MATERI KEKERASAN PADA ANAK OLEH: ROSMITA NUZULIANA, MKeb.
A. Kekerasan Pada Anak 1. Anak
Definisi anak secara kulitatif adalah seseorang yang yang belum dewasa, belum akhil balik termasuk janin yang masih dalam kandungan dan belum menikah. Definisi anak secara kuantitatif adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun atau setingkat dengan lulus kelas 3 madrasah aliyah (MA/SMU) secara normal termasuk janin yang masih di dalam kandungan. Di sisi lain, undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi (Imron et al. 2015). 2. Definisi Kekerasan pada anak
Definisi kekerasan menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah sebuah tindakan kekerasan secara fisik, mental, sosial dan seksual yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh seseorang. Pelaku kekerasan bervariasi mulai dari orangtua, keluarga, pendidik, guru agama, kerabat dekat, masyarakat masyarakat bahkan pemerintah. Tindakan kekerasan pada individu menimbulkan perasaan atau tubuh orang lain menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman meliputi kawatir, takut, sedih, tersinggung, jengkel atau marah. Keadaan fisik yang tidak nyaman meliputi lecet, luka, memar, patah tulang dan lainnya (Paramastri 2011)
Kekerasan
pada
anak
adalah
semua
bentuk
perlakuan
yang
menyakitkan baik secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian secara nyata (terlihat langsung pada sat itu) itu) ataupun secara potensial merugikan kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, pertumbuhan dan perkembangan anak serta martabat anak, (IDI et al. 2004). Kekerasan pada anak juga bisa berupa pengabaian dan penelantaran, atau
ketidakpedulian orangtua atau orang lain pada
kebutuhan anak baik kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, keamanan dan kenyamanan (Paramastri 2011) Tindakan kekerasan pada anak-anak tidak muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang netral, tetapi ada berbagai kondisi latar budaya tertentu dalam masyarakat yang mempengaruhi misalnya berbagai pandangan, nilai dan norma sosial yang memudahkan terjadinya tindakan kekerasan tersebut misalnya hukuman baik yang bersifat fisik, psikis maupun sosial yang diberikan oleh orangtua sebagai bentuk pendisiplinan diri pada anak (Paramastri 2011) 3. Faktor penyebab kekerasan pada anak
a. Paparan terhadap stressor terhadap stressor Stressor adalah suatu kondisi yang kronis atau akut, cenderung menambah stres pada kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang dapat meningkatkan stres dalam rumah tangga antara lain: kepala rumah tangga yang tidak bekerja, kesulitan keuangan, orang tua tunggal, kehilangan pekerjaan. Stres ini bisa berasal dari dalam diri orang tua dan berasal dari luar diri orang tua (Gumiarti 2008). b. Paparan terhadap agresi (The Cycle of Violence) Coohey
dalam
Gumiarti
(2008)
menyebutkan
individu
yang
mempunyai pengalaman di siksa atau mengalami kekerasan pada masa kecilnya
akan
tumbuh
menjadi
seseorang
yang
mempunyai
kecenderungan untuk melakukan hal yang pernah dilakukan terhadap dirinya pada orang lain, yaitu anak-anaknya. c. Sosial Ekonomi Status Sosial ekonomi menurut Santrock (2007) adalah pengelompokan
orang-orang
di
suatu
masyaratkat
berdasarkan
kesamaan karakterisik pekerjaan, tingkat pendidikan, dan pendapatan keluarga. Kondisi sosial ekonomi seseorang merupakan salah satu faktor
umum
yang
dapat
mendorong
terjadinya
kesenjangan
(disparity) antara satu dengan yang lain. Su’adah dalam Gumiarti (2008) menjelaskan bahwa orang tua yang bekerja, mempunyai nilai-nilai ” tradisional”, lebih menekankan pada kebersihan, kerapihan, kepatuhan dan menghormati orang dewasa. Mereka menginginkan anak sesuai dengan aturan/patokan yang diberikan dari luar, jadi takut untuk dinilai salah oleh orang lain. Nilai kejujuran merupakan sifat yang diciptakan untuk memberikan kepercayaan pada orang lain (truthworthness). Pada orang tua dengan pekerjaan kelas pekerja, yang ditekankan adalah kepatuhan anak kepada orang tuanya. Hukuman diberlakukan langsung bila anak-anak tidak patuh, tanpa melihat sebab-sebabnya, dan sering berbentuk hukuman fisik. Selain
pekerjaan
orang
tua,
tingkat
pendidikan
juga
berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan pada anak. Orang tua yang berpendidikan rendah cenderung lebih tegas dalam memisahkan peran peran anak laki-laki dengan anak perempuannya, sebaliknya mereka yang pendidikannya lebih tinggi memperlakukan anak perempuan dan laki-lakinya secara egaliter (Scanzoni,1976) dalam sosiologi keluarga (Su’adah, 2005). Fagan dalam (Hyoscyamina 2011) mengatakan faktor sosial ekonomi dapat mempengaruhi kehidupan keluarga. Kemiskinan dan
kesulitan hidup berhubungan dengan tingkat stres yang tinggi dalam keluarga, perilaku kekerasan, kualitas pengasuhan anak dan akhirnya berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Keadaan stres dan tekanan akan berpengaruh negatif terhadap kualitas pengasuhan anak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tindakan kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga, baik kekerasan suami terhadap istrinya, kekerasan istri terhadap suaminya dan kekerasan orang tua terhadap anak-anaknya, setiap saat terjadi pertengkaran atau percekcokan diantara anggota keluarga, akan berakibat kehidupan dalam keluarga tidak ada kedamaian dan ketentraman (bercerai tidak, harmonis pun tidak). Suasana kekerasan yang demikian, akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak. d. Usia Orangtua Cohey dalam Gumiarti (2008) dan Jenny (2006) menjelaskan orang tua yang masih muda atau belum matang, belum mempunyai pengalaman merawat anak, tidak memahami akan kebutuhan anaknya dan kemungkinan akan menolak perannya sebagai orang tua, yang berakibat pada penolakan kehadiran anak, tindakan perlakuan salah dan penelantaran anak-anaknya. e. Pola Asuh orang tua Penelitian Fataruba et al (2009) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pola asuh dengan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6-18 tahun). Orang tua yang memahami pola asuh yang tepat akan mampu menempatkan diri dan mengendalikan diri dalam kegiatan pengasuhan terutama pada penyelewengan yang dilakukan oleh anak, sehingga kekerasan pun akan terhindarkan. Selain itu, pola asuh yang tepat akan membentuk karakter anak menjadi pribadi yang kuat terhada pengaruh lingkungan yang keras. f. Lingkungan keluarga
Keluarga adalah lingkungan yang terdekat dengan anak, lingkungan keluarga yang negative akan mengakibatkan anak merasa rendah diri, kurang dicintai tidak aman, kurang mendapat dukungan dan tidak bisa secara bebas mengembangkan minat dan bakatnya (Sisca & Moningka 2008). Lingkungan keluarga yang tidak kondusif memiliki prevalensi kekerasan seksual terhadap anak perempuan sebesar 17%, dan terhadap anak laki laki sebesar 27%. Selain itu dalam penelitian ini menyatakan bahwa orang tua yang memilki kebiasaan minum minuman keras dan single parent memiki prevalensi sebesar 21%-32% dalam melakukan kekerasan seksual pada anak (Jenny 2006). g. Jenis Kelamin Peneltian Jenny ( 2006) menyebutkan bahwa 1) Perempuan memiliki memiliki prevalensi 23,3% lebih besar mengalami kekerasan seksual, bahkan ketika dibandingkan perempuan memiliki 7,4% lebih tinggi resikonya dari pada laki laki. 2) Kekerasan fisik lebih banyak terjadi pada anak yang berjenis kelami laki laki. Disebutkan bahwa laki laki berpotensi dua kali lipat mengalami kekerasan fisik dar pada perempuan. 4. Bentuk Bentuk Kekerasan
a. Kekerasan Fisik Sandy (2008) menyebutkan bahwa Kekerasan fisik merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat bahkan kematian. Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang mudah diidentifikasi, karena meninggalkan bekas seperti luka memar, perdarahan dan sebagainya. Kekerasan fisik biasanya didahului oleh pertengkaran-pertengkaran.
Kekerasan
fisik
dapat
berupa
menempeleng, menendang, mendorong, menjepit, meninju atau
mencekik, bisa juga dengan menggunakan benda seperti melecut dengan ikat pinggang, rotan, mengikat, melempar dengan sesuatu, menyundut dengan rokok, bahkan dengan senjata seperti pisau, kampak, senapan yang dapat berakibat kematian. Seluruh pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan (pasal 351, 352, 353, 354, 355 KUHP) juga berlaku bagi penganiayaan terhadap anak, bahkan memberinya pemberatan pidana (pasal 356 KUHP) bagi pelaku tindak pidana pasal 351, 353, 354, dan 355 yang merupakan orangtua korban. Pasal 80 UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang lebih berat untuk itu. Pidana juga diberikan kepada mereka yang karena kelalaiannya telah mengakibatkan seseorang (anak) luka, luka berat atau mati (pasal 359, 360 KUHP), bahkan memberikan pemberatan bila dilakukan oleh orang yang sedang melakukan jabatan / pekerjaannya (termasuk pekerjaan di bidang kesehatan) (pasal 361 KUHP) (IDI et al. 2004). b. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual secara paksa. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus ke pornografi, perkataan porno dan tindakan pelecehan organ kelamin anak, pencabulan dan persetubuhan pada anak yang dilakukan tanpa tanggung jawab, tindakan yang mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual yang melanggar hukum, misalnya pelibatan anak dalam prostitusi (Paramastri 2011). Disisi lain kekerasan seksual bisa berupa eksploitasi seksual yaitu memaksa anak untuk berpose sesual tanpa menyentuh atau dengan memperlihatkan anggota tubuh pelaku dihadapan korban yang bertujuan memuaskan hasrat pelaku (Jenny 2006).
IDI et al. (2004) menjelaskan bahwa terdapat Hukum Pidana pada seseorang yang melakukan kekerasan seksual, mengancam siapa saja (laki-laki) yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang
anak
(perempuan)
berhubungan
seksual
dengannya (pasal 285 KUHP) atau berbuat cabul dengannya (pasal 289 KUHP). Pasal 81 dan 82 UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak bahkan mengancam pelakunya dengan hukuman yang lebih berat. Hukuman
pidana
pada
seseorang
juga
diberikan
pada
seseorang yang melakukan hubungan seksual tanpa paksaan dengan seorang anak perempuan yang usianya belum cukup 12 tahun, dan mengancam sebagai delik aduan bila usianya antara 12 – 15 tahun (pasal 287 KUHP). Delik biasa juga diberlakukan apabila si anak perempuan yang berusia 12-15 tahun tersebut menderita luka berat atau mati sebagai akibatnya, atau ternyata anak tersebut adalah anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawah pengawasan si pelaku (pasal 287 jo pasal 291 dan 294 KUHP). Pasal lain dalam KUHP juga mengancam pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum berusia 15 tahun, atau membujuknya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan orang lain (pasal 290 KUHP), atau dengan penyesatan atau menyalahgunakan perbawanya (pasal 293 KUHP), atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul (pasal 295 KUHP). Pidana juga diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin yang usianya belum dewasa (pasal 292 KUHP) c. Kekerasan Verbal Hal yang paling sering menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terutama kekerasan verbal adalah kenakalan anak. Terutama
ketika anak memasuki usia 3 tahun, usia ini merupakan masa-masa pembentukan otak dan perilaku anak. Pada masa ini anak dianggap sangat
kritis
untuk
perkembangan
emosi
dan
psikologis.
Perkembangan superego terjadi selama periode ini dan kesadaran mulai muncul. Kenakalan anak pada usia 3 sampai 6 tahun merupakan hal yang wajar, dengan cara seperti itu anak mempelajari lingkungan secara kreatif, tetapi kadang orang tua melihat hal itu sebagai suatu hal yang mengganggu, dan orang tua tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan verbal seperti membentak dan mengabaikan anak (Putri & Santoso 2012). Potter dalam Putri & Santoso (2012) menjelaskan kekerasan verbal berdasarkan teori Patricia Evans adalah meneror. Meneror anak terjadi ketika orang tua menyerang anak dengan cara membentak dan melampiaskan amarah kepada anak. Hal ini dapat menciptakan iklim ketakutan bagi anak. d. Kekerasan Emosi WHO dalam Paramastri (2011) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan emosional adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan emosi anak misalnya: perkataan
yang
mengancam,
menakut-nakuti,
berkata
kasar,
mengolok-olok, perlakuan diskriminatif terhadap anak, membatasi kegiatan sosial dan kreativitas anak. e. Kekerasan ekonomi (eksploitasi komersial) Kekerasan ekonom adalah penggunaan tenaga anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi keuntungan orangtuanya atau orang lain, misalnya : menyuruh anak bekerja secara berlebihan, melibatkan anak dalam prostitusi untuk kepentingan ekonomi f. Pengabaian terhadap anak termauk kekerasan secara pasif 5. Dampak Kekerasan Pada Anak
a. Penurunan Kecerdasan Kekerasan pada anak dapat mengakibatkan keterlambatan perkembangan kognitif, membaca, dan gerak anak. Disebutkan juga seseorang dengan retardasi mental secara tidak langsung disebabkan karena trauma kepala dan adanya mal nutrisi (IDI et al. 2004). b. Traumatic sexualization Finkelhor dalam Sakalastra & Herdiana (2012) menyatakan Traumatic sexualization adalah perasaan jijik terhadap sesuatu yang berhbungan dengan seksual akibat dari kekerasan atau pelecehan seksual yang telah dialami sebelumnya. Selain itu, Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya (IDI et al. 2004). c. Stigmatization Stigmatization terjadi
ketika korban menyalahkan diri sendiri,
benci pada diri sendiri (Sisca & Moningka 2008), merasa bersalah dan bertanggungjawab terhadap peristiwa pelecehan seksual sehingga mengakibatkan penarikan diri dari lingkungan sekitar (Sakalastra & Herdiana 2012). d. Betrayal Betrayal terjadi ketika korban disakiti oleh orang dewasa sehingga
mengalami
kesulitan
dalam
mempercayai
orang
dewasa(Sakalastra & Herdiana 2012). e. Powerlssness Powerlessness yaitu perasaan tidak mam mengendalikan dan menghentikan perilaku pelecehan yang telah dialami. Ciri dari powerlessness adalah korban merasa tersiksa dan tidak berdaya pada saat diminta mengungkapkan kejadian pelecehan yang dialaminya, atau korban cenderung mengulang kegiatan pelecehan tersebut dan
berubah peran dari korban menjadi pelaku (Sakalastra & Herdiana 2012) f.
Menjadi pengguna obat obatan terlarang dan minuman keras. Penelitian (Sakalastra & Herdiana (2012) mennjukkan bawa terapat hubungan yang bermakna anatarapengalaman pelecehan seksual dengan kecenderungan mengkonsumsi oabt terlarang dan minuman keras.
g. Psikososial yang buruk Masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan belajar / sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman, kehilangan kepercayaan diri, phobia dan cemas. Terjadi pseudomaturitas
emosi.
Beberapa
anak
menjadi
agresif
atau
bermusuhan dengan orang dewasa, atau menarik diri / menjauhi pergaulan. Anak suka mengompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum (IDI et al. 2004). Dampak psikosial yang buruk yaitu korban pelecehan seksual memiliki emosi pada dimensi afeksi penilaian yang cenderung negatif pada dimensi kognisi, perilaku seksual yang t idak wajar pada dimensi psikomotor, dan relasi sosial yang cenderung buruk pada dimensi social (Sakalastra & Herdiana 2012). Beberapa masalah perilku dan emosi yang mungkinterjadi sebagai dampak kekerasan pada anak adalah sebagai berikut: 1) Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun) Pada masa ini anak anak cenderung merasa berlebihan terhadap sesuatu
yang
mengingatkannya
terhadap
hal
yang
pernah
dialaminya baik secara langsungmaupun tidak langsung. Anak akan mengalami ketakutan yang luar biasa dengan orang yang berjenis sama dengan orang yang melakukan kegiatan kekerasan terutama kekerasan seksual. Perilaku emosi yang harus diamati
adalah a) anak merasa cemas akan adanya perpisahan dengan orang tua, b) menunjukkan perilaku regresif yaitu kembali ke perkembangan yang lebih awal ditandai dengan kembali kebenda pengganti ibu (menghisap jempol, bantal/ boneka kesayangan dan lain lain), dan atau mengalami kemunduran dalam berbicara, c) kemunduran perkembangan misalnya dengan mengompol lagi dan tidak mampu menahan buang air besar lagi, d) mengalami mimpi buru dan menggigau ketika tidur, ha l ini terjadi karena anak belum mampu mengungkapkan peristiwa buruk yang dialaminya. 2) Reaksi pada anak usia 6-12 Tahun Pada reaksi anak usia ini anak lebih bisa menggunkan kemampuan berpikir, perasaan dan tingkahlakuna ketika bereaksi terhadap kejadian yang menimbulkan stress. Pada anak usia ini anak mampu mengingat kejadian dengan benar, dan mampu memahami peristiwa yang telah menimpa mereka. Oleh sebab itu pada masa ini anak lebih suka berkhayal dalam menghadapi kejadian ini. Anak berkhayal mampu menghadapi si pelaku kekerasa dengan kekuatan nya sendiri dengan mudah. Namun cara berfikir ini menjadikan anak anak lebih timbul perasaan menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu mewujdkan khayalannya itu. Perilaku yang diamati pada kelompok usia ini adalah: a) adanya kesulitan belajar, sulit konsentrasi, dan kegelisahan. Kurangnya konsentrasi disebabkan kejadian yang menjadikannya stress dan meningkatkan kesedihannya,
b)
cemas
pasca
trauma
ditandai
dengan
perilakuyang gugup, (sering menggoyang goyangkan badannya, gagap, dan menggigit kaku), serta ada keluhan fisik yang tidak tahu penyebabnya, c) agresif, rewel, banyak maunya bisa dengan sangat kasar, semaunya sendiri, nakal, berteriak-teriak dan menjerit jerit, e) mengalami depresi dengan menarik diri dari
lingkungan, pasif dan dan tidak pernah mengungkapkan perasaan dan mudah menjadi marah. Pergaulan yang terganggu dan menyebabkan terasing dari lingkungannya. f) sering sulit tidur dan mengalami kemunduran perilaku seperti anak kecil 6. Pencegahan Kekerasan Anak a. Pola Asuh Orang tua yang bijaksana, akan mendidik anak- anaknya dengan rasa cinta kasih dan sayang, agar menghasilkan anak-anak yang berprestasi dan dapat diandalkan, dari pada dengan didikan yang didasarkan pada kewajiban atau tugas-tugas saja. Anak adalah investasi yang tiada nilainya bagi orang tua untuk kebahagiaan dunia maupun akhirat. Orang tua manapun tentu mengharapkan agar anakanaknya mewarisi sifat-sifat atau kepribadian yang baik, disamping kecerdasan yang memadai. Oleh karena itu orang tua dituntut untuk belajar bagaimana membesarkan, mendidik dan merawat anak agar si anak dapat menjadi “permata“ dan bermanfaat bagi agama, keluarga, dan bangsa (Hyoscyamina 2011). Pola asuh yang baik adalah menyelesaikan konflik keluarga dengan cara yang bijaksana , meningkatkan komitmen dalam mendidik anak,menjaga komunikasi antar anggota keluarga. Keluarga
harus
mengetahui
dan
menyadari
bahwa
keharmonisan keluarga sangat berpengaruh terhadap tingkat kenakalan anak, dimana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, orang tua yang otoriter, dan seringnya terjadi konflik dalam keluarga cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah (Hyoscyamina 2011) b. Meninggalkan Viktimisasi Strutural Kemudian menurut Thamrin A. Tomagola, kekerasan terhadap perempuan terjadi karena posisi vertikal laki-laki dan perempuan di
dalam
masyarakat.
Persamaan
yang
paling
mencolok
antara
masyarakat yang mengenal, menerima, mentolerir, bahkan merestui kekerasan terhadap perempuan adalah meluasnya pola-pola hubungan vertikal-dominatif dan pola hubungan diagonal-dominatif dalam bidang ekonomi, sosial, danpolitik antara laki-laki dan perempuan. Tomagola
berpendapat
bahwa
kekerasan
terhadap
perempuan
merupakan implikasi dari adanya hubungan vertikal dominatif. Artinya pola hubungan atau relasi yang terbangun antara perempuan dan laki-laki merupakan pola yang tidak setara. Singkatnya, laki-laki menempati posisi superordinat yang dalam praktiknya mendominasi perempuan dalam segala aspek, antara lain aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek politik (Andari 2011) B. Sistem Perlindungan Anak
Dalam penenganan kekerasan terhadap anak, dokter dan teranga kesehatan lainnya bertugas dalam menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan. Dalam pencapaian tugas tersebut dokter dan tenaga kesehatan harus memperoleh pelatihan khusus dan memberntuk tim yang multidisiplin dalam menangani kekerasan terhadap anak. Berikut tahapan penanganan kekerasan pada anak (IDI et al. 2004) 1. Proses Identifikasi Proses identifikasi merupakan langkah awal dalam perlindungan dan penanganan kekerasan pada anak yang dilakukan oleh tenaga professional medis, pengajar dan pendidik, pengasuh anak, tenaga professional mental, penegak hukum, agamawan, dan professional lainnya bahkan orang awam seperti keluarga lain tetangga dan teman. 2. Pelaporan Tahap berikutnya adalah pelaporan (reporting). Pada tahap ini, unsur hukum dalam arti keberadaan peraturan perundang-undangan beserta petunjuk pelaksanaannya, sangat bermakna peranannya. Kajian hukum di
bidang kekerasan dan penelantaran anak, baik skala lokal, regional, nasional maupun internasional mutlak dikuasai dan dikaji lebih dalam. Di negara maju, tindakan pelaporan yang berdasarkan hukum sudah begitu memasyarakat, baik dalam hal prosedur pelaporan, substansi pelaporan, kepada siapa melaporkan, perlindungan hukum bagi orang yang melaporkan atas itikad baik, maupun adanya sanksi hukum bagi orang yang tidak melaporkannya 3. Masukan / Intake Masukan merupakan tahapan dimana sebuah laporan kecurigaan kasus kekerasan dan penelantaran anak diterima oleh suatu lembaga penyedia CPS (Child Protection Service) yang telah ditunjuk resmi oleh pemerintah setempat berdasarkan undang-undang. Di Indonesia, lembaga tersebut mungkin adalah KPAI atau LPA, baik di tingkat pusat ataupun di daerah 4. Penilaian awal dan Penyelidikan (Initial Assessment / Investigation) Initial assessment dapat dikatakan sebagai proses investigasi. Profesional penegak hukum dan petugas lembaga CPS akan mengawali tindakan ini, yang secara simultan akan didukung oleh profesional lain yang bekerja sesuai disiplin bidangnya masing-masing. Setiap kasus akan bersifat sangat individual meskipun berasal dari suatu komunitas yang sama dengan kasus lainnya. Apabila semua profesioanal dari segala disiplin bekerja dibawah satu atap, maka tahapan ini akan berlangsung cepat, efektif dan lebih terfokus. Isu penting yang harus dinilai pada tahap ini adalah antara lain: a) Apakah anak mengalami kekerasan dan penelantaran anak yang memenuhi UU 23 tahun 2002? b) Apakah telah terjadi tindak pidana? c) Apakah orang tua atau wali bertanggungjawab? d) Siapakah tersangka pelakunya? e) Apakah saksi-saksi yang mendukung ditemukan? f) Apakah barang bukti yang mendukung diperoleh dan disimpan? g) Apakah terdapat korban lain? h) Apakah abuse atau penelantaran masih akan terjadi di kemudian hari? i) Apakah terdapat
bukti yang cukup untuk menahan tersangka? j) Apakah anak dalam keadaan aman sekarang? Bila tidak, perlukah dilakukan tindakan perlindungan (protective
custody)?
k)
Adakah kebutuhan
darurat
keluarga? l) Apakah diperlukan layanan khusus terhadap anak dan keluarga untuk memastikan tidak terjadinya kejadian serupa atau lanjutan? 5. Penilaian Keluarga Dilakukan apabila adanya unsure kekerasan dan penelantaran sudah dapat dipastikan. Tidakan inidengn mengamankan korban dan melakukan tindakan suportif untuk keluarga maupun komunitas disekelilingya. Hal ini bertujuan unutk mengetahuisecara detail proses terjadinya, dampak dan factor yang menjadikan kekerasan atau penelantaran pada anak, sehingga tatalaksana bisa dilakukan secara efektif dan efisien. Informasiini diperlohe dengan wawancara dan pengamatan seluruh anggota keluarga dan melihat caratan lembaga lain. 6. Perencanaan Kasus (Case Planning) Pada tahap ini adalah perencanaan tindakan yang harus dilakukan secara bersama dan simultan setelah mengetahui faktor-faktor yang meringankan dan memperberat terhadap intervensi atau treatment yang akan dilakukan. Profesional dibidang kesehatan mental dan atau hukum seringkali menjadi ujung tombak tahapan ini. etelah mengetahui faktor-faktor yang meringankan dan memperberat terhadap intervensi atau treatment yang akan dilakukan. Profesional dibidang kesehatan mental dan atau hukum seringkali menjadi ujung tombak tahapan ini. 7. Penanganan (Treatment) Tahapan ini merupakan tahapan yang paling kompleks dimana semua disiplin dapat mengambil peran. Sejak dahulu penanganan medis terhadap para korban kekerasan fisik dan atau seksual telah dilakukan oleh para profesional kesehatan, namun jarang dilakukan penanganan terhadap dampak
psikologisnya.
Korban
kekerasan
dan
penelantaran
anak
umumnya merasa marah, bercuriga, terisolasi, dan ketakutan. Campuran emosi tersebut akan mengubah perilaku korban. Kekuatan kerja multidisiplin sangat tergantung adanya komunikasi terbuka antara korban, keluarga, komunitas dan CPS (Child Protection Service) itu sendiri yang terdiri dari berbagai profesional disiplin ilmu. Komunikasi harus berkembang secara terus menerus, berkesinambungan melalui serangkaian proses evaluasi dan monitoring bersama. Tindakan bekerja dibawah satu atap secara multidisiplin akan menyebabkan tahapan ini dapat berjalan dengan lebih efektif. 8. Evaluasi Tahapan berlangsung.
ini
berlangsung
Tindakan
kontinyu
evaluasi
ini
selama bertujuan
tahapan
treatment
untuk
melakukan
pengukuran parameter mengenai keamanan dan keselamatan anak, pencapaian tujuan dan tugas, penurunan risiko pengulangan kasus dalam keluarga atau komunitas disekelilingnya, dan mengembalikan korban dalam kehidupan yang wajar/normal dalam lingkungannya sendiri. 9. Penutupan Kasus (Case Closure) Suatu kasus kekerasan dan penelantaran anak dianggap dapat ditutup apabila dapat dipastikan bahwa risiko yang timbul telah menurun secara bermakna atau dapat dihilangkan, sehingga keluarga dapat memenuhi kebutuhan anak dalam proses tumbuh kembang dan melindungi anak dari kekerasan dan penelantaran tanpa intervensi masyarakat. Seringkali penutupan kasus CAN bersifat parsial apabila keluarga asal tidak lagi dipandang bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Dengan demikian, proses hukum untuk perwalian menjadi pertimbangan team Kekerasan dan Penelantaran Anak demi terjaminnya tumbuh kembang korban.
C. Peran Tenaga Keseatan dalam Kasus Kekerasan Pada Anak.
1. Peran Dinas Kesehatan Provinsi (Kemenkes RI 2009) Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah di daerah memiliki kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dan bertanggungjawab terhadap realisasi target pencapaian jumlah Puskesmas mampu tatalaksana kasus kekerasan di semua Kabupaten/Kota yang ada di wilayah Provinsi. a. Melakukan advokasi dan sosialisasi program Kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtP/A) b. Memfasilitasi
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/
Kota
dalam
menerapkan kebijakan program KtP/A antara lain : pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus KtP/ A dan pembentukan Jejaring c. Melaksanakan Training of Trainer (TOT) bagi Fasilitator KtP/A Kabupaten/Kota, pelatihan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit yang akan dikembangkan menjadi sarana pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A. d. Bekerjasama dengan pihak Rumah Sakit dalam mempersiapkan pelayanan rujukan di RS Provinsi sebagai Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) / Pusat Krisis Terpadu (PKT) di RS Pemerintah, RS TNI/Polri dan Swasta. e. Mendukung penyediaan sarana dan prasarana penunjang medis dan nonmedis antara lain buku pedoman/ modul,media KIE, format administrasi Rekam Medis, VeR dan format Pencatatan Pelaporan. f.
Berperan aktif sebagai anggota jejaring pelayanan KtP/A (bila jejaring sudah ada), atau sebagai penggagas (bila jejaring belum terbentuk)
g. Melaksanakan
bimbingan
teknis,
supervisi
dan
evaluasi
Melaksanakan pencatatan dan pelaporan h. Mengalokasikan
pembiayaan
melalui
APBD
Provinsi
dan
mengusulkan pembiayaan melalui APBN, LSM dan donor agency, Pinjaman/ Hibah Luar Negeri (PHLN) atau sumber biaya lainnya 2. Peran Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten a. Menentukan Puskesmas yang akan dikembangkan menjadi Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus KtP/ A berdasarkan ka jian besaran masalah dan potensi terjadinya KtP/ A b. Melakukan advokasi dan sosialisasi program KtP/A c. Bekerjasama dengan pihak Rumah Sakit dalam mempersiapkan pelayanan rujukan di RS Kabupaten/Kota sebagai Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) / Pusat Krisis Terpadu (PKT) di RS Pemerintah, RS TNI/ Polri dan Swasta. d. Melaksanakan pelatihan tenaga kesehatan Puskesmas dan RS yang akan dikembangkan menjadi sarana pelayanan mampu tatalaksana kasus KtP/A e. Menyediakan sarana dan prasarana penunjang medis dan nonmedis antara lain buku pedoman/ modul,media KIE, format administrasi Rekam Medis, VeR dan format Pencatatan Pelaporan f. Berperan aktif sebagai anggota jejaring pelayanan KtP/A (bila jejaring sudah ada), atau sebagai penggagas (bila jejaring belum terbentuk). g. Melaksanakan bimbingan teknis, supervisi dan evaluasi dengan menggunakan daftar tilik. h. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan i.
Mengalokasikan pembiayaan melalui APBD Kabupaten/Kota dan mengusulkan pembiayaan melalui APBN, APBD P rovinsi, LSM atau Donor Agency, PHLN atau sumber biaya lainnya
3. Peran Puskesmas
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan berperan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan bagi korban KtP/A, untuk itu puskesmas harus mampu dalam manajemen pengembangan untuk menjadi Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus KtP/A. a. Mengumpulkan data dan informasi yang pernah terjadi dan ada di wilayah kerja setempat b. Melakukan analisa dan pemetaan sesuai hasil pengumpulan data dan informasi c. Menyusun rencana kerja d. Melaksanakan sosialisasi kegiatan pada 1) pertemuan lintas program di Puskesmas unutk menamakan persepsi dan meningkatkan kepekaan petugas terhadap kasus yang dididuga KtP/A, dan membangun komitmen
pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus
KtP/A. 2) masyarakat sasaran yang bertujuan untuk memperkenalkan atau menyamakan persepsi dan mendapatkan dukungan dalam penanganan kasus KtP/A, serta penjajakan awal pembentukan kemitraan dan jejaring e. Menyiapkan tenaga pelaksana minimal dua orang tenaga kesehatan (dokter dan perawatatau bidan) yang sudah mendapatkan pelatihan tatalaksana kasus KtP/A f. Menyiapkan petugas konseling dan wawancara g. Menyiapkan sarana dan prasarana meliputi ruangan, alat kesehatan, obat obatan dan sarana konseling h. Melakukan Pemeriksaan kesehatan Pemeriksaan kesehatan berupa anamnese, wawancara dan konseling awal untuk membangun rasa percaya diri korban dan memberikan penyebab
dukungan
trauma
untuk
pada
korban
agar
berani
mengungkap
mencegah kasus kekerasan
berulang.
Pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus untuk menentukan
tindakan selanjutnya serta untuk mengetahui ada tidaknya indikasi kekerasan. Pemeriksaan penunjang jika diperlukan antara lain pemeriksaan rontgen dan laboratorium. i.
Melakukan tindakan medis Pelaksanaan tindakan medis disesuakan degan kondisi korban dan apabila apabila perlu dilakukan dujukan ke sarana yang lebih memadai.
j.
Wawancara dan konseling Merupakan kegiatan interaktif antara klien dan petugas wawancara/ konseling untuk membantu klien mengenali, menghadapi dan memecahkan masalah tertentu berdasarkan keputusan klien. Pelaksananya adalah tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan), non medis (psikolog) dan tenaga terlatih (LSM) lainnya
k. Penyuluhan Penyuluhan bisa dilaksanakan di setiap kesempatan o leh tenaga kesehatan yang terlatih dalam upaya pencegahan terjadinya atau berulangnya kasus KtP/A. l.
Kunjungan Rumah Merupakan kegiatan untuk menindaklanjuti kasus-kasus KtP/A yang ditangani Puskesmas
m. Pencatatan Pencatatan semua informasi dalam pelaksanaan pelayanan terhadap korban KtP/A.
DAFTAR PUSTAKA
Andari, A.J., 2011. Analisis Viktimisasi Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan. Kriminologi Indonesia, 7(3), pp.307 – 319. Fataruba, Purwatiningsih & Wardani, 2009. Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Kekerasan Terhadap Anak Usia Sekolah (6-18 Tahun) di Kelurahan Dufa Dufa Kecamatan Ternate Utara. Kesehatan Masyarakat , 3(3), pp.168 – 173. Gumiarti, 2008. Hubungan Status Sosial Orang Tua dengan Kekerasan Fisik Pada Anak umur 3-6 th di kabupaten Jember . Gadjah Mada. Hyoscyamina, D.E., 2011. Peran keluarga dalam membangun karakter anak. Psikologi Undip, 10(2). IDI, Depkes RI & Unicef, 2004. Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect Bagi Tenaga Profesional , Jakarta. Imron, A., Rosyidah, N. & Supangat, 2015. Penguatan Kesadaran Hukum Perlindungan Anak Bagi Guru Madrasah Diniyah Takmiliyah Dan Pondok Pesantren Anak Anak Se Kabupaten Blora Jawa Tengah. Dimas, 15(November), pp.1 – 18. Jenny, C., 2006. Child Abuse And Neglect (Diagnosis, Treatent, E vidence), Kemenkes RI, 2009. Pedoman pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak , Jakarta: Sekretaris Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian Kesehatan REpublik Indonesia. Paramastri, I., 2011. Modifikasi Teori Transteroretikal Untuk Komunitas Anti Kekerasan Seksual Pada Anak-Anak . Gadjah Mada. Putri, A.M. & Santoso, A., 2012. Persepsi Orang Tua Tentang Kekerasan Verbal Pada Anak. Jurnal Nursing Studies, 1(1), pp.22 – 29. Sakalastra, P.P. & Herdiana, I., 2012. Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual Yang T inggal di Liponsos Anak Surabaya. Psikologi
kepribadian dan Sosial , 1(2), pp.68 – 73. Sandy, W.F., 2008. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Depresi Pasca Melahirkan Di Kabupaten Purworejo (Analisis Data Survey SEHATI). Gadjah Mada. Santrock, J.W., 2007. Perkembangan Anak Jilid Satu (Terjemahan dari Child Development, Elevent Edition) Sebelas. W. Hardani, ed., Jakarta: Erlangga. Sisca, H. & Moningka, C., 2008. Resiliensi Perempuan Dewasa Muda Yang pernah Mengalami Kekerasan Seksual Di Masa Kanak Kanak. Psikologi, 2(1), pp.61 – 69.