Referat
Farmakologi Obat – Obat Pelumpuh Otot
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Anestesi dan Reanimasi RSMH Palembang
Oleh: Agustina, S.Ked 04094705055
Pembimbing: dr. Kusuma Harimin, SpAn
DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2010 HALAMAN PENGESAHAN
1
Referat yang berjudul: Farmakologi Obat – Obat Pelumpuh Otot
Oleh: Agustina, S.Ked (04094705055)
Pembimbing: dr. Kusuma Harimin, SpAn
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 25 Januari – 1 Februari 2010.
Palembang, Februari 2010 Pembimbing,
dr. Kusuma Harimin, SpAn KATA PENGANTAR
2
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Farmakologi Obat – Obat Pelumpuh Otot”. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Anestesi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Kusuma Harimin, SpAn selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan Penyusun. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat Penyusun harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudahmudahan referat ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.
Palembang, Februari 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
3
Halaman Halaman Judul............................................................................................................
i
Halaman Pengesahan..................................................................................................
ii
Kata Pengantar............................................................................................................
iii
Daftar Isi.....................................................................................................................
iv
Pendahuluan................................................................................................................
1
Transmisi Saraf - Otot.................................................................................................
1
Farmakologi Dasar Obat Pelumpuh Otot....................................................................
2
Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot............................................................
2
Struktur Kimia...............................................................................................
3
Mekanisme Kerja...........................................................................................
3
Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf – Otot.................................................
4
Farmakodinamik Obat Pelumpuh Otot...........................................................
4
Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot.............................................................
6
Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi...............................................................................
8
Dosis..............................................................................................................
8
Efek Samping.................................................................................................
9
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi.........................................................................
12
Ciri Blokade Saraf – Otot Depolarisasi..........................................................
12
Intubasi...........................................................................................................
13
Mencegah Fasikulasi......................................................................................
14
Rumatan Relaksasi Otot.................................................................................
14
Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi....................................................................
15
4
Efek Samping Otonom...................................................................................
15
Pelepasan Histamin........................................................................................
15
Metabolisme di Hati.......................................................................................
16
Ekskresi Renal...............................................................................................
16
Karakteristik Farmakologis Umum................................................................
16
Macam –Macam Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi.............................................
18
Atracurium.....................................................................................................
18
Cisatracurium.................................................................................................
20
Mivacurium....................................................................................................
22
Doxacurium....................................................................................................
23
Pancuronium..................................................................................................
24
Pipecuronium.................................................................................................
26
Vecuronium....................................................................................................
27
Rocuronium....................................................................................................
29
Pelumpuh Otot Lain....................................................................................................
30
Pembalikan Blokade Saraf – Otot...............................................................................
30
Pemilihan Obat...........................................................................................................
31
PENDAHULUAN
5
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat.
Obat-obat
spasmolitik biasa disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri punggung kronis dan kondisi fibromialgia.
Transmisi Saraf - Otot Neuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20 nm) yaitu celah sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya, terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated calcium channel ke dalam sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal dan melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada bagian khusus membran sel otot, yaitu motor end-plate. Setiap NM memiliki sekitar 5 juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya dibutuhkan sekitar 500.000 reseptor. Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1 beta, 1 gamma, dan 1 peptida delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada reseptor subunit α-β dan δ-α menyebabkan pembukaan channel yang menimbulkan potensial motor end-plate. Magnitudo potensial end-plate berhubungan secara langsung dengan jumlah asetilkolin yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil permeabilitas dan potensial end-plate kembali normal tanpa penyampaian impuls dari ujung end-plate ke seluruh membran sel serabut otot. Jika potensial end-plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan terpolarisasi, dan potensial aksi akan diteruskan ke seluruh serabut otot. Kontraksi otot kemudian akan diinisiasi oleh proses kopling eksitasi-kontraksi. Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh enzim substrat spesifik asetilkolinesterase. Enzim 6
kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan dalam end-plate membran sel motorik yang berdekatan dengan reseptor asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion channel menimbulkan repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, channel natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.
Gambar 1. Struktur NMJ
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT PELUMPUH OTOT
Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obatobat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.
Struktur Kimia Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin. Sebagai contoh, suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada kedua ujungnya.
Sebaliknya, obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium) mempunyai 7
struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem saraf pusat. Mekanisme Kerja Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot. Depolarisase end-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena pembukaan lower gate di sekitar persimpangan channel natrium sangat singkat. Setelah eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak dapat membuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin; disebut blok fase I. Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin, inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran mengalami repolarisasi.
Meskipun membran
mengalami repolarisasi, membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus potensial end-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila hanya satu subunit α yang diblok. Oleh
8
sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif. Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf-Otot Beberapa obat mungkin dapat mengganggu fungsi reseptor asetilkolin tanpa bertindak sebagai agonis ataupun antagonis. Obat-obat ini mengganggu fungsi normal tempat ikatan pada reseptor asetilkolin atau pada pembukaan dan penutupan reseptor channel. Obat-obat ini termasuk agen anestetik inhalasi, anestetik lokal, dan ketamin. Membran lipid reseptor asetilkolin adalah tempat kerja agen yang penting. Obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan penutupan ataupun pembukaan blokade channel. Selama blokade channel yang tertutup, obat-obat ini secara fisik menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat asetilkolin sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembuka blokade channel digunakan secara dependen karena obat-obat ini memasuki dan mengobstruksi channel reseptor asetilkolin hanya setelah dibuka oleh ikatan asetilkolin. Relevansi klinis dari blokade channel adalah bahwa peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi blokade saraf-otot. Obat-obat yang dapat menimbulkan blokade channel termasuk neostigmin, antibiotik tertentu, kokain, dan kuinidin. Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada ujung saraf dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.
Farmakodinamik Obat-Obat Pelumpuh Otot Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer. Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi n.ulnaris. 9
Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva dosis-respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis (Gambar 2). Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED95 vecuronium adalah 0,05 mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95% blok kedutan tunggal (dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis tersebut, dan setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95% blok. ED95 rocuronium adalah 0,3 mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi rocuronium adalah seperenam dari potensi vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat dosis rocuronium untuk menghasilkan efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain, ED 95 dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik volatil, ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.
Gambar 2 . Contoh hubungan dosisrespons. Angka yang tercantum adalah nilai perkiraan untuk
rocuronium. Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat (mata, digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot 10
skeletal. Otot yang berperan dalam penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Sebagai tambahan, obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar darah otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini. Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal 11
dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot. Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.
OBAT PELUMPUH OTOT DEPOLARISASI
Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah suksinilkolin. Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5 – 1 mg/kgBB IV, memiliki onset kerja cepat (30 – 60 detik) dan durasi kerja singkat (3 – 5 menit). Ciri ini membuat suksinilkolin obat yang 12
bermanfaat untuk relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa efek samping yang dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.
Dosis Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Dosis tersebut setara untuk 3,5 – 4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis 1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan
nafas spontan sebelum
hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke 90%. Dosis dapat bervariasi antara 0,5 – 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain
13
itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat. Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 – 5 menit) disebabkan hidrolisis oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu tempat katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi 1/20 – 1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai NMJ. Efek samping Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain: 1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5) peningkatan tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan intraokuler, 7) peningkatan tekanan intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek samping ini dapat membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian suksinilkolin. 1. Aritmia Jantung Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin dengan dosis 6 μg/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung sebagai respons terhadap dosis kedua suksinilkolin. Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
14
2. Hiperkalemia Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada pasien dengan (a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis, (b) luka bakar tingkat tiga yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal akibat denervasi, (d) trauma otot skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas. Infeksi abdomen berat telah dikaitkan dengan pelepasan kalium yang diinduksi suksinilkolin. Potensi pelepasan kalium yang eksesif setelah denervasi dapat berkembang dalam 96 jam dan bertahan sampai batas waktu tak tentu sekitar 6 bulan atau lebih lama. Premedikasi dengan dosis subparalisis obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak mempengaruhi magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada seperti pada gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat dihubungkan dengan peningkatan risiko pelepasan kalium akut setelah pemberian dosis intubasi suksinilkolin. Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang belum terdiagnosis dapat mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan cardiac arrest. Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot Duchenne baru dapat dilakukan pada usia 2 – 6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala klinisnya lebih ringan sehingga menunda waktu diagnosis. Oleh karena itu, klinisi lebih suka menghindari pemakaian suksinilkolin pada pasien pediatrik bila respons yang hampir sama dapat dicapai dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi. 3. Mialgia Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher, punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin, khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor. Mialgia yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian suksinilkolin.
15
4. Mioglobinuria Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria, khususnya pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi. 5. Peningkatan Tekanan Intragastrik Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan intensitas fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dosis nonparalisis. 6. Peningkatan Tekanan Intraokuler Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2 – 4 menit setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat transien hanya berlangsung selama 5 – 10 menit. Mekanisme terjadi peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata telah lama dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan tekanan intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan peningkatan tekanan vena sentral. 7. Peningkatan Tekanan Intrakranial Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin pada pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati secara konsisten. 8. Kontraksi Otot Terus Menerus Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter setelah pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai respons normal. Kesulitan 16
yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons normal tidak mudah dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan. Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang terusmenerus dapat mempengaruhi ventilasi paru dan membahayakan hidup.
OBAT PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASI
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih, metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik. Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti yang dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a) penurunan respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan (lemah) selama stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk obat antikolinesterase, g) tidak terjadi fasikulasi saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi. Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot skeletal berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh karena itu, ketika respons kedutan menurun beberapa serabut berkontraksi normal, sedangkan yang lain terblok secara total. Kontraksi otot skeletal yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus menerus menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih suseptibel untuk diblok oleh obat pelumpuh otot membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar yang berkelanjutan untuk mencetus responsnya. 17
Intubasi Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai onset cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh otot dapat dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih besar atau dosis awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu sampai dua kali dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat onset, namun dapat mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade. Sebagai contoh dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi akan timbul hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang terjadi dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat ke NMJ. Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan penggunaan dosis awal. Secara teoritis pemberian 10 – 15% dari dosis intubasi sebelum induksi akan membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 – 80% reseptor yang terblok (batas aman saraf – otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak reseptor untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan tanpa menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi pada pasien usia tua. Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas obat pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam intubasi pulih
18
dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang dimonitor oleh stimulator saraf perifer. Mencegah Fasikulasi Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini, tubocurarine dan rocuronium adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis suksinilkolin yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB. Rumatan Relaksasi Otot Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses pembedahan, misalnya pada operasi abdomen, atau dalam manajemen anestesi misal dalam mengendalikan ventilasi. Variabilitas antara pasien dalam respons terhadap dosis obat pelumpuh otot tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Monitoring fungsi saraf-otot dengan stimulator saraf membantu mencegah dosis yang berlebihan atau dosis yang kurang dan juga mencegah paralisis otot yang serius dalam ruang pemulihan. Dosis rumatan dengan bolus intermiten atau infus kontinu harus dipandu dengan stimulator saraf dan tanda-tanda klinis (usaha pernapasan spontan atau pergerakan).
Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi Agen-agen volatil menurunkan kebutuhan dosis obat nondepolarisasi sampai sekitar 15%. Tingkat augmentasi postsinaptik bergantung pada anestesi inhalasi (desfluran > sevofluran > isofluran dan enfluran > halotan > N2O/O2/narkotik) dan obat pelumpuh otot yang dipakai (pancuronium > vecuronium dan atracurium). Potensiasi oleh Obat Nondepolarisasi yang Lain Kombinasi beberapa obat nondepolarisasi (misal mivacurium dan pancuronium) menghasilkan blokade saraf-otot yang lebih besar dari pada efek aditif. Augmentasi yang 19
kurang pada senyawa yang memiliki hubungan dekat (vecuronium dan pancuronium) memunculkan teori bahwa potensiasi adalah hasil dari sedikit perbedaan mekanisme kerja. Efek Samping Otonom Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai perbedaan efek yang signifikan pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik. Beberapa agen yang lebih tua (tubocurarine dan pada cakupan yang lebih sempit, metocurine) memblok ganglia otonom, menghambat kemampuan sistem saraf simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung sebagai respons terhadap hipotensi dan stres intraoperatif yang lain. Sebaliknya, pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor vagal muskarinik di nodus sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang baru termasuk
atracurium,
cisatracurium,
mivacurium,
doxacurium,
vecuronium,
dan
pipecuronium adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang direkomendasikan. Pelepasan Histamin Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing kulit, dan hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun mivacurium adalah dua agen yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin H1 dan H2 mengurangi efek samping ini.
Metabolisme di Hati Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara signifikan oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada pipecuronium. Atracurium, cisatracurium, dan mivacurium adalah agen yang dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada mekanisme ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium 20
ataupun cisatracurium, namun penurunan kadar pseudokolinesterase mungkin dapat memperlambat metabolisme mivacurium. Ekskresi Renal Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal. Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak bergantung pada fungsi ginjal. Karakteristik Farmakologis Umum Beberapa variabel mempengaruhi obat pelumpuh otot nondepolarisasi. 1. Suhu Hipotermia memperpanjang blokade karena penurunan metabolisme (misal mivacurium, atracurium, dan cisatracurium) dan menunda ekskresi (misal pancuronium dan vecuronium) 2. Keseimbangan Asam-Basa Asidosis respiratorik mempotensiasi blokade sebagian besar agen nondepolarisasi dan mengantagonisasi pembalikannya. Hal ini dapat mencegah pemulihan saraf-otot pada pasien post-operatif yang mengalami hipoventilasi. Penemuan berkaitan dengan efek saraf-otot sehubungan dengan perubahan asambasa mungkin didasari oleh perubahan dalam pH ekstraseluler, pH intraseluler, konsentrasi elektrolit, atau perubahan struktural antara obat-obat (misal monokuartener versus bikuartener, steroid versus isoquinolinium). 3. Abnormalitas Elektrolit Hipokalemia dan hipokalsemia mengaugmentasi blok nondepolarisasi. Respons pasien dengan hiperkalsemia tidak dapat diprediksi. Hipermagnesia seperti yang dijumpai pada pasien dengan preeklampsia yang diterapi dengan magnesium sulfat, mempotensiasi blokade dengan berkompetisi dengan kalsium pada motor end-plate.
21
4. Usia Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat pelumpuh otot nondepolarisasi karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini tidak harus diikuti dengan penurunan kebutuhan dosis karena neonatus memiliki ruang ekstraseluler yang lebih besar menyediakan volume distribusi yang lebih besar. 5. Interaksi Obat Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi: struktur prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan membran otot. 6. Penyakit yang Diderita Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons individual terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik berakibat pada peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi plasma pada obat-obat yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang bergantung pada ekskresi melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh karena itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang lebih tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar. 7. Kelompok Otot Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif terhadap sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh otot. Secara umum, diafragma, rahang, laring, dan otot-otot wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten terhadap blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring hampir dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang hilang. Dengan pertimbangan banyak faktor yang mempengaruhi durasi dan magnitudo relaksasi otot, maka respons individu terhadap obat pelumpuh otot 22
harus dimonitor. Dosis rekomendasi harus dipertimbangkan sebagai acuan yang membutuhkan modifikasi sesuai dengan kebutuhan pasien. Sensitivitas yang bervariasi sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. MACAM – MACAM OBAT PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASI 1.
Atracurium Struktur Fisik Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan gabungan dari 10 stereoisomer.
Metabolisme dan Ekskresi Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua proses terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase nonspesifik, bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan suhu fisiologis. Dosis Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 – 60 detik untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB, kemudian 23
dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10 – 20 menit. Infus 5 – 10 μg/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara efektif. Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium dapat bekerja lebih singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa. Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya disimpan pada suhu 2–8°C karena potensinya akan berkurang 5 – 10% tiap bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu 14 hari untuk menjaga potensi. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang bergantung pada dosis terutama pada dosis di atas 0,5 mg/kgBB. Hipotensi dan Takikardia Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5 mg/kg diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang tidak terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini. Bronkospasme Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena bronkospasme berat dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma. Toksisitas Laudanosine Laudanosine, amin tersier, adalah produk penghancuran atracurium melalui eliminasi Hoffmann dan telah dihubungkan dengan eksitasi sistem saraf pusat, menyebabkan elevasi konsentrasi alveolar minimum dan bahkan mencetuskan kejang. Semua hal di atas adalah irelevan kecuali pasien mendapat dosis total yang sangat tinggi atau mengalami kegagalan hati. Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan diekskresi dalam urin dan empedu. 24
Temperatur dan Sensitivitas pH Atracurium memiliki metabolisme yang unik sehingga durasi kerja dapat memanjang akibat hipotermia dan pada cakupan yang lebih sempit oleh asidosis. Inkompatibilitas Kimia Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan melalui saluran intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental. Reaksi Alergi Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun jarang terjadi. Mekanisme yang diduga berperan adalah imunogenisitas langsung dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi antibodi yang dimediasi IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk pelumpuh otot juga telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit atracurium dan komponen struktural dari beberapa membran dialisis juga dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis. 2.
Cisatracurium Struktur Fisik Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih poten. Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium. Metabolisme dan Ekskresi Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada pH dan suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan laudanosine) tidak memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang besar, jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan pada durasi kerja. 25
Dosis Dosis intubasi adalah 0,1 – 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0 – 2,0 μg/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan vecuronium dan lebih poten dibanding atracurium. Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (2–8°C) dan harus digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan kadar histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung atau tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis setinggi 8 kali ED95. Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas laudanosine (dengan tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang lebih besar), sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.
3.
Mivacurium Struktur Fisik Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.
Metabolisme dan Ekskresi 26
Mivacurium, seperti suksinilkolin, dimetabolisme oleh pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase. Kenyataannya, pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade saraf-otot dapat berlangsung selama 3 – 4 jam. Antagonisme farmakologis dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata. Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar kolinesterase plasma yang menurun. Dosis Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 – 0,2 mg/kg. Infus menetap untuk relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat diinisiasi 4 – 10 μg/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan, namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan penyakit jantung dapat mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang meskipun jarang dapat terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15 mg/kg dengan suntikan lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit). Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 – 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I 27
suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium, vecuronium, atau rocuronium. Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya cepat, dalam pemberian mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium. 4.
Doxacurium Struktur Fisik Doxacurium adalah senyawa benzylisoquinoline yang erat berhubungan dengan mivacurium dan atracurium. Metabolisme dan Ekskresi Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis yang rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens doxacurium.
Dosis Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan dosis doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis inisial 0,02 mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan dalam dosis yang disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua, meskipun pada orang tua dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan pelepasan histamin. Karena potensinya yang lebih besar, doxacurium memiliki onset kerja yang sedikit lebih lambat dari pada pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama yang lain (4 – 6 menit). Durasi kerjanya sama dengan pancuronium yaitu 60 – 90 menit. 28
5.
Pancuronium Struktur Fisik Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul asetilkolin yang termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Metabolisme dan Ekskresi Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas tertentu. Produk metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot. Ekskresi terutama melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari obat dibersihkan oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek blokade saraf-otot diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial yang lebih besar karena ada peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang lebih rendah karena penurunan klirens plasma. Dosis Dosis 0,08 – 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat untuk intubasi dalam 2 – 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01 mg/kg setiap 20 – 40 menit. Anak – anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium tersedia dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 2–8°C tapi stabil sampai 6 bulan pada suhu ruangan. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Hipertensi dan takikardia 29
Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis adalah kombinasi stimulasi ganglionik, pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, dan penurunan pengambilan kembali katekolamin. Pancuronium harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang dengan peningkatan denyut jantung akan menimbulkan gangguan (misal penyakit arteri koronari, stenosis hipertrofik subaortik idiopatik). Aritmia Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin meningkatkan disritmia
ventrikuler
pada individu
yang
rentan.
Kombinasi
pancuronium,
antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik. Reaksi Alergi Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi pancuronium (pancuronium bromida).
6.
Pipecuronium Struktur Fisik Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan pancuronium.
Metabolisme dan Ekskresi Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%). Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada insufisiensi hepatik. 30
Dosis Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis intubasi adalah antara 0,06 – 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-anak atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara relatif pada pasien usia lanjut. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain, pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja mirip dengan pancuronium.
7.
Vecuronium Struktur Fisik Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener (pelumpuh otot
monokuartener).
Sedikit
perubahan
struktur
memberi
efek
samping
menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.
Metabolisme dan Ekskresi Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal. Vecuronium 31
adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal, durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi, perubahan klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah pemakaian lama. Dosis Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 – 2 μg/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik. Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic. Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati. Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi dengan 5 atau 10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan. Vecuronium dan tiopental 32
dapat membentuk presipitat yang dapat mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan dapat menyebabkan emboli paru. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Kardiovaskuler Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek kardiovaskuler. Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa pasien. Gagal Hati Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium biasanya tidak memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis, kecuali diberikan dengan dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.
8.
Rocuronium Struktur Fisik Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat.
Metabolisme dan Ekskresi
33
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun. Dosis Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis untuk intubasi 0,45 – 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25 menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2 mg/kg untuk
anak-anak)
menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi, namun belum akan terjadi 3 – 6 menit kemudian (injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat dibalikkan setelah 1 jam. Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 – 12 μg/kg/menit. Rocuronium durasi kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan meningkat pada penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi yang lebih besar. Efek Samping dan Pertimbangan Klinis Rocuronium pada dosis 0,9 – 1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang mendekati suksinilkolin (60 – 90 detik) sehingga cocok sebagai alternatif untuk induksi urutan cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh lebih panjang. Durasi kerja sedangnya sebanding dengan vecuronium atau atracurium. Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan efektif (menurun fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi terutama pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki kecenderungan vagolitik. Pelumpuh Otot Lain Pelumpuh otot yang sudah lama seperti tubocurarine, metocurine, gallamine, alcuronium, rapacuronium, dan decamethonium tidak lagi diproduksi atau digunakan. Tubocurarine adalah agen pelumpuh otot pertama, yang sering menyebabkan hipotensi dan 34
takikardia karena melepaskan histamin,
memblok ganglia otonom, dan dapat
menimbulkan bronkospasme karena pelepasan histamin. Metocurine adalah agen yang berhubungan dekat dengan tubocurarine sehingga memiliki banyak efek samping yang sama. Orang yang alergi iodine dapat mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap metocurine karena sediaan ini juga mengandung iodide. Gallamine memiliki sifat vagolitik. Alcuronium adalah obat nondepolarisasi kerja lama dengan sedikit sifat vagolitik. Rapacuronium memiliki onset kerja cepat, efek kardiovaskuler minimal, dan durasi kerja yang pendek. Namun, produk ini ditarik dari peredaran karena terjadi sejumlah kasus bronkospasme serius yang tidak dapat dijelaskan yang diduga akibat pelepasan histamin. Decamethonium adalah agen depolarisasi lama. Pembalikan Blokade Saraf – Otot Pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, obat-obat ini akan terdifusi dari NMJ dan dihidrolisis dalam plasma dan hati oleh enzim yang lain yaitu pseudokolinesterase. Untungnya, proses sangat cepat, karena tidak ada agen khusus untuk membalikkan blokade agen depolarisasi yang tersedia. Agen nondepolarisasi yang hanya sedikit dimetabolisme adalah mivacurium. Pembalikan blokade pelumpuh otot ini tergantung pada redistribusi, metabolisme gradual, dan ekskresi pelumpuh otot dari tubuh, atau pemberian agen khusus untuk membalikkan pasien, misal inhibitor kolinesterase yang menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Inhibisi ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada NMJ dan dapat bersaing dengan agen nondepolarisasi.
Pemilihan Obat Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium. Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah satu-satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat menyerupai 35
suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade sarafotot yang dipertahankan dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade saraf-otot, relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan histamin (atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung (pancuronium). Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium, cisatracurium, doxacurium, pipecuronium). DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents. In:
Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006. 2.
White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007. 3.
Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their
antagonists. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. 4.
Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and
physiology in anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. 5.
Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic
ganglia. In: Brunton LL, ed. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.
36
AGEN Suksinilkolin
Kelompok Senyawa Dikolin ester
Sifat Farmakologis Durasi sangat singkat; depolarisasi Durasi lama; kompetitif
D-Tubocurarine Alkaloid alami (cyclic benzylisoquinoline) Atracurium Benzylisoquinoline Durasi sedang; kompetitif (TRACRIUM)
Doxacurium (NUROMAX) Mivacurium (MIVACRON) Pancuronium (PAVULON) Pipecuronium (ARDUAN) Rocuronium (ZEMURON) Vecuronium (NORCURON)
Waktu Onset (Menit) Durasi Kerja Cara Eliminasi (Menit) 1-1.5 5-8 Hidrolisis oleh plasma kolinesterase 4-6 80-120 Eliminasi ginjal; klirens hati
2-4
30-60
Benzylisoquinoline Durasi lama; kompetitif
4-6
90-120
Benzylisoquinoline Durasi singkat; kompetitif
2-4
12-18
Ammonio steroid
Durasi lama; kompetitif
4-6
120-180
Ammonio steroid
Durasi lama; kompetitif
2-4
80-100
Ammonio steroid
Durasi sedang; kompetitif
1-2
30-60
Ammonio steroid
Durasi sedang; kompetitif
2-4
60-90
37
Degradasi Hoffman; Hidrolisis oleh plasma kolinesterase, eliminasi ginjal Eliminasi ginjal Hidrolisis oleh plasma kolinesterase Eliminasi ginjal Eliminasi ginjal; metabolisme hati dan klirens Metabolisme hati Metabolisme hati dan klirens; Eliminasi ginjal