SEJARAH PENYUSUNAN HADITS Memenuhi Tugas yang Diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Bapak Luthfi Surkalam, SH.
Dadin Marsal
43113110288
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Merupakan Nikmat Allah SWT yang diberikan kepada seluruh umat muslim dengan diturunkannya salah satu pusaka Al Qur’an Al karim yang merupakan pedoman hidup kita dari campur tangan manusia yang mau menodai kesuciannya dan mengubah isinya. Dan hal ini tidaklah terdapat pada agama -agama dan umat – umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu “ Pada nikmat Ku dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” bagimu ” (Q.S Al Maidah: 3)
Pemeliharaan Allah SWT terhadap Al Qur’an adalah posisi dan kedudukan Dienul Islam yang merupakan dien penutup, yang tidak ada lagi dien yang datang sesudahnya. Sebagaimana Allah SWT menjaga kemurnian Al Qur’an dari berbagai macam penyelewengan dan campur tangan manusia. Maka Allah SWT juga menjaga As Sunnah yang merupakan salah satu dari sumber syari ’at Islam dengan menghidupkan serta membimbing para ulama hadits untuk tampil berkhidmat kepada As Sunnah. Maka dengan khidmat yang mereka lakukan lewat pemisahan hadits-hadits yang dhoif dan shohih sehingga kita dapat beribadah dengan penuh keyakinan. Dan sumber-sumber syari’at Islam tidaklah asing bagi kaum muslimin bahwa Hadits merupakan salah satu sumber syari’at Islam disamping Al Qur’an dan mempunyai cabang-cabang tema yang sangat luas berdasarkan kesamaan kandungan hadits yang bermacam-macam dan luas. Hal ini disebabkan karena Al Qur’an secara garis besar hanya mencantumkan kaidah-kaidah yang bersifat umum serta hukum-hukum yang sifatnya global yang mana penje lasannya didapatkan dalam hadits dan sunnah. B.
Rumusan Masalah Dalam makalah ini akan membatasi ruang lingkup pembahasan pada beberapa rumusan
Masalah, sebagai berikut : Pengertian Hadits, Sejarah Penyusunan Hadits, Macam-Macam Hadits, dan Perbedaan antara Hadits dan Sunnah.
1
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
BAB I PEMBAHASAN SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
A. Pengertian Hadits
Hadits menurut bahasa adalah sesuatu yang baru. Al jadid minal assay ( sesuatu sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan) baik banyak maupun sedikit. Dan juga memiliki arti Khabar (warta) yaitu sesuatu yang dipercakap dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan, dan ahadits. Jamak ahadits yang tidak menurut qiyas
dan jamak yang syad inilah
dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Nabi SAW. Dalam hal ini Allah berfirman :
maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang “ maka yang benar “ benar “ (Q.S At Thur; 24)
Terdapat banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa’I, dan Imam Ibnu Majah.
B. Sejarah Penyusunan Hadits Dalam kegiatan pendidikan islam sejak zaman Nabi SAW masih hidup telah terjadi kegiatan tulis menulis. Dapat dilihat dengan adanya bukti bahwa banyak para sahabat mencatat hal-hal yang yang dicontohkan Nabi SAW kepada mereka.
Ada juga sejumlah sahabat sahabat yang
menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Bahkan seperempat abad setelah Nabi wafat, di madinah sudah terdapat gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Menurut sejarah hadits dari zaman sahabat hingga masa kini periwayatan hadits dilakukan dengan lisan dan menjagannya dengan hafalan, penulisan dan pembukuan hadits,
2
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
penyaringan hadits dari perkataan sahabat, penyempurnaan, dan klasifikasi dan sistemasi penyusunan kitab-kitab hadits. Adapun beberapa periode periwayatan hadits oleh para sahabat diantaranya: a. Periode Periwayatan Hadits dengan Lisan dan Menjaganya dengan Hafalan
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan diterangkan oleh istri-istri rasul rasul seperti dalam masalah masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ”Dan ceritakanlah daripadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta t erhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa ’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda :
«
-
-
.....
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, al-Qur’an, hendaklah dihapus”. (H.R. Muslim)
3
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
b. Periode Penulisan dan Pembukuan Hadits
Dengan tersebarnya Islam, para sahabat mulai merasa pentingnya pembukuan hadits seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud :
.»
«
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran” kebenaran”.
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untuk mengkompromikan kedua hadits ini;
Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang meme rintahkan menulis
Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya dengan al- Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al- Qur’an, sedang untuk dipakai sendiri tidak dilarang.
Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan. Hal ini mengilhami Kholifah Umar bin Abdul Aziz menggerakan para ulama pada masa itu diantaranya Abu Bakar bin Muhammada bin Amr bin Hazm (Qodhi Madinah) dan Muhammad bin Muslih bin Ubaydillaah bin Abdullah bin Syihab Azzuhri Almadani (Tokoh Ulama Hijaz dan Syam 124 H). Dan banyak ulama-ulama yang banyak mengikuti setelah dua ulama tersebut. Kitab-kitab termahsyur pada saat itu adalah :
Mushonnaf , oleh Syu’bah bin Alhajjaj (160 H)
Mushonnaf , oleh Al-laits bin Sa ’ad (175 H)
Al Muwaththo, oleh Malik bin Anas Almadani dan Imam Darul Hijroh (179 H)
4
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
Mushonnaf , oleh Syufyan bin Uyaynah (198 H)
Al Musnad , oleh Asy Syafi’I (204 H)
Jami ’ Al Imam , oleh Abdrurrazaq bin Hammam Ash Shon’ani (211 H)
c.
Periode Penyaringan Hadits dari Perkataan para Sahabat
Pada periode ini hadits-hadits yang telah dilakukan penyaringan adalah hadits yang tercampur antara hadits dhoif bahkan bahkan mawdhu dengan hadits shohih. shohih. Sehingga para ulama memilik ide untuk mengumpulkan hadits-hadits shohih yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Bardizbah Al Bukhori dengan karyanya Jami’ush Shohih dan disusul oleh muridnya, Imam Muslim bin Hajj bin Muslim Alqushoyri Annaysaburi (Imam Muslim). Sehingga pada abad ke-III merupakan abad keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya ‘kutubus sittah’ ( 6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits – hadits shohih. Adapun kitab-kitab hadits yang tersusun diantaranya :
Mushonnaf , oleh Sa’id bin Mashur (227 H)
Mushonnaf , oleh Ibnu Abi Syaybah (235 H)
Musnad , oleh Imam Achmad bin Hanbal
Shohih Albukhori (251 H)
Shohih Muslim (261 H)
Sunan Abu Dawud (273 H)
Sunan Ibnu Majah (273 H)
Sunan Attirmidzi (279 H)
Sunan Annasa’ Annasa’ i i (303 H)
Almuntaqo Fil Ahkam, oleh Ibnu Jarud (307 H) Tandzibul Atsar , oleh Ibnu Jarir Aththobari (310 H)
d. Periode Penyempurnaan Penyempurnaan
Pada periode ini pemisahan antara Ulama Mutaqoddimin (salaf) yang memiliki metode berusaha sendiri dalam meneliti perawi serta menghapal sendiri hadits hingga menyelidiki
5
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
sampai pada tingkat sahabat Nabi SAW dan Tabi ’in. Dengan Ulama Muta’akhirin (kholaf) yang memiliki metode dalam menyusun karyanya dengan menukil dari kitab – kitab yang telah disusun oleh salaf, menambahkan, mengkritik dan men ’syaroh’ syaroh’nya. (memberi ulasan mengenai isi hadits-hadits tersebut). Adapun kitab-kitab termahsyur pada abad ini diantaranya Shohih Ibnu Hibban (354 H), Mu’ Mu’ jamul Kabir , Awsath dan Shoghir oleh Aththobroni (360 H), dan Sunan Daroquthni (385 H).
e. Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab hadits
Pada periode ini terjadi proses pengklasifikasian dengan cara pengumpulan kandungan dan tema hadits yang sama. Serta men’syaroh’ syaroh’ (memberi ulasan mengenai isi hadits-hadits tersebut) dan meringkas kitab – kitab hadits dengan tema hokum seperti Bulughulmarom Min Adillatil Ahkam oleh Ibnu Hajar Al Asqolani (852 H). Dan berbagai kitab Targhib Wa Tarhib (kitab yang berisi berbagai cara untuk menggemarkan dalam beribadah dan ancaman
bagi yang melalaikan ibadah) yaitu seperti kitab Attarghib Wa Tarhib oleh Imam Al Mundziri (656 H) dan Riyadhush Sholihin oleh Imam Annawawi (767 H).
C. Macam Macam Hadits Ditinjau dari segi sanad (periwayat) , hadits dikelompokan menjadi tiga macam yaitu hadits shohih, hadits hasan, dan hadits dhoif. 1. Hadist Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir dan oleh orangorang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah : Sanadya bersambung, Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga kehormatan dirinya (muruah), Dhobit yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna stelah mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki, dan hadits diriwayatkan tidak bertenangan dengan hadits mutawatir atau dengan ayat Al Qur ’an. Hadits dibagi menjadi dua : (i)
Shohih Lizathi, yakni hadits yang shohih dengn sendirinya tanpa diperkuat dengan
keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi SAW : “ Tangan Tangan diatas (yang
6
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS memberi) lebih baik dari tangan dibawah (yang menerima). ” H.R Bukhori dan
Muslim. (ii)
Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan kterangan
lainnya. Contohnya adalah sabdi Nabi SAW : “Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakaannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat. sholat.” ” H.R Hasan. Dilihat dari sanadnya, semata-mata
hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia Shohih Lighoirihi.
2. Hadits Hasan , adalah hadits yang sanadnya bersambung. Diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua: (i)
Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada
yang sampai ke tingkat lighoirihi (ii)
Hasan Ligoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan
lainnya. Contohnya Nabi SAW bersabda : “ Sembelihan Sembelihan bagi bayi hevzan yang berada dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja. ” H.R Tirmidzi dan
Darimi. Hadits diatas jika diambil sanadnya dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1. Ishak bin Ibrahim, dari 2. Itab bin Bashir, dari 3. Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4. Abu Zubair, dari 5. Jabir, dari Nabi Muhammad SAW. Nama yang tercela dalam sanad diatas adalah pada nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.
3. Hadits Dhoif (lemah), adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Contohnya: “ Barangsiapa Barangsiapa berkata kepada orang miskin ‘ bergembiralah’ bergembiralah’ maka maka wajib baginya surga” surga” H.R Ibnu A’di. Diantara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin Harun. Menurutn
Imam Yahya, ia seorag pendusta. Sedangkan IbnuHiban memvonisnya sebagai pemalsu hadits. Dari segi keterputusan sanad hadits dhoif terbagi menjadi lima macam : (i)
Hadits Mural, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi ’in dengan menyebutkan ia
menerimanya langsung dari Nabi Muhammad SAW. Padahal tabi ’in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu nabi.
7
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
(ii)
Hadits Munqothi, yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saaja pada shabat, namun bisa ter jadi pada pada rawi yang ditengah atau di akhir.
(iii)
Hadits Mudallas,
yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari
orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya langsung dari yang bersangkutan. (iv)
Hadits Mu’ Mu’ adhdhol, adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah
sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad. (v)
Hadits Mu’ Mu’ allal allal , hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki
cacat yang tersembunyi baik pada sanad maupun pada matanya. Ditinjau dari segi sumbernya, hadits dibagi menjadi dua macam yaitu Hadits Qudsi (disebut juga Hadits Robbani ) dan Hadits Nabawi (Hadits Nabi). Perbedaan kedua macam hadits tersebut yaitu : Hadits Qudsi, adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
kemudian beliau menyampaikan dengan redaksi (susunan kata/kalimatnya) sendiri. Dengan demikian makna hadits qudsi tersebut berasal dari Allah SWT, sedangkan lafal/redaksinya dari Nabi SAW. Hadits Nabawi, adalah hadits yang makna maupun lafalnya berasal dari Nabi
Muhammad SAW sendiri. Namun perbedaan tegas antara hadits qudsi dengan Al Qur ’an adalah : (i)
Lafal dan makna Al Qur ’an berasal dari Allah SWT, sebaliknya hadits qudsi hanya makna saja berasal dari Allah redaksi (susunan kalimatnya) bersal dari Nabi Muhammad SAW
(ii)
Periwayatan Al Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja, sebaliknya hadits qudsi boleh dengan diriwayatkan dengan maknanya
(iii)
Al Qur’an terutama surat Al fatiha harus dibaca dalam shalat, sebalikna hadits qudsi tidak boleh dibaca sewaktu shalat
(iv)
Membaca Al Qur’an terhitung ibadah, membaca hadits qudsi tidak terhitung ibadah
8
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam : (i)
Hadits Mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman
periwayatnya kurang. (ii)
Hadits Mudho’ Mudho’ af, af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga
diperselisihkan oleh para ulama, Contohnya: “ Asal segala penyakit adalah dingin” dingin” H.R Anas dengan sanad lemah. (iii)
Hadits Syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh, namun
menyalahi riwayat orang banyak yang shiqoh juga. (iv)
Hadits Maqluub, yaitu yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik sanad, nama
periwayatnya, maupun matannya. (v)
Hadits Munkar, yaitu hadits tang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan
riwayatnya berbeda dengan riwayat yang shiqoh. (vi)
Hadits Matruuk, yaitu hadits yang diriwayatlkan oleh seseorag yang dituduh suka
berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.
D. Perbedaan Antara Hadits dan Sunnah
Dari sudut pandang terminologis, para ahli hadits membedakan hadits dan sunnah. Mereka hadits atau sunnah adalah hal yang berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sesudahnya. Sementara para pakar Ilmu Ushuk Fiqhi membedakan antara hadits dan sunnah. Menurut mereka sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW. Sedangkan hadits adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi SAW itu sebagai sunnah, melainkan sebagai hadits. Berbeda dengan pakar hadits yang menganggap sifat-sifat nabi SAW sebagai sunnah. Perbedaan definisi ini berangkat berangkat dari perbedaan mereka mereka dalam memandang hadits hadits sebagai sumber hukum dan moral dalam agama islam, para pakar Ilmu Ushul Fiqih menggali hukum Islam dari Al Qur’an. Bagi mereka hadits adalah hal-hal yang berasal dari Nabi SAW dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam .
9
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan makalah di atas dapat disimpullan beberapa simpulan diantaranya :
Hadits menurut bahasa adalah sesuatu yang baru. Al jadid minal assay ( sesuatu sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan) baik banyak maupun sedikit.
Menurut sejarah hadits dari zaman sahabat hingga masa kini periwayatan hadits dilakukan dengan lisan dan menjagannya dengan hafalan, penulisan dan pembukuan hadits, penyaringan hadits dari perkataan sahabat, penyempurnaan, dan klasifikasi dan sistemasi penyusunan kitab-kitab hadits.
Macam-macam hadits Ditinjau dari segi sanad (periwayat) , hadits dikelompokan menjadi tiga macam yaitu hadits shohih , hadits hasan, dan hadits dhoif . Ditinjau dari segi sumbernya, hadits dibagi menjadi dua macam yaitu Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi.
Hadits dan Sunnah adalah hal yang berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat baik an itu sebelumbeliau sebelum mauapun sesudah menjadi Nabi. Sementara fakar Ilmu Ushul Fiqih membedakan antara hadits dan sunnah, mereka tidak menganggap sifat Nabi SAW itu sebagai sunnah melainkan hadits.
10
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
DAFTAR PUSTAKA
Tazid Abdul Qdir Jawas, Kedudukan As Sunnah Dalam Syariat Islam, Pustaka At Taqwa,
PO BOX 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426 H / Juli 2005
Imam al-Laaikaaiy, Syaah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah alih bahassa, Drs. H.
Moh. Zuhpri, Dipl. Tafl, Dina Utama Senarang. 1996
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/hadist/851/anekamacamhadits-dan-tingkatannya.html
Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa
Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996.
11