1
Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktualtransenden dari sifat alami a lami manusia (humanis). Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah ³penguasaan diri´ sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem ³Pengajaran´ dan ³Pendidikan´ yang harus bersinergis bersinergis satu sama sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. spiritualitas. Beliau sendiri se ndiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai mode l keteladanan dan sebagai fasilitator kelas. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan d i Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu
2
nasionalistik, universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi µkepala, hati dan panca indera¶ (educate the head, the heart, and the hand).
3
02.05.2004 07:56:00 37956x dibaca PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN Oleh Br. Theo Riyanto, FIC
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari ³to have´ (apa saja materi yang dimilikinya) dan ³to do´ (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (³to be´ atau ³being´nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (ko natif)). Singkatnya, ³educate the head, the heart, and the hand !´ Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka ³gandrung teknologi´, asyik dan terpesona dengan penemuan penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia da n semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
4
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:´Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.´ Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistic
5
PRINSIP-PRINSIP DASAR PENDIDIKAN MENURUT TEORI BELAJAR KI HAJAR DEWANTARA Posted under: Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan by lisnaini on October 14, 2009 1:49 pm Oleh : Rosnita Ariani/ NPM 0823011114/ Kelas A
A. PENDAHULUAN Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh pemerintah. Pernah di buang ke negeri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai dengan 5 September 1919. Pernah mendapat gelar Doktor Kehormatan (honoris causa) di bidang Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada. Pada tanggal 28 Nopember 1959 beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, dan pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya sebagai Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 26 April 1959. Pada tanggal 17 Agustus 1960 beliau dianugerahi Presiden penghargaan Bintang Mahaputra I, dan pada tanggal 20 Mei 1961 dianugerahi tanda kehormatan Satya Lencana Kemerdekaan untuk prestasi dan perjuangannya yang gigih di bidang pendidikan, dan atas perjuangannya tersebut Ki Hajar Dewantara kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia. B. ISI Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kea rah keluhuran hidup kemanusiaan. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni: 1. Kontinyu 2. Konsentris 3. Konvergen Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu: 1. Alam keluarga 2. Alam perguruan 3. Alam pergerakan pemuda
2. Bidang Pengajaran Pengajaran merupakan salah satu jalan pendidikan yaitu suatu usaha memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihannya yang perlu dengan maksud memajukan kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan konsep-konsep dasar pengajaran meliputi: 1. Teori dasar-ajar
6
2. Trisakti jiwa 3. Sistem among C.
ANALISIS Theodore Brameld melihat keterkaitan yang erat antara pendidikan masyarakat dan kebudayaan. Pendapat serupa juga disampaikan Tylor yang mengatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, Ki Hajar Dewantara memaknai pendidikan sebagai usaha penurunan nilainilai budaya kepada generasi berikutnya dalam setiap zamannya. Pendangan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan dan kebudayaan ini tertuang dalam sebuah teori sebagai hasil pemikirannya yang dikenal dengan teori Trikon. PERGURUAN KEBANGSAAN TAMAN SISWA Didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) dalam bentuk yayasan, mulai mendirikan Taman Indria, kursus guru, Taman Muda (SD), Taman Dewasa Merangkap Taman Guru (Mulo Kweekschool), Taman Madya, prasarjana, dan Sarjana Wiyata. Asas dan Tu juan Taman Siswa 1. Bahwa setiap orang mempunyi hak mengatur deirinya sendiri, dengan terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum 2. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri. 3. Bahwa pengajaran harus berdasarkan pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri. 4. Bahwa pengajaran harus tersebar luar sampai dapat mkenjangkau seluruh rak yat 5. Bahwa untuk mengajar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun batin hendaklah diusahakan dengan kekuatan sendiri, danmenolak bantuan dari siapapun yang mengikat, baik lahir maupun batin 6. Bahwa setiap konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan 7. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu ada keikhlasan lahir dan batin mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak Panca Dharma Taman Si swa Tahun 1947 Taman Siswa melengkapi asas 1977, yaitu dari wawasan guru yang dikenal dengan Panca Dharma, yaitu: 1. Arti kemerdekaan harus diartikan disiplin terhadap d iri sendiri oleh diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu atau anggota masyarakat. Kemerdekaan menjadi alzt pengembang pribadi yang kuat dat sadar dalam suatu perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat tertib damai di tempat keanggitaannya. 2. Asas kodrat alam. Pada hakekatnya manusia itu seebagai mahluk adalah satu dengan koodrat alam. Ia tidak bisa lepada dari kehendaknya, tetapi akan mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam
7
3. Asas kebudayaan 4. Asas kebangsaan, tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malahan harus mkenjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata dan oleh dan oleh karena tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain 5. Asas kemanusiaan Tu juan Perguruan Taman Siswa 1. Sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai 2. Tujuan pendidikanTaman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertangung jawab atas keserasian bangsa tanah air serta manusia pada umumnya Daftar Pustaka Siswa, Majelisluhur Persatuan Taman. 1977. Karya Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta: Majelisluhur Persatuan Taman Siswa
8
TEORI-TEORI BELAJAR SEKITAR AJARAN KIHAJAR DEWANTARA TUT WURI HANDAYANI
Ternyata Ki Hajar Dewantara telah lama melahirkan teori belajar yang saat ini mampu menjadi penengah sekaligus konvergensi dua teori belajar yang saling berseberangan. Ternyata teori belajar behavioristik dan teori belajar konstruktivistik mampu diteropong oleh Tut Wuri Handayani. Dr. Iskandar Wiryokusumo MSc, dengan cermat melihat bahwa Ki Hajar telah meronce pemikiran pendidik an yang hingga saat ini masih memiliki nilai keampuhan. Berikut suatu temuan yang menyatakan; []TUT WURI memiliki sifat antara lain adalah kebebasan, kemerdekaan, kodrat alam, tidak memaksa, mandiri, dll. Yang jelas merupakan sifat KONSTRUKTIVISTIK []TUT WURI juga memiliki ciri-ciri lain, seperti, tauladan (Tuladha), membentuk kemauan dan memberi motivasi (Mangun karsa), kewibawaan guru (handayani), dan seterusnya, yang semua ini mendekati ciri BEHAVIORISTIK Diposkan oleh Djoko Adi Walujo [Pemerhati Buku] di 8:27 AM
9
Yang Terlupakan dari Ki Hajar Dewantara Rabu, 02-05-2007 17:25:03 oleh: bajoe Kanal: Opini Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional semua orang Indonesia sudah tahu. Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional semua orang juga sudah tahu. Kalau masih ada orang yang tidak tahu, pasti ketika lulus sekolah, saat ujian beli bocoran jawaban :) Tapi adakah yang tahu ajaran Ki Hajar Dewantara? I ng Ngarsa Sung Tuladha, I ng Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Yap betul! Tapi apakah semua tahu maksud dari kalimat filosofi ini? Kali ini aku tidak akan membahas soal Tut Wuri itu, tetapi ada satu konsep dari Ki Hajar Dewantara yang terlupakan. Ki Hajar perna h melontarkan konsep belajar 3 dinding. Mengapa 3 dinding? Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar. Coba bandingkan dengan bentuk kelas kita dulu saat kecil. Empat dinding tembok, dengan jendela tinggi-tinggi, sehingga kita yang masih kecil tidak bisa melihat keluar. Lalu biasanya di dinding digantungi foto-foto pahlawan perang yang angker-angker, dari Pattimura, Teuku Umar, Diponegoro sampai Sultan Hasanudin. Jarang sekali ada yang memasang foto pujangga masa lalu seperti Buya Hamka, Ranggawarsito, Marah Rusli, dll. Paling-paling pujangga yang sempat diingat anak-anak SD adalah WR Supratman. Dulu mungkin alasannya agar anak-anak tetap fokus pada guru di depan, matanya tidak ke manamana. Tapi sebenarnya sebuah bangunan berdiri, sadar atau tidak sadar, mencerminkan bagaimana cara berpikir si arsitek atau si pemilik. Dengan ruang kelas sekolah kita, seolah menegaskan bahwa sekolah adalah sekolah, dunia adalah dunia. Semuanya terpisah. Murid kewajibannya hanya belajar teori. Akibatnya sampai sekarang«banyak anak pandai tapi tidak dapat berbuat apa-apa selepas lulus. Sekarang, di beberapa sekolah favorit , terutama yang memakai kurikulum internasional mengakomodasi soal kesenjangan dunia kelas dengan dunia luar ini. Mereka ini biasanya mengajak murid-muridnya dengan acara-acara : mini trip, outbound, jalan-jalan, dan sebagainya. Saya yakin seratus persen, bila pengajar di sekolah internasional itu mengadaptasi soal jalan jalan ke luar kelas ini berdasarkan kurikulum dari luar negeri, bukan dari konsep Ki Hajar. Artinya , kemajuan pendidikan di luar negeri pun sudah mempertemukan teori (kelas) dengan realitas. Konsep yang digaungkan o leh Ki Hajar, hampir seabad yang lalu. Ironis. Sekarang orang lebih getol atau lebih percaya belajar dari orang luar (negeri), namun lupa atau tidak mau belajar dari bangsa sendiri. Konsep menyatunya kelas tempat belajar dengan realitas yang ditawarkan Ki Hajar , mungkin memang bukan orisinil dari Beliau. Mungkin ko nsep ini sudah ada sebelumnya Ki Hajar hidup.
10
Namun ketika Ki Hajar merumuskan konsep ini dengan istilah 3 dinding, menunjukkan betapa luasnya wawasan Beliau dan mampu mengadaptasi konsep tersebut dalam budaya Indonesia. Selamat Hari Pendidikan!
11
Yang Terlupakan dari Ki Hajar Dewantara Rabu, 02-05-2007 17:25:03 oleh: bajoe Kanal: Opini Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional semua orang Indonesia sudah tahu. Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional semua orang juga sudah tahu. Kalau masih ada orang yang tidak tahu, pasti ketika lulus sekolah, saat ujian beli bocoran jawaban :) Tapi adakah yang tahu ajaran Ki Hajar Dewantara? I ng Ngarsa Sung Tuladha, I ng Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Yap betul! Tapi apakah semua tahu maksud dari kalimat filosofi ini? Kali ini aku tidak akan membahas soal Tut Wuri itu, tetapi ada satu konsep dari Ki Hajar Dewantara yang terlupakan. Ki Hajar perna h melontarkan konsep belajar 3 dinding. Mengapa 3 dinding? Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar. Coba bandingkan dengan bentuk kelas kita dulu saat kecil. Empat dinding tembok, dengan jendela tinggi-tinggi, sehingga kita yang masih kecil tidak bisa melihat keluar. Lalu biasanya di dinding digantungi foto-foto pahlawan perang yang angker-angker, dari Pattimura, Teuku Umar, Diponegoro sampai Sultan Hasanudin. Jarang sekali ada yang memasang foto pujangga masa lalu seperti Buya Hamka, Ranggawarsito, Marah Rusli, dll. Paling-paling pujangga yang sempat diingat anak-anak SD adalah WR Supratman. Dulu mungkin alasannya agar anak-anak tetap fokus pada guru di depan, matanya tidak ke manamana. Tapi sebenarnya sebuah bangunan berdiri, sadar atau tidak sadar, mencerminkan bagaimana cara berpikir si arsitek atau si pemilik. Dengan ruang kelas sekolah kita, seolah menegaskan bahwa sekolah adalah sekolah, dunia adalah dunia. Semuanya terpisah. Murid kewajibannya hanya belajar teori. Akibatnya sampai sekarang«banyak anak pandai tapi tidak dapat berbuat apa-apa selepas lulus. Sekarang, di beberapa sekolah favorit , terutama yang memakai kurikulum internasional mengakomodasi soal kesenjangan dunia kelas dengan dunia luar ini. Mereka ini biasanya mengajak murid-muridnya dengan acara-acara : mini trip, outbound, jalan-jalan, dan sebagainya. Saya yakin seratus persen, bila pengajar di sekolah internasional itu mengadaptasi soal jalan jalan ke luar kelas ini berdasarkan kurikulum dari luar negeri, bukan dari konsep Ki Hajar. Artinya , kemajuan pendidikan di luar negeri pun sudah mempertemukan teori (kelas) dengan realitas. Konsep yang digaungkan o leh Ki Hajar, hampir seabad yang lalu. Ironis. Sekarang orang lebih getol atau lebih percaya belajar dari orang luar (negeri), namun lupa atau tidak mau belajar dari bangsa sendiri. Konsep menyatunya kelas tempat belajar dengan realitas yang ditawarkan Ki Hajar , mungkin memang bukan orisinil dari Beliau. Mungkin ko nsep ini sudah ada sebelumnya Ki Hajar hidup.
12
Namun ketika Ki Hajar merumuskan konsep ini dengan istilah 3 dinding, menunjukkan betapa luasnya wawasan Beliau dan mampu mengadaptasi konsep tersebut dalam budaya Indonesia. Selamat Hari Pendidikan!
13
135 Dasar Pendidikan Dalam buku karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama (1977: 13-14) dijelaskan tentang dasar pendidikan sebagai berikut. Pendidikan tidak memakai dasar ´regering, tucht en orde´ tetapi ´orde en vrede´ (tertib dan damai, tata-tentrem). Pendidik wajib menjaga atas kelangsungan kehidupan bathin sang anak, dan haruslah anak dijauhkan dari tiap-tiap paksaan. Namun demikian, pendidik juga tidak akan ´nguja´ (membiarkan) anak-anak. Pendidik mempunyai kewajiban mengamati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat. ´Tucht´ (hukuman) itu dimaksudkan untuk mencegah kejahatan. Sebelum terjadi kesalahannya, aturan hukumannya sudah harus tersedia. Misalnya, barang siapa datang terlambat tentu akan dapat hukuman berdiri di muka kelas. Hukuman semacam itu, pertama adalah tiada setimpal dengan kesalahannya. Kedua, tiap-tiap aturan yang mendahului kenyataannya, itulah bertentangan dengan sifatnya roch manusia, yang tiada dapat dimasukkan dalam peraturan. Tanda buktinya adalah untuk mengatur ketertiban pergaulan hidup, sudah ada macam-macam dan ribuan peraturan. Tetapi setiap hari orangpun masih selalu membuat aturan baru. Itulah tandanya setiap peraturan tiada akan bisa sempurna. ´Orde´ (ketertiban) yang dimaksudkan dalam pendidikan barat jelaslah hanya paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan oleh karenanya, maka hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan terdapat. Kesemuanya itu merupakan syarat-syarat jika pendidikan hendak mendatangkan manusia yang merdeka dalam arti kata yang sebenar-benarnya. Yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan .... dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan iu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 4 ). Maksud pendidikan Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anakanak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan keahagiaan setingi-tingginya. Oleh karen itu, haruslah diingat bahwa pendidikan hanya suatu ´tuntunan´ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti, bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan dan kehendak kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup jelas hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak tidak lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat
14
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 39, Nomor 2, November 2009 136 menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 20-21). Peralatan pendidikan Ki Hadjar Dewantara (1977: 29) menjelaskan yang dimaksud dengan perkataan ´peralatan´ itu sebenarnya alat-alat yang pokok, cara-caranya mendidik. Dengan demikian sebenarnya cara-cara itu teramat banyaklah jumlahnya. Akan tetapi dari sekian banyak itu dapatlah dibagi dalam beberapa kategori, sebagai berikut: (a) memberi contoh (voorbeeld); (b) pembiasaan (pakulinan, gewoo ntevorming); (c) pengajaran (leering, wulang-wuruk); (d) perintah, paksaan, dan huku man (regeering en tucht); (e) laku (zelfbeheersching, zelfdiscipline); (f) pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngro so, beleving). Alat-alat itu tidak perlu dipilih atau d ilakukan semuanya, bahkan ada yang tidak mufakat dengan salah satu dari yang termaktup tersebut. Seringkali seorang pendidik mementingkan sesuatu bagian dan pada umumnya memilih cara-cara itu dihubungkan dengan jenis keadaan, khususnya kondisi usia anak.