UPACARA N G A B E N DI BALI
ANGGOTA : 1. ABEDNEGO
(16.1969)
2. IIS ARISKA
(16.1987)
3. PURWANTO AJI
(16.2000)
4. SEVINDA IRMA ANDRI W.
(16.2006)
5. WIDYA TRINOVITA
(16.2010)
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA AMBARRUKMO (STIPRAM) YOGYAKARTA 2017
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dulu upacara atau ritual merupakan bagian penting yang tampak nyata mengiringi sistem beragama orang Hindu-Bali. Selain upacara atau ritual, terdapat tattwa (filsafat) dan susila (etika) yang menjadi kerangka dasar agama Hindu. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang paling memberi arti atas sistem agama secara keseluruhan. Upacara agama dalam agama Hindu, dilandasi oleh susila agama, susil didasarkan pada tattwa agama, dan pelaksanaan upacara agama tidak bisa dilepaskan dari tatanan tattwa. Pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali lebih banyak diwarnai dengan jalan Bhakti dan Karma. Ajaran bhakti dan karma ini lebih ditampakan pada ritus dan simbolik dibandingkan dengan pemahaman pengetahuan (filsafat).
Artinya tindakan agama Hindu d Bali lebih
dominan menonjolkan praktek ritualnya (upacara). Bentuk-bentuk ritual di Bali tampak pada rangkaian upacara yang disebut dengan Panca Yajna yang terdiri dari Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna, dan Bhuta Yajna. Adapun wujud dari dari Bhakti seorang Prati Sentana (keturunan) yang berhutang budhi sangat besar dan tak ternilai harganya kepada para leluhur, dibayar dengan melaksanakan Pitra Yajna yaitu Ngaben. Seperti halnya bila telah meninggal , seorang prati sentana wajib melakukan penyucian roh leluhur dengan Pitra Yajna yang mana dalam pelaksanaannya dengan melakukan Pitra Puja yang dilakukan oleh para Pandita dengan persembahan berupa sesajen yang merupakan sarana untuk beliau mencapai tempat yang sesuai dengan karmanya. Berdasarkan keadaan jenazahnya, upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga macam , yaitu (1) sawa wedana adalah upacara ngaben yang masih ada jenazahnya utuh, (2) asti wedana adalah upacara ngaben dimana tidak ada jenazah utuh orang yang diaben, tetapi tulang
belulangnya yang diambil dari kuburan ( setra), karena sudah meninggal dan dikubur sebelumnya, dan (3) swasta adalah upacara ngaben dimana jenazah orang yang meninggal tidak dapt diketahui.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan upacara ngaben di Bali ? 2. Apakah makna dan tujuan dari upacara ngaben di Bali ? 3. Bagaimana tata cara pelaksanaan upacara ngaben di Bali ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan upacara ngaben. 2. Untuk mengetahui makna dan tujuan dari upacara ngaben di Bali. 3. Untuk mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan upacara ngaben di Bali.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para penulis serta pembaca, khususnya mengenai upacara ngaben. Seperti mengetahui apa yang dimaksud dengan upacara ngaben, makna dan tujuan dari upacara ngaben, serta mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan upacara ngaben di Bali.
BAB II PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN UPACARA NGABEN DI BALI
Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal. Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya. Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat dari kata ngabu yang berarti menjadi abu. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api. Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk membakar kotoran yang berupa
jasad kasar yang masih melekat pada roh dan mengembalikan roh pada Sang Pencipta. Puncak
Upacara
adat Ngaben adalah
prosesi
pembakaran
keseluruhan struktur yaknik Lembu atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dila kukan Ngaben. Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluar ga yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.
2. TUJUAN UPACARA NGABEN DI BALI
Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya menghambat perjalanan roh mencapai nirwana. Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut: a. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan. b. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta ( 5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masingmasing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu :
Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dan lain-lain.
Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dan lain-lain.
Bayu : unsur udara yang membentuk nafas.
Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh.
Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
c. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
3. TATA CARA PELAKSANAAN UPACARA NGABEN DI BALI o
Ngulapin Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
o
Nyiramin/Ngemandusin Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi badan yang lengkap (tidak cacat).
o
Ngajum Kajang Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksaraaksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
o
Ngaskara Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
o
Mameras Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
o
Papegatan Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
o
Pakiriman Ngutang Di laksanakan setelah upacara papegatan yang dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara "Baleganjur" (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan
desa
sebagai
simbol
perpisahan
dengan
lingkungan
masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
o
Ngising Ngising adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
o
Nganyud Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
o
Makelud Makelud
biasanya
dilaksanakan
pembakaran
jenazah.
Makna
12
upacara
hari
setelah
makelud
ini
upacara adalah
membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.
BAB III PENUTUP
SIMPULAN
Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon, artinya menjadikan prathiti (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara, yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat. Tujuan dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenany, ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben. Landasan filosofis ngaben bisa diuraikan secara umum dan secara khusus. Landasan pokok ngaben secara umum adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah: Brahman,Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa. Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakn karena cinta yang mendalam terhadap leluhur dan pembebasan dosa. Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat, berbakti dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya.
SARAN
Masyarakat Hindu hendaknyadapat meningkatkan wawasannya tentang upacara ngaben. Hal ini dimaksudkan agar banyak belajar dari sumber-sumber sastra sehingga setiap melaksanakan upacara agama berdasarkan sastra suci Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tary Puspa, Ida Ayu. 2013. Bali Dalam Perubahan Ritual Komodifikasi Ngaben di Era Globalisasi. Denpasar: Arti Foundation. 2. Kajeng, I Nyoman dkk. 1978. Sarasamuscaya dengan Teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia. PT Junasco. 3. Kebayantini, Ni Nyoman. 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Udayana University Press. 4. Pudja. 2003. Bhagawadgita. Surabaya: Paramita 5. Titib, I Made dan Mardika. 2004. Buku Ajar Psikologi Agama. Jakarta: Bimas Hindu Budha Departemen Agama RI 6. Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu . Surabaya: Paramita 7. Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama. Surabaya: Paramita.
LAMPIRAN
Proses pengantaran mayat :
Proses pembakaran mayat :