TUGAS “METADON DAN BUPRENORFIN”
Oleh: Syifa Febriana 294212602013 2013730181
Pembimbing: dr. H. Adhi Wibowo Nurhidayat, Sp. KJ(K), MPH
KEPANITERAAN KLINIK RS JIWA ISLAM KLENDER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA TAHUN 2017
A. METADON Metadon adalah opiat (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin (putaw) atau morfin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Metadon biasanya disediakan pada Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yaitu program yang mengalihkan pengguna heroin pada obat lain yang lebih aman. Metadon bukan penyembuh untuk ketergantungan opiat: selama memakai metadon, penggunanya tetap tergantung pada opiat secara fisik. Tetapi metadon menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah hidupnya menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan penggunaan narkoba suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait dengan kecanduan. Dan karena diminum, penggunaan metadon mengurangi penggunaan jarum suntik bergantian, perilaku yang sangat berisiko penularan HIV dan virus lain. PTRM sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan pertama adalah untuk membantu pengguna berhenti penggunaan heroin, diganti dengan takaran metadon yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk mengurangi beberapa dampak buruk akibat penggunaan heroin secara suntikan. Pilihan ini menyediakan terapi rumatan, yang memberikan metadon pada pengguna secara terusmenerus dengan takaran yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala putus zat (sakaw) Farmakologi Metadon merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara oral di bawah supervisi dokter dan digunakan untuk terapi bagi pengguna opiat. Metadon bekerja pada reseptor mu (µ) secara agonis penuh (full agonist), dengan efek puncak 1 hingga 2 jam setelah diminum. Paruh waktu Metadon pada umumnya adalah sekitar 24 (dua puluh empat) jam. Penggunaan secara berkesinambungan akan diakumulasi pada berbagai bagian tubuh, namun khususnya pada hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa toleransi atas penggunaan Metadon berjalan lebih lambat daripada penggunaan morfin atau heroin. Efek analgesik dirasakan dalam 30 (tiga puluh) hingga 60 (enam puluh) menit setelah diminum dan terjadi konsentrasi puncak di otak dalam waktu 1 (satu) hingga 2 (dua) jam setelah diminum, hal ini membuat konsumsi Metadon tidak segera menimbulkan perasaan euforia sebagaimana heroin/morfin. Metadon dilepas dari lokasi ikatan ekstra vaskular ke plasma secara perlahan, sehingga penghentian penggunaan Metadon secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat. Gejala putus zat baru akan dirasakan setelah beberapa waktu kemudian dan dialami beberapa hari lebih lama daripada gejala putus zat heroin. Cara penggunaan dan Dosis Sediaan metadon dapat berupa tablet dan cairan yang diminum, namun di Indonesia sediaan metadon yang dipakai adalah yang berupa cairan yang diminum sesuai dosis. Metadon cair di metabolisme dengan baik di saluran pencernaan. Setiap individu membutuhkan takaran yang berbeda, akibat perbedaan metabolisme, berat badan dan toleransi terhadap opiat. Beberapa waktu dibutuhkan untuk menentukan takaran metadon yang tepat untuk setiap individu. Pada awalnya, individu harus diamati setiap hari dan reaksi terhadap dosisnya dinilai. Jika individu menunjukkan tanda atau gejala putus zat,
takaran harus ditingkatkan. Umumnya program mulai dengan takaran 20mg metadon dan kemudian ditingkatkan 5-10mg per hari. Biasanya individu bertahan dalam terapi dan mampu menghentikan penggunaan heroin dengan takaran metadon sedang hingga tinggi (60-100mg) Terapi metadon biasanya diperlukan selama 3-6 bulan namun tidak berlaku untuk semua orang. Hal ini diakibatkan perbedaan tingkat keparahan ketergantungan heroin tiap orang. Penurunan dosis metadon dapat dilakukan secara bertahap 5 mg per minggu. Efek Samping Penelitian menunjukkan bahwa efek samping Metadona adalah sedasi, konstipasi, berkeringat, kadang-kadang adanya pembesaran (oedema) persendian pada perempuan dan perubahan libido pada laki-laki dan juga perempuan, yang dapat diatasi dengan medikasi simtomatik. Efek samping yang umumnya dirasakan dalam waktu lama adalah konstipasi, berkeringat secara berlebihan dan keluhan berkurangnya libido dan disfungsi seksual. Namun demikian efek samping ini dilaporkan semakin dapat diatasi seiring dengan retensi pasien berada dalam program. B. BUPRENORFIN Buprenorfin (nama merek: Subutex) adalah opiat (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin (putaw), tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Seperti metadon, buprenorfin biasanya dipakai dalam program pengalihan narkoba, yaitu program yang mengalihkan pengguna heroin pada obat lain yang lebih aman. Buprenorfin bukan penyembuh untuk ketergantungan opiat: selama memakai buprenorfin, penggunanya tetap tergantung pada opiat secara fisik. Tetapi buprenorfin menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah hidupnya menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan penggunaan narkoba suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait dengan kecanduan. Dan karena diminum, penggunaan metadon mengurangi penggunaan jarum suntik bergantian, perilaku yang sangat berisiko penularan HIV dan virus lain. Program buprenorfin sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan pertama adalah untuk membantu pengguna berhenti memakai heroin, diganti dengan takaran buprenorfin yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk mengurangi beberapa dampak buruk akibat penggunaan heroin secara suntikan. Pilihan ini menyediakan terapi rumatan, yang memberikan buprenorfin pada pengguna secara terusmenerus dengan takaran yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala putus zat (sakaw) atau sedasi. Terdapat risiko pengguna narkoba suntikan (penasun) akan menyalahgunakan buprenorfin dengan menggerus tablet, melarutkannya dengan air, lalu memakai larutan dengan cara suntikan. Hal ini menimbulkan dua masalah: pertama, buprenorfin tidak larut dalam air, sehingga cairan mengandung gumpalan obat, yang dapat memampatkan pembuluh darah,
dengan risiko terjadi emboli (penyumbatan), yang dapat mematikan. Kedua, perilaku suntikan terus berisiko menyebarkan infeksi.
Farmakologis Buprenorfin adalah suatu derivate semisintetik dari morfin alkaloid, thebaine, dengan derajat lipofilik yang tinggi, dan merupakan agonis opioida parsial pada reseptor opioida µ dalam sistem saraf, dan juga antagonis reseptor opioida (kappa). Aktivitas agonis intrinsiknya rendah, hanya mengaktifkan sebagian reseptor opioida µ, oleh sebab itu efek maksimal yang dapat dihasilkan buprenorfin akan selalu lebih ringan dibandingkan agonis opioida penuh seperti heroin, morfin dan metadon. Buprenorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida µ, berikatan dengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin juga memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor , sehingga pada keadaan tertentu buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan gejala dan tanda yang serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan akibat antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Profil farmakologis yang unik ini membuat buprenorfin memberikan beberapa keuntungan dibandingkan terapi gabungan agonis – antagonis yang digunakan dalam terapi ketergantungan opioida. Keuntungan ini antara lain indeks keamanan yang lebih besar terhadap terjadinya depresi pernafasan, tanda otonom dari putus obat opioida yang lebih ringan, dan efek psikomimetik atau disforik yang lebih ringan. Dengan efek respon opioida ganda maka ketika menghambat efek penggunaan heroin sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan heroin sendiri. Onset dari efek buprenorphine 30 sampai 60 menit setelah pemakaian di sublingual, dan mencapai puncaknya 90 sampai 100 menit setelah pemakaian. Hal ini menyebabkan buprenorphine dapat diberikan sekali sehari. Buprenorphine dapat diberikan dengan dosis 410 mg per Hari. Buprenorphine dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 3A4.
Cara Penggunaan dan Dosis Buprenorfin biasanya diberikan pada klien program dalam bentuk pil yang tidak ditelan, tetapi ditaruh di bawah lidah sampai larut. Proses ini membutuhkan 2-10 menit. Buprenorfin tidak bekerja bila dikunyah atau ditelan. Buprenorfin seharusnya dipakai di bawah pengawasan di klinik setiap hari. Setiap individu membutuhkan takaran yang berbeda, akibat perbedaan metabolisme, berat badan dan toleransi terhadap opiat. Beberapa waktu dibutuhkan untuk menentukan takaran buprenorfin yang tepat untuk setiap individu. Awalnya, individu harus diamati setiap hari dan reaksi terhadap dosisnya dinilai. Jika individu menunjukkan tanda atau gejala putus zat, takaran harus ditingkatkan. Umumnya program mulai dengan takaran 2-4mg buprenorfin dan kemudian ditingkatkan 2-4mg per hari. Biasanya individu bertahan dalam terapi dan mampu menghentikan penggunaan heroin dengan takaran buprenorfin 12-24mg/hari, dengan maksimum 32mg/hari.
Buprenorfin dapat menyebabkan gejala putus zat bila dipakai segera setelah opiat (heroin, morfin atau metadon). Buprenorfin mempunyai yang disebut sebagai ‘efek plafon’. Setelah takaran buprenorfin tertentu dipakai, takaran yang lebih tidak menimbulkan efek yang lebih tinggi. Oleh karena ini, overdosis buprenorfin jarang terjadi, jadi dianggap lebih aman daripada metadon. Karena buprenorfin bertahan lebih lama dalam darah dibandingkan metadon, untuk klien tertentu dosis buprenorfin dapat diberikan setiap tiga hari. Buprenorfin sebaiknya tidak dipakai oleh perempuan hamil atau mungkin menjadi hamil. Buprenorfin juga dapat mengarah pada air susu ibu (ASI), dan memberi dampak buruk pada bayi yang disusui. Oleh karena itu, ibu yang menyusui sebaiknya tidak memakai buprenorfin. Efek Samping Efek samping yang dapat terjadi akibat pemakaian buprenorphine adalah sedasi, mual, muntah, vertigo, nyeri kepala dan depresi nafas.
Sumber: Permenkes RI. 2013. Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2007. Menggunakan Buprenorphine Guideline dalam Terapi Ketergantungan Opioida. Diakses dari http://perpustakaan.pom.go.id/ tanggal 14 Oktober 2017 pukul 21.40 WIB