkan tujuan khusus pelajar dan mencoba untuk
menyediakan bentuk pengetahuan yang sesuai untuk mencapai tujuan itu”.
Tujuan tersebut mengacu pada jenis bahasa yang digunakan bahwa pembelajar membutuhkan (atau menginginkan) untuk terlibat di dalamnya. Jika tujuan mengikutsertakan percakapan natural, maka pembelajar harus mengembangkan gaya vernacular (bahasa daerah) nya dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang otomatis tetapi tidak diteliti. Hal ini dapat dicapai secara langsung atas pertolongan pengajaran yang menekankan komunikasi di dalam kelas. Hal ini juga mungkin dicapai secara tidak langsung oleh pengajaran yang memfokuskan pada kode, jika terdapat peluang praktis yang memadai untuk memacu jalan pengetahuan dari kehati-hatian menuju gaya sehari-hari. Jika tujuan pelajar adalah untuk berpartisipasi dalam percakapan yang membutuhkan kehati-hatian, perencanaan secara sadar, ia akan butuh mengembangkan gaya secara hati-hati dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang otomatis dan teranalisis. Hal ini dapat secara terbaik terpenuhi dengan pengajaran formal yang memusatkan pada kode bahasa kedua. Sama halnya, itu bukanlah mungkin untuk membuat pilihan terbatas seperti posisi mana yang ditawarkan penjelasan terbaik dari hasil riset empiris kedalam kelas Pemerolehan Bahasa Kedua, jadi itu akan prematur untuk menempatkan solusi pada dilema kode-komunikasi dalam pedagogi bahasa. Namun, satu efek studi secara umum telah memberi kesan bahwa mengajarkan kode mungkin memainkan bagian kecil daripada pemikiran sebelumnya. Seperti ang ditunjukkan Coder (1980), kesan seperti ini berada dalam kesesuaian dengan arah pengajaran saat ini. Riset Pemerolehan Bahasa Kedua, kemudian, mungkin terlihat sebagai penguatan trend yang telah ada, lebih daripada bantahan-bantahan pendekatan baru.
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KEDUA SUATU PANDANGAN DALAM BAHASA Ditulis oleh Admin pada 29 November 2010 | Kliping |
Rumah Terjemah melayani terjemah Bandingkan Daftar Harga kami..!
bahasa
Arab,
Inggris,
Buku,
1. Pengantar Bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Ungkapan itu, bukan sekedar ungkapan tanpa dasar. Dasar yang sering disebutkan ialah bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi antar-manusia. Bahkan dapat pula dikatakan tanpa ada manusia lain pun seseorang dapat berbahasa. Manusia dapat
Skripsi,
Tesis,
dll.
berpikir dalam lamunannya dan dalam mimpinya sehingga dasar yang paling utama sebenarnya adalah bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap anak manusia yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masa pubertas atau kira-kira 12- 14 tahun hingga menginjak dewasa atau kira-kira umur 18- 20 tahun, anak itu akan tetap masih belajar bahasanya yang dinamakan bahasa pertama atau disingkat B1. Pascapubertas, keterampilan berbahasa seorang anak tidak banyak kemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, ia belajar B1 terus-menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 dianggap bahasa yang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan dan penggunaannya. Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apa pun mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Selain pemerolehan bahasa pertama (B1) pemerolehan bahasa kedua pun yang disingkat B2 terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia berapa saja untuk tujuan bermacam-macam dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan. Oleh sebab itu, pemerolehan B2 dapat terjadi secara terpimpin, alamiah. Dalam konteks ini, dirujuk pada dua konsep yang dibedakan oleh para ahli psikolinguistik, khususnya Krashen & Terrell (1983) yang mengatakan bahwa, pada umumnya yang kelihatan ialah mengenai pemerolehan B1 yang disebut sebagai acquisition dan pelajaran B2 yang dinamakan learning. Berangkat dari uraian di atas, dalam artikel ini akan diuraikan berturut-turut: pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua; serta pandangan dalam bahasa. 2. Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan B1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh „kategori-kategori kognitif‟ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Melalui bahasa, khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak. Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (iaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk. Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting iaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata
sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian. Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA). Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objek dengan orang. Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang iaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi. Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama iaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban, serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan non-insani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka. Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian iaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, iaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi iaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa
yang tersela, iaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat yang lebih diperluas. Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, iaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik. Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, iaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, reduced imitation. Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan”
sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi. Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan u mpan
balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga
memberinya sampel yang lebih banyak, iaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan. Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk
memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali. Proses Pemerolehan Bahasa Kedua Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, iaitu pemerolehan: 1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal, 2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja. 3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua, 4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit, 5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali. Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, iaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan, guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi
menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja. Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, iaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi. Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut. Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa. Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan. Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, iaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil). Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa. Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum
dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak. Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka iaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak. Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (ter utama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang
lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan gagasan. Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula. Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun. Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan, iaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama. Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi iaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik. Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa iaitu pemerolehan bahasa pertama bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, iaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan
(dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan. Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa iaitu prospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa. Istilah prospensiti mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu. Komponen kecenderungan ada empat iaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal -hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif. Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan. Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua. 3. Pandangan dalam Bahasa Perkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi oleh perkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalam psikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yakni behaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruh i para ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak
manusia belajar bahasa. Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalam Yulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, iaitu (1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandangan intraksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapat dilihat berikut ini. a. Pandangan Behaviorisme Menurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologi behaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalam Yulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-kata tertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurut konsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernah didengarnya. Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, iaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku. Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatu kata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara ini lingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal. b. Pandangan Nativisme Pandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan dan penguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yang menentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah. Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsip linguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrol bentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakan seperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itu pada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah. Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang
apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkinn, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan. Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2) keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual; (3) faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD) yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5) proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar. Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajar menguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yang dibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentang gramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yang dipelajarinya. c. Pandangan Interaksionisme Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain. Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24) menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Faktor interna, merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperanan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu, Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000: 304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruh dalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129). Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah
kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai sistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. 4. Tanggapan Dari ketiga pandangan dalam bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, dan interaksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana mereka dipandang. Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melalui pengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya orang yang belajar mengendarai sepeda. Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistem respon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan atau pengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasa Sama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkan dari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamati penjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karena adanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesia pebelajar. Dari ketika pembuktian pandangan dalam bahasa akan berhasil pembelajaran bahasa apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidak menyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiri ketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalam pembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia. Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar. 5. Penutup Empirisme Dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati. 2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang. 3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari proses belajar pada umumnya. 4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar bahasa. 5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R. 6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif. 7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian. 8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R. 9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa). Rasionalisme dalam Teori Belajar B2 1. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa universal, teori monitor dan teori kognitif. 2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia. 3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal. 4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata
bahasa universal. 5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang
mencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan s truktur gramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan. 6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan kondisi yang memadai. 7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap awal. Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua 1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memudahkan orang lain belajar. 2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar. 4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agar siswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi sub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2). 5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan informal. 6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa. 7. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya. 8. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar B2.[kajiansastra.blogspot.com] tag: Kajian Sastra,sastra Incoming search terms:
pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua pemerolehan bahasa pertama dan kedua bahasa pertama dan bahasa kedua pemerolehan bahasa kedua pemerolehan bahasa pertama strategi pemerolehan bahasa secara alami ada anggapan bahwa bahasa indonesia adalah bahasa kedua sesudah bahasa ibu definisi bahasa ibu bahasa kedua dan bahasa asing hipotesis penguasaan bahasa menurut krashen jenis pemerolehan bahasa
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KEDUA SUATU PANDANGAN DALAM BAHASA Ditulis oleh Admin pada 29 November 2010 | Kliping |
Rumah Terjemah melayani terjemah Bandingkan Daftar Harga kami..!
bahasa
Arab,
Inggris,
Buku,
1. Pengantar Bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Ungkapan itu, bukan sekedar ungkapan tanpa dasar. Dasar yang sering disebutkan ialah bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi antar-manusia. Bahkan dapat pula dikatakan tanpa ada manusia lain pun seseorang dapat berbahasa. Manusia dapat
Skripsi,
Tesis,
dll.
berpikir dalam lamunannya dan dalam mimpinya sehingga dasar yang paling utama sebenarnya adalah bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap anak manusia yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masa pubertas atau kira-kira 12- 14 tahun hingga menginjak dewasa atau kira-kira umur 18- 20 tahun, anak itu akan tetap masih belajar bahasanya yang dinamakan bahasa pertama atau disingkat B1. Pascapubertas, keterampilan berbahasa seorang anak tidak banyak kemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, ia belajar B1 terus-menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 dianggap bahasa yang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan dan penggunaannya. Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apa pun mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Selain pemerolehan bahasa pertama (B1) pemerolehan bahasa kedua pun yang disingkat B2 terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia berapa saja untuk tujuan bermacam-macam dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan. Oleh sebab itu, pemerolehan B2 dapat terjadi secara terpimpin, alamiah. Dalam konteks ini, dirujuk pada dua konsep yang dibedakan oleh para ahli psikolinguistik, khususnya Krashen & Terrell (1983) yang mengatakan bahwa, pada umumnya yang kelihatan ialah mengenai pemerolehan B1 yang disebut sebagai acquisition dan pelajaran B2 yang dinamakan learning. Berangkat dari uraian di atas, dalam artikel ini akan diuraikan berturut-turut: pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua; serta pandangan dalam bahasa. 2. Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan B1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh „kategori-kategori kognitif‟ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Melalui bahasa, khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak. Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (iaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk. Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting iaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata
sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian. Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA). Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objek dengan orang. Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang iaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi. Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama iaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban, serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan non-insani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka. Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian iaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, iaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi iaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa
yang tersela, iaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat yang lebih diperluas. Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, iaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik. Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, iaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, reduced imitation. Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan”
sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi. Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa
strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga
memberinya sampel yang lebih banyak, iaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan. Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali. Proses Pemerolehan Bahasa Kedua Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, iaitu pemerolehan: 1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal, 2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja. 3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua, 4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit, 5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali. Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, iaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan, guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi
menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja. Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, iaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi. Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut. Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa. Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan. Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, iaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil). Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa. Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum
dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak. Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka iaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak. Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (ter utama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang
lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan gagasan. Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula. Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun. Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan, iaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama. Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi iaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik. Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa iaitu pemerolehan bahasa pertama bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, iaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan
(dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan. Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa iaitu prospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa. Istilah prospensiti mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu. Komponen kecenderungan ada empat iaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal -hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif. Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan. Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua. 3. Pandangan dalam Bahasa Perkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi oleh perkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalam psikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yakni behaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhi para ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak
manusia belajar bahasa. Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalam Yulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, iaitu (1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandangan intraksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapat dilihat berikut ini. a. Pandangan Behaviorisme Menurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologi behaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalam Yulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-kata tertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurut konsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernah didengarnya. Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, iaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku. Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatu kata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara ini lingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal. b. Pandangan Nativisme Pandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan dan penguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yang menentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah. Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsip linguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrol bentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakan seperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itu pada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah. Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang
apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkinn, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan. Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2) keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual; (3) faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD) yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5) proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar. Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajar menguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yang dibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentang gramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yang dipelajarinya. c. Pandangan Interaksionisme Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain. Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24) menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Faktor interna, merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperanan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu, Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000: 304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruh dalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129). Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah
kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai sistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. 4. Tanggapan Dari ketiga pandangan dalam bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, dan interaksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana mereka dipandang. Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melalui pengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya orang yang belajar mengendarai sepeda. Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistem respon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan atau pengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasa Sama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkan dari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamati penjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karena adanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesia pebelajar. Dari ketika pembuktian pandangan dalam bahasa akan berhasil pembelajaran bahasa apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidak menyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiri ketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalam pembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia. Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar. 5. Penutup Empirisme Dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati. 2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang. 3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari proses belajar pada umumnya. 4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar bahasa. 5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R. 6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif. 7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian. 8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R. 9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa). Rasionalisme dalam Teori Belajar B2 1. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa universal, teori monitor dan teori kognitif. 2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia. 3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal. 4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata
bahasa universal. 5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang
mencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan stru ktur gramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan. 6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan kondisi yang memadai. 7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap awal. Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua 1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memudahkan orang lain belajar. 2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar. 4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agar siswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi sub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2). 5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan informal. 6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa. 7. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya. 8. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar B2.[kajiansastra.blogspot.com] tag: Kajian Sastra,sastra Incoming search terms:
pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua pemerolehan bahasa pertama dan kedua bahasa pertama dan bahasa kedua pemerolehan bahasa kedua pemerolehan bahasa pertama strategi pemerolehan bahasa secara alami ada anggapan bahwa bahasa indonesia adalah bahasa kedua sesudah bahasa ibu definisi bahasa ibu bahasa kedua dan bahasa asing hipotesis penguasaan bahasa menurut krashen jenis pemerolehan bahasa
Pemerol ehan Bahasa Per tama dan B ahasa Kedua Proses anak mul ai m engenal komun ik asi dengan li ngku ngann ya secara verbal disebut dengan pemerol ehan bahasa anak. Pemer olehan bahasa pert ama (B1) (anak) terj adi bi la anak yang sejak semula tanpa bahasa kin i telah memperoleh satu bah asa. Pada masa
pemerol ehan bahasa anak, anak l ebih mengar ah pada fun gsi komun ik asi dari pada bentu k bahasanya. Pemerol ehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempun yai cir i k esin ambungan, memil ik i suatu ran gkaian kesatuan, yang ber gerak dari ucapan satu k ata sederh ana menuju gabun gan kata yang lebih ru mit. Ada du a pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerol ehan bahasa mempunyai perm ul aan yang mendadak, ti ba-tiba. Kedua, pemerol ehan bahasa memil ik i suatu per mul aan yang gradual yang muncul dari prestasi -prestasi motor ik , sosial , dan kogniti f pralinguistik. Pemerol ehan bahasa per tama (B1) sangat erat hu bungann ya dengan perk embangan kogni tif yakni per tama, ji ka anak dapat menghasil kan ucapan-u capan yang berdasar pada tata bahasa yang teratu r r api, ti daklah secara otomatis mengi mpli kasik an bahwa anak telah menguasai
bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh „kategori - kategori kognitif‟ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alami ah, seperti kata, r uang, modalitas, kausali tas, dan sebagain ya. Per syaratan-persyar atan kogni tif terh adap pengu asaan bahasa lebih ban yak ditu ntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) dari pada dalam pemer olehan bahasa per tama (PB1). M anusia memil ik i war isan bi ologi yang sudah dibawa sejak l ahi r berupa kesanggupann ya un tuk berk omuni kasi dengan bahasa khu sus manu sia dan i tu ti dak ada hu bungann ya dengan kecer dasan atau pemiki ran . K emampuan berbahasa h anya sediki t k orelasin ya terh adap I Q manu sia . Kemampuan berbah asa anak yang nor mal sama dengan an ak-an ak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat h ubun gannya dengan bagian -bagian an atomi dan f isiologi manusia, sepert i bagian otak ter tentu yang mendasari bahasa dan topograf i kor teks yang kh usus un tuk bahasa. Ti ngk at per kembangan bahasa anak sama bagi semua anak nor mal; semua anak dapat dik atakan mengiku ti pola perk embangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahu lu menguasai pr in sip-pr in sip pembagian dan pola persepsi. K ekur angan han ya sediki t saja dapat melambangkan perk embangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diaj ark an pada makhl uk lai n. B ahasa ber sif at un iversal. Pemer olehan bahasa per tama erat kaitan nya
dengan permu laan yang gradual yang muncul dari prestasi -prestasi motori k, sosial , dan kognitif pralinguistik. Pemerol ehan bahasa per tama erat sekal i k ait ann ya dengan perkembangan sosial anak dan kar enanya j uga erat h ubun gannya dengan pembentu kan identitas sosial . M empelaj ari bahasa per tama meru pakan salah satu perkembangan menyelu r uh anak menjadi anggota penu h suatu masyarak at. Bahasa memu dahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauann ya dengan cara yang benar -benar dapat dit er ima secara sosial. B ahasa merupakan media yang dapat digunakan anak u ntuk memperoleh ni lai -nil ai budaya, moral, agama, dan n il ai-ni lai lai n dal am masyarakat. Dal am melan gsun gkan u paya memperol eh bahasa, anak dibim bing
oleh prinsip atau falsafah „jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan‟, ataupun „dapatkan atau per olehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan i denti tas pri badi
Anda sendiri‟. Sejak di ni bayi telah beri nteraksi di dalam li ngku ngan sosial nya. Seorang i bu ser in gkali memberi kesempatan kepada bayi un tuk ik ut dalam k omuni kasi sosial dengann ya. Kala itu lah bayi pert ama kali mengenal sosial isasi, bahwa dun ia i ni adalah tempat oran g sali ng berbagi rasa. M elal ui bahasa khu sus bahasa per tama (B1), seorang an ak belaj ar u ntu k menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana un tuk mengun gkapkan per asaan, keingi nan, dan pendi ri an, dalam bentu k-bentu k bahasa yang di anggap ada. I a belaj ar pu la bahwa ada bentu k-bentu k yang ti dak dapat di teri ma anggota masyarakatnya, ia ti dak selal u boleh mengun gkapkan perasaann ya secara gamblan g. Apabil a seoran g anak menggun akan uj aran -uj aran yang bentu kn ya benar atau gramati kal, belu m berar ti bahwa ia telah m enguasai B1. A gar seorang an ak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beber apa unsur yang penti ng yang berkai tan dengan perk embangan j iwa dan kogni tif anak i tu. Per kembangan nosi-nosi (noti on) atau pemahaman seper ti waktu , r uang, modali tas, sebab akibat, dan deikti s meru pakan bagian yang penti ng dal am per kembangan k ogniti f penguasaan B 1 seoran g anak.
Sistem pik ir an yang terdapat pada anak-anak di bangun sediki t demi sediki t apabila ada r angsangan dun ia seki tarn ya sebagai masukan atau i nput ( yaitu apa yang dil ih at anak, didengar , dan yang disentuh yang menggambar kan benda, per istiwa dan keadaan seki tar anak yang mer eka alami ). L ama kelamaan pik ir annya akan terbentu k dengan sempur na. Setelah i tu sistem bahasanya lengkap dengan perbendah araan kata dan tata bahasanya pun terbentuk. M asa Wakt u dan Perkembangan Pemerol ehan Bah asa Pert ama Per kembangan pemer olehan bahasa anak dapat di bagi atas tiga bagian penti ng yaitu (a) per kembangan pr asekolah (b) perk embangan uj aran kombin atori , dan (c) perk embangan masa sekolah. Per kembangan pemerolehan bahasa pertama an ak pada masa prasekol ah dapat dibagi l agi atas per kembangan pral in gui stik , tahap satu kata dan uj aran kombin asi permulaan. Perk embangan prali nguistik ditandai ol eh adanya pertu karan gili ran antara orang tua kh ususnya ibu ) dengan an ak. Pada masa perk embangan pr ali ngui sti k anak mengembangkan konsep dir in ya. I a beru saha membedakan dir in ya dengan subjek, dir in ya dengan or ang lai n sert a hu bungan dengan objek dan ti ndakan pada tahap satu kata anak ter us-menerus ber upaya mengumpul kan n ama benda-benda dan oran g yang i a ju mpai. Kata-kata yang per tama diper olehnya tahap in i lazimn ya adalah kata yang menyatakan perbu atan, kata sosiali sasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemer ian . Per kembangan bahasa pert ama anak lebih mu dah ditandai dar i panj ang ucapannya. Panj ang ucapan anak kecil meru pakan in dikator atau petun ju k per kembangan bahasa yang lebih baik dari pada ur utan u sianya. Juml ah morf em r ata-rata per ucapan dapat digun akan sebagai uk ur an panj angnya. Ada li ma tahapan pemerol ehan bahasa pert ama. Setiap tah ap dibatasi oleh panjang ucapan rata-r ata tadi. U ntu k setiap tahap ada Lon catan A tas (L A). Walau pun perk embangan bahasa setiap an ak sangat u ni k, n amun ada per samaan umu m pada anak- anak, ada persesuai an satu sama l ain semua mencakup eksistensi, n oneksistensi, r ekur ensi, atr ibu t objek dan asosiasi objek dengan or ang.
Di li hat dari un sur dasar pembentu kann ya, kombin asi yang dibuat anak pada peri ode in i mengekspresikan du a unsur der etan dasar pelak u (agen) + ti ndakan (aksi) + obj ek. Semua kombin asi du a unsur t erj adi, misalnya Agen + A ksi + Objek, Agen + Obj ek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai ol eh an ak-an ak, yang dapat membuat kali mat-kali mat mereka menj adi lebih panj ang yaitu k emun culan mor fem-morf em gramati kal secara in kl usif dalam uj aran anak, penger tian atau penyambungan bersama-sama hu bungan dua hal tersebut, dan per lu asan istil ah dalam suatu h ubu ngan/r elasi. Per kembangan pemer olehan bunyi anak-anak berger ak dari membuat bunyi menu ju ke arah membuat pengertian . Per iode pembuat an pembedaan atas dua bun yi dapat dik enal i selama tahu n pert ama yaitu (1) peri ode vokalisasi dan pr ameraban ser ta (2) per iode meraban. A nak lazimnya membuat pembedaan bun yi perseptual yang pentin g selama peri ode in i, mi saln ya membedakan antara bun yi suar a in sani dan noni nsani antar a bunyi yang ber ekspresi m arah dengan yang bersik ap ber sahabat, antara suara anak-an ak dengan or ang dewasa, dan antar a in tonasi yang ber agam. A nak-an ak mengenal i makna-makna berdasark an persepsi mereka sendi ri ter hadap bun yi kata-kata yang didengarnya. Anak-an ak menu kar atau mengganti ucapan mereka sendi r i dari waktu k e waktu menuj u u capan or ang dewasa, dan apabil a anak- anak mu lai mengh asil kan segmen bun yi tertentu , hal i tu menjadi perbendahar aan mereka. Per kembangan uj aran k ombin atori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu per kembangan n egatif /penyangkalan , perk embangan i nterograti f/ pert anyaan, per kembangan penggabungan kali mat, dan perkembangan sistem bun yi. Ada tiga tipe str ukt ur in terogatif yang utama un tuk mengemuk akan persyaratan, yaitu per tanyaan yang menuntu t jawaban ya atau ti dak, per tanyaan yang menunt ut i nf ormasi, dan per tanyaan yang menuntu t jawaban salah satu dari yang berl awanan (polar). Penggabungan beberapa pr oposisi m enj adi sebuah kali mat tu nggal m emerl uk an r entan gan masa selama beberapa tahun dal am perkembangan bah asa anak-anak . Pada umu mnya, cara- cara menggabungkan kal imat menuj uk kan gerakan m elal ui empat dimensi yaitu gabungan dua kl ausa setara menuj u gabun gan dua kl ausa yang tidak setara, kl ausa-kl ausa utama yang ti dak tersela menu ju penggun aan kl ausa-kl ausa yang tersela, yaitu menyisipkan kl ausa
bawahan pada klausa utama, susunan kl ausa yang memuat kejadian tetap menu ju susunan kl ausa yang bervar iasi, dan dari penggun aan per angkat-peran gkat semanti k-sintakti s yang kecil menu ju peran gkat yang lebih di perl uas. Pada perkembangan m asa sekol ah, or ientasi seoran g anak dapat ber beda-beda. Ada an ak yang lebih im pul sif dari pada anak yang lain , lebih r efl eksif dan berh ati-h ati, cender un g lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermai n-mai n, sementara yang lai n l ebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa in i setiap bahasa anak akan mencerm in kan k epri badian nya sendi ri . Siswa taman kan ak-kanak memil ik i rasa bahasa, bagian-bagiann ya, hubun gannya, bagaimana cara k erj anya sehi ngga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam car a yang mengagum kan serta ti dak lazim. Selama masa sekol ah anak mengembangk an dan memakai bahasa secara uni k dan u ni versal. Pada saat itu anak menandai atau member in ya cir i sebagai pr ibadi yang ada dalam masyarakat i tu. Perkembangan bah asa pada masa sekol ah dapat dibedakan dengan jelas dal am ti ga bidang, yaitu stru ktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadar an metalinguistik. Strategi Pemer olehan B ahasa Pertama Strategi per tama dalam pemerol ehan bahasa dengan berpedoman pada: ti r ul ah apa yang dikatakan or ang lain . Tir uan akan di gunakan anak teru s, meski pun i a sudah dapat sempur na melaf alkan bunyi . Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi ti r uan atau str ategi i mitasi in i akan menimbul kan masalah besar. M un gkin ada orang berk ata bahwa imi tasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seper ti yang dik atakan or ang l ain . A kan tetapi ada banyak per tanyaan yang har us dij awab berk enaan dengan h al i ni . Ada berbagai r agam peni ru an atau im itasi, yait u i mitasi spontan atau spontaneous imitati on, imi tasi pemerol ehan atau eli cited imi tation , imi tasi seger a atau immediate imi tation , imi tasi ter lambat delayed imi tation dan i mit asi dengan perl uasan atau i mit ation wi th expansion , r educed im itati on. Strategi kedua dal am pemer olehan bahasa adalah strategi produkti vitas. Produk tivi tas berar ti keef ekti fan dan k eefi sienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman
buatl ah sebanyak mungki n dengan bekal yang telah A nda mil ik i atau A nda perol eh.
Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat menga ndun g berbagai makna ber gantun g pada sit uasi dan in tonasi. Strategi ketiga ber kaitan dengan hu bungan umpan bali k antara produksi uj aran dan r esponsi. D engan strategi i ni anak-anak di hadapkan pada pedoman: h asil kanl ah uj aran dan li hatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengerti an bahwa strategi tersebut dapat meni ngkatkan in ter aksi dengan or ang l ain dan
sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresin ya sendi r i terhadap makna dan ju ga memberi nya sampel yang l ebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dik er jakan . Strategi k eempat adalah pri nsip operasi. Dal am str ategi i ni anak dik enal kan dengan
pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum un tuk memiki rk an sert a menetapkan bahasa. Selai n peri ntah terh adap dir i sendi ri oleh anak, pri nsip oper asi i ni ju ga menyarank an lar angan yang dinyatakan dalam avoidance term s; mi saln ya: hin dari kekecuali an, hin dari pengatur an kembali . Pr oses Pemerol ehan Bah asa K edua Pemerol ehan bahasa ber beda dengan pembelajaran bahasa. Oran g dewasa mempunyai dua cara yang, ber beda berdi kar i, dan mandi r i mengenai pengembangan k ompetensi dal am bahasa kedua. Pertama, pemerol ehan bahasa mer upakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak . Mengembangkan kemampuan dal am bahasa per tama mereka. Pemerolehan bahasa meru pakan pr oses bawah sadar. Para pemer oleh bahasa tidak selal u sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa un tuk berk omun ik asi. Kedua, un tuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dil akuk an dengan belajar bahasa. An ak-an ak memper oleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelaj ari nya. Akan tetapi ada hi potesis pemer olehan belaj ar yang menu ntu t bahwa oran g- orang dewasa ju ga memperoleh bahasa, kemampuan memun gut bah asa bahasa tidakl ah hi lan g pada masa puber. Oran g-orang dewasa j uga dapat memanf aatkan sarana pemerol ehan
bahasa alami ah yang sama seper ti yang dipakai anak-anak. Pemerol ehan meru pakan suatu proses yang amat ku at pada oran g dewasa. Pemer olehan dan pembelajar an dapat di bedakan dalam li ma hal, yaitu pemer olehan:
1. memi li ki cir i -cir i yang sama dengan pemerol ehan bahasa pert ama, seorang anak penu tur asli , sedangkan belajar bahasa adalah pengetahu an secara f ormal ,
2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaj a. 3. bahasa kedua seperti memungu t bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahu i bahasa kedua,
4. mendapat pengetahuan secara i mpl isit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahu an secara ekspli sit,
5. pemer olehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelaj aran menol ong sekali. Pandangan pemerol ehan bahasa secara alami yang mer upakan pandangan kau m n ativistis yang diwaki li oleh N oam Chomsky, ber pendapat bahwa bahasa hanya dapat diku asai oleh manusia. Peri laku bahasa adalah sesuatu yang ditu ru nkan . H akik atnya, pola per kembangan bahasa pada ber bagai macam bahasa dan budaya. L in gkun gan han ya memil ik i peran kecil dalam pemer olehan bahasa. Anak sudah di bekal i apa yang disebut peranti pengu asaan bahasa (L AD ). Pandan gan pemerol ehan bah asa secara disuapi adal ah pandangan kaum behavi ori sti s yang diwaki li oleh B.F . Skinn er dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di an tara per il aku-peri laku lai n. Kemampuan berbi cara dan memahami bahasa diperoleh melal ui rangsangan li ngkungan. A nak hanya meru pakan penerima pasif dari tekanan l ingku ngan. An ak tidak memil ik i peran akti f dalam peri laku verbal nya. Perk embangan bahasa ditentuk an oleh lamanya lati han yang disodork an l in gkun gannya. Anak dapat menguasai bahasanya melal ui penir uan. Belajar bahasa dial ami anak melal ui pri nsip pert ali an stimu lu s respon. Per kembangan bahasa anak adalah suatu kemaju an yang sebaran g hin gga mencapai kesempur naan. Pandangan k ogniti f diwaki li oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa bukan cir i al amiah yang ter pisah melain kan satu di antar a beber apa kemampuan yang
ber asal dari pematangan kogni tif . Li ngku ngan ti dak besar pengar uh nya ter hadap per kembangan in telektual an ak. Yang penti ng adalah i nteraksi anak dengan l in gkun gannya. Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi du a cara, yaitu pemerol ehan bahasa kedua secara terpi mpi n dan pemerol ehan bahasa kedua secara al ami ah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajar kan k epada pelaj ar dengan menyajik an materi yang sudah di pahami. M ateri ber gantun g pada kri teri a yang ditentuk an oleh guru . Str ategi-strategi yang dipakai oleh seoran g gur u sesuai dengan apa yang di anggap pali ng cocok bagi siswanya. Pemerol ehan bahasa kedua secara al amiah adalah pemerol ehan bahasa kedua/asing yang ter jadi dalam komun ik asi sehar i -har i, bebas dari pengajaran atau pimpi nan,gur u. Ti dak ada keseragaman cara. Seti ap indi vidu memper oleh bahasa kedua dengan car anya sendi r i -sendi r i. I nteraksi menu ntu t komun ik asi bahasa dan mendoron g pemerol ehan bahasa. Dua cir i penti ng dar i pemerol ehan bahasa kedua secara alami ah atau in ter aksi spontan i alah ter jadi dalam k omuni kasi sehar i -har i, dan bebas dari pimpin an sistematis yang sengaja. Di dalam k elas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penti ng dan mendasar dal am proses belajar bahasa, yaitu (1) belaj ar bah asa adalah or ang, (2) belaj ar bahasa adalah oran g-orang dalam in teraksi din amis, dan (3) belaj ar bahasa adalah: orang-or ang dalam responsi. Pemerol ehan bahasa ber samaan dengan pr oses yang digu nakan oleh anak-an ak dalam pemerol ehan bah asa pertama dan pemerol ehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menu ntu t i nteraksi yang berar ti dalam bahasa sasaran yang mer upakan wadah par a pembi cara memperhatikan bu kan bentu k ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajar an k aidah- k aidah ekspli sit ti daklah r elevan bagi pemer olehan bahasa, tetapi par a gur u dan para penu tur asli dapat mengubah serta membatasi u capan-ucapan mereka kepada pemerol eh agar menol ong mereka memahamin ya. M odif ik asi-m odif ik asi i ni meru pakan pik ir an untu k membantu proses pemerol ehan tersebut. H ubun gan antar a Pemerol ehan Bahasa Per tama dan Pemerol ehan Bahasa Kedua
Cir i -cir i pemer olehan bahasa mencakup keselu ru han k osakata, keselu ru han mor fol ogi, keselu ru han sin taksis, dan kebanyakan f onologi. I stil ah pemerol ehan bahasa kedua atau second lan guage aqcui sit ion adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahu n. A da pemerolehan bahasa kedua anak- anak dan pemerolehan bahasa kedua or ang dewasa. Ada l ima h al pokok berkenaan dengan h ubun gan pemer olehan bahasa pert ama dengan pemerol ehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antar a pemerol ehan bahasa pertama dan bahasa kedua i alah bahwa pemer olehan bahasa pert ama mer upakan komponen yang haki ki dari perkembangan kogn it if dan sosial seorang anak, sedangkan pemerol ehan bahasa kedua terj adi sesudah perkembangan kogn it if dan sosial seoran g anak sudah selesai, dalam pemerol ehan bahasa pertama pemer olehan l afal dil akuk an tanpa kesalahan , sedangkan dalam pemer olehan bahasa kedua i tu jar ang terj adi, dalam pemerol ehan bahasa per tama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam ur utan perol ehan buti r -buti r tata bahasa, banyak vari abel yang berbeda antara pemerol ehan bahasa per tama dengan pemer olehan bahasa. Kedua, suatu cir i yang kh as antar a pemerol ehan bahasa per tama dan bahasa kedua belum tentu ada meski pun ada persamaan perbedaan di antar a kedua pemer olehan . Ada ti ga macam pengaru h proses belaj ar bahasa kedua, yaitu pengaru h pada ur utan kata dan kar ena proses penerj emahan , pengar uh pada morf em teri kat, dan pengar uh bahasa per tama walaupun pengaru h i si sangat lemah (kecil ). Strategi Pemer olehan B ahasa Kedua Per lu dii ngat bahwa str ategi-strategi yang telah dik enal perl u di bagi ke dalam k omponen- komponenn ya. Str ategi pertama berpegang, pada semboyan: gun akanl ah pemahaman nonl in gui stik An da sebagai dasar u ntu k penetapan atau pemi ki ran bahasa, Str ategi i ni ber lan gsun g dan ber oper asi pada tahap umum dalam kar ya Br own mengenai dasar k ognit if uj aran tahap I . Strategi pertama ini memil iki rerata Panj ang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan L oncatan Atas (L A) sebesar 5. A dapun objek dan persona teru s-meneru s ada walaupun di l uar jangkauan pandangan yang meru pakan pemahaman nonli nguistik yang menj adi dasar atau l andasan bagi pengarah bahasa atau terj emahan an ak-anak
terh adap ketidakstabil an atau kemudahan mengali r kan pemik ir an ke dalam kategori -kategori bahasa yang lebih pasti. Penggun aan pemahaman nonl in gui sti k un tuk memperh itu ngkan sert a menetapkan hu bungan-h ubun gan makn a-ekspresi bahasa meru pakan suatu str ategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada dir i an ak-an ak. Strategi kedua berpegang pada semboyan: gun akan apa saja atau segala sesuatu yang penti ng, yang menonjol dan menarik hati A nda. Ada dua cir i yang kerap kali pentin g dan menonj ol bagi anak -anak kecil dan berh arga bagi seju mlah kata-kata per tama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak ak tif dan giat (mi saln ya kunci, palu , kaos kaki , topi) dan obj ek-objek yang ber ger ak dan ber ubah (sepert i mobil, j am). Sif at-sif at atas cir i-ci ri per septual dapat bert in dak sebagai buti r -buti r atau ti ti k-ti tik vokal bagi anak-anak (mi saln ya bayangan, uku r an, bunyi, r asa, bentu k). An ak-anak memper hati kan objek-objek yang mewuj udkan h al-h al yang menar ik h ati i ni ; dan mer eka memperh atik an cara menamai objek- objek itu dalam masyarakat bahasa. Perh atian anak-anak ju ga bisa pada un sur bahasa yang memain kan peranan penti ng sintaksis dan semanti k dalam kal imat. Pusat perh atian tert entu bagi seorang anak mu ngk in saja berbeda pada periode yang berbeda pada seti ap anak. Strategi k eti ga ber pegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara r eferensial atau ekspresif dan dengan demik ian menggun akan data bahasa. An ak-anak kelompok refer ensial memili ki 50 kata pert ama mencakup suatu proporsi nomi na umu m yang ti nggi dan yang seakan-akan meli hat f un gsi utama bahasa sebagai penamaan obj ek-objek. An ak kelompok ekspresif memil ik i 50 kata pert ama secara proporsional mencakup l ebih banyak kata yang di pakai dal am ekspresi-ekspresi sosial (seper ti t erim a kasih, j angan begitu ) dan lebih sedik it nama-n ama objek yang melihat bahasa (teru tama sekali ) sebagai pelayanan f un gsi-f un gsi sosial efektif . Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa seki tar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memper lak uk an bahasa yang dipakai un tuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi , kepada bahasa yang di pakai un tuk bergaul , ber sosial isasi. A da tuju h f un gsi bahasa yaitu f un gsi i nstrumental, f un gsi r egul asi, f un gsi r epresentasi, fu ngsi i nteraksi, fu ngsi per sonal, fu ngsi heuri sti k, dan fu ngsi im aji nati f. F un gsi in str umental bahasa berk aitan dengan pengelol aan li ngku ngan, mengkomu ni kasik an tin dak. F un gsi regulasi atau pengatur an berkenaan dengan pengendali an peristiwa, penentuan hu kum dan kai dah, per nyataan setuj u ti dak setuj u. F un gsi r epresentasi berk enaan dengan
per nyataan, menj elaskan melapork an. F un gsi i nteraksi berk aitan dengan hubun gan komun ik asi sosial . F un gsi per sonal ber kenaan dengan kemungki nan seorang pembicara mengemuk akan per asaan, emosi, dan kepri badian . F un gsi heuri stik ber kaitan dengan perol ehan pengetahuan dan belajar tentang l in gkungan. F ungsi imaji natif berk aitan dengan daya cipta i maji nasi dan gagasan. Strategi keempat ber pegang pada semboyan: amatil ah bagaiman a caranya orang lai n mengekspresik an berbagai makna. Strategi in i baik diterapkan pada anak yang berbi cara sediki t dan seakan-akan mengamati lebih banyak, berti ndak selekti f, menyim ak, mengamati un tuk meli hat bagaimana makna dan ekspr esi verbal sali ng berh ubun gan. Str ategi i ni mengin gatkan k epada gaya atau pr efer ensi belajar yang ber beda pada anak-an ak yang ber lai nan u sia dalam situ asi belaj ar yang lain pu la. Strategi kelima berpegang pada semboyan: aju kanl ah pertanyaan-per tanyaan un tuk memancin g atau memperol eh data yang A nda in gin kan, anak berusia seki tar du a tahun akan sibu k membangu n dan memper kaya kosakata mer eka. Ban yak di antar a mereka mempergu nakan siasat bertanya atau str ategi pert anyaan. Siasat i ni seolah- olah mer upakan sesuatu yang efekti f, k arena setiap k ali dia ber tanya: apa ni h? apa tu? maka teman bicar anya mun gkin menyediakan label atau , nama yang tepat. Suatu pola yang menar ik terj adi pada penggun aan pertanyaan mengapa pada usia seki tar 3 tahu n. Pandangan Gl obal dan Kecender un gan dalam Pemerol ehan Bahasa Ragam atau j eni s pemerol ehan bahasa dapat diti nj au dari li ma sudut pandangan, yaitu ber dasark an bentuk, u ru tan, j uml ah, media, dan keasli annya. Dal am penger tian nya semua istil ah itu tern yata hampir sama. Di dal am literatur keduanya seri ng dipakai berganti -ganti un tuk maksud dan penger tian yang sama. Dal am bahasa satu tercakup i sti lah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu , bahasa utama, dan bahasa kuat. D alam bahasa dua tercakup bahasa kedua, buk an bahasa asli, bahasa asin g, bahasa kedua, dan bahasa l emah. M asih ada beberapa i sti lah lagi yaitu bahasa un tuk komu ni kasi lu as, bahasa baku, bahasa region al, bahasa nasional, bahasa resmi , bahasa moder n, dan bahasa kl asik.
Di tin jau dari segi bentu k ada tiga pemer olehan bahasa yaitu pemerol ehan bahasa pert ama yaitu bahasa yang per tama diperol eh sejak l ahi r, pemerol ehan bah asa kedua yang diperol eh setelah bahasa pert ama diperol eh, dan pemerol ehan -ul ang, yaitu bahasa yang dul u pern ah diperoleh kin i diperoleh kembali k arena alasan ter tentu . Diti nj au dari segi ur utan ada dua pemerol ehan yaitu pemerolehan bahasa per tama dan pemer olehan bahasa kedua. Di tin jau dari segi j uml ah ada dua pemerol ehan yaitu pemerol ehan satu bahasa (di lingk un gan yang han ya terdapat satu bah asa secara luas), dan pemer olehan du a bahasa di li ngku ngan yang terdapat l ebih dari satu bahasa yang digu nakan secara lu as). Di tin jau dari segi media dik enal pemer olehan bahasa li san (h anya bahasa yang diucapkan oleh penu tur nya), dan pemer olehan bahasa tul is (bahasa yang ditu li skan, ol eh penutu rn ya). Di tin jau dari segi k easli an atau k easin gan dik enal pemer olehan, bahasa asli (mer upakan al at komun ik asi pendudu k asli), dan pemerol ehan bahasa asin g (bahasa yang digun akan ol eh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan un tuk di pelaj ari ). Dit in jau dari segi keserentakan atau k eberu r utan (khu susnya bagi pemerol ehan dua bahasa) dik enal pemerol ehan (dua bahasa) serentak dan pemer olehan du a bahasa berur utan . Ada ti ga komponen yang menentuk an pr oses pemerolehan bahasa yaitu pr ospensity (kecenderu ngan ), lan guage facul ty, (kemampuan berbahasa), dan acces (j alan m asuk ) ke bahasa. I stil ah pr ospensity mencakup selu r uh fakt or yang menyebabkan pelaj ar m enerapkan kemampuan berbahasa untu k memperol eh sesuatu balasan. H al i tu m eru pakan h asil in ter aksi mer eka yang menentuk an k ecender un gan aktu al pelajar . Selama ti dak mempengar uh i segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka ti dakl ah bij aksana mengai tkan k ecenderu ngan dengan pr oses pemerolehan dengan car a yang umum. Un sur -un sur komponen kecenderun gan itu dapat dipengaru hi ol eh f aktor -fak tor ekster nal , (mi saln ya pengajar an) sampai taraf-t araf t er tentu . Komponen kecender un gan ada empat yaitu in tegrasi sosial , pendi dikan , kebutu han komun ik atif , dan sik ap. Dalam pemerol ehan bahasa per tama in tegrasi sosial meru pakan suatu f aktor yang dominan. Relevansi faktor in i akan berku rang ji ka beranj ak dari
pemerol ehan bahasa anak menuj u bentu k-bentu k pemer olehan bahasa lai nn ya. In tegrasi sosial mempun yai sedik it k ebermakn aan sebagai f aktor penyebab kecenderu ngan dalam belaj ar bahasa kedua di tin gkat pergu ru an tin ggi atau uni ver sit as. Dalam hal -hal tertentu, in tegrasi sosial meru pakan fakt or yang mengaki batkan pengaru h n egatif . F aktor k ebutu han komu ni kati f h aru s dibedakan dengan cer mat dan tepat dari in tegrasi sosial . Kedua f aktor in i kerapkali ber lan gsun g ser ta bert in dak ber sama-sama bahu-membahu . Walau pun i ntegrasi sosial jelas sekali mengi mpli kasik an kepuasan k ebutuh an-k ebutuh an komun ik atif tert entu ; n amun kedua faktor i tu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipi sahkan secara cer mat dan keduanya dapat mempengaru hi pemerolehan bahasa dengan cara-car a yang amat ber beda (dalam r anah f onologi, mor fol ogi; sin taksis, kosakata, dan wacana). A da berbagai r agam jenis kebutuh an komu ni kasi. Pengaruh nya kepada pemerol ehan bahasa tentu juga beragam. Per bedaan yang ada antar a in tegr asi sosial dan kebutu han komuni kati f sebagai du a komponen k ecender un gan yang beri nteraksi selal u dengan perbedaam atau motivasi i ntegratif dan motivasi i nstrumental. B uk an ber arti bahwa motivasi ti dak member ik an k ontr ibusi apa pun kepada kecender un gan. Sikap subj ekti f mempengaru hi belaj ar bahasa dengan cara-cara yang ti dak j elas, misaln ya disebabkan in tegri tas sosial dan ku ran gnya rasa percaya dir i. D aya tari k m enar ik bahasa sebenar nya dapat menj adi sebuah ebakan. Sikap meremehk an dengan menggampangk an mengaki batkan sediki tnya perh atian kepada bahasa yang akan dipelaj ari , han ya sediki t pencur ahan dan akhi rn ya mengantar kan kepada kegagalan belaj ar bahasa kedua. Kapasitas dan A cces dalam B elaj ar B ahasa Belajar bahasa mengandalk an ber piki r, f un gsi otak akan bekerja sebagaim ana belaj ar. Bah asa meru pakan dasar f un damental berpi ki r . Ada keapikan h ubun gan antara bahasa dan ber piki r. B ahasa juga dapat memperl uas piki ran . Otak memi li ki kapasitas un tuk m enampung r angsangan-r angsangan yang masuk . Ti dak semua r angsangan yang diteri ma akan lan gsun g dir ekam ke memori yang pali ng dalam. Ada rangsangan atau in f ormasi yang diterima dan ditempatkan h anya sampai ti ngkat permu kaan otak maupun dit olak.
Pemerol ehan bahasa mer upakan sebuah proses. Pemrosesan bahasa memerl uk an sebuah acces atau jal an masuk . Tanpa jal an masuk tidak mu ngki n bahan mentah atau bahan k asar dapat dipr oses dalam pemerol ehan bahasa. Jalan masuk memil iki dua komponen yang ber beda, yaitu ju ml ah yang ter sedia dan j ajar an jar ak kesempatan komun ik asi. Belajar bahasa kedua har us dapat membedakan vari asi-var iasi tekanan suara, n ada, inton asi dari satu bahasa ke bahasa lai n. K hasanah k osakata anak seri ngkal i didapat kar ena meli batkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di man a, kapan, sambil mengamati gerak tu buh par a tokoh dan r eaksin ya. Walau pun masuk an dalam pemer olehan bahasa ber sif at spontan tetapi pada umumnya terdir i atau uj aran otenti k. Pembicara atau penutu r asli mempunyai k ecenderu ngan menyesuai kan bahasanya dengan potensi pelajar yang telah didu ga itu . Penyesuai an-penyesuai an belajar bahasa terj adi dalam f onologi, mor f ologi, sintaksis, kosakata, dan dal am komuni kasi pada umu mnya. Dengan ber tin dak demi ki an pembicara dapat berbu at kesalahan dalam dua hal . Per tama, modif ik asi-modif ik asin ya dapat menghal angi pemahaman kal au pelaj ar semakin maju datam bahasa itu . Kedua; pelaj ar mu ngki n mengin ter pretasik annya sebagai suatu tanda jarak sosial dan r asa r endah dir i dan merasa terh ina dengan terl ihat berbi cara dalam logat kh usus seper ti in i. Pemerol ehan bahasa spontan mencakup belaj ar di dalam i nteraksi sosial dan melalu i in ter aksi sosial . Pelaj ar dih aru skan mempergu nakan sebaik-bai kn ya segala pengetahu an yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dik atakan or ang l ain dan menghasilk an ucapan-ucapannya sendi r i. H al i tu di tun jan g observasi. Pert ama, pelaj ar disaji kan dengan l ebih banyak masuk an li ngui stik dengan f r ekuensi yang meni ngkat dan dalam j angkauan yang lebih lu as. Kedua, mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi uj arannya sendir i berl awanan dengan yang datang dari li ngkungannya un tuk membukti kan hi potesis-hipotesisnya mengenai str uk tur bahasa sasaran. Pelaj ar cender un g ber beda dalam tingk at pemoni tor an li ngu istik mer eka. Kesempatan-kesempatan ber komun ik asi secara verbal jau h lebih terbatas pada pemerol ehan bahasa kedua terpimpi n.
unsur produksi dan pemahanan bahasa yang „siap Pertu karan-pertu karan terdir i dari un sur - pakai‟ yang maju terus ke tingkat -ti ngkat yang beragam dalam komuni kasi.
Struk tur Proses Belaj ar Bah asa dan Kecepatan Pemer olehan Bah asa Pada proses belaj ar, pert ama memil ik i ci ri -cir i t idak disengaja, berl angsun g sejak lah ir , li ngku ngan k elu arga sangat menentuk an, motivasi ada karena kebutu han, banyak waktu un tuk m encoba bahasa, dan pelaj ar memi li ki banyak waktu u ntu k ber komun ik asi. Pada proses belajar bahas kedua ter dapat cir i-cir i di sengaj a, berl angsung setelah si pelaj ar berada di sekolah , li ngku ngan sekolah sangat menentukan , motivasi pelajar un tuk mempelaj ari nya ti dak seku at mempelajari bahasa pertama, waktu terbatas, pelajar ti dak mempun yai banyak waktu un tuk memprakti kkan bahasa yang dipelajar i, bahasa pert ama mempengar uh i proses belaj ar bahasa kedua, umu r kr it is mempelaj ari bahasa kedua k adang-kadang telah lewat, disediakan alat bantu belaj ar, dan ada orang yang mengorganisasik annya. Selai n i tu ada ju ga cir i lai n yaitu bahasa pert ama dan bahasa kedua mun gkin dipelaj ari secara bersamaan atau secara beru ru tan, j ik a dipelaj ari secara beru ru tan maka bahasa kedua dapat dipelaj ari dalam li ngku ngan bahasa pertama atau bahasa kedua. K edua, maka bahasa kedua dipelajar i melal ui kontak bahasa, bahasa kedua bi asanya dipelaj ari melal ui pengajar an, belaj ar bahasa kedua ber kai tan dengan per kembangan berbagai keterampilan berbahasa baik secara lisan maupun tertuli s. Ada 10 str ategi dal am proses belajar bahasa yaitu str ategi per encanaan, akti f, empati k, f ormal , eksperi mental , semanti k, pr akti s, komun ik asi, str ategi, moni tor, dan strategi internalisasi. Cir i pelajar yang baik ial ah, mau dan menj adi seorang penerka yang baik, suka ber komun ik asi, k adang-kadang ti dak malu ter hadap kesalahan dan siap memperbai ki nya, suka mengiku ti park embangan bahasa, pr aktis, mengi kuti uj arann ya dan membandin gkannya dengan u jar an yang baku, dan mengi ku ti perubahan makn a ker angka kon teks sosial . Per anan Bah asa Pertama dalam Pr oses Pemerolehan Bahasa Kedua Bah asa per tama mempun yai pengaru h positi f yang sangat besar ter hadap bahasa kedua sebesar 4 – 12 % dari kesalahan -kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat ol eh anak-anak berasal dar i bah asa pertam a, sebesar 8 – 23 % meru pakan k esalahan -kesalahan yang dibuat
oleh orang dewasa. Mayori tas kesalah an-k esalah an tersebut l ebih banyak dalam susunan kata dari pada dalam morf ologi. B idang yang sangat kuat di pengar uh i oleh bahasa per tama adalah pengucapan. A nak-an ak memproses sistem bu nyi baru melal ui pola-pola f onologi s bahasa per tama pada tahap-tah ap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur - angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan ak sen atau tekanan (l ogat) mereka pun menghil ang. Pengaru h bahasa per tama ki an bert ambah pada bahasa kedua j ik a pelaj ar dih arapkan menghasil kan bahasa kedua sebelum di a mempun yai penguasaan yang cuku p memadai ter hadap bahasa barun ya. Pelaj ar akan bergantu ng pada str uktu r -str uktu r bahasa pert ama, baik dalam u paya komuni kasi mau pun t erj emahan. Pengar uh bahasa pert ama juga meru pakan f akta dalam i nteraksi yang terj adi an tara bahasawan bahasa per tama dan bahasa kedua. Satu-satunya sumber u tama kesalah an-k esalah an sint aksis dalam penghasil an bahasa kedua orang dewasa adalah bahasa per tama si pelaku. A da pandangan yang menyatakan bahwa kesalahan bukan bersumber pada stru ktu r bahasa pert ama, melai nk an pada latar belakan g li ngui sti k yang berbeda-beda dari bahasa kedua ( B2) pelajar . Pengaru h bahasa per tama terl ih at palin g kuat dalam susun an k ata kompleks dan dalam ter jemahan f rase-f rase, kata demi k ata. Pengaru h bahasa pert ama lebih lemah dalam mor f em ter ik at. Pengar uh bahasa pert ama pali ng ku at atau besar dalam li ngku ngan-l in gkun gan pemerol ehan yang rendah. Pengaru h bahasa per tama bukanl ah mer upakan hambatan atau ri ntangan pr oaktif , melai nkan akibat dari penyaji an yang ju stru diper bolehkan menyaji kan sesuatu sebelu m dia mempelaj ari per il aku baru itu . Pengobatan atau penyembuh an bagi i nterf erensi h anyalah penyembuh an bagi ketidaktahuan belaj ar. B ahasa pert ama dapat merupakan pengganti bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai suatu in isiator atau pemrakarsa ucapan apabil a pelaj ar bahasa kedua har us menghasilk ann ya dalam bahasa sasaran , tetapi tidak cuku p kemampuan bah asa kedua yang telah diperol ehn ya. Pengar uh bahasa per tama merupakan petun ju k bagi pemerol ehan yang r endah. An ak-anak mu ngki n membangun atau membentu k
kompetensi yang diper oleh melal ui masuk an. Ku r angnya desakan penghasilan uj aran li san akan mengun tun gkan bagi anak-anak dan or ang dewasa menelaah bahasa kedua dal am latar-latar formal. Pengar uh bahasa per tama dapat di anggap sebagai sesuatu yang ti dak alami ah. Seseorang dapat saja menghasil kan k ali mat-kal imat dal am bahasa kedua tan pa suatu pemerol ehan. Ji ka bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model m oni tor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morf ologi dan melaku kann ya dengan sebaik-bai kn ya untu k memperbai ki susunan kata. Pemer olehan bahasa mun gkin pelan -pelan , tetapi dalam j angka panjan g akan lebih berm anf aat kalau bahasa dipergun akan unt uk maksud dan tuju an komunikasi. I nput dan I nteraksi dalam Pr oses Pemer olehan B ahasa Seoran g anak akan dih adapkan pada dua pengu asaan bahasa dalam mempelajar i bahasa kedua (B2) yai tu memper oleh bahasa per tama sedangkan ia sendi ri akan berupaya mempelaj ari bahasa kedua. Bahasa antar a adalah bentu k u jar an yang belu m atau ti dak ada modelnya pada kedua bahasa baik bah asa per tama maupun bahasa kedua, bahasa sumber maupun bahasa sasaran, bahasa i bu mau pun bahasa yang dipelajar i. I deosin kr esi adalah bentu k u jar an yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua atau yang dipelaj ari . Pr oses belajar bahasa berkembang melalu i beber apa tahap. Tah ap kompetensi peran tar a disebut kompetensi trasision al atau bah asa antar a. Seti ap bahasa antar a mewaki li satu tah ap kompetensi yang berisi bentuk -bentu k yang benar maupun yang tidak benar dalam bahasa yang dipelaj ari . Ada empat kompetensi yakni kompetensi f orm al, kompetensi semant ik , kompetensi ber komu ni kasi, dan kr eati vitas. Keempat kompetensi itu di kuasai secara bertahap. Ada empat pemerol ehan dalam belaj ar bahasa yaitu menguasai bunyi bahasa, mengu asai bentu k k ata, menguasai k ali mat, dan menguasai makn a. Empat pemer olehan in i lama- kelamaan ber langsung secara otomatis dan pada akhi r nya digun akan siswa un tuk berk omunik asi dalam kehi dupan sehari -hari . Ada ti ga persoalan utama pr oses belaj ar yaitu (1) Perbedaan antar a dominasi yang tak dapat dih in dari , terdapat di dalam otak siswa yang mempelaj ari bahasa pert ama dengan
ketidakcakapan ketidakcakapan siswa menguasa menguasaii bahasa bahasa kedua, (2) pil ih an impl isit-ekspli isit-ekspli sit , (3) di lema komun ik asi asi dengan dengan kode. kode. Terdapat Terdapat h ipotes ipotesis yang disusun disusun dalam bagian-bagian yang berh berh ubun gan dengan dengan komponen komponen pemerol pemerol ehan bahasa bahasa kedua kedua yang diti nj au dar i segi segi u mum, mum , sit situasi, uasi, masuk masuk an, per per bedaan- bedaan- per per bedaan bedaan pelaj pelaj ar, prose proses-prose -proses dan dan keluar an li ngui stik . H ipotesis ipotesis se segi umu m i ni membicarakan membicarakan peri peri hal bagaimana bagaimana peme pemerr olehan bahasa bahasa kedua, apakah apakah mengik uti per per kembangan kembangan alami ah atau ti dak, dan dan apakah ada ker ker agaman agaman di antaran ya, bagaim bagaim ana secara ver ver tik al dan bagaimana secara secara h ori sontal. H ipotesis ipotesis se segi situ asi asi membicarakan membicarakan fak tor - f aktor situ asion asion al yait u siapa ditu ju kan kepada kepada siapa, siapa, kapan, tentan tentan g apa, dan di mana sert sert a apakah mempe mempengaru ngaru hi ur utan perk perk embangan atau ti dak, apakah apakah m eru pakan penye penyebab bab utama bahasa peme pemerol rol eh. H ipotesis ipotesis in put atau masuk masuk an membicarakan masukan masukan dan in ter ter aksi aksi sekali gus, gus, apakah dapat me menentuk nentuk an perkembangan perkembangan peme pemerol rol ehan atau t idak. H i potes potesis per per bedaan bedaan pelaj pelaj ar menyangk ut personali tas pel pel ajar bahasa baik i tu sik ap, per per sepsi psi , mi nat mau pun mot i vasi vasi , serta serta apakah bahasa per per tama dapat mempengar mempengar uh i perk embangan pemerol pemerol ehan. H ipote ipot esi s pros pr ose es-pr oses oses pel pel ajar membicar akan bah asa asa antar a, keuni ver ver salan bahasa bahasa sert a kor olar i. H ipotes ipotesis keluar an li ngui sti k menyangku menyangku t sif sif at kelu kelu aran l in gui stik , apakah for mul aik atau tidak, kr eatif atau monoton, be ber variabel variabel atau ti dak, din amis atau statis stati s, si si stemis temi s atau sistemati sistemati s. Kedudukan Bahasa I ndonesia ndonesia dalam Pemerol Pemerol ehan Bahasa Anak I ndonesia ndonesia Bah asa asa I ndon esi a ber ber keduduk an se sebagai bahasa nasion al dan bahasa r esmi di I ndone ndon esia. Dal am kedudukann ya se sebagai bagai bahasa bahasa n asion asion al, bahasa I ndonesia ndonesia mempunyai mempunyai tiga fu ngsi, ngsi, yaitu : sebagai sebagai al at pemers pemersatu atu suku -suk -suk u bangsa di I ndon esia, sebagai sebagai l ambang kebanggaan dan i denti denti tas nasion nasion al, dan se sebagai bagai alat perh perh ubun gan antar budaya dan antar - daerah daerah . Dal am keduduk ann ya se sebagai bahasa resmi resmi , bahasa I ndone ndon esi a ber ber f un gsi gsi sebagai bah asa asa r esmi dalam kepenti kepenti ngan k enegaraan, negaraan, al at perh perh ubun gan pada tingkat n asion asion al, bahasa bahasa pengantar pengantar di l embaga-lembaga pendi pendi dik an di I ndon esi a, dan dan sebagai sebagai al at pengembangan pengembangan kebudayaan, il mu dan teknologi. B ahasa ahasa I ndonesia ndonesia merupakan mata pelaj pelaj aran pokok di SD, SM SM TP, SM TA , bahkan bahkan sampai ampai di pergur pergur uan ti nggi.
Berdas Ber dasark ark an se sensus pendu pendu duk tahu t ahu n 1980 ter ter catat bahwa bahwa bahasa I ndon esia di pakai sehar sehar i - har i di r umah hanya oleh 12% pe pendudu ndudu k I ndonesia, ndonesia, bahasa bahasa Jawa 40 %, se sedangkan bahasa bahasa Sunda 15 %. Di an tara 146 ju ta ji wa pendu pendu duk I ndonesia ndonesia h anya 12 % yang yang ber ber bahasa bahasa I ndones ndonesia sehari sehari -hari . Golongan Golongan umur 25 – 49 tahun meru meru pakan kelompok kelompok umu r yang ter ter tin ggi dal am pemakaian pemakaian bahasa bahasa I ndonesia, ndonesia, k elompok u mur 15-24 tahun sebanyak banyak 4.103.0 4.103.00 0 ji j i wa, sedan sedangkan gkan di kal angan anakan ak-an anak, ak, kelompok kel ompok 0-4 h anya sebes sebesar ar 2.692.000 j i wa dan kelompok u mur 5-9 tahu n sebe sebes sar 2.446.000 j i wa. Berdasark Berdasark an jeni s kelamin penduduk, ju mlah penduduk k ota, laki -laki dapat dapat ber ber bahasa bahasa I ndonesia ndonesia sebes besar 81% se sedangkan yang pere perempuan mpuan 84 %. Di des desa, ju ml ah penduduk laki -laki dapat ber ber bahasa I ndon esia adal ah 60 % se sedangkan yang per per empuan adalah 49%. DK I Jakar ta mendudu mendudu ki peri peri ngkat terbaik dalam keni keni rak saraan, yaitu hanya 5 % sedangkan propin si Nu sa Tenggara Bar at se sebes besar 53 %. Per Per olehan bahasa bahasa I ndonesia ndonesia dapat dil ih at dari bebe beberr apa sudu sudu t yaitu yai tu sebagai bah asa asa per per tama atau bahasa kedua, kedua, ol eh or ang dewasa dewasa atau anak-anak anak -anak , di kot a bes besar atau di desa. desa. Cuk up bes besar per per bedaan bedaan persent persentas ase e anak belaj ar bahasa I ndon esia sebagai bah asa asa pertama dengan dengan oran g dewas dewasa. a. Di kota besar besar 24,4 % berban din g 5 % dan di des desa 16,2 % ber ber bandi ng 3,2 %. Se Secara kese keselu r uh an perbeda perbedaannya annya i alah 21,3 % un tuk anak-an ak dan 43 % un tuk orang or ang dewas dewasa. a. Hal H al i tu berh ubu ngan dengan pol a ber ber bahasa masyarak masyarak at kota dan des desa, yang yang lebih banyak menggun menggun akan bahasa bahasa I ndonesia ndonesia un tuk media dalam berbagai berbagai l in gkun gan kebahasaan kebahasaan dan heter heter ogeni ogeni tas kebahasaan kebahasaan yang ada. Di Ameri ka Seri Seri kat, se setelah telah orang dan bahasa-bahas bahasa-bahasa a I ndi a hampir lenyap dalam dalam abad ke-19, ke-19, ada pe penambahan dar i tahun 1950 1950 ke tahun 1960 dan dari tahun 1960 1960 ke tahu tahu n 1970. Pada Pada tahu n 1975, + 17 % orang Am er ik a menyatakan menyatakan memakai memakai bahasa lai n selai selai n dar i bahasa bahasa I nggri s dalam mas masa kanak-kanak. Pemerol Pemerol ehan B ahasa Kedua
1. Bagi sebagian bes besar an ak I ndon esia, bahasa In donesi donesi a bukan bahasa per per tama mereka, melai nk an bahasa kedua, atau ketiga.
2. Pengenal Pengenal an/pe an/ pengu ngu asaan asaan bahasa I ndon esi a dapat dapat terj adi melal ui proses proses pemerol pemerol ehan atau pr oses oses bel bel ajar .
3. Proses Proses peme pemerol rol ehan ter ter jadi secara alami ah, tanpa sadar, sadar, melalu i in terak terak si tak f ormal dengan dengan orang tua dan/atau teman sebay sebaya, a, tanpa bim bin gan.
4. Proses Proses belaj belaj ar ter ter jadi secar car a f ormal , disengaja, disengaja, melalu i in teraksi teraksi edukatif , ada bimbin gan, dan dan di laku kan dengan dengan sadar. sadar.
5. Bah asa asa Per Per tama (B1) dan B ahasa Kedua (B 2) didapat ber ber sama-sama ama-sama atau dalam waktu ber ber beda. beda. Jik a didapat dalam waktu yang ber ber beda, beda, Bahasa K edua (B 2) didapat pada usi usi a prasekol prasekol ah atau pada usi usi a Se Sekol ah D asar asar..
6. Bahasa Kedua Kedua (B 2) dapat dapat diper diper oleh di l in gkun gan Bah asa asa Per Per tama (B1) dan B ahasa ahasa Kedua (B2). Jika diperoleh di l in gkun gan Bahasa Bahasa Pert Pert ama, Bahasa Bahasa Kedua Kedua dipelajar i melal melal ui proses proses belaj belaj ar f ormal ; j ik a didapat didapat di li ngku ngan B ahasa ahasa Kedua, Kedua, Bahasa Bahasa Kedua didapat didapat melal melal ui in ter ter aksi aksi ti dak for mal, melal melal ui keluar ga, atau anggota masya- masya- rakat Bah asa asa Kedua. Empir isme isme Dalam Teori Teori Belajar B2
1. Teori Teori belaj belaj ar behavior behavior is ber ber sif at empir empir is, didasark didasark an atas data data yang dapat dapat di amati. 2. Kau m behavior i s ber ber pendapat pendapat bahwa pr ose oses bel bel ajar pada manu si a sama sama dengan dengan proses proses belaj belaj ar pada bi natan g.
3. Kau m behavi behavi ori s menganggap bahwa proses proses belaj belaj ar bah asa asa adalah sebagian sebagian saja dar i proses proses belaj belaj ar pada um umn ya.
4. M enur ut kaum behavioris behavioris manusia manusia ti dak dak memilik i pote potens nsii bawaan bawaan untu k belajar belajar bahasa.
5. Kaum behavior behavior is ber ber pendapat pendapat bahwa bahwa pik ir an anak meru pakan tabula r asa asa (kertas kosong) yang akan di i si dengan asosi asosi asi asi an tar a S dan R.
6. M enu ru t pandangan mereka mereka semua semua peri laku mer mer upakan respons respons terh terh adap adap stim stim ul us. Per Per il aku ter ter bentu bentu k dalam ran gkaian asos asosiati iati f .
7. Belajar adalah pr ose oses pe pembentu mbentu kan hu bungan asos asosiati iati f antar a stimu stimu lu s dan dan r espons yang beru beru lan g-ul ang. Pembe Pembentu ntu kan k ebiasaan biasaan i ni disebut disebut pengkondisian.
8. Pengk Pengk ondi si an sel sel alu diser diser tai gan j aran sebagai pengu pengu atan asos asosi asi asi an tara tar a S dan R.
9. Bah asa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melal ui pengkondi sian operan t/belaj ar verbal (bahasa). Rasion ali sme dalam Teori Belajar B2
1. Teori belaj ar bahasa yang ter masuk ali r an r asional isme ial ah teori tata bahasa uni versal, teori monitor dan teori kognitif .
2. Teori tata bahasa un iver sal mencakup seper angkat elemen gramatik al atau pr in sip- pri nsip yang secara al ami ada pada semua bahasa manu sia.
3. Pri nsip-pri nsip di atas mer upakan h asil per angkat pemerol ehan bahasa (L AD ) yang mencakup pri nsip-pri nsip un iver sal substanti f dan pr in sip uni versal formal .
4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal.
5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang mencakup 5 hi potesis, yaitu hi potesis perbedaan pemerolehan dan pr oses belaj ar bahasa, hi potesis tentang u ru tan alami ah pemer olehan str ukt ur gramatik al, hi potesis monitor , hi potesis masuk an, dan hi potesis sarin gan.
6. M enu ru t Kr ashen, belaj ar h anya dapat ber fu ngsi sebagai mon it or bil a disert ai dengan kondi si yang memadai.
7. M elal ui pemer olehan yang ter jadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan i ntu isi bahasa (r asa bahasa), yang ti dak diperol eh melal ui proses belaj ar terutama pada tahap awal.
8. Teori kogni tif bersumber pada psik ologi k ogniti f dan berfok us pada proses kogni ti f yang lebih umu m. M enu r ut teori kogni ti f, belaj ar bahasa ter jadi sebagai pemerol ehan keterampi lan k ogniti f yang kompleks. Unt uk m encapai kemahi ran bahasa sub- subketerampi lan nya haru s dil atih , diotomatisasik an, dii ntegrasik an, dan diorgani sasi - kan ke dalam sistem yang sudah di mil ik i, yang selal u beru bah stru ktu rn ya sesuai dengan per kembangan k emahi ran .
9. Pada tahun 80-an Ti tone mengaju kan model belaj ar bahasa yang disebut model H olodinamik (H DM ). M odel in i menun ju kkan perpaduan cir i-cici alir an beha-
viori sme dan ali ran kogni tif sert a sangat mementi ngkan aspek-aspek k epri badian. M odel i ni mencakup ti ga tin gkat yaitu ti ngkat ego, str ategi, dan taktik . Per anan Pengajaran Bahasa dalam M emperol eh B ahasa Kedua
1. Pengajar an B ahasa Kedua (B 2) adalah kegiatan yang di laku kan ol eh seseorang u ntu k memudahkan orang l ain belajar .
2. Pengajar an mencakupi 3 unsur pokok dan banyak un sur yang meru pakan konvensi. Un sur pokok bersif at umu m/un iversal sedangkan kon vensi di batasi oleh negar a, li ngkungan, tuj uan, waktu, kelompok.
3. Un sur pokok pengajar an ial ah orang yang mengajar (gu ru ), kegiatan/materi yang dir ancang untu k memudahkan belajar dan orang yang belaj ar.
4. Per anan pengajaran secara umu m i alah dalam member ik an k emudahan agar siswa Bahasa Kedua (B 2) dapat mencapai tu ju an belaj ar yang mencakupi sub- subk eterampi lan membaca, menu li s, ber bicar a, menyi mak, dan mengapresiasi sastr a dalam B ahasa K edua (B 2).
5. Kr ashen menyatakan pengajar an yang dici ptakan sebagai l in gkun gan kondusif memegang per anan penti ng dalam memberi kan masukan -masuk an teru tama bagi siswa yang ti dak mempunyai kesempatan memperol eh masuk an dar i li ngku ngan informal.
6. Per anan pengajaran Bahasa Kedua (B 2), berdasark an u nsur -un sur pokoknya dapat dir in ci sebagai per anan gur u, mater i/k egiatan belajar dan siswa.
7. Gur u m emegang peran an yang penti ng dalam memberi kan kemudahan menum buhk an/memeli har a/meni ngkatkan motivasi, mengorgani sasik an siswa, memi li h/menentu kan bahan ajar mengelol a/mengarah kan kegiatan belaj ar, memantau kemaju an, membantu siswa dalam kesul it an belajar .
8. Bahan /kegiatan belajar yang disediakan menentu kan apa yang mun gkin diku asai siswa dan bagaimana ku ali tas pengu asaann ya.
9. Siswa mer upakan pusat pengajar an. M ateri , kegiatan belaj ar, evalu asi disusun dengan memper timbangkan dan un tuk kepenti ngan siswa. Pengajar an B ahasa Kedua (B 2) berpusat pada siswa dengan memperti mbangk an bagaimana siswa belaj ar B 2.
Pri nsip dan M etode Pengajar an B2
1. Belajar Bah asa K edua (B 2) adalah belaj ar dalam kont eks pemakaian bahasa yang sebenarnya.
2. Belajar Bah asa Kedua (B2) adalah belaj ar m enggun akan B ahasa Kedua (B2) tersebut dalam berbagai f un gsin ya.
3. Siswa har us dilatih menggun akan bah asa secara tepat. 4. Pengajar an bahasa per lu memperh atikan k ebutuh an afektif dan kogni tif pelaj aran. 5. Pemahaman B udaya Bahasa Kedua (B 2) per lu ditu mbuhk an dalam pengajar an Bahasa Kedua (B 2).
6. M etode tata bahasa terj emahan ti dak membuat siswa terampi l menggunakan bahasa, tetapi tahu t entan g bahasa.
7. M etode lan gsun g diterapkan melalu i kegiatan dialog, tubi an pola, dan penerapan. Tu bian yang dilaku kan mencaku pi tubi an pengul angan dan tubian r espons.
8. Tu ju an pengajar an bahasa komuni katif ial ah agar siswa dapat berk omuni kasi dalam permai an bahasa yang sebenar nya dalam bentu k bahasa yang diterim a. Dalam pelaksanaannya, ji ka diperl uk an B ahasa Kesatu (B 1) dan penerj emahkan dapat digun akan. Tata bahasa diberi kan.
9. Pengaj aran dengan r espons f isik total menekankan penguasaan kemampuan menyimak pada awal pelajar an. Pemahaman dan retensi pali ng baik di pelaj ari melal ui gerakan f isik sebagai respons terh adap peri ntah gur u. K egiatan berbicara bar u dil akuk an bil a siswa sudah benar -benar siap. Pr oses siswa dil aksanakan melal ui lan gkah = lati han mendengark an, produk si dan m embaca sert a menu li s.
10. Pendekatan alami ah di kembangkan berdasark an keyakin an bahwa penguasaan bahasa lebih banyak terj adi melal ui proses pemerol ehan secara alamiah yang digabungkan dengan teori m oni tor dan Kr ashen. Pendekatan i ni dalam penerapannya sangat mementin gkan pemerolehan kosakata.
ASPEK INTERNAL DAN EKSTERNAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Sunday, 11 December 2011 03:30 administrator
oleh : Meisil Yanda Dapat berpikir dan berbahasa merupakan ciri utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena memiliki keduanya, maka sering disebut manusia sebagai makhluk yang mulia dan makhluk sosial. Dengan pikirannya manusia menjelajah ke setiap fenomena yang nampak bahkan yang tidak nampak. Dengan bahasanya, manusia berkomunikasi untuk bersosialisasi
dan
menyampaikan
hasil
pemikirannya.
Salah satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana manusia dapat berbahasa. Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori
belajar
bahasa
ini
begitu
variatif
dan
menarik.
Sehubungan dengan begitu banyaknya teori tentang belajar bahasa, maka yang akan kami kemukakan dalam makalah ini : 1.Dasar-dasar psikologi dalam pembelajaran bahasa 2.Faktor penentu dalam pembelajaran bahasa 3.Pemerolehan (acquisition) dan pembelajaran bahasa (learning) PEMBAHASAN 1.DASAR-DASAR PSIKOLOGI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA A.
Teori
Behaviorisme
Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus - respons.
B.
Teori
Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah terprogramkan. Mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. C.
Teori
Kognitivisme
Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. D.
Teori
Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua. E. Teori Humanisme Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.[1][1] 2. FAKTOR PENENTU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Melihat berbagai hipotesis pembelajaran bahasa merupakan sebuah proses yang cukup rumit karena banyak faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran bahasa tersebut. Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa kedua, diantaranya:
a) Faktor motivasi
Dalam pembeljaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang dalam dirinya ada keinginan, dorongan atau tujuan yang ingin dicapai daalm belajar bahasa kedua cendrunh akan libih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh sustudpronhan atau doronhan serta mitivasi. Banyak pakar pembelajaran mengemukakan devenisi motivasi, diantaranya : · Coffer (1964) menyatakan bahwa motivasi ialah dorongan, hasrat, kemauan, alasan atau tujuan yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. · Brown (1981) menyatakan bahwa motivasi ialah dorongan dai dalam, dorongan sesaat, emosi atau keinginan yang menggerakkan seseorang untuk melakuka sesuatu. · Lambert (1972) menyatakan bahwa motivasi ialah alasan untuk mecapai tujuan secara keseluruhan. Jadi bahasa merupakan doromhanyang datang dari dalam pembelajaran yang menyebabkan pembelajaran memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari bagaha kedua. Dalam pembelajaran bahasa kedua motivasi memiliki fungsi : ü Fungsi integratif berfungsi kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomonikasi dengan masyarakat penuturbahasa itu. ü Fungsi instrumental berfungsi kalau motovasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kemampuan untuk mempelajari bahasa kedua karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh pekerjaan. b) Faktor usia
Ada anggapan umum bahwa dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajara bahasa kedua dibandingkan orang dewasa.
Anak-anak tampaknya lebih mdah memperoleh dahasa baru, sedangkan orang dewasa tampaknya maendapatkan kesulitan dalam memporoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Hasil penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua sebagai berikut : 1. Dalam hal urutan pemerolehan bahasa tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab urutan pemerolehan bahasa oleh anak-anak dan orang dewasa adalah sama. 2. Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua dapat disimpulkan bahwa : · Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam sistem fonologi. · Orang dewasa lebih cepat maju dibandingkan anak-anak dalam bidang sintaksis dan morfologi. · Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat. c) Faktor penyajian formal
Pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa secara formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan fariabel telah dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga, keadaan lingkungan penbelajaran bahasa kedua secara formal, di dalam kelas, sangat berbeda dengan lingkugan penbelajaran bahasa kedua secara naturalistik dan alami. Steiberg (1979:166) menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas ada lima segi yaitu : 1. Lingkungan pembelajaran bahasa dikelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas yang meliputi penyesuaian-penyusaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan. 2. Di lingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik, yang dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang digunakan. 3. Di lingkungan sekolah disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan alamiah.
4. Di lingkungan kelas sering disajikan dara dan situasi dahasa yang artifisial (buatan), tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah. 5. Di lingkungan kelas disediakan alat-alat pengaran seperti buku teks, buku penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus diselasaikan,dan sebagainya. Kondisi lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa kedua, mempengaruhi terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa kedua, yaitu : ý Pengaruh terhadap kompetensi ý Pengaruh terhadap kualitas performansi ý Pengaruh terhadap urutan pemerolehan ý Pengaruh terhadapkecepatan pemerolehan d) Faktor bahasa pertama
Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua, dan bahasa pertama ini dianggap menjadi pengangu dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Gangguan bahasa pertama apat dihilangkan atau diminimalkan dalam beberapa teori, antara lain : ý Teori stimulus-respon Yang dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa adalah hasil prilaku stimulusrespon. Apabila seseorang mempelajar ingin memperbanyak penggunaan ujaran, dai harus memperbanyak penerimaan stimulus. Peranan lingkungan sebagai sumber datangnya stimulus menjadi dominan dan sangat penting dalam membantu proses pembelajaran bahasa kedua. Selain itu kaum behaviorisme juga berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa adalah pembiasaan. Maka, semakin pembelajar terbiasa merespon stimulus yang datang padanya, semakin memperbesar kemungkinan aktivitas pemerolehan bahasa.
Jadi, penaruh bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa kedua akan besar sekali apabila si pembelajar tidak terus- menerus diberikan stimulus bahasa kedua. Sacara teoritis pengaruh ini memang tidak bisa dihilangkan karna bahasa pertama sudah merupakan intake (dinuranikan) dalam diri si pembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasan dan
pemberian stimulus terus-menerus dalam bahasa kedua, pengaruh ini bisa dikurangi. ý Teori kontrastif Teori ini menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si pembelajar. Berbahasa kedua adalah suatu proses transferisasi. Jika struktur bahasa yang sudah dikuasai (bahasa pertama) banyak mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari, akan terjadinya semacam pemudahan dalam presos transferisasinya, begitu juga dengan sebaliknya. Menurut teori analisis kontrastif semakin besar perbedaanantara keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai dengan linguistik bahasa yang hendak dipelajari, akan semakin besarlah kesulitan yang dihadapi si pembelajar dalam usaha menguasai bahasa kedua yang dipelajarinya. e) faktor lingkungan
Dulay (1985: 14) menerangkan bahwa kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi sorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Lingkungan bahasa disini adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa kedua yang dipelajarinya. Lingkungan bahasa dapat dibedakan kepada : 1. Lingkungan formal
Lingkungan formal adalah salah satu lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa yang dipelajari secara sadar. Krashen (1983: 36) menyatakan bahwa lingkungan formal ini meiliki ciri (1) bersifat artifisial, (2) merupakan bagian dari keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah atau di kelas, dan (3) di
dalamnya pembelajaran diarahkan untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang telah dipelajarinya. Ellis (1986: 217) mengatakan lingkungan formal dapat dilihat pengaruhnya pada dua aspek, yaitu : ü Urutan pemerolehan bahasa kedua ü Kecepatan atau keberhasilan dalam menguasai bahasa kedua 2. lingkungan informal
Lingkungan informal bersifat alami atuan natural. Yang termasuk dalam lingkungan ini adalah bahasa yang digunakan oleh teman sebaya, bahasa pengasuh orang tua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan media massa, bahasa para guru, baik dikelas maupun diluar kelas. Hasil penelitian Milon (1977) dan Plann (1977) menunjukkkan bahwa bahasa teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada bahasa guru.[2][2] 3. PEMEROLEHAN (ACQUISITION) DAN PEMBELAJARAN BAHASA (LEARNING) Maksan (1993:19-20) menyatakan bahwa terdapat dua cara seseorang anak memperoleh bahasa. Cara pertama diperoleh secara tidak sadar, informal, serta implisit. Cara pertama ini disebut juga dengan pemerolehan bahasa ( language acquisition). Cara kedua diperoleh dengan adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan dituntut adanya kurikulum, serta dilakukan dengan cara sadar. Cara ini disebut sebagai pembelajaran bahasa ( language learning), karena adanya istilah pembelajar dan pengajar. Situasi pemerolehan bahasa pertama seiring sejalan dengan penguasaan bahasa ibu ( mother tangue). Biasanya berlangsung pada umur 0;0 sampai 5;0. Sedangakan pembelajaran bahasa
berlangsung setelah umur 5;0. Hal ini umum terjadi pada anak normal serta pengklasifikasian ini telah disepakati oleh para ahli psikolinguistik. Keseragaman proses ini juga telah ditelaah oleh Chomsky melalui teori LAD-nya, bahwa proses pemerolehan bahasa pada anak mengalami tahap yang sama. Proses ini terjadi pada seluruh anak normal.
Perkembangan
bahasa
pada
anak
bergantung
pada
maturasi
otak,
lingkungan,
perkembangan motorik dan kognitif, integritas struktural, dan fungsional dari organism (Sidiarto, 1991:134). Di samping itu, pemerolehan bahasa secara linguistik, melingkupi pemerolehan fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Jakobson (dalam Dardjowodjojo, 2003:238—267) menyatakan bahwa pemerolehan bunyi (fonologi) berjalan selaras dengan kodrat bayi tersebut. Bunyi pertama yang diperoleh anak adalah bunyi vokal kemudian berturut-turut diperoleh bunyi konsonan. Pada proses pemerolehan sitakasis, anak mulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata) dan dilanjutkan dengan pemerolehan kata berikutnya yang mulai menunjukkan kelengkapan kata tersebut serta munculnya negasi belum dalam kalimat yang diujarkan anak. Pada tahap pemerolehan semantik, anak mengawalinya dengan menentukan terlebih dahulu makna berdasarkan masukan yang ia peroleh dan bagaimana anak menguasai makna tersebut. Sedangkan dalam tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh tindak berbahasa. Tahapan ini pada umumnya dilalui oleh anak secara realtif lancar Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak setelah dia
memperoleh bahasa
mempelajari bahasa kedua
pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan
dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Hal ini perlu ditekankan, karena pemerolehan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran (Cox, 1999).[3][3] Ellis (1986:215) menyebutkan terdapat dua tipe pembelajaran bahasa: ü Tipe natualistic Tipe natualistic ini bersifat alamiah, tanpa guru dn tanpa kesengajaan. Misalnya : seorang anak-anak yang menggunakan bahasa pertamanya bahasa aceh, begitu dia keluar rumah bermain dengan teman sebayanya yang berbahasa minangkabau, maka iatersebut berusaha menggunakan bahasa minang tersebut.
Jadi, belajar bahasa menurut tipe ini sama prosesnya dengan pmerolehan bahasa pertama yang berlangsungsecara alamiah dilingkungan keluarganya, namun tentu adanya perbedaan antara hasil yang diperoleh anak-anak dengan orang dewasa. ü Tipe formal dalam kelas Tipe formal ini berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantunya telah disiapkan. Seharuskan hasil yang dipeoleh di dalam kelas lebih berhasil dibandingkan dengan hasil naturalistic.[4][4]
PENUTUP 1. Kesimpulan Dari uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan: a. Dasar –dasar psikologi dalam pembelajaran bahasa · Teori Behaviorisme · Teori Nativisme · Teori Kognitivisme · Teori Konstruktvisme · Teori Humanisme b. Faktor penentu dalam pembelajaran bahasa · Faktor motivasi · Faktor usia · Faktor bahasa pertama
· faktor lingkungan · Faktor penyajian formal c. Pemerolehan dan pembelajaran bahasa Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa terdapat dua. Cara pertama diperoleh secara tidak sadar, informal, serta implisit. Cara pertama ini disebut juga dengan pemerolehan bahasa (language acquisition). Cara kedua diperoleh dengan adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan dituntut adanya kurikulum, serta dilakukan dengan cara sadar. Cara ini disebut sebagai pembelajaran bahasa ( language learning), karena adanya istilah pembelajar dan pengajar. 2. Saran Semoga dengan uraian ini dapat menambah wawasan pemahaman kita bagaimana dalam mempelajari bahasa, baik dari segi dasar-dasarnya maupun dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa tersebut. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta http://humbud.uin-malang.ac.id/index.php?option=com. psycholinguistic umum&catid = 117:psycholinguistik&Itemid=105. Diakses tgl 12/05/2010 http://eri-s-unpak.blogspot.com/. Diakses tgl 12/05/2010
.
[1][1] http://eri-s-unpak.blogspot.com/. Diakses tgl 12/05/2010.