1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan masalah kesehatan yang utama. Dimana prevalensi dan insidensi penyakit ini di Negara berkembang cukup tinggi dan diperkirakan terus t erus meningkat sampai samp ai tahun 2020. Diantaranya adalah penyakit jantung koroner yang menyebabkan mortalitas dan mordibitas yang tinggi. Penyakit jantung koroner merupakan salah satu bentuk utama penyakit jantung dan pembuluh darah yang terdiri dari angina pektoris pektoris (AP), infark miokard akut (IMA) dan sudden death (ESC, death (ESC, 2011). IMA terjadi akibat oklusi atau sumbatan pada pembuluh darah koroner yang menyebabkan suplai darah sangat kurang sehingga terjadi nekrosis miokard yang menyebabkan cardiac arrest (AHA, 2010). Menurut data survey penyakit kardiovaskuler khususnya penyakit jantung koroner di Indonesia prevalensi dan insidensi dari penyakit ini masih menempati urutan pertama angka kematian nasional. Penyakit ini menjadi penyebab utama kematian di Indonesia dan memiliki prevalensi sebesar 9,2% pada tahun 2007. Berdasarkan laporan dari rumah sakit dan puskesmas, prevalensi kasus penyakit jantung koroner di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 0,09% pada tahun 2006 menjadi 0,10% pada tahun 2007, dan 0,11% pada tahun 2008. Prevalensi sebesar 0,11% berarti setiap 10.000 orang terdapat 11 orang penderita jantung
1
2
coroner. Dari informasi tersebut di dapatkan angka fatalitas kasus (case ( case CFR) IMA adalah yang tertinggi dibandingkan dengan fatality rate / CFR) penyakit jantung lainnya yaitu 16,6% dan 14,1% pada tahun 2002 dan 2003 (Riskesdas, 2013). Infark miokard akut adalah manifestasi lanjut dari penyakit jantung koroner yang terjadi secara akut. Merupakan suatu keadaan dimana jantung mengalami iskemi yang berlangsung lebih dari 30-45 menit yang akan menyebabkan kerusakan sel irreversibel serta nekrosis atau kematian otot jantung. Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen (Kasron, 2012). IMA memiliki banyak manifestasi klinis dan komplikasi yang menyertainya. Terdapat kalsifikasi sindrom koroner akut menjadi unstable angina (UA) angina (UA) ,ST-segment elevation myocardial infarct (STEMI) (STEMI) dan non ST-segmen Elavation Myocardial Infarct (NSTEMI). Pada IMA tipe STEMI sering terjadi kematian yang tiba-tiba, oleh karena sebab itu IMA membutuhkan suatu tindakan medis yang secepatnya karena merupakan suatu kegawatdaruratan (AHA, 2010). Infark miokard akut dapat menimbulkan berbagai komplikasi antara lain gangguan irama dan konduksi jantung, syok kardiogenik, ruptur jantung, regurgitasi mitral, trombus mural, emboli paru, henti jantung atau cardiac arrest serta kematian. Salah satu komplikasi dari IMA adalah cardiac arrest keadaan ini merupakan keadaan yang memperlihatkan penghentian mendadak fungsi pemompaan jantung, yang
2
3
mungkin masih reversible bila dilakukan intervensi dengan segera tetapi dapat menimbulkan kematian jika tidak dilakukan intervensi yang dapat meyebabkan kegagalan multi organ dan berakhir dengan kematian (AHA, 2010). Di IGD RSUD Salatiga selama 3 minggu terdapat 7 pasien datang dengan keluhan nyeri dada, 3 pasien didiagnosa STEMI, 1 pasien didiagnosa AMI, dan 3 pasien didiagnosa chest pain tanpa ada masalah pada hasil pemeriksaan ECG. Sedangkan di ICU RSUD Salatiga selama 3 minggu terdapat 3 pasien dengan diagnosa STEMI, dan 1 pasien dengan diagnosa AMI. 1 pasien dengan STEMI meninggal setelah dirawat di ICU selama 2 hari. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Melakukan analisis kritis dan mendapatkan gambaran umum terhadap asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien dengan STEMI Inferior 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi focus pengkajian kegawat daruratan pada pasien dengan STEMI Inferior b. Mengidentifikasi
prioritas diagnose
keperawatan
kegawat
daruratan pada pasien dengan STEMI Inferior c. Mengidentifikasi focus implementasi pasien dengan STEMI Inferior
3
kegawat daruratan pada
4
BAB II
GAMBARAN KASUS
A. Gambaran Kasus di IGD 1. Kasus Tn. D, 56 tahun Datang dengan keluhan Circulation : nyeri dada (O: nyeri dirasakan ± 1 jam,
P: nyeri bertambah bila pasien terlentang,
berkurang saat pasien posisi duduk, Q: seperti tertekan beban dan ditusuk-tusuk, R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung dan lengan kiri, S: skala 6, T:, terus menerus), TD : 185/167mmHg, N: 115x/mnt, keringat dingin, akral dingin. Airway : pasien tampak muntah-muntah, mulut penuh sekret, dan ronchi. Breathing : pasien sudah batuk ± 2 minggu, RR : 30x/mnt, Spo2 : 84%, terdapat retraksi interkosta, pasien tampak gelisah, ECG : ST-Elevasi Diagnosa keperawatan yang muncul adalah bersihan jalan nafas tidak efektif, gangguan perfusi jaringan jantung b.d suplai O2 tidak adekuat, dan pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi. Tindakan keperawatan dan mendis yang dilakukan pada Tn.D untuk mengatasi masalah keperawatan di atasadalah sebagai berikut : a. Mengukur tanda-tanda vital b. Memberikan O2 masker 10 lpm c. Memposisikan semi fowler d. Melakukan suction e. Memberikan infus NaCl 8tpm
4
5
f.
Memasang DC
g. Memberikan injeksi ranitidin 50mg, furosemid 1 amp, ceftriaxone 1gr, ondansentron 4mg, ISDN sublingual 5mg h. Melakukan pemeriksaan EKG : ST Elevasi di lead II, III, dan Avr Evaluasi keadaan pasien jam 21.20: S: pasien
mengatakan dada kiri masih nyeri
O: pasien
masih tampak gelisah, RR : 28x/mnt, Spo2 : 97%,
TD : 188/150mmHg, akral dingin, urin output 100cc, sekret keluar dari mulut suction +, EKG Stemi Inferior. A:
masalah belum teratasi
P: -
pantau kepatenan jalan nafas dan saturasi O2
-
Pantau TTV dan ECG
-
Pindah ICU
2. Tn.S, 49 Tahun Pasien datang dengan keluhan circulation : nyeri dada (O: dirasakan ± 40 menit, P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, jika berjalan nafas terasa terengah-engah, berkurang saat pasien posisi duduk, Q: seperti tertekan beban dan panas, R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung, S: skala 7, T: terus menerus), keringat dingin, akral dingin, TD : 137,77mmHg, N: 97x/mnt. Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas. Breathing : ps tampak terengah-engah, RR:26x/mnt, Spo2 : 95%. Pasien tampak bingung, ECG: ST-Elevasi.
5
6
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi, Gangguan perfusi jaringan jantung b.d suplai O2 tidak adekuat. Tindakan keperawatan dan medis yang dilakukan pada Tn.S untuk mengatasi masalah keperawatan di atas adalah sebagai berikut: a. Mengukur TTV b. Memposisikan semi fowler c. Memberikan O2 Nassal kanul 3lpm d. Melakukan pemeriksaan EKG : ST Elevasi e. Memasang infus RL 20tpm f.
Memberikan injeksi Ranitidin 50 mg
g. Memberikan tablet ISDN Sublingual 5mg Hasil evaluasi pada pasien adalah : S: pasien
mengatakan masih terengah-engah dan mau pulang saja
O: pasien
tampak bingung, TD : 128/75mmHg, Spo2 : 97%, n:
98x/mnt, RR : 24x/mnt, ECG : ST Elevasi A: masalah
P: -
belum teratasi
pantau TTV dan ECG
-
pindah ICU
6
7
B. Gambaran Kasus di ICU 1. Ny.T, 60 tahun Pasien mengeluh circulation : nyeri dada (O: ±5 jam, P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, berkurang saat pasien posisi ½ duduk, Q: seperti tertekan beban dan berdebar-debar, R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung, S: skala 7, T: hilang timbul), mual dan muntah, TD : 82/42mmHg, N : 49x/mnt, RR: 26x/mnt, keringat dingin, akral dingin, pasien tampak lemas. Airway : ps tampak muntahmuntah tetapi tidak menyumbat jalan nafas. Breathing : RR 26x/mnt, Spo2 100%. S : 36ºC, ECG : ST Elevasi di lead II, III, dan avF, riwayat DM, GDS :285g/dl. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah penurunan perfusi jaringan jantung b.d infark miokard, penurunan curah jantung b.d gangguan fungsi kontraktilitas otot jantung, intolerasdi aktivitas b.d ketidakadekuatan suplai O2, Tindakan keperawatan dan medis yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan di atas adalah sebagai berikut: a. Memberikan posisi yang nyaman b. Memberikan O2 nasal kanul 4lpm c. Mengukur tanda-tanda vital d. Mengajarkan relaksasi nafas dalam
7
8
e. Memberikan
terapi
medis:
Morfin
0.9
µ/jam,
dobutamin
5µ/kgBB/jam, ISDN 5mg, Aspilet 2 tab, arixtra 2,5mg, omeprazole 40mg, Ondansentron 1 amp f. Memantau balance cairan g. Memantau adanya nyeri dada h. Menganjurkan untuk bedrest i.
Memantau GDS
Hasil evaluasi pada pasien setelah 3 hari perawatan di ICU: S:
Pasien mengatakan sudah tidak nyeri dada dan tidak mual muntah
lagi O:
Pasien tampak rileks, TD: 99/60mmHg, N: 63x/mnt, RR: 18x/mnt,
Spo2 : 100%, akral hangat, ECG : NSR A: Masalah
P:
teratasi sebagian
Pantau adanya nyeri dada, pantau ECG, anjurkan untuk bedrest,
Dobutamin dan morfin stop. 2. Tn.S, 61 Tahun Pasien mengeluh circulation : nyeri dada (O: ± 15 jam, P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, berkurang saat pasien posisi ½ duduk, Q: panas dan seperti tertusuk R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung, S: skala 8, T: terus menerus), TD: 113/71mmHg, N: 142x/mnt, ECG : Sinus takikardi, akral dingin. Airway : tidak ada
8
9
sumbatan jalan nafas. Breathing : Spo2 : 93%, RR : 28x/mnt. S: 36ºC, ekspresi wajah menahan nyeri, edema ekstremitas. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah penurunan perfusi jaringan jantung b.d infark miokard, intoleransi aktivitas b.d ketidakefektifan suplai O2. Tindakan keperawatan dan medis yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan di atas adalah sebagai berikut: a. Memberikan posisi yang nyaman b. Memberikan O2 masker Non Rebreathing 10lpm c. Mengukur tanda-tanda vital d. Memantau gambaran ECG e. Mengajarkan relaksasi nafas dalam f.
Memberikan terapi medis: Morfin 0.9 µ/jam, CPG 1,75mg, Aspilet 20mg, Dobutamin 5 µ/kgBB/jam, arixtra 2,5mg, Bolus morfin 1mg dan midazolam 2 mg jika pasien tampak kesakitan sekali
g. Memantau balance cairan h. Memantau adanya nyeri dada i.
Menganjurkan untuk bedrest
Hasil evaluasi hari kedua, jam 07.30 WIB kesadaran pasien menurun GCS : E1 V2 M2, ECG : sinus bradikardi, TD : 95/55mmHg, N: 61x/mnt, RR: 5x/mnt, Spo2 72%, Nadi teraba lemah. Diakukan Bagging : saturasi tidak naik 82%.
9
10
Jam 07.32 WIB EKG : Arrest kemudian dilakukan RJP 5 Siklus dan adrenalin 1 ampul : tidak ada respon. ECG : FLAT. Pasien dinyatakan meninggal.
10
11
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penatalaksanaan STEMI Menurut American Heart Association (AHA) 2010 1. Pre Hospital Management a. Mengenali dengan cepat gejala ACS oleh pasien dan petugas kesehatan Penatalaksanaan sebelum dirumah sakit dimulai ketika pasien mulai merasakan gejala yang menunjukkan iskemia seperti rasa tidak nyaman pada dada seperti tertekan beban berat atau dihimpit, nyeri dada retrosternal, nyeri menjalar ke bahu, kedua tangan, rahang atau ke punggung. Kemudian melakukan panggilan Emergency Medical Service ( EMS) untuk meminta pertolongan. Triase yang cepat yang dilakukan oleh EMS akan memberikan managemen yang cepat pula. b. Pertolongan Pertama Oleh EMS 1) Monitor TTV, suport ABC, persiapan kemungkinan CPR atau defibrilator 2) Pemberian oksigen, aspirin, nitrat dan morfin jika diperlukan 3) ECG 12 lead Jika ditemukan adanya ST-elevasi segera beritahu RS yang akan menerima tentang interpretasi ECG, onset nyeri, dan
11
12
terapi, dan beritahu RS untuk menyiapkan penatalaksanaan STEMI di RS. 4) Jika diperlukan adanya fibrinolisis prehospital
cek dulu
kontraindikasi fibrinolisis. Prehospital fibrinolytic checklist: a) Systolic BP >180 - 200mmHg atau diastolik BP >100 110mmHg b) Perbedaan sistolik lengan kanan dan kiri >15mmHg c) Riwayat penyakit sistem saraf pusat d) Trauma kepala atau wajah dalam 3 minggu terakhir e) Stroke > 3 jam atau <3 bulan f) Dalam 2-4minggu terakhie mengalami trauma parah, pembedahan seperti pembedahan mata, gastrointestinal dan perdarahan GI. g) Riwayat perdarahan intracranial lainnya h) Perdarahan i) Wanita hamil j) Penyakit sistemik yang serius seperti kanker, gangguan hati, atau gagal ginjal. Jika salah satu tanda di atas terdapat pada pasien berarti pasien tersebut kontraindikasi untuk pemberian fibrinolisis. Jika kedaan pasien semakin buruk seperti HR > 100, TD <100 untuk sistol, edema pulmonal, terdapat tanda-tanda shyok
12
13
seperti
akral
dingin,
berkeringat
dingin
dan
terdapat
kontraindikasi terhadap fibrinolisis maka pertimngkan untuk melakukan reperfusi dengan PCI ( Percutaneous Coronary Intervention) dan beritahu RS penerima untuk mempersiapkan PCI. Berdasarkan gambaran kasus di IGD, pasien datang ke IGD tanpa
mendapatkan
pertolongan
prehospital .
Sehingga
pengkajian triase STEMI, dan penatalaksanaan STEMI seperti pemberial oksigen, aspirin, dan nitrat dilakukan di IGD. Hal ini dikarenakan di Kota Salatiga belum ada Emergency Medical Service sehingga pasien datang sendiri ke RS begitu merasakan keluhan nyeri dada.
2. Emergency Departemen and Risk stratification a. Pengkajian dengan cepat < 10 menit 1) Monitot TTV, dan satirasi oksigen 2) Iv line 3) Pengkajian fisik dan riwayat kesehatan 4) Evaluasi checklist fibrinolisis 5) Pemeriksaan biomarker infark 6) Pemeriksaan ro.thoraks b. Penatalaksanaan
13
14
1) Spoa2 < 94% diberikan oksigen 4lpm 2) Aspirin 160-325mg (jika belum diberikan oleh EMS) 3) Nitrigycerin sublingual/spray 4) Morfin jika diperlukan c. Interpretasi ECG Pada pasien STEMI setelah diberikan therapy sesuai indikasi, Jikan onset nyeri ≤ 12 jam segera lakukan reperfusi. Reperfusi ada 2 yaitu PCI dan fibrinolisis. 1) Dilakukan PCI jika: a) Onset > 3 jam b) Door – ballon < 90menit c) Door-needle < 1 jam d) Terdapat tenaga medis yang kompeten melakukan PCI e) Kontraindikasi terhadap fibrinolisis f) Keadaan pasien memburuk 2) Dilakukan fibrinolisis jika : a) Tidak ada kontra indikasi terhadap fibrinolisis b) Onset nyeri < 3 jam c) Door-ballon > 90 menit d) Door-needle > 1 jam Berdasarkan gambaran kasus di atas onset nyeri yang dirasakan saat datang di IGD < 12 jam. Reperfusi terhadap pasien di IGD tidak diakukan dengan segera karena di RSUD
14
15
Salatiga belum terdapat tenaga dan alat untuk melakukan PCI. Sedangkan fibrinolisis diberikan di ICU seger setelah pasien dipindah dari IGD Ke ICU. d. Jika onset nyeri ≥ 12 jam 1) Terapi sesuai indikasi : Morfin, Oksigen, nitrat, aspilet, clopidogel, lanjutkan pemberian heparin, β-blocker, Ace Inhibitor, glycoprotein IIb/IIIa inhibitor 2) Bedside monitor Berdasarkan gambaran kasus di ICU pasien mendapatkan oksigen, terapi ISDN, Aspilet, dan Arixtra sebagai fibrinolisis dan sudah sesuai dengan AHA tahun 2010.
15
16
16
17
B. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada STEMI 1. Penurunan perfusi jaringan jantung b.d infark miokard Penurunan perfusi jaringan jantung dapat dimanifetasikan dengan adanya nyeri dada yang ditemukan pada ke-4 pasien di atas. Pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri (P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, jika berjalan nafas terasa terengah-engah, berkurang saat pasien posisi duduk, Q: seperti tertekan beban, tertusuk, berdebardebar dan panas, R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung, S: skala 6-7, T: terus menerus) dan gambaran ECG yang menunjukan adanya elevasi segmen ST. Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai
endokardium
transmural.namun
sampai
bisa
juga
epikardium,disebut hanya
mengenai
infark daerah
subendokardial,disebut infark subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya
sumbatan,infark
sudah
dapat
terjadi
pada
subendokardium,dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Kerusakan miokard ini dari endokardium ke epikardium menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun nekrosis miokard sudah komplit,proses remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non infark mengalami dilatasi. Penggunaan antikoagulan atau anti platelet bertujuan untuk menjaga agar arteri koroner tetap terbuka (Sjahrudin, 2011).
17
18
Nyeri dada muncul sebagai salah satu tanda adanya infark pada mikardium. Nyeri dada disebabkan oleh karena tersumbatnya aliran darah di miokard sehingga suplai O2 untuk kebutuhan metabolisme otot jantung terganggu, sehingga metabolisme berjalan tanpa O2 atau anaerob. Metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat dan juga merangsang pengeluaran zat-zat iritatif lainnya seperti histamine, kinin, atau enzim proteolitik seluler merangsang ujung-ujung syaraf reseptor nyeri di otot jantung (Udijanti, 2010). Penatalaksanaan mengatasi penurunan perfusi jantung adalah: a.
Oksigen Verdy (2012) menjelaskan oksigen diberikan pada semua pasien infark miokard. Pemberian oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior. Berdasarkan konsensus, dianjurkan memberikan oksigen dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak bermanfaat, kecuali pada keadaan berikut : 1) Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau dengan hemodinamik yang tidak stabil 2) Pasien dengan tanda-tanda edema paru akut 3) Pasien dengan saturasi oksigen < 90% Pada gambaran kasus di atas semua Pasien yang mengalami nyeri dada diberikan oksigen dengan nasala kanul 3-4 lpm atau dengan masker bagi pasien yang saturasi oksigennya terganggu.
18
19
b.
Mengurangi oklusi dengan obat-obatan 1) Nitroglycerin Tablet nitroglycerin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan interval 3-5 menit jika tidak ada kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil, misalnya pada pasien dengan tekanan diastolik ≤90 mmHg atau 30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan awal. Nitroglycerin adalah venodilator dan penggunaannya harus secara hati-hati pada keadaan infark inferior atau infark ventrikel kanan, hipotensi, bradikardi, takikardi, dan penggunaan obat penghambat fosfodiesterase dalam waktu <24 jam. Pada gambaran kasus di atas semua pasien terutama di IGD di berikan ISDN sublingual 5 mg untuk mengurangi nyeri. 2) Aspilet / Acetylsalicylic acid Pengobatan dan pencegahan trombosis (agregrasi platelet) pada infark miokardial akut. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Sehingga pemberian aspilet diharapkan
19
20
bisa menurunkan kemampuan darah untuk menggumpal berkurag sehingga mengurangi terjadinya trombus pada otot jantung. Pemberian pada kasus diatas adalah 2-4 tablet @20mg. 3) Morphine Diberikan jika nitroglycerin sublingual tidak responsif. Morphine merupakan pengobatan yang cukup penting pada infark miokard dengan alasan: a) Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivitas neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin b) Menghasilkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan oksigen. c) Menurunkan
tahanan
vaskuler
sistemik,
sehingga
mengurangi after load ventrikel kiri. d) Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut. Pada gambaran kasus di atas morfin diberikan pada pasien yang dirawat ICU melalui siryngpump dengan dosis 0,9 µ/jam, dan di bolus 1 mg jika pasien merasa sangat kesakitan. Evaluasi : Pada kasus di IGD
pada Tn.S pertolongan pertama untuk
mengatasi nyeri dada adalah dengan memberikan O2 melalui nasal
20
21
kanul 4 lpm karena Spo2 Tn.S masih cukup adekuat yaitu 95 %, sedangkan pada Tn.D diberikan O2 masker 10 lpm karena Spo2 84%, perbedaan Saturasi pada kedua pasien tersebut dikarenakan Tn.D mengalami muntah-muntah dan sekret terus keluar dari mulut sehingga mengganggu jalan nafas. Kedua pasien tersebut sama-sana diberikan ISDN 5 mg sublingual sebagai vasodilator untuk mengurangi nyeri. Setelah dievaluasi pasien masih mengeluh nyeri dada dan belum berkurang sehingga pasien butuh perawatan lebih lanjut di ICU untuk pemantauan serangan nyeri dada berulang, pemantauan tanda-tanda vital dan ECG. Pada kasus di ICU Ny.T dan Tn.S mendapatkan ISDN sublingual 5mg, dan aspilet 40mg, morfin 0,9 µ/jam. Pada Ny.T skala nyeri yang dirasakannya semakin hari semakin berkurang, hal ini dikarenakan trombus pada pembuluh darah arteri koroner mulai menghilang dapat dilihat dari hasil ECG : NSR. Sedangkan pada Tn.S serangan nyeri dada terus berulang sehingga setiap kali serangan diberikan bolus morfin 1 mg dan midazolam 2mg untuk mengurangi nyeri dan menenangkan pasien. Selama 10 jam Tn.S mengalami serangan sebanyak 4x dan pada serangan terakhir pasien sampai mengalami penurunan kesadaran, apnea dan akhirnya kardiac arest. Cardiac arest terjadi akibat komplikasi dari iskemik yang terjadi pada miokard sehingga
21
22
menganggu kontraktilitas otot jantung untung memompa darah keseluruh tubuh. Penatalaksanaan di ICU pada Ny.T dan Tn.S diberikan arixtra 2,5mg/24 jam per IM untuk mempertahankan arteri koroner tetap terbuka. Pada Tn.S mendapatkan tambahan CPG 1,75mg sebagai antiplatelet. Evaluasi: Data menunjukan pada Ny.T perfusi jaringan jantung kembali adekuat ditandai dengan pasien tidak merasakan nyeri dada lagi, dan gambaran ECG menunjukan normal sinus rythm. Sedangkan pada Tn.S perfusi jaringan jantung belum kembali adekuat ditandai dengan masih adanya serangan nyeri dada berulang-ulang, hal ini menunjukkan bahwa metabolisme anaerob masih terjadi di miokard akibat kurangnya suplai O2 ke miokard.
2. Penurunan curah jantung b.d perubahan fungsi kontraktilitas miokard Ny.T, 60 tahun mengeluh nyeri (P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, berkurang saat pasien posisi ½ duduk, Q: seperti tertekan beban dan berdebar-debar, R: dada kiri menjalar tembus hingga pun ggung, S: skala 7, T: terus menerus), mual dan muntah. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data TD : 82/42mmHg, N : 49x/mnt, RR: 26x/mnt, S : 36ºC, Spo2 100%, keringat dingin, akral dingin, pasien
22
23
tampak lemas dan muntah-muntah, ECG : ST Elevasi di lead II, III, dan Avr. Tn. S, 61 tahun, pasien mengeluh nyeri dada (P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, berkurang saat pasien posisi ½ duduk, Q: panas dan seperti tertusuk R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung, S: skala 8, T: terus menerus). Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data ekspresi wajah menahan nyeri, TD: 113/71mmHg, N: 142x/mnt, Spo2: 93%, S: 36ºC, ECG : Sinus takikardi, akral dingin, RR : 28x/mnt, edema ekstremitas. Pada pasien infark miokard akut otot jantung tidak dapat meregang dengan maksimal karena terdapat infark dan penebalan pada otot jantung, selanjutnya pada bagian tersebut akan menonjol keluar saat bagian yang lain berkontraksi, sehingga menyebabkan penurunanan kekuatan kontraksi pada jantung saat memompa darah. Akibat dari hal tersebut volume darah yang dipompa jantung mengalami penurunan (Smeltzer & Bare, 2002). Apabila kontraktilitas mikardium tidak diatasi
segera
kerja
jantung
akan
semakin
meningkat
dan
mengakibatkan disfungsi miokardium serta akan mengakibatkan kematian. Penatalaksanaan pada diagnosa penurunan curah jantung yang dilakukan pada Tn.S dan Ny.T adalah memantau tanda-tanda vital, memonitor tingkat kesadaran, memonitor kualitas nadi, memonitor suhu; warna; dan kelembaban kulit. Tanda-tanda vital perlu dikaji
23
24
terutama tekanan darah karena pada penderita infark miokard akut terjadi iskemia miokardium yang menyebabkan disfungsi ventrikel kiri sehingga terjadi penurunan cardiac output dan menyebabkan hipotensi. Selain itu akibat penurunan suplai darah dan oksigen sebagai kompensasinya nadi melemah dan peningkatan respirasi. Dalam peningkatan respirasi perlu dipantau lebih lanjut mengenai suara napas karena adanya suara napas krekels menunjukkan kongesti paru akibat penurunan fungsi miokard (Kowalak, 2012). Terapai farmakologi pada penurunan curah jantung adalah pemberian Dobutamin 5µ/kgBB/jam. Evaluasi : Pada Ny.T pemberian dobutamin dihentikan pada hari ketiga, dengan TTV terakhir TD: 99/60mmHg, N: 63x/mnt, RR: 18x/mnt, Spo2 : 100%, akral hangat, ECG : NSR.
3. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi Kasus Tn. D, 56 tahun, keluhan nafas terasa sesak, nyeri dada (P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, berkurang saat pasien posisi duduk, Q: seperti tertekan beban dan ditusuk-tusuk, R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung dan lengan kiri, S: skala 6, T: terus menerus) dan pasien sudah batuk ± 2 minggu. Hasil pengkajian fisik didapatkan TD : 185/167mmHg, N: 115x/mnt, RR : 30x/mnt, Spo2 :
24
25
84%, terdapat retraksi interkosta, pasien tampak muntah-muntah, keringat dingin, akral dingin, pasien tampak gelisah, dan ronchi. Tn.S, 49 Tahun, pasien datang dengan keluhan nyeri (P: nyeri bertambah bila pasien terlentang, jika berjalan nafas terasa terengahengah, berkurang saat pasien posisi duduk, Q: seperti tertekan beban dan panas, R: dada kiri menjalar tembus hingga punggung, S: skala 7, T: terus menerus), keringat dingin sudah 1 minggu. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan ps tampak terengah-engah dan berkeringat dingin, akral dingin, pasien tampak bingung, TD : 137,77mmHg, N: 97x/mnt, RR:26x/mnt, Spo2 : 95%, S : 36ºC. Ketidakefektifan pola napas adalah inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventialasi (NANDA, 2013). Pada infark miokard perubahan pola nafas terjadi akibat kompensasi tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen untuk jantung. Pada semua pasien digambaran kasus di atas diberikan O2 melalui nassal kanul ataupun masker sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh dan untuk memberikan oksigen bagi jantung supaya perfusi jantung tetap maksimal, ketika perfusi jaringan jantung maksimal maka tubuh tidak akan melakukan ventilasi berlebih untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Pemberian oksigen pada pasien Stemi bisa mengurangi ST-elevasi (Verdy, 2010).
25
26
BAB IV KESIMPULAN
A. Kesimpulan 1. Fokus pengkajian pada pasien STEMI adalah anamnesis nyeri (OPQRST), pemeriksaan EKG 12 lead dan pemeriksaan biomarker jantung 2. Prioritas diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien STEMI adalah penurunan perfusi jaringan jantung b.d infark miokard, penurunan curah jantung b.d gangguan kontraktilitas miokard, pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi 3. Focus implementasi pada pasien STEMI adalah melakukan reperfusi pada pasien yang mengalami nyeri dada ≤ 12 jam dengan PCI atau dengan fibrinolisis. Pemberian terapi pada pasien STEMI adalah MONACO yaitu morfin, oksigen, nitrat, aspirin, dan clopinogrel. B. Saran 1. Sebagai perawat kita harus dengan cepat dan tepat mengenali nyeri dada yang dirasakan pasien sebagai gejala dari sindrom koroner akut supaya bisa cepat dilakukan reperfusi jika ditemukan adanya STEMI. 2. Sebagai tenaga kesehatan kita harus cepat melakukan reperfusi ≤ 12 jam pada pasien yang didiagnosis STEMI. 3. Pada pasien yang diberikan fibrinolisis perawat harus benar-benar memeriksa bahwa pasien tidak kontrandikasi terhadap fibrinolisis dengan menggunakan fibrinolytic checklist menurut AHA 2010.
26
27
DAFTAR PUSTAKA
AHA, 2010. Part 10: Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart: Guidelines
for
Cardiopulmonary
Resuscitation
and
Emergency
CardiovascularAssociation Care. Alim, Muttaqin, 2009 . Pocket Electrocardio Grafi : How To Learn ECG From Zero. Yogyakarta : Intan Cendikia ESC, 2011.
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation Kasron. 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler . Jakarta : EGC Kowalak, Jennifer P. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta. EGC. Nurarif. A & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC NOC. Yogyakarta : Media Action Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart . Edisi. 8. Jakarta : EGC Verdy, 2012. Inferior Miocardial Infarction with Complete Heart Block. Laporan Kasus RSUD Sekadau, Kalaimantan Barat.
27