Nanomaterial: Pendekatan Baru Penanggulangan Kanker dan Diabetes Horasdia SARAGIH Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia Jl. Kolonel Masturi No. 288 Parongpong, Bandung 40559, INDONESIA e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kanker dan diabetes adalah dua jenis penyakit yang sampai saat ini masih belum dapat diatasi secara sempurna, sehingga oleh karena itu menjadi penyebab dominan kematian manusia. Efek samping kemoterapi menjadi masalah baru yang harus dihadapi oleh penderita kanker dan kurangnya suplai insulin dalam cairan darah menjadi masalah utama pada penderita diabetes. Obat kanker yang sangat beracun pada kemoterapi tidak dapat menyasar secara selektif sel-sel kanker, sel-sel normal juga cenderung dinonaktifkan. Dalam kasus diabetes, sel beta yang ada di pankreas sebagai generator insulin tidak dapat dipacu untuk memproduksi insulin sesuai kebutuhan sehingga kelebihan kandungan gula di dalam cairan darah menjadi tidak terkendali. Penemuan karakteristik nanomaterial yang unik memberikan harapan yang sangat berarti terhadap penyelesaian permasalahan di atas. Nanomaterial seperti carbon nano tube (CNT) dapat secara selektif hanya memasuki sel-sel yang terserang kanker. CNT dapat leluasa menembus membran sel dan keluar-masuk sel tanpa mengganggu kerja sel. Oleh karena itu CNT dapat dijadikan sebagai carrier pada sistim penghantaran obat pada penderita kanker pada proses kemoterapi. Sementara di lain pihak, usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kurangnya kandungan insulin di dalam darah adalah dengan teknik oral. Namun oleh karena ukuran partikel insulin yang digunakan relatif besar, maka sulit bagi insulin untuk menembus leluasa pembuluh darah. Dengan demikian, permasalahan ukuran partikel insulin harus diatasi. Teknik yang paling efektif adalah menggunakan rekayasa nanoteknologi untuk mendisain ukuran partikel insulin dalam orde nanometer, atau memacu sel beta dengan nanocitosan untuk memproduksi secara tepat insulin yang dibutuhkan. Pada tulisan ini perkembangan penangangan kedua jenis penyakit di atas dengan pendekatan nanoteknologi akan diuraikan. Kata kunci: NANOMATERIAL, SWCNT, MWCNT, NANOKITOSAN, KANKER, DIABETES.
tung pada ukuran ini dipercaya sebagai hasil dari tingginya rasio luas permukaan terhadap volume material. Beberapa tahun terakhir penelitian terhadap nanomaterial menjadi intensif dilakukan di berbagai negara, baik menyangkut metode sintesanya maupun sifat-sifat yang dihasilkannya. Pada bidang energi, nanomaterial dilibatkan untuk menghasilkan sel surya yang lebih efesien. Pada bidang kesehatan, obat-obatan dikembangkan menggunakan nanomaterial sehingga lebih cepat larut dan bereaksi untuk menghasilkan apa yang disebut dengan obat pintar (smart drug) yang dapat mencari sel-sel tumor secara presisi dan mematikannya tanpa mengganggu sel-sel sehat tetangganya (Sona, 2010; Wong et al., 2011). Berbagai metode sintesa dan terapan baru, dilaporkan hari demi hari. Proses sintesa nanomaterial dapat dilakukan secara top down maupun secara bottom up (Kumar et al., 2005). Secara top down, material yang berukuran besar digiling (grinding) sampai ukurannya
1. PENDAHULUAN Nanomaterial adalah suatu materi yang ukurannya berada pada kisaran 1-100 nanometer (nm). Materi ini dapat dalam bentuk kristal yang atomatomnya tersusun secara teratur maupun dalam bentuk non-kristal (Kumar et al., 2005). Ditemukan bahwa perilaku materi yang berukuran nanometer sangat berbeda dibanding dengan perilaku pada ukuran yang lebih besar (bulk). Perbedaan yang sangat dramatis terjadi pada sifat fisika, kimia dan sifat biologinya. Perbedaan yang terjadi memberikan manfaat yang sangat besar sehingga membawa material berukuran nanometer sebagai material unggul pada berbagai bidang terapan, termasuk biologi dan farmasi. Yang paling menarik lagi adalah sejumlah sifat-sifat yang dimilikinya dapat diubah-ubah secara signifikan melalui pengontrolan ukuran pada orde nanometer tersebut, pengaturan komposisi kimia, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi antar-partikelnya. Sifat-sifat yang bergan1
menghasilkan nanopartikel dengan distribusi ukuran yang relatif homogen. Logam koloid (nanomaterial logam dalam bentuk koloid) telah berhasil disintesa secara top down maupun secara bottom up. Secara bottom up, paduan logam organik (metalorganic) sering nakan. Paduan logam organik didekomposisi (direduksi) secara terkontrol sehingga ikatan logam dan ligannya terpisah. Ion-ion logam hasil posisi bernukleasi membentuk nukleus-nukleus yang stabil, yang dibangkitkan baik dengan menggunakan katalis maupun melalui proses tumbukan. Selanjutnya nukleus-nukleus stabil tersebut bertumbuh membentuk nanopartikel. Secara skematis proses ini ditunjukkan pada gambar 1 (Kumar et al., 2005). Untuk menghindari proses aglomerasi antara nanopartikel-nanopartikel yang ada, langkah stabilisasi dilakukan dengan menggunakan larutan separator.
berorde nanometer. Alat penggiling paling populer adalah ball mill. Di samping itu dilakukan dengan cara evaporasi. Material berukuran besar dipanaskan sampai pada temperatur uapnya sehingga terevaporasi menghasilkan partikel-partikel berukuran nanometer. Nanomaterial yang dihasilkan pada kedua cara di atas distabilisasi dengan menggunakan larutan kimia seperti polyvinyl alcohol (PVA) atau polyethilene glycol (PEG) sehingga membentuk nanokoloid yang stabil. Sayangnya, cara evaporasi berbiaya tinggi karena menggunakan peralatan yang mahal. Secara bottom up sintesa nanomaterial dilakukan dengan mereaksikan berbagai larutan kimia dengan langkah-langkah tertentu yang spesifik sehingga terjadi suatu proses nukleasi yang menghasilkan nukleus-nukleus sebagai kandidat nanpartikel setelah melalui proses pertumbuhan. Laju pertumbuhan nukleus dikendalikan sehingga
Gambar 1. Skema proses pembentukan nanomaterial logam koloid secara bottom up (Kumar et al., 2005).
tara jika ukurannya 2 nm temperatur leburnya turun menjadi 200oC. Hubungan temperatur lebur dengan ukuran partikel dinyatakan oleh persamaan 1):
2. TEMPERATUR LEBUR NANOMATERIAL Temperatur lebur suatu material sangat bergantung pada ukuran partikelnya. Semakin kecil ukuran suatu partikel makin kecil temperatur leburnya (Schaefer, 2010). Emas pada ukuran besar (bulk) memiliki temperatur lebur 1.064oC, semen-
∞
2
1
(1)
dengan Tm(∞) temperatur lebur pada ukuran bulk, α adalah suatu konstanta yang bergantung pada jenis material, ρ adalah massa jenis material, R adalah jari-jari partikel, dan H adalah kalor laten fusi material. Penurunan temperatur lebur akibat mengecilnya ukuran partikel dipahami dari konsep ikatan antar atom. Atom-atom yang menempati posisi di dalam material mengalami ikatan dengan atomatom lain yang ada di sekelilingnya dari segala arah sehingga ikatannya sangat kuat. Sementara atom-atom yang ada di permukaan hanya mengalami ikatan dari arah dalam dan dari arah samping sehingga ikatan yang dialaminya sangat lemah. Semakin kecil ukuran partikel, persentasi jumlah atom yang ada di permukaan menjadi semakin besar dibanding dengan jumlah atom yang ada di dalam partikel sehingga semakin banyak atomatom yang mengalami ikatan lemah. Akibatnya, energi ikat rata-rata antar atom makin lemah dan menurunkan temperatur lebur.
konduksi). Untuk ukuran material yang sangat besar (bulk), nilai r dapat dianggap menuju ∞ sehingga nilai suku pertama dan kedua menjadi nol. Suku kedua muncul akibat adanya tarikan Coloumb antara elektron dengan hole setelah elektron mengalami eksitasi. Ruang gerak elektron yang terbatas mengakibatkan jarak elektron dan hole menjadi terbatas dalam arti tidak bisa jauh. Akibatnya, tarikan antara keduanya selalu ada yang berimbas pada pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah mengalami eksitasi.
4. REAKTIVITAS KIMIA NANOMATERIAL Pengurangan ukuran suatu material ke orde nanometer mengubah secara drastis sifat reaktivitas kimianya. Hal ini terjadi karena fraksi jumlah atom yang menempati permukaan meningkat. Reaktivitas kimia suatu partikel sangat bergantung pada jumlah atom yang ada pada permukaan partikel tersebut karena atom-atom inilah yang akan melakukan kontak langsung dengan atom-atom partikel yang lain (Schaefer, 2010). Misalkan suatu partikel memiliki jari-jari r. Luas permukaan partikel adalah So=4πr2. Jika jarijari efektif suatu atom adalah a, maka luas penampang efektifnya adalah s=πa2. Dengan demikian, jumlah atom yang menempati permukaan partikel adalah:
3. LEBAR CELAH PITA ENERGI NANOMATERIAL Lebar celah pita energi suatu material dipengaruhi oleh ukuran partikelnya (Schaefer, 2010). Dalam prakteknya lebar celah pita energi dapat diperoleh dari pengujian dengan menggunakan spektrometer Ultraviolet Visible (UV-Vis Spectrometer). Oleh karena itu, jika lebar celah pita energi suatu material dapat diperoleh, maka ukuran partikelnya dapat ditentukan. Hubungan antara jari-jari partikel r dan lebar celah pita energi ΔE dapat dihitung dengan menggunakan perumusan yang diturunkan oleh Brus, yaitu: ∆
(3) Volume partikel adalah Vo=(4/3)πr3 dan volume satu atom adalah v=(4/3)πa3. Dengan demikian jumlah atom yang terkandung dalam partikel tersebut adalah:
,
(4)
(2)
sehingga fraksi jumlah atom yang menempati permukaan adalah:
dimana: Eg adalah energi transisi hasil pengukuran nanopartikel, EgBulk adalah energi transisi material dalam ukuran bulk, h adalah konstanta Plank, e adalah muatan elektron, mo adalah massa diam elektron, me adalah massa efektif elektron, mh adalah massa hole, ε dan εo masing-masing adalah konstanta dielektrik material dan permitivitasnya pada ruang hampa. Suku pertama pada persamaan 2 muncul sebagai akibat dari keterbatasan ruang gerak elektron dan hole di dalam partikel oleh karena ukuran partikel yang sangat kecil (orde nanometer). Efek ukuran ini memperbesar lebar celah pita energi (memperbesar jarak antara pita valensi dengan pita
(5) Dari persamaan 5 dapat secara jelas terlihat bahwa bila jari-jari partikel r diperkecil, maka fraksi jumlah atom yang terdapat di permukaan partikel akan semakin meningkat sehingga meningkatkan reaktivitas kimia partikel.
3
dan dapat dilakukan secara selektif. Untuk usaha tersebut nanomaterial harus didisain dapat berinteraksi dengan protein dan sel tanpa mengganggu aktifitas normal dari keduanya dan harus biocompatible dan tidak beracun.
5. TERAPAN NANOMATERIAL Nanomaterial memiliki potensi yang sangat besar untuk diterapkan pada bidang biologi dan farmasi. Beberapa diantaranya telah dicoba dan diinvestigasi. Mengacu pada karakteristik yang dimilikinya, beberapa jenis nanomaterial telah digunakan pada teknologi (Kumar et al. 2005): pelabelan sel, penghantaran obat (drug delivery), perusakan sel tumor dengan pemanasan (hyperthermia), dan penjelas citra magnetic resonance imaging (MRI). Pengembangan dan jenis terapan nanomaterial akan terus bertumbuh mengingat ukuran bagian-bagian dari sel sebagai unit kehidupan berada dalam orde nanometer. Protein memiliki ukuran sekitar 5 nm, DNA, yang memiliki struktur heliks, memiliki diameter sekitar 2 nm, dan masih banyak lagi bagian organ tubuh yang memiliki ukuran dalam orde nanometer. Nanomaterial memiliki kesetaraan ukuran dengan banyak bagian dalam organ tubuh. Obat-obatan yang berukuran mikrometer sulit berinteraksi dengan protein maupun bagian-bagian dari sel yang ukurannya berorde nanometer. Oleh karena faktor ukuran ini, banyak tindakan pengobatan yang gagal menyembuhkan. Nanomaterial diyakini dapat digunakan untuk mengontrol interaksi antara satu biomolekul ke biomolekul yang lain di dalam tubuh sehingga memiliki kesensitifan yang tinggi, kepresisian pengontrolan yang tinggi,
6. PELABELAN SEL Nanomaterial logam Eu dan Tb dalam bentuk batangan nano telah ditumbuhkan dan memiliki sifat fluorosens yang unik. Sifat unik fluorosens ini berkaitan dengan lebar celah pita energinya. Batangan nano logam Eu dan Tb dapat melintasi membran sel dengan baik sehingga dapat dikirim ke dalam sitoplasma dan tidak merusak sistim kerja sel. Oleh karena itu, kedua batangan nano logam tersebut dapat digunakan sebagai media pembawa (carrier) dalam menghantarkan berbagai jenis obat-obatan ke dalam sel. Sifat unik fluoresens batangan nano Eu dan Tb membuka peluang untuk diterapkan sebagai pelabel sel untuk mendeteksi dan memonitor perubahan struktur geometri sel. Hal yang menguntungkan lagi bahwa, kedua jenis logam tersebut dalam bentuk batangan nano, tidak beracun. Untuk memfungsionalisasi kedua jenis batangan nano ini, permukaan batangan dibalut dengan polimer aminopropyl trimethoxy silane (APTMS) atau mercapto-propyl trimethoxy silane (MPTMS).
(A)
(B)
Gambar 2. Potret transmission electron microscopy (TEM) batangan nanomaterial Eu (A) dan Tb (B) yang disintesa oleh Patra et al. (Patra et al., 2006).
Patra et al. telah mensintesa kedua jenis batangan nano di atas dan mengujinya pada sel 786O dan sel human umbilical vein endothelial (HUVEC). Batangan nano logam Eu dan Tb disintesa dengan teknik pemanasan menggunakan gelombang mikro dengan prekursor EuPO4·H2O dan
TbPO4·H2O. Hasilnya ditunjukkan pada gambar 2. Keberhasilan kedua batangan nano tersebut dalam melintasi membran sel 786-O dan sel HUVEC dibuktikan dengan hasil potret yang ditunjukkan pada gambar 3. 4
ran sel lebih jelas teramati bila di dalamnya terdapat batangan nano logam Eu dan Tb (gambar 3b dan 3c). Fenomena fluoresens hijau ini dihasilkan oleh ion Eu3+ dan ion Tb3+ di dalam sel. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua jenis batangan nano tersebut dapat dengan baik melintasi membran sel 786-O. Jika terjadi gangguan pada sel 786-O sehingga geometrisnya berubah, maka perubahan tersebut dapat dimonitor dengan menggunakan batangan nano logam Eu dan Tb.
Dengan menggunakan confocal laser scanning microscopy pada panjang gelombang λ = 488 nm, fluoresens batangan nano logam Eu dan Tb dalam sel 786-O menghasilkan warna hijau yang sangat jelas (gambar 3). Batangan nano logam Eu dan Tb oleh sifat fluoresennya dapat diidentifikasi berada pada sitoplasma sel. Di lain pihak, dibandingkan dengan potret sel yang tidak mengandung batangan nano logam Eu dan Tb (sel kontrol) sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3a, pola dan uku-
Gambar 3. Potret fluoresens sel 786-O yang mengandung batangan nano Eu dan Tb. (A) sel 786-O tanpa diberi batangan nano Eu dan Tb, (B) sel 786-O yang mengandung batangan nano Eu, dan (C) sel 786-O yang mengandung batangan nano Tb. Posisi yang ditandai dengan tanda panah menunjukkan fluoresens hijau tajam yang dihasilkan oleh batangan nano di dalam sel. (Patra et al., 2006).
Pada sel HUVEC, batangan nano logam Eu dan Tb tidak menghasilkan fluorosens hijau melainkan fluoresens merah, dan menunjukkan kehadirannya pada sitoplasma sel. Sifat fluoresens yang berbeda pada jenis sel yang berbeda ini menghantarkan batangan nano Eu dan Tb menjadi media pembeda sel. Oleh kehadiran kedua batangan nano Eu dan Tb pada sitoplasma sel HUVEC maka bentuk dan ukuran sel HUVEC juga sangat jelas dapat teramati. Hal ini juga menunjukkan bahwa batangan nano kedua logam di atas dapat dengan baik melintasi sel HUVEC. Dari hasil pengujian penggunaan batangan nano kedua logam Eu dan Tb terhadap kedua jenis sel 786-O dan HUVEC, dimana ditunjukkan bahwa untuk sel yang berbeda diperoleh warna fluoresens yang berbeda, maka kedua jenis batangan nano logam tersebut dapat digunakan sebagai instrumen pelabel sel termasuk mendeteksi secara dini sel-sel kanker. Pendeteksian dapat dilakukan secara presisi dan secara dini sebelum sel-sel kanker menyebar secara luas.
7. NANOMATERIAL DAN SEL KANKER: PENGHANTARAN OBAT (DRUG DELIVERY) Saat ini tindakan yang dapat dilakukan terhadap penderita kanker hanyalah memperpanjang umur penderita, tetapi tidak untuk menyembuhkan. Suatu usaha harus dilakukan untuk menemukan suatu cara sehingga tidakan berubah ke arah penyembuhan. Di berbagai negara melalui lembaga penelitian yang dimiliki saat ini sedang bekerja keras untuk hal tersebut. Kemoterapi (terapi kimia, yaitu: memasukkan zat-zat kimia atau obat-obatan ke dalam tubuh baik secara oral maupun non-oral dalam kurun waktu tertentu untuk membunuh sel-sel kanker) yang saat ini kita kenal sebagai tindakan yang dilakukan terhadap penderita kanker menjadi jalan terakhir (selain tindakan pembedahan) yang dilakukan oleh para praktisi kesehatan dalam melakukan tindakan terhadap pasien penderita kanker. Sayangnya, sasaran tuju obatan-obatan kemoterapi belum dapat secara spesifik dikendalikan menuju sel-sel yang terserang kanker. Sel-sel sehat di dalam tubuh sering menjadi korban serangan obat-obatan kemote5
sel atau organ-organ tertentu yang terserang kanker untuk menghindari penyerangan terhadap sel-sel sehat yang ada.
rapi yang sangat beracun karena juga dimasuki oleh zat-zat kimia tersebut. Oleh karena itu, efek samping kemoterapi tidak dapat dihindarkan dan bahkan menjadi masalah tambahan yang muncul pada penderita, dan sering menjadi penyebab utama kematian. Ketidak-spesifikan sasaran kemoterapi menyebabkan para praktisi kesehatan sulit untuk menaikkan dosis obat-obatan pada pelaksanaan kemoterapi, yang akhirnya tidak dapat menyelesaikan atau membunuh sel-sel kanker pada tubuh si penderita. Obatan-obatan yang digunakan belum dapat secara selektif menyasar jenis sel atau jenis organ tertentu yang spesifik di dalam tubuh. Idealnya, obatan-obatan tersebut (karena sifatnya yang sangat beracun) hanya menyasar pada target-target
a. CARBON NANO TUBE (CNT) Carbon nano tube (CNT) adalah suatu material yang disusun oleh atom-atom carbon yang saling berikatan, dimana satu atom carbon berikatan dengan tiga atom carbon yang lain. Rangkaian ikatan tersebut membentuk suatu tabung (tube) silinder yang jari-jarinya dalam orde nanometer (gambar 4). CNT dapat ditumbuhkan membentuk tabung silinder tunggal (single wall carbon nano tube, SWCNT) dan tabung silinder ganda (multi wall carbon nano tube, MWCNT).
(a)
(b)
Gambar 4. Struktur supramolekul carbon: carbon nano tube (CNT). (a) tabung silinder tunggal carbon (single wall carbon nano tube, SWCNT) dan (b) tabung silinder ganda carbon (multi wall carbon nano tube, MWCNT).
panjang tabungnya. Sifat konduktivitas panas yang baik sepanjang tabung ini disebabkan oleh fenomena konduksi balistik (ballistic conduction) sepanjang tabung. CNT dapat mentransmisikan daya panas lebih besar dari 6000 WK/m pada temperatur ruang, bandingkan dengan penghantar panas yang paling populer seperti tembaga yang hanya mampu mengkonduksikan daya panas maksimal 385 WK/m. CNT mampu stabil pada temperatur sekitar 7500C tekanan atmosfer dan sekitar 28000C pada tekanan vakum.
Unsur carbon dapat memiliki berbagai macam bentuk geometri yang setiap geometrinya memiliki sifat yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena carbon memiliki tiga kemungkinan untuk berhibridasi, yaitu: sp, sp2, dan sp3 yang merupakan konsekuensi sifatnya sebagai unsur golongan IV. CNT adalah salah satu jenis struktur supramolekul dari carbon di samping struktur-struktur lain seperti: graphene, grafit, intan, dan fullerene. Sifat Termal CNT merupakan konduktor panas yang sangat baik dibanding dengan material lain yang pernah kita kenal. SWCNT yang sangat kecil (ultra small) bahkan memperlihatkan sifat superkonduktor pada temperatur di bawah 20 K. SWCNT dan MWCNT merupakan konduktor panas yang sangat baik se-
Sifat Optik Sifat optik CNT sangat dipengaruhi oleh ukurannya. Lebar celah pita energi optiknya diperngaruhi oleh ukuran diameternya. Makin kecil diameter CNT, makin besar lebar celah pita energi op6
(M) maupun CNT yang bersifat semikonduktif (S). Gambar 6 menunjukkan warna cahaya yang diemisi oleh CNT (bersifat metalik dan semikonduktif) pada beberapa ukuran diameternya.
tiknya. Hubungan kedua parameter ini ditunjukkan pada gambar 5. Lebar celah pita energi optik ini mempengaruhi warna cahaya yang dapat diemisi olehg CNT, baik oleh CNT yang bersifat metalik
Gambar 5. Hubungan besar jari-jari CNT dengan lebar celah pita energi optiknya.
Gambar 6. Hubungan besar diameter CNT (CNT metalik (M) dan CNT semikonduktif (S)) dengan warna cahaya yang diemisi.
berbagai jenis obat-obatan ke dalam sel, termasuk ke dalam sel yang terserang kanker. Hal ini dimungkinkan karena dinding tepi tabung CNT dapat difungsionalisasi, seperti misalnya, dengan DNA, protein dan polyethylene glycol (PEG) sehingga dan oleh karena itu dimungkin bagi CNT untuk melintasi membran sel dengan leluasa dan tidak mengganggu kerja sel. SWNT sulit larut di dalam air, sehingga tidak dapat langsung digunakan sebagai pembawa. oleh karena itu diperlukan suatu modifikasi secara kimia untuk meningkatkan kelarutannya. Di samping
Sifat Kimia Sifat reaktivitas kimia CNT juga dipengaruhi oleh ukuran diameter tabungnya. Diameter CNT yang semakin kecil akan meningkatkan reaktivitas kimianya karena luas permukaan spesifiknya (luas permukaan/massa) makin membesar. Ikatan kovalen pada CNT juga dapat dimodifikasi dengan cara mendispersi CNT pada pelarut yang sesuai. Mengacu pada sifat-sifat di atas, selanjutnya CNT dicoba diterapkan pada bidang farmasi yang dirancang sebagai perangkat pembawa (carrier) 7
tahan hidup sebelum berubah struktur, (3) ke organ mana SWNT dapat ditujukan, dan (4) berakumulasi-tidaknya SWNT di dalam organ tubuh atau di bagian organ mana SWNT akan berakumulasi. Untuk menyasar organ-organ tertentu atau sel-sel tertentu di dalam tubuh, dibutuhkan molekul fungsional tertentu. Polimer PEG ditemukan sangat attraktif sebagai molekul fungsional pada SWNT dimana dapat membuat SWNT bersirkulasi dalam cairan darah dalam waktu yang cukup lama sehingga dimungkinkan untuk mencapai target-target yang tersulit di dalam tubuh (gambar 7b). Liang dan Chen melaporkan bahwa dengan menggunakan molekul fungsional PEG, SWNT menjadi sangat dinamis dan oleh karena itu dimungkinkan untuk dapat mudah melintasi membran sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Lebih menguntungkan lagi, ditemukan bahwa SWCNT yang dikonjugasi dengan PEG dapat dan hanya memasuki sel-sel yang terserang kanker.
meningkatkan kelarutannya, modifikasi kimia tersebut juga sekaligus memperbaiki kebiokompatibilitasannya dan juga meningkatkan kemampuannya untuk dapat berpenetrasi ke dalam sel. Bentuk modifikasi dapat dilakukan dengan: (1) pemasangan secara kovalen grup molekul kimia tertentu pada tubuh (keangka) SWCNT melalui reaksi konjugasi-π, (2) membalutkan berbagai jenis molekulmolekul fungsional pada dinding SWCNT, dan (3) mengisi molekul-molekul fungsional ke bagian dalam tabung SWCNT. Menkonjugasi SWNT dengan DNA adalah cara fungsionalisasi kimia yang umum dilakukan di samping dengan protein (gambar 7a). Dengan mengkonjugasi SWNT dengan DNA atau protein, maka SWNT dengan mudah dapat larut di dalam air dan sekaligus dapat mudah melintasi membran sel menuju ke sitoplasma. Jenis molekul fungsional yang dikonjugasikan ini menentukan: (1) seberapa lama SWNT berada dalam cairan darah ikut bersirkulasi, (2) sebarapa lama SWNT dapat ber-
(a )
(b)
Gambar 7. Konjugasi SWCNT dengan molekul fungsional: (a) DNA dan (b) Polyethylene glycol (PEG) (Liang dan Chen, 2010).
dapat larut dengan baik di dalam air, dan PTX yang dikonjugasikan tetap memiliki tingkat toxicity yang sama dengan PTX tanpa dikonjugasi. Di samping itu, PTX-PEG-SWCNT memiliki waktu sirkulasi yang lebih lama di dalam cairan darah dibanding dengan PTX yang tidak dikonjugasi. Konjugasi PTX-PEG-SWCNT selanjutnya digunakan untuk membawa PTX ke sel kanker untuk menonaktifkan sel kanker yang disasar. Uji coba dilakukan pada tikus yang telah dijangkiti oleh sel kanker (sel kanker payudara 4T1 dicangkokkan pada tikus). Fenomena yang diperoleh menunjukkan bahwa: (1) PTX-PEG-
Keberhasilan menkonjugasi PEG pada SWCNT sehingga menghasilkan fakta bahwa SWCNT dapat dan hanya memasuki sel yang terserang kanker, maka penggunaan SWCNT terkonjugasi PEG selanjutnya dirancang dijadikan sebagai mesin pembawa (carrier) obat-obatan anti kanker ke sel yang terserang kanker. Paclitaxel (PTX) (umum disebut sebagai taxol) adalah obat anti kanker yang lazim dipakai dalam kemoterapi. Liang dan Chen selanjutnya menguji karakteristik konjugasi PTX dengan PEG-SWCNT yang menghasilkan konjugasi PTX-PEG-SWCNT. Ditemukan bahwa konjugasi PTX-PEG-SWCNT (skema konjugasinya ditunjukkan pada gambar 8) 8
pada sel kanker, dan PEG-SWCNT relatif tetap stabil setelah pelepasan, dan (5) tidak ditemukan adanya agregasi SWCNT di dalam sel setelah PEG-SWCNT melepas PTX.
SWCNT tidak ditemukan pada sel-sel sehat tikus, (2) solubilitasnya sangat baik pada berbagai media biologi tikus, (3) PTX-PEG-SWCNT stabil selama 48 jam, (4) proses pelepasan PTX dari PEGSWCNT berlangsung dalam waktu yang cepat
Gambar 8. Skema konjugasi SWCNT dengan molekul fungsional PEG dan paclitexal (PTX) (Liang dan Chen, 2010).
Gambar 9. Kurva pertumbuhan tumor (sel kanker payudara 4T1 yang dicangkok) pada tikus yang mendapatkan berbagai perlakuan. Untreated adalah tanpa memerikan perlakuan (kontrol), Taxol adalah penyuntikan hanya dengan taxol (PTX), PEG-PTX adalah penyuntikan dengan PEG-PTX, DSPE-PEG-PTX adalah penyuntikan dengan DSPEPEG-PTX, Plain SWNT adalah penyuntikan hanya dengan SWCNT, dan PTX-PEG-SWCNT adalah penyuntikan dengan PTX-PEG-SWCNT (Liang dan Chen, 2010).
9
temperatur SWCNT sampai di atas 42oC, yang pada temperatur ini sel-sel kanker sudah menjadi tidak aktif. Kemampuan SWCNT secara selektif hanya masuk ke dalam sel kanker memungkinkan keunikan penyerapan panjang gelombang ini digunakan untuk menonaktifkan sel-sel kanker tanpa merusak sel-sel sehat tetangganya. Kam, et al. juga telah menguji coba penggunaan konjugasi PEG-SWCNT yang disinari dengan gelombang near-infrared (NIR) (808 nm) untuk memanaskan SWCNT di dalam sel kanker dalam proses menonaktifkan (membunuh) sel kanker (hyperthermia). Konjugasi PEG-SWCNT dikirim ke dalam sel HeLa yang terjangkit kanker. Selanjutnya untuk memastikan kehadiran PEGSWCNT di dalam sel, mikroskop confocal digunakan untuk memotret sel dan hasilnya ditunjukkan pada gambar 10. Mengacu pada potret yang dihasilkan, teramati bahwa PEG-SWCNT telah hadir pada sel yang terjangkit kanker, sementara pada sel sehat yang lain, PEG-SWCNT tidak ditemukan. Untuk memanaskan sel kanker tersebut, Kam, et al. menyinari sel yang di dalamnya terdapat PEG-SWCNT dengan sinar nearinfrared (NIR). Energi yang dihantarkan oleh NIR dalam bentuk gelombang tersebut diserap oleh SWCNT dan mengubahnya menjadi energi panas sehingga temperatur sel naik melebih 42oC. Temperatur sel-sel sehat tetangganya tidak naik karena pada sel-sel tersebut tidak ditemukan SWCNT. Medium biologi sel adalah transparan terhadap gelombang NIR. Pemanasan dengan cara ini pada tingkat di atas batas toleransi sel menyebabkan sel-sel kanker menjadi tidak aktif (mati), dimana prosesnya dapat secara selektif dilakukan.
Hasil kerja PTX pada sel kanker (tumor) dilihat dari perubahan volume tumor hari demi hari. Gambar 9 menunjukkan hasil yang diperoleh sepanjang 25 hari setelah disuntik dari beberapa jenis perlakuan. Suatu perubahan selama pengukuran teramati pada volume relatif tumor dimana penggunaan PTX-PEG-SWCNT dapat meredam pertumbuhan tumor secara signifikan pada dosis yang sama yaitu 5 mg/kg. Dibandingkan dengan jenis konjugasi yang lain, penggunaan PTX-PEG-SWCNT memberikan hasil yang jauh lebih baik. Pertumbuhan tumor dapat diredam secara efektif yang disimpulkan sebagai hasil kerja PTX untuk menonaktifkan (membunuh) sel-sel yang terserang kanker. Oleh karena itu, mengacu kepada fakta ini, maka dimungkinkan untuk membasmi sel kanker secara efektif dengan meningkatkan dosis PTX ke dalam sel kanker. Sementara sel-sel normal tidak mengalami gangguan.
8. NANOMATERIAL DAN SEL KANKER: HYPERTHERMIA Carbon Nano Tube SWCNT tidak saja berfungsi sebagai pembawa sebagaimana diterangkan di atas. Sifat SWCNT yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada rentang panjang gelombang dari 700-1100 nm sangat efektif digunakan untuk membunuh sel-sel kanker. Di lain pihak, sistim biologi tubuh adalah transparan pada rentang panjang gelombang tersebut. Energi yang diserap pada rentang panjang gelombang 700-1100 nm oleh SWCNT dapat meningkatkan secara efektif
Gambar 10. Potret fluoresens sel HeLa yang terjangkit kanker (FR+) yang dihuni oleh PEG-SWCNT (a) dan potret sel normal yang tidak dihuni oleh PEG-SWCNT (b) (Kam, et al., 2005).
10
abetes yang terjadi karena gagalnya sel-β memproduksi insulin pada jumlah minimum yang dibutuhkan untuk memediasi penghantaran gula darah ke dalam sel (skema sederhana pelepasan insulin oleh sel-β ditunjukkan pada gambar 12) (Poretsky, 2010); tipe-2 adalah diabetes yang terjadi karena kurangnya responsivitas reseptor insulin pada membran sel untuk merespon kehadiran insulin sebagai mediator penghantar gula darah ke dalam sel sehingga proses penghantaran gula darah ke dalam sel menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya (Poretsky, 2010).
9. NANOMATERIAL DAN DIABETES Diabetes mellitus (atau sering disebut diabetes) adalah suatu penyakit dimana kandungan gula (glucosa) pada cairan darah (gula darah) meningkat melebihi batas ambang atas (hyperglycemia). Peningkatan ini disebabkan oleh adanya gangguan yang terjadi dalam proses penghantaran glucosa ke dalam sel (Poretsky, 2010). Penghantaran glukosa ke dalam sel dimediasi oleh insulin dengan skema proses sebagaimana ditunjukkan pada gambar 11. Diabetes dibagi ke dalam dua tipe yang dikarakterisasi oleh mediator insulin, yaitu: tipe-1, di-
Gambar 11. Skema proses penghantaran glucosa (gula darah) ke dalam sel yang dimediasi oleh insulin. Pengikatan insulin oleh reseptor insulin pada membran sel menginduksi suatu sinyal transduksi yang dapat dideteksi oleh transpoter glucosa (GLUT4) sehingga GLUT4 memasukkan glucosa ke dalam sel (Poretsky, 2010).
lami salah satu tipe diabetes di atas dan dapat pula mengalami sekaligus keduanya. Beberapa cara penyelesaian telah dilakukan untuk dapat mengatasi atau menyembuhkan penderita, namun hasil yang diperoleh belum mencapai titik yang paling optimum. Oleh karena itu beberapa alternatif pengembangan sedang diinvestigasi yang salah satunya adalah melibatkan nanoteknologi (Zhirno dan Cavin, 2011; Mishra et al., 2008). Mengatasi kekurangan insulin (diabetes tipe-1) pada penderita diabetes selama ini dilakukan dengan mensuplai insulin secara eksternal yang dilakukan secara oral, suntik maupun melalui pernafasan (nasal) (Poretsky, 2010; Sona, 2010). Dengan teknik suntik, yang apabila dilakukan terus menerus setiap hari, menimbulkan masalah baru terha-
Gagalnya secara wajar gula darah masuk ke dalam sel menyebabkan kandungan gula darah di dalam cairan darah menjadi meningkat. Beberapa anjuran untuk dilakukan bagi penderita diabetes tipe-1 untuk mengontrol kandungan gula darah di dalam carian darahnya adalah: melakukan diet, khususnya terhadap makanan yang mengandung banyak glucosa; melakukan latihan fisik secara teratur, dan terapi insulin sebagai solusi kurangnya suplai insulin oleh sel-β. Diabetes tipe-2 sangat dipengaruhi oleh faktor obesitas. Obesitas dapat menyebabkan meningkatnya resistansi reseptor insulin pada membran sel. Oleh karena itu diabetes tipe-2 erat kaitannya dengan faktor keturunan dan budaya yang berkembang di lingkungannya. Seseorang dapat menga11
penghantaran melalui pernafasan, permasalahan timbul dengan terjadinya penyumbatan pada paruparu karena ukuran partikel insulin cukup besar (Murphy et al. 2008; Mishra et al., 2008). Seluruh permasalahan ini menjadi tantangan saat ini dan suatu teknik pendekatan baru harus dicari.
dap luka suntik. Pada teknik oral insulin mengalami degradasi di dalam lambung (stomach) oleh enzim gastric. Untuk mengatasi masalah ini insulin dibalut (encapsulated) dengan berbagai jenis polimer yang biodegradable. Namun oleh karena ukurannya cukup besar, balutan insulin sulit menembus masuk ke pembuluh darah. Pada teknik
Gambar 12. Skema proses pelepasan insulin oleh sel-β. Ketika kadar glucosa pada cairan darah meningkat di atas batas ambang, transporter glucosa GLUT2 akan memasukkan glucosa ke dalam sel. Glucosa yang masuk ke dalam sel meningkatkan rasio ATP:ADP di dalam sel (melalui proses glycolytic phosphorylation: glucokinaseglycolysis,respiration) sehingga menonaktifkan kanal potassium (K+) yang bertugas mendepolarisasi membran sel. Penonaktifan kanal potassium menyebabkan pembukaan kanal calcium sehingga ion-ion calcium masuk ke dalam sel. Peningkatan kandungan ion calcium di dalam sel memicu pelepasan insulin oleh sel (Poretsky, 2010).
CAP-PEG-Insulin (lihat gambar 13). Partikel insulin berukuran nanometer dibalut (coat) dengan casein untuk menghidari degradasi insulin oleh enzim gastric. Setelah diuji coba secara oral, suatu penurunan kadar gula darah terjadi secara signifikan, namun oleh karena sifat casein yang mucoadhesive maka nanopartikel CAP-PEG-Insulin terkonsentrasi pada usus halus yang mengakibatkan perlambatan proses absorpsi. Pada studi lain, Venugopalan et al. menggunakan polyethuleneglycol-dimethacrylate sebagai polimer pembalut/pembawa insulin. Polimer ini digunakan untuk memproteksi insulin dari temperatur tinggi. Setelah diuji coba pada tikus, penurunan gula darah terjadi secara signifikan (Venugo-
Permasalahan ukuran insulin pada teknik oral dan pernafasan sebagaimana diuraikana di atas dapat diatasi dengan nanoteknologi. Partikel insulin dikonstruksi dengan teknik khusus sehingga memiliki ukuran yang berada pada kisaran 1-100 nm. Morcol et al. telah berhasil mengkonstruksi nanopartikel insulin-polimer, dimana nanoinsulin dikapsulasi dengan menggunakan polimer membentuk apa yang kita sebut sebagai nanokapsul insulin atau nanopartikel insulin (Morcol et al., 2004). Polimer dalam hal ini berperan sebagai pembawa (carrier). Calcium phospatepolyethylene glyco (CAP-PEG) digunakan sebagai polimer pengkapsul dikombinasi dengan casein (protein susu) untuk membentuk nanopartikel 12
sifat yang unik diperoleh. Seluruh nanokapsul insulin dengan menggunakan berbagai ragam mer pembalut sebagaimana disebut di atas menghasilkan penurunan gula darah yang sangat signifikan. Namun diantara seluruhnya, penggunaan chitosan menghasilkan efek yang paling tinggi.
palan et al. 2001). Chitosan, dextran sulfat, dan cyclodextrin telah juga digunakan sebagai pembalut/pembawa (Pan et al., 2002). Kombinasi penggunaan dextran sulfate-chitosan sebagai polimer pembalut/pembawa menghasilkan karakteristik yang sensitif terhadap pH. Berbagai jenis polimer lain telah diuji coba untuk digunakan dan berbagai
Gambar 13. Skema nanopartikel calcium phospate-PEG-insulin-casein (Morcol et al., 2004).
Gambar 14. Skema nanopartikel dengan gerbang molekuler yang sensitif terhadap pH untuk mengontrol pelepasan insulin yang dipicu oleh kehadiran glucosa pada cairan darah (Sona, 2010).
Penghantaran nanoinsulin melalui pernafasan telah juga diinvestigasi. Grenha et al. telah mengkonstruksi nanoinsulin dengan menggunakan polimer chitosan untuk membentuk nanopartikel in-
sulin-chitosan dalam bentuk serbuk kering yang siap untuk dihirup. Efek penurunan gula darah yang dihasilkan juga sangat signifikan setelah diujikan pada tikus. Dengan menggunakan polimer 13
si dengan polymethacrylic acid-g-polyethylene glycol.
nanochitosan sebagai pembawa, jumlah nanoinsulin yang dapat dibawa sangat besar dan kemampuan melepaskan insulin pada cairan darah sangat tinggi, yaitu sekitar 75-80% dilepas selama 15 menit setelah penghirupan. Teknologi yang saat ini sedang dalam pengembangan sebagaimana dilaporkan oleh Sona (Sona, 2010) adalah pembuatan nanoporus membran yang sensitif terhadap pH (lihat gambar 14). Nanoinsulin dibalut dengan suatu polimer dimana polimer pembalutnya memiliki porus berukuran nanometer yang sensitif terhadap pH lingkungannya. Bila pH cairan darah menurun (< 7) yang disebabkan oleh meningkatnya kadar gula darah, maka gerbang nanoporus akan membuka dan insulin dilepas. Pelepasan insulin akan menurunkan kadar gula darah yang menyebabkan pH darah meningkat menuju normal (~7,4). Pada saat pH normal, gerbang nanoporus akan menutup. Polimer yang digunakan untuk membuat pembalut yang memiliki nanoporus ini adalah N, N-dimethylaminoethyl methacrylate dan polyacrylamide yang dikombina-
10. KESIMPULAN Artikel ini adalah suatu review termutakhir tentang bagaimana nanomaterial berperan sangat strategis dalam mengatasi permasalahan penyakit kanker dan diabetes, baik dalam hal diagnosa maupun dalam hal proses penyembuhannya. Sintesa dan penggunaan CNT sangat esensial dalam mendiagnosa dan menonaktifan sel-sel kanker. Sintesa dan penerapan nanochitosan sebagai pembawa insulin di lain pihak sangat menjanjikan untuk mengatasi meningkatnya kadar gluchosa pada cairan darah. Saat ini dan beberapa tahun ke depan penelitian pada kedua bidang ini sangat intensif dilakukan di berbagai negara karena begitu mendesaknya kebutuhan masyarakat dunia akan solusi terhadap kedua jenis penyakit tersebut. Kiranya pada waktunya nanti apa yang kita harapkan dapat terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA Perrault, S.D. dan Chan, W.C.W., 2010. In vivo assembly of nanoparticle components to improve targeted cancer imaging. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 107 No. 25, hal. 1119411199.
Kam, N.W.S., O’Connell, M., Wisdom, J.A., dan Dai, H., 2005. Carbon nanotubes as multifunctional biological trasporters and nearinfrared agents for selective cancer cell destruction. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 102 No. 33, hal. 11600-11605.
Sona, P.S., 2010. Nanoparticulate drug delivery systems for the treatment of diabetes. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures, Vol. 5 No. 2, hal. 411-418.
Liang, F. dan Chen, B., 2010. A review on biomedical applications of single-wall carbon nanotubes. Current Medicinal Chemistry, Vol. 17 No. 1, hal. 10-24.
Wong, C., Stylianopoulos, T., Cui, J., Martin, J., Chauhan, V.P., Jiang, W., Popovic, Z., Jain, R.K., Bawendi, M.G., dan Fukumura, D., 2011. Multistage nanoparticle delivery system forr deep penetration into tumor tissue. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 108 No. 6, hal. 2426-2431. Kumar, C.S.S.R., Hormes, J., dan Leuschner, C., 2005. Nanofabrication towards biomedical applications. Wilet-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, Germany. Zhirnov, V.V. dan Cavin, R.K., 2011. Microsystems for Bioelectronics: The Nanomorphic Cell. Elsevier Inc., Oxford, UK.
Liu, Z., Chen, K., Davis, C., Sherlock, S., Cao, Q., Chen, X., dan Dai, H., 2008. Drug delivery with carbon nanotubes for in vivo cancer treatment. Cancer Res, Vol. 68 No. 16, hal. 6652-6660. Mishra, M., Kumar, H., Singh, R.K., dan Tripathi, K., 2008. Diabetes and nanomaterials. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures, Vol. 3 No. 3, hal. 109-113. Murphy, E.A., Majeti, B.K., Barnes, L.A., Makale, M., Weis, S.M., Fuga, K.L., Wrasidlo, W., dan Cheresh, D.A., 2008. Nanoparticlemediated drug delivery to tumor vasculature suppresses metastatis. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 105 No. 27, hal. 9343-9348.
Poretsky, L., 2010. Principles of Diabetes Mellitus. 2nd Edition. Springer Science+Business Media, LLC, New York, USA. 14
very of insulin: preparation and characterization. Pharmazie, Vol. 56 No. 3, hal. 217-219. Schaefer, H.E., 2010. Nanoscience The Science of the Small in Physics, Engineering, Chemistry, Biology and Medicine. SpringerVerlag, Berlin, Germany.
Morcol, T., Nagappan, P., Nerenbaum, L., Mitchell, A., dan Bell, S.J.D., 2004. Calcium phosphate-PEG-insulin-casein (CAPIC) particles as oral delivery systems for insulin. International Journal of Pharmaceutics, Vol. 277, Issues 1-2, hal. 91-97. Venugopalan, P., Sapre, A., Venkatesan, N., dan Vyas, S. P., 2001. Pelleted bioadhesive polymeric nanoparticles for buccal deli-
15