MODUL IV PEMANASAN GLOBAL 4.1. BUMI SEMAKIN PANAS Menurut Soemarwoto (1992), yang dimaksud dengan pemanasan global ialah naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya intensitas efek rumah kaca (ERK). ERK sendiri sangatlah berguna, karena tanpa adanya ERK rata – rata suhu permukaan bumi hanyalah hanyalah –18o C. Dengan adanya ERK suhu rata – rata permukaan bumi ialah 15o C. ERK terjadi karena sinar infra-merah yang dipancarkan kembali oleh bumi terserap oleh gas terten tertentu tu yang yang disebu disebutt gas rumah rumah kaca(G kaca(GRK) RK).. GRK terpen terpentin ting g ialah ialah CO2, CFC, metan, ozon dan N2O, masing – masing kurang dari 10%. Dengan demikian pada waktu ini GRK terpenting ialah CO2 disusul oleh CFC.
Pemantulan Pemantulan atmosfer bumi menunjukkan menunjukkan kadar GRK menunjukkan menunjukkan gejala gejala terus meningkat. Karena itu orang sangat khawatir, intensitas ERK akan naik sehingga suhu perm permuk ukaa aan n bumi bumi juga juga akan akan naik naik.. Berd Berdas asar arka kan n atas atas hasi hasill pema pemant ntau auan an itu itu oran orang g memproyeksikan suhu akan naik dengan 3o C pada kira – kira tahun 2030, jadi hanya 22 tahun dari sekarang. sekarang. Karena Karena pengetahuan pengetahuan para pakar pakar tentang ERK masih masih jauh dari sempurna, maka perkiraan tentang kenaikan suhu masih banyak berbeda, bahkan ada yang memperkirakan akan terjadi pendinginan karena adanya umpan-balik negative, anta antara ra lain lain dari dari uap uap air. air. Namu Namun n demi demiki kian an,, mesk meskip ipun un masi masih h bany banyak ak terd terdap apat at ketida ketidakpa kpasti stian, an, Karena Karena pemana pemanasan san global global akan akan mempun mempunyai yai dampak dampak yang yang besar besar terhadap kesejahteraan manusia pada umumnya, seyogyanyalah kita berusaha untuk mengurangi terjadinya pemanasan global.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
1
Tabel 1. Sumbangan Berbagai Kegiatan pada Pemanasan Global No.
Jenis Kegiatan
Sumbangan pada Pemanasan global (%)
1.
Produksi dan konsumsi energi
57
2.
CFC
17
3.
Pertanian
14
4.
Penebangan hutan dan perubahan tataguna lahan
9
5.
Industri
3 100
Salah Salah satu satu penyeb penyebab ab kenaik kenaikan an CO2 yang yang merupa merupakan kan GRK terpen terpentin ting g ialah ialah peneba penebanga ngan n hutan hutan dan pembak pembakara aran n biomas biomassan sanya ya serta serta konver konversi si hutan hutan menjad menjadii tataguna lahan nir-hutan. Dengan ini karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas ke dalam atmosfer dan kemampuan bumi untuk menyerap CO2 dari udara melalui melalui fotosintes fotosintesis is hutan berkurang. Kemampuan penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon karbon disebu disebutt endapa endapan n (sink ) karbon karbon.Se .Selai lain n hutan, hutan,lau lautt merupa merupakan kan pula pula endapa endapan n karbon yang besar.setel besar.setelah ah hutan di tebang,sina tebang,sinarr matahari dapat langsung langsung mengenai mengenai permukaan tanah.Dengan kenaikan suhu itu dekomposisi bahan organic di atas dan di dalam tanah di percepat,sehingga terlepaslah karbon yang tersimpan bahan organic itu.Kegiata itu.Kegiatan n penebangan penebangan hutan di daerah tropic akhir-akhir akhir-akhir ini banyak banyak terjadi,seh terjadi,sehingga ingga timb timbul ulah ah tudu tuduha han n bahw bahwa a huta hutan n trop tropic ic merup merupak akan an peny penyeb ebab ab utam utama a terj terjad adin inya ya pemanasan global.namun masalah Ini haruslah ditinjau dalam perspektif holistik dan historik. Dalam Dalam Tabel Tabel 1 tampak tampak penyum penyumban bang g terbes terbesar ar pada pada pemana pemanasan san global global ialah ialah pembangkitan dan konsumsi energi, disusul oleh CFC. Emisi CO2 diperkirakan sebesar 8.490 juta ton karbon, yaitu 5.550 juta ton dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) dan 2.800 2.800 juta juta ton dari dari peneba penebanga ngan n dan pembak pembakara aran n hutan. hutan. Jadi Jadi 65,4% 65,4% berasa berasall dari dari pembakaran BBF yang sebagian besar terjadi di Negara maju dan 33,0% dari hutan. Amerika Serikat saja mempunyai sumbangan 17% pada emisi CO2 sedunia. CFC merupakan gas buatan manusia yang banyak digunakan dalam industri untuk untuk pembua pembuatan tan karet karet dan plasti plastic c busa, busa, dalam dalam indust industri ri elektr elektroni onika, ka, sebaga sebagaii gas pendoro pendorong ng kemasa kemasan n aeroso aerosol, l, dalam dalam mesin mesin pendin pendingin ginan an dan pembek pembeku u serta serta dalam dalam kehidupan sehari – hari untuk membersihkan pakaian. Gas sejenis juga digunakan
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
2
dalam alat pemadam kebakaran. Konsumsi CFC terbesar terdapat di Negara maju dan Negara Eropa Timur, yaitu 84% dari konsumsi sedunia. Ozon terbentuk melalui proses fotokimia. Di stratosfer pembentukan itu terjadi dari O2 dengan menggunakan energi yang tinggi dalam sinar ultraviolet. Di stratosfer itu terjadi steady state pembentukan dan penguraian ozon. Proses pembentukan dan penguraian O3 dalam stratosfer berguna bagi makhluk hidup. Di troposfer ozon terbentuk pula melalui proses fotokimia dari gas limbah pembakaran BBM yang sebagian besar terjadi di Negara maju. Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenarioskenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser , dan punahnya berbagai jenis hewan. Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
3
4.2. AKIBAT KONVERSI HUTAN Semula disangka, pembakaran hutan merupakan sumber utama N2O, tetapi akhir – akhir ini diketahui industri nylon memberikan sumbangan paling sedikit 10% dari kenaikan N2O dalam atmosfer. Industri nylon sebagian besar terdapat di Negara maju. (Semarwoto, 1992). Metan yang berasal dari sawah banyak disumbangkan oleh Negara tropik. Tetapi metan dari ternak banyak pula yang berasal dari Negara maju, karena Negara maju mempunyai banyak peternakan dengan kualitas pakan yang baik yang menaikkan produksi metan per ekor ternak . Produksi metan dari kedua sumber ini dan sumber lain, misalnya rawa dan rayap, masih belum banyak diketahui. Di dalam atmosfer, metan mengalami perusakan oleh radikal OH. Penelitian menunjukkan, karena pencemaran udara oleh industri, deplesi radikal OH di belahan bumi utara dua kali lebih besar daripada di belahan bumi selatan. Dengan lain perkataan, di belahan bumi utara perusakan metan lebih kecil daripada di belahan bumi selatan.
Pemanasan global merupakan proses geobiokimia. Karena itu kita tidak dapat meninjaunya dalam jangka pendek, melainkan harus kita lihat dalam perspektif jangka panjang. Seperti telah diuraikan di muka, hutan merupakan salah satu endapan karbon yang penting. Luas hutan sebelum zaman pertanian dapatlah sebagai luas hutan asli di bumi. Pengurangan luas hutan di daerah nir-tropik dari zaman pra-pertanian sampai sekarang adalah 6,5 juta km2 dan di daerah tropik 0,5 juta km2. Sejak kira – kira 200 tahun yang lalu, luas hutan di benua Amerika Utara juga mengalami penyusutanyang besar sebagai akibat emigrasi orang Eropa ke Amerika Utara, sampai kini pun
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
4
penebangan hutanmasih banyak tejadi di Amerika Utara. Di Amerika Utara dan Eropa sekitar 50 juta hectare dan ribuan danau rusak dan mati karna hujan asam. Walaupun di samping itu terjadi pula reboisasi jauh di bawah luas hutan yang punah dan rusak.Selain itu Negara barat pada zaman sebelum perang dunia II merupakan Negara penjajah,dan sebagai penjajah mereka telah banyak mengkorvensikan hutan topik untuk membuat perkebunan dan untuk menyediakan pangan bagi penduduk Negara penjajahannya yang merupakan tenaga kerja yang murah. Dengan demikian,baik di daerah nir-tropik maupun daerah tropik. Negara barat telah mengurangi secara besar-besaran luas hutan yang berfungsi sebagai endapan karbon. Emisi karbon dari penebangan, pembakaran dan konversi hutan juga masih di liputi oleh ketidakpastian dalam estimasi biommasa hutan,kandungan karbon dalam biamassa dan beberapa banyak biommasa yang terbakar atau membusuk.Seperti telah di uraikan di muka,hutan tidak lah homogen.Biomassa hutan berbeda-berbeda dari jenis satu ke jenis yang lain dan biomassa itu di pengaruhi oleh factor iklim dan edatik.Demikian pula kandungan karbom dalam biomassa masing-masing jenis itu.pada waktu hutan hidup dan di tebang.sebagian dari biomassa tidak membusuk,melainkan ada yang terus hidup dan tumbuh kembali.Biomassa yang di bakarpun sebagian menjadi arang sehingga karbonnya tidak terlepas ke udara.Hingga kini belum ada model emisi karbon yang dapat memperkirakan semuanya itu dengan baik.
Perlu kiranya juga di catat, dalam banyak laporan, pembalakan di Negara sedang berkembang di anggap sebagai deforestasi dengan alas an tidak adanya atau kurangnya adanya rencana pengelolaan (management plan ). Namun di Negara maju pun tidak semua pembalakan telah menggunakan rencana pengelolaan. Karena itu
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
5
pembalakan juga telah menyebabkan kerusakan hutan yang besar di Negara maju. Majalah TIME pernah mengkritik
dengan tajam Kanada yang telah menyebabkan
kerusakan hutan yang besar dengan pembalakannya. Oleh karena itu, sebenarnya yang diperlukan bukanlah Tropical Forestry Action Plan (TFAP) saja, melainkan seharusnya Global
Forestry Action Plan (GFAP). Negara sedang berkembang seyogyanya
menuntut ini, karena keselamatan hutan nir-tropik juga penting bagi keselamatan seluruh umat manusia, termasuk umat manusia di daerah tropic. Negara maju tidak dapat menganggap hutan di daerah nir-tropik sebagai urusan mereka sendiri dan hutan di daerah tropic sebagai urusan global. Uraian di atas menunjukkan, Negara maju mempunyai sumbangan terbesar dalam kenaikan GRK dan terjadinya pemanasan global,sehingga merekalah yang pertama-tama harus bertanggung jawab atas terjadinya masalah ini.Mereka telah mengakui ini untuk CO2 dari perkembangan BBF dan CFC.Dalam hal CO2 dari hutan pun mereka harus bertanggung jawab lebih besar dari pada Negara tropic.demikian pula kenaikan GRK ozon,metan dan N2O,tanggung jawab mereka tidak kecil.Uraian ini tidak bermaksud untuk menumbuhkan sikap konfrontatif terhadap Negara barat dan mempersulit kerja sama internasional untuk mengatasi masalah yang pelik ini,melainkan untuk menundukan persoalan padaa dasar ilmiah yang lebih baik dan pada proporsi yang wajar. Dengan mendudukkan permasalahannya pada dasar ilmiah yang kokoh dan secara proporsional dapatlah di cari cara pemecahan masalah yang baik dan adil.Misalnya,dalam hal emisi CO2 dari pembakaran BBF,Negara sedang berkembang masih
memerlukan
meningkatkan
konsumsi
energinya
untuk
keperluan
pembangunan.demiian pula pemanfaatan hutan,baik untuk pembalakn maupun untuk lahannya,masih sangat di perlukan.pengembangan sawah dan ternak kirannya harus lebih di tingkatkan.yang penting ialah bahwa usaha itu harus di lakukan dengan perinsip pembangunan terlanjutkan (sustainable development ) .Untuk mencapai tujuan ini
merupakan keharusan adanya kesediaan Negara maju untuk memberikan teknologinya yang hemat energi kepada Negara berkembangan,sehingga kenaikan konsumsi energi tidak akan menaikan emisi CO2 secara berlebihan.maukah mereka melakukan hal ini? pengalaman menunjukan bahwa hal ini sangat di ragukan. Khususnya dalam bidang kehutanan perlulah di sadari bahwa pembalakan yang terlanjutkan tidaklah merugikan pemanasan global.Bahan awet yang di hasilkan dari kayu tetap menyimpan karbon di dalamnya sehingga sebenarnya pembalakan yang menghasilkan barang awet malahan berguna mengurangi kadar karbon dalam atmosfer.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
6
Apabila hutan alam dikonversikan menjadi hutan tanaman industri (HTI) dengan jenis pohon yang tumbuh cepat,karbon yang tersimpan dalam HTI pada kondisi stedy state akan lebih kecil dari pada karbon yang tersimpan dalam hutan alam.Oleh karena
itu cara ini merugikan dari segi pemanasan global.Akan tetapi jika HTI itu di bangun dari hutan belukar dan dari padang rumput,kandungan karbon dari HTI pada kandisi stedy state akan lebih tinggi dari pada hutan belukar dan padang rumput sehingga
menguntungkan dari segi penangkalan pemanasan global.Lebih menguntungkan lagi ialah apabila reboisasi itu di lakukan untuk mereha bilitasi hutan alam yang telah rusak. Usaha kita untuk mengembangkan pemanfaatan hutan secara terlanjutkan haruslah di tingkatkan npengawasan pada HPH haruslah di perketat, antara lain dengan pengembangan pemantauan hutan dengan penginderaan jauh Landsat, SPOT, pemotretan udara dan penginderaan jauh dengan radar untuk mengatasi masalah penutupan awan. Citra satelit dan potret udara dapat juga dipakai sebagai bahan bukti di pengadilan, jika hal itu diperlukan. Di samping itu para HPH juga dituntut untuk meningkatkan peransertanya dalam pengawasan dengan saling mengawasi. Perlu kiranya ditekankan kewajiban pembangunan terlanjutkan hutan tidak berlaku bagi Negara sedang berkembang saja, melainkan untuk memecahkan masalah pemanasan global Negara maju pun harus melakukannya.
4.3. DAMPAK TERHADAP PERTANIAN Luas total daratan Indonesia 1,9 juta kilometer persegi, terbagi atas 17 ribu pulau. Luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif. Ibukota negara dan hampir semua ibukota provinsi berada di wilayah pantai dan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan panjang pantai total sekitar 81 ribu kilometer. Secara geografis, posisi Indonesia semacam ini rentan terhadap dampak perubahan iklim. Bagi Indonesia, dampak perubahan iklim akibat pemanasan global sudah lama kita rasakan. Jika dulu kita diajarkan musim kemarau berlangsung April-Oktober dan musim penghujan terjadi November-Maret, sekarang tidak lagi. Riset jangka panjang (Irianto, 2003) menyimpulkan, sejak 1990-an musim kemarau mengalami percepatan 4 dasarian (40 hari), dan musim hujan bisa mundur sampai 4 dasarian. Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan hari hujan berkurang 80 hari dari kondisi normal. Sedang
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
7
penurunan curah hujan maksimum mencapai 21 milimeter selama 21 dasarian (210 hari). Cuaca kian kacau, bahkan sulit diprediksi. Periode musim hujan dan musim kemarau kian kacau, sehingga pola tanam, estimasi produksi pertanian, dan persediaan pangan sulit diprediksi. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius akan menurunkan produksi pertanian Cina dan Banglades 30 persen pada tahun 2050. Dengan model IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur rata-rata 0,10-0,3 derajat celsius per dekade. Kenaikan suhu bumi akan membawa dampak ikutan yang luar biasa, yang tidak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup terbebas darinya. Produksi pangan menurun, fluktuasi dan ditribusi ketersediaan air terganggu, hama dan penyakit tanaman serta manusia menggila. Perubahan iklim akhirnya mengancam keberlanjutan kehidupan. Pertanian Indonesia sudah merasakan dampaknya. Tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk telah memicu banjir, termasuk di area sawah. Sebagai gambaran, rentang 1995-2005, total padi yang terendam banjir seluas 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya puso. Sawah yang kekeringan seluas 2.131.579 hektare, 328.447 hektare di antaranya gagal panen. Tahun lalu, 189.773 hektare dari 577.046 hektare padi gagal panen karena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 4,6 ton gabah per hektare, pada 2006 gabah yang hilang 872.955 ton.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
8
Indonesia dan negara berkembang lain bukanlah penyumbang terbesar pemanasan global. Penyebab pemanasan global adalah negara-negara maju. Penduduk AS, Kanada dan Eropa yang hanya 20,1 persen dari total warga dunia mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Sementara warga Afrika dan Amerika Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengonsumsi 10,3 persen. Ketidakadilan ini hendak dikoreksi Protokol Kyoto, tapi sayang sampai sekarang protokol ini tak efektif karena boikot AS dan Australia. Pertemuan Conference of the Parties (COP) 13 Desember 2007 di Bali menjadi penting untuk merumuskan aturan baru pascaberakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. Di luar itu, adaptasi dan mitigasi di masing-masing negara harus terus dilakukan. Untuk pertanian Indonesia, cara-cara bertani harus disesuaikan dengan situasi yang berkembang. Tanpa adaptasi, perubahan iklim akan berisiko besar. Tidak hanya produksi pangan menurun, di saat yang sama, petani akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawasan sosial dan masalah baru di kota.
Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane. Secara ekonomi, Memberamo dan Way Apo Buru yang ditanam dengan cara tabur benih langsung merupakan teknologi mitigasi gas metana yang terbaik karena bisa memberi keuntungan berturut-turut 81 dolar AS dan 82 dolar AS per hektare serta mengurangi emisi CH4 sebesar 21 persen dan 29 persen. Menjadi tugas Departemen Pertanian, terutama penyuluh di lapangan, untuk meyakinkan petani agar beralih dari IR64, varietas yang banyak ditanam saat ini. Memberamo dan Way Apo Buru bukan saja efektif menekan emisi metana, tapi memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (7-9 ton per hektare) dan berumur genjah.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
9
Di wilayah-wilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas atau lahan kering yang mengandalkan tadah hujan. Sistem pengairan sawah tidak lagi dilakukan dengan penggenangan terus-menerus, tapi cukup macakmacak. Dari uji coba lapangan, cara ini ternyata lebih hemat air dan tidak menurunkan produksi. Terobosan lain adalah memberi informasi cuaca kepada petani selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik. Informasi cuaca sudah tersedia, bahkan kualitas prediksi cuaca terbukti lebih valid ( Tempo, 6-12/8/2007). Persoalannya tinggal memperbaiki informasi cuaca dan membuatnya komunikatif, terutama bagi petani. Sejauh ini, pemanfaatan informasi cuaca masih didominasi sektor penerbangan dan militer. Bagaimana membuat petani tidak hanya bisa mengakses, tapi juga membaca cuaca dengan bahasa mereka menjadi persoalan yang perlu segera dicarikan jalan keluar. Dengan cara-cara ini petani bisa terhindar dari kerugian sekaligus menekan emisi metana (Khudori, 2007).
4.4. PENGARUH TERHADAP TATA RUANG Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pembangunan nasional. Karakteristik wilayah pesisir Indonesia diantaranya adalah :
Meliputi 81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508 pulau yang sangat beraneka ragam karakteristiknya.
Dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.1 Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
1
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
10
Terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37 kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir.
Mengandung potensi sumber daya kelautan yang sangat kaya, seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity ).
Wilayah ini merupakan sumber daya masa depan (future resources ) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal. Sebagai contoh, dari keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka secara agregat nasional baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. Sementara itu, ditinjau dari nilai investasi yang masuk, maka besaran investasi domestik dan luar negeri pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.
Pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif yang memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemanasan global (global warming ) pada dasarnya merupakan fenomena
peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect ) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
11
ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan
dan
bandara
(c)
gangguan terhadap permukiman penduduk,
(d)
pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise ) dan banjir. Walaupun dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir yang sesungguhnya masih menjadi debat dalam dunia riset, dalam makalah ini dapat dikemukakan skenario kenaikan muka air laut yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (1990), dimana disebutkan adanya 3 (tiga) skenario kenaikan permukaan air
laut (sea level rise). Beberapa studi yang dilakukan untuk Indonesia menggunakan skenario moderat yakni kenaikan sebesar ± 60 cm hingga akhir abad 21 sebagai pijakan. Adapun skenario tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 2 Perkiraan Kenaikan Permukaan Air Laut (dalam cm) Skenario Sea Level
1990
2030
2070
2100
Rendah (low)
0
8
21
31
Rata-Rata (average)
0
18
44
66
Tinggi (high) 0 Sumber : IPCC Skenario-A (1990)
29
71
110
Rise
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
12
pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.2 Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (19821993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya. Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
2
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
13
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang ihanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,3 dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. 1.
Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya
pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.4 2.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih
diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun
waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
3
4
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
14
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku) Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam,
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
15
dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut : •
Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasankawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
•
Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; areaarea yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
•
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater ) atau tanggul
banjir (seawalls ) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment ). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature ”. Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulaupulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
16
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benarbenar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir. Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut : •
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment ) dapat tetap berlangsung.
•
Mengurangi kerentanan (vulnerability )
dari kawasan
pesisir
dan
para
pemukimnya (inhabitants ) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards ) lainnya. •
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management ). (anonim,
4.5. STUDI KASUS Kasus 1 Peringatan Panel Perubahan Iklim
Dampak Pemanasan Global Tak Bisa Diperbaiki Valencia – Kurang dari tiga minggu sebelum Konferensi Perubahan Iklim penting di Bali, para pakar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Jumat (16/11), menyepakati sebuah rancangan yang memperingatkan pemanasan global dapat berkonsekuensi lebih jauh dan tidak bisa diperbaiki. Laporan Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC), otoritas pemenang Nobel Perdamaian 2007, dirancang untuk memandu para pembuat kebijakan dalam lima tahun mendatang. Delegasi dalam pertemuan IPCC di Valencia menyepakati rancangan setelah perundingan alot sepanjang malam, kata Ketua Delegasi Prancis Marc Gillet kepada AFP. Kegiatan-kegiatan manusia “dapat
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
17
memicu perubahan iklim dan dampak yang tiba-tiba dan tidak dapat diperbaiki” merupakan teks yang disepakati. Laporan itu akan secara resmi dipakai, Sabtu (17/11) ini, dilanjutkan dengan konferensi pers yang dihadiri Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon. Laporan itu merangkum tiga dokumen yang dikeluarkan tahun ini meliputi bukti-bukti perubahan iklim, saat ini dan kemungkinan dampaknya, serta pilihan-pilihan untuk mengatasi bahayanya. Setelah Sabtu ini, perhatian akan beralih ke pertemuan penting di Bali, Indonesia, tempat pemerintah-pemerintah akan menyusun sebuah “peta jalan” untuk perundingan yang berpuncak pada kesepakatan menurunkan emisi karbon dan membantu negara-negara berkembang mengatasi perubahan iklim. Tak Dapat Diperbaiki
Pakar-pakar IPCC sepakat bahwa meningkatnya suhu bumi terpantau dalam beberapa dasawarsa secara prinsip disebabkan manusia, bukan alamiah. Dampak perubahan iklim telah tampak, dalam bentuk berkurangnya gletser dan salju di wilayah Alpine, menipisnya lautan es di kutub, menurut tiga laporan IPCC yang sudah dikeluarkan lebih awal tahun ini. Namun, ketidaksepakatan tajam muncul selama lima hari perundingan di Valencia untuk menghasilkan sebuah rangkuman, meski temuan-temuan utama tetap tidak disentuh. Delegasi Amerika Serikat (AS) secara khusus menilai kata “tidak dapat diperbaiki” (irreversible) dalam perubahan iklim dan dampaknya adalah tidak tepat. Mereka didebat, contohnya, mencairnya gletser atau lapisan es – yang dapat menaikkan permukaan laut beberapa meter - “tidak dapat diperbaiki”. Di 2100, suhu permukaan rata-rata dapat meningkat antara 1,1 hingga 6,4 derajat Celcius dibandingkan tingkat pada 1980-99. Sementara itu, permukaan laut akan naik antara 18-59 sentimeter, menurut perkiraan IPCC. Gelombang panas, badai hujan, kekeringan, siklon tropis dan meningkatnya permukaan laut merupakan di antara berbagai kejadian yang akan lebih kerap terjadi, lebih meluas dan/atau lebih intens dalam dasawarsa ini. Sebagai dampaknya, kekurangan air, kelaparan, banjir dan kerusakan pada permukiman akan lebih mengancam. “Seluruh negara” akan terkena dampaknya, menurut IPCC. (ant/afp/ega) http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/17/lua01.html
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
18
Kasus 2 Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk beradaptasi dengan dampak ekstrem pemanasan global? Jakarta, 21 April 2006 – “Ini menunjukkan bahwa dunia internasional menganggap ancaman perubahan iklim sebagai ancaman serius abad ini bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.” ujar Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif WWF-Indonesia, menanggapi dicanangkannya pemanasan global sebagai tema Hari Bumi selama 3 tahun ke depan. “Menurut laporan IPCC (Panel Ahli tentang Perubahan Iklim) dalam 100 tahun terakhir suhu bumi telah meningkat sekitar 0,7 C,” lanjutnya. IPCC memprediksikan jika tidak ada upaya yang dilakukan secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 5,8◦C, terhitung dari tahun 1990. Para ahli perubahan iklim dunia percaya bahwa jika kenaikan temperatur rata-rata pada tahun 2100 melebihi 2◦C dari suhu rata-rata tahun 1900, maka akan terjadi kepunahan banyak spesies dan ekosistem. WWF bersama banyak lembaga konservasi lingkungan di dunia mendukung pernyataan di atas. “Sebagian besar ekosistem tidak akan mampu beradaptasi terhadap pemanasan global, maka secara tegas kami menyerukan agar semua pihak berupaya agar kenaikan suhu bumi secara global tidak melebihi 2oC dari suhu pada masa sebelum revolusi industri,” tambah Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim dan Energi WWF-Indonesia. Berdasarkan Laporan WWF, Habitat at Risk (2002), lebih dari 80% spesies tanaman dan binatang akan punah bila emisi karbon meningkat dua kali lipat dalam 100 tahun mendatang. Bagaimana dengan Indonesia?
“Sebagai negara kepulauan, Indonesia dipastikan sangat rentan terhadap berbagai dampak ekstrem perubahan iklim. Dan hingga saat ini sudah banyak dampak-dampak perubahan iklim yang telah dirasakan,” jelas Eka. Pada tahun 1997/1998, El Nino telah menyebabkan terjadinya peristiwa pemutihan karang secara luas di beberapa wilayah seperti bagian timur Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu, 90 -95% terumbu karang yang berada hingga kedalaman 25 meter mengalami kematian akibat pemutihan karang (Reefs at Risk in Southeast Asia, WRI, 2002) . Sementara di Bali Barat sendiri pemutihan karang menyerang sekitar 75-100% tutupan karang. Peristiwa El Nino tersebut juga telah mengakibatkan terbakarnya kawasan hutan yang hampir seluas 10 juta ha (FWI, 2001). Sementara 80% dari kejadian tersebut terjadi di lahan gambut. Padahal lahan gambut merupakan penyerap emisi karbon terbesar di dunia. Akibat peristiwa ini, sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfer. “Kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa ini tidak sedikit, lebih dari US$ 3 milyar. Termasuk di dalamnya dampak terhadap kesehatan, transportasi dan industri
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
19
pariwisata,” jelas Fitrian Ardiansyah, Koordinator untuk Restorasi Hutan dan Mitigasi Ancaman, Program Kehutanan WWF-Indonesia. Apa yang harus dilakukan?
Indonesia sebagai negara yang kegiatan ekonominya masyarakatnya bersandar pada sumber daya alam sangatlah rentan terhadap perubahan iklim. Sektor pertanian, kesehatan, perikanan, kelautan, pariwisata, kehutanan, dan perindustrian merupakan sektor-sektor yang kritis terkena dampak. Untuk itu, sektor-sektor tersebut perlu ditingkatkan kemampuannya, beradaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim, baik dari segi kegiatan ekonomi, namun khususnya dalam hal pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan perubahan iklim. Dekatnya isu perubahan iklim dengan isu pembangunan menyebabkan WWF-Indonesia mengingatkan semua pihak untuk mengubah paradigma yang melihat ancaman perubahan iklim sebagai isu lingkungan atau isu sektoral semata menjadi isu yang harus ditindak lanjuti dalam konteks nasional. “Sudah saatnya semua sektor tidak lagi berpikir secara sektoral, namun bersinergi membuat sebuah mekanisme satu atap untuk merancang sebuah strategi adaptasi nasional,” tegas Eka. Fitrian menambahkan pentingnya bagi Indonesia untuk membuat manajemen database yang baik mengenai data-data dampak perubahan iklim serta membangun sistem peringatan dini (early warning system) dan. “Langkah ini merupakan syarat penting untuk mengembangkan strategi adaptasi nasional,” tegasnya. WWF-Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia langkah-langkah yang perlu di lakukan dalam mengembangkan strategi adaptasi nasional, yaitu: 1. Membangun sistem informasi dan database mengenai dampak-dampak perubahan iklim, termasuk di dalamnya: a. Mengidentifikasi dampak-dampak perubahan iklim yang telah dan akan terjadi di Indonesia b. Menetapkan daerah-daerah yang kritis akan dampak sebagai prioritas untuk melakukan tindakan adaptasi 2. Mengembangkan sistem peringatan dini akan bencana-bencana alam yang akan terjadi, seperti kebakaran hutan, banjir, badai, pemutihan karang, dsb 3. Manajemen dampak akan dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi 4. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat ketika dampak perubahan iklim terjadi “Kegiatan ini tidak akan berhasil tanpa mengikutsertakan berbagai pihak di tingkat lokal sebagai pihak yang rentan terkena dampak. Untuk itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar lokasi dalam pelaksanaan strategi adaptasi ke masyarakat lokal,” ujar Mubariq. http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS114922017
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
20
Catatan Pemanasan global adalah terjadinya peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi secara global. Pemanasan global (dikenal juga dengan perubahan iklim) terjadi akibat kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak & gas). Jika suhu rata-rata permukaan bumi naik dengan cepat maka akan terjadi perubahan permukaan bumi secara radikal, akibatnya akan mempengaruhi kehidupan berbagai mahluk hidup. Berbagai dampak akibat pemanasan global antara lain: Mencairnya es di kutub utara yang kemudian berdampak pada naiknya permukaan air laut; tenggelamnya pulau-pulau kecil serta berkurangnya luas daratan akibat kenaikan permukaan laut; bergesernya periode musim hujan dan musim kemarau; banjir dan tanah longsor yang melanda di banyak wilayah di Indonesia, kekeringan yang menyebabkan gagal panen; dan kebakaran hutan . Tahun 1990, 1995 dan 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad 20 Dalam 100 tahun terakhir (abad 20) suhu bumi rata-rata telah meningkat 0.7 0 C Sejak tahun 1990, suhu udara rata-rata di Indonesia meningkat sebesar 0.3 0 C Skenario kenaikan temperatur menurut jurnal Nature (2004) adalah: o Rendah: 0.8 - 1.7 °C ® 9-13% spesies akan punah dengan tingkat beragam. o Menengah: 1.8 - 2.0 °C ® 15-20% spesies akan punah o Tinggi: Diatas 2.0 °C ® 21-32% spesies akan punah Kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 1° C akan menaikkan permukaan laut setinggi 15 cm, yang akan menenggelamkan jutaan rumah dan pesisir. Penguapan akan meningkat sehingga akan menimbulkan kekeringan. Kekeringan menimbulkan kegagalan panen yang mengakibatkan kelaparan di mana-mana. Cuaca buruk, badai topan, yang dipicu oleh fenomena iklim seperti El Niño, akan menjadi suatu hal rutin. Kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 1° C akan mempengaruhi komposisi isi hutan. Selain itu meningkatkan resiko kebakaran hutan o
o
Fauna yang hidup di daerah pegunungan akan migrasi ke daerah yang lebih tinggi. Sementara spesies yang tinggal di puncak gunung terancam punah Naiknya suhu air laut sebesar 2-3° C akan menyebabkan matinya terumbu karang akibat pemutihan karang (coral bleaching). Hal ini telah terjadi di Australia, Thailand, Filipina, Indonesia, Jamaica, Bahama, dll pada tahun 1997/1998 akibat El Nino. Peristiwa El Nino tahun 1997/1998, 75 persen terumbu karang di dunia mengalami pemutihan karang dan 16 persen diantaranya mengalami kematian.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
21
o
o
o
Peningkatan suhu juga berdampak pada meningkatnya penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Pemanasan global menyebabkan semakin singkatnya pertumbuhan nyamuk dati telur hingga menjadi larva dan nyamuk dewasa, sehingga jumlah populasi cepat sekali meningkat. Tahun 1998 di Jawa dan Bali mengalami peningkatan penyakit malaria hampir tiga kali lipat, dari 18 kasus per 100 ribu penduduk menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk. Di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan sebesar 60% kasus dari tahun 1998 ke tahun 2000. Siaran Pers WWF Indonesia 21 April 2006
World Wide Fund for Nature
http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS114922017
4.5. TUGAS Berikan pembahasan untuk persoalan berikut secara ringkas dan cerdas : 1.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemanasan global dan efek rumah kaca menurut Soemarwoto (Prof. Dr. Ir. Oto Soemarwoto) !
2.
Berikan penjelasan mengenai jenis kegiatan yang memberikan sumbangan terhadap pemanasan global !
3.
Jelaskan hubungan antara konversi hutan dengan pemansan global !
4.
Jelaskan pengaruh pemanasan global terhadap sector pertanian !
5.
Berikan penjelasan mengenai dampak pemanasan global bagi aktivitas social !
6.
Bagaimana dampak kenaikan muka air laut ?
7.
Sebutkan beberapa alternatif untuk mengantisipasi dampak kenaikan muka air laut !
8.
Cermati studi kasus dengan judul “Dampak Pemanasan Global Tak Bisa Diperbaiki” (Kasus 1), tuliskan komentar anda !
9.
Simak studi kasus dengan judul “Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk beradaptasi dengan dampak ekstrim pemanasan global ?” (Kasus 2), berikan pendapat saudara !
10. Buatlah lagu atau puisi mengenai “Pemanasan Global” !
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
22
REFERENSI : Anonim. 2002. Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penataan Ruang. Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional tentang Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di Jakarta, 30 – 31 Oktober 2002 Amano, A., Global Warming and Economic Growth ; Modelling Experience in Japan, Center for Global Environmental Research, National Institute for Environmental Studies, Environment Agency of Japan, May 1992. Khudori. 2007. Pemanasan Global dan Adaptasi Pertanian. Republika. 22 September 2007. Soemarwoto, O. 1992. Melestarikan Hutan Tropis. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Anonim. 2008. The Other Side of The Man Made Global Warming Theory. http://www.uwm.edu/~kjoboyle/GWhomepage.html Anonim.2008. Pemanasan global. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global Anonim. 2008. Akankah Hutan Terakhirku Hilang ? http://www.sustainablefootprint.org/en/cms/gebruikerscherm.asp?itemId=362 http://denuglu.blogspot.com/2007/12/kemarau.html http://www.malangkab.go.id/kabmalang/berita/beritadaerah.cfm?kd=284 http://pawanghujan.com/2008/02/efek-pemanasan-global-terhadap.html http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/17/lua01.html http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS114922017
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Ir. Atep Afia Hidayat MP.
ILMU LINGKUNGAN
23
i