PENGARUH FILOSOFI AUDITING TERHADAP KUALITAS AUDIT AUDITOR P A P E R Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Auditing yang diberikan oleh Bapak Ibnu Rachman
S1 Akuntansi
Disusun oleh : Grisna Arlinta Putri
NPM : C10100006
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) EKUITAS PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI BANDUNG 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper yang merupakan untuk dapat memenuhi salah satu tugas Seminar Auditing. Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas paper ini sehinggga kami dapat menyelesaikan penyusunan paper ini. Dalam penyusunan paper ini penulis berharap semoga paper ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.
Bandung, September 2013
Penulis
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematik, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan teknik evaluasi bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat atau opini mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Pembicaraan mengenai auditing selalu dikaitkan dengan keberadaan profesi Akuntan Publik, yang dikenal oleh masyarakat sebagai penyedia jasa audit laporan keuangan kepada pemakai informasi keuangan. Bagi sebagian orang, auditing adalah kumpulan praktik, prosedur, metode dan teknik yang tidak memerlukan uraian, penjelasan, dan argumentasi ilmiah yang kita kenal sebagai teori. Akan tetapi, Mautz dan Sharaf yang menulis monografi The Philosophy of Auditing [1961], yakin bahwa auditing merupakan disiplin tersendiri yang mengandung teori-teori. Keberadaan auditing yang dilandasi atas teori telah diakui pentingnya oleh lembaga-lembaga maupun individu-individu yang mengabdi dalam urusan akademis dan riset ilmiah di bidang auditing. American Accounting Association (AAA), sebuah lembaga akademis akuntansi terkemuka di Amerika Serikat, pada tahun 1971 membentuk suatu komite khusus untuk meneliti konsep – konsep – konsep dasar auditing. Hasilnya berupa dokumen Studies in Accounting Research No. 6 berjudul “A Statement Statement of Basic Filosofi Auditing Pusdiklatwas BPKP - 2007 4 Auditing Concepts”, disingkat ASOBAC [1973]. Bagi auditing, eksistensi teori akan bermanfaat sebagai landasan berpijak yang menawarkan penjelasan, baik dukungan ataupun pengingkaran dan juga akan menjadi penuntun bagi pengembanga pengembangan, n, penciptaan, penciptaan, dan inovasi terhadap terhadap standar, standar, praktik, praktik, prosedur, metode, maupun teknik auditing yang baru.
2
Auditing mengandung masalah fakta dan masalah nilai. Sementara itu, filsafat adalah proses konseptualisasi konseptualisasi dan proses proses social, karena filsafat filsafat mendorong mendorong kegiatan menuju menuju suatu tujuan tertentu secara terintegrasi. Berstruktur alas an dan tujuan, karena itu filsafat auditing merupakan pelekat bagi pelaku profesi auditing, member landasan penyeragaman penyeragaman kegiatan professional professional agar sebuah profesi terintegrasi. terintegrasi. Sebagai sebuah disipilin ilmu pengetahuan, sebagian besar orang cenderung berpikir bahwa auditing merupakan bagian dari akuntansi karena secara empiris para auditor adalah para akuntan. Namun, semua disiplin ilmu berbasis bukti seperti ilmu hokum dan auditing berbasis logika, logika berada dalam teori pengetahuan, untuk memperoleh kepercayaan. Hakikat filosofi auditing adalah analisis atau studi yang dilakukan secara kritis untuk merumuskan masalah, mencari solusi dengan argumen yang kuat dan melalui proses dialog dalam rangka menemukan roh atau jati diri ilmu auditing. Pendapat dalam audit tergantung pada kualitas dari keyakinan yang diperoleh melalui pengumpulan pengumpulan dan pengembangan pengembangan bukti-bukti. Sementara Sementara itu, pengumpulan pengumpulan dan pengembangan pengembangan bukti-bukti bukti-bukti dimaksud dimaksud memerlukan memerlukan upaya analisis atas fakta-fakta yang terjadi yang melatarbelakangi asersi yang sedang diaudit. Keyakinan hanya dapat didukung atas dasar sejauh mana seorang auditor dapat menjelaskannya dari bukti-bukti yang berhasil diurai. Makin kuat penguraiannya, penguraiannya, maka makin kuat pembuktiannya, pembuktiannya, dan karenanya simpulan (judgment) yang diambil akan semakin handal. Sampai saat ini kualitas audit sukar untuk diukur secara obyektif, menurut De Angelo (1981) mendifinisikan kualitas audit sebagai probabilitas (kemungkinan) dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Auditor yang kompeten adalah auditor yang “mampu” menemukan adanya pelanggaran sedangkan auditor yang independen adalah auditor yang "mau" mengungkapkan pelanggaran tersebut.
3
Jika auditor dapat menyelesaikan pekerjaannya secara professional, maka kualitas audit akan terjamin karena kualitas audit merupakan keluaran utama dari profesionalisme. Karena kualitas audit yang baik akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan pengambilan keputusan. keputusan. Apabila demikian, dibutuhkan suatu suatu landasan landasan yang lebih lebih konseptual konseptual agar teknologi auditing dapat berkembang dan disempurnakan, teknik dan prosedur audit dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Inilah tujuan pertama yang ingin dicapai auditing. Lalu dengan filsafat auditing adalah dimana mencari benang merah di antara berbagai jenis auditing muka bumi yang terdapat pengakuan suatu konsep audit yang berlaku universal. Secara filosofis, auditing tidak hanya menyajikan kepada para pemakai mengenai informasi yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan. Akan tetapi, auditing juga merangsang setiap yang berkepentingan untuk bertindak, memberi inspirasi dan mendefinisikan tujuan yang harus dicapai. Jadi, filsafat merupakan suatu alat yang sangat penting dalam mengintegrasikan auditing sebagai instrumen kehidupan sosial.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah dapat dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa auditing harus memiliki filosofi? Apa arti pentingnya pendekatan filosofis dalam audit? 2. Apakah faktor filosofi auditing berpengaruh terhadap kualitas audit auditor sebagai landasan dalam praktik auditnya? 1.3
Maksud dan Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui peranan dan arti pentingnya filosofis dalam audit dan arti pembuktian. 2. Untuk mengetahui pengaruh factor filosofi sebagai landasan dalam praktik audit terhadap kualitas audit auditor.
4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Filosofi Filosofi adalah prinsip-prinsip yang menggaris bawahi cabang belajar dan sistem untuk membimbing hubungan-hubungan praktis langsung berguna. Menurut petikan dalam kamus filosofi : Philosofi : (Yunani; philain, mencintai, sophia, kebijakan) Ilmu yang paling umum. Menurut Irmayanti Mulyono (2007), filsafat diartikan sebagai studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Walaupun para filsuf sendiri pada suatu tingkat tertentu belum bersepakat tentang tujuan dan metode dari filosofi, akan tetapi beberapa ide dasar telah disepakati dan akan mengarahkan kita pada pembahasan-pembahasan selanjutnya. Beberapa ide dasar yang hendak dicapai adalah: a.
Bahwa dengan filosofi kita kembali ke prinsip pertama, ke tingkat rasional di balik tindakan dan pemikiran yang cenderung untuk diterima apa adanya.
b. Filosofi berkepentingan dengan pengaturan sistematis dari ilmu pengetahuan sedemikian rupa sehingga menjadi lebih bermanfaat dan memperkecil kemungkinan terjadinya pertentangan pertentangan di dalam dalam dirinya dirinya sendiri (self (self contradictory). contradictory). c.
Filosofi menyajikan dasar (basis) di mana hubungan sosial dari auditing sebagai subjek mungkin dibentuk dan dimengerti. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen- eksperimen dan percobaan-
percobaan, tetapi dengan mengutarakan mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhir dari proses-proses itu dimasukkan dalam proses dialektik/dialog. Dengan demikian, bila kita kaitkan dengan auditing, hakikat filosofi auditing adalah analisis/studi yang dilakukan secara kritis untuk merumuskan
5
problem, mencari solusi dengan argumen yang kuat dan melalui proses dialog dalam rangka menemukan roh atau jati diri ilmu auditing. Pendekatan filosofi mempunyai empat karakteristik yang diuraikan sebagai berikut, yaitu: a. Komprehensif , menyiratkan adanya pemahaman secara menyeluruh. Berhububg seorang filsuf berminat untuk memahami kehidupan manusia dalam arti yang luas, maka ia menggunakan konsepkonsep-konsep konsep generalisasi seperti “perihal (matter), pikiran (mind), bentuk (form), entitas, dan proses,” yang komprehensif dalam artian bahwa kesemuanya i ni diterapkan terhadap keseluruhan lingkup pengalaman manusia. Jika diterapkan dalam auditing, kita harus mencari ide yang cukup umum dalam disiplin auditing. Hal ini mengarahkan kita untuk mempertimbangkan konsep – konsep – konsep konsep umum seperti pembuktian (evidencing), kecermatan profesi (professional due care), keterungkapan (disclosure), dan independensi. Studi terhadap konsep-konsep yang bersifat umum tersebut mengarahkan kita Filosofi Auditing Pusdiklatwas BPKP - 2007 13 pada pengembangan body of knowledge yang komprehensif dan koheren yang didasari atas interpretasi auditing sebagai suatu disiplin ilmu yang secara sosial bermanfaat. b. Perspektif , sebagai suatu komponen dari pendekatan filosofi, mengharuskan kita untuk meluaskan pandangan untuk menangkap arti penting dari benda-benda. Jika hal ini diterapkan pada pengembangan pengembangan filosofi auditing, kita akan melihat kebutuhan akan pengesampingan pengesampingan kepentingan kepentingan pribadi. c. Insight (Wawasan), elemen ketiga dari pendekatan filosofi, menekankan dalamnya penyelidikan penyelidikan yang diusulkan. diusulkan. Pencarian wawasan wawasan filosofi filosofi adalah jalan lain lain untuk mengatakan mengatakan bahwa filsuf berupaya untuk mengungkapkan mengungkapkan asumsi dasar yang mendasari pandangan manusia akan setiap gejala kehidupan alam. Asumsi dasar dimaksud sesungguhnya merupakan dasar atau alasan manusia untuk berbuat, walaupun alasan itu cenderung atau acapkali tersembunyi sehingga tingkat kepentingannya tidak dikenali. 6
d. Visi, menunjukkan jalan yang memungkinkan manusia berpikir dalam kerangka yang sempit ke kemampuan untuk memandang gejala dalam kerangka yang lebih luas, ideal, dan imajinatif (conceived). 2.2
Metode Filosofi Setiap bidang ilmu mempunyai metode studi masing-masing, filosofi juga memiliki metode atau tradisi. Dari pendekatan-pendekatan tradisional dalam studi filosofi ditemukan metode Analitis dan Penilaian yang lebih berguna dalam menggembangkan teoti auditing. Auditing peduli dengan tanggung jawab sosial dan tindakan etis sebagaimana juga dengan pengumpulan pengumpulan dan evaluasi bukti, sehingga tiap metode dapat ditetapkan. ditetapkan. Dengan sendirinya auditing mengacu pada pendekatan analitis dalam aspek-aspek tertentu juga pada pendekatan penilaian moral. Contohnya, penilaian audit berdasarkan pada kualitas kepercayaan yang didapat melalui pengumpulan pengumpulan dan pembuktian pembuktian bukti audit. Kepercayaan Kepercayaan dapat dinilai sejauh orang dapat memberikan alasan dari bukti yang ada. Semakin tepat alasannya, semakin akurat kesimpulannya dan demikian pula halnya dengan peranan nilai moral dan etis dalam audit sebagai konsekuensi kehormatan (privilege) yang diperolehnya dari masyarakat. Secara filosofis, auditing tidak hanya menyajikan kepada para pemakai mengenai informasi yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan. Akan tetapi, auditing juga merangsang setiap yang berkepentingan untuk bertindak, memberi inspirasi dan mendefinisikan tujuan yang harus dicapai. Jadi, filsafat merupakan suatu alat yang sangat penting dalam mengintegrasikan auditing sebagai instrumen kehidupan sosial.
2.3
Postulat Auditing Postulat yang dimaksudkan di sini adalah setiap anggapan dasar yang digunakan sebagai titik tolak dalam pengembangan suatu disiplin. Postulat diperlukan sebagai asumsi yang harus diterima terlebih dahulu, terlepas dari kesesuaian atau tidaknya dengan kenyataan, sebelum 7
dikemukakan preposisi-preposisi lainnya. Pada sisi lain, postulat berguna sebagai kerangka dasar untuk membangun dan menguji suatu teori. Misalnya, dalam ilmu ekonomi kita harus selalu berpegang pada postulat atau asumsi dasar bahwa “setiap pelaku ekonomi adalah rasional, sehingga akan selalu berupaya memaksimalkan kenikmatan yang diperolehnya dengan pengorbanan pengorbanan yang seminimal seminimal mungkin.” mungkin.” Postulat diperlukan oleh setiap disiplin untuk memudahkan pengembangannya karena dengan demikian akan mudah diciptakan generalisasi. Dalam kaitan ini, postulat dalam auditing akan berfungsi sebagai anggapan dasar yang semestinya harus dipegang sebelum auditing difungsikan. Anggapan dasar ini bisa saja berbeda dengan kenyataan atau hasil verifikasinya, namun sebelum hasil verifikasi itu diperoleh tidak semestinya berpendapat menyimpang dari asumsi dasar ini. Postulat ini member ruang bagi auditor untuk berbaik sangka pada manajemen, sehingga auditor tidak perlu melakukan program audit ekstensif. Apabila auditor menganggap bahwa manajemen akan member informasi rekayasa pada saat evaluasi system kendali internal, maka hasil evaluasi kendali internal tidak dapat digunakan sebagai basis penetuan audit substantive. Berikut ini adalah 7 (tujuh) postulat yang dimodifikasi dari delapan postulat yang secara tentatif diusulkan oleh Mautz dan Sharaf dalam bukunya “The Philosophy of Auditing”: 1. Asersi atau objek audit harus verifiable atau auditable. 2. Auditor yang bertugas memiliki hubungan netral dan tidak mempunyai konflik dengan objek audit. 3. Asersi atau objek audit harus dipandang bebas dari kekeliruan sampai proses pembuktian diselesaikan dan menunjukkan sebaliknya. 4. Suatu sistem pengendalian internal dipandang eksis dan berjalan semestinya sampai diperoleh bukti bahwa telah terjadi terjadi hal sebaliknya. sebaliknya. 5. Penerapan ketentuan yang berlaku (seperti standar akuntansi) diasumsikan telah berjalan dengan konsisten sampai diperoleh bukti meyakinkan bahwa telah terjadi hal hal sebaliknya. 8
6. Setiap auditor berfungsi secara eksklusif sebagai auditor dalam menjalankan tugasnya. 7. Setiap auditor senantiasa diasumsikan profesional dalam pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya. 2.4
Konsep-konsep Dalam Teori Auditing Bagian ini mengkonsentrasikan mengkonsentrasi kan perhatian pada aspek “how” atau bidang yang menunjukkan upaya yang perlu dilakukan dalam mewujudkan tujuan auditing itu. Konsep, sebagai rangkuman atau generalisasi abstraksi dari kenyataan-kenyataan yang teruji berulangulang dan telah mendapat pengakuan, menyediakan kerangka dasar bagi pengembangan suatu disiplin. Sehubungan dengan itu, auditing perlu memiliki konsep-konsep tersendiri apabila ingin memperoleh pengakuan sebagai disiplin yang mandiri yang akan memberikan kerangka pemikiran dasar bagi pengembangan pengembangan norma, standar, prosedur, teknik dan praktek auditing menjadikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Beberapa konsep dasar auditing yang telah diusulkan oleh Mautz dan Sharaf (1961) diadopsi pula dalam modul ini, walaupun dengan deskripsi yang tidak selalu sama dengan pandanganpandangan pandanganpandangan kedua kedua penulis penulis monograf “The “The Philosophy Philosophy of Auditing” itu. itu . Adapun bidang bidang yang dianggap layak menjadi konsep dasar bagi auditing meliputi 5 (lima) aspek, yakni dijelaskan sebagai berikut: 1. Konsep Pembuktian (Evidential Matter)
Bukti audit adalah segala informasi yang mendukung angka-angka atau informasi lain yang disajikan dalam laporan keuangan yang dapat digunakan oleh auditor sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapatnya. Salah satu cara mengenali karakteristik bukti (evidence) adalah dengan membedakan sumber bukti yang dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu (1) bukti alamiah (natural evidence); (2) bukti ciptaan (created evidence); dan (3) bukti rasional (rational argumentation). 9
Bukti alamiah bersumber dari setiap fenomena yang dapat disaksikan atau dirasakan oleh panca indera, seperti barang persediaan di gudang, proses produksi, saldo bank, atau hasil rapat. Sedangkan bukti ciptaan diperoleh melalui upaya, seperti eksperimen, jajak pendapat, atau konfirmasi piutang. Sementara itu, bukti rasional diperoleh dari olahan pikiran secara analitis dan logis, seperti review analitis, kalkulasi matematis, atau uji perbandingan. Kriteria bukti yang secara tradisional dipandang penting bagi auditing harus memenuhi dua aspek, yakni cukup (sufficient) dan kompeten (reliable). Kompetensi dan keandalan bukti biasanya berhubungan dengan kualitas pengendalian internal organisasi yang memproduksi data, memproses informasi, dan menyajikan laporan yang sedang menjadi sasaran audit. Lebih lanjut, bukti yang kompeten akan terkait dengan keempat aspek berikut: (a) Relevansi; (b) Sumber; (c) Ketepatan waktu, dan (d) Objektivitas. Peluang yang patut dicermati dalam pengembangan pengembangan konsep pembuktian pembuktian dalam auditing tampaknya tampaknya sangat ditentukan oleh kemampuan auditor dalam mengintegrasikan konsep-konsep mutakhir dalam pengendalian internal (internal control framework), dan pada kemungkinan untuk mengadopsi prosedur statistik, serta penggunaan teknologi informasi dalam menghasilkan bukti dan menganalisis hasilnya bagi kepentingan auditing. 2. Konsep Probabilitas
Probabilitas (peluang) adalah pernyataan numeric tentang kemungkinan suatu kejadian yang dapat terjadi. Dalam hal ini peluang dapat dijadikan sebagai suatu ukuran terhadap kepastian dan ketidakpastian. Dengan demikian teori probabilitas dapat memberikan landasan yang kuat tentang bagaiman bagaiman menelaah menelaah ketidakpastian ketidakpastian secara logis dan rasional terhadap masalah-masalah masalah-masalah yang dihadapi oleh auditor. Untuk penentuan validitas bukti audit, teori probabilitas adalah pengetahuan pengetahuan berbasis argument argument yang mempunyai mempunyai derahat keyakinan tertentu yang tidak perlu mencapai 100%.
10
3. Konsep Kecermatan Profesi (Due Professional Care)
Kecermatan profesional (due professional care) dalam auditing berartiupaya maksimal dari setiap auditor dalam pemanfaatan pengetahuan, keterampilan, dan pertimbangan rasional dengan penuh kehati-hatian kehati-hatian dalam melaksanakan melaksanakan fungsi auditing, termasuk dalam hal merencanakan, merencanakan, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan pembuktian, serta dalam hal pengambilan simpulan, sehingga
kewajiban
yang
dibebankan
kepadanya
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
profesional. Menurut Mautz dan Sharaf (1961), sebetulnya jika profesi auditor berani dengan jelas menerima kewajiban sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dan sepenuhnya masuk dalam wilayah tanggung jawabnya, maka peranan profesi ini dalam masyarakat menjadi semakin jelas. Auditor perlu memulainya dengan sikap awal yang dikenal sebagai “professional scepticism” dalam menghadapi asersi atau laporan yang hendak diauditnya. Dengan “professional scepticism” dimaksudkan bahwa auditor bersikap kritis untuk mempertanyakan kebenaran informasi atau laporan yang diauditnya sampai memperoleh bukti-bukti kuat yang mendukung kebenaran itu. 4. Konsep Independensi
Independensi secara umum berarti wujud sikap objektif dan tidak biasa dalam pengambilan putusan. Secara spesifik, independensi bagi para auditor adalah kemauan dan kemampuan kemampuan para auditor untuk senantiasa mempertahankan sikap yang bebas atau tidak terikat oleh kepentingan manapun dan tekanan dari pihak siapapun, termasuk kepentingannya sendiri, dalam menentukan putusan yang tepat pada tahap perencanaan, perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil audit. Setiap auditor harus memelihara agar independensinya terjaga dan waspada terhadap kemungkinan pengaruh pihak lain, terutama terutama pihak klien, yang berkepentingan berkepentingan untuk mengarahkan mengarahkan tindakantindakan serta isi laporan audit agar sesuai dengan kemauannya. Jika dianalisis lebih lanjut, sesungguhnya kualitas independensi dalam audit sangat bergantung kepada individu auditor sendiri. auditor selalu berupaya secara nyata untuk 11
memposisikan dirinya dan apabila tindakan-tindakannya secara independen, maka setiap hambatan atas hal itu seharusnya dinyatakannya dalam laporan akhir. Independensi sesungguhnya merupakan “state of mind” atau se suatu yang dirasakan oleh masing-masing
menurut
apa
yang
diyakininya
berlangsung.
Sehubungan
dengan
itu,
independensi auditor dapat ditinjau dan dievaluasi dari dua sisi, yakni: a. Independensi Praktisi Yakni independensi yang nyata atau faktual yang diperoleh dan dipertahankan oleh auditor dalam seluruh rangkaian kegiatan audit, mulai dari tahap perencanaan sampai tahap pelaporan. b. Independensi Profesi Yakni independensi yang ditinjau menurut citra (image) auditor dari pandangan publik atau masyarakat umum terhadap auditor yang bertugas. Independensi menurut tinjauan ini sering pula dinamakan
independensi dalam penampilan (independence in
appearance). Menurut pendapat David Flint, terdapat lima hal pokok yang berkaitan dengan independensi auditor, yakni: a.
Kualitas Personal Kualitas pribadi auditor berkaitan dengan kejujuran dan kekuatan karakter seseorang dalam melakukan audit sehingga ia mampu mempertahankannya dari tekanan pihak lain atau tekanan dari dirinya sendiri untuk mengesampingkan independensi.
b. Kebebasan yang Diperoleh Pihak lain, terutama manajemen klien, memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebebasan auditor. Apabila mereka bias mengendalikan auditor maka mereka akan mewujudkannya bila ada kepentingan-kepentingan tertentu dari mereka. Begitupun,
12
efektifitas dari kebebasan yang dipengaruhi oleh pihak lain akan ditentukan oleh respon dari auditor sendiri. c.
Hubungan Personal Auditor dapat mempunyai hubungan pribadi atau hubungan kepentingan lainnya di luar audit dengan auditan atau orang-orang tertentu dari lingkungan klien. Hubungan itu berpotensi menimbulkan menimbulkan konflik kepentingan, kepentingan, sikap loyal, atau perilaku emosional yang mempengaruhi objektivitas auditor.
d. Kepentingan Keuangan Kepentingan keuangan auditor dalam hal keuangan, baik langsung maupun tidak langsung, seperti hubungan investasi, pinjammeminjam, dan transaksi dagang, maupun ketergantungan manfaat ekonomis dari honorarium yang diperoleh auditor dari kliennya. e.
Solidaritas Profesi Kadar solidaritas antar anggota profesi auditing dapat berpengaruh pada upaya saling melindungi antar mereka, atau saling mengawasi di antara mereka.
5. Konsep Etika (Ethical Conduct)
Ethos mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan, etis mengatur disiplin diri sendiri dan dengan sesama, etika mengatur hubungan social antar manusia, dan estetika mendorong peningkatan peningkatan diri dan lingkungan menjadi lebih lebih baik, indah dan nyaman. nyaman. Konsep etika pada umumnya berkaitan dengan setiap situasi di mana terdapat benturan nyata atau potensi konflik antara kepentingan seseorang dengan kepentingan orang lain secara individu atau secara kelompok, baik secara fisik maupun secara spiritual, akibat tindakan atau keputusan seseorang, yang pada gilirannya dapat merugikan pihak lain tersebut. Dengan demikian, konsep etika dalam auditing hendaknya diarahkan untuk mendapatkan solusi optimal terhadap akibat tindakan dan simpulan yang dibuat oleh auditor yang berbenturan atau meiliki potensi konflik dengan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat umum. 13
Terdapat beberapa alasan mengapa konsep etika profesi penting mendapat perhatian, di antaranya: a.
Profesi menyelenggarakan kegiatan pemberian jasa bagi kepentingan publik (public service engagement).
b. Adanya pengakuan keahlian khusus yang dimiliki dan harus dijalankan atas dasar otoritas profesi. c.
Adanya ketentuan untuk membatasi orang-orang yang berhak menyandang kewenangan profesi (barriers (barriers to entry).
d. Diberikannya kewenangan bagi profesi untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation). e.
Adanya tuntutan objektivitas dan imparsial dalam menjalankan fungsi profesi.
Etika terkelompok sebagai etika hedonism (kesenangan), etika utilitarian (maslahat bagi orang banyak), dan etika deontologis (kewajiban). Sebagai ilmu moralitas, etika terbagi menjadi tiga konteks yaitu etika deskriptif, etika normative dan etika mataetika. Etika normative bersifat preskiptif (memerintahkan), (memerintahkan), tidak menggambarkan menggambarkan melukiskan, melukiskan, namun menentukan benar salah perilaku dengan argument argument berlandaskan norma atau prisnip etis yang tidak dapat ditawar ditawar atas (1) etika umum (berlaku universal), dan (2) etika khusus (prinsip etis berlaku umum yang diterapkan atas suatu wilayah perilaku khusus, etika terapan (applied ethics), misalnya auditing. Falsaha audit tengtang benturan nilai etis antara auditor dan auditee. Sasaran perusahaan adalah laba, dan norma etis seringkali merupakan pembatas atau penghalang pencapaian sasaran laba. 2.5
Konsep Kualitas Audit De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya.
14
Deis dan Giroux (1992) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu : 1. Lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah 2. Jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya 3. Kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar, dan 4. Review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil hasil pekerjaannya pekerjaannya akan akan direview direview oleh pihak pihak ketiga. ketiga. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Audit adalah sebagai berikut: 1. Etika Auditor Etika auditor merupakan ilmu tentang penilaian hal yang baik dan hal yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Guna meningkatkan meningkatkan kinerja auditor, maka auditor dituntut untuk selalu menjaga standar perilaku etis. Kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis berhubungan dengan adanya tuntutan masyarakat terhadap peran profesi akuntan, khususnya atas kinerja akuntan publik. Masyarakat Masyarakat sebagai pengguna jasa profesi membutuhkan membutuhkan akuntan professional. professional. Label profesional disini mengisyaratkan suatu kebanggaan, komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan tulus dalam membantu permasalahan yang dihadapi klien sehingga profesi tersebut tersebut dapat menjadi menjadi kepercayaa kepercayaan n masyarakat. masyarakat.
15
2. Kompetensi Menurut
Kamus
Kompetensi
LOMA
(1998)
dalam
Lasmahadi
(2002)
kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik. Kompetensi tersebut terdiri dari dua dimensi yaitu pengalaman dan pengetahuan. Auditor sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas audit memang harus senantiasa meningkatkan pengetahuan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan penerapan pengetahuan pengetahuan dapat maksimal maksimal dalam praktiknya. praktiknya. Penerapan pengetahuan pengetahuan yang maksimal maksimal tentunya akan sejalan dengan semakin bertambahnya pengalaman yang dimiliki. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas: 1) Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur prosedur dan pengalaman. pengalaman. Kanfer Kanfer dan Ackerman (1989) juga mengatakan mengatakan bahwa bahwa pengalaman pengalaman akan memberikan memberikan hasil dalam menghimpun menghimpun dan memberikan memberikan kemajuan bagi
pengetahuan.
2) Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi, dan kemampuan untuk bekerja sama adalah penting bagi kompetensi audit. 3. Independensi Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi dapat juga diartikan adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya
16
pertimbangan pertimbangan yang obyektif tidak memihak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi, 1998: 52). Kredibilitas auditor tentu sangat tergantung dari kepercayaan masyarakat yang menggunakan jasa mereka. Auditor yang dianggap telah melakukan kesalahan maka akan mengakibatkan mereduksinya kepercayaan klien. Namun meskipun demikian klien tetap merupakan pihak yang mempunyai pengaruh besar terhadap auditor. Hal tersebut dilihat dari kondisi saat ini dimana telah terdapat berbagai regulasi yang mengatur mengenai kerjasama klien dengan auditor. Sesuai dengan standar umum bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang yang digeluti kliennya (Arens dan Loebbecke, 1997). Pengalaman juga akan memberikan dampak pada setiap keputusan yang diambil dalam pelaksanaan audit sehingga diharapkan setiap keputusan yang diambil adalah merupakan keputusan yang tepat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin lama masa kerja yang dimiliki auditor maka auditor akan semakin baik pula kualitas audit yang dihasilkan. Auditor harus memiliki kemampuan dalam mengumpulkan setiap informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan audit dimana hal tersebut harus didukung dengan sikap independen. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap independen merupakan hal yang melekat pada diri auditor, sehingga independen seperti telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki. Tidak mudah menjaga tingkat independensi agar tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu lama 11ias menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki auditor. Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk auditor. Bukan tidak mungkin auditor menjadi ”mudah dikendalikan” klien karena auditor berada dalam posisi yang dilematis. 17
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan Tibalah kita pada suatu kesimpulan bahwa auditing adalah merupakan bidang ilmu pengatahuan pengatahuan yang khusus dimana dimana auditing membutuhkan membutuhkan jenis studi. studi. Dan bahwa pengembangan dari suatu filosofi yang baik dari auditing adalah suatu tantangan yang sesuai dengan pikiran terbaik yang dimiliki profesi. Auditing berhubungan dengan ide-ide abstrak, auditing mempunyai pondasi dalam tipe-tipe pembelajaran yang paling mendasar, auditing mempunyai struktur yang rasional dari postulat-postulat, konsep-konsep teknik dan persepsi, dapat dimengerti dengan baik. Auditing merupakan studi intelektual yang mendalam yang layak disebut disiplin. Karena auditing menyediakan kesempatan dan bahkan meminta usaha keras intelektual, karena dengan usaha yang keras tersebut teori yang mendasarinya dapat diungkapkan, dikembangkan, dipahami dan digunakan untuk pengembangan profesi. Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan, kualitas dapat mencegah cacat dan kesalahan, kualitas berorientasi zero defect (tanpa kesalahan) yang berarti segala sesuatu harus sudah baik sejak dari awal proses., pengukuran kinerja dengan biaya kualitas : menekankan pada perubahan budaya kerja. Kualitas adalah berbicara tentang standard ukuran yang sangat berhubungan berhubungan dengan output kerja yang dihasilkan. Dengan demikian kualitas audit dapat dicapai dicapai jika auditor memiliki kompetensi, menjunjung tinggi independensi, independensi, serta menerapkan nilai-nilai etika sebagai seorang professional. Filosofi audit sebagai penjamin mutu kualitas audit auditor, bagi auditing, eksistensi teori akan bermanfaat sebagai landasan berpijak yang menawarkan penjelasan, baik dukungan ataupun pengingkaran pengingkaran dan juga akan menjadi penuntun bagi pengembangan, pengembangan, penciptaan, penciptaan, dan inovasi terhadap standar, praktik, prosedur, metode, maupun teknik auditing yang baru. Auditing 18
mengandung masalah fakta dan masalah nilai. Sementara itu, filsafat adalah proses konseptualisasi dan proses social, karena filsafat mendorong kegiatan menuju suatu tujuan tertentu secara terintegrasi. Berstruktur alas an dan tujuan, karena itu filsafat auditing merupakan pelekat bagi pelaku profesi auditing, member landasan penyeragaman penyeragaman kegiatan professional professional agar sebuah profesi terintegrasi. terintegrasi. Kualitas audit auditor memiliki faktor-faktor yang terdapat dalam konsep-konsep konsep-kons ep yang diuraikan sebagai landasan, yang menjadikan seorang auditor menjadi kepercayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku umum. Sebaliknya filosofi juga memberikan petunjuk atau penuntun bagi pengembangan, pengembangan, penciptaan, penciptaan, dan inovasi terhadap standar-standar, praktik, prosedur, metode, maupun teknik auditing yang baru dan berkualitas. berkualitas. Ini membuktikan membuktikan bahwa auditing memiliki filosofi. Dalam faktor-faktor kualitas audit terdapat etika auditor, kompetensi auditor, dan independensi auditor yang dimana setiap ilmu-ilmu displin didalamnya didapat dalam pendekatan filosofi itu sendiri.
19
DAFTAR PUSTAKA
http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/namafile/387/Filosofi_Audit_Final_07.pdf http://itjen.kemhan.go.id/node/1231 Mautz, R. K and Hussein A Sharaf, (1961), The Philosophy of Auditing, Sarasota :American Accounting Association Mulyadi & Kanaka Puradiredja (1999), Auditing Buku I ; Salemba Empat Jakarta Sawyer, L. B. 1995. “An Internal Audit Philosophy.” Philosophy.” Internal Auditor, August, hal. 46-55. Kieso, D.E., J.J. Weygandt, and T.E. Warfield. 2001. Intermediate Accounting, 10th edition (New York: John Wiley & Sons). DeAngelo, L. E. 1981. “Auditor Size and Audit Quality”. Journal of Accounting and Economics. Vol. 3 December, hal. 183-199.
20