PENERAPAN SYARIAH ISLAM DI INDONESIA :
TANTANGAN DAN AGENDA
Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM
1 1.Pendahuluan
Aspirasi umat Islam di Indonesia untuk menerapkan syariah Islam
sebenarnya tidak pernah sirna dari waktu ke waktu. Bahkan selepas era
Suharto yang represif, aspirasi umat itu makin bergelora. Sebagai bukti
misalnya, setelah berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah
beberapa bagian syariah Islam mulai diterapkan di beberapa daerah di
Indonesia. Selain di propinsi Aceh, sebagian elemen syariah
diformalisasikan melalui peraturan daerah di beberapa propinsi lain,
seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat (Kabupaten Tasikmalaya dan
Cianjur), Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur (Kabupaten
Pamekasan).[i]
Selain upaya legislasi formal di atas, aspirasi syariah Islam juga
dapat dilihat pada perkembangan wacana, sikap individu, dan tindakan
konkret. Pada tahun 1999-2001 misalnya, digelar berbagai seminar tentang
syariah Islam dengan topik beragam, mulai perbankan Islam, hukum pidana
Islam, sampai pemerintahan Islam. Pada akhir Maret 2001, dijatuhkan hukuman
rajam terhadap seorang pemerkosa oleh sebagian masyarakat Ambon di bawah
inisiatif Ustadz Ja'far Umar Thalib (pimpinan Laskar Jihad). Pada bulan Mei
2001, di daerah Aceh, pasangan Zulkarnaen dan Upik dari desa Mata Ie, Blang
Pidie, dicambuk 100 kali karena berzina. Ini semua merefleksikan keinginan
sebagian masyarakat Indonesia untuk menerapkan syariah Islam.[ii]
2 Namun demikian, segera saja berbagai tantangan dan problem menghadang
aspirasi ini. Sekelompok kaum muda sekuler –yang menamakan diri
Jaringan Islam Liberal— malah menyerukan wacana "deformalisasi syariah
Islam." Menurut mereka, syariah Islam secara formal tidaklah perlu,
karena poin dasar keberislaman adalah komitmen kepada agama secara
substansialistik, bukan legalistik-formalistik. Indonesia menurut
mereka bukan negara agama, sehingga tidak layak menerapkan syariah
Islam secara total.[iii] Berbagai dalih untuk menolak syariah Islam pun
banyak bermunculan di media. Misalnya jika syariah Islam diterapkan
akan menzalimi penganut agama lain, jika syariah Islam diterapkan lalu
syariah yang manakah sebab di sana ada keberagaman syariah, juga
misalnya syariah Islam rawan intervensi negara.[iv]
3 Sampai di sini, jelas bahwa menerapkan syariah bukan sesuatu yang
mudah di Indonesia. Banyak tantangan yang menghadang dan menghambat.
Namun tentu saja tantangan ini bukanlah untuk dihindari, melainkan
untuk dijawab dan dihadapi. Selain itu, diperlukan pula suatu agenda
yang jelas dan terarah mengenai perjuangan menerapkan syariah di
Indonesia.
4 2.Tantangan Terbesar : Sekularisme
Tantangan terbesar penerapan syariah di Indonesia adalah
ketidakmampuan sistem hukum nasional untuk mendukung penerapan syariah
secara total (kaffah). Dengan kata lain, negara Indonesia pada dasarnya
tidak didesain untuk menerapkan seluruh syariah Islam dalam segala aspek
kehidupan. Syariah hanya mengurusi sebagian kecil aspek kehidupan rakyat,
khususnya dalam hukum-hukum keluarga, seperti nikah, waris, perceraian, dan
sebagainya. Syariah tidak punya peran dalam mengatur kehidupan publik,
seperti sistem pemerintahan dan sistem ekonomi.
Ini sebenarnya kembali pada satu sebab mendasar, yakni negara
Indonesia adalah negara sekuler yang tidak menjadikan agama sebagai
landasan pengaturan kehidupan secara menyeluruh. Sekularisme --pemisahan
agama dari kehidupan (fashl al-din 'an al-hayah)-- yang dibawa oleh
kolonialisme-imperialisme Barat di Indonesia ternyata telah menghasilkan
reduksi atau pengkerdilan syariah Islam dari cakupan kewenangan yang
seharusnya. Semestinya syariah mengatur segala aspek kehidupan, tapi
kenyataannya hanya mengatur sebagian kecil dari aspek kehidupan umat Islam
di Indonesia.
Sebagai buktinya, bisa kita lihat sejauh mana kewenangan dari
Peradilan Agama yang dianggap mencerminkan penerapan syariah Islam di
Indonesia. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa kewenangan Peradilan Agama
yang didasarkan pada UU No. 7 tahun 1989 (disahkan 29 Desember 1989), tidak
banyak berbeda dengan kewenangan Peradilan Agama (Priesterraad) di masa
penjajahan Belanda. Pada tahun 1823, dengan Resolusi Gubernur Jenderal No.
12 tertanggal 3 Juni 1823, diresmikan Pengadilan Agama di Palembang dengan
wewenang meliputi : (1) Perkawinan, (2) Perceraian, (3) Pembagian Harta,
(4) Kepada siapa anak diserahkan jika orang tuanya bercerai, (5) Apakah hak
tiap-tiap orang tua yang bercerai itu terhadap anak mereka, (6) Pusaka dan
wasiat, (7) Perwalian, dan (8) Perkara-perkara lain yang menyangkut
agama.[v]
Tetapi, pada tahun 1854, terjadilah pembatasan kewenangan Peradilan
Agama oleh penjajah Belanda. Melalui pasal 78 Regeeringsreglement (RR) 1854
(Stbl. 1855 No. 2) diputuskan bahwa : (1) Peradilan Agama tidak berwenang
dalam perkara pidana, dan (2) Peradilan agama baru berwenang jika menurut
hukum-hukum agama atau adat-adat lama, suatu perkara harus diputus oleh
Peradilan Agama.[vi]
Jelaslah, berbagai kewenangan Pengadilan Agama pada masa penjajahan
lebih banyak mengatur hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) dan sama
sekali dilarang mengatur urusan publik, seperti hukum pidana. Karena
dilarang oleh penjajah. Mari kita bandingkan fakta masa penjajahan tersebut
dengan fakta saat ini. Sesuai UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
kewenangan Peradilan Agama meliputi : (1) Perkawinan, (2) Sengketa
Perkawinan dan Perceraian, (3) Kewarisan, Wasiat, dan Hibah, (4) Wakaf dan
Sedekah.[vii] Adapun urusan perkawinan, pada masa Orde Baru diterapkan juga
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan lahirnya Kompilasi Hukum
Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 sebagai koreksi dari
beberapa persepsi ganda –antara UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan UU
Peradilan Agama No. 7 tahun 1989-- kewenangan Peradilan Agama meliputi :
(1) Perkawinan, (2), Kewarisan, dan (3) Hukum Perwakafan.[viii]
Jelaslah, bahwa kewenangan-kewenangan di masa kemerdekaan ini tidak
banyak berbeda dengan kewenangan pada masa penjajahan Belanda dahulu, yang
hanya menerapkan hukum-hukum keluarga. Padahal, syariah Islam tidak hanya
mencakup hukum keluarga. Syariah Islam juga meliputi hukum pidana[ix],
hukum dagang[x], hukum tata negara[xi], hukum acara[xii], hukum
ekonomi[xiii], hukum sosial[xiv], hukum internasional[xv], hukum perang dan
damai[xvi], dan sebagainya.
Jadi, mengapa Peradilan Agama pada masa kemerdekaan ini tidak
mempunyai kewenangan yang lebih luas sehingga juga mengatur hukum pidana,
atau hukum tata negara, misalnya? Apakah syariah Islam hanya mengatur hukum-
hukum keluarga saja?
Jawaban pertanyaan ini kembali pada satu akar mendasar, yaitu karena
secara ideologis negara Indonesia memang negara yang diformat secara
sekularistik, sehingga tidak mempunyai kesiapan untuk menegakkan syariah
Islam secara totalitas. Syariah Islam mengalami distorsi atau bahkan
reduksi otoritas yang sedemikian parah.
Dan ironinya, prinsip sekularisme yang menyebabkan keterbatasan
kewenangan syariah Islam ini, sesungguhnya adalah warisan dari kebijakan
politik penjajah Belanda yang cenderung memarjinalkan agama dari ranah
politik dan kekuasaan. Sikap dan kebijakan penguasa Indonesia sekarang
tidak berbeda banyak dengan sikap penjajah Belanda dalam memposisikan agama
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Snouck Hurgronje dulu pernah
memberi advis kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengekalkan
jajahannya di Indonesia. Snouck Hurgronje membagi Islam ke dalam tiga
kategori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial
kemasyarakatan, (3) bidang politik. Masing-masing bidang mendapat perlakuan
yang berbeda. Resep Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai "Islam
Politiek", atau kebijakan pemerintah kolonial untuk menangani masalah Islam
di Indonesia. Dalam bidang agama murni atau ibadah, seperti ibadah haji,
pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan
adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati
Belanda, dan bahkan membantu rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam
bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa
rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islamisme. Sebab hal ini dianggap akan bisa
menimbulkan perlawanan kepada penjajah Belanda. Jadi, seperti ungkapan Aqib
Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda, Snouck Hurgronje hendak
membatasi Islam menjadi agama masjid belaka.[xvii]
Semestinya pandangan yang sekularistik dari penjajah itu lenyap
dengan merdekanya Indonesia tahun 1945. Tapi sayang itu tak terjadi.
Padahal sekularisme itu sendiri adalah konsep partikular dan lokal, yaitu
tumbuh di masyarakat Barat, seperti Belanda, serta tidak bisa dipaksakan
berlaku secara universal atas Dunia selain-Barat, seperti Indonesia. Dalam
kaitan ini Th. Sumartana mengatakan :
"Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama
dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas,
tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa
dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi
antara negara dan agama di bagian dunia yang lain." [xviii]
Negara Indonesia yang lahir tahun 1945 ternyata malah meneruskan dan
melestarikan paham sekularisme yang sesungguhnya merupakan pengalaman lokal
dan sempit dari masyarakat Barat.[xix] Kendatipun tidak pernah secara terus
terang diakui Indonesia sebagai negara sekuler,[xx] tapi fakta membuktikan,
bahwa posisi agama Islam masih saja dianggap sebagai "agama masjid" seperti
keinginan Snouck Hurgronje. Ini menunjukkan bahwa negara ini memang tidak
didesain untuk menerapkan syariah secara total sebagai peraturan
bermasyarakat dan bernegara. Inilah tantangan terbesar yang dihadapi dalam
upaya penerapan syariah Islam di Indonesia.
5 3.Tantangan Lain Akibat Sekularisme
Diyakini, suatu pondasi yang rapuh tidak mungkin dapat menegakkan
suatu bangunan yang kukuh. Pondasi yang rapuh malah akan banyak menimbulkan
bahaya dan masalah bagi penghuninya. Demikian pula sistem hukum Indonesia
yang didasarkan pada falsafah sekularisme, ternyata banyak menimbulkan
problem-problem cabang yang menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam di
Indonesia.
Tantangan-tantangan ini secara umum muncul karena kedudukan syariah
Islam yang tidak menguntungkan dalam sistem hukum di Indonesia. Sebab
sekularisme telah mengakibatkan syariah Islam tidak mungkin menjadi hukum
tunggal bagi Indonesia. Secara ringkas, sistem hukum Indonesia terdiri dari
3 (tiga) macam hukum : (1) Hukum Sipil, (2) Hukum Adat, dan (3) Hukum Islam
(syariah).[xxi]
Kondisi tersebut melahirkan problem antara lain :
3.1. Kontradiksi Hukum Positif dengan Norma Syariah Islam
Masalah lain akan timbul tatkala hukum Barat (Belanda) dihadapkan
dengan syariah Islam. Sebab hukum sipil Belanda, sebagaimana hukum pidana
Belanda, didasarkan pada falsafah hidup yang sangat berbeda dengan syariah
Islam. Hukum sipil Belanda tumbuh dan berkembang dari asas-asas moral dan
etika Kristen. Ini adalah pendapat sarjana hukum Belanda sendiri, antara
lain Prof. Von L.J.V. Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot Studie van Het
Nederlandse Recht.[xxii] Di bidang hukum pidana (KUHP) yang juga
peninggalan penjajah Belanda, falsafah yang mendasarinya pun sangat
bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan
kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi : "Barangsiapa melakukan persetubuhan
dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka
diancam dengan sanksi pidana." Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua
pelakunya sudah menikah. Pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang
dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah
(fornication), tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan
seksual dengan binatang (bestiality).[xxiii]
3.2. Lemahnya Kedudukan Syariah Islam
Walaupun sebagian syariah Islam sudah diberlakukan di lingkunga
Peradilan Agama dengan adanya KHI (Kompilasi Hukum Islam) berdasarkan
Inpres No. 1/1991, tetapi kedudukannya sangat lemah. Sebab, KHI tidak
termasuk jenis perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[xxiv] KHI
tidak termasuk hukum tertulis, meskipun ia dituliskan, tetapi hanya
menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata di
masyarakat.
Karena KHI bukan hukum tertulis, maka jika terjadi "persaingan"
antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis, berarti hukum yang
tertulis-lah yang diutamakan.[xxv] Jadi, KHI adalah anak tiri dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia.
3.3. Munculnya Kemunafikan Akibat Praktik Pilihan Hukum
Soal pilihan hukum, ditegaskan dalam penjelasan UU No. 7/1989
(Peradilan Agama) yang berbunyi,"Para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam
pembagian waris." Hal inilah yang umum dikenal dengan sebagai "pilihan
hukum".[xxvi]
Jika ditafsirkan secara negatif, berarti umat Islam boleh tidak
tunduk kepada hukum Islam dan Pengadilan Agama. Ini sangat menyedihkan,
sebab berarti orang Islam dipersilahkan menjadi orang munafik yang ambigu
atau "manusia-manusia yang terbelah" antara hukum Islam dan hukum selain
Islam.[xxvii]
Kondisi ini sebenarnya melestarikan apa yang pernah ada pada masa
penjajahan. Pada tahun 1937, berdasarkan Stbl. 1937:116, kewenangan waris
Pengadilan Agama dipindahkan ke Pengadilan Negeri di Jawa, Madura, dan
Kalimantan. Sejak itu ambiguitas umat Islam muncul dalam masalah pembagian
waris.
Lahirnya keadaan ini memang tidak dapat dilepaskan dari prinsip-
prinsip yang berlaku dalam lembaga-lembaga hukum penjajah yang kafir,
seperti prinsip "tunduk dengan sukarela pada hukum lain' (vrijwillige
onderwerping), "wajib berlakunya hukum golongan lain" (toepassellige
verklaring), dan "penerimaan hukum atau sistem hukum lain" (positief-
rechtelijke receptie).[xxviii]
3.4. Tidak Mandirinya Peradilan Agama
Dalam sistem peradilan di Indonesia, syariah Islam bukan satu-satunya
hukum positif yang berlaku. Syariah Islam hanya berlaku dalam lingkungan
Pengadilan Agama. Sedang pada tiga lingkungan pengadilan lain, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara,
syariah Islam tidak berlaku.[xxix]
Situasi tersebut jelas menjadikan Peradilan Agama tidak mempunyai
kemandirian yang penuh. Dalam hal sengketa perdata (selain hukum keluarga)
seperti utang piutang, faktanya Pengadilan Agama hanyalah sekedar
subordinasi pengadilan umum.[xxx]
6 4.Tantangan Terhadap Penerapan Syariah
Di samping berbagai masalah sistemik yang lahir akibat sistem hukum
sekularistik seperti diuraikan di atas, berbagai tantangan juga muncul di
tengah masyarakat, khususnya bagi mereka yang memperjuangkan penerapan
syariah Islam. Secara umum, tantangan ini ada dua macam :
4.1.Tantangan Pemikiran (Fikrah)
Tantangan ini merupakan tantangan konseptual mengenai gambaran
syariah Islam seperti apa yang ingin diterapkan. Paling kurang tantangan
ini terwujud pada dua pihak :
Pertama, pihak yang hendak memperjuangkan syariah. Bagi yang pro-syariah
ini, tantangan pemikiran ini terletak pada kejelasan konsep syariah yang
akan diterapkan. Selama ini belum ada individu atau gerakan yang mengajukan
tawaran paripurna mengenai bagaimana syariah Islam diterapkan secara
totalitas, baik dalam sistem pidana, sistem pemerintahan, sistem ekonomi,
sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya.[xxxi] Memang sudah
ada beberapa pihak yang mencobanya, namun sifatnya hanya parsial, misalnya
konsep hukum pidana Islam yang digagas oleh Topo Santoso dalam bukunya
Membumikan Hukum Pidana Islam.[xxxii] Para pejuang syariah ini masih juga
mendapat hambatan dari sementara kalangan sekuler yang anti syariah,
sehingga beban perjuangannya menjadi semakin berat, justru oleh orang Islam
itu sendiri.[xxxiii]
Kedua, pihak masyarakat umumnya, yang kesadarannya terhadap perjuangan
penegakan syariah masih rendah. Ini dapat dilihat misalnya dari hasil
survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Juli-Agustus 2003 di 32 propinsi
tentang alasan apa yang membuat umat Islam tertarik pada partai Islam pada
Pemilu 2004. Di antara pertanyaannya : Apakah umat Islam Indonesia tahu
alasan memilih partai Islam (PPP, PBB, PKS, PBR, PNUI)? Ternyata jawabannya
: 30 % pemilih tahu alasannya, sedang 60 % pemilih tidak tahu alasannya.
Kemudian, dari 30 % yang tahu alasannya itu ditanya lebih jauh, apakah
alasan mereka memilih partai Islam? Jawabannya : 15 % karena partai Islam
menegakkan nilai-nilai Islam; 12 % beralasan,"Karena kami anggota partai
Islam itu; dan hanya 3 % yang beralasan karena partai Islam akan
memperjuangkan Syariah.[xxxiv]
4.2. Tantangan Metode Penerapan Pemikiran (Thariqah)
Tantangan berikutnya berupa tantangan metode (thariqah) yang
bersifat praktis, yaitu apa dan bagaimana jalan yang akan ditempuh untuk
merealisasikan konsep yang ada.[xxxv] Dalam masalah ini kebanyakan pihak
mencoba merealisasikan konsepnya melalui sistem formal yang ada di
Indonesia. Misalnya saja jalan amandemen UUD '45 yang digagas oleh Majelis
Mujahidin Indonesia. Pada tahun 2001 Majelis Mujahidin Indonesia
menerbitkan buku berjudul Amandemen UUD '45 Disesuaikan Dengan Syariat
Islam.[xxxvi]
7 Sementara itu Topo Santoso mengajukan beberapa langkah alternatif
untuk penerapan syariah Islam di Indonesia. Yaitu melalui : (1)
perubahan konstitusi, (2) mengubah sistem hukum nasional menjadi sistem
hukum Islam, (3) islamisasi hukum nasional, (4) perluasan kompetensi
Peradilan Agama, (5) memasukkan unsur/konsep hukum Islam tertentu dalam
hukum nasional, dan (6) optimalisasi UU Pemerintahan Daerah.[xxxvii]
8 Namun meski demikian, Topo Santoso sendiri pada akhirnya tidak
menjelaskan mana metode yang menjadi pilihan utamanya.
9
10 5. Konsep dan Agenda Penerapan Syariah Islam
Dari uraian di atas, jelaslah diperlukan sebuah konsep dan agenda
penerapan syariah yang paripurna, yang dimaksudkan untuk menjawab berbagai
tantangan yang ada. Baik tantangan ideologis yang mendasar, yakni
eksistensi sekularisme, maupun tantangan sistemik yang lahir akibat sistem
hukum yang sekularistik itu. Termasuk juga tantangan penerapan syariah,
baik dalam tataran fikrah (ide) maupun thariqah (metode).
Konsep dan agenda penerapan syariah ini meliputi 3 (tiga) hal pokok
:
1) Konsep perubahan total (taghyir), untuk menjawab tantangan
bercokolnya sekularisme di Indonesia,
2) Konsep formalisasi syariah, untuk menjawab tantangan fikrah dalam
penerapan syariah secara garis besar dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat,
3) Agenda penerapan syariah, untuk menjawab tantangan thariqah dalam
upaya mengubah kondisi Indoensia yang sekularistik saat ini menjadi
kondisi Islami yang kondusif untuk formalisasi syariah.
5.1. Konsep Perubahan Total
Kami secara radikal memandang bahwa keberadaan sekularisme di
Indonesia adalah problem utama yang harus diselesaikan. Dan solusinya tidak
dapat dilakukan dengan melakukan perubahan reformatif yang bersifat parsial
(ishlah), misalnya mengubah sistem hukum, atau salah unsur sistem hukum
yang sekarang ada di Indonesia.[xxxviii] Yang seharusnya dilakukan adalah
melakukan perubahan revolusioner yang bersifat total secara mendasar
(taghyir).
Taghyir adalah perubahan yang bersifat total yang diawali dari asas
(ide dasar/aqidah).[xxxix] Asas ini merupakan ide dasar yang melahirkan
berbagai ide cabang. Dalam individu seorang muslim, juga dalam masyarakat
Islam, yang menjadi asas, adalah Aqidah Islamiyah. Perubahan total ini
tertuju pada kerusakan sesuatu yang bersifat mendasar dan fatal, sehingga
harus diadakan perubahan pada asasnya, yang berlanjut pada cabang-
cabangnya. [xl] Ishlah adalah perubahan yang bersifat parsial. Asumsinya,
asas yang ada masih selamat/benar, atau hanya terkotori oleh sesuatu ide
asing. Yang mengalami kerusakan bukan pada asasnya, tetapi cabang-
cabangnya. Maka, perubahan parsial ini hanya tertuju pada aspek cabang,
bukan aspek asas.[xli]
Itulah konsep perubahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus
ke Yaman :
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka
bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Kalau mereka memenuhi
seruan itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada
mereka melakukan shalat lima kali sehari-semalam. Kalau mereka memenuhi
seruan itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan
zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara
mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka…" (HR.
Bukhari, hadits no. 686 dan no. 721. H.R. Muslim, hadits no. 501).[xlii]
Hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa untuk melakukan perubahan pada
aspek cabang (pelaksanaan shalat dan zakat), tidaklah bisa dilakukan
langsung pada orang non-muslim. Tetapi harus diawali dan didahului dengan
mengubah aspek asas, yaitu mengajak orang non-muslim untuk memeluk Aqidah
Islamiyah.
Metode perubahan pada individu tersebut juga berlaku untuk perubahan
pada negara. Sebab sebuah negara pada dasarnya juga didasarkan pada suatu
asas, sebagaimana halnya individu. Negara diatur oleh berbagai peraturan
yang berpangkal pada konstitusi (UUD). Konsitusi ini lahir dari sumber-
sumber hukum (mashadir al-ahkam), dan pada akhirnya sumber-sumber hukum ini
berasal dari sebuah asas (ide dasar/aqidah).
Maka dari itu, jika sebuah negara mengalami kerusakan dan
penyimpangan, haruslah dilihat dulu faktanya. Apakah negara itu merupakan
negara yang berasaskan Aqidah Islamiyah, ataukah sebuah negara yang asasnya
bukan Aqidah Islamiyah. Jika asasnya Aqidah Islamiyah, maka negara itu
hanya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Negara Khilafah Utsmaniyah di
Turki pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya membutuhkan ishlah, bukan
taghyir. Sebab negara itu asasnya sudah benar, yakni Aqidah Islamiyah.
Hanya saja negara tersebut mengalami kemerosotan dalam pemahaman Islam dan
penerapannya dalam realitas kehidupan. Maka dari itu, tidak tepat jika
dilakukan upaya taghyir, dengan mengubah sistem kenegaraan secara total,
seperti yang dilakukan Musthofa Kamal Ataturk. Upaya ini jelas salah
alamat. Ini seperti halnya ada orang muslim yang malas shalat, lalu
diperbaiki dengan cara dimurtadkan sekalian. Padahal seharusnya cukup
dinasehati dan didakwahi.
Adapun jika negara yang ada tidak didirikan atas asas Islam, seperti
negara-negara yang ada di Dunia Islam saat ini, maka yang diperlukan
bukanlah ishlah, tetapi taghyir. Jika sebuah negara mengalami kerusakan
dalam sistem hukumnya, misalkan, maka mereformasi sistem hukumnya tidaklah
cukup. Apalagi sekedar substansi atau sturukturnya. Yang wajib dilakukan
adalah melakukan taghyir yang total, sejak dari asasnya yang kemudian
menjangkau cabang-cabangnya->ed), seperti sistem pemerintahan, sistem
ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan, dan seterusnya. Maka dari itu,
tidaklah benar jika untuk negara semacam ini dilakukan ishlah, yaitu hanya
sekedar memperbaiki sistem hukumnya, atau salah satu unsurnya, tanpa
mengubah keseluruhannya sejak dari asas. Ini tak ubahnya seperti mengajak
orang kafir untuk shalat. Padahal seharusnya dia harus diajak lebih dulu
masuk Islam.
5.2. Konsep Formalisasi Syariah
Konsep formalisasi syariah ini paling tidak meliputi jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Apa definisi syariah?
2. Apa definisi formalisasi syariah ?
2. Mengapa harus formalisasi syariah ?
3. Siapa otoritas yang berhak melakukan formalisasi syariah ?
4. Apa instrumen formalisasi syariah ?
5. Bidang kehidupan apa saja yang diatur dalam formalisasi syariah ?
Definisi Syariah. Syariah menurut bahasa mempunyai beberapa arti. Di
antaranya adalah mawrid al-maa` alladzi yustaqaa minhu bi-laa risyaa`
(sumber air yang menjadi tempat pengambilan air tanpa tali timba), ath-
thariqah (jalan), dan 'atabah (tangga/pintu).[xliii]
Secara terminologis syariah mempunyai dua makna, makna umum dan makna
khusus. Makna umum syariah adalah sama dengan diinul Islam itu sendiri,
yaitu keseluruhan agama Islam secara holistik yang meliputi aqidah dan
hukum. Ibrahim Anis (1972) mendefinisikan syariah sebagai maa syara'a-
llaahu li ibaadihi min 'aqaaid wa ahkaam, yakni apa-apa yang ditetapkan
oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, yang berupa aqidah (aqa`id) dan hukum-
hukum (ahkam). Jadi syariah mencakup aqidah dan hukum.[xliv]
Sedang makna khusus syariah, adalah hukum syara' (al-hukm asy-
syar'i), tidak mencakup masalah aqidah. Hukum syara' adalah khithab asy-
syari' al-muta'alliqu bi af'al al-'ibad (khithab Asy Syari' [seruan/firman
Allah] yang berkaitan dengan perbuatan hamba-hamba-Nya).[xlv] Makna khusus
inilah yang dimaksud dalam makalah ini. Dengan demikian istilah syariah
dalam makna khusus ini --yang bermakna hukum syara'-- merupakan makna
majazi (metaforis), bukan dalam makna hakikinya, yakni menyebutkan istilah
syariah yang mencakup keseluruhan (aqidah dan hukum) tapi yang dimaksud
adalah sebagian dari keseluruhan itu, yaitu masalah hukum saja. Dalam
bahasan ilmu balaghah, penggunaan majazi ini disebut dengan ithlaqul kulli
wa iradatul juz'i (totem pro parte).[xlvi]
Jadi pengertian syariah yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum
syara' (al-ahkam asy-syar'iyyah). Syariah di sini tidak mencakup masalah-
masalah keimanan (aqidah). Adapun fiqih, adalah ilmu tentang hukum-hukum
syara' tersebut yang diperoleh dari dalil-dalil syar'i yang rinci.[xlvii]
Syariah menurut Muhammad Husain Abdullah (1995) mempunyai 3 cakupan :
pertama, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu hukum-hukum
ibadat; kedua, yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu
hukum-hukum makanan, minuman, pakaian, dan akhlaq; ketiga, yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya, yaitu muamalat dan uqubat (sanksi-
sanksi).[xlviii]
Formalisasi Syariah. Pengertiannya dalam bahasa Arab sama dengan
tabanni (adopsi/legislasi hukum), atau sann ad-dustur wa al-qawanin
(penetapan UUD dan UU). Pengertiannya menurut Mufti dan Al Wakil (1992)
adalah ja'l al-ahkam asy-syar'iyyah mulzimah (menjadikan hukum-hukum syara'
menjadi bersifat mengikat). Jadi formalisasi syariah adalah penetapan hukum-
hukum syara' menjadi peraturan yang mengikat dan berlaku secara umum bagi
masyarakat.[xlix]
Dengan pengertian ini, berarti suatu hukum syara' itu pada asalnya
tidaklah mengikat secara umum bagi masyarakat. Ia berlaku bagi mujtahid
yang mengistinbath hukum syara' itu dan juga bagi para muqallid yang
mengikuti mujtahid itu. Namun hukum syara' itu dapat berlaku mengikat
secara umum bila telah diadopsi oleh penguasa umat Islam (khalifah) dan
ditetapkannya sebagai undang-undang (qanun). Hukum syara' itu lalu berlaku
secara mengikat bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat,
sebagaimana yang pernah terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab.[l] Khalifah Abu Bakar telah mengadopsi hukum bahwa ucapan
thalaq yang diucapkan tiga kali jatuh thalaq satu, dan bahwa pembagian
harta dari Baitul Mal adalah sama rata tanpa melihat siapa yang lebih dulu
masuk Islam dan tanpa pertimbangan kebutuhan (al hajah). Sementara itu
ketika Umar menjadi khalifah, dia mengadopsi hukum yang berbeda, yaitu
bahwa ucapan thalaq yang diucapkan tiga kali jatuh thalaq tiga, dan bahwa
pembagian harta dari Baitul Mal adalah tidak sama, tergantung pertimbangan
siapa yang lebih dulu masuk Islam dan pertimbangan kebutuhan (a-l hajah).
Hukum-hukum tersebut setelah diadopsi oleh khalifah menjadi mengikat dan
berlaku secara umum bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh
rakyat.[li] Umar bin Khaththab juga pernah mengadopsi hukum mengenai tanah
Irak yang diperoleh sebagai ghanimah perang yang semuanya dijadikan milik
Baitul Mal dan tidak dibagikan baik kepada para prajurit yang ikut perang
maupun kepada kaum muslimin.[lii]
Dengan uraian singkat di atas juga diketahui bahwa masalah
formalisasi syariah (tabanni al-hukm asy-syar'i) secara historis telah
mulai ada sejak masa Khalifah Abu Bakar. Hanya saja sifatnya terbatas,
yakni pada hukum-hukum khusus. Dalam perjalanan sejarahnya, pernah pula
terjadi formalisasi syariah dalam arti luas, yakni yang diadopsi oleh
khalifah bukan lagi hukum-hukum tertentu, tetapi satu madzhab tertentu.
Kekuasaan Bani Ayyub mengadopsi madzhab Asy Syafi'i dan Daulah Utsmaniyyah
mengadopsi madzhab Abu Hanifah.[liii]
Mengapa Formalisasi Syariah. Mengapa umat Islam perlu melakukan
formalisasi syariah ? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat ditinjau dari
beberapa alasan berikut :
Pertama, alasan aqidah. Para ulama telah menjelaskan mengapa formalisasi
syariah perlu dilakukan. Pada dasarnya, menerapkan syariah adalah suatu
kewajiban sebagai konsekuensi keimanan seorang muslim. Tidak boleh ada
hukum yang mengatur kehidupan umat Islam yang beriman kecuali hanya syariah
Islam semata.[liv] Keterikatan pada syariah adalah konsekuensi iman seorang
muslim. Allah SWT berfirman :
"Maka demi Tuhanmu (Muhammad), mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan..." (QS An Nisaa` : 65)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS Al Maaidah :
44)[lv]
Kedua, alasan filsafat hukum. Formalisasi syariah menemukan urgensi dan
relevansinya tatkala di suatu masyarakat diterapkan sistem hukum Barat yang
secara filosofis bertentangan dengan syariah. Jadi formalisasi syariah
perlu dilakukan karena ia merupakan upaya untuk menggantikan sistem hukum
Barat yang prinsip-prinsip dasarnya tidak sesuai untuk umat Islam.
Filsafat (prinsip dasar) hukum Barat bertentangan dengan Islam.
Misalnya : (1) pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din 'an al-hayah),
(2) relativitas/kenisbian undang-undang dan hukum (nisbiyyah al-qawanin wa
at-tasyri'at), (3) pemeliharaan kebebasan individu (hifzh al-hurriyah al-
fardiyyah).
Prinsip pemisahan agama dari kehidupan telah menghilangkan unsur agama
dalam pembuatan hukum, sehingga hukum akhirnya tunduk kepada keinginan
orang banyak (volonte generale), bukan mengikuti ketentuan agama. Prinsip
pemisahan agama dari kehidupan itu juga melahirkan prinsip kenisbian hukum,
sebab setelah hukum dilepaskan dari agama, hukum akhirnya dipahami secara
positivistik sebagai anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi
masyarakat yang selalu berubah sesuai waktu dan tempat. Prinsip pemisahan
agama dari kehidupan juga melahirkan prinsip pemeliharaan kebebasan
individu, sebab setelah agama dipisahkan dari kehidupan, berarti manusia
menjadi bebas dari keterikatannya dengan agama. Maka hukum dibuat untuk
memelihara kebebasan individu dan negara dianggap tidak boleh melanggar
kebebasan individu ini, walaupun kebebasan individu itu berarti melanggar
agama. Semua filsafat hukum Barat ini bertentangan dengan Islam karena
Islam tidak mengenal pemisahan agama dari kehidupan, yang sebenarnya lahir
dalam konteks sosio-historis Eropa setelah lepas dari dominasi gereja pada
Abad Pertengahan (abad V-XV M).
Dengan demikian, formalisasi syariah sesungguhnya sangat perlu
dilakukan, karena ia merupakan kritik terhadap filsafat hukum Barat yang
mencengkeram pola pikir umat Islam saat ini. Sebaliknya, deformalisasi
syariah berarti taqlid buta kepada filsafat hukum Barat yang batil dan
sekaligus upaya mengajak umat Islam bergabung ke dalam masyarakat kapitalis
yang rusak.[lvi]
Ketiga, alasan ideologis-politis. Selama tiga abad terakhir (abad ke-18,
19, dan 20 M) negara-negara kapitalis penjajah telah melancarkan serangan
pemikiran (ash-shira' al-fikri) dan serangan politik (ash-shira' al-siyasi)
yang ganas untuk memaksakan ideologi kapitalisme yang kafir ke Dunia Islam.
Mereka memaksakan sistem politik, sosial, dan ekonomi Barat terutama
sebagai akibat hancurnya Khilafah di Turki pada tahun 1924. Selain itu,
mereka juga melakukan upaya distorsi bangunan pemikiran Islam di bidang
politik, ekonomi, dan sosial untuk mengacaukan pemikiran umat di Dunia
Islam dengan tujuan akhir agar sistem-sistem Barat tersebut dapat menancap
kuat di Dunia Islam.[lvii]
Segala perilaku kejam penjajah itu dalam banyak hal telah
mengakibatkan : (1) kacau dan rusaknya pemahaman umat terhadap Islam (yang
sebenarnya sudah lemah secara internal itu),[lviii] khususnya aspek politik
Islam, (2) lahirnya sikap lemah dalam jiwa umat Islam tatkala berhadapan
dengan berbagai pemikiran dan pola kehidupan Barat (seperti nasionalisme,
sekularisme, liberalisme). Semua ini pada gilirannya telah menggiring umat
Islam untuk mengadopsi secara total terhadap sistem hukum Barat tanpa
melihat lagi pertentangannya dengan syariah. Muncul juga perasaan pesimis
dan putus asa di kalangan umat untuk membangun kembali institusi politik
Islam sebagai akibat terpecah-belahnya Dunia Islam.[lix]
Secara politis, kondisi tersebut mengakibatkan para penguasa Dunia
Islam tidak lagi merasa berdosa ketika membatasi penerapan Islam hanya
pada aspek ibadah ritual (dan sedikit aspek muamalat), seraya mengabaikan
aspek politis dan pengaturan urusan publik menurut perspektif syariah.
Di tengah hegemoni ideologi kapitalisme dan sikap politik penguasa
Dunia Islam yang sekularistik ini, maka upaya formalisasi syariah menjadi
sangat dibutuhkan, karena ia sesungguhnya adalah perlawanan terhadap
kekalahan ideologis dan politis tersebut. Formalisasi syariah merupakan
upaya pengembalian Islam kepada jatidirinya yang hakiki, sekaligus upaya
untuk melepaskan diri dari dominasi Barat. Sebaliknya, dengan demikian,
deformalisasi syariah adalah kepasrahan tanpa syarat terhadap ideologi
kapitalisme dan sekaligus legitimasi terhadap sikap politis penguasa Dunia
Islam yang sekularistik dan mengekor kepada negara-negara imperialis.
Keempat, alasan khilafiyah fiqhiyah. Kendatipun seorang muslim wajib
mengamalkan syariah, namun pada hukum-hukum syariah yang cabang, banyak
terjadi perbedaan pendapat (khilafiyah) pada satu masalah yang sama sebagai
hasil perbedaan ijtihad para mujtahidin. Padahal khalifah sebagai kepala
negara Khilafah wajib mengatur urusan-urusan publik (ri'ayatu syu`un)
dengan ketentuan syariah, seperti hukum-hukum zakat, dhara`ib (pajak),
kharaj, dan hubungan luar negeri (alaqat kharijiyyah). Maka dari itu,
wajiblah khalifah melakukan tabanni (adopsi) hukum syara' dari sekian hukum
syara' yang ada sedemikian sehingga menjamin kesatuan negara dan
pemerintahan (wihdah ad daulah wa wihdah al hukm). Jadi melakukan tabanni
bagi khalifah –yang hukum asalnya mubah bagi khalifah— telah menjadi wajib
secara syar'i jika kewajiban pengaturan urusan publik tidak dapat
terlaksana kecuali dengan melakukan tabanni terhadap salah satu hukum
syara' yang ada. Kaidah syara' menyatakan bahwa jika suatu kewajiban tidak
dapat dilaksanakan kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi
wajib pula hukumnya (maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib).[lx]
Dengan demikian, formalisasi syariah dalam kerangka negara Islam
(Khilafah) perlu dilakukan karena pada umumnya pengaturan urusan-urusan
publik tidak mungkin diselenggarakan dengan hukum syara' yang berbeda-beda.
Karenanya, jika pengaturan urusan publik tidak mungkin terlaksana dengan
tertib dan teratur kecuali dengan penetapan satu hukum syara' dari sekian
hukum syara' yang ada, maka wajib atas khalifah untuk melakukan formalisasi
syariah dalam arti mentabanni satu hukum syara' yang berlaku secara
mengikat untuk seluruh rakyat.
Otoritas Formalisasi Syariah. Pihak yang berhak melakukan formalisasi
syariah dalam sistem pemerintahan Islam adalah khalifah sebagai kepala
negara Khilafah Islamiyah, bukan yang lain.[lxi] Kaidah syara' menetapkan
bahwa : lil khalifah wahdahu haqqu tabanni al-ahkam asy-syar'iyyah fa huwa
alladzi yasunnu ad-dustur wa al-qawanin (Khalifah saja yang berhak
melakukan adopsi/legislasi hukum dan Khalifah-lah yang menetapkan UUD dan
UU).[lxii]
Dasar kaidah di atas adalah Ijma' Shahabat (sebagai salah satu sumber
hukum Islam), yakni para shahabat Nabi Muhammad SAW telah ber-ijma'
(bersepakat) dan tidak ada seorang pun yang mengingkari bahwa hanya
khalifah saja yang berhak melakukan adopsi hukum, bukan yang lain. Adanya
Ijma' Shahabat ini nampak jelas pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab, tatkala keduanya mengadopsi hukum-hukum tertentu dari sejumlah
pemahaman hukum syara' pada satu masalah, seperti telah diuraikan
sebelumnya.[lxiii] Hukum syara' yang telah diadopsi oleh khalifah itu lalu
berlaku secara mengikat bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh
rakyat. Dari Ijma' Shahabat ini lalu diambil beberapa kaidah syara' yang
masyhur di kalangan ulama fiqih, yaitu : "Amrul Imaam yarfa'ul khilaaf"
(Perintah Imam [Khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat), "Amrul Imam
naafidz" (Perintah Imam [Khalifah] wajib dilaksanakan), dan "Li as-
sulthaan an yuhditsa min al-aqdhiyah bi qadari maa yahdutsu min musykilaat"
(Penguasa berhak menetapkan keputusan-keputusan hukum baru sesuai problem-
problem baru yang terjadi).[lxiv]
Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, maka jika khalifah telah
melakukan formalisasi syariah, wajib atas rakyat untuk melaksanakannya,
meskipun hukum syara' yang diadopsi khalifah berbeda dengan yang dianut
oleh rakyat. Dalam kondisi demikian, rakyat wajib meninggalkan
pengamalan/pelaksanaan hukum syara' yang dianutnya, untuk selanjutnya
mengamalkan hukum syara' yang diadopsi khalifah.
Namun perlu diketahui bahwa kewajiban rakyat dalam hal ini hanya
dari segi pelaksanaan hukum saja. Rakyat tidak wajib mengubah pendapat
pribadinya sedemikian sehingga pendapat mereka sama persis dengan pendapat
khalifah, misalnya harus mengajarkan atau mendakwahkan pendapat khalifah.
Rakyat tetap boleh berijtihad, mengajarkan, atau mendakwahkan
pendapat/hukum syara' yang berbeda dengan hukum syara' yang diadopsi
khalifah. Jadi formalisasi syariah tidak memacetkan ijtihad dan juga tidak
menghilangkan keanekaragaman hukum syara' di kalangan rakyat. Kewajiban
rakyat hanya dari segi pelaksanaan saja, bukan yang lain.
Hal itu karena Ijma' Shahabat membatasi ketaataan rakyat terhadap
hukum syara' yang diadopsi khalifah hanya pada pelaksanaan/pengamalan hukum
saja, tidak termasuk yang selain itu seperti mengajarkan dan mendakwahkan
hukum. Karena itu, kita dapati ketika Abu Bakar membagi harta Baitul Mal
secara sama rata tanpa melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam, Umar bin
Khaththab mendebat Abu Bakar karena Umar berpendapat lain, yakni pembagian
harta seharusnya tidak sama rata tetapi melihat siapa yang lebih dulu masuk
Islam dan melihat pertimbangan lainnya. Meskipun demikian, Umar tunduk pada
pendapat yang diadopsi Abu Bakar seraya tetap mengadopsi pendapatnya
sendiri (meskipun tidak diamalkan).[lxv]
Perlu ditambahkan bahwa meskipun yang berhak melakukan formalisasi
syariah hanya khalifah saja, namun bukan berarti rakyat tidak mempunyai
peran dalam hal ini. Peran rakyat adalah melakukan kontrol atau kritik
kepada khalifah dalam penerapan hukum syara' yang diadopsi khalifah. Dan
melalui Majelis Ummat yang menjadi lembaga wakil rakyat dalam hal
musyawarah dan pengawasan penguasa, Majelis Ummat dapat mendiskusikan
berbagai undang-undang sebelum secara resmi dilegislasi oleh
khalifah.[lxvi]
Instrumen Formalisasi Syariah. Instrumen formalisasi syariah wujudnya
berupa undang-undang dasar (dustur/qanun asasi) dan berbagai undang-undang
(qanun), baik qanun tasyri'i (peraturan perundang-undangan) maupun qanun
ijra`i / qanun idari (peraturan prosedural / administratif).[lxvii]
Meskipun istilah undang-undang dasar (dustur/qanun asasi) dan undang-
undang (qanun) merupakan istilah asing (bukan asli dari khazanah fiqih
Islam), namun inti pengertiannya ada fiqih Islam. Undang-undang
didefinisikan sebagai "majmu'ah al-qawa'id allati yujbiru biha as-sulthanu
an- naasa 'ala it-tiba'iha fi 'alaqatihim" (Seperangkat aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah dan memiliki kekuatan yang mengikat rakyat,
dalam hubungan antar mereka)[lxviii], atau sebagai "majmu'ah al-awamir wa
an-nawahi al-wajib al-iltizamu biha fi al-bilad" (Seperangkat perintah dan
larangan yang wajib untuk diikuti [rakyat] di sebuah negeri).[lxix]
Dalam pengertian yang demikian, penggunaan istilah undang-undang dasar
dan undang-undang adalah mubah dan tidak haram menurut syara', sebab
pengertian ini ada dalam khazanah Islam, yaitu "al-ahkam allati tabannaaha
al- khalifatu min al-ahkam asy-syar'iyyah" (hukum-hukum syara' yang
diadopsi oleh seorang khalifah). Ini sebagaimana yang terjadi pada masa
shahabat ketika Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab menetapkan hukum-
hukum syara' tertentu yang diberlakukan secara mengikat untuk seluruh
rakyat.
Hanya saja tentu undang-undang Islam berbeda dengan undang-undang non-
Islam dalam hukum positif sekarang, baik dari segi sumber hukum (mashdar al-
ahkam) maupun tempat lahirnya (mansya` al-ahkam). Undang-undang yang ada
sekarang sumbernya berasal dari adat-istiadat, yurisprudensi, dan lain-
lain; dan tempat lahirnya, untuk undang-undang dasar adalah panitia ad hoc
penyusun undang-undang dasar, sementara untuk undang-undang adalah parlemen
atau Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini karena dalam sistem demokrasi
rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan (as-sulthan/authority), dan
kedaulatan (as-siyadah/sovereignty) juga berada di tangan rakyat. Adapun
undang-undang dasar dan undang-undang Islami, sumbernya adalah Al Quran dan
As Sunnah, tidak ada yang lain; sedang tempat lahirnya adalah ijtihad para
mujtahid, di mana khalifah akan memilih beberapa hukum tertentu dari hasil
ijtihad tersebut lalu melegislasikannya dan memerintahkan rakyat untuk
melaksanakannya. Hal ini karena kedaulatan menurut Islam hanya milik syara'
semata. Sementara ijtihad untuk mengambil hukum-hukum syara' adalah hak
bagi seluruh kaum muslimin yang hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi hanya
khalifah saja yang berhak melegislasi hukum-hukum syara'.[lxx]
Undang-undang dasar mengatur bentuk negara, sistem pemerintahan,
batas-batas hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara, hak dan kewajiban
pemerintah terhadap rakyat serta hak dan kewajiban rakyat terhadap
pemerintah.
Sedangkan undang-undang merupakan peraturan yang lahir dan tercabang
dari ketentuan dalam undang-undang dasar. Undang-undang secara garis besar
ada 2 (dua) macam, yaitu qanun tasyri'i (peraturan perundangan) dan qanun
ijra`i (peraturan prosedural).
Qanun tasyri'i (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang
materinya berupa hukum syara', atau aqidah, atau kaidah kulliyah
syar'iyyah, atau sumber-sumber hukum syara'. Qanun tasyri'i ini hanya
diambil dari sumber-sumber hukum Islam (Al Qur`an dan As Sunnah), tidak
boleh diambil dari selainnya secara mutlak. Misalnya undang-undang yang
isinya hukum-hukum prinsip konstitusional (mabadi` dusturiyah) seperti
kewajiban mentaati ulil amri, baiat, syura, atau hukum-hukum cabang yang
parsial (ahkam far'iyah juz'iyah) seperti : (1) undang-undang pidana (qanun
jina`i) yang mengatur hukum potong tangan pencuri, rajam bagi pezina
muhshan, (2) undang-undang hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyyah) yang
mengatur perkawinan dan cerai, (3) undang-undang perdata (qanun al madani)
yang mengatur perdagangan dan jual beli dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya seperti syarat, sebab, dan mani' (pencegah berlakunya hukum).
Qanun tasyri'i juga dapat mencakup kaidah kulliyah seperti kaidah izalatul
dharar (kewajiban menghilangkan bahaya/dharar).[lxxi]
Sedang qanun ijra'i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang
materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan
alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara' tertentu. Undang-undang ini
intinya menjelaskan aspek-aspek teknis –yang tidak diterangkan Al Qur`an
dan As Sunnah— untuk melaksanakan hukum syara' tertentu. Undang-undang ini
dapat diambil dari sumber mana pun, dengan syarat tidak boleh bertentangan
dengan hukum syara'. Sifatnya dinamis, dalam arti dapat berubah-ubah
sesuai waktu dan tempat dan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan manusia.
Misalnya tentang ketentuan teknis syura (musyawarah). Dalam Al Qur`an
diterangkan bahwa syura adalah hak umat terhadap penguasa (QS Asy Syuraa :
38). Namun teknis pelaksanaan hukum syara' ini tidak diterangkan Al Qur`an
dan As Sunnah, misalnya apakah dilaksanakan satu kali atau dua kali dalam
satu tahun, atau di mana tempat pelaksanaannya, bagaimana agenda sidangnya,
bagaimana sarananya, dan sebagainya. Semua ini diatur dalam qanun ijra`i.
Keberadaan qanun ijra`i didasarkan pada beberapa dalil dari As Sunnah
dan juga contoh shahabat, antara lain sabda Nabi,"Antum a'lamu bi umuri
dunyaakum" (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu). (HR Muslim dan Ibnu
Majah). Begitu pula Nabi SAW pernah mengambil pendapat Salman Al Farisi
dalam penggalian parit sebagai sarana mempertahankan diri dalam Perang
Ahzab. Umar bin Khaththab pernah mengambil peraturan administrasi untuk
mengatur pembagian harta Baitul Mal.[lxxii]
Cakupan Formalisasi Syariah. Bidang kehidupan yang diatur adalah
hubungan sesama manusia, yang meliputi aspek muamalat dan uqubat. Aspek
muamalat misalnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan,
pergaulan pria-wanita, dan hubungan luar negeri. Aspek uqubat (sanksi-
sanksi) meliputi hudud (seperti hukum rajam), jinayat (seperti hukum
qishash), ta'zir (sanksi atas pelanggar syara' yang tak dijelaskan
ketentuan sanksinya dalam nash), dan mukhalafat (sanksi terhadap
penyimpangan aturan administrasi negara). Inilah yang diatur dalam
formalisasi syariah.
Sedangkan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu ibadat, pada
dasarnya khalifah tidak melakukan adopsi, misalnya khalifah tidak
menetapkan qunut pada sholat Shubuh atau tarawih 20 rakaat pada bulan
Ramadhan. Khalifah tidak mentabanni hukum dalam hukum ibadat karena : (1)
tidak sesuai dengan fakta adopsi hukum, yaitu hanya menyangkut hubungan
manusia dengan manusia lainnya, dan (2) dapat menimbulkan haraj
(kesulitan/kesempitan) padahal Islam memerintahkan menghilangkan haraj (QS
Al Hajj : 78).[lxxiii]
Namun demikian, untuk hukum-hukum ibadat yang ada kaitannya dengan
interaksi masyarakat dan menyangkut kesatuan negara dan masyarakat,
khalifah wajib melakukan adopsi hukum, misalnya dalam hukum jihad, zakat,
dan juga penetapan hari-hari untuk mengawali/mengakhiri puasa Ramadhan, dan
penetapan Iedul Fitri dan Iedul Adha.
Mengenai hubungan manusia dengan Tuhan yang berupa pemikiran-
pemikiran yang berkaitan dengan aqidah, khalifah juga tidak melakukan
adopsi. Misalnya khalifah tidak mengadopsi pemikiran bahwa Al Qur`an adalah
makhluk. Hal ini disebabkan adopsi pemikiran seperti itu telah menyalahi
realitas adopsi dan juga menimbulkan haraj (kesulitan/kesempitan), seperti
halnya dahulu Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah--yang mengalami siksaan
penguasa karena menolak mengikuti pendirian penguasa yang menyatakan Al
Qur`an adalah makhluk.[lxxiv]
5.3. Agenda Menuju Penerapan Syariah
Untuk menuju terwujudnya formalisasi syariah seperti diuraikan
sebelumnya, dengan perubahan yang menyeluruh (taghyir), diperlukan agenda
khusus.
Bagi Hizbut Tahrir, agenda ini berupa metode untuk melakukan aktivitas
dakwah Islam (haml al-da'wah al-islamiyah), yang pada hakikatnya adalah
hukum-hukum syara' yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah
SAW, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT :
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca
dzikir dan mengingat Allah)." (QS Al Ahzab : 21)
"Katakan : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS Ali Imran :
31)
"Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa saja
yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah." (QS Al Hasyr : 7)
Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti
perjalanan dakwah Rasulullah SAW, menjadikan beliau suri teladan, dan
mengambil ketentuan hukum dari beliau. Berhubung kaum muslimin saat ini
hidup di Darul Kufur --karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang
tidak diturunkan Allah SWT-- maka keadaan negeri mereka serupa dengan
Makkah ketika Rasulullah SAW diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu
fase Makkah wajib dijadikan tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan
mensuriteladani Rasulullah SAW.
Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau
berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah akan tampak jelas beliau
menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuan-
tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah Hizbut Tahrir mengambil metode
dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani
kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam seluruh tahapan
perjalanan dakwahnya.
Agenda Secara Global. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut,
Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan
berikut :
Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatqit), yang
dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan
metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.
Kedua, Tahapan berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa'ul Ma'a Al Ummah).
Yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga
umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang
untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang
dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah
Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan
Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga
tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyampaikan kepada orang-
orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah
kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan
kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi.
Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan
membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat
Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan
mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-
tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara
sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah
bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur
mereka masuk ke dalam Islam
Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya
firman Allah SWT :
"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik."
(QS Al-Hijr : 94)
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-
terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu
bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar
mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada
kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-
orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka,
mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang
ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-
angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-
orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan
(hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat
Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya
sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan
persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-
sahabatnya.
Sedang tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan
cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk
menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam
sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan
Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan
Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada
beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh
Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah
sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah
di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke
luar negeri.
Agenda Secara Rinci. Adapun rincian lebih jauh dari ketiga tahapan tersebut
adalah sebagai berikut :
Pada tahap pertama pembentukan kader, aktivitas ini hanya pada
kegiatan pembinaan saja, yakni penyampaian tsaqafah saja. Perhatian
diutamakan untuk membentuk kerangka gerakan, memperbanyak
anggota/pendukung, membina mereka secara berkelompok dan intensif dalam
halaqah-halaqah dengan tsaqafah yang telah ditentukan sehingga berhasil
membentuk satu kelompok partai yang terdiri dari orang-orang yang telah
menyatu dengan Islam, mentabanni (menerima dan mengamalkan) ide-ide
partai, serta telah berinteraksi dengan masyarakat dan mengembangkannya ke
seluruh lapisan ummat.
Setelah Hizbut Tahrir dapat membentuk kelompok partai sebagaimana yang
dimaksud di atas, juga setelah masyarakat mulai merasakan kehadirannya,
mengenal ide-ide dan cita-citanya, pada saat itu sampailah Hizbut Tahrir ke
tahap kedua.
Tahap kedua adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat, agar umat
turut memikul kewajiban menerapkan Islam serta menjadikannya sebagai
masalah utama dalam hidupnya. Caranya, yaitu dengan membentuk opini umum
(ar-ra'yu al-'am) yang didasarkan pada kesadaran umum (al-wa'yu al- 'am)
pada masyarakat terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditabanni
oleh Hizbut Tahrir, sehingga mereka menjadikan ide-ide dan hukum-hukum
tersebut sebagai pemikiran-pemikiran mereka, yang mereka perjuangkan di
tengah-tengah kehidupan, dan mereka akan berjalan bersama-sama Hizbut
Tahrir dalam usahanya menegakkan Daulah Khilafah, mengangkat seorang
Khalifah untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia.
Pada tahap ini Hizbut Tahrir mulai beralih menyampaikan dakwah kepada
masyarakat banyak secara kolektif. Pada tahap ini Hizbut Tahrir melakukan
kegiatan-kegiatan seperti berikut:
(1) Pembinaan Tsaqafah Murakkazah (pembinaan intensif) melalui halaqah-
halaqah untuk para pengikutnya, dalam rangka membentuk kerangka gerakan dan
memperbanyak pengikut serta mewujudkan pribadi-pribadi yang Islami, yang
mampu memikul tugas dakwah dan siap mengarungi pergolakan pemikiran (ash-
shira' al-fikri) serta perjuangan politik (al-kifah as-siyasi).
(2) Pembinaan Tsaqafah Jama'iyah (pembinaan kolektif) bagi umat dengan
cara menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah
ditabanni/ditetapkan Hizbut Tahrir, secara terbuka kepada masyarakat umum.
Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pengajian-pengajian di masjid, di
aula atau di tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Bisa juga melalui media
massa, buku-buku, atau selebaran-selebaran. Aktivitas ini bertujuan untuk
mewujudkan kesadaran umum (al-wa'yu al-'am) di tengah masyarakat, agar
dapat berinteraksi dengan umat sekaligus menyatukannya dengan Islam; juga
untuk menggalang basis dukungan rakyat (qa'idah sya'biyah) sehingga mereka
dapat dipimpin untuk menegakkan Daulah Khilafah dan mengembalikan penerapan
hukum sesuai dengan yang diturunkan Allah SWT.
(3) Ash Shira' al-Fikri (pergolakan pemikiran) untuk menentang
ideologi, peraturan-peraturan dan ide-ide kufur, selain untuk menentang
aqidah yang rusak, ide-ide yang sesat dan pemahaman-pemahaman yang rancu.
Aktivitas ini dilakukan dengan cara menjelaskan kepalsuan, kekeliruan dan
kontradiksi ide-ide tersebut dengan Islam, untuk memurnikan dan
menyelamatkan masyarakat dari ide-ide yang sesat itu, serta dari pengaruh
dan dampak buruknya.
(4) Al-Kifaah as-Siyasi (perjuangan politik) yang mencakup aktivitas-
aktivitas:
a) Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai
atau mendominasi negeri-negeri Islam; berjuang menghadapi segala bentuk
penjajahan, baik penjajahan pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer;
mengungkap strategi yang mereka rancang; membongkar persekongkolan mereka,
demi untuk menyelamatkan ummat dari kekuasaan mereka dan membebaskannya
dari seluruh pengaruh dominasi mereka.
b) Menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri
Islam lainnya; mengungkapkan (rencana) kejahatan mereka; menyampaikan
nasehat/ kritik kepada mereka; dan berusaha untuk meluruskan mereka setiap
kali mereka merampas hak-hak rakyat atau pada saat mereka melalaikan
kewajibannya terhadap ummat, atau pada saat mengabaikan salah satu urusan
mereka. Disamping berusaha untuk menggulingkan sistem pemerintahan mereka,
yang menerapkan perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, yaitu dengan
tujuan menegakkan dan menerapkan hukum Islam untuk menggantikan hukum-hukum
kufur tersebut.
(5) Menetapkan kemaslahatan ummat (Tabbani Mashalih Al-Ummah), yaitu
dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan ummat, sesuai dengan
hukum-hukum syara'.
Di samping aktivitas-aktivitas tersebut, Hizbut Tahrir politik dalam
tahap kedua ini juga dilakukan aktivitas Thalabun Nushrah yang telah
digabungkan dengan aktivitas dakwah lainnya. Hizbut Tahrir meminta
pertolongan tersebut kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan),
yakni para Ahlun Nushrah. Tujuannya ada dua macam, yaitu:
Pertama, untuk mendapatkan perlindungan (himayah) sehingga tetap dapat
melakukan aktivitas dakwah dalam keadaan aman dan terlindung.
Kedua, untuk mencapai tingkat pemerintahan/ kekuasaan dalam
rangka menegakkan Daulah Khilafah dan menerapkan kembali hukum-hukum
berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
Sekalipun Hizbut Tahrir telah melakukan upaya mencari pertolongan ini,
namun Hizbut Tahrir tetap melanjutkan seluruh aktivitas-aktivitas yang
telah dilakukannya selama ini; mulai dari pembinaan dalam halaqah intensif
untuk anggotanya maupun untuk masyarakat umum; memberi perhatian penuh
kepada umat agar mereka dapat mengemban Islam; mewujudkan opini umum di
tengah-tengah umat; berjuang menentang negara-negara kafir imperialis,
mengungkap rencana jahat mereka, membongkar persekongkolan mereka; dan
menentang para penguasa; hingga aktivitas menetapkan kemaslahatan umat.
Hizbut Tahrir tetap melanjutkan aktivitas-aktivitasnya ini, dengan harapan
mudah-mudahan Allah segera memberikan kepadanya dan kepada seluruh umat
Islam suatu kemenangan, keberhasilan dan kesuksesan. Ketika itulah orang-
orang yang beriman akan bergembira karena telah tiba nashrullah
(pertolongan Allah).
11 6. Penutup
Kami ingin menutup makalah kami ini dengan suatu keyakinan dan
optimisme yang tinggi, bahwa pada akhirnya Islam-lah (dengan seizin Allah)
yang akan tampil kembali di panggung dunia untuk mewujudkan kembali
kebajikan dan rahmat bagi alam semesta. Sekaligus Islam-lah yang akan
menghancurkan segala kebatilan dan kepalsuan yang telah merusak dan
menghinakan umat manusia di seluruh dunia. Allah SWT berfirman :
"Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang benar, agar Dia memenangkannya atas segala agama, meskipun
orang-orang musyrik membencinya." (QS Ash-Shaff : 9). ***
- - - - - -
CATATAN AKHIR :
-----------------------
[i] Topo Santoso, "Aspirasi Syariat Islam di Era Otonomi" , Membumikan
Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 104-105;
Eman Mulyatman,"Setahun Penerapan Syariat Islam di Pamekasan", Sabili, No.
10 Th XI 4 Desember 2003, hlm. 37-38.
[ii] Ibid., hlm. 106.
[iii] "Perdebatan Syariat Islam", Tashwirul Afkar, Edisi No. 12 Tahun
2002, hlm. 1.
[iv] Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 155-
167.
[v] Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 4.
[vi] Ibid.
[vii]
[viii] Amrullah Ahmad dkk, op.cit, hlm. 169-170.
[ix] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 73-75.
[x]
[xi] Dalam al-Qur`an misalnya terdapat aturan sanksi untuk pencurian
(QS Al-Maidah : 38), pembunuhan (QS Al-Baqarah : 178), perzinaan (QS an-
Nuur :2), perampokan dan teror (QS Al-Maidah : 33), menuduh zina kepada
orang lain (QS An-Nuur : 24)
[xii]
[xiii] Al-Qur`an melarang memakan harta secara batil (QS An-Nisaa` :
29), melarang curang dalam berdagang (QS Al-Muthaffifin : 1-4), dan
sebagainya.
[xiv]
[xv] Al-Qur`an memerintahkan penguasa menjalankan hukum secara adil
(QS An-Nisaa` : 58), memerintahkan rakyat mentaati penguasa/ulil amri (QS
An-Nisaa` : 59), dan sebagainya.
[xvi]
[xvii] Dalam al-Qur`an terdapat ketentuan tentang proses li'an (QS An-
Nuur : 5-9), ketentuan alat bukti tertulis dalam perjanjian pinjaman dengan
gadai (QS Al-Baqarah : 282), ketentuan alat bukti saksi penyerahan wasiat
(QS Al-Maidah : 106), dan sebagainya.
[xviii]
[xix] Dalam hukum ekonomi, al-Qur`an menjelaskan tentang hak milik
(QS An-Nuur : 33; QS Al-Hadiid : 7; Nuuh : 12). Islam juga menjelaskan
hakikat harta (QS al-Kahfi: 46; QS Al-Anfaal:29), larangan riba (QS Al-
Baqarah : 275-278); dan lain-lain.
[xx]
[xxi] Al-Qur`an menjelaskan hakikatnya umat manusia berasal dari
seorang laki-laki dan perempuan, yang lalu berkembang biak menjadi berbagai
bangsa dan suku (QS Al-Hujurat : 13), keluarga adalah institusi penting (QS
An-Nisaa` : 1), dan sebagainya.
[xxii]
[xxiii] Islam menjelaskan kewajiban menjaga tapal batas negara (QS Al-
Anfaal:60), bolehnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian
gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-
Anfaal:61; QS Muhammad:35).
[xxiv]
[xxv] Hukum perang dan damai banyak dijelaskan misalnya dalam QS Al-
Anfaafl dan QS At-Taubah.
[xxvi]
[xxvii] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta :
LP3ES, 1986), hlm. 122.
[xxviii]
[xxix] Th. Sumartana, "Pengantar", Robert Audi, Agama dan Nalar
Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII Press, 2002), hlm. xiv.
[xxx]
[xxxi] Tentang bagaimana akhirnya Indonesia menjadi negara yang
bercorak sekuler, lihat misalnya Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta
22 Juni 1945 : Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik
Indonesia (1945-1949), (Jakarta : Gema Insani Press, 2001). Beberapa kritik
kontemporer terhadap sekularisasi lihat misalnya Peter L. Berger, (Ed.),
Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia (The Desecularization of The
World), Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003; Adnin Armas, Pengaruh Kristen-
Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003).
[xxxii]
[xxxiii] Amrullah Ahmad dkk, op.cit, hlm 173.
[xxxiv]
[xxxv] Busthanul Arifin, op.cit., hlm. 38-40.
[xxxvi]
[xxxvii] Busthanul Arifin, op.cit., hlm. 36.
[xxxviii]
[xxxix] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema
Insani Press, 2003), hlm. 84; lihat juga Dadang Kusmayadi & Pambudi Utomo,
"Hukum Indonesia Menghalalkan Zina"
http://www.hidayatullah.com/2001/06/khusus1.shtml; Topo Santoso, "Nasib
Kartini dan TKI", Media Indonesia, Senin 13 Maret 2000, hlm. 8.
[xl]
[xli] Jenis peraturan perundang-undangan secara berurutan dan
berjenjang di Indonesia adalah sebagai berikut :
-Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) yang setingkat dengan Undang-undang,
-Peraturan Pemerintah,
-Keputusan Presiden,
-Keputusan Menteri,
-Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen,
-Keputusan Direktur Jenderal Departemen,
-Keputusan Badan Negara,
-Peraturan Daerah Tingkat I,
-Keputusan Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I,
-Peraturan Daerah Tingkat II,
-Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II.
Lihat A. Hamid S. Attamimi, "Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional", Amrullah Ahmad dkk, op.cit, hlm. 152.
[xlii]
[xliii] A. Hamid S. Attamimi, "Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional", Amrullah Ahmad dkk, op.cit, hlm. 151.
[xliv]
[xlv] Busthanul Arifin, op.cit., hlm. 100.
[xlvi]
[xlvii] Busthanul Arifin, op.cit., hlm. 127.
[xlviii]
[xlix] Padmo Wahjono, ibid. hlm. 171.
[l]
[li] Tentang susunan peradilan di Indonesia, lihat misalnya, Topo
Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press,
2003), hlm. 125.
[lii]
[liii] Padmo Wahjono, "Budaya Hukum Islam dalam Perspektif
Pembentukan Hukum di Masa Datang", Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 171.
[liv]
[lv] Hizbut Tahrir telah menjawab tantangan ini dengan menerbitkan
kitab Muqaddimah Dustur tahun 1963, yang berisi tentang rancangan undang-
undang dasar negara Khilafah lengkap dengan penjelasan dalilnya dari Al-
Qur`an, Al-Hadits, Ijma' Shahabat dan Qiyas. Rancangan konstitusi ini
terdiri dari 186 pasal yang meliputi : Hukum-Hukum Umum (pasal 1- 15),
Sistem Pemerintahan (pasal 16-107), Sistem Sosial (pasal 108-118), Sistem
Ekonomi (pasal 119-164), Politik Pendidikan (pasal 165-175), dan Politik
Luar Negeri (pasal 176-186). Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-
Dustrur, (t.tp : Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 1963); Taqiyuddin An-Nabhani,
Nizham Al-Islam, (t.tp : Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 2001), hlm. 90-128;
Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Dawlah Al-Islamiyah, (Beirut : Dar Al-Ummah,
1994), bab "Masyru' Dustur".
Dalam konteks Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia telah menjelaskan
gagasan syariahnya dalam buku Menegakkan Syariat Islam (2002) dan Bunga
Rampai Syariat Islam (2002).
[lvi] Lihat , Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta :
Gema Insani Press, 2003).
[lvii]
[lviii] Pihak anti syariah misalnya melancarkan gugatan di
media,"Tetapi mengapa kita masih selalu memperbincangkan Islam? Tidakkah
kita sadar bahwa kita hidup dalam komunitas yang majemuk baik secara etnis,
budaya, dan agama?" Pada bagian lain tertulis pula,"Apalagi legislasi
syariah Islam belum tentu menjamin terciptanya keadilan hukum
masyarakat…Masih relevankah penerapan syariah Islam? Sekali lagi quo vadis
syariah Islam? (Lihat Ahmad Fawaid Sjadzili,"Quo Vadis Legislasi Syariat
Islam?", Koran Tempo, 16 Mei 2001, dikutip dari Topo Santoso, "Hukum
Pidana Islam : Agenda dan Tantangannya.", Membumikan Hukum Pidana Islam,
(Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 160-161)
[lix]
[lx]Data ini dipresentasikan oleh Ulil Abshar Abdalla (Koordinator
Jaringan Islam Liberal) pada Seminar & Talk Show bertema "Partai Islam dan
Politisasi Agama", yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) STAIN Kudus bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta,
pada hari Sabtu, 6 Maret 2004 .
[lxi]
[lxii]Hizbut Tahrir telah menjelaskan metodenya secara detail untuk
merealisasikan seluruh gagasannya. Lihat misalnya Taqiyuddin An-Nabhani,
At-Takattul Al-Hizbi, (t.tp : Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 2001); lihat juga
kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi At-Taghyir (1989), dan kitab Barnamij Hizbut
Tahrir li Taghyir Waqi' Al-Ummah Al-Islamiyyah wa An-Nuhudh biha (1989).
[lxiii]
[lxiv] Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia, Amandemen UUD '45
Disesuaikan Dengan Syariat Islam, (t.tp : t.p, 2001).
[lxv]
[lxvi] Lihat , Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam,
(Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 98-101.
[lxvii]
[lxviii] Dalam hal ini, penting dikemukakan pendapat Lawrence M.
Friedman dalam bukunya The Legal System; A Social Science Perspective,
(New York : Russell Sage Foundation, 1975) bahwa ada tiga unsur sistem
hukum, yaitu :
1. Struktur ;
2. Substansi ;
3. Kultur Hukum;
Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta
aparatnya. Jadi mencakupi : kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan
dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan
pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas-hukum,
norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-
kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para
penegak hukum maupun dari warga masyarakat. Lihat Ahmad Ali, Reformasi
Komitmen dan Akal Sehat dalam Reformasi Hukum dan HAM di Indonesia,
makalah Seminar Nasional "Meluruskan Jalan Reformasi", UGM, Yogyakarta, 25-
27 September 2004 (http://ugm.ac.id/seminar/reformasi/i-ahmad-ali.php).
[lxix]
[lxx] Taqiyuddin An-Nabhani, "At-Tafkir bi At-Taghyir", At-Tafkir,
1973, hlm. 120-123.
[lxxi]
[lxxii] Contoh taghyir : Jika kita hendak memperbaiki perilaku orang
kafir (non-muslim) yang tidak shalat, maka perubahan yang dilakukan adalah
taghyir. Bukan ishlah. Sebab asas kehidupan orang kafir itu, bukan Aqidah
Islamiyah. Maka, haruslah dia diajak secara baik (bukan dipaksa) untuk
memeluk Aqidah Islamiyah lebih dahulu, sehingga dia mau mengucapkan
syahadat. Inilah perubahan aspek asas. Setelah itu, barulah dia dapat kita
ajak untuk melaksanakan shalat lima waktu. Jadi, untuk orang kafir tidaklah
tepat kita langsung mengajaknya shalat (melakukan ishlah), tanpa mengubah
aspek asasnya lebih dahulu.
[lxxiii]
[lxxiv] Contoh ishlah : jika kita melihat orang Islam yang malas
mengerjakan shalat, maka perubahan yang ada adalah ishlah, bukan taghyir.
Sebab asas (aqidah) yang dimilikinya masih selamat. Hanya saja dalam hal
ini ada penyimpangan pada aspek cabang (pelaksanaan shalat). Untuk muslim
yang tidak taat ini, cukup kita ingatkan dia akan aqidah Islam yang
diyakininya, memberinya nasihat dan dakwah, agar ketakwaannya subur kembali
sehingga dia mau shalat. Jadi, kepada orang muslim ini tidak tepat kita
lakukan tahgyir dengan mengubah aqidahnya, sebab aqidahnya sudah benar.
Yang diubah atau diperbaiki cukuplah pada aspek cabangnya.
[lxxv]
[lxxvi] Imam Baihaqi, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Mukhtashar
Syu'abul Iman li Imam Al-Qazwini), hlm. 72-73.
[lxxvii]
[lxxviii] Ibrahim Anis et al., Al Mu'jamul Wasith, (Kairo : Darul
Maarif,1972), hlm. 479.
[lxxix]
[lxxx] Ibrahim Anis et al., Al Mu'jamul Wasith, (Kairo : Darul
Maarif,1972), hlm. 479. Bandingkan dengan definisi syariah menurut Al
Jurjani dalam kitabnya At Ta'rifat, (Jeddah : Al Haramayn, tanpa tahun),
hlm. 167. Lihat juga Kadik Bilal Al Jaza`iri, "Ma'na Asy Syari'ah", Majalah
Al Wa'ie, no. 79, Th. VII, Jumadil Ula 1414 H/Oktober 1993, hlm. 24.
[lxxxi]
[lxxxii] Saifuddin Al Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Cetakan I,
(Beirut : Darul Fikr, 1996), Juz I. hlm. 70-71; Taqiyuddin An Nabhani, Asy-
Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Cetakan II, (Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al-
Tahrir, 1953), Juz III, hlm. 31. Muhammad Husayn Abdullah, Al- Wadhih fi
Ushul Al-Fiqh, Cetakan III, (Beirut : Darul Bayariq, 1995), hlm. 219.
[lxxxiii]
[lxxxiv] Penggunaan makna majazi dengan menyebut seluruhnya tapi yang
dimaksud adalah sebagiannya (totem pro parte), digunakan misalnya dalam QS
Al Baqarah : 19, Nuh : 7. Lihat Imam Al Akhdori, Ilmu Balaghoh (Jauhar
Maknun), Terjemahan oleh Moch Anwar, Cetakan III, (Bandung : PT.
Alma'arif, 1989), hlm. 143. Ali Al Jarim dan Musthafa Usman, Al Balaaghatul
Waadhihah, Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis dkk, Cetakan I, (Bandung :
Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm. 149. Hifni Bek Dayyab et. al., Kaidah
Tata Bahasa Arab (Qawa'id Al Lughah Al Arabiyyah), Terjemahan oleh Chatibul
Umam dkk, Cetakan VI, (Jakarta : Darul Ulum Press, 1997), hlm. 493.
[lxxxv]
[lxxxvi] Al Jurjani, At Ta'rifat, hlm. 168. Lihat juga Imam Asy
Syaukani, Irysadul Fuhul ila Tahqiqi Al Haq min Ilm Al Ushul, (Beirut :
Darul Fikr, tanpa tahun), hlm. 3; Saifuddin Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul Al
Ahkam, hlm. 9; Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Cetakan XII,
(Kuwait : Darul Qalam, 1978), hlm. 11. Mahmud Yunus, Mudzakkarat fi Ilmi
Ushul Al Fiqh, Cetakan V, (Jakarta : Al Maktabah Al Mahmudiyyah, 1959),
hal. 5. Para ulama ushul tidak pernah membedakan syariah dan fiqih.
Semuanya tercakup dalam istilah teknis dalam disiplin ushul fiqih : al hukm
asy syar'i. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan hukum menurut
adat/kebiasaan (al hukm al adi), hukum berdasarkan akal (al hukm al aqli),
dan hukum lain yang tidak berdasarkan syara' (wahyu). Pandangan kontemporer
(dari orientalis) membedakan antara syariah dengan fiqih. Syariah dikatakan
buatan Tuhan, sedang fiqih buatan fuqaha. Pembedaan ini walau ada benarnya
tapi bersifat tendensius, sebab tujuannya adalah untuk membuang fiqih Islam
(karena "hanya" buatan manusia, bukan buatan Tuhan), untuk selanjutnya
diganti dengan hukum-hukum positif dari Barat (yang kufur). Lihat Busthami
Muhammad Said, "Syariat Allah dan Syariat Fuqaha", Gerakan Pembaharuan
Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddun (Mafhum Tajdid Al Din), terjemahan
Ibnu Marjan & Ibadurrahman, cetakan I, (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah,
1995), hlm. 290-297. Lihat juga pandangan Bernard Weiss, The Spirit of
Islamic Law, Athens, GA, USA : University of Georgia Press, 1998, hlm. 120
seperti dikutip oleh Abdullahi Ahmed An Na'im, "Syariat dan Hukum Positif
di Negara Modern", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 12, Tahun 2002,
(Jakarta : Lakpesdam NU & The Asia Foundation, 2002), hlm. 46.
[lxxxvii]
[lxxxviii] Muhammad Husayn Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hlm.
56-58.
[lxxxix]
[xc] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, At Tasyri' wa Sann
Al Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah : Dirasah Tahliliyah, Cetakan I,
(Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyyah, 1992), .hal. 8. Taqiyuddin An
Nabhani, "Tabanni Al Khalifah Al Ahkaam wa Al Asaalib", Asy Syakhshiyyah
Al Islamiyyah, Juz II, Cetakan II, (Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir,
1953), Hal. 120.
[xci]
[xcii] Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al
Islam, Cetakan I, (Kuwait : Dar Al Buhuts Al Ilmiyyah, 1980), hal. 336-338.
[xciii]
[xciv] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, Cetakan VI, (t.t.p :
Min Mansyurat Hizb Al Tahrir, 2001), hal. 82-83. Muhammad Husain Abdullah,
Dirasat fi Al Fikr Al Islami, Cetakan I, (Beirut : Dar Al Bayariq), 1990,
hal. 62
[xcv]
[xcvi] Syaikh Muhammad Ali As Sayis, Fiqih Ijtihad : Pertumbuhan dan
Perkembangannya (Nasy`ah Fiqh Al Ijtihad wa Atwaruha), terjemahan oleh M.
Muzammil, Cetakan I, (Solo : Pustaka Mantiq, 1997), hal. 82-92.
[xcvii]
[xcviii] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, hal. 86. Lihat juga
Abdul Wahhab Khallaf, Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulashah Tarikh
Tasyri' al Islami), terjemahan oleh Zahri Hamid, Cetakan I, (Yogyakarta :
Dua Dimensi, 1985), hal. 81-83. Subhi Mahmashani, Filsafat Hukum Islam
(Falsafah At Tasyri' fi Al Islam), Cetakan II, Terjemahan Ahmad Sudjono,
(Bandung : PT. Alma'arif, 1981), hal. 69-75. Khusus mengenai kodifikasi
hukum Islam pada masa Utsmaniyah, lihat misalnya Syamsul Anwar, "Majallah
Al Ahkam Al Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam Pertama)", Jurnal Asy
Syir'ah, no. 2, Th. XIV, 1989, hal. 29-41, Yogyakarta : Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[xcix]
[c] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri', hal. 60
[ci]
[cii] Lihat juga Al Maaidah : 45 dan 47. Rincian tafsir ayat-ayat
tersebut (QS Al Maa`idah ayat 44,45, dan 47) lihat Al Jashshash, Ahkamul
Qur`an, Juz IV hal. 92-94. Untuk pemahaman ayat-ayat tersebut dalam aspek
pemerintahan/politik, lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham al
Hukm fi al Islam, hal. 65, 66, dan 364.
[ciii]
[civ] Kerusakan masyarakat kapitalis (khususnya Amerika Serikat)
telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan : kesehatan, kehamilan, AIDS,
keluarga, seks, perkawinan, minuman keras, pendidikan, hutang, keuangan,
politik, pembunuhan, pemerkosaan, rasialisme, persenjataan, lingkungan,
atmosfir, energi, nuklir, media massa, dan sebagainya. Selengkapnya dapat
dilihat misalnya Andrew L. Shapiro, Amerika Nomor 1 : Kondisi AS yang
Kontradiktif dan Ironis (We are Number One : Where America Stands and
Falls in the New World Order), terjemahan Jamilah M. Baraja, Cetakan I,
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995). Lihat juga Muhammad bin Saud Al Basyr,
Amerika di Ambang Keruntuhan (As Suquthu min Ad Dakhil), terjemahan oleh
Mustholah Maufur, Cetakan I, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1995).
[cv]
[cvi] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, At Tasyri', hal. 7.
[cvii]
[cviii] Uraian kelemahan-kelemahan umat Islam secara komprehensif
lihat Syaikh Afif Az Zain, Faktor-Faktor Kelemahan Umat Islam ('Awamil
Dha'fil Muslimin), terjemahan oleh Imaduddin Muhammad Muhyi, Cetakan I,
(Surabaya : Bina Ilmu, 1993), hlm. 9-43. Lihat juga Abdul Majid Abdus Salam
Al Muhtasib, "Awdha' Al Muslimin Al Ammah Mundzu Awa`il Al Qarn At Tasi'
'Asyar", Ittijahat At Tafsir fi al 'Ashri Ar Rahin, cetakan III, (Amman :
Maktab An Nahdhah Al Islamiyyah, 1982), hlm. 6-39; Taqiyuddin An Nabhani,
"Awamil Dha'f Ad Daulah Al Islamiyah" dst, Ad Daulah Al Islamiyyah,
cetakan V, (Beirut : Darul Ummah, 1994), hlm. 169-211
[cix]
[cx] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, op.cit., hlm. 7
[cxi]
[cxii] Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, hlm. 13-14.
Menurut An Nabhani, pada dasarnya hukum melakukan adopsi adalah mubah bagi
khalifah, tidak wajib, berdasarkan Ijma' Shahabat. Jadi hukum asalnya boleh
khalifah melakukan adopsi dan boleh juga tidak melakukan adopsi. Jika
urusan publik dapat diselenggarakan tanpa adopsi hukum oleh khalifah, maka
khalifah tidak wajib mengadopsi hukum. Namun hukum mubah ini menjadi wajib
jika kewajiban pengaturan urusan publik tidak dapat terlaksana kecuali
dengan adanya adopsi hukum oleh khalifah.
[cxiii]
[cxiv] Negara Islam (Khilafah/Imamah) itu sendiri wajib hukumnya
secara syar'i. Inilah pendapat ulama-ulama Islam yang dapat dipercaya.
Lihat Imam Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthaniyah, hlm. 5; Abu Ya'la Al
Farraa', Al Ahkamus Sulthaniyah, hlm.19; Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy
Syar'iyah, hlm.161; Ibnu Taimiyah, Majmu'ul Fatawa, jilid XXVIII hlm. 62;
Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I'tiqad, hlm. 97; Ibnu Khaldun, Al
Muqaddimah, hlm.167; Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hlm.264;
Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa'iqul Muhriqah, hlm.17; Ibnu Hajar A1
Asqalany, Fathul Bari, juz XIII hlm. 176; Imam An Nawawi, Syarah Muslim;
juz XII hlm. 205; Dr. Dliya'uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hlm.99;
Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hlm. 26; Abdul Qadir Audah, Al Islam
Wa Audla'una As Siyasiyah, hlm. 124; Dr. Mahmud Abdul Majid Al Khalidi,
Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hlm. 248; Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al
'Uzhma, hlm.75; Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hlm. 61;
Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba'ah, juz V hlm. 416;
Syaikh Ali Belhaj, I'adatul Khilafah, hlm. 13 dan masih banyak lagi yang
lainnya.
[cxv]
[cxvi] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Hukm, hlm. 42.
[cxvii]
[cxviii] Hukum-hukum yang diadopsi khalifah pada masa Khulafa`ur
Rasyidin antara lain, hukum pembagian harta dari Baitul Mal, pembagian
zakat bagi para mu`allaf, tanah taklukan di Irak, mengumpulkan thalaq tiga
dengan satu ucapan, dan perang kepada orang murtad. Lihat Mahmud Abdul
Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm, hlm. 336-341.
[cxix]
[cxx] Ibid.; Lihat juga Imam Al Juwaini, Ghiyatsul Umam fi At Tiyatsi
Azh Zhulam, Qathr : Mathabi' Ad Dauhah Al Haditsah, 1400 H, hlm. 216-217;
Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, ditahqiq oleh Syu'aib Al Arna`uth,
(Damaskus : Maktabah Darul Bayan, 1401 H/1981 M), hlm. 360. Perhatikanlah
bahwa hak legislasi dalam sistem Islam yang berada di tangan Khalifah,
berbeda dengan sistem demokrasi yang memberikan hak legislasi/adopsi hukum
kepada lembaga legislatif (parlemen). Berbeda pula dengan golongan Syiah
yang memberikan hak legislasi kepada para faqih (dalam sistem Wilayatul
Faqih) yang berfungsi sebagai pengganti Imam yang sedang ghaib (tidak ada).
Lihat Imam Khomeini, Al Hukumah Al Islamiyyah., (t.t.p. : t.p., tanpa
tahun), hlm. 49.
[cxxi]
[cxxii] Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz
II, hlm. 121.
[cxxiii]
[cxxiv] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, hlm. 111.
[cxxv]
[cxxvi] Taqiyuddin An Nabhani, " Ad Dustur wa Al Qanun", Nizham Al
Islam, hlm. 84-85, "Tabanni Khalifah lil Ahkam wa Al Asalib", Asy
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 116-117; Muhammad Ahmad Mufti &
Sami Salih Al Wakil, "Al Qawanin Al Ijra`iyyah wa At Tasyri'iyyah", At
Tasyri', hlm. 27-39.
[cxxvii]
[cxxviii] Taqiyuddin An Nabhani, "Ad Dustur wa Al Qanun", Nizham Al
Islam, hlm. 84.
[cxxix]
[cxxx] Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Fiqh An Nawazil, Jilid I, Riyadh
: Maktabah Ar Rasyid, 1408 H, hlm. 185.
[cxxxi]
[cxxxii] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, hlm. 86. Meski
perbedaan UUD Islami dan non-Islami nampaknya cukup jelas, namun tak jarang
dalam praktik masih ada kerancuan sehingga yang diklaim sebagai UUD Islami
di sebagian negara, misalnya UUD Iran (1979) dan UUD Sudan (1998),
sebenarnya belum mencerminkan UUD yang Islami. Lihat selengkapnya dalam
Hizbut Tahrir, Nash Naqdh Masyru' Ad Dustur Al Irani Al Mathruh lil
Munaqasyah fi Lajnah Al Khubara` wa Nash Ad Dustur Al Islami, t.t.p. :
t.p., 1979; Hizbut Tahrir, Naqdh Masyru' Dustur Jumhuriyyah As Sudan Sanah
1998 wa Nash Masyru' Ad Dustur Al Islami. t.t.p. : t.p., 1998.
[cxxxiii]
[cxxxiv] Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al Wakil, At Tasyri',
hlm. 29-30.
[cxxxv]
[cxxxvi] Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyyah, Juz III dan IV, Beirut
: Mu`assasah Ulum Al Qur`an, tanpa tahun, hlm. 216.
[cxxxvii]
[cxxxviii] Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, pasal 2 dan
3, hlm.11-19; Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, "Hukm Tabanni Rais Ad Daulah
fi Al Ibadat" dan "Hukm Tabanni Rais Ad Daulah fi Al Aqa`id", Qawaid
Nizham Al Hukm fi Al Islam, hlm. 356-362.
[cxxxix]
[cxl] Negara secara prinsip menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai dasar
negara. Namun negara (khalifah) tidak mengadopsi pemikiran yang berkaitan
dengan aqidah, yaitu pemikiran yang tidak ada nash yang qath'i padanya,
misalnya masalah khalqul Qur`an (kemakhlukan Al Qur`an), Qadha`-Qadar, dan
sebagainya.
-----------------------
1