LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN SEMESTER GENAP 2014 - 2015 PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF OTONOM
Hari / Jam Praktikum
: Rabu/ 10.00 – 10.00 – 13.00 13.00 WIB
Tanggal Praktikum
: 15 April 2015
Kelompok
: 1
Asisten
: Dita Apriani dan M Indra Permana
Anggota
:
Fitria Citra Ayu
260110130093 260110130093
Pembahasan
Astri Sulastri
260110130094 260110130094
Data Pengamatan, Perhitungan, Grafik
Hasby M.J.
260110130095 260110130095
Pembahasan
Winda Ratna P.
260110130096 260110130096
Teori Dasar, Daftar Pustaka
Femmi Anwar
260110130097 260110130097
Alat Bahan, Prosedur
Mega Trinova D.
260110130098 260110130098
Tujuan, Prinsip, Kesimpulan, Editor
LABORATORIUM FARMAKOLOGI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF OTONOM I.
Tujuan 1.
Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem sar af otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neUroefektor parasimpatikus.
II.
Prinsip 1. Obat kolinergik Sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP) karena melepaskan neurohormonasetilkolin (Ach) diujung-ujung neuronya. 2. Obat antikolinergik Sekelompok zat yang dapat menghambat Susunan Parasimpatis (SP) untuk melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. 3. Persen Inhibisi
% ℎ =
100%
Keterangan :
= Absorbansi tidak mengandung sampel = Absorbansi sampel
III.
Teori Dasar Sistem saraf dibedakan atas dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke
jaringan tepi, serta aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Mycek , 2001). Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain (Guyton, 2006). Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat memperlihatkan efek merangsang atau menghambat aktivitas susunan saraf pusat secara spesifik atau secara umum. Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor melalui penglepasan zat kimia yang khas yang disebut transmiter neurohumoral atau disingkat transmiter. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah tranmisi neurohumoral (Ganiswarna, 2005). Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel ef ektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik
dan
bekerja
pada
dosis
kecil.
Obat-obat
otonom
bekerja
mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002). Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi
kegiatan
darah,memperlambat
jantung,
vasodilatasi,
pernafasan,
kontraksi
dan otot
penurunan mata
tekanan
dengan
efek
penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat
lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan dan Rahardja, 2002). Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepas an sel inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi . Mekanisme adrenergik meliputi
sarafsimpatis, katekolamin yang beredar
dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah (Mulia, 2009). Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi : a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut: -
Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
-
Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.
b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut: -
Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
-
Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila sara f parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002). Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki
efek yang
ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis : a. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat. b. Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka. c. Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraks. d.
Perangsang Sistem saluran pernapasan.
e. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, f. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon
hipofisiEfek
prasinaptik,
dengan
akibat
peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah, 2011).
IV.
Alat dan Bahan 4.1. Alat 1. Alat suntik 2. Botol Vial 3. Kapas 4. Kandang mencit
hambatan
atau
5. Kertas Saring 6. Koran 7. Mencit 8. Papan 9. Penggaris 10. Sonde oral 11. Spidol 12. Timbangan 13. Tissue 4.2. Bahan 1. Alkohol 2. Atropin 3. Fenobarbital 4. Mencit jantan yang dipuasakan sebelum percobaan (6 jam) 5. Metilen blue 6. PGA 7. Pilokarpin 4.3. Gambar Alat Alat Suntik
Botol Vial
Kapas
Kandang
Kertas Saring
Koran
Papan
Penggaris
Sonde Oral
Spidol
Timbangan
Tissue
V.
Prosedur Alat untuk percobaan disiapkan. Dibuat larutan gom dan obat sesuai dosis perhitungan. 3 ekor mencit yang sudah dipuasakan 6 jam di t imbang dan diberi tanda pengenalnya. Pada waktu T = 0, satu mencit diberi atropin 1 mg/kg BB (p.o) segera sesudah pemberian fenobarbital secara p.o. Sedangkan satu ekor mencit dijadikan sebagai kontrol negatif diberi larutan PGA dengan cara peroral. Pada waktu T = 15 menit, mencit lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kg BB (s.c), segera sesudah diberikan fenobarbital p.o. Pada waktu T = 45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutan. Kemudian masing-masing mencit diletakkan di atas papan salvias yang sudah dibungkus kertas saring dan sudah digamabr kotak-kotak sebagai batas. Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas. Amati besarnya noda yang terbentuk di atas kertas disetiap kotak dan tandai batas noda (pakai spidol). Diameter noda diukur dan dihitung persentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan buatlah grafik inhibisi per satuan waktu.
VI.
Data Pengamatan Perlakuan
Hewan Percobaan
T: 0’
T: 15’
Fenobarbital Mencit 1
p.o (0,57 mL)
Hasil Pengamatan setiap 5 T:45’
Pilokarpi -
n s.c (0,29 mL)
menit sekali selama 25 menit
PGA p.o
Perlakuan pada mencit 1
(0,57 mL)
merangsang salivasi
Fenobarbital
ditandai dengan adanya Pilokarpi
noda pada kertas, dimulai
n s.c (0,26
dari 5 menit pertama dan
mL)
5 menit seterusnya,
p.o (0,53 Mencit 2
mL)
-
Atropin p.o
sedangkan perlakuan pada
(0,53 mL)
mencit ke-2 dan mencit
Fenobarbital Mencit 3
-
Pilokarpi
p.o (0,4 mL)
n s.c (0,2
Atropin s.c
BB
Dosis (mL)
Mencit
p.o
Kontrol (-)
23,3
0,57
Mencit 1
21,4
0,535
Fenobarbita
21,4
0,535
l (p.o)
23,0
PGA (p.o)
s.c
-
salivasi.
mL)
(0,2 mL)
Perlakuan
ke-3 tidak merangsang
Diameter saliva (cm) 5’-
10’-
15’-
20’-
10’
15’
20’
25’
3,25
3,15
2,75 2,75
3,1
2,5
3,45 3,95
0-5’
3,6
3,4
2
2,9
4
2,5
3,15
0,58
0
0
0
0
0
19,5
0,48
2,55
3,2
3,2
∑
108,6
2,7
10,3 12,7 13,9 12,4 12,9
̅
21,72
0,54
2,58 3,18 3,48
Mencit 2
21,1
0,53
0
0
Fenobarbita
19,0
0,475
1,05
l (p.o)
15,4
0,385
Atropin
20,0
(p.o)
3,23
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,5
1,75
0
0
0
0
31,5
0,78
0
0
0
0
0
∑
107
2,67
2,8
0
0
0
0
̅
21,4
0,534
0,56
0
0
0
0
Mencit 3
16,0
0,4
0
0
0
0
0
0,2
rata kontrol negatif
3,55 3,25
3,1
-
rata∑
3,11
rata∑ rata uji p.o
0,112
VII.
Fenobarbita
25,9
0,647
0,32
0
0
0
0
0
l (p.o)
22,8
0,57
0,285
0
0
0
0
0
rata∑
Atropin
23,5
0,59
0,3
0
0
0
0
0
rata uji
(s.c)
20,5
0,51
0,25
0
0
0
0
0
s.c
∑
108,7
2,717 1,355
0
0
0
0
0
Perhitungan 1. Mencit 1
P.o (untuk Fenobarbital dan PGA)
23,3 20
× 0,5 = 0,57
S.c (untuk Pilokarpin)
23,3 20
× 0,25 = 0,29
2. Mencit 2
P.o (untuk Fenobarbital dan Atropin)
21,1 20
× 0,5 = 0,53
S.c (untuk Pilokarpin)
21,1 20
× 0,25 = 0,26
3. Mencit 3
P.o (untuk Fenobarbital)
16 20
× 0,5 = 0,4
S.c (untuk Atropin dan Pilokarpin)
16 20
× 0,25 = 0,2
4. % ℎ (. ) = =
− −∑ − ∑ − ∑ ,−, ,
= 96,40 %
× 100%
× 100%
5. % ℎ (. ) = =
− −∑ − ∑ × − ∑
,− ,
100%
× 100%
= 100%
Grafik Grafik Rata-rata Diameter Noda Terhadap Waktu Pada Kelompok Hewan Kontrol Negatif
Grafik ∑ Rata-rata Diameter Noda Terhadap Perlakuan Pada Setiap Kelompok Hewan uji
4
3.5 3 a t 2.5 a r 2 a t 1.5 a r 1 ∑ 0.5 0
3.18
r3 e t e m2 a i d1 x Kontrol (-)
Atropin Atropin s.c p.o
0 5
10
5
20
25
Grafik Rata-rata Diameter Noda Terhadap waktu Pada Kelompok Hewan Uji (Atropin s.c) 1
0.56
0
15
Waktu (menit)
Grafik Rata-rata Diameter Noda Terhadap waktu Pada Kelompok Hewan Uji (Atropin p.o) r 0.5 e t e 0.4 m0.3 a i d0.2 x0.1
3.1 3.23
2.58
Perlakuan/Kelompok
0.6
3.48
r 0.8 e t e 0.6 m a0.4 i d x0.2 0 10
0 15
0 20
Waktu (menit)
0 25
0 5
10
15
20
Waktu (menit)
25
VIII.
Pembahasan Pada praktikum kali ini dapat diketahui bahwa pilokarpin memberikan efek yang sangat besar terhadap aktivitas kelenjar saliva yaitu menghambat sekresi saliva pada mencit yang diinduksi obat atropin sebagai obat golongan kolinergik yang dapat menstimulasi kelenjar salivasi. Selain dapat diketahui bahwa rute pemberian dapat mempengaruhi absorpsi obat yang akan diberikan. Absorpsi yang dilakukan tubuh akan mempengaruhi onset of action dan duration of effect dari atropin yang diberikan. Pemberian secara subkutan akan mempercepat absorpsi atropin dibanding pemberian oral karena pemberian secara subkutan tidak melalui first pass metabolism karena tidak melewati hati sedangkan untuk pemberian peroral, atropin yang diberikan akan melalui hati sehingga melalui first pass metabolism. Selain itu, pemberian peroral akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak faktor penghambat seperti protein plasma maupun enzim lain. Oleh karena itu onset of action dari atropin pemberian secara subkutan akan lebih cepat dibanding peroral. Kemudian duration of effect yang diberikan secara subkutan akan lebih lama dibanding peroral karena pemberian secara subkutan memperlama kontak antara atropin dengan tubuh. Pertama persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada praktikum kali ini. Selanjutnya persiapkan larutan gom dan obat. Hewan percobaan yang digunakan pada praktikum kali ini berjumlah 3 ekor yang dipilih secara acak. Masing-masing mencit diamati kesehatannya kemudian ditimbang dengan neraca Ohaus yang sudah dikalibrasi sebelumnya kemudian masing-masing mencit diberi tanda pengenal. Diperoleh hasil mencit I dengan berat 23.3 g; mencit II 21.1 g ; dan mencit III 16 g. Kemudian dihitung dosis untuk obat fenobarbital, atropine, PGA dan pilokarpin sesuai dengan berat badan mencit. Untuk mencit I dan II pada T=0 diberikan fenobarbital dengan dosis yang telah dihitung. Fenobarbital merupakan zat hipnotik-sedatif yang bisa membuat mencit menjadi tenang. Tujuannya agar ketika mencit bisa tenang dan tidak agresif ketika pengeluaran saliva dan mempermudah perhitungan
diameter saliva. Untuk mencit I diberikan 0.57ml, untuk mencit II diberikan 0.53ml. Mencit diangkat ujung ekornya dengan tangan kanan, letakkan pada suat tempat yang permukaannya tidak licin misalnya kasa, ram kawat, sehingga jika ditarik mencit akan mencengkram. Telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk sedangkan ekornya dipegang dengan tangan kanan. Kemudian posisi tubuh mencit dibalikkan sehingga perut menghadap pemegang dan ekor dijepitkan antara jari manis dan kelingking tangan kiri. Fenobarbital diambil dengan menggunakan sonde oral karena rute pemberian yang akan diberikan adalah dengan cara oral. Pemberian dengan cara oral diberikan dengan alat suntik yang dilengkapi sonde oral (kanula). Kanula dimasukkan ke dalam mulut lalu perlahan- lahan dimasukkan ke belakang melalui tepi langit-langit (palate) sampai esofagus. Selanjutnya, mencit I diberikan PGA sebanyak 0.57ml dengan cara oral. PGA disini merupakan kontrol negatifnya. Sedangkan mencit II diberikan Atropin 0.53ml dengan cara oral juga. Atropin disini merupakan obat antikolinergik yang akan dievaluasi aktivitasnya terhadap neuroefektor parasimpatik. Dimana atropine ini merupakan obat parasimpatolitik yang menghambat kerja dari saraf parasimpatik dengan cara vasodilatasi, menurunkan sekresi urin dan menurunkan sekresi kelenjar saliva. Setelah itu, tunggu hingga 45 menit. Untuk mencit ketiga pada T=15 menit diberikan fenobarbital dengan dosis yang telah dihitung, yaitu sebanyak 0.4 ml. Fenobarbital diberikan secara peroral sama seperti 2 mencit sebelumnya. Setelah itu langsung diberikan atropine secara subkutan sebanyak 0.2 ml. Atropin diambil dengan menggunakan jarum suntik kemudian disuntikan kepada mencit di bawah kulit tengkuk. Pada mencit ketiga ini diberikan setelah 15 menit dari perlakuan mencit pertama dan kedua karena rute pemberian secara subkutan lebih cepat diabsorpsi dibandingkan dengan rute pemberian oral sehingga diberikan setelah 15 menit pemberian oral. Pada waktu T=45 menit semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutan sesuai dengan dosis yang telah dihitung. Pilokarpin diambil dengan menggunakan jarum suntik karena rute pemberian diberikan secara subkutan
yang disuntikan di bawah kulit tengkuk mencit. Pilokarpin merupakan obat kolinergik yang merupakan obat parasimpatomimetik yaitu merangsang kerja saraf parasimpatik dengan cara vasokontriksi, meningkatkan peristaltic usus, juga meningkatkan sekresi kelenjar saliva. Kemudian masing-masing mencit diletakan diatas kertas saring pada suatu alat yang telah ditandai kotak-kotak berjumlah sembilan. Masing-masing mencit menempati tiga kotak. Penempatan mencit harus tepat sehingga mulutnya berada tepat diatas kertas saring. Kemudian masing-masing ekornya diikat dengan seutas tali dan diberi beban. Tujuannya adalah agar pergerakan mencit menjadi terbatas, dan bisa mengeluarkan salivanya pada spot yang telah disediakan juga untuk memudahkan perhitungan diameter saliva. Setiap lima menit sekali mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya diulangi hal yang sama selama 15 menit sampai kotak paling atas. Amatai besarnya noda yang terbentuk di atas kertas saring di setiap kotak dan tandai batas noda dengan pulpen atau sepidol. Kemudian diameter noda pada setiap kotak diukur. Dihitung presentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropine. Data hasil perhitungan dimasukan ke dalam table dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu. Dilihat dari grafik antara kelompok negatif, kelompok atropin yang diberikan secara peroral dan subkutan dengan rata-rata diameter noda saliva yang dihasilkan. Pada kelompok negatif, mencit hanya diberikan fenobarbital sebagai hipnotika dan larutan PGA sebagai pelarut memiliki rata-rata diameter noda saliva yang sangat besar. Hal ini dikarenakan karenakan setelah pemberian kedua zat tersebut pada waktu ke 45 menit langsung diberikan pilokarpin sebagai obat kolinergik yang dapat menstimulasi kelenjar salivasi tanpa diberika atropin sebagai anti kolinergiknya sehingga mencit pada kelompok negatif akan mensekresi saliva lebih banyak dibanding kelompok lain. Sedangkan pada kelompok mencit yang diberikan atropin secara subkutan kemudian diberikan pilokarpin sebagai stimulan sekresi saliva juga menghasilkan diameter noda saliva hanya saja saliva yang dihasilkan pada menit 0 sampai 5 dan kerja inhibisi dari atropin terjadi setelah menit kelima.
Pada mencit kelompok kedua terjadi inhibisi hingga menit ke 25 pada proses pengamatan. Kemudian pada kelompok mencit yang ketiga yaitu yang diberikan fenobarbital secara peroral dilanjutkan dengan pemberian atropin secara subkutan dan setelah menit ke 45 diberikan pilokarpin secara subkutan untuk semua hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kerja inhibisi dapat diamati pada menit 0 sampai 5 karena pada mencit kelompok ini tidak memiliki diameter noda saliva. Dari data di atas dapat dibuktikan bahwa kerja inhibisi dari obat atropin selain dipengaruhi oleh dosis juga dipengaruhi oleh rute pemberian obatnya sehingga dapat diketahui kerja inhibisi paling cepat adalah pada kelompok mencit yang diberikan atropin secara subkutan kemudian dilanjutkan dengan kelompok pemberian atropin secara peroral dan yang terakhir adalah kelompok mencit yang tidak diberi atropin. Oleh karena itu, sesuai dengan perhitungan bahwa persen inhibisi yang dihasilkan secara peroral sebesar 96% dan inhibisi yang diberikan secara subkutan sebesar 100% yang menandakan bahwa atropin bekerja lebih efektif dibandingkan dengan pilokarpin sebagai kolinergiknya. Akan tetapi kerja inhibisi dari atropin dan stimulasi dari pilokarpin juga bergantung pada dosis yang diberikan. Semakin besar dosis atropin makan semakin besar inhibisi dan apabila semakin besar dosis pilokarpin maka semakin tinggi efek hipersalivasi pada mencit tersebut. kemudian bergantung pula pada bobot berat badan mencit karena hal itu akan bergantung pada volume pemberian obatnya. Pada daya inhibisi 100% untuk pemberian secara subkutan bisa terjadi kesalahan karena berlebihnya dosis yang digunakan sehingga pada saat menit 0 sampai 5 kerja inhibisi sangat cepat meniimbul efek menginhibisi kelenjar saliva. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pengamatan adalah ketelitian dalam mengukur diameter noda saliva yang dihasilkan karena noda yang dihasilkan tidak selalu berbentuk lingkaran yang utuh sehingga menyulitkan untuk menghitung hasilnya. Kemudian dipengaruhi juga dengan akitivitas dari mencit itu sendiri akibat dosis fenobarbital sebagai hipnotik yang tidak menyebabkan hipnosis pada mencit akibatnya noda saliva menyebar tidak berada dalam satu titik. Oleh karena itu, pada praktikum mengenai uji aktivitas
kolinergik (atropin) yang dihambat oleh obat antikolinergik (pilokarpin) harus memperhatikan dosis hipnotika agar mempermudah proses pengamatan diameter noda saliva.
IX.
Kesimpulan 1. Praktikan dapat mengetahui lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetative tubuh. Dari percobaan ini didapatkan bahwa pemberian zat kolinergik (pilokarpin) pada mencit menyebabkan salivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik (atropine). 2. Praktikan dapat mengetahui teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neuroefektor parasimpatikus. Evaluasi aktivitas obat antikolinergik didapat dari diameter saliva mencit. Persen inhibisi atropine peroral (p.o) yang didapat dari percobaan adalah 96,40% berbeda dengan inhibisi atropine subkutan (s.c) yaitu 100%.
DAFTAR PUSTAKA Ganiswarna, S, G. 2005. Farmakologi Dasar dan Terapi Edisi 4. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11 edition. Elsevier inc. phiadelphia. Haritsah. 2011. Efek obat kolinergik dan adrenergic. Available online at http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789.pdf [Diakses tanggal 15 April 2015] Mulia, Meylani. 2009. Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma Bronkial . J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3. Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting . Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.