BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.Proses Hukum Yang Adil ( Layak ). Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu "due process of law" yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil. Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini maka permasalahan yang hendak dijawab adalah:
1.2.1 Bagaimana sistem peradilan pidana di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1 Untuk mengetahui sistem peradilan pidana di Indonesia
1.3.2 Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam peradilan pidana khususnya di Indonesia
1.3.3 Untuk menyelesaikan tugas Sistem Peradilan Pidana
1.4 Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai Ilmu hukum umumnya dan khususnya menyumbangkan bekal pengetahuan mengenai Sistem Peradilan Pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
v Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:[1]
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai "procedural law" dan hukum pidana materiil sebagai "substantive law". Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM)[2] menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M. Lubis:[3]
"'The new draft laws', atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan Pancasila."
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:[4]
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[5]
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:[6]
"Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum".
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat[7] dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.
v Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
v Sistem peradilan Pidana Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia
Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
v Sistem Peradilan diwakili dalam 4 yuridiksi
Di Indonesia terdapat 4 macam sistem peradilan yang di akui terdapat dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 4/ 2004, yaitu :
1. Lingkungan peradilan umum
2. Lingkungan peradilan agama
3. Lingkungan peradilan militer, dan
4. Lingkungan peradilan tata usaha negara
Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Di Indonesia telah banyak pembagian sistem peradilan pidana yang sekarang semuanya dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Tetapi dalam proses pelaksanaannya masih banyak kekurangan-kekurangan yang penyebabkan peradilan di Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pencari keadilan, masalah itu baik secara administratif maupun penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di lingkungan peradilan. Adapun upaya yang telah dilakukan saat ini belum optimal untuk menyelesaikan masalah di lingkungan peradilan. Terutama di Indonesia sendiri banyaknya pembagian yurudiksi di tengkat peradilan menyebabkan banyaknya cela yang harus di tutup kembali guna mewujudkan peradilan yang bersih dan adil.
Dengan Tujuan tujuan tersebut diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kejahatan khususnya tindak pidana yang dapat membahayakan masyarakat.
3.2 Saran
Dari hasil penulisan makalah ini maka kami memiliki saran yakni dengan seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, Pengaturan mengenai sistem peradilan pidana harus lebih diperhatikan dan di utamakan untuk menekan angka kriminalitas sehingga ini perlu mendapat perhatian untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan suatu negara khususnya negara Indonesia. Serta negara tidak hanyak harus memperbaiki segi administratif nya saja tetapi negara khususnya negara Indonesia harus memberlakukan sanksi yang optimal guna kriminal-kriminal perundang-undangan yang saat ini kita pakai semakin menurun.
DAFTAR PUSTAKA
- Aspandi, Ali, Menggugat Sistem Hukum Peradilan Di Indonesia, Lekshi, Surabaya, 2002.
- Andrisman, Tri, Sistem Peradilan Indonesia, Hukum Unila, Lampung, 2005.
- Sunarto, Sidik, Sistem Peradilan Pidana, Kapita selekta, Malang, 2004.
- Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
- R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
- Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
[1] Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008) Hal 33
[2] Wawancara terpisah dengan Dosen-dosen Fakultas Hukum UNRAM: Lalu Parman dan M. Lubis, SH.,M.Hum pada tanggal 27 Januari 2009.
[3] Ibid.
[4] R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981) Hal 357
[5] Dengan pemakaian kata "selama-lamanya" maka kita memahami bahwa itu adalah ancaman hukuman yang paling maksimal yang dapat hakim jatuhkan kepada terdakwa – sedangkan hukuman minimal tak ada sekalipun. Ialah merupakan salah satu perbedaan penting yang disampaikan oleh dosen hukum ketika diwawancarai, sebab RUU KUHP akan menentukan ancaman baik minimal maupun maksimal untuk setiap kejahatan masing masing. Menurut Bapak Lubis sesuai dengan KUHP sekarang "baik mencuri sapi maupun ayam, ancamannya sama. Minimalnya satu hari saja! Itu adalah kebebasan yang sangat besar. Para Hakim harus dikasih batas minimalnya. Kecuali dalam undang-undang khusus misalnya korupsi, narkotika ataupun money laundering dimana sudah tercatat ada minimal dan maksimalnya."
[6] Andi Hamzah Op. Cit. Hal 79
[7] Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB pada tanggal 5 Februari 2009.