PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB
I 1.1
Latar Belakang
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan salah satu jurusan di Fakultas Fakultas Teknik Teknik Universitas Universitas Brawijaya Malang yang mempelajari mempelajari perencanaan perencanaan penataan wajah kota dan wilayah yang baik, dengan memberikan perhatian pada aspek spasial dan aspek sosial terutama aspek budaya lokal guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka juga diperlukan adanya wawasan yang berkaitan dengan beberapa aspek mengenai perencanaan wilayah dan kota. Sejak Sejak dilahi dilahirka rkanny nnyaa ilmu ilmu perenc perencana anaan an atau atau tata tata kota kota dan prakte praktekny knyaa melalui melalui koordinasi koordinasi atau birokrasi birokrasi modern modern dalam konteks kolonialisme, kolonialisme, secara tekstural kota telah menjadi etalase modernitas global sekaligus menjadi arena ekspresi kesadaran diri sebagai bagiandari perjalanan sebuah bangsa post-kolonial yang terus bergerak dinamis hingga saat ini. Gerak Gerak yang yang sangat sangat dinami dinamiss ini dapat dapat diliha dilihatt di daerah daerah perkot perkotaan aan yang yang diidentikkan sebagai pusat pusat pertumbuhan, pusat kerajinan, dan modernisasi yang menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat atau penduduk desa untuk melakukan migr migras asii
atau atau urba urbani nisa sasi si..
Kota Kota meru merupa paka kan n
suat suatu u
ekos ekosis iste tem m
yang ang
dapa dapatt
mendatangk mendatangkan an kerawanan kerawanan lingkungan lingkungan,, baik untuk lingkunga lingkungan n kota itu sendiri maupun untuk lingkungan di pinggiran kota. Walaupun secara ekologi, ekosistem kota kota lebi lebih h rawan rawan teta tetapi pi pada pada keny kenyata ataan an umum umumny nyaa kond kondisi isi kota kota lebi lebih h maju maju diband dibanding ingkan kan desa. desa. Kenyat Kenyataan aan ini merang merangsang sang orang orang desa desa untuk untuk melaku melakukan kan urbanisasi. Pemahaman ini mengakibatkan penduduk desa terutama pemuda-pemuda desa berlomba-lomba mencari kerja di kota untuk mendapatkan pekerjaan yang merupakan merupakan upaya untuk meningkatkan meningkatkan status diri dan keluargany keluarganya. a. Orang-orang Orang-orang desa yang bekerja di kota dianggap mempunyai nilai lebih di desanya. Fenomena itu kemudian menarik pemuda yang lain untuk mendapatkan status pemuda yang tidak ketinggalan ketinggalan jaman. jaman. Dengan Dengan adanya adanya urbanisasi urbanisasi pertambahan pertambahan penduduk kota
1
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw menjadi menjadi semaki semakin n mening meningkat kat pesat. pesat. Masyarak Masyarakat at Migran Migran atau urban urban ini pada pada umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL). Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang tanp tanpaa fasil fasilit itas as apap apapun un dan dan keha kehadi diran ranny nyaa selal selalu u meny menyert ertai ai tempa tempat-t t-tem empat pat keramaian, keramaian, mengelomp mengelompok ok menggunak menggunakan an ruang-ruang ruang-ruang umum yang ada, seperti trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya PKL sebenar sebenarny nyaa merupa merupakan kan konseku konsekuensi ensi logis logis dari dari hukum hukum timbal timbal balik balik yang yang saling membutuhkan antara penjual dan pembeli. Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat. Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang memp mempun uny yai akar akar pada pada masy masyara arakat kat Indo Indone nesia sia dan dan dila dilaks ksan anak akan an pada pada ruan ruang g terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992). Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL berkembang sangat cepat pada tempat-tempat umum secara tidak beraturan dan hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya adalah adalah masalah masalah lalu lalu lintas, lintas, berupa berupa kemacet kemacetan an di jalan jalan umum. umum. Jalan Jalan sebaga sebagaii prasarana utama perhubungan atau pengangkutan barang dari satu tempat ke tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga fungsi fungsi jalan menjadi terganggu. terganggu. Bertolak dari pemikiran pemikiran ilmiah ilmiah keberadaan keberadaan PKL di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati, dan difaham difahamii serta serta adany adanyaa politi political cal policy policy dari dari pemerin pemerintah tah berupa berupa dukung dukungan an kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota. Penuli Penuliss mencob mencobaa mengan mengangka gkatt perma permasala salahan han tersebu tersebutt ke dalam dalam makala makalah h yang yang berjudul “ANALISA KEBIJAKAN KEBERADAAN PKL DI SEKITAR TUGU PAHLAWAN MENYANGKUT TATA RUANG KOTA SURABAYA”.
2
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw menjadi menjadi semaki semakin n mening meningkat kat pesat. pesat. Masyarak Masyarakat at Migran Migran atau urban urban ini pada pada umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL). Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang tanp tanpaa fasil fasilit itas as apap apapun un dan dan keha kehadi diran ranny nyaa selal selalu u meny menyert ertai ai tempa tempat-t t-tem empat pat keramaian, keramaian, mengelomp mengelompok ok menggunak menggunakan an ruang-ruang ruang-ruang umum yang ada, seperti trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya PKL sebenar sebenarny nyaa merupa merupakan kan konseku konsekuensi ensi logis logis dari dari hukum hukum timbal timbal balik balik yang yang saling membutuhkan antara penjual dan pembeli. Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat. Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang memp mempun uny yai akar akar pada pada masy masyara arakat kat Indo Indone nesia sia dan dan dila dilaks ksan anak akan an pada pada ruan ruang g terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992). Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL berkembang sangat cepat pada tempat-tempat umum secara tidak beraturan dan hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya adalah adalah masalah masalah lalu lalu lintas, lintas, berupa berupa kemacet kemacetan an di jalan jalan umum. umum. Jalan Jalan sebaga sebagaii prasarana utama perhubungan atau pengangkutan barang dari satu tempat ke tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga fungsi fungsi jalan menjadi terganggu. terganggu. Bertolak dari pemikiran pemikiran ilmiah ilmiah keberadaan keberadaan PKL di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati, dan difaham difahamii serta serta adany adanyaa politi political cal policy policy dari dari pemerin pemerintah tah berupa berupa dukung dukungan an kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota. Penuli Penuliss mencob mencobaa mengan mengangka gkatt perma permasala salahan han tersebu tersebutt ke dalam dalam makala makalah h yang yang berjudul “ANALISA KEBIJAKAN KEBERADAAN PKL DI SEKITAR TUGU PAHLAWAN MENYANGKUT TATA RUANG KOTA SURABAYA”.
2
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 1.2
Rumusan Ma Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimana Bagaimana keterkaita keterkaitan n keberadaan keberadaan PKL PKL di sekitar sekitar Tugu Tugu Pahlawan Pahlawan dengan dengan konsep tata ruang kota ? 2. Baga Bagaim iman anak akah ah kebi kebija jaka kan n peme pemeri rint ntah ah kota kota terk terkai aitt deng dengan an masa masala lah h tersebut? 3. Mengap Mengapaa kebijak kebijakan an terseb tersebut ut masih masih belum belum berhas berhasil il ? 4. Bagaimanakah Bagaimanakah kebijakan kebijakan yang yang tepat tepat untuk untuk mengatasi mengatasi masalah masalah tersebut tersebut ?
1.3
Tujuan
Tujuan makalah ini adalah: 1. Mengetahui Mengetahui keterkai keterkaitan tan keberadaan keberadaan PKL PKL di sekitar sekitar Tugu Tugu Pahlawan Pahlawan dengan dengan konsep tata ruang kota. 2. Mengetahui Mengetahui kebijak kebijakan an pemerintah pemerintah kota kota terkait terkait dengan dengan masalah masalah tersebut tersebut.. 3. Menget Mengetahu ahuii sebab kegaga kegagalan lan kebijak kebijakan an tersebu tersebut. t. 4. Mere Mereko kome mend ndas asik ikan an kebi kebija jaka kan n yang ang tepa tepatt untu untuk k menga engata tasi si masa masala lah h tersebut.
3
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB
II 2.1
Letak Geografis
Kota Surabaya merupakan Ibukota Provinsi Jawa Timur. Secara geografis Kota Surabaya terletak diantara 07.12” – 07.21” Lintang Selatan dan 112.36” – 112.54” Bujur Timur. Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut, kecuali disebelah selatan dengan ketinggian sekitar 25-50 meter di atas permukaan laut. Kota ini memiliki luas wilayah kurang lebih 326,37 km2.
2.2
2.3
Batas Administrasi
Sebelah Utara
:
Selat Madura
Sebelah Selatan
:
Kabupaten Sidoarjo
Sebelah Timur
:
Selat Madura
Sebelah Barat
:
Kabupaten Gresik
Fungsi dan Peranan Kota Surabaya
Sesuai kebijaksanaan pembangunan Kota Surabaya dalam RTRW tahun 2005 menetapkan bahwa Kota Surabaya adalah kota yang berwawasan “BUDIPAMARINDA” (budaya, pendidikan, pariwiwsata, maritim, industri dan perdagangan, informasi, administrasi, social, dan kesehatan).
2.4
Pembagian Wilayah Kota Surabaya
Kota Surabaya terdiri atas 31 kecamatan dan 163 kelurahan (PERDA no. 5 dalam Suarabaya Dalam Angka, 2003:28). Dimana kecamatan terbanyak ditemui pada wilayah Surabaya selatan sebanyak 8 kecamatan sedangkan wilayah dengan jumlah kecamatan paling sedikit ditemui pada wilayah Surabaya bagian pusat, dimana hanya terdiri atas 4 kecamatan saja.
4
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 2.5
Fasilitas Perdagangan
Perkembangan perekonomian Kota Surabaya dipengaruhi oleh aktivitas sector produksi perdagangan, pasar, restoran, hotel, dan jasa lainnya. Tidak hanya kontribusi sector ini terhadap perekonomian Kota Surabaya, akan tetapi kecenderungan ke depan pun dapat diperkirakan sector ini akan mengalahkan sector industri menjadi leading sector di Kota Surabaya. Fasilitas perdagangan di Kota Surabaya didominasi oleh pedagang kaki lima ataupun pedagang yang berada di pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota Surabaya.
5
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 2.6
Tugu Pahlawan Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark Kota
Surabaya. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang. Tugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Monumen ini berada di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10 November dimana pada tahun 1945 banyak pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan.
6
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB
III 3.1 Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan lebih bersifat keahlian, bukan i1mu pengetahuan teoritis. Seorang analist kebijakan selalu mengandalkan diri pada proses yang dapat dipertahankan, metode yang tepat, dan pertimbangan yang didasarkan pengalamannya. Policy Analysis atau analisa kebijakan mneurut Charles E Lindblom dalam buku Perencanaan Wilayah Kota karangan Catanese adalah suatu tipe analisis kuantitatif yang melibatkan perbandingan incremntal, dimana metode kualitatif dimasukkan untuk mengenal interaksi antara nilai dan kebijakan 3.1.1
Tahapan-Tahapan Dalam Analisis Kebijakan (1) Menentukan Masalah (Menguji, merinci)
(6) Memantau dan mengevaluasi hasil
(2) Menentukan kriteria evaluatif
(5) Memaparkan dan memilih di antara berbagai alternatif
(3) Mencari alternatif kebijakan
(4) Mengevaluasi Setiap alternatif kebijakan
7
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
Menentukan Masalah Dilakukan atas 2 dasar prinsip (kunci) : (1) Memilih waktu untuk memikirkan, berarti memikirkan masalah secara bebas,
bukan dengan
menjaring informasi dan pendapat yang mungkin dapat menyesakan atau terlalu di sederhanakan. (2)
mengungkapkan dengan angka-angka, berarti
menguantifikasiakn masalah dengan maksud untuk menguji ukuran dan signifikannya. Bagimana masalah itu didefinisikan, akan sangat berpengaruh terhadap permasalahannya. Analisis merupakan peran yang sangat penting. Tuijuan analisis harus terbuka terhadap berbagai persepektif, menjelasakan suatu realitasa dari berbagai segi. Contoh :
Suatu
daerah
permukiman
mempunyai
peluang
untuk
dikembangkan menjadi komplek perkantoran dan perbelanjaan. Developer menyediakan biaya-biaya untuk pembebasan lahan dan bangunan. Para pemilik rumah yang termasuk dalam rencana tersebut menekan pemerintah daerah untuk memberikan ijin perubahan zoning, karena mereka akan mendapat penjualan dari rumah mereka. Pemerintah setempat juga akan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan lingkungan tersebut, meskipun harus menyediakan fasilitas dan utulitasa yang baru.sebaliknya ada sebagian pemilik rumah yang tidak termasuk dalam rencana itu yang akan mendapat gangguan atau dampak. Akibat pembangunan tersebut dan cenderung menolak adanya pembangunan. Bagi analis kebijakan, ada empat persepektif yaitu pemrintah daerah, para pemilik rumah yang kan mendapatkan ganti rugi, Developer dan pemilik rumah di lingkungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Ada bebrapa metode yang dapat dipakai untuk menganalisa antara lain : o
Perhitungan Back-Of_The_Envelope (Untiuk estimasi besarnya masalah)
Pembahsan kebijakan peklu di lengkapi dengan hasil perhitungan statistic,
karena
angka
satatistik
dapat
menunjukan
seberapa
besar
8
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw masalahnya.
Frederick
Mosteler
menyarankan
empat
metode
untuk
menentukan angka-angka yang tidak di ketahui : 1. Melihat angka yang terdapat dalam sumber rujukan 2. Mengumpulkan angka melalui survey yang sistematis 3. Menebak angka 4. Meminta bantuan para ahli untuk memberikan angka o
Analisis Keputusan (Untuk menentukan komponaen penting)
o
Definisi Operasional (Untuk mengurangi konsep yang mendua)
Pengungkapan suatu masalah atau tujuan ukuran tertentu, disebut sebagai menentukan definisi-definisi operasional. Jika langkah ini dilakukan dengan sembrono atau tidak dilakukan sama sekali, maka kebijakan yang sudah digariskan akan sulit dievaluasi atau tidak jelas keberhasilannya. o
Analisis Politik (Untuk tidak mengabaikan factor non kualitatif)
Meskipun analisa politis bersifat kualitatif, hal ini dapat dilakukan secara lebih metodologi, sebagaimana dinyatakan olh Meltsner bahwa masalah-masalah politis dapat dianalis dari segi yang terlibat. Termasuk didalamnya motivasi serta keyakinan mereka, sumber daya yang mereka miliki, serta kemampuan mereka untuk menggunakan sumber daya secara efektif dan posisi-posisi mana yang akan diambil. o
Kertas Kerja (Untuk membantu memutuskan penelitian lanjutan)
Berupa penyiapan suatu dokumen yang dapat memberikan penjelasan kepada klien mengenai analisa apa yang diperlukan untuk memahami masalah dan untuk mencapai beberapa rekomendasi. Kertas kerja didasarkan pada usulan-usulan mengenai bagaimana mempelajari masalah. Hasilnya harus berupa program kerja yang jelas dan terinci agar mudah dipahami klien.
3.1.2
Mencari Berbagai Alternatif Ada dua jenis cara pemecahan yaitu (1) Yang telah ada dan dapat digunakan sebagaimana adanaya atau dimodifikasi agar sesuai dengan masalah yang ada. (2) Yang benar-benar merupakan pemecahan yang baru.
9
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
1.
Altertatif tanpa tindakan (no action alternative) Seorang analisis kebijakan harus mempertimbangkan alternative tanpa
tindakan apapun, atau mempertahankan status quo. Terkadang alternatif ini diabaikan atau dilecehkan oleh mereka yang berpandangan sederhana yaitu untuk mengatasi masalah yang sudah diketahui perlu adanya tindakan . Alternatif ini penting perannya sebagai tolok ukur untuk membandingkan alternative lainnya. Jika sampai pada tahap mengevaluasi setiap alternative, semua dampak dari setiap alternative akan dipertimbangkan. Perbandingan itu akan menunjukkan peran alternative tanpa tindakan, dan mungkin saja dalam waktu 10 tahun alternative tanpa tindakan masih lebih baik dari pada lainnya. 2.
Alternatif lain yang didasarkan kebijakan yang ada Berdasarkan alternative tanpa tindakan tersebut, dapat dikembangkan
alternative tindakan terbatas, sehingga memberi kemungkinan adanya perubahan incremental dari alternative tanpa tindakan. Sumber alternative ini berasal dari pengalaman pihak lain. Analisis dapat minta para professional, menanyakan pengalaman mereka dalam penerapan kebijakan atau program-program yang berkaitan dengan masalah ini. Para ahli tersebut dapat dicari dari perkumpulan atau ikatan profesi dan perguruan tinggi. Pendapat para ahli ini tentu akan memberikan perspektif yang beragam dibanding pendapat seorang awam, dan tugas analisis adalah mendapat berbagai alternative yang besar manfaatnya. 3.
Alternatif yang didasarkan kebijakan yang baru Teknik lain untuk mendapatkan alternative adalah berusaha mencari ilham.
Ada dua kaidah utama untuk mendapatkan alternative tersebut, yaitu : (1). Memisahkan tahap yang kritis dari salah satu tahap dimana diajukan ide-ide, agar tidak melumpuhkan kreativitas, (2). Memperkuat suatu ide yang tidak praktis atau ekstrim untuk dijadikan lebih praktis disbanding dengan memikirkan ide yang mulai dari dasar
10
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
3.1.3
Mengevaluasi Setiap Alternatif Langkah pertama untuk mengevaluasi suatu alternatif kebijakan adalah
meramalkan kondisi-kondisi dimasa mendatang atau pengaruh-pengaruhnya, apabila kebijakan ini diterapkan. Langkah berikutnya adalah membandingkan pengaruh yang sudah diramalkan dari setiap alternatif dalam bentuk kriteria evaluasi, termasuk analisis terhadap setiap ketidakpastian yang diramalkan. 1.
Meramalkan setiap pengaruh Untuk meramalkan setiap pengaruh tersebut ada tiga jenis metode
peramalan sebagai berikut: (1). Metode ekstrapolasi Dilakukan dengan melakukan ektrapolasi terhadap kecenderungan (trend) masa mendatang. Hal ini mudah dilakukan jika hal-hal yang lalu dapat
digambarkan
dalam
angka-angka
kualitatif,
seperti
jumlah
penduduk. Jika data kuantitatif sudah diperoleh, maka hal itu dapat dijadikan dasar untuk melakukan ekstrapolasi secara mekanis kemasa yang akan datang. (2). Metode modelling Sebenamya semua keputusan itu dilakukan berdasarkan beberapa model, beberapa merupakan konstruksi dari perilaku suatu subsistem. Beberapa model sudah dikembangkan, diuji dan distandardisasikan. Salah satu contoh sederhana adalah model ekonomi mengenai penawaran, permintaan serta harga dari suatu komoditi. Model ini sering digunakan dalam pembuatan kebijakan untuk memprediksi bagaimana setiap orang, pemerintah atu perusahaan akan bereaksi terhadap perubahan-perubahan Iingkungan. (3). Peramalan intuitif Metode ini paling banyak digunakan dalam analisis kebijakan. Analis dapat minta bantuan dari orang-orang yang memang mempunyai intuisi dan visi
yang
tajam
terhadap topik-topik
kritis
dengan segala
konsekuensinya. Dalam hal ini dituntut kepekaan dan ketajaman analis dalam mensikapi pandangan~pandangan orang-orang tersebut.
11
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
2.
Mengevaluasi setiap pengaruh Pada umumnya cara yang digunakan intuk mengevaluasi pengaruh dari
setiap alternatif kebijakan adalah dengan membandingkan pengaruh altematif tanpa
tindakan dengan pengaruh altematif
lairmya
(dengan
tindakan).
Perbandingan ini, akan terfihat jelas jika disusun dalam bentuk matriks, gunanya untuk menentukan setiap pengaruh neto (net impact). Analis menggunakan kriteria evaluasi yang telah ditetapkan dalam tahap sebelumnya (tahap 2), untuk memutuskan pengaruh neto yang mana yang akan digunakan untuk evaluasi dan bagaimana mengukur arti pentingnya secara relatif. 3.
Menanggulangi ketidakpastian Salah satu kesulitan yang dihadapi ana lis adalah ketidakpastian. Jika
resiko memberi arti bahwa terdapat dua atau lebih peluang dimasa mendatang dan kita dapat mengkaitkan suatu kemungkinan untuk setiap keadaan ini dengan tingkat kehandalan tertentu, maka ketidakpastian mengartikan bahwa kita tidak dapat mengkaitkan adanya kemungkinan tersebut dimasa mendatang dengan kehandalan tertentu. Kebanyakan analisis kebijakan mengandung ketidakpastian.
3.2
Memaparkan Dan Memilih Alternatif
Prinsip-prinsip Ada empat yang harus digunakan analisis sebagai pedoman dalam
menunjukkan dan memlih tiap alternatif, yaitu: 1.
Kesimpulan yang ditarik oleh analisis dari tiap alternative harus jelas. Analisis hendaknya menggunakan metode sedemikian sehingga klien dapat memahami bagaimana proses penilaian melalui cara sama bagi setiap alternative.
2.
Teknik-teknik yang digunakan untuk menunjukkan dan memilih tiap altrtnatif harus dapat diterapkan penilaian secara berganda. Hanya sedikit masalah yang menyangkut kebijakan diputuiskan berdasar satui criteria saja.
3.
Kriteria yang tidak dikuantifikasikan seringkali sama pentingnya dengan criteria yang dapat dikuantifikasikan.
12
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 4.
Bagaimanapun caranya pemaparan, hendaknya dapat mengarahkan analisis dan klien kepada suatu keputusan. Pemaparan ini hendaknya dapat menunjukkan sifat dari tiap alternative sehingga dapat dilakukan berbagai pertimbangan atas factor-faktor penting bagi semua pihak dan membuka kemungkainan kompromi apabila situasinya memang menghendaki demikian.
3.3 Pedagang Kaki Lima (PKL)
3.3.1
Pengertian PKL Perdagangan sektor informal dapat diartikan kelompok/golongan yang
usahanya berskala kecil, meliputi pedagang kakilima, pemulung, usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Arundhati, 2000). Pada penelitian yang dilakukan penulis sektor informal ini hanya dibatasi khusus pedagang kakilima. Sebagai batasan untuk menjelaskan apa atau siapa yang dimaksud dengan pedagang kakilima, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978 mendefinisikan pedagang kakilima sebagai: "mereka yang dalam usahanya mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha, serta tempat lain yang bukan miliknya". Bucheri Alma (2000), yang mengutip hasil penelitian Fakultas Hukum UNPAR, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah
“Orang
(pedagang-pedagang) golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang kebutuhan sehari-hari, makanan atau jasa dengan modal sendiri atau modal orang lain, baik berjualan ditempat terlarang atau tidak”. Sedangkan menurut Roy Bromley seperti dikutip oleh Tadjudin Noer Effendi (1988) menyatakan bahwa: “PKL digambarkan sebagai perwujudan pengangguran atau setengah penganggur. Menurut gambaran yang paling buruk PKL dipandang sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan. Sedangkan menurut pandangan yang paling baik, ia dipandang sebagai korban langkanya kesempatan kerja di kota”. Menurut Hans Dieters Evers, seperti dikutip oleh Didik J Rachbini (1994) menyatakan bahwa: “PKL disebut juga ekonomi bayangan atau black economy atau underground economy“. Sedangkan Yan Pieter Karafir, seperti dikutip oleh
13
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Didik J Rachbini (1994), mengartikan: “PKL adalah pedagang kecil yang berjualan tidak resmi di suatu tempat umum seperti emper toko dan proses yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk mereka”. Istilah Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5 feet). Tempat ini umumnya terletak di trotoar depan toko dan tepi jalan. Ada yang menyatakan bahwa istilah PKL berasal dari orang yang berdagang dengan menggelar barang dagangannya, para PKL c ukup menyediakan tempat darurat, seperti bangku atau meja yang biasanya berkaki empat, ditambah sepasang kaki pedagangnya sehingga berjumlah lima, maka timbullah julukan Pedagang Kaki Lima (PKL). Terlepas dari asal usul nama PKL tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa PKL ialah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap, dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian dan tidak memiliki ijin usaha.
3.3.2
Karakteristik PKL Karakteristik PKL menurut Iwan P. Hutajulu, Tadjudin Noer Efendi dan
beberapa literatur sektor informal adalah sebagai berikut: 1.
Berdasarkan cara melakukan kegiatan •
PKL menetap, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata pelaksanaan kegiatannya dilakukan dengan menetap pada lokasi tertentu.
•
PKL berpindah, merupakan bentuk perdagangan kaki lima yang dalam tata cara pelaksanaan kegiatannya hanya menetap pada suatu saat tertentu saja,selama lokasi tersebut menguntungkan dan segera pindah bila sepi pembeli.
•
PKL berkeliling, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata cara pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara berkeliling dan satu lokasi ke lokasi lainnya dan bersifat selaku mendatangi konsumen atau pembeli.
14
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 2
Berdasarkan sarana jual yang diperdagangkan •
Hamparan di Lantai, merupakan kelompok
kegiatan
PKL
yang
mempergunakan alat jual seperti : tikar, plastik,bakul atau sejenisnya. •
Pikulan,
merupakan
kegiatan
perdagangan
kaki
lima
yang
mempergunakan dua buah keranjang cara dipikul. •
Meja/Jongko,
merupakan
kegiatan
perdagangan
kaki
lima
yang
mempergunakan meja/jongko sebagai sarana penjualan barang yang dijual. Dimana ada yang diberi pelengkap atap dan ada juga yang tidak beratap. •
Kereta dorong, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan sebuah kereta dorong atau gerobak.
•
Kios, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan kios sebagai sarana penjualan barang dimana kios ini bersifat permanen maupun semi permanen.
3.
Berdasarkan sumber modalnya PKL dengan modal diperoleh dari pinjaman, baik yang berasal dari
•
keluarga, pedagang grosir (khusus peminjaman barang) atau lembaga keuangan mikro (resmi maupun tidak resmi). PKL dengan modal pribadi, baik dari tabungan, diperoleh dari penjualan
•
harta benda atau diberi nama-nama oleh keluarganya.
3.3.3
Fungsi Pedagang Kaki Lima Peranan perdagangan kaki lima yang merupakan alternatif peluang kerja di
perkotaan juga turut berperan pula dalam aktivitas perekonomian. Menurut Noegraha (1989) (dalam Ernawati, J dan Tunjung W.S, 1995: 15) secara umum kegiatan pedagang kaki lima mempunyai fungsi yaitu: 1.
Fungsi pelayanan pedagang eceran Pedagang kaki lima yang tergolong ekonomi lemah berfungsi sebagai pedagan eceran yang mana langsung dikonsumsi oleh konsumen. Karena skala kegiatan kecil, maka barang atau jasa yang dihasilkan atau ditawarkan terbatas dan tergantung dari modal dan keterampilan yang dimiliki.
15
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 2.
Fungsi pelayanan jasa Selain sebagai unit usaha yang menyediakan barang terdapat pula PKL yang menyediakan pelayanan jasa dengan unit usaha yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok pertama yang mempunyai fungsi komersial (pedagang eceran) karena kelompok ini memerlukan keterampilan khusus untuk membuka usaha (pelayanan jasa). Misal: tukang tambal ban dan reparasi.
3.
Fungsi hiburan Artinya keberadaan pedagang kaki lima dapat memberikan suatu suasana yang menyenangkan atau mempunyai ciri khas yang pada umumnya dimiliki oleh kegiatan pedagang kaki lima yang beraktivitas pada malam hari.
4.
Fungsi Sosial Ekonomi Fungsi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pemerintah dan pedagang. Bagi pemerintah keberadaan kaki lima dapat mengurangi pengangguran, sedangkan dari sisi pedagang merupakan sumber penghasilan terakhir yang dapat dikerjakan atau sebagai penghasilan tambahan.
3.3.4
Kelengkapan PKL Kelengkapan atau saran penjualan yang sering digunakan PKL dalam
menjalankan aktivitasnya (Wawarantoe, 1974) adalah sebagai berikut : 1. Hamparan lantai atau tikar 2. Pikulan (untuk yang berjualan dengan berkeliling/berpindah) 3. Meja / jongko dengan atap untuk melindungi barang dagangannya. 4. Kereta dorong 5. Kios (baik permanen maupun semi permanen) dan sifatnya menetap 3.3.5
Penentuan Lokasi
Berdasarkan studi yang dilakukan Goenadi (dalam Widjajanti. 2000 : 35), penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal khususnya pedagang kaki lima adalah sebagai berikut : •
Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama dan sepanjang hari
16
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw •
Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan. tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar
•
Mempunyai kemudahan untuk teIjadi hubungan antara pedagang kaki lima dengan calon pembeli. walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit
•
Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum dan menurut McGee dan Yeung ( 1977 : 108) •
Pedagang kaki lima beraglomerasi pada simpul-simpul
pada jalur pejalan kaki yang lebar dan tempat-tempat yang sering dikunjungi orang dalarn jumlah besar yang dekat dengan pasar publik, terminal, daerah kawasan komersial. Dari hasil survei IDRC oleh McGee dan Yeung (1977 : 51-56), penentuan lokasi sektor informal diharapkan menempati lokasi yang sesuai dengan rencana penataan pada masing-masing kota yang mana disesuaikan dengan kondisi eksisting dan karakteristik pedagang kaki limanya. Kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah daerah/kota setempat dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu : 1 . Relokasi/pemugaran
Yaitu pemugaran suatu lokasi baik untuk dijadikan suatu bentuk fungsional baru yang berbeda dari yang semula maupun berupa perbaikan dari kondisi yang ada. Kelompok sektor informal yang semula menempatinya dikeluarkan dari tempat tertentu, sementara tempat usaha mereka sedang diperbaiki atau dibangun kcmbali dan apabila telah selesai maka mereka dapat kembali berusaha/berjualan di tempat tersebut. Relokasi dapat diterima sepanjang tidak mengganggu hubungan dengan konsumen dari pedagang kaki lima. 2. Stabilisasi/pengaturan Dalam hal ini stabilisasi dimaksudkan sebagai upaya dalam menata keberadaan sektor informal pada suatu lokasi. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah pengaturan kembali pedagang kaki lima agar harmonis dan tidak mengganggu fungsi kola di lingkungan sekitar, tempat mereka melakukan usahanya. Dan dasar pertimbangan operasionalnya adalah adanya akses bagi aliran konsumen.
17
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Dalam upaya pengaturan dan penataan ruang bagi sektor informal terdapat beberapa altematif yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang pemah diterpkan atau dilakukan pada berbagai kota di Asia Tenggara diantaranya adalah: •
Peruntukkan dalam ruang terbuka (open market) Merupakan ruang pelataran terbuka yang secara khusus disediakan bagi aktivitas perdagangan informaI dan dimaksudkan untuk kemudahan pergerakan konsumen dalam menggunakan jasa pelayanan pedagang kaki lima dan tidak mengganggu fungsi kota di lingkungan lokasi tempat berjualan terscbut. •
Pembebasan/penutupan jalan-jalan tertentu, yaitu dengan
menutup jalan-jalan tertentu dan menutup sirkulasi kendaraan bermotor dan kendaraan tak bennotor dan selanjutnya hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki dan penampungan perdagangan kaki lima. Upaya Ini biasanya bersifat sementara dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu. •
Pemanfaatan bagian tertentu dari jalan/trotoar Dengan menempatkan pedagang kaki lima di atas sebagian trotoar pada jalan-jalan tertentu yang telah dipilih dan tidak mengganggu aktivitas lingkungan sekitar serta sirkulasi lalu-lintas.
•
Multifungsi ruang terbuka (taman, lapangan, area parkir dan sebagainya), yaitu pemanfaatan ruang terbuka di sekitar kawasan perbelanjaan atau pusat keramaian untuk penampungan aktivitas perdagangan kaki lima pada waktu-waktu tertentu ketika tidak/kurang dimanfaatkan.
3. Pemindahan (removal) Dimaksudkan untuk pemindahan sektor informal ke lokasi yang telah ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya. Pemindahan ke lokasi tetap ini dapat berupa pasar resmi atau sebuab lokasi khusus yang ditetapkan sebagai lokasi sektor informal. Adapun upaya memindahkannya seeara permanen ke dalam pasar yang telah dilakukan pada beberapa kota, terdapat kendala yaitu pertama rancangan bangunan yang tidak sesuai. Dimana rancangan fisik pasar sangat penting bagi kebutuhan yang bermacam-macam dan tipe yang berbeda-beda pula. Kedua, adalah faktor finansial yaitu terkait dengan tarif sewa ruang di dalam pasar yang tinggi sehingga salah satu altematif pemecahannya adalah
18
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw dengan membuat ruang-ruang kecil untuk menekan harga sewa namun hal tersebut juga masih terdapat kendala yaitu jenis komoditas dagangannya. Sehingga apabila dilakukan upaya memindahkan sektor informal ke pasar legal, maka pertimbangannya adalah rancangan bangunan pasar yang sesuai dan akomodatif, tingkat harga sewa yang memadai, reneana yang terperinci, dan jarak lokasi berjualan dari tempat berjualan semula. 3.3.6
Pola Pengelolaan Struktural Berdasarkan penelitian yang dilaku.kan oleh McGee dan Yeung (1977 :
5660), yang dilakukan pada beberapa negara berkembang bahwa pemerintah kota selain menerapkan pengelolaan lokasional juga melakukan pengelolaan struktural diantaranya : • Perijinan Hal ini didasarkan menurut jenis barang/jasa yang ditawarkan, waktu, usaha serta lokasi tertentu. Perijinan bagi aktivitas PKL dalam melakukan usahanya didasari atas : a.
Memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan
jumlah b. •
Membantu dalam penarikan retribusi
Pembinaan Tindakan pengendalian dalam hal ini dilakukan dengan pembinaan terhadap kualitas pola pikir para pedagang dan pelaksana aktivitas PKL secara keseluruhan karena diketahui bahwa pola pikir PKL sebagian masih memiliki tingkat pendidikan relatif rendah dan sederhana untuk menelaah peraturan yang ada, sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan kurangnya perhatian mengenai visualisasi aktivitas secara keseluruhan.
•
Bantuan/pinjaman Di Malaysia, pemberian bantuan dan pinjaman dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada PKL untuk berkembang dan meningkatkan efisie nsi bagi PKL yang telah ada.
19
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 3.4 Daftar Nama Kelompok
3.4.1
Teori •
Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Teori Perencanaan Pembangunan
•
Tri Muliyani Sunarharum (0610660064) : Reformasi Perencanaan Tata Ruang Kota
3.4.2
Artikel Tri Mulyani Sunarharum (0610660064) : Penertiban PKL di Surabaya
•
Parsial dan Diskriminatif
Anastasia Prima Desi (0610660006 ) : Pemkot Malang Minta Perda PKL Dikaji • Anggun Nikita (0610660008) : Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota Blitar Tentang Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar)
Dyana Ika Sari (0610660025) : Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota, Pedagang Kaki Lima Terkena Dampak •
Wahyu Eko (0610660066) : Pemkot Lakukan Pendekatan PKL Tugu Pahlawan dan Relokasi PKL Pahlawan Batal
•
Wulan Dwi Purnamasari (0610660069) : Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota Di Surabaya dan Menata PKL Perlu Penataan Ruang
•
Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Apa Selalu Menjadi Masalah Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian Sektor Informal (1 )
Anggi Misaful Bewani (0610660007) : "Katanye" Kota Kaki Lima
•
•
Amelia
Dewi
Safitra
(0610660005)
:
PKL
Mengganggu dan Memperindah Kota •
Wahyu Pradana P. (06100660068) : Pasar Keputran Kumat Lagi
20
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 3.5
3.5.1 •
Kumpulan Teori dan Artikel
Kumpulan Teori Teori Perencanaan Pembangunan Teori yang mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pengirim di dalam merencanakan suatu program adalah dengan jalan memberikan keterbukaan antara pemerintah dengan masyarakat. Teori-teori yang dimasud diantaranya adalah Teori Perencanaan Pembangunan. Tokoh sentral dalam
teori ini adalah John
Friedman (1986). Ia melakukan kajian atas praktik-praktik perencanaan pembangunan dalam kurun waktu 200 tahun, kemudian tersimpulkan perencanaan sebagai Analisa Kebijakan (Planning Policy Analysis), di mana pemerintah bersama-sama masyarakat merumuskan permasalahan dan menyusun berbagai alternatif kebijakan. Disini, perencanaan dilakukan dengan terdesentralisasi, mempergunakan pola interaktif, kebijakan direncanakan dengan ilmiah, dan dengan politik yang terbuka. Teori lain adalah Teori kebijakan atau Ilmu Kebijakan (Pilicy Science). Teori ini merupakan disiplin yang relatif baru dalam administrasi kenegaraan. Teori kebijakan didasarkan pada tiga perinsip. Pertama, perinsip bahwa pengambilan kebijakan harus melibatkan masyarakat sebanyak mungkin. Kedua, pengambilan keputusan mengikuti Policy Cycle, yaitu perumusan persoalan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan dan pemilihan alternatif kebijaksanaan, dilanjutkan dengan pelaksanaan, serta kemudian evaluasi kebijakan. Prinsip ketiga, melakukan analisis dengan menerapkan kombinasi tiga macam pengetahuan: empiris positivisme, pengalaman individu, dan nilai-nilai hidup di dalam masyarakat. Teori di atas juga didukung oleh Samuel Huntington (1968), Lucian W Pye (1966), serta Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Mereka menyarankan tiga kondisi sebagai bukti adanya suatu pembangunan, yaitu: 1.
Adanya diversifikasi fungsi dalam masyarakat.
2.
Adanya desentralisasi fungsi di masyarakat, mulai dalam hal berfikir, keinginan, sampai dengan manajemen pribadi, kelompok dan masyarakat.
3.
Adanya sekulerisasi, dalam arti berkembangnya budaya yang analitis dan rasional. Bukan budaya sakral yang mistis. Sumber : http://air.bappenas.go.id
21
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw •
REFORMASI
PERENCANAAN
TATA
RUANG
KOTA Written by Sunardi Sunday, 16 July 2006
Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di sekitarnya. Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik dan psikhis) masyarakat. Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi: (a) penurunan persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak kejahatan; (b) peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok pemuda. Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar kelompok preman, dan terhentinya pelaksanaan proyek-proyek besar.
22
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di negara-negara
berkembang
sebagai
akibat
dari
pembangunan
lebih
berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk miskin di daerah perkotaan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara nasional persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di daerah perdesaan (14,2 %), sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional persentase jumlah penduduk miskin di perkotaan: 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5 %). Hal ini diperkirakan karena besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah perkotaan, yang pada umumnya dilakukan oleh mereka yang belum memiliki ketrampilan khusus sebagai modal menghadapi persaingan antar masyarakat perkotaan. Perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia Kiranya pemerintah telah menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota. Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia (Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut. Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah)
23
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola pemintakatan atau zoning yang ketat. Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif, sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Penataan Ruang. Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes (fleksible), karena lebih mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut. Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota. Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan,
24
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya. Reformasi perencanaan kota Di Indonesia reformasi total telah digulirkan, dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di dalam proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur sampai
dengan
implementasi
dan
pelaksanaannya
perlu
adanya
perubahan/reformasi. Sebagaimana diketahui bahwa Rencana Tata Ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambargambar yang sudah pasti (blue print). Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial, bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan berkembang-pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi masyarakat yang
demikian kiranya
kurang tepat
dengan diterapkannya
perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan model process planning. Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya. Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si
25
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini. Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan tata ruang kota antara lain: 1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa lebih mahal. Namun lebih mahal lagi perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan memberikan masukanmasukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota. 2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala Kelurahan / Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah. 3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning. Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika masyarakat yang
begitu besar) dirasa kurang sesuai.
Akibatnya
perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya
26
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak. 4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota. Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat) kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa permasalahan perkotaan merupakan permasalahan yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya. 5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan. 6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan Bappeda. (Sumber : http://www.bktrn.org )
27
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 3.5.2 Kumpulan Artikel •
Penertiban PKL di Surabaya Parsial dan Diskriminatif BELAKANGAN ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang hingga kini masih tetap memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen bebas PKL. BAHKAN, ada indikasi mereka (PKL) sepertinya mencoba bermain petak umpet dengan aparat penertiban. Pada saat operasi penertiban gencar dilakukan, memang PKL seolah menghilang. Tetapi, ketika operasi mulai kendur, maka jalan-jalan itu pun kembali dipadati PKL. Daerah-daerah di seputar Jalan Genteng Kali, Kapasari, Rumah Sakit Karang Menjangan dan sebagainya, kini kembali ditempati para PKL. Bahkan, akibat sebagian trotoar sudah dipasangi pot-pot besar, kini sebagian PKL malah berdagang di pinggir jalan sehingga makin mengganggu arus lalu lintas. Kenapa PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak sedikit dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia? Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum, mungkin benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum dan menjadikan kota tampak kumuh. Tetapi, untuk menata sektor informal dan meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak membuat kota makin semrawut, maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan. Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL dan menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan sejenisnya, pada dasarnya adalah program penataan kota yang sifatnya parsial dan cenderung hanya memotong kompas karena sikap tak sabar. Kenapa gagal?
Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif. Dikatakan parsial karena kegiatan penertiban yang dilakukan hanya
28
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw menyentuh aspek kulitnya saja-yakni sekadar menyingkirkan orang-orang miskin dari wilayah kota-tanpa ada penanganan yang menyentuh akar masalah. Dikatakan temporer, karena cenderung hanya memfokuskan kegiatan penertiban pada jalan-jalan protokol demi terciptanya pemandangan yang serba tertib dan indah untuk sementara waktu tanpa ada kelanjutan program yang pasti. Sedangkan dikatakan diskriminatif, karena obyek penertiban hanya terfokus pada kelompok marginal kota, sementara kekuatan komersial yang juga sama-sama melanggar tata tertib kota seolah-olah tidak tersentuh. Misalnya, pabrik di wilayah stren kali dan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar garis sempadan. Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang dilaksanakan Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum migran miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan bukan dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang sentralistikyang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin terpolarisasi. Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David Baker (1980)- cenderung bersifat punitif (menghukum). Tindakan pemkot menggusur permukiman kumuh di sepanjang stren kali, menggusur PKL dari lokasi mereka berdagang, membebaskan kawasan pusat kota dari PKL, dan upaya untuk mengembalikan kaum migran miskin ke daerah asalnya, pada dasarnya adalah bagian dari upaya Pemkot untuk mengembangkan kebijakan "pintu tertutup" bagi kaum migran. Untuk jangka pendek, cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi, upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan. Maka, jangan heran jika hasilnya seolah hanya jalan di tempat. Upaya penataan
Sebagai sebuah masalah sosial di kota besar, harus diakui bahwa upaya menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota Surabaya bukanlah hal yang
29
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw mudah. Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan masalah baru, sedangkan bentuk perlindungan dan sikap belas kasihan yang berlebihan dikhawatirkan juga akan menimbulkan bentuk ketergantungan baru yang dapat menghilangkan mekanisme self-help kaum migran yang masuk dalam kategori miskin. Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme "kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar masalah. Perlu disadari bahwa keberadaan PKL pada dasarnya bukanlah sematamata beban atau melulu gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL dan kaum migran sesungguhnya merupakan potensi ekonomi. Bahkan jika keberadaan PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya. Misalnya di Jakarta, setiap tahun dilaporkan bahwa Pemprov DKI Jakarta kehilangan uang pemasukan sebesar Rp 53,4 milyar karena adanya pungutan liar (pungli) yang ditarik dari sektor informal kota. Pungli itu dilakukan oknum pengurus RT/RW, petugas keamanan hingga aparat Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Belum lagi pungli yang dilakukan sejumlah preman. Jika di Surabaya retribusi yang ditarik dari seluruh sektor informal kota dapat masuk ke kas pemkot dan campur tangan oknum atau preman yang selama ini mengeksploitasi PKL dan migran dapat dieliminasi, maka tidak mustahil kehadiran PKL justru menjadi salah satu sumber PAD yang strategis. Kalau misalnya di Surabaya terdapat 50.000 PKL, kemudian mereka masing-masing dikenakan retribusi Rp 500, maka dalam satu hari Pemkot Surabaya dapat menerima pemasukan sebesar Rp 25 juta. Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas, perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Masalahnya, dengan segala keterbatasan jumlah personel, dana dan lahan yang
30
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw dimiliki Pemkot Surabaya, maka upaya menata PKL tidak bisa tidak harus melibatkan pengusaha dan pengelola pusat perbelanjaan dan pusat perkantoran. Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak swasta umumnya
cenderung
bersikap acuh tak
acuh,
dan seolah-olah
menyerahkan sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot. Plaza yang setiap hari ramai dikunjungi warga kota dan memiliki karyawan, seolah-olah menutup mata terhadap situasi di sekitarnya. Padahal, para karyawan pusat pertokoan/plaza tersebut, setiap hari membutuhkan jasa PKL untuk makan atau minum. PKL yang berjasa melayani kebutuhan karyawan mereka dibiarkan berjejal di jalan-jalan atau ruang publik, tanpa ada keinginan sedikit pun dari pihak swasta untuk ikut membantu menyediakan lahan guna menampung para PKL itu di sekitar mal/plaza. Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL. Pasar Atom, mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Lahan yang diperuntukkan untuk PKL di sekitar mal/pusat perkantoran itu tentu tidak diberikan secara gratis. PKL diwajibkan untuk menyewa dengan tarif yang tidak mahal, namun terjangkau dan menguntungkan kedua belah pihak, baik PKL maupun pengelola mal atau pusat perkantoran. Untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota Surabaya, ada baiknya pemkot tidak melulu terjebak pada pendekatan yang sifatnya represif. Melainkan mencoba mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan. Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka
31
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw pihak kelurahan dan kecamatan dapat segera mengambil langkah-langkah penindakan. Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan dengan efektif jika pihak kelurahan atau minimal pihak kecamatan juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya. Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota. Upaya penataan PKL sebaiknya tidak hanya berkutat pada bentuk-bentuk penindakan atau operasi penertiban yang sifatnya represif karena hanya akan melahirkan pembangkangan dan resistensi dari para PKL. Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengombinasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus. Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik. Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemkot untuk terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data akurat dan up to date tentang keadaan PKL di Surabaya. Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemkot untuk mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. Yaitu dengan cara mengembangkan kerja sama dengan daerah hinterland untuk mengurangi kesenjangan desa-kota a gar tidak makin menyolok. Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu
32
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum warga kota. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif adalah pasar. Namun demikian, sejak awal perlu disadari bahwa tidak semua PKL bisa langsung dipindahkan ke dalam pasar. Karena itu, semua juga tergantung pada jenis barang dagangan yang diperjualbelikan PKL. Untuk PKL yang memiliki dagangan yang spesifik seperti VCD atau barang bekas, mereka mungkin bisa direlokasi ke tempat atau wilayah tertentu. Syaratnya, relokasi itu dilakukan bukan semata bertujuan untuk mengusir mereka dari pusat kota, tetapi keputusan relokasi itu dilakukan demi kebaikan PKL itu sendiri. Gagasan untuk merelokasi PKL VCD ke kawasan THR, misalnya, sebenarnya cukup prospektif sepanjang dalam masa transisi perpindahan itu pemkot benar-benar memiliki itikad baik membantu meramaikan suasana di sana dengan berbagai kegiatan yang nyata, seperti lomba senam poco-poco, pentas musik, lomba menggambar anak-anak, dan sebagainya. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bentuk dari program relokasi PKL ini antara lain bisa berupa pembangunan pasar atau pusat PKL. Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa. Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang paling ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya. Artinya, dengan menyadari bahwa akar masalah sektor informal kota adalah akibat adanya kesenjangan desa-kota, maka strategi penanganan masalah ini mau tidak mau
33
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw harus pada tingkat regional atau paling tidak melibatkan kerja sama dan dukungan kota-kabupaten yang lain, khususnya daerah- daerah yang menjadi hinterland Kota Surabaya. Membiarkan Surabaya harus menanggung sendirian beban persoalan PKL, selain tidak adil, juga membuat masalah ini menjadi kian sulit dipecahkan. Betapa pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di Kota Surabaya adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran. Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak akan pernah mampu mengurangi arus migrasi. (Helmi Prasetyo Dosen FISIP Unair Surabaya, Redaktur Pelaksana Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik FISIP Unair )
Copyright © 2002 Harian KOMPAS Sumber : http://www.kompas.com
Resume
PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak sedikit dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia. Untuk menata sektor informal dan meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak membuat kota makin semrawut, maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan. Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL dan menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan sejenisnya, pada dasarnya dapat dinilai kurang bagus dan tidak sabar. Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif.
Dalam
berbagai
kebijakan
dan
operasi
penertiban
yang
dilaksanakan Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum migran miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan bukan dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang sentralistik-yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin terpolarisasi.
34
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David Baker (1980)-cenderung bersifat punitif (menghukum). Untuk jangka pendek, cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi, upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan. Maka, hasilnya seolah hanya jalan di tempat. Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan masalah baru. Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme "kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar masalah. Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas, perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak swasta umumnya cenderung bersikap acuh tak acuh, dan seolah-olah menyerahkan sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot. Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL. Hendaknya pemerintah mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota Surabaya. Masalah ini hendaknya juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya
manusianya.
Yang
lebih
penting
dilakukan
adalah
bagaimana
mengombinasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus.
35
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum warga kota. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif adalah pasar. Namun, semua juga tergantung pada jenis barang dagangan yang diperjualbelikan PKL. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atau tendanisasi. Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang paling ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya.
Kesimpulan
Keberadaan PKL liar di Kota Surabaya tetap hadir dan sulit ditertibkan padahal pemerintah kota sudah selalu berusaha mengadakan razia dan usahausaha penertiban. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan. Selama ini, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif. Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David Baker (1980)-cenderung bersifat punitif (menghukum). Untuk jangka pendek, cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi, upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar masalah. Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera
36
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Hendaknya pemerintah mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota Surabaya. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif adalah pasar. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
37
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Pemkot Malang Minta Perda PKL Dikaji Sumber : www.kompas.com
Malang, Kompas - Pemerintah Kota (Pemkot) Malang meminta kepada
wakil rakyat agar mengkaji kembali Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Pengkajian ulang diperlukan, karena pemerintah merasa kesulitan melakukan penataan serta pelarangan berjualan kepada para PKL. Surat meminta pengkajian kembali ditandatangani Wali Kota Malang Suyitno pada 23 Januari 2002 lalu. Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Malang Daniel Sitepu surat itu baru diterima hari Kamis pekan lalu. Secara lebih spesifik surat Wali Kota tersebut menyebutkan tentang Pasal 3 Ayat 1 dan 2 dalam Perda, sangat sulit diterapkan di lapangan. Pasal itu mengatur tentang larangan kegiatan usaha PKL di dalam alun-alun kota dan sekitarnya dan di jalan, trotoar, serta jalur hijau dan fasilitas umum. Pada kenyataannya usaha-usaha yang dilakukan Pemkot Malang dalam menata PKL hampir selalu menemui kegagalan. Usaha relokasi PKL di alun-alun dengan membuatkan tenda di Jalan Kyai Tamin tahun lalu gagal total. Namun, menurut Daniel Sitepu, Pemkot Malang pernah mengajukan usulan agar PKL direlokasi ke Pasar Comboran Malang. Pemkot akan membangun gedung berlantai tiga yang khusus menampung sekitar 4.000 PKL. "Rupanya sebelum ide itu dilaksanakan ada usulan untuk relokasi sementara PKL di sekitar Pasar Besar sampai ke Pecinan. Padahal, dalam perda daerah itu terlarang bagi usaha PKL," kata Sitepu.
Solusi
Daniel Sitepu mengatakan ia mendukung upaya-upaya untuk mencari solusi relokasi PKL. Karena itu, penjaringan PKL di alun-alun yang dilakukan akhirakhir ini, kata Sitepu, harus dicarikan solusinya. "Penjaringan boleh saja, tetapi cari solusinya dulu. Jangan mengusir tanpa memberi mereka tempat. Mereka juga butuh hidup," katanya.
38
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Sejak tanggal 28 Januari 2002 lalu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Malang telah melakukan penyitaan terhadap puluhan rombong serta alatalat berjualan para PKL. Daniel Sitepu mengatakan ia juga mendukung relokasi sementara sebelum gedung di Pasar Comboran dibangun. "Bagaimanapun alun-alun kota harus bersih, mungkin relokasi PKL bisa sementara di sekitar Pasar Besar sambil membangun gedung khusus PKL," katanya. Sementara itu siaran pers dari Aliansi Mahasiswa dan Kaum Miskin Kota (AMKMK) yang diterima Kompas mengecam keras upaya-upaya represif yang ditempuh Pemkot Malang dalam menangani PKL. Oleh karena itu mereka minta penghentian campur tangan militer dalam menangani PKL. Selain itu pernyataan itu minta agar DPRD berpihak pada rakyat miskin. (can) Resume Artikel
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) benar-benar menjadi masalah yang serius bagi Pemkot Malang. Bahkan, undang – undang yang telah ditetapkan untuk mengatur para PKL tersebut harus dikaji ulang. Alasan pengkajian ulang karena undang-undang yang berisi tentang pengaturan dan pembinaan PKL itu sulit diterapkan di lapangan. Secara umum Perda Nomor 1 berisi penataan dan larangan berjualan bagi PKL. Tertulis dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 tentang larangan kegiatan usaha PKL di dalam alun –alun kota dan di sekitarnya. Pasal tersebut juga melarang PKL berjualan di trotoar, jalur hijau dan fasilitas umum. Pasal itulah yang diniali sulit dilaksanakan karena apapun cara yang dilakukan Pemkot Malang untuk menata PKL selalu mengalami kegagalan. Solusi Penjaringan PKL untuk direlokasi memang baik, tetapi harus diperhatikan juga solusinya. Jangan hanya mengusir PKL tanpa memberikan tempat pengganti. Contohnya dalam kasus PKL di alun -alun Kota Malang, jangan hanya menjaring PKL tanpa memikirkan nasib mereka, akan lebih baik jika PKL tersebut dicarikan tempat baru misalnya di Pasar Comboran. Apalagi jika pengusiran tersebut bersifat represif dengan menyita rombong serta alat – alat berjualan. Aliansi Mahasiswa dan Kaum Miskin Kota (AMKMK) telah mengecam Pemkot Malang
39
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw yang menggunakan jasa militer untuk menangani kasus PKL tersebut. AMKMK ingin agar nasib rakyat miskin lebih diutamakan.
Kesimpulan Artikel
DPRD meminta Perda Nomor 1 tahun 2000 yang mengatur PKL untuk dikaji ulang. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut terlalu sulit jika diterapkan di lapangan. Menggusur PKL dari tempat umum seperti alun-alun dan trotoar ternyata tidak semudah teorinya. Bagaimanapun cara yang dilakukan Pemkot Malang untuk menggusur PKL selalu saja mengalami kegagalan pada akhirnya. Menurut narasumber dari artikel di atas, kegagalan Pemkot Malang dalam menangani kasus PKL dinilai wajar. Hal ini dikarenakan Pemkot malang selalu menggunakan cara represif. Seharusnya, PKL tidak hanya digusur tetapi juga dicarikan tempat baru untuk berdagang atau jika tempat baru tersebut belum terbangun, maka harus dicarikan tempat sementara untuk menampung mereka.
40
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw •
Kebijaksanaan
Pemerintah
Daerah
Kota
Blitar
Tentang Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar) Oleh : Ferry Yulizar (96230046), Dept. of Governmental Science
Pedagang kaki lima sebagai salah satu sumbermata pencaharian rakyat. Jelas membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah, terutama dalam aspek pengelolaannya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan pedagang kaki lima sangat membantu terpenuhinya kehidupan hidup masyarakat, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengatur dan menangani pedagang kaki
lima,
hendaklah
diposisikan
sebagai
komponen
yang
benar-benar
mengayomi dan melindungi. Sebagai pemegang otoritas pemerintah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola ketertiban dan keamanan kota. Sudah selayaknya jika pemerintah daerah memikirkan dampak baik dan buruknya dari kebijakan yang telah ditempuh. Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah dari pedagang kaki lima tentang pengaturan pedagang kaki lima itu pada dasarnya yang mengatur para pedagang kaki lima di Kabupaten Blitar diatur oleh Perda no. 19 tahun 1998 dan bertujuan untuk mengatur pedagang kaki lima, penentuan lokasi, penataan tempat, penyediaan fasilitas, tata tertib retribusi, tingkat pendapatan pedagang kaki lima. Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima. Berdasarkan masalah tersebut maka penulis memberi judul pada skripsi ini: KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DAERAH KOTA BLITAR TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (Studi di Dinas Pasar Daerah Kota Blitar) Adapun rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah Bagaimana
pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah Blitar mengenai pedagang kaki lima.
41
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah Blitar mengenai pedagang kaki lima. Data yang penulis dapatkan dalam tugas akhir ini melalui: observasi, interview (wawancara) dan documentasi Akhirnya penelitia berkesimpulan bahwa kebijaksanaan pemerintah daerah mengenai pedagang kaki lima sudah cukup baik dan berhasil yaitu dengan cara mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan kerapian kota Blitar. Sehingga pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat dirasakan hasilnya oleh pedagang kaki lima yaitu mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat hidup dengan layak dengan peningkatan pendapatan. http://digilib.itb.ac.id
Resume Artikel
Pedagang kaki lima sebagai salah satu sumbermata pencaharian rakyat. Jelas membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah, terutama dalam aspek pengelolaannya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan pedagang kaki lima sangat membantu terpenuhinya kehidupan hidup masyarakat, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengatur dan menangani pedagang kaki
lima,
hendaklah
diposisikan
sebagai
komponen
yang
benar-benar
mengayomi dan melindungi. Sebagai pemegang otoritas pemerintah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola ketertiban dan keamanan kota. Sudah selayaknya jika pemerintah daerah memikirkan dampak baik dan buruknya dari kebijakan yang telah ditempuh. Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah dari pedagang kaki lima tentang pengaturan pedagang kaki lima itu pada dasarnya yang mengatur para pedagang kaki lima di Kabupaten Blitar diatur oleh Perda no. 19 tahun 1998 dan bertujuan untuk mengatur pedagang kaki lima, penentuan lokasi, penataan tempat, penyediaan fasilitas, tata tertib retribusi, tingkat pendapatan pedagang kaki lima.
42
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima.
Kesimpulan Artikel
Pedagang kaki lima membutuhkan perhatian dari pemerintah sebab profesi ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berasal dari kalangan menegah ke bawah. Sehingga segala kebijakan pemerintah yang bersangkutan dengan masalah ini harus benar-benar dapat mengayomi dan melindungi kepentingan mereka tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah
memikirkan dampak baik dan buruknya dari setiap
kebijakan yang dibuat. Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima. Jika semua hal tersebut telah dijadikan acuan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pedagang kaki lima maka keberadaan mereka dapat diterima di tengah masyarakat tanpa harus ada masalah yang ditimbulkan, baik dari pihak pedagang kaki lima sendiri maupun masyarakat sekitar. Sumber :
43
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota, Pedagang Kaki Lima Terkena Dampak Aksi Penggusuran Tidak adil dan Tidak Konsisten
Camat Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam, Banda Aceh, sebagaimana yang diberitakan Harian Serambi Indonesia, tanggal 21 Juli 2004, dan Analisa, tanggal 23 Juli 2004, menggusur puluhan kios di sejumlah jalan protokol yang ada di Kecamatan Kuta Alam. Aksi penggusuran tersebut dilakukan dengan sangat brutal, bahkan sampai adanya aksi kejar mengejar, mengangkat kios dan aksi tendang, dan mencabut Kartu Tanda Penduduk warga pemilik kios, kabarnya aksi penggusuran dan penertiban Kota itu dilakukan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV yang akan berlangsung pada tanggal 9-18 Agustus mendatang. Berbagai kalangan menilai aksi brutal penggusuran yang dilakukan oleh aparat Muspika tersebut tidak adil. Seorang warga mengatakan, “ Aksi Camat Kuta Alam tersebut semakin tidak manusiawi dalam memperlakukan para pedagang kaki lima dan pemilik kios, sehingga mereka tidak bisa berjualan lagi. Seharusnya aparat pemerintah bisa sedikit pengertian tidak langsung main tendang dan mengangkat kios-kios.” Kondisi ini sangat disayangkan oleh Ketua Forum Komunikasi Sosial (FKPS), Anwar Rusadi. Menurutnya, kalau alasan untuk keindahan kota mungkin kita maklumi, tapi apakah pemimpin kita tidak tahu bahwa rakyatnya masih banyak yang miskin. Menurutnya, kemiskinan dulu yang perlu ditangani, kalau rakyat sudah sejahtera baru, kita sama-sama ciptakan keindahan. Sebagaimana diberitakan oleh Harian Analisa tanggal 28 juli 2004, Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan tidak konsisten. Hal ini merupakan akibat dari
salah urusnya Pemerintah Kota
(Pemkot) Banda Aceh dalam menyusun Tata Ruang kota. Bila kita konsisten, pelanggaran tata ruang kota Banda Aceh justru dimulai dari penertiban Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pasar Swalayan Barata di samping Geunta Plaza merupakan ruang terbuka hijau. Bangunan ini merupakan salah satu kasus salah urus Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh dalam memfungsikan Terminal
44
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Angkutan Penumpang Kota (APK) Keudah yang kualitasnya di bawah standar karena tejadi penyimpangan dana proyek. Walhi mengharapkan adanya solusi kebijakan untuk menyiapkan lokasi alternatif bagi keberadaan usaha sektor informal masyarakat yang sangat dibutuhkan. Menyikapi aksi ini, sejumlah masyarakat meminta Camat Kuta Alam tersebut dicopot dari jabatannya. Sumber : www.walhi.com
Resume Artikel
Camat Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam, Banda Aceh, menggusur puluhan kios di sejumlah jalan protokol yang ada di Kecamatan Kuta Alam. Aksi penggusuran tersebut dilakukan dengan sangat brutal, bahkan sampai adanya aksi kejar mengejar, mengangkat kios dan aksi tendang, dan mencabut Kartu Tanda. Kabarnya aksi penggusuran dan penertiban Kota itu dilakukan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV. Menurut Ketua Forum Komunikasi Sosial (FKPS), Anwar Rusadi, kondisi ini sangat disayangkan.Kalau alasan untuk keindahan kota mungkin kita maklumi, tapi apakah pemimpin kita tidak tahu bahwa rakyatnya masih banyak yang miskin. Menurutnya, kemiskinan dulu yang perlu ditangani, kalau rakyat sudah sejahtera baru, kita sama-sama ciptakan keindahan. Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan tidak konsisten. Hal ini merupakan akibat dari salah urusnya Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh dalam menyusun Tata Ruang kota. Bila kita konsisten, pelanggaran tata ruang kota Banda Aceh justru dimulai dari penertiban Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Walhi mengharapkan adanya solusi kebijakan untuk menyiapkan lokasi alternatif bagi keberadaan usaha sektor informal masyarakat yang sangat dibutuhkan.
Kesimpulan Artikel
Dengan dalih untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh IV Camat Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam, Banda Aceh melakukan aksi penggusuran secara brutal pada kios-kios di sepanjang jalan protocol yang
45
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw ada di kecamatan Kuta Alam. Hal ini sangat disayangkan oleh beberapa kalangan. Melihat Melihat kondisi kondisi masyarakat masyarakat yang masih dilanda dilanda kemiskinan, kemiskinan, aspek keindahan keindahan kota dibahas setelah masalah kemiskinan teratasi. Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran penggusuran tersebut adalah tidak adil dan tidak konsisten konsisten.. Kesalahan Kesalahan Pemerintah Pemerintah kota dalam menyu menyusun sun tata ruang kota kota meru merupa paka kan n peny penyeb ebab ab aksi aksi peng penggu gusu suran ran terse tersebu butt karen karenaa peme pemerin rinta tah h tida tidak k konsisten terhadap tata ruang yang disusunnya.
46
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Pemkot
•
Lakukan
Pendekatan
PKL
Tugu
Pahlawan Peme Pemerin rinta tah h Kota Kota (pem (pemko kot) t) Sura Suraba baya ya memi memint ntaa peng pengert ertia ian n pada pada para para Pedaga Pedagang ng Kaki Kaki Lima Lima (PKL) (PKL) Tugu Tugu Pahlaw Pahlawan an dengan dengan melaku melakukan kan pendek pendekatan atan persuasif. Dengan pendekatan tersebut Pemkot berharap PKL memahami dan mengerti tentang rencana pemindahan (relokasi) PKL Tugu Pahlawan ke kawasan Kembang Jepun. Wali Kota Surabaya Bambang DH, usai membuka membuka acara Nikah Massal di Kedidi Kediding ng Suraba Surabaya ya,, mengata mengatakan kan reloka relokasi si PKL merupa merupakan kan wujud wujud penata penataan an lingkungan kota agar lebih asri dan indah. Bambang DH yakin relokasi PKL ke Kembang Jepun tidak makan mematikan pendapatan para PKL. Terbukti banyak agenda pemindahan PKL di Surabaya yang berda mpak positif. "Pemkot itu berusaha menata. Ambil contoh penataan PKL di Karah itu kan menjad menjadii lebih lebih baik baik dan pendap pendapatan atan juga juga makin makin mening meningkat. kat. PKL Taman Taman Bungkul, juga semakin baik dan pendapatan juga semakin meningkat. Masih ada lagi contoh lain, yang membuktikan membuktikan relokasi PKL tidak mematikan mematikan rejeki." rejeki." Kata Bambang, Sabtu (07/04). Bambang berharap para PKL berfikir jernih untuk melihat kepentingan bersama di kota Surabaya dan tidak hanya berfikir tentang kepentingannya send sendir iri. i. Apal Apalag agii kebe kebera rada dan n PKL PKL yang ang tida tidak k tert tertat ataa sang sangat at mengg enggan angg ggu u kepentingan umum. Misalnya menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan arus lalu lintas. "Kita harus berfikir luas, apalagi pemkot juga menghadapi dilema. kalau dibiarkan pemkot dinilai tidak tegas, sementara kalau ditata paksa, kasihan juga merek mereka. a. Saya Saya ini ini hany hanyaa sebag sebagai ai jemb jembata atan n dari dari sekia sekian n bany banyak ak kepe kepent ntin inga gan. n. Kepent Kepenting ingan an masya masyaraka rakatt dan pedaga pedagang. ng. Kita Kita kan tidak tidak mau kota kota Surab Surabay ayaa semrawut." Tambah Bambang DH. Bambang DH yakin semua PKL di Surabaya bisa ditata tanpa mematikan sumber sumber penghidup penghidupan. an. Keberhasilan Keberhasilan penataan PKL yang diklaim diklaim walikota walikota adalah PKL Gunungsari, Karah, Rolak, yang awalnya alot akhirnya berhasil diselesaikan.
47
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Keberhasilah tersebut kata Bambang tak lepas dari kesabaran dan kerja keras semua pihak. Saat Saat dita ditany nyaa tenta tentang ng kapa kapan n PKL PKL Tugu Tugu Pahl Pahlaw awan an akan akan dire direlo loka kasi si ke Kembang Jepun, Bambang DH mengatakan telah menyerahkan sepenuhnya pada Satpol PP Pemkot Surabaya dan Dinas Koperasi untuk membicarakan dengan para PKL. Namun Bammbang DH berharap bulan ini pemindahan bisa dilakukan. Sumber : http://www.surabaya.go.id
•
SURABAYA - Gembar-gembor pemkot untuk merelokasi pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jl Pahlawan per 6 Mei ternyata hanya isapan jempol. Kemarin, para PKL masih tetap beraktivitas seperti biasa. Kesemrawutan pun masih menjadi ciri khas salah satu jalan protokol tersebut. Bataln Batalnya ya reloka relokasi si itu diseba disebabka bkan n belum belum tuntasn tuntasnya ya perenc perencana anaan an yang yang disiapkan disiapkan pemkot. Padahal, beberapa waktu lalu, pemkot pemkot mengklaim mengklaim rencana rencana terse tersebu butt suda sudah h tunt tuntas as dan dan tingg tinggal al dire direal alisa isasik sikan an.. "Sam "Sampa paii saat saat ini, ini, belu belum m ditemukan solusi yang paling tepat. Makanya, relokasi itu ditunda dulu," kata Asisten I Sekkota B.F. Sutadi kepada Jawa Pos kemarin. Solusi yang dimaksud adalah lokasi baru bagi PKL. Pemkot sebenarnya telah menetapkan kawasan Kembang Jepun dan Jl Pasar Turi sampai Jl Tembaan sebagai lahan baru. Namun, hingga kemarin, belum ditemukan yang paling cocok untuk PKL mingguan tersebut. Kawasan Kembang Jepun dinilai cocok untuk merelokasi PKL mingguan karena karena lebar lebar dan bisa bisa menamp menampung ung semua semua pedaga pedagang. ng. Apalag Apalagi, i, setiap setiap Minggu Minggu,, kawasan itu relatif sepi. Masalahnya, Masalahnya, banyak banyak pedagang pedagang yang tidak mau dipindah dipindah karena khawatir tidak ada pembeli. Sebagian warga Kembang Jepun juga menolak rencana tersebut. Berbeda dari Jl Pasar Turi-Jl Tembaan. Kawasan itu tidak terlalu jauh dari lokasi asal, sehingga pedagang masih bisa meraup untung. Tapi, kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung semua PKL. "Makanya, hal itu harus dikaji lagi," ujar Sutadi.
48
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Meski demikian, dia memastikan rencana relokasi tetap dilangsungkan. Soal waktunya, dia belum bisa menentukan. "Yang pasti tetap berjalan. Sebab, itu instruksi langsung wali kota. Beliau hanya minta relokasi tersebut dilakukan hatihati," katanya. (ris/cie) Sumber http://www.jawapos.co.id
Resume Artikel
Masalah PKL adalah masalah nasional yang pada umunya dialami oleh daerah-daerah yang sedang mengalami proyek pembangunan. Dalam menghadapi masalah PKL ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada para pedagang kaki lima ini. Seperti kasus yang terjadi di Kota Surabaya, Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya meminta pengertian pada para Pedagang Kaki Lima (PKL) Tugu Pahlawan dengan melakukan pendekatan persuasif. Menurut walikota Surabaya, relokasi PKL merupakan wujud penataan lingkungan kota agar lebih asri dan indah. Menurut artikel di atas, yang perlu diperhatikan dalam relokasi ini adalah lokasi baru bagi PKL tersebut. Banyak PKL yang tidak mau dipindahkan karena khawatir tempat baru yang diberikan pemerintah Surabaya tidak strategis sehingga mempengaruhi pendapatan mereka. Dan intinya yang dibutuhkan dalam hal ini adalah kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah sendiri maupun para PKL karena dengan adanya kerjasama maka apa yang direncanakan akan berjalan sesuai dengan harapan.
Kesimpulan
Relokasi PKL merupakan wujud penataan lingkungan kota agar lebih asri dan indah. Para PKL pada umumnya menganggap bahwa pemindahan atau relokasi yang dilakukan pemerintah baik (kota maupun pusat) hanya akan membawa dampak yang negatif yakni mereka takut pendapatannya menurun karena sepi pembeli, namun hal itu salah sebagi contoh yang telah dilakukan di Surabaya, Relokasi PKL di Karah menjadi lebih baik dan pendapatan juga makin meningkat. PKL Taman Bungkul, juga semakin baik dan pendapatan juga
49
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw semakin meningkat. Masih ada lagi contoh lain, yang membuktikan relokasi PKL tidak mematikan rejeki. Para PKL berpikir jernih untuk melihat kepentingan bersama di kota, Keberadan PKL yang tidak tertata sangat mengganggu kepentingan umum. Misalnya menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan arus lalu lintas. Pemerintah hanya sebagai jembatan dari sekian banyak kepentingan, Kepentingan masyarakat dan pedagang. Relokasi akan berjalan dengan lancar dengan persiapan perencanaan yang matang, terutama masalah lokasi baru yang kan di gunakan sebagai tempat relokasi, harusa ada kerjasama antara semua pihak yang terkait serta kesabaran dalam mengerjakannya,diantara semuanya juga harus bisa saling mengerti kepentingan masing-masing.
50
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
•
Menata PKL Perlu Penataan Ruang Oleh: Mohammad Agung Ridlo
Fenomena pertumbuhan suatu kota tentu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau urbanisasi (baca: urbanward migration) dari daerah hinterland . Fenomena tersebut juga terjadi di Kota Semarang, di satu sisi merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk ditangani dan di satu sisi merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi pertumbuhannya. Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland menuju daerah pusat kota dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan. Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota dalam hal ini khusus pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan perkembangan suatu kota.
Tata Ruang
Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga dilontarkan oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses pembeli. Ada pro dan kontra dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan warga tolak relokasi PKL (SM , 21 Maret 2005).
51
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan di Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yang menguntungkan bagi semua pihak (pedagang, warga dan Pemkot). Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan warga. Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga mereka yang bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots'' dapat hidup yang layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak. Artinya bahwa kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1. Oleh karenanya
Pemkot dalam
melakukan penataan PKL
perlu
memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai kepentingan semua pihak, nilai estetika, teori demand-supply, teori lokasi, teori sirkulasi ruang, teori ''behaviour '' dan teori psikologi manusia. - Penulis, Ketua Pusat Studi Planologi FT Unissula, mahasiswa S3 Program Doktor Arsitektur dan Perkotaan Undip.
Resume Artikel
PKL adalah salah satu pedagang informal yang tidak memiliki badan usaha atau tempat berdagang yang tetap. Munculnya pedagan informal dalam hal ini PKL dapat mengidentifikasi pertumbuhan serta perkembangan suatu kota. Contoh kasus;
Di Kota Semarang masalah PKL semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya penduduk di kota tersebut akibat pengaruh migrasi. Banyak penanganan yang telah dilakukan pemerintah setempat terkait maslah PKL ini yaitu :
52
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 1. Diadakannya relokasi pedagang tetapi tidak berjalan lancer karena adanya perlawanan dari pedagang itu sendiri. 2. Pembatasan pertumbuhan penduduk tetapi menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan. Ketidakberhasilan upaya yang dilakukan pemerintah karena kurangnya pemahaman PEMKOT mengenai karakteristik PKL itu sendiri, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Menurut artikel di atas, tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah setempat yaitu : 1. Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah. 2. Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. 3. Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Kepentingan semua pihak Nilai estetika
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
Kesimpulan Artikel
Masalah PKL pasti selalu menyangkut tentang sistem penataan ruang suatu kota. Di satu sisi pemrintah memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakatnya termasuk PKL, tetapi di sisi lain pemerintah juga berkewajiban untuk menata daerahnya yang menyangkut masalah kebersihan dan kenyamanan. Memang dalam menentukan suatu keputusan (dalam hal ini PKL) pemerintah harus berpikir cermat agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.
53
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
•
Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota DI SURABAYA Menyambut Hari Jadi Ke-710 Kota Surabaya. Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota
Penertiban dan penataan pedagang kaki lima (PKL) kembali dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, khususnya PKL Bungurasih, pada tanggal 22 Mei 2003. Sebelumnya, penertiban PKL dilakukan di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Hal itu dilakukan untuk menata kembali keberadaan PKL agar tidak merugikan masyarakat dan konsumen. Problematika PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota (pemkot) dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa di Surabaya tidak bisa "bersih" dari isu PKL. Persoalan PKL merupakan persoalan struktural yang kait-mengait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan PKL yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih rumit. Pedagang kaki lima (PKL), bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO), reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka, terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini. Menariknya, realitas kaum pinggiran di kota-kota besar ini mengalami situasi yang sama, yakni penertiban. Di Surabaya, bulan Februari 2002, misalnya, langkah penertiban dilakukan Pemkot Surabaya terhadap ratusan bangunan permanen, semipermanen, dan bangunan sementara dengan melakukan penggusuran tanpa ganti rugi. Saat itu sempat terjadi kericuhan karena adanya warga yang menentang penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan dan jatuh korban, semakin mengukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan artefak kota yang saat ini mengalami "pembusukan" (tidak diakui). Memang,
54
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemkot membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemkot Surabaya lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata PKL. Karena itu, kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini-dalam konteks kemiskinan yang ada di tiap kota-menjadi kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak. Merebaknya kaum pinggiran di perkotaan memang memperburuk wajah kota. Namun, kaum pinggiran bukan satu-satunya the trouble maker. Persoalan sebenarnya adalah tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan (sustainable policy). Seharusnya pemkot menyediakan peraturan daerah (perda) dalam mengatur, menata, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran. Ini penting karena kaum pinggiran juga merupakan aset daerah yang memberi pemasukan pada pemkot. Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya
tidak
menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran. Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan. Dalam strategy planning akan memunculkan pola dan karakter persoalan di perkotaan yang fundamental (the rooted problem of urban). Maka, strategy planning dalam membangun tata kota seharusnya merupakan langkah pertama dalam melihat dan menyelesaikan masalah PKL ini. PKL yang menjadi fenomena perkotaan merupakan persoalan yang "dimunculkan" oleh persoalan lain yang lebih besar, yakni kemiskinan. PKL hanya merupakan ekses dari kemiskinan kronis di perkotaan, yang justru
55
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw merupakan upaya survive (bertahan) warga kota dari cengkeraman kemiskinan tersebut. Menurut JAMES PETRAS, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global. Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya menyedot
pasar
yang
dimiliki
oleh
pedagang
lokal.
Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran. Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini mengakibatkan
ekonomi
masyarakat
kota
linier
dan
stabil.
Selain itu, seperti kritik KARL MARX, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru perkotaan. Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah). Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi konsekuensi logisnya.
56
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Dalam kaitan itu, fenomena PKL harus dilihat sebagai akibat dari kejahatan sistem yang menelurkan kemiskinan yang kronis dan struktural. Efek dari
kemiskinan
ini
akan
memupuk
etika
machiavelis
dalam
upaya
mempertahankan hidup dengan berbagai cara sehingga dalam kultur kemiskinan ini, frekuensi kekerasan akan meningkat. Hal ini terbukti di Solo, Semarang, Yogyakarta, dan kota lain yang beberapa waktu lalu sempat memunculkan keresahan
dan
kekerasan
akibat
dari
persoalan
PKL
tersebut.
Lemahnya pemkot dalam strategi penanganan ini (tidak memiliki strategy planning), mengakibatkan usaha yang diambil sebatas karitatif, bukan persoalan fundamental yang menyelimuti fenomena PKL. Penertiban PKL ini hanya sebatas menyelesaikan persoalan pucuk gunung es yang tampak. Situasi perekonomian kita yang berantakan, di mana pertumbuhan ekonomi masih rendah sedangkan pengangguran bertambah, tindakan penataan kaum pinggiran yang dalam realitasnya adalah penggusuran dan penghilangan peluang usaha, justru mendekatkan pada krisis baru. Oleh karena itu, dalam menata PKL, mau tidak mau, Pemkot Surabaya harus membuat strategy planning yang komperehensif dan berkelanjutan serta berbasis keadilan. Persoalan PKL bukan semata persoalan sosial biasa, melainkan menyangkut struktur yang tidak adil. Karena itu, solusinya bukan kebijakan karitatif semata. Selain itu, Pemkot Surabaya harus mengganti paradigma penataan kaum pinggiran dari penguasaan kepada pengaturan yang berbasis kesejahteraan dan keadilan. Tanpa melihat konteksnya, problematika PKL akan menjadi bumerang bagi pembangunan Kota Surabaya ke depan. Pertanyaannya sekarang, kapan Pemkot Surabaya mengubah paradigma dalam penataan PKL tersebut? Atau jangan-jangan Pemkot Surabaya justru "menikmati" langkah penertiban PKL. Sementara warganya banyak yang kehilangan peluang kerja? Oleh : EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan aktivis LSM di Jawa Timur. Sumber :
Resume Artikel
57
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Masalah PKL adalah masalah structural yang berkaitan dengan masalah lainnya. Penanganan masalah PKL secara parsial akan menimbulkan masalah baru yang jauh lebih sulit. Memang masalah PKL merupakan masalah yang dilematis. Di satu sisi pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan di sisi lain bertanggung jawab atas tata ruang kota yang menyangkut keindahan dan kebersihan. Inilah yang terjadi pada PEMKOT Surabaya dimana PEMKOT setempat memilih nomor dua yaitu mewujudkan tata ruang kota yang bersih dan sehat. Maka konsekuensi yang diambil terkait pilihan tersebut yaitu penertiban dan penataan PKL. Karena itu kebijakan tersebut terkesan sepihak dan kontraproduktif dimana masalah PKL bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi pentaan Kota Surabaya. Masalah yang dihadapi sebenarnya yaitu tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan (sustainable policy). Tindakan yang seharusnya dilakukan PEMKOT seperti yang terdapat di artikel yaitu : a) Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT b) Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran. Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan.
Kesimpulan Artikel
Perencanaan relokasi PKL ternyata membawa banyak problema. Di satu sisi pemberdayaan masyarakat adalah yang menjadi prioritas, tetapi di sisi lain masalah lain yang mendukung pemberdayaan tersebut juga tidak bisa dikesampingkan. Pada umumnya masalah yang terkait erat dengan masalah PKL yaitu penataan ruang kota. Pemerintah merasa perlu menata PKL padahal jika dilihat PKL sedikit tidak memberi kontribusi bagi pendapatan daerah. Untuk
58
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw itulah pemerintah harus memikirkan kebijakan yang akan diberikan pada para PKL agar tidak merugikan banyak pihak.
•
Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian
Sektor Informal (1)
Sampai saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai pengertian sektor informal. Hal ini tidak mengherankan karena istilah sektor informal sendiri baru mulai diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris ketika melakukan penelitian tentang unit-unit usaha berskala kecil di Ghana. Kebanyakan orang bahkan belum terlalu mengetahui apa itu sektor informal. Suatu definisi sederhana mengenai sektor informal dalam Varia Statistik, 2001 mengartikannya
sebagai
suatu
pola
pencarian
nafkah
"seadanya"
demi
mempertahankan hidup. Berdasarkan data pada Kaltim dalam angka tahun 2000, pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim tahun 2000 sebanyak 24.488 orang, jumlah ini belum termasuk mereka yang tidak mendaftarkan diri, padahal kesempatan kerja yang tersedia hanya ada untuk 13.085 orang saja. Diantara para pencari kerja tersebut, ada yang merupakan migran yang berasal dari luar daerah.Pertumbuhan suatu daerah yang pesat merupakan faktor penarik bagi migran dari daerah asalnya. Menurut Mazumdar (1976) dalam Saleh (1995), mobilitas angkatan kerja di sektor informal adalah relatif tinggi, sehingga sektor ini dapat bertindak sebagai suatu kekuatan penyangga antara kesempatan kerja dan pengangguran. Timbulnya sektof informal sebagai
sumber kesempatan kerja dengan pertumbuhan
kesempatan kerja terutama pekerjaan disektor formal. Salah satu bentuk kegiatan sektor informal adalah usaha kaki lima. Menurut BPS, usaha kaki lima adalah suatu usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa, dan industri), yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan di dalam usahanya mempergunakan bagian
59
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw jalan/trotoar untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha serta tempat lain yang bukan miliknya kecuali pada lokasi resmi. Sektor usaha kaki lima menurut konsep dalam BPS (2001) dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu : 1. Sektor perdagangan dan rumah makan 2. Sektor jasa-jasa 3. Sektor persewaan dan jasa perusahaan Usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan di sektor informal cenderung dipilih karena tidak menuntut persyararan pendidikan yang tinggi dan tidak membutuhkan keahlian tertentu. Selain itu ijin dari instansi atau asosiasi tertentu tidak diperlukan untuk membuka usaha kaki lima. Hanya sedikit modal dan tempat strategis yang diperlukan untuk memulai dan mengembangkan usaha kaki lima tersebut (BPS, 2001). Keberadaan sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima menurut Saleh (1995) ternyata selain berdampak positif juga mempunyai dampak negatif. Dampak positifnya yakni ; 1. Sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima mudah dimasuki oleh siapa saja terutama oleh pencari kerja yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian khusus, maka sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. 2. Sektor ini biasanya menjual/melayani barang-barang konsumsi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sedangkan dampak negatifnya yakni karena keberadaan lokasi usaha pedagang kaki lima yang tidak teratur seringkali menyebabkan kemacetan lalu lintas atau dapat mengurangi keindahan kota. Keberadaan para pedagang kaki lima seringkali menjadi masalah bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait, karena di satu sisi lokasi usaha mereka yang cenderung merupakan public area menimbulkan berbagai masalah, namun di sisi lain pemerintah berkewajiban melindungi mereka dalam berusaha karena setiap warga negara berhak memperoleh kehidupan yang layak. Mereka harus tetap berdagang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya
timbul
berbagai permasalahan seperti
kemacetan
lalu lintas,
60
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw kebersihan, keindahan kota, dan kesehatan lingkungan (Simanjuntak, 1986 dalam BPS 2001). Selain itu juga akan mengganggu fasilitas sosial, fasilitas umum atau aset negara lainnya bila tidak dilakukan pembenahan dan pembinaan secara terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur perkembangan dan pertumbuhannya. Beberapa permasalahan mengenai pedagang kaki lima yang sempat dikupas oleh harian ini beberapa waktu yang lalu pasti masih kita ingat. Sebut saja pembongkaran rombong (gerobak dorong,red) milik sejumlah pedagang kaki lima demi penertiban dan keindahan kota. Ini membuktikan kurang adanya "kerjasama" yang baik antara pedagang kaki lima tersebut dengan aparat pemerintah. Sangat disayangkan memang. Untuk pedagang kaki lima yang hanya bermodal pas-pasan, rombong itu merupakan sesuatu yang sangat berarti. Kalau saja mau dicermati secara lebih dalam dan kalau sosialisasi mengenai hal tersebut sudah sangat jelas atau kalau saja para pedagang kaki lima juga mau bekerja sama dengan aparat pemerintah mungkin hal seperti itu tidak akan terjadi. Masalah ini memang telah berlalu, namun bukan tidak mungkin bila suatu saat masalah ini akan terjadi lagi. Tidak ada yang harus disalahkan dalam hal ini, semua dengan argumennya masing-masing akan berupaya untuk mencari pembenaran-pembenaran itu. Upaya pemerintah yang terkesan keras dalam menghadapi pedagang kaki lima yang membandel tidak bisa disalahkan seratus persen karena itu adalah suatu bentuk upaya penertiban sebab jika dibiarkan terus akan menyebabkan semakin bertambahnya masalah. Sementara sikap pedagang kaki lima untuk mempertahankan lokasi usahanya mungkin karena sudah mempunyai banyak pelanggan di tempat tersebut. Sekarang tinggal bagaimana kerjasama yang baik diantara kedua belah pihak sambil berusaha menumbuhkan saling pengertian yang mendalam. (bersambung) Theresia Parwati Staf BPS Kota Bontang
Resume
Sampai saat ini definisi mengenai sektor informal masih mengundang tanda tanya. Oleh karena adanya hal tersebut, keberadaannya pun dianggap sesuatu yang mengundang masalah. Pada kenyataannya sekotor informal
61
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw merupakan sumber kesempatan kerja yang juga merupakan kekuatan penyangga antara kesempatan kerja dengan pengangguran. Salah satu bukti nyata adanya sektor informal yang merupakan kekuatan penyagga tersebut yakni dengan menjamurnya usaha-usaha kaki lima. Usaha kaki lima dipilih sebagian masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah sebagai sumber mata pencaharian karena tidak menuntut syarat pendidikan dan keahlian tertentu, namun keberadaannya mengundang masalah
bagi pemerintah dalam mengambil
kebijakan-kebijakan
terkait.
Pemerintah harus menjaga dan melindungi PKL-PKL tersebut karena mereka pun berhak atas penghidupan yang layak, namun di lain pihak keberadaan mereka di dalam public area menimbulkan masalah seperti kemacetan, rendahnya kesehatan lingkungan, kebersihan, dan keindahan kota. Dalam ‘menertibkannya’, sering kali pemerintah harus menggunakan cara yang keras. Hal tersebut menandakan tidak adanya kerja sama antara pihak pemerintah dengan pedagang kaki lima, begitu pun sebaliknya. Diantara kedua belah pihak ini harus ada pengertian yang mendalam, pemerintah yang terus menggunakan cara keras untuk menertibkan PKL namun PKL yang sudah mempunyai banyak pelanggan di kawasan tersebut tetap mempertahankan keberadaannya.
62
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
•
"Katanye" Kota Kaki Lima KOTA Jakarta mungkin memang kota kaki lima, tetapi kota yang kaki limanya sudah jarang tampak lagi. Sebab di mana ada kaki lima, di situ pedagang kaki lima sudah menguasainya. Maka dari itu, kaki lima, yang juga kita kenal dengan istilah yang berasal dari bahasa Perancis trotoir (baca: trotoar), yang artinya tempat pejalan kaki, sudah tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya. Dari mana sebenarnya asal-usul kata kaki lima? Belum ada yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti. Ada yang memperkirakan, kaki lima itu ada hubungannya dengan dua kaki si abang tukang jualan, dua roda gerobaknya, dan kaki kelimanya adalah cagak yang dipasang si abang kalau lagi mangkal, untuk memastikan beban gerobak tertopang seimbang, dan gerobaknya tidak lari menggelinding. Akan tetapi kemungkinan besar istilah itu datang dari perencanaan kota akhir abad silam hingga permulaan abad ini. Bangunan rumah toko yang berbatasan langsung dengan jalan (GSB/garis sepadan bangunan), di kawasan perdagangan tengah kota biasanya merupakan bangunan bertingkat dua atau lebih. Rupanya dulu, bagian depan dari tingkat dasar rumah toko itu, serambi yang lebarnya sekitar lima kaki, wajib dijadikan suatu lajur di mana pejalan kaki dapat melintas. Lajur ini kemudian dikenal sebagai kaki lima, dari lebarnya yang lima kaki itu. Pedagang yang memanfaatkan lajur itu, kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima. Di Jalan Malioboro di Yogyakarta, hingga kini, kita dapat temui contoh kaki lima yang khas, lengkap dengan pedagangnya. Kini di sebagian besar kota-kota modern di Indonesia, lajur trotoar untuk pejalan kaki tinggal sekitar tiga kaki, itu pun kalau ada. Dan jika ada, biasanya lajur itu sudah dikuasai pedagang kaki lima (apa kini kita harus sebut mereka pedagang kaki tiga?), sehingga pejalan kaki terpaksa harus turun dari trotoar dan berjalan di pinggir jalan.
63
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Bagaimana jika kaki lima di Indonesia diperlebar seperti Orchard Road di Singapura? Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah, yang akan terjadi adalah seluruh lebar tempat pejalan kaki itu akan dimanfaatkan pedagang kaki lima. Ini terjadi di emperan pasar-pasar. Di Pasar Tanahabang misalnya, pedagang kaki lima malah merambah ke jalan raya! Semrawutnya pedagang kaki lima membuat suasana kota sama sekali tidak nyaman dan berpotensi kurang aman. Padahal, jika tertata baik, pedagang kaki lima sering kali membuat suasana kota menjadi menarik. Di sekitar Masjid Sunan Ampel di Surabaya, pedagang kaki lima menawarkan minyak zaitun, buah kurma dan dagangan lain khas Timur Tengah yang membuat kita seakan berada di Mesir atau Arab Saudi. Juga setiap perayaan sekaten di Alun-alun Yogyakarta atau Surakarta, pedagang kaki lima menggelar dagangan mainan dan makanan kegemaran anakanak. Entah mengapa pedagang kaki lima yang sudah menjadi tradisi di kawasan tersebut tadi, tampak lebih teratur dan karena itu juga lebih menarik. Tidaklah mengherankan jika ternyata semrawutnya pedagang kaki lima, berhubungan dengan kebijakan Pemda yang lebih cenderung memperhatikan malmal perbelanjaan ketimbang kebutuhan pedagang kecil. Di kota seperti Solo, beberapa pasar tradisional dikembangkan menjadi mal perbelanjaan, sehingga pedagang tradisionalnya tergusur. Pindah ke tempat lain belum tentu mampu bayar sewa, pedagang yang tergusur itu memilih untuk menjadi pedagang kaki lima saja. Pemda perlu menyediakan tempat yang layak bagi pedagang kaki lima untuk dapat menjalankan usaha mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar pasar tradisional perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Mungkin, kaki lima sekatenan di Yogya, kaki lima Pasar Ikan, dan kaki lima di sekitar Masjid Sunan Ampel, bisa dipelajari dan menjadi acuan untuk kaki-kaki lima di Jakarta. Sepertinya, kaki-kaki lima yang paling berhasil adalah yang rapi, tertata, bersih dan punya ciri khas yang kontekstual. Sekalian saja kaki lima dikembangkan untuk mendukung pariwisata. Pan katanye Jakarta kote kaki
64
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw lima. (Amir Sidharta, pemerhati arsitektur dan kurator Museum Universitas Pelita Harapan. (Kompas 02-08-2000)
Resume
Ada banyak versi yang menceritakan mengenai asal usul pedagang kaki lima (PKL). Entah yang mana yang benar, tapi yang pasti tentu ada alasan yang mendasari sejarah itu. PKL sering menjadi masalah yang serius hampir seluruh kota di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Banyak trotoir yang disalahgunakan penggunaannya untuk menjajakan dagangan para PKL tersebut. Hal ini akan mengurangi rasa aman dan nyaman para pejalan kaki mengingat trotoir adalah fasilitas khusus yang digunakan untuk para pejalan kaki, bukannya para PKL. Namun apabila dapat diatur dengan baik, seringkali PKL membuat suasana kota menjadi semakin menarik dan dapat menarik minat wisatawan.
Kesimpulan
Dari sedikit penjelasan di atas, maka dapat disimpilkan bahwa kota Jakarta dapat mengelola keberadaan para pedagang kaki lima dengan cara menyediakan tempat yang layak bagi para pedagang kaki lima untuk dapat menjalankan usaha mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar-pasar tradisional perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Hal ini tentunya perlu mendapat dukungan dari semua pihak agar harapan kota Jakarta untuk menjadikan PKL sebagai salah satu objek wisata dapat terlaksana.
65
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
•
PKL MENGGANGGU DAN MEMEPERINDAH KOTA Nawa Tunggal Keberadaan para pedagang Kaki Lima (PKL) atau yang melanggar
Peraturan Daerah (Perda) dipandang telah mengganggu tata ruang kota dan masyarakat banyak. Tetapi sekecil apapun peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran pemerintah
yang tidak mampu membuat peraturan
publik yang saling
menguntungkan. PKL yang ada dapat mengganggu citra kota, tetapi dapat pula memperindah citra kota. Seorang peneliti PKL Kota Malang, Bambang Nursetyo mengatakan birokrat mengambil yang mengambil keputusan tentang PKL tidak dapat mengambil kebijakan publik yang saling menguntungkan, bahkan masih berbudaya lama. Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih sering tak terbantahkan. Tidak pernah ada birokrat pemerintah yang menar-benar mau terjun langsung dan menyelami kehidupan para PKL. Ini menjadikan sedikit sekali harapan kehidupan PKL di sekitar sektor informal dapat terdukung dan memperindah citra kota. Tetapi yang sering terjadi adalah penertiban PKL sebagai penghalusan bahasa dari pengusiran mereka. Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau bertameng demi kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga konflik namanya. Ini tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk memecahkan masalah secara lebih beradab. Ketiadaan
kreativitas
kompromistis birokrat tentu bersumber dari
keengganan mereka untuk terjun langsung dalam kehidupan PKL. Menurut
66
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Bambang- ia meneliti PKL di Alun-alun Kota Malang- jumlah PKL di sana mencapai 1.700an orang dan saat ini mereka mau berbicara dengan pemerintah untuk memecahkan masalah bersama. Tetapi maukah para birokrat mencari pemecahan bersama yang saling menguntungksn dengan bicara dan mendatangi para PKL tersebut? Bagi Bambang pilihan jalan hidup menjadi PKL adalah ra sional. Para PKL adalah tenaga kerja sosial yang tertolak di sektor formal. Ada yang menempuh itu karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetapi sebagian adalah karena rendahnya kualitas hidup mereka yang tak sempat mengenyam pendidikan yang memadai. Setidaknya dengan pendidikan tinggi para PKL akan membuka peluang mendapat pekerjaan lainnya. Walaupun saat ini kita sedang dihadapkan pada masalah krisis moneter dan pengangguran. Data penelitian Bambang menyebutkan bahwa saat ini terdapat 18% PKL yang tidak lulus SD, 42% lulus SD namun tidak tamat SLTP. Sebanyak 23% lulus SLTP dan yang lulus SLTA tercatat sebanyak 17%. Tidak ada yang lulus perguruan tinggi. Data ini didapat dari wawancara secara acara acak terhadap 100 PKL di Alun-alun Kota Malang. Lahan di Alun-alun Malang yang ditemoati PKL meliputi 34,2 % di badan jalan, 41% di trotoar, 14.5% terletak di keduanya, badan jalan dan trotoar. Selebihnya 11.3% berdagang di halaman kantor-kantor dan permukiman penduduk. Luas areal mangkal PKL diperkirakan sebanyak 36.7% yang memakai areal seluas 0,5-1 meter persegidan 33% memakai 2-2,2 meter persegi. Tingkat keramaian penjualan meliputi hari Minggu (44%), Sabtu(32%), liburan sekolah (21.37%) selebihnya (2%) pada hari kerja (Senin-Jumat).Tingkat pendapatan PKL terdapat disparitas atau perbedaan nilai yang jauh yaitu antara Rp 70.000,00 – Rp 500.000,00 per minggu. Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law
67
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw enforcement atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan sehingga sulit untuk dipindahkan. Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula. Sedang penataan PKL ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Penataan dapat diterapkan dengan penetapan jadwal waktu berjualan disesuaikan dengan waktu pembelian terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga diikuti seni arsitektural, fasilitas permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.
Sumber| Malang Pos, 21 Juni 2005
Resume
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan masalah. Tapi, peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran pemerintah yang tidak mampu membuat peraturan publik yang saling menguntungkan. Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih sering tak terbantahkan. Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau bertameng demi kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga konflik namanya.
Ini tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk
memecahkan masalah secara lebih beradab. Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law
68
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw enforcement atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan sehingga sulit untuk dipindahkan. Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula. Sedang penataan PKL ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Penataan dapat diterapkan dengan penetapan jadwal waktu berjualan disesuaikan dengan waktu pembelian terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga diikuti seni arsitektural, fasilitas permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.
Kesimpulan
Dari artikel di atas, dapat disimpulkan bahwa Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan masalah. Namun, peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat. Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi yaitu penempatan PKL di suatu gedung yang memadai dan penataan PKL di tempat yang lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat yang disesuaikan dengan seni arsitektural, fasilitas permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat. .
•
Pasar Keputran K
umat Lagi
MELUBER, ditertibkan, meluber lagi, ditertibkan lagi. Itulah yang terjadi
di Pasar Keputran. Setelah sempat "dibersihkan "polisi pada 2004 akibat meluber
69
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw di badan jalan, Satlantas Polwiltabes Surabaya melakukan penertiban lagi. Ini setelah polisi menilai para pedagang di Pasar Keputran kembali mokong dan mulai memakan badan jalan padat itu. "Kendati belum terlalu parah, indikasinya ke arah sana. Kalau tidak ditertibkan mulai sekarang, bisa jadi parah," ujar Kasatlantas Polwiltabes Surabaya AKBP Moh. Iqbal kemarin. Salah satu yang mencolok dari melubernya pasar di jantung kota Surabaya itu adalah mulai dipakainya sebagian badan Jalan Embong Sonokembang, serta adanya parkir liar di seberang jalan gedung Indosat. "Itu tidak bisa dibiarkan. Jalan bisa tertutup untuk kegiatan pasar. Padahal, itu jalan umum, " tandas perwira dengan dua mawar di pundak itu. Mengenai masalah parkir, Iqbal bahkan 'menegaskan bahwa ke depan tidak boleh lagi ada parkir di tempat tersebut. "Wong sudah jelas-jelas ada rambu dilarang parkir di tempat itu, kok malah dijadikan tempat parkir," ujarnya. Tiga Kelompok PKL dipindah ke Genteng
Untuk itu, sejak Selasa (15/5) malam lalu, polisi mulai mela kukan penertiban. Barikade ber tuliskan "Batas PKL" kemballtempatkan. di Di sisi utara Keputran, barikade ditempatkan di mulut gang Keputran (dekat pintu masuk H otel Brantas). Sedangkan sisi barat diletakkan persis di gang sebelah Wisma Dh armala. Iqbal mengaku telah memanggil dua koordinator PKL Keputran. "Kami minta mereka bertang g ungjawab untuk membatasi layah wi dagangnya. Jangan sampai memakan badan jalan lagi," ucap mantan Koordinator Sekretaris Pribadi Kapolda Jatim itu. Untuk menjaga ketertiban, Iqbal telah menempatkan delapansonel per di lingkungan Pasar Ke putran. Em pat orang berja ga di barikade 'BatasP KL ', sedangkan empat lainnya berkeliling. Dela pan per sonel inidi-back up lagi sekitar satu peleton personel. "Namun, ini sifatnyaon call," papar lulu san A kpol 1991 tersebut.
Bikin Sparkling Genteng
Sementara
itu,
pemkot
terus
menggencarkan
program
penataan
dan
pemberdayaa n PK L. Setelah menata PK L taman bungkul dan karah, dinas koperasi dan sektor informal, bakal menggarap kawasan jalan G enteng Besar menjadi sentra makanan
70
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw khas Surabaya. Konsep yang bakal dipopulerkan dengan istilah ’Sparkling Genteng” ini meniru Kya-Kya Kembang Jepun. Kadis Koperasi dan sektor informal Ismanu menjelaskan, saat ini pihaknya sedang mendata para pedagang yang bakal masuk ke Jalan Genteng Besar. M enurut dia, pedagang yang bakal direlokasi itu berasal dari tiga jalur sek itar balai kota. Yakni jalan Simpang Dukuh, jalanW ali Kota Mustajab, dan jalan Yos Sudarso. "Kita sediakan 100 stan untuk menjadikan Jl Genteng Besar sebagai pusat makanan khas Surabaya," terangnya. Makanan-makanan khas Surabaya itu di antaranya adalah semanggi suroboyo, lontong balap, sate kelapa, dan sate karak. Total ada sekitar 35 jenis makanan khas Surabaya. Mantan Kadis Kebersihan ini menjelaskan, program ini memi 1iki beberapa tujuan. Selain me nata PKL, juga melestarikan ma kanan khas Surabaya yang kian langka. "Kita ingin menjadikan kawasan Genteng sebagai salah satu ikon Surabaya, selain - Kya Kya Kembang Jepun," terangnya. Pemkot, katanya, tidak akan rnen~izinkan pedagang baru menghuni Jl Genteng Besar. "Jadi, program ini murni untuk pedagang lama di tiga jalan itu. Pemkot tidak akan menciptakan PKL-PKL baru," tuturnya. Para PKL ca1on penghuni Jl Genteng Besar harns diusulkan oleh camat Genteng. Lalu, usulan camat akan dievaluasi lagi oleh Dinas Koperasi. "Kita akan pantau lagi ke lapangan, " terangnya. Setelah program relokasi selesai, ketiga jalan itu tidak boleh lagi ditempati PKL. Dinas Koperasi akan bekerja sama dengan Satpol PP untuk mengamankan ketiga jalan itu. "Jangan sampai lokasi yang lama diternpati PKL barn," terangnya. Lebih lanjut Ismanu menjelaskan, para PKL yang dire1okasi ke Jl Genteng Besar tidak dikenai pu n gutan apa pun. Sebaliknya, pern kot akan memberikan pinjaman rupa be modal bergulir, masing-masing PKL mendapat Rp 2 juta. "Tapi, pinjaman itu tidak akan diberikan langsung ke individu," katanya. Para PKL harus berhimpun dan membentuk paguyuban terlebih hulu. da "Nanti, ketua paguyuban yang bertanggungjawab tentangngembalian pe pinjaman modal itu. " Pengembalian pinjaman berbu nga 5 persen setahun itu relatif ringan. Para PKL bam diwajibkan membayar cicilan setelah lima bulan berjualan. "Kamiharap ber PKL
71
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw bisa membentuk ko perasi untuk meningkatkan pem bin aan dan kesejahteraan ang gota," katanya. (anok/onik)
Sumber : Harian Metropolis tanggal 17 Mei 2007
Resume
Sudah seringkali operasi penertiban PKL telah dilakukan di Pasar Keputran Surabaya, tetapi banyak PKL nakal yang kemudian membuka kembali usaha mereka di tempat yang sama sehingga menimbulkan banyak kegiatan illegal seperti parkir liar hingga memakan badan jalan yang merupakan jalan umum. Untuk menjaga ketertiban, telah ditempatkan delapan personel di lingkungan Pasar Keputran. Empat orang berjaga di Berikade “batas PKL” sedangkan empat lainnya berkeliling. Delapan personel ini di back-up lagi sekitar satu peleton personel yang sifatnya on call. Sementara itu, pemkot terus menggencarkan program penataan dan pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL Taman Bungkul dan Karah, dinas koperasi dan sektor informal bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar menjadi sentra makanan khas Surabaya.
Kesimpulan
Dari artikel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penertiban PKL tidak akan berjalan dengan lancar bila tidak didukung dengan kesadaran dari para PKL itu
sendiri. Pemkot juga terus
menggencarkan
program
penataan dan
pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL Taman Bungkul dan Karah, dinas koperasi dan sektor informal bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar menjadi sentra makanan khas Surabaya.
72
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB IV 4.1
Keterkaitan Keberadaan PKL di Sekitar Tugu Pahlawan Dengan Konsep Tata Ruang Kota.
Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark \. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang. Tugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Monumen ini berada di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10 November dimana pada tahun 1945 banyak pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan. Sampai saat ini, masih banyak PKL yang berdagang di sekitar Monumen Tugu Pahlawan. Keberadaan para PKL ini sangat bertentangan dengan konsep tata ruang suatu kota dimana dalam kawasan tertentu yang berkenaan dengan kegiatan pendidikan, sejarah, dan sejenisnya tidak boleh ada kegiatan ekonomi yang dimonopoli oleh perdagangan informal seperti kegiatan PKL. Terlebih lagi, Monumen Tugu Pahlawan adalah icon Kota Surabaya yang merupakan saksi bisu tonggak sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai sejarah bangsa yang melekat padanya hendaknya tidak dinodai dengan adanya citra buruk yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL. Dengan adanya PKL disekitar Tugu Pahlawan, maka akan mempengaruhi tata ruang kota dimana oleh pemerintah setempat telah diatur sedemikian rupa agar menciptakan suasana indah dan nyaman.
73
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 4.2
Kebijakan Pemerintah Kota Terkait dengan Masalah PKL di Kawasan Tugu Pahlawan Surabaya
Melihat permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan guna menangani masalah tersebut. Diantaranya yaitu memindahkan para PKL ke tempat lain yang memang merupakan areal perdagangan seperti pasar. Daerah yang menjadi rekomendasi pemerintah tersebut adalah 1.
Kawasan Kembang Jepun yang dinilai cocok untuk
merelokasi PKL mingguan karena lebar dan bisa menampung semua pedagang.
Apalagi,
setiap
Minggu,
kawasan
itu
relatif
sepi.
Masalahnya, banyak pedagang yang tidak mau dipindah karena khawatir tidak ada pembeli. Sebagian warga Kembang Jepun juga menolak rencana tersebut. 2.
Berbeda dari Jl Pasar Turi-Jl Tembaan. Kawasan itu tidak
terlalu jauh dari lokasi asal, sehingga pedagang masih bisa meraup untung. Tapi, kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung semua PKL. Kebijakan tersebut dibuat dengan melihat kondisi lapangan sehingga dianggap tidak akan merugikan pihak manapun. Namun memang pada dasarnya banyak alasan yang dikemukakan oleh para PKL agar tidak dipindahkan ke lokasi yang baru,. Padahal seharusnya semua pihak yang terkait masalah ini berpikir postif tentang kepentingan publik dan tidak mementingkan diri sendiri.
4.3
Menentukan Masalah
Adapun metode analisis keputusan yang
dapat
digunakan untuk
menggambarkan masalah ini dapat dilihat dari bagan-bagan di bawah ini :
74
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
75
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
76
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Berdasarkan bagan di atas, maka didapat 2 konsekuensi terbaik, yaitu : Konsekuensi Terbaik Pertama PKL menerima adanya relokasi sehingga mereka bertanggung jawab untuk memenuhi segala peraturan seperti membayar retribusi maupun biaya awal yang dibutuhkan untuk membangun lokasi yang baru. Konsekuensi Terbaik Kedua PKL tidak melakukan relokasi dengan pemberlakuan syarat-syarat tertentu sehingga dibutuhkan konsekuensi, yaitu dengan melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan oleh Dewan atau Pemerintah.
4.4
Kenyataan Bahwa Kebijakan Tersebut Masih Belum Berhasil
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Surabaya tidaklah berjalan sesuai dengan keinginan. Banyak kendala yang dihadapi seperti penolakan para PKL tersebut untuk pindah ke lokasi yang telah disediakan. Oleh para PKL, kebijakan tersebut dianggap merugikan mereka karena lokasi tempat berdagang yang baru tidaklah srategis sehingga mempengaruhi pendapatan harian mereka. Misalnya saja lokasi Kembang Jepun yang direkomendasikan oleh pemrintah untuk tempat berdagang bagi para PKL. Mereka menganggap bahwa lokasi tersebut akan mengurangi pendapatan karena tidak banyak dikunjungi oleh pengunjung. Lokasi kedua yaitu Pasar Turi dan Tembaan dimana para PKL beralasan bahwa kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung seluruh PKL. Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program kebijakan yaitu lemahnya proses pelaksanaan program tersebut yang terletak pada lemahnya dasar hukum, kurang efektifnya proses sosialisasi peraturan, ketidak terpaduan
proses
partiripasi,
semunya
proses
pemberdayaan
PKL
dan
inkonsistensi dalam penegakan hukum.
77
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Ditambah lagi adanya
ketidakpastian sikap pengambil keputusan.
Ketidakpastian tersebut mengakibatkan terjadinya : (1) ketidakterpaduan dan inefisiensi peran dalam menangani PKL. (2) konsolidasi internal dan eksternal dalam tubuh komunitas PKL untuk memperoleh legalitas
dalam memanfaatkan ruang publik yang semakin
memperkuat mekanisme institusi informal dalam arena kegiatan PKL Permasalahan serupa juga pernah dialami ketika menangani masalah PKL di Gunungsari, Karah, Rolak, yang awalnya alot dan pada akhirnya berhasil diselesaikan. Keberhasilan tersebut tak lepas dari kesabaran dan kerja keras semua pihak.
4.5
Kebijakan yang Tepat Untuk Mengatasi Masalah Tersebut
Ketidakberhasilan yang dialami pemerintah Kota Surabaya dalam menangani kasus PKL perlu dijadikan suatu pelajaran jika mengahadapi kasus serupa di masa yang akan datang. Dalam memutuskan suatu kebijakan, banyak aspek yang harus diperhatikan baik aspek fisik, peluang ekonomi, serta kelancaran administrative terkait pemberlakuan izin berdagang yang selama ini menjadi akar maslah sehingga PKL merajalela dimana-mana. Kebijakan yang sesuai terkait masalah ini akan lebih banyak dipaparkan pada bab-bab selanjutnya.
78
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB
V 5.1
Kriteria Penentuan Secara Teoritis
Penentuan kriteria penilaian dalam rangka memperoleh alat pengukuran yang dapat dikuantitatifkan dapat berguna dalam memperbandingkan berbagai alternatif penyelesaian yang masuk dalam pertimbangan. Poin-poin diatas dapat tertuang dalam kriteria-kriteria penilaian yang dapat digunakan untuk menentukan altematif yang akan dipilih. Adapun kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
Memperhatikan factor teknis yang berkenaan dengan pemindahan para PKL ke lokasi yang ditetapkan pemerintah setempat. dengan melihat criteria penilaian yaitu : a. Tidak menimbulkan konflik dengan lingkungan yang ada baik berupa gangguan lalu lintas ataupun pencemaran. b. Tidak mengganggu aktivitas pejalan kaki. c. Melakukan pengawasan terhadap keberadan PKL.
Memperhatikan peluang ekonomi dan keuangan yang berkaitan dengan keberadaan PKL tersebut, bagaimana proses pendanaan kebijakan ini dan peluang ekonomi yang mungkin dapat diharapkan khususnya bagi pendapatan pemerintah daerah. Adapun kriteria-kriteria faktor ekonomi ini adalah sebagai berikut : a. Pemberlakuan sistem restribusi sewa tempat dan kebersihan bagi para PKL kepada pemerintah. b. Pemberlakuan sanksi berupa denda bagi para PKL yang melanggar peraturan
Memperhatikan kelancaran administratif dimana untuk mengatahui sejauh mana tata administrasi yang ada termasuk undang-undang dan peraturan-peraturan mendukung kebijakan ini. Adapun kriteria-kriteria faktor ini adalah sebagai berikut : a. Pemberlakuan ijin b. Pencatatan atau regristasi jumlah PKL sehingga terdapat kontrol terhadap keberadaan dan jumlahnya c. Pemberlakuan peraturan
79
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 5.2
Penentuan Kriteria Sesuai dengan Artikel
Apa yang terjadi di lapangan selama ini ternyata sama seperti apa yang telah tercantum pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978 menegenai tempat usaha para PKL. Seperti yang kita ketahui bahwa para PKL selalu menggunakan tempat-tempat umum yang tidak diperuntukkan mendirikan usaha. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi system keruangan kota yang telah ditata oleh pemerintah. Untuk itulah pemerintah perlu merelokasi atau menempatkan para PKL tersebut ke tempat yang sesuai dimana tempat tersebut tidak mengganggu system tata ruang kota. Dari beberapa artikel tentang masalah relokasi PKL di beberapa kota besar di Indonesia, maka dapat ditentukan beberapa alternatif kebijakan yang diberikan guna menyelesaikan masalah tersebut. Alternatif kebijakan penyelesaian tersebut antara lain : a)
Menyediakan
PERDA
dalam
mengatur,
sekaligus
memberdayakan kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT. b) tidak
Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya menggunakan
kepentingan
politik
sesaat karena tidak
sebanding dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran khususnya para PKL. Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan serta tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan. c)
Pemkot dan DPRD setempat segera menyusun peraturan
daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan
sekian persen dari luas lahan mereka
untuk
menampung PKL.
80
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw d)
Pasar-pasar tradisional yang dijadikan sebagai lokasi baru
bagi para PKL perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat e)
Pemerintah
sebaiknya
melakukan
pembenahan
dan
pembinaan secara terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur perkembangan dan pertumbuhan para PKL tersebut. f)Melakukan kerjasama yang baik dengan para pedagang kaki lima tersebut. g)
Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.
h)
Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya
memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. i) Mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan kerapian kota j) Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Kepentingan semua pihak Nilai estetika / nilai keindahan
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia f)
Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini
yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan. g)
Pemkot
dan
DPRD
Surabaya
segera
menyusun
peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. h)
Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot
terhadap kelompok
PKL
binaan
agar tidak
hanya
sekadar
81
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik. i)
Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk
terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. j)
Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk
mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. k)
Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL
bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
82
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB
VI 6.1 Mencari Alternatif Kebijakan Alternatif kebijakan pemecahan masalah yang ditawarkan termasuk didalamnya alternatif-alternatif lain yang didasarkan pada kebijakan yang telah ada. Sumber utama alternatif ini berdasar pada kasus-kasus PKL yang telah menjadi agenda umum masalah tiap-tiap daerah di Indonesia sehingga penyelesaian dan pertimbangan yang diambil diatelaah berdasar pada kasus-kasus tersebut. Dari uaraian di atas, maka garis besar alternatif yang telah ditawarkan yaitu “Relokasi
PKL
dengan konsep tata ruang kota yang
mensejahterakan
masyarakat”. Adapun alternatif kebijakan yang dicari adalah alternatif-alternatif kebijakan yang didapatkan dari artikel yang mana sudah dipaparkan pada bab sebelumnya. Alternatif kebijakan tersebut antara lain : a.
Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT.
b.
Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran khususnya para PKL. Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang berbasis kesejahteraan rakyat
dan
yang
mengembangkan
berkeadilan
tindakan
serta
represif
tidak
yang
sekadar
sama
sekali
hanya tidak
menyelesaikan persoalan. c.
Pemkot dan DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.
83
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw d.
Pasar-pasar tradisional yang dijadikan sebagai lokasi baru bagi para PKL perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat
e.
Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan dan pembinaan secara terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur perkembangan dan pertumbuhan para PKL tersebut.
f.
Melakukan kerjasama yang baik dengan para pedagang kaki lima tersebut.
g.
Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.
h.
Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.
i.
Mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang strategis
yang
banyak
di
kunjungi
masyarakat
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan kerapian kota j.
Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :
k.
Kepentingan semua pihak Nilai estetika / nilai keindahan
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan.
l.
Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL.
m.
Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
84
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw n.
Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota.
o.
Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota.
p.
Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
6.2 Mengevaluasi Setiap Alternatif Kebijakan
Untuk melakukan proses evaluasi terhadap berbagai alternatif ada dua langkah utama yang dilakukan, yaitu : 1.
Melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut berdasarkan
kriteria yang ditentukan sebelumnya. 2.
Meramalkan bagaimana kondisi di masa yang akan datang atau
dampak yang ditimbulkan apabila kebijakan tersebut diterapkan.
6.2.1
Evaluasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan
1.
Kelayakan Teknis
Pertimbangan yang diambil dan mendasari alternatif ini adalah bahwa keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan saat ini tidak terlalu banyak dan juga jika dilakukan suatu pengaturan maka keberadaan PKL ini tidak akan secara signifikan
mengganggu
lingkungannya.
Berdasarkan
alternatif
ini
maka
pemerintah tidak akan melakukan penggusuran hanya saja pemerintah akan melakukan pengaturan dan penertiban berdasarkan peraturan-peraturan tertentu bagi PKL Tugu Pahlawan yang didasari oleh kebijakan ini sehingga tindakantindakan yang diambil semuanya merupakan penyesuaian atau modifikasi pelaksanaan kebijakan ini. Lebih mengarah pada penertiban para PKL di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya. Penertiban ini didasarkan pada peraturan-peraturan tertentu bagi PKL
85
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw tersebut yang didasari oleh kebijakan sehingga tindakan yang diambil semuanya merupakan modifikasi kebijakan tersebut. Adapun pertimbangan yang ada yaitu : a. Kebijakan lainnya
yaitu memperbanyak kerjasama
antara
pedagang kaki lima dengan pemerintah, diaman hingga saat ini para PKL
selalu menganggap pemerintah sebagai
musuh
karena
menghilangkan mata pencaharian mereka jika relokasi benar-benar dilaksanakan. b. Alternatif kebijakan lainnya yaitu dengan melakukan pembinaan terhadap PKL di tiap daerah khususnys PKL di Tugu Pahlawan. Pembinaan ini bertujuan untuk memperkenalkan para PKL tentang pentingnya berjualan di tempat-tempat yang memang merupakan kawasan
perdagangan
dan
tidak
dikawasan-kawasan
seperti
pendidikan dan budaya maupun sejarah. Kenyataannya bahwa sangat sulit menerapkan hal itu karena para PKL juga manusia yang akan terdorong untuk mencari lokasi ramai pengunjung, tidak peduli kawasan tersebut adalah kawasan pendidikan, budaya, maupun sejaraha. Seperti yang terjadi di Tugu Pahlawan dimana yang dientingkan oleh tiap PKL yaitu meraup keuntungan sebanyak banyaknya. c. Alternatif kebijakan yang selanjutnya adalah terkait dengan masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Baik lokasi maupun pasar tempat perelokasian PKL hendaknya sesuai dengan karakteristik PKL tersebut. Misalnya untuk PKL penjual makanan dan minuman, maka harus berada pada lokasi yang sama/selokasi. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keindahan tata ruang kota tanpa mengurangi nilai estetika dan malah akan menimbulkan citra dan ciri khas tersendiri. d. Alternatif kebijakan berikutnya yaitu memiliki konsep nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Menyangkut Kepentingan semua pihak Nilai estetika / nilai keindahan
86
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia e. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik. Dengan demikian, PKL sudah tidak merasa takut bahwa pendapatan mereka akan menurun. Dengan bantuan modal usaha yang diberikan, mereka dapat merasa diperhatikan sehingga mereka akan berusaha untuk mandiri tanpa mengganggu kepentingan publik. f. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terusmenerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Fungsi ini merupakan kontrol pemerintah untuk mengendalikan keberadaan dan jumlah PKL. g. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
2.
Peluang Ekonomi dan Keuangan
Proses alternatif pihak pemerintah dapat secara khusus memberlakukan suatu sistem retribusi bagi para PKL berdasarkan peraturan yang baru hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada dan secara umum paling tidak pengaturan, pengawasan dan pembatasan PKL Jalan Gajayana dapat memberikan kelancaran pergerakan yang lebih baik pada sehingga dari kelancaran pergerakan ini diharapakan menimbulkan multi player efek pada sektor lain yang dapat meningkatkan kegiatan perekonomian dalam hal efisiensi waktu. Bagi pihak pemerintah sendiri dapat memberlakukan adanya sistem
87
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw retribusi resmi yang dikenakan terhadap para PKL sehingga merupakan pemasukan yang dapat juga membantu membiayai kegiatan operasional seperti pengawasan-pengawasan. Adapun kebijakan terkait dengan kriteria ini adalah untuk lokasi, kebijakan yang dibuat PEMKOT terkait lokasi baru tempat berdagang para PKL dikembangkan dan diakomodasikan bagi pedagang kali lima, bukan pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Kenyataan di lapangan selama ini, bahwa lokasi baru bagi para PKL tidak mengakomodasi PKL tersebut secara baik karena pada umunya lokasi baru tersebut dikuasai oleh mereka yang sanggup membayar sewa tempat.
3.
Kelancaran Administratif
Proses pemunculan alternatif ini juga dipertimbangkan dari segi kelancaran administratif dimana secara lugas dapat digaris bawahi adalah apakah masyarakat merasa terganggu sehingga jika masyarakat tidak merasa terganggu maka dari segi kelancaran administrasi pengaturan keberadaan PKL di Tugu Pahlawan ini nantinya tidak menimbulkan kesulitan. PKL harus memiliki ijin berjualan dari pemerintah yang dapat didukung dengan adanya surat keterangan dari pihak RT atau RW setempat sehingga keberadaan PKL menjadi jelas dan terkontrol. PKL tersebut harus melalui proses regristrasi administrasi seperti pencatatan jumlah PKL sehingga dapat diketahui berapa jumlah, jenis dagangan dan lokasi berjualannya. Pemberlakuan peraturan harus disertai dengan adanya pemberlakuan sanksi dim ana proses penjalanan sanksi ini harus jelas administrasinya. Adapun alternatif kebijakan yang sesuai dengan kriteria ini, diantaranya adalah : a.
Apakah PERDA yang dikeluarkan benar-benar dalam kenyataannya mampu memberdayakan kaum pinggiran khususnya para PKL. Keadaan lapangan di sekitar Tugu Pahlawan, dimana para PKL beranggapan bahwa dengan pemindahan mereka ke lokasi yang baru bukan akan diberdayakan tetapi merasa seperti diasingkan atau dibuang oleh pemerintah karena pemerintah hanya mengedepankan konsep tata ruangnya.
b.
Untuk menghindari pemikiran seperti yang terdapat pada point (a),
88
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw maka dibutuhkan sebuah strategi perencanaan yang komperehensif (jangka panjang) yang pemberdayaan masyarakat dengan tidak mengabaikan tata ruang kota tersebut, dalam hal ini Tugu Pahlawan. Tetapi masalahnya apakah alternatif kebijakan ini juga dapat diaplikasikan secara nyata di lapangan ataukah sebaliknya. c.
Alternatif berikutnya adalah PEMKOT atau DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL. Tetapi pada kenyataannya sangat sulit menerapkan kebijakan ini karena biasanya lahan tersebut digunakan oleh perkantoran atau mal-mal untuk kepentingan mereka sendiri yang tentunya berkaitan dengan kegiatan finansial mereka.
d.
Kebijakan berikutnya bekaitan dengan pembenahan dan pembinaan secara terus menerus serta konsisten atas kebijakan yang telah dikeluarkan. Seperti halnya jika menetapkan kebijakan ”Relokasi PKL dengan konsep kesejahteraan masyarakat dan tata ruang kota”, dimana dalam aplikasinya tidak ada ketimpangan satu dengan yang lainnya. Kekonsistensian inilah yang hingga sekarang masih belumbisa diterapkan secara adil di masyarakat sehingga membawa kekhawatiran para PKL terutama dalam masalah ini PKL Tugu Pahlawan Surabaya.
e.
Alternatif kebijakan berikutnya yaitu adanya peraturan yang mengatur dan menata para PKL pada tempat-tempat yang strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan kerapian kota. Inilah alternatif kebijakan yang coba diterapkan oleh beberapa kota di
Indonesia,
salah
satunya
Kota
Surabaya.
Pemberdayaan
masyarakat dianggap penting dengan tidak melupakan sistem tata ruang kota yang menyangkut keindahan, kebersihan, dan kerapian kota. f.
Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif
89
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan. Mekanisme ini merupakan upaya preventif untuk mencegah munculnya atau bertambah banyaknya PKL. Dalam hal ini, peran aparat kelurahan dan kecamatan akan dapat sangat membantu. g.
Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Pihak swasta juga memiliki andil yang cukup besar dalam hal penentuan lokasi usaha para PKL. Dengan adanya peraturan daerah yang mengatur tentang peran serta pihak swasta, maka diharapkan dapat mempermudah penyelesaian masalah PKL yang terjadi.
h.
Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung
kota.
Urbanisasi
merupakan
faktor
utama
yang
menyebabkan timbulnya PKL-PKL liar. Oleh karena itu, arus urbanisasi sangat perlu untuk dikendalikan.
6.2.2
Ramalan
Kondisi
di
Masa Mendatang/Identifikasi Dampak
yang
Ditimbulkan oleh Alternatif Kebijakan yang Ada Dampak yang akan ditimbulkan adalah sebagai berikut : 1. Dampak bagi PKL Dengan munculnya
peraturan tertentu tersebut
yaitu diadakannya
pengaturan, pengawasan dan pembatasan terhadap PKL di Tugu Pahlawan secara tidak langsung tidak mempengaruhi sumber pendapatan mereka. Apabila dilakukan relokasi terhadap mereka, pada awalnya akan mempengaruhi pendapatan mereka namun tentunya hal ini tidak akan berlangsung berkepanjangan karena memang butuh penyesuaian pada awalnya.
2. Dampak bagi lingkungan sekitar Peraturan baru hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada setidaknya akan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya PKL.
90
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw Diantaranya adalah perbaikan pengelolaan limbah yang baik agar kesan kotor dan kumuh sedikit demi sedikit hilang. Disamping itu, akan dapat mempertahankan citra Tugu Pahlawan sebagai icon Kota Surabaya yang mana monumen tersebut melambangkan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia. 3. Dampak bagi pemerintah kota Pemerintah Kota harus lebih tegas dalam memberlakukan peraturan baru hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada untuk mengatur PKL. Juga diperlukan pengawasan berlangsungnya peraturan baru apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit dalam pelaksanaan peraturan ini. Pemerintah Kota dalam mendapatkan dana dapat secara khusus memberlakukan suatu sistem retribusi bagi para PKL berdasarkan peraturan yang baru. Pemerintah dinilai tidak becus apabila tidak dapat menyelesaikan masalah ini. 6.3 Memilih Alternatif Kebijakan
Berdasarkan evaluasi alternatif kebijakan yang sudah dilakukan, maka dapat dipilih beberapa alternatif kebijakan. Alternatif tersebut diantaranya adalah : a.
Kebijakan lainnya yaitu memperbanyak kerjasama antara pedagang kaki lima dengan pemerintah, dimana hingga saat ini para PKL selalu
menganggap
pemerintah
sebagai
musuh
karena
menghilangkan mata pencaharian mereka jika relokasi benar-benar dilaksanakan. b.
Alternatif kebijakan yang selanjutnya adalah terkait dengan masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Baik lokasi maupun pasar tempat perelokasian PKL hendaknya sesuai dengan karakteristik PKL tersebut dengan memperhatikan konsep nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Menyangkut Kepentingan semua pihak
Nilai
estetika / nilai keindahan
Teori demand-supply
Teori lokasi
91
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
c.
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
d.
Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terusmenerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Fungsi ini merupakan kontrol pemerintah untuk mengendalikan keberadaan dan jumlah PKL.
e.
Meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
f.
Bagi pihak pemerintah sendiri dapat memberlakukan adanya sistem retribusi resmi yang dikenakan terhadap para PKL sehingga merupakan pemasukan yang dapat juga membantu membiayai kegiatan operasional seperti pengawasan-pengawasan.
g.
Untuk menghindari pemikiran yang negatif dari para PKL, maka dibutuhkan sebuah strategi perencanaan yang komperehensif (jangka panjang) yang pemberdayaan masyarakat dengan tidak mengabaikan tata ruang kota tersebut.
h.
Alternatif berikutnya adalah PEMKOT atau DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL.
i.
Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan sebagai upaya preventif.
Dalam hal ini, pemerintah hendaknya berpegang teguh pada aturan-aturan dan perundangan yang ada yang berkaitan dengan konsep tata ruang kota dan
92
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw dengan konsep kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemerintah harus tegas dalam menangani masalah ini.
93
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB VII Pema Pemant ntau auan an dan dan eval evalua uasi si meru merupa paka kan n tind tindak ak lanju lanjutt dari dari impl implem ement entasi asi kebijakan yang diterapkan. Pemantauan dan evaluasi ini penting adanya agar suatu kebi kebijak jakan an tetap tetap kons konsist isten en menc mencapa apaii tuju tujuan an,, juga juga untu untuk k mema memant ntau au apak apakah ah kebijakan tersebut masih relevan dengan kondisi yang ada. Kebijakan PKL dalam proses implementasinya harus tetap dilakukan upaya-upaya pemantauan dan evaluasi. Beberapa contoh hal yang dapat menjadi bahan evaluasi, yaitu :
7.1
Pemantauan dan evaluasi terhadap lingkungan
Upay Upaya-u a-upay payaa yang dila dilaku kuka kan n dalam dalam pros proses es evalu evaluasi asi dan dan peman pemanta tauan uan terhadap lingkungan seyogyanya harus dapat memberikan informasi sejauhmana kebijakan PKL yang diterapkan mempengaruhi kondisi Iingkungan yang ada di sekitarnya baik itu secara fisik maupun non fisik. Beberapa hal yang berkaitan dengan fisik misalnya adalah masalah sampah. Dalam Dalam proses proses evalua evaluasi si dan pemanta pemantauan uan nantiny nantinyaa harus harus dapat dapat dipasti dipastikan kan bahwa sampah di sekitar lokasi tersebut telah dikelola dengan baik. Diharapkan nantinya nantinya ada upaya-upay upaya-upayaa preventif preventif yang cukup untuk menjamin hal tersebut tersebut tidak mengganggu warga masyarakat disekitarnya. Sedangkan yang berkaitan dengan non fisik misalnya masalah keamanan. Dengan Dengan berkembang berkembangnya nya lokasi tersebut yang identik identik dengan dengan pusat keramaian maka sangat dimungkinkan dimungkinkan berimplikasi berimplikasi terhadap terhadap peningkata peningkatan n tindak kejahatan. Oleh karena itu perlu dievaluasi apakah masalah keamanan di Iingkungan tersebut tetap terjamin setelah kebijakan relokasi ini dijalankan.
94
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw 7.2
Pemantauan dan evaluasi terhadap kontribusi financial
Kajian pemantauan pemantauan dan evaluasi evaluasi terhadap terhadap kontribusi kontribusi financial dilakukan dilakukan terhadap komponen, yaitu pemerintah dan masyarakat sekitar termasuk para PKL itu sendiri. Apakah hal tersebut turut mendukung peningkatan penerimaan daerah bagi pemerintah kota & peningkatan keuntungan (surplus/laba) bagi para PKL. PKL.
7.3 7.3
Pema Pemant ntau auan an dan dan eva evalu luas asii ter terha hada dap p tat tata a rua ruang ng kota kota
Keind Keindah ahan an suatu suatu kota kota sanga sangatt terg tergan antu tung ng kepa kepada da elem elemen en-el -elem emen en dan dan keterpaduan elemen-elemen yang ada di sekitamya. Menurut Kevin Lynch (da/am Zahnd, 1999 : 163) keindahan suatu wajah kota dapat menciptakan pengalaman yang yang meny menyena enang ngka kan n deng dengan an timbu timbuln lnya ya kesan kesan tempa tempat, t, kead keadaa aan n baik baik dan dan keam keaman anan an.. Denga Dengan n adan adanya ya kebi kebijak jakan an untu untuk k merel merelok okasi asi para para PKL PKL di Tugu Tugu Pahlaw Pahlawan, an, maka maka dapat dapat mengem mengembali balikan kan nilai nilai esteti estetika ka Tugu Tugu Pahlaw Pahlawan an dalam dalam hubung hubungann annya ya dengan dengan tata tata ruang ruang kota kota Suraba Surabaya ya yang yang baik. baik. Di sampin samping g itu, itu, kebi kebijak jakan an terse tersebu butt dapa dapatt meng mengem emba bali lika kan n dan dan memp mempert ertah ahan anka kan n citra citra Kota Kota Pah Pahlawa lawan n
di
mana ana
Monu Monum men
Tugu
Pahl Pahlaw awan an
meru erupaka pakan n
icon
yang
melambangkan tonggak sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, akan sangat bijaksana jika di sekitar kawasan Tugu Pahlawan tidak terdapat PKL, sehingga dapat tetap terjaga kebersihan dan keindahannya.
95
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw
BAB VIII 8.1
Kesimpulan
1. Pen Pengam gambila bilan n Kebi Kebija jak kan untu ntuk menat enataa kebe kebera rada daan an PKL PKL di Tugu Pahlawa Pahlawan n
merupa merupakan kan salah satu upaya upaya alternat alternatif if untuk mengat mengatasi asi
permasalahan ketidak sesuian penataan relokasi PKL, namun melihat proses pengambilan kebijakan itu sendiri, dikatakan tidak cukup aspiratif, mengingat para PKL tersebut tidak pernah dilibatkan secara langsu langsung ng dalam dalam proses proses pengam pengambil bilan an kebijak kebijakan an ini. ini. Walaup Walaupun un secara secara prosedural proses pengambilan kebijakan telah melalui tahapan-tahapan yang yang telah telah ditent ditentuka ukan, n, termasuk termasuk berkon berkonsul sultasi tasi dan atas perset persetuju ujuan an DPRD. 2. Ada beberapa beberapa alasan yang yang menyebab menyebabkan kan PKL PKL di sekitar sekitar Tugu Tugu Pahlawan Pahlawan untuk tetap berjualan, diantaranya adalah : a. kurang kurang tegas tegas dalam melaksanakan melaksanakan kebijakan, kebijakan, khususnya khususnya Pemerin Pemerintah tah masalah PKL di Tugu Pahlawan. Buktinya sampai saat ini usaha penertiban PKL tersebut selalu gagal. b. Para PKL merasa pendapatannya sangat tinggi apabila berjualan di sepa sepanj njan ang g Tugu Tugu Pahl Pahlaw awan an,, hal hal ini ini dise diseba babk bkan an kare karena na masih asih sedikitnya saingan antar PKL c. Loka Lokasi si Tugu Tugu Pahlaw Pahlawan an yang strate strategi giss sehin sehingg ggaa para para PKL PKL senan senang g berjualan di sana. 8.2
Saran
1. Pemerintah Pemerintah harus harus lebih lebih tegas tegas dan serius serius dalam dalam melaksan melaksanakan akan kebijaka kebijakan, n, khususnya masalah PKL yang berada di Tugu Pahlawan. 2. Dibutu Dibutuhka hkan n adany adanyaa partisi partisipas pasii dan kerjasam kerjasamaa antara antara pemerinta pemerintah h kota, kota, pihak swasta, masyarakat, dan para PKL. 3. Adan Adanya ya sanks sanksii yang yang tega tegass terh terhad adap ap pela pelang ngga gara ran n kebi kebijak jaksan sanaan aan yang yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota. 4. Adan Adany ya kete keterl rlib ibat atan an para ara PKL PKL seba sebag gai masy asyarak arakat at kecil ecil dalam alam
96
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT Unibraw penentuan kebijaksanaan penertiban kawasan Tugu Pahlawan. 5. Adanya sosialisasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap para PKL dan memberikan pengertian kepada mereka tentang pentingnya peletakan lokasi berdasarkan konsep tata ruang tanpa mengurangi manfaat yang dapat mereka peroleh.
97