PEMILIHAN JENIS TANAMAN DI LAHAN HUTAN NEGARA OLEH PETANI DI SEKITAR TAHURA WAN ABDUL RAHMAN (Crop Selection in State Forest Land by Farmers Around Tahura Wan Abdul Rahman )
Indra Gumay Febryano
1
ABSTRACT Farmer’s decision making on tree planting was a part of agroferestry adoption studies. There was an important aspect that still had less concern about farmer views, especially how they choose a crop and why they do that. The aim of this study was to explain the farmer’s reasons when they choose a crop in state forest land. Method used in this study was case study through analyzing crop selection. The results showed hat: the farmer’s reasons were (1) cash income, (2) production continuity, (3) gestation t hat: period, (4) easy maintenance maintenance and harvest, (5) easy post harvest process, (6) tolerance to be planted with other crops, and (7) land tenure security; most farmers chose cacao as main crop and combined with banana in state forest land. Keywords: crop selection, state forest land, land tenure, agroforestry.
ABSTRAK Pengambilan keputusan oleh petani untuk menanam dan memelihara pohon merupakan bagian dari studi adopsi agroforestri. Ada aspek penting yang belum mendapat perhatian secara lebih mendalam, yaitu dari sisi pandangan petani, terutama bagaimana dan mengapa mereka memilih suatu jenis tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguraikan dan menjelaskan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam menentukan pemilihan jenis tanaman yang berlokasi di lahan hutan negara. Penelitian ini menggunakan menggunakan metodologi studi kasus kasus melalui analisis pemilihan jenis tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan-alasan petani dalam pemilihan jenis tanaman di lahan hutan negara adalah: (1) pendapatan uang, (2) kontinuitas produksi, (3) kecepatan berproduksi, (4) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (5) kemudahan pengolahan pascapanen, (6) kemampuan untuk ditanam dengan jenis tanaman lain, dan (7) keamanan penguasaan lahan; sebagian besar petani memilih kakao sebagai tanaman utama dan mengkombinasikannya mengkombinasikannya dengan pisang. Kata kunci: pemilihan jenis tanaman, lahan hutan negara, penguasaan lahan, agroforestri
PENDAHULUAN
Keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon merupakan hal yang penting di dalam adopsi agroforestri. Hal ini sesuai dengan penjelasan penjelasan Banister dan Nair (2003) mengenai strategi implementasi agroforestri di negara miskin seperti Haiti, yaitu berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh bagaimana petani menggunakan karakteristik rumah tangga dan lahan pertaniannya untuk mengambil keputusan adopsi 1
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
2 agroforestri. Begitu pula dengan Degrande et al. (2006) yang menyatakan bahwa keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon di Kamerun dan Nigeria ditentukan oleh suatu kumpulan yang kompleks dari faktor-faktor yang saling berkaitan, baik di dalam maupun antar komunitas. Sedangkan Zubair dan Garforth (2006) dalam penelitiannya di Pakistan menyatakan bahwa kesediaan petani untuk menanam pohon di lahannya adalah suatu fungsi dari sikap petani terhadap keuntungan dan ketidakuntungan penanaman pohon, persepsi petani mengenai pendapat dari tokohtokoh penting, dan faktor-faktor yang mendorong dan menghambat penanaman pohon di lahan pertanian. Faktor-faktor utama yang mendorong dan menghambat penentu keputusan petani untuk menanam tanaman berkayu, terutama di pekarangan juga dijelaskan oleh Krause dan Uibrig (2006) berdasarkan kasus di dataran tinggi Ethiopia Tengah. Tingkat adopsi yang relatif rendah pada integrasi pohon buah pada sistem pertanian dataran tinggi oleh petani kecil di Propinsi Isabela, Filipina yang telah dipromosikan secara luas, sangat kontras dengan penanaman tanaman perdagangan musiman (seasonal cash crops ) yang tersebar secara cepat, khususnya varietas unggulan padi dan jagung (Snelder et al. 2007). Studi tentang keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon telah banyak dilakukan, tetapi ada aspek penting yang belum mendapat perhatian secara lebih mendalam, yaitu dari sisi pandangan petani, terutama mengenai alasan-alasan petani dalam pemilihan jenis tanaman. Lubis (1997) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada pengelolaan lahan hutan di Pesisir Krui-Lampung Barat, didasari oleh pengaruh ekonomi; sebagian di antaranya hanya sebatas kebutuhan subsistensi, tapi sebagian lainnya didasari oleh adanya permintaan pasar. Sementara petani di Buniwangi-Sukabumi memilih suatu jenis tanaman untuk dibudidayakan karena mempunyai alasan-alasan yang menunjukkan orientasi produktivitas, kegunaan untuk konsumsi keluarga dan dipasarkan, dan kontinuitas (Suharjito 2002). Begitu pula dengan Krause dan Uibrig (2006) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan oleh petani dalam pemilihan jenis tanaman ditentukan oleh kegunaan dan pendapatan uang dari jenis tanaman. Sementara Snelder et al. (2007) menyatakan bahwa petani memilih jenis pohon buah tidak hanya berdasarkan nilai ekonominya saja, tetapi juga fungsi-fungsi penting lainnya yang disediakan oleh pohon. Menurut Suharjito (2002), beberapa penelitian sosial, ekonomi dan budaya yang telah dilakukan, khususnya menjelaskan hubungan antara sistem-sistem penguasaan lahan ( land tenure system ) dengan praktek agroforestri. Penelitian Brokesha dan Riley di Kenya menunjukkan bahwa privatisasi atau pemberian hak milik telah mendorong petani menanam pohon-pohon karena alasan keamanan penguasaan lahan ( the security of land tenure ). Begitu pula dengan penelitian Murray di Haiti, petani melaksanakan budidaya pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakannya pada lahan komunal atau lahan negara, karena adanya jaminan memperoleh manfaat yang lebih pasti dari lahan milik daripada lahan komunal atau lahan negara. Sedangkan penelitian Adeyoju di Nigeria menunjukkan bahwa agroforestri membutuhkan modal lebih banyak daripada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya. Sementara berdasarkan penelitian Sajise di Filipina, praktek-praktek agroforestri yang lestari telah berkembang walaupun tidak berada pada lahan yang dimiliki sendiri.
3 Penelitian-penelitian di atas yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh petani untuk memilih jenis tanaman sangat terkait dengan konteks sistem penguasaan lahan. Hal ini sangat penting, karena banyak terjadi kasus dimana program penanaman pohon yang dilakukan oleh pemerintah, di lahan hutan negara yang digarap oleh masyarakat, sering menemui kegagalan karena masyarakat enggan untuk menanam bibit tanaman yang diberikan oleh pemerintah dan lebih memilih jenis tanaman tertentu. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan memberi perhatian pada pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman di lahan hutan negara. Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa petani melakukan pengambilan keputusan untuk memilih suatu jenis tanaman tertentu dan bukan jenis tanaman yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam pemilihan jenis tanaman di lahan hutan negara. Pengetahuan dan pemahaman tentang alasan-alasan petani ini akan bermanfaat bagi berbagai pihak, seperti: Dinas Kehutanan (terutama penyuluh), universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain, yang bermaksud mengembangkan kehutanan masyarakat di lahan hutan negara. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lahan hutan negara yang digarap oleh masyarakat di Tahura Wan Abdul Rahman (Tahura WAR) yang berbatasan dengan Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Kerangka Pemikiran
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan oleh petani adalah teori “real-life choice ” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980). Tahapan pengambilan keputusan oleh petani secara lengkap, tentang pemilihan jenis tanaman, akan dapat diketahui dengan menggunakan teori ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut akan diidentifikasi, baik internal maupun eksternal. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, menggunakan metodologi studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2006). Studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti (Bungin 2006).
4 Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dan observasi partisipan. Pemilihan sampel dilakukan secara sengaja ( purposive sampling ), dimana jumlah informan kunci adalah sebanyak 21 orang petani Desa Sungai Langka yang menggarap lahan hutan negara di Tahura WAR. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teori ”real-life choice ” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980), untuk mengkaji dan menjelaskan pengambilan keputusan oleh petani, yaitu alasan-alasan petani untuk memilih jenis tanaman di lahan hutan negara.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Pengelolaan Lahan
Sebagian besar transmigran yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, mulai membuka Desa Sungai Langka pada awal tahun 1900-an. Seiring dengan pertambahan penduduk dan berkembangnya desa, penduduk mulai membuka hutan negara (Taman Hutan Rakyat Wan Abdul Rahman, dahulu Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung) yang berbatasan langsung dengan desa pada tahun 1950-an untuk dijadikan lahan bercocok tanam dan pemukiman. Terdapat tiga pemukiman di lahan hutan negara pada saat itu, yaitu Kampung Karawang, Gunung Wetan dan Batu Lapis. Jenis tanaman utama yang ditanam oleh penduduk di lahan hutan negara adalah kopi. Pada tahun 1982-1985, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mereboisasi lahan hutan negara dengan mengosongkan hutan tersebut dari pemukiman dan aktivitas penduduk. Penduduk kemudian dipindahkan melalui program transmigrasi lokal ke daerah Mesuji (Kabupaten Tulang Bawang) dan Pakuan Ratu (Kabupaten Way Kanan). Jenis tanaman yang digunakan untuk reboisasi adalah sonokeling, lamtoro dan kaliandra. Pengelolaan kebun-kebun yang berada di lahan hutan negara, yang didominasi oleh kopi, selanjutnya diserahkan kepada penduduk yang tinggal di Desa Sungai Langka (sebagian besar dengan cara memberi ganti rugi atas tanaman dan biaya/jasa perawatan kebun yang sudah dikeluarkan). Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, masyarakat beramairamai kembali menggarap lahan hutan negara. Tanaman hasil reboisasi tahun 19821985, yang sudah menutupi lahan dengan rapat, banyak yang diteres dan ditebang. Kemudian kakao mulai ditanam oleh petani di lahan hutan negara untuk menggantikan kopi pada akhir tahun 1990-an dan ditanam secara meluas pada tahun 2002. Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan negara secara formal baru dimulai ketika Departemen Kehutanan meluncurkan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada akhir tahun 1990-an yang memberi peluang kepada masyarakat setempat untuk mengelola lahan hutan negara. Kelompok tani yang bernama Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) Wana Makmur di Desa Sungai Langka dibentuk pada tanggal 13 Februari 2000 dengan maksud untuk memperoleh ijin pengelolaan HKm, walaupun sampai dengan saat ini, KPPH Wana Makmur belum juga mendapatkan ijin tersebut. Jumlah anggota yang terdaftar di KPPH Wana Wakmur sebanyak 235 anggota, dengan jumlah lahan garapan di lahan hutan negara di Tahura WAR sekitar 200 hektar.
5 Analisis Pemilihan Jenis Tanaman
Pemilihan jenis tanaman merupakan suatu cara rumah tangga petani dalam mengelola sumberdaya lahan yang dimilikinya. Dalam pengelolaan lahan hutan negara, petani telah melakukan penggantian beberapa jenis tanaman yang diusahakan. Berbagai alasan diungkapkan oleh petani berkaitan dengan sifat-sifat dari suatu jenis tanaman yang sesuai dengan harapan petani. Alasan-alasan ini kemudian dianalisis dengan teori ”real-life choice ” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980), sehingga dapat menjelaskan tahapan dalam proses pengambilan keputusan oleh petani. Teori ini menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan sehari-hari petani menempuh dua tahap. Pada tahap pertama, petani mengeliminasi semua alternatif yang tidak diinginkan dan pada tahap kedua, yang merupakan intisari dari proses keputusan, petani mengeliminasi aspek-aspek yang tidak relevan, serta menyusun alternatif-alternatif pada aspek-aspek penting. Kopi, kakao, pisang, petai, durian, vanili, cengkeh, karet, lada kelapa, tangkil, jati, kemiri, pinang, pala, alpukat
Orientasi produksi
Apakah anda mengkonsumsi atau menjual hasil tanaman X ke pasar terdekat atau kepada pedagang?
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Ya
Apakah tanaman X sesuai dengan kondisi biofisik di daerah anda?
Kondisi biofisik
Ya
Apakah anda mengetahui bagaimana cara membudidayakan tanaman X?
Pengetahuan
Ya
Waktu/tenaga kerja
Apakah anda mempunyai waktu/tenaga kerja untuk membudidayakan tanaman X?
Ya
Kemampuan investasi tanaman pohon
Apakah anda mempunyai modal untuk menunggu 4-5 tahun sampai pohon menghasilkan?
Ya
Lanjutkan ke Tahap II tanaman (kakao, kopi, cengkeh, vanili, pisang, petai, durian, jati, kelapa, tangkil)
Gambar 1 Tahap I pemilihan jenis tanaman oleh petani Desa Sungai Langka di Tahura WAR
6 Alternatif jenis tanaman utama yang sudah atau pernah ditanam oleh sebagian besar petani di lahan hutan negara adalah kakao ( Theobroma cacao ), kopi (Coffea spp), pisang ( Musaceae spp), petai (Parkia speciosa ), durian ( Durio zibethinus), vanili (Vanilla planifolia ), cengkeh (Sysygium aromaticum ), karet ( Hevea brasiliensis ), kelapa (Cocos nucifera ), tangkil (Gnetum gnemon), jati (Tectona grandis ) pinang ( Areca catechu ), kemiri ( Aleurites moluccana), pala ( Myristica fragrant ), dan alpukat ( Persea americana ). Pada tahap pertama petani mengeliminasi secara singkat alternatif jenis tanaman yang tidak memenuhi beberapa persyaratan minimal, yaitu (1) orientasi produksi, (2) kondisi biofisik, (3) pengetahuan, (4) waktu/tenaga kerja, dan (5) kemampuan investasi untuk tanaman pohon (Gambar 1). Pada umumnya, petani melalui tahap pertama ini secara cepat dan proses keputusan yang nyata terjadi pada tahap kedua. Sub kumpulan jenis tanaman yang lolos pada tahap pertama adalah kakao, kopi, cengkeh, vanili, pisang, petai, durian, jati, kelapa, dan tangkil. Sub kumpulan dari Tahap I tanaman (kakao, kopi, cengkeh, vanili, pisang, petai, durian, jati, kelapa, tangkil)
Tanaman sekunder Xi = (kopi, cengkeh, vanili, pisang, petai, durian, jati, kelapa, tangkil)
Tanaman utama X= kakao
Apakah tanaman X menghasilkan pendapatan uang ?
Ya
Apakah tanaman Xi menghasilkan pendapatan uang?
Tidak
Tidak
Apakah tanaman X berproduksi secara kontinyu (harian/mingguan)?
Ya
Apakah tanaman Xi berproduksi secara kontinyu (harian/mingguan)?
Tidak Ya
Apakah tanaman Xi cepat berproduksi?
Tidak Tidak
Tidak
Apakah tanaman Xi pemeliharaan dan pemanenannya mudah? Ya
Tidak
Stop
Tidak
Apakah tanaman Xi pengolahan pascapanennya mudah? Ya
Ya Apakah tanaman X dapat ditanam dengan tanaman lain?
Ya
Tidak
Ya Apakah tanaman X pengolahan pascapanennya mudah?
Ya
Tidak
Apakah tanaman X cepat berproduksi?
Apakah tanaman X pemeliharaan dan pemanenannya mudah?
Ya
Tidak
Tanam kakao secara monokultur
Tidak
Apakah tanaman Xi dapat ditanam dengan tanaman lain? Ya
Ya Kombinasikan tanaman X dengan Xi
Apakah ada keamanan en uasaan lahan? Ya Tanam kombinasi kakao dengan petai, durian, kelapa, jati
Tidak
Tanam kombinasi kakao dengan pisang
7 Gambar 2 Tahap II pemilihan jenis tanaman oleh petani Desa Sungai Langka di Tahura WAR Setelah alternatif-alternatif dipersempit menjadi suatu sub kumpulan yang feasible, “intisari” proses keputusan terjadi pada tahap kedua. Pada tahap ini, petani memilih alternatif-alternatif yang tersisa melalui pertimbangan aspek-aspek dari setiap alternatif. Prosedur ini berjalan sangat baik dengan membandingkan dua alternatif, yaitu antara jenis tanaman utama yang sudah ditanam saat ini dengan jenis tanaman utama sebelumnya, yaitu kakao dengan kopi. Untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan selanjutnya, dilakukan eliminasi beberapa aspek pada alternatifalternatif yang memiliki nilai yang seimbang. Setelah eliminasi aspek-aspek yang tidak relevan, petani memilih salah satu aspek, sebagian atau seluruh, dari alternatif. Pemilihan jenis tanaman dan pola tanam selanjutnya dapat digambarkan ke dalam pohon keputusan (Gambar 2). Pada tahap kedua, aspek-aspek yang menjadi pertimbangan petani di lahan hutan negara adalah: (1) pendapatan uang, (2) kontinuitas produksi, (3) kecepatan berproduksi, (4) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (5) kemudahan pengolahan pascapanen, dan (6) kemampuan untuk ditanam dengan tanaman lain, dan (7) keamanan penguasaan lahan. Jenis tanaman yang lolos pada tahap kedua dan merupakan pilihan sebagian besar petani yang menggarap lahan hutan negara adalah kombinasi tanaman kakao dengan pisang. Dari aspek-aspek di atas, terlihat bahwa yang menjadi pertimbangan utama petani adalah pendapatan uang, kontinuitas produksi, dan kecepatan berproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi petani sebenarnya masih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (orientasi subsisten), walaupun hasil dari tanaman kakao sebagai tanaman utama seluruhnya dijual oleh petani (orientasi komersial). Alasan ini diperkuat oleh kondisi biofisik, yang merupakan lahan kering, tidak sesuai untuk pertanian yang ditujukan untuk tingkat subsisten. Sementara aspek-aspek kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, kemudahan pengolahan pascapanen, kemampuan ditanam dengan tanaman lain, dan keamanan penguasaan lahan adalah aspek-aspek yang merupakan constraint yang ditentukan oleh petani atau lingkungan (dalam konteks sosial ekonomi) yang harus dipenuhi oleh alternatif jenis tanaman terpilih. Kakao menjadi sangat dominan, bahkan cenderung monokultur di lahan hutan negara. Pola tanam kakao+pisang, yang ditanam secara meluas pada tahun 2002, sebenarnya belum menjadi pola yang stabil karena pisang akan mati ketika tajuk tanaman kakao menutup rapat pada umur 9 tahun dan selanjutnya tanaman kakao akan menjadi monokultur. Kakao sebagai tanaman utama ditanam dengan jarak tanam 3x4 meter, sehingga dalam satu hektar terdapat sekitar 833 batang; sedangkan pisang ratarata sebanyak 208 rumpun. Tidak adanya keamanan penguasaan lahan, yang merupakan hak untuk memperoleh manfaat hasil hutan, membuat petani mengusahakan lahan dengan orientasi produksi jangka pendek. Hal ini sangat berhubungan dengan ijin kelola HKm dari pemerintah pada saat itu, yaitu selama jangka waktu 5 tahun (sesuai SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001). Mereka menyadari bahwa lahan yang mereka garap adalah lahan hutan negara, tetapi mereka juga membutuhkankan kepastian pengelolaan lahan yang lebih dari 5 tahun dan kemudian dapat diperpanjang; karena secara de facto kontrol petani atas lahan hutan negara yang digarap lebih kuat dibandingkan kontrol pemerintah. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah yang berciri win-win solution , di satu sisi dapat menyejahterakan masyarakat sekitar hutan negara dan di sisi
8 lain konservasi kawasan hutan negara tetap berjalan. Walaupun saat ini telah ada kebijakan baru, yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 yang memberi Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun, tetapi perangkat kelembagaan pendukungnya masih belum berkembang. Minimnya pembinaan dan sosialisasi HKm dari Dinas Kehutanan juga dapat menimbulkan resiko dan ketidakpastian bagi masyarakat untuk mengelola lahan hutan negara, sehingga pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan kegiatan konservasi di lahan hutan negara. Selain itu, yang terpenting adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya pihak kehutanan, dengan memberikan jaminan yang lebih pasti untuk memperoleh manfaat hasil hutan. Sebagian besar petani menyatakan bahwa mereka merasa trauma akibat pengusiran oleh pemerintah terhadap penduduk dari lahan hutan negara pada tahun 1982-1985, dimana pada saat itu petani tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya. Sebagian besar petani yang mengelola lahan hutan negara merasa benar dengan tindakan yang mereka lakukan, yaitu menanam kakao secara monokultur; dimana hasil analisis menunjukkan hal ini disebabkan salah satunya adalah tidak adanya keamanan penguasaan lahan. Menurut mereka hutan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitarnya, sementara petugas Dinas Kehutanan menganggap kakao bukan merupakan tanaman kehutanan, tetapi tanaman pertanian/perkebunan. Berbagai jenis program reboisasi yang dilakukan pemerintah setelah tahun 1998, khususnya di kawasan Tahura WAR, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan lain-lain, ternyata tidak berjalan dengan mulus. Petani enggan menanam jenis-jenis tanaman yang diberikan oleh pemerintah walaupun merupakan jenis-jenis tanaman serbaguna ( Multi Purpose Tree Species /MPTS), seperti karet, durian, kemiri, tangkil, petai, jambe, medang dan cempaka. Petani masih lebih menyukai menanam kakao sebagai tanaman utama yang dikombinasikan dengan pisang sebagai tanaman sekunder di lahan hutan negara. Dinas Kehutanan, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR, seharusnya mengakomodasi jenis-jenis tanaman yang dipilih oleh petani, yaitu kakao sebagai tanaman utama dan mengkombinasikannya dengan tanaman kehutanan yang dipilih oleh petani. Karena bila dilihat di lahan milik yang berada di Desa Sungai langka, ternyata kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik walaupun dikombinasikan dengan tanaman pohon lain, seperti petai, durian, kelapa atau jati. Selain kombinasi kakao dengan pisang yang sangat dominan, ada beberapa petani yang mengkombinasikan kakao dengan petai, durian, karet, cengkeh, kelapa, atau pala. Alasan petani menanam petai dan durian karena harga yang tinggi dan kemudahan dalam pemeliharaan dan pemanenan. Saat ini karet mulai banyak ditanam lagi oleh petani dengan alasan kontinuitas produksi (harian), pendapatan uang, kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, dan kemudahan pengolahan pascapanen; alasan ini hampir sama dengan alasan petani menanam pala. Selain itu alasan utama penanaman karet didorong oleh mulai menurunnya produktivitas kakao yang mulai banyak terkena penyakit. Sementara cengkeh mulai ditanam lagi dengan alasan utama harga cengkeh yang sangat tinggi (pendapatan uang) dan penanaman kelapa dilakukan dengan alasan kontinuitas produksi, kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, dan kemudahan pengolahan pascapanen. Beberapa jenis tanaman seperti randu dan jati juga ditanam sebagai pembatas dengan lahan milik/garapan petani yang lain, dan ada juga jenis tanaman yang digunakan sebagai pakan ternak, seperti trembesi (gamal). Ada juga
9 beberapa petani yang menanam vanili dan jahe secara monokultur dengan alasan harga yang sangat tinggi (pendapatan uang).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Petani di Desa Sungai Langka yang menggarap lahan hutan negara di Tahura WAR mempertimbangkan aspek-aspek, seperti: (1) orientasi produksi, (2) kondisi biofisik, (3) pengetahuan, (4) waktu/tenaga kerja, dan (5) kemampuan investasi untuk tanaman pohon, sebagai persyaratan minimal untuk mengeliminasi alternatif jenis tanaman. Alasan-alasan petani dalam pemilihan jenis tanaman, yaitu: (1) pendapatan uang, (2) kontinuitas produksi, (3) kecepatan berproduksi, (4) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (5) kemudahan pengolahan pascapanen, (6) kemampuan ditanam dengan tanaman lain, dan (7) keamanan penguasaan lahan. Jenis tanaman utama yang dipilih oleh sebagian besar petani adalah kakao yang dikombinasikan dengan pisang. Saran
Dengan potensi yang ada, seperti pengetahuan dan keinginan petani dalam membudidayakan tanaman perkebunan yang dikombinasikan dengan tanaman keras/pohon di lahan milik, serta masalah-masalah yang terjadi dalam merehabilitasi lahan hutan negara; maka Dinas Kehutanan, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR, dapat mengembangkan potensi tersebut dengan cara memanfaatkan pengetahuan petani dan memberikan jaminan agar petani dapat memperoleh manfaat dari tanaman yang ditanam di lahan hutan negara. Pihak UPTD Tahura WAR sebaiknya mengakomodasi jenis-jenis tanaman yang telah dipilih dan ditanam oleh petani di lahan hutan negara dan mengkombinasikannya dengan jenis jenis tanaman kehutanan yang sesuai dengan kebutuhan petani setempat berdasarkan aspek-aspek yang telah dipertimbangkan. Selanjutnya, hal yang terpenting adalah pihak kehutanan harus membangun kembali kepercayaan masyarakat serta meningkatkan pembinaan dan sosialisasi program HKm kepada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui kombinasi antara jenis-jenis tanaman utama yang dipilih oleh petani dengan jenis-jenis tanaman kehutanan lainnya (selain kombinasi tanaman yang sudah diusahakan oleh petani saat ini) dalam konteks agroforestri. Pengetahuan ini akan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan kehutanan masyarakat, terutama penyuluh, ketika merekomendasikan jenis jenis yang sesuai dengan aspek-aspek yang telah dipertimbangkan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Banister ME, Nair PKR. 2003. Agroforestry adoption in Haiti: the importance of household and farm characteristics. Agroforestry System 57: 149-157. Bungin B. 2003. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
10 Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Degrande A et al. 2006. Farmers’ fruit tree-growing strategies in the humid forest zone of Cameroon and Nigeria. Agroforestry System 67:159-175. Gladwin CH. 1980. A Theory of Real-Life Choice: Application to Agricultural Decisions. Di dalam: Barlet PF, editor. Agricultural Decision Making: Anthropological Contributions to Rural Development. Orlando: Academic Press, Inc. hlm. 45-85. Krause M, Uibrig H. 2006. Woody plants in smallholders’ farm systems in the central highlands of Ethiopia: a decision and behaviour modelling. Di dalam: Conference on International agricultural Research for Development ; Bonn, 1113 Okt 2006. http://www.tropentag.de/ 2006/ proceedings /node264.html [3 Des 2007]. Lubis Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper No.20 Bogor: CIFOR. Nazarullah A. 2006. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Tingkat Produksi Tanaman Kakao (Theobroma cacao ) pada Lereng yang Berbeda dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani (Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Lampung Selatan). [skripsi]. Bandar Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pattanayak et al. 2003. Taking stock of agroforestry adoption studies. Agroforestry System 57: 173-186. Snelder DJ, Klein M, Schuren SHG. 2007. Farmers preferences, uncertainties and opportunities in fruit-tree cultivation in Northeast Luzon. Agroforestry Systems 71:1 17. Suharjito D. 2002. Pemilihan jenis tanaman kebun-talun: suatu kajian pengambilan keputusan oleh petani. Manajemen Hutan Tropika: VIII(2):47-56. Yin RK. 2006. Studi Kasus Desain dan Metode. Mudzakir MD, penerjemah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Terjemahan dari: Case Study Research Design and Methods. Zubair M, Garforth C. 2006. Farm level tree planting in Pakistan: the role of farmers’ perceptions and attitudes. Agroforestry Systems 66:217-229.