PERAN INFRASTRUKTUR PELABUHAN BAGI PEREKONOMIAN MARITIM DI INDONESIA Oleh: ELISSYAH NUR MEDINA 041511133108 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga (disusun untuk memenuhi mata kuliah Ekonomi Perkotaan)
I.
Pendahuluan Peran kota adalah sebagai pusat aktivitas ekonomi suatu negara. Hal ini memberikan kemudahan bagi proses produksi barang dan jasa serta aktivitas perekonomian lainnya. Kota menyediakan variasi barang dan jasa, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Di Indonesia, aktivitas ekonomi terkonsentrasi di area perkotaan, terutama di kota-kota pesisir yang memiliki pelabuhan. Pada umumnya, pusat kota awalnya tumbuh di daerah pesisir karena efisiensi ekonomi dan keuntungan konsumsi (Henderson, 1986; Quigley, 1998). Pembangunan infrastruktur suatu wilayah dapat memberikan pengaruh pada peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya sehingga meningkatkan akses produktivitas sumber daya yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. (Sudaryadi, 2007). Infrastruktur atau sarana dan prasarana memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan dengan kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan juga terhadap proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau region. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki kelengkapan sistem infrastruktur lebih baik biasanya mempunyai tingkat kesejahteraa sosial dan kualitas lingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula (Departemen Pekerjaan Umum, 2006).
Gambar 1: Peta Jalur Pelayaran Moda Transportasi Laut Sumber: BCG Analysis (2013) 1
Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pelabuhan didefinisikan sebagai tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batasbatas tertentu sebagai tempat berkegiatan pemerintah dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi. Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan sektor ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga bisa digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara dan menjadi titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung interaksi sosial-ekonomi antarpulau/negara (Ducruet & Horst, 2009). Dengan peran strategisnya sebagai pusat interaksi yang mempunyai nilai ekonomi dan dinamika sosial-budaya suatu bangsa, pelabuhan mempunyai nilai politis yang sangat strategis untuk dijaga dan dipertahankan keberadaannya dan kedaulatannya. Peraturan pengelolaan pelabuhan yang transparan, aman, dan tidak diskriminatif terhadap perusahaan asing serta dilakukan secara efektif dan efisien akan meningkatkan sisi politis yang positif bagi suatu negara tempat pelabuhan itu berada. Beragamnya fungsi dan layanan yang disediakan pelabuhan membuat pelabuhan layaknya sebuah sistem. Sistem pelabuhan mendapat dukungan sedikitnya dari tiga subsistem pendukung utama, yaitu: 1) penyelenggaraan atau port administration/port authority, yakni pemerintah/kementerian perhubungan dan 16 institusi pemerintah lainnya, 2) pengusahaan atau port business, yakni PT Pelindo dan pengguna jasa pelabuhan atau port users, yaitu sektor swasta, seperti eksportir, importir, dan 3) perusahaan angkutan khusus pelabuhan (Indrayanto, 2005; Wijoyo, 2012). Dengan demikian, kemampuan pelabuhan menjalankan fungsi dan menyediakan beragam layanan akan bergantung pada sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem tersebut di atas. Kewajiban mengintegrasikan tiga subsistem tersebut membuat upaya untuk meningkatkan kinerja pelabuhan menjadi kompleks. Upaya tersebut perlu melibatkan peran lintas lembaga sektoral dan membutuhkan konsep, perencanaan, program, dan strategi implementasi yang komprehensif dan matang. Selain itu, konsistensi, transparansi, dan kesamaan persepsi di antara stakeholders (pemangku kepentingan) merupakan kunci penting proses integrasi ketiga subsistem. Oleh karena itu, menyusun kebijakan yang mampu mengatur mekanisme dan hubungan kerja di antara stakeholders dari setiap subsistem menjadi penting untuk memfasilitasi proses integrasi.
2
II.
Pembahasan a. Kondisi Pelabuhan Pada masa lalu, sistem pelabuhan nasional tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, pelabuhan belum dapat berkontribusi secara maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (feeder port). Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialih-kapalkan melalui pelabuhan-pelabuhan hub internasional yang berada di negara-negara tetangga. Sejak didirikan pada tahun 1991, perusahaan pelabuhan milik Negara (Pelindo I sampai IV) belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau berinisiatif membangun pelabuhan hub internasional. Hal ini bukan sepenuhnya kesalahan manajemen, karena setiap Pelindo tersebut harus melakukan subsidi silang untuk kegiatan operasinya dan menghasilkan laba dalam jumlah yang ditentukan sebagai kontribusi pada pendapatan negara. Tingkat okupansi tambatan kapal (57,6%), rata-rata waktu persiapan perjalanan pulang (turn around) (81,9 jam), dan waktu kerja sebagai persentase waktu turn around (2,4%) masih berada di bawah standar internasional. Ini mengindikasikan bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan kapal atau mengantri di luar pelabuhan (Setiono, 2010, 47). Karena itu, biaya pelabuhan di Indonesia relatif lebih mahal dibanding dengan biaya pelabuhan di negara-negara ASEAN lain (Patuntru dkk., 2007; Setiono, 2010). Misalnya, biaya pelabuhan (terminal handling charge) untuk kontainer standar 45 di Indonesia (Tanjung Priok) adalah 255 dolar Amerika per kontainer, lebih mahal dibandingkan di Singapura (243 dolar Amerika), Malaysia (173 dolar Amerika), Thailand (155 dolar Amerika), dan Filipina (138 dolar Amerika) (Bappenas, 2015, 91). Dominannya peran negara (melalui BUMN) dalam pengaturan, pembangunan, dan pengelolaan layanan pelabuhan menjadi salah satu faktor yang menghambat upaya peningkatan efisiensi pelabuhan. Dominannya peran negara memunculkan monopoli pemerintah yang membuat pengelolaan pelabuhan menjadi tidak efisien karena tidak ada persaingan. Monopoli juga menutup partisipasi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaan pelabuhan (LPEM, 2005; Setiono, 2010). Tertutupnya partisipasi sektor swasta membawa dampak negatif yang signifikan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas pelabuhan untuk mendukung peningkatan daya saing perekonomian. Ini terjadi karena kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur cenderung menurun seiring tekanan fiskal sebagai akibat tingginya biaya utang, subsidi, dan transfer dana ke daerah yang cenderung meningkat setiap saat (Adam, 2012). Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20 tahun mendatang aliran peti emas di Indonesia akan meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEU1 pada tahun 2009 diperkirakan akan menjadi 30 juta TEU pada tahun 2020, dan 48 juta TEU pada tahun 2030. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat sebesar 50 persen sepanjang dekade mendatang dan 50 persen lagi mulai tahun 2020 sampai 2030. Sedikitnya 17 pelabuhan strategis memerlukan pembangunan dan pengembangan terminal peti kemas. Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan
TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari “twenty-foot equivalent unit” yang digunakan sebagai satuan ukuran kapasitas kargo. 1
3
Belawan memerlukan fasilitas baru dengan segera; pelabuhan lainnya, seperti yang ada di Cilamaya, Banjarmasin, Pontianak, Batam, Palembang dan Panjang, memerlukan pembangunan baru dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Dengan adanya peningkatan aliran peti kemas, perlu dibangun pelabuhan hub baru di kawasan timur dan barat Indonesia. Pelabuhan seperti Kuala Tanjung dan Bitung dapat dijadikan pilihan lokasi untuk pembangunan pelabuhan hub tersebut, sepanjang hal ini sesuai dengan permintaan pasar.
Gambar 2: Garis besar fasilitas pelabuhan dan prosedurnya Sumber: PT. Pelindo II (2016)
b. Perencanaan & Strategi Penyelesaian Mengingat besarnya investasi yang diperlukan, suatu visi bersama tentang cara untuk maju menjadi sangat penting. Sampai saat ini, para pemangku kepentingan terjebak dalam diskusi dan perbedaan pendapat, dengan fokus pada paradigma lama dan tujuan jangka pendek. Masing-masing pemangku kepentingan memiliki penafsiran berbeda tentang cara mendistribusikan kewenangan administratif, khususnya terkait dengan semangat otonomi daerah. Sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali. Pemberdayaan kembali yang dimaksud disini adalah lebih dari sekedar memunculkan beberapa gagasan baru. Hal ini berarti perumusan kembali visi strategis, struktur dan prosedur kelembagaan, serta penggunaan teknologi informasi. Ini berarti mengubah budaya perusahaan dan mengembangkan SDM. Singkatnya, pemberdayaan kembali terdiri atas tiga elemen: perubahan radikal atas kebijakan, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Perubahan kebijakan yang radikal memerlukan beberapa langkah, yaitu: i. penentuan posisi untuk berubah; ii. diagnosa terhadap proses-proses yang sedang berlaku; 4
iii. merancang kembali proses-proses baru yang lebih baik; dan iv. peralihan menuju kebijakan baru. Penentuan posisi. Terkait dengan sistem pelabuhan nasional dalam hal ini berarti bahwa pemerintah harus menentukan kembali perannya. Pemerintah harus fokus pada pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung mekanisme pasar dan persaingan yang sehat. Pemerintah harus menghindari intervensi langsung, serta menjadi regulator dan wasit yang adil. Apabila mungkin, pemerintah harus melakukan deregulasi, menghapuskan monopoli terselubung, dan menentukan secara jelas batas, fungsi dan kewenangan pelabuhan, sehingga meningkatkan kepastian usaha dan mendorong peran serta swasta dalam investasi. Langkah berikut dalam agenda pemberdayaan kembali adalah mendiagnosa ketertinggalan industri layanan pelabuhan di Indonesia melalui perbandingan dengan negara lain dan memeriksa seberapa baik manajemen pelabuhan diintegrasikan dengan bagian lain dari sistem manajemen transportasi nasional, dibandingkan dengan negara lain. Dengan melakukan kedua langkah seperti yang telah dijelaskan diatas, kita dapat menyusun visi yang jelas tentang bagaimana semestinya bentuk sistem pelabuhanyang telah diberdayakan kembali. Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan dalam mendesain ulang berbagai proses yang lebih baik dan selama berlangsungnya proses transisi menuju kebijakan baru. Perubahan harus dikomunikasikan secara tepat untuk menghindari timbulnya resistensi dan persepsi bahwa sebuah birokrasi baru akan menggantikan birokrasi yang lama. Perubahan radikal dalam sistem pelabuhan yang telah diberdayakan kembali adalah pemisahan antara fungsi regulasi dengan fungsi pengelolaan. Sampai saat ini, administrasi pelabuhan yang masih dikelola oleh pemerintah melalui BUMN telah menciptakan monopoli serta kebingungan dalam mengantisipasi aliran barang dan perencanaan ke depan. Perubahan radikal ini harus ditangani secara hati-hati karena otoritas pelabuhan bertindak sebagai wakil pemerintah dan memikul tanggung jawab yang sangat besar, antara lain dalam hal: memastikan kelancaran aliran barang; menyediakan lahan dan kebutuhan air bersih serta menerbitkan perizinan; memberikan jaminan keamanan dan ketertiban di pelabuhan; menyusun beberapa rencana induk pelabuhan; dan menentukan DLKR (Daerah Lingkungan Kerja) dan DLKP (Daerah Lingkungan Kepentingan). Kunci utama keberhasilan transisi menuju kebijakan baru adalah konsistensi, tansparansi dan kesamaan persepsi para pemangku kepentingan. Konsistensi penting untuk persiapan pemberlakuan peraturan baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Peraturan tersebut harus tertulis agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran yang berkepanjangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan memiliki konsekuensi hukum yang luas dalam hal infrastruktur dan suprastruktur, SDM, penyelesaian utang piutang, dan hal-hal lain yang terkait dengan kerjasama dalam usaha jasa pelabuhan. Peraturan tersebut tidak boleh ambigu sehingga otoritas pelabuhan dapat menjamin hak dan kewajiban secara proporsional, adil dan bebas dari monopoli, nepotisme, diskriminasi dan intervensi politik. Setiap pelabuhan memiliki karakteristik teknis yang berbeda-beda yang akan mempengaruhi sistem operasi pelabuhan, jumlah investasi yang dibutuhkan, dan biaya perawatan. Setiap pelabuhan memiliki daerah datarannya masing-masing dan akses ke saluran distribusi serta cakupan lintas provinsi. Namun, peraturan harus secara konsisten diterapkan pada semua pelabuhan untuk memotivasi para operator pelabuhan dan menarik investasi. 5
Semua pihak harus menyepakati dan mengikuti roadmap yang dituangkan dalam rencana tindak terpadu dalam Rancangan Akhir Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) 2012 – 2030, yang saat ini telah disebarkan ke seluruh Indonesia. Rencana Tindak dalam RIPN mencakup strategi yang menyoroti, secara terukur, perbaikan atas proses hukum, operasional, SDM dan penggunaan teknologi. Selain itu, Rencana Tindak tersebut juga menyoroti perencanaan dan integrasi, menetapkan prioritas pengembangan, serta mengamankan investasi swasta dan Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership [KPS]). Kesamaan persepsi tentang kriteria, norma dan standar sangat penting apabila para pemangku kepentingan ingin sukses dalam mengoptimalkan pelabuhan yang ada atau membangun pelabuhan baru, membuat rencana induk untuk setiap pelabuhan, membangun jaringan jalan dari pelabuhan ke kawasan industri dan mematuhi rencana tata ruang nasional. Peran Penting SDM. Satu-satunya cara untuk menanggalkan birokrasi lama adalah dengan mengembangkan SDM. Manajemen pelabuhan memerlukan berbagai keahlian khusus untuk memastikan perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait aspek tata ruang, konstruksi teknis, keselamatan, pembiayaan, kegiatan operasi, dan integrasi dengan sektor lain. Pengembangan SDM yang kompeten akan membuat perubahan dapat dilaksanakan dengan baik, aman, dan sesuai dengan peraturan. Apabila para manajer dan tenaga kerja tidak memiliki komitmen terhadap perubahan, upaya untuk mengubah sistem pelabuhan akan menghadapi risiko penolakan, atau disintegrasi moral. Demonstrasi pekerja pelabuhan dapat dipahami terjadi jika mereka belum melihat manfaat dari perubahan yang harus mereka lakukan. Penjelasan yang komprehensif tentang hal tersebut dapat meredam konflik yang mungkin timbul selama proses transformasi. Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar adalah untuk mengkomunikasikan visi secara efektif dan memimpin perubahan. Pelaku-pelaku utama tidak boleh terpaku pada cara-cara lama dalam melakukan tugasnya. Mereka harus selalu bertindak secara profesional dan melakukan upaya sosialisasi secara ekstensif. Operator pelabuhan harus berkonsentrasi untuk mempertahankan citra dan tingkat layanan. Pola pikir harus berorientasi pada layanan, dan pentingnya kecepatan dan efisiensi harus benar-benar dipahami. Selama tahap transisi, selain fokus pada program pendidikan dan pelatihan, pakar SDM harus mendengarkan para pemangku kepentingan dan melaksanakan prinsip-prinsip perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement). Sebuah Tim Proses Perbaikan, yang melengkapi Tim Reformasi Birokrasi di Kementerian PAN, dapat dibentuk di Kemenhub untuk membantu otoritas pelabuhan dalam transisi tersebut. Peran Klaster Industri. Sebagai hasil pertumbuhan pembangunan pelabuhan, industri-industri baru dapat tumbuh di sekitar DLKR, dengan penawaran paket komprehensif dari pusat layanan pelabuhan kepada industri seperti kelapa sawit atau batubara. Sejumlah pelabuhan di seluruh dunia menggambarkan efektivitas pembangunan klaster industri. Contoh dalam industri pertambangan dan kimia antara lain terdapat di Rotterdam, Antwerp, Hamburg, Marseilles, Houston, Yokohama. Rotterdam, khususnya, adalah pusat perdagangan, distribusi dan pemasaran. Pendekatan “blue ocean” merupakan cara yang inovatif untuk mempertimbangkan pembangunan pelabuhan dengan terminal khusus yang dikelilingi kawasan industri. Kunci dari strategi blue ocean adalah, pendekatan yang terfokus 6
bukan pada persaingan untuk memperebutkan pangsa pasar (pendekatan “red ocean”), tetapi lebih pada penciptaan sebuah “jaringan inovasi nilai” (value innovation network) yang membuat persaingan menjadi tidak relevan. Berdasarkan strategi blue ocean yang berfokus pada pengembangan klaster industri, otoritas pelabuhan dan entitas bisnis pelabuhan akan berupaya untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale). Pembangunan terminal khusus bersamaan dengan klaster industri memerlukan koordinasi di antara kementerian teknis, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, serta pemerintah daerah. Perencanaan yang terpadu harus memperhitungkan karakteristik setiap daerah. c. Potensi High Access Integrasi ekonomi melalui penguatan konektivitas antar pulau dan domestikinternasional merupakan sebuah kebutuhan bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan memeratakan hasil-hasilnya ke seluruh pelosok negeri. Konektivitas yang efektif dan efisien dapat tercapai jika sektor transportasi maritim terintegrasi dan menjadi bagian penting dari kerangka sistem logistik nasional. Pentingnya peran infrastruktur maritim menginisiasi pemerintah mendesain konsep dan mengimplementasikan strategi pengembangan tol laut. Tol laut adalah konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia Berdasarkan data Logistik Nasional Pusat Pertumbuhan Ekonomi Eksisting 2015 tedapat 5 pusat di seluruh Indonesia yang juga termasuk dalam kawasan strategis nasional pada zona arahan pengembangan kesejahteraan masyarakat, dan dengan Konsep Wilayah Depan dalam Logistik Nasional akan memuculkan 19 Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru sepanjang 2015-2019. Ditambah juga dari peluang pelayanan logistik dan industri dan perdagangan internasional yang 90% nya dibawa melalui laut, 40% nya sendiri melalui Indonesia, maka akan terbukanya akses regional melalui implementasi konsep tol laut yang dapat memberikan peluang industri kargo/logistik nasional untuk berperan dalam distribusi internasional.
Gambar 3: 24 Pelabuhan Strategis Pendukung Tol Laut Sumber: PT. Pelindo II (2016) 7
Tol laut dan udara memberikan suatu manfaat dimana mengurangi disparitas harga yang terjadi di Barat sampai ke Timur Indonesia. Tol laut diselenggarakan dalam rangka menjamin ketersediaan barang dan untuk mengurangi disparitas harga bagi masyarakat untuk menjamin kelangsungan pelayanan penyelenggaraan angkutan barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan. Tol laut berintegrasi dengan program Rumah Kita untuk mempermudah koordinasi dengan Pemda serta Stakeholders terkait dengan kebutuhan barang dan pendistribusian barang di wilayah sekitar lokasi Rumah Kita yang terbagi menjadi 6 (enam) lokasi. Disamping itu, tol laut juga berintegrasi dengan angkutan udara perintis barang (Jembatan Udara) dimana petikemas setelah tiba di pelabuhan akan diangkut melalui jalur darat menuju bandara guna diangkut menuju lokasi sesuai dengan jalur Tol Udara. Berikut adalah elemen tol laut untuk mendukung efektivitasnya: 1) Pelabuhan Yang Handal a. Kapasitas Terpasang b. Produktivitas c. Efektif Dokumentasi d. Water Entrance – Inland Transport e. Institusi Pendukung f. Data Dan Sistem Informasi 2) Pelayaran Rutin Dan Berjadwal 3) Inland Akses Yang Efektif
8
III.
Kesimpulan & Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan pembahasan diatas maka hal-hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: 1) Pembangunan infrastruktur suatu wilayah dapat memberikan pengaruh pada peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya sehingga meningkatkan akses produktivitas sumber daya yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. 2) Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan sektor ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga bisa digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara dan menjadi titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung interaksi sosial-ekonomi antarpulau/negara. 3) Sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali dengan tiga elemen: perubahan radikal atas kebijakan, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Saran: 4) Pemerintah pusat harus memegang peran pengendali dalam penentuan pelabuhan yang harus dikembangkan sebagai kawasan industri, karena alokasi aset nasional secara optimal menjadi taruhannya. Pemanfaatan kelebihan kapasitas di pelabuhan khusus dan pelabuhan yang mengemban misi tertentu (dedicated port) harus dianggap sebagai pelengkap untuk layanan utama, bukan sebagai pesaing. Hal ini menimbulkan tantangan khusus dan peluang bagi BUMN pelabuhan, yang telah memiliki sarana produksi dan SDM. 5) Terminal khusus yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi pelabuhan utama, yang memprioritaskan kapal-kapal yang terkait dengan spesialisasi industrinya. Hal ini akan mendorong pembangunan klaster dan mendorong pelabuhan terdekat untuk meningkatkan daya saingnya.
9
IV.
Referensi Adam, L. dan Inne Dwiastuti. 2015. Membangun poros maritim melalui pelabuhan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adam, L. 2012. The roles and problems of infrastructure in Indonesia. Economic and Finance in Indonesia, 60, (1), 105–126. Ducruet, C. & Van der Horst, M. 2009. Transport integration at European ports: measuring the role and position of intermediaries. EJTIR, 9 (2), 121–142. Henderson, J.V. 1986. Urbanization in A Developing Country: City size and Population Composition. Journal of Development Economics, 22, 269-293. Indriyanto. 2005. Peran pelabuhan dalam menciptakan peluang usaha pariwisata: kajian historis ekonomis. Semarang: Universitas Diponegoro. LPEM. 2005. Trend perkembangan pengelolaan pelabuhan dunia dan implikasinya bagi BUMN pelabuhan di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Patuntru, A., Nurridzki, N. & Rivayani. 2007. Port competitiveness: a case study of Semarang and Surabaya. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan ManajemenUniversitas Indonesia, Jakarta. Quigley, J. M. 1998. Urban Diversity and Economic Growth. The Journal of Economic Perspective, 12(2), 127-138. Setiono, B.A. 2010. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pelabuhan. Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Pelabuhan, 1 (1), 39–60. Sudarmo, Sudjanadi Tjipto. 2012. Memberdayakan Kembali Manajemen Pelabuhan di Indonesia. Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, Edisi 10, April 2012. Wijoyo, P.H. 2012. Tinjauan umum pelabuhan sebagai prasarana transportasi. Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/159/3/2TA12921.pdf pada 8 Desember 2017
10