VISIT HTTP://EBOOK4.CO.NR FOR MORE FREE EBOOK
PENDEKAR CACAT KARYA : GU LONG SADURAN : CAN ID
SOURCE FROM INDOZONE.NET CREDIT TO LOVECAN EBOOK AND PUBLISH BY EBOOK4.CO.NR HANYA UNTUK PENGGUNAAN PRIBADI, TIDAK UNTUK KOMERSIAL. HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
PENDEKAR CACAT
Pendekar Cacat
1 KEMATIAN BU-LIM BENGCU YANG MISTERIUS
M
atahari telah tenggelam di langit barat, sinar keemas-emasan membias di angkasa dan menyinari suasana senja yang amat indah.
Di tengah sebuah jalan raya yang lebar, mendadak terdengar suara ringkik kuda yang amat keras, bergema memecah keheningan. Di bawah sinar keemas-emasan yang membias di angkasa, dari kejauhan di sebelah barat terlihat seekor kuda berbulu kuning berlari dengan kencang. Anehnya, kuda jempolan yang sedang berlari kencang sambil meringkik tiada hentinya itu tanpa penunggang di atas pelananya. Kuda tanpa penunggang itu berlari kencang menuju ke arah timur dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
1
Pendekar Cacat
Akhirnya sampailah kuda jempolan tadi di muka sebuah gedung megah yang dikelilingi tembok pekarangan berwarna merah. Empat orang pria berbaju hitam yang membawa tombak berdiri berjaga di kedua sisi pintu gerbang gedung itu, ketika menyaksikan kehadiran kuda itu, paras muka mereka berubah hebat. Mendadak kuda jempolan itu meringkik panjang, suaranya keras dan sangat memilukan hati. Belum habis suara ringkiknya, keempat kaki kuda sudah menjejak tanah, lalu seperti anak panah terlepas dari busurnya, ia menubruk ke patung singa yang berada di sebelah kanan pintu. Terdengar suara benturan diikuti bunyi remuknya tulang, darah dan hancuran daging beterbangan, ternyata kuda itu melakukan bunuh diri dan mati seketika itu juga. Tindakan yang amat mendadak dan sama sekali tidak terduga ini berlangsung dalam sekejap, mimpi pun keempat orang pengawal itu tidak menyangka kuda jempolan itu akan melakukan bunuh diri di hadapan mereka, sesaat mereka terbelalak lebar dengan mulut melongo. Tampaknya kuda itu adalah kuda jempolan yang berperasaan, karma majikannya tewas, maka ia pun bunuh diri menyusul tewasnya sang majikan. ***
2
Pendekar Cacat
Gedung nomor satu di kota Kay-hong, gedung yang ditinggali Bu-lim Bengcu, disebut pula Bu-lim Bengcu-hu. Gedung itu tinggi dan amat megah dengan pintu gerbang besar serta bangunan yang beratus-ratus banyaknya. Tengah hari baru menjelang, matahari bersinar dengan teriknya, tiang lentera yang tingginya enam-tujuh kaki di tengah halaman gedung Bu-lim Bengcu ini tampak bendera putih berkibar dengan megahnya, di antara kain putih tertera huruf-huruf yang mengartikan duka-cita. Pada halaman depan gedung megah itu tampak banyak kereta diparkir di situ, banyak pula orang yang berlalulalang melalui pintu gerbang itu. Tapi mereka harus melalui pemeriksaan dan pengawasan seksama oleh dua puluh empat Busu berbaju hitam sebelum masuk ke dalam. Semua Busu berbaju hitam itu membawa senjata lengkap, pada lengannya dibalut kain hitam yang menandakan berduka-cita, wajah mereka rata-rata serius, dengan sorot mata tajam mengawasi setiap orang yang keluar masuk di dalam gedung. Mendadak di sudut lapangan di luar gedung muncul seorang sastrawan berbaju hitam berwajah tampan, bertubuh kekar, tapi kalau berjalan, kaki kirinya pincang.
3
Pendekar Cacat
Paras mukanya pucat kekuning-kuningan, seperti wajah seorang berpenyakitan, kesepian dan kehilangan semangat. Lama sekali pemuda berbaju hitam itu berdiri termenung di situ, akhirnya selangkah demi selangkah secara terpincangpincang menaiki anak tangga batu dan mengikuti kerumunan orang banyak bersama-sama memasuki pintu gerbang. Tiba-tiba dari sisi jalan melompat keluar dua orang Busu berbaju hitam yang menghadang jalan perginya, kemudian terdengar Busu yang di sebelah kanan menegur, "Saudara, harap berhenti dulu!" Agak tertegun sastrawan berbaju hitam itu mendengar teguran itu, ia berhenti dan segera menjura dalam-dalam. "Aku datang hanya untuk menyampaikan duka-citaku terhadap kematian Bengcu," buru-buru ia menerangkan. "Harap saudara sudi memperlihatkan surat duka-citanya." "Surat duka-cita?" pemuda itu tertegun, "Ah, benar, lantaran tergesa-gesa melakukan perjalanan, aku lupa membawanya." Busu itu segera menggeleng, "Jauh-jauh saudara datang ke kota Kay-hong untuk melawat, arwah Bengcu di alam baka pasti mengetahui dan berterima kasih sekali, sayang aku tak mengizinkan kau memasuki gedung Bengcu ini."
4
Pendekar Cacat
"Ai...." pemuda itu menghela napas, "Sudah lama kukagumi Oh-bengcu yang gagah perkasa, apakah aku tidak boleh masuk sebentar untuk menyampaikan hormatku di depan layonnya?" Agak tercengang juga Busu itu ketika dilihatnya sepasang mata pemuda berpenyakitan itu berkaca-kaca waktu bicara, namun ia tetap menggeleng kepala. "Aku pun berterima kasih atas kehadiranmu yang tulus untuk turut berduka-cita atas kematian Oh-bengcu, sayang panitia pemakaman telah memerintahkan, siapa yang tak diketahui identitasnya dilarang menghadiri upacara ini. Jadi terpaksa kehadiranmu kami tolak!" Pemuda berbaju hitam itu nampak semakin sedih sesudah mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, rasa kesepian dan kehilangan semangat makin kentara. Ia membalikkan tubuh, lalu dengan terpincang-pincang menuruni anak tangga batu. Dalam hati ia bergumam dengan penuh kesedihan, "Sepuluh tahun dipelihara dan dididik, budi kebaikan ini lebih dalam dari samudra, aku harus menyembah di muka layon guruku, meski aku Bong Thian-gak adalah murid yang sudah dikeluarkan dari perguruan. Tapi budi Suhu tak akan kulupakan. Oh! Suhu, maafkanlah aku! Bong Thian-gak akan mengingkari larangan kau orang tua dan melangkah masuk ke dalam gedung Bu-lim Bengcu!" ***
5
Pendekar Cacat
Malam sudah kelam, langit sangat gelap, tiada rembulan, tiada bintang, yang ada hanya awan gelap yang menyelimuti seluruh angkasa. Dari balik hutan di sebelah timur laut gedung Bu-lim Bengcu, mendadak muncul sesosok bayangan. Dengan sepasang matanya yang tajam, dia memandang sekejap halaman gedung Bu-lim Bengcu yang terang benderang bermandikan cahaya, kemudian dengan menyeret kakinya yang pincang, pelan-pelan dia berjalan menuju ke sudut dinding. Tampak pemuda itu tanpa bertekuk lutut atau menggerakkan pinggang, dengan enteng melompat naik ke atas tembok pekarangan. Ilmu meringankan tubuh yang sempurna, betul-betul amat hebat, orang tidak akan menyangka seorang pemuda pincang dapat memiliki kepandaian sedemikian hebatnya. Perlu diketahui, untuk bisa melompat naik tanpa menekuk lutut dan menggerakkan pinggang, orang harus menggantungkan tenaga pantulan kedua belah lengannya, padahal ia harus melampaui tembok pekarangan setinggi satu tombak lebih, hal itu tak mungkin bisa dilakukan seandainya dia tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna.
6
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tidak berhenti lama di atas tembok pekarangan, secepat kilat dia meluncur turun dan menyembunyikan diri. Saat itulah bergema suara langkah orang, dari depan sana muncul tiga orang pengawal berbaju hitam sedang melakukan perondaan. Dengan amat teratur dan berdisiplin tinggi, mereka melakukan pemeriksaan seksama ke sekeliling halaman, sementara sebilah pedang pendek tergantung di pinggang masing-masing. Ketika tahu hal ini, lagi-lagi ia terperanjat. "Heran!" ia berpikir, "Mengapa gedung Bu-lim Bengcu harus dijaga sedemikian ketat, bahkan beberapa kali lebih ketat daripada dulu?" Mendadak ia teringat kejadian siang tadi, sewaktu ia dilarang penjaga pintu memasuki gedung. Berbagai kecurigaan segera berkecamuk dalam benak pemuda itu. Kembali ia berpikir, "Semasa masih hidupnya dulu, Suhu adalah seorang Bengcu persilatan angkatan kedua puluh sembilan yang namanya menggetarkan seluruh sungai telaga, kini dia orang tua telah tiada, sepantasnya kalau setiap umat persilatan diberi kesempatan menyampaikan penghormatan yang terakhir, mengapa hanya orang yang menerima surat duka-cita saja yang diizinkan hadir?"
7
Pendekar Cacat
Belum habis dia berpikir, mendadak terdengar salah seorang di antara tiga pengawal itu berkata, "Ah Jiang, sejak kematian Oh-bengcu, selama empat puluh sembilan hari ini gedung Bengcu dijaga sedemikian ketatnya sehingga burung pun tidak bisa lewat, tindakan ini benarbenar tidak habis kumengerti." "Hm, selama empat puluh sembilan hari ini kita benarbenar tersiksa," rekannya mendengus, "Coba kalau sikap Oh-bengcu semasa hidup dulu tidak baik terhadap kita, maknya, aku benar-benar akan mencaci-maki kawanan telur busuk itu sampai tujuh turunan." Pengawal yang bernama Ah Jiang tampaknya merupakan ketua regu, dengan cepat membentak, "Kalian berdua jangan sembarangan bicara, kalian tahu apa? Konon sejak kuda tunggangan Bengcu kembali ke Kay-hong dengan membawa warta kematian Bengcu dan bunuh diri di depan patung singa, lima jago lihai yang secara kebetulan bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu pun secara beruntun menemui ajal secara aneh." Mengikuti suara langkah mereka yang makin menjauh, suara pembicaraan itu pun tak terdengar lagi. Tetapi serangkaian pembicaraan itu cukup membuat Bong Thian-gak terperanjat. Sekarang ia sudah tahu apa sebabnya suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu sedemikian tegang dan pengawasan dilakukan seketat itu, sebenarnya ia mengira Bengcu mati
8
Pendekar Cacat
karena sakit, tapi kini ia mulai menduga kematian gurunya merupakan kematian yang tidak wajar. Kalau begitu, besar kemungkinan gurunya mati dibunuh orang. Thi-ciang-kan-kun-hoan (Pukulan baja gelang jagad) Oh Ciong-hu merupakan jagoan bernama besar dalam Bu-lim, kesempurnaan ilmu silatnya meskipun belum dapat dikatakan nomor wahid, namun orang persilatan pun belum tentu dapat menangkan ilmu Thi-ciang-kan-kunhoannya yang maha dahsyat. Bong Thian-gak, si pemuda pincang itu tidak sanggup menahan diri, dengan enteng dia melompat bangun, lalu dengan mengembangkan Ginkangnya melewati beberapa bangunan. Setiap jalanan maupun bangunan yang ada di dalam gedung Bu-lim Bengcu ini sangat dikenal olehnya, sekali pun ia hanya memejamkan mata, dia pun bisa melukiskan peta tempat itu, karena tujuh tahun berselang dia pernah tinggal di situ. Walaupun penjagaan di dalam gedung Bu-lim Bengcu amat ketat, bahkan pada hakikatnya tiap tiga langkah satu pengawal, setiap langkah satu pos penjagaan, tetapi berhubung udara sangat gelap, ditambah lagi Bong Thiangak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, maka ia dapat menyelundup masuk dengan leluasa.
9
Pendekar Cacat
Seperti segulung asap, dia menyusup ke dalam dan akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan besar. Tengah malam sudah menjelang tiba, angin malam berhembus mengibarkan kain putih di atas tiang lentera, suasana amat hening, hanya tujuh buah lentera menerangi ruangan itu. Cahaya lentera yang redup menyinari setiap benda yang ada di situ, karangan bunga di tengah ruangan yang lebar, keranjang bunga di depan pintu gerbang dan kain-kain putih dengan huruf hitam yang tergantung di setiap dinding. Pada bagian paling belakang ruangan itu tampak sebuah meja abu, di depannya terpajang nama Oh Ciong-hu dan di dinding tergantung lukisan wajahnya. Bong Thian-gak menjatuhkan diri berlutut di depan sebuah Hiolo berwarna kuning tembaga, air mata bercucuran membasahi wajahnya, seluruh badan gemetar keras menahan isak tangis, walau tiada suara tangis yang terdengar, akan tetapi kesedihan tanpa suara tangis terasa jauh lebih menyedihkan. Dalam waktu singkat, kenangan lama melintas di depan mata. Ia teringat kejadian pada tujuh belas tahun berselang, waktu itu hujan salju turun dengan derasnya, ketika ia sedang tergeletak di suatu sudut jalanan kota Kayhong sambil menahan lapar dan kedinginan, tiba-tiba
10
Pendekar Cacat
muncul seorang seperti malaikat menunggang kuda jempolan menyelamatkan jiwanya. Kemudian orang itu telah memeliharanya, tiga tahun kemudian bahkan ia melanggar kebiasaan dengan menerimanya sebagai murid terakhir. Begitulah, dia pun merasakan kasih sayang dan kehangatan keluarga dari kakek penolongnya itu. Sekarang melihat tulisan turut berduka-cita yang memenuhi ruangan, tak tahan ia memanggil dengan sedih, "Oh, Suhu!" Ia menubruk ke atas meja altar, lalu sambil memeluk tulisan nama gurunya, ia bergumam lagi, "Suhu, aku Bong Thian-gak benar-benar sangat berdosa. Suhu, walaupun kau orang tua telah mengusirku dari perguruan, namun dalam hati tak akan kulupakan budi pertolongan dan didikan Suhu selama belasan tahun. Suhu, sebenarnya aku kemari untuk memohon kepadamu agar menerimaku kembali dalam perguruanmu ... tapi kini kau orang tua takkan bisa mengabulkan permintaanku lagi! Selama hidup Bong Thian-gak akan menjadi manusia berdosa yang telah dikeluarkan dari perguruan, oh, Suhu ...." la tak kuasa menahan rasa sedih yang mencekam perasaannya, meledaklah isak tangisnya yang amat memilukan.
11
Pendekar Cacat
Sementara Bong Thian-gak masih tercekam dalam suasana sedih, mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara helaan napas. Bong Thian-gak segera sadar dari kesedihan dan segera berpaling. Entah sejak kapan di tengah ruangan telah muncul seorang pendeta tua berjubah abu-abu. Telapak tangan kirinya disilangkan di depan dada, sementara tangan kanannya membawa tasbih, wajahnya ramah dan saleh, waktu itu ia sedang bergumam membaca doa. Setelah dapat melihat jelas raut wajah pendeta tua itu, dengan terperanjat Bong Thian-gak berpikir, "Bukankah pendeta tua ini adalah Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siaulim-pay?" Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siau-lim-pay adalah Supek ketua Siau-lim-pay sekarang, kedudukannya dalam Bu-lim boleh dibilang adalah angkatan tua. Bong Thian-gak masih ingat, tujuh tahun berselang, sebelum dia dikeluarkan dari perguruan, pemuda itu pernah mendengar orang berkata, Ku-lo Siansu telah menutup diri dan tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Tak heran kemunculannya sekarang kontan membuat anak muda itu tercengang.
12
Pendekar Cacat
Beberapa saat lamanya pendeta tua itu memejamkan mata sambil berdoa, akhirnya dia membuka mata dan menatap wajah Bong Thian-gak dengan sorot mata setajam sembilu. "Omitohud! Limpahan perasaan sedih di hadapan layon Ohbengcu benar-benar suatu pelimpahan perasaan yang sebenarnya, bila arwah Oh-bengcu di alam baka tahu, dia pasti akan terhibur, harap Sicu segera menghentikan kesedihanmu itu!" Dari kata-katanya itu, Ku-lo Siansu dapat melihat Bong Thian-gak telah menderita luka dalam akibat kesedihan yang kelewat batas. Dengan amat hormat Bong Thian-gak menjura kepada pendeta saleh itu, sahutnya, "Terima kasih banyak atas nasehat Losiansu." "Sicu, bolehkah Pinceng tahu, apa hubunganmu dengan Oh-bengcu?" Tergerak hati Bong Thian-gak. "Wanpwe pernah menerima budi pertolongan jiwa dari Ohbengcu, budi ini dalamnya melebihi samudra, maka ketika kudengar berita kematiannya, aku menjadi sedih sekali, apalagi bila teringat budi kebaikannya belum sempat kubalas." Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.
13
Pendekar Cacat
"Kegagahan dan kebajikan Oh-bengcu telah mendatangkan berkah dan keuntungan bagi seluruh umat manusia, kini dia telah tiada, kehilangan ini terasa berat dan menyedihkan buat kita, ai ... limpahan perasaan Sicu pasti akan menghibur arwah Oh-bengcu di alam baka." Mencorong sinar mata tajam dari balik mata Bong Thiangak sesudah mendengar perkataan itu, katanya kembali, "Aku sudah banyak berhutang budi kepada Oh-bengcu, sekali pun malam ini aku datang untuk menyampaikan rasa dukaku di hadapan layonnya, namun semua itu belum dapat membayar budi kebaikan yang pernah kuterima, kejadian ini benar-benar membuat hatiku sedih." Untuk kesekian kalinya Ku-lo Hwesio mengamati wajah Bong Thian-gak. "Bila Sicu ingin membalas budi kebaikannya, sepantasnya bila kau lanjutkan cita-cita Oh-bengcu mendatangkan keuntungan dan berkah bagi persilatan, sebab hanya dengan cara ini saja kau membalas budi Oh-bengcu."
sudah untuk umat dapat
"Losiansu," tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "ada satu persoalan ingin kutanya padamu, apa yang menyebabkan kematian Oh-bengcu?" "Omitohud, Lolap pun baru saja kemari dari kuil Siau-lim-si, aku sendiri kurang jelas tentang keadaan yang sesungguhnya. Bila ingin mengetahui hal ini, lebih baik besok saja ditanyakan langsung kepada para ahli warisnya!"
14
Pendekar Cacat
Baru selesai berkata, mendadak dari luar ruangan berkumandang suara bentakan nyaring, "Siapa di dalam ruangan? Cepat laporkan namamu!" Delapan sosok bayangan orang berkelebat di depan pintu ruangan, delapan orang pengawal berbaju hitam dengan senjata terhunus telah menghadang di depan pintu. "Aduh celaka!" pikir Bong Thian-gak dengan terperanjat. Baru lewat ingatan itu, Ku-lo Hwesio telah menyahut dengan suara rendah, "Omitohud, harap Sicu sekalian suka melaporkan, Ku-lo dari Siau-lim-si datang untuk menyambangi layon sahabat karibnya." Nama Ku-lo dari Siau-lim-si ibarat guntur yang membelah bumi di siang bolong, kontan membuat kedelapan pengawal berbaju hitam itu buru-buru membungkuk badan memberi hormat. "Kehadiran Losiansu sungguh di luar dugaan, maafkan Tecu sekalian yang tidak datang menyambut sepantasnya ...." Tidak menanti ucapan itu selesai, Ku-lo Hwesio telah menukas, "Omitohud, malam sudah semakin kelam dan tidak baik mengganggu tidur orang, biar Lolap menanti dalam ruangan ini sampai kentongan kelima saja, saudara sekalian silakan berlalu!" Pemimpin regu rombongan pengawal itu adalah seorang lelaki setengah umur berperawakan jangkung, dia segera
15
Pendekar Cacat
menjura seraya berkata, "Panitia pemakaman ada perintah, bila Losiansu datang di gedung ini, maka kami diwajibkan melaporkan kedatangan Siansu." "Kalau memang begitu, harap Sicu sekalian sudi membuka jalan!" ujar Ku-lo Hwesio kemudian sambil mengangguk. Belum habis perkataan itu, dari luar ruangan sudah bergema suara nyaring seseorang. "Sinceng datang berkunjung kemari, Heng-sui sengaja datang menyambut...." Berbareng dengan menggemanya ucapan itu, tampak cahaya lentera bergoyang terhembus angin, seorang pemuda berbaju hijau, berwajah tampan, dingin, gagah dan bermata tajam telah berdiri di depan kedelapan pengawal itu sambil memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio. Menyaksikan kemunculan orang itu, sekujur badan Bong Thian-gak gemetar keras, dalam hati dia berpekik, "Jisuheng ..." Ternyata pemuda berbaju hijau itu adalah murid kedua Thiciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu yang bernama Toan-conghong-liu (usus putus darah mengalir) Yu Heng-sui. Kini ia sudah menjabat sebagai komandan pasukan pengawal gedung Bu-lim Bengcu, orang yang berkuasa di ruang hukuman dan berkuasa penuh dalam menjatuhkan
16
Pendekar Cacat
hukuman yang setimpal kepada sembilan partai besar dalam Bu-lim, kedudukannya tinggi dan terhormat sekali. Ternyata persekutuan dunia persilatan ini merupakan dibentuk bersama sembilan partai besar dunia persilatan untuk menyatukannya menurut sejarah, Bengcu hanya dipilih oleh anggota sembilan partai besar dan berkuasa penuh mengatur segala tindak-tanduk sembilan partai. Atau dengan perkataan lain, kekuasaan Bu-lim Bengcu masih berada di atas kekuasaan sembilan ketua partai. Sedang anggota pengurus penting lainnya dalam persekutuan dunia persilatan ini pun harus dinilai dan diteliti lebih dulu oleh sembilan partai besar sebelum melakukan pengangkatan, kekuasaan mereka meski hanya terbatas dalam satu bidang, akan tetapi mempunyai tingkatan yang sejajar dengan kedudukan para ketua partai lainnya. Tampaknya Ku-lo Hwesio pernah bersua Yu Heng-sui, maka sambil tersenyum segera ujarnya, "Yu-hiantit, tak usah banyak adat." Si Pemutus usus darah mengalir Yu Heng-sui mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang berada di belakang Ku-lo Hwesio, keningnya nampak berkerut, kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ujarnya, "Maaf, kalau aku tak kenal dengan saudara ...."
17
Pendekar Cacat
Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Bong Thian-gak telah menukas sambil menjura, "Yu-tayhiap tak perlu sungkan-sungkan, aku she Ko bernama Hong." "Ko Hong", nama yang asing dan belum pernah terdengar di Bu-lim, sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman luas Yu Heng-sui tetap tak mengenalnya. Namun dalam hati kecilnya dia merasa heran, diam-diam pikirnya, "Heran! Meski baru berjumpa pertama kalinya, namun orang ini seperti pernah kutemui, tapi kalau kuamati lagi dengan seksama, kembali terasa begitu asing." Yu Heng-sui tersenyum, lalu ujarnya, "Tampaknya Ko-heng baru saja terjun ke Bu-lim bukan?" Bong Thian-gak manggut-manggut, "Benar, sudah lama aku tinggal di hutan terpencil, kali ini memang merupakan perjalanan perdanaku." Sementara berbicara, pemuda ini pun diam-diam berpikir, "Ji-suheng, tak heran kau tak kenal lagi Sutemu yang telah dikeluarkan dari perguruan ini, tujuh tahun ... ya, betapa lamanya tujuh tahun ini. Apalagi hidup dalam suasana yang penuh penderitaan dan kesengsaraan, oh, betapa keji dan mengenaskan pengalamanku selama ini." "Aku ... ai. Bong Thian-gak pada tujuh tahun berselang tentu saja berubah banyak kalau dibanding tujuh tahun kemudian."
18
Pendekar Cacat
"Sewaktu meninggalkan gedung Bengcu, aku baru berusia delapan belas tahun, mukaku putih, keempat anggota badanku utuh dan gagah, tapi hari ini aku muncul sebagai seorang pincang, apalagi wajahku telah kuubah dengan obat penyaru, tentu saja kau tak mengenali diriku lagi." Berbagai ingatan dan perasaan segera berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak. "Omitohud!" terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Aku lihat Ko-sicu amat gagah dan perkasa, aku pun dapat menyaksikan kepandaian saktimu yang tersembunyi, aku yakin kau pasti berasal dari suatu perguruan tersohor." Yu Heng-sui berdiri tertegun. Sebenarnya dia mengira Bong Thian-gak merupakan kenalan lama Ku-lo Hwesio yang datang ke sana bersamanya, tapi sekarang tampaknya Ku-lo Hwesio baru saja berkenalan. Kejadian ini menimbulkan kecurigaan dan perasaan serba salah dalam benak Yu Heng-sui, bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tak sepotong kata pun yang meluncur keluar. Bong Thian-gak bukan pemuda bodoh, ia dapat merasakan hal itu, maka ujarnya, "Beberapa tahun lalu, jiwaku pernah diselamatkan oleh Oh-bengcu sewaktu berada di Kang Tang, budi kebaikan ini besar bagaikan bukit, maka ketika kudengar kabar kematian Oh-bengcu, sengaja aku kemari
19
Pendekar Cacat
untuk memberi penghormatan terakhir kepadanya, Ya, hanya sayang budinya tak sempat kubalas, itulah sebabnya bila selanjutnya In-jin ada persoalan yang belum terselesaikan, sekali pun tubuh harus hancur, aku bersedia mewakilinya untuk menyelesaikan masalah itu. Yu-tayhiap, aku harap kau suka menerima ketulusan hatiku ini dan tidak memandang asing." Beberapa patah kata itu diutarakan dengan bersungguh hati dan tulus ikhlas, kendatipun Yu Heng-sui menaruh curiga, tentu saja ia tidak bisa bersikap kelewat batas, apalagi sampai mengusir tamunya. Tapi dia berpikir juga, "Asal-usul orang ini tidak begitu jelas, mana mungkin dia dibiarkan hadir dalam masalah besar Bulim Bengcu?" Sementara Yu Heng-sui masih ragu dan tidak tahu bagaimana harus bertindak, Ku-lo Hwesio telah berkata, "Ko-sicu seorang yang gagah dan berjiwa besar, bila persekutuan persilatan bisa mendapat bantuan pikiran dari Sicu, ini benar-benar satu keberuntungan bagi umat persilatan." Ku-lo Hwesio adalah Locianpwe yang paling disanjung dan disegani dalam Bu-lim dewasa ini, tentu saja Yu Heng-sui tidak berani ragu lagi, dia pun tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, Ko-heng gagah perkasa dan berjiwa besar, aku orang she Yu merasa cocok denganmu, mana berani memandang asing ...."
20
Pendekar Cacat
Sesudah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ku-lo Hwesio sambil melanjutkan, "Ku-lo Supek, silakan. Silakan menuju ke ruang rapat, banyak jago lihai yang tergabung dalam panitia pemakaman sudah berada dalam ruangan menantikan kedatangan Supek." Ku-lo Hwesio manggut-manggut. "Kalau begitu harap Yu-hiantit membuka jalan." Seusai berkata, Ku-lo Hwesio mengebaskan ujung bajunya dan berjalan keluar ruangan itu mengikut di belakang Yu Heng-sui dan kedelapan orang pengawal berbaju hitam itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bong Thian-gak turut pula di belakang Ku-lo Hwesio beranjak pergi. Setelah melewati tiga lapis halaman luas dan sebuah tanah lapang, sampailah mereka di sebuah gedung yang berpenjagaan amat ketat. Gedung ini berloteng tingkat tiga yang megah seperti keraton, empat penjuru penuh pengawal bersenjata lengkap, suasananya begitu ketat, tegang dan menyeramkan seperti hendak menghadapi serbuan musuh tangguh saja. Menyaksikan keadaan itu, timbul suatu perasaan bimbang di dalam hati Thian-gak, ia tidak habis mengerti, kematian gurunya sebenarnya menyangkut masalah besar apa
21
Pendekar Cacat
sehingga suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu dijaga dengan sedemikian ketatnya. Sementara itu Yu Heng-sui telah berpaling ke arah Ku-lo Hwesio sambil berkata, "Jenazah Suhu disemayamkan di loteng sana!" Sementara pembicaraan berlangsung, dari balik pintu tampak bermunculan belasan orang laki perempuan, ada pendeta, Tosu, ada pula orang preman, ketika menyaksikan kehadiran Ku-lo Hwesio, serentak mereka memberi hormat seraya berkata, "Kami tidak dapat menyambut kedatangan Sinceng dari jauh, harap sudi dimaafkan." "Omitohud, kalian tidak usah banyak adat, Lolap sudah datang mengganggu tidur kalian, sesungguhnya Lolaplah yang harus minta maaf." Bong Thian-gak yang berdiri di belakang Ku-lo Hwesio menggunakan kesempatan itu mengawasi wajah para tokoh silat yang berada di sana, tapi dengan cepat hatinya bergetar keras. Ternyata puluhan orang Enghiong yang hadir hampir meliputi semua inti kekuatan yang ada di Bu-lim, bahkan semuanya merupakan ketua-ketua partai persilatan yang sudah termasyhur puluhan tahun lamanya. Ketika sorot matanya dialihkan ke wajah seorang lelaki setengah umur berbaju biru yang beralis tebal, bermata besar, muka bulat, telinga persegi dan seorang gadis cantik
22
Pendekar Cacat
yang mengenakan pakaian berkabung, kembali sekujur tubuhnya gemetar karena luapan emosi. Ternyata lelaki setengah umur berbaju biru itu adalah Toasuhengnya, Pa-ong-kiong (si Busur raja lalim) Ho Put-ciang, sedang gadis berbaju putih itu adalah puteri tunggal gurunya, Oh Cian-giok. Sorot mata semua jago hampir sebagian besar dicurahkan ke wajah Ku-lo hwesio, maka tidak ada yang memperhatikan Bong Thian-gak, apalagi Bong Thian-gak mengenakan baju berwarna hitam, sehingga semua mengira dia adalah salah seorang pengawal gedung Bu-lim Bengcu. Hanya Oh Cian-giok, si nona baju putih itu yang memperhatikan kehadiran Bong Thian-gak, hanya sekali lirikan saja paras mukanya berubah hebat, tapi dengan cepat wajahnya kembali seperti sediakala. Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Ku-lo Hwesio bersama rekan-rekan pendekar lainnya beranjak masuk ke ruang besar yang terang benderang itu. Baru saja Bong Thian-gak hendak turut melangkah masuk, tiba-tiba terdengar Oh Cian-giok yang berada di sisinya berkata lantang, "Ji-suheng, Siangkong ini adalah jago lihai dari perguruan mana?"
23
Pendekar Cacat
Tidak menanti Yu Heng-sui yang berada di belakangnya menjawab, Bong Thian-gak segera membalik badan dan menjura kepada Oh Cian-giok sambil memperkenalkan diri. "Aku Ko Hong, tolong tanya apakah nona puteri kesayangan Oh-bengcu?" Sekarang Oh Cian-giok sudah bisa melihat jelas wajah Bong Thian-gak yang pucat-pias bagai mayat, keningnya berkerut, lalu sambil menggeleng, pikirnya, "Heran, sekilas pandangan tadi, raut wajahnya seperti pernah kujumpai di suatu tempat, tapi setelah diperhatikan lebih seksama, serasa tak kuingat siapa gerangan orang ini?" "Sumoay," terdengar Yu Heng-sui menjawab lantang, "Kosiauhiap datang bersama Sinceng." "Oh buru-buru Oh Cian-giok menjura kepada Bong Thiangak sambil berkata, "Ko-siauhiap, terima kasih banyak atas kehadiranmu turut melawat ayahku." "Ai, kematian ayahmu benar-benar suatu kehilangan besar bagi umat persilatan," Bong Thian-gak menghela napas. "Ko-heng, kematian guruku secara lamat-lamat menyangkut suatu ancaman maut bagi keamanan Bu-lim," kata Yu Heng-sui pula. "Malam ini, sengaja kuundang kehadiran, Ku-lo Sinceng untuk bersama-sama membahas ancaman bahaya yang telah semakin dekat ini .... Ko-heng sebenarnya kau bukan termasuk anggota perserikatan,
24
Pendekar Cacat
bilamana tidak ada keperluan yang mendesak, lebih baik janganlah melibatkan diri di dalam pertikaian ini." Bong Thian-gak tersenyum. "Sewaktu berada di loteng tadi, aku telah mengemukakan suara hatiku, sejak kini biarpun harus terjun ke lautan api, aku tidak akan menampik." "Baiklah," kata Yu Heng-sui sambil manggut-manggut, "Kalau begitu, silakan Ko-heng mengambil tempat duduk." Sementara itu Ku-lo Sinceng dan para pendekar sudah mengambil tempat duduk masing-masing. Puluhan orang berkumpul membentuk suatu pertemuan. Murid pertama Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, yakni Pa-ong-kiong Ho Put-ciang, murid kedua si Pemutus usus Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok duduk di kursi tuan rumah sebelah timur, Ku-lo Sinceng duduk di sebelah barat, sedangkan Bong Thian-gak duduk di sebelah kanan Ku-lo Hwesio. Setelah semua orang duduk, si Busur raja lalim Ho Putciang segera membuka suara, "Para pendekar dan orang gagah sekalian, hari ini kita sengaja mengundang kehadiran Ku-lo Sinceng yang telah menutup diri selama sepuluh tahun untuk menghadiri pertemuan ini, tujuannya tak lain adalah untuk menyelidiki sebab-sebab kematian guruku."
25
Pendekar Cacat
"Sesungguhnya siapa yang telah membunuh guru kami? Dan apa yang menyebabkan kematiannya? Meski sudah diperiksa dan diselidiki oleh semua jago berpengalaman, alhasil hingga kini tetap merupakan suatu teka-teki yang mencurigakan." "Yang lebih mengherankan lagi adalah pada empat puluh sembilan hari berselang, kuda tunggangan guru kami telah pulang sendiri ke gedung Bu-lim Bengcu untuk mewartakan kematiannya, kemudian kuda itu telah membunuh diri dengan menerjang patung singa di depan pintu gerbang, disusul pula lima orang tokoh persilatan yang kebetulan sedang bertamu di dalam gedung ini ditemukan tewas secara misterius, sebab-sebab kematian mereka pun tidak berhasil ditemukan, karena di tubuh masing-masing tidak dijumpai cidera atau luka, mereka seakan-akan mati secara wajar, persis seperti keadaan yang dialami guru kami." "Omitohud!" Ku-lo Hwesio memuji keagungan sang Buddha, "Siapa-siapa saja kelima tokoh persilatan itu?" "Mereka adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong Loenghiong dari perguruan Sin-kun-bun, Liongthau Pangcu dari perkumpulan Hek-huo-pang Kwan Bupeng, Congpiauthau dari tujuh perusahaan ekspedisi gabungan wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago angin guntur) Gi Peng-san, Loapcu dari benteng Jit-seng-po Tuihun-pit (Pena pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im (Koan-im baja) Han Nio-cu yang namanya disegani kaum Hek-to maupun Pek-to."
26
Pendekar Cacat
Begitu nama kelima tokoh persilatan itu diungkap, Bong Thian-gak serta sekalian pendekar mengerutkan dahi dengan wajah serius. Ternyata kelima tokoh silat itu tiada seorang pun yang merupakan tokoh tanpa nama dalam Bu-lim, boleh dibilang mereka merupakan pemimpin persilatan yang namanya termasyhur dalam Bu-lim. Siapa pun tak menyangka kalau di kolong langit terdapat seorang gembong iblis yang mampu membunuh nyawa kelima orang tokoh persilatan itu bersama-sama. Dengan wajah sedingin es, pelan-pelan Ho Put-ciang berkata, "Sampai dimanakah taraf kepandaian silat kelima orang tokoh ini rasanya sudah diketahui setiap orang, kenyataan mereka ditemukan tewas pada saat bersamaan dalam gedung Bu-lim Bengcu, bayangkan saja betapa mengejutkan peristiwa ini." Ketika mendengar sampai di situ, mendadak Ku-lo Hwesio memejamkan mata sambil termenung. Si Busur raja lalim Ho Put-ciang menghela napas, sambungnya lebih jauh, "Malam ketiga setelah kematian kelima tokoh silat itu, tahu-tahu kelima sosok mayat itu lenyap secara misterius." "Apakah kelima sosok mayat itu lenyap dari dalam gedung ini?" mendadak Ku-lo Hwesio mementang mata lebar-lebar.
27
Pendekar Cacat
"Benar, kelima sosok mayat itu telah dicuri orang." Perasaan setiap jago yang hadir di situ kembali terasa berat, sekarang mereka mulai sadar bahwa kasus ini merupakan suatu peristiwa yang amat rumit dan aneh, bahkan jika berita itu sampai bocor keluar, niscaya akan menimbulkan pergolakan yang amat hebat di Bu-lim. Kematian Oh Ciong-hu sendiri sudah membuat dunia persilatan diliputi selapis kabut gelap, apabila peristiwa yang lebih parah ini sampai meledak, mungkin bisa menciptakan kemusnahan bagi seluruh umat persilatan. Ku-lo Hwesio maupun para pendekar termenung memikirkan persoalan itu, suasana dalam ruang rapat diliputi ketegangan, keseraman dan kengerian, tekanan yang sangat berat serasa menindih dada setiap orang. Mendadak dari antara para jago melompat bangun seorang kakek kurus berperawakan pendek. "Menurut dugaan Lohu," ia berkata, "Kematian Ma Kong berlima diliputi suatu masalah maha besar ...." Sorot mata semua orang segera dialihkan ke wajahnya. "Kongsun-tayhiap berhasil menemukan apa?" ucap Ku-lo Hwesio pelan. "Coba utarakan lebih jelas agar bisa didengar setiap orang yang hadir di sini."
28
Pendekar Cacat
Ternyata kakek yang berperawakan pendek kecil ini adalah salah satu di antara tiga sesepuh Ciong-lam-san, yakni Toci-sing (Si bintang banyak akal) Kongsun Phu-ki. Kongsun Phu-ki memutar sepasang biji matanya yang kecil, kemudian pelan-pelan berkata, "Menurut dugaan dan perasaan indera keenam Lohu, sesungguhnya Ma Kong berlima hingga kini belum ... mati." Suasana gempar segera menyelimuti seluruh ruangan, para jago berbisik-bisik menanggapi perkataan itu. Ho Put-ciang tak dapat menahan sabar, dia segera bertanya, "Apa bukti yang menjadi dasar pertimbangan Kongsun-tayhiap, hingga kau berani mengatakan Ma Kong berlima sesungguhnya belum mati?" Kongsun Phu-ki tertawa dingin. "Sesungguhnya kelima orang itu memang cuma pura-pura mati, belum lama Lohu mendengar orang berkata bahwa Koan-im baja Han Nio-cu mempunyai semacam obat mustika, bilamana pil itu ditelan, maka satu jam kemudian jantung akan berhenti berdenyut dan keempat anggota badannya jadi dingin dan kaku. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaan orang mati." "Ah, itu pil Tong-bian-wan!" mendadak terdengar Bong Thian-gak berseru tertahan.
29
Pendekar Cacat
Seruan itu segera mengejutkan para jago, berpuluh pasang mata serentak dialihkan ke arahnya. Setelah semua pendekar melihat jelas raut wajahnya, sambil berkerut kening diam-diam mereka berpikir, "Heran, siapakah dia?" Paras muka Kongsun Phu-ki berubah hebat, buru-buru serunya, "Darimana kau bisa tahu pil itu bernama Tongbian-wan?" Bong Thian-gak merasa amat tak leluasa ditatap sekian banyak orang, segera jawabnya, "Aku pernah membaca kupasan tentang obat itu serta sifat Tong-bian-wan dari catatan sejilid kitab, menurut kitab itu, barang siapa menelan pil ini, maka semua organ tubuh akan berhenti bekerja, keadaan itu seperti ular yang tidur panjang di musim dingin, tapi bila sifat dan daya kerja obat itu sudah habis, maka kehidupan pun akan pulih seperti sedia kala." "Dimanakah kau pernah membaca kitab itu?"desak Kongsun Phu-ki lebih jauh. "Dalam sebuah gua terpencil," Bong Thian-gak tersenyum rawan. Kongsun Phu-ki menatap tajam wajah anak muda itu beberapa saat lamanya, mendadak ia berkata lagi, "Siapakah kau?" "Aku she Ko bernama Hong." "Anak murid dari perguruan mana?" "Tanpa partai tanpa perguruan."
30
Pendekar Cacat
Mendadak Kongsun Phu-ki melompat ke tengah udara setinggi satu tombak, kemudian tanpa menimbulkan sedikit suara melayang turun tiga kaki di hadapan Bong Thian-gak, bentaknya dengan suara keras, "Bila kau tidak menyebutkan asal-usul perguruanmu, jangan harap kau bisa meninggalkan gedung ini dalam keadaan hidup." Ancaman yang diutarakan amat keras ini kontan membuat suasana dalam ruang berubah menjadi tegang. Sementara itu Ku-lo Hwesio dan Yu Heng-sui tetap duduk tenang di tempat masing-masing tanpa melakukan sesuatu tindakan, rupanya mereka pun ingin tahu asal-usul Bong Thian-gak. Mendadak di saat yang kritis itulah dari atas wuwungan rumah berkumandang suara tawa dingin seseorang yang amat mengerikan. "He, monyet tua, lebih baik jangan menganiaya anak kecil." Dampratan secara tiba-tiba itu kontan membuat paras muka para pendekar yang berada di ruang rapat berubah hebat. Kongsun Phu-ki membentak gusar, belakangnya mengikut Yu Heng-sui.
sementara
di
Untuk sesaat tampak bayangan orang berkelebat, para jago serentak menerjang keluar ruangan.
31
Pendekar Cacat
Kini dalam ruangan tinggal Ku-lo Hwesio, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang, Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak berempat yang masih tetap duduk diam. Namun paras muka mereka pun diliputi perasaan tegang, bahkan Ho Put-ciang tiada hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak dengan sorot matanya yang sangat tajam. Akhirnya terdengar Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, kemudian berkata, "Sebenarnya ucapan tadi dipancarkan dengan menggunakan ilmu Jian-li-hui-im (suara pantulan seribu li) yang dikerahkan dengan menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi, ketika kalian mendengar suara itu, sang pembicara telah berada satu li jauhnya dari sini. Ai, tampaknya Bu-lim kembali dihadapkan pada suatu ancaman maha besar." Baru selesai pendeta itu berkata, tampak Kongsun Phu-ki dengan wajah gusar telah muncul kembali dalam ruangan, tangan kirinya membawa segulung kain putih, sedang di belakangnya mengikut enam-tujuh orang jago. Sambil melompat bangun dari tempat duduknya, Ho Putciang segera bertanya, "Kongsun-tayhiap, apa yang telah engkau temukan?" Kongsun Phu-ki membentang kain putih dalam genggamannya itu ke atas meja, lalu serunya dengan gusar, "Coba kalian saksikan sendiri!"
32
Pendekar Cacat
Setelah kain putih itu dibentang di meja, terbacalah sederet tulisan di atas kain putih itu: "To-ci-sing Kongsun Phu-ki tak akan hidup melebihi bulan setan". Yang dimaksud bulan setan adalah bulan ketujuh, sedangkan hari ini adalah tanggal dua puluh tiga, berarti dia takkan bisa hidup melebihi tujuh hari lagi. Kontan semua orang terbelalak dengan mulut melongo, mereka sama-sama memandang ketiga belas patah kata itu dengan terkesima. Sementara itu Yu Heng-sui dan para jago lainnya pun telah pulang dengan tangan hampa. Sewaktu mereka menyaksikan ketiga belas patah kata yang tertera di atas kain putih itu, semua orang terbungkam dan saling pandang. Akhirnya Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menarik napas panjang; katanya, "Kongsun-tayhiap, kau menemukan kain putih ini dimana?" "Di atas tiang lentera di tengah lapangan sana," sahut Kongsun Phu-ki sambil tertawa dingin. "Penjagaan di gedung Bengcu ini dilakukan amat ketat, bahkan jauh lebih ketat daripada penjagaan dalam keraton kaisar, kenyataan pihak lawan dapat keluar masuk dengan leluasa, malah mengganti kain putih di tengah lapangan
33
Pendekar Cacat
tanpa diketahui orang, kelihaian orang itu pada hakikatnya sukar dilukiskan dengan kata-kata!" "Sebenarnya siapakah orang ini?" bentak Kongsun Phu-ki dengan suara lantang. Tangan kirinya menuding Bong Thian-gak, sementara sorot matanya yang tajam melotot gusar ke arah Ho Put-ciang. "Ko-siauhiap datang ke gedung Bengcu ini bersama Ku-lo Sinceng!" buru-buru Yu Heng-sui berkata. Yu Heng-sui cukup cerdas dan cekatan, dia dapat melihat situasi malam ini telah mengubah Bong Thian-gak menjadi orang yang amat mencurigakan, bila kesepakatan tidak ditemukan, bisa jadi keadaan akan berkembang mengerikan. Para pendekar yang hadir dalam ruangan rapat rata-rata adalah anggota pengurus perserikatan dunia persilatan, kedudukan mereka amat tinggi dan kekuatannya amat besar, merekalah yang akan bertanggung jawab dalam pemilihan pergantian Bengcu. Tapi kini ia membicarakan seseorang yang tidak jelas identitasnya yang telah memasuki ruang sidang, bahkan turut dalam perundingan rahasia itu, jelas tindakan ini merupakan suatu pelanggaran peraturan yang sangat besar.
34
Pendekar Cacat
Itulah sebabnya maka ia lantas memutar otak dan melimpahkan semua tanggung jawab itu ke atas pundak Ku-lo Hwesio. Goan-hui Taysu, ketua Siau-lim-pay sekarang merupakan ketua pengurus Bu-lim Bengcu, padahal Ku-lo Sinceng adalah Supek dari Goan-hui Taysu, dia pun ketua pengurus yang lalu, bisa dibayangkan betapa tingginya kedudukan orang ini. Betul juga, Kongsun Phu-ki segera menarik kembali hawa amarahnya sesudah mendengar perkataan Yu Heng-sui, sambil berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, tanyanya, "Tolong tanya Sinceng, orang ini berasal dari perguruan mana?" "Kongsun-tayhiap," jawab Ku-lo Hwesio cepat, "Harap kau segera menenangkan hatimu, Ko-sicu adalah orang dari aliran kita." Dengan dasar ucapan itu, serentak para jago membuang sebagian rasa curiganya terhadap Bong Thian-gak. Dengan suara dalam, Ho Put-ciang lantas berkata, "Para pendekar, silakan duduk kembali untuk melanjutkan perundingan kita." Para pendekar secara beraturan menempati tempat duduknya masing-masing, kemudian Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay angkat bicara, katanya, "Pihak lawan telah meninggalkan tiga belas patah kata itu dalam gedung
35
Pendekar Cacat
Bengcu, menurut pendapat Pinto, lebih baik dalam tujuh hari ini Kongsun-tayhiap meningkatkan kewaspadaan." Kongsun Phu-ki tertawa dingin, "Hehehe, terima kasih banyak atas perhatian Ui-hok Totiang, Lohu percaya paling tidak aku masih dapat hidup sepuluh tahun lagi." "Kongsun-tayhiap, harap kau jangan gusar," kembali Ui-hok Totiang berkata serius, "kau harus tahu, musuh yang datang pasti bermaksud jelek, orang yang bermaksud baik tak akan begini cara datangnya, sekarang mereka sudah berani menantang kita secara terang-terangan, sudah pasti hal ini bukan cuma gertak sambal belaka." Kongsun Phu-ki kembali tertawa dingin. "Lohu tidak percaya dengan segala macam kepandaian setan mereka. Hehehe ... sudah puluhan tahun Kongsun-loji malang melintang dalam Bu-lim tanpa kuatir bertemu setan, aku minta kalian tak usah menguatirkan tentang diriku." Setelah berhenti sebentar, sambungnya, "Sekarang aku punya suatu persoalan yang membuat hatiku bingung, tadi ketika aku mendengar suara lawan, sesungguhnya selisih waktu kami hanya sekejap mata, kendatipun orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat, sulit rasanya untuk menghindar dari pengawasan mata Lohu, apalagi di sekeliling halaman ini penuh dengan pengawal yang berjumlah tiga puluhan orang, tapi kenyataannya tak
36
Pendekar Cacat
seorang pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh." Yu Heng-sui pun diliputi perasaan berat, ujarnya, "Tadi secara beruntun aku telah menanyai para pengawal yang berjaga di ketujuh lapis halaman gedung, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh, juga tidak mendengar sedikit suara pun." "Pernahkah Sicu sekalian mendengar semacam kepandaian yang disebut Jian-li-hui-im?" ujar Ku-lo Hwesio pelan. "Dengan menghimpun tenaga dalam, seseorang dapat menghimpun nada suaranya menjadi gelombang suara dan dipancarkan ke dalam telinga manusia dari jarak ratusan kaki" Begitu mendengar uraian itu, paras muka para jago berubah hebat. "Ai, kalau begitu ilmu silat lawan benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan?" "Kepandaian lawan memang bukan sembarangan, cuma di antaranya justru terdapat kelicikan ...." Bicara sampai di sini, Ku-lo Sinceng memejamkan mata sambil berpikir sejenak, kemudian mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, "Ho-hiantit, kau paling lama mengikuti Oh-bengcu, tahukah kau selama hidup gurumu pernah terjadi peristiwa besar? Mungkinkah orang-orang itu akan membalas dendam terhadap gurumu?"
37
Pendekar Cacat
"Selama hidup Suhu bersikap amat baik terhadap siapa pun, berjiwa sosial dan suka membantu orang, boleh dibilang tak punya seorang musuh pun, sekali pun ada, itu pun manusia-manusia kurcaci dunia rimba hijau, Sutit sudah membuang waktu selama setengah bulan melakukan penyelidikan, sebagian besar di antara mereka telah meninggal, yang belum mati pun telah dihukum Suhu hingga cacat, cuma di antaranya terdapat tiga orang yang sangat mencurigakan, hingga kini jejak mereka masih belum ditemukan." "Siapa ketiga orang itu? Harap Hiantit jelaskan." Pa-ong-kiong Ho Put-ciang termenung sejenak, lalu ujarnya dengan suara dalam, "Pertama adalah Suci Suhu kami yang bernama Ho Lan-hiang." Mendengar nama Ho Lan-hiang disinggung, paras muka Kulo Hwesio berubah, ujarnya, "Pada sepuluh tahun lalu, Ho Lan-hiang sudah termasyhur sebagai perempuan paling cantik di wilayah Kanglam, tapi dia hanya muncul sebentar saja dalam Bu-lim, kemudian lenyap, hingga kini jejaknya tidak jelas, semasa gurumu masih hidup, Lolap pun pernah mendengar ia membicarakan Ho Lan-hiang, kalau dia adalah Suci (kakak seperguruan) gurumu, tentunya tak mungkin punya perselisihan dengan gurumu, jadi aku rasa tidak sepantasnya kita mencurigai dia sebagai orang yang membunuh Oh-bengcu." Pa-ong-kiong Ho Put-ciang mengangguk berulang kali, kembali katanya, "Orang kedua adalah Tio Tian-seng,
38
Pendekar Cacat
seorang jago silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada tiga puluh tahun lalu ...." Mendengar nama Tio Tian-seng, kembali para jago saling berbisik, seakan-akan setiap orang mengetahui nama itu. Rupanya Tio Tian-seng sudah termasyhur di Bu-lim sejak tiga puluh enam tahun lalu, dia hanya tiga tahun berkelana dalam Bu-lim, mengandalkan pedang sesatnya, beruntun dia berhasil merobohkan delapan puluh satu jago pedang kenamaan sehingga dijuluki Mo-kiam-sin-kun (Malaikat sakti pedang iblis). Di masa lalu, bila orang menyinggung Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, maka baik jagoan dari golongan sesat maupun golongan putih, rata-rata orang menaruh rasa hormat dan gentar kepadanya. Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru pelan-pelan berkata, " Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng memang seorang pendekar aneh dunia persilatan, pertarungan sengit antara Tio Tian-seng melawan almarhum Oh-bengcu di puncak Im-soat-hong di bukit Siciang-san pada tiga puluh tujuh tahun berselang memang betul-betul merupakan suatu pertarungan yang paling mengagumkan sepanjang sejarah...." "Ku-lo Supek," tiba-tiba Yu Heng-sui menyela, "Ketika Tio Tian-seng menantang Suhu kami bertarung di puncat Imsoat-hong, bukankah Supeklah yang bertindak sebagai juri?"
39
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Benar, waktu itu memang Lolap bertindak sebagai wasit... pertarungan sengit itu berlangsung tiga hari tiga malam sebelum akhirnya tahu siapa menang siapa kalah, waktu itu almarhum Oh-bengcu hanya berhasil menang setengah jurus." Ku-lo Hwesio berhenti sebentar, kemudian baru sambungnya, "Sejak menderita kekalahan di puncak Imsoat-hong di bukit Si-ciang-san, Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan, selama tiga puluhan tahun belakangan ini sudah tidak pernah terdengar lagi namanya, juga tiada orang yang mengetahui jejaknya ... benar, Tio Tian-seng pernah keok di tangan Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, mungkin dia akan melakukan balas dendam." Pa-ong-kiong Ho Put-ciang segera melanjutkan perkataannya tentang orang ketiga yang dicurigai, "Orang ketiga adalah Bong Thian-gak, seorang murid Suhu yang dikeluarkan dari perguruan." Hampir saja Bong Thian-gak yang duduk di sampingnya menjerit kaget mendengar ia dituduh sebagai orang ketiga yang dicurigai telah membunuh gurunya. Mimpi pun dia tak menyangka kalau dirinya bisa dicantumkan sebagai salah seorang yang dicurigai.
40
Pendekar Cacat
"Apakah dia adalah bocah cilik yang diterima almarhum Ohbengcu sebagai muridnya yang terakhir?" tanya Ku-lo Hwesio. "Benar," sahut Pa-ong-kiong menghela napas sedih.
Ho
Put-ciang
setelah
"Bong Thian-gak memang adik seperguruanku yang terkecil." Sambil menghela napas, Ku-lo Hwesio segera menggeleng, "Siau Gak si bocah cilik ini sangat penurut dan alim, dia pun cerdik, terutama bakatnya yang bagus, dia juga amat berbakat belajar silat ... sebenarnya apa yang telah terjadi? Waktu itu Lolap sudah menutup diri dalam kuil Siau-lim-si, harap Hiantit suka memberi keterangan." Kembali Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menghela napas panjang, "Bong Thian-gak Sute memang seorang bocah yang menyenangkan, sekali pun dia telah dikeluarkan dari perguruan, Suhu beserta segenap saudara seperguruannya masih tetap merindukan dia." Setelah berhenti sejenak, lalu sambungnya, "Peristiwa ini terjadi pada musim panas tujuh tahun berselang, Sam-sute Siau Cu-beng dan Su-sute Bong Thian-gak mendapat perintah Suhu untuk berangkat ke Ci Kang guna menjemput Subo pulang ke Kay-hong, di tengah jalan mereka kakak beradik seperguruan saling berdebat tentang ilmu silat, akhirnya perdebatan itu dilanjutkan dengan pertarungan di puncak bukit, dasar keduanya berdarah muda dan ingin
41
Pendekar Cacat
mencari menang sendiri, mereka saling tak mau mengalah hingga pertarungan tak dapat dihindari lagi ... dan Sam-sute Siau Cu-beng kena dihajar oleh Su-sute Bong Thian-gak hingga tercebur ke dalam jurang, hingga kini mayatnya tak pernah ditemukan." Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam hatinya amat sakit, pekiknya di hati, "Toa-suheng, wahai Toa-suheng, kau tidak mengetahui rahasiaku, tak mungkin aku berebut soal ilmu silat dengan Sam-suheng hingga membunuhnya. Sesungguhnya aku mempunyai rahasia yang tidak bisa diberitahukan kepada Suhu dan kalian, oleh sebab itu mau tak mau aku harus mengarang sebuah cerita kepada kalian guna menutupi kenyataan yang sesungguhnya." Sementara itu Ku-lo Hwesio telah bertanya setelah selesai mendengar kisah itu, "Siapa yang menyaksikan Bong Thiangak telah menghajar Siau Cu-beng hingga terjatuh ke dalam jurang?" Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala berulang kali. "Mereka kakak beradik sedang berada dalam perjalanan menuju ke wilayah Ci Kang, saat peristiwa itu terjadi, kami tahu dari pengakuan Bong Thian-gak sendiri kepada Suhu sekembalinya dari Kay-hong." "Ketika Suhu mendengar peristiwa itu, beliau gusar sekali, hampir saja dia orang tua hendak membunuhnya, tapi
42
Pendekar Cacat
entah mengapa Suhu tidak melanjutkan serangan itu, ditambah Su-sute dan Ji-sute serta Oh-sumoay memohon ampun baginya, akhirnya Suhu pun mengampuni dosa Susute dan mengusirnya dari perguruan serta putus hubungan antara guru dan murid." Bong Thian-gak merasa sedih sekali, kembali ia bergumam, "Oh, Toa-suheng! Tahukah kau, sewaktu kuhajar Siau Cubeng Sam-suheng hingga jatuh ke dalam jurang, ada seorang yang menyaksikan kejadian itu, orang itu adalah Subo ... ketika kubunuh Sam-suheng, waktu itu dalam perjalanan pulang dari Ci Kang menuju ke Kay-hong setelah menjemput Subo." "Siancay! Siancay! Sungguh tak kusangka selama Lolap menutup diri, dalam keluarga almarhum Oh-bengcu telah berlangsung peristiwa semacam ini, ai! Bong Thian-gak si bocah itu meski memiliki hawa membunuh yang berat, namun dia adalah seorang bocah yang berhati mulia dan baik." "Ai, sejak dikeluarkan dari perguruan, selama tujuh tahun ini Bong Thian-gak tak diketahui jejaknya lagi, mati hidupnya hingga kini belum diketahui!" Diam-diam Bong Thian-gak mengucurkan air mata, kembali ia membatin dengan sedih, "Toa-suheng, wahai Toasuheng, tahukah kalian, selama tujuh tahun ini aku telah merasakan banyak penderitaan dan siksaan ... ketika aku baru dipecat dari perguruan, pembunuh-pembunuh yang dikirim Subo telah datang mengejekku ... hampir saja aku
43
Pendekar Cacat
tewas dalam penghadangan itu. Kaki kiriku menjadi pincang adalah hadiah dari Subo. Aku amat membenci kebejatan moral Subo, sebenarnya ingin kuungkap semua rahasianya, tapi aku terlampau menghormati dan menyayangi guruku, terpaksa semua penderitaan ini hanya kusimpan dalam hati, itulah sebabnya hingga kini tujuh tahun kemudian aku belum pernah membocorkan rahasia ini kepada siapa pun, oh Toa-suheng, kalian jangan salah menuduh diriku sebagai pembunuh Suhu!" Sementara itu terdengar Yu Heng-sui berkata dengan wajah serius, "Su-sute Bong Thian-gak adalah pemuda yang perasa, dia gampang menaruh dendam pada orang, kami kuatir lantaran dia diusir dari perguruan oleh Suhu, hingga akhirnya timbul niat untuk menghabisi nyawa Suhu." Oh Cian-giok yang selama ini hanya membungkam diri tibatiba turut berbicara dengan air mata bercucuran, "Yusuheng, aku rasa Su-sute tak akan bertindak sekejam ini, dia ... keesokan hari setelah ia dikeluarkan dari perguruan, aku pernah melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengan Bong Thian-gak Sute waktu itu, tampaknya dia seperti menyimpan suatu rahasia besar yang sukar untuk diutarakan." Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini dari sisi arena ingin sekali melompat keluar dan membeberkan semua kejadian yang sebenarnya. Selama tujuh tahun ini, dia telah merasakan penderitaan dan siksaan yang tak mungkin bisa ditahan olehkebanyakan
44
Pendekar Cacat
orang, sehingga semua itu menciptakan suatu kemampuan untuk mengendalikan diri yang luar biasa, hingga akhirnya segala sesuatunya dapat ditahan dan dilewatkan begitu saja. la tidak dapat membuka rahasia identitasnya, lebih-lebih lagi tak boleh mengungkap rahasia memalukan antara Subonya dengan Sam-suhengnya, kendatipun kini gurunya telah tiada, namun hal itu tetap akan merugikan nama baiknya. Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, katanya, "Walaupun Bong Thian-gak boleh saja dicurigai sebagai pembunuh gurunya, tapi menurut pendapat Lolap kemungkinannya kecil sekali, harus diketahui, orang yang bisa membunuh almarhum Oh-bengcu jelas bukan seorang murid yang baru tujuh tahun meninggalkan perguruan, kepandaian silat Oh Ciong-hu Bengcu sedemikian hebat, Lolap sendiri pun sulit menangkan dia, apalagi seorang muridnya." Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Tentu saja lantaran Bong Thian-gak belum diketahui kabar beritanya hingga sekarang, kita boleh saja menuduhnya sebagai salah seorang yang dicurigai ... cuma menurut pendapat Lolap, dari tiga orang yang dicurigai Ho-hiantit, aku lebih mencurigai Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng." "Kau harus tahu, sewaktu masih berkelana di Bu-lim dahulu, Tio Tian-seng mempunyai ambisi menjadi manusia paling kosen di Bu-lim, tapi ambisi itu buyar setelah ia
45
Pendekar Cacat
dikalahkan oleh Oh Ciong-hu Bengcu, kekalahan yang dideritanya ini membuat pamornya sewaktu berhasil mengalahkan delapan puluh satu jago pedang pun buyar dalam semalam saja, pukulan batin yang begini berat bagi orang yang berwatak aneh macam dia, kadangkala bisa berubah menjadi dendam kesumat yang dalam sekali, oleh karena itu kukatakan bahwa Tio Tian-seng adalah orang yang paling mencurigakan." "Di samping itu keberhasilan Tio Tian-seng pada tiga puluh tahun berselang sudah seimbang dengan Oh Ciong-hu Bengcu, bila selama tiga puluh tujuh delapan tahun ini dia berlatih secara tekun, bisa jadi kepandaiannya akan berhasil melampaui Oh Ciong-hu Bengcu." Mendengar uraian Ku-lo, para jago tak membantah lagi, semua orang pun menganggap pentolan yang berada di balik kabut kegelapan di Bu-lim adalah Tio Tian-seng. Bahkan Bong Thian-gak sendiri pun berpendapat demikian, diam-diam dia mengertak gigi sambil bertekad hendak membunuh Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng untuk membalas dendam bagi kematian gurunya. Ku-lo Hwesio mengangkat kepala dan memandang sekejap suasana gelap di luar jendela, kemudian ujarnya lagi, "Membalas dendam bagi almarhum Oh-bengcu dan melenyapkan bibit bencana serta menegakkan kembali keadilan dan kebenaran di Bu-lim bukankah pekerjaan yang dapat diselesaikan sehari dua hari saja, kini musuh berada dalam kegelapan dan kita berada di tempat terang,
46
Pendekar Cacat
terpaksa untuk sementara kita berada di posisi yang diincar, karenanya bila Sicu sekalian tidak mempunyai urusan penting, tak ada salahnya tinggal dahulu di gedung Bu-lim Bengcu untuk sementara waktu." Para pendekar dari sembilan partai besar tidak memberi komentar apa-apa, mereka menyetujui usul itu. Mendadak Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata, "Hingga hari ini Suhu sudah mati empat puluh sembilan hari, tapi jabatan Bu-lim Bengcu masih tetap kosong, entah bagaimanakah pendapat Ku-lo Supek dalam hal ini?" "Soal itu gampang untuk diselesaikan, bagaimana pun juga Sicu yang hadir di sini sekarang adalah anggota pengurus perserikatan dunia persilatan, soal Bengcu baru tentu saja harus dipilih, tapi bukan mesti dipilih dalam waktu singkat, meski demikian, untuk sementara kita memang boleh saja memilih seorang wakil Bengcu yang akan mengurus semua masalah." Ku-lo Hwesio adalah ketua pengurus perserikatan generasi lalu, setelah ia mengusulkan demikian, semua menyatakan persetujuannya, sedang mengenai siapa yang akan dipilih, tidak ada yang mengajukan usul. Kembali Ku-lo Hwesio berkata, "Orang yang dipilih menjadi wakil Bengcu paling baik bila seorang yang mengerti berbagai masalah dalam Bu-lim, daripada kita harus membuang waktu untuk mengajar padanya mengurusi soal-soal itu, itulah sebabnya Lolap usulkan paling baik jika
47
Pendekar Cacat
1 Iiantit saja yang menduduki jabatan itu, entah bagaimanakah pendapat saudara sekalian?" Semua jago segera menyatakan persetujuannya mendengar perkataan itu. Buru-buru Ho Put-ciang menampik, katanya, "Ku-lo Supek, Sutit kurang berpengalaman, kurang cocok memikul tanggung jawab yang berat ini." "Ho-tayhiap," Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berkata, "Kau merupakan Tongcu yang mengurusi masalah luar dan dalam Bu-lim dewasa ini, setelah Oh-bengcu berpulang ke alam baka dan Bengcu baru belum terpilih, rasanya kecuali Ho-tayhiap yang cocok untuk jabatan ini, sulit buat kita mencari pengganti lainnya, buat apa Ho-tayhiap meski menampik?" "Dunia persilatan dewasa ini sedang terancam oleh suatu badai pembunuhan yang mengerikan," ujar Ho Put-ciang dengan suara dalam, "aku kuatir...." Ku-lo Hwesio tidak memberi kesempatan padanya melanjutkan perkataan itu, segera ia menukas, "Sudah dua puluh tahun Ho-hiantit mengikuti Oh-bengcu almarhum, bicara soal ilmu silat, kau telah mendapat seluruh warisan ilmu silat Oh Ciong-hu, selain itu kau jujur dan berbudi luhur, cocok untuk jabatan pemimpin dunia persilatan. Kau pun tak usah menampik lagi, bersiap-siaplah untuk menerima jabatan itu."
48
Pendekar Cacat
Sebagai seorang yang berpengalaman, sudah tentu Ho Putciang dapat menangkap maksud yang lebih mendalam di balik perkataan Ku-lo Hwesio itu, terpaksa dia pun mengiakan. "Atas kepercayaan serta kasih sayang Cianpwe sekalian, aku orang she Ho mengucapkan banyak terima kasih, tapi selanjutnya aku masih membutuhkan banyak petunjuk serta nasehat dari para Loheng." Bong Thian-gak bersyukur dalam hati mendengar Toasuhengnya terpilih sebagai wakil Bengcu, ia cukup tahu kebijaksanaan dan kejujuran Toa-suhengnya, terutama soal ketenangan dan ketegasan menghadapi persoalan, ia memang berbakat menjadi seorang pemimpin dunia persilatan. Bicara soal ilmu silat, kepandaiannya pun tidak di bawah kemampuan Ciangbunjin partai mana pun, meski di harihari biasa Toa-suhengnya memang jarang bertanding melawan orang lain, namun menurut apa yang diketahuinya, tenaga dalam gurunya belum tentu lebih tinggi daripada kemampuan Toa-suhengnya ini. Oleh sebab itu Bong Thian-gak amat bersyukur karena dunia persilatan telah memperoleh seorang pemimpin yang jujur, bijaksana dan berwibawa. Tiba-tiba Ku-lo Hwesio bangkit seraya berkata, "Lolap rasa perundingan kita malam ini cukup sampai di sini saja, besok baru akan kuperiksa lagi jenazah Oh-bengcu."
49
Pendekar Cacat
"Yu-sute!" dengan cepat Ho Put-ciang ikut beranjak bangun, "cepat siapkan tempat penginapan buat Ku-lo Supek serta Ko-cuangsu. Malam ini telah merepotkan para pendekar sekalian." Sesudah hampir sebulan lamanya kawanan jago silat itu berdiam dalam gedung Bengcu, mereka kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui juga berangkat lebih dulu untuk mempersiapkan tempat pemondokan bagi Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak. Dengan demikian dalam ruang pertemuan tinggal Ku-lo Sinceng, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok berempat. Menanti semua orang berlalu, Ku-lo Hwesio baru berkata sambil menghela napas panjang, "Ho-hiantit, pihak musuh telah menyelundup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, apakah kau belum merasakan hal itu?" Diam-diam Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok merasa terperanjat, mata mereka serentak dialihkan ke wajah pendeta agung itu. Dengan sedih Ho Put-ciang manggut-manggut. "Ya, Sutit memang sudah merasa pihak lawan telah menyelundup ke dalam gedung ini, tapi Sutit tak mampu menyelidik siapa gerangan mereka."
50
Pendekar Cacat
"Untuk sementara waktu, berita ini lebih baik kita simpan dulu rapat-rapat, jangan sampai diketahui anggota pengurus lain," ujar Ku-lo Hwesio dengan sinar mata berkilat. "Siapa tahu mata-mata yang dikirim pihak lawan justru berada di antara kawanan pendekar itu." "Entah bagaimana rencana Ku-lo Supek menyelidiki matamata ini?" tanya Ho Put-ciang kemudian. Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat, mendadak dia berpaling ke arah Bong Thian-gak dan berkata, "Ko-sicu, Lolap mempunyai suatu permintaan, entah Sicu bersedia mengabulkan atau tidak?" "Aku merasa berhutang budi pada Oh-bengcu yang telah tiada, sekali pun harus terjun ke lautan api pun aku bersedia." Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Lolap ingin memohon kepada Sicu agar secara diam-diam melindungi Kongsun Phu-ki selama tujuh hari ini, mengawasi pula gerakgeriknya, entah tugas ini dapat kau laksanakan atau tidak?" "Aku siap melaksanakan tugas ini!" sahut Bong Thian-gak dengan cepat. Setelah menyaksikan Ku-lo Hwesio begitu mempercayai Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok merasa lega juga, cuma mereka berdua kelewat menghormati Ku-lo Sinceng, sehingga tidak ada yang berani memberi komentar apa-apa.
51
Pendekar Cacat
Kembali Ku-lo Hwesio berkata, "Kecuali Ko-sicu yang bertugas mengawasi gerak-gerik Kongsun Phu-ki secara diam-diam, Ho-hiantit, Yu-hiantit, serta Oh-titli juga harus meningkatkan kewaspadaan mengawasi gerak-gerik para pendekar secara diam-diam, terutama para pengawal dalam gedung. Jika dugaan Lolap tidak salah, di antara para pendekar sudah pasti terdapat mata-mata, kemudian oleh mata-mata ini berita itu disampaikan kepada musuh yang bertugas sebagai pengawal dalam gedung." Terhadap ketelitian dan keseksamaan Ku-lo Hwesio berpikir, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak, serta Oh Cian-giok merasa kagum sekali. Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "Ku-lo Taysu, aku masih ada satu persoalan yang kurang jelas, mohon petunjuk." "Soal apa, Ko-sicu? Katakan terus terang." "Tadi Taysu menyinggung ilmu Jian-li-hui-im, masa di Bulim dewasa ini ada orang yang mampu melatih ilmu Khikang tingkat tinggi itu hingga mencapai tingkatan sempurna, sehingga dia sanggup mengirim suara ke telinga orang dari jarak ratusan kaki?" Agak terkejut juga Ku-lo Sinceng mendapat pertanyaan dari anak muda itu, pikirnya, "Tampaknya anak muda ini benarbenar memiliki ilmu silat yang luar biasa, kalau tidak, darimana dia bisa mengetahui rahasia ilmu Jian-li-hui-im?"
52
Pendekar Cacat
Berpikir sampai di situ, ia lantas menjawab sambil tersenyum, "Pengetahuan Ko-sicu amat luas, tentunya kau tahu bukan tiada manusia di dunia ini yang sanggup melatih kepandaian sakti itu seperti apa yang didongengkan." Mendengar ucapan itu, seperti memahami sesuatu, Bong Thian-gak berkata, "Jadi Taysu sudah tahu yang dikirim lewat Jian-li-hui-im itu sesungguhnya berasal dari dalam ruang pertemuan?" Ku-lo Hwesio tersenyum. "Benar, pada saat itu juga Lolap sudah tahu! Tapi waktu itu, Lolap juga tak bisa menemukan suara itu berasal dari siapa. Agar mata-mata yang menyelundup masuk tidak menyadari, sengaja aku menggunakan cerita Jian-li-hui-im untuk mengaburkan suasana." Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok jadi bertambah bingung mendengar tanya jawab itu. Oh Cian-giok berkata, "Ku-lo Supek, sebenarnya ilmu Khikang macam apa Jian-li-hui-im itu?" Ku-lo Hwesio tertawa, "Jian-li-hui-im adalah sejenis ilmu Coan-im-ji-im atau Gi-hi-coan-im, hanya bedanya ilmu Coan-im-ji-im dan Gi-hi-coan-im merupakan pancaran hawa Khikang yang memaksa nada suara seseorang berubah menjadi getaran gelombang yang bisa dikirim ke tempat tujuan dalam jarak puluhan kaki saja, kecuali orang yang bersangkutan, yang lain tidak dapat mendengar suara itu."
53
Pendekar Cacat
"Sedang ilmu Jian-li-hui-im justru merupakan kebalikannya, pancaran gelombang suaranya tidak mengelompok ke satu tujuan saja, melainkan memancar kemana-mana dengan lebih mengutamakan getaran baliknya atau gaung suara pantulannya." "Seperti misalnya orang yang mengucapkan kata-kata makian tadi, sesungguhnya musuh yang memancarkan ilmu itu berada dalam ruang pertemuan juga, tapi berhubung suara itu dipancarkan dengan ilmu Jian-li-hui-im, akibatnya suara tadi menyebar dan memantul kembali setelah membentur langit-langit ruangan." Oh Cian-giok hanya bisa membelalakkan mata mendengar penjelasan itu, ia benar-benar merasa kaget bercampur keheranan. Mendadak sambil berpaling ke arah Bong Thian-gak, ia berkata, "Mengapa kau pun mengetahui rahasia itu?" Pertanyaan ini diucapkan dengan nada polos dan kekanakkanakan, membuat orang tidak bisa menampik pertanyaan itu. Bong Thian-gak merasa sangat geli, sahutnya, "Sebab aku sendiri pun memahami rahasia ilmu Jian-li-hui-im itu." "Jadi kau ... kau juga bisa ...."
54
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak seperti memahami apa yang dimaksudkan, dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, "Tak usah kuatir nona Oh, aku adalah orang sendiri." "Ai, kalau memang begitu, apa sebabnya kau merahasiakan asal-usul perguruanmu?" kata Oh Cian-giok sambil menghela napas sedih. "Ai, dalam hal ini aku harus minta maaf kepada kalian, sebab aku benar-benar punya kesulitan yang membuatku tak dapat menjelaskan asal-usul perguruanku." Ho Put-ciang kuatir desakan Oh Cian-giok akan menyinggung perasaan Bong Thian-gak, buru-buru teriaknya, "Sumoay, kau jangan memaksa orang mengutarakan persoalan yang jadi beban pikirannya, mungkin Ko-cuangsu benar-benar memiliki kesulitan yang tidak bisa diutarakan, padahal soal asal-usul bukan soal besar, asal saja hatinya bersih dan berpihak pada kita, dia tetap merupakan sahabat kita." Meskipun Oh Cian-giok tidak bertanya lagi, namun dalam hati berpikir juga, "Kecuali kau tak menggunakan jurus seranganmu, kalau tidak, suatu saat aku pasti dapat menduga asal-usul perguruanmu." Sementara itu Ho Put-ciang telah berkata kepada Ku-lo Hwesio, "Waktu sudah larut malam, Supek, Ko-cuangsu, silakan beristirahat."
55
Pendekar Cacat
Selesai berkata Ho Put-ciang lantas membawa kedua orang tamunya meninggalkan gedung pertemuan. Gedung Bu-lim Bengcu memang besar, dengan bangunan yang berlapis-lapis, di situ terdapat beratus-ratus buah kamar yang berderet-deret, Ku-lo Hwesio dan Bong Thiangak mendapat sebuah kamar yang terletak di dekat gedung besar. Aneka warna bunga tumbuh di seputar halaman, di situ terlihat ada gunung-gunungan, air sungai, jembatan kayu, gardu serta dekorasi lain yang menawan hati. Di sisi sebelah timur dan barat menjulang bangunan berloteng, sedang di seputar loteng itu berderet puluhan halaman kecil. Rupanya halaman besar itu merupakan gedung penerima tamu yang khusus disiapkan untuk para jago persilatan yang datang dari jauh, hampir sebagian besar tamu yang hadir sekarang tinggal di sana, tapi setiap orang mendapat kamar tersendiri dan tidak bercampur dengan yang lain. Ku-lo Hwesio seorang diri tinggal di bangunan loteng sebelah timur, sedang Bong Thian-gak berada di bangunan loteng sebelah barat. Antara loteng sebelah timur dan sebelah jbarat berjarak puluhan kaki, mungkin Ho Put-ciang memang sengaja mengatur demikian agar lebih mudah mengawasi gerakgerik para jago lainnya, maka kedua orang itu dipisahkan ke
56
Pendekar Cacat
dua loteng yang berbeda hingga wilayah pengawasan pun mencakup ke seluruh bagian. *** Angin dingin berhembus menggigilkan badan, saat itu kentongan keempat sudah lewat, udara benar-benar terasa amat dingin. Bong Thian-gak berdiri seorang diri di tepi pagar loteng sambil memandang ke seluruh bangunan Bu-lim Bengcu, terkenang kejadian masa lampau, tanpa terasa dia menghela napas panjang. Tujuh tahun berselang, sebelum dia diusir dari perguruan, sering dia berdiri seorang diri di loteng itu, seperti malam ini, dia menikmati keindahan malam dari tempat ketinggian. Tapi kini tujuh tahun kemudian, meski dia kembali ke sana, pemandangan masih seperti sedia kala, namun perasaan sudah jauh berbeda, jauh lebih berat dan masgul. Akhirnya Bong Thian-gak membalikkan tubuh, pelan-pelan balik ke kamarnya, membaringkan diri untuk tidur, namun bolak-balik kian-kemari, mata tak mau terpejam. Mendekati kentongan kelima dia baru tidur Ketika mendusin keesokan harinya, matahari sudah jauh di angkasa.
57
Pendekar Cacat
Tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan di atas ranjang tergeletak sebuah kartu merah. Dengan kening berkerut, pemuda itu segera bergumam, "Semalam Toa-suheng sendiri yang mengantarku naik loteng, seingatku di atas pembaringan tidak kuketemukan kartu merah seperti ini." Cepat disambarnya kartu merah itu, kemudian diperiksa. Bong Thian-gak segera tertegun, dia coba berpaling memeriksa sekeliling ruangan, pintu kamar masih tertutup rapat, tapi meja dan l.mtai sudah bersih, jelas sudah ada pelayan yang membersihkan kamar itu. Ketika kartu merah itu dibuka, tertulis di situ tiga huruf yang sangat besar, berbunyi: "PERINTAH MENGUSIR TAMU". Kemudian di bawahnya tercantum sederet tulisan yang berbunyi: "Diperingatkan kepada saudara agar meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu tak akan selamat sampai besok kentongan kelima". Bong Thian-gak tidak menyangka pihak musuh mencari gara-gara padanya, bahkan bersikap terang-terangan semacam ini.
58
Pendekar Cacat
Dilihat dari kemunculan kartu merah itu, dapatlah disimpulkan bukan saja pihak musuh telah menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, bahkan sempat berakar di situ, kalau tidak, mustahil mereka berani bersikap menantang seperti ini. Lama Bong Thian-gak termenung, akhirnya dia memutuskan untuk merahasiakan peristiwa kartu merah itu, pemuda yang keras kepala ini ingin tahu sampai dimana keberanian musuh menghadapinya. Mendadak dari luar ruangan berkumandang suara langkah kaki, buru-buru Bong Thian-gak menyembunyikan kartu merah itu ke dalam sakunya. Dari luar pintu segera terdengar seseorang menyapa dengan suara lembut, "Ko-siangkong, sudah bangunkah kau?" Pintu kamar dibuka, muncul seorang dayang berbaju hijau berusia iima-enam belas tahun. Bong Thian-gak segera mengamati wajah dayang itu dengan seksama, ia segera mengenalinya sebagai salah seorang di antara empat bocah perempuan yang khusus melayani kebutuhan Suhunya pada tujuh tahun lalu, bernama Siau Kiok. Kini ia telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik dengan tubuh ramping dan tinggi, berkulit putih bersih dan sangat menawan.
59
Pendekar Cacat
Dayang berbaju hijau itu nampak agak terperanjat setelah mengetahui Bong Thian-gak sedang mengamatinya lekatlekat, buru-buru dia menegur, "Siangkong, ada apa?" "Ah, tidak apa-apa," Bong Thian-gak menggeleng. "Oya, betul, siapa namamu?" Dayang itu tersenyum manis, "Aku bernama Siau Kiok, panggil saja namaku!" "Ehm, bagus sekali, aku akan memanggilmu Siau Kiok, kapan kau masuk kemari dan membersihkan ruangan ini?" "Kurang lebih dua jam berselang, aku lihat Siangkong masih tertidur nyenyak, maka tak berani kubangunkan dirimu." Siau Kiok seperti tidak merasa takut terhadap wajah Bong Thian-gak yang kuning penyakitan serta kakinya yang pincang itu, justru menaruh rasa iba dan kasihan. Bong Thian-gak termenung sesaat, lalu katanya, "Selanjutnya kau tidak usah membersihkan kamarku sepagi ini, sebab bagi kami yang biasa hidup malam, seringkah baru naik ke tempat tidur menjelang pagi." "Siangkong, aku telah menyiapkan air untukmu, silakan membersihkan muka dan kemudian bersantap." Bong Thian-gak manggut-manggut, "Pelayananmu sangat teliti dan menyenangkan, entah bagaimana caraku menyatakan rasa terima kasih kepadamu."
60
Pendekar Cacat
Mendadak Siau Kiok mengedipkan sepasang matanya yang jeli dan memandang wajah Bong Thian-gak sekejap, kemudian katanya, "Siangkong, sebagai seorang jagoan berilmu tinggi, kau tidak nampak sombong, jumawa dan takabur seperti kebanyakan jago lain, sebaliknya sikapmu begitu merendah dan sopan, benar-benar seorang jagoan tulen." Bong Thian-gak tersenyum, "Darimana kau tahu ilmu silatku sangat tinggi?" "Ruang khusus dalam gedung Bu-lim Bengcu ini hanya khusus disediakan untuk para jago persilatan yang berilmu tinggi, terutama bangunan loteng di sebelah timur dan barat, biasanya khusus disediakan bagi tamu agung." "Wah, kalau begitu kau pun khusus disediakan untuk melayani kebutuhan tamu agung?" goda sang pemuda sambil tertawa. Siau Kiok menunduk kemalu-maluan, bisiknya sambil tertawa, "Ah, Siangkong pandai menggoda!" "Siau Kiok, kau pandai bersilat?" tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya. Siau Kiok mengangguk. "Siocia pernah kepadaku."
mengajarkan
beberapa
jurus
silat
61
Pendekar Cacat
"Bukankah kau melayani Oh-bengcu?" Bicara sampai di situ, pemuda itu baru sadar kalau sudah salah bicara. Ternyata Siau Kiok cukup cermat, dengan cepat dia balik bertanya, "Darimana Siangkong tahu aku adalah dayang yang khusus melayani Loya?" "Beberapa tahun berselang, ketika menyambangi Ohbengcu, aku seperti pernah melihat kau sebagai salah seorang di antara empat bocah perempuan yang melayani Oh-bengcu." "Siangkong memiliki ketajaman mata yang mengagumkan," puji Siau Kiok setelah mengamati wajah Bong Thian-gak beberapa saat lamanya. "Walaupun hanya bertemu sekilas, apalagi sudah lewat beberapa tahun, ternyata kau masih dapat mengingatnya dengan jelas, benar-benar luar biasa!" Bong Thian-gak kembali tertawa, "Ya, aku memang mempunyai kemampuan khusus untuk mengingat setiap wajah yang pernah kujumpai, apalagi terhadap raut wajah mungil, cantik dan menarik seperti kau, mana mungkin aku bisa melupakannya?" Diumpak seperti itu oleh Bong Thian-gak, Siau Kiok menjadi senang setengah mati, buru-buru dia berkata, "Ah, Siangkong memang pandai bergurau. Ketika berjumpa dengan Siangkong tadi, aku pun seperti merasa pernah
62
Pendekar Cacat
berjumpa, namun tak bisa kuingat kembali dimanakah kita pernah bersua!" Setelah berhenti sejenak, dia baru berkata agak kaget, "Ah, aku mengajak Siangkong mengobrol terus, hampir saja lupa Siangkong belum sarapan!" Dengan cepat dayang itu mengundurkan diri dari ruangan. Memandang bayangan punggungnya lenyap di balik pintu, Bong Thian-gak kembali berpikir, "Heran, siapa sebenarnya yang mengantar kartu merah itu untukku? Mungkinkah Siau Kiok? Akan tetapi selain Siau Kiok, siapa lagi yang dapat memasuki loteng ini? Ah, buat apa mesti memikirkannya, malam ini aku memang hendak menanti kedatangan musuh? Kecuali dia tak datang, kalau tidak ... hm, jangan harap dia bisa lolos dari cengkeramanku!" Dengan perhitungan yang meyakinkan, Bong Thian-gak mulai mempersiapkan diri. Hari itu sepanjang waktu Bong Thian-gak mengurung diri dalam loteng itu, dia hanya mengawasi kamar tempat tinggal Kongsun Phu-ki lewat jendelanya. Hari itu tampaknya Kongsun Phu-ki juga seperti tak pernah pergi keluar, sedang para jago yang tinggal di kamar lain pun tak ada yang keluar.
63
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak dapat menyaksikan pula Toa-suhengnya, Ho Put-ciang dan Ji-suhengnya, Yu Heng-sui, mengunjungi Ku-lo Hwesio di loteng sebelah timur pada tengah hari, kemudian mereka baru berlalu menjelang sore. Penjagaan di sekitar gedung Bu-lim Bengcu pun tampak jauh lebih kendor, terutama di sekeliling ruangan itu, boleh dibilang tak nampak seorang pengawal pun. Matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang tiba, Bong Thian-gak berdiri di tepi pagar loteng sambil memandang sinar sang surya di kejauhan, mendadak ia teringat akan pesan yang ditulis dalam kartu merah tadi pagi. "Diperingatkan kepada saudara untuk meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu tak akan melewati kentongan kelima". Tanpa terasa Bong Thian-gak mulai meningkatkan kewaspadaan, dia berpikir, "Tak mungkin musuh menyerangku secara terang-terangan, besar kemungkinan mereka akan mencelakai diriku menggunakan segala tipu muslihat licik." Bong Thian-gak memerintahkan Siau Kiok agar mengundurkan diri sejak tadi, bahkan berpesan kepadanya agar balik lagi ke situ besok pagi.
64
Pendekar Cacat
Biasanya para pelayan perempuan baru boleh meninggalkan tempat tugas masing-masing menjelang tengah malam. Langit semakin gelap, angin berhembus kencang, terasa makin dingin, akhirnya malam pun tiba. Bong Thian-gak memasang lentera, lalu turun dari loteng dan berjalan-jalan di halaman luar, tampaknya seperti mencari angin, padahal sedang mengawasi para jagoan. Mendadak ia menyaksikan Kongsun Phu-ki berjalan keluar dari kamarnya, dia mengenakan jubah berwarna putih yang masih baru, nampaknya seperti akan keluar rumah. Bong Thian-gak mendapat tugas mengawasi dan melindungi keselamatan Kongsun Phu-ki, karena itu dengan cepat ia melakukan penguntitan. Betul juga, Kongsun Phu-ki memang keluar rumah, dia langsung berjalan keluar dari pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu. Sudah cukup lama Bong Thian-gak tinggal di kota Kay-hong, boleh dibilang jalanan di situ sangat dikenal olehnya, jalan besar lorong kecil tak sebuah pun yang tak dikenal, maka dalam penguntitan itu ia bertindak amat hati-hati. Ia cukup tahu Kongsun Phu-ki termasyhur karena kecerdasannya, itulah sebabnya ia harus bertindak cermat agar jejaknya tak ketahuan.
65
Pendekar Cacat
Suasana di kota Kay-hong menjelang senja sangat ramai, banyak orang berlalu-lalang di jalanan. Tampaknya Kongsun Phu-ki seperti mempunyai tujuan tertentu, langkahnya tetap dan tak pernah berhenti, ternyata dia langsung menuju ke arah jalanan dimana terletak tempat hiburan malam. Dengan kening berkerut. Bong Thian-gak berpikir, "Ah, masa tua bangka ini hendak berbuat iseng dengan perempuan penghibur." Ternyata jalanan itu panjangnya setengah li dan merupakan pusat hiburan malam kota Kay-hong, di sepanjang jalanan itu terdapat tiga puluhan rumah pelacuran. Bunyi musik, suara tertawa bergema dari sana sini, suasana benar-benar amat romantis. Sejak kecil sampai dewasa belum pernah Bong Thian-gak mengunjungi tempat hiburan semacam ini, tanpa terasa dia menjadi ragu dan kemudian berhenti. Saat itulah Kongsun Phu-ki telah melewati desakan orang banyak dan hampir lenyap dari pandangan matanya. Berada dalam keadaan demikian, terpaksa dia harus mengeraskan hati melanjutkan pengejarannya. Ucapan cabul, pelukan hangat membuat Bong Thian-gak benar-benar merasa amat rikuh, tapi akhirnya dia berhasil
66
Pendekar Cacat
juga melalui rumah-rumah pelacuran kelas rendah itu dan sampai di depan sarang pelacuran kelas menengah. Bong Thian-gak segera berpikir kembali, "Tak nyana tua bangka itu pandai memilih, mau bermain iseng pun mencari yang kelas tinggi." Belum habis ingatan itu melintas, Kongsun Phu-ki telah berhenti di depan sebuah gedung pelacuran yang sangat besar. Bong Thian-gak segera bertindak cekatan, dengan cepat dia segera menyelinap ke samping dan menyembunyikan diri di balik kerumunan orang banyak. Benar saja, Kongsun Phu-ki segera celingukan memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru melangkah masuk ke dalam gedung pelacuran itu. Di bawah sinar lentera yang berwarna-warni, Bong Thiangak mengenali tempat itu sebagai rumah pelacuran "Kangsan-bi-jin-lau". Sebagai penduduk lama kota Kay-hong, tentu saja pemuda itu tahu bahwa rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau ini merupakan sarang pelacur terbesar di kota itu. Semua penghuni gedung itu selain berwajah cantik jelita, mereka pun pandai memetik harpa dan membawakan tarian serta nyanyian, bahkan ada pula yang pandai bersyair sehingga mutunya boleh dibilang terjamin.
67
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tak berani memasuki gedung itu dan terpaksa dia menanti saja di luar, selain kuatir ketahuan jejaknya oleh Kongsun Phu-ki, dia pun merasa tidak tertarik dengan hiburan semacam itu. Di tengah alunan bunyi musik yang diselingi gelak tawa cekikikan, Bong Thian-gak merasa kehidupan semacam ini benar-benar memuakkan dan menjemukan. Malam semakin larut, tamu yang mengunjungi rumah pelacuran ini pun kian lama kian bertambah sedikit. Seorang demi seorang pencari hiburan pulang dalam keadaan mabuk dan berjalannya pun sempoyongan! Bong Thian-gak melototkan mata melakukan pengawasan, namun dari sekian banyak tamu yang beranjak pulang, hanya Kongsun Phu-ki seorang yang belum juga nampak batang hidungnya. Tanpa terasa pemuda itu menyumpah dalam hati, "Sialan betul si kunyuk tua itu, benar-benar tak tahu diri, sepagi itu dia masuk ke dalam, masa sampai sekarang belum juga keluar? Jangan-jangan ia sudah mampus dijepit paha perempuan." Sambil menggerutu Bong Thian-gak menunggu lagi beberapa jam, kini tengah malam sudah lewat. Tapi aneh, belum nampak juga Kongsun Phu-ki muncul dari gedung pelacuran itu.
68
Pendekar Cacat
Biasanya gedung pelacuran akan ditutup selewatnya tengah malam, bila sesudah lewat tengah malam belum nampak, berarti dia memutuskan untuk menginap di sana. "Jangan-jangan kunyuk tua itu menginap di sini?" Bong Thian-gak berpikir. Dengan mata melotot dia mengawasi jalanan itu, tapi suasana sudah sepi, hanya tinggal dia seorang diri yang bersembunyi di sudut dinding sana. Suara musik sudah reda sedari tadi, lampu pun sudah banyak yang dipadamkan, akan tetapi bayangan tubuh Kongsun Phu-ki belum nampak juga. Tergerak hati Bong Thian-gak, segera pikirnya, "Aduh celaka! langan-jangan dia sudah tahu aku sedang menguntitnya, maka dia telah kabur sedari tadi?" Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera membalikkan badan siap berlalu dari situ. Namun baru beberapa langkah, dia berpikir kembali, "Tapi siapa tahu dia memutuskan untuk menginap di sini." Bong Thian-gak punya tugas melindungi keselamatan Kongsun Phu-ki, bila gagal menemukan keadaan yang sebenarnya, dia merasa tak lega.
69
Pendekar Cacat
Akhirnya diputuskan untuk melakukan pemeriksaan seksama terhadap setiap ruangan dalam gedung pelacuran itu. Dengan gerakan cepat dia melompat naik ke tembok pekarangan, lalu melayang naik ke atas atap rumah, dengan Ginkang yang sempurna, Bong Thian-gak berkelebat secepat sambaran petir. Satu kamar demi satu kamar diperiksa oleh Bong Thian-gak dengan seksama, matanya yang tajam mengamati setiap wajah yang berada dalam kamar, namun kecuali sepasang laki perempuan yang sedang bermesraan atau bertempur sengit, tak nampak sesuatu yang lain. Yang lebih aneh lagi, dari tujuh belas kamar yang diperiksanya, dia hanya menemukan delapan pasang sejoli yang lagi berbuat mesum, namun dari sekian banyak orang, tak nampak Kongsun Phu-ki. Bong Thian-gak menarik napas panjang, pikirnya, "Sekarang tinggal gedung bertingkat itu saja yang belum kuperiksa, jika di sana pun tak ada, sudah pasti kongsun Phu-ki telah pergi karena mengetahui dirinya aku kuntit!" Berpikir sampai di situ, dia segera menggerakkan tubuhnya dan melompat ke arah bangunan loteng itu. Setitik cahaya lentera memancar keluar dari balik loteng itu, tanpa pikir panjang Bong Thian-gak segera melompat
70
Pendekar Cacat
naik ke atas loteng. Kemudian daun jendela dibukanya pelan-pelan dan mengintip ke dalam ruangan. Hampir saja Bong Thian-gak menjerit kaget, jantungnya serasa mau melompat keluar dari rongga dada, ternyata dia menyaksikan suatu lukisan yang sangat indah. Bukan, bukan lukisan sungguhan, melainkan seorang yang masih hidup, tubuh indah yang mempesona hati, tubuh indah dalam keadaan bugil. Dari sekian banyak pemandangan seram yang diintipnya malam ini, tak satu pun di antara yang dapat mendebarkan hatinya. Tapi kali ini jantungnya berdebar keras, darah panas serasa mendidih dalam tubuhnya. Ternyata di dalam ruangan kecil di atas loteng terdapat sebuah lentera berwarna merah, sinar merah memancar ke sebuah pembaringan, dimana berbaring seorang perempuan cantik menawan, perempuan itu berbaring dalam keadaan telanjang bulat. Wajahnya cantik menarik bagai bidadari dari kahyangan, rambutnya yang hitam memanjang dan terurai di antara sepasang payudaranya yang montok, putih dan halus. Lekuk tubuhnya menawan, pinggangnya ramping, benarbenar perempuan bertubuh menarik. Karena perempuan sangat cantik ini, hampir saja Bong Thian-gak tidak percaya dengan apa yang dilihat, ia
71
Pendekar Cacat
memejamkan mata tetapi kemudian membuka matanya kembali. Cantik, benar-benar cantik, makin dilihat makin indah, makin dipandang makin mendebarkan hati. Bong Thian-gak berusaha menenangkan hati, kemudian sambil menggeleng, pikirnya, "Tak nyana di rumah pelacuran ini ada juga seorang perempuan yang begitu cantik, ai ... sungguh sayang, sungguh sayang sekali...." Entah mengapa Bong Thian-gak menghela napas panjang. Mendadak ia menyaksikan perempuan cantik yang sedang tidur itu membuka mata, kemudian terasa dua gulung cahaya mata yang amat tajam menggidikkan dialihkan ke arah matanya. Bagaimana pun juga Bong Thian-gak adalah lelaki sejati, ditatap seperti itu oleh seorang perempuan bugil, dia menjadi ketakutan setengah mati, dengan jurus ikan Lehi meletik ia berjumpalitan, lalu secepat kilat melejit pergi dan lari terbirit-birit meninggalkan sarang pelacuran itu. Tak selang beberapa saat kemudian, Bong Thian-gak sudah balik ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, namun jantungnya masih berdebar keras, dia menyesal dirinya telah mengintip perempuan telanjang. Pemuda itu tidak masuk melalui pintu gerbang, melainkan meluncur dari balik tembok pekarangan sebelah barat,
72
Pendekar Cacat
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, tanpa mengusik orang lain tahu-tahu ia sudah balik ke tempat tinggalnya. Bong Thian-gak berdiri sejenak di tengah halaman menenangkan hatinya yang bergolak, setelah agak tenang baru ia berpikir, "Coba kuintip, benarkah si kunyuk tua itu sudah kembali ke kamarnya?" Untuk membuktikan dugaannya, secara diam-diam Bong Thian-gak menyusup ke dalam kamar yang ditinggali Kongsun Phu-ki, lalu mengintip ke dalam lewat daun jendela. Apa yang dilihat? Ternyata Kongsun Phu-ki telah berbaring di atas ranjangnya, malah tertidur amat nyenyak. Bong Thian-gak menyumpah dalam hati. "Kunyuk tua, kau benar-benar sudah membuatku menderita, aku berdiri makan angin di situ, tak tahunya kau malah enak-enakan tidur di rumah." Sebaliknya Kongsun Phu-ki tanpa sepengetahuan dirinya telah membuktikan bahwa ia telah dikuntit Bong Thian-gak. Itulah sebabnya anak muda itu benar-benar merasa mendongkol. Dengan perasaan murung dan masgul ia balik ke kamarnya, tampak cahaya lampu masih menerangi kamarnya, maka
73
Pendekar Cacat
dia melompat naik, memeriksa sekejap sekeliling situ, kemudian baru masuk ke dalam. Setelah memadamkan lentera, Bong Thian-gak membaringkan diri di atas ranjang, namun mata tak mau berpejam, rasa mendongkolnya membuat dia sukar tertidur, sampai lewat kentongan ketiga pikirannya baru pelan-pelan menjadi tenang kembali. Di depan matanya segera terbayang tubuh perempuan bugil yang baru saja dijumpainya itu. Mendadak tergerak hatinya, ia segera berpikir, "Tajam amat sepasang mata perempuan itu!" Kalau tadi ia tak begitu memperhatikan hal itu, tapi sekarang setelah dibayangkan kembali, tanpa terasa Bong Thian-gak berkerut kening, pikirnya lebih jauh, "Dia mempunyai sepasang mata yang tajam seperti sambaran kilat, tajam melebihi mata pedang, mustahil sorot mata biasa setajam itu, kalau begitu, sudah pasti dia pun seorang jago persilatan." Kejadian itu benar-benar aneh. Seorang perempuan cantik menarik yang berilmu tinggi ternyata membaurkan diri di sarang pelacuran. Kendati Bong Thian-gak telah memeras otak habis-habisan, belum juga menemukan alasan yang tepat untuk memecahkan teka-teki itu.
74
Pendekar Cacat
"Bagaimana pun juga aku harus mengunjungi kembali rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau itu, akan kuselidiki peristiwa aneh ini sampai tuntas," demikian anak muda itu mengambil keputusan dalam hati, dengan begitu pikirannya yang bergolak pun menjadi reda kembali. Malam semakin larut, suasana amat hening, dalam suasana seperti inilah tiba-tiba terdengar langkah kaki yang sangat lirih berkumandang ilari luar kamarnya. Bong Thian-gak terkesiap, dengan cepat ia teringat kembali akan kartu merah jambu itu! "Bagus sekali, ternyata kau benar-benar datang!" Tanpa berkutik Bong Thian-gak tetap berbaring di ranjangnya. Tapi secara diam-diam dia telah menghimpun tenaga dalamnya mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, hanya saja dia tak mau bergerak sebelum musuh bertindak lebih dulu. Suara langkah manusia itu berhenti tepat di depan kamarnya. "Mungkinkah dia membuka pintu dan bergerak masuk?" Belum habis ingatan itu berkelebat, "Krek", suara pintu didorong orang.
75
Pendekar Cacat
Dengan ketajaman matanya yang mengagumkan, Bong Thian-gak dapat menyaksikan pantek kayu yang mengunci pintu kamar itu terdorong patah oleh tenaga orang yang dahsyat. Menyusul seseorang berbaju hitam menerjang secepat sambaran kilat, telapak tangannya tahu-tahu sudah diayun ke batok kepalanya. Sergapan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi peluang bagi lawan untuk mempersiapkan diri, banyak jago persilatan dan orang gagah yang tewas oleh serangan kilat yang sama sekali tak terduga semacam ini. Apalagi pihak musuh menggunakan jurus pukulan yang paling keji, buas dan sakti, sekali pun di hadapannya berdiri seseorang yang lelah bersiap pun, belum tentu serangan itu dapat dibendung atau dihindari. Agaknya Bong Thian-gak cukup memahami kelihaian jurus serangan lawan, dia tidak mencoba berkelit ke samping, sebaliknya dengan kelima jari tangan kirinya yang dipentang lebar-lebar dia sambut datangnya serangan itu. "Plak", terdengar benturan keras, penyergap mendengus tertahan dan sempoyongan, secara beruntun tubuhnya kena terdorong hingga mundur sejauh empat-lima langkah. Bong Thian-gak segera memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk melompat bangun dari
76
Pendekar Cacat
pembaringan, kemudian diawasinya penyergap itu dengan sorot mata penuh kegusaran. Ternyata pihak lawan adalah seorang berbaju hitam bertubuh ramping, jelas seorang wanita, memakai secarik kain hitam untuk menutupi sebagian wajahnya. Tampaknya penyergap sama sekali tak menyangka sergapannya bakal mengalami kegagalan, dari balik matanya segera terpancar rasa kaget dan tertegun. "Siapa kau?" Bong Thian-gak segera membentak. "Lebih baik menyerah saja daripada mampus secara mengerikan!" ***
77
Pendekar Cacat
2 SI MAHA CANTIK DALAM SARANG PELACURAN
G
adis penyergap itu berseru tertahan, kemudian untuk kedua kalinya dia menerjang ke muka dengan kecepatan luar biasa.
Kali ini dia menyerang dengan sebilah pisau belati di tangan, serangannya buas dan nekat, membuat hati orang bergidik. Bong Thian-gak mendengus dingin, sepasang kakinya sedikit membengkok, lalu sepasang tangannya seperti cakar burung elang balas menyambar ke depan. Jeritan kaget terdengar, tubuh si gadis penyergap itu mengelak ke belakang bagai layang-layang putus benang, kemudian menggelinding keluar pintu. Bong Thian-gak tak tinggal diam, dengan lompatan lebar dia menyusul keluar.
78
Pendekar Cacat
"Sreet", serentetan cahaya dingin menyambar. Bong Thian-gak bertindak sigap, dia miringkan tubuhnya sambil menyambar benda itu, tahu-tahu pisau belati tadi sudah berpindah ke tangannya. Gadis penyergap itu memang lihai, gerak-geriknya lincah dan cekatan. Di saat Bong Thian-gak merontokkan serangan pisau belati tadi, ia segera melompat ke depan, lalu melarikan diri turun ke bawah loteng. Bong Thian-gak membentak gusar menyaksikan musuh hendak kabur, tangannya cepat diayun ke depan, pisau belati yang berhasil disambarnya tadi tahu-tahu sudah disambitkan balik ke tubuh lawan. Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, tampak cahaya tajam berkilau, tahu-tahu gadis penyergap itu menjerit kesakitan. Pisau belati itu menancap telak di bahu kirinya, darah segera berhamburan kemana-mana, setelah sempoyongan sesaat, ia melarikan diri dari situ. Bong Thian-gak mengejar secepat angin puyuh, tapi si gadis penyergap sudah kabur sejauh tujuh-delapan depa. Terkejut juga Bong Thian-gak menyaksikan pihak musuh masih sanggup melarikan diri kendatipun tubuhnya sudah terluka parah, kuatir musuh keburu kabur, cepat
79
Pendekar Cacat
dia melompati atap rumah dan berniat menghadang jalan perginya dengan cepat. Siapa tahu baru saja Bong Thian-gak melompati dua buah rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berbelok ke samping dan menyusup ke dalam bangunan rendah di sisi loteng, langsung kabur menuju ke halaman belakang. Dengan begitu selisih kedua belah pihak menjadi semakin lebar. Bong Thian-gak segera menjejakkan kaki ke tanah, seperti burung bangau raksasa dia melambung ke angkasa dan mengejar dari belakang. Kejar-kejaran segera berlangsung sengit, setelah melalui tiga halaman rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berada tiga depa saja di hadapannya, tapi pagar pekarangan menuju ke tempat tinggal kaum wanita dalam Bu-lim Bengcu pun tinggal beberapa depa lagi. Bong Thian-gak mengerti, seandainya gadis itu berhasil kabur ke gedung sebelah dalam, pasti dia akan menjumpai banyak kesulitan, buru-buru dia melepaskan sebuah pukulan yang amat lihai. Angin pukulan yang menderu-deru seperti amukan ombak di tengah samudra, dengan cepat melesat ke depan. Gadis berbaju hitam itu mendengus tertahan, tubuhnya mencelat ke udara, lalu terbanting keras ke atas tanah.
80
Pendekar Cacat
Tubuhnya terkapar lemas di atas tanah, setelah berkelejetan beberapa kali, akhirnya sama sekali tak berkutik lagi. Bong Thian-gak menyusul datang dari belakang, buruburu dia membungkukkan badan memegang nadi pergelangan tangan lawan, namun pemuda itu segera tertegun, ternyata denyutan nadi lawan sudah berhenti, musuh tewas dalam keadaan mengerikan. Menghadapi keadaan itu, Bong Thian-gak menghela napas sedih, serunya sambil mendepak-depakkan kakinya berulang kali. "Ai, dengan susah payah aku berhasil mengungkap titik terang ini, siapa tahu ia justru sudah mampus!" Baru saja dia bergumam, segulung angin berhembus, lalu terdengar seorang berkata, "Omitohud, ilmu pukulan Kosicu benar-benar kuat, tajam dan berdaya kemampuan menghancurkan bebatuan cadas, kini isi perut musuh sudah hancur, nadinya sudah putus, mana mungkin hidup lebih jauh?" Bong Thian-gak berpaling ke tengah-tengah kegelapan malam, tampak Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si sudah berdiri tegak di situ. Menyusul kemudian bayangan orang berkelebat berulang kali, secara beruntun jago-jago lainnya bermunculan pula di sana.
81
Pendekar Cacat
Yu Heng-sui dan Ho Put-ciang juga hampir bersamaan waktunya muncul di tempat kejadian. Memperhatikan jenazah yang membujur di sana, Ho Putciang berkata dengan wajah serius, "Ji-sute, coba kau lepaskan kain kerudung hitamnya!" Sementara itu paras muka para jago pun berubah menjadi amat serius, berpuluh pasang mata bersamasama dialihkan ke wajah jenazah itu. Pelan-pelan Yu Heng-sui merobek kain kerudung mukanya, dengan cepat muncul seraut wajah yang mengerikan, dari tujuh lubang indranya darah kental masih mengucur hingga muka jenazah itu penuh berlepotan darah. Tapi bagi Yu Heng-sui maupun Ho Put-ciang, raut wajah itu tak asing lagi bagi mereka, mereka cukup tahu siapa gerangan perempuan penyergap itu. Kontan saja paras muka kedua orang itu berubah hebat, jelas perempuan itu pun anggota gedung Bu-lim Bengcu. Bong Thian-gak tidak kenal perempuan itu, mungkin orang itu baru masuk ke gedung Bu-lim Bengcu setelah ia meninggalkan tempat itu, kalau dilihat dari raut wajahnya, gadis itu kira-kira baru berusia dua puluhan tahun, mungkin dayang atau pelayan. Cepat Ho Put-ciang memerintahkan kepada adik seperguruannya, "Yu-sute, cepat gotong pergi jenazah ini
82
Pendekar Cacat
dan bersihkan lantai dari noda darah, mengganggu ketenangan tidur orang lain."
jangan
Kemudian sambil menjura kepada para jago, orang she Ho itu berkata lebih jauh, "Toa-heng sekalian, asal-usul pembunuh itu baru akan kuumumkan besok pagi, bagaimana kalau sekarang dipersilakan kembali ke kamar masing-masing?" Berhubung para pendekar tidak mengenali siapakah perempuan yang tewas itu, tentu saja tak seorang pun di antaranya yang bersuara, ditinjau dari paras muka Ho Put-ciang, dapat diduga orang itu adalah salah seorang anggota gedung Bu-lim Bengcu. Waktu itu malam masih kelam, terpaksa semua orang balik ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Menanti semua jago telah berlalu, Bong Thian-gak baru berkata lertahan dalam hati, dia seperti menemukan sesuatu yang tidak beres. Ternyata di antara para jago yang bermunculan, ia tidak nampak kemunculan Kongsun Phu-ki si kunyuk tua itu. Ho Put-ciang memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, lalu ujarnya sambil tertawa getir, "Harap Kocuangsu sudi memaafkan, ternyata pihak musuh benarbenar telah menyusup ke setiap bagian gedung Bu-lim Bengcu ini, perempuan tadi adalah salah seorang dayang Subo kami."
83
Pendekar Cacat
Mendengar nama 'Subo' disinggung, hati Bong Thian-gak bergetar keras, bagaikan dihantam martil berat, sekujur tubuhnya gemetar keras. "Omitohud!" Ku-lo Hwesio berkata, "Ho-hiantit mungkin masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, untuk sementara waktu Lolap kembali dulu." Selesai berkata, pendeta itu segera berlalu lebih dulu. Bong Thian-gak tahu Toa-suhengnya bakal menjumpai banyak kesulitan dalam melakukan penyelidikan, agar tidak menyusahkannya, maka dia pun segera mohon diri pula. Kembali ke kamar, ia tidur di pembaringan sambil membayangkan peristiwa yang baru saja lewat, diamdiam ia merasa menyesal karena turun tangan kelewat berat. Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak bergumam, "Konon pembunuh itu adalah salah seorang dayang Subo, mungkinkah Subo masih seperti tujuh tahun berselang, hatinya belum puas sebelum pembunuh yang dikirimnya berhasil membunuh diriku?" Saat itulah dalam benak Bong Thian-gak melintas peristiwa yang berlangsung tujuh tahun lalu, peristiwa tragis yang sangat memalukan.
84
Pendekar Cacat
Peristiwa itu terjadi pada suatu malam di musim panas, waktu itu dia bersama Sam-suhengnya Siau Cu-beng sedang dalam perjalanan pulang setelah menjemput Subonya di kota Ci Kang. Malam itu berhubung mereka tersesat di atas bukit hingga kemalaman, maka terpaksa harus bermalam di tengah gunung. Udara pada malam itu panas sekali, karena tak tahan, maka di tengah malam buta secara diam-diam dia pergi ke sungai untuk menyegarkan badan, tetapi ketika selesai mandi dan kembali ke tempat semula, dia tidak menemukan Subo dan Sam-suhengnya. Maka dengan gelisah, ia melakukan pencarian di sekeliling tempat itu dan akhirnya di dalam sebuah hutan kecil, ia saksikan suatu adegan yang menyeramkan, tapi juga amat memalukan. Di atas tanah berumput di bawah sinar rembulan, tampak sepasang laki perempuan sedang saling berpelukan dalam keadaan telanjang bulat, waktu itu mereka sedang bersenang-senang menikmati surga dunia, berbuai mesum seperti apa yang sering dilakukan antara suami istri. Yang memegang peranan sebagai sang suami ternyata Sam-suhengnya Siau Cu-beng, sedangkan yang memegang peranan istri tak lain adalah ibu gurunya sendiri.
85
Pendekar Cacat
Kontan saja hawa amarah menggelora di dalam dadanya, dengan geram ia keluar dari tempat persembunyian dan mengagetkan sepasang sejoli yang sedang berbuat mesum. Beberapa saat kemudian, Sam-suhengnya Siau Cu-beng telah selesai berpakaian dan pelan-pelan berjalan keluar dari hutan dengan senyum menyeringai menghias wajahnya, lalu disusul ibu gurunya. Dilihat dari paras muka Siau Cu-beng dan ibu gurunya, dapat diketahui mereka hendak membunuh orang untuk melenyapkan saksi. Kemarahan dan kesedihan yang melampaui batas membuat ia menerjang Siau Cu-beng seperti binatang buas, ia bertekad hendak melenyapkan pengkhianat itu dari muka bumi dan membersihkan nama gurunya yang ternoda. Pertempuran sengit tak bisa dihindari lagi, seorang diri dia harus bertarung menghadapi kerubutan Siau Cubeng dan ibu gurunya. Entah siapa yang membantunya, dalam pertarungan itu makin bertarung ia nampak makin gagah ... akhirnya dalam suatu kesempatan dia berhasil menghajar Siau Cu-beng hingga terjatuh ke dalam jurang. Jerit kaget Siau Cu-beng yang terjatuh ke dalam jurang telah mengagetkan ibu gurunya, ia segera berhenti menyerang, kemudian sambil menutup muka menangis
86
Pendekar Cacat
tersedu-sedu, seperti perbuatannya itu.
merasa
menyesal
dengan
Diiringi isak-tangis yang memedihkan hati, ibu gurunya lantas menceritakan bagaimana dia dirayu oleh Siau Cubeng untuk berbuat iseng, bagaimana dirangsang.... Dalam kesedihan itu, ia hanya memohon kepada dirinya agar tidak menceritakan peristiwa yang memalukan itu kepada gurunya. Mendengar ucapan ibu gurunya, gejolak emosinya segera menjadi reda, kesadarannya pun pulih, ia sadar bila gurunya yang berhati bajik sampai mengetahui peristiwa tragis yang memalukan itu, sudah pasti gurunya akan menderita tekanan batin. Padahal gurunya merupakan seorang Bu-lim Bengcu yang memimpin seluruh umat persilatan di dunia, ia begitu dihormati, disanjung oleh setiap orang, bagaimana jadinya bila berita yang memalukan itu sampai bocor ke dunia persilatan? Sudah pasti nama baik dan wibawa gurunya akan hancur. Bila sampai terjadi hal ini, sungguh tragis akibatnya. Ibu gurunya ini merupakan istri ketiga, waktu itu umurnya baru tiga puluh tujuh tahun, masih muda, bila Suhu sampai mengetahui penyelewengannya, apakah ibu gurunya akan dibiarkan hidup terus?
87
Pendekar Cacat
Demi menyelamatkan nama baik gurunya, demi menjaga semangat gurunya agar tidak menderita tekanan batin, juga demi kaselamatan ibu gurunya, maka dia lantas mengarang suatu cerita untuk merahasiakan kejadian yang sesungguhnya. Siapa tahu Subonya begitu keji, ternyata dia telah mengirim pembunuh bayaran untuk mencari jejak dan melenyapkan jiwanya. Berpikir sampai di situ, sepasang mata Bong Thian-gak berkaca-kaca, ia bergumam, "Perempuan rendah yang tak tahu malu, apakah kau tahu bahwa aku Bong Thiangak telah kembali ke sini? Kau kuatir aku membocorkan perbuatan terkutukmu yang tak tahu malu itu, sehingga segera kau kirim pembunuh-pembunuhmu untuk melenyapkan aku dari muka bumi." "Hm" seorang diri Bong Thian-gak mendengus berulang kali, ia menyumpah lebih jauh, "Perempuan terkutuk, aku benar-benar tak menyangka kau masih bisa bertebal muka tetap tinggal di dalam gedung Bu-lim Bengcu ini, masih punya perasaan hidup terus di dunia ini." "Hm, kau sepantasnya mampus, suatu ketika aku Bong Thian-gak pasti akan membunuhmu, aku takkan membiarkan kau tetap hidup di dunia ini hanya untuk berbuat kejahatan!" Bicara sampai di situ, mencorong sinar buas yang menggidikkan dari balik mata anak muda itu, ia sudah mengambil keputusan bulat.
88
Pendekar Cacat
Mendadak satu ingatan melintas kembali dalam benak Bong Thian-gak, "Mungkinkah Subo adalah mata-mata yang diselundupkan musuh kemari?" Pendapatnya itu ibarat sumber air yang ditemukan di tengah gurun pasir, segera membuat semangatnya berkobar kembali. Dilihat dari perbuatan ibu gurunya yang mengkhianati cintanya dengan berbuat mesum bersama Siau Cu-beng, kemudian ditinjau pula dari ilmu silat pembunuh perempuan yang muncul pada malam ini, Subonya itu memang satu-satunya orang yang paling mencurigakan. Setelah berhasil menemukan titik terang itu, hati Bong Thian-gak agak tenang, tanpa terasa dia pun tertidur dengan cepat. "Tok, tok, tok", dari luar gedung sana berkumandang lima kali kentongan sebagai pertanda kentongan kelima telah tiba. Entah lama saat sudah lewat, akhirnya Bong Thian-gak bangun dari tidurnya oleh suara pembicaraan yang gaduh. Tampak Siau Kiok yang manis sudah berdiri di sisi pembaringan, begitu melihat pemuda itu membuka mata, dia lantas berkata, "Siangkong! Siangkong! Nona telah datang ...."
89
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya ke arah lain, sambil berseru tertahan buru-buru dia melompat bangun dan duduk. Ternyata di kursi dekat dinding kamarnya telah duduk kakak seperguruannya, Oh Cian-giok. Bong Thian-gak melompat turun dari pembaringan dan menuju ke arah Oh Cian-giok sambil katanya, "Nona Oh, sejak kapan kau sampai di sini? Maaf jika aku bersikap kurang sopan." Oh Cian-giok masih mengenakan pakaian putih tanda berkabung, hanya wajahnya nampak amat murung, selapis hawa dingin menghiasi raut wajahnya. "Ko-siangkong," ujarnya, "maaf jika aku mengganggu tidurmu, tapi berhubung dalam gedung telah terjadi suatu peristiwa besar, terpaksa Toa-suheng mengutusku kemari mengundang kedatangan Ko-siangkong." "Apa yang terjadi?" seru Bong Thian-gak dengan terperanjat. "Kongsun-tayhiap ditemukan tewas!" Berita buruk ini segera membuat Bong Thian-gak amat terkesiap, serunya tertahan, "Apa? Kau mengatakan Kongsun Phu-ki telah tewas?" Pelan-pelan Oh Cian-giok mengangguk, "Benar ia mati terbunuh." "Bagaimana tewasnya?"
90
Pendekar Cacat
"Ketika datang memanggilnya pagi tadi, ia ditemukan mati kaku di atas pembaringan, anggota badannya telah kaku dan mendingin, jelas sudah putus nyawa cukup lama, tapi sebab kematiannya belum jelas. Kini Ku-lo Hwesio dan sebagian jago sedang menantikan kedatangan Ko-siangkong di ruangan bawah sana." Bong Thian-gak tidak banyak bicara lagi, cepat ia membetulkan pakaiannya, lalu mengikuti Oh Cian-giok menuju ke kamar Kongsun Phu-ki. Waktu itu para jago sudah berkumpul dalam ruang tamu yang kecil, kebetulan Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui sedang berjalan keluar dari dalam kamar, para jago segera bertanya, "Apa yang menyebabkan kematian Kongsun Phu-ki?" Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui tidak menjawab, mereka hanya menggeleng kepala berulang kali. Menyaksikan Bong Thian-gak muncul, Ho Put-ciang berkata hambar, "Ko-cuangsu silakan masuk, Ku-lo Sinceng sedang menanti kedatanganmu di dalam sana." Bong Thian-gak mengiakan dan buru-buru ia masuk ke dalam kamar. Di atas pembaringan kayu dalam ruangan, tergeletak kaku seorang kakek kurus kering, dialah Kongsun Phuki, salah satu di antara Ciong-lam-sam-lo.
91
Pendekar Cacat
Di sisi pembaringan duduk Ku-lo Hwesio, dia sedang meneliti setiap bagian tubuh Kongsun Phu-ki. Bong Thian-gak ikut mengamati jenazah itu, tampak paras muka Kongsun Phu-ki pucat-pias, kulit wajahnya cekung ke dalam sehingga boleh dibilang tinggal kulit pembungkus tulang belaka. Keadaannya saat ini mirip seorang yang tewas setelah puluhan tahun menderita penyakit parah. Ku-lo Hwesio mendongakkan kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, mendadak ia bangkit dan berkata, "Di atas tubuhnya tidak ditemukan luka apa pun, juga tidak ditemukan gejala keracunan, kalau begitu ...."
Mendadak ia berhenti sejenak sambil beranjak keluar dari kamar, kemudian baru melanjutkan sambil menghela napas, "Itu berarti dia tewas akibat sari darah dan tulang sumsumnya mengering." Dugaan itu segera disambut para jago dengan wajah berubah hebat, hampir bersamaan mereka berseru, "Sari darah dan tulang sumsum mengering? Mengapa sari darah dan tulang sumsum bisa mengering dalam semalaman saja?"
92
Pendekar Cacat
Dalam ruangan itu hanya Bong Thian-gak seorang yang secara lamat-lamat bisa menduga apa gerangan yang terjadi, tapi karena dilihatnya Oh Cian-giok hadir pula di situ, maka ia merasa agak sungkan untuk bertanya lebih jauh kepada Ku-lo Hwesio. Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan wajah amat serius, "Ko-sicu, Lolap ingin bicara empat mata denganmu sebentar, datanglah ke loteng sebelah timur bersama Ho-hiantit dan Yu-hiantit...." "Baik, aku akan segera ke sana!" jawab Bong Thian-gak dengan suara lantang.
Selesai berkata, dia mengikut di belakang Ku-lo Sinceng keluar ruangan itu. Tak selang beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di ruang tamu loteng sebelah timur. Ternyata Ho Put-ciang dan Yu Heng¬sui telah berada pula di sana. Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Ku-lo Hwesio barulah berkata, "Kongsun-sicu tewas akibat sari darah dan tulang sumsumnya mengering atau dengan kata lain dia mati akibat air maninya telah kering." "Jadi dia benar-benar tewas akibat air maninya telah mengering?"
93
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Ya, Kongsun-sicu memang tewas di tangan seorang perempuan." "Ah, kematiannya benar-benar di luar dugaan." "Ko-sicu, semalam kau yang menguntit di belakang Kongsun-sicu, tentunya kau tahu bukan kemana dia telah pergi?" Diam-diam Bong Thian-gak terkejut juga, dia tidak menyangka perbuatannya menguntit di belakang Kongsun Phu-ki tak lolos dari pengawasan Ku-lo Hwesio. Dengan cepat lantas dia menjawab, "Kongsun-tayhiap telah berkunjung ke rumah pelacuran Kang-san-bi-jinlau, tapi berhubung aku tidak masuk ke dalam, maka tidak kuketahui apa yang dilakukannya!" Maka Bong Thian-gak menceritakan secara ringkas bagaimana dia menguntit Kongsun Phu-ki semalam, hanya soal mengintip seorang perempuan cantik dalam keadaan telanjang saja yang sengaja dia rahasiakan.
Seusai mendengar penuturan itu, Yu Heng-sui berkata sambil menghela napas, "Ah, sudah satu bulan lebih Kongsun-tayhiap berdiam di sini, tiap hari dia tentu keluar satu kali, aku pun pernah menguntitnya secara diam-diam, dia memang pergi ke sarang pelacuran untuk melepaskan napsunya."
94
Pendekar Cacat
"Lolap sendiri pun pernah mendengar Kongsun-sicu tak mampu mengendalikan birahi, tapi dia cukup berjiwa jujur dan lurus, selama ini belum pernah mengganggu anak gadis atau istri orang. Namun kalau dibilang ia mengalami musibah akibat peristiwa ini, rasanya juga tak mungkin."
Bong Thian-gak pun merasakan banyak hal yang mencurigakan dalam kejadian itu, dia berkata, "Kalau dibilang Kongsun Phu-ki mati akibat dia kehabisan air mani setelah berbuat iseng dengan pelacur, mengapa justru tewas dalam gedung Bu-lim Bengcu, apalagi dia seorang jago yang memiliki tenaga dalam amat sempurna, tak mungkin dia berbuat iseng hingga kelewat batas, sampai air maninya mengering dan berakibat kematian." "Kalau bukan suatu musibah, apa. mungkin suatu pembunuhan?" kata Ho Put-ciang tiba-tiba. "Menjelang tengah malam Lolap menyaksikan Kongsunsicu pulang seorang diri, menyusul kemudian Ko-sicu baru pulang setengah jam kemudian, waktu itu Ko-sicu pernah menjenguk pula ke kamar Kongsun-sicu."
Bong Thian-gak semakin terkejut mendengar ucapan itu, ia tidak menyangka semua gerak-geriknya tak lepas dari pengawasan Ku-lo Hwesio, maka jawabnya dengan
95
Pendekar Cacat
lantang, "Apa yang dikatakan Taysu memang tepat sekali, oleh karena aku kuatir Kongsun-tayhiap belum sampai di rumah, sengaja aku datang ke kamarnya untuk mengintip dan membuktikan apakah dia telah kembali ke rumah atau belum!" "Biasanya orang yang mati akibat kehabisan sumsum tulangnya, dia akan mati seketika setelah selesai melakukan senggama," Ku-lo Hwesio menerangkan. "Mustahil berjalan pulang lebih dulu dari jauh sebelum akhirnya tewas di rumah. Ah! Mungkin Kongsun-sicu tidur semalaman tak pernah mendusin untuk selamanya!"
"Supek, lantas berada dalam keadaan apakah Kongsuntayhiap menemui ajalnya?" tanya Yu Heng-sui kemudian. "Dua ratus tahun berselang, di Bu-lim pernah beredar sejilid kitab Tay-im-keng yang mencantumkan sejenis ilmu yang disebut Soh-li-sut (kepandaian perempuan suci), tegasnya kepandaian itu merupakan sejenis ilmu penghisap hawa Yang dari tubuh lelaki untuk memupuk kekuatan Im tubuh perempuan yang digauli. Ilmu sesat semacam itu pernah muncul di Bu-lim sebelum ini, tapi bila dibicarakan, gejalanya persis seperti gejala kematian Kongsun-sicu sekarang, itulah sebabnya Lolap jadi teringat kitab aneh Tay-im-keng itu."
96
Pendekar Cacat
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak sesudah mendengar penjelasan itu, katanya cepat, "Jadi maksud Taysu, kematian Kongsun-sicu disebabkan oleh perbuatan seorang perempuan yang mengerti ilmu Sohli-sut, dan telah menghisap hawa Yangnya hingga mengering?" "Ya, sebab kematian Kongsun-sicu memang demikian adanya." Bong Thian-gak menjerit kaget, "Ah, mungkinkah dalam rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau terdapat perempuan semacam ini?" "Kalau dibilang dalam rumah pelacuran bisa muncul perempuan seperti ini, sesungguhnya sesuatu yang mustahil dan sukar untuk dipercaya, sekali pun ada, tak mungkin dia mencelakai orang tanpa sebab, ah ... itulah sebabnya Lolap sekali lagi ingin bertanya kepada Kosicu, kemarin malam Kongsun-sicu telah pergi kemana?"
Bong Thian-gak tertegun. "Jadi Taysu tidak percaya dengan perkataanku?" tanyanya. "Sejak beberapa hari berselang, musuh telah menetapkan hari kematian untuk Kongsun-sicu, mungkin hal ini disebabkan pihak lawan tahu Kongsunsicu gemar bermain perempuan, maka ia sengaja menyiapkan seorang perempuan yang pandai ilmu Sohli-sut untuk merayunya di tengah jalan sehingga rencana
97
Pendekar Cacat
pembunuhan mereka tercapai, apabila dibilang di dalam rumah pelacuran bisa terdapat perempuan macam begini, sesungguhnya hal ini sukar untuk dipercaya."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, apa yang kukatakan sebenarnya merupakan kenyataan, namun bila Taysu sekalian tidak percaya, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa." Padahal Bong Thian-gak pun terkejut bercampur keheranan atas kematian Kongsun Phu-ki. "Baiklah," kata Ku-lo Hwesio kemudian, "Untuk sementara waktu Lolap tak usah membicarakan dulu kematian Kongsun-sicu semalam."
Dilihat dari sikap Ku-lo Hwesio yang bernada memeriksa dirinya, Bong Thian-gak segera sadar bahwa Hwesio tua yang teliti ini pun sudah mulai menaruh curiga padanya, siapa tahu Hwesio itu sudah lama menaruh curiga padanya, sehingga sengaja mengajaknya turut menghadiri rapat rahasia itu. Kemudian mengintai dan menyelidikinya secara diam-diam. Terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Pembunuh gelap yang dibunuh Ko-sicu itu merupakan salah satu dayang kepercayaan Oh-bengcu Hujin. Kini Lolap ingin bertanya
98
Pendekar Cacat
kepada Sicu, mengapa dayang itu mencari Sicu sebagai sasaran pembunuhan?" Bong Thian-gak segera mengeluarkan kartu merah dari dalam sakunya, kemudian berkata dengan lantang, "Silakan Taysu memeriksa kartu ini terlebih dahulu!"
Ku-lo Hwesio menerima kartu itu dan diperiksa sebentar, kemudian diberikan kepada Ho Put-ciang, setelah itu dia baru berkata, "Seandainya Sicu adalah orang dari golongan kami, setelah musuh memberikan kartu peringatan itu kepadamu, Sicu pasti akan berusaha menawan mata-mata itu, kemudian disiksa supaya mengaku, apa sebabnya kau malah membunuh orang itu secara keji?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, tentang kesalahan tanganku, aku membunuh pembunuh gelap itu, aku merasa menyesal sekali."
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo Hwesio, dia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan suara dalam, "Maaf jika Lolap menaruh prasangka kepada Sicu, harap Sicu dapat memberikan bantahan setelah tuduhanku ini kuucapkan." "Katakan saja, Taysu."
99
Pendekar Cacat
"Seandainya Lolap menuduh Sicu adalah utusan lihai musuh yang mendapat perintah untuk menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimanakah sanggahan Sicu?"
Bong Thian-gak untuk kesekian kalinya menghela napas panjang, "Ah, asal kuutarakan asal-usulku, sudah pasti Taysu tak akan menaruh curiga lagi kepadaku, bila seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya tiba-tiba muncul dalam gedung Bu-lim Bengcu, bagaimana pun juga hal ini memang mencurigakan orang lain!" "Apa yang hendak Sicu tanyakan?" "Apa yang ingin kuketahui adalah soal kematian Kongsun Phu-ki, benarkah dia tewas akibat kehabisan sumsum Goan-yang?"
Tiba-tiba paras muka Ku-lo Hwesio berubah, tapi sebentar saja sudah lenyap, pelan-pelan dia berkata, "Ko-sicu telah menyaksikan jenazah Kongsun-sicu dengan mata kepala sendiri, bagaimana tanggapanmu tentang kematiannya?" Bong Thian-gak tertegun, sahutnya pula, "Dilihat dari gejala kematiannya, dia memang tewas akibat kehabisan sumsum Goan-yang!"
100
Pendekar Cacat
"Kalau begitu, apa lagi yang Sicu sangsikan?" "Ah, aku harus membuktikan dulu sebab kematian Kongsun Phu¬-ki sebelum menyelelidiki siapa pembunuhnya." "Sicu, setelah sampai di sini, Lolap terpaksa mesti berterus terang kepadamu!" kata Ku-lo Hwesio kemudian dengan suara dalam. "Semua jago yang hadir di sini maupun pejabat Bengcu merasa keberatan bila ada seorang yang tak jelas identitas dan asal-usulnya turut serta dalam persoalan persekutuan dunia persilatan ini."
Sambil tertawa getir Bong Thian-gak manggut-manggut, "Aku akan segera meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu ini, tapi jangan harap bisa mengetahui asal-usulku yang sebenarnya!" Tiba-tiba Yu Heng-sui tertawa dingin, "Ko-heng, jika kau tidak mengungkap asal-usulmu, mungkin kau tak akan dapat mengundurkan diri dari gedung Bengcu ini dengan selamat." Mendengar itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu ujarnya lagi dengan suara dalam, "Kalian tak mau mengurusi masalah yang sesungguhnya, buat apa mendesak diriku mengungkap asal-usulku?"
101
Pendekar Cacat
"Semua ini mengikuti keinginan para jago," sahut Yu Heng-sui tertawa. "Kini mereka telah menanti dirimu di bawah loteng sana."
Bong Thian-gak menghela napas panjang mendengar ucapan itu, "Ai, bila kalian tak mau percaya kepadaku, suatu ketika kalian akan menyesal." Setelah menghela napas lagi, dia berpaling ke arah Ho Put-ciang, lalu ujarnya lebih jauh, "Kalau kalian tak percaya kepadaku sejak awal, mengapa kalian izinkan diriku mencampuri urusan ini? Sekarang kalian pun tidak memperkenankan aku pergi dari sini, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan?" "Ko-cuangsu, mengapa kau tidak mengungkap asalusulmu secara jujur?"
Bong Thian-gak menggeleng, "Maaf, aku tidak bisa menjawab." "Jika kau enggan menjawab, para jago akan menghalangimu pergi dari sini." Kembali Bong Thian-gak tertawa, "Bila hal ini terjadi, terpaksa aku suruh mereka saksikan kelihaian ilmu silatku!" Selesai berkata, pemuda itu segera beranjak turun dari loteng itu.
102
Pendekar Cacat
Yu Heng-sui tertawa dingin, dia segera melompat bangun sambil bersiap-siap melancarkan serangan.
Tiba-tiba Ho Put-ciang berkata dengan suara dalam, "Jisute, jangan bertindak gegabah!" Yang dikuatirkan oleh Bong Thian-gak selama ini adalah bilamana dia mesti bertarung melawan Toa-suhengnya, betapa lega hatinya setelah Toa-suhengnya mencegah Jisuhengnya turun tangan. Selangkah demi selangkah dia turun dari anak tangga, setelah tiba di depan pintu gerbang, tampak kawanan jago itu benar-benar telah berdiri mengelilingi halaman gedung, puluhan pasang mata yang tajam bersama-sama ditujukan ke tubuhnya.
Bong Thian-gak bersikap acuh tak acuh, seakan-akan sama sekali tidak melihat kehadiran mereka, dengan dada dibusungkan dia langsung berjalan menuju ke tengah halaman. Sementara itu Ku-lo Hwesio bersama Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah turun dari loteng pula, mereka bertiga berdiri di depan pintu gerbang dengan wajah serius.
103
Pendekar Cacat
Ketika Bong Thian-gak sudah hampir keluar pintu halaman, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring, "Berhenti!"
Bayangan orang berkelebat, seorang lelaki kekar bercambang hitam pekat seperti pantat kuali, dengan perawakan tinggi besar dan berjubah biru telah menghadang di depan Bong Thian-gak. Bong Thian-gak segera mengenali orang ini sebagai salah seorang dari Tiam-jong-siang-kiat yang dijuluki Wan-pit-kim-to (golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam. "Ang-tayhiap, apakah engkau hendak memberi sesuatu petunjuk kepadaku?" tegurnya.
Golok emas berlengan monyet Ang Thong-lam tertawa terbahak-bahak, "Aku orang she Ang ingin mohon petunjuk dari saudara!" "Silakan turun tangan, Ang-tayhiap." Sikap santai dan tenang Bong Thian-gak ini membuat si Golok emas berlengan monyet tertegun dan berdiri termangu-mangu di tempat.
104
Pendekar Cacat
Setelah tertawa dingin, kembali Bong Thian-gak berkata, "Ang-tayhiap, mengapa tidak melancarkan serangan?"
Tiba-tiba saja Ang Thong-lam menganggap Bong Thiangak berniat mempermainkan dirinya, dia jadi naik darah dan segera membentak nyaring, "Bagus sekali, akan kulihat seberapa hebat kepandaian silatmu hingga begitu sinis padaku." Begitu selesai berkata, dia lantas mengayun tinjunya menghantam wajah Bong Thian-gak, serangannya dahsyat, tenaga pukulannya mematikan. Bong Thian-gak tertawa dingin, kaki kanannya maju ke Tiong-kiong, lalu telapak tangan kanan diayun ke muka membabat urat nadi pergelangan tangan musuh.
Sekali orang menyerang, segera akan diketahui berisi atau tidak, seketika itu juga paras muka para jago di sekeliling halaman itu berubah hebat. Ang Thong-lam merupakan adik seperguruan ketua Tiam-jong-pay sekarang, kesempurnaan ilmu silatnya termasuk juga kemampuan seorang ketua partai, ia segera menyadari pukulan tangan kanannya akan meleset.
105
Pendekar Cacat
Sambil membentak keras bagaikan harimau ganas keluar dari sarang, secepat kilat tangan kirinya menghantam pinggang musuh.
Serangan ini merupakan ilmu pukulan Kiong-ciang-kun (Pukulan busur panah) yang amat termasyhur dari Tiam-jong-pay, serangannya dilepaskan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, hebat luar biasa. Semua jago yang menyaksikan jalannya pertandingan itu dari samping, segera dapat merasakan pukulan Ang Thong-lam itu sangat hebat dan membuat orang sukar menghindarkan diri. Sikap Bong Thian-gak cukup tenang, tampak dia berjongkok, kemudian membentak nyaring, "Lihat serangan!"
Suara benturan keras menggelegar di udara, badan Ang Thong-lam berguncang keras, kemudian dengan sempoyongan mundur sejauh liga-empat langkah, lengan kirinya terkulai lemas, sementara wajahnya basah oleh keringat. Dalam bentrokan itu, para jago dapat mengikuti kejadian itu dengan jelas, rupanya di saat yang paling kritis, Bong Thian-gak telah mengubah babatan tangan kanannya yang mengancam urat nadi pada lengan kanan Ang
106
Pendekar Cacat
Thong-lam itu menjadi serangan menyikut, di antara posisi setengah berjongkok itulah dia berhasil menyikut persendian hilang lengan sebelah kiri musuh.
Dalam bentrokan barusan, kedua belah pihak memang belum menggunakan kepandaian yang sebenarnya, tapi menang kalah di antara mereka sudah ditentukan. Seorang jago lihai yang termasyhur namanya di Bu-lim ternyata menderita kalah total di tangan seorang pemuda tak dikenal, kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun. Hasil pertempuran yang mengejutkan ini kontan saja membuat paras muka para jago berubah hebat. Kepada Ku-lo Hwesio kata Ho Put-ciang, "Ku-lo Supek, sodokan sikutnya benar-benar dilakukan dengan amat jitu dan hebat, ilmu silat orang ini tidak boleh dipandang enteng." Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Betul, sodokan sikut itu dilancarkan di antara sela-sela peralihan jurus pertama ke jurus kedua, dari sini dapat diketahui ilmu silat orang ini benar-benar hebat sekali."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menjura kepada semua jago setelah berhasil mengalahkan Ang Thong-
107
Pendekar Cacat
lam, katanya dengan lantang, "Ang-tayhiap, terima kasih atas kesediaannya mengalah!" Setelah berkata, dia lantas beranjak pergi. "Tunggu sebentar saudara! Lohu ingin mohon petunjuk pula," tiba-tiba seseorang berkata dengan suara parau.
Tampak seorang kakek berbaju hitam menggembol pedang, pelan-pelan berjalan keluar dan menghadang di depan Bong Thian-gak. Setelah melihat jelas paras muka kakek itu, dengan kening berkerut Bong Thian-gak berkata, "Yu-koancu, harap kau sudi memberi jalan untukku!" Ternyata kakek baju hitam berperawakan jangkung dan berwajah kurus ini adalah Koancu kuil Hian-thian-koan di bukit Khong-tong, Yu Ciang-hong adanya.
Dengan sebilah pedang Ci-thian-kiam, dia berhasil menguasai tiga belas macam ilmu pedang Khong-tongpay hingga mencapai puncak kesempurnaan, menurut berita di Bu-lim, konon Yu Ciang-hong telah berhasil pula menguasai Yu-kiam-sut atau ilmu pedang terbang. Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong tersenyum.
108
Pendekar Cacat
"Ko-cuangsu, Lohu mohon petunjuk beberapa jurus seranganmu untuk menambah pengetahuanku, apa tidak boleh?"
Bong Thian-gak sadar, andai dia tidak memperlihatkan kelihaian ilmu silatnya pada hari ini, mustahil dia bisa pergi meninggalkan tempat itu dengan mudah. Setelah berpikir sebentar, katanya dengan suara nyaring, "Kalau memang begitu, terpaksa aku mengiringi keinginanmu." "Selama hidup Lohu menekuni ilmu pedang, boleh dibilang pedang tak pernah terlepas dari tanganku, entah senjata apakah yang hendak saudara pergunakan? Silakan saja segera dilolos." "Aku lebih meyakini ilmu telapak tangan, silakan Yukoancu melancarkan serangan!"
Yu Ciang-hong agak tertegun, kemudian ujarnya, "Kalau begitu terpaksa Lohu bertindak lancang." Begitu selesai berkata, Yu Ciang-hong segera mundur setengah langkah, dengan cepat tangan kanannya menyambar ke belakang untuk melolos pedangnya.
109
Pendekar Cacat
"Sret", cahaya tajam segera berkilauan memenuhi angkasa. Begitu Ci-thian-kiam dilolos, tanpa banyak bicara lagi ia melepas sebuah tusukan kilat ke arah dada Bong Thian-gak . Yu Ciang-hong adalah jago pedang kenamaan di Bu-lim, cukup dilihat dari caranya mencabut pedang bisa diketahui sampai dimana taraf kesempurnaan orang ini.
Sudah lama para jago persilatan tahu bahwa Yu Cianghong termasyhur karena ilmu pedangnya yang lihai, kendatipun demikian jarang ada orang menyaksikan dia memainkan ilmu pedangnya di depan umum, oleh sebab itu semua orang lantas memusatkan segenap perhatiannya menyaksikan jalannya pertarungan itu.
Agaknya Bong Thian-gak pun sadar ilmu pedang lawan lihai sekali, dia tak berani memandang enteng, dengan sorot mata berkilau tajam dia mengawasi gerak pedang lawan, sementara telapak tangan kirinya dengan setengah ditekuk mengebas pergi serangan pedang lawan.
Paras muka Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berubah hebat menyaksikan datangnya ayunan telapak tangan
110
Pendekar Cacat
kiri Bong Thian-gak, mendadak dia tekuk pinggang sambil menarik senjatanya. Setelah itu pedang Ci-thian-kiam sekali lagi digetarkan ke muka, dari kiri menusuk ke kanan, lalu dari kanan menyapu ke tengah, dalam waktu yang singkat dia telah melepaskan tiga serangan berantai. Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, dengan gerakan pedang yang aneh, seperti menotok juga menggunting, dia menghajar musuh.
Ku-lo Hwesio yang menonton jalannya pertarungan itu dari sisi arena segera saja menghela napas panjang, katanya, "Kebasan tangannya itu merupakan ilmu Hudmeh-ceng-hiat (Menyapu nadi menggetarkan jalan darah) yang hebat sekali, ilmu silat orang itu benarbenar mencapai tingkatan yang luar biasa!"
Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui dapat menyaksikan pula kebasan tangan Bong Thian-gak tadi, dengan wajah serius bercampur tegang mereka mengikuti jalannya pertarungan itu dengan seksama. Sementara itu Bong Thian-gak telah terdesak mundur sejauh tiga langkah oleh gencetan tiga serangan berantai lawan, tapi secara mudah sekali dia berhasil meloloskan diri dari ancaman itu.
111
Pendekar Cacat
Yu Ciang-hong memang tak malu disebut jago pedang yang termasyhur, ia tak memberi kesempatan pada musuh untuk melepaskan serangan balasan, kaki kirinya segera maju selangkah, lalu pedangnya ditebaskan ke samping, sebuah tusukan kuat disodokkan ke muka. Kini Bong Thian-gak tidak menghindar lagi, mencorong sinar tajam dari balik matanya, setelah membentak nyaring, pergelangan tangan kanannya diayunkan ke muka membabat punggung pedang, seketika itu juga muncul segulung angin pukulan yang mendesak pedang lawan miring ke samping. Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, tiba-tiba saja ia mencengkeram pergelangan tangan kanan musuh yang menggenggam pedang.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong amat terkejut, cepat dia mundur tiga langkah, tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah. Terdengar angin menderu, cahaya kilat berkilauan di angkasa, segulung angin puyuh yang maha dahsyat menggulung tiba. Bong Thian-gak mendengus dingin, ujung bajunya berkibar terhembus angin, dengan cepat dia menerjang ke tengah gulungan angin pedang Yu Ciang-hong yang
112
Pendekar Cacat
gencar, dengan tangan kiri menangkis pedang, tangan kanan menyerang musuh, sepasang telapak tangannya berubah silih berganti, bagaikan dua naga bermain di air, kelihaiannya benar-benar luar biasa.
Kawanan jago persilatan itu rata-rata adalah pemimpin suatu perguruan besar, ilmu silat mereka tentu saja lihai sekali, tatkala mereka menyaksikan jalannya pertarungan itu, serentak keningnya berkerut. Rupanya mereka tidak bisa membedakan lagi mana gerakan tubuh Bong Thian-gak dan mana jurus pedang Yu Ciang-hong. Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah saling bertarung puluhan gebrak.
Tiba-tiba terdengar dengusan tertahan memecah keheningan. Di tengah lapisan bayangan pedang yang menyelimuti udara, mendadak Bong Thian-gak melejit ke tengah udara dan melayang turun, kemudian dia membalik tubuh dan dalam beberapa kali lompatan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik halaman gedung sana.
113
Pendekar Cacat
Perubahan yang berlangsung tiba-tiba ini amat mencengangkan semua orang, membuat semua jago yang hadir di arena tak seorang pun sempat melakukan penghadangan, mereka hanya berdiri tegak di tempat dengan wajah termangu. Akhirnya suara helaan napas panjang menyadarkan para jago dari lamunan, sewaktu mereka mengangkat kepala, tampak Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berdiri lemas dengan pedang Ci-thian-kiam terkulai ke bawah. "Kalah total ... kalah total ... tiga puluhan tahun Lohu berlatih dengan tekun, siapa tahu hari ini mesti menderita kekalahan di tangan jago muda yang sama sekali tak dikenal," gumamnya lirih. "Koancu, bukankah kau berhasil melukai lengan kirinya?" seru Yu Heng-sui dengan nyaring. "Siapa yang menderita kekalahan?"
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong mendongakkan kepala dan dengan sedih sahutnya, "Betul, Lohu memang berhasil melukai lengan kirinya, namun telapak tangannya justru berhasil menghantam dadaku lebih dulu, coba kalau pukulan itu disertai dengan tenaga dalam, Lohu sudah tewas sejak tadi, bagaimana mungkin masih dapat melukai lengannya dengan pedang?" Rupanya dalam gebrakan penentuan yang berlangsung dengan amat cepat tadi, kecuali Ku-lo Hwesio, Ho Put-
114
Pendekar Cacat
ciang, Ui-hok Totiang dan beberapa orang yang sempat melihat jelas, sisanya masih belum tahu bagaimana kedua belah pihak menentukan menang kalahnya, mereka cuma menyaksikan Bong Thian-gak melarikan diri dengan membawa luka.
Dalam pada itu Ku-lo Hwesio telah memejamkan mata rapat-rapat seakan sedang mengambil suatu keputusan yang amat penting, tiba-tiba dia membuka mata, lalu berkata dengan suara dalam, "Kelihaian ilmu silat orang ini benar-benar jauh di luar dugaan, terutama aliran ilmu silatnya, susah buat kita untuk menduganya, andaikata dia adalah musuh, hal ini benar-benar amat merisaukan buat kita." Paras muka Ho Put-ciang berubah menjadi serius sekali, setelah ,termenung sejenak, tiba-tiba bisiknya kepada Ku-lo Hwesio, "Ilmu pukulan orang ini sangat aneh dan sulit diduga, akan tetapi tidak kehilangan sifat jujur dan terbukanya, bahkan gaya serangannya pun mirip sekali dengan...."
Ketika berbicara sampai di situ mendadak dia tutup mulut, kemudian setelah menggeleng kepala dia melanjutkan, "Akan tetapi di balik sikapnya yang gagah dan perkasa membawa juga serangan keji yang licik dan tak kenal ampun, sungguh membuat orang tidak mengerti!"
115
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio menatap wajah Ho Put-ciang lekat-lekat, kemudian tanyanya pelan, "Menurut Ho-hiantit, ilmu silat orang itu mirip aliran mana?" "Mirip sekali dengan ilmu pukulan guruku, tapi bila diamati lagi dengan seksama seperti tak mirip, ya, ilmu silat di dunia memang bersumber satu, mungkin otakku kelewat tumpul hingga telah salah melihat!" Mendengar itu, Ku-lo Hwesio membungkam, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat seperti sedang bersemedi.
Mendadak terdengar Ku-lo Hwesio berkata dengan suara yang dalam dan berat, "Ho-hiantit, cepat kirim orang untuk mengejar dan membunuh Ko Hong!" Ho Put-ciang tertegun oleh seruan itu, "Mengapa Ku-lo Supek mengambil keputusan begini?" Mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo Hwesio, serunya kemudian, "Lolap sudah teringat sekarang, kemungkinan besar orang itu adalah anak murid Mokiam-sin-kun Tio Tian-seng." Begitu ucapan itu diutarakan, paras muka para jago segera berubah hebat.
116
Pendekar Cacat
Gara-gara dugaan itu, Bong Thian-gak bakal menjumpai banyak kesulitan dalam pengembaraannya di Bu-lim di kemudian hari.
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya melewati atap rumah dan kabur dari gedung Bu-lim Bengcu. Ia langsung menuju ke tempat terpencil yang jauh dari keramaian, tiga li kemudian pemuda itu baru berhenti berlari, sementara lukanya mulai terasa sakit. Ternyata darah segar telah membasahi lengan kirinya, sakitnya bukan kepalang. Sambil menggigit bibir dia lantas merobek secarik kain dan membalut luka itu, kemudian setelah menghembuskan napas kesal, gumamnya seorang diri, "Ilmu pedang Khong-tong-kiam-hoat milik Yu Cianghong memang benar-benar lihai, bila tujuh tahun belakangan ini aku tidak belajar ilmu sakti yang kutemukan tanpa sengaja, bisa jadi aku tewas di ujung pedang orang itu!" Pelan-pelan dia berjongkok dan duduk bersila di bawah rimbunnya pohon. Memandang awan di angkasa, tanpa terasa gumamnya lagi, "Masa depan suram, dunia amat luas, besok aku akan kemana dan berbuat apa? Ai, sungguh tak kusangka
117
Pendekar Cacat
setelah aku memasuki gedung Bu-lim Bengcu dan bisa menginap di sana, sehari kemudian aku dipaksa berkelana lagi tanpa tujuan." "Oh, Suhu! Apakah arwah kau orang tua yang tidak berkenan aku memasuki pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu lagi? Oh Suhu! Seandainya arwahmu di alam baka tahu, kau harus mengerti bahwa tujuh tahun berselang aku tidak melakukan kesalahan apa-apa, kubunuh Siau Cu-beng dikarenakan aku hendak membersihkan perguruan kau orang tua dari manusiamanusia laknat!"
Keluh-kesah Bong Thian-gak ini makin lama semakin memilukan, dia merasa nasib sendiri benar-benar amat buruk, sepanjang hidup harus berkelana tanpa tujuan, dimana-mana mendapat kesulitan, seakan-akan perjalanan hidup penuh dengan duri. Teringat akan nasibnya yang buruk, tanpa terasa ia teringat pula pada ibu gurunya, Pek Yan-ling, yang menggemaskan, tak tahu malu dan menjengkelkan itu. Andai bukan gara-gara perbuatan cabul Pek Yan-ling, mungkin dia tak akan mengalami nasib yang begini tragis seperti saat ini.
118
Pendekar Cacat
Sambil menundukkan kepala dan membelai kaki kirinya yang pincang, api kebencian membara lagi dalam benaknya, saking tak kuasa menahan diri, dia segera mencaci-maki kalang-kabut, "Perempuan jalang, tujuh tahun berselang kau telah membacok otot kaki kiriku hingga membuatku pincang, semalam kau lagi-lagi mengirim orang untuk membunuhku. Ah, aku Bong Thian-gak bersumpah tak akan melepaskan dirimu begitu saja."
Pikir punya pikir sambil bersandar di pohon dan dibuai angin yang berhembus silir-semilir, tanpa terasa akhirnya Bong Thian-gak jatuh tertidur. Ketika mendusin dari tidurnya, matahari sudah tenggelam di langit barat, cuaca mulai remang-remang. Sambil melemaskan otot-ototnya yang kaku, Bong Thiangak melompat bangun, tiba-tiba berhembus segulung angin yang membawa bau harum daging semerbak.
Seketika pemuda itu merasa perutnya lapar sekali sehingga sukar ditahan, sambil menelan air liur dia mulai celingukan ke sana-kemari mencari sumber datangnya bau harum itu. Akhirnya dari balik sebuah hutan kecil tak jauh dari situ, dia saksikan ada selapis cahaya api yang sedang
119
Pendekar Cacat
berkobar, di sampingnya duduk berjongkok seseorang berdandan pengemis, tampak di atas jilatan api sedang terpanggang sesuatu, dari situlah bau daging tadi terendus.
Waktu itu Bong Thian-gak lapar sekali, dia lantas berpikir, "Untuk membeli makanan di kota, aku mesti berjalan dua-tiga li, mengapa tidak kubeli separoh ayam dari pengemis itu untuk menangsal perut?" Berpikir sampai di situ, dia lantas berjalan menuju hutan kecil itu. Benar juga, ternyata benda yang sedang dipanggang adalah seekor ayam yang sangat gemuk, waktu itu si pengemis sedang mencongkel bara api di bawah panggangan dengan sebatang ranting, dia seperti belum tahu kehadiran Bong Thian-gak. "Permisi sobat!" Bong Thian-gak segera menegur. Pengemis itu tidak berpaling, juga tidak mengangkat kepala, sambil meneruskan pekerjaannya dia berkata, "Hihihi, silakan duduk, silakan duduk sobat aku tahu perutmu lapar."
Mendengar perkataan itu, dengan perasaan rikuh Bong Thian-gak berkata, "Aku ingin membeli separoh ayam panggangmu itu, berapa pun harganya pasti kubayar."
120
Pendekar Cacat
Tiba-tiba pengemis itu mendengus dingin, "Hm, harta kekayaan seperti awan di angkasa, uang seperti kotoran manusia, kalau berbicara soal uang, lebih baik tidak kujual saja!" Bong Thian-gak tertegun, "Kita tak pernah mengenal satu sama lain, bagaimana boleh kuminta ...." Belum selesai dia berkata, pengemis itu sudah menukas dengan suara dingin, "Kalau begitu lebih baik pergi saja dengan menahan lapar!"
Bau harum yang semerbak membuat Bong Thian-gak harus menelan air liur berulang-kali, sebagai orang jujur, dia kasihan kalau harus meminta makanan yang mungkin didapat dari dermaan orang, berpikir sampai di situ ada baiknya bilamana diberi sedikit uang sebagai imbalan separoh ayam itu, bagaimana pun juga ia tetap merasa rikuh untuk minta makanan dari seorang pengemis. Karena ragu-ragu, untuk sesaat dia hanya berdiri di tempat. Mendadak terdengar pengemis itu berseru dengan gembira, "Sudah matang, sudah matang!" Ia segera membuang ranting itu dan mencengkeram panggang ayam yang masih panas itu dengan tangannya.
121
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu segera berteriak, "Hati-hati, jangan sampai menyengat tangan!" Belum habis dia berkata, pengemis itu sudah menyobek paha ayam dan dimakan dengan lahapnya. Saat itulah Bong Thian-gak melihat dengan jelas paras muka pengemis itu, tanpa terasa keningnya berkerut kencang. Ternyata usia pengemis itu sangat muda, kurang lebih dua puluh tiga-empat tahun,wajahnya amat tampan, telinga besar dan mata jeli, bukan saja hidungnya mancung, kulit tubuhnya juga putih, halus dan bersih.
Coba kalau dia tidak mengenakan jubah panjang yang penuh tambalan, siapa yang percaya kalau orang ini adalah pengemis? Orang tentu akan menganggapnya sebagai seorang Kongcu yang romantis! Pengetahuan Bong Thian-gak cukup luas, sekarang dia sudah menduga, besar kemungkinan pengemis muda ini adalah anggota Kay-pang yang termasyhur di Bu-lim selama seratus tahun belakangan ini. Kay-pang atau perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan terbesar di Bu-lim, selain anggotanya sangat banyak, jumlah mereka pun tersebar rata di setiap pelosok dunia.
122
Pendekar Cacat
Mereka tidak pernah menggabungkan diri dengan persekutuan dunia persilatan, selamanya bekerja sendiri tanpa terikat oleh perguruan lain, selain jarang mengadakan hubungan dengan berbagai perguruan silat, perkumpulan ini pun merupakan satu-satunya perkumpulan yang berdiri antara aliran lurus dan sesat. Belasan tahun berselang, ketika guru Bong Thian-gak masih menjadi Bengcu persekutuan dunia persilatan, pihak Kun-lun-pay sebagai anggota persekutuan pernah bentrok dengan orang-orang Kay-pang.
Gara-gara peristiwa itu hampir saja pihak Kay-pang melakukan pertarungan terbuka dengan pihak persekutuan dunia persilatan. Akhirnya Bu-lim Bengcu harus berkunjung ke markas besar Kay-pang untuk minta maaf kepada ketua perkumpulan itu sebelum urusan bisa didamaikan.
Ditinjau dari kejadian itu, dapat disimpulkan bahwa pengaruh Kay-pang dalam Bu-lim waktu itu sama sekali tidak berada di bawah kemampuan sembilan partai besar daratan Tionggoan.
123
Pendekar Cacat
Sementara itu si pengemis muda menyaksikan Bong Thian-gak hanya berdiri termangu, mendadak dia menyambar sepotong paha ayam dan dilempar ke depan Bong Thian-gak, serunya, "Nih, sambutlah!" Paha ayam itu meluncur dengan kecepatan tinggi, Bong Thian-gak dengan gugup segera menerimanya. Kini dia sudah menduga pengemis itu kemungkinan besar adalah anggota Kay-pang, maka sikapnya pun tidak sungkan-sungkan lagi.
Dia lantas berjongkok dan melalap paha ayam itu dengan lahapi, malah lebih lahap daripada pengemis muda itu, dalam waktu singkat paha ayam tadi sudah disikat hingga tinggal tulangnya. Dengan mata melotot dan tertawa cekikikan, pengemis muda itu berkata "Kolong langit seperti tetangga, empat samudra adalah saudara sendiri silakan makan, silakan makan!"
Bong Thian-gak tertawa bodoh, tanpa sungkan lagi dia pentang kelima jarinya dan merobek sepotong daging ayam gemuk itu, langsung dikirim ke dalam mulutnya. Hanya dalam waktu singkat seekor ayam gemuk seberat tiga-empat kati itu sudah tinggal tulang.
124
Pendekar Cacat
Setelah kenyang, Bong Thian-gak baru bertanya dengan suara lantang, "Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Pengemis muda itu melototkan matanya, kemudian sahutnya, "Dilihat dari tampangmu, sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang pelajar, tapi heran, tingkahlakumu justru penuh dengan segala tetek-bengek, siapa namamu sendiri?" Bong Thian-gak menaruh kesan baik terhadap pengemis muda itu, setelah tertawa nyaring dia menyahut, "Aku she Ko bernama Hong." "Nama palsu, shenya juga palsu!" Bong Thian-gak jadi tertegun, "Maksudmu?" "Tiada manusia yang bernama demikian di Bu-lim."
Diam-diam Bong Thian-gak terperanjat, pikirnya kemudian, "Pengemis muda ini sudah pasti seorang yang punya kedudukan tinggi dalam Kay-pang, kalau dilihat dari kemampuannya merobek daging ayam tadi, pasti tenaga dalamnya telah sempurna!" Berpikir demikian, sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata, "Kalau begitu kau pun seorang dari dunia persilatan?"
125
Pendekar Cacat
"Jika kau sudah tahu aku anggota Kay-pang, buat apa kau mesti banyak bertanya?" "Tapi kau belum memberitahukan namamu kepadaku?" "Aku she To bernama Siau-hou!" "Oh, rupanya To-heng, terima kasih banyak atas hidangan daging ayammu pada malam ini!" "Ayam gemuk itu dapat kucuri dari dalam gedung Bu-lim Bengcu, jadi berterima kasihlah kepada mereka!"
Bong Thian-gak tertegun mendengar itu, segera serunya, "Jadi kau pun telah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu?" "Aku pun telah menyaksikan pertarunganmu melawan Yu Ciang-hong. Hm, orang-orang dari sembilan partai memang benar-benar tak tahu malu, sudah kalah masih menghadiahkan tusukan kepada orang!" Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapan terakhir itu, To Siau-hou ini selain sudah menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu tanpa diketahui siapa pun, bahkan setiap gerakan serangan yang digunakan sewaktu bertarung melawan Hian-thian-koancu pun dapat diketahuinya, dari sini dapat disimpulkan kepandaian silatnya benarbenar sangat lihai.
126
Pendekar Cacat
To Siau-hou memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, kemudian tanyanya, "Bukan memujimu, ilmu silatmu memang sangat tinggi, orangnya juga jujur dan terbuka, kami orang-orang Kay-pang paling suka dengan orang macam dirimu, apakah kau ingin masuk menjadi anggota?" Bong Thian-gak tersenyum, "Sekarang aku tak punya beban tak punya ikatan, hidup bebas tanpa terikat oleh suatu apa pun, buat apa To-heng mesti memberi belenggu padaku?"
To Siau-hou ikut menghela napas panjang, "Cara untuk menjadi anggota perkumpulan kami selamanya sangat ketat, justru lantaran aku merasa amat berkesan kepada Ko-heng sejak pertemuan pertama, seakan-akan kita seperti sudah berteman lama saja, maka ... sudahlah! Koheng, di kemudian hari bila kau bersedia menjadi anggota perkumpulan kami, katakan saja kepadaku." "To-heng memiliki watak yang gagah, terbuka, berjiwa besar dan hangat terhadap setiap orang, Siaute benarbenar telah mendapat seorang sahabat sehati."
Tiba-tiba To Siau-hou bangkit, kemudian katanya, "Kini aku sedang mendapat tugas rahasia dari Pangcu kami
127
Pendekar Cacat
untuk menyelidiki beberapa persoalan di kota Kay-hong, tugas yang amat berat itu mesti kulakukan secepatnya, hingga tak ada waktu buat kita untuk banyak bicara, kalau begitu kita bersua lagi di lain waktu saja!" Selesai berkata dia lantas menjura dalam-dalam kepada Bong Thian-gak, setelah itu membalik badan dan beranjak pergi dari situ. "Baik-baiklah menjaga dirimu To-heng, sampai jumpa lain waktu," seru Bong Thian-gak lantang.
Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba To Siau-hou berhenti dan membalik tubuh, katanya, "Ko-heng, kini Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay telah menurunkan perintah untuk mencari dan membunuh dirimu, kau harus lebih waspada untuk menjaga diri!" Mendengar itu Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Terima kasih banyak atas peringatan To-heng, aku bisa menghadapinya dengan hati-hati."
To Siau-hou tidak banyak bicara lagi, dia membalik badan dan melompat pergi, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata. Memandang bayangan punggung To Siau-hou yang menjauh, tiba-tiba Bong Thian-gak seperti kehilangan
128
Pendekar Cacat
sesuatu, sobat barunya ini seakan-akan meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam hatinya. Pesan sebelum kepergian To Siau-hou tadi membuat Bong Thian-gak makin bertambah kesal, perintah yang diturunkan Ku-lo Hwesio itu kemungkinan besar bisa mengakibatkan dia saling bentrok dengan sesama saudara seperguruannya. "Ai, apakah sebaiknya aku mengundurkan diri dan mengasingkan diri di tengah gunung yang terpencil?"
Bintang-bintang bertaburan di angkasa dan berkelip tiada henti, persis seperti perasaan Bong Thian-gak yang tak menentu sekarang, dia tidak tahu harusnya dia tetap tinggal di Kay-hong ataukah melanjutkan penyelidikannya atas pembunuh yang membinasakan gurunya itu? Dia tahu, meski dunia persilatan kehilangan dia, namun dia bertekad tetap melakukan penyelidikan terhadap kematian gurunya. Agar mereka jangan sampai salah sasaran, dia memang sepantasnya mengundurkan diri dari keramaian dunia.
Angin dingin berhembus mengibarkan ujung baju Bong Thian-gak, dengan pikiran kusut pelan-pelan dia berjalan meninggalkan tempat itu.
129
Pendekar Cacat
Malam terasa aneh dan penuh misteri. Mendadak terdengar suara keliningan yang nyaring, membuat suasana malam menjadi bertambah misterius.
Mendengar suara itu, Bong Thian-gak segera berpaling, di tengah kegelapan malam segera terlihat olehnya bayangan sebuah tandu yang muncul dari balik kegelapan. Rupanya suara keliningan itu berasal dari tandu itu. Dengan kening berkerut Bong Thian-gak segera menyelinap ke balik semak belukar dan menyembunyikan diri, tampak olehnya tandu itu makin lama makin mendekat. Itulah sebuah tandu kecil yang digotong dua orang, yang lebih mengherankan lagi, pemikul tandunya adalah dua orang gadis yang masih berusia muda, di sisi kanan tandu tampak pula seorang gadis mengiringi.
Tirai tandu ditutup rapat, sehingga tidak diketahui siapakah yang duduk dalam tandu itu. Sekilas pandang kedua gadis muda itu nampak lemahgemulai dan halus sekali, meski sedang memikul tandu,
130
Pendekar Cacat
langkah mereka tetap cepat dan ringan, jelas orangorang itu mempunyai kepandaian silat sangat tinggi. Dengan cepat tandu misterius itu lewat di hadapan Bong Thian-gak dan bergerak menuju ke arah barat daya.
Memandang bayangan tandu yang menjauh, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan keluar dari balik semak belukar, kemudian dengan perasaan tidak mengerti ia menggeleng kepala berulang kali, pikirnya, "Pada umumnya pemikul tandu adalah laki-laki kekar, mana ada gadis muda yang menggotong tandu? Hendak kemanakah mereka?" Perasaan ingin tahu yang meluap membuat anak muda itu segera mengerahkan tenaga dan mengejar ke arah bayangan tandu itu lenyap.
Kurang lebih empat li sudah lewat, tapi anehnya bayangan tandu itu tidak nampak juga, malah suara keliningan yang amat nyaring itu pun sudah tak terdengar lagi. Dengan tertegun Bong Thian-gak segera berpikir, "Masa secepat itu pemikul tandu itu berjalan? Mengapa bayangan mereka bisa lenyap? Ah, mungkinkah aku telah salah arah!"
131
Pendekar Cacat
Berpikir demikian, Bong Thian-gak segera membalik badan dan mencari kembali ke tempat semula.
Sekali pun dia sudah kembali ke semak belukar dimana dia menyembunyikan diri tadi, tandu itu belum juga ditemukan. "Benar-benar aku sudah bertemu setan," gumam Bong Thian-gak dalam hati, untuk sesaat dia berdiri termangu di situ. Mendadak di tengah heningnya suasana, lagi-lagi muncul seorang pejalan malam, ilmu meringankan tubuh orang itu hebat sekali, berjalan di tengah kegelapan seakanakan segulung hembusan angin saja.
Dengan cekatan kembali Bong Thian-gak menyembunyikan diri di balik semak belukar. Tak selang lama kemudian, pejalan malam itu sudah berhenti di h.idapannya, sepasang matanya yang tajam tiada hentinya celingukan ke sana kemari melakukan pemeriksaan. Melihat itu Bong Thian-gak berpikir, "Mungkin dari kejauhan orang ini melihat di sini ada bayangan orang!"
132
Pendekar Cacat
Ternyata dugaannya benar, terdengar orang bergumam, "Mungkin bayangan pohon cemara!"
itu
Dia lantas mengembangkan ginkangnya dan lewat di hadapan Hong Thian-gak, orang itu bergerak menuju ke arah barat daya. Dengan sepasang mata Bong Thian-gak yang tajam, dia dapat melihat pakaian yang dikenakan orang itu adalah pakaian seragam pengawal gedung Bu-lim Bengcu. Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thiangak. Dengan cepat ia mengembangkan Ginkang pula dan melakukan pengejaran. Ginkang Bong Thian-gak telah mencapai puncak kesempurnaan, dengan selisih jarak puluhan depa, bagaikan sukma gentayangan saja dia menguntit dari belakang.
Setengah jam kemudian mendadak ia menyaksikan orang itu menyelinap ke balik hutan lebat di sisi jalan. Bong Thian-gak segera melanjutkan penguntitannya melalui arah lain.
133
Pendekar Cacat
Hutan itu gelap gulita tak ada setitik sinar pun, tentu saja sulit bagi pemuda itu untuk mengawasi orang itu dengan lebih seksama. Untung Bong Thian-gak memiliki ketajaman pendengaran, dari suara langkah kaki si pejalan malam menginjak dedaunan, ia bisa menduga orang itu berada di depannya dan sedang menerobos ke arah selatan hutan itu. Setelah berjalan masuk ke dalam, tiba-tiba dari depan sana muncul setitik cahaya, ternyata di situ berdiri sebuah kuil.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira dalam hutan lebat ini bisa tersembunyi sebuah kuil, dengan perasaan ingin tahu ia segera bersembunyi dalam hutan itu sambil menanti perkembangan selanjutnya yang akan terjadi. Tampaknya kuil itu tidak berpenghuni, di dalam ruang gelap gulita tak nampak setitik cahaya lentera pun, lagi pula sebagian tembok pekarangannya sudah roboh, rumahnya juga kuno dan bobrok, suasana amat menyeramkan. Dengan memperingankan langkah kakinya, orang itu langsung bergerak menuju ke dalam kuil bobrok itu.
134
Pendekar Cacat
Mendadak dari ruang tengah kuil berkumandang suara teguran seorang perempuan, "Apakah kau adalah utusan yang dikirim Sam-kaucu (ketua ketiga)?" Ketika mendengar teguran itu, orang itu nampak terperanjat, lalu buru-buru menjawab, "Be ... benar, hamba adalah Huhoat (pelindung) di bawah pimpinan Sam-kaucu, apakah Jit-kaucu (ketua ketujuh) sudah datang?" Sekali lagi dari dalam ruang kuil berkumandang suara dengusan dingin perempuan itu, "Hm, Jit-kaucu telah datang sedari tadi, mengapa kau tidak segera berlutut menerima perintah?" Lelaki berbaju hitam itu benar-benar bertekuk lutut mendengar perkataan itu, wajahnya nampak gugup dan tegang.
Sementara itu Bong Thian-gak yang bersembunyi dalam hutan pun diam-diam merasa terperanjat, "Sam-kaucu, Jit-kaucu, sebenarnya perkumpulan macam apakah itu? Kalau lelaki berbaju hitam itu salah satu di antara pengawal gedung Bu-lim Bengcu, penemuanku pada malam ini boleh dibilang penting sekali." Dalam pada itu, dari dalam ruang kuil berkumandang lagi suara pembicaraan perempuan lain, perempuan itu sedang bertanya dengan suara hambar, "Kau adalah Huhoat nomor berapa di bawah Sam-kaucu?"
135
Pendekar Cacat
Suara perempuan ini merdu bagaikan burung nuri yang sedang berkicau, tapi di balik suara yang merdu itu terselip kewibawaan yang menggidikkan. Dengan suara gemetar, lelaki berbaju hitam itu segera menjawab, "Hamba adalah pelindung nomor dua puluh sembilan Lo Gi." "Lo Gi?" kembali suara perempuan itu bertanya. "Tahukah kau di antara Kaucu dalam perguruan kita, Kaucu nomor berapakah yang mempunyai peraturan paling ketat?" "Jit-kaucu!"
Perempuan dengan suara berwibawa itu kembali berkata, "Aku telah menunggu hampir setengah jam lamanya di tempat ini, persoalan apakah yang membuat kedatanganmu terlambat tiga perempat jam?" "Secara tiba-tiba di gedung Bu-lim Bengcu diadakan pemeriksaan pasukan, oleh sebab itu hamba datang terlambat, harap Jit-kaucu sudi memaafkan dosa hamba ini."
136
Pendekar Cacat
Kepala Bong Thian-gak serasa mendengung keras sesudah mendengar tanya jawab itu, apa yang didengarnya ini ternyata benar, orang adalah mata-mata musuh yang sengaja diselundupkan ke dalam gedung Bu-lim Bengcu. Ini berarti perguruan rahasia itulah yang sesungguhnya musuh umum seluruh umat persilatan. Sementara itu dari dalam ruang kuil kembali terdengar Jit-kaucu berkata, "Perintah apakah yang diberikan Samkaucu untuk disampaikan kepadaku? Cepat katakan." "Sam-kaucu hanya menyerahkan tiga hal, pertama, ia minta pada Jit-kaucu untuk menyelidiki seorang yang bernama Ko Hong."
"Manusia macam apakah Ko Hong itu? Mengapa harus Kaucu yang melakukan penyelidikan ini?" tegur Jit-kaucu dari dalam ruangan dengan suara sedingin es. "Sam-kaucu yang mengharapkan demikian, menurut Sam-kaucu, Ko Hong mempunyai ciri khas, dia berwajah kuning macam orang penyakitan, kaki kirinya pincang, ilmu silatnya amat lihai dan usianya antara dua puluh tujuh-delapan tahunan." "Sam-kaucu menitahkan kepada Jit-kaucu untuk menyelidiki asal-usulnya dan berusaha menariknya agar bergabung dengan perkumpulan kita, apabila usaha ini
137
Pendekar Cacat
mustahil, mumpung belum menimbulkan ancaman, dia mesti cepat disingkirkan dari muka bumi."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi amat terkesiap, dia tidak menyangka perkumpulan ini pun akan turun tangan keji terhadapnya. Jit-kaucu yang berada dalam ruangan kuil nampaknya sedang termenung, selang beberapa saat kemudian ia baru bertanya, "Masih ada persoalan apa lagi, cepat katakan." "Kedua, menurut Sam-kaucu, beberapa hari mendatang mungkin Yu Heng-sui hendak menuju ke kantor cabang kita untuk melakukan penyelidikan, bila perlu Jit-kaucu boleh mengambil keputusan sendiri untuk menentukan mati hidupnya."
Berita ini lagi-lagi membuat Bong Thian-gak terperanjat, cepat pikirnya, "Entah dimanakah letak kantor cabang mereka? Bila aku tidak berusaha keras memberitahu kabar ini kepada Ji-suheng, bisa jadi keselamatan Jisuheng akan terancam mara bahaya!" Sementara itu lelaki berbaju hitam berkata lagi, "Soal ketiga, kata Sam-kaucu, Cap-go-kaucu (ketua kelima belas) pernah mengirim pembunuh ke gedung Bu-lim Bengcu untuk melenyapkan jiwa Ko Hong, tapi usaha
138
Pendekar Cacat
pembunuhan itu menemui kegagalan, malah rahasia Sinli-tui (pasukan gadis suci) perkumpulan kita ikut bocor, kemungkinan hal itu akan mempengaruhi rencana kita secara keseluruhan, Sam-kaucu minta Jit-kaucu menyampaikan berita ini kepada Cong-kaucu untuk menetapkan langkah selanjutnya dari Cap-go-kaucu." "Hanya tiga soal inikah yang dipesankan Sam-kaucu?" tanya Jit-kaucu hambar. "Benar!"
Pelan-pelan Jit-kaucu berkata lagi, "Peraturan perkumpulan kita amat ketat, tak mengizinkan anggota partai melakukan kesalahan?" Lelaki berbaju hitam itu nampak tertegun, kemudian sahutnya, "Bagi yang melakukan kesalahan berat hukumannya mati, sedangkan yang ringan disekap untuk menyesali dosanya." "Lo Gi, kemari kau," tiba-tiba Jit-kaucu berkata dengan suara pelan.
Tampaknya lelaki berbaju hitam itu belum tahu bencana besar sudah berada di ambang mata, dengan menurut sekali dia berjalan masuk ke dalam ruangan.
139
Pendekar Cacat
Ruangan itu gelap gulita tak nampak setitik cahaya pun, semenjak lelaki berbaju hitam itu masuk ke dalam, suasana sekeliling tempat itu berubah menjadi hening, sepi dan tak terdengar sedikit suara pun ....
Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Bong Thian-gak mencoba memeriksa sekeliling ruang itu, namun belum juga ditemukan sesuatu gerakan pun, lama-kelamaan timbul juga rasa curiga dalam hatinya, dia segera berpikir, "Aneh! Paling tidak dalam ruangan itu terdapat dua orang atau lebih, ditambah orang berbaju hitam yang masuk ke dalam, mengapa dalam waktu singkat suasana berubah menjadi hening dan tak terdengar sedikit pun suara?"
Bong Thian-gak menunggu lagi hingga setengah jam lamanya, akan tetapi suasana dalam ruangan tetap hening. "Jangan-jangan mereka sudah kabur melalui ruang belakang?" Ingatan itu dengan cepat melintas dalam benaknya. Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera menyumpah dalam hati, "Siluman rase, benar-benar licik kau!"
140
Pendekar Cacat
Dia segera melompat keluar dari dalam hutan dan berlari ke arah eedung utama dengan kecepatan tinggi. Mendadak Bong Thian-gak menyaksikan lelaki berbaju hitam itu masih berlutut di depan pintu kuil itu. "Jangan-jangan mereka belum pergi?" diam-diam Bong Thian-gak berpikir. Tapi untuk menyelidiki asal-usul perkumpulan lawan dan untuk membalas dendam bagi kematian gurunya, bagaimana pun juga dia hams menawan musuh dalam keadaan hidup. Tanpa rasa jeri barang sedikit pun, selangkah demi selangkah Nnng Thian-gak berjalan menuju ruang kuil.
Siapa tahu kendati dia sudah berdiri di belakang lelaki berbaju hitam itu, suasana dalam ruangan kuil masih tetap hening tak terdengar bunyi apa pun, lelaki berbaju hitam yang sedang berlutut itu pun tak berpaling. Bong Thian-gak tertawa dingin, dengan satu lompatan lebar dia menerjang masuk ke dalam ruangan tengah, lalu tangan kirinya secepat kilat mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan lelaki itu.
141
Pendekar Cacat
Siapa tahu tangannya yang berhasil mencengkeram nadi lawan hanya menyentuh tubuh yang telah dingin dan kaku, tubuh lelaki itu tahu-tahu roboh terjengkang ke tanah. Di bawah cahaya bintang yang menyinari sekitar situ, Bong Thian-gak menemukan wajah yang amat tak sedap dipandang dari lelaki berbaju hitam itu, saking kagetnya ia sampai melepas cengkeramannya dan mundur. Ternyata lelaki itu sudah tewas, wajahnya pucat-pias, seluruh daging wajahnya telah lenyap sehingga wujudnya sekarang tinggal kulit membungkus tulang. "Ah, keadaan seperti ini agaknya seperti amat kukenal!" pikir pemuda itu kemudian.
Tapi dengan cepat Bong Thian-gak teringat mayat Kongsun Phu-ki, mayat mereka berdua pada hakikatnya mirip sekali. Menurut penilaian Ku-lo Hwesio, sebab kematian Kongsun Phu-ki adalah kehabisan sumsum akibat hubungan senggama yang kelewat batas, tapi lelaki berbaju hitam ini tak melakukan hubungan senggama, mengapa dia pun tewas akibat kehabisan sumsum? "Ilmu silat apakah itu? Ya, ilmu silat apakah itu? Mengapa dia bisa menghisap sari tubuh lelaki kekar yang nampak bertubuh segar menjadi sesosok mayat
142
Pendekar Cacat
yang bertubuh kulit membungkus tulang hanya dalam sekejap mata?" Betul-betul suatu peristiwa yang amat mengerikan. Sebetulnya perempuan macam apakah Jit-kaucu itu? Dari sini dapat disimpulkan bahwa kematian Kongsun Phu-ki pun. disebabkan perbuatan Jit-kaucu ini.
Dengan cepat Bong Thian-gak masuk ke ruang tengah, menembus dua halaman dan di belakang kuil dia menemukan sebuah hutan yang amat lebat. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera memasuki hutan lebat itu. Dari balik hutan yang sangat lebat dan seakan-akan tak bertepian itu, mendadak terdengar suara bentakan nyaring.
Bagaikan seorang yang tersesat di padang gurun pasir dan secara tiba-tiba menemukan sumber mata air saja, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menyusul ke depan. Di tengah semak belukar yang lebat, akhirnya ia temukan sebuah tandu kecil diparkir di sana, dua gadis muda berbaju hijau memikul tandu itu, sedang gadis
143
Pendekar Cacat
berbaju hijau lainnya berdiri di muka tandu dengan senjata terhunus.
Di depan gadis berbaju hijau yang bersenjata terhunus itu berdiri seorang pemuda berbaju compang-camping yang berwajah tampan. Dengan cepat Bong Thian-gak dapat mengenali pemuda itu sebagai To Siau-hou, anggota Kay-pang yang baru saja dikenalnya semalam. Sementara itu To Siau-hou juga sudah mengenali Bong Thian-gak, paras mukanya segera berubah hebat. Rupanya To Siau-hou salah mengira Bong Thian-gak berasal sealiran dengan gadis-gadis itu, sambil tertawa dingin ia menyindir, "Sungguh tak kusangka kau adalah pelindung bunga. Hahaha, bila begitu aku telah salah memilih teman." "To-heng, jangan salah paham," buru-buru Bong Thiangak berkata. "Aku sama sekali tak punya hubungan apaapa dengan mereka." "Kalau memang demikian, harap Ko-heng berpeluk tangan saja di sisi arena!"
144
Pendekar Cacat
Sementara itu si gadis bersenjata pedang telah menuding ke arah To Siau-hou sambil membentak, "Hei, kau si pengemis, mengapa berdiri menghadang di tengah jalan? Memangnya telah bosan hidup?" To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, tidak sulit bila tandu nona ingin lewat tempat ini, cuma aku harus memeriksa dulu mang macam apakah yang sedang duduk di dalam tandu itu."
Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, dengan cepat ia dapat menduga orang yang berada dalam tandu itu pasti adalah Jit-kaucu yang keji dan tak berperi-kemanusiaan itu. Ketika nona baju hijau selesai mendengarkan ucapan itu, alisnya segera bekernyit, hawa membunuh menyelimuti wajahnya, dia segera membentak, "Rupanya kau ingin mampus!" Mendadak dia menekuk pinggang, lalu secepat sambaran petir menerjang ke muka dan melepas bacokan kilat.
To Siau-hou menggoyang bahu berkelit tiga kali ke samping, kemudian melangkah maju menghampiri tandu kecil itu
145
Pendekar Cacat
Gadis berbaju hitam itu membentak nyaring, jurus pedangnya segera berubah, beruntun dia melancarkan tiga buah serangan berantai, cahaya tajam yang berkilau bagaikan beribu bintang dengan cepat menyapu ke depan dan mengurung sekujur badan To Siau-hou. Terdesak oleh tiga serangan berantai itu, To Siau-hou mundur dua langkah, bayangan orang berkelebat, lagilagi gadis berbaju hitam itu sudah melintangkan pedangnya menghadang di depan tandu.
Rupanya To Siau-hou dibikin gusar pula oleh perbuatan musuh, keningnya berkerut dan matanya memancarkan cahaya berkilauan, pelan-pelan tangan kanannya mencabut sebatang tongkat bambu dari balik bahunya. Dengan tangan kiri menggenggam tongkat bambu, tangan kanan pelan-pelan bergerak ke muka, sebilah pedang tajam tahu-tahu sudah dilolos pula dari sarungnya.
Pada saat itulah dari dalam tandu berkumandang suara merdu dan lembut menegur hambar, "Aku duga kau pastilah Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah kemala) To Siau-hou, salah satu di antara Cho-yu-siangsiau (Sepasang muda kiri kanan) yang mendampingi Liong-thau Pangcu dari Kay-pang!"
146
Pendekar Cacat
Cho-yu-siang-siau dari Kay-pang jarang melakukan perjalanan di Bu-lim, oleh sebab itu nama mereka jarang diketahui orang, agak terperanjat juga hati To Siau-hou setelah nama dan julukannya berhasil disebut orang secara tepat. Sambil melintangkan pedang di depan dada, ia segera membentak dengan suara dalam, "Siapakah kau?" "Jit-kaucu!" "Bagus sekali, Jit-kaucu. Sebelum Bu-siang-long-houciang dari perkumpulan kami menemui ajal, ia pernah menyinggung nama besar Jit-kaucu, sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah saudara kami ini tewas di tanganmu?"
"Dia tewas di tangan Ji-kaucu (ketua kedua)!" jawab Jitkaucu dengan suara dingin. "Siapakah Ji-kaucu itu?" bentak To Siau-hou dengan kening berkerut. "Pertanyaanmu itu terlalu lampau bersifat kekanakkanakan, Ji¬kaucu adalah Ji-kaucu, kau tak usah banyak bertanya lagi."
147
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak berkerut kening mendengar ucapan itu, belum pernah ia jumpai suatu perkumpulan dengan sejumlah pimpinan begini aneh, ditinjau dari pembicaraan malam ini, lalu dianalisa kembali, dapat disimpulkan bahwa pimpinan tertinggi organisasi rahasia ini mungkin disebut "Kaucu!".
Sedang orang yang paling berkuasa di antara deretan Kaucu-kaucu itu tentulah Cong-kaucu (Kaucu nomor satu), tapi berapa banyak Kaucu yang terdapat dalam perkumpulan itu? Dari pembicaraan malam ini, agaknya angka terbesar yang pernah disebut adalah kelima belas, yakni Cap-gokaucu. Sementara itu Giok-bin-giam-lo To Siau-hou tertawa dingin, lalu ujarnya, "Jika aku berhasil membekuk kau malam ini, aku tak kuatir anak murid perguruanmu itu tak akan menampakkan batang hidungnya." "Begitu yakin akan kemampuanmu?" "Mengapa tidak dibuktikan saja!" seru To Siau-hou sambil tertawa nyaring.
Mendadak terdengar Jit-kaucu berseru, "Turunkan tandu, kalian bertiga boleh segera mengundurkan diri!"
148
Pendekar Cacat
Begitu perintah diturunkan, kedua gadis berbaju hitam segera menurunkan tandu, lalu bersama gadis berpedang mengundurkan diri dengan cepat ke sisi kiri, kanan dan belakang tandu. Giok-bin-giam-lo To Siau-hou segera merentangkan pedang di depan dada, kemudian tertawa terbahakbahak, "Hahaha, kalau begitu aku ingin mencoba sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang kau miliki!" Mendadak terdengar Bong Thian-gak dengan suara dalam, "Tunggu dulu!"
membentak
Dengan langkah lebar dia berjalan mendekat, lalu sambil menjura kepada To Siau-hou, katanya, "To-heng, harap kau bersedia memberi kesempatan bagiku mengajukan beberapa pertanyaan dulu kepadanya sebelum pertarungan dilakukan!" Giok-bin-giam-lo To Siau-hou memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya, "Silakan Koheng!" Dengan suara lantang Bong Thian-gak berseru, "Jitkaucu, dengar baik-baik! Aku punya beberapa persoalan yang tak kupahami dan ingin minta petunjuk darimu, aku harap kau sudi memberi petunjuk!" "Soal apa? Katakan saja!" ucap Jit-kaucu dari dalam tandu dengan suara hambar.
149
Pendekar Cacat
"Aku ingin bertanya, Bu-lim Bengcu Thi-ciang-kan-kunhoan Oh Ciong-hu tewas dalam keadaan bagaimana?" "Ada hubungan apa antara kau dan Oh Ciong-hu?" Jitkaucu balik bertanya. "Kami adalah sahabat!" Jit-kaucu termenung beberapa saat lamanya, setelah itu baru berkata lagi, "Sebab kematian Oh Ciong-hu hanya diketahui satu orang saja dan orang itu bukan diriku sehingga aku pun tak bisa memberikan keterangan apaapa kepadamu." "Apakah orang itu adalah Cong-kaucu perkumpulan kalian?" "Benar!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, kembali dia bertanya, "Apa nama perkumpulan kalian?" Jit-kaucu yang berada di dalam tandu tertawa riang, "Sejak saat ini nama perkumpulan kami akan berkumandang di seluruh penjuru dunia dan membekas dalam hati setiap orang, kuberitahukan kepadamu pun tak ada salahnya, perkumpulan kami bernama Put-gwacin-kau!"
150
Pendekar Cacat
"Put-gwa?" seru Bong Thian-gak terperanjat. "Put-gwa (tiada aku) merupakan persembahan kita terhadap partai, demi kepentingan partai, kami tak akan mempersoalkan hati sendiri, tubuh dan hati kami semua adalah milik partai." "Benarkah Cong-kaucu kalian adalah Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng!" "Benar atau tidak, maaf aku tak bisa memberitahukan kepadamu."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Baiklah, terima kasih banyak atas jawabanmu!" katanya kemudian. Selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri ke samping To Siau-hou sambil berbisik, "To-heng, orang ini memiliki ilmu pukulan yang amat sakti dan jahat sekali, kau harus berhati-hati." "Andai aku mati, tolong Ko-heng sudi mengirim jenazahku kembali ke markas Kay-pang!"
Dalam pada itu Jit-kaucu hanya duduk diam di dalam tandu, tirai tandu masih tertutup rapat sehingga secara lamat-lamat cuma nampak bayangan orang saja.
151
Pendekar Cacat
Dengan pedang terhunus To Siau-hou berjalan ke muka dan baru berhenti di depan tandu, kemudian tegurnya, "Jit-kaucu, dengan cara inikah kau hendak menerima seranganku?" "Hm, tak usah banyak bicara, seranganmu!" seru Jit-kaucu dingin.
lancarkan
saja
Dengan kening berkerut To Siau-hou segera mengayun pedang menyambar tirai tandu. "Kau ingin mampus rupanya!" bentakan nyaring berkumandang. Bagaikan sukma gentayangan tiba-tiba muncul sebuah lengan putih mulus dari balik tandu, kemudian jari tangannya yang ramping menyentil ke muka. Pedang To Siau-hou terpental oleh suatu kekuatan maha dahsyat. "Aduh, celaka!" pekik To Siau-hou.
Dia ingin membuang pedangnya sambil mundur, siapa tahu telapak tangan membalik ke atas. Sekilas cahaya merah segera memancar keluar, segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat bagaikan gelombang ombak di tengah samudra langsung menghajar tubuh To Siau-
152
Pendekar Cacat
hou. Dengusan tertahan bergema, To Siau-hou berikut pedangnya terpental oleh tenaga pukulan yang maha dahsyat itu. Sekali pun sepasang kakinya dapat mencapai tanah lebih dahulu hingga tubuhnya tidak terbanting, tak urung tubuhnya berguncang keras, lutut gemetar dan hampir saja tak sanggup menahan diri.
Dengan cepat Bong Thian-gak memburu ke muka, serunya dengan cemas, "To-heng, parahkah lukamu?" Sementara itu peluh dingin telah bercucuran membasahi wajah To Siau-hou, kulit mukanya mengejang menahan penderitaan yang luar biasa, katanya dengan suara gemetar, "Ilmu silat perempuan ini teramat hebat, harap Ko-heng jangan menghadapinya dengan kekerasan." Kedua gadis muda itu sudah menggotong kembali tandunya dan siap berlalu dari situ.
Dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke depan sambil membentak nyaring, "Tunggu sebentar!"
153
Pendekar Cacat
Sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan melepas dua gulung angin pukulan dahsyat ke tubuh kedua gadis muda itu. "Turunkan tandu dan cepat mundur!" seruan nyaring Jitkaucu berkumandang dari balik tandu. Tapi sayang, keadaan terlambat, kedua gulung angin pukulan Bong Thian-gak secepat sambaran petir telah menyapu ke depan. Dua jeritan kaget segera berkumandang memecah keheningan.
Kedua gadis pemikul tandu terhantam oleh kedua gulung angin pukulan itu hingga badannya terpental dan roboh terjengkang ke atas tanah. Tandu kecil itu pun terjatuh ke tanah. Begitu berhasil menyapu kedua gadis itu, dengan serangan bagaikan naga sakti bermain di udara, Bong Thian-gak segera menerjang tandu itu. Mendadak sebuah pergelangan tangan menerobos keluar dari balik tandu, dengan cepat Bong Thian-gak mengayun telapak tangan kanannya melepaskan sebuah bacokan dengan kecepatan tinggi.
154
Pendekar Cacat
Tetapi telapak tangan lawan bergerak sangat lincah, sedikit menggeser tahu-tahu sudah terhindar dari bacokan, kemudian dengan lima jari dibentangkan bagaikan kaitan, dia balik mematuk pergelangan tangan kanan Bong Thian-gak. Begitulah, kedua jago lihai masing-masing melepas serangan dengan menggunakan tangan sebelah, kedua belah pihak bergerak dengan kecepatan luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan. Pertarungan berlangsung bertambah sengit.
Perlu diketahui, arah ancaman serangan kedua orang itu selalu berkisar antara jalan darah Huo-ko-hiat dan Mehbun-hiat, padahal kedua jalan darah itu merupakan Hiatto mematikan di tubuh manusia, sekali salah perhitungan maka akibatnya akan mengenaskan. Bong Thian-gak membentak keras, tiba-tiba dia mengayun kaki kanannya menendang urat nadi pergelangan tangan lawan, kemudian tangan kanan menyambar ke bawah mencengkeram tirai yang menutup tandu itu.
Agaknya Jit-kaucu yang berada dalam tandu pun sudah dibikin berkobar amarahnya, tangannya bagaikan ular lincah yang keluar dari gua bergerak kian kemari dengan teramat cepat, secara lincah dan cekatan dia selalu
155
Pendekar Cacat
berhasil meloloskan diri dari serangan gencar Bong Thian-gak. Mendadak Jit-kaucu menarik telapak tangannya ke dalam, tapi secara tiba-tiba dikeluarkan kembali, selisih waktunya hanya beberapa detik saja. Ketika telapak tangannya keluar dari balik tirai, sekilas cahaya merah segera memancar keempat penjuru.
Bong Thian-gak segera tahu perempuan itu hendak mengeluarkan ilmu pukulan maha saktinya, dia membentak keras, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada tangan kiri, lalu diayun ke muka mengikuti gerakan tubuhnya yang menyelinap keluar. Dalam waktu singkat dua gulung tenaga pukulan telah saling bentur, ledakan nyaring menggelegar, pusaran angin disertai desingan angin tajam menderu-deru di angkasa.
Bong Thian-gak melayang turun, berbareng tangan kanannya telah bertambah dengan sebuah kain cadar hitam, akhirnya wajah asli Jit-kaucu kelihatan juga di depan mata. Setelah tirai tandu terlepas, tampaklah di dalam tandu duduk seorang gadis cantik berbaju biru, sepasang
156
Pendekar Cacat
matanya jeli memancarkan sinar tajam membetot sukma, saat itu sorot matanya sedang memandang wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip. Sebaliknya Bong Thian-gak yang dapat melihat wajah cantik dalam tandu itu segera merasa tubuhnya gemetar keras tanpa terasa, cadar itu sudah terlepas ke atas tanah. Ternyata raut wajah si nona cantik ini amat dikenal olehnya, sekali pun memejamkan mata Bong Thian-gak pun bisa melukiskan setiap bagian tubuhnya secara nyata dan jelas. "Ah, rupanya dia!" pekik anak muda itu dalam hati. Dia menggeleng kepala berulang kali sambil memejamkan mata, kemudian sekali lagi menatap wajah gadis itu lekat-lekat. "Ya, betul! Memang dia, dialah si gadis telanjang bulat di rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau." Sementara itu perempuan cantik dalam tandu itu seolah teringat pula akan sesuatu persoalan setelah menyaksikan sikap Bong Thian-gak yang melongo itu, dia pun berseru tertahan, lalu mukanya berubah merah padam, tubuhnya gemetar keras karena emosi. Suasana hening menyelimuti tempat itu, sepasang mudamudi itu dengan membawa rahasia masing-masing hanya termenung sambil membungkam.
157
Pendekar Cacat
Dalam keadaan demikian, bukan cuma To Siau-hou saja, bahkan ketiga gadis berbaju hijau pun tidak habis mengerti apa sebabnya kedua orang itu tertegun dan termangu-mangu seperti orang kehilangan sukma setelah saling bertatap muka. Mendadak terdengar Jit-kaucu yang berada dalam tandu berkata, "Sialan, bocah keparat yang tidak tahu malu!" Ucapan itu membuat Bong Thian-gak merasa malu sekali sehingga menundukkan kepala, namun dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Mendadak terdengar Jit-kaucu membentak keras, "Ing Soat, kalau tidak pergi mau tunggu apa lagi?" Kedua gadis pemikul tandu dan gadis baju hijau yang membawa pedang buru-buru mengangkat tandu kecil itu dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun berlalu dari situ. Suara keliningan menjauh.
nyaring
berkumandang
makin
Menanti suara keliningan itu menjauh, Bong Thian-gak seolah baru mendusin dari lamunannya, ia berseru tertahan sambil berpaling. Dijumpainya Giok-bin-giam-lo To Siau-hou telah menempelkan pedang di atas pinggang kiri sendiri. "To-heng, apa maksudmu?" tegur Bong Thian-gak.
158
Pendekar Cacat
Dengus napas To Siau-hou agak tersengal, katanya, "Siapakah perempuan itu?" "Siapa lagi, tentu saja Jit-kaucu!" sahut Bong Thian-gak dengan wajah tertegun. To Siau-hou tertawa dingin, "Ko-heng, kau tak usah berlagak pilon, sewaktu mata kalian saling bertemu, paras muka kalian berdua segera berubah tak menentu, sudah jelas kalian adalah kenalan lama, mengapa Koheng mengatakan tidak tahu?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, betul, sebelumnya aku memang pernah sekali berjumpa dengannya, tapi aku tidak tahu siapakah dia. Ucapan Siaute adalah sejujurnya bila aku bohong biar Thian mengutuk aku!" Mendadak To Siau-hou menarik kembali pedangnya, kemudian dia muntah darah sebanyak dua kali, setelah mundur sempoyongan, tubuhnya roboh terjengkang ke tanah. Menanti Bong Thian-gak membalik tubuhnya, To Siauhou sudah tergeletak dengan wajah pucat-pias seperti mayat, tanpa terasa teriaknya dengan terkejut, "To-heng, mengapakah kau?" "Ko-heng, maafkanlah aku, aku telah salah sangka kepadamu," bisik To Siau-hou dengan lemah. "Aku.mungkin sudah tak bisa ditolong lagi! Ilmu pukulannya sangat jahat dan lihai ... sekarang tubuhku
159
Pendekar Cacat
mulai terasa berkerut kencang, sekujur tubuhku kedinginan setengah mati." Bong Thian-gak pernah menyaksikan bagaimana cara Jitkaucu membunuh orang, ia menjadi terperanjat sekali, segera pikirnya, "Entah apa nama pukulan ilmu saktinya itu? Aku tak bisa ilmu pengobatan. Ai, apa yang mesti kulakukan sekarang?" Makin dipikir hatinya semakin gelisah sehingga tanpa terasa dia menghentakkan kaki ke tanah, serunya kemudian, "To-heng, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Agaknya To Siau-hou sudah tahu tiada harapan baginya untuk hidup, sikapnya malah tampak jauh lebih tenang, katanya, "Ko-heng, setelah aku mati, tolong antarkan jenazahku ke markas besar Kay-pang di Sucwan, kemudian ceritakanlah nasib yang kualami ini kepada guruku, ketua Kay-pang "To-heng, cepat kau pikirkan sebentar apakah di sekitar sini ada tabib pandai!" seru Bong Thian-gak gelisah. Sambil tertawa getir To Siau-hou menggeleng kepala berulang kali, "Tidak ada! Sebelum menemui ajal Busiang-long-hou-ciang pernah berkata bahwa Jit-kaucu telah berhasil memiliki sejenis ilmu pukulan maha sakti yang tiada tandingan di dunia ini, barang siapa terkena pukulannya itu, hanya kematian yang akan dialaminya, tiada obat yang bisa menyembuhkannya!"
160
Pendekar Cacat
"Ai, aku memang kelewat tinggi hati dan gegabah, sekali pun tahu kelihaian ilmu pukulan lawan, aku tetap nekat menghadapinya, aku memang patut mampus!" Cepat Bong Thian-gak menggeleng, katanya, "Tiada pukulan yang tak bisa disembuhkan di dunia ini, asal diketahui namanya, aku bisa mengusahakan penyembuhan bagimu. Cuma aku kuatir waktu tidak mengizinkan lagi." "Aku pun mengerti sedikit ilmu pertabiban, menurut keadaan luka yang kuderita sekarang, mungkin tak akan bisa bertahan sampai tengah malam nanti." Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata, "To-heng, mari kubimbing kau pergi ke tempat sepi, kemudian aku akan mencari Jit-kaucu, aku akan bertanya kepadanya ilmu pukulan apa yang telah dia pergunakan untuk melukai dirimu." "Terima kasih Ko-heng!" To Siau-hou tertawa sedih. "Ilmu silat Jit-kaucu sudah kau ketahui sendiri, bila Koheng mengalami hal-hal yang tak diinginkan gara-gara urusanku, bagaimana mungkin arwahku di alam baka bisa tenteram?" Mencorong sinar tajam di balik mata Bong Thian-gak, serunya, "Kecuali berbuat demikian, tiada cara lain yang bisa dipakai untuk menyelamatkan nyawa To-heng." Meski hanya beberapa patah kata yang singkat, namun terpancar sifat ksatria dan kegagahan Bong Thian-gak.
161
Pendekar Cacat
"Ko-heng, budi kebaikanmu sungguh sangat mengharukan, sampai mati pun Siaute tak akan melupakanmu." Bong Thian-gak tak bicara lagi, dia segera memayang To Siau-hou dan membawanya ke balik semak yang agak tersembunyi, lalu katanya, "Harap To-heng menunggu di sini, Siaute akan segera mengejar Jit-kaucu, paling lambat satu setengah jam aku akan balik ke sini." "Tidak usah! Lebih baik menemani aku saja di sini!" "To-heng!" seru Bong Thian-gak dengan suara dalam. "Meski kau menganggap kematian bagaikan pulang ke rumah, tapi pernahkah kau bayangkan kematianmu merupakan hilangnya seorang Enghiong bagi dunia Kangouw? Pihak manusia laknat akan kehilangan musuh tangguh?" Air mata meleleh membasahi wajah To Siau-hou, serunya pelan, "Ko-heng, bila kepergianmu mengundang bencana bagimu sendiri, dunia persilatan lebih-lebih akan kehilangan seorang pendekar berjiwa ksatria, apa lagi dengan kematian kita berdua maka tak ada yang tahu siapakah pembunuh kita itu." "Tak usah kuatir, To-heng," ucap Bong Thian-gak sambil menahan rasa pedih dalam hati. "Aku tak bakal mati di tangan Jit-kaucu, nah, aku pergi dulu."
162
Pendekar Cacat
Tidak menanti jawaban To Siau-hou lagi, dia segera melompat bangun dan berlalu dari situ dengan mengerahkan Ginkangnya. Sejak dapat melihat jelas raut muka Jit-kaucu, Bong Thian-gak yakin dia adalah gadis yang pernah dijumpainya di Kang-san-bi-jin-lau, maka dia segera mengerahkan Ginkangnya menuju ke Kay-hong.
Tak lama kemudian Bong Thian-gak telah masuk ke kota Kay-hong, buru-buru dia menuju ke tempat hiburan dan berhenti di luar rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau. Setelah ragu sejenak, dia membalik badan menuju ke halaman belakang, dari situ dia masuk dengan melompati pagar, ketika tiba di luar loteng, ia saksikan cahaya lentera menerangi seluruh ruangan, sesosok bayangan bertubuh indah sedang duduk di dekat jendela.
Bong Thian-gak memeriksa sekeliling tempat itu, ia jumpai cahaya lampu pun menerangi hampir setiap jendela, suara pembicaraan tiada hentinya berkumandang, tapi di halaman kecil yang terpencil itu justru suasananya amat hening, tak seorang pun ditemukan di situ.
163
Pendekar Cacat
Tanpa ragu lagi dia melompat naik ke atas pagar loteng, agaknya perempuan cantik di balik jendela telah mengetahui kedatangannya, dia menggoyang sedikit kepalanya untuk berpaling, sementara tubuhnya masih tetap duduk di kursi.
Setelah berdehem pelan, Bong Thian-gak segera menyapa, "Jit-kaucu di dalam?" Perempuan cantik di balik jendela tidak bergerak, tapi terdengar ia menegur dengan suara sedingin es, "Kau adalah berandal hidung bangor, besar betul nyalimu!" "Jit-kaucu, aku bukan berandal cabul...." Tidak menanti Bong Thian-gak menyelesaikan katakatanya, kembali perempuan itu mengumpat, "Kalau kau bukan berandal cabul hidung bangor, mengapa di tengah malam buta mengintip kamar tidur kaum wanita?" ***
164
Pendekar Cacat
3 MENJEBAK SAM KAUCU, SI KU LO HWESIO PALSU
B
ong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, pada peristiwa kemarin dulu, biar kujelaskan nanti secara pelan-pelan, malam ini aku ….”
"Ada urusan apa?" "Aku ingin bertanya kepada Jit-kaucu, dengan ilmu pukulan apakah kau melukai Giok-bin-giam-lo?" "Dia belum mampus?" tanya perempuan itu hambar. "Belum, tapi sudah tak jauh dari ambang pintu kematian." "Kalau sudah mampus lebih baik lagi, buat apa kau menanyakan ilmu pukulan yang kupakai untuk membunuhnya?"
165
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak mengerut dahi, lalu menjawab dengan suara dalam, "Mengapa kau memandang enteng nyawa manusia? Ketahuilah, Thian menciptakan manusia dengan harapan banyak berbuat kebajikan, kegemaran Jit-kaucu membunuh orang benar-benar telah melanggar perintah Thian." Tiba-tiba perempuan cantik itu tertawa dingin, suaranya amat menyeramkan penuh dengan nada membunuh, membuat orang yang mendengar berdiri bulu kuduknya. Mendadak suara tawa itu sirap, lalu terdengar perempuan cantik itu bertanya lagi dengan hambar, "Kau berani masuk kemari?" Terkesiap hati Bong Thian-gak, segera sahutnya, "Mengapa tidak?"
Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan menuju ke pintu dan mendorongnya. Pintu itu tidak terkunci dan segera terbuka ketika didorong, Bong Thian-gak yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera melangkah masuk dengan dada dibusungkan. Waktu itu Jit-kaucu sedang duduk membelakangi pintu, sekali pun tahu Bong Thian-gak masuk, namun sama sekali ia tidak berpaling, hanya tangan kirinya yang
166
Pendekar Cacat
putih bersih menuding ke sebuah kursi bulat di sampingnya, katanya, "Duduklah!"
Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandang sekejap kursi bulat itu, setelah tidak melihat sesuatu gejala aneh, dia pun menurut dan berduduk. Kini separoh wajah nona yang cantik sudah kelihatan dengan jelas. Di bawah cahaya lentera, terlihat jelas perempuan itu memang berwajah cantik jelita, kecantikannya ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan. Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, pikirnya, "Dengan wajah yang begitu cantik, mengapa justru dilahirkan dengan hati yang busuk, jelek dan jahat? Ai, benar-benar patut disayangkan!"
Mendadak terdengar Jit-kaucu menegur, "Hei, apa yang sedang kau pikirkan?" Suaranya merdu bagai kicau burung nuri, sungguh mempesona hati siapa pun. Entah sedari kapan Jit-kaucu telah membalikkan badan, kini jarak kedua orang itu dekat sekali, ketika angin
167
Pendekar Cacat
berhembus, terendus bau harum semerbak yang membuat hati menjadi mabuk. Bong Thian-gak menarik napas, kemudian berkata dengan suara nyaring, "Aku sedang berpikir, mengapa Kaucu berwajah begitu cantik." "Dan kau pun sedang berpikir, mengapa hatiku begitu kejam tak kenal perasaan begitu, bukan?" sela Jit-kaucu sambil tersenyum.
Bong Thian-gak tertegun, kemudian ujarnya, "Benarbenar amat lihai! Darimana kau tahu akan jalan pikiranku?" Tiba-tiba paras muka Jit-kaucu berubah hebat, serunya lagi, "Nyalimu sungguh besar, mungkin di kolong langit dewasa ini belum ada orang kedua yang berani duduk sedemikian dekat denganku." "Bila Jit-kaucu hendak turun tangan keji kepadaku, tadi kau sudah turun tangan!"
Jit-kaucu segera bangkit, lalu pelan-pelan berjalan menuju ke depan pintu, dia mendongakkan kepala memandang kegelapan malam, sambil membetulkan rambutnya yang panjang terurai ia berjalan kembali.
168
Pendekar Cacat
Langkah kakinya yang lemah gemulai itu sangat menawan dan mendatangkan daya pikat, pada hakikatnya kecantikan maupun gerak-gerik perempuan itu dapat membuat orang lupa daratan. Pelan-pelan dia berjalan ke hadapan Bong Thian-gak, kemudian secara tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke jalan darah Pek-kwe-hiat di ubun-ubun Bong Thian-gak.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Jit-kaucu menyingkirkan kembali telapak tangannya, lalu berkata, "Ko Hong, sebelumnya kau sudah tahu bila aku tidak berniat membunuhmu, maka kau bersikap begini tenang dan bernyali!" "Apa maksud perkataanmu itu?" "Ketika di hutan depan kuil, bukankah kau telah mendengar banyak rahasia perkumpulan kami?"
Mendengar itu, Bong Thian-gak menjadi terkejut, pikirnya, "Kalau begitu dia sudah tahu aku sudah menyadap pembicaraannya dari dalam hutan! Jadi kematian Lo Gi, pelindung Sam-kaucu adalah gara-gara perbuatanku ."
169
Pendekar Cacat
Sementara itu Jit-kaucu telah berkata lagi sambil tersenyum, "Kalau kau sudah mendengar sebagian besar rahasia kami, maka sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih, pertama adalah jalan kematian, sedang kedua adalah masuk menjadi anggota Put-gwa-cin-kau. Asal kau bersedia, aku dapat memberi kedudukan sebagai seorang Kaucu." "Kau mengundang aku masuk menjadi anggota Put-gwacin-kau, apakah kau tidak kuatir aku akan menyusahkan dirimu?"
"Apa maksudmu?" "Kau belum tentu tahu riwayat hidupku dan lagi setelah menjadi anggota perkumpulan, belum tentu aku setia pada perkumpulan dengan tulus hati, apalagi menyuruh aku mencapai Put-gwa (tanpa aku)?" Jit-kaucu manggut-manggut, "Benar, kalau begitu kau hanya ingin menempuh jalan kematian?" Kembali Bong Thian-gak tersenyum, "Dari dulu hingga kini tiada seorang pun yang bisa lolos dari kematian, apa yang kutakuti? Cuma ...." "Cuma kenapa?" "Aku tak akan mati muda," sahut Bong Thian-gak dengan sinar mata mencorong tajam.
170
Pendekar Cacat
Mendadak Jit-kaucu menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat. Bong Thian-gak tertegun, lalu berpikir, "Mungkinkah dia akan turun tangan keji kepadaku?" Maka secara diam-diam dia lantas menghimpun tenaga dalamnya untuk bersiap. Lewat setengah jam kemudian, terdengar Jit-kaucu berkata lagi dengan suara hambar, "Hampir saja aku kena kau kelabui, rupanya wajahmu telah kau ubah dengan obat penyamar, kalau begitu Ko Hong pun bukan namamu yang sebenarnya!"
Bong Thian-gak merasa perempuan ini lihai sekali, "Padahal obat penyaruan yang kugunakan merupakan obat paling baik di dunia, malah penyaruanku amat sempurna, buktinya Ku-lo Hwesio dan Toa-suheng serta para jago tiada yang tahu, tak nyana dia berhasil mengetahui sekali pandang saja." Jit-kaucu berkata, "Sebenarnya kau telah melakukan perbuatan apa yang malu diketahui orang hingga tak berani memperlihatkan raut wajah aslimu?" "Bukankah Jit-kaucu pun demikian?"
171
Pendekar Cacat
Jit-kaucu tertegun, lalu serunya, "Tapi aku tidak menyaru!" "Walaupun kau tak menyaru, tapi gerak-gerikmu sangat rahasia, tanpa nama, tanpa asal-usul, bukankah kau pun sudah melakukan suatu perbuatan yang takut diketahui orang?"
"Siapa bilang aku tak punya nama?" teriak Jit-kaucu gusar. "Kalau begitu siapa namamu?" "Kau tidak berhak mengetahui namaku." Mendadak Bong Thian-gak menunjukkan wajah serius, katanya, "Apa nama ilmu pukulanmu?" "Buat apa kau menanyakan soal ini?" "Aku hendak mengobati luka To Siau-hou." Mendengar itu, Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau anggap setelah mengetahui ilmu pukulanku, maka nyawa To Siau-hou bisa diselamatkan? Hehehe, kalau begitu kuberitahu kepadamu!"
172
Pendekar Cacat
"Apa namanya?" kembali Bong Thian-gak bertanya dengan cemas "Itulah pukulan Jian-yang-ciang (Pukulan cacat) salah satu jurus dari ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang!" "Soh-li-jian-yang-sin-kang," terkejut.
seru
Bong
Thian-gak
Dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun, kemudian bagaikan burung walet menembusi jendela, dia lantas berlalu. Bong Thian-gak tidak menunjukkan pertanda hendak berlalu ditambah pula gerakan tubuhnya kelewat cepat, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah lenyap.
Jit-kaucu yang menyaksikan kejadian itu tertegun dan duduk melongo, seperti merasa kehilangan sesuatu dia duduk dengan wajah bingung. Sementara itu Bong Thian-gak dengan suatu gerakan yang amat cepat telah meninggalkan loteng itu, dia segera mengembangkan ilmu meringankan tubuhnya keluar kota Kay-hong langsung menuju ke pinggir kota. Malam sudah semakin kelam, tengah malam pun sudah menjelang tiba, di tengah keheningan yang mencekam terasa suatu kemisteriusan yang menyeramkan.
173
Pendekar Cacat
Dengan hati risau dan gelisah Bong Thian-gak menuju tempat persembunyian To Siau-hou, siapa tahu suasana di sekeliling tempat itu sangat hening dan tak nampak bayangan orang pun. Dengan kening berkerut dan sorot mata tajam, Bong Thian-gak memandang sekejap sekeliling tempat itu.
Angin malam berhembus menggoyang rumput dan dedaunan, kecuali bunyi jangkrik dan binatang kecil, suasana di situ amat hening hingga terasa menakutkan, ternyata tak nampak bayangan To Siau-hou.
Bong Thian-gak menjadi amat gelisah, segera teriaknya, "To-heng! Dimana kau?" Ia berteriak berulang kali, tapi malam tetap hening, tiada jawaban. Bong Thian-gak tahu To Siau-hou sudah menderita luka sangat parah, mustahil dia bisa meninggalkan tempat itu, maka dia mulai berjalan mengelilingi tempat itu melakukan pencarian dengan seksama. Aneh! Sudah beberapa kali dia melakukan pencarian, tapi tetap tak nampak bayangan To Siau-hou?
174
Pendekar Cacat
"Jangan-jangan dia sudah ditolong orang?" "Tapi siapakah yang menolongnya?" Bong Thian-gak memeras otak memikirkan ini. Pencarian pun kembali dilakukan ke sekeliling tempat itu.
Akhirnya di atas sebuah batu cadas di pinggir jalan, Bong Thian-gak menemukan sesosok bayangan sedang duduk bersila di sana. Dengan dua kali lompat saja Bong Thian-gak sudah mencapai depan batu cadas itu. Ternyata adalah Hwesio tua berbaju abu-abu, sepasang kakinya tertekuk membentuk sikap bersila, di atas lututnya terletak sebuah Hud-tim, sedang di atas dadanya tergantung seuntai tasbih. Waktu itu si Hwesio duduk sambil memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Sesudah melihat jelas raut wajah Hwesio tua itu, Bong Thian-gak membatin, "Ah, Ku-lo Sinceng." Ternyata Hwesio tua yang duduk di atas batu cadas itu adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay.
175
Pendekar Cacat
Dia menjadi teringat peringatan To Siau-hou, "Ku-lo Hwesio telah menurunkan perintah untuk membunuhmu".
Dengan terkesiap dan tanpa mengucap sepatah kata pun, Bong Thian-gak segera membalikkan badan dan berlalu dari situ. "Omitohud! Harap Sicu tunggu sebentar," suara sapaan lembut berkumandang. Bong Thian-gak membalikkan badan dengan kecepatan bagaikan kilat. Tampak mencorong sinar lembut dari balik mata Hwesio tua itu, meski lembut tapi tajam sekali hingga menggetarkan perasaan orang. "Sinceng ada petunjuk apa?" tanya Bong Thian-gak dengan suara nyaring.
Hwesio tua itu tetap duduk di atas batu cadas tanpa bergerak, tapi wajahnya agak bergetar, ujarnya, "Sicu, usiamu masih muda, tapi tenaga dalammu sudah sampai puncak kesempurnaan, tolong tanya, Siauhiap berasal dari perguruan mana?"
176
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tertegun, kemudian jawabnya, "Taysu, maaf bila Wanpwe mempunyai kesulitan yang tak dapat diutarakan." Hwesio tua itu termenung sebentar, lalu sambil mengelus jenggot putihnya dia bertanya lagi, "Sicu, apakah kau sedang mencari To-siauhiap dari Kay-pang?" Bong Thian-gak mengangguk, "Tolong tanya apa Taysu melihat jejaknya?" "To-siauhiap telah menderita luka yang cukup parah, nyawanya dalam keadaan gawat, Lolap telah memerintahkan dua orang muridku untuk mengirimnya ke suatu tempat yang tenang guna memperoleh perawatan dan pengobatan yang diperlukan." Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasa agak lega, buru-buru dia bertanya lagi, "Tolong tanya, apakah luka yang diderita To-siauhiap makin parah?" "Ketika Lolap menemukannya, dia sudah pingsan, nyawanya berada di ujung tanduk. Sicu, dapatkah kau terangkan To-siauhiap terluka oleh pukulan apa?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Dia terkena pukulan Jit-kaucu, ai! Mungkin luka itu sukar untuk disembuhkan!"
177
Pendekar Cacat
Mendengar perkataan itu, paras si Hwesio berubah hebat. "Kalau begitu, To-siauhiap telah terkena pukulan Jianyang-ciang dari Soh-li-jian-yang-sin-kang?" Dengan terkesiap Bong Thian-gak segera berpikir, "Sungguh lihai sekali Hwesio ini, ternyata dia pun mengetahui tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, mungkinkah dia sudah bertemu dengan Jit-kaucu?" Berpikir demikian, sahutnya kemudian sambil menghela napas, "Benar, To-siauhiap memang terkena pukulan Jian-yang-ciang dari Jit-kaucu!"
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba mencorong tajam mata Hwesio tua itu, ia menatap wajah Bong Thian-gak lekatlekat, kemudian bertanya pula, "Sicu, darimana kau bisa mengetahui ilmu pukulan Jian-yang-ciang?" "Wanpwe mengetahui hal ini dari mulut Jit-kaucu sendiri." Rasa kaget dan tercengang segera menghias wajah Hwesio tua itu, segera tegurnya dengan suara dalam, "Sicu, sebenarnya siapa kau?"
178
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Taysu, tidak usah menaruh curiga terhadap Wanpwe, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!" Hwesio tua itu semakin terperanjat, kembali dia berkata, "Sicu, agaknya kau telah mengetahui banyak rahasia, dari sembilan partai persilatan dewasa ini, kecuali Lolap seorang, boleh dibilang tidak banyak orang yang mengetahui Put-gwa-cin-kau?" Sampai di situ Ku-lo Hwesio berhenti sejenak, seolah termenung beberapa saat, dia pun melanjutkan, "Sicu, kau enggan menyebut nama perguruanmu, tapi bersedia menyebutkan namamu bukan?"
Bong Thian-gak tertegun, lalu sahutnya, "Aku bernama Ko Hong, buat apa Sinceng mesti menaruh prasangka jelek kepadaku?" Terlintas cahaya tajam dari balik mata Hwesio tua itu, tiba-tiba dia berkata, "Siancay! Siancay! Lolap baru pertama kali ini berjumpa dengan Sicu, sebelum malam ini kita tak pernah berjumpa, mengapa Lolap mesti berprasangka buruk terhadap Sicu? Tapi setiap ucapan Sicu justru merupakan rahasia yang sedang diselidiki semua umat persilatan, apakah hal ini tak membuat Lolap terperanjat?"
179
Pendekar Cacat
Ucapan itu membuat Bong Thian-gak tertegun, serunya kemudian dengan wajah tercengang, "Sinceng, mengapa kau mengatakan malam ini adalah perjumpaan kita yang pertama kali?" Secara tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasa apa yang diucapkan Ku-lo Hwesio malam ini terdapat banyak keanehan, tindak-tanduk maupun gerak-geriknya berbeda dengan tempo hari. Mungkinkah dia bukan Kulo Hwesio pendeta agung dari Siau-lim-si? "Omitohud! Sicu, apakah kau tahu siapakah Loceng?" tanya Hwesio tua itu tiba-tiba.
Bong Thian-gak tertegun. "Wanpwe justru menanyakan nama Sinceng!" serunya cepat.
ingin
Bong Thian-gak tidak percaya kalau matanya telah salah melihat orang, meski dia dan Ku-lo Hwesio hanya bersua secara sepintas saja, jika berjumpa kembali pada waktu yang sangat lama, bisa saja kekeliruan itu terjadi. Tetapi dia baru saja berpisah dengan Ku-lo Hwesio pagi ini, lagi pula raut wajah pendeta itu sekali pun dia diharuskan melukis dengan mata terpejam pun, pemuda itu sanggup melakukannya, bagaimana mungkin bisa keliru. Hwesio tua ini sudah jelas adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay.
180
Pendekar Cacat
Tatkala Hwesio tua itu menyaksikan paras muka Bong Thian-gak berubah tak menentu, pelan-pelan dia berkata. "Lolap adalah Ku-lo dari Siau-lim-si...." "Benar! Kau memang Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si!" pekik Bong Thian-gak dalam hati. Sementara itu Hwesio tua itu telah melanjutkan kembali kata¬katanya setelah berhenti sejenak, "Sejak delapan tahun lalu, Pinceng selalu menutup diri di dalam kuil Siau-lim-si, baru belakangan ini Pinceng menyelesaikan semediku dan buru-buru menuju ke Kay-hong, sampai di sini pun paling baru beberapa jam lalu, mengapa Lolap tak boleh mengatakan pertemuanku dengan Sicu pada malam ini adalah pertemuan kita yang pertama kali?"
Benak Bong Thian-gak mendengung keras sesudah mendengar ucapan itu, pikirnya, "Aneh, mengapa bisa muncul dua orang Ku-lo Sinceng? Yang satu sudah tiba di gedung Bu-lim Bengcu sejak tiga hari berselang, sedang yang lain baru tiba di Kay-hong pada malam ini, padahal raut wajah mereka berdua persis. seperti pinang dibelah dua, lantas yang manakah baru Ku-lo Sinceng yang asli?" Benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, munculnya Ku-lo Sinceng ganda menandakan pula betapa berbahayanya situasi dalam Bu-lim dewasa ini.
181
Pendekar Cacat
Diam-diam Bong Thian-gak membayangkan gerak-gerik Hwesio tua itu serta membandingkan dengan gerakgerik Ku-lo Hwesio yang dijumpainya dalam gedung Bulim Bengcu. Tiba-tiba Bong Thian-gak menjerit kaget, "Ah! Kalau begitu dia adalah Kaucu ...." Paras muka Bong Thian-gak pada saat itu benar-benar berubah hebat sekali. Sementara Hwesio tua itu pun seakan-akan telah menyadari akan datangnya ancaman bahaya, dengan wajah serius ujarnya, "Sicu telah menemukan masalah besar apa?"
"Celaka!" seru Bong Thian-gak dengan gelisah. "Keselamatan jiwa para jago yang berada dalam gedung Bu-lim Bengcu terancam oleh bahaya maut." "Bagaimana penjelasan Sicu tentang perkataan ini?" Dengan sinar mata berkilat Bong Thian-gak menatap wajah Hwesio tua itu lekat-lekat, kemudian katanya, "Taysu, aku ingin tahu bagaimana caramu membuktikan bahwa kau benar-benar Ku-lo Sianceng dari Siau-lim-si?"
182
Pendekar Cacat
"Apakah di Bu-lim muncul seorang Ku-lo lagi?" tanya Hwesio tua itu dengan paras muka berubah. Bong Thian-gak segera manggut-manggut, "Benar, bahkan kalian berdua mempunyai wajah dan bentuk badan yang persis sama, bahkan perawakan tubuh kalian pun tidak berbeda."
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hwesio tua itu memejamkan mata sambil termenung, tiba-tiba wajahnya berubah kembali. "Siancay! Siancay! Sungguh tak disangka peristiwa yang terjadi pada delapan tahun berselang kini telah berkembang menjadi suatu ancaman besar yang mengerikan." Sampai di situ, dia memejamkan kembali matanya sambil termenung seorang diri.
Kurang lebih setengah peminuman teh kemudian Hwesio itu baru membuka mata, setelah menghela napas sedih, katanya, "Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cinkau sudah melakukan pembunuhan terhadap jago-jago persilatan, setelah melewati delapan tahun yang panjang, perkembangan mereka sudah benar-benar mencapai titik yang paling berbahaya untuk keselamatan dunia persilatan."
183
Pendekar Cacat
"Ai! Andaikata Pinceng dapat menyadari akibatnya semenjak delapan tahun berselang, lalu mengambil tindakan pengamanan, niscaya keadaan tak akan berkembang menjadi begini. Oh Ciong-hu pun tak sampai terbunuh."
Bong Thian-gak berkerut kening mendengar perkataan itu. Melalui berbagai dugaan dan analisanya, dia yakin Hwesio tua di hadapannya sekarang benar-benar adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si, tapi dia tak habis mengerti mengapa Ku-lo Hwesio yang asli ini baru keluar dari masa semedinya hari ini? Sebab kalau didengar dari pembicaraannya, pendeta itu seperti sudah mengetahui gejala pergerakan Put-gwacin-kau, mengapa dia tak berusaha menghalangi penyebaran pengaruh Put-gwa-cin-kau?
Berpikir demikian, dengan penuh emosi Bong Thian-gak berkata, "Seandainya sejak delapan tahun lalu Sinceng tahu pergerakan Put-gwa-< in-kau, mengapa kau biarkan berkembang lebih jauh?" Ku-lo Hwesio menghela napas panjang mendengar teguran Bong Thian-gak itu, ucapnya, "Sicu jangan emosi, sebenarnya hingga sekarang pun Pinceng belum mengetahui keadaan yang sesungguhnya Put-gwa-cinkau itu, delapan tahun berselang aku pun tak lebih hanya
184
Pendekar Cacat
berjumpa seorang anak perempuan dari Put-gwa-cinkau."
Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, Hwesio itu menyambung lebih jauh, "Bercerita tentang kejadian delapan tahun berselang, suatu malam bulan purnama, Pinceng sedang membaca doa di ruang belakang kuil Siau-lim-si, tiba-tiba muncul seorang gadis muda di hadapanku, gadis itu berusia empat belas tahunan, berparas cantik, senyumnya menawan hati dan membuat orang terkesima. Sejak hari itulah setiap malam selama empat puluh sembilan hari berturut-turut gadis itu selalu muncul di bukit bagian belakang untuk menyaksikan Pinceng berlatih, selama itu dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, pada malam kelima puluh itulah untuk pertama kalinya dia berbicara dengan Pinceng."
Dengan perasaan tercengang Bong Thian-gak bertanya, "Apa yang dia katakan kepada Sinceng?" "Dia bilang, dia murid Put-gwa-cin-kau, berhubung mendapat perintah Cong-kaucu untuk mencelakai Pinceng, maka dia minta Pinceng berbuat bajik dengan menyerahkan jiwaku kepadanya." "Lantas bagaimana jawaban Taysu?"
185
Pendekar Cacat
"Mendengar perkataan bocah perempuan yang lucu dan sama sekali tidak membawa hawa sesat itu Pinceng cuma tersenyum, apalagi aku belum pernah mendengar di Bu-lim terdapat Put-gwa-cin-kau, Pinceng anggap ucapan itu hanya perkataan bocah kecil, itulah sebabnya Pinceng pun menjawab, 'Bila kau menginginkan jiwa Pinceng, baiklah akan Pinceng serahkan kepadamu!'." "Maka bocah perempuan itu pun turun tangan terhadap Taysu?"
Kembali Ku-lo mengangguk, "Benar, bocah perempuan itu segera berjalan mendekat dan memukul punggung Pinceng sebanyak empat kali, kemudian ujarnya kepadaku bahwa dia telah menggunakan ilmu pukulan untuk melukai delapan nadi penting dalam tubuhku, biasanya orang lain akan tewas pada hari ketujuh, tapi berhubung tenaga dalam Pinceng sempurna, maka saat kematiannya dapat diundur." "Selesai mengucapkan perkataan itu, bocah perempuan itu segera pergi, sedangkan Pinceng pun tidak mengingat kejadian itu lagi, sebab pukulan bocah perempuan itu di atas punggungku amat pelan, bukan saja tak bertenaga dalam, tenaga sedikit pun tak ada. Ai, siapa tahu ilmu silat yang ada di kolong langit memang sukar diduga sebelumnya." "Apakah Taysu menderita luka?" tanya Bong Thian-gak keheranan bercampur kaget.
186
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sejak itulah Pinceng merasakan peredaran darahku tidak lancar, terutama bila sampai pada delapan nadi pentingku, segera akan terasa sumbatan pada aliran darahku, lambat-laun sumbatan itu terasa makin berat dan parah, saat itulah Pinceng baru merasa terperanjat sekali." Bicara sampai di situ, dia menghela napas panjang, lanjutnya, "Semua jago yang ada di kolong langit, termasuk juga anak murid partai kami, siapa yang menduga pengumuman pengunduran diri Pinceng pada delapan tahun berselang sesungguhnya untuk mengobati luka dalamku?"
Bong Thian-gak benar-benar terperanjat sekali. "Hanya dengan empat tepukan ringan si bocah perempuan itu, Pinceng harus berbaring delapan tahun di atas ranjang?" serunya. "Dalam masa delapan tahun duduk bersila menghadap dinding, Pinceng menyadari pukulan maut itu tak lain adalah Soh-li-jian-yang-sin-kang, tentunya Ko-siauhiap bisa membayangkan sampai dimanakah kelihaian pukulan sakti itu." "Masa gadis cilik itu memiliki kepandaian sakti yang begitu jahat? Kalau begitu dia adalah Jit-kaucu!" seru Bong Thian-gak terperanjat.
187
Pendekar Cacat
"Dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan salah satu di antara tiga ilmu pukulan sakti, kepandaian semacam ini tidak setiap orang bisa mempelajari. Konon untuk berlatih kepandaian itu, dia harus berlatih sejak berusia tiga tahun, sampai latihan itu berhasil, keperawanannya tak boleh hilang. Ketika kuperiksa keadaan luka yang diderita To-sicu dari Kaypang tadi, segera kubuktikan bahwa dia terluka akibat pukulan Jian-yang-ciang, menurut dugaan Pinceng, orang yang telah mencelakai To-sicu itu kemungkinan besar adalah si bocah perempuan yang pernah Pinceng jumpai pada delapan tahun berselang."
Mencoba memperkirakan usia Jit-kaucu, katanya, "Betul, Jit-kaucu adalah si bocah perempuan itu." "Setelah delapan tahun bersemedi untuk mengobati luka yang kuderita, Pinceng telah memahami bagaimana cara mengobati luka itu, Pinceng rasa nyawa To-sicu dari Kay-pang itu tak akan terancam lagi, namun ilmu silatnya sulit pulih kembali seperti sedia kala!"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, menurut catatan dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan pukulan yang tak terobati, sekali pun To Siau-hou harus kehilangan ilmu silatnya, bisa selamat
188
Pendekar Cacat
dari ancaman kematian pun telah terhitung luar biasa, ai ... tampaknya di antara orang-orang Put-gwa-cin-kau, Jitkaucu merupakan musuh paling tangguh bagi dunia persilatan."
"Bila dihitung bocah perempuan itu mulai berlatih ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang mulai berusia tiga tahun, hingga hari ini mungkin sudah ada dua puluh tahun hasil latihannya, ia sudah berlatih hingga mencapai tingkat kesembilan, bila dibiarkan mendalami ilmu itu selama tiga tahun lagi, maka dia akan menyelesaikan kepandaian itu, saat itu tubuhnya akan kebal dan tiada orang yang bisa menandinginya lagi." Ketika berbicara sampai di situ, sepintas rasa pedih melintas pada wajah Ku-lo Sinceng.
Walaupun Bong Thian-gak tidak memahami seluk-beluk ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, tapi dari sebuah kitab dia pernah membaca catatan tentang ilmu Soh-li-jian-yangsin-kang dan ilmu itu memang merupakan ilmu paling sesat dan paling dahsyat di kolong langit ini. Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam, "Tolong tanya Taysu, apakah di dunia saat ini sudah tiada orang yang bisa melawan Soh-li-jian-yang-sin-kang lagi?"
189
Pendekar Cacat
Sambil menggeleng kepala Ku-lo Siceng menghela napas panjang, "Hingga kini Lolap belum berjumpa lagi dengan Jit-kaucu, aku pun belum begitu jelas sampai tingkat berapakah ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kangnya, andai benar telah mencapai tingkat kesembilan, maka hal ini benar-benar gawat."
"Jauh hari sebelum Pinceng keluar dari pengasingan, telah kuutus jago-jago dari kuil kami untuk menyelidiki situasi dalam Bu-lim serta organisasi Put-gwa-cin-kau yang makin berkembang. Menurut hasil penyelidikan, Kaucu pertama sampai Kaucu kesembilan Put-gwa-cinkau boleh dibilang merupakan jago-jago berilmu tinggi, persoalan yang paling rumit dewasa ini adalah asal-usul serta gerakan yang dilakukan kesembilan orang Kaucu itu."
"Situasi dunia persilatan sekarang, musuh berada di tempat gelap sedang kita di tempat terang, bila umat persilatan ingin mengubah situasi, maka harus mengubah diri ke tempat gelap, dengan cara gelap lawan gelap itulah usaha kita untuk menyelamatkan dunia persilatan baru akan mendatangkan hasil yang diinginkan." "Apa yang dimaksud dengan siasat gelap melawan gelap?"
190
Pendekar Cacat
"Yang dimaksud siasat gelap lawan gelap adalah di luar lingkaran sembilan partai persilatan daratan Tionggoan, kita harus membentuk suatu organisasi penyerang yang tangguh dan khusus untuk menjegal gerak-gerik musuh."
Sesudah mendengar ucapan Ku-lo Hwesio ini, Bong Thian-gak merasa Hwesio tua ini agaknya sudah mempunyai suatu rencana yang matang untuk menghadapi pertarungan melawan Put-gwa-cin-kau di masa mendatang. Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau telah turun tangan keji terhadap Ku-lo Hwesio, rencana busuk mereka ini boleh dibilang keji sekali. Dunia persilatan dewasa ini terdapat dua pemimpin yang paling berkuasa, mereka adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si serta Oh Ciong-hu, Bengcu dunia persilatan. Bila dua orang ini sampai terbunuh, secara otomatis dunia persilatan akan kehilangan pemimpin mereka.
Sekarang Put-gwa-cin-kau telah mengutus orang untuk menyamar sebagai Ku-lo Hwesio dan menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu Dari tindakan mereka ini, tampaknya orang-orang Put-gwa-cin-kau menyangka Ku-lo Hwesio telah tewas.
191
Pendekar Cacat
Justru karena peristiwa ini, asal umat persilatan menggunakan siasat melawan siasat, kemudian menangkap Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio, bisa jadi orang itu akan tertangkap basah.
Maka setelah melalui pemikiran yang mendalam, Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam, "Taysu, Wanpwe hendak memberitahu satu hal kepadamu, Put-gwa-cinkau telah mengutus Sam-kaucu menyaru sebagai Sinceng dan kini menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu." Secara ringkas dia lantas menceritakan semua peristiwa yang terjadi belakangan ini kepada Ku-lo Hwesio, hanya soal asal-usulnya saja yang tetap dia rahasiakan.
Sehabis mendengar keterangan itu, Ku-lo Hwesio berkerut kening, lalu menghela napas dengan sedih, katanya, "Hanya untuk menjaga jangan sampai mengacau situasi dunia, Pinceng muncul agak terlambat, terhadap mata-mata yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tidak melakukan suatu tindakan apa pun, ai, siapa tahu tindakanku ini justru mengakibatkan kematian Kongsun-sicu, ai ...." "Dari berita Ko-sicu tadi, berarti musuh yang menyusup ke dalam Bu-lim Bengcu sekarang adalah Sam-kaucu
192
Pendekar Cacat
(ketua ketiga) serta Cap-go-kaucu yang telah diketahui, tapi siapa pula Cap-go-kaucu itu?" "Soal ini Wanpwe kurang begitu jelas," kata Bong Thiangak sambil menggeleng kepala.
Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan serius, "Kosicu adalah pemuda berbudi luhur, gagah dan perkasa, sudah pasti bukan pesilat kasaran, bagaimana pun Pinceng memeras otak, tidak pernah berhasil mengetahui asal-usul Sicu, bersediakah Sicu menjelaskan asal-usulmu yang sebenarnya agar umat persilatan pun tidak menaruh curiga kepadamu?"
Dengan wajah sedih Bong Thian-gak Thian-gak menghela napas panjang, sahutnya, "Wanpwe tak dapat menerangkan asal-usulku karena aku benar-benar mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan, sebenarnya Wanpwe ingin menjauhi masalah ini dan mengasingkan diri dari dunia persilatan, tetapi dendam berdarah atas kematian guruku belum terbalas, sehingga sulit bagiku untuk mengundurkan diri begitu saja." "Siapakah musuh besar Ko-sicu?" "Put-gwa-cin-kau, tapi belum kuketahui siapa yang melakukan."
193
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Ho Put-ciang Sutit selalu murung karena tidak mengetahui asal-usul Ko-sicu, dia telah minta kepada Pinceng menyelidiki persoalan ini, tetapi bila Sicu mempunyai kesulitan, ya tak usah dibicarakan lagi." "Oh, jadi Bengcu dan Taysu ...." Agaknya Ku-lo Hwesio telah mengetahui apa yang hendak dia tanyakan, dengan cepat dia menjawab, "Ho Put-ciang Sutit telah tahu pihak lawan telah menyaru sebagai Pinceng."
Mendengar perkataan itu Bong Thian-gak menjadi gembira, segera serunya, "Bagus sekali bila begitu, dengan demikian kita pun tak usah menyampaikan kabar itu kepada Ho-tayhiap, kalau tidak, entah berapa banyak tenaga dan waktu yang harus kita butuhkan lagi?" "Ko-sicu, Pinceng hendak minta bantuanmu, bersediakah kau mengabulkannya?" "Biar mati pun Wanpwe bersedia." "Pinceng rasa Sicu tentu sudah mengerti, apa sebabnya aku tak menampilkan diri untuk sementara waktu, cuma gedung Bu-lim Bengcu saat ini berbahaya sekali, Pinceng
194
Pendekar Cacat
kuatir Ho-hiantit yang berada di situ sendirian tak mampu menghadapi situasi yang semakin gawat, oleh karena itu Pinceng mohon bantuan Sicu membantu mereka."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu ujarnya, "Wanpwe pernah bertempur melawan para pendekar, Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sekalian juga telah mengenali wajah asliku, entah bantuan macam apakah yang bisa Wanpwe berikan untuk Ho-tayhiap? Harap Taysu sudi memberi petunjuk." Ku-lo Hwesio termenung sebentar, kemudian ujarnya, "Bantuan yang Pinceng harapkan dari Ko-sicu adalah membantu Ho Put-ciang Hiantit membekuk Sam-kaucu." "Mengapa Sinceng tidak langsung mengambil tindakan saja?"
Kembali Ku-lo Hwesio menghela napas, "Gerak-gerik Put-gwa-cin-kau dalam Bu-lim amat rahasia, hingga saat ini bahan yang berhasil Pinceng kumpulkan tentang perkumpulan ini masih sedikit, oleh sebab itu Lolap dan Ho-hiantit telah memutuskan untuk sementara jangan menggebuk rumput mengejutkan ular." "Sam-kaucu yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu saat ini telah melaksanakan siasat keji
195
Pendekar Cacat
membunuh para jago persilatan satu per satu, apabila orang semacam ini dibiarkan mengendon terus di situ, kemungkinan besar akan lebih banyak jago persilatan dalam gedung Bengcu yang akan menjadi korban."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Pinceng merasa serba salah, ai, cepat atau lambat kita pasti akan bentrok juga secara kekerasan dengan pihak Put-gwa-cin-kau, tapi yang membikin Pinceng ngeri adalah tidak diketahuinya berapa banyak mata-mata Put-gwa-cin-kau yang telah diselundupkan ke berbagai perguruan dewasa ini, seandainya kita melakukan suatu tindakan, mungkinkah pihak lawan akan segera melancarkan pembantaian secara besar-besaran lewat mata-mata mereka itu?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasakan pula betapa gawatnya situasi yang mereka hadapi, tampaknya kekuatan serta pengaruh Put-gwa-cin-kau telah menguasai seluruh dunia persilatan dan mendesak umat persilatan, tak heran sejak awal sampai akhir Ku-lo Hwesio selalu menunjukkan sikap amat tegang dan serius. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thian-gak, ujarnya kemudian dengan suara nyaring, "Taysu, mengapa kita tidak mencoba membekuk salah seorang anggota mereka, lalu disiksa agar mengungkapkan segala persoalan yang ada?"
196
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio menghela napas, "Pusat kekuatan dan kekuasaan yang sebenarnya dari Put-gwa-cin-kau sebagian besar terletak di tangan Kaucunya, hal ini tak akan mengungkap banyak berita penting yang berguna untuk kita." "Ah, betul! Mengapa Wanpwe tidak mencoba membekuk Jit-kaucu saja?" Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang kali, "Jitkaucu memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat, lebih baik Ko-sicu tak usah mengusik dirinya." "Jit-kaucu sangat telengas, membunuh tanpa berkedip, bila perempuan itu tidak dibasmi, dunia persilatan tak akan bisa tenang."
"Ko-sicu, aku minta kau jangan bertindak secara gegabah," ucap Ku-lo Hwesio. "Bukan Pinceng sengaja mengagulkan lawan dengan merendahkan kegagahan sendiri, tapi hingga kini sudah ada puluhan jago lihai persilatan yang tewas oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sinkang, delapan tahun lalu Pinceng telah merasakan empat kali pukulannya dan harus berbaring selama bertahuntahun, hingga kini pun penyakit itu belum sembuh seratus persen, oleh sebab itu Pinceng anjurkan kepada Sicu, lebih baik jangan terlalu menuruti emosi sendiri."
197
Pendekar Cacat
Dengan perasaan apa boleh buat Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ya sudahlah, kalau begitu Wanpwe akan melaksanakan seperti apa yang Taysu perintahkan." Ku-lo Hwesio berkata, "Ko-sicu, Pinceng telah berkeputusan untuk turun tangan lebih dahulu terhadap Sam-kaucu, harus diketahui, kita tak boleh mengorbankan lebih banyak jago persilatan lagi di tangannya!" Dengan berseri Bong Thian-gak bertepuk tangan kegirangan, "Keputusan ini memang paling bagus, penyaruan Sam-kaucu atas diri Sinceng boleh dibilang demikian miripnya sehingga sukar dibedakan lagi mana yang asli dan mana yang palsu, maka Sinceng pun dapat memanfaatkan peluang itu untuk menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau."
Diam-diam Ku-lo Hwesio terkejut mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian sambil menghela napas, "Kecerdasan otak Sicu sungguh mengagumkan, sebenarnya Pinceng telah berkeputusan untuk melakukan tindakan ini, tapi berhubung Ho-hiantit sekalian menolak, maka hingga malam baru bisa dilakukan."
198
Pendekar Cacat
Tiba-tiba Bong Thian-gak merasa bahwa Ku-lo Hwesio merupakan pemimpin pasukan penyergap dunia persilatan, apabila dia sudah menyusup ke dalam barisan musuh, lalu siapa yang akan memimpin pasukan? Apalagi menyusup ke sarang harimau merupakan suatu tindakan yang berbahaya sekali. Berpikir sampai di sini, dengan cemas Bong Thian-gak berkata, "Taysu, aku rasa keputusan ini...."
Sebelum anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Ku-lo Hwesio telah menukas, "Ko-sicu tak usah raguragu, Pinceng sudah lama menyusun rencana dengan rapi untuk penyusupan ke tubuh lawan, sedang mengenai tugas Pinceng selama ini pun telah kuatur semuanya dongan rapi, yang paling penting buat Ko-sicu adalah besok pukul lima sore harap kau datang di pagoda Leng-im-po-tah yang terletak tiga li di tenggara kota Kay-hong untuk bergabung dengan seorang pendekar lagi, kemudian kita bersama-sama membasmi Sam-kaucu dari muka bumi. Sekarang Pinceng masih ada urusan penting lainnya untuk segera diselesaikan sehingga tak mungkin memberi penjelasan lebih jauh." "Baiklah, kita berpisah sampai di sini dulu, segala sesuatunya besuk harap Sicu bersedia menuruti perkataan pendekar itu saja."
199
Pendekar Cacat
Selesai berkata Ku-lo Hwesio segera bangkit, tampaknya persoalan sudah tak bisa ditunda-tunda lagi, dia mengebaskan ujung bajunya dan melompat turun dari atas batu cadas. "Wanpwe akan mengikuti petunjuk Locianpwe!" seru Bong Thian-gak lantang, sementara Ku-lo Hwesio sudah pergi jauh. Setelah menempuh perjalanan sehari penuh, Bong Thian-gak merasa lelah, maka malam itu dia menginap di dalam kota Kay-hong, semalaman dilewatkan dengan tenang. Ketika menjelang kentongan kelima, seperti apa yang dipesan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menuju ke arah tenggara, setelah berjalan tiga-empat li, betul juga ada sebuah pagoda yang tinggi menjulang ke angkasa, di bawah sinar rembulan bangunan itu nampak megah dan mentereng.
Bong Thian-gak baru saja mendekati bukit kecil itu, mendadak dari atas pagoda di samping kiri melayang turun sesosok bayangan orang menyongsong kedatangannya, kemudian menegur, "Apakah Kocuangsu?" ' "Betul, aku Ko Hong, siapakah saudara?" Di bawah cahaya malam terlihat seorang pemuda berdandan sastrawan, dia mengenakan pakaian
200
Pendekar Cacat
berwarna biru, memegang sebuah kipas di tangan kirinya dan bersikap amat lembut, siapa menduga kalau pemuda sastrawan ini sebenarnya merupakan seorang pendekar besar yang menggetarkan sungai telaga?
Sastrawan berbaju biru itu memperhatikan Bong Thiangak beberapa kejap, lalu katanya, "Aku Thia Leng-juan, atas pesan Ku-lo Sinceng khusus datang kemari untuk menanti kedatangan Ko-cuangsu." Begitu mendengar nama "Thia Leng-juan", timbul perasaan hormat dalam hati Bong Thian-gak, buru-buru sahutnya dengan hormat, "O, rupanya Im-ciu-tay-ji-hiap, sudah lama kudengar nama besarmu, maaf bila kau menunggu terlampau lama."
Tay-ji-hiap (pendekar sastrawan) Thia Leng-juan dari kota Im-ciu termasyhur belakangan ini, Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka dia seperti sastrawan lemah yang berusia tiga puluh tahunan, namun merupakan seorang pendekar yang disegani orang. Thia Leng-juan menjura, kemudian katanya, "Kocuangsu tak perlu sungkan, persoalan yang dipesankan Ku-lo Sinceng tentunya telah Ko-heng pahami bukan?" "Ya, aku siap menunggu perintah Thia-tayhiap."
201
Pendekar Cacat
"Ku-lo Sinceng berpesan agar kita bekerja sama dengan Ho-tayhengcu untuk bersama-sama menaklukkan Samkaucu Put-gwa-cin-kau, Ku-lo Sinceng juga berpesan agar gempuran ini harus berhasil, tak boleh gagal, itulah sebabnya kita perlu merundingkan suatu cara untuk menghadapi dirinya." "Apakah Thia-tayhiap sudah mengatur persiapan?"
Im-ciu-tay-ji-hiap Thia Leng-juan mendongak memandang cuaca, lalu katanya, "Menjelang tengah malam masih ada satu jam, tak ada salahnya kita naik dahulu ke atas pagoda dan berunding di sana, sambari berunding kita pun bisa mengawasi gerak-gerik di sekeliling tempat itu dengan jelas." "Ucapan Thia-tayhiap memang benar."
Seusai berkata, mereka berdua segera berjalan menuju ke arah pagoda itu. "Mari kita berada di sebelah kiri pagoda saja," ajak Thia Leng-juan kemudian. Selesai berkata dia melompat naik ke atas lebih dahulu. Lompatannya mencapai empat depa tingginya, lalu tampak Thia Leng-juan berjumpalitan sekali dan tangan
202
Pendekar Cacat
kanan menekan di atas atap rumah pagoda tingkat empat. Dengan meminjam tenaga tekanan itulah tubuhnya seenteng bulu melayang kembali tiga depa dan melayang turun pada tingkat teratas. Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna itu segera menimbulkan rasa kagum Bong Thian-gak, dengan cepat dia ikut menyusul dari belakang, namun naik setingkat demi setingkat.
Gerakan tubuh yang digunakan pemuda itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa, hanya dalam beberapa kejap saja Bong Thian-gak pun sudah tiba pula di puncak pagoda itu. Thia Leng-juan agak tertegun melihat kepandaiannya itu sehingga tanpa terasa tegurnya, "Ko-heng, apakah ilmu meringankan tubuh yang kau gunakan itu adalah Im-tipeng (Lari di awan)?" Bong Thian-gak tersenyum, "Masih selisih jauh, belum berhasil mencapai ilmu lari di awan, harap Thia-tayhiap jangan menertawakan."
Walaupun dari Ku-lo Sinceng Thia Leng-juan sudah mendengar ilmu silat Bong Thian-gak lihai sekali, tapi
203
Pendekar Cacat
waktu berjumpa dengan Bong Thian-gak untuk pertama kalinya tadi, sedikit banyak timbul juga rasa tak percaya di dalam hatinya. Tapi sekarang setelah menyaksikan dia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang bergitu hebat, baru ia terperanjat. "Ternyata pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian amat tangguh," dia berpikir. "Sudah jelas ilmu Im-ti-peng yang digunakan barusan sudah mencapai tingkatan yang amat sempurna, dari tingkatan ilmu meringankan tubuhnya itu seandainya dia mau melompat mungkin sekali lompat saja dapat mencapai ketinggian empat depa!"
Berpikir sampai di situ, dia lantas berkata sambil tertawa ringan, "Ko-heng bisa merahasiakan kelihaian, sungguh luar biasa, tampaknya Ku-lo Sinceng memang tak salah memilih." "Pujian Thia-tayhiap benar-benar membuat aku malu sendiri." Thia Leng-juan tertawa. "Ko-heng, mari kita duduk di atas wuwungan saja," ajaknya kemudian.
Mereka berdua pun duduk saling berhadapan.
204
Pendekar Cacat
"Thia-tayhiap," ujar Bong Thian-gak kemudian, "Samkaucu adalah seorang licik bagai rase, seandainya dia mengetahui titik kelemahan dalam rencana kita ini, mungkin dia tidak datang bersama Ho-bengcu, apa yang harus kita lakukan?" "Rencana untuk menyingkirkan Sam-kaucu merupakan rencana yang ditetapkan Ku-lo Sinceng semalam, hanya Ho-bengcu, Ko-heng dan aku saja yang mengetahui rencana ini, jadi aku pikir tak mungkin rahasia ini bocor, Ho-bengcu sendiri pun tak mungkin membocorkan rahasia itu, jadi menurut pendapatku, yang perlu kita kuatirkan sekarang adalah seandainya Sam-kaucu berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri."
"Walaupun ilmu silat Sam-kaucu sangat lihai, namun Hobengcu sendiri pun bukan orang sembarangan, apalagi dibantu Thia-tayhiap, aku pikir sekali pun musuh adalah makhluk berkepala tiga berlengan enam belum tentu sanggup mempertahankan diri." Thia Leng-juan manggut-manggut, ujarnya pula, "Ya, semoga saja sesuatunya berjalan lancar, kalau tidak, entah bagaimana akibatnya? Cuma untuk menjaga segala hal yang tidak diinginkan, kita perlu merundingkan sesuatu rencana yang matang untuk menghadapi lawan."
205
Pendekar Cacat
"Ya, memang seharusnya begitu," Bong Thian-gak mengangguk.
Thia Leng-juan termenung beberapa saat, ujarnya kembali, "Sebentar bila Ho-bengcu dan Sam-kaucu tiba di pagoda Leng-im-po-tah nanti, Ho-bengcu akan membuka kartu Sam-kaucu dan membongkar rahasia lawan, maka pertarungan pasti segara berkobar, seandainya Ho-bengcu tidak sanggup mempertahankan diri, saat itulah aku akan terjun ke dalam arena untuk bersama-sama mengembut Sam-kaucu, sedang Ko-heng bertanggung jawab menghadang musuh yang mencoba melarikan diri, atau seandainya aku dan Ho-bengcu tidak sanggup mempertahankan diri dari gempuran lawan, harap Ko-heng segera tampil dan ikut terjun ke dalam pengerubutan itu." "Thia-tayhiap, aku ingin bertukar tugas dengan dirimu, apakah kau bersedia?" "Ya, begitu pun boleh juga."
"Bila Sam-kaucu sudah sampai di sini nanti, aku ingin segera muncul dan bertarung dengannya jauh sebelum Ho-bengcu bertarung lebih dahulu dengannya, karena Ho Put-ciang adalah seorang Bengcu dunia persilatan, tidak baik jika dia dibiarkan bertempur begitu saja."
206
Pendekar Cacat
Thia Leng-juan memanggut, "Perkataan Ko-heng memang benar, cuma hal ini akan merepotkan dirimu!"
Bong Thian-gak tersenyum, "Aku ada dendam kesumat sedalam lautan dengan Put-gwa-cin-kau, merupakan musuh besarku pula, maka aku telah bertekad membasmi mereka sampai ke akar-akarnya." "Ko-heng, sekarang harap kau periksa dulu sekeliling tempat ini, kemudian pilihlah tempat untuk menyembunyikan diri, sampai saat ini waktu yang dijanjikan tinggal tiga perempat jam saja."
"Menurut pendapatku, Thia-tayhiap lebih baik berjaga di sini saja, perlu diketahui, seandainya Sam-kaucu melarikan diri, kemungkinan hesar dia akan memilih ruang kosong, maka andaikata dia kabur menuju ke arah tiga bagian dari pagoda lainnya, aku akan mencegatnya dari sebelah kanan pagoda, kita perlu berebut waktu dengannya."
Thia Leng-juan memanggut, "Penjelasan Ko-heng memang tepat, aku yakin Sam-kaucu tak akan bisa lolos dari cengkeraman kita."
207
Pendekar Cacat
"Sekarang saatnya sudah hampir tiba, mumpung mereka belum datang, aku harus bersembunyi dulu di sebelah kanan pagoda daripada Sam-kaucu melihat jejak kita dari kejauhan." Selesai berkata dia lantas melompat turun dan menggelinding ke arah belakang, kemudian bergerak menuju ke sebelah kanan pagoda dan duduk bersila di balik kegelapan di depan pagoda itu. Thia Leng-juan yang berada di atas secara lamat-lamat dapat menyaksikan bayangan tubuh Bong Thian-gak.
Sementara itu suasana di sekeliling tempat itu amat sepi, malam itu tiada rembulan, hanya bintang yang bertaburan di angkasa, seluruh jagad hanya dikilapi oleh setitik sinar. Walaupun waktu bergerak amat lambat, akhirnya tengah malam menjelang juga. Mendadak Bong Thian-gak mendengar ada suara orang berjalan di atas tanah di kejauhan sana. Dengan cepat dia membuka mata, tak lama kemudian dari depan pintu pagoda muncul dua sosok bayangan orang. Orang yang berada di sebelah depan mengenakan jubah berwarna abu-abu dengan sebuah tasbih tergantung di
208
Pendekar Cacat
depan dada, tangan kanan menggenggam sebuah kebutan. Tak bisa disangkal lagi, dia adalah Sam-kaucu Put-gwacin-kau yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio.
Di belakangnya mengikut seorang lelaki setengah umur yang berbadan kekar, Bong Thian-gak dapat mengenali sebagai Toa-suhengnya, si Busur raja lalim Ho Put-ciang. Tampaknya Ho Put-ciang sudah menyusun suatu rencana yang masak, maka begitu masuk ke dalam pintu, dia segera memperlambat gerak tubuhnya untuk mencegat jalan pergi Hwesio gadungan itu. Ternyata Sam-kaucu cukup cekatan, setelah maju beberapa langkah, mendadak dia berhenti sambari membalik tubuh, lalu menegur, "Ho-hiantit, ada urusan apa kau mengajak Pinceng kemari?"
Sebelum Ho Put-ciang sempat menjawab, dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke arah mereka, sahutnya, "Ho-bengcu sengaja mengajakmu kemari untuk bertemu denganku." Ketika selesai berkata, Bong Thian-gak sudah berada beberapa kaki saja di hadapan Sam-kaucu.
209
Pendekar Cacat
Sam-kaucu yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio nampak agak tertegun, kemudian serunya, "Oh, rupanya Ko-sicu, Pinceng dan Ho-bengcu memang sedang mencarimu."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Samkaucu kau tak usah berlagak sok alim lagi, Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si belum wafat, malam ini ada baiknya kalau kau memperlihatkan wajah aslimu, daripada harus merasakan siksaan hidup." Beberapa patah perkataannya membuat paras muka Sam-kaucu berubah hebat, tanpa terasa dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Ho Put-ciang, dengan cepat dia merasa gelagat tak menguntungkan.
Walaupun begitu, dia masih bersikap tenang, katanya dengan suara lembut, "Ko Hong apa kau katakan? Pinceng sedikit pun tidak mengerti...." "Sam-kaucu," saat itulah Ho Put-ciang buka suara. "Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan, kami pun belum tentu akan membunuhmu, tentang penyaruanmu sebagai Ku-lo Sinceng, sudah lama aku orang she Ho mengetahuinya."
210
Pendekar Cacat
Sekarang Sam-kaucu sadar bahwa rahasianya sudah terbongkar dan kini terperangkap dalam jebakan orang. Tapi nampaknya dia sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap dua jago lihai yang berada di hadapannya sekarang, dengan tenang dia tertawa seram, "Hehehe, bagus sekali!" "Aku tahu, cepat atau lambat akhirnya kita bakal bentrok juga, Kaucu memang ditugaskan untuk memusnahkan persekutuan dunia persilatan, untuk mewujudkan tugasku ini, terpaksa harus menghabisi pemimpinnya lebih dahulu." "Sam-kaucu, dengar baik-baik, siapa Cong-kaucu Putgwa-cin-kau?" bentak Ho Put-ciang dengan suara kereng.
Sam-kaucu tertawa seram, "Tanyakan sendiri kepada raja akhirat, dia pasti akan memberitahukan semua itu kepadamu." Ho Put-ciang kembali mengerut dahi, "Urusan sudah begini, siapakah kau masih tetap belum sadar? Malam ini kami sengaja membuka kartu, karena kami telah bertekad akan membinasakan kau, tak nanti kami izinkan kau melarikan diri, bila kau bersedia bekerja sama, mungkin aku masih dapat mempertimbangkan mengampuni jiwamu."
211
Pendekar Cacat
"Hm, hanya mengandalkan kekuatan kalian berdua?" jengek Sam-kaucu sinis. "Aku rasa kemampuan kalian masih belum cukup untuk mengendalikan gerak-gerik serta kebebasanku." Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, mana, mana, tak ada salahnya kita mencoba kemampuan masing-masing."
Sementara itu sepasang mata Sam-kaucu yang tajam memandang sekejap ke empat penjuru dengan cepat, dari perubahan wajahnya jelas dia tidak berhasil menemukan bayangan orang lain. Sekali lagi Ho Put-ciang membentak dengan suara keras, "Siapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau? Ayo cepat jawab." "Bila kalian mengetahui namanya berarti kalian tak bisa hidup melewati kentongan kelima, lebih baik tak usah disebut," jawab Sam-kaucu hambar.
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hehehe, aku justru tidak percaya dengan segala takhayul, ayo katakan saja!" Dengan sepasang matanya yang tajam, Sam-kaucu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya, "Dasar ilmu silat yang kau miliki amat sempurna, sebenarnya Kaucu pun bermaksud
212
Pendekar Cacat
mengajakmu bergabung dengan perkumpulan kami dan memangku kedudukan tinggi, sekarang kau masih punya waktu untuk mempertimbangkan tawaranku ini, jangan kau sia-siakan kesempatan baik ini."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, semalam aku sudah mengetahui hal ini dari mulut seorang pelindung hukum Sam-kaucu, Jit-kaucu juga telah menyinggung masalah itu kepadaku, tapi aku menampik tawaran ini, karena aku ingin mengetahui siapa orang yang berhak memerintah diriku." Paras muka Sam-kaucu segera berubah menjadi dingin dan kaku, katanya kemudian, "Tampaknya banyak rahasia perkumpulan kami yang telah kau ketahui, bila kau tidak bersedia bergabung dengan kami, berarti hanya ada jalan kematian untukmu." "Mengapa kau tidak menguatirkan keselamatanmu sendiri?" "Tidak sampai setengah jam, wilayah seluas sepuluh li di sekitar sini akan dipenuhi oleh anak murid perkumpulan kami, mereka akan mengepung tempat ini secara berlapis-lapis, coba bayangkan, bagaimana caranya kalian meloloskan diri?"
213
Pendekar Cacat
Ketika mendengar ucapan itu, Ho Put-ciang berkerut kening, lalu tegurnya, "Apakah kau tidak berbohong?" Sam-kaucu tertawa, "Tentu saja bukan gertak sambal." "Ho-tayhiap, jangan kau percayai perkataannya itu," Bong Thian-gak berseru lantang. Sam-kaucu terbahak-bahak, "Hahaha, niat untuk berjaga-jaga tak boleh tiada. Ketika aku dan Ho-heng datang kemari tadi, jejak kita sudah dibuntuti anak buah kami secara diam-diam, oleh karena itu kedatanganku ke tempat ini pun tak pernah lolos dari pengamatan mereka. Di sinilah kelebihan Put-gwa-cin-kau, juga kekurangan Put-gwa-cin-kau kami." "Kelebihan dan kekurangan? Apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak tertegun.
"Kelebihannya adalah dapat berkomunikasi terus secara utuh dan tiada putus-putusnya, setiap saat kami bisa mengadakan kontak secara terus-menerus, dapat pula berjaga-jaga agar tidak terperangkap ke dalam jebakan musuh. Kekurangannya adalah tidak adanya perasaan saling percaya mempercayai antara segenap anggota Put-gwa-cin-kau, sehingga mereka harus saling awasmengawasi."
214
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tersenyum, "Put-gwa-cin-kau menggunakan nama Put-gwa atau tiada aku, artinya setiap orang yang bergabung dalam perkumpulan ini, dia harus mempersembahan jiwa dan raganya untuk perkumpulan sehingga mencapai keadaan Tanpa aku' (Put-gwa). Tapi sekarang kau berani melancarkan kritik terhadap prinsip perkumpulan, hal ini membuktikan kau merasa tak puas dengan keadaan itu, kalau memang begitu mengapa kau tak memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan jalan sesat dan kembali ke jalan benar?"
Mendengar ucapan itu, paras muka Sam-kaucu berubah hebat. "Tutup mulut!" bentaknya keras. "Kini kedudukanku adalah Sam-kaucu dalam Put-gwa-cin-kau, kedudukanku amat tinggi dan menguasai segenap jago persilatan, kekuasaanku hanya di bawah satu orang tapi di atas laksaan orang, aku pun memegang hak hidup banyak orang, siapa hilang aku tidak puas?" "Bila demikian, terpaksa kami harus turun tangan." Selesai berkata, Bong Thian-gak segera turun tangan, sepasang telapak tangannya secepat kilat meluncur ke depan melepas pukulan dahsyat. Dimana serangan ini dilepaskan, segulung angin tajam yang menggiriskan dengan membawa deru angin yang
215
Pendekar Cacat
mengerikan, bagaikan amukan gelombang dahsyat segera meluncur dan menyapu ke tubuh lawan.
Serangan Bong Thian-gak dilancarkan secepat sambaran petir, bahkan sebelumnya tidak pernah memperlihatkan suatu gejala apa pun, bagaimana pun lihai dan liciknya Sam-kaucu, tidak urung dibikin kelabakan juga oleh datangnya ancaman itu. Menanti Sam-kaucu menyadari datangnya bahaya, angin pukulan yang kuat bagaikan baja itu secepat petir sudah menekan tiba. Menghadapi situasi seperti ini, terpaksa dia harus menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan keras.
Diiringi suara bentakan nyaring, Sam-kaucu segera merangkap sepasang telapak tangannya di depan dada, kemudian bersama-sama dilontarkan ke depan. Suara ledakan keras yang memekakkan berkumandang memecah keheningan.
telinga
Tubuh Sam-kaucu mencelat ke tengah udara melewati kepala Bong Thian-gak dan seperti seekor burung bangau langsung kabur ke atas pagoda.
216
Pendekar Cacat
Tampak Bong Thian-gak seperti sudah menduga pihak lawan akan memanfaatkan datangnya angin pukulan itu untuk melejit ke tengah udara dan melarikan diri. Entah sedari kapan, tahu-tahu dalam genggaman Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebilah pedang yang memancarkan cahaya tajam berkilauan. Tampak cahaya pelangi hawa pedang secepat petir mengejar ke atas, lalu diiringi suara dentingan nyaring terciptalah beribu bayangan pedang yang segera menyebar ke empat penjuru.
Terkurung oleh cahaya pedang itu, tubuh Sam-kaucu yang sedang melejit ke udara itu segera berputar balik dan melayang turun ke bawah. Cahaya pelangi segera sirap dan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah menghadang di depan Samkaucu. Paras muka Sam-kaucu kini diliputi perasaan kaget bercampur tercengang, sepasang matanya tanpa berkedip mengawasi wajah Bong Thian-gak, mungkin keampuhan dan kelihaian ilmu silat Bong Thian-gak sama sekali di luar dugaannya.
217
Pendekar Cacat
Selama hidup belum pernah dia menjumpai suasana tegang, seram dan terancam keselamatan jiwanya seperti apa yang dialaminya hari ini. Semenjak gempuran kekerasan itu disambut dengan keras lawan keras, dia sadar tenaga dalam musuh masih tiga bagian lebih tangguh daripada kemampuan sendiri, terutama serangan pedangnya yang amat lihai itu, kalau tadi dia tidak berkelit dengan cepat, niscaya dia sudah keok sejak tadi.
Bukan itu saja, di situ masih hadir Ho Put-ciang yang sudah diketahui ketangguhan ilmu silatnya. Bagaimana caranya meloloskan diri dari situasi yang berbahaya ini? Berbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya. Tentu saja Bong Thian-gak tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir, kembali dia bergerak melancarkan serangan dahsyat. Pelan-pelan pedangnya digetarkan, lalu ditujukan ke arah jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh Sam-kaucu.
Sepintas serangan pedang itu nampaknya amat sederhana dan seakan-akan tidak disertai tenaga,
218
Pendekar Cacat
padahal di balik semua itu tersimpan suatu perubahan jurus yang amat jahat, perubahan yang tak terhingga banyaknya. Sam-kaucu bukan manusia sembarangan, tentu saja dia tahu ancaman itu amat serius, maka setelah menyaksikan gerakan itu, dia segera berdiri kaku sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Melihat musuh tidak terpancing oleh jurus pedangnya, maka dia lantas mengubah gerakan dan melepaskan tusukan secepat kilat. Hawa tajam memancar ke depan, bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sam-kaucu itu sudah meloloskan diri dari ancaman lawan. Bong Thian-gak memang memiliki ilmu silat yang mengerikan, begitu jurus serangan dilancarkan, semua dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, di antara perputaran pergelangan tangannya, hawa pedang menderu-deru, ia melancarkan serangkaian serangan ke atas maupun ke bawah.
Sam-kaucu yang kena didahului lawan jangankan melancarkan serangan balasan, untuk menghindarkan
219
Pendekar Cacat
diri dari babatan pedang musuh pun sulit bukan kepalang. Tampak dia merangkap telapak tangan di depan dada, lalu menggenggam tasbih di lehernya, berkelit ke kiri menghindar ke kanan, secara beruntun dia sudah meloloskan diri dari ketiga belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak. Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah bergebrak belasan jurus, hal ini membuat Ho Put-ciang dan pendekar sastrawan Thia Leng-juan yang bersembunyi di balik pagoda merasa terperanjat.
Mereka berdua merasa kelihaian ilmu pedang Bong Thian-gak pada hakikatnya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, sebaliknya Sam-kaucu pun merupakan musuh tangguh yang tak boleh dianggap remeh. Sementara kedua orang masih bertarung dengan serunya, dari sisi pinggangnya Ho Put-ciang telah melolos busur besi baja andalannya, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Tatkala dia menyaksikan ketujuh belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak semuanya mengenai sasaran kosong, tanpa terasa ia berteriak nyaring, "Ko-siauhiap, apakah kau memerlukan bantuan?"
220
Pendekar Cacat
Ho Put-ciang kuatir Bong Thian-gak tak senang bila dibantu orang, maka hingga kini dia belum turun tangan. Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak segera menyahut dengan suara lantang, "Ho-bengcu, silakan turun tangan, kita harus berlomba dengan waktu menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin."
Menggunakan kesempatan di saat Bong Thian-gak bicara hingga pikirannya bercabang, Sam-kaucu tertawa seram, tasbihnya diayunkan ke depan. Seratus delapan biji tasbih bagai peluru besi segera berhamburan di angkasa dan bersama-sama menyambar ke tubuh Bong Thian-gak. Serangan senjata rahasia yang amat dahsyat itu benarbenar luar biasa, betapa pun lihai ilmu silat seseorang, sulit rasanya untuk menghindarkan diri dari sergapan seratus delapan biji tasbih yang dilepaskan dari jarak dekat. Tak terlukiskan rasa kaget Ho Put-ciang melihat keadaan itu, segera teriaknya, "Ko-siauhiap ...." Selanjutnya dia membungkam, namun panah baja tanpa bulu yang sudah disiapkan di busurnya serentak dibidikkan ke depan.
221
Pendekar Cacat
Busur Pa-ong-cian Ho Put-ciang termasyhur di kolong langit sebagai salah satu kepandaian yang tangguh di dunia ini, begitu panah dibidikkan, sulit bagi orang menangkap bayangannya, kecepatannya pun sukar dilukiskan dengan kata-kata. Begitu melepaskan serangan biji tasbih tadi, Sam-kaucu mengegos ke sebelah kanan dengan gerakan cepat, tapi kelitannya itu belum berhasil juga meloloskan diri dari ancaman Pa-ong-cian Ho Put-ciang.
Dengusan tertahan segera berkumandang memecah keheningan, panah baja tanpa bulu yang kuat itu menyambar pinggang sebelah kiri Sam-kaucu hingga tembus pinggang bagian depan, darah segar segera menyembur membasahi seluruh jubahnya. Kendati bidikan panah itu tidak mengenai bagian tubuh yang mematikan, namun cukup membuat Sam-kaucu terluka parah.
Di saat Sam-kaucu mendengus tertahan itulah bahu kiri Bong Thian-gak juga kena terhajar oleh dua biji tasbih sehingga tembus ke dalam, darah muncrat, pedang di tangan kanannya juga kena terhajar tiga biji tasbih hingga terlepas dan mencelat jauh.
222
Pendekar Cacat
Menyaksikan Bong Thian-gak terancam bahaya maut, buru-buru Ho Put-ciang berseru, "Ko-siauhiap, bagaimana keadaan lukamu?" "Ho-bengcu, aku tidak apa-apa, cepat halangi musuh melarikan diri," bentak Bong Thian-gak cepat.
Ternyata pada saat itulah Sam-kaucu sudah melejit ke tengah udara, lantas kabur menuju ke arah sebelah kiri pagoda. Pada saat itulah Thia Leng-juan yang bersembunyi di sebelah kiri pagoda segera berpekik nyaring, secepat kilat dia menerjang turun ke bawah dan menyongsong kedatangan Sam-kaucu. Mimpi pun Sam-kaucu tidak menyangka seorang musuh tangguh yang sembunyi di atas pagoda, padahal tadi ia sudah memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu, maka di saat keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dia harus melancarkan serangan sekuat tenaga. Tampak Sam-kaucu meletik di tengah udara, kemudian sepasang telapak tangannya didorong ke depan melepaskan pula dua pukulan maha dahsyat. Empat gulung angin pukulan maha dahsyat diiringi suara ledakan yang memekakkan telinga saling bentur.
223
Pendekar Cacat
Untuk kedua kalinya Sam-kaucu mendengus tertahan, tubuhnya bagai layang-layang putus benang meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi. Sebaliknya Thia Leng-juan sendiri pun merasa hawa darah di dalam dada bergolak keras akibat benturan yang maha dahsyat itu, tanpa terasa dia berjumpalitan beberapa kali di tengah udara.
Ketika tubuh Sam-kaucu terjun ke bawah tadi, ternyata sepasang kakinya masih sempat mencapai tanah dengan mantap. Wajahnya menyeringai seram sekali, darah menodai ujung bibirnya, sepasang matanya merah membara, dengan penuh gusar dia melotot ke arah Ho Put-ciang dan Bong Thian-gak yang mulai mengurungnya dari sisi kiri dan kanan. Sementara itu Thia Leng-juan juga telah melayang turun, dia mengambil posisi di belakang Sam-kaucu.
Agaknya Sam-kaucu menyadari jiwanya terancam mara bahaya, bagaimana pun tangguhnya dia, jangan harap bisa lolos dari gencetan dan kerubutan tiga orang jago lihai sekaligus. Tiba-tiba ia mendongakkan kepala, lalu memperdengarkan suara gelak tertawa keras yang
224
Pendekar Cacat
memekakkan telinga, suara tawanya itu amat tak sedap didengar, bagai lolongan srigala di tengah malam buta. Dengan suatu gerakan yang amat cepat Sam-kaucu melejit ke tengah udara, lalu secara ganas menerjang ke arah Bong Thian-gak.
Rupanya dia berpendapat Bong Thian-gak sudah terhajar oleh tasbihnya, berarti dia adalah kunci terlemah di antara ketiga orang itu, maka sekali pun dia harus binasa hari ini, paling tidak dia pun harus membunuh salah seorang lawan untuk mendapatkan kembali modalnya. Itulah sebabnya terjangannya terhadap Bong Thian-gak boleh dibilang dilakukan dengan ganas dan luar biasa.
Tampaknya Ho Put-ciang sudah menduga sejak tadi bahwa Sam¬kaucu bakal menerjang ke arah Bong Thiangak, oleh sebab itu baru saja pihak lawan menggerakkan tubuh, kembali Ho Put-ciang menggetarkan busur bajanya dan melakukan babatan melintang ke depan. Walau Sam-kaucu menyerang seperti banteng terluka, melihat datangnya busur baja yang begitu kuat dan dahsyat, sepasang telapak tangannya segera dibalikkan, lalu mencengkeram busur baja itu.
225
Pendekar Cacat
"Pletaak", iga kiri Sam-kaucu kena terhajar oleh sapuan dahsyat busur baja Ho Put-ciang hingga patah sepotong.
Pada saat itu Sam-kaucu melancarkan serangan balasan yang mematikan, telapak tangan kanannya bagaikan seekor ular sakti langsung membacok ke dada sebelah kiri Ho Put-ciang. Segulung tenaga pukulan tak berwujud menggetarkan tangan Ho Put-ciang sehingga busur besinya terlepas dan badannya terlempar. Begitu berhasil mendesak mundur Ho Put-ciang, dengan langkah lebar Sam-kaucu segera menerjang ke arah Bong Thian-gak, sepasang telapak tangannya disilangkan ke depan dan memancarkan berlapis-lapis angin puyuh disertai kekuatan dahsyat menerjang ke arah depan.
Bong Thian-gak terkesiap menyaksikan jurus serangan mengadu jiwa yang digunakan Sam-kaucu, tapi Bong Thian-gak yang pada dasarnya keras kepala tak sudi menyerah begitu saja. Dia tahu musuh sudah nekat dan ancamannya tak boleh disambut dengan kekerasan, namun dia bukannya berkelit, sebaliknya malah memutar sepasang telapak tangannya membentuk satu jalur sinar berbentuk busur, lalu menyongsong datangnya ancaman itu.
226
Pendekar Cacat
Benturan keras lawan ini tampaknya merupakan saat paling sial bagi Sam-kaucu.
Keunggulan Bong Thian-gak justru terletak pada permainan telapak tangannya, apalagi serangan itu dilepaskan dengan tenaga pukulan maha dahsyat, pada hakikatnya bagaikan amukan gelombang dahsyat di tengah samudra yang sedang dilanda angin puyuh. Dalam bentrokan keras yang pertama ini kedua belah pihak sama-sama tetap berdiri tegak tanpa berkutik. Tatkala benturan keras terjadi untuk kedua kalinya, kedua belah pihak sama-sama mundur tiga langkah.
Ketika untuk ketiga kalinya mereka akan beradu kekuatan. Mendadak Sam-kaucu menyilangkan tangan kiri dan kanannya membentuk gerakan salib, lalu pelan-pelan didorong ke depan. Sebaliknya Bong Thian-gak membentak keras, tangan kanannya setengah mengepal seperti bacokan seperti juga pukulan langsung diayun ke depan.
227
Pendekar Cacat
Dengusan tertahan bergema, dengan tubuh sempoyongan Bong Thian-gak mundur lima langkah, mukanya pucat, tubuhnya langsung jatuh terduduk di atas tanah. Sebaliknya Sam-kaucu masih tetap berdiri tegak, sepasang telapak tangannya yang membuat gerakan salib masih belum sempat ditarik, sementara sepasang matanya melotot bulat seperti mata kerbau.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan kejadian ini bersama-sama membentak keras, lalu serentak menubruk ke muka, bekerja sama menyerang Sam-kaucu. Siapa tahu baru saja tubuh mereka menerjang ke depan dan belum lagi melancarkan serangan, tubuh Sam-kaucu yang masih berdiri tegak tak berkutik itu tahu-tahu roboh terjungkal ke tanah dalam posisi kaku. Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan baru sempat melihat noda darah yang membasahi wajah, kulit dan lengan Sam-kaucu, darah kental seakan memancar keluar dari beribu-ribu pori kulit badannya.
Kenyataan ini kontan membuat kedua orang itu tertegun, siapa pun tidak menyangka Sam-kaucu
228
Pendekar Cacat
menemui ajal di tangan Bong Thian-gak dalam bentrokan yang terakhir tadi. Kepandaian silat apakah yang telah dipergunakan Bong Thian-gak dalam melancarkan serangannya itu? Mengapa dia bisa menghajar tubuh Sam-kaucu hingga darah segar memancar dari pori-pori badannya? Walaupun pertempuran sengit telah berhenti, tapi keseraman pertarungan itu menggidikkan hati, kenekatan dan keberanian Sam-kaucu bertarung sampai titik darah penghabisan membuat hati mereka menciut. Akhirnya suara helaan napas panjang berkumandang memecah keheningan, pelan-pelan Ho Put-ciang berjalan ke hadapan Bong Thian-gak, kemudian sambil menjura dalam-dalam ia berkata, "Hari ini seandainya tiada bantuan Ko-siauhiap yang berilmu tinggi, mungkin tak akan mudah bagi kami untuk membereskan nyawa Samkaucu, aku orang she Ho benar-benar sangat berterima kasih atas bantuan ini. Entah bagaimana dengan keadaan luka Ko-siauhiap?" Walaupun paras muka Bong Thian-gak pada saat ini pucat-pias seperti mayat, tapi dengan cepat dia melompat bangun, kemudian balas memberi hormat. "Ho-bengcu, harap kau jangan berkata begitu," serunya. "Ai ... sungguh tak pernah kusangka Sam-kaucu Put-gwacin-kau ternyata begini perkasa, seandainya hari ini tiada bantuan Ho-bengcu dan Thia-tayhiap, tak mungkin bagiku bisa menandingi keampuhannya."
229
Pendekar Cacat
Ucapan itu segera membuat paras muka semua orang berubah serius, kemurungan dan kesedihan pun menyelimuti wajah mereka. Keperkasaan Sam-kaucu telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, kalau Sam-kaucu saja begini tangguh, dapat dibayangkan bagaimana tangguhnya Kaucu-kaucu lain, hal ini merupakan ancaman serius bagi keamanan serta keselamatan dunia persilatan. Thia Leng-juan tertawa getir, kemudian katanya, "Akhirnya rencana kita pada hari ini berhasil dilaksanakan dengan sukses, apakah Ho-bengcu menghendaki kepunahan jenazah Sam-kaucu?" "Ya, tolong Thia-heng suka mengerjakannya." Dari dalam saku Thia Leng-juan mengeluarkan sebuah botol kecil porselen putih, lalu membuka tutupnya dan menaburkan sedikit bubuk hijau di atas mayat itu. Baik Ho Put-ciang maupun Bong Thian-gak keduanya tahu di Bu-lim terdapat semacam obat yang dinamakan Siau-kut-hua-si-san (Bubuk pelenyap tulang pelumat jenazah), maka mereka tak memberikan reaksi apa-apa. Setelah Thia Leng-juan menaburkan bubuk obat itu ke atas jenazah Sam kaucu, tak lama kemudian jenazah Sam-kaucu yang kaku mulai melumat lalu menyusut. Mayat telah melumat menjadi segumpal darah, yang tersisa hnggal kuku, rambut dan pakaian.
230
Pendekar Cacat
Kedahsyatan mengerikan.
daya
kerja
obat
itu
benar-benar
Setelah melumerkan jenazah Sam-kaucu, Thia Leng-juan segera membakar pakaian dan benda lainnya hingga tak berbekas. Thia Leng-juan menghela napas panjang, katanya, "Sekarang Sam¬kaucu sudah dimusnahkan, tapi kita belum berhasil mengumpulkan sedikit pun bahan tentang Put-gwa-cin-kau, apakah kita akan tetap melanjutkan rencana menyelundupkan Ku-lo Locianpwe menggantikan kedudukan Sam-kaucu?" "Soal ini perlu kita pertimbangkan lagi masak-masak," jawab Ho Put-ciang dengan suara dalam, "Kini Ku-lo Locianpwe sudah berada dalam gedung Bu-lim Bengcu, apa salahnya kita berunding di sana?" "Aku tidak setuju bila harus mengirim Ku-lo Locianpwe memasuki Put-gwa-cin-kau, sebab tindakan semacam ini terlampau berbahaya," tiba-tiba Bong Thian-gak berseru dengan suara lantang. "Mengapa Ko-heng tidak setuju?" "Seandainya Ku-lo Locianpwe harus menyaru sebagai Sam-kaucu dan menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau, maka cepat atau lambat jejaknya tentu akan ketahuan, bisa jadi jiwanya akan terancam malah, cuma kita boleh saja membiarkan Sinceng berada dalam gedung untuk sementara waktu, agar ia berhubungan terus dengan
231
Pendekar Cacat
mata-mata musuh yang menyelundup dalam gedung Bengcu, dengan demikian kita bisa melanjutkan usaha menyingkirkan semua mata-mata yang berada dalam gedung itu." "Asal semua mata-mata dalam gedung Bu-lim Bengcu berhasil dimusnahkan, kita pun boleh secara terangterangan menantang Put-gwa-cin-kau untuk menyelesaikan persoalan secara kekerasan." Ho Put-ciang manggut-manggut, "Pendapat Ko-siauhiap memang bagus, kita memang harus bertindak lebih dulu, cuma Ku-lo Locianpwe mengatakan, kita hanya sedikit tahu hal yang ada sangkut-pautnya dengan Put-gwa-cinkau, seandainya Put-gwa-cin-kau segera menarik kekuatannya, maka umat persilatan di daratan Tionggoan pun akan kehilangan titik terang." Bong Thian-gak tersenyum, "Rencana Put-gwa-cin-kau menguasai dunia persilatan dan menteror umat persilatan akan dipersiapkan dalam satu dua hari, tak mungkin mereka menarik seluruh pasukannya hanya karena kematian Sam-kaucu mereka yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu sebagai matamata, menurut perhitunganku, justru karena peristiwa ini Put-gwa-cin-kau akan mempercepat rencana melakukan serangan secara terang-terangan." "Apa yang diucapkan Ko-heng memang masuk akal," kata Thia Leng-juan, "tapi menurut pendapatku, persoalan paling penting yang harus kita lakukan sekarang adalah membersihkan dulu gedung Bengcu
232
Pendekar Cacat
dari unsur-unsur lawan serta mata-mata yang sengaja diselundupkan ke pihak kita, mari kita bergerak dulu ke persoalan itu." Mendadak Ho Put-ciang seperti teringat akan sesuatu, dia berseru tertahan, "Sebelum tewas Sam-kaucu telah berkata bahwa anggota Put-gwa-cin-kau selalu menguntit di belakangnya untuk memperoleh berita, entah ucapannya itu benar atau tidak?" "Tadi aku bersembunyi di atas pagoda, dari ketinggian aku bisa memperhatikan semua gerakan di seputar tempat ini dengan jelas, tadi aku tidak menjumpai adanya bayangan orang di sekeliling tempat ini." "Aku rasa apa yang dikatakan Sam-kaucu tadi tak lebih hanya bermaksud mengulur waktu saja sambil mencari akal untuk meloloskan diri, Ho-bengcu, buat apa kau terus memikirkan persoalan itu?" kata Bong Thian-gak pula sambil tertawa. "Orang-orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau merupakan kawanan orang yang tangguh, tiada lubang yang tak bisa mereka terobos, lagi pula gerak-gerik mereka amat rahasia, membuat hati orang bergidik, sebelum aku dan dia datang kemari, telah kuperhatikan di sekeliling tempat itu tiada orang yang menguntit, ya, mungkin saja dia hanya menggertak saja." Siapa tahu baru saja dia selesai berkata, mendadak terdengar Bong Thian-gak berkata dengan ilmu menyampaikan suara dengan nada gelisah sekali, "Aduh
233
Pendekar Cacat
celaka! Ternyata benar-benar ada musuh yang menguntit sampai di sini, kini di sisi kiri tingkat keempat pagoda itu terdapat seorang musuh yang menyembunyikan diri, sekarang lebih baik kita jangan bersuara dulu, secepatnya mengundurkan diri dari sini, kemudian balik lagi dengan posisi segi tiga dan kepung orang itu rapat-rapat, jangan biarkan musuh meloloskan diri." Ucapan ini kontan saja membuat Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang terperanjat, kedua orang ini pun tidak berani celingukan memeriksa keadaan. Sementara mereka berpikir, Bong Thian-gak berkata lagi dengan suara nyaring, "Ho-bengcu, sekarang sudah siang, kita harus segera kembali ke gedung Bu-lim Bengcu!" "Mari kita berangkat!" seru Thia Leng-juan dan Ho Putciang bersama-sama. ***
234
Pendekar Cacat
4 TAT MO KHI-KANG DARI KU LO SINCENG
M
ereka bertiga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan keluar dari pintu pagoda dengan cepat, setelah itu menjauh dengan kecepatan tinggi. Setelah cukup jauh, Thia Leng-juan baru berani bertanya dengan nada cemas, "Ko-heng, benarkah ada jejak musuh?" "Ya, pihak lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna, entah sejak kapan ia sudah mendekam di atas pagoda itu, jika tanpa sengaja aku tidak mendongakkan kepala dan menangkap dua titik cahaya putih, tak mungkin kutemukan jejak musuh itu." Ho Put-ciang terperanjat, serunya dengan gelisah, "Wah, kalau begitu kita kan tak bisa melaksanakan langkah berikutnya?"
235
Pendekar Cacat
"Itulah sebabnya bagaimana pun juga kita tak boleh membiarkan orang itu lolos! Sekarang kita harus pergi menjauh setengah li lagi, kemudian serentak berpencar dan balik ke Leng-im-po-tah, usahakan agar mengepung orang itu rapat-rapat."
Sementara itu mereka bertiga sudah berlari sejauh setengah li, mendadak Bong Thian-gak putar badan dan balik ke arah semula dari sudut barat daya. Ho Put-ciang berputar melalui timur laut dan Thia Lengjuan menelusuri jalanan semula. Ginkang ketiga orang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan, maka setengah li perjalanan balik yang mereka tempuh dicapai dalam waktu singkat. Dipimpin oleh Thia Leng-juan, dengan cepatnya mereka sudah balik ke depan pagoda Leng-im-po-tah.
Sedangkan Bong Thian-gak, Ho Put-ciang datang hanya selisih sedikit sekali, mereka menerobos masuk melalui arah barat daya serta timur laut. Di bawah cahaya rembulan, betul juga, di tengah lapangan tampak berdiri sesosok bayangan tubuh yang langsing dan ramping.
236
Pendekar Cacat
Ketika dilihatnya Bong Thian-gak bertiga muncul kembali di situ tanpa menimbulkan sedikit suara pun, wajahnya kelihatan tertegun, peristiwa ini sama sekali di luar dugaannya. Dengan wajah termangu-mangu, dia mengawasi ketiga orang itu berjalan mendekat ke arahnya.
Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan harus mengagumi dan memuji ketajaman mata Bong Thian-gak, sesungguhnya mereka masih setengah percaya mendengar perkataan Bong Thian-gak tadi, namun kenyataannya musuh memang muncul di tempat itu, inilah yang membuat hati mereka terkejut bercampur tercengang.
Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan yang ramping itu tak lain adalah seorang gadis berbaju merah, rambutnya yang disisir kepang dua terurai di belakang bahu, wajahnya bersih, cantik dan usianya antara lima-enam belas tahun, mukanya masih kekanak-kanakan. Menyaksikan kemunculan Ho Put-ciang bertiga, dia gerakkan sepasang matanya yang bulat dan jeli memperhatikan mereka sekejap, sambil tersenyum ujarnya, "Selamat berjumpa Hiapsu bertiga!"
237
Pendekar Cacat
"Selamat berjumpa nona," sahut Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. "Entah karena persoalan apakah kau bersembunyi di tempat kegelapan sebelah kiri pagoda pada tingkat keempat?"
Mendengar pertanyaan itu, nona berbaju merah tertawa, sahutnya, “Engkoh ini betul-betul memiliki ketajaman mata yang mengagumkan, ketika kau sedang melancarkan serangan ketiga untuk membinasakan orang, aku naik ke atas pagoda melalui belakang bangunan." "Nona seorang yang pintar, hari ini kau sampai di sini dan menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu di tangan kami, kau anggota Put-gwa-cin-kau atau bukan, yang jelas kami tak akan membiarkan kau pergi begitu saja dari tempat ini."
Gadis berbaju merah mengedipkan matanya yang bulat besar lalu serunya, "Dengan cara apakah kalian hendak menghadapi diriku?" Sementara itu paras muka Ho Put-ciang telah berubah serius, pelan-pelan dia berkata, "Pertama, kami ingin mengetahui lebih dahulu Siapakah nona dan berasal darimana?"
238
Pendekar Cacat
"Aku she Ni bernama Kiu-yu, rumahku ada di selatan propinsi hamsiok, tak punya ayah dan ibu lagi, hanya ada seorang nenek yang hidup bersamaku." Selain lincah dan genit, gadis ini pun tanpa ragu mengutarakan nama serta asal-usulnya.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan hal ini segera mengerut dahinya rapat-rapat. Hanya Bong Thian-gak seorang yang mengawasi terus gerak-gerik si nona berbaju merah lekat-lekat, sementara mulutnya membungkam. Sekali lagi Ho Put-ciang bertanya, "Siapakah nama nenekmu?" "Hei, banyak amat yang kalian tanyakan," omel gadis berbaju merah. "Nenekku she Kang, setelah kawin dengan kakek, dia bernama Ni-hong!" "Siapa yang mewariskan ilmu silat kepada nona?"
"Wah, wah, wah ... kalian betul-betul cerewet, tahu begini, aku tak akan kemari menonton keramaian."
239
Pendekar Cacat
"Nona Ni, dengarkan baik-baik," kata Ho Put-ciang dengan wajah serius. "Hari ini kau telah terlibat dalam peristiwa ini dan mendatangkan bencana bagi diri sendiri, seandainya kau tidak bersedia menjawab dengan sejujurnya, lebih baik salah membunuh satu orang daripada membiarkan kau pergi begitu saja." "Bukankah kalian jago-jago persilatan yang berjiwa ksatria? Masa kalian akan menganiyaya seorang bocah perempuan seperti aku?"
Pertanyaan yang tajam dan mengena ini kontan saja membuat paras muka Ho Put-ciang tersipu-sipu karena malu, sesaat lamanya dia tak mampu menjawab. Thia Leng-juan menyela, "Sekarang ucapan kami sudah diutarakan cukup jelas, paling baik nona Ni bersedia menjawab dengan sejujurnya." Nona berbaju merah menghela napas sedih, "Ai, sudahlah, anggap saja memang lagi apes, ilmu silat ini kuperoleh dari nenekku, nah, sudah cukup bukan?" Sementara itu hawa membunuh telah menyelimuti seluruh wajah Bong Thian-gak, sambil tertawa dingin serunya, "Nona Ni, kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau, sudahlah lebih baik tak usah berpura-pura lagi!"
240
Pendekar Cacat
Melihat Bong Thian-gak menuduh dengan nada serius dan bersungguh-sungguh, mau tak mau Ho Put-ciang bertanya, "Ko-siauhiap, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?" "Perempuan ini masih muda belia, tapi memiliki keberanian luar biasa, tak mungkin orang biasa memiliki kelebihan seperti apa yang dia miliki itu!" Si nona berbaju merah mendengus dingin, "Hm, kalian bukan setan iblis atau siluman yang berwajah menakutkan? Mengapa aku harus takut kepada kalian?" "Nona bisa tak kuatir terhadap kami, tentu saja karena punya kemampuan yang bisa dijadikan pegangan, tapi bila kau ingin melarikan diri dari sini dengan mudah, aku pikir hal itu akan jauh lebih sukar daripada memanjat ke langit, kalau tak percaya silakan dicoba."
Nona berbaju merah tertawa, "Kau menghendaki aku mengaku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau? Baiklah, kalau begitu kuakui!" "Tentu saja kau anggota Put-gwa-cin-kau, bahkan kedudukanmu di dalam perkumpulan itu pasti amat penting ...." "Darimana kau bisa tahu?" "Semacam perasaan halus!"
241
Pendekar Cacat
Mendadak nona berbaju merah tertawa cekikikan, "Kau telah salah melihat, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau, tetapi aku tahu sedikit mengenai Put-gwa-cin-kau itu." "Apa yang nona Ni ketahui?" buru-buru Ho Put-ciang bertanya. "Aku tahu kalian telah membunuh Sam-kaucu Put-gwa-cinkau dan orang-orang dari Put-gwa-cin-kau tak melepas kalian begitu saja."
Dengan perasaan dongkol bercampur geli, Ho Put-ciang berkata, "Soal ini tak usah kau katakan, kami pun sudah mengetahui dengan amat jelas!" "Kalau kalian telah tahu Put-gwa-cin-kau hendak melancarkan balas dendam, mengapa kalian tidak segera kabur menyelamatkan diri?" Mendadak Bong Thian-gak menukas sambil membentak nyaring, "Tak usah banyak bicara lagi, sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih, pertama ikut bersama kami kembali ke gedung Bengcu atau ingin mampus dibunuh?"
"Membunuh aku? Hm!" nona berbaju merah mendengus dingin. "Tak akan semudah apa yang kau bayangkan, bila tak percaya silakan dicoba sekarang!"
242
Pendekar Cacat
"Baik, kalau begitu sambutlah seranganku!" seru Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Bong Thian-gak bergerak secara aneh dan menerjang ke sisi kanan gadis berbaju merah dengan kecepatan luar biasa, kemudian telapak tangan kirinya secara aneh diayun ke depan langsung menghantam ke wajah gadis berbaju merah itu.
Menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat, nona berbaju merah tak berani ayal, cepat kaki kirinya berputar ke dalam, sementara telapak tangan kanan menyapu keluar langsung membacok urat nadi pergelangan tangan kiri Bong Thian-gak. Agaknya Bong Thian-gak tahu gadis itu memiliki kepandaian silat yang sangat lihai, maka begitu turun tangan jurus-jurus serangan yang dipergunakan diselipi suatu ancaman yang berbahaya.
Sementara itu telapak tangan kirinya disodokkan, membentuk gerakan setengah busur di udara, tangan kirinya seperti ular sakti menerobos melalui lubang kosong di antara tangkisan tangan kanan gadis berbaju merah dan secepat kilat menotok jalan darah Khi-hay-hiat.
243
Pendekar Cacat
Serangan ini selain ganas dan sakti, juga aneh bukan kepalang. Paras muka gadis berbaju merah berubah hebat, kakinya segera memainkan langkah tujuh bintang, dalam waktu singkat dia sudah mundur sejauh beberapa kaki.
Begitu nona berbaju merah mundur, dia sama sekali tak memberi peluang bagi Bong Thian-gak untuk menguasai keadaan lagi, telapak tangannya diayunkan ke depan, kesepuluh jari tangannya dibentangkan dan langsung menyentil ke depan, secara tepat dia menerjang ke muka dan mengancam sepuluh jalan darah penting di tubuh Bong Thian-gak. Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Bong Thian-gak menjerit kaget, tubuhnya segera berkelit ke samping secara aneh, kemudian mundur sejauh tujuhdelapan kaki. "Apakah nona anak murid Mi-tiong-bun?" serunya dengan wajah terperanjat.
Nona berbaju merah tersenyum, "Tadi sewaktu kau melepaskan pukulan untuk membinasakan Sam-kaucu, aku
244
Pendekar Cacat
lihat di balik pukulanmu itu kau sembunyikan juga ilmu sakti dari Mi-tiong-bun yang disebut Tat-lay Lhama Sinkang, kalau begitu kau pun anak murid Mi-tiong-bun dari Tibet?" Bong Thian-gak benar-benar terkejut, segera tanyanya dengan suara dalam, "Sebenarnya nona murid siapa? Cepat utarakan atau aku akan turun tangan keji kepadamu." "Sekali pun kau berhasil mencuri belajar ilmu Tat-lay Lhama Sin-kang dari Mi-tiong-bun, bukan berarti kau pasti dapat membunuhku, buat apa kau mendesak orang terusmenerus?"
Setelah menyaksikan dua gebrakan yang barusan berlangsung dan mendengarkan tanya-jawab kedua orang itu, paras muka Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan berubah hebat. Perlu diketahui, ilmu silat Mi-tiong-bun dari Tibet selamanya hanya diwariskan kepada kaum Lhama, selama ratusan tahun ini mereka tak pernah menurunkan kepandaian itu kepada orang lain. Tapi kenyataan hari ini ada dua orang preman yang dapat mempergunakan ilmu sakti Mi-tiong-bun, tidak heran mereka jadi terperanjat bercampur keheranan.
245
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak sendiri semenjak mengetahui gadis berbaju merah memiliki kepandaian silat ajaran Mi-tiong-bun, paras mukanya segera berubah menjadi serius dan berat. Dalam waktu singkat sepasang tangannya sudah disilangkan di depan pusar, kemudian sambil memejamkan mata rapat-rapat dia berdiri diam. Sebenarnya gadis berbaju merah itu pun bersikap acuh tak acuh, namun setelah menyaksikan cara Bong Thian-gak itu, rasa tegangnya segera menyelimuti wajahnya, cepat telapak tangannya satu di depan yang lain di belakang disilangkan di depan dada, sementara kakinya pun terus bergeser ke arah samping kiri, sementara sorot matanya yang tajam tiada hentinya mengawasi wajah Bong Thiangak.
Dari sikap Bong Thian-gak yang berdiri tegak bagai batu karang, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan segera tahu serangan yang hendak dilancarkan pemuda itu pasti semacam kepandaian sakti yang maha dahsyat. Ketika memandang pula ke arah gadis berbaju merah itu, dia pun telah menghimpun seluruh kekuatan dan tenaganya untuk bersiap sedia, tampaknya dia tahu jurus serangan yang hendak dilepaskan Bong Thian-gak itu merupakan jurus serangan yang menakutkan.
246
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak memejamkan mata, tetapi ia terus mengikuti pergeseran badan si gadis berbaju merah itu, tampaknya dia sudah mengincar korbannya secara jitu dan telak. Suasana tempat itu diliputi keheningan, hawa membunuh yang mengerikan membuat suasana terasa menegangkan. Sepasang kaki nona berbaju merah sudah saling silang, bagaikan siput yang berjalan saja, pelan-pelan dia bergeser menuju ke arah sebelah kiri, wajahnya telah basah oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai.
Tampaknya gerakan semacam itu cukup memeras tenaga maupun pikiran kedua belah pihak. Mendadak terdengar gadis berbaju merah menghela napas sedih, kemudian ujarnya, "Sudahlah, kita tak usah bertarung lebih jauh, aku mengaku kalah saja!" Sembari berkata dia segera menarik kembali sepasang telapak tangannya. Akan tetapi Bong Thian-gak masih tetap memejamkan mata rapat-rapat. Seluruh pikiran, perasaan dan hawa murninya telah terhimpun menjadi satu, dia tak menjawab atau pun bergerak.
247
Pendekar Cacat
Menyaksikan keadaan itu, paras nona berbaju merah itu berubah hebat, tampaknya dia terkejut bercampur takut, segera serunya lagi, "Untuk bertanding, biasanya orang hanya membatasi sampai saling menutul saja, apakah kau baru puas setelah membinasakan diriku?"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang mendengar perkataan itu mengerut dahinya rapat-rapat, mereka berdua saling pandang sekejap, kemudian bibir bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu diurungkan. Keadaan Bong Thian-gak waktu itu tak jauh berbeda dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi dan lupa segala-galanya, dia seperti tidak mendengar perkataan gadis berbaju merah itu. Melihat hal itu, nona berbaju merah terkejut bercampur gugup, mendadak saking gelisahnya, dia langsung menangis tersedu-sedu, serunya dengan suara iba, "Kau jangan membunuh aku, kau jangan membunuh diriku ... cepat kau tarik kembali seranganmu itu ...."
Perubahan ini membuat Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bingung setengah mati, "Benarkah Bong Thian-gak hendak membunuhnya? Sekali pun nona ini adalah anggota Putgwa-cin-kau, tidak seharusnya dia membinasakan dirinya?
248
Pendekar Cacat
Isak tangis nona berbaju merah makin memilukan, bagaimana pun juga suara tangisan gadis cilik memang gampang membangkitkan perasaan iba orang lain. Siapa pun yang menyaksikan kejadian ini, lambat-laun hatinya akan menjadi lembek juga.
Akhirnya Ho Put-ciang menghela napas panjang, serunya, "Ko-siauhiap, tariklah kembali ilmumu itu!" Ketika mendengar suara Ho Put-ciang itulah Bong Thian-gak membuka kembali sepasang matanya. Tapi di saat yang sangat singkat itulah mendadak nona berbaju merah melejit ke tengah udara, kemudian dengan gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat dia berkelebat melalui atas kepala Thia Leng-juan dan melarikan diri dari situ.
Bong Thian-gak membentak, sepasang telapak tangannya dari kiri kanan segera diayun ke tengah udara melepaskan pukulan dahsyat. Terasa segulung angin lembut berhembus, tahu-tahu gadis berbaju merah sudah berada sejauh tujuh-delapan tombak, kemudian dengan sekali lompatan, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan sana.
249
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menjadi gusar, segera ia menyumpah, "Aku sudah tahu dia bakal kabur, ternyata akhirnya termakan juga oleh siasat busuknya!"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekali lagi saling pandang sekejap, mereka saling membungkam, sementara paras mukanya dilapisi rasa malu dan menyesal. Setelah menghela napas panjang, kata Ho Put-ciang, "Semuanya j;ara-gara aku, coba kalau aku tidak iba, tak mungkin dia dapat lolos dari sini, aku benar-benar telah berbuat salah, aku telah membuat Ko-Siauhiap kecewa."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, setelah ditatapnya wajah Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekejap, katanya kemudian, "Ho-beng-cu tak usah terlalu menyalahkan diri sendiri, ya, sesungguhnya isak pekannya memang amat memelas hati, sekali pun orang yang berhati baja pun pasti akan iba mendengarnya, ai ... tiap anggota Put-gwa-cin-kau rata-rata licik bagaikan rase, nampaknya dunia persilatan benar-benar sudah terancam oleh mara bahaya besar." "Ko-heng, apa kau yakin perempuan tadi anggota Put-gwacin-kau?" tanya Thia Leng-juan dengan wajah serius.
250
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menggeleng, "Aku tak berani memastikan, tapi sembilan puluh persen dia adalah orang penting dalam Put-gwa-cin-kau, bila dugaanku tidak keliru, gadis berbaju merah yang masih muda belia tadi adalah Kiu-kaucu." Thia Leng-juan menghela napas, "Ai, kalau begitu percuma saja kita membunuh Sam-kaucu, mata-mata dalam Bu-lim Bengcu-hu juga tak bisa dibasmi secara tuntas!"
Bong Thian-gak turut menghela napas, "Ai, semua ini garagara diriku yang kurang tegas, coba kalau aku tega melancarkan serangan ganas, tak mungkin dia kabur dari sini. Yang penting sekarang kita harus segera kembali dulu ke gedung Bu-lim Bengcu dan menceritakan segala peristiwa ini kepada Ku-lo Locianpwe, kemudian kita baru berunding menyusun rencana berikutnya." Maka ketiga orang itu pun segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.
Waktu itu sudah mendekati tengah malam, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak langsung menuju ke loteng di sebelah timur. Baru saja mereka bertiga tiba di bawah loteng, cahaya lampu sudah muncul dalam ruangan, tampak Ku-lo Sinceng
251
Pendekar Cacat
telah menunggu di depan mulut tangga dengan wajah serius. Ho Put-ciang bertiga pun membungkam, mereka buru-buru naik ke atas loteng. Tampaknya Ku-lo Sinceng sudah tidak sabar menunggu lebih jauh, ia menegur, "Bagaimana dengan tugas kalian?" Hu Put-ciang menghela napas panjang, "Ai, gara-gara Wanpwe bersikap teledor, usaha kita selama ini sia-sia belaka."
Dengan cepat keempat orang itu sudah duduk dalam ruang tamu, secara ringkas dan jelas Ho Put-ciang menceritakan semua peristiwa yang telah berlangsung kepada Ku-lo Sinceng. Selesai mendengar cerita itu, Ku-lo Sinceng memejamkan mata sambil termenung sejenak, kemudian pelan-pelan berkata, "Ho-hiantit sekalian berhasil membunuh Samkaucu, berarti usaha kalian sukses besar, mengapa dibilang usaha kalian sia-sia belaka? Gadis berbaju merah memang di luar dugaan siapa pun, tidak tahu bagaimana harus menghadapi, apalagi kalian telah mengerahkan segenap kemampuan."
252
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menghela napas, segera katanya pula, "Semakin Locianpwe tidak menegur, Wanpwe justru merasa semakin menyesal!" Ku-lo Sinceng menggeleng kepala berulang kali, "Perkataan Ko-siauhiap kelewat serius, mengenai kemunculan gadis berbaju merah itu membuat Pinceng menemukan suatu petunjuk yang berharga sekali, mungkin petunjuk itu jauh lebih penting artinya daripada melenyapkan kaum matamata di gedung Bengcu ini."
"Kalian harus tahu, mata-mata yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu ini adalah orang pintar, tapi orang yang paling penting seperti Sam-kaucu yang menyaru sebagai Pinceng kini telah berhasil dilenyapkan, aku pikir sisanya sudah tidak mempunyai arti yang amat penting, sebab sisa mata-mata yang berada dalam gedung ini cepat atau lambat akan menampakkan wujudnya masing-masing dan berusaha kabur dari sini." Dengan serius Thia Leng-juan bertanya, "Ku-lo Supek, kau telah berhasil menemukan petunjuk penting?"
Ternyata pendekar sastrawan dari Im-ciu ini adalah murid Sute Ku-lo Hwesio yang merupakan orang pereman, oleh karena itu dia memanggil Supek kepada Ku-lo Hwesio.
253
Pendekar Cacat
Pendeta agung itu termenung sejenak, lalu berkata, "Asal kita dapat membuktikan gadis berbaju merah itu adalah anggota Put-gwa-cin-kau, ini membuktikan Cong-kaucu Putgwa-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perguruan Mi-tiong-bun di Tibet."
Bicara sampai di situ, Ku-lo Sinceng mengalihkan sorot matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, kemudian lanjutnya lebih jauh, "Ko-siauhiap, apakah kau dapat menerangkan dari siapa mempelajari ilmu sakti perguruan Mi-tiong-bun itu?" Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Dia adalah seorang kakek penyendiri yang keempat anggota tubuhnya cacat, Wanpwe tidak tahu nama serta asal-usul orang tua itu, dia memiliki ilmu silat sangat hebat, hampir semua ilmu berbagai perguruan dapat diyakinkan olehnya." "Dia orang tua sudah meninggal dunia, Wanpwe berkumpul selama tujuh tahun lamanya dengan orang itu, dia meninggal pada tiga bulan berselang."
"Tokoh sakti itu sudah cacat keempat anggota badannya, tapi Ko-siauhiap yang cuma menerima pelajaran teori darinya pun sudah berhasil memiliki kepandaian silat begini
254
Pendekar Cacat
sempurna, sudah jelas ilmu silat orang itu hebat sekali," kata Ho Put-ciang. Bong Thian-gak tersenyum. "Sebelum aku bertemu dengannya, aku sudah pernah berguru selama belasan tahun, oleh karena itu meskipun hanya mendapat teori saja dari Suhuku yang kedua ini, sedikit banyak rahasia ilmu silatnya berhasil juga kupahami." "Ko-siauhiap, tampaknya kemujuran orang memang tak dapat diminta, secara beruntun kau dapat memperoleh didikan dari dua orang guru kenamaan, hal itu patut diberi ucapan selamat."
Pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat kepala, lalu memandang sekejap ke arah Ku-lo Sinceng, katanya, "Semua perkataan yang Wanpwe ucapan adalah kata-kata jujur dan sama sekali tidak bohong. Tentang ilmu silat aliran Mi-tiong-bun, setahuku kepandaian mereka tak pernah diwariskan kepada orang luar, Wanpwe tahu jelas akan hal ini. Si kakek yang menyendiri itu pun bukan anak murid Mitiong-bun, namun ilmu silat yang diketahuinya sangat luas, bahkan ilmu sakti Siau-lim-pay juga diketahuinya dengan jelas." "Wanpwe dan dia orang tua hidup bersama dalam gua di sebuah lembah, tujuh tahun lamanya hidup berdampingan,
255
Pendekar Cacat
meski sudah kuusahakan dengan segala cara untuk mencari tahu asal-usul orang tua itu, namun usahaku itu tak pernah berhasil."
"Kalau begitu dendam Sicu terhadap Put-gwa-cin-kau merupakan masalah gurumu yang pertama?" tiba-tiba Kulo Sinceng bertanya. Bong Thian-gak mengangguk, "Tepat dugaan Locianpwe." Ku-lo Sinceng menghela napas dalam-dalam. "Ai ... apakah Sicu bersedia melukiskan bagaimanakah raut wajah orang sakti itu?" pintanya. "Sewaktu aku bertemu dengan Suhuku yang kedua ini, dia sudah berdiam cukup lama di dalam gua itu, badannya sudah tersiksa hingga tinggal kulit pembungkus tulang, sehingga pada hakikatnya sukar untuk dilukiskan bagaimanakah raut wajahnya."
"Dia tak pernah menjelaskan cara bagaimana keempat anggota badannya itu menjadi cacat kepadamu?" tanya Kulo Sinceng dengan kening berkerut kencang. Bong Thian-gak menghela napas panjang.
256
Pendekar Cacat
"Sesaat sebelum meninggal, dia orang tua hanya mengucapkan beberapa patah kata saja, 'Selama hidup Lohu sudah banyak melakukan kejahatan, terpengaruh oleh napsu sendiri sehingga menggunakan cara yang keji dan licik untuk memperoleh nama, pahala dan kekayaan, tapi akhirnya tujuh puluh tahun hidupku hanya terkurung percuma ... ai dendam kesumat dalam Bu-lim memang tak pernah berakhir, hukum karma selalu berlaku atas dosadosaku ini, Lohu harus merasa tersiksa selama tiga puluh tahun, hukuman memang tak akan pernah terhindar dariku ....'."
Sampai di situ, Bong Thian-gak berhenti sejenak, lalu sambungnya lebih jauh, "Di saat dia menghembuskan napas yang penghabisan itulah dia orang tua berkata lagi padaku, 'Kau ... kau adalah orang kedua yang pernah mendapat warisan ilmu silat dariku, semoga kau dapat baik-baik mempergunakannya ....'." Thia Leng-juan menyela bertanya, "Siapakah orang pertama?" Bong Thian-gak tertawa getir. "Bila aku mengetahui hal ini, berarti aku akan mengetahui asal-usul Suhuku yang kedua," jawabnya.
257
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Thia Leng-juan menggelengkan kepala berulang-kali, }\yimamnya, "Tak kusangka di dunia ini terdapat banyak orang dan Kejadian aneh." "Di saat guruku yang kedua meninggal dunia, dia berusia tujuh puluh tahun, dari kata-katanya menjelang ajal, peristiwa tragis itu terjadi saat dia berusia tiga puluh tahun, keempat anggota badannya menjadi cac at dan harus hidup menyepi di gua kematian dalam lembah terpencil, Ku-lo Locianpwe, dapatkah kau merenungkan jago persilatan manakah yang mirip dengan pengalaman guruku yang kedua ini."
Di saat Bong Thian-gak selesai menuturkan pesan terakhir gurunya tadi, Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata termenung. Tak lama kemudian, dia baru membuka matanya dan menjawab dengan suara dalam, "Jago persilatan yang paling termasyhur pada waktu itu adalah Bu-lim Bengcu Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, lalu Pak-hiap (pendeta dari utara) Thian-kay Lojin, Say-pit-ceng Ih Hoan, Mo-kiam-sin-kun To Tian-seng serta perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang...."
Sampai di sini, kembali Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, kemudian baru melanjutkan, "Dari kelima
258
Pendekar Cacat
orang ini, hampir boleh dibilang mereka tidak pernah melakukan kejahatan besar, dari usia mereka, Say-pit-ceng Ih Hoan dan Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng yang agak mendekati, lagi pula asal-usul mereka memang sangat misterius." Mendengar ini, Bong Thian-gak segera mengerut dahi, katanya kemudian, "Mungkinkah Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng? Tapi waktu Tio Tian-seng terjun ke dunia persilatan baru berusia dua puluh enam tahun, ditambah tiga puluh tujuh tahun berarti usianya sekitar enam puluh lima tahun!" "Kalau dibilang Say-pit-ceng Ih Hoan," sela Ku-lo Hwesio, "pada tiga puluh tujuh tahun lalu dia telah berusia empat puluh tahun, berarti dia berusia tujuh puluh tahun lebih." "Selain kelima orang ini, apakah masih ada orang yang pantas dicurigai?"
"Masih ada empat orang buas lagi, mereka adalah To-cikim-kong (Malaikat raksasa berjari tunggal) Lui Ko Hoatsu, Jian-bin-hu-li (Rase berwajah seribu) Ban Li-biau, Thian-sanhim-ong (Raja beruang dari Thian-san ) Ho Lak serta Hiatbin-mo (Setan muka darah) Si Jit-ciang ...." "Tapi dari keempat orang itu, ada tiga orang di antaranya telah dibunuh oleh Suhu," timbrung Ho Put-ciang cepat.
259
Pendekar Cacat
"Siapakah di antara mereka yang tidak berhasil dibunuh Oh-bengcu almarhum?" cepat Bong Thian-gak bertanya. "Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!" "Kejahatan apa saja yang pernah dilakukan olehnya?"
Ku-lo Hwesio menghela napas sedih, katanya pelan, "Tiga puluh tujuh berselang, Ban Li-biau merupakan tokoh penjahat ulung dunia persilatan, selain memperkosa, membunuh, mencuri dan merampok dia pun sering melakukan perbuatan jahat lainnya, hingga menimbulkan amarah segenap umat persilatan waktu itu, semua orang bergabung untuk bersama-sama menghabisi orang ini...." "Bagaimana akhirnya?"
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sama sekali tiada kabar beritanya." "Mengapa?" "Ban Li-biau berjuluk Jian-bin-hu-li, membuktikan kecerdikan dan kelicikannya, selain itu dia pun pandai menyaru dan berganti muka, jarang ada orang di Bu-lim yang pernah melihat wajah aslinya, mana mungkin orang dapat membekuknya untuk dijatuhi hukuman? Untung tiga puluh tahun lalu Jian-bin-hu-li sudah lenyap."
260
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai ... sungguh tidak kusangka Suhuku yang kedua adalah Jian-bin-hu-li Ban Libiau!" "Apakah Ko-siauhiap yakin akan dia?" tanya Ho Put-ciang. "Dari ucapan dia orang tua menjelang ajal serta rasa tobatnya dari kejahatan yang pernah dilakukan, hal ini membuktikan dia adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau ...."
Ku-lo Hwesio turut menghela napas, "Betul, guru kedua Kosiauhiap mungkin sekali adalah Ban Li-biau, sebab kecuali dia, tiada orang kedua di dunia ini yang bisa dicurigai!" "Sebenarnya Pinceng menduga Jian-bin-hu-li adalah Congkaucu Put-gwa-cin-kau, kalau dipikirkan sekarang, kemungkinan besar Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah orang lain." Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, paras muka Kulo Sinceng kembali berubah serius dan kereng, jelas benak Ku-lo Hwesio sekarang sedang dipenuhi persoalan lain.
Karena kecurigaan atas Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau gugur, dia berusaha memeras otak dan menduga lagi siapa gerangan orang yang cocok untuk dicurigai sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau itu.
261
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak memahami perasaan Ku-lo Sinceng sekarang, maka dengan perasaan berat semua orang pun bungkam.
Selang beberapa saat kemudian, barulah terdengar Ku-lo Hwesio hrrkata dengan lembut, "Fajar sudah menjelang tiba, kalian bertiga pergilah beristirahat dulu!" Ho Put-ciang bertanya, "Ku-lo Supek, tolong tanya perlukah kita mengumumkan kepada para jago tentang peristiwa Sam-kaucu itu?" "Lebih baik kita merahasiakan dulu persoalan ini, tunggu sampai tiba kesempatan yang lebih cocok sebelum diumumkan." "Tapi ...." Ho Put-ciang menunjukkan keraguannya. "Kehadiran Ko-siauhiap dalam gedung Bu-lim Bengcu ini...."
"Oya ... hampir saja Pinceng lupa, antara Ko-sicu dengan para pendekar telah terjadi perselisihan ... padahal kehadiran para pendekar ke gedung Bu-lim Bengcu pun hanya untuk berbela-sungkawa atas kematian Oh-bengcu, sedang jenazah Oh-bengcu pun telah diputuskan untuk disimpan dalam gedung es, Pinceng rasa para jago persilatan boleh membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing, lebih baik besok siang kita umumkan segala
262
Pendekar Cacat
sesuatunya pada mereka, di samping mengumumkan peristiwa Sam-kaucu, juga menjelaskan kepada para jago yang hendak menangkap Ko-siauhiap." "Ku-lo Supek, tolong tanya apa tindakan kita selanjutnya untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?" tanya Thia Leng-juan pula.
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Kini bencana telah meluas di seluruh dunia persilatan, terpaksa bertemu satu membunuh satu, kita berusaha terus menumpas mereka sampai ludes." "Kalau memang demikian, bukankah Jit-kaucu kini berada dalam kota Kay-hong, mengapa kita tidak ke situ untuk membekuknya?" Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Mengenai Jitkaucu, hampir Lolap lupa meninggalkan pesan, perempuan ini telah berhasil memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, boleh dibilang kepandaiannya sudah tiada tandingan lagi di dunia ini, bila kalian bertemu dengannya, lebih baik menyingkir, jangan coba menghadapi dengan kekerasan."
Mendengar itu, Thia Leng-juan tertegun. "Supek, memangnya kita harus duduk diam menunggu kematian dan membiarkan Jit-kaucu datang mencari kita?" serunya.
263
Pendekar Cacat
Mencorong tajam mata Ku-lo Hwesio. "Sudah delapan tahun lamanya Pinceng duduk menutup diri dalam ruangan, Lolap sudah bertekad menaklukkannya." "Locianpwe, caramu menaklukkannya berarti kerugian besar bagi umat persilatan?" tiba-tiba Bong Thian-gak menimbrung dari samping.
Diam-diam Ku-lo Hwesio terperanjat mendengar perkataan itu, pikirnya kemudian, "Masa dia dapat menebak suara hati Lolap?" Pada saat itulah Thia Leng-juan bertanya lagi, "Supek, apakah kau hendak menghadapi Jit-kaucu seorang diri?" "Menurut apa yang Lolap ketahui, di dunia dewasa ini tiada orang kedua yang bisa lolos dari pukulan Soh-li-jian-yangsin-kang itu tanpa menemui ajal." "Supek, kalau engkau harus bertarung melawan Jit-kaucu dan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ...." Thia Leng-juan tak mampu melanjutkan kata-katanya, dia bungkam dengan sedih.
264
Pendekar Cacat
Ku-lo Hwesio tertawa getir, "Setelah melakukan penyelidikan selama delapan tahun, Pinceng percaya musuh pun takkan memperoleh keuntungan apa-apa." Mendadak Thia Leng-juan bertanya lagi, "Apakah Supek telah menulis surat tantangan untuk berduel dengan Jitkaucu? Harap Supek jangan merahasiakan persoalan ini kepada kami...." Begitu ucapan itu diutarakan, Bong Thian-gak dan Ho Putciang amat terperanjat, mereka membelalakkan mata lebar-lebar dan menanti jawaban Ku-lo Hwesio. Agak emosi Ku-lo Hwesio menjawab, "Lolap tidak menulis surat tantangan terhadap Jit-kaucu, tetapi telah menetapkan hari kematian untuk Pinceng." "Apakah maksud perkataanmu itu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
Dari dalam sakunya Ku-lo Hwesio mengeluarkan sepucuk surat dan diletakkan di bawah sinar lentera, kemudian ujarnya, "Surat ini baru kuterima setengah jam sebelum kalian pulang kemari." Sementara itu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak hersama-sama mengalihkan sorot matanya ke atas surat itu.
265
Pendekar Cacat
Di atas kertas tadi tercantum beberapa kalimat yang berbunyi: Kepada yang terhormat Ku-lo Taysu dari Siau-limsi. Kematian Sam-kaucu merupakan tanggung-jawabku, apabila Cong-kaucu menegur, akulah yang mendapat hukuman. Oleh sebab itu kumohon kepada Taysu agar berbelas kasihan dengan mengakhiri hidupmu dalam tiga hari mendatang atau pada malam hari keempat aku akan datang merenggut nyawamu. Tertanda: Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau
Selesai membaca surat itu, Ho Put-ciang bertiga menjadi gusar dan terkejut. Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berkata, "Sungguh amat besar nada bicara orang ini!" Thia Leng-juan termangu beberapa saat, kemudian tanyanya, "Dengan cara bagaimana surat ini disampaikan kemari?" "Waktu itu Pinceng sedang duduk bersemedi di atas loteng, kudengar ada dua orang pejalan malam sedang melintas, menyusul dari balik jendela melayang masuk sepucuk surat. Waktu itu Pinceng agak ragu sejenak, ternyata si pengantar
266
Pendekar Cacat
surat itu telah pergi, Ginkangnya tak malu disebut sebagai jagoan wahid di kolong langit."
Bong Thian-gak berkerut kening. "Ketika si nona berbaju merah Ni Kiu-yu melarikan diri, jaraknya dengan waktu kita pulang cuma setengah jam, bagaimana mungkin ia bisa melapor lebih dulu berita kematian Sam-kaucu ini kepada Jit-kaucu?" gumamnya. Begitu nama Ni Kiu-yu disinggung, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan turut merasakan suatu keanehan. "Tatkala kalian sedang menuturkan pertarungan melawan Sam-kaucu tadi, Lolap sudah merasa curiga," kata Ku-lo Hwesio, "Mungkin Jit-kaucu juga turut menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu dari atas pagoda Leng-im-po-tah, namun dia tidak muncul, di saat kalian sedang berusaha menangkap gadis berbaju merah itu, dia berangkat ke gedung Bengcu."
Thia Leng-juan manggut-manggut. "Ya benar, kemungkinan memang begitu, namun sewaktu kami kembali ke pagoda Leng-im-po-tah untuk menangkap gadis berbaju merah itu, sama sekali tidak kujumpai ada orang melarikan diri dari situ," serunya kemudian.
267
Pendekar Cacat
"Atau kemungkinan juga Jit-kaucu sudah tahu kita hendak turun tangan membunuh Sam-kaucu," kata Ku-lo Hwesio. "Bukankah persoalan ini hanya diketahui kita berempat? Siapa yang membocorkan rahasia ini?" tanya Bong Thiangak. "Tentu saja tak ada orang yang membocorkan rahasia itu. Mungkin jejak Lolap sudah diketahui oleh Jit-kaucu dan dia pun telah dapat membedakan mana yang asli dan mana yang gadungan!"
Bong Thian-gak menghela napas. "Ai... benar. Dari tulisan Jit-kaucu, tampaknya dia sudah tahu kita berencana membunuh Sam-kaucu ...." Ku-lo Hwesio berkata lebih lanjut, "Kehadiran gadis berbaju merah di pagoda Leng-im-po-tah pun sudah pasti bukan suatu peristiwa yang kebetulan, mungkin sekali sedang melaksanakan perintah Jit-kaucu untuk memberi bantuan, sayang kedatangannya terlambat satu langkah dan Samkaucu telah tewas dipukul Ko-siauhiap." Ho Put-ciang menghela napas panjang. "Ai, kalau begitu tindakan kita melepas gadis berbaju merah dari Leng-impo-tah merupakan suatu Undakan yang keliru besar," keluhnya.
268
Pendekar Cacat
"Yang sudah lewat biarlah lewat, kita tak usah menyinggungnya! Sedangkan mengenai tantangan Jitkaucu, Pinceng bermaksud untuk menghadapinya seorang diri, itulah sebabnya aku tidak berniat memberitahukan kepada kalian."
Bong Thian-gak merasa darah panas dalam dada bergolak keras, serunya kemudian, "Locianpwe, soal tantangan Jitkaucu, biar Wanpwe saja yang mewakili." Ku-lo Hwesio tersenyum. "Ko-siauhiap gagah dan mempunyai ilmu tinggi, dengan masa depan panjang, selain Jit-kaucu jangan lupa, masih ada Cong-kaucu yang merupakan musuh kita paling tangguh." "Supek, Tecu mohon agar akulah yang pergi memenuhi janji itu," pinta Thia Leng-juan.
Kembali Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali. "Thia-hiantit, ilmu silat yang kau miliki sekarang sudah mencapai tingkatan luar biasa dan jauh mengungguli gurumu, tapi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jitkaucu bukanlah ilmu silat biasa!"
269
Pendekar Cacat
"Ku-lo Supek, bagaimana rencanamu menyambut tantangan Jit-kaucu itu?" Ho Put-ciang bertanya. Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali. "Pinceng jelas belum mengambil keputusan, tapi sudah pasti dalam empat hari ini...."
Berbicara sampai di sini, dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, "Soal pertarungan Lolap melawan Jit-kaucu, harap kalian tak usah risau, terus terang Lolap sudah mempunyai rencana cukup matang." "Jika Ku-lo Supek menghadapi musuh sendirian, bisa jadi musuh akan menggunakan cara kita membunuh Sam-kaucu ...." Mendengar perkataan Ho Put-ciang itu, paras muka Ku-lo Hwesio berubah hebat, selanya, "Pinceng pun telah mempertimbangkan hal ini, harap Ho-hiantit tak usah kuatir." "Tapi aku benar-benar tidak tenang ...."
Kentongan kelima sudah berbunyi, dari luar jendela sana tampak cahaya api sudah memancar menembus kegelapan, malam yang panjang pun telah berakhir.
270
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Ku-lo Hwesio bangkit, berjalan ke sisi jendela dan menarik napas panjang, kemudian pelan-pelan ujarnya, "Sejak Oh Ciong-hu menjabat sebagai Bu-lim Bengcu, dunia persilatan telah melewatkan masa yang tenang dan aman, namun setiap kejadian di dunia ini seakan-akan mempunyai masa berlaku, sebab Thian telah mengatur semua kejadian ini untuk kita. Sekali pun Lolap mungkin akan mati dalam pertarungan ini, namun setelah terjadinya perubahan di Bu-lim, sudah pasti akan muncul seorang penolong yang akan menenteramkan kekacauan dan melenyapkan semua kejahatan dari muka bumi...."
Sampai di sini, dia membalikkan badan dan duduk kembali di atas kasurnya, setelah itu katanya lebih jauh, "Kosiauhiap, Ho-hiantit, Thia-hiantit, kalian bertiga merupakan tonggak dunia persilatan di masa mendatang, jaya atau kacaunya dunia persilatan di kemudian hari, keadilan dan kebenaran di dunia ini tergantung pada perjuangan kalian, oleh sebab itu keselamatan kalian jauh lebih penting daripada orang lain, aku minta kalian jangan bertindak hanya karena dorongan emosi." "Kalian harus tahu, seorang Tay-enghiong, Tay-ho-kiat banyak membutuhkan persyaratan, bukan terbentuk mengandal keberanian saja, contoh yang jelas, di masa Sam-kok dulu, Lu Poh paling berani, tapi dia berani tanpa disertai rencana yang matang sehingga tak lebih hanya seorang panglima kasar. Sebagai seorang Enghiong sejati dibutuhkan penyesuaian diri dengan keadaan, bisa maju
271
Pendekar Cacat
bisa pula mundur, bisa keras bisa juga lunak, segalanya harus diatur dengan perencanaan jangka panjang yang sempurna."
Nasehat Ku-lo Hwesio ini kontan membuat beban pikiran Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak semakin berat, lamat-lamat mereka merasakan suatu firasat jelek yang sudah menjelang datang di hadapan mereka. "Nah, sekarang kalian boleh pergi beristirahat!" Ku-lo Hwesio mengakhiri kata-katanya. Maka Ho Put-ciang bertiga pun memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio dan mengundurkan diri, mereka menuju ke loteng sebelah barat.
Setelah masuk ke dalam ruang tamu, Pa-ong-kiong Ho Putciang yang pertama-tama berkata, "Ku-lo Supek telah memutuskan untuk menghadapi Jit-kaucu seorang diri, dari nada suaranya, dia orang tua telah bertekad untuk mengorbankan diri demi terwujudnya cita-cita yang luhur, sekarang bagaimana baiknya?" "Yang kita kuatirkan Jit-kaucu merencanakan suatu pengeroyokan, atau menggunakan siasat busuk untuk mencelakainya," kata Thia Leng-juan mengemukakan pula rasa kuatirnya.
272
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata, "Yang perlu kita ketahui sekarang adalah kapan dan dimanakah Ku-lo Locianpwe menerima tantangan dari Jit-kaucu?" "Bagaimana cara kita mengetahuinya?" keluh Ho Put-ciang sedih. "Mulai sekarang, secara bergilir kita harus mengawasi gerak-gerik Ku-lo Locianpwe, bila ia menunjukkan suatu tindakan, kita harus segera mengetahuinya." "Benar," kata Thia Leng-juan. "Dengan demikian bisa dicegah pihak lawan melakukan pengerubutan."
Tapi Ho Put-ciang menggeleng kepala, ujarnya, "Mendengar nasehat terakhir Ku-lo Supek tadi, lamat-lamat aku punya firasat dia lelah menyadari bahwa pertempuran ini lebih banyak bahayanya bagi dia daripada keberuntungan ...." Bong Thian-gak menghela napas, "Jauh pada delapan tahun berselang, Ku-lo Locianpwe pernah menerima serangan Jitkaucu, mungkin selama delapan tahun ini dia orang tua telah menyelidiki dan mendalami ilmu untuk melawan Sohli-jian-yang-sin-kang, kalau dia orang tua sampai menderita kekalahan di tangan Jit-kaucu, siapa lagi di Bu-lim dewasa ini yang mampu menandingi perempuan ini?"
273
Pendekar Cacat
"Bagaimana pun juga Jit-kaucu harus dilenyapkan, cepat atau lambat Ku-lo Locianpwe juga akan berhadapan dengannya, hanya soal waktu saja, mungkin pertarungan ini berlangsung jauh lebih awal." "Thia-heng, Ko-siauhiap, harap kalian beristirahat dulu, biar aku yang mengawasi gerak-gerik Ku-lo Supek dari sini," ujar Ho Put-ciang kemudian. "Ho-bengcu, bila kau ada urusan silakan saja, aku belum berminat tidur," sahut Bong Thian-gak.
Meskipun pertarungan sengit yang berlangsung semalam amat memeras tenaga dan semua orang merasa lelah sekali, tapi setiap orang sedang dicekam perasaan tegang dan berat, maka Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak beristirahat.
Tengah hari itu Ho Put-ciang mengumpulkan semua jago dunia persilatan beserta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok, untuk mengumumkan penyaruan Samkaucu sebagai Ku-lo Sinceng serta perubahan situasi dunia persilatan akhir-akhir ini.
274
Pendekar Cacat
Sebagai kesimpulan terakhir, para jago yang diwakili sembilan partai besar mengutus Goan-ko Taysu dari Siaulim-pay, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay, Wan-pit-kim-to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiamjong-pay dan Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khongtong-pay untuk berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu guna membantu Ho Put-ciang membangun kembali pamor Bulim Bengcu atau persekutuan dunia persilatan.
Sedangkan yang lain kembali ke partai masing-masing untuk melaporkan keadaan kepada ketua masing-masing, di samping secara diam-diam membersihkan mata-mata Put-gwa-cin-kau yang menyusup dan meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi setiap bentrokan yang mungkin meletus dengan pihak Put-gwa-cin-kau.
Sejak itu sembilan partai dunia persilatan dalam sehari saja telah berubah menjadi kelompok kekuatan yang maha dahsyat dan sanggup menghadapi segala perubahan yang mungkin terjadi. Mengenai tantangan Jit-kaucu kepada Ku-lo Sinceng, kecuali Bong Thian-gak, Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang, yang lain tidak diberitahu. Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat, suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tenang, namun ratusan
275
Pendekar Cacat
manusia yang berada dalam gedung itu tak sedikit pun merasa tenang.
Terutama Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak, selama beberapa hari ini paras muka mereka kelihatan kusut dan sayu. Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si juga tak pernah meninggalkan loteng sebelah timur barang selangkah pun selama tiga hari ini. Bong Thian-gak bertiga berada di bangunan sebelah barat, dapat menyaksikan keadaan Ku-lo Hwesio dengan jelas, ia masih tetap duduk bersila di atas kasur duduknya dengan tenang.
Matahari senja telah condong ke barat, kabut malam pun lambat-laun menyelimuti angkasa. Kini Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak telah berkumpul di atas loteng sebelah barat. Sambil menghela napas panjang, Ho Put-ciang berkata, "Malam ini Ku-lo Supek tidak memasang lentera, jelas hendak melakukan tindakan pada malam ini."
276
Pendekar Cacat
"Ya, batas waktu yang diberikan Jit-kaucu bagi Ku-lo Supek untuk bunuh diri akan berakhir tengah malam nanti," sambung Thia Leng-juan.
Mendadak Bong Thian-gak menyela, "Mulai sekarang, kita bertiga harus memisahkan diri mengawasi tempat itu dari tempat terpisah." Maka mereka bertiga pun segera keluar. Mereka berdandan sebagai pengawal gedung dan berpencar melakukan pengawasan. Bong Thian-gak berada di balik kegelapan di sudut gedung sebelah barat laut. Malam ini rembulan memancarkan sinar terang, membuat suasana tidak terlalu gelap, pemandangan pada radius seratus kaki masih dapat terlihat dengan jelas.
Angin malam berhembus membawa udara dingin, malam pun makin kelam. Mendadak tampak sesosok bayangan orang berjalan melalui mangan sebelah utara, di bawah sinar rembulan, tampak kepala orang Itu gundul, tak salah lagi inilah kepala seorang pendeta.
277
Pendekar Cacat
Dengan gerakan enteng seperti burung walet. Bong Thiangak segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan melakukan penghadangan dari arah timur laut.
Bukan hanya Bong Thian-gak saja yang melakukan penguntitan, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang berjaga di tenggara dan barat daya pun serentak mengerahkan Ginkangnya melakukan penguntitan. Gerakan tubuh keempat orang itu cepat sekali, cekatan dan hati-hati. Sekali pun penjagaan dalam gedung Bu-lim Bengcu amat ketat, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui jejaknya. Tak selang beberapa lama, pekarangan gedung Bengcu.
mereka
sudah
keluar
Pada saat itulah bayangan orang yang sedang berlari di depan sana mempercepat gerakan tubuhnya menuju ke arah tenggara. Setelah melakukan pengejaran sejauh satu li, akhirnya Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bertemu satu sama lain.
278
Pendekar Cacat
Di tengah pengejaran itu, mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, katanya, "Aneh, seandainya orang di depan sana adalah Ku-lo Locianpwe, mengapa dia berlari secara terang-terangan dan sama sekali tidak berusaha menyembunyikan diri?"
Rupanya Bong Thian-gak teringat tantangan Jit-kaucu atas diri Ku-lo Hwesio dirahasiakan terhadap orang lain, berarti gerak-geriknya pasti akan dilakukan dengan hati-hati sekali, paling tidak dia akan mencari tempat tertutup atau sering menengok ke belakang. Tapi orang yang sedang berlari di depan sana tak pernah berhenti, langsung menuju ke arah hutan tanpa sangsi atau curiga. Baru saja Bong Thian-gak mengemukakan hal itu, Ho Putciang dan Thia Leng-juan juga merasa orang di depan sedikit pun tidak mirip Ku-lo Sinceng. Akhirnya Ho Put-ciang berseru tertahan, "Aduh celaka, kita sudah termakan siasat memancing harimau turun gunung." "Lantas siapakah orang di depan sana?" tanya Bong Thiangak kemudian. "Mungkin Goan-ko Taysu!" "Mari kita menyusulnya!"
279
Pendekar Cacat
Selesai berkata, mereka segera mempercepat langkah, seperti anak panah terlepas dari busur, tak lama telah berhasil menyusul di belakang orang itu. Sementara itu orang di depan sana merasa jejaknya sedang diikuti, mendadak saja ia memperlambat gerak tubuhnya. Bong Thian-gak, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan bertiga segera melampaui orang itu sambil berpaling. Tampak orang itu berwajah bulat, berkulit putih dan berwajah merah, mengenakan jubah abu-abu yang kedodoran dan panjang. Siapa lagi orang ini kalau bukan Goan-ko Taysu?
Ketika Goan-ko Taysu menyaksikan Ho Put-ciang bertiga telah menyusul, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya, katanya, "Toa-supek Pinceng menyuruh aku meninggalkan gedung Bengcu secara diam-diam pada tengah malam ini menuju ke arah tenggara, katanya aku akan segera bertemu dengan Ho-bengcu sekalian, ternyata kalian bertiga datang tepat pada waktunya, entah ada urusan apa kalian memanggil Pinceng datang kemari?" Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak sekalian merasa gelisah bercampur geli.
280
Pendekar Cacat
Ho Put-ciang tidak menjawab pertanyaan Goan-ko Taysu, sebaliknya bertanya cemas, "Ko-siauhiap, bagaimana cara menyusul Ku-lo Supek?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Di saat kita mengejar Goan-ko Taysu tadi, Ku-lo Locianpwe sudah pasti telah berangkat untuk memenuhi janji, kemana kita harus menemukannya sekarang?" "Kita sekarang berempat, mari kita berpencar ke empat penjuru mencarinya, ya ... apa boleh buat, lebih baik kita mengadu untung ...." kata Thia Leng-juan kemudian.
Agaknya Goan-ko Taysu masih bingung dan tak habis mengerti .ikan duduknya persoalan, segera tanyanya, "Hobengcu, sebenarnya apa y.ing telah terjadi?" "Sekarang waktu amat mendesak dan tidak mungkin diceritakan, mari kita berpencar mencari Ku-lo Supek, begitu menemukan jejaknya kita harus membantunya secara diam-diam." "Baik," sambung Thia Leng-juan, "Kita pakai gedung Bu-lim llen^cu sebagai pusat, mari kita berpencar." Selesai berkata dia membalik tubuh dan berlalu lebih dulu.
281
Pendekar Cacat
Ho Put-ciang segera melakukan pencarian ke arah utara. Kini tinggal Bong Thian-gak dan Goan-ko Taysu yang masih berdiri tak berkutik. Melihat itu, Goan-ko Taysu segera bertanya, "Ko-sicu hendak mencari ke arah mana?" "Ke arah selatan!" Selesai berkata, dia lantas berangkat menuju ke arah barat.
Sepeninggal semua orang. Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang letak bintang, lalu menyapu pandang sekeliling tempat itu, akhirnya dia bergumam, "Ku-lo Sinceng memerintahkan Goan-ko menuju ke tenggara, menanti kita merasa tertipu dan balik kembali ... kalau begitu tempat yang dituju kalau bukan timur pasti selatan. Ke arah timur menuju ke pantai pesisir, sedang ke arah selatan merupakan kuburan dan dataran bukit... ah, betul! Sudah pasti tempat itu."
Selesai bergumam Bong Thian-gak segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna menuju ke selatan.
282
Pendekar Cacat
Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, tak lama kemudian dia telah menempuh perjalanan sejauh puluhan li dan tiba di sebuah tanah berbukit-bukit. Sejak kecil Bong Thian-gak hidup di kota Kay-hong, maka dia pun tahu tempat ini bernama Kui-thau-nia (Tebing kepala setan). Sejauh mata memandang, di sana-sini hanya berupa tanah berbukit yang tinggi rendah tak menentu, berlapis-lapis memanjang ke arah selatan, tiap tebing berketinggian hampir tiga puluh kaki dengan bentuk seperti kepala manusia, oleh sebab itulah tebing itu dinamakan Tebing kepala setan.
Bong Thian-gak ragu sejenak, akhirnya dia mengerahkan Ginkang menuju tebing paling tinggi dari Kui-thau-nia, dari tempat ketinggian itulah dia mencoba memeriksa keadaan di sekitar sana. Sinar rembulan yang memancarkan sinar lembut membantu penerangan sekitar sana, tapi suasana di sekeliling Kui-thau-nia amat sepi bagaikan kota mati saja. "Mungkinkah aku salah menduga?" Bong Thian-gak berpikir.
283
Pendekar Cacat
Tapi ia segera berpikir lagi, "Tapi selain tempat ini, di sebelah selatan tak terdapat tempat lain yang cocok untuk melangsungkan pertarungan." Sementara dia masih tertegun dan berdiri termangu, mendadak dari arah bukit sebelah utara Bong Thian-gak menyaksikan ada sesosok bayangan orang sedang meluncur datang dengan kecepatan tinggi.
Waktu itu Bong Thian-gak sudah memilih tempat persembunyian, matanya mengawasi pendatang itu tanpa berkedip. Sementara pendatang itu semakin mendekati bukit Kuithau-nia. Ternyata pendatang ini tak lain adalah Ku-lo Sinceng dari kuil Siau-lim-si. Ku-lo Hwesio mengenakan baju berwarna kuning, tasbihnya tergantung di depan dada, tangannya memegang Hud-tim dan berjalan naik ke atas bukit dengan langkah amat tenang. Ku-lo Hwesio yang bermata tajam memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian berjalan ke tanah rumput dan duduk bersila di sana.
284
Pendekar Cacat
Tempat persembunyian Bong Thian-gak berada di belakang batu karang di sebelah kiri Ku-lo Hwesio, di depan batu cadas itu kebetulan tumbuh dua batang pohon pinus yang rendah sehingga menutupi batu karang tadi. Bong Thian-gak menyangka Ku-lo Hwesio baru akan muncul pada saat ini, ketika ia mencoba mendongakkan kepala, tengah malam baru lewat seperempat jam, ia tak tahu jam berapakah Jit-kaucu menantang Ku-lo Hwesio untuk bertarung di sini?
Sementara itu Ku-lo Hwesio sudah duduk bersila di situ sembari bersemedi, Bong Thian-gak juga tak berani bertindak sembarangan, dia lahu saat Ku-lo Sinceng bersemedi, telinganya yang tajam dapat menangkap suara napas yang berada dua puluh kaki sekitar tempat itu. Maka Bong Thian-gak segera menggunakan ilmu Kui-si-hoat (ilmu napas kura-kura) dengan menempelkan diri di batu cadas itu.
Waktu berlalu detik demi detik, menit demi menit ... tengah malam lewat... jam satu tiba .... Jam satu lewat, jam dua pun menjelang ... akhirnya malam yang panjang akan berakhir.
285
Pendekar Cacat
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Aneh, mengapa Jitkaucu belum juga datang? Atau mungkin Ku-lo Hwesio akan menunggu seharian di sini?" Belum habis ingatan itu melintas, di keheningan yang mencekam di Kui-thau-nia, mendadak berkumandang suara teguran dingin bagai es, "Ku-lo Hwesio, sejak kapan kau sampai di sini?"
Bong Thian-gak amat terkejut mendengar ucapan itu, dengan cepat dia mencoba mencari dengan mengarahkan ketajaman matanya. Di tengah kegelapan malam yang paling gelap menjelang tibanya fajar, Jit-kaucu menampakkan diri. Sesosok bayangan tubuh yang putih melayang keluar dari balik kabut yang tebal, seperti sosok bayangan setan tahutahu sudah berdiri di hadapan Ku-lo Hwesio. Sementara itu Ku-lo Hwesio masih tetap duduk di atas tanah, sahutnya, "Menjelang tengah malam, Pinceng sudah sampai." "Hwesio tua, begitu pagi kau sampai di sini, apakah kuatir aku memasang jebakan di sini?" "Pinceng tidak berani."
286
Pendekar Cacat
Kembali Jit-kaucu tertawa dingin, "Sam-kaucu telah dikerubut di pagoda Leng-im-po-tah hingga menemui ajal, hari ini mengapa kau tak mengundang orang-orangmu itu, sehingga Kaucu tak usah repot-repot?" Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu terkejut, segera pikirnya, "Mungkinkah dia tahu aku bersembunyi di sini?"
Sementara dia masih berpikir, Ku-lo Hwesio telah menyahut, "Bila ada orang yang menyembunyikan diri di sini, rasanya juga tak bakal lolos dari pengintaian Li-sicu." "Bagus," kata Jit-kaucu dingin. "Perjanjian kita pada kentongan kelima merupakan perjanjian menentukan mati hidup kita, sekarang kita boleh melangsungkan pertarungan." "Tunggu dulu!" seru Ku-lo Hwesio tiba-tiba. "Apakah kau hendak meninggalkan pesan terakhirmu?" "Sebelum pertarungan dimulai, Pinceng ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Li-sicu."
287
Pendekar Cacat
"Persoalan apakah yang hendak kau pahami?" "Pertama-tama, Pinceng ingin mengetahui lebih dulu apakah LW sicu adalah Li-siausicu yang pernah muncul di ruang belakang kuil Siau-j lim-si pada delapan tahun berselang?" "Daya ingatmu sangat bagus!" Si Hwesio sudah mengira, tapi mendengar pengakuan itu, tak urung hatinya terperanjat juga.
Setelah berhenti sesaat, Ku-lo Hwesio kembali berkata, "Delapan tahun berselang, Li-sicu telah menggunakan ilmu Jian-yang-ciang untuk menghantam Pinceng, entah perselisihan atau dendam kusumat apakah yang terjalin antara Pinceng dengan Li-sicu?" Jit-kaucu tertawa dingin, "Delapan tahun berselang, aku sudah menerangkan kepadamu bahwa aku mendapat perintah mencabut nyawamu, sama sekali tiada ikatan dendam atau sakit hati pribadi!"
"Omitohud!" puji syukur Ku-lo Hwesio untuk keagungan Sang Ikiddha. "Li-sicu memiliki ilmu silat yang amat dahsyat, namun perbuatanmu justru mencelakai orang secara
288
Pendekar Cacat
sembarangan, apakah kau lak merasa bahwa tindakanmu ini melanggar norma-norma hukum Thian?" , "Suhuku telah membuang waktu selama dua puluh tahun untuk mendidikku siang malam, Hwesio tua, kau tak usah bersilat lidah lagi." "Siapakah Suhu Li-sicu? Dapatkah memberitahu kepadaku?" "Dia adalah Cong-kaucu Putgwa-cin-kau." "Apakah Cong-kaucu itu pria atau wanita?" kembali Ku-lo Hwesio bertanya sambil menghela napas panjang. "Perempuan! Sebenarnya persoalan itu tidak boleh kuberitahukan kepadamu, tapi mengingat kau akan kembali ke langit barat, tidak ada salahnya kuberitahukan kepadamu!"
Sekali lagi Ku-lo Hwesio menghela napas, "Bila begitu, perkiraan Pinceng tak salah, kalau Li-sicu telah mengatakannya, mengapa tak kau hehutkan juga nama gurumu itu?" "Sudah diberi hati minta ampela ... ai, padahal aku sendiri pun tak tahu siapa namanya." "Masih ada satu hal lagi yang hendak kutanyakan, yaitu ilmu Soh-It )ian-yang-sin-kang yang dilatih Li-sicu sudah berhasil mencapai tingkat berapa?"
289
Pendekar Cacat
"Sudah mencapai tingkat kesembilan, Hwesio tua, buat apa kau menanyakan persoalan ini?" Dengan sedih Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sebab di dalam pertarungan ini, Pinceng sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk menang, andai aku tewas di tangan Li-sicu, mungkin di Bu-lim dewasa ini tidak ada orang yang bisa menghadapimu lagi."
Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau adalah jago lihai nomor satu dalam Bu-lim, bila aku dapat membunuhmu, apakah di Bu-lim masih ada orang yang bisa mengungguli diriku lagi?" Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Ilmu silat amat luas dan dalam, sama sekali tiada batasannya. Sejak dulu pun banyak orang berbakat yang berhasil mempelajari ilmu sakti dan menganggap dirinya tanpa tanding di kolong langit, tapi akhirnya mereka justru tewas di tangan orang lain. Li-sicu adalah seorang cerdik, tentunya kau dapat memahami perkataanku bukan?" "Hm, kini kentongan kelima sudah lewat, kau tak usah banyak bicara lagi!" tukas Jit-kaucu dingin.
"Omitohud, para Nabi pernah berkata, tiada manusia yang tak pernah berbuat kesalahan, tapi siapa yang mau
290
Pendekar Cacat
mengubah kesalahannya, dialah manusia bijaksana, Li-sicu mumpung belum terperosok lebih dalam lagi, lepaskanlah golok pembunuhmu, karena bila kau berpaling, di sanalah akan kau jumpai tepian." Beberapa patah kata itu diutarakan dengan suara nyaring sehingga menggetarkan seluruh bukit dan mendengung tiada hentinya.
Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, segera bentaknya, "Hari ini aku mengundangmu datang bukan untuk mendengarkan kuliah Taysu, bila Taysu memiliki ilmu sakti pelindung badan, gunakan saja dengan segera!" Sementara itu fajar telah menyingsing di ufuk timur, cahaya keemas-emasan pun mulai memancar ke empat penjuru. Jit-kaucu mengenakan pakaian berwarna putih dengan mantel yang terbuat dari bulu rase putih, begitu anggun, cantik dan memukau.
Sebaliknya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si duduk bersila di tanah dengan sikap kereng dan serius, ia mengenakan kain berwarna kuning dengan tasbih tergantung di leher, sepasang tangannya dirapatkan menjepit sebatang Hudtim.
291
Pendekar Cacat
Kini kedua tokoh sakti dari dunia persilatan ini berdiri dalam jarak dekat/empat mata memancarkan sinar tajam saling tatap, pertempuran sengit akan segera berlangsung. Bong Thian-gak berada puluhan kaki dari arena, matanya yang tajam mengawasi gerak-gerik kedua orang itu tanpa berkedip. Mendadak Jit-kaucu melejit ke tengah udara, kemudian secepat kilat menerjang ke arah Ku-lo Hwesio.
Terhadap terjangan Jit-kaucu itu, Ku-lo Hwesio bersikap seakan-akan tidak melihat, dia tetap duduk bersila sambil memegang kebutnya tanpa bergerak. Ketika terjangan Jit-kaucu hampir mencapai tubuh Ku-lo Sinceng, mendadak dia melesat dengan cepat, lalu melayang turun, kemudian dengan suara dingin bentaknya, "Hwesio tua, tenaga dalammu benar-benar amat sempurna, rupanya kau telah menguasai ilmu Tat-mo-khikang!" Begitu selesai berkata, Jit-kaucu melejit kembali ke tengah udara.
Pertarungan sengit dengan kecepatan tinggi pun segera berkobar.
292
Pendekar Cacat
Tatkala tubuh Jit-kaucu telah berada dekat Ku-lo Sinceng, tangan kanannya diayun berulang-kali dan secara beruntun melancarkan empat serangan berantai. Ku-lo Hwesio segera melancarkan serangan balasan, sepasang telapak tangannya yang menjepit kebut mendadak menyambar ke samping, kebut tadi telah menari-nari dengan cepat. "Wes", hembusan tajam menderu. Untuk kedua kalinya terjangan Jit-kaucu mengalami kegagalan dan tubuhnya segera mundur.
Bong Thian-gak menonton jalannya dua kali bentrokan kekerasan dari Ku-lo Sinceng dan Jit-kaucu, hatinya terperanjat, pikirnya, "Kalau aku yang dihadapkan dengan serangan itu, mungkin serangan yang pertama Jit-kaucu pun tak mampu kutahan." Setelah gagal dengan serangannya, tiba-tiba Jit-kaucu menghindar dengan wajah serius, selapis hawa dingin mencekam wajahnya, dihiasi pula dengan hawa nafsu membunuh yang mengerikan. Sementara itu paras muka Ku-lo Hwesio juga berubah serius.
293
Pendekar Cacat
Mendadak Jit-kaucu mengangkat telapak tangan kirinya pelan-pelan, kemudian telapak tangan yang putih dan halus itu diluruskan ke depan, pada telapak tangannya lamatlamat tampak cahaya merah membara seperti bola api yang berputar kencang. Dengan kening berkerut. Bong Thian-gak membatin, "Mungkin serangan inilah yang dinamakan ilmu Soh-li-jiansin-kang yang hebat itu!" Belum habis ingatan itu melintas, tubuh Jit-kaucu sudah melejit lagi ke tengah udara dan melancarkan tubrukan ketiga kalinya. Mungkin dalam serangan inilah akan ditentukan menangkalah kedua belah pihak.
Pertarungan itu mungkin tidak akan berlangsung terlampau lama, oleh sebab itu Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya yang tegang mengawasi jalannya pertarungan tanpa berkedip. Tampak Jit-kaucu pelan-pelan bergerak ke depan dan lambat-laun mendekat ke arah Ku-lo Hwesio. Tiba-tiba telapak tangan kiri Jit-kaucu yang putih memancarkan cahaya merah yang amat menyilaukan mata, ibarat matahari yang baru terbit, bola api berputar-putar.
294
Pendekar Cacat
Di saat itu pula telapak tangan Jit-kaucu segera memanfaatkan kesempatan untuk menerobos masuk. Kenyataan membuktikan bahwa ilmu pukulan Soh-li-jiansin-kang Jit-kaucu telah berhasil memecah pertahanan Tatmo-khi-kang yang disalurkan Ku-lo Hwesio untuk melindungi tubuhnya.
Dalam waktu yang amat singkat itulah telapak tangan kedua belah pihak memainkan berbagai macam jurus serangan yang aneh tapi amat sakti. Suara jeritan keras bergema di udara dan mengakhiri pertarungan itu. Tubuh Jit-kaucu mencelat ke samping kanan kemudian jatuh terbanting ke tanah, kemudian tak berkutik lagi. Sebaliknya jubah kuning yang dipakai Ku-lo Hwesio juga banyak terdapat lubang di sana-sini, namun dia masih tetap berdiri dan diam di tempat semula. Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi gembira, akhirnya Jit-kaucu berhasil juga dikalahkan.
Sebenarnya ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya untuk memburu ke depan, tapi setelah menyaksikan Ku-lo
295
Pendekar Cacat
Hwesio masih tetap berdiri tak berkutik di tempat semula, ia tertegun. Tak lama kemudian, Ku-lo Hwesio menghembus napas panjang dengan sedih, lalu melangkah ke depan menuju ke arah Jit-kaucu yang terkapar di tanah itu. Kini Bong Thian-gak dapat melihat muka Ku-lo Hwesio pucat-pias seperti mayat, tampaknya dia telah banyak kehilangan hawa murninya. Setelah mengawasi beberapa kejap tubuh Jit-kaucu yang tak berkutik itu, Ku-lo Hwesio baru membalikkan badan dan berlalu dari situ. Bong Thian-gak ingin memanggil, namun termenung sebentar dia lantas berpikir, bagaimanakah keadaan Jit-kaucu?"
setelah "Entah
Teringat akan Jit-kaucu, Bong Thian-gak segera teringat pula keindahan tubuh si nona yang telanjang bulat itu. Ku-lo Hwesio berlalu dengan sangat cepat, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Pada saat itulah Bong Thian-gak muncul dari balik batu karang dan berjalan mendekat.
296
Pendekar Cacat
Matahari pagi telah memancarkan sinarnya menembus awan tebal dan menyoroti wajah Jit-kaucu. Tampak Jit-kaucu memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya yang cantik kini pucat keabu-abuan, tiada luka di atas tubuhnya, namun ujung bibirnya tampak noda darah, pakaiannya juga penuh dengan noda darah.
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang, pikirnya, "Gadis yang begini cantik akhirnya harus menemui ajal dalam keadaan mengenaskan, tak lama kemudian dia akan berubah menjadi sekerat tulang-belulang." Berpikir sampai di sini, dia lantas merenung lebih jauh, "bagaimana pun juga dia sudah mati, kasihan jenazahnya dibiarkan telantar disinari terik matahari, ditimpa air hujan atau mungkin akan menjadi santapan serigala kelaparan .... Ai, bagaimana pun juga Kematian akan mengakhiri segalagalanya, biarlah kubuatkan sebuah liang untuk mengubur jenazahnya!" Bong Thian-gak segera mencabut pedangnya yang tajam dan menggunakan pedang sebagai sekop untuk menggali sebuah liang kubur di situ. Setelah membuang waktu hampir setengah jam lamanya, dia telah berhasil membuat sebuah liang.
297
Pendekar Cacat
Di kala Bong Thian-gak berpaling untuk mengubur jenazah Jit-kaucu, mendadak dia tertegun. Rupanya jenazah itu sudah lenyap entah kemana perginya. Sementara Bong Thian-gak terkejut, tiba-tiba terdengar seorang menegur dengan suara merdu, "Buat apa kau menggali liang kubur?" Mendengar teguran itu kembali ia berpaling, hampir saja pemuda itu menjerit keras. Ternyata Jit-kaucu sudah duduk di bawah pohon kurang lebih belasan kaki di hadapannya. Jadi dia belum mati?
Bong Thian-gak sungguh terperanjat, sekali lagi ia mengawasi tubuh nona itu dengan seksama, ternyata ujung bibirnya masih penuh noda darah, pakaiannya juga masih berlepotan darah, hanya paras mukanya yang semula pucat-pias, kini sudah nampak lebih baikan. Menyaksikan Bong Thian-gak lama sekali membungkam, Jitkaucu menghela napas sedih, kemudian katanya, "Apakah kau membuat liang kubur itu untuk mengubur jenazahku?" "Kau ... kau belum mati?" Bong Thian-gak berseru tergagap.
298
Pendekar Cacat
"Kalau sudah mati, bagaimana mungkin bisa bicara?" jawab Jit-kaucu hambar.
Bong Thian-gak segera menggerakkan badannya seraya berseru lantang, "Jika kau belum mati, maka aku harus mencabut jiwamu." "Mengapa engkau hendak mencabut nyawaku?" tegur Jitkaucu tanpa berubah wajah. Bong Thian-gak tertegun oleh pertanyaan itu, setelah termenung sebentar, ia baru menjawab, "Kau adalah pentolan yang menerbitkan berbagai keonaran dalam Bulim, sebelum kau mati, dunia persilatan tak akan memperoleh kedamaian." "Ku-lo Hwesio saja tak mampu mencabut nyawaku, apalagi kau ... kau tak mungkin berhasil." "Jadi kau hanya pura-pura mati?" tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras. "Aku jatuh tak sadarkan diri tapi tidak mati, ilmu silat Hwesio tua itu memang sangat lihai, sangat sempurna, cuma sayang dia ...." "Dia kenapa?" seru Bong Thian-gak cepat. "Dia tak bisa hidup lebih tujuh hari," kata Jit-kaucu.
299
Pendekar Cacat
"Mengapa tak dapat hidup lebih tujuh hari?"
"Tadi dia telah menggunakan pertarungan adu jiwa yang bisa menyebabkan kedua belah pihak sama-sama terluka, pada kesempatan itu jalan darah Jin-meh dan Tok-meh Hwesio tua itu telah kulukai dengan pukulan Soh-li-jianyang-sin-kang. Dia tidak segera tewas karena tenaga dalamnya sempurna, tapi akhirnya tak akan lolos juga dari kematian." Bong Thian-gak benar-benar terperanjat mendengar ucapan itu, "Sungguh perkataanmu itu?" "Apa yang kuucapkan tentu saja sungguh-sungguh."
Paras Bong Thian-gak berubah hebat, dia tak menyangka jerih-payah Ku-lo Hwesio untuk melenyapkan Jit-kaucu dari muka bumi menjadi punah tak berbekas, dia tak segan mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan pertarungan adu jiwa. Baginya, asal Jit-kaucu bisa dilenyapkan, sekali pun harus mati dia tak sayang, namun ia bertindak kurang teliti, sebelum memeriksa mati-Iiidup lawan, ia telah berlalu begitu saja dan akibatnya usaha yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia belaka.
300
Pendekar Cacat
Tadi selagi Jit-kaucu tak sadar, bila Ku-lo Hwesio mengetahui gadis itu belum mati tentu akan menambahi dengan sebuah pukulan mematikan, sudah pasti Jit-kaucu takkan bisa hidup lebih lama.
Bong Thian-gak pun menyesal mengapa tak memeriksa lebih dulu atau mungkin Jit-kaucu memang belum ditakdirkan untuk mati? Terdengar Jit-kaucu berkata, "Kau yang menjumpai aku mati ternyata tak tega membiarkan jenazahku terbengkalai di tanah terbuka, bahkan menggalikan liang lahat untuk mengubur jenazahku, meski aku lak jadi mati, namun kebajikan serta kemuliaan hatimu sungguh membuat aku terharu dan tidak akan melupakan kebaikanmu itu untuk selamanya."
Sementara itu pikiran Bong Thian-gak amat kalut, dalam keadaan dan kondisi seperti ini sudah seharusnya ia menampilkan diri dan menggunakan segenap kekuatan yang ada untuk menyelesaikan tugas Ku-lo Sinceng yang belum terselesaikan itu. Begitu niat itu melintas. Bong Thian-gak segera mengambil keputusan dalam hati, sesudah tertawa dingin, katanya, "Aku tidak peduli bagaimana ilmu silatmu, aku bertekad bertarung melawanmu."
301
Pendekar Cacat
"Aku pun mengambil keputusan untuk tidak mencelakai jiwamu, sebagai ucapan terima kasihku atas kebaikanmu membuat liang lahat bagiku tadi." "Maaf kalau begitu!" sambil berkata dia segera maju sembari melancarkan sebuah tusukan kilat.
Ilmu silat Bong Thian-gak sekarang telah mencapai tingkat yang luar biasa, tusukan itu pun disertai tenaga yang amat dahsyat, itulah ilmu pedang terbang Cwan-sim-kiam-hoat (Ilmu pedang penembus hati). Jit-kaucu masih duduk di bawah pohon tanpa bergerak, menanti serangan itu datang, tiba-tiba saja dia menyentilkan jari tangannya ke depan. Bunyi bergemerincing yang memekakkan berkumandang memecah keheningan.
telinga
Sambil menarik kembali senjatanya, Bong Thian-gak mundur sejauh tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan terperanjat, "Hm, ilmu jari Kiam-goan-ci!" "Betul, inilah Kiam-goan-ci, ilmu sakti perguruan Mi-tiongbun di Tibet. Kiu-kaucu perkumpulan kami pernah memberitahu kau punya ilmu sakti aliran Mi-tiong-bun, nampaknya apa yang dia laporkan memang benar." "Kau maksudkan si nona berbaju merah itu?"
302
Pendekar Cacat
"Ya, betul! Ni Kiu-yu!"
Bong Thian-gak memang sudah menduga gadis berbaju merah yang muncul di pagoda Leng-im-po-tah itu tentu merupakan anggota Put-gwa-cin-kau, ternyata apa yang diduga memang betul, gadis muda itu adalah Kiu-kaucu. Jit-kaucu berkata lagi, "Hingga sekarang aku belum berhasil menduga riwayat hidupmu, tapi dari aliran ilmu silat yang kau miliki, bukan saja memahami ilmu silat Mi-tiong-bun dan menguasai seluruh aliran ilmu silat semua partai di kolong langit, bila dugaanku tidak salah hanya dua orang di kolong langit dewasa ini yang bisa mengajar seorang murid semacam kau ini."
"Siapakah kedua orang itu?" tanya Bong Thian-gak keheranan. "Pertama adalah Cong-kaucu perkumpulan kami!" "Kau maksudkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?" seru Bong Thian-gak tertegun. "Hari ini aku ingin kau bicara blak-blakan, benarkah kau utusan khusus yang dikirim Cong-kaucu untuk mengawasi diriku?"
303
Pendekar Cacat
Semakin mendengar, Bong Thian-gak semakin bingung, tapi dari perkataan Jit-kaucu ini pula dia tahu bahwa antara sesama anggota Put-gwa-cin-kau sebenarnya saling tidak percaya dan curiga. Kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau terbentuk karena usaha Cong-kaucu yang mempengaruhi orang dengan kekerasan. Sekarang Bong Thian-gak dihadapkan pada suatu masalah penting yang harus diputuskan dengan cepat, tanpa terasa dia berkerut kening sambil termenung.
Dengan sorot mata tajam Jit-kaucu mengawasi wajah Bong Thian-p.ak lekat-lekat, gumamnya, "Selama puluhan tahun terakhir ini, Suhu amat baik terhadapku, mengapa aku harus mencurigai dia?" Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Jit-kaucu, kemudian katanya, "Tadi Ku-lo Sinceng telah berkata kepadamu, dari dulu hingga sekarang terdapat pentolan persilatan yang ingin menjadi raja dunia persilatan, coba berapa banyak orang yang tewas dengan nama rusak dan tubuh binasa? Bilamana kau pintar, sudah seharusnya berpaling ke jalan benar, mumpung sekarang masih belum terlambat."
304
Pendekar Cacat
"Kau menginginkan aku berbuat apa?" tanya Jit-kaucu dengan miara hambar. "Melepas jalan sesat kembali ke jalan yang benar." Jit-kaucu tersenyum. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?" serunya. "Aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!" jawab Bong Thiangak. "Oh, kalau begitu kau adalah muridnya?" "Murid siapa?" "Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!" Mendengar itu kontan paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, tanyanya, "Kau pun kenal nama itu?" "Tiada nama jago lihai di dunia ini yang tidak kukenal."
Diam-diam Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia berpikir, "Sebelum menemui ajal. Suhu kedua telah berkata, ada seorang lain pernah memperoleh pelajaran ilmu silat darinya, mungkinkah orang itu adalah Jit-kaucu?"
305
Pendekar Cacat
Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera bertanya, "Kau pernah berjumpa dengannya?" "Kau ini bagaimana? Mengapa tidak menjawab dulu pertanyaan orang?" "Ya, betul! Dia adalah guruku," jawab Bong Thian-gak kemudian dengan suara tegas. Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, tanyanya, "Sudah matikah dia?" "Ya, baru beberapa bulan berselang." Jit-kaucu menghela napas, "Ai, pernahkah dia menceritakan sesuatu tentang diriku?" "Sebenarnya ada hubungan apakah antara kau dengan dia orang tua?" "Guru yang memberi pelajaran ilmu silat selama empat puluh sembilan hari kepadaku."
Dengan terkejut Bong Thian-gak berkata, "Jit-kaucu, kau adalah orang pertama yang memperoleh warisan ilmu silat dari dia orang tua?"
306
Pendekar Cacat
"Benar, peristiwa itu berlangsung dua puluh tahun berselang, aku hanya empat puluh sembilan hari berada bersamanya." "Dua puluh tahun berselang? Lantas pada umur berapa kau bertemu dengan dia orang tua?" "Waktu berumur lima tahun." Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang-kali. "Sejak usia lima tahun sudah berlatih silat, bahkan memperoleh pelajaran silat selama empat puluh sembilan hari." "Waktu itu aku masih belum memahami ilmu silat, tapi dia orang tua membacakan teori ilmu silat dan suruh aku menghafal di luar kepala, maka aku pun ingat terus sampai sekarang."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai, sebelum meninggal, Suhu Ban Li-biau telah berkata kepadaku, 'Selama hidup Lohu hanya melakukan kejahatan, kemaruk akan nama, harta dan kedudukan, selalu berusaha mencapai harapan dengan menggunakan cara apa pun, tapi akibatnya tujuh puluh tahun hidupku di dunia ini sia-sia belaka ... Ai budi dendam dalam Bu-lim selamanya merupakan perputaran dari hukum karma, siksaan hidup
307
Pendekar Cacat
yang Lohu alami selama tiga puluh tahun ini betul-betul merupakan suatu hukuman yang paling adil....'." "Hanya mengucapkan kata-kata itu saja?" tanya Jit-kaucu. "Dia masih berkata bahwa ia pernah mewariskan ilmu silat kepada seorang lain, dia suruh aku baik-baik mempergunakan ilmu itu." "Ai, dia orang tua memang kelewat mengenaskan nasibnya, kelewat kesepian," ujar Jit-kaucu menghela napas. "Tahukah kau mengapa dia orang tua menjadi cacat seperti itu?" "Tidak!"
Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata, "Kau dan aku boleh dibilang berasal dari perguruan yang sama, kata-kata terakhir dari Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sudah jelas menerangkan bagaimana akibatnya bila seseorang melakukan kejahatan, sekarang bagaimana perasaanmu?" Paras muka Jit-kaucu berubah. "Kau jangan menasehati aku," katanya. "Aku harus memberi peringatan padamu agar jangan bercerita kepada siapa pun bahwa kau pernah belajar ilmu
308
Pendekar Cacat
silat dari Ban Li-biau, sebab bila rahasia ini sampai bocor, maka keselamatan jiwamu akan terancam." "Aku tidak takut menghadapi kematian, asal kematianku itu berharga, setiap saat aku bersedia mengorbankan diri demi keadilan dan kebenaran."
"Ya, kini kau dan aku sudah menjadi Suheng-moay," ucap Jit-kaucu sedih. "Tapi kita pun berhadapan sebagai musuh, bagaimana aku harus menyelesaikan persoalan ini?" Setelah mengucapkan kata-kata itu, wajahnya menampilkan perasaan sedih dan murung yang tak berlukiskan.
Bong Thian-gak sendiri pun merasa betapa cepatnya perubahan ini berlangsung, sebetulnya hari ini dia bertekad akan mengadu jiwa dengannya, tapi kenyataan membuktikan bahwa mereka adalah sesama saudara seperguruan, bagaimana mungkin dia bisa turun tangan? Mendadak Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya dan berkata dengan wajah serius, "Tentang usulku agar kau kembali ke jalan yang benar harap dipikirkan masak-masak, tindak-tandukmu di kemudian hari yang akan menentukan segalanya."
309
Pendekar Cacat
Usai berkata dia membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Mendadak Jit-kaucu berseru, "Tunggu dulu!" Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan, lalu bertanya, "Masih ada urusan apa lagi?"
Dengan wajah dingin Jit-kaucu berkata, "Apabila Ku-lo Hwesio masih ingin mempertahankan jiwanya atas luka yang dideritanya, suruh dia mengurungi sepasang kakinya sebatas lutut dalam tiga jam, biarkan darah mengalir keluar hingga berubah menjadi merah segar, kemudian baru hentikan aliran darah itu, bila melewati waktu yang ditentukan, maka dia akan berubah menjadi cacat!" Bong Thian-gak tertegun. "Mungkin dia mempunyai cara pengobatan yang lebih baik," katanya kemudian. "Hanya cara ini saja yang bisa mempertahankan ilmu silatnya hingga tidak punah, percaya atau tidak terserah kepadamu." "Siapa tahu dia tidak menderita begitu parah seperti apa yang kau ucapkan?"
310
Pendekar Cacat
"Ku-lo Sinceng memang telah berhasil menemukan ilmu silat yang bisa menandingi Soh-li-jian-yang-sin-kang, namun dia telah salah memperhitungkan kesempurnaan tenaga dalamku."
Sampai di situ dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku bernama Thay-kun, di Bu-lim hanya kau seorang yang mengetahui namaku itu." "Thay-kun? Kau berasal dari marga apa?" tanya Bong Thiangak dengan kening berkerut. "Belum kuketahui apa margaku." Walaupun Bong Thian-gak agak tercengang oleh jawaban itu, namun dia juga tidak banyak bertanya, katanya kemudian, "Sampai jumpa lain waktu!" Dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari tempat itu. Jit-kaucu Thay-kun memandangnya hingga bayangan punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, kemudian sambil menghela napas gumamnya, "Mengapa aku memberitahu banyak hal kepadanya ... mengapa aku harus memberitahu namaku kepadanya ...." Dia pun bangkit dan mengayunkan langkah meninggalkan tebing Kui-thau-nia itu.
311
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak mengerahkan Ginkang menuju gedung Bulim Bengcu. Sepanjang jalan, banyak persoalan yang dipikirkan olehnya. Dia sama sekali tidak menyangka Jit-kaucu adalah ahli waris lain Jian-bin-hu-li Ban Li-biau. Di usia lima tahun, ternyata selama empat puluh sembilan hari dia digembleng ilmu silat oleh Ban Li-biau, peristiwa itu membuat orang sukar percaya. Dari keberhasilan Jit-kaucu Thay-kun menguasai ilmu silat, mau tak mau orang harus percaya juga. Dia adalah salah seorang ahli waris Ban Li-biau, bagaimana pun juga dia harus memberi kesempatan baginya untuk menempuh hidup baru. Ai, perubahan yang terjadi atas segala persoalan ini memang berlangsung sangat mendadak, perlukah masalah itu diberitahukan kepada Ku-lo Sinceng? Teringat akan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera mempercepat langkahnya, setengah jam kemudian dia telah tiba di depan pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu.
312
Pendekar Cacat
Pengawal pintu yang menyaksikan kedatangan Bong Thiangak, segera menyongsong seraya berkata dengan penuh rasa hormat, "Ko-siauhiap, Bengcu telah berpesan, bila Siauhiap telah kembali dipersilakan segera menuju loteng sebelah timur." Bong Thian-gak sudah menduga akan duduk masalahnya, dia segera menerobos ke dalam gedung dan menuju ke loteng sebelah timur.
Begitu masuk ke loteng, ia saksikan di ruang tamu sudah menunggu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan, Toan-jong-hongliu Yu Heng-Sui, Oh Cian-giok, Ui-hok Totiang dari Bu-tongpay, Wan-pit-kim-to Ang Thong-lam, Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong serta Goanko Taysu. Sedang di atas kasur duduk bersila Ku-lo Hwesio, saat itu dia sedang memejamkan mata dengan wajah memucat, mukanya sama sekali tidak nampak warna darah. Begitu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menyaksikan Bong Thiangak kembali, buru-buru dia menyongsong seraya berseru, "Ko-siauhiap, Ku-lo Supek ada pesan yang hendak disampaikan kepadamu."
313
Pendekar Cacat
Sorot mata Bong Thian-gak yang tajam dengan cepat menyapu semua wajah orang dengan serius, murung dan sedih, ia segera mengetahui apa gerangan yang telah terjadi. Buru-buru dia maju, menjatuhkan diri dan berlutut, ujarnya kepada Ku-lo Sinceng, "Wanpwe menjumpai Sinceng, entah Sinceng ada pesan apa yang hendak disampaikan?" Waktu itu Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata rapatrapat, namun bibirnya masih dapat bergerak mengeluarkan suara yang amat lirih, terdengar dia berbisik, "Ko-siauhiap, Pinceng sudah tak dapat hidup lebih lama lagi... Jit-kaucu juga telah mati...."
Sebenarnya Bong Thian-gak hendak memberitahu kepadanya bahwa Jit-kaucu belum mati, namun kuatir Ku-lo Hwesio terlalu kaget, maka dia hanya berkerut kening dan untuk sementara waktu tidak berkata apa-apa. Terdengar Ku-lo Hwesio berkata lebih jauh, "Selanjutnya musuh-musuh tangguh dari Put-gwa-cin-kau ... harus ... harus kalian dan Ho-hiantit menghadapinya! Pinceng sengaja menunggumu karena aku hendak mewariskan ilmu Tat-mo-khi-kang kepadamu ... sayang bila ilmu sakti ini sampai hilang dari dunia ini ... Tat-mo-khi-kang sudah ratusan tahun lenyap dari dunia persilatan, Pinceng pun harus mengorbankan waktu delapan tahun untuk mencapai tingkat tiga."
314
Pendekar Cacat
"Dari tingkat empat sampai tingkat sepuluh ... kitab itu sudah hilang sejak tiga puluh tahun lalu, kitab itu dicuri orang dari tempat penyimpanan oleh orang tak dikenal... orang itu mungkin adalah ...." "Toa-supek, siapakah orang itu?" Goan-ko Taysu berseru keras. Ku-lo Hwesio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya berkata lebih lanjut, "Meskipun ia berhasil mencuri kitab Tat-mo-khi-kang dari tingkat keempat hingga sepuluh, tapi tak pernah berhasil mempelajari ilmu sakti itu, sebab dasar utama ilmu Tat-mo-khi-kang justru terletak pada tingkat pertama dan kedua, bila dasarnya tak ada, maka sulit untuk mencapai tingkat keempat yang jauh lebih dalam isinya ...." "Bila seseorang bisa melatih ilmu Tat-mo-khi-kang hingga tingkat ketujuh, maka sudah cukup menjagoi kolong langit dan sukar untuk dicari tandingannya." "Bila dugaan Pinceng tak salah dan bila orang yang mencuri kitab pusaka Tat-mo-khi-kang dari tingkat keempat sampai kesepuluh itu benar-benar dia, maka Ko-siauhiap sudah pasti telah memperoleh ilmu warisan darinya."
Ketika Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan mendengar sampai di situ, mereka tahu siapa orang yang dimaksud Ku-lo
315
Pendekar Cacat
Hwesio, sudah pasti orang yang mencuri kitab pusaka Tatmo-khi-kang dari tingkat empat sampai sepuluh itu adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau. Bong Thian-gak sendiri ketika mendengar ucapan itu, segera teringat suatu peristiwa di saat Ban Li-biau hendak mewariskan ilmu silat kepadanya. Maka dengan cepat Bong Thian-gak menjawab, "Apa yang diduga Sinceng memang benar, orang yang mencuri kitab itu memang dia orang lua." Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, dia lantas bertanya, "Mengapa kau merasa yakin?"
"Suatu waktu tatkala dia orang tua sedang memberi pelajaran ilmu silat kepadaku, beliau telah mewariskan ketujuh kupasan ilmu itu dengan catatan aku hanya boleh menghafal tidak boleh melatihnya dengan akibat bisa mendatangkan bibit bencana. Pada saat itu meski aku merasa heran, besar kemungkinan ilmu itu adalah Tat-mokhi-kang." Paras muka Ku-lo Hwesio segera nampak berseri, tanyanya dengan cepat, "Ko-siauhiap, apakah kau masih hapal semua ilmu itu?"
316
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menjawab, "Ai, waktu itu dia orang tua berkata, Hanya menghapal dan jangan dilatih, karena bisa mengakibatkan kematian, oleh sebab itu Wanpwe merasa ilmu itu tak ada gunanya, maka liku tidak mengingatnya secara baik, bahkan dua-tiga bagian yang terakhir berhubung ada huruf dan kata yang asing, seperti bukan huruf lian, pada hakikatnya sulit buatku untuk mengingatnya."
Mendengar itu Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sayang, sayang sekali, kalau begitu ilmu Tat-mo-khi-kang tak pernah akan menjadi utuh ... perkataan Ko-siauhiap memang benar, kitab pusaka Tat-mo-khi-kang memang ditulis sendiri oleh Tat-mo Cosu pendiri kuil Siau-lim-si kami, ketika itu semua tulisan dicatat dalam huruf negeri Thian-tiok sehingga sulit bagi orang yang tidak memahami. Selama ratusan tahun belakangan ini, banyak sudah tokoh Siau-lim-si yang mendalami ilmu itu, namun selama ini hanya seorang saja yang berhasil hingga mendalami tingkat ketujuh, sebab kecuali tingkat satu sampai tingkat tujuh yang ada terjemahannya dalam bahasa Han, dari tingkat delapan sampai sepuluh memang ditulis dalam huruf Sansekerta!"
"Kecuali tiga bagian yang terakhir tidak mampu Wanpwe hafalkan secara baik, empat bagian yang pertama mungkin masih bisa diingat dengan baik."
317
Pendekar Cacat
Dengan gembira Ku-lo Hwesio berkata, "Bagus sekali kalau begitu, berarti dunia persilatan bisa ditolong." Cepat Bong Thian-gak berkata, "Walau Locianpwe sudah terkena pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, belum tentu luka itu menyebabkan kematian, sebab Wanpwe mempunyai cara untuk menyelamatkan Locianpwe, sekarang paling baik kalau kita mengobati dulu luka yang diderita Locianpwe." "Ko-siauhiap, dengarkan baik-baik," Ku-lo Hwesio berkata dengan cemas. "Kematian Pinceng tiada sesuatu yang perlu disayangkan, persoalan yang paling Pinceng kuatirkan adalah hilangnya Tat-mo-khi-kang ini dari dunia persilatan, sebab hanya ilmu Tat-mo-khi-kang yang merupakan dasar ilmu silat, asal Tat-mo-khi-kang ini bisa diwariskan kepada seseorang, maka ilmu sesat macam apa pun jangan harap bisa menandinginya." "Oleh sebab itu sekarang aku harus memanfaatkan kesempatan yang amat pendek ini untuk mewariskan ketiga bagian Tat-mo-khi-kang itu kepadamu, asal kau mampu menguasai ilmu itu, berarti dunia persilatan akan menemukan bintang penolong."
Bong Thian-gak tahu Ku-lo Hwesio tidak percaya bila dia mampu menyembuhkan luka itu, dalam keadaan demikian dia tak berani lagi mengungkapkan bahwa Jit-kaucu sebetulnya belum mati.
318
Pendekar Cacat
Kini ia dihadapkan pada persoalan yang sukar untuk diputuskan. Terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Pinceng pun mempunyai cara untuk mengobati luka ini, tapi tidak terlalu yakin, maka Pinceng lebih suka mengorbankan nyawaku daripada membuang waktu dengan percuma. Ko-siauhiap, kau orang pintar, kau harus mempunyai pilihan yang tepat. Sekarang cepat kau kumpulkan semua perhatian dan pikiranmu untuk mendengar pelajaranku ini .... Semua orang yang berada di loteng harap mengundurkan diri dari sini dan jaga keamanan di sekitar pagoda ini, jangan biarkan orang memasuki tempat ini."
Begitu Ku-lo Hwesio selesai berkata, Ho Put-ciang sekalian segera beranjak dan mengundurkan diri dari situ. Bong Thian-gak segera berteriak, "Ho-bengcu, jangan pergi dulu, aku masih ada persoalan yang hendak disampaikan." Dengan paras muka serius, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berpaling, kemudian sahutnya, "Ko-siauhiap, bila kau tidak memiliki keyakinan seratus persen, lebih baik menurut saja perkataan Sinceng." "Sinceng adalah tokoh persilatan yang berilmu tinggi, apakah kita harus membiarkan dia mati begitu saja?" "Sinceng setia kawan dan rela mengorbankan jiwa, lebih baik Ko-siauhiap pusatkan segenap perhatianmu ...."
319
Pendekar Cacat
Belum selesai berkata, dia sudah membalikkan badan dan mengundurkan diri dari situ. Bong Thian-gak berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, dilihatnya pendeta itu sedang memejamkan mata, kulit mukanya yang kurus kering n.impak kekuning-kuningan, tak tahan lagi ia berbisik, "Locianpwe!" Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di hadapannya. Ternyata pada saat itu Bong Thian-gak teringat cara penyembuhan yang diajarkan Jit-kaucu Thaykun kepadanya, untuk menyembuhkan luka Ku-lo Hwesio memang belum tentu bisa.
Berada dalam keadaan seperti ini, dia tak berani banyak bicara, ditambah Ku-lo Sinceng telah memusatkan perhatiannya mewariskan Ilmu rahasia itu. "Tingkat pertama Tat-mo-khi-kang berbunyi: Dasar pernapasan merupakan akar kepandaian, kendorkan badan, atur pernapasan, aliran darah harus dasar ...." ***
320
Pendekar Cacat
5 WASIAT KU LO HWESIO
D
alam kejutnya, cepat Bong Thian-gak duduk bersila di atas tanah dan mulai memejamkan mata mengikuti pelajaran itu dan dihapalkan dalam hati.
Sepatah demi sepatah Ku-lo Hwesio membaca rahasia Tatmo-khi-kang dengan sabar dan jelas. Sementara Bong Thian-gak juga menghimpun segenap pikiran dan perhatiannya mendengarkan dan mengingat sambil memahami.
Dalam waktu singkat kedua orang itu seakan-akan lupa akan segala persoalan, mereka memusatkan pikiran dan pendengaran dalam mempelajari kepandaian sakti Tat-mokhi-kang, biar di samping mereka ada suara ledakan keras pun belum tentu mereka mendengar.
321
Pendekar Cacat
Waktu berlalu dengan cepat.... Tengah hari telah lewat ... matahari pun mulai tenggelam, Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak yang berada di atas loteng masih melanjutkan pelajaran Tat-mo-khi-kang, Bong Thian-gak mengulangi ketiga tingkat ilmu itu, kemudian kedua pihak saling membahas dan memecahkan.
Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang dan para jago yang ada di luar pendopo tak berani lengah, tak pernah mengendorkan tugas mengawasi dan melindungi daerah sekitar situ, sekeliling pendopo dijaga sedemikian ketatnya ibarat sebuah benteng yang terbuat dari baja.
Kini senja telah lewat, namun Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak yang berada di atas loteng masih belum nampak sesuatu gerakan. Pada saat itulah dari depan halaman gedung Bu-lim Bengcu tiba-tiba berkumandang suara tambur bertalu-talu, menunjukkan keadaan dalam bahaya. Mendengar tanda bahaya itu, paras muka Ho Put-ciang dan sekalian jago segera berubah hebat.
322
Pendekar Cacat
Dengan cepat Ho Put-ciang menurunkan perintah, "Ada musuh tangguh menyerang gedung Bu-lim Bengcu, harap semua orang tetap berjaga di sini, Yu-heng! Oh-sumoay, kalian berdua menengok keadaan di luar, segera utus orang untuk memberi laporan!" Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok menerima perinlah dan segera berangkat menuju ke halaman depan.
Kemudian Ho Put-ciang berkata kepada Thia Leng-juan, "Thia¬heng, harap naik ke loteng dan bertahan di anak tangga, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam berjaga di pintu gerbang, sedangkan Ui-hok Totiang, Yu-koancu dan aku bertiga masing-masing bertahan pada tiga lorong tembus halaman samping."
Ho Put-ciang tak malu disebut pemimpin dunia persilatan, selain reaksinya cepat, perintahnya tegas. Begitu menerima perintah, kawanan jago segera membubarkan diri untuk melakukan tugasnya masing-masing, Dalam tempo singkat suasana berubah menjadi tegang, seram dan mengerikan.
323
Pendekar Cacat
Dari depan gedung sana lamat-lamat terdengar suara benturan senjata, teriakan, jerit kesakitan serta gelak tawa melengking seperti jeritan setan dan lolong serigala.
Begitu mendengar suara gelak tertawa yang mengerikan itu, paras muka Ho Put-ciang berubah hebat, ternyata dari gelombang suara tertawa lawan yang melengking, Ho Putciang tahu musuh memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Mendadak dari luar halaman sana terdengar suara langkah kaki berlari mendekat, ternyata orang itu adalah Oh Ciangiok.
Ho Put-ciang menyongsong kedatangannya sambil bertanya, "Sumoay, musuh tangguh darimanakah yang telah menyantroni kita?" Paras muka Oh Cian-giok pucat-pias seperti mayat, sahutnya dengan cemas, "Tenaga dalam pihak lawan sangat tangguh, dalam sekejap ia telah melukai dua puluh orang pengawal gedung ... Ji-suheng lelah terjun ke gelanggang, tapi agaknya dia tak sanggup bertahan." "Hanya seorang?" "Ya, hanya seorang! Musuh berperawakan tinggi besar kurus seperti mayat hidup."
324
Pendekar Cacat
"Yang datang pasti tak bermaksud baik, yang bermaksud baik tak akan datang, musuh berani menyerang gedung Bulim Bengcu sudah pasti kepandaian silatnya amat lihai, dengan kemampuannya sudah pasti para pengawal gedung tak mampu bertahan, daripada korban berjatuhan lebih banyak, cepat turunkan perintah agar semua mundur ke dalam, suruh Yu-sute segera mundur kemari!"
Baru saja Oh Cian-giok mendapat perintah dan berlalu, mendadak berkumandang gelak tawa yang tajam menyeramkan dan memekakkan telinga. Sesosok bayangan orang secepat sambaran kilat sudah meluncur datang dari arah depan sana. Dengan terkejut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang membentak keras, "Siapa yang datang? Harap melaporkan nama!" Di tengah bentakannya, dua gulung tenaga pukulan yang maha dahsyat sudah dilontarkan ke depan.
Ilmu silat orang itu betul-betul sangat lihai, tubuhnya yang sedang meluncur datang itu sudah berjumpalitan dan meloloskan diri dari sambaran kedua gulung serangan maut itu, kemudian tubuhnya melayang turun.
325
Pendekar Cacat
Tidak begitu saja, mendadak lengannya yang panjang diayun melepaskan segulung pukulan hawa dingin dari kejauhan, berbareng badannya meluncur ke arah sebelah kiri.
Ho Put-ciang adalah seorang Bu-lim Bengcu, pengetahuannya tentu saja sangat luas, begitu menyaksikan datangnya pukulan hawa dingin musuh, dia segera tahu serangan itu beracun. Dalam keadaan begini, dia tak berani menyambut datangnya serangan itu dengan kekerasan, cepat badannya mundur. Posisi dimana Ho Put-ciang mundur persis menyambut datangnya serangan musuh dari sebelah kiri.
Agaknya orang itu tidak menyangka gerakan tubuhnya yang begitu cepat bisa dihadang oleh lawan. Dalam keadaan tertegun, dia segera menghentikan gerak badannya dan tak melakukan serangan lagi. Dengan demikian Ho Put-ciang dapat melihat jelas paras muka pendatang itu dengan jelas.
326
Pendekar Cacat
Musuh mempunyai sepasang mata cekung ke dalam, kedua bola matanya berwarna hijau, rambutnya panjang terurai sebahu, tidak laki tidak perempuan, perawakannya tinggi ceking hingga pada hakikatnya tinggal kulit pembungkus tulang, ibarat bambu menancap di atas tanah saja. Yang paling istimewa adalah sepasang tangannya yang begitu panjang hingga terkulai melebihi lutut, dilihat dari kejauhan bentuknya menyerupai dua kaki cadangan.
Makhluk aneh itu melototi wajah Ho Put-ciang dengan bola matanya yang hijau mengerikan, kemudian sambil tertawa seram, ia berkata, "Kaukah Bengcu baru dari gedung Bu-lim Bengcu ini?" Paras muka Ho Put-ciang amat serius, jawabnya cepat, "Benar, akulah Ho Put-ciang, tolong tanya siapa nama anda?" "Hehehe ...." orang aneh itu tertawa seram. "Aku adalah Liok-kaucu (ketua nomor enam) Put-gwa-cin-kau!" Mendadak dari delapan penjuru gedung Bengcu berkumandang suara tambur yang dibunyikan bertalu-talu.
327
Pendekar Cacat
Paras muka Ho Put-ciang segera berubah hebat, tegurnya tanpa terasa, "Berapa orang yang dikirim Put-gwa-cin-kau kemari hari ini?" "Untuk melenyapkan gedung Bu-lim Bengcu dari muka bumi, buat apa mesti mengutus banyak orang?" jawab Liokkaucu dengan suara menyeramkan, "Liok-kaucu dan Kiukaucu (ketua nomor sembilan) dari Put-gwa-cin-kau pun sudah lebih dari cukup!" "Hanya kalian berdua?" tegur Ho Put-ciang pula dengan kening berkerut kencang.
Rupanya dari empat penjuru gedung Bu-lim Bengcu sudah terdengar suara pertempuran yang berlangsung amat seru, agaknya di seputar gedung sudah kedatangan musuh dalam jumlah banyak. Liok-kaucu tertawa, "Masih ada lagi tiga orang pengawal tanpa tanding yang biasanya mengawal di samping Congkaucu." "Kalau begitu dari perkumpulan kalian telah datang lima orang jago bukan?" "Benar."
328
Pendekar Cacat
"Hm, hanya mengandalkan kekuatan lima orang perkumpulan kalian pun sudah ingin menumpas gedung Bu-lim Bengcu, apakah kalian tidak merasa perbuatan itu benar-benar kelewatan." Liok-kaucu tertawa dingin, "Hehehe, apabila tidak percaya, mengapa tidak dilihat sendiri?"
Mendadak pada saat itulah dari depan sana berlarian mendekat Oh Cian-giok, dengan napas tersengal-sengal dia berkata, "Lapor Toa-suheng, Ji-suheng telah dilukai olehnya. Dari arah timur, barat, utara dan selatan telah muncul musuh tangguh melancarkan serbuan, pengawal gedung kita banyak yang terluka dan tewas." Paras muka Ho Put-ciang berubah amat serius, katanya kemudian dengan suara dalam, "Cepat turunkan perintah agar semua pengawal mengundurkan diri, tak usah menghalangi serbuan musuh!"
Tindakan yang dilakukan oleh Ho Put-ciang ini memang sangat lumrah, pada saat itu segenap kekuatan inti gedung Bu-lim Bengcu dipusatkan di sekitar loteng itu untuk melindungi keselamatan Bong Thian-gak, mereka boleh dibilang tak mampu bergeser dari posisi masing-masing, itulah sebabnya satu-satunya jalan yang bisa mereka tempuh adalah membiarkan musuh menyerang sampai ke
329
Pendekar Cacat
halaman itu, kemudian para jago berusaha membendung serbuan lawan.
Jika tidak demikian, mereka akan terkena siasat memancing harimau turun gunung yang sengaja dilakukan pihak lawan. Liok-kaucu tertawa seram, "Hehehe, bocah perempuan jangan pergi dulu!" Di tengah bentakannya, lengan kiri diayun ke muka melancarkan sebuah pukulan dahsyat, langsung menghantam tubuh Oh Cian-giok yang berada di depannya.
Ho Put-ciang sama sekali tidak menyangka pihak lawan bakal melancarkan serangan ke arah Oh Cian-giok, buruburu teriaknya, "Sumoay, jangan kau sambut serangan itu!" Sayang terlambat, diiringi jeritan tertahan, tubuh Oh Ciangiok sudah tertumbuk oleh angin pukulan itu hingga mencelat dan roboh terkapar di atas tanah. Ho Put-ciang gusar, dengan suara menggeledek ia membentak nyaring, "Tua bangka sialan, kau berani berbuat kejahatan?"
330
Pendekar Cacat
Dengan garang dia menubruk ke depan, kelima jari tangan kanannya diputar melepas lima gulung desiran angin tajam yang secara langsung menghajar bagian mematikan tubuh lawan. Serangan Ho Put-ciang yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini menggunakan ilmu silat perguruannya yang paling hebat, yakni ilmu Thi-ciang-sin-ci (Telapak tangan baja jari sakti).
Lima gulung desiran angin tajam dengan kecepatan tinggi langsung meluncur ke depan dan menghajar lawan. Liok-kaucu bukan orang bodoh, agaknya dia tahu juga kelihaian jurus ini, sambil tertawa seram, telapak tangannya secara beruntun melancarkan beberapa serangan berantai, sementara kaki juga berputar secepat sambaran petir, menjauh dari serangan lawan.
Melihat serangan dahsyatnya tidak mengenai sasaran, Ho Put-ciang siap menerjang ke depan, tiba-tiba terdengar Uihok Totiang dari Bu-tong-pay berkata, "Ho-bengcu, cepat ke depan dan periksa luka adik seperguruanmu itu, biar Pinto yang menghadapi lawan!" Sementara itu Ui-hok Totiang dengan pedang terhunus sudah memburu ke depan, pedangnya diputar menciptakan
331
Pendekar Cacat
beribu titik cahaya bintang, kemudian bersama-sama menggulung ke tubuh Liok-kaucu.
Ui-hok Totiang adalah jago pedang kenamaan dari Bu-tongpay, ilmu pedangnya sudah tentu lihai sekali, begitu turun tangan dia segera mengembangkan ilmu pedang Thaykhek-kiam-hoat yang lihai. Hawa dingin yang lembut menyusul gelombang pedang yang datang menggulung, langsung mengurung sekujur tubuh lawan secara ketat. Ho Put-ciang tahu akan kesempurnaan tenaga dalam Uihok Totiang, kendati bukan tandingan musuh, untuk sementara tak sampai kalah, maka buru-buru dia menghampiri Oh Cian-giok.
Tampak paras muka si nona pucat-pias oleh penderitaan yang hebat, dia sedang meronta dari tanah dan duduk. Ho Put-ciang segera membimbingnya sembari menegur, "Sumoay, parahkah lukamu?" Oh Cian-giok menggerakkan bibir seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi kemudian dia memuntahkan darah segar dan tak sadarkan diri.
332
Pendekar Cacat
Ho Put-ciang benar-benar sakit hati menyaksikan kejadian itu, sambil membopong tubuh Oh Ciang Giok, dengan cepat dia melayang masuk ke dalam loteng sebelah timur.
Pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan yang bertugas di loteng segera menegur dengan cemas, "Bagaimana keadaan Oh-sumoay?" "Thia-tayhiap, lindungi keselamatan Sumoayku ini, keadaan di luar amat gawat, mungkin pihak musuh akan melancarkan sergapan kilat." Belum habis dia berkata, Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay yang bertugas di depan pintu gerbang berteriak, "Sicu, harap berhenti!"
Segera Ho Put-ciang membaringkan tubuh Oh Cian-giok ke atas tanah, lalu mengangkat kepala. Entah sejak kapan di depan pintu telah muncul orang berbaju hitam berkerudung yang menggembol sepasang pedang di punggung, orang itu sedang berjalan menuju pintu gerbang dengan langkah lebar. Goan-ko Taysu cepat bertindak, dia melejit ke depan dan menghadang di depan pintu gerbang.
333
Pendekar Cacat
Orang berkerudung berbaju hitam itu membungkam dalam seribu bahasa, begitu melangkah ke depan, mendadak ia mendesak sambil melancarkan terkaman, sepasang telapak tangan diayunkan kian kemari, secara beruntun dia telah melepaskan tiga serangan berantai ke arah Goan-ko Taysu. Ketiga serangan itu hampir semuanya merupakan jurus serangan yang lihai, setiap gerakan dilancarkan dari sudut yang tak terduga, meluncur datang secara beruntun dalam waktu singkat, seluruh angkasa bagaikan diselimuti oleh hawa serangan yang tajam.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang melihat situasi itu amat terperanjat, mereka tahu Goan-ko Taysu bakal celaka. Betul juga, Goan-ko Taysu tak mampu menghindarkan diri dari ketiga serangan itu, bahu kirinya kena pukulan hingga mundur dengan sempoyongan dan terjatuh menindih palang pintu sebelah kiri. Dengan gusar Ho Put-ciang membentak, "Siapa kau?"
Secepat kilat tubuhnya menerjang ke depan, telapak tangan kirinya menciptakan beribu bayangan telapak
334
Pendekar Cacat
tangan yang menyelimuti angkasa, segulung demi segulung diayunkan ke depan tiada hentinya. Serangan yang dilancarkan ini ibarat hembusan angin lembut di musim semi, meluncur dan menyapu tiada hentinya, dalam satu gebrakan saja seolah-olah terdiri dari seribu pukulan.
Selapis hawa pukulan yang dahsyat ibarat amukan ombak di tengah badai, menggulung ke depan mengikuti gerak serangan tadi. Mencorong sinar tajam yang menggidikkan dari balik mata orang berkerudung berbaju hitam itu, bentaknya dengan suara rendah, "Ah, Te-jian-thian-ciu-jian-jiu (Seribu telapak tangan mengguncang bumi mengaduk langit)." Tubuhnya tidak mundur, malah maju dan langsung menyongsong datangnya serangan itu, tiba-tiba sepasang lengannya bergetar secara aneh. Beberapa benturan nyaring berkumandang.
Akibat benturan itu, orang berkerudung berbaju hitam maupun Ho Put-ciang sama-sama tergetar mundur tiga langkah.
335
Pendekar Cacat
Paras muka Ho Put-ciang diliputi rasa kaget dan tercengang, dia tak menyangka pihak musuh dapat menyebut nama pukulan sakti yang digunakannya itu dalam waktu cepat, bahkan berhasil pula mematahkan serangan Te-jian-thian-ciu-jian-jiu yang sudah puluhan tahun lamanya merajai dunia persilatan. Sesungguhnya siapakah orang ini?
Ho Put-ciang membelalakkan mata mengawasi lawan tanpa berkedip, apa mau dikata, muka lawan ditutupi cadar hitam yang tebal menutupi seluruh wajah aslinya. Mendadak orang berkerudung menggerakkan telapak tangannya ke belakang bahu, dua bilah pedang pendek yang memancarkan cahaya tajam langsung digenggam di telapak tangan kiri dan kanan. Kemudian tubuhnya menerjang ke muka, tanpa mengucapkan sepatah kata pun sepasang pedangnya menusuk dada Ho Put-ciang.
Ho Put-ciang tahu tenaga dalam lawan sangat lihai, gerak serangannya mungkin menggunakan jurus yang amat sederhana dan biasa, namun hakikatnya cukup mematikan siapa pun yang berani menghadapinya.
336
Pendekar Cacat
Menyaksikan datangnya tusukan pedang yang menyambar amat cepat itu, serta-merta ia mundur dua langkah.
Siapa tahu jurus serangan orang itu hanya jurus tipuan belaka, di saat Ho Put-ciang mundur, sepasang bahunya bergerak dan menerobos masuk melalui sisi kiri-kanan Ho Put-ciang, langsung menerjang ke arah mulut tangga. Pada waktu itu Thia Leng-juan telah bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan, sambil menghentak kipas di tangan menciptakan herlapis-lapis bayangan serangan yang mengancam berpuluh titik darah I anting di separoh bagian tubuh orang berkerudung itu.
Dengan cekatan orang itu membalik badan menghindari serangan kipas Thia Leng-juan, bersamaan pula sepasang pedang di tangannya diputar secepat kilat, gerakan pedang bergetar bagaikan cahaya bintang membelah angkasa. Jurus pedang dipakai menghindar, juga untuk melancarkan serangan ini betul-betul luar biasa hebatnya.
Thia Leng-juan merasa terkecoh oleh gerakan lawan, "Crit", tak ampun lengan kirinya tersambar oleh sabetan pedang
337
Pendekar Cacat
lawan hingga terluka memanjang ke bawah, darah segar segera muncrat membasahi seluruh lengannya. Rasa kaget Ho Put-ciang kali ini benar-benar luar biasa, dia tak mengira pihak musuh memiliki ilmu silat yang begitu lihai, sadarlah jagoan ini bahwa keadaan yang dihadapi hari ini sangat gawat.
Berada dalam situasi seperti ini, dia tidak peduli kedudukan lagi, sekali melompat tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun di samping Thia Leng-juan, maksudnya mereka akan menggunakan kekuatan dua orang untuk bersama-sama menghadapi serangan musuh. Orang berkerudung itu tertawa dingin, jengeknya, "Apabila kalian berdua tahu diri, cepatlah melarikan diri! Kalau tidak, hm ... hm ... sudah pasti kalian akan terkubur di sini!" "Siapa kau? Mengapa tidak kau tunjukkan paras aslimu?" tegur Ho Put-ciang. "Hm, aku adalah komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau!"
Ho Put-ciang tahu tak mampu memaksa lawan mengutarakan nama aslinya, maka dia bertanya lagi,
338
Pendekar Cacat
"Apakah kau adalah pimpinan penyerbuan ke gedung Bulim Bengcu malam ini?" "Benar, akulah orangnya!" "Apa maksudmu menyerbu gedung Bu-lim Bengcu malam ini?" Orang berkerudung itu tertawa riang. "Untuk membalas sahutnya.
dendam
kematian
Sam-kaucu!"
"Akulah orangnya yang telah membunuh Sam-kaucu, bila ada persoalan boleh disampaikan kepadaku," seru Ho Putciang dengan suara berat dan dalam. Orang berkerudung tertawa dingin. "Hehehe, hanya mengandalkan kemampuan Ho-bengcu seorang juga ingin membunuh Sam-kaucu kami? Hm ... hm ... pembunuhnya terdiri dari empat orang, yang menjadi otak pembunuhan ini adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-limpay, pembunuhnya adalah Ho-bengcu, Thia Leng-juan serta seorang yang bernama Ko Hong!"
Terkejut juga Ho Put-ciang mendengar perkataan itu, katanya dengan kening berkerut, "Benar, kami bertiga pembunuhnya, mau apa kau sekarang?"
339
Pendekar Cacat
"Siapa berhutang nyawa, dia harus membayar dengan nyawa, kalian bertiga hariis mengembalikan nyawa Samkaucu!" "Sekarang kalian harus mengundurkan diri dari gedung Bengcu lebih dulu, besok kami bertiga pasti akan menanti kedatanganmu." Kembali orang berkerudung tertawa dingin, "Hehehe, masih ada satu hal lagi, aku hendak berjumpa dengan Ku-lo Hwesio!"
Baru selesai dia berkata, dari atas loteng berkumandang suara sahutan seseorang dengan suara nyaring, "Belum lama Ku-lo Sinceng telah kembali ke alam baka, sayang kedatanganmu terlambat!" Ucapan itu kontan membuat ketiga orang yang berada di situ menjadi amat terperanjat, Ho Put-ciang dan Thia Lengjuan serentak berpaling ke belakang.
Ternyata orang yang barusan berbicara adalah Bong Thiangak, saat ini dia sedang berdiri di mulut anak tangga dengan wajah murung, sedih dan pedih. Thia Leng-juan berseru, "Ko-heng, apakah Ku-lo Supek dia orang lua ...."
340
Pendekar Cacat
"Ai ... dia orang tua telah menghembuskan napasnya yang penghabisan," jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas sedih.
Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sudah tahu Kulo Hwesio bakal tewas akibat luka parah yang dideritanya, namun tidak menduga kepergiannya begitu cepat, maka mendengar jawaban itu mereka malah tertegun sampai tak tahu apa yang mesti dilakukan. Dengan sinar mata tajam dan menggidikkan, orang berkerudung mengawasi Bong Thian-gak dari ujung kepala sampai ujung kakinya, Krmudian menegur dengan dingin, "Kaukah yang bernama Ko Hong?" "Ya, akulah orangnya!" jawab Bong Thian-gak hambar.
Sejak tiba di situ, sikap maupun gerak-gerik orang berkerudung itu amat angkuh, jumawa dan tidak pernah memandang sebelah mata terhadap orang lain, tapi jawaban Bong Thian-gak sekarang justru terasa pula amat menghina dan memandang rendah lawan. Kontan dia tertawa terkekeh-kekeh seram, kemudian menegur lagi, "Aku dengar Sam-kaucu tewas di tanganmu, benarkah itu?"
341
Pendekar Cacat
"Semua iblis dan siluman yang bergabung dalam Put-gwacin-kau bakal mampus di telapak tanganku!"
Ucapan itu segera disambut orang berkerudung dengan gelak tawa, "Sudahkah kau mendengar suara jeritan ngeri dan lolong kesakitan yang berkumandang dari luar sana? Hahaha, tahukah kau malam ini gedung Bu-lim Bengcu akan berubah menjadi gedung mati!" Sementara itu suara bentrokan nyaring, jeritan ngeri dan rintih kesakitan masih berkumandang tidak hentinya dari luar sana, jelas halaman depan gedung sudah berubah menjadi ajang pertarungan yang amat sengit.
Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam, "Ho-bengcu, Thia-tayhiap, cepat keluar membantu rekanrekan lain, serahkan orang itu kepadaku!" Ho Put-ciang sudah mendengar jeritan ngeri dan rintih kesakitan yang berkumandang dari kawanan jago di luar ruangan, namun dia kuatir musuh yang dihadapinya ini berilmu silat kelewat tinggi hingga Thia Leng-juan tak mampu menghadapinya, itulah sebabnya dia tak berani gegabah.
342
Pendekar Cacat
Kini mendengar ucapan itu, segera ujarnya kepada Thia Leng-juan, "Thia-heng, kau tetap tinggal di sini membantu Ko-siauhiap, aku akan keluar membantu mereka!"
Seusai berkata, Ho Put-ciang segera melompat ke udara dan menerobos keluar melalui pintu gerbang utama. Di dalam ruang gedung bertingkat itu sekarang tinggal Thia Leng-juan, Bong Thian-gak dan orang berkerudung berbaju hitam. Sementara itu Bong Thian-gak sudah melangkah turun dari anak tangga, kemudian tegurnya dengan suara dingin, "Ada urusan apa kau hendak berjumpa dengan Ku-lo Sinceng?"
Dengan sepasang pedang terhunus, orang berkerudung berdiri tegak di tempat, dia menjawab, "Aku hendak memeriksanya, apakah dia benar-benar Ku-lo Sinceng ataukah bukan!" "Dia adalah Ku-lo Sinceng yang keasliannya terjamin, sedikit pun tak bakal salah!" "Kau mengatakan Ku-lo Hwesio telah mati, sekarang dimanakah jenazahnya?"
343
Pendekar Cacat
"Jenazah Sinceng tidak boleh dipertontonkan di hadapan kaum kurcaci dan sampah masyarakat seperti kau."
Orang berkerudung tertawa seram. "Hehehe, aku tak percaya kau mampu menghalangi jalan pergiku." Bicara sampai di situ pedang pendek di tangan kirinya segera diayun menciptakan beribu bayangan pedang, sementara pedang di tangan kanannya secepat kilat menusuk ke dada Bong Thian-gak. Dua jurus serangan pedang yang amat dahsyat digunakan secara bersamaan, kedahsyatannya benar-benar tak boleh dianggap enteng.
Bong Thian-gak menyaksikan jurus pedang itu dengan berkerut kening, kemudian serunya sambil tertawa dingin, "Mundur!" Dia bukannya mundur, namun malah maju, tangan kanan diayunkan ke depan menyongsong datangnya tusukan pedang kanan orang berkerudung, sementara tangan kiri secepat kilat mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri lawan. Sekali pun serangannya dilancarkan belakangan,
344
Pendekar Cacat
tetapi sampai sasaran lebih dahulu, berbareng badannya turut menerobos maju.
Tatkala Thia Leng-juan menyaksikan orang berkerudung itu melancarkan serangan tadi, sesungguhnya dia pun hendak turun tangan menyambut, akan tetapi setelah menyaksikan jurus serangan yang digunakan Bong Thian-gak ternyata jauh lebih tangguh dari lawan, dia malah tertegun. Tampaknya orang berkerudung cukup tahu kelihaian serangan itu, cepat dia menarik kembali sepasang pedangnya sambil mundur.
Dengan sinar mata mencorong, rasa kaget dan tercengang, ia segera bertanya, "Ilmu silat apakah ini?" Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hehehe, inilah ilmu Tatmo-goan-sian-jiu dari Siau-lim-pay. Hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri dari maut." Seusai berkata, tubuh Bong Thian-gak bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang ke depan, sepasang telapak tangannya diayun berulang kali melepaskan tiga serangan berantai.
345
Pendekar Cacat
Ketiga serangan itu seluruhnya gerakan yang aneh dan sakti, seperti pukulan telapak tangan dan juga bagai ilmu mencengkeram Kim-na-jiu yang amat dahsyat.
Orang berkerudung membentak dingin, sepasang pedangnya meluncur ke depan dengan pancaran sinar tajam yang membias kemana-mana, dengan pedang mengunci telapak tangan, secara beruntun dia melancarkan tiga bacokan berantai dan maha dahsyat. Gerak serangan yang digunakan kedua orang itu samasama dilakukan dengan kecepatan luar biasa, sekali pun tenaga dalam Thia Leng-juan amat sempurna, masih susah untuk melihat perubahan jurus yang digunakan mereka. Kedua orang itu telah beralih dua kali dari posisi semula.
Mendadak terdengar orang berkerudung mendengus tertahan, sambil menarik kembali pedang, ia mundur empat langkah, sepasang matanya memancarkan rasa kaget dan tercengang. Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan Oh Cian-giok yang sedang berbaring tak berkutik di sisi kiri anak tangga, dalam kagetnya dia segera menyelinap ke depan sana sambil bertanya, "Thia-tayhiap, mengapa dengan nona Oh?"
346
Pendekar Cacat
Setelah ditegur, Thia Leng-juan baru teringat pada Oh Ciangiok yang terluka parah, segera sahutnya, "Nona telah dihantam musuh hingga terluka parah!" Oh Cian-giok adalah adik seperguruan Bong Thian-gak, sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam gedung Bengcu, hubungan batin kedua insan ini pun boleh dibilang cukup mendalam. Maka sewaktu Bong Thian-gak menyaksikan gadis itu tergeletak tak berkutik di atas tanah dengan wajah pucat dan noda darah membasahi bibir, dia menjadi sangat gelisah. "Siapa yang telah melukainya?" ia menegur.
Dalam pada itu tangan kanan Bong Thian-gak sudah memegang nadi pergelangan tangan Oh Cian-giok, sembari memeriksa denyut nadinya, dengan sorot mata penuh amarah dia pelototi wajah orang berkerudung tanpa berkedip, hawa membunuh menyelimuti wajahnya. Tiba-tiba orang berkerudung berpekik nyaring, dengan sepasang pedangnya diluruskan ke depan, secepat sambaran petir ia menerjang ke arah Bong Thian-gak.
347
Pendekar Cacat
Perubahan yang amat mendadak dan di luar dugaan ini sungguh membuat Thia Leng-juan tertegun dan dalam posisi tak memungkinkan hakikatnya mustahil baginya memberikan bantuan. Dalam terperanjatnya, jagoan ini segera berteriak, "Koheng!...." Terdengar Bong Thian-gak mendengus tertahan, bahu kirinya yang tak sempat menghindar kena tertusuk pedang lawan, darah segera memancar keluar bagaikan semburan mata air. Tapi di saat bersamaan tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan pula ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat. Kembali terdengar dengus tertahan menggema. Pedang pendek orang itu terlepas, sementara tubuhnya terpental ke belakang dan darah segar muntah dari mulutnya.
Kemudian dengan sepasang bahu yang gemetar keras dan tubuhnya yang sempoyongan, mendadak ia membalikkan badan dan kabur dari ruangan itu. Sebenarnya Thia Leng-juan ingin mengejar, namun berhubung dia sangat menguatirkan luka yang diderita
348
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak, maka dengan cepat dihampirinya anak muda itu sembari menegur, "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?" Darah kental mengucur dari bahu kiri Bong Thian-gak dan membasahi lantai, sudah jelas luka yang dideritanya itu cukup parah.
Dengan cepat Bong Thian-gak menggunakan jarinya menotok beberapa jalan darah penting di tubuh sendiri, setelah menghentikan darah yang mengalir, sahutnya sambil tertawa rawan, "Thia-heng, aku tidak apa-apa, dia berilmu tinggi dan sangat hebat, bila sampai keluar dari sini, sudah pasti tiada orang yang mampu menahannya, tolong kau jaga baik-baik nona Oh, aku hendak keluar menghadapi musuh." Jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang susulmenyusul di luar sana, jelas orang berkerudung sedang melakukan pembantaian secara besar-besaran di sana.
Thia Leng-juan yang menyaksikan luka Bong Thian-gak amat parah menjadi gelisah, serunya lagi, "Ko-heng, luka pedang itu sangat parah, harap kau balut dahulu luka itu, biar aku saja yang menyambut serangan mereka."
349
Pendekar Cacat
Sementara itu Bong Thian-gak sudah bangkit, mendengar ucapan itu dia segera menggeleng, kemudian katanya dengan suara nyaring, "Kini darah sudah berhenti mengalir, luka ini pun tak akan merenggut nyawaku." Tidak sampai selesai perkataan itu diutarakan, tubuhnya sudah melompat keluar dari ruangan, ketika memandang ke depan ....
Di tengah lapangan sedang berlangsung beberapa kelompok pertarungan, sementara di atas tanah tergeletak mayat-mayat para pengawal gedung Bu-lim Bengcu, darah yang menganak sungai, mayat membukit, membuat pemandangan di situ tampak sangat mengerikan. Sementara itu di luar lapangan sedang berlangsung pertarungan yang amat seru.
Ho Put-ciang sedang bertarung melawan seorang gadis berbaju merah, dia adalah Kiu-kaucu Ni Kiu-yu. Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay sedang bertarung melawan seorang lelaki berbaju perlente. Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay dan Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay bersama-sama menghadapi lelaki berbaju perlente lainnya.
350
Pendekar Cacat
Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay bertarung seorang diri melawan orang aneh berambut panjang, dialah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau.
Sementara di luar arena pertarungan, di sekeliling lapangan berdiri berlapis-lapis para pengawal gedung bersenjata lengkap, namun waktu itu orang berkerudung berbaju hitam sudah menerjang masuk ke dalam kelompok pengawal gedung, pedang pendeknya yang tinggal sebelah membabat kian kemari tanpa tandingan, jeritan ngeri dan lolong kesakitan bergema silih berganti, darah segar pun bercucuran menganak sungai.
Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi gusar sekali, sambil berpekik nyaring ia melejit ke udara seperti burung alap-alap dan melayang turun di depan orang berkerudung. Melihat munculnya pemuda sakti ini, orang berkerudung menjadi ketakutan, cepat dia berteriak dengan keras, "Liokkaucu, Kiu-kaucu ... semuanya mundur!" Begitu perintah diturunkan, dia segera melejit lebih dulu dan melarikan diri dengan terbirit-birit dari tempat itu. "Mau kabur kemana kau?" bentak Bong Thian-gak dengan suara menggeledek.
351
Pendekar Cacat
Tubuhnya segera melejit ke udara dan melakukan pengejaran.
Siapa tahu pada saat itulah berkumandang suara dengusan tertahan, tertampak Ui Hiok Totiang dari Bu-tong-pay yang sedang bertarung melawan Liok-kaucu kena dihajar oleh musuh sehingga mencelat ke udara dan langsung menumbuk tubuh Bong Thian-gak. Bong Thian-gak berjumpalitan, tangan kanannya dengan cepat menyambar ke muka mencengkeram tubuh Ui-hok Totiang, kemudian melayang turun ke permukaan tanah dengan tenang. Tampak paras muka Ui-hok Totiang pucat seperti mayat, kulit wajahnya mengejang penuh penderitaan, teriaknya dengan suara parau, "Terima kasih banyak, Ko-siauhiap ...." Belum habis dia berkata, orangnya sudah roboh tak sadarkan diri di atas tanah.
Mendadak terdengar Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berseru dengan suara lantang, "Biarkan musuh mengundurkan diri, jangan dikejar!" Dengan cepat Bong Thian-gak meletakkan Ui-hok Totiang ke tanah, baru saja dia akan melakukan pengejaran, ketika
352
Pendekar Cacat
mendongakkan kepala, ternyata kawanan musuh yang sedang bertarung sengit sudah membubarkan diri, pertarungan telah berhenti, di bawah sinar kegelapan nampak para musuh sedang melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap.
Kemudian dia saksikan Ho Put-ciang sedang berjalan mendekat dengan langkah sempoyongan, lalu ujarnya kepada Bong Thian-gak, "Ai ... korban yang berjatuhan kelewat banyak ... korban yang berjatuhan kelewat banyak...." Hanya ucapan itu saja yang mampu diucapkan, sementara air matanya berderai dengan deras. Ya, siapa bilang Enghiong tidak bisa mengucurkan air mata? Memangya saat bersedih saja .... Ketika jumlah korban dihitung ... ternyata tujuh puluh enam pengawal mendapat celaka, dua puluh lima orang menderita luka termasuk Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Oh Cian-giok dan lainnya, semuanya mencapai seratus tujuh orang.
353
Pendekar Cacat
Lima musuh ternyata dalam waktu satu jam berhasil menciptakan korban seratus tujuh orang, prestasi itu benar-benar merupakan suatu peristiwa yang memilukan. Paras muka Bong Thian-gak pucat-pias seperti mayat, dia mengangkat kepala dan memandang sekejap tumpukan mayat yang berserakan dimana-mana, mendadak mencorong sinar tajam dan buas penuh dendam dari balik matanya, ia berdiri tegak di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Yu Ciang-hong, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam bersama-sama berjalan mendekat pula dengan kepala tertunduk sedih. Untuk beberapa saat suasana di situ diliputi kesedihan yang tebal.
***
Helaan napas sedih bergema memecah keheningan, Thia Leng-juan berjalan keluar dari balik ruang loteng dengan langkah perlahan, katanya, "Hari ini seandainya Ko-heng tidak berada di sini dan memukul mundur lawan, korban yang berjatuhan dalam gedung Bengcu sudah pasti akan lebih banyak."
354
Pendekar Cacat
Benar, lima orang musuh dari Put-gwa-cin-kau yang muncul itu, terutama orang berkerudung berbaju hitam benarbenar berkepandaian silat amat tinggi, pada hakikatnya tiada orang yang mampu memberikan perlawanan. Andaikata bukan Bong Thian-gak yang memukul mundur, akibat yang timbul sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Selang beberapa saat kemudian, pelan-pelan Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berhasil menenangkan kembali gejolak perasaan sedih yang mencekam hatinya, melihat darah bercucuran dengan derasnya dari bahu kiri Bong Thian-gak, buru-buru dia menegur, "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?" "Gara-gara mengurusi nona Oh, Ko-heng telah kena ditusuk musuh," seru Thia Leng-juan dari samping. "Namun pihak lawan pun terkena pukulan Ko-heng, nampaknya tidak ringan luka dalam yang dideritanya, dia kabur sambil muntah darah."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, walaupun orang itu terkena pukulanku hingga muntah darah, namun luka pada sisi perutnya tidak seberapa parah, ai ... kawanan siluman dari Put-gwa-cin-kau memang tangguh dan ratarata berilmu tinggi, kenyataan ini di luar dugaan siapa pun."
355
Pendekar Cacat
Sementara itu Ho Put-ciang telah berseru kepada para pengawal dengan suara nyaring, "Kalian harap segera membereskan jenazah rekan-rekan lain, usahakan menolong dan menyelamatkan jiwa mereka yang terluka terlebih dulu."
Selewatnya pertempuran itu, kekuatan gedung Bu-lim Bengcu benar-benar menderita kerugian besar. Setelah memperoleh pengobatan dan perawatan yang tekun, Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berhasil diselamatkan jiwanya. Hanya Oh Cian-giok yang menderita luka agak parah, sehingga meski sudah memperoleh pengobatan, ternyata belum sadar.
Dalam pada itu para jago sudah berkumpul di bawah loteng. Dengan seksama Bong Thian-gak memeriksa denyut nadi Oh Cian-giok, kemudian ia bertanya lirih, "Dia terluka di tangan siapa?" "Cian-giok dan Ui-hok Totiang sama-sama terluka di bawah pukulan Liok-kaucu," jawab Ho Put-ciang cepat.
356
Pendekar Cacat
"Dasar tenaga dalam nona Oh amat cetek, pukulan musuh telah melukai isi perutnya, bila ingin menyadarkan dia, kita membutuhkan seorang jago bertenaga dalam sempurna, dengan pengerahan tenaga melalui jalan darah Ciang-tayhiat, gumpalan darah yang menyumbat dalam tubuhnya baru akan terbebaskan."
"Ciang-tay-hiat terletak hanya dua inci di bawah puting susu orang, padahal Oh Cian-giok adalah seorang perawan, tentu saja sulit bagi seorang pemuda untuk memberi pertolongan." Tentu saja Ho Put-ciang cukup mengetahui pantangan itu, tapi dengan suara dalam dia berkata, "Demi menyelamatkan jiwa Sumoayku, harap kalian tak usah mempersoalkan pantangan lagi."
"Ho-bengcu, nona Oh adalah adik seperguruanmu, paling baik bila Hobengcu sebagai Toasuhengnya yang turun tangan memberikan pertolongan," usul Bong Thian-gak cepat. Ucapan itu menyulitkan Ho Put-ciang. "Aku tidak pandai ilmu pengobatan, bagaimana seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan?" serunya.
357
Pendekar Cacat
"Nona Oh sudah dijodohkan dengan Yu-sute, seandainya luka yang diderita Yu-sute bisa cepat sembuh dan pulih, hal ini lebih baik lagi," sambung Thia Leng-juan.
Mengetahui Oh Cian-giok sudah bertunangan dengan Yu Heng-sui, Bong Thian-gak menjadi sedih, murung dan kosong pikirannya. Di samping Suheng-moay sekalian, hanya Bong Thian-gak yang berhubungan agak rapat dengan Oh Cian-giok. Sejak kecil mereka sudah bermain dan bergurau bersama, di antara kedua orang itu sesungguhnya sudah tertanam semacam perasaan. Betul di antara mereka terjalin hubungan cinta, namun semacam perasaan senang tertanam juga di dalam hati kecil masing-masing.
Seandainya Bong Thian-gak tidak diusir dari perguruan, tentu saja antara Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak sudah merupakan sepasang kekasih ideal. Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala sambil berkata, "Yu-sute masih terluka, sekali pun bisa disembuhkan namun paling tidak masih membutuhkan waktu tiga-empat hari, apalagi tenaga dalamnya kurang sempurna, aku pikir lebih baik kita memohon bantuan Ko-
358
Pendekar Cacat
siauhiap saja untuk mengobati Sumoay, cuma Ko-siauhiap menderita luka pada bahu kirinya ... apakah kau mampu memberikan pertolongan?"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala berulang-kali. "Sampai besok aku baru bisa mengerahkan tenaga dalamku, namun luka nona Oh amat parah dan harus diobati sekarang juga, apabila tidak dilakukan pencegahan, bisa jadi keadaan lukanya akan mengalami perubahan." Ho Put-ciang berkata lagi, "Ai, walaupun antara kaum lelaki dan wanita dibatasi norma kesusilaan, namun tabib dan sebangsanya tidak terkena batasan itu, harap Ko-siauhiap sudi memberi pertolongan!"
Sekali lagi Bong keselamatan nona
Thian-gak
menghela
napas,
"Ai,
Oh berada di ujung tanduk dan memang tak bisa ditundatunda lagi, baiklah harap Ho-bengcu suka mengundang dua orang dayang untuk membantu!" Tentu saja semua orang tahu maksud Bong Thian-gak memanggil dua orang dayang itu.
359
Pendekar Cacat
Ho Put-ciang manggut-manggut sembari berkata, "Sebelumnya atas nama Sumoayku, kuucapkan banyak terima kasih atas bantuan Ko-siauhiap!"
Maka di bawah bimbingan beberapa orang dayang, Oh Cian-giok diantar menuju sebuah ruangan dan dibaringkan di atas ranjang, kemudian kecuali menahan Siau Kiok dan Siau Hiang, dua orang dayang kepercayaan Oh Cian-giok, para dayang lainnya segera diperintahkan meninggalkan tempat itu. Kedua dayang ini merupakan dayang-dayang cilik yang pernah melayani Oh Ciong-hu dahulu, tentu saja Bong Thian-gak kenal mereka berdua.
Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata kepada Siau Kiok dan Siau Hiang, "Sekarang harap kalian melepaskan dulu pakaian luar nona." "Ko-siangkong, luka yang kau derita amat parah, apakah tidak beristirahat terlebih dahulu?" seru Siau Kiok merdu. Bong Thian-gak menggeleng, "Ah, hanya luka luar yang tak seberapa tidak menjadi soal."
360
Pendekar Cacat
Siau Kiok mengedipkan mata setelah memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, katanya, "Ko-siangkong, kau mirip sekali dengan seseorang." "Mirip siapa?" "Su-suheng nona!"
Bong Thian-gak terkejut sekali, dia tak menyangka Siau Kiok memiliki ketajaman mata luar biasa, untuk menutupi rasa kagetnya itu, dia tertawa tergelak. "Ah, jangan bergurau lagi, ayo kita segera turun tangan." Tiba-tiba Siau Kiok menghela napas sedih, kembali katanya, "Ai, sudahlah! Seandainya Bong Thian-gak masih hidup, mungkin Yu Heng-sui akan bersedih."
Ucapan itu segera menggigilkan sekujur tubuh Bong Thiangak, diam-diam dia berpikir, "Entah apa maksud Siau Kiok berkata demikian? Mungkinkah Sumoay selalu teringat akan diriku?" Terbayang bagaimana dia dan Sumoaynya hidup berdampingan sejak kecil... segala sesuatunya terasa syahdu dan nyaman ....
361
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak masih ingat, suatu ketika ia bersama Sumoaynya bermain jadi pengantin, mereka berdua bersama-sama tidur dalam gua yang dijadikan kamar pengantin mereka .... "Siangkong, apa yang sedang kau pikirkan? Pakaian luar nona sudah dilepas."
Seperti baru tersadar dari impian, Bong Thian-gak berpaling. Tampaklah tubuh bugil Oh Cian-giok muncul di depan mata, kulit yang halus dan putih itu membuat gairah setiap pria .... Buru-buru Bong Thian-gak memejamkan mata rapat-rapat, lalu berkata lagi, "Sekarang lepas pakaian dalamnya, kemudian letakkan tangan kananku di atas jalan darah Ciang-tay-hiat di atas payudaranya." "Ah, Siangkong benar-benar lelaki jujur," puji Siau Kiok.
Sementara itu Bong Thian-gak telah memejamkan mata dan duduk bersila di sisi pembaringan, segenap perhatian terpusat menjadi satu, sementara hawa murninya dihimpun.
362
Pendekar Cacat
Selang beberapa saat kemudian Bong Thian-gak bertanya, "Sudah siap?" "Sudah siap." "Kalau begitu, lakukan seperti apa yang kukatakan tadi!"
Siau Hiang segera mengangkat telapak tangan kanan Bong Thian-gak dan pelan-pelan diletakkan di atas puting susu payudara sebelah kanan Oh Cian-giok. Hati Bong Thian-gak tergetar begitu tangannya menyentuh tubuh Oh Cian-giok. Untung Bong Thian-gak memiliki tenaga dalam sempurna, buru-buru dia memusatkan seluruh perhatiannya mengerahkan tenaga dalam. Tak selang lama kemudian, dari dasar telapak tangannya muncul segumpal bola api yang bergetar, membakar seputar payudara si nona. Telapak tangannya menggosok dan memijit payudara sebelah kanan si nona hampir seperempat jam lamanya, baru kemudian beralih ke atas jalan darah Ciang-tay-hiat pada payudara sebelah kiri.
363
Pendekar Cacat
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar Oh Cian-giok merintih. Bong Thian-gak terkejut, buru-buru dia menarik tangannya dan turun dari pembaringan, bisiknya cepat, "Sebentar dia akan sadar, cepat kenakan pakaiannya, harap kalian jangan memberitahu kepadanya bahwa aku telah menyembuhkan lukanya." Selesai berkata, masih dalam keadaan terperanjat, dengan cepat Bong Thian-gak membuka pintu kamar dan berlalu dari situ.
Tak lama setelah Bong Thian-gak keluar ruangan, Oh Ciangiok membuka mata sambil berkata dengan sedih, "Siau Kiok, barusan apakah Ko-siangkong?" Siau Kiok serta Siau Hiang sama-sama terperanjat, serentak berseru tertahan, "Nona telah sadar kembali?" Sambil tetap berbaring, Oh Cian-giok manggut-manggut. "Ya, sebelum dia berlalu tadi, aku telah mendusin, Ai! Dia benar-benar seorang Kuncu sejati." "Nona, enci Kiok bilang dia mirip sekali dengan Bong Thiangak," tiba-tiba Siau Hiang berkata.
364
Pendekar Cacat
Perih hati Oh Cian-giok mendengar perkataan itu, tanyanya, "Bong Thian-gak? Maksudmu Suheng Bong Thian-gak?" Siau Kiok mengerling sekejap ke arah Siau Hiang, kemudian buru-buru katanya, "Budak hanya merasa dia agak mirip dengan Bong-siangkong, aku pun hanya iseng bertanya saja!" "Lantas bagaimana jawabnya?" tanya Oh Cian-giok gelisah. "Dia tidak menjawab."
Mendadak Oh Cian-giok berseru tertahan, katanya, "Ya, ya, teringat aku sekarang, waktu dia baru datang ke gedung ini tempo hari, aku pun merasa seperti raut wajahnya kukenal, seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak bisa kuingat lagi. Ya, betul! Dia memang agak mirip dengan Susuheng Bong Thian-gak." Setitik sinar terang itu segera mengalutkan pikiran dan perasaan Oh Cian-giok, untuk beberapa saat dia melamun seorang diri.
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah meninggalkan ruangan kecil dan menuju ke ruang tengah. Di sana para jago sudah menunggu untuk merundingkan suatu masalah besar.
365
Pendekar Cacat
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang yang pertama-tama berdiri lebih dulu, segera tegurnya, "Apakah Oh-sumoay telah mendusin?" Bong Thian-gak mengangguk. "Ya, gumpalan darahnya telah hilang, kesehatannya sudah tidak membahayakan lagi."
sekarang
"Ko-siauhiap pasti sudah banyak kehilangan tenaga murni, silakan segera beristirahat!"
Bong Thian-gak tersenyum. "Kesegaranku masih baik, bukankah begitu?" Sambil berkata dia lantas menatap orang-orang dengan sorot mata berkilauan, sedikit pun tidak menunjukkan keletihan. Hanya paras mukanya saja yang memang berwarna kuning pucat macam orang penyakitan. Thia Leng-juan memuji, "Ko-heng, sungguh amat sempurna tenaga dalammu, membuat orang kagum." "Ai, tampaknya tenaga dalamku telah memperoleh kemajuan pesat dalam sehari saja," ucap Bong Thian-gak sedih. "Padahal semua ini pemberian Ku-lo Sinceng."
366
Pendekar Cacat
Bicara sampai di situ, Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Ku-lo Sinceng telah membantuku menembus urat mati hidupku, sehingga taraf tenaga dalamku mencapai suatu keadaan yang luar biasa. Budi kebaikan yang ditanam Sinceng kepadaku benar-benar tak terlupakan selamanya." "Ai, sekarang aku masih ada satu persoalan penting yang hendak kusampaikan kepada kalian." "Persoalan apa? Harap Ko-siauhiap suka menerangkan secara langsung," kata Ho Put-ciang. "Jit-kaucu belum mati!"
Ucapan itu bagaikan guntur di siang hari bolong, seketika saja menggetarkan hati setiap orang yang hadir dalam ruangan itu. "Bukankah kematian Ku-lo Supek merupakan pengorbanan yang sia-sia," teriak Thia Leng-juan dengan suara menggeledek. "Sebenarnya luka Ku-lo Sinceng masih bisa disembuhkan, tetapi untuk membantu ilmu silatku, dia telah mengorbankan diri." "Ai, waktu itu luka yang diderita Sinceng amat parah, lagi pula dia menganggap Jit-kaucu sudah tewas di bawah
367
Pendekar Cacat
pukulan Tat-mo-khi-kang, maka aku memberitahu yang sebenarnya kepada dia."
tak
berani
"Tindakan yang diambil Ko-siauhiap memang benar, bagi orang yang berlatih silat, jika mengetahui kegagalan yang dideritanya, maka kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan saat itu mungkin jauh lebih parah daripada mati," kata Ho Put-ciang.
Bong Thian-gak manggut-manggut. "Sudah tujuh-delapan tahun lamanya Sinceng melatih diri untuk menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang, tujuannya tidak lain adalah untuk mematahkan ilmu Soh-li-jian-yang-sinkang dari Jit-kaucu." "Ai, apa mau dikata, Soh-li-jian-yang-sin-kang terlalu sempurna, sedangkan Tat-mo-khi-kang Sinceng baru mencapai tingkat ketiga, itulah sebabnya Ku-lo Sinceng mengalami kekalahan."
Maka secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan pertarungan Ku-lo Sinceng melawan Jit-kaucu Thay-kun. Selesai mendengar kisah itu, dengan wajah serius, Ho Putciang berkata, "Dengan masih hidupnya Jit-kaucu, berarti
368
Pendekar Cacat
dunia persilatan tak akan memperoleh ketenangan untuk selamanya!" Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak, kemudian katanya, "Bibit bencana yang sebenarnya bagi umat persilatan sekarang sesungguhnya bukan Jit-kaucu!" "Apa maksudmu?"
Maka Bong Thian-gak menceritakan bagaimana dia menggali liang kubur, bagaimana bertarung dan berbincang dengannya. Mendengar kisah itu, Thia Leng-juan lantas bertanya, "Koheng, menurut kau, Jit-kaucu adalah murid Jian-bin-hu-li Ban Li-biau?" Bong Thian-gak mengangguk. "Benar, pada usia lima tahun dia telah memperoleh warisan ilmu silat guruku yang kedua." "Lantas atas dasar apa Ko-heng mengatakan bibit bencana bagi dunia persilatan bukan Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata, "Dari pembicaraan Jit-kaucu,
369
Pendekar Cacat
pentolan atau dalang semua bencana di Bu-lim dewasa ini adalah orang yang mengajarkan ilmu silat kepadanya saat ini, yakni gurunya, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau!" "Ucapan Ko-siauhiap memang benar," Ho Put-ciang manggut-manggut. "Tentang ilmu silat, kemungkinan besar ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang Jit-kaucu sudah jauh melampaui Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, tapi dari tindakan Jit-kaucu yang memberi petunjuk kepada Ko-siauhiap agar mengobati penyakit yang diderita Ku-lo Sinceng serta pertanyaan kepada Ko-siauhiap apakah dia adalah utusan rahasia Cong-kaucu ... hal itu membuktikan watak Jit-kaucu yang sebenarnya adalah saleh dan baik, dia terpaksa membunuh orang atas petunjuk serta desakan orang lain."
"Apabila dugaanku tidak salah, tiap kali Jit-kaucu membunuh orang, hatinya merasa menyesal." Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah semua orang, kemudian katanya, "Kalau dihitung, Jit-kaucu masih terhitung Sumoayku, aku berkewajiban menyelamatkannya dari jurang kehancuran, seandainya ia tak bisa dididik jadi baik, aku yakin masih mampu menandinginya."
Bong Thian-gak berhenti sejenak, kemudian baru sambungnya, "Padahal hampir setiap orang yang tergabung
370
Pendekar Cacat
dalam Put-gwa-cin-kau memiliki ilmu silat yang sangat lihai, dari kepandaian silat kelima orang itu boleh dibilang mereka adalah gembong-gembong iblis berilmu tinggi." "Kemampuan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau untuk menaklukkan serta mengendalikan kaum iblis di bawah kekuasaannya, bisa diduga sampai dimanakah kemampuannya? Ai ... apa yang diucapkan Ku-lo Sinceng memang benar, musuh paling tangguh bagi kita sesungguhnya adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau ... Ku-lo Taysu adalah tokoh agung dari Siau-lim-pay, mungkin dia telah menyiapkan segala sesuatunya! untuk kita."
Ho Put-ciang manggut-manggut membenarkan, "Ucapan Ko siauhiap memang benar, beberapa hari berselang Sinceng memang telah memberi dua buah kantung kepadaku dan berpesan agar yang satu; untuk Ko-siauhiap dan satu untukku. Dia orang tua berpesan kantung hanya boleh diserahkan kepada Ko-siauhiap, bila dia sudah berpulang alam baka. Tadi oleh karena ada serangan musuh tangguh, aku telah melupakan hal ini."
Mendengar ucapan itu, segera terlintas rasa girang di wajah Bong Thian-gak, serunya dengan cepat, "Ah, rupanya dugaanku memang benar, Sinceng telah menyiapkan segala sesuatunya."
371
Pendekar Cacat
Sementara itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sudah merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan dua buah kantung yang terbuat dari kain yang amat indah. Ho Put-ciang mengambil satu di antaranya dan diserahkan kepada Bong Thian-gak, sambil berkata, "Yang ini buat Ko-siauhiap!"
Bong Thian-gak menyambut kantung itu, lalu bertanya, "Apakah Ho-bengcu telah memeriksa isi kantung itu?" "Belum, Ku-lo Sinceng telah berpesan, apabila ia sudah kembali ke alam baka, isi kantung itu baru boleh dibuka, maka aku masih belum mengetahui apa isinya." "Sekarang mungkin kau sudah boleh membukanya, bukan?"
Bong Thian-gak segera merogoh ke dalam kantung itu dan mengeluarkan isinya, ternyata di situ terdapat tiga pucuk sampul surat yang dilipat menjadi empat persegi, di antara sampul tertera huruf satu, dua dan tiga secara berurutan. Bong Thian-gak mengambil sampul kemudian membaca tulisan di atasnya:
surat pertama,
"Saat membuka sampul pertama, Sinceng sudah kembali ke alam baka."
372
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Bong Thian-gak merobek sampul itu, tampak di atas kertas dalam sampul tertulis beberapa huruf yang berbunyi: "Selamatkan Jit-kaucu!" Di sisi sebelah kiri ditulis nama, tertera pula dua deret kalimat yang ditulis dalam huruf kecil: "Bila Jit-kaucu sudah tewas sebelum kematian Pinceng, isi surat ini batal"
Membaca petunjuk itu, untuk beberapa saat Bong Thiangak termenung dan mengerut dahi, dia seperti tidak memahami apa arti petunjuk itu. Waktu itu kendati para jago lain terdorong oleh rasa ingin tahu ingin turut membaca apa isi surat Ku-lo Sinceng, namun oleh karena Bong Thian-gak bungkam seribu bahasa, maka tak seorang pun yang berani bertanya. Semua orang hanya mengawasi Bong Thian-gak dengan wajah termangu-mangu.
373
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak termenung sampai lama sekali, akhirnya dia meletakkan surat itu ke atas meja sembari berkata, "Silakan kalian baca isi surat itu, kemudian pikirkan apa artinya?" Sementara itu para jago sudah dapat melihat jelas tulisan itu, kontan semua orang mengerut dahi. Thia Leng-juan pun tidak habis mengerti, katanya kemudian, "Menyelamatkan Jit-kaucu? Tulisan itu mengandung dua arti yang berbeda, satu di antaranya adalah menyelamatkan roh atau jiwanya dan yang lain berarti menjaga keselamatannya." "Apa pula bedanya antara roh, jiwa dan keselamatan?" tanya Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay keheranan.
"Menyelamatkan roh atau jiwanya, berati Jit-kaucu sudah terlalu banyak membunuh orang, banyak melakukan kejahatan sehingga kita diharuskan membawanya dari jalan sesat kembali ke jalan yang benar serta tidak melakukan kejahatan lagi." "Kalau menolong keselamatannya berarti keselamatan jiwa Jit-kaucu terancam bahaya dan kita harus menolongnya, jangan sampai dia tewas terbunuh oleh orang lain."
374
Pendekar Cacat
"Penjelasan Thia-tayhiap tepat sekali!" seru Ang Thong-lam pula, "Memang tulisan itu bisa punya dua maksud, tapi dengan kedudukan Jit-kaucu sekarang, kecuali kita hendak membunuhnya, masa ada orang lain yang hendak membunuhnya pula?" "Ku-lo Supek adalah seorang pintar dan pandai menganalisa suatu keadaan, perintahnya memang mengandung arti mendalam, sehingga aku sendiri pun tak dapat memastikan."
"Tulisan 'Selamatkan Jit-kaucu' memang mengandung arti yang dalam, untuk sementara waktu sulit bagi kita menduganya, aku rasa kita turuti saja perintahnya dan menyelamatkan Jit-kaucu," sela Ho Put-ciang. Sementara itu Bong Thian-gak sedang memejamkan mata sambil memutar otak memikirkan sesuatu.
Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, perintah Ku-lo Sinceng ini memang benar-benar sukar dipahami pikiran kita, ya, mungkin cuma waktulah yang bisa membuktikan hal ini!"
375
Pendekar Cacat
"Kantung berisi surat yang ditinggalkan Ku-lo Supek untukku belum sempat kubuka, siapa tahu surat itu menyinggung tentang hal ini?" kata Ho Put-ciang tiba-tiba.
Selesai berkata dia segera mengambil kantung yang ditujukan kepadanya itu. Dalam kantung hanya tersimpan sepucuk surat saja, di atas sampul surat tertulis: "Surat wasiat Siau-lim Ku-lo." Membaca tulisan itu, hati semua orang bergetar keras, mereka berpikir, "Ternyata Ku-lo Hwesio telah mengetahui tentang kematiannya, maka dia sengaja menulis surat wasiatnya."
Pelan-pelan Ho Put-ciang mengeluarkan surat dari dalam sampul dan membaca isinya yang berbunyi: "Siancay! Kehidupan di jagad ini berlangsung karena perputaran bumi, pertemuan antara unsur Im dan Yang serta perputaran lima unsur Ngo-heng, maka terwujudlah kehidupan yang ada di alam semesta ini dengan kehadiran manusia yang berakal budi.
376
Pendekar Cacat
Takdir menetapkan kehidupan Ku-lo harus berakhir pada tahun Kau bulan Sin hari Cu dan saat Yu. Itulah sebabnya kematian Pinceng merupakan kemauan takdir. Ku-lo tahu pertempuran melawan Jit-kaucu akan lebih banyak bahayanya daripada keberuntungan, andaikata beruntung Pinceng bisa merenggut nyawa Jit-kaucu, maka pasti ia akan mati pada hari ini, kemungkinan besar situasi dunia persilatan akan berubah menjadi semakin tidak menguntungkan bagi kita. Sebaliknya jika Jit-kaucu tidak mati, sedang Ku-lo mati lebih dulu, hal ini bisa berakibat munculnya suatu perubahan besar. Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil menciptakan seorang tokoh tangguh seperti Jit-kaucu dengan bekal ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, bila ilmu itu mencapai tingkat kesepuluh, maka orang akan menjadi kebal dan tahan pukul maupun dibacok. Saat itulah bisa jadi Jit-kaucu akan menjadi seorang jagoan yang tak ada tandingannya di kolong langit. Itulah sebabnya bila Pinceng meninggal, sudah pasti Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau akan berusaha keras melenyapkan Jit-kaucu guna menghilangkan bibit bencana di kemudian hari. Demi perubahan situasi dalam Bu-lim, terutama bagi keuntungan pihak kita, kalian harus berusaha sekuat tenaga untuk melindungi keselamatan jiwa Jit-kaucu.
377
Pendekar Cacat
Saat ini Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil mempelajari berbagai macam ilmu sakti, hanya ilmu Soh-lijian-yang-sin-kang serta Tat-mo-khi-kang saja yang mampu membunuh biang keladi itu. Oleh sebab itu tugas pertama kalian adalah menyelamatkan Jit-kaucu terlebih dahulu. Ingat! Ingat! Dapatkah dunia persilatan kita dipertahankan? Semuanya tergantung pada tindakan in."
Setelah para jago membaca isi surat Ku-lo Hwesio, hampir semuanya terkejut bercampur kagum. Sudah jelas terbukti sekarang bahwa dalam pertarungan Ku-lo Hwesio melawan Jit-kaucu, agaknya pendeta itu tidak bermaksud membinasakan perempuan itu. Dengan kening berkerut Ho Put-ciang berkata, "Ku-lo Supek pandai ilmu rahasia langit, dari isi surat wasiatnya, bisa diduga dia sudah tahu siapa gerangan Cong-kaucu Put-gwacin-kau itu." "Ai, tak perlu ditebak lagi," ujar Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang. "Mungkin dia orang tua sudah mengetahui dengan jelas segala sesuatu tentang Congkaucu Put-gwa-cin-kau itu."
Mendadak Thia Leng-juan berkata, "Bukankah Ku-lo Supek masih memberi dua pucuk surat lagi untuk Ko-siauhiap?
378
Pendekar Cacat
Bagaimana kalau Ko-siauhiap keluarkan surat itu dan sekalian diperiksa isinya?" Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera membuka sampul kedua dan sampul ketiga, namun di atas sampul itu ternyata sudah dicantumkan saatnya untuk membuka.
Di atas sampul kedua ditulis dengan jelas saat untuk membuka surat itu. "Surat ini dibuka saat Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng muncul" Sedangkan sampul ketiga bertuliskan: "Di buka saat hendak menaklukkan Cong-kaucu Put-gwacin-kau." Di samping lain sampul surat itu dicantumkan pula peringatan agar jangan membuka surat itu apabila saatnya belum sampai.
Bong Thian-gak tentu saja tak berani melanggar peringatan itu, maka pemuda itu menyimpan kembali kedua pucuk surat itu. Mendadak Thia Leng-juan berseru tertahan, "Ah, mungkinkah Cong-kaucu Put-gwa-cfh-kau adalah Mo-kiamsin-kun Tio Tian-seng?"
379
Pendekar Cacat
"Dari surat wasiat Ku-lo Supek, tampaknya Cong-kaucu Putgwa-cin-kau agak mirip dengan Tio Tian-seng," sahut Ho Put-ciang. "Aku rasa bukan Tio Tian-seng," seru Bong Thian-gak. "Atas dasar apa Ko-heng mengatakan bukan dia?" tanya Thia Leng-juan cepat. "Seandainya orang itu adalah Tio Tian-seng, tak mungkin Ku-lo Sinceng jual mahal pada kita. Ai ... siapakah Congkaucu Put-gwa-cin-kau? Cepat atau lambat kita akan mengetahui juga. Persoalan paling penting yang harus kita hadapi sekarang adalah bagaimana caranya melaksanakan perintah Sinceng serta menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong yang selama ini hanya membungkam mendadak berkata, "Ah, agaknya Congkaucu Put-gwa-cin-kau akan mulai melaksanakan rencananya membunuh Jit-kaucu begitu mendengar berita kematian Sinceng, bisa jadi saat ini Cong-kaucu sudah berada di kota Kay-hong."
Bong Thian-gak manggut-manggut. "Ya, benar! Tujuan yang sesungguhnya serbuan musuh ke gedung Bu-lim Bengcu hari ini adalah untuk mencari tahu
380
Pendekar Cacat
mati-hidup Ku-lo Sinceng, ya ... segala sesuatunya memang berjalan seperti apa yang ditulis Sinceng dalam surat wasiatnya, kalau begitu kita tak boleh ayal dalam usaha kita menyelamatkan jiwa Jit-kaucu." "Tapi tindakan apakah yang harus kita ambil? Harap kalian semua sudi mengajukan pendapat," seru Ho Put-ciang.
Dengan suara berat Thia Leng-juan berkata, "Ku-lo Supek telah menyerahkan isi kantung itu kepada Ko-heng, jelas tugas ini hanya Ko-heng seorang yang mampu memikulnya, mana mungkin orang lain bisa mencampurinya." Seperti menyadari sesuatu, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata, "Betul, tampaknya Ku-lo Supek sudah tahu Jitkaucu pun ahli waris Jian-bin bu-li Ban Li-biau seperti juga halnya Ko-siauhiap." "Ai, Ku-lo Sinceng benar-benar merupakan tokoh sakti yang luar biasa” kata Bong Thian-gak. "Tampaknya ia sudah tahu asal-usul semua tokoh di Bu-lim."
"Ai, kematiannya benar-benar merupakan suatu kerugian besar bagi dunia persilatan." "Dalam surat wasiatnya, Ku-lo Supek berpesan bahwa kematian merupakan kemauan takdir, apakah seorang
381
Pendekar Cacat
kaisar bisa memperpanjang usianya bila saat ajalnya sudah tiba? Ko-siauhiap, aku rasa kau tak perlu bersedih karena kematiannya!" "Jika begitu aku harus segera mencari Jit-kaucu sekarang juga."
"Aku rasa persoalan ini pun tak perlu dikerjakan terlalu tergesa-gesa, kini luka pada bahu kiri Ko-siauhiap masih belum sembuh, lagi pula lelah berjuang sehari semalam, tak ada salahnya kau beristirahat dulu selama tiga-empat hari sebelum melakukan sesuatu tindakan." "Luka yang kuderita tidak jadi soal. Yang kukuatirkan sekarang seandainya orang-orang Put-gwa-cin-kau melakukan penyerbuan sekali lagi kemari."
Ho Put-ciang tertawa sedih. "Walaupun pada pertempuran hari ini pihak gedung Bengcu menderita kerugian besar, tapi asalkan yang datang bukan Cong-kaucu atau Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau, gedung Bengcu yakin masih bisa mempertahankan diri." Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian katanya pelan-pelan, "Ho-bengcu, ada satu hal perlu kuingatkan kepadamu, ketahuilah bahwa dalam gedung Bu-
382
Pendekar Cacat
lim Bengcu sekarang bersembunyi seorang pentolan Putgwa-cin-kau, kalau tak salah pentolan itu adalah Cap-gokaucu! Aku harap kau bertindak lebih waspada."
"Sekarang orang yang menjadi kekuatan inti gedung Bu-lim Bengcu adalah Ko-siauhiap, Thia Leng-juan Laute, Angtayhiap, Goan-ko Taysu, Ui-hok Totiang beserta kami Suheng-te. Semua rahasia yang kita ketahui tak mungkin bocor ke telinga orang lain, bila rahasia itu sampai bocor, berarti Cap-go-kaucu Put-gwa-cin-kau berada di antara kita bersembilan dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimana pendapat kalian?" kata Ho Put-ciang.
"Betul," ujar Thia Leng-juan cepat, "apa yang kita bicarakan hari ini menyangkut keselamatan dunia persilatan, jelas siapa pun dilarang membocorkan keluar." Yu Ciang-hong, Ang Thong-lam dan Goan-ko Taysu sekalian segera bersumpah pula untuk memegang rahasia itu rapatrapat. Malam itu lewat tanpa kejadian, para jago pun kembali ke kamar masing-masing untuk mengatur pernapasan dan merawat luka.
383
Pendekar Cacat
Keesokan harinya, luka yang diderita Ui-hok Totiang serta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui telah sembuh, sementara luka yang diderita Oh Cian-giok sudah jauh membaik.
Bong Thian-gak dan Thia Leng-juan bersama-sama tidur di loteng sebelah barat, pada hari ketiga luka tusukan pada bahu kiri Bong Thian-gak pun telah sembuh. Selama tiga hari itu dari pihak Bu-lim Bengcu telah mengirim banyak mata-mata untuk menyelidiki keadaan serta gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau, anehnya puluhan li di seputar kota Kay-hong ternyata tidak dijumpai satu pun orang persilatan, tentu saja tidak diketahui pula gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau.
Keadaan itu tentu saja mendatangkan perasaan tak tenang bagi para jago yang berkumpul dalam gedung Bu-lim Bengcu. Setiap orang tahu, sebelum datangnya hujan badai biasanya didahului oleh suasana sunyi senyap yang aneh. Tengah hari itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bersama pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak bertiga berkumpul di ruangan tengah bangunan loteng sebelah barat.
384
Pendekar Cacat
"Ho-toako, menurut pendapatmu mungkinkah orang-orang Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri secara diam-diam dari kota Kay-hong?"
Pertanyaan itu ditujukan kepada Ho Put-ciang dengan suara lantang. Ho Put-ciang menggeleng. "Dalam tiga hari ini suasana memang terasa kurang beres. Jika memang orang Put-gwa-cin-kau masih berada di kota Kay-hong, mata-mata yung kita kirim paling tidak akan menemukan jejak mereka." "Aku pikir Jit-kaucu tak mungkin meninggalkan tempat ini begitu cepat” seru Bong Thian-gak pula. "Ko-heng, apa maksudmu?" tanya Thia Leng-juan cepat.
"Jit-kaucu mendapat tugas menghancurkan gedung Bu-lim bengcu, sebelum tugas yang dibebankan ke atas pundaknya diselesaikan, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan kota Kay-hong? Menurut dugaanku, Put-gwa-cin-kau masih akan melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita!"
385
Pendekar Cacat
"Bagaimana Ko-heng bisa berkata demikan? Kalau dibilang Jit-kaucu mendapat perintah untuk menghancurkan gedung Bu-lim Bengcu, apa sebabnya pada penyerbuan musuh tempo hari kita tak menjumpai Jit-kaucu?" "Sebab rencana penyerbuan gedung Bengcu yang terjadi dua hari lalu bukan atas prakarsa Jit-kaucu." "Kalau bukan diprakarsai dia, lantas siapa?" "Orang berkerudung berbaju hitam itu!"
Tiba-tiba Thia Leng-juan berseru tertahan, sambil berpaling ke arah Ho Put-ciang katanya, "Ho-toako, orang berkerudung itu pernah memperkenalkan diri. Katanya dia adalah pentolan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau, dengan kepandaian silatnya yang hebat serta sikapnya yang angkuh, mestinya pasukan pengawal tanpa tanding mempunyai kedudukan tinggi dalam Put-gwa-cin-kau." "Bisa jadi pasukan pengawal tanpa tanding merupakan pelindung Kaucu Put-gwa-cin-kau," pendapat Ho Put-ciang. "Benar, pasukan pengawal tanpa tanding adalah para pelindung Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
386
Pendekar Cacat
Thia Leng-juan segera termenung sambil berpikir sejenak, lalu katanya, "Perkataan Ko-heng memang benar, kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau akan melakukan serbuan kedua terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita ini." "Tapi anehnya mengapa hingga kini belum juga dilakukan?" tanya Ho Put-ciang dengan kening berkerut. "Sebuah pukulan dahsyat Ko-heng yang bersarang tepat di tubuh orang berkerudung berbaju hitam itu menyebabkan mereka tak berani menganggap enteng kekuatan kita," kata Thia Leng-juan mengemukakan pendapatnya. "Selain itu, nampaknya mereka masih menaruh curiga terhadap kematian Ku-lo Supek."
Ho Put-ciang manggut-manggut. "Benar, Jit-kaucu pun terhajar hingga terluka oleh Ku-lo Supek dan dengan jumlah anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di kota Kay-hong sekarang, mereka memang belum berani melakukan penyerbuan lagi. Kemungkinan mereka belum berani berkutik dalam beberapa hari mendatang, bisa jadi sedang minta bala bantuan sambil menyiapkan serangan berikutnya." "Ai, tapi yang pasti, orang yang memimpin penyerbuan kedua ini pun pasti bukan Jit-kaucu!" kata Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang.
387
Pendekar Cacat
"Ko-heng, siapa menurut dugaanmu?" "Kemungkinan besar Cong-kaucu yang akan memimpin secara langsung penyerangan ini."
Paras muka Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berubah hebat mendengar perkataan itu, katanya cepat, "Lantas bagaimana cara kita menghadapi?" Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, hari ini aku baru menemukan gelagat kurang baik, bila kita hendak meminta bantuan orang sembilan partai besar, aku rasa air yang berada di tempat jauh tak mungkin bisa memadamkan api di depan mata!" "Tapi kita bisa membendung air bah, kita hadapi serbuan lawan dengan kekuatan, asal kita bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan, aku rasa kekuatan musuh masih dapat kita imbangi."
"Aku pikir lebih baik kita mundur saja dari gedung ini sambil melindungi kekuatan yang tersisa," ucap Bong Thian-gak dengan wajah nerius. Belum habis perkataan Bong Thian-gak, mendadak dari bawah anak tangga sana terdengar suara langkah kaki,
388
Pendekar Cacat
disusul kemudian munculnya Toan-jong-hong-liu Yu Hengsui. "Yu-sute, ada urusan penting apa?" Ho Put-ciang segera berpaling «I.m menegur.
Dengan suara lantang Yu Heng-sui menyahut, "Seorang mata-mata yang kita utus untuk mencari berita telah berjumpa dengan seorang perempuan misterius di luar kota Kay-hong sebelah barat. Perempuan Itu telah menitipkan sepucuk surat kepada mata-mata kita supaya disampaikan kepada Ko-siauhiap."
Sembari berkata, dari dalam sakunya dia mengeluarkan sepucuk surat berwarna biru. Bong Thian-gak segera menerima surat itu, di atas sampul tertera beberapa huruf dengan gaya tulisan yang sangat indah: "Ditujukan khusus untuk Ko Hong."
Bong Thian-gak berkerut kening, setelah berpikir sebentar, lalu tanyanya, "Siapakah perempuan itu?" Terus saja ia merobek sampul surat itu dan membacanya isinya.
389
Pendekar Cacat
"Tidak mudah untuk mempertahankan hidup ini, cepat pergi dari sini untuk hidup seratus tahun lagi." Di bawah surat tidak dicantumkan tanda tangan.
Selesai membaca, Bong Thian-gak segera menyerahkan surat itu kepada Ho Put-ciang serta Thia Leng-juan sekalian. "Siapa penulis surat ini?" Thia Leng-juan bertanya kemudian. "Jit-kaucu," sahut Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang. Ho Put-ciang menghela napas pula. "Kejadian ini semakin membuktikan dugaan kita tak salah, Put-gwa-cin-kau memang sudah mempersiapkan diri memusnahkan gedung kita." "Ai, belum tentu begitu, kemungkinan juga sasaran mereka hanya aku seorang." "Bukankah dia sudah memberi peringatan kepada Ko-heng? Tak mungkin dia turun tangan keji terhadap Ko-heng!" kata Thia Leng-juan lagi.
390
Pendekar Cacat
"Jit-kaucu adalah seorang gadis yang berwatak aneh, senang gusarnya tidak menentu, lagi pula semua gerakgeriknya seakan-akan sudah berada di bawah cengkeraman Cong-kaucu."
Ho Put-ciang bertanya kepada Yu Heng-sui, "Yu-sute, siapakah mata-mata itu? Cepat kau panggil dia agar menghadap kemari." "Baik!" sahut Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui dari bawah loteng. Tak selang lama kemudian Yu Heng-sui telah muncul kembali diikuti seorang lelaki berbaju hitam. Begitu melihat raut wajah lelaki itu, Pa-ong-kiong Ho Putciang segera mengetahui dia adalah komandan pasukan mata-mata angkatan kedelapan yang bernama Tan Thiamka.
Sesudah memberi hormat kepada semua orang, Tan Thiamka segera berdiri di samping dengan kedua tangan diluruskan ke bawah. "Komandan Tan, darimana kau dapatkan surat ini?" Ho Putciang berkata dengan suara nyaring.
391
Pendekar Cacat
"Di sebelah barat kota Kay-hong, lebih kurang empat-lima li di luar kota." "Macam apakah bentuk wajah orang yang menyerahkan surat itu kepadamu?" sela Thia Leng-juan. "Dia adalah seorang gadis yang berusia enam-tujuh belas tahunan, berwajah jelek tapi bersuara amat merdu dan manis. Awalnya dia bertanya kepadaku apakah merupakan anggota gedung Bengcu, setelah itu ujarnya lagi, katanya dia ada surat yang hendak diserahkan kepada Ko Hong Siauhiap, maka surat itu pun diserahkan kepada hamba sebelum pergi meninggalkan tempat itu."
Mendengar penjelasan itu, paras muka Ho Put-ciang sekalian segera berubah hebat, dalam hati mereka berpikir, "Berwajah jelek? Kalau begitu orang itu bukan Jit-kaucu?" Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekalian belum pernah menyaksikan raut wajah Jit-kaucu, namun Bong Thian-gak pernah melukiskan paras mukanya yang cantik ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan, lagi pula usianya juga tidak cocok.
"Komandan Tan, apakah kau tidak salah melihat?" Ho Putciang segera bertanya.
392
Pendekar Cacat
"Tecu tak bakal salah melihat." Ho Put-ciang manggut-manggut. 'Baiklah kalau begitu, komandan Tan dan Yu-sute boleh mengundurkan diri dari sini." "Baik!" seru mereka berdua bersama-sama. Seusai berkata, mereka meninggalkan lompat itu.
membalikkan
badan
siap
"Tunggu sebentar!" mendadak Bong Thian-gak berseru. "Ada urusan apa Ko-siauhiap?" Ho Put-ciang segera bertanya. "Ho-bengcu, aku ingin membawa komandan berkunjung ke tempat penyerahan surat itu."
Tan
"Apakah luka Ko-siauhiap telah sembuh?" "Tak usah kuatir, Bengcu, lukaku sudah tak jadi masalah lagi." "Apakah Ko-siauhiap kenal si pengantar surat itu?"
"Tidak!" Bong Thian-gak menggeleng. "Belum pernah kujumpai wanita itu."
393
Pendekar Cacat
"Musuh kita amat licik dan mempunyai banyak tipu muslihat, mungkinkah kepergian Ko-siauhiap akan terjebak siasat licik mereka?" "Apa maksud perkataanmu itu?" "Aku kuatir Ko-siauhiap salah menduga akan si pengirim surat itu."
"Andaikan musuh menantangmu secara terang-terangan untuk berduel, mereka kuatir kita mempersiapkan diri lebih dahulu, maka dia sengaja mengirim surat itu untuk memancing rasa ingin tahumu hingga kau melakukan penyelidikan seorang diri. Akhirnya kau termakan oleh tipu muslihat mereka."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tersenyum. "Untuk mewujudkan tugas yang dibebankan Ku-lo Sinceng kepadaku, sudah seharusnya aku mulai bertindak sekarang." "Kalau begitu apakah Ko-siauhiap membutuhkan bantuan orang kami?" "Tidak usah," Bong Thian-gak menampik menggeleng. "Sekarang juga aku akan berangkat."
sambil
394
Pendekar Cacat
Ho Put-ciang lantas berpaling ke arah lelaki berbaju hitam itu sambil berpesan, "Komandan Tan, dampingi Kosiauhiap, kau harus menuruti semua petunjuk dan perintah Ko-siauhiap tanpa membantah." "Baik!" sahut Tan Thiam-ka dengan hormat. Setelah berkata, dia lalu berpaling ke arah Bong Thian-gak sambil bertanya, "Ko-siauhiap, apakah akan berangkat sekarang juga?"
Bong Thian-gak berkata kepada Ho Put-ciang sekalian, "Setiap saat aku akan mengadakan kontak dengan kalian, harap Bengcu tak usah kuatir, kami segera akan berangkat." Selesai berkata Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka segera pula berangkat meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu.
Setelah perjalanan selama setengah jam lebih, sampailah Tan Thiam-ka dan Bong Thian-gak di depan sebuah hutan buah-buahan. "Di sinikah kau bertemu dengan gadis berwajah jelek itu?" Bong Thian-gak bertanya.
395
Pendekar Cacat
"Ya, waktu itu hamba sedang duduk beristirahat di bawah pohon kelengkeng, mendadak muncul perempuan berwajah jelek itu." Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang sekejap ke arah hutan buah-buahan itu. ***
396
Pendekar Cacat
6 PERSAINGAN JI-KAUCU DAN JIT-KAUCU
K
ebun buah-buahan itu luas sekali, mungkin mencapai belasan hektar lebih. Empat penjuru dikelilingi pagar pendek terbuat dari bambu, jelas tempat itu merupakan kebun buah-buahan yang dijaga orang. Bong Thian-gak bertanya, "Apakah sekeliling tempat ini terdapat perkampungan atau dusun?" "Dua li dari sini terdapat sebuah dusun kecil, hanya sekitar dua puluh kepala keluarga." "Apa hasil penyelidikanmu terhadap dusun itu?" Tan Thiam-ka termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Di tempat itu tidak kutemukan sesuatu, pada pagi dan siang hari kebanyakan rumah petani tutup, hanya ada beberapa
397
Pendekar Cacat
anak kecil bermain di luar pagar rumah, benar-benar suasana dusun kaum petani."
Pada saat itulah mendadak dalam kebun buah-buahan itu berkumandang suara bentakan serta caci-maki. Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berkata, "Mari kita tengok!" Suara bentakan itu berasal setengah li dari tempat itu, suaranya tidak begitu keras. Buru-buru Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka berputar ke kebun buah sebelah utara, di situ mereka menyaksikan sekelompok orang mengerubuti seseorang. Menyaksikan itu, hati Bong Thian-gak terkesiap.
Rombongan itu terdiri dari tiga belas orang, mereka mengenakan baju hijau penuh tambalan, tak usah ditanya lagi mereka adalah orang-orang Kay-pang. Orang yang sedang dikepung ketiga belas orang Kay-pang itu adalah seorang gadis berbaju hitam. Bong Thian-gak dapat melihat pula raut wajah gadis berbaju hitam Itu dengan jelas, dia berkulit hitam dengan
398
Pendekar Cacat
hidung besar, mulut lebar dan mata melotot. Tampang semacam itu benar-benar jelek setengah mati. Bong Thian-gak terkejut, sambil menarik tangan Tan Thiamka menuju ke tempat peristiwa itu, bisiknya lirih, "Komandan Tan, coba kau perhatikan, diakah yang menyampaikan surat itu kepadamu?" Setelah melihat jelas paras muka gadis berbaju hitam itu, Tan Thiam-ka berseru tertahan, "Ah, betul! Ko-siauhiap, dialah orangnya."
Bong Thian-gak manggut-manggut. "Bagus sekali, mari kita lihat keadaan dan berpeluk tangan dulu." Sementara itu kawanan pengemis Kay-pang dan gadis berwajah jelek itu sudah melihat pula kehadiran Bong Thian-gak serta Tan Thiam-ka. Sebenarnya orang-orang Kay-pang itu mengira Bong Thiangak dan Tan Thiam-ka adalah teman gadis berwajah jelek itu, mereka baru menyadari kesalahan itu setelah menyaksikan kedua orang itu berhenti.
399
Pendekar Cacat
Mendadak terdengar gadis berwajah jelek itu tertawa, kemudian menegur, "Kalian kawanan pengemis tak tahu diri, di siang hari bolong begini pun berani membegal aku?" Salah seorang di antara pengemis itu, yang berusia agak lanjut, tertawa aneh, "Hehehe, bocah perempuan jelek, pentang matamu lebar-lebar, kami anggota Kay-pang bukan manusia yang membiarkan diri dihina orang semaunya sendiri. Sekarang aku si pengemis tua hanya ingin bertanya saja kepadamu, siapa dua orang gadis yang baru saja kau bunuh itu?"
Gadis berparas jelek itu tertawa terkekeh-kekeh. "Hehehe, kalian kawanan pengemis rudin, untuk mencari makan sehari tiga kali saja sudah sulit, ternyata berani mencampuri urusan orang lain. Aku cuma menasehatimu secara baik-baik, kalau mau hidup langgeng, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini dan jangan ceritakan apa yang telah kau lihat tadi, kalau tidak, kalian akan mampus di sini tanpa liang kubur."
Mendadak pengemis tua itu membentak gusar, "Bocah perempuan jelek, kenalkah kau dengan Lohu?" "Kau tak lebih dari seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang?" kata si nona hambar.
400
Pendekar Cacat
Pengemis tua itu tertawa dingin. "Seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang mempunyai hak menurunkan perintah membantai setiap musuh yang dijumpai. Bila tahu diri, lebih baik cepat sebutkan identitas serta asal-usul kedua orang itu."
Mendadak gadis yang berwajah jelek itu menarik muka dan mencorongkan sinar membunuh dari balik matanya, dengan suara dingin dia berkata, "Sekarang kalian sudah mengetahui rahasiaku membunuh orang, kukira sudah sepantasnya bila kubunuh kalian agar rahasia ini tidak bocor ke orang lain, hm, belum lagi aku melakukan pembunuhan itu, sungguh tak nyana kalian telah memojokkan aku dengan perkataanmu itu."
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini berpikir dalam hati, "Aduh celaka, gadis ini sudah diliputi hawa membunuh." Sementara dia berpikir, pengemis tua telah berteriak, "Bagus nekali! Arak kehormatan tidak mau, kau justru memilih arak hukuman. Pengawal! Tangkap dulu budak jelek itu!"
401
Pendekar Cacat
Begitu bentakan dilontarkan, empat orang anggota Kaypang segera menerjang ke depan sambil memutar tongkat bambu mereka. Siapa tahu, dengan satu lejitan tahu-tahu gadis berwajah jelek itu sudah menyongsong kedatangan keempat orang itu.
Menyusul "Plak! Plok] Plak! Plok!", empat kali tamparan nyaring berkumandang memecah keheningan. Keempat orang pengemis yang melakukan terjangan itu masing-masing mendengus tertahan, kemudian tergeletak di tanah dan tidak berkutik lagi. Ilmu pukulan yang demikian cepat dan luar biasa ini membuat Hong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu mengerut dahi.
Sementara para pengemis Kay-pang diliputi perasaan kaget, ngeri dan tertegun. Agaknya gadis berwajah jelek itu sudah didorong nafsu untuk melakukan pembunuhan secara besar-besaran guna melenyapkan semua saksi hidup, dengan suatu gerakan yang amat cepat dia menyerbu ke tengah kerumuman orang banyak.
402
Pendekar Cacat
Segera berkumandang jeritan kaget tertahan serta jerit kesakitan di sana-sini. Bayangan orang mencelat dan berkelebat ke sana kemari, dalam waktu singkat telah ada dua belas orang anggota Kay-pang tergeletak di tanah. Dalam keadaan seperti ini, Bong Thian-gak tidak mengetahui apakah dia harus mencampuri urusan ini atau tidak? Sementara itu si nona berwajah jelek sudah berjalan menuju ke depan pengemis tua itu begitu berhasil membinasakan kedua belas anggota Kay-pang tadi. Mendadak Bong Thian-gak membentak nyaring, "Tahan!"
Waktu itu si nona berwajah jelek sudah mengangkat telapak tangan siap melancarkan serangan maut, ketika mendengar suara bentakan itu, gerakannya segera dihentikan. Dengan suatu gerakan cepat Bong Thian-gak menghampiri nona berwajah jelek itu, kemudian katanya, "Nona, jangan kau lakukan pembantaian secara besar-besaran." "Ko-siangkong, harap menyingkir dulu," kata gadis berwajah jelek itu pelan. "Sekarang aku telah membinasakan dua belas orang anggota partainya dan aku
403
Pendekar Cacat
tak boleh membiarkan dia kabur untuk membocorkan rahasia ini." Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat sesudah mendengar perkataan itu, ujarnya, "Nona, kepandaian silat yang kau miliki lihai sekali, justru karena aku tak bisa mengambil keputusan dengan cepat, akibatnya aku tak sempat mencegah perbuatan kejimu." "Siangkong, apabila kau menghalangi perbuatanku ini, maka kau bakal menyesal sepanjang masa. Harap kau segera menyingkir."
Dalam pada itu si pengemis tua masih berdiri di situ dengan wajah termangu. Bong Thian-gak yang menyaksikan hal itu segera membentak, "Hei, mengapa kau tak segera melarikan diri? Kau hendak menunggu sampai kapan?" Pengemis tua itu terkejut sesudah mendengar seruan itu. Dia segera membalikkan badan dan melarikan diri.
Mendadak gadis itu mengayunkan pergelangan tangan kanan. "Sret", setitik cahaya bintang yang terang bagaikan sambaran petir dengan cepat menyambar ke belakang tubuh si pengemis tua itu.
404
Pendekar Cacat
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira gadis berwajah jelek itu bakal melancarkan serangan dengan menggunakan senjata rahasianya, ia membentak keras, telapak tangan kirinya segera diayun ke depan melepaskan pukulan kosong membabat ke titik cahaya bintang itu. Walaupun dia bertindak agak terlambat, senjata rahasia tadi tersapu juga oleh sambaran angin pukulannya, dengan begitu kekuatan serangannya menjadi berkurang dan tak menyeramkan lagi. "Aduh!" berkumandang jerit kesakitan yang memilukan hati. Pengemis tua itu sempoyongan, lalu melarikan diri makin cepat meninggalkan tempat itu.
Di saat Bong Thian-gak mengayunkan telapak tangan kirinya melancarkan serangan tadi, tangan kanannya juga secepat kilat menghantam bahu gadis berwajah jelek itu. Dengan cekatan gadis berwajah jelek itu mundur tigaempat langkah, ujarnya setelah menghela napas sedih, "Siangkong, dengan perbuatanmu ini hanya akan menambah kesulitanku saja, bahkan bisa jadi akan mempengaruhi situasi dunia persilatan." "Mengapa?" tanya Bong Thian-gak dengan suara dalam.
405
Pendekar Cacat
"Siangkong, tahukah kau siapakah kawanan pengemis itu?" tanya gadis berwajah jelek itu sambil menghela napas sedih. "Para anggota Kay-pang!"
"Kay-pang adalah perkumpulan paling besar di Bu-lim dewasa ini. Pengaruh organisasi itu meliputi hampir setiap pelosok dunia persilatan, kini kau telah membiarkan pengemis tua itu melarikan diri, mungkin tidak sampai dua belas jam kemudian, pihak Kay-pang sudah akan mengutus jago-jagonya datang kemari mencari balas." "Nona, kalau kau tak ingin disusahkan oleh orang-orang Kay-pang, mengapa pula kau membunuh anggota mereka?" Dengan polos gadis berwajah jelek itu menjawab, "Asalkan kau tidak menghalangiku tadi, maka aku akan berhasil membunuh mereka semua, perbuatanku ini tak akan diketahui siapa pun, bahkan aku bisa mengalihkan balas dendam mereka ke arah yang salah. Bukankah ini justru akan mendatangkan keuntungan bagi diriku?" "Nona kau berasal dari perguruan atau aliran mana?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut.
Gadis berwajah jelek itu tertawa cekikikan.
406
Pendekar Cacat
"Aku tidak punya perguruan maupun partai." "Bukankah nona yang menyuruh dia mengantar surat untukku?" l.mya Bong Thian-gak lagi dengan suara dalam. Sembari berkata dia menunding ke arah Tan Thiam-ka yang berdiri di samping. "Betul! Aku yang menitipkan surat itu kepadanya," gadis berwajah jelek itu membenarkan. "Seingatku belum pernah berjumpa atau berkenalan dengan nona, darimana nona mengenali diriku? Apa pula maksud nona mengirim surat itu kepadaku?" "Walaupun aku tidak kenal padamu, tapi kemungkinan majikan kami kenal Ko-siangkong."
besar
"Ai, apakah kau masih mempunyai majikan? Siapakah nama majikan kalian itu?" "Aku juga tidak mengetahui siapa nama majikan kami."
Kali ini Bong Thian-gak benar-benar dibikin bingung dan tak habis mengerti, sebenarnya dia mengira Jit-kaucu Thay-kun yang menyuruh gadis ini menyampaikan surat kepadanya, siapa tahu kenyataan sama sekali berbeda dengan apa yang diduganya semula.
407
Pendekar Cacat
Lantas siapakah majikannya? Ilmu silat gadis berwajah jelek itu kelihatan amat aneh dan istimewa, boleh dibilang Bong Thian-gak sama sekali tak mengenalinya. Setelah termenung dan memutar otak, Bong Thian-gak bertanya, "Nona, dapatkah kau mengajakku pergi menjumpai majikanmu?" "Tentu saja boleh, cuma aku kuatir majikan tidak bersedia bertemu denganmu."
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, katanya, "Dalam surat itu, dia menyuruh aku datang menjumpainya." "Kau tidak bohong?" gadis berwajah jelek itu menegas. "Tidak!" Gadis itu memandang ke arah Tan Thiam-ka sekejap, kemudian katanya, "Majikan kami tak mengizinkan orang lain menjumpainya." Tentu saja Bong Thian-gak cukup memahami maksud ucapannya itu, maka katanya kepada Tan Thiam-ka, "Komandan Tan, kau boleh pulang lebih dulu." "Baik!" sahut Tan Thiam-ka.
408
Pendekar Cacat
Dengan mengerahkan Ginkang, dia lantas kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.
Sepeninggal Tan Thiam-ka, gadis itu baru berkata sambil tersenyum, "Siangkong, mari kita berangkat!" Selesai berkata dia lantas membalik badan dan berangkat ke arah utara. Bong Thian-gak juga tidak banyak bicara, dengan ketat dia mengikut di samping kiri gadis bermuka jelek itu. Mendadak gadis itu berkata, "Siangkong, apakah kau tidak mencurigai diriku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau?" "Ehm, aku sudah menduga ke situ," sahut Bong Thian-gak dengan suara hambar. "Seandainya aku benar-benar anggota Put-gwa-cin-kau, apa yang hendak Siangkong lakukan?" "Akan kubunuh dirimu sekarang juga!"
Gadis bermuka jelek itu tertawa cekikikan. "Tak usah kuatir," katanya, "kedua gadis yang kubunuh tadi tak lain adalah anggota Put-gwa-cin-kau."
409
Pendekar Cacat
"Mengapa kau membinasakan mereka," tanya si pemuda dengan terkejut bercampur keheranan. "Sebab aku sedang melaksanakan perintah majikan!" "Sesungguhnya siapa majikanmu itu?" desak Bong Thiangak tiba-tiba sambil menghela napas. "Bagaimana pun juga kau bakal bertemu dengannya, setelah bersua nanti kau akan tahu dengan sendirinya." "Majikanmu itu seorang lelaki atau perempuan?" "Seorang perempuan."
Kini Bong Thian-gak diliputi perasaan bimbang, tidak habis mengerti dan curiga, namun dia tidak berdaya mengatasi kecurigaan itu, maka selain membuang jauh-jauh pikiran itu untuk sementara waktu, sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu sambil mengawasi pemandangan alam. Lambat-laun matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang tiba. Suasana tengah malam yang sepi berlapiskan cahaya keemas-rmasan yang sangat indah.
410
Pendekar Cacat
Akhirnya sampailah mereka di depan sebuah hutan kecil, dari balik hutan lamat-lamat nampak sebuah kuil. "Kita sudah hampir sampai," bisik gadis itu tiba-tiba. "Apakah kuil di depan sana?" pemuda itu bertanya. "Ya, kuil kaum Nikoh!" Sementara pembicaraan berlangsung, mereka berdua sudah memasuki halaman muka kuil itu.
Saat itulah si nona yang bermuka jelek itu baru menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah Bong Thian-gak, katanya, "Harap kau suka menunggu sebentar di luar kuil!" Tidak menanti jawaban Bong Thian-gak, dia sudah menerobos ke balik pintu gerbang kuil itu. Meminjam sinar senja berwarna keemas-emasan. Bong Thian-gak mencoba mengawasi kuil itu, ternyata kuil itu bernama Keng-tim-an. Kuil Keng-tim-an tidak terhitung besar, namun juga tidak kecil. Seluruh bangunan terdiri dari lima lapis halaman. Waktu itu di ruang tengah amat sepi dan tidak nampak sesosok bayangan orang pun.
411
Pendekar Cacat
Suasana diliputi oleh keheningan, kesepian yang luar biasa.
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Andaikata tempat ini hanya merupakan suatu perangkap Put-gwa-cin-kau, bagaimana caraku menghadapi mereka dan meloloskan diri?" Belum habis dia berpikir, tiba-tiba nampak gadis bermuka jelek itu sudah berjalan keluar dari ruang tengah, kemudian katanya dengan suara dingin, "Siangkong, kau pandai berbohong. Dalam suratnya, majikan kami tidak mengundangmu kemari!" Tak usah marah-marah, nona, sesungguhnya terdorong oleh rasa ingin tahuku, maka aku kemari ingin berjumpa dengan majikan kalian." "Gara-gara ulahmu itu, akibatnya aku yang didamprat majikan habis-habisan. Untung majikan mempunyai pandangan lain kepadamu sehingga dia bersedia bertemu dengan kau." "Terima kasih banyak atas bantuan nona, harap kau suka membawaku masuk ke dalam!" "Setelah masuk ke dalam kuil nanti, harap kau jangan mengusik para Nikoh."
412
Pendekar Cacat
"Apakah ada Nikoh yang berdiam di sini?" "Ya, mereka adalah Nikoh yang menjalani pantangan berat, jumlahnya mencapai tujuh puluhan orang."
Sementara berbicara, gadis itu sudah berjalan lebih dahulu untuk menunjukkan jalan. Sesudah memasuki pintu kuil, benar juga pada sisi pagar bangunan itu nampak ada puluhan orang Nikoh sedang menyirami bunga, menanam sayur dan membabat rumput. Mereka langsung menuju ke ruang tengah. Di depan patung Buddha di ruang tengah, nampak asap dupa mengepul memenuhi angkasa, tiga orang Nikoh sedang berdoa di situ dengan khidmat. Gadis bermuka jelek itu langsung mengajak Bong Thian-gak menuju ke halaman lapis keempat. Waktu itu dalam semua kamar di masing-masing halaman telah diterangi cahaya lentera.
Gadis berwajah jelek itu membawa Bong Thian-gak menuju ke depan sebuah rumah yang terpencil di tengah halaman. Dari luar tampak sesosok bayangan orang sedang duduk di
413
Pendekar Cacat
tepi jendela. Bayangan tubuh seorang perempuan cantik dan menarik, Bong Thian-gak seakan-akan pernah mengenalinya di suatu tempat. Pada saat itulah, gadis itu berkata dengan sikap hormat, "Lapor majikan, Ko-siangkong telah tiba." Dari dalam ruangan segera berkumandang suara merdu dan lembut, "Silakan Siangkong masuk!" "Siangkong, silakan masuk!" kata gadis itu.
Sekali pun Bong Thian-gak diliputi perasaan bingung dan penuh ruriga, namun terdorong rasa ingin tahunya yang besar, ia segera beranjak memasuki ruangan itu. Setibanya dalam ruangan dia mendongakkan kepala. "Ah, kau!" Bong Thian-gak segera menjerit kaget. Di bawah cahaya lentera yang terang-benderang, seraut wajah yang cantik jelita muncul di hadapannya. Waktu itu Jit-kaucu tidak menampilkan perasaan girang, gusar maupun murung, dia hanya berkata hambar, "Suheng, silakan duduk."
414
Pendekar Cacat
Dipanggil "Suheng" oleh gadis itu, Bong Thian-gak merasakan suatu perasaan canggung. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia lantas mengambil tempat duduk. Pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bangkit dan menuang secawan air teh, kemudian disodorkan ke hadapan Bong Thian-gak, katanya, "Silakan minum air teh!" Memandang kesepuluh jari tangannya yang putih dan ramping, tanpa terasa Bong Thian-gak menerima angsuran cawan teh itu dengan cepat, namun tidak segera meneguknya. Beberapa saat sesudah termenung, pemuda itu baru berkata, "Jadi kau yang menulis surat itu?" "Ya, aku yang menulis," Jit-kaucu Thay-kun mengangguk. "Tindak-tandukmu sungguh membuat aku bingung dan merasa tak habis mengerti."
Jit-kaucu menarik wajah, kemudian berkata, "Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar aku membinasakan dirimu." "Cepat atau lambat perintah ini akan diturunkan juga!" "Kau memang tolol," tegur Jit-kaucu dingin. "Memang kau harus memperlihatkan kebolehanmu? Seandainya pada
415
Pendekar Cacat
tiga hari lalu kau tidak melukai komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding, tak nanti Cong-kaucu memandang serius dirimu."
Mendapat teguran itu, timbul perasaan aneh dalam hati Bong Thian-gak, dia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaannya waktu itu, karenanya dia hanya menerima teguran itu dengan mulut bungkam. Kembali Jit-kaucu Thay-kun berkata, "Sembilan hari lagi, Cong-kaucu akan datang sendiri ke kota Kay-hong ini." "Kalau begitu sembilan hari lagi merupakan saat ajal bagimu," kata Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Paras muka Jit-kaucu Thay-kun lantas saja berubah hebat, serunya tanpa terasa, "Apa maksud perkataanmu itu?" "Setelah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memerintahkan kau membunuh Ku-lo Hwesio dan aku, maka sasaran ketiga adalah dirimu sendiri! Sesungguhnya kehadirannya di kota Kay-hong tak lain adalah untuk membunuhmu!" "Ku-lo Sinceng benar-benar telah meninggal dunia?" Bong Thian-gak mengangguk.
416
Pendekar Cacat
"Ya, sudah meninggal dunia! Tapi dia bukan mati lantaran terhajar oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang." "Ai, dunia persilatan telah kehilangan seorang tokoh yang luar biasa," gumam Jit-kaucu sedih. "Sumoay," bisik Bong Thian-gak lirih.
Dia hanya mampu menyebut itu saja, kemudian paras mukanya berubah merah padam dan tak mampu berkata lebih lanjut. Jit-kaucu sendiri paras mukanya mengunjuk suatu perubahan sangat aneh mendengar panggilan "Sumoay" itu. Sepasang mata mereka saling pandang tanpa berkedip ... lama-lama ... lebih kurang sepeminunan teh kemudian Bong Thian-gak baru melanjutkan kata-katanya, "Semua perkataanku bukan cuma bualan belaka."
Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening, lalu gumamnya, "Dengan susah-payah Suhu mendidikku selama dua puluh tahun lebih, entah berapa banyak pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untukku, mungkinkah dia akan ...."
417
Pendekar Cacat
Bicara sampai di situ, mendadak gadis itu menghentikan gumamannya dan tidak dilanjutkan.
Bong Thian-gak menghela napas sedih, ujarnya, "Dari dulu hingga sekarang, banyak benggolan dunia persilatan yang cuma mengutamakan keuntungan dan keberhasilan pribadi mereka, seakan sudah kehilangan hati nurani, bahkan terhadap anak kandung sendiri pun tega untuk dikorbankan." "Suhu mendidik dan membinaku justru karena ingin mewujudkan cita-citanya menguasai dunia Kangouw, kenapa dia harus melenyapkan aku?" "Untuk mencapai ambisi gilanya, dia telah mengubah kau dari seorang gadis biasa menjadi luar biasa, tujuannya tak lain adalah untuk menjadikan kau sebagai alatnya dalam menaklukkan dunia persilatan. Kini orang yang dia segani dan takuti telah mati semua, maka dia pun lidak memerlukan alat itu lagi, bila alat yang lihai ini dibiarkan hidup terus, hal itu akan menimbulkan ketidaktenangannya di masa-masa mendatang." "Mengapa bisa begitu?"
418
Pendekar Cacat
"Alasan yang terutama adalah karena ilmu Soh-li-jian-yangsin-kang yang kau miliki justru merupakan tandingan kepandaian silatnya." Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening, "Darimana kau tahu Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan tandingan segenap kepandaian sakti guruku? Apakah kau sudah mengetahui asal-usul Cong-kaucu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai ... aku memang tidak jelas tentang asal-usul Cong-kaucu, namun persoalan ini diketahui Ku-lo Sinceng sesaat sebelum dia meninggal dunia." Thay-kun tertawa dingin. "Begini cara sembilan partai besar dari daratan Tionggoan mengadu domba kekuatan kami?" ejeknya. Bong Thian-gak menarik muka dan berkata dengan wajah serius, "Semua perkataan yang kuucapkan hari ini adalah sejujurnya, kuucapkan dengan maksud dan tujuan baik." Mendadak Jit-kaucu Thay-kun bertanya, "Apakah si jelek telah menyampaikan sesuatu kepadamu?" "Si jelek? Si jelek yang mana?" "Gadis yang membawamu kemari itu."
419
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menggeleng. "Tidak!" "Mengapa kau tidak menyayangi keselamatan jiwamu sendiri?" pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bertanya. "Dilahirkan saja sukar, siapa bilang aku tidak menyayangi jiwaku?" "Sekarang Cong-kaucu sudah berhasrat melenyapkan kau dari muka bumi, apa rencanamu untuk menghadapinya?" "Melawan sampai titik darah penghabisan." "Kau harus tahu, Put-gwa-cin-kau memiliki kekuatan luar biasa, mengertikah kau akan hal ini?" "Kecuali kau, aku yakin masih mampu menghadapi yang lain." "Tampaknya kau menaruh kepercayaan yang kelewat besar terhadap kemampuan ilmu silatmu?" "Aku sudah pernah mengalahkan beberapa orang jago lihai Put-gwa-cin-kau." "Bagaimana menurut pendapatmu tentang ilmu silat komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding itu?"
420
Pendekar Cacat
"Lihai sekali." "Sampai dimanakah taraf kelihaianmu?"
Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian baru berkata, "Jauh lebih lihai daripada Sam-kaucu, tapi aku yakin masih bisa mengalahkan dia, bahkan sekalian mencabut jiwanya." Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih, "Ai, orang itu merupakan salah seorang jago muda yang berhasil dididik Cong-kaucu hanya dalam tujuh tahun. Dari tingkat ilmu silat orang itu, tentunya kau bisa membayangkan bukan sampai taraf macam apakah kepandaian silat Cong-kaucu!"
"Selain Cong-kaucu, ilmu silat Ji-kaucu (ketua kedua) serta komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding juga luar biasa hebatnya, sampai dimanakah kehebatan mereka bahkan aku sendiri pun tak bisa menduganya secara tepat." "Terutama Ji-kaucu, bukan saja ilmu silatnya sangat lihai, dia pun memiliki berbagai ilmu hitam dan ilmu sesat lainnya yang mengerikan. Dia menjabat sebagai Kunsu (juru pikir) Put-gwa-cin-kau, semua rencana dan ide keluar dari benak orang ini, aku benar-benar kuatir dia datang ke kota Kay-hong ini."
421
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam terperanjat, tapi rasa terkejut tidak diperlihatkan di mukanya. "Dapatkah kau sebutkan nama mereka?" tanyanya kemudian dengan suara lembut.
Paras muka Jit-kaucu Thay-kun bertambah berat, tegasnya dengan nnda dingin,"Sudah terlalu banyak rahasia yang kuutarakan kepadamu." "Terima kasih banyak, Sumoay!" "Untuk menyelamatkan jiwamu, hari ini aku telah menitahkan si jelek untuk membunuh anggota Put-gwa-cinkau. Dengan matinya mereka, untuk sementara rahasia pertemuan kita dapat dipertahankan, oleh sebab itu dalam sembilan hari kau harus menghindarkan diri, kau harus menghindari pengejaran dan usaha pembunuhan orangorang Put-gwa-cin-kau."
Bong Thian-gak menghela napas pelan. "Sumoay, belakangan ini gara-gara aku, kau telah mengkhianati Put-gwa-cin-kau, mengapa kau tidak melepaskan jalan sesat untuk kembali ke jalan yang benar saja?"
422
Pendekar Cacat
Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih, "Aku harus menanti...." Sampai di situ dia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya. "Sumoay, apa yang sedang kau nantikan?" "Aku tidak percaya Cong-kaucu adalah seorang yang tidak berdarah dan berdaging, masakah dia sama sekali tak berperasaan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak jadi girang, pikirnya, "Dari kata-katanya, bukankah terbukti dia sudah punya perasaan tidak percaya terhadap Cong-kaucu .... Kalau sekarang dia masih belum menantangnya secara langsung dan terang-terangan, sesungguhnya kejadian ini pun merupakan peristiwa yang lumrah. Bagaimana pun juga Cong-kaucu adalah gurunya, penolong yang telah memelihara dan mendidiknya hingga dewasa. Perasaan itu memang lebih dalam daripada samudra dan mustahil bisa dilupakan orang begitu saja. Oleh sebab itu kendati dia tahu pada akhirnya Cong-kaucu hendak turun tangan keji kepadanya, tapi untuk membuktikan hal ini terpaksa dia harus menanti sampai Cong-kaucu benar-benar memperlihatkan wajah yang sesungguhnya."
Kemudian Bong Thian-gak bertanya, "Apakah kuil Keng-timan ini merupakan salah satu markas besar Put-gwa-cinkau?"
423
Pendekar Cacat
Jit-kaucu Thay-kun menggeleng, "Put-gwa-cin-kau sama sekali tidak tahu aku sedang berada di kuil Nikoh ini." "Siapakah Hongtiang (ketua) kuil Keng-tim-an ini?" "Suhunya si jelek." "Mengapa si jelek menyebutmu sebagai majikan?"
Jit-kaucu Thay-kun mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian dia tersenyum sambil berkata, "Aku adalah majikan kuil Keng-tim-an ini, termasuk Hongtiangnya, mereka memanggilku sebagai majikan." "Aku tidak mengerti," kata Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala dengan perasaan tidak mengerti. Jit-kaucu Thay-kun termenung sejenak, katanya, "Sekarang masih belum waktunya, aku tak ingin membongkar rahasia ini lebih dulu. Sebentar akan kuperkenalkan dirimu dengan Keng-tim Suthay, apabila kau menemui kesulitan di kemudian hari, mereka akan membantumu." Jit-kaucu Thay-kun segera bangkit, setelah mengangkat kepala memandang cuaca, dia pun berbisik lirih, "Waktu sudah tidak pagi, aku tak bisa berdiam lebih lama di sini."
424
Pendekar Cacat
Baru selesai dia berkata, mendadak dari luar ruangan terdengar suara langkah kaki berkumandang datang, menyusul terdengar seorang berkata dengan suara yang lembut dan manis, "Lapor majikan, apakah akan bersantap di sini?" Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera tahu orang yang berada di luar sana adalah si nona muka jelek. "Tidak usah," jawab Jit-kaucu Thay-kun dengan suara merdu. "Aku akan segera pergi meninggalkan tempat ini, lebih baik kau sediakan hidangan malam untuk Kosiangkong saja."
Bong Thian-gak ikut bangkit, katanya, "Tidak usah, aku harus buru-buru kembali." Tidak menanti Bong Thian-gak berkata lebih jauh, Jit-kaucu Thay-kun menukas, "Si jelek, apakah Keng-tim Suthay telah menyelesaikan semedinya?" "Ibu telah menyelesaikan sembahyang malamnya," jawab nona itu dengan hormat, dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan pelan. "Jika begitu harap kau mengundangnya kemari," perintah Jit-kaucu. "Baik!" sahut si nona.
425
Pendekar Cacat
Dia segera membalikkan badan dan berlalu dari ruangan itu.
Sepeninggal nona bermuka jelek, Jit-kaucu berkata kepada Bong Thian-gak, "Suheng, tak ada salahnya kau bersantap malam dulu di sini sebelum pergi, kau pun perlu berbincang-bincang dengan Keng-tim Suthay dan si jelek agar kedua belah pihak saling kenal lebih mendalam." Sesungguhnya Bong Thian-gak memang menaruh perasaan bingung, curiga dan ingin tahu terhadap kuil Keng-tim-an. Dalam hati pemuda itu bersedia tetap tinggal di situ melakukan penyelidikan.
Selang beberapa saat kemudian dari luar ruangan terdengar lagi mum langkah kaki manusia, dengan cepat muncul bayangan orang dari luar ruangan. Tampak seorang Nikoh setengah umur yang mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, membawa tasbih di tangan, berdiri di depan pintu, di belakangnya mengikut si nona bermuka jelek itu. Dengan sorot mata tajam Nikoh setengah umur itu memandang sekejap wajah Bong Thian-gak, kemudian dia merangkap tangan dan memberi hormat kepada Jit-kaucu Thay-kun.
426
Pendekar Cacat
"Pinni sedang bersemedi dalam ruangan hingga tak mengetahui kedatangan majikan di sini, bilamana tak menyambut kedatanganmu harap majikan sudi memaafkan."
Sekarang Bong Thian-gak baru sempat melihat wajah Nikoh setengah umur itu, mukanya bulat dengan kulit putih bersih, panca indranya sempurna dan memancarkan keanggunan. Menyaksikan hal itu, tanpa terasa "Mungkinkah dia adalah ibu si jelek?"
dia
berpikir,
Lalu ia memperkenalkan diri, "Namaku Ko Hong, harap Suthay sudi banyak memberi petunjuk."
Jit-kaucu Thay-kun menuding ke arah Nikoh setengah umur itu sembari berkata, "Dia adalah Hongtiang kuil ini, Kengtim Suthay, sedang ini adalah Ko-siauhiap." Keng-tim Suthay tersenyum dan manggut-manggut, katanya, "Ko-siauhiap, belakangan ini nama besarmu menggetarkan dunia persilatan, sudah lama Pinni mendengar nama besarmu." "Ah, aku hanya seorang pemuda yang baru terjun ke dunia persilatan, Suthay terlampau memuji!"
427
Pendekar Cacat
"Keng-tim Suthay," kata Jit-kaucu pula, "harap kalian menemani. Ko-siangkong berbincang-bincang, bilamana Siangkong membutuhkan bantuan kalian di kemudian hari, harap kalian suka membantu sepenuh tenaga. Maaf, aku harus segera pergi." "Apakah majikan masih akan meninggalkan pesan lain?" "Sembilan hari lagi, bila aku belum kembali di kuil Keng-timan ini, kau boleh menyampaikan semua petunjuk itu kepada Siangkong."
Selesai berkata ia segera berkelebat dan menimbulkan sedikit suara pun berlalu dari situ.
tanpa
Menyaksikan ilmu meringankan tubuh Jit-kaucu Thay-kun ya begitu sempurna, diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Kepandai silatnya benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaan." Sementara dia masih termenung, Keng-tim Suthay berkata dengan suara lembut, "Siangkong, harap minum air teh."
Sembari berkata, nona bermuka jelek dan Keng-tim Suthay masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian memenuhi cawan Bong Thian-gak dengan air teh baru.
428
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Suthay, ucapannya sebelum pergi tadi sungguh membuat hati orang merasa kuatir."
Keng-tim Suthay tersenyum, "Ko-sicu tak usah murung. Segala sesuatunya telah diatur oleh takdir." "Suthay, aku mempunyai beberapa persoalan yang tak kupahami, bersediakah kau memberi petunjuk?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut. Keng-tim Suthay tertawa, "Majikan telah berpesan, oleh karena saatnya belum tiba, kurang baik untuk membongkar rahasia itu. Maaf apabila Pinni tak bisa banyak membantumu."
Mendengar ucapan itu, kembali Bong Thian-gak berpikir, "Kalau dilihat dari kemampuan si nona bermuka jelek dalam melakukan pembunuhan atas kedua belas orang anggota Kay-pang itu, sudah dapat diketahui dia adalah seorang jago lihai yang berilmu tinggi, sedangkan Keng-tim Suthay juga bermata amat tajam, tampaknya kesempurnaan tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan. Dengan bekal kepandaian ilmu silat yang begitu tinggi, nyatanya sikap mereka terhadap Jit-kaucu
429
Pendekar Cacat
Thay-kun begitu hormat, sesungguhnya hubungan apakah yang terjalin di antara mereka bertiga?"
Sementara dia termenung memikirkan persoalan itu, mendadak tampak paras muka Keng-tim Suthay berubah hebat, kemudian tanyanya dengan lirih, "Siangkong, apakah kau datang bersama sahabatmu?" Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera pasang telinga baik-baik, segera ia tahu di atas atap rumah telah kedatangan dua orang pejalan malam.
Bong Thian-gak agak kuatir kalau mereka adalah anggota gedung Bu-lim Bengcu, siapa tahu mereka tidak tega membiarkan dia pergi ftcnrang diri, maka secara diam-diam mengutus orang menguntit. Maka untuk beberapa saat dia tidak mampu menjawab pertanyaan Keng-tim Suthay.
Sementara itu Keng-tim Suthay sudah membentak dengan suara dalam, "Sicu darimanakah yang telah mengganggu ketenangan kami? Mengapa tidak segera turun?"
430
Pendekar Cacat
"Hehehe," suara tawa menyeramkan berkumandang memecah keheningan malam. Kemudian "Sret", di tengah halaman telah bertambah dengan dua sosok manusia. Dengan suatu lompatan kilat, Bong Thian-gak menyusup keluar melalui jendela, sementara Keng-tim Suthay dan nona bermuka jelek itu pun telah keluar ruangan.
Di bawah cahaya lentera yang memancar keluar dari dalam ruangan, tampak dua orang aneh berbaju putih telah berdiri di tengah halaman, jubah putih mereka diberi beberapa tambalan dari kain kuning. Begitu melihat siapa gerangan dua orang tamu tak diundang itu, diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dalam hati, "Aduh celaka! Rupanya anggota Kay-pang yang telah kemari." Sementara itu si nona bermuka jelek pun mengeluh dalam hati. Dalam pada itu Keng-tim Suthay telah merangkap tangan di depan dada sambil menegur, "Omitohud, apakah Sicu berdua adalah anggota Kay-pang?"
431
Pendekar Cacat
Kedua orang lelaki berbaju putih itu berusia empat puluh tahunan, orang di sebelah kiri berperawakan tinggi kekar, memelihara jenggot pendek. Sedangkan orang di sebelah kanan berwajah bersih tapi mencorong tajam sinar matanya, jelas dia lebih cekatan dan hebat. Sejak menampakkan diri di situ, mereka berdua dengan tajam mengawasi nona bermuka jelek dan Bong Thian-gak tanpa berkedip, wajah mereka dihiasi hawa amarah yang amat tebal.
Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih menyahut sambil tertawa dingin, "Benar, kami berdua adalah Hiangcu ruang hukuman Kay-pang." Dari mimik wajah mereka yang kurang cerah, Keng-tim Suthay tahu kedatangan mereka disebabkan suatu persoalan, dia merangkap tangan kembali, tanyanya, "Entah ada urusan apa Hiangcu berdua berkunjung ke kuil kami?" "Hm, tanyakan kepadanya bila ingin tahu," seru lelaki bermuka bersih sambil menunjuk ke arah nona bermuka jelek itu.
Keng-tim Suthay berpaling dan memandang sekejap ke arah nona bermuka jelek itu, tanyanya pula, "Si jelek, apa
432
Pendekar Cacat
yang telah kau lakukan sehingga membuat marah mereka berdua? Ayo cepat minta maaf kepada kedua Sicu ini!" "Minta maaf?" jengek lelaki bertubuh kekar itu ketus. "Hm, tak segampang itu urusan bisa dibikin selesai." "Ibu, aku telah membunuh dua belas orang mereka," bisik nona bermuka jelek itu lirih.
Setelah mengetahui duduk persoalannya, Keng-tim Suthay baru menyadari betapa gawatnya persoalan itu, dengan suara dalam dia lantas menegur, "Si jelek, mengapa kau melakukan perbuatan tolol itu?" Bong Thian-gak tahu semua kesulitan itu gara-garanya, coba kalau dia memberi kesempatan nona bermuka jelek itu menghabisi nyawa pengemis terakhir tadi, sudah pasti tak akan terjadi kesulitan seperti ini.
Kay-pang merupakan perkumpulan terbesar yang mempunyai kekuasaan paling luas dalam Bu-lim, jago-jago lihainya banyak, tak bisa dihitung, cara kerja mereka pun antara sesat dan lurus, baik golongan putih maupun hitam biasanya suka mengalah terhadap masalah-masalah yang melibatkan pihak kaum pengemis.
433
Pendekar Cacat
Menghadapi situasi saat ini mau tak mau Bong Thian-gak harus memutar otak mencari akal.
Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih itu berkata dengan suara dingin, "Hutang uang bayar uang hutang nyawa harus dibayar nyawa, kami akan pergi dari sini bila pembunuhnya telah diserahkan!" Tiba-tiba Bong Thian-gak maju sembari menjura, kemudian katanya, "Saudara berdua, peristiwa terbunuhnya beberapa orang anggota perkumpulan kalian di tangan nona ini, di kemudian hari aku pasti akan berkunjung sendiri ke markas besar kalian di Sucwan untuk memberikan keadilan kepada kalian. Bagaimana kalau kalian berdua menyudahi persoalan sampai di sini dulu?"
Lelaki berwajah bersih itu tertawa dingin. "Siapa namamu? Apakah dengan bekal beberapa katakatamu itu kami harus menghabisi dendam kesumat sedalam lautan begitu saja?" "Aku she Ko bernama Hong. Harap kau sudi memberi petunjuk," kata Bong Thian-gak menahan sabar.
434
Pendekar Cacat
Nama "Ko Hong" ini sudah berubah menjadi nama yang amat termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini, paras muka kedua orang Hiangcu Kay-pang itu segera berubah hebat. "Bagus!" seru lelaki bertubuh kekar sambil tertawa tergelak, "Ji-siauya partai kami Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah pualam) To Siau-hou pernah menyinggung nama besarmu setelah sadar dari pingsannya tempo hari, katanya bila ingin mengetahui Put-gwa-cin-kau paling baik menemukan dirimu. Hari ini kau harus mengikuti kami pergi dari sini."
Bong Thian-gak tersenyum. "Sebetulnya aku bersedia mengikuti kalian pergi dari sini, sayang aku masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan, hingga...." "Kuanjurkan kepada saudara, lebih baik jangan mengikat tali permusuhan dengan Kay-pang!" bentak lelaki kekar itu dengan wajah membesi. Tiba-tiba saja paras muka Bong Thian-gak berubah pula, dingin seperti es, ucapnya ketus, "Kalian tak akan mampu menyelesaikan persoalan ini secara baik-baik, kuanjurkan kepada kalian lebih baik cepat pulang saja, tak usah mencari penyakit buat diri sendiri."
435
Pendekar Cacat
Beberapa patah kata itu kontan membuat kedua orang Hiangcu itu naik darah. Kedudukan Hiangcu dalam Kay-pang hanya sedikit di bawah Tongcu, merupakan orang ketiga yang berkuasa dalam perkumpulan, apalagi mereka adalah Hiangcu ruang hukuman, kekuasaan maupun kedudukannya tinggi sekali. Lelaki berwajah bersih itu tertawa seram. "Hehehe, mendengar perkataanmu itu, kami jadi tak tahu diri dan ingin sekali mengetahui apa yang menjadi modalmu hingga berani bersikap jumawa!" Si nona bermuka jelek yang selama ini hanya diam saja, mendadak berkata, "Bukankah kalian berdua ingin mengajakku pergi? Baiklah, aku bersedia pergi bersama kalian."
Si jelek berpaling ke arah Keng-tim Suthay, kemudian berkati pelan, "Ibu, siapa membunuh orang, dia harus membayar dengan nyawa pula, putrimu merasa sudah sepantasnya mengikuti mereka untuk menerima hukuman, harap kau orang tua jangan kuatir." Kemudian sambil berpaling ke arah kedua orang itu, dia berkata lagi, "Semua perbuatan itu merupakan tanggungjawabku, mari kita pergi!"
436
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu punya firasat permainan apakah yang hendak dilakukan gadis bermuka jelek itu. Namun berhubung perkembangan peristiwa itu telah mencapai keadaan seperti ini, tentu saja dia tak dapat menghalangi niatnya lagi. Dalam hati dia hanya bisa berdoa secara diam-diam, "Semoga Thian mengampuni dosa-dosanya!" Begitulah dua orang Hiangcu dari Kay-pang segera membawa nona bermuka jelek itu berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggung mereka lenyap dari pandangan, Keng-tim Suthay menghela napas sedih, katanya, "Dosa! Dosa! Dendam berdarah ini makin lama semakin mendalam, tampaknya ikatan permusuhan ini tak bakal berakhir untuk selamanya." "Semoga saja sejak kini hilang semua bukti-bukti nyata, kalau tidak, entah bagaimana akhirnya nanti?" "Omitohud," bisik Keng-tim Suthay pelan, "Ko-siangkong, silakan duduk di dalam."
437
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay masuk dan duduk di ruang dalam. Saat itulah Keng-tim Suthay berkata, "Siangkong, apakah kau telah menyaksikan pertarungan itu?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Menjelang senja tadi, putrimu dikejar oleh tiga belas jago Kay-pang ...." Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan bagaimana peristiwa pembunuhan itu terjadi.
Begitu selesai mendengar penuturan itu, Keng-tim Suthay menghela napas panjang dan berkata, "Ai, perbuatan yang dilakukan si jelek memang tugas yang dibebankan majikan kepada kami menyangkut keselamatan seluruh umat persilatan, apabila rahasia itu sampai dibocorkan anggota Kay-pang, bukan saja keselamatan jiwa majikan kami terancam bahaya, bahkan akan menyangkut keselamatan jiwa puluhan orang lainnya."
Bong Thian-gak terperanjat mendengar perkataan itu, katanya, "Apa maksud perkataanmu itu?" "Di kemudian hari Siangkong bakal tahu dengan sendirinya, ai! Kekuatan Put-gwa-cin-kau saat ini mengancam keselamatan umat persilatan, kekuatan sembilan partai
438
Pendekar Cacat
besar dunia persilatan pun sudah dipaksa musuh hingga berada dalam posisi tak mampu melawan lagi."
Keng-tim Suthay berhenti sejenak, lanjutnya pula, "Untuk menyelamatkan dunia persilatan dari berbagai pembunuhan itu, Put-gwa-cin-kau harus ditumpas sampai ke akar-akarnya dan untuk itu tampaknya hanya ...." Berkata sampai di sini Keng-tim Suthay menutup mulut.
Makin mendengar Bong Thian-gak makin memahami akan suatu rahasia besar dunia persilatan, lekas dia bertanya, "Hanya apa? Mengapa Suthay tidak melanjutkan perkataanmu dengan terus-terang?" Keng-tim Suthay memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, lalu ujarnya, "Siangkong adalah orang pandai, tentunya telah menduga garis besar duduknya persoalan bukan? Yang jelas sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul suatu organisasi baru yang berkekuatan besar." "Ah! Mengapa aku belum mendengar persoalan ini," seru Bong Thian-gak dengan terperanjat. "Siapa yang memimpin perkumpulan baru ini? Apakah dia?"
439
Pendekar Cacat
Pada saat itulah dalam ruangan telah berjalan masuk si nona bermuka jelek itu, hanya kali ini dia muncul dengan pakaian bernoda darah dan peluh membasahi jidat. Bong Thian-gak maupun Keng-tim Suthay tahu apa yang telah diperbuat nona itu, kendatipun demikian dia tak tahan untuk tidak bertanya, "Nona, bagaimana caramu menghukum mereka?" "Membantainya sampai mampus!" sahut nona itu dengan hambar.
Bong Thian-gak berkerut kening dan bergumam, "Korban yang mengenaskan nasibnya." "Bila kita tidak melenyapkan mereka, pihak Kay-pang pasti akan mencari balas tiada hentinya." "Apa sebabnya nona tak menyembunyikan diri sementara waktu?M "Si jelek, perkataan Ko-siangkong memang benar," sahut Keng-tim Suthay. "Untuk sementara waktu kau bersembunyi saja dalam kuil sembari menunggu petunjuk selanjutnya dari majikan."
440
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak segera bangkit, kepada Keng-tim Suthay ia berkata, "Aku tak bisa berdiam lebih lama lagi di sini, untuk sementara waktu mohon diri dahulu, tapi sebelum pergi bolehkah aku bertanya kepada Suthay, apakah kau mengetahui tempat tinggal majikan kalian?" "Majikan pernah memberitahu kepada Pinni bahwa Putgwa-cin-kau telah menurunkan perintah untuk membunuh Siangkong. Kini Siangkong menanyakan tempat kediaman majikan, apakah kau hendak mengantar diri ke mulut harimau?"
Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya dengan nada sungguh-sungguh, "Kini keselamatan jiwanya berada dalam bahaya, bagaimana pun juga aku harus melindunginya secara diam-diam." "Majikan telah dilindungi keselamatan jiwanya oleh empat orang jago lihai, aku pikir keselamatan jiwanya tidak terlampau berbahaya." "Tapi lebih banyak yang melindunginya lebih baik? Kehadiranku hanya akan mendatangkan keuntungan saja baginya?" "Tapi jika sampai terjadi mengusik rumput mengejutkan ular, bagaimana?"
441
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, aku mendapat perintah melindungi keselamatan jiwanya, bagaimana pun juga aku harus berupaya dengan segala kemampuanku untuk melaksanakan lugasku sebaikbaiknya, andai aku harus mencari secara membuta, tindakan itu malahan akan mengusik rumput mengejutkan ular dan mempengaruhi situasi." "Omitohud, tak nyana ketajaman lidah Siangkong tidak berada di bawah kepandaian ilmu silatmu," kata Keng-tim Suthay kewalahan.
Bong Thian-gak tersenyum. "Sungkan! Sungkan, harap Suthay utarakan dengan cepat!" "Kantor cabang Put-gwa-cin-kau didirikan di kota Kay-hong, berada dalam sebuah kampung petani kecil, lebih kurang tiga puluh li di luar kota sebelah utara, kepala kampung tempat itu pun anggota Put-gwa cin-kau, apabila Siangkong ingin menyelundup ke dalam dusun itu, aku rasa hal ini jauh lebih sulit daripada mendaki langit." "Terima kasih banyak atas petunjuk Suthay, sekali pun harus mendaki bukit golok atau menembus sarang naga gua harimau, aku akan tetap berupaya menyusup ke sana."
442
Pendekar Cacat
Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Ai, baiklah kalau Siangkong berkeras kepala, tampaknya Pinni harus menanggung resiko bakal ditegur majikan." Sembari berkata, dari sakunya Keng-tim Suthay mengeluarkan sebatang panah pendek tanpa bulu. Panah itu panjangnya cuma tiga inci dengan kepala panah terbuat dari emas murni, sementara batang panah berwarna hitam, agaknya terbuat dari kayu besi.
Di atas panah itu tertera banyak ukiran, hanya tidak diketahui ukiran apakah itu. Sambil memegang panah kecil tak berbulu itu, Keng-tim Suthay berkata, "Panah kecil ini merupakan lencana Putgwa-kim-ciam-leng dari Put-gwa-cin-kau, lencana itu melambangkan Cong-kaucu. Di dalam Put-gwa-cin-kau, orang yang mempunyai lencana panah emas ini pun hanya Ji-kaucu sampai Kiu-kaucu ditambah tiga orang komandan pasukan pengawal tanpa tanding."
Setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh, "Aku harap lencana emas ini kau simpan dengan sebaikbaiknya!"
443
Pendekar Cacat
Setelah menerima anak panah kecil itu, Bong Thian-gak berkata, "Apakah anak panah emas ini milik majikanmu?" Keng-tim Suthay menggeleng, "Bukan!" sahutnya sambil tertawa.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, katanya kemudian, "Kalau begitu, Suthay juga ...." "Ya, dulu Pinni memang anggota Put-gwa-cin-kau, tapi sekarang bukan." "Bolehkah aku tahu apa kedudukan Suthay dalam perkumpulan tempo hari?" "Pinni adalah seorang di antara tiga komandan pasukan pengawal tanpa tanding, ai! Kejadian sedih di masa lampau tak usah dibicarakan lagi."
Dalam diamnya Bong Thian-gak mengangguk, pikirnya pula. "Sungguh tak kusangka dia pun salah seorang anggota Putgwa-cin-kau, tampaknya pada waktu yang lampau dia mengalami suatu peristiwa yang amat memedihkan hatinya."
444
Pendekar Cacat
Berpikir sampai di situ, anak muda itu segera bertanya, "Tolong tanya Suthay, bagaimana caraku mempergunakan anak panah emas ini?" "Kecuali terhadap dua belas orang pentolan Put-gwa-cinkau, terhadap anggota perkumpulan yang lain kau boleh menggunakan lencana panah emas ini dan memberikan perintah kepada mereka." "Dengan membawa lencana ini kau bisa masuk keluar di dalam perkampungan itu dengan leluasa." "Terima kasih banyak, Suthay!"
Untuk kesekian kalinya Keng-tim Suthay memberi peringatan, "Ingat baik-baik, kedua belas pentolan Put-gwacin-kau itu saling mengenal wajah masing-masing, kau tak boleh membiarkan mereka tahu lencana panah emas ini!" Bong Thian-gak manggut-manggut. "Aku pasti sahutnya.
mempergunakannya
dengan
hati-hati,"
Keng-tim Suthay mengangkat kepala dan termenung beberapa saat, kemudian berkata, "Harap Siangkong suka memperhatikan baik-baik, terutama terhadap Ji-kaucu, orang ini licik, berbahaya, kejam dan penuh dengan tipu daya, selain matanya tajam, dia pun gampang menaruh
445
Pendekar Cacat
curiga terhadap seseorang, boleh dibilang dia merupakan manusia paling berbahaya di dunia ini, dengarkan baik-baik, Pinni akan mencoba melukiskan raut wajah orang itu." "Suthay begitu menaruh perhatian kepadaku, sungguh membuat aku merasa berterima kasih sekali."
Keng-tim Suthay tersenyum. "Di kemudian hari kita akan menjadi rekan seperjuangan dalam Bu-lim, harap Siangkong tak usah sungkan-sungkan lagi." Setelah berhenti sejenak, sambungnya pula, "Ji-kaucu berusia lima puluh tahun, tapi dipandang dari luar, usianya seperti jauh lebih muda, berdandan seorang sastrawan dan gemar memakai jubah warna hijau, potongan badannya tinggi gagah seperti potongan seorang dewa. Yang menjadi ciri khas darinya, ia mempunyai sebuah tahi lalat berwarna hitam pada ekor alis mata sebelah kirinya, dia pun suka menggembol pedang tembaga hijau di pinggangnya."
"Dandanan semacam ini tidak sukar untuk dikenali” kata Bong Thian-gak. "Tentang ilmu silat Ji-kaucu ini, kepandaian silatnya yang lihai adalah ilmu beracun yang membunuh orang tak
446
Pendekar Cacat
nampak darah, bila bertemu dengannya, lebih baik jangan berdiri bertentangan dengan arah datangnya angin." "Majikan kalian pernah menyinggung pula tentang berbahayanya Ji-kaucu ini, aku pasti akan bertindak menurut keadaan. Beruntung sekali aku telah bertemu dengan Suthay hari ini sehingga banyak rahasia Put-gwacin-kau yang berhasil kuketahui, umat persilatan pasti akan berterima kasih atas petunjuk Suthay ini."
"Aku minta kau jangan memberitahukan apa yang kita bicarakan hari ini kepada orang lain, tentunya Siangkong dapat menjaga rahasia secara baik-baik bukan?" "Mengapa?"' "Ada satu hal mesti kau tahu, dalam gedung Bu-lim Bengcu terdapat mata-mata yang mendekam di situ, bahkan orangorang Put-gwa-cin-kau menganggap Pinni sudah meninggal dunia sejak belasan tahun berselang. Apabila rahasia ini sampai terbongkar, sudah pasti pihak Put-gwa-cin-kau akan turun tangan membekuk semua jago, hal ini dapat mempengaruhi berpuluh-puluh jiwa jago berilmu tinggi."
Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya, setelah itu katanya, "Hingga sekarang di dalam gedung Bu-lim Bengcu masih terdapat seorang mata-mata yang
447
Pendekar Cacat
mendekam di situ, konon adalah Cap-go-kaucu. Apakah Suthay mengetahui asal-usul Cap-go-kaucu ini?" "Sudah belasan tahun Pinni tak pernah mencampuri urusan perkumpulan, rahasia semacam itu hanya diketahui majikanku saja." "Persoalan ini tak mungkin bisa ditunda-tunda lagi, aku ingin mohon diri sekarang juga." "Apakah Siangkong tidak bersantap dulu? Bersantaplah sebelum pergi!" "Terima kasih banyak, sampai bertemu lagi di lain kesempatan." Selesai berkata, dengan cepat pemuda ini berangkat meninggalkan kuil Nikoh itu.
Setelah keluar dari kuil, Bong Thian-gak menentukan arah tujuannya, kemudian dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya buru-buru berangkat kembali ke gedung Bu-lim Bengcu. Sementara Ho Put-ciang sekalian sudah menunggu di halaman tengah, mereka sedang menanti dengan perasaan sangat gelisah. Orang-orang itu menjadi amat gembira setelah menyaksikan Bong Thian-gak muncul kembali dalam keadaan selamat.
448
Pendekar Cacat
Pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan segera bertanya, "Ko-heng, apakah menemukan sesuatu perkembangan baru?"
Bong Thian-gak tersenyum. "Ya, tidak sia-sia perjalananku kali ini." "Apa yang berhasil Ko-siauhiap temukan? Apakah kau dapat memberitahukan?" Dengan cepat Bong Thian-gak menggeleng. "Aku telah berjanji kepada orang lain untuk tidak membocorkan rahasia itu, harap saudara sekalian sudi memaafkan, cuma kalian pun lak akan menanti terlalu lama." "Sembilan hari lagi segala sesuatunya akan menjadi terang." "Sebagai anggota persilatan, janji memang harus ditepati, kalau begitu Ko-siauhiap tak usah mempersoalkan itu."
"Sembilan hari lagi, dunia persilatan akan mengalami suatu perubahan yang amat pesat, sekarang aku harus melaksanakan tugas pertama yang dibebankan Ku-lo
449
Pendekar Cacat
Sinceng sebelum ajal, yaitu melindungi keselamatan Jitkaucu." "Apakah kau telah berhasil menemukannya?" "Ya, aku telah berhasil menemukan jejaknya!" "Jadi orang-orang Put-gwa-cin-kau belum meninggalkan kota Kay-hong?" tiba-tiba Thia Leng-juan berkata. "Oya, hampir saja aku lupa memberi keterangan kepada kalian, dalam sembilan hari ini, pihak Put-gwa-cin-kau akan mendatangkan semua jago intinya ke kota Kay-hong, mungkin pertempuran akan segera berlangsung, kita harus bersiap menghadapi setiap perubahan."
"Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau pandai dalam ilmu beracun dan membunuh orang tanpa wujud, kita harus berhati-hati terhadap orang Ini. jangan sampai dia berhasil menyelundup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu dan meracuni kita semua. Ciri muka Ji-kaucu adalah…Secara ringkas Bong Thian-gak melukiskan raut wajah maupun ciri khas Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau ini kepada para jago.
Setelah para jago dalam gedung Bu-lim Bengcu mendapat berita itu dari mulut Bong Thian-gak, mereka mulai
450
Pendekar Cacat
melakukan persiapan menghadapi setiap perubahan yang bakal terjadi. Sementara itu Bong Thian-gak sendiri sudah meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu berangkat ke tempat tujuan.
O
Sebelah utara kota Kay-hong merupakan sebuah padang rumput, luasnya mencapai puluhan li, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh Bong Thian-gak melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa. Kurang lebih setengah jam kemudian dia sudah menempuh perjalanan dua puluh li. Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Menurut keterangan Keng-tim Suthay, perkampungan itu terletak tiga puluh li di sebelah utara kota ini, berarti aku sudah makin mendekati sasaran."
Berpikir demikian, dia lantas mempertinggi kewaspadaan dan melanjutkan perjalanan ke depan.
451
Pendekar Cacat
Padang rumput yang liar kini telah menjadi sawah yang berpetak-petak, luasnya mencapai puluhan li. Bong Thian-gak harus berjalan menelusuri jalan yang diapit olei hektaran sawah yang tiada batasnya, akhirnya dia menangkap titik-titik cahaya lampu di kejauhan sana.
Rupanya dia telah mendekati sebuah perkampungan deng bangunan yang berlapis-lapis. Sekeliling perkampungan itu dipagari dinding kayu besar ya amat tinggi, sepintas keadaan mirip sebuah benteng yang kokoh. Bong Thian-gak segera memperlambat gerak tubuhnya, beberaj kali lompatan saja dia sudah mencapai bawah dinding sebelah barat.
Setelah mendongakkan kepala dan memperhatikan sekejap keadaan sekeliling tempat itu, tanpa menimbulkan sedikit suara pun menyelinap ke balik pagar yang tingginya mencapai satu depa lebih. Mendadak segulung bayangan hitam dengan membawa bau busuk menerkam datang dengan kecepatan luar biasa, Bong Thian-gak sangat terkejut, dengan cepat dia memutar tubuh seperti gangsingan dan menyelinap, menanti dia
452
Pendekar Cacat
membalikkan badan, pemuda itu terperanjat.
Rupanya di hadapannya mendekam seekor serigala yang besarnya seperti anak kerbau, bulunya yang putih dengan sepasang mata berwarna hijau sedang melotot gusarnya ke arahnya, dilihat dari gayanya, dia sedang bersiap melancarkan tubrukan kedua.
Selama hidup belum pernah Bong Thian-gak menyaksikan serigala sebesar itu, hatinya kontan bergidik, cepat dia memutar otak mencari suatu akal, pikirnya, "Kalau aku melarikan diri, pasti serigala itu akan menggonggong, sebaliknya kalau tidak pergi, bisa jadi serigala-serigala lain akan berdatangan dan semakin memusingkan kepala."
Baru saja ingatan itu melintas, serigala itu sudah menerjang datang lagi bagai segulung angin puyuh yang menderuderu. Bong Thian-gak menghindar, dia hanya sedikit menggeser bahu kirinya, lalu tangan kiri disodokkan ke atas, secara telak mencengkeram serigala itu, menyusul telapak tangan kanan diayunkan ke bawah melancarkan sebuah bacokan maut.
453
Pendekar Cacat
Ilmu silat Bong Thian-gak telah mencapai puncak kesempurnaan, cengkeraman ini dilakukan setajam bacokan pedang atau golok. Seketika itu juga tulang leher serigala itu terbabat putus, apalagi ditambah bacokan telapak tangan kanannya, tak sempat bersuara lagi mampuslah serigala besar itu.
Selesai membinasakan serigala itu, Bong Thian-gak segera membuang bangkai serigala itu ke tengah sawah, kemudian melompat melewati tembok pekarangan, tanpa berhenti dia meluncur naik ke atas atap rumah. Malam itu tak berbulan, hanya bintang bertaburan di angkasa membiaskan cahaya redup, namun bagi Bong Thian-gak yang bertenaga dalam sempurna, ia dapat menyaksikan pemandangan yang berada -tengah li di sekeliling tempat itu.
Sambil mendekam di atas atap rumah Bong Thian-gak mencoba mengamati keadaan sekeliling sana. Rupanya tempat itu merupakan sebuah perkampungan yang terdiri dari dua ratus orang kepala keluarga, kebanyakan merupakan rumah petani yang sederhana,
454
Pendekar Cacat
hanya di sudut utara sana berdiri kokoh sebuah gedung yang sangat besar.
Satu-satunya keistimewaan dusun ini adalah setiap rumahnya teratur rapi dan bersih dengan jalan raya yang lebar, di tepi jalan tertanam pepohonan yang rindang, betul-betul sebuah perkampungan yang sangat nyaman. Mendadak Bong Thian-gak menyaksikan dari jalan raya dalam perkampungan bermunculan kawanan serigala melakukan perondaan kian-kemari, tampaknya serigalaserigala itu memang sengaja disebar di setiap sudut perkampungan sebagai penjaga.
Terkesiap Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, diamdiam pikirnya, "Tak heran perkampungan petani ini tanpa seorang pun, rupanya mereka menggunakan serigala untuk melakukan perondaan malam." Hampir saja Bong Thian-gak kehabisan daya setelah menyaksikan begitu banyak anjing serigala yang berkeliaran di sana, dia tak tahu dengan cara bagaimana dirinya harus menyelundup ke perkampungan petani itu.
455
Pendekar Cacat
Waktu itu baru menjelang malam, namun perkampungan petani yang amat luas itu tak nampak seorang pun yang berlalu-lalang, dari dua ratus kepala keluarga yang berdiam di situ, hanya beberapa rumah saja yang memancarkan cahaya. Kembali Bong Thian-gak berpikir, "Kepala perkampungan tani ini mungkin berdiam dalam gedung yang megah itu, bila Jit-kaucu Thay-kun berada dalam perkampungan ini sudah pasti dia berada di dalam situ." Berpikir demikian, dengan berhati-hati Bong Thian-gak melompat ke atas atap rumah dan bergerak menuju ke arah gedung megah di sebelah timur laut dengan gerakan hati-hati sekali.
Dia tahu betapa tajam daya penciuman serta pendengaran serigala-serigala itu, tubuhnya bergerak seperti burung walet dan secepat sambaran kilat meluncur ke muka tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Akhirnya dia berhasil melewati pengawasan kawanan serigala itu dan melayang turun di atas sebatang pohon Pek-yang yang berada di balik bangunan gedung megah itu.
456
Pendekar Cacat
Setibanya di atas pohon Pek-yang yang rimbun itu, sekali lagi Bong Thian-gak mengamati keadaan sekeliling tempat itu Di sekitar halaman bangunan itu tidak nampak seekor serigala pun, juga tak nampak orang melakukan perondaan, semua itu membuat Bong Thian-gak lega. Dia hanya takut terhadap serigala, namun tidak takut kepada para peronda. Dengan sepasang matanya yang tajam bagaikan burung hantu Bong Thian-gak memusatkan segenap perhatian memeriksa keadaan di situ, siapa tahu dia menemukan sesuatu.
Mendadak dari kejauhan sana terdengar suara langkah kaki manusia yang berkumandang makin mendekat. Dengan cepat Bong Thian-gak mendongakkan kepala. Dari balik sebuah pintu gerbang, tampak dua orang berjubah hijau muncul dan berjalan ke arah pohon Pekyang dimana Bong Thian-gak bersembunyi. Dengan terkesiap anak muda itu berpikir, "Ah, janganjangan dia sudah mengetahui jejakku?"
457
Pendekar Cacat
Berpikir demikian, tanpa terasa dia meningkatkan kewaspadaan untuk menjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Tampak kedua orang berjubah hijau itu berjalan menuju ke bawah pohon Pek-yang dan tiba-tiba berhenti. Orang yang agak pendek sebelah kiri berdehem pelan, lalu dengan suara rendah, berat dan parau ia berkata, "Hayheng, bukankah Ji-kaucu akan datang pada malam nanti?" Mendengar nama Ji-kaucu, Bong Thian-gak berkesiap, segera pikirnya, "Ah, gembong iblis itu akan datang, betulbetul suatu kejadian yang sama sekali di luar dugaan, mungkin keadaan rada kurang beres."
Berpikir sampai di situ, orang she Hay itu menjawab agak dingin, "Ang-heng, Ji-kaucu memang seharusnya sampai di sini sejak kemarin malam." "Hay-heng, tahukah kau bahwa kehadiran Ji-kaucu di kantor rahang kota Kay-hong ini menunjukkan duduk persoalan agak sedikit luai biasa?" kembali orang berjubah hijau she Ang itu bertanya.
458
Pendekar Cacat
"Ya, betul! Duduknya persoalan memang terasa agak luar biasa, kalau tidak, Ji-kaucu tak akan mengutus kita berdua untuk datang kemari tiga hari lebih awal!"
Orang she Ang itu tertawa kering, "Kita berdua adalah utusan pembuka jalan Ji-kaucu, setiap kali Ji-kaucu hendak berkunjung ke suatu tempat, kita berdualah yang selalu diutus melakukan penyelidikan terlebih dahulu keadaan di sekitar daerah kunjungannya, kebanggaan seperti ini sesungguhnya kita patut gembirakan." Dari pembicaraan itu Bong Thian-gak segera tahu bahwa kedua orang ini adalah orang kepercayaan Ji-kaucu, menyaksikan cara mereka berjalan maupun bertingkahlaku, bisa diduga ilmu silat yang mereka miliki bukan kepandaian silat kelas dua.
Kenyataan itu membuat Bong Thian-gak semakin tak berani bertindak gegabah, bahkan untuk bernapas pun dia telah menggunakan ilmu Kui-si-hoat (ilmu bernapas kura-kura). Tiba-tiba terdengar orang she Hay berkata kembali, "Sekali pun tugas yang dibebankan kepada kita merupakan suatu kebanggaan tersendiri, namun tanggung-jawabnya besar sekali, bahkan sedikit kesalahan pun tak boleh terjadi. Ketika kemari, sebenarnya aku merasa sedikit kurang tenang."
459
Pendekar Cacat
"Mengapa?" "Mengapa? Tidakkah kau lihat, berapa banyak sudah pentolan dari tingkat lencana panah emas yang berdatangan ke gedung ini?" "Kan baru Jit-kaucu, Liok-kaucu, Kiu-kaucu serta komandan pasukan pengawal tanpa tanding nomor dua!"
"Dari empat orang pentolan tingkat lencana panah emas yang telah hadir itu, tiga di antaranya adalah murid Congkaucu yang paling disayang, terutama sekali kedudukan Jitkaucu, mereka sama-sama mempunyai kekuasaan besar." "Hay-heng, keanehan apa yang terdapat di balik semua itu?" tanya orang she Ang itu keheranan. Orang she Hay tertawa dingin, "Ehm, masa kau tak pernah mendengar pepatah mengatakan, 'Di atas sebuah bukit tak boleh dihuni sepasang harimau'? Baik Jit-kaucu maupun Jikaucu boleh dibilang sama-sama punya kekuasaan besar dalam Put-gwa-cin-kau, menurut pendapatmu, apa sebabnya Cong-kaucu mengirim mereka berdua ke satu tempat yang sama? Itulah sebabnya bisa kuduga di sini telah terjadi suatu peristiwa maha besar."
460
Pendekar Cacat
Orang she Ang termenung beberapa saat, lalu berkata, "Hay-heng, menurutmu, kekuasaan Jit-kaucu dan Ji-kaucu sama besarnya, tapi menurut pendapatku, kedudukan Jikaucu jauh lebih tinggi." "Ah, kau ini tahu apa?" kata orang she Ang dingin. Setelah berhenti sejenak, ia berkata lebih jauh, "Ang-heng baru tiga tahun bergabung dengan perkumpulan kita, tentu saja kau tidak mengetahui rahasia besar Cong-kaucu kita itu." "Rahasia besar apa?"
Tiba-tiba orang she Hay itu merendahkan suaranya dan berkata, "Ang-heng, aku bersedia memberitahu soal ini kepadamu, tapi jangan beri tahukan lagi kepada orang lain." "Tak usah kuatir Hay-heng, aku merasa amat cocok denganmu, bahkan kau sudah kuanggap sebagai saudara sendiri, masa aku bakal mengkhianati dirimu?" "Kalau begitu kuberitahukan kepadamu, meski Jit-kaucu adalah anak angkat serta murid Cong-kaucu, padahal yang benar Jit-kaucu merupakan Suhu Cong-kaucu."
461
Pendekar Cacat
Orang she Ang seperti terkejut sekali, segera tanyanya dengan perasaan tidak habis mengerti, "Hay-heng, kau bilang Jit-kaucu adalah guru Cong-kaucu? Atas dasar apa kau berkata demikian?" "Sebab ilmu silat Cong-kaucu adalah atas ajaran Jit-kaucu," bisik orang she Hay. "Beberapa tahun berselang, aku pernah ditugaskan memikul tanggung-jawab sebagai komandan pasukan pengawal dari istana bagian dalam, itulah sebabnya aku mengetahui persoalan ini."
Ketika mendengar perkataan itu, dengan suara heran orang she Ang berseru, "Jadi kalau begitu ilmu silat Jit-kaucu masih jauh di atas kepandaian Cong-kaucu?" Dengan cepat orang she Hay menggeleng kepala berulangkali. "Soal itu aku kurang tahu," sahutnya. Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Ang-heng, oleh sebab itu hubungan Jit-kaucu dengan Cong-kaucu sesungguhnya sangat kacau, kendatipun dibilang kedudukan serta kekuasaan Jit-kaucu masih di bawah Ji-kaucu, namun karena Jit-kaucu mempunyai hubungan yang amat istimewa dengan Cong-kaucu maka atas dasar apa kau mengatakan kedudukan siapa lebih tinggi dari siapa?"
462
Pendekar Cacat
Mendadak orang she Ang merendahkan suaranya, sambil berbisik, "Hay-heng, menurut pendapatmu, kejadian apakah yang mungkin akan terjadi di sini?" Dengan cepat orang she Hay menggeleng kepala berulangkali. "Aku kurang jelas dan tak berani memastikan. Pokoknya kita berdua harus melaksanakan tugas seperti apa yang diperintahkan Ji-kaucu, setia dan taat pada pekerjaan serta perintah." Bicara sampai di situ, dia mendongakkan kepala dan memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian melanjutkan, "Ang-heng, malam ini kau bertugas sampai tengah malam nanti, sedang tengah malam nanti sampai pagi adalah giliranku!" 'Ah, tanpa terasa setengah jam sudah kita lewatkan untuk berbincang-bincang. Hay-heng, silakan pergi beristirahat!" "Silakan Ang-heng!" seru orang she Hay. Sembari berkata, orang she Hay membalikkan badan dan masuk kembali ke dalam gedung. Kini di bawah pohon Pek-yang tinggal lelaki berjubah hijau she Ang itu seorang. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, segera pikirnya, "Mengapa aku tidak memanfaatkan
463
Pendekar Cacat
kesempatan ini untuk melenyapkan kedua orang ini lebih dulu." Tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya, "Bila mereka dilenyapkan dan Ji-kaucu tiba kemari, bagaimana jadinya?" Baru saja dia berpikir sampai di situ, mendadak orang she Ang itu sudah lenyap tak ketahuan kemana perginya. Bong Thian-gak berkerut kening, pikirnya, "Ilmu silat orang ini sangat lihai, tak nyana gerak-geriknya sama sekali tak menimbulkan suara." Untuk beberapa saat Bong Thian-gak duduk termangu di bawah pohon Pek-yang, selang tak lama dia baru mengeluarkan sebuah botol obat dan mengambil sebutir di antaranya, lalu dengan kukunya merobek kulit obat tadi, diletakkan di atas telapak tangan dan digosok-gosok sebentar, kemudian dioleskan ke wajah sendiri. Paras muka Bong Thian-gak yang semula pucat-pias itu mendadak berubah merah padam, usianya yang berumur sekitar dua puluh lima-enam tahun pun sekarang nampak sepuluh tahun lebih tua. Ternyata isi botol obat itu adalah Pek-pian-gi-yong-wan (Pil perubah selaksa wajah) peninggalan Jian-bin-hu-li Ban Libiau di masa lampau.
464
Pendekar Cacat
Pil obat semacam ini merupakan obat sangat mujarab, ketika Ban Li-biau dikejar umat persilatan di masa lampau, dengan mengandalkan pil penyaru muka inilah dia berhasil meloloskan diri dari pengejaran sehingga orang persilatan tak pernah menemukan dirinya. Selesai mengubah wajah, sementara itu Bong Thian-gak sudah melompat turun dari atas pohon Pek-yang. Dia lantas berpikir, "Sekarang aku telah mengubah wajah, meski berjumpa orang yang kukenal, belum tentu mereka bisa mengenali diriku dengan gampang." Karena berpendapat demikian, nyali Bong Thian-gak semakin besar, pertama-tama dia mengelilingi gedung itu satu lingkaran lebih dulu, kemudian melakukan penelitian terhadap setiap sudut halaman gedung itu. Mendadak dari balik pintu halaman sebelah kiri Bong Thian-gak mendengar suara nyaring, dengan cekatan pemuda itu menyelinap di balik pepohonan dan menyembunyikan diri.
Tampak sesosok bayangan menerobos keluar dari balik jendela. Di bawah cahaya bintang yang redup, dia dapat melihat orang itu seorang dayang berbaju biru.
465
Pendekar Cacat
Usia dayang itu antara tujuh-delapan belas tahun, dengan amat seksama dia memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kemudian berjalan menuju ke sebuah kebun bunga kecil di sebelah utara. Bong Thian-gak merasa betapa mencurigakan gerak-gerik dayang itu, didorong perasaan ingin tahu, secara diamdiam dia menguntitnya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna, tentu »rt)a gerak-geriknya tidak diketahui pihak lawan. Setelah masuk ke dalam kebun bunga, mendadak dayang berbaju bini itu duduk di atas gunung-gunungan sambil bertopang dagu, sementara sorot matanya dialihkan ke atas entah sedang memikirkan apa? Atau mungkin juga ia sedang menantikan seseorang?
Dengan sabar dan tenang Bong Thian-gak menunggu beberapa saat, ketika tidak menjumpai sesuatu yang mencurigakan, sebenarnya dia hendak berlalu dari sana. Siapa tahu pada saat inilah dari balik kebun bunga muncul sesosok bayangan orang yang bergerak seperti sukma gentayangan. Orang itu berjubah panjang berwarna hijau, berperawakan gemuk tapi kekar.
466
Pendekar Cacat
"Ah! Bukankah dia orang she Ang."
Ya, orang itu memang salah satu di antara dua petugas yang diutus Ji-kaucu dan tadi sedang berbincang-bincang di bawah pohon Pek-yang itu. Orang she Ang itu langsung berjalan menuju ke arah dayang berbaju biru, ia berkata, "Cong-kaucu telah mengambil keputusan tak datang ke kota Kay-hong, yang datang adalah Ji-kaucu." "Kapan Ji-kaucu sampai di sini?" "Seharusnya kemarin malam, tapi sampai sekarang belum nampak muncul di sini, mungkin malam nanti atau mungkin juga besok."
Tanya-jawab dilakukan kedua orang ini secara singkat, tapi jelas sebelumnya tidak saling menyapa, tampaknya kedua belah pihak sama-sama didesak oleh waktu. Selesai mendengar tanya jawab itu, tergerak hati Bong Thian-gak, ia lantas berpikir, "Oh, rupanya orang she Ang ini seorang mata-mata! Tapi mata-mata siapa? Mungkinkah mata-mata yang dikirim oleh Jit-kaucu Thay-kun?"
467
Pendekar Cacat
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak jadi teringat perkataan yang pernah disampaikan Keng-tim Suthay kepadanya, "Di sekeliling Jit-kaucu terdapat banyak jago lihai yang melindungi keselamatannya."
Belum habis dia berpikir, dayang berbaju biru berkata, "Majikan bertanya, apakah keadaanmu aman?" "Aman sekali," jawab orang she Ang, "Tolong sampaikan kepada majikan, katakan aku sudah dipergunakan oleh Jikaucu." "Majikan berpesan, bila menjumpai sesuatu yang aneh, segera meloloskan diri, jangan melakukan pengorbanan siasia." "Ehm, aku tahu, hubungan kita malam ini sampai di sini dulu." Dayang berbaju biru tak bicara lagi, mendadak ia bangkit dan siap berlalu dari situ.
Siapa tahu pada saat itu juga mendadak dari balik kebun bunga melompat keluar sesosok bayangan orang. "Ah!" dengan terkejut dayang berbaju biru berteriak. Dengan cekatan orang she Ang pun membalikkan badan, tapi segera pula ia tertegun pula.
468
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak melihat pula kehadiran orang itu. Orang yang muncul dari balik kebun bunga itu berwajah dingin menyeramkan, dia adalah orang berjubah hijau she Hay itu. Dengan terkejut bercampur heran Bong Thian-gak membatin.
Dia menyadari apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Sementara itu orang she Ang sudah tahu rahasianya terbongkar, dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. "Hahaha, belum tidur saudara," dengan senyum yang amat tenang orang she Ang itu menegur pelan. Orang she Hay tertawa dingin. "Ang Teng-siu, aku sudah cukup lama menantikan kedatanganmu di sini." Sembari berkata, selangkah demi selangkah orang she Hay itu menuju ke kebun dekat gunung-gunungan dan langsung menghampiri dayang berbaju biru serta orang she Ang itu. "Hay Tiong-kim, kau terlalu menyiksa diri!" seru Ang Tengsiu sambil tertawa.
469
Pendekar Cacat
Hay Tiong-kim menarik wajah dan berkata dingin, "Siapakah dayang ini? Asal kau mau mengaku terus-terang, aku orang she Hay masih akan mengingat hubungan kita di masa lampau dengan memohonkan hukuman yang lebih ringan dari Ji-kaucu, kalau tidak, hm, malam ini kau Ang Teng-siu sudah ditakdirkan untuk mampus!" "Siapa yang bakal mampus, saat ini masih sukar untuk diduga, lebih baik jangan bicara sembarangan," kata Ang Teng-siu tertawa. Sambil berkata, seperti sambaran angin puyuh Ang Teng-siu menerjang ke arah Hay Tiong-kim.
Dengan cekatan Hay Tiong-kim bersiap melancarkan serangan balasan. Siapa tahu, pada saat itulah dari belakang tubuhnya berhembus datang segulung angin pukulan yang sangat kuat, Hay Tiong-kim segera merasakan isi perutnya hancur berantakan, tak sempat mendengus lagi tubuhnya mencelat ke depan dan roboh terjengkang ke atas tanah. Kebetulan sekali Ang Teng-siu juga sedang melancarkan serangan ke depan. "Duk!", bagaikan layang-layang putus benang, tubuh Hay Tiong-kim mencelat. "Blam", debu dan pasir beterbangan memenuhi angkasa, setelah Hay Tiong-kim tak pernah merangkak bangun lagi.
470
Pendekar Cacat
Kepandaian silat Ang Teng-siu memang lihai, begitu serangannya bersarang di tubuh Hay Tiong-kim, dia segera merasakan tubuh musuh bagaikan sesosok mayat saja, segulung tenaga perlawanan pun tidak ada. Maka dengan cekatan dia menyelinap ke depan, kemudian membangunkan mayat Hay Tiong-kim itu.
Tampak darah kental mengucur dari tujuh lubang indra Hay Tiong-kim, jantungnya waktu itu sudah berhenti berdenyut. Sementara itu dayang berbaju biru telah menerjang datang pula, melihat Hay Tiong-kim sudah tewas, ia berkata sambil menghela napas panjang, "Kepandaian silat Ang-tayhiap benar-benar luar biasa, malam ini sepasang mataku benarbenar terbuka."
Dengan wajah serius Ang Teng-siu bangkit, kemudian dengan sorot mata tajam bagaikan kilat dia mengawasi keadaan sekeliling tempat itu. Lama, lama kemudian, dia baru menghela napas panjang. "Ai, Hay Tiong-kim bukan mati di tanganku," dia berkata. "Di dunia dewasa ini mungkin hanya majikan seorang yang
471
Pendekar Cacat
memiliki tenaga pukulan sehebat itu dan mampu membinasakan musuh dalam sekali pukulan saja." "Apa? Hay Tiong-kim bukan mati di tanganmu?" seru dayang berbaju biru itu terkejut.
Ang Teng-siu menggeleng kepala berulang kali. "Dengan kepandaian silat Hay Tiong-kim, tak mungkin aku orang she Ang sanggup membunuhnya dalam sekali ayunan tangan saja." Paras dayang berbaju biru itu segera berubah hebat. "Tapi majikan...." "Kenapa dengan majikan?" "Satu jam berselang majikan telah pergi bersama Kiukaucu!" Sementara itu Bong Thian-gak yang bersembunyi pelanpelan telah melangkah keluar dari tempat persembunyiannya dan maju menghampiri mereka.
472
Pendekar Cacat
Pandangan Ang Teng-siu dan dayang berbaju biru itu serentak dialihkan ke wajah Bong Thian-gak dan menatapnya lekat-lekat. Mendadak Bong hadapannya.
Thian-gak
berhenti,
berhenti
di
"Siapakah kau?" Ang Teng-siu menegur dengan suara rendah. Bong Thian-gak mengangkat tangan kirinya, sekilas cahaya emas memancar keempat penjuru, tahu-tahu tangannya telah bertambah dengan sebilah anak panah kecil tanpa bulu. Paras muka Ang Teng-siu berubah hebat, segera serunya dengan terkejut, "Ai, lencana Put-gwa-kim-ciam-leng!"
Dengan cepat Bong Thian-gak menyimpan kembali lencana panah emas itu ke dalam sakunya, kemudian berkata pelan, "Segala sesuatunya telah kusaksikan dengan jelas." "Apakah kau komandan pasukan ketiga pengawal tanpa tanding?" Pertanyaan itu diajukan Ang Teng-siu dengan suara agak gemetar, sudah jelas dia dicekam perasaan takut.
473
Pendekar Cacat
"Ang Teng-siu!" ujar Bong Thian-gak kemudian. "Kalian tak usah takut, apa yang telah kusaksikan malam ini, tak akan kuberitahukan kepada orang kedua, tapi kalian pun jangan memberitahukan pihak ketiga kalau telah berjumpa denganku."
Selesai berkata, dia membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Mendadak seru Ang Teng-siu, "Saudara, harap tunggu sebentar!" "Masih ada urusan apa?" tanya Bong Thian-gak seraya berpaling. "Tolong tanya, apakah Hay Tiong-kim tewas oleh pukulanmu?" "Benar, oleh karena aku muak menyaksikan tingkahlakunya, maka aku telah membunuhnya."
Ternyata Bong Thian-gak kuatir pertarungan antara Ang Teng-siu dan Hay Tiong-kim bisa mengejutkan orang lain, maka dia mengerahkan Ilmu Tat-mo-khi-kang yang maha dahsyat, serangan itu kontan saja membuat isi perut Hay Tiong-kim hancur.
474
Pendekar Cacat
Ang Teng-siu segera menghembuskan napas lega, sesudah mengetahui Hay Tiong-kim tewas di tangan Bong Thian-gak, dia seperti lepas dari tindihan batu cadas seberat seribu kati.
Dengan hormat dia menjura dalam-dalam kepada Bong Thian-gak, lalu ujarnya, "Terima kasih banyak atas bantuan yang telah kau berikan kepadaku." Bong Thian-gak tertawa dingin. "Bila Ji-kaucu datang menghadapinya?"
nanti,
bagaimana
caramu
"Itu soal gampang, asal kubuatkan suatu cerita yang seram lalu melenyapkan jenazah Hay Tiong-kim, urusan akan menjadi beres dengan sendirinya." "Kalau memang begitu, kalian boleh segera bekerja!"
Selesai berkata, dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ, namun baru berjalan beberapa langkah, dia sudah membalikkan badan seraya berkata, "Cengcu berdiam dimana?" "Di halaman lapis keempat, ada urusan apa kau mencarinya?"
475
Pendekar Cacat
"Baru saja aku kemari, sekarang aku membutuhkan suatu tempat untuk beristirahat." Tergerak hati Ang Teng-siu mendengar perkataan itu, cepat dia berkata, "Kini Hay Tiong-kim sudah mati, bila kau tidak menaruh curiga, silakan menginap semalam di loteng itu." "Di loteng itu, selain kau dan Hay Tiong-kim, masih ada siapa?" "Hanya kami berdua!"
Bong Thian-gak manggut-manggut. "Bagus sekali, kalau begitu aku jalan duluan!" Dengan sepasang mata terbelalak lebar, Ang Teng-siu dan dayang berbaju biru itu menyaksikan bayangan punggung Bong Thian-gak lenyap di ujung kebun sana. Setelah bayangan pemuda itu hilang dari pandangan, dayang berbaju biru itu baru berkata lirih, "Ang-tayhiap, gerak-gerik orang ini amat mencurigakan, sebenarnya siapa orang ini?" Ang Teng-siu menggeleng kepala berulang-kali. "Seandainya orang ini benar-benar merupakan salah satu pentolan Put-gwa-cin-kau, sudah pasti dia Go-kaucu atau
476
Pendekar Cacat
Su-kaucu, atau bisa jadi komandan pasukan ketiga pengawal tanpa tanding." "Kalau dilihat dari tenaga serangannya yang dipakai untuk membunuh Hay Tiong-kim, sudah jelas dia menggunakan ilmu pukulan bertenaga dalam dahsyat. Orang ini berwajah biasa tapi kelihaian ilmu silatnya tak bisa ditandingi oleh kau maupun aku." "Jika majikan sudah pulang nanti, cepat laporkan bentuk wajah orang itu untuk mendapat kepastian. Soal jenazah Hay Tiong-kim, biar aku saja yang mengurus." Ang Teng-siu dan dayang berbaju biru itu pun berpisah untuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menuju ke loteng seorang diri, lentera dalam ruangan belum padam, dalam ruangan yang besar nampak meja kursi lengkap, segala sesuatunya diatur sangat rajin dan bagus, kamar tidur berada di atas loteng dan terbagi dalam empat bilik tersendiri. Bong Thian-gak memeriksa setiap bagian rumah itu secara seksama, dua di antaranya nampak bekas dipakai. Sementara dua ranjang lain masih tetap rapi dan rajin, selimut maupun seprei masih licin dan rapi. Bong Thian-gak memilih kamar yang tak berlampu untuk tinggal di situ, mula-mula dia membuka daun jendela,
477
Pendekar Cacat
kemudian menutup pintu dan duduk bersila sambil mengatur pernapasan. Kurang lebih setengah jam kemudian dari atas loteng terdengar suara langkah kaki dan kemudian terdengar suara Ang Teng-siu bertanya, "Tuan, kau berdiam di kamar yang mana?" "Ruang ketiga." "Aku ingin berbicara denganmu," kembali Ang Teng-siu berkata dari luar ruangan. "Pintu kamar hanya dirapatkan, masuklah!" Ang Teng-siu yang berada di luar pintu nampak agak sangsi, sesaat kemudian pelan-pelan dia membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan sepasang telapak tangannya disilangkan di depan dada. "Apakah jenazah Hay Tiong-kim sudah kau bereskan?" "Seujung rambut pun tak tertinggal." "Persoalan apakah yang hendak kau sampaikan kepadaku?" "Hamba ingin mengetahui nama dan kedudukanmu di dalam perkumpulan kita?" Tanyakan saja kepada Jit-kaucu, dia pasti tahu."
478
Pendekar Cacat
"Ada satu hal yang tidak hamba ketahui, mengapa kau membunuh Hay Tiong-kim? Andaikata peristiwa ini sampai berhasil diselidiki Ji-kaucu ...." Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak menukas, "Lencana panah emas mempunyai kekuasaan menentukan hidup mati seseorang, atas dasar apa Ji-kaucu hendak mengurus tindakan ini?" "Walaupun perkataanmu benar, tapi kau telah mengikat tali permusuhan pribadi dengan Ji-kaucu ...." Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak Bong Thian-gak bertanya, "Hei, coba dengar, suara apakah itu?" Ang Teng-siu agak tertegun mendengar perkataan itu, katanya, "Ah, suara apa? Aku tidak mendengar suara apa pun." Rupanya Bong Thian-gak telah menangkap serentetan suara irama musik yang berkumandang datang secara lamat-lamat dari kejauhan sana. Suara musik itu ada tambur, gembrengan serta aneka macam alat musik lainnya, irama yang dibawakan juga irama yang aneh sekali, sedemikian anehnya hingga siapa pun yang mendengar seakan-akan tertidur. Dalam pada itu Ang Teng-siu telah mendengar suara musik itu. Dengan paras muka berubah hebat ia menjerit kaget, "Ah, Ji-kaucu telah datang!"
479
Pendekar Cacat
Mendengar nama "Ji-kaucu", hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia berkata, "Kau maksudkan Ji-kaucu telah datang?" "Irama musik itu merupakan irama Im-siau-biau-hun-lok (Buaian awan sukma melayang) dari Ji-kaucu." Bicara sampai di situ mendadak Ang Teng-siu seperti teringat akan sesuatu, dia segera berpikir, "Aneh, mengapa ia tidak memahami irama Im-siau-biau-hun-lok dari Jikaucu?" Sementara itu walaupun Bong Thian-gak sudah menduga secara lamat-lamat Ang Teng-siu adalah komplotan Jitkaucu Thay-kun, namun berhubung dia belum berjumpa dengan Thay-kun, maka ia tak bisa menerangkan identitas sendiri secara terang-terangan. Dalam pada itu irama musik makin lama terdengar semakin jelas, tentu mereka sudah semakin dekat dengan perkampungan petani itu. Tiba-tiba Ang Teng-siu bertanya lagi, "Sebenarnya siapa kau? Sebentar lagi Ji-kaucu akan tiba di sini, kita harus mencari akal untuk menghadapi keadaan ini." "Siapakah aku, untuk sementara waktu tak usah kau urus, pokoknya aku sealiran dan setujuan denganmu." "Sebentar lagi Ji-kaucu sudah sampai di perkampungan petani ini, apa yang hendak kau lakukan?"
480
Pendekar Cacat
"Aku telah mempersiapkan segalanya bagi diriku sendiri, lebih baik kau mengerjakan saja pekerjaanmu." "Kalau begitu aku harus pergi menyambut kedatangan Jikaucu." "Silakan pergi." "Kau harus baik-baik menjaga diri." Selesai berkata Ang Teng-siu membalik badan dan berjalan keluar ruangan, lalu turun dari loteng. Bong Thian-gak sendiri masih tetap duduk bersila di atas pembaringan, sementara benaknya berputar, berusaha menemukan cara terbaik untuk menghadapi keadaan itu. Tugasnya sekarang adalah melindungi keselamatan jiwa Jitkaucu Thay-kun secara diam-diam, tapi sekarang Thay-kun tidak berada dalam perkampungan, apa yang harus dilakukan? Pikir punya pikir, bagaikan sambaran angin berpusing Bong Thian-gak melompat turun dari pembaringan dan menerobos keluar melalui jendela dan melayang ke atas atap rumah. Bintang bertaburan di angkasa, udara malam itu amat bersih, tapi suasana hening mencekam seluruh perkampungan petani itu.
481
Pendekar Cacat
Waktu itu setiap rumah penduduk telah memasang lentera, kelihatan bayangan orang bergerak kian kemari. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, beberapa kali Itimpatan saja Bong Thian-gak telah sampai di depan pintu gerbang halaman muka dan membaurkan diri di antara kerumunan orang banyak. Sementara itu suara musik yang sangat aneh dan membuai perasaan itu sudah semakin mendekati tempat itu. Akhirnya dari ujung serombongan orang.
jalan ***
perkampungan
muncul
482
Pendekar Cacat
7 SEPASANG KEKASIH MESTI BERPISAH
D
elapan orang pemusik berjubah panjang warna hijau dengan diiringi sebuah tandu besar yang megah dan mewah pelan-pelan berjalan mendekat, tandu itu sangat besar dan digotong oleh delapan orang berjubah panjang warna hijau pula. Bong Thian-gak berbaur dengan orang banyak dan menyaksikan gaya jumawa Ji-kaucu, diam-diam menyumpah dalam hati, "Keparat cucu kura-kura, pandai sekali dia mencari kenikmatan hidup." Dalam waktu singkat tandu itu sudah berhenti di depan pintu gerbang, irama musik pengiring berhenti pula, seorang lelaki berjubah panjang warna hijau berseru dengan suara lantang, "Ji-kaucu tiba ...."
483
Pendekar Cacat
Ucapan terakhir sengaja ditarik panjang, suara yang nyaring berkumandang hingga sejauh sepuluh li lebih di tengah keheningan malam. Semua serentak membungkukkan badan memberi hormat pada tandu besar itu sambil berseru, "Menyambut dengan hormat kedatangan Ji-kaucu!" Bong Thian-gak yang mencampurkan diri di antara kerumunan orang ikut menundukkan kepala, pada kesempatan itu ia mendongakkan kepala dan menyapu sekejap ke arah orang-orang yang berada di sekitar sana. Pada barisan depan dekat pintu gerbang berdiri seorang aneh berambut awut-awutan, di kiri-kanannya masingmasing berdiri dua orang berbaju perlente berkerudung. Kecuali terhadap tiga orang yang dikenal Bong Thian-gak sebagai Liok-kaucu serta dua orang pengawal tanpa tanding, yang lain semuanya berwajah asing dan tak seorang pun yang dikenalnya. Dalam arena tak nampak Jit-kaucu Thay-kun, Kiu-kaucu Ni Kiu-yu serta orang berkerudung berjubah hitam yang dikenal sebagai komandan pasukan kedua pengawal tanpa tanding. Dari mulut dayang berbaju biru, Bong Thian-gak tahu Jitkaucu serta Kiu-kaucu telah meninggalkan perkampungan petani itu dan hingga kini belum pulang, tapi kemana pula perginya si oraii}», berkerudung hitam?
484
Pendekar Cacat
Sementara dia melamun, kain tirai tandu disingkap orang, lalu pelan-pelan berjalan keluar seorang sastrawan berbaju hijau. Dia berwajah keren dengan jenggot sepanjang dada, sorot matanya tajam bagaikan sembilu, perawakan tubuhnya jangkung dan berwajah cerah, sekilas pandang siapa pun tak akan menduga dia seorang kakek berusia lima puluh sembilan tahun, karena wajahnya seperti jauh lebih muda sepuluh tahun. Di bawah petunjuk Keng-tim Suthay, Bong Thian-gak sudah tahu ciri khas Ji-kaucu ini, betul juga pada ujung alis mata sebelah kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam, sebilah pedang antik tersoreng di pinggangnya. Begitu dia turun dari tandu, Liok-kaucu maju menyambut kedatangannya sambil berbisik-bisik membicarakan sesuatu dengan suara amat lirih. Kemudian Ji-kaucu mendongakkan kepala dan memandang wajah semua orang sekejap, mendadak dia bertanya, "Mana Jit-kaucu, Kiu-kaucu dan komandan Siau?" Sementara itu Ang Teng-siu dan seorang lelaki setengah umur berdandan petani telah maju menyambut ke depan. Lelaki setengah umur berdandan petani itu berkata lebih dulu, Lapor Ji-kaucu, komandan Siau masih berbaring di ranjang untuk merawat luka-lukanya, oleh sebab itu dia tidak dapat menyambut kedatangan Ji-kaucu. Sedangkan
485
Pendekar Cacat
Jit-kaucu dan Kiu-kaucu telah meninggalkan perkampungan satu jam yang lalu untuk menyelesaikan suatu persoalan." Ji-kaucu memandang sekejap petani itu, kemudian bertanya, "Mungkin kaukah kepala kantor cabang kota Kayhong, Ki Su-teng?" "Benar, hamba adalah Ki Su-teng!" jawab lelaki setengah umur herdandan petani dengan hormat. Ji-kaucu mengulap tangan menitahkan dia mundur, kemudian rombongan pun meneruskan perjalanannya masuk ke halaman tengah. Bong Thian-gak kuatir jejaknya ketahuan lawan, dia tak berani membuntuti masuk ke dalam, secara diam-diam dia menyelinap ke lulaman belakang. Sementara dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Mendadak dari balik kegelapan sana muncul sesosok bayangan kecil mungil, sambil berjalan mendekat katanya dengan suara merdu, "Siangkong, payah amat, kucari dirimu kemana-mana." Bong Thian-gak mendongakkan kepala, ternyata gadis yang berjalan mendekat itu adalah si dayang berbaju biru yang dijumpainya dalam kebun tadi.
486
Pendekar Cacat
Waktu itu tubuhnya basah oleh peluh, napasnya tersengalsengal dan wajahnya nampak tegang. "Ada urusan apa?" Bong Thian-gak segera bertanya. Mendadak dayang berbaju biru itu menarik tangan kiri Bong Thian-gak sambil berujar, "Ayo cepat sedikit, tempat ini bukan tempat untuk berbincang-bincang." Ia mengajak Bong Thian-gak berlalu dari situ dengan langkah amat cepat, dalam waktu singkat mereka sudah melalui dua lapis halaman yang sangat lebar dan tiba di sebuah bangunan mungil di sisi kebun bunga. Dari dalam bangunan mungil itu nampak cahaya lentera memancar keluar, dua sosok bayangan orang tertera jelas di balik jendela. "Siangkong tiba ...." kata dayang berbaju biru. Sembari berkata dia mendorong pintu, lalu bersama Bong Thian-gak masuk ke dalam ruangan. Bong Thian-gak tahu satu di antara kedua sosok bayangan itu adalah Jit-kaucu Thay-kun, maka dia masuk ke kamar baca dengan langkah cepat. Betul juga, Jit-kaucu Thay-kun sedang duduk dekat jendela bersama seorang dayang berbaju biru.
487
Pendekar Cacat
Waktu itu Thay-kun sedang bermuram durja, sepasang alis matanya bekernyit, sorot matanya memancarkan sinar pedih. Ketika Thay-kun melihat paras muka Bong Thian-gak, dia nampak agak tertegun, kemudian katanya, “Dandananmu sekarang benar-benar jelek dan amat tak sedap dilihat." Bong Thian-gak tersenyum. "Bagaimana pun aku menyaru, nampaknya tak pernah lolos dari ketajaman matamu!" "Tadi He Hong melaporkan kejadian itu kepadaku, sudah kuduga pasti kau yang datang, ayo cepat duduk!" Bong Thian-gak tahu, yang dimaksud sebagai He Hong pastilah si dayang yang membawanya kemari barusan. Dia mencari sebuah kursi, lalu duduk, katanya pelan, "Jikaucu telah datang!" Thay-kun tertawa getir. "Duduknya persoalan sudah jelas sekarang, Ji-kaucu sengaja diutus untuk menghadapi diriku." "Apa maksudmu berkata demikian?" Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih.
488
Pendekar Cacat
"Ai, Cong-kaucu tahu Ji-kaucu merupakan satu-satunya orang yang bisa menandingi diriku, ai! Aku sama sekali tidak menduga Ji-kaucu bisa begitu cepat muncul di kota Kay-hong." "Aku mendapat pesan terakhir dari Ku-lo untuk melindungimu, aku bersumpah akan melaksanakan perintah ini dengan sebaik-baiknya," kata Bong Thian-gak nyaring. "Sekali pun Ji-kaucu memiliki tiga kepala enam lengan, aku tetap bertekad untuk bertarung sampai titik darah penghabisan dengannya." "Kemampuan Ji-kaucu sedikit sekali yang kau ketahui, padahal menurut taktik ilmu pertempuran dikatakan, ‘Tahu kekuatan sendiri berarti tahu kekuatan lawan, setiap pertarungan tentu akan menang'. Ai, seandainya malam nanti terjadi sesuatu yang luar biasa. Keng-tim Suthay dapat menyampaikan segala sesuatunya kepadamu." "Barusan aku suruh He Hong mengundangmu kemari, maksudku tak lain adalah ingin menyuruh kau meninggalkan perkampungan ini secepatnya, selama hidup aku belum pernah memohon bantuan kepadaorang lain, sekarang aku ingin memohon kepadamu, bersediakah kau menuruti perkataanku?" Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tertawa.
489
Pendekar Cacat
"Aku pun belum pernah memohon kepada orang lain, tapi sekarang aku sangat berharap kau sudi mengizinkan diriku untuk mendampingimu, bersediakah kau?" Tiba-tiba sepasang biji mata Jit-kaucu Thay-kun berkacakaca, hampir saja titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan sedih dia berkata, "Bila demikian, maka hanya jalan kematian saja yang akan kau peroleh, bila kau dan aku mati masih tidak menjadi masalah, tapi kalau sampai beribu-ribu umat persilatan diperbudak selamanya oleh orang Put-gwa-cin-kau ... Suheng, selama bukit tetap hijau, tak usah takut kehabisan kayu bakar, pergilah kau!" "Mengapa kita tidak pergi bersama-sama?" kata Bong Thian-gak dengan cepat. "Aku ingin melanjutkan cita-cita Ku-lo Sinceng melenyapkan Ji-kaucu dari muka bumi." "Bila Ji-kaucu mati bersamamu, lalu siapa yang akan melenyapkan Cong-kaucu dari muka bumi?" Jit-kaucu termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian ujarnya setelah menghela napas panjang, "Ai, kalau begitu, aku akan membeberkan segala sesuatu mengenai Ji-kaucu." Baru saja berbicara sampai di situ, dia berhenti sejenak sambil berkata dengan gelisah, "Mereka telah datang."
490
Pendekar Cacat
Sembari berkata telapak tangannya segera diayunkan ke depan, serentak api lilin dipadamkan. Bong Thian-gak sudah beberapa kali bertemu Jit-kaucu Thay-kun, tapi setiap saat dia selalu bersikap tenang bila menghadapi persoalan, selamanya belum pernah menunjukkan kepanikan serta ketegangan seperti apa yang diperlihatkan sekarang, mungkinkah Ji-kaucu benar-benar lihai? Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara rendah, "Ji-kaucu tiba!" "Sumoay, bagaimana dengan diriku?" Bong Thian-gak berseru dengan cepat. "Tetap tinggal di sini dan jangan sembarangan bergerak, mereka masih belum mengetahui kehadiranmu dalam perkampungan petani ini." "Andaikata pertempuran sampai berkobar, kehadiranku di sini pasti di luar dugaan orang." "Suheng, kau harus ingat, bahwa sekujur tubuh Ji-kaucu penuh dengan racun keji, dia dapat melukai orang tanpa wujud." Selesai berkata, dia bersama kedua orang dayangnya segera beranjak dari tempat duduk. "Kalian hendak kemana?" Bong Thian-gak bertanya.
491
Pendekar Cacat
"Kami hendak keluar menyambut kedatangan Ji-kaucu." Begitulah, Jit-kaucu Thay-kun diiringi kedua dayang di kiri dan kanan pelan-pelan berjalan keluar ruangan itu. Dengan cepat Bong Thian-gak menyelinap ke bawah jendela, kemudian mengintip melewati celah-celah jendela. Bayangan orang nampak bermunculan di luar pintu, dua puluhan orang mengiringi sebuah tandu yang amat besar. Jit-kaucu Thay-kun berdiri menanti di depan halaman. Ketika sampai di depan pintu gerbang, tandu besar itu baru berhenti, sementara dua puluhan orang yang berada di sekelilingnya menyebar ke kiri dan kanan membuat setengah lingkaran. Kepada tandu besar itu Thay-kun membungkukkan badan memberi hormat, kemudian katanya, "Jit-kaucu menyambut kedatangan Ji-kaucu." Ji-kaucu melangkah keluar dari tandunya, kemudian dengan suara menyeramkan berkata, "Aku ke kota Kayhong untuk melaksanakan perintah Cong-kaucu, dipersilakan Jit-kaucu mengikuti diriku kembali ke markas besar." Selesai berkata dia merogoh ke dalam sakunya, mengambil suatu benda dan dilemparkan ke hadapan Jit-kaucu.
492
Pendekar Cacat
Di antara kilauan sinar lentera, ternyata benda itu adalah sebuah borgol emas. Jit-kaucu Thay-kun memandang borgol emas itu sekejap, kemudian dengan wajah tak berubah tanyanya, "Tolong tanya kesalahan apakah yang telah kulakukan? Mengapa Jikaucu datang menunjukkan borgol emas Put-gwa-cin-kau?" Sesungguhnya segenap anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di sekeliling tempat itu, termasuk Liok-kaucu sendiri sama sekali tidak mengetahui apa maksud kedatangan Jikaucu ke tempat ini. Rupanya borgol ini merupakan alat hukuman tertinggi Putgwa-cin-kau, benda itu melambangkan kehadiran Congkaucu pribadi, oleh sebab itu siapa yang melihat borgol emas itu seperti juga mereka menjumpai Cong-kaucu pribadi. Dosa dan kesalahan apakah yang telah dilakukan Jit-kaucu? Tak seorang pun tahu.
Sementara itu suasana arena diliputi keseraman dan ketegangan yang mencekam, setiap orang merasakan munculnya suatu tenaga tekanan yang amat berat menindih di atas dada masing-masing. Ji-kaucu membentak, "Setelah bertemu borgol Put-gwa-cinkau, mengapa kau tidak berlutut menerima hukuman?
493
Pendekar Cacat
Tampaknya kau hendak membangkang perintah dan melakukan perlawanan?" "Sesudah menyaksikan borgol Put-gwa-cin-kau secara tibatiba, aku merasa seperti disambar geledek di siang bolong, itulah sebabnya aku harus menanyakan persoalan ini dengan jelas."
Ji-kaucu tertawa dingin. "Baiklah, aku beritahukan kepadamu, kau telah melakukan pengkhianatan terhadap perkumpulan." "Pengkhianatan? Kapan aku mengkhianati perkumpulan?" seru Jit-kaucu lantang. Kembali Ji-kaucu tertawa dingin. "Hehehe, sejak tiga tahun lalu kau sudah punya niat melakukan pengkhianatan. Bukti dan saksi semuanya sudah lengkap, apakah kau hendak membantah?" "Kalian mempunyai bukti dan saksi apa? Mengapa tidak segera diperlihatkan?"
Mendadak Ji-kaucu berseru, "Undang kemari komandan Siau!"
494
Pendekar Cacat
Seorang pengikutnya segera beranjak pergi dari situ. Suasana hening beberapa saat lamanya, kemudian terdengar Ji-kaucu berkata, "Secara diam-diam perkumpulan kita telah membentuk suatu organisasi kekuatan yang dipimpin langsung oleh Cong-kaucu sejak beberapa tahun berselang, adapun tugas organisasi itu adalah mengawasi gerak-gerik setiap anggota perkumpulan, komandan Siau adalah utusan khusus yang ditugaskan organisasi untuk mengawasi gerak-gerikmu, sebentar kau dapat mendengar laporannya."
Sementara itu paras muka Jit-kaucu Thay-kun telah berubah menjadi amat serius, dia tidak nampak sesantai tadi, bukannya kuatir dia akan dijatuhi suatu tuduhan, melainkan kuatir semua rahasianya terbongkar. Mendadak terdengar seorang berseru lantang, "Komandan Siau tiba!" Tampak seorang berkerudung berjubah hitam, diiringi dua orang berbaju perl^ntei^rkerudung pelan-pelan berjalan mendekat.
Sepasang pedang masih tetap tersoreng di pinggang orang berkerudung berjubah hitam itu, setelah memberi hormat kepada Ji-kaucu, ujarnya kepada Jit-kaucu Thay-kun, "Pada
495
Pendekar Cacat
tiga tahun berselang, Hun-tui-tiang (komandan) mendapat perintah dari Cong-kaucu untuk melakukan suatu tugas di Kamsiok bersama Jit-kaucu, siapa tahu Jit-kaucu lalai dalam tugas dan membiarkan musuh meloloskan diri, akibat kelalaiannya itu, tugas itu tak dapat terlaksana sebagaimana mestinya."
Thay-kun tertawa dingin, "Hehehe, orang yang kulepas waktu itu adalah seorang perempuan yang bunting tua dan hampir melahirkan, darimana komandan Siau bisa membuktikan bahwa dia adalah musuh kita?" "Hasil dari pemeriksaan yang kemudian dilakukan membuktikan perempuan bunting tua itu adalah seorang dayang komandan ketiga pasukan pengawal tanpa tanding Nyo Li-beng yang berkhianat." Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak yang bersembunyi dalam ruangan terkesiap, segera pikirnya, "Nyo Li-beng? Bukankah nama asli Suthay Keng-tim adalah Nyo Li-beng?"
Sementara itu Jit-kaucu Thay-kun telah berkata lagi, "Bagaimana caramu membuktikan hal itu setelah berlangsungnya peristiwa itu?" Kembali orang berkerudung tertawa dingin.
496
Pendekar Cacat
"Hehehe, setelah peristiwa itu, kami berhasil menangkap kembali Perempuan itu, apa yang diakuinya sangat tidak menguntungkan kedudukan Jit-kaucu dalam perkumpulan." "Pengakuan yang diperoleh dengan cara menyiksa orang secara keji tak bisa dipercayai begitu saja." "Hm, sejak peristiwa itu, Jit-kaucu telah menunjukkan gejala pengkhianatan, diam-diam Cong-kaucu telah memerintahkan kepadaku untuk menyelidiki dan mengamati terus terang gerak-gerik Jit-kaucu." "Apa hasil penyelidikanmu itu?" "Aku berhasil mengetahui bahwa Nyo Li-beng masih hidup, Jit-kaucu pun mempunyai hubungan dengannya, bahkan sekarang sedang mempersiapkan suatu tindakan pengkhianatan."
Dengan suara menyeramkan Ji-kaucu berkata pula, "Sejak kemarin malam aku sudah sampai di kota Kay-hong sambil secara diam-diam melakukan penyelidikan atas sejumlah persoalan, kubuktikan bahwa Jit-kaucu punya hubungan pula dengan pihak gedung Bu-lim Bengcu." "Beberapa hari berselang, ketika komandan Siau membawa pasukan menyerang gedung Bu-lim Bengcu, ternyata Jitkaucu ada niat menghalangi usaha komandan Siau melakukan serangan terhadap gedung Bu-lim Bengcu."
497
Pendekar Cacat
Jit-kaucu Thay-kun tertawa dingin. "Cong-kaucu telah melimpahkan kekuasaan penyerangan gedung Bu-lim Bengcu kepadaku, komandan Siau berani melakukan operasi sendiri, hal ini sudah berarti membangkang perintah. Waktu itu aku telah memperhitungkan kekuatan lawan dengan cermat, di dalam gedung Bu-lim Bengcu terhadap dua orang jago lihai yang menunjang kekuatan mereka, yakni Ku-lo Hwesio serta Ko Hong yang asal-usulnya tidak jelas. Oleh karena aku merasa bukan tandingan mereka, maka aku bermaksud mencegah mereka. Kita harus melakukan tindakan secara tidak gegabah." "Buktinya komandan Siau menderita luka parah di tangan Ko Hong sehingga harus menggeletak selama beberapa hari di atas ranjang, semua ini menunjukkan dugaanku sama sekali tak salah, mengapa kau malah menuduh aku melakukan suatu pelanggaran besar?"
"Semenjak satu tahun lalu, Cong-kaucu telah memerintahkan dirimu menyusun rencana dan melenyapkan gedung Bu-lim Bengcu itu dari muka bumi, mengapa hingga kini kau masih belum menyelesaikan tugasmu itu? Tindakanmu yang sama sekali tidak mengacuhkan tugas dan tanggung-jawab ini sudah merupakan suatu kesalahan dan dosa besar."
498
Pendekar Cacat
"Hehehe ...." Jit-kaucu Thay-kun tertawa dingin. "Bengcu gedung Bu-lim Bengcu yang lalu, Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu baru mati beberapa hari lalu, kini muncul seorang Ko Hong, coba kau bayangkan, dengan kekuatan yang kau miliki, bagaimana mungkin bisa menyelesaikan tugas itu secepatnya?" "Sejak delapan tahun berselang, Jit-kaucu telah melaporkan kematian Ku-lo Hwesio, akibat keteledoran itu Sam-kaucu kita yang berilmu tinggi harus menjadi korban, untuk keteledoran ini pun Jit kaucu pantas menerima hukuman mati. Nah, apalagi yang hendak kau katakan sekarang? Mengapa tidak segera kau kenakan borgol emas itu? Apakah kau hendak menunggu aku turun tangan?"
"Hm!" Jit-kaucu Thay-kun mendengus dingin. "Kecuali Cong-kaucu datang sendiri, kalau tidak, jangan harap aku sudi mengenakan borgol emas itu." "Hehehe, Cong-kaucu telah menduga kau akan melakukan perlawanan, ternyata dugaannya tepat. Itulah sebabnya Cong-kaucu melimpahkan kekuasaan paling tinggi untuk menentukan mati-hidupmu, jika kau melawan, terpaksa aku harus menurunkan perintah membinasakan dirimu!" Beberapa saat lamanya arena diliputi oleh suasana tegang.
499
Pendekar Cacat
Ilmu silat Jit-kaucu Thay-kun bukan biasa-biasa saja, kecuali sekawanan jago lihai dari tingkat Kaucu, siapa yang berani mencari penyakit bagi diri sendiri? Oleh karena itu tak seorang pun dari antara kawanan jago Put-gwa-cin-kau berani mengambil tindakan secara gegabah. Mendadak Ji-kaucu menurunkan perintahnya, "Mo-ing-pathiong (Delapan jago irama iblis) terima perintah!"
Begitu perintah diturunkan, mendadak dari balik kegelapan muncul delapan orang berjubah hijau yang membawa berbagai macam alat musik, bagaikan sukma gentayangan mereka muncul dari balik kegelapan dan secepat kilat melakukan pengepungan dari arah luar. Mungkin Ji-kaucu sudah menduga kemungkinan digunakannya kekerasan untuk menangkap Jit-kaucu Thaykun, maka sejak tadi kedelapan orang berjubah hijau ini sama sekali tidak menampakkan diri. Begitu perintah diturunkan, delapan orang berjubah hijau itu segera muncul dari arah yang berlawanan, dalam waktu singkat mereka telah mengepung Jit-kaucu serta kedua orang dayang berbaju biru itu di tengah arena.
500
Pendekar Cacat
Peristiwa ini berlangsung sangat tiba-tiba, untuk beberapa saat Jit-kaucu Thay-kun tidak mengetahui bagaimana caranya mengatasi perubahan itu, apalagi gerakan tubuh mereka dilakukan dengan cepat. Menanti kedelapan orang berjubah hijau itu mengambil posisi masing-masing, gadis itu baru sadar dia sudah kalah posisi, diam-diam pekiknya dalam hati, "Aduh celaka!"
Sementara itu Ji-kaucu segera mengunjuk senyuman licik penuh kebanggaan setelah menyaksikan kedelapan orang itu mengambik-posisi masing-masing, pelan-pelan dia berkata, "Kini barisan Mo-ing-pat-hiong-tin telah terbentuk, jagoan yang bagaimana pun lihai jangan harap bisa meloloskan diri dari kurungan, Jit-kaucu lebih baik kenakan saja borgol emas itu tanpa melawan, siapa tahu Congkaucu masih mengingat hubungan kalian sebagai guru dan murid, lalu membebaskan dirimu dari hukuman mati." "Ji-kaucu," kata Jit-kaucu Thay-kun hambar, "dengan susahpayah kau menciptakan delapan manusia yang tak mirip manusia, setan tak mirip setan ini, apakah tujuannya untuk menandingiku?"
Rupanya kedelapan orang itu semuanya berambut panjang terurai ke bahu, wajahnya jelek, betul-betul tiga bagian mirip manusia tujuh bagian mirip setan, ditambah lagi
501
Pendekar Cacat
paras muka mereka berdelapan amat menyeramkan dan mengerikan, semua ini membuat bergidik bagi yang melihatnya. Sambil tersenyum Jit-kaucu berkata, "Ji-kaucu, kau orang pintar, tentunya kau tahu seluk-beluk ilmu silatku dengan jelas, namun aku tak akan membiarkan harapanmu tercapai begitu saja pada malam ini." "Hm, semua perkataan halus telah kugunakan, namun kau masih saja tak mau sadar akan kesalahanmu, baiklah, terpaksa aku akan membiarkan sepasang matamu terbuka." Bicara sampai di situ dia berpaling ke arah para jago lainnya dan menitahkan, "Kecuali Mo-ing-pat-hiong, yang lain diharap mundur."
Para jago perkumpulan yang berada di sekeliling tempat itu segera menurut dan bersama-sama mengundurkan diri keluar arena. Hanya orang berkerudung berjubah panjang hitam dan Liok-kaucu berdua masih tetap berdiri di tempat. Mendadak Ji-kaucu berteriak dengan suara lantang, "Jitkaucu, dengarkan baik-baik, mengapa Kiu-kaucu bisa lenyap?"
502
Pendekar Cacat
Begitu ucapan itu diutarakan, paras muka Jit-kaucu segera berubah hebat, kemudian serunya dingin, "Kau apakan Kiukaucu?" "Hm, main catur ada menang ada kalah, maka aku telah menjadikannya sebagai sandera."
Jit-kaucu tertawa dingin, "Hehehe, Kiu-kaucu tak pandai menjaga diri, kalau dia mati, itu kesalahannya sendiri, apa sangkut-pautnya dengan diriku?" Jit-kaucu Thay-kun tertawa ringan. "Cong-kaucu ingin melenyapkan aku seorang, tapi sudahkah dia pikirkan bahwa Put-gwa-cin-kau bakal menderita kerugian amat besar?" Ji-kaucu menarik napas dalam-dalam, lalu membentak dengan keras, "Mo-ing-pat-hiong, dengar baik-baik, tangkap perempuan ini hidup-hidup." Begitu perintah diturunkan, kedelapan orang berjubah hijau itu mulai bergerak maju. Mendadak terdengar Ji-kaucu membentak lagi, "Irama iblis mulai!"
503
Pendekar Cacat
Perintah menggeledek disambut oleh kedelapan orang itu dengan memainkan delapan alat musik, dalam waktu singkat berkumandanglah permainan alat musik yang amat memekakkan telinga. Kedelapan alat musik itu adalah tambur, gembrengan, harpa, seruling dan lain sebagainya. Permainan irama musik mereka terdengar sangat aneh, entah irama lagu apakah yang sedang mereka bawakan.
Pada mulanya semua orang masih belum merasakan apaapa, Thay-kun serta kedua orang dayang berbaju biru masih berdiri di tempat semula dengan gagah, semeritara mata mereka mengawasi kedelapan orang itu memainkan irama musik yang aneh dan tak sedap didengar itu. Mendadak suara gembreng dibunyikan bertalu-talu, menyusul kemudian tambur dipukul tiga kali.... Mengikuti suara tambur tadi, jerit kesakitan yang memilukan bergema memecah keheningan. Kedua dayang berbaju biru yang berdiri di sisi Thay-kun segera memegang hulu hati masing-masing sembari berjongkok di tanah, wajah mereka pucat-pias seperti kertas, tampaknya mereka sedang merasakan suatu penderitaan yang luar biasa.
504
Pendekar Cacat
"Aduh celaka!" pekik Jit-kaucu Thay-kun setelah menyaksikan kejadian itu, ia segera membentak, "Cepat tutup lubang telinga kalian!"
Baru habis berbicara, berkumandang.
suara
tambur
kembali
Bagaikan orang kerasukan setan, kedua dayang berbaju biru itu bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit, tangan mereka mendekap hulu hati kencang-kencang, sementara badannya bergulingan ke sana-kemari, jelas kedua orang itu mengalami penderitaan hebat. Berada dalam keadaan seperti ini, Thay-kun tidak berkemampuan lagi untuk mengurusi kedua orang dayangnya, sebab di saat suara tambur itu berkumandang, dia sendiri pun merasakan semacam getaran keras yang melanda tubuhnya, serentetan pukulan keras tambur itu membuat jantungnya berdebar keras.
Dalam posisi yang amat tidak menguntungkan ini, dia hanya bisa memusatkan segenap pikiran dan perhatiannya melawan suara itu, dia harus menenangkan pikiran dari pengaruh suara itu. Dengan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, tidak sulit bagi Thay-kun untuk menghindarkan pengaruh suara iblis
505
Pendekar Cacat
itu. Suasana menjadi tenang kembali, keadaan kini ibarat sebuah bukit batu karang, seakan-akan lupa segala-galanya.
Tapi berbeda keadaannya dengan kedua dayang berbaju biru itu. Jeritan ngeri masih terdengar, sepasang tangan mereka mulai mencakar dada sendiri, sementara tubuhnya bergulingan ke sana kemari. Dalam waktu singkat pakaian bagian atas sudah terlepas. Tak selang beberapa saat kemudian kulit tubuhnya yang putih bersih itu sudah hancur oleh cakar-cakar mautnya, luka memanjang disertai cucuran darah memenuhi sekujur tubuh, sungguh mengerikan sekali keadaan mereka.
Mendidih rasanya darah panas yang menggelora dalam dada Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, dia hendak mendobrak jendela menerobos keluar, namun setelah menyaksikan keadaan Thay-kun yang tenang dan berdiri kokoh bagaikan batu karang di tengah arena, tergetar hatinya, cepat dia berpikir, "Jelas kedua dayang itu sudah tak bisa tertolong lagi, satu-satunya tindakan yang harus kulakukan sekarang adalah mencari akal membongkar dan menghancurkan barisan ini, kemudian berusaha menolong Thay-kun dari ancaman bahaya."
506
Pendekar Cacat
Sementara kedelapan orang itu menggeser barisan sembari tetap memainkan aneka alat musik itu. Akhirnya kedua dayang berbaju biru itu tak mampu menahan diri, mereka tewas dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka yang telanjang bulat bermandikan darah terkapar tak berkutik di tengah arena.
Pada saat inilah Bong Thian-gak sudah dapat melihat pergeseran barisan yang dilakukan kedelapan orang itu, menggunakan langkah Pat-kwa-tin. Penemuan yang di luar dugaan ini kontan menggirangkan hati Bong Thian-gak, diam-diam dia menggeser tubuhnya melompat keluar melalui jendela belakang, kemudian setelah melewati kebun ia menyusup ke balik kawanan orang yang sedang menonton jalannya pertempuran itu.
Sementara itu para anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di sisi arena terpukau oleh kehebatan ilmu barisan yang sedang berlangsung di tengah arena pertempuran, sudah barang tentu mereka tidak mengetahui Bong Thian-gak telah menyelundup di antara mereka. Bong Thian-gak lihat Thay-kun sedang bersiap melancarkan serangan. Berarti dia pun harus memanfaatkan kesempatan
507
Pendekar Cacat
itu untuk melancarkan sergapan pula, kerja sama dalam waktu serta ketepatan tak boleh meleset sedikit pun.
Sesungguhnya cara berpikir Bong Thian-gak ini memang benar, akan tetapi dia telah melupakan sekawanan pembunuh dari luar barisan, pembunuh yang sebenarnya bukan kedelapan orang berjubah hijau yang berdiri pada posisi barisan Pat-kwa, pembunuh yang sesungguhnya bukan lain daripada Ji-kaucu sendiri yang berada di luar barisan. Barisan ini bernama Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin.
Saat Jit-kaucu Thay-kun membuka mata itulah mendadak dia saksikan Ji-kaucu yang berada di luar arena sedang memandang ke arahnya dengan sorot mata setajam sembilu dan hawa membunuh yang menyala-nyala. Tergerak hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, ia berseru tertahan dalam hati, "Ah, rupanya Pat-kwa-an-kiukiong-tin, habis sudah riwayatku kali ini!" Pat-kwa-an-kiu-kiong-tin merupakan barisan yang luar biasa, semacam siasat perang yang aneh, luar biasa, di luar dugaan dan teramat keji.
508
Pendekar Cacat
Belum habis ingatan itu melintas dalam benak Thay-kun, tiba-tiba terdengar Ji-kaucu berpekik nyaring, kemudian tubuhnya melejit tinggi dan menerjang ke arah Jit-kaucu. Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah menyaksikan kejadian ini, dengan cepat dia melejit pula ke udara dan menerjang ke tengah arena dari posisi lain. Dia telah mengambil keputusan untuk melakukan duel mati-hidup yang menentukan posisi kedua belah pihak.
Arah sasaran Bong Thian-gak kali ini adalah kedelapan orang yang berada di luar arena, yang diterkam lebih dahulu adalah seorang berjubah hijau yang membawa seruling. Jeritan ngeri yang memekakkan segera berkumandang. Termakan oleh pukulan Bong Thian-gak yang maha dahsyat itu, orang berjubah hijau itu tergetar keras tubuhnya dan mencelat ke udara.
Dengan berkurangnya salah satu kekuatan pada barisan Pat-kwa itu, kontan barisan menjadi kacau, namun pembunuh yang menempati barisan Kiu-kiong sama sekali tidak merasakan pengaruhnya.
509
Pendekar Cacat
Tampak Ji-kaucu menerobos masuk ke dalam dengan kecepatan luar biasa. Diam-diam Thay-kun mengertak gigi, tangan kiri segera diangkat, cahaya merah memancar keluar dari balik telapak tangannya, ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang merajai kolong langit telah disiapkan. Ketiga orang itu masing-masing merupakan jagoan sakti dunia persilatan, pada saat bersamaan masing-masing mengeluarkan ilmu andalannya, untuk merobohkan musuh sebanyak mungkin.
Untuk beberapa saat suasana menjadi kacau. Jerit kesakitan dan dengusan tertahan bergema, menyusul tubuh Bong Thian-gak berkelebat, satu demi satu musuh bergelimpangan. Munculnya Bong Thian-gak di arena pertarungan sama sekali di luar dugaan siapa pun, tak heran sergapannya segera menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Sementara itu Ji-kaucu sudah menerobos masuk ke dalam arena, tampak ujung bajunya berhembus kian kemari, seperti segulung asap putih saja. Dalam waktu singkat tubuh Thay-kun dan Ji-kaucu sudah terkurung oleh asap tebal itu.
510
Pendekar Cacat
Cahaya merah memancar keluar memenuhi angkasa, serangan Jian-yang-ciang dari Jit-kaucu Thay-kun tidak mengenai sasaran. Di tengah lapisan kabut yang sangat tebal, terdengar suara deru angin pukulan yang memekakkan telinga, jelas Jitkaucu Thay-kun sudah terlibat dalam pertarungan yang amat seru. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira Ji-kaucu bakal mengeluarkan asap semacam itu, tatkala dia menyadari akan hal itu dan siap menerobos kabut itu, tubuh Thay-kun sudah mundur dari lapisan kabut dengan sempoyongan.
Cepat Bong Thian-gak melompat maju, kemudian serunya dengan cemas, "Kau terluka?" "Aku terkena sergapan mereka, cepat kabur dari sini!" seru Thay-kun gelisah. Dalam pada itu kawanan jago Put-gwa-cin-kau yang menonton jalannya pertarungan dari sisi arena telah melihat bayangan tubuh Bong Thian-gak, serentak mereka membentak nyaring, di tengah jeritan keras, dua puluh orang menerjang datang melakukan pengepungan.
511
Pendekar Cacat
"Kalau harus mati biarlah kita mati bersama, kalau harus pergi kita pergi bersama,"seru Bong Thian-gak lantang.
Di tengah seruan itu, Bong Thian-gak menyambar pinggangnya dengan tangan kiri, kemudian membopong tubuhnya sambil berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah udara. Serentetan suara tawa aneh bergema, Liok-kaucu melompat ke muka melakukan penghadangan. Dalam keadaan gawat dan berbahaya ini, Bong Thian-gak segera mengerahkan tenaga dalamnya, melihat datangnya terjangan itu, sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan. Serangan pukulan ini sungguh hebat dan mengerikan.
Seketika itu juga tubuh Liok-kaucu terlempar ke belakang dan |atuh terkapar di tanah. Begitu berhasil merobohkan Liok-kaucu, cepat Bong Thiangak membopong tubuh Thay-kun melejit ke atas pohon, kemudian dengan meminjam tenaga jejakan itu dia melompat naik ke atas atap rumah. Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat, lincah melebihi monyet.
512
Pendekar Cacat
Diiringi bentakan nyaring para anggota Put-gwa-cin-kau, mereka melakukan pengejaran serentak. Tiba-tiba Ji-kaucu muncul dari balik kabut yang tebal, lalu membentak keras, "Tak usah dikejar lagi, gerakan tubuhnya kelewat cepat, tak nanti kalian bisa menyusulnya." Ternyata keadaan waktu itu sungguh mengenaskan, bukan saja kawanan jago kelas satu Put-gwa-cin-kau telah menderita luka, Liok-kaucu serta pemimpin pasukan pengawal tanpa tanding barisan kedua pun terluka pula. Yang tersisa kini tinggal jago-jago kelas tiga saja, bagaimana bisa menyusul Bong Thian-gak? Padahal serangan maha dahsyat Bong Thian-gak sudah cukup membuat kawanan jago Put-gwa-cin-kau ketakutan setengah mati.
Memandang bayangan punggung Bong Thian-gak yang berlalu sambil membopong Thay-kun itu, Ji-kaucu memperlihatkan sekulum senyuman dingin yang licik dan penuh kebanggaan, gumamnya, "Jit-kaucu sudah tersingkir, hehehe, kau si bocah keparat pun sudah terkena seranganku, paling lambat tiga hari kemudian kau pun akan mampus, meski kepandaian silat yang kau miliki sangat lihai."
513
Pendekar Cacat
Mendengar gumaman itu, orang berkerudung berjubah hitam yang berdiri di sisinya segera bertanya, "Apakah orang itu terkena sergapan Ji-kaucu?"
Dengan bangga Ji-kaucu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, komandan Siau, tahukah kau nama asapku itu?" "Asap itu amat aneh, tebalnya luar biasa dan tidak menyebar atau membuyar meski terkena hembusan angin, sudah pasti merupakan asap yang luar biasa." Ji-kaucu tertawa. "Asap ini bernama In-ing-tok-wu-im-ciang (Kabut beracun himpunan hawa langit dan bumi), barang siapa terkena kabut itu, baik manusia maupun binatang tak nanti lolos dari ancaman maut." "Tapi orang itu tak pernah memasuki lingkaran kabut itu?" "Tapi sekujur tubuh Jit-kaucu telah terkena kabut itu, sedangkan dia berlari sembari membopong tubuhnya, tanpa dia sadari sebenarnya ia pun terkena serangan racun itu." "Kepandaian silat orang itu amat lihai, Liok-kaucu pun terluka di tangannya, entah siapakah orang ini?"
514
Pendekar Cacat
"Dari raut wajahnya, jelas sudah dipoles obat penyaru, besar kemungkinan orang ini adalah pemuda yang bernama Ko Hong itu."
Orang berkerudung berbaju hitam menggeleng kepala berulang¬kah. "Pemuda Ko Hong telah terkena sebuah tusukanku, lukanya amat dalam dan terluka parah, mana mungkin kesehatan tubuhnya bisa pulih secepat itu?" Dalam pada itu Ji-kaucu telah berjalan mendekati Liokkaucu, kemudian menegur, "Parahkah lukamu, Liokkaucu?" Liok-kaucu sedang duduk bersila di atas tanah dengan wajah merah membara, tiba-tiba dia memuntah darah sebanyak tiga kali. Darah yang keluar berwarna hitam pekat seperti warna tinta bak.
Menyaksikan kejadian ini, berubah hebat paras muka Jikaucu, secepat kilat telapak tangan kirinya menepuk tiga buah jalan darah penting di punggung Liok-kaucu.
515
Pendekar Cacat
Sebenarnya Liok-kaucu sudah tak mampu berkutik lagi, tapi setelah ditepuk keras punggungnya, dia baru menghembuskan napas panjang, katanya dengan suara gemetar, "Ji-kaucu, lukaku parah sekali. Entah ilmu silat apa yang dipergunakan olehnya." Ji-kaucu membungkam, dia hanya mendongakkan kepala sambil berdiri termangu-mangu. Kemudian dia berpaling dan ujarnya kepada orang berkerudung itu, "Komandan Siau, harap kau mewakili diriku mengawasi sebentar keadaan di sini, aku hendak mengejar mereka." Belum selesai berkata, Ji-kaucu telah menggerakkan bahu dan meluncur ke depan, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan. Tentu saja yang dimaksud "mereka" oleh Ji-kaucu adalah Bong Thian-gak berdua.
ooOOoo
Suasana amat hening, malam mencekam seluruh jagad, angin berhembus kencang membuat suasana terasa dingin menggigilkan.
516
Pendekar Cacat
Dengan merangkul pinggang Jit-kaucu Thay-kun dengan tangan kirinya, Bong Thian-gak melakukan perjalanan tiada hentinya sejauh dua puluh li lebih. Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih, cepat Bong Thiangak menghentikan larinya dan menundukkan kepala. Tampak Thay-kun telah membuka matanya yang indah menawan sambil memandang wajah Bong Thian-gak dengan termangu.
Memeluk gadis cantik dalam rangkulan, timbul suatu perasaan aneh, bau harum semerbak menembus lubang hidung. "Kau lelah?" pemuda itu menegur. Thay-kun manggut-manggut. "Kau bisa berjalan sendiri?" kembali Bong Thian-gak bertanya lirih. Thay-kun tertawa, "Mengapa kau tidak menurunkan aku?" Bong Thian-gak mengiakan dan cepat menurunkan tubuhnya ke atas tanah. Sambil menggeliat Thay-kun berkata dengan sedih, "Ai, aku tak mungkin bisa lolos dari kematian." "Mengapa?" Bong Thian-gak tertegun. Kembali Thay-kun menghela napas panjang.
517
Pendekar Cacat
"Ai, karena aku telah terkena sebatang jarum beracun Hukut-tok-ciam dari Ji-kaucu." "Jarum beracun pelumat tulang? Terkena di bagian mana?" Bong Thian-gak semakin terperanjat. "Pada lengan kananku." "Tapi bukankah kau masih berada dalam keadaan baik-baik saja sekarang?"
Sambil tertawa getir Thay-kun menggeleng berulang-kali. "Kini lengan kananku menjadi kaku."
kepala
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling sambil memperhatikan lengan kanannya, betul juga, lengan kanannya itu sudah terkulai lemas ke bawah dan sama sekali tak bisa digerakkan. "Memangnya tiada cara untuk mengobati luka itu?" Thay-kun menggeleng. "Ji-kaucu adalah tokoh yang amat lihai dalam menggunakan racun, apalagi dia berniat membinasakan diriku, sudah dapat dipastikan jarum beracun yang dilepaskan olehnya menggunakan racun yang nanti tak dapat diobati!"
518
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak melihat gadis itu tetap tenang, tidak gugup, tidak panik, seakan-akan bukan dia yang terkena jarum beracun dan bakal menemui ajalnya. Maka dengan nada tak percaya dia bertanya lagi, "Sungguhkah perkataanmu itu?" "Apa gunanya kubohongi dirimu?" Thay-kun berkata sedih. "Semut pun ingin hidup apalagi manusia." "Tidak mungkin ... tidak mungkin," gumam Bong Thian-gak, "tak mungkin di dunia ini terdapat racun yang mematikan tanpa bisa terobati lagi." Sembari berkata Bong Thian-gak mengeluarkan tangan siap merangkul kembali pinggang Thay-kun. Mendadak Thay-kun menghindar sambil menyelinap mundur, tegurnya, "Mau apa kau?" Bong Thian-gak sendiri pun tertegun. "Aku hendak mencari orang untuk mengobati racun di lenganmu itu."
Thay-kun menghela napas panjang. "Ai, bukankah sudah kukatakan kepadamu, tiada orang di dunia ini yang bisa menyelamatkan jiwaku! Sekarang aku
519
Pendekar Cacat
harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengemukakan suatu rahasia dunia persilatan yang mungkin tidak diketahui oleh siapa pun." "Menjelang ajalnya, Ku-lo Hwesio telah berpesan kepadaku bahwa di Bu-lim hanya kau seorang yang dapat menghadapi Cong-kaucu, kau tak boleh mati, tak boleh mati begini saja."
Thay-kun tertawa sedih. "Perhitungan Ku-lo Sinceng sesungguhnya memang tepat, di Bu-lim memang cuma aku seorang yang bisa menghadapinya, tapi perhitungan manusia tak mampu melawan perhitungan takdir, rupanya nasibku memang harus berakhir sampai di sini." Mencorong sinar aneh dari balik mata Bong Thian-gak, dia berkata, "Sumoay, aku telah mempelajari hampir seluruh ilmu silat yang berhasil Suhu curi sepanjang hidupnya, apakah di antara sekian banyak kepandaian itu, tak satu pun yang bisa digunakan untuk mengobati luka beracun itu?"
Thay-kun menghela napas panjang.
520
Pendekar Cacat
"Memang sepanjang hidup Suhu, beliau berhasil mencuri kitab pusaka berbagai perguruan dan partai mana pun, sayang di antara sekian banyak kepandaian itu tak sebuah pun yang merupakan kitab ilmu pertabiban dan ilmu beracun. Itulah sebabnya dia orang tua pun tewas akibat racun yang dideritanya." "Apa? Suhu pun mati akibat keracunan?" Bong Thian-gak terperanjat.
Thay-kun manggut-manggut. "Benar, dia orang tua tewas karena keracunan hebat, ai! Sekarang aku sudah tiada waktu lagi untuk memberitahukan semua ini padamu, pokoknya pembunuhnya adalah Cong-kaucu." Bong Thian-gak memang telah menduga Jian-bin-hu-li Ban Li-biau tewas secara mengenaskan dalam gua akibat perbuatan Cong-kaucu, ternyata dugaannya memang tepat.
Sebenarnya dia ingin tahu keracunan apakah Ban Li-biau sampai menemui ajal, namun Thay-kun telah mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya, "Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay bisa menduga aku bermaksud mengkhianati Put-gwa-cin-kau, hal ini menunjukkan semasa hidupnya dulu, ia telah berjumpa dengan Nyo Li-beng. Nyo
521
Pendekar Cacat
Li-beng telah memberitahukan rencana busuk Cong-kaucu serta asal-usulnya. Kalau begitu Ku-lo Sinceng pun sudah pasti telah mempunyai rencana yang matang mengatasi situasi dunia persilatan di masa mendatang, bila demikian adanya, meski aku telah memejamkan mata untuk selamanya, aku pun bisa mati dengan perasaan lega."
Agak bingung juga Bong Thian-gak mendengar perkataan yang tiada ujung pangkalnya itu, dia tak tahu apa maksud Thay-kun berkala demikian. Maka sembari berkerut kening ujarnya kemudian, "Sumoay, bagaimana kalau kau kuajak menuju ke kuil Kengtim-an?" Tergetar perasaan Thay-kun mendengar perkataan itu, ucapnya cepat, "Kuil Keng-tim-an merupakan pasukan tersembunyi kita, pasukan tersembunyi itu belum boleh muncul dalam Bu-lim pada saat ini, sebab kalau tidak, bisa jadi kekuatan tersembunyi itu bisa ditumpas ludes." "Mengapa? Bukankah Keng-tim Suthay telah berkata, 'Sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul perkumpulan baru', berarti sembilan hari lagi mereka sudah bersiap melakukan gerakan?"
Thay-kun tersenyum.
522
Pendekar Cacat
"Benar, hal ini akan terjadi sembilan hari lagi, bukan sekarang!" "Mengapa harus menunggu sembilan hari lagi?" "Sebab sampai waktunya baru akan muncul tokoh yang mampu menandingi kemampuan Cong-kaucu." "Aku tidak memahami maksud perkataanmu itu." "Sewaktu masih berada dalam gedung Bu-lim Bengcu tempo hari, bukankah pernah kau dengar dalam tiga hari setelah meninggalnya Oh Ciong-hu Bengcu, lima orang mati secara misterius, tapi beberapa hari setelah kematiannya, jenazah mereka lenyap?" "Ya, aku dengar kelima orang itu adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong Loenghiong dari perguruan Sin-kun-bun, Liong-thau Pangcu dari perkumpulan Hek-huo-pang Kwan Bu-peng, Congpiauthau dari tujuh perusahaan ekspedisi gabungan wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago angin guntur) Gi Peng-san, Loapcu dari benteng Jit-seng-po Tui-hun-pit (Pena pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im (Koan-im baja) Han Nio-cu, tapi bukankah mereka semua lelah mati?"
Thay-kun manggut-manggut.
523
Pendekar Cacat
"Benar, mereka telah mati satu kali, tapi kini telah hidup kembali." "Masa orang yang sudah mati dapat hidup kembali?" seru Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan. "Sembilan hari lagi mereka akan muncul dan hidup kembali dari kuil Keng-tim-an." Dengan terperanjat Bong Thian-gak mengawasi wajah Thay-kun sambil termangu-mangu, sedang di hati kecilnya berpikir, "Kejernihan olaknya masih tetap meyakinkan, tapi mengapa perkataannya masih sukar dipercaya."
Sambil tersenyum manis kembali Thay-kun berkata, "Semua teka-teki ini akan terungkap sembilan hari lagi, bila ku tarakan sekarang kau pun belum tentu mau percaya." "Baik, baik ...." gumam Bong Thian-gak. "Terpaksa aku harus menunggu sembilan hari lagi." Thay-kun menghela napas sedih, kembali dia berkata, "Apa yang hendak kusampaikan kepadamu, kini telah habis kuucapkan, nah kau boleh pergi meninggalkan tempat ini!" "Pergi? Aku harus pergi kemana?" "Makin jauh semakin baik, pokoknya kau baru boleh kembali ke kota Kay-hong sembilan hari lagi!"
524
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tertawa bodoh. "Kau pun hendak pergi bersamaku?" "Ai, mengapa kau tak pernah menuruti perkataanku?" keluhnya. "Aku mendapat perintah melindungi keselamatanmu, tak nanti aku meninggalkan dirimu begini saja." Tiba-tiba Thay-kun menarik muka, katanya, "Tahukah kau, Ji-kaucu akan segera menyusul kemari untuk membinasakan kita berdua?" Bong Thian-gak tertawa nyaring. "Mengapa kau begitu takut kepada Ji-kaucu?" serunya. "Ai, siapa angkuh dia pasti akan kalah, kau terlalu memandang remeh kemampuan Ji-kaucu," ucap Thay-kun menghela napas. "Padahal Ji-kaucu telah datang kemari!" kata Bong Thiangak dengan suara pelan.
Berubah hebat paras Thay-kun mendengar perkataan itu, ia mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, angin malam berhembus, kabut menyelimuti
525
Pendekar Cacat
permukaan tanah, kecuali suara hembusan angin dan suara binatang kecil, tak sesosok bayangan orang pun yang nampak. Bong Thian-gak membalikkan tubuh sembari mengayun tangan kanan ke depan, serentetan cahaya segera menyebar di tengah udara seperti deru angin. Semua cahaya tajam itu meluncur ke arah sebatang pohon yang terletak tak jauh dari situ. Pohon itu berada delapan depa jauhnya, siapa pun tak mengira senjata rahasia yang disambitkan Bong Thian-gak bisa mencapainya.
Mendengar suara desingan senjata rahasia itu, Thay-kun berseru tertahan, "Ah! Jarum Lui-hong-sin-hong!" Setelah menyambitkan senjata rahasia, Bong Thian-gak pun memperhatikan sinar hitam yang menyusup ke dalam kegelapan itu, namun yang didapat hanya suasana hening sepi dan tiada terdengar sedikit suara pun. Dengan paras muka berubah hebat Bong Thian-gak segera berbisik lirih, "Sumoay, apakah Lui-hong-sin-hong dari Suhu dapat disambut dengan tangan kosong?" "Lui-hong-sin-hong mampu menembus bebatuan menghancurkan karang, keras dan tajamnya luar biasa,
526
Pendekar Cacat
tiada manusia di dunia ini yang mampu menyambut ancaman, cuma jarak timpukanmu terlampau jauh.," kata Thay-kun dengan wajah berubah hebat. Bong Thian-gak tidak bicara lagi, mendadak dia beranjak dari tempatnya dan menerjang ke muka. "Berhenti!" Thay-kun berseru.
Mendengar bentakan itu, Bong Thian-gak segera berhenti, tanyanya dengan cepat, "Ada apa?" "Seandainya Ji-kaucu bersembunyi di tempat gelap, mengapa dia lidak segera muncul? Jelas dia bermaksud memancing kedatanganmu ke situ, kemudian menyergap dan melukaimu." Bong Thian-gak tersenyum. "Ia telah terluka." "Siapa?" "Ji-kaucu." Baru selesai ia berkata, tampak sesosok bayangan orang seperti setan saja pelan-pelan berjalan keluar dari tempat kegelapan.
527
Pendekar Cacat
Dia memakai baju model sastrawan berwarna hijau, berjenggot panjang sedada, menyoreng pedang dan bermata setajam sembilu, kalau I MI kan Ji-kaucu siapa lagi dia? Baik Thay-kun maupun Bong Thian-gak dapat melihat jelas, i.mgan kiri Ji-kaucu seakan-akan menggenggam sebuah benda, namun darah kental bercucuran dari balik sela-sela telapak tangannya dan membasahi permukaan tanah. Sepasang mata Bong Thian-gak seolah-olah terkena sihir, tanpa berkedip dia mengawasi Ji-kaucu maju selangkah demi selangkah.
Walaupun suasana di sekeliling tempat itu sangat hening dan tiada suara apa pun, namun suasana penuh diliputi ketegangan dan keseraman yang menggidikkan. Walaupun semua orang tahu bahwa serangan yang dilancarkan Ji-kaucu pasti mengerikan dan dahsyat bukan kepalang, namun mereka tidak gentar menghadapinya, apalagi setelah menyaksikan Ji-kaucu terluka. Sementara itu Thay-kun telah menggeser tubuh ke samping kiri Bong Thian-gak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
528
Pendekar Cacat
Dalam suasana hening seperti ini, Bong Thian-gak serta Thay-kun seperti mendengar suara nyamuk yang amat ramai, suara itu seperti ada seperti tiada, sedemikian lembutnya hingga tak tertangkap oleh telinga. Seandainya mereka tidak sedang memusatkan perhatian, sulit rasanya menangkap suara itu. Mendadak terdengar Thay-kun menjerit kaget, "Hati-hati dengan nyamuk!"
Thay-kun segera melontarkan telapak tangan kirinya yang merah membara itu ke depan, kembali dia telah melancarkan sebuah pukulan dengan ilmu Soh-li-jian-sinkang. Pukulan yang maha dahsyat itu dilontarkan tiga kaki di depan tubuh Bong Thian-gak, dimana angin pukulan itu berhembus, beberapa ratus ekor nyamuk segera rontok ke atas tanah. Tapi gara-gara harus memperhatikan keselamatan Bong Thian gak, akibatnya Thay-kun sendiri pun kena digigit tiga ekor nyamuk pada pergelangan tangan kirinya, rasa sakit yang kemudian timbul boleh dibilang merasuk sampai ke tulang sumsum. Thay-kun berseru tertahan, tubuhnya berguncang lebih keras lagi.
529
Pendekar Cacat
Pada saat inilah mendadak Ji-kaucu mengayunkan tangan kiri, segulung cahaya berwarna hitam dengan membawa suara dengungan suara lebah laksana sambaran petir menyambar ke tubuh Thay-kun. Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira Ji-kaucu bisa menyerang Thay-kun, bahkan menggunakan Lui-hong-sinhong. Dalam gelisahnya, sambil membentak Bong Thian-gak mengayun telapak tangan kanannya ke depan. Angin serangan yang dahsyat dan kuat secara tepat menghajar rontok Lui-hong-sin-hong itu.
Namun Lui-hong-sin-hong merupakan senjata andalan Jianbin-hu-li Ban Li-biau di masa lalu, kedahsyatannya luar biasa walaupun angin serangan Bong Thian-gak berhasil menghajar senjata rahasia itu, bukan berarti senjata itu dapat dirontokkan seluruhnya. Dengusan tertahan berkumandang memecah keheningan, tahu-tahu punggung kanan Thay-kun terkena serangan dan roboh tidak sadarkan diri.
530
Pendekar Cacat
Rupanya serangan yang digunakan Ji-kaucu untuk melancarkan serangan itu telah menggunakan teknik yang tinggi, bersamaan dengan babatan telapak tangan kanan Bong Thian-gak, Ji-kaucu telah melayang maju. "Cring", berkumandang suara gemerincing, tahu-tahu Jikaucu telah melolos pedangnya, digunakan untuk melancarkan serangan. Kendatipun Bong Thian-gak tahu musuh akan menggunakan pedang, namun dia tak menyangka terjangan lawan dilakukan dengan kecepatan luar biasa, bahkan jurus serangan yang digunakan pun begitu sempurna dan ganas.
Terdengar desingan angin tajam, tahu-tahu lengan kanan Bong Ihian-gak telah mengucurkan darah, sementara tubuhnya melayang mundur, sedangkan tangan kiri melolos sebilah pedang emas. Tapi pedang antik Ji-kaucu seakan sudah puas menjilat darah dan menyusup kembali ke sarungnya, pedang telah disarungkan kembali. Benarkah serangan pedangnya begitu cepat dan dahsyat sehingga Mikar diikuti pandangan mata? Benar, serangan yang dilancarkan Ji-kaucu memang hanya sejurus, j.u.ing ada jago lihai dunia persilatan yang berhasil
531
Pendekar Cacat
lolos dari ujung priLingnya dalam keadaan selamat, oleh sebab itulah ia belum pernah melancarkan serangan kedua.
Suara tertawa dingin menyeramkan berkumandang dari bibir Ji-kaucu. Terdengar dia berkata, "Sudah sepuluh tahun lamanya aku tak berlatih melolos pedang, tak nyana kau telah memaksaku melanggar kebiasaanku, bahkan tidak menemui ajal dalam satu gebrakan." "Selama empat puluh tahun ini, kau merupakan jago lihai pertama yang kujumpai, kau pun pantas menjadi musuhku, meski akhirnya kau akan mati juga, kau boleh bangga dan gembira karena kehormatan ini."
Kata-kata ini diucapkan tidak cepat tidak pula lambat, seperti lagi menghibur seperti juga lagi memuji, bahkan membawa keangkuhan. Darah segar telah membasahi lengan kanan Bong Thiangak, dalam waktu singkat separoh tubuhnya telah basah kuyup, walaupun mulut lukanya terasa sangat panas dan sakit, namun dia tak berani bersikap gegabah teledor, segenap perhatiannya dipusatkan menantikan datangnya serangan kedua Ji-kaucu.
532
Pendekar Cacat
Saat inilah Bong Thian-gak baru merasakan betapa menakutkan Ji-kaucu, hingga kini pemuda itu belum juga mengerti bagaimana cara ia melancarkan serangannya, dia pun tak tahu bagaimana dirinya bisa terbabat oleh mata pedang lawan. Ketika menghindar tadi, sudah jelas dia lolos dari mata pedang itu sejauh setengah kaki, tapi mengapa pula mata pedang musuh bisa memancar setengah kaki dari arah serangan?
Dengan suara tenang dan lembut kembali Ji-kaucu berkata, "Ia telah terkena jarum beracun pelumat tulangku, sekarang pun sudah digigit nyamuk bangkai dari wilayah Biau, ditambah pula terhajar jarum rahasia Sin-hong pada bagian mematikan, aku rasa meski ada dewa yang turun dari kahyangan pun tidak bisa menyelamatkan jiwanya. Sedang kau? Tentu saja kau pun tak bisa hidup lebih lanjut, karena tanpa kau sadari kau pun telah terkena racun jahat, paling lambat tiga hari kemudian, racun itu akan bekerja yang mengakibatkan kematian." "Mengapa kau tak berani melancarkan seranganmu yang kedua?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
533
Pendekar Cacat
Sudah jelas Ji-kaucu hendak melancarkan serangan kedua, tapi berhubung pertahanan yang dilakukan Bong Thian-gak sangat ketat, hal itu membuatnya tidak berkesempatan melakukan penyerangan. "Kini kau ibarat seorang yang hampir mati," kata Ji-kaucu dengan lembut. "Mati sekarang atau mati beberapa hari lagi, apa pula bedanya!" "Baik, jika kau enggan menyerang, biarlah aku yang melancarkan serangan lebih dulu." Begitu selesai berkata, Bong Thian-gak membabatkan pedangnya bagaikan bianglala, secara beruntun dia melepaskan tiga buah serangan dahsyat.
Tentu saja ketiga buah serangan itu dilancarkan Bong Thian-gak dengan jurus serangan yang paling tangguh, begitu serangan dilepaskan, cahaya tajam segera menyambar. Di bawah cecaran ketiga jurus serangan itu, dengan enteng dan cekatan Ji-kaucu menghindarkan diri ke sana kemari. Sementara itu Bong Thian-gak telah melompat ke sisi Thaykun setelah melancarkan ketiga buah serangannya itu, kemudian tangan kanannya menyambar dan memeluk pinggang Thay-kun, bersamaan itu juga pedang di tangan kirinya diayunkan ke muka.
534
Pendekar Cacat
Sebilah pedang yang lemas tahu-tahu sudah berubah menjadi tujuh dalam sekali ayunan tangan, seakan-akan tujuh pisau terbang yang meluncur bersama menyerang Jikaucu. Sedangkan anak muda itu sendiri segera melompat ke udara dan kabur dari situ. Dia tak sempat melihat lagi apakah Ji-kaucu berhasil meloloskan diri dari sergapan mautnya atau tidak, sekarang dia hanya tahu bagaimana mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk melarikan diri secepatnya dari situ.
Sudah barang tentu Ji-kaucu dapat melolos diri dari ancaman ketujuh pisau terbang itu, hanya saja dia tak melakukan pengejaran. Sekulum senyuman dingin penuh perasaan bangga menghiasi wajahnya, kemudian terdengar ia bergumam, Tiada seorang pun di dunia ini yang dapat lolos dari ujung pedangku dalam keadaan selamat, tidak terkecuali dirimu." ooOOoo
535
Pendekar Cacat
Kabut fajar telah menyelimuti angkasa, begitu tebal dan padat sehingga sulit untuk melihat keadaan di sekitar tempat itu. Sambil membopong Thay-kun, Bong Thian-gak melakukan perjalanan dengan amat cepat. Tiba-tiba ia merasa kepala pening sekali, tenggorokan kering seperti mau retak, keempat anggota badannya lemas tak bertenaga. Keadaan ini mengejutkan Bong Thian-gak, diam-diam pikirnya, "Kalau aku benar sudah terkena serangannya, wah celaka! Apakah kami berdua harus tewas begini saja."
Ia berhenti untuk memperhatikan sekeliling tempat itu, mendadak ia mendengar suara ombak memecah pantai, sayang empat penjuru diselimuti kabut tebal sehingga dia sendiri pun tak tahu sedang berada dimana. "Mungkin kita berada di tepi sungai," pikir Bong Thian-gak. Berpikir sampai di situ, mendadak perutnya terasa mual ingin muntah, sayang tak setitik benda pun yang bisa dimuntahkan. Mendadak kakinya terasa lemas, Bong Thian-gak bersama Thay-kun yang berada dalam bopongannya roboh terjengkang ke atas tanah.
536
Pendekar Cacat
Waktu itu Thay-kun telah pingsan, mata terpejam rapat, wajahnya pucat-pias seperti mayat, sedangkan di bahu kanannya masih tertancap jarum Hui-hong yang masuk ke dalam daging, keadaannya mengerikan sekali. Waktu itu lengan kanannya sudah terkulai lemas, sementara tangan kirinya merah bengkak. Menyaksikan semua ini, Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian gumamnya, "Tidak enteng luka yang diderita olehnya, ai ... sedangkan aku sendiri pun tak jauh dari kematian." Terbayang akan kematian, hati pemuda ini merasa pilu.
Dia menundukkan kepala memandang sekejap wajah cantik dalam pelukannya, tanpa terasa dia merasa terhibur juga, gumamnya sambil tertawa bodoh, "Thian benar-benar suka mempermainkan umatnya, siapakah yang akan menduga aku akan mati sambil memeluk gadis tercantik di dunia saat ini, ah!" "Perubahan yang terjadi dalam alam semesta memang sukar diduga, sebenarnya dia terhitung musuhku yang boleh diampuni, tapi kini telah berubah menjadi sahabat karibku dalam perjalanan pulang ke alam baka, hal ini tak pernah kubayangkan sebelumnya."
537
Pendekar Cacat
"Perhitungan Ku-lo Sinceng pun amat tepat, entah dia telah memperhitungkan keadaanku dan Thay-kun belum? Sesudah kami berdua tiada, Put-gwa-cin-kau pasti akan meraja-rela tanpa seorang pun yang bisa membendung mereka. Mungkinkah dunia persilatan akan dikuasai orangorang Put-gwa-cin-kau?" "Mungkinkah berbagai perguruan besar akan musnah di tangan mereka?"
Menghadapi ajal di depan mata, tak urung berbagai macam pikiran muncul dalam benaknya, apalagi kesadaran Bong Thian-gak mulai surut, tak aneh pikirannya tambah kalut. Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih yang menghentikan jalan pikiran Bong Thian-gak, cepat dia berpaling. Tampak Thay-kun sedang mengerahkan tenaga lalu mengedipkan mata dan membukanya pelan-pelan. Ketika menyaksikan wajah Bong Thian-gak berada di hadapannya, sambil tersenyum lantas dia berkata, "Dalam impian aku seperti dipeluk olehmu, ternyata kau benarbenar sedang memelukku."
Bong Thian-gak tersenyum.
538
Pendekar Cacat
"Aku yakin kau pasti akan sadar, nyatanya kau benar-benar sadar!" "Tapi dengan sadarku ini, kemungkinan besar saat kematianku akan semakin dekat!" ucap Thay-kun sedih. "Aku sendiri pun tak akan hidup lama." Thay-kun terkejut oleh perkataan itu, serunya pula, "Kau pun tak dapat hidup lama?" "Ya, aku telah terkena serangan Ji-kaucu." "Kau pun keracunan?" Sampai di situ si nona telah melihat lengan kanan Bong Thian-gak terluka, buru-buru katanya lagi, "Luka pada lenganmu amat parah, apakah terluka oleh babatan pedang Ji-kaucu?"
Bong Thian-gak tak menjawab, dia hanya manggutmanggut. Dengan sedih Thay-kun menghela napas panjang, "Pedang Ji-kaucu amat lihai, konon sudah direndam racun yang amat jahat, kalau begitu kau benar-benar telah terkena racun." Bong Thian-gak tertawa getir.
539
Pendekar Cacat
"Memang sepantasnya kita mati bersama!" "Kau tak boleh mati, kau pasti tak akan mati." "Jika Thian menyuruh kita berpulang, siapa mampu menolak?" "Mari kita pergi mencari seseorang." "Tapi aku sudah tidak mampu bergerak lagi." Thay-kun menghela napas sedih. "Ai, kalau begitu, terpaksa kita berdua harus menunggu kematian di sini." "Coba tunggu sebentar, bila aku telah bertenaga lagi barulah kita lanjutkan perjalanan."
Mendadak Thay-kun memejamkan mata, lalu berkata lembut, "Hingga sekarang aku belum mengetahui namamu yang sesungguhnya serta raut wajah aslimu." "Buat apa kau menanyakan hal ini?" Thay-kun tertunduk malu, bisiknya manja, "Sejak dilahirkan, belum pernah aku dipeluk orang seperti ini." "Ah!" Bong Thian-gak berseru tertahan. "Tapi aku tak bermaksud mencari keuntungan dengan cara ini."
540
Pendekar Cacat
"Masih ingat malam itu ...." bisik Thay-kun lirih, ia tak melanjutkan kata-katanya.
Walau begitu Bong Thian-gak telah mengetahui apa gerangan yang dimaksud, buru-buru dia berkata, "Tapi aku tidak bermaksud mengintipmu." "Sudahlah! Sekarang aku sudah hampir mati, bersediakah kau memberitahukan nama aslimu kepadaku?" Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Tentu saja bersedia, aku she Bong bernama Thian-gak." "Ah! Kalau begitu kau adalah murid keempat Thi-ciang-kankun-hoan Oh Ciong-hu!" "Aku telah dikeluarkan dari perguruan," bisik pemuda itu sedih. "Aku bisa memahami nasib tragis yang menimpa dirimu, kau ingin mempertahankan nama baik Oh Ciong-hu dengan cara begini, aku yakin arwah Oh-bengcu di alam baka tentu sudah tahu akan hal ini dan bersedia menerimamu kembali sebagai anggota perguruannya." "Darimana kau bisa tahu tentang pengalaman tragis yang menimpa diriku?" tanya Bong Thian-gak terkejut dan keheranan.
541
Pendekar Cacat
Thay-kun tertawa, "Tahukah kau siapakah Go-kaucu Putgwa-cin-kau yang menyelinap dalam gedung Bu-lim Bengcu? Dia tak lain adalah istri Oh Ciong-hu, Pek Yan-ling adanya!" Bong Thian-gak tidak mengira Go-kaucu adalah ibu gurunya sendiri, darah yang menggelora dalam dada Bong Thian-gak serasa mendidih, sambil menggigit bibir, katanya, "Sampai sekarang wanita cabul itu belum juga menyesal, bila aku masih dapat hidup, akan kucincang tubuhnya hingga hancur berkeping-keping." "Masih ada satu hal perlu aku beritahukan kepadamu, kau anggap Siau Cu-beng sudah mati?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, serunya dengan cepat, "Siau Cu-beng! Sam-suhengku Siau Cu-beng?" "Kalau bukan dia, siapa lagi?" Mendengar ucapan itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras, dari nada bicara Thay-kun, agaknya ia benar-benar mengetahui amat jelas kejadian lama yang pernah menimpanya bersama semua aib yang telah menimpa perguruannya.
542
Pendekar Cacat
Mungkinkah Sam-suhengnya Siau Cu-beng yang terjatuh ke dalam jurang benar-benar belum mati? Tapi dimanakah dia sekarang?
Berpikir sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke arah Thay-kun. "Walaupun Siau Cu-beng telah terhajar hingga tercebur ke jurang oleh pukulanmu, sesungguhnya dia tak mati," kata Thay-kun pula. "Ia benar-benar belum mati?" "Buat apa aku membohongi dirimu!" "Lantas dimanakah Siau Cu-beng sekarang?" "Sewaktu jatuh ke dalam jurang tempo hari, sesungguhnya Siau Cu-beng sudah sekarat dan tinggal menunggu ajal saja, pada saat itulah muncul seorang bintang penolong yang telah menyelamatkan jiwanya." "Siapakah bintang penolongnya?"
"Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau! Bukan saja ia telah menyelamatkan liwanya, bahkan dalam tujuh tahun yang singkat, ia telah mewariskan ilmu silat yang maha dahsyat kepadanya." "Ah!" Bong Thian-gak menjerit kaget, "kalau begitu Siau Cubeng adalah...."
543
Pendekar Cacat
"Komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau atau tepatnya orang berkerudung jubah hitam itu."
Mendadak Bong Thian-gak berteriak, "Aku tak boleh mati, aku harus hidup lebih lanjut, aku tak dapat membiarkan Siau Cu-beng segar-bugar di dunia ini." Entah darimana datangnya kekuatan, dengan cepat dia merangkul kembali tubuh Thay-kun dengan lengan kirinya, kemudian bertanya, "Kita harus berjalan menuju ke arah mana?" "Ke kota Lok-yang!" "Itu berarti dua perjalanan," seru Bong Thian-gak dengan tertegun. Thay-kun segera mengangguk. "Ya, tempat ini adalah Tio-ko, bila menempuh perjalanan sejauh satu li lagi kita akan sampai di kota, kemudian dari situ kita dapat menumpang kereta menuju ke kota Lokyang." *** Fajar baru saja menyingsing, sang surya memancarkan cahaya keemas-emasannya dari ufuk timur, di hadapan mereka terbentang sebuah sungai.
544
Pendekar Cacat
Sambil merangkul Thay-kun, selangkah demi selangkah pelan-pelan Bong Thian-gak bergerak menuju ke depan sana, tanyanya, "Ke Lok-yang kita harus mencari siapa?" "Seorang tabib kenamaan yang mengasingkan diri di bawah bukit Cui-im-hong, asalkan dia bersedia mengobati luka kita, betapa pun parahnya luka yang kita derita, sudah pasti dia bisa menyelamatkan jiwa kita dari ancaman bahaya." "Seandainya dia menampik?" tanya Bong Thian-gak dengan rasa kuatir. Thay-kun tersenyum. "Dia tak akan menampik permintaan kita!" Dari nadanya, tampaknya gadis itu telah lama mengenal tabib sakti itu, maka perasaannya menjadi tenang kembali. Yang dikuatirkan olehnya sekarang adalah seandainya dia serta Thay-kun tak bisa bertahan sampai kota Lok-yang. Mendadak Thay-kun berseru tertahan, lalu melanjutkan, "Bong-suko, di pinggangku terdapat sebuah botol kecil, tolong ambilkan!" "Botol? Buat apa botol itu?" Bong Thian-gak tertegun. "Di dalam botol terdapat lima butir Tok-liong-wan, pil itu berkhasiat melenyapkan berbagai macam pengaruh racun, bila orang menelan sebutir, dalam tiga tahun dia tak usah
545
Pendekar Cacat
takut terrhadap serangan hawa racun, bahkan bisa menguatkan isi perut." Mendengar ucapannya itu, Bong Thian-gak menurut dan segera merogoh pinggangnya Benar juga di sana terdapat sebuah botol kecil berwarna putih, sambil mengambil keluar benda itu, tanyanya, "Botol kecil inikah yang kau butuhkan?" "Benar, bukalah tutup botol itu dan ambillah sebutir, langsung telan ke dalam mulut." Pelan-pelan Bong Thian-gak membuka tutup botol itu dan mengeluarkan sebutir pil sebesar kacang kedelai, terendus bau harum semerbak. Tanpa terasa dia membuka mulut dan menelan sebutir, rasanya memang agak getir namun seketika itu juga semangatnya terasa segar kembali. "Ehm, obat bagus, obat bagus, ai, mengapa kau tidak menelan sebutir?" Thay-kun menghela napas sedih, "Seandainya aku tidak menelan sebutir Tok-liong-wan lebih dulu, mungkin sejak tadi nyawaku sudah melayang meninggalkan raga kasarku!" "Benar, konon ilmu beracun Ji-kaucu tiada taranya di dunia ini, sedangkan Thay-kun telah terkena beberapa racun jahat sekaligus, nyatanya dia masih dapat hidup hingga
546
Pendekar Cacat
sekarang, nampaknya kita masih ada kesempatan untuk hidup." Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia telah menunjukkan wajah berseri. Terdengar Thay-kun berkata lagi, "Tok-liong-wan ini merupakan h.idiah tabib sakti yang hidup mengasingkan diri di bawah puncak Cui-ini-hong di luar kota Lok-yang, tiga tahun berselang ia menghadiahkan enam butir pil itu untukku." "Menurut dia sendiri, pil ini dibuat dengan susah-payah, bukan saja harus dimasak selama tiga tahun, juga cuma dibuat delapan belas bulir saja, itulah sebabnya Tok-liongwan ini tak ternilai harganya." "Ai, ternyata ucapan itu memang benar, Tok-liong-wan telah menyelamatkan jiwa kita." "Walaupun Tok-liong-wan memiliki khasiat luar biasa, namun ilmu beracun Ji-kaucu bukan sembarang orang bisa menandinginya, oleh karena itu lebih baik kita secepatnya berangkat menuju ke kota Lok-yang." Sejak menelan Tok-liong-wan, lambat-laun Bong Thian-gak merasa betapa segar dan nyamannya sekujur tubuhnya, tidak seperti tadi perutnya selalu mual dan ingin muntah saja, penderitaannya bukan alang-kepalang.
547
Pendekar Cacat
"Ai! Sesampainya di kota Lok-yang nanti, aku harus berterima kasih kepada tabib sakti itu!" "Tabib itu berwatak aneh dan suka menyendiri," Thay-kun menerangkan. "Sesampainya di sana nanti kau mesti menuruti semua perkataanku, aku kuatir bila dia menampik mengobati lukamu." Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak tertawa. "Asal kau dapat sampai di situ dengan selamat, soal matihidupku bukan masalah yang terlalu penting." "Kalau harus mati, kita mati bersama," bisik Thay-kun pelan. Sekali pun ucapan itu sangat sederhana dan tiada sesuatu yang luar biasa, namun jauh melebihi beribu-ribu kata lain, karena dari ucapan itu dia telah mengemukakan seluruh perasaan hatinya yang sebenarnya. Rupanya ucapan itu diutarakan ketika Bong Thian-gak masih berada di dusun petani, ketika mendengar perkataan itu diutarakan, hatinya tergetar, dia tak tahu haruskah merasa girang atau sedih ataukah murung? Sekali pun sedang bermimpi, Bong Thian-gak juga tak berani menyangka gadis cantik jelita ini menaruh perasaan kepadanya.
548
Pendekar Cacat
Tapi sekarang sudah jelas kalau dia telah mengutarakan perasaan hatinya itu. Dia nampak begitu cantik, siapakah lelaki di dunia ini yang tak jatuh hati kepadanya, tidak ingin mempersunting dan menjadikannya istri tercinta? Justru karena dia kelewat cantik maka Bong Thian-gak berani mengutarakan perasaannya itu, dia tak tahu haruskah murung, sedih atau takut. Akhirnya Bong Thian-gak dan Thay-kun menyewa sebuah kereta di kota Tio-ko untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Lok-yang. Sebenarnya Bong Thian-gak ingin duduk bersama kusir di depan, tapi berhubung Thay-kun takut jejak mereka ketahuan lawan, terpaksa kedua orang itu harus menumpang kereta bersama-sama. Dengan demikian benih cinta yang baru ditanam di hati mereka berdua pun dengan cepat bersemi dan tumbuh menjadi besar. Mungkin inilah suratan takdir yang telah menentukan jodoh mereka. Sejak Bong Thian-gak menelan Tok-liong-wan, keadaannya boleh dibilang mirip orang biasa, sama sekali tidak menunjukkan gejala keracunan, bahkan luka di lengan
549
Pendekar Cacat
kanannya juga tidak menunjukkan gejala merah atau bengkak. Thay-kun sendiri pun kelihatan amat jernih pikirannya, namun sepasang lengannya sudah tidak mau menurut perintahnya lagi, tak ubahnya seperti orang cacat. Kereta berlari kencang di atas jalan berbatu, guncangan di dalam kereta terasa amat kencang dan keras, membuat Thay-kun yang duduk di sebelah kanan hampir saja jatuh terjengkang. Untung Bong Thian-gak bergerak cepat dengan menyambar pinggang kirinya, lalu membiarkan dia bersandar di pinggang sendiri. Tiba-tiba Thay-kun berkata sambil tertawa manja, "Suheng, seandainya sepasang tanganku benar-benar cacat, apakah kau masih letap mencintai diriku?" "Sekali pun kau telah berubah menjadi abu pun, aku akan tetap mencintai dirimu," sahut Bong Thian-gak tanpa pikir panjang. "Benarkah itu?" "Selamanya aku tak pernah berbohong, terutama di hadapan gadis, aku lebih-lebih tak ingin membohonginya." Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang seraya berkata lembut "Suheng, aku pernah membunuh banyak orang,
550
Pendekar Cacat
dalam agama Buddha dikatakan, 'siapa menanam kejahatan, dia akan mendapat balasan yang setimpal'. Sekarang aku benar-benar kuatir, bila suatu ketika aku tewas dalam keadaan yang mengenaskan." Bong Thian-gak turut menghela napas pula. "Tiada manusia di dunia ini yang lolos dari kesalahan, orang yang tahu salah dan mau bertobat itulah tindakan kebajikan yang sejati! Bila sejak dulu kau telah memutuskan untuk meninggalkan Put-gwa-cin-kau, mungkin akan banyak dosa dan siksaan yang bisa dihindari." Mata Thay-kun berkaca-kaca menahan linangan air mata. "Mengapa aku tak dapat melupakan Put-gwa-cin-kau? Karena perkumpulan ini ada sangkut-pautnya dengan asalusulku." "Asal-usulmu?" "Hingga sekarang aku belum dapat membuktikan Congkaucu Put-gwa-cin-kau adalah ibu kandungku atau bukan." 'Seandainya dia benar-benar adalah ibumu?" tanya Bong Thian-gak dengan perasaan tergetar. "Semoga saja dia bukan ibuku, seandainya dia adalah ibuku, tak nanti dia menurunkan perintah kepada Ji-kaucu untuk membunuhku."
551
Pendekar Cacat
"Sumoay, karena ingin membuktikan hal itu maka kau ragu." "Sejak kecil aku sudah dibesarkan dalam lingkungan demikian, lagi pula dalam benakku sudah tertanam bahwa Cong-kaucu adalah ibu kandungku, bayangkan saja, bagaimana mungkin aku dapat lolos dari samudra penderitaan begitu saja?" Mendengar perkataan itu, diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang, pikirnya, "Aku tak boleh menyalahkan dia, setiap orang bila sedang dalam keadaan begini, dia pun akan terperosok lebih jauh, hari ini dia bisa meloloskan diri dari pengaruh Put-gwa-cin-kau pun sudah merupakan sesuatu yang luar biasa." Seseorang bila sedang dalam tekanan dan ancaman, walau ingin melawan dan meloloskan diri dari keadaan itu, maka dibutuhkan keberanian yang sangat besar. Biasanya keberanian semacam ini tak dimiliki setiap orang. *** Cui-im-hong merupakan nama sebuah bukit yang terletak di luar kota Lok-yang sebelah utara, di depan bukit itu terdapat sebuah sungai yang berhubungan dengan sungai Lok-sui, di balik bukit merupakan rangkaian gunung berlapis-lapis dan sambung-menyambung tiada ujungnya.
552
Pendekar Cacat
Menyusuri tepi sungai terbentang sebuah jalan raya yang amat lebar, semakin ke arah bukit semakin sedikit pula manusia berlalu lalang di sana. Di tengah keheningan malam yang mencekam jagad, tibatiba terdengar suara roda kereta yang bergema di jalan raya, lalu muncul sebuah kereta mendekati tempat itu. Akhirnya kereta ini berhenti di sebuah rumah. Bangunan itu meliputi suatu daerah yang sangat luas, empat penjuru sekeliling tempat itu penuh ditumbuhi aneka macam bunga yang beraneka warna, dari kejauhan pun sudah, dapat terendus bau harum bunga yang semerbak. Setelah berhenti sejenak, dari balik kereta kemudian berjalan keluar seorang sastrawan pincang, dalam bopongannya menggelendot seorang gadis cantik yang lumpuh sepasang lengannya. Dari sakunya Bong Thian-gak mengeluarkan sekeping uang perak untuk membayar ongkos kereta, kemudian dia mengangkat kepala dan memandang sekejap bangunan itu, katanya pelan, "Tampaknya orang sudah tidur." Thay-kun ikut mengangkat kepala memandang keadaan cuaca, kemudian menyahut, "Sekarang tak lebih kentongan pertama." Bicara sampai di situ, tiba-tiba firasat jelek melintas di benaknya.
553
Pendekar Cacat
Ternyata suasana di dalam bangunan besar di kaki bukit ini gelap gulita, tiada cahaya lentera, tiada suara manusia, keadaan tak jauh berbeda dengan kota mati. Sementara itu kereta sudah pergi jauh, di bawah kaki bukit tinggal mereka berdua saja. Mendadak paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, bisiknya, "Ada orang datang." Tampak tiga bayangan orang muncul di situ, mereka bukan keluar dari balik pintu gerbang, melainkan melompat turun dari atas atap mmah, dalam dua kali lompatan saja mereka sudah melayang turun di hadapan Bong Thian-gak. Ketiga orang itu terdiri dari dua orang lelaki berperawakan tinggi besar dan seorang berkerudung berbaju hitam. Berhadapan dengan orang berkerudung berbaju hitam itu, kontan mencorong sinar berapi-api dari balik mata Bong Thian-gak. Sedangkan paras Thay-kun juga berubah hebat, tanyanya dengan suara gemetar, "Berapa orang di antara kalian yang telah datang?" Orang berkerudung berbaju hitam itu tertawa dingin. "Racun yang dilepaskan Ji-kaucu mungkin saja kehilangan kehebatannya di tubuh kalian berdua, namun perhitunganku tak akan pernah meleset."
554
Pendekar Cacat
"Jit-kaucu, apabila kau tahu diri, ikutlah aku pulang, siapa tahu Cong-kaucu akan meninggalkan sebuah jalan kehidupan bagimu!" Sementara itu berbagai pikiran telah berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak, dia lantas berpikir, "Sanggupkah aku seorang melawan mereka bertiga?" Seandainya dalam keadaan biasa, Bong Thian-gak percaya masih sanggup bertarung melawan ketiga orang itu, seandainya kalah, ia masih sanggup melarikan diri. Tapi sekarang dia menyadari tak mempunyai kekuatan seperti itu. "Gi Jian-cau berada di dalam," sahut orang berkerudung berbaju hitam hambar. "Kau telah melukainya?" "Dia pernah menyelamatkan jiwaku, dia masih terhitung tuan penolongku sendiri, karenanya aku tak mungkin berbuat demikian, kau pun tak usah berbuat demikian." Mendengar ucapan itu, Thay-kun menghela napas panjang, "Ai, kenapa aku tak pernah berpikir kau pun pernah menjadi tamu di rumah kediaman tabib sakti Gi Jian-cau." Orang berkerudung tertawa dingin, "Betul, ilmu pertabiban G i Jian-cau memang luar biasa, terutama kemampuannya membuat obat, boleh dibilang tiada duanya di dunia ini dan
555
Pendekar Cacat
hal ini rasanya hanya diketahui oleh Cong-kaucu, kau dan aku bertiga saja." "Tapi sekarang telah bertambah banyak orang yang mengetahui rahasia ini." Mencorong sinar tajam dari bilik mata orang berbaju hitam itu, ujarnya kemudian sambil tertawa, "Apakah malam ini kalian masih ingin meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup?" Mendadak Bong Thian-gak berseru, "Siau Cu-beng, aku hendak membunuhmu!" Tergetar keras perasaan orang berbaju hitam itu setelah namanya disebut Bong Thian-gak, kemudian setelah tertawa dingin, serunya, "Sungguh tak kusangka Jit-kaucu telah mengingkari sumpah sendiri dengan membocorkan rahasia terbesar partai kita, kalau begitu dosa dan kesalahan Jit-kaucu sudah tak bisa dimaafkan lagi!" Ternyata rahasia terbesar Put-gwa-cin-kau adalah menghilangkan nama asli tokoh-tokohnya dengan mengganti namanya memakai urutan nomor, itulah sebabnya hingga kini orang-orang yang berkumpul dalam Put-gwa-cin-kau sebagai pemimpin jarang diketahui asalusulnya oleh orang lain, bahkan dianggap misterius sekali. Perbuatan pertama yang harus dilakukan setiap orang yang bergabung dengan Put-gwa-cin-kau adalah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia tokoh-tokoh dalam
556
Pendekar Cacat
perkumpulan itu, barang siapa berani melanggar sumpah itu, maka dosanya tidak terampuni lagi, malah bisa dijatuhi siksaan yang paling keji. Thay-kun sendiri pun terperanjat sekali mendengar Bong Thian-gak menyebutkan nama Siau Cu-beng, serunya pula, "Suheng, kau ... kau tidak boleh ...." Mendengar seruan itu Bong Thian-gak amat terperanjat, ia tahu gadis itu melarang dirinya mengungkap asal-usulnya yang sebenarnya. Akan tetapi gerak-gerik mereka ini semakin mencurigakan Siau Cu-beng, dia segera berpikir, "Siapakah dia? Bukankah dia adalah Ko Hong?" Berpikir demikian, orang berkerudung kemudian berkata, "Pandai amat saudara menyaru, sebenarnya siapakah dirimu?" "Ko Hong!" jawab Bong Thian-gak hambar. "Kau bukan Ko Hong!" bentak orang berkerudung. "Hm! Aku mempunyai cara untuk mengetahui asal-usulmu yang sebenarnya!" Begitu selesai berkata, dia lantas mengulap tangan kirinya, kedua orang yang berdiri di sisinya serentak maju dengan langkah lebar.
557
Pendekar Cacat
Kepandaian silat pasukan berbaju perlente pengawal tanpa tanding telah dilihat dan dicoba oleh Bong Thian-gak beberapa hari lalu, di saat mereka menyerbu ke dalam gedung Bu-lim Bengcu tempo hari. Waktu itu Goan-ko Taysu dari Siau-lim-si serta Wan-pitkim-to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay melakukan pertarungan sengit melawan mereka, hal ini menunjukkan betapa hebatnya ilmu mereka. ***
558
Pendekar Cacat
8 BERDIRINYA TIONG-YANG-HWE
P
ada hari biasa tentu Bong Thian-gak tak takut terhadap mereka, namun berbeda sekarang ini.
Dia sendiri telah keracunan hebat, walaupun telah menelan Tok-liong-wan yang bisa mencegah beredarnya racun menyerang isi perut, hingga pikirannya tetap jernih dan tak ubahnya seperti keadaan sehat. Padahal Bong Thian-gak sendiri tahu lengan kanannya yang terluka bacokan masih terasa linu dan kaku, tenaganya sama sekali tak mampu dikerahkan ke situ. Tapi menghadapi musuh yang semakin mendesak, dia pun sadar, bila musuh tak segera dibinasakan, akibatnya tak bisa dibayangkan.
559
Pendekar Cacat
Ingatan itu melintas di benaknya, Bong Thian-gak segera meraung gusar, telapak tangan kiri diayun ke depan dan langkah kakinya bergeser berulang kali, kemudian melepaskan sebuah bacokan maut ke depan. Dimana serangannya dilancarkan seakan-akan sama sekali tak bertenaga, karena tak terdengar sedikit suara pun. Padahal siapa menduga dalam serangan ini Bong Thian-gak telah mengerahkan segenap kekuatannya. Tiba-tiba saja terdengar dua kali jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang memecah keheningan.
Dua orang pengawal tanpa tanding yang maju ke muka berhenti di tengah jalan, tiba-tiba badannya berubah seperti tak bertulang, dengan lemas dan tak bertenaga mereka roboh terduduk ke tanah. Namun setelah terduduk, mereka pun tak pernah merangkak bangun kembali. Seluruh tulang mereka telah terhajar hancur oleh tenaga maha dahsyat itu, bagaimana mungkin mereka bisa merangkak bangun? Mereka tewas seketika, tewas tanpa penderitaan sedikit pun. Bong Thian-gak sendiri sempoyongan setelah melancarkan dua buah serangan itu, matanya berkunang-kunang dan kepala amat pening,
560
Pendekar Cacat
hampir saja ia roboh tak sadarkan diri, dadanya menjadi sesak dan tak mampu bernapas. Sungguh suatu penderitaan yang hebat, dia sampai terbungkuk-bungkuk dibuatnya. Jit-kaucu Thay-kun menjerit keras, "Ke ... kenapa kau?" Dengan susah payah dia menggeser tubuh mendekati Bong Thian-gak, sementara air mata bercucuran membasahi wajahnya yang cantik.
Kulit Bong Thian-gak mengencang keras, lalu serunya dengan suara gemetar, "Kau ... kau mundurlah ke sisiku, aku ... aku ... aku sudah lak sanggup mempertahankan diri lagi...." Dalam pada itu orang berkerudung sudah dibuat terpukau dan terkesiap oleh kedahsyatan serangan Bong Thian-gak yang berhasil membunuh kedua anak buahnya dalam sekali pukulan. Dia berdiri tak berkutik, sementara sepasang matanya mengawasi kedua sosok mayat yang tergeletak lemas di tanah tanpa berkedip.
561
Pendekar Cacat
Dia pernah terhajar oleh serangan Bong Thian-gak, dia pernah menyaksikan pula Liok-kaucu terkena pukulannya hingga jatuh dari lengah udara dan sekarang dia menyaksikan pula bagaimana musuh membinasakan kedua pengawal tanpa tanding yang berilmu tinggi ikilam sekali gebrakan saja. Tenaga pukulan yang begitu dahsyat dan mengerikan ini membuat hatinya terkesiap. Mendadak ia menyaksikan penderitaan yang dialami Bong Thian-gak, segera pikirnya dalam hati, "Mungkin dia purapura kesakitan untuk memancing keteledoranku, lalu secara tiba-tiba melancarkan serangan mematikan?"
Oleh karena bersangsi, maka untuk beberapa saat orang itu tak herani berkutik, dia hanya berdiri diam. Thay-kun yang berada di sisinya dapat membaca suara hati orang berkerudung itu, ia memang kuatir orang itu benarbenar melancarkan serangan pada saat demikian. Maka sambil tertawa dingin jengeknya, "Siau Cu-beng, mengapa kau tidak melancarkan seranganmu?" Orang berkerudung tertawa dingin, "Jit-kaucu, berani amat kau menyebut namaku secara langsung?"
562
Pendekar Cacat
"Mengapa tidak? Sekarang aku sudah mengundurkan diri dari Put-gwa-cin-kau, sejak kini semua perbuatan terkutuk dan memalukan yang dilakukan orang-orang Put-gwa-cinkau akan segera terbeber di Bu-lim ...."
Belum selesai dia berkata, segulung angin berhembus membawa segulung bau harum yang aneh, bau harum mirip bau harum bunga anggrek, tapi seperti juga aroma tertentu. Bau harum itu datangnya sedikit aneh, seolah-olah disebarkan dari angkasa hingga permukaan bumi dipenuhi bau harum itu. Bong Thian-gak yang sedang duduk bersila di atas tanah pun ikut menghirup bau itu, hanya saja ia tak menaruh perhatian. Berbeda dengan Thay-kun, paras mukanya segera berubah pucat-pias seperti mayat, sekujur tubuhnya gemetar keras, sementara dari balik matanya memancar rasa kaget, seluruh wajahnya diliputi perasaan ngeri. Siau Cu-beng segera menunjukkan reaksi yang berlawanan, dari balik sorot matanya segera memancar perasaan girang, bangga dan lega.
563
Pendekar Cacat
Pada saat itulah dari tengah kebun bunga tabib sakti Gi Jian-cau telah bertambah dengan sebuah tandu. Tandu yang luar biasa besarnya. Di kedua sisi tandu berdiri dua baris orang, ada lelaki ada pula perempuan, mereka berjumlah dua puluh empat orang, tapi berhubung jaraknya kelewat jauh, apalagi suasana di sekitar tempat itu gelap-gulita, sulit baginya untuk melihat dengan jelas. Padahal Thay-kun dan Siau Cu-beng tak perlu memeriksa lagi juga sudah tahu siapa gerangan yang akan muncul. Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia pun melihat bayangan tandu besar serta bayangan orang itu. Dengan perasaan "Mungkinkah dia?"
bergetar,
keluhnya
dalam
hati,
"Siapakah dia?"
Tentu saja yang dimaksud adalah Cong-kaucu Put-gwa-cinkau. Suasana sekeliling tempat itu sunyi-senyap, sedemikian heningnya sampai-sampai suara Thay-kun yang gemetar keras dapat terdengar dengan jelas.
564
Pendekar Cacat
Pada saat inilah Thay-kun menyadari nasibnya, betapa gawat situasi yang sedang dihadapinya sekarang. Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, yang patut disedihkan adalah Bong Thian-gak bakal mati pula bersama dia. Mendadak terdengar suara lembut berkumandang memecah keheningan.
dan
halus
"Kun-ji, setelah bertemu diriku, mengapa kau malah ketakutan setengah mati?"
Suara lembut itu berasal dari balik tandu, besar di hadapan mereka, bukan saja suaranya lembut bahkan sangat jelas, seakan-akan sedang berbicara berhadapan. Thay-kun yang dipanggil menggigit bibir, dengan suara penuh kebimbangan dia berkata, "Apa yang hendak kau lakukan, silakan saja dilaksanakan atas diriku, bagiku kematian bukan sesuatu yang terlalu menakutkan, dua puluh tahun lagi aku akan muncul kembali sebagai manusia...." "Murid murtad!" tiba-tiba Siau Cu-beng membentak. "Berani kau bicara seperti itu terhadap Cong-kaucu."
565
Pendekar Cacat
Sementara itu suara lembut dan merdu kembali berkumandang, "Kun-ji, kau benar-benar seorang yang lupa budi, sia-sia aku mendidik dan merawatmu selama dua puluh tahun, ai ... perbuatanmu membuat hatiku pedih." Mendadak Thay-kun mendongakkan kepala sambil tertawa terkekeh-kekeh, suaranya penuh dengan kepedihan dan penderitaan. Selesai tertawa, dengan suara dingin ucapnya, "Dua puluh tahun belakangan ini, sudah amat besar pengorbanan yang Thay-kun perbuat untuk membayar budi kebaikanmu itu. Thay-kun merasa sudah tidak berhutang budi lagi kepadamu, sekarang satu-satunya persoalan yang membuatku tak dapat melupakan adalah asal-usulku ... mungkinkah aku adalah putrimu?"
Hingga sekarang Thay-kun masih belum tahu nama marganya, seingatnya dia sudah di sisi Cong-kaucu sejak kecil, tapi dia tahu bahwa dirinya pasti bukan putri perempuan itu. Kendati dia tahu, Thay-kun masih tetap bingung dan kuatir. Tampaknya Cong-kaucu enggan menjelaskan pertanyaan itu, sampai lama sekali belum terdengar juga jawabannya. Dalam pada itu Bong Thian-gak telah bangkit, sambil menepuk bahunya dengan tangan kiri, dia berbisik lirih,
566
Pendekar Cacat
"Sumoay, segala sesuatunya Thian yang menentukan, kematian bukan sesuatu yang mengerikan, aku gembira sekali dapat mati bersamamu."
Sekujur badan Thay-kun gemetar keras, bisiknya kemudian, "Suheng, kau tak boleh mati begitu saja, kau harus membalas dendam, balas dendam bagiku, kau pun harus membalas dendam bagi mereka yang telah dibunuh oleh orang-orang Put-gwa-cin-kau." Bong Thian-gak tertawa pedih. "Nasib kita terlalu tragis, terlalu mengenaskan ...." "Kau kan bisa melarikan diri." "Dengan kondisi sekarang, mustahil! Aku dapat melarikan diri cuma sejauh tujuh langkah!"
Tiba-tiba Thay-kun berbisik lirih, "Di dalam sakuku masih terdapat empat buah butir Tok-liong-wan, pil itu memang sengaja aku sediakan untukmu. Cepat ambil dari dalam sakuku dan telanlah keempat butir itu sekaligus, siapa tahu setelah menelan keempat butir pil itu, kau akan mati seketika, tapi kemungkinan juga akan membangkitkan kekuatan dan hawa murni dalam tubuhmu."
567
Pendekar Cacat
"Aku tahu, meskipun demikian sungguh berbahaya sekali, namun kita harus mencobanya." "Andaikan nasib kita kurang beruntung sehingga setelah menelan Tok-liong-wan ini kau mati, aku pun akan segera menggigit lidahku untuk bunuh diri, aku dapat mati di sisimu. Bila kau beruntung tidak mati, maka kau dapat berusaha menerjang keluar dari kepungan ini, sedangkan aku akan berusaha keras melanjutkan hidup, apabila masih ada harapan, tak nanti kau membiarkan aku begitu saja."
Mendengar ucapan itu, ibarat orang di tengah gurun yang tiba-tiba menemukan air, walaupun harapan itu sedikit sekali, namun Bong Thian-gak dapat merasakan betapa besarnya harapan itu. Perkataan Thay-kun sudah cukup jelas, seandainya dia tidak berbuat demikian, berarti dia mempunyai satu jalan untuk mati. Atau dengan perkataan lain, persoalan sudah gawat, tiada pilihan lain lagi. Maka Bong Thian-gak segera menggeser tangan kirinya ke arah pinggang Thay-kun, kemudian merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar botol obat itu.
Dia tidak ragu-ragu lagi, dengan cepat tutup botol dibuka, lalu hendak menuang seluruh isi botol ke dalam mulutnya.
568
Pendekar Cacat
Belum selesai dia mengerjakan hal itu, tiba-tiba terdengar Cong-kaucu berseru, "Wakil komandan Siau, bunuh dulu yang pria, sedangkan Jit-kaucu akan kuhukum sendiri." Siau Cu-beng bermata jeli, dapat melihat perbuatan Bong Thian-gak, secepat kilat dia melolos pedang pendeknya, kemudian secepat sambaran kilat membacok ke depan. Ilmu silat Siau Cu-beng sudah pernah disaksikan Bong Thian-gak beberapa hari berselang, dia pun tahu jurus pedangnya sangat aneh, ganas dan cepat.
Bahkan beberapa hari yang lalu, karena bersikap kurang waspada, Bong Thian-gak telah merasakan tusukan pedang Siau Cu-beng, apalagi sekarang tangan kirinya sedang meraih obat untuk ditelan, sedang serangan musuh sudah meluncur tiba. Siau Cu-beng memang tak malu disebut seorang berakal busuk, dalam melancarkan sergapannya ini, pedang yang satu menyerang Thay-kun, pedang yang lain menyapu tubuh bagian tengah Bong Thian-gak, sekaligus menutup jalan mundurnya.
Sebenarnya Bong Thian-gak masih dapat melompat mundur menghindar, tetapi dengan demikian Thay-kun pasti akan termakan tusukan pedang itu.
569
Pendekar Cacat
Dalam keadaan gelisah dan cemas, Bong Thian-gak sama sekali tidak menyadari tusukan musuh terhadap Thay-kun hanya serangan tipuan saja. Maka dalam kaget dan cemasnya, Bong Thian-gak menumbuk tubuh Thay-kun dengan sikut kirinya, bersamaan itu pula tangan kanannya melayang ke atas menyampuk pedang musuh yang membabat ke arah urat nadi pergelangan tangan kirinya.
Waktu itu sepasang tangan Thay-kun telah cacat, bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan diri dari sikutan anak muda itu. "Aduh!" Di tengah teriakan kerasnya, tubuh Thay-kun roboh terjengkang. Namun dengan mata terbelalak Thay-kun dapat melihat tusukan pedang Siau Cu-beng yang semula ditujukan ke arahnya itu kini sudah miring ke samping, bahkan secepat kilat membacok ke arah lengan kanan Bong Thian-gak. Waktu itu lengan kanan Bong Thian-gak telah menjadi kaku, untuk bergerak pun tak dapat, apalagi untuk menghadapi perubahan jurus serangan Siau Cu-beng yang dilancarkan dengan begitu cepat, ganas dan berbahaya. Thay-kun menjerit kaget.
570
Pendekar Cacat
Di tengah jeritan itulah, lengan kanan Bong Thian-gak telah terpapas kutung sebatas bahu. Darah segera mengucur dengan derasnya, sedang Bong Thian-gak sendiri pun mundur sejauh tiga langkah dengan sempoyongan. Mimpi pun dia tak menyangka setelah dua buah otot kaki kirinya dikutungi Siau Cu-beng pada tujuh tahun berselang hingga membuatnya pincang, tujuh tahun kemudian dia harus kehilangan lengan kanannya di tangan orang yang sama. Pada hakikatnya keadaannya sekarang tak ubahnya orang cacat.
Dalam gusar dan sedihnya, cepat dia menelan empat butir Tok-liong-wan itu ke dalam mulut, kemudian telapak tangan kiri melepaskan sebuah pukulan dahsyat dari jarak jauh. Selama ini Siau Cu-beng cukup tahu kelihaian ilmu pukulan lawan, dia paling jeri menghadapi serangan maut Bong Thian-gak.
571
Pendekar Cacat
Begitu angin pukulan lawan dilancarkan ke depan, cepat dia menenteng pedangnya melompat ke samping untuk menghindar. Segulung angin pukulan yang amat dahsyat dengan membawa debu dan pasir yang beterbangan di angkasa langsung menyapu ke depan dan menyambar sejauh puluhan kaki. Angin pukulan yang sangat dahsyat itu benar-benar mengerikan, membuat setiap orang bergidik.
Gagal dengan serangannya yang maha dahsyat itu, cahaya sinar pedang Siau Cu-beng segera menyusul tiba, bagaikan dua ekor naga sakti yang terbang di angkasa hebatnya. Pertarungan antara jago lihai, yang diutamakan adalah kelihaian memanfaatkan kesempatan, kali ini terpaksa Bong Thian-gak mundur dari balik kepungan cahaya pedang itu. Darah segar masih bercucuran deras dari lengannya yang kutung itu, kini Bong Thian-gak telah berubah menjadi manusia darah. Thay-kun merasa sakit hati menyaksikan kejadian itu, segera teriaknya keras, "Suheng, kenapa kau tidak melarikan diri saja?"
572
Pendekar Cacat
Meski lengan kanan Bong Thian-gak baru kutung, darah masih bercucuran dengan amat derasnya, namun dia sama sekali tak merasa sakit karena lengannya itu sesungguhnya sudah kaku dan hilang rasa. Sambil mengertak gigi, untuk kesekian kalinya dia melancarkan pukulan menggunakan telapak tangan kiri. Tentu saja Siau Cu-beng tak berani menyambut serangan itu dengan kekerasan.
Kali ini Bong Thian-gak bertindak lebih cerdik, baru saja dia melancarkan pukulan, tubuhnya sudah melompat ke samping Thay-kun, cepat tangan kirinya menyambar tubuh Thay-kun dan memeluknya kencang. Thay-kun tahu pemuda ini hendak mengajaknya kabur, dia tidak membiarkan anak muda itu mewujudkan keinginannya. Setelah melepaskan diri dari pelukan Bong Thian-gak, mendadak gadis itu bergulingan di tanah, teriaknya, "Suheng, bila kau tidak pergi, terpaksa aku menggigit lidah dan bunuh diri lebih dulu."
573
Pendekar Cacat
Suaranya mengenaskan seperti jeritan monyet di selat Wasia atau lolongan serigala di tengah malam, keadaannya sungguh menyeramkan.
Sementara itu Siau Cu-beng telah menerjang maju, kali ini dia mengubah taktik permainan pedangnya, sepasang pedangnya bagaikan dua buah pisau belati melepaskan serangan dengan teknik menggaet, membabat dan menjojoh. Dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan serangan dahsyat. Menghadapi serangan gencar musuh, Bong Thian-gak terdesak hebat hingga tiada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Berada dalam keadaan seperti ini, terpaksa dia harus berkelit sambil mundur berulang-kali.
Tampaknya Cong-kaucu telah mengetahui pemuda ini memiliki kepandaian silat melebihi orang lain, mustahil bagi Siau Cu-beng untuk menaklukkan dirinya. Maka dengan cepat perintahnya, "Dua belas pengawal, cepat bantu wakil komandan Siau membunuh jahanam itu!"
574
Pendekar Cacat
Thay-kun cukup mengetahui ketangguhan kedua belas pengawal lelaki-perempuan di samping tandu Cong-kaucu, kepandaian silat mereka aneh, lihainya bukan kepalang. Dengan perasan cemas dan gelisah, kembali gadis itu berteriak, "Suheng, bila kau tidak pergi, kita akan mati bersama di sini!"
Sementara itu dua belas sosok bayangan orang telah melompati dinding pendek secara beruntun dan menerjang tiba dengan kecepatan luar biasa. "Baik!" seru Bong Thian-gak emosi. "Aku akan pergi! Kau tak boleh mati!" Tampaknya Bong Thian-gak telah berkeputusan, tubuhnya segera meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang, kemudian melompat jauh.
Tapi dua belas sosok bayangan orang yang menerjang tiba itu seperti sudah menduga Bong Thian-gak akan meloloskan diri dari kepungan, maka enam di antara mereka menghadang ke arah selatan, sedang enam sisanya mengepung dari arah utara.
575
Pendekar Cacat
Mereka adalah dua orang perempuan dan seorang laki-laki, yang perempuan bersenjata pedang pendek, sedang yang laki-laki bersenjata tombak panjang. Pengawal bersenjata tombak melancarkan tusukan lebih dahulu. Tusukan itu dilancarkan dengan dahsyat.
Waktu itu Bong Thian-gak sudah bertekad menerjang keluar dari kepungan untuk melarikan diri, tiada ingatan untuk mundur, diiringi bentakan gusar, telapak tangan kirinya segera diayunkan ke depan. Meskipun jurus serangan baru saja dilancarkan, namun hawa pukulan tak berwujud sudah meluncur ke depan dengan cepat.
Pengawal bertombak itu sama sekali tak menyangka musuh bakal melancarkan serangan di saat tombak itu sudah berada di hadapannya, pertarungan ini untuk mengadu jiwa. Asalkan gerak serangan Bong Thian-gak selangkah lebih lambat, sudah pasti dia tak akan lolos dari tusukan tombak itu, tentu saja serangan pukulan pun ada kemungkinan membunuh lawannya.
576
Pendekar Cacat
Hanya saja pengawal bertombak itu sudah melalaikan kecepatan angin pukulan yang dilancarkan Bong Thian-gak.
Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu pengawal itu sudah terkena pukulan tak berwujud hingga tubuh berikut tombak mencelat, tak dapat disangsikan lagi isi perutnya hancur tak keruan. Baru saja serangan itu dilepaskan, sepasang pedang pendek kedua pengawal perempuan sudah menyerang tiba dari kiri dan kanan.
Keadaan Bong Thian-gak kini ibarat binatang buas yang terluka, di antara putaran telapak tangan kirinya, segulung angin pukulan telah meluncur ke depan dan menghajar orang di sebelah kanan, sedangkan kaki kanan menendang orang yang berada di sebelah kiri. Jurus serangan yang digunakan merupakan jurus-jurus tangguh yang jarang ditemui dalam Bu-lim. Benar juga, kedua orang pengawal itu segera menjerit tertahan, kemudian roboh terjengkang di atas tanah.
577
Pendekar Cacat
Ilmu silat yang mengerikan itu menggetarkan hati, dalam waktu singkat beruntun tiga pengawal lelaki perempuan sudah roboh binasa. Saat pembantaian agak terhenti inilah sebilah pedang telah menyusup datang dari arah belakang punggung Bong Thian-gak tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Penyergapnya adalah Siau Cu-beng, hanya dia yang bisa mencapai sasaran dalam waktu singkat. Walau Bong Thian-gak merasakan datangnya serangan pedang itu, sayang tiada kesempatan lagi baginya untuk menghindar, terpaksa dia harus menerjang ke depan dengan sepenuh tenaga. Tahu-tahu pinggang kirinya sudah terasa dingin dan panas. Di atas tubuh Bong Thian-gak telah bertambah dengan sebuah luka memanjang, untung hanya luka ringan, namun darah segera bercucuran dengan derasnya.
Karena terhenti, dua orang pengawal bertombak segera menyerbu, satu dari kiri dan yang lain dari kanan. Bong Thian-gak benar-benar terdesak hebat, sambil mengertak ^igi, pukulan tanpa tandingannya sekali lagi dilontarkan ke depan.
578
Pendekar Cacat
Dimana angin pukulannya menyambar, selalu ada yang roboh in kapar, namun setiap kali Bong Thian-gak berhasil membunuh orang, tubuhnya bertambah pula dengan sebuah tusukan pedang Siau Cu-beng. Secara beruntun Bong Thian-gak telah membinasakan delapan orang pengawal lelaki perempuan, namun tubuhnya pun sudah tidak ada bagian yang utuh. Keadaannya sekarang sudah tidak berwujud manusia lagi, dia lebih mirip sesosok manusia darah, iblis berwajah menyeramkan. Namun semangatnya untuk mempertahankan hidup membuat dia tak sampai roboh.
Pertempuran yang mendebarkan hati masih berlangsung terus, berlangsung dan berkembang dengan hebatnya. Bayangan mereka pun makin lama semakin tertarik jauh di bawah sinar rembulan. Thay-kun yang menyaksikan keberanian serta kenekatan Bong Thian-gak dalam melakukan perlawanan, segera bergumam, "Dia pasti dapat menerjang keluar kepungan, dia pasti dapat hidup lebih jauh ...." Ucapan itu diulang-ulang, sementara air matanya bercucuran membuat pandangan matanya menjadi kabur,
579
Pendekar Cacat
ia tak dapat menyaksikan jalannya pertarungan lagi, tidak mendengar pula suara apa pun. ooOOoo
Cahaya rembulan menyinari tanah perbukitan. Air mengalir deras menyusuri sungai yang meliuk-liuk di antara celah bukit. Di bawah sinar rembulan, tampak sesosok bayangan sedang merangkak di atas jalanan batu di tepi sungai. Dia adalah sesosok manusia darah, hampir sekujur tubuhnya tubuhnya berlepotan darah. Darah sudah hampir mengering dari sekujur tubuhnya, mulut luka yang memenuhi sekujur tubuhnya seperti sarang lebah, sedang mulut luka pada lengan kanannya yang kutung kini sudah tidak nampak darah meleleh.
Setiap orang yang memandang luka-luka itu pasti tak akan percaya kalau dia masih bisa hidup. Benar, dia masih hidup, bahkan sedang merayap di sisi sungai berusaha mencari air.
580
Pendekar Cacat
Namun keadaan tubuhnya yang begitu lemah, membuatnya sukar untuk menggerakkan badannya barang sejengkal.
Dia hanya bisa mencengkeram sebuah batu kecil dengan kelima jari tangan kirinya yang dijulurkan ke depan, bibirnya ternganga lebar penuh noda darah, sementara sepasang matanya mengawasi air sungai tanpa berkedip. Dia sangat haus, luka yang memenuhi seluruh badannya membuat suhu badannya meningkat, dia membutuhkan air untuk menghilangkan dahaganya, namun dia telah kehabisan tenaga untuk maju. Akhirnya dia putus-asa, dia tahu ajalnya sudah berada di depan mata, segala macam penderitaan tak akan menyiksa dirinya lagi.
Berada dalam keadaan dan situasi seperti ini, dia tidak terpengaruh oleh perasaan benci dan dendam, dia pun tak terpengaruh oleh napsu atau angkara murka. Dia hanya tahu kelima jari tangan kirinya makin melemas, matanya semakin kabur dan berat.
581
Pendekar Cacat
Di saat yang kritis inilah mendadak telinganya seperti menangkap serangkaian irama nyanyian yang merdu lincah dan penuh gairah. Bong Thian-gak tahu dirinya sudah hampir mencapai suatu dunia yang lain, entah neraka, entah surga. "Ah, mungkin inilah nirwana, kalau tidak, mengapa terdengar suara nyanyian yang merdu merayu." Suara nyanyian itu kian lama kian bertambah dekat, namun suara itu makin lama semakin lemah dan samar-samar. Kejernihan otaknya makin lama semakin membuyar. Tak selang lama kemudian, dari ujung sungai sana benarbenar muncul seorang gadis berjalan mendekat.
Sambil membawakan nyanyian yang merdu dan penuh gembira, dia berjalan menyusuri sungai dan menuju ke arah pemuda itu. Meendadak ia menjerit kaget. Ternyata dia telah menyaksikan Bong Thian-gak dengan sekujur tubuhnya yang penuh berlepotan darah, sepanjang hidupnya belum pernah ia jumpai darah sebanyak ini, maka saking kaget dan cemasnya, sekujur tubuhnya gemetar keras.
582
Pendekar Cacat
Bila suatu ketika menemukan sesosok tubuh manusia yang bermandikan darah di tengah hutan belantara yang jauh dari keramaian, siapakah yang tak terperanjat? Jangankan seorang yang bernyali kecil, betapa pun besarnya nyali seorang, akan dibikin ketakutan setengah mati, apalagi seorang gadis muda. Tanpa banyak bicara, gadis itu membalikkan badan dan segera melarikan diri.
Namun baru berlari empat-lima langkah, dia menghentikan langkahnya, kemudian pelan-pelan berpaling memandang tubuh Bong Thian-gak yang tak berkutik. "Dia kan manusia ...." gumamnya, "mengapa aku harus takut...." Setelah merasa yakin yang dihadapinya adalah manusia, perasaan takutnya sedikit berkurang, bahkan pelan-pelan dia menghampiri Bong Thian-gak. Kejernihan pikiran Bong Thian-gak waktu itu sudah mulai pudar, sekali pun dia tahu ada orang sedang menghampirinya, namun dia sama sekali tidak punya kekuatan untuk membuka mata, apalagi kekuatan untuk bicara.
583
Pendekar Cacat
Gadis itu membelalakkan matanya yang jeli, setelah mengawasi tubuh Bong Thian-gak, ia lihat pemuda itu masih bernapas. Maka sambil menghela napas, gumamnya, "Begini parah luka yang diderita orang ini, apakah dia masih bisa hidup." Dia lantas berjongkok sambil memegang jidat Bong Thiangak, namun dengan terperanjat serunya, "Ah, panas sekali tubuhnya." Bila panas, air dingin bisa menghilangkan panas itu, inilah cara kuno untuk menurunkan suhu panas tubuh manusia. Dengan cepat gadis itu mengambil sapu-tangannya, setelah direndam air sungai segera ditempelkan ke atas jidat Bong Thian-gak. Sebenarnya kesadaran Bong Thian-gak sudah mulai memudar, namun memperoleh rangsangan air dingin itu, sekujur tubuhnya segera bergetar dan pikirannya pun jernih kembali. "Air ... air ...." serunya lirih. Walaupun dia mencoba berteriak, sesungguhnya tiada sedikit suara pun yang terdengar.
584
Pendekar Cacat
Gadis itu pun dapat menyaksikan bibir orang bergetar, namun dia tak tahu apa yang diucapkan olehnya, dia hanya menunggu hingga sapu-tangan itu menjadi panas dan segera direndam kembali ke dalam air, lalu setelah saputangan itu menjadi dingin, dia pun menempelkan pada jidatnya kembali. Akhirnya Bong Thian-gak dapat berbisik lirih, "Air ... air ...." Gadis itu berseru tertahan, dengan cepat dia berjalan menuju ke sungai, digayungnya segenggam air, kemudian dengan hati-hati sekali mengalirkan air ke mulut si pemuda melalui celah-celah jari tangannya. "Aku haus ... aku haus sekali... air ... air ...." Suara teriakan Bong Thian-gak makin lama semakin keras. Dengan cepat gadis itu menggayung air lagi dengan telapak tangannya dan mengalirkan ke mulut pemuda itu.
Demikian seterusnya hingga tujuh kali sebelum akhirnya pelan-pelan Bong Thian-gak membuka matanya. Waktu itu kentongan kelima sudah lewat, dari ufuk timur muncul cahaya keemas-emasan, namun suasana dalam lembah itu masih agak redup dan samar-samar, namun secara lamat-lamat masih dapat melihat keadaan di sekitarnya.
585
Pendekar Cacat
Pemuda itu tahu gadis muda itulah yang telah menyelamatkan jiwanya, dia memakai baju tipis berwarna biru. "Nona ... kau ... kaukah yang telah menyelamatkan jiwaku." "Ssst! Jangan bicara dulu, parah sekali lukamu," cepat si nona menukas dengan suaranya yang merdu.
Sembari berkata, gadis itu kembali mencelupkan saputangannya ke sungai, kemudian mengompres kembali jidat anak muda itu. Lambat-laun hari semakin terang, kini si nona dapat melihat jelas keadaan luka di sekujur tubuh Bong Thian-gak. Menyaksikan semua itu, si gadis terbungkam saking terperanjat, tanpa terasa dia membatin, "Ah, mana mungkin dia dapat hidup dalam keadaan semacam ini? Benar-benar suatu kejadian yang luar biasa?" Kini kesadaran Bong Thian-gak benar-benar telah jernih, dengan penuh rasa terima kasih katanya, "Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu, andai aku dapat hidup lebih lanjut, budi kebaikanmu ini pasti akan kubalas." "Kau telah berkelahi dengan orang?" tanya si nona lembut.
586
Pendekar Cacat
"Ai, orang-orang Put-gwa-cin-kau hendak membunuhku," sahut Bong Thian-gak dengan menghela napas panjang. "Apa itu Put-gwa-cin-kau?" si nona membelalakkan mata.
Segera Bong Thian-gak sadar dia sedang berhadapan dengan seorang gadis biasa, yang sama sekali tidak mengenal dunia persilatan. Maka sembari menghela napas, katanya kemudian, "Bila lukaku telah sembuh nanti, pasti akan kuceritakan semua kejadian yang sebenarnya kepadamu." "Aku berdiam dalam lembah sana dekat air terjun, bagaimana kalau kau merawat lukanmu di gubukku saja?" "Mungkin hidupku tak akan lama lagi," suara Bong Thiangak agak pilu. "Kau pasti dapat hidup terus," hibur si nona dengan suara lembut. "Aku tahu kau amat kuat dan gagah, kalau tidak, dengan luka yang begini parah, kau pasti sudah tewas sejak tadi."
Dengan cepat Bong Thian-gak menggeleng.
587
Pendekar Cacat
"Aku bukan hanya menderita luka bacokan di sekujur tubuhku, namun juga keracunan." Begitu mendengar tentang keracunan, gadis itu berseru pelan, "Ah, orang tuaku pun ajal karena keracunan." Sampai di situ, mata gadis itu pun memerah, hampir saja air matanya jatuh bercucuran. Agak tertegun Bong Thian-gak oleh ucapan itu, cepat dia bertanya, "Orang tuamu telah meninggal? Lantas kau tinggal bersama siapa?" "Sejak tiga tahun lalu, ketika kedua orang tuaku meninggal, aku tinggal seorang diri di tempat ini."
Bong Thian-gak makin terharu mendengar ucapan itu, seorang gadis yang lemah ternyata berdiam seorang diri di tengah lembah yang jauh dari keramaian, sungguh kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang aneh. Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, namun dia dapal hidup menyendiri di sana. Bong Thian-gak tidak ingin memikirkan hal itu, segera sahutnya, "Bila nona bersedia menerimaku, untuk sementara waktu aku akan berteduh di rumahmu."
588
Pendekar Cacat
Gadis itu gembira sekali, dengan cepat dia berseru, "Aku merana kesepian hidup seorang diri di sini, bila kau bersedia menemaniku, hal ini memang jauh lebih baik." Tanpa mengindahkan darah yang mengotori sekujur tubuh Bong Thian-gak, ia segera memapah tubuh pemuda itu, kemudian mereka pelan-pelan berjalan menuju ke arah utara. Sebuah air terjun yang mengalir dari sembilan puncak, pelan-pelan memuntahkan airnya ke dasar lembah yang dalam. Air mengalir mengikuti sebuah sungai yang berliku-liku dan membentang jauh ke depan. Di tepi sungai di sebelah kiri air terjun, berdiri tiga buah gubuk. Dalam gubuk itu, berdiamlah seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang lelaki adalah pemuda berlengan buntung, berkaki pincang dan berwajah tampan, hanya sayang wajahnya agak pucat. Sedang yang perempuan adalah seorang nona berkulit putih dan berwajah cantik. Setiap hari selain menebang kayu mencari kayu bakar, pemuda berlengan tunggal berkaki pincang itu
589
Pendekar Cacat
menghabiskan sebagian besar waktunya duduk melamun di atas batu karang di tepi air terjun. Selama tiga tahun ini siang-malam dia selalu duduk menyendiri, entah apa saja yang sedang dipikirkan olehnya? Senja ini pemuda berlengan tunggal itu kembali duduk bersila di atas batu karang sambil memejamkan mata memikirkan sesuatu. Mendadak pemuda cacat itu menggerakkan lengan kirinya bagaikan kerasukan setan, gerakan itu dilakukan ke arah air terjun itu. Seandainya di situ hadir jago persilatan, niscaya akan terperanjat menyaksikan tingkah-laku si anak muda itu. Ternyata setiap pukulan, setiap bacokan, totokan jari maupun ««-ngkeraman yang dilancarkan pemuda cacat itu hampir semuanya mengandung jurus yang tiada-taranya. Selain jurus serangan maha dahsyat yang dilancarkan pemuda itu sangat banyak, tenaga dalamnya pun sangat mengerikan, setiap terkena pukulannya, air terjun yang sedang muntah ke bawah, selalu arah arusnya berubah dari posisi semula. Ada kalanya air yang mengalir terpotong menjadi dua, ada kalanya muncul ruang di balik air terjun itu. Pukulan tak
590
Pendekar Cacat
berwujud yang dilancarkan olehnya bisa mengendalikan curah air terjun di hadapannya. Tenaga dalam semacam ini pada hakikatnya mengerikan. Tiba-tiba suara pekikan nyaring menggema memecah keheningan, pemuda itu melompat bangun dari atas batu karang, tahu-tahu pada genggaman tangan kirinya telah bertambah dengan sebilah pedang kayu. Tubuhnya melejit ke udara, kemudian menerjang ke arah air terjun itu. Dalam waktu singkat pemuda itu telah melancarkan tujuh buah bacokan berantai dengan menggunakan pedang kayunya, memainkan tujuh jurus serangan yang berbeda. Kemudian dalam waktu singkat dia telah melayang kembali ke atas batu karang. Ia dengan cepat mengangkat pedangnya dan memandang sekejap pedang kayunya itu. Memang sukar untuk dipercaya, ternyata pedang kayunya itu sama sekali tidak terkena percikan air. Tadi jelas pemuda cacat itu telah melancarkan tujuh buah bacokan kilat ke arah air terjun itu, namun kenyataan pedang kayu itu sama sekali tidak basah oleh butiran air yang memercik, dari sini dapat diketahui betapa cepatnya serangan pedang yang dilancarkan pemuda itu.
591
Pendekar Cacat
Sedemikian cepatnya hingga pada hakikatnya kecepatannya tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Tatkala pemuda cacat itu tidak menemukan bekas air di atas kayunya, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya yang tampak pucat-pias. Itulah senyuman penuh kegembiraan dan kepuasan. Selama tiga tahun memeras otak, akhirnya dia berhasil memahami ilmu pukulan yang maha dahsyat. Kedua macam kepandaian sakti itu berhasil dipahami olehnya sesudah lengannya kutung dan hidup terpencil di lembah itu, dengan dasar tenaga Tat-mo-khi-kang dari Siaulim-pay tingkat sepuluh sebagai dasar kekuatan yang dikombinasikan dengan ilmu sakti berbagai perguruan, ia berhasil menciptakan kepandaian sakti itu. Selama tiga tahun berjuang berlatih dengan rajin dan tekun, akhirnya dia berhasil, perjuangannya selama ini tidak sia-sia, ia merasa amat puas. Tapi saat itulah si gadis berdiri di belakangnya dengan wajah termangu, dari balik matanya yang jeli nampak dua baris air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya. Pemuda cacat itu menarik kembali pedang kayunya, lalu membalikkan badan, tiba-tiba saja dia lihat gadis itu berdiri di situ.
592
Pendekar Cacat
"Siau-hui, kau menangis?" kata pemuda cacat itu dengan suara pilu dan menghela napas sedih. Dengan cepat nona baju biru itu menyeka air mata yang membasahi pipinya, kemudian berkata dengan lembut, "Bong-toako, aku tidak menangis." Selama tiga tahun, beratus-ratus kali Bong Thian-gak menyaksikan gadis itu diam-diam melelehkan air mata, namun setiap kali dia selalu mengatakan dirinya tidak menangis. Mengapa dia menangis? Tentu saja Bong Thian-gak mengetahui perasaan gadis itu, namun dia hanya bisa menghela napas secara diam-diam, lalu menghibur dan membujuknya dengan nada seorang kakak yang mencintai adik perempuannya. Bong Thian-gak turun dari batu cadas itu, lalu merangkul bahunya dengan mesra, bisiknya lembut, "Leng-hui, nasinya sudah matang?" "Sudah! Aku memang hendak memanggilmu untuk bersantap," sahut si nona tersenyum manis. Sambil berpelukan mesra, pelan-pelan mereka berdua berjalan menuju ke gubuk. Malam telah menyelimuti seluruh jagad, terutama di dalam lembah yang terpencil itu.
593
Pendekar Cacat
Di ruang tengah gubuk itu nampak lentera telah disulut, di atas sebuah meja nampak dihidangkan empat macam sayur, dua macam ayam dan bakpao. Kecuali hidangan itu, di atas meja tersedia tiga botol arak wangi. Menyaksikan botol arak di meja, Bong Thian-gak nampak tertegun, lalu sambil berpaling dan memandang sekejap ke arah si nona, tanyanya, "Leng-hui, darimana datangnya arak?" Selama tiga tahun ia berdiam di situ, belum pernah dijumpai ada arak di situ, tentu saja dia pun tak pernah mengendus bau arak. "Arak itu peninggalan orang tuaku enam tahun lalu," kata Song Leng-hui. "Ayahku selalu menyimpan arak di gudang bawah tanah, besok kau hendak pergi meninggalkan aku, maka malam ini aku hendak mengantar kepergianmu." Walaupun ucapan itu diutarakan dengan menahan gejolak perasaan dan emosi, namun ketika sampai pada ucapan yang terakhir, suaranya terdengar agak gemetar.
Bong Thian-gak menghela napas sedih.
594
Pendekar Cacat
"Aku pasti akan balik kemari, aku tak akan membiarkan kau hidup sebatang-kara di tengah bukit yang terpencil ini." Song Leng-hui tersenyum. "Di saat Toako datang kemari, kau telah menentukan pula akan pergi meninggalkan tempat ini, tiada perjamuan di dunia ini yang tak bubar, apalagi hanya perpisahan sementara waktu?" Walau hatinya merasa kacau, namun Song Leng-hui berusaha mengendalikan diri. Dia tahu, bagaimana pun juga dia tak mungkin bisa menahan Bong Thian-gak di sana, lantas buat apa dia mesti banyak bicara?
Tapi sikapnya yang berbeda itu membuat Bong Thian-gak merasa lebih sedih dan menderita. Selama tiga tahun, siang-malam mereka hidup bersama, dalam hati Bong Thian-gak, Song Leng-hui sudah menempati posisi yang kuat dan tak bisa diganggu gugat lagi, sesungguhnya dia bukannya tak mencintainya, tetapi tak berani untuk mencintai dirinya. Dalam hatinya, Song Leng-hui adalah bidadari, gadis suci bersih.
595
Pendekar Cacat
Ia belum dijangkiti kebiasan jelek dari masyarakat, dia nampak begitu suci, bersih dan menawan hati. Oleh sebab itu Bong Thian-gak selalu menganggapnya seperti adik kandung sendiri, ia tidak berani mempunyai pikiran sesat terhadap dirinya.
Sebab dia tahu dirinya tak lebih hanya seorang tukang silat kasar, dia hanya manusia yang sepanjang hidupnya luntang-lantung dalam Bu-lim, berduel dengan malaikat elmaut, dia tak pantas untuk mencintai gadis suci itu. Karena bila dia sampai mencintainya, maka hal ini sama artinya dengan menyia-nyiakan dirinya, mencelakai dirinya, maka dia hanya berusaha keras mengendalikan perasaannya itu dan tidak membiarkan berkembang.
Seandainya Bong Thian-gak boleh memilih di antara tiga gadis yang pernah dijumpainya selama hidup, yakni Oh Cian-giok, Thay-kun dan Song Leng-hui, maka orang yang tak dapat dilupakan olehnya adalah Song Leng-hui. Dia tak pernah belajar ilmu silat, dia tidak mempunyai kebiasaan jelek, dia nampak begitu lembut, begitu halus, tenang, luwes dan cantik.
596
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak merasakan darah yang menggelora dalam dadanya bergolak keras, katanya, "Siau-hui, aku ... aku akan mengajakmu keluar dari tempat ini!"
Sudah berulang kali dia mengucapkan kata-kata itu, akan tetapi setiap kali Song Leng-hui selalu menggeleng kepala sambil berkata, "Aku lelah bersumpah tak akan meninggalkan pusara orang tuaku untuk selamanya, lagi pula kehadiranku di sisimu hanya akan menyusahkan dirimu saja, aku tahu sepeninggalmu dari sini, kau akan membunuh banyak orang jahat. Memang bagi seorang lelaki yang berlatih silat lempat bergeraknya adalah dunia persilatan, sudah sewajarnya bila melakukan suatu pekerjaan besar." "Pergilah, aku akan tetap menantimu hingga kau kembali," kata Song Leng-hui sambil memenuhi cawan Bong Thiangak dengan arak, sedangkan dia sendiri pun memenuhi cawan sendiri dengan arak. Setelah itu, sambil mengangkat cawan araknya dia berkata, Semoga Toako sehat walafiat selalu." Selesai berkata, gadis itu segera meneguk habis cawannya.
Bong Thian-gak pun segera meneguk cawannya sendiri.
597
Pendekar Cacat
Arak itu harum baunya, tak salah kalau dikatakan arak bagus. Di luar ruangan hanya suara pohon cemara yang terhembus angin dan suara air terjun. Cahaya lentera yang redup menyoroti wajah sepasang muda-mudi yang merah membara itu. Besar sekali takaran minum Song Leng-hui, cawan demi cawan dia menemani Bong Thian-gak meneguk habis arak di hadapannya, hawa arak telah membuat wajahnya menjadi merah membara, namun justru karena itu dia jauh nampak lebih cantik dan menarik.
Waktu itu Bong Thian-gak sedang diliputi perasaan murung dan duka, arak memang merupakan kebutuhan yang penting dalam suasana seperti ini, dia hendak menggunakan arak untuk menghilangkan kemurungannya, namun kemurungan serasa makin bertambah, dia ingin menggunakan arak untuk membuatnya mabuk, apa mau dikata dia justru tak pernah menjadi mabuk.
Sementara itu Song Leng-hui telah bergeser duduk di sampingnya, lalu dengan suara manja bisiknya, "Toako, kau harus kembali dengan cepat, karena aku ... aku telah menjadi milikmu untuk selamanya."
598
Pendekar Cacat
Sudah tiga tahun lamanya dia menyimpan ucapan ini dalam hati, baru hari ini dapat diutarakan. Arak memang racun yang mudah mengacaukan jalan pikiran orang, apalagi tiga botol arak sekaligus, dengan cepat arak itu berubah menjadi obat perangsang cinta yang amat kuat. Ketika Song Leng-hui bergeser dan duduk di sampingnya, pemuda itu segera mengendus bau harum khas seorang gadis. Akhirnya Bong Thian-gak tak mampu mengendalikan gejolak hawa panas dalam tubuhnya lagi, tak tahan dia segera merangkul gadis itu dan memeluknya kencang. "Ehm!" Song Leng-hui mengerang lirih, seluruh tubuhnya segera dijatuhkan ke dalam pelukannya. Ketika rambutnya yang halus menempel di leher Bong Thian-gak, segera timbul perasaan gatal yang aneh.
Bong Thian-gak semakin tak sanggup mengendalikan gejolak perasaannya lagi, dengan cepat dia menundukkan kepala, mencium pipinya yang putih dan halus dengan hangat penuh kemesraan. Tampaknya malam ini Song Leng-hui telah mengambil keputusan untuk....
599
Pendekar Cacat
Dia membalikkan tubuh, kemudian balas memeluk tubuh Bong Thian-gak dengan hangat, bibirnya yang merah membalas ciuman pemuda itu dan menghisap lidah Bong Thian-gak dengan lembutnya. Perasaan mereka seakan hendak melompat keluar dari rongga dadanya, sukma mereka seakan-akan membumbung tinggi ke udara.
Selama tiga tahun terakhir ini, baru pertama kali ini mereka berdua berpelukan sambil berciuman dengan mesra, dan ciuman itupun merupakan ciuman pertama, mereka belum tahu apakah itu mesra, manis, hangat ataukah gembira. Udara serasa berputar, bumi bagaikan berguncang, mereka lupa apa akibatnya, lebih-lebih tak mengerti apa yang dinamakan menjaga batas kesopanan. Napas Bong Thian-gak mulai memburu, dia memeluk tubuh si gadis dengan semakin bernapsu. Akhirnya Song Leng-hui berbisik lirih, "Toako, apa yang ingin kau lakukan, lakukanlah sekehendak hatimu, aku sudah menjadi milikmu, seluruh tubuhku adalah milikmu."
Arak telah membuat Bong Thian-gak melupakan segalagalanya, dia mulai melangkah menuju ke tempat tidur.
600
Pendekar Cacat
Di sanalah terletak kamar tidur Song Leng-hui, tampaknya gadis itu sudah mempersiapkan segalanya, seprei, kasur, bantal, dan kelambu lelah diatur dengan bersih dan menyenangkan. Bong Thian-gak membaringkan tubuhnya di atas pembaringan, sedang Song Leng-hui seakan-akan sudah kaku pikirannya, dia memeluk lubuh Bong Thian-gak eraterat dan menarik pemuda itu sehingga bergulingan di atas pembaringan.
Kini pakaian yang dikenakan Song Leng-hui sudah terlepas, kulit badannya yang putih halus bagaikan salju, setengah terlihat setengah tersembunyi di balik pakaian dalamnya. Gemetar keras seluruh tubuh Song Leng-hui, mendadak dia mulai merintih, "Oh, Toako ... kau ... kau cepatlah." Berada dalam keadaan seperti itu, sekalipun Bong Thiangak berada dalam keadaan sadar pun, tak nanti bisa mengendalikan diri. Apalagi sekarang pengaruh alkohol sudah menguasai kesadaran biaknya dan lambat-laun mengobarkan api napsu birahinya yang makin memuncak. Dengan penuh kegarangan dan kebuasan, Bong Thian-gak menerkam ke depan dan menindih tubuh gadis itu.
601
Pendekar Cacat
Rintihan lirih dan dengusan napas berdesis dari bibir Song Leng-hui yang mungil.
Tentu saja kegembiraan dan kenikmatan telah menghilangkan seluruh rasa sakit dan perih yang dirasakan olehnya. Hujan badai pun segera datang menderu-deru dan menyapu seluruh jagat. Cahaya lentera berkedip dimainkan angin dan memercikkan setitik cahaya menerangi sebuah pembaringan. Titik-titik noda merah memercik di atas seprei berwarna putih dan menciptakan aneka bunga yang sangat indah. Bong Thian-gak membelalakkan mata mengawasi tubuh Song Leng-hui yang bugil dan indah itu dengan termangu.
Pengaruh alkohol yang mempengaruhi benaknya telah hilang sebagian besar, sekarang dia sedang menyesal, mengapa dia secara keji harus merenggut kesucian tubuh gadis itu, yang sudah dipertahankan selama dua puluh tahun.
602
Pendekar Cacat
Song Leng-hui tidak menyesal, juga tidak malu, sesudah menghela napas sedih, ujarnya, "Toako, kau jangan bersedih, asalkan mencintaiku sesungguh hati, cepat atau lambat kita akan mengalami juga malam pertama seperti ini, aku takut kau tak akan kembali lagi untuk selamanya, maka aku telah bertekad mempersembahkan kesucian tubuhku padamu malam ini juga. Kau tak usah memikirkan persoalan ini, cukup kau ingat saja kalau di tengah sebuah lembah yang terpencil masih ada seorang gadis bernama Song Leng-hui yang setiap saat mengharapkan kembalinya dirimu, asal kau ingat hal itu, sudah lebih dari cukup!" Bong Thian-gak ingin menangis, namun tak bisa mengeluarkan suara, tiba-tiba dia menubruk ke badan Song Leng-hui dan berkata lirih, "Siau-hui, mengapa kau berbuat begini? Mengapa kau harus berbuat begini? Aku ... aku merasa telah berbuat salah kepadamu, cinta kasih yang kau berikan untukku tak nanti bisa kubalas untuk selamanya." Song Leng-hui memeluk tubuh Bong Thian-gak dengan mesra dan membelai lengannya yang kutung dengan penuh kasih sayang, lalu katanya lembut, "Setelah kepergianmu besok, kau harus baik-baik menjaga dirimu, kau sudah menjadi orang cacat, aku tahu kepandaian silatmu tinggi, namun di Bu-lim masih terdapat banyak persoalan yang tak dapat diselesaikan dengan mengandalkan kepandaian silat." Keadaan Song Leng-hui sekarang bagaikan ibu yang penuh kasih sayang menasehati anaknya yang hendak pergi jauh.
603
Pendekar Cacat
Tiga tahun bukan jangka waktu yang pendek, dunia persilatan yang luas bagaikan awan di angkasa, berbagai perubahan sudah terjadi selama tiga tahun ini, bahkan boleh dibilang perubahan yang amat besar. Sejak Bong Thian-gak lenyap dari dunia persilatan, Put-gwacin-kau, perkumpulan rahasia yang amat besar itu turut lenyap dari keramaian dunia persilatan. Menyusul hilangnya perkumpulan itu, nama besar Kay-pang dan Hiat-kiam-bun pun semakin menanjak dalam Bu-lim. Kay-pang adalah perkumpulan yang mempunyai sejarah paling lama di Bu-lim, cara kerja mereka antara jalan lurus dan sesat, konon ketuanya adalah seorang yang sangat lihai dan luar biasa. Siapakah ketua Kay-pang? Tak seorang pun tahu. Namun pedang milik ketua pengemis pernah menggidikkan hati setiap jago dunia persilatan. Menurut kabar, sebab-musabab menghilangnya Put-gwacin-kau dari dunia persilatan akibat kelihaian pedang ketua Kay-pang. Hiat-kiam-bun (Perkumpulan pedang darah) adalah perguruan yang amat rahasia, keji dan buas. Gerak-gerik mereka di Bu-lim selalu dibarengi dengan pembunuhan berdarah.
604
Pendekar Cacat
Siapakah ketua Hiat-kiam-bun? Tentu saja lebih-lebih tiada orang yang tahu dengan jelas. Para jago dari sembilan partai besar yang berkumpul dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong pun sejak tiga tahun lalu sudah membubarkan diri. Bubarnya persekutuan dunia persilatan ini aneh sekali, konon dalam satu malam saja segenap anggota yang berada dalam gedung itu lenyap, mati hidupnya sampai kini masih teka-teki. Peristiwa itu berlangsung tiga tahun berselang. Tiga bulan terakhir ini di Bu-lim lagi-lagi muncul dua peristiwa yang menggetarkan sukma. Kedua peristiwa itu menyangkut seorang laki dan seorang wanita. Yang perempuan adalah iblis yang berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan. Wajahnya yang begitu cantik dan menawan, pada hakikatnya banyak sudah lelaki yang dipikatnya, bahkan perempuan itu bersedia digauli semalam suntuk, cuma esok harinya lelaki itu ditemukan tewas. Dalam tiga bulan belakangan ini sering tersiar berita tentang ditemukannya jenazah lelaki yang terkapar dengan telanjang bulat.
605
Pendekar Cacat
Sebaliknya yang lelaki berilmu sangat tinggi, selama tiga bulan terakhir ini sudah ada seratus orang lebih yang kalah di tangannya. Kelihaian lelaki itu konon melebihi kedahsyatan Mo-kiamsin-kun To Tian-seng yang pernah menggetarkan dunia persilatan puluhan tahun lalu. Asalkan pedangnya sudah dilolos dari sarungnya, tak pernah ada korban yang dibiarkan hidup. Namun jago pedang yang muncul ini punya sedikit perbedaan dengan Mo-kiam-sin-kun To Tian-seng, karena pedang yang tersoreng di pinggangnya bukanlah pedang mustika, melainkan pedang kayu tumpul, bahkan jago pedang itu seorang cacat, berlengan tunggal dan pincang. *** Musim gugur sudah tiba, daun kering berguguran terhembus angin kencang. Seekor kuda ras Mongolia yang tinggi besar pelan-pelan berjalan menelusuri jalan raya ibukoTa, penunggangnya adalah seorang pemuda berwajah pucat dan berlengan kanan kosong, agaknya seorang yang belum lama kehilangan lengannya. Lelaki itu menjalankan kudanya ke bawah pohon di tepi jalan.
606
Pendekar Cacat
Rupanya waktu itu dari depan sana telah muncul empat ekor kuda yang dilarikan kencang, lelaki cacat itu kuatir kudanya tertumbuk, dia menyingkir ke samping. Tatkala empat ekor kuda itu sampai di hadapan lelaki cacat itu, mendadak mereka menarik tali kudanya secara serentak. Penunggangnya adalah tiga orang lelaki dan seorang gadis. Yang pria adalah Kongcu-kongcu tampan yang menyoreng pedang di punggungnya. Sedang yang perempuan berparas cantik genit dan mengenakan baju merah menyala, dia pun menyoreng sepasang pedang di punggung. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda, ketiga pria dan seorang gadis ini memiliki kepandaian silat yang lumayan. Mereka berdiri berjajar di tengah jalan, persis menghadang jalan lelaki cacat itu. Salah seorang Kongcu yang berparas kurus dan mempunyai tahi lalat di wajahnya tertawa terbahak-bahak, kemudian sembari menjura tegurnya, "Bolehkah aku tahu, apakah kau Jian-ciat-suseng (Sastrawan cacat)?" Pria cacat itu tersenyum, "Tidak berani, tidak berani, tampaknya kalian berempat adalah Hui-eng-su-kiam
607
Pendekar Cacat
(Empat pedang unggas terbang) yang namanya telah menggetarkan wilayah Kanglam." Lelaki kurus bertahi lalat itu kembali tertawa tergelak, "Tajam benar pandangan saudara, hahaha, tiga bulan terakhir ini dunia persilatan telah dihebohkan oleh nama besarmu, hal ini membuat kami Hui-eng-su-kiam merasa risau dan tak enak sendiri, itu sebabnya malam ini aku ingin menantang kau berduel!" "Berduel untuk mambuktikan siapa lebih unggul bukanlah suatu peristiwa luar biasa, cuma sayang malam ini aku tidak ada waktu, maka seandainya kalian Hui-eng-su-kiam ingin mencoba kepandaian silatku, tak ada salahnya dicoba sekarang!" kata Jian-ciat-suseng hambar. Mendengar perkataan itu, si nona berkerut kening, lalu bentaknya penuh gusar, "Manusia cacat, besar amat lagakmu, orang lain boleh takut kepadamu, tapi kami Huieng-su-kiam tak takut menghadapi dirimu." Jian-ciat-suseng tertawa. "Di antara empat pedang unggas terbang, aku dengar terdapat seorang yang bernama Hwe-im-eng (Burung api), wataknya konon serupa dengan julukannya, mungkin nonalah yang dimaksud?" Di wilayah Kanglam, nama besar Hui-eng-su-kiam memang sangat termasyhur, setiap jago dari berbagai perguruan yang bertemu dengan mereka pasti akan menyebut Siauhiap atau Lihiap untuk menghormati mereka.
608
Pendekar Cacat
Mimpi pun tak menyangka Jian-ciat-suseng tidak memandang sebelah mata pun kepada mereka, betapa gusarnya mereka menyaksikan kenyataan itu, terutama Burung api Yu Hong-hong yang dasarnya memang sombong, tinggi hati dan berangasan. "Tutup mulut!" bentaknya nyaring. "Nama besar nonamu bukan sembarangan orang boleh menyebut, apalagi manusia cacat seperti kau." Tiba-tiba Jian-ciat-suseng menarik muka dan menegur, "Nona, watak berangasan dan jahatmu harus mulai diubah, jika kau tak mampu mengubah diri, niscaya usiamu tak akan panjang." Yu Hong-hong tertawa dingin. "Hehehe, aku justru ingin tahu usia siapa yang tak panjang. Manusia cacat, cepat lolos pedangmu, nona ingin memberi pelajaran setimpal padamu." Sementara berbicara, Yu Hong-hong telah melolos sepasang pedang pendeknya dan siap melancarkan serangan. Dengan suara hambar Jian-ciat-suseng berkata, "Begitu pedangku ini terlolos dari sarungnya, kepala manusia tentu akan menggelinding, aku tahu kalian Hui-eng-su-kiam cuma manusia berdarah panas yang ingin mencari nama, perbuatan kalian belum terhitung jahat."
609
Pendekar Cacat
Belum selesai dia berkata, sepasang kaki Yu Hong-hong sudah menjejak perut kudanya dan secepat kilat menerjang ke arah Jian-ciat-suseng. Jian-ciat-suseng masih tetap duduk di atas pelana sekokoh batu karang, bergerak sedikit pun tidak. Yu Hong-hong benar-benar merasa gusar sekali, sepasang pedangnya seperti dua naga yang muncul dari air, langsung mengancam dua jalan darah mematikan di tubuh Jian-ciatsuseng, sedemikian cepatnya serangan itu sehingga tak malu disebut jagoan kelas satu. Jian-ciat-suseng sama sekali tak berkutik, lengan kanannya yang kosong tiba-tiba dikebaskan ke muka dan memelintir sepasang tangan Yu Hong-hong. Yu Hong-hong membentak gusar, "Belum tentu kungfumu sangat hebat!" Rupanya jurus serangan Siang-liong-jut-cui (Sepasang naga keluar dari air) yang dipergunakan Yu Hong-hong adalah serangan tipuan, di tengah bentakan nyaring, sepasang pergelangan tangannya merendah ke bawah, pedangnya seperti naga sakti membentuk gerakan setengah lingkaran dan menciptakan beribu titik bintang di angkasa, seperti tusukan seperti pula bacokan dia menyerang Jian-ciatsuseng. Kali ini Jian-ciat-suseng tidak bergerak sama sekali, ujung lengan baju kanannya yang kosong pun tak berkutik,
610
Pendekar Cacat
sepasang pedang Yu Hong-hong secepat sambaran petir langsung menerobos masuk. Tiga orang lainnya yang menyaksikan jalanya pertarungan dari sisi arena segera berpikir setelah menyaksikan kejadian itu. "Seandainya Jian-ciat-suseng tidak jatuh dari kudanya, kendatipun ilmu silatnya lebih hebat pun tak nanti dia bisa lolos dari serangan Yu Hong-hong." Belum habis mereka berpikir, tampak Jian-ciat-suseng sudah menggerakkan tangan kirinya. Diiringi jeritan kaget Yu Hong-hong, sepasang pedang pendeknya tahu-tahu sudah berpindah tangan. "Pletakk", diiringi suara nyaring, kedua pedang pendek yang terbuat dari kayu itu sudah digetarkan patah menjadi empat bagian oleh lengan kiri Jian-ciat-suseng dan terjatuh ke atas tanah. Demonstrasi tenaga dalam serta kepandaian silat semacam ini tentu akan menjerakan hati orang yang melihat. Namun dasar si Burung api burung Yu Hong-hong, dari malu dia menjadi gusar, sambil membentak nyaring tubuhnya melesat ke depan, lalu telapak tangannya dengan mengerahkan segulung tenaga dahsyat langsung menghantam ke dada Jian-ciat-suseng itu.
611
Pendekar Cacat
Berkerut kening Jian-ciat-suseng menghadapi ancaman ini, tangan kirinya segera menyambar ke depan dan mencengkeram lengan kanan Yu Hong-hong, begitu si nona kehilangan tenaga, dia lantas mengangkat tubuh gadis itu ke tengah udara. "Lepaskan aku, lepaskan aku!" teriak Yu Hong-hong dengan gusar. Jian-ciat-suseng memutar mengayunkannya ke depan.
lengan
kirinya
dan
Tak ampun lagi tubuh Yu Hong-hong terlempar ke udara dan persis terjatuh kembali ke atas pelana kudanya. Sejak terjun ke dunia persilatan, belum pernah Yu Honghong menderita kekalahan seperti hari ini, dia segera menangis tersedu-sedu. Tiga rekan lainnya dibikin terperanjat oleh kelihaian ilmu silat Jian-ciat-suseng, untuk beberapa saat mereka hanya bisa berdiri tertegun. Mereka baru sadar mendengar isak tangis Yu Hong-hong yang memilukan. Tapi apa pula yang dapat mereka lakukan? Kepandaian silat Jian-ciat-suseng terlampau lihai, sekali pun mereka bertiga turun tangan bersama pun tak ada gunanya.
612
Pendekar Cacat
Isak tangis Yu Hong-hong sungguh mengenaskan, air matanya bercucuran dengan amat derasnya. Agaknya si sastrawan paling takut melihat perempuan menangis, sambil menghela napas, pelan-pelan dia berkata, "Yang paling penting dalam ilmu silat adalah tenang dan gesit, tenang harus melebihi perawan, gesit harus melebihi kelinci, bila saat menyerang perasaan sudah diliputi napsu, ketenangan akan goyah dan kacau, kegesitan akan berubah menjadi lembek. Bila menyerang seperti itu, bukan musuh yang dihajar, salah-salah diri sendiri yang akan terluka." Selesai mengucapkan perkataan itu, tanpa berpaling lagi dia menjalankan kudanya pelan-pelan berlalu dari tempat itu. Yu Hong-hong berhenti menangis. Dalam benaknya terlintas perkataan terakhir Jian-ciat-suseng, kemudian dia merenung dan memikirkannya berulang kali. Tiba-tiba dengan sikap seperti mengerti seperti tidak, dia bergumam lirih, "Hari ini aku menderita kalah, kekalahan yang benar-benar memilukan hatiku, ai! Ilmu silatnya terlampau tinggi, kepandaian silatnya benar-benar tinggi." Hong-tok-ciu-lau di barat daya kota terlarang merupakan penginapan dan rumah makan terbesar dan termegah di ibukota. Di balik pintu gerbang, Hong-tok-ciu-lau tampak berdiri anggun dan berderet-deret mencapai ratusan ruangan.
613
Pendekar Cacat
Orang yang menginap di Hong-tok-ciu-lau pun meliputi berbagai lapisan masyarakat. Waktu itu di sebuah meja yang berada di sudut selatan rumah makan termegah yang bagaikan keraton itu berduduk tiga orang perlente dan seorang gadis cantik berbaju merah menyala. Mereka sedang bersantap dan minum arak sambil berbincang-bincang ke utara selatan. Mendadak terdengar si gadis berkata dengan suara merdu, "Tio-toako, tahukah kau siapa kedua orang tokoh silat yang paling tersohor di kolong langit dewasa ini?" Pemuda kurus bertahi lalat yang duduk di sisinya segera menyahut sambil tertawa, "Yu-sumoay, masa kau tidak tahu? Kedua orang itu adalah Si-hun-mo-li (Iblis perempuan pembetot sukma) dan Jian-ciat-suseng." "Tio-toako," kembali si gadis berbaju merah bertanya manja. "Konon Jian-ciat-suseng sudah sampai di ibukota, ada urusan apa orang itu mendatangi kota terlarang?" "Konon Jian-ciat-suseng mengejar Si-hun-mo-li, karena iblis perempuan ini berada di ibukota, padahal bukan hanya Jian-ciat-suseng saja yang sudah sampai di Hopak, konon segenap jago lihai secara berbondong-bondong sudah datang ke wilayah Hopak sini."
614
Pendekar Cacat
"Ada urusan apa para jago Bu-lim berkumpul di ibukota?" "Apalagi? Tentu saja karena Si-hun-mo-li dan Jian-ciatsuseng," sahut pemuda kurus itu tertawa. "Ah, apa maksudmu?" seru gadis berbaju merah itu terkejut. Tiba-tiba pemuda kurus itu berpaling dan memandang sekejap ke arah meja di sudut kiri ruangan, lalu katanya dengan lantang, "Hanya tiga bulan Jian-ciatsuseng muncul di Bu-lim, berbagai jago lihai dari berbagai perguruan besar telah keok di tangannya, orang bilang, pohon tinggi mengundang datangnya angin, nama termasyhur mengundang datangnya bencana, maka para jago persilatan berbondong-bondong datang ke ibukota untuk membalas dendam atau ingin merobohkannya sehingga sekali gebuk memperoleh nama besar." Sampai di sini pemuda kurus itu berdehem pelan, entah sengaja atau tidak dia kembali mengalihkan sorot matanya ke meja sebelah kiri. Ternyata di tempat itu duduk pemuda berlengan buntung dan berbaju hitam, dia berdandan seorang sastrawan, namun sebilah pedang tersoreng di pinggangnya. Mendadak gadis berbaju merah itu berkata lagi, "Tio-toako, menurut pendapatmu dapatkah Jian-ciat-suseng mengalahkan begitu banyak jago persilatan?" Pemuda kurus tersenyum.
615
Pendekar Cacat
"Menurut penilaianku, ilmu silat Jian-ciat-suseng sudah terhitung wahid di kolong langit, mana mungkin kawanan jago yang mencari gara-gara padanya mampu menyambut sebuah serangannya?" Baru saja dia berkata, mendadak dari sisi meja sebelah kanan terdengar suara orang berseru sambil tertawa dingin tiada henti. "Hehehe, boleh saja Hui-eng-su-kiam tak mampu menerima satu gebrakan Jian-ciat-suseng, namun orang lain tidaklah demikian." Ucapan itu seketika membuat paras pemuda perlente dan gadis berbaju merah itu berubah hebat sehingga mereka bersama-sama berpaling ke arah meja di samping mereka. Di situ duduk seorang kakek dan seorang pemuda.
Yang tua berperawakan kurus dan hitam dengan baju berwarna hitam, jenggot kambingnya panjang dan sepasang matanya macam mata ikan, berkedip tajam, jelas tenaga dalamnya telah sempurna. Sedang yang muda berpakaian perlente dengan sebilah pedang berwarna kuning emas tersoreng di pinggangnya, tampan dan gagah, cuma sayang di antara kerutan dahinya terbayang setitik hawa cabul.
616
Pendekar Cacat
Suara tertawa seram tadi tak lain berasal dari pemuda berbaju perlente itu.
Serentak Hui-eng-su-kiam melompat bangun, hawa amarah menyelimuti sekujur wajah mereka dalam waktu singkat, pertarungan sengit bakal berlangsung di tengah ruangan itu. Pada saat itulah mendadak dari tengah ruangan berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring, kemudian dari sudut ruangan sebelah utara pelan-pelan berjalan keluar sastrawan berbaju biru yang berusia tiga puluh tahun. Orang ini memiliki wajah kereng dan lamat-lamat memancarkan kewibawaan besar.
Ketika sastrawan buntung yang duduk di sudut kiri menyaksikan kemunculan sastrawan yang mengenakan baju biru itu, paras mukanya berubah hebat, hampir saja dia berteriak. Dengan tergelak nyaring sastrawan berbaju biru itu mengambil tempat duduk di depan kursi Hui-eng-su-kiam, kemudian berkata, "Hui-eng-su-kiam, mari! Aku orang she Thia ingin memperkenalkan kalian, Su-hiap yang duduk di kursi utama itu tentunya Siaucengcu dari perkampungan
617
Pendekar Cacat
Kim-liong-kiam-san-ceng yang berjuluk Kiu-liong-sin-kiam (Pedang sakti sembilan naga) Mo Siau-pak." "Sedangkan yang tua adalah Congkoan dari Kim-liong-kiamsan-ceng (perkampungan pedang naga emas) yang berjuluk Hek-kut-siu (Kakek tulang hitam) Siangkoan-lotoa ...."
Begitu sastrawan berbaju biru itu menyebutkan namanama itu, tak sedikit sorot mata yang dialihkan ke sana. Setelah diperkenalkan, agaknya Hui-eng-su-kiam terpengaruh oleh nama besar lawan, paras mereka pelanpelan berubah agak lembut. Kim-liong-kiam-san-ceng merupakan keluarga persilatan yang termasyhur di Bu-lim, nama besar mereka sudah merata di wilayah utara sungai Kuning. Bahkan boleh dibilang setiap orang tahu di wilayah itu terdapat Kim-liong-kiam-san-ceng yang dikepalai Im-tiongliong (Naga di balik mega) Mo Hui-thian. Begitu lihainya ilmu pedang tokoh sakti ini sehingga orang menyebutnya sebagai Bu-lim-te-it-kiam (Jago pedang nomor wahid dunia persilatan).
618
Pendekar Cacat
Pemuda berbaju perlente itu yang bernama Mo Siau-pak agaknya tak berani menunjukkan sikap angkuh ataupun tinggi hati terhadap sastrawan berbaju biru itu, dengan cepat dia melompat bangun dan berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kukira siapa, sungguh tak disangka Im-ciu-tay-ji-hiap Thia Leng-juan adanya." "Mana ... mana ... aku orang she Thia baru saja datang ke ibukota dan dimana-mana kujumpai teman-teman lama, nampaknya di sini akan terjadi sebuah pertemuan puncak para jago."
Mo Siau-pak tertawa dingin. "Hm, apa sebabnya berbagai jago berdatangan ke kota terlarang, aku rasa tak usah dibilang pun semua orang sudah tahu dengan jelas." Sembari berkata, dia mengangkat kepala dan menengok ke arah sudut selatan. Siapa tahu Jian-ciat-suseng yang duduk di tempat itu, entah sedari kapan sudah pergi meninggalkan tempat itu. Berubah hebat paras Mo Siau-pak, dengan cepat dia melompat bangun, kemudian serunya, "Thia-heng, maaf aku tak bisa menemani lebih lama." Agak tergopoh-gopoh dia berlalu dari ruangan itu.
619
Pendekar Cacat
Ketika melihat Mo Siau-pak beranjak pergi, kakek berbaju hitam itu tanpa berbicara sepatah kata pun turut menguntit di belakangnya meninggalkan ruangan. Hui-eng-su-kiam yang menyaksikan kejadian itu, dalam hati segera mengerti apa sebabnya Mo Siau-pak pergi meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa, dengan cepat mereka berempat saling bertukar pandang sekejap, lalu katanya kepada Thia Leng-juan, "Kami pun ingin segera mohon diri." Hui-eng-su-kiam buru-buru keluar ruangan dan menyusul di belakang Mo Siau-pak.
Ketika Mo Siau-pak dan Siangkoan-lojin menyusul keluar dari Hong-tok-ciu-lau, terlihat sesosok bayangan hijau dengan ujung lengan baju kanan berkibar terhembus angin sedang bergerak di depan. Sambil tertawa dingin, Mo Siau-pak langkahnya dan mengejar dari belakang.
mempercepat
Siapa tahu kendati sudah menyusul sampai keluar kota, namun Mo Siau-pak belum juga berhasil mengejar orang itu.
620
Pendekar Cacat
Sasaran yang sedang mereka kejar masih tetap berjalan lambat, lebih kurang tiga puluh depa di depan sana. Mo Siau-pak segera mendengus dingin, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia mengejar semakin kencang.
Pada saat itulah, pemuda di depan sana tahu-tahu lenyap tanpa bekas di sebuah tikungan hutan kecil. Dengan beberapa kali lompatan saja Mo Siau-pak telah menyusul sampai di tikungan hutan, lalu sambil memutar badan dia menghentikan gerakan. Rupanya di balik hutan terbentang sebuah sungai, jembatan kayu membentang di tengah sungai, di sana berdiri tegak seorang sastrawan yang buntung tangannya. Waktu itu dengan sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu, dia sedang mengawasi Mo Siau-pak yang berada di bawah jembatan. "Mo-siaucengcu, ada urusan apa kau menyusul diriku?"
Mo Siau-pak tertawa dingin, sahutnya, "Bukankah kau adalah Jian-ciat-suseng?"
621
Pendekar Cacat
"Benar, lengan kananku buntung, kaki kiriku pincang, orang persilatan menyebutku Jian-ciat-suseng dan aku pun senang sekali dengan nama indah ini." Sementara itu Siangkoan-lotoa telah menyusul tiba dan segera berdiri di sisi kiri Mo Siau-pak. Dengan wajah senyum tak senyum Mo Siau-pak berkata, "Untuk merobohkan seratus jago lihai dunia persilatan, apakah pedang kayu yang tersoreng di pinggangmu itu yang kau gunakan?" "Masih ada di antara mereka yang tidak perlu kuhadapi dengan pedang kayuku ini." "Lantas pantaskah aku menghadapimu dengan pedang kayu itu?" "Seandainya ayahmu, Mo Hui-thian, hadir di sini, mungkin dia masih pantas untuk kuhadapi dengan pedang kayu ini."
Ucapan ini sudah jelas artinya, yaitu Mo Siau-pak masih belum cukup berharga baginya untuk dihadapi dengan pedang kayu. Anehnya, ternyata Mo Siau-pak tidak menjadi gusar, setelah tertawa dingin 4ia malah bertanya, "Jadi kau menyuruh aku yang melolos pedang?"
622
Pendekar Cacat
"Bila Siaucengcu melolos pedang, bisa jadi nama besarmu akan hancur di ujung jembatan ini, aku mengerti kau seorang pintar, tentunya kau tahu bukan, seharusnya pedang itu harus dicabut atau tidak?" Mo Siau-pak tidak menjawab, bungkam dalam seribu bahasa. Mendadak Siangkoan-lojin berseru lantang, "Majikan muda harap mundur, biar Lohu yang mencoba beberapa jurus serangannya." Sembari berkata, Siangkoan-lojin maju ke ujung jembatan dan melepaskan sebuah bacokan dahsyat ke dada lawan.
Jangan dilihat Siangkoan-lojin berperawakan kurus kecil, ternyata angin pukulan yang dilancarkannya sangat dahsyat dan mengerikan. Berdiri di ujung jembatan, Jian-ciat-suseng tak bergerak sedikit pun, dia menunggu sampai telapak tangan kanan Siangkoan-lojin berada setengah kaki di depan dadanya, saat itulah telapak tangan kirinya baru secepat kilat membabat urat nadi tangan musuh. "Bocah keparat, ternyata kau memiliki kepandaian juga!" bentak Siangkoan-lojin.
623
Pendekar Cacat
Sembari berkata, sepasang lengannya yang hitam dan kering-kerontang bagai sambaran petir meluncur ke muka dan mengembangkan serangkaian serangan berantai. Serangan yang dilancarkan itu selain cepat bagaikan sambaran kilat, juga disertai tenaga yang amat dahsyat. Pukulan demi pukulan dilancarkan bagaikan ombak menggulung ke tepian dan memecah terkena batu karang, benar-benar mengerikan. Dalam waktu singkat Siangkoan-lojin sudah melepaskan tiga belas pukulan telapak tangan dan delapan jotosan kilat.
Dalam menghadapi kedua puluh satu serangan itu, Jianciat-suseng masih tetap berdiri tegak tak bergerak, dia hanya membendung dan menangkis setiap ancaman yang datang dengan lengan tunggalnya. Kendati demikian, ternyata Siangkoan-lojin tak sanggup maju barang selangkah pun. Siangkoan-lojin mestinya tahu diri dan mengundurkan diri, namun sebagai Congkoan Kim-liong-kiam-san-ceng yang mempunyai kedudukan tinggi dan sudah lama termasyhur dalam Bu-lim, sudah barang tentu tak mungkin baginya untuk mundur begitu saja, apa lagi di hadapan majikan mudanya sekarang.
624
Pendekar Cacat
Mendadak terdengar Siangkoan-lojin membentak, mendadak tubuhnya mundur tiga langkah, sementara kepalan tangan kanannya pelan-pelan dihantamkan ke arah dada musuh. Serangan ini tampaknya seperti tidak disertai tenaga, namun dalam pandangan seorang ahli silat, akan segera diketahui pukulan itu disertai tenaga yang sangat hebat. Berubah hebat paras muka Jian-ciat-suseng, mendadak telapak tangan kirinya diayunkan ke depan. Dengusan tertahan keheningan.
segera
menggema
memecah
Dengan sempoyongan Siangkoan-lotoa mundur tujuh langkah, kemudian darah kental menyembur dari mulutnya.
Paras muka Mo Siau-pak berubah hebat, cepat dia memburu ke depan untuk membimbing tubuh Siangkoanlojin, lalu tegurnya, "Siangkoan-lotoa, kau masih sanggup bertahan?" Kulit wajah Siangkoan-lotoa mengejang keras, menahan derita yang sedang dialaminya, dia berkata, "Majikan
625
Pendekar Cacat
muda, harap kau jangan bertindak gegabah. Ilmu silat orang ini benar-benar kelewat dahsyat." Sementara itu Jian-ciat-suseng telah membalikkan badan dan menuruni jembatan itu ke arah lain. Sambil tertawa dingin Mo Siau-pak berseru, "Hm, aku akan mencoba sampai dimanakah kelihaiannya." Sembari berkata, lekas dia mengejar ke ujung jembatan sana, sementara tangan kanannya meraba gagang pedang yang tersoreng di pinggangnya.
Pada saat itulah mendadak Jian-ciat-suseng menghentikan langkah, tanpa berpaling katanya, "Aku tinggal di rumah penginapan Hong-tok-ciu-lau, kapan saja aku akan menantikan kedatanganmu. Sekarang Siangkoan-lojin sudah terluka, terutama pada sekitar urat nadi Liau-lokkeng-meh, jika kau tidak segera mengurut jalan darahnya dengan menggunakan tenaga dalam, seperempat jam lagi dia akan muntah darah tiada hentinya, dalam keadaan seperti itu, meski ada obat dewa pun jangan harap bisa menyelamatkan jiwanya." Dingin perasaan Mo Siau-pak mendengar itu, meski tangan kanannya sudah meraba gagang pedang, namun senjata itu tak dicabut.
626
Pendekar Cacat
Dia tertawa dingin, lalu ujarnya, "Baiklah! Aku Mo Siau-pak pasti akan menyambangimu."
Dalam pada itu Jian-ciat-suseng sudah berada sejauh tujuhdelapan depa dari tempat semula, dia tidak mungkin berpaling atau memberikan reaksi, dengan langkah tetap terus menelusuri sungai. Dari kejauhan dia nampak begitu menyendiri dan kesepian. Benar, sejak dia terjun kembali ke dunia persilatan, selama tiga bulan terakhir ini dia telah mengunjungi gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong. Dia pun telah berkunjung ke kuil Nikoh Keng-tim-an. Namun tak seorang ditemukan, pada dasarnya dia sudah seorang diri, sekarang semakin merana dan menyendiri lagi.
Hari ini, sewaktu berada di Hong-tok-ciu-lau, dia telah bertemu dengan seorang kenalan lama, pendekar sastrawan dari kota Invciu Thia Leng-juan, sebenarnya dia ingin sekali bercakap dengannya, namun satu ingatan lain membuatnya harus mengurungkan niatnya itu. Dia tahu dengan tenaga dalam maupun ilmu silatnya sekarang, cukup baginya untuk menjagoi dunia persilatan,
627
Pendekar Cacat
namun meski dia berhasil meraih gelar tokoh nomor wahid di kolong langit, apakah artinya semua itu?
Nama Jian-ciat-suseng sudah cukup menggetarkan sukma setiap umat persilatan di kolong langit, dia tahu saat guntur menggelegar dan hujan badai berhembus akan tiba, oleh sebab itu dia harus secepatnya menyelesaikan masalahmasalah yang mengganjal hatinya, kemudian secepatnya mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dan mencicipi kehidupan yang penuh bahagia. Seseorang yang sangat mencintainya kini hidup sebatangkara di rumah gubuk di tengah bukit yang terpencil, dia tak boleh meninggalkan dirinya terlalu lama.
Dalam perjalanannya ke ibukota kali ini, seandainya jejak orang-orang Put-gwa-cin-kau belum juga ditemukan, terpaksa dia harus pulang ke gunung secepatnya, sebab perjalanan di Bu-lim telah membuatnya jemu, bosan dan muak. Entah sejak kapan Jian-ciat-suseng telah berhenti di tepi sungai, menundukkan kepala dan memandang arus air dengan terpesona.
628
Pendekar Cacat
Mendadak dia mengangkat kepala dan menegur dengan suara sedingin salju, "Mengapa kalian berempat mengikutiku terus?" Sewaktu bicara, mata Jian-ciat-suseng masih saja memandang arus air sungai dengan termangu, berpaling pun tidak. Rupanya entah sedari kapan, di belakangnya telah muncul tiga orang pemuda berbaju perlente dan seorang gadis berbaju merah, mereka berempat bukan lain dari Hui-engsu-kiam. Pemuda kurus bertahi lalat yang merupakan pimpinan Huieng-su-kiam yakni Gin-ho-eng (Burung sungai perak) Tio Im segera menuju ke depan dan menyahut dengan hormat, " Hui-eng-su-kiam membuntuti. saudara karena kami ada satu persoalan yang hendak dibicarakan!"
Jian-ciat-suseng belum juga berpaling, hanya tanyanya dengan suara hambar, "Masalah apa?" "Kami empat bersaudara memohon padamu untuk menerima kami sebagai anak buahmu." Ketika mendengar perkataan itu, pelan-pelan Jian-ciatsuseng membalik badan dan mengawasi wajah Hui-eng-sukiam dengan sorot mata tajam bagaikan sembilu, dia
629
Pendekar Cacat
mengawasi orang-orang itu dari atas sampai ke bawah, namun mulutnya tetap membungkam. Dengan suara merdu Yu Hong-hong berkata, "Ilmu silat Tayhiap sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, tentu saja kemampuan kami berempat tak banyak membantu, namun kami empat bersaudara amat mengagumi sepak terjang Tayhiap dan ingin sekali membaktikan diri padamu, entah sebagai pembawa barang atau pesuruh sekali pun, hal ini akan merupakan suatu kebanggaan bagi kami. Itulah sebabnya kami memohon kepada Tayhiap sudilah menerima kami."
Tiba-tiba Jian-ciat-suseng menghela napas panjang, ujarnya pelan-pelan, "Ai, baiklah aku bersedia menerima kalian." "Sungguhkah itu?" Yu Hong-hong tak kuasa menahan rasa gembiranya, dia segera berteriak, "Kau ... kau tidak membohongi kami?" Sekali lagi Jian-ciat-suseng menghela napas panjang, "Ai, aku tak membohongi kalian, yang kubutuhkan sekarang adalah melakukan suatu usaha besar yang akan menggemparkan dunia persilatan."
Dia berhenti sejenak dan mengangkat kepala memandang sekejap ke arah Hui-eng-su-kiam, kemudian lanjutnya, "Aku
630
Pendekar Cacat
bukan menerima kalian sebagai pesuruhku, melainkan mengundang kalian berempat untuk menggabungkan diri dalam perkumpulanku, yakni perkumpulan Tiong-yanghwe!" Pelan-pelan Jian-ciat-suseng mengangguk, "Benar, hari ini adalah bulan sembilan tanggal sembilan dari Tiong-yang, perkumpulan kami ini merupakan perkumpulan yang didirikan pada saat ini di kala kalian Hui-eng-su-kiam menggabungkan diri, oleh sebab itu kunamakan perkumpulan ini sebagai Tiong-yang-hwe." ***
631
Pendekar Cacat
9 PERKUMPULAN PEDANG MERAH
K
emudian setelah termenung sejenak, dia menyambung lebih lanjut, "Di balik semua itu, sebetulnya masih mengandung satu makna lain, yakni aku pernah mati sekali dan sekarang bangkit kembali ke alam semesta. Entah bagaimana pendapat kalian tentang nama ini?" Lo-sam dari Hui-eng-su-kiam yakni Siau-hiang-eng (Burung harum) The Goan-ho segera bertepuk tangan sambil berseru lantang, "Bagus, bagus! Nama Tiong-yang-hwe memang bagus, tidak perlu memakai 'pang' cukup memakai 'hwe', menunjukkan kesan halus dan berseni, sehingga tidak ada hawa kekerasan sama sekali."
632
Pendekar Cacat
Dan perkumpulan Tiong-yang-hwe pun secara resmi didirikan pada saat itu, dunia persilatan pun bertambah lagi dengan satu organisasi baru. Ketua Tiong-yang-hwe dijabat oleh Jian-ciat-suseng, kecuali ketua, untuk sementara waktu tidak diangkat jabatan lain.
Tiba-tiba Jian-ciat-suseng mengunjuk sikap serius, katanya dengan suara dalam, "Setiap perkumpulan yang didirikan pasti mempunyai peraturan perkumpulan, cita-cita, maksud tujuan, serta tata-cara, namun sekarang karena belum ada waktu untuk menyelesaikan hal ini, maka yang kita pegang sebagai prinsip sekarang adalah kepercayaan, mulai hari ini Hui-eng-su-kiam sudah merupakan bagian dari Tiong-yang-hwe, aku harap kalian suka memegang prinsip hidup kita, yaitu setia, berbakti, bajik, cinta kasih, dapat dipercaya, setia-kawan, kerukunan dan kedamaian. Asalkan kalian melaksanakan kedelapan prinsip ini, sudah pasti perbuatan kalian benar." "Orang yang bergabung dengan perkumpulan kita, bilamana melakukan pelanggaran, sudah tentu akan memperoleh hukuman yang sangat berat."
"Tugas utama perkumpulan sekarang adalah mengembangkan pengaruh organisasi serta menerima anggota baru, tapi perkumpulan kita tidak memandang
633
Pendekar Cacat
perlu mencari anggota sebanyak-banyaknya, yang penting adalah mereka yang berhati murni dan benar-benar berkemampuan tinggi, jadi setiap orang yang bergabung harus memiliki ilmu silat dan watak yang baik, sebelum dilakukan penyelidikan yang seksama, siapa pun tak akan diterima menjadi anggota." Dengat sikap hormat dan serius, Hui-eng-su-kiam mendengar wejangan Jian-ciat-suseng, tak seorang pun yang bersuara.
Ketika pemuda itu telah menyelesaikan kata-katanya, Yu Hong-hong baru menghela napas panjang, katanya lirih, "Kami berempat merasa bangga bisa menjadi anggota Tiong-yang-hwe, namun ada satu hal yang membuat kami malu untuk menjadi bagian Tiong-yang-hwe." Dengan sorot mata tajam Jian-ciat-suseng memandang sekejap ke arah gadis itu, tukasnya, "Apakah kalian merasa ilmu silat yang kalian miliki terlalu cetek?" "Benar!" Yu Hong-hong manggut-manggut. "Ilmu silat Huieng-su-kiam terlalu cetek, sesungguhnya kami masih belum pantas untuk bergabung dengan Tiong-yang-hwe."
Jian-ciat-suseng tersenyum.
634
Pendekar Cacat
"Ilmu silat yang kalian miliki sekarang sudah boleh dibilang mencukupi, untuk menjadi seorang jago persilatan yang berilmu tinggi, maka harus memiliki tiga syarat utama, yakni guru yang pandai, waktu yang cukup, serta kecerdasan yang melebihi orang lain. Bilamana ketiga syarat itu kurang satu, maka sekali pun dia merupakan jago yang berilmu tinggi, mustahil dapat mencapai tingkatan sempurna." "Sekarang akan kukatakan asal-usulku kepada kalian agar kalian tahu kisah perjalananku menempuh pelajaran ilmu silat, cuma orang persilatan belum mengetahui jelas tentang asal-usulku ini, aku harap setelah kalian tahu nanti, janganlah disebar-luaskan kepada orang lain. Perlu kalian catat, dalam menghadapi persoalan, semakin kita dapat merahasiakan sesuatu, sesungguhnya hal ini semakin baik." "Petunjuk Hwecu memang sangat tepat, kami pasti akan menuruti petunjuk Hwecu," kata Gin-ho-eng Tio Im dengan suara lantang.
Perlahan Jian-ciat-suseng berkata, "Guruku yang pertama adalah allmarhum Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, Bengcu persekutuan dunia persilatan." Mendengar nama itu, dengan terkejut Yu Hong-hong segera bertanya, "Kalau begitu kau adalah si Toan-jonghong-liu Yu ...."
635
Pendekar Cacat
Sambil menggeleng kepala, Jian-ciat-suseng menghela napas panjang, sahutnya, "Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui adalah Ji-suhengku, aku adalah murid terakhir Bu-lim Bengcu, mungkin kalian tak mengenal namaku, sebab sebelum aku terjun dan berkelana di Bu-lim, aku sudah diusir dari perguruan oleh guruku. Di bawah bimbingan Oh Ciong-hu bengcu almarhum, aku sudah memperoleh pendidikan ilmu silat selama lima belas tahun, aku mulai belajar ilmu silat sejak berusia tujuh tahun."
"Setelah dikeluarkan dari perguruan, aku telah berjumpa dengan seorang tokoh berilmu tinggi dimana aku memperoleh pelajaran berbagai ilmu silat dari aliran yang ada di dunia ini selama tujuh tahun, siapakah tokoh ini untuk sementara waktu namanya aku rahasiakan lebih dulu, tapi dia adalah guruku yang kedua." "Guruku yang ketiga adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay, dia hanya sempat memberi pelajaran silat semalam kepadaku, namun kepandaian silat yang diwariskannya kepadaku justru merupakan rahasia ilmu silat kaum lurus, itulah sebabnya dalam waktu singkat aku telah berhasil menguasai ilmu berbagai aliran."
Mendengar sampai di sini, Hui-eng-su-kiam merasa terperanjat, Oh Ciong-hu dan Ku-lo Hwesio merupakan dua tokoh yang maha sakti dalam Bu-lim, tak disangka dua
636
Pendekar Cacat
tokoh sakti itu ternyata guru Hwecu mereka, tak heran ilmu silat ketua mereka lihai sekali. Tapi siapakah nama yang sebenarnya dari ketua mereka? Dari balik mata Hui-eng-su-kiam segera terlintas sinar mata penuh tanda tanya.
Pelan-pelan Jian-ciat-suseng melanjutkan kembali, "Sekali pun aku telah berjumpa dengan tiga orang guru pandai dan mempelajari hampir seluruh ilmu silat yang ada di dunia ini, namun berhubung waktu yang kurang, aku belum dapat meresapi seluruh intisari kepandaian itu." "Akibatnya tiga tahun berselang aku telah dibunuh orang." "Tapi Thian memang maha pengasih, nampaknya ajalku belum tiba sehingga nyawaku dikembalikan lagi ke alam semesta ini. Tiga tahun lamanya kuselami dan kupelajari semua kepandaian silat yang pernah kupelajari, akhinya jerih-payahku tidak sia-sia, aku berhasil menemukan kunci ilmu silat sesungguhnya." "Sejak mulai belajar silat hingga mencapai keberhasilan seperti saat ini, aku membutuhkan waktu dua puluh tiga tahun lamanya, coba bayangkan sendiri baru berapa tahun kalian berlatih ilmu silat? Itulah sebabnya seperti apa yang kukatakan tadi, untuk menjadi seorang jago silat yang
637
Pendekar Cacat
berilmu tinggi, tak mungkin bisa dibina dan dipupuk dalam waktu singkat."
Tiba -tiba Yu Hong-hong bertanya, "Bolehkah aku bertanya, bukankah nama Hwecu adalah Ko Hong?" Jian-ciat-suseng tersenyum. "Nama Ko Hong adalah nama samaran yang telah kugunakan tiga tahun lalu, nama itu bukan namaku yang sesungguhnya." Mendengar hal menjerit kaget.
ini,
Hui-eng-su-kiam
bersama-sama
"O, rupanya kau adalah pendekar misterius Ko Hong yang amat termasyhur namanya tiga tahun lalu, kami benarbenar merasa gembira, sungguh tak disangka kami telah bertemu pemimpin tulen yang ampuh dan benar-benar berkemampuan."
Jian-ciat-suseng menghela napas panjang, katanya kemudian, '"Dikarenakan berbagai alasan, tiga tahun berselang bukan saja aku telah berganti nama menjadi Ko Hong, bahkan telah mengubah pula wajah asliku, maka semua orang tak mengetahui asal-usul dan nama asliku."
638
Pendekar Cacat
"Sesungguhnya nama asliku adalah Bong Thian-gak. Di kemudian hari kalian boleh memanggil namaku ini secara langsung." Rupanya Jian-ciat-suseng ini bukan lain adalah Bong Thiangak.
Rupanya setelah meninggalkan Song Leng-hui, Bong Thiangak langsung berangkat dari kota Lok-yang menuju ke gedung Bu-lim Hengcu di kota Kay-hong. Siapa tahu gedung Bu-lim Bengcu telah berubah menjadi gedung Kosong yang tak berpenghuni. Dia pun berangkat ke kuil Keng-tim-an untuk mencari Kengtim Nulhay, siapa tahu kuil pun dalam keadaan kosong tak berpenghuni. Hanya dalam tiga tahun, situasi dunia persilatan telah mengalami perubahan besar.
Padahal cita-cita serta tujuan yang utama kemunculan Bong Thian-gak kali ini adalah melenyapkan Put-gwa-cin-kau dari muka bumi. Siapa tahu gerak-gerik maupun jejak Put-gwa-cin-kau seakan-akan punah begitu saja dari muka bumi.
639
Pendekar Cacat
Dalam putus asanya dan tiada cara lain yang bisa diperbuat, akhirnya Bong Thian-gak mulai menantang semua jago lihai dari berbagai partai dan perguruan untuk merobohkan mereka satu per satu. Hanya dalam tiga bulan saja ia telah berhasil merobohkan ratusan jago persilatan, nama besar Jian-ciat-suseng pun semakin membekas di dalam hati para jago persilatan.
Sesungguhnya dia berbuat demikian karena terpaksa, tak bisa disangkal lagi dia ingin memancing kemunculan rekanrekan lamanya yang telah menyembunyikan diri agar tampil kembali ke dalam Bu-lim. Di samping itu, tentu saja dia ingin memancing munculnya orang-orang Put-gwa-cin-kau. Pada saat bersamaan dengan munculnya kembali Bong Thian-gak, dalam Bu-lim dihebohkan oleh munculnya seorang iblis perempuan yang amat lihai, Si-hun-mo-li (Iblis wanita perenggut nyawa).
Berdasar penuturan orang, Bong Thian-gak menduga perempuan itu adalah Jit-kaucu Thay-kun. Oleh sebab itu di kala Bong Thian-gak mendengar kabar bahwa Si-hun-mo-li telah muncul di ibukota, maka dia pun
640
Pendekar Cacat
segera berangkat ke kota terlarang dengan tujuan hendak membuktikan apakah Si-hun-mo-li itu benar Thay-kun atau bukan. Dalam hati Bong Thian-gak, Thay-kun telah menempati posisi yang amat penting, walau antara mereka belum pernah mengucapkan kata cinta, namun dalam hati kecil kedua orang itu sesungguhnya sudah bersemi setitik bunga cinta. Cuma sayang bibit cinta itu sudah hancur dan musnah sejak tiga tahun berselang.
Dengan kesetia-kawanan, demi peri-kemanusiaan, Bong Thian-gak merasa wajib untuk menyelidiki mati-hidup Thaykun. Apalagi mati hidup Thay-kun menempati pula posisi yang maha penting dalam Bu-lim. Bong Thian-gak berkata lagi, "Sejak kini kedudukan kalian berempat dalam Tiong-yang-hwe menempati posisi yang amat penting, tentu saja apabila ilmu silat yang kalian miliki tidak lihai dan melebihi orang lain, sulit untuk menanggung tugas berat ini." "Oleh sebab itu aku mengambil keputusan hendak mewariskan semacam ilmu pedang maha sakti yang bisa dikuasai dalam waktu singkat untuk kalian berempat."
641
Pendekar Cacat
Tak terlukiskan rasa kaget dan gembiranya Hui-eng-su-kiam mendengar janji itu, pertama-tama Yu Hong-hong yang menjatuhkan diri berlutut lebih dulu, katanya, "Budi kebaikan yang Hwecu berikan tak pernah kami berempat lupakan." Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata lagi, "Seseorang yang berlatih ilmu silat bukanlah bertujuan untuk mencari nama atau merobohkan orang lain, baikburuknya kepandaian silat pun tergantung mental dan watak seseorang, jika orang itu berangasan atau buas dan kejam, maka mustahil ilmu silatnya dapat mencapai kesempurnaan, dalam hal ini kalian belum dapat memahami secara keseluruhan, namun di kemudian hari bila ilmu silat yang kalian miliki sudah memperoleh kemajuan pesat, sudah pasti akan kalian sadari ucapan ini bukan omong kosong belaka."
"Ilmu pedang yang hendak kuwariskan kepada kalian sekarang sebenarnya hanya terdiri dari satu jurus saja, namun di balik satu jurus itu sebenarnya mengandung tiga gerakan yang berbeda." "Dari ketiga gerakan itu, hanya terdapat satu gerakan yang merupakan jurus serangan, sedang dua gerakan yang lain merupakan jurus pertahanan."
642
Pendekar Cacat
"Ilmu pedang satu jurus dengan tiga gerakan ini walaupun cuma satu gerakan yang merupakan gerak serangan, tapi serangan itu sangat ganas, dahsyat dan luar biasa, begitu serangan dilepaskan, korban pasti roboh, oleh sebab itu aku ingin berpesan kepada kalian, andaikata keadaan tidak terpaksa, jangan sekali-kali kalian gunakan gerak serangan itu secara sembarangan."
Serentak Hui-eng-su-kiam berkata, "Kami akan menuruti perintah Hwecu, bila melanggar, kami bersedia menerima hukuman." Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat ini, lalu berkata pula, "Sekarang mari kita mundur ke balik hutan sebelah sana dan mulai berlatih ilmu pedang." Selesai berkata, Bong Thian-gak segera mengajak Hui-engsu-kiam berjalan menuju ke dalam sebuah hutan kecil di sebelah kanan jalan.
Bong Thian-gak memungut sebatang ranting kering, kemudian pelan-pelan berkata, "Jurus pedang dinamakan Coa-tin-toh (Peta barisan ular), dari namanya tentu kalian sudah memahami, cara menggunakan jurus serangan ini adalah sambil bertahan melancarkan serangan."
643
Pendekar Cacat
"Gerakan pertama disebut Coa-tin-in-sian (Barisan ular mulai tampak), menghadapi jurus serangan macam apa pun, kaki kiri mundur selangkah sambil memutar badan setengah lingkaran, pedang bergerak dari ketiak kiri melintang ke depan."
"Gerakan kedua disebut Siu-heng-gi-wi (Cabut badan bergeser tempat), merupakan gerak lanjutan, kaki kanan bergeser selangkah ke kanan, tanpa mengubah posisi pedang, badan berganti posisi, pedang kanan pun berubah ancaman, dengan mata pedang menusuk permukaan tanah." "Sedangkan gerakan ketiga disebut Coa-si-ci-toh (Lidah ular menjulur keluar), menjatuhkan badan ke arah lawan, namun pedang yang menusuk ke arah bawah tiba-tiba meletik dan menusuk ke arah belakang." "Jurus Coa-tin-toh ini boleh dipergunakan secara beruntun, boleh juga digunakan tersendiri, tapi daya pengaruh yang dipancarkan tentu saja jauh lebih besar bila kita menggunakannya secara beruntun."
"Satu jurus dengan tiga gerakan ini kelihatannya seperti sederhana sekali, namun untuk memahami intisarinya kalian harus berlatih puluhan kali, dengan begitu kalian bisa maju setapak lebih ke depan dan melatihnya hingga
644
Pendekar Cacat
mencapai kesempurnaan, pengaruhnya akan jauh lebih besar lagi." "Asal satu jurus dengan tiga gerakan ini sudah kalian kuasai, sekali pun menghadapi seorang jago pedang yang berilmu sangat tinggi, tidak susah untuk menusuk hulu hatinya." "Nah, sekarang aku akan pulang dulu ke Hong-tok-ciu-lau, aku berdiam di kamar nomor tiga puluh enam, selesai berlatih nanti kembalilah ke sana."
Begitu selesai berkata, Bong Thian-gak membalikkan badan keluar dari hutan kecil itu dan kembali ke penginapan Hong-tok-ciu-lau. Bulan sembilan di wilayah utara, udara terasa sangat dingin merasuk tulang. Rembulan tertutup awan, bintang menyembunyikan diri, malam itu sangat gelap-gulita. Dalam kamar nomor tujuh puluh sembilan Hong-tok-ciulau, nampak cahaya lentera masih bersinar terang, kendati tengah malam sudah lewat. Kamar itu ditempati dua orang berbaju putih, wajah kedua orang itu aneh sekali, yakni berwarna hitam dan putih yang bercampur aduk, jelek dan aneh bukan kepalang.
645
Pendekar Cacat
Perawakan tubuh mereka kurus kering dan jangkung, matanya melotot besar dan menyinarkan sinar kebuasan. Waktu itu kedua orang itu sedang duduk di ruang tamu, agaknya mereka sedang menantikan seseorang. Mendadak orang di sebelah kiri berkata, "Kentongan ketiga sudah lewat, aneh, mengapa mereka belum juga datang?" Orang yang di sebelah kanan menyahut dengan suara yang menyeramkan pula, "Menurut keterangan si perantara, tengah malam nanti dia pasti datang." Baru selesai dia berkata, cahaya lentera berguncang keras, lalu terendus bau harum yang menyegarkan. Serentak kedua orang aneh itu mendongakkan kepala. Kedua orang itu terperanjat dengan mata terbelalak lebar. Rupanya di ruang tamu itu sudah berdiri seorang gadis cantik rupawan, sepasang biji matanya yang sangat jeli dan membetot sukma sedang mengawasi kedua orang berbaju putih yang jelek dan aneh itu tanpa berkedip. Tiba-tiba sekulum senyum manis menghiasi wajahnya yang cantik hingga terlihat sepasang lesung pipinya yang indah. Pada dasarnya dia memang berwajah cantik bak bidadari dari kahyangan, ditambah pula dengan senyuman yang
646
Pendekar Cacat
menawan, boleh dibilang siapa pun pasti akan terpikat olehnya. Terutama senyumannya itu, begitu indah dan cantik membuat sukma orang serasa mau terbang rasanya. Kedua orang aneh berbaju putih itu seakan-akan tak berani mempercayai apa yang terpampang di depan matanya, mereka berpaling bersama, kemudian salah seorang di antaranya segera menegur pelan, "Kau ... kau ... kau ... adalah Si-hun-mo-li?" Sesungguhnya pertanyaan orang aneh itu berlebihan, sebab Si-hun-mo-li tidak akan sembarangan menampakkan diri, dia memerlukan perantara untuk mencari langganannya. Si-hun-mo-li baru akan muncul bagai sukma gentayangan apabila si perantara sudah mengaturkan segalanya. Kedua orang aneh berbaju putih ini merupakan bajingan cabul yang termasyhur di kolong langit, mereka memang gemar main perempuan, tapi setelah berjumpa dengan Sihun-mo-li hari ini, mereka berdua ketakutan, ngeri dan jeri menghadapi kecantikannya itu. Menurut kabar yang tersiar di Bu-lim, barang siapa bermain cinta dengan Si-hun-mo-li, maka sukmanya akan lenyap. Berita yang tersiar itu menggidikkan siapa pun yang mendengar.
647
Pendekar Cacat
Tapi sungguhkah itu? Atau cuma isapan jempol belaka? Oleh karena mereka berdua belum membuktikan sendiri, maka kedua orang ini pun belum tahu. Si-hun-mo-li tidak menjawab pertanyaannya, sekulum senyuman kembali menghiasi wajahnya yang cantik. Senyuman untuk kedua kalinya ini membuat kedua orang aneh berbaju putih itu tak dapat menggeser matanya. Sebab pada saat itulah Si-hun-mo-li telah melepas mantel luarnya sehingga nampak pakaian dalamnya yang tipis dan berwarna kuning menerawangkan tubuh bagian dalamnya yang putih mulus dan membetot sukma itu .... Ya, gadis itu memang memiliki tubuh yang indah, memukau hati, merangsang napsu birahi dan membuat hati orang berdebar keras. Orang aneh yang bersuara seperti jeritan setan itu berseru lantang, "Loji, apakah kau sanggup bersabar? Perempuan ini benar-benar menggairahkan, sekali pun seperti apa yang dikabarkan orang. Semalam bercinta sukma melayang, kita patut mencobanya, cuma apakah dia bersedia melayani kita secara bergilir?" Orang berbaju putih lainnya segera menyahut, "Lotoa, aku sudah tak mampu menahan diri, selama hidup belum pernah kujumpai wanita yang begitu cantik dan menawan hati seperti dia."
648
Pendekar Cacat
Si-hun-mo-li tersenyum lagi, senyuman untuk ketiga kalinya. Menyusul kemudian pakaian tipis pun pelan-pelan terlepas dari atas badannya. Tampaknya kedua orang berbaju putih itu sudah tak mampu menahan diri lagi, secepat kilat mereka bertindak, "Blam", pintu ruangan sudah ditutup rapat-rapat. Di bawah cahaya lentera, terlihatlah tubuh perempuan yang bugil dan indah terpapar di depan mata. Mata kedua orang berbaju putih itu melotot memancarkan napsu birahi, tiada hentinya mengawasi tubuh bugil Si-hunmo-li. Biar besok harus mati, malam ini mereka merasa wajib mencari kepuasan. Keesokan harinya, di kamar nomor tujuh puluh sembilan Hok-tok-ciu-loo telah ditemukan dua sosok mayat. Mereka tewas dalam keadaan telanjang bulat, tertutup oleh kain dan baju yang kotor. Yang lebih menggemparkan masyarakat adalah kedua orang itu bukan lain adalah Hek-liong-kang-siang-cho (sepasang manusia jelek dari Hek-liong-kang) yang termasyhur namanya di Bu-lim.
649
Pendekar Cacat
Kepandaian silat serta kecabulan kedua orang jelek dari Hek-liong-kang ini sudah cukup membuat orang persilatan pusing dan bergidik, tapi nyatanya mereka berdua ditemukan tewas dalam keadaan menyedihkan. Bahkan tewas di tangan Si-hun-mo-li yang cantik tapi berhati keji. Selama tiga bulan ini, belum pernah ada seorang lelaki pun di Bu-lim yang lolos dalam keadaan hidup setelah bermain cinta semalam suntuk dengan Si-hun-mo-li. Tentu saja tiada orang tahu macam apakah Si-hun-mo-li itu hingga memukau hati orang. Di kolong langit ini sesungguhnya hanya seorang saja yang pernah melihatnya, baik wajah maupun tubuh bagian rahasianya sekali pun. Tapi siapakah dia? Orang itu tak lain adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Dalam benak Bong Thian-gak, dia hanya berpendapat bahwa Si-hun-mo-li adalah Thay-kun. Sebab di kolong langit dewasa ini, tidak mungkin ada perempuan kedua yang memiliki perawakan badan begitu memukau perasaan laki-laki dan memiliki kekuatan yang begitu besar sehingga lelaki mana pun bersedia mengorbankan jiwanya.
650
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak yang berada dalam kamar nomor tiga enam Hong-tok-ciu-lau sedang duduk di ruang tamunya dengan wajah serius, sedang di empat kursi lainnya duduklah Huieng-su-kiam. Lima orang dari Tiong-yang-hwe hanya duduk termenung saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu berkata, "Benar, aku ingin bertemu dengan Sihun-mo-li, sebab tujuanku kemari adalah ingin bertemu dengannya." "Tentu saja kami tak berani memaksa Hwecu membatalkan niat itu," kata Yu Hong-hong dengan sedih. "Cuma ... bila Hwecu ingin bertemu dengannya, jangan berangkat seorang diri." Bong Thian-gak tersenyum. "Tak usah kuatir," katanya, "Si-hun-mo-li tak bakal melahapku." Sewaktu mendengar ucapan ini, merah padam wajah Yu Hong-hong karena jengah, bibirnya yang sudah bergetar hendak bicara segera diurungkan, sementara kepala pelanpelan ditundukkan rendah-rendah. Tio Im berkata, "Kepandaian silat maupun ketenangan Hwecu memang melebihi siapa pun, cuma aku tidak tahu
651
Pendekar Cacat
dengan cara apakah Hwecu ingin bertemu Si-hun-mo-li? Konon dia tidak muncul setiap saat." Bong Thian-gak menyahut, "Ai, sesungguhnya persoalan inilah yang membuatku kesulitan, tentu aku harus mencari dulu si perantara." Siau-hiang-eng The Goan-ho yang selama ini cuma membungkam tiba-tiba menimbrung, "Menurut pendapatku baik si perantara maupun Si-hun-mo-li, bisa jadi semuanya berdiam pula dalam rumah penginapan ini" "Samte, tersiar di Hong-tok-ciu-lau ini terdapat seratus delapan buah kamar, dengan cara apa kita bisa memeriksa semua kamar?" seru Boan-thian-eng (Burung pembalik jagad) Bu Siau-hong. "Sekali pun tidak bisa juga harus diperiksa, kita tak boleh berpeluk tangan membiarkan Si-hun-mo-li mencelakai lakilaki lain lagi, siapa tahu suatu ketika dia akan mencari kita semua?" "Tio Im," tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya. "Apakah kau sudah berhasil memperoleh daftar tamu yang menginap di tempat ini?" "Lapor Hwecu," jawab Gin-ho-eng Tio Im dengan hormat, "daftar nama para tamu sudah kuperoleh, tapi sebagian besar orang yang punya nama, mencantumkan nama palsu mereka di buku, misalkan saja Mo Siau-pak dari Kim-liong-
652
Pendekar Cacat
kiam-san-ceng serta Siangkoan-lojin, mereka tinggal di sini, namun di daftar tidak ditemukan namanya." "Nama asli mereka tentu saja tak akan tercantum dalam daftar itu," Bong Thian-gak tertawa. Mendengar itu, semua orang lantas tertawa saling berpandangan penuh pengertian. Tiba-tiba Yu Hong-hong berseru dengan manja, "Bonghwecu ...." Karena sorot mata nona itu berkedip dan mengawasi dirinya tanpa henti, tanpa tetasa Bong Thian-gak bertanya, "Hong-hong, kau ada urusan apa?" "Ada satu masalah ingin kutanyakan kepada Hwecu, tapi apakah Hwecu mengizinkan?" "Katakan saja terus terang, kita kan sudah orang sendiri." "Apakah Hwecu kenal dengan ... dengannya?" tanya Yu Hong-hong agak tergagap. Tergetar perasaan Bong Thian-gak mendengar pertanyaan itu, sahutnya, "Aku hanya menduga saja, tidak terlalu pasti, itulah sebabnya aku harus melihat dengan mata kepala sendiri sebelum memastikan."
653
Pendekar Cacat
Tanya jawab kedua orang ini mengejutkan Gin-ho-eng Tio Im bertiga, serentak mereka berpikir, "Yang dimaksud Sumoay sebagai dia, sudah pasti Si-hun-mo-li." Sementara mereka masih berpikir, Yu Hong-hong telah berkata lagi dengan merdu, "Hwecu teliti dan cermat, kecerdikanmu melebihi siapa pun, aku percaya apa yang kau duga tak akan meleset, bisa jadi Si-hun-mo-li benar adalah orang yang diduga oleh Hwecu." "Hong-hong, apa yang hendak kau ucapkan? Tak usah raguragu, katakan saja semuanya!" Setitik air mata tampak menggenang di kelopak mata Yu Hong-hong, katanya, "Aku kuatir setelah Hwecu bertemu dengannya, dia akan mencelakai jiwa Hwecu." Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Andaikan Sihun-mo-li benar-benar orang yang kuduga, dia tak akan mencelakai jiwaku, bahkan siapa tahu dia enggan bertemu denganku." "Ai, sebenarnya aku boleh saja mengatakan siapa dia, tapi meski sudah kusebut namanya pun belum tentu kalian kenal, lebih baik tak usah dikatakan saja." Kembali Yu Hong-hong bertanya, "Seandainya Si-hun-mo-li betul-betul adalah orang yang telah diduga Hwecu, maka apakah tindakan yang akan Hwecu lakukan?"
654
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak mengangkat kepala dan termenung beberapa saat, lalu gumamnya, "Semoga saja bukan dia." "Berita yang tersiar di Bu-lim, dia dilukiskan sebagai setan iblis, perempuan siluman, gadis cabul, tapi aku meragukan kebenarannya. Itulah sebabnya aku harus bertemu dengannya, aku perlu membicarakan persoalan ini dengannya, sebab di saat kami berpisah dulu, dia adalah seorang gadis pemurung dan mudah putus asa, besar kemungkinan dia sudah tak bebas lagi."
Seandainya Si-hun-mo-li adalah Thay-kun, Bong Thian-gak tahu gadis itu patut dikasihani, sebab dia tahu Cong-kaucu tak menanti akan melepaskan dirinya begitu saja. Bila Thay-kun masih hidup, sekali pun tubuhnya adalah tubuh kasar miliknya, namun roh dan jiwanya sudah pasti bukan miliknya. Tentu saja segala sesuatunya itu baru dapat menjadi jelas bila Bong Thian-gak telah bersua dengannya. Untuk beberapa saat lamanya Hui-eng-su-kiam berdiri kaget, tertegun dan kebingungan mendengar perkataan Bong Thian-gak itu, mereka tidak tahu hubungan apakah yang pernah terjalin antara Hwecunya ini dengan Si-hunmo-li.
655
Pendekar Cacat
Menyaksikan kesedihan dan kemurungan yang menghiasi wajah Bong Thian-gak, Yu Hong-hong menghela napas panjang, katanya, "Harap Hwecu sudi memaafkan kelancanganku menanyakan masalah itu hingga mengungkap kembali kenangan pahit Hwecu di masa lampau."
Bong Thian-gak tersenyum. "Hong-hong, aku tak menyalahkan dirimu, aku hanya berharap agar kalian berempat mempercayai diriku, Bong Thian-gak tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan untuk berbakti kepada Tiong-yang-hwe." "Kami empat bersaudara sejak tiga tahun lalu membentuk Hui¬eng-su-kiam, selama ini kami selalu bersama, ada kesulitan dipikul berbareng, hari ini kami telah menyerahkan diri untuk berbakti kepada Tiong-yang-hwe, berarti mati-hidup kami telah diserahkan pada Hwecu, sejak kini bila Hwecu ada perintah, maka baik mendaki bukit golok maupun terjun dalam minyak mendidih, kami empat bersaudara tak akan menampik." Ucapan Tio Im ini diutarakan dengan tegas dan penuh kegagahan.
Bong Thian-gak manggut-manggut.
656
Pendekar Cacat
"Aku sangat bangga dapat memperoleh bantuan kalian berempat, semoga saja Tiong-yang-hwe bisa termasyhur di Bu-lim." Setelah berhenti sejenak, dia menyambung lagi, "Sekarang aku mempunyai suatu tugas yang hendak kuserahkan pada kalian berempat, sebelum matahari terbenam hari ini, kita berlima memisahkan diri ke lima arah melakukan pemeriksaan seksama terhadap setiap umat persilatan yang tinggal dalam Hong-tok-ciu-lau ini, tapi ingat! Apabila keadaan tidak memaksa, jangan sampai bentrok secara kekerasan." "Baik," sahut Hui-eng-su-kiam serentak.
Begitu perintah diturunkan, Hui-eng-su-kiam dan Bong Thian-gak berlima segera berpencar ke lima penjuru untuk mulai bertugas. Bong Thian-gak menuju ke arah tengah, dia berjalan lebih dulu menuju ke kamar nomor tujuh, dia tahu ruangan ini ditempati oleh Thia Leng-juan. Kamar itu yang termegah di Hong-tok-ciu-lau, satu di antara dua belas kamar istimewa, empat penjuru dikelilingi dinding rendah, pada arah timur dan barat dinding terdapat dua buah kebun bunga kecil, ada gunung-gunungan, gardu dan air mengalir.
657
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak berdiri di luar dinding di halaman belakang di sebelah utara. Rumah itu tertutup rapat, tampaknya Thia Leng-juan sedang keluar kamar.
Bong Thian-gak berdiri termenung beberapa saat, mendadak dia melompati dinding rendah itu dan langsung menuju ke kamar bagian belakang. Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara teguran dengan suara dingin seperti es, "Thia-tayhiap sedang keluar, memasuki kamar tanpa permisi, apakah kau tak kuatir disebut orang kurang adat?" Suara teguran itu cukup dikenalnya, pelan-pelan Bong Thian-gak membalik badan.
Terlihat majikan muda Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Siaupak sedang berdiri di belakang tubuhnya. "Mo-siaucengcu mencari aku?" tegur Bong Thian-gak hambar. Mo Siau-pak tertawa dingin.
658
Pendekar Cacat
"Kau telah melukai Siangkoan-lotoa, karena itu Mo Siau-pak tak akan melepas dirimu begitu saja." Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya dengan suara hambar, "Di sini tiada orang, bila ingin bertarung, cabutlah pedangmu dan lancarkan seranganmu!" "Pedangku tak pernah disarungkan tanpa hasil, kau tidak melolos pedangmu?" "Sudah kukatakan, kalau ayahmu Mo Hui-thian mungkin masih pantas bagiku untuk mempergunakan pedang, bila kau menganggap tindakanku ini suatu penghinaan, lebih baik kau jangan turun tangan." Berubah hebat paras muka Kiu-liong-sin-kiam Mo Siau-pak, bentaknya, "Baik, kalau kau enggan menggunakan senjata, terpaksa aku akan mengalah tiga jurus, sekarang lancarkan dulu seranganmu." "Hanya cukup dengan satu gebrakan saja kau akan keok, percaya tidak dengan perkataanku? Makanya aku selalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk melancarkan serangan lebih dulu."
Mo Siau-pak benar-benar dibikin gusar oleh ucapan itu, sambil tertawa dingin secepat kilat tubuhnya menerjang ke muka.
659
Pendekar Cacat
Tatkala tubuhnya berada berhadapan dengan Bong Thiangak, pedang naga sembilannya dilolos dengan tangan kanan. Cahaya pedang menyambar bagaikan bianglala lewat di sisi tubuh Bong Thian-gak. "Cring", dentingan nyaring berkumandang memecah keheningan. Akibat bentrokan itu, Mo Siau-pak mencelat.
Sedangkan pedang sembilan naganya rontok ke atas tanah, meski hawa pedang masih memancar, sayang sudah kehilangan kemampuan untuk melukai orang. Jian-ciat-suseng benar-benar hanya menggunakan satu jurus serangan saja dan Mo Siau-pak telah menderita kekalahan total.
Bukan hanya menderita kekalahan saja, Mo Siau-pak bahkan tak sempat mengetahui jurus serangan apakah yang telah dipergunakan lawan untuk merontokan pedang dalam genggamannya itu. Dia hanya merasa pergelangan tangannya sakit sekali, tahutahu pedangnya sudah rontok ke atas tanah.
660
Pendekar Cacat
Mo Siau-pak benar-benar tidak percaya dia menderita kekalahan dalam satu gebrakan saja, tapi kenyataan sudah di depan mata, Jian-ciat-suseng memang tidak bergeser selangkah pun. "Bret", pakaian bagian lengan kanan Jian-ciat-suseng rontok secara tiba-tiba ke atas tanah dan robek menjadi dua.
Pada saat itulah terdengar Bong Thian-gak berkata, "Kelihaian ilmu pedangmu sungguh di luar dugaanku, andaikata lenganku ini masih utuh, niscaya lenganku ini sudah pasti kau kutungi." Perkataan Bong Thian-gak ini sama sekali tidak membuat paras muka Mo Siau-pak berubah, sebab dia tahu serangan pedangnya bukan menyerang melalui sisi sebelah kanan, ujung lengan baju kanan lawan tersayat putus oleh karena dia berhasil merontokkan pedangnya lebih dulu, saat tubuhnya berputar, ujung lengan baju kanan yang berkibar tak terkendali dan tersayat putus oleh mata pedangnya. Beberapa patah kata Jian-ciat-suseng barusan, tidak lebih hanya sebagai hiburan bagi seorang yang baru menderita kekalahan.
661
Pendekar Cacat
Mendadak terdengar suara tawa bergema, dengan perasaan kaget Bong Thian-gak dan Mo Siau-pak berpaling. Dari balik halaman rumah pelan-pelan berjalan keluar seorang sastrawan berbaju biru, dia bukan lain adalah pendekar sastrawan Im-ciu Thia Leng-juan. Sambil tersenyum Thia Leng-juan berjalan menghampiri mereka, lalu membungkukkan badan mengambil pedang sembilan naga yang tergeletak di tanah, katanya, "Hari ini mata orang she Thia baru terbuka, serangan pedang Mosiaucengcu benar-benar dahsyat, sedangkan pukulan Cuangcu ini pun hebat. Kalian berdua sama-sama tangguh dan hebat, setali tiga uang, siapa pun tak ada yang kalah."
Sembari berkata dia membawa pedang sembilan naga itu dan diangsurkan ke depan Mo Siau-pak. Tiba-tiba Mo Siau-pak menghela napas panjang, lalu berbisik, "Ai, aku telah kalah, cuma yang membikin hatiku tak puas adalah mengapa saudara membiarkan aku kalah dalam satu gebrakan, tiada jago lihai yang mampu mengalahkan aku dalam satu gebrakan, kecuali ... kecuali ayahku sendiri."
Setelah menyerahkan pedang, Thia Leng-juan membalik badan dan mengalihkan pembicaraan ke soal lain, kepada
662
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak dia bertanya, "Mungkinkah saudara datang untuk mencari aku orang she Thia!" Tergerak hati Bong Thian-gak ketika dilihatnya Thia Lengjuan tidak mengenali dirinya, pikirnya, "Ya, benar! Dulu aku telah menyaru wajah dan sekarang muncul dengan wajah asli, tak heran Thia Leng-juan tak mengenali diriku lagi!" Kemudian sambil tersenyum dia menyahut, "Benar, aku memang ingin menyambangi pendekar sastrawan dari Imciu!"
Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kepandaian silat yang kau miliki sangat hebat, tak usah bertarung pun aku orang she Thia mengakui aku bukan tandinganmu." Rupanya Thia Leng-juan mengira mencarinya untuk menantang duel.
Bong
Thian-gak
Perbuatan Thia Leng-juan sebelum bertarung sudah mengaku kalah pun merupakan perbuatan yang mustahil dilakukan orang lain, mungkin di kolong langit ini tiada manusia yang bisa berbuat seperti ini. "Ai," Bong Thian-gak menghela napas. "Jian-ciat-suseng bukan seorang yang gemar mencari gara-gara tanpa alasan, harap Thia-tayhiap jangan salah sangka."
663
Pendekar Cacat
"Kalau begitu, ada urusan apa kau mencariku? Aku orang she Thia siap mendengar penjelasanmu," kata Thia Lengjuan sambil tertawa.
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata, "Seingatku, tiga tahun lalu Thia Leng-juan pernah berada di gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong." Sampai di situ, dia lantas membungkam dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya. Sementara paras muka Thia Leng-juan berubah hebat, tapi hanyi sebentar saja sekulum senyuman sudah kembali menghiasi wajahnya, dia berkata pula, "Ya, aku pun merasa seakan-akan pernah bersua denganmu di suatu tempat."
Hati Bong Thian-gak bergetar, sebenarnya ia ingin mengungkap asal-usul sendiri, tapi entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa di balik sorot mata Thia Leng-juan seakanakan terpancar serentetan sinar membunuh yang mengerikan. Maka dengan kening berkerut, sahutnya hambar, "Tengah hari kemarin, kita pernah bersua di tempat makan." "Bukan hanya kemarin."
664
Pendekar Cacat
"Kalau begitu, dapatkah Thia-tayhiap menerangkan dimanakah kita bersua lagi?" Bong Thian-gak balik bertanya. Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, justru aku orang she Thia tak bisa mengingatnya kembali." "Padahal kita baru bersua pertama kali di kota terlarang ini." "Hahaha, aku orang she Thia memang tidak pandai melayani tamu, silakan saudara dan Mo-siaucengcu masuk untuk minum teh!"
Sembari berkata, Thia Leng-juan segera berjalan lebih dulu menuju ke ruang tamu. Tapi secara tiba-tiba Mo Siau-pak merangkap tangan menjura seraya berkata, "Mo Siau-pak masih ada urusan lain yang mesti diselesaikan, karena itu ingin mohon diri." Begitu selesai berkata, dia lantas membalik badan dan melompat keluar tembok pekarangan. Thia Leng-juan tidak bermaksud menahan tamu, dia meneruskan perjalanannya menuju ke halaman depan diikuti Bong Thian-gak di belakangnya.
665
Pendekar Cacat
Tak selang lama mereka berdua sudah tiba di depan undakundakan pintu kamar.
Sembari membuka pintu, Thia Leng-juan berkata, "Tahukah kau, semalam di rumah penginapan ini sudah terjadi peristiwa besar?" "Soal direnggutnya dua sukma sepasang manusia jelek dari Hek-liong-kang oleh Si-hun-mo-li?" sahut Bong Thian-gak hambar Thia Leng-juan tertawa ringan, kemudian mendorong pintu dan mendonggakkan kepala. Tiba-tiba saja suara tawa Thia Leng-juan terhenti. Bong Thian-gak mendonggakkan kepala, tapi apa yang kemudian terlihatnya membuat dia terperanjat. Rupanya sembilan pedang darah yang berwarna menyala telah mengancam tenggorokan Thia Leng-juan. Pedang darah itu muncul dari balik kamar dan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun.
Oleh karena peristiwa ini terjadi sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan, lagi pula teknik yang digunakan
666
Pendekar Cacat
si penyergap untuk melancarkan serangan terlampau lihai, oleh karena itu pada hakikatnya tidak sempat lagi bagi Thia Leng-juan untuk menghindar, dia segera kena ditawan. Orang yang memegang pedang perempuan berkerudung kain merah.
Hiat-kiam
adalah
Rambutnya yang hitam memanjang terurai ke belakang bahu, kecuali matanya yang jeli, sepasang tangan yang putih halus, hampir anggota tubuh lainnya terbungkus di balik kain berwarna merah itu. "Kau adalah anggota perguruan pedang darah?" Thia Lengjuan menegur dengan tenang.
Hiat-kiam-bun atau Perguruan pedang darah merupakan suatu organisasi paling rahasia yang muncul di Bu-lim semenjak lenyapnya Put-gwa-cin-kau dari peredaran dunia. Kay-pang dan Hiat-kiam-bun merupakan dua perkumpulan yang paling termasyhur di Bu-lim saat ini. Hiat-kiam-bun termasyhur di Bu-lim karena penyergapannya dan teknik membunuh orang yang tidak meninggalkan bekas, membuat orang tak menduga sebelumnya. Siapakah ketua mereka? Ternyata tak seorang pun tahu.
667
Pendekar Cacat
Anggota mereka selalu membawa pedang berwarna merah darah dan mengenakan pakaian berwarna merah, sehingga nampak begitu menyeramkan dan menggidikkan.
Terdengar perempuan berkerudung merah memerintah dengan suara sedingin es, "Cepat masuk ke dalam atau pedang ini akan segera menembus tenggorokanmu!" Oleh karena ancaman itu, Thia Leng-juan tak bisa berkutik, terpaksa dia harus menurut perintah dan masuk ke dalam kamar. Pelan-pelan perempuan itu ikut mundur ke dalam, namun ujung pedang merahnya tetap menempel di tenggorokan Thia Leng-juan.
Bong Thian-gak ikut melangkah masuk, mendadak terdengar perempuan berkerudung merah memerintah, "Tutup pintu dan jangan punya pikiran lain atau tenggorokan orang ini akan segera berlubang." Perkataan itu jelas merupakan peringatan, terpaksa Bong Thian-gak harus turut perintah dan menutup pintu, kemudian berdiri di samping sambil menanti perubahan situasi.
668
Pendekar Cacat
Dia merasa anggota Hiat-kiam-bun selain memiliki kepandaian silat lumayan, orangnya pun amat cekatan, tenang dan pandai melihat gelagat.
Dengan suara masih tenang, Thia Leng-juan bertanya, "Apakah Hiat-kiam-bun hendak merenggut nyawaku?" "Bila Buncu kami menghendaki nyawamu, kau sudah tak dapat bicara sedari tadi," sahut perempuan itu dingin. Thia Leng-juan tersenyum. "Kalau begitu, mengapa pedang nona masih menempel terus di tenggorokanku?" "Buncu menginginkan kau mengucapkan beberapa patah kata, bila menolak, nyawamu akan segera kurenggut!" "Mana Buncu kalian?" "Buncu kami bukan sembarangan orang menjumpainya." Thia Leng-juan tertawa ringan.
dapat
"Sekarang nona menempelkan pedang di tenggorokanku, apakah bermaksud hendak memaksaku berbicara?"
669
Pendekar Cacat
Baru selesai dia berkata, mendadak dia meringankan kepalanya ke samping dengan maksud hendak menghindari tudingan ujung pedang lawan. Siapa tahu baru saja ia menggerakkan kepala, tahu-tahu terasa tenggorokan sakit sekali. "Jika kau berani bergerak lagi secara sembarangan, pedangku tidak akan kenal ampun." Rupanya pedang pendek yang berada di tangan perempuan berkerudung merah itu sudah menggores luka kulit tenggorokannya, darah segar segera memancar keluar. Agak berubah paras muka Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, dia merasa perempuan ini memiliki kecerdasan luar biasa. Kenyataan sukar bagi Thia Leng-juan untuk melepaskan diri dari ancaman bahaya begitu saja.
Berpikir sampai di sini, diam-diam timbul keinginan Bong Thian-gak untuk membantu Thia Leng-juan terlepas dari cengkeraman lawan. Terdengar perempuan berkerudung merah berkata, "Thiatayhiap pentang matamu lebar-lebar, orang-orang Hiatkiam-bun berani datang mencarimu, berarti kami memiliki kemampuan menghadapimu, oleh sebab itu baik-baiklah
670
Pendekar Cacat
menjawab pertanyaanku, kemungkinan besar kau masih dapat mempertahankan selembar nyawamu." Dengan senyum manis masih menghiasi wajahnya, Thia Leng-juan berkata, "Nona, kau ada urusan apa? Katakan saja terus terang."
Mendadak terdengar Bong Thian-gak berkata, "Nona, pedangmu belum dapat dipakai membunuh orang." "Mengapa belum dapat dipakai membunuh orang?" tanyanya dengan tertegunnya. Paras Bong Thian-gak sama sekali tidak mengunjuk perubahan, hanya katanya dengan suara hambar, "Pedang nona kalau memang bisa dipakai untuk membunuh orang, apa salahnya coba ditusukkan ke depan?"
Sembari berkata pemuda itu berjalan mendekat ke arahnya. "Berhenti!" bentak perempuan itu dengan suara menggelegar. "Bila kau berani maju selangkah lagi, dia ...." Belum habis dia berkata, Bong Thian-gak sudah mendesak ke arahnya dengan kecepatan bagaikan sukma gentayangan.
671
Pendekar Cacat
Perempuan itu terperanjat, belum pernah dia saksikan kepandaian silat semacam ini, cepat dia menggerakkan tangan kirinya melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke arah jalan darah Ciang-tay-hiat di dada Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak segera menggerakkan lengan kirinya, tangan yang kuat seperti jepitan baja itu mencengkeram pergelangan tangan gadis itu dengan kencang, sementara lengan kosongnya melancarkan bacokan. "Cring", dentingan nyaring bergema memecah keheningan. Dengan terperanjat gadis berkerudung merah itu mundur tiga-empat langkah, sementara matanya mengawasi pedang pendeknya yang kutung sebagian dengan wajah tertegun dan melongo.
Rupanya pedang pendek yang berada di tangan kanannya itu sudah digetarkan oleh pukulan Bong Thian-gak hingga patah menjadi dua bagian. Demonstrasi tenaga dalam ini kontan membuat setiap orang yang hadir di situ menjadi terperanjat dan pecah nyalinya.
672
Pendekar Cacat
"Siapa kau?" dengan terkesiap dan kaget gadis itu menegur. Thia Leng-juan tertawa, mewakili Bong Thian-gak sahutnya, "Dia adalah Jian-ciat-suseng." Sambil bicara, secepat kilat Thia Leng-juan berkelit ke samping.
Kepandaian silat Thia Leng-juan memang sudah lama termasyhur di Bu-lim, kalau tidak bergerak, tubuhnya tetap kaku seperti batu karang, namun jika sudah bergerak, kecepatannya melebihi sambaran petir. Dalam terkejut dan terkesiapnya, cepat perempuan itu memutar pedang kutung di tangan kanannya menciptakan serentetan cahaya pelangi berwarna cerah, kemudian langsung membacok ke bahu kanan Thia Leng-juan.
Di tengah gelak tertawa yang memekakkan telinga, Thia Leng-juan mengeluarkan ilmu simpanan Siau-lim-pay yang disebut Poh-liong-jin (Ilmu menangkap naga). Dengan gerakan yang luar biasa, dia mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan gadis itu, sementara kaki kanan pada saat bersamaan menendang alat kelamin gadis itu.
673
Pendekar Cacat
Satu serangan terdiri tiga gerakan berbeda, serangan Thia Leng-juan ini selain cepat, sempurna juga keji dan tidak berperi-kemanusian.
Terutama yang membikin orang terperanjat adalah tendangan Thia Leng-juan yang secara langsung mengarah bagian rahasia gadis itu, p.ida hakikatnya tindakan keji ini tak mungkin bisa dilakukan oleh seorang pendekar besar sejati, sebab serangan itu selain terkutuk, rendah, sndis, juga amoral. Lawan adalah seorang wanita, bila pria, maka perbuatan Thia Leng-juan mengarah alat kelamin lawan masih belum terhitung amoral.
Berubah wajah Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, serunya dengan suara dalam, "Thia-tayhiap, jangan bertindak keji." Dari jurus serangan yang digunakan Thia Leng-juan, Bong Thian-gak mengerti orang berniat menghabisi nyawa musuhnya. Sayang seruan Bong Thian-gak ini agak terlambat, walaupun gadis itu dapat menghindari cengkeraman dan pukulan ke arah dadanya, namun gagal menghindari tendangan ke arah kelaminnya.
674
Pendekar Cacat
"Aduh!" jeritan berkumandang.
kesakitan
yang
menyayat
hati
Gadis berkerudung merah berikut pedangnya tahu-tahu sudah mencelat hingga menumbuk dinding, kemudian pelan-pelan terduduk di tanah. Bong Thian-gak dapat menyaksikan dengan jelas semburan darah segar memancar dari tubuh bagian bawahnya. Dia belum mati, sepasang matanya yang sayu mengawasi Bong Thian-gak tanpa berkedip, dilihat dari mimik wajahnya, gadis itu seperti hendak mengutarakan sesuatu kepada anak muda itu.
Bong Thian-gak berjalan ke depan, namun Thia Leng-juan telah mendahului, dengan menggenggam kurungan pedang di tangan kanan dia tusuk dada gadis itu hingga tembus. Dengusan tertahan kembali bergema, dengan sorot mata penuh kebencian, gadis itu menatap wajah Thia Leng-juan lekat-lekat, lalu serunya tertahan, "Kau ... kau sungguh amat keji."
675
Pendekar Cacat
Dengan dua serangan yang mematikan bersarang di tubuhnya, gadis berkerudung merah itu tak mampu bertahan lagi, kepalanya segera terkulai lemas dan putus nyawa. Bong Thian-gak segera maju ke muka dan pelan-pelan melepas kain kerudung yang menutupi wajah gadis berbaju merah itu. Dia berwajah bersih dan cantik, tapi sekarang tewas dengan wajah penuh perasaan dendam dan benci.
Menyaksikan semua ini, Bong Thian-gak menghela napas sedih, ujarnya, "Thia-tayhiap, mengapa kau harus membunuhnya?" Thia Leng-juan tertawa dingin. "Hehehe, orang-orang Hiat-kiam-bun termasyhur karena kebuas dan kekejamannya, mereka senang menyergap dan membunuh orang, salahkah jika kulenyapkan seorang pembunuh dari muka bumi? Hahah” Selama tiga bulan lebih malang melintang dalam Bu-lim, orang yang terbunuh di tangan Jian-ciat-suseng pun mencapai ratusan orang lebih!"
676
Pendekar Cacat
Ketika mendengar perkataan itu, pelan-pelan Bong Thiangak membalikkan badan, tiba-tiba saja ia menyaksikan selapis perasaan licik dan sinis menghiasi wajah Thia Lengjuan, tergerak hatinya, diam-diam dia berpikir, "Thia Lengjuan telah berubah, dia sudah tidak mirip Thia Leng-juan tiga tahun lalu." Menyaksikan kenyataan ini, Bong Thian-gak semakin tak berani mengungkap keadaan yang sebenarnya.
Mendadak dia membalikkan badan dan beranjak pergi. "Eeh, saudara! Harap tunggu sebentar," tiba-tiba Thia Lengjuan berteriak. "Masih ada urusan apa?" tanya Bong Thian-gak sembari berpaling. Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, saudara memang seorang aneh, bukankah kau sengaja kemari untuk mencariku orang she Thia?" Bong Thian-gak manggut-manggut. "Benar, tapi sekarang aku sudah tidak memerlukan hal ini lagi." "Apakah saudara marah lantaran menyaksikan aku membunuh seorang anggota Hiat-kiam-bun?" "Tendanganmu itu terus terang sangat memuakkan."
677
Pendekar Cacat
Sekali lagi Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, aku tidak memiliki kepandaian silat selihai saudara, oleh sebab itu dalam melancarkan serangan mau tak mau harus kupakai serangan keji yang mematikan, padahal orang-orang Hiat-kiam-bun ...." Dia tidak berkata lebih lanjut, sedangkan Bong Thian-gak tahu dia hendak berkata, "Terhadap orang-orang Hiatkiam-bun, kita tak perlu membicarakan peraturan dunia persilatan lagi."
Bong Thian-gak menengok sekejap ke arahnya, lalu berkata, "Aku lihat gadis ini berwajah bersih dan menarik, tampaknya bukan jenis penjahat berhati keji." "Paras muka Si-hun-mo-li cantik jelita seperti bidadari, orangnya pun mulus dan cerah, tapi kenyataannya dia justru perempuan berhati ular yang membunuh orang tanpa berkedip." "Kau pernah bersua Si-hun-mo-li?" Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak. Thia Leng-juan tertawa.
678
Pendekar Cacat
"Kalau pernah bertemu, aku tak akan hidup sampai sekarang." Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, aku rada tidak percaya." "Tidak percaya apa?" Bong Thian-gak tidak berkata lebih lanjut.
Tapi Thia Leng-juan telah salah mengartikan maksud Bong Thian-gak sebagai, "Aku tidak percaya, setelah bertemu Sihun-mo-li, aku akan mati." Maka gelak tertawanya semakin bertambah keras, ucapnya, "Hahaha, kalau kau tidak percaya, mengapa tidak mencobanya sendiri?" Mendadak tergerak hati Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, segera tanyanya, "Bagaimana caraku menjumpainya?" "Aku bukan si perantara, tentu saja aku tak dapat mengajakmu bertemu dengannya," kata Thia Leng-juan sambil tertawa. "Tapi aku pernah mendengar orang bilang, asal di hatimu berkeinginan bertemu Si-hun-mo-li, maka perempuan itu akan datang sendiri menjumpaimu." "Ah, masa di kolong langit terdapat kejadian seaneh ini?" seru Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
679
Pendekar Cacat
"Banyak kejadian aneh akan kau jumpai di dunia ini, sebab tidak percaya pun kau pasti akan menjadi percaya akhirnya." "Baik! Aku memang ingin bertemu dengannya, bahkan maksu kedatanganku kemari memang ingin bertemu dengannya." "Wah, itu lebih baik lagi, siapa tahu tengah malam nanti Sihu mo-li akan berkunjung ke dalam kamarmu." "Tengah malam nanti dia benar-benar akan datang?" kem sepasang mata Bong Thian-gak berkilat.
Thia Leng-juan tertawa. "Asal kau ingin bertemu dengannya, perasaan halusnya pasti akan merasakan hal itu." "Kalau begitu aku mohon diri." Sembari berkata Bong Thian-gak menjura, kemudian membalik badan dan berlalu dari situ. Tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasakan suatu firasat, terhadap Thia Leng-juan, dia dapat melihat sorot mata Thia Leng-juan berkedip tiada hentinya sepanjang pembicaraan, ini menunjukkan dalam hati mempunyai suatu maksud dan tujuan tertentu.
680
Pendekar Cacat
Sebenarnya Bong Thian-gak masih berniat mencari tahu kabar tentang Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sekalian kakak seperguruannya, tapi sekarang niat itu harus diurungkan untuk sementara waktu. Karena dia tahu dunia persilatan adalah suatu dunia yang penuh dengan mara bahaya, tiga tahun terakhir ini bisa jadi Thia Leng-juan telah berubah, berubah menjadi seorang laknat licik, kejam dan banyak akal muslihatnya. Sambil berjalan Bong Thian-gak memutar otak. Mendadak dari depan sana terdengar seseorang bersuara, "Lapor, Bong-hwecu!"
Dia lihat Yu Hong-hong sedang berlarian mendekat dengan wajah gugup dan kebingungan. "Hong-hong, apa yang telah terjadi?" Bong Thian-gak segera menegur dengan wajah keheranan. "Bu Siau-hong dan The Goan-ho telah ditangkap orangorang Kay-pang." "Hah? Apa yang telah terjadi hingga mereka tertangkap?" tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar.
681
Pendekar Cacat
"Sewaktu melakukan pemeriksaan atas kamar nomor sembilan puluh sembilan, The Goan-ho menemukan di dalam kamar itu berdiam banyak orang, dia pun menghubungi Bu Siau-hong untuk melakukan penyelidikan, siapa tahu orang yang berdiam dalam kamar itu adalah anggota Kay-pang, sewaktu mereka menyaksikan munculnya Bu Siau-hong dan The Goan-ho di sana, dianggapnya ada musuh sedang memata-matai mereka, maka ditangkaplah kedua orang itu." "Terjadi pertarungan?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Secara beruntun Bu Siau-hong dan The Goan-ho telah melukai tujuh orang Kay-pang, tapi akhirnya mereka dikalahkan oleh seorang jago muda."
Mendengar sampai di sini, Bong Thian-gak menghela napas. "Ai, Kay-pang merupakan perkumpulan yang sedang jayajayanya dalam Bu-lim dewasa ini, dengan tindakan Bu Siauhong dan The Goan-ho yang telah melukai ketujuh anggota mereka, niscaya akan besar sekali kesulitan yang bakal dijumpai."
682
Pendekar Cacat
"Hwecu, sesungguhnya kami tak seharusnya mencari garagara untukmu, apa lagi dalam situasi seperti ini, tapi orangorang Kay-pang tidak tahu aturan."
Diam-diam Yu Hong-hong merasa amat girang, namun ia tidak memperlihatkan rasa girangnya itu, katanya setelah menghela napas panjang, "Hwecu adalah seorang ketua perkumpulan, mana boleh kita jumpai mereka begitu saja?" "Kemunculan Tiong-yang-hwe dalam Bu-lim, cepat atau lambat tentu akan berakibat bentroknya kita dengan orangorang Kay-pang, tak usah banyak bicara lagi, sekarang juga kita harus pergi menemui orang-orang Kay-pang, kalau tidak, niscaya Bu Siau Bong dan The Goan-ho akan menderita."
Yu Hong-hong tidak bicara lagi, lekas saja mereka pun berangkat menuju ke kamar nomor sembilan puluh sembilan. Kamar nomor sembilan puluh sembilan adalah kamar terbesar di Hong-tok-ciu-lau, dalam halaman tersendiri itu terdapat tujuh buah bilik dan sekelilingnya terdapat pagar pekarangan yang tingginya mencapai beberapa kaki.
683
Pendekar Cacat
Ketika Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong tiba di depan pintu, terdengarlah suara yang amat mereka kenal sedang berseru dengan suara lantang, "Kalian orang-orang dari Kay-pang benar-benar kelewatan menghina orang, aku she Tio sudah minta maaf kepada kalian, mengapa kalian masih juga belum melepas orang?" Bong Thian-gak tahu itu suara Gin-ho-eng Tio Im, maka dia mempercepat langkahnya menuju ke sudut dinding.
Pada saat itulah Yu Hong-hong berseru, "Ketua Tiong-yanghwe telah tiba, harap orang-orang Kay-pang muncul untuk menyambut." Di halaman terlihat ada sembilan orang berbaju putih penuh tambalan berdiri tegak, Tio Im sedang berdiri dikurung oleh mereka. Ketika mendengar seman Yu Hong-hong tadi, kesembilan orang berbaju putih itu nampak tertegun, lalu bersamasama mengalihkan sorot matanya. "Tiong-yang-hwe!"
Nama itu terasa sangat asing dalam Bu-lim, oleh sebab itu setelah memandang ke arah Bong Thian-gak dan Yu Hong-
684
Pendekar Cacat
hong, tiba-tiba saja kepalanya mendongak dan terbahakbahak dengan kerasnya. Gelak tawa itu penuh dengan nada menghina, mengejek dan memandang rendah. Jelas keadaan Bong Thian-gak yang cacat dan buntung tangannya membuat mereka memandang hina kepadanya. Menyaksikan kesembilan orang itu tertawa terbahakbahak, tanpa terasa Yu Hong-hong mengerutkan dahi, kemudian bentaknya nyaring, "Hei, sudah tuli semua kalian? Hwecu kami telah datang, mengapa kalian tidak mengundang penerima tamu untuk menyambut kedatangan beliau?" Tiba-tiba Bong Thian-gak berbisik, "Hong-hong, jangan gusar, mari kita saja yang menghampiri mereka."
Sembari berkata Bong Thian-gak berjalan mendekati mereka. Tatkala Gin-ho-eng Tio Im menyaksikan Bong Thian-gak berjalan mendekat, dia segera membalikkan badan hendak memberi hormat kepadanya, tapi tiba-tiba saja salah satu orang berbaju putih itu telah membentak keras, "Mundur!" Sebuah pukulan dahsyat langsung ditujukan ke arah dada Gin-ho-eng Tio Im.
685
Pendekar Cacat
Dengan cekatan Gin-ho-eng Tio Im berkelit ke samping sambil membalikkan pergelangan tangannya ke kanan, belum sempat pedang dilolos keluar, tiba-tiba Bong Thiangak sudah berteriak, "Tio Im, jangan bertindak gegabah!"
Kemudian sambil menjura kepada kesembilan orang berbaju putih itu, katanya lagi, "Sembilan saudara pelindung hukum Kay-pang, bila aku Bong Thian-gak melakukan kesalahan sukalah memberi petunjuk." Benar juga, kesembilan orang ini memang benar-benar pelindung hukum Kay-pang, salah seorang di antaranya berwajah putih dan gemuk pendek, agaknya merupakan komandan kesembilan orang itu. Dia memutar sepasang mata elangnya mengawasi Bong Thian-gak beberapa kejap, kemudian tanyanya dengan suara dingin, "Jadi kau adalah ketua Tiong-yang-hwe?" "Benar memang aku!" jawab Bong Thian-gak tertawa. "Apakah Hui-eng-su-kiam adalah anak buahmu?" kembali kakek gemuk pendek itu bertanya. "Tiong-yang-hwe belum lama didirikan, jumlah anggota kami baru lima orang." "Saudara sebagai ketua perkumpulan, mengapa memerintahkan anak buahmu melakukan perbuatan
686
Pendekar Cacat
terkutuk dengan menyusup ke halaman rumah orang, kemudian mengintip rahasia orang?"
Senyum manis masih tetap menghiasi wajah Bong Thiangak, katanya, "Kami tidak tahu tempat ini sudah disewa perkumpulan kalian, coba kalau tahu, tak nanti kami menyusup kemari." Beberapa patah kata Bong Thian-gak ini boleh dibilang sudah cukup mengalah dan memberi muka kepada pihak Kay-pang. Sayang kakek gemuk itu tak tahu diri, sambil tertawa dingin katanya lagi, "Setiap orang yang berani melanggar peraturan Kay-pang, maka dia harus menerima pemeriksaan lebih dahulu dan menjalani hukuman, walaupun kau adalah seorang ketua, sayang kami tidak memberi muka padamu, kuanjurkan lebih baik cepat tinggalkan tempat ini."
Mendadak Bong Thian-gak menarik muka dan menegur, "Siapa yang ditugaskan untuk mewakili perkumpulan kalian di kota ini?' Kakek gemuk itu tertawa dingin. "Seorang pelindung hukum Kay-pang mempunyai hak untuk bicara, setiap satu perkataan kami berarti perintah, kuharap kau segera angkat kaki."
687
Pendekar Cacat
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, dengan suara dalam tanyanya lagi, "Siapa yang ditugaskan mengepalai tempat ini? Kalau kalian masih membungkam, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia sengaja mengerahkan tenaga dalam, setiap patah kata yang keluar dari mulutnya seperti guntur menggelegar, mendengung hingga jauh, membuat semua hadirin merasakan hawa darah di dada bergelora dan terasa tak nyaman. Sembilan orang berbaju putih itu terhitung pelindung hukum yang tangguh, kepandaian silat mereka tidak lemah, akan tetapi mendengar perkataan Bong Thian-gak dengan suara auman singa itu, tak terlukis rasa terkejut di hatinya, sadarlah mereka kalau kepandaian silat orang ini cukup lihai.
Sambil tertawa dingin kakek gemuk pendek itu berkata, "Auman singa saudara tak akan mengejutkan Tongcu kami, Giok-bin-giam-lo To Siau-hou pun sudah cukup lama mendampingi Pangcu kami." Begitu nama To Siau-hou disebut, Bong Thian-gak tertegun, pikirnya, "Oh, rupanya dia, To Siau-hou tidak tewas oleh pukulan Jit-kaucu Thay-kun, tentu saja kejadian ini
688
Pendekar Cacat
merupakan suatu keajaiban, kalau begitu ketua Kay-pang benar-benar seorang yang maha sakti."
Sementara itu si kakek gemuk pendek yang menyaksikan paras muka Bong Thian-gak berubah tak menentu, disangkanya pemuda ini dibikin keder oleh nama besar To Siau-hou, tanpa terasa serunya dengan perasaan bangga, "Bagaimana? Bila saudara pernah mendengar nama besar To Siau-hou, lebih baik cepat mencawat ekor dan enyah dari tempat ini!" Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa dingin, serunya, "Tio Im, beri pelajaran kepada manusia takabur ini, tapi jangan sampai merengut jiwanya, cukup melukainya saja."
Sejak tadi Gin-ho-eng Tio Im sudah dibikin mendongkol oleh tingkah-laku pongah musuh, tapi tiada tempat untuk melampiaskan rasa dongkolnya. Begitu mendengar perintah, dia segera membalikkan pergelangan tangan dan "Cring", ia melolos pedang dari sarungnya. Di antara getaran pergelangan tangannya, tampak setitik cahaya bintang menusuk ke perut kakek gemuk itu dengan kecepatan luar biasa.
689
Pendekar Cacat
Agaknya kakek bertubuh gemuk pendek itu tidak menyangka serangan pedang Tio Im dilancarkan sedemikian cepatnya, dalam kaget dan ngerinya, cepat dia memutar badan sambil bergeser ke sisi kiri. Siapa tahu Gin-ho-eng Tio Im sudah bertekad melukai musuhnya, maka dia sudah bersiap mengeluarkan ilmu Coa-tin-toh yang diwariskan Hong Thian-gak kepadanya. "Kena!" bentaknya dengan lantang.
Gin-ho-eng Tio Im membungkukkan tubuh, sementara pedangnya yang berada di tangan kanan sudah bergerak dari bawah secara aneh langsung menusuk secepat kilat. Jeritan tertahan bergema, bahu kiri kakek gemuk pendek itu benar-benar terkena tusukan, darah segar segera memancar keluar dan membasahi pakaiannya yang berwarna putih. Betapa terkejut dan gusarnya delapan orang berbaju putih lainnya menyaksikan komandannya menderita kalah dalam dua gebrakan saja, diiringi bentakan nyaring, serentak kedelapan orang itu melabrak maju bersama. Mendadak terdengar bentakan nyaring, "Kalian lekas mundur!"
690
Pendekar Cacat
Kedelapan orang berbaju putih itu bersama-sama menghentikan gerakan tubuh mereka yang sedang menerjang ke muka, lalu berpaling ke samping. Di atas undak-undakan pintu kamar telah berdiri seorang pemuda berbaju putih yang berwajah tampan, bertubuh kekar dan gagah perkasa, sebilah pedang bersarung bambu tersoreng di pinggangnya. Sekilas pandang saja Bong Thian-gak segera mengenali pemuda di atas undak-undakan itu adalah Giok-bin-giam-lo To Siau-hou, raut wajahnya tidak banyak mengalami perubahan, tapi sikapnya jauh lebih tenang, serius dan kereng.
Dengan sorot mata tajam To Siau-hou mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, bahkan mengamati dari atas kepala sampai ke ujung kaki, setelah itu dia baru berkata sambil tertawa dingin, "Sungguh tak kusangka Jian-ciatsuseng telah menjadi ketua Tiong-yang-hwe." Ketika kesembilan Huhoat Kay-pang mendengar nama Jianciat-suseng, serentak paras muka mereka berubah hebat, mimpi pun mereka tak pernah mengira ketua Tiong-yanghwe ini bukan lain adalah Jian-ciat-suseng yang amat termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini.
691
Pendekar Cacat
"Ah, syukur aku selamat!" seru kakek gemuk pendek itu.
Dia bersyukur cukup bernasib baik hingga bukan Jian-ciatsuseng yang dihadapinya tadi, kalau tidak, niscaya selembar jiwanya sudah melayang meninggalkan raganya. Sambil tersenyum, Bong Thian-gak berkata, "Tiong-yanghwe baru didirikan tiga hari berselang, tentu saja bila nama dan kedudukan kami dibandingkan perkumpulan kalian, keadaannya ibarat rembulan dengan kunang-kunang." Paras muka To Siau-hou berubah serius sekali, ujarnya kemudian, "Kalau Tiong-yang-hwe dipimpin Jian-ciatsuseng, sudah pasti masa depannya akan semakin cerah." "Terima kasih, terima kasih!" Bong Thian-gak tertawa.
Dengan kening berkerut, kembali To Siau-hou berkata, "Dengan kehadiran saudara sendiri untuk minta kembali orangmu, semestinya To Siau-hou harus segera menyerahkannya kepadamu, namun aku tahu nama besar Jian-ciat-suseng akhir-akhir ini ibarat matahari di tengah angkasa, setiap umat persilatan yang berjumpa denganmu tak urung pasti akan menantangmu berduel, oleh sebab itu mumpung ada kesempatan, aku pun ingin minta petunjuk darimu."
692
Pendekar Cacat
"To-siauhiap masih muda dan berjiwa panas, masalah bertanding ilmu silat memang suatu hal yang tak bisa dihindari, cuma aku rasa pertarungan pada saat dan keadaan seperti ini kelewat sembrono dan tidak cocok, maka aku ingin memilih waktu lain saja untuk menantikan petunjuk darimu." To Siau-hou termenung sebentar, tiba-tiba ucapnya kepada kesembilan orang berbaju putih itu, "Kalian lepaskan Boan Thian-eng serta Siau Hiang-eng!"
Buru-buru Bong Thian-gak menjura seraya katanya, "Kesediaan To-tongcu memberi muka padaku, tak pernah oraing she Bong lupakan." "Tengah hari besok, kita bertemu di Hong-leng, pintu kota sebelah utara," ucap To Siau-hou dingin. "Baik, sampai waktunya aku pasti datang."
Baru selesai berkata, Boan Thian-eng, Bu Siau-hong serta Siau-hiang-eng dan The Goan-ho sudah berjalan keluar dari ruang tengah. Selain pakaian mereka yang terkena percikan darah, segala sesuatunya tetap normal dan lengkap seperti sedia kala.
693
Pendekar Cacat
Dengan cepat mereka menemui Bong Thian-gak. "Mari kita pergi," ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam. Seusai berkata, dia melangkah keluar lebih dulu dari pintu halaman dan langsung kembali ke kamar nomor tiga puluh enam. Hui-eng-su-kiam tidak banyak komentar, mereka membuntuti di belakangnya, lalu duduk di kamar mereka.
Sesudah duduk, Bong Thian-gak memandang mereka sekejap, lalu pelan-pelan berkata, "Tampaknya kota terlarang sudah menjadi pusat perkumpulan segenap jago lihai dari berbagai aliran dan perguruan yang ada saat ini, menurut apa yang kuketahui, dua perkumpulan raksasa dewasa ini, Hiat-kiam-bun dan Kay-pang telah menampakkan diri secara terang-terangan." "Padahal Tiong-yang-hwe kita baru saja didirikan, anggotanya cuma kita berlima, dengan kekuatan ini, mustahil kita bisa menandingi kekuatan lawan yang begitu besar, karenanya kusarankan kepada kalian agar mengurangi segala tindak-tanduk yang menyolok mata, kalau tidak, kita bisa dikeroyok dan Tiong-yang-hwe bisa mati dalam rahim sebelum dilahirkan."
694
Pendekar Cacat
Ucapan Bong Thian-gak barusan membuat Hui-eng-su-kiam menundukkan kepala rendah-rendah, serentak mereka berkata, "Kami berempat merasa bersalah kepada Hwecu atas peristiwa yang terjadi, kami bersedia menerima hukuman dari Hwecu." Bong Thian-gak tersenyum. "Kalian tidak membuat gara-gara, tiada kesalahan yang perlu dijatuhi hukuman. Apa yang barusan kuucapkan tidak lebih hanya memperingatkan kalian saja agar tahu diri." Terhadap sikap terbuka, bijaksana dan kebesaran jiwa Bong Thian-gak, Hui-eng-su-kiam merasa amat kagum dan menaruh hormat, mereka betul-betul tunduk atas keagungan pemimpinnya ini.
Tiba-tiba Hwe-im-eng Yu Hong-hong berkata, "Lapor Hwecu! Dari dalam kamar nomor seratus delapan, kutemukan banyak perempuan asing berkumpul di situ, sebelum aku melakukan penyelidikan, Jiko sudah terlibat dalam pertarungan, oleh karena itu aku belum sempat menyelidiki lebih jauh." Tergerak hati Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian, "Hong-hong, mari ikut aku menengok ke situ, sedang Tio Im bertiga segera mencari berita ke kota!"
695
Pendekar Cacat
Dengan memisahkan diri dalam dua rombongan, berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu.
Yu Hong-hong dan Bong Thian-gak dengan langkah pelan berjalan menuju halaman besar paling belakang sana. Kamar nomor seratus delapan merupakan kamar besar terpojok dalam rumah penginapan itu, letaknya di sudut barat dan sekeliling ruangan dilapisi dinding pendek. Dinding perkarangan sebelah barat merupakan dinding yang paling tinggi, makin ke belakang makin rendah. Kamar itu termasuk penginapan itu.
terpencil
dan
tersepi
dalam
Dengan pelan Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong berjalan menuju ke depan tembok pekarangan itu, sekeliling halaman itu sunyi senyap tak terdengar sedikit suara pun. "Aneh!" Yu Hong-hong berbisik. "Baru saja kutemukan perempuan berlalu-lalang di sini, mengapa dalam waktu singkat sudah sepi?" "Tentu mereka mengawasi gerak-gerik kita dari balik tembok pekarangan sana, kalau kita melakukan penyelidikan dengan cara begini, mustahil kita dapat
696
Pendekar Cacat
memperoleh berita yang diperlukan, mari kita berjalan mengitari tembok pekarangan saja." Baru selesai dia berkata, tiba-tiba pintu halaman dibuka orang.
Dengan terbukanya pintu, dari balik halaman muncul seorang gadis muda, langsung berjalan menghampiri Bong Thian-gak dengan langkah cepat. "Majikan kami mempersilakan saudara minum teh," ujarnya sambil tersenyum. Yu Hong-hong berkerut kening, lalu bertanya, "Siapakah majikan kalian? Mungkin salah orang?" "Tak bakal salah," sahut nona berbaju hijau itu sambil tertawa merdu. "Biarpun jago persilatan banyak berkumpul di kota terlarang ini, namun hanya seorang yang berlengan tunggal."
Waktu menjawab, nona itu tidak menyinggung sama sekali nama majikannya. Bong Thian-gak tersenyum. "Harap nona menunjuk jalan!"
697
Pendekar Cacat
"Kita akan masuk?" Yu Hong-hong berbisik. "Kita tak dapat menampik undangannya begitu saja?" "Tapi undangan semacam ini tampaknya sedikit tak beres." Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Yu Honghong, lalu sahutnya lagi, "Setelah datang, mengapa harus menolak?"
Yu Hong-hong tersenyum penuh arti, sementara dalam hati pikirnya, "Ilmu silat yang memiliki Hwecu sangat lihai, buat apa aku menguatirkan keselamatannya? Kalau tidak memasuki sarang harimau, bagaimana mungkin bisa memperoleh anak macan? Kita memang berniat mencari tahu siapa gerangan yang berdiam dalam halaman itu?" Sementara itu si nona berbaju hijau yang berjalan di muka sudah memasuki pintu halaman dengan langkah cepat. Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong segera ikut masuk ke dalam, tiba-tiba saja pandangan mereka terasa silau.
Ternyata dalam ruangan itu dipasang tujuh batang lilin besar, terangnya seperti berada di siang hari bolong, setiap sudut dan orang yang berada dalam ruangan itu terlihat jelas.
698
Pendekar Cacat
Pada sisi dinding utara dan selatan masing-masing berderet delapan belas orang perempuan berbaju dan berkain cadar merah membawa pedang pendek berwarna merah darah pula. Sementara itu dari arah belakang kembali terdengar suara langkah manusia, menyusul sembilan orang perempuan berkerudung merah dengan membawa pedang pendek berjalan masuk ke dalam ruangan. Pintu ditutup rapat, sedang kesembilan perempuan berkerudung merah itu berdiri berjajar di depannya, menghadang jalan pergi orang.
Dari keadaan yang terpampang di depan mata, Yu Honghong segera tahu pihak lawan tidak berniat baik, namun berhubung dilihatnya sikap Bong Thian-gak masih tetap tenang seolah-olah seperti tidak pernah terjadi sesuatu, terpaksa dia harus menenteramkan perasaannya sambil menunggu perubahan selanjutnya. Nona berbaju merah tadi menunjuk ke arah meja dan kursi di ruang tengah, lalu katanya, "Harap kalian berdua duduk lebih dulu, sebentar lagi majikan kami akan muncul." Bong Thian-gak tersenyum, "Bila aku dapat bersua dengan ketua Hiat-kiam-bun hari ini, tidak sia-sia perjalananku kali ini."
699
Pendekar Cacat
Seraya berkata, dia dan Yu Hong-hong lantas duduk di kursi sudut tenggara.
Baru saja duduk, dari bilik sebelah berat terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang. Orang pertama yang berjalan masuk lebih dulu adalah seorang gadis berbaju merah berkerudung merah pula. Perempuan itu tidak membawa pedang pendek, namun di balik bahunya tersoreng sepasang pedang panjang, rambutnya yang mulus terurai di bahu, tubuhnya ramping dan menawan hati, kalau dilihat dari umurnya mungkin tak lebih dari dua puluh empat tahun. Mengikut di belakangnya bukan wanita, melainkan tiga orang aneh berperawakan tinggi besar berjubah merah darah dan berjalan kaku seperti mayat hidup.
Ketiga orang aneh berjubah merah itu tidak membawa senjata, namun tampang serta perawakannya mengerikan dan menggidikkan, mendatangkan daya pengaruh yang lebih mengerikan ketimbang perempuan-perempuan berkerudung merah lainnya. Perempuan berkerudung merah yang menyoreng pedang berjalan menuju ke tempat duduk tuan rumah, kemudian
700
Pendekar Cacat
tanpa mengucapkan sepatah kata pun duduk di situ, sementara ketiga orang aneh tadi berdiri berjajar di belakangnya. Pikir Bong Thian-gak, "Perempuan inikah ketua Hiat-kiambun?
Belum habis berpikir, terdengar perempuan berkerudung merah yang menyoreng pedang berseru dingin, "Gotong kemari mayat itu!" Bersama dengan suara mengiakan, dari halaman belakang muncul empat orang gadis berkerudung merah, mereka menggotong sebuah papan persegi panjang, di atasnya berbaring sesosok mayat perempuan berbaju merah pula. Di atas dada mayat tertancap sebilah kutungan pedang, sementara di antara belahan pahanya, tepatnya di atas kemaluanya tampak darah masih mengucur dengan derasnya. "Oh, dia!" pekik Bong Thian-gak dalam hati.
Sang korban adalah nona berkerudung merah yang dibunuh secara keji oleh Thia Leng-juan dalam kamar nomor tujuh tadi, tapi mengapa secepat itu mayatnya sudah digotong kemari?
701
Pendekar Cacat
Bagaimana dengan Thia Leng-juan sendiri? Apakah dia telah tertimpa suatu musibah? Ingatan itu dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak. Dalam pada itu keempat gadis berkerudung merah itu sudah menggotong masuk mayat tadi dan diletakkan di tengah ruangan, kemudian mengundurkan diri ke samping.
Pada saat itulah si nona berkerudung merah yang menyoreng pedang mencorongkan sepasang matanya yang dingin mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, kemudian tegurnya dingin, "Hari ini, Hiat-kiam-bun telah kehilangan seorang pembantu setia, atas kematian yang mengenaskan itu segenap anggota Hiat-kiam-bun bertekad hendak membalas dendam baginya, benar-benar tak disangka arwah sang korban telah membantu usaha kita dan pembunuhnya bisa datang dengan segera."
Berubah paras muka Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, cepat tegurnya, "Maksud Buncu, aku yang telah membunuhnya?" "Aku bukan ketua Hiat-kiam-bun, aku tak lebih hanya wakil ketua kedua, sedang yang tewas adalah wakil ketua kesembilan."
702
Pendekar Cacat
"Oh, kalau begitu siapakah Buncu Hiat-kiam-bun?" "Sampai sekarang kedudukan ketua Hiat-kiam-bun masih lowong, untuk sementara waktu semua persoalan perguruan ditangani oleh Cong-hubuncu. Aku adalah wakil ketua kedua, boleh dibilang pentolan nomor dua perguruan Hiat-kiam-bun, biarpun kau menjadi ketua Tiong-yang-hwe, namun kedudukanmu tak jauh dari kedudukanku sekarang." "Mengapa kursi ketua Hiat-kiam-bun masih tetap lowong?" tanya Bong Thian-gak.
"Selama berkecimpung dalam Bu-lim, Hiat-kiam-bun tidak punya rahasia yang kuatir diketahui orang, apa sebabnya kedudukan ketua Hiat-kiam-bun masih kosong? Adalah karena pendiri Hiat-kiam-bun masih belum diketahui jejaknya sampai sekarang, maka kedudukan itu tetap lowong sampai saat ini, nah, semua keterangan sudah aku berikan, kau Jian-ciat-suseng pun termasuk manusia yang tahu keadaan, siapa membunuh orang dia harus membayar dengan nyawa, bersiaplah untuk menerima kematian!" Tiba-tiba Yu Hong-hong membentak gusar, "Enak amat kalau bicara, kau anggap Tiong-yang-hwe bisa dipermainkan semaumu?"
703
Pendekar Cacat
Sebaliknya Bong Thian-gak bertanya sambil tersenyum, "Jihubuncu, tolong tanya, apakah kau saksikan sendiri aku orang she Bong yang membunuh Kau-hubuncu partai kalian?" Agaknya pertanyaan ini mencengangkan Ji-hubuncu Hiatkiam-bun, ia tertegun dengan berdiri melongo untuk beberapa saat, kemudian baru berkata, "Biar pun tidak kuketahui, namun Thia Leng-juan jelas tidak mempunyai kemampuan untuk membunuhnya." Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak berkerut kening sambil pikirnya, "Jika kukatakan Kau-hubuncu tewas di tangan Thia Leng-juan, dengan kemampuannya bagaimana mungkin Thia Leng-juan dapat menandingi sedemikian banyak jago-jago lihai Hiat-kiam-bun? Bila kuakui, maka mereka pun tak akan melepaskan diriku."
Saat ini Bong Thian-gak benar-benar dibuat serba susah dan tak mampu mengambil keputusan, tak heran dia membungkam. Kembali Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun berkata, "Kau-hubuncu sedang mendapat tugas menyelidiki suatu rahasia besar, mungkin dia telah menemukan rahasia besar itu sehingga musuh membunuh secara keji." "Mula pertama musuh menggunakan tendangan yang terkutuk Kou-im-tui untuk menendangnya, kemudian
704
Pendekar Cacat
menancapkan kutungan pedang di jantungnya hingga menyebabkan kematian, cukup dilihat dari jurus serangan itu, jelas sudah pembunuh adalah manusia laknat yang buas dan biadab!"
Tiba-tiba mencorong sinar aneh dari mata Bong Thian-gak, tanyanya, "Bila aku mau membunuh Kau-hubuncu, perlukah kugunakan jurus Kou-im-tui?" "Kalau memang pembunuhnya?"
bukan
perbuatanmu,
siapa
Bong Thian-gak tertegun sejenak, lalu balik bertanya, "Dimana kau temukan jenazahnya?" "Di dalam kamar nomor tujuh, Thia Leng-juan yang mengutus orang datang mengabarkan musibah ini." "Menurut Thia Leng-juan, siapakah pembunuhnya?" "Kau, Jian-ciat-suseng!"
Jawaban Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun ini amat dingin dan hambar. "Apakah Ji-hubuncu percaya dengan perkataan Thia Leng-juan?" dengan tenang Bong Thian-gak tersenyum. "Aku memang rada tak percaya!"
705
Pendekar Cacat
Yu Hong-hong yang mendengar perkataan itu segera menyahut, "Kalau tidak percaya, mengapa kau menuduh Hwecu kami sebagai pembunuhnya?" "Aku tidak mengatakan aku sama sekali tidak percaya," kata Ji¬hubuncu dengan suara dingin. "Terus terang saja kukatakan padamu, di saat Kau-hubuncu partai kalian tewas secara mengenaskan, aku orang she Bong memang hadir di arena, tapi bukan aku pembunuhnya, percaya atau tidak, terserah kepadamu." "Mengapa tidak kau katakan siapa pembunuhnya?"
Bong Thian-gak menghela napas sedih, sahutnya kemudian, "Ai, aku hanya berharap kau percaya bahwa pembunuhnya bukan aku." "Bila tak kau katakan siapa pembunuhnya, berarti kau pembunuh Kau-hubuncu kami," ujar Ji-hubuncu dengan suara menyeramkan. "Karenanya kau harus meninggalkan selembar nyawamu hari ini."
Kembali Bong Thian-gak tersenyum. "Jika kalian ingin menahanku, maka hal ini harus kalian lakukan dengan membayar sangat mahal."
706
Pendekar Cacat
Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun manggut-manggut, sahutnya, "Ya, ucapanmu memang benar, itulah sebabnya sampai sekarang aku masih belum menurunkan perintah untuk menyerang," "Kau tidak memerintahkan penyerangan, karena kau ingin tahu lebih dulu rahasia apakah yang berhasil diselidiki oleh Kau-hubuncu, bukankah demikian?" Bong Thian-gak tersenyum.
Ucapan itu mengejutkan Ji-hubuncu, namun ia mengangguk juga. "Dugaanmu benar, aku memang ingin mengetahui rahasia itu." Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Sayang sekali aku sendiri pun tak mengetahui rahasia itu, kecuali kau katakan dulu masalah apakah yang kau perintahkan kepada Kau-hubuncu untuk diselidiki, dari sana mungkin aku bisa menebaknya." Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun termenung beberapa saat, kemudian ujarnya, "Aku memerintahkan Kau-hubuncu kami untuk menyelidiki jejak Buncu kami." Kembali Bong Thian-gak berkerut kening. "Dia sedang mencari jejak ketua Hiat-kiam-bun?"
707
Pendekar Cacat
Ji-hubuncu itu mengangguk. "Benar, Hiat-kiam-bun tak boleh tiada ketua, semenjak tiga tahun berselang setiap saat kami selalu mencari jejak ketua kami itu, namun hingga kini masih merupakan tanda tanya besar, oleh sebab itu aku bersikap sungkan kepadamu hari ini tak lain adalah berharap agar kau mau bicara sejelasjelasnya, agar rahasia yang ditemukan Kau-hubuncu diketahui pula oleh kami, dari situ mungkin kami bisa menemukan jejak Buncu Hiat-kiam-bun."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpikir, "Kalau begitu Thia Leng-juan mengetahui jejak ketua Hiatkiam-bun, kalau tidak, mengapa Kau-hubuncu itu mencarinya untuk berbicara?" Mendadak pemuda itu bertanya, "Siapakah nama ketua kalian? Bersediakah kalian ungkapkan, apakah kukenal dengannya atau tidak." "Sebelum jejak ketua kami diketahui, tak akan kami sebutkan namanya," jawab Ji-hubuncu tegas. Bong Thia Gak menghela napas panjang. "Ai, tampaknya aku pun tak dapat membantu kalian." ***
708
Pendekar Cacat
10 MENYELIDIKI PUT-GWA-CIN-KAU
D
engan suara berat dan dalam Ji-hubuncu Hiatkiam-bun berkata lagi, "Bicara soal ilmu silat Jianciat-suseng memang sangat lihai, tapi jika segenap jago lihai Hiat-kiam-bun mengepungmu, biar kau punya sayap pun jangan harap bisa terbang meninggalkan ruangan ini, maka kunasehati, berpikirlah tiga kali sebelum bertindak." Bong Thian-gak tersenyum. "Aku merasa logat bicara nona sangat kukenal, seperti pernah berjumpa di suatu tempat, bersediakah kau melepas kain kerudungmu agar dapat kulihat raut wajah aslimu?" Tergerak hati Ji-hubuncu, katanya pula, "Betul, nada suaramu serta potongan badanmu seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak dapat kuingat secara pasti."
709
Pendekar Cacat
"Benar, mungkin tiga tahun lalu nona pernah bersua denganku," kata Bong Thian-gak dengan suara dalam. "Dan mungkin juga aku pun pernah bersua denganmu, cuma sekarang masing-masing merahasiakan paras muka yang dulu, maka biarpun sekarang bersua kembali, kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui siapakah lawan." "Tak usah banyak bicara lagi," tukas Ji-hubuncu dingin. "Hari ini kau akan mati ataukah ingin hidup?" "Tentu saja masih ingin hidup," jawab Bong Thian-gak dengan suara hambar. "Kalau ingin hidup, cepat katakan siapa pembunuh Kauhubuncu kami?" "Boleh saja," Bong Thian-gak tertawa dingin. "Cuma kau harus memperlihatkan dulu paras mukamu." Ji-hubuncu mendengus dingin. "Selamanya aku tak pernah bertukar syarat dengan orang lain." Mendadak Bong Thian-gak bangkit, kemudian katanya, "Kalau begitu terpaksa aku mohon diri lebih dulu." Yu Hong-hong turut bangkit, kemudian bersama Bong Thian-gak membalikkan badan dan berjalan keluar ruangan itu. Tiba-tiba Ji-hubuncu membentak nyaring, "Berhenti!"
710
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan, mendadak ia menyaksikan Ji-hubuncu sudah melolos pedang. Pedang berwarna merah darah, jauh lebih menyolok daripada pedang-pedang lainnya, seolah-olah sebilah pedang yang baru saja digunakan membunuh orang dan masih berlepotan darah. Dengan pedang itu Ji-hubuncu menuding ke langit sambil melakukan gerakan-gerakan aneh, menyusul gerakan itu, tiga orang aneh yang berdiri di belakangnya mengawasi pedang darah itu dengan sorot mata yang mengerikan dan menggidikkan. Tampaknya apabila pedang Ji-hubuncu itu menunjuk ke depan, maka tiga orang aneh itu akan melaksanakan perintahnya seperti orang kalap. Sambil tertawa dingin Ji-hubuncu berkata, "Hiat-kiam-bun bisa menggetarkan seluruh kolong langit antara lain karena kami ditunjang oleh lima algojo yang tangguh, bila pedang darah ini kutudingkan ke arahmu, maka penjagal-penjagal berbaju merah ini akan membunuhmu secara keji dan kalap." "Algojo-algojo berbaju merah ini bukan manusia, melainkan setan iblis, biarpun kau Jian-ciat-suseng mempunyai kepandaian silat yang lebih hebat pun, jangan harap bisa membunuhnya, karena mereka mempunyai beribu lembar
711
Pendekar Cacat
jiwa, mati satu tumbuh seribu dan setiap kali mati mereka bisa hidup kembali." Setengah percaya setengah tidak, Bong Thian-gak tanpa terasa bertanya, "Sungguhkah itu?" "Aku tidak bohong." Tiba-tiba Yu Hong-hong melolos pedang dan berdiri di sisi kiri Bong Thian-gak dengan siap siaga. "Aku tak ingin bermusuhan dengan Hiat-kiam-bun, aku pun tak ingin mencoba kekuatan algojo-algojo berbaju merah itu, namun bila Ji-hubuncu mendesak terus, terpaksa kami harus membela diri sepenuh tenaga." Sembari berkata dia mundur ke belakang selangkah demi selangkah, sedangkan Yu Hong-hong yang berada di sisi kirinya ikut mundur pula dengan hati-hati dan tak berani gegabah. Menyaksikan hal ini, ujung pedang darah Ji-buncu Hiatkiam-bun yang menuding ke langit pun pelan-pelan digerakkan turun ke bawah. Tiga pasang mata orang berjubah merah itu pelan-pelan bergerak pula ke bawah mengikuti gerakan pedang darah itu. Mendadak Ji-hubuncu berteriak keras, "Ma Kong, bunuh mereka!"
712
Pendekar Cacat
Berbareng dengan teriakan itu, pedang darahnya segera menuding ke arah Bong Thian-gak. Jeritan keras seperti teriakan setan segera berkumandang. Orang berjubah merah yang berada di posisi tengah melejit ke depan secepat terbang, kemudian dengan cepat menerkam tubuh Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong. Yang mengerikan adalah gerak-gerik orang berjubah merah itu sedikit pun tidak mirip manusia, gayanya sewaktu menerkam seolah-olah sedang terbang. Yu Hong-hong membentak nyaring, pedangnya menciptakan titik cahaya bintang segera membacok tubuh orang berjubah merah itu. Mendadak orang berjubah merah itu memutar lengan kanan menangkis datangnya bacokan pedang itu. "Cring", Yu Hong-hong merasa pergelangan tangan kanannya sakit, senjatanya tahu-tahu sudah dipukul mental oleh tangkisan lawan. Kejadian ini benar-benar menggidikkan, ternyata lengan si orang berjubah merah itu tidak mempan ditusuk atau pun dibacok, Selesai mementalkan pedang lawan, orang berjubah merah itu segera mengayunkan pula telapak tangan kanannya mencengkeram tubuh Yu Hong-hong.
713
Pendekar Cacat
Yu Hong-hong segera melejit ke samping dan memutar tubuh, sekali lagi pedangnya melancarkan tusukan ke depan. "Cring", bunyi dentingan nyaring kembali bergema Kali ini tusukan pedang Yu Hong-hong persis menusuk ke lambungnya, tapi pedang yang terbuat dari baja asli itu malah patah menjadi dua bagian. Rupanya sekujur tubuh si algojo berbaju merah itu kebal tusukan senjata, kejadian ini kontan membuat Yu Honghong tertegun, dia lupa cakar kanan orang sudah berada tiga inci di depan tenggorokannya. Bong Thian-gak yang menyaksikan mara bahaya itu segera membentak, secepat kilat tangan kirinya menyambar pinggang Yu Hong-hong sambil melompat mundur, dengan gerakan manis dia telah menyelamatkan si nona dari cengkeraman maut lawan. Gagal dengan cengkeraman mautnya, orang berjubah merah itu menjerit aneh, kali ini dia menerkam Bong Thiangak . Bong Thian-gak sudah menduga musuh akan menerkam ke arahnya, cepat dia menurunkan Yu Hong-hong. Sambil membentak gusar, segulung tenaga pukulan yang amat dahsyat segera dilontarkan.
714
Pendekar Cacat
"Blam", ledakan berkumandang.
keras
yang
memekakkan
telinga
Dada si orang berjubah merah terhajar telak, sedemikian dahsyat serangan itu membuat orang aneh itu terdorong mundur tiga-empat langkah. Bong Thian-gak berkerut kening menyaksikan itu, padahal kekuatan tadi mengandung ribuan kati, betapa pun hebatnya seorang tokoh persilatan mustahil bisa menyambut dengan kekerasan. Tapi kenyataan lawan malah menerima serangannya itu sambil membusungkan dada tanpa takut. Agaknya pukulan yang maha dahsyat tadi telah mengobarkan api kebuasan dan keganasan orang berjubah merah itu, sambil berpekik keras, sekali lagi dia menyerang Bong Thian-gak. Kali ini Bong Thian-gak sudah menggenggam gagang pedang kayunya, apabila orang berjubah merah itu menyerang lagi, dia akan membalas dengan mempergunakan jurus pedangnya. Sejak Bong Thian-gak muncul di Bu-lim, belum pernah ada orang yang sanggup menerima jurus serangannya, maka setiap kali pedangnya digunakan, korban pasti berjatuhan.
715
Pendekar Cacat
Betul pedangnya hanya terbuat dari kayu, namun disaluri tenaga dalam yang sangat sempurna, pada hakikatnya pedang itu lebih tajam daripada pedang mestika. Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam, "Hong-hong, di bahumu masih terdapat sebilah pedang lain, cepat cabut keluar apabila pedangku tidak mendatangkan manfaat yang kuharapkan, terpaksa aku harus meminjam pedangmu itu." Mendengar perkataan itu, dengan cepat Yu Hong-hong melolos pedangnya yang tersoreng di bahu. Sementara itu si orang berjubah merah sudah menjerit keras dan menerkam dengan ganas. Diiringi bentakan pedangnya.
nyaring,
Bong
Thian-gak
melolos
"Crit", desingan tajam mendesis, kemudian bergema teriakan setan yang menggidikkan hati. Pedang kayu Bong Thian-gak telah menembus tiga inci di bawah pusar orang berjubah merah itu hingga tembus, menyusul dengan suatu gerakan cepat kaki kanan Bong Thian-gak melepaskan tendangan yang membuat tubuh musuh mencelat. Orang berjubah merah itu tewas, namun dari mulut lukanya tiada cairan darah yang meleleh keluar.
716
Pendekar Cacat
Mencorong sinar aneh dari balik mata Ji-hubuncu Hiatkiam-bun, tiba-tiba ujarnya, "Benar-benar jurus pedang yang luar biasa, tak nyana tubuh 'si algojo berbaju merah pun tembus. Namun jangan keburu bangga, sebentar lagi Ma Kong akan bangkit kembali, sekarang dia cuma jatuh semaput." Paras muka Bong Thian-gak segera berubah serius, serunya, "Hong-hong, berikan pedangmu kepadaku."
Ternyata tusukan pedang kayu Bong Thian-gak dengan cepat sudah ditarik dan dimasukkan ke sarungnya, sementara lengannya menerima angsuran pedang dari Yu Hong-hong. Setelah menggenggam pedang baja, ia berseru lantang, "Jihubuncu, kau adalah seorang yang cerdik, pedang kayuku saja bisa menembus tubuh si algojo berbaju merah itu apalagi dengan pedang baja di tangan. Aku orang she Bong percaya masih bisa mematahkan seluruh bagian tubuhnya. Aku tidak percaya bila seseorang sudah tercincahg menjadi tujuh-delapan bagian, dia masih dapat hidup kembali."
Sambil tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata lebih lanjut, "Untuk mendididk dan melatih lima algojo berbaju merah
717
Pendekar Cacat
ini, aku yakin pihak Hiat-kiam-bun telah banyak mengeluarkan pikiran dan tenaga, bila Ji-hubuncu menginginkan kerja kerasmu selama ini porak-poranda dalam sekejap mata, maka terpaksa aku akan memusnahkan mereka dari muka bumi." "Padahal sesungguhnya, antara aku orang she Bong dengan perguruan kalian tidak mempunyai ikatan dendam ataupun sakit hati, aku pun tak ingin melenyapkan algojo-algojo kalian itu, nah Ji-hubuncu, aku sudah cukup memberi penjelasan, harap kau jangan mendesak diriku lebih jauh."
Setelah itu Bong Thian-gak berkata kepada Yu Hong-hong, "Ayo kita segera mundur dari sini!" Mendadak kesembilan gadis berkerudung merah yang berdiri di depan pintu menggerakkan senjata dan maju menyambut kedatangan mereka. Tiba-tiba terdengar Ji-hubuncu berseru nyaring, "Mundur, biarkan mereka mengundurkan diri dari sini!" Mendapat perintah itu, kesembilan gadis berkerudung merah segera menyingkir ke kiri dan ke kanan. Dengan suara lantang Bong Thian-gak berseru, "Terima kasih Ji-hubuncu atas kemurahan hatimu, sampai jumpa di lain waktu."
718
Pendekar Cacat
Dia membuka pintu dan mengundurkan diri dari situ.
bersama
Yu
Hong-hong
Setibanya di luar pagar halaman, Yu Hong-hong mendongakkan kepala memandang matahari yang bersinar terik, tak tahan lagi gumamnya, "Ai, seperti baru saja bermimpi buruk!" "Siapa bilang bermimpi buruk? Kita mengalami semua sebagai kenyataan," kata Bong Thian-gak sambil mengembalikan pedang baja gadis itu. "Tapi hakikatnya melebihi setan iblis dari neraka, benarbenar menggidikkan," bisik Yu Hong-hong dengan jantung masih berdebar. Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, seandainya tidak kusaksikan dengan mata kepalaku, aku benar-benar tak percaya akan peristiwa yang mengerikan ini."
Yu Hong-hong bertanya pula dengan polos, "Hwecu, bukankah kau dapat memusnahkan kelima setan iblis itu? Mengapa kau tidak memanfaatkan kesempatan tadi untuk membinasakan mereka?" Bong Thian-gak kembali menghela napas panjang, "Tadi sebenarnya aku sendiri pun tidak yakin akan berhasil
719
Pendekar Cacat
memotong-motong tubuh mereka dengan menggunakan pedangmu, sesungguhnya Ji-hubuncu termakan oleh gertak sambalku." Yu Hong-hong mengedipkan mata berulang-kali, lalu bertanya lagi, "Bukankah pedang kayu Hwecu berhasil menembus tubuh setan iblis itu? Bila diganti dengan sebilah pedang baja, masakah tak mampu mencabik-cabik tubuh mereka?
Bong Thian-gak menggeleng kepala, "Untuk mengerahkan tenaga melepaskan tusukan, tenaga yang kita gunakan akan jauh lebih besar, terutama bagi seorang jago yang bertenaga dalam sempurna, memakai pedang kayu atau pedang sungguhan sebenarnya tidak berbeda jauh, kecuali pedang yang kita pergunakan adalah sebilah pedang mustika yang dapat mematahkan benda apa saja." "Wah, jika di kemudian hari Hiat-kiam-bun melepas kelima algojonya malang-melintang dalam Bu-lim, bukankah akan tercipta bibit bencana besar bagi umat persilatan." "Sekarang aku sedang berusaha menanggulangi kejadian itu, untung saja kita diberi kesempatan mengetahui rahasia Hiat-kiam-bun itu, kalau tidak, akibatnya di kemudian hari tentu akan semakin serius."
720
Pendekar Cacat
Bicara punya bicara, Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong sudah sampai di halaman kamar nomor tiga puluh enam.
O
Malam semakin kelam, suasana amat sepi dan tidak terdengar suara apa pun. Cahaya lentera masih memancar keluar dari bilik kamar nomor tiga puluh enam. Bong Thian-gak duduk di defpan meja sambil terpekur dan merenung seorang diri. Tiba-tiba di luar kamar terdengar suara gemerisik yang amat lirih. Biarpun ada daun kering yang rontok terhembus angin pun tidak akan lolos dari pendengaran Bong Thian-gak, apalagi suara gemerisik yang mengundang kecurigaan. "Siapa di situ?" sambil membentak sorot mata Bong Thiangak dialihkan keluar jendela dengan cepat.
721
Pendekar Cacat
Mendadak ia menyaksikan sesosok bayangan tubuh yang ramping dan indah berdiri di tengah halaman. Bagaikan disambar geledek Bong Thian-gak membatin. "Ah! Si-hun-mo-li! Ia benar-benar telah datang." Sementara itu bayangan indah di luar jendela masih diam tak bergerak, namun sepasang matanya yang jeli justru memancarkan cahaya tajam yang indah, sorot mata itu sedang mengawasi Bong Thian-gak yang berada di balik jendela tanpa berkedip. Dengan suara rendah Bong Thian-gak menegur, "Kalau sudah datang, mengapa tidak masuk? Pintu tidak ditutup!"
Siapa tahu baru selesai perkataan itu diucapkan, terdengar suara cekikikan merdu, lalu bayangan indah di luar sana lenyap. Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia melompat keluar melalui jendela dan naik ke atas wuwungan rumah. Di bawah cahaya bintang dan rembulan, tampak sesosok bayangan tubuh indah sedang bergerak di ujung atap rumah sebelah sana.
722
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak mengembangkan melakukan pengejaran secara ketat.
Ginkangnya
dan
"Bagaimana pun juga aku tak boleh membiarkan dia lolos dari pengejaranku." Inilah keputusan yang diambil Bong Thian-gak, oleh karena ia tak sempat melihat jelas paras muka Si-hun-mo-li, maka tidak diketahui olehnya apakah Si-hun-mo-li itu benar Thaykun atau bukan. Pengejaran dilakukan Bong Thian-gak dengan kecepatan bagaikan sambaran petir. Bayangan indah di depan sana pun berlari tak kalah cepatnya. Dalam waktu singkat keduanya sudah berada di luar kota, akan tetapi Bong Thian-gak belum juga berhasil memperpendek jarak di antara mereka.
Sekarang pemuda itu baru terperanjat, segera pikirnya, "Ai, tak nyana ilmu meringankan tubuh yang dia miliki begitu cepat, tapi aku tak boleh kehilangan jejak, tidak gampang mengundang kehadirannya ... bila kali ini aku tak berhasil menjumpainya, maka selamanya tak akan berjumpa lagi."
723
Pendekar Cacat
Sementara berbagai ingatan berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak, ia semakin mempercepat gerak tubuhnya, seperti sedang terbang saja kaki tidak menempel tanah. Akhirnya jarak antara mereka berhasil diperpendek. Di hadapan mereka tiba-tiba muncul sebuah gedung berloteng yang amat megah.
Bayangan langsing di depan sana menerobos masuk ke dalam rumah yang berlapis-lapis itu dan sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap. Bong Thian-gak menerjang masuk ke dalam bangunan itu, namun suasana di sekeliling sana sepi dan hening, seolaholah sebuah kota mati saja. Tentu saja bayangan Si-hun-mo-li turut lenyap, dia seolaholah tertelan oleh kegelapan malam. Ketika Bong Thian-gak menginjak daun-daun kering yang berserakan di tanah, segera disadari olehnya bahwa di perkampungan itu sudah lama ditinggalkan orang dan tak berpenghuni lagi. Si-hun-mo-li tentu bersembunyi di dalam sana ... ya, dia pasti berada di dalam gedung itu.
724
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tidak putus-asa, pelan-pelan dia menelusuri bangunan itu dan melakukan pencarian dengan seksama. "Heran, mengapa Si-hun-mo-li tak berani menjumpai diriku? Ya, dia sudah mengenali aku ... kalau begitu dia tentu Jit-kaucu Thay-kun." Teringat akan Thay-kun, dalam benak Bong Thian-gak terlintas kembali pengalamannya pada tiga tahun lalu, di kaki bukit Cui-im-hong di luar kota Lok-yang, dimana mereka berdua sama-sama mengunjungi rumah si tabib sakti Gi Jian-cau. "Ai, bila Thay-kun sampai tertimpa sesuatu musibah, tanggung¬jawabku akan bertambah berat."
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, sementara tubuhnya sudah melalui tiga lapis halaman dan hampir setiap ruangan sudah diperiksa dengan seksama, namun ia belum juga menemukan bayangan perempuan itu. Biarpun saat ini Bong Thian-gak sudah jadi suami Song Leng-hui, namun dalam hati masih tetap dipenuhi bayangan Thay-kun. Semua peristiwa yang dialami, tubuhnya yang indah dan cantik, serta pesan wanti-wanti Ku-lo Sinceng, pendeta agung Siau-lim-si itu.
725
Pendekar Cacat
Biarpun suasana dalam Bu-lim dewasa ini sudah mengalami perubahan besar, tapi Bong Thian-gak percaya Put-gwa-cinkau tak akan lenyap begitu saja.
Selama tiga bulan terakhir ini, dia sudah menyelidiki keadaan dunia persilatan secara diam-diam, Bong Thiangak tahu Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memang telah berkunjung ke markas besar Kay-pang di wilayah Sucwan. Itulah sebabnya tersiar berita yang mengatakan Congkaucu Put-gwa-cin-kau telah dikalahkan oleh Pangcu kaum pengemis dalam suatu duel yang sengit, akibatnya dia terikat dan tak berani mengembangkan sayapnya lagi. Ikatan itu adalah pihak Put-gwa-cin-kau wajib mengasingkan diri dan tak boleh muncul kembali di Bu-lim. Bisa jadi ikatan itu berlaku dalam batas waktu tiga tahun.
Sebab dari kemunculan Si-hun-mo-li yang baru tiga bulan, Bong Thian-gak mengambil kesimpulan bahwa Si-hun-mo-li bisa jadi adalah salah satu alat Put-gwa-cin-kau untuk melenyapkan umat persilatan dari dunia ini. Pada tiga tahun berselang, Thay-kun telah ditangkap oleh Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau.
726
Pendekar Cacat
Tak mungkin Cong-kaucu melepaskan Thay-kun begitu saja, bisa jadi Thay-kun dijadikan iblis wanita pembetot sukma.
Walaupun semua peristiwa itu merupakan dugaan Bong Thian-gak, namun apa yang diduganya itu memang cukup beralasan, untuk membuktikan kebenaran dugaannya itu terpaksa dia harus menemui Si-hun-mo-li. Gedung itu sangat besar, bisa jadi pemiliknya di masa lampau adalah seorang pembesar kaya, biarpun sudah lama gedung itu ditinggal penghuninya, namun semua gunung-gunungan, gardu, loteng dan pagar, masih mencerminkan keindahan dan kemegahan seperti dulu. Setiap sudut bangunan telah diperiksa Bong Thian-gak dengan seksama, namun dia tak berhasil menemukan bayangan perempuan itu.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, bagaikan sukma gentayangan Bong Thian-gak melompat naik ke atas loteng tertinggi, kemudian menyembunyikan diri di situ. Pemandangan di bawah loteng terbentang luas, ia dapat dengan jelas mengawasi setiap gerak-gerik sekeliling bangunan itu.
727
Pendekar Cacat
Mendadak Bong Thian-gak seperti mengendus selapis bau harum bunga anggrek yang amat tipis. Bau harum itu seolah-olah datangnya dari ujung langit sana yang menyebar kemana-mana. Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, namun di seputar sana tiada bunga anggrek, tiada pula bunga lain, tapi bau harum itu makin lama makin tajam, Bong Thian-gak merasa seolaholah pernah mengendus bau harum itu.
Mendadak pula paras muka Bong Thian-gak berubah hebat. Ia teringat sekarang, bau anggrek itu pernah diendusnya tiga tahun berselang, tatkala dia berada di kaki bukit Cuiim-hong di luar kota Lok-yang, tepatnya di rumah tabib sakti Gi Jian-cau. Waktu itu Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau muncul. Belum habis ingatan itu lewat, Bong Thian-gak telah menyaksikan munculnya sebuah tandu besar di tengah kebun di depan sana, tandu itu berhenti di atas sebuah gardu. Apa yang dilihat sekarang sungguh mengejutkan Bong Thian-gak hingga jantungnya berdebar keras.
728
Pendekar Cacat
"Mungkin Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau muncul." Dendam kusumat yang dipendam sejak tiga tahun lalu segera berkobar kembali, Bong Thian-gak merasakan darah dalam tubuhnya mendidih, hampir saja dia hendak menerkam ke depan.
Untung selama tiga tahun melatih diri secara tekun di bukit terpencil membuat wataknya lebih tenang dan pandai mengendalikan diri, akhirnya ia berhasil mengendalikan gejolak perasaan benci dan dendam yang berada di dalam dadanya. Rupanya pada saat itu Bong Thian-gak menyaksikan munculnya berpuluh sosok bayangan orang di sekeliling tandu.
Biarpun ilmu silat Bong Thian-gak sekarang sudah mencapai tingkat yang luar biasa, namun dia belum yakin dapat menandingi kekuatan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, apalagi musuh berjumlah lebih banyak, ia semakin tak berani bertindak gegabah. Tiga tahun berselang, hampir saja ia tewas di tangan lawan. Sungguh tak disangka kemunculan kembali tiga tahun kemudian dengan cepat mempertemukan dia dengan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau.
729
Pendekar Cacat
Tiba-tiba dari balik tandu besar berkumandang suara seseorang dengan nada merdu. "Sam-kaucu, selama tiga bulan ini, tugas yang kau laksanakan amat memuaskan hatiku, bertambahnya pembantu semacam kau di dalam Put-gwa-cin-kau, hakikatnya seperti harimau tumbuh sayap." Mendengar panggilan "Sam-kaucu", Bong Thian-gak terkejut, pikirnya, "Bukankah Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sudah terbunuh tiga tahun lalu di pagoda Leng-Im-po-tah di luar kota Kay-hong? Waktu itu aku bersama Toa-suheng Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang melaksanakan pembunuhan ini, dimana jenazahnya dihancurkan Thia Leng-juan dengan obat penghancur mayat. Mengapa bisa muncul Sam-kaucu lagi sekarang? Jangan-jangan dia adalah Sam-kaucu baru yang belum lama bergabung dengan mereka."
Berpikir sampai di sini, Bong Thian-gak segera mengarahkan pandangan matanya ke arah depan sana. Di muka tandu besar itu berlutut seorang berperawakan biasa sedang menjura pada Cong-kaucu yang berada di dalam tandu besar, lalu katanya dengan hormat, "Terima kasih, Cong-kaucu."
730
Pendekar Cacat
Mendengar logat suara orang itu, Bong Thian-gak tertegun, pikirnya dalam hati, "Heran, suara ini amat kukenal, sebenarnya siapakah Sam-kaucu yang baru itu?"
Sementara itu Cong-kaucu yang berada di dalam tandu telah berkata kembali, "Sam-kaucu, mengenai tugas yang kau lakukan di kota terlarang, sudah sebagian besar kau rampungkan, saat ini sebagian jago lihai dari berbagai perguruan telah muncul di dalam kota, yang masih tersisa pun tinggal beberapa pentolan saja, mungkin tak sampai setengah bulan lagi, sebagian besar akan berkumpul di wilayah Hopak ini." "Bukan suatu tugas yang sederhana bagi Put-gwa-cin-kau kita menghadapi jago lihai sedemikian banyak, maka aku sengaja berkunjung ke wilayah Hopak untuk memberi komando inti kekuatan Put-gwa-cin-kau kita. Ji-kaucu serta komandan pertama pasukan pengawal tanpa tanding sekalian dalam waktu singkat akan datang semua ke Hopak, sampai waktunya orang yang akan memberi komando adalah aku, Ji-kaucu, Sam-kaucu, komandan pertama pasukan pengawal tanpa tanding serta komandan kedua pasukan tanpa tanding."
"Baik, terima kasih banyak atas perhatian Cong-kaucu yang telah mencantumkan pula diri hamba dalam kelompok komandan," jawab Sam-kaucu dengan hormat.
731
Pendekar Cacat
Kembali Cong-kaucu berkata, "Sam-kaucu, belakangan ini di Bu-lim telah muncul Jian-ciat-suseng, apakah kau tahu asalusul orang itu?" Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi amat terperanjat, segera pikirnya, "Benar-benar tak kusangka Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah menaruh perhatian kepadaku."
Sementara itu Sam-kaucu termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Lapor Cong-kaucu, malam ini Si-hun-mo-li berangkat mengunjungi Jian-ciat-suseng, hamba rasa dia tak akan lolos dari cengkeraman Si-hun-mo-li." Mendengar perkataan itu, pelan-pelan Cong-kaucu menyahut, "Sam-kaucu, dalam melaksanakan pekerjaanmu kali ini kau bertindak kelewat gegabah dan menyerempet bahaya, dewasa ini Jian-ciat-suseng sudah termasuk di antara deretan jago lihai dalam Bu-lim, sebelum kau selidiki dengan jelas asal-usul Jian-ciat-suseng, sudah kau utus Sihun-mo-li menghadapinya, jika Si-hun-mo-li tak mampu menyelesaikan tugasnya atau menemui celaka di tangan Jian-ciat-suseng, bukankah usaha kita selama ini akan siasia belaka."
Teguran itu membuat Sam-kaucu menundukkan kepala, tanpa menjawab ia berdiri kaku di tempat.
732
Pendekar Cacat
Setelah berhenti sesaat, Cong-kaucu berkata lagi, "Samkaucu, aku lahu, kau percaya setiap lelaki yang bertemu Sihun-mo-li, dia tak akan mampu memberi perlawanan, bukankah demikian?" "Lapor Cong-kaucu, hamba memang berpendapat begitu," jawab Sam-kaucu agak tergagap.
"Tak heran Sam-kaucu mempunyai pendapat begitu, terus terang kukatakan, sepasang mata Si-hun-mo-li sebetulnya sudah melatih ilmu Si-hun-tay-hoat (Ilmu pembetot sukma) yang merupakan kepandaian rahasia perguruan Mi-tiongbun di Tibet, setiap umat persilatan yang memandang sepasang matanya pasti akan terpikat dan terpengaruh pikirannya, tapi di Bu-lim ini masih terdapat dua tokoh silat yang memiliki kemampuan untuk mematahkan pengaruh Si-hun-tay-hoat itu." "Siapakah kedua orang itu?" tiba-tiba Sam-kaucu bertanya. "Dia adalah Kay-pang Pangcu dan Cengcu Kim-liong-kiansan- ceng!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Aku rasa Jian-ciat-suseng pun bisa jadi memiliki kemampuan untuk mematahkan pengaruh Si-hun-tay-hoat itu."
733
Pendekar Cacat
"Darimana Cong-kaucu bisa tahu Jian-ciat-suseng memiliki kemampuan itu?" tanya Sam-kaucu Cong-kaucu termenung sejenak, kemudian ujarnya, "Senjata yang digunakan Jian-ciat-suseng adalah pedang, bagi seorang jago lihai ahli pedang, kepandaian yang harus dilatih terlebih dahulu adalah melatih ketajaman mata dan ketepatan hati, ditinjau dari kemampuan Jian-ciat-suseng mengalahkan begitu banyak jago lihai dalam tiga bulan terakhir ini, sudah jelas ilmu pedangnya tidak kalah dibanding ilmu pedang Cengcu Kim-liong-kian-san-ceng Mo Hui-thian dan Kay-pang Pangcu. Ketiga orang ini sama-sama mengandalkan ilmu pedang mereka yang lihai."
"Biarpun aku belum tahu dengan jelas asal-usul Jian-ciatsuseng, namun aku memuji kehebatan ilmu pedangnya, dia merupakan salah satu musuh tangguh Put-gwa-cin-kau kita." "Nasehat Cong-kaucu akan hamba camkan dalam hati," sahut Sam-kaucu dengan hormat Tiba-tiba Cong-kaucu bertanya lagi, "Beberapa bulan lalu, Sam-kaucu pernah mengatakan bahwa perkampungan ini punya peralatan lengkap dan bisa digunakan sebagai kantor cabang perkumpulan kita di wilayah Hopak, harap Samkaucu mengajak diriku melihat-lihat keadaan di sekitar sini!"
734
Pendekar Cacat
"Perkampungan ini adalah bekas istana raja muda Mo-laycing-ong di masa lampau, biarpun bangunan megah ini enak dipandang, namun belum merupakan yang terhebat, karena bangunan utama terletak di bawah tanah."
Pelan-pelan Cong-kaucu berkata pula, "Raja muda Mo-laycing-ong, adik sepupu kaisar Ching Ko-cou, orang ini berotak cerdas dan kepandaiannya jauh melampaui kaisar Ching Ko-cou sendiri. Tatkala kaisar Ching Ko-cou melakukan pembersihan terhadap bekas-bekas pembesar setianya, hanya Mo-lay-cing-ong yang lolos dari pembersihan itu, ia tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi di dalam istana bawah tanah ini?" "Cong-kaucu memang cerdas dan cermat, jauh melampau siapa pun, betul waktu itu Mo-lay-cing-ong bersembunyi di istana bawah tanah ini." "Aku pernah berkunjung ke dalam istana itu serta menemukan delapan belas sosok kerangka, satu di antaranya berperawakan tinggi besar, sedang yang lain berperawakan kecil dan lembut, kemungkinan adalah kerangka raja Mo-lay-cing-ong beserta ketujuh belas selirnya."
735
Pendekar Cacat
"Aku dengar kekayaan raja muda Mo-lay-cing-ong tiada taranya, apakah Sam-kaucu berhasil menemukan sesuatu di bawah istana sana?" "Menurut daftar yang dibuat kaisar Ching Ko-cou atas orang-orang yang dikehendakinya, nama raja muda Mo-laycing-ong terdaftar sebagai musuh nomor satu, konon yang paling menakutkan adalah harta kekayaan raja muda itu." "Setelah kusaksikan bangunan istana dalam perkampungan ini, terpikir olehku bisa jadi semua harta kekayaan raja muda Mo-lay-cing-ong berada di istana bawah tanahnya, tapi karena istana itu dilengkapi alat rahasia, aku belum sempat menggeledah setiap ruangan yang berada di situ, itulah sebabnya hingga kini aku belum menemukan harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong itu."
"Sam-kaucu tak usah kuatir, aku telah mengundang seorang ahli bangunan dan ilmu tanah untuk menangani persoalan ini, mungkin dalam beberapa hari mendatang rahasia istana tanah Mo-lay-cing-ong akan berhasil kita temukan." "Cong-kaucu telah mengundang seorang ahli bangunan dan ilmu tanah?" Baru selesai ucapan itu diutarakan, mendadak terdengar seseorang menyambung dengan suara dingin, "Aku Jikauculah orangnya!"
736
Pendekar Cacat
Bersama dengan selesainya ucapan itu, dari balik bangunan lain tiba-tiba muncul sekelompok bayangan orang yang langsung berjalan menuju ke arah gardu itu. "Oh, cepat amat kedatangan Ji-kaucu!" Cong-kaucu yang berada dalam tandu berseru kegirangan, "Aku malah menduga besok malam Ji-kaucu baru akan tiba di Hopak, tak disangka kau bisa datang sehari lebih awal, mari ... mari ... mari ... Sam-kaucu belum pernah bicara dengan Ji-kaucu, biar kuperkenalkan dahulu kalian berdua." Sementara pembicaraan berlangsung, Ji-kaucu beserta ketujuh-delapan anak buahnya telah berkumpul di depan tandu besar itu.
Ji-kaucu memberi hormat lebih dulu kepada tandu besar itu, ujarnya, "Ji-kaucu menyampaikan salam sejahtera untuk Cong-kaucu." "Tak usah banyak adat, kedatangan Ji-kaucu memang sangat kebetulan, baru saja aku tiba di Hopak dan belum mencari tempat pemondokan, harap Ji-kaucu mencarikan sebuah ruangan dalam istana ini sebagai tempat pemondokan."
737
Pendekar Cacat
Sementara itu Sam-kaucu telah memberi hormat kepada Jikaucu, "Sam-kaucu menyampaikan selamat bertemu pada Ji-kaucu." "Tak usah banyak adat," kata Ji-kaucu pula dingin. "Sudah begini lama Cong-kaucu tiba di sini, mengapa Sam-kaucu belum mencarikan tempat pemondokan bagi Cong-kaucu?" "Hamba memang mengundang memasuki ruang bawah istana."
Cong-kaucu
untuk
"Mengapa Sam-kaucu masih belum menunjuk jalan?" tegur Ji-kaucu dingin. "Kalau begitu dipersilakan Cong-kaucu dan Ji-kaucu mengikuti diriku." Selesai berkata, dia beranjak lebih dulu menuju ruangan sebelah barat.
Tandu besar serta kedua puluh orang serentak mengikut di belakangnya, tak selang beberapa saat kemudian bayangan mereka telah lenyap di balik kegelapan sana. Dengan menyembunyikan diri di atas wuwungan loteng, Bong Thian-gak dapat menyaksikan rombongan itu memasuki sebuah ruangan gedung kecil di tengah halaman lapis keempat.
738
Pendekar Cacat
Sementara itu cahaya lentera memancar keluar dari gedung tadi.
Menyaksikan rahasia besar itu, berbagai pertanyaan yang mencurigakan dan tidak dipahami olehnya bermunculan menyelimuti benak anak muda itu. Sebenarnya siapakah Sam-kaucu itu? Mengapa suaranya begitu dikenal? Berhubungan jarak mereka kelewatan jauh, maka Bong Thian-gak tidak sempat menyaksikan dengan jelas paras muka setiap orang yang hadir di sana. Dari pembicaraan mereka, bisa jadi Si-hun-mo-li, si momok perempuan yang disegani dan ditakuti setiap umat persilatan tak lain adalah Jit-kaucu Thay-kun. Tapi mengapa Thay-kun bisa berubah jadi manusia seperti itu?
Tatkala Jit-kaucu Thay-kun belum mengkhianati Put-gwacin-kau, kedudukannya dalam partai begitu tinggi dan terhormat sehingga pada hakikatnya hanya berada pada urutan kedua setelah Cong-kaucu, tapi kini dia justru dikendalikan oleh Sam-kaucu, dari sini dapat disimpulkan
739
Pendekar Cacat
bahwa gadis itu memang sudah dicelakai oleh ketuanya sendiri. Bila jadi Thay-kun yang sekarang hanya robot hidup tanpa pikiran dan kesadaran. Yang paling mengejutkan Bong Thian-gak adalah di gedung itu ternyata masih terdapat sebuah istana yang konon sangat megah.
Mo-lay-cing-ong adalah seorang panglima perang kenamaan ketika tentara Ching menyerbu daratan Tionggoan, konon sewaktu raja muda Mo-lay-cing-ong membawa tentara menyerbu daratan, dia telah merampok semua harta kekayaan rakyat kecil hingga dalam waktu singkat dia telah menjadi panglima perang terkaya di seluruh negeri.
Ketika Ching Ko-cou naik tahta, dia mendapat laporan bahwa raja muda Mo-lay-cing-ong sedang mencari tentara dan membeli kuda dengan niat melakukan pemberontakan, kejadian ini mengejutkan sang raja sehingga dia bertindak lebih dulu dengan menjatuhi hukuman pancung kepala atas semua keluarga raja muda itu.
740
Pendekar Cacat
Tapi kaisar Ching Ko-cou tak pernah berhasil membunuh raja muda Mo-lay-cing-ong, karena tak seorang pun yang tahu dimanakah dia menyembunyikan diri.
Ketika Mo-lay-cing-ong hilang, tahta kerajaan waktu itu telah beralih ke tangan kaisar Yong Cing, ini membuat sang kaisar tak pernah tenang dan memerintahkan anak buahnya lebih giat melakukan pencariannya atas jejak si raja muda itu. Dari pembicaraan Cong-kaucu dengan Sam-kaucu, tampaknya raja muda Mo-lay-cing-ong telah menyembunyikan diri di istana bawah tanahnya ketika itu. Bila rahasia besar ini sampai tersiar, bisa dibayangkan betapa gemparnya seluruh dunia. Intan permata dan emas perak hasil rampokan raja muda Mo-lay-cing-ong dari rakyat bangsa Han bisa jadi disimpan juga di dalam istana bawah tanah ini, siapakah yang tidak silau menyaksikan harta karun yang tak ternilai harganya itu?
Barang siapa berhasil menemukan harta karun itu, dia akan segera menjadi jutawan yang tiada bandingannya di seluruh negeri.
741
Pendekar Cacat
Bila harta karun itu sampai dikuasai pihak Put-gwa-cin-kau, maka Put-gwa-cin-kau akan segera menguasai seluruh dunia persilatan dan menjadi pemimpin dunia. Itu berarti kekacauan dan kekalutan akan merajarela di seluruh negeri, hidup rakyat kecil tak pernah tenang, bencana manusia pun akan muncul berulang-ulang. Bong Thian-gak segera menyadari betapa beratnya kewajiban dan tugasnya setelah berhasil menyadap rahasia besar itu, karena bukan cuma menyangkut dunia persilatan saja, tapi sudah mencapai kolong langit.
Bagaimana pun juga, dia tak boleh membiarkan pihak Putgwa-cin-kau mendapatkan harta karun raja muda Mo-laycing-ong itu. Dia pun tak dapat membiarkan harta karun itu jatuh ke tangan kerajaan Ching. Sebab harta karun itu milik bangsa Han, hasil rampokan raja muda Mo-lay-cing-ong dari rakyat bangsa Han ketika dia menyerbu daratan Tionggoan dulu.
Sekarang dia sebagai bangsa Han wajib melindungi keutuhan harta karun milik rakyatnya, sehingga tidak dikangkangi pihak kerajaan Ching.
742
Pendekar Cacat
Harta karun itu sudah sewajarnya dikembalikan kepada rakyat yang berhak memilikinya, rakyat bumi putera anak keturunan kaisar Hong Te. Dalam waktu singkat Bong Thian-gak merasa darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, pikirannya kalut, dia telah mengambil keputusan melakukan usaha besar bagi umat persilatan.
Mendadak terdengar beberapa kali jerit kesakitan berkumandang dari arah gedung kecil di sebelah barat. Perubahan ini terjadi sangat mendadak, sama sekali di luar dugaan, untuk beberapa saat Bong Thian-gak tidak mengetahui apa gerangan yang telah terjadi? Dengan cepat pemuda itu menengok ke arah sumber suara. Tiba-tiba tiga sosok bayangan orang meluncur keluar dari balik gedung kecil itu dengan kecepatan tinggi.
Salah seorang di antaranya bergerak cepat dan gesit, bagaikan sambaran petir dia melampaui dua orang yang lain dan langsung meluncur ke arah Bong Thian-gak berada.
743
Pendekar Cacat
Bersamaan dengan berkelebatnya tiga sosok bayangan orang itu, dari arah belakang muncul pula seorang berbaju hijau yang melakukan pengejaran dengan pedang terhunus. Gerakan tubuh orang itu pada hakikatnya jauh lebih cepat daripada gerakan burung elang, tampak dia melejit dengan enteng dan tahu-tahu sudah melewati kepala kedua orang berbaju hitam di mukanya.
Cahaya pedang berkelebat, dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati bergema memecah keheningan malam. Tahu-tahu kedua orang berbaju hitam itu sudah kena tusukan pedang dan roboh terjengkang ke atas tanah. Selesai membunuh kedua orang itu, orang tadi mengangkat kepala memandang ke depan, ketika dilihatnya korban ketiga sudah kabur ke depan sana, ia tertawa dingin, lalu sambil melejit dia melakukan pengejaran secepat kilat.
Ilmu meringankan tubuh orang itu benar-benar sangat lihai, di saat sang korban sudah kabur ke gedung dimana Bong Thian-gak menyembunyikan diri, orang itu sudah bisa melampaui orang berbaju hitam dan melayang turun di mukanya, sementara pedangnya langsung dibabatkan ke muka.
744
Pendekar Cacat
Tampaknya kepandaian silat orang berbaju hitam itu tidak lemah, melihat jalan perginya dihadang orang, tubuhnya yang hampir menumbuk orang itu segera berputar setengah lingkaran dan berhenti, dengan begitu dia pun berhasil lolos dari tusukan pedang orang itu. Bong Thian-gak dapat melihat dengan jelas bahwasanya orang itu tak lain adalah Ji-kaucu. Sedangkan orang berbaju hitam yang sedang melarikan diri itu adalah seorang kakek kurus kering.
Bertemu Ji-kaucu, kakek berbaju hitam tadi nampak sedikit tegang, gugup dan ketakutan, tapi sebagai seorang jago kawakan Bu-lim, dengan cepat pula dia berhasil mengendalikan perasaan dan bersikap tenang kembali. "Permainan pedangmu sungguh cepat dan buas!" jengeknya sambil tertawa dingin. "Tujuh anak buahku mati di tanganmu!" Paras muka Ji-kaucu dingin menyeramkan, sama sekali tak nampak perubahan apa pun, katanya kaku, "Kau pun jangan harap bisa lolos dari kematian!"
745
Pendekar Cacat
Mendadak kakek berbaju hitam itu tertawa seram. "Kau adalah satu-satunya orang paling buas dan kejam yang pernah aku orang she Long jumpai sepanjang hidup." "Hm, Hek-ki-to-cu Long Jit-seng terhitung seorang buas dan keji pula di sekitar kepulauan di laut timur." Mendengar perkataan itu, kakek berbaju hitam itu nampak terkejut dan berubah paras mukanya, "Tajam amat pandangan matamu, ternyata kau masih mampu mengenali diriku." "Ilmu silat Hek-ki-to-cu Long Jit-seng hanya biasa saja, namun ilmu lain seperti Ngo-heng-pat-kwa, ilmu perbintangan dan ilmu bangunan, ilmu tanah dan ilmu membaca peta justru termasyhur di seluruh kolong langit."
Bong Thian-gak yang menyadap pembicaraan itu dari atas wuwungan rumah dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, dia memang pernah juga mendengar nama besar Long Jit-seng sebagai seorang ahli dalam ilmuilmu itu. Padahal Long Jit-seng berdiam di pulau Hek-ki-to yang berada di tengah lautan timur, jauh-jauh dia mendatangi kota terlarang dan muncul di gedung penuh rahasia itu, sebagai orang yang cerdas Bong Thian-gak segera dapat menebak maksud dan tujuan.
746
Pendekar Cacat
Jangan-jangan Long Jit-seng sendiri pun mengetahui juga tentang rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong? Sementara itu Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kau terlampau memuji, biarpun ilmu kepandaian itu amat kukuasai, sayang masih belum cukup untuk melindungi keselamatan jiwaku sendiri."
Ji-kaucu tertawa dingin. "Ai, jika kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku dengan sebaik-baiknya, bisa jadi ilmu yang kau miliki itu dapat menjamin pula keselamatan jiwamu." "Pertanyaan apa yang hendak kau ajukan? Cepat diutarakan!" "Kau mendapat perintah dari siapa untuk menyusup ke dalam istana bawah tanah?" Long Jit-seng tertawa tergelak. "Selama hidup belum pernah Long Jit-seng diperintah orang, apalagi tunduk di bawah lutut orang lain."
747
Pendekar Cacat
Ketika mendengar perkataan itu, mencorong sinar membunuh dari balik wajah Ji-kaucu, kembali dia berkata dengan suara sedingin salju, "Rahasia istana bawah tanah Mo-lay-cing-ong ditemukan oleh Sam-kaucu perkumpulan kami, kecuali dia membocorkan rahasia itu, mustahil ada orang bisa mengetahui." "Mengapa kau tidak menuduh Sam-kaucu kalian yang telah bersekongkol denganku?" "Sam-kaucu baru saja menggabungkan diri dengan perkumpulan kami, Cong-kaucu sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan aku pun amat percaya kepadanya." "Jika demikian, mengapa kau masih curiga?" Ji-kaucu tertawa dingin. "Lantas darimanakah pihak Hek-ki-to memperoleh rahasia ini?"
"Harta karun Mo-lay-cing-ong sudah diketahui orang seantero jagad. Hehehe, apalagi ketika Mo-lay-cing-ong membangun istana bawah tanah ini, dia telah mengundang seorang ahli tukang kayu." "Siapakah orang itu?" tukas Ji-kaucu. "Dia adalah Susiok-co, adik kakek!"
748
Pendekar Cacat
"Jadi karena itu kau mengetahui rahasia itu?" "Betul, sejak tiga puluh tahun berselang aku sudah mengetahui rahasia itu." "Lantas mengapa kau tidak melakukan pencarian sejak dulu, namun hari ini baru dilakukan?"
"Ilmu bangunan Susiok-co tiada bandingan di dunia ini, terutama ilmu alat rahasia, ya, boleh dibilang tiada kemungkinan bagi orang lain untuk memecahkan." "Jadi maksudmu, alat rahasia dalam bangunan istana bawah tanah itu cuma dia seorang yang bisa membuka dan mencapai dimana harta karun itu tersimpan?" seru Ji-kaucu sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, kalau dilihat dari kemampuan menemukan alat rahasia dalam ruang gedung begitu masuk tadi... terbukti kau pun seorang yang mahir di dalam ilmu bangunan, hehehe ... cuma saja bila kau ingin membuka kedelapan puluh satu bilik bawah tanah serta keempat puluh sembilan lorong rahasianya, aku pikir seumur hidup tak akan dapat kau lakukan."
749
Pendekar Cacat
"Kau telah membantuku melaksanakan sebagian besar tugasku, rasanya aku tak perlu banyak membuang tenaga lagi dengan percuma," jengek Ji-kaucu dingin.
Paras muka Long Jit-seng berubah hebat mendengar perkataan itu, segera tanyanya, "Apa maksud ucapanmu?" "Aku tahu kau sudah membuang banyak tenaga dan pikiran untuk meraba peta dasar bangunan bawah tanah itu, asal kuperoleh peta rahasia yang telah kau persiapkan itu, bukankah aku bisa membuka setiap bilik dan lorong rahasia itu secara mudah dan cepat?"
Ucapan itu mengejutkan Long Jit-seng, namun paras mukanya sama sekali tak berubah, katanya cepat sambil tertawa dingin, "Kau benar-benar sangat lihai, betul aku memang sudah mempersiapkan sebuah peta lengkap tentang seluruh bangunan istana bawah tanah itu, namun peta itu tak berada di sakuku sekarang." "Peta itu pasti ada di sakumu," seru Ji-kaucu. Long Jit-seng sadar, bilamana dia ingin meloloskan diri dari cengkeraman maut Ji-kaucu, kuncinya terletak pada peta itu. Menyadari hal itu. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, engkau selalu yakin tebakanmu selamanya tepat, namun kau gagal menebak secara tepat kali ini?"
750
Pendekar Cacat
"Bila aku berani membunuhmu, buat apa banyak bicara hal-hal yang tak berguna denganmu?"
"Jadi mati-hidupku tergantung pada keputusanku bersedia bekerja sama atau tidak?" Long Ji Seng tertawa semakin keras. "Hek-ki-to-cu termasyhur sebagai manusia licik dan banyak akal muslihatnya, tentu saja kau dapat membedakan bukan, mana yang menguntungkan dan yang merugikan sebelum mengambil keputusan yang menguntungkan bagi dirimu sendiri." Long Jit-seng kembali tertawa terbahak-bahak. "Kau amat licik, berhati busuk dan berbahaya, bila tujuanmu sudah tercapai, akhirnya aku bakal mati juga di tanganmu." "Tapi sedikit banyak kau bisa hidup lebih lama." Dari pembicaraan kedua orang itu, bisa diketahui betapa licik dan berbahayanya kedua orang ini, mereka sama-sama cerdas dan bertujuan dalam, kedua belah pihak sama-sama tidak saling percaya.
Ibarat dua ekor rusa bertemu, mereka saling menipu, saling memasang perangkap untuk menjebak lawan. Sudah barang tentu Long Jit-seng berada pada posisi yang tidak menguntungkan, sebab dia tahu, bagaimana pun juga
751
Pendekar Cacat
kepandaian silatnya masih belum sanggup menandingi lawan. Dalam sekali gebrakan saja pihak lawan mampu menghabisi ketujuh anak buahnya yang berilmu tinggi, peristiwa ini sudah menggidikkan hati Long Jit-seng, apalagi dalam istana bawah tanah masih terdapat begitu banyak jago-jago lihai. Andaikata pihak Put-gwa-cin-kau benar-benar menghabisi nyawa Long Jit-seng, biarpun dia hendak kabur ke ujung langit pun jangan harap bisa lolos dalam keadaan selamat. Bong Thian-gak yang mengamati semua peristiwa itu dari atas wuwungan rumah dengan cepat dapat menebak jalan manakah yang bakal dipilih Long Jit-seng. Sudah jelas jalan "kehidupan" yang bakal dipilih olehnya.
Mendadak Bong Thian-gak memperdengarkan suara dinginnya yang menggidikkan dari atas wuwungan rumah. Tertawa seram itu muncul sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan orang, seketika itu juga Ji-kaucu dibuat terkesiap dan kaget setengah mati. Mimpi pun dia tak pernah menyangka kalau di situ bakal hadir pihak ketiga yang bersembunyi di atas wuwungan
752
Pendekar Cacat
rumah yang berjarak sedemikian dekat dengannya tanpa disadari. Padahal ia percaya pada ketajaman mata maupun pendengaran sendiri, daun rontok pada jarak sepuluh tombak pun takkan lolos dari pendengarannya, suasana gelap gulita pun bisa dilihat olehnya dengan jelas, tapi mengapa ia tak menangkap suara apa pun? Nyatanya orang itu dapat lolos dari pendengaran maupun penglihatannya, dari sini bisa diketahui bahwa ilmu silat lawan betul-betul sangat lihai. "Jago lihai darimanakah yang bersembunyi di atas? Harap segera menampilkan diri." Dengan suara menyeramkan dan mata bersinar tajam Jikaucu mengawasi wuwungan dengan pandangan tak berkedip. "Mengapa Ji-kaucu tidak berani naik ke atas?" sahut Bong Thian-gak dingin. "Jadi engkau tak berani turun?" jengeknya. "Siapa bilang aku tak berani?" Selesai bicara, tubuh Bong Thian-gak segera meluncur turun darii wuwungan rumah, langsung menerkam Jikaucu.
753
Pendekar Cacat
Tubrukan Bong Thian-gak dilakukan dengan kecepatan bagaikan] kilat, dalam sekejap tubuhnya sudah sampai di atas kepala Ji-kaucu, segulung tenaga maha dahsyat langsung menekan ke atas kepala lawan. Sesungguhnya ilmu silat Ji-kaucu sangat lihai, namun sekarang dia pun tak mempunyai keyakinan untuk berhasil lolos dari ancaman maut itu. Dalam keadaan begini, Ji-kaucu segera memutar pedangnya menciptakan selapis kabut pedang melindungi batok kepalanya, lalu secepat kilat tubuhnya menyingkir ke samping. Long Jit-seng adalah seorang cerdas, dia tak mau membuang kesempatan yang sangat baik ini untuk meloloskan diri, secepat kilat dia melejit dan kabur dari tempat itu. Sesungguhnya tujuan Bong Thian-gak menampakkan diri tadi adalah memberi kesempatan kepada Long Jit-seng untuk melarikan diri, maka dia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Ji-kaucu untuk berganti napas, angin pukulan kedua kembali dilontarkan dengan kekuatan luar biasa. Cepat Ji-kaucu melejit ke samping, tapi angin pukulan lain tahu-tahu sudah menyambar datang dari arah kiri. Ji-kaucu benar-benar tidak menduga gerakan lawan begitu cepat, aneh dan luar biasa.
754
Pendekar Cacat
Pada serangan pertama, ancaman datang dari atas ke bawah, maka pada serangan kedua dia telah mengubah arah dengan menerjang dari sisi kiri. Ji-kaucu tertawa dingin, kali ini dia tidak menghindar, segulung angin pukulan dilepaskan dari sisi kiri untuk menyongsong datangnya ancaman lawan. "Blam", kedua gulung angin pukulan itu saling bentur, terjadilah angin berputar yang menerbangkan dedaunan kering dan debu. Akibat bentrokan ini, sepasang kaki Ji-kaucu goyah dan mundur (iga langkah secara beruntun. Sepanjang hidup belum pernah dia menghadapi pukulan dahsyat seampuh ini, dalam gusarnya Ji-kaucu segera melolos pedang dan melejit ke arah sisi lawan sambil melancarkan sebuah tusukan. Reaksinya cukup cepat, tapi gerakan tubuh Bong Thian-gak jauh lebih cepat lagi. Bong Thian-gak menjejakkan kaki kanannya dan melompat ke atas wuwungan rumah, dengan demikian cahaya pedang Ji-kaucu hanya menyambar lewat di bawah kakinya saja.
755
Pendekar Cacat
Gagal dengan serangan pedangnya, Ji-kaucu dongkol setengah j mati, sambil menjejakkan kaki dia mengejar ke atas wuwungan rumah. Tapi gerakan Bong Thian-gak jauh lebih cepat, begitu tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia sudah berada jauh di sana. "Hei, kalau jantan kenapa tidak kau hentikan langkahmu?" bentak j Ji-kaucu mendongkol. Sambil membentak dia mengejar terus secara cepat. Dalam pada itu dari arah gedung bermunculan beberapa sosok J bayangan orang, tampaknya orang itu dibuat terkejut oleh ledakan] dahsyat akibat benturan dua kekuatan angin pukulan tadi. Di antara bayangan-bayangan itu, nampak sesosok bayangan j orang bergerak paling cepat, langsung hendak menghadang di depan Bong Thian-gak. Sayang sekali gerakan tubuh Bong Thian-gak masih jauh lebihi cepat lagi, ia tak sampai terhadang oleh lawan. Sementara itu Ji-kaucu telah menyusul pula ke sana, mendadakj dia berteriak keras, "Sam-kaucu, tak usah dikejar lagi" Ternyata bayangan orang yang mengejar paling cepat adalah Sam-kaucu, ia menghentikan gerakan tubuhnya
756
Pendekar Cacat
begitu memperoleh perintah, tapi segera tegurnya, "Jikaucu, mengapa kita biarkan musuh kabur begitu saja?" Ji-kaucu tertawa dingin. "Ilmu meringankan tubuh orang itu amat cepat, yakinkah Sam-kaucu berhasil menyusulnya?"
Sam-kaucu mendongakkan kepala, empat penjuru amat sepi tak terdengar suara apa pun, sementara bayangan tubuh Bong Thian-gak yang semula berada di depan sana, kini sudah lenyap. Dengan wajah tertegun Sam-kaucu berkata, "Wah, cepat benar gerakan tubuh orang itu, siapakah dia? Paras muka Ji-kaucu berubah sangat tak sedap dilihat, namun dia menjawab dengan suara dingin, "Jika dilihat dari ujung lengan baju kanannya yang kosong terhembus angin, tampaknya dia adalah seorang berlengan tunggal." Walaupun saat kejar mengejar tadi Ji-kaucu belum berhasil melihat raut wajah lawan, namun bayangan tubuh Bong Thian-gak, terutama ujung lengan baju kanannya yang kosong dapat terlihat olehnya dengan nyata. "Ah, dia adalah Jian-ciat-suseng!" seru Sam-kaucu tanpa terasa dengan paras muka berubah.
757
Pendekar Cacat
"Sam-kaucu, bukankah kau mendapat perintah untuk menyusun persiapan besar di wilayah Hopak, bagaimana persiapan yang telah kau lakukan hingga jejak kita dapat dibuntuti lawan?" "Selama aku berada di kota terlarang, yakin belum ada seorang pun yang menemukan jejakku, apalagi identitasku." "Lantas bagaimana Jian-ciat-suseng bisa sampai di gedung ini?" "Barusan kulihat Si-hun-mo-li kembali ke istana bawah tanah, bisa ditebak Si-hun-mo-li gagal dalam tugasnya dan justru dialah yang memancing kehadiran Jian-ciat-suseng." Berubah hebat air muka Ji-kaucu. "Kalau begitu pembicaraanmu dengan Cong-kaucu serta segala macam rahasia kita telah diketahui oleh Jian-ciatsuseng!" "Tentang masalah itu, kita baru bisa menganalisanya setelah tahu bagaimana cerita Ji-kaucu sampai menemukan jejak Jian-ciat-suseng." Ji-kaucu tertawa dingin. "Sam-kaucu mengapa kau tidak berterus terang saja mengatakan bahwa aku pun turut terkecoh oleh kehadiran
758
Pendekar Cacat
Jian-ciat-suseng sehingga gerak-geriknya tidak kuketahui sama sekali?" "Tidak berani, aku tak berani berpendapat demikian." "Sam-kaucu, apakah kau mengetahui tempat tinggal Jianciat-suseng?" tiba-tiba Ji-kaucu menegur dengan suara dingin menyeramkan. "Kamar nomor tiga puluh enam Hong-tok-ciu-lau." "Dalam tiga hari, Sam-kaucu harus berhasil membunuh Jian-ciat-suseng dengan cara apa pun." "Cong-kaucu telah berpesan, sementara kita tak akan membunuh Jian-ciat-suseng."
Ji-kaucu segera menarik muka mendengar perkataan itu, katanya kemudian, "Kalau begitu segera kubicarakan masalah ini dengan Cong-kaucu, mungkin saja dia mau berubah pikiran." Selesai berkata dia lantas meluncur turun dari atas wuwungan rumah dan langsung menuju ke gedung kecil tadi, Sam-kaucu mengikut di belakangnya. Mendadak Ji-kaucu berpaling seraya berkata, "Long Jit-seng telah melarikan diri, harap Sam-kaucu segera mengirim
759
Pendekar Cacat
orang mengejarnya, bila gagal membekuknya hidup-hidup, mati pun tak apalah." "Harap Ji-kaucu mengutus orang untuk membantuku," sahut Sam-kaucu cepat.
Sementara itu enam orang bermunculan dari balik gedung.
berjubah
hijau
telah
Mendadak Ji-kaucu berseru kepada seorang berjubah hijau yang gemuk pendek. "Ang Teng-siu, lekas bawa tiga orang dan bersama Samkaucu pergi mengejar Long Jit-seng!" "Baik!" jawab orang gemuk pendek itu dengan sikap hormat. Dengan cepatnya dia telah memilih tiga orang rekan untuk mendampinginya, lalu sambil berjalan ke depan Sam-kaucu dia berkata dengan lantang, "Ang Teng-siu siap menerima komando Sam-kaucu!" "Tak usah banyak bicara, ayo kita berangkat," seru Samkaucu.
760
Pendekar Cacat
Kelima orang jago lihai Put-gwa-cin-kau itu dengan cepat berangkat meninggalkan gedung itu mengejar Long Jitseng. Long Jit-seng keluar dari gedung dengan kecepatan luar biasa, ia kabur secepatnya meninggalkan tempat itu. Long Jit-seng mengerti, bila orang-orang Put-gwa-cin-kau telah berhasil membunuh orang yang membantunya, dengan cepat mereka akan mengejarnya kemari, maka dia memilih daerah yang sepi di barat kota untuk menyelamatkan diri. Sesudah menempuh perjalanan setengah jam dengan kecepatan « tinggi, sampailah dia di tanah kuburan di sebelah barat kota, di situlah Long Jit-seng baru menghentikan perjalanannya.
Suasana di kompleks pekuburan itu hening, sepi dan mengerikan. . Batu-batu nisan yang terbengkalai porak-poranda menjadikan sekeliling sana sebagai tempat persembunyian yang paling ideal. Dengan langkah mantap Long Jit-seng langsung menerobos masuk ke dalam kompleks tanah kuburan itu.
761
Pendekar Cacat
Mendadak dari atas sebuah batu nisan Long Jit-seng menyaksikan munculnya sesosok bayangan orang. Long Jit-seng terperanjat, cepat ia mendongakkan kepala.
Orang itu berperawakan jangkung dengan wajah cakap, termasuk seorang pemuda yang bermata tajam. Sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, sementara lengan baju kanannya nampak kosong, mengikuti hembusan angin malam, ujung baju itu bergoyang tiada hentinya. Waktu itu dia sedang memandang ke wajahnya dengan senyum di kulum. Seandainya tiada senyumannya yang ramah, niscaya Long Jit-seng akan menyangka dia sebagai setan gentayangan di tanah kuburan itu.
Dengan terkesiap dan jantung berdebar keras Long Jit-seng menegur, "Kau ini sebetulnya manusia atau setan?" "Manusia," sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Kalau begitu kau ini musuh atau sahabat?"
762
Pendekar Cacat
"Musuh atau sahabat tergantung pada keputusanmu." Paras muka Long Jit-seng berubah hebat, tanyanya lagi dengan gemetar, "Jadi kau adalah anggota Put-gwa-cinkau?" "Tidak, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau."
Rupanya Hek-ki-to-cu menjadi ketakutan setengah mati karena mengira Bong Thian-gak adalah anak buah Put-gwacin-kau, hatinya baru merasa lega setelah mengetahui dugaannya meleset. Sambil menghela napas pelan-pelan dia bertanya, "Ada urusan apa kau menghadang jalan pergiku?"
Bong Thian-gak tersenyum. "Baru saja aku mendirikan sebuah perkumpulan baru dan sekarang sedang 'mencari umat persilatan yang bisa diterima sebagai anggota baru perkumpulan, aku tertarik denganmu." Tergerak hati Long Jit-seng mendengar tawaran itu, segera tanyanya, "Apa nama perkumpulan itu? Siapa pemimpinnya?"
763
Pendekar Cacat
"Tiong-yang-hwe, akulah Hwecunya." Mendadak Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kau tahu siapakah aku?" "Long Jit-seng dari lautan timur, seorang tokoh persilatan mahir banyak ilmu." "Ah, jadi engkau yang membantu meloloskan diriku tadi?" Long Jit-seng terkejut.
Kembali Bong Thian-gak tersenyum. "Aku tak ingin melihat kau terbunuh atau diperalat Jikaucu." "Hahaha, mengapa tidak kau katakan bahwa kau tak ingin melihat harta karun raja muda Mo-lay-cin-ong terjatuh ke tangan orang-orang Put-gwa-cin-kau?" Long Jitseng tergelak makin keras. Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata, "Orang-orang Put-gwa-cin-kau tak akan melepas dirimu begitu saja, orang yang menurunkan perintah membunuh atas dirimu adalah Ji-kaucu. Padahal jagoan berilmu tinggi seperti Ji-kaucu banyak terdapat dalam Put-gwa-cin-kau, sedang anak buahmu? Adakah jagoan dari Hek-ki-to yang memiliki kepandaian untuk menandingi Ji-kaucu?"
764
Pendekar Cacat
"Perkataanmu memang benar," Long Jit-seng tertawa, "tapi sayang, biarpun aku bergabung dengan perkumpulan kalian pun sulit rasanya untuk meloloskan diri dari kematian."
Mencorong sinar tajam dari mata Bong Thian-gak, ujarnya dengan suara nyaring, "Biarpun Tiong-yang-hwe belum berkekuatan untuk melawan kekuasaan Put-gwa-cin-kau, namun aku yakin masih sanggup melindungi keselamatan jiwamu." "Engkaukah Jian-ciat-suseng yang termasyhur namanya dalam Bu-lim?"
belakangan
ini
"Betul," Bong Thian-gak tertawa, "aku memang seorang cacat." Tiba-tiba Long Jit-seng berkata lagi, "Sepanjang hidupku, aku hanya tahu menurunkan perintah dan memerintah orang lain, belum pernah kuperoleh perintah orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Oleh sebab itu, aku ingin melihat dahulu kepandaianmu." Bong Thian-gak tertawa. "Bila kau bersedia menggabungkan diri dengan Tiong-yanghwe, berarti kau adalah Kunsu (juru pikir) Tiong-yang-hwe, hal ini sama artinya kau hanya memberi perintah kepada orang lain dan bukan orang lain yang memberi perintah kepadamu."
765
Pendekar Cacat
Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak. "Kau adalah ketua Tiong-yang-hwe, berarti seorang Kunsu masih tetap di bawah tingkatan seorang Hwecu bukan?" "Long-kunsu," Bong Thian-gak tertawa, "kau ingin mencoba keistimewaanku? Boleh saja, cuma dibanding kecerdasan otak dan akal muslihatmu, aku mengaku kalah darimu." Long Jit-seng tertawa nyaring. "Soal mengatur siasat dan menyiapkan tipu muslihat, tentu saja bidang itu merupakan pekerjaan seorang Kunsu. Sedangkan sebagai ketua, syarat yang dibutuhkan selain ilmu silat yang tinggi dia mesti memiliki budi pekerti yang baik. Sebab biarpun ilmu silat seseorang sangat tinggi, bila dia tidak memiliki kemampuan seorang pemimpin dan kebajikan serta budi pekerti yang baik, jadinya sebuah perkumpulan yang kaku, sebuah perkumpulan tanpa nyawa, biasanya perkumpulan semacam ini tak pernah bisa menggetarkan dunia persilatan."
"Aku mempunyai semacam kemampuan untuk menilai orang dari wajah seseorang dan aku mengerti kau memang memiliki budi pekerti serta kewibawaan sebagai seorang pemimpin. Yang belum kuketahui sekarang adalah kepandaian hebat yang kau miliki."
766
Pendekar Cacat
"Dengan cara apa Kunsu hendak mencoba kepandaian silatku?" tanya Bong Thian-gak sambil tersenyum. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak. "Sesungguhnya bidang ilmu silat tak perlu dicoba lagi, sebab dengan nama besar Jian-ciat-suseng, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan seluruh dunia persilatan." "Sungguh tak kusangka begitu cepat Long Jit-seng bersedia menggabungkan diri dengan Tiong-yang-hwe, kejadian ini sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi Bong Thiangak," pemuda itu berseru dengan nada terharu.
Long Jit-seng membenahi pakaiannya, lalu maju ke hadapan Bong Thian-gak dengan hormat, dia membungkukkan badan menjura sambil berkata nyaring, "Hwecu di atas, Long Jit-seng memberi salam atas kebesaran Hwecu." Buru-buru Bong Thian-gak membangunkan Long Jit-seng sambil menyahut, "Long-kunsu tak usah banyak adat...." Belum habis dia berbicara, tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan urat nadi pada pergelangan tangan kirinya dicengkeram orang, dengan lima jari tangannya yang kuat.
767
Pendekar Cacat
Pada saat bersamaan, telapak tangan kiri Long Jit-seng disodokkan ke muka. Mimpi pun Bong Thian-gak tak menyangka Long Jit-seng bakal melancarkan serangan dengan cara sedemikian kejinya.
Perlu diketahui, urat nadi pergelangan tangan merupakan salah satu dari tiga tempat mematikan di tubuh manusia, begitu urat nadi dicengkeram orang, betapa pun besarnya kekuatan tidak mungkin bisa dikerahkan lagi. Masih mending bagi mereka yang bertangan utuh, Bong Thian-gak hanya berlengan tunggal, bagaimana mungkin dia bisa meloloskan diri? Itulah sebabnya serangan Long Jit-seng benar-benar merupakan sergapan maut yang kejam dan tak berperikemanusiaan.
Bong Thian-gak tidak tahu bagaimana cara untuk menghindarkan diri ataupun berbuat sesuatu, namun dia tetap berdiri tegak dengan senyum di kulum, dengan dada dibusungkan dia menyambut datangnya sergapan Long Jitseng itu.
768
Pendekar Cacat
"Blam", pukulan dahsyat Long Jit-seng menghajar telak di atas dada Bong Thian-gak. Dengan cepat Long Jit-seng merasakan telapak tangan kirinya sakit panas dan pedas, seolah-olah baru saja menghantam sepotong lempengan besi baja.
Pada saat itulah Bong Thian-gak memutar pergelangan tangan kirinya dengan leluasa, seakan-akan pergelangan tangannya terdiri dari kapas yang lunak, tahu-tahu saja sudah terlepas dari cengkeraman baja kelima jari tangan kanannya! Long Jit-seng tertegun, mimpi pun dia tak menyangka ilmu silat Bong Thian-gak telah mencapai tingkatan begitu hebat. Sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata, "Tipu muslihat Long-kunsu benar-benar hebat, jika caramu ini digunakan untuk mencoba kepandaian orang, memang sulit bagi orang lain untuk menghindar." Long Jit-seng menghela napas panjang, "Hwecu memang pantas disebut seorang Tay-enghiong. Bukan cuma berkepandaian silat tinggi, Hwecu pun welas-asih dan bijaksana." "Sesungguhnya barusan aku berniat jahat dengan niat menghabisi nyawa Hwecu dalam sekali pukulan. Sedangkan
769
Pendekar Cacat
Hwecu pun sudah dapat meraba niat jahat diriku, namun kenyataan kau sama sekali tidak mengungkapnya." "Ai ... atas kejadian ini Long Jit-seng sungguh merasa menyesal, aku tidak pantas menjadi anggota Tiong-yanghwe!"
Beberapa patah kata Long Jit-seng itu diucapkan dengan tulus hati dan sejujurnya. Bong Thian-gak pada dasarnya memang pemuda yang berjiwa besar, sungguh ia dibuat sangat terharu oleh kejadian itu. Akhirnya sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata, "Kata Nabi besar, tiada orang yang luput dari kesalahan. Asal kau bersedia bertobat, dosa apa pun bisa dimaafkan. Tiongyang-hwe sangat membutuhkan orang-orang berbakat seperti Hek-ki-to-cu."
Berkilat mata Long Jit-seng, segera ujarnya dengan suara lantang, "Sekarang dan detik ini juga Long Jit-seng bergabung dengan Tiong-yang-hwe, selama hidup aku bersumpah akan setia sampai mati kepada Hwecu dan selalu mendampingimu, bUa suatu hari aku melanggar sumpah, biar Thian menjatuhkan hukuman berat kepadaku dan mati dengan hulu hati tertembus pedang."
770
Pendekar Cacat
Selesai mengucapkan sumpah, Long Jit-seng segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali ke arah langit. "Long-sianseng, kesetiaan dan ketulusan hatimu mengharukan hatiku," kata Bong Thian-gak kemudian.
Air mata jatuh berlinang membasahi wajah pemuda itu, dengan cepat dia membimbing bangun Long Jit-seng yang masih berlutut, kemudian pelan-pelan ujarnya, "Longsianseng, mari kita pulang!" "Hwecu tinggal dimana?" "Rumah penginapan Hong-tok-ciu-lau." "Tempat itu tak boleh didiami lagi." "Ehm, ucapanmu memang benar," Bong Thian-gak mengangguk, "entah bagaimanakah pendapat Sianseng?" "Lebih kurang tiga li di luar kota terlarang terdapat kuil Hong-kong-si, Hongtiang kuil itu Hong-kong Hwesio adalah sahabat karibku, bila Hwecu tidak keberatan lebih baik markas Tiong-yang-hwe dipindahkan saja untuk sementara waktu ke situ."
771
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian sahutnya, "Kuil Hong-kong-si pasti merupakan kompleks kaum ibadah, rasanya kurang pantas bagi kita orang-orang kasar dunia persilatan untuk mengganggu ketenangannya." Long Jit-seng tersenyum. "Di dalam kuil Hong-kong-si hanya berdiam Hong-kong Hwesio serta kedua muridnya saja," tukasnya. "Dalam kuil yang begitu luas hanya didiami mereka bertiga?" Bong Thian-gak heran. Long Jit-seng manggut-manggut sambil tertawa. "Hong-kong Hwesio adalah seorang berwatak aneh, belum pernah ada seorang Hwesio pun yang cocok hidup bersamanya, maka itulah kuil Hong-kong-si tak pernah menerima anggota baru." "Apakah dia akan setuju bila kita menempati kuilnya?" tanya pemuda itu sambil berkerut kening.
Long Jit-seng tertawa. "Dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari, boleh dibilang sepanjang hari Hong-kong Hwesio dan kedua orang muridnya hidup mengasingkan diri dalam sebuah
772
Pendekar Cacat
kamar gelap tak tembus cahaya, biar langit ambruk atau permukaan tanah merekah mereka bertiga tak bakal meninggalkan kamarnya. Oleh sebab itu kita tak usah meminjam kepada mereka, kita secara langsung pindah saja ke situ." Makin mendengar, Bong Thian-gak semakin terkejut, tanyanya kemudian, "Apakah mereka tidak bersantap?" "Rangsum yang disimpan dalam kamar membukit, sepanjang tahun mereka tidak bakal kekurangan rangsum atau air." 'Ai, cara hidup mengasingkan diri Hong-kong Hwesio ini benar- . benar mengagumkan," tanpa terasa Bong Thiangak menghela napas. "Hwecu, kalau begitu kita putuskan demikian saja," kata Long Jit-seng kemudian, "besok sebelum senja tiba, kita semua pindah ke kuil Hong-kong-si." "Kini Long-sianseng adalah Kunsu Tiong-yang-hwe, tentu saja segala sesuatunya akan berjalan menurut perkataanmu," Bong Thian-gak tertawa.
Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Hwecu begitu percaya menyerahkan beban berat itu kepadaku, mungkin aku tak bisa memikul tanggung jawab ini."
773
Pendekar Cacat
Mendadak paras Bong Thian-gak berubah, serunya cepat, "Ssstt, ada orang datang, bisa jadi mereka adalah anggota Put-gwa-cin-kau." Baru selesai dia berkata, empat sosok bayangan orang telah menerobos masuk ke dalam kompleks tanah kuburan itu.
Jelas orang-orang itu sudah mengetahui jejak Bong Thiangak maupun Long Jit-seng, maka tanpa berhenti mereka langsung menuju ke arah mereka berada. Bong Thian-gak diam-diam terkejut, pikirnya, "Heran, mengapa para pendatang segera mengetahui lokasi kami secara tepat?" Belum habis ingatan itu melintas, keempat sosok bayangan orang itu sudah berhenti di hadapan mereka. Mereka berempat adalah orang berjubah panjang hijau, sebilah pedang tersoreng di pinggang masing-masing, sebagai pemimpin adalah seorang pemuda gemuk pendek berkulit putih. Sementara itu orang gemuk pendek itu tampak tertegun juga setelah bertemu Bong Thian-gak serta Long Jit-seng.
774
Pendekar Cacat
Berkilat sepasang mata Bong Thian-gak, dia merasa orang gemuk pendek itu seakan-akan pernah bersua di suatu tempat, paras mukanya sangat dikenal, setelah tertegun sejenak, berbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya. "Hehehe, tampaknya kehadiran kalian berempat bermaksud untuk membekuk diriku?" jengek Long Jit-seng sambil tertawa dingin. Salah seorang menengok sekejap ke arah pemuda gemuk pendek itu, lalu berkata, "Komandan regu Ang, orang inilah Hek-ki-to-cu Long Jit-seng!"
Mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, lalu pikirnya, "Ang Teng-siu! Kalau begitu dia adalah orang kepercayaan Thay-kun." Tiga tahun berselang di suatu perkampungan petani, Ang Teng-siu dan seorang dayang Thay-kun telah bekerja sama membunuh seorang pembantu Ji-kaucu, waktu itu Ang Teng-siu pernah memberi pertanyaan kepada Bong Thiangak bahwa Thay-kun adalah majikannya. Sementara itu Ang Teng-siu telah berseru dengan suara dalam, "Bunuh mereka semua!"
775
Pendekar Cacat
Begitu perintah diberikan, ketiga orang berjubah panjang itu serentak melolos pedangnya sambil berjalan mendekat. "Berhenti!" bentak Bong Thian-gak dengan suara dalam. Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat ke muka dan menghadang di hadapan Long Jit-seng. Tiga bilah pedang panjang ketiga orang itu serentak menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan kecepatan bagaikan sambaran petir. Bong Thian-gak tertawa dingin, tubuhnya selincah ikan melejit lewat di antara celah-celah ketiga pedang itu, kemudian telapak tangan kirinya diayunkan ke muka dan ... dua kali dengusan tertahan bergema.
Kedua orang berjubah hijau itu masing-masing terhajar dadanya oleh serangan Bong Thian-gak sehingga terdorong mundur sejauh tiga-empat langkah, pedang mereka terlilit oleh lengan baju kanan Bong Thian-gak yang kosong sehingga sebilah di antaranya mencelat ke udara. Dalam satu gebrakan saja Bong Thian-gak berhasil menaklukkan ketiga orang berjubah hijau itu, kesempurnaan ilmu silat orang ini segera menggetarkan hati semua orang. Untung saja Bong Thian-gak masih punya belas kasihan dengan meringankan tenaga serangannya,
776
Pendekar Cacat
coba tidak, bisa jadi ketiga orang berjubah hijau itu akan tewas.
Berubah hebat paras Ang Teng-siu, dengan cepat ia menyerbu ke muka, sebuah pukulan dilontarkan ke arah Bong Thian-gak dengan kecepatan luar biasa. Bong Thian-gak menggeser langkah kakinya ke samping, tahu-tahu tubuhnya sudah beralih ke samping, setelah itu bentaknya, "Tahan!" "Apa lagi yang hendak kau ucapkan?" tanya Ang Teng-siu dengan wajah tertegun. "Bukankah kau she Ang bernama Teng-siu?" tegur Bong Thian-gak sambil menarik muka. "Betul!" jawab Ang Teng-siu terkejut, "darimana kau bisa tahu namaku? Siapa pula kau?" Sambil tertawa dingin Long Jit-seng segera menimbrung, "Ketua Tiong-yang-hwe... Jian-ciat-suseng!"
Mendengar nama itu, air muka Ang Teng-siu berubah hebat, serunya kemudian, "Sudah lama kudengar nama besarmu, apakafl kau kenal diriku?"
777
Pendekar Cacat
"Apakah Ang-heng mendapat perintah untuk menangkap Hek-ki¬to-cu?" kembali Bong Thian-gak bertanya dengan suara dalam. Ang Teng-siu termenung sambil berpikir sejenak, kemudian baru menjawab, 'Dengan kehadiran saudara, bagaimana mungkin kami bisa melakukan penangkapan terhadap Tocu?" "Kalau memang begitu, mengundurkan diri dari sini!"
cepat
kalian
berempat
Sebelum Ang Teng-siu sempat menjawab, mendadak dari balik kompleks tanah kuburan yang amat luas itu berkumandang suara seseorang dengan suara merdu. "Jian-ciat-suseng, kalian sudah terkepung." Seruan ini sungguh mengejutkan Bong Thian-gak, dia tak pernah mengira di kompleks tanah kuburan itu pun sudah tersembunyi musuh yang siap menyerang. Dengan cepat Long Jit-seng berpaling. Dari balik nisan yang porak-poranda dan menyeramkan itu, sekejap mata telah bermunculan dua puluh sosok bayangan orang berbaju merah, mereka semua berdiri di depan nisan kuburan.
778
Pendekar Cacat
Memandang dari kejauhan, yang terlihat hanya sorot mata mereka yang hijau berkilat seperti api setan.
Dari posisi mereka berada, Bong Thian-gak dan Long Jitseng memang benar-benar sudah terkepung. "Apakah Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun yang berada di situ?" Bong Thian-gak segera menegur nyaring. Yang berdiri paling dekat dengan Bong Thian-gak adalah seorang perempuan berkerudung merah, dia segera menjawab dengan merdu, "Betul, memang aku." "Ji-hubuncu, dengarkan baik-baik," seru Bong Thian-gak dengan suara lantang, "aku orang she Bong tak ingin mempunyai perselisihan dengan pihak Hiat-kiam-bun, bila Ji-hubuncu adalah orang pintar, harap kau segera mengundurkan diri dari sini!" "Mundur boleh saja," sahut Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun sambil tertawa seram. "Asal kau tinggalkan Long Jit-seng di sini."
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Long Jit-seng terbahakbahak.
779
Pendekar Cacat
"Hahaha, aku orang she Long sudah tua dan tak bertenaga, bila nona menginginkan aku, aku tak berani menerima!" "Yang kami inginkan adalah harta karun Mo-lay-cing-ong," kata Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun dengan suara dingin, "asal kau Hek-ki-to-cu bersedia bekerja sama, Hiat-kiam-bun tak bakal melupakan jasamu itu." "Mana ... mana Hek-ki-to-cu tertawa, "sayang sekali Hiatkiam-bun datang terlambat, sebab aku sudah bergabung dengan perkumpulan Tiong-yang-hwe." "Soal itu aku bisa membicarakan dengan Hwecu kalian."
Sebagai orang pintar, Bong Thian-gak segera dapat meraba duduknya persoalan mendengar pembicaraan itu, agaknya pihak Hiat-kiam-bun juga sudah mengetahui tentang rahasia harta karun milik raja muda Mo-lay-cing-ong itu dan agaknya Long Jit-seng juga telah membicarakan syaratnya dengan pihak Hiat-kiam-bun. Maka setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata, "Cara menyerobot yang dilakukan Hiat-kiam-bun tak bisa diterima kami." "Biarpun ilmu silat Jian-ciat-suseng tiada tandingan, namun jangan harap bisa menandingi kerja sama tiga orang penjagal berbaju merah kami. Tempo hari ketika masih berada di rumah penginapan, tentunya kau sudah pernah
780
Pendekar Cacat
merasakan kelihaian penjagal berbaju merah bukan? Jadi aku tak usah memperkenalkan lagi."
Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandangnya lekat-lekat, lamat-lamat dia dapat melihat di belakang Jihubuncu Hiat-kiam-bun tiga pasang mata yang menggidikkan sedang mengawasi dirinya dengan sorot mata hijau menyeramkan. Penjagal berbaju merah memang merupakan algojo-algojo andalan Hiat-kiam-bun. Kalau di dalam pertarungan kemarin Bong Thian-gak masih punya keyakinan, maka sekarang dia sama sekali tidak berkeyakinan untuk bisa menandingi ketiga algojo itu.
Melihat pemuda itu bungkam dan sampai lama belum menjawab, Ji-hubuncu berkata lagi sambil tertawa, "Di bawah pimpinanmu, aku percaya dalam waktu singkat Tiong-yang-hwe bisa tampil sebagai suatu perkumpulan besar dalam Bu-lim, sebagai seorang Tay-enghiong, hay hokiat, dia mesti seorang yang tahu gelagat dan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Jian-ciat-suseng masih bisa mencari kedudukan besar di kemudian hari, kali ini kau mesti menerima dulu keadaan."
781
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak mendongkol bercampur geli, dia lantas berkata, "Aku benar-benar berhasrat menyaksikan raut wajahmu, ingin kulihat bibir macam apakah yang kau miliki sehingga begitu pandai bicara." "Asal kau bersedia melepaskan Hek-ki-to-cu, aku pun bersedia memperlihatkan wajah asliku." "Aku tahu wajahmu sangat jelek, karenanya aku tak ingin melihatnya lagi," tukas Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Ternyata perkataan itu membuat Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun terbungkam, sampai lama sekali dia tak bicara lagi.
Untuk beberapa saat suasana di sekeliling tempat itu menjadi sunyi senyap, tegang dan mengerikan. Ang Teng-siu dan ketiga orang berbaju hijau berdiri di tempat semula, mereka juga membungkam. Mendadak terdengar Ji-hubuncu berkata, "Ang Teng-siu, kau sudah berhasil menemukan Buncu?"
Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira kalau Ang Teng-siu pun berkomplot dengan pihak Hiat-kiam-bun, berarti kedatangan Ang Teng-siu berempat ke situ tadi bukan
782
Pendekar Cacat
sungguh-sungguh hendak mencari Long Jit-seng, melainkan sebelum kejadian Ang Teng-siu memang sudah punya janji dengan pihak Hiat-kiam-bun. Dengan sikap menghormat, sahut Ang Teng-siu, "Lapor Jihubuncu, jejak Buncu sudah kami ketahui dengan jelas, cuma saat ini bukan saatnya untuk bicara, maaf kalau aku tak bisa memberi laporan sekarang."
Mendadak Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya lantang, "Ji-hubuncu, untuk menyusupkan Ang Teng-siu ke dalam Put-gwa-cin-kau memang bukan suatu pekerjaan gampang, bisa jadi banyak tenaga dan pikiran telah digunakan. Malam ini, bila aku bisa lolos dari pengejaran kalian dan kulaporkan kejadian ini kepada pihak Put-gwa-cin-kau, dapat dipastikan Ang Tengsiu tak bisa melanjutkan pekerjaannya menyusup ke dalam tubuh Put-gwa-cin-kau." "Hm, tampaknya reaksi pikiranmu benar-benar cepat!" jengek Ji-hubuncu dingin.
Bong Thian-gak tertawa. "Mana ... mana ... ikan dan telapak beruang tak mungkin bisa diperoleh bersama-sama, Ji-hubuncu, kau jangan kelewat tamak!"
783
Pendekar Cacat
Tiba-tiba Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun menghela napas, lalu berkata, "Jian-ciat-suseng, silakan bawa Hek-ki-to-cu meninggalkan tempat ini!" "Terima kasih atas kemurahan hati Ji-hubuncu!" Selesai berkata, pemuda itu berpaling ke arah Long Jit-seng dan berkata lebih lanjut, "Long-sianseng, mari kita pergi!" Tapi baru saja Bong Thian-gak berjalan dua langkah, mendadak dia berpaling lagi sambil bertanya kepada Ang Teng-siu, "Ang Teng-siu, masih kenal padaku?"
Ang Teng-siu tertegun, lalu menggeleng kepala. "Kita baru bersua untuk pertama kali ini, bagaimana mungkin bisa kenal?" Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh Bong Thiangak berkata, "Kita pernah bertemu walau Ang-heng belum ingat. Siapa tahu dengan Ji-hubuncu kalian pun merupakan sahabat lama? Waktunya memang sudah lama sehingga tidak ingat lagi." Habis berkata dia lantas beranjak pergi.
784
Pendekar Cacat
Long Jit-seng mengikut di belakang Bong Thian-gak dengan mulut membungkam, setelah menempuh perjalanan beberapa saat Long Jit-seng berkata, "Hwecu benar-benar seorang naga sakti di antara manusia, sungguh tak nyana Jihubuncu Hiat-kiam-bun yang paling sukar dihadapi pun bersedia memberi muka padamu."
Bong Thian-gak menghela napas, "Ai, Ji-hubuncu membiarkan kita pergi dengan selamat lantaran jejak Buncu mereka dipandang jauh lebih berharga dari apa pun. Ai, semoga mereka bisa menemukan Buncunya." "Siapa Buncu mereka?" tanya Long Jit-seng tercengang. Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, "Bila dugaanku tak salah, bisa jadi Buncu Hiat-kiam-bun adalah Si-hun-moli."
Long Jit-seng terkejut. "Maksud Hwecu, Si-hun-mo-li adalah Buncu Hiat-kiambun?" Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Apa yang barusan kukatakan hanya merupakan dugaan saja, tapi^ujuh puluh persen mungkin benar, ai ... mengenai hal ini baru bisa jelas bila dirunut kejadian tiga
785
Pendekar Cacat
tahun berselang ... baiklah persoalan ini kita bicarakan di kemudian hari saja." Ternyata setelah berjumpa Ang Teng-siu hari ini, dia segera memperoleh jawaban yang tepat atas beberapa teka-teki yang selama ini belum terjawab olehnya. Tiga tahun berselang, di dalam perkampungan petani yang menjadi markas kantor cabang Put-gwa-cin-kau kota Kayhong, dia telah bertemu Ang Teng-siu.
Ang Teng-siu adalah anak buah Jit-kaucu Thay-kun, sedang Ang Teng-siu pun anggota Hiat-kiam-bun, dengan cepat Bong Thian-gak jadi teringat ucapan Thay-kun serta Kengtim Suthay waktu itu. "Sembilan hari lagi di Bu-lim bakal muncul sebuah perkumpulan baru." Ketika Bong Thian-gak muncul kembali di Bu-lim, dia memang sudah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong serta Keng-tim-an, namun orang-orang yang menghuni di kedua tempat itu tak satu pun yang berhasil ditemukan, tempat tinggal mereka dalam keadaan kosong, sedang kabar penghuninya seolah lenyap begitu saja.
786
Pendekar Cacat
Tiga tahun kemudian, di Bu-lim muncul sebuah partai baru yang disebut Hiat-kiam-bun. Ketika itu Bong Thian-gak berpikir dalam hati, "Janganjangan Hiat-kiam-bun adalah partai baru yang didirikan Toa-suheng Ho Put-ciang atau Keng-tim Suthay sekalian?" Setelah dua kali perjumpaannya dengan Ji-hubuncu Hiatkiam-bun, Bong Thian-gak merasa baik nada suara maupun perawakan tubuhnya seakan-akan pernah bersua di suatu tempat. Akhirnya setelah kemunculan Ang Teng-siu pada hari ini, Bong Thian-gak baru dapat menebak bahwa Ji-hubuncu itu tidak lain adalah puteri Keng-tim Suthay, si gadis jelek.
Hong-leng terletak di atas tanah perbukitan di sebelah utara kota terlarang. Waktu itu seorang pemuda berbaju putih berdiri di atas undak-undakan pintu gerbang, sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, ia berwajah tampan. Sebentar-sebentar ia mendongak mengawasi sang surya yang semakin lama bergeser semakin ke tengah awangawang. Akhirnya tepat berada di atas kepala, tengah hari telah tiba.
787
Pendekar Cacat
Pada saat itulah dari jalan raya di kejauhan sana muncul seekor kuda yang dilarikan cepat, kuda itu menuju ke depan undak-undakan batu sebelum penunggang kudanya melejit ke udara dan turun di depan undak-undakan batu pertama. Orang itu adalah seorang pemuda berlengan tunggal berusia tiga puluhan, berwajah tampan, terutama sorot matanya yang memancarkan sinar kewibawaan.
Melihat kemunculan pemuda berlengan tunggal itu, pemuda berbaju putih tadi berseru sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Jian-ciat-suseng benar-benar memegang janji tidak datang lebih awal, tidak pula terlambat, persis tengah hari." "To-tongcu sudah menanti lama rupanya," kata Bong Thiangak sambil tersenyum. Rupanya tengah hari ini adalah saat dilangsungkannya duel antara Sin-tong Tongcu Kay-pang yakni To Siau-hou dan Bong Thian-gak.
788
Pendekar Cacat
Mendadak To Siau-hou menarik muka, kemudian berkata, "Hari ini aku orang she To dapat bertarung dengan saudara, hal ini sungguh merupakan suatu kebanggaan bagiku." Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Kedatanganku memenuhi janji ini sesungguhnya bukan untuk berduel denganmu." "Lantas mau apa kau kemari?" seru To Siau-hou dengan wajah berubah. "Aku datang untuk minta maaf kepada To-tongcu, bila kemarin Hui-eng-su-kiam bersaudara dari perkumpulan kami telah mengusik perkumpulan kalian, harap kau sudi memaafkan."
To Siau-hou tertawa dingin. "Apakah kau beranggapan sebagai ketua suatu perkumpulan besar akan kehilangan pamor dan derajat bila berduel denganku?" "Oh, tidak!" "Hm! Selama sastrawan berkelana di Bu-lim, kau selalu berusaha mencari jago-jago lihai kenamaan untuk diajak berduel, selama tiga bulan terakhir ini entah berapa banyak jago lihai yang telah keok di tanganmu ... cuma selama ini kau belum pernah mencari gara-gara terhadap jago Kay-
789
Pendekar Cacat
pang, entah lantaran kau jeri pada nama besar Kay-pang ataukah memang tak ingin berselisih dengan pihak kami." "Aku memang tak ingin berselisih dengan orang-orang Kaypang," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Seandainya Jian-ciat-suseng berkeinginan menjadi tenar, maka cara yang terbaik adalah mengalahkan para jago Kaypang, dengan cara ini bisa jadi Tiong-yang-hwe akan berhasil menancapkan kaki untuk selamanya dalam Bulim." "To-tongcu masih muda dan berkepribadian, keberhasilanmu di kemudian hari pasti akan luar biasa, sebagai anak muda yang berjiwa panas, kuanjurkan janganlah kelewat banyak mencari gara-gara, sebab cara ini bukan cara yang baik."
Bong Thian-gak mengucapkan kata-katanya dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh. To Siau-hou tertawa dingin, "Sejak enam bulan lalu kuterima jabatan Tongcu bagian Sin-tong partai kami, belum pernah kujumpai seorang jago lihai yang pantas melangsungkan duel denganku, hari ini aku tertarik duel denganmu. Bila kau enggan berduel melawanku hari ini, silakan kau umumkan pembubaran perkumpulan Tiongyang-hwe dari dunia persilatan. Kau mesti tahu, tidak
790
Pendekar Cacat
semua umat persilatan senang menyaksikan munculnya partai baru." "Bila kuterima tantangan untuk berduel ini?" tanya Bong Thian-gak sambil menarik wajah.
To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, bila kau sanggup melawanku, To Siau-hou akan mengundurkan diri dari Kay-pang dan selama hidup membaktikan diri untuk Tiong-yang-hwe." "To-tongcu, kau sedang bergurau rupanya?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Seorang lelaki sejati tak pernah bicara tanpa tanggung jawab." "Ai, tidakkah To-heng pikirkan bahwa taruhanmu kelewat besar?" ***
791
Pendekar Cacat
11 KETUA HIAT KIAM BUN..BONG THIAN-GAK
T
o Siau-hou tertawa dingin, "Hehehe, jangan kuatir, aku pun mempunyai sebuah syarat." "Apa syaratmu?"
"Bila kau keok, Tiong-yang-hwe harus dibubarkan dengan segera dan Jian-ciat-suseng pun harus menggabungkan diri dengan kaum pengemis." "Sayang aku tak bisa menerima syaratmu," kata Bong Thian-gak dengan tersenyum. "Mengapa kau menampik?" To Siau-hou berkerut kening. "Suatu pertandingan adu kepandaian boleh dibilang suatu perbuatan yang baik bagi kaum persilatan untuk mengukur kepandaian silatnya, buat apa kita mesti bertaruh dengan
792
Pendekar Cacat
taruhan yang begitu besar? Apakah To-tongcu sudah yakin dapat menangkan diriku?" Tertegun si To Siau-hou mendengar perkataan itu, katanya kemudian, "Bila kau yakin bisa menangkan diriku, mengapa tidak kau terima keuntungan ini." "Bila kau melepaskan diri dari Kay-pang, sudah dapat dipastikan Pangcu kalian tak akan melepaskan diriku," ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam. "Ya, betul," To Siau-hou manggut-manggut, "tapi bila Tiongyang-hwemu makin hari makin bertambah kuat, Kay-pang pun tak dapat melepaskan dirimu." "To-tongcu, kalau kau sudah bertekad hendak adu kepandaian, cabut pedangmu." Ucapan anak muda itu hambar tanpa emosi. "Kau tidak melolos pedang?" tanya Giok-bin-giam-lo dingin. "Pedangku dilolos bila keadaan sudah membutuhkan." Tampaknya To Siau-hou tidak sesombong Mo Sau-pak dari perkumpulan Kim-liong-kiam-san-ceng, dengan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang mustika yang memancarkan cahaya tajam.
793
Pendekar Cacat
Begitu pedang dilolos. To Siau-hou segera miringkan tubuh ke samping, kemudian tubuh berikut pedangnya langsung menyerang sisi kanan Bong Thian-gak. Jurus serangan yang dipergunakan olehnya sangat lamban dan tiada keistimewaan, seolah-olah serangan dilancarkan dengan santai. Tapi Bong Thian-gak yang menyaksikan serangan itu justru hatinya begetar, batinnya, "Ah! Tay-kek-kiam, ilmu silatnya seperti beberapa kali lipat lebih maju daripada tiga tahun berselang." Seperti burung walet terbang di udara. Bong Thian-gak melejit ke atas undak-undakan batu ketiga dan meloloskan diri dari serangan itu. Dengan demikian posisi yang ditempati kedua belah pihak persis pada garis undak-undakan yang sama. Gagal dengan serangannya. To Siau-hou berseru, "Jian-ciatsuseng memang benar-benar bukan orang sembarangan!" Sementara berbicara pedangnya kembali diputar, pelanpelan membacok lagi ke sisi kanan Bong Thian-gak. Belum lagi serangannya tiba, terasa segulung hawa dingin yang menusuk tulang menyergap wajahnya. Sesudah menyaksikan jurus kedua ini. Bong Thian-gak baru paham apa sebabnya To Siau-hou memandang begitu
794
Pendekar Cacat
serius pertaruhan yang diusulkannya tadi, ternyata Giokbin-giam-lo yang sekarang sudah bukan Giok-bin-giam-lo tiga tahun yang lalu, kepesatan ilmu silat telah mencantumkan namanya di antara jago-jago lihai. Dalam tiga tahun yang singkat ternyata To Siau-hou berhasil mendalami ilmu silatnya, maju beberapa puluh kali lipat lebih hebat dari semula, maka dapat dibayangkan kepandaian silat ketua Kay-pang yang mewariskan ilmu silat itu kepadanya benar-benar tak terlukiskan. Tiba-tiba Bong Thian-gak bergeser dua undak-undakan lagi untuk menghindarkan diri dari tusukan lawan. Tapi To Siau-hou pun tak malu disebut jago lihai, dia tidak memberi kesempatan kepada Bong Thian-gak untuk menempati posisi di atas yang lebih menguntungkan. Dengan cepat dia bergeser berebut naik dua undakundakan, angin serangan dingin diiringi desingan cahaya tajam secara beruntun dan tiada habisnya mengurung Bong Thian-gak di bawah bungkusan kabut cahaya pedangnya. Ilmu pedang itu bukan lain adalah Tay-kek-kiam-hoat, adalah ilmu pedang Bu-tong-pay, ilmu pedang ciptaan Thio Sam-hong cikal-bakal Bu-tong-pay. Ilmu pedang ini mengutamakan tenaga lembut dan halus, dengan tenang menguasai keras.
795
Pendekar Cacat
Seandainya ada orang bisa melatih ketenangan dan kelembutan Tay-kek-kiam-hoat hingga puncak kesempurnaan, maka jangan harap umat persilatan di dunia ini bisa meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang itu dengan selamat. Tay-kek-kiam-hoat termasuk ilmu andalan Bu-tong-pay, biasanya hanya para Ciangbunjin yang memperoleh warisan ilmu itu. Bong Thian-gak sungguh tak habis mengerti darimanakah Giok-bin-giam-lo bisa mewarisi kepandaian itu. Jian-bin-hu-li (rase sakti seribu li) Ban Li-biau telah mencuri kitab pusaka seantero perguruan yang ada di dunia ini, sudah barang tentu Tay-kek-kiam-hoat pun tidak terkecuali, itulah sebabnya Bong Thian-gak juga menguasai taktik dan rahasia ilmu itu. Di tengah kepungan cahaya pedang To Siau-hou yang rapat, dengan gaya yang tak cepat maupun lambat, jurus demi jurus Bong Thian-gak memunahkan semua ancaman lawan. Dalam waktu singkat To Siau-hou telah mengeluarkan tiga puluh sembilan jurus Tay-kek-kiam-hoat. Makin bertarung To Siau-hou makin kaget, tiba-tiba dia berpekik nyaring, permainan pedangnya segera berubah, dari ilmu pedang Tay-kek-kiam kini dia pergunakan jurusjurus pedang yang ganas, cepat dan luar biasa.
796
Pendekar Cacat
Di bawah desakan tiga jurus serangan kilat To Siau-hou, Bong Thian-gak terdesak mundur sejauh tiga undakundakan. Sekali lagi To Siau-hou berpekik nyaring, tubuh dan pedangnya bersatu-padu, kemudian dari bawah menuju ke atas secepat kilat dia lancarkan tusukan ke tubuh Bong Thian-gak. Di dalam jurus serangannya kali ini dia telah mempergunakan ilmu pedang terbang yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi. Tergerak hati Bong Thian-gak, cahaya pedang berkelebat, mau tak mau dia harus melolos pedangnya. "Trang", benturan nyaring bergema memecah keheningan. Tiba-tiba saja cahaya pedang sirap. To Siau-hou terdorong sampai undak-undakan batu terakhir, dengan wajah terkejut bercampur seram dia mengawasi pedangnya yang tinggal setengah. Di atas undak-undakan ketiga belas, berdirilah Bong Thiangak dengan wajah serius. Di tangannya terpegang sebilah pedang kayu yang tak bersinar. Sementara sorot mata Bong Thian-gak yang tajam sedang mengawasi pedang kayunya yang gumpil sebagian,
797
Pendekar Cacat
akhirnya dia menghela napas seraya berkata, "To-tongcu, kau telah tertusuk pedangku ini!" Sembari berkata. Bong Thian-gak segera menggetarkan tangan kirinya dan patahlah pedang kayu itu menjadi dua bagian. To Siau-hou membuang juga kutungan pedangnya ke tanah, lalu berkata dengan nada yang amat sedih dan duka, "Aku kalah, aku kalah ... tiga tahun berlatih dengan tekun ternyata aku tak mampu menghadapi serangan pedang kayu." Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, nada suaranya berubah menjadi sangat lemah seolah-olah setiap saat dia akan menangis tersedu-sedu. Dengan suara lantang Bong Thian-gak berkata, "Menang atau kalah adalah wajar dalam suatu pertarungan, Totongcu, mengapa kau memandang begitu serius masalah menang atau kalah ini." To Siau-hou tertawa seram, "Kau berada di pihak yang menang, tentu saja tak akan kau pahami bagaimana rasanya menjadi orang yang kalah." "Lengan kananku pernah kutung, bukankah ini pertanda suatu kekalahan?" Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam, "padahal To-tongcu tidak kalah di tanganku, apa yang terjadi tak lebih hanya senjata yang menjadi kutung belaka."
798
Pendekar Cacat
Tertegun To Siau-hou mendengar perkataan itu, serunya, "Kau berhasil menang tapi tidak sombong maupun tinggi hati, sikapmu jauh berbeda dengan apa yang tersiar selama ini." Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, apa yang tersiar di Bu-lim memang selalu ditambah dengan bumbu di sana sini supaya kedengarannya hebat dan menggemparkan." Mendadak paras muka To Siau-hou berubah serius, kemudian ujarnya dengan nada bersungguh-sungguh, "Di antara kelompok kaum pengemis, ilmu silatku ada pada urutan keempat, seandainya kau ingin mengalahkan pula ketiga orang jago lihai kami, rasanya kau mesti berlatih diri lagi selama sepuluh tahun sebelum niatmu itu terlaksana."
Bong Thian-gak tersenyum. "Menurut cerita orang, Liong-thau Pengcu dari Kay-pang adalah seorang hebat di dunia persilatan, sudah barang tentu kepandaian silatnya menempati urutan pertama, tapi siapa pula kedua jago lainnya?" "Dua orang jago lihai Kay-pang lainnya adalah para pelindung Pangcu, orang kedua bernama To-pit-coat-to (Golok sakti lengan tunggal) Liu Khi, sedang orang ketiga
799
Pendekar Cacat
adalah kakak seperguruanku, Put-mi-kiam (pedang tanpa nyawa) Han Siau-liong." "Oh, tidak heran pada tiga tahun berselang pihak Kay-pang berhasil memaksa Put-gwa-cin-kau mengasingkan diri dari keramaian dunia, rupanya kalian mempunyai dukungan jago-jago lihai semacam ini untuk menekan Put-gwa-cinkau."
To Siau-hou tertawa dingin, "Peristiwa Kay-pang mengalahkan orang-orang Put-gwa-cin-kau sudah lama tersebar luas dalam Bu-lim, tapi siapa pula yang tahu kalau tiga tahun berselang Put-gwa-cin-kau dan Kay-pang telah melangsungkan pertarungan besar-besaran?" "Aku ingin tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dari pertarungan itu, bersediakah kau memberi keterangan kepadaku?" To Siau-hou termenung dan berpikir sebentar, kemudian ujarnya, "Sebenarnya peristiwa ini merupakan sebuah rahasia dunia persilatan, tapi bolehlah kuberitahukan kepadamu." "Terima kasih atas kebaikan To-tongcu."
800
Pendekar Cacat
"Tiga tahun berselang, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memimpin Ji-kaucu dan sekalian jago lihainya berangkat ke wilayah Sucwan dimana markas besar Kay-pang berada untuk mengadakan suatu pertandingan ilmu silat, taruhannya waktu itu adalah siapa yang kalah, maka dia wajib mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan selama tiga tahun." "Jadi Liong-thau Pangcu dari Kay-pang berhasil mengalahkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?" kata Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
To Siau-hou tertawa dingin. "Pangcu kami sama sekali tidak turun tangan, sedangkan pihak Put-gwa-cin-kau juga hanya menurunkan Ji-kaucu." "Kepandaian silat Ji-kaucu luar biasa sekali," seru Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras.
Belum habis berkata. To Siau-hou telah menyambung, "Tapi kepandaian silat To-pit-coat-to Liu Khi jauh lebih hebat lagi." "Betul, betul!" Bong Thian-gak mengangguk, "To-pit-coat-to Liu Khi sanggup mengalahkan Ji-kaucu, paling tidak kepandaiannya pasti luar biasa sekali."
801
Pendekar Cacat
"Aku bicara sebanyak ini, tujuanku adalah menganjurkan padamu untuk membubarkan Tiong-yang-hwe dan bergabung dengan pihak Kay-pang, daripada mendatangkan bibit bencana bagi diri sendiri." "Apa maksud perkataan To-tongcu ini?"
Dengan wajah serius To Siau-hou berkata lagi, "Baik To-pitcoat-to Liu Khi, maupun kakak seperguruanku si Put-mikiam Han Siau-liong, keduanya sudah berhasil melatih kepandaian silat mereka hingga mencapai tingkatan yang luar biasa, kecuali Pangcu kami, mereka tidak berharap ada orang yang sanggup mengungguli mereka, oleh sebab itu cepat atau lambat mereka berdua tentu akan datang mencarimu untuk diajak adu kepandaian." Baru selesai ucapan itu diutarakan, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara nyaring, "Sekarang juga aku telah datang mencarinya." Ucapan itu sangat mengejutkan Bong Thian-gak maupun To Siau-hou, serentak mereka mendongakkan kepala.
Pada puncak undak-undakan batu, muncul orang berbaju abu-abu yang tinggi besar, berwajah kasar dan bermata bulat, sedang melangkah menghampiri mereka.
802
Pendekar Cacat
Pada punggungnya tersoreng sebilah pedang yang panjang tebal, bobotnya pun kelihatan amat berat, membuat setiap langkah kakinya menimbulkan suara denting nyaring. Lekas To Siau-hou memburu ke depan, sambil membungkukkan badan memberi hormat, katanya, "Suheng telah datang rupanya? Bila Sute tak menyambutmu dari jauh, harap kau sudi memaafkan." Sementara itu Bong Thian-gak juga sedang berpikir, "Agaknya si pendatang ini tak lain adalah jago lihai ketiga Kay-pang ... Put-mi-kiam Han Siau-liong."
Dari sepasang biji mata Han Siau-liong yang jeli dan berkilau, dengan cepat Bohg Thian-gak tahu bahwa ilmu silat orang ini beberapa kali lipat lebih lihai daripada To Siau-hou. Sepasang mata Han Siau-liong tajam dan bersinar seperti mata harimau kumbang, di balik ketajaman terselip cahaya kebuasan, kekejian dan keseraman, sementara dari tubuhnya seolah-olah memancar pula bau keliaran yang menggidikkan, membuat orang teringat bau khas binatang buas.
Han Siau-liong memandang sekejap ke arah To Siau-hou, setelah tertawa terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, Siau-
803
Pendekar Cacat
hou, rupanya kau sudah memberitahukan semua kejelekan kakakmu kepadanya." Terhadap kakak seperguruannya ini, To Siau-hou seperti menaruh perasaan jeri, dengan sikap yang sangat hormat lekas sahutnya, "Siau-hou tak lebih hanya mengatakan bahwa Suheng adalah seorang yang gila ilmu." Gelak tawa Han Siau-liong semakin menjadi-jadi, "Betul, betul sekali, Suhu pun sering mengatakan aku adalah orang yang gila ilmu silat."
Sesudah berhenti sejenak dan mendongakkan kepala memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, dia kembali bertanya, "Siau-hou, kau telah dikalahkan olehnya?" Dengan cepat To Siau-hou menjawab, "Kami baru selesai bertarung dan hasilnya adalah seimbang." "Kau bohong, apakah kau tak ingin Suhengmu membalaskan dendam bagimu?" seru Han Siau-liong sambil melotot. "Suheng menganggap aku kalah di tangannya?" To Siauhou balik bertanya sambil tersenyum. Pertanyaan ini kontan membuat Han Siau-liong tertegun, segera pikirnya, "Benar juga perkataan ini, tiga tahun terakhir ini Sute telah memperoleh gemblengan ketat dari
804
Pendekar Cacat
Suhu, bagaimana mungkin dia kalah dengan mudah di tangan orang lain."
Sementara kedua orang itu berbicara, diam-diam Bong Thian-gak naik ke atas kudanya dan berlalu dari situ. Siapa tahu sesosok bayangan orang berwarna abu-abu telah menyambar ke arahnya dengan kecepatan tinggi, sementara kelima jari tangannya dengan cepat menyambar tali kudanya. "Mundur!" bentak Bong Thian-gak. Lengan kirinya setajam golok langsung membacok ke arah belakang. Jurus-jurus serangan Bong Thian-gak ini dilepaskan belakangan, tapi tiba lebih duluan pada sasaran, bayangan orang yang sedang melambung di udara itu buru-buru menarik kembali cengkeramannya, sementara tangannya dibalik dan menyongsong datangnya ancaman telapak tangan kiri Bong Thian-gak. "Blam", suara benturan keras menggelegar, di tengah ringkik kuda yang nyaring, Bong Thian-gak berikut kudanya telah menerjang maju. Sebaliknya Han Siau-liong melayang turun, kini dia berdiri dengan wajah sangat terkejut.
805
Pendekar Cacat
Dengan cepat To Siau-hou memburu ke depan.
Bong Thian-gak yang berada di atas kudanya berkata sambil tersenyum, "Kekuatan serangan saudara benar-benar hebat dan kau merupakan jago lihai pertama yang kujumpai selama ini, bila kau anggap ada kepentingan untuk melangsungkan pertarungan, lebih baik kita memilih tempat lain saja di kemudian hari, kita bertarung tiga ratus gebrakan sampai puas." Dalam bentrokan tadi, Han Siau-liong merasakan gejolak darah dalam tubuhnya, biarpun dia nampak kasar di luar, sesungguhnya orang ini sangat cermat dan berhati-hati, walau baru satu gebrakan saja, namun dia pun sadar telah bertemu jago lihai. Sepanjang hidupnya, belum pernah Han Siau-liong menderita kekalahan, dia tak ingin menderita kekalahan di tangan musuh dengan cepat, ketika mendengar ucapan tadi, ia bertanya, "Kaukah Jian-ciat-suseng?"
"Betul, akulah orangnya," Bong Thian-gak tertawa, "selama berada di dalam kota terlarang, mungkin kita akan sering bertemu, nah, sampai berjumpa di lain kesempatan." Selesai berkata dia lantas menjura, kemudian melarikan kudanya meninggalkan tempat itu.
806
Pendekar Cacat
Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, tibatiba Han Siau-liong menghela napas panjang, lalu ujarnya, "Kepandaian silat orang benar-benar sangat hebat, mungkin aku atau To-pit-coat-to Liu Khi juga bukan tandingannya." To Siau-hou tertegun mendengar ucapan itu, serunya dengan cepat, "Han-suheng, kau anggap tenaga dalam Jianciat-suseng masih jauh lebih hebat daripadamu?"
"Menurut cerita yang tersiar dalam Bu-lim, Jian-ciat-suseng saat ini bagaikan Suhu ketika terjun ke dunia persilatan puluhan tahun berselang, kedahsyatan dan kehebatannya hampir tak berbeda. Mula-mula aku tidak percaya Jian-ciatsuseng itu sanggup dibandingkan dengan kehebatan serta keampuhan Suhu di masa lampau, namun setelah bentrokan hari ini, aku baru menyadari bahwa kesempurnaan tenaga dalamnya memang tak mungkin bisa dilawan oleh siapa pun." To Siau-hou menyadari bahwa kepandaian silat kakak seperguruannya ini masih beberapa kali lipat lebih hebat daripada dirinya, namun dia masih tetap tidak percaya Jianciat-suseng benar-benar memiliki kemampuan seperti apa yang dikatakan Suhengnya itu, bahkan Liu Khi pun tak mampu mengungguli dirinya.
807
Pendekar Cacat
To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, kemudian ujarnya, "Suheng, nampaknya keangkuhan dan ketinggian hatimu di masa lampau telah berubah? Betul, kepandaian silat Jianciat-suseng memang sangat lihai, namun tak nanti sehebat apa yang dilukiskan Suheng barusan." "Kalau dalam melancarkan serangan tadi Suheng menyerang dari udara, dan ancaman mencengkeram berubah menjadi pukulan, tenaga yang digunakan otomatis selisih lebih banyak ketimbang lawan, apalagi Jian-ciatsuseng melepas pukulannya dengan duduk di atas pelana kuda, dengan tambahan tenaga terjangan kuda, tidak heran kekuatan yang dia hasilkan lebih sempurna daripada orang lain."
Sesudah mendengar penjelasan To Siau-hou ini, Han Siauliong berpendapat ucapan itu memang benar, maka setelah menghela napas, katanya dengan suara rendah, "Semoga saja apa yang kau duga memang betul, kalau tidak. Suhu akan mendapat seorang musuh tangguh!" Tiba-tiba To Siau-hou berpaling dan memandang sekejap ke arahnya, lalu bertanya, "Suheng, Suhukah yang mengirim kau untuk membantuku?" "Ketika Suhu menerima surat kilat Sute yang mengatakan bahwa pihak Put-gwa-cin-kau sedang mencari sejumlah harta karun ... tampaknya dia orang tua pun segera teringat bahwa harta karun itu bisa jadi merupakan harta
808
Pendekar Cacat
peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong seratus tahun lalu, itulah sebabnya beliau lantas mengutus aku datang membantu Sute guna melaksanakan tugas besar ini."
To Siau-hou manggut-manggut. "Apa yang diduga Suheng memang tepat sekali, beberapa hari ini aku memang telah berhasil menyelidiki persoalan itu hingga jelas, harta karun yang dimaksud memang benarbenar merupakan harta karun peninggalan raja muda Molay-cing-ong." "Harta karun Mo-lay-cing-ong mempunyai sangkut-paut yang sangat besar dengan Kay-pang kita, maka kita bertekad mendapatkannya walaupun dengan pengorbanan apa pun, To-sute, cepat kau tuturkan keadaan yang sebenarnya kepadaku." "Dalam penyelidikanku selama beberapa hari ini, dapat diketahui bahwa pihak yang mengetahui rahasia tentang harta karun Mo-lay-cin-ong ini selain Put-gwa Cin Kua tampaknya masih ada orang-orang Hiat-kiam-bun, ditambah kita berarti ada tiga kekuatan yang mengincarnya."
809
Pendekar Cacat
Han Siau-liong termenung dan berpikir beberapa saat, lalu tanyanya, "Apakah Jian-ciat-suseng mengetahui rahasia ini?" "Tahu atau tidak bukan masalah, sebab dengan kekuatannya seorang, rasanya mustahil untuk mendapatkan harta karun Mo-lay-cing-ong itu." "Dimanakah letak harta karun itu dipendam?" "Soal ini tampaknya kita pihak Kay-pang kalah selangkah, sebab hingga kini masih belum begitu jelas. Tapi yang pasti berada pada radius sepuluh li seputar kota terlarang ini." "Semalam aku berhasil memperoleh berita gembira, orangorang Hiat-kiam-bun sedang mencari orang ini, seorang umat persilatan yang pertama mengetahui harta karun itu." "Siapakah dia?" " Long Jit-seng dari lautan timur." "Apakah orang ini masih berada di sekitar kota terlarang?" "Konon orang ini sudah berhasil menyusup masuk ke dalam wilayah harta karun itu, sudah barang tentu dia berada di seputar kota terlarang." "Tugas pertama kita sekarang adalah menemukan jejak Long Jit-seng," ujar Han Siau-liong kemudian dengan kening berkerut.
810
Pendekar Cacat
To Siau-hou manggut-manggut. "Benar, konon bangunan penyimpanan harta karun Mo-laycing-ong adalah hasil bangunan Susiok-co Long Jit-seng. Tempat harta karun itu disimpan dipasang berbagai alat rahasia yang amat hebat, di dunia saat ini hanya Long Jitseng yang sanggup mematahkan alat-alat itu, oleh sebab itulah orang-orang Hiat-kiam-bun dengan cepat telah mengadakan hubungan dengan Long Jit-seng." "Kalau begitu bukankah usaha kita akan sia-sia belaka?"
To Siau-hou menggeleng. "Biarpun pihak Hiat-kiam-bun sudah mengadakan hubungan dengan Hek-ki-to-cu, namun syarat yang mereka kemukakan tidak ada kecocokan, sehingga kerja sama itu nampaknya batal!" Han Siau-liong termenung sebentar, kemudian katanya dengan suara dalam, "Bagaimana pun juga kita harus melindungi Long Jit-seng." "Telah kuutus segenap anggota ruang Sin-tong untuk menyebar diri dan mencari kabar Long Jit-seng, mari kita cepat pulang sambil menanti kabar."
811
Pendekar Cacat
ooOOoo
Hong-kong-si adalah sebuah kompleks kuil yang terdiri dari dua ruang besar dan belasan bilik kecil, di balik tembok pekarangan yang tinggi, tumbuh rimbun pepohonan bambu nan hijau. Dipandang dari jauh, tempat pengasingan ini sepi dan tenang. Ketika orang memasuki bangunan itu, maka terlihatlah daun kering melapisi seluruh permukaan tanah, debu tebal menyelimuti lantai ruangan, sarang laba-laba menghiasi patung arca dan peralatan, pada hakikatnya kuil ini yang sudah lama terbengkalai.
Dalam satu tahun, belum tentu nampak cahaya lentera di dalam kuil itu, tapi malam ini, dari tujuh buah bilik di belakang ruang depan berkedip cahaya lilin. Rupanya selewat tengah hari tadi, ada enam orang laki perempuan yang secara diam-diam masuk ke dalam kuil Hong-kong-si, mereka terdiri dari Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak, Long Jit-seng serta Hui-eng-su-kiam.
812
Pendekar Cacat
Malam semakin bertambah larut. Long Jit-seng dan Huieng-su¬kiam telah memasuki bilik masing-masing untuk beristirahat, hanya tinggal Bong Thian-gak yang nampak masih duduk menepekur di depan jendela sambil mendengarkan bunyi daun bambu yang bergoyang terhembus angin. Sementara dalam benaknya terlintas bayangan tubuh seorang gadis yang lemah lembut tak bertenaga. "Ai, sudah hampir empat bulan aku meninggalkan Leng-hui, saat ini mungkin kehidupannya akan dilewati bagaikan bertahun-tahun."
Bong Thian-gak adalah seorang lelaki sejati yang romantis, namun penuh dengan tanggung jawab. Song Leng-hui telah menjadi istrinya, setiap waktu dia selalu merindukannya, menguatirkan nasibnya ... terutama bila tengah malam tiba, di saat suasana menjadi hening dan tak terdengar suara sedikit pun, bayangan Song Leng-hui selalu muncul di hadapannya. Ada kalanya Bong Thian-gak kuatir akan keselamatan Song Leng-hui, gadis yang hidup menyendiri di tengah gunung terpencil, mungkinkah dia diserang serigala ganas, diterkam harimau buas. Bila semua ini mulai muncul, ingin sekali secepatnya dia kembali ke sisinya.
813
Pendekar Cacat
"Ai, Leng-hui, wahai Leng-hui, seandainya kau bisa meninggalkan gunung dan hidup mendampingiku, betapa bahagianya aku."
"Ah, tidak! Setiap hari aku hidup bergelimpangan di ujung golok, aku tak boleh membiarkan dia kuatir ... harus kutunggu sampai Tiong-yang-hwe kuat dan digdaya sebelum dia kujemput kemari." Berpikir sampai di situ, mendadak Bong Thian-gak menaruh suatu harapan aneh terhadap kuil Hong-kong-si itu.
Andaikata Hong-kong Hwesio bersedia memberikan tempat ini kepadanya, dia hendak menjadikan tempat ini sebagai markas besar Tiong-yang-hwe. Teringat akan diri Hong-kong Hwesio, tanpa terasa Bong Thian-gak berpikir kembali, "Aku telah pindah kemari, menurut aturan, sudah sepantasnya bila kujumpai dulu Hong-kong Hwesio." Pelan-pelan dia bangkit, kemudian beranjak dari ruangan. Sejak pindah ke situ tiga hari lalu. Bong Thian-gak belum sempat memperhatikan keadaan sekeliling tempat itu, maka saat ini dia berjalan di tengah kegelapan malam dengan santai.
814
Pendekar Cacat
Tiba di ruang tengah bagian belakang, tanpa terasa pemuda itu menghentikan langkahnya. Rupanya gedung belakang ini merupakan tempat tinggal Hong¬kong Hwesio bersama ketiga muridnya, dari Long Jitseng diketahui bahwa Hong-kong Hwesio berempat tidak senang kalau ketenangan mereka diusik orang lain.
Maka Bong Thian-gak tak berani maju lebih ke depan, apalagi suasana di ruangan itu gelap gulita dan tak terdengar sedikit suara pun. Coba kalau Long Jit-seng tidak memberitahukan hal itu lebih dahulu kepadanya, siapakah yang akan menduga kalau di dalam ruangan itu berdiam Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya? Setelah berhenti beberapa saat di situ, Bong Thian-gak sudah siap membalikkan badan untuk berlalu dari situ.
Mendadak dari halaman gedung sebelah berkumandang suara langkah kaki seseorang.
selatan
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak segera menyelinap ke balik sebuah tiang penyangga gedung, tepat di samping pintu gerbang yang gelap gulita.
815
Pendekar Cacat
Tidak selang lama kemudian dari balik pintu telah muncul dua sosok bayangan orang. Ketika Bong Thian-gak dapat melihat jelas wajah kedua orang itu, tanpa terasa ia berpikir dalam hati, "Ah, Thia Leng-juan dan Long Jit-seng." Benar, orang yang baru muncul dari balik pintu tak lain adalah seorang sastrawan berbaju biru berusia tiga puluh tahun serta seorang kakek berbaju hitam. Mereka memang Thia Leng-juan serta Long Jit-seng. Kedua orang itu seperti sudah saling mengenal satu sama lain, keadaan itu segera menimbulkan kecurigaan Bong Thian-gak.
Mendadak terdengar Thia Leng-juan berbisik, "Long-tocu, aku benar-benar tidak habis mengerti apa sebabnya kau bertindak begitu gegabah, bergabung dengan Tiong-yanghwe memang bukan masalah, tapi mengapa kau mengajak Jian-ciat-suseng sekalian datang ke kuil Hong-kong-si ini?" Long Jit-seng tertawa dingin, "Jian-ciat-suseng telah mengetahui rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong, barang siapa mengetahui rahasia itu, dia tak dapat dibiarkan hidup terus."
816
Pendekar Cacat
"O, jadi kau ingin mempergunakan kekuatan Hong-kong Hwesio untuk membunuh Jian-ciat-suseng? " tanya Thia Leng-juan.
Long Jit-seng tersenyum. "Kepandaian silat Jian-ciat-suseng tidak di bawah kemampuan siapa pun dalam Put-gwa-cin-kau, bila ingin menghabisi nyawanya, kecuali Hong-kong Hwesio, mampukah kita menghabisi nyawanya?" Peluh dingin segera keluar membasahi tubuh Bong Thiangak sesudah mendengar perkataan itu, mimpi pun dia tak mengira kalau Long Jit-seng telah memperhitungkan dengan sebaik-baiknya bagaimana melenyapkan dirinya dari muka bumi. Coba kalau rencana keji Long Jit-seng ini tidak terbongkar secara kebetulan pada malam ini, bisa dibayangkan dia bisa terperangkap dan mati konyol. "Ai, aku benar-benar kelewat ceroboh dan gegabah," ia berpikir, "mengapa aku begitu menaruh kepercayaan kepada Long Jit-seng?"
Saat itu juga Bong Thian-gak telah mendapat semacam pelajaran, yaitu tak boleh mempercayai orang begitu saja.
817
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Thia Leng-juan berkata lagi, "Setelah melalui suatu pertimbangan yang mendalam, aku pikir kita tidak usah seawal ini menghabisi nyawa Jian-ciat-suseng." "Mengapa?" "Pihak yang mengetahui harta karun ini selain Put-gwa-cinkau, masih ada lagi orang-orang Hiat-kiam-bun dan Kaypang, orang-orang dari kedua partai itu pun sudah mulai menelusuri jejakmu sekarang, tampaknya mereka bertekad untuk mendapatkan dirimu dengan cara apa pun." "Bila sekarang juga kita pergunakan Hong-kong Hwesio bertiga untuk melindungimu, maka kita tak akan berhasil mendapatkan harta karun itu."
Long Jit-seng segera manggut-manggut. "Benar, Hong-kong Hwesio bertiga sedang memusatkan segenap pikiran dan perhatian untuk mempelajari peta harta karun itu, mereka memang belum punya waktu untuk menampakkan diri." Mendengar ucapan itu, sekali lagi Bong Thian-gak berpikir, "Oh, rupanya Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya bukan sedang mengasingkan diri dalam ruangan itu. Hahaha, sungguh tak kusangka pikiranku begitu polos, dengan amat mudahnya berhasil dikelabui oleh Long Jitseng."
818
Pendekar Cacat
"Tapi siapakah Hong-kong Hwesio yang sebenarnya? Lihaikah ilmu silatnya. Dari pembicaraan Thia Leng-juan dan Long Jit-seng, kepandaian silat Hong-kong Hwesio pasti amat sempurna."
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Thia Leng-juan telah berkata lagi, "Itulah sebabnya untuk sementara waktu kita tak perlu menghabisi nyawa Jian-ciat-suseng." "Tapi bila Jian-ciat-suseng lama berdiam di sini dan suatu saat dia akan mengetahui rahasia kita, bagaimana kita mesti menghadapinya?" "Selama Hong-kong Hwesio bertiga tidak menampakkan diri, bagaimana mungkin Jian-ciat-suseng dapat mengetahui rahasia mereka bertiga?"
Hek-ki-to-cu merasa ucapan itu ada benarnya juga, maka sesudah termenung sebentar dia bertanya lagi, "Benarkah Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau mempunyai kemampuan untuk menghadapi alat-alat rahasia itu dan menemukan harta karun?" "Ji-kaucu ahli ilmu falak yang hebat, dia pun mahir ilmu bangunan tanah serta berbagai kepandaian lainnya, namun tanpa peta rahasia itu, betapa pun lihainya dia, jangan harap bisa mendahului kita."
819
Pendekar Cacat
"Tampaknya Ji-kaucu sudah tidak mempercayai dirimu lagi," kembali Long Jit-seng berujar.
Mendengar ucapan terakhir ini, tiba-tiba saja hati Bong Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya, "Thia Leng-juan, mungkinkah dia yang menyelundup ke dalam tubuh Putgwa-cin-kau?" Satu ingatan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, ia teringat nada suara, bentuk badan serta gerak-gerik Samkaucu Put-gwa-cin-kau yang dijumpainya semalam. Teringat semua itu, hampir saja Bong Thian-gak menjerit keras. Rupanya Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau tak lain tak bukan adalah Thia Leng-juan.
Dalam waktu singkat teka-teki yang sukar dijawab melintas dalam benak Bong Thian-gak. Dengan cara apakah Thia Leng-juan menjadi Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau? Bagaimana mungkin dia bisa memperoleh kepercayaan Cong-kaucu? Sebagaimana diketahui, Thia Leng-juan pernah bekerja sama dengan Bong Thian-gak membunuh Sam-kaucu di
820
Pendekar Cacat
masa lalu, bukan saja dia musuh bebuyutan Put-gwa-cinkau, bahkan termasuk salah seorang yang tercantum dalam daftar hitam Put-gwa-cin-kau untuk dibunuh. Bagaimana mungkin Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau bisa menerima dirinya? Lantas kemana perginya Ho Put-ciang beserta segenap orang-orang dari Bu-lim Bengcu? Saat ini Bong Thian-gak sudah banyak curiga terhadap Thia Leng-juan.
Sementara itu Thia Leng-juan telah berkata lagi, "Long-tocu tak perlu kuatir, ketika menjabat sebagai Sam-kaucu Putgwa-cin-kau, aku masih tetap Thia Leng-juan, nyatanya Cong-kaucu sangat menaruh kepercayaan kepadaku, biarpun Ji-kaucu rada kurang percaya. Dalam anggapan Cong-kaucu, Ji-kaucu hanya merasa kedudukannya terancam oleh kehadiranku, jadi reaksi spontan yang wajar, mustahil dia akan mencurigai diriku."
Dengan ucapan itu, Thia Leng-juan telah menjelaskan pula bagaimana caranya dia memperoleh kepercayaan dari Cong-kaucu.
821
Pendekar Cacat
Long Jit-seng tertawa, "Apakah kau sudah berhasil menyelidiki identitas serta riwayat hidup Cong-kaucu?" Thia Leng-juan segera menggeleng. "Belum berhasil, tapi bisa jadi aku akan berhasil melihat raut wajah aslinya malam nanti." "Hehehe, hati-hati, kau jangan sampai terpikat olehnya," seru Long Jit-seng sambil tertawa. "Perempuan yang ada di dunia ini hanya Si-hun-mo-li seorang yang paling memikat hati, bagaimana mungkin aku bisa tergoda setelah saban hari bergaul dengannya? " "Kau ingin berjumpa dengan Hong-kong Hwesio?"
Thia Leng-juan mendongakkan kepala memandang cuaca, lalu menjawab, "Saat kentongan ketiga tinggal setengah jam lagi, aku sudah tak punya banyak waktu lagi." "Beberapa hari ini Hong-kong Hwesio sedang sibuk, alangkah baiknya bila kita tak mengganggu konsentrasi dan perhatiannya." "Baiklah, kalau begitu aku mohon diri lebih dulu. Kau harus baik-baik menghadapi Jian-ciat-suseng, paling penting harus kau selidiki dulu asal-usulnya."
822
Pendekar Cacat
Selesai berkata dia membalikkan badan dan segera berlalu. Long Jit-seng memperhatikan pula keadaan sekeliling tempat itu, kemudian dia pun turut berlalu dari sana.
Bong Thian-gak sendiri seperti sukma gentayangan mengejar ke gedung belakang. Di bawah cahaya rembulan dia saksikan sesosok bayangan orang sedang bergerak di depan sana, Bong Thian-gak tahu orang itu adalah Thia Leng-juan, maka dia segera menguntitnya secara diamdiam. Dia harus mengikuti Thia Leng-juan, sebab dia ingin turut menyaksikan muka asli Cong-kaucu. Dia pun ingin mengetahui nasib para jago yang semula berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu. Bong Thian-gak perlu keterangan langsung dari Thia Lengjuan, tapi pemuda itu pun menaruh perasaan ngeri bercampur seram, dia kuatir Ho Put-ciang serta rekanrekannya sudah terbunuh.
Bagaimana pun juga dia pernah menyaksikan kekejaman serta kebuasan Thia Leng-juan ketika membunuh Kauhubuncu Hiat-kiam-bun, apalagi caranya memerintah Sihun-mo-li untuk mencelakai umat persilatan.
823
Pendekar Cacat
Dilihat dari segala gerak-gerik serta perbuatan itu, tampaknya Thia Leng-juan bukan seorang Enghiong yang berjiwa lurus. Mungkin dia telah mengubah pendirian dan takluk kepada kekuasaan kaum siluman dan iblis. Di tepi jalan raya Hong-sia, tepatnya berada di sebidang tanah perkebunan yang luas, berdiri anggun sebuah gedung mungil yang indah dan megah. Di sebelah kiri bangunan itu berdiri sebuah loteng bertingkat tiga, cahaya lentera memancar keluar dan menyinari sekitarnya seperti siang hari saja. Dalam keheningan malam, tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang melompat ke atas sebatang pohon Pekyang dengan lincah seperti seekor monyet, tubuhnya enteng, gerak-geriknya cepat seperti kilat, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap. Baru saja bayangan orang itu menyembunyikan diri, seorang pemuda berbaju biru sudah muncul dari balik pepohonan dan menuju ke arah gedung itu. Dengan cepatnya sastrawan berbaju biru itu menuju ke arah loteng bertingkat tiga tadi. Melihat hal itu, orang yang berada di pohon Pek-yang tadi segera berpikir, "Mungkin gedung itu adalah tempat tinggal Thia Leng-juan."
824
Pendekar Cacat
Di dalam kota terlarang ternyata Thia Leng-juan memiliki tempat tinggal sedemikian banyaknya, mau tak mau Bong Thian-gak segera berpikir dengan kening berkerut. "Thia Leng-juan benar-benar licik dan banyak akal muslihatnya." Beberapa saat kemudian, Thia Leng-juan telah muncul di tepi jendela loteng tingkat ketiga. Kini dia telah berganti pakaian dengan satu stel jubah biru yang baru dan di tangan kirinya membawa sebuah kipas, gayanya tak beda dengan seorang lelaki romantis. Senyuman cerah menghiasi wajah Thia Leng-juan pada saat itu. Ia mendongakkan kepala memandang keadaan cuaca, kentongan ketiga telah menjelang. Mendadak Bong Thian-gak yang berada di atas pohon Pekyang mengendus bau harum bunga anggrek yang tersiar kemana-mana. Bau harum bunga anggrek itu sangat tajam dan merupakan ciri khas kehadiran Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau. Sementara itu Thia Leng-juan telah berkata dengan suara nyaring, "Sam-kaucu dengan hormat menantikan kehadiran Cong-kaucu!"
825
Pendekar Cacat
Baru selesai ucapan itu, Bong Thian-gak telah menyaksikan sesosok bayangan orang melayang turun di hadapannya dan berjalan masuk ke dalam loteng tingkat tiga, langsung menuju ke depan Thia Leng-juan. Ilmu meringankan tubuh Peng-poh-cim-im (melangkah datar awan hijau) Cong-kaucu benar-benar sangat hebat, bagaikan bidadari yang baru turun dari kahyangan. Bong Thian-gak tertegun menyaksikan kejadian itu, sebab di kolong langit dewasa ini rasanya belum terdapat orang kedua yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat ini. Di tambah lagi udara di sekeliling tempat itu seakan-akan diliputi bau harum bunga anggrek yang begitu lembut, hal itu membuat orang beranggapan Cong-kaucu adalah jelmaan dari bidadari kahyangan. Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau yang serba misterius kini berdiri membelakangi jendela, sayang Bong Thian-gak tak sempat melihat jelas paras mukanya. Perempuan itu mengenakan pakaian sutera warna putih yang lembut, perawakan tubuhnya nampak sedikit agak gemuk, namun montok dan kenyal, mendatangkan suatu daya rangsang aneh bagi pria yang melihatnya. Rambutnya disanggul model keraton, untaian mutiara menghiasi lehernya, sedangkan sebutir batu kemala hijau yang tak ternilai harganya tersisip di ujung tusuk kondenya.
826
Pendekar Cacat
Thia Leng-juan seakan-akan dibuat terkesima oleh paras muka Cong-kaucu, sepasang matanya mengawasi perempuan itu dengan terkesima, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan. Bong Thian-gak ingin sekali menyaksikan paras muka Congkaucu, apa mau dikata, perempuan itu justru berdiri membelakanginya. Dari bentuk tubuhnya arah belakang, usia perempuan ini sekitar tiga puluh tujuh-delapan tahun. Mendadak suara merdu merayu bergema dari mulut Congkaucu, "Sam-kaucu, mengapa seperti bertemu orang asing saja?" Teguran itu segera menyadarkan Thia Leng-juan dari lamunan, dengan cepat dia berseru tertahan, "Paras muka Cong-kaucu benar-benar anggun, cantik dan menawan hati, jauh di luar dugaanku, ai ... mungkin hal ini disebabkan baru sekali ini kusaksikan wajah asli Cong-kaucu." Mendadak Cong-kaucu tertawa cekikikan, "Sam-kaucu tak usah banyak adat, perjumpaan malam ini hanya kita berdua." Suara tawanya penuh dengan kekuatan daya pikat yang membetot sukma, tidak ada pria yang tak terpengaruh oleh keadaan itu.
827
Pendekar Cacat
Kecuali Thia Leng-juan sudah buta matanya atau dia sudah menduga maksud tujuan undangan Cong-kaucu malam ini, kalau tidak, mustahil dia bisa menahan diri. Sebaliknya bagi wanita yang sudah lama hidup menyendiri, perjumpaan berduaan semacam begini pasti akan menimbulkan gairah yang luar biasa, apalagi Cong-kaucu adalah perempuan berpengaruh, bagaimana mungkin dia mampu berpuasa lama? Dengan senyuman penuh arti, Thia Leng-juan segera berkata, "Silakan duduk Cong-kaucu, aku telah menyiapkan sayur dan arak." Seusai berkata, dia membalikkan badan dan masuk ke ruang dalam, beberapa saat kemudian dia telah muncul dengan membawa baki berisi hidangan yang lezat, hidangan memang telah disiapkan. Cong-kaucu duduk dekat jendela, sedang Thia Leng-juan duduk persis di hadapannya. Bong Thian-gak yang bersembunyi di luar jendela dapat menyaksikan gerak-gerik kedua orang itu dengan jelas, dia pun dapat melihat bagaimana Thia Leng-juan melayani pimpinannya itu dengan gaya sehalus mungkin. Setelah perjamuan berlangsung beberapa saat, rayuan Cong-kaucu kian merangsang, tiba-tiba dia berbisik, "Samkaucu, bersediakah kau menghiburku malam ini hingga aku puas?"
828
Pendekar Cacat
Mendadak Thia Leng-juan bangkit, lalu merangkul tubuh Cong-kaucu dan membopongnya. Ia merasakan tubuh perempuan itu halus lembut seolaholah tidak bertulang, terutama bau harum yang teruar dari tubuhnya membuat setiap pria terangsang. "Cong-kaucu, kau sungguh amat cantik," bisik Thia Lengjuan sambil tertawa lirih. "Ehmm ... bagian yang tercantik belum sempat kau lihat..." "Tapi sebentar lagi akan kulihat juga." "Cukup satu kali, selama hidup kau takkan melupakannya." "Hihihi, aku rada kurang percaya." "Tidak percaya? Sekarang kau buktikan, kau akan mengetahui bagaimana rasanya." "Mimpi pun aku orang she Thia tak pernah mengira suatu hari Cong-kaucu bisa berada dalam pelukanku." "Aku kan seorang perempuan!" "Betul, kau seorang perempuan, perempuan yang paling aneh, dan misterius di dunia ini." "Tapi bagian yang terahasia belum kau temukan?"
829
Pendekar Cacat
"Sebentar lagi tempat rahasiamu akan kumasuki ... ooh ... rayuan semacam ini sungguh membuat aku tak tahan." Sebuah pembaringan, selembar kain kelambu .... Kain kelambu tertutup rapat.... Thia Leng-juan telah berubah ganas, seganas serigala atau harimau kelaparan, sedangkan Cong-kaucu berubah begitu lemah dan lembut, seperti gadis perawan yang sedang diperkosa orang. Suara tertawa jalang, kata-kata porno yang jorok, serta rintihan yang memikat, membuat darah orang mendidih. Bong Thian-gak yang bersembunyi di atas pohon Pek-yang sampai memejamkan mata, namun suara cabul yang begitu merangsang membuat pikiran dan perasaannya menjadi kacau. Ia sangat menyesal, kenapa bersembunyi sedemikian dekat. "Cong-kaucu ... ampunilah aku ... ampunilah, aku sudah hampir mati...." seruan lirih mendadak bergema. Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan terkejut. Ia saksikan tubuh Cong-kaucu sedang melilit tubuh Thia Leng-juan seperti seekor ular berbisa, melilit dengan kencangnya.
830
Pendekar Cacat
Sekarang Bong Thian-gak baru dapat melihat jelas perawakan tubuh Cong-kaucu yang indah serta selembar wajah yang cantik molek. Tapi sekarang pada hakikatnya perempuan itu telah berubah menjadi seorang perempuan jalang penghisap darah. Suara tertawanya yang jalang serta getaran tubuhnya yang amat keras hakikatnya telah menindas Thia Leng-juan sehingga tak berwujud manusia lagi. Peluh sebesar kacang bercucuran membasahi tubuh Thia Leng-juan, wajahnya tampak gembira serta nikmat luar biasa. Bong Thian-gak tidak menyangka akan menyaksikan adegan semacam ini, Cong-kaucu benar-benar mirip iblis perempuan, siluman perempuan dan perempuan jalang.... Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, "Mengapa tak kumanfaatkan kesempatan di saat dia sedang terpengaruh hawa napsu untuk menghabisi nyawanya ... biasanya perempuan yang bagaimana pun hebatnya, bila sedang berada dalam keadaan seperti ini, kepandaian saktinya tidak nanti bisa dikembangkan." Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar Thia Leng-juan menjerit kaget.
831
Pendekar Cacat
Tampak matanya terbelalak, sekujur tubuhnya gemetar keras. Bong Thian-gak tahu, keadaan seperti ini hanya dialami oleh seorang yang sedang mencapai puncak kenikmatan. "Betul-betul manusia yang tidak berguna!" umpat Congkaucu sambil tertawa. Dengan cepat dia mendorong tubuh lelaki itu, dengan lemas tak bertenaga Thia Leng-juan segera berguling, sepasang matanya yang memukau itu tiba-tiba dialihkan ke atas pohon Pek-yang di luar jendela. Terkesiap hati Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, pikirnya, "Wah, jangan-jangan dia sudah menemukan jejakku?" Akhirnya Cong-kaucu buka suara, katanya dengan suara lembut, "Aku benar-benar tidak percaya di dunia ini masih terdapat lelaki yang sama sekali tak tergerak hatinya menyaksikan adegan panas yang berlangsung di depan hidungnya." Mendengar perkataan ini, diam-diam Bong Thian-gak membatin, "Aduh celaka, ternyata dia telah mengetahui jejakku. Hmm! Aku tak percaya dalam keadaan bugil kau bisa berbuat sesuatu kepadaku ...."
832
Pendekar Cacat
Diiringi suara tawa menyeramkan, Bong Thian-gak melompat keluar dari atas pohon Pek-yang dan menerobos masuk melalui jendela. Sekarang ia dapat menyaksikan dengan jelas paras muka asli Cong-kaucu, bukan hanya wajah aslinya, bahkan setiap bagian rahasia tubuhnya dapat terlihat dengan nyata. Cong-kaucu sungguh merupakan seorang perempuan tidak tahu malu, tanpa canggung dia turun dari pembaringan dan berjalan ke hadapan Bong Thian-gak dalam keadaan bugil. Bong Thian-gak tak berani memandang lebih jauh, dia meludah dan katanya dingin, "Kalau disuruh mencari perempuan manakah di dunia ini yang paling tak tahu malu, orang itu sudah pasti kau!" Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kalau aku tak tahu malu, kau lebih-lebih tak tahu malu." Merah padam wajah Bong Thian-gak mendengar umpatan itu, serunya, "Hei, mengapa kau belum juga mengenakan pakaian?" Cong-kaucu tertawa jalang "Sepasang matamu sudah kaku dan mendelong, aku berpakaian atau tidak, rasanya sudah bukan masalah lagi." "Kau tahu siapa aku?" tegur Bong Thian-gak dingin.
833
Pendekar Cacat
"Jian-ciat-suseng." Kembali Bong Thian-gak tertawa dingin. "Andaikata aku uarkan kejadian memalukan yang kusaksikan malam ini, tentu segenap umat persilatan akan tahu, akan aku lihat apakah kau punya muka untuk memimpin Put-gwa-cin-kau atau tidak?" "Kau tak nanti bisa berbuat demikian." "Mengapa?" "Bila kau tidak bersedia takluk kepadaku malam ini, hanya jalan kematian yang akan kau hadapi." "Kau yakin pasti berhasil?" "Tiada lelaki di dunia ini yang tidak pernah terbayang dan tergila-gila setelah bermain cinta denganku, aku yakin tiada lelaki yang akan terlepas dari cengkeramanku." "Tampaknya kau mempunyai keyakinan yang luar biasa atas kecantikan wajahmu?" jengek Bong Thian-gak dingin. "Aku yakin kecantikan Se Si pun tak akan bisa mengungguli aku." Bong Thian-gak mengamati sejenak wajah perempuan itu, lalu manggut-manggut, "Ya, sayangnya kau sudah tua!"
834
Pendekar Cacat
Gemetar keras sekujur badan Cong-kaucu sesudah mendengar perkataan itu, tanyanya, "Benarkah aku sudah tua?" Bong Thian-gak memang ada maksud menghina dan mencemooh perempuan itu, paling baik bila dapat melukai hatinya. "Menurut pandanganku, biarpun kau pergunakan minyak wangi dan pupur serta gincu yang terbaik dan termahal di dunia ini untuk mendandani wajahnya, tetap tidak bisa menghilangkan kerutan tuamu yang makin nyata, yang lebih menggelikan lagi, masa kau menganggap dirimu masih mempunyai daya tarik dan daya rangsang yang luar biasa? Hm, terus terang saja aku beritahukan, manusia macam Thia Leng-juan bisa takluk di bawah ketiakmu, hal ini bukan dikarenakan dia tergiur oleh kecantikanmu, sesungguhnya dia terpesona oleh rangsangan napsu dan terbuai dalam pelampiasan hawa napsu belaka." Agaknya Cong-kaucu takut mendengar mengatakan dia tua dan tidak cantik.
orang
lain
Sekarang ia benar-benar membenci Bong Thian-gak, sedemikian bencinya hingga kalau bisa merobek-robek tubuhnya, mencorong sorot mata tajam penuh kebencian dari balik matanya. Mendadak dia berkelebat maju, lalu menyambar pakaiannya yang berserakan di atas pembaringan.
835
Pendekar Cacat
Melihat tingkah-lakunya yang konyol itu, Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak. Di tengah gelak tawanya yang keras, pemuda itu melejit dan melayang keluar jendela. Pada dasarnya ilmu meringankan tubuh Bong Thian-gak sudah mencapai puncaknya, dengan sikap yang sinis dan memandang rendah dia tertawa seram, secepat kilat tubuhnya berkelebat pergi dan menjauh dari situ. Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan malam. Baru pertama kali Cong-kaucu menerima hinaan dan cemoohan paling besar bagi seorang wanita. Selama puluhan tahun terakhir ini, seingatnya hanya seorang lelaki yang bisa membuatnya marah dan dendam, tapi hari ini telah bertambah dengan seorang lagi. Orang ini tidak lain adalah Jian-ciat-suseng. Ia bersumpah akan mencincang tubuh Jian-ciat-suseng hingga hancur-lebur, dia akan menggunakan siksaan yang paling kejam dan paling buas untuk menghukum lelaki laknat itu. Dengan mengerahkan Ginkangnya yang sempurna, Bong Thian-gak berlarian sejauh tiga-empat li sebelum berhenti.
836
Pendekar Cacat
Ternyata di tengah jalan kecil di padang yang sunyi itu, dia saksikan munculnya serombongan orang. Orang-orang itu bergerak sangat enteng dan cepat bagaikan hembusan angin, sama sekali tak menimbulkan suara. Dalam waktu singkat mereka telah berlalu di hadapan Bong Thian-gak. Bong Thian-gak dapat melihat dengan jelas bahwa rombongan itu terdiri dari gadis-gadis berbaju merah, pedang pendek tersoreng di punggung dan pakaiannya amat ringkas. Di antara mereka terdapat delapan orang yang menggotong sebuah tandu kecil, jendela di empat penjuru tandu itu tertutup oleh selapis kain hitam, agaknya seseorang duduk di baliknya. Tergerak hati Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, diam-diam ia berpikir, "Bukankah mereka adalah anggota Hiat-kiam-bun?" Rasa ingin tahunya segera muncul dalam benaknya, dengan cepat pemuda itu menyusuri pepohonan yang rindang dan membuntuti secara diam-diam. Setelah berjalan lebih kurang tujuh-delapan li, mendadak bergema suara tawa yang amat keras bagaikan suara
837
Pendekar Cacat
guntur menggelegar, sedemikian kerasnya suara itu membuat kawanan gadis berbaju merah tertegun. Serempak ketiga belas orang gadis berbaju merah itu melolos pedang pendek mereka, sebuah gerakan dilakukan cepat dan enteng, sebuah barisan segera terbentuk tepat di depan tandu kecil itu. Sementara kedelapan gadis pemikul tandu itu pun menurunkan tandu, lalu melolos pedang pendeknya berjaga-jaga di sekeliling tandu, sikap mereka serius seakan-akan sedang menghadapi musuh besar. Di bawah sinar rembulan, tampak seorang lelaki kekar berbaju abu-abu, beralis tebal, bermata besar dan bercambung seperti kawat, berdiri tegak di tengah jalan. Dengan mata Bong Thian-gak yang tajam, sekilas pandang saja ia sudah dapat mengenali lelaki kekar ini, Han Siauliong dari Kay-pang, yang lebih dikenal dengan julukan Putmi-kiam. Kemunculan Han Siau-liong membingungkan Bong Thiangak, pikirnya, "Seandainya orang yang berada di dalam tandu kecil itu bukan tokoh lihai Hiat-kiam-bun, hari ini anak murid Hiat-kiam-bun pasti akan mati konyol." Sementara itu Han Siau-liong telah menghardik, "Siapa yang duduk di dalam tandu?"
838
Pendekar Cacat
Salah seorang gadis bertubuh langsing di antara ketiga belas gadis berkerudung merah itu segera tampil ke depan, tampaknya dia adalah pimpinan rombongan. "Siapa pula engkau?" dia balik bertanya, "di dalam tandu adalah majikan kami." "Kalau begitu panggil Hiat-kiam-buncu agar tampil dan bicara." "Masa orang yang berada di dalam tandu bukan Long Jitseng, aku tahu kalian orang-orang Hiat-kiam-bun pun sedang berusaha keras menemukan jejaknya." Bong Thian-gak yang mengikuti jalannya pembicaraan itu amat terkejut, segera pikirnya, "Masakah orang yang berada di dalam tandu adalah Long Jit-seng?" Sementara si gadis berkerudung merah menjawab, "Kau salah terka, orang yang berada dalam tandu bukan Hek-kito-cu." Han Siau-liong tertawa dingin, "Hehehe, kecuali aku diberi kesempatan untuk melihat dengan mata kepala sendiri, kalau tidak, jangan harap aku akan melepas kalian pergi begitu saja." Jelas anggota Hiat-kiam-bun memiliki iman yang cukup tebal, dia masih tetap sabar.
839
Pendekar Cacat
"Boleh saja kau berniat melihatnya, tapi seandainya orang yang berada di dalam tandu itu bukan Long Jit-seng, kau harus mundur dengan segera!" "Hahaha, kalian tahu, siapakah aku?" "Dari bentuk badan maupun sikapmu, sudah pasti kau punya kedudukan cukup tinggi dalam Kay-pang." "Orang-orang persilatan menyebutku Put-mi-kiam!" Han Siau-liong memperkenalkan diri dengan suara dalam. Tampaknya para anggota Hiat-kiam-bun yang hadir sekarang rata-rata sudah pernah mendengar nama tokoh penting Kay-pang itu, gadis itu seperti terkejut mendengar nama itu, serunya tanpa sadar, "Tidak kusangka kau telah sampai di Hopak!" Kembali Han Siau-liong tertawa dingin. "Han Siau-liong, tentu kalian pernah mendengar nama ini bukan? Bila kalian bersedia menuruti perkataanku, hari ini Han Siau-liong tidak bakal melukai seorang pun di antara kalian." Biarpun gadis itu terkejut dan ngeri mendengar nama Putmi-kiam, namun dia bukan seorang yang sudi bertekuk lutut begitu saja, ia tertawa cekikikan, "Sampai sekarang pihak Hiat-kiam-bun masih belum berniat mencari permusuhan dengan pihak Kay-pang, namun bila kalian terus menerus memojokkan kami, segenap anggota Hiatkiam-bun rela mati daripada membuat malu nama perguruan."
840
Pendekar Cacat
Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, punya semangat juga kalian, anggota Hiat-kiam-bun rata-rata adalah wanita yang bersemangat baja, sayang kalian telah salah menerima kematian pada malam ini." Sembari berkata, selangkah demi selangkah ia berjalan menuju ke hadapan mereka. Mendadak tiga gadis berkerudung di depannya menggetarkan pergelangan mereka, tiga batang pedang pendek dengan kecepatan bagaikan sambatan petir segera menusuk ke depan. "Berhenti!" bentak mereka serentak. Mencorong cahaya membunuh yang amat tebal dari balik mata Han Siau-liong, sambil mendengus ia lepaskan sebuah pukulan dengan telapak tangan kirinya. Tiga kali jeritan ngeri yang memilukan hati bergema. Termakan segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat, ketiga orang gadis berkerudung yang sedang menerjang ke muka itu mencelat dan kemudian roboh ke tanah sambil muntah darah. Beberapa saat kemudian mereka sudah tewas dalam keadaan mengerikan. Tenaga pukulan Han Siau-liong yang mengejutkan dan keji ini kembali membuat suasana menjadi heboh, segenap
841
Pendekar Cacat
anggota Hiat-kiam-bun menjadi terkejut dan mundur selangkah tanpa terasa. Tak terlukiskan hawa amarah yang membara di dada si nona pemimpin rombongan itu setelah melihat kematian yang mengenaskan dari ketiga orang rekannya, ia segera membentak nyaring. Bagaikan kilat, pedangnya langsung ditusukkan ke muka. "Hm, cari mampus rupanya kau!" jengek Han Siau-liong sambil tertawa dingin. Telapak tangan kirinya yang dibacokkan ke depan tadi, mendadak direndahkan ke bawah dan mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan gadis itu. Gadis ini adalah Pat-hubungcu Hiat-kiam-bun, ilmu pedangnya tidak lemah, di antara perputaran pergelangan tangannya, cahaya pedang bagaikan bianglala, di tengah desingan tajam tahu-tahu hawa serangan telah menyambar ke sisi tubuh lawan, di antara titik-titik cahaya bintang, kembali mengurung seluruh badan Han Siau-liong. Mata Han Siau-liong terbelalak lebar, bentaknya, "Bagus sekali, kepandaianmu benar-benar hebat." Dengan mengeluarkan jurus Nu-hay-poh-liong (menangkap naga di samudra luas) dan masih tetap memakai ilmu Kimna-jiu-hoat, dia berusaha merampas pedang pendek lawan.
842
Pendekar Cacat
Biarpun serangan yang digunakan Han Siau-liong terhitung amat cepat, akan tetapi Pat-hubuncu terhitung jago nomor dua di dalam partainya, serta-merta serangan Han Siauliong luput mengenai sasaran. Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun tahu bahwa lawan adalah seorang jago yang amat lihai, dengan cepat pedang pendeknya dikembangkan, serangan itu seperti menutul, seperti juga menusuk, menggunakan aliran yang berbeda. Dalam waktu singkat secara beruntun melancarkan dua belas jurus serangan.
dia
telah
Han Siau-liong tidak menyangka gadis ini sanggup menghindar dari dua belas jurus ilmu Kim-na-jiu-hoat yang lihai, dengan suara menggeledek ia membentak, tangan kirinya mengeluarkan jurus Kim-si-liau-wan (mencengkeram urat nadi lawan). "Aduh!" jerit kesakitan bergema, pergelangan tangan Pathubuncu sudah tercengkeram hancur, pedang pendeknya terjatuh ke tanah, bersamaan itu pula Han Siau-liong mengayunkan telapak tangan kanannya siap menghabisi nyawa perempuan itu. Di saat yang amat kritis inilah tiba-tiba terdengar suara bentakan, "Kau telah membunuh tiga orang, apakah jumlah itu masih belum cukup?" Dari balik kegelapan malam, pelan-pelan berjalan keluar seorang sastrawan berlengan tunggal.
843
Pendekar Cacat
Setelah dapat melihat jelas wajah pendatang itu, Han Siauliong segera menghentikan gerakan tangan kanannya, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, bagus, bagus sekali! Benar-benar tidak kusangka Jian-ciat-suseng muncul di sini." Bong Thian-gak memandang sekejap tangan kiri Han Siauliong yang masih menelikung lengan kanan Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun, kemudian ujarnya dengan suara dingin, "Kita sebagai lelaki sejati, rasanya kurang gagah bila mesti menganiaya seorang wanita lemah." Tiba-tiba Han Siau-liong melepas tangan kanannya dan melempar tubuh Pat-hubuncu, lalu jengeknya, "Bila kau memang bernyali, jangan coba kabur lagi malam ini." "Aku memang tak pernah bermaksud melarikan diri." Han Siau-liong mundur selangkah, tiba-tiba ia melolos pedang raksasanya yang tersoreng di belakang punggung, pedang ini empat kaki panjangnya, pedang itu tampaknya tumpul, berwarna hitam, persis seperti besi tua. Sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi, cukup memandang pedang Han Siau-liong, Bong Thian-gak tahu musuh terhitung tokoh lihai dalam ilmu pedang. Keningnya berkerut, kemudian dengan suara hambar dia berkata, "Aku pikir masih kelewat awal bila kita mesti menentukan mati hidup di antara kita berdua sekarang juga."
844
Pendekar Cacat
"Put-mi-kiam begitu terlolos dari sarungnya, ia tak akan kembali sebelum menjilat darah," seru Han Siau-liong ketus. Bong Thian-gak tertawa dingin, "Sudah sering kudengar orang berkata demikian, sebelum menjilat darah, pedang tak akan kembali ke sarungnya, namun kenyataan ... hm, pedang itu menjilat darah mereka sendiri." "Mengapa tidak kau lolos pedangmu?" bentak Han Siauliong dengan lantang. "Pedangku telah dipatahkan oleh Sutemu, sekarang aku sudah tidak memiliki pedang yang bisa kucabut lagi." "Jadi kau hendak menghadapi pedangku dengan tangan kosong?" teriak Han Siau-liong marah. "Oh, tidak, maksudku andai pertarungan nanti dilangsungkan, aku akan meminjam pedang orang lain." Kemudian dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun, tanyanya, "Nona, benarkah orang yang ada dalam tandu adalah Hek-ki-to-cu?" Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun ini sudah dua kali bertemu Bong Thian-gak, tentu saja dia kenal pemuda ini, apalagi Bong Thian-gak telah menyelamatkan jiwanya kali ini, meski kejadiannya di luar dugaan, diam-diam dia amat berterima kasih kepada pemuda ini.
845
Pendekar Cacat
Begitulah sambil mengedipkan matanya yang jeli, Pathubuncu berkata, "Benar Hek-ki-to-cu atau bukan, aku rasa kau pasti lebih mengerti daripada kami." Tentu saja Bong Thian-gak memahami maksud perkataannya, kemudian ia bertanya, "Lalu siapakah dia?" Pat-hubuncu termenung sebentar, kemudian menjawab, "Dia adalah Buncu kami, ketua Hiat-kiam-bun." "Ketua Hiat-kiam-bun? Kalau begitu dia ...." paras muka Bong Thian-gak berubah hebat. Ternyata Pat-hubuncu amat cerdik dan cekatan, dia pun bertanya, "Jadi... kau tahu siapa Buncu kami?" "Ya, aku tahu," pemuda itu mengangguk. Jawaban ini "Sungguh?"
mengejutkan
Pat-hubuncu,
serunya,
"Sungguh! Sebab aku pun sedang mencarinya." "Kalau begitu kau pun mengetahui rahasia Hiat-kiam-bun kami?" tanya Pat-hubuncu semakin terkejut. "Aku malah mengetahui juga asal-usul Cong-hubuncu dan Ji-hubuncu perguruan kalian." "Aku tak pernah ditipu orang secara begini gampang," kata Pat-hubuncu dengan suara dalam.
846
Pendekar Cacat
"Aku bukan penipu," Bong Thian-gak tersenyum, "nona bisa membuktikannya dengan segera." "Bagaimana cara membuktikannya?" "Aku dapat menjelaskan asal-usul Cong-hubuncu dan Jihubuncu perguruan kalian." Pat-hubuncu termenung sebentar, kemudian dia berkata, "Coba kau katakan secara garis besarnya saja." Bong Thian-gak tersenyum. "Hubungan antara Cong-hubuncu dan Ji-hubuncu adalah hubungan antara ibu dan anak. Masih ada satu hal lagi, seandainya orang yang berada di dalam tandu benar-benar Buncu Hiat-kiam-bun, maka dia datang dari gedung raja muda Mo-lay-cin-ong." Pat-hubuncu terbungkam seketika mendengar penjelasan ini. "Darimana kau tahu semua ini sedemikian jelasnya?" Bong Thian-gak tersenyum. "Sebab musababnya tak mungkin bisa dijelaskan, pokoknya sudah kuterangkan sedari dulu, Tiong-yang-hwe tidak akan memusuhi Hiat-kiam-bun, itulah sebabnya aku tak pernah melukai anggota Hiat-kiam-bun seorang pun."
847
Pendekar Cacat
"Bagaimana dengan Kiu-moayku? Bukankah Kau-hubuncu tewas di tanganmu?" "Bukan." Tampaknya Pat-hubuncu mempercayai kata-kata Bong Thian-gak, katanya, "Seandainya kau adalah sahabat Hiatkiam-bun, tolong bantu kami, bantulah kami hingga tiba di...." Sampai di sini, mendadak ia membungkam. Bong Thian-gak sendiri pun tidak mendesak lebih jauh, dia segera menyahut, "Aku sanggup melakukannya, harap nona pinjamkan pedang itu kepadaku." Pat-hubuncu mendekat sambil menyodorkan pedang pendeknya kepada Bong Thian-gak. "Pihak lawan adalah tokoh silat hebat dari Kay-pang, kau mesti menghadapinya hati-hati," ia berpesan. Setelah menyambut pedang pendek itu, Bong Thian-gak baru berpaling ke arah Han Siau-liong sambil berkata, "Kuharap kau suka menuruti nasehatku, apakah pertarungan kita dapat ditunda lain saat?" "Sejak berlatih ilmu pedang, cita-citaku adalah merebut gelar jago pedang nomor wahid, berarti cepat atau lambat kita pasti akan saling tempur, kulihat malam ini adalah
848
Pendekar Cacat
malam yang tepat untuk berduel, mengapa kita mesti menyia-nyiakan kesempatan baik ini?" "Bila dua ekor harimau saling bertarung, satu di antaranya tentu akan terluka. Apalagi di sekitar kita sudah bersembunyi harimau ketiga." Baru selesai perkataan itu diutarakan, tiba-tiba terdengar seorang berkata dengan suara dingin, "Tajam amat penglihatanmu, agaknya kemampuanmu masih setingkat lebih unggul daripada Put-mi-kiam." Di tengah pembicaraan, dari balik semak belukar di sisi kanan mereka berjalan keluar seorang lelaki berbaju hijau, ciri khas yang paling menyolok daripada orang itu adalah terdapatnya sebuah tahi lalat di atas alis kirinya dan sebilah pedang tembaga tersoreng di pinggangnya. "Kehadiran Ji-kaucu memang tepat sekali," seru Han Siauliong sambil tertawa terbahak-bahak, "tiga tahun berselang aku orang she Han tidak berkesempatan mencoba kepandaian saktimu, hal ini membuatku tak senang siang dan malam, aku harap Ji-kaucu dapat memenuhi keinginanku malam ini." Han Siau-liong memang seorang jagoan yang gila nama, kalau dapat dia ingin menantang semua jago lihai yang ada di dunia ini, baik dari golongan putih maupun hitam, asal musuh termasuk jago lihai, dia berusaha mencoba kepandaiannya.
849
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak sendiri dapat mengenali orang itu adalah Jikaucu Put-gwa-cin-kau, cuma dia tak banyak komentar. Dalam pada itu Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun merasa terkejut bercampur ngeri, tiba-tiba bisiknya kepada Bong Thian-gak, "Orang-orang Put-gwa-cin-kau telah mengejar sampai di sini." "Aku lihat hanya Ji kaucu seorang yang telah sampai, kalian cepat bersiap melarikan diri, biar aku menahan dirinya." Sementara itu Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau telah menghentikan langkah, katanya dengan suara yang menyeramkan, "Han Siau-liong, sikapmu yang sombong dan takabur membuat dirimu tak bisa hidup lama di dunia ini." Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, semenjak aku belajar pedang, aku memang sudah tak ingin hidup lama di dunia ini." Sepanjang pembicaraan berlangsung, Bong Thian-gak dengan sepasang mata yang tajam mengawasi seluruh gerak-gerik Ji-kaucu tanpa berkedip. Tiba-tiba pemuda itu berteriak, "Cepat mundur, Ji-kaucu telah melepaskan racun jahat!" Ternyata Bong Thian-gak telah melihat munculnya segumpal kabut tipis yang pelan-pelan berhembus keluar dari semak belukar sebelah utara, kabut itu menggulung
850
Pendekar Cacat
datang di atas permukaan rumput, tak ubahnya seperti kabut malam yang terhembus angin. Sejak awal Pat-hubuncu telah memerintahkan anak buahnya agar bersiap sedia. Begitu mendengar suara bentakan Bong Thian-gak, kedelapan gadis muda itu segera menggotong tandu kecil itu dan segera kabur menuju ke arah selatan. Dengan gerakan cepat Bong Thian-gak ikut mengundurkan diri pula ke arah selatan. Menyaksikan hal ini Ji-kaucu tergelak, pedangnya segera dilolos, kemudian bagaikan seekor bangau raksasa dia melompat dan menerkam dari tengah udara, hardiknya, "Kau memang benar-benar cekatan, tapi aku ingin tahu apakah kau sanggup lolos dari seranganku atau tidak." Di tengah pembicaraan, pedang Ji-kaucu telah membacok datang dengan membawa segulung hawa serangan dingin dan mengerikan. Tiga tahun berselang, Bong Thian-gak pernah terluka di ujung pedangnya, terutama disebabkan pedang Ji-kaucu ini memiliki rahasia besar. Maka dari itu Bong Thian-gak tidak menyambut serangan itu dengan kekerasan, sebaiknya malah melompat mundur.
851
Pendekar Cacat
Ji-kaucu tidak menyangka Bong Thian-gak memilih mundur daripada menerima serangannya, sambil tertawa dingin dia menjengek, "Mengapa kau tidak menyambut seranganku?" Kembali pergelangan tangan kanannya digetarkan, pedangnya menciptakan selapis bunga pedang, seperti membacok dan menusuk langsung menyambar tubuh Bong Thian-gak. Biarpun Bong Thian-gak memegang pedang di tangan kirinya, dia masih saja mundur tanpa menyambut datangnya ancaman. Dia mundur dengan mengambil langkah segitiga, sebentar ke kiri sebentar ke kanan, agaknya dia berjaga-jaga atas serangan racun yang dilancarkan Ji-kaucu, itulah sebabnya dia selalu mundur dengan mengikuti arah angin. Ketika Ji-kaucu melancarkan serangan keempat, mendadak dari sana berkumandang beberapa kali jeritan yang menyayat hati. Dengan terkejut Bong Thian-gak segera berpaling, apa yang kemudian terlihat segera membuat darahnya mendidih. Rupanya Han Siau-liong telah memanfaatkan kesempatan itu untuk menghadang jalan pergi anggota Hiat-kiam-bun, pedang bajanya diputar sedemikian rupa membentuk gelombang angin pedang yang menderu-deru dan amat memekakkan telinga.
852
Pendekar Cacat
Tak seorang pun di antara anggota Hiat-kiam-bun yang mampu menahan serangannya itu. Jerit lengking yang memilukan bergema susul menyusul, suara orang sekarat yang mendekati ajal, membikin siapa pun yang mendengar berdiri bulu kuduknya. Bong Thian-gak berpekik nyaring dengan nada pedih, dia melejit ke tengah udara dan meluncur ke muka, bentaknya, "Han Siau-liong, serahkan nyawamu!" Selesai bentakannya itu, secepat kilat Bong Thian-gak menyambar ke depan, cahaya pedang yang kemerahmerahan ikut menyambar pula dengan hebatnya. "Hahaha," Han Siau-liong terbahak-bahak, "Jian-ciatsuseng, kau memang seharusnya turun tangan sejak tadi." Diiringi desingan tajam, pedang bajanya dibabatkan ke muka menyambut datangnya ancaman itu. "Trang", dentingan nyaring disertai percikan bunga api segera memancar ke empat penjuru. Dengan pedang pendeknya Bong Thian-gak berhasil mementalkan pedang baja lawan yang beratnya mencapai seratus kati itu. Akibat bentrok ini, Han Siau-liong mundur tiga langkah dengan sempoyongan sebelum berhasil berdiri tegak kembali.
853
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak mengunjuk rasa terkejut, rupanya dalam bentrok tadi ia merasakan pergelangan tangan kirinya sakit, linu dan kesemutan. Dari sini dapatlah diketahui tenaga serangan Han Siau-liong memang benar-benar sangat tangguh. Padahal Han Siau-liong jauh lebih terperanjat lagi ketimbang Bong Thian-gak. Seingatnya, kecuali gurunya seorang, belum pernah di dunia ini ada orang yang sanggup menggetarkan pedang bajanya sampai terpental, mimpi pun dia tak pernah menyangka laki-laki berlengan tunggal yang berwajah pucat dan penyakitan ini memiliki kekuatan begitu dahsyat. Padahal bagi dua jago yang bertarung, teledor dan kehilangan konsentrasi merupakan pantangan paling besar. Sementara dia masih terkejut bercampur keheranan, Jikaucu telah memanfaatkan kesempatan itu untuk menerobos masuk, dalam waktu singkat tujuh-delapan gadis berbaju merah telah roboh tergeletak di tanah tanpa bersuara, sementara Ji-kaucu sendiri telah menerjang ke muka tandu kecil. Bentakan nyaring bergema memecah keheningan. Pathubuncu segera menyusul ke muka. "Nona, jangan mendekati dia," teriak Bong Thian-gak cemas.
854
Pendekar Cacat
Belum lagi ucapan itu selesai, tangan kiri Ji-kaucu telah mengayun ke arah belakang. Dengusan tertahan bergema, sekujur badan Pat-hubuncu bergetar keras, kakinya menjadi lemas dan roboh terduduk ke atas tanah. "Lihat pedang!" bentak Bong Thian-gak. Hawa pedang bagai bianglala menyambar dan menusuk ke depan. Tampaknya Ji-kaucu mengetahui kehebatan serangan itu, sambil memutar badan ia mundur ke sisi kiri. Akhirnya Bong Thian-gak berdiri di muka tandu kecil itu dengan pedang disilangkan di depan dada. Ji-kaucu memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, lalu ujarnya, "Orang-orang Hiat-kiam-bun sudah banyak menjadi korban, kau anggap dengan kemampuanmu seorang bisa meneruskan perjalanan untuk melindungi tandu ini?" Memandang mayat yang berserakan di atas tanah, Bong Thian-gak merasa sedih sekali. Gadis-gadis muda yang segar dan lincah tadi dalam waktu singkat menjadi korban di tangan keji Ji-kaucu dan Han Siau-liong, peristiwa ini merupakan kejadian yang mengenaskan.
855
Pendekar Cacat
Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih, Pat-hubuncu mengangkat kepala dan berbisik pelan, "Siangkong, kau ... kau tak usah tinggal di sini lagi... sebentar Buncu akan ... akan mendusin ... bila sampai begitu, maka dia ... dia masih tetap akan menjadi orang Put-gwa-cin-kau." "Aku tak dapat membiarkan dia terjatuh kembali ke tangan orang-orang Put-gwa-cin-kau," tukas Bong Thian-gak dengan suara dalam. "Kali ini kita gagal, tapi lain kali kita masih ada kesempatan untuk menolongnya, bila ia sadar nanti, kesadarannya tetap hilang, dia hanya tahu mentaati perintah Put-gwa-cin-kau, berarti kau akan mendapat seorang musuh tangguh lagi." Sementara itu Han Siau-liong telah menerjang masuk melalui belakang, pedang bajanya segera bergetar. "Sreet", kain hitam penutup tandu segera tersambar hingga robek dan terbuka. Orang yang berada dalam tandu pun segera terlihat jelas. Mendadak Han Siau-liong menjerit kaget, "Ah, rupanya dia adalah Si-hun-mo-li?" Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak mendesak maju, tampak di balik tandu itu duduk seorang wanita cantik. Biarpun wajah perempuan itu sudah berubah menjadi abuabu, Bong Thian-gak masih dapat mengenali dengan pasti.
856
Pendekar Cacat
Agaknya Han Siau-liong belum pernah menjumpai perempuan yang begitu cantik sepanjang hidupnya, dia tertegun dan berdiri dengan mata terbelalak. Perempuan itu sedang tidur, tidur amat nyenyak dan nampak begitu cantik menawan hati. Tak tahan Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ah, ternyata memang dia, rupanya Si-hun-mo-li adalah Thaykun. Ai! Rupanya Cong-kaucu benar-benar telah mencelakai dirinya." Belum habis ingatan itu, sebilah pedang dingin menggidikkan diam-diam telah menusuk ke arah tubuhnya. Tanpa pikir panjang Bong Thian-gak memutar pedang pendeknya ke depan sementara tubuhnya berputar tiga kali. "Kau dapat menghindari seranganku ini?" seru Ji-kaucu tertahan dengan sorot mata memancarkan rasa kaget dan tercengang. Amarah sedang berkobar dakam dada Bong Thian-gak, segera ia membentak keras, "Ji-kaucu, Han Siau-liong, kemari kalian berdua, biar lenganku cuma satu, aku masih mampu menandingi kedua bilah pedang kalian bersamasama." Bentakan itu amat keras hingga menggetarkan seluruh angkasa.
857
Pendekar Cacat
Han Siau-liong maupun Ji-kaucu tertegun, serentak mereka mendongakkan kepala. Bong Thian-gak dengan pedang terhunus di depan dada dan sorot mata memancarkan cahaya setajam sembilu sedang mengawasi mereka berdua tanpa berkedip. Menyaksikan sikap angker Bong Thian-gak yang berdiri bagaikan batu karang dan hawa membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, Ji-kaucu maupun Han Siau-liong samasama terkesiap dibuatnya. Ternyata mereka sudah dapat melihat Bong Thian-gak sedang mempersiapkan tenaga dalamnya berniat melancarkan serangan dengan pedang terbang. Dalam posisi demikian, Han Siau-liong maupun Ji-kaucu menjadi ragu, mereka tak tahu apakah serangan dahsyat yang dilepaskan Bong Thian-gak itu dapat disambut oleh mereka berdua ataukah tidak. Sebagai jagoan yang punya nama besar, tentu saja Han Siau-liong serta Ji-kaucu enggan bekerja sama, mereka pun enggan bersama-sama menghadapi serangan dahsyat Bong Thian-gak. Sikap kereng dan berwibawa Bong Thian-gak sekarang memaksa keduanya mau tidak mau harus mengangkat pedang bersiap siaga.
858
Pendekar Cacat
Keheningan yang mencekam menyelimuti sekitar tempat itu, tapi suasana seram, ngeri dan tegang menekan perasaan setiap orang dan hal ini makin lama makin menebal bersama dengan berkembangnya sang waktu. Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun tidak percaya ilmu silat Bong Thian-gak dapat dipakai untuk melawan serangan gabungan Ji-kaucu serta Han Siau-liong, sambil menahan rasa sakit dari luka yang dideritanya, tanpa berkedip dia mengawasi gerak-gerik mereka. Tiba-tiba Bong Thian-gak dengan pedang tersilang di depan dada, selangkah demi selangkah maju dan pelan-pelan mendekati kedua orang lawannya. Dengan cara ini, siapa mampu meloloskan diri dari sergapan Bong Thian-gak itu? Akan tetapi Ji-kaucu maupun Han Siau-liong tetap tidak menggerakkan tubuh, seolaholah sedang menunggu datangnya serangan lawan. Ji-kaucu serta Han Siau-liong terbilang tokoh silat yang sangat berpengalaman dalam Bu-lim, jangan dilihat gerak Bong Thian-gak sangat lamban, bila musuh berani bergerak, maka pedang pendek Bong Thian-gak akan meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak seorang pun yang mampu menerima serangan itu. "Sret, sret", dua kali desingan nyaring berkumandang.
859
Pendekar Cacat
Akhirnya Bong Thian-gak tiba di depan kedua orang itu, pedang pendeknya dengan sangat ringan membacok ke dada Ji-kaucu serta Han Siau-liong. Pada saat bersamaan pedang baja Han Siau-liong membacok pula ke depan, sedang pedang hijau Ji-kaucu meluncur secepat petir. Dalam waktu singkat cahaya pedang menyelimuti hawa dingin yang menusuk tulang, serasa menyakitkan. Dua kali dengusan tertahan segera bergema. Bayangan orang menyambar dan berkelebat ke samping ... diikuti lenyapnya cahaya pedang. Bong Thian-gak berjumpalitan dan mundur, cahaya tajam dari balik matanya sudah berkurang, sementara pedangnya entah sudah mencelat kemana. Pedang baja yang semula berada di tangan kanan Han Siauliong kini sudah menancap di atas tanah, bahu kirinya tertancap sepotong kutungan pedang, darah segar bercucuran keluar dengan derasnya. Pedang kanan Ji-kaucu masih tersilang di depan dada, namun di dada kanannya tertancap sepotong kutungan pedang berikut gagangnya, darah segar pun bercucuran membasahi pakaian.
860
Pendekar Cacat
Rupanya Ji-kaucu dan Han Siau-liong sama-sama terluka, kedua orang itu terkena pedang pendek Bong Thian-gak yang patah menjadi dua dan menusuk dua sasaran yang berbeda. Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun mengikuti dengan jelas bagaimana Bong Thian-gak mematahkan pedangnya jadi dua, dan secara terpisah menancapkan di bahu kiri Han Siau-liong dan dada kanan Ji-kaucu. Ji-kaucu dan Han Siau-liong sendiri pun tidak ada tahu cara bagaimana Bong Thian-gak melukai mereka. Dalam pertarungan sengit yang berlangsung tadi, Ji-kaucu dan Han Siau-liong sama-sama menggetarkan pedang menyambut ancaman itu, mereka pun merasa seakan-akan pedang pendek Bong Thian-gak terpapas kutung oleh senjata mereka. Tapi ketika lengan tunggal Bong Thian-gak digetarkan, tahutahu Han Siau-liong dan Ji-kaucu telah terluka oleh tusukannya. Agaknya di saat pedang patah menjadi dua, Bong Thian-gak telah mencengkeram kedua kutungan pedang itu dengan lengan tunggalnya, kemudian disambitkan ke depan. Han Siau-liong mencabut kutungan pedang dari bahunya, lalu setelah tertawa, dia berkata, "Lihai, benar-benar amat lihai, Jian-ciat-suseng memang terhitung manusia tangguh. Kalau ditanya senjata apa di dunia ini yang tercepat, maka
861
Pendekar Cacat
itulah golok sakti si lengan tunggal, tapi kulihat ilmu pedang Jian-ciat-suseng masih berada di bawah To-pit-coat-to Liu Khi." "Rupanya Liu Khi terhitung jago nomor dua perkumpulan kalian?" jengek Bong Thian-gak tertawa dingin. Biarpun bahu kirinya sudah basah oleh darah, Han Siauliong masih tetap tertawa, "Hahaha, benar-benar, Liu Khi memang jago nomor dua Kay-pang, Ji-kaucu sendiri pun pernah keok di tangannya." Dalam pada itu Ji-kaucu telah mencabut kutungan pedang dari dadanya, tampaknya dia terluka parah, secara beruntun beberapa buah jalan darahnya telah ditotok hingga darah tidak mengalir lagi. Setelah tertawa seram, dia berkata, "Serangan yang kau lancarkan benar-benar cepat, pedang Ji-kaucu memang tak akan bisa melukaimu untuk selamanya." Bong Thian-gak tersenyum. "Ah, mana, aku telah mengerahkan segenap kemampuanku, namun kenyataannya tak sanggup merenggut nyawamu, setelah berpisah malam ini, entah kapan aku baru bisa membinasakan kalian." Di tengah pembicaraan, dengan suatu gerakan cepat Bong Thian-gak telah memungut kembali sebilah pedang pendek dari atas tanah. Suasana di sekeliling tempat itu segera
862
Pendekar Cacat
berubah kembali menyusul gerak-gerik Bong Thian-gak, selapis hawa membunuh dengan cepat menyelimuti tempat itu. Dengan perasaan tegang dan serius Han Siau-liong dan Jikaucu sekali lagi bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jelas Bong Thian-gak telah diliputi oleh hawa membunuh. Rupanya dalam bentrokan tadi, Bong Thian-gak telah berhasil mengetahui rahasia pedang panjang Ji-kaucu, dia yakin kemampuannya sanggup melenyapkan Ji-kaucu, bagaimana pun juga Ji-kaucu adalah musuh besarnya yang harus dibunuh. Kini kekuatan Put-gwa-cin-kau sudah meningkat hebat, mumpung dia masih berkeyakinan melenyapkan kekuatan lawan, mengapa tidak ia manfaatkan peluang itu untuk menggerogoti kekuatan musuh? Itulah sebabnya Bong Thian-gak memusatkan kembali kekuatan melepaskan serangan berikut. Kali ini Bong Thian-gak berdiri sambil memeluk pedang di depan dada, pelan-pelan ia berkata, "Han Siau-liong, kau sudah keok di ujung pedangku, bila ingin membalas dendam, kesempatan masih cukup banyak, kuanjurkan kepadamu cepatlah meninggalkan tempat ini!" Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Biarpun aku sudah terluka, aku masih mampu untuk merobohkan dirimu."
863
Pendekar Cacat
"Kau telah membunuh banyak orang, aku memang tak akan melepas kau begitu saja," ucap Bong Thian-gak dingin, "apalagi pihak Kay-pang memang tidak mengizinkan aku menancapkan kaki dalam Bu-lim, maka boleh dibilang setiap saat bisa jadi kita akan berduel kembali." "Hahaha, bagus, bagus sekali," Han Siau-liong tertawa nyaring. "Malam ini Han Siau-liong terpaksa harus menuruti nasehatmu untuk mengundurkan diri." Selesai berkata, Han Siau-liong segera menggerakkan badan beranjak pergi. Jangan dilihat perawakannya yang tinggi besar, kehebatan ilmu meringankan tubuhnya tidak malu disebut jago lihai kelas satu dari dunia persilatan, dengan dua kali lompatan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Sepeninggal Han Siau-liong, Bong Thian-gak baru berkata sambil tertawa dingin, "Ji-kaucu, hari kematianmu sudah tiba!" "Bukan hari kematianku, tapi hari kematianmu," sahut Jikaucu dengan suara menyeramkan. "Benar, siapa unggul siapa kalah memang susah untuk diketahui, tapi aku percaya kau sudah berada di tepi jurang kematian."
864
Pendekar Cacat
"Selamanya Ji-kaucu bukan orang yang gampang mati, percaya atau tidak terserah padamu." Bong Thian-gak tertawa. "Gerak pedangmu jauh lebih lamban daripada aku, ilmu racunmu susah untuk dikembangkan lagi, bahkan rahasia pedangmu sudah dapat kuketahui, kepandaian apa lagi yang akan kau andalkan? Memangnya kau masih memiliki ilmu menyusup ke tanah atau terbang ke langit?" Pucat keabu-abuan paras muka Ji-kaucu mendengar perkataan itu, dia seperti belum mau percaya begitu saja, kembali tanyanya, "Apa benar kau sudah mengetahui rahasia pedangku?" "Apa sebabnya pedangmu bisa merenggut nyawa musuh? Kan karena pedangmu itu dapat menusuk setengah kaki lebih ke depan, karena di balik pedangmu itu kau sengaja menyisipkan sebilah pedang kecil setipis daun, bila tombol rahasianya kau pencet, pedang kecil itu akan melejit keluar dari ujung pedang dan menusuk korban." Rasa kaget dan tercengang dengan cepat menyelimuti wajah Ji-kaucu, dia terbungkam dan hanya bisa memandang anak muda itu dengan termangu. Malam ini merupakan kali kedua Bong Thian-gak bertarung melawan Ji-kaucu.
865
Pendekar Cacat
Sesungguhnya yang lebih banyak bahayanya daripada selamat bukan Ji-kaucu, melainkan Bong Thian-gak. Sebab Bong Thian-gak masih belum mengetahui pasti akan rahasia dan kehebatan pedang Ji-kaucu itu. Bong Thian-gak memang tidak seharusnya kalah untuk kedua kalinya di tangan Ji-kaucu, namun pada saat itulah Sihun-mo-li yang berada di dalam tandu kecil sudah mulai membuka matanya. Bagaikan segulung angin perempuan itu melompat keluar dari balik tandu. Sepasang matanya yang jeli segera berputar kian kemari sebelum akhirnya berhenti pada tubuh Bong Thian-gak. "Thay-kun!" bisik Bong Thian-gak.
Ia merasa perempuan itu seperti orang baik, wajahnya cantik, matanya jeli dan manis menawan hati, terutama sekulum senyum manis yang menghiasi wajahnya. Begitu cantik dan lembut gadis itu, bagaikan bidadari yang baru turun dari kahyangan. Panggilan lembut Bong Thian-gak tentu dapat terdengar olehnya, tapi gadis itu tidak menjawab ataupun
866
Pendekar Cacat
menunjukkan suatu perubahan sikap, sekulum senyuman yang menawan masih menghiasi wajahnya.
Sepasang matanya seolah-olah sedang tertawa pula, tampak begitu indah, lembut dan menawan hati. Bong Thian-gak menghela napas lirih, serunya, "Thay-kun, kau tidak kenal aku?" Senyum dan pancaran sinar mata Si-hun-mo-li semakin memikat, dengan langkah gemulai dia berjalan menghampiri Bong Thian-gak. Pat-hubuncu yang menyaksikan hal itu menjadi sangat terkejut segera serunya, "Bong-siangkong, kesadaran otaknya sudah punah ....kau ... kau cepat lari...." Jeritan yang begitu keras dan melengking ini cepat menyadarkan Bong Thian-gak bahwa orang yang dihadapi bukan Thay-kun melainkan Si-hun-mo-li. Dengan langkah lembut gadis itu makin lama semakin mendekati Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak sendiri tidak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini, bagaimana tidak? Paras muka gadis
867
Pendekar Cacat
itu sama sekali tidak memancarkan rasa gusar ataupun permusuhan, yang ada cuma senyum yang memukau. Siapa lelaki di dunia ini yang mampu melawan daya pesonanya? Lebih-lebih tiada seorang pun yang tega turun tangan dan menghabisi nyawa seorang gadis yang polos. "Cepat mundur ... cepat mundur ... dia akan membunuhmu," sekali lagi Pat-hubuncu menjerit keras. Bong Thian-gak terkejut, tanpa sadar ia menggeser langkahnya dan mundur setengah tindak. Pada saat itulah Si-hun-mo-li dengan gerakan seperti hendak menjatuhkan diri ke dalam pelukannya telah menerjang tiba.
Pada saat yang bersamaan pula Bong Thian-gak dapat melihat betapa merah membaranya telapak tangan kirinya itu, kelima jari tangan yang direntangkan lebar langsung diarahkan ke tubuh bagian bawahnya. Bong Thian-gak benar-benar sangat terperanjat, dia menjatuhkan diri ke belakang, lalu melejit ke samping. Dengan gerakannya itu, maka serangan Kau-ji-ti-tho (monyet sakti memetik buah Tho) Si-hun-mo-li mengenai tempat kosong.
868
Pendekar Cacat
Padahal selama ini belum pernah ada lelaki di dunia ini yang sanggup melepaskan diri dari cengkeraman tangan mautnya.
Si-hun-mo-li kelihatan agak tertegun, lalu sambil mendongakkan kepala dia tertawa cekikikan, suaranya begitu merangsang membuat napsu birahi orang bangkit. Siapa pun yang mendengar suara tawa itu, hatinya pasti akan bergejolak, darahnya mendidih dan tanpa sadar akan terbayang kembali adegan hubungan mesra antara laki dan perempuan. Begitulah di tengah suara cekikikan yang penuh kejalangan, Si-hun-mo-li mulai melepas kancing bajunya dan membentangkannya hingga terbuka lebar. Yang mengejutkan adalah di balik baju luarnya ternyata ia tidak mengenakan secuwil baju pun, kulit badannya yang putih menawan, serta liukan badannya yang aduhai....
Pokoknya Bong Thian-gak dapat menyaksikan semua bagian rahasia tubuh Si-hun-mo-li secara jelas. Dengan suatu gerakan cepat mendadak Bong Thian-gak mengegos ke samping, lalu melompat ke sisi tubuh Pat-
869
Pendekar Cacat
hubuncu, dengan suatu gerakan cepat ia menyambar pinggangnya dan siap melarikan diri. Tapi bayangan orang kembali berkelebat, tahu-tahu Si-hunmo-li sudah mengejar ke muka. Terpaksa Bong Thian-gak harus bergeser ke samping kiri dan kabur kembali. Tapi untuk kesekian kalinya Si-hun-mo-li kembali mendesak ke muka, kali ini Bong Thian-gak sempat melihat telapak tangan gadis itu sudah muncul di hadapannya, bahkan segulung angin pukulan yang membuat sesak napas menekan ke arah dadanya.
Bong Thian-gak merasa sekujur badannya menjadi dingin, dada kanannya termakan pukulan itu secara telak, saking sakitnya hampir saja tubuh Pat-hubuncu yang berada dalam bopongannya terjatuh ke tanah. Walaupun Bong Thian-gak sudah termakan oleh pukulan Sihun-mo-li, namun dia tak sampai roboh, malahan dengan memanfaatkan tenaga pantulan itu dia melejit jauh dan melarikan diri dari sana. Di tengah kegelapan malam, terdengar suara Ji-kaucu berseru dengan suara bangga, "Wahai Jian-ciat-suseng, kau tak bakal hidup melampaui satu jam lagi, sekarang kau telah termakan sebuah pukulan maut Si-hun-mo-li."
870
Pendekar Cacat
Benar, memang tiada seorang pun di dunia yang mampu menahan serangan maut Si-hun-mo-li, bahkan Ku-lo Hwesio yang termasyhur pun akhirnya tewas setelah terkena pukulan itu tiga tahun berselang. Sebab pukulan yang melukainya adalah Soh-li-jian-yang-sinkang yang tiada duanya di dunia ini.
Di tengah keheningan yang mencekam, terdengar seorang dengan nada lirih dan lemah berkata, "Siangkong, kau sudah terkena pukulan." Di bawah sebatang pohon di sisi hutan, duduk bersandar seorang gadis berkerudung berbaju merah. Di hadapannya berjongkok seorang pemuda berlengan tunggal. "Benar," Bong Thian-gak manggut-manggut, "aku memang sudah terkena pukulannya." Dua baris air mata bercucuran membasahi wajah Pathubuncu yang tertutup kain kerudung, katanya sesenggukan, "Siangkong, gara-gara aku, kau harus mengorbankan nyawamu." "Aku tak bakal mati!" Bong Thian-gak tersenyum.
871
Pendekar Cacat
"Aku tahu, di dunia ini belum ada seorang pun yang mampu bertahan atas pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Buncu."
Sekali lagi Bong Thian-gak mengangguk. "Benar, Soh-li-jian-yang-sin-kang memang ilmu pukulan hebat." "Oh, Siangkong," Pat-hubuncu menangis tersedu-sedu, "mengapa kau kabur tadi? Kau kan tahu, kepandaian silat Buncu begitu lihai." "Sudah kubilang, aku tak bakal mati!" Bong Thian-gak tersenyum. "Kau membohongi aku." "Soh-li-jian-yang-sin-kang memang sangat lihai," Bong Thian-gak kembali berkata dengan wajah bersungguhsungguh, "setiap orang yang terkena pukulannya akan merasa kesakitan pada sekujur badannya, dia akan menggigil kedinginan, wajah memucat dan seluruh kulit badan berkerut kencang, tapi kenyataan aku tetap sehat walafiat sekarang, mengapa kau belum mau percaya?"
Pat-hubuncu segera membuka mata lebar-lebar dan mengamati paras muka Bong Thian-gak dengan seksama, lalu katanya dengan wajah tidak mengerti, "Dengan jelas
872
Pendekar Cacat
kulihat dada kananmu terhajar oleh serangannya, mengapa kau ...." Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Sesungguhnya aku telah berhasil melatih ilmu Tat-mo-khi-kang yang sangat dahsyat, daya serangan Soh-li-jian-yang-sin-kang tak akan mampu melukai isi perutku, itulah sebabnya aku sama sekali tidak terluka tadi." "Benarkah itu?" Pat-hubuncu kegirangan. "Aku tidak bermaksud membohongimu, sekarang kau tak perlu kuatir, yang perlu dirisaukan sebenarnya adalah nyawamu sendiri." Pat-hubuncu tertawa rawan.
"Tiada berharga untuk merisaukan nyawaku, karena nyawaku memang tiada harganya." "Nyawa setiap manusia adalah sama, tidak dibedakan mana yang berharga dan yang tidak. Lepaskan kain kerudungmu, akan kulihat apakah kau keracunan atau tidak." Pelan-pelan Pat-hubuncu melepas kain kerudungnya, kemudian menjawab, "Perut bagian bawahku terkena pukulan." Dengan menggunakan sepasang matanya yang mampu melihat dalam kegelapan, ujarnya sambil tertawa,
873
Pendekar Cacat
"Wajahmu amat cantik, beruntung sekali kau pun tidak terkena serangan racun Ji-kaucu." "Ah, Siangkong pandai menggoda orang." "Ayo kemarilah, kubantu dirimu mengobati luka yang kau derita."
Sambil berkata pemuda itu lantas menempelkan telapak tangan kirinya ke atas perut bagian bawah nona itu, segulung hawa panas segera memancar keluar dari telapak tangannya dan menyusup serta menyebar ke dalam tubuh Pat-hubuncu. Tindakan yang diambil anak muda itu kontan saja membuat berdebar jantung Pat-hubuncu, merah padam wajahnya lantaran jengah. Selama hidup belum pernah dia berdempetan dengan lelaki mana pun, apalagi telapak tangan Bong Thian-gak menempel di atas perut bagian bawahnya yang merupakan daerah rawan dan menimbulkan napsu birahi.
Dengus napas Pat-hubuncu segera bertambah cepat, dia pejamkan matanya dan hampir lupa dengan rasa sakit yang dideritanya, suatu perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata segera menyelimuti perasaannya.
874
Pendekar Cacat
Secara diam-diam ia menyambut kenikmatan itu tanpa berkata-kata, sayang sekali keadaan itu tidak berlangsung lama karena Bong Thian-gak menarik kembali tangannya sambil berbisik, "Nah, sudah selesai, keadaan lukamu sekarang sudah tidak membahayakan lagi, kau boleh pulang." Merah padam wajah Pat-hubuncu, untung saja pada waktu itu malam sangat gelap sehingga keadaannya tidak kentara.
Diam-diam ia menarik napas panjang, "Betul juga, hawa sudah dapat berjalan lancar tanpa hambatan." Hal itu membuatnya sangat kagum. "Budi pertolongan Siangkong takkan kulupakan untuk selamanya, aku ...." "Kau tak perlu memikirkan hal itu dalam hati," tukas Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala, "korban yang jatuh pada malam ini cukup besar, hal itu membuat hatiku amat tak enak ... oya betul! Aku belum bertanya siapa nama nona dan jabatanmu dalam perguruan Hiat-kiam-bun." "Aku adalah Pat-hubuncu, sejak kecil sudah mendampingi Cong-hubuncu, dia memanggil aku Siau Gwat-ciu!"
875
Pendekar Cacat
"Selama ini Cong-hubuncu kalian selalu mengosongkan jabatan ketua, kesetian kalian benar-benar mengagumkan." "Siangkong," tiba-tiba Pat-hubuncu bertanya. "Darimana kau tahu tentang asal-usul perguruan Hiatkiam-bun kami dengan begitu jelas?"
Bong Thian-gak tersenyum. "Gwat-ciu, kau cepat pulang saja, kita pasti akan bersua kembali di masa mendatang, maaf kalau aku harus mohon pamit terlebih dahulu ." Seusai perkataannya, dia lantas pergi dari situ. Tentu saja dia lantas pulang ke kuil Hong-kong-si.
Setelah menempuh perjalanan semalam suntuk, ditambah pula menderita pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Sihun-mo-li secara telak, kendati tidak mengakibatkan Bong Thian-gak terluka, dia belum lega rasanya sebelum bersemedi barang setengah jam. Oleh karena itu begitu usai bersemedi dia tertidur nyenyak saking lelahnya.
876
Pendekar Cacat
Ketika ia mendusin beberapa waktu kemudian, suara ketukan pintu bergema dari luar ruangan. "Siapa?" tegurnya kemudian. "Aku, Hong-hong," suara merdu terdengar dari luar. "Ada urusan apa?" "Lapor Hwecu," kata Yu Hong-hong dengan merdu, "di luar ada orang mohon berjumpa dengan Hwecu."
Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapan itu, tanyanya dengan kening berkerut, "Siapakah dia?" "Orang itu sudah berada di ruang tamu, dia telah menunggu dua jam lamanya." Dengan cepat Bong Thian-gak membereskan pakaiannya, lalu membuka pintu, Yu Hong-hong sudah berdiri di luar pintu dengan senyuman aneh menghias bibirnya. Begitu Bong Thian-gak muncul, dia berbisik, "Hwecu, jodohmu memang sangat baik." "He, Hong-hong! Apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak. Yu Hong-hong tertawa cekikikan. "Ada seorang gadis yang datang berkunjung, katanya dia tak akan beranjak dari situ sebelum bertemu dengan Hwecu, bayangkan sendiri, bukankah jodoh Hwecu memang amat baik?"
877
Pendekar Cacat
"Seorang gadis? Siapakah dia?" pikir Bong Thian-gak. "Mengapa dia bisa tahu aku berdiam di sini?"
Berpikir demikian, dengan dahi berkerut kencang Bong Thian-gak bertanya lagi, "Dia berasal dari golongan mana?" "Aku tidak kenal, dia pun tidak mau menerangkan asal-usul perguruannya, tapi wajahnya cantik, potongannya tinggi semampai, pinggangnya langsing lagi." Mengikut di belakang Yu Hong-hong, Bong Thian-gak menuju ke ruang tamu, dari kejauhan dia sudah melihat seorang gadis tinggi semampai berambut panjang sedang berdiri di depan jendela, ketika mendengar suatu langkah mendekat, ia segera berpaling. Bong Thian-gak baru benar-benar tertegun sesudah melihat jelas paras muka gadis itu, sebab wajah itu sangat asing baginya dan belum pernah berjumpa sebelumnya.
Gadis cantik itu segera menjura dalam-dalam begitu bertemu pemuda itu, lalu dengan senyum di kulum katanya, "Bong-hwecu, rupanya kedatanganku mengganggu?" "Ah, mana ... mana ...." sahut Bong Thian-gak tersenyum, "silakan duduk, silakan duduk!"
878
Pendekar Cacat
Sementara mulutnya menjawab, dalam hati kembali dia berpikir, "Heran, siapa orang ini?" Sesudah menempati kursinya, gadis cantik itu baru menundukkan kepala dan berkata agak tersipu-sipu, "Adapun kedatanganku pada hari ini adalah ingin menyampaikan rasa terima kasihku atas pertolongan yang telah Hwecu berikan semalam." "Oh, rupanya kau adalah Pat-hubuncu Hiat-kiam-bun," Bong Thian-gak berseru tertahan sesudah mendengar perkataan itu. Memang benar gadis ini tak lain adalah Pat-hubuncu yang tol.ih diselamatkan Bong Thian-gak tadi malam.
Sesudah berhenti sejenak, sambil tertawa Bong Thian-gak berkahi, "Pat-hubuncu, darimana kau bisa tahu bahwa aku berdiam di sini?" "Harap Hwecu sudi memaafkan, sesungguhnya telah kukuntit Hwecu secara diam-diam semalam?" sahut Pathubuncu agak tersipu. Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Pat-hubuncu memang betul-betul cerdas, aku orang she Bong sungguh merasa amat kagum."
879
Pendekar Cacat
Kemudian sambil menunjuk ke arah Yu Hong-hong yang berdiri di sampingnya, ia memperkenalkan, "Dia adalah Hiangcu perkumpulan kami, Hwe-im-eng Yu Hong-hong!"
Buru-buru Yu Hong-hong memberi hormat kepada Pathubuncu sambil menyapa, "Pat-hubuncu, baik-baikkah kau?" Setelah berhenti sejenak, tanyanya lagi sambil tersenyum, "Pat-hubuncu, kunjunganmu sepagi ini tentu bukan khusus menyampaikan rasa terima kasihmu kepada Hwecu kami atas pertolongannya bukan?" "Ucapan Yu-hiangcu memang benar," Pat-hubuncu manggut-manggut, "kedatanganku ini, di samping hendak menyampaikan rasa terima kasihku atas pertolongan Hwecu, juga kami mendapat perintah untuk mengundang Hwecu agar bersedia mengunjungi perkumpulan kami guna suatu perbincangan." "Pat-hubuncu, bila kau ada persoalan, katakan saja terus terang," ucap Yu Hong-hong dingin.
Pat-hubuncu segera menunjukkan sikap serba susah, katanya kemudian, "Aku hanya mendapat perintah untuk mengundang Bong-hwecu saja."
880
Pendekar Cacat
"Apakah Ji-hubuncu partai kalian yang menyuruh kau datang kemari?" tukas Bong Thian-gak. Pat-hubuncu menggeleng. "Bukan Ji-hubuncu, tapi Cong-hubuncu." "Oh, jadi Cong-hubuncu pun sudah tiba di Hopak?" Bong Thian-gak keheranan. "Benar," Pat-hubuncu manggut-manggut, "dia orang tua memang telah tiba di Hopak." "Ada urusan apa Cong-hubuncu mencariku?" "Entahlah, soal ini aku sendiri pun tak tahu." "Sekarang dia ada dimana?" "Aku akan mengajak Bong-hwecu menghadapnya." "Baiklah," Bong Thian-gak mengangguk, "harap Pathubuncu suka menjadi petunjuk jalan."
Tiba-tiba Yu Hong-hong menimbrung, "Pat-hubuncu, aku rasa sebaiknya Cong-hubuncu kalian yang datang ke Hongkong-si!" "Sesungguhnya Cong-hubuncu kami mempunyai kesulitan yang tak bisa diungkapkan, mustahil baginya menempuh perjalanan jauh," kata Pat-hubuncu serba susah.
881
Pendekar Cacat
Kontan saja Yu Hong-hong tertawa dingin, "Jadi kau anggap Hwecu kami bisa menempuh perjalanan jauh semaunya?" "Hong-hong," tiba-tiba Bong Thian-gak menyela, "kau tak usah kuatir, aku akan menjumpai Cong-hubuncu Hiat-kiambun itu."
Yu Hong-hong mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu katanya, "Bong-hwecu, pihak Hiat-kiam-bun pernah mempergunakan siasat yang amat licik hendak mencelakai Hwecu, menurut pendapatku bisa jadi mereka berniat jelek terhadapmu, apalagi mereka hanya mengundang Hwecu seorang." "Hong-hong, kau tak usah kuatir," kata Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali, "kau pun boleh ikut bersamaku." Pat-hubuncu berkerut kening mendengar perkataan itu, cepat dia menyela, "Bong-siangkong, Ji-hubuncu telah berpesan, mereka hanya mengharapkan kehadiran Bongsiangkong seorang diri." "Nah, sekarang ketahuan sudah belangnya, bukankah kalian memang berniat jahat terhadap Hwecu kami?" dengus Yu Hong-hong dingin.
882
Pendekar Cacat
Agaknya Pat-hubuncu mengerti bahwa hal itu tak mungkin bisa dipaksakan lagi, maka akhirnya ia menghela napas panjang, "Ai, kalau begitu baiklah, silakan nona ikut bersama kami." Sebagaimana diketahui, Bong Thian-gak sudah mengetahui jelas asal-usul perguruan Hiat-kiam-bun, dia pun tahu kedatangan Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun untuk menjumpainya tanpa disertai niat jahat. Dalam pada itu Pat-hubuncu telah bangkit dan berkata lagi, "Siangkong, bila kau tak ada urusan lagi, mari kita segera berangkat!" "Silakan Pat-hubuncu!" Bong Thian-gak manggut-manggut. Dengan langkah perlahan Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu bersama Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong meninggalkan kuil Hong-kong-si, sepanjang jalan mereka bergerak tanpa berbicara, arah yang dituju mula-mula adalah kota terlarang, tapi di tengah jalan tiba-tiba Siau Gwat-ciu berbelok ke arah tenggara. "Hei, bukankah kita akan pergi ke kota terlarang?" Yu Honghong segera menegur.
Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu tersenyum.
883
Pendekar Cacat
"Jejak Cong-hubuncu perguruan kami tak menentu, setibanya di wilayah Hopak, masa dia akan berdiam dalam rumah penginapan yang begitu gaduh dan bising?" "Lantas dia berdiam dimana?" tanya Yu Hong-hong dengan kening berkerut. "Sebentar kau bakal mengetahui." Yu Hong-hong memang sama sekali tidak mengetahui asalusul Hiat-kiam-bun, hal itu semakin menimbulkan kecurigaan dalam hatinya, segera ia berbisik kepada Bong Thian-gak, "Hwecu, apakah kita harus mengikutinya?" "Hong-hong, bukankah kita sudah sampai di sini?" sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum, "kalau tidak mengikutinya, kita harus ikut siapa?" "Tapi... Hwecu, aku sangat kuatir." "Hong-hong, baiklah kuberitahukan satu hal kepadamu," tukas Bong Thian-gak, "ketahuilah, Cong-hubuncu Hiatkiam-bun sekarang bisa jadi adalah sahabat karibku di masa lampau, oleh sebab itulah aku perlu menjumpainya." "Seandainya Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun bukan sahabat seperti yang kau duga lantas bagaimana?" tanya Yu Honghong.
884
Pendekar Cacat
Tiba-tiba Pat-hubuncii Siau Gwat-ciu berpaling dan ikut berbicara, "Perkataan Bong Thian-gak rasanya sudah menghilangkan kecurigaan yang semula mencekam Siauli, betul tampaknya Cong-hubuncu kami memang kenal denganmu." Kembali Bong Thian-gak tersenyum. "Aku hanya berbicara menurut dugaanku saja, bisa juga Cong-hubuncu kalian bukan orang yang kuduga." Paras muka Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu segera berubah sesudah mendengar itu, mendadak ia menghentikan langkah seraya berpaling dan berkata, "Siangkong telah menanam budi pertolongan kepadaku, tak nanti Siauli membiarkan Siangkong mendapat ancaman bahaya sekecil apa pun." "Apa maksud Pat-hubuncu?" "Andaikata Siangkong adalah sahabat karib Cong-hubuncu kami, maka perjalanan ini jelas tak ada bahaya apa pun, tapi seandainya Cong-hubuncu kami bukan orang yang Siangkong duga, maka bisa jadi Siangkong bakal dicelakai olehnya." "Mengapa hal ini tidak kau jelaskan sedari tadi?" bentak Yu Hong-hong dengan wajah berubah.
885
Pendekar Cacat
Siau Gwat-ciu menghela napas sedih, "Ai, aku telah mengkhianati Hiat-kiam-bun ... sekali pun kuungkap rahasia itu pada saat ini, rasanya itu pun belum kelewat terlambat, coba Siangkong pikir kembali dengan seksama, apakah kita perlu meneruskan perjalanan ini?" "Pat-hubuncu tak perlu kuatir," Bong Thian-gak tersenyum manis, "sebelum kuambil keputusan untuk datang kemari, segala sesuatunya telah kupertimbangkan masak-masak, andaikata Cong-hubuncu kalian bukan orang yang kuduga, bisa jadi dia akan berusaha membunuhku sepenuh tenaga serta berusaha melenyapkan seorang musuh tangguh dari muka bumi ini." "Lantas Siangkong tetap bertekad akan berangkat ke sana juga?" tanya Siau Gwat-ciu tertegun. "Tentu aku harus ke sana," Bong Thian-gak manggutmanggut. "Bong-hwecu, kita hanya berdua," ujar Yu Hong-hong, "apakah kita harus menelan kerugian? Menurut pendapatku, lebih baik kita ...." "Hong-hong," tukas Bong Thian-gak lantang, "bila Tiongyang-hwe kita ingin muncul di Bu-lim, kita wajib menyingkirkan segenap partai atau pun aliran yang memusuhi kita, cepat atau lambat Hiat-kiam-bun pasti akan bertemu Tiong-yang-hwe, andaikata Cong-hubuncu Hiatkiam-bun memang bukan orang yang kuduga, maka aku
886
Pendekar Cacat
memutuskan untuk melenyapkan organisasi ini terlebih dulu." Paras muka Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu segera berubah, serunya cepat, "Jago-jago dalam Hiat-kiam-bun kami sangat banyak, terutama Cong-hubuncu kami, boleh dibilang kepandaian silatnya lihai sekali. Kendati Siangkong tangguh dan hebat, namun kekuatannya sangat sedikit."
Bong Thian-gak tersenyum. "Aku merasa berterima kasih sekali atas maksud baik Pathubuncu yang telah memberi petunjuk dengan bersungguh hati, Tiong-yang-hwe baru beberapa hari didirikan, kami memang tidak memiliki banyak anggota, tapi setiap anggota perkumpulan kami rata-rata memiliki daya tempur kuat dan tangguh serta semangat juang yang sangat tinggi." Mendengar perkataan itu, diam-diam Siau Gwat-ciu mengagumi keberanian Bong Thian-gak, meski demikian ia masih tetap menaruh perasaan kuatir atas perjalanannya kali ini, kembali ia berkata, "Siauli sudah pernah melihat sampai dimana taraf kepandaian silat Siangkong, kau memang boleh disebut jagoan kelas satu dalam Bu-lim, Cuma…”
887
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tak membiarkan perempuan itu melanjutkan kata-katanya, sesudah tertawa dia berkata, "Mari kita lanjutkan perjalanan." Yu Hong-hong cukup mengetahui watak Bong Thian-gak, setiap persoalan yang telah ditetapkan atau diputuskan, bagaimana pun juga tidak akan pernah diubah, oleh sebab itu dia pun tidak berusaha untuk membujuk, meski di hati ia tetap merasa tidak tenteram. Sementara itu Siau Gwat-ciu telah melanjutkan perjalanan tanpa bicara, mereka bertiga berjalan lebih kurang setengah jam lamanya sebelum di depan sana muncul sebuah hutan yang mengelilingi sebuah bayangan air beriak. Yu Hong-hong mengangkat kepala dan memperhatikan sekejap keadaan di depan sana, kemudian bisiknya, "Di depan sana adalah telaga Kun-beng-oh!" "Ya, Cong-hubuncu kami tinggal di dalam sebuah kuil kecil di tepi telaga itu," Siau Gwat-ciu menyambung.
Selama pembicaraan berlangsung, mereka bertiga telah berjalan ke tengah hutan, di depan sana tampak sebuah kuil kecil. Suasana di tempat itu amat sepi, hening, tak nampak sesosok bayangan pun, beberapa li di seputar tepi telaga
888
Pendekar Cacat
pun tak nampak rumah lain selain kuil itu, tempat itu benar-benar sebuah tempat yang tenang, tersendiri dan berpemandangan alam sangat indah. Ketika mereka bertiga tiba di depan pintu, tiba-tiba Siau Gwat-ciu berbisik kepada Bong Thian-gak, "Harap Siangkong menanti sebentar, biar Siauli masuk dulu untuk memberi laporan." "Silakan!" sahutnya Bong Thian-gak manggut-manggut.
Dengan langkah ringan dan cepat, Pat-hubuncu Siau Gwatciu segera masuk ke dalam kuil. Sepeninggal Siau Gwat-ciu, Bong Thian-gak segera berpaling dan ujarnya pada Yu Hong-hong, "Hong-hong, saat bertemu Cong-hubuncu nanti, kuminta kau tetap tenang dan jangan membuat keonaran secara gegabah." "Aku akan turut perintah," gadis itu manggut-manggut. Meski sudah menyahut, tapi nada suaranya tidak gembira. Baru saja Bong Thian-gak hendak menjelaskan, tampak Siau Gwat-ciu telah muncul, nona itu berseru, "Siangkong, silakan masuk!"
889
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong bersama-sama masuk ke dalam halaman kuil Nikoh yang berpintu empat. Semua halaman dan ruangan nampak bersih, tiada setitik debu atau pun daun kering yang berceceran di sana, agaknya memang sering dibersihkan orang, hanya anehnya, tak nampak sesosok bayangan pun yang berlalu-lalang di sana. Pintu ruang pertama terbuka lebar, waktu itu dari dalam ruangan tampak muncul tiga orang, yang berada di tengah adalah seorang rahib setengah umur berwajah kereng dan berwibawa, berkulit putih, bersih dan matanya saleh penuh welas kasih, memancarkan cahaya tajam. Di samping kanan rahib setengah umur itu berdiri seorang Nikoh tua kurus kering dan berwajah amat jelek. Sedang di sebelah kirinya seorang gadis berambut panjang yang berwajah terlebih jelek daripada rahib tua itu. Dengan sorot mata Bong Thian-gak yang tajam, dalam waktu singkat ia telah melihat jelas paras muka ketiga orang itu, wajahnya tetap tenang dan sama sekali tiada luapan emosi, sementara dalam hati ia berpikir, "Ah! Ternyata dia memang Keng-tim Suthay Nyo Li-beng ... sebaiknya tidak kukenali mereka dulu untuk sementara waktu."
890
Pendekar Cacat
Dalam pada itu Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun sekalian bertiga, dengan sorot matanya yang tajam sedang mengawasi pula wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip, akhirnya paras muka Keng-tim Suthay Nyo Li-beng memperlihatkan perubahan serius bercampur bingung. Siau Gwat-ciu dan Yu Hong-hong yang berada di samping dapat melihat pula gerak-gerik dan perubahan wajah orang secara jelas. Perasaan Yu Hong-hong berat sekali, sebab dia tahu Bong Thian-gak bukanlah orang yang dicari Conghubuncu, berarti Bong Thian-gak serta Yu Hong-hong akan sulit lepas dari pembantaian.
Sementara semua orang masih termenung, tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa ringan, suara tawanya segera menyadarkan semua orang dari lamunan. Sembari berkata, ia lantas menjura ke arah Keng-tim Suthay Nyo Li-beng, "Aku Bong Thian-gak merasa bangga mendapat undangan Cong-hubuncu." Seperti baru sadar dari lamunan, Keng-tim Suthay manggut-manggut seraya tertawa, "Tak usah banyak adat, silakan Siangkong masuk ke dalam untuk minum teh."
Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong jalan bersanding, masuk ke ruang dalam, tempat itu merupakan ruang tamu yang
891
Pendekar Cacat
luas, di bagian tengah ada beberapa kursi, sementara empat orang gadis berbaju merah berambut panjang siap melayani mereka di samping. Dengan sorot mata tajam Yu Hong-hong mengawasi sekejap setiap orang yang hadir di sini dengan seksama, yang membuat hatinya agak lega adalah orang-orang itu ternyata tak membawa senjata, penampilan mereka pun tidak menunjukkan sesuatu gejala yang mencurigakan.
Dengan wajah serius Keng-tim Suthay Nyo Li-beng menempati kursinya, sementara empat gadis berbaju merah yang semula berdiri di samping menuangkan secawan air teh bagi Bong Thian-gak berdua. Setelah suasana hening beberapa saat, barulah Keng-tim Suthay berkata, "Belakangan ini saudara telah menggetarkan dunia persilatan, nama besar Jian-ciatsuseng ibarat guntur yang memekakkan telinga, beruntung Pinni bisa bertemu denganmu hari ini."
Bong Thian-gak tersenyum, "Kau kelewat sungkan, selama Suthay memimpin Hiat-kiam-bun, justru kaulah ibarat naga sakti yang nampak kepala tak kelihatan ekor, aku yang merasa sangat beruntung karena hari ini bisa melihat raut wajah aslimu!"
892
Pendekar Cacat
Keng-tim Suthay tertawa, "Aku rasa Pat-hubuncu perguruan kami tentu sudah menyampaikan maksud Pinni mengundangmu bukan!" "Pat-hubuncu hanya menyampaikan undangan Suthay saja, soal lain sama sekali tidak disinggungnya, karena itu aku mohon petunjuk darimu," Bong Thian-gak tersenyum.
Dalam pada itu Siau Gwat-ciu telah berdiri di samping bersama keempat gadis berbaju merah lainnya, ia berdiri dengan wajah serius dan dahi bekernyit. "Ada satu hal ingin Pinni tanyakan," kata Keng-tim Suthay Nyo Li-beng, "dalam perjumpaan kita pertama kali tadi bagaimana mungkin kau bisa mengetahui Pinni adalah Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun." Bong Thian-gak tersenyum. "Seorang pemimpin selamanya mempunyai kewibawaan sebagai pemimpin, hal itu tidak sulit untuk diketahui."
Tiba-tiba Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Ai, sebenarnya maksud Pinni mengundangmu tak lain adalah ingin melihat raut wajah aslimu." "Hanya soal itu?"
893
Pendekar Cacat
"Pinni ingin tahu, apakah Jian-ciat-suseng yang namanya telah menggetarkan seluruh kolong langit ini memang seorang yang pernah kukenal dulu." "Setelah bertemu, bagaimanakah pendapat Suthay?" Bong Thian-gak bertanya. Keng-tim Suthay menggeleng kepala, "Rasanya seperti pernah kenal tapi seperti juga tidak kenal." "Siapa orang yang Suthay maksudkan?" "Dia she Ko bernama Hong."
Ketika mendengar nama itu, hati Yu Hong-hong bergetar keras, hampir saja ia berseru tertahan. Sepasang mata Keng-tim Suthay memang benar-benar amat tajam, ia segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Yu Hong-hong, kemudian tanyanya, "Lisicu kenal dengannya?" "Nama besar Ko Hong Tayhiap sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan pada tiga tahun berselang, sayang aku hanya pernah mendengar namanya tapi belum pernah bertemu orangnya," sahut Yu Hong-hong cepat. "Lapor Suthay," Bong Thian-gak menyambung, "aku kenal dengan manusia yang bernama Ko Hong itu."
894
Pendekar Cacat
Sekilas rasa gembira menghiasi wajah Keng-tim Suthay, tanyanya dengan wajah berseri, "Sekarang dia berada dimana? Bersediakah kau memberitahukan kepadaku?" Bong Thian-gak termenung sejenak, lalu jawabnya, "Bila Suthay ingin kukatakan jejak Ko Hong, sebenarnya hal itu tidak sulit, tapi pertama-tama ingin kuketahui dulu ada urusan apa Suthay mencarinya?" Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Ai, bukankah kau sudah tahu, hingga sekarang perguruan kami masih belum mempunyai ketua?" "Ya, aku memang mengangguk.
mengetahui
hal
ini,"
pemuda
Sekali lagi Keng-tim Suthay menghela napas, "Sebetulnya Hiat-kiam-bun mempunyai seorang ketua, tapi nasib ketua kami ini belum diketahui, sebab itu jabatan itu selalu kami kosongkan hingga sekarang." "Bukankah ketua perguruan kalian adalah Si-hun-mo-li?" tanya Bong Thian-gak dengan suara dalam. Keng-tim Suthay mengangguk, "Kemarin malam kau sudah menyelamatkan jiwa Pat-hubuncu, maka kau pun
895
Pendekar Cacat
seharusnya tahu Si-hun-mo-li, ya, betul! Dia adalah ketua Hiat-kiam-bun kami, cuma alasan di balik semua ini tak mungkin bisa aku jelaskan kepadamu." "Aku mengetahui jelas asal-usul Si-hun-mo-li itu," pelanpelan Bong Thian-gak, berkata.
Keng-tim Suthay terkejut sekali. "Kau mengetahui asal-usul Si-hun-mo-li dengan jelas?" "Ya, bukankah dia adalah Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau?" Dengan nada tidak percaya Keng-tim Suthay bertanya lagi, "Kalau begitu kau pun tahu dia adalah ketua Hiat-kiambun?" "Oleh karena dia adalah pendiri Hiat-kiam-bun, maka kalian mengangkatnya sebagai ketua, bukankah begitu?" "Betul, Si-hun-mo-li adalah pendiri Hiat-kiam-bun, darimana kau bisa tahu persoalan ini sedemikian jelasnya?"
Bong Thian-gak tersenyum. "Semua ini aku tahu dari Ko Hong."
896
Pendekar Cacat
"Ehm, memang masuk akal, kalau begitu kau memang benar-benar kenal Ko Hong Tayhiap." Bong Thian-gak tertawa. "Suthay, kau belum menjelaskan kepadaku ada urusan apa kau mencari Ko Hong?" "Ai ... Pinni mencari Ko Hong Tayhiap karena aku ingin dialah yang memangku jabatan sebagai ketua Hiat-kiambun," ucap Keng-tim Suthay setelah menghela napas panjang.
Bergetar perasaan Bong Thian-gak mendengar itu, ujarnya, "Ketua Hiat-kiam-bun adalah Si-hun-mo-li, mengapa Suthay mencari Ko Hong untuk diangkat sebagai ketua?" Untuk kesekian kali Keng-tim Suthay menghela napas panjang, "Padahal ketua Hiat-kiam-bun yang sebenarnya adalah Ko Hong, di saat Si-hun-mo-li mendirikan Hiat-kiambun tempo hari, dia telah menunjuk Ko Hong sebagai ketua Hiat-kiam-bun." Bong Thian-gak segera merasakan darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, peristiwa yang terjadi pada tiga tahun berselang pun satu demi satu melintas dalam benaknya.
897
Pendekar Cacat
Ketika ia berhasil menguasai kembali perasaannya, dengan sedih ia berkata, "Sekarang aku ingin menceritakan sebuah kisah kepadamu, ini terjadi pada tiga tahun berselang di sebuah dusun petani di luar kota Kay-hong, dusun petani itu merupakan kantor cabang Put-gwa-cin-kau untuk kota Kay-hong. Pada saat itu segenap jago lihai Put-gwa-cin-kau telah terhimpun, konon mereka hendak menyerang perkampungan Bu-lim Bengcu, padahal bukan gedung Bulim Bengcu yang akan diserang, yang menjadi sasaran utama mereka waktu itu adalah seorang pengkhianat perkumpulan yakni Jit-kaucu Thay-kun .... "Rupanya pentolan barisan pengawal tanpa tanding nomor dua berhasil mendapat kabar bahwa Jit-kaucu Thay-kun masih mempunyai hubungan dengan komandan pasukan pengawal tanpa tanding nomor tiga Nyo Li-beng, bahkan secara diam-diam sedang membentuk organisasi Hiat-kiambun yang cara kerjanya menentang Put-gwa-cin-kau, itulah sebabnya Thay-kun menjadi sasaran pembunuhan. "Cong-kaucu segera mengutus Ji-kaucu dan sekalian jago lihai untuk bersiap di dusun petani itu guna menghabisi nyawa Thay-kun." Sampai di sini, Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Keng-tim Suthay, setelah itu sambungnya, "Aku yakin Suthay juga mengetahui peristiwa ini bukan? Sebab ketika itu Suthay pernah memberi petunjuk kepada Ko Hong agar berangkat ke dusun petani itu."
898
Pendekar Cacat
"Ya, cepat kau lanjutkan ceritamu!" seru Keng-tim Suthay dengan perasaan sedih gembira bercampur aduk. Setelah menghembuskan napas panjang, Bong Thian-gak berkata lebih jauh, "Ko Hong serta Jit-kaucu Thay-kun tak bisa menghindar dari pertarungan darah melawan kawanan iblis Put-gwa-cin-kau ... dengan dikerubut musuh yang berjumlah banyak, Thay-kun serta Ko Hong terluka, terutama sesudah terkena racun Ji-kaucu, tapi mereka masih tetap bertarung mati-matian untuk meloloskan diri dari kepungan. "Thay-kun dan Ko Hong dengan membawa luka segera kabur ke Lok-yang dengan maksud mohon pengobatan tabib sakti Gi Jian-cau, tapi Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau serta komandan pasukan kedua pengawal tanpa tanding telah menunggu kedatangan mereka di kaki bukit Cui-imhong ... dalam pertarungan itu Ko Hong kehilangan sebuah lengannya dan tertusuk dua puluh luka pedang di badannya. "Dalam keadaan terluka parah, beruntung Ko Hong mendapat pertolongan dari seorang gadis lemah sehingga mendapatkan kembali nyawanya, tiga tahun ... ya ... tiga tahun kemudian, Ko Hong kembali muncul dalam Bu-lim, akan tetapi situasi dalam Bu-lim telah berubah." Bicara sampai distu, Keng-tim dan sekalian anggota Hiatkiam-bun menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, semua orang mendengarkan penuturan Bong Thian-gak itu dengan air mata bercucuran.
899
Pendekar Cacat
Ketika menyaksikan semua orang berlutut, dengan terkejut Bong Thian-gak segera menegur, "Suthay, mengapa kalian?" Dengan kesedihan luar biasa Keng-tim Suthay berkata, "Buncu, sudah amat lama kami mencarimu! Tiga tahun belakangan ini, setiap saat kami selalu mencari jejakmu, ternyata Thian melindungi Hiat-kiam-bun, akhirnya kami berhasil menemukan kembali ketua kami." "Ayo bangun, ayo bangun semua, kalau ada urusan, mari kita rundingkan baik-baik," seru Bong Thian-gak berulang kali. Sambil berkata, pemuda itu segera membangunkan Kengtim Suthay sambil berkata, "Memang benar, akulah Ko Hong, tapi Ko Hong bukan nama asliku, wajah yang kalian jumpai sebagai Ko Hong dahulu pun bukan wajah asliku." Ketika Keng-tim Suthay dan semua orang sudah duduk kembali, si gadis jelek baru berseru merdu, "Ketua, kau benar-benar telah menipu kami habis-habisan, kita sudah berjumpa beberapa kali, namun tak pernah kusangka kau adalah ketua Ko Hong yang sedang kami cari-cari siang dan malam, ai! Aku merasa gembira sekali." "Nona," kata Bong Thian-gak sambil tertawa, "andaikata kau tidak berkerudung hitam, asal-usul Hiat-kiam-bun pasti sudah dapat kuduga sejak semula." Si gadis jelek tertawa cekikikan.
900
Pendekar Cacat
"Justru karena Hiat-kiam-bun belum menemukan ketuanya, maka kami malu berjumpa orang dengan wajah asli, itulah sebabnya kami selalu menggunakan kain kerudung hitam." Bong Thian-gak menghela napas," Ai, di bawah bimbingan ibumu, Hiat-kiam-bun sudah cukup menggetarkan dunia persilatan, hasil yang diperoleh pun sudah bagus sekali." "Ketua, selanjutnya segala masalah yang menyangkut Hiatkiam-bun adalah menjadi wewenang ketua, kami semua akan mengikuti perintah ketua," ucap Keng-tim Suthay dengan sikap hormat. Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak, kemudian dia baru berkata, "Ternyata Thay-kun menunjuk aku untuk menjabat ketua Hiat-kiam-bun, kejadian ini benar-benar di luar dugaanku, bila tugas dan beban yang amat berat ini harus kupikul sendiri, sesungguhnya aku akan kepayahan, ai... kekuatan yang ada di Bu-lim sekarang tercerai-berai dan masing-masing menempuh jalan sendirisendiri, kita kaum pemegang kebenaran apabila tak dapat bersatu-padu, memang sulit rasanya untuk menghadapi kenyataan, baiklah! Kalau begitu akan kuterima jabatan ini." Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak ternyata ketua Hiat-kiambun, kejadian itu benar-benar merupakan suatu kejadian yang tak pernah disangka sebelumnya. Tiba-tiba Keng-tim Suthay berkata, "Cho-ji cepat ambil keluar Pek-hiat-kiam."
901
Pendekar Cacat
"Baik!" si gadis jelek mengiakan. Dengan cepat ia masuk ke ruang dalam, tak lama kemudian gadis itu telah muncul kembali sambil membawa sebilah pedang, sarung pedangnya terbuat dari batu pualam hijau, cukup dilihat dari sarungnya saja sudah dapat diketahui benda itu adalah sebilah pedang yang tak ternilai harganya. Setibanya di depan Keng-tim Suthay, dengan sikap yang sangat menghormat gadis itu menyerahkan pedang tadi kepada ibunya.
Dengan memegang pedang tadi, Keng-tim Suthay berkata kepada Bong Thian-gak, "Pek-hiat-kiam ini merupakan tanda kepercayaan ketua Hiat-kiam-bun, harap ketua sudi menerima pedang ini." Ketika Bong Thian-gak menerima Pek-hiat-kiam itu, sekali lagi Keng-tim Suthay sekalian menjatuhkan diri berlutut seraya berkata, "Ketua, Tecu sekalian siap menerima perintah." Bong Thian-gak tidak mengira semua orang bakal berlutut di hadapannya, buru-buru dia berkata, "Ayo cepat, semua bangun, harap kalian tak usah banyak adat."
902
Pendekar Cacat
Sesudah mendengar perkataan itu, Keng-tim Suthay sekalian baru bangkit.
Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata lagi, "Hari ini, aku baru pertama kali memangku jabatan yang amat berat ini, oleh sebab aku kurang jelas terhadap semua orang dan persoalan yang ada di sini, maka aku perintahkan Keng-tim Suthay agar tetap memimpin dan memberi petunjuk kepada segenap anggota partai." "Terima perintah," Keng-tim Suthay berkata dengan hormat. "Tentang jabatan dan sebutan segenap anggota untuk sementara waktu masih tetap berlaku seperti keadaan semula," Bong Thian-gak menambahkan. Tiba-tiba Yu Hong-hong bertanya, "Lapor Bong-hwecu, bagaimana selanjutnya dengan nasib saudara-saudara kita dalam Tiong-yang-hwe?"
Bong Thian-gak tersenyum. "Jumlah anggota Tiong-yang-hwe kita baru enam orang, kecuali aku dan Long Jit-seng, hanya Hui-eng-su-kiam kalian berempat saja, karena itu bila kalian berempat tidak
903
Pendekar Cacat
merasa keberatan, mari kuajak kalian untuk masuk menjadi anggota Hiat-kiam-bun saja." Dengan sorot mata mengandung nada cinta, Yu Hong-hong menyambut lirih, "Hui-eng-su-kiam sudah bertekad akan mengikuti Bong-hwecu, biar badan hancur, biar harus naik ke bukit golok atau terjun ke kuali minyak mendidih, kami tak akan menampik." "Adikku dari keluarga Yu," tiba-tiba si nona jelek tertawa cekikikan, "sejak hari ini, kau mesti menyebut ketua kita sebagai Bong-buncu." "Ah, betul, Bong-buncu!" Yu Hong-hong tertawa.
Bong Thian-gak bertanya kepada Keng-tim Suthay, "Tolong tanya Suthay, bagaimana dengan keadaan perguruan kita? Dapatkah Suthay menerangkan secara ringkas?" Keng-tim Suthay segera mengeluarkan sejilid kitab kecil dari dalam sakunya, kemudian berkata, "Kitab kecil ini mencantumkan semua nama jabatan dan kedudukan anggota kita, silakan Buncu memeriksanya." Setelah Bong Thian-gak menerima daftar anggota Hiatkiam-bun itu, Keng-tim Suthay berkata lebih jauh, "Secara garis besarnya, susunan perguruan kita terbagi dalam
904
Pendekar Cacat
sembilan wakil ketua setelah ketua sendiri, di bawah setiap wakil ketua adalah anggota perguruan, semua anggota berjumlah seratus delapan orang, tapi dengan kematian tiga puluh orang akhir-akhir ini, mungkin jumlah kita tinggal tiga puluh orang." Bong Thian-gak menghela napas sedih. "Ai, kemarin malam saja kita sudah kehilangan belasan orang anggota, semoga saja selanjutnya tiada anggota Hiatkiam-bun yang menjadi korban lagi."
Belum habis perkataan itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang setengah li di luar gedung. Dengan wajah berubah Keng-tim Suthay berseru, "Di luar sana telah terjadi peristiwa, Khi Cho (si nona jelek) cepat kau periksa!" "Jeritan ngeri tadi suaranya tinggi melengking dan amat menusuk pendengaran," kata Bong Thian-gak dengan suara dalam, "jelas jeritan orang menjelang kematian." Belum habis ia berkata, dari kejauhan sana kembali berkumandang dua kali jeritan ngeri yang memilukan hati, dari suaranya, jeritan-jeritan itu berasal dari kaum wanita.
905
Pendekar Cacat
"Biar Pinni pergi melihat keadaan!" buru-buru Keng-tim Suthay berseru. Sebelum ia bergerak, sesosok bayangan orang telah berkelebat masuk dari luar, tahu-tahu Khi Cho sudah melayang masuk sambil berseru dengan gelisah, "Orangorang Kay-pang telah menyerbu sampai di luar hutan Anghong-lim." "Berapa orang yang datang?" tanya Keng-tim Suthay. "Hanya empat orang, tapi salah seorang di antaranya berilmu silat sangat hebat, ketika memasuki hutan Anghong-lim, dalam waktu singkat dia telah membabat habis tujuh orang penjaga kita yang ditempatkan di atas pohon."
Dengan wajah berubah Bong Thian-gak berseru, "Cepat turunkan perintah, lepaskan musuh masuk kemari." "Anggota perguruan kita sama sekali tak bermaksud menghalangi jalan mereka," kata Khi Cho gelisah, "tapi musuh berhati kejam dan buas, satu per satu dia telah menghabisi anggota kita yang bersembunyi di pohon." Mendengar perkataan ini, secepat sambaran petir Bong Thian-gak meluncur keluar dari ruang kuil. Keng-tim Suthay segera menyusul di belakangnya.
906
Pendekar Cacat
Gerakan Bong Thian-gak sangat cepat, badan bergerak seakan-akan melayang di atas dahan pohon, dalam waktu singkat pemuda itu sudah mencapai puluhan tombak jauhnya. Pada saat itulah kembali terdengar jeritan ngeri yang memilukan bergema dari depan sana. Bong Thian-gak kembali berjumpalitan dan meluncur ke depan, kebetulan sekali tampak segulung bayangan orang menggelinding lewat dari tepi pohon, lalu ...."Biak", terkapar di depannya. Ternyata bayangan itu adalah perempuan berkerudung merah.
Gadis itu terkapar lemas di atas tanah, sebilah pisau kecil yang amat tipis menancap di tenggorokannya, darah masih meleleh, tapi jiwanya sudah melayang. Sepasang mata Bong Thian-gak segera berubah menjadi merah berapi-api karena gusar, pelan-pelan dia bergerak ke depan sambil melakukan pencarian. Akhirnya sorot mata itu berhenti di depan sana, terhenti pada sepasang kaki yang berdiri kaku di atas tanah. Pelan-pelan pula sorot mata Bong Thian-gak beralih dari sepasang kaki itu bergerak naik ke atas.
907
Pendekar Cacat
Di depan sana berdiri seorang berbaju hitam yang kurus kering. Dia berjubah panjang warna hitam, lengan baju kanannya berkibar terhembus angin, rupanya seorang berlengan tunggal. Paras muka orang berlengan tunggal itu dingin kaku, sama sekali tidak menunjukkan hawa kehidupan, namun sepasang matanya yang bulat besar justru memancarkan sinar tajam yang menggidikkan. Sementara itu Keng-tim Suthay sudah memburu ke tempat itu.
Pada saat bersamaan dari balik pohon di belakang orang baju hitam berlengan tunggal itu muncul lagi tiga orang lelaki berpakaian pengemis berwarna hitam, mereka bertiga berdiri berjajar di belakang orang berlengan tunggal itu. Dengan seksama Bong Thian-gak mengawasi paras muka orang berlengan tunggal itu, katanya dalam hati, "Ah, dia! To-pit-coat-to Liu Khi!" Pada saat itulah orang berbaju hitam berlengan tunggal itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Cepat amat gerakan tubuh saudara, hehehe, mungkin kau adalah Jian-ciatsuseng!"
908
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Kalau begitu, kau pastilah To-pit-coat-to Liu Khi!" Tatkala Liu Khi mendengar Bong Thian-gak menyebut namanya, dia kelihatan agak tertegun, tapi kemudian sahutnya sambil tertawa, "Lihai, sungguh amat lihai, tidak heran Han Siau-liong memujimu setinggi langit."
Dalam pada itu Khi Cho dan Yu Hong-hong serta Siau Gwatciu sekalian telah tiba di sana. Sejak Keng-tim Suthay tahu musuh adalah jago lihai nomor dua Kay-pang, si golok sakti berlengan tunggal Liu Khi, dengan cepat dia perintahkan kepada Khi Cho sekalian agar mundur.
Sementara itu Bong Thian-gak telah berkata dingin, "Menurut cerita orang persilatan, Liu Khi adalah manusia berhati kejam dan gemar membunuh, setiap golok terbangnya dilepas, tentu akan mematikan lawan, ternyata nama besarmu memang bukan nama kosong." Liu Khi tertawa seram, "Mana, mana! Semuanya ini hanya berkat kasih sayang sobat-sobat persilatan saja."
909
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak tertawa dingin. "Sebenarnya aku berusaha menghindari bentrok secara langsung dengan pihak Kay-pang, tapi anggota Kay-pang kelewat sombong dan jumawa, oleh sebab itu terpaksa aku menanggapi secara wajar." Liu Khi mendengus dingin, "Hm, Liu Khi sudah membunuh beribu-ribu orang, selama ini tak pernah kukerutkan dahi, tapi untuk membunuhmu hari ini, aku merasa sedikit rada sayang." Bong Thian-gak kembali tertawa dingin, "Walaupun engkau selalu menjadi panglima yang menang perang, tapi aku percaya hari ini kau akan menghadapi suatu cobaan yang sangat berat." "Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau juga pernah berkata seperti apa yang kau katakan sekarang," kata Liu Khi. "Tapi kau tak mampu membunuh Ji-kaucu," jengek Bong Thian-gak. "Dia adalah satu-satunya orang yang bisa lolos dari ujung golokku dalam keadaan selamat." "Tapi hari ini akan ada orang kedua." ***
910
Pendekar Cacat
12 RAHASIA HARTA KARUN MO-LAY-CING-ONG
L
iu Khi menarik muka, kemudian berkata, "Kedatanganku hari ini sedang mengemban tugas lain, pertarungan di antara kita lebih baik ditunda sampai hari mendatang." "Aku ingin tahu, apa tujuanmu datang ke Kun-beng-oh?" kata Bong Thian-gak. "Aku datang untuk mencari ketua Hiat-kiam-bun." "Ada urusan apa kau mencarinya?" "Akan kutanya dimanakah Long Jit-seng saat ini." "Kau tahu siapakah ketua Hiat-kiam-bun?" Liu Khi mengalihkan sorot matanya yang tajam dan menggidikkan ke wajah Keng-tim Suthay yang berdiri di sebelah kanan, kemudian ujarnya, "Sepanjang hidupku, aku
911
Pendekar Cacat
Liu Khi paling membanggakan daya penciuman, daya penglihatan, serta daya pendengaran yang kumiliki, dia adalah ketua Hiat-kiam-bun." Bong Thian-gak tertawa seram, "Hanya bermaksud mencari tahu persoalan orang lain saja kau telah pamer kekuatan dengan membunuh anggota Hiat-kiam-bun, cara keji dan busuk ini sungguh membuat orang gusar." "Sejak tiga tahun lalu, pihak Hiat-kiam-bun sering turun tangan keji terhadap anggota perkumpulan kami," ujar Liu Khi dengan suara hambar, "kekejaman dan kebuasan mereka rasanya jauh lebih busuk dari perbuatan yang dilakukan kami." Ucapan Liu Khi itu kontan membuat paras muka Keng-tim Suthay serta Khi Cho yang berada di sisinya berubah hebat. Tiba-tiba Bong Thian-gak teingat akan peristiwa yang berlangsung tiga tahun berselang, saat itu Khi Cho telah membunuh anggota Kay-pang secara keji. Waktu itu pihak Kay-pang telah mengirim orang melakukan penyelidikan, atas hasil kerja tiga orang Huhoat Kay-pang, mereka beranggapan Khi Cho merupakan orang yang paling mencurigakan, sebab itu mereka menyusul sampai ke kuil Keng-tim-an. Pada saat Khi Cho melakukan pembantaian atas jago-jago Kay-pang guna melenyapkan jejak mereka, alhasil ketiga orang pelindung hukum Kay-pang itu turut terbunuh.
912
Pendekar Cacat
Atas persoalan ini, Bong Thian-gak boleh dibilang mengetahui dengan amat jelas, oleh sebab itu hatinya menjadi terperanjat mendengar Liu Khi menyinggung kembali masalah itu, ia tidak tahu dengan cara apakah pihak Kay-pang berhasil menyelidiki masalah itu sedemikian jelasnya. Dalam pada itu Liu Khi telah mengalihkan sorot matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, Keng-tim Suthay dan Khi Cho secara bergantian, lalu katanya, "Kay-pang bisa membedakan antara budi dan dendam secara jelas, belum pernah kami melepas orang yang punya dendam dengan kami, permusuhan antara Hiat-kiam-bun dan Kay-pang pada hakikatnya makin lama semakin mendalam." Bong Thian-gak tertawa dingin, katanya, "Bila Hiat-kiambun ingin merebut nama dan kedudukan dalam Bu-lim, maka cepat atau lambat pasti akan bermusuhan juga dengan pihak Kay-pang." "Kalau memang begitu, mengapa kau menuduh aku membunuh sembilan orang anggota Hiat-kiam-bun?" tanya Liu Khi sambil tertawa seram. "Liu Khi," Bong Thian-gak segera menukas, "percuma kita banyak bicara, bersiap-siaplah kau menyambut jurus pedangku!" Sementara itu Bong Thian-gak dengan Pek-hiat-kiam terhunus di tangan tunggalnya, selangkah demi selangkah bergerak maju, siap melancarkan serangan.
913
Pendekar Cacat
"Tunggu dulu!" bentak Liu Khi. "Hm, ibarat panah yang sudah direntangkan di atas gendewa, mau tak mau harus kulepaskan juga." Liu Khi mundur selangkah, kemudian bentaknya, "Bila burung bangau dan kutilang saling bertarung, nelayanlah yang bakal beruntung, apakah kau tidak kuatir orang-orang Hiat-kiam-bun bakal merebut keuntungan dari pertarungan kita." Bong Thian-gak tertawa dingin, "Liu Khi, kau salah besar, akulah Hiat-kiam-buncu!" Hati Liu Khi bergetar keras mendengar itu, mimpi pun dia tak mengira Jian-ciat-suseng bukan lain adalah ketua Hiatkiam-bun. Tiba-tiba ia lihat sekilas cahaya pedang, seperti terbitnya sang surya di ufuk timur, memercikkan cahaya kemerahanmerahan yang amat menyilaukan mata. Ternyata Bong Thian-gak telah melolos Pek-hiat-kiam sambil melancarkan sebuah bacokan. Sejak terjun kembali ke dalam Bu-lim, baru pertama kali ini Bong Thian-gak melancarkan serangan lebih dulu terhadap musuhnya. Latihan tekun selama tiga tahun membuat ilmu pedang Bong Thian-gak mencapai puncak kesempurnaan, serangan
914
Pendekar Cacat
pedangnya boleh dikata disertai kekuatan yang sangat mengerikan. Liu Khi terhitung jagoan lihai kelas satu di Bu-lim saat ini, sudah barang tentu ia cukup tahu kelihaian serangan itu. Diiringi jeritan kaget, tubuh Liu Khi melejit ke tengah udara. Pada saat itulah tiga titik cahaya tajam tiba-tiba meluncur secara beruntun ke depan. Daya serangan ketiga titik cahaya putih itu sedemikian cepatnya, seakan-akan melebihi cahaya pedang berwarna merah darah itu. Semua gerakan ini boleh dibilang tidak berselisih banyak, kalau dibilang berselisih, maka selisih itu hanya beberapa detik saja. Di tengah seruan kaget, terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati, bayangan orang segera bergeser. Tiga batok kepala anggota Kay-pang menggelinding ke atas tanah, tiga sosok tubuh tanpa kepala sambil menyemburkan darah segera roboh ke atas tanah. Di pihak lain, Khi Cho sudah tergeletak di atas tanah. Bahu sebelah kanan Keng-tim Suthay juga berlumuran darah, dengan langkah sempoyongan ia berjalan menghampiri Khi Cho.
915
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak dengan pedang disilangkan di depan dada, berdiri dengan wajah penuh gusar, sepasang matanya melotot besar mengawasi Liu Khi yang berada di hadapannya. Waktu itu, Liu Khi berdiri dengan wajah sedih dan kecewa, dia hanya berdiri kaku di tempat tanpa berkutik. Di saat Liu Khi menghindarkan diri dari serangan Bong Thian-gak tadi, dia telah melepaskan tiga buah golok terbang yang masing-masing menyerang Bong Thian-gak, Keng-tim Suthay serta Khi Cho. Nama besar Liu Khi sudah menggetarkan dunia persilatan, ilmu sakti golok terbang boleh dibilang tak pernah meleset dari sasaran selama ini, tapi kenyataannya pisau terbang itu tidak memperlihatkan kelihaiannya di depan Bong Thiangak. Di saat Bong Thian-gak menghindarkan diri dari serangan pisau terbang tadi, secara beruntun Pek-hiat-kiam berhasil pula membinasakan tiga orang anak buah Liu Khi. Dua pisau terbang Liu Khi yang lain agaknya tidak menghasilkan apa-apa. Keng-tim Suthay hanya terkena bahu kanannya, sedang Khi Cho roboh terkena pisau terbang. Karena serangannya meleset dari sasaran yang dikehendaki itulah Liu Khi merasa kecewa bercampur terkejut.
916
Pendekar Cacat
Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun dibuat terperanjat oleh kelihaian Liu Khi dalam melepaskan pisau terbang. Dengan kepandaian silat yang begitu lihai seperti Keng-tim Suthay, ternyata ia berhasil dipecundangi juga, peristiwa ini benar-benar membuatnya merasa terkesiap. Mendadak Liu Khi memperdengarkan suara tawa panjang yang membetot sukma, menyusul tubuhnya segera melejit ke atas dahan pohon. Bentakan dan hardikan marah bergema di sana sini, para anggota Hiat-kiam-bun yang bersembunyi di seputar sana serentak muncul dan menghadang jalan perginya. Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru, "Segenap anggota Hiatkiam-bun harap mundur, biarkan musuh pergi dari sini." Dari kejauhan sana terdengar suara Liu Khi berkumandang, "Jian-ciat-suseng, di kemudian hari aku pasti akan minta petunjuk ilmu pedangmu yang sangat lihai itu." Sementara bicara, bayangan Liu Khi tahu-tahu sudah lenyap. Dengan cepat Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya, lalu berjalan ke sisi Khi Cho. Waktu itu Khi Cho sudah tergeletak dalam pangkuan Kengtim Suthay tanpa bergerak, sebilah pisau terbang kecil telah
917
Pendekar Cacat
menancap di tenggorokannya, darah mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Para anggota Hiat-kiam-bun maupun Keng-tim Suthay sendiri sama-sama berdiri dengan air mata bercucuran. Bong Thian-gak maju mendekat, kemudian tanyanya, "Bagaimana keadaan Khi Cho?" "Jantungnya telah berhenti berdenyut, ia sudah meninggal dunia," sahut Keng-tim Suthay pedih. Bong Thian-gak segera memegang urat nadi tangan kiri Khi Cho, setelah diperhatikan beberapa saat, tiba-tiba katanya, "Dia belum tewas!" Sembari berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak mengayunkan telapak tangan kanannya menghantam dada Khi Cho. Jeritan ngeri yang menyayat hati segera berkumandang dari mulut Khi Cho. Pisau terbang kecil yang menancap di tenggorokannya itu segera terpental keluar, menyusul tersembur darah yang amat deras. Cepat Bong Thian-gak berseru kembali, "Segera kau totok jalan darah Keng dan Tiong-mehnya, cegah, jangan sampai banyak darah mengalir keluar."
918
Pendekar Cacat
Sebenarnya Keng-tim Suthay menyangka putri kesayangannya telah tewas, mendengar perkataan itu, jari tangannya segera bergerak menotok dua jalan darah penting di tubuh Khi Cho itu, darah pun segera berhenti mengalir. "Sekarang totoklah jalan darah tidurnya, ai, seandainya pisau terbang itu bergeser sedikit saja lebih ke atas, niscaya nyawa Khi Cho sudah melayang, sekarang suruh orang menggotongnya masuk untuk beristirahat." Keng-tim Suthay menurut dan segera menotok jalan darah tidur Khi Cho. Siau Gwat-ciu dan Yu Hong-hong segera maju pula ke depan untuk membopong tubuh si gadis jelek. Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap bahu kanan Keng-tim Suthay yang berdarah, pisau kecil itu masih menancap di bahunya, maka ia berkata, "Suthay, cepat kau balut sendiri lukamu." Saking sedihnya atas luka yang diderita puteri kesayangannya, Keng-tim Suthay sampai lupa pada luka yang dideritanya, mendengar perkataan itu ia baru merasa bahunya sakit perih. Pada saat itulah seorang Nikoh tua datang membantu Keng-tim Suthay mencabut pisau kecil itu, kemudian membalut pula lukanya. "Beruntung Buncu datang memangku jabatan pada hari ini," kata Keng-tim Suthay sambil menghela napas sedih,
919
Pendekar Cacat
"kalau tidak, segenap anggota Hiat-kiam-bun pasti akan tewas di ujung pisau terbang Liu Khi, ai, orang persilatan mengatakan pisau terbang Liu Khi lihai sekali, setelah menyaksikan sendiri hari ini, terbukti kelihaiannya memang luar biasa." Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya, "Padahal Liu Khi tidak lebih hanya jago nomor dua dalam Kay-pang." la tidak melanjutkan kata-katanya, tapi Keng-tim Suthay sudah tahu apa maksudnya. Pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata pula, "Tapi Liu Khi sendiri pun sudah dipecundangi Buncu." Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas sedih. "Aku melepaskan sebuah serangan, sedang Liu Khi hanya melepas tiga pisau terbang, goloknya belum digunakan, tenaga dalam orang ini rasanya jauh lebih tinggi daripada siapa pun." "Ai," Keng-tim Suthay menghela napas, "andaikata keadaan Thay-kun bisa dipulihkan kembali, maka Hiat-kiam-bun kita pasti dapat menghadapi perguruan atau perkumpulan mana pun." Tiba-tiba hati Bong Thian-gak bergetar, segera ia bertanya, "Apa kesadaran Thay-kun dapat dipulihkan kembali?"
920
Pendekar Cacat
"Tabib sakti Gi Jian-cau pasti sanggup menyembuhkan sakitnya itu," pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata. "Ya, tugas utama kita sekarang adalah menyelamatkan jiwa Thay-kun, bagaimana menurut pendapat Suthay?" "Asal Buncu menurunkan perintah, segenap anggota perguruan akan berjuang sekuat tenaga." Bong Thian-gak termenung sebentar, tiba-tiba tanyanya, "Apakah Ang Teng-siu juga anggota Hiat-kiam-bun kita?" Keng-tim Suthay tersenyum. "Agaknya Buncu masih belum cukup memahami asal-usul serta nama anggota Hiat-kiam-bun kita, silakan Buncu beristirahat di dalam kuil sekalian memeriksa daftar perguruan kita." Bong Thian-gak tertawa geli, "Hahaha, sekarang aku sudah jadi ketua Hiat-kiam-bun, tapi masih belum tahu anggota perguruan kita, kejadian semacam ini kalau dipikir sungguh menggelikan." Sembari berkata, Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay bersama-sama memasuki kuil itu. Keng-tim Suthay mengajak Bong Thian-gak memasuki sebuah ruangan, kemudian memerintahkan kedua gadis berbaju merah untuk melayani keperluan pemuda itu, sementara dia sendiri buru-buru pergi menjenguk Khi Cho.
921
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak segera duduk, memandang sekejap kedua gadis berbaju merah yang berdiri di samping pintu. Melihat kedisiplinan mereka, akhirnya ia merasa tak tega, sapanya, "Silakan kalian berdua ikut duduk, tak usah terlalu menuruti peraturan." "Terima kasih Buncu, kami tidak berani." Bong Thian-gak tersenyum. "Siapakah nama kalian berdua?" kembali ia bertanya. Pemuda ini merasa kedua gadis itu berwajah cantik, mukanya berbentuk kwaci, putih halus dan berusia di antara tujuh belas tahun. Setelah termangu sejenak, sekali lagi Bong Thian-gak berkata, "Wah, rupanya paras muka kalian berdua mirip satu sama lain." "Lapor Buncu," kembali gadis di sebelah kanan berkata dengan merdu, "budak bernama Cay-hong, sedangkan adikku bernama Cay-im, kami adalah dua bersaudara kembar." "Oh, tak heran paras muka kalian begitu mirip, andaikata tiada perbedaan antara yang tinggi dan pendek, aku benarbenar tak bisa membedakan mana Cay-hong dan mana Cay-im. Entah apa jabatan kalian berdua dalam Hiat-kiambun?"
922
Pendekar Cacat
"Kami berdua adalah anak buah Kau-hubuncu, tapi sejak Kau-hubuncu terkena musibah, untuk sementara belum ada jabatan." Menyinggung soal Kau-hubuncu, Bong Thian-gak segera teringat gadis muda yang tewas terkena tendangan pada alat kelaminnya oleh Thia Leng-juan tempo hari, tanpa terasa ia menghela napas panjang, "Ai, kematian Kauhubuncu memang harus disesali, sungguh mengenaskan sekali." Tiba-tiba sepasang mata Cay-hong berubah menjadLmerah, segera tanyanya, "Tolong tanya Buncu, sesungguhnya siapakah pembunuh Kau-hubuncu?" Bong Thian-gak malah tertegun mendengar pertanyaan itu, segera ia berbalik bertanya, "Bukankah kalian kakak beradik pernah berjumpa denganku ketika berada di Hong-tok-ciulau?" "Benar," Cay-hong mengangguk. Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Aku telah menjadi ketua Hiat-kiam-bun pada hari ini, tentunya kalian merasa sedikit di luar dugaan bukan?" Sekali lagi Cay-hong manggut-manggut, "Tentu saja sama sekali di luar dugaan, namun kami pun merasa gembira memiliki seorang ketua yang kepandaiannya sangat tinggi untuk memimpin perguruan Hiat-kiam-bun."
923
Pendekar Cacat
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata lagi, "Aku tahu siapakah pembunuh yang sebenarnya Kau-hubuncu, di kemudian hari aku pasti akan memberitahukan kepada kalian, ai! Pokoknya aku tak akan membiarkan anggota perguruan kita berkorban dengan percuma." Selesai berkata, dari dalam sakunya Bong Thian-gak mengambil daftar anggota Hiat-kiam-bun. Saat ia membuka lembar pertama, di tengahnya tertulis beberapa huruf. Bong Thian-gak sangat terharu di samping berterima kasih, dia sama sekali tidak menyangka Keng-tim Suthay telah menyerahkan kedudukan itu sejak dulu, dari sini bisa disimpulkan bahwa dalam tiga tahun ini Keng-tim Suthay tentu berusaha keras untuk menemukan dirinya. Bong Thian-gak pun membaca lebih jauh. Nama Thay-kun juga tercantum dalam daftar anggota, dia adalah ketua pelindung hukum Hiat-kiam-bun. Kemudian di antara kedua belas pelindung lainnya, Bong Thian-gak hanya mengenali dua orang, mereka adalah tabib sakti Gi Jian-cau serta Ang Teng-siu. Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir, "Kumpulan tiga belas pelindung hukum Hiat-kiam-bun mungkin merupakan kekuatan inti perguruan, hanya tidak diketahui dimanakah rombongan itu kini?"
924
Pendekar Cacat
Belum habis ingatan itu melintas, Keng-tim Suthay serta Yu Hong-hong dan Siau Gwat-ciu bertiga telah berjalan keluar. Keng-tim Suthay bertanya, "Apakah Buncu telah memeriksa daftar nama anggota?" Bong Thian-gak manggut-manggut. "Ya, sudah kubaca, hanya banyak yang tidak kupahami serta mohon petunjuk darimu." "Silakan Buncu bertanya." "Dari kelompok tiga belas pelindung hukum, apakah setiap orang di antaranya dapat dihubungi?" "Kecuali ketua pelindung hukum, asal Buncu menurunkan perintah, setiap orang dapat dipanggil dengan segera." "Sebagian besar pelindung hukum ini tersebar dimana?" tanya Bong Thian-gak. "Kecuali Thay-kun, sembilan orang lainnya menyelundupkan diri dalam Put-gwa-cin-kau, seorang berada dalam kantor cabang Kay-pang kota Lok-yang, si tabib sakti juga berada di kota Lok-yang, masih ada seorang lagi adalah Hongtiang kuil kami, Keng-koan Suthay." Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Yang disebut Kengkoan Suthay mungkin si Nikoh tua itu."
925
Pendekar Cacat
Berpikir sampai di situ, maka setelah termenung beberapa saat Bong Thian-gak kembali berkata, "Menurut pendapat Suthay, apakah kedua belas orang pelindung hukum itu perlu dipanggil?" "Masalah ini silakan ketua yang mengambil keputusan." Kembali Bong Thian-gak bertanya, "Pada halaman terakhir daftar anggota, tercantum lima nama orang misterius, kelima orang itu bukankah nama-nama orang yang sudah lama tiada?" "Betul, kelima orang itu adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong, Pangcu Hek-huo-pang Kwan Bupeng, Lui¬hong-khek Gi Peng-san, Tui-hun-pit Cia Liang dan Thi-koan-im Han Nio-cu. Mereka adalah jago-jago lihai dunia persilatan yang hilang secara misterius ketika sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu tiga tahun berselang." "Aku benar-benar tidak mengerti," Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang kali, "Ma Kong berlima bukankah sudah bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong? Mengapa dalam semalam saja mereka bisa mati secara misterius, lagi pula jenazah mereka hilang. Tapi seingatku beberapa hari berselang, Khi Cho pernah memerintahkan seorang jagoan aneh untuk menyerangku ketika berada dalam Hong-tok-ciu-lau, waktu itu Khi Cho tampaknya seperti memanggil nama orang itu sebagai Ma Kong, jangan-jangan ...."
926
Pendekar Cacat
Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Sesungguhnya Ma Kong berlima tidak tewas." "Jadi mereka benar-benar belum mati?" tanya Bong Thiangak dengan terkejut. Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya kejadian ini, kita harus kembali sejenak peristiwa tiga tahun berselang. Pada waktu itu Thay-kun mendapat perintah Cong-kaucu untuk menghabisi kelima jago lihai dunia persilatan yang sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu itu, mereka adalah Ma Kong berlima." "Agar bisa menyelamatkan jiwa kelima orang ini, akhirnya Thay-kun memperoleh sebuah cara, dari tempat kediaman si tabib sakti Gi Jian-cau dia berhasil memperoleh lima butir pil Kia-bin-wan." "Apakah pil Kia-bin-wan (obat pura-pura tidur) itu?" tanya Bong Thian-gak. "Pil itu diberi nama begitu oleh Gi Jian-cau sendiri, khasiat obat itu adalah barang siapa menelan pil itu, maka denyut jantung serta semua kerja anggota badannya akan terhenti sementara waktu, keadaan mereka tak ubahnya seperti mayat, padahal orang-orang itu tidak mati secara sungguhsungguh."
927
Pendekar Cacat
"Kalau begitu, setelah Ma Kong berlima menelan Kia-binwan, Thay-kun mengangkut tubuh mereka, kemudian keluar dari gedung Bu-lim Bengcu?" tanya Bong Thian-gak. Keng-tim Suthay manggut-manggut. "Benar, tubuh Ma Kong berlima pada waktu itu dipindahkan ke kuil Keng-tim-an." "Kalau begitu Ma Kong berlima belum meninggal?" sekali lagi Bong Thian-gak bertanya. Kembali Keng-tim Suthay manggut-manggut. "Tentu saja mereka belum mati, cuma keadaan mereka saat ini menyerupai seorang yang tak bersukma dan berpikiran lagi." "Ai, kalau begitu keadaan mereka berlima tak jauh berbeda seperti keadaan Thay-kun sekarang," ucap Bong Thian-gak sambil menghela napas sedih. "Ya, keadaan mereka memang tidak jauh berbeda," kembali Keng-tim Suthay mengangguk. "Apakah Ma Kong berlima masih bisa dipulihkan kesadarannya?" Keng-tim Suthay mengangguk pelan. "Asal Gi Jian-cau membuatkan lagi semacam pil Hui-hunwan (obat pembalik sukma) dan mencekokkan kepada
928
Pendekar Cacat
mereka, niscaya mereka akan memperoleh kembali kesadarannya." "Jika begitu Gi Jian-cau belum sempat membuat Hui-hunwan?" "Soal ini aku kurang mengerti," Keng-tim Suthay menggeleng, "sejak Thay-kun dicekoki pil Kia-bin-wan oleh Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, si tabib sakti Gi Jian-cau sudah mulai mengumpulkan bahan obat-obatan untuk membuat pil Hui-hun-wan guna menyelamatkan jiwa Thaykun, sudah tiga tahun Gi Jian-cau belum juga menyelesaikan pekerjaannya, menurut tabib itu, dia masih kekurangan tiga macam obat-obatan." "Ai, rupanya di kolong langit benar-benar terdapat obat semacam ini," Bong Thian-gak menghela napas panjang selesai mendengarkan kisah itu. Demi meyelamatkan Thaykun serta Ma Kong berlima, Gi Jian-cau harus berhasil membuat pil Hui-hun-wan. "Ai, saat ini Ma Kong berlima tak lain adalah algojo-algojo andalan Hiat-kiam-bun, tujuan Thay-kun di masa lampau, sebetulnya dia hendak mempergunakan kekuatan sakti mereka untuk melawan jago lihai Put-gwa-cin-kau." "Seandainya Hiat-kiam-bun kita sampai berbuat demikian, aku rasa ini terlampau kejam, kelewat tidak berperikemanusian," ucap Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali.
929
Pendekar Cacat
Keng-tim Suthay manggut-manggut, "Buncu penuh welasasih, berjiwa besar dan berpandangan luas, hanya manusia semacam inilah yang pantas disebut seorang pahlawan besar, seorang pendekar sejati." Bong Thian-gak termangu sebentar, lalu ujarnya lagi, "Bila kita bicara menurut kekuatan serta jumlah anggota Hiatkiam-bun, rasanya sulit buat kita untuk melawan pihak Kaypang maupun Put-gwa-cin-kau, tapi kita pun tak boleh hendak memperkuat kemampuan lantas kita memperalat Mo Keng berlima Locianpwe yang sukma, pikiran serta perasaannya telah terkendali. "Ketika masih berada di Hong-tok-ciu-lau, aku pernah bertarung melawan Ma Kong, menurut pendapatku, walaupun saat ini dia garang seperti harimau dan kuat seperti raksasa, namun berhubung akal budinya telah hilang, akibatnya gerak-geriknya menjadi bodoh, kaku dan lucu, bila berjumpa jago lihai atau mereka yang mempunyai senjata mustika, aku yakin Ma Kong sekalian masih bisa dipunahkan secara mudah sekali. "Sebaliknya bila kita bisa memulihkan kesadaran serta akal budi Ma Kong berlima, dengan dukungan kekuatan dan pikiran mereka, maka Hiat-kiam-bun kita akan dapat bersaing dengan perkumpulan mana pun di daratan Tionggoan, serta memimpin persilatan." Keng-tim Suthay segera manggut-manggut.
930
Pendekar Cacat
"Pendapat Buncu memang benar, itulah sebabnya kami selalu berharap si tabib sakti membuat pil Hui-hun-wan secepatnya." "Saat ini si tabib sakti berada dimana?" tanya Bong Thiangak setelah termenung sebentar. "Dia berada di suatu tempat rahasia dalam kota Lok-yang." "Masih berada di kaki bukit Cui-im-hong?" "Tidak, selama tiga tahun terakhir ini, Gi Jian-cau sudah menjadi salah seorang buronan yang dicari pihak Put-gwacin-kau, mana mungkin dia bisa tinggal lagi dalam Cui-imhong-san-ceng?" "Yang paling kukuatirkan adalah keselamatan jiwanya, kalau Suthay telah membuat persiapan yang matang, aku pun tak usah kuatir lagi." "Dalam tiga tahun ini, demi melindungi jiwa Gi Jian-cau, Pinni telah memerintahkan dua orang jago lihai yang telah kehilangan akal budinya yakni Han Nio-cu serta Cia Liang untuk melindunginya. Beberapa hari berselang, waktu kau hendak berangkat ke Hopak, aku pun telah mengutuskan Sam-hubuncu untuk melindunginya, jadi aku rasa tak ada persoalan lagi." "Bagus sekali, sekarang aku telah mengetahui secara garis besar keadaan perguruan kita," kata Bong Thian-gak.
931
Pendekar Cacat
"Adakah petunjuk Buncu untuk pergerakan perguruan kita?" Bong Thian-gak tersenyum, bukan menjawab dia malah bertanya, "Tolong tanya, ada urusan apa Suthay datang ke Hopak?" "Kedatangan Pinni ke Hopak kali ini, pertama, karena kudengar laporan Khi Cho tentang gerak-gerik Jian-ciatsuseng, dalam hati aku selalu mempunyai anggapan Jianciat-suseng sedikit mirip ketua Ko Hong, oleh sebab itu aku sengaja datang ke Hopak untuk membuktikan identitas Jian-ciat-suseng, ternyata Thian memang tidak menyianyiakan harapanku, akhirnya Hiat-kiam-bun kami mendapatkan ketuanya. "Kedua, adalah untuk melihat operasi Khi Cho memantau Si-hun-mo-li, apakah pekerjaannya sudah ada perkembangannya atau tidak." "Menurut pendapat Suthay, apakah pihak kita perlu turut campur dalam operasi pencarian harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong?" Keng-tim Suthay segera menggeleng. "Kekuatan perguruan kami sangat lemah, untuk bisa turut dalam perebutan harta karun itu, rasanya kita harus menemukan dulu ketua perguruan. Oleh sebab itu sebelum bertemu Buncu, kami hanya bisa menunggu perkembangan perebutan harta karun itu. Dan sekarang bila Buncu mempunyai suatu pandangan, silakan saja diambil keputusan, Tecu sekalian pasti akan turut perintah."
932
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak manggut-manggut. "Suthay memang cerdik dan cekatan, terhadap situasi sendiri maupun keadaan musuh selalu dapat diselidiki jelas, memang tahu diri. Tahu keadaan musuh, setiap pertarungan baru dapat dimenangkan. Ucapan Suthay memang benar, lebih baik perguruan kita bertindak mengikuti perkembangan selanjutnya, perlu diketahui, tugas utama adalah membantu Gi Jian-cau mendapatkan tiga macam obat-obatan yang masih kurang itu hingga Huihun-wan dapat dibuat selekasnya." Keng-tim Suthay tersenyum, "Thian benar-benar melimpahkan rezeki untuk peguruan Hiat-kiam-bun, perguruan kami benar-benar berhasil mendapatkan seorang pemimpin yang arif bijaksana." Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Aku berpengetahuan cetek, selanjutnya masih banyak membutuhkan kerja sama setiap anggota perguruan untuk bersama-sama mengangkat nama perguruan kita di mata masyarakat. Terutama sekali Suthay, selanjutnya bilamana ada hal-hal yang perlu dikemukakan, harap kau tak segansegan untuk memberi petunjuk, di antara kita pun aku harap tidak tersisa garis pemisah antara seorang ketua dengan wakil ketua, karena sepantasnya Suthay lah yang memangku jabatan ketua ini." Keng-tim Suthay tersenyum, "Bong-buncu masih muda namun gagah dan perkasa, kami tahu kemampuan serta kecerdasan Buncu berada di atas kami dan tak mungkin
933
Pendekar Cacat
berada di bawah kami, Hiat-kiam-bun di bawah pimpinanmu pasti akan semakin cemerlang seperti matahari yang makin menjulang ke angkasa." "Aku kuatir akan menyia-nyiakan harapan Suthay." Keng-tim Suthay tersenyum, lalu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya, "Jika Buncu memang tidak bermaksud mengambil tindakan terhadap harta karun Mo-lay-cing-ong, maka anggota perguruan kita pun rasanya tak perlu dihimpun lagi di wilayah Hopak ini." "Aku rasa kita pun belum dapat membubarkan mereka dari wilayah Hopak, terutama pada saat ini, perlu diketahui, Thay-kun masih berada di bawah kekuasaan Put-gwa-cinkau, tentu saja Suthay dan aku tak boleh bersama-sama tinggal di tempat ini." "Lantas apa petunjuk Buncu?" "Suthay, silakan kau memberi perintah mewakili aku." "Ah, hal ini mana boleh?" "Aku belum lama menerima jabatan ketua, terhadap organisasi serta orang yang menjadi anggota perguruan pun belum begitu jelas, bila perintah kuberikan, tak mungkin segenap kekuatan yang kita miliki bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, apalagi Suthay memang Cong¬hubuncu perguruan kita, siapa bilang kau tak berhak memberi perintah?"
934
Pendekar Cacat
"Tapi sebelum memberi perintah, Pinni merasa wajib mohon petunjuk Buncu terlebih dahulu." Bong Thian-gak tersenyum, "Bila demikian, silakan Conghubuncu katakan." "Pinni harus secepatnya pulang untuk membantu Gi Jiancau mendapatkan ketiga macam obat-obatan yang masih kurang itu, maka Pinni rasa untuk wilayah Hopak terpaksa mesti ditangani oleh Buncu sendiri." "Pendapat Cong-hubuncu memang mirip dengan pikiranku," Bong Thian-gak manggut-manggut, "berapa banyak kekuatan yang kau butuhkan, silakan saja dibawa." "Khi Cho, Pat-hubuncu serta Keng-koan Suthay tetap tinggal di sini membantu Buncu, sedang Su-hubuncu, Gohubuncu, Liok-hubuncu dan Jit-hubuncu turut aku kembali ke Lok-yang." Bong Thian-gak kembali mengangguk. "Tugas utama perguruan kita saat ini memang melindungi si tabib sakti, agar secepatnya membuat pil Hui-hun-wan yang sangat penting artinya buat kita. Bilamana Conghubuncu menjumpai hal-hal gawat selama di Lok-yang, harap selekasnya kau mengirim berita padaku." "Bila Buncu tiada persoalan lain, Pinni ingin berangkat ke Lok-yang sekarang juga."
935
Pendekar Cacat
"Baik, silakan Suthay segera berangkat." Keng-tim Suthay siap beranjak, mendadak dia membalik badan, lalu dari sakunya mengeluarkan sepucuk surat, katanya, "Lapor ketua, dalam surat ini tercantum ketiga macam bahan obat-obatan yang harus kita peroleh secepatnya, andaikata terjadi sesuatu peristiwa di luar dugaan, harap masalah pembuatan pil Hui-hun-wan dilanjutkan oleh Buncu." Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar, seolah-olah dia mendapat firasat jelek, tapi surat itu diterimanya juga. "Suthay, andaikata di tempatmu terjadi hal-hal yang di luar dugaan, harap kau selekasnya mengadakan hubungan dengan kami," pesannya lagi dengan suara dalam. Agaknya Keng-tim Suthay dapat memahami perasaan Bong Thian¬gak, maka ia hanya tersenyum. "Hui-hun-wan merupakan benda yang amat penting artinya bagi Hiat-kiam-bun kita, oleh sebab itu semua masalah telah Pinni atur sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan tertata secara baik, harap Buncu tak usah kuatir, nah, Pinni mohon diri lebih dahulu." Maka berangkatlah Keng-tim Suthay dengan membawa empat orang Hubuncu serta puluhan anggota Hiat-kiambun kembali ke kota Lok-yang.
936
Pendekar Cacat
*** Dalam waktu singkat, kuil Keng-koan sudah berubah menjadi pusat komando perguruan Hiat-kiam-bun, sekali pun kekuatan Hiat-kiam-bun untuk wilayah Hopak tidak terlalu besar, tapi di bawah pimpinan Bong Thian-gak, kuil Keng-koan telah diubahnya bagaikan sebuah sarang naga gua harimau. Dalam tujuh hari, nama besar ketua Hiat-kiam-bun, Jianciat-suseng Bong Thian-gak telah menggetarkan seluruh dunia persilatan. Yang paling membuat umat persilatan tercengang dan sama sekali tidak menyangka adalah Jian-ciat-suseng ternyata tak lain adalah ketua Hiat-kiam-bun, berita itu membuat pihak Put-gwa-cin-kau dan Kay-pang merasa amat terperanjat. Pada dasarnya Hiat-kiam-bun memang sudah merupakan suatu perkumpulan yang sangat misterius dalam Bu-lim, tapi semenjak Bong Thian-gak menjadi ketuanya, setiap anggota Hiat-kiam-bun yang berada dalam Bu-lim tidak lagi menutup wajah mereka dengan kain kerudung merah, mereka semua muncul dengan raut wajah asli. Ketika mereka mulai memperlihatkan paras muka aslinya, pihak Put-gwa-cin-kau serta Kay-pang baru tahu bahwa di antara para Huhoat Hiat-kiam-bun ternyata terdapat pula anggota perkumpulan mereka.
937
Pendekar Cacat
Kegelapan telah mencekam seluruh jagad. Daerah tujuh li di sekitar kuil Hong-kong-si merupakan tempat paling gelap, sepi dan rawan. Pada saat itulah terlihat ada sesosok bayangan orang sedang berlari mendekati dari arah barat. Mendadak suara, bentakan keras menggema memecah keheningan, "Siapa di situ?" Si pejalan malam yang datang dari arah barat telah menghentikan langkah dan mengangkat kepala sambil mengawasi keadaan sekeliling tempat itu dengan seksama. Di tengah jalan rupanya telah berdiri seseorang, gelak tawa nyaring tadi berkumandang dari mulut si penghadang itu. Di tengah gelak tawanya, dia maju beberapa langkah, katanya lantang, "Sam-kaucu, selamat bersua, baik-baikkah kau selama berpisah." Orang yang datang dari barat itu nampak terkejut mendengar teguran itu, sorot matanya yang tajam untuk mengawasi tempat itu. Lawannya adalah seorang lelaki berperawakan sedang berjubah merah, dia berwajah lebar dan berlengan besar, raut mukanya seperti pernah dikenal, tapi tak teringat olehnya dimanakah mereka pernah bertemu.
938
Pendekar Cacat
Setelah hening sesaat, pejalan malam itu tertawa seram, "Hehehe, dari dandananmu itu, rupanya kau adalah anggota Hiat-kiam-bun?" "Betul," jawab lelaki berjubah merah itu sambil tertawa tergelak, "aku adalah pelindung hukum Hiat-kiam-bun." "Aku seperti kenal raut wajahmu," seru si pejalan malam dingin. Lelaki berjubah merah turut tertawa. "Sam-kaucu, mengapa kau mudah lupa? Aku she Ang bernama Teng-siu!" Berubah hebat paras muka pejalan malam itu, dia berseru tertahan dan berkata, "Oh, rupanya kau adalah komandan pengawal Ji-kaucu, Ang Teng-siu." "Betul, memang aku Ang Teng-siu." Tiba-tiba pejalan malam itu menarik muka, kemudian ujarnya, "Ang Teng-siu, kau pengkhianat, berani amat kau halangi jalanku." "Sam-kaucu," kembali Ang Teng-siu tersenyum, "mengapa kau punya jalan ke surga enggan dilalui, tiada jalan ke neraka kau terobos." Sepasang mata pejalan malam yang tajam mendadak mengawasi sekejap keadaan sekitar situ, kemudian berkata
939
Pendekar Cacat
dingin, "Ang Teng-siu, berapa orang yang kau bawa malam ini?" Ang Teng-siu tertawa terbahak-bahak. "Ketua Hiat-kiam-bun serta sepuluh pelindung hukum telah hadir semua di sini." Pejalan malam itu terkejut, dia segera bertanya dengan gelisah, "Dimanakah Jian-ciat-suseng sekarang? Suruh dia keluar menemuiku." "Thia Leng-juan, harap tahu diri, malam ini kami memang sengaja menunggu kedatanganmu, kau tak usah kurangajar." Agaknya Thia Leng-juan sudah merasa gelagat malam ini sangat tidak menguntungkan pihaknya, dia masih berusaha mempertahankan ketenangan, pelan-pelan ujarnya, "Biar naik ke bukit golok atau terjun ke kuali berminyak mendidih, aku sudah pernah mematikan semuanya, memangnya kalian masih mempunyai cara lain yang bisa membuat pecah nyaliku?" "Sudahlah, kau tidak usah banyak bicara lagi, ketua kami segera akan berjumpa denganmu, lebih baik turuti kami saja, kalau tidak, terpaksa kami akan berbuat kasar kepadamu." "Jian-ciat-suseng berada dimana sekarang?"
940
Pendekar Cacat
Sebelum Ang Teng-siu menjawab, dari balik kegelapan «tulah muncul sesosok bayangan orang menjawab dengan suara dingin, serius dan keren, "Thia Leng-juan, aku berada di sini." "Mengapa kau tidak segera kemari?" "Aku segera akan datang." Belum habis perkataan itu, sesosok bayangan orang berkelebat ke hadapan Thia Leng-juan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Thia Leng-juan cekatan sekali, dengan cepat dia menggeser badan menghindar ke sisi kiri. Biarpun dia menghindar dengan gerakan cukup cepat, namun gerakan tubuh pendatang itu jauh lebih cepat lagi, tahu-tahu lengannya sudah bergerak dan "Plak!!" Thia Leng-juan mendengus tertahan, kemudian orangnya sudah roboh tak sadarkan diri. Sewaktu Thia Leng-juan sadar dari pingsannya, ia menjumpai dirinya sudah duduk di atas kursi. Duduk di hadapan seorang pemuda berjubah merah berlengan tunggal, berwajah pucat dan bermata tajam bagaikan sembilu.
941
Pendekar Cacat
Di sisi kiri dan kanan pemuda berjubah merah itu masingmasing berdiri sepuluh orang laki-laki berjubah merah, mereka semua berwajah kereng, bermata tajam dan kelihatan sangat gagah. Bergidik Thia Leng-juan menyaksikan semua itu, dengan cepat dia teringat akan perbuatannya membunuh Kauhubuncu Hiat-kiam-bun di kamar tujuh Hong-tok-ciu-lau tempo hari. Ia pernah berjumpa dengan Jian-ciat-suseng Bong Thiangak ketika berada di Hong-tok-ciu-lau, bahkan sewaktu terjadi peristiwa berdarah itu, Jian-ciat-suseng hadir pula di tempat kejadian. Siapa sangka Jian-ciat-suseng tak lain adalah ketua Hiatkiam-bun, pemuda berjubah merah berlengan tunggal itu. Terpaksa Thia Leng-juan harus mengeraskan hati menegur, "Apa maksudmu membawa aku kemari?" "Demi menyelamatkan jiwamu," jawab Bong Thian-gak hambar. Thia Leng-juan tertegun, "Menyelamatkan aku? Apa maksudmu?" Bong Thian-gak tertawa dingin. "Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan dengan jujur, aku bersedia menyelamatkan jiwamu, kalau tidak,
942
Pendekar Cacat
perbuatanmu membunuh Kau-hubuncu perguruan kami itu, tentu hanya ada jalan kematian bagimu." Thia Leng-juan mulai berpikir, "Bagaimana pun juga kepandaian silatku tidak mungkin bisa menandingi Jianciat-suseng." Maka dia pun bertanya, "Jawaban apa yang harus kuutarakan?" "Bagaimana caramu memasuki Put-gwa-cin-kau?" Thia Leng-juan tertegun, lalu berdiri melongo, lama kemudian baru dia balik bertanya, "Buat apa kau menanyakan hal itu?" "Kau cukup menjawab pertanyaanku, hati-hati, salah bicara bisa berakibat hilangnya nyawamu," ancam Bong Thian-gak sambil tertawa dingin tiada hentinya. Thia Leng-juan termenung lama sekali, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata, "Bukankah kau telah membunuh kawanan jago persilatan golongan putih untuk merebut kepercayaan Cong-kaucu sehingga kau diterima menjadi anggota Put-gwa-cin-kau." Gemetar keras sekujur badan Thia Leng-juan mendengar itu, bentaknya, "Aku tak pernah membunuh jago mana pun
943
Pendekar Cacat
dari Bu-lim Bengcu, aku sama sekali tidak melakukan pembunuhan apa pun." Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, dia segera mendesak lebih jauh, "Lantas mengapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau menaruh kepercayaan padamu? Kau pernah menjadi musuh bebuyutan Put-gwa-cin-kau, apakah kau mempunyai sesuatu persyaratan yang dapat membuat perempuan jalang itu percaya serta tunduk kepadamu?" "Benar, tentu saja aku mempunyai syarat-syarat tertentu," kata Thia Leng-juan. "Apa syaratnya? Cepat katakan!" hardik Bong Thian-gak. "Tidak sulit bila ingin kukatakan, hanya kau harus menerangkan dulu kepadaku, apa maksudmu menanyakan persoalan itu?" "Thia Leng-juan, coba kau lihat wajahku baik-baik, tahukah kau siapa aku?" Thia Leng-juan tertawa dingin, "Hm, siapa lagi? Tentu kau adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak." "Kau masih ingat dengan seorang sahabatmu yang bernama Ko Hong tiga tahun berselang?" Begitu mendengar nama Ko Hong, gemetar tubuh Thia Leng-juan dibuatnya, matanya membelalak, kemudian
944
Pendekar Cacat
mengamati wajah Bong Thian-gak dengan seksama, seakanakan dia sedang berusaha mencari sesuatu. Tentu saja yang dicari olehnya adalah bekas-bekas yang telah menghilang. Mendadak paras muka Thia Leng-juan berubah pucat-pias seperti mayat, kemudian gumamnya, "Kau adalah Ko Hong, benarkah kau adalah Ko Hong?" "Benar, aku adalah Ko Hong," jawab Bong Thian-gak nyaring, "aku adalah Ko Hong yang bersama-sama kau dan Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bertiga bertarung membunuh Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau yang telah menyaru sebagai Ku-lo Hwesio." Thia Leng-juan tak dapat membendung air matanya lagi, ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Bong Thian-gak tidak habis mengerti apa sebabnya dia menangis, padahal seorang Enghiong tak akan melelehkan air mata dengan mudah bila tidak sedang bersedih hati. "Thia-tayhiap, kau tentunya tahu bukan persoalan apakah yang hendak kutanyakan kepadamu!" kembali Bong Thiangak bertanya dengan suara dingin. Mendadak Thia Leng-juan mendongakkan kepala, kemudian teriaknya, "Ko Hong, bunuhlah aku! Biarpun mati, aku akan mati dengan mata meram!"
945
Pendekar Cacat
Bong Thian-gak berkerut kening, sebab sikap lawan, dia dapat pula merasakan kesedihan hatinya, dia membentak kembali, "Thia Leng-juan, bila kau benar-benar seorang Enghiong, benar-benar seorang leleki sejati, ayolah bicara lebih jelas!" Thia Leng-juan tidak menjawab, dia hanya membungkam. Melihat lawan membungkam. Bong Thian-gak bertanya kembali, "Thia Leng-juan, dengarkan baik-baik, aku hanya ingin mengetahui nasib Ho Put-ciang, Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok sekalian." Thia Leng-juan mendongakkan kepala memandang wajah Bong Thian-gak dan termangu, air matanya belum mengering sehingga wajahnya nampak sangat mengenaskan. Tiba-tiba ia menghela napas, lalu berkata, "Mereka semua telah meninggal dunia." Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak karena menahan emosi, kembali ia membentak, "Apa yang menyebabkan kematian Toa-suhengku sekalian? Siapa yang telah membunuh mereka?" Gemetar keras tubuh Thia Leng-juan, tanyanya, "Kau menanyakan Toa-suhengmu? Apakah Ho Put-ciang kakak seperguruanmu?"
946
Pendekar Cacat
"Kau tak usah bertanya lagi," tukas Bong Thian-gak, "cepat katakan, apa yang menyebabkan kematian Toa-suheng sekalian?" Pada saat itulah tiba-tiba Thia Leng-juan teringat akan sesuatu, dia berseru tertahan, "Oh Ciang hu mempunyai empat orang murid, salah seorang di antaranya bernama Bong Thian-gak, Ah! Kalau begitu kau adalah murid Oh Ciong-hu Locianpwe yang bernama Bong Thian-gak." Sinar tajam penuh napsu membunuh memancar dari balik mata Bong Thian-gak, bentaknya, "Thia Leng-juan, kau belum menjawab pertanyaanku, jika kau tidak menjawab dengan sejujurnya, aku akan membunuhmu sekarang juga." Sembari berkata, dia mengangkat telapak tangannya pelanpelan. Kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiam-bun yang berdiri mengelilingi arena mengerti, dalam keadaan demikian asal Thia Leng-juan salah bicara sepatah kata saja, niscaya dia akan tewas dihajar oleh ketua mereka. Dalam waktu singkat seluruh arena telah diliputi oleh suasana tegang dan mengerikan. Thia Leng-juan menggetarkan bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah kata pun yang terucap keluar, jika dilihat dari kerutan wajahnya serta tubuhnya yang mengejang keras, dia sedang merasakan kengerian yang luar biasa dalam menghadapi kematian.
947
Pendekar Cacat
Namun akhirnya Thia Leng-juan berhasil menenangkan diri, ia menjawab pelan, "Akulah yang telah mencelakai mereka semua." Belum selesai perkataan itu diucapkan, Bong Thian-gak telah berteriak, "Mengapa kau harus mencelakai mereka?" Telapak tangannya segera diayunkan ke depan melepaskan sebuah bacokan kilat. Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang memecah keheningan, badan Thia Leng-juan mencelat ke udara dan melayang keluar lewat daun jendela, kemudian, "Bluk", terbanting ke atas lantai. Secepat sambaran petir Bong Thian-gak melejit ke udara dan menyusul dari belakang. Thia Leng-juan telah terkapar di atas tanah, dia berusaha meronta bangun, namun tak berhasil. Dengan kasar Bong Thian-gak mencengkeram bajunya, lalu mengangkatnya ke atas, bentaknya, "Ayo cepat katakan, mengapa kau membunuh mereka?" Sementara itu paras muka Thia Leng-juan pucat-pias seperti mayat, tampangnya kelihatan sangat mengerikan, darah segar mengalir keluar lewat ujung bibirnya seperti sumber mata air, membasahi pakaiannya dan menetes pula ke atas lantai.
948
Pendekar Cacat
Pukulan dahsyat Bong Thian-gak telah mengguncang isi perutnya, membuat dia sadar kematiannya sudah dekat. "Bong ... Bong Thian-gak, sempurna amat tenaga pukulanmu, aku ... aku gembira sekali kau memiliki pukulan tenaga dalam sedemikian sempurna." "Apakah kau tidak takut mampus?" seru Bong Thian-gak agak tertegun mendengar perkataan itu. Kembali Thia Leng-juan tertawa pedih, "Pukulanmu barusan telah mengantar aku tak jauh dari kematian, aku ... aku merasa bersalah terhadap segenap rekan-rekan umat persilatan, walau mati, aku mati dengan rela, sekarang ... sekarang aku ingin memberitahukan beberapa hal kepadamu." Ketika berbicara sampai di situ, secara beruntun dia muntah darah beberapa kali, dengan matanya yang sayu dia pun mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya bimbang, "Di ... dimanakah aku sekarang?" Bong Thian-gak agak tercengang dan sama sekali tak menduga sikap Thia Leng-juan itu, seandainya dia benarbenar seorang licik yang berakal bulus, mengapa sikapnya dalam menghadapi kematian begitu wajar? "Tempat ini adalah ruang depan kuil Hong-kong-si, Hongkong Hwesio dan muridnya berdiam di ruang belakang, sayang sekali mereka tak akan mendengar jeritanmu tadi,
949
Pendekar Cacat
sudah barang tentu mereka pun tak akan kemari untuk menyelamatkan jiwamu." Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan suara datar dan hambar. Thia Leng-juan berseru tertahan, "Ah! Kau ... kau juga tahu kalau aku tengah bersekongkol dengan Hong-kong Hwesio beserta muridnya?" Bong Thian-gak tertawa dingin. "Beberapa malam berselang, semua pembicaraanmu dengan Long Jit-seng di ruang belakang telah kudengar semua." "Kalau begitu kau ... kau juga sudah mengetahui pertemuanku dengan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau," kembali Thia Leng-juan bertanya dengan sedih. Kembali Bong Thian-gak tertawa dingin. "Tentu saja, aku pun sempat melihat kau seperti ular yang patut dikasihani, tunduk di bawah selangkangannya. Hm, pada saat itu aku malu melihat perbuatanmu, juga merasa kasihan untuk nasibmu, sungguh tak kusangka kau adalah seorang yang tak berguna." Tiba-tiba dua baris air mata bercucuran membasahi pipi Thia Leng-juan, bisiknya lirih, "Umpatanmu memang benar, umpatanmu memang tepat sekali."
950
Pendekar Cacat
Sesudah mengucapkan perkataan ini, tubuh Thia Leng-juan semakin lama semakin lemah, kerongkongannya mulai gemerutukan. Dia berbisik lagi dengan suara yang sangat lirih, "Kemungkinan besar Ho Put-ciang sekalian belum ... belum mati, kau ... kau harus bekerja sama dengan Hong-kong Hwesio." Bergetar keras perasaan Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, tanyanya, "Apa kau bilang? Toa-suhengku sekalian belum mati? Katakanlah cepat kau, katakan!" Beberapa kali teriakan beruntun, namun Thia Leng-juan sudah tak sanggup menjawab. Thia Leng-juan telah menemui ajalnya, tewas seketika. Tenaga serangan yang maha dahsyat Bong Thian-gak agaknya betul-betul sudah mehancurkan isi perutnya. Kata-kata terakhir Thia Leng-juan justru menenangkan gejolak perasaan Bong Thian-gak yang sedang dipengaruhi oleh emosi. Ia tak habis mengerti apa sebabnya Thia Leng-juan mengakui Ho Put-ciang sekalian tewas di tangannya, tapi kemudian dikatakan pula bisa jadi mereka belum tewas. Bong Thian-gak hanya berdiri termangu sambil mengawasi jenazah Thia Leng-juan, dia tidak habis mengerti apa gerangan yang yang telah terjadi.
951
Pendekar Cacat
"Omitohud!" suara pujian sang Buddha tiba-tiba berkumandang seperti suara lonceng berdentang. Bong Thian-gak sadar dari lamunannya, ia mengangkat kepala. Tahu-tahu sudah berdiri empat orang. Mereka adalah tiga orang Hwesio dan seorang kakek berbaju hitam yang kurus kecil. Kakek berbaju hitam itu cukup dikenal Bong Thian-gak, sebab dia tak lain adalah Long Jit-seng. Dari ketiga orang Hwesio lainnya, orang yang berada di tengah adalah seorang Hwesio tua berwajah kuning emas yang memelihara jenggot sepanjang dada, kedua alis matanya juga memanjang ke telinga. Yang aneh adalah kulit badan Hwesio tua ini pun berwarna kuning keemas-emasan, alis mata serta jenggotnya juga berwarna kuning emas, tak bisa disangkal lagi orang itu adalah Hong-kong Hwesio, si pedang sinar kuning. Di sisi kiri dan kanan Hwesio tua itu masing-masing berdiri seorang Hwesio tua yang jenggotnya hitam sepanjang dada, Bong Thian-gak tahu kedua orang ini tentu murid Hong-kong Hwesio, hanya tak pernah disangka kedua muridnya pun berusia setengah abad lebih. "Omitohud! Siancay, Siancay ... ternyata Sicu telah membunuh Thia-tayhiap."
952
Pendekar Cacat
Hong-kong Hwesio berbicara dengan suara rendah dan berat, sikap yang serius dan setiap patah katanya cukup menggetarkan perasaan Bong Thian-gak. Sementara kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiambun telah berdatangan secara beruntun, mereka menempatkan diri di kedua sisi Bong Thian-gak. Bong Thian-gak memandang sekejap mayat Thia Leng-juan yang tergeletak di atas tanah, kemudian ujarnya dingin, "Apabila Hong-kong Hwesio mengetahui asal-usulnya, tentu kau akan beranggapan bahwa kematian Thia lengjuan sudah semestinya dia terima." "Siancay, Siancay! Sicu telah salah membunuh orang," ucap Hong¬kong Hwesio dengan suara dalam. "Sesungguhnya Thia Leng-juan adalah seorang Enghiong sejati, dia dapat direndahkan, dapat pula menyesuaikan diri dengan keadaan. Pembunuhan yang Sicu lakukan terhadap dirinya sungguh merupakan suatu kejahatan yang patut disesalkan." Bong Thian-gak tertawa dingin, "Aku membunuhnya karena perbuatan jahat yang ia lakukan sudah kelewat batas. Kalau kau menuduh aku salah membunuhnya, apakah perbuatannya mencelakai sahabat serta saudarasaudaranya bukan suatu perbuatan yang keji?" Long Jit-seng yang berdiri di sisi arena mendadak tertawa seram, lalu menimbrung, "Bong Thian-gak, apakah
953
Pendekar Cacat
kedatanganmu ini bermaksud hendak mengajak aku masuk Hiat-kiam-bun?" Bong Thian-gak segera menarik muka. "Hiat-kiam-bun tak akan membiarkan manusia licik yang berbicara lain di mulut lain di hati semacam kau untuk tetap hidup di dunia ini." "Orang she Bong," Long Jit-seng tertawa dingin. "Kau tidak seharusnya membunuh Thia Leng-juan di kuil Hong-kongsi." Bong Thian-gak tersenyum. "Sejak beberapa hari lalu, aku sudah tahu kau hendak memperalat kekuatan Hong-kong Hwesio dan muridnya untuk melenyapkan aku, itulah sebabnya sudah beberapa hari aku membuat persiapan di sekitar kuil Hong-kong-si untuk menanti Thia Leng-juan masuk perangkap, kemudian dengan cara demikian akan kupancing keluar Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya. Coba kau bayangkan? Apakah rencana dengan memasang perangkap semacam ini merupakan perbuatan yang keliru." Diam-diam Long Jit-seng terkejut, tapi dengan cepat dia telah tertawa licik kembali, sahutnya, "Betul, memang tak keliru, aku yang telah memandangmu terlalu rendah." "Omitohud!" sekali lagi Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha, "bila Long Jit-seng bermaksud memancing kemunculan kami guru dan murid membuka pantangan membunuh, mungkin Hong¬kong Hwesio tak
954
Pendekar Cacat
akan memenuhi harapannya, namun Sicu telah membunuh Thia-tayhiap, jadi terpaksa kami guru dan murid benarbenar akan membuka pantangan membunuh." "Mana ... mana, sebagai seorang pendeta, kau ingin mencampuri pula urusan pertikaian dunia persilatan, cepat atau lambat pasti akan kau langgar juga pantangan membunuh itu." "Sudah hampir lima puluh tahun lamanya Pinceng menutup diri hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan, sungguh tak disangka orang-orang Bu-lim telah berubah menjadi lebih buas dan ganas." Bong Thian-gak tersenyum. "Kalau hidup mengasingkan diri dalam lingkungan masyarakat, siapakah yang bisa melepaskan diri dari keramaian dunia? Tak heran kau mungkin bersembahyang setiap hari, namun belum bisa melepaskan diri dari pikiran keduniawian." Hati Hong-kong Hwesio bergetar mendengar perkataan itu, mencorong tajam matanya mengawasi wajah Bong Thiangak lekat-lekat. "Siancay, Siancay! Bila kuamati panca-indra Sicu serta pancaran kegagahan dari wajahmu, sama sekali tidak mirip seperti manusia buas yang berhati keji, tapi mengapa Sicu justru membunuh Thia-tayhiap?"
955
Pendekar Cacat
Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata dengan suara lantang, "Biarpun Thia Leng-juan terhitung anak murid Siau-lim-pay, tapi perbuatannya justru merusak nama baik perguruan, dia telah berkhianat serta mengabungkan diri dengan pihak Put-gwa-cin-kau membantu kaum sesat dan kaum laknat melakukan berbagai kejahatan mencelakai umat persilatan dan membunuh kaum pendekar, apakah aku tak pantas membunuh manusia semacam ini?" "Omitohud, apakah Sicu mempunyai meyakinkan?" tanya Hong-kong Hwesio.
bukti
yang
"Tiga tahun berselang, Thia Leng-juan telah berkhianat dan menjual Ho Put-ciang serta puluhan jago persilatan yang berada dalam gedung Bu-lim Bencu, apakah bukti ini belum cukup kuat?" Hong-kong Hwesio segera menggeleng kepala, katanya, "Apakah Sicu mengetahui dengan pasti kisah yang sebenarnya sampai seluruh orang dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong ditumpas orang pada tiga tahun berselang?" Bong Thian-gak tertegun mendengar pertanyaan itu, kemudian dengan kening berkerut dia berkata, "Aku memang tidak mengetahui apa sebabnya gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong sampai tertumpas, namun menurut hasil penyelidikanku, kecuali Thia Leng-juan, segenap jago dalam gedung Bu-lim Bengcu pada waktu itu
956
Pendekar Cacat
tidak diketahui nasibnya, sampai sekarang mati hidup mereka pun tetap merupakan teka teki." "Oleh karena itu Thia Leng-juan menjadi orang yang paling dicurigai membunuh kawanan jago itu, apalagi sebelum ajalnya tiba tadi, Thia Leng-juan juga mengakui bahwa dialah yang telah membunuh Ho Put-ciang serta yang lainlain." "Ai, Sicu betul-betul telah salah membunuh orang," Hongkong Hwesio menghela napas sedih, "Thia Leng-juan pernah meceritakan kisah yang sesungguhnya sampai gedung Bu-lim Bengcu ditumpas orang, ai, kematian Thiatayhiap benar-benar kelewat mengenaskan!" Helaan napas berulang kali Hong-kong Hwesio membuat perasaan Bong Thian-gak bergetar keras, diam-diam dia bertanya pada diri sendiri, "Mungkinkah aku telah salah membunuh? Mungkinkah Thia Leng-juan adalah seorang baik?" Dengan cepat Bong Thian-gak membayangkan kembali setiap gerak-gerik, setiap perkataan yang diucapkan Thia Leng-juan menjelang ajalnya tiba. Dia memang merasa banyak hal yang mencurigakan, akan tetapi Bong Thian-gak tidak habis mengerti, bila Thia Lengjuan memang bersih dan tidak merasa bersalah, apa sebabnya dia pasrah kepada nasib dan bersedia menerima kematian?
957
Pendekar Cacat
Mungkin Thia Leng-juan mempunyai kesulitan yang tak mungkin bisa diutarakan? Tapi bukankah dia sendiri mengakui telah membunuh Toa-suheng sekalian? Bong Thian-gak benar-benar merasa amat resah, masgul dan murung, terutama sekali terhadap kata-kata terakhir Thia Leng-juan menjelang ajalnya tadi, " ... besar kemungkinan Ho Put-ciang sekalian belum mati." Yang membuatnya ragu dan tak menentu sekarang adalah perkataan Thia Leng-juan itu, benarkah? Atau omong kosong? Sekarang Bong Thian-gak sedikit menyesal, dia menyesalkan apa sebabnya tidak membuat duduk persoalan menjadi jelas lebih dulu sebelum menindak Thia Leng-juan. Padahal Bong Thian-gak sendiri sama sekali tidak menyangka Thia Leng-juan bakal tewas di tangannya. Thia Leng-juan pun terhitung seorang jago persilatan kelas satu dalam Bu-lim, kendatipun dia tak bisa meloloskan diri dari serangan Bong Thian-gak, namun mustahil dia bisa tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian bertanya, "Hong-kong Locianpwe, benarkah aku telah salah membunuh Thia Leng-juan?"
958
Pendekar Cacat
Hong-kong Hwesio menghela napas, "Thia-tayhiap tak seharusnya tewas dalam keadaan demikian, dia harus mengungkapkan kenyataan sebenarnya peristiwa dunia persilatan sebelum mati." "Dapatkah Hong-kong Locianpwe menerangkan duduk persoalan ini lebih jelas lagi?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut kencang. Tiba-tiba mencorong sinar membunuh yang amat tebal dari balik mata Hong-kong Hwesio, dia berkata, "Sicu telah membunuh Thia-tayhiap, apa lagi yang bisa dibicarakan sekarang?" Bong Thian-gak dapat pula menangkap sorot mata Hongkong Hwesio itu, maka dia pun balik bertanya, "Hwesio tua, apa yang hendak kau lakukan?" "Nyawa manusia tak ternilai harganya, Sicu telah membunuh orang, maka kau harus memberi keadilan pula bagi umat persilatan." "Bila Lohwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, kuanjurkan lebih baik urungkan saja niatmu itu," ucap Bong Thian-gak dingin. "Rupanya Sicu beranggapan Lolap tak sanggup menghabisi nyawamu?" "Bila Lohwesio ingin membunuh aku, kemungkinan besar kau harus mengorbankan tenaga yang amat besar, namun
959
Pendekar Cacat
sebelum aku roboh ke atas tanah, mungkin kau sudah kehabisan tenaga untuk menghadapi musuh tangguh yang datang dari luar." Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, mendadak terdengar suara gelak tawa yang amat keras bergema memenuhi seluruh ruangan, gelak tawa itu mulanya berasal dari atas atap rumah, tahu-tahu di tengah halaman telah berdiri seorang lelaki kekar. Orang itu bukan lain adalah jago nomor tiga Kay-pang, Han Siau-liong. Setelah berdiri tegak, Han Siau-liong berkata dengan lantang, "Ketajaman mata Jian-ciat-suseng sungguh mengagumkan sekali, hahaha, hari ini aku Han Siau-liong akan menantang kau berduel." Bong Thian-gak tersenyum, "Mana ... mana, hari ini berapa banyak jagoan yang telah Han-heng bawa serta?" Setelah tertegun, Han Siau-liong menyahut sambil tertawa, "Kurang lebih seratus orang dan sekarang seluruh kuil Hong-kong-si telah kami kepung." "Apabila Han-heng bermaksud mencari Long Jit-seng, orangnya berada di sini sekarang, Han-heng boleh menangkapnya dengan segera," ucap Bong Thian-gak tertawa.
960
Pendekar Cacat
Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Jian-ciatsuseng betul-betul memahami taktik perang." "Jangan kelewat sungkan, bila Han-heng tidak turun tangan dengan segera, bila Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau sampai menyusul kemari, belum tentu pihakmu mempunyai kemampuan untuk membekuk Hek-ki-to-cu." Kembali Han Siau-liong tertawa kering, "Kau anggap pihak Put-gwa-cin-kau pasti ada orang yang akan muncul ke sini?" "Telinga umat persilatan saat ini dibentangkan lebar-lebar, rahasia Hong-kong Hwesio bersama Hek-ki-to-cu mengenai rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong sudah bukan rahasia pribadi lagi." "Kalau begitu, aku seharusnya turun tangan terlebih dahulu," Han Siau-liong tertawa. "Tampaknya Han-heng kuatir orang she Bong akan menjadi nelayan yang beruntung?" "Betul, aku memang menguatirkan hal ini." Bong Thian-gak tersenyum, "Bila Han-heng tidak turun tangan lebih dulu, kemungkinan besar kau akan didahului orang lain." "Siapa yang akan mendahului diriku?" tanya Han Siau-liong. "Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian."
961
Pendekar Cacat
Selesai perkataan itu, dari tengah ruangan telah berkumandang suara seorang bernada dingin, "Bocah keparat, kau betul-betul sangat lihai, sampai-sampai jejakku pun kau ketahui." Suara itu hanya melambung di angkasa, tak nampak sesosok bayangan orang pun yang muncul. Paras muka Hong-kong Hwesio serta Han Siau-liong yang berada di tengah arena berubah hebat, nama besar Mo Hui-thian cukup termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini. Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, suaranya keras dan memekakkan telinga, kemudian dia berkata, "Hahaha, semenjak beberapa hari lalu aku sudah tahu Molocianpwe ada maksud mencari diriku, oleh sebab itu untuk menghindari usaha Toa-cengcu melancarkan serangan keji, terpaksa aku pun menguntitmu lebih dulu. Hahaha, Toacengcu seperti sudah terpikat oleh harta karun Mo-lay-cingong sehingga lupa menyusahkan diriku." Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha, kemudian pelan-pelan berkata, "Mo Hui-thian, sudah puluhan tahun kita tak bersua, Lohwesio kangen sekali kepadamu." Dari keheningan udara kembali berkumandang suara Toacengcu Kim-liong-kiam-san-ceng.
962
Pendekar Cacat
"Hwesio tua sahabat karibku, aku dengar peta harta karun itu berada di sakumu, entah bersediakah kau meminjamkan sebentar kepada sahabatmu ini?" "Omitohud, siapa bilang tak boleh? Kalau sobat karib yang meminjam, aku yakin tentu akan dikembalikan." Mendadak Han Siau-liong berkata kepada Bong Thian-gak, "Bong, buncu, tampaknya untuk sementara waktu kita harus menyingkirkan semua perselisihan pribadi di antara kita." Bong Thian-gak tersenyum, "Han-heng, aku lihat watakmu sudah banyak berubah." "Ya, keadaan dan suasanalah yang memaksaku berbuat demikian," ucap Han Siau-liong. Kembali Bong Thian-gak tersenyum, "Pihak Hiat-kiam-bun kami sama sekali tidak tertarik pada peta harta karun itu, tapi ... kami pun enggan membiarkan peta harta karun itu terjatuh ke tangan partai atau perguruan mana pun, oleh karena itu dia adalah musuh Hiat-kiam-bun kami, jika Hanheng berniat merebut peta harta karun itu, bukankah kita akan segera berubah menjadi musuh bebuyutan?" "Bagus, bagus sekali," Han Siau-liong tertawa lebar, "pendapat Bong-buncu memang persis seperti pendapatku, tapi berbicara dari situasi yang kita hadapi sekarang, tampaknya kita harus menjalin kerja sama."
963
Pendekar Cacat
"Bagaimana cara kita menjalin kerja sama?" "Pertama-tama kita harus mencegah peta harta karun itu jangan sampai terjatuh ke tangan siapa pun." "Tapi peta harta karun itu berada di tangan siapa sekarang?" Menghadapi pertanyaan itu Han Siau-liong tertegun, ia balik bertanya, "Bukankah peta itu berada di tangan Hongkong Hwesio?" Mendadak dari tengah udara berkumandang lagi suara teriakan Mo Hui-thian, "Hwesio tua sahabat karibku, mengapa kau tidak berhasil menemukan peta harta karun itu?" "Omitohud, Mo-cengcu, sampai sekarang mengapa kau masih belum juga menampakkan diri?" Hong-kong Hwesio berkata. Tiba-tiba Han Siau-liong berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya sambil tertawa, "Bong-buncu, apakah kau tahu Mo-loji dimana bersembunyi?" Bong Thian-gak tersenyum. "Menurut berita dalam Bu-lim, Toa-cengcu ibarat naga sakti di balik mega yang nampak kepala tak nampak ekor, setelah berjumpa hari ini terbukti bahwa namanya memang bukan nama kosong belaka, hingga sekarang aku masih
964
Pendekar Cacat
belum menemukan tempat persembunyiannya, artinya kita berdua telah menderita kekalahan di tangannya malam ini." Mendengar ucapan itu, Han Siau-liong tertawa terbahak, "Hahaha, bila ia tidak juga menampakkan diri, selamanya jangan harap dia bisa melepaskan serangan pedangnya untuk melukaiku." Bong Thian-gak tersenyum. "Menurut cerita orang, selama bertarung Mo Hui-thian tak pernah melancarkan serangan kedua, sebab saat dia menampakkan diri, musuh sudah roboh terlebih dahulu karena tertusuk, konon kecepatan gerak pedangnya tidak berada di bawah kemampuan Liu Khi." "Aku dengar Liu Khi sudah bertarung melawan Bongbuncu?" tiba-tiba Han Siau-liong bertanya. "Aku tak lebih hanya mencoba pisau terbang daun Liu-nya saja," kata Bong Thian-gak tertawa. "Liu Khi dari partai kami memiliki jurus serangan yang sangat lihai dan kelihaiannya terletak pada permaianan golok mustika tersoreng di pinggangnya itu." "Ya, aku pun pernah mendengar orang membicarakan hal itu," Bong Thian-gak manggut-manggut.
965
Pendekar Cacat
"Menurut pendapat Bong-buncu, mungkinkah antara Hongkong Hwesio dengan Mo-loji telah terjalin suatu hubungan yang sangat akrab dan sehidup semati?" "Ah, aku rasa mereka hanya saling memanfaatkan kelebihan lawan, padahal keduanya sama-sama mempunyai rencana tertentu," jawab Bong Thian-gak sambil sengaja meninggikan suaranya. Han Siau-liong tertawa, "Hahaha, kalau begitu di antara kita tak ada seorang pun yang berani turun tangan." "Apakah Han-heng masih sanggup menahan diri dan menunggu lebih lama?" "Bila Siaute sudah memperoleh persetujuan Bong-buncu, tentu saja tak akan menunggu lebih lama." Bong Thian-gak tersenyum. "Dengan kekuatan kita berdua, rasanya hanya mampu untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, apakah Han-heng tidak kuatir Mo Hui-thian akan menjadi si nelayan yang beruntung?" "Siaute tidak percaya Hong-kong Hwesio dan muridnya begitu sukar dilawan." Bong Thian-gak tertawa ringan. "Kalau begitu dengan kemampuan Han-heng seorang pun sudah cukup untuk melawan Hong-kong Hwesio dan
966
Pendekar Cacat
muridnya, buat apa kau mesti mengajak aku bekerja sama?" "Yang kukuatirkan adalah Mo Hui-thian yang berada di sisi arena." "Bukankah dari pihak kalian masih ada Liu Khi?" tegur Bong Thian-gak sambil tersenyum. Han Siau-liong tertegun mendengar perkataan itu, kemudian katanya sambil tertawa kering, "Wah, tampaknya Bong-buncu bukan orang tolol." "Mana ... mana," Bong Thian-gak mengangguk, "tahu diri, tahu keadaan lawan, setiap pertarungan baru bisa dimenangkan dengan sukses dan gemilang." "Sekali pun Bong-buncu tak bersedia bekerja sama, dengan kemampuanmu seorang rasanya juga susah menguasai keadaan." Bong Thian-gak tertawa. "Seandainya aku bekerja sama dengan Mo Hui-thian atau Hong¬kong Hwesio beserta muridnya untuk melawan kalian, mungkinkah bagi Han-heng serta Liu Khi meraih keuntungan besar?" Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.
967
Pendekar Cacat
"Hahaha, sayang sekali Bong-buncu telah membunuh Thia Leng-juan, kalau tidak, aku memang patut menguatirkan kerja samamu dengan Hong-kong Hwesio." Sekali lagi Bong Thian-gak tersenyum. "Biarpun Hong-kong Hwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, namun peta harta karun jauh lebih penting artinya daripada membalas dendam, oleh sebab itulah hingga sekarang Hong-kong Hwesio masih belum berani bertindak secara sembarangan, masakah Han-heng tidak melihat?" Sesungguhnya Han Siau-liong telah berusaha keras memeras otak menarik Bong Thian-gak demi kepentingan pihaknya, selain dipakai juga untuk menghadapi Hong-kong Hwesio, tapi Bong Thian-gak bukan orang bodoh, ia cukup memahami maksud dan tujuan Han Siau-liong yang sebenarnya. Alhasil usaha Han Siau-liong pun menjadi sia-sia belaka. Di pihak lain, Hong-kong Hwesio sendiri pun bukan orang sembarangan, ia cukup tahu setiap orang yang bersembunyi di sekitar kuil Hong-kong-si pada malam ini merupakan jago-jago persilatan yang lihai. Bila dia berani menyerang satu di antaranya, niscaya pihaknya akan menjadi sasaran pengeroyokan orang lain.
968
Pendekar Cacat
Setelah melalui pengamatan seksama, ia dapat merasakan bahwa musuh yang paling tangguh saat ini tak lain adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Sementara itu dari tengah udara kembali berkumandang suara Mo Hui-thian, "Hwesio sahabat karib, sudah hampir enam puluh tahun kita berkenalan, masa kau tidak bersedia membagi sebagian harta itu kepadaku? Keadaan sekarang sudah jelas, dengan kemampuan kalian beberapa orang rasanya sulit untuk mempertahankan peta harta karun itu, asal Lohwesio menyetujui, aku pun bersedia mengerahkan semua kekuatan kami guna bersama-sama menghadapi partai pengemis, Put-gwa-cin-kau serta Hiat-kiam-bun." Baru selesai perkataan Mo Hui-thian tadi, dari sisi sebelah barat wuwungan rumah tiba-tiba melintas cahaya putih secepat sambaran kilat menyambar ke atas pohon waru tepat di hadapannya. Kecepatan cahaya itu sangat luar biasa, sekilas tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata. Mendadak dari atas pohon waru berkelebat kembali sesosok bayangan orang yang melayang turun ke tengah halaman. Baik Bong Thian-gak mendongakkan kepala.
maupun
Han
Siau-liong
Ternyata orang yang baru saja melayang turun adalah seorang kakek berbaju abu-abu berbadan bungkuk,
969
Pendekar Cacat
menyoreng sebilah pedang antik serta mengenakan kaca mata berbentuk antik. Dari potongan badannya, siapa pun akan menduga dia adalah Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng yang sudah puluhan tahun termasyhur dalam dunia persilatan dan lebih dikenal orang sebagai si Naga di balik mega Mo Huithian. Agaknya Mo Hui-thian kena dipaksa menampakkan diri oleh lintasan cahaya putih tadi, dia nampak marah sekali, dengan suara dingin menyeramkan dia membentak, "Liu Khi, malam ini aku telah merasakan kelihaian pisau terbangmu, mengapa kau tak menampakkan diri mencoba sejurus pedang terbangku?" Sementara itu di atas wuwungan rumah sesosok bayangan orang berbaju hitam berdiri kaku di sana, tidak terlihat bagaimana dia menekuk lutut, tahu-tahu dia sudah melayang turun dan hinggap di sisi Han Siau-liong. Kemudian dengan pandangan dingin dia memandang sekejap ke arah Mo Hui-thian, setelah itu katanya, "Mo-loji, kau bisa menghindari pisau terbangku dengan selamat, hal ini sungguh membuat aku merasa sangat kagum." Han Siau-liong yang berada di samping segera menimbrung pula sambil tertawa, "Liu-susiok, aku dengar ilmu silat Mo Hui-thian sangat hebat, tapi yang paling menonjol adalah kemampuannya melukai orang secara diam-diam dengan pedangnya. Sekarang dia telah dipaksa oleh pisau terbang
970
Pendekar Cacat
Susiok menampakkan diri, aku pikir, inilah kesempatan baik bagiku untuk mencoba ilmu pedangnya." Seraya berkata, Han Siau-liong segera melintangkan pedang baja raksasanya di depan dada, lalu teriaknya, "Motoacengcu, Han Siau-liong dari partai pengemis ingin mencoba kepandaian ilmu pedangmu yang konon dianggap orang sebagai ilmu pedang nomor wahid di kolong langit." Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian memang pernah disebut orang sebagai jagoan nomor wahid di dunia, Han Siau-liong ternyata berani menantangnya bertarung, boleh dibilang tindakan ini sangat berani. Mo Hui-thian sama sekali tidak menggubris Han Siau-liong, malah mengawasi Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dari ujung kepala hingga kaki, kemudian dengan acuh tak acuh dia berkata, "Ilmu pedangmu masih belum pantas melawanku, kau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri." Han Siau-liong mendongakkan kepala, lalu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kalau aku belum pantas, siapa yang pantas?" Mo Hui-thian menuding Bong Thian-gak sambil menjawab, "Dia masih cukup pantas bertarung beberapa jurus melawanku." Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu tersenyum.
971
Pendekar Cacat
"Ah, terlalu sungkan, sungguh tak kusangka Mo-toacengcu memandang tinggi diriku." "Sudah semenjak tadi aku tertarik kepadamu, beberapa puluh hari lalu kau pernah mengalahkan putra sulungku, maka aku berencana membayar dengan sebuah tusukan pula kepadamu." "Aku akan menerima petunjukmu itu dengan senang hati," Bong Thian-gak menjawab dingin. Dalam waktu singkat situasi di tengah arena berubah, kini Bong Thian-gak sudah menjadi musuh Hong-kong Hwesio serta Mo Hui-thian. Han Siau-liong serta Liu Khi dari Kay-pang merupakan orang-orang yang berakal tajam, mereka tahu situasi yang mereka hadapi sekarang sudah menguntungkan pihaknya, maka sambil berpeluk tangan mereka menantikan perubahan selanjutnya dari sisi arena. Sepuluh pelindung hukum Hiat-kiam-bun masing-masing telah melolos pedang yang bersinar tajam dari pinggangnya, serentak mereka bergerak membentuk barisan berbentuk setengah lingkaran untuk melindungi Bong Thian-gak. Pada dasarnya kesepuluh orang pelindung hukum Hiatkiam-bun merupakan jago-jago kelas satu di Bu-lim, apalagi selama beberapa hari belakangan ini Bong Thian-gak telah mewariskan serangkaian ilmu pedang yang aneh kepada
972
Pendekar Cacat
mereka, boleh dibilang orang-orang itu sudah terlatih menjadi seorang pengawal yang sangat tangguh. Tapi Bong Thian-gak cukup tahu bahwa kesepuluh orang pelindungnya masih belum cukup mampu untuk melawan tokoh sakti seperti Mo Hui-thian. Maka dia segera membentak dengan cepat, "Sepuluh pelindung hukum, harap mundur!" Baru saja dia berseru, mendadak Mo Hui-thian telah berseru lebih dulu sambil tertawa dingin, "Sayang terlalu lambat!" Baru selesai dia berkata, tubuh Mo Hui-thian sudah menerjang ke muka. Cahaya pedang berkelebat dan ... "Blum". Jeritan ngeri berkumandang memecah keheningan malam, seorang pelindung hukum Hiat-kiam-bun sudah tertusuk perutnya, darah segar segera menyembur keluar seperti pancuran, setelah tubuhnya gontai beberapa kali, akhirnya dia roboh tak bernyawa lagi. Berhasil membacok seorang korban, Mo Hui-thian maju selangkah ke depan, cahaya tajam kembali berkelebat menyapu seorang yang lain. Oleh karena serangan pedang yang dilancarkan Mo Huithian kelewat cepat, pada hakikatnya Bong Thian-gak serta
973
Pendekar Cacat
para pelindungnya pertolongan
tak
sempat
lagi
memberikan
"Blus", lagi-lagi seorang korban roboh bergelimpangan di tanah dengan perut robek dan usus berhamburan kemanamana, darah segar berceceran membasahi seluruh permukaan tanah. Pelindung hukum kedua telah roboh binasa. Pada saat korban pertama roboh, korban kedua menyusul pula roboh terkapar, boleh dibilang peristiwa itu hampir pada saat yang bersamaan. Kaki kanan Mo Hui-thian maju setengah langkah, pedangnya berputar kembali dan kali ini membacok pelindung hukum ketiga yang berdiri di sebelah kanan. Tapi Mo Hui-thian kali ini tidak berhasil dengan sasarannya, sebab baru saja jurus pedangnya dilancarkan, sebuah lengan seperti cakar burung garuda telah mencengkeram pergelangan tangan kanannya. Bagi orang yang belajar ilmu silat, urat nadi adalah bagian penting yang mematikan di tubuh manusia, di samping dua jalan darah kematian lainnya, apalagi kelima jari tangan yang mencengkeramnya membawa desingan angin serangan yang tajam dan menyayat bagaikan bacokan pedang.
974
Pendekar Cacat
Oleh sebab itu mau tak mau Mo Hui-thian menarik kembali pedangnya sambil melompat mundur. Ketika mendongakkan kepala, tampak Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dengan wajah kereng dan serius sedang mengawasi dua sosok mayat yang terkapar di tanah, kemudian terdengar ia bertanya dengan suara pelan, "Ang Teng-siu, apakah yang menjadi korban adalah Pui Se-hiong serta Lay Siong-han?" "Lapor Buncu," segera jawab Ang Teng-siu dengan sedih, "mereka Pui Se-hiong serta Lay Siong-han." "Selama Pui Se-hiong dan Lay Siong-han menyusup ke dalam Put-gwa-cin-kau, entah berapa kali mereka harus menghadapi ancaman bahaya maut dan berada di antara hidup dan mati, namun setiap kali mereka selalu berhasil menyelamatkan diri, sungguh tak kusangka baru pertama kali turut aku terjun ke gelanggang, mereka harus menemui ajal secara mengenaskan, aku ... aku merasa amat bersalah dan malu terhadap mereka." Ketika mengutarakan kata-katanya yang terakhir, suara Bong Thian-gak terdengar gemetar, dari sini bisa diketahui betapa sedih dan murungnya dia. Sepasang mata Ang Teng-siu pun turut berkaca-kaca, tapi dia sempat berkata dengan suara nyaring, "Harap Buncu jangan bersedih, kami sepuluh pelindung hukum sudah bersumpah akan mendampingi Buncu hingga titik darah penghabisan, setiap saat kami rela berkorban demi Buncu."
975
Pendekar Cacat
Dari balik mata Bong Thian-gak mendadak mencorong sinar mata tajam yang menggidikkan, ditatapnya wajah Mo Huithian lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan suara dingin, "Mo Hui-thian, Hiat-kiam-bun sudah bersumpah tak akan hidup berdampingan denganmu." Terkesiap Mo Hui-thian menyaksikan sorot mata Bong Thian-gak yang menggidikkan hati itu, ia berpikir dalam hati, "Oh, betapa mengerikan sorot mata orang ini!" Berpikir demikian, dia lantas tertawa dingin dengan suara yang menyeramkan, kemudian serunya, "Sejak kau berhasil mengalahkan putraku, aku sudah mempunyai ikatan dendam sedalam lautan dengan Hiat-kiam-bun." "Mo Hui-thian, mengapa kau tidak mengangkat pedangmu untuk membacok kemari?" "Kau anggap aku tak berani?" jengek Mo Hui-thian sambil tertawa dingin. Tubuhnya secepat anak panah menerjang tiba. Cahaya pedang berkelebat, pedang di tangan kanannya segera membacok ke muka, desingan angin tajam menyapu tiba dari sisi sebelah kiri. Pada hakikatnya jurus serangan yang dipergunakan olehnya itu sangat aneh, sakti dan luar biasa.
976
Pendekar Cacat
Terutama sekali dalam hal kecepatan, boleh dibilang sukar membuat orang melihat dengan jelas bagaimanakah serangan itu dilancarkan. "Sret", bayangan orang tahu-tahu telah melejit dari bawah cahaya pedang. Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak sudah melompat mundur, pakaian bagian dadanya sudah tersambar robek, koyakan kainnya berkibar ketika terhembus angin. Mo Hui-thian memandang sekejap mata pedang di tangan kanannya dengan pandangan tertegun, wajahnya penuh rasa kaget dan keheranan, setelah itu katanya dengan suara sedingin salju, "Sastrawan cacat, kau adalah orang pertama dalam Bu-lim yang berhasil meloloskan diri dari jurus seranganku." Mo Hui-thian disebut orang sebagai jago pedang kelas satu dalam Bu-lim, sudah barang tentu kematangan dan kesempurnaannya dalam permainan pedang luar biasa hebat, tapi setiap jago yang berada dalam arena dapat menyaksikan bahwa permainan pedangnya ternyata masih jauh lebih lihai dari apa yang dibayangkan semula. Mo Hui-thian memang cukup pantas disebut orang sebagai jago pedang nomor wahid dalam Bu-lim. Sejak Han Siau-liong, Liu Khi serta Hong-kong Hwesio sekalian menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo
977
Pendekar Cacat
Hui-thian untuk menyerang Bong Thian-gak, boleh dibilang semua sependapat. Tiba-tiba Han Siau-liong tertawa nyaring. "Hahaha, ilmu pedang bagus, ilmu pedang bagus, malam ini aku orang she Han benar-benar telah bertambah pengalaman." Setelah berhenti sejenak, dia menyambung, "Motoacengcu, dapatkah kau memberitahukan kepada kami, jurus pedang apakah yang kau pergunakan itu?" Sambil tertawa bangga sahut Mo Hui-thian, "Itulah ilmu pedang Wi-liong-kiam-hoat (ilmu pedang ekor naga), satu di antara tiga belas jurus ilmu pedang ekor naga hasil ciptaan orang she Mo." "Lihai, benar-benar sangat lihai," seru Han Siau-liong sambil tertawa, "bila serangan pedang tadi sedikit maju, niscaya usus Jian-ciat-suseng sudah berhamburan kemana-mana." "Biarpun dia mampu meloloskan diri dari serangan pertama, kedua dan selanjutnya dari ilmu pedang ekor nagaku, tapi jangan harap dia bisa lolos dari ketiga belas jurus ilmu pedang ekor naga yang kuciptakan ini." Han Siau-liong tertawa lebar. "Wah, kalau begitu Jian-ciat-suseng sudah dapat dipastikan akan mampus."
978
Pendekar Cacat
"Asal aku berhasrat membunuhnya, aku rasa dia memang sulit untuk lolos dalam kematian." Tiba-tiba Han Siau-liong tertawa dingin, "Mo-toacengcu, aku pikir kau mesti menyiapkan langkah mundur bagi perkataanmu itu." "Mengapa harus begitu?" Sekali lagi Han Siau-liong tertawa mengejek, "Seandainya Jian-ciat-suseng terbukti tidak mampus oleh tiga belas jurus ilmu pedang ekor nagamu, apakah Mo-toacengcu berani mengatakan bahwa engkaulah yang tidak tega membunuhnya?" Mo Hui-thian mendengus dingin. "Han Siau-liong," ia berteriak, "jika kau tidak percaya dengan ilmu pedangku, mengapa tidak kau coba sendiri turun ke gelanggang." "Mo-toacengcu tak usah terburu napsu, cepat atau lambat pihak Kay-pang pasti akan berhadapan denganmu." Sementara itu Bong Thian-gak masih berdiri tegak di tempat semula dengan wajah sedingin es setelah ia menerima serangan kilat Mo Hui-thian tadi. Dia seolah-olah sedang memikirkan suatu masalah atau bisa jadi nyalinya sudah dibuat keder atas kelihaian musuh.
979
Pendekar Cacat
Sementara Han Siau-liong dan Mo Hui-thian masih berbincang-bincang, dia hanya berdiri tanpa bicara ataupun melakukan sesuatu perbuatan. Tiba-tiba sekilas perasaan girang melintas di wajah Bong Thian-gak, dia seperti orang yang tersesat di tengah gurun pasir dan secara kebetulan menemukan sumber mata air yang bening, mukanya berseri-seri dan semangatnya berkobar kembali. Mendadak ia berteriak nyaring, "Mo Hui-thian, mengapa kau tidak lagi melancarkan seranganmu yang kedua?" Dengan cepat Mo Hui-thian berpaling, hatinya kontan bergetar keras menyaksikan perubahan mimik Bong Thiangak, segera pikirnya, "Kalau dilihat dari raut wajahnya yang berseri-seri dan nampak sangat gembira, jangan-jangan dia telah berhasil memecahkan perubahan jurus pedangku?" Berpikir demikian, dengan sikap sangat hati-hati namun ingin tahu, Mo Hui-thian bertanya lagi, "Apakah kau sudah menemukan sesuatu rahasia?" "Betul," Bong Thian-gak mengangguk, "aku telah berhasil tahu rahasia jurus pedang ilmu ekor nagamu itu." "Hehehe, masakah begitu? Aku kurang percaya," jengek Mo Hui-thian sambil tertawa seram. "Ilmu pedang ekor nagamu berdasarkan kecepatan dan keanehan dalam gerakan, kalau dibilang cepat,
980
Pendekar Cacat
kecepatannya sanggup membuat orang tidak percaya, dibilang aneh, keanehannya mencapai taraf yang luar biasa sekali. Bagi seorang yang belajar silai, memang sulit untuk melatih diri hingga mencapai tingkat kecepatan serta keanehan seperti apa yang kau miliki sekarang, bahkan berlatih sampai mati pun belum tentu sanggup mencapainya, kenyataan kau mampu melakukannya. Kau sungguh pintar, ternyata bisa menggunakan teknik dan taktik yang tinggi untuk menggenggam pedangmu secara bergantian antara tangan kiri dan kanan." Han Siau-liong yang mendengar perkataan Bong Thian-gak itu segera manggut-manggut seakan-akan baru memahami akan sesuatu, dia menyela, "Ya, betul, ilmu pedang ekor naga milik Mo-toacengcu memang merupakan teknik pertukaran antara genggaman tangan kiri dan kanan." Berubah paras muka Mo Hui-thian mendengar perkataan itu, pelan-pelan dia berkata, "Sungguh tak kusangka kau telah berhasil memahami teknik permainan pedangku, hehehe, sayangnya, walaupun kau sudah tahu rahasia pergantian tangan kiri dan kananku, namun bagaikan sedang bermimpi bila ingin lolos dari serangan ketiga belas jurus ilmu pedang ekor nagaku dengan selamat." "Kalau memang begitu, silakan saja kau lancarkan seranganmu!" tantang Bong Thian-gak sambil tersenyum. Mo Hui-thian tertawa dingin.
981
Pendekar Cacat
"Sekali pun kau ingin mampus, buat apa mesti terburuburu? Tunggu sebentar lagi." "Mo Hui-thian," ujar Bong Thian-gak kemudian dengan suara sedingin salju, "sebetulnya dengan jurus pedangmu yang aneh dan hebat, kau masih bisa mengalahkan diriku dengan suatu serangan mendadak yang tidak terduga, tapi sekarang kau sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengungguli diriku." "Kau yakin mampu menghindarkan diri dari ketiga belas ilmu pedangku?" tanya Mo Hui-thian dengan nada tidak percaya. "Aku takkan memberi kesempatan kepadamu untuk melancarkan ketiga belas jurus serangan, pada saat kau melepaskan serangan yang pertama, kemungkinan besar pedangku telah berhasil merenggut nyawamu." Seolah-olah baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat menggelikan, Mo Hui-thian tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, selama beberapa puluh tahun aku berkecimpung dalam Bu-lim, tak pernah seorang pun sanggup mengungguli satu jurus serangan pun dariku, ingin kulihat pada malam ini, apa yang kau andalkan untuk mengungguliku?" Baru selesai perkataan itu, jurus pedang Mo Hui-thian telah dilancarkan.
982
Pendekar Cacat
"Sret", cahaya pedang tahu-tahu sudah terhadang di tengah jalan oleh kilatan cahaya pedang berwarna merah. "Cring", desingan nyaring yang memekakkan telinga bergema, sambil menarik kembali pedangnya, Mo Hui-thian melompat mundur. Bong Thian-gak berdiri sambil menghunus pedang darah, hawa pedang yang menyelimuti senjata itu mengepul seperti kabut yang menyelimuti pedang itu. "Mo Hui-thian, baju bagian dadamu sudah kena tertusuk sebanyak tiga buah oleh mata pedangku." Paras muka Mo Hui-thian pada saat itu benar-benar amat tak sedap dipandang, ia amat tekejut, ngeri, takut, sedih, kesal dan berbagai perasaan lainnya. Mo Hui-thian menundukkan kepala memeriksa, tentu saja dia tahu baju bagian dadanya telah bertambah dengan tiga buah lubang pedang, sebab pada saat itu dia merasa kulit badan dan bagian dadanya terasa perih dan sakit, bahkan ada cairan pekat yang membasahi tubuhnya, sudah jelas banyak darah yang bercucuran dari mulut luka itu. Tapi dari sudut manakah pedang itu menyerang masuk ke dalam tubuhnya? Sekarang Mo Hui-thian baru betul-betul bisa merasakan bahwa Jian-ciat-suseng memang benar-benar seorang musuh tangguh yang belum pernah dijumpai sebelumnya,
983
Pendekar Cacat
bisa jadi nama besar yang telah dipupuknya selama ini akan hancur di ujung pedang Jian-ciat-suseng itu. Teringat akan hal itu, air muka Mo Hui-thian segera berubah serius dan amat kereng, pedang disilangkan di depan dada, semua kekuatan dihimpun dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan menggenggam pedang darah di tangan tunggalnya, Bong Thian-gak berkata lagi dengan hambar, "Mo Huithian, tadi kau telah berhasil menusuk robek pakaian di bagian perutku dan sekarang aku pun berhasil melubangi baju bagian dadamu, menang kalah di antara kita pun aku rasa sudah menjadi seri. Tapi kau mesti ingat, dalam bentrokan berikut ini, bisa jadi di antara kita berdua bakal menderita kekalahan total." "Betul," jawab Mo Hui-thian dengan suara sedingin es, "dalam bentrokan berikut, bisa jadi seorang di antara kita bakal menemui ajal." Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu bertanya dengan suara pelan, "Mo-toacengcu, yakinkah kau mampu mengalahkan diriku?" Mo Hui-thian tertawa dingin. "Paling tidak harus makan banyak tenaga."
984
Pendekar Cacat
"Di saat kau berhasil mengalahkan aku, tentunya kau tak akan mampu lagi menghadapi Liu Khi serta Han Siau-liong." Perkataan itu tepat mengenai pikiran dan perasaan Mo Huithian, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia terbungkam. Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, Bong-buncu memang sangat pandai menggoyahkan mental dan iman orang lain, perkataanmu barusan sungguh merupakan pukulan batin yang paling berat baginya, cuma ... tujuan kita semua pada malam ini adalah demi peta rahasia harta karun, bisa jadi kita semua harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk pertarungan antara hidup dan mati." "Han-heng, tahukah kau peta harta karun itu berada dimana?" tanya Bong Thian-gak. Sambil tertawa Han Siau-liong menjawab, "Persoalan ini cukup kau tanyakan kepada Hong-kong Hwesio, dia pasti tahu." "Kalau memang begitu, sudah sepantasnya bila Han-heng segera turun tangan terhadap Hong-kong Hwesio dan muridnya." "Bong-buncu tak perlu kuatir," Han Siau-liong tertawa, "seratus orang lebih jagoan lihai dari Kay-pang telah mengepung rapat kuil Hong-kong-si ini, jadi setiap orang
985
Pendekar Cacat
yang berada dalam kuil Hong-kong-si jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat." "Oh, rupanya Han-heng sudah membawa bala bantuan yang begitu besar, tak heran kau tampak sangat tenang dan yakin bakal berhasil." "Ah, mana ... mana," Han Siau-liong tertawa, "Bong-buncu bakal bekerja sama dengan Hong-kong Hwesio serta Motoacengcu untuk menghadapi Kay-pang?" Bong Thian-gak tersenyum. "Bagi orang yang tahu keadaan dan bisa mempertimbangkan untung ruginya, dia memang harus berbuat demikian." Mendengar perkataan ini, Han Siau-liong tertawa terbahakbahak dengan nada menyeramkan, "Hahaha, sayang seribu kali sayang, antara Bong Thian-gak dan Hong-kong Hwesio maupun Mo-toacengcu sudah terjalin keretakan serta permusuhan, ibarat api dengan air yang tak mungkin bisa digabung." "Hiat-kiam-bun dengan pihak Kay-pang pun ibarat api dengan air," Bong Thian-gak tertawa. "Kalau begitu Buncu sudah menjadi musuh besar beramairamai, -kita bisa bekerja sama lebih dulu untuk menghilangkan kau dari muka bumi."
986
Pendekar Cacat
"Tapi sayang, kalian tak berani berbuat demikian," Bong Thian-gak menjengek sambil tertawa. "Mengapa?" Bong Thian-gak tertawa dingin, lalu katanya, "Sebab siapa saja di antara kalian bila ada yang berani menyerang diriku lebih dulu, maka dia bakal terluka paling dulu di ujung pedangku ini." Bong Thian-gak telah berdiri pada posisi menguntungkan, Pek-hiat-kiam disilangkan di depan dada, sementara dari posisinya secara lamat-lamat memancar hawa membunuh yang amat mengerikan. Kalau tadi tiada orang yang memperhatikan hal itu, maka sekarang semua orang telah memperhatikan posisi Bong Thian-gak dengan seksama, diam-diam mereka terkejut. Terutama Mo Hui-thian, tanpa terasa ia membatin, "Sungguh berbahaya, kalau aku melancarkan serangan lagi tadi, bisa jadi akan kalah total!" Setiap jago yang hadir dalam arena sekarang rata-rata merupakan jagoan kelas satu dalam Bu-lim, siapa saja dapat melihat Bong Thian-gak yang berdiri dengan pedang melintang, merupakan posisi ilmu pedang tingkat tinggi yang mengandung kekuatan luar biasa. Mendadak Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian katanya, "Sejak Hiat-kiam-bun berdiri, kami tak pernah mengganggu atau menyerang partai dan perguruan mana pun lebih dahulu, kedatangan kami di kuil Hong-
987
Pendekar Cacat
kong-si malam ini pun sama sekali tidak berniat untuk mengincar atau memperebutkan peta harta karun Mo-laycing-ong, terlebih kami pun tidak bermaksud memusuhi siapa pun, tentu saja aku pun tidak bermaksud membantu pihak mana pun. Sekarang semua keterangan telah kuutarakan secara jelas, tentunya kalian pun tidak usah merasa waswas terhadap Hiat-kiam-bun kami!" "Sungguhkah perkataan Bong-buncu itu?" tiba-tiba Han Siau-liong bertanya. "Han-heng boleh mencari peta harta karun itu dengan lega!" "Bong-buncu, seandainya kau tidak berniat mendapatkan peta harta karun itu, aku siap menurunkan perintah kepada anak buahku agar memberi jalan kepada kalian meninggalkan kuil Hong-kong-si ini." "Untuk meninggalkan kuil Hong-kong-si, bisa segera kami lakukan, tetapi jiwa dua orang pelindung hukum perguruan kami tak dapat dikorbankan dengan sia-sia di tangan Mo Hui-thian." "Asal Bong-buncu bersedia meninggalkan tempat ini, aku orang she Han bersedia pula membantu kalian menuntut balas atas kematian kedua orang pelindung hukummu." "Terima kasih Han-heng, sayang sekali urusan Hiat-kiambun harus diselesaikan pula oleh orang-orang Hiat-kiambun sendiri."
988
Pendekar Cacat
"Kalau memang demikian, mengapa Bong-buncu tak melancarkan serangan terhadap Mo-toacengcu?" "Sebab aku menguatirkan sesuatu, itulah sebabnya hingga sekarang masih belum berani turun tangan." Mendadak Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya, "Apakah Bong-buncu menguatirkan kami?" "Sedikit kuatir saja, yang terutama aku kuatir penyerbuan secara besar-besaran dari pihak Put-gwa-cin-kau." "Bong-buncu benar-benar seorang yang berotak panjang, cuma saja perhitunganmu malam ini keliru besar, hingga sekarang orang-orang Put-gwa-cin-kau masih belum mengetahui peta harta karun itu." Kontan Bong Thian-gak tertawa dingin, "Pengetahuan Hanheng juga kelewat sedikit. Bila dugaanku tidak salah, bisa jadi orang-orang Put-gwa-cin-kau sudah menyerbu masuk ke dalam kuil Hong-kong-si ini." "Perkataan Bong-buncu sungguh sukar dipercaya." "Musuh tangguh sudah di depan mata, biarpun Han-heng tidak percaya pun sekarang harus mempercayainya juga." Baru selesai perkataan itu diutarakan, dari ujung gedung pelan-pelan berjalan keluar seseorang.
989
Pendekar Cacat
Gerak-gerik orang ini sama sekali tidak menimbulkan suara, di tengah kegelapan hanya sepasang matanya yang nampak mencorong terang seperti bintang timur, dalam sekejap saja orang itu sudah sampai di tengah halaman. "Si-hun-mo-li." Long Jit-seng yang pertama menjerit kaget lebih dahulu. Betul, orang yang baru menampakkan diri tak lain adalah gadis berbaju biru berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan. Tatkala Bong Thian-gak menyaksikan pendatang itu adalah Si-hun-mo-li, paras mukanya berubah hebat. Mendadak Han Siau-liong berkata, "Liu-susiok, biar aku pergi menengok keadaan To Siau-hou." Belum habis ia berkata, Bong Thian-gak telah menghela napas panjang, selanya, "Tidak usah ditengok lagi! Aku kira sebagian besar anak murid kaum pengemis yang bersembunyi di sekeliling kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah." "Darimana Bong-buncu bisa tahu?" "Anak murid kaum pengemis yang bersembunyi di seputar kuil Hong-kong-si dipimpin oleh To Siau-hou, dengan kecerdasan dan kepandaian silatnya, tak mungkin dia membiarkan musuh menyerbu ke dalam kuil Hong-kong-si
990
Pendekar Cacat
sedemikian mudahnya, tapi ia telah berjumpa dengan Jikaucu Put-gwa-cin-kau." Belum habis perkataan Bong Thian-gak, Han Siau-liong sudah berubah hebat air mukanya, dia berseru tertahan, kemudian seperti burung bangau terbang di udara, dia meluncur keluar gedung. "Han-heng, hati-hati dengan Si-hun-mo-li," mendadak dia berteriak. Ketika teriakan Bong Thian-gak masih mengalun di tengah udara, Han Siau-liong sudah menjerit kaget, tubuhnya melejit ke tengah udara, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali, dia melayang kembali ke tempat semula. Rupanya di saat Han Siau-liong sedang berlari keluar, Sihun-mo-li yang semula berdiri kaku di tengah halaman gedung sudah menyongsong kedatangannya dengan cepat, bahkan telapak tangannya yang berwarna merah dihantamkan secara langsung ke dada Han Siau-liong. Bagaimana pun juga Han Siau-liong merupakan seorang jago persilatan berilmu tinggi, sudah barang tentu dia cukup mengetahui kelihaian pukulan itu, serta-merta dia menjatuhkan diri dan berguling di atas tanah untuk menghindarkan diri dari sergapan kilat Si-hun-mo-li itu. Gagal dengan sergapan mautnya, Si-hun-mo-li segera melejit ke tengah udara dan berjumpalitan beberapa kali
991
Pendekar Cacat
secara indah dan manis, kemudian dengan lembut dan enteng dia melayang ke depan menerjang Han Siau-liong. Seperti guntur membelah bumi Han Siau-liong membentak keras, pedang bajanya disertai gulungan angin serangan yang amat dahsyat langsung membacok ke depan. Si-hun-mo-li berteriak seperti kicauan burung nuri, tubuhnya yang lembut seperti seekor ular menggeliat, memutar badan menghindarkan diri dari bacokan pedang lawan, kemudian begitu melayang turun di hadapan Han Siau-liong, telapak tangannya yang indah menawan itu langsung dihantamkan ke dada lawan. Kelihatannya saja serangan itu seperti lemah tidak betenaga, namun dalam pandangan seorang ahli, kecepatan gerak serangan itu benar-benar seperti sambaran petir. Han Siau-liong berseru tertahan, sekujur tubuh berikut pedangnya dijatuhkan ke sisi sebelah kiri, telapak tangan Sihun-mo-li itu pun menggelincir lewat di bawah iga kirinya. Han Siau-liong ternyata sanggup menghindar dari sergapan maut Si-hun-mo-li, hal ini menunjukkan kepandaian silatnya cukup tangguh. Akan tetapi perubahan jurus serangan Si-hun-mo-li pun pada hakikatnya cepat sukar dibayangkan.
992
Pendekar Cacat
Terlihat lengannya yang telah menerobos ke muka itu tibatiba menekuk terus menggaet, jari-jari tangannya yang lembut tahu-tahu sudah menghantam pinggang sebelah kanan Han Siau-liong. Dalam anggapan para jago yang menonton jalannya pertarungan dari sisi arena, kali ini Han Siu Liong tak bakal mampu menghindar lagi dari serangan itu. "Sret, sret", dua kali desingan tajam mendengung, dua kilatan cahaya putih telah meluncur dari tangan Liu Khi, langsung mengarah jalan darah tenggorokan serta urat nadi tangan Si-hun-mo-li. Senjata rahasia pisau terbang Liu Khi memang termasyhur sebagai senjata rahasia yang tiada duanya di kolong langit. Setiap kali pisau terbangnya dilancarkan, sudah pasti musuh akan terhajar secara telak hingga tewas atau paling tidak terluka dan selama ini tidak pernah meleset, Si-hunmo-li pun tak dapat menghindarinya. Tapi situasi dalam sekejap telah berubah. Pada saat kedua bilah pisau terbang Liu Khi meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, tiba-tiba berkelebat pula serentetan cahaya merah yang amat menyilaukan mata menyongsong sambaran itu. Di tengah dentingan nyaring dan percikan bunga api yang memancar kemana-mana, tahu-tahu pisau terbang yang
993
Pendekar Cacat
mengancam tenggorokan Si-hun-mo-li sudah terpental dan mengenai tempat kosong. Menyusul kemudian terdengar jerit kesakitan tertahan. Pisau terbang yang lain berhasil menancap di lengan kiri Sihun-mo-li, darah segar pun segera bercucuran dengan derasnya. Di tengah jeritan kagetnya, Si-hun-mo-li segera melompat mundur beberapa tombak. Bagaimana pun juga pisau terbang Liu Khi telah berhasil menyelamatkan jiwa Han Siau-liong dari bencana maha besar. Sedangkan Bong Thian-gak juga telah menyelamatkan jiwa Si-hun-mo-li. Rupanya cahaya bianglala yang berkelebat tadi tak lain adalah serangan pedang Bong Thian-gak. Dengan serangan itu dia telah merontokkan pisau terbang yang mangancam tenggorokan Si-hun-mo-li. Mimpi pun kawanan jago yang berada dalam halaman itu tak mengira Bong Thian-gak bakal turun tangan menyelamatkan jiwa Si-hun-mo-li dari ancaman maut. Liu Khi tertawa dingin, lalu jengeknya, "Wah, cepat benar gerakan pedang Bong-buncu!"
994
Pendekar Cacat
Sedangkan Han Siau-liong turut membentak pula dengan keras, "Bong-buncu apa-apaan kau? Si-hun-mo-li adalah musuh besar segenap umat persilatan, mengapa kau malah membgntu dirinya?" "Biarpun Si-hun-mo-li adalah musuh kita semua," kata Bong Thian-gak, "akan tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian mencelakai jiwanya." "Mengapa?" teriak Han Siau-liong setengah menjerit. "Kesadaran Si-hun-mo-li telah punah," ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam, "ia membunuh orang, mencelakai orang, karena semua perbuatannya itu bukan muncul atas kehendaknya sendiri, dia pribadi sebetulnya hanya seorang yang mengenaskan dan pantas untuk dikasihani." Sementara pembicaraan berlangsung, Si-hun-mo-li yang berada di samping arena tertawa seram, tiba-tiba dia menerjang ke arah Bong Thian-gak. Melihat datangnya terjangan itu Bong Thian-gak menggerakkan Pek-hiat-kiam melepaskan sebuah tusukan ke samping, tujuannya tidak lain untuk membendung gerakan Si-hun-mo-li yang mendekati tubuhnya, itulah sebabnya tenaga yang disertakan dalam serangan itu pun tidak terlalu besar. Siapa tahu Si-hun-mo-li segera menggoyang pinggulnya dan tiba-tiba saja menerobos masuk melalui bawah pedang,
995
Pendekar Cacat
lalu telapak tangannya dengan kelima jari tangan mirip cakar maut mencengkeram alat kelamin Bong Thian-gak. Jurus-serangan semacam ini pada hakikatnya merupakan sebuah jurus serangan mematikan, kecepatan gerakannya pun luar biasa. Dalam terkejutnya Bong Thian-gak segera mengayunkan kaki kanannya melepaskan tendangan kilat ke arah lengan perempuan itu. Sampai kini kesadaran Si-hun-mo-li belum pulih, dia seolaholah cuma tahu menyerang musuh dan tidak mengira musuh bakal melancarkan serangan balasan ke arahnya, oleh sebab itu lengannya segera termakan tendangan kilat Bong Thian-gak. Tendangan itu persis menghajar mulut lukanya, diiringi jerit kesakitan Si-hun-mo-li memegang tangan kirinya dengan tangan kanan dan secara beruntun mundur tiga-empat langkah. Darah segar segera bercucuran dengan derasnya dari lengannya, Bong Thian-gak menjadi tidak tega menyaksikan rasa sakit yang memancar dari wajah perempuan itu, tanpa terasa dia berseru lirih, "Thay-kun, maafkanlah aku!" Dari balik mata Si-hun-mo-li memancar sinar buas menggidikkan hati, akan tetapi mendengar panggilan "Thay-kun" dari Bong Thian-gak itu perasaannya seakan-
996
Pendekar Cacat
akan bergetar keras, sepasang matanya yang jeli dan indah segera mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip. Dia seakan-akan sedang membayangkan suatu kenangan yang telah begitu lama dilupakan olehnya. Agaknya sorot mata maupun suara Bong Thian-gak masih tersisa setitik bekas dan kesan dalam benak Si-hun-mo-li, oleh sebab itu untuk beberapa saat lamanya Si-hun-mo-li menghentikan gerak serangannya. Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak berseru kembali dengan suara mengenaskan, "Thay-kun, masih ingatkah kau padaku? Aku adalah Ko Hong." "Ko Hong", begitu dua patah kata itu meluncur, paras muka Si-hun-mo-li segera berubah hebat. Kini paras mukanya berubah menjadi sedih, murung dan amat mengenaskan sekali. "Oh ... Ko Hong ... wahai Ko Hong, dimanakah kau berada? dimanakah kau berada? Sungguh mengenaskan kematian itu." Sejak Si-hun-mo-li terjun kembali ke dalam Bu-lim, selama ini tak pernah seorang pun yang pernah mendengar perempuan itu berbicara. Tapi malam ini, dia telah berbicara seorang diri. Ucapannya amat memilukan, membuat orang pedih, seakan-akan suara gumaman orang yang sedang mengigau.
997
Pendekar Cacat
Dengan suara rendah Bong Thian-gak berkata lagi, "Thaykun, aku adalah Ko Hong, aku belum mati, hanya kehilangan sebuah lengan saja. Thay-kun, aku pasti akan menyembuhkan kesadaranmu yang telah punah itu." Ketika mendengar perkataan itu, dengan sepasang matanya yang jeli dan bening Si-hun-mo-li mengamati wajah Bong Thian-gak beberapa saat, mendadak dia menggeleng perlahan, sekulum senyuman genit yang membetot sukma tahu-tahu tersungging di ujung bibirnya. Senyuman itu penuh mengandung daya tarik yang luar biasa, membuat Bong Thian-gak jadi tertegun dibuatnya. Segenap jago yang berada di halaman gedung itu pun turut tertegun dan termangu-mangu dibuatnya. Sementara senyuman yang manis memukau hati orang masih menghiasi wajah Si-hun-mo-li, pada saat itu pula tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan selangkah demi selangkah berjalan menuju ke hadapan Bong Thian-gak. Gerak-geriknya itu dilakukan dengan lemah lembut, sama sekali tiada niat permusuhan, bahkan senyuman yang tersungging di bibirnya pun nampak begitu damai, lembut dan nikmat. Tapi pada saat itulah tiba-tiba Si-hun-mo-li mengangkat telapak tangan kanannya ke tengah udara dan pelan-pelan ditekan ke atas dada Bong Thian-gak.
998
Pendekar Cacat
Pada saat bersamaan berkumandang pula suara pujian kepada sang Buddha yang keras seperti suara genta di fajar buta. "Omitohud!" Serta-merta Bong Thian-gak yang berdiri termangu seperti orang kehilangan ingatan, segera sadar kembali. Walaupun begitu, suara pujian kepada Buddha itu berkumandang sedikit rada terlambat. Di saat Bong Thian-gak mendusin dari rasa kagetnya, telapak tangan kanan Si-hun-mo-li sudah menghantam dada Bong Thian-gak secara pelan-pelan. Dengusan tertahan bergema dari bibir Bong Thian-gak, dadanya serasa dihantam oleh batu raksasa yang beratnya ribuan kati dan matanya berkunang-kunang, tenggorokan terasa, anyir dan darah segar tahu-tahu sudah menyembur dari mulutnya. Berbareng itu sekujur tubuhnya terlempar beberapa tombak dari tempat semula. Si-hun-mo-li tertawa seram, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia langsung menerkam ke depan anak muda itu. "Thay-kun," jerit Bong Thian-gak dengan suara keras, "kau ... kau benar-benar kehilangan kesadaranmu." Bong Thian-gak melayang mundur lagi.
999
Pendekar Cacat 1000
Sewaktu mendengar jeritan keras itu, sekujur badan Si-hunmo-li tampak gemetar keras, sekali lagi dia berdiri tak bergerak di tempat. "Omitohud, Sicu sudah terkena pukulannya, berarti tiada obat yang bisa menyembuhkan jiwamu lagi," kata Hongkong Hwesio sambil berjalan ke samping Bong Thian-gak. Melihat Hong-kong Hwesio mendekatinya, Bong Thian-gak segera menggerakkan pedang di tangan kanannya menciptakan sebuah gerakan serangan yang ampuh, kemudian sambil tertawa dingin katanya, "Hwesio tua, aku tidak bakal mati, bila kau ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, kau mesti menyambut beberapa jurus seranganku lebih dahulu." Hong-kong Hwesio menghela napas panjang dan menggeleng kepala, katanya, "Lolap tak bermaksud bertarung, berhubung aku mempunyai suatu masalah yang tak kupahami, maka mumpung Sicu belum mati, aku ingin menanyakan sampai jelas, harap Sicu bersedia menjawab pertanyaanku itu." Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berseru, "Aku tidak bakal mati, bila kau ingin menanyakan sesuatu cepat utarakan!" Pelan-pelan Hong-kong Hwesio bertanya, "Belum pernah ada seorang pun yang bisa lolos dalam keadaan hidup setelah terhajar secara telak oleh serangan Si-hun-mo-li, keadaan Sicu saat ini benar-benar berbahaya sekali, ai!
Pendekar Cacat 1001
Adapun persoalan yang ingin Lolap tanyakan adalah sebutan Ko Hong' yang Sicu pergunakan tadi, benarkah Sicu adalah orang yang bernama Ko Hong?" Bong Thian-gak tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, dia berkata, "Hwesio tua, aku tidak bakal mati dan sekali aku bilang tak akan mampus aku tetap tak akan mampus. Ilmu pukulan paling lihai yang diandalkan Si-hunmo-li adalah ilmu sakti Soh-li-jian-yang-sin¬kang, padahal Si-hun-mo-li hanya berhasil melatih ilmu pukulan Soh-lijian-yang-sin-kang pada tangan kiri. Sedangkan serangan yang bersarang di tubuhku tadi berasal dari telapak tangan kanannya, oleh sebab itu aku tidak bakal mati, aku hanya menderita luka parah isi perutku saja." Mendengar penjelasan ini, Hong-kong Hwesio berkata, "Kalau demikian Sicu memang benar-benar adalah Ko Hong, kalau tidak, mustahil kau bisa mengetahui asal-usul Si-hun-mo-li sedemikian jelas." Bong Thian-gak tersenyum. "Ko Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun berselang, Bong Thian-gak barulah namaku yang sebenarnya, Hwesio tua, ada keperluan apa kau menanyakan tentang hal ini?" Setelah menghela napas panjang, Hong-kong Hwesio berkata, "Pernahkah Bong-sicu mengira, semasa hidupnya dulu Thia Leng-juan pernah meminta kepada Lolap untuk mencarikan seseorang yang bernama Ko Hong."
Pendekar Cacat 1002
"Thia Leng-juan menyuruh kau mencari aku? Apakah dia meminta kau untuk membunuhku?" Sekali lagi Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Bong-sicu kau salah besar! Ketika Thia Leng-juan Tayhiap meminta Lolap mencarimu, dia meminta Lolap membantu segala sesuatu bagimu, dia berkata kau adalah murid penutup Ku-lo Sinceng dari Siau-lim-pay, sebelum beliau menutup mata, kau pun pernah mempelajari ilmu Tat-mokhi-kang sehingga kaulah satu-satunya orang yang bisa mematahkan serangan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Sihun-mo-li. Di samping menyerahkan pesannya itu kepada Lolap, Thia Leng-juan juga pernah menjelaskan segala sesuatu alasannya menggabungkan diri dengan pihak Putgwa-cin-kau." Tatkala mendengar semua itu, sekujur badan Bong Thiangak gemetar keras, dengan sedih dia menyela, "Jadi Thia Leng-juan tidak pernah menyeleweng dari kebenaran?" Hong-kong Hwesio menghela napas sedih, "Sejak permulaan sampai akhir Thia Leng-juan tak pernah menyeleweng dari kebenaran. Untuk menghadapi cengkeraman iblis yang mulai meluas di seluruh dunia persilatan, dia tak segan-segannya mengorbankan diri. Biarpun di luar dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau, padahal sebetulnya dia adalah musuh dalam selimut, itu hanya sebagian saja dari kecerdasan otaknya, ai, dalam keadaan begini, Lolap tidak ada waktu untuk menerangkan segala sesuatunya kepadamu secara jelas, Thian sungguh adil, Thia-tayhiap memang benar-benar pahlawan sejati,
Pendekar Cacat 1003
pendekar perkasa harus mengorbankan jiwanya secara demikian mengenaskan." Dalam pada itu dalam benak Bong Thian-gak seakan-akan terlintas semua gerak-gerik serta ucapan Thia Leng-juan menjelang ajalnya tadi. Tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah, dengan terbata-bata dia berbisik, "Aku sangat menyesal, aku telah bertindak gegabah." Sambil bergumam, selangkah demi selangkah dia berjalan menghampiri jenazah Thia Leng-juan, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan berkomat-kamit entah apa yang didoakan. Dia amat menyesal atas kecerobohan sendiri. Dia merasa amat sedih, kesal dan murung. Tiba-tiba dari samping tubuhnya berkumandang suara pujian syukur kepada sang Buddha, kemudian Hong-kong Hwesio berkata pelan, "Omitohud! Ai, Sicu tak perlu menyesal, kematian Thia-tayhiap bukan seluruhnya dikarena kecerobohan Sicu ... aku masih ingat perkataannya kepadaku tempo hari, 'Bila Ko Hong masih hidup, maka di saat dia muncul lagi dalam Bu-lim, Thia Leng-juan merasa tiada kepentingan lagi untuk tetap hidup di dunia ini'. Dari kata-katanya itu bisa disimpulkan bahwa Thia-tayhiap memang sudah mempunyai rencana untuk
Pendekar Cacat 1004
mengakhiri hidupnya setelah mengetahui bahwa Sicu adalah Ko Hong." "Mengapa dia berencana mengakhiri hidupnya setelah berjumpa dengan diriku?" tanya Bong Thian-gak pedih. "Kesulitan Thia-tayhiap tidak mungkin bisa Lolap terangkan dengan sepatah dua patah kata saja, lebih baik kita bicarakan lagi di kemudian hari. Sekarang yang penting Sicu harus bersiap menghadapi kawanan musuh tangguh!" Sementara mereka sedang berbincang, di sekeliling halaman itu telah bermunculan bayangan orang dengan cepat, rombongan orang berbaju hitam itu mengepung dengan menggenggam tombak. Dari kemampuan mereka berjalan tanpa menimbulkan suara serta gerak-geriknya yang aneh dan misterius, bahwasanya rombongan itu betul-betul merupakan sekelompok musuh tangguh yang lihai. Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memperhatikan sekejap orang-orang yang berada di sekeliling tempat itu, kemudian dengan cepat dia melompat bangun sambil bisiknya, "Ah, mereka adalah orang-orang Put-gwa-cinkau." "Betul," Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau, sungguh tak kusangka dia pun sudah muncul di wilayah Hopak."
Pendekar Cacat 1005
"Dia? Siapa yang kau maksud?" tanya Bong Thian-gak keheranan. Hong-kong Hwesio memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya, "Sicu, tahukah kau, manusia manakah yang merupakan musuh terlihai di dalam Putgwa-cin-kau?" "Cong-kaucu serta Ji-kaucu?" Dengan cepat Hong-kong Hwesio menggeleng kepala berulang kali, katanya cepat, "Biarpun Ji-kaucu serta Congkaucu sangat lihai, kedua orang itu tidak menakutkan." Mendengar perkataan itu sekali lagi Bong Thian-gak mengawasi orang-orang berbaju hitam yang berada di sekeliling tempat itu, mendadak ia berseru tertahan sambil serunya, "Ah, tampaknya rombongan orang ini berasal dari pasukan pengawal tanpa tanding?" "Ya, betul," Hong-kong Hwesio mengangguk, "mereka adalah pasukan pengawal tanpa tanding dari Put-gwa-cinkau." Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian tanyanya, "Apakah orang paling lihai dari Put-gwa-cin-kau yang kau maksudkan adalah komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding ini?" "Betul, dialah yang kumaksudkan."
Pendekar Cacat 1006
"Apakah dia pun berada di sini?" "Belum, tapi dia pasti akan muncul di tempat ini, sebab ketiga belas pengawalnya sudah muncul." Sementara itu Han Siau-liong yang menyaksikan kemunculan ketiga belas orang berbaju hitam itu makin percaya bahwa kawanan jago Kay-pang yang ditugaskan menjaga di luar kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah. Han Siau-liong berpaling ke arah Liu Khi, lalu katanya, "Susiok, aku rasa kita harus turun tangan lebih dulu untuk menguasai keadaan." Sejak muncul hingga sekarang, Liu Khi jarang berbicara, pada saat itulah dia menjawab dengan suara dingin, "Siauliong, kau harus dapat mengendalikan diri, pertarungan yang bakal berkobar dalam kuil Hong-kong-si hari ini, bisa jadi akan merupakan pertarungan mati-matian yang jarang terjadi Bu-lim, barang siapa bisa mempertahankan hidup dalam pertarungan nanti, dialah yang mungkin akan mendapat harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cingong." Beberapa patah kata Liu Khi menggerakkan hati kawanan jago yang berada di dalam arena, semua orang seolah-olah dapat merasakan juga bahwa di dalam kuil Hong-kong-si yang kecil itu bisa jadi akan berkobar pertempuran berdarah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pendekar Cacat 1007
13 PERTEMPURAN DEMI HARTA KARUN
T
iba-tiba Mo Hui-thian tertawa kering, kemudian berkata, "Apabila pihak Kay-pang ingin mengangkangi sendiri harta karun Mo-lay-cing-ong, hanya dengan mengandalkan kemampuan Liu Khi serta I lan Siau-liong saja hal itu jauh tidak cukup." "Bagaimana pun juga kemampuan Kay-pang rasanya masih jauh lebih mengungguli kemampuan perkumpulan Kiamliong-kiam-san-ceng." Liu Khi balas mengejek. "Hehehe, perkataan Liu-heng memang tepat," Mo Huithian tertawa kering, "cuma pedang Lohu ini bukanlah pedang yang bisa dihadapi seenaknya." "Aku tahu, pedang Mo-loji paling tidak masih mampu membacok batok kepala beberapa anggota Put-gwa-cinkau, kami Kay-pang ingin meminjam pedangmu itu."
Pendekar Cacat 1008
"Mana ... mana, mengapa Liu-heng tidak mulai terlebih dahulu?" "Atas dasar kemampuan kita bertiga, rasanya masih belum cukup untuk menghadapi orang-orang Put-gwa-cin-kau," jawab Liu Khi dingin.
"Omitohud!" tiba-tiba Hong-kong Hwesio memuji keagungan lUiddha, "perkataan Liu-sicu memang benar, perubahan situasi yang kita hadapi sekarang membutuhkan kerja sama untuk menghadapi musuh l.ingguh Put-gwa-cinkau, kita wajib menghancurkan dan mematahkan mereka terlebih dahulu." Mo Hui-thian tertawa, selanya, "Seandainya beberapa orang di antara kita bersedia bekerja sama, aku yakin kekuatan yang kita himpun ini sanggup untuk menghadapi serbuan pihak Put-gwa-cin-kau, sayang, kita semua masih belum seia-sekata."
Selesai berkata, dia berpaling dan memandang sekejap Bong Thian-gak. Tentu saja Bong Thian-gak memahami maksud Mo Huithian itu, maka ujarnya kemudian dengan suara hambar, "Biarpun pihak Kay-pang serta perkumpulan Kim-liongkiam-san-ceng mempunyai dendam kesumat dengan Hiat-
Pendekar Cacat 1009
kiam-bun, tapi permusuhan itu tidak sedalam permusuhan kami dengan pihak Put-gwa-cin-kau." "Kalau begitu kita bisa bersatu-padu sekarang?' ujar Mo Hui-thian sambil tertawa. "Nah, kita turun tangan lebih dulu menggasak habis manusia-manusia cecunguk itu." "Yang perlu kita musnahkan pertama-tama adalah Si-hunmo-li," kata Liu Khi tiba-tiba. Selesai berkata, lengan tunggalnya segera diayunkan ke depan, dua batang pisau terbang yang telah disiapkan sejak tadi disambitkan ke muka.
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat, "Tunggu sebentar!" Mo Hui-thian tertawa dingin, jengeknya, "Beberapa kelompok di antara kita ini memang selamanya tak mungkin bisa bersatu." "Barang siapa di antara kalian berani memukul Si-hun-moli, Pek-hiat-kiam di tanganku ini tak akan memberi ampun kepadanya," ancam Bong Thian-gak dengan suara dalam. Sembari berkata, Pek-hiat-kiam di tangannya segera disilangkan di depan dada, kemudian dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh dia mengawasi semua orang dengan seksama.
Pendekar Cacat 1010
Suasana di halaman gedung itu seketika tercekam dalam keheningan, rasa tegang dan napsu membunuh yang menggidikkan menyelimuti benak setiap orang. Han Siau-liong segera menimbrung, "Bong-buncu, kau sudah merasakan sendiri betapa lihainya Si-hun-mo-li, seandainya perempuan itu tidak kita lenyapkan lebih dulu, kemungkinan besar kita semua akan terluka oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kangnya."
"Perkataanku tadi sudah cukup jelas," kata Bong Thian-gak dengan wajah serius, "aku tak mengizinkan orang melukainya, bila Liu Khi berani melepas pisau terbangnya, maka Pek-hiat-kiam ini akan segera memenggal pula batok kepalanya." Liu Khi yang mendengar perkataan itu tertawa dingin, "Sekali pun pisau terbang Liu Khi sudah dicekal dalam genggaman, tak pernah berlaku dalam kamusku untuk menyimpannya kembali." "Aku tahu kepandaian silat yang kau miliki sangat hebat, tapi pada saat kau melepaskan pisau terbangmu itu, mustahil bisa menghindar dari babatan Pek-hiat-kiam, maka kunasehati kepadamu, lebih baik jangan menyerempet bahaya."
Pendekar Cacat 1011
Mendadak Mo Hui-thian mengangkat pedangnya dan dari kejauhan diarahkan pada Bong Thian-gak, setelah itu katanya sambil tertawa kering, "Sebetulnya aku merupakan penengah, tapi setelah diperhitungkan untung ruginya, aku lebih condong berpihak ke Liu-heng, dengan posisi demikian apakah Bong Thian-gak masih tetap bersikeras melindungi Si-hun-mo-li?" "Omitohud!" tiba-tiba Hong-kong Hwesio berkata memuji keagungan Buddha, "kuminta Sicu sekalian jangan bertindak kelewat gegabah, lebih baik kita bersama-sama merundingkan cara pemecahan yang bijaksana."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu berkata, "Kuharap kalian bersedia mendengarkan perkataanku, sesungguhnya Si-hun-mo-li adalah seorang perempuan yang patut dikasihani, aku Bong Thian-gak pernah berhutang budi kepadanya, oleh sebab itu bila kalian berharap bantuanku malam ini untuk menghadapi orang-orang Put-gwa-cin-kau, maka kalian harus memenuhi syaratku lebih dulu, yakni tidak boleh mencelakai jiwa Sihun-mo-li." Baru selesai perkataan itu, mendadak terdengar suara dingin yang menggidikkan berkumandang dari sudut halaman gedung, menyusul kemudian seseorang berkata dengan suara sedingin salju, "Dengan mengandalkan kemampuan kalian, aku rasa masih belum mampu membunuh Si-hun-mo-li."
Pendekar Cacat 1012
Mendengar perkataan itu, para jago segera berpaling, dari sudut halaman sebelah utara pelan-pelan muncul dua orang. Orang pertama adalah sastrawan berbaju hijau yang sangat di kenal Bong Thian-gak, yakni Ji-kaucu. Sedangkan orang kedua adalah seorang kakek berbaju panjang berwarna hitam yang pada bagian dadanya tersulam seekor naga emas yang sedang melingkar. Orang itu seperti tidak membawa senjata, dia hanya bertangan kosong, namun Bong Thian-gak yang melihat sorot mata dan gerak-geriknya yang mantap, kontan keningnya berkerut kencang.
Ia merasa kelihaian ilmu silat orang ini mungkin sudah mencapai tingkat yang tak terhingga, bahkan di antara kawanan jago persilatan yang pernah dijumpai olehnya, boleh dibilang kakek baju hitam inilah yang memiliki kepandaian silat paling hebat. Perasaan ini hanya Bong Thian-gak yang dapat merasakan. Mungkinkah dia adalah komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau?
Pendekar Cacat 1013
Kakek berbaju hitam itu berjalan bersanding dengan Jikaucu, sambil melangkah ke arena, dia menyapu pandang sekejap para jago yang hadir, katanya dengan suara dingin, "Liu Khi, bila kau tidak percaya, silakan kau timpukkan pisau terbangmu itu, coba kita buktikan apakah Si-hun-mo-li benar-benar akan mampus di ujung pisau terbangmu itu?" Dalam keadaan demikian, secara tiba-tiba Liu Khi menarik kembali kedua pisau terbang yang semula dicekal dalam genggamannya, kemudian setelah tertawa, katanya, "Kau ingin menyaksikan aku melepaskan pisau terbang? Boleh saja, tapi tunggu sampai kita berhadapan nanti, bisa kau buktikan dengan mata kepalamu sendiri!"
Kakek berbaju hitam tertawa dingin, "Selama ini dalam Bulim tersiar berita yang mengatakan Liu Khi adalah seorang ahli senjata rahasia nomor wahid di kolong langit, sayang aku justru tak mau percaya dengan ucapan itu!" "Bagaimanakah kemampuan Liu Khi dalam melepaskan pisau terbang, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada Jikaucu?" Liu Khi berkata sambil berkata. Ji-kaucu yang berada di sisi kiri lantas tersenyum, "Biarpun pisau terbangmu lebih cepat setingkat pada tiga tahun berselang ketika kita beradu di wilayah Sucwan, namun
Pendekar Cacat 1014
pertandingan itu sesungguhnya belum dapat menentukan secara tepat siapa yang unggul." "Kalau begitu dengan cara apa kita baru dapat mengetahui secara tepat siapa sesungguhnya yang lebih unggul di antara kita?"
"Aku pikir, kita harus mengulangi pertarungan penentuan untuk membuktikan siapa sesungguhnya yang lebih unggul," jawab Ji-kaucu dengan wajah membesi dan suara hambar. "Ya, tentu saja dengan senang hati akan kulayani pertarungan ulangan itu." Mendadak terdengar Hong-kong Hwesio berseru dengan suara keras, "Sim Tiong-kiu, masih ingat dengan aku si Hwesio tua?" "Biar kau si keledai gundul sudah berubah menjadi abu pun aku masih mengenali dirimu," jawab kakek baju hitam itu dengan keras. "Omitohud, Sim-sicu! Kuanjurkan padamu, lebih baik lepaskan saja golok pembunuhmu! Biarpun pelajaran Buddha tak bertepian, namun Hud-co pasti akan mengampuni semua dosa-dosa Sicu di masa lampau bila kau bersedia bertobat."
Pendekar Cacat 1015
Kakek berbaju hitam itu tertawa dingin, "Keledai gundul, apakah kau sudah menyadari bakal mati pada malam ini, maka sekarang memohon Lohu untuk memberikan jalan hidup bagimu?" "Omitohud," kata Hong-kong Hwesio, "bila Sim-sicu masih juga tak mau bertobat dan menyesali semua kejahatan yang pernah kau lakukan, jangan menyesal nanti." "Hong-kong Hwesio," tukas kakek berbaju hitam ketus, "sekali pun kau menghadap dinding dan berlatih tekun selama lima puluh tahun lagi masih bukan tandinganku, siapa orangnya yang mampu mencabut nyawaku?" Perkataan kakek berbaju hitam ini sangat takabur dan sombong bukan alang-kepalang, ia benar-benar tidak memandang sebelah mata terhadap orang lain, seakanakan dialah manusia paling hebat di kolong langit dan tiada orang kedua yang mampu mengungguli dirinya.
Sudah barang tentu semua jago yang hadir dalam arena merasa mendongkol. Mendadak Han Siau-liong tertawa tergelak, kemudian serunya, "Kesombongan dan kejumawaanmu benar-benar membuat perasaan orang tidak enak, biarpun aku hanya seorang yang berkepandaian cetek, namun ingin sekali
Pendekar Cacat 1016
kucoba sampai dimanakah kemampuan orang yang menganggap dirinya paling wahid di kolong langit ini." "Bila kau tidak percaya, silakan saja mencoba," jengek kakek baju hitam itu hambar. "Oh, tentu saja aku akan mencoba," Han Siau-liong tertawa lebar.
Selesai berkata, dengan pedang terhunus selangkah demi selangkah Han Siau-liong maju ke muka. Melihat Han Siau-liong tampil, buru-buru Hong-kong Hwesio berkata, "Han-sicu, harap berhenti dulu." "Hahaha," Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hwesio tua, biarpun aku bisa menahan diri dan membiarkan cecunguk itu pamer kesombongannya, sayang, orang lain tidak memiliki kesabaran sebesar itu."
Liu Khi sendiri pun dapat merasakan kepandaian silat kakek berjubah hitam itu lihai sekali dan Han Siau-liong bukan tandingannya, tapi batinnya, "Tenaga dalam Han Siau-liong amat sempurna, sekali pun kakek baju hitam itu ingin mengunggulinya, hal ini tak akan terjadi dalam satu-dua gebrakan saja ... biar saja dia turun tangan menguji kemampuannya."
Pendekar Cacat 1017
Karena pikiran ini, maka dia pun membiarkan Han Siauliong meneruskan langkahnya. Baik Bong Thian-gak maupun Mo Hui-thian sama-sama ingin mengetahui sampai dimanakah kemampuan kakek berjubah hitam itu, dengan mata tak berkedip mereka mengawasi langkah Han Siau-liong menuju ke depan.
Tentu saja Han Siau-liong memiliki kepandaian amat lihai, sepintas dia nampak seperti pemuda yang tinggi hati dan jumawa, padahal dia tak berani menganggap enteng setiap lawannya. Dengan langkah tegap dan mantap, selangkah demi selangkah dia maju ke depan, semua jago yang berada di arena rata-rata mengetahui, secara diam-diam Han Siauliong telah menghimpun tenaga dalam dan dihimpun ke lengannya, dari lengan disalurkan ke pedang bajanya.
Selain itu semua orang juga tahu bahwa serangan pedangnya yang pertama nanti, Han Siau-liong pasti akan melepaskan sebuah serangan maha dahsyat. Menghadapi serangan Han Siau-liong itu, si kakek baju hitam tetap acuh tak acuh, dengan sikap amat tenang dia menantikan Han Siau-liong menghampirinya selangkah demi selangkah.
Pendekar Cacat 1018
Mendadak suara bentakan keras memecah keheningan, pedang baja Han Siau-liong disertai deru angin yang amat hebat langsung menyambar dan membacok tubuh si kakek berbaju hitam. Serangan pedang yang dilancarkan olehnya ini boleh dibilang disertai kecepatan luar biasa dan kekuatan yang sanggup membelah bukit karang.
Ketika kawanan jago itu melihat datangnya serangan tadi, semuanya beranggapan sama, kecuali menghindarkan diri, rasanya sulit bagi Sim Tiong-kiu untuk menyambut datangnya ancaman itu dengan kekerasan. Tak disangka, tindakan yang dilakukan Sim Tiong-kiu sama sekali di luar dugaan semua orang. Bukannya menghindar atau melompat mundur, tahu-tahu Sim Tiong-kiu malah melompat ke muka dan melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kirinya mengarah datangnya ancaman pedang itu. Sambil mendesak ke muka, kakek baju hitam itu berseru lantang, "Enyah kau dari sini!"
Pendekar Cacat 1019
Tahu-tahu tendangan itu bersarang di dada lawan, Han Siau-liong mendengus tertahan, tubuhnya terpental ke tengah udara. Berbareng dengan mencelatnya Han Siau-liong, mendadak tampak titik-titik cahaya tajam yang menyilaukan mata menyambar ke tubuh kakek berbaju hitam itu. Rupanya titik-titik cahaya itu tidak lain adalah pisau terbang yang disambitkan secara tiba-tiba oleh Liu Khi. "Hm, kau anggap pisau terbangmu itu mampu melukai diriku?" jengekan dingin bergema di udara.
Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sim Tiong-kiu telah berdiri kembali di tempat semula, hanya pada jari tangan kirinya kini telah bertambah dengan dua pisau terbang yang memancarkan cahaya tajam. Pisau terbang milik Liu Khi sebenarnya terhitung sangat hebat, jarang ada orang yang mampu menghindarkan diri dari sergapannya, tapi kenyataan sekarang pisau terbang itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang berbaju hitam itu. Dalam pada itu Han Siau-liong yang mencelat ke belakang berikut pedangnya, kini sudah menggeletak di tanah dan tidak berkutik lagi.
Pendekar Cacat 1020
Bong Thian-gak mendekatinya.
dan
Mo
Hui-thian
serentak
maju
Tampak oleh mereka, Han Siau-liong sudah tergeletak di tanah dengan wajah pucat-pias seperti mayat, rupanya dia sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Han Siau-liong adalah jagoan lihai nomor tiga dalam Kaypang, sampai dimana kepandaiannya Bong Thian-gak pernah menyaksikan sendiri, bahkan pemuda itu terhitung jago lihai dalam Bu-lim. Tapi kenyataan sekarang jagoan itu dibikin keok dan tak sadarkan diri dalam satu gebrakan saja, boleh dibilang peristiwa semacam ini sungguh menggidikkan. Itu berarti juga Sim Tiong-kiu benar-benar merupakan seorang jagoan hebat. Untuk beberapa saat lamanya para jago bergidik dengan perasaan bergetar keras, mereka hanya bisa saling pandang dan mulut membisu. Suara dingin, ketus dan sombong Sim Tiong-kiu kembali berkumandang di sisi telinga para jago, terdengar ia berkata, "Apakah masih ada orang lain yang ingin mencoba kepandaian silatku?"
Pendekar Cacat 1021
Tantangan yang begitu sombong dan takabur semacam ini pada hakikatnya cukup membuat orang tidak tahan. Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian tertawa seram, katanya, "Mo Hui-thian ingin sekali mencoba kepandaian silatmu." "Mo-cengcu dikenal sebagai pendekar pedang nomor wahid di kolong langit, aku memang sudah lama ingin mencoba kepandaian ilmu pedangmu itu," jawab Sim Tiong-kiu hambar. "Mo-cengcu, harap kau suka menahan diri, jangan kau lakukan tindakan gegabah," Hong-kong Hwesio berseru dengan suara dalam.
Mo Hui-thian berpaling dan memandang sekejap ke arah Hong¬kong Hwesio, katanya, "Hwesio tua, apakah dengan kemampuan yang kumiliki masih belum mampu menyambut sejurus serangannya?" "Apakah Mo-cengcu dapat "melihat pukulan yang menyebabkan Han Siau-liong terluka parah?" tanya Hongkong Hwesio dengan wajah serius. Mendengar pertanyaan itu, semua jago serentak mengangkat kepala dan menengok ke arah Hong-kong Hwesio.
Pendekar Cacat 1022
Memang sampai sekarang tak seorang pun di antara yang hadir mengetahui luka apakah yang diderita Han Siau-liong. Mo Hui-thian tertawa rikuh, lalu dia balik bertanya, "Apakah kau tahu, pukulan apa yang menyebabkan Han Siau-liong terluka?" Hong-kong Hwesio menggeleng kepala, "Hingga kini Lolap masih belum tahu ilmu sakti apakah yang telah dilatih Simsicu, tapi Lolap tahu, dewasa ini sedikit sekali ada yang bisa menghindarkan diri dari serangannya itu."
Mo Hui-thian tertawa dingin, serunya, "Hei, Hwesio tua, kau tahu berapa orang di kolong langit ini yang mampu menghindarkan diri dari serangan pedangku?" "Sekali pun serangan pedangmu sangat lihai dan luar biasa, jarang ada orang yang sanggup menghadapinya, akan tetapi pernahkah Mo-cengcu bayangkan bahwa musuh pada hakikatnya tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk melancarkan serangan." Hati Mo Hui-thian bergetar keras, dia segera bertanya, "Hwesio tua, apakah maksudmu berkata demikian?"
Pendekar Cacat 1023
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, musuh yang akan menyerang lebih dahulu, bukan kau yang melancarkan serangan menyergap lawan." Mo Hui-thian tercekat, dengan cepat ia bertanya, "Barusan bukankah Han Siau-liong yang telah melancarkan serangan lebih dahulu terhadap lawan?" "Tentu saja tidak," seru Hong-kong Hwesio sambil menggeleng. Jawaban ini dengan cepat menimbulkan tanda tanya besar bagi kawanan jago itu. Sudah jelas terlihat tadi bahwa Han Siau-liong melancarkan serangan lebih dahulu, bagaimana mungkin bisa dikatakan Sim Tiong-kiu yang menyerang lebih dulu? Setelah tertawa dingin Mo Hui-thian bertanya, "Hwesio tua, bisakah kau terangkan bagaimana cara musuh melancarkan serangan lebih dulu?"
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Lolap bisa menerangkan, tentu saja bisa pula mematahkan jurus serangan yang mematikan dari Sim Tiong-kiu itu." "Huh, pada hakikatnya kau hanya ngaco-belo belaka, aku justru tidak percaya dengan segala takhayul!" jengek Mo Hui-thian sambil tertawa kering.
Pendekar Cacat 1024
Sembari berkata, pedangnya segera diangkat, kemudian pelan-pelan diturunkan ke depan dada, setelah itu ia menggenggam pedangnya dengan kedua tangan dan "Crit", tubuh berikut pedangnya tahu-tahu meluncur ke depan Sim Tiong-kiu dan menusuk tubuhnya.
Kawanan jago di arena saat ini boleh dibilang rata-rata adalah jagoan persilatan yang berilmu tinggi, setelah menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo Huithian, tanpa terasa masing-masing pihak berpekik lirih, MAh, ilmu pedang terkendali!" Yang disebut ilmu pedang terkendali adalah semacam ilmu pedang tingkat atas yang paling sukar dipelajari, bila kepandaian itu sudah mencapai puncaknya, maka serangan pedang bisa dikendalikan dari jarak jauh, bila demikian keadaannya maka memenggal batok kepala orang dari kejauhan bukan suatu pekerjaan yang amat sukar. Tiba-tiba saja Mo Hui-thian mempergunakan kepandaian maha sakti ini untuk menyerang musuh, pada hakikatnya kejadian itu benar-benar merupakan suatu peristiwa yang luar biasa.
Hawa pedang yang tajam bagaikan sembilu diiringi deru angin tajam segera melintas dan menusuk ke tubuh Sim Tiong-kiu.
Pendekar Cacat 1025
Tapi bersamaan dilancarkannya serangan itu, jeritan kaget serta suara bentrokan nyaring bergema memecah keheningan. Tubuh Mo Hui-thian seperti layang-layang putus benang terpental di udara dan berjumpalitan sebanyak tiga kali, kemudian jatuh terbanting ke tanah. Bong Thian-gak menghampiri orang itu. Tampak paras muka Mo Hui-thian pucat-pias seperti mayat, napasnya tersengal-sengal, ia mengangkat kepala memandang ke arah Bong Thian-gak sambil menggerakkan bibirnya yang gemetar seperti hendak memberitahukan sesuatu kepada Bong Thian-gak, namun tak sepatah kata pun yang terdengar.
Dengan cepat Bong Thian-gak menempelkan telapak tangan kanannya ke jalan darah Mi-bun-hiat di tubuh Mo Hui-thian. Secara beruntun Mo Hui-thian muntah darah sebanyak tiga kali, tiba-tibanya kulit mukanya mengejang keras, kemudian roboh dan tidak sadarkan diri. Hanya dalam sekali gebrakan saja secara beruntun Sim Tiong-kiu telah berhasil merobohkan dua jago persilatan yang berilmu tinggi, kehebatannya itu dengan cepat menghebohkan dan menggidikkan hati setiap orang.
Pendekar Cacat 1026
Kembali Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia lihat Sim Tiong-kiu masih tetap tegak berdiri di tempat, wajahnya dingin bagaikan es, selapis hawa dingin yang menggidikkan seakan-akan menyelimuti tubuhnya. Waktu itu ujung baju lengan kirinya telah robek separo, tampaknya terpapas robek oleh sambaran hawa pedang yang dipancarkan oleh Mo Hui-thian tadi. "Masih ada siapa lagi yang ingin mencoba kepandaianku?" suara yang dingin dan sombong Sim Tiong-kiu sekali lagi berkumandang.
Sudah jelas Sim Tiong-kiu hendak mempergunakan kepandaian rahasianya yang maha sakti, hendak melukai kawanan jago yang hadir di arena satu demi satu. Itulah sebabnya ia menantang lagi para jago lain untuk mencoba kepandaian silatnya. Sementara itu Bong Thian-gak telah menggeser badan, kemudian ujarnya, "Kepandaian silat yang kau miliki memang sangat hebat, aku percaya tak bisa menandingi kehebatanmu itu, meski demikian aku ingin juga menjajal kepandaianmu itu." "Bong-sicu, kau tidak boleh bertindak secara gegabah."
Pendekar Cacat 1027
Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap ke arah Hong¬kong Hwesio, kemudian katanya dengan suara nyaring, "Hari ini kita sudah berhadapan dengan lawan, cepat atau lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, kau suruh aku jangan bertindak sembarangan, apakah kau hendak menyuruh aku menerima kematian begitu saja?" Hong-kong Hwesio menghela napas sedih, kemudian katanya, "Kedua orang murid Lolap mungkin sanggup menahan serangannya, Bong-sicu, harap kau jangan turun tangan lebih dulu!" Dalam pada itu kedua murid Hong-kong Hwesio telah maju bersama ke depan.
Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah kedua anak buah Hong-kong Hwesio yang berjenggot hitam itu, lalu dia bertanya, "Apakah Siancu berdua punya keyakinan dapat menahan serangannya?" Mendengar pertanyaan itu, kedua Hwesio berjenggot hitam itu menggeleng kepala, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kembali Bong Thian-gak berkata, "Bila Siancu berdua memang tidak punya keyakinan, lebih baik mundurlah untuk sementara waktu."
Pendekar Cacat 1028
"Bong-sicu," terdengar Hong-kong Hwesio berkata, "kedua orang muridku ini selain bisu juga tuli, semua perkataanmu itu tak mungkin didengarnya."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang, segera pikirnya, "Oh, rupanya kedua orang ini bisu tuli, tak heran selama ini tak kudengar ucapan mereka barang sepatah kata pun." Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, lalu berkata, "Kalau kedua murid Hwesio tua bisu tuli, mereka lebih-lebih tidak seharusnya dikirim ke arena untuk melangsungkan pertarungan itu!" Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, "Ai, biarpun kedua muridku ini bisu tuli, namun ketajaman mata serta kecerdasan otak mereka jauh melebihi orang biasa, bahkan boleh dikatakan kelewat tajam dan cerdik. Bong-sicu tak perlu kuatir, siapa tahu kedua muridku itu mampu mematahkan ilmu rahasia andalan Sim Tiong-kiu."
Pada saat itulah terdengar Sim Tiong-kiu berkata sambil tertawa dingin, "Keledai gundul, bila kau menginginkan kedua murid cacatmu bisa mematahkan ilmu maha saktiku, tunggu saja bila matahari terbit dari langit barat."
Pendekar Cacat 1029
"Walaupun kedua orang itu tidak mempunyai keyakinan untuk membendung kesaktian silat Sicu, tapi pada puluhan tahun berselang kedua orang itu sudah mulai melatih diri secara tekun dan berhasil menciptakan sejenis ilmu silat yang dapat mematahkap jurus sakti Sim-sicu." "Kalau memang begitu, suruh saja mereka berdua kemari mengantar kematian!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru, "Tunggu sebentar!" Tubuhnya berkelebat cepat dan menghadang di hadapan kedua Hwesio berjenggot hitam itu. "Bong-sicu, masih ada urusan apa lagi?" tanya Hong-kong Hwesio. "Ada sebuah persoalan yang ingin kutanyakan kepada kau." "Bila Sicu ada persoalan, harap diutarakan saja." "Kau pernah bertarung melawan orang itu?" "Ya, kami pernah bertarung," Hong-kong Hwesio mengaku. "Sudah bentrok berapa kali?" kembali Bong Thian-gak bertanya. "Tiga kali."
Pendekar Cacat 1030
"Taysu, apakah setiap kali kalian bertarung Ji-kaucu selalu hadir di arena?"
Pertanyaan ini membingungkan Hong-kong Hwesio, dia menggeleng sambil berkata, "Ji-kaucu tak pernah hadir di arena. Bong-sicu, apa maksudmu menanyakan hal ini?" Sebelum Bong Thian-gak menjawab, terdengar Ji-kaucu tertawa dingin sambil katanya, "Dia curiga kalau aku telah melepaskan racun dan meracuni orang secara diam-diam." Rupanya Bong Thian-gak menaruh curiga atas kejadian itu, hingga kini dia masih belum dapat melihat dengan jelas bagaimana Sim Tiong-kiu melukai lawannya. Maka dia pun mulai berpikir, "Mungkinkah Ji-kaucu yang telah melepaskan racunnya secara diam-diam dari tepi arena untuk membantu Sim Tiong-kiu sehingga akibatnya orang yang diserang Sim Tiong-kiu selalu menderita luka secara membingungkan?" Tapi jalan pikiran itu dengan cepat tersapu lenyap dalam tanya-jawab dengan Hong-kong Hwesio, sekarang dia yakin Sim Tiong-kiu benar-benar memiliki sejenis ilmu silat maha sakti.
Pendekar Cacat 1031
Bong Thian-gak termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata lagi, "Hwesio tua, mungkin aku dapat menyambut sebuah pukulannya tanpa harus mati. Harap Hwesio tua memerintahkan kepada kedua muridmu agar segera mengundurkan diri!" "Bong-sicu, kau tak usah keras kepala," tampik Hong-kong Hwesio sambil menggeleng. Bong Thian-gak kembali tersenyum, "Biarpun aku belum punya keyakinan untuk bisa mematahkan jurus serangan lawan, tapi aku percaya tak bakal tewas di bawah telapak tangannya," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Bila kulangsungkan pertarungan jarak dekat, mungkin bisa kupatahkan jurus serangannya yang tangguh itu."
Sim Tiong-kiu tertawa seram, "Ji-kaucu, orang inikah yang bernama Jian-ciat-suseng?" "Ya, dialah orangitya." "Bukankah Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar kita membekuknya hidup-hidup?" "Benar, tapi kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat lihai, tampaknya komandan Sim membutuhkan tenaga yang cukup besar untuk dapat membekuknya."
Pendekar Cacat 1032
Mendadak Bong Thian-gak berkata sambil tertawa dingin, "Saudara, bersiap-siaplah menerima seranganku!" "Kalau berniat melancarkan serangan, lancarkan saja seranganmu itu," kata Sim Tiong-kiu hambar.
Bong Thian-gak menggenggam Pek-hiat-kiam dengan tangan tunggalnya, kemudian maju selangkah demi selangkah mendekati lawan. Gerak langkah kakinya lamban sekali, ternyata Bong Thiangak telah mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khi-kang untuk melindungi badannya. Paras muka Bong Thian-gak yang semula pucat penyakitan, kini telah berubah merah bercahaya. Sim Tiong-kiu tetap berdiri tegak, matanya bersinar tajam bagai bintang timur mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Tiba-tiba bergema suara gelak tertawa yang menyeramkan, Sim Tiong-kiu bagaikan sambaran kilat cepatnya langsung menerjang ke arah Bong Thian-gak. Sejak tadi Bong Thian-gak sudah mengetahui Sim Tiong-kiu memiliki ilmu silat yang amat hebat, tapi demi menjaga
Pendekar Cacat 1033
teknik 'dengan tenang mengatasi gerak'. Bong Thian-gak sama sekali tidak melepaskan serangan pedangnya. Oleh sebab itu Sim Tiong-kiu segera mendesak lebih ke depan dan sebuah pukulan yang maha dahsyat dilontarkan ke dada Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak memang telah bersiap menerima serangan itu, ia tidak menghindar maupun berkelit, dadanya malah dibusungkan untuk menyambut datangnya ancaman itu. "Blam", diiringi benturan yang keras sekali, serangan itu bersarang di dada anak muda itu. Ilmu Tat-mo-khi-kang yang memancarkan daya kemampuan dahsyat itu segera menciptakan selapis tenaga pantulan tanpa wujud yang segera menggetarkan tubuh Sim Tiong-kiu sehingga tergetar mundur sejauh tiga langkah.
Pada detik yang bersamaan itulah Pek-hiat-kiam yang berada dalam genggaman Bong Thian-gak segera dibabatkan dan menusuk ke dada Sim Tiong-kiu. Padahal taktik yang diambil Bong Thian-gak ini telah berhasil ditebak musuh secara tepat.
Pendekar Cacat 1034
Tentu saja serangan yang dilancarkan olehnya itu amat cepat bagaikan sambaran kilat, hawa sakti Tat-mo-khi-kang yang melindungi badannya pun tak mampu lagi melindungi seluruh tubuhnya. Serangan dahsyat musuh pun dilontarkan lagi.
Bong Thian-gak hanya merasakan jari telunjuk tangan kiri musuh menyambar pelan ke atas dadanya, serangan jari tangan tanpa wujud bersarang telak di atas bahu kanannya. Dengusan tertahan bergema, Bong Thian-gak tidak mampu lagi melawan serangan jari itu, tubuhnya segera terbanting ke tanah. Gelak tawa seram penuh kebanggaan bergema memecah keheningan malam, tubuh Sim Tiong-kiu bagaikan sukma gentayangan mendesak maju ke muka, bersamaan itu pula cakar tangan kanannya mencengkeram urat nadi pada lengan tunggal Bong Thian-gak. "Crit, crit", dua kali desingan tajam bergema. Tahu-tahu Liu Khi telah melepaskan dua bilah pisau terbangnya ke depan.
Pendekar Cacat 1035
Golok terbang Liu Khi memang sangat termasyhur di kolong langit, khususnya mengancam tenggorokan orang, barang siapa terserang tak mungkin tertolong lagi. Itulah sebabnya Sim Tiong-kiu tidak berkesempatan lagi untuk melanjutkan ancamannya atas urat nadi Bong Thiangak. Tangan kirinya cepat diputar, ternyata kedua pisau terbang itu sudah terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah. Pada saat itulah terdengar Liu Khi berseru lagi dengan suara lantang, "Sekarang silakan kau rasakan bacokan golokku yang sesungguhnya." Selesai bicara Liu Khi segera melolos golok panjangnya, Topit-coat-to yang membuat Liu Khi termasyhur di kolong langit. Begitu serangan golok dilancarkan, ancaman itu benarbenar menggetarkan perasaan setiap orang. Jerit kesakitan keheningan.
segera
berkumandang
memecah
Darah segar menyembur, telapak tangan kanan Sim Tiongkiu sebatas pergelangan tangan tahu-tahu sudah terpapas kutung oleh bacokan golok itu.
Pendekar Cacat 1036
Tapi bersamaan dengan terpapas kutungnya pergelangan tangan kanan Sim Tiong-kiu, tangan kirinya telah melancarkan serangan pula ke depan. Liu Khi menjerit kaget, tubuhnya terlempar dan jatuh terduduk di atas tanah. Ia sama sekali tidak pingsan, akan tetapi luka yang dideritanya cukup parah, dia terduduk di atas tanah dengan sekujur badan gemetar keras, untuk beberapa saat tak mampu bangkit kembali.
Sorot mata Liu Khi penuh dengan pancaran sinar kaget dan keheranan, hingga detik ini dia masih belum mengetahui dengan jelas bagaimana hal ini bisa terjadi hingga ia terluka oleh jurus serangan lawan. Beberapa kejadian beruntun itu berlangsung hampir bersamaan, berhubung gerak tubuh mereka kelewat cepat. Sejak pergelangan tangannya terpapas kutung, Sim Tiongkiu menaruh perasaan dendam yang amat besar, ia menerkam lagi ke arah Liu Khi yang masih tergeletak di depan sana. Dalam pada itu Liu Khi sudah lemas dan tidak berkekuatan lagi untuk memberikan perlawanan setelah tubuhnya terhajar oleh serangan jari lawan, kulit mukanya segera
Pendekar Cacat 1037
mengejang keras, pikirnya, "Habis sudah riwayatku kali ini, sungguh tak nyana Liu Khi harus mampus di tangannya." Belum habis ingatan itu melintas, sekilas cahaya pedang berwarna merah telah berkelebat di depan mata. Liu Khi segera memusatkan perhatian dan menengok.
Ternyata Pek-hiat-kiam di tangan kanan Bong Thian-gak sedang diarahkan ke tubuh Sim Tiong-kiu, dia melancarkan tiga buah serangan berantai, memaksa Sim Tiong-kiu terdesak mundur. Baik Liu Khi maupun Sim Tiong-kiu sama sekali tidak menyangka Bong Thian-gak masih memiliki kekuatan untuk melancarkan serangan walaupun sudah terkena pukulan dahsyat Sim Tiong-kiu secara telak. Pertarungan cepat akhirnya terhenti dan hening kembali. Pek-hiat-kiam di tangan Bong Thian-gak terkulai menghadap tanah, dengan senjata itu dia mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Sementara itu Ji-kaucu telah menghampiri Sim Tiong-kiu dan secara beruntun menotok urat nadi pada lengan kanan Sim Tiong-kiu yang kutung untuk mencegah agar tidak banyak darah yang mengalir dari mulut lukanya.
Pendekar Cacat 1038
Hong-kong Hwesio menghampiri Bong Thian-gak serta Liu Khi, ia segera bertanya, "Parahkah luka yang kalian derita?" "Hwesio tua, aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menangkis ataupun mematahkan jurus serangan musuh," kata Liu Khi sambil tertawa pedih. Bong Thian-gak berkata pula sambil menghela napas sedih, "Hwesio tua, jurus serangan lawan yang hebat itu terletak pada jari telunjuk tangan kirinya, berhubung serangan itu tidak memperlihatkan gejala apa-apa, maka hampir tiada orang yang berhasil mengetahui rahasia itu dengan jelas."
Mendengar penjelasan itu, Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, katanya kemudian, "Lolap memang pernah menduga, bahwa jurus serangan dahsyat lawan bisa jadi berasal dari satu di antara sepuluh jari tangannya, namun aku tak pernah bisa menebak dengan cara bagaimana dia merobohkan lawan-lawannya, sebab pada saat serangan dilancarkan, hal ini merupakan suatu masalah yang tak bisa dipecahkan." Liu Khi menyesal setengah mati setelah mendapat penjelasan ini, dia menghela napas dan mengeluh, "Seandainya serangan golokku tadi membacok pergelangan tangan kirinya, urusan pasti akan beres dengan sendirinya."
Pendekar Cacat 1039
"Seandainya tanpa serangan golokmu tadi, mungkin aku sudah tewas terhajar serangannya," kata Bong Thian-gak dengan perasaan amat berterima kasih.
Liu Khi lebih berterima kasih lagi, katanya, "Serangan pedang Bong-laute yang benar-benar telah menyelamatkan jiwaku, aku merasa berterima kasih sekali." Bong Thian-gak menengok sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, kemudian katanya, "Hwesio tua, sekarang tergantung pada dirimu." "Sekarang pergelangan tangan Sim Tiong-kiu telah terpapas kutung, semangat tempurnya sudah luluh, agaknya Lolap mampu menandinginya." Liu Khi menghela napas sambil berkata, "Keadaan saat ini, kekuatan pihak Put-gwa-cin-kau sama sekali belum menderita kerugian apa-apa, agaknya nasib kita malam ini lebih banyak buruknya daripada untungnya."
Betul, dari pertarungan yang berlangsung barusan, pihak Put-gwa-cin-kau hanya menderita kerugian Sim Tiong-kiu seorang yang telah kehilangan pergelangan tangannya, sedangkan Ji-kaucu beserta Si-hun-mo-li dan ketiga belas orang berjubah hitam itu pada hakikatnya belum turun tangan.
Pendekar Cacat 1040
Sebaliknya di pihak lain, Han Siau-liong dan Mo Hui-thian secara beruntun telah terluka oleh serangan jari tangan Sim Tiong-kiu dan hingga kini belum sadarkan diri, sedangkan Liu Khi dan Bong Thian-gak telah menderita luka pula.
Pada saat ini mereka yang sanggup melangsungkan pertarungan dengan musuh tinggal kedelapan pelindung hukum Hiat-kiam-bun, Hong-kong Hwesio beserta murid serta Long Jit-seng. Bila diperbandingkan kemampuan yang dimiliki kedua belah pihak, tampaknya Hong-kong Hwesio bertiga sulit untuk menandingi kemampuan Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu serta Si-hun-mo-li. Mendadak Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, kemudian bertanya, "Bong-buncu, masih mampukah kau melanjutkan pertarungan?" "Bahu kananku makin lama semakin kaku, agaknya sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi, mungkin sampai waktunya aku sudah tak mampu lagi menggenggam pedang," ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum.
Paras muka Liu Khi berubah hebat, katanya kemudian, "Kalau begitu kita benar-benar akan tewas di tempat ini."
Pendekar Cacat 1041
Bong Thian-gak kembali tertawa, "Sebelum ajal tiba, aku rasa masih ada sisa kekuatan untuk membunuh beberapa orang musuh lagi, apakah Liu-locianpwe sudah tidak mempunyai kemampuan lagi?" Hati Liu Khi bergetar keras, ia tertawa terbahak-bahak, "Apakah Bong-buncu tidak percaya aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melanjutkan pertarungan?" "Kalau tadi, mungkin benar-benar sudah tak punya lagi, tapi sekarang aku lihat Liu-locianpwe seperti telah menemukan cara untuk mengobati luka yang kau derita." "Bila Bong-buncu tidak mempercayai diriku lagi, aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi," ucap Liu Khi sambil tertawa.
Sambil menarik muka Bong Thian-gak berkata lagi, "Sebentar lagi Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu akan melancarkan serangan terhadap kita, bila Liu-locianpwe tidak segera mengobati luka yang diderita Han Siau-liong serta Mo Huithian, bisa jadi kita benar-benar akan tewas hari ini di sini." Liu Khi kembali menggeleng kepala berulang kali. "Saat ini aku benar-benar sudah tidak mempunyai kekuatan lagi sekalipun untuk menyembelih ayam, bila beruntung bisa memulihkan kembali kekuatanku, mungkin hal ini baru kualami beberapa jam kemudian. Sekarang terpaksa aku
Pendekar Cacat 1042
harus menggantungkan perlindungan terhadap Hong-kong Hwesio sekalian serta Bong-buncu."
Mendengar perkataan ini, Bong Thian-gak mengerutkan dahi, kemudian pikirnya, "Barusan tampaknya aku seperti melihat Han Siau-liong telah membuka mata satu kali setelah memperoleh pertolongan Liu Khi." Mendadak terdengar suara dingin yang menggidikkan hati dari Ji-kaucu bergema memotong jalan pikiran Bong Thiangak, "Ko Hong, hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri dari jaringan langit yang diatur oleh Put-gwa-cin-kau."
Pedang di tangan Bong Thian-gak masih tetap tergeletak di tanah, ketika mendengar perkataan itu dia tertawa dingin, "Ko Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun berselang, pada saat ini aku adalah ketua Hiat-kiam-bua Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak." Dia tertawa dingin tiada henti, kemudian melanjutkan, "Jikaucu, bila kalian ingin membunuhku pada hari ini, mungkin pengorbanan yang sangat besar harus kalian bayar untuk itu, jika kau tidak percaya, silakan saja bertindak!"
Pendekar Cacat 1043
Bong Thian-gak dengan memancarkan sinar mata tajam yang menggidikkan mengawasi wajah Ji-kaucu dengan penuh gusar dan perasaan dendam yang membara.
Tak terkira rasa terkesiap Ji-kaucu menyaksikan sorot mata Bong Thian-gak itu, pikirnya, "Sekarang dia sudah terkena pukulan Ji-gwat-soh-hun-ci dari Sim Tiong-kiu, namun luka yang diderita nampaknya tidak begitu parah, oh ... sungguh mengejutkan tenaga dalam orang ini... bukan hanya Jigwat-soh-hun-ci yang tidak berhasil melukainya, ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Si-hun-mo-li pun tampaknya tak dapat melukainya, entah kepandaian silat apakah yang berhasil dilatih olehnya."
Bukan hanya Ji-kaucu seorang yang berpendapat demikian, bahkan Hong-kong Hwesio serta sekalian jago pun merasa curiga di samping kagum atas kelihaian ilmu silat Bong Thian-gak. Tiba-tiba Sim Tiong-kiu melompat bangun dari atas tanah, kemudian berseru, "Lohu tidak percaya kalau kau masih mempunyai kemampuan untuk melukai musuh dengan pedangmu itu." "Kalau tidak percaya, mengapa tidak datang kemari mencobanya sendiri?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1044
Waktu itu Sim Tiong-kiu telah kehilangan telapak tangan kanannya, sehingga dengan demikian dia menjadi manusia cacat. Dengan begitu Bong Thian-gak, Sim Tiong-kiu dan Liu Khi tiga orang berlengan tunggal saling berdiri berhadapan dengan sikap bermusuhan. Sorot mata Sim Tiong-kiu memancarkan sinar kebencian dan perasaan dendam ditujukan ke arah Liu Khi yang duduk bersila di atas tanah, sebaliknya Bong Thian-gak mengawasi gerak-gerik Sim Tiong-kiu tanpa berkedip. Dia tahu tujuan serangan yang mematikan Sim Tiong-kiu saat ini tak lain adalah Liu Khi.
Di pihak lain, Hong-kong Hwesio telah berseru memuji keagungan sang Buddha, lalu berkata, "Sim-sicu, di antara kita berdua masih terjalin dendam dan hutang lama, apakah Sim-sicu tidak akan menagih hutang itu kepada aku si Hwesio tua?" Sim Tiong-kiu memandang sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, kemudian bertanya, "Kau tak usah berharap bisa meninggalkan kuil Hong-kong-si lagi dalam keadaan hidup, biar kau punya sayap pun jangan mimpi bisa meninggalkan
Pendekar Cacat 1045
tempat ini. Buat apa aku memusingkan diri dengan hutang lama kita?" "Sim-sicu, tentunya kau tidak akan memberikan keuntungan yang amat besar kepada aku si Hwesio tua bertiga bukan?" "Biarpun lenganku kutung semua, aku masih mampu melayani kalian bertiga," jengek Sim Tiong-kiu dengan suara sedingin es. "Sim-sicu, tidakkah kau merasa bahwa perkataanmu itu kelewat takabur?" "Kau si Hwesio tua termasuk juga seekor rase tua yang licik dan banyak tipu muslihat, siapakah yang tidak tahu kau memang lebih suka membiarkan orang lain turun ke gelanggang lebih dulu, sedangkan kalian guru dan murid akan duduk sebagai si nelayan mujur yang tinggal memungut hasilnya?"
Ketika mendengar perkataan kedua orang itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya, "Ya, sejak awal hingga sekarang Hong¬kong Hwesio bertiga tak pernah menggerakkan tangan biar satu gebrakan saja, mungkinkah si Hwesio tua ini seperti apa yang dikatakan Sim Tiong-kiu barusan. Berakal busuk, banyak tipu muslihat dan mempunyai tujuan pribadi tertentu? Siapa tahu dia memang sengaja membiarkan aku serta pihak Kay-pang
Pendekar Cacat 1046
turun gelanggang terlebih dulu sebagai panglima pembuka jalan untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?" "Omitohud!" Hong-kong Hwesio berkata, "setelah Sim-sicu berkata demikian, rasanya aku si Hwesio tua bertiga tidak boleh cuma berpeluk tangan belaka." "Soal dendam dan permusuhan yang terjalin di antara kita, sesungguhnya kau harus sudah mulai melancarkan serangan sejak tadi," jengek Sim Tiong-kiu dingin.
Sembari berkata, Sim Tiong-kiu mengulap tangan kirinya ke tengah udara. Tiga belas orang yang selama ini berdiri mengepung arena itu serentak menyiapkan tombak dan bergerak mempersempit kepungan mereka. Biarpun langkah ketiga belas orang berbaju hitam itu dilakukan sangat lambat, akan tetapi Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu paras mukanya berubah hebat. Ternyata dia telah mengetahui ketiga belas orang berbaju hitam yang bersenjata tombak itu rata-rata memiliki kepandaian yang sangat tinggi, bahkan kemampuan mereka rasanya tidak di bawah kemampuan seorang tokoh Bu-lim.
Pendekar Cacat 1047
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak ... dia tahu dalam pertarungan malam ini, sukar bagi pihaknya untuk mengungguli lawan, berarti satusatunya jalan yang tersedia bagi pihaknya adalah berusaha meloloskan diri dari kepungan. Berpikir sampai di sini tiba-tiba Bong Thian-gak berbisik kepada Ang Teng-siu, "Ang-huhoat, dengarkan, tatkala aku menyerang Si-hun-mo-li nanti, kalian harus menghimpun segenap kekuatan untuk melindungi aku agar lolos dari kepungan." Baru saja perkataan itu selesai, mendadak tampak Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu telah mengundurkan diri ke arah timur, sebagai gantinya ketiga belas orang berbaju hitam bertombak itu membentuk sebuah barisan yang sangat aneh dan mengepung para jagoan di tengah gelanggang. Mendadak Ji-kaucu yang telah berada di luar arena berteriak aneh, "Mo-li, mengapa kau tak mengundurkan diri?" Teriakan itu diutarakan dengan suara tinggi melengking dan menusuk pendengaran, diutarakan dengan sangat lamban. Tatkala mendengar suara itu, bagi Si-hun-mo-li seruan itu seakan-akan mengandung daya iblis yang luar biasa, sekujur badannya gemetar keras, dengan cepat dia membalikkan badan dan berjalan menuju ke arah Ji-kaucu.
Pendekar Cacat 1048
Pada saat itulah tubuh Bong Thian-gak secepat sambaran kilat telah berkelebat ke depan dan mendorong tubuh Sihun-mo-li ke belakang. Kini Pek-hiat-kiam telah disarungkan kembali. Bong Thiangak dengan lengan tunggalnya yang lebih cepat daripada kilat dan lebih tajam daripada pedang telah menyambar ke muka. Sementara itu telapak tangan kanannya sudah menyentuh tiga buah jalan darah penting di punggung Si-hun-mo-li. Seruan tertahan bergema, jalan darah Mi-bun-hiat di punggung Si-hun-mo-li sudah kena terhajar.
Tapi pukulan itu tidak membuatnya tak sadarkan diri, setelah bergemanya jeritan kaget, Si-hun-mo-li membalikkan badan sambil melepaskan sebuah pukulan pula ke jalan darah Ciang-hiat di dada Bong Thian-gak. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Si-hun-mo-li sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan Hut-hiat-sengmeh-jiu-hoat yang dilepaskan olehnya, dalam tertegunnya lekas dia mengegos ke samping untuk menghindarkan diri. Tentu saja serangan balasan Si-hun-mo-li mengenai tempat kosong, tapi dia pun segera melompat ke depan dan melayang pergi.
Pendekar Cacat 1049
Dalam pada itu empat tombak panjang telah menusuk ke tubuh Bong Thian-gak. Hong-kong Hwesio beserta kedua muridnya yang gagu dan tuli turut menerima serangan pula, sudah jelas para jago dikepung dalam pusat barisan tiga belas orang berbaju hitam. Bong Thian-gak memang sudah mengetahui kelihaian ketiga belas orang baju hitam itu, bila mereka sampai terkurung dalam barisan itu, biarpun dia dan Hong-kong Hwesio belum tentu terkena musibah, namun para pelindung hukum perguruannya bakal menemui celaka atau tertumpas sama sekali.
Itulah sebabnya Bong Thian-gak segera membentak keras, secepat kilat tangan kanannya melolos Pek-hiat-kiam, lalu "Trang", percikan bunga api beterbangan ke empat penjuru. Biarpun keempat tombak itu berhasil ditangkis ke samping, namun sebatang tombak yang lain meluncur ke punggung Bong Thian-gak dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya. Sedemikian cepatnya tombak itu hingga pada hakikatnya hampir tiada orang yang bisa menghindarkan diri.
Pendekar Cacat 1050
Ang Teng-siu yang berada di sisinya segera berteriak kaget, "Hati-hati Buncu!"
Padahal teriakan Ang Teng-siu itu tidak ada gunanya, biarpun Bong Thian-gak bermaksud menghindar, namun sudah dapat dipastikan ia akan tewas di ujung tombak itu sejak tadi. Kepandaian silat Bong Thian-gak benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan, tanpa berpaling lagi kaki kirinya maju setengah langkah ke samping, tombak tadi segera menyambar lewat dari bawah ketiaknya.
Jeritan ngerl yang memilukan hati segera berkumandang memecah keheningan, sebutir batok kepala orang berbaju hitam segera terbang ke udara. Tapi dengan bergemanya suara jeritan itu, secara beruntun bergema pula empat kali jeritan ngeri dan dengusan tertahan lainnya. Bong Thian-gak memandang ke arena, ternyata empat orang pelindung hukumnya tertembus oleh empat tombak tajam pada bagian dadanya, darah segar segera berhamburan kemana-mana, jiwa mereka pun lenyap seketika.
Pendekar Cacat 1051
Tak terlukiskan rasa kaget Bong Thian-gak, ia segera membentak, "Ang Teng-siu, kalian tak usah bertarung lagi!"
Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat mundur, pedang segera diayunkan membabat empat orang berbaju hitam. Gerakan keempat orang beriteju hitam itu cepat tak terlukiskan, baru saja serangan Bong Thian-gak dilancarkan, tombak mereka sudah dicabut dari tubuh mayat, kemudian serentak diayunkan ke muka untuk menangkis datangnya ancaman pedang Bong Thian-gak itu. Di satu pihak Bong Thian-gak terancam mara bahaya, di pihak lain Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya juga mengalami nasib yang sama, mereka menghadapi serangan demi serangan dari orang-orang baju hitam dan tombaknya yang menyerang secara gencar. Sedemikian bertubi-tubinya ancaman yang datang, membuat ketiga orang itu hanya bisa menangkis belaka, pada hakikatnya sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk melancarkan serangan belasan.
Sesungguhnya kepandaian silat Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya sangat hebat, tenaga dalam yang mereka miliki pun mengejutkan orang, tapi serangan tombak
Pendekar Cacat 1052
musuh amat gencar, ini membuat suasana segera dikuasai lawan. Jurus-jurus serangan tombak kawanan jago berbaju hitam memang hebat dan tangguh, serangan-serangan mereka atas lawan bukan serangan tunggal yang terpotong-potong, melainkan serangan berantai yang betul-betul hebat. Setelah tusukan itu lewat, tusukan lain kembali meluncur datang dengan kecepatan tinggi, gerakan mereka yang berantai seakan-akan ada seribu batang tombak yang menyerang tiada hentinya.
Kepandaian silat yang dimiliki Bong Thian-gak termasuk amat lihai, seandainya dia berniat meloloskan diri dari kepungan musuh, hal itu dapat dilakukan secara mudah, tapi dia tak bisa berbuat begitu, dia wajib melindungi keselamatan jiwa keenam anak buahnya yang saat itu sudah terkepung di tengah barisan lawan. Dalam sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung, tiba-tiba Bong Thian-gak mengendus segulung bau harum yang aneh sekali.
Dengan terkejut dia pun segera berteriak, "Hati-hati dengan racun jahat!"
Pendekar Cacat 1053
Baru saja bentakan itu dikumandangkan, Ang Teng-siu berenam sudah bertumbangan ke tanah. Hong-kong Hwesio dan muridnya turut sempoyongan pula seakan-akan setiap saat bakal roboh. Dari luar lingkaran pengepungan, dengan cepat bergema gelak tawa menyeramkan dari Ji-kaucu, kemudian ia berseru penuh kebanggaan, "Untuk membekuk kalian, merupakan pekerjaan yang amat mudah. Hahaha, sekarang seluruh halaman gedung ini telah dipenuhi oleh asap dupa beracun Khi-hiang-gi-tok, akan kulihat siapa lagi yang mampu meninggalkan halaman ini barang selangkah pun."
Sementara itu Bong Thian-gak telah menutup pernapasannya, tapi berhubung dia sudah mengendus segulung bau racun, benaknya mulai terasa kalut dan rasa pusing tiba secara bertubi-tubi. Diiringi pekik nyaring yang menusuk pendengaran, Bong Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya terus melejit ke udara, lalu dengan cepat dia menerjang keluar lingkaran pekarangan.
Bayangan orang segera berkelebat di udara, tiga orang berbaju hitam dengan menyilangkan tiga batang tombak menghadang jalan pergi anak muda itu.
Pendekar Cacat 1054
Hawa napsu membunuh telah menyelimuti benak Bong Thian-gak sekarang, pedangnya kontan dibacokkan kian kemari. Pek-hiat-kiam memancarkan cahaya tajam menyilaukan mata, hujan darah pun berhamburan.
yang
Tiga sosok mayat orang berbaju hitam segera rontok dari tengah udara, sedangkan Bong Thian-gak sendiri juga ikut terjatuh.
Ternyata serangan pedang yang dilancarkan Bong Thiangak tadi merupakan serangan hawa pedang tujuh langkah melukai musuh, merupakan ilmu tingkat paling tinggi dalam ilmu pedang. Begitu serangan pedang dilancarkan, biarpun ada seratus orang terkumpul dalam lingkungan tujuh langkah dari posisinya, semua akan tewas dengan kepala terpenggal dan darah bercucuran, kelihaiannya luar biasa. Tapi ilmu pedang semacam ini juga boros dalam penggunaan tenaga dalam, itulah sebabnya Bong Thian-gak turut terjatuh.
Dengan mengendorkan hawa murni secara tiba-tiba, Bong Thian-gak kembali menghirup segulung udara.
Pendekar Cacat 1055
Pada saat itulah Liu Khi yang berada di sisi arena berseru sambil tertawa, "Kebenaran satu depa lebih tinggi, satu tombak lebih tebal, biarpun racun dupa harum Ji-kaucu sangat lihai, sayang sekali tidak manjur bagi orang she Liu." Bong Thian-gak menyaksikan beberapa titik cahaya putih memancar dari tangan Liu Khi dengan kecepatan tinggi. Dimana cahaya putih berkelebat, jeritan ngeri bergema susul-menyusul. Dalam pada itu tubuh Bong Thian-gak sudah mulai gontai, namun dia masih dapat menyaksikan sisa kesembilan orang berbaju hitam itu satu demi satu terhajar golok terbang dan tergeletak di atas tanah.
Tenaga dalam Liu Khi yang begitu mengejutkan membuat Bong Thian-gak merasa terperanjat sekali. "Hahaha, Liu Khi, sekarang tinggal kau seorang. Rasanya kau tak akan mampu menandingi kami, bukan?" Liu Khi tertawa dingin, balasnya, "Ji-kaucu, perhitunganmu salah besar, Toa-cengcu Kim-liong-seng-kiam-ceng Mo Huithian serta Han Siau-liong dari partai kami telah sehat walafiat kembali, kekuatan kami cukup untuk bertarung melawan kalian."
Pendekar Cacat 1056
Ketika mendengar itu, Bong Thian-gak mendongakkan kepalanya, benar juga Han Siau-liong serta Mo Hui-thian telah bangkit semua.
Sambil tertawa dingin Mo Hui-thian berkata, "Sim Tiongkiu, Ji-gwat-soh-hun-ci (ilmu jari pengunci sukma) tak bisa membunuh orang. Hehehe, padahal kau terlalu percaya pada kemampuanmu sendiri, kau anggap Mo Hui-thian itu siapa? Memangnya bisa dibunuh oleh serangan jarimu itu?" Sekarang Bong Thian-gak baru sadar bahwa Liu Khi dan Mo Hui-thian memang benar-benar mempunyai tujuan pribadi, rupanya dia dan Hong-kong Hwesio sekalian memang sengaja diatur agar bisa menahan kekuatan Put-gwa-cinkau paling dulu, kemudian merekalah yang akan menjadi si nelayan mujur yang tinggal memungut hasilnya. Kelicikan dan kemunafikan orang-orang di dunia persilatan memang sungguh menakutkan.
Secara lamat-lamat Bong Thian-gak menyaksikan pula bagaimana Liu Khi, Mo Hui-thian serta Han Siau-liong sekalian melangsungkan pertarungan sengit melawan Jikaucu dan Sim Tiong-kiu sekalian.
Pendekar Cacat 1057
Sayang racun dupa sudah semakin menyerang kesadarannya, lambat-laun Bong Thian-gak mulai pudar kesadarannya sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Bagaimana hasil pertarungan berdarah antara Liu Khi sekalian dengan Put-gwa-cin-kau? Tentu saja dia tak dapat melihat dengan mata kepala sendiri.
ooOoo
Angin berhembus kencang, putaran roda kereta bergema memecah keheningan. Ketika Bong Thian-gak sadar dari pingsannya, dia lihat keempat anggota badannya sudah dirantai orang, rantai yang amat besar dan berat. Kini dia sedang berbaring dalam kereta kuda yang gelap-gulita hingga tak nampak kelima jari tangannya. Tatkala baru mendusin dari pingsannya tadi, Bong Thiangak merasakan sekujur badannya linu dan sakit. Badannya terasa kaku dan kesemutan, maka itu dia berbaring saja tanpa bergerak untuk sementara waktu, telinganya menangkap suara derap kaki dan roda kereta, segera menyadarkan dia bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan.
Pendekar Cacat 1058
Selang beberapa saat, Bong Thian-gak coba untuk menyalurkan hawa murninya mengelilingi badan, ternyata semuanya berjalan normal. Semua ini membuat hatinya lega.
Dia mencoba untuk duduk, ternyata rantai yang membelenggu anggota tubuhnya diikat pada lantai kereta, karena itu biarpun dia bisa duduk tegap, namun sama sekali tak sanggup menggeser tubuh barang setengah langkah pun. Dengan mengerahkan ketajaman matanya, Bong Thian-gak mencoba memperhatikan rantai yang besarnya seibu jari itu. Dia tahu, dengan tenaga dalam yang dimilikinya sulit rasanya untuk mematahkan rantai itu. Maka setelah menghela napas panjang, terpaksa dia hanya duduk tenang dalam kereta, pikirnya, "Orang-orang Putgwa-cin-kau berhasil membekukku, hendak dibawa kemanakah diriku?"
Membayangkan hal itu, tanpa terasa Bong Thian-gak memicing mata dan mengintip lewat sela-sela lantai kereta. Yang terlihat olehnya hanya padang rumput yang sangat luas, tiada sesuatu yang aneh atau luar biasa sehingga timbul perasaan jemu bagi siapa pun yang melihatnya.
Pendekar Cacat 1059
Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya, mengintip dari sudut lain. Kali ini dia berhasil melihat kereta yang ditumpanginya dihela oleh enam kuda yang tinggi besar dan gagah, tampak di bagian kusir duduk tiga orang sais. "Hei, mengapa aku tidak mencoba bertanya kepada mereka?" satu ingatan tiba-tiba melintas dalam benaknya.
Belum lenyap ingatan itu, suara bentakan bergema, menyusul terdengar pula suara ringkik kuda. Kereta kuda yang sedang dipacu kencang itu seketika terhenti. Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan pandangan matanya keluar celah-celah dinding kereta. Mendadak dia saksikan dua titik cahaya putih menyambar datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Menyaksikan kedua titik cahaya itu, Bong Thian-gak menjadi amat terkejut, diam-diam dia berpekik dalam hati, "Golok sakti berlengan tunggal!"
Pendekar Cacat 1060
Ternyata dia mengenali kedua titik cahaya putih itu sebagai sambaran pisau terbang milik Liu Khi yang menggetarkan seluruh jagat. "Bila pisau terbang Liu Khi sudah disambit keluar, sudah pasti kedua kusir di atas kereta akan tewas dalam keadaan mengerikan!" pikir Bong Thian-gak dalam hati. Kenyataan suasana di sekeliling tempat itu memang amat sepi dan hening. Tapi selang beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar suara Liu Khi, "Kalian berdua bisa menghindarkan diri dari sambaran pisau terbangku, ini membuktikan ilmu silatmu pasti luar biasa, ayo cepat sebutkan siapa namamu?"
Bong Thian-gak terkejut bercampur keheranan setelah mendengar ucapan itu, pikirnya, "Aku sudah pernah menyaksikan kehebatan pisau terbang Liu Khi, kenyataan sekarang kedua kusir itu mampu menghindar dari sambaran pisau terbangnya, terbukti ilmu silat mereka memang hebat." Dalam pada itu satu di antara kedua kusir kereta itu telah berkata diiringi suara tawanya yang menyeramkan, "Tampaknya kau adalah Liu Khi." Bong Thian-gak yang mengintip dari balik celah-celah kereta dapat melihat dengan jelas bahwa di antara jalan
Pendekar Cacat 1061
raya, berdiri tegak seorang jangkung bertubuh ceking dan berjubah hitam, orang itu jelas Liu Khi adanya.
Cahaya mata yang tajam dan menggidikkan mencorong dari balik mata Liu Khi, diawasinya kedua orang yang berada di atas kereta itu, kemudian setelah tertawa seram, katanya, "Betul, akulah Liu Khi, kau anggap ada orang yang berani menyaru sebagai diriku?" Baru selesai perkataan itu, dari atas kereta bergema lagi gelak tawa panjang, "Sudah lama kudengar pisau terbang Liu Khi konon akan membawa bencana bila dilepaskan, selamanya tidak pernah meleset, tapi kenyataannya pada malam ini ... hahaha ...." Suara gelak tertawa panjang yang sinis dan mengandung nada penghinaan segera bergema.
Sementara itu Liu Khi menanti dengan tenang, sampai gelak tawa mereka reda, dia berkata dengan hambar, "Biarpun kalian berdua bisa menghindarkan diri dari pisau terbangku, apakah dapat juga menghindarkan diri dari bacokan golok yang terselip di pinggangku sekarang?" "Silakan saja dibuktikan," ucap orang yang berada di atas kereta itu seram.
Pendekar Cacat 1062
"Bagus sekali." Begitu kata terakhir diutarakan, Liu Khi sudah berkelebat ke depan dengan kecepatan tinggi. Mendadak dari atas kereta berkumandang suara seruan kaget serta jerit kesakitan. "Blam", diiringi suara benturan keras, papan kereta bagian depan telah jebol sebuah lubang besar, percikan darah segar segera berhamburan dari dalam kereta, menyusul hancuran kayu berserakan kemana-mana.
Sekarang Bong Thian-gak bisa menyaksikan wajah Liu Khi yang berdiri di depan kereta dengan lebih jelas, dua sosok mayat yang berlumuran darah kelihatan tergeletak di sisi sebelah kiri. Tampaknya satu di antara mereka belum menemui ajal, dengan suara mengerikan ia berseru, "Golok saktimu ... sungguh cepat, aku ...." Sebelum selesai perkataan itu, menghembuskan napas penghabisan.
orangnya
sudah
Bong Thian-gak duduk dalam ruangan kereta tanpa bergerak, rupanya dia pun dibuat terperanjat oleh kecepatan golok Liu Khi.
Pendekar Cacat 1063
"Sebenarnya dengan cara bagaimanakah dia menghabisi nyawa kedua orang itu?" berbagai ingatan menyelimuti benak Bong Thian-gak.
Pada saat itu Liu Khi masih berdiri tanpa menggenggam goloknya, ini membuktikan setelah ia mencabut senjatanya membunuh kedua lawannya tadi, golok itu disarungkan kembali ke sisi pinggangnya. Dalam pada itu Liu Khi dengan sorot mata yang menggidikkan juga sedang mengawasi Bong Thian-gak yang berada dalam kereta, ujarnya hambar, "Bong-buncu, kalau kau sudah sadar, mengapa tidak berusaha melepas dirimu sendiri?" Bong Thian-gak tertawa dingin. "Memangnya kau datang kemari untuk menolongku?" dia balik bertanya. "Aku datang untuk membunuhmu." "Kalau demikian, mengapa belum juga turun tangan?" "Aku sedang mencari kesempatan." "Kini anggota tubuhku dirantai, bukankah kesempatan baik ini sukar dijumpai?"
Pendekar Cacat 1064
Ketika mendengar ucapan itu, Liu Khi segera mengawasi badan Bong Thian-gak dengan lebih seksama, kemudian dia baru manggut-manggut seraya ujarnya, "Aku tidak melihat kaki tanganmu dirantai orang, andaikata kulancarkan serangan dengan membabi-buta tadi, sudah pasti akan kusesali sepanjang zaman." "Mengapa menyesal?" "Kau anggap membunuh orang yang sama sekali tak bisa berkutik adalah suatu perbuatan yang membanggakan?" Bong Thian-gak tersenyum. "Kalau dibicarakan soal untung-ruginya, aku rasa hal itu tak perlu diperhatikan lagi."
Mendadak Liu Khi menarik wajah dan berkata dengan suara sedingin es, "Bohg Thian-gak dengarkan baik-baik. Selagi berada dalam kuil Hong-kong-si, kau pernah menyelamatkan jiwaku satu kali, malam ini aku telah membantumu pula lolos dari kesulitan dengan menghabisi nyawa mereka, berarti di antara kita berdua sudah impas, siapa pun tidak berhutang kepada siapa." "Tapi kau belum membantuku membuang semua belenggu yang membebani tubuhku?"
Pendekar Cacat 1065
"Betul!" Liu Khi tertawa dingin. "Sekarang juga aku akan memapas kutung rantai itu." Selesai berkata, cahaya golok kembali berkelebat tiga kali. Bong Thian-gak merasa kulit badannya tersambar angin dingin, disusul suara gemerincing nyaring, tahu-tahu rantai yang membelenggu kaki tangannya sudah rontok ke atas tanah. Ketika ia mendongakkan kepala, tampak golok panjang itu sudah tersoreng kembali di pinggang Liu Khi.
Dengan perasaan kaget dan heran Bong Thian-gak menghela napas panjang, katanya, "Ilmu golokmu benarbenar tidak ada tandingannya, lagi pula golok yang tersoreng di pinggangmu itu sudah pasti senjata mustika yang dulu diandalkan panglima kenamaan." Sembari berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berdiri dari lantai kereta. Mendadak Liu Khi berkata dengan suara dalam, "Perhatikan baik-baik, setiap saat aku akan melolos lagi golokku untuk mencabut nyawamu." "Sungguhkah itu?" tanya Bong Thian-gak dengan wajah tertegun.
Pendekar Cacat 1066
"Buat apa aku berbohong?" Liu Khi tertawa dingin. Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, sikapmu yang sebentar bersahabat sebentar bermusuhan, benar-benar membuat aku tidak habis mengerti." "Asalkan Bong-buncu bersedia mempersembahkan hartakarun itu, aku bersedia bekerja sama dengan pihak kalian," kembali Liu Khi berkata dengan suara hambar. "Peta harta-karun?" Bong Thian-gak mengerutkan dahi. "Kau maksudkan peta harta-karun peninggalan Mo-lay-cinong?" "Betul, peta harta-karun inilah yang kumaksudkan," Liu Khi berkata sambil tertawa dingin, "Hong-kong Hwesio bilang, benda itu sudah berada di tangan Bong-buncu."
Sambil tertawa Bong Thian-gak menggeleng kepala. "Liu-sianseng telah dibohongi Hong-kong Hwesio rupanya, aku berani bersumpah tak pernah mendapatkan peta harta-karun itu." "Bong-buncu adalah orang yang pertama kali datang di kuil Hong-kong-si, kenyataan sekarang peta harta-karun itu tidak berada di tangan Hong-kong Hwesio dan muridnya
Pendekar Cacat 1067
lagi. Lantas berada di tangan siapa kalau bukan berada di tanganmu?" kata Liu Khi.
Bong Thian-gak menggeleng kepala lagi. "Sewaktu berada di kuil Hong-kong-si, bukankah Liusianseng telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana aku terkena racun dupa Ji-kaucu Put-gwa-cinkau dan roboh tak sadarkan diri, hingga setengah jam berselang aku baru mendusin dari pingsanku. Ai, apakah Liu-sianseng bersedia menerangkan bagaimana akhir pertarungan di kuil Hong-kong-si?" "Hong-kong Hwesio, Mo Hui-thian, Han Siau-liong, dan aku berempat berhasil menerjang keluar kepungan," ucap Liu Khi dingin. "Bagaimana dengan para pelindung hukum perkumpulan kami?" "Enam orang pelindung hukum bersama kedua murid Hong-kong Hwesio telah menemui ajal dalam pertarungan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang dengan sedih, "Ai, kerugian yang diderita partai kami semalam betul-betul besar sekali!"
Pendekar Cacat 1068
Liu Khi tertawa dingin. "Kecuali kau dan aku berdua yang tidak menderita luka dalam yang parah, Hong-kong Hwesio beserta Han Siauliong dan Mo Hui-thian terluka parah." "Kalau begitu pertolongan yang Liu-sianseng berikan sekarang adalah demi peta harta-karun itu?" "Boleh dibilang begitu." "Kalaii begitu aku bersedia mengajakmu pergi mencari peta harta-karun itu." "Kau hendak membawa aku kemana?" "Soal ini tak perlu kau tanyakan, kini Hong-kong Hwesio berada dimana?"
"Bong-buncu, bila kau tidak bersedia untuk bekerja sama denganku, jangan salahkan bila aku orang she Liu turun tangan keji kepadamu!" ancam Liu Khi sambil tertawa dingin. Bong Thian-gak kembali menghela napas panjang. "Seandainya peta harta-karun itu benar-benar berada di sakuku, dan aku sudah dibekuk orang sekian lama, kau anggap peta itu masih utuh di sakuku?"
Pendekar Cacat 1069
"Betul!" Liu Khi manggut-manggut, "Orang-orang Put-gwacin-kau mustahil tidak melakukan penggeledahan atas dirimu, tapi kau pun tak bakal sebodoh ini dengan menyembunyikan peta harta-karun itu dalam sakumu!"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala sambil tertawa getir, "Liu-sianseng benar-benar sudah ditipu habis-habisan oleh Hong-kong Hwesio. Bila kau tidak percaya, mari kita bersama-sama berangkat ke tempat tinggalnya untuk menanyakan persoalan ini kepadanya." "Tidak usah," tampik Liu Khi sambil tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, benda mustika di kolong langit hanya dimiliki oleh mereka yang berjodoh, aku sama sekali tidak berniat mendapatkan harta karun itu." "Hehehe, siapa yang mau percaya ucapanmu itu?" "Bila Liu-sianseng tidak percaya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa." Mendadak Liu Khi menarik wajah, lalu berkata, "Sebenarnya aku ingin membunuhmu, tapi aku selalu kuatir
Pendekar Cacat 1070
tak mampu menghabisi nyawamu dalam sekali ayunan golok." "Di antara kita berdua boleh dibilang tiada dendam sakit hati apa pun, aku rasa kita tak perlu menyelesaikan persoalan ini dengan mempergunakan kekerasan." "Tapi bagi umat persilatan pun tidak selalu harus membunuh orang dikarenakan ada hubungan permusuhan ataupun dendam." "Betul," Bong Thian-gak mengangguk, "tapi aku rasa tiada kepentingan bagi kita berdua melangsungkan duel menentukan mati-hidup." "Memang begitulah kenyataannya, maka dari itu aku harus mohon diri dulu.".
Selesai berkata, Liu Khi segera melejit ke tengah udara dan berlalu dari sana. Mimpi pun Bong Thian-gak tak pernah menyangka kalau Liu Khi bakal angkat kaki begitu selesai mengatakan hendak pergi, sementara dia masih tertegun, bayangan tubuh Liu Khi sudah lenyap dari pandangan mata. Menanti Bong Thian-gak berjalan keluar dari ruang kereta, mendadak muncul seseorang di hadapannya.
Pendekar Cacat 1071
Di bawah cahaya bintang, tampak orang itu mengenakan pakaian berwarna putih bersih, rambutnya juga berwarna putih, rambut yang panjang itu hampir menyentuh permukaan tanah. Melihat kemunculan orang tak diundang ini, Bong Thiangak merasa amat terperanjat, dia segera menghardik, "Siapakah kau?"
Bong Thian-gak kuatir lawan itu setan atau sukma gentayangan. Padahal kemunculan orang itu amat misterius dan sama sekali tidak menimbulkan suara, apalagi rambut putihnya yang terurai hampir menyentuh tanah, membuat bentuk orang itu mirip bayangan setan yang muncul di tengah kegelapan. Tanpa mengeluarkan sedikit suara pun, orang berambut putih itu berdiri di hadapannya, kendati begitu sepasang matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan, sinar tajam itu mencorong dari matanya yang tertutup rambut putih dan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip. Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera menegur, "Hei, mengapa kau tidak bersuara?"
Pendekar Cacat 1072
Orang berbaju putih itu masih saja membungkam, namun Bong Thian-gak dapat melihat tubuhnya bergerak seperti sukma gentayangan, tubuhnya tidak bergoyang, lututnya tidak menekuk, namun dia bergerak mendekatinya. Melihat cara lawan menggerakkan tubuh, Bong Thian-gak terkesiap, dia sadar lawan memiliki ilmu silat yang sangat dahsyat. Dalam terkesiapnya, cepat Bong Thian-gak mengerahkan hawa sakti Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh badannya.
Pada saat itulah tiba-tiba orang itu bergerak maju lagi. Ketika segulung angin berkelebat, rambut putih yang panjang dan terurai ke bawah itu tiba-tiba bergerak dan langsung menggulung ke lubuh anak muda itu. "Blam", bunyi ledakan yang keras bergema. Rambut panjang yang menggulung datang mengikuti hembusan fingin tadi segera terhajar oleh segulung hawa sakti tanpa wujud yang membuatnya terpental balik.
Pendekar Cacat 1073
Orang berbaju putih itu segera memutar tubuhnya sebanyak tiga kali seperti gangsingan, lalu jeritnya. "Siapakah kau?" "Ban-lau-loan-sin-kang (tenaga lembut selaksa serat) milikmu betul-betul pantas disebut ilmu manunggal di kolong langit," ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Seandainya aku tidak mempersiapkan diri sebelumnya, saat ini tubuhku pasti sudah penuh lubang berdarah dan tewas sejak tadi."
Ternyata sapuan rambut putih yang menggulung cepat tadi merupakan sejenis ilmu silat yang sangat hebat dalam persilatan, ketika lawan melontarkan rambutnya yang lembut tadi, sesungguhnya ibarat beribu-ribu batang jarum lembut dan pedang tajam yang menyapu tiba. Dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, orang itu segera bertanya, "Hawa Sin-kang apakah yang telah kau pergunakan untuk mematahkan Ban-si-ciam (selaksa jarum lembut) tadi?"
Sekarang Bong Thian-gak dapat melihat jelas raut wajah lawan, ternyata orang itu berwajah pucat seperti salju, bentuk mukanya mirip monyet dan usianya antara enam puluh tahun.
Pendekar Cacat 1074
Sambil berkerut kening Bong Thian-gak bertanya, "Siapakah nama besarmu?" "Mengapa kau tidak menjawab dulu pertanyaanku?" kata orang berambut putih. Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hm, dilihat dari caramu melancarkan serangan keji tadi, mungkin kau telah mengetahui asal-usulku. Mengapa aku mesti memberitahukan lagi kepadamu?"
Orang berambut putih itu tertawa terkekeh-kekeh, "Hehehe, betul, kau pasti Jian-ciat-suseng atau si Golok sakti berlengan tunggal, bukan?' "Aku adalah Jian-ciat-suseng," jawab Bong Thian-gak. "Ehm, aku sendiri adalah Pek Kau-kim (siluman monyet putih) dari gunung Thian-san," orang berambut putih itu memperkenalkan diri. "Kau bernama Pek Kau-kim?" tanya Bong Thian-gak sambil berkerut kening. "Aku she Pek bernama Kau-kim, kalau tidak bernama Pek Kau-kim, lantas mesti bernama apa?" "Rasanya di antara kita tak pernah terikat dendam kusumat atau sakit hati apa pun, bukan?" tanya Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1075
Sekali lagi Pek Kau-kim tertawa terkekeh, "Kau bukan yang membunuh kedua orang itu?" "Bukan, bukan aku pembunuhnya," Bong Thian-gak menggeleng. "Kalau bukan kau, lantas siapa yang telah membunuh mereka?" tiba-tiba Pek Kau-kim membentak. Bong Thian-gak termenung sebentar, kemudian dia balik bertanya, "Boleh aku tahu, apa hubungan antara kedua korban itu dengan dirimu?" "Mereka adalah muridku."
"Aduh celaka!" keluh Bong Thian-gak dalam hati. "Kalau kedua orang itu adalah muridnya, bisa celaka!" Berpikir sampai di situ, katanya kemudian sambil menghela napas panjang, "Locianpwe, murid-muridmu bukan tewas di tanganku, bila kau tidak percaya, silakan meneliti kembali bekas-bekas luka mereka."
Pek Kau-kim tertawa seram.
Pendekar Cacat 1076
"Kedua orang muridku ini diam-diam kabur turun gunung ketika aku sedang menutup diri, mereka memang pantas mampus. Cuma dengan kematian mereka, aku harus mencari seorang murid yang lain untuk menggantikan mereka berdua. Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai muridku, ayo cepat ikut aku pulang ke gunung!" Mendongkol bercampur geli Bong Thian-gak setelah mendengar perkataan itu, kemudian ujarnya, "Walaupun aku merasa sangat gembira dapat menjadi muridmu, tapi hatiku bergidik sendiri melihat sikapmu yang acuh tak acuh dan sama sekali tidak menaruh perasaan iba mengetahui murid-muridmu mati terbunuh."
Mendadak Pek Kau-kim melotot, ia mengawasi Bong Thiangak tanpa berkedip, lalu tanyanya, "Apakah kau menyuruh aku membalas dendam kematian mereka?" Bong Thian-gak manggut-manggut. "Bila murid terbunuh, sebagai guru kau wajib membalas dendam bagi kematian muridmu." "Kalau begitu, kau memang benar-benar harus mati."
Di tengah pembicaraan itu, Pek Kau-kim segera menggetarkan tubuh, rambutnya yang panjang dengan
Pendekar Cacat 1077
dahsyat dan kecepatan tinggi langsung menusuk Bong Thian-gak dari atas ke bawah. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka lawan bakal melancarkan serangan sekali lagi, kali ini dia belum sempat menghimpun hawa murni Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh badan, maka ia terpaksa menghindar. Tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan dadanya amat sakit, dia menjerit kgsakitan. Bong Thian-gak terguling jatuh dari atas kereta dan tergeletak di atas tanah.
Gelak tertawa yang aneh memanjang dan penuh nada kebanggaan bergema, Pek Kau-kim mendesak maju dengan cepat, tangan kanannya secepat kilat menyambar tubuh Bong Thian-gak sambil bentaknya, "Aku tidak percaya kau masih bisa meloloskan diri dari serangan jarum serat Pek Kau-kim!" Baru selesai perkataan itu. Bong Thian-gak yang sudah tergeletak di atas tanah itu, mendadak melompat sambil melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kanannya.
Jeritan aneh seperti pekikan monyet segera berkumandang, tubuh Pek Kau-kim mencelat, lalu "blam", roboh terjungkal di tanah.
Pendekar Cacat 1078
Pek Kau-kim tak pernah bisa merangkak bangun kembali dari tanah. Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun tak mampu merangkak bangun untuk sementara waktu, lengan tunggalnya digunakan untuk memegangi dada, sedangkan wajahnya pucat memperlihatkan rasa kesakitan, dia harus bergerak beberapa kali ke kiri dan kanan sebelum dapat merintih. Setelah suara rintihan itu, rasa sakit yang menusuk dada Bong Thian-gak pun mereda dengan sendirinya. Ia sadar bahwa dirinya selamat. Ternyata setelah terkena babatan rambut panjang Pek Kaukim tadi, ada tujuh-delapan buah jalan darah di dada Bong Thian-gak yang nyaris tersumbat, ini menyebabkan hawa darah yang berada dalam dada berhenti untuk sesaat, napas pun ikut berhenti, membuat anak muda itu nyaris roboh tak sadarkan diri. Ketika Bong Thian-gak berhasil menghirup udara, mendadak dari kejauhan sana muncul sesosok bayangan manusia. Belum lagi bayangan tubuhnya berjalan mendekat, bau harum aneh yang amat menusuk penciuman telah berhembus mengikuti angin gunung. Tatkala Bong Thian-gak menghirup udara lagi, ia sudah merasakan bau harum seperti bau bunga anggrek, air
Pendekar Cacat 1079
mukanya berubah hebat, dengan cepat ia melompat bangun. Sorot matanya segera dialihkan ke arah datangnya bau harum bunga anggrek tadi. Beberapa tombak di hadapannya kini berdiri seorang perempuan cantik bertubuh montok. Ia mengenakan pakaian puth yang halus, rambutnya disanggul dan di atasnya dilingkari tiga butir mutiara yang memancarkan sinar gemerlapan. Wajah perempuan itu tampak begitu angker dan serius, angkuh dan berwibawa seperti seorang ratu, terutama sorot matanya yang jeli dan tajam. Gemetar keras sekujur tubuh Bong Thian-gak menyaksikan kehadiran perempuan itu, serunya dengan suara gemetar, "Kau ... kau adalah Cong-kaucu." Bong Thian-gak sudah pernah bersua dengannya, malah bagian lubuhnya yang paling rahasia pun pernah dilihatnya dengan jelas dan nyata, sudah barang tentu dia kenal Congkaucu Put-gwa-cin-kau yang amat termasyhur. Perempuan cantik itu tertawa, tertawa amat manis. Setelah itu ia mulai tertawa cekikikan, suaranya kian lama kian jalang, seperti suara pelacur yang sedang memperoleh puncak kenikmatan.
Pendekar Cacat 1080
"Jian-ciat-suseng, kau masih mengenali aku, mengapa wajahmu piicat-pias? Hihihi, jangan harap kau dapat meloloskan diri dari cengkeramanku hari ini." Dengan lemah-gemulai dan pinggul bergoyang, selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati Bong Thian-gak. Sekarang Bong Thian-gak sadar, biar dia punya sayap pun, jangan harap bisa lolos dari cengkeramannya. Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, ia mengawasi perempuan itu berjalan hingga tiba di hadapannya, mendadak perempuan itu mengayun tangan kanannya. Tiga jalan darah penting di tubuhnya seketika tertotok, kemudian apa yang terjadi tak teringat lagi olehnya. ***
Pendekar Cacat 1081
14 LOLOS DARI MAUT DI MARKAS PUT-GWA-CIN-KAU
D
alam lamat-lamatnya suasana, Bong Thian-gak menangkap suara nyaring perempuan yang sedang berkata dengan lembut, merdu dan manis, "Jianciat-suseng, kau telah menelan sebutir pil Siau-hun-wan. Siau-hun-wan merupakan pil dewa bagi manusia, khasiatnya boleh dibilang tak terlukiskan dengan katakata." Dalam keadaan tubuh yang lemah-lunglai dan kesadaran yang masih samar-samar, Bong Thian-gak membuka mata lebar-lebar.
Ternyata dia sedang berbaring di atas ranjang yang terletak dalam sebuah kamar dengan cahaya lentera berwarna
Pendekar Cacat 1082
merah. Selembar wajah cantik, tapi memancar senyuman genit dan jalang terpapar tepaf di depan mata. Bong Thian-gak masih mempunyai kesadaran yang jernih, dia dapat mengenali raut wajah itu, Cong-kaucu Put-gwacin-kau. Tatkala sinar matanya dialihkan ke bawah, hatinya kembali berdebar, ternyata perempuan itu hanya menutupi tubuhnya yang telanjang dengan selembar kain sutera berwarna putih yang amat tipis. Dengan cepat Bong Thian-gak mengalihkan kembali sorot matanya ke arah lain, tanyanya cepat, "Obat apa yang telah kau cekokkan kepadaku?"
Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh dengan suaranya yang amat jalang, "Hihihi, pil Siau-hun-wan. Satu jam kemudian kau akan mengetahui dengan sendirinya manfaat obat itu." Pucat-pias wajah Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, lalu katanya, "Kumohon kepadamu, bunuhlah aku!" Rupanya Bong Thian-gak tahu Siau-hun-wan merupakan sejenis obat perangsang yang bisa mengalutkan orang. Sebagai orang pandai, sudah tentu dia tahu akibat obat itu bila mulai bekerja, dia bakal menjadi seorang berhati
Pendekar Cacat 1083
binatang yang kehilangan akal budi, saat itu dia hanya tahu bagaimana melampiaskan napsu birahi.
Sambil tertawa merdu Cong-kaucu kembali berkata, "Membunuh kau? Oh, tak semudah itu. Aku harus mempermainkan dirimu sampai puas sebelum menghabisi nyawamu, sebab aku kelewat membenci dirimu, boleh dibilang kau adalah lelaki yang paling kubenci di kolong langit dewasa ini." Dalam keadaan demikian, Bong Thian-gak terbayang kembali bagaimana dia menghina dan mencemooh perempuan itu. Tiba-tiba Bong Thian-gak meronta bangun, tapi entah mengapa sekujur badannya terasa lemas seolah-olah tak bertenaga, keempat anggota badannya lemas, tak setitik tenaga pun yang tersisa dalam tubuhnya. Merasakan hal itu, Bong Thian-gak baru tahu segala sesuatunya bakal berakhir.
Diiringi gelak tertawa merdu, Cong-kaucu melanjutkan kata-katanya, "Tempo hari kau telah membiarkan aku merasakan bagaimana tersiksanya oleh kobaran api birahi, maka hari ini aku pun menyuruh kau merasakan juga bagaimana enaknya penderitaan itu."
Pendekar Cacat 1084
"Siau-hun-wan adalah pil perangsang yang akan membuktikan hawa napsu kaum lelaki. Satu jam kemudian obat itu akan mulai bekerja, saat itu kau akan berubah seperti binatang yang sedang birahi, kau hanya tahu bagaimana melampiaskannya, tapi kau tak akan pernah bisa memadamkan kobaran api birahimu itu, sebab Siauhun-wan adalah sejenis obat perangsang yang mengandung racun jahat, barang siapa herani mengadakan hubungan kelamin denganmu, maka perempuan itu akan mengisap sari racun tubuhmu yang akan berakibat kematian baginya. Oleh karena itu kau harus merasakan penderitaan kobaran api birahi untuk waktu lama tanpa memperoleh kesempatan melampiaskan. "Penderitaan akan datang berulang-ulang. Saat kau menelan Siau-hun-wan ketiga, api birahi akan merusak semua syarafmu, saat itu kau akan berubah menjadi manusia tanpa sukma, tanpa pikiran, kau hanya akan menuruti perintahku, selama hidup akan tunduk dan menuruti perkataanku."
Peluh dingin jatuh bercucuran membasahi badan Bong Thian-gak setelah mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, lalu kitanya, "Apakah Thay-kun juga menderita akibat perbuatanmu ini?" "Benar," Cong-kaucu tertawa cekikikan. "Dia pun pernah merasakan siksaan itu hingga menyebabkan kejernihan otaknya punah."
Pendekar Cacat 1085
"Aku kuatir obat beracunmu itu bakal ketemu batunya dan tidak manjur seperti yang kau harapkan," jengek Bong Thian-gak sambil tfitawa dingin.
Sekali lagi Cong-kaucu cekikikan. "Siau-hun-wan adalah obat mujarab yang diciptakan Gi Jian-cau, khasiatnya luar biasa dan selama hidup tidak akan meleset." Mendengar ucapan itu. Bong Thian-gak menghela napas panjang, biarpun ia belum pernah bersua Gi Jian-cau, tapi dia pun termasuk anggota Hiat-kiam-bun. Mengapa orang itu bersedia menciptakan obat beracun dan membantu Cong-kaucu mencelakai umat persilatan?
Tiba-tiba Cong-kaucu bangkit, lalu dengan lemah-gemulai beranjak keluar dari dalam kamar. Bong Thian-gak berbaring di atas pembaringan dengan tenang, sedang benaknya mencari akal bagaimana caranya melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu. Dia meronta dan berusaha merangkak kabur, akan tetapi sayang sekali tubuhnya lemas dan sama sekali tidak bertenaga.
Pendekar Cacat 1086
Mendadak terdengar suara derap kaki mendatangi. Bong Thian-gak segera menoleh.
manusia
Dari balik ruangan tiba-tiba muncul tiga orang perempuan, dua gadis berdandan genit dan seorang lagi perempuan berusia empat puluh, tubuhnya montok dan bahenol. Sorot mata Bong Thian-gak seolah-olah tertarik atas kehadiran perempuan berbaju hijau itu, dia menatap tubuh perempuan itu tanpa berkedip. Ketika perempuan setengah umur berbaju hijau itu melihat jelas wajah Bong Thian-gak yang berbaring di atas ranjang, dia pun nampak terkejut dan serentak menghentikan langkahnya. Dalam pada itu kedua gadis berbaju hijau yang genit tadi telah tiba di depan pembaringan Bong Thian-gak, keempat mata mereka melirik sekejap ke wajah anak muda itu dengan pandangan memikat, kemudian tertawa cekikikan. Setelah itu kedua gadis tadi mulai menari dengan lemahgemulai. Sambil menari mereka melepas pakaian satu per satu.
Pendekar Cacat 1087
Walaupun kedua gadis itu tidak termasuk berwajah cantik, namun potongan badan mereka betul-betul memukau siapa saja. Apalagi kedua wanita itu membawakan tarian erotik yang sangat menggiurkan, bisa dibayangkan bagaimana menariknya keadaan itu. Dihidangi pemandangan yang begitu erotik dan merangsang napsu birahi, lambat-laun Bong Thian-gak mulai terpengaruh, suatu perasaan aneh mendadak meliputi dirinya, dia seperti membutuhkan sesuatu yang amat mendesak.
Mendadak Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu membentak, "Kalian cepat mengenakan pakaian dan mengundurkan diri dari sini, aku lelah menelan Siau-hunwan, tak bisa mengadakan hubungan dengan kalian." "Mereka memang sudah tahu kau telah menelan Siau-hunwan, lak seorang pun di antara mereka berani mengadakan hubungan dengan tlirimu," ucap perempuan berbaju hijau itu hambar. Ketika mendengar perkataan itu, untuk kedua kalinya Bong Thian-gak membuka mata, kali ini dia dapat melihat raut wajah perempuan itu dengan jelas, tanpa terasa jeritnya kaget.
Pendekar Cacat 1088
"Kau ... kau adalah Subo."
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, perasaan sedih, duka, marah dan benci dengan cepat menyelimuti perasaannya. Peristiwa lampau, ketika sepuluh tahun berselang dia dikeluarkan gurunya dari perguruan ... ketika kaki kirinya berubah menjadi pincang, semua musibah yang menimpa dirinya itu tak lain berkat hasil karya perempuan berbaju hijau itu.
Dia tidak lain adalah istri muda gurunya, almarhum Bu-lim Bengcu, si telapak tangan baja yang menggetarkan jagat Oh Ciong-hu yang bernama Pek Yan-ling. Dengan emosi Bong Thian-gak berseru, "Subo, kau masih kenal diriku?" "Aku masih ingat kau adalah Bong Thian-gak. Sungguh tak kusangka Jian-ciat-suseng adalah kau." "Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kita berdua? Mengapa kau mencelakai diriku hingga begini rupa?" teriak Bong Thian-gak sedih.
Pendekar Cacat 1089
Sambil berkata, pelan-pelan perempuan itu melepas pakaian yang dikenakannya satu demi satu. Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah menyaksikan peristiwa ini, segera hardiknya, "Apa yang hendak kau lakukan?" "Bugil, untuk membawakan tarian erotik agar api birahimu bangkit." "Bunuhlah aku, kalian bunuh aku saja!" teriak Bong Thiangak. Sambil berteriak. Bong Thian-gak segera memejamkan mata. Pada saat itulah berkumandang dua kali dengusan, untuk kedua kalinya Bong Thian-gak membuka matanya kembali. Ternyata kedua gadis yang bugil tadi sudah tergeletak lemas di tanah, cairan darah masih nampak meleleh keluar dari ujung bibir mereka.
Sementara Pek Yan-ling sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat mencengkeram dua sosok mayat itu dan diletakkan di sudut ruangan, setelah itu dia mendekati Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1090
Sementara itu Bong Thian-gak merasakan timbulnya gulungan hawa panas di bawah perutnya, hal itu membuat peredaran darah dalam tubuhnya mengalir semakin cepat. Kendatipun demikian, kesadaran otaknya masih tetap jernih, tiba-tiba ia bertanya, "Kau yang telah menghabisi nyawa mereka berdua?" "Betul!" Pek Yan-ling mengangguk pelan. "Akulah yang telah membunuh mereka berdua." "Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?" tanya Bong Thian-gak lagi dengan kening berkerut. Pek Yan-ling menghela napas sedih. "Ai, aku ingin menyelamatkan jiwamu. Tindakanku sudah tentu di luar dugaanmu, bukan?" "Kau hendak menyelamatkan jiwaku?"
Bong Thian-gak membelalakkan mendengar perkataan itu.
mata
lebar-lebar
Dengan sedih Pek Yan-ling berkata, "Di masa lalu, aku sudah banyak melakukan kesalahan dan kejahatan, dosaku telah berlapis-lapis, biarlah aku mati untuk menolongmu, saat ini kendati kematianku belum tentu dapat menebus semua dosa yang pernah kulakukan, namun setidak-
Pendekar Cacat 1091
tidaknya dengan menolong jiwamu hari ini, aku bisa mengurangi atau memperingan dosa yang pernah kuperbuat." Saat itu kejernihan otak Bong Thian-gak sudah makin memudar, perasaannya makin kalut, matanya melotot dan kian memerah, tanyanya, "Dengan cara apa kau akan menyelamatkan jiwaku?"
Tiba-tiba Pek Yan-ling melepas semua pakaian yang dikenakan hingga telanjang bulat, kemudian katanya pelan, "Siau-hun-wan adalah sejenis obat perangsang yang aneh dan luar biasa, kecuali mengorbankan diriku, tiada cara lain untuk menyelamatkan jiwamu dari bahaya ancaman maut." Gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, kembali dia berteriak, "Kau tidak boleh berbuat begitu untuk menolong aku." Tapi sayang sekali, pil Siau-hun-wan sudah mulai bekerja dalam tubuh pemuda itu.
Dalam waktu singkat kejernihan otak Bong Thian-gak sudah teihakar oleh nafsu birahi sehingga tak ampun lagi anak muda itu jadi kalap dan kehilangan akal budinya lagi.
Pendekar Cacat 1092
Biarpun demikian ia tidak seperti lelaki lain, biarpun nafsu birahi indah mengusainya, ia belum melakukan sesuatu gerakan apa pun, hanya matanya melotot memandang tubuh Pek Yan-ling yang bugil tanpa berkedip.
Sedangkan Pek Yan-ling sendiri hanya ingin menyelamatkan jiwa Bong Thian-gak, tapi dia melupakan sesuatu, bagaimana pun juga dia adalah Subo Bong Thian-gak, istri gurunya. Bagaimana mungkin Bong Thian-gak bisa melakukan hubungan dengan Subonya sendiri? Bila takdir telah mengatur nasib manusia, siapa pula yang bisa menghindar. Pek Yan-ling adalah seorang yang tidak bersih perbuatannya dan hari ini kembali dia lakukan kesalahan besar. Dosa dan kesalahan yang dilakukan hari ini boleh dibilang tak terampuni lagi. Tapi kobaran api birahi membuat orang melupakan segalanya. Bong Thian-gak telah melupakan siapa dirinya, dia hanya tahu bagaimana melampiaskan nafsu birahinya secepat mungkin. Ketika hujan badai telah berlalu.
Pendekar Cacat 1093
Racun jahat Siau-hun-wan telah terhisap oleh tubuh Pek Yan-ling.
Sekujur tubuh Pek Yan-ling gemetar keras, paras mukanya segera hemhah pucat-pias, ternyata bagian bawah perutnya mulai terasa sakit seperti diiris pisau, sedemikian sakitnya membuat dia mulai merintih. Setelah hujan badai lewat, semua sari racun yang mengeram dalam tubuh Bong Thian-gak telah tersapu lenyap, kobaran api birahi yang padam membuat akal budinya jernih kembali.
Dengan jernihnya pikiran, anggota badannya yang semula lemas tak bertenaga kini telah pulih seperti sedia kala. Mendadak dia menperdengarkan jeritan kaget yang keras dan penuh nada seram. Sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke tubuh Pek Yan-Ling. Akibat serangan itu, tubuh Pek Yan-ling yang telanjang segera menjelat ke udara dan terbanting ke tanah.
Pendekar Cacat 1094
Pek Yan-ling yang dihantam pemuda itu menjadi terheranheran, ia segera meronta bangun, dengan noda darah membasahi ujung bibirnya dan suara yang gemetar keras, bisiknya, "Aku ... aku telah menyelamatkan jiwamu, racun keji Siau-hun-wan telah tersalur ke dalam tubuhku, kau ... mengapa kau malah menghajar aku?" Bong Thian-gak menutupi wajah dengan tangan tunggalnya, mendadak ia menangis tersedu-sedu, katanya, "Kau ... mengapa kau berbuat demikian? Tahukah kau, siapakah dirimu, kau ini apaku?"
Sekarang Pek Yan-ling baru teringat bahwa Bong Thian-gak adalah seorang lelaki jujur yang mengutamakan budipekerti dan tata-krama, dia pun mulai berpikir, "Ya benar, aku adalah Subonya. Biarpun aku berbuat demikian demi menyelamatkan jiwanya, tapi baginya justru merupakan suatu perbuatan terkutuk, baginya peristiwa ini sama saja berbuat berzina dengan Subonya sendiri ... aduh celaka, andaikata dia memandang serius peristiwa ini, sudah dapat dipastikan dia akan menghabisi nyawanya sendiri."
Berpikir demikian, sambil tertawa pedih Pek Yan-ling segera berkata, "Pada waktu itu, kejernihan akal budimu telah hilang. Apa pun yang telah kau lakukan tidak perlu kau pertanggung-jawabkan."
Pendekar Cacat 1095
"Kau telah mencelakai aku. Aku ... aku tak punya muka untuk hidup terus," pekik Bong Thian-gak sedih. Sambil berteriak, dia segera menyambar pakaiannya dan dikenakan dengan cepat.
Dalam pada itu paras muka Pek Yan-ling telah berubah pucat-pias seperti mayat, tubuhnya gemetar keras, sementara peluh bercucuran dengan deras. Seakan-akan menahan penderitaan yang luar biasa, akhirnya dia berkata, "Bong Thian-gak, kau harus hidup terus, kau harus melanjutkan hidupmu di dunia ini, racun jahat Siau-hunwan telah tersalur ke dalam tubuhku, sekarang aku tak lebih hanya seorang yang sudah mendekati ajal, perbuatanku ini sama sekali tidak keliru, sebab hanya kau seorang di dunia ini yang bisa membunuh iblis perempuan Itu, kau harus mempertahankan hidupmu, kalau tidak, pengorbanan nyawaku ini benar-benar pengorbanan yang tak ada artinya."
Bong Thian-gak mengawasi wajah Pek Yan-ling dengan kesedihan yang luar biasa, gumamnya tanpa terasa, "Betul, kau berbuat demikian karena menolong jiwaku ... bila kau tidak berbuat demikian, aku pasti akan menjadi boneka Cong-kaucu, aku pasti akan melenyapkan gembong iblis perempuan itu dari muka bumi, kau bukan saja telah menolong aku dengan perbuatanmu tadi, kau pun telah
Pendekar Cacat 1096
menyelamatkan beribu-ribu jiwa umat persilatan ... tapi dapatkah aku hidup lebih lanjut dalam keadaan seperti ini?" "Kau dapat melupakan kejadian itu," Pek Yan-ling berkata dengan sedih. "Anggap saja peristiwa ini tidak pernah kau alami."
"Dapatkah aku melupakannya?" kata Bong Thian-gak amat pedih. "Sepuluh tahun lalu kau pernah melakukan hubungan gelap dengan Sam suheng Siau Cu-beng, itu sebabnya kubunuh Sam-suheng, tapi hari Ini siapa pula yang akan membunuhku demi membalas aib bagi Suhu." "Bong Thian-gak, kau sudah tahu aku bukan perempuan baik-baik. Sejak dulu Oh Ciong-hu sudah tidak memiliki istri macam diriku lagi" ucap Pek Yan-ling sedih. "Oleh karena itu aku bukan istri Oh Ciong-hu, juga bukan Subomu ... selain itu kau sudah sejak lama dikeluarkan. dari perguruan, kau pun sudah bukan muridnya lagi. Ini berarti di antara kita berdua sama sekali tiada hubungan sebagai ibu guru dan murid lagi, kita adalah sahabat biasa ... aku sama sekali bukan ibu guru seperti apa yang kau sebut, karenanya kau tidak pernah melanggar aturan, aku pun tidak pernah melakukan perbuatan yang menyalahi peiaturan perguruan."
Pendekar Cacat 1097
Memang benar, sepuluh tahun lalu Bong Thian-gak diusir Oh Ciang hu dari perguruan, jadi Pek Yan-ling sudah bukan Subonya lagi. Apalagi selama sepuluh tahun ini dia sendiri pun tak pernah menganggap perempuan itu sebagai Subonya, karena itu dia sudah kehilangan haknya untuk dihormati sebagai seorang Subo. Kendati demikian, dalam hati Bong Thian-gak tersiksa pula oleh penderitaan yang luar biasa. Dalam pada itu kulit badan Pek Yan-ling yang semula berwarna putih halus, lambat-laun telah beruban menjadi hitam kemerah-merahan, beberapa kali dia bahkan kejangkejang dengan penuh penderitaan. "Bong Thian-gak” kembali dia berkata sambil menahan derita. "Sekarang isi perutku terasa seperti disayat-sayat, seperti juga ada beribu ekor binatang yang menggerogoti badanku ... ooh sangat menderita ... tolong ... tolong hadiahkan sebuah pukulan kepadaku agar aku cepat mati!"
Rintihan demi rintihan bergema tiada hentinya dari bibir Pek Yan-ling, sambil memegang dada dengan sepasang tangannya, dia mulai bergulingan kian-kemari, keadaannya amat tersiksa dan mengenaskan, membuat siapa pun yang melihat jadi amat terharu.
Pendekar Cacat 1098
Bong Thian-gak tak dapat membendung air matanya lagi, dengan penuh duka katanya, "Thian telah mengatur segala sesuatunya? Mengapa Thian selalu memaksa aku melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak kukehendaki?" "Bong Thian-gak, ayolah cepat turun tangan," pinta Pek Yan-ling sambil mengangkat wajahnya yang menyeringai seram. "Dahulu aku telah banyak berbuat dosa kepadamu, sekarang biar kau cincang tubuhku hingga hancur berkeping-keping pun belum tentu bisa membalas luka yang pernah kuberikan kepadamu di masa lalu. Inilah hukum karma bagiku, aku memang pantas mati di bawah telapak tanganmu."
Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu katanya, "Yang sudah lewat biarlah lewat, aku sama sekali tidak membencimu, bahkan aku amat berterima kasih kepadamu ... karena aku telah berhutang budi kepadamu." Tatkala kata "kepadamu" diucapkan, telapak tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan ke depan melancarkan bacokan. Dimana angin pukulan berkelebat, tubuh Pek Yan-ling mencelat ke belakang untuk kemudian tidak berkutik lagi.
Air mata sekali lagi jatuh bercucuran membasahi wajah Bong Thian-gak, diambilnya kain seprei dari atas
Pendekar Cacat 1099
pembaringan, lalu dibungkuskan ke atas tubuh Pek Yan-ling yang telanjang dan pemuda itu pun berdiri termangumangu untuk beberapa saat lamanya. Mendadak berkumandang suara langkah kaki manusia. Bong Thian-gak bagaikan baru sadar dari mimpi, dia segera menyelinap ke belakang pintu dengan cepat.
Dalam pada itu dari luar ruangan sudah terdengar seseorang berkata, "Cap-go-kaucu, Cong-kaucu memerintahkan kepadaku untuk mengantar dua pil Siauhun-wan, dengan pesan dalam dua belas jam mendatang harus mencekokkan pil ketiga kepada Jian-ciat-suseng." Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu segera membuka pintu secara tiba-tiba, tampak seorang berbaju kuning berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat.
Tatkala orang berbaju kuning itu menyaksikan Bong Thiangak berdiri di hadapannya dalam keadaan segar-bugar, ia nampak amat terperanjat, mulutnya ternganga dan tak sempat berteriak, tahu-tahu cakar maut yang kuat seperti jepitan telah mencekik tenggorokannya.
Pendekar Cacat 1100
"Krak", tulang leher orang berbaju kuning itu tahu-tahu patah, tak sempat mengeluarkan suara rintihan lagi, orang itu tewas seketika. Selesai membunuh orang itu. Bong Thian-gak segera menyelinap keluar, dengan cepat sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu.
Apa yang kemudian terlihat membuat Bong Thian-gak merasa sangat terkejut, ternyata dia berada di sebuah ruangan besar dan kosong, lima puluh empat buah tiang penyangga berukir naga emas berjajar tiap sudut, atap ruangan indah dan megah, bangunan itu sangat mentereng. Tempat dimana Bong Thian-gak berdiri sekarang merupakan panggung di ruangan tengah, permadani berwarna merah menghiasi lantai, boleh dibilang dimanamana dihiasi barang antik yang tak ternilai harganya.
Pot bunga berlapiskan emas di sekeliling panggung, delapan belas buah hiolo perak bertebaran di bawah panggung, empat gentong emas, empat pasang kura-kura tembaga dan bangau tembaga turut menghiasi setiap sudut ruangan.
Pendekar Cacat 1101
Selain itu di tengah ruangan terdapat pula sebuah meja panjang, di atas meja berjajar berbagai peralatan yang terbuat dari tembaga, kemala, dan bahan keramik, di samping intan permata dan mutu manikam yang tak ternilai harganya. Pada hakikatnya bangunan itu ibarat sebuah gudang hartakarun.
Pada ujung tumpukan harta-karun yang tak ternilai itu terdapat sebuah kursi yang terbuat dari emas, cahaya kekuning-kuningan memercik ke empat penjuru membuat kursi tadi menyerupai singgasana seorang kaisar. Mata Bong Thian-gak menjadi kabur menyaksikan semua itu, sesaat lamanya dia hanya bisa berdiri termangu-mangu seperti orang kehilangan ingatan. Dia tidak mengetahui tempat apakah itu? Darimana datangnya harta-karun itu? Tiada lentera di dalam ruangan itu, tapi bisa terlihat dengan jelas bahwasanya ruangan itu kosong melompong, tak nampak sesosok bayangan manusia pun, namun Bong Thian-gak cukup mengerti, di luar istana itu pasti terdapat pasukan penjaga yang amat ketat dan kuat.
Pendekar Cacat 1102
Maka sambil menghimpun tenaga dalam untuk berjagajaga atas segala kemungkinan, dia berjalan menuju ke pintu gerbang. Pintu dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat Bong Thian-gak tertegun, segera pikirnya, "Kalau dilihat dari pintu gerbang yang tertutup rapat, berarti tiada penjaga yang meronda di luar gedung, tempat ini sungguh merupakan tempat rahasia yang menyeramkan."
Mendadak dari luar terdengar "Komandan regukah di situ?"
seorang
menegur,
"Benar!" dengan cepat Bong Thian-gak menyahut. Suara gemuruh yang amat keras segera berkumandang, pintu gerbang terbuka lebar dan dua kepala menongol dari balik pintu. Secepat sambaran kilat telapak tangan Bong Thian-gak membacok ke bawah. Tiada jerit kesakitan, tiada suara lain, tahu-tahu kedua orang tadi menghembuskan napas penghabisan. Dengan gerakan tubuh yang gesit, lincah dan ringan, Bong Thian-gak segera menerobos keluar lewat celah-celah pintu itu.
Pendekar Cacat 1103
Di bawah cahaya rembulan, di bawah undak-undakan batu depan pintu gerbang nampak berjajar dua puluh pengawal berbaju kuning, mereka berdiri dengan memegang tombak panjang. Kemunculan Bong Thian-gak yang secara tiba-tiba membuat mereka tidak sempat melihat dengan jelas siapa pendatang itu. Dalam sekejap Bong Thian-gak telah sampai di hadapan pengawal pertama. Tanpa jeritan kaget, tanpa teriakan kesakitan, tahu-tahu orang itu sudah roboh binasa.
Di saat pengawal baju kuning yang pertama roboh terkapar tadi, tubuh Bong Thian-gak sudah berkelebat di hadapan delapan orang pengawal dan muncul di hadapan pengawal kesembilan. Di saat para pengawal menyadari datangnya musuh yang menakutkan itu, Bong Thian-gak telah berhasil menghabisi nyawa delapan orang pengawal baju kuning dengan kecepatan dan serangan yang mengerikan. Serangan yang begitu dahsyat dan cepat ini pada hakikatnya jarang dijumpai di kolong langit.
Pendekar Cacat 1104
Tiga orang pengawal baju kuning lainnya yang masih tersisa dengan cepat menyadari datangnya ancaman bahaya, salah seorang di antara mereka segera menghardik, "Siapa di situ?"
Bong Thian-gak merampas tiga batang tombak dari korbannya yang tewas dan satu-per satu dilontarkan ke depan. Tombak-tombak itupun menembus jantung tiga orang pengawal yang berada di kejauhan, tanpa penderitaan, tanpa teriak kesakitan, dua puluh empat orang pengawal berbaju kuning tahu-tahu sudah tertumpas habis di tangan Bong Thian-gak. Kendati Bong Thian-gak telah melakukan pembunuhan dengan gerakan cepat, tindakan yang kejam dan tak membuat pengawal-pengawal itu mengeluarkan suara, namun penjagaan di seputar gedung itu sungguh kelewat ketat. Dua puluh empat pengawal berbaju kuning yang berada di pintu gerbang sekarang tak lebih hanya sekelompok kekuatan lain yang berada
Mendadak serentetan suitan keras yang tinggi dan melengking dibunyikan orang keras-keras.
Pendekar Cacat 1105
Bong Thian-gak segera menyaksikan tiga orang pengawal baju kuning melompat turun dari atas tiga batang pohon Pek-yang dan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus. Bong Thian-gak sadar jejaknya sudah ketahuan, dia semakin tak ingin membuang waktu lagi, maka tubuhnya melejit ke muka dan menyambut datangnya para pengawal yang sedang menerjang datang itu Begitu bayangan kedua belah pihak saling bertemu, terdengarlah suara benturan keras yang sangat nyaring.
Tidak banyak waktu yang terbuang, dalam waktu singkat tiga orang pengawal yang baru muncul itu sudah bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Lengan tunggal Bong Thian-gak kini sudah merampas ketiga batang pedang lawan. Pada saat itulah dari sisi sebelah kiri ruangan berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan. "Hehehe, serangan yang sangat hebat dan ganas. Hm ... hm ... selama puluhan tahun terakhir belum pernah kujumpai seorang jagoan yang sedemikian tangguh!"
Pendekar Cacat 1106
Mendengar ucapan itu, mendongakkan kepala.
Bong
Thian-gak
segera
Di hadapannya kini sudah muncul delapan orang pengawal berbaju kuning yang mengiringi seorang kakek gemuk pendek, selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya. Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, ia sudah dapat melihat kakek gemuk pendek itu memiliki kepandaian silat yang hebat. Tiba-tiba saja suara nyaring bergema di angkasa. Ternyata kedelapan orang berbaju kuning sudah melolos cambuk panjang dari pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat dan lincah mereka mengepung Bong Thian-gak. Bong Thian-gak cukup mengetahui bahwa ruyung lemas itu merupakan sejenis senjata yang sangat lihai.
Oleh karena itu Bong Thian-gak tidak membiarkan kedelapan orang pengawal berbaju kuning itu melancarkan serangan lebih dahulu, sambil tertawa dingin tubuhnya berputar seperti angin puyuh dan langsung menggulung ke sisi sebelah barat. Tatkala Bong Thian-gak berputar dengan kencang tadi, ketiga pedang yang digenggamnya secepat sambaran petir sudah menyambar ke depan.
Pendekar Cacat 1107
Tahu-tahu dua pedang di antaranya sudah meluncur ke muka dengan kecepatan tinggi. Dua kali jerit kesakitan yang memilukan segera bergema.
Empat orang pengawal baju kuning yang menerkam datang dari arah timur dan utara tahu-tahu sudah kehilangan batok kepalanya, tersambar oleh luncuran pedang itu. Sebilah pedang berhasil membacok dua kepala, ilmu pedang terbang semacam ini benar-benar merupakan suatu kepandaian yang sangat mengejutkan. Bong Thian-gak sendiri hanya menyambitkan kedua batang pedang dan menyisihkan sebatang baginya, pedang itu mengikuti gerakan tubuhnya berputar ke barat, segera melancarkan serangan pula, dimana cahaya pedang berkelebat, darah segar berhamburan kemana-mana dan isi perut berceceran. Dua orang pengawal berbaju kuning kena terbabat pinggangnya hingga putus menjadi dua bagian.
Dalam waktu singkat dari delapan pengawal berbaju kuning itu sudah ada enam orang di antaranya yang tewas.
Pendekar Cacat 1108
Demonstrasi kekejaman yang terjadi ini sungguh menggidikkan hati siapa pun, kontan saja dua pengawal berbaju kuning yang tersisa serta kakek gemuk pendek itu menghentikan langkah. Sementara itu Bong Thian-gak yang dalam sekejap mata telah membunuh enam orang, kini maju selangkah demi selangkah menghampiri kakek gemuk pendek itu dengan pedang terhunus.
Sambil tertawa dingin ia berkata, "Ruyung panjang meski merupakan senjata untuk menandingi pedang atau golok, tapi bila bertemu dengan aku, kalian tetap merupakan rombongan yang bakal berangkat ke akhirat." "Siapakah kau?" bentak kakek gemuk pendek itu dengan wajah Iei kejut dan ngeri. "Ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng!" sahut Bong Thiangak sambil tertawa dingin. Sembari berkata, tiba-tiba saja pemuda itu melompat ke depan dan pedangnya langsung dibacokkan ke tubuh kakek gemuk pendek itu. Serangan pedang itu dilancarkan dengan cepat, akan tetapi gerakan cambuk kakek gemuk pendek itu pun tidak kalah cepatnya.
Pendekar Cacat 1109
Bong Thian-gak segera merasakan pergelangan tangannya menjadi kencang, urat nadi pada pergelangan tangannya sudah kena terbelenggu empat lingkaran oleh cambuk lawan, otomatis gerak serangan pedangnya pun mengenai tempat kosong. Diiringi gelak tawa panjang penuh kebanggaan, kakek gemuk pendek itu segera berkata, "Cambuk sakti bayangan aneh sudah puluhan tahun lamanya termasyhur di kolong langit. Tak ada orang bisa lolos dari cengkeramanku bila ruyung telah berada dalam genggamanku. Hehehe, Jianciat-suseng, lengan tunggalmu ini agaknya akan kutung pula." Sementara itu Bong Thian-gak merasa ruyung lemas yang membelenggu urat nadinya itu makin lama makin kencang, tulang dan kulitnya terasa sakit seperti remuk.
Bong Thian-gak sadar bila lawan sekali lagi menarik ruyung lemasnya, niscaya lengan tunggalnya itu bakal lenyap tak berbekas. Sementara ingatan itu melintas dalam benaknya, tubuh Bong Thian-gak telah terbetot oleh cambuk lemas tadi sehingga terbanting ke atas tanah.
Pendekar Cacat 1110
Namun ketika Bong Thian-gak bangkit kembali dari atas tanah, suara dengusan tertahan bergema di udara. Perut kakek gemuk pendek itu tahu-tahu sudah tersambar oleh cahaya pedang sehingga mengucurkan darah segar. Darah mengalir keluar bersama usus dan isi perut lainnya, meleleh dari balik mulut luka yang lebar dan memanjang itu. Kulit muka si kakek gemuk pendek itu segera mengejang keras, katanya dengan suara dipaksakan, "Kau ... kau ... bagaimana caramu bisa meloloskan diri dari belenggu cambuk panjangku?"
Dengan wajah dingin Bong Thian-gak berdiri di hadapannya. Ketika mendengar pertanyaan itu, ia menjawab dingin, "Permainan ruyungmu memang terhitung cambuk kilat nomor wahid di kolong langit. Tiga puluh tahun berselang, dalam dunia rimba hijau pernah termasyhur seorang pencoleng yang mahir dalam permainan cambuk, konon dia bernama Ruyung sakti bayangan setan Si-bu, mungkin kaulah orangnya?"
Penderitaan yang tebal semakin menghiasi wajah kakek gemuk pendek itu, dia berkata dengan suara gemetar, "Nama besar Ruyung sakti bayangan setan pada saat ini
Pendekar Cacat 1111
sudah punah dan tak ada lagi. Jian-ciat-suseng, meski ... meskipun ilmu pedangmu tiada tandingannya di kolong langit, tapi jangan harap kau bisa menandingi kerubutan beratus-ratus pengawal perkumpulan Put-gwa-cin-kau, akhirnya kau ... kau pun akan mengalami nasib yang sama seperti aku, roboh ... roboh ke tanah dan tak akan bangun lagi." Sampai di situ langkah kakek gemuk pendek itu sudah sempoyongan, akhirnya roboh terjungkal ke atas tanah dan tak pernah merangkak bangun kembali. Pencoleng nomor wahid di rimba hijau itu, Si-bu, akhirnya harus mampus di ujung pedang Bong Thian-gak.
Setelah menyaksikan Si-bu tewas, pelan-pelan Bong Thiangak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, tapi perasaannya segera terkesiap. Ternyata pada saat itu seluruh lapangan yang luas di depan mangan utama telah dikelilingi lautan manusia yang mengepung tempat itu secara berlapis-lapis, begitu rapat pengepungan di sana, hal ini membuat seramnya suasana di bawah sinar rembulan.
Agak bergidik juga Bong Thian-gak menyaksikan keadaan itu, diam-diam pikirnya, "Bila aku harus membantai orang
Pendekar Cacat 1112
itu satu demi satu, biar mereka bisa kuhabiskan, akhirnya aku akan kehabisan tenaga dan mampus di tangan mereka ... hari ini lebih baik aku kabur saja dari sini atau melangsungkan pertarungan dan beradu kekuatan dengan pihak Put-gwa-cin-kau?" "Ai, apalagi kawanan pengawal itu hanya diperintah Congkaucu untuk melakukan perbuatan itu, masa aku harus membantai mereka habis-habisan."
Berpikir demikian, tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak, "Dengarkan saudara-saudara sekalian. Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun saat ini, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Pedang di tanganku sekarang memiliki kekuatan luar biasa, tiga puluh sosok mayat yang tergeletak di atas tanah merupakan bukti yang paling jelas. "Selain Cong-kaucu kalian yang dapat menyambut beberapa jurus serangan pedangku, kalian boleh dibilang ibarat telur yang beradu dengan batu atau kunang-kunang yang menentang api, hanya mencari kematian bagi diri sendiri. "Thian maha pengasih dan maha penyayang, aku tak ingin melakukan pembunuhan besar-besaran, karena itu kuanjurkan kepada kalian lebih baik menyingkirkan diri dari sini dan berilah jalan lewat kepadaku, aku tak nanti melukai seorang pun di antara kalian."
Pendekar Cacat 1113
Ucapan itu diutarakan dengan suara lantang dan keras, di tengah kegelapan malam suara itu dapat tersiar sampai jauh. Baru selesai dia berkata, mendadak dari kerumunan orang banyak terdengar seorang berseru sambil tertawa dingin, "Aku tak percaya kau seorang cacat bisa memiliki kepandaian dan kemampuan sedemikian hebatnya." Dari kerumunan orang banyak sebelah utara segera terjadi kegaduhan, lalu nampak dua orang berjubah hitam diiringi delapan laki-laki yang menyoreng pedang berjalan menuju ke arahnya.
Tatkala mendengar nada suara orang itu, seketika itu juga timbul kobaran api dendam dalam dada Bong Thian-gak, dia segera berteriak, "Siau Cu-beng, kedatanganmu tepat sekali!" Sepasang mata Bong Thian-gak telah memancarkan cahaya api yang menggidikkan, dia mengawasi orang berkerudung yang menyoreng sepasang pedang itu tanpa berkedip. Sementara itu orang berambut panjang yang berada di sebelah kanan, yang berdandan bukan lelaki bukan perempuan itu tertawa seram seraya berkata, "Aku kira
Pendekar Cacat 1114
siapakah manusia cacat ini? Hm, ternyata Bong Thian-gak orangnya."
Bong Thian-gak dapat mengenali orang aneh kurus seperti mayat hidup ini adalah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau. Ia tertawa dingin, lalu katanya sambil manggut-manggut, "Betul, Ko Hong adalah samaranku tiga tahun lalu. Kau sudah merupakan prajurit yang kalah perang di tanganku, hari ini kau lebih-lebih bukanlah tandinganku, hm, aku orang she Bong selalu bisa membedakan mana budi dan mana dendam, kau bukan termasuk orang yang akan kubunuh, asal kau tahu diri dan segera mengundurkan diri, aku bersedia pula mengampuni jiwamu." Liok-kaucu tertawa seram. "Tiga tahun berselang, sebuah pukulanmu telah membuat aku berbaring selama tiga bulan. Dendam sakit hati ini tak pernah kulupakan, sungguh tak gampang bertemu lagi dengan kau. Hm! Kau anggap aku akan melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja?" "Liok-kaucu, panjang amat umurmu," jengek Bong Thiangak dengan suara hambar.
Pendekar Cacat 1115
Liok-kaucu tertawa terbahak, suaranya amat menyeramkan, telapak tangan raksasanya mendadak diayunkan ke depan, segulung angin pukulan yang amat dingin segera menyerang ke arah Bong Thian-gak. Sejak tadi Bong Thian-gak sudah tahu ilmu pukulan lawan merupakan ilmu jahat dan beracun, karena itu secara diamdiam dia telah menyalurkan hawa murni Tat-mo-khi-khang menyelimuti seluruh jalan darahnya. Dimana angin pukulan menyambar, Bong Thian-gak mendengus tertahan dan sepasang bahunya bergoncang keras.
Pada saat itulah Liok-kaucu tertawa sambil berteriak keras, "Jian-ciat-suseng, serahkan jiwa anjingmu!" Dengan suatu gerakan yang amat cepat, dia mendesak ke muka dan melakukan gempuran. Siau Cu-beng yang berada di sisinya segera menyadari hal itu merupakan siasat lawan, dia segera berteriak, "Hati-hati Liok-kaucu, dia tidak terluka." Sayang sekali sebelum peringatan itu diutarakan, tubuh Liok-kaucu telah tiba di hadapan Bong Thian-gak, telapak tangannya dipentang lebar-lebar dan mencengkeram dari kiri dan kanan.
Pendekar Cacat 1116
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat. Menyusul kemudian jeritan keras seperti babi disembelih bergema.
Di tengah sambaran cahaya pedang, sepasang tangan Liokkaucu terbabat kutung dan rontok ke tanah, menyusul di tengah semburan darah segar, pedang Bong Thian-gak menusuk dadanya hingga tembus. "Liok-kaucu, kali ini kau mati tanpa mengucapkan sepatah kata pun?" Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan nada hambar. Bersamaan itu pula pedangnya telah dicabut dari atas dada Liok-kaucu. Darah segar segera menyembur lewat mulut lukanya, Liokkaucu memang tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya membentang matanya lebar-lebar mengawasi Bong Thian-gak tanpa berkedip. Akhirnya robohlah tubuh Liok-kaucu ke tanah dan tak pernah bangun lagi. Jiwanya turut melayang ke angkasa dan kembali ke akhirat.
Dalam satu gebrakan Bong Thian-gak berhasil membunuh Liok-kaucu, walaupun kemenangan yang dia raih berkat taktiknya yang jitu, akan tetapi bagaimana pun juga Liok-
Pendekar Cacat 1117
kaucu mempunyai kepandaian silat sangat tinggi, kenyataannya dia dibunuh orang secara gampang, peristiwa ini benar-benar menggetarkan perasaan setiap orang.
"Siau Cu-beng, mengapa tidak kau lepaskan kain kerudungmu itu?" sambil membawa pedangnya yang berlumuran darah dan sikap yang menyeramkan, Bong Thian-gak membentak keras. Komandan kedua pasukan pengawal tanpa tanding segera tertawa dingin sambil sahutnya, "Betul, akulah Siau Cubeng, tapi aku tidak pernah menyangka kaulah Bong Thiangak." Sementara itu dalam benak Bong Thian-gak melintas kembali berbagai kejadian tragis yang telah menimpanya malam ini ... darah bercampur dendam segera mendidih dalam tubuhnya. "Siau Cu-beng, gara-gara perbuatanmu yang memalukan sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi cacat, kaki kiriku pincang, lalu tiga tahun berselang kau pun memotong kutung sebelah lenganku, maka malam ini aku tak tahu bagaimana mesti membalas dendam berdarah ini." Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat pedangnya dan bersiap melancarkan serangan.
Pendekar Cacat 1118
Siau Cu-beng segera tertawa ringan, katanya, "Bong Thiangak, aku hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu, mengapa kau menghajarku sampai jatuh ke dalam jurang pada sepuluh tahun berselang? Hahaha, apakah hal ini dikarenakan kau menangkap basah hubungan gelapku dengan Pek Yan-ling, maka kau lantas hendak membersihkan aib perguruan?" "Hm, tapi hari ini ... kau pun telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling, nah, giliranku sekarang untuk bertanya kepadamu, apakah aku pun harus membunuhmu untuk membalaskan dendam aib yang menimpa perguruan kita?" Gemetar keras tubuh Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, pedang yang sudah disiapkan tanpa sadar terlepas dan jatuh ke tanah. "Oh, Thian!" diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dengan perasaan amat tersiksa. "Ternyata Siau Cu-beng telah menyaksikan peristiwa itu, sepuluh tahun lalu aku telah membunuhnya karena ia telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling." Perasaan sedih dan menyesal membuat pikiran dan otaknya lerganggu.
Pendekar Cacat 1119
Pada kesempatan yang sangat baik inilah mendadak Siau Cu-beng mengayun pedang dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun dengan cepat menusuk dada Bong Thian-gak. Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu yang amat singkat. Cepat tangan kiri Bong Thian-gak diayun ke depan untuk menghantam mata pedang lawan. Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan segera berlangsung, ternyata Bong Thian-gak berhasil menggetar pedang itu hingga terpental dengan tangan kosong. Seketika itu juga Siau Cu-beng serta ratusan orang pengawal lainnya tertegun dan berdiri melongo dengan mata terbelalak lebar.
Setelah berhasil mementalkan pedang dengan tangan telanjang, liong Thian-gak sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, dengan cepat dia menengok sekejap ke arah Siau Cu-beng, kemudian berkata dengan hambar, "Siau Cu-beng, persoalanku bisa kuselesaikan sendiri. Kini aku hanya ingin menanyakan satu persoalan kepadamu, Toa-suheng Ho Put-ciang, Ji-suheng Yu Heng-sui dan Sumoay Oh Cian-giok, apakah masih hidup?" Siau Cu-beng seperti baru tersadar dari impian setelah mendengar itu, dia berseru tertahan, lalu balik bertanya
Pendekar Cacat 1120
dengan keheranan, "Dengan cara apakah kau telah menepuk pedangku hingga terpental?"
Bong Thian-gak tidak menjawab, sebaliknya malah membentak lagi dengan suara lantang, "Aku bertanya kepadamu, bagaimanakah nasib Ho Put-ciang sekalian?" Tiba-tiba Siau Cu-beng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, apakah Pek Yan-ling tidak memberitahukan padamu?" Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia segera berpikir, "Bagaimana keadaan mereka? Mengapa dia bilang Pek Yanling tidak memberitahukan kepadaku? Apa yang semestinya hendak dikatakan Pek Yan-ling kepadaku?" Sekali lagi Siau Cu-beng tertawa dingin, suaranya menyeramkan, "Kalau Pek Yan-ling tidak memberitahukan kepadamu, baiklah biar aku yang memberitahukan kepadamu!" "Bagaimana keadaan mereka? Cepat katakan!" bentak Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1121
Siau Cu-beng sengaja berdehem, lalu dengan santai dia berkata, "Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah mengakhiri hidupnya sendiri." "Bunuh diri? Mengapa mereka bunuh diri?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. "Karena tidak punya muka untuk bertemu dengan orang. Hahaha, biar kuceritakan lebih terperinci kepadamu! Pek Yan-ling adalah Subo mereka, Ho Put-ciang serta Yu Hengsui pernah pula mempunyai hubungan persahabatan dan hubungan ibu guru. Akhirnya peristiwa yang sangat memalukan ini diketahui oleh Oh Cian-giok, kedua orang itu pun kehilangan muka sehingga akhirnya bunuh diri."
Sekali lagi dada Bong Thian-gak serasa dipukul martil yang berat, nyaris jatuh tak sadarkan diri. Mimpi pun dia tak menyangka Toa-suheng dan Jisuhengnya telah tewas dalam keadaan begitu mengenaskan dan memedihkan hati. Dia mengerti sekarang, semua ini bisa terjadi tak lain merupakan siasat membunuh yang paling keji dari perkumpulan Put-gwa-cin-kau. Mereka tidak membiarkan seorang Enghiong mati dalam keadaan gagah dan perkasa, melainkan membiarkan mereka mati dengan sukma tak tenang dan roh gentayangan.
Pendekar Cacat 1122
Perbuatan semacam ini benar-benar merupakan suatu cara membunuh yang sangat kejam dan mengerikan.
Setelah tertawa ringan, dengan suara yang dingin menyeramkan, Siau Cu-beng berkata lagi, "Tindakan Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui bunuh diri benar-benar Enghiong sejati, mereka adalah pendekar yang berani berbuat berani bertanggung-jawab sehingga bersedia menggorok leher sendiri untuk menebus dosa. Tapi sekarang, kau Bong Thian-gak sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mati, aku betul merasa kasihan untukmu!" Tiba-tiba Bong Thian-gak mendongakkan kepala berpekik nyaring, "Siau Cu-beng, serahkan nyawamu!"
Bong Thian-gak memungut pedangnya dari atas tanah dan seperti seekor banteng yang terluka, dia membacok tubuh Siau Cu-beng secara ganas. Siau Cu-beng tidak menyambut datangnya ancaman, sebaliknya delapan orang lelaki berbaju hitam yang berada di sisinya segera menggerakkan kedelapan pedangnya menciptakan selapis kabut pedang serentak mengurung Bong Thian-gak rapat-rapat. Ilmu pedang yang dimiliki Bong Thian-gak pada hakikatnya sudah mencapai kesempurnaan, pedangnya seperti
Pendekar Cacat 1123
membacok kayu bakar saja, kawanan orang berbaju hitam itu dibabat satu demi satu.
Semua serangan yang dilancarkan olehnya terbatas tigaempat bacokan belaka, namun kedelapan lelaki yang semula bergerak segesit naga dan seganas harimau itu sudah roboh terkapar di atas tanah, jangan kata melawan, jerit kesakitan pun tak sempat dikumandangkan. Siau Cu-beng bergidik menyaksikan peristiwa itu, peluh dingin bercucuran dengan deras, dia cukup mengetahui betapa lihainya ilmu pedang yang dimiliki kedelapan lelaki itu, yang merupakan pengawal andalannya, bahkan kelihaian mereka mencapai tingkatan seorang tokoh persilatan. Tetapi setelah berjumpa dengan Bong Thian-gak hari ini, keadaan mereka seakan-akan tidak memiliki setitik ilmu silat pun, dengan cara yang begitu mudah mereka terbunuh di tangan lawan.
Peristiwa ini benar-benar mengejutkan. "Dengarkan saudara sekalian," Siau Cu-beng segera berteriak. "Bila kita biarkan orang ini lolos malam ini, aku tak akan membiarkan kalian hidup terus di dunia ini.
Pendekar Cacat 1124
Kepung dia sekuat tenaga, kalian boleh membacok dan mencincangnya sampai hancur berkeping-keping!" Begitu bentakan itu lenyap, kawanan pengawal di tempat itu serentak berteriak dan membentak dengan suara gegap gempita, kemudian bersama-sama mengepung Bong Thiangak. Sementara itu Bong Thian-gak selesai membunuh kedelapan lelaki berbaju hitam dan menyaksikan Siau Cubeng hendak mengundurkan diri, dengan suara lantang segera teriaknya, "Siau Cu-beng, jangan kabur!" Tubuhnya melejit ke tengah udara dan menerjang ke muka, sebuah tusukan pedang langsung dilontarkan.
Ilmu pedang yang dimiliki Siau Cu-beng pun bukan kepandaian sembarangan. Sepasang pedangnya dipergunakan bersama, dengan suatu gerakan aneh dan cepat bagaikan sambaran kilat dia tangkis ancaman pedang Bong Thian-gak. Kemudian tanyanya sambil tertawa dingin, "Tunggu saja sampai nanti, kita pasti akan berduel untuk menentukan menang kalah!" Sementara itu serombongan orang telah menggulung datang bagaikan amukan ombak di tengah samudra.
Pendekar Cacat 1125
Tombak panjang, pedang, tongkat serta tujuh-delapan macam senjata lainnya menyerang tiba.
Bong Thian-gak meraung keras, pedangnya segera diputar, hawa pedang bagaikan selapis kabut menyelimuti angkasa, djmana hawa dingin berkelebat, jeritan ngeri segera memenuhi seluruh gelanggang. Dalam waktu singkat puluhan orang telah tewas di ujung pedang Bong Thian-gak yang tajam. Lambat-laun Bong Thian-gak menjadi tidak tega sendiri, dia segera membentak, "Yang hendak kubunuh sebenarnya bukan kalian, lebih baik kalian mundur saja dari sini, asal aku dapat membunuh Siau Cu-beng, memangnya dia masih dapat menghukum kalian?" Sementara itu Siau Cu-beng telah mengundurkan diri dari gerombolan orang banyak, Bong Thian-gak melompat naik ke tengah udara, kemudian tubuhnya melayang jauh ke depan dan langsung menerkam Siau Cu-beng.
Tatkala melayang turun, ia telah berada di tengah kerumunan orang banyak, bacokan golok dan pedang serentak ditujukan ke tubuh Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1126
Pada hakikatnya Bong Thian-gak tidak mempunyai cukup waktu untuk melancarkan serangan ke arah Siau Cu-beng, dia sudah kena serangan lebih dahulu oleh kawanan pengawal yang berada di sekeliling tempat itu. Berada dalam keadaan seperti ini, sekali lagi Bong Thiangak menggerakkan pedangnya melakukan pembantaian besar-besaran. Ia perkasa seperti Lu Poh, seperti Tio Cu-liong, dimana pedangnya menyambar, seakan tiada seorang pun yang dapat membendungnya. Jeritan ngeri, teriakan kesakitan bergema tiada hentinya.
Bong Thian-gak seperti orang membasahi seluruh pakaiannya.
kalap,
darah
telah
Dia sendiri tak tahu berapa banyak orang yang telah terbunuh, dia hanya tahu mengayunkan pedangnya melancarkan serangan. Percikan darah menyembur kemana-mana, isi perut berhamburan d i mana-mana, teriakan keras, jeritan ngeri bergema saling susul. Akhirnya ketika Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya, tidak terdengar lagi jeritan kesakitan yang terdengar.
Pendekar Cacat 1127
Hal itu bukan disebabkan Bong Thian-gak sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk membunuh orang, melainkan separoh orang-orang di sekelilingnya telah mati terbunuh. Tapi pedang Bong Thian-gak masih saja melancarkan bacokan. Hal ini disebabkan pandangan matanya sudah menjadi kabur atau berkunang-kunang, ia seperti tidak tahu bahwa di situ sudah tak lerdapat seorang hidup pun. Bong Thian-gak melancarkan puluhan bacokan lagi secara beruntun sebelum sadar. Napasnya tersengal, pedangnya terkulai ke bawah, dipandangnya sekejap sekeliling tempat itu, darah yang berceceran di atas tanah telah menganak sungai, mayat bergelimpangan dimana-mana, mayat-mayat itu mencapai ratusan sosok banyaknya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak menjadi tertegun, segera pikirnya, "Mana orang-orang yang lain? Kemana mereka telah menyembunyikan diri?" Rupanya ketika Bong Thian-gak tengah melakukan pembantaian, sebagian besar kawanan pengawal berbaju
Pendekar Cacat 1128
kuning telah mengundurkan diri secara diam-diam ke empat penjuru. Mendadak Bong Thian-gak seperti teringat akan sesuatu, dia segera berseru tertahan, "Ah, rupanya mereka telah mengubah taktik!"
Mendadak di tengah kegelapan malam terdengar suara anak panah berhamburan datang dengan hebatnya. "Aduh celaka!" pikir Bong Thian-gak. "Aku tak boleh berdiri termangu-mangu saja di sini." Mendadak dia mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khikang, pedangnya dengan cepat memainkan selapis kabut pedang, tubuhnya secepat kilat berlari menuju ke arah utara. Lapangan di situ cukup luas, di sana sini penuh ditumbuhi pepohonan Siong-pak dan bambu sehingga suasana gelap gulita.
Untuk menembus hutan semacam itu, bagi Bong Thian-gak pada hakikatnya lebih sukar daripada naik ke langit. Kawanan pengawal Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaan di dalam hutan, dari jarak yang
Pendekar Cacat 1129
tak begitu jauh mereka dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan anak panah atau senjata rahasia, sebaliknya bila musuh mendekat, mereka pun bisa melancarkan sergapan dengan mempergunakan pedang, golok atau tombak. Oleh karena itulah baru saja Bong Thian-gak masuk ke dalam hutan, hujan panah sudah menyergap dari belakang, sementara dari kiri dan kanannya menerjang empat batang tombak.
Selama tiga tahun melatih diri di bawah air terjun dahulu, Bong Thian-gak telah berhasil pula melatih ilmu membedakan arah angin serta ilmu tenaga dalam yang menitik-beratkan pada mengatasi gerak di tengah ketenangan, merebut ketenangan di tengah gerak. Keempat tombak itu dengan cepat dirontokkan oleh sambaran pedangnya, sedangkan hujan panah yang menyerang datang dari belakang punggungnya, melesat ke depan melewati atas punggungnya hanya dengan cara dia membungkukkan badan. Menyusul terdengar dua kali jeritan ngeri, sekali lagi pedang Bong Thian-gak menunjukkan kehebatannya, dua orang pengawal berbaju kuning yang menyembunyikan diri di belakang pohon kena ditebas kepalanya hingga tewas seketika.
Pendekar Cacat 1130
Bong Thian-gak meneruskan perjalanannya menembus hutan itu, jeritan demi jeritan pun bergema saling susul. Berpuluh bambu ada kalanya ikut terpapas kutung oleh bacokan pedang Bong Thian-gak sehingga roboh ke atas tanah. Pertempuran berdarah ini betul-betul merupakan pertarungan yang jarang terjadi dalam Bu-lim. Lewat setengah jam kemudian Bong Thian-gak telah keluar dari balik hutan yang gelap.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, pembunuh yang masih muda ini telah berubah menjadi manusia darah, rambutnya kusut dan pakaiannya robek, pedangnya yang berlumuran darah masih meneteskan titiktitik darah ke atas tanah. Berapa banyak orangkah yang telah terbunuh di tangan Bong Thian-gak dalam hutan itu? Walaupun pertempuran telah berhenti, sorot mata Bong Thian-gak masih tetap memancarkan hawa membunuh yang amat menggidikkan.
Pendekar Cacat 1131
Ternyata dia tahu, pentolan penyamun pembawa bibit bencana dan segala musibah baginya selama ini adalah Siau Cu-beng yang belum menemui ajalnya di ujung pedangnya. Bong Thian-gak sendiri pun merasa heran, sudah jelas tempat ini merupakan sarang Put-gwa-cin-kau, walau pertarungan berlangsung lama, kawanan jago lihai dari Putgwa-cin-kau yang menampakkan diri tak lebih hanya Siau Cu-beng dan Liok-kaucu. Kemana perginya Cong-kaucu serta Ji-kaucu dan Sim Tiongkiu sekalian? Apakah mereka semua tidak berada di sini?
Walaupun demikian, Bong Thian-gak pun diam-diam bersyukur, harus dia akui bila seorang saja di antara ketiga orang itu menampakkan diri, niscaya dia akan terancam bahaya maut pada malam ini. Teringat akan hal itu, Bong Thian-gak segera berubah pikiran, dia tidak ingin meninggalkan tempat itu secepatnya, dia masih harus melanjutkan pertarungannya. Kepalanya segera didongakkan. Bangunan loteng yang berlapis-lapis, gedung yang megah, berdiri kekar di bawah cahaya rembulan.
Pendekar Cacat 1132
Namun anehnya, semua gedung dan bangunan loteng itu berada dalam keadaan gelap, tiada cahaya lentera, tiada bayangan manusia yang nampak. Sekeliling tempat itu berubah begitu hening, menyeramkan dan menggidikkan. Hawa napsu membunuh Bong Thian-gak semakin berkobar, namun empat penjuru tidak nampak seorang pun, bagaimana mungkin dia dapat melanjutkan pembantaiannya. "Siau Cu-beng, mengapa kau tidak menampakkan diri? Kau sudah ketakutan? Siau Cu-beng, ayo cepat menampakkan diri untuk menerima kematian!" Bong Thian-gak berteriak, sudah barang tentu Siau Cu-beng dapat mendengar suara teriakan itu dengan jelas. Akan tetapi keperkasaan Bong Thian-gak sudah menggetarkan hatinya, dia sadar pasti dirinya bukan tandingan lawan.
Markas besar Put-gwa-cin-kau yang menyeramkan dengan penjagaan yang begitu ketat, dalam waktu singkat berubah menjadi kuburan yang sepi, suasana amat menyeramkan, bagaikan kota mati ditinggal penghuninya.
Pendekar Cacat 1133
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak hanya berdiri kaku di tempat, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang? Mendadak suara jeritan perempuan yang melolong seperti jeritan kuntilanak terdengar bergema dari loteng di depan sana. Jeritan itu seperti suara jeritan seseorang yang merasakan penderitaan batin yang luar biasa.
Bong Thian-gak berkerut kening, tubuhnya secepat kilat bergerak menuju ke arah bangunan loteng itu. Sementara itu teriakan dan lengkingan perempuan itu sekali lagi bergema di angkasa. Suaranya begitu mengerikan, membuat bulu kuduk orang berdiri dan darah serasa mendidih. Setelah itu terdengar pula seorang dengan suara terputusputus berteriak, "Lebih baik kalian bunuh aku, kumohon ... kumohon kepada kalian ... janganlah menyiksa aku dengan cara begini."
Setelah itu kembali bergema teriakan seperti suara lolongan serigala di tengah malam buta.
Pendekar Cacat 1134
Bong Thian-gak sudah terpancing tiba di bawah loteng itu, tiba¬tiba satu ingatan terlintas di benaknya, tanpa sadar pikirnya, "Jangan-jangan mereka sengaja memasang sebuah perangkap di tempat ini." Karena ingatan itu, dia segera membatalkan niatnya untuk melompat naik ke atas loteng itu. Tapi ingatan lain terlintas dalam benaknya, "Betul, jelas perangkap jahat untuk memancingku masuk jebakan ... tapi perempuan itupun sudah jelas seorang korban mereka ... padahal tempat ini sangat berbahaya, aku wajib menyelamatkan jiwanya." Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera melompat naik ke atas loteng itu, menghantam daun jendelanya sehingga terpentang lebar.
Di balik daun jendela merupakan sebuah ruangan yang sangat lebar, terlihat seorang perempuan dalam keadaan bugil terikat kencang pada tonggak kayu di tengah ruangan. Sedangkan di lantai terlihat ada beberapa ekor ular beracun sedang meliuk-liuk sambil menjulurkan lidahnya yang berwarna merah, dua di antaranya merayap mendekati nona bugil itu. Perasaan kaget, ngeri dan ketakutan menyelimuti wajah gadis bugil tadi, membuatnya sekali lagi menjerit.
Pendekar Cacat 1135
Tatkala perempuan bugil itu melihat Bong Thian-gak muncul di situ, sorot matanya memancarkan sinar permohonan. "Bedebah!" umpat Bong Thian-gak amat gusar. Tanpa memikirkan bagaimana akibatnya, pemuda itu segera melejit ke tengah udara dan langsung meluncur ke arah tonggak kayu dimana perempuan bugil itu terikat.
Pedangnya segera digetarkan, dan "Crit", persis menusuk di atas tonggak kayu itu. Dengan tangan kiri menggenggam pedang, Bong Thian-gak menggantungkan diri di atas pedangnya, sementara ujung baju kanannya dikebaskan ke muka. Akibat babatan ujung bajunya itu, dua ekor ular yang sedang merambat mendekati tonggak kayu itu segera terhajar hingga terputus menjadi beberapa bagian. Pada saat itulah perempuan bugil yang terikat di atas tonggak kayu beraksi, tubuhnya bagaikan ular menggeliat, lalu ... "Plak", Bong Thian-gak terhajar telak oleh serangannya.
Pendekar Cacat 1136
Mimpi pun Bong Thian-gak tak bisa membayangkan dengan cara apakah perempuan bugil itu melepaskan diri dari belenggu tali itu. Dia pun tidak tahu genggaman perempuan bugil itu mencekal seekor ular kecil yang berwarna hijau kehitamhitaman. Tahu-tahu Bong Thian-gak merasa punggungnya sakit sekali, dia tidak menyadari bahwa jiwanya sekarang sudah berada di tepi kematian.
Kaki kanan Bong Thian-gak masih mengait di atas tonggak kayu, kemudian ia membopong perempuan bugil tadi dan membaringkannya di atas lantai. Ia membaringkan perempuan itu di atas lantai yang bebas dari ancaman ular, kemudian telapak tangan kanannya dikebaskan, gulungan angin pukulan segera menyambar, ular-ular beracun yang berada di lantai pun seekor demi seekor tersambar hingga mati semua. Sementara itu suara tawa cekikikan yang amat jalang dan cabul mulai berkumandang dari mulut perempuan bugil itu. Sambil mengerut dahi Bong Thian-gak segera berpaling.
Pendekar Cacat 1137
Entah sejak kapan perempuan bugil itu sudah mengenakan selembar kutang untuk menutupi payudaranya yang montok, di bawah perutnya juga sudah dilingkari gaun pendek untuk menutupi bagian rahasianya, raut wajahnya yang semula menderita dan ketakutan kini sudah kembali seperti keadaan pada umumnya. Terutama sekali seekor ular kecil berwarna hijau kehitamhitaman yang tergenggam pada tangan kanannya membuat Bong Thian-gak seperti terbangun dari impian, ia segera sadar dirinya sudah tertipu. "Si... siapakah kau?" tegurnya kemudian.
Dengan suara yang amat tenang perempuan bugil itu menjawab, "Su-kaucu Put-gwa-cin-kau, Hek-coa-li-liong (gadis cantik ular hitam)!" Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah mendengar pengakuan itu, dia lantas teringat rasa sakit yang pernah dialaminya pada saat menolong perempuan itu tadi. Paras mukanya segera berubah hebat, hardiknya penuh gusar, "Kurangajar! Cari mampus rupanya kau?" Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke muka melancarkan sebuah bacokan maut.
Pendekar Cacat 1138
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berkelit, telapak tangan Bong Thian-gak persis menghantam di atas perut perempuan itu.
Dengan tenaga dalam yang dimiliki Bong Thian-gak, serangannya itu cukup baginya untuk menghancurkan batu gunung, tapi Hek-coa-li-liong malah tertawa terkekehkekeh seperti orang gila. "Apa kau mampu membunuhku? Setiap orang yang terpagut ular kecil berwarna hijau kehitam-hitamanku ini, dalam setengah menit racunnya akan mulai bekerja dan seluruh kekuatan yang dimiliki akan punah, kau tak akan memiliki kekuatan untuk membunuh orang lain."
Betul, saat ini Bong Thian-gak memang merasa kekuatannya punah, bagaikan seseorang yang ilmu silatnya dipunahkan orang lain. Dalam ingatan Bong Thian-gak, Su-kaucu Put-gwa-cin-kau ini, Hek-coa-li-liong, adalah seorang yang teramat asing baginya. Itulah sebabnya ia terluka oleh serangannya, Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian katanya, "Sungguh tak kusangka, aku Bong Thian-gak telah melakukan kesalahan besar gara-gara terdorong oleh perasaan, ai, sekarang aku sudah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh, cincang, terserah kehendakmu!"
Pendekar Cacat 1139
Dalam pada itu Hek-coa-li-liong telah selesai membereskan rambutnya yang kusut, sekarang dapat dilihat dengan jelas bagaimana kulit tubuhnya begitu putih bersih, mukanya bulat telur dan berparas cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, usianya di antara dua puluh empat tahun. Sambil tertawa cekikikan Hek-coa-li-liong berkata kembali, "Kau mempunyai perasaan kasihan? Hm! Dua ratus orang anggota Put-gwa-cin-kau telah kau bantai secara kejam. Kaulah manusia dalam persilatan saat ini yang membunuh orang paling banyak. Gembong iblis pembunuh manusia macam dirimu, mana mungkin mempunyai perasaan kasihan? Huh, kau tak usah membual lagi di hadapanku."
Disemprot dengan kata-kata yang begitu pedas, tanpa terasa Bong Thian-gak menundukkan kepala, ucapnya kemudian, "Kalau ingin turun tangan, ayolah lakukan secepatnya!" Hek-coa-li-liong tersenyum. "Membunuhmu? Tidak akan kulakukan semudah itu." "Kalau tidak, perbuatan apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?" tegur Bong Thian-gak mulai naik pitam.
Pendekar Cacat 1140
"Sekarang kau telah kehilangan ilmu silatmu, bagaimana pun juga kau tidak bakal bisa kabur dari sini, oleh sebab itu aku hendak mencari akal lain untuk menghadapi dirimu." Sepanjang pembicaraan, secara diam-diam Bong Thian-gak telah mencoba mengerahkan hawa murninya, tapi urat nadi serta jalan darahnya seakan-akan tersumbat oleh suatu kekuatan besar sehingga tak setitik tenaga pun yang mampu disalurkan.
Dengan menghela napas sedih pelan-pelan Bong Thian-gak bertanya, "Apa nama ular itu? Sungguh tak nyana begitu hebat." Hek-coa-li-liong tertawa bangga, sahutnya, "Ular ini bukan ular sungguhan, yang benar adalah sejenis senjata tajam." Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke ular kecil warna hijau kehitaman yang berada di tangan kanannya. Ternyata memang sama sekali tak bergerak, kenyataan memang bukan ular sungguhan, melainkan senjata yang berbentuk ular. Bong Thian-gak berseru tertahan, kemudian tanyanya, "Apa nama senjata itu?" "Hek-Jik-leng-coa (ular sakti hijau kehitam-hitaman)."
Pendekar Cacat 1141
"Apakah kau telah menyembunyikan racun keji di balik lidah ular itu?" tanya Bong Thian-gak lagi sambil menghela napas. "Betul, punggungmu tertusuk oleh lidah ular itu, bukan oleh pagutannya." "Apakah kau sudah mendapatkan cara terbaik untuk menghukum diriku?" "Belum!" kembali Hek-coa-li-liong menggeleng kepala. "Walau aku sudah menjadi manusia tak berilmu silat, tetapi aku tak dapat berdiam kelewat lama di sini menunggu hukuman." "Meski ilmu silatmu telah punah, namun kau masih dapat menyelamatkan nyawamu selama tinggal di tempat ini. Andaikata kau meninggalkan loteng ini, niscaya Siau Cubeng akan membunuhmu."
Bong Thian-gak tertegun mendengar kata-katanya itu, "Apakah selama aku tetap mengendon di tempat ini, kau dan Siau Cu-beng tak akan merenggut nyawaku?" Hek-coa-li-liong tertawa dingin, "Selamanya Siau Cu-beng tak akan berani mencampuri urusanku, yang paling menakutkan apabila aku hendak merenggut jiwamu."
Pendekar Cacat 1142
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, mati bukan sesuatu yang menakutkan, aku hanya merasa bahwa kematianku terlalu tak berharga." "Mengapa tak berharga?" tanya Hek-coa-li-liong. "Orang-orang Put-gwa-cin-kau kejam dan tidak berperasaan. Tatkala mendengar jeritanmu tadi, aku mengira orang Put-gwa-cin-kau sedang menyiksa orang dengan sangat keji. Itulah sebabnya aku terburu-buru datang kemari. Ai, sungguh tak kusangka kau pun termasuk satu di antara gembong Put-gwa-cin-kau."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, tiba-tiba bentaknya, "Siau Cu-beng, jika kau berani melangkah masuk ke dalam lotengku ini, segera akan kusuruh kau mati tergigit ular beracun." Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling dan menengok sekejap keluar jendela, tampak olehnya suasana di bawah loteng terang-benderang bermandikan cahaya. Siau Cu-beng beserta sekelompok pengawal berbaju kuning telah mengepung loteng itu. Siau Cu-beng masih mengenakan kain berkerudung, tampak dia mendongakkan kepala dan berkata lantang, "Sebelum memperoleh izin dari Su-kaucu, tentu saja Cu-
Pendekar Cacat 1143
beng tidak berani bertindak sembarangan memasuki kamar tidurmu."
Ketika itu tenaga dalam Bong Thian-gak telah punah, dia sangat kecewa dan putus asa, maka sambil berdiri di sisi arena ia memutar otak mencari akal, pikirnya, "Biar waktu tertunda, coba kulihat apakah tenaga dalamku masih ada kemungkinan pulih atau tidak?" Sementara itu Hek-coa-li-liong telah mendengus dingin sambil berkata, "Kalau memang begitu, mengapa kau bawa orang-orangmu mengepung loteng ini?" Siau Cu-beng tertawa ringan. "Aku kuatir Su-kaucu tidak bisa menaklukkan Jian-ciatsuseng." "Hm, sekalipun tak mampu melakukannya, aku juga tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk menaklukkan orang itu," jengek Hek-coa-li-liong dengan ketus. "Su-kaucu," mendadak Siau Cu-beng berkata dengan suara dalam, "Malam ini, aku orang she Siau bersedia memberi kesempatan kepadamu untuk menebus dosa-dosamu yang lalu, kuharap kesempatan yang sangat bagus ini jangan kau sia-siakan begitu saja."
Pendekar Cacat 1144
"Apa yang mesti kulakukan?" tanya Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin. "Jika Su-kaucu berhasil menaklukkannya, harap kau serahkan orang itu kepadaku untuk dijatuhi hukuman."
Sekali lagi Hek-coa-li-liong tertawa dingin. "Satu kali tergigit ular berbisa, sepuluh tahun takut tali tambang. Aku tak bakal menyerahkan jasa besar ini kepadamu begitu saja." "Su-kaucu!" kembali Siau Cu-beng berkata dengan suara dingin, "Bila kau melakukan kesalahan lagi, perkumpulan akan menggunakan peraturan yang paling ketat dan berat untuk menghukum serta menyiksa dirimu." "Kau tak usah kuatir," Hek-coa-li-liong tertawa menjengek. "Aku masih mampu mengawasinya hingga Cong-kaucu pulang." "Kalau begitu Su-kaucu tidak bersedia menyerahkan orang itu kepadaku?" "Kau licik dan munafik, yang kau pikirkan hanya kepentingan sendiri, aku sudah cukup banyak menerima pelajaran pahit darimu."
Pendekar Cacat 1145
"Apakah Su-kaucu tak kuatir aku bakal menurunkan perintah menyerang lotengmu," kata Siau Cu-beng lagi sambil tertawa dingin dengan suara menyeramkan. "Di dalam loteng ini terpelihara beribu-ribu ular beracun, bila kau memang tidak kuatir dipagut ularku, silakan saja untuk mencoba." "Ular paling takut dengan api," jengek Siau Cu-beng sambil tertawa dingin. "Aku masih bisa melepaskan api membakar loteng ini."
Hati Hek-coa-li-liong bergetar keras, ujarnya kemudian, "Ular-ular beracun peliharaanku telah mendapat latihan khusus. Asal kubunyikan serulingku, maka beribu-ribu ular beracun itu akan menyerbu keluar. Aku tak percaya kau masih mampu mempertahankan hidup." "Su-kaucu," teriak Siau Cu-beng semakin marah, "tindakanmu sungguh mengkhianati peraturan yang telah ditetapkan perkumpulan." "Yang telah melanggar peraturan bukanlah aku, melainkan kau sendiri," jengek Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin. "Sewaktu aku ditahan di dalam loteng ini, siapa pun tidak dibiarkan mengusik atau mengganggu ketenanganku. Apakah komandan Siau telah lupa?"
Pendekar Cacat 1146
"Tapi kenyataan sekarang Su-kaucu berniat melindungi buronan penting, aku mempunyai hak penuh untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal kepadamu."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, "Siau Cu-beng, kau tidak usah banyak cerita lagi. Dendam sakit hati di antara kita sudah seperti air dan api, tidak mungkin bagi kita untuk hidup bersama, apa pun yang hendak kau lakukan terhadap diriku, boleh kau laksanakan sekarang juga!" Siau Cu-beng mendengus dingin. "Hm, kau tidak bersedia bekerja sama denganku. Berarti kau sendiri yang mencari jalan kematian."
Sepanjang pembicaraan, Bong Thian-gak hanya mendengarkan dengan hati dingin dan perasaan tenang. Ketika pembicaraan telah usai, dia baru menghela napas seraya berkata, "Siau Cu-beng adalah seorang licik yang berhati keji serta buas. Kekejaman dan kebrutalannya boleh dibilang sudah mencapai titik puncak yang paling tinggi, bisa jadi kau akan musnah di tangannya." Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, kemudian katanya dingin, "Apakah kau berniat mempengaruhi aku agar berkhianat?"
Pendekar Cacat 1147
"Ai, mungkin dengan begitu keselamatan jiwa kita berdua baru bisa dipertahankan," jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas. Hek-coa-li-liong tertawa dingin. "Terus terang saja kuberitahu suatu hal kepadamu, sejak aku disekap dalam loteng ini, menelan semacam obat racun yang berdaya kerja lambat, suatu ketika jika aku berani melarikan diri dari tempat ini dan dalam satu bulan tidak menelan obat penawar racunnya, maka daya kerja racun itu akan mulai beraksi, akhirnya aku bakal mampus dengan darah keluar dari ketujuh lubang indra. Itulah sebabnya aku tak berani berkhianat ataupun melarikan diri."
Bong Thian-gak terkejut mendengar keterangan itu, sekarang ia tahu cara bagaimana Cong-kaucu Put-gwa-cinkau mengendalikan jago-jago lihainya dan bagaimana pula cara menguasai kawanan Enghiong. Tapi justru dari perkataan itu Bong Thian-gak pun mendapat tahu bahwa dari dasar hati gadis itu sesungguhnya sudah mempunyai niat untuk berkhianat terhadap Put-gwa-cin-kau. Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, tanyanya kemudian, "Su-kaucu, apakah kau tahu obat racun macam apakah yang telah kau makan?"
Pendekar Cacat 1148
"Tidak!" Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali. "Masih berapa lama lagi Su-kaucu mesti menelan obat penawar berikutnya?" kembali pemuda itu bertanya. "Empat hari. Selewat empat hari, bila obat penawar racun belum juga diserahkan kepadaku, akibatnya aku akan tewas dengan keadaan mengenaskan." "Ai, dalam tiga tahun belakangan ini, boleh dibilang setiap waktu aku selalu kuatir bila mereka tak menyerahkan obat penawar racun kepadaku, menghadapi ancaman maut itu sungguh penderitaan batin yang betul-betul amat berat."
Menyusul gadis itu bergumam, hanya saja Bong Thian-gak tidak menangkap jelas, karena saat itu dia sedang memperhitungkan suatu masalah penting. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak bergumam, "Ai, masih ada waktu. Dalam empat hari sudah pasti akan tiba di kota Lok-yang." "Apakah yang kau pikirkan?" tanya Hek-coa-li-liong sambil melirik sekejap ke arahnya. Dengan wajah berseri Bong Thian-gak berkata, "Bila Sukaucu bertekad hendak meninggalkan cengkeraman maut Put-gwa-cin-kau. Aku pun bersedia mengusahakan pengobatan racun yang mengeram dalam tubuhmu."
Pendekar Cacat 1149
"Aku tidak percaya kau memiliki kemampuan semacam itu," kata Hek-coa-li-liong itu.
"Di dunia persilatan dewasa ini, terdapat seorang tabib sakti dan kenamaan yang mampu menawarkan racun yang mengeram dalam tubuhmu sekarang." "Obat racun yang bersifat lambat yang kutelan adalah bikinan si tabib sakti Gi Jian-cau, kecuali Gi Jian-cau sendiri, aku rasa tiada orang lain di kolong langit dewasa ini yang mampu menawarkan racun jahat itu." Bong Thian-gak semakin girang. "Justru orang yang kumaksud tadi tak lain adalah Gi Jiancau, aku memang berniat mengajakmu mencarinya." "Kau tidak usah ngaco-belo tak keruan," Hek-coa-li-liong berkata dingin. "Obat-obatan yang berada dalam kekuasaan Cong-kaucu boleh dibilang semuanya berasal dari Gi Jian-cau, mana mungkin dia mau mengobati orang yang telah menelan racun bikinannya sendiri."
Bong Thian-gak segera tersenyum.
Pendekar Cacat 1150
"Memang, apa yang kau ucapkan betul sekali, tapi aku pun berani menjamin Gi Jian-cau pasti akan bersedia mengobati racun jahat yang mengeram di dalam tubuhmu." "Apa hubunganmu dengan Gi Jian-cau?" tanya Hek-coa-liliong. "Dia adalah salah satu pelindung perguruan kami." "Lantas siapakah kau?" "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun ... Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
Agaknya Hek-coa-li-liong menaruh pandangan yang teramat asing terhadap segala perubahan dan tokoh dalam Bu-lim. Sambil tertawa ia menggeleng kepala, kemudian ujarnya, "Aku sudah disekap hampir tiga tahun lamanya di loteng ini. Karenanya aku sama sekali tidak jelas tentang segala masalah dan kejadian yang berlangsung di Bu-lim selama ini, walaupun begitu aku cukup mengenal nama Hiat-kiambun."
Kemudian sambil menarik muka, ia berkata lebih lanjut dengan suara dingin, "Andai kata Hiat-kiam-bun benar-
Pendekar Cacat 1151
benar sudah muncul, maka ketua terpilihnya selain Ko Hong dan Keng-tim Suthay, mengapa bisa terjatuh ke tangan Jian-ciat-suseng?" Diam-diam Bong Thian-gak merasa girang mendengar ucapan itu, cepat ia bertanya, "Su-kaucu, darimana kau bisa tahu nama Ko Hong dan keng-tim Suthay?"
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arahnya, lalu jawabnya, 'Tentang orang yang bernama Ko Hong, aku memang tidak kenal, tapi aku kenal Keng-tim Suthay." Tiba-tiba Bong Thian-gak teringat suatu masalah, dia segera bedanya, "Bagaimanakah hubungan pribadi Su-kaucu dengan Jit-kaucu Thay kun?" Paras Hek-coa-li-liong segera berubah hebat ia balik bertanya, "Darimana kau bisa tahu nama Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Su-kaucu bisa tahu tentang Hiat-kiam-bun karena Jit-kaucu Thay-kun yang memberitahukan hal itu kepadamu, bisa juga Thay-kun berniat menarik kau agar bergabung dengan Hiat-kiam-bun."
Pendekar Cacat 1152
"Ai, bicara yang sebenarnya, Ko Hong yang muncul tiga tahun berselang tak lain adalah aku sendiri. Ko Hong adalah nama samaranku, bila Su-kaucu bersedia memenuhi permohonan tadi, harap kau segera turun tangan!"
Hek-coa-li-liong termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian baru berkata, "Sungguhkah perkataanmu itu?" "Bila aku berani berbohong sedikit saja, biar Thian mengutuk diriku serta memberi kematian yang paling tragis kepadaku." Wajah Hek-coa-li-liong baru nampak berseri setelah mendengar kata-kata terakhir tadi, katanya, "Harap kau duduk bersila di atas tanah, segera aku berikan obat penawar racun itu untukmu." Selesai berkata, dengan cepat Hek-coa-li-liong masuk ke ruang dalam, sekejap kemudian dia telah muncul kembali.
Pada waktu itu dia sudah mengenakan mantel yang berbuat dari kulit ular, tangan kiri membawa seruling pendek, sementara tangan kanannya membawa pisau belati. Dia mengambil seekor bangkai ular dari antara tumpukan bangkai ular yang berserakan, kemudian pisau belatinya
Pendekar Cacat 1153
merobek perut bangkai tadi dengan lincah dan cekatan, tahu-tahu ia sudah mencongkel empedu ular berwarna hijau kehitam-hitaman.
Ujarnya pula, "Ayo, cepat kau telan empedu ular ini, dalam setengah jam tenaga dalammu lambat-laun akan pulih seperti sedia kala." Belum selesai ia berkata, bayangan orang berkelebat dari luar jendela, kemudian seorang berbaju hitam berkerudung telah menerjang masuk ke dalam ruangan. Hek-coa-li-liong segera membentak nyaring, "Siau Cu-beng, kau berani melangkah masuk ke daerah terlarang?"
Di tengah bentakan itu, Hek-coa-li-liong berkelebat menghadang di depan Bong Thian-gak, lalu jari tangannya menyentil ke depan dan melemparkan empedu ular itu ke dalam mulut Bong Thian-gak. Pada saat bersamaan pula, pisau belati di tangan kanannya menusuk Siau Cu-beng. Dengan cekatan Siau Cu-beng menggeser langkah menghindarkan diri dari ancaman itu, lalu umpatnya dengan suara dingin, "Perempuan rendah, kau benar-benar telah berkhianat rupanya."
Pendekar Cacat 1154
Dengan gerakan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang panjang. Setelah melepaskan sebuah serangan dengan pisau belatinya tadi, Hek-coa-li-liong telah mengundurkan diri ke muka Bong Thian-gak. Ketika mendengar ucapan itu, segera sahutnya dingin. "Soal berkhianat sudah kurencanakan sejak dulu, cuma belum ada kesempatan untuk mewujudkannya." Siau Cu-beng tertawa dingin. "Berarti kau mencari masalah. Kalau begitu, jangan salahkan lagi bila aku berhati keji dan buas terhadap dirimu!"
Siau Cu-beng mendesak maju, pedangnya berkelebat berulang kali dengan gerakan aneh, beruntun ia melancarkan tiga buah serangan. Jurus pedang yang dipergunakan Siau Cu-beng kelihatan aneh dan ganas, Hek-coa-li-liong harus memainkan pisau belatinya dengan lihainya untuk mematahkan jurus serangan itu. Sewaktu serangan berhasil diatasi, ia pun sudah terdesak hingga mundur ke hadapan Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1155
Sambil tertawa dingin Siau Cu-beng menjengek, "Bila kau bersedia membuang pisaumu dan menyerahkan diri, masih ada kemungkinan bagimu untuk mempertahankan nyawamu itu." Selesai berkata, sebuah dilancarkan ke depan.
serangan
gencar
kembali
"Aku lebih suka mati daripada hidup tersiksa dan menderita," bentak Hek-coa-li-liong. Serangan pedang yang amat dahsyat dan hebat, nyaris memaksa Hek-coa-li-liong kehilangan pisau belatinya, hampir saja mencelat dari genggaman. "Aku tahu," jengek Siau Cu-beng, "Kepandaianmu yang terhebat adalah mengendalikan kawanan ular dengan irama seruling, sedang dalam ilmu silat, kau tidak akan mampu bertahan sepuluh jurus serangan pedangku."
Jurus pedang Siau Cu-beng berubah terus tiada hentinya, sebentar menotok sebentar membacok, secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan lagi. Tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget berkumandang.
Pendekar Cacat 1156
Ternyata lengan kiri Hek-coa-li-liong telah tersambar oleh pedang lawan sehingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam. Pada saat itu pula pedang panjang di tangan kiri Siau Cubeng sekali lagi melancarkan serangan. Pisau belati yang tergenggam di tangan kanan Hek-coa-liliong segera tersontek oleh pedang lawan hingga mencelat ke tengah udara.
Pedang Siau Cu-beng kembali melakukan gerakan menyambar, ujung pedang yang tajam menempel tenggorokan Hek-coa-li-liong yang merupakan bagian mematikan di tubuh manusia. Sambil tertawa dingin, dengan penuh kebanggaan Siau Cubeng berkata, "Sekarang, apa lagi yang bisa kau katakan?" Paras muka Hek-coa-li-liong masih tampak begitu tenang dan kalem, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, katanya kemudian, "Siau Cu-beng, kau sudah kehilangan kesempatan terbaik untuk membunuh aku."
Entah sejak kapan Hek-coa-li-liong telah menggenggam seekor ular kecil berwarna hijau kehitam-hitaman di tangan kanannya.
Pendekar Cacat 1157
"Apa maksudmu?" tanya Siau Cu-beng agak seram bercampur ketakutan. "Coba kau lihat dulu, ular kecil yang berada dalam genggamanku sekarang adalah benda apa?" "Ular sakti hijau hitam!" "Tahukah kau, benda apa saja yang tersimpan di dalam lambung kecil ini?" "Tiga belas batang jarum beracun." Hek-coa-li-liong tertawa bangga. "Selama ular sakti hijau hitam berada di genggamanku, tujuh langkah bisa melukai orang dan tak seorang pun yang mampu untuk menghindarkan diri. Andaikata pedangmu langsung kau tusukkan ke dalam tubuhku, maka aku tak akan mempunyai kesempatan yang baik untuk mengeluarkan ular sakti hijau hitam itu." "Tapi sekarang ... biarpun kau masih bisa menusuk mati diriku dengan pedangmu, namun aku pun dapat menyemburkan jarum-jarum beracun yang tersimpan di dalam lambung ular sakti hijau hitam ini, karenanya saat ini kita hanya bisa saling mempertahankan diri belaka." Siau Cu-beng tertawa dingin, tiba-tiba tanyanya, "Bagaimana dengan keadaan Jian-ciat-suseng saat ini?"
Pendekar Cacat 1158
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berpaling, hanya jawabnya dingin, "Kau tidak perlu menggunakan akal muslihat busuk dan licik untuk menipuku, aku tak bakal terkena siasatmu itu." "Jika kita harus saling bertahan pada keadaan seperti ini, pada akhirnya kau akan mampus juga di ujung pedangku," seru Siau Cu-beng kemudian sambil tertawa dingin. Hek-coa-li-liong segera tertawa. "Jika aku mati, kau pun jangan harap bisa meninggalkan tempat Ini dalam keadaan selamat." "Kalau memang begitu, lihat saja bagaimana akhirnya nanti!"
Mendadak Siau Cu-beng menggeser tubuh ke arah sisi kiri. Bersamaan pedang di tangan kirinya yang terkulai menghadap ke lantai mencungkil ke atas secepat kilat. Hek-coa-li-liong mendengus penuh amarah, sambil membentak kelima jari tangan kanannya segera menekan tombol rahasia yang berada di lambung ular sakti hijau hitamnya. Dalam sekejap Hek-coa-li-liong merasa lengan kanannya menjadi dingin, tahu-tahu cahaya tajam pedang Siau Cu-
Pendekar Cacat 1159
beng telah menyambar lengan kanannya, percikan darah segar segera memancar kemana-mana. Hek-coa-li-liong menjerit kesakitan, lengan kanannya sebatas sikut telah terbabat pedang lawan hingga kutung. Pada saat ersamaan, terdengar bunyi desingan angin tajam bergema.
Pedang Siau Cu-beng yang menempel di atas tenggorokan Hek-coa li liong tahu-tahu sudah ditarik kembali sambil diputar menciptakan selapis cahaya pedang yang amat tebal untuk melindungi seluruh badannya. Serentetan bunyi suara bentrokan yang amat nyaring kembali bergema, di antara suara dentingan inilah, mendadak Siau Cu-beng mendengus, tubuhnya terlempar ke belakang. Namun dengan cepat dia melompat bangun, sayang langkah kakinya gontai dan hampir saja terjerembab.
Darah kental bercucuran dengan amat derasnya dari lengan kanan Hek-coa-li-liong yang kutung, namun dia seolah-olah lupa akan rasa sakit yang dideritanya itu, sambil tertawa seram serunya, "Kau sudah terkena jarum beracunku, jadi yang bakal mampus bukan aku, melainkan kau."
Pendekar Cacat 1160
Sementara itu dari balik mata Siau Cu-beng telah memancar cahaya buas yang penuh dengan kebencian serta dendam. Sambil mengawasi wajah Hek-coa-li-liong lekat-lekat, serunya dengan suara hambar, "Sebelum jiwaku melayang, jangan harap kalian berdua pun dapat lolos dalam keadaan hidup."
Kembali Siau Cu-beng menggerakkan pedang di tangan kanannya membacok dada Hek-coa-li-liong secara tiba-tiba. Jarak kedua orang tak lebih satu tombak, pedangnya menyambar dengan kecepatan luar biasa, biarpun berada dalam kondisi prima pun jangan harap gadis itu dapat meloloskan diri dalam keadaan selamat. Dalam sekejap nampak Hek-coa-li-liong akan segera termakan sambaran pedang lawan dan tewas dalam keadaan sangat menyedihkan.
Siapa tahu di saat ujung pedang lawan hampir menempel di atas dadanya itulah dari belakang tubuhnya tahu-tahu muncul sebuah lengan bergerak bagai setan gentayangan, di antara perputaran pergelangan tangannya, serangan pedang yang datang dengan kekuatan dahsyat serta kecepatan mengerikan itu tahu-tahu sudah terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan tadi.
Pendekar Cacat 1161
Dengan terkejut bercampur keheranan Hek-coa-li-liong segera berpaling. Ternyata tangan itu tak lain adalah lengan tunggal Bong Thian-gak, Hek-coa-li-liong menjadi terkejut bercampur gembira, dia sama sekali tak menyangka kekuatan Bong Thian-gak bisa pulih sedemikian cepatnya. "Cepat kau balut luka di lenganmu, biar aku yang menghadapi bajingan ini," seru Bong Thian-gak kemudian.
Sementara itu cucuran darah segar masih mengucur dengan amat derasnya dari lengan Hek-coa-li-liong yang kutung, membuat paras mukanya berubah pucat-pias seperti mayat. Kendati demikian, dengan kuatir dan cemas gadis itu berkata, "Kau harus menghadapi dengan hati-hati. Meskipun dia sudah terkena jarum beracunku, namun dalam setengah jam mendatang dia belum menemui ajalnya." Paras muka Bong Thian-gak menjadi amat serius, katanya dengan suara dingin, "Siau Cu-beng, mengapa kau belum juga melepaskan kain kerudung mukamu itu?"
Pendekar Cacat 1162
Tak terlukiskan rasa ngeri dan takut mencekam perasaan Siau Cu-beng setelah pedangnya kena dicengkeraman Bong Thian-gak dengan kuat dan kencangnya, namun dia segera tertawa dingin untuk menutupi perasaan takut dan ngeri yang menghantui perasaannya itu. "Mengapa tidak kau sendiri yang kerudungku ini?" ia balas menjengek.
membuka
kain
"Siau Cu-beng!" ujar Bong Thian-gak penuh penderitaan, "Selama hidup kau sudah banyak melakukan kejahatan serta dosa besar, sekalipun tubuhmu kucincang hingga hancur berkeping-keping pun belum dapat menebus semua dosa yang pernah kau lakukan selama ini. Sekarang ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu, aku harap kau bersedia menjawab sejujurnya, dengan begitu aku dapat memberi kematian yang jauh lebih enak bagimu." "Dimanakah Oh Cian-giok Sumoay saat ini? Ayo cepat katakan kepadaku!"
Mendadak Hek-coa-li-liong berseru sambil berlari keluar dari kamar tidurnya, "Bong-siangkong, yang kau maksud Oh Cian-giok apakah adik seperguruan Pa-ong-kiong Ho Putciang dari gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong?" "Benar, dialah yang kumaksud," mengangguk membenarkan.
Bong
Thian-gak
Pendekar Cacat 1163
"Aku tahu dimana ia berada sekarang, aku bersedia mengantarmu ke sana," ucap si nona dengan suara sedih.
Tiba-tiba tanpa menimbulkan suara, Siau Cu-beng menggerakkan senjatanya menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan kecepatan luar biasa. Serangan yang dilancarkan itu merupakan serangan terakhir Siau Cu-beng dengan segenap tenaganya. Bukan saja serangannya aneh susah diduga, tenaganya pun ganas luar biasa. Sebelum serangannya tiba, hawa dingin yang menyayat badan telah menyambar kemana-mana. Bong Thian-gak berkerut kening menyaksikan ini. Dengan cepat pedang di tangan kirinya digerakkan menyongsong datangnya ancaman. Suatu jeritan ngeri berkumandang.
yang
menyayat
hati
segera
Di antara percikan darah segar yang memancar kemanamana. "Plak", lengan kiri berikut pedang Siau Cu-beng telah terpapas kutung dan rontok ke tanah.
Pendekar Cacat 1164
Sungguh kaget dan tercengang Hek-coa-li-liong menyaksikan itu, dia tak mengira dengan suatu gerakan yang begitu ringan, ternyata Bong Thian-gak dapat mengatasi serangan lawan yang begitu dahsyat, bahkan sekaligus mengutungi lengan kiri Siau Cu-beng. Dengan sempoyongan Siau Cu-beng mundur dua langkah, namun sebelum ia sempat berdiri tegak, kembali cahaya pedang berkelebat di hadapannya. Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang, kali ini lengan kanan berikut pangkal bahunya kena terbabat kutung.
Agaknya Siau Cu-beng sudah merasakan bahwa dia menghadapi jalan buntu yang membahayakan keselamatan jiwanya. Biarpun lengan kiri dan kanannya sudah kutung serta darah segar bercucuran dengan amat derasnya, saking sakitnya hampir saja ia tak sadarkan diri, namun ia masih berusaha menjejakkan kaki sekuat tenaga dan kabur melalui daun jendela. Siapa tahu bayangan orang segera berkelebat, segulung tenaga pukulan yang sangat dahsyat menghantam tubuhnya membuat dia mendengus tertahan, lalu roboh di atas tanah.
Pendekar Cacat 1165
Ternyata Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah berdiri di hadapannya, cahaya pedang yang berkilauan tajam kini sudah menempel di atas tenggorokannya.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera berseru, "Sebelum ajalmu tiba, ingin kulihat wajahmu, apakah kau pun memperlihatkan rasa takut dan ngeri dalam menghadapi datangnya malaikat elmaut." Kain kerudung hitam yang menutupi wajah Siau Cu-beng segera tersambar oleh cukilan pedang hingga terlepas. Muncul seraut wajah yang pucat-pias bagaikan kertas, potongan serta mimik mukanya tidak jauh berbeda seperti keadaan pada sepuluh tahun berselang, hanya bedanya sekarang wajah itu mengejang keras dan penuh diliputi perasaan takut, ngeri, sakit dan seram.
Bong Thian-gak mendongakkan kepala tertawa seram, kemudian katanya, "Siau Cu-beng, andaikata kubunuh kau dengan sebuah tusukan, hal ini keenakan bagimu, karenanya aku hendak mengutungi keempat anggota tubuhmu terlebih dahulu, kemudian membiarkan darahmu mengalir keluar sampai kering dan rasakanlah bagaimana enaknya mati secara perlahan-lahan."
Pendekar Cacat 1166
Cahaya pedang kembali berkelebat, jeritan ngeri yang menyayat hati bagaikan jeritan babi yang mau disembelih segera berkumandang. Sepasang kaki Siau Cu-beng sebatas lutut kini sudah terpapas kutung menjadi dua. Ia mulai terguling-guling di atas tanah, meraung-raung seperti singa sekarat, mulai mengeluh dan merintih, bagaikan pengemis yang meminta belas kasihan, mengenaskan sekali keadaannya waktu itu. Dalam waktu singkat ia telah berubah menjadi seorang berdarah. Pada saat itulah bunyi seruling yang aneh dan amat tak enak terdengar berkumandang dalam ruangan.
Hek-coa-li-liong memainkan seruling pendeknya dengan tiupan lembut, namun irama yang dihasilkan justru tinggi melengking dan amat tidak sedap didengar, kemudian katanya, "Aku telah memainkan irama iblis penakluk ular. Sebentar kawanan ular beracun akan bergerak merayapi tubuhnya dan akan mulai mengisap darah yang mengalir dari tubuhnya, dia akan mati karena darahnya diisap oleh ular-ularku. Biar siksaan semacam ini terhitung kejam dan tidak berperi-kemanusiaan, namun termasuk pembalasan yang setimpal bagi dosa dan kejahatan yang telah
Pendekar Cacat 1167
dilakukannya selama ini. Bong-siangkong, mari kita segera berngkat!" Belum selesai dia berkata, segulung bau amis sudah berhembus, enam tujuh ekor ular berbisa menampakkan diri di depan pintu ruangan. Hek-coa-li-liong segera menarik ujung baju Bong Thian-gak, lalu mereka berdua bersama-sama melompat keluar ruangan melalui jendela.
Kawanan manusia yang semula mengepung sekeliling loteng itu secara rapat dan ketat, kini justru telah membubarkan kepungan mereka, malah tak nampak seorang pun di situ. Belum jauh mereka pergi, dari dalam ruang loteng terdengar lagi suara jeritan ngeri Siau Cu-beng yang memilukan di tengah keheningan malam yang mencekam seluruh jagat, jeritannya sungguh menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Seorang berhati buas bagai ular berbisa yang sepanjang hidupnya banyak melakukan kejahatan kini telah memperoleh pembalasan yang setimpal, dia harus merasakan siksaan dan penderitaan yang amat berat dimana sisa darah di dalam tubuhnya diisap oleh ular-ular beracun hingga mengering sebelum akhirnya ajal merenggut kehidupannya.
Pendekar Cacat 1168
Mendengar jeritan yang begitu menyayat hati, Bong Thiangak menghela napas sedih, kemudian setelah menyarungkan pedangnya ke pinggang, ia menarik tangan Hek-coa-li-liong dan diajak melewati tiga-empat halaman rumah. Sepanjang perjalanan mereka sama sekali tidak menjumpai suatu hadangan pun. Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "Kita hendak kemana?" "Bukankah kau hendak pergi mencari seperguruanmu?" Hek-coa-li-liong balik bertanya.
adik
"Dimana dia berada? Berapa lamakah yang kita butuhkan untuk sampai di sana?" "Bila jadi dia disekap di dalam istana cinta iblis, jaraknya dari tempat ini kurang lebih satu jam perjalanan." "Mengapa tempat itu dinamakan istana cinta iblis?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Sebab tempat itu merupakan tempat hiburan bagi anggota Put-gwa-cin-kau."
Pendekar Cacat 1169
"Jadi dia sudah dinodai oleh kawanan iblis itu?" BongThiangak merasa sedih sekali. "Tak seorang pun bisa lolos dari perkosaan setelah berada di dalam istana cinta iblis." Membara hawa amarah dan perasaan dendam di hati kecil Bong Thian-gak, sambil mengertak gigi menahan rasa bencinya, ia bersumpah, "Selama Bong Thian-gak masih hidup di dunia ini, aku pasti akan menyuruh Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau merasakan pembalasan yang paling kejam." ***
Pendekar Cacat 1170
15 TIGA PELINDUNG BUNGA PUT-GWA-CIN-KAU
H
ek-coa-li-liong melirik sekejap ke arah Bong Thiangak, ujarnya, "Walaupun orang yang paling berkuasa dan memegang tampuk pimpinan tertinggi dalam perkumpulan Put-gwa-cin-kau adalah Congkaucu, namun aku rasa bila benar-benar ingin meleyapkan Put-gwa-cin-kau dari muka bumi, bukan Cong-kaucu yang harus dibunuh terlebih ilahulu." "Apakah kita harus membunuh kuku-kuku garudanya terlebih ilahulu?" Hek-coa-li-liong mengangguk membenarkan. "Betul, kita harus membunuh kuku-kuku garudanya lebih dahulu, tapi tahukah kau siapa saja yang merupakan kukukuku garuda andalannya?" "Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu, dan lain sebagainya."
Pendekar Cacat 1171
Sambil tertawa, berulang-kali.
Hek-coa-li-liong
menggeleng
kepala
"Dugaanmu keliru besar, Cong-kaucu masih mempunyai tiga orang utusan pelindung bunga yang sangat misterius identitasnya, maka bina jadi kau akan terperanjat." Bong Thian-gak menjadi sangat keheranan, segera tanyanya, "Ia masih mempunyai tiga orang utusan pelindung bunga yang misterius itlmtitasnya, siapa sebenarnya ketiga orang itu?" "Kau jangan bertanya dulu siapakah ketiga orang yang kumaksud, sekarang aku hendak bertanya dulu satu hal, saat ini si tabib sakti Gi Jian-cau berada dimana?" "Di suatu tempat rahasia di kota Lok-yang." "Bila kau berhasil menjumpai Gi Jian-cau, kau harus segera membunuhnya," mendadak gadis itu berpesan. "Apa maksudmu berkata demikian?" tanya Bong Thian-gak sambil berkerut kening, ia merasa tak habis mengerti. "Sebab dia merupakan satu di antara ketiga utusan pelindung hinga Cong-kaucu yang misterius itu." "Ah, tidak mungkin” pemuda itu menggeleng kepala berulang¬kah. "Tabib sakti Gi Jian-cau tak mungkin menjadi kuku garuda Cong-kaucu."
Pendekar Cacat 1172
Ketika mendengar jawaban itu, Hek-coa-li-liong nampak merasa sedih, kembali dia berkata, "Bila kau tidak mempercayai perkataanku ini, cepat atau lambat kau akan terbunuh di tangannya." "Gi Jian-cau adalah pelindung hukum perguruan kami," kata Bong Thian-gak kemudian dengan suara dalam. "Biarpun sampai sekarang aku belum berjumpa dengannya, namun Keng-tim Suthay dari perguruan kami sangat menaruh kepercayaan kepadanya, sudah barang tentu aku pun amat mempercayai dirinya." "Tapi sekarang secara tiba-tiba saja kau mengutarakan kata-kata seperti ini, sungguh hal ini membuatku keheranan setengah mati." "Kini di dalam tubuhmu masih mengeram racun yang sangat jahat, padahal batas waktunya tinggal empat hari lagi, mari sekarang juga kita berangkat ke Lok-yang dan minta Gi Jian-cau mengobati racun itu." "Aku tahu dan memang sudah kuduga sejak tadi bahwa kau tak akan percaya pada perkataanku ini, namun tujuanku tak lebih hanya ingin membuat kau tahu bahwa Gi Jian-cau adalah salah satu di antara ketiga pelindung bunga Congkaucu yang misterius." "Asal kau mengikuti aku sampai di kota Lok-yang, segera akan kau ketahui sendiri Gi Jian-cau termasuk orang baik atau jahat."
Pendekar Cacat 1173
"Tidak, aku takkan pergi ke Lok-yang." "Kalau kau tidak ke Lok-yang, lantas hentak pergi kemana?" "Aku ingin mempergunakan sisa waktu empat hari ini untuk mencari tempat yang ideal dan indah bagi tempat kuburku." "Asal kita berhasil mencapai kota Lok-yang dalam empat hari, aku pun yakin Gi Jian-cau dapat mengobati racun jahat yang mengeram dalam tubuhmu itu. Kau harus tahu nyawa seorang berharga sekali, mengapa kau melepas kesempatan yang sangat baik untuk melanjutkan hidup?" Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali. "Aku sudah merasakan malaikat maut sudah mendekati diriku. Itulah sebabnya aku harus berpisah secepatnya darimu, kalau tidak, kau bakal terseret ke dalam masalah ini garagara aku." "Ai, perkataanmu ini semakin membuat aku bingung dan tak habis mengerti," Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Bila bukan disebabkan menghargai jiwamu, mengapa kau mesti berkhianat untuk menyelamatkan jiwaku?" Sekali lagi Hek-coa-li-liong menggeleng kepala. "Sejak dulu aku memang sudah berniat berkhianat, mengapa pula aku mesti mencelakai jiwamu? Ai, terus terang saja kuberitahukan kepadamu, aku tidak akan ke
Pendekar Cacat 1174
Lok-yang, bukannya disebabkan aku tidak percaya kepada Gi Jian-cau." "Tapi bukankah kau pernah berkata kepadaku bahwa racun jahat yang bersarang di dalam tubuhmu itu tak akan bisa diobati siapa pun selain obat penawar racun bikinan Gi Jian-cau? Kalau kedua pihak sama-nama menjumpai jalan buntu, mengapa kita tak berangkat ke Lok-yang untuk mengadu untung? Siapa tahu dewi rezeki masih berada di pihakmu?" Dengan pancaran mata penuh rasa terima kasih, Hek-coa-liliong memandang sekejap ke arah pemuda itu, kemudian katanya, "Asalkan aku masih dapat mempertahankan hidupku, pasti akan kusumbangkan segenap pikiran dan tenagaku demi kepentinganmu." Dengan cepat Bong Thian-gak bisa menangkap arti sebenarnya perkataan itu, ia berseru tertahan, kemudian tanyanya, "Kau menolak pergi ke Lok-yang, apakah karena kau sudah punya jalan kehidupan yung lain?" Hek-coa-li-liong tertawa rawan. "Antara hidup kesempatan."
dan
mati
masing-masing
setengah
Akhirnya Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, kalau kau bersikeras tak akan pergi ke Lok-yang, biarlah aku mendampingimu kemana pun kau hendak pergi."
Pendekar Cacat 1175
Cepat Hek-coa-li-liong menggeleng kepala. "Siangkong adalah seorang ketua perguruan besar, aku tahu temanmu sangat banyak dan berbagai masalah masih menantikan penyelesaian darimu. Buat apa kau mesti membuang waktu yang sangat harga cuma dikarenakan urusanku?" "Aku hanya ingin menemani kau selama empat hari saja, sebab bila aku tidak berbuat begini, hatiku tak akan merasa tenang." Agaknya Hek-coa-li-liong tahu keinginan si anak muda itu tak bisa ditolak lagi, setelah menghela napas panjang katanya, "Baiklah! Bila seandainya kau gagal mengobati racun jahat yang mengeram dalam tubuhku, paling tidak kau masih bisa membantu mengubur jenazahku nanti." "Sekarang kita hendak kemana?" tanya anak muda itu. "Kita cukup mencari sebuah tanah pegunungan yang terpencil dan jauh dari keramaian orang." Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan mencoba memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kurang lebih setengah li di depan sana, ia melihat tanah perbukitan, dengan kening berkerut tanyanya kemudian, "Dengan cara apakah kau hendak mengobati lukamu itu?" "Aku bermaksud menggunakan racun melawan racun."
Pendekar Cacat 1176
Kedua orang itu bergerak menuju ke kaki bukit dengan cepat. Hek-coa-li-liong memilih tanah lapang berumput dan duduk di situ, kemudian sambil tersenyum katanya, "Siangkong, tahukah kau dengan cara apa aku hendak melakukan racun melawan racun itu?" "Aku memang berniat meminta keterangan darimu," sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng. "Aku hendak menggunakan irama seruling untuk memancing datangnya beribu-ribu ekor ular berbisa, kemudian dengan memilih tujuh ekor ular berbisa di antaranya yang memiliki kadar racun paling tinggi untuk memagut tubuhku." "Tapi mungkinkah kau akan berhasil dengan cara itu?" tanya Bong Thian-gak terkejut. Hek-coa-li-liong segera tersenyum. "Asal waktunya tepat dan caranya benar, aku rasa kemungkinan berhasil mencapai lima puluh persen." "Rasanya cara ini tak bisa ditanggung keberhasilannya, mengapa kau enggan mengikuti aku pergi ke Lok-yang?" Hek-coa-li-liong menggeleng kepala, sahutnya, "Aku tahu, selama hidup Gi Jian-cau jangan harap bisa menolong jiwaku."
Pendekar Cacat 1177
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Sekarang baiklah kuberitahukan suatu hal kepadamu, saat ini Gi Jin-cau sedang membuat semacam pil pengembali sukma di kota Lok-yang. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Thay-kun serta kawanan jago persilatan lainnya, oleh sebab itu kau harus percaya bahwa Gi Jianciau sebenarnya adalah seorang pendekar dari golongan lurus."
Berubah hebat paras muka Hek-coa-li-liong mendengar perkataan Itu, serunya dengan cepat, "Kemungkinan besar dia bukan lagi membuat pil pengembali sukma yang kau maksudkan." "Aku mengetahui persoalan ini dari Keng-tim Suthay, aku yakin dia tak bakal salah mendengar." Tiba-tiba Hek-coa-li-liong teringat akan sesuatu, serunya tertahan, "Siangkong, kau harus selekasnya berangkat ke Lok-yang melakukan pemeriksaan, bisa jadi di tempat itu sudah terjadi suatu musibah besar." "Tidak, aku harus merawat dirimu, tak mungkin aku memisahkan diri dalam dua persoalan yang berbeda." "Aku bukan sedang bergurau," kata Hek-coa-li-liong dengan nada gHisah. "Malah kemungkinan besar Keng-tim Suthay
Pendekar Cacat 1178
serta segenap anggota Hiat-kiam-bun lain telah tertimpa musibah yang mengenaskan."
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, mendadak ia peluk pinggang Hek-coa-li-liong, lalu mengerahkan Ginkangnya meninggalkan tempat itu. "Hei, mau apa kau?" Hek-coa-li-liong segera menegur. "Setelah mendengar perkataanmu tadi, mau tak mau kita harus berangkat ke Lok-yang, namun aku pun tak bisa meninggalkan dirimu begitu saja, karenanya terpaksa aku harus membawa serta dirimu." "Sekalipun hendak berangkat ke Lok-yang aku kan masih punya sepasang kaki untuk berjalan sendiri," seru si nona agak mendongkol. "Ah, maaf, aku takut kau enggan mengikuti aku."
Cepat pemuda itu menurunkan tubuh si nona. Setelah berdiri kembali, Hek-coa-li-liong mendongakkan kepala dan memeriksa sekejap keadaan sekeliling tempat itu, kemudian ia bertanya, "Tahukah kau kita berada dimana sekarang?"
Pendekar Cacat 1179
Bong Thian-gak melongo, lalu menggeleng kepala berulangkali. "Tidak tahu." "Tempat ini adalah Leng-juan di San-say, asal kita bisa melewati perbukitan Tay-heng-san yang melintang, maka kita sudah sampai di wilayah Ho-lam, berarti perjalanan dari sini sampai Lok-yang paling hanya satu hari perjalanan." "Wah, itu lebih baik lagi," kata Bong Thian-gak gembira.
Dengan suara hambar kembali Hek-coa-li-liong berkata, "Gi Jian-cau adalah seorang licik, jahat, kejam dan berhati busuk. Sejak puluhan tahun berselang, ia sudah bersekongkol dengan Cong-kaucu. Di saat Put-gwa-cin-kau mulai meracuni umat persilatan dan menteror umat manusia, racun jahat bikinan Gi Jian-cau boleh dibilang merupakan pendukung utamanya."
Bong Thian-gak menghela napas sedih. "Dari dulu sampai sekarang, selain Nabi, siapakah umat manusia di dunia ini yang bisa luput dari kesalahan? Ai, bila ia bersedia menggunakan kemampuannya membuat obat
Pendekar Cacat 1180
guna menolong umat manusia, hal ini tentu akan lebih baik lagi." "Jika Gi Jian-cau masih mempunyai jiwa yang baik dan perasaan welas asih, sejak permulaan ia tak akan membuat obat racun untuk mencelakai jiwa manusia."
Bong Thian-gak tahu gadis itu sudah telanjur mempunyai kesan buruk terhadap Gi Jian-cau, oleh sebab itu dia pun tidak mengajaknya berdebat lebih jauh, sambil mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah lain, tanyanya, "Hingga sekarang aku masih belum mengetahui namamu, boleh aku tahu siapa namamu?" "Aku she Han bernama Siau-cing," sahut Hek-coa-li-liong sambil tersenyum. "Nona Han, luka pada lenganmu belum mampukah kau menempuh perjalanan malam?"
sembuh,
Han Siau-cing tertawa. "Aku adalah seorang anak gadis, tidak mungkin aku menyuruhmu menggendong diriku terus menerus." Merah padam wajah Bong Thian-gak, cepat ia menerangkan, "Aku tak bermaksud seperti itu. Bila kau
Pendekar Cacat 1181
lelah, marilah kita beristirahat melanjutkan perjalanan kita."
sejenak
sebelum
"Aku tidak lelah." Maka berangkatlah Bong Thian-gak dan Han Siau-cing melewati perbukitan Tay-heng-san, lalu melalui pesisir utara sungai Huang-ho, menyeberangi sungai dan tiba di Beng-kim selewat lohor.
Menjelang magrib, di sebuah kuil bobrok di luar kota Lokyang di ilnsun Cho-keh-po, muncul sepasang muda-mudi berlengan tunggal. "Bong-siangkong, apakah kau tidak salah mencari tempat?" tanya si gadis bermantel ular. Si pemuda mengangkat kepala dan memandang sekejap kuil bobrok itu, kemudian menjawab dengan suara dalam dan berat, "Tak bakal salah, mari kita masuk untuk melihat!" Dengan berjalan bersanding, mereka masuk ke kuil bobrok itu. Daun kering berserakan di halaman, rumput liar tumbuh dimana-inana. Tampaknya kuil itu memang sudah lama terbengkalai.
Pendekar Cacat 1182
Apalagi setelah melangkah masuk ke dalam ruang tengah, sarang laba-laba tampak memenuhi sudut ruangan, debu menebal, meja altar dan segala peralatan rusak dan hancur, tak mungkin ada orang yang berdiam di tempat itu. Ketika angin lembut berhembus, lamat-lamat terendus bau amis yang menusuk penciuman. "Bong-siangkong apakah kau mengendus bau busuk mayat?" tiba-tiba Han Siau-cing bertanya. Paras pemuda itu berubah hebat, ia balik bertanya, "Bau bangkai? Bau ini adalah bau mayat yang membusuk."
Gadis berlengan tunggal alias Han Siau-cing segera mengendus sekeliling tempat itu, kemudian bertanya lagi, "Tampaknya bau busuk Itu berasal dari gedung belakang di sebelah barat laut." Pemuda berlengan tunggal tak lain adalah Bong Thian-gak segera menggerakkan tubuh meluncur ke gedung belakang. "Bong-siangkong, tidak usah diperiksa lagi," Han Siau-cing segera berseru.
Pendekar Cacat 1183
Tapi Bong Thian-gak sama sekali tidak menghentikan langkahnya, karena itu terpaksa si nona menyusul ke belakang.
Waktu itu Bong Thian-gak sedang berdiri di depan pintu sambil mengawasi ruang dalam dengan pandangan mendelong dan wajah lei mangu-mangu. Sambil menutup hidung, Han Siau-cing mendekati pemuda itu setia menengok ke dalam. Mayat-mayat berserakan di dalam gedung itu, bau busuk yang amat menusuk tersebar luas, membuat orang hampir muntah. Bila dilihat dari rambut mayat-mayat itu, dandanan dan pakaian yang dikenakan, agaknya semua mayat itu terdiri dari kaum wanita. Sambil menghela napas sedih Han Siau-cing berkata, "Bongsiangkong, yang kukatakan tidak salah bukan, Gi Jian-cau memang seorang laknat."
Bong Thian-gak sama sekali tidak menjawab, dia beranjak dan melangkah masuk ke ruangan itu, kemudian setelah memeriksa sekejap semua mayat yang terkapar di situ, ia keluar lagi dari ruangan sambil bergumam, "Semua yang
Pendekar Cacat 1184
menjadi korban adalah anggota perempuan Hiat-kiam-bun dan tak salah lagi, tapi ... mengapa tidak terlihat mayat Keng-tim Suthay serta Gi Jian-cau." "Sudah kau periksa apa yang menyebabkan kematian mereka?" tanya Han Siau-cing tiba-tiba. Dengan wajah berubah hebat, sahut Bong Thian-gak, "Aku tidak menemukan satu titik luka pun di tubuh mayat itu." "Nah, itulah dia!" Han Siau-cing kembali menghela napas. "Mereka semua tentu mati diracun, jadi pembunuh kejinya sudah pasti Gi Jian-cau." "Nona Han," ujar Bong Thian-gak kemudian dengan wajah serius. "Sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku, janganlah menuduh siapa pun dengan sembarangan."
Tiba-tiba Han Siau-cing tertawa terkekeh-kekeh, "Berada dalam keadaan dan situasi semacam ini pun kau masih menganggap Gi Jian-cau sebagai orang baik?" Mendadak Bong Thian-gak membentak, "Siapa di situ?" Sambil membentak, tubuhnya seperti seekor elang raksasa segera melompat ke depan. Reaksi Han Siau-cing jauh lebih lamban. Tatkala dia menyusul ke halaman depan, Bong Thian-gak telah bentrok
Pendekar Cacat 1185
satu gebrakan melawan pendatang itu dan sebagai akibat dari bentrokan ini, sepasang bahunya terguncang keras, langkahnya gontai dan selangkah demi selangkah ia sedang mundur ke belakang. Kemudian darah menyembur dari mulut Bong Thian-gak.
Sementara itu di hadapan Bong Thian-gak telah berdiri seorang kakek berjenggot hitam yang menggunakan baju berwarna hijau. Ia menggembol sebilah pedang antik, rambutnya sudah memutih, namun matanya yang memancarkan sinar tajam sedang mengawasi anak muda itu tanpa berkedip. Sambil membentak, Han Siau-cing bersiap hendak menerjang ke depan, tapi Bong Thian-gak segera memegang lengannya sembari berbisik, "Jangan bertindak gegabah nona Han, ilmu silat yang dimiliki orang ini hebat sekali, kau tak akan mampu membendung serangannya." Tiba-tiba terdengar kakek berjenggot hitam itu bertanya dengan miiira nyaring, "Kau adalah Jian-ciat-suseng?"
Bong Thian-gak terkejut, bukan karena orang itu dapat menyebut julukannya, tapi dikarenakan dalam bentrokan
Pendekar Cacat 1186
yang berlangsung tadi, ia bisa merasakan kekuatan dan kedahsyatan tenaga serangan kakek itu. Sejak dia berlatih tekun selama tiga tahun di bawah air terjun, hung Thian-gak selalu menaruh kepercayaan yang amat besar pada kemampuan ilmu silatnya, dia menganggap tiada orang yang bisa mengungguli dirinya. Tapi hari ini untuk pertama kalinya ia menderita kekalahan di tangan orang.
Getaran tenaga pukulan yang dilancarkan kakek berjenggot hitam tadi telah melukai isi perutnya serta mengguncang rasa percayanya terhadap kemampuan sendiri. Dengan perasaan agak tegang, gugup dan panik dia menegur, bibirnya terdengar agak gemetar, "Siapakah kau?" Han Siau-cing sendiri pun tidak mengenal siapa gerangan kakek berjenggot hitam yang berada di hadapannya sekarang. Kakek berjenggot hitam itu sama sekali tidak menyebut nama serta julukannya, hanya tanyanya lagi dengan suara hambar, "Apakah kau murid Oh Ciong-hu?"
Pendekar Cacat 1187
Bong Thian-gak tak mengerti mengapa ia mengajukan pertanyaan itu, segera jawabnya, "Benar, aku adalah anak muridnya." Paras muka kakek itu berubah, katanya, "Kesempurnaan tenaga dalam yang kau miliki benar-benar jauh mengungguli kemampuan Oh Ciang-hu sendiri." "Aku rasa kau tentunya sudah boleh menyebut identitasmu, bukan?" kata Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut. "Asal kau berani melancarkan sebuah serangan pedang lagi kepadaku, aku bersedia menyebut nama serta julukanku," sahut si kakek hambar.
Bong Thian-gak melolos pedang dan siap melancarkan serangan, katanya, "Aku bersedia melancarkan serangan pedang lagi atas dirimu, namun perlu kujelaskan, serangan pedangku ini bisa jadi merupakan akhir dari kehidupanku, tapi mungkin juga merupakan titik hancur bagi kehidupanmu, karena itu kuanjurkan lebih baik serangan kubatalkan saja." "Bila kau tidak berani melancarkan serangan, aku akan menyerang dirimu lebih dulu," ancam si kakek.
Pendekar Cacat 1188
Sembari berkata, kakek itu pelan-pelan melolos pedang antiknya, pedang itu sama sekali tidak memercikkan setitik cahaya pun, juga tidak nampak mata pedang, karena pedang itu tak lebih hanya sebilah pedang kayu, pedang kayu yang sama sekali tumpul. Menyaksikan bentuk pedang itu, paras muka Bong Thian-gak justru berubah semakin serius. Pedang kayu sebagai senjata andalan, Bong Thiangak tahu ilmu pedang kakek itu sudah mencapai taraf kemampuan yang luar biasa.
Berapa orang dalam Kangouw dewasa ini yang memiliki ilmu pedang begitu sempurna? "Ah! Kau adalah ketua Kay-pang," Bong Thian-gak menjerit kaget. Sebelum pemuda itu berbicara, pedang kayu yang berada dalam genggaman kakek itu sudah menusuk ke arah dadanya. Tusukan itu dilancarkan sangat lamban tapi sangat berat. Sekilas serangan itu amat lamban, sama sekali tidak mengandung hawa napsu pembunuh, tetapi Bong Thiangak justru menghadapinya dengan wajah serius dan tegang.
Dalam sekejap dia seakan-akan menghadapi bahaya ancaman maut.
Pendekar Cacat 1189
Bentakan keras menggeledek di angkasa. Kemudian berkumandang memekakkan telinga.
suara
benturan
yang
Pedang Bong Thian-gak berhasil memapas kutung pedang kayu si kakek berjenggot hitam itu. Sebaliknya pedang kayu si kakek juga berhasil mematahkan pedang Bong Thian-gak. Dalam pada itu Bong Thian-gak sudah berjumpalitan, lengan ltinggalnya masih menggenggam kutungan pedang, sementara matanya mengawasi si kakek di hadapannya tanpa berkedip.
Suasana tegang kembali menyelimuti seluruh arena. Tiba-tiba terdengar kakek itu menghela napas sedih, kemudian katanya, "Serangan pedangmu itu ternyata mampu menembus hawa pedangku, ternyata kau pun berhasil melatih hawa pedang yang maha sakti. Sungguh tak nyana, dengan usiamu yang begitu muda, ternyata mampu melatih hawa pedang yang hebat, betul-betul tak kuduga."
Pendekar Cacat 1190
Cucuran darah berlinang dari ujung bibir Bong Thian-gak, namun ia menjawab sambil tersenyum, "Bila Locianpwe melancarkan serangan lagi kepadaku, niscaya Boanpwe tak bakal lolos dari ancaman bahaya maut." "Bila serangan yang pertama tak mampu membunuhmu, hari ini aku tak akan melepaskan serangan kedua," ucap si kakek hambar. Kakek itu membuang kutungan pedangnya, kemudian berkata, "Bila kau masih mampu, sekarang silakan membunuhku." "Locianpwe," kata Bong Thian-gak lantang, "sebetulnya di antara kita sama sekali tak terikat dendam sakit hati apa pun, mana berani IJoanpwe menyerang dirimu lagi."
Bong Thian-gak pun membuang kutungan pedangnya, kemudian melanjutkan, "Cuma Boanpwe ingin mencari tahu beberapa hal, harap locianpwe sudi memberi penjelasan." "Persoalan apa yang hendak kau ketahui?" "Aku ingin tahu, sesungguhnya siapakah Locianpwe?" "Ketua angkatan ketujuh Kay-pang, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng."
Pendekar Cacat 1191
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Tio Tian-seng adalah ketua Kay-pang saat ini. Rahasia itu boleh dibilang jarang diketahui umat persilatan. Bong Thian-gak berdiri tertegun dan melongo mendengar jawaban itu. Dengan wajah serius Tio Tian-seng bertanya lagi, "Apakah kau masih ada pertanyaan lain? Ayo, cepat utarakan." Bagaikan baru sadar dari impian, cepat Bong Thian-gak bertanya, "Ada keperluan apa Locianpwe datang kemari?" "Mencari si tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati luka yang diderita muridku, To Siau-hou." "Apakah Locianpwe telah berhasil menemukan si tabib sakti?" tanya Bong Thian-gak lagi. "Belum."
Bong Thian-gak berkerut kening, lalu katanya, "Boanpwe juga sedang mencari Gi Jian-cau, mungkin Locianpwe sudah melihat mayat-mayat yang terkapar di ruang belakang itu!"
Pendekar Cacat 1192
Tio Tian-seng mendengus, "Hm, pertanyaanmu sudah selesai diutarakan, sekarang aku hendak pergi. Ingat pada saat kita bersua lagi bisa jadi aku akan membunuhmu." Seusai berkata, dia menggerakkan tubuh beranjak pergi dari situ. Belum sempat Bong Thian-gak memanggilnya, Tio Tianseng sudah lenyap dari pandangan mata.
Keadaan Bong Thian-gak saat ini benar-benar bagaikan berada dalam alam impian, dia seperti kurang percaya dengan apa yang dialaminya barusan, dia tak percaya baru saja habis bertarung melawan jagoan paling tangguh yang diakui umat persilatan selama enam puluh tahun belakangan ini, Tio Tian-seng. Dia pun tak menyangka orang paling tangguh di kolong langit dewasa ini, Tio Tian-seng tak lain adalah ketua Kaypang. Han Siau-cing berseru kaget, "Jadi dia adalah Tio Tianseng?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
Pendekar Cacat 1193
"Ai, tentu saja dalam dunia persilatan dewasa ini, bukan hanya Tio Tian-seng seorang yang mampu mematahkan pedangku dengan hanya menggunakan sebilah pedang kayu." "Dia termasuk juga utusan pelindung bunga Cong-kaucu?" "Bong-siangkong, masih ingat dengan perkataanku tempo hari tentang ketiga orang utusan pelindung bunga Congkaucu yang misterius identitasnya?"
Paras muka Bong Thian-gak menjadi amat serius, katanya, "Kecuali Gi Jian-cau serta Tio Tian-seng, siapakah orang ketiga?" "Agaknya orang ketiga bernama Hek-mo-ong (raja iblis hitam)." "Hek-mo-ong? Mana mungkin dalam Bu-lim terdapat manusia dengan julukan itu?" "Bong-siangkong," kata Han Siau-cing dengan nada bersungguh-sungguh, "sebenarnya aku sendiri kurang percaya, tapi bila teringat kata-kata terakhir seorang Bu-lim Locianpwe yang sedang mendekati ajalnya, ucapan itu memang sangat masuk akal."
Pendekar Cacat 1194
"Bu-lim Locianpwe manakah yang berkata kepadamu? Apa pula yang dia katakan?"
Han Siau-cing termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, setelah itu baru ujarnya, "Orang itu adalah gurumu ... Oh Ciong-hu." "Kau benar-benar telah berjumpa dengan guruku menjelang ajalnya?" Bong Thian-gak berseru kaget. Han Siau-cing manggut-manggut. "Menjelang ajalnya, mendiang Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu telah bicara banyak denganku." "Dapatkah kau memberitahukan kepadaku semua kejadian yang dialami Suhuku menjelang ajalnya?" pinta sang pemuda cemas.
Han Siau-cing menghela napas sedih, katanya kemudian, "Peristiwa ini berlangsung pada tiga tahun berselang, waktu itu aku termasuk salah seorang di antara kawanan jago yang diutus Cong-kaucu untuk mencelakai jiwa Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu yang amat lihai itu." Mencorong sinar tajam penuh hawa napsu membunuh dari balik mata Bong Thian-gak, ditatapnya wajah Han Siau-cing
Pendekar Cacat 1195
lekat-lekat, kemudian tanyanya dingin, "Apakah kau juga termasuk salah seorang di antara pembunuh keji yang telah mencelakai guruku?"
Sekali lagi Han Siau-cing menghela napas sedih. "Justru karena aku tidak turut menyerang Oh-locianpwe, maka Cong-kaucu menaruh curiga padaku serta menyekapku, bila Siangkong tidak percaya, aku pun tidak dapat berbuat apa-apa." "Kalau begitu, tentunya kau masih ingat dengan jelas bukan, siapa-siapa saja yang terlibat dalam peristiwa keributan itu?" Han Siau-cing termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ia baru berkata, "Coba kau dengar dulu cerita peristiwa itu." "Cepatlah kau ceritakan!"
Han Siau-cing menarik napas panjang, kemudian katanya, "Tiga tahun berselang kami telah mengepung Oh-locianpwe di sebuah tanah padang rumput, hampir segenap jago lihai yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau telah dikerahkan ke sana, maka terjadilah pertarungan berdarah yang sangat mengerikan. Oh-locianpwe almarhum dengan kemampuan
Pendekar Cacat 1196
seorang diri bertarung dan menerjang musuh dengan buas, ketika pertarungan berakhir, beliau telah menghabisi nyawa kedua ratus jago lihai Put-gwa-cin-kau tanpa ampun. "Aku masih ingat ketika kujumpai Oh-locianpwe, waktu itu ia sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon waru, di sampingnya berdiri seekor kuda berbulu emas. "Belum sempat aku menghampiri Oh-locianpwe, beliau yang semula memejamkan mata mendadak membuka mata, kemudian setelah memandang sekejap ke arahku, ia pun menegur sambil tertawa, 'Apakah kau orang yang datang untuk memenggal batok kepalaku?”.
"Aku tertegun mendengar teguran itu, kemudian menggeleng kepala dengan mulut tetap membungkam.Saat itulah Oh-locianpwe dengan tertawa pedih berkata kembali, 'Aku sudah hampir mati, bila kau memang menginginkan batok kepalaku, silakan mencabut pedang serta memenggalnya, sebab aku tak punya bertenaga lagi untuk memberikan perlawanan ... namun sebelum ajalku tiba, aku ingin memberitahukan satu hal kepada kalian, yakni segenap anggota Put-gwa-cin-kau, kecuali Congkaucu, pada akhirnya akan mati dalam keadaan mengenaskan.'. "Sewaktu mendengar keterangan itu, dengan cepat aku pun bertanya, 'Mengapa?'.
Pendekar Cacat 1197
"Tampaknya kejernihan otak Oh-locianpwe mulai kabur, tapi aku mendengar ia berkata, 'Bila kau percaya, berusahalah mencari daya-upaya melepaskan diri dari belenggu Put-gwa-cin-kau secepatnya. Walaupun tatkala kalian memasuki perkumpulan sudah dicekoki obat racun yang berdaya kerja lambat, tapi aku beritahukan kepadamu bahwa seseorang masih bisa menyelamatkan jiwa kalian ... dia adalah Ku-lo Sinceng dari Siau-lim-pay. Sewaktu kau bertemu beliau nanti, katakan kepadanya ketiga orang pelindung bunga Cong-kaucu yang misterius itu adalah tabib sakti Gi Jian-cau, Tio Tian-seng dan Hek-mo-ong.'.
"Tatkala bicara sampai di situ, nada suaranya terputus, ternyata Oh-locianpwe telah berpulang ke akhirat." "Apakah kau sudah pergi menjumpai Ku-lo Sinceng?" tanya Bong Thian-gak.kemudian dengan wajah amat serius. "Belum," Han Siau-cing menggeleng. "Sebab tak lama setelah Oh-locianpwe meninggal dunia, Siau Cu-beng beserta segenap jagoan lihai Put-gwa-cin-kau telah berdatangan ke situ, mereka mendesakku untuk memberitahukan apa yang telah disampaikan Ohlocianpwe menjelang ajalnya tadi." "Apakah kau telah berterus terang kepada mereka?" tanya Bong Thian-gak cepat.
Pendekar Cacat 1198
"Tidak, aku tak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka, justru karena itu Cong-kaucu segera menaruh curiga kepadaku dan sejak itu pula aku dikurung olehnya di loteng itu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, kalau menjelang ajalnya Suhu telah mengatakan bahwa Gi Jian-cau, Tio Tian-seng serta Hek-mo-ong bertiga adalah utusan pelindung bunga Cong-kaucu, aku rasa hal itu tak bakal salah lagi... tapi peristiwa itu sungguh membuat orang tidak habis mengerti. Ai, bila aku tidak menghilangkan kantung ketiga yang telah disiapkan Ku-lo Sinceng tempo hari dan membukanya sekarang, bisa jadi teka-teki itu dapat dipecahkan." Bong Thian-gak teringat bahwa Ku-lo Sinceng telah menyerahkan tiga buah kantung kepadanya menjelang ajalnya tempo hari, waktu yang ditetapkan untuk membuka kantung yang terakhir ini tak lain adalah saat Tio Tian-seng menampakkan diri. Sekarang Tio Tian-seng telah menampakkan diri, namun kantung ketiga itu telah hilang entah dimana?
Sementara itu Han Siau-cing menghela napas sedih seraya berkata, "Sekarang Gi Jian-cau bersembunyi entah dimana,
Pendekar Cacat 1199
tentu saja aku sudah tidak bisa menunggu dirinya lagi untuk memperoleh pengobatan." "Seandainya Gi Jian-cau benar-benar sudah berubah pendirian, entah berapa banyak jago persilatan yang bakal berkorban di dunia saat ini. Ai! Dari tumpukan mayat yang tergeletak di sana, tampaknya mereka sudah mati belasan hari lamanya, dari pakaian yang dikenakan mayat-mayat itu tidak salah lagi mereka adalah anggota Hiat-kiam-bun, tapi mengapa tidak kutemukan jenazah Keng-tim Suthay di antara tumpukan mayat itu? Bukankah ini berarti terdapat setitik harapan."
Bong Thian-gak segera menarik tangan Han Siau-cing sambil katanya, "Mari kita melakukan pemeriksaan di tempat lain!" "Kita hendak pergi kemana lagi?" tanya Han Siau-cing tidak habis mengerti. "Tempat yang sebenarnya untuk membuat obat." "Kalau begitu tempat ini bukan tempat pembuatan obat yang sesungguhnya?" tanya Han Siau-cing terperanjat. "Masalah pembuatan pil pengembali sukma oleh Gi Jiancau sesungguhnya menyangkut nasib segenap umat persilatan. Sekalipun tempat ini sudah diserang musuh, tapi aku percaya orang-orang Hiat-kiam-bun masih mempunyai
Pendekar Cacat 1200
cara lain untuk memindahkan tabib sakti meninggalkan tempat ini."
Han Siau-cing tertegun, serunya, "Bong-siangkong, apakah kau masih percaya bahwa Gi Jian-cau membuatkan pil pengembali sukma untukmu?" "Peristiwa ini belum mencapai jalan buntu, tentu saja masih ada setitik harapan." Mendadak Han Siau-cing berseru tertahan, air mukanya segera berubah pucat-pias seperti mayat, sekujur badannya ikut bergetar keras. Bong Thian-gak terkejut, buru-buru ia bertanya, "Mengapa kau? Apakah racun yang mengeram dalam tubuhmu mulai kambuh?" "Tidak," Han Siau-cing segera menggeleng.
Pada saat itulah segulung angin berhembus, Bong Thiangak segera mengendus bau harum semerbak yang tipis, inilah bau bunga anggrek yang amat dikenal olehnya, bau yang bukan untuk pertama kali ini terendus olehnya. "Ah! Rupanya dia telah datang!" Bong Thian-gak berseru kaget.
Pendekar Cacat 1201
"Bong-siangkong, kau cepat kabur," buru-buru Han Siaucing berseru dengan gelisah. "Ia mengejar sampai di sini, tujuannya adalah hendak membunuh aku, kau cepatlah lari!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa, teriaknya, "Cong-kaucu, kalau kau sudah datang, mengapa tidak segera menampakkan diri?" Baru selesai dia berkata, dari halaman gedung berkumandang suara irama musik yang lembut, kemudian nampak sebuah tandu besar yang megah dan mentereng digotong oleh enam belas orang perempuan kekar pelanpelan muncul. Di belakang tandu besar itu mengikut pula sekelompok orang.
Rombongan itu berjumlah lebih kurang dua puluh orang, tapi yang membuat Bong Thian-gak merasa terkejut adalah turut hadirnya seorang perempuan cantik, seorang sastrawan baju hijau serta seorang kakek baju hitam berlengan tunggal. Han Siau-cing dapat melihat pula kehadiran ketiga orang itu, ia segera berseru dengan suara gemetar, "Si-hun-mo-li,
Pendekar Cacat 1202
Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu ... ah, habis sudah nyawa kita kali ini!"
Bong Thian-gak juga merasa tegang, seram dan ketakutan sehabis melihat rombongan itu. Dalam gerakannya kali ini Put-gwa-cin-kau telah mengerahkan segenap kekuatan inti terhebat yang mereka miliki. Bagaimana pun juga dengan kekuatannya seorang diri tak mungkin bisa melawan kawanan sebanyak itu. "Kabur!" Ingatan itu mendadak lewat dalam benak Bong Thian-gak. Ia tak tahu, ingatan semacam itu apakah merupakan pilihan yang bodoh atau cerdik. Namun ia tahu, dia tak boleh mengalami nasib tragis seperti apa yang dialaminya tiga tahun berselang. Oleh sebab itulah Bong Thian-gak segera melarikan diri. Ia meninggalkan Han Siau-cing begitu saja, melarikan diri sendirian.
Pendekar Cacat 1203
Dengan cepat bagaikan sambaran kilat, Bong Thian-gak melejit ke lengah udara kemudian kabur menuju ke arah barat daya. Umpatan marah, sindiran sinis dan bentakan nyaring dengan cepat bergema memenuhi angkasa. Walaupun Bong Thian-gak dapat mendengar semua itu, namun ia sama sekali tidak berpaling. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, pemuda itu melarikan diri terbirit-birit. Jeritan perempuan yang sangat mengerikan hati bergema dari kejauhan, seperti teriakan Thay-kun pada tiga tahun berselang.
Hancur luluh perasaan Bong Thian-gak waktu itu, ia merasa betapa hinanya perbuatan yang dilakukan olehnya sekarang, ia merasa dirinya adalah seorang pengecut yang tak berani bertanggung-jawab. "Mengapa aku harus kabur? Mengapa aku mesti melarikan diri? Aku bukan seorang lelaki sejati, aku adalah seorang lelaki pengecut yang takut mampus. Bong Thian-gak, wahai Bong Thian-gak, dengan perbuatan yang memalukan ini, mungkinkah kau masih bisa tampil di Kangouw?"
Pendekar Cacat 1204
Seperti kelinci yang melarikan diri dari terkaman harimau, Bong Thian-gak melarikan diri menembus hutan, menyeberangi jurang. Sepanjang jalan ia merasa sedih, menyesal dan mengutuk diri sendiri. Lalu ia berhenti secara tiba-tiba, duduk bersimpuh di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Matahari tenggelam di balik bukit, sinar keemas-emasan masih menyinari padang rumput yang luas. Saat itulah muncul seorang kakek baju hijau berjenggot hitam dari ujung padang rumput sana. Pelan-pelan ia berjalan menghampiri Bong Thian-gak dan berhenti di hadapannya. Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia tersentak kaget dan melompat bangun dari atas tanah. Sekulum senyuman menghiasi bibir kakek berbaju hijau itu, dia mengangguk pelan, lalu berkata, "Kau memang seorang lelaki pintar yang pemberani, benar-benar hebat kau, lelaki jempolan."
Bong Thian-gak tertunduk malu, mukanya merah seperti babi panggang.
Pendekar Cacat 1205
"Aku tahu, aku memang seorang pengecut, seorang lelaki konyol," ia berbisik lirih, "Tio-locianpwe tak usah menggodaku!" "Orang yang berani melakukan perbuatan yang tak berani dilakukan orang lain dan tak terpikir orang lain. Dia barulah seorang laki-laki pintar yang pemberani, terus terang saja, siapa di kolong langit ini yang berani mengambil keputusan dan tindakan semacam kau? Apa salah kalau kukatakan kau adalah lelaki pemberani yang pintar?" "Kau ... kau maksudkan ... tindakanku melarikan diri tadi adalah perbuatan seorang lelaki pemberani yang pintar?" tanya Bong Thian-gak gugup.
Kakek itu manggut-manggut. "Coba kau tidak kabur, sudah pasti kau akan menjadi lelaki konyol dan mata gelap yang akibatnya ... hm, mati konyol! Asal gunung tetap menghijau, masa takut kehabisan kayu bakar? Yang penting memang kabur dulu." Perasaan sedih, hina dan menyesal yang semula menggeluti pikiran Bong Thian-gak kini terhapus dari perasaannya, tapi ia belum bisa melenyapkan semua perasaan sesalnya. Kembali dia berkata, "Aku telah kabur meninggalkan seorang gadis lemah begitu saja, cara dan tindakan yang
Pendekar Cacat 1206
kulakukan ini bukan cara dan perbuatan seorang lelaki sejati." Kakek tua tertawa hambar, "Barang siapa berani mengkhianati Put-gwa-cin-kau, cepat atau lambat ia pasti akan mati."
Tiba-tiba mencorong sinar aneh dari balik mata Bong Thiangak, ditatapnya kakek baju hijau itu lekat-lekat, kemudian tanyanya, "Tio-locianpwe ada urusan apa kau datang kemari?" "Mengajak kau mengantarku menemui Gi Jian-cau." "Parah sekali luka To Siau-hou?" "Nyawanya sudah berada di ujung tanduk." "Tio-pangcu," tiba-tiba Bong Thian-gak berkata, "ada suatu hal ingin kutanyakan kepadamu." "Soal apa? Cepat katakan." "Aku dengar dewasa ini terdapat tiga orang Enghiong yang disegani orang ternyata menjadi utusan pelindung bunga Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
Pendekar Cacat 1207
Paras muka kakek baju hijau itu segera berubah hebat, dengan gugup ia bertanya, "Kau tahu siapakah ketiga orang itu?" "Tentu saja tahu." "Apakah satu di antaranya adalah Gi Jian-cau?" "Ya, termasuk juga Tio Tian-seng," sambung pemuda itu. Paras muka kakek baju hijau itu segera berubah tak sedap dipandang, cepat ia berseru, "Tahukah kau Tio Tian-seng hanya berjanji tak akan mencampuri urusan dunia persilatan selama sepuluh tahun?" Bong Thian-gak menggeleng. "Bagaimanakah duduk persoalan yang sebenarnya, aku memang tidak terlalu jelas. Aku hanya tahu ada tiga tokoh tangguh yang telah menjadi utusan pelindung bunga Congkaucu Put-gwa-cin-kau."
Kakek baju hijau tertawa dingin. "Tiga hari berselang, janji sepuluh tahun sudah habis batas waktunya, sekarang aku sudah tidak terikat lagi dengan dirinya." "Bagaimana dengan Gi Jian-cau?"
Pendekar Cacat 1208
"Gi Jian-cau pun ada ikatan janji sepuluh tahun dengannya," jawab Tio Tian-seng hambar, "Tapi aku yakin selamanya Cong-kaucu tak bakal melepas dirinya begitu saja." "Apakah dia akan mencelakai jiwa Gi Jian-cau?" "Bukan tabib sakti Gi Jian-cau saja, dia pun akan mencelakai jiwaku." Mendengar penjelasan itu, Bong Thian-gak tertawa tergelak, "Siapa dewasa ini yang masih berkemampuan membunuh dirimu."
Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian baru ia berkata, "Hek-mo-ong. Dia adalah satu-satunya lawan tandingku." "Siapakah Hek-mo-ong itu?" tanya Bong Thian-gak terkejut. Tio Tian-seng menggeleng. "Aku sendiri pun tak tahu siapa Hek-mo-ong, aku hanya tahu orang ini bisa membunuh korbannya tanpa menampakkan wujud aslinya, gerak-geriknya selalu rahasia dan sesungguhnya dia otak di belakang layar yang menyetir Put-gwa-cin-kau selama ini."
Pendekar Cacat 1209
"Sesungguhnya Hek-mo-ong inilah yang menjadi pimpinan besar Put-gwa-cin-kau, dialah dalang kekacauan dunia persilatan."
Tio-pangcu, bila kau tak menampik, seluruh anggota Hiatkiam-bun bersedia bekerja sama dengan perkumpulan kalian menentang kekuasaan dan kelaliman Put-gwa-cinkau." "Mengikuti perubahan situasi dan perkembangan persilatan, antara Hiat-kiam-bun dengan Kay-pang memang tak mungkin dapat dipisahkan lagi." "Bagus kalau begitu, tetapkan dengan sepatah kata ini saja." "Masalahnya tak bisa ditunda-tunda lagi, ayo segera antarkan aku menjumpai Gi Jian-cau." Bong Thian-gak segera bangkit, kemudian ujarnya, "Tiopangcu, harap ikuti diriku!" Kuil Sam-cing-koan adalah kuil kaum Sam-cing yang terletak di sebelah utara kota Lok-yang. Kuil itu dibangun di kaki bukit, bangunannya megah dan mentereng, tak ubahnya seperti istana.
Pendekar Cacat 1210
Matahari sudah lama tenggelam, menyelimuti seantero jagat.
keremangan pun
Dalam suasana seperti ini, tiba-tiba di depan pintu gerbang kuil muncul seorang pemuda berlengan tunggal serta seorang kakek baju hijau berjenggot hitam. Pintu gerbang tertutup rapat, suasana dalam gedung pun sunyi senyap tak terdengar sedikit suara pun. Sambil mengepal tinju tangan kirinya, pemuda berlengan tunggal Itu mengetuk pintu gerbang tiga kali. Mendadak pintu gerbang dibuka orang, empat orang Tosu berbaju kuning segera muncul, sebilah pedang tersoreng di punggung masing-masing, sementara orang yang berjalan paling depan segera menyapu pandang sekejap wajah kedua orang tamunya dengan sinar mata tajam. "Sicu berdua hendak mencari siapa?" tegurnya.
Pemuda berlengan tunggal tersenyum, "Aku she Bong bernama Thian-gak, ingin berjumpa Koancu kalian." Sekilas perubahan aneh tampak menghiasi wajah Tosu berbaju kuning itu, dengan cepat ia mengalihkan sorot matanya dan mengamati nrkiijur badan pemuda itu dari atas sampai ke bawah.
Pendekar Cacat 1211
Kemudian baru berkata dengan dingin, "Jadi kau adalah ketua Hiat kiam-bun Jian-ciat-suseng." "Ya, memang aku," Bong Thian-gak tersenyum.
Tiba-tiba Tosu berbaju kuning itu menarik muka dan menegur dengan serius, "Tolong tanya, sesungguhnya dalam Hiat-kiam-bun terdapat berapa orang Jian-ciatsuseng?" Pertanyaan ini segera menyentak hati Bong Thian-gak, cepat ia menegur, "Totiang, tolong tanya apa maksudmu?" Setelah tertawa dingin, sahut Tosu berbaju kuning itu, "Terus terang aku beritahukan kepadamu, setengah jam berselang telah datang Jian-ciat-suseng yang berkunjung dalam kuil kami." Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak. Paras muka Tio Tian-seng yang berada di sampingnya turut berubah, sekali berkelebat ia sudah menerobos masuk ke dalam. Ternyata reaksi ketiga orang Tosu lain yang berjaga-jaga di sisi pintu cukup cepat, serentak mereka melolos pedang masing-masing, kemudian di antara kilatan cahaya tajam, tiga bilah pedang berkelebat menghadang jalan pergi Tio Thian Seng.
Pendekar Cacat 1212
Agaknya Bong Thian-gak sendiri pun sudah merasakan keadaan gawat dan seriusnya peristiwa ini, mendadak ia mengayun telapak tangannya melancarkan pukulan ke arah dada Tosu berbaju kuning itu. Sesungguhnya Tosu berbaju kuning itu telah bersiap menghadapi serangan, ia tak mengira serangan musuh ternyata begitu cepat bagaikan sambaran kilat. Tahu-tahu dadanya terasa sakit dan napasnya menjadi sesak, tak sempat lagi mengeluh, peredaran darahnya telah tersumbat dan ia pun roboh tak sadarkan diri.
Tiga orang Tosu yang mencoba menghadang jalan pergi Tio Tian-seng juga telah dirobohkan semua dengan jalan darah tertotok. "Bong-laute, apakah Gi Jian-cau berada di dalam kuil ini?" tanya Tio Tian-seng dengan suara dalam. "Benar, dia berada di ruang peracikan obat." "Sekarang sudah ada musuh yang menyaru sebagai dirimu memasuki kuil, bisa jadi hendak mencelakai jiwa Gi Jiancau."
Pendekar Cacat 1213
Belum selesai ia berkata, dari arah kuil tiba-tiba berkumandang suara genta yang dibunyikan bertalu-talu, suaranya keras dan nyaring memenuhi seluruh bukit dan menggetarkan angkasa. Berbareng dari balik gedung utama yang megah serentak menyerbu puluhan Tosu berpedang yang segera menuju ke arah pintu gerbang.
Bong Thian-gak mengerti, perkembangan saat ini telah berubah gawat, kecuali dia masuk ke dalam kuil dan menjumpai Sam-cing Koancu untuk menerangkan duduk permasalahan yang sebenarnya, kalau tidak, pertumpahan darah tentu akan berlangsung di situ. Demi keselamatan Gi Jian-cau, Bong Thian-gak merasa tak mampu lagi menghindarkan diri dari bentrokan dengan orang-orang Sam-cing-koan. "Tio-pangcu!" dengan suara dalam ia berseru, "kita serbu ke dalam, tapi kumohon kau jangan melukai jiwa mereka."
Bong Thian-gak segera melompat ke menyongsong kedatangan kawanan Tosu itu.
muka
dan
Puluhan orang Tosu berbaju kuning itu seperti daun kering yang terhembus angin kencang, begitu termakan pukulan Tio Tian-seng dan liong Thian-gak, segera berjatuhan ke lantai dan roboh tak sadarkan diri.
Pendekar Cacat 1214
Sementara itu Tio Tian-seng telah melompat ke atas atap rumah, lalu dengan kecepatan luar biasa meluncur ke arah gedung halaman kedua.
Dalam pada itu suara genta telah berkumandang di seluruh kuil, bayangan orang berkelebat, kembali muncul serombongan Tosu yang bersenjata lengkap dari balik gedung. Bong Thian-gak langsung meluncur masuk ke dalam gedung utama, kemudian dengan suara keras teriaknya, "Totiang sekalian, harap dengarkan baik-baik. Aku adalah Jian-ciatsuseng Bong Thian-gak, ketua Hiat-kiam-bun. Aku datang untuk berjumpa dengan Koancu kalian, barap kalian jangan menghalangi jalanku, bawalah aku menjumpai ketua kalian secepatnya!"
Namun kawanan Tosu itu sama sekali tidak menggubris, diiringi bentakan keras, serentak mereka menyerbu ke arah Bong Thian-gak sambil mengayunkan senjata! Dalam keadaan begini, terpaksa Bong Thian-gak harus memutar lengan tunggalnya, dimana angin pukulannya menyambar, kawanan losu itu satu demi satu segera roboh bergulingan.
Pendekar Cacat 1215
Soal tenaga dalam, kemampuan Bong Thian-gak sudah mencapai puncak kesempurnaan, berat-ringannya serangan bisa dilancarkan sekehendak hati. Oleh sebab itu meski kawanan Tosu itu terguling terkena serangan, mereka hanya roboh dengan jalan darah tertotok, sama sekali tak mempengaruhi keselamatan jiwa mereka.
Bong Thian-gak bergerak secepat hembusan angin, makin bertarung makin mendesak ke depan, dalam waktu singkat ia sudah memasuki halaman kelima. Halaman kelima adalah lapangan tempat berkumpul dalam kuil Sam-cing-koan. Tatkala Bong Thian-gak menyerbu masuk ke dalam lapangan itu, dengan cepat pemuda itu dibikin tertegun dan berdiri termangu-mangu. Ternyata empat penjuru sekeliling tanah lapang itu sudah dipenuhi Tosu baju kuning dengan senjata terhunus, jumlah mereka mencapai tiga ratusan orang.
Tio Tian-seng sedang terkepung, waktu itu ia sudah menghunus sebilah pedang yang penuh berlepotan darah, sedang di sekeliling arena terlihat ada tujuh kutungan lengan berceceran, darah telah membuat tanah lapang itu menjadi merah.
Pendekar Cacat 1216
Dari sorot mata ketujuh Tosu yang cacat lengannya, tampaknya mereka memiliki kepandaian silat sangat tinggi, namun sekarang mereka duduk bersila di atas tanah dengan wajah diliputi perasaan sedih, gusar dan penuh penderitaan.
Bong Thian-gak segera menerjang ke sisi Tio Tian-seng, kemudian setelah menghela napas sedih, katanya, "Tiopangcu, seranganmu kelewat berat!" "Aku tidak menyangka dalam kuil Sam-cing-koan terdapat tujuh orang jago pedang yang amat lihai, hampir saja aku menderita kalah oleh kepungan barisan pedang Jit-singkiam-tin mereka," sahut Tio Tian-seng dingin. Baru saja selesai berkata, dari balik rombongan di sebelah timur sana tiba-tiba berjalan keluar Sam-cing Tosu yang membawa Hud-tim (kebutan).
Di sisi kiri dan kanannya mengikut empat Tosu kecil yang masing-masing membawa dua bilah pedang pendek. Tosu itu berjalan dengan sangat lambat, selangkah demi selangkah berjalan ke tengah arena.
Pendekar Cacat 1217
Malam sudah menjelang tiba, kegelapan mencekam seluruh jagat, Bong Thian-gak baru bisa melihat jelas paras muka Tosu itu setelah berhadapan.
Tosu ini berjenggot hitam sepanjang dada, rambutnya digulung dengan tusuk konde, sementara sepasang matanya memancarkan sinar tajam bagaikan bintang timur. Terutama sikap si Tosu yang begitu anggun dan berwibawa, membuat setiap orang yang bertemu dengannya segera akan muncul perasaan kagum dan hormat. Setelah Bong Thian-gak melihat Tosu tadi, segera dia menjura seraya berkata, "Aku Bong Thian-gak, tampaknya saudara adalah Sam-cing Koancu."
Sementara itu Tosu berbaju kuning itu sudah menghentikan langkahnya, tatkala sinar matanya dialihkan dari wajah Bong Thian-gak ke wajah Tio Tian-seng, tiba-tiba saja paras mukanya berubah hebat. Paras muka Tio Tian-seng sendiri pun agak berubah melihat wajah Tosu itu, segera katanya, "Sungguh tak kusangka Patkiam-hui-hiang (delapan pedang salju beterbangan) Tan Sam-cing yang telah lenyap dari dunia persilatan sejak empat puluh tahun berselang, ternyata sudah menetap dalam kuil Sam-cing-koan di kota Lok-yang ini."
Pendekar Cacat 1218
Mendengar nama Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, hati Bong Thian-gak bergetar, diam-diam ia berpikir, "Tan Samcing? Bukankah dia adalah jago pedang Bu-tong-pay yang amat termasyhur namanya pada empat puluh tahun berselang?" Konon kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki orang ini luar biasa sekali sehingga disebut sebagai orang kedua tertangguh dalam Bu-tong-pay setelah Thia Sam-hong, Cosu pendiri Bu-tong-pay. Empat puluh tahun lalu dalam Bu-lim terdapat empat orang paling termasyhur. Mereka adalah Ku-lo Sinceng, Oh Cionghu, Tio Tian-seng dan Tan Sam-cing.
Tosu berbaju kuning itu segera mengebas Hud-timnya beberapa Kali, kemudian sambil tertawa ringan katanya, "Sebenarnya aku sedang ragu dan curiga, jagoan darimanakah yang mampu melukai ketujuh muridku, tidak kusangka orang itu adalah Tio Tian-seng." Tiba-tiba suaranya menjadi berat, sambungnya, "Suatu serangan vang bagus, serangan yang bagus sekali, nyatanya pedang Tio Tian-seng masih kejam, buas dan tak mengenal ampun."
Pendekar Cacat 1219
"Tan Sam-cing," ujar Tio Tian-seng dingin, "seandainya kita harus melangsungkan pertarungan, bisa jadi kita harus bertarung selama tiga hari tiga malam sebelum bisa ditentukan siapa lebih unggul di antara kita."
Paras muka Tan Sam-cing berubah amat serius, pelan-pelan ia berseru, "Kiam-tong, siapkan pertarungan!" Serentak keempat Tosu yang berdiri di kiri kanan Tan Samcing melolos pedang pendek, begitu pedang dilolos dari sarungnya, delapan jalur sinar pedang yang tajam bagai lapisan kabut segera menyelimuti angkasa. Melihat itu, seru Bong Thian-gak, "Harap jangan bertarung." Tan Sam-cing memandang Bong Thian-gak sekejap, lalu tegurnya, "Siapa kau?" "Aku bernama Bong Thian-gak, ketua Hiat-kiam-bun. Berhubung Gi Jian-cau dan Keng-tim Suthay dari perguruan kami pernah berpesan kepadaku, bahwa mereka meminjam tempat dalam kuil kalian untuk membuat obat, maka aku datang kemari untuk meninjau mereka."
Berubah hebat paras Tan Sam-cing, segera tegurnya, "Dengan cara apakah kau bisa membuktikan kau adalah Jian-ciat-suseng?"
Pendekar Cacat 1220
"Tan-koancu," dengan cepat Bong Thian-gak berseru, "sebenarnya apa yang telah terjadi di sini? Apakah ada musuh yang telah mencatut namaku untuk mengunjungi kuil ini?" "Sebelum kita bicara lebih jauh, alangkah baiknya bila kau bisa membuktikan dulu identitasmu. Bila kau tak mampu, berarti kau adalah manusia jahanam yang menyaru sebagai Jian-ciat-suseng." "Apa yang Koancu inginkan?" "Keng-tim Suthay pernah menjelaskan wajah dan identitas Jian-ciat-suseng kepadaku, tapi yang paling penting adalah terdapatnya benda kepercayaan Hiat-kiam-bun yakni Pekhiat-kiam."
Berubah paras muka Bong Thian-gak, ia segera bertanya, "Apakah sudah ada orang datang kemari dengan membawa pedang Pek-hiat-kiam?" "Bukan cuma membawa Pek-hiat-kiam saja, bahkan ia mempunyai raut muka dan ciri yang sama dengan dirimu." "Sekarang orang itu berada dimana?" "Sudah pergi menjumpai Keng-tim Suthay."
Pendekar Cacat 1221
"Aduh celaka," seru Bong Thian-gak dengan gelisah. "Tolong tanya Keng-tim Suthay berada dimana sekarang? Bagaimana kalau sekarang juga Koancu mengajakku pergi menjumpainya." "Boleh saja, asal kau sudah membuktikan kaulah Jian-ciatsuseng yang sesungguhnya," "Setelah bertemu Keng-tim Suthay nanti, siapa yang asli dan yang palsu akan segera diketahui."
Tan Sam-cing tertawa dingin. "Aku telah mendapat pesan wanti-wanti dari Keng-tim Suthay bahwa pembuatan obat oleh si tabib sakti mempengaruhi keselamatan jiwa banyak orang. Kejadian ini amat penting dan tak boleh terjadi kesalahan sekecil apa pun, tentu saja aku tak berani mengambil resiko."
Bong Thian-gak menjadi gelisah sehingga mendepakdepakkan kaki berulang-kali, serunya, "Kini musuh tangguh telah memasuki tempat pembuatan obat, bila keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung lerus, mungkin suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan bakal terjadi. Tan-koancu, bila kau menganggap masalah pembuatan obat oleh Gi Jian-cau adalah masalah besar, kau harus bertindak secepatnya."
Pendekar Cacat 1222
Tio Tian-seng turut menimbrung pula, "Pokoknya jika Gi Jian-cau sampai mengalami suatu musibah, jangan harap kau Tan Sam-cing bisa berdiam terus di tempat ini." Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing tertawa dingin, katanya, "Kau lelah melukai tujuh orang muridku, hari ini kau pun jangan harap bisa meninggalkan kuil Sam-cing-koan dalam keadaan aman dan selamat." Di antara sekian orang. Bong Thian-gak yang merasa paling gelisah, cepat dia berseru lagi dengan lantang, "Dendam permusuhan Locianpwe berdua lebih baik disingkirkan lebih dulu, hal terpenting yang harus segera kita atasi sekarang adalah menghalangi usaha kaum laknat untuk mencelakai Gi Jian-cau."
Tan Sam-cing memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian ujarnya, "Tempat dimana si tabib sakti Gi Jiancau mengolah obat adalah gua yang amat rahasia letaknya, orang biasa tak mungkin bisa masuk ke dalam secara mudah, apalagi di luar gua pun dijaga oleh banyak jago lihai. Bila Keng-tim Suthay merasakan hal yang tidak beres, dia pasti akan mengirim tanda rahasia kepadaku." "Pinto justru kuatir kalian berdualah yang sesungguhnya hendak mencelakai si tabib sakti, bila kuajak kalian
Pendekar Cacat 1223
memasuki gua rahasia itu, lak bisa kubayangkan bagaimana akibatnya." "Kalau begitu kau tak akan mengajak kami bertemu Gi Jiancau?" tegur Tio Tian-seng dengan suara dingin. Tan Samcing tertawa dingin pula. "Aku akan mengajak kalian berjumpa dulu dengan Keng-tim Suthay." "Hanya dia yang dapat membuktikan keaslian kalian." "Harap Tan-koancu segera mengajak kami menjumpainya," seru Bong Thian-gak gelisah. "Ayo ikut aku!" seru Tan Sam-cing kemudian sambil mengebas Hud-tim yang berada di tangan kirinya. Ia membalik badan, lalu berjalan menuju ke arah timur.
Keempat Tosu kecil yang mendampinginya, dengan delapan bilah pedang masih terhunus segera mengikut di sekitar Tan Sam-cing dengan kewaspadaan tinggi. Setiap langkah kaki keempat Tosu kecil itu selalu berirama dan menjaga jarak mereka dengan Tan Sam-cing, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, biarpun lima orang berjalan bersama-sama, namun langkahnya bagaikan langkah satu orang.
Pendekar Cacat 1224
Bong Thian-gak dan To Tian-seng mengikut di belakangnya, melihat cara keempat Tosu kecil dan Tan Sam-cing berjalan, mereka dibuat terkejut, segera pikirnya, "Dari cara mereka berjalan, tampaknya kepandaian silat yang dimiliki keempat Tosu kecil ini sudah mencapai puncak kesempurnaan, terutama dari langkah mereka yang seirama dengan Tan Sam-cing, sudah jelas keempat Tosu kecil ini akan menjadi pembantu utama Tan Sam-cing bila melancarkan serangan nanti." Sam-cing-koan adalah kompleks kuil yang amat luas, gedungnya dibangun searah dengan tanah perbukitan. Ketujuh orang itu menembus tiga gedung lagi sebelum akhirnya tiba pada gedung kesembilan.
Sepanjang perjalanan Bong Thian-gak tiada hentinya mengawasi sekeliling tempat itu, tak ada bayangan manusia, agaknya segenap Tosu dalam kuil itu telah dihimpun seluruhnya ke tanah lapang di depan gedung kelima. Gedung yang kesembilan ini berbeda corak dengan delapan gedung lainnya. Dari kejauhan gedung itu hanya dinding melulu, seputarnya tidak terdapat gedung tambahan ataupun pintu keluar, mirip sebuah gedung manunggal yang berdiri sendiri.
Pendekar Cacat 1225
Tan Sam-cing serta keempat Tosu kecil menuju ke gedung itu, tak lahan Bong Thian-gak bertanya, "Tan-koancu, apakah Keng-tim Suthay sekalian berada di dalam gedung itu?" "Benar," Tan Sam-cing mengangguk, "mereka memang berada dalam gedung ini." Sembari berkata, ketujuh orang itu menelusuri undakundakan batu dan naik ke atas. Setibanya pada undak-undakan terakhir, Bong Thian-gak berdua baru dapat melihat gedung itu ternyata kosong.
Sebelum Bong Thian-gak mengajukan pertanyaan, Tan Sam-cing lelah menjelaskan lebih dahulu, "Di dalam gedung terdapat gua besar yang tembus ruang bawah tanah, gua itu terbagi menjadi sembilan buah lorong yang saling bersilangan dalam perut bumi. Bila seseorang yang tidak mengenal jalan masuk ke situ, mereka akan memasuki sebuah barisan yang membingungkan dan jangan harap dapat keluar lagi dengan selamat." Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru, "Tunggu dulu, jangan masuk." "Ada apa?" tanya Tan Sam-cing seraya berpaling. "Mengapa tak kulihat seorang pun dalam ruangan?"
Pendekar Cacat 1226
Tan Sam-cing tertawa dingin. "Sebelumnya kita telah melewati daerah terlarang, bagaimana mungkin bisa bertemu orang?" "Tan Sam-cing, kami akan menunggu di sini sampai kau mengajak keng-tim Suthay keluar serta membuktikan kebenaran identitas kami, sebelum kami memasuki gedung rahasia dengan barisanmu itu." "Tio-pangcu," kata Tan Sam-cing sambil tertawa dingin, "bila kau takut masuk, lebih baik menunggu di luar saja atau kau memang takut tak bisa keluar lagi dalam keadaan selamat?" Tio Tian-seng segera tertawa. "Aku berani membunuh ketujuh orang muridmu, berarti aku tak takut menghadapi balas dendammu." "Empat puluh tahun berselang, meskipun Tio Tian-seng adalah seorang raja iblis pembunuh manusia yang ditakuti orang, namun Tan Sam-cing masih berani menantangmu bertarung secara blak-blakan." "Tapi kenyataan tempo hari kau menghindari tantanganku untuk berduel," jengek Tio Tian-seng sambil tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1227
"Sepuluh tahun sudah cukup merubah segalanya, siapa tahu justru kaulah yang akan menghindari tantanganku pada hari ini." "Kalau begitu, tunggu saja nanti!"
Tan Sam-cing segera memimpin keempat Tosu kecil melanjutkan perjalanan memasuki gedung. Di ujung gedung terdapat dinding bukit yang rata bagaikan cermin, tiba-tiba Tan Sam-cing menarik sebuah gelang besi tempat obor yang terdapat di dinding. Diiringi suara keras, dinding batu yang datar itu mendadak bergeser ke samping dan terbukalah sebuah pintu rahasia. Dengan langkah cepat Tan Sam-cing dan keempat Tosu kecil melangkah masuk. Menyusul kemudian terdengar lagi suara gemuruh yang sangat keras, dinding batu yang bergeser tadi kini sudah menutup kembali.
Siapa pun tak menyangka kalau di atas dinding batu yang licin bagaikan cermin itu sesungguhnya terdapat sebuah pintu rahasia. Menyaksikan hal itu. Bong Thian-gak menghela napas panjang, katanya, "Bila si tabib sakti
Pendekar Cacat 1228
memang mengolah obat di tempat ini, maka tempat ini memang sebuah tempat yang sangat aman." Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar lagi suara gemuruh pintu terbuka lagi dan Tan Sam-cing melompat keluar dari pintu rahasia dengan wajah tegang. Tergetar perasaan Bong Thian-gak, cepat ia menyongsong sambil menegur, "Tan-locianpwe, apa yang telah terjadi?" "Celaka, telah terjadi peristiwa besar," seru Tan Sam-cing dengan wajah kaget bercampur gugup. "Murid-murid kami yang bertugas melakukan penjagaan di dalam sana telah mati dibunuh orang."
Mendengar itu, Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng serentak menyelinap masuk ke dalam pintu rahasia. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan, di sana terdapat pula perabot rumah tangga, belasan orang Tosu berbaju kuning tampak roboh bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan mengenaskan. Di ujung dinding batu terdapat sembilan buah lorong gua, saat itu keempat Tosu kecil tadi dengan pedang terhunus berjaga di depan mulut tfua, sikap mereka amat serius seakan-akan sedang menghadapi musuh besar.
Pendekar Cacat 1229
Bong Thian-gak dapat merasakan betapa gawatnya situasi waktu itu, maka kepada Tan Sam-cing yang ikut masuk ke dalam ruangan, ia bertanya, "Tan-koancu, si tabib sakti berada dimana?" "Tempat dimana Gi Jian-cau mengolah obat terletak dalam sebuah ruang rahasia di tengah kesembilan lorong itu, Keng-tim Suthay bersama beberapa orang jago lihai Hiatkiam-bun bersama-sama menjaga di situ." Dalam pada itu Tio Tian-seng telah memeriksa setiap mayat yang tergeletak di tempat itu, wajahnya nampak serius, ia berdiri termangu sambil memutar otak memikirkan kejadian yang sedang dihadapinya. "Tio-pangcu, apa yang menyebabkan kematian orang-orang itu?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan suara nyaring.
Sebelum Tio Tian-seng sempat menjawab, Tan Sam-cing telah menjelaskan lebih dulu, "Mereka tewas oleh pukulan tenaga dalam yang hebat dan sempurna, setiap serangan tepat mengenai isi perut." Tio Tian-seng seperti teringat akan sesuatu, ia segera berseru tertahan, lalu membungkukkan badan dan merobek pakaian bagian dada sesosok mayat. Dengan cepat, ia menjerit kaget, "Ah, Hek-mo-ong!"
Pendekar Cacat 1230
Dengan cepat Bong Thian-gak dan Tan Sam-cing memburu ke sana, ternyata di atas dada Tosu itu terdapat sebuah cap tengkorak berwarna hitam. "Apakah lambang tengkorak hitam ini merupakan lambang Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak keheranan.
Sewaktu Tan Sam-cing mendengar kata "Hek-mo-ong", dengan cepat ia menghampiri sesosok mayat yang lain serta merobek pakaian di bagian dada mereka. Ternyata di dada mayat-mayat itu terdapat lambang tengkorak hitam. Paras muka Tio Tian-seng berubah menjadi tak sedap dipandang, pelan-pelan ia berkata, "Tak salah lagi, pembunuhnya adalah Hek-mo-ong, sebab setiap korban yang dibunuh Hek-mo-ong, di dadanya selalu terdapat lambang tengkorak hitam." Setelah berhenti sejenak, kepada Tan Sam-cing ia bertanya, "Hidung kerbau, menurut pendapatmu sudah berapa lama mereka dibunuh?" "Ai, kurang lebih satu jam berselang," kata Tan Sam-cing sambil menghela napas sedih.
Pendekar Cacat 1231
Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang kali. "Tak mungkin begitu lama." "Lantas menurut pendapatmu mereka sudah tewas berapa lama?" "Paling lama setengah jam berselang, paling cepat seperempat jam yang lalu." "Pembunuhnya mungkin masih belum meninggalkan tempat ini," seru Bong Thian-gak kemudian. "Benar," Tio Tian-seng mengangguk. "Jelas orang itu belum meninggalkan gua ini, bisa jadi si pembunuh masih berada dalam lorong gua atau mungkin juga sedang mencelakai jiwa Keng-tim Suthay dan tabib sakti."
Bong Thian-gak segera berkelebat ke depan dan menyerbu ke dalam lorong gua. "Bong-laute, jangan masuk dulu!" cepat Tio Tian-seng berteriak. Bong Thian-gak berhenti seraya berpaling, "Tio-pangcu, bila kita tak segera menghalangi pembunuh itu, akibatnya sukar dibayangkan." "Pembunuh itu mempunyai kepandaian silat luar biasa, lagi pula bersembunyi di dalam gua. Jika Bong-laute masuk ke
Pendekar Cacat 1232
dalam secara sembrono, niscaya keselamatan jiwamu akan terancam." "Betul!" kata Tan Sam-cing pula. "Harap Bong-sicu jangan masuk dulu, dalam gua ini hanya terdapat sebuah pintu masuk, bila pembunuh itu belum pergi dari sini, ia tidak mungkin muncul di tempat ini."
Tio Tian-seng segera menengok sekejap ke arah Tan Samcing, lalu serunya, "He, hidung kerbau, sekarang kau baru percaya kalau dia adalah ketua Hiat-kiam-bun?" Tan Sam-cing menghela napas panjang. "Ai, si pendatang itu bukan hanya membawa tanda kepercayaan ketua Hiat-kiam-bun yakni Pek-hiat-kiam, dia pun cacat lengan kiri dan pincang kaki kanannya, usia hampir sebaya, cara bagaimana Pinto bisa membedakan kepalsuan dirinya?" "Apakah dia datang seorang diri?" tanya Tio Tian-seng lagi dengan kening berkerut. "Masih ada dua orang lagi, seorang gadis berusia dua puluh tahun dan seorang kakek." "Sudah kau lihat jelas paras kakek itu?"
Pendekar Cacat 1233
Tan Sam-cing segera berseru tertahan, "Ah, sudah kulihat, tapi sama sekali tiada gambaran dalam benakku." "Dengan ketajaman mata Tan-koancu, masa kau begitu cepat melupakan ciri wajahnya?"
"Sungguh aneh," Tan Sam-cing menggeleng kepala. "Padahal bila seseorang pernah berjumpa denganku, maka sepuluh tahun lagi pun aku masih dapat mengingatnya, tapi sekarang aku sama sekali tak punya kesan apa pun tentang dirinya." Pada saat itulah dengan wajah kereng dan serius, Tio Tianseng bertanya lagi, "Hei, hidung kerbau, sungguhkah kau tak bisa mengingat muka kakek itu?" Tan Sam-cing menggeleng kepala berulang kali. "Aneh, betul-betul sangat aneh, rasanya orang itu menggerakkan tubuhnya tiada henti waktu itu ... sehingga paras mukanya tak dapat terlihat dengan jelas." "Kalau begitu bisa jadi kakek itu adalah Hek-mo-ong," ucap Tio Tian-seng kemudian dengan wajah serius. "Hek-mo-ong? Rasanya Pinto juga pernah mendengar nama itu."
Pendekar Cacat 1234
"Kapan kau mendengar nama itu? Mendengarnya dari siapa?"
"Sepuluh tahun lalu, Oh Ciong-hu pernah menyinggung nama itu, dia pun menjelaskan kemisteriusan orang itu dan perbuatannya yang buas dan keji." Tio Tian-seng menghela napas sedih. "Ai, sayang sekali Oh Ciong-hu telah tewas, kalau tidak, dialah yang paling jelas mengetahui asal-usul Hek-mo-ong. Tan Sam-cing, apakah Oh Ciong-hu mengatakan kepadamu siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya?" "Sama sekali tidak."
Bong Thian-gak menimbrung dengan suara dalam, "Seandainya Hek-mo-ong dan sekalian pembunuh benarbenar masih berada dalam gua ini, menunggu kedatangan mereka di tempat ini rasanya bukan cara terbaik, entah Hek-mo-ong itu seorang berkepala tiga berlengan enam atau bukan. Bila Tio-pangcu dan Koancu bersedia membantu, Boanpwe yakin masih dapat menghadapi manusia laknat itu." Tio Tian-seng segera mengangguk.
Pendekar Cacat 1235
"Betul, dengan kekuatan kita bertiga, sekalipun ada dua orang Hek-mo-ong yang tangguh pun jangan harap bisa unjuk gigi, yang kukuatirkan sekarang adalah Tan-koancu."
Belum sempat ia mengutarakan kata-kata berikutnya, Tan Sam-cing sudah mendengus dingin sembari menukas, "Hekmo-ong telah membunuh belasan anggota kami, kau anggap Pinto akan melepaskan begitu saja?" "Tapi aku juga telah melukai ketujuh orang muridmu," sambung Tio Tian-seng. Tan Sam-cing segera tertawa dingin, "Dendam sakit hati ini pasti akan kutuntut balas, aku tahu Tio Tian-seng tentu mengetahui hal ini dengan jelas." "Yang kukuatirkan kau si hidung kerbau akan memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk membalas dendam. Bila hal itu sampai terjadi, hari ini aku benar-benar akan keok di tempat ini." "Aku pasti akan membunuh Hek-mo-ong lebih dahulu sebelum mencari balas kepadamu," seru Tan Sam-cing sambil tertawa dingin.
Mendengar pembicaraan yang berlangsung antara kedua orang itu, Bong Thian-gak terkesiap, segera pikirnya,
Pendekar Cacat 1236
"Tampaknya Tosu tua ini seorang licik yang banyak akal muslihatnya, jelas dia bukan dari golongan lurus." Berpikir sampai di sini, tiba-tiba Bong Thian-gak melompat ke depan dan menerobos masuk ke dalam gua nomor lima yang tepat berada di tengah. "Bong-laute, tunggu dulu!" lekas Tio Tian-seng berseru dengan gelisah. Tanpa berpaling, Bong Thian-gak menyahut lantang, "Harap Tio-pangcu berjaga-jaga di luar saja, jangan biarkan pembunuh itu melarikan diri, masalah dalam lorong biar kuhadapi seorang diri!" Selesai berkata, Bong Thian-gak telah kabur ke dalam gua.
Suasana di dalam lorong gua gelap-gulita sehingga sukar untuk melihat kelima jari tangan sendiri. Ketika Bong Thiangak sudah masuk dan belum jauh, di hadapannya sudah terbentur dinding batu, ternyata lorong itu berakhir sampai di situ, sedangkan di sisi kiri kanannya masing-masing terdapat lorong cabang yang entah berhubungan dengan mana, sedangkan bagian tengah adalah dinding batu. Waktu itu Bong Thian-gak sangat menguatirkan jiwa Kengtim Huthay dan si tabib sakti, buru-buru dia berbelok menuju ke arah lorong gua sebelah kanan.
Pendekar Cacat 1237
Berjalan tak jauh pula, gua tadi terbagi lagi menjadi tiga cabang, kali ini Bong Thian-gak dibuat termangu, tapi kemudian dia memilih meneruskan perjalanannya dengan menempuh gua sebelah tengah.
Kembali ia menempuh perjalanan, lorong pun terpecah lagi menjadi empat cabang, ia memilih sebuah lorong di antaranya. Lorong bawah tanah yang gelap dan menyeramkan menimbulkan perasaan ngeri bagi siapa pun, gua itu entah berapa dalamnya dan masih terdapat berapa banyak cabang lagi? Setelah menempuh perjalanan sekian lama, Bong Thian-gak merasa dirinya tersesat. Setiap kali mencapai persimpangan jalan, terpaksa ia mesti memilih satu di antaranya untuk melanjutkan, tapi lelelah ditempuh dan menyelusuri sekian waktu, dia merasa balik ke posisi semula.
Hal itu segera menimbulkan perasaan menyesal di hati kecilnya, ia tersesat. Kemanakah dia harus pergi mencari Keng-tim Suthay serta si tulah sakti Gi Jian-cau?
Pendekar Cacat 1238
Mendadak Bong Thian-gak seperti menangkap suara langkah yang sangat lirih, suara itu datang menuju ke arahnya. Bong Thian-gak pura-pura tidak merasakan hal itu, dia masih melanjutkan langkahnya setindak demi setindak ke arah depan. Siapa sangka suara langkah itu mengintilnya dan tiba-tiba lenyap begitu saja. Bong Thian-gak dibuat tertegun dan segera menghentikan langkah sembari berpaling. la menangkap sesosok bayangan orang berbaju hitam yang kecil ramping telah berdiri di belakang tubuhnya.
Lorong bawah tanah yang gelap gulita sudah barang tentu tak memungkinkan baginya untuk melihat raut wajah lawan secara jelas, tapi sorot mata lawan justru seperti dua titik cahaya bintang yang sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip. "Siapa kau?" Bong Thian-gak menegur. Orang berbaju hitam itu tidak menjawab, tapi Bong Thiangak dapat merasakan segulung angin pukulan berhawa dingin menyergap dirinya secara diam-diam.
Pendekar Cacat 1239
Bong Thian-gak segera membentak, telapak tangan kirinya diayun ke muka sekuat tenaga, sementara tubuhnya mengikuti gerak serangan itu bergeser ke samping. Terasa ada senjata rahasia yang terbang melalui sisi tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun, senjata rahasia itu akhirnya menerjang dinding gua hingga permukaan dinding berguguran ke tanah.
Dengan terkejut Bong Thian-gak lantas berpikir, "Sungguh berbahaya! Serangan senjata lawan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Coba kalau aku tidak menggeser ke samping, bukankah senjata rahasia itu akan bersarang di tubuhku secara telak?" Ketika ia mencoba mendongakkan kepala, orang berbaju hitam itu nampaknya sudah berubah posisi. Sekali lagi Bong Thian-gak membentak, "Siapa kau? Bila tak mau bersuara, jangan salahkan bila aku berbuat kurangajar kepadamu!" Orang berbaju hitam itu masih juga belum bersuara, Bong Thian-gak mengerahkan tenaga dalam secara diam-diam, kemudian dengan cepat melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke depan.
Pendekar Cacat 1240
Serangan itu dilepaskan dengan hebat, tatkala angin serangan menderu, sesungguhnya kekuatan serangan sendiri telah mencapai setengah tombak ke hadapan musuh, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menghindar. Namun orang itu memang terhitung jago silat berilmu tinggi, di saat angin serangan mulai menderu bagai amukan angin puyuh, tahu-tahu orang itu telah bergeser. Bong Thian-gak baru tahu, bisa jadi orang ini adalah salah satu di antara ketiga pembunuh yang dimaksud Tan Samcing tadi, karenanya ia menggerakkan tubuh dan mendesak maju secara garang. Lengan tunggalnya kembali diayun, telapak tangan yang tajam bagaikan babatan mata golok langsung diayunkan menghantam dada musuh. Kecepatan serangan Bong Thian-gak sudah merajai persilatan dan jarang sekali ada musuh yang mampu lolos. Kenyataan biarpun kecepatan serangan Bong Thian-gak sangat mengagumkan, ancaman itu iuma mengenai tempat kosong. Orang itu segera berkelebat, kali ini tangannya yang halus mulus seakan menggenggam benda yang secara langsung dihujamkan ke arah dadanya.
Pendekar Cacat 1241
Bong Thian-gak amat terperanjat, serangan musuh sangat aneh dan hebat, rasanya mustahil untuk membendung ancaman itu. Bong Thian-gak berseru tertahan, dadanya seperti dicap hingga roboh terjengkang ke belakang. Tapi bersamaan pula Bong Thian-gak mengayunkan kaki kanan dilepaskan sebuah tendangan kilat ke depan. Jeritan kaget segera berkumandang, tubuh orang berbaju hitam yttiK kecil mungil itu seketika tertendang oleh Bong Thian-gak hingga mencelat ke belakang sana. Begitu tubuhnya menumbuk dinding batu, segera roboh ke tanah. Dengan gerakan yang sangat cepat Bong Thian-gak melejit dan menerjang ke arah orang itu. Telapak tangan tunggalnya diputar dan mencengkeram urat nadi tangan kiri lawan. Dalam anggapan Bong Thian-gak, orang itu terkena tendangannya hingga roboh terjengkang, berarti serangan yang dilancarkan olehnya sudah pasti berhasil membekuk musuh. Siapa tahu pada saat itulah, kakinya yang kecil mendadak diayun ke muka dan menghantam tubuh Bong Thian-gak hingga jatuh terjerembab ke sisi kanan.
Pendekar Cacat 1242
Orang itu menghunus pisau belati yang bersinar tajam, kemudian sambil melejit dari atas tanah menyergap Bong Thian-gak. Seketika timbul hawa membunuh Bong Thian-gak, sebenarnya namun serangan yang dilancarkan cukup hatihati, sebab diketahuinya lawan adalah seorang wanita, dia enggan melancarkan serangan ganas untuk menyakiti musuhnya itu. Tapi setelah mengetahui betapa sukarnya menaklukkan lawan, mau tak mau dia mesti mempersiapkan serangan yang jauh lebih ganas dan buas, sebab ia tahu, bila tidak, hal itu tak mungkin akan berhasil. Sambil mendengus dingin Bong Thian-gak mengayun telapak tangannya dan secara beruntun melancarkan tiga serangan berantai. Semua ancaman dilancarkan tanpa menimbulkan sedikit suara pun, tapi justru serangan itu merupakan ancaman yang dahsyat, dan mengerikan. Perempuan berbaju hitam menjerit kesakitan, tubuhnya mundur sempoyongan kemudian membalikkan badan dan melarikan diri ke arah lorong gua. "Kau anggap masih bisa melolos diri?" jengek Bong Thiangak dengan suara dingin.
Pendekar Cacat 1243
Dengan cepat ia melompat ke depan dan melakukan pengejaran secara ketat. Tapi hanya selisih satu langkah saja, perempuan berbaju hitam itu sudah menyelinap ke balik sebuah cabang lorong gua yang gelap dan menyembunyikan diri di balik kegelapan sana. Tak terlukiskan rasa dongkol Bong Thian-gak menghadapi itu, sambil menggebrak tanah, dia mengumpat tiada hentinya, "Pelacur busuk, akan kulihat kau bisa kabur sampai dimana?" Lorong demi lorong segera diperiksa dan digeledahnya secara seksama dan teliti. Namun bukan saja ia tak berhasil mengejar gadis berbaju hitam itu, ia pun gagal menemukan lorong menuju keluar, pemuda itu tersesat dalam lorong rahasia yang membingungkan itu. Sudah hampir satu jam ia menelusuri lorong bawah tanah, rasanya kaki sudah linu dan kaku, akhirnya setelah menghela napas panjang ia duduk di atas tanah. Sekarang baru timbul perasaan gugup bercampur ngeri dalam hati pemuda itu. Pikirnya, "Sekarang aku terkurung di sini, bila tiada orang yang menolong, bukankah aku bakal mati kelaparan dalam lorong sialan ini."
Pendekar Cacat 1244
Tiba-tiba ia menangkap suara rintihan lirih berkumandang dari depan, rintihan itu segera memutus lamunannya. Serta-merta anak muda itu memeriksa dan memandang sekeliling tempat itu. Akhirnya ia lihat seseorang sedang duduk bersandar di dinding gua. Bong Thian-gak segera menyilangkan telapak tangannya untuk melindungi dada, lalu selangkah demi selangkah menghampiri. Dugaannya memang tidak meleset, dia adalah seorang perempuan berbaju hitam. Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu memuntahkan darah segar, lalu dengan suara lirih ia berkata, "Jika kau berani mendekat lagi, segera Akan kulontarkan peluru api Leng-hwe-tan." Baru saja kata-kata itu selesai diutarakan, Bong Thian-gak sudah mendesak ke muka, kelima jari tangannya bagaikan cakar elang tahu-tahu sudah mencengkeram urat nadinya. "Sayang sekali tindakanmu terlampau lambat," ia menjengek uimbil tertawa dingin, "lagi pula kau pun tidak memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tanganmu." Memang benar perempuan berbaju hitam itu tidak memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tangannya.
Pendekar Cacat 1245
Urat nadi adalah alat penggerak peredaran darah, apabila urat Audi dicengkeram, maka segenap kekuatan akan lenyap, apalagi gadis (tu memang pada dasarnya telah kehilangan kekuatan untuk melakukan perlawanan. "Siapa kau?" akhirnya perempuan itu menegur dengan suara gemetar. Bong Thian-gak tertawa dingin. "Aku justru ingin bertanya kepadamu, siapa kau?" "Aku adalah Sam-buncu Hiat-kiam-bun," suara perempuan itu masih gemetar. "Hm, siapa yang mau percaya begitu saja?" jengek Bong Thian-gak sambiI tertawa dingin. "Kumohon padamu, cengkeramanmu?"
bersediakah
kau
melepas
"Boleh saja, asal kau bersedia juga menjawab pertanyaanku secara terus terang." "Apa yang hendak kau tanyakan? Cepatlah kau ajukan!" "Sesungguhnya berapa banyak anggota komplotanmu yang sudah menyelundup ke dalam lorong bawah tanah ini?" "Komplotan? Komplotan apa?" Bong Thian-gak kembali tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1246
"Komplotan Hek-mo-ong, komplotan yang berniat datang kemari untuk membunuh si tabib sakti Gi Jian-cau." "Ah!" perempuan itu berseru tertahan, lalu buru-buru bertanya, "Siapa kau? Cepat katakan!" "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak." Baru selesai ia berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan datangnya segulung angin pukulan yang maha dahsyat menyergap tiba dari arah belakang tanpa menimbulkan suara.
Serta-merta Bong Thian-gak melepaskan cengkeraman pada urat nadi tangan kanan perempuan itu, kemudian dengan cekatan berkelit ke samping untuk menghindarkan diri. Suatu benturan keras segera berkumandang, menyusul jeritan ngeri yang menyayat hati. Ternyata angin pukulan yang amat keras dan dahsyat itu persis menghajar tubuh perempuan berbaju hitam itu. Di saat tubuhnya berkelit ke samping tadi, Bong Thian-gak telah mengayunkan pula telapak tangannya dengan kecepatan luar biasa.
Pendekar Cacat 1247
Kembali menggema suara ledakan keras yang memekakkan telinga, seseorang dengan tertawa licik yang dingin dan menggidikkan segera berkelebat dan lenyap di balik kegelapan sana. Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka serangannya yang cepat ternyata gagal melukai musuh, dia siap menerjang kembali, namun musuh telah kabur menyelamatkan diri. Untuk beberapa saat lamanya Bong Thian-gak tertegun dan berdiri termangu-mangu, kemudian ia membalikkan badan memeriksa keadaan perempuan berbaju hitam itu. Siapa tahu perempuan tadi sudah tergeletak lemas di atas tanah, tergeletak dalam keadaan tak bernyawa. Baru sekarang Bong Thian-gak mengerti, rupanya tujuan serangan orang tadi adalah menghilangkan saksi hidup. Memandang mayat yang tergeletak di hadapannya ini Bong Thian-gak menghela napas sedih, gumamnya tanpa terasa, "Bila arwahmu bisa tahu, sudah tentu kau tahu siapakah orang yang telah membunuhmu, dia adalah rekanmu sendiri." Bong Thian-gak masih menganggap perempuan berbaju hitam itu adalah rekan Hek-mo-ong, ia masih ragu dia adalah Sam-hubuncu Hiat-kiam-bun. Lorong bawah tanah itu kembali dicekam suasana seram, ngeri nerta menggidikkan.
Pendekar Cacat 1248
Bong Thian-gak mengerti di dalam lorong bawah tanah itu masih tersembunyi beberapa orang musuh yang setiap saat bisa melancarkan sergapan ke arahnya, oleh sebab itu ia meningkatkan kewaspadaan nambil pelan-pelan bergerak maju. Mendadak Bong Thian-gak menangkap lagi suara langkah yang bergerak mendekat dari sembilan penjuru yang berbeda. Saat itu Bong Thian-gak sedang berdiri di tengah sembilan buah persimpangan. Dengan wajah serius dan memusatkan perhatian, matanya yang dingin dan tajam mengawasi ke sekeliling tempat itu. Terasa olehnya dari balik sembilan lorong gelap dan mengerikan itu masing-masing berdiri seorang, delapan belas buah sorot mata yang tajam seperti api setan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip. Dengan terkejut Bong Thian-gak berpikir, "Bukankah menurut keterangan Tan Sam-cing dalam lorong bawah tanah ini hanya terdapat tiga orang musuh saja? Mengapa sekarang ada begitu banyak?" Ia pun mendehem beberapa kali, kemudian menegur, "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun Bong Thian-gak, apakah sobat bersembilan adalah anggota perguruan di bawah pimpinan Tan-koancu dari kuil Sam-cing-kuan?"
Pendekar Cacat 1249
Dalam hati pemuda itu kembali berpikir, "Jangan-jangan orang-orang ini dikirim Tan Sam-cing untuk mencari diriku atau mungkin juga datang mencari si pembunuh keji Hekmo-ong." Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, tiba-tiba ia merasakan datangnya sembilan gulungan angin pukulan dahsyat yang dilontarkan secara bersama-sama, deru angin tajam yang memekakkan telinga segera menyapu datang dengan dahsyatnya. Bong Thian-gak dapat menangkap keanehan di balik deru angin pukulan itu, ia tak berani berdiri di tengah arena menyongsong datangnya ancaman, maka sambil bergeser ke samping, pemuda itu langsung menerjang ke salah seorang di depannya. Tindakan yang diambilnya sekarang sungguh cerdas, andaikata ia masih berdiri di tengah persimpangan jalan menghadapi datangnya ancaman, betapa pun sempurnanya tenaga dalam yang dimilikinya akan sulit baginya membendung tenaga gabungan sembilan orang. Dalam sekejap mata lorong itu sudah dipenuhi oleh suara deru angin pukulan yang kencang, dahsyat dan mengerikan. Desingan angin berpusing serta pantulan tenaga pukulan yang menimbulkan suara benturan yang sangat memekakkan telinga.
Pendekar Cacat 1250
Bong Thian-gak menggerakkan lengan tunggalnya dan bertarung sebanyak tiga-empat jurus dengan orang yang berada di lorong itu. Begitu bentrokan terjadi, Bong Thian-gak segera dapat merasakan betapa lihainya ilmu silat yang dimiliki lawan, semua serangan berantai yang dilepaskannya secara beruntun berhasil dihindari lawan secara mudah. Orang yang berada di dalam lorong rahasia itu cukup licik dan cerdik, sambil menahan datangnya ancaman, dengan cepat ia mundur. "Siapa kau?" dengan suara lantang Bong Thian-gak segera membentak. "Bila kau tak mengemukakan identitasmu, jangan salahkan bila aku melancarkan serangan keji." Bong Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya enam bagian, namun musuh tetap tak bersuara, malah membalikkan badan dan kabur. Habis sudah kesabaran Bong Thian-gak, dengan menghimpun tenaga yang dahsyat ia melepaskan dua bacokan kilat ke depan. Angin pukulan meluncur ke depan, terdengar dengusan tertahan dan orang yang melarikan diri itu jatuh terjengkang ke atas tanah, tak bangun kembali untuk selamanya.
Pendekar Cacat 1251
Bong Thian-gak menerkam ke depan lalu mencengkeram urat nadi lawan, tapi denyut nadi orang sudah berhenti, jiwanya telah kembali ke akhirat. Seruan kaget bergema, agaknya dalam kegelapan itu Bong Thian-gak lelah menemukan orang itu tak lain adalah seorang Tosu tua. Siapakah mereka? Mungkinkah anak murid Tan Sam-cing? Tapi mengapa mereka masih melancarkan serangan meski sudah kusebutkan namaku? Dengan terkesiap Bong Thian-gak berpikir, "Jika kesembilan orang yang menyerang tadi adalah kawanan Tosu Sam-cingkoan, berarti usahaku untuk lolos dari gua ini akan menjumpai kesulitan besar." Saat itu pikiran dan perasaan Bong Thian-gak sangat kalut, ia tak habis mengerti orang yang berada dalam lorong rahasia itu sebenarnya kawan atau lawan. Ia menduga bisa jadi kesembilan Tosu yang menyerang dirinya tadi adalah jago-jago lihai Sam-cing-koan yang ditugaskan untuk melindungi si tabib sakti Gi Jian-cau mengolah obat. Mungkin saja mereka telah salah mengira dirinya sebagai komplotan pembunuh Hek-mo-ong. Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak pun merasa tekateki yang semula menyelimuti perasaan kini telah
Pendekar Cacat 1252
memperoleh jawaban yang benar, rasa menyesal karena membinasakan seorang sahabat pun segera timbul dalam hati kecilnya. Tanpa terasa ia membungkukkan badan dan memberi hormat hormat jenazah itu, kemudian berdoa di hadapannya bagi ketenteraman arwah Tosu tadi. Suasana di lorong bawah tanah kembali tercekam dalam sepi dan aman, begitu sepinya hingga mirip kuburan. Bong Thian-gak bersila di atas tanah dengan perasaan tenang, ia mencoba mengatur napas dan sekali lagi terdengar bergemanya suara langkah kaki dari balik lorong. ***
Pendekar Cacat 1253
16 NYAMUK BERACUN WILAYAH BIAU
S
uara langkah kaki itu seakan-akan bergema dari jauh, suaranya sangat lirih dan lembut, jika ia tidak sedang bersemedi tak nanti bisa menangkap suara itu.
Bong Thian-gak terkejut, tentu ada jago lihai yang mempunyai Ilmu tinggi sedang bergerak mendekat, malah bisa jadi orang itu adalah Hek mo-ong yang misterius. Teringat pembunuh itu, Bong Thian-gak segera memusatkan segenap kemampuan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Bong Thian-gak tahu orang itu sudah memasuki lorong bawah tanah dimana ia berada sekarang dan selangkah demi selangkah sedang berjalan mendekat.
Pendekar Cacat 1254
Mendadak orang itu menghentikan langkah, rupanya dia pun sudah merasakan kehadiran seseorang di tempat itu. Ia tahu Bong Thian-gak adalah seorang jago lihai berilmu tinggi, semestinya ia sudah menangkap suara dengus napas dari jauh, kenyataan ia baru mendengar setelah jarak sudah dekat. Kedua belah pihak segera menghimpun tenaga dalam masing-masing sambil menunggu kesempatan melancarkan serangan kilat.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama menunggu sampai pihak lawan melancarkan serangan lebih dulu, tapi kedua orang itu sama-sama enggan menyerang lebih dulu. Semakin lama kedua belah pihak semakin tak berani melancarkan serangan lebih dulu. Pertarungan jago-jago yang berilmu tinggi seringkah menang-kalah hanya ditentukan oleh selisih yang kecil sekali, apalagi bila kedua belah pihak sudah tahu musuh menghadapi serangan dengan ketenangan, maka barang siapa berani melancarkan serangan lebih dulu, enam puluh persen dia berada dalam posisi kalah. Itulah sebabnya terpaksa kedua belah pihak saling menunggu.
Pendekar Cacat 1255
Pada saat itulah mendadak Bong Thian-gak merasakan tibanya rombongan lain yang berjalan mendekat dari belakang tubuh orang itu. Agaknya orang itu pun sudah merasakan hal itu. Dengan demikian posisi menjadi menguntungkan bagi orang itu.
sangat
tidak
Bong Thian-gak yang melihat keadaan itu berpikir dalam hatinya, "Kemungkinan besar orang yang sedang bergerak mendekat itu adalah delapan orang Tosu yang menyergapku tadi, jika orang di depanku sekarang adalah Hek-mo-ong, maka dia tentu akan membalikkan badan menyerang kawanan Tosu yang mendekat itu."
Suasana dalam arena makin bertambah tegang, kini kawanan Tosu yang menghampiri tempat itu sudah semakin mendekat. Mendadak pertarungan berkobar dengan cepat. Ternyata orang itu membalikkan badan sambil melompat ke depan. Bong Thian-gak membentak, menyergap orang misterius itu.
tubuhnya
melayang
Pendekar Cacat 1256
Terjangan Bong Thian-gak pada hakikatnya dilakukan dengan cepat dan garang. Tapi kawanan musuh yang menerjang dari belakang tubuh orang misterius itu tiba lebih cepat. Di tengah kegelapan terdengar suara bentrokan demi bentrokan berkumandang tiada hentinya. Lalu sesosok demi sesosok orang mencelat ke belakang sambil mendengus dan mengeluh kesakitan, satu demi satu roboh terkapar. Telapak tangan kanan Bong Thian-gak secepat sambaran kilat langsung menyodok ke dada orang misterius itu.
Orang misterius itu tak berani menyongsong datangnya ancaman Bong Thian-gak dengan kekerasan, dia bergeser mundur tapi di belakang tubuhnya sudah dinding batu, padahal babatan maut Bong Thian-gak telah meluncur datang. Jalan mundur sudah tetutup, terpaksa orang misterius itu harus menggerakkan sepasang lengannya membendung datangnya ancaman tadi. Siapa sangka gerak serangan yang dilancarkan Bong Thiangak uneh sekali, gerak serangannya tiba-tiba menyelinap ke samping dan berubah menjadi sodokan kepalan yang
Pendekar Cacat 1257
langsung meninju jalan darah khi-hay-hiat di lambung musuh.
Biarpun Bong Thian-gak dapat merubah serangannya dengan tepat, namun reaksi orang misterius itu pun cukup cepat, kaki kanannya segera diangkat ke atas. Sodokan tinju yang dilancarkan menghantam lutut lawan.
Bong
Thian-gak
Akibatnya orang misterius itu roboh ke sisi kanan. Bong Thian-gak membentak, sekali lagi telapak tangan kirinya melancarkan sebuah bacokan. Serangan yang dilancarkan BongThian-gak kali ini menggunakan tenaga dalam delapan bagian. Selain cepat, serangan itu pun ganas, kecuali pihak lawan menyambut ancaman itu dengan kekerasan, tiada cara lain yang bisa dipakai untuk meloloskan diri dari ancaman itu. Telapak tangan kembali saling beradu. Bong Thian-gak segera merasa hawa darah dalam dada bergolak, ia mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
Sejak terjun ke dalam persilatan, baru pertama kali ini Bong Thian-gak menjumpai lawan yang memiliki tenaga dalam
Pendekar Cacat 1258
lebih tangguh dari kemampuannya. Dari bentrokan itu ia merasa isi perutnya menderita sedikit luka. Tampaknya orang misterius itu pun dibuat tergetar keras dadanya hingga darah bergolak, lama sekali ia berdiri mengatur pernapasan, kemudian dengan suara berat berkata. "Hai, seandainya berganti orang lain, mungkin aku sudah mati di ujung tangan Bong-laute sejak tadi." "Ah, kau adalah Tio-pangcu?" seru Bong Thian-gak kaget. "Ya, memang aku."
Bong Thian-gak segera melompat bangun sambil berseru, "Harap Tio-pangcu sudi memaafkan, Boanpwe tidak tahu kau orang tua yang sedang kuhadapi." "Siapa pun dalam lorong bawah tanah yang gelap ini, tak akan terhindar dari kesalah-pahaman, karena kita tidak bisa membedakan kawan dan lawan bukan?" "Tio-pangcu, tahukah kau siapa saja yang telah kau bunuh?" tanya Bong Thian-gak sambil menghela napas. "Para anggota kuil Sam-cing-koan." Jawaban itu kembali membuat Bong Thian-gak tertegun. "Kalau Tio-pangcu sudah mengetahui identitas mereka, mengapa menghabisi nyawa mereka "
Pendekar Cacat 1259
"Mereka sudah berulang kali menyergap diriku, sekarang sudah berubah jadi musuhku. Apakah kita mesti berpeluk tangan menunggu datangnya kematian?" "Sudah berapa lama Tio-pangcu datang kemari?" "Sesaat setelah kau masuk, aku pun segera menerobos masuk ke lorong lain." "Apakah Tio-pangcu telah berjumpa dengan kawanan pembunuh Hek-mo-ong?" "Aku sudah menjumpai banyak penyergap," sahut Tio Tiang-seng dengan suara dalam, "tapi semuanya adalah kaum Tosu, sekarang aku mulai curiga." "Apakah yang Tio-pangcu curigai?" "Aku curiga Tan Sam-cing telah berbohong." "Apa yang dia bohongkan?" "Sudah kau jumpai Hek-mo-ong dalam lorong gua ini?" "Aku cuma bertemu seorang perempuan berbaju hitam, agaknya dialah salah seorang wanita pembunuh seperti yang dilukiskan oleh Tan-koancu." "Coba kau terangkan duduk persoalannya kepadaku."
Pendekar Cacat 1260
Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan pengalamannya sejak berjumpa perempuan berbaju hitam itu.
Seusai mendengar penuturan itu, Tio Tian-seng menghela napas, katanya, "Bisa jadi orang yang ditemui Bong-laute adalah Sam-hubuncu perguruanmu." "Apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. Tio Tian-seng termenung sambil berpikir, kemudian sahutnya, "Seandainya dalam lorong ini benar-benar terdapat Hek-mo-ong dan komplotannya sebagai pembunuh, maka Sam-hubuncu perguruanmu pasti mengetahui, tatkala ia mendengar kau menyinggung Hekmo-ong, sikapnya justru menunjukkan asing dan tidak tahumenahu." "Tio-pangcu tidak yakin Hek-mo-ong ada dalam lorong ini?" tanya Hong Thian-gak lagi dengan terkejut. "Soal ini aku sendiri tidak berani memastikan, tapi aku merasa Tan Sam-cing mempunyai niat jahat."
"Jadi menurut Tio-pangcu, kawanan penyerang ini adalah pembunuh yang dikirim Tan Sam-cing untuk menghabisi nyawa kita?"
Pendekar Cacat 1261
"Jika Tan Sam-cing tak bermaksud berbuat demikian, seharusnya illa sudah masuk lorong gua serta mengajak kita keluar dari sini!" "Tapi apa salahnya jika dia tetap berjaga-jaga di luar? Bukankah maksudnya hendak menghalangi Hek-mo-ong sekalian meloloskan diri dan sini?" "Bukankah Tio-pangcu telah membuktikan bahwa para korban yang tewas di luar gedung itu akibat pukulan tengkorak Hek-mo-ong." "Sekarang kita berada dalam keadaan berbahaya, aku curiga Tan Sam-cing sekomplotan dengan Hek-mo-ong."
Bong Thian-gak semakin terperanjat, serunya kemudian, "Bila apa yang kau katakan memang benar, bukankah keadaan Gi Jian-cau serta Keng-tim Suthay terancam bahaya?" "Kemungkinan besar Gi Jian-cau belum mampus. Sekalipun Hek-mo-ong berhasil menemukannya, belum tentu terbunuh di tangannya, namun selain si tabib sakti seorang, sudah tentu musuh tak segan turun tangan keji terhadap mereka." Semakin mendengar Bong Thian-gak semakin terperanjat, dia bertanya, "Sekarang apa yang mesti kita lakukan?"
Pendekar Cacat 1262
"Tentu saja harus mencari akal agar bisa mengundurkan diri dari tempat ini." "Aku telah menelusuri lorong bawah tanah, namun sampai sekarang masih belum juga berhasil menemukan pintu keluarnya." "Sewaktu aku masuk tadi, sepanjang jalan telah kutinggali tanda rahasia. Ayo, Bong-laute, ikuti diriku!"
Bong Thian-gak merasa kagum atas kecerdasan Tio Tianseng, katanya, "Untung aku bertemu Tio-pangcu, kalau tidak, bisa jadi selama hidup aku tak akan berhasil meninggalkan tempat ini." "Bisa jadi kita akan menghadapi sergapan yang membahayakan jiwa kita, dalam menempuh perjalanan nanti paling baik jangan sampai menimbulkan sedikit suara pun." "Baik," sahut Bong Thian-gak sambil mengangguk. Kembali Tio Tian-seng berpesan, "Seandainya kita mendapat sergapan musuh tangguh, jangan sekali-kali kau meninggalkan aku terlampau jauh, apabila sampai kehilangan kontak, aku mesti membuang banyak waktu mencari jejakmu, bila sampai kita berpisah misalnya, paling baik jika kau menanti kedatanganku di tempat semula."
Pendekar Cacat 1263
Sambil bicara, Tio Tian-seng sudah melangkah, sementara Bong Thian-gak mengikut di belakangnya. Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkahnya. Bong Thian-gak pun menghentikan langkah, didengarnya suara peringatan Tio Tian-seng yang dikirim dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara, "Kini musuh tangguh telah menampakkan diri, bisa jadi orang itu adalah Hek-mo-ong, hati-hatilah!"
Bong Thian-gak mengangkat kepala serta mengalihkan pandangan ke arah lorong yang gelap gulita, tampak olehnya seseorang berdiri angker di situ. Sinar mata tajam mencorong dari balik matanya, agaknya tenaga dalam orang itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan. "Mungkin orang itu adalah Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan ilmu menyampaikan suara. "Rasa-rasanya mirip Hek-mo-ong," jawab Tio Tian-seng agak tegang. "Sayang kita bertemu di lorong bawah tanah, mustahil buat aku menggunakan pedang. Wah ... celaka! Aku bisa dipaksanya berada di bawah angin."
Pendekar Cacat 1264
Mendengar suara berat yang terpancar keluar dari mulut Tio Tian-seng, kata Bong Thian-gak, "Mengapa kita tidak bekerja sama?" "Kepandaian silat Hek-mo-ong yang paling hebat adalah pukulan tengkorak penggempur hati. Di kolong langit dewasa ini masih belum ada seorang pun yang sanggup menghindari serangan jarak dekatnya, oleh sebab itu bila bertempur melawannya, bagaimana pun juga jangan memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati kita, karena begitu ilmu pukulan tengkorak penggempur hati dilontarkan, tiada orang yang bisa membendungnya, sebab itu kuanjurkan kepadamu janganlah bertarung kelewat emosi melawannya." "Sekarang bisa jadi dia belum mengetahui kehadiranmu di belakangku, maka aku ingin mempraktekkan taktik perlawanan yang amat jitu. Di saat kulancarkan pukulan, bergeserlah kau ke sisi kiri, lalu dengan menempatkan diri ke posisi belakang, lepaskanlah sebuah serangan yang paling dahsyat ke arahnya ...."
Belum habis ucapan Tio Tian-seng, bayangan iblis di hadapannya unilah bergerak mendekat. Orang itu baru saja bergerak, namun tahu-tahu sudah berada di hadapannya.
Pendekar Cacat 1265
Tio Tian-seng segera membentak, telapak tangannya diayunkan bersama, dua gulungan angin pukulan yang sangat dahsyat serta-merta menggulung ke muka dengan dahsyatnya. Bersamaan waktunya, Tio Tian-seng segera bergeser ke sisi kiri. Sementara itu Bong Thian-gak seperti sukma gentayangan telah meluncur ke muka serta menggantikan kedudukan Tio Tian-seng, segulung angin pukulan yang sangat dahsyat segera dilontarkan ke depan.
Sungguh tak nyana kepandaian silat iblis itu sangat luar biasa, tatkala kedua gulung angin pukulan dahsyat Tio Tianseng membentur tubuhnya, dia segera mengebaskan tangan kirinya serta memunahkan ancaman itu. Bersamaan waktunya, mendesak maju.
secepat
sambaran
kilat
dia
Tapi serangan kilat yang dilepaskan Bong Thian-gak benarbenar di luar dugaannya. Dalam gugup dan cemasnya, orang itu segera melepaskan sebuah serangan lagi dari jarak dekat.
Pendekar Cacat 1266
Tio Tian-seng dapat menyaksikan jalannya pertarungan dengan jelas, ia segera membentak, pedang yang digembol di punggungnya segera dilolos, lalu ia lepaskan sebuah tusukan kilat ke muka. "Trang", bentrokan keras bergema disusul munculnya percikan bunga api. Iblis itu mendengus tertahan, badannya terhajar oleh Bong Thian-gak hingga mencelat ke belakang. "Hendak kabur kemana kau?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Dia mengejar ke depan dan persis menghadang di depan iblis itu. Lengan tunggal Bong Thian-gak segera melancarkan serangkaian serangan. Angin pukulan yang dahsyat dan kencang, bagaikan sayatan pedang mendesak iblis itu mundur ke arah dinding gua.
Pada saat itulah Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng dari kiri kanan pelan-pelan mendesak maju. Pedang dalam genggaman Tio Tian-seng nampak memancarkan cahaya di balik kegelapan, setitik cahaya bagaikan sinar kunang-kunang dalam pandangan Bong Thian-gak berubah bagai cahaya yang terang benderang.
Pendekar Cacat 1267
Sekarang mereka sudah dapat melihat dengan jelas iblis itu, ternyata seorang berkerudung berbaju hitam, tangan kanannya nampak menggunakan sarung tangan, berbentuk tengkorak manusia berwarna putih.
Tio Tian-seng menghentikan langkah di hadapan orang itu, kemudian sambil tertawa dingin ia bertanya, "Kau adalah anak buah Hek-mo-ong?" Iblis itu tidak menjawab, hanya matanya memancarkan bayangan aneh mengawasi Bong Thian-gak di sisi kiri dengan tak berkedip. "Hek-mo-ong sudah datang belum?" bentak Tio Tian-seng lagi. Kali ini iblis itu menjawab, namun suaranya amat menggidikkan, "Suatu saat kalian pasti akan mampus di tangan Hek-mo-ong." Selesai berkata, tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang.
Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tertegun menghadapi situasi demikian, untuk sesaat mereka tak tahu apa yang akan dilakukan.
Pendekar Cacat 1268
Mendadak Tio Tian-seng menggerakkan pedang melepas sebuah tusukan ke depan. Iblis itu sama sekali tak menghindar, pedang langsung menembus dadanya. "Ah, dia telah mampus!" seru Bong Thian-gak tertegun. Setelah pedangnya menembus dada orang itu, Tio Tianseng turut mendesak maju, dengan cepat tangannya menyingkap kain kerudung yang menutupi wajahnya. Noda darah masih meleleh dari bibirnya.
Tio Tian-seng adalah seorang jago silat kawakan, menyaksikan hal ini segera ia menghela napas, katanya, "Serangan Bong-laute benar-benar tajam dan dahsyat, isi perutnya telah kau pukul hancur." "Ai, nyatanya orang itu masih sanggup bertahan sekian lama setelah menerima pukulanku sebelum mampus. Kehebatan ilmu silatnya benar-benar sangat mengerikan!"
"Mungkin orang ini adalah pembantu utama Hek-mo-ong," kata Tio Tian-seng lagi sambil menghela napas. "Ai, seandainya bukan serangan mendadak Bong-laute yang
Pendekar Cacat 1269
dilancarkan di luar dugaannya, bukan pekerjaan mudah membinasakan dirinya." "Ai, tadinya aku merasa Tio-pangcu terlalu mengada-ada setelah kau melukiskan betapa hebat dan menakutkannya Hek-mo-ong, tapi setelah kulihat betapa hebatnya kepandaian silat yang dimiliki anak buahnya, baru kubayangkan Hek-mo-ong seorang musuh yang sangat menakutkan." "Bong-laute, bukanlah aku kelewat menilai tinggi kemampuan musuh, kemampuan Hek-mo-ong memang menakutkan, aku pernah bertemu satu kali dengannya dan hampir saja jiwaku melayang." "Apakah Tio-pangcu kenal orang ini?" tanya Bong Thian-gak sambil menunjuk ke arah korban.
Tio Tian-seng menggeleng kepala. "Raut wajahnya asing bagiku." "Ai, akhirnya anak buah Hek-mo-ong muncul dalam lorong bawah tanah ini, nampaknya apa yang diucapkan Tan Samcing bukan ucapan kosong belaka." "Menurut Tan Sam-cing, orang yang berada dalam lorong bawah tanah ini adalah seorang kakek, seorang perempuan, serta seorang cacat lengan dan berkaki
Pendekar Cacat 1270
pincang, sedang korban yang kita jumpai sekarang adalah lelaki setengah umur yang berusia empat puluh tahunan." "Jadi menurut Tio-pangcu, korban bukan termasuk di antara ketiga orang yang dimaksud Tan Sam-cing?" Tio Tian-seng segera menggeleng, "Ya, sama sekali tidak sesuai." "Siapa tahu si kakek yang dimaksud Tan Sam-cing adalah orang ini?" ujar Bong Thian-gak. "Kecuali kita bertemu perempuan serta orang yang menyaru sebagai Bong-laute itu, kalau tidak, aku tidak akan percaya perkataan Tan Sam-cing." "Seandainya kedua orang itu menyembunyikan diri di sudut lorong bawah tanah, bagaimana mungkin kita bisa menemukan jejaknya?" "Kita kan tak bakal meninggalkan Sam-cing-koan ini dalam waktu singkat? Sebentar kau boleh bersama-sama Tan Sam-cing melakukan penggeledahan di sini, sedang tugas menjaga di luar biar kugantikan untuk semenjtara." "Baik, kita memang harus menemukan si tabib sakti dan Keng-tim Suthay sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"
Pendekar Cacat 1271
Tiba-tiba Tio Tian-seng menghela napas, kemudian tanyanya, "Bong-laute, apakah kau sudah mengetahui asalusul Tan Sam-cing?" "Konon dia adalah anak buah murid Bu-tong-pay." "Bong-laute, menurut pendapatmu apakah nama besar Patkiam-hui-hiang cukup tersohor di dunia persilatan pada empat puluh tahun berselang?" "Padri sakti dari Siau-lim-pay, guruku Oh Ciong-hu, Mokiam-sin-kun serta Pat-kiam-hui-hiang adalah tokoh silat yang paling termasyhur di Kangouw waktu itu. Mereka disebut empat tokoh persilatan, terutama kehebatan mereka di antara golongan lurus maupun sesat." "Yang disebut pedang lurus tentulah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, sedang si pedang sesat adalah aku Mo-kiamsin-kun, bukan?" "Waktu itu pedang Tio-pangcu memang penuh dengan hawa membunuh, sehingga orang menyebutnya si pedang sesat. Tapi menurut perasaan Boanpwe, sesungguhnya pedang Tio-pangcu sama sekali tidak sesat."
Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, dengan dasar apakah orang membedakan antara sesat dan lurus, rasanya sulit untuk ditelusuri dan aku pun enggan mempersoalkan. Yang ingin kuketahui sekarang adalah tersohornya Pat-
Pendekar Cacat 1272
kiam-hui-hiang Tan Sam-cing waktu itu, apa sebabnya ia lenyap secara tiba-tiba? Tahukah si tabib sakti serta Kengtim Suthay bahwa Sam-cing Koancu yang sekarang sebenarnya adalah Pat-kiam-hui-hiang yang amat termasyhur namanya?" "Apa maksud Tio-pangcu mencurigai hal itu?" "Bong-laute, sekarang bila kubilang Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong yang misterius itu, apakah Bong-laute anggap hal ini mungkin?"
Bong Thian-gak segera menggeleng. "Tan Sam-cing cukup termasyhur sebagai orang budiman, ia tak pernah mempunyai nama jelek." "Sebaliknya bila kukatakan bahwa akulah Hek-mo-ong?" Hati Bong Thian-gak segera bergetar keras, sahutnya kemudian, "Jika hal ini terjadi beberapa hari berselang, jika ada orang bertanya mapakah Hek-mo-ong, maka tentu akan menduga Tio-pangcu." Tio Tian-seng tersenyum. "Kalau bukan begitu, lantas siapakah menurut Bong-laute yang pantas dicurigai sebagai Hek-mo-ong?"
Pendekar Cacat 1273
Baru selesai perkataan itu, dari sudut lorong gua terdengar seorang menanggapi dengan suara lantang, "Menurut perasaan Pinto, Hek-mo-ong adalah Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng." Bergemanya suara itu membuat hati Bong Thian-gak maupun Tio Tian-seng bergetar. Yang membuat mereka terkejut adalah kehadiran lawan sampai di dekat mereka, namun sama sekali tidak mereka rasakan. Sambil tertawa dingin Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng segera menegur, "He, hidung kerbau, sudah lamakah kau datang kemari?"
Dari balik lorong gua yang gelap gulita pelan-pelan muncul seseorang, walaupun kedua belah pihak belum pernah melihat raut wajah masing-masing dengan jelas, namun Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tahu bahwa si pendatang adalah Sam-cing Koancu Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing. Tiba-tiba Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu menyahut dengan suara hambar, "Sejak Bong-sicu membinasakan orang aneh tadi, Pinto telah hadir di sini." "Kedatanganmu memang tepat sekali," seru Tio Tian-seng tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1274
Tan Sam-cing tertawa dingin. "Tentu saja kedatanganku memang sangat tepat. Coba kalau aku tidak datang, sudah pasti Pinto dicurigai sebagai Hek-mo-ong." "Biarpun kau sudah datang, bukan berarti bisa lepas dari kecurigaanku," jengek Tio Tian-seng. Tan Sam-cing mendengus, "Hm! Menubruk angin menangkap bayangan, memfitnah orang tanpa fakta yang nyata, mengadu domba di antara sesama manusia, semuanya memang watak kebiasaanmu." "Boleh saja bila kau ingin lepas dari kecurigaan," kata Tio Tian-seng dingin, "kecuali si tabib sakti sekalian ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat, kalau tidak, jangan harap kau bisa terlepas dari kecurigaan kami."
Tan Sam-cing naik pitam, segera bentaknya penuh amarah, "Tio Tian-seng, kau memojokkan orang dengan kata-kata tuduhanmu itu. Bila kau lanjutkan, Pinto tak bisa menahan diri lebih jauh!" Bong Thian-gak merasakan panasnya situasi, bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, kemungkinan akan berkobar pertempuran berdarah yang mengerikan.
Pendekar Cacat 1275
Maka dia maju beberapa langkah, setelah menjura pada Tan Sam-cing, ujarnya dengan suara lantang, "Tan-koancu, harap kau jangan marah dulu. Dewasa ini masih ada musuh tangguh bersembunyi dalam lorong bawah tanah. Apabila di antara kita terjadi keributan sendiri, hal itu tentu akan menggirangkan lawan." "Bong-sicu tak usah kuatir, ketiga orang pembunuh yang menyusup masuk ke dalam lorong bawah tanah ini sudah mati terbunuh." "Jadi Tan-koancu telah berjumpa dengan pembunuhpembunuh itu?" "Pinto telah membunuh seorang, lalu menemukan sesosok mayat di lorong gua, ditambah mayat yang berada di hadapan kita sekarang, bukankah berarti ketiga pembunuh itu telah tertumpas?" "Bagaimanakah bentuk wajah pembunuh yang berhasil Tan-koancu habisi nyawanya?" "Orang yang menyaru sebagai Bong-sicu."
Seraya berkata, Tan Sam-cing melepaskan sebilah pedang berikut sarungnya dari bahu, kemudian melanjutkan, "Pekhiat-kiam berada di sini, harap Bong-sicu menerimanya."
Pendekar Cacat 1276
"Ehm, terima kasih banyak atas bantuan Tan-koancu menemukan kembali Pek-hiat-kiam ini." Seraya berkata, ia maju ke depan. Tiba-tiba Tan Sam-cing mengayun tangan kanannya, pedang yang berada di dalam sarung itu tahu-tahu berkelebat ke muka dan mengancam jalan darah Sim-kanhiat di tubuh anak muda itu. Tindakan itu bukan saja membuat Bong Thian-gak tak sempat menghindar, Tio Tian-seng juga sama sekali tak menyangka. Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, tanpa terasa ia berpekik dalam hati, "Aduh celaka!"
Siapa tahu Tan Sam-cing hanya menutul jalan darahnya, sama sekali tidak disertai tenaga dalam. Terdengar ia berseru sambil tertawa dingin, "Bong-sicu memang orang yang berjiwa terbuka dan berbudi luhur, kebijakanmu membuat Pinto kagum, maaf atas kelancangan Pinto barusan." Rupanya Tan Sam-cing hendak menggunakan cara itu untuk mencoba mengerti apakah Bong Thian-gak menaruh curiga kepadanya atau tidak.
Pendekar Cacat 1277
Sesudah termangu-mangu beberapa saat, Bong Thian-gak baru menerima pedang itu, lalu diperiksanya dengan seksama. Benar juga, pedang itu memang benda kepercayaan Hiat-kiam-bun, Pek-hiat-kiam, maka sekali lagi dia memberi hormat kepada Tan Sam-cing seraya berkata, "Seandainya Tan-koancu adalah musuh, dengan seranganmu tadi niscaya habis sudah jiwaku." "Seandainya Bong-sicu selalu waspada dan berjaga-jaga terhadap serangan orang, niscaya kau akan berhasil menghindarkan diri dari tusukan tadi," ucap Tan Sam-cing.
Bong Thian-gak menggeleng kepala. "Jurus serangan yang dipergunakan Tan-koancu tadi jauh berbeda dengan jurus kebanyakan orang. Aku tahu, biarpun sudah waspada dan berjaga-jaga, rasanya sulit juga menghindarkan diri." Tan Sam-cing tersenyum. "Bong-sicu memiliki kepandaian silat yang amat hebat, tapi tidak sombong, kebesaran jiwamu serta kerendahan hatimu benar-benar mengagumkan sekali."
Pendekar Cacat 1278
Tiba-tiba Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng tertawa dingin, katanya, "Hei, hidung kerbau, kau mengatakan telah membunuh orang, dimana mayatnya sekarang?" "Dalam lorong bawah tanah sana." "Dan masih ada orang lagi?" "Perempuan pembunuh itu terbunuh di lorong bawah tanah, entah ia tewas oleh Bong-sicu atau mati terbunuh di tanganmu?" "Apakah mayat perempuan yang Tan-koancu temukan adalah perempuan berbaju hitam?"
Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak mendengar suara bisikan Tio Tian-seng yang disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara, "Bong-laute, jangan kau katakan bahwa perempuan itu adalah Sam-hubuncu dari Hiat-kiambun. Aku lihat perkataan Tan Sam-cing saling bertentangan, lagi pula gerak-geriknya amat mencurigakan, kita tidak bisa mempercayainya begitu saja." Dalam pada itu Tan Sam-cing mengangguk seraya menjawab, "Benar, dia adalah perempuan berbaju hitam."
Pendekar Cacat 1279
Dengan suara dingin, Tio Tian-seng segera menimbrung, "Mayat yang terkapar dalam lorong bawah tanah ini rasanya bukan hanya tiga, hidung kerbau, sudah kau lihat hal ini?" "Sudah," sahut Tan Sam-cing dengan suara dalam. "Aku justru Ingin bertanya siapa yang telah membunuh kawanan Tosu itu?" "Aku memang ingin bertanya kepadamu, atas perintah siapa kawanan hidung kerbau itu berniat membunuhku?" bantah Tio Tian-neng dingin. "Jika begitu mereka mati di tangan Tio-pangcu?" "Tan-koancu," tukas Bong Thian-gak, "semua Tosu itu bukan mati lerbunuh di tangan Tio-pangcu." "Apakah Bong-sicu telah membunuh antaranya?" ucap Tan Sam-cing hambar.
Dengan perasaan membenarkan.
bergetar
keras,
seorang
Bong
di
Thian-gak
"Betul, Boanpwe memang membunuh satu orang." "Luka pada mayat-mayat itu telah kuperiksa dengan seksama, luka yang menyebabkan kematian kesebelas
Pendekar Cacat 1280
mayat dilakukan oleh orang yang sama, berarti mereka terbunuh di tangan Tio-pangcu." Tio Tian-seng tertawa dingin. "Eh, hidung kerbau, apakah kau sedang mencari alasan untuk mengajakku berduel?" "Hm! Tanpa sebab-musabab anak murid kuil kami telah menjadi korban, tentu saja Pinto tak akan membiarkan si pembunuh berlalu dari sini dengan bebas merdeka!" jawab Tan Sam-cing sambil mendengus. "Aku sudah bersiap menahan seranganmu, ayolah silakan turun tangan." "Akhirnya kita berdua akan melangsungkan juga duel matihidup di lorong bawah tanah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Tan Sam-cing melolos sebilah pedang pendek yang bersinar tajam dari belakang bahunya. Begitu ia melolos pedang pendek, cahaya putih yang berkilau neeera memancar menerangi lorong bawah tanah itu. Melihat Tosu itu sudah melolos pedang, Bong Thian-gak segera melompat ke muka dan berdiri di antara kedua orang itu, cegahnya,
Pendekar Cacat 1281
"Tunggu dulu! Bila Locianpwe berdua hendak bertarung, alangkah baiknya bila pertarungan dilangsungkan setelah berhasil menemukan si tabib sakti." "Tio-pangcu memaksa Pinto berkelahi sekarang juga," kata Tan Sam-cing. "Hm, aku tidak bodoh mengajak kau berkelahi di sini," sela Tio Tian-seng sambil tertawa dingin. "Kalau begitu, biar Pinto simpan kembali pedangku ini," kata Tan Sam-cing.
Sembari berkata, dia memasukkan kembali pedang pendeknya ke dalam sarung. "Tan-koancu!" seru Bong Thian-gak kemudian, "sekarang bawalah kami bertemu Gi Jian-cau." "Harap kalian berdua mengikuti aku." Dia membalikkan badan dan beranjak pergi lebih dulu. Bong Thian-gak belakangnya.
serta
Tio
Tian-seng
mengikut
di
Biarpun lorong bawah tanah itu sangat gelap hingga sukar dilalui, tetapi Tan Sam-cing dapat bergerak secepat terbang, malah sewaktu berbelok pun tak pernah ragu atau
Pendekar Cacat 1282
pun berhenti, agaknya dia memang menguasai keadaan tempat itu.
Sesudah melalui enam persimpangan jalan dan menelusuri tujuh lorong, mendadak Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu melakukan pemeriksaan di sebuah dinding batu, kemudian ia menuju ke hadapan Bong Thian-gak dan bisiknya dengan suara lirih, "Ada orang telah memasuki ruang gua rahasia ini, bisa jadi musuh masih bercokol di dalam ruang itu." "Dimanakah letak ruang gua itu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
Tan Sam-cing tidak menjawab pertanyaan itu, malah dia berkata, "Harap kalian berdua berjaga di kedua ujung lorong gua ini, Pinto akan segera membuka pintu rahasia menuju ke ruangan dalam." "Hai, hidung kerbau!" seru Tio Tian-seng dingin. "Kau tidak usah bermain setan di hadapanku, sudah kuduga sejak tadi kau akan bersikap begini." Tan Sam-cing tak menggubris, kembali dia berkata, "Seandainya ruang rahasia itu sampai kemasukan orang, keselamatan jiwa si tabib sakti dan Keng-tim Suthay benarbenar berbahaya sekali. Kalian berdua harap selekasnya
Pendekar Cacat 1283
mengikuti perkataanku tadi dan berjaga-jaga di kedua ujung lorong, kita tak boleh membuang waktu lagi."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah berjalan ke depan, Tio Tian-seng juga sudah mengundurkan diri dari situ. Pada saat itulah tiba-tiba Tan Sam-cing melolos pedangnya dari belakang bahu, sekilas cahaya tajam menyoroti dinding. Dengan pedang terhunus Tan Sam-cing berjalan beberapa langkah dengan menelusuri dinding batu sebelah kanan, tiba-tiba ia lepaskan sebuah tusukan ke atas dinding itu. Suara gemuruh bergema di angkasa.
Dinding batu di sisi kiri Tan Sam-cing mendadak bergeser ke samping, sekilas cahaya lentera memancar masuk ke dalam lorong itu lewat celah-celah pintu. Sementara itu Tan Sam-cing telah mencabut pedang pendeknya dari dinding batu, dengan cepat tubuhnya berkelebat dan menerobos masuk melalui celah pintu yang terbuka.
Pendekar Cacat 1284
Tio Tian-seng serta Bong Thian-gak segera menyerbu bersama, kemudian menyelinap masuk pula melalui celah pintu yang terbuka.
Setelah memasuki pintu rahasia itu, barulah diketahui bahwa tempat itu pun merupakan sebuah lorong bawah tanah pula. Hanya bedanya, lorong ini terang-benderang bermandikan cahaya, hampir setiap jarak tiga kaki terdapat sebuah lentera. Lorong itu lurus ke depan, waktu itu Tan Sam-cing sudah berada di depan sana. Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak di kiri kanan segera melakukan pengejaran dengan menelusuri kedua sisi dinding gua. Pada ujung lorong itu terdapat sebuah tikungan menuju sebelah kiri, bayangan tubuh Tan Sam-cing lenyap di balik tikungan itu. Menyusul Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tiba juga di ujung tikungan sana, serentak mereka mendongakkan kepala.
Pendekar Cacat 1285
Pada ujung dinding sebelah kiri terdapat sebuah pintu, di balik pintu terbentang sebuah ruangan yang luas. Dalam ruangan ini pun tak nampak bayangan Tan Sam-cing. Namun di atas permukaan tanah tampak mayat bergelimpangan di sana-sini, ceceran darah menodai lantai, senjata berserakan, keadaan benar-benar mengerikan dan memilukan. Di antara korban yang tewas dan berserakan ini, selain terdapat kaum Tosu, terdapat pula gadis-gadis muda. Keadaan yang menyebabkan kematian hampir sama, ada yang kehilangan kepala, pinggangnya terpapas kutung, empat anggota badan berserakan, ada pula yang tewas tanpa meninggalkan bekas luka apa pun.
Sekilas Bong Thian-gak mengetahui bahwa para korban adalah anggota Hiat-kiam-bun yang ditugaskan melindungi si tabib sakti mengolah obat, sedang kawanan Tosu itu dari kuil Sam-cing-koan. Di ruang belakang masih terdapat ruangan lain, dengan cepat Bong Thian-gak melakukan pemeriksaan ke situ. Dalam pada itu dari balik ruangan sebelah kiri tampak Tan Sam-cing muncul, setelah menghela napas sedih, ia
Pendekar Cacat 1286
berkata, "Sicu tak perlu masuk ke dalam lagi, tak seorang hidup pun yang terdapat di ruang dalam." "Bagaimana dengan si tabib sakti?" tanya Bong Thian-gak kejut bercampur gelisah.
Tan Sam-cing menghela napas panjang. "Ai, Hiolo pengolah obat masih terdapat di situ, namun orangnya sudah lenyap entah kemana." "Bagaimana dengan Keng-tim Suthay?" "Ia sudah tewas terkena musibah!" Mendengar Keng-tim Suthay terkena musibah, Bong Thiangak langsung berteriak, "Dimanakah jenazahnya sekarang?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berteriak dari belakang, "Tan Sam-cing, lebih baik kita langsungkan duel mati-hidup di tempat ini saja!" Bong Thian-gak tidak habis mengerti, mengapa Tio Tianseng menantang Tan Sam-cing berduel dalam keadaan dan situasi seperti ini.
Pendekar Cacat 1287
Tan Sam-cing tertawa tergelak dengan suara menyeramkan, "Tio Tian-seng, cepat atau lambat kita memang harus melaksanakan duel mati-hidup untuk menentukan nasib kita berdua."
Dalam pada itu Bong Thian-gak merasa pedih dan kehilangan semangat sesudah mengetahui Keng-tim Suthay tewas terbunuh. Dalam keadaan demikian dia tak bersemangat lagi memperhatikan perselisihan di antara mereka berdua. Badannya segera berkelebat dan masuk ke ruang belakang dengan cepat. Di ruang belakang terdapat dua bilik, sebuah di sebelah kiri dan yang lain di sebelah kanan.
Mula-mula Bong Thian-gak memasuki bilik sebelah kiri, di situ terdapat dua buah pembaringan, kelambu dan seprei masih teratur rapi, pakaian dan perabotan lainnya masih utuh, hanya tak nampak seorang pun. Di bagian depan terdapat sederet pembaringan dan perabotan lain, di sini juga tak nampak seorang pun. Buru-buru Bong Thian-gak menuju ke ruang lain, tempat itu hanya ada sebuah tungku raksasa berkaki tiga, sebuah
Pendekar Cacat 1288
pengolah obat terdapat di atas tungku, sementara beberapa buah bantal duduk berserakan di sekelilingnya. Di sisi tungku, dua orang bocah cilik duduk terbungkuk, mereka lak berkutik sama sekali, jelas sudah tewas. Selain jenazah kedua bocah itu, di dekat tungku bagian belakang, duduk bersila seorang tokoh setengah umur di atas kasur duduk.
Tangan kirinya masih memegang Hud-tim, sedangkan tangan kanannya diletakkan di depan dada, wajahnya pucat-pias dan matanya terpejam rapat. Sesudah melihat dengan jelas raut wajah tokoh setengah umur itu, Hong Thian-gak segera berteriak, "Keng-tim Suthay!" Ia menubruk ke depan, air matanya bercucuran dengan deras. Mimik tokoh setengah umur itu nampak tawar, sudah barang tentu tak dapat bersuara lagi. "Suthay, oh Suthay ... sungguh tak nyana perpisahan kita di Ho-pak tempo hari akan menjadi perpisahan untuk selamanya. Oh Suthay, siapakah orang yang telah mencelakaimu, siapakah orangnya?" Sambil menangis Bong Thian-gak menggoncang-goncang jenazah Keng tim Suthay.
Pendekar Cacat 1289
Tiba-tiba jenazah itu miring dan roboh ke kiri, sementara sepatu yang dikenakan pada kaki kanannya terlepas dan jatuh ke atas tanah. Bong Thian-gak bermata jeli, dengan cepat ia menangkap bahwa di balik telapak kaki kanan Keng-tim Suthay tertera jelas sederet tulisan. Dengan perasaan bergetar, mendongakkan kepala.
Bong
Thian-gak segera
Ternyata tulisan itu berbunyi: "Sebutir pil pengembali sukma kusembunyikan di balik Hud-tim, bunuh si tabib sakti." Bong Thian-gak berdiri termangu-mangu mengawasi kedua baris tulisan itu, terutama sekali kata-kata terakhir, "Bunuh si tabib sakti".
Tulisan itu membuat pikirannya bimbang dan tak habis mengerti. "Mengapa ia mesti membunuh si tabib sakti? Mengapa?" Sesudah termangu-mangu sekian lama, akhirnya Bong Thian-gak mengenakan kembali sepatu itu Keng-tim
Pendekar Cacat 1290
Suthay, kemudian dengan cepat melepas pula sepatu kirinya. Ternyata pada kaki kiri pun tertera pula kedua baris tulisan itu. Pada saat inilah dari luar ruangan terdengar suara bentrokan senjata yang bergema amat keras.
Bong Thian-gak segera mengambil Hud-tim Keng-tim Suthay dan menyembunyikannya di balik pakaian, lalu dengan cepat memburu ke ruang depan. Di ruang muka, mengerikan.
suasana
benar-benar
Hawa pedang menyelimuti ruangan, berkilauan seperti sambaran petir.
tegang dan cahaya
perak
Bayangan tubuh Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing telah terkurung rapat di balik cahaya pedang itu.
Kedua orang jago yang sangat lihai itu, masing-masing sedang mengembangkan ilmu pedang yang dimilikinya serta melangsungkan pertarungan mati-hidup yang amat sengit.
Pendekar Cacat 1291
Pedang pendek di tangan Tan Sam-cing berputar memercikkan bayangan pedang tajam, membacok, menyapu dan membabat penuh dengan kedahsyatan. Mendadak bentakan keras bergema, Tio Tian-seng melepaskan sebuah tusukan balasan dari arah samping. Tusukan itu dilepaskan dengan sepasang tangan menggenggam pedang bersama-sama. Jurus serangannya aneh, namun amat tangguh, merupakan jurus serangan lain daripada yang lain.
Tampaknya Tan Sam-cing cukup mengetahui kelihaian serangan Itu. Sambil membentak, cahaya pedang yang semula membentuk lingkaran bulat kini lenyap, sebagai gantinya muncul sekilas sinar bening yang pelan-pelan mendorong ke depan. Bunyi gemerincing nyaring memenuhi angkasa. Sepasang pedang Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing telah saling bentur. Kali ini pedang pendek Tan Sam-cing yang tajam ternyata tidak mampu mengutungi pedang Tio Tian-seng. Setelah kedua belah pihak saling mengadu senjata sebanyak tiga kali, kedua belah pihak tidak segera menarik
Pendekar Cacat 1292
kembali senjatanya, namun mereka saling mengerahkan tenaga mengisap pedang lawan. Akibatnya kedua bilah pedang itu saling menempel bagai besi sembrani.
Pantangan terbesar jago persilatan yang saling bertarung adalah adu tenaga dalam. Dengan saling menempelkan pedang, hakikatnya Tan Samcing maupun Tio Tian-seng sudah melangkah menuju ke suatu pertarungan tenaga dalam mengadu jiwa. Berada dalam keadaan begini, kedua belah pihak samasama tak berani mencabut pedang, bila satu pihak mencabut pedang, maka pedang lawan akan menusuk dan langsung menghujam ke tubuh lawan secara mematikan. Oleh sebab itu kedua belah pihak terpaksa harus mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan ke batang pedang untuk mempertahankan tenjata.
Pertarungan semacam ini sukar menentukan menang-kalah secara repat, seringkah di saat menang kalah ditentukan, kedua belah pihak sudah sama-sama terluka, kehabisan tenaga dalam dan akhirnya tewas bersama.
Pendekar Cacat 1293
Pada saat itulah suara benturan nyaring berkumandang. Bong Thian-gak sudah mencabut Pek-hiat-kiam dan secepat kilat menusuk ke tengah-tengah antara kedua pedang yang masih saling menempel itu.
Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing segera terpisah dan masing-masing mundur tiga langkah. Pedang Tio Tian-seng kembali putus sebagian, sebaliknya pedang Tan Sam-cing masih tetap utuh. Bong Thian-gak dengan masih memegang Pek-hiat-kiam yang memancarkan sinar merah memberi hormat kepada Tan Sam-cing serta Tio Tian-seng, lalu ujarnya dengan lantang, "Locianpwe berdua, buat apa kalian saling bertarung matimatian?" Paras muka Tio Tian-seng kelihatan amat kereng dan serius, tiba-tiba ia berkata dengan suara pelan, "Bong-laute, tidakkah kau merasa bahwa Tan Sam-cing sangat mencurigakan?" "Apanya yang mencurigakan?" tergerak hati Bong Thiangak. "Sudahkah Bong-laute periksa, telah berapa lama para korban itu menemui ajalnya?"
Pendekar Cacat 1294
"Ah! Betul, tampaknya mereka sudah tewas paling tidak satu hari sebelumnya." "Betul! Orang-orang itu sudah mati semalam sebelumnya, tapi menurut Tan Sam-cing waktu musuh menyusup masuk kemari, baru tiga jam berselang."
Sambil tertawa dingin, Tan Sam-cing segera berkata, "Sejak kapan mereka menemui ajal? Apa hubungan serta sangkutpautnya dengan diriku?" "Tentu saja besar sekali hubungannya," jawab Tio Tian-seng dingin. "Andaikata Sam-cing Koancu hanya seorang jago lihai biasa saja, hal ini lain ceritanya. Tapi kau adalah Patkiam-hui-hiang yang amat termasyhur, apakah tidak mengetahui sama sekali terdapat banyak musuh tangguh yang sudah memasuki kuilmu? Apa ini tidak lucu namanya?" "Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Sekalipun begitu, aku rasa masih belum cukup alasan untuk menuduh Tan-koancu sebagai komplotan kawanan pembunuh itu." "Bong-sicu, sudahkah kau saksikan apa yang menyebabkan kematian orang-orang itu?" tanya Tio Tian-seng tawar. "Soal itu belum Boanpwe lihat."
Pendekar Cacat 1295
"Mereka tewas akibat saling bunuh sendiri. Bila tak percaya, silakan Bong-laute periksa dengan seksama semua korban itu, kau akan jumpai luka di tubuh para korban sesuai dengan kesimpulanku tadi."
Bong Thian-gak berseru tertahan, dengan cepat ia berpaling dan ujarnya kepada Tan Sam-cing, "Tan-koancu, bagaimanakah penjelasanmu terhadap keterangan yang disampaikan Tio-pangcu?" "Memang tak salah, orang-orang itu tewas karena saling bunuh, tapi kematian Keng-tim Suthay serta kedua bocah itu adalah disebabkan tertotok jalan darahnya oleh seseorang. Keadaan inilah yang membuat orang bingung serta tak habis pikir." Setelah mendengar kata-katanya itu, mendadak Bong Thian-gak teringat akan sesuatu, ia segera bertanya, "Cianpwe berdua, tahukah kalian dalam Bu-lim terdapat semacam obat pembingung sukma?"
"Bong-laute, maksudmu para korban telah dicekoki semacam obat pembingung sukma terlebih dahulu sehingga kejernihan otak mereka terganggu, akibatnya mereka mati karena saling bunuh di antara rekan sendiri?"
Pendekar Cacat 1296
"Boanpwe hanya ingin tahu, benarkah dalam Bu-lim terdapat obat sejenis itu." "Tentu saja ada." Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, Tio-pangcu, jika aku menduga pembunuhnya adalah si tabib sakti Gi Jian-cau, bagaimana menurut pendapatmu?" "Aku pun menduga begitu," sahut Tio Tian-seng dengan suara dalam. "Ada seorang jago lihai yang telah menyerbu masuk kemari, pertama-tama ia membunuh Keng-tim Suthay serta kedua bocah itu, kemudian mencuri obat pembingung sukma milik Gi Jian-cau serta mencekokkan obat tadi kepada kawanan jago lainnya, akibatnya terjadilah peristiwa saling bunuh yang mengerikan ini, entah bagaimana pula menurut pendapatmu atas dugaanku ini?" "Tentu saja masuk akal juga," Tan Sam-cing menanggapi. "Dan menurut dugaanku, bisa jadi si pembunuh adalah orang-orang Sam-cing-koan." "Betul, bisa jadi si pembunuh sudah mengenal keadaan dalam kuil Sam-cing-koan," katanya membenarkan.
Paras muka Tio Tian-seng berubah kereng dan serius, kembali ia berkata, "Tan-koancu, bila kau gagal
Pendekar Cacat 1297
menemukan sang pembunuh, maka kau sendiri sulit untuk meloloskan diri dari kecurigaan kami." Tan Sam-cing tertawa dingin, "Rupanya Tio-pangcu menuduh Pinto sebagai Hek-mo-ong?" "Kecuali kau dapat menunjukkan siapakah Hek-mo-ong yang sesungguhnya," sahut Tio Tian-seng sambil tertawa dingin pula. "Tio-pangcu, berulang kali kau menuduhku sebagai Hekmo-ong, sesungguhnya apa yang terkandung di balik tuduhan jahatmu itu?" "Berdasarkan berbagai kecurigaan dan bukti yang kudapat, Tan-koancu memang patut dicurigai sebagai gembong iblis terkutuk itu." "Seandainya aku adalah Hek-mo-ong, maka kalian berdua anggap masih bisa hidup sampai sekarang?"
"Hari ini, seandainya aku memasuki kuil Sam-cing-koan seorang diri, besar kemungkinan sudah mengalami musibah dan terbunuh mati," kata Tio Tian-seng dingin, "tapi sayangnya kehadiranku sekarang justru ditemani oleh seorang jago lihai lain yakni sastrawan cacat, biarpun Hekmo-ong berkepala tiga enam lengan, belum tentu ia mampu menghadapi diriku serta sastrawan cacat bersama-
Pendekar Cacat 1298
sama. Inilah yang menyebabkan kami bisa hidup sampai sekarang dalam keadaan selamat." "Hek-mo-ong bisa membunuh orang tanpa menunjukkan wujud serta bayangan tubuhnya," kata Tan Sam-cing dingin. "Seandainya Pinto adalah Hek-mo-ong, maka kalian berdua tak akan bisa lolos dari kuil Sam-cing-koan ini."
Sementara itu Bong Thian-gak sedang memikirkan kedua baris kata yang ditinggalkan Keng-tim Suthay menjelang ajalnya. Berdasarkan kedua kalimat itu, bisa jadi Keng-tim Suthay telah menduga sebelumnya akan terjadi suatu peristiwa di situ. Itulah sebabnya dia menyembunyikan sebutir pil pengembali sukma dalam Hud-timnya sebelum dia ajal, Keng-tim Suthay berpesan pula agar Gi Jian-cau dibunuh, mungkinkah si tabib sakti adalah jelmaan Hek-mo-ong?
Tapi ada persoalan lain yang membingungkannya, andaikata Gi Jian-cau benar-benar adalah otak di belakang layar yang menyetir Put¬gwa-cin-kau dan juga adalah Hekmo-ong, lantas mengapa pula dia mesti mengolah obat pengembali sukma?
Pendekar Cacat 1299
Bong Thian-gak tidak berani mengutarakan peristiwa itu kepada siapa pun, dia tak ingin orang lain mengetahui pesan terakhir Keng-tim Suthay Menurut pendapatnya, tuduhan Tio Tian-seng kepada Tan Sam-cing sebagai Hek-mo-ong memang terdapat pula beberapa bagian yang mencurigakan. Maka sekarang untuk menyingkap teka-teki siapakah sebenarnya Hek-mo-ong, rasanya hanya bisa terungkap setelah Hek-mo-ong muncul.
Apa yang dikatakan Tan Sam-cing memang benar, Hek-moong tak akan melepaskan dia serta Tio Tan-seng begitu saja, oleh karena itu mereka berdua tak perlu berdiam lebih lama lagi di sini. Bong Thian-gak menghela napas, kemudian katanya, "Tiopangcu, sekarang jejak Gi Jian-cau masih misterius, kita tak usah berdiam lebih lama lagi dalam kuil ini." "Justru yang kukuatirkan adalah Gi Jian-cau masih bercokol dalam Sam-cing-koan." "Seandainya dia masih berada dalam kuil Sam-cing-koan, sudah pasti Tan-koancu dapat mengatasinya." Sementara itu Tan Sam-cing masih berdiri termenung, seakan-akan nedang memikirkan sesuatu, kemudian ia
Pendekar Cacat 1300
menghela napas panjang dan heial, pelan-pelan katanya, "Hai tua bangka, sejak hari ini Pinto akan terjun kembali ke dunia Kangouw." Tatkala mengucapkan kata-katanya itu, mukanya memperlihatkan rasa sedih dan menderita yang tak terkirakan.
Kata-katanya diucapkan sangat membutuhkan dukungan kekuatan.
lambat
seakan
Sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tio Tian-seng. Tan Sam-cing memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng, lalu melanjutkan, "Namun di saat Pinto mengetahui siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya, maka seorang di antara kita berdua akan mampus dan pulang ke neraka." Tio Tian-seng tersenyum. "Sejak dulu, pedang lurus dan pedang sesat memang tak bisa hidup berdampingan, ibarat api dan air." "Kalau kau sudah mengetahui akan hal itu, mengapa mesti menggunakan berbagai akal muslihat untuk memaksaku terjun kembali ke dunia persilatan?" seru Tan Sam-cing dengan penuh kepedihan.
Pendekar Cacat 1301
"Sebab untuk membunuh Hek-mo-ong, kecuali pedang lurus dan pedang sesat bersatu, rasanya tiada yang mampu membendungnya." "Kalau begitu tujuanmu adalah memaksaku terjun kembali ke dunia persilatan?" "Selain itu masih ada satu hal lagi, yakni untuk membuktikan benarkah kau bukan Hek-mo-ong." "Sejak puluhan tahun berselang, Pinto sudah menduga asal-usul Hek-mo-ong, di antara empat orang yang kucurigai, kau Tio Tian-seng termasuk salah seorang di antaranya."
"Bagus, bagus sekali!" kata Tio Tian-seng sambil tertawa. "Tan Sam-cing juga termasuk satu di antara empat orang yang kucurigai." Bong Thian-gak hanya mengetahui sedikit hal yang menyangkut kedua orang Bu-lim Cianpwe ini, karenanya sikap permusuhan dan bersahabat yang ditunjukkan kedua orang ini membuatnya melongo kebingungan dan tak habis mengerti. Setelah menghela napas panjang, kembali Tan Sam-cing berkata, "Apakah kalian berdua hendak meninggalkan kuil Sam-cing-koan?"
Pendekar Cacat 1302
"Aku memang menunggu Tan-koancu bertindak sebagai petunjuk jalan," sahut Tio Tian-seng. Di bawah petunjuk Tan Sam-cing, Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng keluar dari gua bawah tanah dan meninggalkan kuil Sam-cing-koan.
Di saat keduanya memasuki kuil Sam-cing-koan, waktu mendekati senja, tatkala meninggalkan tempat itu, waktu sudah tengah malam. Mereka berada dalam gua bawah tanah selama tiga jam lebih. Pengalaman yang dialaminya selama tiga jam lebih yang singkat itu penuh diliputi perasaan tegang, seram, sedih, mengenaskan serta berbagai macam perasaan lainnya. Kematian Keng-tim Suthay membuat Bong Thian-gak sedih, murung dan kesal atas masa depan Hiat-kiam-bun. Hiat-kiam-bun dari tangan Keng-tim Suthay telah diserahkan ke Bong Thian-gak. Walaupun hanya dalam tujuh hari yang singkat, namun sejak pertarungan berdarah di kuil Hong-kong-si, tampaknya anak murid Hiat-kiam-bun telah menderita kerugian cukup parah, hampir separoh anggota tewas dan terluka parah, terutama kematian Kengtim Suthay dan Ang Teng-sui sekalian jago-jago tangguh saat ini, Hiat-kiam-hun sedang berada di ambang kehancuran.
Pendekar Cacat 1303
"Ai!" helaan napas berat dan pedih akhirnya keluar dari mulut Bong Thian-gak. Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng menengok sekejap ke arahnya, lalu menegur, "Bong-laute, mengapa kau menghela napas panjang?" "Tidak apa-apa," sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng. "Entah Tio pangcu hendak pergi kemana?"
"Aku hendak pergi mengejar si tabib sakti." "Darimana kita bisa mengetahui jejaknya?" "Bila jejaknya sudah ketahuan, urusan akan bisa diselesaikan dengan mudah. Bong-laute, kau hendak kemana?" Bong Thian-gak termenung beberapa saat, lalu sahutnya pula, "Ho.mpwe bermaksud berpisah dengan Locianpwe untuk sementara Waktu." "Mau kemana? Apakah pergi ke Ho-pak?" "Benar, aku ingin menuju Ho-pak dan memberitahu kematian Keng tim Suthay kepada putrinya."
Pendekar Cacat 1304
"Bong-laute, aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu, dalam pertarungan di kuil Hong-kong-si tempo hari, terdapat banyak sekali jago lihai yang terluka parah, keselamatan jiwanya terancam dan mereka sedang menunggu kehadiran si tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati lukanya. Apakah Bong-laute bersedia meninggalkan dulu dendam pribadimu untuk mendampingi diriku mencari si tabib sakti?" "Ah, siapa saja yang terluka dalam pertarungan itu?" tanya Bong Ihlan gak berseru tertahan. "Mereka yang lolos dari kematian adalah Hong-kong Hwesio, Mo Im Sin Kiam, Han Siau-liong, To Siau-hou, tiga puluh empat jago kami. Kecuali Liu Khi, yang lain terkena racun jahat yang dilepaskan Ji-kaucu. Sekarang keselamatan jiwa mereka terancam."
"Ah, jika mereka gagal mendapatkan pengobatan dari si tabib sakti, bukankah jiwa mereka akan hilang?" seru Bong Thian-gak sangat terkejut. "Ya, tentu saja sulit bagi mereka meloloskan diri dari musibah itu." "Lantas bagaimana cara kita menemukan si tabib sakti?" tanya Bong Thian-gak sesudah temenung sebentar.
Pendekar Cacat 1305
"Lebih baik kita menunggu kabar Tan Sam-cing di kota Lokyang." "Apakah Tan Sam-cing mengetahui jejak si tabib sakti itu?" "Si tabib sakti lenyap dalam kuil Sam-cing-koan, tentu saja Tan Sam-cing seorang yang bisa mengejar dan mendapatkan jejaknya."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Andaikata Tan Sam-cing tidak menyampaikan kabar itu kepada kita?" "Kecuali Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong atau dia enggan terjun kembali ke dunia persilatan. Kalau tidak, dalam tiga hari mendatang sudah pasti kita akan memperoleh kabar dari Tan Sam-cing." "Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak menghela napas panjang, "aku dapat merasakan bahwa di antara kau dan Tan Sam-cing, rasanya terjalin suatu hubungan budi dan dendam yang rumit." Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkah, jawabnya, "Benar di antara kami berdua memang terjalin hubungan budi dan dendam yang tak bisa disampaikan kepada siapa pun."
Pendekar Cacat 1306
Tio Tian-seng berhenti, Bong Thian-gak pun ikut menghentikan langkah, kemudian memandang sekeliling tempat itu. Malam itu kabut sangat tebal, sejauh mata memandang hanya warna putih menyelimuti padang rumput itu. Suasana begitu hening, sepi, tiada angin yang berhembus, tiada suara, rumput pun seakan-akan turut tak bergoyang. Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Tio Tianseng, dia mengawasi hutan di hadapannya tanpa berkedip.
Tergetar hati Bong Thian-gak melihat hal ini, segera tegurnya, "Tio-pangcu, apa yang kau temukan?" "Bau musuh." "Musuh?" semangat Bong Thian-gak berkobar kembali. "Dimana j mereka?" "Tunggu dulu! Jika mataku belum kabur, aku yakin musuh yang kita hadapi sekarang adalah tokoh persilatan yang menakutkan." "Kau maksudkan Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak terkejut. Tio Tian-seng manggut-manggut.
Pendekar Cacat 1307
"Ya, sebaiknya kita duduk bersila di sini menunggu datangnya fajar."
Seusai berkata, Tio Tian-seng segera duduk bersila di atas tanah. "Benarkah kita akan menunggu sampai datangnya fajar?" Bong Thian-gak bertanya lagi dengan kening berkerut. "Tengah malam sudah tiba, rumah penginapan di kota sudah tutup pintu, jangan harap kita bisa mendapatkan rumah penginapan dalam keadaan begini. Apa salahnya kita menginap semalam di udara terbuka?"
Mendengar jawaban itu, Bong Thian-gak segera berpikir, "Aneh, mengapa Tio Tian-seng begitu takut terhadap Hekmo-ong? Hanya angin yang menghembus rumput saja sudah membuatnya tegang dan salah mengira sebagai kehadiran Hek-mo-ong." Walaupun dalam hati dia merasa geli, namun ia pun duduk bersila di namping Tio Tian-seng. Padahal satu jam kemudian fajar telah menyingsing sehingga mereka tak perlu mencari tempat penginapan.
Pendekar Cacat 1308
Sementara itu suara di sekeliling sana terasa begitu hening dan sepi hingga tampak mengerikan, dua orang tokoh sakti duduk bersila di atau tanah sambil mengatur napas. Dalam keadaan begini, jangankan kehadiran manusia, daun rontok pun dapat mereka dengar dengan jelas. Namun kedua orang itu tidak mendengar sedikit suara pun, Tio Tian seng mulai berpikir, "Ah, mungkin aku salah melihat tadi."
Mendadak telinganya menangkap suara dengingan nyamuk di sisi tubuhnya. Cepat Tio Tian-seng membuka mata. Bong Thian-gak yang berada di sampingnya sudah menepuk tubuh sendiri, jelas ia sudah menepuk mati seekor nyamuk. Pula saat itu pula Tio Tian-seng merasa pipi kanannya digigit pula seekor nyamuk. la segera membunuh nyamuk itu.
Perbuatan yang dilakukan kedua orang itu bersamaan waktunya dan kebetulan sekali, tapi justru itu menimbulkan kecurigaan Mo-kiam¬ sin-kun Tio Tian-seng yang banyak akal dan matang pengalaman ini.
Pendekar Cacat 1309
Perasaannya kontan bergetar keras, dengan cepat ia berkat "Bong-laute, tidak kau rasakan datangnya kedua ekor nyamuk tadi rada aneh." "Di tengah padang rumput memang banyak lalat dan nyamuk, apa yang aneh?" "Malam ini kabut sangat tebal, udara pun lembab, darimana bisa muncul nyamuk? Dan pula cuma dua ekor saja."
Belum habis berkata, terdengar lagi suara dengingan nyamuk, kali ini muncul tiga ekor. Tio Tian-seng segera mengebas ujung bajunya melepas pukulan k depan. Agaknya leher Bong Thian-gak telah tergigit oleh seekor nyamuk dia mengayun tangan dan membunuh seekor lagi. Mendadak Tio Tian-seng berdiri, lalu serunya dengan suara dalam, "Bong-laute, mari kita cepat pergi." "Tio-pangcu hendak kemana?" tanya Bong Thian-gak tertegun. "Kita sudah terkena serangan gelap musuh," kata Tio Tiansen dengan paras muka berubah hebat.
Pendekar Cacat 1310
"Tio-pangcu, kau maksudkan beberapa ekor nyamuk tadi?" tany sang pemuda keheranan. "Benar, nyamuk itu adalah nyamuk beracun yang dilepas musuh untuk menyerang kita."
Bong Thian-gak tersenyum. "Bukankah Tio-pangcu telah tergigit oleh nyamuk itu? Apakah ka merasakan sesuatu gejala aneh dalam tubuhmu?" "Tubuhku tidak merasakan sesuatu gejala aneh, namun aku tahu nyamuk itu bukan nyamuk biasa yang banyak terdapat di padang rumput. Bong-laute, lebih baik turuti katakataku, mari kita tinggalka tempat ini secepatnya." Bong Thian-gak tertawa ringan sambil berdiri, sahutnya, "Ka hendak kemana? Harap Tio-pangcu membuka jalan!"
Tio Tian-seng mengerahkan ilmu meringankan tubuh meluncur ke arah kota Lok-yang, Bong Thian-gak mengikut di belakangnya deng ketat. Sesudah menempuh perjalanan sejauh tiga li lebih, tibatiba Bong Thian-gak menjerit kaget.
Pendekar Cacat 1311
Tio Tian-seng segera menghentikan langkah seraya berpaling, tegurnya, "Kenapa kau, Bong-laute?" "Boanpwe mulai merasa gatal dan panas sekali di sekitar tempat yang tergigit nyamuk tadi." Berubah hebat paras Tio Tian-seng, serunya gelisah, "Benarkah perkataanmu itu?" "Bukankah kau sendiri juga tergigit nyamuk? Apakah kau tidak merasakan gejala itu." "Oh, belum." "Mungkin kita bukan terkena serangan musuh." "Lebih baik kita duduk bersemedi, kita coba mendesak keluar racun yang mengeram dalam tubuh dengan mengandal tenaga dalam."
Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, dia merasa jaraknya dengan kota Lok-yang sudah tidak jauh lagi, bahkan di depan situ sudah tampak rumah penduduk. Maka dia pun menjawab, "Rasa gatal dan panas tidak kurasakan, lebih baik kita berangkat ke kota Lok-yang!"
Pendekar Cacat 1312
"Nyamuk itu tak salah lagi adalah nyamuk beracun. Mumpung racunnya belum mulai bekerja, lebih baik kita coba mendesaknya keluar dengan tenaga dalam, siapa tahu masih belum terlambat."
Siapa tahu baru selesai dia mengucapkan perkataan itu, mendadak ilari belakang tubuh mereka terdengar seorang menyambung, "Sayang sudah terlambat, kalian sudah tergigit nyamuk beracun. Nyamuk itu merupakan nyamuk penghancur darah yang berasal dari wilayah Biau. Seandainya di tempat ini ada sinar lentera, maka kalian pasti sudah melihat kulit kalian pucat sekali." Mendengar perkataan itu, Tio Tian-seng dan Bong Thiangak segera membalikkan badan. Di belakang mereka, di bawah sebatang pohon di tepi jalan, tampak seseorang berdiri di situ.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera membentak, "Siapa kau?” Pelan-pelan orang itu berjalan ke depan, lalu sahutnya, "Wanita Biau dari bukit Bong-san, Biau-kosiu!" Begitu selesai berkata, ia sudah tiba di hadapan Bong Thian-gak berdua.
Pendekar Cacat 1313
Di bawah cahaya rembulan, tampak gadis suku Biau ini berwajah cantik, mengenakan pakaian pendek dan sempit, lengannya telanjang, kulit tubuhnya halus dan putih, potongan badannya tinggi semampai, mendatangkan rangsangan bagi siapa pun yang memandangnya. Wajah bulat telur dengan mata jeli, hidung mancung dan bibir kecil mungil, wajah yang cantik menawan hati.
Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng tertegun melihat kemunculan gadis muda itu, dalam hati mereka merasa keheranan. Sesudah tertegun beberapa saat, Bong Thian-gak menegur, "Kau yang melepaskan nyamuk-nyamuk beracun itu untuk melukai kami?" Gadis Biau yang cantik jelita itu mengedipkan matanya yang jeli, kemudian setelah memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, ia menggeleng, "Bukan." "Kalau begitu kau tahu siapa yang telah turun tangan mencelakai kami?" "Tentu saja tahu." "Siapakah dia? Cepat katakan." "Mengapa aku mesti memberitahukan kepadamu?"
Pendekar Cacat 1314
Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian menimbrung, "Nona mengetahui begitu jelas tentang sifat dan kemampuan nyamuk penghancur darah, berarti nona pun dapat menyembuhkan racun akibat gigitan nyamuk itu bukan?" Biau-kosiu atau gadis Biau yang cantik jelita itu memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng, kemudian menyahut, "Sebagai suku Biau, jangankan aku, bocah tiga tahun pun dapat menyembuhkan, cuma sayang nyamuk penghancur darah yang menggigit kalian merupakan nyamuk penghancur darah peliharaan orang lain, jadi sifat racunnya tidak mudah disembuhkan begitu saja." "Bila nona dapat menolong kami menyembuhkan gigitan nyamuk ini, budi kebaikanmu tak akan kulupakan selamanya," ucap Tio Tian-seng dengan sedih.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Tio Tian-seng akan memohon pertolongan gadis itu. "Boleh saja kutolong kalian, cuma aku tak bakal menolong kalian berdua begitu saja," ucap si nona suku Biau dengan suara merdu. "Nona mempunyai syarat? Apa syaratnya?"
Pendekar Cacat 1315
"Bila aku beri obat penawar racun pada kalian, besar kemungkinan ada orang hendak turun tangan jahat kepadaku. Oleh sebab itu aku minta kalian berdua melindungi keselamatan jiwaku." "Syarat ini sangat gampang, kami menyanggupi permintaanmu itu," sahut Tio Tian-seng cepat. "Orang persilatan paling mengutamakan pegang janji, kalian jangan menyesal di kemudian hari."
Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera berseru, "Sekalipun nona tidak menghadiahkan obat kepada kami, seandainya jiwa nona terancam oleh manusia laknat, kami juga bersedia membantumu." Gadis suku Biau itu menggeleng kepala berulang-kali. "Yang kumaksudkan melindungi keselamatan jiwaku adalah kalian berdua mesti selalu mendampingiku, mengawal aku kemana pun aku pergi dan mengikuti perintahku." "Ah, kalau soal ini sulit kukabulkan," ucap Bong Thian-gak. "Kalau tidak setuju, ya sudah, selamat tinggal!" kata gadis suku Biau itu ketus.
Pendekar Cacat 1316
Seusai berkata, ia membalikkan badan dan segera beranjak pergi. Dengan suara dalam Tio Tian-seng berseru, "Nona, harap tunggu sebentar!" "Kalian setuju?" tanya si gadis sambil berpaling. Tio Tian-seng tertawa rawan, ia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya bertanya, "Apakah nona membawa obat penawar racun itu?" "Apakah kalian berniat merampas dengan kekerasan?" "Tidak berani, aku hanya ingin bertanya dimanakah nona berdiam?" "Buat apa kau tanyakan hal ini?" "Jika suatu ketika kami berubah pendirian, kami bisa langsung pergi mencari nona!" "Dengan mengetahui tempat tinggalku, bukankah kalian pun mempunyai peluang untuk mencuri." "Nona begitu cermat hati-hati dan cerdik. Sekalipun kami berniat mencuri, mana mungkin akan berhasil?" Gadis Biau itu tertawa dingin. "Aku berdiam di rumah penginapan Ban-heng di kota Lokyang. Selewat dua belas jam jika kalian belum juga mendapatkan obat penawar racun itu, maka racun yang mengeram dalam tubuh kalian tak akan terobati lagi."
Pendekar Cacat 1317
Habis berkata, gadis Biau itu menggoyang pinggul dan berkelebat pergi, bayangannya lenyap di balik kegelapan sana.
Memandang bayangan tubuhnya, Tio Tian-seng menghela napas panjang, kemudian ujarnya, "Bong-laute, apakah kita mesti menunggu datangnya malaikat maut mencabut nyawa kita?" "Kecuali memenuhi syarat yang diajukan olehnya, terpaksa memang kita hanya bisa menunggu datangnya ajal." Tio Tian-seng tertawa pedih. "Sekarang kita cuma ada dua jalan saja yaitu menggertaknya agar mau menyerahkan obat penawar racun atau pura-pura menyanggupi permintaannya." "Aku takut berbuat begitu, kita akan kehilangan pamor sebagai umat persilatan."
Sekali lagi Tio Tian-seng tertawa sedih, "Dalam persilatan banyak terjadi peristiwa yang merugikan pihak lain seperti ini. Bila kita berhasil merenggut nyawanya pun, aku rasa hal ini bukan suatu dosa besar, mengingat tindakannya berpeluk tangan melihat jiwa orang terancam sudah melanggar peraturan dunia persilatan."
Pendekar Cacat 1318
"Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak kemudian sesudah menghela napas sedih, "sudah kau saksikan bahwa perempuan ini sangat cerdik, teliti dan seksama, caranya bicaranya pun sangat diplomatis dan tajam, aku lihat dia bukan perempuan biasa." "Aku memang dapat merasakan, gadis ini berbeda sekali dengan kebanyakan gadis lain, tapi kita kan tak bisa berpeluk tangan menanti tibanya ajal bukan?"
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, setelah mengangkat kepala dan memandang cuaca, dia berkata, "Sekurangnya kentongan kelima telah tiba, lebih baik kita berdiam dulu di rumah penginapan Ban-' heng sambil menunggu perkembangan situasi!" Tio Tian-seng menyetujui usul Bong Thian-gak, maka dengan langkah pelan berangkatlah mereka ke kota Lokyang. Sambil berjalan Bong Thian-gak bertanya, "Tio-pangcu, apakah kau sudah merasakan sesuatu perubahan di dalam tubuhmu?" "Ya, pipiku mulai terasa panas." "Ai, aku pun mulai merasa kaku pada sekeliling mulut luka itu."
Pendekar Cacat 1319
"Berarti kita benar-benar sudah terkena racun. Bisa jadi satu jam kemudian, sekujur badan kita akan menjadi kaku dan tidak dapat bergerak lagi, mari kita percepat perjalanan kita!" Sambil berkata, kedua orang itu menggunakan Ginkang menuju ke arah dinding kota.
Dalam perjalanan, tiba-tiba dari balik kegelapan sana terdengar suara bentakan nyaring, "Kalian kawanan manusia laknat darimana? Ayo cepat kalian sebutkan namamu!" Bong Thian-gak menjadi tertegun mendengar suara itu, katanya kemudian, "Tio-pangcu, nada suara ini sangat kukenal, apakah suara gadis suku Biau itu?" "Benar," Tio Tian-seng mengangguk, "memang suaranya, mari kita tangok ke sana!" Kedua orang itu segera mengubah arah dan menuju ke sudut kota sebelah utara. Di sisi dinding kota, di bawah beberapa batang pohon besar, tampak delapan lelaki kekar berbaju hitam dengan pedang terhunus sedang mengepung gadis suku Biau.
Pendekar Cacat 1320
Sedang di balik kegelapan di sisi dinding kota rasanya masih terdapat pula sekelompok orang sedang mengawasi arena. Sebenarnya Bong Thian-gak hendak melompat keluar tapi Tio Tian Seng segera menarik tangannya sambil berbisik, "Tunggu dulu, mari bila selidiki dulu asal-usul gadis suku Biau itu!" Mereka berdua lantas menyelinap ke balik pohon besar. Dalam pada itu kedelapan lelaki kekar berpedang itu sudah mulai melancarkan serangan, tiga orang pertama dengan ketiga pedangnya secepat kilat melancarkan tusukan ke gadis itu. Dari kecepatan mereka melancarkan serangan, dapat dilihat kepandaian silat orang-orang itu cukup hebat.
Siapa sangka baru saja ketiga lelaki itu melancarkan serangannya, tiba-tiba bergema jerit kesakitan yang memilukan seperti jeritan babi yang disembelih. Ketiga orang itu tahu-tahu sudah membuang pedang mereka dan menutup wajah dengan kedua belah tangan dan bergulingan di atas tanah, tak lama kemudian mengejang keras dan tak berkutik lagi untuk selamanya. Kejadian di depan mata ini kontan membuat semua jago lainnya berkerut kening, sebab barusan tak seorang pun di
Pendekar Cacat 1321
antara mereka yang melihat bagaimana gadis Biau melepaskan serangan.
Dengan terkejut Bong Thian-gak segera bertanya, "Tiopangcu, sudahkah kau lihat dengan kepandaian apakah ia melukai musuh-musuhnya?" Tio Tian-seng menggeleng. "Sepasang tangannya sama sekali tidak bergerak, tapi musuh segera menjerit kesakitan. Mungkin ada orang lain yang membantunya secara diam-diam?" "Tempat persembunyian kita letaknya cukup strategis, semua penjuru arena bisa terlihat dengan jelas, tapi kenyataan kita tidak melihat kehadiran orang lain di seputar arena yang telah membantunya." "Aku rasa ketiga orang itu seperti tewas oleh serangan senjata rahasia beracun yang kecil dan lembut bentuknya, bisa jadi sebangsa jarum bunga Bwe atau sebangsanya yang melukai mata mereka. Kalau begitu gadis itu melepaskan senjata rahasia dengan menggunakan semburan mulut."
Belum selesai ia berkata, lima lelaki berbaju hitam lainnya sudah menggerakkan pedang memainkan selapis kabut
Pendekar Cacat 1322
pedang, kemudian bersama-sama melancarkan bacokan kilat yang sangat hebat. Kali ini gadis Biau itu melakukan putaran badan satu lingkaran, jeritan demi jeritan ngeri yang menyayat hati sekali lagi berkumandang. Yang lebih mengerikan lagi adalah gadis Biau itu masih belum juga menggerakkan tangan melancarkan serangan, tapi hasilnya kelima orang itu sudah roboh bergulingan sambil menjerit kesakitan, bahkan jiwa mereka melayang.
Bong Thian-gak pun berseru tertahan, lalu bisiknya, "Perkataan Tio-pangcu memang benar, jarum beracun itu disemburkan lewat mulut." Dalam pada itu rombongan orang yang berdiri di sisi dinding kota malah menerjang tiba dengan gerakan cepat, mereka terdiri dari delapan utang lelaki berbaju hitam pula. Mendadak bergema suara bentakan, "Mundur!" Kedelapan orang yang sudah menerjang ke depan tadi serentak menghentikan langkah. Dari balik kegelapan pelan-pelan muncul seorang, setelah tertawa terbahak-bahak ia berkata, "Jarum beracun nona memang lihai sekali. Malam ini aku benar-benar memperoleh pengetahuan yang sangat berharga, rasanya
Pendekar Cacat 1323
di kolong langit dewasa ini hanya satu orang yang mampu menyebarkan racun melalui mulut, dia adalah Kui-kok Sianseng duri bukit Bong-san."
Gadis Biau itu tertawa kecil. "Kau mampu melihat semburan jarum beracunku lewat mulut, ketajaman matamu memang pantas disebut jagoan persilatan. Ayo sebutkan siapa namamu!" Kakek bungkuk itu kembali tertawa. "Aku she Bu bernama Seng." Begitu si kakek bungkuk menyebut namanya, Tio Tian-seng segera berbisik lirih, "Ah, dia adalah si pukulan tanpa wujud Bu Seng." "Tio-pangcu apakah dia adalah pukulan tanpa wujud Bu Seng yang angkat nama bersama guruku Thi-ciang-kan-kunhoan Oh Ciong-hu pada empat puluh tahun berselang?" tanya Bong Thian-gak.
Tio Tian-seng mengangguk membenarkan. "Betul, kalau dibilang siapa-siapa saja yang termasyhur dalam Bu-llm karena ilmu pukulannya, maka orang pertama
Pendekar Cacat 1324
adalah gurumu Oh Ciang hu almarhum, kemudian Bu Seng. Sungguh tak kusangka Bu Seng masih hidup." Sementara itu setelah kakek bungkuk itu menyebut namanya, sambil tersenyum gadis Biau itu berkata, "Pukulan tanpa wujud Bu Seng memang termasyhur dalam persilatan, namun malam ini di sini masih hadir pula seorang yang mempunyai nama besar lebih termasyhur daripadamu dan orang itu sudah menjadi pengawalku sekarang." Mendengar itu, si kakek bungkuk tertawa terbahak-bahak, "Siapa nama besar pengawal nona itu?" Agaknya dia belum percaya atas perkataan gadis Biau itu.
Sesungguhnya berapa orangkah yang mempunyai nama dan kedudukan yang lebih tinggi daripada dirinya saat ini? "Si tua Bu, rupanya kau tidak percaya perkataanku ini," seru gadis itu sambil tertawa. "Coba jawab, cukup tenarkah nama besar Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng dalam dunia persilatan?" Mendengar kata-katanya itu, Bong Thian-gak segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng.
Pendekar Cacat 1325
Tampak Tio Tian-seng menggeleng kepala sambil tertawa getir, "Wah, agaknya dia telah menganggap kita berdua sebagai pengawalnya."
Sementara itu si kakek bungkuk sudah dibuat serba salah oleh perkataan lawan, dengan wajah meringis katanya, "Tio Tian-seng adalah Kay-pang Pangcu, masakah dia pengawalmu? Benar-benar melantur dan tak bisa dipercaya." "Hei, si tua Bu, bagaimana kalau kita bertaruh?" tantang si gadis suku Biau itu dengan suara merdu. "Bagaimana caranya bertaruh?" "Seandainya Tio Tian-seng adalah benar-benar pengawalku, kau mesti segera mengundurkan diri dan tidak lagi mencari gara-gara kepada nonamu ini, setuju?"
Kakek bungkuk itu tertawa keras, "Hahaha, bagaimana caramu membuktikan bahwa Tio Tian-seng adalah pengawalmu? Apakah cuma mengandalkan bibirmu yang pandai bicara itu?" "Oh, soal itu mudah untuk dibuktikan. Asal aku mau, dapat kuperintahkan Tio Tian-seng menuruti perintahku."
Pendekar Cacat 1326
"Bagaimana seandainya kau yang kalah?" "Kalau aku kalah, maka terserah kepada perintahmu, aku tak akan melawan sedikit pun juga." Kakek bungkuk itu memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, lalu ujarnya, "Nona, kau sudah kalah." "Mau bertaruh atau tidak, terserah pada keputusanmu sendiri," jengek si nona Biau sambil tertawa dingin. "Nona telah membunuh delapan orang anak buahku, aku tak sudi bergurau denganmu lagi," tukas si kakek bungkuk itu ketus.
"Aku tahu, sepasang telapak tanganmu itu lihai dan tiada tandingannya. Sekali turun tangan, maka sudah pasti aku akan tewas di tanganmu." Sampai di situ, tiba-tiba ia menghentikan perkataannya. Sudah jelas perkataan itu memang sengaja diucapkan agar terdengar oleh Tio Tian-seng. Pada saat itulah dengan suara lirih Bong Thian-gak bertanya, "Tio-pangcu, bagaimana keputusanmu?"
Pendekar Cacat 1327
"Tampaknya ia sudah tahu kita telah menyembunyikan diri di sekitar sini, maksud tujuannya jelas hendak memaksa kita menampakkan diri." "Tio-pangcu adalah seorang terhormat dengan kedudukan mulia, kau tak boleh memberi kesan kepada orang lain bahwa dirimu adalah pengawalnya. Biar Boanpwe saja yang tampil melihat keadaan."
Selesai berkata, pemuda itu segera melompat ke udara dan melayang turun di sisi kiri gadis Biau itu bagaikan malaikat yang turun dari kahyangan, setibanya di situ dia membungkam. Diam-diam si kakek bungkuk itu terkejut menyaksikan gerakan Bong Thian-gak yang amat sempurna, diawasinya pemuda itu beberapa saat, kemudian tegurnya, "Apakah orang ini adalah pengawalmu?" Dengan matanya yang jeli, gadis Biau mengerling sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu dengan senyuman bangga yang menghiasi ujung bibirnya ia menyahut, "Benar, dia adalah pengawalku!" "Kalau begitu biar kubunuh pengawalmu ini terlebih dahulu," seru si kakek bungkuk sambil tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1328
Tiba-tiba si kakek bungkuk mengayun telapak tangan kanannya ke depan, segulung angin pukulan yang tak berwujud bagaikan amukan Mmhak di tengah samudra langsung menggulung ke arah anak muda itu. Bong Thian-gak tidak menyangka lawan segera melepas serangan begitu selesai mengatakan akan turun tangan. Sambil mendengus pemuda itu mengayun lengan tunggalnya menyambut datangnya ancaman kakek bungkuk itu dengan keras melawan keras.
Sementara itu dalam pikiran si kakek bungkuk ia justru kuatir apabila Bong Thian-gak berkelit dan tak berani menyongsong datangnya serangannya dengan kekerasan. Maka begitu melihat lawannya menyambut ancaman itu dengan kekerasan, ia segera berpikir sambil tertawa geli, "Bocah keparat, kau sudah ingin mampus rupanya." Belum habis ingatan itu melintas, dua gulung angin pukulan tanpa wujud sudah saling bentur. Gelombang angin pukulan yang saling bentur itu seketika menimbulkan pusaran serta desingan angin tajam yang mengerikan dan melontarkan pasir serta debu hingga memenuhi angkasa.
Pendekar Cacat 1329
Akibat benturan yang amat keras itu sepasang bahu kakek itu bergetar keras hingga tak dapat dicegah lagi tubuhnya terdorong mundur sejauh tiga langkah. Sebaliknya Bong Thian-gak juga mendengus tertahan, lalu secara beruntun dia mundur tiga langkah dengan sempoyongan. Ketika kakek bungkuk itu melihat Bong Thian-gak masih berdiri segar bugar di tempat, paras mukanya kontan berubah hebat, setelah tertawa dingin katanya, "Ehm, dari kemampuanmu menyambut seranganku tadi, bisa kuduga tenaga dalam yang kau miliki benar-benar amat sempurna."
Pada saat itu Bong Thian-gak harus menerima semuanya itu tanpa menjawab, karena itu dia berlagak bisu dan tuli serta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sesudah tertawa bangga, gadis suku Biau itu berkata kembali, "He, si tua Bu, kau jangan keburu bangga dulu dengan mengira ilmu pukulanmu sudah tiada taranya di dunia ini. Ketahuilah pada malam ini kau telah bertemu dengan lawan tandingmu, tentunya kemampuan yang dimiliki anak buahku itu tidak lebih lemah daripada kemampuan yang kau miliki bukan?"
Pendekar Cacat 1330
Sebenarnya kakek bungkuk ini memang agak bergidik dibuatnya, tapi di luar ia tetap berkata sambil tertawa dingin, "Siapa nama besar pengawalmu ini?" Gadis suku Biau itu tersenyum. "Jika kusebut namanya, besar kemungkinan kau akan terperanjat." Sekali lagi si kakek bungkuk mengawasi Bong Thian-gak sekejap, lalu dengan kening berkerut katanya, "Jangan kuatir, nyaliku cukup besar, coba katakan orang ternama darimanakah pengawalmu itu hingga tela bertekuk lutut menjadi budak orang."
Bong Thian-gak kontan mengerut dahi, hawa napsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya. Kembali gadis suku Biau itu berkata sambil tersenyum, "Dia adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak, pernah kau dengar nama orang Ini?" Berubah hebat paras muka si kakek bungkuk itu, segera ia berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya, "Benarkah kau adalah Jian ciat-suseng?" "Benar, akulah orangnya," untuk pertama kalinya Bong Thian-gak bersuara dan menjawab dengan suara hambar.
Pendekar Cacat 1331
Tiba-tiba kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, kemudian *erunya lantang, "Aku dengar kau telah mendirikan sebuah partai yang dinamakan Hiat-kiam-bun. Sungguh tak kusangka malam ini kau justru mengikat hubungan dengan perempuan liar ini, bahkan bersedia menjadi budaknya. Peristiwa ini benar-benar tidak kusangka." "Apa yang hendak kuperbuat, lebih baik kau tak usah ikut campur," kata Bong Thian-gak dengan suara dingin. "Bagaimana pun juga malam ini, Jian-ciat-suseng tak akan mengizinkan kau melukainya barang seujung rambut pun." Sekali lagi kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, "Sudah puluhan tahun aku belum pernah bertemu seorang lawan tanding. Malam ini Jian-ciat-suseng memang perlu merasakan kemampuan sepasang telapak tanganku ini."
"Bu Seng, ilmu pukulan tanpa wujudmu meski sudah termasyhur di seluruh kolong langit belum tentu aku bukan tandinganmu, tapi malam ini orang yang melindungi keselamatannya bukan cuma aku orang. Oleh sebab itu kuanjurkan kepada Bu-locianpwe agar segera mengundurkan diri, kesempatan bagi kita untuk bertarung di kemudian hari masih cukup banyak." "Siapa lagi yang berada di sini?" desak kakek bungkuk itu cepat.
Pendekar Cacat 1332
Dengan suara dalam Bong Thian-gak menjawab, "Jangan kau tanya siapa orangnya, yang jelas dia adalah seorang tokoh sakti dari persilatan yang memiliki ilmu silat lebih tangguh daripada aku." "Tahukah kau apa yang menjadi sengketa antara diriku dengan perempuan itu?" tegur si kakek bungkuk lagi. "Walaupun aku tak tahu, namun kuharap Bu-locianpwe sudi memberi muka untuk kali ini saja, di kemudian hari aku pasti akan memohon maaf kepada Locianpwe." Kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, "Baiklah kalau begitu, aku mengundurkan diri untuk sementara waktu."
Selesai berkata, dia lantas mengulap tangan, kedelapan lelaki berbaju hitam tadi serentak menggotong jenazah rekan-rekannya dan berlalu mengikut di belakang kakek bungkuk itu. Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap di balik kegelapan sana. Pada saat itulah dari bawah rindangnya pepohonan pelanpelan berjalan keluar Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng.
Pendekar Cacat 1333
Dengan suara rendah dan berat, Bong Thian-gak segera berkata kepada gadis suku Biau itu, "Nona, sekarang aku hendak bicara secara blak-blakan padamu. Kami bersedia membantumu menghadapi musuh mana pun, tetapi enggan menuruti perintah dan menjalankan tugas yang kau berikan." "Tentunya nona tahu meskipun aku dan Tio-pangcu sudah keracunan, namun masih memiliki kekuatan untuk bertempur melawan musuh mana pun juga, tetapi demi keselamatan kami berdua, besar kemungkinan kami akan berbuat sewenang-wenang terhadapmu."
Biau-kosiu tertawa, "Kau menyebut diri sebagai pendekar, apakah kalian benar-benar akan turun tangan keji terhadap seseorang yang sama sekali tidak ada ikatan dendam maupun sakit hati terhadap dirimu?" "Nona tak sudi menolong orang yang sedang susah, tiada setia kawan serta ingkar janji. Apakah kami pun akan membiarkan kau bertindak sewenang-wenang untuk keuntungan dirimu sendiri?" Tiba-tiba Biau-kosiu menghela napas panjang, "Ai, semua itu gara-gara aku telah cerewet sehingga membocorkan kepada kalian bahwa aku dapat menyembuhkan racun sengatan nyamuk penghancur darah."
Pendekar Cacat 1334
"Bila nona bersedia membantu kami, Bong Thian-gak tak akan melupakan budi kebaikanmu itu." "Baiklah, aku bersedia menghadiahkan obat penawar racun untuk kailian berdua," ucap Biau-kosiu kemudian. "Apakah obat penginapan?"
penawar
racun
berada
di
rumah
"Ya, silakan kalian ikut aku kembali ke rumah penginapan Ban-heng!"
Rumah penginapan Ban-heng adalah rumah penginapan terbesar ili kota Lok-yang, bangunan rumahnya bersusunsusun dan kamarnya terdiri dari ratusan bilik, letaknya di sebelah barat dekat dinding kota. Oleh karena itu Bong Thian-gak, Tio Tian-seng dan Biaukosiu menelusuri dinding kota menuju ke bagian barat, kemudian melompati dinding benteng dan melayang masuk ke halaman rumah penginapan Han-heng. Waktu itu kentongan kelima baru saja bergema, bintang dan rembulan telah tenggelam, langit dicekam kegelapan.
Pendekar Cacat 1335
Dengan gerakan tubuh yang enteng, Biau-kosiu menelusuri halaman menuju gedung lapisan kedua dan pada akhirnya melayang turun ke muka sebuah pintu. Baru saja mereka muncul, dari balik gedung sudah terdengar seorang perempuan menegur tapi penuh kasih sayang, "Anak Siu di situ?" Menyusul cahaya lentera menerangi ruangan kamar. "Nenek, Siu-ji yang datang," Biau-kosiu berseru manja. Dari balik ruangan terdengar perempuan tua itu menegur lagi, "Siapakah kedua orang lainnya?"
Ketika mendengar teguran itu, paras muka Tio Tian-seng dan Hong Thian-gak sama-sama berubah hebat, pikir mereka, "Hebat, tajam dan cekatan benar pendengaran perempuan itu, padahal langkah kami sudah diusahakan seringan mungkin, sudah tidak menimbulkan sedikit suara pun, tapi anehnya mengapa pihak lawan bisa membedakan berapa orang yang telah datang?" Dapatlah diduga perempuan di dalam ruangan itu adalah seorang Jagoan yang berilmu sangat tinggi.
Pendekar Cacat 1336
Diam-diam Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng jadi kuatir, andaikata Biau-kosiu ingkar janji dan tak bersedia menyerahkan obat penawar racun, sanggupkah mereka berdua menandingi Biau-kosiu beserta perempuan tua itu? Dalam pada itu Biau-kosiu termenung sesaat, tidak langsung menjawab, mendadak dari kegelapan muncul bayangan orang, tahu-tahu ada tiga orang telah mengurung Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng. Ketiga orang itu terdiri dari seorang nenek berambut putih berwajah merah, membawa toya kepala setan yang besarnya selengan bocah dan berwarna hitam pekat.
Di sisi nenek itu adalah seorang perempuan setengah umur yang tinggi kekar bermata tunggal berparas jelek serta bertelanjang kaki yang bentuknya sebesar gajah. Sedang di sebelah kanannya adalah seorang lelaki kekar setengah umur yang hitam dan jelek, bermata tunggal dan berperawakan tinggi kekar, dia pun bertelanjang kaki. Pada hakikatnya kedua orang terakhir ini merupakan pasangan yang amat serasi, baik lelaki maupun yang perempuan sama-sama berwajah bengis, buas, bermata tunggal dan bertelanjang kaki.
Pendekar Cacat 1337
Dari kemampuan ketiga orang yang muncul tanpa menimbulkan sedikit suara, bahkan sanggup menyelinap dengan kecepatan tinggi, jelas kemampuan mereka sungguh hebat dan tak bisa dianggap enteng. Seketika itu juga Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng dicekam oleh ketegangan yang luar biasa. Sementara itu Biau-kosiu telah bersandar dalam pelukan si nenek berambut putih itu sambil berkata dengan manja, "Nenek, berilah dua butir pil penawar nyamuk beracun untukku, anak Siu telah berjanji akan menghadiahkan untuk mereka berdua."
Dengan penuh kasih sayang nenek berambut putih itu membelai rambut Biau-kosiu, lalu katanya, "Anak Siu, siapa kedua orang ini? Mengapa kau berjanji hendak menghadiahkan pil penawar nyamuk beracun itu kepada mereka?" "Nenek janganlah bertanya terus, Siu-ji telah berjanji, tentu saja aku tidak ingin ingkar janji. Nenek, ayolah ambil pil itu!" Tampaknya nenek berambut putih itu sangat menyayangi Biau-kosiu, ia segera menjawab, "Baik, nenek akan memberikan dua butir untuk mereka."
Pendekar Cacat 1338
Seusai berkata, tiba-tiba nenek berambut putih itu mengeluarkan dua pil berwarna merah dari dalam sebuah botol berwarna putih porselen, kemudian diserahkan ke tangan nona itu. Setelah menerima pil itu, Biau-kosiu segera menyerahkan kepada Bong Thian-gak sambil ujarnya manja, "Cepat kalian telan pil itu dan tinggalkan tempat ini secepatnya!" Bong Thian-gak menerima pil itu, baru saja hendak mengucapkan beberapa patah kata merendah, nona itu di bawah bimbingan si nenek berambut putih dan diikuti sepasang laki perempuan bermata tunggal itu sudah berlalu dari sana.
Bong Thian-gak hanya bisa menghela napas dan menyerahkan sebutir pil ke tangan Tio Tian-seng, kemudian mereka menelan pil itu. Begitu pil itu masuk ke dalam mulut, bau harum semerbak memancar kemana-mana, pil segera mencair dan membaur dengan liur mengalir ke dalam perut. Tak lama kemudian mereka berdua merasakan semangatnya berkobar kembali, dada terasa lapang dan segar.
Pendekar Cacat 1339
Tio Tian-seng pun menarik Bong Thian-gak untuk diajak pergi dari situ. "Kita hendak kemana?" tanya Bong Thian-gak. "Mari kita memesan kamar dan tinggal di rumah penginapan ini." Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng pun menginap di rumah penginapan Ban-heng, jaraknya dari situ ke gedung yang ditempati Biau-kosiu sekalian cuma selisih sebuah beranda lebar. Di dalam gedung yang mereka pesan terdapat dua buah kamar dengan bagian tengahnya merupakan ruang tamu. Ketika Tio Tian-seng pergi meninggalkan penginapan, dalam ruangan itu tinggal Bong Thian-gak seorang.
Perjalanan yang jauh semalam suntuk membuat Bong Thian-gak merasa agak lelah, ketika ia bersiap-siap masuk ke dalam kamar untuk beristirahat, mendadak dari halaman muka bergema suara langkah kaki, lalu seseorang berkelebat dan di muka pintu sudah berdiri seorang sastrawan berbaju putih. : Dengan terkejut Bong Thian-gak menegur, "Kau mencari siapa?"
Pendekar Cacat 1340
Tampang sastrawan berbaju putih itu ganteng, mata jeli dan Indung mancung, mukanya putih bersih, ia menggenggam kipas putih dan menggembol sebilah pedang di punggungnya. Dengan sorot mata tajam ia mengawasi wajah Bong Thiangak lekat-lekat. Sekulum senyuman yang angkuh menghiasi ujung bibirnya, ia ganti menegur dengan lantang, "Kau yang bernama Jian-ciat-suseng?" "Benar," Bong Thian-gak manggut-manggut. "Ada urusan apa kau datang mencariku?" Sastrawan berbaju putih itu tersenyum. "Aku she Liong bernama Oh-im." Sekalipun Bong Thian-gak merasa agak bingung dan heran atas kedatangan tamu tak diundang ini, namun ia segera menyahut dengan nada gembira, "Oh, rupanya Liong-heng. Silakan duduk." Tanpa sungkan sastrawan berbaju putih Liong Oh-im melangkah masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Bong Thian-gak menuang secangkir teh untuk tamunya, kemudian baru bertanya lagi, "Apakah Liong-heng mencari aku?"
Pendekar Cacat 1341
"Benar," Liong Oh-im tertawa dingin. "Adapun kedatanganku tak lain adalah menanyakan beberapa persoalan kepada Bong-tayhiap." "Liong-heng ada urusan apa, silakan saja utarakan secara terus terang," jawab Bong Thian-gak tertegun. Kembali Liong Oh-im tertawa. "Sebenarnya kita memang tidak saling mengenal. Karenanya bila kedatanganku telah mengganggu Bongtayhiap, harap sudi memaafkan." "Ah, empat penjuru adalah tetangga, empat samudra adalah saudara." Tiba-tiba sastrawan berbaju putih merendahkan suara, kemudian berbisik, "Bong-tayhiap, sebenarnya persoalan yang hendak kutanyakan adalah masalah yang menyangkut hubungan Bong-tayhiap dengan Biau-kosiu." "Kau maksudkan gadis suku Biau itu?" tanya Bong Thiangak terperanjat. Liong Oh-im tersenyum. "Konon Bong-tayhiap menjadi salah satu pengawal Biaukosiu? Apa benar kabar ini?"
Pendekar Cacat 1342
Bong Thian-gak tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian balik bertanya, "Ada urusan apa Liong¬heng menanyakan hal ini?" Kembali Liong Oh-im tertawa kering, "Aku hanya ingin tahu, benarkah Bong-tayhiap sudah menjadi pengawalnya?" "Tidak," Bong Thian-gak menggeleng dengan tegas. "Kalau memang Bong-heng bukan pengawal Biau-kosiu, buat apa kau tetap berada di sini untuk menyerempet bahaya?" Bong Thian-gak tersenyum. "Dengan berdiam dalam rumah penginapan mungkinkah aku akan menjumpai ancaman maut?"
ini,
"Sudah banyak jago-jago lihai persilatan yang beranggapan bahwa Bong-tayhiap adalah orang Biau-kosiu. Dengan tetap berada di sini, bukankah sama artinya menjajakan diri menjadi sasaran kemarahan orang?" Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "Apakah kau berasal dari satu aliran dengan si pukulan tanpa wujud Bu Seng?" "Betul, Bu Seng si tua itu tak lebih adalah panglima andalanku."
Pendekar Cacat 1343
Bong Thian-gak sangat terkejut, segera pikirnya, "Jadi dia adalah anak buahnya? Lantas orang macam apakah Liong Oh-im?" Bu Seng adalah tokoh silat yang pernah menggemparkan Bu-lim pada empat puluh tahun berselang, tapi sekarang dia tak lebih cuma seorang anak buah Liong Oh-im yang masih begitu muda. Tentu Liong Oh-im adalah seorang yang mempunyai asalusul luar biasa. Bong Thian-gak berpikir beberapa saat, kemudian katanya sambil tersenyum, "Apakah kau hendak membuat perhitungan dengan Biau-kosiu serta rombongannya?" "Boleh dibilang begitu," sahut Liong Oh-im sambil tertawa ringan. Bong Thian-gak segera tertawa. "Aku rasa Biau-kosiu bukan manusia yang mudah dihadapi, lagi pula di sekelilingnya dilindungi oleh beberapa jago silat berilmu tinggi. Uni u k menghadapi perempuan itu, kau mesti banyak membuang tenaga dan pikiran." "Justru karena agak sulit dihadapi, maka aku sengaja datang menjumpai Bong-tayhiap dan berharap kau tidak mencampuri urusan Ini," kata Liong Oh-im sambil tertawa. ***
Pendekar Cacat 1344
17 KITAB PUSAKA MI-TIONG-BUN
B
ong Thian-gak juga tertawa. "Ah, aku cukup terang pikiran untuk membedakan mana budi dan mana dendam. Bila ada orang melepas budi kepadaku, aku pun akan membalas kebaikan kepadanya, tapi bila orang memberi kejahatan padaku, aku pun bersumpah akan menuntut balas. Jika persoalan tiada sangkut-paut dengan budi dan dendam, maka aku pun akan berpeluk tangan." Liong Oh-im terbahak-bahak, "Jika Bong-tayhiap memang benar memegang ketat perkataanmu itu, aku pun tak usah kuatir lagi. Baiklah, aku mohon diri lebih dulu." Selesai berkata, dia lantas berdiri, memberi hormat dan segera membalikkan badan berlalu dari situ. Bong Thian-gak mengawasi bayangan Liong Oh-im lenyap dari pandangan, kemudian menghela napas seraya
Pendekar Cacat 1345
bergumam, "Sebenarnya orang macam apakah Liong Ohim? Dilihat dari gerak-geriknya, dia seperti memiliki jiwa seorang pemimpin. Mungkinkah dia benar-benar seorang tokoh terkenal yang memiliki kedudukan tinggi?" Belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba dari luar pintu sudah muncul Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng. Begitu memasuki ruangan, Tio Tian-seng segera bertanya, "Bong-laute, apakah ada tamu yang telah berkunjung kemari?" Sekali lagi Bong Thian-gak tertegun, kemudian baru jawabnya, "Ya, memang ada seorang tamu tak diundang yang telah berkunjung kemari. Dia mendatangkan kebimbangan, kecurigaan dan kemisteriusan bagiku." "Oya? Tamu macam apakah dia?" "Seorang sastrawan berbaju putih yang berusia dua puluh tujuh-delapan tahun, dia mengaku bernama Liong Oh-im." Mendengar nama itu, paras Tio Tian-seng berubah, kemudian serunya terkejut, "Liong Oh-im? Dia adalah Giokgan-suseng (sastrawan berwajah kemala) Liong Oh-im yang namanya amat tersohor di seputar wilayah Se-ih." Bong Thian-gak belum pernah mendengar tentang Giokgan-suseng. Oleh sebab itu dia tidak terpengaruh oleh nama ini, malah tanyanya, "Menakutkankah orang itu, Tiopangcu?"
Pendekar Cacat 1346
"Mungkin Bong-laute belum begitu mengenal dan belum pernah mendengar tentang Giok-gan-suseng Liong Oh-im ini. Ketahuilah, sejak delapan belas tahun berselang, nama besar Giok-gan-suseng sudah amat termasyhur, bahkan amat menggetarkan wilayah Se-ih." "Delapan belas tahun berselang?" Bong Thian-gak terkejut. "Tapi aku rasa Liong Oh-im masih berusia dua puluh delapan tahunan. Ah, mana mungkin? Masakah sejak usia sepuluh tahun sudah terkenal dan menggemparkan persilatan?" "Bong-laute, kau salah taksir. Liong Oh-im tidak terhitung anak muda lagi, usianya sekarang sekitar empat puluh tahunan, tapi oleh karena dia telah memakan obat mustika yang disebut Ho-siu-uh yang berusia seribu tahun, maka wajahnya tetap awet muda dan menyerupai anak muda berusia dua puluh tahun, ditambah lagi parasnya memang termasuk tampan. Itulah sebabnya orang menyebut Giokgan-suseng kepadanya." "Ah, masakah di dunia ini benar-benar terdapat sejenis obat mustika yang bisa membuat orang awet muda?" seru Bong Thian-gak heran. "Barusan aku telah berkunjung ke kantor cabang perkumpulan di Lok-yang dan mendapat tahu bahwa Lokyang telah dijadikan arena perkumpulan jago lihai dari seluruh kolong langit, seakan-akan bakal terjadi suatu peristiwa yang mengerikan di kota Lok-yang ini."
Pendekar Cacat 1347
Bong Thian-gak menghela napas ringan. "Setelah mendengar perkataan Liong Oh-im tadi, kemudian dicocokkan dengan perkataanmu barusan, maka aku rasa berkumpulnya para jago persilatan di kota Lok-yang ini bisa jadi hendak mencari gara-gara kepada pihak Biau-kosiu." Secara ringkas lantas Bong Thian-gak menceritakan apa yang dibicarakannya bersama Liong Oh-im belum lama berselang. Kata Tio Tian-seng dengan suara dalam, "Bong-laute, untuk menghadapi seorang Hek-mo-ong saja kita sudah cukup dibuat pusing dan kewalahan. Apakah kau hendak menanam bibit bencana lagi dengan mencari musuh baru macam Giok-gan-suseng Liong Oh-im?" "Biau-kosiu telah melepas budi pertolongan kepada kita berdua, apakah kita harus berpeluk tangan membiarkan dia dipermainkan dan dianiaya orang lain?" "Bong-laute," Tio Tian-seng berkata, "pernahkah kau bayangkan siapakah sebenarnya orang yang telah menyergap kita dengan nyamuk-nyamuk penghancur darah itu?" "Apakah hasil perbuatan Hek-mo-ong?" Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang-kali.
Pendekar Cacat 1348
"Aku rasa bukan Hek-mo-ong, melainkan perbuatan Biaukosiu." "Bagaimana penjelasanmu tentang persoalan ini? Antara kita dengan Biau-kosiu sama sekali tidak terikat dendam sakit hati apa pun?" "Apabila perbuatan Hek-mo-ong, maka dia pasti tidak hanya melepaskan nyamuk penghancur darah saja dan lebih-lebih tidak akan mengizinkan Biau-kosiu menyelamatkan jiwa kita. Sekarang kota Lok-yang sudah menjadi pusat jagoan dari bermacam-macam aliran dan kedatangan mereka pun untuk membuat gara-gara kepada Biau-kosiu serta rombongannya, posisi Biau-kosiu sudah terjepit dan menghadapi ancaman dari mana-mana. Betul, dia masih dilindungi nenek berambut putih serta lakiperempuan bermata tunggal itu, tapi mungkinkah baginya membendung serangan Liong Oh-im bersama kawanan jago lihai lainnya?" "Oleh sebab itu Biau-kosiu yang licik dan banyak tipu muslihat itu melepas nyamuk-nyamuk penghancur darah untuk mencelakai kita, kemudian menguntit dan memaksa kita menjadi pengawalnya." "Entah bagaimanakah pendapat Bong-laute tentang keteranganku ini? Apakah masih dapat diterima?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, apabila Tiopangcu tidak mengatakan lebih dahulu bahwa Hek-mo-ong bisa menyergap kita berdua, aku pun menduga seperti apa
Pendekar Cacat 1349
yang baru saja kau kemukakan. Cuma peristiwa ini sudah lewat, entah Biau-kosiu benar-benar melepas nyamuknyamuk penghancur darah secara sengaja untuk mencelakai kita atau tidak, Boanpwe sudah tidak mengingat lagi masalah itu dalam hati." "Bong-laute, hari ini kita masih berdiam di Lok-yang karena menunggu kabar Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing. Kita hanya secara kebetulan bertemu perselisihan antara golongan Biau-kosiu dengan Giok-gan-suseng Liong Oh-im. Perkataan Bong-laute terhadap Liong Oh im kunilai tepat sekali, kita memang tak usah mencampuri urusan orang lain, lebih baik berpeluk tangan menyaksikan mereka saling gontok." "Tio-pangcu," tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "sekarang aku makin bingung. Betulkah dalam Bu-lim terdapat seorang tokoh yang disebut Hek-mo-ong?" "Tak heran Bong-laute merasa ragu dan sangsi terhadap peristiwa Ini. Nama Hek-mo-ong memang tidak diketahui oleh sebagian besar umat persilatan, seperti pula keberhasilan perkumpulan Put-gwa-cin-kau menguasai dunia persilatan. Hal ini pun disebabkan kemisteriusan yang menyelimuti setiap tokoh mereka." "Tio-pangcu, kau mempunyai dugaan atas empat orang yang kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong, bolehkah kuketahui keempat orang yang manakah menurut kau kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong?"
Pendekar Cacat 1350
Tio Tian-seng termenung dan berpikir sesaat lamanya, kemudian buru menjawab, "Keempat orang yang mencurigakan itu adalah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, si tabib sakti Gi Jian-cau, Giok-gan-suseng Liong Oh-im serta To-pit-coat-to Liu Khi," sebab hanya keempat orang Inilah yang memiliki kepandaian silat cukup tangguh untuk memegang peranan sebagai Hek-mo-ong." "Tio-pangcu, mengapa kau mencantumkan nama wakil ketuamu, Liu Khi, dalam daftar orang-orang yang kau curigai?" tanya Bong Thian-gak"Ya, setiap orang yang kucurigai sesungguhnya mempunyai alasan dan bukti yang cukup kuat," kata Tio Tian-seng seraya manggut-manggut. "Walaupun Liu Khi sempat memangku jabatan sebagai wakil ketua Kay-pang, namun gerak-gerik, ilmu silat dan kecerdasannya, rasanya lebih dari cukup untuk memegang peranan sebagai Hek-moong."
Bong Thian-gak menghela napas, "Ai, keempat orang yang Tio-pangcu sebutkan tak begitu kukenal secara akrab. Oleh sebab itu aku tak berani berkomentar apa-apa tentang mereka, cuma Gi Jian-cau seorang yang hingga kini belum pernah kulihat raut wajahnya, seperti apakah wajah si tabib sakti Gi Jian-cau?"
Pendekar Cacat 1351
"Saat-saat Hek-mo-ong tampil mungkin tidak akan terlalu lama lagi, sebab orang yang paling dia segani satu per satu telah disingkirkan olehnya. Pada akhirnya Hek-mo-ong yang asli akan segera diketahui orangnya."
"Tio-pangcu," Bong Thian-gak bertanya, "hingga sekarang aku masih belum tahu asal-usul Cong-kaucu Put-gwa-cinkau. Dapatkah Tio-pangcu memberi keterangan kepadaku?" Berubah paras Tio Tian-seng, dia nampak ragu, tapi akhirnya berkata, "Bong-laute, aku telah bersumpah takkan membocorkan asal-, usulnya selama hidup. Sebagai umat persilatan yang memegang janji, aku tak ingin mengingkari sumpahku sendiri. Benar, aku berdiri pada pihak yang bermusuhan dengan dirinya, tapi aku tak bisa melanggar sumpahku."
Bong Thian-gak tertegun, katanya, "Ai, sungguh tak kusangka Tio-pangcu begini memegang janji." "Harap Bong-laute sudi memaafkan," suara Tio Tian-seng amat sedih dan pilu. "Boanpwe tak akan menyalahkan dirimu, bagaimana pun juga aku telah menyaksikan paras asli Cong-kaucu."
Pendekar Cacat 1352
"Kehadiran Cong-kaucu dalam Kangouw, sedikit banyak masih dapat menandingi gerak-gerik Hek-mo-ong. Oleh sebab itu hingga sekarang kau belum melihat perlunya bentrokan secara langsung pihak mereka dan di sinilah letak hubungan yang sensitif di antara kami."
Bong Thian-gak menjadi bingung, tanyanya kemudian, "Hek-mo-ong adalah otak di belakang layar yang mengatur semua perbuatan dan tindakan orang-orang Put-gwa-cinkau, hanya Hek-mo-ong yang dapat memberi perintah kepada Cong-kaucu. Mengapa kau mengatakan Cong-kaucu justru merupakan biji catur yang sanggup menghadapi Hekmo-ong serta membatasi gerak-geriknya?" "Keadaan ini tak ubahnya seperti keadaanku yang mencurigai Liu Khi, biarpun Cong-kaucu hanya seorang anak buah Hek-mo-ong, namun sesungguhnya Cong-kaucu pun punya kemungkinan merebut jabatan pimpinan tertinggi."
Bong Thian-gak setengah mengerti arti kata-katanya itu, katanya pula, "Sejak dulu berapa banyak menteri setia yang akhirnya berontak terhadap kaisar dan merebut kedudukan terhormat itu. Apabila dunia persilatan memang dipenuhi berbagai orang yang berambisi besar, siapa bilang keadaan demikian tak akan terjadi?"
Pendekar Cacat 1353
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ai, ambisi dan rasa lak puas seseorang memang tak bisa dipenuhi untuk selamanya. Banyak peristiwa sedih dan tragis yang terjadi di dunia selama ini, bukankah sebagian besar disebabkan oleh watak manusia yang serakah, berambisi dan perasaan tak puas?"
Semangat Tio Tian-seng berkobar, segera katanya, "Bila Hek-mo-ong telah disingkirkan, aku akan segera mengumumkan kepada seluruh umat persilatan bahwa aku akan mengundurkan diri dari keramaian dan selama hidup tidak akan mencampuri urusan duniawi lagi." Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Selama ini Boanpwe pun tidak mempunyai ambisi untuk menjadi pimpinan besar dunia persilatan atau pun ambisi untuk menguasai seluruh jagat. Asal dendam sakit hati perguruanku sudah terbalas dan Put-gwa-cin-kau bubar, Boanpwe pun berniat mengasingkan diri di suatu tempat terpencil dan tak akan lagi mencampuri urusan dunia ramai lagi."
"Bong-laute, mari kita beristirahat. Kemungkinan besar kita akan disuguhi pertunjukan bagus malam nanti, kita tak boleh ketinggalan menyemarakkan keramaian itu."
Pendekar Cacat 1354
Bong Thian-gak manggut-manggut. "Benar, siang hari memang merupakan waktu beristirahat bagi orang persilatan, mari kita beristirahat." Maka kedua orang itu pun kembali ke kamar masingmasing untuk beristirahat.
Bagi manusia-manusia yang berilmu tinggi seperti Tio Tianseng dan Bong Thian-gak, duduk bersemedi pun sudah cukup bagi mereka untuk menggantikan tidur, terutama Tio Tian-seng yang mempunyai dasar tenaga dalam yang amat sempurna, baginya setiap hari hanya cukup bersemedi dua jam saja untuk menggantikan tidur semalam suntuk.
Demikianlah mereka duduk bersemedi, dua jam sudah berlalu tanpa terasa. Waktu itu Bong Thian-gak sudah berada dalam keadaan lupa akan segalanya, hawa murni beredar dengan lancar dan napas berembus sangat beraturan. Tiba-tiba di luar jendela muncul seseorang, seorang gadis berbaju hijau telah menyusup masuk dari jendela. Ilmu yang dipelajari Bong Thian-gak adalah Tat-mo-khikang.
Pendekar Cacat 1355
Selama ia duduk bersemedi, indra perasaannya amat sensitif dan tajam, sejak nona berbaju hijau muncul di luar jendela, dia telah mengetahui kehadirannya.
Pemuda itu membuka mata, sedang si nona berbaju hijau segera menempelkan jari tangannya di depan mulut memberi tanda agar jangan bersuara, kemudian dia mengayun tangan kirinya melemparkan sepucuk surat ke arah Bong Thian-gak, setelah itu si nona melompat keluar jendela dan lenyap di balik wuwungan rumah sana.
Bong Thian-gak tertegun, kemudian mengawasi surat yang dilemparkan ke arahnya dengan termangu, pikirnya, "Aneh, siapakah perempuan ini? Mengapa dia datang menyampaikan surat untukku?" Pemuda itu segera memungut surat itu dan membukanya, di atas surat berwarna biru tertera tiga baris tulisan hitam, gaya tulisannya indah dan lembut, sudah jelas tulisan seorang wanita. Di atas surat itu tertera tulisan: "Ditujukan kepada Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak
Pendekar Cacat 1356
"Surat ini disampaikan oleh seorang kepercayaanku. Harap setelah menerimanya Siangkong segera berangkat keluar kota dan menjumpai seorang perempuan berbaju hijau di sebuah kuil dewa gunung yang terletak tiga li dari barat kota."
Selesai membaca surat itu, Bong Thian-gak merasa ragu sejenak, kemudian setelah merobek-robek surat itu hingga hancur berkeping- keping, ia berpikir, "Aku sudah menerima budi pertolongan darinya, berarti aku harus membantunya." Bong Thian-gak segera turun dari pembaringan dan menuju ke pintu. Pada saat itulah dari ruang tengah terdengar suara Tio Tianseng menegur, "Bong-laute, kau sudah bangun?" "Ya, sudah bangun!" pemuda itu mengiakan. Ia membuka pintu kamar dan menuju ke ruang tengah.
Pendekar Cacat 1357
Tio Tian-seng sedang duduk di ruang tengah, dia menengok sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu bertanya, "Apakah Bong-laute telah menjumpai seseorang memasuki tempat tinggal kita?" Bong Thian-gak terkesiap, tapi buru-buru menjawab, "Oh, dia adalah nona berbaju hijau, tapi dengan cepat telah meninggalkan tempat ini'
Sementara itu paras muka Tio Tian-seng diliputi hawa dingin, pelan-pelan ia mengeluarkan sepucuk surat sampul putih dari dalam sakunya dan diserahkan kepada Bong Thian-gak sambil berkata, "Hek-mo-ong telah mengirim kartu undangan kematian buat kita." "Kartu undangan kematian?" Bong Thian-gak bertanya dengan kening berkerut. "Kartu itu berada di dalam sampul surat ini, lihatlah sendiri!"
Bong Thian-gak membuka sampul itu dan mengeluarkan isinya yang ternyata berupa dua lembar kartu undangan berwarna putih pula.
Pendekar Cacat 1358
Pada bagian tengah kartu itu, tertera huruf-huruf besar. Yang satu berbunyi: "Dipersembahkan untuk Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak." Sedangkan yang lain berbunyi: "Dipersembahkan untuk Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng." Tulisan itu dibuat dari tinta merah darah, sehingga kelihatannya tmat menyolok pandangan mata.
Bong Thian-gak membuka sampul undangan yang ditujukan kepadanya dan membaca isinya, ternyata isinya berupa sebuah kalimat dengan tulisan berwarna merah: "Usia Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak akan berakhir pada tahun Simcho, bulan delapan, tanggal delapan tengah hari tepat." Sedangkan bagian bawahnya tertera sebuah lambang tengkorak berwarna putih.
Sambil tersenyum Bong Thian-gak segera berkata, "Tiopangcu, Apa yang tertera pada undanganmu itu?"
Pendekar Cacat 1359
"Dia menetapkan usiaku akan berakhir pada bulan delapan bulan sembilan persis selisih sehari darimu." Sekali lagi Bong Thian-gak tertawa, "Hari ini baru bulan delapan tanggal lima menjelang tengah hari, wah, kalau begitu usiaku masih ada tiga hari enam jam." "Bong-laute, selama ini kartu kematian dari Hek-mo-ong bukanlah gurauan," kata Tio Tian-seng serius. "Selama puluhan tahun belakangan ini, setiap orang yang telah menerima undangan kematian Hek-mo-ong belum pernah dapat hidup melebihi batas waktu yang ditentukannya di dalam kartu undangan itu."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Kapan Tiopangcu mendapatkan kartu undangan ini?" "Di saat aku sedang keluar ruangan tadi, kutemukan sampul undangan itu di atas meja." "Kalau begitu tunggu saja sampai saatnya tiba nanti." "Bong-laute, tampaknya kau tidak terlalu serius menghadapi kartu undangan kematian ini?" keluh Tio Tianseng sambil menggeleng kepala dan menghela napas. "Sebenarnya kartu undangan kematian Hek-mo-ong ini sangat kuharapkan, sebab dengan demikian aku dapat mengenali manusia macam apakah Hek-mo-ong itu, ingin
Pendekar Cacat 1360
kulihat apakah benar-benar seorang yang berkepala tiga berlengan enam." "Selamanya Hek-mo-ong tak perlu menunjukkan wujudnya saat hendak membunuh orang," kata Tio Tian-seng lagi dengan suara dalam. "Bila kau melihat kemunculannya, berarti ajalmu sudah berada di depan mata, oleh sebab itulah sampai sekarang belum ada seorang pun yang mengetahui macam apakah wajah Hek-mo-ong yang sesungguhnya."
Bong Thian-gak tersenyum. "Sekarang aku ingin keluar sebentar, tak ada salahnya Tiopangcu memanfaatkan kesempatan ini untuk menyusun cara guna menghadapi lawan." "Kau hendak pergi kemana?" "Mau jalan-jalan ke kota." Sekali lagi Tio Tian-seng berkata dengan suara dalam, "Di saat Hek-mo-ong mengirimkan kartu undangan kematian itu, dia sudah lama menguntit gerak-gerik kita. Tiap saat dia menanti datangnya kesempatan baik untuk turun tangan keji terhadap kita. Bong-laute, bila kau tidak ada urusan yang penting, lebih baik tak usah keluar rumah dulu."
Pendekar Cacat 1361
"Maksudmu selama batas waktu yang ditentukan belum lewat, kita harus tetap berdiam di sini dan tak boleh meninggalkan ruangan barang selangkah pun?"
"Satu-satunya cara untuk menghadapi ancaman kartu undangan kematian itu adalah mulai sekarang kita berdua mengurung diri di dalam ruangan dan jangan keluar dulu untuk sementara waktu, kita pun lak usah makan, minum atau pun tidur sampai batas waktu yang ditentukan lewat." "Ah, Boanpwe tak percaya dengan segala macam takhayul," seru Bong Thian-gak menggeleng berulang-kali.
"Cara membunuh orang yang paling diandalkan oleh Hekmo-ong adalah membunuh dengan jalan meracuni. Selama puluhan tahun terakhir ini, setiap saat aku selalu putar otak dan berdaya upaya untuk mencari jalan guna menghadapi Hek-mo-ong, namun usahaku selama ini tak memberikan hasil yang diharapkan."
Pendekar Cacat 1362
Menyaksikan keseriusan, kekuatiran, sikap tegang dan berat yang menyelimuti wajah Tio Tian-seng, diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Betulkah Hek-mo-ong sedemikian hebatnya?" Sementara itu, Tio Tian-seng segera berkata lagi sambil menghela napas sedih, "Aku kuatir Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing lah Hek-mo-ong. Kalau tidak, caraku menutup diri menantikan kedatangannya ini pasti berhasil mendesak Hek-mo-ong menampakkan diri."
"Batas waktu yang ditentukan bagi kematianku masih sehari lebih cepat ketimbang Tio-pangcu. Andai kata aku benar-benar tewas, Tio-pangcu pun masih mempunyai waktu satu hari satu malam untuk bersiap menghadapinya. Buat apa kau mesti gelisah dan panik mulai sekarang?" Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, apabila Bonglaute tidak percaya perkataanku ini, aku kuatir kau akan dimanfaatkan oleh Hek-mo-ong." "Tak usah kuatir, Boanpwe pasti sanggup menghadapinya dengan hati-hati. Bagaimana pun juga aku tak punya rencana untuk menutup diri menantikan datangnya saat kematian. Bisa juga sebelum batas waktu bulan delapan tanggal delapan tiba, aku telah tewas dibunuh Hek-moong."
Pendekar Cacat 1363
Seusai berkata, pemuda itu segera membalik badan dan beranjak keluar ruangan.
Sepeninggalnya dari penginapan Ban-heng, dia langsung menuju ke barat kota. Tatkala ia melangkah keluar rumah penginapan Ban-heng, Bong Thian-gak yang cekatan dan teliti segera merasakan bahwa dirinya sedang dikuntit seseorang. Tapi Bong Thian-gak berlagak seolah-olah tak merasa jejaknya diikuti, dengan langkah tetap dan tenang dia melanjutkan perjalanan menuju ke kota bagian barat.
Tak selang beberapa saat ia sudah tiba di pintu kota sebelah barat. Sekeluarnya dari pintu kota, Bong Thian-gak menelusuri dinding kota menuju ke arah utara, benar juga ia saksikan seseorang sedang mengikutinya di belakang sana.
Diam-diam ia tertawa dingin, mendadak di depan situ muncul sebuah tikungan yang menjorok ke dalam, maka Bong Thian-gak segera mempercepat langkahnya melewati tikungan itu, kemudian melompat naik ke atas dinding kota,
Pendekar Cacat 1364
dari situ ia berlari balik, kemudian dari dalam dia melompat keluar dinding kota itu. Seperti malaikat sakti yang turun dari kahyangan, dengan tepat Bong Thian-gak melayang turun di hadapan si penguntit. Kemunculannya yang mendadak ini tentu saja membuat si penguntit gugup dan gelagapan, kemudian ia mundur selangkah dan mengawasi lawannya dengan wajah kaget, gugup, panik dan cemas.
Bong Thian-gak mengamatinya sekejap, dia adalah seorang laki-laki setengah umur bertubuh ceking dan bertampang seperti monyet, tidak nampak membawa senjata. Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak menegur, "Sejak dari rumah penginapan Ban-heng kau telah mengikuti diriku sampai di sini. Ingin kuketahui siapa yang telah mengirimmu untuk mengikuti diriku?" Dalam anggapan Bong Thian-gak orang ini paling cuma seorang kurcaci yang dibayar seseorang untuk mengikutinya, oleh karenanya dia tidak segera turun tangan membekuknya.
Pendekar Cacat 1365
Lelaki setengah umur berwajah monyet itu melototkan sepasang matanya yang kecil dan memperhatikan Bong Thian-gak sekejap, kemudian tanyanya kebingungan, "Toaya, apa kau bilang?" "Hm, aku menuduh kau telah mengikuti diriku," dengus Bong Thian-gak dingin. Tiba-tiba lelaki itu tertawa cekikikan, lalu serunya, "Toaya gemar bergurau, jalan yang kulewati kan jalan pemerintah, memangnya orang lain tak boleh mempergunakannya selain kau seorang?" "Tajam benar mulut orang ini," pikir Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Lalu katanya, "Kalau memang benar jalan ini adalah jalan raya milik pemerintah. Silakan kau segera angkat kaki dari sini!"
Ucapannya ini segera membikin lelaki itu tertegun, kemudian sambil menggeleng kepalanya yang gundul dia pun mengeluyur pergi ke arah utara. Bong Thian-gak masih tetap berdiri di tempat sambil mengawasi orang itu pergi, kemudian baru ia menyelinap ke balik tikungan dan mengerahkan Ginkangnya menuju keluar kota.
Pendekar Cacat 1366
Dengan Ginkangnya yang sempurna sekalipun lelaki itu membalik badan dan menguntitnya lagi juga belum tentu dapat menyusulnya. Padahal Bong Thian-gak tidak pernah menyangka lelaki itu sesungguhnya bukan orang sembarangan, dia adalah Jianli-kau (monyet seribu li) Cu Ciong yang amat termasyhur namanya di Kangouw.
Di balik sebuah hutan waru yang sangat lebat, Bong Thiangak melihat sebuah bangunan kuil kecil. Kuil itu berdiri di antara bebatuan yang berserakan, daun kering berceceran, rumput ilalang memenuhi halaman, tampaknya kuil itu mulah lama terbengkalai dan tak pernah dijamah manusia lagi. Dengan langkah pelan Bong Thian-gak menuju ke ruang kuil, dia lihat sarang laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan, debu menebal, dinding tembok banyak yang rontok, sedang ruang kuil itu kosong tak nampak sesosok bayangan pun.
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir, "Ah, tak mungkin Biau-kosiu sengaja mengajakku bergurau. Mungkin orang itu belum datang."
Pendekar Cacat 1367
Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara langkah menginjak tumpukan daun kering. Dengan cepat memandang ke
Bong
Thian-gak
membalik
badan
muka.
Tampak seorang perempuan cantik berbaju hijau berperawakan badan aduhai muncul di hadapannya dan berjalan menuju ke hadapan Bong Thian-gak dengan langkah lemah-gemulai. Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera berkata, "Aku Bong Thian-gak, Biau-kosiu yang memintaku datang menjumpai perempuan berbaju hijau, apakah kau?"
Perempuan itu tidak membiarkan Bong Thian-gak menyelesaikan perkataannya, dengan cepat ia menukas, "Begitu lambat kau sampai di sini, apakah sudah terjadi sesuatu di tengah jalan?" "Ya, karena ada persoalan pribadi aku datang agak terlambat. Harap nyonya sudi memaafkan." Tiba-tiba perempuan itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah gulungan yang di luarnya dibungkus
Pendekar Cacat 1368
dengan kain hijau, dilihat dari bentuknya mirip kitab atau lukisan.
Dengan wajah serius perempuan itu berkata, "Tolong serahkan benda itu kepada nona, jangan sampai hilang atau direbut orang." Bong Thian-gak menerima benda itu dan dipandang sekejap, kemudian katanya, "Tampaknya bungkusan ini berisi sejilid kitab!" Perempuan berbaju hijau itu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya dengan suara dalam, "Cepat kau simpan ke dalam saku. Selain nona seorang, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain." "Tak usah kuatir, aku pasti menyerahkan sendiri benda ini ke tangan Biau-kosiu."
Dengan cepat ia masukkan gulungan kitab itu ke dalam sakunya. Perempuan itu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya lagi, "Berdiam lebih lama di sini berarti menambah ancaman bahaya, cepatlah kau pergi meninggalkan tempat ini!"
Pendekar Cacat 1369
"Apakah nyonya tidak mempunyai pesan-pesan lain?" "Tidak ada." "Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu." Setelah memberi hormat, ia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu.
Sambil berjalan Bong Thian-gak berpikir, "Mungkin kitab yang dititipkan padaku ini adalah kitab pusaka, tapi mengapa Biau-kosiu tidak datang mengambil sendiri? Atau si perempuan berbaju hijau ini mengantarkan sendiri sampai ke dalam kota?" Bong Thian-gak benar-benar tidak mengerti apa sebabnya secara twgitu misterius Biau-kosiu meminta padanya untuk mengambil kitab Itu, mendapat pesan berarti diberi kepercayaan orang itu, maka pemuda Itu berpikir lagi, "Ah, buat apa aku memikirkan hal itu? Pokoknya kuserahkan kitab ini ke tangan Biau-kosiu, urusan kan beres."
Tiba-tiba pemuda itu menghentikan langkah. Ternyata di hadapannya telah muncul seseorang menghadang Jalan perginya, seorang lelaki setengah umur
Pendekar Cacat 1370
bertubuh ceking, berbaju abu-abu dan bertampang seperti monyet, ia mengawasi sambil tertawa bodoh. Berjumpa kembali orang ini, hati Bong Thian-gak bergetar keras, pikirnya, "Aduh celaka, barusan aku telah salah melihat, tampaknya orang ini memiliki ilmu silat yang amat tangguh."
Bong Thian-gak mendengus dingin seraya katanya, "Sungguh tak kusangka kita bersua kembali." Lelaki bermuka monyet tertawa dingin, "Bumi itu bulat, aku pun tidak menyangka kita bersua kembali di sini." Bong Thian-gak tertawa dingin pula, "Tadi aku benar-benar telah salah melihat, boleh aku tahu siapakah kau?" "Cu Ciong," sahut lelaki itu sambil tertawa kering penuh ejek. Bong Thian-gak berseru kaget, "Ah, tak kusangka kau adalah seorang kenamaan."
Cu Ciong tertawa seram lagi, "Di hadapan orang yang mengerti, lebih baik bicara blak-blakan. Boleh kau tunjukkan benda yang baru saja diserahkan kepadamu?"
Pendekar Cacat 1371
Diam-diam Bong Thian-gak dibuat terperanjat, pikirnya, "Wah, ternyata dia telah menyaksikan semua peristiwa tadi, tapi mengapa aku tak menemukan jejaknya?" Sambil tersenyum dia lantas berkata, "Aku benar-benar tidak mengerti perkataanmu itu."
Cu Ciong menarik muka, kemudian dengan nada serius katanya, "Kau berada di luar persoalan ini, aku tak mengerti mengapa kau melibatkan diri?" "Hei, semakin bicara aku semakin bingung dan tidak mengerti perkataanmu itu." Cu Ciong tertawa seram lagi, "Barusan nyonya berbaju hijau telah menyerahkan bungkusan kepadamu, maka aku cuma berharap kau mengeluarkan bungkusan itu, serahkan padaku dan segala urusan tidak ada sangkut-pautnya lagi denganmu."
Bong Thian-gak tahu semua sudah diketahui lawan, maka sambil tertawa dingin katanya, "Ehm, tak kusangka kau memiliki mata yang amat jeli, aku betul-betul merasa kagum kepadamu. Cuma gulungan kitab itu sudah di sakuku, bila kau menginginkannya silakan datang kemari mengambilnya sendiri."
Pendekar Cacat 1372
Sekarang Bong Thian-gak teringat pesan wanti-wanti perempuan berbaju hijau itu, pikirnya kemudian, "Sekarang dia telah mengetahui semua persoalan ini, maka aku tak boleh membiarkan dia pergi dari sini dalam keadaan hidup." Apalagi lawan bermaksud merampas kitab itu dengan kekerasan pemuda itu bertekad akan membunuhnya bilamana perlu. Cu Ciong memutar matanya yang bulat kecil, lalu setelah tertawa licik, ia bertanya, "Tahukah kau benda apakah itu?" "Aku tidak tahu dan aku pun tak ingin tahu, yang kuketahui hanya menyerahkan benda itu kepada orang yang berhak." "Kau hendak rupanya?"
menyerahkan
itu
kepada
Biau-kosiu
"Benar."
Cu Ciong terbahak-bahak, "Apabila kau tidak segera menyerahkan kitab itu kepadaku, aku yakin kau tak akan berhasil memasuki kota Lok-yang dalam keadaan hidup. Percaya atau tidak?" "Aku bisa membuktikannya sendiri nanti!"
Pendekar Cacat 1373
Bong Thian-gak membusungkan dada dan melangkah ke depan. "Berhenti!" dengan suara keras seperti guntur membelah bumi di tengah hari bolong Cu Ciong membentak, tubuhnya bergerak maju dan menghadang di hadapan Bong Thiangak. Bong Thian-gak tertawa dingin, "Di tengah hari bolong pun kau berniat merampok aku?" Cu Ciong tertawa seram, "Membunuh, membakar atau merampok I merupakan kejadian lumrah di dunia persilatan. Sekarang aku hendak memberitahu kepadamu, di sekeliling kota Lok-yang telah berkumpul ratusan jago persilatan. Sekalipun kau berhasil melewati diriku, jangan harap kau bisa lolos dari cegatan rombongan jago lihai lainnya."
"Kau sudah melepaskan tanda bahaya?" tanya Bong Thiangak sambil mengerutkan dahi. "Benar, sewaktu masih berada di hutan tadi, aku telah melepaskan merpati pos mengabarkan kejadian yang telah berlangsung di sini kepada mereka." Bong Thian-gak tertawa dingin, "Sebenarnya aku tidak berniat membunuhmu, tetapi sekarang tampaknya mau tak mau aku harus menghabisi nyawamu."
Pendekar Cacat 1374
Begitu selesai berkata, lengan tunggal Bong Thian-gak sudah membacok ke arah depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Angin pukulan yang maha dahsyat langsung menggulung ke depan dengan sangat hebatnya, ancaman itu membuat Cu Ciong yang kurus dan ceking terlempar ke udara bagai layang-layang putus benang. Ia terguling sampai tiga kali di tengah udara, namun ketika melayang turun, ternyata tidak mengalami apa-apa, kecuali mukanya sedikit berubah.
Gagal dengan serangan dahsyatnya, Bong Thian-gak tertawa dingin, lalu katanya, "Aku benar-benar merasa kagum dengan Ginkagmu yung lihai, tak nyana kau sanggup menghindarkan diri dari sergapanku tadi." Cu Ciong tertawa aneh, "Kedahsyatan dan kehebatan angin pukulanmu tidak kalah dari kemampuan Bu Seng. Tapi bila kau berniat membunuhku, ini bukan suatu pekerjaan yang gampang bagimu." Selesai berkata Cu Ciong menerjang maju pula dengan kecepatan luar biasa dan langsung menyerang Bong Thiangak.
Pendekar Cacat 1375
Bagi tokoh sakti yang sedang bertarung, dalam satu gebrakan saja akan diketahui sampai dimana kemampuan seseorang, ketika Bong thian gak lihat musuh bisa menghindar dan langsung menerjang ke depan, ia segera sadar musuh adalah seorang jago lihai yang berilmu tinggi. Jika dia tidak melancarkan serangan mematikan, sulit rasanya menaklukkan musuhnya itu.
Oleh sebab itu di kala Bong Thian-gak menyaksikan musuh menerjang datang, dia sama sekali tidak menghindar atau menyingkir. Ditunggunya serangan lawan hingga di depan dada, saat itulah Bong Thian-gak mencabut pedangnya serta melepaskan babatan, pedang Pek-hiat-kiam telah menyambar. Dimana cahaya pedang itu berkelebat, jerit kesakitan yang memilukan segera berkumandang.
Tubuh Cu Ciong yang sedang melayang di udara terbanting jatuh ke tanah dan tidak berkutik lagi, percikan darah segar menggenangi permukaan tanah padang rumput itu.
Pendekar Cacat 1376
Siapa jago di Kangouw saat ini yang paling cepat mencabut dan melepaskan serangan? Mungkin serangan yang dilancarkan Bong Thian-gak barusan dapat menandingi kemampuan Liu Khi.
Ketika Bong Thian-gak selesai membacok mati Cu Ciong, Pek-hiat-kiam telah kembali ke dalam sarungnya. Ketika Bong Thian-gak mendongakkan kepala, Giok-gansuseng Liong Oh-im yang berwajah kereng dan gagah sudah berada di hadapannya. Sepasang mata Liong Oh-im yang amat tajam sedang mengawati genangan darah segar yang mengucur dari tubuh Cu Ciong, kemudian katanya, "Benar-benar tak kusangka, Cu Ciong yang termasyhur karena kehebatan Ginkangnya ternyata tak berhasil lolos dari bacokan pedang Jian-ciat-suseng. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan!"
Begitu bertemu Liong Oh-im, paras muka Bong Thian-gak segera berubah hebat. Sementara itu Liong Oh-im itu sudah memberi hormat, kemudian ujarnya lantang, "Bong-tayhiap, kita telah bersua kembali, aku pun dapat melihat kecepatan dan kehebatan
Pendekar Cacat 1377
permainan pedang Bong-tayhiap, aku benar-benar kagum sekali."
Bong Thian-gak tersenyum, "Kedatangan Liong-sianseng sungguh teramat cepat." Liong Oh-im kembali tertawa ringan. . "Bong-tayhiap," katanya, "diam-diam kita pun rasanya tak usah menyembunyikan sesuatu lagi, kedatanganku sesungguhnya karena mendapat surat yang dikirim Cu Ciong dengan merpati posnya."
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak berlagak seolah-olah terkejut, ujarnya kemudian, "Oh, tidak kusangka Cu Ciong satu aIiran dengan Liong-sianseng." Tiba-tiba Liong Oh-im menarik muka dan berkata dengan hambar, "Cu Ciong adalah salah seorang pengawal andalanku, sayang sekali dia mati terlampau cepat." "Apakah Liong-sianseng berniat membuat perhitungan padaku atas kematiannya?"
Liong Oh-im tersenyum.
Pendekar Cacat 1378
"Soal itu tergantung sikap Bong-tayhiap sendiri, aku ingin melihat bagaimana sikapmu terhadap diriku!" "Apa maksudmu?" "Kematian Cu Ciong disebabkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok, apabila Bong-tayhiap bersedia menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, maka kematian Cu Ciong pun tidak perlu disesalkan lagi." "Jadi Biau-kosiu adalah ahli waris Mi-tiong-bun?" tanya Bong Thian-gak terkejut. "Aku pun ahli waris Mi-tiong-bun, boleh dibilang aku dan Biau-kosiu adalah sesama saudara seperguruan."
Sekarang Bong Thian-gak baru tahu asal-usul perguruan mereka, tapi yang membuatnya tidak mengerti adalah sebagai sesama saudara seperguruan, mengapa mereka berebut kitab pusaka perguruannya. Bong Thian-gak berkata, "Kalau Liong-sianseng berasal satu perguruan dengan Biau-kosiu, maka bila kitab pusaka Kuihok-khi-liok Ini diserahkan ke tangannya atau di tanganmu kan sama saja, apa bedanya?" "Aku telah menjelaskan asal-usul kami berdua, maka ingin kuingatkan bahwa perselisihanku dengan Biau-kosiu tidak lebih hanya perselisihan sesama anggota Mi-tiong-bun,
Pendekar Cacat 1379
oleh karena itu kuharap Bong-tayhiap berada di luar garis, tak usah melibatkan diri pula dalam persoalan ini."
"Sebagai orang luar, tentu saja aku tidak berhak mencampuri urusan perguruan kalian, aku memang tidak berhasrat mencampurinya." "Kalau demikian, Bong-tayhiap harap mengambil keputusan yang tepat dan pintar." "Liong-sianseng, harap kau suka memaafkan kesulitan yang sedang kuhadapi, aku tak dapat menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok ini kepadamu."
Berubah paras muka Liong Oh-im, tapi sejenak kemudian telah pulih menjadi lembut dan ramah, katanya kemudian dengan suara tenang dan kalem, "Rupanya Bong-tayhiap masih belum mengetahui kitab pusaka macam apakah Kuihok-khi-liok itu?" "Benar, aku sama sekali tidak mengetahui tentang kitab itu, namun aku pun tidak ingin mengetahuinya." "Andaikata kau mengetahui kitab macam apakah Kui-hokkhi-liok itu, kau tentu akan menyerahkannya kepadaku." "Ah, belum tentu demikian."
Pendekar Cacat 1380
Liong Oh-im menghela napas sedih, kemudian katanya, "Apabila Bong-tayhiap menyerahkan kitab pusaka Kui-hokkhi-liok itu kepada Biau-kosiu, maka Mi-tiong-bun kami akan terancam bahaya maut." "Apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. Sekali lagi Liong Oh-im menghela napas panjang, "Sebenarnya-pesoalan ini merupakan rahasia pribadi Mitiong-bun kami, aku tidal ingin mengutarakan kepada orang lain." Saat itu dalam hati Bong Thian-gak mulai muncul kebimbangan, andaikata apa yang dikatakan Liong Oh-im itu memang sungguh sungguh dan benar, maka dia memang seharusnya menyerahkan kii pusaka Kui-hok-khiliok itu kepadanya, tapi....
Tampaknya Liong Oh-im dapat mengetahui suara hati Boi Thian-gak, kembali dia menghela napas sedih sambil melanjutkan "Apabila Bong-tayhiap menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok kepadaku, maka bagimu sama sekali tak akan menimbulkan kerugian apa-apa, malah sebaliknya tanpa kau sadari, kau telah menyelamatku jiwa banyak anggota Mi-tiong-bun yang terancam maut. Budi dan jasa semacam ini boleh dibilang tiada taranya, segenap anggota Mi-tiong-bun pasti akan berterima kasih kepadamu dan tak akan melupakan jasa-jasamu itu untuk selamanya."
Pendekar Cacat 1381
Perkataan yang terakhir ini benar-benar mengandung daya tarik yang amat besar, tanpa disadari Bong Thian-gak merogoh ke dalam saku untuk mempersembahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya. Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring, "Siangkong, kau harus memegang teguh kepercayaan orang yang meminta tolong padamu, jangan kau serahkan kitab itu kepada orang lain."
Saat Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia lihat perempuan cantik berbaju hijau sedang berlari mendekat, bau harum semerbak berhembus, ia telah berdiri di samping anak muda itu. Ketika Liong Oh-im bertemu nyonya cantik berbaju hijau ini, paras mukanya segera berubah menjadi amat tak sedap dipandang, rasa gusar dan mendongkol menyelimuti seluruh wajahnya. Andaikata perempuan itu tidak muncul tepat pada waktunya, niscaya Bong Thian-gak telah menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya.
Dengan sorot mata tajam Liong Oh-im mengawasi perempuan itu lekat-lekat, kemudian setelah mendengus dingin, tegurnya, "Thamcu, kau berani mengkhianati aku?"
Pendekar Cacat 1382
"Aku tidak berani mengkhianati Liong-huhoat," jawab perempuan itu merdu. Liong Oh-im segera tertawa dingin, "Selama puluhan tahun ini, aku telah mencari dirimu kemana-mana dan menelusuri semua pelosok tempat, tidak kusangka ternyata kau berada di Lok-yang." "Apakah dikarenakan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok inilah Liong-huhoat mencari jejakku kemana-mana?"
Dari pembicaraan kedua orang itu, Bong Thian-gak mengambil kesimpulan bahwa kedua orang itu bukan saja sudah saling mengenal, juga berasal dari satu perguruan yang sama. Bong Thian-gak benar-benar tak mengerti persoalan apakah yang sebenarnya menjadi pangkal perselisihan mereka sebagai sesama anggota Mi-tiong-bun? Pikirnya kemudian, "Kalau aku terlibat dalam persoalan semacam Ini, wah, tidak ada harganya sama sekali."
Sementara itu Liong Oh-im telah berkata sambil tertawa dingin, Thamcu, sudah belasan tahun kau menghindari diriku, tujuanmu hanya Ingin melindungi kitab pusaka Kuihok-khi-liok agar tidak sampai aku dapatkan, tapi hari ini
Pendekar Cacat 1383
aku justru minta kepadamu untuk menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, mengerti?" Perempuan itu tertawa cekikikan, "Sayang sekali kedatangan Liong-huhoat terlambat satu langkah, kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu sudah tidak berada di dalam sakuku lagi." "Aku akan memerintahkan kepadamu untuk meminta kembali kitab itu dari tangannya." Perempuan itu tertawa cekikikan, "Kecuali Kui-kok Buncu hidup kembali. Kalau tidak, tiada seorang pun yang dapat memberi perintah kepadaku!" "Oh, jadi kau tak percaya kalau aku sanggup memberi perintah kepadamu?" tanya Liong Oh-im sambil tersenyum.
Selesai berkata, tiba-tiba ia mengeluarkan tongkat naga kemala putih dari sakunya dan diangkat tinggi-tinggi, kemudian bentaknya, "Thamcu, coba kau lihat benda apakah ini?" Menyaksikan tongkat kemala putih sekujur badan perempuan itu, menjatuhkan diri berlutut ke atas dengan suara gemetar keras, "Benda tongkat naga kemala putih."
itu, gemetar keras tiba-tiba saja dia tanah dan katanya kekuasaan Buncu ...
Pendekar Cacat 1384
Dengan perasaan ingin tahu Bong Thian-gak memperhatikan pula tongkat kemala itu dengan penuh perhatian, tongkat sebesar lengan anak-anak, di atas tongkat terukir seekor naga darah kecil dalam gaya siap terbang ke angkasa. Sekilas pandang saja ia dapat mengetahui bahwa tongkat naga kemala putih itu amat berharga dan tak ternilai harganya, tapi Bong Thian-gak tidak menyangka tongkat naga kemala itu memiliki daya pengaruh yang begitu besar sehingga perempuan berbaju hijau itu segera menjatuhkan diri berlutut setelah melihat tongkat tadi.
Sambil mengangkat tongkat naga itu tinggi-tinggi, Liong Ohim membentak, "Thamcu, sekarang kuperintahkan padamu untuk merebut kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tangannya." Bong Thian-gak menjadi terperanjat, pada saat itulah perempuan cantik berbaju hijau melompat bangun dan mengayun telapak tangannya membabat dada Bong Thiangak. Serangan yang dilancarkan itu amat cepat dan gencar, benar-benar ancaman yang berbahaya.
Pendekar Cacat 1385
Serta-merta Bong Thian-gak menghindar ke samping. Meski begitu, nyaris tubuhnya termakan juga oleh bacokannya ini, maka bentaknya, "Nyonya, benarkah kau ingin meminta kembali kitab pusaka Kui hok-khi-liok itu?"
Nyonya itu tidak menjawab, namun wajahnya menunjukkan penderitaan dan kegelisahan yang luar biasa, kembali telapak tangan kirinya diayunkan ke depan menghajar Bong Thian-gak. Berada dalam keadaan begini, Bong Thian-gak benar-benar tidak tahu bagaimana dia mesti bertindak, namun dari mimik perempuan itu dapat diketahui bahwa dia telah didesak oleh keadaan sehingga terpaksa dan mau tak mau harus menyerang dirinya. Kepandaian silat yang dimiliki perempuan itu benar-benar lihai, jurusnya aneh tapi sakti, biarpun Bong Thian-gak berhasil menghindar dari ketiga serangannya, namun ia dapat melihat musuh sama sekali tidak menggunakan tenaga penuh.
Pada saat itulah kembali terdengar Liong Oh-im membentak lagi, "Thamcu, kuperintahkan padamu untuk menaklukkan lawan hanya dalam sepuluh gebrakan saja."
Pendekar Cacat 1386
"Terima perintah," jawab perempuan itu cepat. Tiba-tiba permainan pukulannya berubah seperti kupu-kupu yang Nlerbangan di antara aneka bunga, serangan demi serangan dilancarkan secara beruntun dan tiada hentinya.
Dalam waktu singkat tampak bayangan telapak tangan berlapis-lapis, begitu dahsyat dan gencarnya serangan itu, membuat Bong Thian-gak harus mundur berulang kali. Bong Thian-gak terkejut oleh keanehan dan kehebatan jurus serangan lawan, dalam waktu singkat perempuan itu sudah melancarkan lembilan serangan berantai. Mendadak ia menghentikan gerakannya, namun sepasang telapak tangannya disiapkan satu di muka dan yang lain di belakang dengan posisi menyerang dan bertahan. Bong Thian-gak memandang perempuan itu sekejap, wajahnya yang semula cantik jelita tiba-tiba dilapisi cahaya berkilau, sementara matanya yang jeli mengawasi wajah pemuda itu lekat-lekat. Sudah jelas dia sedang memberi kode agar Bong Thian-gak secepatnya pergi meninggalkan tempat ini.
Pendekar Cacat 1387
Pada saat itulah suara Liong Oh-im menggelegar kembali, 'Thamcu, kalau kau sudah menghimpun tenaga saktimu. Mengapa tidak kau lancarkan?" Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak membentak keras, "Liong Oh-im, cepat suruh dia menghentikan serangannya. Bila ada persoala kita rundingkan secara baik-baik."
Belum selesai berkata, perempuan itu sudah mendesis dan mengayunkan telapak tangannya. Serangan yang dilepaskan olehnya itu dilancarkan amat sederhaha dan enteng, bagaikan segulung angin hangat yang berhembus. Tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasakan sekujur badann gemetar lemas, sepasang bahunya bergetar keras dan tanpa terasa d mundur selangkah.
Sebaliknya perempuan cantik berbaju hijau itu seakan-ak kehabisan tenaga dan segenap tulang belulangnya terlepas, ia terduduk di atas tanah dengan tubuh lemas tidak bertenaga, cahaya merah ya menyinari wajahnya telah hilang, pucat-pias menghiasi mukanya. Dalam kesepuluh jurus serangan itu, Bong Thian-gak sama sek tidak melancarkan serangan balasan.
Pendekar Cacat 1388
Sekulum senyuman bangga menghiasi wajah Liong Oh-im di arena, pelan-pelan ia berkata, "Bong-tayhiap, kau sudah terkena ilmu pukulan Sau-yang-sin-kang." Mendengar "Sau-yang-sin-kang", berubah paras muka Bong Thiaj gak, ia mengangkat kepala memandang sekejap ke arah perempuan berbaju hijau itu. Sementara itu mata perempuan itu sudah dipenuhi oleh air mata dia seperti merasa bersalah terhadap Bong Thian-gak sehingga membuat ia sedih dan pedih.
Bong Thian-gak menghela napas sedih, lalu katanya, "Konon Sau yang-sin-kang adalah semacam ilmu pukulan yang teramat hebat, yang khusus melukai delapan nadi penting di tubuh manusia, korban tidak dapat hidup melebihi dua belas jam. Kalau begitu, aku pun tidak jauh dari lembah kematian." Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, sahutnya, "Bongtayhia setelah mengetahui umurmu hampir berakhir, mengapa kau tidak mempersembahkan kitab pusaka Kuihok-khi-liok itu kepadaku?"
Pendekar Cacat 1389
Bong Thian-gak menarik muka dan menjawab dingin, "Apabila kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu sekarang juga, maka kematianku akan sama sekali tak ada artinya lagi." Liong Oh-im kembali tertawa, "Memangnya kau masih dapat lolos dari cengkeramanku?" Sementara itu hawa membunuh menyelimuti wajah Bong Thian-gak, katanya tiba-tiba dengan dingin, "Liongsianseng, bila kau yakin dapat merampas kitab pusaka Kuihok-khi-liok itu dari tanganku, silakan saja mencoba!"
Liong Oh-im berpaling dan memandang sekejap ke arah perempuan itu, kemudian tanyanya, "Thamcu, sudahkah kau lukai kedelapan nadi pentingnya dengan ilmu pukulan Sau-yang-sin-kang?" "Liong-huhoat," kata perempuan cantik berbaju hijau itu penuh penderitaan. "Kau telah memaksaku mencelakai seseorang yang sama sekali tiada sakit hati ataupun dendam kesumat denganku." Liong Oh-im kembali tertawa dengan suara keras, "Thamcu dapat membunuh Jian-ciat-suseng yang termasyhur, engkau telah menjadi pahlawan Mi-tiong-bun. Mengapa kau malah sedih dan menyesal?"
Pendekar Cacat 1390
Sembari bicara, langkah demi langkah Liong Oh-im menghampiri Bong Thian-gak, kemudian terusnya, "Barang siapa sudah terhajar oleh Sau-yang-sin-kang hingga terluka delapan nadi pentingnya, maka hawa darah dalam Mi-bunhiat akan pudar dan tenaga murni akan musnah. Bong Thian-gak, kau sudah tak mampu menghimpun tenaga dalammu." Mendadak ia mengayunkan telapak tangannya dan langsung dibacokkan ke tubuh Bong Thian-gak.
Baru saja angin pukulannya berhembus ke depan, Bong Thian-gak lelah melolos Pek-hiat-kiam, cahaya pedang bagaikan bianglala dan hawa pedang bagaikan sayatan, serentak menggulung ke muka. Barang siapa dapat melihat hawa pedang yang terpancar dari serangan itu, dia akan mengetahui Bong Thian-gak sama sekali tidak lerluka oleh pukulan Sau-yang-sin-kang. Ketika perempuan berbaju hijau melihat itu, wajahnya segera nampak berseri dan amat gembira.
Sebaliknya Liong Oh-im menjerit kaget dan cepat menerobos keluar dari lapisan hawa pedang seperti seekor burung walet.
Pendekar Cacat 1391
Setelah melayang turun, ia baru berkata, "Ilmu pedang yang amat bagus, aku benar-benar dibikin melek dan bertambah pengetahuan." Gagal dengan serangan pedangnya, Bong Thian-gak melayang turun dengan bahu agak bergetar, katanya kemudian dengan suara dingin, "Apakah kau ingin mencoba serangan pedangku yang kedua?" "Oh, tentu saja," jawab Liong Oh-im sambil tertawa paksa.
Bong Thian-gak menyarungkan kembali Pek-hiat-kiam, kemudian katanya, "Maaf." Lalu dia melompat ke depan dan melesat cepat ke depan sana. Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, bagaikan kuda terbang di angkasa, dia melesat ke depan dan mengejar dari belakang dengan ketat. Sejak awal Bong Thian-gak sudah menduga Liong Oh-im bakal melakukan pengejaran, maka ketika berada di udara dia melolos pedangnya, cahaya bianglala yang amat tajam secepat kilat langsung menusuk ke tubuh Liong Oh-im.
Pendekar Cacat 1392
Berada di tengah udara, Liong Oh-im mengebas ujung bajunya ke depan, segulung angin pukulan tak berwujud yang sangat kuat segera menyapu ke muka. Siapa tahu serangan yang dilancarkan oleh Bong Thian-gak cuma serangan tipuan, di saat angin pukulan Liong Oh-im yang maha dahsya itu menyapu tiba, dia sudah menarik kembali senjatanya dan melompat ke muka.
Lompatannya atas bantuan angin serangan Liong Oh-im yang kuat, tak heran gerakannya sangat cepat dan selisih jarak di antara mereka pun semakin bertambah jauh. Setelah menjejak tanah sekali lagi, Bong Thian-gak melompat ke depan, dalam waktu singkat ia sudah puluhan tombak di depan sana, lalu lenyap.
Menyadari dirinya tertipu oleh siasat musuh, Liong Oh-im merasa sangat jengkel dan mendongkol sekali, dia mendepak-depakkan kakinya berulang kali ke atas tanah, lalu serunya sambil tertawa seram, "Bocah keparat, tidak kusangka hari ini aku Liong Oh-im bakal dipecundangi anak muda macam kau. Hm, ingin kulihat dengan cara apa kau hendak menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada Biau-kosiu."
Pendekar Cacat 1393
Seusai berkata ia memandang sekejap ke arah perempuan berbaju hijau, kemudian membalikkan badan dan mengejar ke arah Lok-yang.
Sementara itu Bong Thian-gak mengerti bahwa Liong Oh-im pasti sudah menyiapkan jaring dan perangkap untuk menghalangi dirinya memasuki rumah penginapan Banheng, karena itu setelah masuk ke dalam kota, ia tidak menuju ke rumah penginapan itu, melainkan pergi ke kota sebelah selatan. Sesudah keluar pintu kota sebelah selatan dan tiba di tanah pekuburan yang terpencil dan sepi, dia memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil duduk bersila, gumamnya, "Setelah terluka oleh pukulan Sau-yang-sin-kang, mungkin sekali jiwaku tak akan tertolong lagi. Ai, saat ini dari kedelapan nadi pentingku, ada dua di antaranya yang secara lamat-lamat mulai terasa sakit."
Bong Thian-gak duduk di depan sebuah batu nisan sambil mendongakkan kepala memperhatikan awan di angkasa, hatinya teramat masgul. "Ai, sebenarnya kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu berisi apa?"
Pendekar Cacat 1394
Berpikir begitu, tanpa terasa dia mengeluarkan kitab itu dari dalam sakunya, tapi setelah berpikir sebentar, pemuda itu memasukkan kembali gulungan kitab itu ke dalam sakunya. Matahari sudah tenggelam ke langit barat, Bong Thian-gak hampir satu jam lamanya duduk di kuburan itu.
Selama satu jam dia sudah mencoba untuk mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, namun yang aneh sama sekali dia tidak merasakan cidera atau luka apa pun pada nadi-nadi penting di dalam tubuhnya, bahkan rasa sakit yang semula mencekam tubuhnya pun lambat-laun lenyap. Rasa gembiranya ini membuat Bong Thian-gak segera melompat bangun dari atas tanah dan berseru, "Aha, ternyata aku tidak menderita luka apa pun oleh serangan Sau-yang-sin-kang itu."
Sekonyong-konyong terdengar menyeramkan di belakangnya.
suara
dingin
dan
"Sekalipun Sau-yang-sin-kang tidak melukaimu, namun ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang akan merenggut selembar nyawamu."
Pendekar Cacat 1395
Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, dengan terperanjat Bong Thian-gak segera berpaling ke samping. Tapi dengan cepat dia dibuat tertegun.
Di belakang tubuhnya, di depan sebuah kuburan yang amat besar, telah berdiri seorang perempuan cantik bagai bidadari dari kahyangan berbaju biru. Perempuan itu bukan lain adalah Si-hun-mo-li Thay-kun. Di samping Si-hun-mo-li Thay-kun, berdiri pula seorang berbaju hijau. Orang berbaju hijau itu berwajah pucat-pias, dingin, kaku dan sama sekali tiada warna darah, bahkan tiada berbau hawa manusia. Bong Thian-gak berkerut kening, rasanya orang berbaju hijau itu mengenakan topeng kulit manusia sehingga menutupi wajah aslinya. Tapi siapakah orang itu?
Pendekar Cacat 1396
Bong Thian-gak kaget, tercengang, bingung dan tidak habis mengerti. Mengapa ia bisa berada bersama Si-hun-mo-li Thay-kun? Bong Thian-gak memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, cahaya matahari yang berwarna kuning keemasemasan menyinari tanah pekuburan itu, namun di sana tidak nampak manusia lain kecuali mereka berdua. Bong Thian-gak telah memperoleh sebutir pil Hui-hun-wan dan persoalan pertama yang ingin segera diselesaikan olehnya adalah menemukan Si-hun-mo-li dan memberi pil Hui-hun-wan itu kepadanya agar Thay-kun bisa memperoleh kembali pikiran dan kesadarannya seperti semula. Sekarang Thay-kun sudah berada di depan mata, asal dia menelan pil Hui-hun-wan, berarti usahanya akan berhasil.
Namun hal ini bukanlah perbuatan yang amat gampang. Dia tahu untuk menyelesaikan tugas itu, kemungkinan besar dia harus membayar mahal, bahkan bisa kehilangan selembar nyawanya. Orang berbaju hijau yang berada di hadapannya sekarang terlalu menyeramkan dan menggidikkan. Mungkinkah orang ini adalah Hek-mo-ong?
Pendekar Cacat 1397
Berpikir sampai di sini, Bong Thian-gak segera menghimpun pikiran dan perhatian mengawasi gerak-gerik orang berbaju hijau itu. Orang itu tertawa dingin, ujarnya, "Apabila kau ingin meloloskan diri dari ancaman kematian, lebih baik serahkan saja kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku."
Tertegun Bong Thian-gak, segera tanyanya, "Apa? Jadi kau pun menghendaki kitab pusaka Kui-hok-khi-liok dari Mitiong-bun?" Paras muka orang berbaju hijau itu masih tetap tenang tanpa perubahan sedikit pun, sahutnya, "Apabila kau mengerti rahasia kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, setiap orang yang berada di dunia ini rasanya Ingin mendapatkannya." "Siapakah kau?" tanya Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Kau tak perlu mengetahui siapakah aku. Yang penting bagimu hanya memilih dua jalan yang kutawarkan kepadamu, mau hidup atau mati, silakan segera tentukan!" "Aku ingin mengetahui lebih dulu dengan mengandalkan ilmu illut apakah kau hendak menghukum mati diriku?" "Serangan Si-hun-mo-li dan sergapan mendadak yang kulancarkan nanti!"
Pendekar Cacat 1398
Bong Thian-gak kembali tersenyum. "Yakinkah kau pasti akan dapat merenggut nyawaku?" "Bila kau yakin dapat meloloskan diri dari cengkeraman mautku, maka kau tak perlu mengeluarkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok." Bong Thian-gak termenung dan berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia Itrtanya, "Dari kemampuanmu memberi perintah kepada Si-hun-mo-li, tentunya kau pun dapat membuat Si-hun-mo-li jatuh tak sadarkan diri bukan?" "Apa maksudmu?" "Oh, itu rahasia pribadiku dan merupakan syarat yang hendak kuajukan sebagai pertukaran." "Harap kau suka memberi penjelasan secara terperinci."
"Boleh saja kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok kepadamu, namun kau harus dapat merobohkan Si-hunmo-li lebih dulu hingga tak sadarkan diri." "Setelah Si-hun-mo-li tak sadarkan diri, maka kau bisa menandingi diriku bukan?"
Pendekar Cacat 1399
"Ya, terpaksa harus dicoba," Bong Thian-gak tersenyum. "Kitab pusaka Kui-hok-khi-liok sudah berada di sakumu, aku bisa turun tangan merampasnya dari tanganmu." "Kau tetap harus menguatirkan sesuatu." "Apa yang mesti kukuatirkan?" "Kekalahan."
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Ehm, nampaknya kau masih mempunyai sedikit otak untuk berpikir." "Ah, seandainya tiada suatu yang dikuatirkan, sedari tadi kau telah turun tangan merebutnya dari tanganku." "Kau keliru besar," ujar orang berbaju hijau itu sambil tertawa seram. "Yang kukuatirkan justru tindakanmu menghancurkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok sebelum penyerahan nanti, itulah sebabnya aku tidak turun tangan hingga detik ini." "Terima kasih banyak atas petunjukmu itu," Bong Thian-gak tertawa. "Aku benar-benar tak berpikir begitu."
Pendekar Cacat 1400
Orang berbaju hijau itu mendengus dingin, "Hm, belum pernah aku bicara sebanyak ini dengan orang lain, kau harus mengambil keputusan secepatnya?" "Aku yang mesti mengambil keputusan sendiri ataukah kau yan menyuruh aku mengambil keputusan?" "Baiklah, aku akan menuruti keinginanmu dengan merobohkan Si hun-mo-li hingga tak sadarkan diri, tapi pada saat bersamaan kau haru melemparkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok jauh ke sana." "Baik, aku setuju dengan usulmu itu." "Masih ada satu hal lagi, apakah kau sudah melihat kitab pusak Kui-hok-khi-liok?" "Belum." "Bagus sekali, sekarang aku akan menghitung sampai angka sepuluh dan kau harus melemparkan kitab pusaka Kui-hokkhi-liok ke depan sana." "Di saat kulihat Si-hun-mo-li roboh tak sadarkan diri nanti, aku pasti akan melemparkan kitab pusaka itu ke depan." "Aku akan menghitung sampai angka sepuluh, saat itu Sihun-rn li pasti sudah roboh tak sadarkan diri!"
Pendekar Cacat 1401
Demi menyelamatkan selembar jiwa Thay-kun, Bong Thiangak telah mengambil keputusan hendak mengingkari janjinya dengan Biau kosiu. Biarpun saat ini kitab pusaka Kui-hok-khi-liok diserahkan kepada lawan, namun ia yakin masih memiliki kemampuan untuk merebutnya kembali. Sebaliknya bila Si-hun-mo-li kabur lagi, usahanya menyelamatkan jiwa perempuan itu akan menemui kesulitan yang lebih banyak lagi. Itulah sebabnya Bong Thian-gak mengambil keputusan akan mengingkari janji terhadap Biau-kosiu.
Tiba-tiba sepasang mata orang berbaju hijau itu memancarkan tahaya dingin kehijau-hijauan, pelan-pelan dia mulai memanggil, "Si-hun-mo-li!" Panggilan itu penuh diliputi nada menyeramkan, aneh dan menggidikkan. Ketika mendengar suara yang menggidikkan itu, pelanpelan Si-hun-mo-li membalik badan, namun ketika sinar matanya saling bentur dengan sorot mata orang berbaju hijau itu, ia nampak seperti tersengat lebah.
Pendekar Cacat 1402
Seketika itu juga sukma dan pikirannya seolah-olah terbetot oleh pandangan mata itu, dia berdiri melongo seperti sebuah patung. Sementara itu orang berbaju hijau sudah menghitung dengan itiara melengking tapi lambat, "Satu ... dua ... tiga ... empat...." Pada saat itulah dari balik kuburan tiba-tiba muncul seseorang yang menerjang ke punggung orang berbaju hijau dengan kecepatan tinggi.
Dengan sorot mata Bong Thian-gak yang amat tajam, ia sudah melihat dengan jelas bahwa orang yang baru saja muncul itu bukan lain adalah perempuan berbaju hijau yang menyerahkan kitab pusaka Kui-hok khi-liok kepadanya itu. Kemunculannya yang sangat mendadak ini segera menggetarkan perasaan Bong Thian-gak, ia tahu persoalan bakal runyam. Belum habis ingatan itu, suara orang berbaju hijau yang sedang menghitung itu pun terhenti secara mendadak.
Kemudian secepat kilat dia membalik badan seraya melancarkan pukulan kilat ke depan.
Pendekar Cacat 1403
Angin pukulan yang kuat dan tajam secara telak menghantam tubuh perempuan berbaju hijau itu. Jerit kesakitan bergema, tubuh perempuan berbaju hijau itu segera terlempar bagaikan layang-layang yang putus benang. Dengan cepat Bong Thian-gak melejit ke udara dan melayang turun di hadapan perempuan berbaju hijau itu. Sementara itu paras muka perempuan berbaju hijau itu sudah berubah pucat-pias seperti mayat, darah segar muntah dari mulutnya. Dengan cepat Bong Thian-gak membimbing bangun, kemudian menempelkan telapak tangannya di atas jalan darah Mi-bun-hiat di punggungnya.
Segulung hawa panas segera menyusup ke tubuh perempuan itu melalui jalan darah Mi-bun-hiat, hawa darah bergolak dengan kuat dalam tubuhnya, perempuan itu pun segera berkata, "Bong-siangkong, kau tak boleh menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada orang lain, kau tak boleh mengingkari janjimu terhadap Biau-kosiu." "Ai, harap kau sudi memaafkan aku," ujar Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang.
Pendekar Cacat 1404
Saat itu Bong Thian-gak benar-benar menyesal dan tidak keruan rasanya.
Perempuan berbaju hijau itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian dengan air mata bercucuran katanya, "Bong-siangkong, kemungkinan besar aku akan segera mati. Sebelum ajalku tiba, aku minta kau bersedia menyanggupi keinginanku, kau harus melindungi kitab Kuihok-khi-liok itu hingga diserahkan terhadap Biau-kosiu. Apabila kau tak mampu menyerahkan kepadanya, tolong hancurkan dan musnahkan kitab itu."
Paras muka perempuan berbaju hijau itu pucat-pias seperti mayat, dari balik matanya memancar sinar permohonan, ditatapnya wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip. Dia hendak menanti jawaban Bong Thian-gak, sebab dia tahu asalkan pemuda yang berada di hadapannya sudah menganggukkan kepala memberikan persetujuan, biar langit ambruk pun, pendiriannya tak pernah akan berubah. Tapi Bong Thian-gak masih tetap termenung dan sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Pendekar Cacat 1405
Sebab perasaan dan pikirannya saat ini sangat kalut, dia tak bisa mengambil keputusan dengan segera, bagaimana pun menyelamatkan Thay-kun merupakan harapannya yang terbesar. Sekarang dia telah mendapat kesempatan baik yang tak mungkin bisa dijumpai lagi di kemudian hari. Apakah dia harus melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja?
Melihat pemuda itu hanya membungkam tanpa menjawab, perempuan berbaju hijau itu menjadi sangat kecewa, air matanya segera bercucuran membasahi wajahnya. Diiringi jeritan yang memilukan, perempuan berbaju hijau itu sekali lagi memuntahkan darah segar, tiba-tiba saja dia tewas dalam keadaan penuh kecewa.
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak, sementara dia masih tertegun, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar orang berbaju hijau Itu berkata dengan dingin, "Dia bukan mati karena mendongkol kepadamu. Ketahuilah, barang siapa sudah termakan oleh pukulanku, maka dia tak akan mampu hidup lebih seperempat jam." Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan dan menatap orang itu lekat-lekat, kemudian ujarnya, "Tenaga pukulan yang kau miliki memang benar-benar amat dahsyat
Pendekar Cacat 1406
dan tajam, tapi yakinkah kau bahwa seranganmu pasti dapat menghabisi nyawaku?" "Sebelum mendapatkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, aku tak hanti turun tangan melukaimu."
"Sekarang aku sudah berubah pikiran," ucap Bong Thiangak dengan suara dingin. "Aku tak jadi menyerahkan kitab pusaka itu kepadamu, akan kulindungi kitab Kui-hok-khiliok ini hingga saat penyerahan nanti." Orang itu tertawa seram mendengar perkataan itu, "Bagus sekali, kau mencari jalan kematian bagi dirimu sendiri."
Mendadak Bong Thian-gak melolos Pek-hiat-kiam, kemudian berkata, "Apabila kau bermaksud mencabut nyawaku, maka tak ada salahnya kau mencoba menerima beberapa buah tusukanku ini." Pemuda itu melompat ke muka dan melepaskan sebuah tusukan kilat. Sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata segera berkelebat ke depan.
Pendekar Cacat 1407
Orang itu sama sekali tidak menggeser badan menghindarkan diri, sebaliknya Si-hun-mo-li yang berada di sisinya bagaikan sesosok arwah gentayangan telah menyelinap ke depan dan menghadang di hadapan orang itu, sementara telapak tangannya yang putih bersih ditolakkan ke muka menghantam mata pedang itu. Sebenarnya Bong Thian-gak bisa saja berganti jurus dengan membacok pergelangan tangannya, namun ia sama sekali tidak berbuat demikian. Menghadapi ancaman itu, dia menarik balik pedangnya.
Si-hun-mo-li sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bertindak, kembali tubuhnya berkelebat maju dan menerjang sisi kiri Bong Thian-gak, sementara telapak tangannya yang lain segera dihantamkan ke bahu kiri anak muda itu. Sejak bertemu Si-hun-mo-li, ilmu silat yang dimiliki Bong Thian-gak seolah-olah mengalami kemunduran yang amat pesat. Dalam keadaan demikian, seharusnya ia dapat menggerakkan pedangnya untuk melepaskan tusukan, namun ia tidak berbuat demikian, tubuhnya malah melompat mundur untuk menghindarkan diri dari ancaman itu. Siapa tahu pada saat itulah telapak tangan kiri Si-hun-mo-li telah diayun ke depan dan membacok tubuh Bong Thiangak dengan mempergunakan Soh-li-jian-yang-sin-kang.
Pendekar Cacat 1408
Cahaya tajam yang berwarna merah darah segera menyambar, pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat bagaikan putaran roda kereta langsung menggulung ke muka. Bong Thian-gak segera membentak, mendadak Pek-hiatkiam diputar kencang menciptakan kabut pedang yang tebal, bukannya mundur dia malah maju. Ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan ilmu pukulan yang maha dahsyat dan amat termasyhur dalam Bu-lim. Mimpi pun orang berbaju hijau itu tak mengira permainan kabut pedang yang diciptakan Bong Thian-gak itu mampu mementalkan sergapan tenaga Sinkang itu.
Benar-benar di luar dugaannya, serangan maut yang begitu tajam dan dahsyat dari Soh-li-jian-yang-sin-kang berhasil dipunahkan begitu saja oleh putaran hawa pedang Bong Thian-gak. Sebaliknya tubuh Bong Thian-gak sendiri berputar ke hadapan Si-hun-mo-li dengan kecepatan luar biasa, lalu kaki kanan Bong Thian-gak diayunkan ke muka dan menendang jalan darah kaku di pinggang Si-hun-mo-li.
Pendekar Cacat 1409
Tendangan yang dilancarkan olehnya itu benar-benar dilepaskan secara jitu dan manis, diikuti jeritan tertahan, tubuh Si-hun-mo-li segera roboh terjungkal ke atas tanah.
Pada saat itulah Bong Thian-gak membuang Pek-hiat-kiam, lalu mementang kelima jari tangannya, dia cengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li. Bong Thian-gak tahu ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang dimiliki Si-hun-mo-li terletak pada tangan kirinya, oleh sebab itu ia langsung mencengkeram bagian vital itu dengan harapan dapat mengendalikan gerak-gerik perempuan itu.
Sejak Bong Thian-gak memutar pedang sambil mendesak maju hingga dia merobohkan Si-hun-mo-li dengan tendangan, beberapa gerakan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat dan dilakukan secara beruntun. Menanti orang berbaju hijau tahu Si-hun-mo-li tak mungkin mampu menghadapi serangan Bong Thian-gak, urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li sudah berhasil dicengkeraman Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1410
Orang berbaju hijau itu mendengus penuh amarah, dari kejauhan dia lepaskan bacokan maut ke tubuh pemuda itu. Tapi Bong Thian-gak dengan membopong tubuh Si-hun-moli telah melompati dua buah kuburan besar untuk menghindarkan diri. Ketika tenaga pukulan yang dilancarkan orang berbaju hijau itu menghantam batu nisan, terjadilah suara ledakan yang amat keras disusul robohnya batu nisan dan debu pasir beterbangan ke udara.
Gagal dengan serangan mautnya, orang itu bagaikan sukma gentayangan mendesak maju, sewaktu berada di muka Bong Thian-gak, kembali tangan kanannya diayunkan siap melepaskan pukulan maut lagi. Padahal Bong Thian-gak baru saja berhasil berdiri tegak ketika musuh telah berdiri di hadapannya, gerakan tubuh yang sedemikian cepatnya ini membuat anak muda itu tertegun. Sambil tertawa dingin, orang berbaju hijau itu berkata, "Asal kau herani menggerakkan tubuhmu, tenaga pukulan yang telah kuhimpun ini secepat kilat akan menghajar tubuhmu."
Pendekar Cacat 1411
Waktu itu tangan Bong Thian-gak sedang mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li. Ketika mendengar ancaman itu, ia segera tertawa dingin sambil ujarnya, "Tenaga pukulanmu itu mungkin akan menghajar Si-hun-mo-li." Agaknya rahasia hati orang berbaju hijau itu berhasil ditebak Bong Thian-gak secara tepat. Ia segera berpikir beberapa saat, setelah itu baru ujarnya dengan suara dingin, "Apa yang ingin kau lakukan terhadap dirinya?" "Mencabut nyawanya." "Bila dia mati, kau pun jangan harap bisa hidup lebih lama," ancam orang berbaju hijau itu segera. "Betul, itulah sebabnya tak ada salahnya bila kita bertukar syarat." "Apa syaratmu?"
Bong Thian-gak berpikir sejenak, kemudian katanya dengan wajah bersungguh-sungguh, "Harap kau segera mundur dari sini! Aku tak akan mengganggu keselamatan jiwanya." "Sekarang segenap tenaga pukulanku telah terhimpun di telapak tangan, sesungguhnya yang mendapat ancaman bukan aku, melainkan kau," ucap orang berbaju hijau itu dengan nada menyeramkan.
Pendekar Cacat 1412
"Aku tahu. Meski tenaga pukulanmu amat tajam dan menakutkan, namun belum tentu dapat melukaiku." "Setiap kali melepas pukulan, belum pernah pukulanku meleset." "Bukankah ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Si-hunmo-li pun belum pernah meleset, tapi terbukti sudah bahwa ia tak mampu melukai aku." Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Hm, aku memang tidak mengerti apa sebabnya kabut pedang yang kau ciptakan tadi bisa mematahkan ancaman Soh-li-jian-yang-sin-kang yang begitu hebat." "Karena sebenarnya aku telah berhasil melatih semacam ilmu sakti yang dapat menandingi pengaruh Soh-li-jianyang-sin-kang itu," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum.
Tampaknya orang itu seperti berhasil menebak, dengan terkejut ia segera bertanya, "Apakah tenaga sakti yang kau pergunakan barusan adalah Tat-mo-khi-kang?" Bong Thian-gak manggut-manggut, "Ya benar, memang Tatmo-khi-kang. Itulah sebabnya berani aku katakan tadi, bahwa tenaga seranganmu belum tentu dapat melukai diriku."
Pendekar Cacat 1413
"Sekalipun mempelajari Tat-mo-khi-kang, bukan berarti sudah tiada tandingan di kolong langit?" "Tapi paling tidak kan aku sanggup menerima serangan mautmu tanpa kuatir terancam keselamatan jiwaku." "Sekarang aku tidak ingin lagi melancarkan serangan lebih dahulu kepadamu, lebih baik kita saling bertahan pada posisi demikian saja!"
Yang paling menjengkelkan dan membingungkan Bong Thian-gak sekarang adalah dia tidak memiliki tangan kanan sehingga sama sekali tak mampu mengeluarkan pil Huihun-wan itu dan dicekokkan ke mulut Si-hun-mo-li. Kabut malam sudah makin menyelimuti angkasa, sementara sang mirya sudah tenggelam ke langit barat, tanah pekuburan itu mulai dicekam kegelapan.
Mendadak dari balik tanah pekuburan berkumandang suara orang bicara, "Apabila keadaan saling bertahan semacam ini berlangsung lebih lama, akhirnya Jian-ciat-suseng akan menderita kekalahan sebelum pertarungan dimulai." Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar. "Siapa di situ?" bentak orang berbaju hijau itu dingin.
Pendekar Cacat 1414
Dari balik sebuah kuburan besar muncul seorang berjubah panjang warna hitam, lengan kanan orang itu sudah kutung sementara sebilah golok panjang tersoreng di pinggangnya. Berjumpa dengan manusia berlengan tunggal itu, Bong Thian-gak terkejut bercampur girang, segera pekiknya dalam hati, "Ah, tenyata Liu Khi. Andaikata ia bersedia membantuku, niscaya keselamatan jiwa Thay-kun akan terjamin." Kemunculan Liu Khi tentu saja memberi harapan baru yang amat besar bagi Bong Thian-gak, tapi pada saat itu pula tiba-tiba Bong Thian-gak merasa kepalanya sangat pening. "Aduh celaka," pekik Bong Thian-gak dalam hati. Dengan cepat ia menyambar tubuh Si-hun-mo-li, kemudian sekuat tenaga melompat ke depan dimana Liu Khi berada. Baru saja Bong Thian-gak menggerakkan tubuh, jurus serangan orang berbaju hijau yang telah disiapkan sedari tadi dilontarkan ke muka. Suara dengusan tertahan segera memecah keheningan. Tubuh Bong Thian-gak dan Si-hun-mo-li mencelat ke belakang.
Pendekar Cacat 1415
Tenaga yang dilontarkan oleh orang berbaju hijau itu hampir saja membuyarkan tenaga Tat-mo-khi-kang yang dihimpun Bong Thian-gak. Dalam keadaan setengah sadar, dengan cepat Bong Thiangak melepas cengkeramannya pada urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li, kemudian tangannya merogoh ke dalam saku mengeluarkan pil Hui-hun-wan dan sekali lompat dia sudah menindih di atas tubuh Si-hun-mo-li, ia jejalkan pil Hui-hun-wan itu ke dalam mulut perempuan itu. Pada saat itulah Bong Thian-gak merasa tengkuknya amat dingin, sebuah cengkeraman maut yang sangat kuat bagaikan jepitan baja telah mencengkeram tengkuknya. Menyusul suara bentakan menggema, "Hek-mo-ong, terimalah bacokanku ini!" Liu Khi tahu-tahu telah melepas goloknya dengan kecepatan luar biasa. Di antara berkelebatnya cahaya putih mata golok itu, orang itu segera melompat mundur untuk menghindarkan diri. Begitu musuh mundur, Liu Khi menyarungkan kembali goloknya, lalu berseru dengan terkejut, "Agaknya kau mampu juga menghindarkan diri dari bacokan golokku ini?" "Hm, benar-benar permainan golok yang luar biasa cepatnya," jengek orang berbaju hijau itu dengan suara
Pendekar Cacat 1416
dingin dan menyeramkan. "Hampir saja lenganku terpapas kutung oleh sambaran golokmu itu." Di bawah sinar bintang dan rembulan yang remangremang, orang berbaju hijau itu telah kehilangan sebagian ujung baju tangan kirinya. Liu Khi tertawa dingin setelah mengamati lawannya itu, kembali ia menegur dengan suara ketus, "Engkau adalah Hek-mo-ong?" "Hm! Atas dasar apa kau menuduh aku sebagai Hek-moong? balas orang berbaju hijau itu dengan suara tak kalah seram. Kembali Liu Khi tertawa seram, "Hm, aku sudah tiga hari menguntit dirimu, aku pun telah meneliti semua mayat yang tewas di tanganmu, semuanya mati dengan isi perut hancur, hanya sayang tidak kujumpai lambang tengkorak hitam yang khas itu." "Liu Khi, sejak tadi aku telah mengetahui kau mengikuti diriku," kata orang berbaju hijau itu. Liu Khi tertawa dingin. "Oleh sebab itulah kedelapan belas orang anak buahmu sekarang lelah berubah menjadi setan-setan tanpa kepala." "Kecepatan permainan golokmu benar-benar di luar dugaanku."
Pendekar Cacat 1417
"Ketajaman pukulan tangan kosongmu pun tak di bawah permainan golok saktiku." "Apa maksudmu?" "Ilmu silat Jian-ciat-suseng yang sekarang menggeletak di tanah Itu belum tentu di bawah kita, dengan ketajaman ilmu pukulanmu ternyata kau sanggup menghajarnya secara telak. Bukankah ketajaman Ilmu pukulanmu benarbenar membikin hati orang bergidik?" Sementara itu Bong Thian-gak yang menggeletak di atas tanah merasakan seluruh tubuhnya lemas, tulangbelulangnya seperti sudah terlepas, namun dia tidak jatuh pingsan, dengan demikian semua pembicaraan Liu Khi dan orang berbaju hijau itu dapat didengar semua olehnya dengan jelas. Diam-diam Bong Thian-gak merasa amat terkejut, segera pikirnya, "Betulkah orang berbaju hijau itu adalah Hek-moong?" ***
Pendekar Cacat 1418
18 SIAPAKAH HEK-MO-ONG?
B
ong Thian-gak segera teringat bagaimana orang itu melancarkan serangan yang tepat mengenai perempuan berbaju hijau tadi, kecepatan serta kehebatan serangannya memang sungguh mengerikan. Perempuan berbaju hijau itu bukan termasuk seorang lemah, namun nyatanya orang itu sanggup menghajarnya hingga tewas dalam satu gebrakan saja. Benar-benar menggidikkan. Apabila Liu Khi harus berduel melawan orang berbaju hijau itu, dapatkah Liu Khi meraih kemenangan? Bong Thian-gak berharap kemampuan Liu Khi sanggup menahan orang berbaju hijau itu hingga tenaga dalamnya pulih atau kalau tidak, ia hersama Thay-kun pasti akan menemui bencana besar.
Pendekar Cacat 1419
Sementara itu Thay-kun sejak dicekoki pil Hui-hun-wan masih tetap tidak sadarkan diri, keadaannya tak ubahnya sesosok mayat, sama sekali tidak bergerak, tubuhnya masih tertindih Bong Thian-gak. Tiba-tiba terdengar orang berbaju hijau itu menegur dengan suara menyeramkan, "Liu Khi, apa yang hendak kau lakukan sekarang?" "Pertama-tama, aku ingin bertanya kepadamu, benarkah kau adalah Hek-mo-ong?" tanya Liu Khi sambil tertawa dingin. "Jika aku adalah Hek-mo-ong, hari ini aku datang mengenakan topeng kulit manusia, kau tak akan mengenali juga raut wajah asliku." "Itulah sebabnya aku ingin bertanya kepadamu dan kau harus memberikan ketegasan dalam jawabanmu, ya atau tidak." "Aku tak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan padamu." Liu Khi tertawa dingin tiada hentinya, "Seandainya golok yang berada dalam genggamanku ini berhasil mengunggulimu?" "Aku ingin balik bertanya kepadamu, ada urusan apa kau mencari Hek-mo-ong?"
Pendekar Cacat 1420
Untuk kesekian kalinya Liu Khi tertawa dingin, "Mungkin kau sudah mengetahui rahasiaku." "Tentu saja tahu, di dunia persilatan terdapat seorang pembunuh yang kerjanya khusus membunuh orang berdasarkan order, dia adalah orang misterius dan tak membedakan antara yang sesat dan lurus. Asal ada orang memberi uang kepadanya, dia akan membunuh siapa pun seperti yang diinginkan si pemesan." Liu Khi tertawa terbahak-bahak serunya, "Tentunya orang yang kerjanya membunuh berdasarkan order ini adalah Liu Khi, bukan?" "Benar, memang Liu Khi." Bong Thian-gak terkejut serta ingin tahu. Dia ingin tahu, karena selama ini belum pernah terdengar olehnya di dunia persilatan terdapat pekerjaan membunuh berdasarkan order seperti apa yang dikatakannya itu. Dia terkejut karena sama sekali tidak menyangka Liu Khi adalah orang yang mempunyai pekerjaan membunuh berdasarkan order itu. Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng pernah berkata kepada Bong Thian-gak, "Aku mencurigai Liu Khi...." Sesungguhnya Bong Thian-gak merasa kurang puas terhadap kecurigaan Tio Tian-seng itu, namun sekarang dia
Pendekar Cacat 1421
harus mengakui akan ketajaman mata, kematangan pengetahuan serta pengalaman Tio Tian-seng, rupanya dia telah mengetahui rahasia Liu Khi itu. Sambil tertawa Liu Khi berkata, "Benar-benar sangat hebat, padahal sedikit umat di Kangouw saat ini yang mengetahui rahasiaku." "Sekali lagi aku ingin bertanya kepadamu, apakah ada orang yang telah membayar tinggi kepadamu untuk membunuh Hek-mo-ong?" "Benar, Liu Khi telah menerima order itu," Liu Khi tertawa. "Hek-mo-ong adalah seorang yang luar biasa. Entah berapa besar harga yang telah dibayarkan kepadamu?" "Untuk membunuh Hek-mo-ong, harganya tak dapat ditentukan dengan emas, intan atau permata lainnya." Orang berbaju hijau tertawa dingin, katanya lebih jauh, "Dapatkah kau memberitahu kepadaku siapa yang mengundangmu?" "Apakah kau tidak tahu bahwa persoalan semacam ini tak dapat diutarakan?" seru Liu Khi sambil tertawa terbahakbahak. Mendadak orang berbaju hijau itu memasukkan tangannya ke dalam saku, bersamaan lengan tunggal Liu Khi telah memegang pula gagang golok yang tersoreng di
Pendekar Cacat 1422
pinggangnya, kemudian bentaknya, "Kau jangan mencoba melepas racun, sebelum datang kemari Liu Khi telah menelan pil anti bisa yang bisa menawarkan berbagai macam pengaruh racun." Tangan kiri orang berbaju hijau itu masih tetap berada di dalam «aku, tak bergerak, katanya dingin, "Aku memang sudah tahu Liu Khi kebal terhadap aneka serangan racun, tentu saja aku tak akan berbuat debodoh ini dengan melepaskan racun terhadapmu." Liu Khi tertawa dingin. "Bila tangan kirimu meninggalkan saku, maka golokku akan lerlolos pula dari sarung!" ancamnya. Tiba-tiba orang berbaju hijau itu memandang sekejap bintang yang bertebaran di angkasa, kemudian katanya pelan, "Liu Khi, aku ingin mengundangmu untuk membunuh orang. Bersediakah kau menerima orderku ini?" "Sebelum Liu Khi menerima order, terlebih dulu harus kuketahui persoalan macam apakah itu, karenanya kau harus mengatakannya lebih dulu kepadaku siapa yang hendak kau bunuh?" "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng!" jawab orang berbaju hijau itu dengan suara hambar.
Pendekar Cacat 1423
Liu Khi termenung beberapa saat, setelah itu baru berkata, "Sulit untuk membunuh Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, rasanya kesulitan itu tidak di bawah Hek-mo-ong sendiri." "Bagaimana pun juga kau adalah wakil ketua Kay-pang. Boleh dibilang siang malam kalian bergaul, kesempatanmu untuk membunuh amat banyak." Liu Khi tertawa dingin, "Lantas berapa hendak kau bayar?" "Aku akan membantumu merebut kursi ketua Kay-pang ditambah emas murni dan mutiara sepuluh laksa tahil." "Apakah kau tak sanggup membayar lebih mahal lagi?" jengek Liu Khi sambil tertawa dingin. Orang berbaju hijau memandang sekejap ke arahnya, kemudian baru sahutnya, "Untuk membunuh Tio Tian-seng, balas jasa apakah yang kau kehendaki? Silakan kau utarakan sendiri." Dengan muka sungguh-sungguh Liu Khi berkata, "Aku minta kitab pusaka Kui-hok-khi-liok Mi-tiong-bun." Sekali lagi Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapannya itu, segera pikirnya, "Sebetulnya kitab pusaka macam apakah Kui-hok-khi-liok yang berada dalam sakuku sekarang? Mengapa mereka berusaha mendapatkannya?" Dalam pada itu orang berbaju hijau telah berkata pula dengan j suara hambar, "Bila kau mendapatkan kitab
Pendekar Cacat 1424
pusaka Kui-hok-khi-liok itu, maka jangan harap kau bisa meloloskan diri dari pengejaran segenap jago Mi-tiong-bun. Mengapa kau mencari kesulitan bagi diri sendiri?" ' Liu Khi tertawa misterius, "Bukankah kau sendiri pun sudah menyadari bila merebut kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, maka kau akan dikejar segenap jago lihai yang dikirim Mitiong-bun, tapi mengapa kau sendiri pun berusaha mendapatkannya?" "Sekarang aku mengajakmu membicarakan soal transaksi. Maaf, permintaanmu tidak dapat kuterima." "Kalau begitu malam ini kita harus melangsungkan duel yang seru. Bilamana kau menganggap hal ini perlu, silakan saja segera turun tangan!" "Aku tidak dapat membiarkan kau merampas kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, tentu saja barang harus diserahkan sendiri sebagai tanda jadi." "Mengapa hingga sekarang kau belum juga turun tangan?" kata orang berbaju hijau itu. "Aku sedang menunggu kesempatan baik." "Selama hidup kau tak akan mendapatkan kesempatan baik itu!" "Siapa bilang tidak?"
Pendekar Cacat 1425
Tahu-tahu Liu Khi melolos golok. Gerakannya sewaktu melolos golok cepat sekali, seperti sambaran petir, dalam keadaan begitu tak mungkin orang dapat meloloskan diri. Mata golok secara langsung menyambar lambung orang berbaju hijau itu, serangannya gencar, dahsyat dan sangat mengerikan. Tangan kiri si orang berbaju hijau yang selama ini disembunyikan di balik saku segera disapukan pula ke depan dengan kecepatan tinggi, ia sambut datangnya ancaman golok Liu Khi dengan kekerasan. Tetapi mungkinkah ada orang di dunia yang sanggup menerima bacokan golok dengan sabetan tangan kosong? Suara benturan keras memecah keheningan. Tubuh Liu Khi seperti seekor bangau abu-abu langsung berkelebat menuju ke arah kiri. Desingan angin tajam menderu, segulung angin pukulan yang amat kuat segera menyambar lewat dasar kaki Liu Khi.
Pendekar Cacat 1426
Pertarungan yang berlangsung antara kedua orang itu sama-sama dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, tahu-tahu Liu Khi melayang turun, goloknya juga telah disarungkan kembali. Sebaliknya orang berbaju hijau dengan tangan kosong masih tetap berdiri tegak di tempat. Dari sorot mata kedua orang itu, mereka sama-sama terperanjat oleh ketangguhan lawan. Tanpa berkedip, mereka saling pandang. Tiba-tiba Liu Khi berkata, "Senjata tajam apakah yang telah kau gunakan untuk menyambut bacokan golokku tadi?" "Hanya sebuah sarung tangan!" jawab orang berbaju hijau dingin. "Sebuah sarung tangan?" Liu Khi bertanya keheranan. "Ketajaman golokku tak akan bisa dibendung oleh senjata tajam macam apa pun di dunia ini, aku pikir sarung tanganmu itu tentu sudah robek bukan?" "Betul, memang agak robek sedikit, itulah sebabnya kau dapat mengundurkan diri secara aman."
Liu Khi tertawa, "Seandainya kau berusaha mencengkeram mata golokku tadi, maka telapak tanganmu itu mungkin akan terpisah dengan tubuhmu."
Pendekar Cacat 1427
"Liu Khi, kau sudah terkena pukulanku yang sangat lihai," kata orang berbaju hijau itu dingin. Paras muka Liu Khi segera berubah hebat, katanya, "Tenaga pukulanmu itu sama sekali tak pernah mengenai tubuhku." "Dalam kedua serangan yang aku lancarkan tadi, satu berwujud dan yang satu tak berwujud, kau dapat meloloskan diri dari serangan tangan kananku yang berwujud, tapi ketika kau melayang turun tadi, pukulanku yang tak berwujud telah menghajar tubuhmu secara telak, tenaga serangan ini aku lancarkan melalui tangan kiri, apabila kau tak percaya silakan saja mengatur pernapasanmu, rasakan sendiri apakah jalan darah Hiankoan-hiat di belakang pinggangmu terasa linu dan sakit atau tidak?"
Liu Khi termenung sejenak, "Sungguh amat lihai, ternyata aku memang benar-benar sudah termakan oleh serangan gelapmu, namun sayang kekuatannya tidak dapat membuatku terluka." "Untuk sementara waktu aku masih belum ingin melukaimu, aku hanya berniat mendemonstrasikan kemampuanku yang lihai ini agar kau l tidak terlampau sombong dan takabur." Liu Khi mendengus dingin, "Hm! Bersiaplah menyambut serangan: bacokanku yang kedua."
Pendekar Cacat 1428
"Tunggu sebentar," tiba-tiba orang berbaju hijau itu membentak. "Apalagi yang hendak kau katakan?" "Bila kita bertarung sekali lagi, rasanya salah seorang di antara kita akan terluka, kau tidak punya keyakinan untuk bisa mengungguliku, demikian pula aku. Buat apa mesti bersikeras meneruskan pertarungan yang sama sekali tak ada gunanya ini?".
Liu Khi tersenyum, "Tapi aku tak bisa membiarkan kau merampas, kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dengan gampang." "Kalau kau menginginkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, biarlah aku mengalah saja?" Seusai berkata, mendadak orang berbaju hijau itu mengerahkan Ginkang dan segera berlalu dari situ. Tampaknya Liu Khi sama sekali tidak menyangka orang berbaju hijau itu akan meninggalkan arena begitu saja, dia berdiri lama di tempat dengan wajah termangu-mangu, setelah tidak berhasil menemukan sesuatu gejala aneh, dia pun bergumam seorang diri, "Benarkah dia rela meninggalkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok begitu saja, hm ...."
Pendekar Cacat 1429
Namun dalam waktu singkat di atas tanah pekuburan itu telah muncul kembali si orang berbaju hijau yang misterius tadi.
Orang berbaju hijau itu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak serta Liu Khi, kemudian tertawa dingin penuh kelicikan dan perasaan bangga. "Jian-ciat-suseng betul-betul jago muda persilatan, nyatanya si pembunuh bayaran pun tak dapat menghabisi nyawamu, sungguh mengagumkan." Seusai berkata, kembali dia tertawa dingin tiada hentinya dengan suara menyeramkan. "Sebenarnya siapakah kau?" tegur Bong Thian-gak dengan nada suara dalam.
Berhubung orang berbaju hijau itu mengenakan topeng kulit manusia, maka tidak nampak perubahan wajahnya, dia balik bertanya, "Kalau menurut dugaanmu, siapakah aku?" "Hek-mo-ong," sahut Bong Thian-gak setelah tertegun sejenak.
Pendekar Cacat 1430
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin, "Atas dasar apa kau menuduhku sebagai Hek-mo-ong?" Bong Thian-gak tertegun dan tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba Liu Khi menimbrung sambil tertawa dingin, "Walaupun kau bukan Hek-mo-ong, namun termasuk salah seorang yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong." "Berapa banyak jago lihai dalam Kangouw yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong?" tanya orang berbaju hijau itu. "Ada beberapa orang yang dicurigai, rasanya tak usah ditanyakan lap,i kepadaku, kau sendiri jauh lebih jelas daripada siapa pun?" "Kalau begitu, kau pun sudah tahu siapa diriku?" ucap orang itu dengan suara mengerikan. "Ya, aku dapat menebak enam bagian." "Kalau begitu, coba katakan siapakah diriku?"
Liu Khi termenung beberapa saat, kemudian sambil tertawa, terbahak-bahak, "Kau adalah si tabib sakti Gi Jiancau."
Pendekar Cacat 1431
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, pikirnya, "Pesan terakhir Keng-tim Suthay memintaku membunuh Gi Jiancau, mungkinkah Hek-mo-ong adalah jelmaan Gi Jian-cau?" Sementara itu orang berbaju hijau itu sudah bertanya lagi dengan suara hambar, "Liu Khi, sudah pernahkah kau berjumpa dengan si tabib sakti Gi Jian-cau?" "Delapan belas tahun berselang, kami pernah berjumpa satu kali," jawab Liu Khi sambil tertawa. "Apakah kau masih ingat raut wajahnya?" Kembali Liu Khi tertawa, "Sekalipun tubuhnya hancur menjadi abu, aku masih tetap dapat mengenalinya."
Tiba-tiba orang berbaju hijau itu melepas topeng kulit manusia yang melekat di wajahnya sehingga muncul wajahnya di hadapan Bong Thian-gak serta Liu Khi. Begitu menjumpai paras muka orang itu, Bong Thian-gak segera berseru kaget, "Bukankah kau adalah Pat-kiam-huihiang Tan Sam-cing?" Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak menggubris perkataan Bong Thian-gak, dengan suara dingin dan kaku kembali dia bertanya-kepada Liu Khi, "Coba kau tatap lagi wajahku dengan seksama, benarkah aku adalah Gi Jiancau."
Pendekar Cacat 1432
Selesai berkata, dia mengenakan kembali topeng kulit manusia itu.
Liu Khi termangu-mangu, kemudian ucapnya sambil menghela napas, "Ai, tidak kusangka dugaanku meleset." "Liu Khi," kata orang berbaju hijau dengan suara dingin, "bila sekarang kutuduh kaulah Hek-mo-ong, apa yang hendak kau katakan?" Liu Khi tertawa terbahak-bahak, "Apabila kau pernah berjumpa dengan bayangan iblis Hek-mo-ong, maka kau tidak akan menaruh curiga kepadaku." "Apa maksudmu?" "Karena Hek-mo-ong bukan seorang berlengan tunggal."
Tiba-tiba orang berbaju hijau itu mengalihkan sorot matanya ke wajah Bong Thian-gak, katanya, "Sekarang aku telah memperlihatkan raut wajah asliku, Si-hun-mo-li juga telah menelan pil Hui-hun-wan, tentunya kau dapat menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku saat ini bukan?"
Pendekar Cacat 1433
Tak terlukiskan rasa kaget dan tercengang Bong Thian-gak, tanpa terasa ia berkata, "Darimana Tan-locianpwe bisa tahu dia telah menelan pil Hui-hun-wan?" "Si-hun-mo-li sudah sekian lama kehilangan kesadaran dan kejernihan otaknya, keadaannya tak ubahnya patung kayu yang menurut saja perintah orang, tapi kenyataan sekarang dia dapat tertidur begitu nyenyak dan tak mau menuruti perintah orang lagi. Jelas dia telah diberi pil Hui-hun-wan."
"Tan-locianpwe," kembali Bong Thian-gak bertanya dengan nada tak mengerti, "ada suatu hal yang tidak kupahami, bagaimana caramu menemukan Si-hun-mo-li, apakah kau pun sudah bergabung dengan Cong-kaucu Put-gwa-cinkau?" Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Si-hun-mo-li tidak lebih cuma boneka, asal seseorang memahami ilmu pengendali sukma, maka ia dapat memerintah sekehendak hati kepada perempuan ini. Mengapa harus jadi anak buah Cong-kaucu lebih dulu baru memberi perintah kepadanya?"
Bong Thian-gak menggeleng kepala, ia berkata, "Gerakgerik Tan-locianpwe benar-benar membuat aku bingung dan tidak mengerti."
Pendekar Cacat 1434
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Ingin kutanya padamu, sebenarnya kau menyelamatkan Jiwa Si-hun-mo-li ataukah mempertahankan kitab Kui-hok-khi-liok itu?"
ingin tetap
"Bila aku punya cukup kemampuan, keduanya kuhendaki." "Kalau begitu jangan salahkan bila aku turun tangan keji padamu." "Tunggu sebentar," teriak Bong Thian-gak. "Boanpwe ingin menanyakan satu hal lagi kepada Locianpwe." "Persoalan apa? Cepat katakan." "Boanpwe ingin tahu sebetulnya Locianpwe musuh atau sahabat?" "Hm, musuh atau sahabat, kaulah yang menetapkan sendiri."
Kembali Bong Thian-gak menghela napas sedih, katanya lagi, "Sungguh tidak kusangka, bersusah payah Tio Tianseng memancing kau muncul kembali dalam Kangouw, nyatanya perbuatan ini tak lebih cuma memancing harimau turun gunung."
Pendekar Cacat 1435
"Aku tidak punya waktu untuk diam terus," tukas orang berbaju hijau itu dingin. "Sekarang aku telah menghimpun kekuatan di telapak tangan kananku yang telah siap kuhantamkan ke tubuh Si-hun-mo-li yang masih tertidur nyenyak di atas tanah. Apabila kau masih belum juga menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, terpaksa aku harus memusnahkan jiwanya lebih dulu sebelum membunuhmu."
Bong Thian-gak menghela napas, "Baiklah, akan kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadamu." Bong Thian-gak segera merogoh sakunya dan siap mengeluarkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu. Tiba-tiba dari kejauhan sana terdengar suara bentakan nyaring, "Tunggu dulu, dia bukan Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing." Sesosok bayangan yang ramping dan tinggi semampai bagaikan burung walet yang lincah mendekat dengan kecepatan luar biasa. Di bawah cahaya bintang dan rembulan terlihat orang itu adalah gadis yang cantik, dia bukan lain adalah Biau-kosiu.
Pendekar Cacat 1436
Bong Thian-gak memandang sekejap ke arahnya, lalu tanyanya, "Atas dasar apa nona mengatakan dia bukan Patkiam-hui-hiang Tan Sam-cing?" Sementara itu si orang berbaju hijau telah menegur sambil tertawa dingin, "Kaukah si perempuan siluman rase dari wilayah Biau?" Biau-kosiu tertawa merdu, "Pat-kiam-hui-hiang Tan Samcing yang asli telah tiba!" Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, di tanah pekuburan itu telah muncul pula seorang Tosu berjenggot hitam.
Dengan seksama Bong Thian-gak mengawasi Tosu itu beberapa saat, ia tertegun dengan wajah melongo, sebab Tosu yang berada di hadapannya sekarang memang tak lain adalah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing yang pernah dijumpainya di kuil Sam-cing-koan tempo hari. Tapi bukankah raut wajah asli si orang berbaju hijau tadi pun mirip Tan Sam-cing? Dalam pada itu Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing hanya berdiri di kejauhan, tegurnya dengan suara lantang, "Sebenarnya siapakah kau? Mengapa memakai nama dan dandanan Pinto buat membohongi orang?"
Pendekar Cacat 1437
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin, "Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing belum pernah memasuki kuil Sam-cing-koan, justru aku yang hendak bertanya kepadamu, mengapa kau mencatut nama dan wajahku untuk menipu orang?" Bong Thian-gak tertawa seraya menimbrung, "Kau bukan saja telah mencatut nama dan dandanan orang, bahkan wajah pun kau catut. Benar-benar menggelikan, untung aku sudah mengenali Tan Sam-cing Totiang lebih dulu sehingga dapat kubedakan mana yang asli dan yang gadungan." "Jian-ciat-suseng," kata orang berbaju hijau itu dengan suara menyeramkan, "sejak kapan kau kenal Tan Samcing?" "Sejak kemarin." "Dimana?" "Dalam kuil Sam-cing-koan." "Sebelum kau bertemu Tan Sam-cing, kenalkah kau dengan orang yang bernama Tan Sam-cing?" "Aku hanya tahu kau adalah manusia keparat yang mencatut nama orang. Kenapa aku mesti banyak bicara denganmu?"
Pendekar Cacat 1438
Mencorong hawa membunuh dari balik mata orang berbaju hijau itu, katanya, "Satu-satunya lambang Tan Sam-cing adalah kehebatan ilmu Pat-kiam-hui-hiang. Jian-ciatsuseng, apakah kau tak ingin melihatnya?" "Mengapa tidak?" jawab Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Di dalam ujung bajuku terdapat delapan bilah pedang terbang, bila dilepaskan, kepala manusia tentu akan bergelindingan, selama ini belum pernah ada orang yang sanggup meloloskan diri." "Biarpun harus mempertaruhkan nyawa, pasti akan kuiringi kemauanmu itu," jawab Bong Thian-gak cepat.
Mendadak terdengar Liu Khi membentak keras, "Tunggu sebentar, Bong-laute." Bong Thian-gak masih tetap duduk bersila di atas tanah, dia memandang sekejap ke arah Liu Khi, kemudian tanyanya, "Ada urusan apa, Liu-sianseng?" Liu Khi tertawa, "Bong-laute, siapakah di antara mereka berdua adalah Tan Sam-cing yang asli, apa pula hubungannya dengan kita? Jika ingin dibuktikan siapa yang palsu, biar saja urusan itu diselesaikan mereka sendiri."
Pendekar Cacat 1439
Mendengar ucapan itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya, "Betul juga apa yang diucapkan Liu Khi. Mengapa aku begini bodoh mencampuri urusan orang?" Tiba-tiba terdengar orang berbaju hijau itu menjengek, "Jian-ciat-suseng, apakah kau hendak menarik kembali tantanganmu itu?" "Ya, bisa saja kutarik kembali," jawab Bong Thian-gak. Tibatiba terdengar Biau-kosiu mendengus sambil mengejek hina, "Huh, tak punya semangat. Kalau begitu aku telah salah menilai dirimu." Merah padam wajah Bong Thian-gak, ia segera terbungkam. Sam-cing Totiang yang berada di sisinya cepat menimbrung pula sambil tertawa dingin, "Nona Biau, cepat kau minta kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tangannya, Jian-ciat-suseng bukan seorang yang dapat dipercaya lagi."
Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa keras, kemudian katanya, "Nona Biau, dengar baik-baik. Aku bersedia memenuhi permintaanmu pergi mengambilkan kitab pusaka Kui-hokkhi-liok ini lantaran aku ingin membalas budi kebaikanmu beberapa hari berselang. Sekarang harap kau terima kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok secepatnya, sehingga aku tak berhutang apa-apa lagi kepadamu."
Pendekar Cacat 1440
Lantas Bong Thian-gak merogoh sakunya dan mengeluarkan bungkusan kain hijau yang berisi kitab pusaka Kui-hok-khi-liok.
Tiba-tiba seseorang berkelebat, tahu-tahu orang berbaju hijau itu sudah mendesak maju dan menghadang di depan Bong Thian-gak, kemudian bentaknya, "Barang siapa berani maju untuk menerima kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, dia harus merasakan dulu pedang terbangku." "Benarkah di balik ujung bajumu itu tersimpan pedang terbang?" tanya Bong Thian-gak tertegun. Orang berbaju hijau itu melirik ke arah Bong Thian-gak, jawabnya, "Apakah kau masih belum percaya aku adalah Pat-kiam-hui-hiang?" Bong Thian-gak tersenyum. "Dunia persilatan yang penuh tipu-daya yang licik dan berbahaya, memang sulit bagi orang untuk mempercayai." "Bila begitu aku perlu beritahukan kepada kalian, Tosu di hadapan kalian sebetulnya adalah Hek-mo-ong."
Sam-cing Totiang tergelak, "Ngaco-belo, Pinto sudah puluhan tahun mengasingkan diri dari keramaian dunia,
Pendekar Cacat 1441
sungguh tak disangka kemunculanku kembali ke dunia Kangouw ternyata harus bertemu orang edan yang mencatut namaku." Dengan suara mengerikan orang berbaju hijau itu tertawa dingin tiada hentinya, ia berkata, "Oh, jadi kau mengaku sebagai Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing. Tentunya kau pun pandai mempergunakan pedang terbang bukan?" "Tentu saja dapat," jengek Sam-cing Totiang. "Ilmu pedang terbang Tan Sam-cing amat termasyhur di kolong langit, aku tidak percaya kau sanggup mempelajari ilmu silat yang amat tangguh ini." Sambil berkata orang itu menggetarkan ujung baju kirinya. Sejalur cahaya putih bagaikan sambaran petir segera meluncur ke muka. Cahaya putih itu langsung melesat ke udara dan menyambar Sam-cing Totiang yang berdiri di hadapannya.
Sam-cing Totiang segera melompat ke belakang, di tengah udara ia mengebaskan pula ujung bajunya sehingga muncul pula cahaya putih menyongsong datangnya sambaran cahaya putih orang berbaju hijau itu. Suara benturan nyaring berkumandang, kedua jalur cahaya putih saling tumbuk, setelah berputar satu lingkaran, kedua
Pendekar Cacat 1442
jalur cahaya putih itu terbang kembali ke dalam genggaman orang berbaju hijau serta Sam-cing Totiang. Demonstrasi ilmu pedang terbang yang sangat hebat dan luar biasa ini membuat para jago membuka mata lebarlebar.
Dengan jelas Bong Thian-gak melihat senjata dalam genggaman orang berbaju hijau adalah pedang kecil setipis daun yang panjangnya hanya tiga inci. Sebaliknya senjata dalam genggaman Sam-cing Totiang berupa sebilah pedang kecil yang memancarkan cahaya putih. Sambil tertawa dingin orang berbaju hijau itu segera berkata, "Kepandaianmu memang amat sempurna, tak nyana kau mampu memukul mundur pedang terbangku." Sam-cing Totiang tertawa, "Aku pun tidak mengira kau benar-benar telah melatih ilmu pedang terbang." "Mengapa kau tidak ingin mencoba ketujuh pedang yang lain?" tantang orang berbaju hijau itu dingin. "Berapa pun jumlah pedang terbang yang kau miliki, silakan saja digunakan semua."
Pendekar Cacat 1443
"Silakan kau maju ke depan untuk mencoba kepandaianku ini." "Mengapa bukan kau saja yang maju?" "Hm, kau anggap aku tak mampu?"
Kali ini orang berbaju hijau itu menerjang ke depan bagaikan burung rajawali sakti. Baru saja tubuhnya menerjang ke muka, cahaya putih secara beruntun meluncur ke depan menimbulkan desingan tajam. Sam-cing Totiang melejit ke tengah udara, dari tangannya nampak pula cahaya putih berkelebat ke depan dengan kecepatan tinggi. Di tengah dentingan nyaring, terdengar suara orang mendengus tertahan. Dari tengah udara tampak sesosok bayangan roboh ke atas tanah, ternyata orang itu adalah Sam-cing Totiang.
Pada saat bersamaan orang berbaju hijau itu melayang turun ke sisi Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1444
Ternyata bahu kiri Sam-cing Totiang telah tertancap pedang kecil, waktu pedang itu dicabut, darah kental segera memercik membasahi seluruh tubuhnya. Paras muka orang berbaju hijau yang tertutup topeng kulit manusia sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun, malah ujarnya, "Hek-mo-ong, ilmu pedang terbangmu masih kalah setingkat. Hm, sebenarnya kau dapat melepas paku tengkorakmu tadi untuk merenggut nyawaku, mengapa kau tidak berbuat demikian?"
Paras muka Sam-cing Totiang berubah hijau membesi, sesudah tertawa dingin ia berkata, "Aku tidak mengerti apa maksudmu?" "Kau seharusnya mengakui dirimu sebagai Hek-mo-ong, bukan Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing." Sam-cing Totiang kembali tertawa seram, "Bila aku benarbenar Hek-mo-ong, maka sulit bagimu untuk hidup lewat tiga hari lagi." "Bila kau berharap bisa mendapatkan kitab pusaka Kui-hokkhi-liok malam ini, maka kau harus memperlihatkan wujud aslimu sebagai Hek-mo-ong, dan melangsungkan pertarungan berdarah. Siapa tahu hal ini akan membuatmu berhasil mendapatkan kitab itu?"
Pendekar Cacat 1445
Sementara dia berbicara, tiba-tiba Biau-kosiu berjalan menuju ke belakang punggung Bong Thian-gak, kemudian tangannya berkelebat ke depan menyambar kitab pusaka Kui-hok-khi-liok dalam genggaman anak muda itu. Orang berbaju hijau segera membentak, "Jian-ciat-suseng, jangan kau serahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya." Kembali orang berbaju hijau mengebaskan ujung bajunya, sebilah pedang segera melesat ke udara dan langsung menyambar pergelangan tangan Biau-kosiu. Sesungguhnya sedari tadi Bong Thian-gak memang sudah berniat mengembalikan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada Biau-kosiu, bukan saja ia tidak berusaha menghindar, malahan tangan tunggalnya didorong ke depan dan dengan cepat menarik kitab pusaka itu. Menyusul ia memutar pergelangan tangannya, lalu menjepit pedang kecil yang menyambar datang itu dengan jepitan jari tengah dan telunjuknya.
Ketika melepas pedang kecil tadi, orang berbaju hijau menerjang pula ke depan, telapak tangan kanannya langsung menghantam Biau-kosiu.
Pendekar Cacat 1446
Setelah berhasil mendapatkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok, dengan cekatan Biau-kosiu melompat mundur, gerakan tubuh nona itu benar-benar cepat, sekalipun jurus serangan yang digunakan orang berbaju hijau itu amat cepat dan luar biasa, akan tetapi ancaman itu segera mengenai tempat kosong. Orang berbaju hijau mendengus dingin, "Hm, mau kabur kemana kau?" Berbareng dia meluncur ke depan melakukan pengejaran.
Bong Thian-gak cukup tahu betapa lihainya kepandaian silat orang berbaju hijau, karena kuatir Biau-kosiu tidak berhasil meloloskan diri dari pengejaran, maka segera teriaknya, "Silakan kau menerima kembali pedang kecilmu!" Bong Thian-gak segera menyambitkan pedang kecil yang dijepit jari tangannya itu ke arah lawan dengan kekuatan luar biasa. Mau tak mau orang berbaju hijau harus menghentikan langkah untuk membalikkan badan dan menyambut datangnya serangan pedang kecil itu. Lantaran terhadang sejenak itulah untuk kedua kalinya Biau-kosiu melejit ke udara, dalam waktu singkat dia telah berada di kejauhan.
Pendekar Cacat 1447
Orang itu sangat mendongkol, sambil mendengus dingin katanya, "Jian-ciat-suseng, aku benar-benar sangat membencimu. Suatu ketika aku akan mencincang tubuhmu hingga hancur guna melampiaskan rasa benciku ini." Setelah berteriak penuh amarah, dia menjelit ke udara melakukan pengejaran. Dalam waktu singkat bayangan tubuh Biau-kosiu dan orang berbaju hijau lenyap dari pandangan. Sementara itu Sam-cing Totiang yang berdiri di hadapan mereka memandang sekejap ke arah Liu Khi dan Bong Thian-gak, kemudian setelah tertawa dingin dia pun membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
Suasana di tanah pekuburan kembali hening, Bong Thiangak serta Liu Khi duduk bersila di atas tanah dan mengatur pernapasan. Beberapa saat kemudian terdengar Liu Khi berkata, "Bonglaute, dapatkah kau menunjukkan siapa di antara mereka berdua adalah Tan Sam-cing yang asli?" "Tentu saja Totiang itu, dialah Pat-kiam-hui-hiang Tan Samcing yang asli," jawab Bong Thian-gak dengan suara lantang.
Pendekar Cacat 1448
Liu Khi menggeleng berulang kali. "Dugaan Bong-laute keliru besar, padahal orang berbaju hijau itulah Tan Sam-cing yang asli." "Sewaktu masih berada di dalam kuil Sam-cing-koan, aku pernah berjumpa Tan Sam-cing Locianpwe. Sam-cing Totiang adalah ketua Sam-cing-koan, yang nama aslinya adalah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing!" Sekali lagi Liu Khi menghela napas panjang, "Andaikata Tojin itu adalah Pat-kiam-hui-hiang yang asli, maka ilmu pedang terbangnya tak nanti lebih lemah daripada kemampuan orang berbaju hijau itu. Dari pertarungan ilmu pedang terbang yang barusan mereka lakukan, terbukti kepandaian silat Tojin itu masih kalah setengah tingkat." "Liu-sianseng, pernahkah kau berjumpa Tan Sam-cing?" "Aku rasa di kolong langit dewasa ini, hanya Tio Tian-seng seorang yang pernah berjumpa Tan Sam-cing. Oleh sebab itu, hanya dia seorang yang mengetahui siapakah Pat-kiamhui-hiang Tan Sam-cing yang sebenarnya." "Kita kan bisa mencari Tio-pangcu untuk memecahkan teka-teki ini." "Apakah Bong-laute mengetahui Tio Tian-seng berada dimana sekarang?" tanya Liu Khi sambil tersenyum.
Pendekar Cacat 1449
"Tio-pangcu berada di rumah penginapan Ban-heng di dalam kota Lok-yang."
Tiba-tiba Liu Khi menghela napas panjang, katanya, "Bonglaute, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padamu, pernahkah Tio Tian-seng menyinggung persoalan yang menyangkut diriku?" Satu ingatan segera melintas di dalam benaknya, Bong Thian-gak berpikir, "Apakah aku harus berkata terus terang kepadanya bahwa Tio Tian-seng telah menaruh curiga kepadanya?" Bong Thian-gak pun menggeleng kepala seraya berkata, "Tidak pernah ... cuma aku rasa sikap Liu Khi terhadap Tio Tian-seng Pangcu seperti kurang terbuka dan jujur."
Liu Khi tertawa dingin, "Bong-laute, tahukah kau di dunia persilatan dewasa ini terdapat beberapa orang yang dulunya pernah saling sebut sebagai saudara dan bergaul sangat akrab, tapi lantaran sebuah teka-teki, mereka justru saling bermusuhan dan adu kepintaran." "Lantaran teka-teki apakah itu?"
Pendekar Cacat 1450
Liu Khi menghela napas sedih, "Ai, soal teka-teki itu sebenarnya menyangkut nama baik beberapa tokoh yang amat termasyhur, oleh sebab itu siapa saja tidak ingin mengungkap teka-teki itu secara terbuka, namun setiap orang justru berdaya upaya dengan segenap kemampuan untuk mencari jawaban teka-teki itu." "Oh, dengan cara apakah kalian hendak mencari?" "Asalkan kita berhasil menemukan jejak Hek-mo-ong, maka teka-teki itu akan terungkap dengan sendirinya."
Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian bertanya lagi, "Apakah Liu-sianseng juga belum berhasil menemukan jejak Hek-mo-ong?" Liu Khi menggeleng. "Belum! Namun aku sudah menyelidiki setiap orang yang aku curigai sebagai Hek-mo-ong." "Dapatkah Liu-sianseng mengungkapkan siapa saja yang kau curigai sebagai Hek-mo-ong?" "Boleh saja." "Kalau begitu harap kau suka bicara!"
Pendekar Cacat 1451
Liu Khi menarik napas panjang, kemudian katanya, "Dari mereka yang aku curigai termasuk juga mereka yang telah mati, semuanya berjumlah sembilan orang." Bong Thian-gak tertegun, diam-diam pikirnya, "Sam-cing Totiang dan Tio Tian-seng, keduanya mengatakan ada empat orang yang patut dicurigai, sedangkah Liu Khi mengatakan ada sembilan. Sebenarnya siapa saja kesembilan orang itu?"
Liu Khi berhenti sejenak, kemudian sambungnya, "Yang sudah menjadi almarhum ada tiga orang ... mereka adalah pendeta sakti dari Siau-lim-pay Ku-lo Hwesio, Thi-ciang-kankun-hoan Oh Ciong-hu serta ketua perguruan Mi-tiong-bun, Kui-kok Sianseng." Begitu mendengar ketiga nama itu, paras muka Bong Thiangak berubah hebat, katanya, "Berdasar apa Liu-sianseng mencurigai mereka?"
Liu Khi menghela napas panjang, kemudian katanya, "Aku tahu Ku-lo Hwesio dan Oh Ciong-hu adalah mendiang gurumu, tapi kau pun harus tahu, aku tidak bermaksud menodai nama baik mereka. Ai, aku mencurigai mereka bertiga sebagai Hek-mo-ong, bukan asal mencurigai saja, tapi berdasarkan bukti dan data-data yang berhasil kukumpulkan."
Pendekar Cacat 1452
"Dapatkah Liu-sianseng menjelaskan bukti-bukti yang berhasil kau kumpulkan itu?"
Liu Khi tertawa dingin, "Apabila kuungkap bukti-bukti yang berhasil kukumpulkan itu, maka hal ini akan semakin menjatuhkan nama baik mereka ke lembah kenistaan." "Bila Liu-sianseng tidak mengungkapkan buktinya, mana kau boleh menuduh dan menodai nama baik seseorang begitu saja? Biarpun Ku-lo Hwesio dan Oh Bengcu telah meninggal dunia, namun kebajikan dan kebaikan yang pernah mereka perbuat selama hidup dulu, bukanlah bisa diputar-balikkan oleh sembarang orang dengan seenaknya sendiri."
Paras muka Liu Khi berubah hebat, katanya pula, "Bonglaute, tahukah kau, badai pembunuhan yang melanda dunia persilatan selama enam puluh tahun terakhir ini disebabkan apa?" "Silakan Liu-sianseng memberi keterangan." "Singkatnya saja, biang-keladi kekacauan dan malapetaka ini sesungguhnya seorang wanita." "Seorang wanita?" "Siapakah dia?"
tanya
Bong
Thian-gak
terkejut.
Pendekar Cacat 1453
"Dia tak lain adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau yang sedang merajalela saat ini."
"Dia?" Bong Thian-gak semakin terperanjat. "Bukankah dia..” Bong Thian-gak seakan-akan telah memahami suatu persoalan. Dan persoalan itu seperti pula apa yang dikatakan Liu Khi, bilamana diterangkan sejelas-jelasnya, maka hal itu akan merugikan dan menodai nama baik banyak jago-jago persilatan.
Liu Khi menengok sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya pula, "Semasa hidupnya dulu, Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu serta Kui-kok Sianseng mempunyai hubungan gelap dengan perempuan itu, bahkan luar biasa mesranya. Itulah sebabnya apa yang kukatakan bukan cuma isapan jempol." Bong Thian-gak sangat terkejut, juga bingung dan tidak habis mengerti. Sebenarnya perempuan macam apakah Cong-kaucu Putgwa-cin-kau ini?
Pendekar Cacat 1454
Dengan cara apakah dia telah membuat dunia Kangouw menjadi kalut dan tidak tenang? Bagaimana pula ia membuat para orang gagah mengorbankan jiwa baginya dan ribut karena dirinya? Walaupun pada saat ini banyak persoalan yang ingin ditanyakan Bong Thian-gak, akan tetapi dia tak berani mengutarakan, maka setelah termenung lama sekali, akhirnya dia bertanya, "Selain ketiga orang itu, siapakah keenam orang lainnya?" "Dari keenam orang itu, dua di antaranya sampai sekarang masih belum diketahui nasib dan mati hidupnya." "Siapakah kedua orang itu?" "Song-ciu suami-istri." Bong Thian-gak berkerut kening, "Song-ciu suami-istri? Belum pernah kudengar nama orang ini."
Liu Khi segera tersenyum, "Sesungguhnya Song-ciu suamiistri memang amat jarang melakukan perjalanan dalam Kangouw. Tapi sejak puluhan tahun berselang, Song-ciu suami-istri adalah dua orang jago lihai yang tidak boleh dianggap enteng."
Pendekar Cacat 1455
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Tatkala Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng merajai kolong langit, dia berhasil mencantumkan nama besarnya dalam urutan sepuluh orang jago paling tangguh waktu itu, Song-ciu suami-istri pun tercantum namanya di antara kesepuluh orang jago lihai ini." "Siapa sajakah kesepuluh jago lihai itu?" tanya Bong Thiangak.
"Kesepuluh jago itu adalah Kui-kok Sianseng ketua perguruan Mi-tiong-bun, Liong Oh-im, Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, Song-ciu suami-istri, Gi Jian-cau, Tan Sam-cing, perempuan paling cantik di daerah Kanglam Ho Lan-hiang dan aku Liu Khi."
Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru tertahan, kemudian tanyanya, "Perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam Ho Lan-hiang? Apakah dia adalah kakak sepeguruan mendiang guruku Oh Ciong-hu?" Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian sahutnya, "Benar, Ho Lan-hiang memang berasal satu perguruan dengan Oh Ciong-hu." "Tahukah Liu-sianseng akan jejaknya saat ini?" tanya Bong Thian-gak lagi.
Pendekar Cacat 1456
Liu Khi termenung, jawabnya, "Tentu saja aku tahu jelas jejaknya, namun aku pun telah berjanji kepadanya takkan membocorkan rahasia ini. Jadi harap Bong-laute sudi memaafkan."
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, gumamnya lirih, "Ya, aku tahu sekarang ... aku sudah tahu siapakah orang itu." Paras muka Liu Khi berubah pula, serentak dia melompat bangun dari atas tanah, katanya, "Apakah Bong-laute masih ada perkataan lain yang hendak ditanyakan kepadaku? Kalau tidak ada, untuk sementara waktu aku hendak mohon diri lebih dahulu." Bong Thian-gak menghela napas sedih, kemudian katanya, ."Harap Liu-sianseng sudi menerangkan padaku, siapa empat orang lainnya?" "Keempat orang itu adalah Tan Sam-cing, Tio Tian-seng, Gi Jian-cau serta Liong Oh-im." "Tahukah Liu-sianseng di antara mereka yang dicurigai, siapakah di antaranya yang paling dicurigai?"
Pendekar Cacat 1457
Liu Khi menghela napas panjang, "Ai, setiap orang mempunyai kemungkinan sebagai Hek-mo-ong, di antara mereka pun setiap saat akan mencurigai diriku pula." "Bukankah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau mengetahui siapakah Hek-mo-ong? Mengapa kalian tidak mencarinya dan ditanyakan saja kepada perempuan itu?" kata Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang pula. Liu Khi menggeleng, "Dia sendiri pun tidak mengetahui siapakah Hek-mo-ong." "Liu-sianseng tak berbohong?"
Liu Khi tertawa, "Masih ingatkah Bong-laute akan perkataan si orang berbaju hijau yang mengatakan aku adalah seorang pembunuh bayaran?" Bong Thian-gak tertegun, kemudian menjawab, "Ya, pekerjaan Liu-sianseng memang mengerikan. Entah siapa orang yang mengundangmu untuk membunuh Hek-moong?" "Orang itu tidak lain adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau," jawab Liu Khi tersenyum.
Pendekar Cacat 1458
Sekali lagi Bong Thian-gak dibuat tertegun, ujarnya, "Liusianseng, apa yang kau bicarakan pada malam ini sungguh membuat orang semakin kebingungan." "Dendam kesumat yang berkobar dalam Bu-lim dewasa ini pada hakikatnya memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan tidak dapat dipahami orang begitu saja. Barang siapa di antara jago persilatan yang melibatkan diri dalam kancah budi dan dendam itu, maka keadaannya tak ubahnya seperti sukma gentayangan tanpa tujuan atau boneka tanpa nyawa."
Sampai di situ mendadak perkataannya terhenti, dengan wajah diliputi perasaan kaget dan ngeri, katanya, "Bonglaute, pembicaraan kita hari ini hanya sampai di sini saja, sampai jumpa lain kesempatan." Selesai berkata, Liu Khi membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya Bong Thian-gak hendak menahan kepergian Liu Khi, dia ingin menanyakan berbagai masalah yang masih tidak dipahami olehnya, akan tetapi gerakan Liu Khi benarbenar cepat sekali, hanya dengan beberapa kali lompatan saja bayangannya sudah lenyap dari pandangan mata.
Pendekar Cacat 1459
Bong Thian-gak memandang sekeliling tempat itu, tanah pekuburan terasa sepi. Di tempat yang begitu hening dan menyeramkan itu, selain dia serta Thay-kun yang masih berbaring di atas tanah tertidur pulas, tiada manusia ketiga yang berada di situ. Pelan-pelan Bong Thian-gak berdiri, kemudian berjalan menuju ke sisi Si-hun-mo-li, kemudian setelah menghela napas sedih, dia pun duduk bersila di sampingnya. Walaupun Si-hun-mo-li telah menelan pil Hui-hun-wan, namun Bong Thian-gak masih tetap menguatirkan apakah perempuan itu dapat sadar atau tidak?
Malam begitu kelam, namun Bong Thian-gak dengan pandangan kuatir masih saja mengamati wajah Thay-kun tanpa berkedip, dia benar-benar merasa sangat resah dan bingung. Dari berbagai bukti yang berhasil dikumpulkan, Bong Thiangak telah berhasil menebak siapa gerangan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau. Orang itu besar kemungkinan adalah perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang adanya.
Pendekar Cacat 1460
Namun Bong Thian-gak masih tetap tidak mengerti tentang budi dendam dan perselisihan yang berlangsung selama ini, sesungguhnya siapakah yang menjadi dalang peristiwa itu? Ho Lan-hiang? Atau Hek-mo-ong? Siapa pula Hek-mo-ong? Dari ucapan Liu Khi tadi, Tio Tian-seng termasuk juga kesepuluh orang yang kemungkinan adalah Hek-mo-ong. Mendadak suara rintih yang lirih memotong jalan pikiran Bong Thian-gak yang bergelombang tidak menentu itu. Dengan perasaan tegang Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke depan.
segera
Dia lihat mata Si-hun-mo-li yang terpejam mulai bergerakgerak, kemudian terbuka lebar. Kejut dan gembira Bong Thian-gak, segera ia berseru, "Thay-kun ... Thay-kun Setelah membuka mata, paras muka Si-hun-mo-li diliputi perasaan bingung dan bimbang. Pelan-pelan dia menekuk pinggang dan duduk, sementara sorot matanya dialihkan memandang sekeliling tempat itu, akhirnya berhenti di depan Bong Thian-gak dan mengamatinya lekat-lekat. Bong Thian-gak kembali berseru, "Thay-kun ... Thay-kun! Sudah sadarkah perasaan dan pikiranmu?"
Pendekar Cacat 1461
Paras muka Si-hun-mo-li kelihatan begitu tenang dan hambar, sulit rasanya membedakan apakah dia sedang gembira, gusar, sedih atau senang. Dengan pandangan tenang dia mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip, sementara mulut tetap membungkam. Bong Thian-gak yang menyaksikan mimik wajah perempuan itu, dalam hati membatin, "Ya benar, untuk beberapa saat lamanya kesadaran dan kejernihan pikirannya belum dapat dipulihkan secara keseluruhan."
Berpikir demikian, dengan suara rendah Bong Thian-gak berseru, "Thay-kun masih kenalkah kau pada diriku? Aku ... aku adalah Bong Thian-gak." Paras muka Si-hun-mo-li nampak agak berubah, akhirnya muncul juga kata-katanya yang pertama, "Mengapa aku bisa berada di sini? Kaukah yang telah menolongku?" Bong Thian-gak benar-benar merasa gembira, sambil melompat kegirangan, serunya, "Thay-kun, kau benarbenar telah pulih." Sambil berkata, tanpa terasa pemuda itu maju ke muka dan berusaha memeluk gadis itu.
Pendekar Cacat 1462
Belum sempat ia memeluk perempuan itu, Si-hun-mo-li telah merentang tangan dan menangkis lengan pemuda itu, kemudian tegurnya dengan dingin, "Aku harap kau sedikit sopan, aku tidak kenal padamu!" Bong Thian-gak terbahak-bahak, "Benar, kau tidak mengenal aku, tapi tentunya kenal orang yang bernama Ko Hong bukan."
Kemudian Bong Thian-gak berjalan menuju ke sebuah kuburan dan membungkukkan badan untuk memungut Pek-hiat-kiam yang disampuk mencelat oleh orang berbaju hijau tadi. Kemudian dia membalikkan badan berjalan ke hadapan Sihun-mo-li, pelan-pelan ujarnya, "Thay-kun, mungkin kau pun bisa mengenali pedang ini?"
Tiga tahun enam-tujuh bulan, meski tidak terhitung panjang, namun bukan waktu yang teramat singkat pula. Selama itu dia selalu hidup dalam suasana terpengaruh pikiran dan kesadarannya, selama ini seperti mayat berjalan yang tidak berpikiran, perasaan dan sukma.
Pendekar Cacat 1463
Dalam ingatan Thay-kun, dia hanya tahu pada tiga tahun berselang dirinya jatuh ke tangan Cong-kaucu Put-gwa-cinkau, sedang mengenai perbuatan yang telah dilakukannya sejak menjadi Si-hun-mo-li dia sama sekali tidak mengetahuinya.
Dia bagaikan baru mendusin dari impian panjang dan tidurnya kali ini mencapai tiga tahun tujuh bulan. Setelah mendusin dari tidurnya, segala kejadian sebelum ia tertidur segera teringat kembali, sudah barang tentu Pekhiat-kiam pun sangat dikenal Thay-kun. Pedang itu dibuat olehnya bersama Keng-tim Suthay dengan membuang waktu selama satu tahun dan bahan obat yang tak terhitung jumlahnya. Pedang itu merupakan tanda kepercayaan Hiat-kiam-bun ... Pek-hiat-kiam. Mengapa pedang itu bisa jatuh ke tangan pemuda berlengan tunggal ini?
Thay-kun mengerut dahi sambil secara diam-diam menghimpun tenaga dalam ke dalam telapak tangan, tegurnya dengan suara dingin, "Pedang itu adalah Pek-hiatkiam, darimana kau peroleh senjata itu?" Melihat perempuan itu dapat menyebut pedang itu, Bong Thian-gak segera tahu perempuan itu telah memperoleh
Pendekar Cacat 1464
kembali pikiran serta kesadarannya, maka dengan penuh gembira dia berseru, "Thay-kun, aku adalah Ko Hong!" "Ko Hong?" Nama itu berputar tiada hentinya dalam benak perempuan itu, bayangan tubuh, nada suara, Thay-kun begitu mengenalnya. Namun dalam pikiran Thay-kun, orang bernama Ko Hong sudah meninggal dunia. Lagi pula raut wajah Bong Thian-gak sekarang sama sekali tidak mirip dengan wajah Ko Hong di masa lalu.
Oleh sebab itu muncul sinar bimbang dari balik mata Thaykun, ia menggeleng kepala, kemudian berkata, "Kau bukan Ko Hong, Ko Hong telah mati." "Benar, diriku yang sekarang bukan Ko Hong, aku adalah Bong Thian-gak," seru pemuda itu penuh emosi. "Oh Thaykun, tahukah kau sejak menelan pil penghilang sukma, kau telah kehilangan pikiran dan kesadaranmu selama tiga tahun tujuh bulan." Paras muka Thay-kun berubah hebat, serunya tertahan, "Kau mengatakan aku telah menelan pil pelenyap sukma?"
Pendekar Cacat 1465
Bagaikan orang menggigau, dia bergumam, "Benar, aku memang menyaksikan Suhu memasukkan pil pelenyap sukma ke mulutku." Kemudian setelah menghela napas sedih, Thay-kun kembali bertanya, "Siapakah kau? Mengapa kau menyelamatkan aku?"
Kembali Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Thay-kun, masih ingatkah kau peristiwa pada tiga tahun berselang, ketika kau bersama Ko Hong pergi ke kaki bukit Cui-im-hong di luar kota Lok-yang untuk mencari si tabib sakti Gi Jian-cau?" "Aku adalah Ko Hong, nama itu adalah nama samaranku. Pada waktu itu raut wajahku telah kuubah dengan obat penyaru muka, sebab itu saat ini kau tak kenal aku lagi, namun kau bisa memeriksa diriku dari sorot mata dan bentuk tubuhku. Coba pandanglah, apakah mirip dengan Ko Hong di masa lalu?"
Sejak tadi Thay-kun mengawasi Bong Thian-gak dari atas kepala hingga ujung kaki, dia seakan sedang mengumpulkan kembali kenangannya di masa lalu.
Pendekar Cacat 1466
Akhirnya perempuan itu menghela napas sedih, lalu berkata, "Kau telah kehilangan sebuah lenganmu, nada suaramu juga berubah lebih tua." Ketika berbicara sampai di sini, air mata yang sudah mengembeng sejak tadi segera jatuh bercucuran membasahi pipinya yang halus. Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata, "Sumoay, sudah kau kenali diriku?" "Oh, Suheng," sahut Thay-kun sedih.
Ia segera menubruk ke dalam pelukan Bong Thian-gak dan menangis tersedu-sedu. Dengan lengan tunggalnya Bong Thian-gak merangkul perempuan itu, kemudian bisiknya, "Thay-kun, menangislah sepuas hatimu. Selama tiga tahun tujuh bulan sudah banyak persoalan yang kita alami." "Oh Suheng, aku bukan sedih, aku merasa gembira, tak kusangka kau masih hidup. Ketika Cong-kaucu mengatakan kau sudah mati, waktu itu hatiku benar-benar hancur-lebur karena sedih." "Ya, tiga tahun berselang aku memang nyaris mati konyol, hampir saja aku tak bisa hidup lagi," Bong Thian-gak menghela napas sedih.
Pendekar Cacat 1467
Mendadak Thay-kun menghentikan isak-tangisnya, kemudian bertanya, "Dengan cara apakah kau berhasil selamat, bersediakah kau memberitahukan segala sesuatunya kepadaku?" "Tentu saja aku akan menceritakan semua itu kepadamu. Mari kita duduk dulu sebelum bicara!" Kedua orang itu segera duduk berjajar di atas pagar pekarangan tanah pekuburan itu. Di situlah Bong Thian-gak mengisahkan semua penderitaan dan pengalaman yang dialaminya selama tiga tahun tujuh bulan ini. Kemudian ia menceritakan pula semua perubahan yang telah menimpa dunia persilatan selama ini.
Sebab dia tahu Thay-kun tentu merasa amat asing terhadap situasi tiga tahun terakhir ini. Ketika selesai mendengar penuturan itu, dengan sedih dan murung Thay-kun menghela napas panjang, katanya kemudian, "Semua itu benar-benar seperti alam impian, tapi setelah mendusin, segala sesuatunya hanya tinggal kesedihan dan kemurungan. Ai, dunia begini luas, kemana aku harus pergi selanjutnya?"
Pendekar Cacat 1468
Entah apa yang sedang dirasakan olehnya, nada suaranya begitu sedih sehingga membuat siapa pun merasa pedih setelah mendengar ucapannya.
Bong Thian-gak memeluk pinggang perempuan itu, lalu bisiknya,-"Thay-kun, aku pasti akan membantu., selamanya akan membantumu menciptakan karya besar dalam Bulim." Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu dengan air mata bercucuran ia berkata sedih, "Ambisiku untuk menjagoi dunia Kangouw kini sudah lenyap, dalam hati sekarang aku sudah tidak memiliki ambisi semacam itu." Hati Bong Thian-gak bergetar keras, katanya, "Thay-kun, sekarang kau sudah memperoleh kebebasan, sepantasnya kau sambut kebebasan ini dengan hati gembira. Mengapa kau ...." Thay-kun tertawa pedih, ujarnya, "Suheng, aku ingin memberitahu satu hal padamu, Thay-kun adalah seorang perempuan. Baginya yang terpenting adalah kesucian, dia berharap dapat mempersembahkan kesuciannya untuk orang yang dicintainya." "Tapi sekarang dia telah menjadi seorang ternoda, semua harapan telah musnah. Apakah dia masih dapat bergembira?"
Pendekar Cacat 1469
Bong Thian-gak tertegun, tanyanya, "Kau telah menemukan kekasih?" Thay-kun tertawa sedih. "Sejak empat tahun berselang, aku telah menemukan orang yang kucintai, namun belum pernah kukatakan cinta kepadanya, aku akan tetap selamanya mencintai dirinya." Tiba-tiba Bong Thian-gak bangkit, wajahnya tampak menderita, sementara sorot matanya dialihkan ke angkasa dan memandang jauh. Pada saat itu dalam hati dia pun sedang membatin, "Ternyata orang yang dicintai Thay-kun selama ini bukan aku. Ai ... tak kusangka aku telah mencintainya selama empat tahun tanpa balas, aku hanya bertepuk sebelah tangan." Saat itu Bong Thian-gak benar-benar merasa sedih, kesal dan murung.
Baru sekarang dia benar-benar menyadari bahwa ia memang sangat mencintai Thay-kun. Setelah tertegun beberapa saat, Bong Thian-gak baru membalikkan badan kemudian setelah tertawa sedih dia
Pendekar Cacat 1470
berkata, "Sumoay, orang yang merasa sedih di kolong langit bukan hanya kau seorang, aku pun seorang yang diliputi kesedihan." "Persoalan apakah yang membuat kau merasa bersedih?" tanya Thay-kun lirih. Bong Thian-gak menggeleng sambil menghela napas panjang, "Ai, tidak usah dibicarakan lagi." "Apakah Bong-suheng juga dibuat murung oleh persoalan cinta? Song Leng-hui adalah seorang gadis suci dan bersih, dia telah mempersembahkan kesucian tubuhnya untukmu. Apakah kau masih merasa kurang puas?"
Hati Bong Thian-gak bergidik, diam-diam batinnya, "Ya, benar, mengapa aku harus menyia-nyiakan kemurnian cinta Song Leng-hui." Tapi hubungan antara laki perempuan memang kadang begitu aneh. Empat tahun berselang Bong Thian-gak mengintip tubuh Thay-kun yang tidur telanjang, sejak itu pula ia tak dapat menghapus bayangan Thay-kun yang menawan hati dari dalam benaknya, sekalipun semasa dia berada di gunung yang terpencil, belum pernah dapat melupakan Thay-kun. Hanya saja perasaan itu disembunyikan di dasar hatinya.
Pendekar Cacat 1471
Tujuan utama Bong Thian-gak adalah ingin mengetahui nasib Thay-kun, selama beberapa bulan terakhir ini dia pun selalu berdaya-upaya mendapatkan pil Hui-hun-wan serta menyelamatkan Thay-kun dari keadaan yang menyengsarakan dirinya. Thay-kun yang pintar sudah barang tentu mengetahui rahasia hati Bong Thian-gak. Padahal secara diam-diam dia pun sangat mencintai Bong Thian-gak, rasa cintanya melebihi segala-galanya.
Akan tetapi Thay-kun memiliki watak yang lain daripada yang lain, sejak diketahuinya Bong Thian-gak telah memperoleh cinta Song Leng-hui di pegunungan terpencil, dia sudah berhasrat menyerahkan cintanya kepada orang lain. Apalagi dia pun tahu sepasang tangannya telah berlumuran darah, dia sudah banyak melakukan kejahatan dan dosa. Mungkinkah baginya untuk mengenyam hidup bahagia bersama Bong Thian-gak?
Sementara itu terdengar Bong Thian-gak bergumam, "Song Leng-hui adalah istriku, selama hidup aku tak akan
Pendekar Cacat 1472
melupakan dirinya. Namun mungkinkah aku melupakan kekasihku yang kucintai sejak dahulu?"
bisa
"Ai, cinta memang sesuatu yang aneh, membuat orang tak bisa menduga dan memahaminya." "Siapa kekasihmu yang pertama?" tiba-tiba Thay-kun bertanya dengan suara hambar.
Bong Thian-gak melirik sekejap ke arahnya, lalu menggeleng kepala sambil menghela napas, "Mencintai orang, namun tidak dicintai oleh orangnya. Kejadian macam ini paling memedihkan hati, sebaliknya mengucapkan nama dari orang yang kucintai justru lebih memedihkan hati. Thay-kun, harap kau jangan mendesakku." "Bong-suheng," kata Thay-kun dengan air mata bercucuran, "kita adalah orang senasib sependeritaan, namun rasa sedihku mungkin jauh melebihi dirimu." "Benar, aku memang lebih beruntung daripada dirimu," Bong Thian-gak manggut-manggut. "Bong-suheng, untuk sementara waktu lebih baik kita jangan membicarakan persoalan pribadi."
Pendekar Cacat 1473
Bong Thian-gak mengangguk. "Kita tak usah membicarakan cinta muda-mudi lagi, sekarang akan kuceritakan semua pengalamanku selama beberapa hari ini." Secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan pengalamannya selama beberapa hari ini, bagaimana dia dan Mo-kiam-sin-kun pergi ke Sam-cing-koan hingga akhirnya terjadi peristiwa di pekuburan ini. Thay-kun mengerut dahi, tanyanya dengan wajah serius, "Bong-suheng, kau bilang telah menerima kartu kematian tengkorak hitam dari Hek-mo-ong?"
Bong Thian-gak tersenyum. "Benar, di dalam kartu maut itu telah tercantum dengan jelas hari kematianku akan jatuh bulan delapan tanggal delapan tengah hari." Paras muka Thay-kun segera berubah, katanya dengan suara dalam, "Kalau Hek-mo-ong berani menyebar kartu undangan mautnya untuk Tio Tian-seng, agaknya dia sudah bersiap untuk melangsungkan pertarungan melawan sepuluh jago persilatan."
Pendekar Cacat 1474
Bong Thian-gak menengok sekejap ke arah Thay-kun, kemudian tanyanya, "Apakah kau pun mengetahui persoalan ini?" Thay-kun mengangguk. "Ya, sejak dahulu aku sudah tahu Hek-mo-ong, hanya tidak diketahui siapakah orang itu?" "Menurut Liu Khi, tampaknya Hek-mo-ong adalah seorang di antara sepuluh jago persilatan?" Thay-kun manggut-manggut. "Benar." "Menurutku, di antara kesepuluh jago itu, Gi Jian-cau paling besar kemungkinannya sebagai Hek-mo-ong. Thay-kun, kau pernah tahu Gi Jian-cau? Sesungguhnya manusia macam apakah dia?"
Thay-kun termenung beberapa saat, kemudian berkata, "Kenapa Bong-suheng mencurigai Gi Jian-cau sebagai Hekmo-ong?" Bong Thian-gak menghela napas, katanya pula, "Dari kematian yang menimpa Keng-tim Suthay, Gi Jian-cau sudah pasti bukan seorang baik. Kalau tidak, tak mungkin Keng-tim Suthay mencuri sebutir pil Hui-hun-wan miliknya
Pendekar Cacat 1475
dan secara diam-diam disembunyikan di dalam Hudtimnya."
Thay-kun manggut-manggut. "Dugaanmu memang benar, sejak dulu pun aku menaruh curiga kepada Gi Jian-cau. Cuma saat ini kita tidak perlu menduga-duga siapa gerangan Hek-mo-ong, yang penting dimanakah dia berada sekarang." "Apalagi setelah kudengar penuturan tentang orang berbaju hijau serta Sam-cing Totiang tadi, bisa jadi salah seorang di antara mereka adalah Hek-mo-ong." "Ah, memangnya salah seorang di antara mereka adalah Hek-mo-ong? Tapi yang mana?" "Bisa jadi Sam-cing Totiang, cuma apa yang kukatakan hanya dugaan belaka. Bila dugaan ini benar, maka kau dan Tio Tian-seng sudah terkena serangan gelap Hek-mo-ong."
Berubah paras muka Bong Thian-gak, katanya, "Darimana kau bisa berkata demikian?" Thay-kun menghela napas, "Sewaktu berada di dalam lorong gua
Pendekar Cacat 1476
Sam-cing-koan, kalian pernah berada cukup lama bersama Sam-cing Totiang. Andaikata orang itu adalah Hek-mo-ong, berarti kau dan Tio Tian-seng tak akan lolos dari serangan gelapnya." "Tio Tian-seng kenal Tan Sam-cing. Seandainya Sam-cing Totiang adalah Tan Sam-cing gadungan, aku pikir Tio Tianseng tak akan berhasil mengenali dirinya." "Kita harus secepatnya menemukan Tio Tian-seng," kata Thay-kun kemudian dengan suara dalam. "Teka-teki ini mesti dibikin jelas lebih dahulu, andaikata kalian berdua benar-benar sudah terkena serangan gelap mereka, maka kita harus berusaha secepatnya mencari pertolongan guna menyembuhkan luka kalian itu."
Bong Thian-gak memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian katanya, "Malam kembali akan berakhir. Berarti batas waktu yang ditentukan Hek-mo-ong dalam kartu undangannya tinggal dua malam lagi, mari kita berangkat!" Bersama Thay-kun, pekuburan itu.
berangkatlah
dia
meninggalkan
Kabut tebal masih menyelimuti permukaan bumi, sejauh mata memandang hanya warna putih. Mendadak segulung angin berhembus, lalu terendus bau bunga anggrek yang menyebar kemana-mana.
Pendekar Cacat 1477
Paras muka Bong Thian-gak dan Thay-kun segera berubah hebat, serentak kedua orang itu menghentikan langkah, kemudian memeriksa keadaan sekeliling tempat itu. Akhirnya mereka melihat tiga sosok bayangan yang berdiri di situ, tampaknya mereka sudah cukup lama menanti di sana. Dengan wajah kaget dan ngeri Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu bisiknya dengan suara gemetar, "Mereka adalah Cong-kaucu, Ji-kaucu serta komandan pasukan pengawal nomor satu Sim Tiong-kiu."
Bong Thian-gak tertawa dingin, jengeknya, "Aku memang sudah dapat melihatnya." Dalam pada itu jarak bayangan itu dengan mereka masih ada tujuh tombak lebih, namun kedua belah pihak samasama berdiri tak bergerak, kabut putih yang menyelimuti sekitar sana seakan-akan bertindak sebagai penyekat yang memisahkan kedua rombongan itu.
Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak, "Ho Lanhiang, serahkan nyawa anjingmu!"
Pendekar Cacat 1478
Cahaya pedang berwarna merah secepat kilat membelah angkasa, menembus lapisan kabut tebal dan membabat tubuh orang yang berdiri di tengah. Ilmu pedang Bong Thian-gak sudah lama termasyhur. Setiap kali senjatanya dilolos dari sarungnya, belum pernah ada orang yang mampu menghadang ataupun membendungnya. Cahaya pedang berkelebat, bayangan orang segera menghindar ke samping. Sekalipun serangan pedang yang dilancarkan Bong Thiangak ini mengenai tempat kosong, namun sudah cukup menggetarkan sukma ketiga orang musuh tangguhnya itu. Ternyata separoh baju yang dikenakan orang di tengah sudah terpapas robek dan melayang turun dari udara.
Dengan gerakan cepat Thay-kun menyerobot pula ke sisi tubuh Bong Thian-gak, dengan demikian selisih jarak antara kedua orang itu tinggal tiga tombak saja. Mereka pun sudah dapat melihat raut wajah masing-masing dengan jelas. Betul juga, ketiga orang di hadapan mereka adalah Ji-kaucu yang berdandan sebagai sastrawan berbaju hijau, si kakek berbaju hitam berlengan tunggal Sim Tiong-kiu serta seorang perempuan cantik yang berdandan anggun tapi bersikap tengik, dia adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau.
Pendekar Cacat 1479
Saat itu wajah Cong-kaucu diliputi penuh kesiap-siagaan, katanya dengan suara dingin, "Anak Kun, kau telah membocorkan namaku di hadapannya!" "Tidak," sahut Thay-kun sambil tertawa seram. "Sekalipun aku hendak membunuhmu, tak nanti kusebutkan nama baumu itu." Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, kembali dia menegur dengan suara rendah, "Jian-ciat-suseng, siapakah yang telah memberitahukan namaku kepadamu?"
Bong Thian-gak tertawa sinis. "Hm, ternyata kau benar-benar perempuan tercantik dari Kanglam Ho Lan-hiang. Padahal entah berapa banyak jago persilatan yang sudah mengetahui nama serta asal-usulmu itu, hanya saja tak seorang pun di antara mereka yang berani mengutarakannya. Aku benar-benar tidak mengerti, dengan cara apakah kau berhasil menguasai mereka hingga mulut mereka tetap membungkam?"
Cong-kaucu tertegun, kemudian setelah terkekeh-kekeh, katanya, "Jian-ciat-suseng, tahukah kau apa yang akan
Pendekar Cacat 1480
menimpa dirimu setelah mengetahui nama serta asalusulku?" "Semua kelicikan dan kekejianmu sudah cukup banyak yang kualami," kata Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. "Namun tak satu pun di antaranya yang sanggup merenggut nyawaku, agaknya kau telah kehabisan akal." Cong-kaucu tersenyum, "Jian-ciat-suseng, sudah tiga empat puluh tahun lamanya aku tak pernah bertarung melawan orang. Nampaknya hari ini aku harus melakukan pembunuhan."
Bong Thian-gak tertegun. Sementara dia masih melongo, Cong-kaucu telah membentak, "Sastrawan cacat, sambutlah pukulanku ini!" Telapak tangannya segera diayun ke depan dengan gerakan yang enteng dan seenaknya. Sekali lagi Bong Thian-gak menggerakkan Pek-hiat-kiam untuk menyongsong datangnya ancaman itu dengan sebuah bacokan kilat. Tapi ketika jurus serangan Bong Thian-gak itu membacok sampai di tengah jalan, tiba-tiba saja cahaya pedang yang berkilauan lenyap, nampak sekujur tubuh Bong Thian-gak
Pendekar Cacat 1481
gemetar keras dan Pek-hiat-kiam yang digunakan untuk melancarkan serangan terjatuh ke atas tanah. Thay-kun terperanjat sekali, buru-buru serunya, "Bongsuheng, kenapa kau?"
Dengan paras muka pucat-pias, Bong Thian-gak berkata dengan suara gemetar, "Aku sudah terkena pukulannya. Kau ... cepat kau melarikan diri." Baru saja perkataan itu selesai diutarakan, sepasang kaki Bong Thian-gak sudah lemas, kemudian dia roboh terjungkal. Mimpi pun Thay-kun tidak menyangka Bong Thian-gak bakal menderita kekalahan dalam satu gebrakan saja. Kekalahan semacam ini benar-benar aneh dan sama sekali di luar dugaan siapa pun, mungkin ilmu silat Cong-kaucu telah mencapai tingkatan yang luar biasa hingga tiada orang yang mampu menandinginya?
Agaknya Cong-kaucu sendiri pun merasa di luar dugaan, dipandangnya Bong Thian-gak dengan sorot mata tenang, tapi agak termangu. Tiba-tiba sekilas hawa napsu membunuh mencorong dari balik mata Thay Kun. Ditatapnya Cong-kaucu sekejap,
Pendekar Cacat 1482
kemudian tanyanya hambar, "Cong-kaucu, kau telah melukainya dengan mempergunakan ilmu silat apa?" Cong-kaucu tertawa hambar, "Budak liar, rupanya kau telah memperoleh kembali sukmamu. Hm, hal ini membuktikan si tabib sakti telah berhasil membuat pil Hui-hun-wan." Thay-kun tertawa dingin. "Tenaga pukulan yang dimiliki Cong-kaucu luar biasa lihai. Namun ingin kuketahui, apakah sanggup menandingi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang?" Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Budak liar, sejak kecil kupelihara dirimu hingga dewasa, sama sekali tidak kusangka kau akan mengkhianatiku. Tempo hari aku masih memandang dirimu melakukan dosa pertama sehingga tak menghukum mati dirimu, tapi kali ini jangan harap kau bisa hidup terus."
Selesai berkata, dia lantas mengulap tangan kiri dan membentak dengan nada serius, "Komandan Sim, Ji-kaucu, kalian berdua turun tangan bersama menghukum mati pengkhianat ini." Sejak tadi Sim Tiong-kiu serta Ji-kaucu sudah bersiap melancarkan serangan. Ketika mendengar perkataan itu, serentak mereka mendesak Thay-kun dari sisi kiri dan kanan.
Pendekar Cacat 1483
Thay-kun sudah tahu kelihaian Sim Tiong-kiu serta Ji-kaucu, cepat dia mengayun tangan kiri melepaskan serangan, mempergunakan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang. Namun sasaran penyerangannya adalah Sim Tiong-kiu. Ketiga orang ini boleh dibilang sama-sama sudah mengetahui taraf kepandaian masing-masing. Sebab itulah tatkala Thay-kun baru saja melancarkan serangan, Sim Tiong-kiu telah melompat menghindarkan diri. Pada saat bersamaan serangan pedang Ji-kaucu yang gencar dan dahsyat telah dilepaskan pula mengancam dada Thay-kun.
Bagi jago silat berilmu tinggi yang melangsungkan pertarungan, menang kalah seringkah ditentukan dalam sekejap mata. Bicara kepandaian silat yang dimiliki Thaykun, untuk menghadapi kerubutan dua jago lihai ini, rasanya tiada harapan baginya meraih kemenangan.
Thay-kun pun sudah menduga akan serangan pedang Jikaucu itu, maka dari itu saat telapak tangan kirinya melancarkan bacokan tadi, tubuhnya ikut pula bergeser ke arah lain, otomatis serangan pedang Ji-kaucu mengenai sasaran kosong.
Pendekar Cacat 1484
Tampaknya orang yang jadi sasaran utama dalam serangan maut Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu ini bukanlah Thay-kun, maka di saat Thay-kun menghindar ke samping, mereka menerjang ke arah Bong Thian-gak yang masih duduk bersila di atas tanah.
Thay-kun menjadi amat terperanjat, buru-buru teriaknya, "Jangan kalian lukai dirinya." Namun sebelum ia sempat melancarkan terkaman, Congkaucu yang berdiri di dekatnya telah berseru dengan suara menyeramkan, "Lebih baik kalian berdua kembali ke akhirat!" Bersama dengan selesainya perkataan ini, telapak tangan Cong-kaucu secepat kilat langsung menghantam punggung Thay-kun. Dalam situasi yang amat kritis inilah tiba-tiba dari balik kabut, terdengar suara seseorang berseru dengan nada aneh, "Berhenti semua!"
Entah mengapa hati Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu dan Congkaucu bergetar keras. Bagaikan tersengat listrik, tahu-tahu lengan mereka jadi lemas tak bertenaga.
Pendekar Cacat 1485
Pada detik inilah Thay-kun segera melompat ke samping tubuh Bong Thian-gak. Suasana di padang rumput terasa hening dan sepi, kecuali kabut tebal menyelimuti angkasa, sekeliling tempat itu tidak nampak sesosok bayangan pun. Namun Cong-kaucu dan Sim Tiong-kiu justru menunjukkan sikap terperanjat dan ngeri. Tiba-tiba terdengar Cong-kaucu berseru dengan suara lirih, "Hekmo-ong kah di situ?"
Dari balik kabut tebal kembali bergema suara aneh, "Kecuali Hek-mo-ong, apakah di kolong langit ini masih ada orang kedua yang mampu mempergunakan ilmu pukulan cahaya petir?" Sampai mati pun Bong Thian-gak dan Thay-kun tidak menyangka nyawa mereka telah ditolong Hek-mo-ong yang misterius itu. Mengapa dia menyelamatkan mereka berdua?
Ilmu pukulan macam apa pula pukulan cahaya petir itu? Mengapa dapat mempengaruhi ketiga jago lihai itu hingga mereka seperti tersengat listrik dan kehilangan kekuatan?
Pendekar Cacat 1486
Bong Thian-gak dan Thay-kun mulai memperhatikan sekitar tempat itu dengan seksama, akan tetapi tak sesosok bayangan pun yang nampak, terpaksa mereka hanya menanti perubahan selanjutnya dengan tenang. Tiba-tiba Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, lalu berseru keras, "Kalau memang Hek-mo-ong, kenapa kau malah menghalangi niat kami membunuh kedua orang itu?" "Sastrawan cacat telah menerima kartu kematian tengkorak hitam, berarti jiwanya hanya bisa dicabut oleh Hek-mo-ong sendiri. Siapa pun dilarang mencelakai jiwanya, apakah Cong-kaucu tidak mengetahui kebiasaan ini?" "Bagaimana pula dengan budak liar itu?" kembali Congkaucu bertanya. "Tiga tahun berselang aku telah menurunkan perintah agar untuk sementara waktu tidak mencelakai jiwa Thay-kun, apakah Cong-kaucu telah melupakannya?"
Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak dengan wajah tidak mengerti dan penuh tanda tanya, dia tidak mengetahui apa sebabnya Hek-mo-ong membiarkan dia tetap hidup?
Pendekar Cacat 1487
Cong-kaucu berkata pula, "Aku benar-benar tidak mengerti, apa sebabnya Hek-mo-ong menghendaki Thay-kun tetap hidup?" "Sebab aku belum selesai menyelidiki asal-usul Thay-kun," jawab Hek-mo-ong dengan suara perlahan. Thay-kun terkesiap, buru-buru dia bertanya, "Hek-mo-ong, mau apa kau menyelidiki asal-usulku?"
Namun suara aneh dan misterius itu tidak bergema lagi. Untuk beberapa saat suasana terasa begitu sepi, hening dan tak terdengar sedikit suara pun, sudah jelas Hek-moong tidak mau memberitahu. "Hek-mo-ong, apakah kau sudah pergi?" Cong-kaucu segera menegur. "Belum!" suara aneh tadi kembali bergema. "Lantas petunjuk apakah yang hendak Hek-mo-ong tinggalkan?" "Benarkah Cong-kaucu telah mengundang seorang pembunuh bayaran untuk membinasakan diriku?"
Pendekar Cacat 1488
Bong Thian-gak yang mendengar perkataannya itu diamdiam lantas berpikir, "Lihai benar Hek-mo-ong, darimana bisa mengetahui hal itu? Entah bagaimana pula jawaban Cong-kaucu?" Terdengar Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, lalu katanya, "Bukan hanya seorang pembunuh bayaran saja, hampir setiap jago lihai di dunia ini ingin membunuhmu." "Tapi dalam Kangouw hanya seorang saja yang benar-benar bekerja sebagai pembunuh bayaran dan orang itu adalah Liu Khi." "Kalau Hek-mo-ong sudah tahu Liu Khi adalah pembunuh bayaran, mengapa kau tidak turun tangan lebih dulu menyingkirkan dirinya?" jengek Cong-kaucu sambil tertawa mengejek. "Aku tidak ingin termakan siasat meminjam golok membunuh orangmu itu." "Di kolong langit dewasa ini hanya Liu Khi seorang yang tidak pernah melakukan hubungan denganmu."
"Tapi Liu Khi juga termasuk orang yang paling kau takuti bukan?" ejek perempuan itu sambil tertawa lagi.
Pendekar Cacat 1489
Kali ini Hek-mo-ong termenung beberapa saat, kemudian baru berkata, "Sekarang kuperintahkan kalian bertiga agar mengundurkan diri selekasnya dari sini." "Apabila aku tidak menuruti perintahmu itu?" "Cong-kaucu harus menuruti perkataanku ini!" Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Masih ingatkah Hekmo-ong dengan perjanjian kita? Batas waktunya sudah lewat beberapa hari berselang, rasanya aku pun tidak usah menuruti perintahmu lagi." "Hingga detik ini belum ada seorang pun di antara kalian yang mampu mematahkan serangan ilmu pukulan cahaya petirku. Lebih baik kau turuti saja perkataanku ini," kata Hek-mo-ong dengan suara dingin. "Benar, aku memang harus menuruti perkataanmu. Tapi kau pun harus ingat, suatu ketika Hek-mo-ong pasti akan mampus di bawah telapak tanganku."
Tampaknya Hek-mo-ong sudah mulai kehabisan sabar, setengah mengancam dia berseru, "Bila kalian berdiam lebih lama lagi di sini, jangan salahkan bila aku lepaskan serangan pukulan cahaya petirku." Baru selesai ia berkata, Cong-kaucu telah mengulap tangan kiri, lalu membalikkan badan dan mundur dari situ.
Pendekar Cacat 1490
Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu dengan sikap tegang bagaikan menghadapi musuh tangguh, pelan-pelan mengantar Congkaucu mengundurkan diri dari sana. Dalam waktu singkat bayangan mereka sudah lenyap dari pandangan mata.
Tiba-tiba saja suasana di padang rumput itu berubah menjadi hening, sepi, tak terdengar sedikit suara pun. Thay Kun menunggu sampai lama sekali, ketika tidak mendengar lagi suara Hek-mo-ong, ia segera menegur, "Hek-mo-ong, apakah kau telah pergi?" Tiba-tiba suara menyeramkan berkumandang, terdengar orang itu menjawab halus, "Belum." Hati Bong Thian-gak maupun Thay-kun bergetar, dengan cepat mereka berpaling. Di belakang mereka tiba-tiba muncul seseorang bagaikan sukma gentayangan.
Setelah ragu sejenak, Thay-kun segera bertanya, "Apakah sejak tadi kau berdiri di situ?" "Benar, selama ini aku berdiri di sini."
Pendekar Cacat 1491
"Tapi mengapa kami tidak menemukan bayangan tubuhmu tadi?" tanya Thay-kun lagi dengan kening berkerut. "Sekalipun aku berdiri di hadapanmu, belum tentu kalian melihatku." "Memangnya kau bisa ilmu melenyapkan diri?" "Bukan ilmu melenyapkan diri, melainkan ilmu pembingung pandangan." "Apa itu ilmu pembingung pandangan? Dapatkah kau jelaskan kepada kami?" "Oh, ini merupakan rahasiaku, menerangkan kepadamu."
aku
tidak
dapat
Tiba-tiba Thay-kun menghela napas sedih, lalu katanya, "Aku lihat sikapmu terhadap kami berdua sama sekali tidak bermusuhan, apakah kau bersedia maju beberapa langkah lagi agar kami bisa berbincang-bincang dengan lebih akrab?" "Maaf, aku tak bisa menuruti permintaanmu." Thay-kun berkata, "Ai, aku dengar kau sedang menyelidiki asal-usulku, apakah kau telah berhasil mendapat sedikit keterangan?"
Pendekar Cacat 1492
Hek-mo-ong termenung sebentar, kemudian sahutnya, "Ya, aku telah berhasil mendapatkan sedikit keterangan." "Keterangan kepadaku?"
apa?
Bersediakah
kau
menerangkan
"Kau adalah bayi buangan yang ditemukan seorang lelaki setengah umur penangkap ikan di tepi jembatan Kiu-cikiau, pantai timur telaga Se-oh pada tiga puluh tahun berselang. Baru diasuh dua bulan nelayan itu tewas di tangan Cong-kaucu, kemudian oleh Nyo Li-beng kau dibawa pulang, tapi akhirnya kau terjatuh ke tangan Cong-kaucu." "Ai, tentang kejadian itu Keng-tim Suthay Nyo Li-beng pernah menceritakan kepadaku," kata Thay-kun sambil menghela napas sedih. Hek-mo-ong termenung beberapa saat, katanya lagi, "Walau demikian bukan pekerjaan mudah untuk menyelidiki peristiwa itu, asalkan sudah kudapat sedikit keterangan, pasti aku akan berhasil menyelidiki asalusulmu itu." "Apa maksudmu?" "Jika waktu, tempat dan orangnya sudah ditemukan, maka hasil penyelidikanku ini tak akan jauh lagi." Tanyanya, "Tampaknya kau sudah mengetahui siapakah orang yang membuang bayi itu?"
Pendekar Cacat 1493
"Tentu saja tahu." "Siapakah dia?" "Untuk sementara kepadamu."
waktu
tidak
dapat
kukatakan
Thay-kun merasa kecewa, setelah menghela napas katanya, "Kalau kau sudah mengetahui siapakah orang yang telah membuang bayi itu, mungkin hanya kau yang mengetahui asal-usulku?" "Aku tahu kau sangat ingin mengetahui asal-usulmu, tapi kau terpaksa harus menunggu lagi. Suatu ketika aku pasti membeberkan hasil penyelidikanku kepadamu." Thay-kun menggeleng kepala, ujarnya, "Aku tak ingin mengetahui asal-usulku lagi." "Mengapa?" "Aku kuatir bila sudah tahu hal ini akan menambah luka dalam hatiku." Kembali Hek-mo-ong termenung dan membungkam. Lama kemudian baru dia berkata, "Jian-ciat-suseng sudah terkena serangan gelapku. Sebenarnya hawa racun itu baru bekerja pada tanggal delapan bulan delapan nanti, tapi berhubung dia baru saja mengerahkan tenaga untuk menyerang Cong-kaucu, maka hawa racunnya telah
Pendekar Cacat 1494
menyusup sampai di tulang Liong-wi-kut sehingga mengakibatkan separoh tubuh bagian atas menjadi lumpuh. Sekarang akan kuberikan sebutir pil kepadanya, asalkan dia telah menelan pil ini kemudian mengatur pernapasan, niscaya luka itu akan sembuh dengan sendirinya." Selesai berkata, dia lantas menyentilkan jari tangannya ke depan. Sebutir pil berikut pembungkusnya terjatuh di depan kaki Thay-kun. Dengan cepat Thay-kun memungut pil itu, kemudian bertanya, "Apabila dia sudah menelan pil ini, apakah tanggal delapan bulan delapan nanti ia masih tetap akan mati?" "Kalau memang begitu aku lebih suka membiarkan dia mati lebih awal daripada kuberikan pil itu kepadanya." "Apakah kau hendak memaksa aku menarik kembali kartu kematian tengkorak hitamku?" "Jian-ciat-suseng sama sekali tidak punya ikatan dendam sakit hati denganmu. Mengapa kau harus mengeluarkan kartu kematianmu untuk merenggut nyawanya?" "Kecuali Jian-ciat-suseng bersedia mengundurkan diri dari keramaian dan mengasingkan diri. Kalau tidak, dia tak akan terlepas dari kematian."
Pendekar Cacat 1495
Thay-kun kembali menghela napas sedih, "Ai, setelah menempuh perjalanan selama puluhan tahun dalam dunia persilatan, sesungguhnya kami pun tiada niat untuk berdiam lebih lama lagi. Apa salahnya kami mengundurkan diri?" "Apalagi aku tahu Bong Thian-gak sudah bosan berkelana di dunia persilatan. Sesungguhnya dia muncul kembali hanya ingin membalas dendam bagi Thay-kun, tapi kini Thay-kun hidup segar-bugar. Sudah barang tentu dia pun tiada kepentingan dalam dunia persilatan lagi." Hek-mo-ong manggut-manggut, katanya kemudian dengan suara pelan, "Jian-ciat-suseng, sekarang kau didampingi perempuan yang begini cantik. Apabila hidup mengasingkan diri di tempat terpencil menikmati kebahagian hidup, bukankah hal ini diharapkan banyak orang? Asal kau bersedia mengundurkan diri, aku pun berjanji tidak akan menyusahkan kalian lagi. Bagaimana pendapat kalian?" Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Thay-kun, kemudian tanyanya, "Dapatkah perkataannya dipercaya?" "Hek-mo-ong sudah tiga-empat puluh tahun bercokol dalam Kangouw, tapi umat persilatan cuma tahu dia adalah seorang misterius yang menakutkan. Apakah perkataannya dapat dipercaya, aku sendiri pun tidak yakin."
Pendekar Cacat 1496
"Tetapi ada satu hal yang membuat aku menaruh curiga, mengapa dia meminta kepada kita mengundurkan diri dari dunia persilatan?" Mendadak terdengar Hek-mo-ong tertawa dingin dengan suara «eram, katanya, "Sekarang aku sudah tiada waktu bercokol lebih lama di «Ini, bilamana kalian memastikan mengundurkan diri dari dunia persilatan, maka sebelum tengah malam bulan delapan tanggal delapan, kalian harus sudah mengundurkan diri dari kota Lok-yang." Begitu selesai berkata, Hek-mo-ong segera menggerakkan tubuh. Bayangan orang itu segera mengundurkan diri dari balik kabut tebal.
Thay-kun menghela napas sedih, kemudian katanya, "Hari ini seandainya dia tak datang menyelamatkan kita, mungkin kita akan mengalami nasib tragis di tangan Cong-kaucu seperti tempo hari." "Menurutku Hek-mo-ong berbuat begitu karena ingin menolong dirimu, bisa jadi dia mempunyai hubungan dengan dirimu," kata Bong Thian-gak hambar. Thay-kun menggeleng, "Tapi aku sama sekali tidak mengenal dirinya. "'Bila dugaanku tidak keliru, bisa jadi asal-usulnya mempunyai hubungan erat denganmu."
Pendekar Cacat 1497
"Suheng," kata Thay-kun dengan sedih. "Kita tak usah membahas hal ini lagi. Ayo cepat kau telan pil itu agar lukamu segera sembuh." Sambil berkata Thay-kun sudah mengelupas kulit pembungkus obat itu, ternyata isinya adalah sebutir pil bewarna putih bagaikan mutiara, baunya harum semerbak. Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak berkata, "Hingga sekarang aku masih tetap menaruh prasangka, aku kuatir pil itu bukan pil penawar racun, melainkan obat racun yang lambat kerjanya." "Apa maksudmu?" "Aku tak percaya sudah terkena serangan gelap Hek-moong." "Ah, benar juga perkataanmu," Thay-kun berseru tertahan. "Tapi bagaimana pula dengan luka yang kau derita saat ini?" Bong Thian-gak menggeleng kepala, "Aku sendiri pun tidak tahu, mengapa secara tiba-tiba separoh tubuhku bisa lumpuh." "Berjaga-jaga atas niat busuk musuh memang tak boleh tak ada, apalagi sikap bersahabat Hek-mo-ong terhadap kita pun di luar dugaan, kalau begitu jangan kau telan dulu pil itu untuk sementara waktu."
Pendekar Cacat 1498
"Sekarang Mo-kiam-sin-kun masih di rumah penginapan Ban-heng. Bila aku sudah terkena serangan gelap Hek-moong, maka Tio Tian-seng pasti mengalami pula hal yang sama, mari kita tanyakan dulu persoalan ini kepadanya sebelum mengambil keputusan." "Betul," Thay-kun manggut-manggut. "Mari kubimbing kau." "Ai, terpaksa aku harus merepotkan Sumoay." Dengan lengan kanan merangkul pinggang Bong Thian-gak, Thay-kun mengajak pemuda itu menuju ke dalam kota. Pagi itu kabut luar biasa tebalnya, sejauh mata memandang hanya warna putih yang menyelimuti seluruh jagat, rumput dan pepohonan di hadapan mereka pun susah terlihat. Dengan memapah tubuh Bong Thian-gak, akhirnya Thaykun berhasil mengajak pemuda itu ke rumah penginapan Ban-heng. Waktu itu fajar baru menyingsing, kabut pagi belum menghilang, mereka segera masuk dengan melompati pagar dan menuju ke kamar. Tiba-tiba seseorang berkelebat dengan kecepatan bagaikan kilat, menghadang di hadapan Bong Thian-gak serta Thaykun.
Pendekar Cacat 1499
Sekilas pandang Bong Thian-gak mengenali orang di hadapannya, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, tanpa terasa serunya lirih, "Tio-pangcu!" Sekilas perasaan tercengang dan tidak habis mengerti segera menghiasi wajah Mo-kiam-sin-kun, segera tanyanya, "Bukankah dia adalah Si-hun-mo-li?" "Benar, memang dia, tapi ia sudah kembali kejernihan otaknya, kini ia sudah bukan Si-hun-mo-li yang menakutkan lagi." "Bagaimana keadaanmu, Bong-laute?" Tio Tian-seng kembali bertanya dengan penuh perhatian. "Tio-pangcu," kata Thay-kun cepat, "tempat ini bukan tempat yang cocok untuk berbincang-bincang, apakah di dalam ada orang lain?" "Cepat masuk," seru Mo-kiam-sin-kun. Mereka bertiga segera masuk ke dalam, Tio Tian-seng menyulut lentera, sedang Thay-kun membimbing Bong Thian-gak ke bangku. Setelah melirik sekejap ke arah Tio Tian-seng, Bong Thiangak berkata, "Walaupun hanya semalam saja Boanpwe meninggalkan Tio-pangcu, namun pengalaman yang kuhadapi sungguh luar biasa."
Pendekar Cacat 1500
Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan semua pengalaman yang dialaminya selama semalam kepada Tio Tian-seng. Selesai mendengar cerita itu, dengan kening berkerut Tio Tian-seng berkata, "Apakah kau telah menelan pil itu?" "Belum," pemuda itu menggeleng. Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, aku sendiri pun telah menerima sebutir pil dari Hek-mo-ong." Sambil berkata, dia mengeluarkan sebutir pil berwarna putih bagaikan mutiara dari dalam sakunya. Dengan cepat Thay-kun mengeluarkan pula pil yang diterimanya tadi, ternyata bentuk kedua pil itu serupa, semuanya menyiarkan bau harum semerbak. Dengan tidak mengerti Bong Thian-gak bertanya, "Bagaimana ceritanya hingga Hek-mo-ong memberikan pil itu kepadamu?" ***
Pendekar Cacat 1501
19 10 TOKOH PALING LIHAI DAN TERMASYUR
T
io Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, Hek-moong telah memerintahkan seorang pelayan rumah penginapan untuk mengantar pil itu kepadaku dengan pesan agar aku mengundurkan diri dari dunia persilatan, katanya pengundurkan diri ini merupakan syarat bagi keselamatan jiwaku." "Lantas pil itu merupakan obat penawar racun? Ataukah obat racun?" "Aku telah melakukan pemeriksaan terhadap pil itu, nyatanya pil ini sama sekali tak mengandung racun." "Kalau memang bukan obat racun, mengapa Tio-pangcu tidak menelannya?" tanya Bong Thian-gak keheranan. "Sebab aku pun tidak percaya sudah terkena serangan gelap Hek-mo-ong, selain itu aku pun beranggapan
Pendekar Cacat 1502
andaikata pil itu baru ditelan sebelum bekerjanya racun itu, hal ini pun belum terhitung terlalu terlambat." "Seandainya kita benar-benar terkena serangan gelapnya, maka teka-teki siapakah Hek-mo-ong pun segera akan terbongkar." "Bong-laute, apakah kau menduga Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong?" pelan-pelan Tio Tian-seng bertanya. "Kecuali di saat kita berada dalam Sam-cing-koan tempo hari, aku benar-benar tak bisa membayangkan sejak kapan dan dimanakah kita terkena serangan gelap Hek-mo-ong." "Masih ingatkah Bong-laute dengan gigitan nyamuk penghancur darah tempo hari?" tanya Tio Tian-seng. "Bukankah racun nyamuk penghancur darah telah dipunahkan obat penawar racun pemberian Biau-kosiu?" "Yang menjadi persoalan sekarang adalah siapakah yang telah melepas nyamuk penghancur darah itu?" "Orang itu tentu Biau-kosiu!" "Atas dasar apakah kau dapat membuktikan perbuatan ini hasil karyanya?" "Aku tak bisa membuktikan," Bong Thian-gak menggeleng. "Tapi kita kan bisa mencari Biau-kosiu dan menanyakan hal ini secara langsung kepadanya."
Pendekar Cacat 1503
Mendadak dari luar halaman rumah terdengar seorang berkata dengan suara merdu, "Jian-ciat-suseng, persoalan apa yang hendak kau tanyakan kepadaku?" Bersama dengan bergemanya pertanyaan itu, di depan pintu telah muncul seorang nona berbaju hijau yang cantik jelita, orang itu bukan lain adalah gadis Biau yang misterius dan licik itu, Biau-kosiu. Begitu bertemu nona itu. Bong Thian-gak segera berkata dengan suara lantang, "Silakan duduk nona Biau, maafkan badanku kurang sehat sehingga tidak dapat menyambut kedatanganmu." Dengan langkah lemah-gemulai, Biau-kosiu berjalan masuk ke dalam ruangan, kemudian setelah memandang sekejap wajah semua orang, dia duduk dan tertawa terkekehkekeh. "Jian-ciat-suseng memang orang yang sangat hebat," serunya, "Terbukti kau sanggup merebut pil Hui-hun-wan." Tio Tian-seng terkejut, segera tanyanya, "Ya, betul! Aku lupa menanyakan hal ini. Bong-laute, bagaimana ceritanya hingga kau bisa mendapatkan pil Hui-hun-wan." Bong Thian-gak sendiri pun terkejut, segera pikirnya, "Haruskah kuceritakan pengalamanku ketika mendapatkan pil Hui-hun-wan?"
Pendekar Cacat 1504
Sementara dia masih berpikir, tiba-tiba Thay-kun telah menyela sambil tertawa geli, "Apakah kalian menganggap pulihnya kesadaran olakku ini dikarenakan aku telah menelan pil Hui-hun-wan buatan si tabib sakti?" Bong Thian-gak tertegun, kembali dia berpikir, "Kenapa Thay-kun menyangkal dia telah menelan pil Hui-hun-wan." Biau-kosiu melirik sekejap ke arah Thay-kun, kemudian setelah tertawa dingin jengeknya, "Benarkah kau tidak menelan pil Hui-hun-wan? Hm, aku kurang percaya." Thay-kun tersenyum, "Apakah aku sudah menelan pil Huihun-wan atau tidak, apa hubungannya dengan dirimu?" "Aku harus tahu siapakah yang telah memberi pil Hui-hunwan itu kepadamu?" ucap Biau-kosiu dengan suara dingin. "Bukan pemberian Bong Thian-gak, bukan juga si tabib sakti." "Lantas siapa?" desak Biau-kosiu lebih jauh. "Boleh saja kuberitahu hal ini kepadamu, tapi ada syarat yang harus kau penuhi lebih dulu, kau harus memberitahukan dulu kepadaku maksudmu menanyakan hal ini." Sekarang Bong Thian-gak baru mengerti, rupanya Thay-kun menyangkal telah menelan pil Hui-hun-wan, sebab dia merasa perkataan Biau-kosiu sangat mencurigakan.
Pendekar Cacat 1505
Biau-kosiu berkerut kening, katanya, merupakan benda mustika, semua memperolehnya."
"Hui-hun-wan orang ingin
"Kalau begitu, kau juga berharap mendapatkan pil Hui-hunwan itu?" "Aku telah memberitahukan maksudku, sekarang kau harus memberitahukan pula kepadaku siapa yang memberikan pil Hui-hun-wan kepadamu." "Keng-tim Suthay Nyo Li-beng." "Dimana ia sekarang?" desak Biau-kosiu. "Dia telah meninggal," Thay-kun menghela napas panjang. Biau-kosiu mengerut dahi, ujarnya, "Kau benar-benar ngaco-belo. Bila kau tidak mengatakan dimanakah dia sekarang, aku tak akan bersikap sungkan lagi kepadamu." Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas sedih, selanya, "Nona Biau, Keng-tim Suthay memang sudah meninggal. Tio-pangcu telah memeriksa jenazahnya." Mo-kiam-sin-kun yang berada di depan cepat menambahkan pula dengan suara dalam, "Keng-tim Suthay tewas di dalam gua Kiu-thian-tong di bawah kuil Sam-cingkoan. Siapa yang telah mencelakainya hingga kini masih merupakan teka-teki."
Pendekar Cacat 1506
Mendadak hawa membunuh menyelimuti wajah Biaukosiu, mendadak dia melepaskan pukulan dahsyat ke dada Thay-kun. Menghadapi datangnya ancaman itu, Thay-kun tersenyum, telapak tangannya dibalik untuk memusnahkan serangan itu, kemudian katanya, "Di antara kita tiada dendam ataupun sakit hati, mengapa kau melancarkan serangan keji kepadaku?" "Bila aku tidak berusaha membunuhmu sekarang, maka tiga tahun kemudian kau akan menjadi jago paling tangguh di dunia persilatan," kata Biau-kosiu dingin. Sembari berkata, Biau-kosiu melejit ke tengah udara lalu dengan suatu gerakan aneh tapi sakti, dia melancarkan tiga serangan berantai. Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng yang menyaksikan gerakan serangannya kontan berubah wajahnya, baru sekarang mereka tahu gadis suku Biau ini sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat lihai dan dia merupakan tokoh sakti yang amat tangguh dan tidak boleh dianggap enteng, sudah barang tentu Thay-kun sendiri bukan seorang lemah, tampak dia menggerakkan pinggangnya dengan lemah-gemulai, lahu-tahu semua ancaman berhasil dihindari.
Pendekar Cacat 1507
Sambil tertawa ringan, katanya, "Bagaimana penjelasanmu atas perkataan yang telah kau ucapkan tadi? Apakah sebutir pil Hui-hun-wan saja dapat menciptakan diriku menjadi manusia super?" Setelah melepaskan ketiga serangan dahsyat itu, mendadak Biau-kosiu menarik kembali serangannya sambil mundur selangkah, katanya tertawa dingin, "Ilmu silatmu lumayan juga, beranikah kau menyambut seranganku lagi?" Bong Thian-gak cukup mengerti bahwa Biau-kosiu tentu akan menyiapkan serangan yang lebih dahsyat lagi dalam serangannya nanti, cepat ia berseru, "Nona Biau, harap jangan menyerang dulu, ada persoalan yang hendak kubicarakan kepadamu." Sedang Tio Tian-seng dengan suara berat berkata pula, "Harap nona jangan melancarkan serangan lebih dulu, ada suatu persoalan ingin kutanyakan kepadamu." "Apakah kau ingin menanyakan masalah penghancur darah itu?" tukas Biau-kosiu.
nyamuk
"Benar, kami ingin tahu siapakah orang yang telah melepaskan nyamuk penghancur darah itu untuk mencelakai kami?" "Aku." "Jika kau, kami pun dapat merasa lega."
Pendekar Cacat 1508
Biau-kosiu tertawa dingin, kembali berkata, "Tahukah kalian, siapa yang telah meminta bantuan kepadaku untuk melepaskan nyamuk penghancur darah guna mencelakai kalian?" "Siapa?" tanya Bong Thian-gak tanpa terasa. "Hek-mo-ong. Obat penawar racun yang kuberikan kepada kalian adalah penawar racun nyamuk penghancur darah itu pun merupakan pemberian Hek-mo-ong yang meminta kepadaku untuk disampaikan kepada kalian. Oleh sebab itu kalian berdua sebenarnya sudah terkena serangan gelap Hek-mo-ong, mati hidup kalian telah berada pada cengkeramannya." Paras muka Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng menjadi pucat-pias. Thay-kun tersenyum, katanya, "Rupanya kau punya hubungan cukup intim dengan Hek-mo-ong, sebenarnya siapakah Hek-mo-ong?" "Tentu saja aku tahu siapa dia, tapi aku takkan memberitahukan kepada kalian." Thay-kun segera tertawa dingin, "Padahal aku juga tahu kau pun tidak mengetahui siapakah Hek-mo-ong, seandainya tahu, sudah pasti dia Hek-mo-ong gadungan." Biau-kosiu tersenyum, segera tanyanya, "Darimana kau bisa tahu kalau dia adalah gadungan?"
Pendekar Cacat 1509
"Sebab aku sudah mengetahui sejak tadi bahwa apa yang kau ucapkan semua pada hari ini cuma perkataan bohong belaka." "Bohong juga boleh, tidak bohong pun boleh juga, pokoknya yang pasti kalian bertiga sudah tidak jauh dari kematian." Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dingin, "Mati bukanlah suatu kejadian yang menakutkan, biarpun manusia hidup seratus tahun lagi juga akhirnya akan mati juga." Biau-kosiu berpaling dan memandang sekejap ke arahnya, lalu berkata, "Bila kau pecaya padaku, aku pun dapat menyelamatkan jiwa, kalian dari kematian." "Syarat apa yang hendak kau ajukan kepada kami?" tanya Thay-kun sambil tertawa merdu. Biau-kosiu tertawa dingin, katanya, "Menyelamatkan jiwa orang bagaikan mempunyai orang tua baru, aku tidak bisa menyelamatkan jiwa seseorang begitu saja." "Apa yang kau inginkan, utarakan saja!" "Aku hanya berharap kalian membantuku membunuh Liong Oh im."
Pendekar Cacat 1510
"Soal itu kami dapat menerimanya, tapi sekarang separoh badan Jian-ciat-suseng lumpuh. Pertama-tama, kau harus mengobati dirinya lebih dulu." "Separoh badannya lumpuh, hal ini dikarenakan ada hawa murninya yang menyumbat sebagian jalan darahnya, asalkan sebuah pukulan menghantam persis di atas jalan darah Wi-liong-hiat, dia akan sembuh seperti sediakala." Sembari berkata, tiba-tiba Biau-kosiu melepaskan tendangan kilat persis menghajar badan Bong Thian-gak, akibatnya tubuh anak muda itu mencelat ke belakang. Ketika terjatuh ke atas tanah, Bong Thian-gak telah memperoleh kesegaran kembali, keempat anggota badannya dapat digerakkan bebas seperti sediakala. "Suheng apakah kau telah sembuh?" Thay-kun segera bertanya. Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ya, aku telah sembuh, namun aku harus pergi membunuh orang." Terhadap kemampuan Biau-kosiu dalam mengobati seseorang, baik Thay-kun maupun Tio Tian-seng merasa terkejut bercampur keheranan, sebenarnya mereka mengira Biau-kosiu hanya bicara secara ngawur tanpa bukti nyata, siapa pun tak menyangka tendangannya ternyata berhasil membebaskan Bong Thian-gak dari ancaman kelumpuhan.
Pendekar Cacat 1511
Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian berkata, "Tidak kusangka ilmu pertabiban nona begitu hebat, sungguh membuat orang kagum, tapi tolong tanya apakah di dalam tubuh kami benar-benar sudah terkena serangan gelap Hek-mo-ong? Harap nona sudi memberi petunjuk." Biau-kosiu tertawa ringan, "Tentu saja kalian terkena serangan gelap Hek-mo-ong, cuma saja sebelum batas waktu yang ditetapkan dalam kartu kematian tiba, kalian tidak bakal menemui ajal." Bong Thian-gak bertanya, "Tolong tanya nona Biau, dimanakah Liong Oh-im sekarang?" "Malam nanti Liong Oh-im bakal muncul di sekitar jembatan Lok-yang-kian. Kalian boleh menyergapnya di situ. Ingat! Dalam tubuh kalian masih mengidap racun jahat dan hanya aku seorang yang mampu mengobatinya, harap kalian jangan menggunakan nyawa sendiri sebagai taruhan. Nah, aku pergi dulu!" "Tunggu sebentar!" buru-buru Thay-kun berseru melihat Biau-kosiu akan pergi. "Kau masih ada urusan apa lagi?" "Liong Oh-im bukan jago silat biasa, seandainya kami tidak berhasil membunuhnya?" "Bila tak mampu melukainya, kalianlah yang akan terluka, tentu saja dia bukan seorang lemah."
Pendekar Cacat 1512
"Masih ada satu hal lagi, benarkah kau memiliki kemampuan memunahkan racun yang mengeram dalam tubuh mereka?" Biau-kosiu tertawa dingin, segera dia berkata, "Mau percaya atau tidak terserah kepada kalian, nah aku pergi dulu." Dengan cepat ia beranjak keluar dari ruangan itu dan pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal nona itu, Tio Tian-seng berkata, "Ombak belakang sungai Tiang-kang mendorong ombak di depannya, orang baru akan menggantikan orang lama. Ai, aku memang sudah tua." Teringat kembali kegagahannya semasa masih menjagoi dunia persilatan di masa lampau, Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng menghela napas sedih dengan wajah masgul. Thay-kun tersenyum dan berkata, "Tio-pangcu, mengapa kau menghela napas? Dalam dunia persilatan dewasa ini cuma beberapa gelintir manusia saja yang mampu menandingi permainan pedang iblismu?" Sekali lagi Tio Tian-seng menghela napas sedih, "Aku menjadi malu sendiri setelah menyaksikan kalian angkatan muda ternyata rata-rata memiliki kepandaian silat yang amat lihai."
Pendekar Cacat 1513
"Ai, andaikata To Siau-hou dan Han Siau-liong tidak terluka, aku pun tidak akan merasa diriku sebatangkara." "Tio-pangcu, aku dan Thay-kun berdiri di pihakmu, selanjutnya bila kau membutuhkan bantuan kami, kami pasti akan membantumu sekuat tenaga," timbrung Bong Thian-gak. Tio Tian-seng tertawa tergelak, "Setelah mendengar perkataan Bong-laute ini, semangatku kembali berkobar." Bong Thian-gak bertanya, "Tio-pangcu, Boanpwe merasa bingung terhadap situasi kalut yang melanda dunia persilatan dewasa ini, aku benar-benar tak mengerti tujuan Hek-mo-ong merencanakan segala siasat liciknya menteror dunia persilatan?" Mendapat pertanyaan ini, Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Bong-laute, agaknya Liu Khi telah membocorkan sedikit hal yang sebenarnya kepadamu. Ai, hingga sekarang belum ada seorang pun yang mengetahui siapa gerangan Hek-moong." "Menurut Liu Khi, Tio-pangcu pun kemungkinan besar adalah Hek-mo-ong. Bagaimana pendapat Tio-pangcu sendiri?"
Pendekar Cacat 1514
Tio Tian-seng manggut-manggut sambil menghela napas panjang, "Benar, kemungkinan besar aku pun terhitung Hek-mo-ong, cuma Hek-mo-ong gadungan." Sampai di sini dia berhenti sejenak, kemudian sambungnya, "Mengenai sepuluh jago yang dicurigai sebagai Hek-moong, hal ini bersumber pada peristiwa yang telah terjadi tiga puluh tahun berselang."
Mendadak paras mukanya berubah hebat, kemudian bentaknya dengan suara dingin, "Siapa berada di luar? Mengapa mesti sembunyi-sembunyi dan mencurigakan?" Belum habis dia berkata, seseorang sudah menyelinap dari luar pintu, Liu Khi telah masuk ke dalam ruangan sambil tertawa tergelak. "Sejak kapan Tio-pangcu datang ke Lok-yang?" sapanya. Kemunculan Liu Khi membuat hati Bong Thian-gak tergerak, pikirnya, "Mungkinkah di antara mereka akan terjadi bentrok?"
Sementara itu Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng telah menjawab dengan serius, "Setelah aku menerima surat pemberitahuan lewat pos merpati yang menerangkan To Siau-hou dan Han Siau-liong terluka serta jiwanya terancam
Pendekar Cacat 1515
bahaya, aku segera datang ke Lok-yang, maksudku hendak mencari tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati luka Liongji dan Hou-ji." "Apakah Pangcu telah berhasil menemukan Gi Jian-cau?" tanya Liu Khi. "Belum berhasil kutemukan." "Aku telah menemukan Gi Jian-cau."
Ucapannya ini segera menggetarkan hati setiap orang. Bong Thian-gak yang pertama-tama berseru terlebih dahulu, "Dimanakah tabib sakti Gi Jiau-cau sekarang?" Pelan-pelan Liu Khi berjalan ke sisi Bong Thian-gak dan duduk di situ, kemudian baru sahutnya, "Dia berada di Lokyang." "Di Lok-yang bagian mana?" sela Thay-kun. Liu Khi memandang sekejap ke arahnya, lalu tersenyum, katanya, "Rupanya kau telah memperoleh kembali kesadaranmu."
Pendekar Cacat 1516
Semua orang ingin secepatnya mengetahui tempat persembunyian Gi Jian-cau, siapa tahu Liu Khi justru jual mahal dengan mengalihkan pembicaraan ke soal lain, tentu saja hal itu membuat semua orang gemas. Setelah tersenyum manis, jawab Thay-kun, "Terima kasih banyak atas perhatian Liu-cianpwe. Di samping itu, mohon kepada Liu-cianpwe agar selekasnya memberitahukan kepada kami tempat persembunyian Gi Jian-cau."
Liu Khi tersenyum. "Apabila aku memberitahukan tempat persembunyian tabib sakti Gi Jian-cau kepada kalian, maka hari ini kalian tak akan bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat." Sambil berkata, sepasang matanya mengawasi Tio Tianseng tanpa berkedip. Bong Thian-gak yang menyaksikan hal ini diam-diam berpikir kembali, "Mungkinkah Liu Khi akan melancarkan serangan di saat musuh tak menyerang? Seandainya dia melancarkan serangan, dapatkah Tio Tian-seng melepaskan diri dari bacokan itu?" Sementara itu Thay-kun dengan wajah berubah hebat berpaling dan memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng.
Pendekar Cacat 1517
Tampak wajah Tio Tian-seng amat serius, jawabnya dengan suara berat, "Liu Khi, konon kau adalah seorang pembunuh bayaran?" "Bukankah soal ini telah lama Pangcu ketahui?" sahut Liu Khi sambil tersenyum. "Tapi tahukah kau, mengapa selama ini aku berlagak pilon seolah-olah tidak tahu," kembali Tio Tian-seng berkata. Liu Khi tertawa dingin. "Pangcu pernah tiga kali ingin menghadapiku dengan kekerasan, namun setiap kali niatmu itu kau urungkan." "Kau pun sudah tiga kali bermaksud membunuhku," kata Tio Tian-seng pula dengan hambar. "Yang seorang adalah anak buah yang tidak bisa dipercaya, sedangkan yang seorang lagi adalah atasan yang tidak setia. Tampaknya kita berdua memang setali tiga uang, samasama bobroknya."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, katanya, "Liutayhiap dan Tio-pangcu, apakah bersedia mendengar nasehat Boanpwe? Dunia persilatan saat ini sedang dicekam teror kaum iblis, apabila kalian berdua saling
Pendekar Cacat 1518
percaya dan bekerja sama dengan baik, aku pikir nama Kaypang tentu akan lebih termasyhur." Liu Khi melirik sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya, "Ada satu persoalan aku pun ingin memberitahukan kepadamu, jangan sekali-kali mau diperalat orang lain." "Diperalat siapa?" tanya Bong Thian-gak dengan wajah tidak habis mengerti. "Oleh Hek-mo-ong." "Hek-mo-ong hendak memperalat kami? Apa tujuannya?" "Memperalat kau dan Thay-kun untuk membunuh Liong Oh-im." Bong Thian-gak menjerit kaget, "Maksudmu Biau-kosiu adalah Hek-mo-ong?"
Liu Khi menggeleng kepala. "Bukan, dia bukan Hek-mo-ong, dia kuku garuda Hek-moong yang diandalkan." "Benarkah perkataanmu itu?" tanya Bong Thian-gak agak tertegun.
Pendekar Cacat 1519
"Aku tidak berbohong." Thay-kun yang selama ini membungkam, segera menyela sambil tertawa ramah, "Tampaknya apa yang telah kami bicarakan dengan Biau-kosiu barusan telah kau dengar semua. Kalau memang begitu, mungkin kau pun sudah tahu bahwa kami telah menyanggupi untuk membunuh orang dan hal ini terpaksa kami terima karena keadaan terpaksa."
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh kembali Liu Khi berkata, "Apabila kalian bersedia mempercayai diriku, malam ini jangan kalian datangi jembatan Lok-yang-kian." "Apakah Liu-tayhiap sudah tahu Suhengku telah menerima kartu undangan kematian Hek-mo-ong?" kata Thay-kun sambil tersenyum. "Dia sudah terkena racun jahat dan kemungkinan besar racun itu akan bekerja setiap saat."
Liu Khi tersenyum sambil berpikir sejenak, lalu berkata, "Bilamana dugaanku tidak salah, saat ini Bong Thian-gak masih belum terkena serangan beracun Hek-mo-ong." "Tapi dia pun ada kemungkinan keracunan, bukan?" tanya Thay-kun sambil tersenyum. Tiba-tiba Liu Khi menghela napas panjang, "Benar, dia pun ada kemungkinan terkena racun."
Pendekar Cacat 1520
"Apabila Liu-tayhiap dapat mengundang Gi Jian-cau melakukan pemeriksaan baginya, maka kita akan segera dapat membuktikan apakah dalam tubuhnya sudah keracunan atau belum."
Mendengar perkataan itu, Liu Khi berkata, "Ai, sayang sekali si tabib sakti Gi Jian-cau telah meninggal dunia." "Dia sudah mati?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. Dalam pikiran Bong Thian-gak, di Kangouw orang yang paling besar kemungkinannya sebagai Hek-mo-ong adalah Gi Jian-cau. Tapi Gi Jian-cau telah mati, mau tak mau hal itu membuatnya setengah percaya.
Setelah menghela napas, kembali Liu Khi berkata, "Dia mati dalam keadaan amat mengerikan. Bilamana kalian tidak percaya, aku bersedia mengajak kalian melihat jenazahnya." "Andaikata dia bukan Hek-mo-ong, mengapa dia meninggalkan surat yang menyuruhku membunuhnya?" terdengar Bong Thian-gak bergumam. "Benar-benar aneh, sungguh membuat orang bimbang di tidak mengerti."
Pendekar Cacat 1521
Yang dimaksud Bong Thian-gak tentu saja Keng-tim Suthay. "Sewaktu berada di dalam gua Mi-hun-kiu-thian-tong di bawah kuil Sam-cing-koan, dia melihat tulisan di kaki Kengtim Suthay telah menjadi mayat, 'Tabib sakti Gi jian-cau harus dibunuh'. Ini pesan yang ditinggalkan olehnya."
Oleh karena hal ini Bong Thian-gak selalu mencurigai tabib itu kemungkinan besar dia adalah Hek-mo-ong yang misterius itu. | Thay-kun ikut menghela napas, katanya, "Berita kematian Gi Jian cau benar-benar membuat orang tidak percaya. Ai, semasa hidupnya, dia orang tua paling baik terhadapku, setelah dia mati sekarang, aku harus pergi menyambangi jenazahnya."
Thay-kun minta kepada Liu Khi agar mengajak mereka menjeng jenazah Gi Jian-cau. Liu Khi manggut-manggut menyetujui. "Kalau memang begitu, harap kalian mengikuti diriku." Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru, "Bong-laute, aku rasa lebih baik kalian jangan pergi ke sana."
Pendekar Cacat 1522
"Kenapa?" tanya pemuda itu keheranan.
Dengan suara dalam dan berat, Tio Tian-seng berkata, "Orang yang sudah mati tak akan bisa hidup kembali, kepergian kalian ke sana tak ada gunanya." Thay-kun kembali menghela napas. "Tabib sakti Gi Jian-cau tercantum namanya sebagai salah satu di antara sepuluh jago lihai persilatan, ilmu silat yang dimilikinya sangat lihai. Boanpwe benar-benar tidak percaya dia orang tua telah tertimpa musibah." "Oh Ciong-hu juga memiliki kepandaian silat tangguh, tapi kenyataan dia juga mati terbunuh," kata Tio Tian-seng dengan suara sangat hambar.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thian-gak, segera tanyanya, "Tio-pangcu, tampaknya lamat-lamat kau telah mengetahui siapakah pembunuh guruku dulu?" "Kemungkinan besar orang itu adalah Hek-mo-ong." Tiba-tiba Liu Khi menyela sambil tertawa dingin, "Sebenarnya kailan berdua bersedia ikut aku atau tidak? Kalau tidak, aku akan segera mohon diri."
Pendekar Cacat 1523
"Silakan Liu-tayhiap menjadi petunjuk jalan!" jawab Thaykun dengan segera. Sembari berkata, dia lantas mengikuti Liu Khi beranjak keluar dari ruangan itu. Terpaksa Bong Thian-gak menjura kepada Tio Tian-seng seraya Mei kata, "Tio-pangcu, Boanpwe akan pergi sejenak." Selesai berkata, dia pun membalikkan badan dan beranjak pergi pula dari situ.
Kini tinggal Tio Tian-seng seorang yang duduk dalam ruangan, dengan wajah tanpa emosi ia bergumam, "Mungkin kalian tak akan kemhali lagi." Sementara itu Liu Khi telah mengajak Bong Thian-gak dan Thay-kun meninggalkan rumah penginapan Ban-heng dan berangkat menuju keluar kota, Saat itu fajar baru saja menyingsing, orang yang berlalulalang di jalanan pun masih sedikit, mereka berlarian menuju ke kota bagian barat.
Pendekar Cacat 1524
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Liu Khi menghentikan langkah, lalu tanyanya, "Sudah berapa lama kalian berdua bergaul dengan Tio Tian-seng?" "Apa maksud Liu-tayhiap menanyakan hal ini?" tanya Bong Thian-gak berkerut kening. Liu Khi melirik sekejap ke arahnya, tanyanya lagi, "Bagaimanakah pendapat kalian tentang watak serta tabiat Tio Tian-seng?" . Bong Thian-gak dapat menangkap di balik kata-kata Liu Khi ada maksud mengadu domba, maka sahutnya dengan hambar, "Tio-pangcu bukanlah orang yang susah didekati seperti apa yang diduga orang." "Tentunya Liu-tayhiap lebih memahami watak serta tabiat Tio-pangcu daripada orang lain, bukan?" Thay-kun menyela sambil tertawa merdu.
Liu Khi menghela napas panjang. "Sudah sepuluh tahun lamanya aku menyelundup dalam Kay-pang, tapi hingga kini aku masih belum dapat meraba secara jelas watak serta tabiat Tio Tian-seng sesungguhnya."
Pendekar Cacat 1525
Bong Thian-gak tertegun, tanyanya lebih jauh, "Apakah maksud Liu-tayhiap menyelundup ke Kay-pang untuk menyelidiki watak serta tabiat Tio Tian-seng?" "Benar," Liu Khi menghela napas panjang. "Sebenarnya aku ingin menyelidiki peristiwa berdarah itu." "Peristiwa berdarah yang mana? Apakah Liu-tayhiap bersedia menjelaskan?" tanya Thay-kun sambil tersenyum.
Liu Khi berjalan menuju keluar kota yang sepi, sambil berjalan ujarnya, "Peristiwa berdarah ini terjadi tiga puluh tahun berselang!" Sampai di situ tiba-tiba dia menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan ke soal lain. "Peristiwa berdarah ini menyangkut situasi dunia persilatan serta , nama baik jago kenamaan. Sebelum duduknya persoalan menjadi jelas dan terang, aku tidak berani bicara dulu secara sembarangan."
Bong Thian-gak merasa kecewa atas jawaban itu, katanya, "Entah sampai kapan teki-teki itu baru bisa terjawab?" "Hek-mo-ong telah menampakkan diri di kota Lok-yang, berarti duduknya persoalan akan segera tertungkap."
Pendekar Cacat 1526
"Lagi-lagi Hek-mo-ong. Ai, sebenarnya manusia macam apakah dia?" "Liu-tayhiap, entah jenazah Gi Jian-cau berada dimana?" Thay-kun menyela. "Dalam Ban-jian-bong, tiga li di luar kota sebelah barat." "Ban-jian-bong (kuburan selaksa orang)? Bukankah tempat itu merupakan tempat penitipan jenazah orang dari luar kota?" "Setelah Gi Jian-cau tewas, jenazahnya telah dimasukkan ke dalam peti mati dan dikirim ke Ban-jian-bong untuk sementara waktu."
Mendadak Thay-kun bertanya, "Apakah Liu Khi kenal wajah asli si tabib sakti?" Liu Khi menghela napas panjang. "Aku justru mengajak nona mendatangi Ban-jian-bong, karena aku berharap kau bisa mengenali wajah korban, apakah benar tabib sakti atau bukan, sebab aku tahu di kolong langit ini hanya kau serta Cong-kaucu Put-gwa-cinkau dan Keng-tim Suthay yang mengenali wajah asli Gi Jiancau."
Pendekar Cacat 1527
"Ah, kalau begitu kedatangan Liu-tayhiap ke rumah penginapan Ban-heng adalah untuk mencari diriku?" Thaykun berseru pelan. "Masih ada satu alasan lagi, yaitu mengajak kalian meninggalkan Tio Tian-seng sejauh-jauhnya." "Mengapa?" tanya Bong Thian-gak heran. "Sebab Tio Tian-seng dicurigai sebagai Hek-mo-ong."
Mendengar itu, Bong Thian-gak tersenyum. "Bukankah Liu-tayhiap sendiri dicurigai sebagai Hek-moong?" "Benar, kemarin malam aku sudah bilang di antara sepuluh jago lihai persilatan, hampir semuanya dicurigai sebagai Hek-mo-ong, kini aku sengaja mengajak kalian untuk mengenali jenazah Gi Jian-cau karena aku ingin kepastian apakah salah seorang yang dicurigai telah hilang. Jika demikian, lambat-laun kita akan mendekati pembunuh yang sebenarnya, siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya."
"Dari sepuluh orang jago lihai persilatan, entah sudah berapa orang yang dapat Liu-tayhiap buktikan bukan Hekmo-ong?" tiba-tiba Thay-kun bertanya.
Pendekar Cacat 1528
"Sudah ada lima orang." "Siapa saja kelima orang itu?" "Ku-lo Sinceng, Oh Ciong-hu, Kui-kok Sianseng serta Songciu suami-istri." "Bila termasuk kau dan Gi Jian-cau, bukankah berarti sudah ada tujuh orang?"
Liu Khi manggut-manggut. "Benar, yang tersisa tinggal tiga orang saja yaitu Tio Tianseng, Tan Sam-cing serta Liong Oh-im." Thay-kun memandang sekejap hutan bambu di depan situ, lalu katanya, "Kita sudah sampai di Ban-jian-bong." Bong Thian-gak memandang sekeliling tempat itu. Tampak sebuah hutan bambu, di balik hutan bambu nan hijau secara lamat-lamat kelihatan pekarangan. Liu Khi mendatangi lebih dulu pekarangan pertama, lalu berhenti. Tanyanya kemudian sambil berpaling, "Apakah kalian pernah datang kemari?" "Ban-jian-bong merupakan tempat termasyhur, aku sudah tiga kali berkunjung kemari."
Pendekar Cacat 1529
Saat itu tampaknya Bong Thian-gak terkesima oleh pemandangan yang terbentang di hadapannya. Dengan mata mendelong, dia mengawasi peti-peti mati yang berjajar di bawah pohon bambu itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ternyata tempat penitipan peti mati adalah di bawah pohon bambu di halaman yang luas itu. Sejauh mata memandang, sekeliling halaman pertama penuh ditumbuhi pepohonan bambu yang hijau. Peti-peti mati bercat merah terletak di bawah pohon bambu yang rindang itu, jumlahnya mencapai ratusan buah sehingga mendatangkan suasana seram dan menggidikkan.
Ban-jian-bong terdiri dari tujuh belas halaman, apakah semua dipergunakan untuk menyimpan peti mati? Lantas berapa mayat yang tersimpan di situ? Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya, "Bong-siauhiap belum pernah mendatangi Ban-jian-bong, kuharap kau jangan sembarangan bergerak daripada akhirnya tersesat dan tak tahu jalan pulang."
Pendekar Cacat 1530
Liu Khi mengajak kedua orang itu berjalan menuju ke dalam halaman pertama. Ternyata dari tujuh belas halaman Ban-jian-bong itu, setiap halaman dijaga dan diurus oleh delapan belas pendeta. Setelah memasuki halaman pertama, Liu Khi mengemukakan maksud kedatangannya kepada Hwesio penerima tamu, selanjutnya mereka diajak menuju ke halaman kesembilan. Hwesio yang mengepalai halaman itu adalah Hwesio berjubah kuning yang gemuk, berusia empat puluh tahun dan membawa sebuah tasbih di lehernya.
Tampaknya Hwesio itu sangat mengenal Liu Khi, ketika melihat kedatangan jago ini, dia segera memberi hormat seraya menyapa, "Liu-sicu, sepagi ini kau telah datang?" Liu Khi manggut-manggut membalas hormat, jawabnya, "Aku membawa sobat dari sang jenazah yang hendak menyambangi. Harap Taysu sudi mempersiapkan hio, lilin dan uang pengorbanan bagi kami." "Silakan Sicu bertiga duduk dulu, Pinceng akan menyuruh orang menyiapkannya."
Pendekar Cacat 1531
Ruang tengah itu merupakan ruang terima tamu. Liu Khi, Bong Thian-gak serta Thay-kun terpaksa duduk menanti. Lebih kurang sepeminuman teh kemudian, Hwesio gemuk berjubah kuning itu sudah muncul kembali sambil membawa dua orang I Iwesio muda berjubah kuning yang membawa keranjang kecil, katanya, "Maaf bila menanti lama, Pinceng mengutus kedua muridku ini untuk melayani kalian."
Bong Thian-gak mengerti isi keranjang yang dibawa kedua Hwesio itu tentu uang pengorbanan, hio, lilin dan alat sembahyang lainnya. Dari dalam sakunya Liu Khi mengeluarkan sedikit uang perak yang diserahkan kepada Hwesio gemuk itu sambil ujarnya, "Harap Siau-suhu berdua sudi membuka jalan." "Terima kasih banyak atas derma Liu-sicu," Hwesio gemuk itu menerima uang tadi sambil mengucapkan terima kasih.
Dalam pada itu kedua orang Hwesio muda tadi telah mengajak Liu Khi bertiga keluar dari ruang tamu dan memasuki hutan bambu yang penuh dengan deretan peti mati itu.
Pendekar Cacat 1532
Pagi hari sudah lewat, matahari bersinar cerah di angkasa, namun suasana di balik hutan bambu dalam Ban-jian-bong ini tampak remang-remang, seperti suasana senja, sepanjang tahun seakan-akan tak pernah tersorot matahari.
Bong Thian-gak mengikut di belakang kedua Hwesio itu dengan ketat, setelah melewati jalanan kecil yang membentang di balik hutan bambu itu, akhirnya kedua Hwesio itu berhenti di depan sebuah gundukan tanah. Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, sekilas pandang saja dia telah melihat di depan gundukan tanah itu terdapat sebuah batu nisan yang berukirkan beberapa tulisan: "Tempat bersemayam Gi Jian-cau". Tanpa terasa Thay-kun bertanya, "Siapa yang telah mengukir tulisan di atas batu nisan itu?" Setelah menghela napas, sahut Liu Khi, "Orang yang menitipkan jenazah itu berpesan kepada petugas di sini agar mengukir huruf itu di atas batu nisannya."
Sementara mereka sedang berbicara, kedua Hwesio muda itu sudah bekerja sama menggeser batu nisan itu ke samping, ternyata di balik gundukan tanah itu merupakan
Pendekar Cacat 1533
sebuah gua, sebuah peti mati berwarna merah tampak membujur di dalam gua itu. Thay-kun berseru tertahan, "Suhu berdua, harap letakkan saja hio dan alat sembahyang itu ke atas tanah. Di sini sudah tak ada urusan kalian, satu jam kemudian kalian boleh mengajak kami berlalu dari sini."
Kedua Hwesio itu segera melaksanakan seperti yang diminta Thay-kun, setelah meletakkan keranjang kecil itu, mereka pun segera mengundurkan diri. Pada saat itulah Thay-kun mengeluarkan alat sembahyang, katanya, "Liu-tayhiap, dimana kau bisa tahu jenazah Gi Jiancau disimpan di tempat ini?" Liu Khi menghela napas panjang, "Ai, aku berhasil mendapatkan keterangan ini dari mulut seorang anak buah Hek-mo-ong yang kusiksa." "Mana orang itu sekarang?" kembali Thay-kun bertanya. "Sudah mati karena keracunan hebat." "Kalau begitu Liu-tayhiap pernah datang kemari satu kali?" Sekali lagi Liu Khi mengangguk. "Benar, kemarin aku sudah datang kemari dan memeriksa pula keadaan jenazah dalam peti mati itu."
Pendekar Cacat 1534
"Bagaimanakah bentuk jenazah itu?" "Rambutnya awut-awutan, tujuh lubang indranya berdarah dan dia mati dengan wajah menyeramkan, di atas dada jenazahnya tertera cap tengkorak." "Apakah Liu-tayhiap dapat menduga sudah berapa lamakah matinya?"
Pertanyaan itu disambut Liu Khi dengan suara helaan napas panjang. "Ai, seluruh tubuhnya penuh darah, kulit badannya tidak utuh, nampaknya seperti mati belum lama." Tapi sampai di situ, dia menggeleng kepala sembari berkata, "Sungguh aneh, bila darah mengalir keluar dari tubuh seseorang, maka seperempat jam kemudian warna darah akan berubah menjadi tua, tapi cairan darah itu nampak merah segar, seakan-akan baru saja mengucur keluar." Thay-kun berkerut kening, lalu tanyanya, "Ketika kau buka peti itu apakah terendus sesuatu bau yang harum?" "Benar," Liu Khi mengangguk, "memang terendus bau harum semerbak. Darimana kau bisa tahu?"
Pendekar Cacat 1535
Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang, kemudian katanya, "Jadi dalam peti telah diletakkan obat anti busuk, bau harum yang terendus olehmu ketika membuka penutup peti mati tak lain adalah bau obat anti busuk itu." "Bagaimana kalau kubuka sekali lagi peti mati itu?" "Coba bukalah sekali lagi!" Liu Khi segera menarik tali peti mati dan menyeret peti itu hingga keluar dari gua, kemudian pelan-pelan dibukanya penutup peti mati. Tampak sesosok mayat yang menyeringai seram dan dari ketujuh liilmng indranya mengucurkan darah membujur di dalam peti mati. Begitu penutup peti mati dibuka, terendus bau harum semerbak yang sangat aneh.
Dengan memberanikan diri Thay-kun mendekati peti mati itu dan mengamati jenazah itu dengan seksama sampai lama, lama sekali tidak nampak bergerak ataupun bicara. Liu Khi yang menyaksikan keadaan gadis itu, segera bertanya, "Apakah jenazah itu adalah Gi jian-cau?"
Pendekar Cacat 1536
Thay-kun menghela napas panjang, "Ai, paras mukanya telah berubah sama sekali, sulit bagiku untuk mengenalinya." Mendadak pada saat itulah gemerutukan yang aneh sekali.
berkumandang
suara
Dengan sorot matanya tajam Bong Thian-gak berpaling ke arah berasalnya suara aneh itu. Di bawah pohon bambu tampak sebuah penutup peti mati sedang bergerak secara keras. Suara aneh itu tak lain adalah suara bergeseknya penutup peti mati.
Peristiwa ini kontan membuat beberapa orang itu menarik napas, untung di arena terdapat tiga orang, lagi pula semuanya jago lihai yang sudah berpengalaman luas dalam menghadapi pertarungan. Coba kalau tidak, niscaya nyali mereka akan pecah dan melarikan diri terbirit-birit. Setelah bergetar empat kali, ternyata penutup peti itu tak bergetar lagi, bahkan suasana di sekeliling tempat itu dicekam keheningan.
Mendadak Liu Khi tertawa dingin, kemudian bentaknya, "Siapa yang bersembunyi di dalam peti mati? Bila tidak
Pendekar Cacat 1537
segera keluar, aku akan menyuruh kau mampus dalam peti mati itu!" Paras muka Thay-kun saat itupun berubah menjadi amat serius, pelan-pelan ujarnya, "Liu-tayhiap, rasanya kita sudah terkepung oleh musuh." "Apa maksudmu?" "Rasanya suasana di sekeliling tempat ini agak aneh." "Aku pun mempunyai perasaan yang aneh," kata Bong Thian-ga pula dengan kening berkerut.
Liu Khi segera tersenyum, kemudian katanya, "Peduli setan atau dedemit, bila Liu Khi, Jian-ciat-suseng dan Si-hun-mo-li telah bekerja sama, situasi macam apa pun masih sanggup kita hadapi." Memang dewasa ini belum ada seorang pun yang mampu menghadapi serangan gabungan mereka bertiga.
Pada saat itulah dari balik hutan bambu di kejauhan sana tiba-tiba berkumandang lagi suara gesekan yang amat ramai, suara langkah kaki menginjak daun.
Pendekar Cacat 1538
Suara itu seakan datang dari empat penjuru yang kian mendekat. Sekarang Liu Khi, Bong Thian-gak dan Thay-kun baru mengerti dengan pasti bahwa musuh benar-benar telah mengurung tempat itu. Anehnya biarpun suara langkah kaki menginjak daun bergema tiada hentinya, namun tidak nampak seorang musuh pun yang muncul. Liu Khi tiba-tiba tergelak, hardiknya, "Siapakah kalian? Cepat tunjukkan diri, kalian tak usah mempertunjukkan permainan semacam itu lagi, kami semua tak akan percaya segala permainan sesat." Ketika ucapan itu selesai diucapkan, suara gemerisik langkah manusia yang menginjak daun pun segera berhenti. Tapi sebagai gantinya, suara gemerutuk papan penutup peti yang semula terhenti itu kini mulai bergesek lagi.
Bersamaan dengan menggemanya suara aneh dari peti mati, mendadak Bong Thian-gak menyaksikan ada begitu banyak peti mati yang berlompatan kian kemari serta menimbulkan suara benturan yang keras.
Pendekar Cacat 1539
Bong Thian-gak bertiga terkesiap dengan perasaan seram, bulu kuduk mereka berdiri. Untung peristiwa semacam ini terjadi di siang hari, coba di tengah malam, situasinya pasti akan lebih menakutkan dan menggidikkan.
Paras muka Liu Khi sama sekali tak berubah, sorot matanya yang tajam mengawasi tutup peti mati yang berlompatan itu satu per satu, kemudian katanya, "Semuanya berjumlah tiga belas peti yang berisi sukma gentayangan." Liu Khi menerjang ke sisi peti mati yang bergetar dan paling dekat dengan dirinya. Gerak tubuhnya cepat luar biasa, namun gerakan goloknya ternyata jauh lebih cepat lagi.
Tampak cahaya golok berkelebat, golok kilatnya yang semula masih tergantung di pinggang tahu-tahu sudah menusuk ke dalam peti mati yang sedang melompatlompat itu. Tentu saja peti mati itu tidak melompat-lompat lagi, namun tidak terdengar pula sedikit suara pun, baik dengusan tertahan maupun jeritan ngeri.
Pendekar Cacat 1540
Liu Khi bergerak cepat, goloknya menyambar kian kemari bagai cahaya petir. Secara beruntun golok mautnya telah melancarkan tujuh tusukan beruntun ke arah tujuh peti mati.
Mendadak terdengar suara tertawa aneh yang keras bagaikan lolong serigala bergema dari balik peti mati, menyusul peti-peti mati itu bergerak cepat berputar di angkasa. Kemudian tampak enam sosok orang aneh bertubuh kaku seperti mayat hidup bersama-sama muncul dari balik peti mati tadi. Liu Khi segera tertawa tergelak penuh rasa bangga, katanya, "Mengapa kalian tidak bersembunyi terus di dalam peti mati itu?"
Sementara berbicara, Liu Khi telah menyarungkan kembali golok saktinya itu ke dalam sarungnya, kemudian orangnya juga mundur ke samping Bong Thian-gak serta Thay-kun. Sementara itu Thay-kun yang menyaksikan permainan golok Liu Khi yang begitu dahsyat diam-diam merasa terkejut juga, tanpa terasa pujnya, "Liu-tayhiap, permainan golokmu memang benar-benar sangat dahsyat dan tiada
Pendekar Cacat 1541
taranya di dunia ini. Golokmu ibarat permainan maut yang membuat setan-setan ketakutan."
Liu Khi tersenyum, sambil berpaling ke arah Bong Thian-gak dia berkata, "Bong-laute, keenam orang ini kuserahkan kepadamu untuk mencoba kemampuan ilmu pedangmu." Bong Thian-gak mengernyitkan alis, lalu sahutnya, "Apabila mereka bukan datang mencari gara-gara pada kita, buat apa mesti kita lakukan pembunuhan yang sama sekali tak berarti?" "Cukup dilihat dari dandanan mereka yang tiga bagian tidak mirip manusia, sudah jelas mereka itu bukan orang baikbaik, apalagi yang mesti kau sayangkan? Tak usah berbelas kasihan lagi." Sementara pembicaraan belum selesai, tubuh Liu Khi telah melayang kembali ke tengah udara.
Keenam sosok orang aneh bagaikan mayat itu mendadak berteriak bersama, mereka mengayunkan lengannya menyambar peti-peti mati kosong dan secara ganas dan buas diayunkan ke tubuh Lui-khi dengan kekuatan luar biasa.
Pendekar Cacat 1542
Bong Thian-gak serta Thay-kun yang menyaksikan kejadian itu menjadi terkejut sekali, mereka sama sekali tidak mengira keenam orang aneh sepert mayat hidup itu mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat sehingga peti mati kosong itu dipergunakan sebagai senjata. Sementara itu enam buah peti mati kosong yang beratnya ratusan kati sudah diayunkan bersama-sama ke tubuh Liu Khi.
Dengan cara apakah Liu Khi akan menghadapi ancaman seperti ini? Liu Khi yang menyaksikan kejadian itu segera memelototkan mata bulat-bulat, kemudian diiringi pekikan nyaring, dia keluarkan seluruh kepandaian ilmu golok saktinya yang maha hebat itu. Tampak golok panjangnya yang semula tersoreng di pinggang meluncur keluar dengan kecepatan luar biasa, kemudian menciptakan selapis kabut cahaya golok di tengah udara. Ketika keenam peti mati yang maha dahsyat itu menyambar datang seperti gunung Thay-san yang menindih kepala, tahu-tahu saja peti mati yang mengerikan itu seperti berubah menjadi enam buah kayu rongsok yang sudah lapuk, seketika hancur berantakan menjadi kepingan kecil yang berserakan dimana-mana.
Pendekar Cacat 1543
Bersamaan itu juga cahaya golok berkelebat seperti cahaya kilat. Cahaya putih dan bayangan darah segera berhamburan menjadi satu. Keenam sosok orang aneh menyeramkan kini sudah berguguran ke atas tanah dengan bermandikan darah, mereka telah menjadi setan di ujung golok Liu Khi. Setelah Liu Khi mengeluarkan ilmu sakti simpanannya untuk membunuh keenam orang aneh tadi dan di saat dia hendak membesut darah dari ujung goloknya untuk disarungkan kembali, tiba-tiba dari kejauhan sana berkumandang seruan seseorang yang bernada aneh. "Liu Khi, hingga sekarang aku baru dapat menyaksikan jurus seranganmu yang maha sakti itu, benar-benar ilmu golok cahaya darah yang mengerikan. Liu Khi, setelah kau pertunjukkan ilmu simpananmu itu, berarti saat kematianmu sudah tidak jauh lagi."
Berubah hebat paras muka Liu Khi mendengar ucapan itu, dengan suara dalam dia segera membentak, "Apakah kau adalah Hek-mo-ong?" Bagi Bong Thian-gak serta Thay-kun, mereka sudah mengenal suara orang aneh dan tidak terlihat wajahnya itu. Suara itu kalau bukan suara Hek-mo-ong, lantas suara siapa lagi?
Pendekar Cacat 1544
Tampak Liu Khi mengunjuk sikap tegang, bagaikan sedang menghadapi musuh tangguh saja, goloknya digenggam dalam lengan tunggalnya dan diangkat ke udara, sementara sorot matanya yang tajam mengawasi empat penjuru dengan sinar mata berkilat. Bong Thian-gak maupun Thay-kun sama-sama menggeser tubuh pula untuk mengambil posisi yang lebih menguntungkan dalam menghadapi serangan lawan. Untuk beberapa saat suasana di arena, menjadi tegang dan sangat mengerikan.
Setelah hening sekian lama, akhirnya suara aneh tadi kembali terdengar, "Betul, aku adalah Hek-mo-ong. Sudah sejak dulu aku ingin turun tangan terhadap Liu Khi, tapi aku tak dapat mengetahui jurus-jurus golokmu yang lihai itu, maka selama ini pula aku belum melancarkan serangan mautku terhadap dirimu. Tapi hari ini di bawah pancingan keenam anak buahku yang membacok dan melemparkan peti mati kosongnya kepadamu, kau telah mempergunakan jurus terakhir ilmu golok kilatmu. Liu Khi, sekarang kau sudah kehabisan ilmu simpanan lagi."
Liu Khi tertawa dingin, ujarnya dengan sinis, "Hek-mo-ong, kalau kau yakin dapat menghindari serangan golok mautku itu, mengapa tidak segera bertarung melawanku?"
Pendekar Cacat 1545
Gelak tertawa Hek-mo-ong yang amat keras dan nyaring segera terhenti, kemudian dia berkata ketus, "Di sisimu masih ada Jian ciat-suseng serta Thay-kun. Bila aku muncul untuk berduel denganmu aku percaya masih belum mampu membunuh kalian bertiga. Itulah sebabnya aku belum ingin turun tangan sementara waktu ini."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghardik dengan suara keras, "Hek mo-ong, apakah kau yang telah membunuh si tabib sakti Gi Jian-cau?" "Di atas dadanya sudah tertera lambang tengkorak, apakah orang lain memiliki senjata dan ilmu silat seperti itu?" "Benarkah sang korban itu adalah Gi Jian-cau?" tanya Bong Thian-gak tertawa dingin.
Pertanyaan yang diucapkan mendadak dan di luar dugaan ini kontan membuat Hek-mo-ong tertegun. Setelah termenung beberapa saat, dia baru menyahut, "Tentu saja si tabib sakti asli." "Aku tidak percaya orang itu adalah si tabib sakti yang asli, mana mungkin orang itu bisa kau bunuh dengan cara begitu gampang."
Pendekar Cacat 1546
"Dia sudah mampus dan tergeletak di dalam peti mati selama beberapa hari. Walau tidak percaya, kau harus mempercayainya juga."
Tiba-tiba Thay-kun tertawa nyaring, kemudian berkata, "Hek-mo-ong, aku sudah berhasil menemukan tempat persembunyianmu." Baru saja Thay-kun menyelesaikan kata-katanya, Liu Khi yang berada di sisinya sudah berteriak nyaring, kemudian tubuhnya melejit ke lengah udara dan langsung meluncur ke arah hutan bambu yang terletak lak jauh dari tempat itu. Thay-kun terkejut, segera teriaknya, "Suheng, kau dan aku harus segera membantu Liu-tayhiap."
Sambil berteriak, dia menerjang ke muka lebih dahulu. Bong Thian-gak segera melolos pedang dan menyusul pula dari belakang. Terdengar suara yang amat gaduh, sambaran golok panjang Liu Khi telah membabat dan merobohkan sejumlah pohon bambu yang tumbuh di sekitar sana. Padahal bambu hijau yang tumbuh di situ rata-rata berukuran hesar, namun sekali tebas, ternyata dia sanggup
Pendekar Cacat 1547
memotong tujuh-delapan batang, betapa tajam dan luar biasanya serangan golok itu.
Ternyata bacokan maut Liu Khi sama sekali tidak meleset. Dari balik robohnya pepohonan bambu yang berserakan kemana-mana, terlihat pancaran darah segar menyembur. Dengan gerakan tubuh yang sangat ringan Liu Khi melayang turun di atas pohon bambu yang baru saja ditebasnya itu, menyusul Bong Thian-gak dan Thay-kun turut melayang turun pula. Mata mereka ditujukan ke arah sesosok mayat tanpa kepala yang terjepit di antara delapan batang bambu.
Sementara dalam hati timbul suatu pertanyaan yang sama, "Benarkah Hek-mo-ong telah mampus?" Sebab mereka tidak percaya Hek-mo-ong bakal terbunuh dengan cara begitu gampang. Semburan darah segar yang memancar dari tubuh mayat tanpa kepala itu sudah berhenti. Mendadak Liu Khi menperdengarkan suara tawa yang keras dan penuh perasaan bangga, "Mampus, akhirnya Hek-moong mampus."
Pendekar Cacat 1548
Siapa tahu belum habis dia berseru, suara aneh dan menyeramkan tadi kembali bergema, "Liu Khi, aku belum mati. Orang yang kau bunuh itu tidak lebih hanya seorang pembantuku saja, tak dapat disangkal permainan golokmu memang hebat sekali, tapi kali ini kau lagi-lagi telah membocorkan beberapa jurus ilmu golokmu yang hebat, sekarang kau semakin kehabisan simpanan."
Beberapa patah kata itu segera membuat paras muka Liu Khi berubah hebat, dengan penuh amarah dia segera membentak, "Hek-mo-ong, ayo keluar dan kita bertarung lima ratus gebrakan, kalau kau tak berani berarti kau dilahirkan oleh pelacur busuk." "Liu Khi, dengarkan baik-baik," Hek-mo-ong dengan suara menyeramkan segera berseru. "Untuk membunuh seseorang, aku tidak usah turun tangan sendiri. Bukankah kau pun sering menggunakan siasat meminjam golok membunuh orang untuk melaksanakan niatmu?" "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, cepat atau lambat pasti akan kucari dirimu untuk membuat perhitungan." Suara tertawanya yang latah, penuh kebanggaan dan mengerikan itu makin menjauh sebelum akhirnya lenyap di kejauhan sana.
Pendekar Cacat 1549
Hek-mo-ong muncul tanpa bayangan, pergi pun tanpa jejak, tahu-tahu suaranya sudah lenyap.
Mendadak terdengar Thay-kun menjerit kaget, "Lihat, mayat bersama peti-peti mati itu lenyap." Bong Thian-gak, Thay-kun dan Liu Khi serentak melompat naik ke atas gundukan tanah. Tampak gua-gua di situ sudah kosong, peti mati berikut jenazah si tabib sakti pun sudah hilang. Sambil menghela napas, Thay-kun berkata, "Dengan lenyapnya jenazah itu, semakin tiada orang percaya bahwa si korban adalah si tabib sakti" "Peti mati berikut jenazahnya termasuk benda yang berat sekali, aku yakin mereka pergi belum jauh. Ayo kita kejar sambil melakukan penggeledahan di sekitar tempat ini," seru Bong Thian-gak. Liu Khi yang mendengar ucapan itu segera menghela napas, katanya, "Daerah ini merupakan tumbuhan bambu hijau, peti mati berserakan dimana-mana. Andaikata mereka memindahkan jenazah itu ke dalam peti yang lain, Kemanakah kita harus menemukan kembali?"
Pendekar Cacat 1550
"Benar," sahut Thay-kun pula. "Ban-jian-bong merupakan tempat penyimpanan peti mati, bagaimana mungkin kita dapat menemukan kembali jenazah itu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, pihak musuh mampu memindahkan peti mati berikut |enazahnya dalam waktu singkat tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kemampuan mereka sungguh membuat orang merasa kagum." Tiba-tiba Thay-kun berseru, "Dari lenyapnya jenazah si tabib sakti, tampaknya Gi Jian-cau yang sesungguhnya belum tewas." "Tapi di atas dadanya jelas tertera lambang tengkorak, hal ini membuktikan bahwa korban benar-benar mati di tangan Hek-mo-ong," seru Liu Khi.
Thay-kun segera tersenyum. "Kalau memang Hek-mo-ong membunuh si tabib sakti, maka dia tak nanti akan mengukir nama Gi Jian-cau secara jelas di atas batu nisannya." "Oh, jadi maksud nona, jenazah itu bukan korban pembunuhan Hek-mo-ong?" tanya Liu Khi kemudian.
Pendekar Cacat 1551
"Sudah pasti bukan, apabila jenazah itu korban pembunuhan Hek-mo-ong, maka hari ini Hek-mo-ong tidak akan bersusah-payah datang kemari dan melarikan jenazah berikut peti matinya." "Lantas menurut pendapat nona, siapakah korban itu?" "Sesosok jenazah tidak dikenal."
"Lantas dia mati di tangan siapa?" tanya Liu Khi lebih jauh. "Tentu saja pembunuh yang telah mencelakai orang itu adalah si tabib sakti sendiri." Tatkala Bong Thian-gak selesai mendengar pembicaraan kedua orang itu, dia segera menjadi paham, ujarnya kemudian, "Betul, sudah pasti pembunuhnya adalah si tabib sakti, dia sengaja menciptakan jenazah palsu itu untuk menipu orang, dengan tujuan agar semua umat persilatan mengira dia telah mati." "Ai, masuk akal," Liu Khi menghela napas. "Dewasa ini orang yang sedang mencari Gi Jian-cau memang bukan Hek-mo-ong seorang." "Aku rasa, besar kemungkinan si tabib sakti adalah Hek-moong," tiba-tiba Bong Thian-gak berseru.
Pendekar Cacat 1552
"Aku rasa Gi Jian-cau pasti bukan Hek-mo-ong," ucap Thaykun. "Ya, betul," seru Liu Khi pula. "Kemungkinan si tabib sakti adalah Hek-mo-ong memang kecil sekali."
Sesudah menghela napas sedih, Thay-kun berkata lebih jauh, "Berdasarkan dugaanku, bisa jadi Gi Jian-cau sedang mengasingkan diri di tengah kuburan Ban-jian-bong ini." "Darimana Sumoay bisa tahu Gi Jian-cau berdiam di tempat ini?" Sesudah menghela napas lagi, Thay-kun baru berkata, "Banjian-bong yang dikelilingi hutan bambu ini penuh dengan peti-peti mati, kuburan serta liang-liang gua. Andaikata aku sedang menghindarkan diri dari pengejaran seorang musuh tangguh, maka aku pun pasti akan memilih kuburan Banjian-bong ini sebagai tempat persembunyianku." "Jalan pikiran nona benar-benar amat cermat dan teliti," puji Liu Khi tanpa terasa. "Sudah sejak tadi aku menduga Gi Jian-cau ada kemungkinan bersembunyi di dalam tanah pekuburan ini. Itulah sebabnya secara rahasia aku sudah empat kali datang ke sini."
Pendekar Cacat 1553
Mendadak Thay-kun melirik sekejap ke arah Liu Khi, kemudian tanyanya lagi, "Liu-tayhiap, bersediakah kau memberi penjelasan kepada kami, apa sebabnya kau mencari si tabib sakti itu?" Liu Khi termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya, "Aku pernah menerima permohonan seorang untuk membunuh Hek-mo-ong. Selama tiga puluh tahunan ini, aku tak pernah berhasil menyingkap siapa gerangan orang yang bernama Hek-mo-ong, tugas itu pun secara otomatis belum berhasil, aku mendapat kabar bahwa Gi Jian-cau paling tidak mengetahui rahasia Hek-mo-ong. Itulah sebabnya aku mengambil keputusan untuk mencari si tabib sakti dan memaksanya mengungkap teka-teki asalusul Hek-mo-ong." "Liu-tayhiap, apakah langganan yang memberi pesanan kepadamu adalah Ho Lan-hiang?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
Liu Khi segera tersenyum, "Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memang pernah juga meminta kepadaku untuk membunuh Hek-mo-ong, namun dia bukanlah si pemesan pada tiga puluh tahun berselang." "Bersediakah Liu-tayhiap memberitahu siapakah orang yang telah memberi order kepadamu itu?" tanya Thay-kun pula.
Pendekar Cacat 1554
"Sekalipun kuungkap nama orang ini, rasanya belum tentu kalian mengenalnya." "Sebutkan saja namanya!" Sesudah menghela napas panjang, Liu Khi baru berkata, "Dia adalah Thio Kim-ciok." "Ah! Hartawan kaya Thio Kim-ciok," Thay-kun berseru kaget. "Kau maksudkan orang itu adalah saudagar paling kaya di kolong langit Thio Kim-ciok?"
Dengan terkejut Liu Khi manggut-manggut. "Nona, usiamu masih begitu muda, darimana kau bisa tahu Thio Kim-ciok?" "Dalam kalangan masyarakat kota saat ini, masih sering orang membicarakan si manusia kaya-raya dari Kanglam Thio Kim-ciok. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya?" "Ya betul, semasa aku masih kecil dulu pun seringkah kudengar orang membicarakan Thio Kim-ciok," sambung Bong Thian-gak pula.
Pendekar Cacat 1555
Liu Khi berkata, "Selain Thio Kim ciok adalah seorang saudagar yang kaya-raya, apakah kalian masih mengetahui soal lain tentang dirinya?" "Aku dengar dia berjiwa ksatria, setia kawan dan suka menolong sesama." Liu Khi menghela napas panjang, "Ai, biarlah secara ringkas kuceritakan sedikit riwayat Thio Kim-ciok." "Tiga puluh tahun berselang kekayaan Thio Kim-ciok berlimpah, dia suka bergaul dan berhubungan dengan orang macam apa pun. "Sedemikian kaya, berjiwa sosial dan gemar bersahabat hingga hampir setiap orang yang berada di dunia persilatan mengenal atau paling tidak mendengar nama besarnya. Baik golongan putih atau hitam, lurus atau sesat, hampir tak seorang pun yang tiada hubungan dengannya, bahkan dengan golongan pembesar pun dia mempunyai hubungan bagaikan saudara sendiri. "Pada waktu itu Thio Kim-ciok hampir menjadi penguasa tujuh propinsi di wilayah Kanglam. Setiap katanya dapat mengakibatkan keonaran ataupun perubahan situasi, tapi dengan sepatah katanya pula dia dapat menenangkan gejolak betapa pun besarnya, ia berwibawa dan berkuasa sehingga hampir semua orang tunduk kepada perkataannya."
Pendekar Cacat 1556
Bong Thian-gak manggut-manggut, katanya, "Ya, tentang hal itu aku pun pernah mendengarnya." Liu Khi berhenti sejenak, kemudian terusnya, "Napsu manusia memang kadangkala tak pernah puas. Dari kekuasaan dan pengaruh Thio Kim-ciok waktu itu, seharusnya dia sudah merasa puas dan tidak mempunyai permohonan lain lagi. "Tetapi siapa tahu Thio Kim-ciok justru memiliki ambisi lain daripada yang lain, pada usianya yang ketiga puluh delapan ternyata dia ingin belajar ilmu silat serta mencari ilmu awet muda." "Bila dia ingin belajar silat untuk menjaga kondisi badan tetap sehat dan muda, jalan pikiran ini adalah benar dan tepat. Mengapa kau katakan salah?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Justru gara-gara ingin belajar ilmu silat inilah berakibat bencana yang mengenaskan bagi Thio Kim-ciok sendiri." "Apa maksudmu?"
Kembali Liu Khi menghela napas panjang, "Di saat Thio Kimciok mengumpulkan jago-jago silat yang ada di kolong langit untuk mengajar ilmu silat kepadanya, dia telah berjumpa Ho Lan-hiang dan menjadi suami istri."
Pendekar Cacat 1557
"Ah, sama sekali tak kusangka Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah istri Thio Kim-ciok," seru Bong Thian-gak. Liu Khi memandang sekejap ke arah Thay-kun dan Bong Thian-gak, kemudian melanjutkan, "Bukan saja Ho Lanhiang telah menjadi istri Thio Kim-ciok, bahkan dia pun telah menjadi guru silatnya. "Tapi yang membuat orang merasa kaget dan keheranan adalah Thio Kim-ciok sebagai seorang yang telah berusia tiga puluh delapan tahun dan mulai belajar ilmu silat ternyata mampu memperoleh kemajuan yang amat pesat. Dengan kecerdasannya yang luar biasa serta bakatnya yang bagus, tidak sampai tiga bulan saja separoh bagian ilmu silat Ho Lan-hiang telah berhasil dipelajarinya semua.
"Agaknya Thio Kim-ciok pun sadar, dengan ilmu silat yang dimiliki Ho Lan-hiang seorang, tak mungkin bisa memuaskan napsunya untuk belajar ilmu silat, maka dia pun secara luas mulai mengundang jago-jago silat lainnya. "Dengan nama besar Thio Kim-ciok, sudah barang tentu tidak sulit untuk memperoleh guru-guru silat pandai dan termasyhur. "Tidak sampai setengah tahun kemudian dia telah berhasil mengundang seratusan jago lihai persilatan yang terdiri dari golongan putih maupun hitam, lurus maupun sesat, untuk menjadi guru silatnya.
Pendekar Cacat 1558
"Waktu itu dari seratusan jago lihai, terdapat sepuluh orang jago lihai paling termasyhur. Mereka adalah Ku-lo Sinceng, Oh Ciong-hu, Song-ciu suami-istri, Kui-kok Sianseng, Liong Oh-im, Gi Jian-cau, Tio Tian-seng, Tan Sam-cing serta aku."
Semakin mendengar. Bong Thian-gak dan Thay-kun semakin kaget dan heran, mimpi pun mereka tidak menyangka Thio Kim-ciok memiliki kemampuan begitu hebat hingga mampu mengundang jago-jago lihai dari berbagai perguruan dan partai untuk memberi didikan Ilmu silat kepadanya. Setelah menghela napas Bong Thian-gak bertanya, "Thio Kim-ciok nanggup mengundang sepuluh jago persilatan untuk menjadi gurunya, ditambah Thio Kim-ciok memiliki bakat dan kecerdasan yang hebat, kalau begitu kehebatan ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok sudah pasti sangat luar biasa dan mengejutkan." "Benar," sahut Liu Khi sambil menghela napas panjang, "Hanya dalam tiga tahun yang teramat singkat, Thio Kimciok berhasil mengubah dirinya dari seorang sastrawan lemah menjadi seorang jago silat berilmu sangat tinggi. Ai, justru karena kepesatan ilmu silat yang berhasil diraih olehnya inilah maka bencana besar telah diundang pula kehadirannya." "Bencana besar apakah itu?" tanya Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1559
"Bencana pembunuhan atas dirinya sendiri." "Siapa yang telah membunuhnya?" tanya Bong Thian-gak semakin terkejut lagi. "Hek-mo-ong." "Dapatkah Liu-tayhiap memberi penjelasan yang lebih seksama peristiwa terbunuhnya Thio Kim-ciok?" Liu Khi manggut-manggut. "Baik akan kukatakan, di saat kalian selesai mendengar kisahku nanti, siapa tahu kalian dapat membantuku menduga siapa gerangan Hek-mo-ong."
Setelah menelan air liur, Liu Khi berkata lebih jauh, "Suatu senja pada tiga puluh tiga tahun berselang, aku mendapat undangan Thio Kim-ciok dan buru-buru dari Soat-say berangkat ke Gak-yang di Ou-lam untuk memenuhi undangannya yang diselenggarakan di Sui-tiong-lau keluarga Thio." "Kebun keluarga Thio adalah kebun indah yang berada di dalam gedung keluarga Thio yang khusus dibangun di atas telaga dengan jembatan batu sebagai penghubungnya, selain bangunannya megah dan kokoh, dibangun dengan bahan bangunan yang paling baik dan indah, mungkin hanya saudagar kaya-raya macam Thio Kim-ciok yang
Pendekar Cacat 1560
mampu membangun kebun dengan pagoda air sedemikian indahnya." "Di tengah kebun terdapat pagoda air yang semuanya bertingkat tujuh, biasanya Thio Kim-ciok menempatkan seratus delapan orang jago lihai yang khusus diundangnya untuk mengawal tempat itu, kecuali para pengawalnya serta Thio Kim-ciok suami-istri, dayang dan pelayan kepercayaannya, orang lain dilarang memasuki tempat itu secara sembarangan sebelum mendapat izin darinya." "Apakah Liu-tayhiap dapat masuk keluar secara bebas dalam pagoda air itu?" tanya Thay-kun.
Liu Khi segera tersenyum. "Sepuluh Suhu Thio Kim-ciok tentu saja dapat memasuki pagoda itu secara leluasa." "Ketika senja itu Liu-tayhiap sampai di pagoda air, apakah di tempat itu sudah terjadi sesuatu peristiwa?" "Benar," Liu Khi mengangguk. "Thio Kim-ciok bersama seratus delapan orang pengawal, dayang dan pelayannya yang semuanya berjumlah seratus delapan puluh tujuh orang laki-perempuan telah mati dibantai. Di atas dada mereka dijumpai lambang tengkorak, sedang di sisi mayat Thio Kim-ciok tertera empat huruf besar berwarna merah darah bertuliskan, 'Dibunuh Hek-mo-ong'."
Pendekar Cacat 1561
"Benar-benar perbuatan yang sangat keji, buas dan tak berperi¬kemanusiaan," bisik Thay-kun sambil menghela napas. "Bagaimana dengan Ho Lan-hiang?" tiba-tiba Bong Thiangak bertanya. "Sewaktu terjadi peristiwa itu, apakah dia sudah tidak berada di dalam pagoda lagi?" "Sewaktu aku sampai di pagoda air itu, bukan saja Ho Lanhiang berada di pagoda air itu, malah kesepuluh Suhu Thio Kim-ciok pun ada di situ." "Mereka tiba di pagoda air setelah terjadinya peristiwa berdarah ataukah sebelumnya?"
Liu Khi menghela napas panjang. "Ai, tentu saja semua mengatakan tiba di tempat itu setelah terjadinya peristiwa berdarah itu." "Siapakah yang hadir paling dulu di situ?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Yang datang paling dulu lima orang, mereka adalah Ku-lo hwesio, Oh Ciong-hu dan Song-ciu suami-istri." "Masih kurang seorang lagi, siapakah dia?" sela Bong Thiangak dengan cepat.
Pendekar Cacat 1562
"Orang itu adalah Ho Lan-hiang, rupanya Ho Lan-hiang bersama Ku-lo Hwesio berdua telah berangkat ke kuil Siaulim-si sejak setengah bulan berselang untuk menghadiri upacara pengunduran diri Tay-goan hwesio dari Siau-limpay. Ketika upacara itu telah usai, mereka baru bersamasama kembali ke pagoda air dalam gedung keluarga Thio. Oleh karena itu Ho Lian-hiang lolos dari kecurigaan membunuh suami sendiri." "Bagaimana dengan Kui-kok Sianseng, Giok-gan-suseng, tabib sakti dan Tio Tian-seng berempat. Bagaimana ceritanya sampai muncul pula di pagoda air itu?" "Keempat orang itu secara beruntun datang ke pagoda air menyusul tibanya Ku-lo Hwesio berlima dan Kui-kok Sianseng sekalian berempat juga baru pulang dari Siau-limsi di Ho-Iam, jadi mereka bersembilan dapat saling membuktikan mereka bukan pembunuhnya." "Bagaimana dengan Tan Sam-cing?" tanya Thay-kun. "Tan Sam-cing baru muncul di kebun keluarga Thio keesokan harinya setelah kehadiranku di pagoda air itu." "Wah, kalau begitu, Liu-tayhiap dan Pat-kiam-hui-hiang berdua menjadi orang yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong, pembunuh Thio Kim-ciok?"
Pendekar Cacat 1563
"Betul, waktu itu aku dan Tan Sam-cing telah memperoleh pemeriksaan yang seksama dari semua orang." "Ada satu hal ingin kutanyakan kepada Liu-tayhiap, bukankah Liu-tayhiap pernah bilang bahwa Thio Kim-ciok pernah mengundangmu untuk membunuh Hek-mo-ong? Bagaimana pula ceritanya?" Liu Khi menghela napas panjang. "Ai, sebelum Thio Kim-ciok meninggal dibunuh, dia seperti sudah tahu ada firasat jelek atas nasibnya, tiga bulan menjelang terjadinya pembantaian itu, secara pribadi Thio Kim-ciok telah mengundangku untuk mengerjakan suatu tugas, yaitu melakukan penyelidikan atas Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, Kui-kok Sianseng, beserta istrinya Ho Lan-hiang, untuk mengetahui siapakah di antara mereka adalah Hekmo-ong, kemudian secara rahasia pula berencana membinasakan dirinya." "Oh, maka itu hingga sekarang Liu-tayhiap selalu menganggap Hek-mo-ong adalah salah seorang di antara Ho Lan-hiang, Ku-lo Hwesio, Oh ciong-hu dan sekalian sepuluh orang lainnya?" kata Thay-kun kemudian. Dengan suara berat dan dalam Liu Khi berkata, "Thio Kimciok adalah seorang berjiwa besar, berhati mulia dan suka menolong orang. Sepanjang hidupnya dia hanya tahu melepas budi dan tak pernah mempunyai ikatan dendam atau sakit hati dengan orang, sekalipun gembong iblis yang membunuh orang tanpa berkedip atau iblis yang berhati
Pendekar Cacat 1564
keji pun merasa berhutang budi kepada Thio Kim-ciok, apalagi kesepuluh Suhu Thio Kim-ciok adalah jago-jago silat paling hebat di dunia ini, siapa pula yang berani mengusik, apalagi mencelakainya?" "Lantas mengapa Hek-mo-ong hendak membunuhnya?" tanya Bong Thian-gak kemudian. "Terbunuhnya Thio Kim-ciok sangat berkaitan dengan kemajuan Ilmu silatnya yang pesat, orang kuatir dia akan menjadi jago silat yang tiada tandingannya di kolong langit di masa mendatang sehingga mengacaukan ketenteraman umat persilatan dan menciptakan badai pembunuhan dimana-mana." "Ya, memang sangat beralasan," gumam Thay-kun lirih. "Bila orang kaya-raya dan memiliki ilmu silat yang dahsyat, ditambah pula memiliki hubungan yang sangat akrab dengan berbagai ragam manusia, jika tindak-tanduknya tak beres dan menyeleweng dari jalur kebenaran, maka akhirnya orang itu akan menjadi seorang pemimpin yang lalim. Yang kecil paling berakibat kekalutan di suatu wilayah, tapi kalau sampai besar dapat mengakibatkan pertumpahan darah dimana-mana dan menciptakan neraka bagi umat persilatan." "Sebab itulah dalam kasus terbunuhnya Thio Kim-ciok, kesepuluh gurunya tak bisa lolos dari kecurigaan sebagai pembunuhnya."
Pendekar Cacat 1565
Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu berkata, "Kulo Hwesio dan Oh Ciong-hu adalah orang berjiwa luhur, apakah mereka pun dapat melakukan perbuatan kejam dan tidak berperi-kemanusiaan itu?" Liu Khi tertawa rawan. "Aku menaruh curiga kepada mereka, hal ini karena kesimpulan yang berhasil kuhimpun setelah melalui penyelidkan dan penelitian yang amat seksama terhadap berbagai persoalan dan kejadian, bukan aku menuduh mereka secara sewenang-wenang." "Atas dasar persoalan dan kejadian apakah itu? Dapatkah Liu-tayhiap memberi penjelasan kepadaku?" ucap Thaykun. Dengan suara dalam Liu Khi berkata, "Ho Lan-hiang adalah perempuan jalang yang gemar merayu dan memikat kaum pria untuk memenuhi napsu birahinya. Aku rasa tentang wataknya yang buruk ini tentunya kalian sudah pernah mendengar bukan?" "Maksud Liu-tayhiap, antara dia dengan kesepuluh guru Thio Kim ciok pun pernah terjalin hubungan gelap?" "Sesungguhnya peristiwa ini merupakan kejadian yang paling buruk dan memalukan bagi umat persilatan," kata Liu Khi emosi, "Karena itu sebelum duduknya persoalan berhasil kuselidiki sampai tuntas, aku tak ingin bicara secara sembarangan."
Pendekar Cacat 1566
"Selain persoalan ini, apakah masih ada hal-hal lain yang patut dicurigai?" "Masih ada satu hal lagi, setelah terjadinya peristiwa pembunuhan atas Thio Kim-ciok, bagi penegak keadilan dan kebenaran di dunia persilatan, sudah sepantasnya mereka melakukan penyelidikan terhadap pelaku pembunuhan itu serta berusaha melenyapkannya dari muka bumi, tapi kenyataan justru manusia seperti Ku-lo Hwesio, Oh Cionghu dan lain-lainnya berusaha keras merahasiakan peristiwa berdarah itu." "Waktu itu semua orang setuju melakukan penyelidikan atas pelaku pembunuhan itu secara rahasia dan menyetujui pula untuk tidak menyiarkan berita kematian Thio Kim-ciok, sebaliknya mereka justru mengarang cerita bohong yang mengatakan Thio kim-ciok sedang pergi ke suatu tempat terpencil untuk memperdalam ilmu panjang umur." Ketika Thay-kun dan Bong Thian-gak selesai mendengar rahasia persilatan ini, timbul perasaan bingung dan tidak habis mengerti dalam hatinya. Mungkinkah kematian Thio Kim-ciok disebabkan perbuatan yang direncanakan Ku-lo Hwesio sekalian? Mendadak Thay-kun bertanya, "Bagaimana dengan jenazah Thio Kim-ciok? Apakah sudah dikuburkan?" "Keseratus delapan puluh tujuh mayat itu telah ditenggelamkan ke dasar telaga oleh Ho Lan-hiang serta sepuluh jago persilatan."
Pendekar Cacat 1567
Thay-kun termenung lagi beberapa saat, kemudian baru katanya, "Berdasarkan penuturan Liu-tayhiap ini, rupanya kau menaruh curiga bahwa Ku-lo Hwesio sekalian telah membunuh Thio Kim-ciok dengan mencatut nama Hek-moong, tetapi ada satu hal yang membuatku merasa tidak mengerti, kenapa pula Hek-mo-ong hendak mencelakai jiwa Ku-lo Hwesio sekalian?" "Aku rasa nama Hek-mo-ong yang dipergunakan dahulu hanya nama kosong saja tanpa ada orang yang sebenarnya, tapi Hek-mo-ong yang muncul dalam dunia persilatan saat ini justru terdapat orangnya." Liu Khi melirik sekejap ke arah nona itu, baru ujarnya, "Tentang persoalan ini pun aku telah berhasil mendapatkan satu kesimpulan yang tepat. Aku rasa kemungkinan besar orang yang mengaku sebagai Hek mo-ong sekarang berniat membunuh semua orang yang mengetahui peristiwa berdarah yang menimpa Thio Kim-ciok itu." Tiba-tiba Thay-kun tersenyum. "Hek-mo-ong yang berada dalam pikiran Tio Tian-seng dan Ho Lian-hiang sekalian sudah pasti adalah Liu-tayhiap." "Apa maksudmu?" tanya Liu Khi dengan wajah berubah. "Tujuan Hek-mo-ong membunuh Ku-lo Hwesio dan Oh Ciong-hu sekalian adalah hendak membalas dendam bagi kematian Thio Kim-ciok, padahal sewaktu Thio Kim-ciok terbunuh, hanya Liu-tayhiap dan Tan Sam-cing berdua yang
Pendekar Cacat 1568
tidak pergi ke kuil Siau-lim-si di Ho-lam, oleh sebab itu menurut anggapan Tio Tian-seng sekalian, Hek-mo-ong yang muncul saat ini merupakan penyaruan satu di antara kalian berdua." "Benar," kata Liu Khi dengan suara dalam. "Selang tiga puluh tahun terakhir ini, setiap waktu aku selalu berusaha membalas dendam bagi kematian Thio Kim-ciok." "Sebetulnya Liu-tayhiap adalah Hek-mo-ong atau bukan?" desak Thay-kun lebih lanjut dengan suara merdu. Liu Khi tertawa rawan. "Dan menurut anggapan kalian, benarkah aku adalah Hek-mo-ong?" ia balik bertanya. Thay-kun tersenyum. "Tampaknya antara Liu-tayhiap dan Thio Kim-ciok mempunyai hubungan persahabatan yang istimewa, kematiannya yang tragis tentu membuatmu sakit hati dan rasanya hanya kau yang berusaha membalas dendam bagi kematiannya." Liu Khi tertawa getir, "Dugaan kalian keliru besar, aku bukan Hek-mo-ong." Tiba-tiba Bong Thian-gak menyela dari samping, "Seandainya Liu-tayhiap bukan Hek-mo-ong, orang itu sudah pasti adalah Pat-kiam-hui-hiang." Liu Khi menggeleng kepala.
Pendekar Cacat 1569
"Hek-mo-ong yang merajalela saat ini bukan Tan Sam-cing." "Lantas siapakah dia?" "Tio Tian-seng atau mungkin juga Gi Jian-cau." Mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara berat dan serius, "Liu Khi, kau anggap aku adalah Hek-moong yang merajalela saat ini?" Di tengah pembicaraan itu, dari balik hutan bambu sana pelan¬pelan berjalan keluar seorang kakek berjenggot panjang, sebilah pedang antik tersoreng di punggungnya dan ia berjalan mendekat. Bong Thian-gak segera berpaling, ujarnya, "Tio-pangcu, sejak kapan kau tiba di sini?" Ternyata orang yang baru saja muncul adalah Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng. Liu Khi tertawa, katanya, "Tio Tian-seng, akhirnya kau muncul juga dengan membawa pedang iblismu itu." Tio Tian-seng baru menghentikan langkah setelah tiba di hadapan lawan, pelan-pelan ia berkata, "Bila pedang iblis terlolos dari sarungnya, ia pasti akan menghirup darah manusia. Sudah tiga puluh tahun aku tidak pernah melolos pedangku ini, tapi hari ini demi membalas dendam kematian kedua orang muridku, mau tak mau terpaksa aku mesti membawa pedang andalanku ini."
Pendekar Cacat 1570
Ketika Bong Thian-gak dan Thay-kun mendengar perkataan Tio Tian-seng itu, tiba-tiba saja mereka teringat beberapa patah kata yang diucapkan Hek-mo-ong sebelum pergi setengah jam berselang. Akhirnya Tio Tian-seng muncul juga. Benar seperti apa yang dikatakan Hek-mo-ong tadi, dia datang mencari Liu Khi untuk membuat perhitungan. Tapi perhitungan apakah itu? Liu Khi tertawa dingin, kemudian berkata, "Kemunculanmu yang tiba-tiba ini membuat aku semakin percaya bahwa kaulah Hek-mo-ong." "Liu Khi, bersiap-siaplah menyambut seranganku," hardik Tio Tian-seng sambil menarik muka. Mendadak Bong Thian-gak maju ke depan dan berdiri di antara kedua orang itu, kemudian serunya lantang, "Tiopangcu, harap jangan mengumbar amarah dulu” Belum selesai dia berkata, dengan suara dingin Tio Tianseng telah menukas, "Bong-laute, nona Thay-kun, kuminta kalian mengundurkan diri dari dunia persilatan dan jangan mencampuri urusan budi dan dendam Thio Kim-ciok ini." "Kematian Thio Kim-ciok telah menimbulkan kekalutan dan keonaran dalam Kangouw. Sudah banyak jago persilatan yang tewas ataupun cedera karena persoalan ini, tahukah kalian bahwa perselisihan yang terjadi di antara kalian
Pendekar Cacat 1571
berdua saat inipun hanya merupakan sebagian dari siasat busuk orang," kata Bong Thian-gak dengan suara lantang. "Kau maksudkan terjerat dalam siasat busuk siapa?" tanya Tio Tian-seng. "Ho Lan-hiang! Kau tahu, dia ingin menyaksikan sepuluh tokoh persilatan saling gontok dan bunuh, dengan dia sebagai nelayan beruntung yang tinggal mengumpulkan hasilnya?" Tio Tian-seng tertawa dingin, "Kau tahu apa? Liu Khi adalah Hek-mo-ong, dia bersama Ho Lan-hiang berkomplot hendak mencelakai sepuluh tokoh persilatan dan kini di antara kesepuluh tokoh persilatan Itu, Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, Kui-kok Sianseng telah tewas, Song-cui suami-istri pun sudah lama lenyap, kemungkinan besar mereka pun sudah tertimpa musibah, saat ini sasaran yang berikut adalah diriku. Aku tahu rencana ini sudah dipersiapkan Liu Khi dan Ho Lan-hiang lama sekali, berhubung tiada keyakinan untuk berhasil, maka selama ini pula dia tak berani turun tangan terhadapku dan itulah sebabnya Liu Khi turun tangan lebih dulu untuk menghilangkan kedua orang pembantu utamaku. To Siau-hou dan Han Siau-liong." Bong Thian-gak terkejut, dia segera berpaling ke arah Liu Khi sambil bertanya, "Benarkah kau telah membunuh To Siau-hou dan Han Siau-liong?" Liu Khi tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1572
"Tio Tian-seng adalah Hek-mo-ong. Untuk membasmi kekuatan dan daya pengaruhnya, aku terpaksa harus membunuh kedua orang itu beserta kedua puluh empat jago pengikutnya." Bong Thian-gak segera menghela napas panjang, katanya kembali, "Liu-tayhiap, kau keliru besar. Tio-pangcu sudah pasti bukan Hek-mo-ong." Liu Khi tertawa dingin. "Sudah lama aku menyusup ke dalam Kay-pang. Aku pun sudah banyak mengetahui segala perbuatan dan tingkahlaku Tio Tian-seng, sekalipun dia benar-benar bukan Hekmo-ong, namun dia turut serta dalam komplotan pembunuhan atas diri Thio Kim-ciok. Bagaimana pun juga aku harus membalas sakit hati ini." "Apa yang dikatakan Tio Tian-seng tadi memang benar, lebih baik kau bersama Thay-kun tidak usah ikut terseret ke dalam persoalan ini." Tiba-tiba Thay-kun menghela napas sedih, ucapnya, "Suheng, mari kita segera mengundurkan diri, kedua orang itu secara diam-diam telah menghimpun tenaga dalam dan hampir mencapai puncaknya. Bila mereka melepas serangan, kita pasti akan terkena gelombang serangan itu." Dalam pada itu Bong Thian-gak sendiri sadar bahwa permusuhan mereka sudah kelewat mendalam sehingga masalahnya tak mungkin bisa diselesaikan tanpa
Pendekar Cacat 1573
dilangsungkannya pertarungan mati hidup. Karena itu setelah menghembuskan napas ia pun segera mengundurkan diri dan menonton jalannya pertarungan dari sisi arena. Kini Tio Tian-seng dan Liu Khi telah berdiri berhadapan, masing-masing pihak telah menghimpun tenaga dalam, bersiap melepaskan serangan mematikan. Dan kini hawa murni yang dihimpun kedua belah pihak makin mencapai puncaknya. Mendadak Tio Tian-seng menggerakkan tangan kanan dan pelan-pelan menggenggam gagang pedang yang tersoreng di pinggangnya. Biasanya Liu Khi selalu mencabut golok dengan kecepatan luar biasa, tapi reaksinya kali ini justru berlawanan, gerakan tangannya dilakukan sangat lambat, lebih lambat daripada gerakan Tio Tian-seng. Pedang iblis Tio Tian-seng memancarkan cahaya kehijauhijauan. Semua peristiwa ini berlangsung dalam sekejap saja. Gerakan yang semula sangat lamban, kini telah berubah menjadi cepat sekali. Pedang sakti di tangan Tio Tian-seng bagaikan seekor naga sakti keluar dari air dan menusuk ke dada lawan.
Pendekar Cacat 1574
Sebaliknya golok sakti Liu Khi dari bawah menusuk ke atas sambil melepaskan bacokan. Tubuh mereka baru saja meninggalkan tanah, kedua belah pihak sudah saling bentrok. Terdengar dua kali dentingan nyaring, golok dan pedang sudah saling bersimpangan. Dalam bentrokan pertama, kedua belah pihak bertarung seimbang. Di saat masing-masing membalikkan badan, benfibkan kedua kembali berlangsung. Cahaya golok dan bayangan pedang sudah menyelimuti seluruh tubuh kedua orang itu sehingga orang lain sulit menyaksikan jurus-jurus serangan dan langkah tubuh yang mereka gunakan. Bong Thian-gak dan Thay-kun yang berdiri di samping merasakan segulung hawa dingin yang menyayat badan, membuat kedua orang itu merasa terkejut dan buru-buru menggeser badan menjauhi arena. Dalam waktu singkat tanah pekuburan yang menyeramkan dan menggidikkan itu berubah menjadi ajang pertempuran yang amat seru.
Pendekar Cacat 1575
Daun-daun bambu di sekeliling tempat itu berubah seperti bunga-bunga salju yang berguguran di atas tanah, betapa hebatnya pertarungan yang sedang berlangsung itu. Sejak umat persilatan memilih sepuluh tokoh silat terhebat pada empat puluh empat tahun berselang, belum pernah kesepuluh tokoh silat Itu saling tempur. Pertarungan antara Tio Tian-seng dan Liu Khi saat ini merupakan pertempuran sengit pertama yang terjadi antara sesama sepuluh tokoh persilatan. Lantas siapa di antara kesepuluh tokoh silat itu yang sebetulnya memiliki ilmu silat paling hebat? Mungkin saja orang itu Tio Tian-seng atau Liu Khi. Konon di masa lampau Tio Tian-seng pernah menderita kekalahan di tangan Oh Ciong-hu, namun baik Oh Ciong-hu maupun Ku-lo Hwesio yang bertindak sebagai saksi tahu bahwa pukulan itu memang sengaja dibiarkan mengenai tubuh Tio Tian-seng karena berniat mengalah. Sebab apabila Tio Tian-seng berhasil mengungguli Oh Ciong-hu waktu itu, maka Tio Tian-seng harus menerima tantangan Ku-lo Hwesio dan apabila kejadian ini berlangsung, niscaya Tio Tian-seng menderita kekalahan total. Oleh sebab itu Tio Tian-seng berlagak kalah agar jiwanya dapat pula diselamatkan dari musibah.
Pendekar Cacat 1576
Thay-kun serta Bong Thian-gak yang menyaksikan jalannya pertarungan diam-diam terkejut, pikirnya, "Sungguh tak disangka, ilmu silat kedua orang ini jauh lebih hebat dari apa yang diduga semula." Pada saat itulah, mendadak Thay-kun teringat sesuatu, dengan suara merdu ia lantas berkata, "Bong-suheng, aku sudah tahu siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya." "Siapakah dia?" "Orang itu bukan Tio Tian-seng, bukan juga Liu Khi." Bong Thian-gak masih mengawasi jalannya pertarungan di arena dengan mata tak berkedip. Ketika mendengar perkataan itu, dia segera berpaling, tapi dengan cepat pemuda itu berseru tertahan. Ternyata di saat dia berpaling, Bong Thian-gak menyaksikan di belakang Thay-kun telah berdiri seorang berbaju hijau. Orang berbaju hijau itu tidak lain adalah orang berbaju hijau berwajah pucat yang dijumpai di tanah pekuburan tadi. Waktu itu pedang pendek dalam genggaman orang itu sedang ditempelkan di punggung Thay-kun. Setelah menghela napas sedih, ujar Thay-kun, "Hek-mo-ong kah kau?"
Pendekar Cacat 1577
Dengan wajah tanpa emosi, orang berbaju hijau itu tertawa dingin, sahutnya, "Rezeki masuk dari mulut, bencana keluar dari bibir. Bila kau menginginkan keselamatan jiwamu, lebih baik kurangi kata-kata yang yang tak berguna." Melihat pedang pendek orang ditempelkan di punggung Thay-kun, Bong Thian-gak benar-benar tak berani bergerak sembarangan. Dengan cemas ia menegur, "Apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?" Sementara itu mata orang berbaju hijau yang mengerikan itu sedang mengawasi jalannya pertarungan antara Tio Tian-seng melawan Liu Khi. Mendengar pertanyaan itu, dia segera menjawab dengan hambar, "Kemungkinan besar aku akan membunuhnya." Sambil tertawa Thay-kun berseru, "Dari tangan Ho Lanhiang, kau telah menolong jiwaku hingga secara kebetulan aku bertemu dengan Jian-ciat-suseng dan tubuh Si-hun-moli berubah menjadi diriku yang sebenarnya, masakah kau benar-benar akan membunuhku?" "Boleh saja bila kau tidak menginginkan kematian, cukup kau tunjukkan kepadaku, siapakah di antara mereka berdua adalah Hek-mo-ong?" kata orang berbaju hijau itu hambar. "Kedua orang itu sama-sama bukan Hek-mo-ong." "Boleh saja bila kau enggan mengatakan kepadaku, maka aku pun terpaksa harus menunggu sampai pertarungan
Pendekar Cacat 1578
mereka selesai dan kedua belah pihak sama-sama terluka parah, lalu aku binasakan mereka berdua." "Bukankah keadaan semacam inilah yang paling kau sukai?" Orang berbaju hijau itu termenung beberapa saat, lalu dia berkata, "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, mengapa kau tidak berpaling melihat siapakah diriku?" "Tak usah dilihat lagi, kau adalah Hek-mo-ong." Orang berbaju hijau itu kelihatan seperti tertegun, lalu katanya, "Darimana kau bisa mengatakan aku adalah Hekmo-ong?" Thay-kun tersenyum. "Apabila Tio Tian-seng dan Liu Khi adalah Hek-mo-ong, maka Tan Sam-cing pun merupakan Hek-mo-ong pula." Sekali lagi orang berbaju hijau terkejut, katanya, "Bagaimana kau bisa tahu aku adalah Tan Sam-cing?" "Setelah mendengar penuturan Jian-ciat-suseng waktu berada di tanah pekuburan, aku segera mengetahui bahwa kau adalah Tan Sam-cing." "Sungguh hebat kau si budak ingusan, apakah kau berharap aku turun tangan mencegah kedua orang yang sedang bertarung itu?"
Pendekar Cacat 1579
"Aku tahu, selama ini dalam hatimu selalu beranggapan bahwa Tio Tian-seng dan Liu Khi adalah Hek-mo-ong, oleh sebab itu kau lebih suka membiarkan kedua orang itu saling gontok dan bunuh daripada mencegah pertarungan mereka." "Tapi aku pun perlu memberitahu kepadamu, kalau Tan Sam-cing bukan Hek-mo-ong, maka Tio Tian-seng serta Liu Khi pun bukan Hek-mo-ong." "Oleh sebab itulah aku ingin kau beritahukan kepadaku, siapakah Hek-mo-ong sesungguhnya?" "Saat ini aku belum dapat memberitahukan kepadamu." "Mengapa?" "Sebab Hek-mo-ong asli berada di sekitar sini. Bila kuucapkan, niscaya tak seorang pun di antara kita yang akan berhasil lolos dari ancaman mautnya." Bong Thian-gak yang mendengarkan dari samping menjadi bingung dan tak habis mengerti, dia tidak tahu permainan apakah yang dilakukan Thay-kun saat ini. Sesudah tertawa dingin, orang berbaju hijau itu berkata, "Budak setan, kau tak usah ngaco-belo tak keruan, aku tak percaya dengan permainan semacam itu."
Pendekar Cacat 1580
Thay-kun menghela napas panjang, "Bong-suheng, berusahalah kau menghentikan pertarungan kedua orang itu." Orang berbaju hijau itu tertawa dingin. "Sekarang Tio Tian-seng dan Liu Khi masing-masing sudah mengerahkan segenap kekuatan, sekalipun ilmu silat yang dimiliki Jian-ciat-suseng lebih hebat, belum tentu mampu menghentikan pertarungan mereka." Thay-kun tersenyum, "Asal Jian-ciat-suseng mengeluarkan ilmu auman singanya dengan menuduh kau sebagai Hekmo-ong, maka kedua orang itu pasti akan segera menghentikan pertarungan." Tiba-tiba orang berbaju hijau itu membentak, "Jian-ciatsuseng, bila kau berani, maka pedang pendekku ini segera akan menembus dadanya. Mau percaya atau tidak itu terserah." Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Sekalipun Tio Tian-seng dan Liu Khi bertarung sampai mampus, hal itu sama sekali tak ada kaitannya denganku, tapi terhadap Thay-kun, aku tak akan membiarkan siapa pun melukai seujung rambutnya." "Kalau memang begitu, kau jangan bertindak sembarangan. Tonton saja pertarungan itu dengan tenang di sisi arena," perintah orang berbaju hijau itu dingin.
Pendekar Cacat 1581
"Bila kau berbuat demikian, akhirnya pasti akan menyesal," kata Thay-kun lagi. Dalam pada itu pertarungan yang berlangsung telah mencapai tingkat yang kritis dan tegang. Mendadak terdengar dua kali pekikan panjang yang keras dan melengking. Baik Tio Tian-seng maupun Liu Khi telah menggunakan senjata tajamnya untuk melakukan terkaman di tengah udara. Di tengah suara benturan nyaring, golok dan pedang itu sudah saling bentur. Tapi dalam bentrokan kali ini, karena kedua orang itu samasama mempergunakan segenap kekuatan, pergelangan tangan mereka menjadi kaku dan linu, tak mampu menahan getaran tenaga dalam lawan, senjata mereka segera terlepas dari genggaman dan mencelat ke tengah udara. Golok dan pedang itu bagaikan dua gulung cahaya perak meluncur ke tengah udara, dari kejauhan orang akan melihat senjata itu saling kejar di udara seperti dewa yang melepaskan pedang terbang saja. Sementara pedang di tangan kanan Tio Tian-seng terlepas dari genggaman, dia segera membentak dan telapak tangan kirinya melepaskan bacokan secepat kilat.
Pendekar Cacat 1582
Serangan itu dilancarkan cukup keji. Padahal Liu Khi hanya mempunyai sebuah lengan saja, ketika goloknya terlepas dari cengkeraman tangan kirinya, tak mungkin lagi baginya untuk segera merubah gerakan dengan melepaskan pukulan, bagaimana pun juga ia tetap terlambat selangkah. Dengusan tertahan segera bergema, dada kanan Liu Khi terkena pukulan hingga tubuhnya mencelat ke belakang. Tapi pada saat inilah Liu Khi segera memperlihatkan kepandaian silat yang maha sakti. Di saat tubuhnya mencelat terkena pukulan, kakinya segera menghentak ke udara dan melepaskan juga tendangan kilat yang persis menghantam belakang pinggang sebelah kanan Tio Tianseng. Kedua orang itu mencelat ke udara, kemudian terbanting keras di atas tanah. Sudah cukup lama mereka berdua tertahan di tengah udara, hawa murni yang mereka himpun pun sudah membuyar. Oleh karena itu bantingan itu cukup berat dan keras, pasir dan debu beterbangan memenuhi angkasa. Bagaimana pun juga kedua orang ini merupakan jago kelas satu yang memiliki ilmu silat sangat hebat, daya tahan yang mereka miliki pun mengagumkan.
Pendekar Cacat 1583
Walaupun isi perut mereka sudah menderita luka yang cukup parah, namun mereka masih mampu menghimpun sisa tenaga dalam untuk merebut posisi yang lebih menguntungkan serta mempersiapkan serangan terakhir. Dua pekikan nyaring berkumandang di tengah udara. Masing-masing pihak segera melompat bangun dari atas tanah dan menyambar senjata mereka yang terlepas, lalu serentak melepaskan bacokan kilat ke depan. Dalam bentrokan kali ini, bergemalah suara dan dentingan yang amat lembut. Sekali lagi tampak bayangan orang berpisah, lalu kedua belah pihak sama-sama terjungkal ke atas tanah dan tidak mampu berdiri kembali. Liu Khi segera memuntahkan darah segar dan senjatanya terlepas dari pegangan. Sebaliknya Tio Tian-seng meski masih tetap menggenggam pedang iblis yang bercahaya hijau di tangan kanannya, namun sepasang kakinya tidak mau menuruti perintahnya lagi, pelan-pelan ia terduduk di atas tanah. Dalam pertarungan kali ini, kedua belah pihak sama-sama bertarung dengan mengerahkan segenap tenaga dalam, sekarang sudah tak sanggup lagi melepaskan sejurus atau setengah gerakan lagi.
Pendekar Cacat 1584
Jangankan bertarung, tenaga untuk bicara pun sudah tak ada, napas mereka sekarang tersengal-sengal seperti kerbau, peluh pun jatuh bercucuran. Sinar mata mereka sudah makin memudar, namun masih tetap mengawasi gerak-gerik lawan dengan pandangan mata penuh curiga. Seakan-akan mereka sedang berkata, "Aku tak percaya kau masih memiliki tenaga untuk bangkit lebih dulu dan melancarkan serangan kembali." Pada saat inilah tampak bayangan orang berkelebat ke tengah-tengah antara Tio Tian-seng dan Liu Khi, kemudian bagaikan sukma gentayangan saja seorang berbaju hijau berwajah dingin telah berdiri di sana. Ketika melihat kehadiran orang itu dengan pedang terhunus, Liu Khi dan Tio Tian-seng baru mendusin dari impian mereka, sadarlah mereka akan kerawanan dan keseriusan situasi yang mereka hadapi. Dalam pada itu Bong Thian-gak telah melolos pedang pula, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Pikirnya, "Bila orang berbaju hijau ini berani melakukan tindakan melukai Liu Khi dan Tio Tian-seng, maka Pek-hiatkiam ini segera akan melancarkan serangan kilat dari belakang punggungnya."
Pendekar Cacat 1585
Tampaknya orang berbaju hijau itupun sudah merasa pula gerakan Bong Thian-gak yang telah mempersiapkan diri melancarkan serangan. Pelan-pelan ia membalikkan badan dan menengok sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya dingin, "Kau akan melancarkan serangan dengan pedangmu itu?" "Bila pedangmu itu kau tusukkan ke tubuh mereka, maka pedang ini pun akan menusuk punggungmu pada saat bersamaan." "Tampaknya kau memang senang mencampuri urusan orang lain," jengek orang berbaju hijau itu dengan tertawa dingin. "Mengambil tindakan di saat orang sedang lemah bukan tindakan seorang lelaki sejati." Orang itu tertawa dingin lagi, "Seandainya aku ingin menghabisi nyawa mereka, mungkin sekarang juga mereka sudah tergeletak menjadi mayat." "Kalau kau tidak berniat membinasakan mereka, harap segera berdiri di sisi arena," perintah Bong Thian-gak. "Jian-ciat-suseng, tahukah kau siapa aku?" tegur orang berbaju hijau itu dingin.
Pendekar Cacat 1586
"Kau menyebut dirimu sebagai Tan Sam-cing, padahal sewaktu aku berada bersamanya, dia tak lebih hanya seorang Tosu." Sementara itu paras Tio Tian-seng telah berubah hebat, ia segera menegur, "Kau benar-benar Tan Sam-cing?" "Tio Tian-seng," kata orang itu, "perlukah kulepas topeng kulit manusia yang kukenakan ini agar kau dapat melihat wajah asliku?" ***
Pendekar Cacat 1587
20 SATU DIANTARA 10 TOKOH ADALAH HEK-MO-ONG
K
ulit muka Tio Tian-seng mengejang keras, sahutnya sambil tertawa getir, "Sekarang aku sudah tak bertenaga lagi, aku tak mampu menerima sebuah seranganmu." "Tio Tian-seng, aku ingin bertanya kepadamu, haruskah aku turun tangan hari ini?" orang berbaju hijau bertanya dengan nada keras. Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, kalau kau ingin turun tangan, lakukanlah segera!" Orang berbaju hijau itu berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya, "Tapi dia pasti akan menghalangiku untuk turun tangan." Tiba-tiba Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian katanya, "Bong-laute, persoalan ini sebetulnya merupakan
Pendekar Cacat 1588
penyelesaian antara diriku dengannya sebagai masalah pribadi, aku harap Bong-laute tak usah mencampurinya." Bong Thian-gak maupun Thay-kun merasa sangat keheranan mendengar pembicaraan kedua orang itu, "Mengapa Tio Tian-seng rela menyerahkan jiwanya setelah bertemu orang berbaju hijau? Sebenarnya perselisihan apakah yang terjalin antara mereka berdua?" Tiba-tiba Thay-kun berkata sambil tertawa merdu, "Kuanjurkan kepada saudara, lebih baik jangan membunuh Tio Tian-seng." "Kenapa?" "Bila dia mati, maka kalian akan semakin sulit menghadapi Hek-mo-ong!" "Kemungkinan besar Tio Tian-seng adalah Hek-mo-ong." "Bila demikian pendapatmu, dugaanmu itu keliru besar. Tio Tian-seng bukanlah Hek-mo-ong, Liu Khi serta kau pun bukan pula." "Asalkan kau dapat menebak siapa Hek-mo-ong, maka aku tak akan melukai mereka." "Hek-mo-ong adalah Tan Sam-cing gadungan yaitu Samcing Totiang dari kuil Sam-cing-koan."
Pendekar Cacat 1589
Mendengar perkataan itu, baik Bong Thian-gak maupun para jago lainnya serentak berseru dalam hati, "Diakah Hek-mo-ong?" Orang berbaju hijau itu kelihatan ragu-ragu, dia segera bertanya, "Darimana kau bisa tahu dia adalah Hek-moong?" Thay-kun segera tersenyum. "Kalau kau adalah Tan Sam-cing yang asli, maka apa sebabnya pula kau mencatut namamu? Dalam hal ini kita sudah dapat menduga di balik semua ini pasti terselip suatu rencana keji." Mendadak orang berbaju hijau itu seperti teringat sesuatu, dia segera menjerit kaget, "Jangan-jangan dia?" Menyusul dia menggeleng, kembali katanya, "Hal ini tak mungkin terjadi, sudah pasti bukan dia." "Kadangkala sesuatu persoalan yang tak mungkin, seringkah Justru dapat berubah menjadi kenyataan," kata Thay-kun dengan suara merdu. Orang berbaju hijau tertegun, tanyanya, "Tahukah kau siapa yang kumaksud sebagai si dia itu?" "Tentu saja tahu, kecuali kau telah salah menduga."
Pendekar Cacat 1590
Mendadak orang berbaju hijau berjalan ke hadapan Thaykun, ujarnya lirih, "Menurut pendapatmu, siapakah Hekmo-ong yang sebenarnya?" "Aku kuatir jika nama itu kuucapkan, aku segera akan dibunuh orang." "Tapi jika kau enggan bicara, Hek-mo-ong yakin kau sudah tahu rahasianya, maka dia pun dapat membunuhmu untuk menghilangkan Jejak." Thay-kun menghela napas panjang. "Benar, dia dapat membunuhku untuk menghilangkan jejak. Posisiku sekarang bicara mati tidak bicara pun mati. Ai, itulah sebabnya aku telah mengambil keputusan untuk mengutarakan soal ini kepada kalian." Baru saja dia berkata, mendadak dari tengah udara berkumandang suara pembicaraan seseorang dengan suara rendah dan berat, "Thay-kun, apabila kau masih menginginkan nyawamu, lebih baik jangan kau sebutkan." Mendengar seruan yang muncul secara tiba-tiba, serentak sorot mata semua orang dialihkan ke empat penjuru untuk melakukan pemeriksaan. "Hek-mo-ong, inilah suara Hek-mo-ong, dia benar-benar bagaikan setan gentayangan hanya terdengar suaranya tak nampak bayangannya."
Pendekar Cacat 1591
Bong Thian-gak berkata, "Selama ini Hek-mo-ong selalu berbicara dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara Jian-li-hwe-ing (suara gema seribu li) yang dipancarkan dari kejauhan, sehingga membuat orang lain sulit menentukan dari arah manakah suara itu." Sudah barang tentu semua jago yang hadir mengetahui bahwa di dunia persilatan terdapat ilmu Jian-li-hwe-ing itu. Mendadak Liu Khi berkata, "Menurut yang kuketahui, orang yang pandai mempergunakan ilmu Jian-li-hwe-ing adalah Kui-kok Sianseng dari Mi-tiong-bun. Jangan-jangan perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Mi-tiong-bun?" Tiba-tiba Thay-kun tertawa cekikikan dan berseru, "Hekmo-ong, aku tahu kau tak bakal mencelakai diriku, sekarang aku ingin mengajak kau melakukan tawar-menawar. Aku harap kau suka menyerahkan obat penawar racun agar ditelan oleh Tio Tian-seng serta Bong Thian-gak." Mendengar perkataan itu, Tio Tian-seng dan Bong Thiangak amat terkesiap. Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berseru, "Sumoay, benarkah aku sudah terkena racun dari Hek-mo-ong?" "Benar," jawab Thay-kun dengan wajah serius. "Kau dan Tio-pangcu sudah menelan pil beracun berdaya kerja lambat dari Hek-mo-ong."
Pendekar Cacat 1592
Paras muka Bong Thian-gak segera berubah hebat, katanya, "Sejak kapan Hek-mo-ong memberi pil beracun kepada kami?" "Bukankah kau dan Tio-pangcu pernah menelan pil pemberian Biau-kosiu?" "Ah!" Bong Thian-gak berseru tertahan. "Kalau begitu Biaukosiu..” "Biau-kosiu adalah salah seorang pembantu utama Hekmo-ong," sambung Thay-kun pelan-pelan. Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi tertegun. Sementara itu dari tengah udara terdengar kembali suara Hek-mo-ong, "Budak ingusan, kau benar-benar sangat lihai. Sebenarnya aku masih tidak percaya kau dapat mengetahui asal-usulku sejelasnya." "Sekarang tentunya sudah percaya bukan?" seru Thay-kun. "Aku masih tetap tidak percaya," suara Hek-mo-ong masih terdengar dingin dan menyeramkan. "Mau percaya atau tidak, bagiku bukan persoalan penting. Kau harus menyerahkan obat penawar racun itu sebagai imbalan aku pun tak akan mengungkap asal-usulmu yang sebenarnya kepada orang lain. Di samping itu, aku dan
Pendekar Cacat 1593
Bong Thian-gak pun bersedia memenuhi permintaanmu untuk segera mengundurkan diri dari dunia persilatan." Baru saja Thay-kun menyelesaikan perkataannya, pedang pendek orang berbaju hijau itu sudah ditempelkan di atas dadanya. Thay-kun sama sekali tak menyangka orang berbaju hijau bakal berbuat demikian, ia menjadi tertegun dan segera bertanya, "Mau apa kau?" "Aku akan memaksamu mengutarakan asal-usul Hek-moong," kala orang berbaju hijau sambil tertawa dingin tiada hentinya. Tiba-tiba Bong Thian-gak beranjak dari tempatnya dan pelan-pelan mendekati orang itu. Mendadak terdengar orang baju hijau itu membentak, "Bila kau berani maju selangkah lagi, aku segera akan menusuknya." Terpaksa Bong Thian-gak menghentikan langkah, katanya sambil tertawa dingin, "Kau benar-benar manusia rendah berjiwa pengecut dan terkutuk." "Seringkali memanfaatkan kesempatan di saat lawan sedang lemah merupakan tindakan yang paling tepat," kata orang berbaju hijau dingin.
Pendekar Cacat 1594
"Tan-locianpwe," kata Thay-kun sambil tertawa, "tindakan yang kau ambil sekarang hanya akan mendatangkan keburukan dan tiada keuntungan bagimu." Orang berbaju hijau tertawa dingin, "Bila kubunuh dirimu, maka Tio Tian-seng dan Jian-ciat-suseng bakal mati juga. Apakah hal semacam ini tidak akan menguntungkan bagiku?" "Tan-locianpwe, tahukah kau mengapa Hek-mo-ong tak berani menampilkan diri? Dia takut kita bekerja sama menghadapinya." "Tapi jika kau membunuhku sekarang, maka kau pun jangan harap bisa lolos dari hutan bambu Ban-jian-bong ini dalam keadaan selamat." "Masih ada satu hal lagi aku beritahukan kepadamu, tusukan pedangmu itu belum tentu bisa membunuhku. Sekalipun kau bisa membunuhku, di saat kau belum mencabut pedangmu dari tubuhku, kau sendiri pun akan mati terbunuh di ujung pedang Suhengku." Sesudah mendengar itu, orang berbaju hijau nampak agak ragu¬ragu, tiba-tiba ia menarik pedangnya dan berkata dingin, "Aku tidak percaya Hek-mo-ong akan menerima syarat yang kau ajukan itu." Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menggeser tubuh secepat kilat ke sisi Thay-kun dan berdiri penuh siap siaga dengan senjata terhunus, tiba-tiba Thay-kun berkata lagi
Pendekar Cacat 1595
dengan merendahkan suara, "Betul, belum tentu Hek-moong akan menerima syarat yang kuajukan." "Tapi aku pun akan memberitahukan satu hal kepada kalian, Hek-mo-ong cukup mengerti bahwa di antara kalian bertiga sebenarnya terjalin hubungan permusuhan dan dendam kesumat yang tak bisa diselesaikan dengan sepatah dua patah kata. Oleh sebab itu dia selalu menggunakan tipu-muslihat dan tipu-daya untuk mengadudomba kalian agar saling gontok dan bunuh." "Apabila kalian bertiga benar-benar saling gontok, maka secara sadar kalian terkena rencana keji Hek-mo-ong." "Lantas mengapa Hek-mo-ong menggunakan siasat mengadu domba dan sebaliknya tidak berusaha melenyapkan kalian secara terang-terangan, hal ini disebabkan karena Hek-mo-ong tahu kalian memiliki kepandaian silat hebat, ia pun sadar bahwa ilmu pukulan tengkorak mautnya belum tentu akan membinasakan kalian dalam satu gebrakan." "Oleh sebab itu ia berusaha memancing kalian berjumpa di Ban jian-bong agar kalian bertiga saling bertarung, sedang dia bersembunyi di samping menonton, mengamati jurusjurus serangan yang kalian miliki serta berusaha mencari pemecahannya." Tio Tian-seng, Liu Khi dan Tan Sam-cing yang mendengar perkataan itu diam-diam berpikir, "Benar juga, mengapa
Pendekar Cacat 1596
Hek-mo-ong tidak mau menyerang kami secara terangterangan?" Sesudah berhenti sejenak Thay-kun kembali melanjutkan ka katanya, "Di samping itu masih ada alasan lain, bisa jadi Hek-mo-ong adalah seorang gila ilmu silat, di saat dia belum berhasil mempelajari ilmu silat yang dimiliki seseorang, maka dia tak akan membinasakan korbannya." "Oleh sebab itu bilamana kalian bertiga berusaha menghindar dari serangan Hek-mo-ong yang mematikan, paling baik jika kalian kurang kesempatan memperlihatkan jurus serangan yang kalian andalkan." "Tapi siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya?" tiba-tiba Liu Khi bertanya. Thay-kun menengok sekejap ke arahnya, lalu bertanya, "Siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya? Cepat atau lambat kalian pasti akan mengetahui dengan sendirinya. Bila kuutarakan kepada kalian sekarang, maka aku yakin tak seorang pun di antara kalian yang mau percaya dengan perkataanku. Ini merupakan suatu kenyataan, itulah sebabnya untuk sementara waktu aku belum ingin mengungkapkan." Atas perkataan Thay-kun itu, Liu Khi, Tio Tian-seng dan Tan Sam-ring bertiga merasa sangsi.
Pendekar Cacat 1597
Sambil tertawa dingin Tan Sam-cing berkata, "Pembahasanmu barusan sungguh membuat orang merasa tidak percaya." "Bila kalian tak mau percaya, aku sendiri pun tak dapat berbuat apa-apa," kata Thay-kun sambil menghela napas. "Namun kuanjurkan kepada kalian agar secepatnya meninggalkan tempat ini, sebab tetap bercokol di tempat ini merupakan tindakan yang berbahaya." Sampai di sini gadis itu segera berpaling ke arah Bong Thian-gak sambil berkata, "Bong-suheng, mari kita pergi saja!" Baru saja Thay-kun membalikkan badan, dilihatnya selembar kain putih diikat pada sebuah dahan bambu di hadapannya. Baru saja kain putih itu digantungkan, kebetulan pula Thaykun menyaksikan sesosok bayangan hijau sedang berkelebat dan lenyap di balik pepohonan sebelah depan sana. Dalam pada itu Tio Tian-seng, Liu Khi dan Bong Thian-gak pun sudah melihat kain putih itu. Orang berbaju hijau mendengus dingin, secepat kilat menerjang ke depan menembus hutan bambu dan mengejar ke arah bayangan hijau ladi melenyapkan diri.
Pendekar Cacat 1598
Thay-kun terkejut sekali, segera teriaknya, "Tan-locianpwe, jangan dikejar” Tan Sam-cing yang termasyhur karena Ginkangnya sudah lenyap dari pandangan mata. Dengan cemas Thay-kun segera berseru, "Tio-pangcu, Liutayhiap, apakah tenaga dalam yang kalian miliki telah pulih? Mari cepat tengok ke depan sana." Ternyata pada saat itu Tio Tian-seng dan Liu Khi telah bangkit semua. Terdengar suara jeritan ngeri yang menyayat hati dari seorang wanita berkumandang datang dari kejauhan. Menyusul terdengar pula Tan Sam-cing berteriak penuh amarah, "Hek-mo-ong...." Hanya suara bentakan itu saja yang terdengar, untuk kemudian suasana di sekeliling tempat itu kembali hening. Bong Thian-gak, Thay-kun, Tio Tian-seng dan Liu Khi secepat kilat menyusul pula ke depan. Mendadak mereka lihat di bawah hutan bambu, di depan sebuah peti mati bobrok, duduk seorang perempuan berambut panjang berbaju hijau, dadanya ditembus sebilah pedang pendek sampai ke punggung, darah segar masih bercucuran dengan derasnya membasahi pakaian serta dedaunan kering yang berserakan di atas tanah.
Pendekar Cacat 1599
Pedang pendek itu tepat menembus jantungnya, perempuan itu sudah mampus, namun matanya melotot besar, mengawasi seorang yang berada di hadapannya. Orang yang berada di mukanya itu tentu saja pembunuh yang telah menghabisi nyawanya... Tan Sam-cing. Namun Tan Sam-cing sendiri memejamkan mata, noda darah masih membasahi ujung bibirnya, dia sedang duduk bersila di atas tanah tanpa bergerak. Perubahan yang berlangsung secara tiba-tiba ini membuat para jago terperanjat. Bong Thian-gak yang pertama-tama menerjang ke hadapan Tan Sam-cing sambil menegur, "Tan-locianpwe... Tanlocianpwe Pelan-pelan Tan Sam-cing membuka mata dan memandang pemuda itu sekejap, kemudian dipejamkan kembali tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berkata dengan suara dalam,' "Bong-laute, jangan kau usik dirinya. Dia sedang bersemedi mengobati luka yang dideritanya." Sementara itu Liu Khi sedang memandang kain putih yang tergantung di batang bambu, ternyata di atas kain itu tertera beberapa huruf besar warna merah darah.
Pendekar Cacat 1600
Tulisan disertai pula lambang tengkorak besar: "Undangan kematian tengkorak. "Mengundang dengan sangat kematian Liu Khi pada bulan delapan tanggal tujuh tengah malam tepat". Liu Khi yang menyaksikan tulisan itu segera mendengus dingin dan siap melompat ke atas untuk menyambarnya. Tapi Thay-kun segera berseru keras, "Liu-tayhiap jangan bertindak sembarangan daripada terjebak perangkap keji pihak lawan." Permainan setan Hek-mo-ong memang sudah menggetarkan hati siapa saja, kendatipun Liu Khi merasa gusar, namun setelah melihat Tan Sam-cing menderita luka parah, sedikit banyak hatinya dibuat keder juga. Sementara itu Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak pun sudah menyaksikan pula tulisan yang tertera di atas kain putih itu. Sambil menghela napas panjang, Thay-kun berkata, "Akhirnya Hek-mo-ong mengirim juga kartu kematian untuk Liu-tayhiap." Sambil tertawa dingin Liu Khi berkata, "Bulan delapan tanggal tujuh, akan kubuktikan dengan cara bagaimana dia hendak menghabisi nyawaku." "Setiap kali Hek-mo-ong mengirim kartu kematian, dia sudah berhasil menelusuri semua ilmu silat orang itu dan
Pendekar Cacat 1601
mempunyai keyakinan untuk dapat merenggut nyawa musuhnya," kata Thay-kun sambil menghela napas panjang. "Ai, seandainya Liu-tayhiap tidak melangsungkan pertarungan sengit melawan Tio-pangcu hari ini, aku rasa belum tentu Hek-mo-ong akan memberikan kartu kematian kepadamu." Tio Tian-seng menghela napas panjang, ucapnya, "Agaknya nona sudah mempunyai keterangan yang jelas tentang segala sesuatu yang menyangkut Hek-mo-ong?" "Asal-usul Hek-mo-ong pun baru hari ini berhasil kuraba sedikit demi sedikit." Mendadak Bong Thian-gak berkata sambil tertawa, "Hekmo-ong telah mengirim kartu kematian kepadaku serta Tiopangcu dan Liu-layhiap. Seandainya mulai sekarang kita bertiga selalu berkumpul, tiga hari mendatang akan kulihat dengan cara apakah Hek-mo-ong akan membunuh kita." "Bong-suheng dan Tio-pangcu sudah terkena obat beracun dari Hek-mo-ong!" kata Thay-kun sambil menghela napas. "Asal waktunya sudah sampai, maka racun itu akan mulai bekerja menggerogoti tubuh kalian. Dalam hal ini Hek-moong tak perlu menampakkan diri untuk mencelakai kalian!" Selesai mendengar penjelasan Thay-kun, paras muka Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng segera berubah hebat, mereka membungkam.
Pendekar Cacat 1602
Dari perubahan wajah kedua orang itu, Thay-kun mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan, sambil tersenyum manis ujarnya, "Kalian tak usah kuatir, aku tak akan membiarkan kalian tewas dalam keadaan mengerikan." "Apakah nona telah menemukan cara untuk membebaskan kami dari pengaruh racun itu?" tanya Tio Tian-seng cepat. "Asalkan kalian berdua tak menelan pil mustika yang dihadiahkan Hek-mo-ong kepada kalian, aku yakin daya kerja racun yang mengeram dalam tubuh kalian tak akan merenggut nyawa." "Apakah pil itu pun merupakan obat racun?" tanya Bong Thian-gak segera. "Bukan obat racun, tapi pil itu justru dapat membangkitkan daya kerja racun yang telah kalian telan sebelumnya dan membaurnya kedua pil itu akan menyebabkan kematian yang mengenaskan." "Thay-kun, darimana kau bisa mengetahui sedemikian jelasnya?" "Orang yang paling pandai, paling sempurna dalam pembuatan obat di dunia saat ini adalah tabib sakti Gi Jiancau, padahal ilmu menggunakan racun yang dipakai Hekmo-ong untuk mencelakai orang dipelajarinya dari Gi Jiancau, sedangkan aku sendiri pun pernah mempelajari cara
Pendekar Cacat 1603
yang sama dari Gi Jian-cau pribadi, sudah barang tentu aku mengetahui jelas teknik yang dipakai Hek-mo-ong." "Nona, aku merasa kurang mengerti," kata Tio Tian-seng dengan kening berkerut. "Pil mustika yang diberikan Hekmo-ong kepadamu, kau katakan sebagai obat yang akan memancing bekerjanya racun keji yang sudah mengeram dalam tubuhku, tapi darimana pula Hek-mo-ong bisa tahu kami bakal menelan pil yang dia berikan kepada kami?" "Di sinilah letak kunci semua peristiwa itu, tatkala Hek-moong memberikan pil yang kedua itu kepada kalian, dia tentu berkata kepada kalian bahwa obat itu adalah pemunah racun, sudah barang tentu kalian tak bakal mempercayai perkataannya begitu saja serta tak akan kalian telan pil itu." "Akan tetapi bila batas waktu kerjanya racun di dalam tubuh kalian sudah tiba dan kalian merasakan penderitaan serta siksaan yang luar biasa di dalam tubuh kalian, pada waktu itu kalian tentu akan salah mengira bahwa racun itu benar-benar sudah bekerja dan kalian pun pasti akan teringat pada obat penawar racun palsu, yang sesungguhnya akan menjadi alat membunuh sebenarnya bagi keselamatan kalian berdua." "Akibatnya kalian benar-benar akan terkecoh dan mendapat serangan racun yang jauh lebih keji sehingga akibatnya tewas dalam keadaan mengerikan." Tio Tian-seng segera menjadi paham, katanya sambil menghela napas panjang, "Benar-benar teknik meracuni
Pendekar Cacat 1604
yang hebat. Seandainya nona tidak memberi penjelasan, siapa pun pasti tak akan berhasil lolos dari serangan semacam itu." Thay-kun segera menghela napas panjang. "Seandainya aku tidak berhasil mengetahui asal-usul Hekmo-ong hari ini, aku pun tak teringat cara meracuni orang yang biasa digunakan Gi Jian-cau." "Apakah Hek-mo-ong adalah Gi Jian-cau?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan perasaan tergerak. Thay-kun memandang sekejap ke arahnya, lalu menggeleng, katanya, "Bukan, Gi Jian-cau bukanlah Hekmo-ong. Bila waktunya tiba, tentu akan kuberitahukan rahasia ini kepada kalian." Setelah mendengarkan penjelasan Thay-kun, Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak pun secara lamat-lamat merasa keselamatan jiwanya tidak begitu terancam lagi, tanpa terasa semangatnya segera berkobar. Hanya Liu Khi seorang yang masih tetap mengerut dahi dengan perasaan berat. Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Liu Khi, kemudian ujarnya, "Aku tak tahu dengan cara apa Hekmo-ong hendak mecelakai Liu-tayhiap, sehingga sulit juga bagiku memikirkan sesuatu cara untuk mengunggulinya, aku rasa jalan yang terbaik adalah Liu-tayhiap jangan
Pendekar Cacat 1605
meninggalkan kami untuk sementara waktu. Aku pikir asal kita mau bekerja sama meningkatkan kewaspadaan masing-masing, biarpun Hek-mo-ong lebih licik tak nanti bisa berbuat banyak."
Sementara itu para jago merasa kagum atas kecerdikan dan ketelitian Thay-kun dalam menghadapi persoalan serius, kendati Tio Tian-seng dan Liu Khi merupakan orang-orang angkuh dan berjiwa tinggi, namun terhadap tindakan yang diambil Thay-kun sekarang ternyata menurut dan sama sekali tidak membantah. Pada saat itulah mendadak Tan Sam-cing memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali. Tapi sesudah itu Tan Sam-cing sudah dapat bicara lagi, katanya, "Oh, sungguh berbahaya. Hampir saja nyawaku hilang percuma!" Dengan cepat Thay-kun segera memburu ke depan, lalu tanyanya dengan merdu, "Apakah Tan-locianpwe sudah bertempur dengan Hek-mo-ong?" Tiba-tiba Tan Sam-cing melepas topeng kulit manusia yang dikenakan olehnya dan membesut noda darah dari ujung bibirnya, kemudian sahutnya pelan, "Ya, kami sudah saling bertarung."
Pendekar Cacat 1606
"Dapatkah Tan-locianpwe menjelaskan situasi pertarungan yang telah kau alami tadi?"
Tan Sam-cing termenung beberapa saat, kemudian sahutnya, "Hek-mo-ong benar-benar manusia licik dan berhati busuk. Ai, tatkala aku sedang mengejar nona berbaju hijau tadi, mendadak dari balik peti mati berkelebat seseorang secepat kilat, lalu bergema suara jeritan ngeri yang memilukan, ternyata dada si nona berbaju hijau itu sudah ditusuk -pedang oleh orang itu hingga tembus ke punggung." "Tindakan yang sama sekali di luar dugaan ini kontan membuat perhatianku bercabang, pada saat inilah dengan gerakan cepat orang itu melepaskan pukulan ke hulu hatiku, sedemikian cepat gerakan ini membuat aku teringat akan Hek-mo-ong. Aku pun segera membentak gusar dan mempergunakan jurus seranganku yang paling tangguh untuk melancarkan serangan balasan menimpukkan pedang pendek itu ke depan." "Aku tidak tahu apakah seranganku itu berhasil menghajar musuh, sebab dada kiriku terasa sakit sekali, hampir membuatku jatuh pingsan, sementara darah segar muncrat dari mulutku." "Tatkala aku berusaha memusatkan perhatian untuk melihat jelas raut wajahnya, bayangan iblis itu sudah hilang
Pendekar Cacat 1607
lenyap tak berbekas, malahan pedang pendekku turut hilang."
Ketika selesai mendengarkan penuturan itu, pelan-pelan Thay-kun berkata, "Nona berbaju hijau itu sudah ketahuan jejaknya sehingga mustahil baginya untuk menghilangkan jejak. Itulah sebabnya Hek-mo-ong segera bertindak membunuh dirinya, tapi tindakan Hek-mo-ong pun di luar dugaan sehingga tidak heran perhatian Tan-locianpwe menjadi bercabang, akibatnya jurus pedang Tan-locianpwe yang paling lihai pun tak sanggup membendung pukulan tengkorak Hek-mo-ong." "Tapi dengan serangannya itu sudah berhasil menggagalkan jurus pedang Tio-locianpwe yang terhebat, maka aku duga dalam serangan ilmu tengkorak yang dilancarkan Hek-moong untuk kedua kalinya, kemungkinan besar Tanlocianpwe tidak akan mampu melawan lagi."
Beberapa patah kata Thay-kun segera mendatangkan perasaan tak puas bagi Tan Sam-cing, dia tertawa dingin sambil katanya, "Serangan pedangku cepat dan dahsyat. Aku tidak percaya Hek-mo-ong dapat memahami kelihaian jurus pedang itu dalam sekilas pandang saja. Hm, bukankah Hek-mo-ong sendiri pun sudah terkena serangan pedangku?"
Pendekar Cacat 1608
"Betul, Hek-mo-ong pun terkena tusukan Tan-locianpwe, bahkan tertusuk sangat dalam sehingga pedangmu tidak terjatuh ke tanah melainkan dibawa lari Hek-mo-ong, namun bagian tubuh yang terkena tusukan itu sudah pasti bukan bagian yang mematikan, karena serangan itu tidak berhasil merobohkan Hek-mo-ong, kendati demikian aku percaya kesombongan dan kejumawaan Hek-mo-ong pasti akan berkurang setelah mengalami peristiwa ini."
Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing yang mendengar perkataan itu merasa gembira, segera katanya, "Pembahasan nona benar-benar sangat teliti dan jitu. Sungguh membuat hati orang menjadi sangat kagum." Thay-kun berpaling sekejap ke arahnya, kemudian katanya sambil tersenyum, "Tapi mengenai perkataan Tanlocianpwe yang mengatakan bahwa bentrokan itu berlangsung sangat cepat dan belum tentu Hek-mo-ong dapat memahami rahasia seranganmu, aku rasa Locianpwe tidak boleh bertindak kelewat gegabah." "Perlu kau ketahui, Hek-mo-ong mempunyai ketajaman mata luar biasa, dia pun mempunyai daya kemampuan melebihi siapa pun, itulah sebabnya dia dapat mempelajari segenap ilmu silat dari berbagai partai dan perguruan." Tan Sam-cing tertawa terbahak-bahak, "Di kolong langit ini, rasanya hanya seorang saja yang memiliki kemampuan
Pendekar Cacat 1609
seperti apa yang kau lukiskan barusan, orang itu adalah Thio Kim-ciok." Mendadak Tan Sam-cing seperti teringat persoalan yang amat mengerikan, dengan wajah berubah hebat dia segera menghentikan perkataannya, matanya terbelalak lebar dan mulutnya agak melongo.
Tampaknya semua jago yang hadir di arena pun seakanakan teringat persoalan yang maha besar, serentak mereka berseru kaget dan mengalihkan sinar matanya ke wajah Thay-kun. "Apakah kalian teringat akan dia?" tanya Thay-kun kembali sambil tersenyum. "Mungkinkan Hek-mo-ong adalah dia?" tanya Liu Khi agak emosi. "Betul, dia adalah Thio Kim-ciok." Ucapan itu benar-benar membuat hati setiap orang bergetar keras.
Dengan suara dalam Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng berseru, "Thio Kim-ciok sudah mati tiga puluh tahun lalu,
Pendekar Cacat 1610
bagaimana mungkin bisa bangkit dari liang kubur? Apakah nona sedang bergurau?" "Sekarang aku ingin bertanya dengan Locianpwe, pernahkah kau mewariskan ilmu pedang terbangmu kepada seseorang? Kalau pernah, siapakah orang itu?" "Hanya Thio Kim-ciok yang pernah mendapat warisan ilmu pedang itu," jawab Tan Sam-cing. "Sewaktu kau berjumpa Sam-cing Totiang dari kuil Samcing-koan yang menyaru sebagai dirimu di tanah pekuburan luar kota tempo hari, bukankah dia telah menggunakan pula ilmu pedang Pat-kiam-hui-hiang? Bukankah jurus serangannya persis ilmu pedang andalanmu itu?" "Benar, caranya persis sama, hanya kurang sempurna saja," jawab Tan Sam-cing dengan suara keras.
"Sekarang aku mau menanyakannya satu hal yang sama, semua pembicaraan yang dilakukan Hek-mo-ong mempergunakan ilmu Jian-li-hwe-ing, padahal orang yang pandai mempergunakan ilmu itu di kolong langit hanya Kuikok Sianseng seorang. Kecuali diwariskan kepada Thio Kimciok, pernahkah Kui-kok Sianseng mewariskan kepandaian itu kepada orang lain?" "Selain itu, Hek-mo-ong juga pandai dalam ilmu racun, selain tabib sakti Gi Jian-cau, siapa lagi yang bisa
Pendekar Cacat 1611
mempergunakan ilmu itu lebih sempurna darinya? Kemudian ilmu menyaru muka Hek-mo-ong berasal dari Song-ciu." "Dengan berbagai kepandaian sakti yang dimiliki Hek-moong, coba bayangkan, kecuali Thio Kim-ciok, siapa lagi yang mampu mempelajari begitu banyak ilmu sakti sekaligus?"
Pelan-pelan Thay-kun mengawasi wajah orang itu, lalu lanjutnya, "Sejak dulu hingga sekarang, bila ada seorang ganas dan buas melakukan perbuatan terkutuk yang merugikan orang banyak, maka orang itu pasti mempunyai maksud tujuan tertentu." "Hek-mo-ong menantang perang terhadap sepuluh tokoh sakti persilatan, sebenarnya apa maksudnya?" "Apakah dia hendak menguasai dunia persilatan, menjadi pemimpin umat persilatan?" "Tentu saja tidak." "Dia hendak membalas dendam." "Karena sepuluh tokoh persilatan menyeleweng dengan istrinya, berbuat mesum dengan bininya, selain itu membunuh pula ratusan anak buahnya, maka dia harus membalas dendam, membunuh kesepuluh jago persilatan itu."
Pendekar Cacat 1612
Perkataan Thay-kun ini segera membuat orang terbelalak dengan mulut melongo, perasaan ngeri segera timbul dalam hati, membuat bulu kuduk berdiri. Semua fakta dan bukti sudah di depan mata, semua itu dapat diterima dengan akal sehat. Selain Thio Kim-ciok, rasanya memang tiada orang kedua yang kemungkinan besar menjadi Hek-mo-ong.
Tapi Thio Kim-ciok sudah mati tiga puluh tahun lalu, mayatnya telah tenggelam di dasar telaga. Bagaimana mungkin dia bisa hidup kembali? Oleh karena itulah Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Sam-cing tidak percaya kalau Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok. Setelah menghela napas, Tio Tian-seng berkata, "Meskipun apa yang diduga nona masuk akal, akan tetapi Thio Kimciok sudah mati, jenazahnya sudah tenggelam di dasar telaga dan hal ini merupakan kenyataan. Orang yang sudah mati masakah bisa hidup kembali? Hal ini benar-benar sukar diterima akal sehat." "Dengan cara bagaimana Thio Kim-ciok hidup kembali memang sama sekali tidak kuketahui," pelan-pelan Thaykun berkata. "Namun aku tahu, bangkitnya Thio Kim-ciok sudah pasti mempunyai hubungan sangat erat dengan Gi Jian-cau."
Pendekar Cacat 1613
"Apabila kalian ingin membuktikan benarkah Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok, aku rasa bila si tabib sakti dapat ditemukan, maka semua duduk persoalan akan menjadi jelas." "Bukankah menurut nona Thay-kun, bersembunyi di dalam Ban-jian-bong ini?"
Gi
Jian-cau
"Benar," Thay-kun mengangguk. "Gi Jian-cau berada di Banjian-bong." "Kalau begitu untuk menyingkap tabir peristiwa ini, bagaimana pun juga kita harus mencari si tabib sakti sampai ketemu," ujar Liu Khi.
Thay-kun memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian ujarnya, "Sekarang baru mendekati tengah hari, mari kita berpencar melakukan pemeriksaan, bilamana salah seorang di antara kita menemukan jejak musuh atau menemukan Gi Jian-cau, gunakanlah tiga kali pekikan panjang sebagai tanda untuk berkumpul. Ingat, bagaimana pun juga kita harus menghindari pertarungan secara kekerasan. Sebelum matahari terbenam nanti, kita berkumpul kembali di pintu masuk Ban-jian-bong sebelah timur."
Pendekar Cacat 1614
Mimpi pun Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Sam-cing tidak menyangka hari ini harus menuruti perintah seorang bocah perempuan. Sekalipun dalam hati segera timbul perasaan tak enak, namun mereka melaksanakan juga perintah itu tanpa membantah. Maka berangkatlah Tio Tian-seng, Tan Sam-cing dan Liu Khi menuju ke arah timur, barat dan selatan. Sedangkan Bong Thian-gak dan Thay-kun berangkat menuju ke arah utara.
Ban-jian-bong memang pekuburan yang amat menyeramkan, gua¬gua gelap, liang-liang merekah dan peti mati berserakan dimana-mana membuat suasana di tempat itu benar-benar amat menggidikkan. Baru saja Bong Thian-gak dan Thay-kun berangkat, mendadak mereka menyaksikan di bawah kerumunan pepohonan yang rindang berdiri tiga orang Hwesio berbaju kuning. Dengan ketajaman mata Thay-kun, sekilas pandang saja ia segera mengenali Hwesio setengah umur yang bertubuh gemuk itu adalah Hwesio yang bertanggung-jawab pada pekuburan halaman sembilan.
Pendekar Cacat 1615
Dia berdiri di situ dengan tangan memegang tasbih, tangan kanan disilangkan di depan dada, sepasang matanya terpejam, wajahnya kelihatan kereng dan serius. Di sebelah kiri kanannya masing-masing berdiri Hwesio jangkung dan pendek, keduanya bertubuh ceking tinggal kulit pembungkus tulang. Kedua opng itu pun memegang tasbih, hanya sorot mata mereka yang tajam mengawasi wajah Thay-kun dan Bong Thian-gak. Hati Bong Thian-gak bergetar keras, diam-diam pikirnya, "Dari sorot mata ketiga Hwesio itu, jelas sudah bahwa mereka adalah jago persilatan berilmu tinggi, sungguh tak disangka para Hwesio yang berjaga di Ban-jian-bong memiliki kepandaian silat begitu hebat."
Sementara dia masih termenung, Hwesio setengah umur itu sudah membuka mata dan menegur dengan suara lantang, "Omitohud, Sicu berdua hendak pergi kemana?" Sambil tertawa Thay-kun menjawab, "Sejak pagi tadi, aku sudah merasa bahwa Taysu berbeda dengan kebanyakan orang, ternyata dugaanku memang benar, nyatanya Taysu adalah seorang jago silat berilmu tinggi!" "Omitohud!" kembali Hwesio itu berkata, "Ban-jian-bong ini merupakan pekuburan yang diperuntukkan bagi mereka yang telah mati untuk beristirahat tenang. Karena itu
Pendekar Cacat 1616
Pinceng menganjurkan kepada Sicu berdua agar jangan menimbulkan pembunuhan dalam Ban-jian-bong." "Ah, ucapan Taysu terlalu serius," Thay-kun tersenyum. "Kami hanya ingin mencari seorang sahabat lama di Banjian-bong ini. Bila Taysu bersedia memberi petunjuk, tentu kami akan menemukannya dengan cepat."
Mendadak mencorong sinar tajam dari mata Hwesio gemuk itu, katanya kemudian, "Apabila kalian berdua enggan menuruti nasehatku dan secepatnya meninggalkan Banjian-bong, maka dalam Ban-jian-bong ini kemungkinan besar akan bertambah lagi dengan dua liang kubur baru." "Bukan hanya dua liang kubur baru yang akan bertambah di Ban-jian-bong ini," jengek Thay-kun tertawa dingin. Sementara itu kedua Hwesio ceking yang berdiri di belakang Hwesio gemuk itu sudah menunjukkan wajah gusar dan hawa napsu membunuh yang berkobar-kobar. Dengan suara dingin Hwesio gemuk itu menegur, "Li-sicu telah membuat onar di sini. Apakah perbuatan itu tidak keterlaluan?"
Tiba-tiba paras Thay-kun berubah menjadi dingin, lalu katanya ketus, "Oh, rupanya Taysu sekalian sudah
Pendekar Cacat 1617
mengetahui peristiwa yang terjadi di tanah pekuburan ini? Kalau begitu Taysu sudah mengetahui asal-usul kami bukan? Apabila Taysu seorang pintar, maka secepatnya beritahukan kepada Gi Jian-cau, katakan kalau ada seorang rekannya yang bernama Thay-kun datang berkunjung." Berubah paras Hwesio gemuk itu, katanya, "Perkataan Lisicu , tiada ujung-pangkalnya, sungguh membuat orang tidak habis mengerti."
Kembali Thay-kun tertawa dingin. "Taysu harap dengarkan baik-baik, persembunyian Gi Jiancau di Ban-jian-bong sudah bukan rahasia lagi. Sekalipun kami tak mencarinya, pihak Hek-mo-ong pasti akan mencarinya dan membinasakannya." "Hari ini kami sengaja mencari Gi Jian-cau hendak mengajaknya merundingkan bagaimana cara menghadapi Hek-mo-ong. Nah, semua sudah kuutarakan, harap Taysu mengambil keputusan secepatnya."
Dengan paras muka berubah hebat Hwesio gemuk itu membentak, "Apabila kalian tidak segera mengundurkan diri dari Ban-jian-bong, jangan salahkan bila Pinceng bertindak keji."
Pendekar Cacat 1618
Bong Thian-gak yang selama ini hanya berdiam di samping, berkata sambil tertawa dingin, "Sebenarnya jurus tangguh macam apakah yang kau miliki? Tak ada salahnya kau gunakan di hadapanku." Sambil berkata pemuda itu segera maju ke muka dan menghadai di depan Thay-kun. Hwesio gemuk itu benar-benar gusar, dengan suara menggelegar dia membentak, "Bagi mereka yang tak mau sadar, hanya jalan kematian yang paling cocok baginya. Sute berdua kalian mundur dulu."
Begitu diberi perintah, kedua Hwesio itu membalikkan badan dan mundur ke belakang.
segera
"Berhenti!" Bong Thian-gak segera membentak. Dengan gerakan sangat cepat dia menerjang ke depan. Pada saat Bong Thian-gak menggerakkan tubuh, ketiga Hwesio itu melejit ke tengah udara, lalu memisahkan diri. Thay-kun yang berada di belakang dan menyaksikan peristiwa itu segera mengerti bahwa ketiga Hwesio itu sama sekali tidak bermaksud melarikan diri, maka dia segera berseru dengan suara merdu, "Hati-hati, mereka membalikkan badan sambil melancarkan serangan balasan."
Pendekar Cacat 1619
Belum selesai dia berkata, benar juga tampak Hwesio gemuk itu membalikkan badan, kemudian berkata dengan suara dingin, "Sayang keadaan sudah terlambat." Sambil bicara dia mengayunkan tangan ke depan. Sebiji tasbih yang berada di tangan kirinya sudah disambitkan ke depan dengan kecepatan luar biasa. Berbareng kedua Hwesio jangkung dan pendek yang memisahkan diri tadi, masing-masing membidikkan pula sebiji tasbih ke arah Bong Thian-gak. Dengan kepandaian silat Bong Thian-gak, sudah barang tentu serangan senjata rahasia biasa tak nanti bias melukai dirinya.
Thay-kun yang berdiri di sisi arena dapat menyaksikan peristiwa itu dengan jelas, dia lihat ketiga biji tasbih itu bukan tertuju ke arah Bong Thian-gak, sebaliknya ditujukan ke satu titik yang sama untuk saling bertumbukan satu sama lain. Dengan cepat Thay-kun menyadari bahwa di balik semua itu tentu ada sesuatu yang tidak beres, cepat dia membentak, "Bong-suheng cepat mundur, tampaknya senjata rahasia itu ada sesuatu yang tidak beres!"
Pendekar Cacat 1620
Belum selesai dia berkata, ketiga biji tasbih yang meluncur dari tiga arah yang berbeda itu sudah saling tumbuk. Suatu ledakan keras segera berkumandang. Rupanya ketiga biji tasbih kecil itu telah berubah menjadi tiga buah letusan api yang meledak bersama di hadapan Bong Thian-gak. Jilatan api yang sangat besar segera menyebar bersamaan dengan gulungan angin berpusing yang menderu. Jerit kesakitan bergema, tahu-tahu tubuh Bong Thian-gak sudah terpental.
Thay-kun dapat menyaksikan kejadian itu dengan jelas, tubuh Bong Thian-gak sudah bermandikan darah dan tergeletak di atas tanah. Sambil menjerit kaget, Thay-kun segera menerjang ke muka sambil berkata, "Bong-suheng!" Sementara ketiga Hwesio itu sudah menerjang kembali, tampak dalam genggaman mereka masing-masing membawa sebiji tasbih.
Pendekar Cacat 1621
Sudah jelas bukan tasbih biasa, melainkan peluru api Lenghwe-tan. j Bong Thian-gak masih tergeletak di atas tanah, tapi saat itu dia j berpekik panjang seraya berseru keras, "Sumoay, aku belum mati. Kau cepatlah mundur, peluru Leng-hwe-tan itu sangat lihai."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah melolos Pek-hiat-kiam dan i melompat bangun dari atas tanah, kemudian langsung menyongsong datangnya Hwesio gemuk itu. Peluru Leng-hwe-tan ketiga Hwesio itu kembali meluncur ke j depan dengan kecepatan luar biasa. Namun gerakan pedang Bong Thian-gak pun tak kalah cepatnya. Tampak cahaya pedang berkelebat bagaikan cahaya bianglala, angin tajam pun membelah angkasa. Tak sempat mengeluarkan jeritannya lagi, pinggang Hwesio gemuk itu terbabat kutung menjadi dua bagian.
Pada saat bersamaan terjadi kembali ledakan keras, ketiga biji Leng-hwe-tan kembali meletus di belakang Bong Thiangak.
Pendekar Cacat 1622
Ketika berhasil membinasakan Hwesio gemuk itu. Bong Thian-gak dengan tubuh menempel di atas tanah segera berputar ke arah lain, sekali lagi terdengar pekikan nyaring menggema, tahu-tahu cahaya pedang menyambar ke arah Hwesio bertubuh jangkung. Ketika melihat Hwesio gemuk tewas di ujung pedang Bong Thian-gak, kedua Hwesio jangkung dan cebol sudah dibuat ketakutan dan masing-masing melompat mundur. Berbareng satu dari timur dan yang lain dari barat, mereka bersama-sama menyambitkan kembali dua biji l.eng-hwetan ke arah Bong Thian-gak.
Sudah barang tentu Bong Thian-gak bukan pemuda bodoh yang rtima berdiri mematung di tempat. Oleh sebab itu di saat Leng-hwe-tan meledak di belakang tubuhnya, sudah tak mampu untuk melukai dirinya lagiKetika ledakan menggelegar, pedang Bong Thian-gak menyambar pula ke leher si Hwesio jangkung.
Suara jeritan ngeri bergema kembali, percikan darah segar pun menyembur kemana-mana. Menyaksikan gelagat tidak menguntungkan, Hwesio pendek iegera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit masuk ke balik hutan bambu.
Pendekar Cacat 1623
Dari jarak jauh Bong Thian-gak menyambitkan Pek-hiatkiam ke depan. Cahaya pedang memercik di angkasa dan meluncur dengan kecepatan luar biasa. Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi bergema di angkasa. Si Hwesio bertubuh pendek tahu-tahu sudah tertusuk pedang dan tewas di balik hutan bambu.
Setelah berhasil membunuh ketiga Hwesio secara beruntun, Bong Thlnn-gak ikut roboh terjengkang ke atas tanah. Walaupun dalam usahanya membunuh ketiga Hwesio tadi ia telah menggunakan beberapa macam kepandaian yang berbeda, namun berhubung gerakannya dilakukan dalam kecepatan luar biasa dan lagi diselesaikan dalam satu gebrakan saja, hal itu membuat Thay-kun sendiri pun lak sempat memberikan bantuan kepadanya.
Thay-kun segera menerjang ke muka dan membangunkan tubuh Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1624
Terdengar si anak muda itu merintih pelan, "Sumoay, di balik peluru api itu tersimpan jarum lembut, kini dadaku telah terkena jarum yang amat lembut itu. Aku ... mungkin aku sudah tak tertolong lagi Memandang dadanya yang basah oleh darah dan keadaannya Ngilu mengerikan, air mata Thay-kun bercucuran dengan derasnya, sehingga membasahi wajah Bong Thian-gak, ujarnya sambil menahan liuk tangis, "Suheng, bila jarum lembut itu beracun, mana mungkin jiwamu tertolong."
Bong Thian-gak tertawa getir, "Sekalipun jarum-jarum lembut itu tidak beracun, namun jarum itu amat lembut. Apabila tertusuk ke dalam nadi, maka jarum tadi akan mengalir masuk mengikuti gerakan darah. Dalam keadaan begini, sekalipun ada dewa yang turun dari kahyangan pun belum tentu jiwaku dapat diselamatkan." "Ai, sungguh tidak kusangka, biji tasbih ketiga Hwesio itu tersimpan peluru api yang berisi jarum lembut begitu beracun. Senjata rahasia semacam ini biasanya berasal dari keluarga Tong di propinsi Sucwan." "Suheng, kau tak usah banyak bicara lagi," tukas Thay-kun dengan air mata bercucuran. "Bila aku bisa mendapatkan sepotong besi sembrani sekarang, jiwamu tentu akan tertolong."
Pendekar Cacat 1625
Bong Thian-gak menggeleng kepala sambil menghela napas, "Aku tahu jiwaku sudah tak akan tertolong lagi, ai
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan, "Sumoay, mumpung aku saat ini masih dapat berbicara, aku ingin sekali memberitahukan satu hal kepadamu." Waktu itu pikiran Thay-kun sudah amat kalut, sambil menahan isak tangis dia berkata, "Suheng, soal apa yang hendak kau beritahukan kepadaku, cepatlah kau utarakan!" "Aku ingin berkata kepadamu, aku cinta padamu," bisik Bong Thian-gak sambil tertawa rawan. "Suheng, tahukah kau bahwa aku mencintaimu?" kata Thay-kun kemudian.
pun
selalu
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dengan gembira serunya, "Kau ... kau tidak membohongi aku?" "Tidak, aku tak membohongimu, orang yang diam-diam kucintai itu tak lain adalah kau, tapi berhubung kau sudah mendapatkan Song Leng-hui, maka aku ... aku sengaja berbohong kepadamu." Tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak, "Aku tidak boleh mati, aku ... aku ingin hidup lebih lama."
Pendekar Cacat 1626
Mendengar kata-kata itu, mendadak Thay-kun menangis tersedu-sedu. Sebab pada saat itu dia menyaksikan kekasih hatinya sedang terancam kematian, cakar maut yang hendak merenggut nyawanya dan dia ternyata tak mampu berbuat apa-apa. "Oh Thian, apa yang menyelamatkan jiwanya?"
harus
kulakukan
untuk
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang amat kaku dan mengerikan. Rasa sedih yang kelewat batas membuat Thay-kun kehilangan perasaannya. Dia seakan-akan sama sekali tidak mendengar suara tertawa dingin itu, padahal sekalipun mendengar juga dia tak akan memalingkan kepala. Sekarang dia hanya tahu memeluknya dengan kencang.
memeluk
kekasihnya,
Sebaliknya Bong Thian-gak segera melihat empat sosok bayangan telah muncul di sisi tubuhnya.
Pendekar Cacat 1627
Mereka terdiri dari seorang nenek berambut putih, perempuan tlan lelaki kekar bermata tunggal serta seorang gadis cantik jelita dan genit. Tanpa terasa Bong Thian-gak berseru kaget, "Ah, Biaukosiu!" Setelah mendengar suara seruan Bong Thian-gak, Thay-kun baru sadar dari impiannya, dia segera memandang keempat orang itu sekejap, lalu pelan-pelan berkata, "Cepat amat kedatangan kalian. Bila kau ingin membunuh kami, sekarang tak usah banyak waktu dan tenaga lagi." Biau-kosiu tertawa dingin, tanyanya, "Bukankah dia sudah terkena |arum beracun ekor lebah dari peluru api?"
Mendengar pertanyaan itu, Thay-kun segera menghela napas sedih, "Ai, sungguh tak disangka jarum ekor lebah itu mengandung racun jahat." Sesudah menghela napas panjang, dia menghentikan katakatanya dan tidak berbicara lebih jauh. Dengan suara dingin Biau-kosiu berkata, "Setiap orang yang sudah terluka jarum beracun ekor lebah keluarga Tong, maka dalam tiga jam, menu jahat itu akan menyerang jantung. Bila keadaan sudah begini, biar ada obat dewa pun jangan harap bisa menyelamatkan jiwanya."
Pendekar Cacat 1628
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Thay-kun, segera tanyanya penuh harapan, "Jadi kau dapat menolongnya?"
Sekali lagi Biau-kosiu tertawa dingin. "Aku hanya dapat mengeluarkan jarum beracun dari tubuhnya, namun tidak mampu menyembuhkan luka beracun dalam tubuhnya." Mendengar sampai di situ, dengan nada memohon Thaykun berkata, "Biau-kosiu, kumohon kepadamu, tolonglah dia dan sembuhkan luka yang dia derita. Apa pun syarat yang kau ajukan, pasti aku akan menyetujui."
Biau-kosiu tertawa dingin. "Racun yang terkandung pada jarum ekor lebah keluarga Tong di propinsi Sucwan bukanlah racun sembarang racun. Sekalipun aku berhasil mengeluarkan jarum beracun itu dari dalam tubuhnya, sulit juga baginya untuk mempertahankan hidup." "Padahal dia sudah terkena racun jahat dari Hek-mo-ong, cepat atau lambat dia pasti akan mati juga."
Pendekar Cacat 1629
Thay-kun menangis terisak. "Nona Biau, aku tahu kau sanggup menyelamatkan jiwanya, apalagi racun Hek-mo-ong pun disampaikan kepadanya melalui tanganmu. Sekalipun Hek-mo-ong membenci seluruh jago lihai yang ada di dunia persilatan, tapi Jianciat-suseng sama sekali tak punya jalinan dendam atau pun sakit hati apa pun dengannya. Apakah kalian benar-benar hendak membinasakan dirinya?"
Berubah paras muka Biau-kosiu, dengan suara dingin ia berkata, "Darimana kau tahu racun dari Hek-mo-ong diterima olehnya melalui tanganku?" "Karena kau adalah anak buah Hek-mo-ong." "Kau seorang yang sangat pintar dan bisa menduga semua persoalan secara tepat dan pasti. Tapi dugaanmu kali ini keliru, aku sama sekali bukan anak buah Hek-mo-ong." Thay-kun tertawa rawan, "Apabila kau bukan anak buah Hek-mo-ong, maka aku pun merasa lega." "Tidak usah banyak bicara lagi," tukas Biau-kosiu dengan suara dingin. "Bila berniat menyelamatkan jiwanya, satusatunya jalan adalah menemukan Gi Jian-cau. Biarpun membawa besi sembrani, keselamatan jiwanya masih tetap terancam."
Pendekar Cacat 1630
Selesai berkata, Biau-kosiu segera merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sepotong besi berwarna hitam yang segera dilontarkan ke hadapan Thay-kun, katanya lagi, "Untuk sementara waktu kupinjamkan besi sembrani padamu. Silakan kau turun tangan mengisap jarum-jarum beracun itu dari mulut lukanya!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar nenek berambut putih itu menimbrung, "Anak Siu, mengapa kau harus membantunya?" Biau-kosiu menghela napas, sahutnya, "Nenek, aku merasa berhutang budi padanya karena dia telah membantuku merebut kembali kitab pusaka Kui-kok-khi-liok, jadi aku merasa wajib membantunya." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Nenek, mari kita pergi " Selesai berkata Biau-kosiu bersama nenek berambut putih, lelaki dun perempuan kekar bermata tunggal membalikkan badan dan segera berlalu dari situ.
Thay-kun memungut besi sembrani itu sambil mengawasi tayangan tubuh keempat orang itu berlalu dari sana.
Pendekar Cacat 1631
Memandang bayangan punggung mereka yang memasuki hutan bumbu, dia menggeleng kepala sambil bergumam, "Sungguh tak nyana dia akan meminjamkan besi sembrani, ai..” Sejak kedatangan Biau-kosiu, Bong Thian-gak memejamkan mata. taat itu tiba-tiba dia berkata sambil menghela napas, "Tindak-tanduknya yang sebentar bermusuhan dan bersahabat ini sungguh membuat orang merasa bingung dan tak habis mengerti. Ai! Sumoay, kau tak usah bersusah payah lagi, sekalipun jarum-jarum beracun itu berhasil kau isap, namun sari racunnya telah menyusup ke dalam tubuhku dengan mengikuti aliran darah, akhirnya aku bakal tewas juga." "Suheng, kau tak boleh mati," kata Thay-kun dengan lembut. "Kita tentu akan berhasil menemukan Gi Jian-cau. Sekarang berbaringlah dahulu dengan tenang, biar kucoba mengisap keluar jarum-jarum beracun itu dengan besi sembrani ini."
Selesai berkata dia segera membaringkan tubuh Bong Thian-gak ke alas tanah, kemudian turun tangan melepas pakaian bagian atasnya. Tampak pada dada sebelah kiri dekat puting susu, kulit daging taiilaiah, bahkan di beberapa tempat terbakar hangus.
Pendekar Cacat 1632
Sekarang noda darah itu sudah mengering, karena itu Thaykun harus bersusah-payah membersihkan noda darah mengering itu, membiarkan darah segar meleleh kembali. Kemudian Thay-kun menempelkan besi sembrani di tangan kanannya itu ke atas mulut luka. Ketika diangkat kembali, pada ujung besi sembrani itu sudah menempel tujuh batang jarum yang amat lembut, jarum-jarum lembut itu tak lain adalah jarum ekor lebah yang berwarna hitam pekat.
Dengan cepat Thay-kun mencabut jarum-jarum ekor lebah itu dari atas besi sembrani, kemudian mencari lagi di sekitar mulut luka itu. Lebih kurang sepeminuman teh, seluruhnya Thay-kun berhasil mengangkat tiga belas batang jarum beracun. Sambil menghela napas Thay-kun berkata, "Meskipun jarum ini sangat lembut dan kecil, untung kekuatannya tak seberapa besar hingga tak mampu menembus badan lebih dalam lagi. Jika jarum beracun itu sampai memasuki nadi darah, wah, apa jadinya."
Tiba-tiba Bong Thian-gak melompat bangun dan duduk, lalu katanya sambil tertawa getir, "Racun jahat jarum itu sudah
Pendekar Cacat 1633
telanjur memasuki aliran darah, cepat atau lambat akhirnya aku bakal mati juga." Thay-kun segera membersihkan besi sembrani itu dari noda darah, lalu disimpan kembali ke dalam sakunya. Setelah itu dia bertanya dengan lembut, "Bagaimana rasanya sekarang?" "Mulut luka itu masih terasa panas, agaknya sudah menunjukkan gejala keracunan." "Mari kubimbing kau pergi dari sini, kita harus secepatnya mencari si tabib sakti." "Tidak ada gunanya," sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng. "Kini aku hanya berharap kau bisa menemaniku selama tiga jam. Berilah kesempatan padaku untuk bicara padamu." "Suheng, aku tak bisa hidup tanpa kau, seandainya kau mati, maka aku pun tak ingin hidup seorang diri, oleh sebab itu kau harus hidup," kata Thay-kun dengan suara amat lembut”
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Semut pun ingin hidup, apalagi manusia. Ai, tapi empat samudra begini luas, dimanakah si tabib sakti berada? Ai, sekalipun dia benar-benar bersembunyi dalam Ban-jian-
Pendekar Cacat 1634
bong ini, kemanakah kita harus pergi mencarinya? Sekalipun berhasil ditemukan, belum tentu ia bersedia menyelamatkan jiwaku." "Tiga jam adalah waktu yang singkat dan segera akan lewat dalam sekejap, lagi pula mungkin aku akan jatuh pingsan tak lama lagi." "Suheng, sekarang aku mendapatkan firasat yang mengatakan si tabib sakti berada tak jauh dari sini, secepatnya kita akan berhasil menemukan dirinya."
Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian berkata, "Sungguh aneh, sewaktu aku bertarung melawan ketiga Hwesio tadi, aku sudah menperdengarkan tiga kali suara pekikan panjang. Mengapa hingga sekarang belum tampak juga Tio Tian-seng sekalian datang kemari?" "Dalam keadaan begini aku tak mempunyai hasrat dan niat lagi memikirkan persoalan itu. Suheng, apakah kau ingin menyerah begitu saja menerima kematian?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, baiklah! Aku akan mengikutimu mencarinya." Selesai berkata, di bawah bimbingan Thay-kun dengan perlahan-lahan pemuda itu berdiri.
Pendekar Cacat 1635
Siapa tahu baru saja ia berdiri, sekujur tubuhnya segera gemetar keras. "Aduh," keluhnya pelan, paras mukanya segera berubah pucat-pasi, bibirnya menghijau dan kulit badannya mengejang keras, wajahnya mencerminkan penderitaan luar biasa. Dengan terkejut Thay-kun segera bertanya, "Suheng, mengapa kau?" "Aku, mungkin aku sudah tak jauh dari kematian," bisik Bong Thian-gak dengan suara gemetar. "Dadaku terasa sakit, kepalaku terasa amat pening."
Thay-kun merentangkan tangan memeluk tubuh pemuda itu, katanya, "Suheng, bagaimana kalau kubopong dirimu menuju ke bawah pohon yang rindang di depan sana?" Dengan membopong tubuh anak muda itu, Thay-kun tiba di bawah pohon rindang, di atas gundukan tanah berumput, di situlah mereka duduk. Bong Thian-gak berbaring dalam pelukannya dengan wajah pucat¬pasi, seluruh badannya mengejang keras, agaknya penderitaan dan siksaan yang dialaminya bukannya berkurang, malah sebaliknya semakin bertambah.
Pendekar Cacat 1636
Akhirnya pemuda itu mulai merintih, "Oh Sumoay, sekarang anggota badanku sakit dan linu, sekujur badanku seperti hancur." "Ah!" Thay-kun menjerit kaget. "Mungkin racun jarum ekor lebah itu telah memancing bekerjanya racun Hek-mo-ong sebelum waktunya." "Bila dua macam racun itu bekerja pada saat bersamaan, sudah dapat dipastikan aku akan mati secara mengenaskan. Oh, Thay-kun, aku ingin menyampaikan beberapa persoalan kepadamu." "Setelah aku mati nanti, tolong bawalah jenazahku ini ke sebuah lembah terpencil di puncak Cui-im-hong di bukit Bong-san dan kuburkanlah aku di situ, istriku Song Leng-hui berdiam di situ."
"Kedua, tolonglah Oh Cian-giok, putri Oh Ciong-hu, dari sekapan musuh, dia telah ditangkap oleh Ho Lan-hiang, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau dan entah disekap dimana?" Perkataan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan suara lirih, seolah-olah merupakan pesan terakhir menjelang ajal, begitu pilu dan pedih suaranya sehingga membuat suasana tercekam dalam suasana penuh haru. Dengan air mata bercucuran dan suara tersengguk menahan isak-tangis, Thay-kun berseru, "Oh Suheng, kau
Pendekar Cacat 1637
tak boleh mati, kau tak akan mati. Kau harus mengobarkan semangatmu untuk hidup terus, bukankah beberapa kali kau bisa lolos dari ancaman bahaya maut? Bukankah dua kali kau bisa mempertahankan hidupmu? Mengapa kau tidak mampu untuk ketiga kalinya?" "Aku rasa kali ini belum tentu aku beruntung. Aii, sekarang aku rela mati, karena selama ini aku bertekad untuk hidup terus demi membalas dendam bagi kematian guruku, Oh Ciong-hu, sekarang aku sudah tahu Oh Ciong-hu telah tewas di tangan Hek-mo-ong dan mereka saling bunuh karena perselisihan berantai, rasanya aku tak usah melibatkan diri lagi dalam pertentangan itu."
"Thay-kun, sesungguhnya aku adalah anak buangan yang tak berayah dan beribu. Sejak dua puluh tahun berselang, aku seharusnya sudah mati kelaparan, mati kedinginan ... dan kini aku sudah bisa hidup selama dua puluh tahun lagi, aku sudah cukup puas, aku pun tak menyesal untuk mati sekarang." "Thay-kun, kau tak usah bersedih, kehidupan manusia di dunia ini Ibarat sebuah impian, tiada orang yang tetap berkumpul dan tak pernah berpisah. Aku ... aku akan menunggumu di alam baka."
Pendekar Cacat 1638
Sampai di situ, suara Bong Thian-gak makin lirih dan kecil, «khirnya dia tak sadarkan diri. Menyaksikan itu, Thay-kun berteriak, "Suheng ... Suheng!" Cepat ia memeriksa napasnya, ternyata napas pemuda itu semakin lemah. Ketika diperiksa denyut nadinya, detak jantung pemuda itupun belum berhenti, ia segera tahu pemuda itu belum mati, dia hanya jatuh pingsan saja. Karenanya Thay-kun merasa hatinya sedikit lega. Pikirnya kemudian, "Bagaimana pun juga aku harus berhasil menemukan si tabib sakti, sebab di kolong langit ini hanya dia seorang yang mampu menolong Bong Thian-gak."
Kemudian ia pun berpikir lebih jauh, "Bong Thian-gak sudah terkena jarum ekor lebah keluarga Tong yang termasyhur karena keganasannya, seharusnya racun jahat itu baru akan mulai menyerang ke jantung setelah tiga jam, tapi sekarang racun itu sudah membangkitkan racun Hek-mo-ong yang telah mengeram dalam tubuhnya, diserang oleh dua racun pada saat yang bersamaan. Entah berapa lama Bong Thiangak list pat mempertahankan hidup?"
Pendekar Cacat 1639
Mendadak tampak bayangan orang berkelebat, Thay-kun segera menyaksikan dari berbagai arah bermunculan dua puluhan Hwesio berbaju kuning. Kawanan Hwesio itu sama sekali tidak mirip tampang seorang Hwesio, bukan saja wajah mereka gemuk dan penuh daging, matanya memancarkan pula sinar kebuasan yang mengerikan, masing-masing menggenggam senjata tajam menyerupai tombak pendek. Tatkala kawanan Hwesio itu menjumpai jenazah ketiga Hwesio lain yang tergeletak di atas tanah, sekilas perasaan kaget dan ngeri segera menghiasi wajah mereka, langsung mereka menghentikan langkah. Sebaliknya Thay-kun yang melihat kawanan Hwesio itu segera berpikir, "Untuk menemukan si tabib sakti, rasanya hanya bisa dicari dari mulut mereka." Menurut pendapat Thay-kun, kawanan Hwesio ini seharusnya tak dipengaruhi jago persilatan dan apabila Gi Jian-cau benar bersembunyi di tempat ini, maka kepandaian silat yang dimiliki orang-orang itu pasti merupakan didikan Gi Jian-cau, otomatis kepandaian silat yang dibina olehnya ini secara khusus hendak digunakan untuk menghadapi Hek-mo-ong yang hendak mencari balas kepadanya.
Pendekar Cacat 1640
Saat inipun Thay-kun juga sudah tahu kawanan Hwesio itu tidak lebih hanya jago-jago kelas tiga. Itulah sebabnya, sewaktu mereka saksikan ketiga sosok mayat Hwesio yang dibunuh Bong Thian-gak tadi, timbul perasaan takut dalam hati. Sebab ketiga orang yang terbunuh itu merupakan jago lihai kelas satu dalam Ban-jian-bong. Kawanan Hwesio bermuka bengis itu tampak ragu-ragu sejenak, tiba-tiba mereka menyerbu ke depan. Sudah jelas di sekitar tempat itu tak tampak orang lain, kecuali dua orang di hadapannya, padahal yang lelaki sudah terluka parah sedang yang perempuan tidak perlu ditakuti. Itulah sebabnya nyali mereka semakin bertambah besar. "Berhenti!" Thay-kun membentak nyaring. Kawanan Hwesio yang mengurung menjadi terkejut dan serentak menghentikan langkah. Waktu itu Thay-kun telah membaringkan Bong Thian-gak di atas tanah berumput dan dia berdiri di depan gundukan tanah itu dengan wajah memancarkan sinar kewibawaan yang membuat hati orang bergidik, sorot matanya yang tajam mengawasi kawanan Hwesio itu tanpa berkedip. Dalam waktu singkat kawanan Hwesio itu dapat merasakan bahwa perempuan cantik bak bidadari dari kahyangan di hadapan mereka ini bukanlah perempuan lemah, sebaliknya justru merupakan, harimau ganas dan menakutkan.
Pendekar Cacat 1641
Seorang Hwesio bermuka hitam dan agak gemuk, tampaknya merupakan pemimpin gerombolan itu tertawa licik, kemudian dengan suara parau dia berkata, "Bocah perempuan, kau tak usah mencari kematian, kau cukup menjawab beberapa buah pertanyaan yang kuajukan, tak nanti aku menyusahkan dirimu." "Aku pun hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, usul kau pun bersedia menjawab beberapa buah pertanyaanku, tentu kalian bisa hidup terus. Kalau tidak, hm, kalian akan mati konyol di sini." Selesai berkata Thay-kun segera mengayun telapak tangan kirinya ke depan dan melepaskan sebuah pukulan. Tanpa menimbulkan sedikit suara pun tahu-tahu tiga Hwesio berbaju kuning yang berdiri di sebelah utara sudah roboh terjengkang ke ulas tanah dan tewas oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang sangat lihai. Tiba-tiba hati Thay-kun bergetar keras melihat ketiga orang liwesio itu roboh binasa, pikirnya, "Heran, mengapa tenaga dalamku bisa tumbuh begitu tangguhnya? Padahal jaraknya cukup jauh, namun kenyataan seranganku berhasil merenggut nyawa mereka sekaligus. Hal Ini benar-benar tak terduga."
Pendekar Cacat 1642
Thay-kun benar-benar diliputi perasaan kaget dan gembira, padahal dia hanya bermaksud melepas pukulan untuk menggetar mundur para Hwesio itu agar mereka takut dan mundur teratur. Siapa nangka pukulan itu ternyata mengandung tenaga begitu dahsyat hingga mencabut nyawa lawan. Tenaga dalamnya sekarang telah meningkat dua kali lipat daripada sebelumnya "Ah! Ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang telah berhasil mencapai ke tingkat sepuluh." "Aku ... aku sudah mampu membunuh Cong-kaucu Putgwa-cin-kau." Mendadak Thay-kun mengayun tangannya dan sekali lagi melancarkan pukulan maut. Tanpa disertai desingan angin pukulan sedikit pun, tahutahu tujuh Hwesio yang berada di sebelah selatan roboh bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Suara bentakan dan teriakan panik segera berkumandang, kawanan Hwesio itu segera membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit, malah saking takutnya ada di antara mereka yang terkencing-kencing. "Mau kabur kemana?" bentak Thay-kun
Pendekar Cacat 1643
Dengan gerakan tubuh ringan dia berkelebat maju, lalu tangan kanannya menyambar dan mencengkeram baju bagian belakang si Hwesio gemuk itu. Perawakan Hwesio gemuk jauh lebih berat daripada rekanrekannya. Mesti begitu ketika bajunya kena dicengkeram, dia segera berhenti dan tidak sanggup beranjak barang setengah langkah pun. Saking takutnya, kontan dia berkaok-kaok, "Dewi yang mulia, ampunilah nyawaku, ampunilah jiwaku ini!" Thay-kun tertawa dingin, mendadak ia membanting tubuhnya ke atas tanah, bentaknya, "Boleh saja kuampuni jiwamu, cuma kau mesti menjawab beberapa pertanyaanku secara baik." Pelan-pelan Hwesio itu merangkak bangun, ia merasakan suasana di sekeliling tempat itu sunyi-senyap, rekanrekannya sudah mampus atau melarikan diri, kini tinggal dia seorang yang berada di situ ditemani rekan-rekannya yang telah menjadi mayat. Dengan perasaan sangat takut, Hwesio itu berlutut di atas tanah dan menganggukkan kepala berulang kali seraya berkata, "Apa yang ingin dewi tanyakan, tentu akan kujawab, aku takkan berbohong." "Siapakah nama pemimpin kalian? Ayo jawab secepatnya," tanya Thay-kun segera.
Pendekar Cacat 1644
"Pemimpin kami adalah Hongtiang ruang ketujuh kuburan ini, Ci kim-kong Hwesio." "Lalu siapakah ketiga orang Hwesio itu?" tanya Thay-kun dengan kening berkerut. "Apakah dewi tanyakan ketiga Hwesio bertasbih itu? Mereka adalah Hwesio yang bertugas di tanah pekuburan ini, bersama Ci-kim-kong Hwesio, mereka disebut sepuluh orang Toa-kim-kong." "Bagaimanakah tampang Ci-kim-kong Hwesio?" kembali Thay-kun bertanya. Sebelum perkataan itu selesai diutarakan, tiba-tiba terdengar suara menyeramkan berkumandang. "Hud-ya telah datang. Bagaimanakah tampang mukaku boleh perhatikan sendiri dengan jelas." Tiba-tiba terdengar jeritan lengking yang memilukan, rupanya jeritan seperti babi disembelih itu berasal dari si Hwesio bermuka hitam. Tampak Hwesio bermuka hitam itu bergulingan di atas tanah beberapa kali sebelum akhirnya sama sekali tidak berkutik lagi. Dengan ketajaman mata Thay-kun, sekilas pandang saja ia sudah melihat di atas tengkuk Hwesio bermuka hitam itu tertancap sebatang anak panah kecil.
Pendekar Cacat 1645
Anak panah itu meluncur tanpa menimbulkan sedikit suara pun dan tepat menghajar belakang kepala si Hwesio bermuka hitam itu secara telak, nyata orang yang melepaskan anak panah itu memiliki kepandaian silat luar biasa. Pelan-pelan Thay-kun memandang ke depan. Entah sedari kapan di hadapannya telah muncul tujuh Hwesio berperawakan tinggi pendek tak menentu, namun di tangan kiri masing-masing memegang tasbih yang sama. Tak salah lagi biji tasbih itu tentulah Leng-hwe-tan yang berisi jarum beracun ekor lebah. Di antara ketujuh Hwesio itu, berdiri Hwesio tinggi besar berjenggot hitam sepanjang dada dan berwajah merah, mungkin orang Inilah yang menjadi pimpinan pasukan keamanan Ban-jian-bong, Ci-kim-kong Hwesio. Sambil tertawa dingin, Thay-kun segera bertanya, "Kaukah yang bernama Ci-kim-kong Hwesio?" Hwesio itu tertawa licik, "Betul, Hud-ya orangnya." Semula Thay-kun mengira nama Ci-kim-kong Hwesio adalah nama samaran Gi Jian-cau, sekarang dia merasa kecewa mendengar jawaban itu, katanya kemudian dengan suara dingin, "Kedatanganmu jangat tepat, ada satu persoalan ingin kutanyakan kepadamu."
Pendekar Cacat 1646
"Apakah kau ingin bertanya kepadaku, dimanakah Gi Jiancau berada?" ujar Ci-kim-kong Hwesio dengan suara menyeramkan. Thay-kun dibuat tertegun. "Darimana kau bisa tahu?" "Barusan, sudah ada tiga orang yang mengajukan pertanyaan yang sama kepadaku." "Apakah kau sudah memberitahukan kepada mereka?" Ci-kim-kong Hwesio tertawa bangga. "Sebenarnya Hud-ya ingin mengajak mereka pergi menjumpai Gi Jian-cau, tapi sayang ketiga orang itu sudah tak mampu bergerak lagi, oleh sebab itu Hud-ya pun tidak jadi membawa mereka." Thay-kun menjadi terkejut sekali mendengar perkataan itu, dia segera bertanya, "Jadi kalian telah melukai mereka bertiga?" Dengan bangga Ci-kim-kong Hwesio tertawa terbahak, "Baik Mo-kiam-sin-kun maupun Liu Khi dan Pat-kiam-huihiang, semuanya tak ada yang lolos, mereka sudah terluka." Berada dalam suasana dan keadaan seperti ini, mau tak mau Thay-kun harus membuat penilaian baru terhadap kepandaian silat Ci-kim-kong Hwesio.
Pendekar Cacat 1647
Kepandaian silat Tio Tian-seng bertiga sudah terhitung sangat tangguh dan hebat, bagaimana mungkin mereka dapat dilukai secara mudah? Tapi kenyataan Ci-kim-kong Hwesio sanggup melukai mereka bertiga, terbukti betapa lihainya kepandaian silat orang ini. "Apakah mereka bertiga terluka oleh Leng-hwe-tan?" tanya Thay-kun. "Benar, mereka memang terluka oleh Leng-hwe-tan dalam biji tasbih ini," jawaban Ci-kim-kong Hwesio terdengar amat dingin dan menyeramkan. Thay-kun segera tersenyum. "Kalau begitu Tio Tian-seng bertiga terluka karena memandang enteng kemampuanmu, bukan karena kau bisa mengungguli mereka dengan mengandalkan kepandaian sejati. Sekalipun peluru Leng-hwe-tan sangat lihai, tapi bukankah sudah kau saksikan sendiri, ketiga Hwesio yang membawa Leng-hwe-tan pun tak berhasil meloloskan diri dari kematian." Paras muka Ci-kim-kong Hwesio berubah hebat, segera ujarnya dingin, "Jadi ketiga Kim-kong Hwesio itu tewas di tanganmu?" "Bukan, mereka mati dibunuh oleh Jian-ciat-suseng."
Pendekar Cacat 1648
Sambil menarik muka Ci-kim-kong Hwesio kembali berkata, "Kalau memang bukan mati di tanganmu, Hud-ya pun tak ingin menyusahkan dirimu. Segera kau boleh meninggalkan Ban-jian-bong!" Thay-kun tersenyum. "Sebelum bertemu Gi Jian-cau, aku tak akan mengundurkan diri dari Ban-jian-bong begitu saja." "Bila kau tak segera mengundurkkan diri dari Ban-jianbong, maka hanya jalan kematian yang akan kau hadapi." Ketika Thay-kun menyaksikan keenam Hwesio lainnya telah bersiap melancarkan serangan, mendadak ia berseru, "Tunggu dulu!" "Apakah kau hendak mengundurkan diri dari Ban-jianbong?" "Aku tidak ingin melukai orang terlalu banyak," kata Thaykun dengan suara dingin. "Aku tak lebih hanya ingin bertemu Gi Jian-cau serta memohon kepadanya untuk menyelamatkan jiwa Jian-ciat-suseng, soal lain aku tidak mengharapkan apa-apa." "Hud-ya pun tidak mengharapkan apa-apa darimu, aku hanya berharap kau suka mengundurkan diri dari Ban-jianbong dengan segera."
Pendekar Cacat 1649
"Percayakah kau, sebelum kalian sempat melepaskan Lenghwe-tan yang pertama, aku sanggup membinasakan kalian semua?" kata Thay-kun. Tiba-tiba Ci-kim-kong Hwesio membentak, "Bunga salju terbang di angkasa!" Sebagai seorang jago persilatan yang berpengalaman luas, Thay-kun segera tahu pihak lawan sedang menurunkan perintah untuk melancarkan serangan. Setelah mendengar suara bentakan itu, maka dia pun segera membentak dan mengayunkan telapak tangan kirinya melepaskan sebuah pukulan. Segulung tenaga pukulan yang sangat kuat dan mengandung tenaga Soh-li-jian-yang-sin-kang segera meluncur ke depan secepat kilat ilim menerjang seorang Kim-kong Hwesio yang berdiri di sudut paling kiri. Serangan itu segera meluncur ke muka tanpa menimbulkan sedikit suara, tahu-tahu saja Kim-kong Hwesio itu roboh terjungkal, kemudian lanpa menimbulkan suara keluhan apa pun, dia terkulai dan tak pernah merangkak bangun kembali. Ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Thay-kun yang maha dahsyat itu dengan cepat mengejutkan semua Kimkong Hwesio lain. Dengan begitu dia tak punya kesempatan lagi melukai Hwesio kedua.
Pendekar Cacat 1650
Tiga dengungan keras yang memekakkan telinga berkumandang, lalu secepat kilat menyelimuti seluruh arena pertarungan itu. Ternyata keenam Kim-kong Hwesio itu telah melepaskan biji tasbihnya secara beruntun ke angkasa dengan ilmu melepaskan senjata rahasia yang khusus. Dalam waktu singkat biji-biji tasbih itu menari-nari di angkasa seperti bunga salju beterbangan di udara. Dalam waktu singkat seluruh badan Thay-kun sudah terjerumus ke dalam lautan api, dia seperti seekor burung dalam sangkar yang dibikin ketakutan, terbang ke sana kemari, namun selalu gagal melepaskan diri dari kepungan. Thay-kun benar-benar terkejut setelah menghadapi kejadian ini, dia bukannya takut terluka di tangan musuh, tapi dia kuatir Bong Thian-gak yang masih tak sadarkan diri itu akan terluka lagi oleh serangan Leng-hwe-tan lawan. Baru saja pikirannya bercabang, tiba-tiba dua biji Leng-hwetan sudah saling tumbuk di hadapannya dan menimbulkan ledakan yang keras. Ibarat daun berguguran dari atas ranting, Thay-kun segera bergulingan di atas tanah. Biarpun gerakannya ini berhasil menyelamatkannya dari ancaman tiga puluh jarum beracun ekor lebah, namun
Pendekar Cacat 1651
gagal menghindari sergapan bara api, dalam waktu singkat pakaiannya sudah terbakar hangus. Biji tasbih berpeluru Leng-hwe-tan itu memang benarbenar senjata rahasia yang tiada taranya, apalagi dipancarkan oleh enam Kim-kong Hwesio pada saat bersamaan, kekuatannya luar biasa. Kobaran api yang membumbung tinggi ke angkasa serta kilatan guntur yang menggelegar membuat Thay-kun seperti sasaran yang diincar setiap orang, pada hakikatnya sama sekali tidak tersisa sedikit kemampuan pun untuk melancarkan serangan balasan. Mendadak dari luar lingkaran kepungan, terdengar Ci-kimkong Hwesio membentak. Tahu-tahu Hwesio itu sudah mendesak maju, tangan kanannya segera diayunkan ke muka dan sebatang anak panah segera meluncur ke depan bagai sambaran kilat. Tahu-tahu senjata itu sudah mengancam dada Thay-kun. Di bawah serangan Leng-hwe-tan yang menimbulkan kobaran api dan asap tebal ini, siapa saja pasti akan merasakan kepala pening dan mata berkunang-kunang, pikiran kalut dan perasaan kacau-balau tak keruan. Dalam keadaan demikian, siapa pun pasti tak akan mampu menghindarkan diri dari serangan anak panah yang demikian cepatnya.
Pendekar Cacat 1652
Dalam anggapan Ci-kim-kong Hwesio, Thay-kun sudah pasti akan terkena sasaran anak panahnya pula. Seringkah kenyataan memang berada di luar dugaan siapa saja, sementara Thay-kun menjerit kaget, dia telah membalik pergelangan tangan kanannya menangkap anak panah itu, lalu balik menyambitkan ke depan. Jeritan ngeri yang menyayat hati seperti jeritan babi disembelih segera berkumandang. Seorang Kim-kong Hwesio yang kebetulan berdiri di hadapannya terkena sambitan anak panah itu tepat pada matanya hingga roboh binasa. Ci-kim-kong Hwesio terkesiap, cepat dia berteriak, "Lepaskan lagi Leng-hwe-tan, gunakan 'Lautan api membakar langit', binasakan orang ini!" Sementara itu Thay-kun sudah merasakan betapa dahsyat dan hebatnya Leng-hwe-tan, ia tak berani melancarkan serangan ke arah lawan secara gegabah lagi, badannya segera bergerak dan melompat ke samping tubuh Bong Thian-gak, kemudian dengan cekatan membopong tubuh pemuda itu. Rentetan Leng-hwe-tan yang dilancarkan secara bertubitubi ke arahnya segera berledakan dimana-mana serta menimbulkan suara gemuruh.
Pendekar Cacat 1653
Thay-kun membentak sambil membopong tubuh Bong Thian-gak, dia segera melejit ke tengah udara. Tenaga dalam yang dimilikinya saat ini membuat orang tak berani mempercayainya, sekali lompatan saja dia telah berhasil melompati hutan bambu. Menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang begitu hebat dan luar biasa, untuk sesaat Ci-kim-kong Hwesio menjadi kaget dan lupa untuk melepas Leng-hwe-tan serta melakukan pengejaran, dia hanya berdiri termangu di tempat dengan mata terbelalak, bayangan Thay-kun sudah lenyap di balik hutan bambu. Thay-kun sambil membopong Bong Thian-gak berlari menyusuri hutan bambu itu sejauh satu li lebih, mendadak sepasang matanya bersinar tajam, rupanya dia sudah keluar dari hutan bambu yang begitu rapat di Ban-jian-bong itu. Tanpa terasa Thay-kun menghentikan langkah, lalu memandang sekejap sekeliling tempat itu, ternyata dia sudah berada di sebelah barat laut pekuburan itu, sepanjang mata memandang hanya padang rumput yang luas tanpa tepian. Tanpa berbicara ataupun mengeluarkan sedikit suara pun, Thay-kun berjalan menyusuri padang rumput yang sangat luas itu. Kemanakah dia hendak pergi?
Pendekar Cacat 1654
Cahaya matahari yang mendekati senja memancarkan sinarnya yang merah ke atas tubuhnya, beberapa bagian pakaian yang dikenakan telah hangus terbakar, membuat pakaiannya sangat kusut dan wajahnya amat layu. Angin berhembus menerbangkan rambutnya yang panjang dan membentuk perpaduan pemandangan memilukan dan mengenaskan. "Engkoh Gak, engkoh Gak, dimanakah engkau berada, engkoh Gak...." Angin barat berhembus, seakan ada panggilan yang menyayat hati. "Engkoh Gak, dimanakah engkau berada? Engkoh Gak” Suara panggilan yang muncul sangat mendadak dan bernada memilukan itu segera menyadarkan Thay-kun dari pikiran kusut dan murung. Dengan cepat dia memandang sekejap ke arah padang rumput yang membentang tak bertepian di depan matanya, namun tak kelihatan sesosok bayangan orang pun di sana. "Jelas itu suara panggilan seorang perempuan," gumam Thay-kun dengan suara lirih.
Pendekar Cacat 1655
"Dia sedang mencari engkoh Gak, siapakah engkoh Gak itu?" Thay-kun berdiri tegak di situ dengan tenang, menanti datangnya suar panggilan itu sekali lagi. Namun suasana amat hening, sepi, bahkan suara panggilan tadi tak terdengar lagi. Tiba-tiba Thay-kun menghela napas, lalu bergumam, "Mungkinkah aku telah salah mendengar?" "Ai! Mengapa aku harus berjalan menuju ke padang rumput yang tak bertepian ini?" "Kini keselamatan jiwa Bong Thian-gak sedang terancam bahaya, mengapa aku membuang waktu yang berharga begitu saja?" "Si tabib sakti Gi Jian-cau berada dalam Ban-jian-bong, bagaimana pun aku harus dapat menemukannya dan memaksanya menyelamatkan jiwa Bong Thian-gak. Aku harus secepatnya kembali ke Ban-jian-bong." Tadi berhubung Thay-kun diserang Leng-hwe-tan oleh Cikim-kong sekalian secara bertubi-tubi, merasa sudah tak ada harapan lagi mengungguli musuh, kemudian harapannya untuk menemukan si tabib lakti Gi Jian-cau pun sudah lenyap, dia menjadi putus asa, sedih dan kecewa sekali.
Pendekar Cacat 1656
Pukulan batin yang sangat berat itu membuat pikirannya menjadi sangat kalut, sehingga tanpa disadari dia berjalan menuju ke padang rumput tanpa tujuan. Sekarang dia dapat menenangkan pikiran, dengan perasaan lebih lenang dan otak lebih dingin, dia mulai merasa bahwa kondisi Bong Thlun-gak sangat lemah, dia sangat membutuhkan pertolongan si tabib lakti, maka dia pun memutuskan balik ke Ban-jian-bong. Dengan membopong tubuh Bong Thian-gak, berangkatlah Thay-kun kembali ke Ban-jian-bong. Tidak sampai setengah jam kemudian, Thay-kun sudah tiba di mulut barat laut Ban-jian-bong. Thay-kun berpikir, dalam perjalanan memasuki Ban-jianbong kali Ini, ia tak akan bisa menghindari suatu pertarungan berdarah lagi. Bong Thian-gak yang berada dalam bopongannya akan semakin terancam lagi oleh bahaya maut. Karena itu Thay-kun mencari pohon Siong besar, membaringkan Bung Thian-gak di situ, lalu katanya dengan lembut, "Bong-suheng, berbaringlah di sini dengan tenang, aku akan segera kembali." ***
Pendekar Cacat 1657
21 SALING BENTROK KARENA PETA TAMBANG EMAS
B
ong Thian-gak sudah berada dalam keadaan tak sadar, sudah barang tentu dia tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Thay-kun menggeleng sambil menghela napas sedih, kemudian baru membalikkan badan dan mengerahkan Ginkangnya menerobos ke dalam hutan bambu di Ban-jianbong. Ban-jian-bong yang sangat menyeramkan menggidikkan masih dicekam keheningan.
dan
Secara beruntun Thay-kun menembus enam-tujuh lapis kuburan, namun tak sesosok bayangan pun yang berhasil ditemukan. Thay-kun makin gelisah, apalagi melihat senja semakin mendekat. Bila dia berdiam terus-menerus hingga
Pendekar Cacat 1658
membiarkan malam menjelang tiba, berarti usahanya menemukan si tabib sakti akan semakin menemui kesulitan. Pikir punya pikir, tanpa terasa Thay-kun mulai berteriak, "Ci-kim-kong Hwesio, berada dimanakah kau? Nonamu hendak menantangmu bertarung tiga ratus gebrakan." Bagaikan seorang yang sudah kalap, kembali Thay-kun berteriak, "Tabib sakti Gi-locianpwe, kau bersembunyi dimana? Gi-locianpwe, Thay-kun tahu kau bersembunyi di dalam Ban-jian-bong ini. Ayo cepat keluar!" Suara teriakannya yang sangat keras segera menggema di seluruh hutan bambu itu. Namun suasana dalam Ban-jian-bong tetap hening, sepi dan sama sekali tak terdengar sedikit suara pun. Gelak tawa Thay-kun yang keras dan tajam itu akhirnya berubah seperti orang gila. Badannya berputar-putar dalam hutan bambu secepat sambaran kilat, pukulan demi pukulan dilancarkan berulang kali ke sana kemari membuat peti mati hancur berantakan dan tulang belulang beterbangan di angkasa. Mendadak terdengar dua kali desingan angin tajam.
Pendekar Cacat 1659
Thay-kun segera mengenali suara itu, desingan senjata rahasia, maka sepasang tangannya segera digetarkan dan tubuhnya melejit ke tengah udara. Pada saat itulah terdengar suara ledakan keras, jilatan api menyambar dari bawah kakinya. Tubuh Thay-kun bagaikan seekor burung walet yang terbang di angkasa segera meluncur ke arah hutan bambu di hadapannya, di mana angin pukulan menyambar, seorang Hwesio berbaju kuning segera roboh terjengkang ke atas tanah. Setelah berhasil membinasakan seorang musuh, sekali lagi Thay-kun melejit ke udara dan menerjang lagi ke dalam hutan bambu. Baru saja kakinya melayang turun ke atas tanah, sesosok bayangan muncul dari balik pepohonan bambu yang rindang. Thay-kun segera membentak, "Hendak kabur kemana kau!" Telapak tangan kirinya segera melepaskan sebuah bacokan maut ke depan. Dimana angin pukulan menyambar, bayangan orang segera rontok dari tengah udara dan tak pernah merangkak bangun kembali.
Pendekar Cacat 1660
Tenaga pukulan Thay-kun benar-benar sangat dahsyat dan tajam, membuat siapa pun yang melihat akan bergidik. Sementara suara desingan senjata rahasia kembali terdengar. Thay-kun mulai memutar otak dan menghitung sisa Kimkong Hwesio yang masih tersisa. Bong Thian-gak telah membunuh tiga orang, barusan ia telah membunuh tiga orang dan kini membunuh lagi dua orang, berarti masih tersisa tiga orang saja. Dengan gerakan tubuh yang enteng seperti burung walet, Thay-kun meluncur ke udara, lalu seganas harimau dia menerkam ke arah hutan bambu di hadapannya. Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang, dari balik peti mati mencelat keluar sesosok tubuh yang kemudian tergeletak di tanah sebagai mayat. "Pelacur busuk, Hud-ya akan mengadu jiwa denganmu!" Di tengah bentakan keras, Ci-kim-kong Hwesio dan Kimkong Hwesio yang terakhir muncul dari balik gundukan tanah. Sebatang anak panah kecil disertai dua desingan angin pukulan yang sangat kuat segera menyergap datang dari arah belakang.
Pendekar Cacat 1661
Thay-kun tertawa terkekeh-kekeh, lalu bentaknya, "Sesungguhnya kalian mesti muncul diri sejak tadi!" Dengan cepat Thay-kun melompat ke muka dan melayang turun di belakang kedua Hwesio itu dengan sangat ringan. Tiba-tiba terdengar seseorang membentak. Telapak tangan kiri Thay-kun sudah keburu diayunkan ke depan dengan kecepatan luar biasa. Salah seorang dari Kim-kong Hwesio itu segera mendengus tertahan, lalu tubuhnya roboh terjengkang ke belakang dan binasa dalam keadaan mengenaskan. Dengan cepat tiga sosok bayangan telah melayang datang dan turun di samping tubuh Ci-kim-kong Hwesio. Setelah mengetahui jelas siapa ketiga orang itu, dengan perasaan girang Thay-kun segera berseru, "Ci-kim-kong adalah satu-satunya sumber berita untuk kita, harap kalian jangan melukai dirinya!" Ternyata ketiga orang yang baru saja muncul adalah Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Sam-cing. Sewaktu Ci-kim-kong Hwesio menyaksikan ketiga orang itu, dia justru menarik muka sambil membentak, "Kalian bertiga cepat turun tangan dan bekuk perempuan rendah itu!"
Pendekar Cacat 1662
Thay-kun jadi tertegun, ditatapnya Tio Tian-seng bertiga dengan termangu, dia ingin tahu bagaimanakah reaksi rekan-rekannya itu? Tampak olehnya Tio Tian-seng, Liu Khi dan Tan Sam-cing segera berkelebat ke muka dan dengan cepat membentuk posisi mengurung dari posisi tiga sudut, dengan begitu perempuan itu terkurung rapat. Thay-kun berkerut kening, lalu serunya lantang, "Tiopangcu, sejak kapan kalian bertiga berubah pendirian serta bersedia menuruti perintahnya?" "Nona Thay-kun," dengan suara dalam Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng berkata, "kami telah berjumpa si tabib sakti Gi Jian-cau. Demi persatuan kami untuk bersama-sama menghadapi Hek-mo-ong, maka kami telah mengambil keputusan untuk tetap tinggal di Ban-jian-bong sambil berjaga-jaga di sini." "Mulai sekarang setiap orang dilarang memasuki daerah Ban-jian-bong lagi. Oleh sebab itu kami berharap nona Thay-kun bersedia mengundurkan diri dari sini secepatnya." Thay-kun berkerut kening, lalu dengan hawa napsu membunuh menyelimuti wajahnya, dia berkata, "Sebelum berhasil menjumpai Gi Jian-cau, aku tak akan mengundurkan diri dari Ban-jian-bong."
Pendekar Cacat 1663
"Nona," kata Liu Khi dengan ketus, "bilamana kau bersikeras tak mau mengundurkan diri, terpaksa kau harus terlibat dalam suatu pertarungan sengit melawan kami!" Pelan-pelan Thay-kun mengalihkan sorot matanya ke wajah Tan Sam-cing, kemudian tanyanya pula, "Apakah Tanlocianpwe juga sudah berpihak kepada mereka?" Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing mendengus dingin, kemudian katanya, "Berbagai perubahan yang mendadak seringkali terjadi dalam Kangouw. Nona Thay-kun, kuanjurkan padamu lebih baik pergi dari Ban-jian-bong ini secepatnya, kalau tidak, kau akan tertimpa bencana kematian." Thay-kun segera tertawa dingin. "Bagus, bagus sekali. Cuaca gampang berubah, urusan dunia pun selalu berubah tak menentu. Jika memang demikian aku ingin terkubur dalam Ban-jian-bong ini daripada mengundurkan diri dari sini." Tiba-tiba Ci-kim-kong Hwesio yang berada di sisinya berkata pula dengan suara berat, "Dia telah membinasakan sembilan orang Kim-kong Hwesio, apakah aku harus membiarkan dia pergi dari sini begitu saja?" Tio Tian-seng memandang sekejap ke arah Ci-kim-kong Hwesio, kemudian katanya, "Taysu, si tabib sakti ada perintah membiarkan dia mengundurkan diri dari Ban-jian-
Pendekar Cacat 1664
bong. Bila dia tidak mau mundur, kita baru berusaha membunuhnya." "Aku tidak percaya si tabib sakti benar-benar berbuat demikian," teriak Ci-kim-kong Hwesio. Thay-kun tertawa dingin, kemudian teriaknya secara tibatiba, "Hwesio bajingan, biar kubunuh dirimu lebih dulu." Thay-kun segera mengayun telapak tangan kirinya, kemudian mendesak ke depan menghampiri Ci-kim-kong Hwesio. Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak, tiba-tiba dua bilah pedang dan sebilah golok panjang telah menghadang jalan pergi Thay-kun dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Tio Tian-seng, Tan Sam-cing serta Liu Khi adalah tiga jago persilatan berilmu silat tinggi dalam Kangouw dewasa ini. Setelah mereka bekerja sama, siapa yang sanggup menghadapinya? Dalam kejutnya, Thay-kun segera mundur tiga langkah, kemudian ujarnya dingin, "Benarkah kalian bertiga akan mencampuri urusanku dan menghalangi niatku ini?" Dengan suara dalam Tio Tian-seng berkata, "Tabib sakti berpesan kepada kami bahwa Jian-ciat-suseng Bong Thiangak yang terkena jarum beracun ekor lebah dari Leng-hwetan tak bakal mati. Apakah nona masih ingin membuat keonaran lagi?"
Pendekar Cacat 1665
"Apakah dia berkata demikian? Benarkah Jian-ciat-suseng tak akan mati?" tanya Thay-kun dengan perasaan bergetar keras. Tio Tian-seng menghela napas panjang. "Ai, tadi pun aku sudah terkena racun jarum ekor lebah Leng-hwe-tan, bekerjanya racun itu telah memancing bekerjanya racun dari Hek-mo-ong yang terkandung dalam badanku. Tapi kenyataan aku tak mampus." "Tapi kau sudah memperoleh perawatan dan pengobatan tabib sakti, itulah sebabnya kau tak mampus!" Tiba-tiba Tio Tian-seng bertanya, "Nona, pernahkah kau tahu tentang teori dalam ilmu pertabiban yang dinamakan "dengan racun melawan racun'?" "Walaupun Jian-ciat-suseng sudah terkena jarum ekor lebah yang amat beracun, bukan saja dia tak akan mati, bahkan akan memusnahkan racun dari Hek-mo-ong yang ditanamkan di dalam tubuhnya, sekarang dia hanya pingsan selama beberapa jam, jiwanya tak akan terancam." "Sungguhkah perkataanmu itu?" tanya Thay-kun dengan terkejut bercampur heran. "Aku tak perlu membohongimu." Thay-kun segera tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1666
"Apabila kalian berani membohongi aku, selama hidup aku bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan kalian secara damai." Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ. Tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berkata lagi, "Harap nona mengingatnya baik-baik, sekali lagi jangan kau memasuki daerah Ban-jian-bong ini." Thay-kun yang sudah jauh segera menyahut dengan suara merdu. "Bila Jian-ciat-suseng selamat dari ancaman bahaya, kemungkinan besar kami akan mengundurkan diri untuk selamanya dari keramaian dunia persilatan." Bayangan tubuh Thay-kun pun segera lenyap di balik remang-remangnya cuaca. Matahari sudah lama tenggelam, yang tersisa tinggal secercali sinar yang sangat redup. Di padang rumput yang hening, tiada hentinya berkumandang suara panggilan yang memilukan dan memedihkan hati, "Bong-suheng, dimana kau? Bongsuheng
Pendekar Cacat 1667
Seorang perempuan yang berpakaian compang-camping dan berwajah kusut berlarian di padang rumput seperti orang kalap. "Bong Thian-gak, dimanakah meninggalkan aku begitu saja?"
kau?
Mengapa
kau
Tiada hentinya perempuan berbaju biru itu berteriak dan menjerit sekerasnya. Padang rumput yang tampak begitu sepi, hening dan mengerikan. Sebelum matahari terbenam tadi, di angkasa terdengar orang yang berteriak, "Engkoh Gak, engkoh Gak, dimanakah kau?" Dan sekarang ketika magrib tiba, kembali suasana hening dipecahkan oleh teriakan, "Bong-suheng, Bong-suheng, dimanakah kau?" Sama-sama teriakan pilu seorang perempuan, sama-sama bernada cemas dan sedih, namun berasal dari dua orang perempuan yang berbeda. Ternyata ketika Thay-kun berlari keluar dari Ban-jian-bong dan kembali ke bawah pohon yang rindang itu, bayangan tubuh Bong Thian-gak sudah lenyap. Tidak meninggalkan bekas apa-apa, tak mungkin pemuda itu diserang binatang liar atau menjumpai suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Tapi tubuh Bong Thian-gak lenyap begitu saja.
Pendekar Cacat 1668
Jelas dia sudah mendusin sendiri dari pingsannya, kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Kepergian Bong Thian-gak tanpa pamit membuat Thay-kun merasa sedih. Sejak dia menelan pil penghilang sukma hingga syarafnya menderita luka, keadaan badannya menjadi sangat lemah, akibatnya pukulan batin yang amat besar ini segera membuat jalan pikirannya menjadi lamban dan tidak jelas. Bagaikan orang gila, dia mulai berlarian sambil memanggil nama Bong Thian-gak, dia berlari menyusuri setiap sudut padang rumput yang dilewatinya. Malam sangat kelam. Di sudut padang rumput berdiri sebuah gedung bobrok, sepi dan menyeramkan. Tiba-tiba muncul seorang perempuan muda berambut panjang yang mengenakan baju putih, perempuan muda itu berwajah cantik, usianya antara dua puluh tahunan, namun perutnya besar sekali, jelas dia sedang mengandung. Di atas perutnya yang sudah besar dan kandungan berusia lima-enam bulan ini berbaring seorang lelaki dalam keadaan tak sadar, hal ini membuat perempuan muda itu nampak lebih lemah dan mengenaskan. Seluruh wajah perempuan muda itu diliputi perasaan sedih dan pedih, ia memandang sekejap sekeliling gedung itu,
Pendekar Cacat 1669
lalu gumamnya, penghuninya?"
"Mungkin
gedung
ini
tak
ada
Sembari bergumam dengan cepat ia membopong lelaki itu dan masuk ke dalam gedung. Nyonya muda itu mengetik batu api, sekilas cahaya api menerangi sekeliling tempat itu, ternyata sebuah ruangan besar, perabotnya komplit dan di atas dinding tergantung beberapa lukisan pemandangan dan orang, sementara lantainya bersih tak berdebu, jelas ada penghuninya. Dengan terkejut perempuan muda itu mengundurkan diri dari pintu ruangan, kemudian serunya lembut, "Adakah seseorang di sini?" Pertanyaan itu diulang beberapa kali, namun tak terdengar suara apa pun. Akhirnya nyonya muda itu bergumam, "Mungkin pemilik rumah sedang keluar, pintu luar tidak dikunci, jelas dia tak pergi jauh. Ai, luka yang diderita engkoh Gak begini parah, aku perlu mengobati luka itu secepatnya. Ya sudahlah, terpaksa aku meminjam ruangan ini Sekali lagi nyonya muda itu masuk ke dalam ruangan, lalu menyulut tiga batang lilin yang ada dalam ruangan itu, cahaya api segera menerangi seluruh penjuru ruangan itu. Kali ini nyonya muda itu dapat melihat jelas ruangan itu diatur sangat rapi dan mewah, terutama lukisan di atas
Pendekar Cacat 1670
dinding, pada hakikatnya semua lukisan itu berasal dari pelukis kenamaan. Tapi nyonya muda itu seperti tak ada waktu untuk menikmati lukisan-lukisan itu, dengan cepat ia membaringkan lelaki dalam bopongannya itu ke atas sebuah meja pendek di tengah ruangan. Kemudian dia melepas pakaian bagian dadanya dan diperiksa dengan seksama semua luka yang dideritanya, kemudian dia memegang urat nadinya dan memeriksa lebih kurang sepeminuman teh lamanya. Kemudian nyonya muda itu baru menghela napas panjang, mengambil kursi dan mengeluarkan sebuah kotak kemala persegi panjang yang segera diletakkan di atas kursi tadi. Ketika penutup kotak itu terbuka, selapis cahaya emas dan perak segera memancar dari balik kotak itu. Sinar emas dan perak itu sangat kuat dan menusuk pandangan mata, sehingga sinar lilin yang semula menyinari ruangan itu pun terasa menjadi redup. Dengan cepat nyonya muda berbaju putih itu mengeluarkan isi kotak kemala itu, ternyata isinya adalah jarum emas dan perak. Jarum-jarum itu lembut seperti bulu kerbau, setiap batang jarum memancarkan sinar yang sangat kuat.
Pendekar Cacat 1671
Dengan sangat teratur, perempuan berbaju putih itu menjajarkan jarum-jarum itu di atas bangku, ternyata jarum itu terdiri dari dua belas batang jarum emas dan dua belas jarum perak. Ketika semua persiapan telah selesai, perempuan berbaju putih baru menarik napas panjang, dengan tangan kanan memegang sebatang jarum emas, tangan kiri memegang sebatang jarum perak, serentak dia tusuk jalan darah penting di dada pemuda itu dengan cepat. Gerakan yang dilakukan nyonya muda itu sangat cepat, sepasang tangannya bekerja bersama secara bergantian. Dalam waktu singkat, dari dua puluh empat batang jarum emas dan perak itu tinggal dua batang yang belum ditancapkan. Saat itu dia telah menggenggam kedua batang jarum emas dan perak terakhir. Mendadak dari luar berkumandang suara panggilan yang keras dan memekakkan telinga. "Bong-suheng, dimanakah kau berada?" Ketika mendengar teriakan itu, nyonya muda berbaju putih itu nampak tertegun, namun dengan cepat kedua batang jarum emas dan perak itu ditancapkan ke atas dada pemuda itu.
Pendekar Cacat 1672
Mendadak sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam ruangan gedung. Seorang perempuan berbaju biru yang compang-camping, dengan cepat sudah berdiri di ruang tengah. Ketika menyaksikan orang yang tergeletak di atas meja rendah itu, teriaknya, "Jangan kau lukai dia!" Dengan gerakan sangat cepat dia mendesak maju, lalu cahaya merah memancar dari tangan kirinya, tahu-tahu sebuah pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang telah dilontarkan. Nyonya muda berbaju putih itu memandang sekejap ke arahnya, namun kedua batang jarum emas dan perak itu masih dilanjutkan menusuk ke jalan darah pemuda itu. Berada dalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu mustahil bagi nyonya muda berbaju putih itu untuk menangkis datangnya ancaman serangan perempuan itu, apalagi serangan itu merupakan ilmu Soh-li-jian-yang-sinkang yang ganas dan mematikan. Tampaknya nyonya cantik berbaju putih itu segera akan tewas di tangan lawan. Siapa tahu pada saat itulah dari belakang tubuh nyonya berbaju putih itu muncul sebuah tangan yang mendahului pukulan dahsyat tadi dengan mendorong tubuh perempuan berbaju putih itu hingga mundur tiga-empat langkah.
Pendekar Cacat 1673
Thay-kun tak pernah menyangka ilmu pukulan Soh-li-jianyang-sin-kang akan mengenai tempat kosong. Meskipun saat itu dia pun melihat orang yang mendorong perempuan berbaju putih itu, namun tak sempat lagi melepaskan serangannya, dengan cepat dia hendak memeluk orang yang berbaring di atas meja itu. Melihat perbuatan itu, nyonya muda berbaju putih itu segera berteriak, "Jangan kau sentuh dia!" Jangan dilihat badannya lemah-gemulai seperti tak bertenaga, ternyata gerakannya cepat dan sama sekali di luar dugaan. Tahu-tahu sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan. Telapak tangan kanan nyonya berbaju menghantam di atas bahu kanan Thay-kun.
putih
itu
Akibatnya Thay-kun tidak mampu menahan diri lagi, dengan sempoyongan dia terdorong mundur tiga-empat langkah, kemudian memuntahkan darah segar. Selapis hawa membunuh yang sangat menggidikkan segera memancar dari mata Thay-kun, pelan-pelan dia mengangkat telapak tangan kirinya. Mendadak terdengar suara seorang kakek, "Tahan!" Suara itu terlambat, pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Thaykun telah dilontarkan ke depan.
Pendekar Cacat 1674
Nyonya berbaju putih mendengus tertahan, lalu sambil memeluk perutnya yang besar dia terjongkok dan duduk di tanah. Saat itulah Thay-kun baru melihat lawan adalah seorang perempuan yang sedang mengandung. Dia menjadi tertegun, kemudian kakinya menjadi lemas dan akhirnya jatuh terduduk di atas tanah. Paras muka nyonya muda berbaju putih pucat-pias seperti mayat. Mukanya mengejang keras, dengan suara penuh penderitaan dia berkata, "Empek, tolong bantu aku melindunginya, dia segera akan mendusin." Ternyata di dalam ruangan itu telah bertambah dengan seorang kakek berbaju hijau. Kakek itu mempunyai wajah yang keras, alis matanya berwarna putih, telinga besar, namun tampaknya seperti sedang menderita sesuatu penyakit sehingga mukanya kuning kepucat-pucatan. Kendatipun demikian, hal itu sama sekali tidak menutupi kegagahan serta kewibawaannya. Kakek berbaju hijau memandang sekejap ke arah nyonya muda berbaju putih, lalu tanyanya dengan ramah, "Parahkah luka yang kau derita?" "Parah sekali, telah menggoncang rahimku!"
Pendekar Cacat 1675
Dalam pada itu Thay-kun sudah mulai sadar, secara lamatlamat tindakan yang dilakukan perempuan muda berbaju putih tadi bukan bermaksud hendak mencelakai Bong Thian-gak, melainkan sedang mengobati lukanya dengan ilmu tusuk jarum yang sangat hebat. Thay-kun benar-benar kecerobohannya.
menyesal,
menyesal
atas
Dengan cepat ia meronta bangun dari atas tanah, lalu tanyanya agak gemetar, "Si... siapakah kau?" Dengan wajah murung dan suara merintih, nyonya muda berbaju putih itu berbisik pelan, "Mungkin ... mungkin kau telah mencelakai jiwa anakku yang masih dalam kandungan." "Ai, aku ... aku benar-benar telah khilaf. Aku ... aku kelewat ceroboh," keluh Thay-kun sambil menghela napas sedih. Kakek berbaju hijau berjalan mendekat, lalu mengeluarkan sebuah botol obat menuju ke hadapan nyonya muda itu. Dengan cepat dia mengeluarkan tiga butir pil, ujarnya dengan lembut, "Cepat kau telan pil ini. Pil itu adalah Kiucoan-bing-wan, bisa jadi akan menekan goncangan pada rahimmu." Dengan cepat nyonya muda berbaju putih menerima pemberian itu dan sekaligus menelan ketiga butir pil itu. Betul juga, ketika pil itu masuk ke dalam mulut, terasa
Pendekar Cacat 1676
harum semerbak memancar kemana-mana. Rasa sakit dalam perut juga semakin berkurang. Tiba-tiba Thay-kun membimbing nyonya muda berbaju putih itu, kemudian bisiknya, "Cici, maafkanlah aku!" Setelah menelan pil tadi, rasa sakit yang melilit perut nyonya muda berbaju putih itu pun semakin berkurang, dengan kening berkerut dia segera bertanya, "Siapakah kau? Mengapa kau kenal padanya?" "Apakah Cici kenal padanya?" Thay-kun balik bertanya dengan terkesiap. "Dia adalah suamiku," jawab si nyonya muda itu dengan suara pedih. Thay-kun benar-benar terkejut sekali. "Ah, kalau begitu kau adalah ... adalah Song Leng-hui!" Agaknya nyonya muda berbaju putih itu sama sekali tak mengira Thay-kun bisa menyebut namanya dengan tepat, selapis sinar duka dan murung segera memancar dari balik matanya, pelan-pelan dia bertanya, "Siapakah namamu?" "Aku bernama Thay-kun, aku adalah adik seperguruannya." Ternyata nyonya muda berbaju putih itu adalah Song Lenghui. Sejak Bong Thian-gak meninggalkannya untuk turun gunung, dia hidup seorang diri di tengah pegunungan yang
Pendekar Cacat 1677
terpencil sambil merindukan suaminya, rasa rindu itu kian hari kian bertambah. Setiap pagi maupun senja, dia selalu berdiri di puncak bukit sambil menunggu suaminya pulang. Pada bulan kedua, Song Leng-hui merasa ada perubahan pada dirinya. Perut pun makin hari makin membesar, dia tahu hubungan intim yang mereka lakukan pada malam itu telah menghasilkan benih dalam rahimnya. Kejadian itu membuat Song Leng-hui semakin mengharapkan suaminya pulang, dia ingin turun gunung, tapi pesan orang tuanya sebelum meninggal membuatnya tak berani membangkang sumpah untuk turun gunung. Tapi rasa rindu yang menyiksa dirinya serta perut yang semakin bertambah besar, membuat perempuan itu tak bisa berdiam diri lagi, akhirnya tanpa berpikir lebih jauh, ia segera turun gunung. Setelah turun gunung, dia pun mulai menyusuri jejak Bong Thian-gak sepanjang jalan. Dia pergi ke Ho-pak, lalu ke Holam, sebulan lebih dia menderita dan mengembara, namun jejak Bong Thian-gak belum juga ditemukan. Dalam sedih dan tekanan batin yang sangat berat, akhirnya terjadi perubahan pada dirinya. Setiap senja mulai menjelang tiba, dia mulai menyusuri tempat terpencil dan meneriakkan nama, "Engkoh Gak ...engkoh Gak."
Pendekar Cacat 1678
Akhirnya dia berhasil juga menemukan Bong Thian-gak. Ia tergeletak di bawah pohon dalam keadaan sangat kritis, maka sambil membopong tubuhnya dan menyusuri jalanan sejauh satu li lebih, akhirnya dia berhasil menemukan gedung itu. Song Leng-hui menghela napas sedih, pelan-pelan katanya, "Thay-kun, aku pernah mendengar nama itu disebut olehnya, dia terjun kembali ke dunia persilatan tak lain karena ingin menolongmu. Ai, tapi dia ... dia telah berubah menjadi begini rupa sekarang." Air mata bercucuran membasahi wajah Thay-kun, serunya lirih, "Enci Song, maafkanlah aku, aku memang pantas mati bila kau mengalami sesuatu. Bagaimana mungkin aku bisa mempertanggung¬jawabkan kepada Bong-suheng." Thay-kun menangis, menangis dengan sedihnya. Suara isak-tangisnya amat memilukan, membuat siapa pun yang mendengar turut berduka. Memandang keadaan itu. Song Leng-hui menjadi terharu pula, tanpa terasa dia segera menghibur, "Enci Thay-kun, kau tidak usah bersedih, aku tak akan mati." "End Song, tadi aku telah melancarkan serangan dengan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, aku sudah seharusnya mati."
Pendekar Cacat 1679
Mendadak kakek berbaju hijau itu menghela napas panjang, lalu berkata, "Sebenarnya ilmu pukulan Soh-li-jianyang-sin-kang adalah ilmu sakti yang sangat langka, tapi untunglah, nona Song memiliki tenaga Tay-gi-khi-kang yang melindungi badannya, sehingga luka yang dideritanya pun tidak terlampau parah." Perkataan kakek berbaju hijau membuat kedua orang perempuan itu segera sadar bahwa di dalam ruangan itu masih hadir seorang kakek berbaju hijau. Song Leng-hui segera berpaling ke arah kakek itu, kemudian ujarnya dengan lembut, "Terima kasih banyak atas pemberian obat Locianpwe. Maafkanlah, Siauli sedang terluka sehingga tak dapat menyampaikan rasa terima kasihku kepadamu." "Nona Song tidak usah banyak adat." Tiba-tiba Song Leng-hui berkata lagi, "Tampaknya Locianpwe adalah tuan rumah gedung ini. Bila Siauli telah memasuki gedung kediamanmu pada saat yang kurang cepat dan secara gegabah, harap Locianpwe sudi memaafkan." Sebenarnya Thay-kun mengira Song Leng-hui dan kakek berbaju hijau itu berasal dari satu jalan, dia baru tertegun sesudah mendengar perkataan itu, tanpa terasa dia memperhatikan beberapa kejap.
Pendekar Cacat 1680
"Tak usah sungkan-sungkan," kata kakek berbaju hijau itu sambil tersenyum. "Kita dapat bersua berarti di antara kita memang punya jodoh." Song Leng-hui kembali tersenyum. "Locianpwe memang betul-betul seorang tokoh yang luar biasa. Nyatanya kau sanggup menebak asal-usul ilmu silatku secara tepat, bolehkah aku tahu siapa nama Locianpwe?" Sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan tertawa, kakek berbaju hijau itu berkata, "Tay-gi-khi-kang merupakan ilmu silat yang luar biasa dalam persilatan, di kolong langit dewasa ini pun hanya Song-ciu suami-istri yang memiliki kepandaian itu. Bila dugaanku tidak salah, sudah pasti nona adalah keturunan Song-ciu." Berubah paras muka Song Leng-hui, cepat dia bertanya, "Siapakah Locianpwe?" Dalam benak Song Leng-hui dengan cepat melintas pesan terakhir ayahnya sebelum meningal, "Anak Hui, sekalipun kau berhasil melatih ilmu silat yang luar biasa, ilmu Tay-gikhi-kang serta berbagai macam ilmu silat lainnya, namun bagaimana pun juga kau tidak boleh turun gunung, sebab orang tuamu mempunyai seorang musuh besar yang lihai sekali. Bukan saja dia telah berhasil melatih berbagai macam ilmu silat yang hebat di dunia ini, dia pun berhati kejam dan buas. Sekali kau menggunakan ilmu silatmu,
Pendekar Cacat 1681
maka dia akan segera mengenali asal-usulmu itu dan melakukan pembunuhan atas dirimu." "Oleh karenanya aku meminta kau bersumpah dan selama hidup tidak turun gunung, selama hidup merahasiakan ilmu silat yang kau miliki itu ... sekalipun terhadap kekasihmu sendiri, kau juga tidak boleh memperlihatkan ilmu silatmu sendiri." Hati Song Leng-hui benar-benar bergetar keras, ditatapnya kakek berbaju hijau itu lekat-lekat tanpa berkedip. Menyaksikan ketegangan yang mencekam Song Leng-hui, diam-diam Thay-kun menegur kecerobohannya, maka dia pun memutuskan bila kakek itu bersiap melakukan serangan, maka dia akan turun tangan lebih dahulu. Sementara itu kakek berbaju hijau sudah memandang sekejap ke arah kedua gadis itu, kemudian katanya, "Kalian tak usah bertanya siapa namaku, kalian pun tidak perlu curiga dan takut terhadapku." Song Leng-hui adalah seorang yang baru terjun ke dunia Kangouw, pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya masih cetek. Setelah mendengar ucapan kakek itu, dia menjadi tersipu-sipu dan segera menundukkan kepala. Sebaliknya Thay-kun segera tersenyum, seraya berkata, "Ah, kami tidak lebih hanya merasa bahwa Locianpwe adalah seorang aneh, lain daripada yang lain."
Pendekar Cacat 1682
"Melihat yang aneh jangan terasa aneh, keanehan hanya akan muncul dari dasar hati," kata kakek berbaju hijau itu sambil mengelus jenggotnya dan tertawa. Kemudian dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang masih terbaring di atas meja sambil berkata, "Ilmu tusuk jarum Song-hujin yang mengandalkan dua puluh empat batang jarum emas dan perak merupakan tandingan dari berbagai macam racun yang ada di dunia ini, kini semua racun yang ada di dalam tubuhnya mungkin sudah punah oleh tusukan jarum emas dan perak itu. Nona Song, kau boleh mencabut semua jarum emas dan perak itu." "Locianpwe, tampaknya kau seperti banyak tahu tentang segala sesuatu mengenai kedua orang tuaku?" tanya Song Leng-hui curiga. Kakek berbaju hijau itu segera tertawa terbahak-bahak, "Nama besar Song-ciu suami-istri tercantum dalam deretan nama sepuluh tokoh persilatan. Nama mereka amat termasyhur, tak aneh bila diketahui setiap orang." "Locianpwe, maaf bila aku mengajukan pertanyaan secara sembrono," tukas Thay-kun. "Aku lihat wajahmu kurang baik. Apakah kau merasa kurang sehat?" Kembali kakek berbaju hijau itu tertawa tergelak, "Benarbenar memiliki ketajaman mata luar biasa. Betul, aku memang menderita suatu penyakit menahun."
Pendekar Cacat 1683
"Bolehkah aku tahu penyakit apakah itu?" "Keracunan," jawab si kakek sambil tersenyum. "Apakah racun yang bersarang di dalam tubuh Locianpwe sukar untuk diobati?" "Racun yang bersarang dalam tubuhku cuma bisa disembuhkan oleh dua orang saja di kolong langit dewasa ini." "Aku tahu siapakah kedua orang yang kau maksudkan itu." "Coba katakanlah!" "Si tabib sakti Gi Jian-cau serta dua puluh empat batang jarum emas dan perak Song-hujin!" Sekali lagi kakek berbaju hijau itu tertawa terbahak-bahak, "Pintar sekali. Dugaanmu memang sangat tepat, tapi aku tidak habis mengerti, darimanakah kau bisa menebak isi pikiranku secara tepat." "Sewaktu enci Song terluka tadi, aku dapat melihat bahwa kau merasa amat gelisah dan tidak tenang." Song Leng-hui yang mendengarkan pembicaraan itu, segera mengedipkan matanya yang jeli berulang kali, kemudian ditengoknya kakek itu sekejap, katanya, "Benarkah Locianpwe menderita luka keracunan menahun?"
Pendekar Cacat 1684
"Benar," kakek berbaju hijau itu mengangguk. "Racun yang bersarang di dalam tubuhku itu sudah menyiksaku selama puluhan tahun lamanya." "Bila Locianpwe memang terluka, sudah sepantasnya bila aku membantumu dengan segenap kemampuan yang kumiliki." "Kalau begitu aku ucapkan banyak terima kasih lebih dulu." Tiba-tiba Song Leng-hui berkata kepada Thay-kun, "Enci Thay-kun, coba kau pergilah ke sana dan cabutlah kedua puluh empat batang jarum emas dan perak itu dari atas tubuh engkoh Gak." Thay-kun segera berjalan ke hadapan Bong Thian-gak dan mencabut kedua puluh empat batang jarum emas dan perak yang menancap di tubuh Bong Thian-gak. Dengan suara lembut Song leng-hui segera berkata lagi, "Setengah jam kemudian dia akan mendusin. Enci Thay-kun setelah termakan oleh pukulan Tay-gi-ciang tadi, kuduga isi perutmu sudah menderita luka ringan. Kau cepatlah duduk bersila untuk mengatur pernapasan, kalau tidak, bila darah sampai membeku di dalam badan sudah pasti akan menciptakan luka dalam yang tak terobati." Thay-kun merasa berterima kasih sekali mendengar perkataan itu, kemudian katanya, "Enci Song, aku tidak apaapa, yang penting adalah kau sendiri."
Pendekar Cacat 1685
"Ketiga butir pil mujarab yang dihadiahkan Locianpwe kepadaku sangat mujarab, mungkin keadaanku sudah tidak apa-apa lagi. Sekarang biar aku beristirahat dulu sejenak, sebelum membantu menyembuhkan luka yang diderita Locianpwe." "Tak perlu terburu napsu," cepat kakek berbaju hijau berkata. "Tak ada salahnya bila nona Song sekalian beristirahat beberapa hari dulu di sini. Bila luka yang kau derita sudah sembuh, barulah kau coba membantuku mengobati luka yang kuderita ini." "Enci Song," Thay-kun segera menyambung, "mari kita beristirahat dulu selama beberapa hari di sini." Song Leng-hui menghela napas panjang. "Ai, antara kita dan Locianpwe ini boleh dibilang sama sekali tidak kenal dan tak punya hubungan apa-apa. Aku merasa kurang enak untuk mengganggu ketenangan orang lain." Si kakek berbaju hijau segera tertawa, "Perkataan nona Song terlalu serius. Bila kau sanggup menyembuhkan penyakitku yang telah menahun ini, maka aku akan sangat berterima kasih kepadamu, bahkan budi kebaikan ini pun tak tahu bagaimana musti kubayar. O, ya .... Bukankah kalian belum bersantap malam? Sebentar biar aku masuk ke dalam dan memerintahkan orang-orangku mempersiapkan hidangan mafam untuk kalian."
Pendekar Cacat 1686
Selesai berkata kakek berbaju hijau segera beranjak masuk ke ruang dalam, dengan begitu dalam ruangan pun tinggal Bong Thian-gak, Song Leng-hui dan Thay-kun bertiga. Sekalipun Thay-kun dan Song Leng-hui menaruh kecurigaan terhadap asal-usul kakek itu, namun sikap bersahabat si kakek membuat mereka tak mampu menduga secara sembarangan. Tak lama setelah kakek itu masuk, dari ruang dalam telah muncul dua orang dayang berbaju hijau, yang seorang membawa baki berisi enam buah cawan, sedang yang lain membawa sebuah poci berisi air teh. Kedua orang dayang itu berusia antara lima-enam belas tahun, berkulit putih, bermata jeli dan senyum manis menghiasi ujung bibirnya, membuat siapa pun yang memandang merasa tertarik. Dayang berbaju hijau yang berada di sebelah kanan segera berkata dengan suara merdu, "Bila pelayanan kami terlambat, harap sudi dimaafkan. Silakan nona berdua minum teh!" Sembari berkata kedua dayang itu telah mempersembahkan dua cawan air teh dengan cepat. Tanpa sungkan Thay-kun dan Song Leng-hui segera menerima cawan air teh itu.
Pendekar Cacat 1687
Tiba-tiba Thay-kun merasa cawan teh itu dingin sekali, ketika diamati lebih seksama lagi, ternyata terbuat dari kemala asli. Dengan terkejut Thay-kun berseru, "Wah, keenam cawan ini benar-benar benda antik yang tak ternilai harganya!" "Ketajaman mata nona sungguh mengagumkan," kata dayang berbaju hijau itu sambil tersenyum. "Keenam cawan kemala putih berusia seribu tahun ini merupakan cawan yang hanya digunakan majikan terhadap tamu agung. Konon bila menggunakan cawan ini untuk menyeduh air teh, bukan saja baunya akan lebih harum dan rasanya manis, terlebih dapat menyegarkan tubuh." Sementara itu Song Leng-hui telah meneguk secawan. Dia segera berseru, "Oh, sungguh harum sekali. Belum pernah aku minum air teh semacam ini." Thay-kun segera turut mencicipi, dengan cepat dia pun memuji tiada hentinya, "Air teh ini benar-benar lezat dan harum. Bagaikan cairan kental yang menyegarkan badan, benar-benar luar biasa." Sementara itu dayang berbaju hijau itu sudah berdiri di samping dan memenuhi dua cawan air teh lagi. "Mengapa adik berdua tidak mencicipi pula secawan?" kata Song Leng-hui tiba-tiba.
Pendekar Cacat 1688
Dayang berbaju hijau itu segera tersenyum. "Air teh dalam cawan kemala putih berusia seribu tahun merupakan benda yang tak ternilai harganya. Budak tak berani meneguknya." Thay-kun yang mendengar perkataan itu segera merasa amat terkejut, pikirnya dengan cepat, "Mengapa mereka tak berani minum air teh itu? Jangan-jangan di balik semua itu terdapat hal-hal yang tak beres." Belum selesai ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang sangat keras, "Siu-kong, Siu-go, bukankah tamu telah menghadiahkan secawan teh kemala putih kepada kalian? Mengapa kalian tidak berterima kasih kepada tamu?" Mendengar ucapan itu, kedua dayang berbaju hijau itu segera berkata bersama, "Terima kasih banyak budak ucapkan atas pemberian teh dari nona." Kemudian mereka meneguk habis isi cawan itu dengan lahapnya, setelah itu ia baru berseru, "Hm, sungguh harum, sungguh manis." Dari sikap kedua dayang itu meneguk air teh, Song Leng-hui dapat melihat bahwa mereka belum pernah mencicipi air teh yang berasal dari cawan kemala berusia seribu tahun itu, maka setelah tertegun sejenak, tanyanya, "Apakah kalian belum pernah minum air teh itu?"
Pendekar Cacat 1689
Dari balik ruangan muncul kembali kakek berbaju hijau itu, sambil tersenyum ia segera berkata, "Cawan kemala putih berusia seribu tahun merupakan benda langka yang tak ternilai harganya di dunia ini, belum pernah kuserahkan cawan itu untuk dipakai para pelayan. Oleh sebab itu harap kalian berdua jangan menertawakannya." Song Leng-hui berkerut kening mendengar perkataan itu, diam-diam pikirnya, "Pelit amat orang ini, tapi heran, mengapa ia justru bersikap royal kepada kami?" Sebaliknya Thay-kun segera berkata pula sambil tertawa, "Silakan Locianpwe pun menikmati secawan air teh bersama kami." Thay-kun tahu bahwa kaum persilatan penuh dengan tipumuslihat serta ancaman mara bahaya, apalagi asal-usul kakek berbaju hijau itu tidak diketahui secara jelas, bagaimana pun juga ia merasa wajib untuk menjaga diri dan waspada terhadap serangan lawan. Tampaknya kakek berbaju hijau itu dapat membaca suara hati Thay-kun, dia segera tertawa terbahak-bahak, "Tentu saja aku harus menemani tamu minum bersama." Sementara itu Siu-kong telah mengangsurkan pula secawan air teh ke hadapannya, kakek berbaju hijau itu segera meneguknya sampai habis, kemudian baru berkata sambil tertawa ringan, "Siu-kiong, Siu-go, cepat masuk dan bantu Hay Cing-cu menyiapkan sayur dan arak."
Pendekar Cacat 1690
Kedua dayang berbaju hijau segera mengundurkan diri dari ruangan itu.
menjura
dan
Sementara kakek itu sudah duduk dan berkata sambil tersenyum, "Sejak setengah tahun berselang, aku pindah kemari untuk merawat lukaku. Untuk itu aku hanya membawa tiga orang pembantu saja, itulah sebabnya gedung ini kosong dan amat sepi rasanya." Song Leng-hui serta Thay-kun memang ingin mengajukan pertanyaan itu kepada si kakek, sungguh tak disangka ternyata dia telah memperkenalkan diri terlebih dahulu. Dalam hati Thay-kun tanpa terasa timbul perasaan curiga dan bimbang, sambil tertawa merdu dia lantas berkata, "Bolehkah aku tahu, siapakah nama Locianpwe?" Kakek itu tertawa tergelak, "Nona Thay-kun, cepat atau lambat kalian pasti akan mengetahui siapa aku." Baru selesai dia berkata, suara rintihan pelan bergema dari mulut Bong Thian-gak yang berbaring di meja, kemudian tampak anak muda itu bangkit dan duduk. Begitu duduk, kebetulan sekali sorot matanya tertuju ke arah Song Leng-hui yang berada di hadapannya. Dalam tertegunnya, Bong Thian-gak segera menggosok-gosok matanya berulang kali. Tiba-tiba terdengar Song Leng-hui berseru, "Engkoh Gak ... ini aku!"
Pendekar Cacat 1691
Dengan cepat dia sudah menubruk ke muka. "Leng-hui ... kau? Atau aku sedang bermimpi?" seru Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali. Sementara itu Thay-kun segera bangkit dan menghampirinya sambil berkata, "Kau bukan lagi bermimpi, enci Song turun gunung hendak menolongmu." Saat itu Bong Thian-gak telah melihat jelas raut muka setiap orang yang berada dalam ruangan itu, jelas semua ini bukan dalam mimpi, tapi kenyataan. Dalam ingatannya, Song Leng-hui adalah seorang gadis lemah yang sama sekali tak mengerti ilmu silat, darimana dia sanggup menyembuhkan lukanya? Tapi benarkah dia mampu menolongnya? Bukankah tiga tahun berselang, dia pun menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut?
pernah
Berbagai ingatan berkecamuk dalam benak Bong Thian-gak, tiba-tiba sorot matanya tertumbuk kepada perut Song Leng-hui yang membengkak besar. Tanpa terasa ia tertegun dan bergumam lirih, "Kau ... kau telah mengandung?" Dalam pada itu Song Leng-hui pun sudah melihat sikap Bong Thian-gak yang bingung dan tak habis mengerti, dia
Pendekar Cacat 1692
malah tertegun dibuatnya, tiba-tiba saja gadis itu menangis tersedu-sedu sambil menundukkan kepala. Tangisan yang kelewat sensitif kaum wanita. Ketika ia lihat kegugupan pemuda itu, disangkanya si pemuda tidak menyukainya lagi, tidak suka kalau dia mengandung, maka hatinya menjadi amat sedih. Tiba-tiba Thay-kun berkata dengan dingin, "Bong-suheng, enci Song telah mengandung anakmu. Kau benar-benar amat kejam, membiarkan seorang gadis yang lemah hidup seorang diri di atas gunung yang terpencil, sekarang dia telah melakukan perjalanan jauh dan bersusah-payah mencari kau, bahkan menyelamatkan pula jiwamu, mengapa kau justru bersikap begitu dingin dan hambar kepadanya?" Ketika melihat istrinya menangis. Bong Thian-gak dibuat semakin tertegun lagi, dia baru sadar dari lamunannya, tiba-tiba ia berteriak dan menubruk ke depan, lalu sambil memegang bahunya dia berseru dengan gembira, "Lenghui, kau ... kau benar-benar sudah mengandung anak kita berdua? Oh, aku gembira sekali. Belum pernah terbayang olehku akan mendapat anak, aku benar-benar merasa gembira." Song Leng-hui ikut tertawa dengan tersipu-sipu malu, katanya lirih, "Benarkah kau menyukai anak? Aku malah merasa jengkel karena dia datang terlalu cepat."
Pendekar Cacat 1693
"Lebih cepat malahan lebih baik," seru Bong Thian-gak sambil melompat kegirangan. "Aku malah ingin sekali dia lahir saat ini juga dan memanggil ayah padaku." "Tempat ini bukan rumah kita, kau jangan berteriak-teriak seperti anak kecil." Mendengar itu, Bong Thian-gak baru memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya heran, "Berada dimanakah kita sekarang? Mengapa kau turun gunung? Bersediakah kau menceritakan segalanya kepadaku?" Mendadak kakek berbaju hijau itu berkata, "Nona Song dan Bong-laute telah bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, tentu banyak persoalan yang hendak kalian bicarakan, biarlah aku mohon diri lebih dulu." Kali ini Bong Thian-gak dapat melihat paras muka kakek berbaju hijau itu dengan jelas, air mukanya segera berubah. Setelah tertegun sejenak, pikirnya, "Aku seperti pernah berjumpa orang ini? Tapi siapakah dia? Ya, siapakah dia?" Dalam pada itu si kakek berbaju hijau sudah mengundurkan diri dari ruangan itu. Thay-kun sendiri merasa kecut hatinya, di samping rasa cemburu yang timbul secara tiba-tiba setelah menyaksikan Song Leng-hui dan Bong Thian-gak berbicara lirih dengan sikap begitu mesra dan penuh cinta kasih, diam-diam dia
Pendekar Cacat 1694
segera membalikkan badan dan beranjak pergi pula dari situ. Song Leng-hui yang menyaksikan keadaan itu segera mengejar ke depan, sambil serunya, "Enci Thay-kun, kau hendak pergi kemana?" Thay-kun menyahut sambil tersenyum, "Bong-suheng sudah sehat kembali, aku ... aku hendak pergi dari sini." "Enci, kau tak boleh pergi. Bila kau pergi, maka aku pun akan segera pulang ke gunung." Sambil menghela napas Bong Thian-gak berkata pula, "Thay-kun, kau jangan pergi dulu. Sekalipun hendak pergi, tak perlu tergesa-gesa. Ai, tempat apakah ini? Siapa pula kakek tadi?" Sesungguhnya Thay-kun pun sudah melihat pula perubahan air muka Bong Thian-gak setelah melihat paras muka kakek berbaju hijau itu. Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, segera tanyanya, "Bong-suheng, apakah kau pernah bersua dengannya? Dia adalah tuan rumah tempat ini, gedung ini terletak di luar kota Lok-yang, di sekelilingnya tidak bertetangga." "Jadi kalian sama sekali tidak kenal padanya?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Ya, kami tak pernah kenal sebelumnya."
Pendekar Cacat 1695
Secara ringkas Thay-kun segera menceritakan kembali apa yang mereka alami. Dengan kening berkerut kencang Bong Thian-gak mendengarkan kisah itu dengan penuh perhatian. Song Leng-hui menaruh kesan baik terhadap kakek berbaju hijau itu, cepat dia berseru, "Engkoh Gak, empek tua ini sangat ramah, gagah dan menyenangkan, dia pasti orang baik-baik." Mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, paras mukanya kembali berubah hebat, serunya lirih, "Dia agak mirip dengan..” Dengan merendahkan suaranya hingga setengah berbisik, Bong Thian-gak berkata, "Raut mukanya sangat mirip Samcing Totiang." "Hek-mo-ong!" Thay-kun terkejut. "Seandainya dia benar-benar adalah Sam-cing Totiang, kita tak boleh berdiam lama di sini." "Siapa Hek-mo-ong?" tanya perasaan tidak habis mengerti.
Song
Leng-hui
dengan
"Dia adalah seorang jago silat yang ganas dan berhati buas, sedikit pun tidak berperi-kemanusiaan." "Engkoh Gak, kau jangan salah melihat orang."
Pendekar Cacat 1696
"Benar, aku sendiri pun tidak mempunyai keyakinan untuk mengenalinya sebagai Sam-cing Totiang, namun perawakan tubuh serta bayangan punggungnya mirip Sam-cing Totiang." Tiba-tiba Thay-kun berkata, "Seandainya dia adalah Hekmo-ong, seharusnya dia sudah turun tangan terhadap kita sejak tadi." Hek-mo-ong adalah seorang tokoh sakti yang dikenal namanya oleh setiap umat persilatan, namun tak seorang pun yang berhasil menjumpainya. Untuk bisa membuktikan apakah dia adalah Hek-mo-ong atau bukan, terpaksa mereka harus tetap tinggal di situ. "Apa yang mesti kita lakukan sekarang untuk membuktikan dia benar-benar adalah Hek-mo-ong atau bukan?" tanya Bong Thian-gak kemudian. Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu katanya, "Sewaktu berada di Ban-jian-bong, Hek-mo-ong pernah terkena tusukan pedang Tan Sam-cing, agaknya tusukan itu telah mendatangkan luka yang cukup berat baginya." "Jadi kita harus memeriksa tubuhnya, adakah luka bekas tusukan atau tidak?" "Enci Leng-hui telah berjanji untuk menyembuhkan luka yang dideritanya."
Pendekar Cacat 1697
"Oh, benarkah itu?" tanya Bong Thian-gak cepat. "Benar," sahut Song Leng-hui. "Aku telah berjanji akan mengobati penyakitnya, sudah barang tentu aku tak boleh mengingkari perkataan sendiri." "Penyakit apa yang dideritanya?" "Dia bilang keracunan hebat, penyakit menyiksanya selama puluhan tahun."
itu
sudah
"Racun keji? Racun apakah itu? Masakah dapat mengeram di dalam badan sampai puluhan tahun lamanya?" "Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok, sedang Thio Kim-ciok sudah dicelakai oleh sepuluh tokoh persilatan dan Ho Lanhiang pada tiga puluh tahun berselang, mayatnya pun telah tenggelam di dasar telaga. Andaikan Thio Kim-ciok dapat lolos dari musibah itu, maka dia tentu akan menderita pula penyakit menahun." "Sekarang kakek berbaju hijau itu mengatakan dirinya menderita penyakit menahun, kenyataan ini sesuai dengan keadaan Thio Kim-ciok, bila dia bangkit dari hidupnya. Untuk menyingkap teka-teki ini, kita memang wajib tetap tinggal di sini." Kemudian setelah berhenti sejenak, Thay-kun menyambung lebih jauh, "Andaikata kakek berbaju hijau itu benar-benar adalah Hek-mo-ong Thio Kim-ciok, aku pikir
Pendekar Cacat 1698
dia pun tak akan turun tangan keji terhadap kita, kita tak punya dendam sakit hati apa pun dengannya?" "Betul," Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Kita memang tak punya dendam sakit hati apa pun dengannya, tapi tersangkut pula sedikit dendam dengannya. Bukankah Oh Ciong-hu adalah guruku." Sampai di sini dia menengok sekejap ke arah Song Leng-hui, kemudian katanya sambil menghela napas, "Tak kusangka pula. Song Leng-hui adalah keturunan Song-ciu suami-istri. Oleh sebab itu bila Hek-mo-ong benar-benar adalah Thio Kim-ciok, mungkin aku dan Leng-hui tak akan dilepaskan olehnya begitu saja." Lambat-laun Song Leng-hui sudah dapat menangkap garis besar pembicaraan itu, dengan wajah berubah ia segera berseru, "Sebelum meninggal dunia, ayah pernah berpesan kepadaku bahwa dia mempunyai seorang musuh besar yang sangat lihai. Engkoh Gak, kalian mengatakan sepuluh tokoh persilatan telah membinasakan Thio Kim-ciok, sebenarnya siapa Thio Kim-ciok itu?" Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Hingga sekarang aku sendiri pun tidak mengetahui sumber dendam kesumat itu. Biarlah kalau ada waktu senggang akan kuberitahukan persoalan itu kepadamu." Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar suara gelak tertawa yang amat keras.
Pendekar Cacat 1699
Kakek berbaju hijau telah muncul kembali dari ruang belakang sambil berkata, "Aku cukup tahu sejarah hidup saudagar kaya-raya Thio Kim-ciok. Apabila kalian bertiga tidak merasa bosan, aku bersedia menceritakan kisahnya secara garis besar." Bong Thian-gak dan Thay-kun menjadi melongo, sebaliknya Song Leng-hui berseru dengan merdu, "Cepatlah ceritakan Locianpwe, orang macam apakah Thio Kim-ciok itu?" Sambil mengelus jenggot, kakek berbaju hijau tertawa, "Baik, aku akan bercerita, tapi panjang sekali untuk mengisahkan peristiwa itu. Bukankah kalian bertiga belum bersantap malam? Mari kita bersantap di ruang belakang lebih dulu sambil bercerita." "Kalau begitu terpaksa kami mengganggu ketenanganmu," ucap Thay-kun sambil tertawa. Kakek berbaju hijau balas tertawa. "Setiap orang persilatan lebih mengutamakan kebebasan dan keterbukaan, apalagi kita merasa cocok sejak bertemu. Buat apa mesti sungkan-sungkan lagi? Mari ikut aku." Selesai berkata, kakek berbaju hijau segera membalikkan badan dan beranjak lebih dulu, dia berjalan menuju ke halaman belakang, kemudian setelah melalui sebuah beranda menuju ke kebun bunga di halaman belakang.
Pendekar Cacat 1700
Di dalam kebun terdapat gunung-gunungan, gardu dan aneka bunga yang menyebarkan bau harum semerbak. Sementara itu di sebuah gardu di hadapan mereka tampak cahaya lentera bersinar terang. Sebuah meja perjamuan yang penuh dengan berbagai macam hidangan telah disiapkan, dua orang berdiri di samping meja, mereka adalah sepasang dayang berbaju hijau yang tadi, sedangkan di sisi lain berdiri seorang aneh bermuka hijau yang bertubuh gemuk pendek dan berwajah jelek sangat menyeramkan. Begitu mereka memasuki gardu, Sui-kiong dan Sui-go segera menyiapkan tempat duduk sambil tersenyumsimpul, sedangkan lelaki bermuka aneh itu tetap berdiri di tempat tanpa berbicara atau tertawa, wajahnya sangat kaku dan tanpa emosi. Kakek berbaju hijau itu tertawa ringan sambil menunjuk ke arah lelaki itu, katanya, "Dia bernama Hay Cing-cu, meski mukanya jelek dan tak sedap dipandang, namun merupakan seorang koki yang sangat hebat, dia sudah puluhan tahun lamanya melayani kebutuhanku, benarbenar seorang pembantu setia yang pantas dihormati dan disegani." Si kakek berbaju hijau segera duduk di bangku tepat di muka Hay Cing-cu. "Silakan duduk, tidak usah sungkan," katanya lagi.
Pendekar Cacat 1701
Song Leng-hui, Thay-kun dan Bong Thian-gak menganggukkan kepala lebih dulu ke arah Hay Cing-cu, siapa tahu lelaki aneh bermuka jelek itu tetap berdiri kaku tanpa emosi, sepasang matanya yang bulat sama sekali tak bergerak, dia hanya berdiri kaku saja di situ, persis seperti patung. Kenyataan ini tentu saja membuat ketiga orang itu menjadi tertegun, diam-diam pikirnya, "Aneh benar orang ini." Tanpa sungkan lagi, mereka segera mengambil tempat duduk. Dalam pada itu Siu-kiong dan Siu-go telah menghampiri mereka untuk menuang arak dan menyiapkan hidangan. "Tak perlu sungkan, setelah kita bersantap dan meneguk arak, barulah berbincang-bincang." Tampaknya kakek berbaju hijau amat ramah, suka bersahabat dan mudah bergaul, sikapnya begitu luwes dan berpengalaman. Hidangan yang disiapkan benar-benar mewah, hampir setiap hidangan rasanya lezat dan menggiurkan. Bong Thian-gak bertiga memang sudah lama kelaparan, sudah tentu mereka tak sungkan lagi. Selesai bersantap, kakek berbaju hijau berkata sambil tersenyum, "Sekarang kita boleh mulai bercerita, tapi
Pendekar Cacat 1702
sebelum dimulai, aku ingin bertanya dulu, seberapa banyak yang sudah kalian ketahui tentang Thio Kim-ciok?" "Aku sama sekali tidak tahu," kata Song Leng-hui sambil menggeleng kepala. Kakek berbaju hijau itu segera mengalihkan sorot matanya ke arah Thay-kun dan Bong Thian-gak. Thay-kun termenung sejenak, kemudian katanya dengan suara merdu, "Kami tahu Thio Kim-ciok adalah seorang saudagar kaya-raya pada tiga puluh tahun lalu, kekayaannya melebihi kekayaan sebuah negeri." Sambil tersenyum kakek berbaju hijau manggut-manggut. "Ya betul, kekayaan yang dimiliki Thio Kim-ciok memang sangat besar seperti apa yang tersiar selama ini dalam masyarakat luas." "Kami pun tahu Thio Kim-ciok telah mengumpulkan semua Enghiong Hohan yang ada di kolong langit. Tapi kemudian berhubung hendak belajar silat, dia telah mengangkat sepuluh tokoh persilatan menjadi gurunya." Kakek berbaju hijau manggut-manggut. "Ya, termasuk istri Thio Kim-ciok sendiri, perempuan tercantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang, jumlahnya sebelas tokoh persilatan."
Pendekar Cacat 1703
Lalu sesudah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh, "Selanjutnya bagaimana kejadian yang menimpa Thio Kimciok hingga dia tewas, apakah kalian tahu juga?" "Keadaan yang sejelasnya tidak diketahui, namun kami tahu bahwa dia mati dibunuh oleh sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang, namun di antara kesepuluh jago itu tampaknya ada dua orang yang tidak ikut dalam peristiwa itu." "Dua orang yang mana?" "Menurut dugaanku, kemungkinan besar mereka adalah Liu Khi dan Tan Sam-cing." Kembali kakek berbaju hijau tersenyum, "Jadi menurut pendapat kalian, Thio Kim-ciok belum mati?" "Thio Kim-ciok memang tidak pernah mati," jawab Thaykun tertawa. Kakek berbaju hijau tertawa bergelak, "Nona memang pintar sekali. Thio Kim-ciok memang belum mati, tapi nona tak pernah dapat menduga siapakah Hek-mo-ong?" Ucapan itu kontan menggetarkan hati Thay-kun dan Bong Thian-gak, segera tanyanya, " Jadi Hek-mo-ong bukan Thio Kim-ciok?" Kakek berbaju hijau memandang bintang yang bertaburan di angkasa, kemudian pelan-pelan ujarnya, "Yang akan kita
Pendekar Cacat 1704
bicarakan sekarang adalah Thio Kim-ciok bukan Hek-moong. Sekarang aku hendak bertanya, apa sebabnya kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang hendak membunuh Thio Kim-ciok?" "Bila apa yang dikatakan Liu Khi kepada kami adalah sejujurnya, maka kesepuluh tokoh itu membunuh Thio Kimciok karena kuatir apabila ia sudah mencapai puncak keberhasilan, maka dia pasti akan merajai persilatan." Dengan cepat kakek berbaju hijau menggeleng kepala berulang kali, katanya, "Alasan kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang mencelakai Thio Kim-ciok rasanya tak berbeda dengan alasan yang dipikirkan masing-masing orang, kuatir ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok mengalami kemajuan amat pesat sehingga mencelakai umat manusia, tapi aku tahu yang benar-benar mempunyai pikiran demikian hanya Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, serta Song-ciu suami-istri. Sekilas orang memang merasa bahwa alasan keempat orang ini membunuh Thio Kim-ciok adalah benar dan tepat, karena demi menyelamatkan umat persilatan dari ancaman bahaya besar, namun yang mereka lakukan justru adalah termakan siasat busuk pihak lain." "Mengapa dikatakan mereka termakan siasat busuk pihak lain?" tanya Thay-kun. "Karena si perencana siasat busuk itu sesungguhnya ingin membunuh Thio Kim-ciok demi harta."
Pendekar Cacat 1705
"Demi harta? Kalau begitu si perencana siasat busuk itu bukan Ho Lan-hiang?" "Bukan Ho Lan-hiang, tapi niat Ho Lan-hiang membunuh suaminya pun tak terlepas dari harta." "Wah, semakin kudengar, aku merasa semakin bingung dan tidak mengerti. Sebetulnya siapa perencana siasat busuk itu?" Tiba-tiba kakek berbaju hijau berkata dengan suara dalam, "Semua orang tahu Thio Kim-ciok kaya-raya dan memiliki harta yang tak terhitung banyaknya, tapi tahukah kalian darimana Thio Kim-ciok bisa kaya-raya secara mendadak?" "Soal itu tidak kami ketahui," Thay-kun segera menggeleng. "Rasanya tak ada yang tahu darimanakah sumber harta kekayaannya itu." "Yang menjadi alasan utama kematian Thio Kim-ciok adalah rahasia sumber kekayaannya diketahui orang lain," kata kakek berbaju hijau dengan suara dalam. "Apa rahasia sumber kekayaan Thio Kim-ciok?" Dengan sorot mata tajam kakek berbaju hijau memandang sekejap wajah semua orang yang hadir, kemudian lanjutnya, "Sumber kekayaan Thio Kim-ciok diperoleh dari sebuah bukit tambang emas yang dimilikinya. Oleh karena itu Thio Kim-ciok memiliki emas murni yang tak ada habisnya, yang membuat dia menjadi seorang hartawan
Pendekar Cacat 1706
kaya-raya yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit." Semua orang menghela napas panjang, baru sekarang mereka tahu apa yang menjadi penyebab Thio Kim-ciok menjadi kaya-raya. Dengan suara lembut Song Leng-hui segera bertanya, "Dimana letak tambang emas itu? Selain Thio Kim-ciok, siapa lagi yang tahu?" Kakek berbaju hijau menghela napas panjang, "Ai, Thio Kim-ciok adalah seorang berotak licik dan berhati ganas. Setiap orang yang dikirimnya ke tambang emas untuk mengumpulkan emas itu, semuanya tak ada yang lolos dari pembunuhan tutup mulut sekembalinya mengirim emas murni itu. Semakin bertambah kekayaan Thio Kim-ciok, semakin banyak pula orang yang menjadi korban. Selama sepuluh tahun saja, entah berapa banyak jiwa yang telah melayang di tangannya." Mendengar sampai di sini. Bong Thian-gak sekalian diamdiam terkesiap juga oleh kekejaman dan kebuasan Thio Kim-ciok. Setelah menghela napas panjang, kakek berbaju hijau berkata lebih jauh, "Namun Thio Kim-ciok mempunyai juga kebajikan, yaitu setiap kali dia membunuh pekerja tambangnya, maka dia akan memberikan emas murni dalam jumlah yang tak akan habis digunakan oleh keluarganya sepanjang hdup sehingga anak keturunan
Pendekar Cacat 1707
pekerja tambang itu tak akan mengalami kelaparan atau telantar hidupnya." Bong Thian-gak tetawa dingin, serunya, "Thio Kim-ciok telah membunuh orang, menyiksa manusia demi kepuasan dan kekayaan sendiri. Apakah dosa sebesar ini bisa diperingan dengan kebajikannya meninggalkan emas yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan?" Berubah paras kakek berbaju hijau, tapi sejenak kemudian sudah lenyap tak berbekas. Katanya lagi sambil menghela napas, "Benar, ada sementara orang yang menyukai kehangatan keluarga daripada emas yang berlimpah. Tapi bilamana nyawa seseorang bisa dikorbankan dengan timbal-balik yang sesuai, kalau dihitung-hitung kematiannya bisa dibilang cukup berharga juga." "Bagaimana pun juga tingkah-laku serta perbuatan Thio Kim-ciok patut dikutuk setiap orang di dunia," kata Bong Thian-gak dengan suara dingin. "Betul," kakek berbaju hijau mengangguk, "Thio Kim-ciok memang berdosa." "Locianpwe, lanjutkan kembali kisahmu itu!" pinta Thaykun dengan suara lembut. Kakek berbaju hijau termenung dan berpikir sejenak, kemudian katanya, "Oleh sebab itu tambang emas milik Thio Kim-ciok belum pernah diketahui orang kedua, tapi
Pendekar Cacat 1708
entah bagaimana jadinya, ternyata rahasia tambang emas miliknya itu diketahui juga." "Pepatah kuno mengatakan, 'Burung mati karena makanan, manusia mati karena harta'. Kata-kata itu memang tepat, akibatnya entah berapa banyak orang mulai menyusun rencana busuk dan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan peta rahasia tambang emas itu." "Keselamatan jiwa Thio Kim-ciok pun mulai tak terjamin. Suatu hari Thio Kim-ciok mendapat surat berisi peringatan kepadanya, surat itu berbunyi, 'Dalam waktu satu bulan, kau harus menyiapkan peta rahasia itu, kalau tidak, nyawamu tak akan terjamin'." "Surat itu ditanda-tangani oleh Hek-mo-ong." Ketika mendengar kisah itu sampai di sini, tiba-tiba Thaykun teringat perkataan Liu Khi. Dia segera bertanya, "Kalau begitu Thio Kim-ciok segera mengutus Liu Khi untuk menyelidiki siapa gerangan orang yang menamakan diri sebagai Hek-mo-ong setelah menerima surat peringatan itu dan gara-gara hal itu pula Thio Kim-ciok menugaskan Liu Khi untuk membunuh Hek-mo-ong." "Rupanya nona pun mengetahui juga tentang peristiwa itu," kata kakek berbaju hijau sambil tersenyum. "Yang dicurigai Thio Kim-ciok sebagai Hek-mo-ong waktu itu tak lain adalah satu di antara kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang."
Pendekar Cacat 1709
"Apakah Thio Kim-ciok mau memenuhi keinginan Hek-moong dengan melukiskan peta rahasia tambang emasnya?" "Benar, Thio Kim-ciok memang membuat peta tambang emasnya itu, tapi dengan suatu kepandaian yang luar biasa, peta itu dipecah menjadi sebelas bagian yang masingmasing dibagikan kepada kesebelas orang." "Siapa saja kesebelas orang itu?" "Kesebelas orang itu adalah istrinya Ho Lan-hiang beserta sepuluh tokoh persilatan." "Ai, Thio Kim-ciok memang seorang pintar," kata Thay-kun sambil menghela napas panjang. "Langkah catur yang dilakukan olehnya ini betul-betul luar biasa. Secara tepat sekali dapat membuat para musuh yang mengincar harta kekayaannya saling bunuh demi memperebutkan bagian peta yang lain." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya pula, "Jelas kesebelas bagian peta rahasianya itu disebarkan setelah ia terbunuh." Dengan cepat kakek berbaju hijau tertawa bangga, dia segera bertanya, "Nona Thay-kun, darimana kau tahu Thio Kim-ciok baru menyebarkan kesebelas potongan peta rahasia sesudah dia terbunuh?" "Thio Kim-ciok sudah tahu kalau Hek-mo-ong adalah satu di antara istrinya beserta sepuluh tokoh persilatan, namun tak
Pendekar Cacat 1710
dapat menentukan secara pasti siapakah orangnya, lagi pula dia pun tahu, jika batas waktu sebulan sudah lewat peta rahasia itu belum juga diserahkan, sudah pasti dia akan terbunuh di tangan Hek-mo-ong. Maka untuk membalas dendam bagi kematiannya sendiri, ia menjalankan siasat membunuh orang meminjam golok dengan menyerahkan bagian peta rahasia ke tangan orang kepercayaannya dengan pesan, bila ia mati, maka kesebelas bagian peta rahasia itu harus diserahkan pada orang-orang yang telah ditentukan." "Ai, manusia memang mati karena harta. Ketika semua orang sudah menerima bagian peta rahasia itu, siapakah yang tidak akan saling bunuh untuk memperoleh bagian peta rahasia yang lain?" "Kalau begitu kekacauan dunia persilatan saat ini serta kematian yang menimpa kesepuluh tokoh persilatan ini tak lain diciptakan oleh siasat Thio Kim-ciok itu?" Tiba-tiba kakek berbaju hijau menghela napas sedih, ujarnya, "Namun kemudian Thio Kim-ciok sendiri pun tak pernah mengira kalau tindakan Hek-mo-ong masih setingkat lebih tangguh daripada jalan pikirannya. Tatkala batas waktu satu bulan sudah lewat, nyatanya Hek-mo-ong bukan datang mencelakai dirinya, melainkan mempengaruhi kesebelas jago lihai lainnya untuk bekerja sama mencelakai Thio Kim-ciok." "Tapi Hek-mo-ong sendiri pun tak pernah menduga tentang kesebelas bagian peta rahasia tambang emasnya."
Pendekar Cacat 1711
Bong Thian-gak segera menengok sekejap ke arah Thaykun, lalu ujarnya, "Thay-kun, bukankah dugaan kita bahwa Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok adalah salah besar?" "Benar, Thio Kim-ciok memang bukan Hek-mo-ong." Pada saat inilah Song Leng-hui bertanya, "Locianpwe, kau mengatakan Thio Kim-ciok belum mati, lantas dimanakah orangnya sekarang?" Sebelum kakek berbaju hijau sempat menjawab, mendadak Hay Cing-cu yang berdiri di belakang kakek berbaju hijau telah berpekik aneh, menyusul tubuhnya secepat sambaran kilat meluncur keluar dari gardu itu. Dengan paras muka berubah hebat kakek berbaju hijau segera berkata, "Pembicaraan kita telah disadap orang." Tampang Hay Cing-cu memang jelek dan tidak menarik, bulat gemuk seperti tong, namun kesempurnaan ilmu meringankan tubuhnya benar-benar mengagumkan dan mengejutkan. Dalam sekejap bayangan tubuhnya sudah lenyap. Tiba-tiba Bong Thian-gak bangkit seraya bertanya, "Locianpwe, perlukah kubantu mengejar orang yang telah menyadap pembicaraan kita tadi?" "Tidak usah," kakek berbaju hijau menggeleng. "Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pendatang itu sangat hebat. Andaikata Hay Cing-cu gagal mengejarnya, maka tak ada orang yang bisa menyusulnya lagi."
Pendekar Cacat 1712
Perkataan itu membuat Bong Thian-gak merasa kurang enak, tapi dia pun duduk kembali. Tampaknya kakek berbaju hiaju itu tahu dia telah salah bicara, cepat katanya lagi, "Bong-siauhiap, maafkan kelancanganku bicara yang bukan-bukan tadi." "Ah, ilmu meringankan tubuh Hay Cing-cu memang sangat hebat." Thay-kun tak ingin suasana serba kaku dan rikuh itu berlangsung lebih lanjut, sambil tertawa ringan dia segera berkata, "Locianpwe, maafkan aku bila ternyata kelewat berterus-terang. Benarkah Locianpwe adalah Thio Kimciok?" Kakek berbaju hijau menghela napas panjang, "Rahasia tentang belum matinya Thio Kim-ciok hingga saat ini baru diketahui oleh kalian beberapa orang saja." "Orang persilatan mengutamakan pegang janji, kami bertiga tak akan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun," Thay-kun berjanji dengan suara dalam. "Betul, akulah Thio Kim-ciok!" Sekalipun secara lamat-lamat orang sudah tahu kakek berbaju hijau itu adalah orang kaya pada tiga puluh tahun berselang, Thio Kim-ciok, namun sebelum ada pengakuan tegas dari pribadinya, tak urung mereka tetap ragu-ragu dan tak yakin.
Pendekar Cacat 1713
Namun setelah pengakuan itu diberikan, tak urung semua orang dibuat terperanjat juga, serentak Bong Thian-gak bertiga mengawasi wajah kakek berbaju hijau tanpa berkedip. Thio Kim-ciok memang terlalu misterius dan penuh rahasia. Pada saat itulah terdengar Song Leng-hui bertanya dengan air mata bercucuran, "Thio-locianpwe, apakah kau yang telah mencelakai kedua orang tuaku?" Kembali kakek berbaju hijau menghela napas sedih, katanya perlahan, "Nona Song, aku tidak pernah mencelakai orang tuamu, aku pun tidak pernah mencelakai Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu serta Kui-kok Sianseng. Namun terus terang kuakui, aku pernah membenci mereka serta pernah bersumpah akan membinasakan mereka, tapi sayang aku tak punya kemampuan berbuat demikian." "Mengapa Thio-locianpwe mengatakan kau tidak berkemampuan berbuat demikian?" tanya Thay-kun cepat. Sekali lagi Thio Kim-ciok menghela napas sedih, katanya pula, "Tiga puluh tiga tahun berselang, sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang telah memberikan serangan yang telak dan mematikan kepadaku. Kendati aku beruntung bisa meloloskan diri dari musibah itu, namun saat ini diriku telah berubah menjadi manusia cacat." "Dapatkah Locianpwe menjelaskan lebih jauh?"
Pendekar Cacat 1714
"Dalam usaha pembunuhan yang mereka lakukan pada waktu itu, tubuhku telah terkena tiga pukulan yang amat dahsyat dan beracun, sebuah totokan jari Thian-kang-ci, tujuh batang panah beracun penempel tulang serta tujuh buah luka bacokan pedang, yang paling hebat lagi aku dicekoki beberapa tetes obat racun Hok-teng-ang yang dapat memutus usus." "Dengan begitu banyak luka yang kau derita, bagaimana mungkin kau masih dapat hidup hingga sekarang?" tanya Thay-kun dengan perasaan terkejut bercampur keheranan. Mencorong sinar aneh dari balik mata Thio Kim-ciok, dengan agak emosi katanya, "Andaikata orang lain, biarpun punya cadangan nyawa sebanyak sepuluh lembar pun, tak dapat selembar pun dipertahankan, tapi aku harus dapat mempertahankan hidup lebih jauh." "Liu Khi mengatakan pada kalian bahwa aku mati tenggelam di dasar telaga, padahal yang benar adalah sesudah aku dipaksa minum racun Hok-teng-ang, segera kukerahkan tenaga dalamku untuk melawan dan sempat bertarung mati-matian selama setengah jam dengan sepuluh tokoh persilatan beserta Ho Lan-hiang. Dengan badan terluka parah dan hawa murni tak mampu dihimpun kembali, ditambah pula racun jahat sudah menyusup ke dalam badan hingga darah bercucuran dari ketujuh lubang indra, waktu itu aku mengira diriku pasti mati, tapi aku tak rela membiarkan diriku tewas dibunuh mereka, maka aku pun jadi nekat dan terjun ke dalam telaga."
Pendekar Cacat 1715
"Akhirnya Thio-locianpwe berhasil lolos dari mulut harimau serta dapat kembali ke kehidupan yang tenang?" tanya Thay-kun. "Sesudah melompat ke dasar telaga, air telaga yang dingin membekukan badan membuat keadaanku yang mulai kehilangan kesadaran menjadi segar kembali, tentu saja aku tak ingin mati begitu saja, maka aku pun mulai berjuang melawan cengkeraman malaikat elmaut. Dengan sekuat tenaga aku berenang dan menyelam ke dalam istana bawah airku yang kubangun secara rahasia." "Mimpi pun Ho Lan-hiang serta kesepuluh tokoh persilatan tak menyangka aku telah membangun istana bawah air yang amat rahasia di dasar telaga itu, tapi justru karena itulah aku dapat hidup terus di dunia ini." "Selama dua puluh tahun berikutnya, aku tinggal di dalam istana air sambil berjuang melawan cengkeraman malaikat elmaut, perawatan dan pengobatan hampir dua puluh tahun lamanya membuat luka pukulan, luka pedang sembuh sama sekali... ai." "Tapi racun jahat Hok-teng-ang yang menyerang dalam tubuhku ternyata tak pernah dapat dilenyapkan untuk selamanya. Oleh sebab itulah aku tak pernah dapat memulihkan kembali tenaga dalamku seperti sediakala, tentu saja aku pun tak dapat menggunakan jurus silat tingkat tinggi yang pernah aku pelajari."
Pendekar Cacat 1716
"Akibatnya aku pun tidak dapat membunuh musuh besar yang telah mencelakai diriku itu." "Ai, waktu yang berlangsung lama kadangkala memang dapat menawarkan rasa benci dan dendam seseorang. Perjuanganku selama dua puluh tahun melawan maut membuat aku menjadi sadar dan menyesali semua perbuatanku dulu, aku merasa tanganku sudah penuh bernodakan darah. Dosa dan kesalahanku pun sudah bertumpuk. Mungkinkah semua musibah yang menimpa diriku selama ini merupakan karma atas semua perbuatanku dahulu?" "Dendam, rasa benci yang mendarah daging dalam diriku lambat-laun pun semakin tawar dan menghilang." "Tatkala meninggalkan istana bawah air tujuh tahun berselang, tiba-tiba aku dengar kabar bahwa Kui-kok Sianseng dari Mi-tiong-bun telah terbunuh, kemudian sepasang kekasih persilatan Song-ciu suami-istri juga tewas, disusul pula dengan kematian Oh Ciong-hu serta padri sakti dari Siau-lim-pay Ku-lo Hwesio. Semua itu membuat aku merasa terkejut, di samping pula merasa sangat..” Sampai di sini tiba-tiba perkataannya berhenti, sambil tersenyum Thay-kun segera melanjutkan, "Tentunya kau pun merasa sangat gembira bukan?" Thio Kim-ciok memandang ke arah nona itu, lalu menghela napas panjang, "Ai, apa yang diucapkan nona Thay-kun memang benar. Aku merasa gembira karena siasat
Pendekar Cacat 1717
meminjam golok membunuh orang yang telah aku persiapkan sejak tiga puluh tahun berselang, kini sudah mulai berkembang." "Akibatnya api dendam dan benci yang mengeram dalam Thio-locianpwe pun menggelora dalam dada membara kembali bukan?" tanya Thay-kun lagi. "Benar, aku berharap semua orang yang pernah bersekongkol mencelakai diriku, kini mendapatkan pembalasan yang setimpal." "Padahal otak peristiwa berdarah ini adalah Hek-mo-ong. Apakah Thio-locianpwe berhasil menyelidiki siapa gerangan Hek-mo-ong?" kembali Thay-kun bertanya. "Belum," Thio Kim-ciok menggeleng. "Kira-kira aku sudah dapat menduga siapa gerangan Hekmo-ong itu." "Silakan nona mengutarakan." Thay-kun segera tersenyum. "Padahal Thio-locianpwe sendiri pun sudah mengetahui siapa gerangan Hek-mo-ong itu?" "Benar, secara lamat-lamat sudah kuketahui siapakah dia, tapi sebelum kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang mati hingga tinggal orang terakhir, rasanya susah untuk menentukan secara tepat. Kau harus tahu kelicikan, kehebatan ilmu silat serta kemampuan menyusun rencana
Pendekar Cacat 1718
besar kesebelas orang itu sama-sama hebat dan luar biasa, satu dengan yang lain tak ada yang lebih lemah." Mendadak Bong Thian-gak menyela dengan suara nyaring, "Hek-mo-ong adalah si tabib sakti Gi Jian-cau." "Betul," Thio Kim-ciok mengangguk. "Di antara sepuluh tokoh persilatan itu, Gi Jian-cau merupakan orang paling kejam dan buas. Dia adalah manusia munafik yang berlagak suci. Racun Hok-teng-ang yang mengeram dalam tubuhku sekarang tak lain adalah hasil perbuatannya." "Mungkin Hek-mo-ong sudah mendapat kabar tentang masih hidupnya Thio-locianpwe," kata Thay-kun dengan suara dalam. Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba dari tengah udara berkumandang tiga kali suara pekikan panjang yang amat keras dan memekakkan telinga. Dengan wajah berubah hebat Thio Kim-ciok segera berkata, "Hay Cing-cu telah menjumpai musuh tangguh, kemungkinan musuh tangguh akan menyerbu kemari sebentar lagi." Sambil berkata tiba-tiba saja Thio Kim-ciok bangkit dari tempat duduknya. "Thio-locianpwe," kata Thay-kun kemudian, "silakan duduk di sini dengan tenang. Andaikata Hay Cing-cu membutuhkan bantuan, kami bersedia membantunya."
Pendekar Cacat 1719
Thio Kim-ciok menghela napas panjang, "Seperti apa yang ditebak nona, agaknya Hek-mo-ong sudah memperoleh kabar bahwa aku belum tewas, musuh yang kini datang bisa jadi bertujuan untuk membuktikan apakah benar aku belum mati." "Tapi menurut pendapatku, tujuan kedatangan musuh tangguh adalah untuk mengincar peta rahasia tambang emas itu." Thio Kim-ciok tertawa rawan. "Sekalipun di dalam tubuhku masih tersisa racun keji Hokteng-ang hingga tak mungkin bagiku untuk mengerahkan tenaga dalam dan bertarung melawan orang, tapi bila musuh ingin menaklukkan diriku secara mudah, aku rasa pihak lawan harus membayar dengan mahal." Tiba-tiba Song Leng-hui bertanya, "Thio-locianpwe, apakah kau minta aku membantumu untuk memusnahkan racun Hok-teng-ang yang masih mengeram dalam tubuhmu itu?" Thio Kim-ciok segera menghela napas, "Ai, kecuali kedua puluh empat batang jarum emas perak nona Song, di kolong langit dewasa ini memang tiada cara pengobatan lain yang dapat dipergunakan untuk memusnahkan pengaruh racun Hok-teng-ang yang bersarang di dalam tubuhku." "Locianpwe, sekarang juga aku bersedia mengobati penyakitmu itu," seru Song Leng-hui.
Pendekar Cacat 1720
"Sekarang tak mungkin, musuh telah datang." Baru selesai dia berkata, terlihat Hay Cing-cu dengan sekujur badan bermandikan darah melayang turun di depan gardu itu. Dengan ketajaman matanya, beberapa orang itu sudah melihat dengan jelas bahwa luka yang diderita Hay Cing-cu akibat tusukan tiga peluru terbang yang memancarkan sinar tajam, ketiga batang senjata rahasia itu menancap persis di dadanya dalam posisi segitiga. Ujung peluru emas menembus dadanya. Darah kental membasahi seluruh badannya, jelas luka yang dideritanya amat parah, namun dengan gerakan yang masih cepat Hay Cing-cu langsung menerobos masuk ke dalam gardu dan berseru cemas, "Majikan cepat menyingkir, musuh tangguh yang menyerbu kemari sangat ganas dan luar biasa." Pada saat itulah dari atap rumah seberang telah melayang turun dua sosok orang dengan ringannya. Ternyata kedua orang itu adalah lelaki dan perempuan kekar bermata tunggal dan berlengan cacat. Sesudah melihat jelas pendatang itu, Bong Thian-gak dan Thay-kun sama-sama terkesiap, pekiknya tanpa sadar, "Ah, rupanya anak buah Biau-kosiu!"
Pendekar Cacat 1721
Dengan langkah cepat Bong Thian-gak menuju ke gardu batu itu, lalu menegur dengan ketus, "Apakah Biau-kosiu ikut datang?" Sebelum lelaki dan perempuan kekar berlengan cacat itu sempat menjawab, dari balik kegelapan sudah terdengar seseorang menjawab dengan suara merdu, "Jian-ciatsuseng, nyawamu betul-betul amat panjang, ternyata kau masih hidup." Biau-kosiu dengan langkah lemah-gemulai telah muncul dan berhenti di antara lelaki dan perempuan kekar itu, sementara matanya yang jeli mengamati setiap orang yang berada di dalam gardu dengan seksama. Katanya lagi sambil tertawa, "Orang tua yang berada di dalam gardu itu tentulah Hek-mo-ong Thio Kim-ciok bukan?" Dalam pada itu Thio Kim-ciok dengan wajah dingin membesi dan sorot mata menggidikkan mengamati ketiga orang itu, wajahnya tetap dingin tanpa emosi, sedang mulutnya membungkam. Sebaliknya Bong Thian-gak segera menyela sambil tertawa dingin, "Dugaan nona Biau salah besar, dia bukan Hek-moong." "Hm!" Biau-kosiu mendengus dingin. "Jian-ciat-suseng, bila kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi, kuanjurkan kepadamu agar tidak mencampuri urusan orang lain."
Pendekar Cacat 1722
Bong Thian-gak balas tertawa dingin, "Tentu aku ingin hidup seratus tahun lagi, tapi aku rasa urusan ini tak usah kau campuri." "Jian-ciat-suseng, tahukan kau siapakah orang ini?" tegur Biau-kosiu dingin. "Seorang Bu-lim Cianpwe!" Tiba-tiba Biau-kosiu berpaling ke atap rumah dan membentak, "Cong-kaucu, benarkah orang itu adalah suamimu, Thio Kim-ciok?" Teriakannya yang sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan ini membuat semua orang tertegun. Sorot mata mereka pun dialihkan ke atap rumah di depan situ. Ternyata pada sisi atap rumah secara lamat-lamat ada tiga sosok bayangan orang berdiri di sana. Bau harum bunga anggrek yang sangat tipis lamat-lamat berhembus datang, bau harum semacam ini merupakan bau khas perempuan tercantik dari Kanglam, Ho Lan-hiang. Thio Kim-ciok dapat mengendus bau itu, tentu saja Bong Thian-gak pun dapat mengendus pula bau harum bunga itu. Salah satu dari ketiga orang itu sudah tentu adalah Ho Lanhiang, sedangkan orang yang di sebelah kiri adalah Ji-kaucu dan orang yang di sebelah kanan adalah Sim Tiong-kiu, komandan pasukan tanpa tanding.
Pendekar Cacat 1723
Ketiga orang ini adalah kekuatan inti Put-gwa-cin-kau, sekalipun pada tiga puluh tahun berselang nama mereka tidak dicantumkan oleh Tio Tian-seng ke dalam urutan sepuluh tokoh persilatan, namun kepandaian silat mereka sama sekali tidak kalah dengan kepandaian silat kesepuluh tokoh persilatan itu. Dengan suara gemetar diliputi perasaan terkejut dan ngeri, Ho Lan-hiang menyahut pelan, "Sebenarnya aku masih belum percaya kalau dia masih hidup di dunia ini. Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri hari ini, ternyata berita itu memang benar." Yang dia maksudkan tentu adalah Thio Kim-ciok. Sejak Biau-kosiu dan rombongan menampakkan diri, Thio Kim-ciok masih tetap membungkam, tapi sekarang agaknya dia sangat dipengaruhi oleh emosi. Sekujur tubuhnya gemetar keras, sorot matanya memancarkan sinar amarah berapi-api dan menggidikkan. Setelah tertawa keras dengan suara menyeramkan dia berkata, "Benar, aku adalah Thio Kim-ciok. Perempuan rendah, tak nyana kau masih mengenali diriku." Pengakuan Thio Kim-ciok ini membuat Biau-kosiu secepat kilat menyerbu ke muka dan menyerang ke dalam gardu batu itu. Segera Bong Thian-gak melintangkan badan dan menghadang di depan undak-undakan batu menuju ke arah
Pendekar Cacat 1724
gardu. Sambil membentak, lengan tunggalnya segera diayunkan ke depan melepaskan sebuah bacokan. Serangan yang dilancarkan olehnya sekarang amat gencar dan dahsyat, tenaga yang disertakan pun amat mengerikan. Dengan cekatan Biau-kosiu menghindar ke samping untuk berkelit dari serangan dahsyat itu, lalu badannya melejit dengan ringan dan bermaksud menyerang lagi dari sisi lain. Siapa tahu Bong Thian-gak dengan lengan tunggalnya yang gesit dan cepat dalam perubahan jurus, kembali melancarkan sebuah bacokan kilat, Biau-kosiu mau tak mau harus mundur. Lama kelamaan habis sudah kesabaran Biau-kosiu. Dengan kening berkerut, bentaknya gusar, "Jian-ciat-suseng, apabila kau mencampuri urusanku, jangan salahkan aku bertindak keji!" Bong Thian-gak tertawa dingin. "Kekejian dan kebuasan nona sudah lama kurasakan, mengapa kau tak memperlihatkan kelihaianmu itu?" Mendadak Biau-kosiu berpaling ke arah lelaki dan perempuan kekar bermata tunggal itu, kemudian bentaknya, "Biau-han-thian suami-istri, kalian berdua jaga baik-baik Jian-ciat-suseng itu."
Pendekar Cacat 1725
Suami-istri bermata tunggal itu menyerang Bong Thian-gak dari kiri dan kanan dengan kecepatan luar biasa, sementara Biau-kosiu sendiri sekali lagi mendesak maju. "Mundur semua!" bentak Bong Thian-gak. Badannya berputar kencang dan dua gulung angin pukulan yang sangat dahsyat menyapu ke arah suami-istri bermata tunggal itu. Selesai melancarkan kedua buah serangan itu. Bong Thiangak bagai setan gentayangan kembali mendesak ke depan dan menghadang jalan pergi Biau-kosiu. Tangan kirinya bagaikan cakar menyambar ke bawah dan mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri nona itu. Demikian cepat dan cekatannya serangan itu membuat siapa pun terkesiap. Sementara itu meskipun kedua orang laki perempuan bermata tunggal itu masing-masing menyambut serangan Bong Thian-gak, namun tenaga serangannya itu sangat kuat dan dahsyat sehingga menggetarkan tubuh mereka tigaempat langkah. Biau-kosiu menjerit kaget. Di bawah sapuan ujung jari tangan Bong Thian-gak atas urat nadi pergelangan tangan kirinya, dengan cepat dia mengundurkan diri dengan ketakutan. Bong Thian-gak sama sekali tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan pengejaran, hanya
Pendekar Cacat 1726
tegurnya kemudian dengan wajah sedingin salju, "Nona Biau, kuanjurkan kepadamu agar mundur dari sini. Kalau tidak, aku akan membalas air susu dengan air tuba. Bila kalian terluka nanti, jangan salahkan diriku!" "Jian-ciat-suseng, aku ingin bertanya kepadamu, mengapa kau membantu Hek-mo-ong?" tanya Biau-kosiu dengan geram. "Dia adalah Thio Kim-ciok, bukan Hek-mo-ong. Sebetulnya nona Biau ingin mencelakainya dikarenakan peta rahasia tambang emas bukan? Ataukah untuk membalas dendam bagi kematian ayahmu?" Perempuan rase dari bukit Biau-san, Biau-kosiu, nampak tertegun dan berdiri melongo. Setelah mendengar pertanyaan itu, dia segera balik bertanya, "Jadi kau sudah mengetahui asal-usulku?" "Aku tahu nona adalah putri kesayangan ketua Mi-tiongbun di Tibet, Kui-kok Sianseng." Mendadak Biau-kosiu tertawa seram, segera tanyanya, "Tentunya kau tahu juga bukan bagaimana kejadiannya sewaktu Kui-kok Sianseng mendapatkan musibah?" "Kui-kok Sianseng merupakan orang pertama yang tewas di tangan Hek-mo-ong."
Pendekar Cacat 1727
"Dendam sakit hati terbunuhnya ayahku lebih dalam dari samudra, aku sebagai putrinya merasa wajib menuntut balas sakit hati ini. Jian-ciat-suseng, apakah kau bermaksud menghalangi niatku membalas dendam?" "Bersediakah nona mempercayai perkataanku?" ujar Bong Thian-gak dengan suara hambar. "Baik Kui-kok Sianseng, Song-ciu suami-istri maupun mendiang Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu dan Ku-lo Hwesio, mereka bukan tewas di tangan Thio Kim-ciok, melainkan mati di tangan Hek-mo-ong, si perencana musibah ini. Hek-mo-ong bukan Thio Kim¬ciok, melainkan seorang yang lain." "Bagaimana kau bisa membuktikan dia bukan Hek-moong?" jengek Biau-kosiu sambil tertawa dingin. Menghadapi pertanyaan itu, jelas Bong Thian-gak tak mampu menjawab, padahal dia sendiri pun tak dapat membuktikan secara pasti bahwa Thio Kim-ciok bukanlah Hek-mo-ong seperti apa yang yang dia duga. Sebenarnya Bong Thian-gak tadinya menganggap Thio Kimciok sebagai Hek-mo-ong. Setelah mendengar penjelasan Thio Kim-ciok tadi, mereka baru tahu Hek-mo-ong sebenarnya adalah orang lain. Lantas siapakah Hek-mo-ong, si otak semua peristiwa berdarah ini?
Pendekar Cacat 1728
Mungkinkah orang itu adalah tabib sakti Gi Jian-cau? Tentu saja hingga sekarang belum ada seorang pun yang berani memastikan. Biau-kosiu tertawa, lalu katanya, "Sesudah dicelakai oleh sepuluh tokoh persilatan pada tiga puluh tahun berselang, sudah pasti Thio Kim-ciok akan menaruh perasaan dendam dan sakit hati terhadap pembunuh-pembunuhnya. Andaikata ia masih hidup di dunia ini, apakah dendam sakit hati itu tak akan dituntut balas?" "Sebenarnya aku pun masih menaruh perasaan ragu dan tak percaya tentang berita yang mengatakan bahwa Thio Kim-ciok masih hidup di dunia ini. Apakah dia masih dapat meloloskan diri dari kecurigaan sebagai Hek-mo-ong?" Perkataan itu diutarakan dengan suara tegas, bertenaga dan penuh pengertian yang mendalam. Secara lamat-lamat Bong Thian-gak dapat merasakan bahwa apa yang diucapkan Biau-kosiu memang benar, sebab selain Thio Kim-ciok, siapa pula yang berminat membunuh kesepuluh tokoh persilatan itu? Tanpa terasa Bong Thian-gak berpaling ke arah gardu dan memandang sejenak ke arah Thio Kim-ciok. Sementara itu Thio Kim-ciok dengan wajah dingin membeku membungkam, wajahnya kaku tanpa perubahan emosi.
Pendekar Cacat 1729
Dengan langkah lemah-gemulai, Thay-kun segera maju dan pelan-pelan berkata, "Walaupun semua perkataan nona Biau masuk akal dan bisa diterima, namun aku ingin bertanya satu hal kepada nona, siapakah yang telah memberitahu kepadamu bahwa Thio Kim-ciok belum tewas?" "Mengapa kau menanyakan hal ini?" tanya Biau-kosiu dengan suara dingin. "Sebab aku dapat membantumu menemukan Hek-mo-ong yang sebenarnya." "Kau maksudkan Hek-mo-ong adalah salah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan?" tanya Biau-kosiu dengan suara dingin dan kaku. "Betul, orang itu adalah salah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan itu." "Omong kosong, ngaco-belo," bentak Biau-kosiu dengan geram. "Seandainya Thio Kim-ciok sudah mati pada tiga puluh tahun berselang dan tidak bangkit dari kematiannya, bisa jadi Hek-mo-ong adalah salah satu di antara kesepuluh tokoh persilatan. Tapi kini terbukti sudah kalau Thio Kimciok masih hidup di dunia ini, terbukti sudah kalau Hek-moong sesungguhnya adalah dirinya sendiri." "Dugaan nona Biau salah besar," pelan-pelan Thay-kun menyahut. "Apabila seorang mempunyai rencana busuk dan keji hendak melimpahkan dosa dan kesalahannya
Pendekar Cacat 1730
kepada orang lain, seringkah dia akan mencari titik lemah lawan-lawannya, yakni pertentangan batin untuk dimanfaatkan, sebab dengan cara begitulah apa yang dicita-citakan baru dapat terwujud." "Hek-mo-ong adalah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan dan kenyataan itu merupakan suatu bukti yang jelas. Apabila dugaanku tidak salah, kupastikan Hek-mo-ong akan terpaksa memberitahukan kepadamu tentang kabar belum matinya Thio Kim-ciok, karena nona Biau sudah mulai mencurigai asal-usulnya. Oleh sebab itulah mau tak mau terpaksa dia harus menyampaikan berita itu." "Benarkah berita belum matinya Thio Kim-ciok mempunyai arti begitu penting?" seru Biau-kosiu sambil tertawa dingin. Thay-kun memandang sekejap ke arahnya, kemudian menjawab, "Berita mati hidup Thio Kim-ciok tentu saja mempunyai arti sangat penting bagi Hek-mo-ong." Kemudian setelah berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kembali dia melanjutkan, "Hek-mo-ong sengaja menghasut kesepuluh tokoh persilatan untuk mencelakai jiwa Thio kim-ciok Locianpwe, tak lain bertujuan untuk merampas tambang emas dari tangannya. Rahasia peta tambang itu cukup dipahami setiap orang dari kesepuluh tokoh persilatan itu. Oleh karena itu apabila berita belum matinya Thio Kim-ciok bocor dan diketahui umum, maka sudah dapat dipastikan bahwa sisa kesepuluh tokoh persilatan beserta kawanan jago lainnya akan berdayaupaya membunuh Thio-locianpwe dan merampas rahasia
Pendekar Cacat 1731
peta tambang emas itu. Itulah sebabnya dalam keadaan terpaksa mau tak mau Hek-mo-ong mengungkap padamu bahwa Thio-locianpwe sebenarnya belum mati." Perkataan Thay-kun itu segera menggetarkan perasaan Thio Kim-ciok sendiri, dengan cepat dia bertanya, "Nona Thay-kun, jadi menurut pendapatmu Hek-mo-ong sudah lama mengetahui kalau aku belum mati?" "Benar," sahut Thay-kun sambil tersenyum. "Sudah lama sekali Hek-mo-ong tahu kau telah menyelundup ke dalam kuil Sam-cing-koan di kota Lok-yang." Biau-kosiu mendengus dingin, katanya pula, "Kalau memang begitu, mengapa Hek-mo-ong tidak secara langsung datang mencari Thio Kim-ciok?" "Hm, pertanyaan yang sangat bagus! Memang, Hek-mo-ong sudah lama mengetahui Thio Kim-ciok Locianpwe belum mati, namun apa sebabnya tak secara langsung datang mencari Thio-locianpwe? Menurut dugaanku, Hek-mo-ong tak berani berbuat demikian lantaran dia takut dan jeri terhadap kepandaian silat Thio-locianpwe, Hek-mo-ong sadar dia tak mempunyai keyakinan untuk menang dan berhasil apabila dia menyerang Thio-locianpwe secara langsung. Karena itu dia ingin memanfaatkan kemampuan nona Biau beserta sisa kekuatan sepuluh tokoh persilatan yang masih hidup untuk sekali lagi membasmi Thiolocianpwe dari muka bumi."
Pendekar Cacat 1732
Dengan suara dingin Biau-kosiu berkata, "Sam-cing Tojin dari Sam-cing-koan adalah Thio Kim-ciok dan Thio Kim-ciok adalah Sam-cing Totiang. Berita yang mengejutkan ini baru diketahui pada malam tadi. Betul, ketika aku selidiki tentang orang-orang yang mencurigakan sebagai Hek-moong sebenarnya tinggal satu orang yang terakhir, tetapi sekarang berubah menjadi dua orang. Akhirnya siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya, aku yakin dalam waktu singkat hal ini akan berhasil kuselidiki dengan jelas." Selesai berkata dia lantas berpaling ke belakang dan serunya lantang, "Biau-han-thian, ayo kita pergi!" Dengan cepat dia menggerakkan tubuh dan melejit pergi. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak berseru, "Nona Biau, mengapa tidak kau katakan nama orang terakhir yang dicurigai itu?" Tanpa berpaling, sahut Biau-kosiu dengan suara dingin, "Si tabib sakti Gi Jian-cau telah membocorkan kabar tentang belum matinya Thio Kim-ciok kepada setiap orang. Mulai sekarang Thio Kim-ciok bakal diserang dan dikepung oleh para jago persilatan, lebih baik kalian hadapi mereka secara hati-hati." Biau-kosiu dan Biau-han-thian suami-istri bertiga sudah lenyap di balik kegelapan sana dengan cepat.
Pendekar Cacat 1733
Di atas atap rumah di seberang gardu sana masih berdiri dengan tenang Ho Lan-hiang, Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu bertiga. Mendadak Ho Lan-hiang tertawa, lalu katanya, "Thio Kimciok, mengapa kau tak berani mengaku sebagai Hek-moong?" Thio Kim-ciok masih tetap berdiri dalam gardu batu itu dengan wajah dingin, kaku, tanpa emosi, mulut membungkam. Hati Thay-kun serta Bong Thian-gak yang mendengar ucapan itu bergetar keras, mereka menantikan penyangkalan Thio Kim-ciok, namun suasana dalam arena masih tetap hening, sepi. Suasana yang hening dan sepi itu berlangsung cukup lama, sebelum akhirnya Thio Kim-ciok berkata dengan pelan, "Perempuan rendah, nyalimu benar-benar sangat besar!" Ho Lan-hiang tertawa terkekeh-kekeh, "Apabila Thio Kimciok mempunyai kemampuan untuk membunuhku, mungkin sudah turun tangan sejak tadi." "Kalau sudah mengetahui bahwa aku tidak berkemampuan untuk membunuhmu, mengapa kau tidak segera turun tangan menyerang diriku?" Thio Kim-ciok balik bertanya dengan suara dalam dan berat.
Pendekar Cacat 1734
"Tiga puluh tahun berselang, kau telah dipaksa menelan beberapa tetes racun Hok-teng-ang, setelah keracunan, kau pun diserang kawanan jago. Sekalipun tiga puluh tahun kemudian kau lolos dari ancaman maut itu, tetapi aku percaya Thio Kim-ciok telah menjadi seorang manusia cacat." Selesai berkata Ho Lan-hiang dengan matanya yang tajam dan menggidikkan mengawasi setiap gerak-gerik Thio Kimciok yang berada dalam gardu. Sikap Thio Kim-ciok ketika itu nampak sangat tenang. Wajahnya tidak menampilkan wajah girang, marah, sedih, murung dan berdiri membungkam di tempat tanpa bergerak. Setelah tertawa terkekeh-kekeh, kembali Ho Lan-hiang berkata lebih jauh, "Dugaanku tidak salah bukan? Seandainya Thio Kim-ciok masih tetap sehat dan segarbugar, tak nanti dia akan melepaskan setiap musuh yang dijumpainya, tentu dia pun tak akan membiarkan seorang perempuan yang telah mengkhianati, mengumpat, mencemoohnya dan menyindir dirinya." Entah mengapa pada saat dan keadaan seperti ini Thio Kimciok masih tetap berdiri membungkam, mulutnya seolaholah terkunci rapat seperti seorang bisu. Thay-kun dapat melihat jelas bahwa kedua orang itu sedang beradu otak, mengapa hingga sekarang Ho Lanhiang belum juga turun tangan? Sudah jelas hal ini
Pendekar Cacat 1735
disebabkan perempuan itu pun belum yakin seratus persen bahwa Thio Kim-ciok benar-benar tak berkemampuan lagi untuk membunuh mereka. Oleh sebab itu dia berusaha mengejek, mencemooh, menyindir dan mengumpat lawan dengan harapan dari pembicaraan itu dia berhasil menyelidiki secara pasti tentang keadaan Thio Kim-ciok yang sesungguhnya. Sebaliknya Thio Kim-ciok benar-benar seorang berotak cerdas dan lihai, setiap gerak-geriknya serta mimik wajahnya ditampilkan dengan begitu sempurna, sehingga susah diduga orang apakah hal itu benar ataukah hanya pura-pura saja. Pada saat itu Bong Thian-gak justru tak sanggup menahan diri, sambil tertawa dingin segera katanya, "Ho Lan-hiang, mengapa kau tidak segera turun tangan? Kami sudah tak sabar lagi menunggumu!" "Jian-ciat-suseng, hari ini bukannya aku bermaksud mengadu domba di antara kalian, tapi kau harus tahu bahwa Thio Kim-ciok adalah seorang licik yang berhati buas dan kejam. Kekejamannya boleh dibilang tiada orang di dunia ini yang sanggup menandinginya, dia sangat pandai memperalat orang lain, dia pun sangat memahami bagaimana caranya melenyapkan orang itu. Justru karena kekejaman dan kebuasan Thio Kim-ciok itulah maka tiga puluh tahun berselang kesepuluh orang gurunya bersepakat membinasakan dirinya daripada ia menerbitkan bencana yang lebih besar lagi di kemudian hari."
Pendekar Cacat 1736
"Kau tak usah membacot lebih lanjut," tukas Bong Thiangak sambil tertawa dingin. "Sekalipun Thio Kim-ciok adalah seorang telur busuk di masa lampau, tapi sekarang rasanya dia tak akan menandingi kekejian dan kecabulanmu itu." Kembali Ho Lan-hiang tertawa terkekeh-kekeh, "Jian-ciatsuseng, tahukah kau akan rencana busuk yang sedang dipersiapkan Thio Kim-ciok saat ini?" "Dia hendak membalas dendam, hendak membantai setiap orang yang pernah mencelakai jiwanya," sahut Bong Thiangak hambar. "Betul, dia ingin membantai orang yang pernah mencelakainya dahulu, tapi dia lebih-lebih berkeinginan untuk membunuh setiap jago persilatan yang membantunya." "Kau tak usah bersilat lidah mencoba mengadu domba kami," jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. "Yang jelas, antara orang she Bong dengan Put-gwa-cin-kau kalian, terutama dengan kau, aku bersumpah tak akan hidup berdampingan secara damai." "Jian-ciat-suseng memang termasuk seorang jago lihai di antara kaum angkatan muda," Ho Lan-hiang tersenyum, "tapi bila kau berkeinginan untuk beradu kemampuan dengan kesepuluh tokoh persilatan yang pernah termasyhur di masa lampau, kemampuanmu itu masih belum cukup matang. Bila kau tak percaya, silakan kau turun tangan terhadapku!"
Pendekar Cacat 1737
Bong Thian-gak berkerut kening, mendadak ia berpaling ke arah Song Leng-hui dan katanya, "Leng-hui, pinjamkan pedang bambumu itu kepadaku!" Ternyata di balik bahu Song Leng-hui tersoreng sebilah pedang bambu yang dibuat sendiri oleh Bong Thian-gak ketika mereka berdua hidup berdampingan di tengah gunung yang terpencil tempo dulu. Pek-hiat-kiam milik Bong Thian-gak hilang ketika berlangsung pertarungan dalam Ban-jian-bong tempo hari, sehingga saat ini dia tak bersenjata sama sekali. Itulah sebabnya dia meminjam pedang dari Song Leng-hui. Dengan cepat Song Leng-hui melolos pedang itu dan berkata dengan lembut, "Engkoh Gak, apakah kau mau bertarung melawannya?" Sambil bertanya dia berjalan mendekat sambil menenteng pedang bambunya itu. Tiba-tiba Thay-kun berjalan mendekatinya, lalu berbisik pelan, "Bong-suheng, jangan turun tangan lebih dahulu." "Antara aku dan dia ibarat api dan air yang tak mungkin bisa hidup berdampingan, cepat atau lambat di antara kami tentu akan dilangsungkan suatu pertarungan antara mati hidup. Buat apa aku mesti menunggu lebih lanjut?" ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam dan berat.
Pendekar Cacat 1738
"Ucapan Bong-suheng memang benar. Apabila kita tidak berusaha membunuhnya, dia pasti akan membunuh kita, tapi hari ini rasanya kita belum perlu membunuhnya." "Mengapa?" tanya anak muda itu dengan perasaan tidak habis mengerti. Tiba-tiba Thay-kun memperkeras suaranya dan berseru lantang, "Sebab bila kita membunuhnya, berarti sudah termakan oleh siasat busuk Hek-mo-ong." Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, katanya kemudian, "Termakan siasat busuk Hekmo-ong? Bukankah dia adalah satu komplotan dengan Hekmo-ong?" Agaknya perkataan terakhir Thay-kun itu membuat Ho Lanhiang merasa sangat terkejut, sesudah tertawa dingin pelan-pelan dia berseru, "Budak setan, aku ingin bertanya kepadamu, siapakah Hek-mo-ong yang sesungguhnya?" Jelas selama ini Ho Lan-hiang menganggap Thio Kim-ciok sebagai Hek-mo-ong. Thay-kun segera tersenyum. "Aku hanya bisa memberitahukan kepadamu, Hek-mo-ong yang sebenarnya bukan Thio Kim-ciok Locianpwe." Kembali Ho Lan-hiang tertawa dingin.
Pendekar Cacat 1739
"Sekarang perkembangannya sudah semakin bertambah, seorang bocah cilik berusia tiga tahun pun akan mengetahui bahwa Thio Kim-ciok sesungguhnya adalah Hek-mo-ong." "Sayang sekali dugaanmu itu keliru besar," Thay-kun tertawa cekikikan. Kemudian setelah berhenti sejenak, tegurnya, "Terus terang saja kuberitahukan kepadamu, Hek-mo-ong yang sesungguhnya bukan saja ingin membasmi kesepuluh tokoh persilatan, bahkan kau dan anak buahmu pun rasanya tak bakal dibiarkan hidup bebas di dunia ini. Dewasa ini Hekmo-ong sedang melaksanakan rencananya untuk membunuh dan membasmi kalian semua. Nah, mau percaya atau tidak terserah kepadamu." Dengan tenang Ho Lan-hiang termenung dan berpikir sejenak, lantas ia berseru, "Ji-kaucu, komandan Sim, ayo kita pergi dari sini!" Di bawah seruan Ho Lan-hiang, berangkatlah kedua jago Put-gwa-cin-kau itu meninggalkan tempat itu. Dalam waktu singkat ketiga sosok orang itu sudah lenyap di balik wuwungan rumah sana. Malam telah pulih kembali dalam keheningan dan kesepian yang mencekam.
Pendekar Cacat 1740
Pelan-pelan Bong Thian-gak menghela napas panjang, ujarnya kemudian dengan perasaan tak habis mengerti, "Thay-kun, mengapa kau biarkan dia pergi dari sini dengan aman dan selamat?" "Kepandaian silat Ho Lan-hiang sudah mencapai tingkatan yang tak terukur lagi. Apabila kita bertarung melawannya pada malam ini, menang kalah masih merupakan tanda tanya besar. Seandainya kedua belah pihak terlibat dalam pertarungan yang seru, tiba-tiba Hek-mo-ong muncul serta mencelakai Thio Kim-ciok Locianpwe, maka bagaimana jadinya? Itulah sebabnya lebih baik kita singkirkan dahulu dendam pribadi dan berusaha menghindari setiap bentrokan dengan orang, kecuali dengan Hek-mo-ong." "Thay-kun, apakah kau sudah tahu siapakah Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak. Thay-kun mengangguk. "Ya, aku sudah tahu siapakah dia." "Siapakah orang itu?" "Untuk sementara waktu belum dapat kuberitahukan kepada kalian." Bong Thian-gak menghela napas panjang.
Pendekar Cacat 1741
"Sudah kuduga mengutarakannya. selanjutnya?"
sedari tadi, kau tidak Ai! Bagaimana rencana
akan kita
Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Thio Kim-ciok, lalu sahutnya, "Untuk sementara waktu lebih baik kita berdiam di dalam bangunan ini." "Nona Thay-kun," Thio Kim-ciok berkata sambil menghela napas sedih. "Kecerdasan otakmu benar-benar mengagumkan. Seandainya tiada kau pada hari ini, bisa jadi kita semua sudah termakan oleh rencana busuk Hek-moong." Thay-kun tersenyum. "Hek-mo-ong telah pergi meninggalkan tempat ini, aku yakin dia sendiri pun tak dapat menduga secara pasti keadaan Thio-locianpwe yang sesungguhnya sehingga untuk sementara waktu ia tak akan turun tangan terhadap kita semua." Kembali hati Bong Thian-gak tergerak, segera tanyanya, "Thay-kun, kau bilang barusan Hek-mo-ong berada di sekitar tempat ini?" "Benar," Thay-kun mengangguk, " saat Biau-kosiu dan rombongan muncul di sini, Hek-mo-ong pun muncul pula di salah satu sudut bangunan ini, hanya dia tetap diam di situ menunggu perkembangan selanjutnya, di saat Ho Lan-hiang
Pendekar Cacat 1742
dan rombongan meninggalkan tempat ini, secara diamdiam pun dia turut pergi dari sini." Sampai di sini gadis itu segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Thio kim-ciok, kemudian sambungnya, "Thio-locianpwe, ada beberapa persoalan yang belum Boanpwe pahami. Kumohon Locianpwe sudi memberi penjelasan." "Katakanlah, Thay-kun!" "Aku tahu, sudah sejak dulu Locianpwe telah mengetahui siapakah Hek-mo-ong itu, lagi pula kau pun masih mempunyai tenaga dan kemampuan yang cukup untuk membinasakan dirinya. Mengapa kau orang tua enggan membalas dendam?" "Aku pun tak ingin mengelabui kalian lagi. Sebenarnya alasanku berbuat demikian, tak lain karena dendam dan benci. Aku berharap mereka bisa saling gontok hingga akhirnya tinggal Hek-mo-ong." "Tapi kenyataannya sekarang apa yang kau inginkan malah menghasilkan keadaan yang terbalik. Hek-mo-ong telah mengadakan persekongkolan dengan kawanan jago lihai untuk bersama-sama mengurung dan mengeroyok dirimu, sanggupkah Thio-locianpwe menghadapi mereka?" Berkilat mata Thio Kim-ciok, sahutnya dengan lantang, "Asal nona Song bersedia membantuku menghilangkan sisa racun keji yang masih mengeram dalam tubuhku, aku
Pendekar Cacat 1743
percaya masih mampu menghadapi kerubutan kawanan jago lihai persilatan." Tiba-tiba Song Leng-hui berkata dengan merdu, "Thiolocianpwe, kau boleh segera mencari tempat yang aman dan terlindung. Sekarang juga aku akan turun tangan menyembuhkan penyakitmu itu." Thay-kun memandang sekejap ke arah Song Leng-hui, kemudian katanya merdu, "Padahal dengan tubuh yang masih berpenyakit pun, aku percaya Thio-locianpwe dapat melawan keroyokan kawanan jago lihai persilatan." Paras muka Thio Kim-ciok berubah secara tiba-tiba, dengan suara dalam ia segera bertanya, "Nona, apakah yang ingin kau katakan, lebih baik sampaikan secara terus terang." Thay-kun termenung beberapa lama, kemudian baru berkata, "Bicara soal kesetia kawanan, kami memang wajib membantu Thio-locianpwe menyembuhkan penyakit menahun akibat racun keji itu. Tapi kami pun kuatir bila Thio-locianpwe sudah sembuh dari penyakit itu, maka secara tiba-tiba akan berubah menjadi seorang yang lain." "Hm, jalan pikiranmu itu persis seperti jalan pikiran sepuluh tokoh persilatan di masa lampau," kata Thio Kim-ciok sambil tertawa dingin. "Tentu saja, sebab bila racun keji yang mengeram dalam tubuh Thio-locianpwe dihilangkan, kau akan menjelma menjadi seorang jago silat yang tiada tandingannya di dunia
Pendekar Cacat 1744
ini, bahkan kau pun memiliki harta kekayaan yang tidak terhitung jumlahnya." "Bagi seorang manusia yang berilmu silat tinggi dan mempunyai harta kekayaan yang tak terhitung jumlahnya, andaikan pikirannya sedikit menyeleweng saja, akibatnya tentu tak dapat dilukiskan. Itulah sebabnya mau tidak mau kami harus mempertimbangkan sampai sejauh itu." Thio Kim-ciok segera tertawa dingin. "Aku bukan memohon pertolonganmu, aku minta nona Song yang menyembuhkan penyakitku ini." "Tentu saja kau boleh meminta pertolongan nona Song," kata Thay-kun dengan suara pelan, "tapi seandainya kuungkap hubunganmu dengan Hek-mo-ong, sudah dapat dipastikan Song Leng-hui tidak akan mengobati penyakitmu itu." Baik Song Leng-hui maupun Bong Thian-gak keduanya sama-sama dibuat tertegun, melongo dan tidak habis mengerti, mereka tidak tahu apa yang sebabnya Thay-kun menolak menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kimciok. Sesungguhnya terjalin hubungan apakah antara Thio Kimciok dan Hek-mo-ong? Segera Song Leng-hui berkata, pengetahuan serta pengalamanmu
"Enci Thay-kun, jauh lebih luas
Pendekar Cacat 1745
dibanding diriku, kami akan menuruti semua perintah serta petunjukmu." Perkataan ini sudah jelas, asal Thay-kun menolak menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok, maka dia pun akan menuruti perkataan Thay-kun dengan tidak mengobati penyakitnya. Berubah hebat paras muka Thio Kim-ciok, dengan suara dingin ujarnya, "Bagi seorang persilatan, memegang janji adalah salah satu syarat utama agar dapat dipercaya orang, nona Song sudah berjanji tapi kemudian mengingkarinya, benar-benar jarang kujumpai." Merah jengah wajah Song Leng-hui oleh dampratan itu, dia menjadi tergagap, "Aku ... aku ... aku kan belum pernah berjanji akan menyembuhkan penyakitmu itu!" Dengan cepat Thay-kun berkata pula dengan suara dingin, "Thio-locianpwe, aku cukup tahu bahwa kau mempunyai rencana busuk dan maksud keji terhadap keselamatan umat persilatan. Demi menjaga agar umat persilatan tidak dibuat pecundang oleh ulahmu itu, mau tidak mau terpaksa kami harus bertindak sangat hati-hati dalam menghadapi persoalan ini." "Apabila Thio-locianpwe tidak mempunyai rencana jelek lainnya dan khusus bertujuan membalas dendam, maka dendam harus dibalas kepada siapa yang berhutang. Jadi sepantasnya Thio-locianpwe mencari Hek-mo-ong serta
Pendekar Cacat 1746
melepas rasa dendammu kepadanya. Mengapa kau justru bersekongkol dengan Hek-mo-ong melakukan kejahatan?" Beberapa patah kata itu kontan membuat Bong Thian-gak menjadi terlongong, segera tanyanya, "Jadi dia bersekongkol dengan Hek-mo-ong melakukan berbagai kejahatan?" "Benar," Thay-kun mengangguk, "sesungguhnya antara Hek-mo-ong dan Thio Kim-ciok memang sudah terjalin hubungan pribadi yang sangat erat dan akrab." "Benarkah nona sudah dapat menduga asal-usul serta identitas yang sebenarnya dari Hek-mo-ong?" tanya Thio Kim-ciok lagi sambil tersenyum. "Justru karena sudah mengetahui siapakah dia, maka aku baru menaruh curiga terhadap semua gerak-gerik serta sepak-terjang Thio-locianpwe." "Mengapa tidak nona sebutkan siapakah Hek-mo-ong?" tanya Thio Kim-ciok "Waktunya belum tiba, tunggu sampai saatnya aku pasti akan mengungkap rahasia ini kepada semua orang." Thio Kim-ciok mendengus dingin, "Mengapa tidak nona katakan sekarang juga? Apakah belum dapat meyakini identitas Hek-mo-ong itu?"
Pendekar Cacat 1747
"Benar," Thay-kun tersenyum. "Dugaanku ini belum yakin seratus persen, tapi aku percaya selisih juga tak jauh lagi." Tiba-tiba Thio Kim-ciok berkata dengan suara dalam dan sangat berat, "Apakah kalian bersedia menyembuhkan penyakitku atau tidak, keputusan terserah kepada kalian sendiri dan aku pun tak bermaksud memaksakan kehendakku. Seperti apa yang dikatakan nona Thay-kun tadi, sekalipun dengan tubuh mengidap penyakit keracunan Hok-teng-ang, aku masih tetap mampu mengadu kepandaian dengan para jago persilatan itu. Tapi ada hal yang perlu kalian ketahui, di saat kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang terbasmi, maka persengketaan antara Hek-mo-ong dan diriku pun akan menjadi kiamatnya dunia persilatan." Selesai mengucapkan perkataan itu tba-tiba Thio Kim-ciok berjalan keluar dari gardu itu. Hay Cing-cu, Siu-kiong dan Siu-go kedua orang dayangnya segera mengikut pula di belakangnya. Saat itulah terdengar suara Thio Kim-ciok kembali berkumandang, "Saat kambuhnya penyakit yang kuderita sudah hampir tiba. Oleh sebab itu aku harus kembali ke dalam kamarku untuk beristirahat. Apabila kalian membutuhkan sesuatu, minta saja kepada kedua orang dayangku ini." Habis berkata, dengan cepat Thio Kim-ciok berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Pendekar Cacat 1748
Bong Thian-gak mengawasi bayangan Thio Kim-ciok lenyap di balik ruangan, kemudian ia berkata sambil menghela napas panjang, "Ai, persoalan dalam dunia persilatan memang penuh dengan intrik jahat dan tipu-muslihat yang amat keji, perubahan demi perubahan dapat berlangsung secara mendadak hingga susah diduga sebelumnya." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Sumoay, darimana kau bisa tahu bahwa antara Thio Kimciok dan Hek-mo-ong sebenarnya telah terjalin hubungan kerja-sama?" "Bong-suheng, menurut pendapatmu, siapakah Hek-moong?" Thay-kun bertanya. Bong Thian-gak tertegun sejenak, lalu sahutnya, "Selain si tabib sakti Gi Jian-cau, masakah masih ada orang lain lagi?" "Dugaanmu itu keliru besar," kata Thay-kun sambil menggeleng, "Tabib sakti hanya pembantu Hek-mo-ong." "Lantas siapakah dia?" "Liu Khi." "Liu Khi?" seru BongThian-gak dengan terperanjat. "Sumoay, apakah dugaanmu tidak salah?" "Dari berbagai gejala dan persoalan yang kita jumpai, aku bisa menemukan petunjuk atau petanda yang
Pendekar Cacat 1749
menunjukkan bahwa Liu Khi merupakan Hek-mo-ong yang sesungguhnya?" "Baik Thio Kim-ciok maupun Gi Jian-cau dan Liu Khi samasama merupakan orang yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong, namun di antara mereka bertiga hanya seorang yang merupakan Hek-mo-ong sebenarnya dan orang ini tak lain adalah Liu Khi." Bong Thian-gak mengerutkan dahi, selang sejenak kemudian baru bertanya, "Sumoay, bagaimana caramu membuktikan bahwa Liu Khi adalah Hek-mo-ong yang sebenarnya?" "Soal ini tak mungkin dapat kujelaskan seluruhnya kepadamu pada saat ini, apalagi yang penting aku hanya ingin memberitahukan kepadamu bahwa Liu Khi adalah Hek-mo-ong, sehingga kau pun bisa berhati-hati dan jangan sampai dipecundangi olehnya." "Apakah Thio Kim-ciok sudah mengetahui akan asal-usul yang sebenarnya dari Hek-mo-ong?" "Thio Kim-ciok merupakan seorang yang sangat lihai, sekalipun dia sudah mengetahui siapakah Hek-mo-ong, namun masih saja berlagak seakan-akan tidak tahu. Ketika aku bertanya kepada Thio Kim-ciok tadi, apa sebabnya dia tidak secara langsung mencari Hek-mo-ong untuk membalas dendam, tujuannya tak lain adalah ingin mengetahui apakah Thio Kim-ciok sudah mengetahui Liu
Pendekar Cacat 1750
Khi pembunuh sebenarnya, tapi Thio Kim-ciok seakan-akan tidak tahu." "Maka aku pun mulai menaruh curiga terhadap Thio Kimciok, kita harus mempertimbangkan masak-masak rencana Song Leng-hui menyembuhkan penyakit Thio Kim-ciok itu." Bong Thian-gak segera manggut-manggut, katanya, "Apakah Sumoay menaruh curiga bahwa Thio Kim-ciok bersekongkol dengan Hek-mo-ong untuk membunuh kesepuluh tokoh persilatan itu?" Thay-kun menggeleng. "Mereka tidak berkomplot, sebaliknya Hek-mo-ong justru telah diperalat oleh Thio Kim-ciok." "Kalau begitu Thio Kim-ciok benar-benar seorang licik dan banyak tipu-muslihatnya. Dari sini terbukti juga bahwa Thio Kim-ciok belum bisa menghilangkan rasa benci dan dendamnya terhadap kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang yang telah mencelakainya pada tiga puluh tahun berselang." "Jelas Thio Kim-ciok memang berhasrat membunuh kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang," kata Thaykun lebih jauh, "tapi di luaran, kematian Kui-kok Sianseng, Song-ciu dan Oh Ciong-hu serta Ku¬lo Hwesio seakan-akan tewas di tangan Hek-mo-ong, padahal yang benar kematian mereka disebabkan oleh rencana busuk Thio Kim-ciok."
Pendekar Cacat 1751
"Ai, padahal cara yang digunakan Thio Kim-ciok untuk membalas dendam pun tidak dapat disalahkan, hanya saja yang mengerikan adalah kelicikannya itu dapat mencelakai umat persilatan di kemudian hari." Tiba-tiba Song Leng-hui bertanya, "Enci Thay-kun, sebenarnya kita harus menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok atau tidak?" Thay-kun termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian dia baru menyahut sambil menghela napas, "Kita harus membantu Thio Kim-ciok menyembuhkan penyakit yang dideritanya." Baru selesai dia berkata, mendadak dari balik kegelapan malam terdengar seorang berkata dengan suara dingin menyeramkan, "Bila kalian berani menolong Thio Kim-ciok, maka kalian akan mampus tanpa liang kubur." Suara ancaman itu seakan-akan berkumandang dari kejauhan sana, tapi seperti juga berasal dari suatu tempat yang sangat dekat sekali. Nada suara itu mengalun dan berputar-putar di tengah udara, sehingga membuat orang susah menentukan darimanakah suara itu berasal. Bong Thian-gak segera membentak, "Siapa kau? Mengapa tidak segera menampakkan diri?"
Pendekar Cacat 1752
"Aku adalah Hek-mo-ong yang asli," jawab suara itu tetap mengalun di tengah udara. Baik Bong Thian-gak maupun Thay-kun dapat mengenali dengan segera bahwa suara itu adalah suara Hek-mo-ong, jauh berbeda dengan suara Hek-mo-ong yang dua kali telah mereka dengar sebelum ini. Bong Thian-gak tertawa dingin, "Apakah kau adalah Liu Khi?" "Aku adalah Hek-mo-ong, bukan Liu Khi," sahut suara itu sambil tertawa tergelak. Mendadak terdengar Song Leng-hui bersembunyi di atas gunung-gunungan."
menjerit,
"Dia
Bong Thian-gak serta Thay-kun serentak mengalihkan sorot mata mereka ke arah gunung-gunungan yang berada di sisi kiri mereka setelah mendengar jeritan itu, benar saja secara lamat-lamat mereka saksikan sesosok bayangan muncul dan berdiri di atas gunung¬-gunungan itu. Ketajaman mata Thay-kun serta Bong Thian-gak tidak diragukan, kendati mereka masih dapat membedakan dengan jelas bayangan orang yang berdiri di balik kegelapan itu, namun saat itu mereka justru tidak dapat membedakan secara jelas tinggi-rendahnya bayangan orang itu serta ciri-ciri lain yang dapat diingat.
Pendekar Cacat 1753
Jelas bayangan orang yang berada di atas gununggunungan itu tercipta oleh ilmu menghilang dari In-hengcoat-kang yang merupakan kepandaian sakti. Dengan menggerakkan sepasang bahu kiri dan kanannya hingga membuat seluruh badan tak pernah berhenti bergerak, maka pandangan orang lain tak akan bisa menangkap bentuk badan secara jelas. Mendadak Thay-kun berteriak, "Adik Song, jangan dekati orang itu." Tampak Song gunungan itu.
Leng-hui
tengah
mendekati
gunung-
Song Leng-hui menghentikan langkah, katanya sambil berpaling, "Cici, asalkan kita bisa mendekatinya, sudah pasti akan terlihat bentuk tubuhnya dengan lebih jelas." "Hek-mo-ong justru mengharapkan kau maju ke depan seorang diri," kata Thay-kun memperingatkan. Baik Song Leng-hui maupun Bong Thian-gak keduanya mengerti apa yang dimaksudkan Thay-kun. Dengan suatu gerakan yang amat cekatan sekali Bong Thian-gak segera melompat ke depan dan berdiri bersiap di samping Song Leng-hui.
Pendekar Cacat 1754
Sambil tertawa Thay-kun segera berkata, "Asalkan kita bertiga maju dan mundur bersama, aku rasa kita tak usah takut lagi kepada Hek-mo-ong." Hek-mo-ong yang berada di atas gunung-gunungan mendengus dingin sambil tertawa seram, katanya, "Aku sudah memperingatkan kalian, jangan menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok. Bila kalian tak mau menuruti nasehatku ini, kalian bertiga bakal mampus tanpa liang kubur." Thay-kun tertawa cekikikan, "Sebetulnya kami tak punya rencana menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kimciok, tapi setelah kau mengetahui rahasia Thio Kim-ciok yang sebenarnya, agaknya kami harus merubah rencana semula, sekarang kami harus menyembuhkan penyakit yang diderita Thio Kim-ciok." Hek-mo-ong kembali tertawa dingin, "Nasib Thio-kim-ciok telah ditetapkan akan berakhir sebelum kentongan kelima malam ini. Percaya atau tidak terserah pada kalian." Satu ingatan segera melintas dalam benak Thay-kun, katanya, "Kalau begitu Thio Kim-ciok telah ditakdirkan mati sebelum kentongan keempat?" Hek-mo-ong yang berada di atas gunung-gunungan segera tertawa dingin, "Bila takdir sudah menentukan bahwa Thio Kim-ciok hanya bisa hidup sampai kentongan keempat malam ini. Siapa yang bisa menolongnya?"
Pendekar Cacat 1755
"Sumoay, adik Hui," kata Bong Thian-gak secara tiba-tiba dengan suara dalam, "sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengan Hek-mo-ong pada malam ini, bagaimana pun juga kita harus menyingkap tabir rahasia Hek-mo-ong ini sampai tuntas." "Baik," sahut Thay-kun manggut-manggut "Mari kita menyerang bersama-sama." Sambil bicara Thay-kun telah mendesak maju. Begitu Thay-kun bergerak, Bong Thian-gak serta Song Lenghui serentak maju pula mengikut di belakangnya. Bong Thian-gak dengan pedang bambu di tangan tunggalnya berada di bagian tengah, sementara Thay-kun dan Song Leng-hui bergerak dari sisi kiri dan kanan. Mereka bertiga maju secara bersama-sama secepat kilat, langsung menerjang ke arah gunung-gunungan. Suara gelak tertawa yang amat keras bagaikan tangisan kuntilanak serta lolongan serigala di malam buta segera berkumandang. Hek-mo-ong yang berada di atas gunung-gunungan bagaikan segulung asap tebal segera bergerak pula ke depan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak. Rupanya Hek-mo-ong telah memilih Bong Thian-gak sebagai sasaran pertama, kedua belah pihak sama-sama
Pendekar Cacat 1756
menerjang ke depan bagaikan sambaran petir, dalam waktu singkat tahu-tahu sudah saling berhadapan. Agaknya Bong Thian-gak tidak menyangka Hek-mo-ong bakal menerjang ke arahnya. Baru menjumpai bayangan hitam berkelebat. Bong Thian-gak telah merasakan musuh berada di depan mata. Dalam keadaan demikian, tiada kesempatan lagi bagi Bong Thian-gak untuk berpikir panjang, pedang bambu di tangannya segera diayunkan ke depan melancarkan tusukan. Jurus pedang yang digunakan adalah menyerang dari bawah menuju ke atas, kecepatan gerakannya luar biasa. Mungkin Hek-mo-ong sendiri pun tidak menyangka tenaga dalam Bong Thian-gak jauh lebih tangguh daripada apa yang diduga semula, bahkan begitu serangannya dilancarkan, segera terasa segulung angin serangan yang tajam dan kuat menyambar ke depan serasa menembus badan. Akibat pancaran hawa serangan pedang yang kuat dan dahsyat itu, Hek-mo-ong segera kehilangan kesempatan menyerang musuh lebih dulu. Kesempatan yang lenyap untuk pertama kalinya selama hidupnya. Dalam posisi demikian, mau tak mau dia harus menggerakkan tubuh menghindarkan diri dari serangan
Pendekar Cacat 1757
musuh, lalu dengan cepat mengeluarkan pukulan tengkoraknya yang amat cepat dan mengerikan itu. Sejak melepaskan serangan pedang, mata Bong Thian-gak tak hentinya mengawasi gerak-gerik lawan tanpa berkedip, tiba-tiba ia merasa pandangan matanya menjadi kabur, lalu tubuh musuh yang meluncur datang dari tengah udara telah bergeser ke sebelah kiri. Tentu saja serangan pedangnya mengenai tempat kosong. Pada saat inilah secara lamat-lamat Bong Thian-gak dapat melihat di balik ujung baju sebelah kanan Hek-mo-ong kosong melompong. "Ah! Dia benar-benar seorang berlengan tunggal!" pekiknya dalam hati. Bong Thian-gak segera melihat dari balik ujung baju kanan Hek-mo-ong yang kosong melompong itu telah meluncur keluar sebuah benda dan benda itu tak lain adalah sebuah tangan. Tangan Tengkorak! Sejak dahulu sampai sekarang, tangan tengkorak yang merupakan alat pembunuh Hek-mo-ong tak pernah meleset dari sasaran. Hal Ini disebabkan gerakan itu terlalu cepat, sedemikian cepatnya bagaikan sambaran petir saja.
Pendekar Cacat 1758
Tubuh Bong Thian-gak mencelat ke tengah udara dan bagaikan sebuah layang-layang putus benang, tubuhnya segera jatuh terjerembab dari atas. Robohnya Bong Thian-gak segera membangkitkan rasa sedih dan gusar Thay-kun serta Song Leng-hui, serentak mereka menerjang ke muka dari kiri dan kanan. Dua gulung tenaga serangan yang tajam dan maha dahsyat segera meluncur ke muka dan menggencet tubuh Hek-moong yang mnsih melambung di tengah udara. Terdengar gelak tawa yang menyeramkan dan menggidikkan. Di tengah sapuan angin pukulan yang amat kencang, bayangan tubuh Hek-mo-ong melambung ke tengah udara dan melayang turun di atas gununggunungan. Ketika Thay-kun dan Song Leng-hui bersama-sama melayang turun, tampak Bong Thian-gak yang masih sempoyongan berusaha bangkit dari atas tanah. "Engkoh Gak, Suheng, bagaimana keadaanmu?" kedua orang gadis itu bertanya secara bersama. Dengan wajah pucat-pias seperti mayat dan mengertak gigi, sahut Bong Thiang-gak, "Aku tidak apa-apa. Untung tidak melukai bagian mematikan, tak usah kuatir, aku tak bakal mati!"
Pendekar Cacat 1759
Selama ini serangan tangan tengkorak maut Hek-mo-ong selalu mengarah jalan darah Sam-kan-hiat pada hulu hati dengan kecepatan tinggi dan ketepatan yang mengagumkan, belum pernah ada seorang jago silat pun yang dapat meloloskan diri dari ancaman yang mematikan ini. Tapi sekarang Bong Thian-gak telah memecahkan kebiasaan itu, ia berhasil menghindari serangan musuh yang menghajar bagian lain dari badannya. Serangan tangan tengkorak Hek-mo-ong telah menghajar telak di atas dada bagian atas puting susu kirinya. Kendati Bong Thian-gak telah mengerahkan Tat-mo-khi-kang untuk melindungi seluruh badan, namun kuatnya serangan musuh membuat ia menderita luka cukup parah. Hawa murni segera tersebar kemana-mana, peredaran darahnya bergolak keras, dada terasa sakit dan pedas seperti terbakar bara api. Thay-kun dan Song Leng-hui merasa gembira karena melihat Bong Thian-gak tidak roboh pingsan akibat serangan itu Sebaliknya Hek-mo-ong justru merasa amat terkesiap. Dengan jelas ia melihat pukulan tengkorak mautnya menghajar hulu hati musuh secara tepat dan telak, akan tetapi kenyataannya pihak musuh tidak roboh.
Pendekar Cacat 1760
Padahal selama puluhan tahun malang-melintang di Kangouw belum pernah serangannya meleset, tapi kali ini dia harus menerima kegagalan itu. "Hm," tiba-tiba Hek-mo-ong memperdengarkan suara tertawa dinginnya yang rendah, berat dan menyeramkan, "Jian-ciat-suseng, sungguh tak kusangka kau dapat lolos dari tangan tengkorakku ini. Hm, sekalipun kau dapat menghindari serangan tengkorak maut yang pertama dengan selamat, apakah kau mampu menghindari serangan pukulan tengkorak maut yang kedua?' Bong Thian-gak tertawa seram, bentaknya, "Hek-mo-ong, akan kucoba sekali lagi menerima pukulanmu itu." Di tengah bentakan itu. Bong Thian-gak dengan pedang terhunus telah menerjang ke depan. Mendadak dari balik ruangan dalam gedung terdengar seorang menjerit kaget dan membentak, "Siapa di situ? Berhenti!" Disusul kemudian terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan. Jeritan itu sangat keras dan bergema memecah keheningan malam, membuat siapa pun yang mendengar berdiri bulu kuduknya. Dengan wajah berubah Thay-kun berseru, "Aduh celaka! Jeritan itu berasal dari kedua orang dayang itu, ada orang yang hendak mencelakai jiwa Thio Kim-ciok!"
Pendekar Cacat 1761
Perubahan yang terjadi amat tiba-tiba ini membuat Bong Thian-gak segera mengurungkan niatnya melancarkan serangan ke arah Hek-mo-ong. Sementara itu Hek-mo-ong yang berada di atas gununggunungan berseru sambil tertawa dingin, "Sekarang aku akan memberikan sebuah kesempatan lagi bagi kalian untuk menyelamatkan hidup. Bila kalian bertiga mengundurkan diri sekarang juga, maka aku pun berjanji tak akan mencelakai kalian, tapi bila kalian berniat mencampuri urusan kami lagi, hm! Jangan salahkan aku turun tangan keji dan tak kenal ampun." Tiba-tiba Bong Thian-gak membentak, "Sumoay, adik Hui, kalian segera masuk ke dalam ruangan untuk menyambut kedatangan mereka, biar aku menghadapi Hek-mo-ong seorang diri." Selesai berkata Bok Thian-gak segera berpekik panjang, tubuhnya melambung ke udara dan sekali lagi melangkah ke arah gunung-gunungan untuk menyerang Hek-mo-ong. Song Leng-hui yang menyaksikan kejadian itu segera berteriak, "Cici, kau cepat membantu Thio-locianpwe, biar aku berada di sini membantu engkoh Gak menghadapi Hekmo-ong." Sambil berkata Song Leng-hui menggerakkan pula tubuhnya, bagaikan burung walet yang terbang di angkasa, dia menerjang ke arah gunung-gunungan itu.
Pendekar Cacat 1762
Di luar dugaan, kali ini Hek-mo-ong sama sekali tidak menyambut serangan mereka, sekali berkelebat bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan malam. Bong Thian-gak dan Song Leng-hui serentak melayang turun dari gunung-gunungan itu, tapi malam itu amat hening, bayangan tubuh Hek-mo-ong telah lenyap. Mendadak suara jeritan ngeri yang memilukan dan menggidikkan berkumandang dari balik halaman gedung. Song Leng-hui, Bong Thian-gak serta Thay-kun seperti baru mendusin dari impian saja, serentak melompat naik ke atas pagar pekarangan dan menerjang masuk ke dalam gedung. Ujung baju yang terhembus angin bergema tiada hentinya. Dari atas pagar pekarangan tahu-tahu melayang turun dua orang kakek berjenggot hitam yang menghadang jalan mereka dengan pedang terhunus. Begitu melihat jelas kedua orang itu, Bong Thian-gak segera menjerit kaget, "Tio-pangcu, Tan-locianpwe, rupanya kalian berdua!" Ternyata kedua kakek berjenggot hitam yang berdiri dengan pedang terhunus itu tak lain adalah malaikat sakti pedang iblis Tio Tian¬seng serta delapan pedang salju beterbangan Tan Sam-cing.
Pendekar Cacat 1763
Waktu itu mereka berdiri dengan hawa membunuh menyelimuti wajah masing-masing, mereka berdiri dengan serius dan pedang siap melancarkan serangan. "Bong-laute," terdengar Tio Tian-seng berkata dengan suara dalam, "kumohon kepada kalian agar tidak mencampuri urusan ini, cepatlah pergi meninggalkan tempat ini!" Sementara itu secara lamat-lamat Thay-kun sudah dapat menduga apa gerangan yang telah terjadi, ia segera tertawa cekikikan, "Tio-pangcu, bukanlah kalian kemari untuk membunuh Thio Kim-ciok?" . "Kalau nona sudah mengetahui bahwa Thio Kim-ciok berada di sini, harap nona segera mengundurkan diri dari tempat ini," ucap Tio Tian-seng dengan suara dalam. Kembali Thay-kun berkata sambil tersenyum, "Berita tentang masih hidupnya Thio Kim-ciok telah membuat kalian merasa amat terkejut dan segera menganggap Hekmo-ong adalah Thio Kim-ciok. Tapi sekarang aku hendak memberitahukan sebuah berita yang amat mengejutkan kepada kalian, Hek-mo-ong yang sesungguhnya bukan Thio Kim-ciok melainkan Liu Khi. Bila kalian tidak percaya, aku hendak bertanya lagi kepada kalian, apakah si golok sakti berlengan tunggal datang bersama kalian?" Belum selesai perkataan itu diutarakan, dari balik kegelapan dalam halaman itu terdengar seseorang menyahut sambil tertawa seram, "Nona Thay-kun, harap
Pendekar Cacat 1764
kau tidak memfitnah orang semaumu sendiri, apalagi mencoba mengadu-domba di antara kami. Bukankah aku orang she Liu berada di sini?" Dalam pembicaraan itu, tampak seorang lelaki berjubah hitam bertubuh jangkung kurus dan berlengan tunggal, dengan sebilah golok panjang tersoreng di pinggangnya pelan-pelan menampakkan diri dari kegelapan. Orang itu tak lain adalah si golok sakti yang berlengan tunggal Liu Khi adanya. Bong Thian-gak serta Song Leng-hui segera dibuat tertegun oleh kejadian itu. Hanya Thay-kun seorang yang tersenyum, pelan-pelan ujarnya, "Liu-tayhiap, cepat amat gerakan tubuhmu, tak nyana dalam sekejap mata saja kau dapat memerankan dua peranan yang berbeda." "Perkataan nona benar-benar membuat orang merasa kebingungan dan tidak habis mengerti," ujar si golok sakti yang berlengan tunggal dengan suara dingin. Mendadak Tio Tian-seng berkata dengan wajah serius dan suara dalam, "Tentunya nona Thay-kun sudah pernah mendengar, tiga puluh tahun berselang sepuluh tokoh persilatan bekerja sama membunuh Thio Kim-ciok."
Pendekar Cacat 1765
"Sekarang terbukti Thio Kim-ciok masih hidup dan tak diragukan lagi Hek-mo-ong yang telah mencelakai jiwa Kuikok Sianseng, Song-cui suami-istri, Oh Ciong-hu serta Ku-lo Hwesio, tak lain tak bukan adalah Thio Kim-ciok." Thay-kun tersenyum. "Betul, sampai sekarang Thio Kim-ciok memang belum dapat melupakan dendam kesumat sedalam lautan terhadap kalian sepuluh tokoh persilatan, karena perbuatan kalian yang telah mencelakai jiwanya pada tiga puluh tahun berselang, tapi menurut apa yang kuketahui, Thio Kim-ciok belum pernah melakukan tindakan untuk mewujudkan harapannya membalas dendam." "Darimana nona bisa tahu kalau ia belum melakukan sesuatu tindakan?" tanya Tio Tian-seng dengan suara dalam, wajahnya berubah hebat. "Sebab sejak menderita luka keracunan pada tiga puluh tahun lalu, hingga kini luka itu belum pernah sembuh, kematian Kui-kok Sianseng sekalian sepuluh tokoh persilatan pasti bukan perbuatan Thio Kim-ciok." "Kalau bukan, siapa pula yang telah membunuh mereka?" Thay-kun melirik sekejap ke arah Liu Khi, lalu sahutnya merdu, "Hek-mo-ong!" "Mengapa pula Hek-mo-ong harus membunuh Kui-kok Sianseng sekalian?"
Pendekar Cacat 1766
"Tujuan utama Hek-mo-ong membunuh sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang tak lain adalah untuk merampas peta rahasia tambang emas milik Thio Kim-ciok." "Tatkala Thio Kim-ciok menerima surat undangan kematian dari Hek-mo-ong tempo hari, secara diam-diam dia telah memotong peta rahasia tambang emasnya menjadi sebelas bagian yang dihadiahkan kepada sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang." "Baik Tio-pangcu maupun Tan Sam-cing Locianpwe adalah termasuk orang-orang yang tergabung dalam sepuluh tokoh persilatan, bukankah kalian pun pernah menerima satu bagian peta rahasia tambang emas itu?" Pertanyaan yang diajukan Thay-kun segera membuat wajah Tio Tian-seng dan Tan Sam-cing berubah hebat. Hanya Liu Khi seorang yang tertawa dingin tiada hentinya, katanya, "Budak setan, sungguh tak kusangka begitu banyak persoalan yang telah kau ketahui. Hehehe! Benar, pada tiga puluh tahun berselang sepuluh tokoh persilatan telah menerima satu bagian peta rahasia tambang emas dan sejak saat itu pula kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang telah berubah menjadi orang yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong, masing-masing saling mencurigai dan gontok-gontokan. Sejak saat itu pula sepuluh tokoh dunia persilatan tidak pernah merasakan hari yang tenteram. Bila dipikir sekarang, aku sungguh merasa kagum dengan siasat pinjam golok membunuh orang dari Thio Kim-ciok."
Pendekar Cacat 1767
Thay-kun tersenyum, segera ia berkata pula, "Thio Kim-ciok bisa melaksanakan rencana balas dendam dengan siasat meminjam golok membunuh orang, hal ini jelas membuktikan bahwa Thio Kim-ciok sudah lama tahu kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang memang berencana hendak membinasakan dirinya." "Waktu itu dengan jelas Thio Kim-ciok mengetahui bahwa sulit baginya untuk meloloskan diri dari musibah itu, akan tetapi dia pun tak rela mati dengan membawa dendam sakit hati. Itulah sebabnya dia pun mulai menyusun rencana kejinya, agar setelah kematiannya nanti, para pembunuh yang telah mencelakai jiwanya saling gontok dan bunuh untuk memperebutkan peta rahasia tambang emas itu." "Ai, andaikata dugaanku tak salah, Ku-lo Hwesio dan Songciu suami-istri telah merasakan betapa lihainya siasat meminjam golok membunuh orang Thio Kim-ciok waktu itu sehingga mereka putuskan untuk hidup mengasingkan diri di pegunungan terpencil sambil berusaha menghindari musibah itu. Tapi darimana mereka dapat menduga Hekmo-ong yang dimaksud Thio Kim-ciok itu sebenarnya adalah salah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang? Itulah sebabnya mereka pun tak dapat meloloskan diri dari nasib tragis di tangan Hek-mo-ong yang sedang berusaha merebut peta rahasia tambang emas yang berada di tangan mereka." Mendengar sampai di sini, Tio Tian-seng menghela napas panjang, katanya kemudian, "Benarkah nona beranggapan
Pendekar Cacat 1768
bahwa Hek-mo-ong adalah salah seorang di antara kesepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang?" "Aku yakin dugaanku ini tak akan salah," jawab Thay-kun dengan wajah bersungguh-sungguh. Liu Khi tertawa dingin, katanya, "Yang masih hidup di dunia ini hingga sekarang tinggal enam orang, apakah kita harus saling gontok dan bunuh terus-terusan?" "Andaikata aku tidak bertemu dengan Gi Jian-cau di Banjian-bong, rasanya kita masih akan terus saling bunuh!" sambung Tan Sam-cing. Dari perkataan Tan Sam-cing, sudah jelas ia memberi dukungan kepada Liu Khi. Dalam keadaan begini agaknya Tio Tian-seng pun dihadapkan pada suatu pilihan yang sangat berat, ia membungkam dan memandang bintang yang tersebar di angkasa sambil memutar otak. Mendadak Thay-kun tertawa cekikikan, "Masih ada satu persoalan yang belum sempat kusampaikan kepada kalian, yaitu sampai sehari sebelum hari ini, antara Thio Kim-ciok dan Hek-mo-ong sesungguhnya masih terjadi kontak dan hubungan yang akrab, justru kedua orang itulah yang telah menyusun rencana untuk membunuh sepuluh tokoh persilatan beserta Ho Lan-hiang."
Pendekar Cacat 1769
Perkataan ini seketika mengejutkan Tan Sam-cing, ia segera bertanya, "Nona apa maksudmu?" Thay-kun tersenyum. "Dengarkan perkataanku ini dengan pikiran tenang." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut, "Barusan sudah kubilang, hingga sekarang Thio Kim-ciok masih belum dapat melupakan dendam kesumatnya terhadap sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang yang telah bekerja sama mencelakakan jiwanya. Sudah barang tentu tidak dapat disalahkan jika Thio Kim-ciok berkeinginan membalas sakit hatinya itu, tapi siapa orang yang mampu membunuh kesepuluh tokoh persilatan yang sangat lihai itu? Lagi pula Thio Kim-ciok masih menderita luka racun sehingga sama sekali tak mampu membalas dendam." "Itulah sebabnya Thio Kim-ciok segera memanfaatkan maksud tujuan Hek-mo-ong yang ingin mengangkangi peta rahasia tambang emas itu seorang diri dengan membunuh musuh-musuhnya. Padahal sesungguhnya Thio Kim-ciok sudah mengetahui siapakah otak dari semua ini, yaitu Hekmo-ong, tapi rahasia itu tetap dijaganya hingga kini." Ketika pembicaraan baru berlangsung sampai di situ, sambil tertawa dingin Liu Khi menukas, "Budak setan, perkataanmu barusan pada hakikatnya cuma ngaco-belo. Jadi menurut pendapatmu, Hek-mo-ong membunuh sepuluh tokoh persilatan karena tujuannya hendak
Pendekar Cacat 1770
mengangkangi peta rahasia tambang emas yang berada di tangan kesepuluh tokoh persilatan itu? Tapi aku ingin bertanya tentang satu hal kepadamu, apa sebabnya Hekmo-ong tidak secara langsung pergi mendesak Thio Kimciok supaya dibuatkan peta rahasia tambang emas yang baru?" "Kau harus tahu, Hek-mo-ong bukan orang bodoh, dia cukup tahu bagaimana harus menghadapi Thio Kim-ciok. Aku rasa bila dia mau turun tangan terhadap Thio Kim-ciok, maka hal ini mempermudah baginya untuk mencapai apa yang diharapkan ketimbang harus menghadapi sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang." Bantahan Liu Khi itu kembali menggetarkan pikiran semua orang, diam-diam mereka pun berpikir, "Ya, betul, apa sebabnya Hek-mo-ong tidak langsung membunuh Thio Kimciok?" Padahal Thay-kun sendiri pun belum dapat memecahkan masalah itu, maka untuk sementara waktu dia hanya membungkam. Sementara itu sosot mata semua orang telah dialihkan ke wajah Thay-kun menantikan jawabannya. Namun sikap Thay-kun waktu itu amat tenang dan santai, senyum manis tetap menghiasi ujung bibirnya yang terbungkam.
Pendekar Cacat 1771
Sikap semacam ini segera mendatangkan perasaan misterius bagi siapa pun yang melihatnya. Bahkan Liu Khi sendiri pun tak dapat menduga apa gerangan yang sedang diperbuat Thay-kun. Suasana hening dan sepi, tiba-tiba dipecahkan oleh suara ledakan keras yang amat memekakkan telinga. Ledakan itu begitu dahsyatnya sampai menggetarkan seluruh permukaan bumi, mengejutkan pula segenap jago yang berada di sana. Suara ledakan itu berasal dari balik ruang gedung, menyusul segulung asap yang sangat tebal menggulung keluar dari balik jendela. Mendadak dari balik jendela melompat keluar sesosok bayangan orang yang tubuhnya terjilat kobaran api. Dalam genggaman orang itu memegang sebatang Boankoan-pit. Begitu muncul dari jendela, ia segera menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali di atas tanah hingga kobaran api yang menjilat tubuhnya padam, setelah padam dia baru melompat bangun dari atas tanah. Walaupun ia berhasil menghindarkan diri dari bencana tubuh terbakar, namun keadaan orang itu sungguh sangat mengenaskan.
Pendekar Cacat 1772
Jubah panjang berwarna birunya telah terbakar hangus hingga compang-camping tak keruan, wajahnya hitam terkena hangus dan asap yang tebal. Biarpun begitu, orang yang pernah kenal dengannya masih dapat mengenali raut wajah itu. "Ah, dia adalah si tabib sakti Gi Jian-cau!" Thay-kun yang pertama-tama menjerit kaget. Ketika Bong Thian-gak mendengar Thay-kun mengatakan orang itu adalah tabib sakti Gi Jian-cau, terbayang jeritan ngeri perempuan yang terdengar tadi, tanpa terasa ia mulai berpikir apa gerangan yang sedang dilakukan tabib sakti Gi Jian-cau di dalam gedung itu? Bong Thian-gak berkelebat ke depan, kemudian secara tibatiba menerobos masuk lewat daun jendela. Baru saja tubuhnya bergerak, seseorang telah membentak pula, "Berhenti!" ***
Pendekar Cacat 1773
22 LIU KHI, HEK-MO-ONG YANG ASLI
T
io Tian-seng dengan pedang terhunus telah mendesak ke depan, pedangnya seperti naga sakti yang keluar dari air segera menusuk ke tubuhnya serta menghalangi jalan pergi anak muda itu. "Bong-laute," ujarnya kemudian. "Bila kau bermaksud memasuki halaman gedung, jangan salahkan pedangku ini tak kenal dirimu lagi!" Bong Thian-gak mundur selangkah, lalu sahutnya sambil tertawa dingin, "Tio-pangcu, rupanya kalian sudah bersekongkol hendak membunuh Thio Kim-ciok!" "Tiga puluh tahun berselang, sepuluh tokoh persilatan tidak memperkenankan Thio Kim-ciok hidup di dunia, maka tiga puluh tahun kemudian pun kami tetap tak akan mengizinkan dia hidup terus!" kata Tio Tian-seng dengan suara dalam.
Pendekar Cacat 1774
Tiba-tiba Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap ke arah tabib sakti Gi Jian-cau yang masih berdiri dengan Boan-koan-pit terhunus, tanyanya dengan dingin, "Apakah kalian berhasil?" Jawaban tabib sakti itu justru merupakan jawaban yang sangat ingin diketahui Tio Tian-seng, Tan Sam-cing serta Liu Khi, maka sorot mata semua orang pun dialihkan ke wajah Gi Jian-cau yang amat mengenaskan itu.
Dengan gerakan yang amat santai Gi Jian-cau membersihkan tubuhnya dari debu, lalu ujarnya dengan hambar, "Thio Kim-ciok telah mendirikan sebuah benteng di bawah tanah yang kuat dan tangguh, ibarat sarang naga gua harimau di dalam gedung ini." Biarpun cuma sepatah kata yang sederhana dan biasa, namun justru mencakup seluruh jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Paras muka Tio Tian-seng sekalian segera berubah hebat.
Liu Khi tertawa dingin dan mengejek, "Huh! Biarpun sarang naga gua harimau, memangnya mampu membendung serbuan sepuluh tokoh persilatan."
Pendekar Cacat 1775
Ketika mendengar ucapan itu, tabib sakti Gi Jian-cau segera memandang sekejap ke arah Liu Khi, kemudian ujarnya pelan, "Selama ini banyak sudah ilmu Ngo-heng dan berbagai ilmu lain yang kupelajari, aku pun mengerti ilmu bangunan dan ilmu jebakan api, tapi barusan hampir saja tak sanggup keluar dari gedung itu dengan selamat."
Dalam deretan sepuluh tokoh persilatan, Gi Jian-cau terhitung tokoh yang berkepandaian tinggi serta berpengetahuan luas, hal ini cukup diketahui setiap umat persilatan, tapi beberapa patah kata yang barusan diucapkan olehnya itu membuat Tio Tian-seng sekalian berkerut kening. Dengan suara dalam Tan Sam-cing berkata, "Bila kita tak mampu menyerbu masuk ke dalam ruang bawah tanahnya, bagaimana cara kita membekuk Thio Kim-ciok?"
Liu Khi tertawa dingin, "Bagaimana pun juga Thio Kim-ciok tak mungkin bersembunyi terus di ruang bawah tanah. Hm, sekalipun dia bersembunyi terus di situ, aku yakin mampu menerobos masuk ke dalam ruang rahasianya." Pembicaraan beberapa orang ini segera membuat Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui merasa gembira. Mimpi pun mereka tidak mengira kecerdikan Thio Kim-ciok demikian mengagumkan sehingga dia telah melengkapi
Pendekar Cacat 1776
gedung yang luas ini dengan ruangan bawah tanah yang penuh dengan alat rahasia.
Thio Kim-ciok sudah lama menduga suatu waktu para jago akan berkumpul di situ untuk membekuknya, maka jauh hari sebelumnya dia telah mempersiapkan tindakan jitu untuk menanggulangi keadaan itu. Bong Thian-gak berdehem pelan, kemudian tanyanya kepada Gi Jian-cau dengan suara dalam, "Gi-locianpwe, tadi kudengar dua kali jeritan ngeri dua perempuan yang berada di dalam ruangan gedung. Tolong tanya apakah kedua dayang itu ajal di tanganmu?"
Agaknya baru sekarang Gi Jian-cau memperhatikan kehadiran Bong Thian-gak bertiga, la mendongakkan kepalanya yang hitam pekat oleh hangus, Lalu diawasinya mereka bertiga dengan sorot mata tajam. "Mungkin kau yang disebut Jian-ciat-suseng?" katanya ketus. Mendadak Thay-kun mendorong ke depan dan serunya, "Gi-locianpwe, kau masih ingat aku?" "Tentunya kesadaran pikiranmu telah pulih kembali, bukan?"
Pendekar Cacat 1777
Thay-kun tertawa cekikikan, "Betul, aku sudah sadar seutuhnya, banyak terima kasih atas pemberian Hui-hunwanmu itu." "Hm!" Gi Jian-cau mendengus dingin. "Kalau begitu sudah lama kau bersekongkol dengan Thio Kim-ciok!" "He, atas dasar apa kau menuduh aku telah lama bersekongkol dengan Thio Kim-ciok?" seru Thay-kun agak tertegun .
Dengan gemas dan rasa benci Gi Jian-cau berkata, "Dengan mengorbankan segenap pikiran dan tenagaku selama setengah umur hidupku, aku berhasil membuat tiga butir Hui-hun-wan, tapi akhirnya dicuri sebutir di antaranya oleh Keng-tim Suthay yang bersekongkol dengan Thio Kim-ciok. Akibat perbuatannya itu, aku gagal mewujudkan suatu masalah besar yang kucita-citakan." "Tapi satu hal yang tidak kumengerti adalah perbuatan Thio Kim-ciok, mengapa dia bersedia memberikan pil Hui-hunwan itu untukmu?" "Thio Kim-ciok menderita luka cukup parah serta membutuhkan sebutir pil Hui-hun-wan untuk menyembuhkannya, aku tidak percaya Thio Kim-ciok memberikan pil Hui-hun-wan itu untukmu."
Pendekar Cacat 1778
Perkataannya ini segera menggerakkan pikiran Bong Thiangak, tiba-tiba ia teringat kejadian di Sam-cing-koan dimana Keng-tim Suthay serta jago-jago lihai Hiat-kiam-bun terbunuh secara mengenaskan. Berpikir sampai di situ, tiba-tiba saja pemuda itu mengernyitkan alis, kemudian membentak, "Gi Jian-cau, aku ingin bertanya kepadamu. Apakah Keng-tim Suthay sekalian jago lihai Hiat-kiam-bun tewas di tanganmu?" "O, jadi Keng-tim Suthay telah mampus?" kata Gi Jian-cau dingin. "Kalau begitu Keng-tim Suthay pasti bermaksud mengangkangi pil Hui-hun-wan sehingga dibunuh Thio Kimciok lebih dahulu."
Bong Thian-gak yang mendengar ucapan itu jadi termangu, diam-diam ia pun berpikir, "Benarkah Keng-tim Suthay mati terbunuh di tangan Thio Kim-ciok?" "Tapi jelas Sam-cing Tosu yang berada di dalam kuil Samcing-koan adalah hasil penyaruan Thio Kim-ciok, sedang sekarang tabib sakti bilang Thio Kim-ciok telah bersekongkol dengan Keng-tim Suthay untuk mencuri sebutir pil Hui-hun-wan untuk menyembuhkan penyakitnya. Kalau begitu mungkinkah Keng-tim Suthay dibunuh oleh Thio Kim-ciok?"
Pendekar Cacat 1779
Sementara dia masih berpikir, tiba-tiba terdengar Thay-kun yang berada di sampingnya berkata sambil menghela napas sedih, "Kematian Keng-tim Suthay sungguh mengenaskan, tapi andaikan Gi-locianpwe tidak berubah pikiran, Suthay pun tak akan mati secara mengenaskan." Waktu itu Bong Thian-gak merasakan darah yang mengalir dalam tubuh bagaikan mendidih. Dengan penuh perasaan dendam ia berkata, "Thay-kun, lebih baik kita urungkan saja niat kita menyembuhkan luka yang diderita Thio Kim-ciok." "Bong-suheng!" Thay-kun tersenyum, "sekalipun Keng-tim suthay sekalian jago-jago Hiat-kiam-bun tewas di tangan Thio Kim-ciok kita tetap harus berupaya menyembuhkan luka yang diderita Thio Klm-ciok”
Bong Thian-gak menjadi tertegun untuk beberapa saat, kemudian katanya, "Thio Kim-ciok telah membantai anak murid Hiat-kiam-bun. Dendam sakit hati ini lebih dalam dari samudra. Bilamana sakit hati ini tidak dibalas, bagaimanakah kita bisa menghibur arwah anggota Hiatkiam-bun yang telah berada di alam baka?" ' "Bila ada dendam, sudah barang tentu kita wajib menuntut balas” sahut Thay-kun dengan suara dalam, "tapi paling tidak kita wajib melakukan penyelidikan lebih dulu sejelasjelasnya, siapakah pembunuh yang sesungguhnya dalam peristiwa itu?"
Pendekar Cacat 1780
Ucapan nona itu segera menggerakkan pikiran Bong Thiangak, segera dia berpikir pula, "Ya betul, kenapa aku harus mempercayai perkataan Gi Jian-cau begitu saja? Ah benar, bukankah Keng-tim Suthay pernah meninggalkan pesan yang mengatakan agar aku berusaha membunuh tabib sakti itu." Gi Jian-cau berdehem pelan, katanya lagi dengan suara dingin, "Dalam perselisihan kami sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok, kalian para angkatan muda sama sekali tak tersangkut. Kuanjurkan kepada kalian lebih baik tak usah mencampuri urusan ini, kalau tidak, aku kuatir kalian akan mampus tanpa liang kubur."
Kembali Thay-kun tersenyum. "Gi-locianpwe, tahukah kau siapa Hek-mo-ong itu?" dia bertanya. "Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok!" sahut Gi Jian-cau sambil tertawa dingin. Liu Khi segera berseru pula sambil tertawa licik, "Nona Thay-kun, kuperingatkan sekali lagi kepadamu, di sekitar gedung ini sekarang telah berdatangan begitu banyak jago lihai persilatan, kedatangan mereka pada malam ini tak lain hendak membunuh Thio Kim-ciok."
Pendekar Cacat 1781
"Oleh sebab itu biarpun kali ini Thio Kim-ciok memiliki sepuluh lembar nyawa cadangan pun, jangan harap bisa mempertahankan hidupnya. Bilamana kau ingin membantu Thio Kim-ciok, maka hal ini sama artinya sudah bosan hidup di dunia." Thay-kun tersenyum. "Sejak tadi sudah kuduga Ho Lan-hiang dan Biau-kosiu sekalian bersembunyi di sekitar gedung ini bersama-sama jago andalannya, malah bisa jadi sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im beserta jago-jagonya pun telah berdatangan. Cuma aku pikir belum tentu kawanan jago persilatan yang begini banyak itu akan tunduk dan menuruti perintahmu."
"Siapa tahu orang yang sedang mereka cari bukan Thio Kimciok, melainkan Liu Khi serta Gi Jian-cau!" Berubah hebat paras muka Liu Khi, dia segera membentak, "Budak setan, rupanya arak kehormatan kau tampik, arak hukuman kau cari. Sudah bosan hidup rupanya kau!" Di tengah bentakan itu, Liu Khi telah mencabut senjatanya, lalu dengan kecepatan luar biasa dia langsung membacok pinggang gadis itu. Baru saja golok Liu Khi bergerak, dua bilah pedang yang muncul secara tiba-tiba dari sisi arena, seperti sepasang
Pendekar Cacat 1782
naga yang muncul dari samudra, satu dari kiri dan yang lain dari kanan, segera mencegat dari arah berlawanan dengan kecepatan tak kalah dari gerakan Liu Khi. Kedua bilah pedang itu tahu-tahu sudah menangkis sambaran golok panjang itu.
Ternyata kedua bilah pedang itu adalah pedang iblis Tio Tian-seng serta pedang bambu Bong Thian-gak. Dengan satu gerakan yang tak kalah cepatnya Liu Khi segera memutar kembali mata goloknya dan ditarik ke belakang. Kemudian sambil melotot ke arah Tio Tian-seng, dia membentak penuh gusar, "Tio-pangcu, sesungguhnya apa maksudmu?"
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh Tio Tianseng berkata, "Kepandaian silat Jian-ciat-suseng bertiga tidak berada di bawah kepandaian silat tokoh mana pun dari sepuluh tokoh persilatan di masa lalu. Bila kita harus bertarung melawan mereka, maka tanpa kita sadari perbuatan itu telah memenuhi harapan Thio Kim-ciok."
Pendekar Cacat 1783
"Kalau bukan begitu, lantas dengan cara apakah kita^ harus menghadapi beberapa orang yang tak tahu diri ini?" seru Liu Khi sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba Tio Tian-seng berpaling ke arah Bong Thian-gak, lalu katanya, "Bong-laute, ada satu patah kata yang ingin kusampaikan kepadamu, yaitu soal dendam kesumat sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok, kau tahu perselisihan ini sudah terjalin sejak tiga puluh tahun berselang, oleh karena itu selama sepuluh tokoh persilatan masih ada yang hidup, kami tak akan membiarkan Thio Kim-ciok tetap hidup, pertarungan kami dengan Thio Kimciok tak pernah bisa dileraikan lagi." "Sebaliknya kalian adalah orang-orang yang berada di luar garis, mengapa kalian mesti menjerumuskan diri ke dalam kancah perselisihan itu? Hasilnya tak menguntungkan bagi kalian? Karena itu kuanjurkan kepada kalian, lebih baik tinggalkan tempat ini secepatnya."
"Boanpwe merasa berterima kasih atas nasehat Tiopangcu," kata Bong Thian-gak dengan lantang, "tapi ada satu hal yang perlu Locianpwe mengerti, walaupun antara kami bertiga dengan Thio Kim-ciok tidak mempunyai hubungan budi dan dendam secara langsung, namun hubungan kami adalah anak murid atau keturunan langsung sepuluh tokoh persilatan, maka kami wajib
Pendekar Cacat 1784
mengetahui sampai jelas siapa gerangan Hek-mo-ong yang sesungguhnya." "Ah betul, hampir saja aku lupa bahwa Bong-laute adalah anak murid Oh Ciong-hu serta Ku-lo Hwesio," segera kata Tio Tian-seng. Sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke wajah Song Leng-hui sambil tanyanya pula, "Siapa pula dia?" "Dia adalah istriku, putri tunggal sepasang kekasih persilatan Song-ciu suami-istri."
Tio Tian-seng menghela napas sedih, ujarnya kemudian, "Kalau memang begitu Bong-laute sekalian memang berhak untuk tetap tinggal di sini." "Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak, "sesungguhnya musuh besar yang sedang Boanpwe cari saat ini adalah Hek-moong, bukan Thio Kim-ciok. Andaikata Thio Kim-ciok adalah Hek-mo-ong, maka di antara kami dengannya terjadi pula hubungan sakit hati." "Jadi kau beranggapan Thio Kim-ciok bukan Hek-mo-ong?" tiba-tiba Tio Tian-seng bertanya dengan suara dalam. "Barusan kami telah bertarung melawan Hek-mo-ong asli dan bilamana pandanganku belum lamur, Boanpwe masih
Pendekar Cacat 1785
teringat dengan jelas bahwa Hek-mo-ong adalah seorang berlengan tunggal."
Liu Khi tertawa kering, katanya, "Dalam Kangouw dewasa ini, orang berlengan tunggal yang cukup pantas menjadi Hek-mo-ong hanya Jian-ciat-suseng serta aku dua orang." "Bong-laute mengatakan orang yang paling dicurigai sebagai Hek-mo-ong adalah Liu Khi, tapi aku tak akan mempercayai begitu saja," kata Tio Tian-seng dengan suara dalam. Tiba-tiba Thay-kun menghela napas panjang, lalu katanya, "Tidak percaya pun tak ada gunanya. Bila dugaanku tidak salah, maka untuk membuktikan siapakah Hek-mo-ong yang sesungguhnya, maka jawaban itu tidak dapat diperoleh sebelum sepuluh tokoh persilatan dan Ho Lanhiang mampus semua hingga tinggal orang terakhir. Saat itulah wajah asli Hek-mo-ong baru akan ketahuan."
Mendadak Bong Thian-gak tertawa keras, serunya, "Liu Khi, mudah sekali bila kau ingin membuktikan bahwa kau bukan Hek-mo-ong, cukup kau singkap baju kananmu yang kutung itu dan perlihatkan kepada semua orang, apakah di situ telah kau sembunyikan tangan tengkorakmu atau tidak. Jika tak ada, maka terbukti kau memang bukan Hek-mo-ong."
Pendekar Cacat 1786
"Tangan tengkorak andalan Hek-mo-ong untuk membunuh sudah cukup menggetarkan setiap orang, namun tak seorang pun di dunia ini yang mengetahui bahwa tangan tengkorak andalan Hek-mo-ong disembunyikan di lengan kanannya yang kutung." Tidak heran perkataan Bong Thian-gak itu mengejutkan para jago, masing-masing segera berpikir dalam hati, "Betulkah tangan tengkorak Hek-mo-ong tersembunyi di balik lengannya yang kutung?"
Dengan hati berdebar dan perasaan amat tegang, sorot mata kawanan jago itu serentak dialihkan ke lengan kutung Liu Khi. Sambil mengerut dahi Tio Tian-seng bertanya pula dengan suara dalam, "Bong-laute, benarkah kau pernah bersua dengan Hek-mo-ong?" "Bukan hanya bersua, malahan dada kiriku sempat dihajar olehnya dengan tangan tengkoraknya. Jika kalian tak percaya, silakan diperiksa tanda yang berada di tubuhku ini." Sembari berkata, tiba-tiba pemuda itu membuka pakaian yang menutupi dadanya. Biarpun suasana malam itu sangat gelap, namun dengan ketajaman mata Tio Tian-seng sekalian, sekilas pandang
Pendekar Cacat 1787
saja mereka dapat melihat dengan jelas bahwa di atas dada sebelah kiri Bong Thian-gak terdapat sebuah cap tangan tengkorak yang sembab membengkak dan berwarna hitam seperti yang biasanya ditemukan, justru karena itulah Bong Thian-gak tak sampai menemui ajal.
Pada saat itulah tiba-tiba berkumandang suara gelak tawa yang amat keras, menyusul terdengar seseorang berkata, "Tio Tian-seng, benarkah di atas tubuhnya terdapat bekas tangan tengkorak?" Sesosok bayangan orang berbaju putih telah melompat datang dengan cepatnya. Orang ini bukan lain adalah sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im, salah seorang di antara sepuluh tokoh persilatan. Liong Oh-im muncul dengan pedang tersoreng di punggung dan kipas tulang kemala di tangan, dia berjalan ke hadapan Bong Thian-gak dengan langkah amat santai.
Setelah memeriksa sekejap bekas tangan tengkorak di dada Bong Thian-gak, dengan wajah berubah ia berseru keras, "Ah, ternyata memang bekas tangan tengkorak yang asli, cuma warnanya saja yang berbeda."
Pendekar Cacat 1788
Sampai di sini sorot matanya segera dialihkan ke wajah Liu Khi. Liu Khi tertawa seram, katanya, "Liong Oh-im, sungguh tak disangka kau pun datang kemari!" Liong Oh-im tertawa ringan, sahutnya, "Dari kesepuluh tokoh persilatan yang belum mampus, hampir semuanya telah muncul di sini. Termasuk Ho Lan-hiang pun mungkin sudah berada di sekitar tempat ini."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, terendus bau harum semerbak bunga anggrek yang tersebar di sekitar tempat itu, lalu terdengar seseorang berkata dengan suara lembut dan halus, "Lan-hiang sudah tiba sejak tadi!" Semua orang segera berpaling ke arah asal suara ini, tampaklah tiga sosok bayangan orang berdiri di atas gunung-gunungan. Tak disangkal lagi orang yang berada di tengah adalah Ho Lan-hiang, sedangkan di sisi kirinya adalah Ji-kaucu, sedang orang yang berada di sebelah kanan adalah Sim Tiong-kiu. Liu Khi tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya, "Sungguh tak kusangka semua orang telah berdatangan kemari. Hm, kalau begitu kita pun tak usah menunggu lebih lanjut, sekarang juga kita dapat turun tangan terhadap Thio Kimciok."
Pendekar Cacat 1789
"Tunggu sebentar!" mendadak Liong Oh-im berseru keras sambil tertawa. "Liong-suseng, apalagi yang kau ragukan?" tegur Liu Khi sambil tertawa dingin.
Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, "Tiga puluh tahun lalu, sepuluh tokoh persilatan hendak membunuh Thio Kimciok dan tiga puluh tahun kemudian Thio Kim-ciok yang hendak membunuh sepuluh tokoh persilatan untuk membalas dendam. Kedua belah pihak telah bersumpah tak akan hidup berdampingan secara damai lagi, namun di balik dendam kesumat yang berlangsung selama ini terselip pula seorang sutradara yang misterius. Dialah yang sesungguhnya menjadi dalang peristiwa berdarah ini, yakni Hek-mo-ong. Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku pikir ada baiknya menyelidiki lebih dulu siapa sesungguhnya orang yang telah berperan sebagai Hek-mo-ong?"
Berubah hebat paras muka Liu Khi, segera tegurnya dengan suara dingin, 'Jadi Liong-heng mencurigai aku sebagai Hekmo-ong?" Liong Oh-im tersenyum, "Sekarang persoalan telah berkembang menjadi begini rupa, aku rasa Liu-sianseng wajib memperlihatkan lengan kananmu yang kutung itu kepada semua orang."
Pendekar Cacat 1790
"Liu Khi," Tio Tian-seng berseru pula dengan lantang. "Kau harus bertindak untuk menghilangkan kecurigaan orang terhadap dirimu." Mendadak terdengar Thay-kun berseru dengan suara merdu, "Tidak usah diperiksa lagi, dalam keadaan dan waktu seperti ini, di balik lengan tunggalnya itu tak akan ditemukan tangan tengkoraknya." "Sumoay, apa maksudmu berkata demikian?" tanya Bong Thian-gak dengan wajah termangu. "Seandainya aku menjadi Hek-mo-ong, jika muncul sebagai orang lain, aku tak akan melengkapi diriku dengan tangan tengkorak itu."
Kobaran hawa amarah yang membara telah menyelimuti wajah Liu Khi, tiba-tiba ia membentak dengan geram, "Budak setan, rupanya kau sudah menuduh aku habishabisan. Hm, bila aku harus menerima penghinaan hari ini tanpa balas, perbuatanmu ini sama artinya dengan memberi aib sepuluh tokoh persilatan, hm .... Sekarang pentang mata kalian lebar-lebar, lihat dengan jelas, benda apakah yang kusembunyikan di balik lengan kutungku ini?" Seraya berkata Liu Khi segera menggulung ujung baju kanannya yang kosong sampai ke batas bahu kanannya sehingga lengannya yang kutung itu dapat terlihat dengan jelas dan nyata.
Pendekar Cacat 1791
Kecuali bekas kutungan lengan akibat bacokan pisau, ternyata tidak nampak tangan tengkorak seperti apa yang dicurigakan. Mendadak pada saat itu terdengar Liu Khi membentak dengan penuh rasa geram, "Bocah keparat yang berani menghina aku, kalian harus menyerahkan nyawamu." Golok saktinya kembali dilontarkan ke muka dengan hebatnya. Serangan golok itu langsung ditujukan ke arah Bong Thiangak. Serangan itu meluncur dari bawah berbalik membacok ke arah atas. Selain dilepaskan dengan kecepatan luar biasa, jurus serangan pun luar biasa, dalam waktu singkat telah mencapai sasarannya.
Terdengar bunyi robekan, di tengah kilauan cahaya putih yang terpancar dari mata golok, Bong Thian-gak melayang pergi ke samping, sekalipun ia sudah bergerak cukup cepat, ujung baju sebelah kirinya terpapas juga dan terjatuh ke atas tanah. Andaikata lengan kanan Bong Thian-gak tidak kutung sejak dulu, hari ini lengan itu pasti akan kutung juga termakan oleh sambaran golok kilat itu.
Pendekar Cacat 1792
Bersamaan waktunya dengan gerakan menghindar tadi, Bong Thian-gak telah mengayunkan pula pedang bambunya melancarkan sebuah bacokan kilat. Serangan itu langsung mencegah serangan golok kedua Liu Khi yang berusaha menyerobot posisi. Itulah sebabnya di saat mata golok Liu Khi menyambar tiba untuk kesekian kalinya, serangan pedang Bong Thian-gak pun turut membabat tiba dari arah samping.
Begitu pertarungan berlangsung, para jago yang hadir di arena segera mengerti bahwa pertarungan antara kedua orang itu tak akan berakhir dalam waktu singkat. Bila jago-jago lihai sedang bertarung, sekalipun terdapat sedikit selisih kepandaian mereka, asalkan kemampuan itu hampir berimbang, maka bukan pekerjaan mudah bagi mereka untuk menentukan menang kalah dalam waktu singkat. Tampaknya Liu Khi bermaksud melangsungkan pertarungan kilat, makin menyerang semakin cepat. Tujuannya tentu ingin membinasakan Bong Thian-gak. Oleh sebab itu setiap jurus serangan yang dilontarkan, hampir semuanya merupakan jurus maut yang ganas dan buas, kecepatannya pun bagaikan sambaran kilat.
Pendekar Cacat 1793
Sebaliknya permainan pedang Bong Thian-gak pun cepat, ganas dan buas untuk mengimbangi permainan lawan. Kendati ia dipaksa oleh gerak serangan Liu Khi sehingga berada dalam posisi di bawah angin, namun ia tetap menghadapi serangan musuh dengan tenang, jurus dilawan dengan jurus, gerakan dipatahkan dengan gerakan, gerakgeriknya sama sekali tidak kalut. Untuk sementara waktu Thay-kun dan Song Leng-hui merasa agak lega. Sebaliknya kawanan jago lainnya menjadi bingung dan tak tahu bagaimana harus menyelesaikan pertikaian itu.
Tiba-tiba terdengar si tabib sakti Gi Jian-cau berkata dengan suara dingin, "Tujuan kedatangan kita hari ini adalah membekuk Thio Kim-ciok. Barang siapa berani menentang usaha kita membunuh Thio Kim-ciok adalah musuh kita juga, apakah kita mesti membuang waktu lagi dengan percuma?" "Gi Jian-cau," bentak Thay-kun dengan suara dingin, "jika kau berani maju selangkah lagi, silakan mencicipi dahulu kelihaian ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang." Sambil berkata gadis itu menyiapkan telapak tangan kirinya dan ditujukan ke arah si tabib sakti di hadapannya.
Pendekar Cacat 1794
Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan ilmu pukulan yang amat dahsyat dan sudah lama termasyhur di seantero persilatan, sekalipun si tabib sakti Gi Jian-cau terhitung salah seorang yang tercantum dalam sepuluh tokoh sakti persilatan, namun dia pun tak berani bertindak secara gegabah. "Budak setan," Gi Jian-cau segera mengumpat, "biarpun kau memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat, tetapi kemampuanmu itu hanya sanggup menandingi aku seorang." "Seorang pun sudah lebih dari cukup," kata Thay-kun sambil tertawa merdu. "Sebab sampai detik ini, hanya kau serta Liu Khi yang berniat melenyapkan kami dari sini."
Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak Ho Lanhiang yang berada di atas gunung-gunungan berkata dengan suara dingin, "Budak busuk, aku pun tak akan melepaskan kau." Belum sempat Thay-kun menanggapi, tiba-tiba terdengar pula seorang berseru dengan suara merdu, "Ho Lan-hiang, jika orang-orang Put-gwa-cin-kau berani bergerak, aku pun akan segera turun tangan menghadang kalian." Semua jago segera berpaling ke arah asal suara itu, entah sejak kapan ternyata dalam halaman itu telah bertambah dengan Biau-kosiu beserta rombongan.
Pendekar Cacat 1795
Adapun rombongan Biau-kosiu ini terdiri dari Biau-hanthian suami-istri serta nenek berambut putih.
Betapa senang Thay-kun mengetahui Biau-kosiu serta rombongan mendukung pihaknya, ia segera tertawa cekikikan, katanya, "Nona Biau, apakah kau sudah mengetahui siapa Hek-mo-ong yang sebenarnya?" "Setiap orang yang hadir di arena saat ini mempunyai kecurigaan sebagai Hek-mo-ong dan kedatanganku kali ini adalah khusus untuk menyelidiki siapa Hek-mo-ong yang sesungguhnya sehingga dendam sakit hati ayahku bisa dibalas," ucap Biau-kosiu dingin. Sembari berkata, ia bersama rombongannya pelan-pelan berjalan masuk ke dalam arena. Dalam pada itu pertarungan antara Bong Thian-gak melawan Liu Khi telah mencapai puncak yang paling kritis.
Pertarungan di antara mereka berdua yang semula berlangsung amat cepat dan ganas, kini telah berubah menjadi lambat, bahkan gerakannya amat sederhana dan bersahaja.
Pendekar Cacat 1796
Walaupun begitu, setiap orang yang hadir tahu bahwa di balik setiap jurus serangan yang digunakan kedua orang itu terselip intisari segenap kepandaian yang mereka miliki. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak membentak, "Liu Khi, sambut dulu jurus serangan 'bianglala panjang menutup sang surya' ini!" Pedang diangkat sejajar dada, kaki kiri maju selangkah dan pedangnya seperti semburan air yang kuat menusuk dada Liu Khi dengan kekuatan maha dahsyat.
Begitu Bong Thian-gak mengeluarkan jurus serangan ini, berubah hebat paras muka para jago yang menonton dari samping, mendadak terdengar Tio Tian-seng berteriak keras, "Liu Khi, jangan bertindak gegabah, jangan kau sambut serangan itu." Tio Tian-seng meluncur ke depan dari sisi kiri sambil mengayun pedangnya dengan kecepatan luar biasa. Dengan bertindaknya Tio Tian-seng secara di luar dugaan ini, suasana dalam arena menjadi kalut, bentakan nyaring, hardikan lantang bergema silih berganti. Thay-kun, Soh Leng-hui, Biau-kosiu dan Tan Sam-cing serentak melompat ke depan dan terjun ke dalam arena.
Pendekar Cacat 1797
Di tengah gelak tawa yang amat keras, Liu Khi melejit ke tengah udara bagaikan seekor burung elang raksasa dan melayang ke belakang. Terdengar suara benturan keras. Tahu-tahu pedang bambu di tangan Bong Thian-gak telah terpapas kutung oleh bacokan pedang Tio Tian-seng Bong Thian-gak mendengus tertahan, tubuhnya mencelat jauh dan jatuh terduduk di atas tanah. Thay-kun dan Song Leng-hui sama-sama menjerit kaget, serentak mereka melompat ke hadapan Bong Thian-gak.
Sementara itu Bong Thian-gak memutar biji mata, lalu sambil melompat bangun dari atas tanah, bentaknya, "Tiopangcu, sebenarnya serangan pedangku dapat memaksa Liu Khi mengungkap identitasnya. Sungguh tak disangka, kau telah menggagalkan usahaku itu." Dengan wajah serius Tio Tian-seng berkata, "Ilmu pedang Bong-laute telah mencapai puncak kesempurnaan. Aku merasa amat kagum atas kemampuanmu itu, tetapi aku tak bisa membiarkan Liu Khi terluka di ujung pedangmu begitu saja." Sementara itu Song Leng-hui telah bertanya dengan penuh kuatir, "Engkoh Gak, apakah kau terluka?"
Pendekar Cacat 1798
"Tidak," Bong Thian-gak menggeleng.
Dalam pada itu Liu Khi yang sudah berdiri, katanya dengan senyuman dingin menghiasi ujung bibirnya, "Malam ini aku orang she Liu telah memperoleh pengalaman baru. Hm, hampir saja aku terluka di ujung pedangmu itu." "Sungguh menyesal aku gagal membuka kedok palsumu pada malam ini," kata Bong Thian-gak hambar. Mendadak terdengar Biau-kosiu berseru dengan suara lantang, "Bong-siauhiap, mengapa kalian harus menjual tenaga untuk Thio Kim-ciok?" "Sebab kami tahu Thio Kim-ciok bukan Hek-mo-ong yang sedang kita cari."
Biau-kosiu tertawa dingin, "Peduli Thio Kim-ciok adalah Hek-mo-ong atau bukan, dari ambisi serta tekad Thio Kimciok untuk melampiaskan rasa benci dan dendamnya, tak mungkin dia melepaskan setiap orang yang berhubungan dengan sepuluh tokoh persilatan begitu saja. Oleh sebab itu bila kalian bersikap membela Thio Kim-ciok secara membabi-buta, pada hakikatnya perbuatan kalian itu merupakan perbuatan yang sangat tolol."
Pendekar Cacat 1799
"Bong-laute," Tio Tian-seng segera menambahkan, "apa yang dikatakan nona Biau tepat sekali. Thio Kim-ciok adalah seorang buas yang berhati sempit dan munafik, dia seorang pendendam dan tak pernah melepaskan musuhnya begitu saja, padahal Bong-laute serta nona Song mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan sepuluh tokoh persilatan, pada akhirnya Thio Kim-ciok juga tak bakal melepas kalian begitu saja."
Baru saja Tio Tian-seng selesai berkata, mendadak terdengar suara ledakan keras yang memekakkan telinga, menyusul gedung yang amat besar dan megah itu roboh berantakan ke atas tanah. Di tengah robohnya gedung itu, terdengar pula beberapa kali jeritan ngeri yang memilukan. Beberapa sosok bayangan orang nampak melarikan diri terbirit-birit dari balik reruntuhan bangunan. Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, sekilas pandang saja ia sudah mengenali orang yang sedang melarikan diri itu, seorang kakek berbaju hitam serta tiga orang lelaki kekar berbaju hitam pula. Mendadak hatinya bergetar keras, tanpa sadar serunya tertahan. "Hek-ki-to-cu Long Jit-seng."
Pendekar Cacat 1800
Ketika kakek berbaju hitam yang kabur menyelamatkan diri itu sampai di hadapan Bong Thian-gak dan melihat kehadiran si anak muda itu, ia tertawa licik, sapanya, "Jianciat-suseng, sungguh tak disangka kita bersua lagi di sini." Sebagaimana diketahui, dalam pertempuran di kuil Hongkong-si, Long Jit-seng berhasil menyelamatkan jiwanya dari kematian. Kemunculan orang ini membuat Bong Thian-gak segera teringat perkataan Liu Khi barusan. "Sesungguhnya aku sudah menyiapkan selembar kartu raja untuk menghancurkan semua peralatan rahasia yang berada dalam gedung ini." Dari sini bisa diduga kartu raja yang dimaksud Liu Khi tadi tak lain adalah Hek-ki-to-cu Long Jit-seng.
Sementara itu di saat Long Jit-seng berempat menyelamatkan diri dari reruntuhan bangunan rumah tadi, Gi Jian-cau memperhatikan bangunan yang roboh itu dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berubah hebat, dari balik matanya mencorong sinar penuh rasa kaget. Sambil mengawasi Long jit-seng sekalian, katanya dengan suara dingin, "Sungguh
Pendekar Cacat 1801
tak disangka, kalian berhasil menemukan pintu masuk Kiukiong-pat-kwa, sungguh mengagumkan." Liu Khi tertawa terbahak-bahak, katanya pula, "Gi-heng, mari kuperkenalkan, dia adalah Long Jit-seng dari lautan timur. Aku pernah bilang bukan, betapa pun lihai serta rumitnya alat rahasia Thio Kim-ciok, persiapannya itu takkan bisa menghalangi kita untuk pergi mencarinya." Long Jit-seng tertawa seram pula, ujarnya, "Sungguh tak disangka, para jago seluruh kolong langit berkumpul di sini pada malam ini. Sungguh kejadian ini merupakan suatu keberuntungan bagiku. Kini pintu masuk Pat-kwa-kiu-kiong sudah berhasil ditemukan, mengapa kalian tidak masuk ke dalam untuk membekuk Thio Kim-ciok?"
Gi Jian-cau tertawa dingin, "Walaupun pintu masuk barisan Kiu-kiong-pat-kwa telah berhasil ditemukan, namun alat rahasia yang terdapat di ruang bawah tanah sana masih banyak dan berlapis-lapis. Dalam hal ini rasanya kita masih memerlukan bantuan Long-tocu." Long Jit-seng tertawa tergelak, "Aku tak lebih cuma melaksanakan perintah untuk membukakan pintu masuk barisan Kiu-kiong-pat-kwa yang berada dalam gedung ini. Sekarang tugas telah selesai, aku tak sudi menyerempet bahaya lagi dengan percuma."
Pendekar Cacat 1802
Sampai di situ Long Jit-seng segera mengulap tangan kanannya dan bersiap mengajak ketiga anak buahnya pergi meninggalkan tempat itu.
Mendadak terdengar Biau-kosiu membentak, "Berhenti!" Long Jit-seng memandang sekejap ke arah nona itu, lalu bertanya, "Siapakah kau? Ada urusan apa memanggil aku?" "Aku bernama Biau-kosiu, aku meminta padamu untuk mengajak kami memasuki barisan Kiu-kiong-pat-kwa yang berada di bawah tanah itu." "Seandainya menantang.
aku
keberatan?"
tanya
Long
Jit-seng
"Kalau begitu, silakan kau mampus di tempat ini." "Bila aku mati, kalian pun jangan berharap bisa menangkap Thio Kim-ciok untuk selamanya."
Tiba-tiba Biau-kosiu memandang sekejap ke arah Liu Khi yang berada di samping arena, lalu tegurnya dingin, "Dia ini anak buahmu?" Liu Khi tertawa, "Aku pernah menyelamatkan jiwanya satu kali, maka dia pun hanya membantuku sekali. Waktu itu
Pendekar Cacat 1803
aku hanya meminta kepadanya utnuk membantuku menemukan pintu masuk menuju barisan Kiu-kiong-patkwa yang berada dalam bangunan bawah tanah itu dan sekarang tugasnya telah selesai, tentu saja aku pun tak bisa mengekang dirinya lagi." Biau-kosiu tertawa dingin, tiba-tiba ia berjalan ke muka dan pelan-pelan menghampiri Long Jit-seng. Setiap jago yang berada dalam arena mengetahui bahwa Biau-kosiu bermaksud memaksa Long Jit-seng memenuhi keinginannya.
Mendadak terdengar Long Jit-seng membentak, telapak tangannya segera diayunkan ke depan membacok dada Biau-kosiu yang sedang berjalan mendekat. Dengan suatu gerakan yang amat cepat dan lincah, Biaukosiu menghindar ke samping, kemudian pergelangan tangannya diputar sambil menyambar, tanpa mengeluarkan sedikit tenaga pun, dia telah berhasil mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan Long Jit-seng. Pada saat itulah ketiga lelaki kekar berbaju hitam yang berdiri di belakang Long Jit-seng menerjang maju secara bersama-sama.
Pendekar Cacat 1804
Biau-kosiu segera mengayun tangan kirinya siap meluncurkan sebuah bacokan mematikan, tiba-tiba terdengar Long Jit-seng berteriak, "Nona, jangan kau lukai pembantu utamaku." Di tengah seruan itu, golok Liu Khi telah tercabut, kemudian diayunkan sejajar dada menghadang jalan pergi ketiga lelaki kekar itu serta niat Biau-kosiu untuk menyerang.
Melihat Liu Khi menghalangi niatnya, Biau-kosiu segera menegur sambil tertawa dingin, "Liu-tayhiap, apakah kau berniat melepaskannya pergi dari sini?" Liu Khi tertawa terbahak-bahak, "Apabila nona Biau bermaksud minta bantuan Long-tocu, aku rasa kau harus memohonnya secara baik-baik." "Tapi sayang dia enggan menerima arak kehormatan, sebaliknya justru mencari arak hukuman," jengek Biaukosiu sambil tertawa dingin.
Liu Khi tak menggubris Biau-kosiu lagi, dia segera menggerakkan badan dan memberi hormat kepada Long Jit-seng sambil katanya, "Long-tocu, kau pun terhitung seorang pintar, kau juga tahu bahwa setiap orang yang mengepung gedung ini merupakan jago-jago persilatan yang pernah menggetarkan persilatan, lagi pula mereka
Pendekar Cacat 1805
bertekad hendak membekuk Thio Kim-ciok, padahal Thio Kim-ciok pernah belajar ilmu bangunan dan ilmu alat rahasia dari Susiokmu." "Berarti selain dirimu yang mampu memecahkan alat rahasia yang dipasang Thio Kim-ciok, tidak ada orang kedua di dunia ini yang mampu melakukannya. Oleh sebab itu bagaimana pun juga mereka tak akan melepaskan dirimu begitu saja pada malam ini." Long Jit-seng tertawa dingin. "Sungguh tidak disangka Liu-tayhiap telah menyingkap semua rahasiaku di hadapan umum." "Itulah sebabnya kau harus membantu usaha kami membekuk Thio Kim-ciok." Long Jit-seng tertawa licik, "Oh, tentu saja” Liu Khi tersenyum, dia melirik sekejap ke arah Biau-kosiu, lalu ujarnya, " Nona Biau, sekarang kau boleh melepaskannya." Biau-kosiu mendengus dingin. Sambil mengendorkan tangan kanannya ia berkata dingin, "Seharusnya sejak tadi kau memerintahkan kepadanya untuk berbuat demikian." Mendadak Liu Khi berseru dengan suara lantang, "Dengarkan baik-baik saudara sekalian, sekarang Thio Kimciok telah berada dalam ruang bawah tanah gedung ini
Pendekar Cacat 1806
yang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia yang tangguh dan kuat. Selama puluhan tahun terakhir ini, dia selalu mengeram di situ untuk merawat lukanya, sampai dimanakah ketangguhan alat-alat rahasianya serta rahasia apa yang terkandung di balik semua ini, aku rasa kita harus masuk sendiri serta menggalinya." Baru saja Liu Khi selesai berkata, tiba-tiba dari balik kegelapan malam berkumandang suara seorang tua yang serak tapi lantang, "Apa yang diucapkan Liu Khi memang benar. Di balik ruang bawah tanah dalam gedung ini memang tersimpan banyak sekali rahasia, cuma kalian harus ingat, tempat ini pun merupakan perangkap kematian yang bisa menghabisi riwayat hidup kalian." Beberapa patah kata itu bergema dengan lantang dan dapat didengar oleh setiap jago dengan jelas, namun semua orang hanya bisa mendengar suaranya tanpa berhasil melihat sang pembicara. Berubah hebat paras muka semua jago. Tio Tian-seng segera menghardik dengan suara dalam, "Siapakah kau? Harap sebutkan namamu." Suara yang serak tapi nyaring itu tertawa terbahak-bahak, "Aku adalah Thio Kim-ciok yang hendak kalian bekuk pada malam ini. Pintu neraka menuju ke barisan Kui-kiong-patkwa telah terbuka lebar dan siap menyambut kalian, mengapa kalian ragu-ragu memasukinya?"
Pendekar Cacat 1807
Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui telah mengenali suara itu, suara Thio Kim-ciok yang bermaksud menantang sepuluh tokoh persilatan untuk berduel. Perubahan yang berlangsung sangat tiba-tiba ini segera membuat gedung itu diliputi suasana misterius, tegang dan menyeramkan. Sementara itu para jago telah melangkah menghampiri bangunan yang roboh itu. Ketika semua orang sudah melihat jelas keadaan di situ, berubah hebat paras muka mereka. Ternyata di atas bekas gedung yang megah dan mentereng, kini telah muncul sebuah kuburan yang mengerikan. Di atas batu nisan di muka kuburan yang sangat besar dan sangat aneh itu muncul sebuah pintu berbentuk rembulan, di atasnya terpajang tujuh huruf besar berwarna merah darah: "Kuburan umat persilatan Kiu-kiong-pat-kwa". Di sebelah kiri dan kanan batu nisan itu terpancang pula sepasang nisan yang bertuliskan: "Pintu neraka menyambut umat manusia dengan tubuh hancur tulang remuk naik ke surga."
Pendekar Cacat 1808
Bergidik perasaan para jago menyaksikan semua ini, untuk beberapa saat lamanya mereka hanya bisa mengawasi liang kuburan yang terbuka lebar itu dengan mata terbelalak dan wajah termangu. Liong Oh-im berseru lantang, "Thio Kim-ciok, benarkah kau berada di dalam liang kuburan itu?" Gelak tawa nyaring segera berkumandang, "Liong Oh-im, aku memang berada di liang kuburan. Aku telah membuang pikiran dan tenaga selama tiga puluh tahun untuk mempersiapkan liang tempat peristirahatan yang paling nyaman untuk kalian sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang si perempuan rendah itu. Mengapa kalian tidak cepat masuk kemari?" Kalau tadi sepuluh tokoh persilatan yang masih hidup serta Ho Lan-hiang amat bernapsu untuk menangkap Thio Kimciok, maka sekarang setelah Thi Kim-ciok menantang mereka, orang-orang itu malah ragu menyambut tantangan itu. Semua orang tahu bahwa Thio Kim-ciok telah bertekad hendak membalas dendam. Perangkap yang telah ia siapkan selama tiga puluh tahun dengan susah-payah ini merupakan sarang naga gua harimau yang amat berbahaya dan sukar untuk dilewati. Dengan suara setengah berbisik, Bong Thian-gak segera bertanya kepada Thay-kun, "Sumoay, apakah kita akan turut masuk ke dalam?"
Pendekar Cacat 1809
"Tentu saja kita harus ikut masuk. Hanya saja, bila kita sudah masuk ke dalam, mungkin tak akan bisa keluar lagi untuk selamanya." "Apa maksudmu berkata demikian?" "Aku merasa tempat ini seperti juga apa yang dikatakan Thio Kim-ciok tadi, merupakan kuburan yang paling besar untuk mengubur jago-jago lihai dunia persilatan." Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, dugaan Sumoay memang benar, Thio Kim-ciok belum dapat melupakan dendam sakit hati yang pernah dialaminya tiga puluh tahun berselang. Ai, buat apa kita mesti ikut serta dalam persoalan ini?" "Ya benar, kita memang tak usah melibatkan diri dalam perselisihan itu, tapi perselisihan antara sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok pada malam ini, terutama menang kalah mereka akan mempengaruhi nasib dan keadaan persilatan di masa mendatang." Sementara kedua orang itu masih berbincang-bincang, kawanan jago lainnya secara beruntun telah memasuki pintu di muka kuburan besar itu. Liu Khi berjalan paling akhir, ketika kakinya baru saja akan melangkah masuk, tiba-tiba ia menariknya kembali. Kemudian sambil berpaling ke arah Bong Thian-gak
Pendekar Cacat 1810
sekalian, tanyanya sambil tertawa, "Apakah kalian tidak bermaksud memasuki kuburan umat persilatan?" Thay-kun tertawa dingin. "Setelah kau masuk nanti, kami bisa masuk sendiri." "Bila kalian berniat ikut masuk, paling baik jika berjalan mengikut di belakang kami. Kalau tidak, pasti akan sulit untuk meneruskan perjalanan," kata Liu Khi sambil tertawa seram. "Terima kasih atas maksud baikmu, silakan kau pergi lebih dulu!" Sementara itu dari balik liang kubur terdengar suara Tio Tian-seng berteriak, "Liu Khi, semua orang sedang menantikan kedatanganmu. Mengapa kau tidak segera masuk ke dalam?" Liu Khi tertawa terbahak-bahak, dia segera masuk ke dalam liang kubur. Waktu itu pintu neraka menuju ke kuburan masih terbuka lebar, pada mulanya masih terdengar suara langkah kaki para jago serta suara pembicaraan mereka, tapi lambatlaun semakin jauh, makin jauh ... akhirnya tidak terdengar lagi sedikit suara pun. Bong Thian-gak yang menjumpai keadaan itu menjadi sangat terkejut, segera ujarnya, "Wah, liang kubur ini
Pendekar Cacat 1811
nampaknya mempunyai lorong yang amat panjang dan dalam." Paras muka Thay-kun berubah juga, katanya pula, "Bila seseorang berjalan di lorong bawah tanah, biarpun sudah mencapai jarak sejauh satu li pun, seharusnya masih bisa mendengar suara langkah kakinya. Tapi mereka baru masuk selama seperempat jam, nyatanya suara mereka lenyap, kejadian seperti ini benar-benar aneh sekali." Belum lagi mereka selesai berkata, mendadak terlihat seseorang berkelebat keluar dari balik liang kubur, tahutahu seorang kakek berbaju hijau telah berdiri di depan pintu liang kubur itu. "Ah, Thio-locianpwe." Ternyata orang tua yang berdiri di depan pintu liang kubur itu tak lain adalah Thio Kim-ciok. Waktu itu ia berdiri dengan wajah kereng dan serius, ujarnya tiba-tiba, "Bongsiauhiap, bila bersedia menyembuhkan penyakit yang kuderita, silakan ikut masuk ke dalam. Bila menolak, harap secepatnya pergi meninggalkan tempat ini." Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thian-gak, tanyanya dengan suara dalam, "Dengan cara apakah Thiolocianpwe hendak menghadapi Liu Khi sekalian?" Dengan wajah serius dan nada bersungguh-sungguh, Thio Kim-ciok menjawab, "Agaknya sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang telah bertekad membunuh diriku. Demi
Pendekar Cacat 1812
melanjutkan hidup, terpaksa aku harus memberikan perlawanan dengan sepenuh tenaga dan berjuang sampai titik darah penghabisan." "Apakah Locianpwe mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghadapi orang-orang itu?" kembali Bong Thiangak bertanya. "Sudah barang tentu kekuatan yang kumiliki tidak mampu melawan kemampuan mereka, tapi sampai akhirnya hanya Hek-mo-ong seorang yang akan berduel melawan diriku." Sebelum Bong Thian-gak dapat menangkap arti di balik perkataan Thio Kim-ciok itu, Thay-kun telah berhasil menangkap arti ucapan itu, sambil menghela napas ia segera berkata, "Jadi kalau begitu Thio-locianpwe benarbenar telah memperalat kemampuan Hek-mo-ong untuk membunuh sisa kesepuluh tokoh persilatan? Ai, apakah tindakan dan cara yang ditempuh Thio-locianpwe ini tidak terlampau kejam?" Hijau membesi wajah Thio Kim-ciok. "Umpatan nona Thay-kun memang tepat sekali," sahutnya. "Nah, katakan sekarang, apakah kalian bersedia membantuku? Saat ini Hek-mo-ong telah berada di dalam kuburan untuk membunuh sepuluh tokoh persilatan yang tersisa serta Ho Lan-hiang, aku pun harus selekasnya mempersiapkan segala sesuatunya." Thay-kun menghela napas sedih.
Pendekar Cacat 1813
"Kini badai pembunuhan sudah berada di depan mata, apakah Thio-locianpwe bersedia mengungkap siapa gerangan Hek-mo-ong yang sebenarnya?" Thio Kim-ciok termenung dan berpikir beberapa saat, setelah itu baru menghela napas panjang. "Nona Thay-kun memang seorang nona yang cerdas dan berotak encer, aku benar-benar merasa kagum atas kepintaranmu itu. Memang benar, Hek-mo-ong adalah Liu Khi." "Hah, jadi benar adalah Liu Khi?" seru Bong Thian-gak terperanjat. "Ya, sejak tiga puluh tahun berselang, aku sudah tahu Liu Khi adalah Hek-mo-ong." "Kalau Thio-locianpwe sudah mengetahui bahwa otak dari semua kejahatan ini adalah Liu Khi, mengapa kau tidak secara langsung mencarinya untuk membalas dendam?" tanya Bong Thian-gak dengan suara keras. Tiba-tiba Thio Kim-ciok mendongakkan kepala dan tertawa tergelak dengan suara menyeramkan. "Walaupun Liu Khi dan aku terikat dendam sakit hati sedalam lautan, tapi sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lanhiang pun punya dendam sakit hati denganku, aku sangat membenci mereka, begitu benciku hingga bertekad akan
Pendekar Cacat 1814
membasmi mereka satu per satu, tapi ... aku sudah tidak memiliki kekuatan sedemikian besar, maka aku ...." Berbicara sampai di sini, suara Thio Kim-ciok terdengar amat sedih, murung dan terputus-putus karena menahan emosi. Thay-kun menghela napas sedih, segera ujarnya pula, "Maka Thio-locianpwe pun memperalat Hek-mo-ong Liu Khi untuk membinasakan kesepuluh tokoh persilatan itu satu per satu?" Thio Kim-ciok mengangguk pelan. "Ya, meskipun begitu, akhirnya Liu Khi akan turun tangan juga terhadapku." "Bukankah kau sangat berharap bisa membunuh Liu Khi?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Thio Kim-ciok menghela napas sedih. "Tapi yang pasti aku tak akan mampu menandingi Hek-moong Liu Khi." "Ai, selama tiga puluh tahun terakhir ini, aku harus berusaha keras mengendalikan rasa dendam dan benciku yang terbesar untuk bekerja sama dengan Liu Khi serta berusaha melenyapkan sepuluh pesilat tangguh dari muka bumi ini. Terus terang kukatakan, aku memang sengaja
Pendekar Cacat 1815
mengulur waktu agar luka yang kuderita bisa disembuhkan lebih dulu." Mata Thio Kim-ciok yang sedih dan penuh duka itu dialihkan ke Song Leng-hui. Itulah pandangan penuh harapan. Hingga detik ini Bong Thian-gak baru mulai memperoleh sedikit pengertian atas budi dendam serta musibah yang terjadi dalam dunia persilatan selama ini, sesungguhnya persoalan ini memang terlalu rumit dan memusingkan kepala. Tentu saja yang patut dikasihani adalah mereka yang telah keburu mati secara mengenaskan. Satu masalah pelik yang dihadapi mereka sekarang, yaitu apakah mereka harus membantu kakek yang berhati kejam dan buas ini untuk mengembalikan kekuatannya sehingga ia dapat memuaskan napsunya untuk membalas dendam sakit hatinya? Tapi seandainya mereka tidak membantu kakek ini untuk memulihkan kembali kekuatannya, Hek-mo-ong Liu Khi pasti akan membinasakan pula Thio Kim-ciok setelah ia berhasil menghabisi nyawa Tio Tian-seng sekalian. Tiba-tiba terdengar Thay-kun menghela napas panjang, "Sudahlah, kami bersedia membantu memulihkan kembali kekuatanmu itu."
Pendekar Cacat 1816
Thio Kim-ciok amat gembira. Sebaliknya paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, ia segera menegur, "Sumoay, apakah kita harus menyetujui permintaannya?" "Bicara soal dosa dan kekejaman, Hek-mo-ong Liu Khi otak dari semua kekejian ini. Apabila kita berniat menyingkirkan dalang semua kekejian dan kebuasan itu, maka kita harus berbuat demikian. Hanya satu masalah yang dikuatirkan adalah sehabis sembuh dari lukanya nanti, apakah Thiolocianpwe benar-benar mampu melawan kekuatan Liu Khi." Thio Kim-ciok menghela napas panjang, "Sekalipun tidak dapat membunuhnya, paling tidak aku mempunyai kekuatan untuk beradu jiwa dengannya." Mendadak Thay-kun berkata dengan serius, "Thiolocianpwe, aku ingin mengucapkan sesuatu kepadamu, yaitu Thian adalah maha pengasih dan penyayang, kecuali menghadapi seorang buas yang dosanya sudah menumpuk dan tidak terampuni lagi, kita harus menolong mereka yang terancam bahaya." "Kini Liu Khi telah memancing Tio Tian-seng sekalian para jago memasuki kuburan itu serta membantai mereka secara brutal. Apakah Thio-locianpwe akan berpeluktangan tanpa berusaha menolongnya?" Thio Kim-ciok menghela napas panjang.
Pendekar Cacat 1817
"Ai, dendam sakit hatiku kepada mereka sudah mencapai titik puncaknya, ibarat air dengan api, aku tak akan hidup berdampingan lagi dengan mereka secara damai. Dengan sendirinya mati hidup mereka pun tak usah kupusingkan lagi, sebab daripada membiarkan mereka tetap hidup di dunia ini, lebih baik membiarkan mereka saling gontok. Apakah nona berniat memaksaku menyelamatkan mereka?" "Aku tidak suruh Locianpwe pergi menolong mereka, kami hanya minta kepada Locianpwe untuk menerangkan pintu masuk dan keluar kuburan ini." "Ai, baiklah! Mari kalian ikuti aku," ucap Thio Kim-ciok kemudian sambil menghela napas. Selesai berkata, ia membalikkan badan dan berjalan kembali ke arah kuburan. Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui segera mengikut di belakangnya. Terdengar Thio Kim-ciok yang berada di depan berkata lagi, "Pintu masuk menuju ke kuburan Bu-lim-bong ini terbagi menjadi dua buah lorong yang masing-masing adalah lorong kehidupan dan lorong kematian. Tadi lorong kematian sudah ditutup, sedang jalan yang kita lalui sekarang adalah lorong kehidupan." "Perlu kalian ketahui, lorong kehidupan ini berada dalam suasana gelap-gulita, tak nampak jari sendiri, ditambah
Pendekar Cacat 1818
dengan perubahan Kiu-kiong-pat-kwa, maka akan timbul kesan seperti munculnya badai, kilat, setan atau makhluk aneh. Tapi kalian tak usah takut, kalian pun jangan berusaha turun tangan memukul atau menyerang benda yang dijumpai." Belum selesai perkataan Thio Kim-ciok, Bong Thian-gak sekalian telah mendengar timbulnya suara angin puyuh yang menderu-deru, suara angin itu begitu dahsyatnya sehingga menggidikkan siapa pun yang mendengar, bahkan seolah-olah menggulung ke arah tubuh mereka. Bong Thian-gak sekalian menjadi sangat terperanjat, andaikata Thio Kim-ciok tidak berpesan lebih dulu, niscaya mereka akan mundur. Dengan membusungkan dada dan langkah lebar, Bong Thian-gak meneruskan perjalanan ke depan. Anehnya, walaupun mereka mendengar suara hembusan angin puyuh yang menderu-deru dan memekakkan telinga, namun tubuh mereka sama sekali tidak terasa seperti terhembus angin puyuh. Perubahan aneh yang sama sekali tak terduga ini benarbenar sangat luar biasa, baru sekarang Bong Thian-gak mengagumi betapa hebatnya ilmu Ngo-heng itu. Pada saat itulah terdengar Thio Kim-ciok yang berada di depan berkata, "Setelah hembusan angin lewat, hujan dan guntur akan datang silih berganti, tapi semuanya hanya khayalan belaka, kalian tak perlu merasa kuatir."
Pendekar Cacat 1819
Baru selesai peringatan itu diberikan, Bong Thian-gak segera merasakan menyambarnya halilintar yang menusuk mata di depannya, kemudian disertai ledakan guntur yang menggelegar, terasa hujan turun dengan derasnya. Padahal semuanya itu hanya merupakan khayalan belaka, Bong Thian-gak merasa tubuhnya kering dan sama sekali tidak ada setetes air pun yang membasahi tubuhnya, namun telinganya justru menangkap suara air hujan yang turun sangat deras. Lama kelamaan Bong Thian-gak tak dapat mengendalikan rasa ingin tahunya lagi, ia segera bertanya, "Thiolocianpwe, sesungguhnya darimanakah datangnya suara khayalan itu?" "Di sinilah letak kelihaian ilmu rahasia barisan Ngo-heng serta Kiu-kiong-pat-kwa, padahal suara-suara khayalan itu justru timbul dari dalam tubuh kita sendiri." "Timbul dari dalam tubuh sendiri? Apa artinya?" "Tak mungkin kujelaskan hal ini dalam waktu singkat. Nah, hati-hatilah, bayangan setan yang lebih menakutkan akan segera muncul, ingat baik-baik, jangan turun tangan menyerang makhluk apa pun yang datang menyerang kalian!" Baru selesai ia berkata, suara tangisan setan dan jeritan kuntilanak bergema silih berganti.
Pendekar Cacat 1820
Bersamaan Bong Thian-gak seolah-olah melihat munculnya kepala setan berambut panjang dan berwajah bengis menyeramkan menerjang ke arahnya. Andaikata Thio Kim-ciok tidak berpesan sekali lagi, sudah pasti Bong Thian-gak akan menyingkir jauh-jauh dari situ. Benar juga, ternyata bayangan setan yang menerkam datang tadi hanya khayalan semu belaka. Dengan perasaan terkejut bercampur keheranan Bong Thian-gak segera bertanya, "Thio-locianpwe, jika aku turun tangan melancarkan serangan atau menghindar ke samping, apakah akibat yang akan terjadi?" "Bong-laute, kau juga jangan bergurau secara sembarangan," seru Thio Kim-ciok dengan perasaan gelisah, "bila kau bergerak hingga tubuhmu menyentuh alat rahasia, maka tubuhmu akan terseret masuk ke dalam lorong kematian." "Bukankah Tio Tian-seng sekalian masih berada di dalam lorong kematian sekarang?" "Benar, sejak memasuki kuburan Bu-lim-bong tadi, mereka sudah menempuh jalan yang salah, yaitu lorong kematian." "Apa yang bakal terjadi bilamana seorang berjalan melalui lorong kematian?"
Pendekar Cacat 1821
"Bila orang yang memasuki lorong kematian itu tidak menguanal perubahan Kiu-kiong-pat-kwa, maka selama hidup dia tak akan bisa kembali dalam keadaan selamat, apalagi keluar dari kuburan Bu-llm bong ini."
"Kalau begitu, seandainya Tio Tian-seng sekalian tidak memahami rahasia perubahan Kiu-kiong-pat-kwa, maka selama hidup dia akan terkurung di dalam lorong kematian itu?" "Hek-mo-ong telah bertekad akan membunuh seluruh orang di dalam kuburan Bu-lim-bong ini, aku rasa nasib mereka lebih banyak bencananya daripada selamat." "Tio Tian-seng Locianpwe mempunyai hubungan yang paling akrab denganku, aku tak bisa membiarkan mereka tewas terbunuh tanpa berusaha menolongnya." Di tengah pembicaraan itu, Bong Thian-gak segera mengerahkan tenaga pukulannya dan membacok ke sisi kirinya. Baru saja dia akan melancarkan pukulan, Thio Kim-ciok telah menyadari perbuatannya itu, ia segera menjerit kaget, "Jangan kau lakukan” Dengan cepat dia menggerakkan mencengkeram tangan pemuda itu.
tangannya
balas
Pendekar Cacat 1822
Tahu-tahu serangan yang dilancarkan Bong Thian-gak sudah menghantam di dinding batu itu Di tengah suara ledakan keras yang memekakkan telinga, Bong Thian-gak merasakan permukaan tanah dimana ia berdiri terasa berputar kencang, tidak bisa ditahan lagi tubuhnya segera terjatuh ke sisi kanan Bersamaan waktunya pula Bong Thian-gak mendengar Thay-kun berteriak, "Bong-suheng, apa yang hendak kau lakukan?" Walaupun Bong Thian-gak tak bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya lagi hingga berputar dan terjatuh ke kanan, namun kesadaran pikirannya masih tetap utuh. Mendengar teriakan itu, ia segera menyahut dengan lantang, "Aku hendak menyelamatkan jiwa Tio Tian-seng sekalian, kalian segera mendesak Thio Kim-ciok." Belum habis perkataan itu, kembali terdengar suara ledakan keras menggelegar, tubuh Bong Thian-gak terjerumus ke dalam sebuah jurang yang tak nampak dasarnya, angin tajam terasa menderu di sekelilingnya. Berada dalam keadaan begini, Bong Thian-gak tak sanggup melanjutkan perkataannya lagi, cepat dia menghimpun tenaga dalam untuk memperingan bobot tubuhnya agar dirinya yang sedang meluncur ke bawah bisa bergerak lebih lamban.
Pendekar Cacat 1823
Tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasakan kaki telah menyentuh permukaan tanah, suasana di sekitar sana terasa hening, suasana gelap mencekam sekelilingnya membuat kelima jari sendiri pun tak terlihat. Baru sekarang Bong Thian-gak merasa sangat menyesal, dia menyesal karena bertindak gegabah hingga terperosok ke tempat itu. Di samping itu dia pun merasa amat terkejut bercampur keheranan terhadap peralatan ganda dalam kuburan Bulim-bong yang mempunyai perubahan sedemikian rupa, ia tidak habis mengerti apa sebabnya serangan yang dilancarkan olehnya tadi bisa mengalihkan dirinya sampai ke tempat semacam ini. Di tengah keheningan yang mencekam, tiba-tiba Bong Thian-gak menangkap suara langkah kaki berjalan mendekat dari hadapannya. Diam-diam Bong Thian-gak menghimpun tenaga murninya sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu suara langkah kaki tadi makin mendekat. Bong Thian-gak dapat menangkap suara langkah itu terdiri dari dua orang. "Siapa di situ?" Bong Thian-gak segera membentak.
Pendekar Cacat 1824
Tapi begitu suara teguran diutarakan, Bong Thian-gak segera merasakan datangnya dua gulung desingan senjata rahasia yang amat tajam ke arah tubuhnya. Walaupun Bong Thian-gak dalam lorong bawah tanah yang gelap, namun sepasang telinganya sangat tajam, sertamerta dia menggerakkan tubuhnya dan bergeser ke sisi sebelah kanan. Baru saja tubuhnya berdiri tegak, dua orang itu telah menerjang dari kiri dan kanan dengan kecepatan luar biasa, bahkan melancarkan serangan bersama-sama. "Siapa di situ?" kembali Bong Thian-gak membentak. "Bila tidak menyebutkan nama kalian, jangan salahkan bila aku menyerang secara keji." Sekali lagi anak muda itu berkelebat menghindar ke sisi sebelah kiri. Agaknya kedua orang yang gagal dalam serangannya itu merasa terperanjat sekali, serentak mereka menghentikan serangannya. Dalam pada itu jarak antara kedua belah pihak sudah dekat, Bong Thian-gak dapat mendengar dengan jelas suara napas kedua orang yang berada di hadapannya itu sangat berat disertai suara rintihan dan dengusan tertahan.
Pendekar Cacat 1825
Dengan perasaan terkejut bercampur keheranan Bong Thian-gak segera bertanya lagi, "Kenapa kalian? Apakah terluka?" Setelah suara rintihan dan hembusan napas memburu agak mereda, terdengar orang itu menjawab dengan suara parau, "Kau adalah orang Thio Kim-ciok ataukah salah seorang di antara para jago yang memasuki kuburan Bulim-bong ini?" Sekarang Bong Thian-gak sudah dapat melihat wajah kedua orang yang berada di hadapannya ini, walaupun secara lamat-lamat. Dia berseru tertahan, lalu bergerak lebih ke depan, tegurnya segera, "Bukankah kalian berdua adalah anak buah Biau-kosiu ... Biau-han-thian suami-istri?" Benar, kedua orang itu memang kedua anak buah Biaukosiu, lelaki dan perempuan kekar bermata tunggal itu. Tampaknya Biau-han-thian suami-istri masih belum mengenali Bong Thian-gak, segera bentaknya, "Berhenti! Jika kau berani maju selangkah lagi, kedua puluh empat peluru emas akan kami lancarkan secara bersama." Bong Thian-gak menghentikan langkah, lalu berseru lagi dengan lantang. "Aku adalah Jian-ciat-suseng, apakah kau masih belum mengenali diriku?"
Pendekar Cacat 1826
Biau-han-thian suami-istri berseru tertahan, lalu berkata, "Ya benar, kau adalah Jian-ciat-suseng, tapi kau adalah teman atau musuh?" Bong Thian-gak tertawa ringan, "Aku adalah sahabat kalian, senasib sependeritaan yang sama-sama berkurung di dalam Bu-lim-bong ini." Biau-han-thian segera mendengus, "Hm, selagi berada di halaman tadi, kau berpihak kepada Thio Kim-ciok. Selama berada dalam kuburan Bu-lim-bong, kau pun termasuk salah satu pembantu untuk membunuh para jago. Hm! Hari ini, kami akan mengadu jiwa denganmu." "Tunggu dulu!" bentak Bong Thian-gak dengan suara keras. "Apalagi yang hendak kau katakan?" seru Biau-han-thian sambil tertawa seram. "Apa yang menyebabkan kalian terluka? Dimanakah Biaukosiu serta para jago lainnya?" tanya pemuda itu dengan suara dalam. Biau-han-thian tertawa seram, "Apa yang mengakibatkan kami terluka? Masakah kau belum tahu? Apalagi kalau bukan dilukai oleh begundal-begundalmu." "Tutup mulutmu!" bentak Bong Thian-gak sambil berkerut kening. "Sekarang kalian sudah termakan oleh siasat busuk Hek-mo-ong. Keselamatan jiwa kalian terancam, masakah
Pendekar Cacat 1827
kalian belum menyadari akan hal ini? Dimanakah para jago lainnya saat ini? Harap kau segera mengajakku ke sana." Mendadak Biau-han-thian tertawa seram, "Aku tidak bakal mengajakmu ke sana. Kami suami-istri bisa bertemu dengan kau saat ini, hitung-hitung kami lagi sial. Jika kau memang berkepandaian, ayo cepatlah bunuh kami berdua." Sekarang Bong Thian-gak sudah tahu bahwa kedua orang itu telah salah mengira dia sebagai musuh. Padahal dalam keadaan seperti ini, ia tak bisa merubah sikap serta pandangan mereka yang keliru itu, tapi bila dilihat dari keadaan Biau-han-thian suami-istri yang menderita luka, bisa diduga Liu Khi sudah mulai melakukan pembantaian secara besar-besaran. Tindakan paling baik sekarang adalah secepatnya menemukan para jago dan menyingkap tabir rahasia bahwa Liu Khi adalah Hek-mo-ong. Sementara dia masih termenung memikirkan persoalan itu, tiba-tiba Biau-han-thian suami-istri telah menerjang datang lagi dari sisi kiri dan kanan. Bong Thian-gak segera membentak, tubuhnya bagai gangsingan segera berputar, serunya, "Dengarkan baik-baik kalian berdua! Liu Khi adalah Hek-mo-ong, dalang semua kekejaman dan kekejian selama ini, dia sengaja memancing para jago memasuki kuburan Bu-lim-bong ini tak lain bertujuan untuk membunuh setiap jago lihai persilatan.
Pendekar Cacat 1828
Apa yang aku ucapkan ini adalah sesungguhnya dan fakta, percaya atau tidak terserah kepada kalian sendiri!" Selesai mengucapkan perkataan itu. Bong Thian-gak segera menyelinap ke samping dan melanjutkan perjalanannya menuju ke arah depan. Waktu itu Biau-han-thian suami-istri sudah menderita luka parah sehingga sama sekali tak berkekuatan lagi untuk mengejar Bong Thian-gak, namun kata-kata Bong Thian-gak sebelum pergi serta tindakan si anak muda yang tidak membunuh mereka, membuat kedua orang itu merasa curiga bercampur ragu, tanpa terasa pikirnya, "Mungkinkah dia adalah orang baik-baik?" Suasana di dalam lorong bawah tanah itu gelap-gulita dan lembab, dengan langkah cepat Bong Thian-gak bergerak maju, namun masih belum juga ditemukan ujung lorong bawah tanah itu. Tiba-tiba hati Bong Thian-gak bergetar keras, ia teringat lorong bawah tanah ini ada beberapa bagian mirip lorong bawah tanah Kiu-kiong-mi-hun-to di dalam kuil Sam-cingkoan. Bagi orang yang tidak memahami kunci rahasia lorong itu, walaupun sudah berjalan pulang pergi akhirnya kembali lagi ke posisi semula. Teringat sampai di sini, hatinya menjadi bergidik, segera pikirnya lagi, "Aduh celaka! Thio Kim-ciok pernah bilang, lorong kematian di dalam kuburan Bu-lim-bong ini dibangun menurut perubahan barisan Kiu-kiong-pat-kwa.
Pendekar Cacat 1829
Bagi mereka yang tak memahami kunci rahasia ilmu barisan itu, dengan cara apakah baru dapat keluar dari tempat ini?" Sementara dia masih termenung memikirkan hal itu, mendadak dari kejauhan sana terdengar suara seseorang sedang menghela napas sedih. Secepat kilat Bong Thian-gak segera bergerak ke muka mendekati sumber suara itu, segera tegurnya, "Siapa yang berada di depan?" Bong Thian-gak memiliki sepasang mata tajam, ia bisa melihat ada seseorang dengan sepasang mata tajam sedang berdiri bersandar di dinding lorong di hadapannya. Tampak orang itu menggenggam sebatang senjata yang pendek bentuknya. Ketika melihat kedatangan Bong Thian-gak, orang itu segera menggerakkan senjatanya langsung menusuk ke dada lawan dengan kecepatan luar biasa serta keganasan yang menggidikkan. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, ia masih ingat di antara kawanan jago yang memasuki kuburan Bu-lim-bong ini, tak seorang pun yang mempergunakan senjata pendek macam begini. Orang itu sudah pasti adalah pembunuh yang telah disiapkan Hek-mo-ong Liu Khi sebelumnya untuk menyergap dan membunuh para jago yang kebetulan lewat di situ.
Pendekar Cacat 1830
Berpikir begitu Bong Thian-gak segera membentak, tubuhnya bergerak ke muka dengan kecepatan tinggi dan menerobos lewat dari bawah cahaya kilat senjata pendeknya, kemudian tangan kanannya bergerak cepat dan menghantam pergelangan tangan kanan lawan yang menggenggam senjata itu. Jerit kesakitan segera bergema, pergelangan tangan kanan orang itu segera termakan oleh bacokan tangan Bong Thian-gak yang tajam bagaikan golok itu hingga patah. Sekalipun Bong Thian-gak sendiri berlengan tunggal, namun perubahan jurus serangannya amat cepat dan boleh dibilang nomor wahid di dunia ini. Terlihat pergelangan tangan kirinya membalik dengan cepat, tahu-tahu kelima jarinya sudah mencengkeram jalan darah kaku di bahu orang itu. Dengan dicengkeramnya jalan darah kaku di bahu, pada hakikatnya orang itu tak bisa berkutik lagi. "Apakah kau sudah bosan hidup?" hardik Bong Thian-gak. Tampaknya orang itu menderita kesakitan yang luar biasa, dia merintih tiada hentinya, tapi segera sahutnya, "Bagaimana kalau masih ingin hidup? Bagaimana pula kalau sudah bosan hidup?" Baru sekarang Bong Thian-gak dapat melihat bahwa orang itu seorang kakek yang telah berusia lanjut, dia tertawa
Pendekar Cacat 1831
dingin, "Bila ingin hidup, turuti semua perintahku tanpa membantah. Kalau sudah bosan hidup, cukup tanganku digerakkan ke bawah dan menghantam nadi penting di atas tengkukmu, nyawamu pasti akan dibereskan dengan segera." "Daripada hidup menderita, lebih baik aku minta kematian yang cepat," kata kakek itu lagi setengah merintih. "Tapi sayang, aku tak akan membiarkan kau mati dalam waktu singkat," jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Kakek itu mendengus, "Hm, dari usiamu yang masih muda, tidak kusangka hatimu begitu keji dan buas." Untuk sesaat Bong Thian-gak menjadi tertegun, segera ujarnya lagi, "Kau menyergapku secara tiba-tiba dari balik kegelapan, apakah tindakanmu ini bukan merupakan suatu perbuatan yang kejam?" Bantahan itu membungkamkan si kakek. Kembali Bong Thian-gak berkata dengan suara dingin, "Ayo cepat mengaku, apakah kau adalah begundal Hek-moong?" "Siapa itu Hek-mo-ong? Aku tidak tahu, kami hanya mengetahui pemilik kuburan Bu-lim-bong ini adalah Thio Kim-ciok."
Pendekar Cacat 1832
"Kalau begitu kau adalah anak buah Thio Kim-ciok?" tanya Bong Thian-gak dengan perasaan terkesiap. Sambil mengertak gigi menahan emosi, kakek itu berkata, "Bukan, kami bukan anak-buah si orang edan itu." "Lantas kau berasal dari aliran mana?" tanya Bong Thiangak. "Kami adalah orang-orang mengenaskan yang dikurung oleh orang edan itu selama puluhan tahun di dalam Bu-limbong ini." "Apa? Jadi kau pun dicelakai oleh Thio Kim-ciok?" Bong Thian-gak terkejut. "Benar, Thio Kim-ciok sudah dua puluh tahun mengurung kami di dalam Bu-lim-bong ini. Siksaan lahir-batin dalam jangka waktu yang begini panjang membuat sebagian orang-orang kami menjadi orang yang tak waras lagi otaknya." Bong Thian-gak sungguh merasa terkejut bercampur keheranan, kembali dia bertanya, "Apa sebabnya Thio Kimciok mengurung kalian di dalam Bu-lim-bong ini?" "Kami sendiri pun tidak tahu apa sebabnya dia mengurung kami di sini." "Lantas berapa banyak rekan-rekanmu yang ikut disekap oleh Thio Kim-ciok di tempat ini?" tanya Bong Thian-gak
Pendekar Cacat 1833
lagi agak tertegun. "Semua berjumlah tujuh puluh dua orang." "Apakah ketujuh puluh dua orang ini semuanya adalah orang-orang persilatan?" "Ya, tentu saja mereka semua adalah jago persilatan." Setelah berhasil mengetahui rahasia yang sangat aneh itu, Bong Thian-gak merasa kaget, dia tidak habis mengerti mengapa Thio Kim-ciok menyekap kawanan jago persilatan itu. "Bagaimana ceritanya sehingga kalian dapat disekap di sini?" tanya Bong Thian-gak. Sambil berkata, ia kendorkan cengkeramannya atas pergelangan tangan kakek itu. Kakek itu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu setelah menghela napas panjang, katanya dengan nada suara yang amat sedih, "Ai, hal ini terjadi pada dua puluh empat tahun berselang, aku she Kim bernama Toa-hay, sesungguhnya aku adalah seorang Piausu dari perusahaan An-wan-piau-kiok di wilayah Ho-pak. Suatu hari aku telah mengawal sejumlah barang yang diterima perusahaan, tetapi secara aneh tahu-tahu sudah ditawan ke tempat ini. Sejak memasuki kuburan Bu-lim-bong ini, tak pernah ada harapan lagi bagi kami untuk keluar dari sini."
Pendekar Cacat 1834
"Siapakah pemilik barang yang kau kawal waktu itu?" tanya Bong Thian-gak. "Tentu saja pemilik barang kawalan kami adalah Thio Kimciok!" Hingga kini Bong Thian-gak belum juga mengerti apa sebabnya Thio Kim-ciok mengurung orang-orang itu di dalam Bu-lim-bong, ia menggeleng sambil menghela napas, lalu katanya, "Kim-piauthau, apa sebabnya kau membokongku tadi?" "Sebab aku mengira kau adalah komplotan Thio Kim-ciok." "Kalau begitu, kalian benar-benar amat membenci Thio Kim-ciok?" Mendadak Kim Toa-hay tertawa seram, "Siapa bilang tidak membencinya? Tanpa sebab-musabab Thio Kim-ciok telah menyekap kami sepanjang tahun di dalam neraka dunia yang tak kelihatan matahari ini, membuat kami semua harus jauh dari rumah, berpisah dengan anak istri dan sanak keluarga. Dendam sakit hati kami sudah begitu mendalam, kalau bisa kami ingin mendahar dagingnya dan menghirup darahnya." ' Kembali Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai betul, walaupun Thio Kim-ciok tidak mencelakai jiwa kalian, tetapi telah menghancurkan masa depan kalian. Ai, siksaan
Pendekar Cacat 1835
hidup semacam ini pada hakikatnya memang lebih berat daripada kematian." "Tapi apa sebabnya Thio Kim-ciok bersikap begitu kejam dan tidak berperi-kemanusiaan terhadap kalian?" Tiba-tiba terdengar Kim Toa-hay berseru tertahan, lalu tanyanya dengan cepat, "Anak muda, bagaimana caramu memasuki Bu-lim-bong ini?" Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba saja Bong Thian-gak teringat kembali dengan tugas dan kewajibannya memasuki Bu-lim-bong itu, maka katanya kemudian, "Kim-piauthau, aku hendak memberitahukan satu hal padamu, di Bu-limbong ini segera akan dilangsungkan suatu pembantaian secara besar-besaran dan kejam. Saat ini di sini telah hadir seorang yang bernama Hek-mo-ong, manusia itu bermaksud hendak membunuh sejumlah jago lihai, ia telah memancing banyak jago lihai memasuki Bu-lim-bong ini pada setengah jam berselang. Berhubung aku mendapat tahu intrik busuk Hek-mo-ong, maka aku bergerak menyusul kemari dengan tujuan hendak menyelamatkan jiwa pada jago itu." "Yang menjadi Hek-mo-ong pastilah Thio Kim-ciok, si orang edan itu," teriak Kim Tao-hay. "Dugaanmu keliru besar," Bong Thian-gak menggeleng. "Yang menjadi Hek-mo-ong bukan Thio Kim-ciok. Sekarang kau tak usah mencampuri urusan itu, aku ingin memohon sesuatu bantuan dari Kim-piauthau. Bila nasibku memang
Pendekar Cacat 1836
baik, aku yakin tak lama kemudian Kim-piauthau bisa meninggalkan kuburan Bu-lim-bong serta kembali ke alam bebas." Kim Toa-hay termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, lalu bertanya, "Bantuan apakah yang kau harapkan dariku?" "Sudah dua puluh tahun Kim-piauthau berdiam di dalam Bu-lim-bong ini, aku rasa kau pasti sudah hapal lorong rahasia dalam Bu-lim-bong ini. Karena itu, aku berharap Kim-piauthau suka membawaku berjalan-jalan melalui lorong rahasia yang terdapat di sini." "Baik, aku menyanggupi permintaanmu itu," jawab Kim Toa-hay dengan cepat. "Urusan ini tak bisa ditunda lagi, mari kita segera berangkat." Ketika Kim Toa-hay hendak menggerakkan tubuhnya, tulang pergelangan tangan kanannya segera terasa amat sakit sehingga tanpa terasa dia merintih kesakitan. Melihat hal ini. Bong Thian-gak merasa sangat menyesal, karena sudah turun tangan kelewat berat sehingga mematahkan tulang pergelangan tangannya. Setelah menghela napas, katanya, "Kim-piauthau, sekarang akan kutotok dulu jalan darah di atas lengan kananmu sehingga akan mengurangi rasa sakit yang kau derita.
Pendekar Cacat 1837
Setelah berhasil lolos dari Bu-lim-bong ini, pasti akan kucarikan akal untuk mengobati luka pada pergelangan tanganmu itu." Seraya berkata dia segera turun tangan secepat kilat menotok semua jalan darah penting di atas lengan kanannya. Dengan begitu lengan itu berubah menjadi lemas, mati rasa dan sama sekali tak berfungsi lagi. Baru sekarang Kim Toa-hay tahu bahwa Bong Thian-gak hanya memiliki sebuah lengan, tanpa terasa dia menghela napas, "Anak muda, rupanya kau pun cacat?" "Ya, aku adalah seorang cacat, aku bernama Bong Thiangak," kata pemuda itu sambil tertawa getir. Baru selesai dia berkata, mendadak dari balik lorong rahasia itu secara lamat-lamat dia mendengar suara jerit kesakitan dan teriakan kalap yang bergema. Suara itu tidak terlalu keras, namun nadanya amat mengenaskan dan penuh perasaan ngeri, bagaikan jeritan setan di tengah malam buta, membikin bulu kuduk siapa pun berdiri bila mendengarnya. Dengan terkejut Bong Thian-gak bertanya, "Suara apakah itu?" Kim Toa-hay memasang telinga pula mendengarkan suara itu dengan seksama, tiba-tiba paras mukanya hebat.
Pendekar Cacat 1838
"Ah, ada orang sedang membantai saudara-saudaraku, mari kita segera berangkat!" Seusai berkata, ia telah membalikkan badan dan beranjak pergi dari sana. Bong Thian-gak segera mengikut di sampingnya, dalam perjalanan ia bertanya, "Saudaramu? Siapakah saudaramu itu?" "Rekan-rekan yang disekap di tempat ini bersamaku." Bong Thian-gak terkejut, katanya, "Ya benar, seandainya kawanan jago yang memasuki Bu-lim-bong bertemu dengan rekan-rekanmu itu, sudah pasti akan timbul kesalah pahaman yang berakibat timbulnya pertarungan. Ayo cepat! Kita harus ke sana secepatnya." Saat itu Kim Toa-hay nampak amat gelisah dan cemas, dia berlari dengan kecepatan tinggi. Setelah melalui tiga buah tikungan, mendadak di depan sana muncul setitik cahaya lentera, jeritan ngeri dan teriak kesakitan yang bergema tadi ternyata berasal dari situ. Suara jeritan masih terdengar, bahkan jauh lebih jelas, keadaan di situ masih kalut dan seru. Bong Thian-gak tak dapat menahan diri lagi, mendadak ia menyambar lengan kiri Kim Toa-hay, lalu secepat sambaran kilat berkelebat menuju ke depan.
Pendekar Cacat 1839
Setelah keluar dari lorong bawah tanah, tempat itu berupa sebuah ruangan yang luas, saat itu ruangan itu telah berubah menjadi lautan darah, mayat bergelimpangan di atas lantai mendatangkan suatu pemandangan yang sangat mengerikan. Beberapa buah lentera minyak tertempel di empat penjuru dinding menerangi suasana dalam ruangan itu dengan jelas. Waktu itu dua orang jago lihai berpedang sedang bertarung seru melawan sekelompok orang aneh berambut panjang, berpakaian compang-camping serta berwajah tujuh bagian mirip setan. Kawanan orang aneh itu menyerang dengan buas, ganas dan menyeramkan. Tapi berhubung ilmu silat yang mereka miliki masih selisih jauh bila dibandingkan dengan kedua orang lawannya, maka setiap kali kedua orang itu mengayun pedangnya, seperti memotong sayur saja, batok kepala segera menggelinding dan jeritan mengerikan mencekam perasaan. "Tio-pangcu, Liong-tayhiap, hentikan pembantaian itu!" Waktu itu Bong Thian-gak telah melihat dengan jelas kedua pendekar itu tak lain adalah Tio Tian-seng serta Liong Ohim. Sambil membentak, ia segera melompat maju ke muka. Ketika mendengar bentakan itu, Tio Tian-seng dan Liong Oh-im segera menarik kembali pedang masing-masing dan mundur beberapa langkah ke belakang.
Pendekar Cacat 1840
Akan tetapi puluhan orang aneh berambut panjang yang berada di hadapan mereka kembali berteriak aneh dan sambil mementang cakar mautnya menerjang maju lagi secara kalap. Terlihat jelas betapa murkanya Liong Oh-im terhadap kawanan orang aneh itu, dia membentak dan pedangnya sekali lagi melancarkan bacokan maut ke depan. Bong Thian-gak yang melihat hal ini, segera berteriak, "Hentikan pembantaian itu, mereka bukan orang jahat!" Sambil mengendorkan kempitannya atas Kim Toa-hay, Bong Thian-gak melejit ke udara sambil menyambar ke depan, tapi sayang sudah terlambat. Serangan Liong Oh-im yang dilancarkan sepenuh tenaga itu benar-benar amat dahsyat, apalagi belasan orang aneh itu sedang menyerbu ke depan secara bersama-sama. Dimana cahaya pedangnya berkelebat, sebelas orang aneh itu roboh bergelimpangan ke atas tanah, semburan darah segar memancar kemana-mana bagaikan sumber mata air. Merah berapi-api sepasang mata Kim Toa-hay menyaksikan peristiwa itu, dia meraung keras, lalu menubruk ke arah Liong Oh-im dari belakang. Waktu itu Liong Oh-im sudah setengah kalap, dia segera memutar ujung pedangnya dan menyongsong datangnya terjangan Kim Toa-hay.
Pendekar Cacat 1841
Melihat kejadian ini, Bong Thian-gak segera membentak, "Liong-tayhiap, tindakanmu kali ini sungguh kelewat keji dan buas!" Dari tengah udara Bong Thian-gak mengayun tangan kirinya serta melepaskan sebuah bacokan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat seperti amukan ombak di tengah samudra langsung menyapu ke depan dengan hebatnya. Terhadang oleh angin pukulan yang begitu kuat, tubuh Liong Oh-im yang sedang menerjang ke muka itu segera terhenti dan sukar untuk maju barang selangkah pun, akan tetapi ia tidak berdiam diri saja, ujung pedangnya segera diputar, lalu menusuk Bong Thian-gak dengan jurus naga sakti mengibas ekor. Bong Thian-gak membentak gusar, tubuhnya segera melayang turun ke atas tanah, kemudian dengan cekatan menggelincir maju ke muka, telapak tangannya menerobos lewat bawah cahaya pedangnya yang berkilauan, lalu secara ganas dan dahsyat menghantam dada Liong Oh-im. Serangan yang sangat kuat dan dahsyat ini mendesak Liong Oh-im, mau tak mau ia harus menarik pedangnya sambil menyurut mundur, tapi saat itulah Kim Toa-hay telah berhasil menyelinap maju dari belakang dan melepaskan sebuah jotosan yang keras ke punggung lawan.
Pendekar Cacat 1842
Tak ampun lagi punggung Liong Oh-im termakan oleh pukulan Kim Toa-hay yang amat keas itu. Untung saja tenaga dalam yang dimiliki Liong Oh-im cukup kuat dan sempurna. Biarpun begitu, jotosan Kim Toa-hay cukup membuatnya semakin kalap. "Bajingan busuk, kau ingin mampus mengumpat dengan penuh gusar.
rupanya!"
ia
Kelima jari tangan kirinya dipentang lebar segera menyambar ke belakang dan persis mencengkeram pergelangan tangan kiri Kim Toa-hay. Dengan gerakan cepat bagaikan kilat, Liong Oh-im segera membalik pedangnya langsung digorokkan ke leher Kim Toa-hay. Walau urat nadi penting pada pergelangan tangan kiri Kim Toa-hay sudah dicekal sehingga seluruh tubuh tidak memiliki kekuatan untuk melawan lagi. Melihat datangnya sambaran pedang yang langsung menggorok ke arah lehernya, dia tidak dapat berbuat banyak kecuali mengejangkan wajah yang penuh penderitaan dengan pancaran amarah yang meluap-luap. Pada saat yang kritis itulah, terdengar Bong Thian-gak menjerit kaget, "Tahan!"
Pendekar Cacat 1843
Sambil berseru, ia segera mengeluarkan ilmu Kim-na-jiuhoat tingkat tinggi, dia pergunakan jepitan kedua jari tangannya untuk menahan tusukan pedang Liong Oh-im. Tindakan nekat yang dilakukan Bong Thian-gak itu kontan saja membuat kaget Tio Tian-seng serta Liong Oh-im. Mimpi pun, mereka tidak menyangka Bong Thian-gak berani mengeluarkan tindakan semacam ini secara berani. Liong Oh-im tertawa dingin, sambil mengerahkan tenaga dalam ke batang pedang, dia memilin pedangnya, lalu digesekkan lebih ke belakang. Dalam keadaan begini, seandainya Bong Thian-gak tidak segera melepas tangan, niscaya pergelangan tangannya akan tersayat putus. Sebaliknya jika Bong Thian-gak mengendorkan cengkeraman, sudah pasti Kim Toa-hay tak dapat lolos dari bencana itu dan termakan oleh tusukan maut ini. Dalam keadaan kritis dan sangat berbahaya inilah, tiba-tiba Bong Thian-gak membentak, dia segera mengeluarkan ilmu simpanannya yang paling dahsyat. Kaki kanannya secepat sambaran kilat tahu-tahu menendang urat nadi penting pada pergelangan tangan kanan Liong Oh-im.
Pendekar Cacat 1844
Sekalipun Liong Oh-im termasuk jago lihai dunia persilatan, namun sulit baginya untuk menghindarkan diri dari tendangan kilat yang dilancarkan Bong Thian-gak itu. Seketika pedangnya tertendang hingga mencelat, menancap di atas dinding lorong rahasia itu. Sedemikian kerasnya tenaga serangan itu, terlihat betapa kerasnya getaran pedang itu setelah tertancap pada dinding gua. Muka Liong Oh-im berubah hijau membesi, secara beruntun dia mundur tiga-empat langkah, lalu bentaknya, "Jian-ciat-suseng, hari ini jika bukan kau yang mati, biarlah aku yang mampus!" Sembari berseru, dengan kecepatan bagai kilat ia mengeluarkan kipas kumalanya dari saku. Cepat Bong Thian-gak berseru, "Tunggu dulu Liong-tayhiap, harap kau suka mendengarkan penjelasanku lebih dahulu." Dalam pada itu Tio Tian-seng telah berjalan mendekat dengan pedang terhunus. Dilihat dari sikapnya waktu itu, jelas jago ini berdiri sepihak dengan Liong Oh-im. Sebaliknya Kim Toa-hay berdiri dengan wajah murung dan penuh rasa dendam, berulang kali dia bermaksud menerjang lagi ke depan. Untung saja niat itu segera dicegah oleh Bong Thian-gak, serunya sambil menarik tangan, "Kim-piauthau, kau bukan tandingannya."
Pendekar Cacat 1845
Dengan menahan tangis Kim Toa-hay berteriak, "Kalian telah membunuh saudara-saudaraku senasib sependeritaan yang telah hidup selama dua puluh tahun di tempat ini. Aku ... aku akan membalas dendam." Memandang mayat yang bergelimpangan di atas tanah, tanpa terasa hati Bong Thian-gak terasa kecut dan turut melelehkan air mata. Setelah menghela napas sedih, katanya kemudian, "Liongtayhiap, terlalu kejam kalian, mengapa kau bantai orangorang yang tak berdosa itu? Ai...." "Orang-orang ini sama sekali tak berdosa, justru hidup mereka sangat menderita karena sejak dua puluhan tahun berselang mereka telah disekap oleh Thio Kim-ciok dalam Bu-lim-bong ini. Kehidupan mereka sudah lama putus dengan alam kehidupan bebas, sungguh.tak disangka akhirnya mereka harus mati secara mengenaskan karena dibantai oleh kalian secara keji." "Bong-laute, aku tidak mengerti dengan perkataanmu itu," kata Tio Tian-seng dengan wajah serius. "Ketika orangorang itu bertemu kami, bagaikan siluman sesat dan setan iblis, mereka menyerang kami secara ganas dan kalap. Apakah kami berdua tidak boleh melakukan perlawanan melindungi keselamatan jiwa sendiri?" Kembali Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, mereka mati secara mengenaskan, nasib mereka betulbetul mengibakan hati!"
Pendekar Cacat 1846
Mendadak Liong Oh-im tertawa ringan, jengeknya, "Jianciat-suseng, kau tak usah berlagak iba hati macam kucing menangisi tikus, sudah lama aku mencarimu untuk berduel!" Bong Thian-gak segera menarik wajah secara tiba-tiba, lalu berkata, "Liong Oh-im, tanpa mempedulikan keselamatanku sendiri, aku telah masuk ke dalam Bu-limbong. Tujuanku tak lain adalah ingin mencegah Hek-mo-ong yakni Liu Khi turun tangan secara keji untuk membantai kalian." Perkataan Bong Thian-gak itu diucapkan dengan nada berat dan tegas, setiap kata disertai kesungguhan wajah. Mendadak Liong Oh-im terbahak-bahak, "Jian-ciat-suseng, kau tak usah berlagak mulia dan baik hati, Thio Kim-ciok tak lain adalah Hek-mo-ong. Barusan kami telah mencoba kelihaian ilmu silatnya dalam lorong rahasia itu." "Bong-laute," dengan wajah serius Tio Tian-seng berkata, "bila aku mendengar perkataanmu itu semasa masih ada di luar Bu-lim-bong, mungkin hatiku akan ragu dan curiga. Tapi sekarang kami telah yakin, sesungguhnya Hek-mo-ong bukan lain adalah Thio Kim-ciok." "Tio-pangcu, apa yang telah kalian alami sewaktu berada di Bu-lim-bong ini?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut kencang.
Pendekar Cacat 1847
"Kami telah merasakan kehebatan serangan maut Hek-moong." "Ada yang terluka?" tanya Bong Thian-gak dengan terperanjat. Kembali Liong Oh-im tertawa dingin, "Ilmu silat yang dimiliki sepuluh tokoh persilatan adalah nomor wahid di kolong langit, sekalipun Hek-mo-ong mempunyai tiga kepala enam lengan tak nanti bisa melukai kami." Dengan suara dalam Bong Thian-gak bertanya lagi, "Di saat kalian mendapat serangan brutal dari Hek-mo-ong, apakah Liu Khi hadir pula di tempat kejadian?" "Tentu saja, Liu Khi pun hadir di arena," sahut Tio Tian-seng sambil mengangguk. Bong Thian-gak termenung beberapa saat, lalu menjawab dengan lantang, "Orang yang melancarkan serangan kepada kalian waktu itu sudah pasti bukan Hek-mo-ong sesungguhnya." "Kalau bukan, lalu siapa yang menjadi Hek-mo-ong sesungguhnya menurut pendapatmu?" jengek Liong Oh-im dengan suara dingin dan ketus. Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, Hek-mo-ong yang sesungguhnya tak lain adalah Liu Khi."
Pendekar Cacat 1848
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh, "Kini Liu Khi telah memancing kalian memasuki Bu-limbong. Hal ini tak lain karena Liu Khi dan Thio Kim-ciok telah melakukan persekongkolan secara diam-diam dengan tujuan membasmi kalian sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang dari muka bumi." "Hm, pada hakikatnya perkataanmu itu hanya ngaco-belo tak keruan," jengek Liong Oh-im sambil tertawa dingin. "Andaikata Liu Khi adalah Hek-mo-ong, maka dia pasti bersumpah tidak akan hidup berdampingan secara damai dengan Thio Kim-ciok. Bagaimana mungkin mereka malah bersekongkol dengan suatu kerja sama yang begitu rapi?" "Jian-ciat-suseng, kau jangan berbohong. Nah, katakan segera kepada kami, sebetulnya hari ini kau ingin bekerja sama dengan kami untuk membekuk Thio Kim-ciok atau tidak?' Bong Thian-gak tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya katanya setelah menghela napas panjang, "Kalian enggan menuruti perkataanku, akhirnya kau akan menyesal." Pada saat itulah mendadak terdengar Kim Toa-hay membentak, "Setelah membunuh tujuh puluh satu lembar nyawa manusia, apakah kalian akan menyudahi persoalan ini di sini saja?" Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Kim Toa-hay, lalu katanya sambil menggeleng kepala dan menghela
Pendekar Cacat 1849
napas panjang, "Kim-piauthau, kau tak perlu membalas dendam bagi kematian rekan-rekan senasib sependeritaanmu lagi." "Mengapa aku tidak boleh membalas dendam bagi kematian mereka?" teriak Kim Toa-hay sambil melotot, matanya merah membara karena kobaran api dendam dan amarah. "Kedua orang yang kau hadapi sekarang, satu adalah Tio Tian-seng, yang lain adalah Liong Oh-im. Aku rasa kau pasti sudah pernah mendengar nama besar mereka sebelum memasuki Bu-lim-bong ini? Selama puluhan tahun terakhir ini, entah sudah berapa banyak jago persilatan yang tewas di ujung pedangnya. Coba bayangkan berapa orangkah di antara mereka yang berhasil membalas dendam?" Ucapan itu diutarakan dengan wajar dan merupakan kenyataan, yang lemah memang sulit menghadapi yang kuat, sebab barang siapa nekat melakukannya juga, maka keadaan mereka ibarat telur yang diadu dengan baru cadas. Tiba-tiba Kim Toa-hay memeluk kepala sendiri sambil menangis tersedu-sedu. "Betul, aku memang tak berkemampuan untuk membalas dendam bagi kematian saudara-saudaraku itu karena ilmu silat yang kumiliki memang bukan tandingan orang. Sekalipun nekat membalas dendam, paling aku akan mengorbankan jiwaku dengan percuma. Oh, Thian, mengapa kau begini tak adil."
Pendekar Cacat 1850
Sambil menangis tersedu-sedu, Kim Toa-hay membalikkan badan berlalu dari situ dengan langkah cepat. Keadaannya saat ini tak ubahnya seperti orang gila, sambil menjerit dan menangis, dia berlari meninggalkan tempat itu. Melihat hal ini Bong Thian-gak segera berteriak, "Kimpiauthau ... Kim-piauthau, kemana kau hendak pergi?" Tapi dalam waktu singkat bayangan tubuh Kim Toa-hay sudah lenyap dari pandangan mata. Sejak disekap dalam Bu-lim-bong selama dua puluh tahun, keadaan Kim Toa-hay sudah berubah menjadi setengah sinting. Apalagi saat ini mesti menerima pukulan batin yang begitu besar, tak heran ia menjadi gila sungguhan. Tiba-tiba Tio Tian-seng berkata sambil menghela napas panjang, "Setiap korban yang tewas dalam ruangan ini, tak ubahnya seperti orang gila. Mereka menerkam dan berusaha membunuh lawan begitu bertemu orang asing, sikap dan tindakan mereka sangat mengerikan. Andaikata Bong-laute yang menjumpai keadaan semacam itu, aku yakin kau pun pasti akan terlibat dalam pembantaian secara besar-besaran terhadap mereka. Ai! Aku tidak mengerti, apa sebabnya dalam Bu-lim-bong ini bisa terdapat orang-orang macam itu?" Bong Thian-gak menggeleng kepala seraya menghela napas panjang, "Walaupun tindakan yang dilakukan Tio-pangcu
Pendekar Cacat 1851
serta Liong-tayhiap terlalu kejam dan tak berperasaan, namun orang-orang itu pun patut dikasihani, siksaan batin yang dialami selama dua puluh tahun membuat orangorang itu jadi gila dan kalap. Mereka memang lebih bahagia mengalami kematian daripada harus hidup tersiksa, tapi di antara kita yang memasuki Bu-lim-bong hari ini, mungkin akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Mati kelaparan dalam Bu-lim-bong atau terluka sepanjang hidup di sini hingga tiada kesempatan lagi untuk melihat terangnya matahari." Berubah hebat paras muka Tio Tian-seng dan Long Oh-im setelah mendengar perkataan itu. Liong Oh-im tertawa dingin, "Liu Khi telah membawa serta Tang-hay-tocu Long Jit-seng dalam perjalanan kali ini. Betapa pun hebatnya perubahan alat rahasia dalam Bu-limbong ini, aku yakin Long Jit-seng pasti dapat memecahkannya serta membawa kami keluar dari Bu-limbong dengan selamat." "Betul, Long Jit-seng memang mempunyai kepandaian ilmu Pat-kwa, ilmu perbintangan, ilmu bangunan serta ilmu perangkap lainnya," kata Bong Thian-gak dingin. "Dan aku pun tahu bahwa Bu-lim-bong tak nanti bisa menyekapnya di sini, tapi sayang sekali Long Jit-seng adalah pembantu utama Hek-mo-ong Liu Khi. Bila kau tak percaya, tunggu saja sampai waktunya nanti!" Baru selesai ia bicara, mendadak terdengar seseorang berkata pula dengan suaranya yang merdu, "Apa yang
Pendekar Cacat 1852
diucapkan Jian-ciat-suseng memang benar. Liu Khi telah mengkhianati kita semua." Mendengar ucapan itu, serentak semua orang berpaling. Dari sudut ruangan bawah tanah itu muncul tiga orang. Mereka adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, perempuan tercantik dari wilayah Kanglam Ho Lan-hiang beserta kedua orang pembantu utamanya, Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu. Melihat kemunculan Ho Lan-hiang, Tio Tian-seng dan Liong Oh-im segera maju ke muka dengan langkah cepat, tanyanya, "Liu Khi telah berkhianat? Apa yang dia lakukan?" "Liu Khi memancing aku memasuki sebuah pintu mati yang dikenal sebagai telaga selaksa racun penghancur tulang, akhirnya Liu Khi bersama tabib sakti Gi Jian-cau dan Long Jit-seng lenyap secara tiba-tiba." "Apakah perbuatan mereka bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kita?" tanya Liong Oh-im hambar. "Sewaktu berada di telaga selaksa racun penghancur tulang, kami telah bertemu Hek-mo-ong. Dia tidak menyerang kami, melainkan mengambil sikap menawarkan suatu perundingan secara damai." Sampai di situ, tiba-tiba dia membungkuk dan tidak melanjutkan lagi perkataannya.
Pendekar Cacat 1853
"Perundingan secara damai macam apakah yang ia tawarkan kepada kalian?" kembali Liong Oh-im bertanya. "Ia minta kepadaku untuk menyerahkan bagian peta rahasia harta karun yang menjadi milikku," sahut Ho Lanhiang sambil tertawa dingin. Seketika itu juga hati semua orang bergetar keras. "Apakah kau telah menerima tawaran itu?" tanya Liong Ohim lagi. "Masih di dalam pertimbanganku." Tio Tian-seng menghela napas sedih, katanya kemudian, "Hek¬mo-ong telah menawarkan pula hal yang sama kepada kami." "Sejak memasuki Bu-lim-bong ini, teka-teki sekitar identitas Hek-mo-ong yang sesungguhnya makin lama makin kentara. Thio Kim-ciok bukan Hek-mo-ong dan aku rasa setiap orang telah mengetahui hal ini secara jelas." "Jadi maksudmu Hek-mo-ong adalah satu di antara lima jago tersisa dari sepuluh tokoh persilatan yang masih hidup saat ini?" ujar Liong Oh-im sambil tertawa dingin. "Benar, satu di antara kelima orang yang masih hidup, malaikat sakti pedang iblis, delapan pedang salju beterbangan, tabib sakti, sastrawan berwajah tampan dan
Pendekar Cacat 1854
golok sakti berlengan tunggal pastilah Hek-mo-ong yang sedang kita cari." "Jika ada orang menaruh curiga kepadamu bahwa kau adalah Hek-mo-ong. Bagaimana penjelasanmu tentang tuduhan itu?" jengek Liong Oh-im sambil tertawa dingin. "Aku tidak menyalahkan, jika kalian berpendapat demikian. Kalian memang wajar mempunyai kecurigaan semacam itu." "Padahal masalah siapakah Hek-mo-ong sesungguhnya sudah menjadi masalah basi dan tak ada artinya lagi. Sejak kita memasuki Bu-lim-bong, tujuan kita semua hanya satu, yakni melenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi!" "Tapi aku kuatir jusru Thio Kim-ciok melenyapkan kita dari muka bumi."
yang
akan
"Bagus, bagus sekali," kata Liong Oh-im tertawa. "Di saat Thio Kim-ciok sudah mampus nanti, di antara kita pun harus dicarikan suatu penyelesaian secara adil dan cepat, paling tidak harus ditentukan siapa yang lebih unggul di antara kita semua." "Sekarang kalian masih bisa berkata akan membunuh Thio Kim-ciok. Padahal tahukah kalian, bahwa kita justru sudah terperangkap oleh tipu muslihat Thio Kim-ciok sehingga keselamatan jiwa kalian terancam bahaya maut," kata Bong Thian-gak dingin.
Pendekar Cacat 1855
Ho Lan-hiang berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya pula sambil tertawa ringan, "Apa yang diucapkan Jian-ciat-suseng memang benar, kita sudah terperangkap dalam Bu-lim-bong sehingga setiap salah langkah bisa mengakibatkan jiwa kita terancam bahaya maut." "Ho Lan-hiang, apa rencanamu sekarang? Tak ada salahnya diutarakan secara blak-blakan," seru Tio Tian-seng tiba-tiba. Perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam ini segera tertawa cekikikan, "Saat ini aku tak lain hanya ingin memberitahukan kepada kalian bahwa Liu Khi telah berhasil menarik Tan Sam-cing serta Gi Jian-cau berpihak kepadanya. Mereka berniat hendak melenyapkan kita dari muka bumi." "Jadi kau pun berniat mengajak Lohu dan Liong Oh-im untuk bekerja sama menghadapi mereka?" kata Tio Tianseng hambar. "Aku rasa hanya dengan berbuat demikianlah kekuatan kita baru akan berimbang." Tio Tian-seng mendengus dingin, "Ketika kita belum masuk ke dalam Bu-lim-bong, sudah kuduga kalau kau, Ho Lanhiang akan melakukan pengacauan dari tengah. Ai, bila kita sampai berbuat begini, maka keselamatan jiwa kita semua yang berada dalam Bu-lim-bong ini benar-benar berbahaya sekali!"
Pendekar Cacat 1856
Ho Lan-hiang menarik muka secara tiba-tiba seraya berseru, "Apa yang ingin kuutarakan telah kusampaikan, apa yang menjadi keputusan terserah pada pilihan kalian sendiri." "Hm, dalam peristiwa pembunuhan yang dilakukan sepuluh tokoh persilatan terhadap Thio Kim-ciok pada tiga puluh tahun berselang, tak lain karena gara-gara dirimu." Berubah hebat paras muka Ho Lan-hiang setelah mendengar perkataan itu, segera bentaknya, "Tio Tianseng, kau hendak mencari kesulitan bagi dirimu sendiri?" Dengan wajah serius Tio Tian-seng berkata lebih jauh, "Peristiwa itu telah berkembang menjadi begini sekarang, aku pun tak ingin melindungi lagi nama baik sepuluh tokoh persilatan. Ai, dulu sepuluh tokoh persilatan bukan cuma memperkosa istri orang lain, merampok harta kekayaan orang, bahkan membunuh pula korbannya. Perbuatan semena-mena ini boleh dibilang merupakan dosa besar yang tak akan dapat ditebus dengan kematian saja." "Tio Tian-seng," tiba-tiba Liong Oh-im membentak, "perbuatanmu ini benar-benar sudah keterlaluan." Di Tengah bentakan itu, tiba-tiba saja Liong Oh-im menggerakkan pedangnya melancarkan sebuah tusukan kilat ke depan. Bong Thian-gak segera membentak, sebuah bacokan dilepaskan pula ke muka, angin pukulan yang kuat dan
Pendekar Cacat 1857
dahsyat itu seketika menggetarkan tubuh Liong Oh-im hingga mundur sejauh tiga langkah. Sementara itu Tio Tian-seng telah berkata dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh, "Liong-heng, kuanjurkan kepadamu janganlah mengulang lagi perbuatan salah yang pernah kita lakukan bersama pada tiga puluh tahun berselang." Sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im tertawa dingin, "Tio Tian-seng, aku mau bertanya kepadamu, apa yang menjadi tujuan kedatanganmu ke Bu-lim-bong hari ini?" Tio Tian-seng tidak langsung menjawab, melainkan tertawa seram, "Yang menjadi tujuan utama kedatanganku ke Bulim-bong hari ini tak lain adalah untuk mengetahui apakah Thio Kim-ciok benar-benar masih hidup di dunia ini." Mendengar ucapan itu. Bong Thian-gak segera menyela dengan lantang, "Tio-locianpwe, Boanpwe dapat memberitahukan kepadamu, Thio Kim-ciok masih hidup segar bugar di dunia ini." "Bagus, bagus sekali," Tio Tian-seng tertawa tergelak. "Kalau memang Thio Kim-ciok masih hidup segar bugar, maka kedatanganku ke Bu-lim-bong ini tanpa suatu maksud dan tujuan lagi. Andaikata dibilang ada maksud, maka maksudku tak lain adalah minta maaf kepada seseorang serta menyesali semua perbuatan yang pernah kulakukan dulu."
Pendekar Cacat 1858
"Apakah orang yang dimaksudkan Tio-pangcu adalah Thio Kim-ciok?" tanya Bong Thian-gak lebih lanjut dengan suara dalam. "Benar, aku telah melakukan suatu perbuatan yang sangat memalukan dan amat salah terhadap Thio Kim-ciok." Dengan wajah berat dan serius Bong Thian-gak mendesak lebih lanjut, "Tadi Tio-pangcu mengatakan sepuluh tokoh persilatan telah memperkosa istri orang dan merampok harta kekayaannya. Apakah hai' ini benar-benar pernah terjadi?" Tio Tian-seng menghela napas sedih. "Dari kesepuluh tokoh orang persilatan yang ada, kecuali seorang di antaranya yang merupakan wanita, hampir semuanya sudah pernah melakukan hubungan senggama dengan Ho Lan-hiang." Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak setelah mendengar ucapan yang terakhir ini, segera serunya, "Apakah Ku-lo Hwesio, si pendeta agung dari Siau-lim-pay pun tak lolos dari perbuatan ini?" "Bila aku berbicara bohong barang sepatah kata saja, biar Thian menumpas diriku." Bong Thian-gak benar-benar amat terkejut. Walaupun hingga detik ini dia masih belum mau mempercayainya seratus persen, tetapi bila teringat akan kejalangan serta
Pendekar Cacat 1859
daya pikat yang dimiliki Ho Lan-hiang, mau tak mau dia harus percaya juga akan hal itu. Dengan wajah hijau membesi, Liong Oh-im tertawa seram, lalu serunya, "Tio Tian-seng, kau anggap setelah pengakuan dosamu itu lantas Thio Kim-ciok bakal mengampuni dosadosamu? Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab dan selamanya tak kenal kata menyesal. Tak nyana kau adalah manusia pengecut semacam ini. Hm! Akulah orang pertama yang akan melenyapkan kau dari muka bumi." Liong Oh-im segera menggerakkan pedangnya sambil bersiap-siap melancarkan serangan. Mendadak pada saat itu di tengah ruangan terjadi getaran gempa bumi yang amat keras, sedemikian kerasnya hingga menggoyang semua dinding ruangan. Semua jago tak mampu berdiri tegak lagi oleh getaran itu, masing-masing segera jatuh terjungkal ke atas tanah. Bong Thian-gak sendiri merasa amat terperanjat atas terjadinya getaran keras yang muncul secara tiba-tiba itu, namun sepasang matanya yang tajam tetap mengawasi empat penjuru dengan seksama. Begitu memandang, Bong Thian-gak segera menyaksikan suatu perubahan alat rahasia yang amat luar biasa.
Pendekar Cacat 1860
Ternyata di tengah gempa bumi keras yang menggetar ruangan itu, keempat dinding ruangan besar dan semua pintu turut bergeser, bahkan permukaan ruangan pun pelan-pelan ikut bergerak naik ke atas. Gempa bumi yang sangat kuat itu berlangsung kurang lebih seperempat jam lamanya sebelum akhirnya berhenti. Namun pemandangan di sekeliling ruangan telah berubah sama sekali, kini dari sekeliling dinding ruangan telah muncul delapan buah lorong besar yang membentang jauh ke penit bumi sana. Tapi berhubung suasana di situ amat gelap, maka tiada seorang pun yang tahu betapa dalam setiap lorong yang ada di sana. Sementara semua orang masih bimbang dan kaget oleh perubahan yang terjadi secara amat mendadak itu, tibatiba dari tengah ruangan berkumandang suara seseorang yang berkata dengan aneh, "Para jago dengarkan baik-baik, sekarang pintu Pat-kwa-bun dari Bu-lim-bong telah tertutup semua. Dalam keadaan begini, sekalipun kalian mempunyai sayap jangan harap bisa meninggalkan Bu-limbong ini barang selangkah pun." Begitu mendengar suara ini, Bong Thian-gak segera melompat bangun dan membentak dengan suara keras, "Apakah kau adalah Hek-mo-ong?" Gelak tawa itu terhenti sejenak, kemudian baru terdengar ia menjawab, "Benar, aku adalah Hek-mo-ong. Sebenarnya orang yang hendak dibunuh Thio Kim-ciok hanya sepuluh
Pendekar Cacat 1861
tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang, tapi kalian orangorang yang berada di luar garis ternyata ikut mencari kematian bagi diri sendiri dengan ikut masuk ke dalam Bulim-bong. Hal ini tidak dapat menyalahkan aku kelewat kejam, salah sendiri kalian tak mau menuruti perkataanku?" Di tengah pembicaraan itu, dari balik delapan lorong yang tersebar di delapan penjuru itu bermunculan pula delapan orang. Kedelapan orang itu tak lain adalah Biau-kosiu, nenek berambut putih serta Biau-han-thian suami-istri yang berada dalam satu kelompok, lalu Gi Jian-cau, Tan Sam-cing serta Long Jit-seng, pada rombongan ketiga adalah Kim Toa-hay yang sudah sinting itu. Dari sekian jago yang memasuki Bu-lim-bong, hanya Liu Khi seorang yang tidak nampak hadir di situ sekarang. Ho Lan-hiang memandang sekejap ke arah semua jago yang hadir, lalu tertawa cekikikan, gumamnya, "Hanya Liu Khi seorang yang tidak muncul di sini. Kalau begitu, dia adalah Hek-mo-ong sesungguhnya." Sementara itu Gi Jian-cau sekalian berdelapan yang baru muncul dari balik lorong hampir semuanya dalam keadaan sangat mengenaskan dan ada yang terluka, di antaranya Long Jit-seng yang tampaknya menderita luka paling parah, tubuhnya harus dibimbing oleh Tan Sam-cing agar tidak roboh.
Pendekar Cacat 1862
Dengan suara keras Bong Thian-gak segera membentak, "Hek-mo-ong, aku rasa setiap orang sudah mengetahui siapakah dirimu sekarang. Bukankah kau adalah Liu Khi?" Dari balik ruangan bergema suara gelak tawa penuh kebanggaan, terdengar dia menyahut, "Dalam keadaan seperti ini, tentu saja kalian sudah tahu siapakah aku. Benar, Hek-mo-ong adalah Liu Khi. Tapi sayang, kalian terlalu lambat mengetahui akan hal ini." Dengan suara dalam tabib sakti Gi Jian-cau berseru, "Betul, Liu Khi adalah Hek-mo-ong dan Hek-mo-ong adalah komplotan Thio Kim-ciok, sudah sejak dahulu Hek-mo-ong menerima permintaan Thio Kim-ciok untuk membunuh habis sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang. Hari ini kita sudah terjebak oleh perangkapnya." "Hehehe," kembali terdengar suara tertawa licik Hek-moong dari balik ruangan, "Gi Jian-cau, apa yang kau ucapkan memang benar. Sejak tiga puluh tahun berselang, Liu Khi sudah menerima permintaan Thio Kim-ciok untuk membinasakan kalian."
Kemudian Ho Lian-hiang berseru pula sambil tertawa cekikikan, "Liu Khi, apa balas jasa yang dijanjikan Thio Kimciok kepadamu sebagai imbalan dalam pembunuhan ini?" "Peta rahasia dari bukit tambang emas."
Pendekar Cacat 1863
"Akhirnya bukankah kau sendiri pun dikhianati oleh Thio Kim-ciok?" jengek Ho Lan-hiang lagi sambil tertawa. "Tidak, aku sama sekali tidak dikhianati oleh Thio Kim-ciok." "Bila kau tidak dikhianati oleh Thio Kim-ciok, mengapa Thio Kim-ciok merobek peta rahasia tambang emasnya menjadi sebelas bagian dan dibagikan kepada sepuluh tokoh persilatan serta aku?" Hek-mo-ong tertawa seram, "Tujuan Thio Kim-ciok berbuat demikian tak lain adalah untuk mengadu domba kalian, agar kalian saling gontok dan bunuh demi memperebutkan peta rahasia itu. Dengan cara begitu pula aku baru dapat membunuh kalian dengan mudah. Itulah sebabnya pembagian peta rahasia itu menjadi sebelas bagian sebetulnya merupakan salah satu rencanaku, hanya saja Thio Kim-ciok tak pernah menyangka kalau sepuluh tokoh persilatan bakal bekerja sama dengan Ho Lan-hiang untuk membinasakan dirinya." "Kau benar-benar adalah Liu Khi?" tiba-tiba Tio Tian-seng membentak. Hek-mo-ong tertawa tergelak. "Tio-pangcu, apakah kau menemui kesulitan? Silakan sampaikan, aku pasti akan membantu memecahkan kesulitanmu itu."
Pendekar Cacat 1864
"Benar, aku memang mempunyai banyak persoalan yang tidak kupahami. Pertama, kami ingin membuktikan lebih dahulu benarkah kau adalah Liu Khi yang asli? Untuk itu harap kau tampil lebih dahulu." Hek-mo-ong tertawa licik, "Tio-pangcu, aku tidak akan tampil seperti apa yang kau inginkan, tetapi aku dapat memberitahukan kepadamu bahwa aku memang golok sakti berlengan tunggal yang asli. Bila kurang percaya, tanyakan saja kepada Gi Jian-cau." "Benar, dia adalah Liu Khi. Tapi ada satu hal yang sulit dipercaya, yakni Thio Kim-ciok ternyata berada sekomplotan dengannya." "Hm, mengapa aku tidak bisa berkomplotan dengan Thio Kim-ciok?" seru Hek-mo-ong lagi dengan tertawa dingin. "Pertama, aku Liu Khi tidak pernah berzinah dengan istrinya. Kedua, di saat sepuluh tokoh persilatan bekerja sama membunuh Thio Kim-ciok pada tiga puluh tahun berselang, aku pun tidak turut ambil bagian." "Dalam peristiwa pengeroyokkan yang terjadi atas Thio Kim-ciok tempo hari, Tan Sam-cing tak turut ambil bagian," kata Tio Tian-seng. "Sekalipun Tan Sam-cing tidak turut ambil bagian dalam peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan atas Thio Kimciok dulu, namun secara diam-diam ia mencintai Ho Lanhiang. Jadi soal perempuan, ia tetap terlibat secara langsung."
Pendekar Cacat 1865
Mendadak Bong Thian-gak membentak, "Liu Khi, walaupun kau tidak turut serta dalam peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan atas Thio Kim-ciok, tapi sesungguhnya kaulah dalang yang mengatur peristiwa itu, kaulah otak dari peristiwa berdarah ini." Hek-Mo-ong tertawa terbahak-bahak, "Justru aku adalah Hek-mo-ong, maka aku pula yang menjadi otak semua peristiwa ini. Biarpun begitu, nyatanya Thio Kim-ciok bersedia bekerja sama denganku." Tiba-tiba Biau-kosiu membentak pula, "Hek-mo-ong, apakah ayahku Kui-kok Sianseng mati di tanganmu?" Hek-mo-ong tidak menjawab, kemudian baru berkata, "Tidak, bukan aku yang membunuh." "Lantas siapakah pembunuhnya?" bentak Biau-kosiu lebih jauh. "Tio Tian-seng yang melakukan, tapi boleh dibilang juga Ho Lan-hiang yang telah membunuh ayahmu itu." Paras muka Biau-kosiu kontan berubah hebat, keningnya berkerut dan hardiknya kepada Tio Tian-seng, "Tio-pangcu, benarkah apa yang dikatakan Hek-mo-ong?" Bong Thian-gak amat terperanjat, ditatapnya Thio Tianseng tanpa berkedip. Dalam hati dia sangat berharap jago tua itu menyangkal tuduhan itu.
Pendekar Cacat 1866
Akan tetapi Tio Tian-seng segera menghela napas panjang, "Ya benar, Kui-kok Sianseng memang tewas di ujung pedangku, tetapi pertarungan itu berlangsung secara jantan dan terbuka. Aku sama sekali tak menggunakan tipumuslihat." "Mengapa kau membunuh ayahku? Ayo cepat katakan!" bentak Biau-kosiu dengan marah. Suara tertawa licik Hek-mo-ong sekali lagi bergema, terdengar ia berkata, "Tio Tian-seng membunuh Kui-kok Sianseng demi perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang, sebab waktu itu Kui-kok Sianseng sedang gila-gilanya mencintai Ho Lan-hiang, sedangkan Tio Tianseng adalah seorang pelindung Ho Lan-hiang. Dalam situasi sama-sama cemburu dan ingin merebut hati sang pujaan hati, tidak heran mereka bertarung mati-matian." "Hek-mo-ong," bentak Biau-kosiu dengan marah, "kau jangan ngaco-belo bicara sembarangan. Aku tidak percaya ayahku berbuat demikian." Gelak tawa Hek-mo-ong kembali berkumandang, selanya tiba-tiba, "Bukan cuma Kui-kok Sianseng yang mampus gara-gara cemburunya terhadap perempuan ini, bahkan Oh Ciong-hu pun tewas di ujung pedang Tio Tian-seng karena alasan yang sama." Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, dengan suara dalam ia segera bertanya kepada Tio Tian-seng, "Benarkah apa yang dikatakan Liu Khi barusan?"
Pendekar Cacat 1867
"Ya, semua yang dikatakannya memang benar," Tio Tianseng menghela napas panjang. Biau-kosiu tak mampu menahan gejolak emosinya lagi, dia segera membentak, 'Tio Tian-seng, bersiap-siaplah kau menerima kematianmu!" Sembari berkata gadis itu maju tiga langkah dan sepasang tangannya dengan cepat melolos dua bilah pisau belati yang bersinar tajam. "Nona Biau," Tio Tian-seng segera berkata dengan suara dalam, "aku tak ingin membunuh orang lagi, harap kau jangan bergerak sembarangan." "Siapa membunuh orang, dia harus membayar dengan nyawanya sendiri. Bagaimana pun juga aku tetap akan membalas dendam bagi kematian ayahku," bentak Biaukosiu sambil melotot. Di tengah pembicaraan, tubuhnya bergerak maju ke depan, seperti sebuah gasing yang sedang berputar dia mendesak maju, sementara sepasang pisau belatinya bagaikan dua titik cahaya bintang menusuk ke bagian mematikan di tubuh Tio Tiang-seng. Segera Tio Tian-seng melompat ke belakang, kemudian bentaknya, "Nona Biau, dengarkan dulu perkataanku! Aku membunuh ayahmu serta Oh Ciong-hu tak lain karena tindakan melindungi diri sendiri, dalam suatu pertarungan
Pendekar Cacat 1868
yang tak bisa dihindarkan bisa jatuh korban di salah satu pihak." "Kau tak usah banyak bicara," tukas Biau-kosiu sambil menahan geramnya. "Jika punya kepandaian, bunuhlah aku!" Di tengah bentakannya, pisau belatinya kembali menyergap jalan darah mematikan di tubuh Tio Tian-seng dengan kecepatan bagaikan sambaran petir. Setiap jurus serangan dilakukan secara cepat dan merupakan ancaman serius. Di bawah sergapan pisau belatinya yang bertubi-tubi, selangkah demi selangkah Tio Tian-seng mundur terus, namun ia sempat berbicara lagi, "Nona Biau, aku sudah merasa menyesal karena pernah diperalat oleh Ho Lanhiang sehingga membunuh orang. Hari ini aku tak berkeinginan melukaimu." "Tapi aku pun berharap kau jangan mendesak dan memojokkan aku. Jika kau ingin membalas dendam, tunggulah setelah kita keluar dari Bu-lim-bong ini dengan selamat, waktu itu aku pasti akan memberi keadilan kepadamu," imbuh Tio Tan-seng. Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak pula, "Nona Biau, harap kau hentikan dulu seranganmu itu." Sambil berseru pemuda itu menerjang masuk ke dalam arena. Telapak tangan kanannya segera diayunkan ke muka
Pendekar Cacat 1869
melepaskan sebuah pukulan, angin serangan yang tajam segera membendung datangnya ancaman Biau-kosiu. "Kau berniat membantunya?" bentak Biau-kosiu dengan marah, keningnya berkerut kencang. Dengan wajah serius dan nada bersungguh-sungguh Bong Thian-gak berkata, "Nona Biau, dengarkan nasehatku, untuk sementara waktu janganlah kau menyerang secara sembarangan." "Dendam kesumat terbunuhnya ayahku lebih dalam daripada samudra, aku tak bisa melepaskannya begitu saja." "Biarpun Tio Tian-seng adalah musuh besar pembunuh ayahmu, tapi Ho Lan-hiang adalah otak di belakang layar yang memberi perintah kepadanya. Apakah perempuan ini tak pantas dibunuh?" Biau-kosiu tertawa dingin, "Hm, setelah membunuh Tio Tian-seng nanti, Ho Lan-hiang pun tak bakal lolos dari kematian." Ho Lan-hiang yang selama ini hanya menonton dari samping segera tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya, "Nona Biau, aku berani bertaruh kepadamu, orang-orangmu tak bakal mampu menandingi kehebatan Tio Tian-seng. Percaya tidak?"
Pendekar Cacat 1870
"Hm, sekalipun bukan tandingannya, aku tetap akan mengadu kepandaian dengannya," jawab gadis itu. Bong Thian-gak segera berkata dengan suara dalam, "Nona Biau, harap kau suka mendengarkan perkataanku baik-baik, semua jago persilatan yang hadir dalam Bu-lim-bong saat ini hampir semuanya mempunyai niat busuk, mereka berharap ada satu pihak yang bertarung lebih dulu, sementara mereka akan menjadi nelayan beruntung yang tinggal memungut hasilnya. Apakah kau tak dapat merasakan gejala itu?" Biau-kosiu mendengus dingin, "Asal aku berhasil mengalahkan Tio Tian-seng, dengan sendirinya para jago lain pun dapat kutaklukkan. Nah, Jian-ciat-suseng, harap kau mundur dari situ." Tio Tian-seng kembali menghela napas panjang, "Ai, sebenarnya aku ingin menyimpan sedikit tenaga untuk menghadapi Ho Lan-hiang lebih dulu, sungguh tak disangka nona Biau justru mendesakku terus-menerus. Kalau kau ingin cepat membalas dendam bagi kematian ayahmu, silakan segera turun tangan!" Tio Tian-seng segera melintangkan pedangnya di depan dada dan berdiri dengan serius, sementara dari balik matanya memancar sinar tajam yang menggidikkan. "Tunggu sebentar," tiba-tiba Bong Thian-gak membentak. "Aku ingin bertanya dulu kepada Tio-pangcu, apa sebabnya kau membunuh Oh Ciong-hu?"
Pendekar Cacat 1871
Tio Tian-seng memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu menghela napas, "Tentang segala budi dendam yang menyangkut sepuluh tokoh persilatan, tentunya Bong-laute sudah mengetahui sedikit banyak, bukan? Kalau ditanya apa alasanku membunuh Oh Ciong-hu, maka hal ini tak lain disebabkan karena perempuan jalang itu." "Apakah Oh Ciong-hu pernah mencintai Ho Lan-hiang?" "Ho Lan-hiang adalah perempuan jalang dan pandai memikat perhatian lelaki." "Sepuluh tokoh persilatan bukan orang suci, tentu saja mereka tak akan lolos dari rayuan mautnya, apalagi Oh Ciong-hu dan Ho Lan-hiang adalah saudara seperguruan, mereka pernah saling mencintai di masa lalu. Bagaimana mungkin Oh Ciong-hu bisa lolos dari perangkap mautnya?" "Sekarang pun aku lihat masih ada juga mereka yang terpikat oleh rayuannya hingga rela menjual nyawa baginya." "Apakah Tio-pangcu turun tangan membunuh musuh cintamu karena kuatir perempuan jalang itu terjatuh ke dalam pelukan orang lain?" Tio Tian-seng sekali lagi menghela napas panjang, "Kemungkinan besar Bong-laute tidak akan percaya dengan perkataanku, tapi cerita yang sesungguhnya adalah Oh Ciong-hu yang kuatir aku merampas perempuan jalang ini hingga turun tangan lebih dulu membunuhku."
Pendekar Cacat 1872
Bong Thian-gak menggeleng kepala. "Sekarang Oh Ciong-hu telah mati, tentu saja aku tak akan percaya dengan pengakuan dari seorang yang masih hidup seperti kau." Kembali Tio Tian-seng menghela napas, "Seandainya Ho Lan-hiang tidak bohong, dia pasti akan membeberkan duduk persoalan yang sesungguhnya kepadamu." Mendengar ucapan itu, tanpa terasa Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke arah Ho Lan-hiang. Perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam itu segera tertawa ringan, katanya cepat, "Alasan utama Tio Tian-seng membunuh Oh Ciong-hu tak lain disebabkan hendak membalas dendam atas sebuah pukulan yang pernah diterimanya dulu." "Ho Lan-hiang, kau berbohong," bentak Tio Tian-seng. Bong Thian-gak menghela napas seraya berkata, "Tiopangcu, tak usah berdebat lagi tentang masalah kematian yang menimpa Oh Ciong-hu, sebab aku sudah tidak berhasrat untuk menyelidiki lebih lanjut. Pertikaian antara sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok serta perselisihan kalian dengan Hek-mo-ong, lebih baik kalian sendiri yang menyelesaikannya!" "Ai, saat ini aku justru merasa agak menyesal karena ikut terseret ke dalam persoalan ini."
Pendekar Cacat 1873
Tiba-tiba Biau-kosiu mendengus dingin sambil mengumpat, "Huh, manusia tak becus, lelaki banci. Sudah tahu gurunya terbunuh, kau malah menyatakan cuci tangan dari persoalan itu. Andaikata arwah Oh Ciong-hu di alam baka tahu hal ini, ia pasti akan menyesal telah menerima murid yang tak bertanggung-jawab macam kau." "Nona Biau, hati-hati kalau bicara," tegur Bong Thian-gak dengan serius. "Memangnya aku salah mengumpatmu?" kembali Biaukosiu menjengek secara sinis. "Tentang pertikaian sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok, aku telah mengetahui persoalan itu sejelasnya. Sepuluh tokoh persilatan telah terayu oleh kejelitaan Ho Lan-hiang, saling cemburu, saling membenci dan akhirnya saling membunuh. Perbuatan busuk semacam ini jelas merupakan perbuatan rendah dan memalukan, aku rasa hanya Tio Tian-seng seorang yang berani mengungkapnya. Oleh sebab itu aku merasa amat kagum atas keberanian Tio-pangcu." "Dan kini aku sudah mengetahui dengan jelas bahwa guruku pernah melakukan perbuatan rendah yang sangat memalukan. Apakah aku harus mencari gara-gara lagi secara membabi-buta tanpa membedakan mana yang benar dan yang salah?" "Ai, yang lebih menggemaskan lagi adalah dengan ilmu silat serta nama besar sepuluh tokoh persilatan, ternyata
Pendekar Cacat 1874
mereka rela dipikat dan dirayu oleh seorang perempuan jalang sehingga nama baik hancur, orangnya pun binasa. Peristiwa ini benar-benar amat tragis." Perkataan Bong Thian-gak yang diutarakan secara blakblakan ini kontan membuat paras muka Tio Tian-seng, Tan Sam-cing, Gi Jian-cau dan Liong Oh-im berubah merah padam, dengan mulut terbungkam mereka menundukkan kepala. Sementara itu dengan wajah bimbang Biau-kosiu bergumam pula, "Mungkinkah ayah pun ikut terpikat oleh perempuan jahat itu?" Ho Lan-hiang tertawa terkekeh-kekeh, dengan suara jalang ujarnya, "Bagus sekali umpatanmu itu Jian-ciat-suseng, tetapi kau tentu tahu bahwa bencana keluarnya dari mulut. Hari ini kau sudah dipastikan harus mati di sini." Sampai di situ, dia segera mengulap tangan kanan. Kakek berbaju hitam yang berada di sampingnya yaitu Sim Tiongkiu segera melangkah maju, sambil bentaknya, "Jian-ciatsuseng, bersiap-siaplah kau menerima kematian!" Bong Thian-gak sudah pernah bertarung melawan Sim Tiong-kiu, dia tahu kakek itu memiliki ilmu jari yang lihai sekali. Oleh sebab itu segera dia menghimpun seluruh tenaga dan perhatiannya dengan memperhatikan jari telunjuk tangan kiri lawan.
Pendekar Cacat 1875
"Sim Tiong-kiu!" katanya kemudian sambil tertawa dingin, "jika kau sudah mendengar kisah hubungan gelap sepuluh tokoh persilatan dengan Ho Lian-hiang, apakah kau masih terpikat oleh kegenitan dan kecantikannya hingga rela berbakti terus kepadanya? Padahal dengan tampangmu, wahai Sim Tiong-kiu, benarkah kau memperoleh kasih sayang sejati darinya?" Ucapan Bong Thian-gak itu penuh dengan sindiran, membuat paras muka Sim Tiong-kiu seketika itu juga berubah merah padam dan untuk sesaat lamanya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Berubah pula paras muka Ho Lan-hiang, segera bentaknya keras, "Sim Tong-kiu, kau berani melanggar sumpahmu?" Tatkala mendengar teguran itu, tiba-tiba saja sekujur badan kakek berbaju hitam Sim Tiong-kiu gemetar keras, jari telunjuk tangan kirinya segera ditekuk, kemudian melakukan sentilan keras ke depan. Serangan jari yang dahsyat dan luar biasa itu bagaikan sambaran halilintar segera meluncur ke muka dan langsung menyerang jalan darah kematian di dada Bong Thian-gak. Bong Thian-gak memang sudah tahu Sim Tiong-kiu memiliki ilmu jari yang sangat hebat dengan daya penghancur yang luar biasa, maka di saat Sim Tiong-kiu baru saja menggerakkan jari tangannya, ia sudah menerjang ke muka.
Pendekar Cacat 1876
Diiringi suara bentakan yang keras, pedang kayu di tangannya langsung dicabut dan menusuk iga kiri Sim Tiong-kiu. Ilmu pedang yang diiringi terjangan kilat ini dilakukan dengan gerakan yang mengerikan, tak heran paras muka kawanan jago yang hadir berubah hebat. Serta-merta Sim Tiong-kiu menggeser kaki kirinya ke samping, lalu meluncur mundur untuk meloloskan diri dari serangan pedang pemuda itu. Menyaksikan serangan jari tangan Sim Tiong-kiu yang istimewa dan luar biasa itu gagal membunuh lawan, kembali paras muka Ho Lan-hiang berubah hebat, segera serunya, "Mundur kau, apakah sebelum ini kalian sudah pernah bertarung?" Sim Tiong-kiu segera mengundurkan diri ke sampingnya, lalu menjawab, "Ya, ketika berada di kuil Hong-kong-si tempo hari, kami sudah pernah bertarung." Setelah memukul mundur Sim Tiong-kiu dengan serangan pedangnya, Bong Thian-gak tidak melanjutkan dengan serangan kedua, sebaliknya sambil melintangkan pedang di depan dada, ia berkata dengan lantang, "Ho Lan-hiang, ilmu jarinya yang merupakan senjata maut pencabut nyawa sudah tak mampu melukai diriku lagi, bahkan rahasia pedang Cing-tong-kiam milik Ji-kaucu pun sudah kuketahui dengan jelas. Oleh karena itu kedua orang utusan pelindung bungamu sudah tidak sanggup lagi melindungi
Pendekar Cacat 1877
keselamatan jiwamu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri untuk bertarung melawanku?" Tantangan Bong Thian-gak yang diucapkan secara blakblakan dan terus terang ini segera membuat Ho Lan-hiang mengernyitkan alis, hawa membunuh segera menyelimuti wajahnya, dia berseru, "Ji-kaucu!" Ji-kaucu yang berada di sisi kirinya segera menyahut dengan suara lantang, "Siap!" "Kau tampil ke muka dan bunuh keparat itu!" "Harap Cong-kaucu jangan kelewat emosi," kata Ji-kaucu dengan kalem tanpa luapan perasaan. "Aku rasa waktu untuk membunuhnya belum tiba." Ketika mendengar ucapan ini, hawa membunuh yang semula telah menyelimuti wajahnya mendadak lenyap, sebagai gantinya ia segera menampilkan wajah lembut dan ramah, setelah tertawa terkekeh, katanya, "Ji-kaucu, kau memang tak malu menjadi tangan kananku. Kecerdasan otakmu sungguh mengagumkan." Sebaliknya Bong Thian-gak segera menjengek sambil tertawa dingin, "Ji-kaucu, kau tidak usah mencoba menyimpan tenaga lagi. Hari ini aku ingin mencoba kelihaian ilmu silatmu." Saat itu Bong Thian-gak telah berdiri dengan pedang dilintangkan di depan dada, sepasang matanya
Pendekar Cacat 1878
memancarkan sinar tajam, sementara hawa membunuh telah menyelimuti wajahnya. Setiap jago dalam arena dapat melihat bahwa pemuda itu telah menghimpun tenaga murninya dan siap melepaskan serangan pedang terbangnya. Keadaan Bong Thian-gak yang sudah siap melepaskan serangan pedang terbangnya saat ini ibarat anak panah yang sudah berada di gendewa yang ditarik. Oleh karena itu Ji-kaucu yang menyaksikan keadaan itu segera mengerti bahwa dia tak bisa meloloskan diri lagi dari ancaman. Kaki kiri Ji-kaucu segera maju setengah langkah, tangan kanannya secepat kilat mencabut pedang bercahaya hijau dari pinggang, lalu setelah tertawa seram, katanya, "Jianciat-suseng, hari ini kita memang harus bertarung!" "Dendam sakit hati yang telah terjalin di antara kita berdua rasanya cepat atau lambat harus dituntaskan, pertarungan memang tak dapat dihindari lagi," sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Selama ini kau tak lebih cuma panglima yang kalah perang, aku rasa hari ini pun kau tak akan lolos dari nasib kekalahan konyol." Bong Thian-gak segera mendengus dingin, "Hm, seandainya aku menderita kekalahan lagi di tanganmu, biar mati pun aku tak menyesal!"
Pendekar Cacat 1879
Selesai berkata Bong Thian-gak segera menggerakkan bahunya bergerak ke muka, pedangnya dengan jurus pelangi panjang menutupi matahari langsung meluncur. "Serangan bagus!" bentak Ji-kaucu. Di tengah kilauan cahaya pedang berwarna hijau serta lejitan bintang merah berkilauan, tiba-tiba berkumandang suara gemerincingan yang amat nyaring. Serangan pedang Bong Thian-gak yang dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu tahu-tahu sudah terbendung. Dalam pengaruh hawa murninya yang disalurkan ke tubuh pedang itu, pedang bambu yang lemah telah berubah menjadi keras dan tajam bagaikan pedang sungguhan. Itulah sebabnya ketika bentrokan yang barusan terjadi, pedang bambunya tidak menjadi putus karena ketajaman pedang lawan. Begitu pedang bambu Bong Thian-gak digetarkan terpental ke belakang, tangan kirinya segera diputar kencang, pedangnya seperti seekor naga sakti yang sedang membalik badan, menyambar dari bawah ke atas langsung merobek lambung Ji-kaucu.
Pendekar Cacat 1880
Ilmu pedang yang sangat aneh dan luar biasa semacam ini pada hakikatnya di luar dugaan siapa pun juga. Mimpi pun Ji-kaucu tidak mengira gerak serangan Bong Thian-gak yang berhasil dibendung itu dalam waktu singkat telah berubah arah, menyergap bagian mematikan di tubuhnya. Sementara dia masih terperanjat menghadapi perubahan itu, tahu-tahu ujung pedang Bong Thian-gak sudah menempel di atas baju Ji-kaucu yang menutupi lambungnya. Dalam keadaan demikian, sekalipun ada malaikat turun dari kahyangan, rasanya tak mampu menolong Ji-kaucu lolos dari musibah ini. Bisa dibayangkan betapa cepatnya sambaran pedang jagojago lihai yang sedang bertarung. Waktu itu tiada kesempatan lagi bagi Ji-kaucu untuk memutar otak, mendadak hawa membunuh memancar dari wajahnya, pedangnya segera dibalik, lalu ditusukkan pula ke dada Bong Thian-gak. Dalam anggapan para jago, serangan pedang Ji-kaucu itu tak lebih cuma gerakan sia-sia, karena ancaman itu tak ada artinya. Padahal waktu itu serangan pedang Bong Thian-gak sudah hampir mengenai tubuh Ji-kaucu, andaikata menyerang pun Ji-kaucu tentu akan tewas lebih dulu di ujung senjata Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1881
Itulah sebabnya serangan Ji-kaucu ini pada hakikatnya tidak akan memberikan manfaat apa pun. Tapi siapakah yang dapat menduga kalau di balik serangan Ji-kaucu itu sesungguhnya ia sedang melakukan tindakan nekat mengajak lawan mengadu jiwa. Pedang tembaga berwarna hijau itu bukan saja dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai kehendak hati, bahkan bagian tengah pedang yang kosong itu telah dia isi dengan semacam cairan beracun yang bisa menyembur keluar apabila tombol rahasianya dipencet Di saat yang amat kritis itulah mendadak sesosok bayangan orang secepat sambaran kilat meluncur tiba, disusul segulung angin pukulan berpusing yang sangat kuat menumbuk tubuh Bong Thian-gak serta mementalkan tubuhnya hingga mencelat ke samping kanan. Tenaga pukulan yang maha dahsyat itu memiliki kekuatan sangat mengerikan. Bong Thian-gak merasa tubuhnya tak mampu dikendalikan lagi, setelah mencelat ke belakang, dia mesti mundur sebelum berhenti. Suara semburan air beracun bergema, dari ujung pedang Jikaucu memancar tiga gulung cairan hitam. Begitu jatuh ke atas tanah, segera tertampak asap hitam mengepul ke udara, dalam waktu singkat lantai berbatu itu sudah terbakar hangus hingga muncul bekas lekukan sedalam beberapa inci.
Pendekar Cacat 1882
Sesudah menyaksikan itu, Bong Thian-gak baru sadar bahwa orang itu telah menyelamatkan jiwanya. Tapi dia pun telah menyelamatkan jiwa Ji-kaucu. Tatkala sorot mata para jago dialihkan ke wajah pendatang itu, mendadak air muka mereka segera berubah menjadi pucat. Itulah mimik wajah kaget, ngeri, seram, tegang serta berbagai perubahan lainnya. Pendatang itu seorang kakek berbaju hijau yang memelihara jenggot berwarna hitam, berwajah segar dan berwibawa, akan tetapi bagi pandangan para jago dalam arena justru lebih menyeramkan dan mengerikan daripada melihat setan atau memedi. Bong Thian-gak menjerit kaget lebih dulu, "Thio Kim-ciok! Thio-locianpwe!" Kakek berjenggot hitam berbaju hijau itu memang tak lain adalah Thio Kim-ciok. Sementara itu dari balik sebuah pintu rahasia di tengah ruangan pelan-pelan berjalan keluar Song Leng-hui serta Thay-kun. Setelah suasana agak hening, Thio Kim-ciok baru berkata dengan suara hambar, "Bong-laute, tak ada artinya kau mengadu jiwa dengan lawan. Itulah sebabnya aku telah
Pendekar Cacat 1883
melancarkan Kun-goan-khi-kang untuk mendorongmu dari ancaman bahaya." Biarpun cuma beberapa patah kata yang sederhana, namun sudah menjelaskan betapa berbahayanya situasi waktu itu. Kemunculan Thio Kim-ciok membuat para jago merasa kaget dan bergidik, tapi juga merubah suasana di arena menjadi tegang dan menyeramkan. Ancaman pertempuran setiap detik dapat meledak di situ. Dari sekian jago yang hadir, kecuali Bong Thian-gak, Song Leng-hui serta Thay-kun tiga orang, empat orang dari sepuluh tokoh persilatan maupun Ho Lan-hiang serta Biaukosiu sekalian sama-sama telah meraba senjata masingmasing, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bong Thian-gak melayangkan pandangannya dan memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan kening berkerut dia berpikir, "Tampaknya semua telah bekerja sama untuk menghadapi Thio Kim-ciok." Dalam pada itu Thio Kim-ciok dengan mata yang memancarkan cahaya tajam telah memandang sekejap wajah orang-orang di situ, kemudian ujarnya dingin, "Mungkin kalian tak pernah mengira bukan kalau aku masih hidup di dunia ini?" Tio Tian-seng segera menghela napas panjang dengan nada sedih, sahutnya, "Ya, kenyataan kau memang masih hidup!"
Pendekar Cacat 1884
"Tio Tian-seng," kata Thio Kim-ciok lagi dengan suara dingin, "Aku tahu kau sudah menyesal, tapi Thio Kim-ciok tetap tak akan memaafkan dirimu." Kembali Tio Tian-seng tertawa pedih, "Aku tahu, Thio Kimciok adalah seorang yang berhati kejam, buas dan membunuh orang tanpa berkedip. Jangankan terhadap musuh-musuh besarmu, bahkan terhadap orang yang tiada sangkut-pautnya dengan dirimu pun sudah berapa banyak yang tewas di tanganmu." "Kalian semua tak akan lolos dari kematian!" ujar Thio Kimciok lagi dengan suara dingin dan menyeramkan. Tiba-tiba sinar matanya dialihkan ke wajah Ho Lan-hiang. Dalam pada itu sekulum senyum manis telah tersungging di ujung bibir Ho Lan-hiang, katanya dengan suara yang amat tenang, "Orang pertama yang hendak kau bunuh tentu diriku, bukan?" "Aku akan menghancur-leburkan tubuhmu serta mencincangnya," sahut Thio Kim-ciok dengan wajah dingin dan suara hambar. Kembali Ho Lan-hiang tertawa merdu, "Tiga puluh tiga tahun berselang kau tidak memiliki kemampuan untuk melukaiku. Tiga puluh tiga tahun kemudian, lebih-lebih jangan harap dapat melukai seujung rambutku." Pada saat itulah Bong Thian-gak dapat melihat Tio Tianseng, Tan Sam-cing, Liong Oh-im, Gi Jian-cau bersama Ho
Pendekar Cacat 1885
Lan-hiang, Ji-kaucu, serta Sim Tiong-kiu sekalian secara pelan-pelan telah bergerak maju mengurung Thio Kim-ciok rapat-rapat. Melihat itu, mendadak Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya sambil membentak nyaring, "Berhenti kalian semua. Bila ada yang berani maju selangkah lagi, jangan salahkan pedangku akan segera melukai orang." Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru, "Bukankah Bong-laute telah mengambil keputusan untuk melepaskan diri dari kancah pertikaian yang penuh dengan budi dan dendam ini?" Dengan suara dalam Bong Thian-gak membentak, "Mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak merupakan suatu perbuatan terkutuk serta memalukan." Tiba-tiba Thio Kim-ciok berpaling ke arah anak muda itu, lalu berkata sambil tertawa, "Bong-laute, dari sikap serta perbuatan mereka itu, tentu kau tak akan menyalahkan aku andaikata kubunuh mereka dari muka bumi?" "Thio-locianpwe berniat membantai semua orang yang ada di sini?" tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras. "Aku tidak dapat melepaskan seorang pun di antara sepuluh tokoh persilatan serta perempuan jalang itu."
Pendekar Cacat 1886
Bong Thian-gak menghela napas, kemudian katanya, "Thian maha penyayang. Apakah Thio-locianpwe tak merasa bahwa dendam yang kau perlihatkan sekarang telah melanggar ajaran Thian?" Thio Kim-ciok tertawa dingin, "Andaikan setiap umat persilatan di dunia ini dapat memahami apa artinya ajaran Thian, aku rasa tidak bakal terjadi lagi badai pembunuhan serta mengalirnya anyir darah dalam persilatan. Sepuluh tokoh persilatan mempunyai kedudukan yang agung dan terhormat, tetapi nyatanya mereka bisa juga melakukan perbuatan terkutuk yang amat memalukan itu." Bong Thian-gak sadar bahwa dia tak mampu lagi menghalangi niat Thio Kim-ciok untuk melampiaskan rasa dendam kesumatnya, maka setelah menghela napas panjang, dia pun bertanya, "Yakinkah Thio-locianpwe bahwa harapanmu itu bakal tercapai?" "Walaupun aku tidak mempunyai keyakinan sepenuhnya, namun dapat kupertaruhkan dengan selembar nyawaku." Mendadak terdengar Ho Lan-hiang yang berada di samping arena berseru sambil tertawa terkekeh-kekeh, "He si tua Thio, saat ini kau telah dikepung oleh semua jago. Aku tidak percaya kau masih mempunyai kesempatan untuk melarikan diri ke dalam alat rahasiamu." Dalam sekejap di empat penjuru sudah berdiri Tio Tianseng, Gi Jian-cau, Tan Sam-cing, Liong Oh-im, Ho Lan-hiang,
Pendekar Cacat 1887
Sim Tiong-kiu serta Ji-kaucu dengan senjata terhunus. Tampaknya pertarungan sengit tak bisa dihindari lagi. Bong Thian-gak segera berpikir, "Sanggupkah Thio Kim-ciok menandingi kerubutan tujuh jago lihai dunia persilatan ini?" Dengan pandangan sinis Thio Kim-ciok memperhatikan sekejap, kemudian berkata, "Kepungan kalian mirip barisan pembunuh yang dipakai untuk menghadapiku tiga puluh tiga tahun berselang, hanya sayang di sini sudah tak nampak beberapa wajah." "Thio Kim-ciok!" dengan wajah serius dan nada bersungguh-sungguh Tio Tian-seng berkata, "sebenarnya aku merasa malu untuk mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak, tapi aku pun tahu bahwa kau adalah seorang licik yang berhati busuk serta banyak akal muslihatnya. Oleh karena itu mau tak mau terpaksa kami harus mempergunakan cara mengembut yang tidak gagah ini untuk menghadapimu." "Andaikata aku merasa takut untuk menghadapi kerubutan kalian, tidak nanti aku menampilkan diri," sahut Thio Kimciok dingin. Liong Oh-im tertawa seram, "Thio Kim-ciok, kau mempunyai kemampuan seberapa besar hingga dapat menembus kepungan kami bertujuh?"
Pendekar Cacat 1888
"Andaikata aku berniat membunuh kalian, maka hal ini bisa aku lakukan secara mudah dan tak usah membuang tenaga." Belum habis perkataan Thio Kim-ciok, Thay-kun yang selama ini berdiri di samping menyela dengan suara merdu, "Di saat terjadinya gempa bumi yang menggetarkan seluruh permukaan gua tadi, seluruh alat rahasia dalam lorong bawah tanah ini sudah tertutup seluruhnya. Biarpun kalian sanggup membunuh Thio Kim-ciok saat ini, tetapi kalian sendiri pun tidak bakal terlepas dari Bu-lim-bong yang sudah tersumbat ini, akhirnya kalian bakal mampus juga karena kelaparan." Beberapa patah kata Thay-kun ini kontan membuat paras muka kawanan jago itu berubah hebat. Liong Oh-im segera tertawa licik, "Bagus, bagus sekali, kalau semua orang bisa mati bersama di dalam Bu-limbong, hal itu jauh lebih baik lagi." Dengan suara dingin menyeramkan Thio Kim-ciok berkata pula, "Aku tak ingin menyaksikan kalian mampus tanpa memberi perlawanan, aku pun tak ingin membiarkan kalian mampus dalam Bu-lim-bong ini." Beberapa patah katanya yang terakhir ini terasa sangat aneh dan bertentangan dengan apa yang dikatakan sebelumnya, tapi para jago mengerti, di balik semua itu tentu masih terdapat latar belakang lainnya.
Pendekar Cacat 1889
Sambil tertawa licik Liong Oh-im segera berkata, "Kalau begitu, tentunya jalan keluar dari Bu-lim-bong ini sesungguhnya bukan merupakan hasil karya Thio Kim-ciok bukan?" Thio Kim-ciok tidak menjawab, tapi Thay-kun telah berseru dengan suara merdu, "Betul, orang yang menggerakkan alat rahasia untuk menutup seluruh lorong rahasia dalam Bu-lim-bong ini bukan Thio-locianpwe, melainkan Hek-moong. Dia hendak mengurung kalian dalam Bu-lim-bong ini." Mendadak dari balik ruangan yang luas itu berkumandang kembali suara Hek-mo-ong yang dingin serta misterius itu, "Thio Kim-ciok, aku tidak menyangka kau bakal mengingkari janjimu sendiri." Thio Kim-ciok tertawa dingin, sahutnya dengan suara keras, "Hek-mo-ong, aku sama sekali tidak mengingkari janji, aku hanya tak rela membiarkan musuh-musuh besarku ini tewas di tanganmu." "Thio Kim-ciok!" kembali suara Hek-mo-ong berkumandang lagi, "apakah kau yakin dapat membinasakan Ho Lan-hiang bertujuh?" Thio Kim-ciok tertawa dingin, "Termasuk kau, berarti berjumlah delapan orang. Aku yakin tak seorang pun di antara kalian yang dapat meloloskan diri dalam keadaan selamat."
Pendekar Cacat 1890
Hek-mo-ong tertawa terkekeh, katanya, "Sebagai imbalan dari usaha bantuan membinasakan Ho Lan-hiang sekalian adalah janjimu menyerahkan peta rahasia tambang emas kepadaku dan sekarang kau telah berbalik ingin membunuh sendiri musuh-musuh besarmu itu. Apakah kau pun berniat membatalkan perjanjian di antara kita?" "Kita telah berjanji. Setelah kau membantu aku membinasakan Ho Lan-hiang sekalian, maka antara aku dan kau pun akan dilangsungkan pertarungan sengit yang akan menentukan mati hidup di antara kita," sahut Thio Kim-ciok dingin. "Tapi aku takut kemampuanmu sangat terbatas sehingga gagal membunuh Ho Lan-hiang sekalian, sebaliknya malah mencelakakan diri sendiri. Oleh sebab itu kuanjurkan kepadamu lebih baik serahkan saja penyelesaian nyawa mereka kepadaku." Dari tanya-jawab yang berlangsung antara Hek-mo-ong dan Thio Kim-ciok ini. Secara garis besar semua orang sudah mulai memahami apa yang sebenarnya direncanakan kedua orang yang berkomplot itu. Mendadak Tio Tian-seng membentak dengan suara keras, "Liu Khi, bila kau memang bernyali, ayo cepat keluar untuk berduel mati-matian denganku." "Hahaha," gelak tawa nyaring Hek-mo-ong segera bergema memenuhi seluruh ruangan. "Tio Tian-seng, tahukah kau bahwa di dasar tanah dalam ruangan dimana kalian
Pendekar Cacat 1891
berpijak sekarang telah ditanam beratus-ratus obat mesiu yang setiap saat dapat meledak? Bila kusulut sumbu mesiu itu, maka aku yakin dalam seperempat jam, kalian akan mampus dengan tubuh hancur berkeping-keping." Kawanan jago yang hadir dalam arena kontan terkesiap. Bong Thian-gak segera memandang sekejap ke arah Thio Kim-ciok, lalu tanyanya, "Thio-locianpwe, benarkah apa yang dikatakannya itu?" "Benar, di dasar lantai ruangan ini memang sudah ditanam obat peledak dalam jumlah besar. Seandainya benar-benar meledak, maka daya kekuatannya mampu menenggelamkan seluruh perkampungan ini ke dasar tanah." Mendengar sampai di sini. Bong Thian-gak segera menghela napas panjang, "Apa rencana Thio-locianpwe selanjutnya untuk menghadapi situasi demikian ini?" Tiba-tiba Thay-kun tersenyum, selanya, "Bong-suheng tidak usah kuatir, aku percaya Thio-locianpwe pasti sudah mempunyai rencana yang rapi untuk menghadapi semua itu." Dalam pada itu para jago yang berada di dalam ruangan bawah tanah itu tak berani bertindak lagi secara gegabah, mereka cuma bisa mengawasi wajah Thio Kim-ciok dengan mata terbelalak dan pandangan termangu.
Pendekar Cacat 1892
Mendadak terdengar lagi suara Hek-mo-ong berseru lantang dari balik ruangan, "Thio Kim-ciok, dengarkan baikbaik. Andaikata aku bertekad membatalkan niatku untuk mendapatkan rahasia peta bukit tambang emas itu dengan menyulut sumbu mesiu yang berada di sini, entah bagaimana perasaanmu?" Thio Kim-ciok tertawa dingin, "Seandainya kau berbuat demikian, maka kau sendiri pun tak akan terlepas dari ancaman kematian. Aku yakin dalam seperempat jam, kau tak akan mampu melepaskan diri dari sini serta menyingkir ke tempat yang lebih aman." "Bila aku sudah bertekad untuk mengadu jiwa, apa yang dapat kau lakukan?" "Aku rasa kau tidak bakal berbuat demikian," jengek Thio Kim-ciok sambil tertawa dingin. "Bagus, kalau begitu tunggu saja!" jengek Hek-mo-ong sambil tertawa seram. Begitu selesai berkata, di dalam ruangan itu sudah tak terdengar lagi suara Hek-mo-ong. Dengan wajah serius Thio Kim-ciok berkata dingin, "Bila Hek-mo-ong sudah memperhitungkan secara tepat bahwa dalam seperempat jam dia mampu meninggalkan Bu-limbong secara aman, maka pada saat itu dia pasti akan menyulut sumbu mesiu dan meledakkan perkampungan ini. Dan sekarang aku pun telah memutuskan akan mengajak
Pendekar Cacat 1893
kalian meninggalkan Bu-lim-bong ini, tapi di saat kalian telah meninggalkan Bu-lim-bong, saat itu juga aku akan mulai turun tangan membunuh setiap musuh besarku yang masih berkeliaran! Nah, apa yang kukatakan sudah selesai kuutarakan. Harap kalian mengikuti aku!" Selesai berkata, Thio Kim-ciok segera membalikkan badan dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dengan pedang terhunus, Liong Oh-im segera menghadang jalan perginya, sambil tertawa ia berseru, "Thio Kim-ciok, sesudah keluar Bu-lim-bong, kami pun tak punya kesempatan untuk melanjutkan hidup. Apa salahnya kita berduel saja di dalam Bu-lim-bong ini untuk menentukan siapa yang harus mampus di antara kita berdua?" "Pertarungan berdarah dalam Bu-lim-bong bisa menyebabkan semua yang hadir tewas," kata Thio Kim-ciok dingin, "tapi bila hal ini terjadi di luar Bu-lim-bong, maka keadaannya berbeda. Sekalipun akhirnya kalian akan mampus juga di tanganku, tapi paling tidak kalian masih dapat hidup lebih lama lagi." Tan Sam-cing tertawa dingin, serunya, "Thio Kim-ciok, bacotmu itu benar-benar kelewat besar dan takabur. Setelah keluar dari Bu-lim-bong nanti, Tan Sam-cing orang pertama yang akan mencoba ilmu silatmu." "Baik!" sahut Thio Kim-ciok sambil manggut-manggut, "sesudah meninggalkan Bu-lim-bong nanti, orang pertama yang akan kubunuh adalah kau."
Pendekar Cacat 1894
Ketika berbicara sampai di situ, Thio Kim-ciok sudah lewat di samping Liong Oh-im dan berjalan menuju ke sebuah lorong bawah tanah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, para jago mengikut di belakang Thio Kim-ciok memasuki lorong itu, makin ke dalam luas lorong itu bertambah lebar. Tapi suasana di situ pun makin lama semakin gelap sehingga akhirnya untuk melihat jari tangan sendiri pun susah. Bong Thian-gak bersama Thay-kun dan Song Leng-hui mengikut di belakang Thio Kim-ciok. Di saat mereka melewati lorong bawah tanah yang gelap gulita itu, suasana amat hening dan tak seorang pun yang berbicara, tapi perasaan setiap orang berat sekali, berbagai ingatan berkecamuk dalam benak mereka. Terutama mereka yang berjalan paling belakang seperti Ho Lan-hiang, malaikat sakti pedang iblis, tabib sakti, delapan pedang salju beterbangan serta sastrawan berwajah tampan. Masing-masing dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara saling merundingkan tindakan selanjutnya yang harus dilakukan setelah meninggalkan Bulim-bong, bagaimana caranya membinasakan Thio Kim-ciok dari muka bumi.
Pendekar Cacat 1895
Mendadak terdengar Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian bertanya, "Thio-locianpwe, benarkah kau harus membunuh mereka semua?" "Dendam sakit hati sedalam lautan cuma dapat dihapus dengan pembunuhan terhadap musuh-musuhnya," sahut Thio Kim-ciok hambar. "Apalagi sejak puluhan tahun berselang, aku punya rencana untuk menghabisi nyawa kesepuluh tokoh persilatan itu." Bong Thian-gak terkejut sekali, segera tanyanya, "Thiolocianpwe, apa maksudmu?" "Puluhan tahun berselang, di saat aku mengangkat kesepuluh tokoh persilatan menjadi guru untuk belajar silat, dalam hati kecilku sudah tumbuh niat dan ambisi untuk menguasai dunia persilatan." Ketika mendengar sampai di situ, Bong Thian-gak seolaholah teringat akan suatu persoalan, segera ujarnya, "Kalau begitu tindakan sepuluh tokoh persilatan membinasakan Locianpwe pada tiga puluh tiga tahun berselang adalah disebabkan..” Mendadak Bong Thian-gak menutup mulut dan tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi sambil tertawa dingin Thio Kim-ciok telah berkata, "Sesungguhnya sebab-musabab sepuluh tokoh persilatan bekerja sama membunuh diriku, selain dikarenakan mereka berzinah dengan istriku Ho Lan-hiang dan mengincar harta
Pendekar Cacat 1896
karun milikku. Tujuan utama ialah kuatir bila aku mengkhianati mereka sebagai guru serta menguasai seluruh dunia. Itulah sebabnya mereka turun tangan lebih dahulu." "Ku-lo Hwesio mempunyai pengetahuan yang paling luas di antara rekan-rekannya. Di saat ia mewariskan ilmu silat kepadaku dulu, rupanya ia berhasil menemukan tulang pemberontak yang tumbuh di atas kepalaku, merupakan pertanda bahwa di kemudian hari aku akan mengkhianati perguruan serta menciptakan bencana serta keonaran di seluruh dunia." "Apakah Thio-locianpwe benar-benar mempunyai niat semacam itu?" tanya Bong Thian-gak lagi dengan perasaan kaget. "Benar, di atas kepalaku memang tumbuh tulang pemberontak. Waktu itu aku memang berniat jahat serta bertabiat kejam, buas dan licik," jawab Thio Kim-ciok sambil tertawa seram. Ketika mendengar sampai di sini, tanpa terasa Bong Thiangak bergidik, katanya kemudian, "Apakah sampai kini tabiat Thio-locianpwe itu belum juga berubah?" Thio Kim-ciok tertawa dingin, "Merubah bukit dan alam itu mudah, tapi merubah watak sulit." Setelah memperdengarkan suara tawa dinginnya yang licik, keji dan buas, dia berkata lebih jauh, "Sepanjang hidupku,
Pendekar Cacat 1897
aku paling kagum terhadap seorang saja yaitu Thay-kun. Sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui bahwa aku adalah seorang raja pembunuh yang keji, buas dan licik. Tapi akhirnya Thay-kun mengizinkan juga Song Leng-hui menyembuhkan penyakitku agar Lohu dapat memiliki kembali kekuatan yang kumiliki dulu. Tapi dengan perbuatan Thay-kun itu, sama artinya telah menyelamatkan jiwa kalian semua. Sebab menuruti tabiatku, kalian pun jangan harap bisa lolos dari cengkeraman mautku." Tak terlukiskan rasa kaget dan ngeri Bong Thian-gak mendengar itu, mimpi pun dia tak menyangka Thio Kimciok sesungguhnya memang seorang jahat, buas, kejam dan licik bagai seekor ular berbisa. Tapi dari beberapa patah kata Thio Kim-ciok itu pula dia dapat merasakan juga bahwa badai pembunuhan berdarah sudah mengancam ketenangan dunia persilatan. Perasaan Bong Thian-gak waktu itu sangat berat dan masgul. Sebetulnya ia sudah bertekad tak akan mencampuri pertikaian itu, tapi sekarang tentu saja ia tak bisa berpeluk tangan menyaksikan Thio Kim-ciok membunuh sesamanya secara keji dan tak berperasaan. Tapi antara dia dan Thio Kim-ciok pun tak pernah terjalin perselisihan atau sakit hati apa pun, bagaimana mungkin ia dapat turun tangan mencegah dirinya membalas dendam terhadap sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang.
Pendekar Cacat 1898
Padahal sesungguhnya Ho Lan-hiang sekalian bukanlah manusia baik-baik, bukankah mereka pun merupakan gembong-gembong iblis yang keji, buas, cabul serta banyak melakukan kejahatan? Sementara Bong Thian-gak masih pusing memikirkan masalah itu, mendadak terdengar Thio Kim-ciok berteriak, "Hek-mo-ong telah mulai menyulut sumbu mesiu, seperempat jam lagi seluruh permukaan bumi ini akan tenggelam. Ayo cepat kabur dari sini, siapa tahu dapat meloloskan diri dari musibah?" Rupanya pada saat itu semua orang dapat menangkap suara sumbu mesiu dibakar. Di samping itu, hidung mereka pun dapat mengendus bau mesiu yang amat menusuk. Entah bagaimanakah sistim bangunan dalam lorong Bu-limbong itu, nyatanya begitu sumbu mesiu disulut, dalam waktu singkat api telah menutup setiap sudut lorong. Paras muka para jago segera berubah hebat, mereka sudah tak berminat lagi memikirkan bagaimana cara menghadapi Thio Kim-ciok. Tampak Thio Kim-ciok meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi, sementara para jago lainnya mengikut di belakangnya secara membabi-buta. ***
Pendekar Cacat 1899
23 AKHIR TRAGIS 10 TOKOH PERSILATAN
L
orong bawah tanah itu sangat gelap dan tak ada setitik cahaya pun, semua orang merasa telah menempuh suatu perjalanan yang amat jauh.
Mendadak terdengar Thio Kim-ciok berseru keras dari ujung lorong bawah tanah itu, "Tempat ini merupakan daerah perkampungan, sekarang aku akan menyulut sumbu mesiu yang tersembunyi di sini untuk meledakkan dinding batu di atas sana." Sambil berkata, tampak cahaya api memancar dalam lorong, tahu-tahu Thio Kim-ciok telah menyulut sebuah sumbu hitam sebesar jari tangan yang tergantung di atas dinding ruangan. Dalam waktu singkat cahaya api memancar kemana-mana, sumbu yang disembunyikan di atas dinding lorong pun mulai terbakar.
Pendekar Cacat 1900
Di antara kawanan jago yang hadir di situ, ada di antaranya yang tidak percaya kepada Thio Kim-ciok, namun sewaktu ingin menghalangi perbuatannya itu, keadaan sudah terlambat. Sementara itu terdengar Thio Kim-ciok telah berkata kembali, "Untuk mencapai pusat bahan peledak di atas dinding batu itu, kita membutuhkan waktu tiga menit. Seandainya dinding batu itu meledak sebelum bahan peledak di dasar lorong itu meletus, berarti kita akan mampus terkubur di tempat ini" Biarpun para jago tidak percaya penuh terhadap perkataannya itu, namun di saat jiwa terancam di depan mata, tak urung setiap orang merasakan juga hatinya berdebar keras. Puluhan pasang mata bersama-sama ditujukan ke atas sumbu mesiu yang sedang terbakar dan merambat ke atas dengan cepatnya itu. Dengan harap-harap cemas mereka berdoa agar api segera mencapai puncak dan meledakkan dinding batu di atas permukaan tanah. Biarpun waktu tiga menit itu sangat pendek, namun dalam perasaan mereka waktu itu lamanya bagaikan tiga tahun. Pada saat itulah terdengar Thio Kim-ciok berkata lagi, "Tindakan Hek-mo-ong menyulut sumbu mesiu di dasar lorong rupanya telah memperpanjang umur kalian semua."
Pendekar Cacat 1901
"Thio-locianpwe, apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak dengan tidak mengerti. "Kini sumbu mesiu di dasar lorong Bu-lim-bong telah menyala. Setiap saat bakal meledak hebat. Kekuatan yang tercipta akibat ledakan itu bisa menenggelamkan lorong ini dan kehebatan goncangan yang dihasilkan tak akan mampu dilawan oleh siapa pun. Oleh sebab itu, di saat dinding batu itu meledak nanti, bila kalian masih menginginkan nyawa, berlarilah sekuat tenaga melampaui lorong ini. Kalau tidak, kalian jangan harap bisa lolos dari ancaman maut." "Tapi dengan begitu berarti juga aku sudah tak punya kesempatan untuk membantai kalian semua. Bukankah ini berarti Hek-mo-ong telah memperpanjang nyawa kalian?" "Tapi setelah aku berhasil mencapai di atas, aku bakal balik kemari mencari kalian satu per satu serta membalas dendam." Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak terdengar suara ledakan yang dahsyat. Seluruh permukaan lorong bergoncang keras, disusul guguran batu dan tanah berhamburan di hadapan mereka, ternyata dinding di atas permukaan telah hancur berantakan dan sinar fajar memancar masuk ke dalam lorong itu. Di antara pasir dan debu yang beterbangan, Thio Kim-ciok sudah melompat keluar lebih dulu, kabur secepat-cepatnya
Pendekar Cacat 1902
menuju ke muka, sambil berlari kencang pekiknya, "Cepat kabur!" Semua jago yang berada dalam lorong bawah tanah segera berhamburan keluar dari liang ledakan yang merekah dan berusaha secepat-cepatnya melarikan diri dari tempat itu. Akibat saling berebutnya para jago menyelamatkan diri, akhirnya Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui malah ketinggalan paling akhir. Angin dingin berhembus, kabut amat tebal, rupanya kentongan kelima baru saja lewat, fajar pun mulai menyingsing dari ufuk timur. Bong Thian-gak serta Thay-kun dan Song Leng-hui berdiri sekejap di tepi liang, mereka saksikan bayangan orang sedang melarikan diri ke empat penjuru dengan kecepatan luar biasa dan lenyap di balik kabut pagi yang tebal. Bong Thian-gak berpaling ke sebelah barat. Di sana ternyata ada perkampungan. Menyaksikan itu, mereka menjadi tertegun. Apa yang baru saja dialaminya, serasa bagaikan dalam alam impian. Terdengar Thay-kun berseru cemas, "Bong-suheng, kemungkinan besar apa yang dikatakan Thio Kim-ciok itu benar, mari kita pergi secepatnya dari sini!"
Pendekar Cacat 1903
Dia segera menarik tangan Bong Thian-gak serta Song Lenghui, diajak kabur menjauhi ke arah timur. Dengan ragu-ragu Bong Thian-gak berkata, "Thio Kim-ciok adalah manusia licik dan banyak akal muslihatnya, semua perkataan maupun tindak-tanduknya sungguh membuat orang sukar untuk percaya." "Aku sendiri tidak percaya," sambung Song Leng-hui. "Andaikata apa yang dikatakan memang benar, ingin sekali kusaksikan peristiwa tenggelamnya lorong yang dimaksud." "Jika ingin melihat, paling tidak kita harus lari lebih dulu sebelum berhenti untuk menonton!" Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki ketiga orang ini memang amat sempurna, mereka meluncur cepat meninggalkan tempat itu. Pada saat itulah mendadak suatu ledakan dahsyat bergema memecah keheningan. Menyusul ledakan yang maha dahsyat ini, tampak jilatan lidah api membumbung tinggi ke tengah udara. Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui bertiga segera merasakan permukaan tanah bergoncang sangat keras bagaikan dilanda gempa bumi berkekuatan besar, kepala mereka jadi pusing, pandangan berkunang-kunang dan sepasang kaki mereka tak mampu lagi berdiri tegak di atas permukaan tanah.
Pendekar Cacat 1904
Menyaksikan itu, Thay-kun berseru dengan cemas, "Permukaan tanah akan tenggelam, kita harus segera melompat ke depan." Bong Thian-gak tidak menyangka peristiwa yang dianggap bagaikan dalam impian itu bakal berubah menjadi kenyataan, dalam terkejutnya mereka bertiga segera mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk berlari ke muka. Serentetan ledakan yang sangat dahsyat kembali bergema susul-menyusul. Bong Thian-gak telah melihat permukaan tanah di hadapannya merekah dan tenggelam akibat ledakan dahsyat itu. Cepat mereka bertiga menjejakkan kaki ke atas permukaan tanah yang belum tenggelam, lalu dengan sekuat tenaga melompat ke muka dan berlari kencang. Di saat ujung kaki mereka menjejak tanah untuk kedua kalinya, suatu kekuatan dahsyat telah menggelegar. Seluruh permukaan bumi bagaikan bergoncang keras, ketiga orang itu tak mampu berdiri tegak lagi dan segera terlempar ke atas tanah. Bumi bergoncang hebat membuat Bong Thian-gak, Thaykun serta Song Leng-hui merasakan kepala pusing, mata berkunang-kunang dan tak sanggup berdiri tegak.
Pendekar Cacat 1905
Terpaksa mereka harus merangkak di atas tanah, merangkak dengan sekuat tenaga menuju ke depan dan melawan goncangan tanah yang makin menghebat. Diam-diam Bong Thian-gak berpikir dalam hati, "Habis sudah riwayatku! Kami bertiga pasti akan terkubur untuk selamanya di sini." Sementara itu Thay-kun menggenggam tangan Song Lenghui, mereka berdua segera berteriak, "Engkoh Gak, dimanakah kau?" Bong Thian-gak mendongakkan kepala, ia saksikan kedua orang gadis itu tak jauh dari sisi tubuhnya, namun berhubung permukaan tanah bergoncang terlalu hebat mengakibatkan pandangan mata menjadi kabur dan kedua orang gadis itu tak sempat menjumpai dirinya. "Aku berada di sini," sahut Bong Thian-gak dengan suara keras. Sambil berteriak Bong Thian-gak berusaha keras merangkak ke depan dan menghampiri mereka, goncangan yang begitu dahsyat dan hebat membuatnya sama sekali tak mampu bergerak lagi. Pada saat itulah Thay-kun melihat Bong Thian-gak, sambil menangis teriaknya lagi, "Engkoh Gak, jika kita harus mati, biarlah kita bertiga dikubur bersama-sama. Kau cepatlah kemari!"
Pendekar Cacat 1906
Kedua gadis itu berusaha keras merangkak ke depan mendekati Bong Thian-gak. Tenaga goncangan yang makin menghebat itu membuat mereka tak sanggup lagi memberikan perlawanan. Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui merasakan tekanan udara yang menggencet tubuh mereka semakin bertambah berat. Mereka bertiga segera merasakan bernapas bertambah susah, kesadaran pun makin menurun.
kian
Rupanya pada saat itu permukaan tanah mulai tenggelam ke bawah. Tenggelamnya permukaan tanah menimbulkan pusaran angin yang sangat kuat membuat udara sekeliling situ membumbung ke atas, akibatnya udara sekeliling tempat itu menjadi kekurangan zat asam. ltulah sebabnya Bong Thian-gak bertiga merasa sukar untuk bernapas. Kembali terjadi ledakan yang maha dahsyat, diikuti goncangan ang sangat kuat. Matahari serasa tidak bersinar lagi, dunia seolah-olah berubah lenjadi gelap-gulita. Bong Thian-gak, Song Leng-hui serta Thay-kun tidak mampu menahan diri lagi, mereka jatuh tak sadarkan diri.
Pendekar Cacat 1907
Peristiwa aneh dengan tenggelamnya permukaan tanah ke dalam perut bumi pun tak sempat lagi mereka saksikan. Tatkala mereka sadar dari pingsannya. Pertama-tama yang masih dirasakan adalah bumi yang masih bergoncang serta kepala pening dan mata berkunang-kunang. Bong Thian-gak yang pertama-tama membuka mata lebih dulu. Ia saksikan langit nan merah, cahaya matahari yang lembut di langit sebelah barat, rupanya senja telah menjelang datang. Suasana dan pemandangan di sekeliling tempat itu pun sama sekali telah berubah. Tempat dimana mereka berada sudah dipenuhi air lumpur. Dari balik liang besar yang menganga bagaikan telaga, nampak asap putih yang panas masih mengepulkan asap seperti peristiwa timbulnya kawah api di pegunungan berapi. Menyusul Thay-kun dan Song Leng-hui sadar dari pingsannya, kedua nona ini segera dibuat tertegun dan melongo oleh pemandangan aneh yang terbentang di depan mata, tanpa terasa mereka bergumam, “nerakakah ini?" "Tidak, kita masih berada di alam semesta," sahut Bong Thian-gak mhil menghela napas sedih. "Musibah telah berlalu dan ternyata kita isih hidup di dunia ini."
Pendekar Cacat 1908
Andaikata waktu itu mereka berlari kurang cepat, niscaya tubuh mereka bertiga sudah mati terkubur di dalam perut bumi. Rupanya setelah mengalami ledakan dahsyat yang berakibat tenggelamnya tanah dalam perut bumi ini, tanah padang rumput kini telah berubah menjadi sebuah kubangan. Bukan cuma itu, pada permukaan tanah terjadi pula retakan bumi yang sangat besar, yang kecil menjadi selokan, sedangkan yang besar berubah menjadi sungai. Malah semua pepohonan tumbang, sedang rerumputan menjadi layu. Betapa dahsyat serta mengerikannya peristiwa ledakan yang baru saja berlangsung itu. Thay-kun memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan paras muka berubah hebat katanya sambil menghela napas, "Entah berapa banyak obat peledak yang telah ditanam Thio Kim-ciok pada dasar Bulim-bong itu? Nyatanya ledakan yang terjadi bisa berakibat tenggelamnya permukaan tanah. Ai! Bila dilihat dari rekahan tanah dan hancurnya bebatuan di sini, bisa diduga dasar Bu-lim-bong tentu sudah berubah menjadi sebuah gunung berapi kecil." Matahari senja masih memercikkan sinar, membuat permukaan tanah nampak merah membara.
Pendekar Cacat 1909
Bagaikan baru terlepas dari peristiwa mengerikan. Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui bertiga pelanpelan berjalan menuju ke arah timur dengan wajah kusut. Setelah mengalami peristiwa luar biasa ini, tampaknya perasaan mereka sudah dingin dan hambar. Persoalan apa pun yang terjadi di dunia persilatan sudah tak ada daya tarik lagi untuk mereka campuri. Dengan langkah yang lelah dan lemas, mereka keluar dari tempat itu mencari tempat terpencil untuk hidup mengasingkan diri. Mendadak terdengar suara pekikan nyaring yang amat keras berkumandang datang mengikuti hembusan angin. Dengan perasaan kaget dan terkesiap mereka bertiga segera mendongakkan kepala. Mereka saksikan ada seseorang sedang mengejar orang yang lain. Yang kabur sudah jelas pihak yang kalah, sambil berlari dia masih memberikan perlawanan gigih, namun rambutnya sudah terurai kusut. Meskipun pedang di tangannya berulang kali masih melancarkan serangan gencar dan mematikan, namun sudah jelas ia tidak mampu lagi menghadapi serangan maut pedang pendek lawan. Suatu ketika tampak cahaya pedang berkelebat, pedang pendek sang pengejar telah berhasil menghujam ke tubuh pihak yang kalah itu.
Pendekar Cacat 1910
Jeritan keras yang mengerikan pun bergema. Dengan langkah terhuyung-huyung orang yang menderita kekalahan itu melarikan diri terbirit-birit menuju ke hadapan Bong Thian-gak bertiga. Orang yang kalah bertarung itu sudah melihat dengan jelas paras Bong Thian-gak bertiga, kulit wajahnya nampak mengejang keras menahan penderitaan luar biasa, sementara sorot matanya memancarkan sinar merengek yang amat mengibakan. Mendadak Thay-kun berseru tertahan, "Ah, rupanya Tan Sam-cing Locianpwe!" Biarpun orang yang kalah bertarung itu sudah berlepotan darah di seluruh wajahnya hingga kelihatan amat menakutkan, namun Bong Thian-gak bertiga masih dapat mengenali dirinya. Dia memang tak lain adalah Tan Samcing, seorang di antara sepuluh tokoh persilatan. Sang pemenang dengan garang dan gagahnya melompat turun di hadapan lawan. Kembali Bong Thian-gak bertiga berseru tertahan, "Ah, rupanya Thio Kim-ciok Locianpwe." Betul, Thio Kim-ciok. Waktu itu tangan kanannya menggenggam pedang pendek yang memancar sinar putih berkilauan, wajah kelihatan dingin, kaku, sadis, buas dan mengerikan.
Pendekar Cacat 1911
Dalam pada itu Tan Sam-cing telah berseru dengan nada merengek, "Jian-ciat-suseng, tolonglah aku, bantulah diriku” Bong Thian-gak menggeleng dengan hambar, sahutnya dengan wajah serius, "Kami sudah tak ingin terlibat dalam kasus bunuh-membunuh yang berlangsung di antara kalian." "Tapi dia bukan cuma ingin membunuh sepuluh tokoh persilatan saja, dia pun akan membantai setiap umat persilatan yang ada di dunia ini," jerit Tan Sam-cing dengan perasaan kaget bercampur ketakutan. Thio Kim-ciok segera tertawa menghina, jengeknya, "Tan Sam-cing, bukankah kau nampak gagah dan perkasa selagi berada di dalam Bu-lim-bong tadi? Sungguh tak kusangka kau berubah menjadi begini lemah. Kasihan ... oh benarbenar mengenaskan. Siapa orangnya di dunia ini yang tidak merasa takut menghadapi kematian? Dan siapa pula yang bisa lolos dari maut? Aku rasa kau pun tak perlu menyesal lagi." Sampai di situ, pedang pendeknya yang sudah diangkat tinggi-tinggi itu pelan-pelan digerakkan ke bawah menusuk dada Tan Sam-cing. Tampaknya Tan Sam-cing sudah dalam keadaan tak mampu melakukan perlawanan lagi dan hanya bisa membelalakkan mata menyaksikan pedang pendek itu pelan-pelan menusuk ke tubuhnya.
Pendekar Cacat 1912
Perasaan ngeri, seram, ketakutan serta berbagai perasaan lainnya serentak bermunculan dari balik matanya. Ia nampak begitu mengenaskan, patut dikasihani dan sangat menyedihkan. Mendadak Bong Thian-gak berteriak, "Tunggu sebentar, Thio-locianpwe." Namun Thio Kim-ciok sama sekali tidak menggubris, pedang pendek di tangannya juga tidak berhenti karena teriakan Bong Thian-gak itu. Dalam waktu singkat mata pedang yang putih dan dingin telah menembus badan Tan Sam-cing, Ketika pedang pendek itu dicabut kembali, mata pedang masih kelihatan putih bersih bagaikan salju, tapi cairan darah segar telah memancar dari mulut luka di dada Tan Sam-cing. Jeritan ngeri yang memilukan hati pun berkumandang memecah keheningan. Jeritan yang begitu mengerikan sekali lagi bergema di luar dugaan siapa pun. Bong Thian-gak segera mengernyitkan alis sambil diamdiam berpikir, "Apa seramnya suatu kematian? Hm, namanya saja seorang jago silat yang tercantum dalam deretan sepuluh tokoh persilatan, mengapa baru terkena sekali tusukan saja ia sudah menjerit-jerit macam begitu? Sungguh tak tahu malu."
Pendekar Cacat 1913
Agaknya Thay-kun serta Song Leng-hui mempunyai perasaan yang sama. Dalam pada itu agaknya Thio Kim-ciok tak rela membiarkan Tan Sam-ceng menemui ajalnya dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, tusukan pedangnya sama sekali tidak tertuju ke bagian mematikan. Jerit kesakitan Tan Sam-cing itu bagi pendengaran Thio Kim-ciok justru mendatangkan perasaan gembira yang luar biasa, ia segera tertawa terbahak-bahak dengan penuh kegembiraan. Dengan nada seram dan ketakutan kembali Tan Sam-cing berseru, "Thio Kim-ciok, kumohon kepadamu cepatlah cabut nyawaku, janganlah kau siksa diriku lagi!" Thio Kim-ciok mendengus dingin, "Hm, tiga puluh tiga tahun berselang, racun Hok-teng-ang telah cukup membuatku tersiksa dan menderita. Siksaan yang kurasakan waktu itu benar-benar tak dapat diutarakan dengan perkataan, sekarang aku tak lebih cuma menusuk tubuhmu dengan sebilah pedang pendek, apakah siksaan dan penderitaan yang kau rasakan jauh lebih hebat daripada siksaan Hok-teng-ang?" "Pedangmu itu sudah kau rendam dengan racun keji," teriak Tan Sam-cing dengan ketakutan, "ketika menusuk ke dalam tubuh, rasa sakitnya bukan kepalang. Kau ... kau sangat keji, buas, tidak berperi¬kemanusiaan. Kumohon ...
Pendekar Cacat 1914
kumohon padamu, cepatlah hadiahkan sebuah pukulan lagi untuk menghabisi nyawaku secepatnya!" Tatkala Bong Thian-gak bertiga mendengar perkataan Tan Sam-cing ini, paras mukanya berubah hebat. "Thio-locianpwe, benarkah di atas pedangmu sudah kau olesi dengan racun?" Thay-kun segera menegur dengan suara ngeri. Thio Kim-ciok tertawa terbahak-bahak penuh rasa bangga, katanya, "Betul, pedangku ini merupakan sebilah pedang manusia cacat yang kuciptakan selama puluhan tahun dan direndam dalam sari racun selama banyak tahun. Bukan saja pedang ini mengandung seratus jenis racun yang keji, mata pedangnya amat tajam, bila tertusuk ke dalam tubuh manusia yang berdarah panas akan menimbulkan penderitaan dan siksaan yang tak terlukiskan." Baru sekarang Bong Thian-gak bertiga mengerti apa sebabnya Tan Sam-cing, jago tua yang gagah dan perkasa ternyata memperdengarkan suara jeritan kesakitan yang begitu memilukan walau hanya termakan sebuah tusukan saja. Dari sini dapatlah disimpulkan betapa kejam, buas dan jahatnya Thio Kim-ciok. Bila dia ingin membalas dendam, seharusnya sekali tusukan saja musuhnya dapat tertusuk mati, tapi dia tidak ingin berbuat demikian, dia hendak menyiksa lawannya secara
Pendekar Cacat 1915
keji dan buas, agar lawannya mati setelah menderita siksaan luar biasa. Berubah paras muka Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, ujarnya kemudian setelah menghela napas sedih, "Thiolocianpwe, buat apa kau menyiksa orang dengan cara begitu keji dan buas? Kumohon kepadamu, berilah sebuah kematian yang cepat untuk Tan Sam-cing!" Thio Kim-ciok tertawa seram, "Andai aku harus membunuh dalam sebuah tusukan, lebih baik aku tak usah membunuhnya. Hm! Kematian adalah suatu peristiwa yang amat sederhana, asal mata sudah terpejam maka segala sesuatunya tak diketahui lagi. Itulah sebabnya aku akan membuat musuh-musuh besarku merasakan siksaan dan penderitaan yang paling keji di kolong langit sebelum membiarkan dia mampus." "Bong-laute, sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jangan sekali-kali mencampuri urusan pribadiku atau aku pun akan menggunakan cara yang sama kejinya untuk membinasakan kalian." Seusai berkata, kembali Thio Kim-ciok menggunakan pedangnya menusuk lambung Tan Sam-cing. Penderitaan serta siksaan yang dialami Tan Sam-cing saat ini benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata. Tubuhnya seperti ditusuk-tusuk jarum tajam, kulit dagingnya serasa disayat pisau, penderitaannya seratus kali lipat lebih hebat daripada siksaan macam apa pun.
Pendekar Cacat 1916
Pedang manusia cacat mendatangkan siksaan dan penderitaan yang mengerikan. Mungkin hanya mereka yang pernah merasakan tusukan itu yang dapat melukiskan. Kembali Tan Sam-cing memperdengarkan jerit kesakitan yang memilukan, jeritannya seperti babi disembelih, mendatangkan perasaan ngeri dan seram bagi siapa saja yang mendengar. Tan Sam-cing tak sanggup menahan diri lagi, dia segera mengayun telapak tangannya siap menghabisi nyawa sendiri. Tapi pedang pendek Thio Kim-ciok segera diayunkan ke depan dan telapak tangannya pun terpapas kutung menjadi dua. Ketika ia mencoba menggigit putus lidahnya untuk bunuh diri, jari telunjuk tangan kiri Thio Kim-ciok kembali menotok jalan darah di atas gerahamnya sehingga mulut itu tak dapat tertutup. Pokoknya dia harus merasakan siksaan keji lebih dulu sebelum mengakhiri perjalanan hidupnya. Akhirnya Tan Sam-cing menemui ajal. Di atas tubuhnya, seluruhnya terdapat empat puluh dua tusukan pedang.
Pendekar Cacat 1917
Sejak tusukan pertama pedang manusia cacat menembus tubuh Tan Sam-cing, dia harus merasakan siksaan dan penderitaan selama tiga jam sebelum akhirnya mati secara mengenaskan. Segala penderitaan dan siksaan tak bakal mempengaruhi dirinya lagi. Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui telah menyaksikan cara membunuh orang yang paling sadis, kejam dan buas yang pernah ada di dunia ini. Mereka tak mampu mencegah perbuatan keji Thio Kim-ciok dan hal ini telah mendatangkan perasaan menyesal yang amat mendalam bagi perasaan mereka. Suatu kejadian yang amat memalukan, karena sebagai seorang pendekar dari golongan lurus, mereka berpeluk tangan membiarkan orang lain menderita dan terpaksa mati secara keji dan sadis! Selesai membinasakan Tan Sam-cing, Thio Kim-ciok berkata, "Bong-laute, keteguhan imanmu sungguh mengagumkan, akhirnya kau tidak mencampuri urusanku serta mendatangkan kesulitan bagi dirimu sendiri. Aku merasa amat kagum." Dengan suara hambar Bong Thian-gak bertanya, "Agaknya Tan Sam-cing adalah korban pertama Thio-locianpwe setelah meninggalkan lorong bawah tanah Bu-lim-bong?"
Pendekar Cacat 1918
Thio Kim-ciok mendesis dingin, "Hitung-hitung Tan Samcing memang termasuk orang yang bernyali. Tatkala daratan itu sudah tenggelam, dia tidak berusaha melarikan diri dari sini, sebaliknya justru datang sendiri mencari aku. Itulah sebabnya dia menempati urutan pertama sebagai korbanku." "Siapa pula yang akan menjadi korbanmu yang kedua?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan nada serius. Thio Kim-ciok tertawa terbahak-bahak. "Mungkin orang itu adalah sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im!" Sementara itu Song Leng-hui telah berkata pula dengan air mata bercucuran, "Thio-locianpwe, kumohon padamu janganlah membunuh orang lagi, sebab setiap kali kau membunuh orang, sama artinya dengan aku yang telah membunuh orang itu." Thio Kim-ciok tertawa terbahak-bahak pula, "Benar, engkaulah yang telah menciptakan diriku menjadi seorang raja baru di dunia persilatan, kau mestinya merasa bangga kepada semua orang dan menjadi seorang sombong karena kemampuanmu. Nona Song, apa pula yang kau sedihkan?" "Raja pembunuh ... raja baru dunia persilatan? Apakah kau ingin menguasai seluruh jagat?" tanya Thay-kun terkejut.
Pendekar Cacat 1919
Thio Kim-ciok tertawa tiada hentinya, "Yang menjadi ambisiku bukan menjadi seorang raja dalam Kangouw saja, tapi seorang kaisar kerajaan besar. Hahaha, tatkala aku sudah selesai menyiksa serta membunuh segenap musuhmusuhku, maka mata pedangku akan kutunjukkan kepada dinasti kerajaan ini. Aku akan mengumpulkan pasukan dan memberontak. Waktu itu aku tentu membutuhkan banyak sekali tenaga dukungan dan bantuan dari kaum muda yang pintar dan berbakat macam kalian. Andaikan kalian bertiga memiliki pula ambisi sebesar itu, silakan membantu usahaku ini, mari kita bekerja sama membangun satu kerajaan baru di negeri ini." Thay-kun, Bong Thian-gak serta Song Leng-hui menjadi tertegun dan berdiri terbelalak dengan mulut melongo. Saat itu Bong Thian-gak sekalian baru mengerti apa sebabnya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si rela melakukan perbuatan terkutuk dengan berusaha membinasakan Thio Kim-ciok. Mengusir bangsa Tartar dan memulihkan kembali bangsa dan negara dari kaum penjajah memang merupakan tugas suci setiap insan yang merasa dirinya bangsa Han. Tapi dengan kekejaman, kebuasan serta kesadisan manusia macam Thio Kim-ciok ini, bukan saja tidak akan berhasil menciptakan pekerjaan besar demi kesejahteraan masyarakat, bahkan sebaliknya akan membawa setiap orang terjerumus ke dalam penderitaan dan siksaan yang tak terhingga.
Pendekar Cacat 1920
Bong Thian-gak bertiga bukan manusia bodoh yang mudah dipedaya begitu saja, sudah barang tentu mereka pun dapat melihat bahwa Thio Kim-ciok bukanlah juru selamat yang akan membawa rakyat bangsa Han menuju ke suatu kehidupan yang lebih cerah. Oleh karena itu bukan saja Bong Thian-gak bertiga tidak dapat membantu usaha Thio Kim-ciok, malahan sebaliknya perkataan dan ungkapan ambisi orang itu telah membangkitkan hawa membunuh dalam hati mereka. Ketiga muda-mudi itu tahu dalam kehidupan bermasyarakat yang cinta damai ini, jangan sekali-kali raja setan pembunuh manusia semacam ini dibiarkan hidup terus. Akan tetapi Bong Thian-gak sekalian pun sadar bahwa ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, tak mungkin kekuatan mereka bertiga mampu melenyapkan dia pada saat ini. Thio Kim-ciok sendiri pun bukan seorang bodoh. Dari perubahan wajah serta cara bicara ketiga muda-mudi itu, dia mengerti bahwa Bong Thian-gak sekalian tak bakal membantu ambisinya itu. Maka sesudah tertawa terbahak-bahak, katanya, "Biarpun aku termasuk orang yang keji, tapi dalam kehidupan seharihari aku dapat membedakan mana budi dan dendam. Asalkan Bong-laute sekalian tidak berniat mencampuri urusan dunia persilatan lagi, maka aku pun tak akan
Pendekar Cacat 1921
mengusik kalian, lebih baik kalian bertiga hidup mengasingkan diri di tempat terpencil dan tak usah mengurusi masalah lain. Tapi ingat, satu kali kalian berniat mencampuri urusan dunia persilatan, maka aku pun tak akan diam. Nah, sampai ketemu lagi di lain waktu." Begitu selesai berkata, Thio Kim-ciok segera melejit ke tengah udara dan beberapa kali loncatan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Senja makin redup, angin dingin berhembus kencang, suasana di jagat raya ini terasa seram dan mengerikan. Memandang mayat Tan Sam-cing yang terkapar di atas tanah dalam keadaan mengerikan itu, Bong Thian-gak menghela napas sedih seraya berkata, "Thay-kun, kita harus berusaha keras mencegah perbuatan Thio Kim-ciok melakukan pembunuhan lebih lanjut." "Masih untung kita tidak berusaha menghalangi perbuatannya hari ini. Kalau tidak, mungkin kita pun tak akan lolos dari musibah ini," sahut Thay-kun hambar. Kembali Bong Thian-gak menghela napas, "Tapi apakah kita harus membiarkan seorang raja iblis pembunuh manusia membantai orang dengan semena-mena?" "Perbuatan Thio Kim-ciok yang mencari balas terhadap sepuluh tokoh persilatan bukanlah suatu perbuatan berdosa."
Pendekar Cacat 1922
"Thio Kim-ciok mempunyai tulang pemberontak di kepalanya, ambisi yang terkandung dalam dadanya sudah bukan melulu menguasai dunia persilatan. Dengan kepandaian silat yang dimilikinya serta didukung oleh kekayaannya yang berlimpah-ruah, dia benar-benar bisa mengumpulkan tentara untuk memberontak serta membuat keonaran dimana-mana, dia akan menciptakan suatu badai pembunuhan yang mengerikan di negeri ini." "Ya, siapa pun di dunia ini memang tak akan kenal puas," ucap Thay-kun sambil manggut-manggut. "Bisa jadi Thio Kim-ciok akan mewujudkan ambisinya mengumpulkan pasukan serta melakukan pemberontakan." "Tapi bila kita bertiga ingin mencampuri urusan ini, kemungkinan besar kita pun akan tewas secara mengerikan di ujung pedang iblis Thio Kim-ciok." "Apabila kita bisa bekerja sama dengan Tio Tian-seng sekalian, aku pikir kita masih mampu melawan Thio Kimciok," kata Bong Thian-gak dengan suara dalam. Thay-kun segera tersenyum. "Bila ingin menandingi Thio Kim-ciok, kita butuh bantuan dari orang-orang berkepandaian silat macam Tio Tian-seng sebanyak enam-tujuh orang. Dengan himpunan kekuatan sebesar ini, Thio Kim-ciok baru bisa ditanggulangi." "Sekarang dengan kekuatan kita bertiga, ditambah Tio Tianseng atau sastrawan berwajah tampan, berarti kita masih
Pendekar Cacat 1923
kekurangan tenaga satu dua orang lagi. Apakah kita pun harus bekerja sama dengan Ho Lan-hiang?" "Kebusukan dan kesesatan Ho Lan-hiang rasanya tidak kalah dengan kejahatan Thio Kim-ciok," kata Bong Thiangak dingin. "Benar," sambil tersenyum Thay-kun manggut-manggut. "Bukan hanya Thio Kim-ciok seorang dalam persilatan ini yang bisa mendatangkan bencana dan kemusnahan bagi umat persilatan. Itulah sebabnya kita wajib memberi kesempatan kepada Thio Kim-ciok untuk membantai habis manusia-manusia seperti Hek-mo-ong dan Ho Lan-hiang sekalian." "Tetapi orang kedua yang akan dibunuh Thio Kim-ciok adalah Liong Oh-im bukan Hek-mo-ong atau Ho Lan-hiang seperti yang kau maksudkan." "Di sinilah kecerdikan serta perhitungan Thio Kim-ciok yang hebat, dia memang sengaja menjadikan sastrawan berwajah tampan menjadi korbannya yang kedua, karena dia kuatir Liong Oh-im akan bekerja sama dengan orang lain." "Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?" Thay-kun termenung sebentar, kemudian katanya, "Gaksuheng, menurut pendapatku, lebih baik kita mengundurkan diri saja dari keramaian dunia persilatan."
Pendekar Cacat 1924
Lalu ia memandang sekejap ke arah Song Leng-hui, terusnya lebih jauh, "Kini adik Hui sudah berbadan dua. Andaikata Suheng mengalami sesuatu yang tak diinginkan, bagaimana pula dengan nasib adik Hui?" Bong Thian-gak terperanjat sekali, tapi sebelum ia sempat berkata, terdengar Song Leng-hui berkata pula, "Enci Thaykun, setiap kali Thio Kim-ciok membinasakan satu orang, sama artinya dengan akulah yang melakukan pembunuhan itu. Bagaimana pun juga aku harus membuat Thio Kim-ciok mati atau paling tidak tubuhnya cacat." "Aku harus berbuat demikian, sebab dengan begitu hati nurani baru merasa tenteram." "Ucapan adik Hui memang benar," sambung Bong Thiangak pula. "Biarpun tubuh kita hancur-lebur, kita mesti berupaya membinasakan Thio Kim-ciok." Mendengar perkataan itu, Thay-kun segera menghela napas panjang, "Ai, kalau begitu mari kita cepat pergi dari sini!" "Kita harus pergi kemana?" tanya Bong Thian-gak dengan wajah tertegun. "Pergi mencari Tio Tian-seng." "Tapi kemanakah kita harus mencarinya?"
Pendekar Cacat 1925
"Dunia begini luas, tentu saja harus mencarinya di empat penjuru!" Saat ini Bong Thian-gak sendiri tak tahu dimana Tio Tianseng berada. Oleh sebab itu mereka mengambil jalan menuju ke timur. Tiga-empat hari sudah lewat, perjalanan cepat ditempuh tiada hentinya, penyelidikan dilakukan di sana-sini, akan tetapi Bong Thian-gak sekalian belum berhasil juga menemukan jejak Tio Tian-seng sekalian. Orang-orang itu bagaikan batu yang tenggelam di tengah samudra, hilang lenyap begitu saja. Hari ini Bong Thian-gak mengajak kedua nona Itu menginap di sebuah rumah penginapan. Sambil bermuram-durja Bong Thian-gak duduk termenung di bawah lampu. Tiba-tiba Thay-kun dan Song Leng-hui muncul dalam ruangan, Bong Thian-gak segera berpaling dan memandang sekejap, ujarnya sambil menghela napas, "Satu hari kembali sudah lewat!" "Suheng," tiba-tiba Thay-kun berkata dengan penuh rahasia, "bila dugaanku tidak keliru, tengah malam nanti kita akan mendapat kabar." "Sumoay, kalau begitu kalian tidurlah cepat," seru Bong Thian-gak sambil menghembuskan napas panjang.
Pendekar Cacat 1926
"Engkoh Gak," kata Song Leng-hui pula dengan suara lembut, "tengah hari tadi enci Thay-kun telah menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, agaknya gerak-gerik kita sudah diikuti orang selama dua hari lebih." Bong Thian-gak kelihatan terperanjat sekali, serunya kaget, "Ada orang menguntit kita? Mengapa aku tidak merasa sama sekail?" "Tampaknya orang yang mengikuti kita punya gerak gerik yang lihai dan luar biasa," Thay-kun menerangkan. "Padahal aku sendiri pun hanya berhasil menemukan tanda-tanda rahasia yang ditinggalkan olehnya setiap kali dia menguntit kita sampai di suatu tempat, sementara bayangan tubuhnya sendiri tidak kutemukan sama sekali." Ketika mendengar ucapan itu. Bong Thian-gak segera berseru, "Thay-kun, apakah tanda yang kau maksudkan itu adalah kupu-kupu warna putih?" "Benar, memang kupu-kupu putih. Masih ingatkah Suheng bahwa di setiap sudut dinding rumah penginapan yang kita tempati ini selalu terdapat lukisan kupu-kupu yang dibuat dengan kapur?" "Tapi siapakah yang menggunakan lambang kupu-kupu putih?" seru Bong Thian-gak. Dengan cepat Thay-kun menggeleng kepala, katanya, "Siapakah si kupu-kupu putih itu sampai sekarang belum kuketahui, tapi aku percaya si kupu-kupu putih ini pastilah
Pendekar Cacat 1927
orang yang dikirim oleh salah satu di antara sepuluh tokoh persilatan untuk menghubungi kita." "Darimana Sumoay bisa berkata seyakin ini?" seru Bong Thian-gak dengan kening berkerut. "Sebab selama beberapa hari terakhir ini, kita selalu berusaha mencari berita Tio Tian-seng, Gi Jian-cau serta Liong Oh-im sekalian. Bisa jadi berita ini pun sudah terdengar oleh Tio Tian-seng sekalian, karena mereka ingin membuktikan apakah berita itu benar atau tidak, maka dikirimnya seseorang untuk menguntit kita." Bong Thian-gak menggeleng, katanya, "Sumoay, perkataanmu makin membingungkan. Kalau Tio Tian-seng sekalian sudah tahu kita sedang mencari jejaknya, mengapa mereka tidak secara langsung menampakkan diri serta bertemu dengan kita?" "Karena Tio Tian-seng sekalian tetap kuatir kita menjadi antek Thio Kim-ciok." Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak baru mengerti, segera serunya, "Ya benar, Tio Tian-seng sekalian pasti akan mencurigai hal ini." Dengan wajah murung dan masgul, Thay-kun segera berkata lebih jauh, "Dan aku yakin pada saat ini pun Thio Kim-ciok berusaha keras menemukan Tio Tian-seng sekalian."
Pendekar Cacat 1928
Bong Thian-gak menjadi terkejut, serunya kemudian, "Andaikata Thio Kim-ciok menguntit di belakang kita, bukankah urusan akan bertambah runyam?" "Ya, benar, andaikata hal ini sampai terjadi, maka kita telah menjadi pembantu Thio Kim-ciok." "Ai, semoga saja persoalan ini tidak sampai berkembang menjadi semacam itu." Thay-kun segera memandang sekejap keadaan cuaca di luar jendela, kemudian katanya lagi, "Kentongan ketiga sudah hampir tiba, aku rasa si kupu-kupu putih segera akan menampakkan diri untuk berhubungan dengan kita." "Benarkah si kupu-kupu putih akan muncul?" "Bagi umat persilatan yang seringkah melakukan perjalanan, berlaku suatu peraturan di antara mereka, yaitu bila dia sedang menguntit seseorang untuk menyelidiki apakah dia teman sealiran, maka orang itu pasti akan melakukan pengintaian selama tiga hari tiga malam sebelum menampakkan dirinya dan seandainya orang itu adalah musuh yang dicari, setelah penguntitan itu dia baru akan turun tangan." Baru saja Thay-kun bicara sampai di situ, mendadak dari luar ruangan bergema suara langkah kaki manusia, disusul seseorang mengetuk pintu sambil menyapa, "Bongsiangkong, apakah kau sudah tidur?"
Pendekar Cacat 1929
"Siapa?" tegur Bong Thian-gak sesudah tertegun sejenak. "Pelayan," sahut orang yang berada di luar. Sebelum Bong Thian-gak sempat menjawab, Thay-kun telah berseru dengan cepat, "Ada urusan apa? Cepat masuk." Pintu itu memang tak dikunci, maka sesosok bayangan orang segera bekelebat masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang lelaki berdandan pelayan. Bong Thian-gak sekalian sebagai jago lihai memiliki ketajaman mata luar biasa, di saat lelaki itu menyelinap masuk ke dalam tadi, mereka sudah dapat melihat bahwa orang ini bukan seorang pelayan yang sebenarnya. Dia seorang lelaki kekar yang amat cekatan sekali, begitu masuk ke dalam ruangan, sambil menjura segera katanya, "Harap Bong-siangkong sudi memaafkan, hamba bernama Tan Long." "Tan-heng, ada urusan apa kau datang berkunjung di tengah malam buta begini?" pelan-pelan Bong Thian-gak bertanya. Dengan sorot matanya yang tajam. Tan Long memandang sekejap ke arah Thay-kun serta Song Leng-hui, kemudian sahutnya, "Kalau tak ada urusan penting tentu tidak akan berkunjung ke kuil Sam-po-tian. Aku mendapat titipan dari seseorang untuk mengundang kalian bertiga menjumpainya."
Pendekar Cacat 1930
"Tolong tanya, Tan-cuangsu dapat titipan dari siapa?" tanya Thay-kun sambil tersenyum. Menurut perkiraan Bong Thian-gak bertiga semula, Tan Long bukan lain adalah orang yang meninggalkan tanda kupu-kupu di atas dinding ruangan. Tapi sekarang tampaknya di belakang layar masih terdapat seorang yang lain. Lalu siapakah manusia yang bernama kupu-kupu putih itu? Ada urusan apa si kupu-kupu putih mencarinya? Sambil tertawa Thay-kun berkata, "Dapatkah Tan-cuangsu mempersilakan si kupu-kupu putih yang datang kemari?" Pada wajah Tan Long segera muncul perasaan serba susah, sahutnya. "Berhubung gerak-gerik si kupu-kupu putih kurang leluasa, maka tolong kalian bertiga saja yang datang ke sana." "Apakah kita akan berangkat sekarang juga?" tanya Thaykun. "Ya, lebih cepat memang lebih baik." "Kalau memang begitu, mengajak kita ke sana!"
harap
Tan-cuangsu
segera
Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui segera mengikuti lelaki yang mengaku bernama Tan Long ini
Pendekar Cacat 1931
meninggalkan rumah penginapan, mereka berempat menuju keluar kota dan menempuh perjalanan cepat selama lebih kurang setengah jam. Tiba-tiba Tan Long menghentikan langkah. Dengan heran Bong Thian-gak bertanya, "Sudah sampaikah, Tan-heng?" Dengan cekatan Thay-kun melayangkan pandangannya sekejap memperhatikan sekeliling tempat itu. Rupanya tempat itu merupakan tanah hutan yang sepi dan penuh semak-belukar liar, tak nampak setitik cahaya lentera pun. Dia mengernyitkan alis sambil berpaling memperhatikan wajah Tan Long dengan seksama. Sementara itu Tan Long memperlihatkan rasa kaget bercampur heran, lalu bisiknya, "Aduh celaka, kita telah dikejar orang." "Darimana kau bisa tahu?" tanya Bong Thian-gak setelah tertegun sejenak. Rupanya sejak mereka meninggalkan rumah penginapan hingga kini, Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak merasakan kalau ada orang yang sedang menguntit jejak mereka. Dengan suara dalam Tan Long berkata, "Benar, kita telah dikejar dan diawasi, si penguntit mempunyai gerak-gerik
Pendekar Cacat 1932
yang amat rahasia dan secepat bayangan iblis. Tadi pihak lawan berhenti di balik kegelapan di tepi jalan sana, namun dalam sekejap mata bayangan itu sudah lenyap." "Tan-heng, mungkin syarafmu sudah terganggu," jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Seraya berkata, pemuda itu segera berjalan menuju ke arah pohon di hadapannya itu. Mendadak terdengar Bong Thian-gak menjerit kaget, secepat kilat tubuhnya menerjang ke arah tempat gelap itu. Thay-kun serta Song Leng-hui bergerak pula mengejaran dari belakang, seru mereka hampir bersamaan, "Apa yang telah ditemukan?" Tapi dengan cepat kedua nona itu sudah melihat di bawah pohon besar itu tergantung sesosok mayat. Mayat itu menyeramkan sekali, dia mati dengan mata melotot dan lidah melelet keluar, sangat mengerikan sekali tampangnya. Akan tetapi setelah menyaksikan raut wajah orang itu, Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui segera menjerit kaget sambil mundur tiga langkah dengan perasaan ngeri. Yang membuat mereka kaget bukanlah tampang sang korban yang menyeramkan, melainkan wajah mayat itu.
Pendekar Cacat 1933
Dengan suara gemetar Bong Thian-gak segera berseru, "Sungguh tak nyana secepat ini Liong Oh-im menemui ajalnya." Biarpun berada dalam kegelapan, namun dengan ketajaman mata beberapa orang itu, mereka masih dapat melihat dengan jelas tampang sang korban. Memang tak salah, mayat yang mati digantung ini bukan lain adalah sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im. Sebagaimana diketahui, Thio Kim-ciok pernah berkata bahwa orang yang akan menjadi korban kedua adalah Liong Oh-im dan satu hal yang mengerikan adalah Liong Oh-im memang menemui ajalnya dalam waktu singkat.
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, kini Liong Ohim telah mati. Entah siapakah yang akan menjadi korban berikutnya dari pedang manusia cacat Thio Kim-ciok?" Mendadak terdengar Thay-kun berseru tertahan, lalu dengan langkah cepat berjalan mendekati mayat yang tergantung itu. Kemudian setelah diperiksa beberapa saat, dia berseru, "Liong Oh-im bukan tewas di tangan Thio Kimciok." "Lalu tewas di tangan siapa?" tanya Bong Thian-gak tertegun.
Pendekar Cacat 1934
Dengan wajah serius Thay-kun berkata, "Rasa benci Thio Kim-ciok terhadap sepuluh tokoh persilatan boleh dibilang merasuk ke tulang sumsum. Dari sikap Thio Kim-ciok ketika membantai Tan Sam-cing sedemikian kejinya, bisa diduga Liong Oh-im tak akan mampus dengan tubuh utuh. Oleh sebab itu dapat disimpulkan kalau kematian Liong Oh-im bukan disebabkan pedang manusia cacat Thio Kim-ciok." Seperti memahami akan sesuatu, Bong Thian-gak segera berpikir, "Ya, benar juga! Dari luka yang menyebabkan kematian Liong Oh-im, dimana wajahnya hitam gelap dan tidak ditemukan luka luar yang mematikan, jelas kematiannya dikarenakan terjerat seutas kawat baja yang kuat pada lehernya. Tapi siapakah yang memiliki kemampuan sehebat ini sehingga dalam sekali gerakan saja berhasil menggantungnya sampai mati?" Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, setelah itu tanyanya, "Suheng, dapatkah kau ketahui apa yang menyebabkan kematiannya?" Bong Thian-gak menggeleng kepala. "Pada hakikatnya aku tak berani percaya kalau kematian Liong Oh-im disebabkan jeratan kawat baja di lehernya itu. Ilmu silat yang dimiliki Liong Oh-im sangat hebat dan dia bukan seorang jago silat biasa yang mudah dirobohkan begitu saja. Siapakah yang mempunyai kemampuan sehebat ini untuk menjerat lehernya serta menggantungnya sampai mati?"
Pendekar Cacat 1935
Thay-kun menggeleng pula, katanya, "Luka yang menyebabkan kematian Liong Oh-im bukan jeratan kawat baja pada lehernya itu, tetapi karena serangan sejenis racun yang amat dahsyat daya kerjanya, dia mati karena keracunan. Liong Oh-im baru digantung setelah dia putus nyawa." Bong Thian-gak nampak ragu-ragu, kemudian dia maju mendekat dan bermaksud membopong jenazah itu serta memeriksanya dengan lebih seksama. Mendadak ia mendengar Thay-kun berseru dari belakang tubuhnya, "Suheng, jangan kau sentuh mayat itu." Dengan terkesiap Bong Thian-gak tangannya, lalu bertanya, "Mengapa?"
segera
menarik
"Seluruh tubuh Liong Oh-im telah ternoda oleh racun yang maha keji, bila kita menyentuh tubuhnya dengan tangan atau menyentuh salah satu bagian pakaian yang dikenakan, niscaya kita pun akan keracunan juga." Bong Thian-gak mengamati wajah Thay-kun lekat-lekat, lalu tanyanya, "Apakah kita biarkan mayat itu diterjang air hujan dan dikeringkan panasnya matahari?" "Kita kan bisa memutus kawat penggantung itu dengan pedang, lalu mengubur jenazahnya tanpa menyentuh badan atau pakaiannya."
Pendekar Cacat 1936
Mendadak Bong Thian-gak berpaling, lalu berseru tertahan, "Mana Tan Long?" Ternyata Tan Long yang semula berdiri di belakang mereka kini sudah lenyap, entah sejak kapan dia telah pergi meninggalkan tempat itu? Thay-kun dan Song Leng-hui merasa heran juga atas kepergian Tan Long yang tanpa pamit itu. Thay-kun yang cekatan dan banyak curiga segera teringat akan satu hal, cepat dia berseru, "Suheng, kemungkinan besar kita telah terperangkap oleh siasat lawan. Mulai sekarang kita harus meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi segala kemungkinan." Belum selesai perkataan itu diutarakan, Bong Thian-gak telah berteriak kaget lagi, "Mayat tergantung! Di atas pohon itupun terdapat sesosok mayat yang mati tergantung." Rupanya di atas sebatang pohon Pek-yang yang tinggi, tampak pula sesosok mayat yang mati tergantung, mayat itu masih bergoyang kian kemari karena terhembus angin. Song Leng-hui berteriak pula keheranan, "Ketika kita masih berada di sana tadi, mengapa tak nampak mayat itu?" Di saat Bong Thian-gak, Tan Long, Thay-kun dan Song Lenghui berempat berhenti di pohon Pek-yang tadi, di situ mereka tidak melihat ada mayat yang mati tergantung.
Pendekar Cacat 1937
Paras muka Thay-kun segera berubah hebat, tiba-tiba dia berseru, "Aduh celaka, jangan-jangan mayat yang mati tergantung itu adalah Tan Long? Mulai sekarang kita bertiga tak boleh berpisah lagi." Seraya berkata, pelan-pelan dia berjalan ke muka mendekati pohon Pek-yang dimana mayat itu tergantung. Bong Thian-gak serta Song Leng-hui tidak percaya kalau mayat yang tergantung di atas pohon itu adalah mayat Tan Long, tanpa terasa mereka berjalan menuju ke depan. Namun ketika sorot mata mereka yang tajam dapat menangkap raut wajah mayat yang tergantung itu, tanpa sadar ketiga orang itu mundur beberapa langkah dengan wajah pucat dan peluh dingin bercucuran dengan derasnya, rasa seram dan ngeri segera menyelimuti perasaan mereka. Ternyata tak salah lagi dugaan Thay-kun, mayat yang mati tergantung di atas pohon Pek-yang itu adalah Tan Long. Seperti juga keadaan Liong Oh-im, Tan Long mati dengan leher terjerat seutas kawat baja yang sangat kuat, wajahnya hitam pekat, lidahnya melelet dan matanya melotot besar. Di saat mereka tak nampak Tan Long berada di situ tadi, sebenarnya Bong Thian-gak bertiga menyangka Tan Long telah pergi meninggalkan mereka atau mungkin juga mempunyai suatu rencana tertentu terhadap mereka bertiga.
Pendekar Cacat 1938
Mimpi pun mereka tidak mengira kalau dalam waktu begitu singkat Tan Long telah dibunuh orang tanpa menimbulkan sedikit suara pun, bahkan mayatnya digantung di atas pohon Pek-yang. Cara membunuh yang begitu cepat, kejam dan misterius ini benar benar merupakan kejadian yang luar biasa. Sekalipun Bong Thian-gak bertiga masih belum begitu jelas mengetahui asal-usul Tan Long, tapi mereka tahu bahwa Tan Long adalah seorang lelaki cekatan serta pintar, ilmu silatnya pun tidak lemah. Tapi kenyataan dia dibunuh secara begitu mudah tanpa sempat menimbulkan sedikit suara pun. Pembunuhnya sudah pasti seorang berhati kejam, buas dan tak berperasaan. Tapi siapakah orang itu? Bong Thian-gak bertiga segera menjadi tegang. Dengan kesiap-siagaan penuh mereka memperhatikan situasi di sekeliling situ dengan seksama, mereka mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka sadar bahwa pembunuh keji itu belum pergi terlalu jauh, dia pasti berada di sekeliling tempat itu sambil menunggu kesempatan baik untuk turun tangan keji terhadap mereka bertiga.
Pendekar Cacat 1939
Dan Bong Thian-gak bertiga pun sadar bahwa mereka tidak mempunyai pegangan serta keyakinan untuk bisa mempertahankan diri dari serangan maut si pembunuh itu. Suasana di sekitar tempat itu terasa amat hening, sepi, sedemikian seramnya hingga mendatangkan suasana ngeri bagi siapa pun. Makin lama waktu berlalu, situasi pun terasa makin gawat dan tegang. Akhirnya Bong Thian-gak tak dapat menahan diri lagi, tibatiba ia berpekik nyaring, lalu bentaknya, "He pembunuh, dimanakah kau? Ayo cepat keluar dan bertarung tiga ratus gebrakan denganku." Bentakan Bong Thian-gak itu diutarakan seperti orang gila saja, suaranya begitu keras mengalun di angkasa dan mendengung tiada hentinya. "He pembunuh, kenapa belum juga muncul? Kalau memang bernyali, cepat keluar. Jian-ciat-suseng menunggu kedatanganmu." Bersamaan dengan menggemanya bentakan ini, mendadak dari balik kegelapan di antara pepohonan muncul sesosok bayangan hitam, meluncur datang dengan cepat. Bayangan hitam itu berkelebat dan langsung menerjang tubuh Bong Thian-gak.
Pendekar Cacat 1940
Waktu itu kendati Bong Thian-gak merasa sangat kesal dan setengah kalap, namun ilmu silatnya memang tak bisa dianggap remeh. Dengan suatu kesiap-siagaan yang tinggi, telapak tangan tunggalnya segera melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke depan. Thay-kun serta Song Leng-hui tidak berpeluk tangan, Soh-lijian-yang-sin-kang serta Tay-gi-khi-kang yang dahsyat serentak dilontarkan pula ke arah bayangan iblis itu dari sisi kiri dan kanan. Tiga orang dengan tiga macam ilmu sakti serentak menggulung ke muka menciptakan suatu kekuatan dahsyat yang tak terlawankan. Di tengah benturan yang memekakkan telinga, hawa murni memancar keempat penjuru menciptakan pusaran angin berpusing yang amat hebat, desingan tajam menderu-deru, pasir dan debu beterbangan ke angkasa, tampak bayangan iblis itu melayang turun. Menyusul terdengar seorang dengan suara dingin menyeramkan seperti hembusan salju yang membekukan hati bergema di angkasa, "Himpunan tiga ilmu sakti yang amat dahsyat, nyatanya serangan gabungan kalian telah mematahkan ancaman maut dari tengkorak pembunuhku!" Di bawah sinar bintang yang redup, tampak seorang berbaju hitam mengenakan topeng tengkorak telah berdiri di hadapan mereka.
Pendekar Cacat 1941
Ujung baju sebelah kanannya tampak kosong dan berkibar ketika terhembus angin, sepasang matanya bersinar tajam bagaikan cahaya hijau mata setan yang begitu tajam, buas, sesat sehingga mendatangkan perasaan ngeri bagi siapa pun yang memandangnya. Setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya. Bong Thian-gak berbisik lirih, "Hek-mo-ong, kau adalah raja iblis hitam!" Walaupun selama ini nama besar Hek-mo-ong atau si raja iblis hitam ini sudah menggetarkan perasaan setiap orang dan kehadirannya selalu mencekam perasaan hati siapa pun, namun selama ini Bong Thian-gak bertiga belum pernah bertemu langsung wajah aslinya. Biarpun Bong Thian-gak sekalian sudah mempunyai dugaan yang meyakinkan atas asal-usul serta identitas yang sebenarnya dari Hek-mo-ong, yaitu Liu Khi, tapi siapakah dia sebenarnya hingga kini belum pernah memperoleh jawaban secara nyata. Oleh sebab itu dengan cepat Bong Thian-gak membentak, "Benarkah kau adalah Liu Khi?" Hek-mo-ong segera memperdengarkan dengusan dingin serta suara tawanya yang mendirikan bulu roma, pelanpelan dia mengangkat lengan kirinya, kemudian melepas topeng tengkorak yang dikenakan di atas wajahnya. Wajah asli Hek-mo-ong pun akhirnya muncul juga.
Pendekar Cacat 1942
"Ah! Ternyata kau memang Liu Khi!" Hampir bersamaan Bong Thian-gak, Thay-kun sertu Song Leng-hui berpekik keras. Dan dengan demikian teka-teki sekitar identitas Hek-mo ong yang sebenarnya pun terungkap. Dalam keadaan demikian Bong Thian-gak malah sama sekali tidak merasa ngeri ataupun terperanjat. Thay-kun segera berkata sambil tertawa, "Ternyata dugaan kami memang tidak meleset. Nyatanya kau memang Liu Khi! Tapi satu hal yang tidak kupahami, apa sebabnya kau membantu Thio Kim-ciok membunuh orang?" "Thio Kim-ciok membunuh sepuluh tokoh persilatan karena ingin membalas dendam, sedang aku pun bertekad membunuh mereka," kata Hek-mo-ong dengan suara dalam dan pelan. "Disebabkan dendam kesumat?" "Bukan dendam kekayaan."
kesumat,
melainkan
karena
harta
"Apakah dikarenakan tambang emas itu?" tanya Thay-kun. "Benar, setiap orang yang mengetahui rahasia tentang tambang emas itu harus mati."
Pendekar Cacat 1943
"Tapi kau tahu juga bahwa Thio Kim-ciok tak akan melepaskan dirimu?" "Asal kubunuh seorang lebih banyak di antara sepuluh tokoh persilatan, berarti sebagian kekuatan yang akan memperebutkan harta kekayaan itu berkurang." Dari pembicaraan yang baru berlangsung, terungkaplah sudah semua rencana busuk Hek-mo-ong. Kalau begitu Hek-mo-ong dan Thio Kim-ciok sebetulnya sudah bekerja sama untuk saling mengisi kekurangan masing-masing. Seorang Thio Kim-ciok saja sudah memusingkan kepala dan susah dihadapi, apalagi ditambah dengan seorang Hek-moong sekarang. Nampaknya sepuluh tokoh persilatan sudah tiada harapan lagi untuk meloloskan diri dari bencana itu. Thay-kun segera berkata, "Walaupun kau membantu Thio Kim-ciok membasmi semua musuh-musuh besarnya, tapi pada akhirnya kau sendiri pun akan dilenyapkan Thio Kimciok dari muka bumi." "Thio Kim-ciok adaiah seorang yang berwatak aneh, sombong, takabur dan selama hidup tak punya teman. Sebaliknya aku orangnya baik, suka membantu orang dan banyak sahabat persilatan yang merupakan sobat lamaku. Aku akan hidup sepanjang masa dengan aman dan damai." Thay-kun tersenyum.
Pendekar Cacat 1944
"Hingga sekarang, sudah berapa orang di antara sepuluh tokoh persilatan yang kau bunuh?" "Hanya Liong Oh-im seorang." "Mengapa kau pun membunuh Tan Long?" "Untuk menghalangi usahanya mengajak kalian pergi menemui si kupu-kupu putih." "Siapakah si kupu-kupu putih itu?" tanya Bong Thian-gak dengan terperanjat. Hek-mo-ong cuma tertawa seram tanpa menjawab pertanyaan itu. Thay-kun segera berkata pula, "Jadi tindakan yang kau lakukan malam ini hanya bermaksud mencegah kami pergi menemui si kupu-kupu putih?" Kata Hek-mo-ong sambil tertawa dingin, "Andaikata aku tak dapat memanfaatkan tenaga kalian, maka akan kubunuh kalian bertiga daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari." Bong Thian-gak segera mendengus dingin, bentaknya, "Liu Khi, sepanjang hidupmu sudah banyak kejahatan yang kau lakukan. Pembunuhan demi pembunuhan kau lakukan tanpa perasaan, dosamu sudah menumpuk. Andaikata kami bebaskan dirimu pada hari ini, percuma hidup kami di dunia ini, nah, bersiaplah kau menerima kematian!"
Pendekar Cacat 1945
Hek-mo-ong tertawa seram. "Aku justru menerima bakat alam dari Yang Kuasa untuk membunuh orang. Sepanjang hidupku hanya membunuh oranglah pekerjaan yang kulakukan dan belum pernah dibunuh orang lain. Jika kau tak percaya dengan perkataanku ini, silakan saja untuk dicoba." "Tunggu sebentar!" mendadak Thay-kun berseru. Dengan cepat dia menggeser tubuhnya menghadang di depan Bong Thian-gak, setelah itu sambungnya, "Dapatkah kau memberi keterangan kepada kami, sebenarnya macam apakah si kupu-kupu putih itu? Sebetulnya si kupu-kupu putih itu lelaki ataukah perempuan?" "Dia adalah seorang wanita. Orang itu she Pek bernama Hutiap, jadi namanya persis seperti julukannya. Berusia kirakira lima puluh lima tahun." "Hm, keteranganmu cukup jelas," Thay-kun tersenyum, "tapi menurut apa yang kuketahui, dalam dunia persilatan tidak terdapat manusia yang bernama si kupu-kupu putih." "Benar, di dunia persilatan memang tidak terdapat manusia bernama kupu-kupu putih," ucap Hek-mo-ong sambil tertawa dingin, "Tapi sepuluh tokoh persilatan serta Thio Kim-ciok mengetahui secara pasti siapakah perempuan yang bernama kupu-kupu putih itu."
Pendekar Cacat 1946
"Terutama sekali Thio Kim-ciok, di kala ia mendengar nama si kupu-kupu putih disebut orang, bulu kuduknya akan berdiri." Perkataan Hek-mo-ong ini kembali membuat perasaan semua orang bergetar keras. Thay-kun mengerut dahi, lalu berkata, "Apa sebabnya?" Tiba-tiba Hek-mo-ong menarik muka, lalu dengan suara dalam ia berkata, "Pada tiga puluh tahun lalu, Thio Kim-ciok telah melakukan pembunuhan berdarah yang sangat mengerikan. Yang menjadi korban pembunuhan adalah istri pertamanya." "Kalau begitu si kupu-kupu putih adalah istri tua Thio Kimciok?" tanya Thay-kun terkejut. "Ya, istri tua Thio Kim-ciok memang bernama Pek Hu-tiap!" Sesungguhnya nama Pek Hu-tiap atau kupu-kupu putih itu terasa sangat asing bagi pendengaran Bong Thian-gak sekalian, tapi setelah memperoleh penjelasan dari Hek-moong, mereka pun bisa menarik kesimpulan. Thay-kun berkata, "Benar-benar tak dinyana Thio Kim-ciok telah mencelakai istri sendiri. Peristiwa itu sungguh menggidikkan." Hek-mo-ong tertawa dingin, "Thio Kim-ciok memang berwatak kejam, buas dan tak berperi-kemanusiaan, dia
Pendekar Cacat 1947
membunuh orang tanpa berkedip. Baginya membunuh seorang tak berarti apa-apa, namun di saat dia membunuh istrinya dulu, pembunuhan itu baru dilakukan untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu dalam perasaan Thio Kimciok, peristiwa itu merupakan kejadian yang menyeramkan." "Dapatkah kau menceritakan secara ringkas bagaimana jalannya peristiwa sampai Thio Kim-ciok membunuh istrinya sendiri?" "Suatu malam pada tiga puluh tahun berselang, di saat Thio Kim-ciok sedang terbuai dan terpikat oleh kecantikan Ho Lan-hiang, secara keji dia telah membunuh istrinya yang sah, Pek Hu-tiap." "Padahal saat itu Pek Hu-tiap sedang berbadan dua. Dalam keadaan perut besar, secara keji Thio Kim-ciok telah memotong keempat anggota badan Pek Hu-tiap. Tak heran tubuh Pek Hu-tiap bermandikan darah, tubuhnya menjadi seperti sebuah bola besar yang bergelindingan di atas tanah sambil merengek-rengek minta ampun pada Thio Kim-ciok serta memberi jalan kehidupan kepadanya, ia berjanji akan menghabisi nyawa sendiri setelah putranya dilahirkan nanti." "Apakah Thio Kim-ciok tak memberi jalan kehidupan kepadanya?" tanpa terasa Thay-kun bertanya. "Tidak! Thio Kim-ciok malah mengayunkan pedangnya langsung menusuk dada istrinya yang malang."
Pendekar Cacat 1948
"Bagaimana kemudian?" tanya Thay-kun lagi dengan gelisah. "Inilah kisah pembunuhan yang dilakukan olehnya terhadap Pek Hu-tiap. Bagaimana selanjutnya, darimana aku bisa tahu?" "Apakah ceritamu itu kenyataan?" tanya Bong Thian-gak penuh emosi. "Bila kurang percaya, silakan kalian tanyakan persoalan ini kepada Thio Kim-ciok," sahut Hek-mo-ong dengan suara dingin tanpa perasaan. "Kalau memang begitu, apa sebabnya kau menghalangi usaha kami menjumpai Pek Hu-tiap?" "Demi kepentinganku sendiri, terpaksa aku berbuat demikian." Thay-kun segera tertawa merdu, tanyanya tiba-tiba, "Benarkah Pek Hu-tiap masih hidup?" "Tentu saja Pek Hu-tiap masih hidup." "Sekalipun Pek Hu-tiap masih hidup di dunia ini, tapi setelah keempat anggota badannya dikutungi oleh Thio Kim-ciok tempo dulu, berarti dia sudah menjadi manusia cacat tanpa tangan dan kaki. Bagaimana mungkin kemunculannya akan mendirikan bulu kuduk Thio Kimciok?"
Pendekar Cacat 1949
"Waktu dapat menciptakan seorang-biasa menjadi seorang luar biasa, contohnya Thio Kim-ciok sendiri. Apalagi bagi Pek Hu-tiap yang menyimpan rasa benci, dendam dan sakit hati yang meluap-luap." "Tahukah kau dimanakah Pek Hu-tiap sekarang?" kembali Thay-kun bertanya sambil tersenyum. "Tentu saja tahu." "Lantas apakah hubungan antara Tan Long dan Pek Hutiap?" kembali Thay-kun bertanya. "Dia adalah pembantu utamanya." "Setelah kau membunuh Tan Long' apakah kau tidak kuatir Pek Hu-tiap akan datang mencari balas terhadapmu?" Dengan mulut membungkam dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hek-mo-ong memandang kegelapan dengan termangu, tiba-tiba paras mukanya berubah. Dari balik matanya itu segera memancar hawa membunuh yang menggidikkan. Ditatapnya Bong Thian-gak bertiga lekat-lekat, kemudian tegurnya, "Apakah kalian bertiga melakukan pekerjaan untuk Thio Kim-ciok?" Bong Thian-gak mendengus dingin, "Hm, jangankan membantu dia, malah kami sedang mencarinya dan berusaha membunuh Thio Kim-ciok dengan tangan kami sendiri."
Pendekar Cacat 1950
"Bagus sekali, kini Thio Kim-ciok telah datang. Bekerjasamalah kalian untuk membunuhnya!" Selesai berkata, Hek-mo-ong segera berkelebat dan lenyap di balik pepohonan sana. Baru saja Bong Thian-gak bermaksud menghalangi kepergiannya, bayangan tubuh Hek-mo-ong telah lenyap dari pandangan sehingga tak ada gunanya dia berteriak. Sementara itu dari ujung jalan raya sana, pelan-pelan berjalan mendekat seorang kakek berbaju biru berjenggot putih. Orang itu memang tak lain adalah si raja iblis pembunuh manusia Thio Kim-ciok. Pertama-tama yang ditemukan Thio Kim-ciok lebih dulu adalah mayat Liong Oh-im. Ia mendongakkan kepala dan memperhatikan beberapa saat jenazah itu, kemudian baru meneruskan perjalanan serta berhenti di hadapan Bok Thian-gak bertiga. Kembali ia mengangkat kepala serta memperhatikan beberapa kejap mayat Tan Long, wajahnya kelihatan hambar tanpa emosi, kemudian tanyanya dengan hambar, "Siapakah yang telah membunuh kedua orang ini?" Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak menyangka kalau yang datang benar-benar adalah Thio Kim-ciok. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri tertegun di situ dengan wajah melongo.
Pendekar Cacat 1951
Mereka baru sadar dari lamunan setelah mendengar teguran itu. Cepat Thay-kun menyahut, "Kami pun ingin bertanya pada Locianpwe, apakah Liong Oh-im mati di tanganmu?" Mendapat pertanyaan yang sama, Thio Kim-ciok mendengus dingin, serunya, "Benar-benar seorang bocah perempuan yang sangat cekatan." Thay-kun kembali tersenyum, katanya pula, "Locianpwe pernah berkata bahwa si sastrawan berwajah tampan akan menjadi korbanmu yang kedua. Oleh karena itulah setelah menyaksikan kematiannya serta-merta kami pun menduga Liong Oh-im mati di tangan Locianpwe." Thio Kim-ciok mendesis dingin, katanya kemudian, "Setiap hari aku membidik burung manyar, tak disangka ternyata mataku sendiri yang terpatuk. Bila kulihat mimik wajah kalian, sudah pasti kalian bertiga mengetahui siapakah pembunuhnya." "Mengapa Locianpwe seyakin itu?" tanya Thay-kun sambil tertawa misterius. "Aku sudah mengetahui dengan jelas bahwa kalian datang kemari dengan mengikuti korban itu," kata Thio Kim-ciok cepat. Sembari berkata dia menuding ke arah mayat Tan Long yang masih tergantung di atas pohon.
Pendekar Cacat 1952
Thay-kun menjadi sangat terkejut, cepat dia bertanya, "Darimana Locianpwe bisa tahu kalau kami datang kemari bersamanya?" "Aku lihat dia sudah tiga hari tiga malam menguntit di belakang kalian bertiga." "Kalau begitu Locianpwe pun menguntit di belakang kami?" "Siapa bilang aku menguntit kalian? Cuma secara kebetulan saja kita menempuh arah perjalanan yang sama." Tiba-tiba Thay-kun menuding ke arah jenazah Tan Long, lalu bertanya lagi, "Apakah Locianpwe tahu asal-usulnya?" "Apakah kalian pun mengetahui asal-usulnya?" Thio Kimciok balik bertanya dengan wajah berubah. Dengan cepat Thay-kun menggeleng kepala, "Kami hanya tahu dln bernama Tan Long, sedangkan soal lain sama sekali tidak kuketahui." "Kau sedang berbohong," bentak Thio Kim-ciok dengan suara dingin. "Selama hidup aku paling benci orang yang suka berbohong di hadapanku!" Tiba-tiba Thay-kun menghela napas sejenak, kemudian berkata, "Kami tak berniat membohongi Thio-locianpwe, sesungguhnya Tan Long mengajak kami datang kemari karena ingin menjumpai seseorang."
Pendekar Cacat 1953
"Menjumpai siapa?" "Pek Hu-tiap!" Ketika mendengar nama Pek Hu-tiap, paras muka Thio Kimciok segera berubah hebat, dia menengadah dan sampai lama sekali berdiri termangu-mangu, kemudian baru bertanya lagi, "Kecuali persoalan ini, apalagi yang dikatakan Tan Long?" "Tidak ada lagi," Thay-kun menggeleng. "Sebetulnya siapa Pek Hu-tiap itu? Apakah Thio-locianpwe mengetahuinya?" Thio Kim-ciok kelihatan rada gugup ketika dihadapkan pada pertanyaan itu, buru-buru dia berkata, "Darimana aku bisa tahu siapakah dia?" Secara diam-diam Thay-kun, Bong Thian-gak serta Song Leng-hui memperhatikan perubahan mimik mukanya. Dari sikapnya itu, mereka pun semakin percaya bahwa yang dikatakan Hek-mo-ong tentang hubungan Thio Kim-ciok dan Pek Hu-tiap sesungguhnya memang kenyataan. Sementara itu Thio Kim-ciok telah mendongakkan kepala sekali lagi mengawasi mayat Tan Long, mendadak ia tertawa dingin, lalu gumamnya, "Aku tidak akan terjebak oleh perangkapmu. Aku sendiri pun pernah menjadi seorang ahli dalam ilmu beracun, permainan kecil seperti itu tidak nanti membuat diriku masuk perangkap."
Pendekar Cacat 1954
Sudah jelas Thio Kim-ciok mengetahui bahwa seluruh badan Tan Long telah disebari bubuk beracun tanpa wujud yang sangat hebat. Thay-kun sengaja berlagak kaget, tanyanya, "Locianpwe, apakah kedua sosok mayat itu mengandung racun keji?" "Racun yang ditaburkan di atas mayat-mayat itu merupakan racun Hek-si-ku dari Say-jiang. Apabila terkena tubuh seseorang, maka dalam dua puluh empat jam darah dan dagingnya akan mengering karena habis dihisap oleh ulat-ulat Hek-si-ku. Kedahsyatan dan kekejiannya luar biasa." Baik Thay-kun maupun Bong Thian-gak pernah mendengar kehebatan racun Hek-si-ku, air muka mereka segera berubah hebat. Setelah menghela napas panjang, Thay-kun segera berkata, " Kalau begitu dalam dua puluh empat jam jenazah Liong Oh-im serta Tan Long akan musnah? Ai, kematian mereka benar-benar mengenaskan!" Mendadak Thio Kim-ciok menarik wajah, kemudian berkata lebih lanjut, "Hek-si-ku adalah sejenis racun yang sangat hebat. Menurut apa yang kuketahui, di dunia persilatan dewasa ini hanya Hek-mo-ong seorang yang pandai menggunakan racun itu, apalagi melukai orang dalam sekejap. He, aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kedua orang itu mati dibunuh Hek-mo-ong?"
Pendekar Cacat 1955
Ketika mendengar itu, diam-diam Thay-kun berpekik memuji dalam hati, "Nyata sekali Thio Kim-ciok memang seorang yang sangat hebat. Tak kusangka dugaan dan tebakannya terhadap setiap masalah begitu tepat dan jitu, agaknya aku mesti memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepada orang ini." Setelah berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, kemudian ujarnya, "Thio-locianpwe, dugaanmu keliru besar. Sebenarnya kami tak ingin memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepadamu daripada mendatangkan kerugian bagi kami sendiri." Sampai di situ, Thay-kun perkataannya di tengah jalan.
sengaja
menghentikan
Dengan tak sabar Thio Kim-ciok segera berkata, "He budak setan, kau tak usah berputar kayun lagi. Cepat kau katakan apa yang ingin kau utarakan." "Sebenarnya orang yang telah membunuh Liong Oh-im serta Tan Long adalah Pek Hu-tiap." Paras muka Thio Kim-ciok segera berubah hebat, bentaknya, "Omong kosong, manusia macam apa Pek Hu-tiap yang kalian jumpai itu?" Sambil tersenyum Thay-kun berkata, "Pek Hu-tiap yang kami jumpai barusan adalah seorang perempuan
Pendekar Cacat 1956
berkerudung yang cacat keempat anggota tubuhnya, dia duduk di dalam tandu yang digotong oleh empat orang lelaki kekar." Sembari berkata, dengan sorot mata tajam Thay-kun mengamati perubahan wajah Thio Kim-ciok.
Pada waktu itu paras muka Thio Kim-ciok telah menjadi pucat. Dengan termangu-mangu dia mengawasi langit dengan pandangan kosong, sementara air mukanya berubah tiada hentinya, tak diketahui apakah merasa tegang ataukah ngeri? Akhirnya terdengar Thio Kim-ciok bergumam seperti orang sedang mengigau, "Benarkah dia masih hidup di dunia ini? Tapi dengan luka yang dideritanya, ditambah pula kandungannya tergetar hingga menyebabkan ia keguguran. Mungkinkah dia bisa hidup terus?" Mendadak dari balik mata Thio Kim-ciok memancar cahaya tajam, diawasinya wajah Thay-kun tanpa berkedip, kemudian tegurnya lagi, "Benarkah apa yang kau ucapkan itu?" "Apa yang telah kami saksikan telah kusampaikan kepadamu, buat apa aku mesti berbohong?"
Pendekar Cacat 1957
Thio Kim-ciok segera mendengus dingin, "Sudah berapa lama ia meninggalkan tempat ini dan sekarang menuju kemana?" "Dia berlalu setengah jam berselang dan menuju ke arah barat." Ketika mendengar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Thio Kim-ciok segera menggerakkan tubuhnya menuju ke arah barat. Memandang bayangan punggung Thio Kim-ciok yang lenyap di kejauhan, sekulum senyuman bangga tersungging di ujung bibir Thay-kun. Sebaliknya Bong Thian-gak segera berkata sambil menghela napas panjang, "Kami pernah bersumpah akan membinasakan Thio Kim-ciok serta Hek-mo-ong, tapi hari ini secara tak diduga kedua orang raja iblis pembunuh manusia itu telah muncul di depan kita, tapi kenyataannya kita tak mampu membunuh mereka, sebalik membiarkan mereka bertingkah semaunya sendiri. Ai, penghinaan semacam ini sungguh membuat perasaan orang serasa remuk." Dengan wajah serius Thay-kun segera berseru dengan sungguh-sungguh, "Ada keberanian tanpa akal, bukanlah seorang lelaki. Bila kita bertindak ceroboh tanpa memikirkan resikonya, hal ini berarti mencari kematian untuk diri sendiri."
Pendekar Cacat 1958
"Apalagi untuk mencari suatu kemenangan bagi umat persilatan, kemenangan itu belum tentu harus diraih dengan pertarungan, dari kecerdasan otak pun kita dapat memperolehnya juga." Baru selesai Thayrkun berbicara, mendadak dari atas sebatang pohon di sana berkumandang suara orang bertanya dengan suara lembut dan ramah, "Siapakah perempuan itu?" Disusul terdengar seorang tua bersuara rendah menyahut, "Perempuan ini bernama Thay-kun. Sejak kecil dia dibesarkan oleh Ho Lan-hiang, tapi kini dia telah memisahkan diri dari kelompok Ho Lan-hiang." Bong Thian-gak sekalian menjadi amat terperanjat, sebab suara lelaki tua serak itu seperti amat dikenal. Namun untuk sesaat lamanya mereka justru tak dapat mengenali suara siapakah itu? Dengan suara berat dan dalam Bong Thian-gak segera bertanya, "Siapa di situ?" Baru saja bentakan itu berkumandang, tiba-tiba dari balik pohon di hadapannya muncul sebuah tandu kecil yang digotong dua orang. Dalam waktu singkat tandu itu telah muncul di hadapannya. Gerakan tandu itu benar-benar cepat seperti melayang di tengah udara saja, dalam waktu singkat telah tiba di depan mata.
Pendekar Cacat 1959
Tapi saat itu juga Thay-kun maupun Bong Thian-gak sekalian telah melihat dengan jelas tandu kecil itu. Apa yang dilihatnya benar-benar merupakan keanehan dan kejadian yang sukar untuk dipercaya. Ternyata kedua orang penggotong tandu itu tak lain adalah dua orang kakek yang telah lanjut usia. Dan yang paling aneh lagi adalah kedua kakek itu ternyata bukan lain adalah Tio Tian-seng serta Gi Jian-cau yang sedang dicari-cari Bong Thian-gak sekalian selama ini. Mula-mula Bong Thian-gak mengira matanya yang salah melihat. Segera ia memejamkan mata, kemudian baru dibuka kembali untuk memperhatikan dengan lebih seksama. Apa yang terlihat di depan mata seperti sediakala, paras muka Tio Tian-seng serta Gi Jian-cau sama sekali tidak berubah, semua merupakan kenyataan, bukan khayalan. Dengan perasaan kaget bercampur keheranan Thay-kun berpaling ke arah tandu itu. Di dalam tandu itu duduk dengan tenang seorang perempuan, dia mengenakan baju putih lebar hingga hampir menutupi seluruh tubuhnya dan membuat orang lain tidak dapat melihat sepasang tangan dan kakinya.
Pendekar Cacat 1960
Wajah mengenakan pula kain kerudung putih yang hampir menutupi seluruh wajahnya, andaikata rambutnya yang panjang tidak terurai di kedua bahunya dan orang tak mendengar suaranya, tak akan ada yang bisa mengenali dia itu lelaki atau perempuan. "Siapakah itu?" Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Thay-kun, dengan jelas ia dapat menebak asal-usul manusia berbaju putih itu. Kalau tadi dia hanya menciptakan cerita bohong untuk menipu Thio Kim-ciok, sungguh tak disangka cerita itu kini justru telah menjadi kenyataan. Pek Hu-tiap, si kupu-kupu putih benar-benar naik sebuah tandu kecil. Sementara itu Bong Thian-gak merasa gembira setelah bertemu dengan Tio Tian-seng, segera teriaknya, "Tiolocianpwe, kedatangan kalian memang kebetulan sekali. Boanpwe sedang mencarimu." Tio Tian-seng maupun Gi Jian-cau sama sekali tidak menurunkan tandu itu, mereka tetap berdiri sambil memikul tandu kecil itu. Pelan-pelan Tio Tian-seng berkata, "Ada urusan apa kalian mencari diriku?"
Pendekar Cacat 1961
"Tahukah Tio-pangcu, bahwa Thio Kim-ciok sedang mencari jejakmu?" Paras muka Tio Tian-seng segera berubah serius, sahutnya, "Kami pun sedang mencari jejak Thio Kim-ciok." Bong Thian-gak segera menghela napas sedih, katanya kemudian dengan suara lirih, "Tan Sam-cing telah mengalami musibah secara tragis." "Liong Oh-im juga telah pulang ke alam baka," sambung Tio Tian-seng. "Tapi Liong Oh-im bukan..” Belum Bong Thian-gak selesai bicara, tiba-tiba terdengar Thay-kun tertawa merdu dan menukas, "Tio-pangcu, Thio Kim-ciok sudah mengumbar watak kejamnya dengan melakukan kejahatan yang sama sekali tidak berperikemanusiaan." "Apabila sehari ia tetap hidup di dunia ini, berarti masyarakat akan menderita pula. Entah bagaimanakah rencana Tio-pangcu dalam usaha melenyapkan iblis ini dari muka bumi?" Dengan suara dalam, Tio Tian-seng segera berkata, "Dosa serta kesalahan yang dilakukan Thio Kim-ciok sudah melebihi batas. Semua jago telah dibuat marah oleh perbuatannya dan kini segenap umat persilatan telah bangkit menentangnya. Apakah kalian tak merasa bahwa
Pendekar Cacat 1962
daerah sekitar tempat ini telah memancarkan suasana aneh?" Bong Thian-gak mencoba mengamati sejenak suasana di sekitar sana, lalu sahutnya, "Ya benar, apa yang kami saksikan malam ini rasanya memang sedikit di luar dugaan." "Segenap umat persilatan telah berencana membinasakan Thio Kim-ciok di tempat ini pada kentongan kelima nanti. Tapi situasi saat ini rasanya kurang beres. Liong Oh-im dan Tan Long terbunuh bersamaan secara mengenaskan dan apabila dilihat dari keadaan mereka setelah mati, sudah jelas kedua orang itu bukan mati dibunuh Thio Kim-ciok."
Thay-kun dengan suara merdu menukas, "Apabila Tiopangcu ingin bertanya tentang peristiwa itu, buat apa berputar satu lingkaran besar lebih dulu sebelum bertanya?" "Kalau begitu kalian harus mengatakan kepada kami, siapakah pembunuh Tan Long serta Liong Oh-im?" seru Tio Tian-seng dengan cepat. Setelah mendengar itu, Bong Thian-gak serta Thay-kun dan Song Leng-hui segera mengerti bahwa di tempat itu bakal berlangsung suatu pertempuran yang amat sengit.
Pendekar Cacat 1963
Mereka sama sekali tidak menyangka tindakan melenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi bakal berlangsung sedemikian cepatnya. "Tio-pangcu," Thay-kun segera berkata lagi, "maaf kalau saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaanmu itu, sebab jago-jago persilatan yang kujumpai pada malam ini terdiri dari beraneka-ragam manusia dari berbagai aliran. Oleh sebab itu Siauli ingin mengetahui satu hal lebih dulu, yakni siapakah yang merencanakan usaha pembasmian terhadap Thio Kim-ciok?" "Apakah Tan Long tidak memberitahukan kepada kalian rencana pembasmian terhadap Thio Kim-ciok?" Thay-kun menggeleng, "Tidak, Tan Long hanya memberitahu, dia hendak mengajak kami pergi menemui seseorang." "Orang yang hendak dipertemukan oleh Tan Long kepada kalian tak lain adalah orang yang berada di dalam tandu ini," kata Tio Tian-seng. "Ah, jadi dia adalah Pek Hu-tiap?"
Perempuan yang berada di dalam tandu segera berkata dengan suara ramah dan lembut, "Benar, akulah Pek Hutiap. Dan aku pula yang merencanakan pembunuhan terhadap Thio Kim-ciok pada malam ini."
Pendekar Cacat 1964
Setelah persoalan berkembang menjadi begini, Thay-kun pun menjadi paham pula terhadap persoalan yang semula masih teka-teki ini, cuma masih ada satu hal yang belum diketahui masalahnya, sambil tersenyum tanyanya lagi, "Konon Pek Hu-tiap dan Thio Kim-ciok pernah menjadi suami-istri, apakah benar?" Ketika mendengar pertanyaan itu, agaknya perempuan yang berada di dalam tandu itu merasa amat emosi, sekujur tubuhnya gemetar keras, sahutnya, "Rupanya kalian sudah mengetahui asal-usulku, tapi siapa yang memberitahu semua itu kepada kalian?" "Orang itu tak lain adalah orang yang telah membunuh Tan Long serta Liong Oh-im, yakni Hek-mo-ong Liu Khi." Pek Hu-tiap sama sekali tidak menunjukkan perubahan sikap apa pun, tapi Gi Jian-cau yang berada di belakangnya segera mendengus dingin, umpatnya dengan suara seram, "Sejak dahulu aku sudah tahu bahwa Liu Khi adalah manusia yang tak bisa dipercaya. Di luarnya saja ia setuju bekerja-sama dengan kita untuk membunuh Thio Kim-ciok, kenyataan dia masih tetap menjadi kuku garuda Thio Kimciok." Dengan wajah murung bercampur kesal, Tio Tian-seng berkata pula sambil menghela napas panjang, "Seorang Thio Kim-ciok saja sudah susah dihadapi, apalagi ditambah seorang Liu Khi. Ai, urusan sudah jelas bertambah serius."
Pendekar Cacat 1965
Tapi agaknya Pek Hu-tiap sudah mempunyai rencana yang matang, pelan-pelan dia pun berkata, "Pertikaian antara sepuluh tokoh persilatan, Ho Lan-hiang, Thio Kim-ciok, Hekmo-ong dan aku sesungguhnya merupakan perselisihan yang amat pelik, siapa pun tidak akan membiarkan pihak lain meraih kemenangan. Oleh sebab itu aku telah melihat dengan jelas bahwa hubungan antara kita semua sesungguhnya merupakan suatu hubungan yang amat sensitif, saling bertentangan dengan perasaan sendiri. Itulah sebabnya pada malam ini aku baru bisa mengajak Ho Lan-hiang serta Hek-mo-ong sekalian untuk bekerja-sama menghadapi Thio Kim-ciok." "Dalam pertarungan yang akan berlangsung malam ini, andaikata Thio Kim-ciok benar-benar dapat terbunuh seperti apa yang kita harapkan. Aku rasa di antara kita pun harus membayar dengan harga yang cukup mahal yaitu mereka yang berhasil lolos dari pertarungan itu dalam keadaan hidup, akhirnya akan terbunuh juga oleh pihak lain yang mencari balas sampai pada orang terakhir." Dengan ucapan Pek Hu-tiap yang berterus terang ini, semua rahasia pun ikut terungkap, yaitu dapatnya mereka bekerja-sama saat ini tak lain karena tujuan utama mereka yaitu melenyapkan Thio Kim-ciok lebih dahulu. Terdengar Pek Hu-tiap berkata lebih lanjut dengan suara pelan, "Oleh karena itu siapa yang bakal mati tak perlu kita persoalkan lagi. Yang penting tujuan kita tercapai, yaitu berhasil melenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi."
Pendekar Cacat 1966
Gi Jian-cau tertawa dingin, "Yang kukuatirkan justru sebelum kita berhasil membunuh Thio Kim-ciok, orang kita malah saling gontok." "Apakah tabib sakti menaruh curiga bahwa aku dan Hekmo-ong telah membuat persekongkolan secara diamdiam?" tanya Pek Hu-tiap dengan suara tetap lembut. "Terbukti Liong Oh-im telah mati dibunuh oleh Hek-moong, hal itu menimbulkan rasa curiga siapa pun," ucap Gi Jian-cau dingin. Pelan-pelan Pek Hu-tiap berpaling ke arah Tio Tian-seng, kemudian katanya dengan suara dalam, "Tio-pangcu, apakah kau pun menaruh kecurigaan ini?" "Bukankah kau pernah bilang, pertikaian di antara kita tak pernah akan memperoleh penyelesaian sebelum salah satu pihak menemui ajal? Sekarang kita dapat saling bekerjasama, hal ini tak lebih demi kepentingan diri pribadi. Oleh karena itu selain ingin melenyapkan Thio Kim-ciok secepatnya dari muka bumi, aku tak ingin memikirkan persoalan lain." "Hm, hanya Tio-pangcu seorang yang dapat melihat situasi yang sedang kita hadapi sekarang secara jelas dan gamblang. Aku yakin setelah berlangsungnya pertempuran berdarah malam ini, satu-satunya orang yang bisa hidup dengan selamat mungkin hanya Tio-pangcu seorang."
Pendekar Cacat 1967
Tio Tian-seng tidak menanggapi ucapan itu, dia memandang sekejap keadaan cuaca, lalu katanya sambil menghela napas, "Sekarang waktu sudah menunjukkan kentongan keempat, kita harus mulai melakukan gerakan." Tiba-tiba dari tengah udara berkumandang suara pekikan panjang yang keras, begitu kerasnya suara itu sehingga membelah keheningan malam. Begitu pekikan itu berkumandang, dari arah lain pun bergema pula suara pekikan. Dalam waktu singkat suara pekikan saling sambut. Tiba-tiba Pek Hu-tiap menurunkan perintah, "Thio Kim-ciok berada di sebelah barat daya, mari kita mengejarnya ke sana!" Begitu selesai berkata, tandu kecil yang digotong Tio Tianseng dan Gi Jian-cau sudah bergerak cepat meluncur ke tengah udara dan bergerak ke muka dengan kecepatan tinggi. Bong Thian-gak segera berteriak, "Pek Hu-tiap, jangan pergi dulu. Kami bersedia turut serta dalam usaha pembunuhan terhadap Thio Kim-ciok." "Aku telah berpesan pada Tan Long untuk mengundang kalian bertiga ikut serta dalam gerakan ini, namun setelah melihat kalian kaum muda bersemangat dan berbudi luhur, maka kurasa tak perlu lagi mengundang kalian untuk
Pendekar Cacat 1968
memikul tugas berbahaya ini. Sekarang lebih baik kalian mundur saja dari sini daripada harus terlibat dalam bencana pembunuhan yang mengerikan, ketahuilah melanjutkan hidup bukan pekerjaan yang mudah, janganlah kalian gunakan nyawa sebagai bahan gurauan. Thio Kimciok semakin kalap mendekati gila, dia hanya tahu membunuh orang, cepatlah menghindarkan diri dari musibah ini." Suara yang lembut dan ramah itu bergema nyaring di tengah udara dan akhirnya lenyap di kejauhan sana. Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Thay-kun, > lalu katanya, "Bagaimana kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan?" Tanpa pikir panjang Thay-kun menjawab, "Mari kita pulang." Bong Thian-gak tertawa getir, "Tidak, meski harus mengorbankan jiwa, aku tak bisa meninggalkan keramaian itu begitu saja." "Tapi perkataan Pek Hu-tiap itu benar, sekarang Thio Kimciok sudah kalap dan mendekati gila, ia sudah kehilangan semua akal pikiran serta kesadarannya. Begitu melihat orang, dia cuma tahu membunuh, bayangkan saja apakah kita mampu menahan serangan pedang manusia cacatnya?"
Pendekar Cacat 1969
“Tindakan Thio Kim-ciok membasmi umat manusia merupakan tindakan terkutuk, sudah sepantasnya bila kita bangkit dan berusaha melenyapkan bajingan itu dari muka bumi ini. Biarpun Bong Thian-gak tak sanggup menghadapi bajingan itu seorang diri, namun aku pun tak bisa melarikan diri hanya dikarenakan menyelamatkan jiwa sendiri!" Sementara mereka masih ribut, dari kejauhan berkumandang beberapa kali jeritan ngeri yang memilukan. Jeritan ngeri yang bergema di tengah malam buta begini, terutama suaranya yang mengerikan bagaikan lolongan serigala dan tangisan setan sungguh mendatangkan suasana yang amat tak sedap. Bong Thian-gak sekalian tahu bahwa pertempuran darah sudah mulai berlangsung, jeritan ngeri para jago lihai persilatan yang tertusuk pedang manusia cacat Thio Kimciok. Siksaan dan penderitaan yang luar biasa membuat orang-orang itu memperdengarkan jeritan sedemikian ngerinya. *~ Thay-kun segera berseru setengah merengek, "Suheng, kau harus berpikir demi keselamatan adik Hui!" "Sumoay," kata Bong Thian-gak segera, "apabila aku tidak turut serta dalam gerakan menumpas Thio Kim-ciok hari ini, tak ada artinya aku hidup di dunia ini. Sekarang ajaklah Leng-hui pergi dari sini, biar aku sendiri yang dating ke sana!"
Pendekar Cacat 1970
Selesai berkata, ia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dahulu. Thay-kun dan Song Leng-hui cepat menyusulnya sambil berteriak, "Suheng, jangan pergi dulu. Kalau memang ingin mati, lebih baik kita mati bersama!" Bong Thian-gak mendengus dingin, "Hm, siapa bilang kita bakal mati? Kita tidak akan mati di tangan Thio Kim-ciok." Sampai di situ, berangkatlah ketiga orang itu menuju ke arah barat daya dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh masing-masing. Udara malam amat cerah tanpa setitik awan pun menghiasi angkasa, bintang bertaburan dimana-mana dan memantulkan cahaya yang amat redup. Keheningan malam yang sebenarnya begitu indah dan syahdu, kini dihiasi oleh jeritan ngeri yang menyayat hati, membuat suasana berubah begitu mengerikan, bagaikan sebuah tempat pembantaian manusia yang menggidikkan. Bayangan orang tampak saling bergerak kejar mengejar, cahaya golok dan bayangan pedang menyelimuti angkasa, percikan darah berhamburan di permukaan tanah, keadaan benar-benar menggidikkan. Seorang kakek berbaju hijau bagaikan orang kesurupan menerjang setiap orang yang ditemuinya dengan tusukan pedangnya yang putih bercahaya, semua orang ditusuk,
Pendekar Cacat 1971
dibacok, disapu, ditotok, dibantai tanpa mengenal ampun dan nyatanya tak seorang pun di antara mereka yang mampu menahan satu jurus serangannya. Di luar lapangan pembantaian itu, di atas sebuah bukit kecil di tengah padang rumput, telah terbentuk barisan berbentuk segitiga. Di tengah barisan ada sebuah tandu kecil yang diduduki Pek Hu-tiap, sedangkan Tio Tian-seng dan Gi Jian-cau berdiri di sampingnya. Di sayap kanan berdiri pula tiga orang, mereka mengenakan topeng tengkorak. Lengan kanan mereka pun sama-sama kosong tinggal sebuah lengan saja, di pinggang terselip sebilah golok panjang. Andai perawakan tubuh mereka tidak berbeda dalam ketinggian, maka siapa pun tak akan bisa mengenali siapakah ketiga orang itu. Dandanan Hek-mo-ong yang telah menggemparkan persilatan. Malah kini muncul tiga orang dengan dandanan Hek-mo-ong Liu Khi. Ternyata Liu Khi masih mempunyai dua orang pembantu, itulah sebabnya di saat Liu Khi muncul dengan peranannya sebagai si golok sakti berlengan tunggal, pada saat bersamaan di tempat lain pun muncul Hek-mo-ong.
Pendekar Cacat 1972
Di sayap kiri tandu itu berdiri juga tiga orang, mereka adalah Cong-kaucu Put-gwan-cin-kau, perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam Ho Lan-hiang serta dua orang pembantu utamanya Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu. Kesembilan orang itu membentuk sebuah barisan segitiga di atas bukit kecil itu, dari tempat yang tinggi mereka menyaksikan jalannya pembantaian yang begitu mengerikan di tengah lapangan itu. Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui mengikuti pula jalannya peristiwa itu dari kejauhan. Mereka bertiga tidak segera ikut serta dalam pertempuran itu. Begitu tiba di tempat kejadian. Bong Thian-gak dan Song Leng-hui di bawah pimpinan Thay-kun langsung menuju ke sisi kiri tanah bukit itu serta bersembunyi di belakang sebuah batu besar. Mendadak di tengah pertarungan berkumandang lagi serentetan suara jeritan ngeri yang bergema tiada hentinya, begitu menyeramkan suara jeritan itu hingga menggidikkan siapa pun yang mendengarnya. Dengan terkesiap Bong Thian-gak sekalian segera berpaling ke arah arena. Ternyata Thio Kim-ciok sedang melakukan suatu tindakan yang benar-benar menggidikkan, dia telah mengeluarkan ilmu pedang pembunuh manusianya yang paling hebat.
Pendekar Cacat 1973
Saat itu tubuhnya melejit ke udara, pedang manusia cacatnya telah membungkus tubuhnya, selapis cahaya putih menggulung kian kemari dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu singkat, tiga puluhan jagoan pedang berbaju hitam yang sedang mengurungnya sudah menemui nasib tragis, batok kepala mereka bergelindingan ke atas tanah, percikan darah segar berceceran kemana-mana, tak ada yang mampu menahan serangannya dan tak seorang pun di antara mereka yang berhasil meloloskan diri. Kawanan jago pedang berbaju hitam itu tak lain merupakan anggota Put-gwa-cin-kau. Malam ini Ho Lan-hiang datang dengan membawa seratusan jago pedang berbaju hitam, namun dalam waktu yang begitu singkat kekuatannya sudah tertumpas habis. Di kala Thio Kim-ciok telah selesai membunuh jagoan pedang yang terakhir, dia segera mendongakkan kepala dan tertawa keras. Suaranya amat menggidikkan, lalu sambil memutar pedang manusia cacat di tangan kanannya, dia berteriak, "Pek Hu-tiap, aku akan datang membunuhmu." Di tengah bentakan, dengan pedang manusia cacat diluruskan ke depan, selangkah demi selangkah dia menaiki bukit kecil itu. Sementara Pek Hu-tiap yang duduk di balik tenda telah berkata dengan suara pelan, "Hek-mo-ong, segenap
Pendekar Cacat 1974
kekuatan Put-gwa-cin-kau sudah tertumpas habis. Sekarang akan kulihat kemampuan tujuh puluh dua tentara tengkorakmu!" Salah seorang di antara tiga Hek-mo-ong yang berdiri di sayap kanan segera tertawa tergelak, sahutnya, "Bila Thio Kim-ciok ingin membantai tentara tengkorakku, tak nanti bisa dilakukan semudah ini." Sampai di sini, tiba-tiba ia berseru, "Cepat kau undang tentara tengkorak kita." Begitu perintah diturunkan, dua manusia tengkorak yang berdiri di belakang Liu Khi pun segera mendongakkan kepala dan berpekik nyaring. Pekikan itu tinggi melengking persis seperti suara lolongan serigala, mendatangkan perasaan seram bagi siapa yang mendengar. Begitu suara pekikan bergema, dari balik keheningan yang mencekam tanah berumput itu berkumandang teriakan aneh yang menggidikkan. Dari empat penjuru segera bermunculan bayangan iblis yang meluncur tiba bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat bayangan iblis itu sudah mengepung Thio Kim-ciok. Mereka terdiri dari tujuh puluh dua manusia aneh bertopeng tengkorak, tangan kiri membawa sebuah panji
Pendekar Cacat 1975
tengkorak berbentuk segitiga, sedangkan tangan kanan memegang sebuah tongkat pendek berkepala tengkorak. Kawanan tentara tengkorak itu mengitari Thio Kim-ciok sambil melompat-lompat, berteriak dan menggerakkan panji serta toya mereka. Gerakannya itu tak ubahnya seperti pasukan suku Biau yang sedang bertempur. Thio Kim-ciok tertawa, pedang manusia cacatnya diayunkan ke depan langsung membacok seorang tentara tengkorak yang berada di dekatnya. Pertempuran sengit pun hebatnya di tempat itu.
kembali berkobar dengan
Nyata kawanan tentara tengkorak memang berbeda dengan pasukan jago pedang berbaju hitam Put-gwa-cinkau yang begitu mudah dibantai. Sekalipun jurus-jurus serangan Thio Kim-ciok luar biasa ganas dan kejinya, namun tak seorang pun di antara pasukan tentara tengkorak yang terluka di ujung pedangnya. Dalam pada itu kawanan tentara tengkorak itu seperti pasukan yang datang dari neraka saja, berteriak dan melompat ke muka secara garang. Dengan delapan orang membentuk satu kelompok mereka menerjang dan menyerang Thio Kim-ciok secara cepat. Beberapa kali Thio Kim-ciok mengayunkan pedang melancarkan serangkaian bacokan, namun bukan saja gagal membunuh tentara tengkorak, malah sebaliknya ia harus
Pendekar Cacat 1976
mundur beberapa langkah karena terjangan maut pihak lawan. Suara bentakan menggelegar, Thio Kim-ciok mengeluarkan ilmu pedang terbangnya yang paling ganas dan mengerikan, langsung meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa. Sekalipun pasukan tengkorak merupakan kawanan jago yang telah memperoleh didikan khusus serta kebal terhadap bacokan golok dan tusukan tombak, namun setelah menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi semacam itu, tak disangka mereka berubah menjadi lapuk seperti kayu kering. Jeritan ngeri bagai teriakan setan bergema, delapan prajurit tengkorak terbabat pinggangnya hingga putus dan tewas seketika. Dalam rencana penumpasan terhadap Thio Kim-ciok hari ini, Pek Hu-tiap sama sekali tidak kuatir banyak korban yang jatuh di pihaknya. Dia menggunakan pertarungan bergilir ini dengan tujuan memaksa Thio Kim-ciok mengeluarkan ilmu pedang tingkat tingginya sehingga dia kehabisan tenaga dalam. Itulah sebabnya kesembilan orang itu tetap menyimpan tenaga serta menonton jalannya pertarungan itu dari atas bukit kecil.
Pendekar Cacat 1977
Prajurit satu demi satu saling susul roboh terkapar di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa. Akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang berhasil lolos dalam keadaan selamat, mereka tewas di ujung pedang Thio Kim-ciok dalam keadaan yang mengenaskan. Sambil berpekik keras, Thio Kim-ciok segera melejit ke tengah udara, lalu menerjang ke atas bukit kecil di hadapannya itu. Keadaan Thio Kim-ciok waktu itu sangat mengerikan, gulungan rambutnya telah terlipat sehingga menutupi sebagian wajahnya, noda darah membasahi seluruh tubuhnya. Dengan sepasang mata melotot penuh amarah dia mengawasi kesembilan orang yang berada di bukit kecil itu tanpa berkedip, lalu setelah tertawa seram, bentaknya, "Liu Khi, benarkah dia Pek Hu-tiap?" "Benar," jawab Hek-mo-ong Liu Khi dengan suara dingin. "Dia adalah istri pertamamu, Pek Hu-tiap." Lalu setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Thio Kim-ciok, mungkin kau tidak menyangka bukan bahwa orang yang hendak membunuhmu pada malam ini hampir semuanya merupakan orang-orang yang pernah kau cintai dan hormati?" Thio Kim-ciok tertawa seram, "Tiga puluh tahun aku menderita akibat dicelakai sepuluh tokoh persilatan dan tiga puluh tiga tahun kemudian kembali aku mengalami
Pendekar Cacat 1978
pengepungan yang licik dan tak tahu malu dari kalian. Tapi kalian mesti tahu, selamanya aku tak bakal mati di tangan kalian, seluruh dunia akan berada dalam kekuasaanku." Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba Thio Kim-ciok melejit lagi ke tengah udara, kemudian langsung menerjang ke arah tandu itu. Tandu kecil itu masih berada dalam gotongan Tio Tian-seng serta Gi Jian-cau, mereka tak bergerak sedikit pun juga, Pek Hu-tiap yang berada di dalam tandu pun sama sekali tidak melakukan sesuatu tindakan apa pun. Gerakan Thio Kim-ciok menerjang dengan kecepatan luar biasa, dalam waktu singkat dia sudah melayang di atas tandu kecil itu, pedang manusia cacatnya langsung diayunkan ke muka untuk mencungkil kain kerudung putih yang menutupi wajah Pek Hu-tiap. Agaknya para jago yang berada di sekelilingnya memang sedang menunggu tindakan Thio Kim-ciok itu. Pada saat bersamaan, terdengar Pek Hu-tiap yang berada dalam tandu membentak, "Thio Kim-ciok, habis sudah riwayatmu hari ini!" Tandu kecil yang sama sekali tidak bergerak ini mendadak memperdengarkan suara ledakan yang amat keras, empat dinding tenda itu tahu-tahu hancur dan berjatuhan ke atas tanah, sementara pedang berwarna putih yang tajam
Pendekar Cacat 1979
bermunculan dari balik baju Pek Hu-tiap yang lebar langsung menusuk keluar. Ketika Pek Hu-tiap melancarkan serangan, Tio Tian-seng, Gi Jian-cau, Ho Lan-hiang, Ji-kaucu, Sim Tiong-kiu, Liu Khi serta kedua orang manusia tengkoraknya serentak melancarkan pula serangan. Kesembilan jago lihai persilatan itu segera mengeluarkan jurus mengadu jiwa yang diciptakan bersama-sama untuk membendung datangnya ancaman Thio Kim-ciok. Thio Kim-ciok telah mempelajari hampir semua ilmu silat yang ada di dunia persilatan dewasa ini, para jago tahu andaikata serangan gabungan itu tidak berhasil mengenai tubuh Thio Kim-ciok, berarti untuk selamanya jangan harap mereka mampu membinasakan Thio Kim-ciok. Tapi bilamana serangan gabungan itu mengenai sasaran, maka akibatnya tak terlukiskan pula. Mimpi pun Thio Kim-ciok tidak menyangka para jago akan menggunakan serangan gabungan senekad ini untuk menghadapinya, dia tahu sudah termakan siasat lawan, tak kuasa lagi dia mendongakkan kepala dan tertawa seram. Pedang manusia cacat segera digetarkan ke atas sambil diayunkan berulang kali, berlapis-lapis cahaya pedang berwarna-warni segera memancar dari pedang pendeknya untuk melindungi seluruh tubuh.
Pendekar Cacat 1980
Siapa tahu pada saat itulah Pek Hu tiap yang duduk di dalam tandu dengan seluruh badan penuh dengan senjata tajam telah mumbul pula ke tengah udara sambil melancarkan serangan. Jerit kesakitan yang memilukan, pekikan keras, bentakan bagal guntur serentak bergema memenuhi angkasa. Bayangan orang saling menyambar di «engah udara, cahaya golok dan bayangan pedang tiba-tiba lenyap tak berbekas. Pek Hu-tiap tahu-tahu sudah terduduk di atas tanah, pakaian yang berwarna putih telah dipenuhi lubang pedang, darah segar bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Di hadapan Pek Hu-tiap berdirilah Thio Kim-ciok, di tangan kanannya masih tetap tergenggam pedang manusia cacat, sementara bagian dada, punggung dan lambungnya masing-masing terdapat empat buah luka yang mengucurkan darah segar. Dengan wajah kaget, gugup dan sedih Thio Kim-ciok sedang mengawasi wajah Pek Hu-tiap tanpa berkedip. Ternyata kain kerudung putih yang menutupi wajah Pek Hu-tlap telah terlepas, kini muncullah seraut wajah pucat, lembut, halus dan kelihatan sangat ramah.
Pendekar Cacat 1981
Di luar kedua orang itu, sudah ada tiga orang yang roboh dalam keadaan tewas, mereka adalah dua manusia tengkorak serta Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau. Sedangkan mereka yang tak roboh, tubuhnya dihiasi pula dengan berbagai macam luka yang mengakibatkan pendarahan, namun mereka tetap mengawasi wajah Thio Kim-ciok dengan pandangan penuh amarah. Setelah kulit mukanya mengencang beberapa saat, Thio Kim-ciok baru berbisik lirih, "Kau benar-benar Hu-tiap!" Dengan wajah sangat tenang dan lembut, Pek Hu-tiap kembali berkata, "Thio Kim-ciok, kau tidak menyangka bukan bahwa aku masih tetap hidup? Dan kau tak pernah menduga bukan bahwa aku akan bekerja-sama dengan musuh-musuhmu untuk membunuh dirimu! Dan kau tentunya lebih-lebih tak pernah mengira kalau pada akhirnya akan tewas di tanganku. Aku tak ingin menjelaskan lagi tentang semua dosa dan kesalahanmu. Nah, bersiaplah kau menerima kematian." Thio Kim-ciok tertawa seram, "Mati? Aku belum akan mati. Sekalipun harus mati, paling tidak baru akan mati setelah membunuh habis semua musuh besarku." Sampai di situ, tiba-tiba Thio Kim-ciok berteriak, "Ho Lanhiang, kau perempuan cabul, pembawa bencana, kubunuh dirimu lebih dulu!"
Pendekar Cacat 1982
Thio Kim-ciok memang memiliki tenaga serta kemampuan hebat. Sekalipun ia telah menderita luka parah, namun orang ini masih tetap memiliki ilmu pedang luar biasa. Tampaknya serangan Thio Kim-ciok ini sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menghindarkan diri. Tampaknya Ho Lan-hiang sendiri pun tak mampu menghindarkan diri dari serangan pedang Thio Kim-ciok. Mata pedang yang putih bersih langsung menembus dada Ho Lan-hiang, pedang manusia cacat itu telah dicabut keluar. Ho Lan-hiang tak mampu menahan diri lagi, dia menjerit ngeri dengan suara yang amat memilukan, darah segar menyembur keluar dari dadanya bagaikan air mancur. Para jago yang berada di sekitar tempat itu menjadi terbelalak dengan mulut melongo, mereka tidak percaya dengan ilmu silat Ho Lan-hiang yang begitu hebat ternyata tak mampu menahan sebuah serangan Thio Kim-ciok. Sementara itu Thio Kim-ciok yang telah mencabut keluar pedang manusia cacatnya langsung memutar mata pedang itu dan ditujukan ke Gi Jian-cau sambil bentaknya, "Gi Jiancau, kau pun harus merasakan sebuah tusukan pedangku ini."
Pendekar Cacat 1983
Serangan pedang Thio Kim-ciok ini dilakukan dengan kecepatan luar biasa. Dengan kaget bercampur ngeri Gi Jian-cau melompat mundur, namun usaha itu tidak berhasil menghindarkan diri dari ancaman. Ujung pedang lawan segera menembus dadanya, menimbulkan rasa sakit yang tak terlukiskan, tak kuasa lagi dia pun menjerit kesakitan dengan suara amat mengerikan. Liu Khi, Tio Tian-seng serta Sim Tiong-kiu tentu saja tak membiarkan pedang Thio Kim-ciok menembus dada mereka. Tanpa membuang waktu lagi mereka menerjang ke arah Thio Kim-ciok. Serangan jari, ayunan pedang dan sambaran golok dengan mengerahkan segenap kemampuan langsung mengancam tiga tempat mematikan di tubuh Thio Kim-ciok. ibarat banteng yang sudah terluka, Thio Kim-ciok nampak menyeramkan sekali, pedang manusia cacat di tangannya diangkat sejajar dada, lalu dengan kecepatan luar biasa menusuk dada SIm Tiong-kiu. Jeritan bagaikan babi disembelih segera bergema memenuhi angkasa, Sim Tiong-kiu menjadi korban ketiga yang tewas tertembus pedang manusia cacat. Namun di saat Thio Kim-ciok melepaskan tusukan ke dada SIm Tiong-kiu, punggung dan pinggangnya termakan pula
Pendekar Cacat 1984
oleh bacokan golok Liu Khi serta tusukan pedang Tio TianSeng. Bacokan golok serta tusukan pedang dua jago lihai ini kontan membuat Thio Kim-ciok meraung penuh amarah, dengan sepasang bahu bergetar keras dia berteriak lantang, "Liu Khi, kau telah mengkhianati aku." Pedang manusia cacatnya segera dicabut keluar dari tubuh Sim Tiong-kiu dan dialihkan ke arah Hek-mo-ong Liu Khi. Liu Khi tahu pertarungan ini menyangkut hidup matinya, maka sambil tertawa dingin katanya, "Thio Klm ciok, sekarang aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu, ketahuilah waktu kau membantai Pek Hu-tiap secara keji dulu, akulah yang telah menyelamatkan jiwanya dan saat itu pula dia mengundangku untuk membunuhmu dengan imbalan sebuah bukit tambang emas." "Kau tahu, Liu Khi dikenal umat persilatan sebagai seorang pembunuh bayaran, setelah menerima imbalan, tentu saja aku tak dapat ingkar janji. Oleh karena itu pada tiga puluh tiga tahun berselang aku pun mengatur sepuluh tokoh persilatan MMli 11« Uan lilaug untuk membunuhmu. Tujuanku waktu itu tak lain adalah mewujudkan janjiku terhadap Pek Hu-tiap." Thio Kim-ciok yang sebetulnya sudah «lap fntlanMrkan lUNiikan maut dengan pedang manusia cacatnya negera mengurungkan nlnt ilu, katanya dengan suara hambar, "Coba kau lanjutkan pt»rk«*t«iM*rmi llul"
Pendekar Cacat 1985
Liu Khi tertawa, kemudian katanya, "PulW k*U Mil membunuh istrimu Pek Hu-tiap tak lain karena terpikat oleh rayuan maut Ho Lan-hiang, padahal perkenalanmu dengan Ho Lan-hiang tidak lebih merupakan salah satu rencana busuk sepuluh tokoh persilatan. Oleh karena itu biarpun Pek Hu-tiap menderita musibah di tanganmu, tapi kesepuluh tokoh persilatan pun tak dapat terlepas dari tanggung-jawab ini. Karena itulah Pek Hu-tiap telah bersumpah akan membinasakan sepuluh tokoh persilatan, Ho Lan-hiang serta kau Thio Kim-ciok. Sedang aku mendapat undangan dari Pek Hu-tiap untuk melaksanakan pembunuhan itu, karena aku pun menjadi dalang semua pembunuhan yang berlangsung dalam dunia persilatan." Ketika Liu Khi mengungkapkan sumber keresahan dan musibah yang menimpa dunia persilatan selama empat puluh tahun ini, hampir semua yang hadir dalam arena sama-sama berdiri terbelalak dengan mulut melongo, sebab budi dan dendam yang telah berlangsung selama ini memang terlampau aneh, ruwet dan membingungkan. Lama setelah termenung, Liu Khi baru berkata lagi, "Semua peristiwa berdarah ini dapat berlangsung, sebabnya tak lain karena kau, yang telah membunuh istri sendiri. Nah, Thio Kim-ciok, kau sebagai sumber dari segala bencana dan musibah yang terjadi, serahkanlah jiwamu sekarang juga!" Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, Liu Khi dengan serangan goloknya yang cepat melancarkan sebuah bacokan ke depan.
Pendekar Cacat 1986
Thio Kim-ciok meraung penuh amarah, pedang manusia cacatnya secepat kilat diayunkan ke muka menyongsong datangnya bacokan itu. Pada saat itulah Pek Hu-tiap yang sedang duduk di atas rumput dengan tenang membentak, "Thio Kim-ciok, jangan kau bunuh Liu Khi." Tubuh Pek Hu-tiap yang bulat tanpa sepasang tangan dan sepasang kaki itu segera melejit bagaikan sebutir peluru besi. Golok maut Liu Khi segera membacok pinggang Thio Kimciok secara telak. Sebaliknya tubuh Pek Hu-tiap yang gemuk bulat justru menempel di atas punggung Thio Kim-ciok. Ternyata dari bagian sepasang lengan dan kaki Pek Hu-tiap yang buntung telah muncul empat bilah pedang tajam dan kini keempat pedang yang amat tajam itu telah menembus empat bagian tubuh Thio Kim-ciok di tempat yang mematikan. Seluruh tubuh Liu Khi mengejang keras, dengan langkah sempoyongan ia mundur tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan pedih, "Thio Kim-ciok, ternyata gerakan pedangmu masih setengah tingkat lebih cepat daripada gerakan golokku."
Pendekar Cacat 1987
Dalam pada itu Thio Kim-ciok yang ditunggangi Pek Hu-tiap telah berpaling, kemudian dengan suara gemetar dia berkata, "Akhirnya aku harus tewas di tanganmu, aku ... aku mati tanpa menyesal." Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, sepasang kaki Thio Kim-ciok pelan-pelan berjongkok dan akhirnya roboh terkapar di atas tanah tanpa bernyawa lagi. Dengan cepat Pek Hu-tiap menggerakkan tubuhnya mencabut keempat bilah pedangnya dari tubuh Thio Kimciok, setelah itu sambil menerkam Liu Khi, serunya, "Liu Khi, kau tak boleh mati. Kau belum melaksanakan janjimu yang kedua?" Sementara itu Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui yang menyembunyikan diri di belakang batu besar telah muncul. Terdengar Liu Khi menyahut dengan suara lemah, "Pedang manusia cacat Thio Kim-ciok telah direndam dalam racun yang sangat keji. Bukankah janjiku yang kedua adalah mencari jejak putrimu? Aku ... aku pun telah berhasil menemukannya." "Mana putriku?" seru Pek Hu-tlap dengan gelisah. "Dimanakah dia sekarang? Cepat katakan, segera akan kukatakan letak tambang emas itu." Bong Thian-gak, Song Leng Hui dan Thay-kun mendekat.
Pendekar Cacat 1988
Sepasang mata Liu Khi telah membalik ke atas, katanya lirih, "Thay-kun, kemarilah…Dia ... dia ... dialah..ibumu…kau..kau putri Thio Kim-ciok dan Pek Hutiap…sewaktu…kutolong ibumu..kau…” Namun Liu Khi tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena jiwanya sudah keburu berangkat meninggalkan raganya. Dengan suara terkejut antara kaget, gembira, pilu dan sedih, Pek Hu-tiap segera menjerit keras "Oh kau..kau putriku,… ?" Thay-kun terhenyak, begitu juga Bong Thian-gak dan Song Leng-hui. Tak dikira ternyata anak yatim piatu yang dipungut Congkaucu Ho-Lan-hiang ternyata adalah putri Pek-Hu-tiap. Thay-kun memayang Pek Hu-tiap, serunya sedih, “Kau..kau ibuku?..Ooohh..ibuuu..”. Pek Hu-tiap kaget, dengan suara pilu dan sedih ia berteriak, suaranya makin lama semakin rendah dan melemah dan akhirnya dia harus menghembuskan napas terakhirnya dengan membawa kegembiraan. Rasa gembira melihat putrinya. Ternyata Pek Hu-tiap juga sudah termakan tusukan pedang manusia cacat Thio Kim-ciok, sehingga dengan demikian dia pun tak dapat lolos dari bencana kematian ini.
Pendekar Cacat 1989
Memandang mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya, Tio Tian-seng menghela napas panjang, gumamnya seram, "Sungguh tak disangka, aku benar-benar berhasil lolos dari musibah ini. Ai, kalau dibilang siapa yang paling tidak beruntung dalam peristiwa berdarah ini, maka orang itu tak lain adalah Pek Hu-tiap serta Thio Kim-ciok suami-istri." "Ya," sahut Thay-kun sambil menghela napas sedih pula. "Kini dunia persilatan sudah tenang kembali untuk sementara waktu dan kami pun bisa hidup mengasingkan diri di bukit terpencil dengan perasaan tenang. Biarlah jenazah ayah dan ibuku kubawa ke tempat pengasingan kami. Suheng, adik Hui..mari" *** TAMAT