Norma dan Etika dalam Media Sosial Oleh: Cosmas Eko Suharyanto, S.Kom., M.MSI. Dosen Program Studi Teknik T eknik Informatika, Universitas Putera Batam
Hadirnya teknologi informasi, khususnya internet telah merobohkan sekat-sekat dalam struktur sosial masyarakat; melahirkan simpul-simpul yang terjalin dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik (ide, teman, hobi, dll). Saat ini, lebih dari 3 miliar penduduk dunia aktif menggunakan internet, dan setengahnya berada di Asia. Indonesia menempati urutan ke-empat di kawasan Asia setelah Jepang, India dan China. Tren Media Sosial APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) merilis: dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia, 85% diantaranya diakses dari telepon seluler. Apa yang dilakukan ketika mengakses internet? 87,4% mengaku untuk mengakses media sosial. Tidak heran, Indonesia menempati rangking ke 4 pengguna Facebook dunia dunia dan urutan ke 5 pengguna twitter. Sebuah kalimat “jangan lupa update status ya…!” seakan menjadi ritual harian netizen di sebuah “negara media sosial”. Tak dapat dipungkiri, media sosial yang telah merasuk pada sendi-sendi aktivitas masyarakat akan berdampak pula pada pola komunikasi pemakainya, mulai dari rakyat jelata sampai pejabat, dari anakanak sampai lansia, dari urusan dapur rumah tangga sampai politik, dari urusan profan sampai yang sakral. Bukan hal yang asing lagi di negeri ini, para politikus, selebritis dan publik figur lainnya cenderung mempertontonkan permusuhan, saling serang, saling bully melalui media sosial, dibanding
memanfaatkannya sebagai media komunikasi yang informatif. Sebuah tempat yang berlabel “what’s on your mind? ” telah menjadi ring terbuka lengkap dengan segala atributnya. Tak jarang juga fitur share share adalah triger ampuh sebagai toa untuk menyebarkan berita yang belum terkonfirmasi atau yang biasa disebut berita hoax . Sayangnya, tidak semua orang memiliki “fitur filter ” yang mampu membendung efek negatif dari media sosial. Norma dunia maya dan dunia nyata Dunia maya; media sosial adalah jauh lebih sensitif dibandingkan dengan dunia nyata, karena kita tidak tahu berhadapan dengan siapa saja sebagai audience audience kita. Etika media sosial tidak jauh berbeda dengan etika di dunia nyata, dan kebanyakan norma-norma yang berlaku dalam sosialisasi sehari-hari harus juga diterapkan dalam media sosial. Walau media sosial juga memiliki fitur “ruang khusus” untuk status/kicauan yang bersifat personal, namun tak jarang justru ruang publik yang dipilih. Sebagai pengguna media sosial, kita selayaknya harus dapat menjaga perasaan orang lain. Bukan malah memaki, menghujat dengan kata-kata kotor bahkan berbau rasis di ruang terbuka. Malah baru-baru ini media masa dan elektronik aktif mempertontonkan keluarga artis yang sedang berseteru di media sosial. Bentuk lain yang paling buruk adalah ketika terjadi kecelakaan lalu-lintas lalu dengan seenaknya menyebarkan seenaknya menyebarkan foto-foto korban lengkap dengan darah-darahnya dan potongan tubuh yang dikumpulkan,
dan tentu saja uncensored. Dengan berdalih menyebarkan informasi, mereka tidak berpikir lagi bagaimana perasaan keluarga korban yang bisa jadi adalah follower/friends-nya. Lebih buruknya efek domino statusnya itu akan terus di share lagi. Norma Hukum UU No.11 tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sejatinya diperuntukkan untuk memberikan perlindungan masyarakat yang melakukan transaksi elektronik. Namun justru yang sering muncul dalam delik penyidikan, undang-undang ini dipakai dalam kaitannya dengan beberapa kasus yang berkaitan dengan media sosial; penghinaan dan /atau pencemaran nama baik, pemerasan, ancaman, dll (pasal 27). Surat Edaran Kapolri Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) 8 Oktober 2015 yang lalu, Kapolri Jend. Badrodin Haiti mengeluarkan surat edaran tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Surat edaran ini ditujukan untuk internal kepolisian berisi tentang cara penanganan kasus ujaran kebencian di media sosial. Dengan dikeluarkannya surat ini, diharapkan para personel polri bisa lebih memahami dan mampu menangani kasus-kasus terkait hal itu di media sosial. Selanjutnya SE Kapolri tersebut menyatakan bahwa apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. Dengan dikeluarkannya SE Kapolri tersebut, kita sebagai masyarakat
pengguna media sosial semestinya semakin berhati-hati dan melihatnya sebagai upaya preventif agar tidak berurusan dengan hukum.
Santun Bersosial Media Budaya dalam bermedia sosial semestinya juga mengakar dari budaya dalam dunia nyata orang Indonesia. Kita tidak boleh lupa bahwa kehidupan utama kita adalah kehidupan di dunia nyata. Sebagai individu yang sewajarnya sudah mengerti norma-norma pergaulan seharihari, kita semua seharusnya dapat menterjemahkan etika sosialisasi dunia riil ke dalam dunia maya; hindari mengumbar kehidupan pribadi, hargai privasi orang lain, menggunakan bahasa yang santun dan beretika, dan menghindari konten SARA dan pornografi. Tiga puluh juta pengguna internet di Indonesia adalah anak dan remaja yang semestinya kita lindungi dari konten-konten yang dapat merusak masa depan anak bangsa.