1
Teori Sosiologi Modern, George Ritzer- Douglas j. Goodman, 2008, halaman 324
www.pustaka.ut.ac.id
Teori Sosiologi Modern, George Ritzer- Douglas j. Goodman, 2008, halaman 352
MAKALAH SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
KEMISKINAN PADA ETNIS PAPUA
Disusun Oleh:
Kelompok 8
1. Presiensi Fauzi Zakharis 07031181520182
2. Lilik Nurindah Sari 07031181520192
3. Khoirunnisa 07031181520200
4. Reza Firdaus 07031281520156
5. Luthfiyah Shafira 07031281520157
Dosen Pembimbing :
Dra.Hj. Rogaiyah., M.SI
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas berkat rahmat-Nya. Kami dapat menyusun makalah Sistem Sosial Budaya Indonesia khususnya tentang pembahasan "Kemiskinan pada Etnis Papua".
Makalah ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia. Pemahaman tentang manusia dan hal – hal yang berkaitan dengannya sangat diperlukan dengan suatu tujuan agar beberapa masalah dapat diselesaikan dan dihindari sekaligus memperdalam wawasan bagi kita semua.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Hj. Rogaiyah M.Si., selaku Dosen Sistem Soaial Budaya Indonesia di Universitas Sriwijaya yang telah membimbing kami. Teman-teman kami khususnya kelompok 8. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada sumber-sumber inspirasi makalah ini.
Makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan karena kami juga masih dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Terima kasih atas perhatiannya dan jikalau ada kesalahan kata maupun tulisan Kami mohon maaf.
Inderalaya, Februari 2016
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ii
Bab I : PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
Rumusan Masalah................................................................................ 2
Tujuan Penulisan Makalah.................................................................... 2
Bab II : BATASAN KONSEP
Definisi Paradigma dan Definisi Sosial...............................................3
Pengertian Teori Etnometodologi.................................................5
Hubungan Paradigma Definisi Sosial dengan Teori Etnometodologi..8
Bab III : PEMBAHASAN
3.1 Masalah Kemiskinan pada Etnis Papua................................................10
3.2 Penyebab Kemiskinan pada Etnis Papua.......................................19
3.3 Upaya Mengatasi Kemiskinan pada Etnis Papua..............................20
Bab IV : PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................22
Daftar Pustaka......................................................................................23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah suatu Negara yang banyak mempunyai beraneka ragam suku, etnis, ras dan agama. Banyak sekali kekayaan alam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya kaya akan alam tetapi Indonesia juga kaya akan budayanya berupa suku, etnis, ras, dan berbagai agama (SERA) yang berbeda – beda dan setiap daerah mempunyai budaya masing-masing. Suku-suku di daerah pedalaman Indonesia masih kental akan warisan nenek moyang mereka, yang dijaga dan dilestarikan secara turun temurun dari jaman dulu sampai saat ini.
Ada nilai positif dan negatif dari keanekaragaman yang ada di Indonesia. Sisi positifnya adalah Indonesia akan penuh dengan keragaman budaya karena tidak semua Negara mempunyai keanekarageman seperti yang ada di Indonesia.Sisi negatifnya adalah rawan terjadi konflik di kalangan masyarakat. Jika terjadi konflik di kalangan masyarakat secara terus menerus tentunya akan menurunkan citra Indonesia di mata internasional serta, mengancam ketahanan nasional. Bukan hanya ketahanan yang akan terancam tetapi persatuan dan kesatuan antarmasyarakat di Indonesia juga akan terpecah sehingga mengakibatkan banyak Negara yang akan memanfaatkan keadaan tersebut.
Hal ini berhubungan erat dengan teori dalam ilmu Sosiologi dalam meninjau permasalahan dalam masyarakat terutama persoalan yang menyangkut etnis, dalam makalah ini kami mengangkat konflik yang terjadi di Papua untuk dianalisis lebih lanjut mengenai penyebab masalah pada etnis Papua melalui Paradigma Definisi Sosial. Selain daerah yang rentan terjadi konflik antar suku, Papua juga dimasukkan ke dalam daerah dengan angka indeks kemiskinan yang tinggi dan daerah yang mempunyai tingkat perbedaan yang tinggi dengan Jakarta. Tantangan-tantangan yang berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia tidak hanya berkaitan banyaknya jumlah penduduk miskin, tetapi juga besarnya perbedaan antar daerah-daerah, propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa masalah sosial yang terjadi pada etnis Papua?
2. Mengapa kemiskinan terjadi pada etnis Papua?
3. Bagaimana upaya mengatasi kemiskinan pada etnis Papua?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia.
Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan Paradigma Definisi Sosial.
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan etnometodologi.
Untuk mengetahui penyebab masalah kemiskinan yang terjadi di Papua.
Untuk mengetahui solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan di Papua.
BAB II
BATASAN KONSEP
2.1 Pengertian Paradigma dan Definisi Sosial
Istilah paradigma cenderung merujuk kepada dunia pola pikir atau pun teknis penyelesaian masalah yang dilakukan oleh manusia. Istilah yang satu ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuan bernama Thomas Kuhn melalui buku buatannya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Saat pertama kali diperkenalkan, istilah Paradigma tidak dijelaskan secara gamblang oleh Thomas Khun. Pada waktu itu, paradigma hanya diutarakan sebagai termonologi kunci yang dipakai dalam model perkembangan ilmu pengetahuan saja. Beberapa saat kemudian, barulah istilah Paradigma terdefenisi secara jelas oleh Robert Fridrichs (merupakan orang pertama yang mengungkapkan apa itu paradigma secara jelas dan gamblang).
Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata "para" yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan kata "diegma" yang artinya teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan secara terminologis, istilah paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara – cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Selain pengertian di atas, berikut pengertian kata paradigma yang coba diutarakan oleh para ahli :
Thomas Kuhn
Menurut Thomas Kuhn, pengertian paradigma adalah landasan berpikir atau pun konsep dasar yang digunakan / dianut sebagai model atau pun pola yang dimaksud para ilmuan dalam usahanya, dengan mengandalkan studi – studi keilmuan yang dilakukannya.
Robert Freidrichs (1970)
Menurut Robert Freidrichs, paradigma merupakan kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga terbentuk citra subjektif seseorang terhadap realita sehingga berujung pada ketentuan bagaimana cara untuk menangani realita tersebut.
Menurut Patton(1975)
Sebuah pandangan dunia, sebuah sudut pandang umum, atau cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata.
C. J. Ritzer (1980)
Menurut C. J. Ritzer, paradigma adalah pandangan mendasar para ilmuan mengenai apa yang menjadi pokok permasalahan yang seharusnya dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan tertentu.
Guba
Menurut Guba, pengertian paradigma adalah sekumpulan keyakinan dasar yang membimbing tindakan manusia.
Pradigma Definisi Sosial
Paradigma sosial tidak berangkat dari sudut pandang fakta sosial yang objektif, seperti struktur-struktur makro dan pranata-pranata sosial yang ada di dalam masyarakat. Paradigma definisi sosial justru bertolak dari proses berpikir manusia itu sendiri sebagai individu. Dalam merancang dan mendefinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai pelaku tindakan yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Artinya, di dalam bertindak atau berinteraksi seseorang tetap di bawah pengaruh bayang-bayang struktur sosial dan pranata-pranata dalam masyarakat. Tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap pada individu dengan tindakannya itu. Jadi, menurut paradigma definisi sosial tindakan sosial tidak pertama-tama menunjuk kepada struktur sosial tetapi, sebaliknya bahwa struktur sosial itu merujuk pada agregat definisi (makna tindakan) yang telah dilakukan oleh individu-individu anggota masyarakat itu. (Veeger, 1993).
2.2 Pengertian Teori Etnometodologi
Istilah etnometodologi (ethnomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani, berarti "metode" yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus menerus .Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan "penalaran praktis," bukan logika formula.
Sebagaimana yang akan kita lihat, Etnometodologi tak lebih hanya dari teori perilaku yang abstrak. Ia merupakan teori yang empiris mengenai bagaimana orang menangkap pengalaman sosialnya sehari-hari. Secara empiris Etnometodologi mempelajari konstruksi realitas seseorang disaat interaksi berlangsung.
Walaupun pendekatan ini timbul di tahun 1950-an, doktrinnya dikuliahkan oleh Harold Garfinkel di West Coust-UCLA, tetapi perkembangan Etnometodologi prakarsa Garfinkel, murid, serta mahasiswanya baru disadari profesi-profesi lain setelah akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Mengingat peranannya begitu besar sebagai penemu, maka pembahasan ini kita pusatkan pada perumusan Gafinkel sendiri.
"Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa dapat memahami, mencari tahu, dan betindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan diri mereka sendiri." (Heritage, 1984:4)
Etnometodologi memusatkan perhatian pada kehidupan sehari-hari. Penggambaran Grafinkel tentang etnometodologi sebagai realitas objektif yang terdapat fakta sosial didalamnya. Etnometodologi mencari capaian praktis yang dihasilkan pada tingkat lokal dan endogen. Hal ini, dapat diorganisasikan secara ilmiah, dilaporkan secara reflektif, berkesinambungan, pencapaian praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, melampaui, atau menunda.
Salah satu pendirian Grafinkel mengenai etnometodologi yakni "dapat dijelaskan secara reflektif". Para aktornya menekankan pada analisis maupun cara yang diberikan dan diterima (atau di tolak) oleh orang lain. Dalam menganalisis penjelasan para pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan etnometodologis. Artinya, mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis. Mereka memperhatikan penjelasan dan metode yang digunakan pembicara dan pendengar untuk mengajukan, memahami dan menerima atau menolak penjelasan.
Diversifikasi Etnometodologi
Zimmerman menyatakan ada beberapa jenis etnometodologi. " Etnometodologi mencakup sejumlah penyelidikan yang kurang lebih berbeda dan adkalanya saling bertentangan." (1978:6)
Studi setting institusional. Studi yang dilakukan dengan setting santai dan noninstitusional seperti rumah. Kemudian dilanjutkan ke arah studi praktik sehari-hari, di berbagai setting institusional ruang pengadilan, setting rumah sakit, dan kantor polisi. Tujuannya adalah memahami bagaimana orang atau pekerja menjalankan tugas-tugas resmi mereka, dalam proses tersebut, membangun institusi tempat dijalankannya tugas-tugas tersebut.
Analisis percakapan. Tujuan dari analisis ini adalah "memahami secara rinci struktur-struktur fundamental interaksi percakapan"(Zimmerman, 1988:429). Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa percakapan adalah prinsip dari bentuk-bentuk relasi antar pribadi lainnya (Gribson, 2000)
Etnometodologis dalam penelitian kuantitatif
Etnometodologis berupaya untuk memahami bagaimana masyrakat memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Teori ini berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kuantitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
Etnometodologi dalam metode penelitian kuallitatif
Metode kualitatif seperti yang didefinisikan oleh Tylor dan Bogdan adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Arti deskriptif itu sendiri mengacu pada ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang – orang (aktor/subyek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukan plot daripada sang aktor dalam setting itu secara keseluruhan, individu dalam batasan yang sangat holistik (Furchon, 1992:19-20 & Maleong, 2004:4).
Jane Richie mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektif – perspektif di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan manusia yang diteliyti (Maleong, 2004:6). Definisi ini mengajak kita untuk memahami hubungan antara etnometodologi dan kualitatif. Dalam kerangka penelitian kualitatif, etnometodologi berperan sebagai sebuah landasan teori dalam metode tersebut (Maleong, 2004:14-24). Seperti yang diketahui etnometodologi berkutat pada studi dunia subyektif tentang kesadaran, persepsi dan tindakan individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sesuai dengan kaidah penelitian kualitatif. Persamaannya adalah sama – sama menek ankan pada dunia subyektif dengan fisiografi sosial yang dilibatinya.
Sintetis dan Integrasi
Salah satu parameter etnometodologi dapat bersintetis dan berintregasi adalah dengan meluasnya ke bidang yang searah dengan aliran utama sosiologi. Contoh yang baik adalah analisis Heritage dan Greatbatch (1986) tentan metode yang digunakan untuk menghasilkan tepuk tangan dari pendengar studi Clayman (1993) tentang ejekan.
Namun para ahli sosiologi menyadari bahwa harus ada tindakan untuk membatasi perkembangan etnometodologi karena dianggap berkembang ke arah berlawanan dengan sintetis teoritis.
2.3 Hubungan Paradigma Definisi Sosial dengan Teori Etnometodologi
Menurut Ritzer merupakan suatu ilmu yang berparadigma majemuk, karena mempunyai tiga paradigma yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma definisi sosial. Menurutnya ketiga paradigma tersebut dibedakan satu dengan yang lain dengan tiga hal.
Acuan atau contoh yang dijadikan teladan
Teori
Metode
Menurut Ritzer metode penilitian yang kita gunakan sangat tergantung pada paradigma yang kita anut. Paradigma Definisi sosial berorientasi pada karya Max Weber mengenai tindakan sosial dalam paradigma ini pokok bahasan s.osiologi terdiri atas definisi situasi serta dampaknya terhadap tindakan sosial
Paradigma definisi sosial dikemukakan oleh Weber sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial.maksud dari tindakan sosial yakni tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa ada hubungan dengan orang lain bukan merupakan tindakan sosial.
Dari pendapat diatas dapat dikaitkan hubungan antara Paradigma definisi sosial dengan Teori entometodologi adalah Teori etnometodologi merupakan salah satu kajian dari definisi sosial yang merupakan bagian dari paradigma.
Paradigma definisi sosial yang memfokuskan untuk mempelajari tindakan sosial memiliki hubungan erat dengan teori etnometodologi yang juga menitikberatkan pada studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kemiskinan sebagai Masalah Sosial pada Etnis Papua
3.1.1 Pengertian atau Definisi Kemiskinan
Soekanto (1995:406) berpendapat bahwa kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Berkaitan dengan posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatannya di tengah-tengah masyarakat sekitarmya. Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori, sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim, dan lingkungan alam yang dimilikinya.
Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa serta tertuangakan dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan minimal yang diperlukan. Dengan demikian, garis kemiskinan dapat ditetapkan melalui pendapatan minimal (versi Bank Dunia, di kota 75 dolar AS, dan 50 dolar AS di pedesaan, per jiwa setahun, 1973). Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal dan keterampilan.
Tidak memiliki kemungkinan unruk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri seperti untuk memiliki tanah garapan dan modal usaha.
Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed) berusaha apa saja.
Banyak tinggal di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.
3.1.2 Macam-Macam Kemisikinan
Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolute yaitu kemiskinan yang dipandang dimana orang-orang miskin melihat tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan, atau pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum yaitu antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan, kalori, GNP perkapita dan pengeluaran konsumsi.
Kemiskinan absolut diukur dari satu set standar yang konsisten, tidak tergantung waktu dan tempat/negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolute yaitu persentase dari populasi mengonsumsi makanan dibawah jumlah yang cukup menopang kebutuhan hidup manusia (kira-kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki-laki dewasa).
Bank Dunia mendefenisikan kemiskinan absolute sebagai hidup dengan pendapatan dibawah _USD $1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan $2/hari. Dengan definisi ini maka diperkirakan pada tahun 2001 1,1 milyar orang di dunia mengonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 milyar orang di dunia mengonsumsi kurang dari $2/hari.
Kemiskinan Relatif yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contoh, seseorang tergolong kaya (mampu) pada desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa lainnya. Disamping itu,terdapat bentuk-bentuk kemiskinan tertentu yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan), yaitu : (1). Kemiskinan natural, (2) kultural, (3) struktural.
Kemiskinan natural, keadaan miskin karena awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat ini tergolong miskin karena tidak memiliki sumber daya, baik sumber daya alam, manusia, pembangunan atau kalupun mereka ikut serta dalam pembangunan mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir, kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor alamiah karena cacar, sakit, usia lanjut, atau bahkan bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita disebut "persisten porverty" artinya kemiskinan yang kronis atau turun-temurun. Daerah seperti ini pada umumnya adalah daerah yang kritis sumber dayanya atau daerah yang terisolasi.
Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau kelompok, masyarakat yang disebabkan gaya hidup,kebiasaa hidup dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasas kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha memperbaiki dan mengubah tingkat kehidupannya. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir bahwa ia miskin karena factor budaya seperti malas, tidak disiplin dan boros.
Kemiskinan struktural, kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor manusia, seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi asset produksi yang tidak merata,korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat mengatakan bahwa munculnya kemiskinan structural disebabkan karena menangggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama, menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula. Sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
3.1.3 Kemiskinan Struktural sebagai Masalah Sosial Etnis Papua
Kemiskinan bangsa ini berkaitan erat dengan struktur sosial yang ada, diman rakyat mengalami ketidakberdayaan ketika menghadapi struktur sosial didalam sedikit mengubah nasibnya. Kemiskinan yang demikian ini sering disebut kemiskinan struktural . penganut teori modernisasi pada umumnya, bahwa kemiskinan yang terjadi pada seorang individu atau kelompok karena individu atau kelompok ini malas atau berbudaya malas bejerja atau karena terus-menerus menderita sakit. Dalam perspektif modernisasi jelas bahwa factor utama penyebab kemiskinan adalah etos kerja,tidak dimilikinya etika berwirausaha atau budaya yang tidak biasa kerja keras. Akan tetapi dengan perspektif modernisasi, penganut strukturalis bahwa sumber yang menyebabkan kemiskinan ialah struktur yang tidak adil dan ulah kelas sosial yang berkuasa, yang sering kali mengeksploitas masyarakat miskin dengan kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya. Kemiskinan yang disebabkan karena struktur sosial inilah yang disebut kemiskinan struktural yang dialami etnis dari Papua.
Selo Soemardjan mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat ini memungkinkan golongan masyarakat ini tidak menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial yang berlaku sedemikian rupa sehingga keadaan kelompok yang termasuk golongan miski tampak tidak berdaya mengubah nasibnya dan tidak mampu mengubah keadaan hidupnya. Strukur sosial telah mengurung dan mengekang mereka dalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun.
Sejalan dengan ini, kita dapat meninjau mengapa Papua termasuk dalam kemiskinan struktural. Masyarakat Papua pada umumnya masih memegang teguh nilai budaya dan adat setempat yang memiliki pola pikir sederhana dengan keterbatasan sumber daya, ditambah lagi kurangnya kesempatan bagi masyarakat Papua untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Hal ini kemudian menghalangi mereka untuk mengakses dan memakai sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukum atau budaya) yang adalah hak mereka. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian sangat kurang. Masyarakat asli Papua tidak dapat memenuhi penghidupan mereka sendiri karena kebanyakan kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka yang sudah memiliki modal sendiri.
Kecenderungan untuk mempekerjakan penduduk non-Papua menyebabkan rasa rendah diri di kalangan penduduk asli Papua serta menciptakan ketidakseimbangan kesempatan yang juga membuah semakin besarnya kesenjangan antar kelompok masyarakat antara penduduk Papua dan non-Papua. Ketidakseimbangan kesempatan ini berkontribusi dalam lokalisasi kekerasan struktural dan menimbulkan kekecewaan di kalangan penduduk asli Papua. Di bagian selatan Papua, pendatang non-Papua didatangkan untuk bekerja pada pelbagai perkebunan investasiminyak kelapa sawit yang direncanakan akan melebihi jumlah pekerja dari kalangan penduduk asli Papua.
Hal ini terlihat dari keadaan sebagai berikut: Papua memiliki dua sektor perekonomian yang dominan, pertambangan dan pertanian, yang menyumbangkan 76% dari total PDRB. Salah satu karakter utama dari penduduk asli Papua adalah subsistensi. Namun, karakter ini tidak sesuai dengan kesempatan yang disediakan oleh dunia usaha; industri pertambangan padat modal menghasilkan 57% PDRB dan hanya menyerap 0,6% angkatan kerja, sedangkan sektor pertanian menghasilkan 19% PDRB dengan 75% angkatan kerja. Dalam sektor bisnis, keterlibatan penduduk asli Papua sangat rendah dan hampir semua pengusaha adalah migran. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan perekonomian tidak mencerminkan keadilan distribusi termasuk akses terhadap kebutuhan dasar. Ketidakadilan kesempatan berakar dari prasangka dan rasisme yang diakibatkan oleh penduduk asli Papua yang diposisikan sebagai inferior seperti yang terdokumentasi dalam gagasan-gagasan dasar yang menjadi latar belakang perumusan
Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua dalam bentuk wilayah dengan pemerintahan sendiri pada tahun 2001 mengenai kondisi penduduk asli Papua: 75% tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah menengah umum, dan 2% lulus dari universitas. Dalam jajaran Pegawai Negeri Sipil hanya 35% posisi Eselon II dalam Pemerintah Propinsi Papua yang ditempati oleh penduduk Asli Papua dan untuk Eselon III hanya 26%.
3.1.4 Data Sekunder : Berdasarkan Wawancara dengan Mahasiswa Universitas Sriwijaya yang berasal dari Etnis Papua
Kostan Gaston Ewani adalah mahasiswa FKIP jurusan penjas yang lahir di Jayapura tanggal 10 Oktober 1996. Ia tinggal di Sintani yang berdekatan dengan bandara Jayapura. Menurut pengamatan Kostan keadaan sosial di daerah tempat tinggalnya masyarakat cenderung hidup mengelompok, sehingga terlihat jelas adanya batasan antar suku. Mayoritas pekerjaan masyarakat di daerah tempat tinggalnya berprofesi sebagai petani, nelayan, dan berdagang. Ia mengamati keadaan ekonomi di daerah tempat tinggalnya melalui perbandingan harga barang kebutuhan di Papua dengan kota Palembang ternyata berbeda jauh, harga barang kebutuhan di Papua relatif lebih mahal mengingat barang yang dibutuhkan harus didatangkan dari luar kota melalui akses pesawat terbang.
Menurut pengakuan dari Kostan daerah yang masih primitif hanya beberapa daerah seperti Wamena, Puncak Jaya, Jalimo Tengah, Puncak Katens, dan Mambramo. Sedangkan dia sendiri tinggal di Jayapura yang merupakan daerah perkotaan di Papua yang cukup maju. Sedangkan di bidang pendidikan untuk daerah primitif masih sangat kurang karena sangat jauh dari pusat perkotaan dan sebagian besar daerah tersebut berada di daerah pegunungaan.
Berdasarkan pengamatan Kostan mengenai keadaan sosial, ekonomi, serta pendidikan di Papua masih sangat jauh dengan kota-kota yang lain ia berharap pemerintah lebih memperhatikan kota Papua terutama daerah yang masih memegang teguh budaya-budaya lama yang menyebabkan mereka sulit untuk menerima kemajuan-kemajuan zaman.
Data Sekunder :
Berita terkini dari Papua
"Enam Kebutuhan Sehari-Hari Ini Harganya Selangit di Papua"
Selain dikenal sebagai pulau dengan infrastruktur yang masih sangat terbatas, Papua juga dikenal dengan harga-harga kebutuhan pokok yang sangat mahal. Penyebabnya beragam, mulai dari minimnya infrastruktur hingga kendala transportasi logistic. Selain itu, demografi yang berbukit-bukit juga menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, kebutuhan pokok hanya bisa dikirim dengan menggunakan pesawat. Tak heran harga-harga kebutuhan pokok di Papua sangatlah mahal dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Beberapa kebutuhan poko berikut tercatat memiliki harga yang tak masuk akal.
Air Mineral
Air mineral di Papua harganya bisa dibilang sangat-sangat mahal. Anda perlu mengeluarkan Rp. 7.500 untuk segelas air mineral, dan Rp. 40.000 untuk ukran 1,5 liter. Sungguh sebuah harga yang fantastis hanya untuk segelas air minum.
Gas Elpiji
Gas elpiji 12 kilogram non-subsidi di Kota dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat belakangan ini mengalami kelangkaan serta harga di tingkat pengecer mencapai Rp 500 ribu per tabung.
Informasi dari berbagai sumber juga menyebutkan jika sejumlah pengecer elpiji Sorong menjual gas elpiji 12 kilogram non-subsidi di kisaran Rp 400 sampai Rp 500 ribu per tabung, itupun dengan stok terbatas.
Nasi Padang
Jika di Pulau Jawa kita cukup membayar Rp.20.000-Rp.30.000 per porsi nasi padang, di Papua tampaknya kita akan lebih memilih untuk membawa bekal sendiri dari rumah. Harga seporsi nasi padang di Papua mencapai Rp. 80.000 per porsinya. Cukup untuk makan 3-4 orang jika kita membelinya di pulau Jawa.
Bensin
Gubernur Papua Lukas Enembe merasa heran dengan hiruk pikuk yang terjadi di Jakarta terkait rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu. Tentu saja, masyarakat Papua sudah sejak lama harus membeli bensin dengan harga selangit, jauh dari harga normal yan berlaku di pulau Jawa. Harga BBM di Papua lebih mahal puluhan kali lipat daripada di Jakarta. Warga Papua harus membayar sebesar Rp. 100.000 per liternya
Semen
Tak heran sangat sulit mendapatkan harga yang murah untuk sebuah rumah permanen di Papua. Hal itu tentu sangat beralasan, sebab harga semen di Papua sangatlah mahal, bahkan bisa lebih mahal dari upah tukang bangunannya sendiri, yaitu mencapai 2 juta Rupiah per saknya.
Beras Kualitas Rendah
Bahan pangan yang sangat esensial bagi kehidupan warga Indonesia yang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok ini, juga tak luput dari banderol yang sangat mahal di tanah Papua. Di Papua, kita harus membayar kurang lebih 750 ribu untuk 25 kilogram beras. Harga sefantastis itu semakin mencengagkan karena hanya diganjar dengan beras kualitas rendah pula.
Sumber : http://infoterkini-15.blogspot.co.id/2016/02/harga-mahal-di-papua.html
3. 2 Penyebab Kemiskinan Masyarakat Papua
1. Rendahnya Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan seseorang dapat memicu terjadinya kemiskinan. Hal ini karena individu tersebut tidak memiliki pengetahuan atau pendidikan, keterampilan yang memadai yang dapat digunakan untuk mencari penghasilan dan dapat menaikkan taraf hidup individu tersebut serta mampu memenuhi kebutuhannya. Data pemerintah daerah kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa sebanyak 362 dari 598 guru-guru sekolah dasar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMA atau SPG. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya taraf pendidikan masyarakat Papua.
KurangnyaKreativitas
Jika seseorang dapat menggunakan kretivitasnya, tidak dipungkiri mereka dapat memiliki penghasilan yang dapat menaikkan taraf hidup mereka. Mereka dapat menggunakan sarana prasarana dan segala aspek yang ada untuk mencari dan mendapatkan sumber penghasilan.
3. Tingkat Kelahiran yang Tinggi
Tingkat kelahiran yang tinggi ini juga dapat memicu terjadinya kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya pengeluaran biaya yang lebih besar, sehingga dapat dimungkinkan harta kekayaannya lama kelamaan akan terkuras. Namun hal ini berbeda untuk kelompok sosial yang memiliki penghasilan yang cukup bahkan lebih atau tetap. Mereka menganggap masih mampu menghidupi anggota keluarganya. Maka mereka tidak dianggap sebagai kelompok sosial miskin. Hal ini tampak sebagian besar di kota-kota besar.
4. Pengaruh Lingkungan Hidup atau Tempat Tinggalnya
Lingkungan hidup dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan. Seseorang yang berada di lingkungan miskin pasti akan ikut terbawa arus kemiskinan. Apalagi individu-individu dalam kelompok tersebut adalah individu-individu yang tidak mampu mengurusi dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya serta berada dalam gelombang kebodohan atau kelompok yang anggota kelompoknya senantiasa malas untuk bekerja.
Keturunan
Tingkat ekonomi dari kelompok sosialnya dapat mempengaruhi dengan jelas. Individu yang berasal dari golongan miskin, tidak menutup kemungkinan akan memyebabkan ia ikut miskin. Karena orang tuanya tidak mampu mencukupi segala kebutuhannya, sehingga mereka menganggap kehidupannya adalah takdir yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Sehingga kurang adanya kemauan dan usaha untuk mengubah keadaannya.
3.3 Upaya Mengatasi Kemiskinan Di Papua
Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi dan lintas sector yang dipengaruhi oleh factor yang saling berkaitan antara lain; tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, jender, dan kondisi lingkungan.
Berikut beberapa Solusi dan Upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan di Papua :
Pembangunan dari Sudut Pandang Masyarakat bukan dari sudat pandang penguasa karena yang mempunyai pembangunan itu rakyat;
Pemerintah Sebagai Fasilitator, Koordinator dan Pelaku Pembangunan bukan hanya sebagai subjek pembangunan;
Menjaga Momentum Darurat (Emergency) supaya pembanguna di papua selalu menjadi perhatian tiap saat;
Membuka Pusat Logistik untuk Titik-Titik Strategis Pembangunan karena luas wilayah papua sulit dijangkau kalau terpusat di Jayapura;
Pembentukan TIM Terpadu Untuk Mempermudah Pelayanan agar dalam pembangunan saling koordinasi antar unit pemerintah;
Konsisten untuk Membangun Kepercayaan;
Memberi Kepercayaan Berdasarkan Kompetensi sehingga tidak asal menempatkan pejabat;
Perlu Kebijakan Penggunaan Anggaran Bersifat Khusus karena di papua tidak semua sistem penggunaan anggaran nasional bias dijalankan;
Bekerja Ibarat Mesin Disertai Remunerasi. Penerapan renumerasi agar tidak terjadi korupsi;
Pengawasan dan Pengendalian juga demi memastikan pembangunan berjalan dan minimalisasi korupsi;
Perlunya Lembaga Satuan Anti Korupsi (SAK) di Papua;
Welcome Pada Investor Untuk Publik Private Partnership;
Membangun Perumahan dan Permukiman;
Mengembangkan Komunikasi Yang Humanis dan Rendah Hati;
Revitalisasi Pendidikan dan Revolusi Pengembangan SDM di Papua;
Distribusi Anggaran Melalui Tiga Komponen (Pemerintah, Adat dan Agama);
Revitalisasi Kesehatan di Propinsi Papua.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang sangat penting untuk dikaji dalam bahasan teori etnometodologi. Kemiskinan sendiri terbagi lagi sebagaimana pembahasan di atas. Sejalan dengan ini, kita dapat meninjau mengapa Papua termasuk dalam kemiskinan struktural. Masyarakat Papua pada umumnya masih memegang teguh nilai budaya dan adat setempat yang memiliki pola pikir sederhana dengan keterbatasan sumber daya, ditambah lagi kurangnya kesempatan bagi masyarakat Papua untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Hal ini kemudian menghalangi mereka untuk mengakses dan memakai sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukum atau budaya) yang adalah hak mereka. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian sangat kurang. Masyarakat asli Papua tidak dapat memenuhi penghidupan mereka sendiri karena kebanyakan kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka yang sudah memiliki modal sendiri. Selanjutnya, setiap masalah pasti memiliki solusi.
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi.
Sunanto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI.
Denzin, Norman K. 1969.Symbolic Interacsionisme and Ethnometodology: A Proposed Synthetic. American Sosiology and view. 34 (Desember): 922-934.
Hill, Richard J, dan Kathleen Stone Crittenden (Eds) : 1968.Processing of the Purdue Symposium on Etnomethodology: Purdue Research Foundation.
Mehan, Hugh, dan Houston dan Houstonn wood. 1975.The Reality of Ethnometodology. New York : John willey dan Sons, Inc.
Agus Sumule, Ph.D, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua. 2003. Jakarta: Gramedia.
Natalis, Pigai. Edisi 29 Juli 2012.Dialog Solusi Jakarta dan Papua. Jakarta: Opini Koran Sinar Harapan.
Kompas. 2008. Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik. Jakarta : Penerbit Kompas.
Poloma, M Margaret. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Pers.
Veeger, J Karel. 1993. Pengantar Sosiologi, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta Gramedia Pustaka Utama.