MAKALAH KASUS
UNDANG-UNDANG FARMASI PERMENKES RI NO. 9 TAHUN 2017
“
”
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1741012239 1741012241 1741012245 1741012247 1741012252 1741012254 1741012255
Refsya Azanti Putri Nita Yulisa Fadhilah Ulfa Irawan Alviona Marcella Fitri Ihsanurrahman Hafsa Rahmi Lathifa Tamara Nindya Kesuma
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Rustini, M.Si, Apt
PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN II TAHUN 2017 UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2017
BAB I PENDAHULUAN
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Standar pelayanan kefarmasian sangat diperlukan dalam menjalankan suatu apotek. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian Jika suatu apotek tidak menggunakan standar pelayanan farmasi dalam menjalankan apotek maka tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Karena pelayanan farmasi adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien/masyarakat. Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri-sendiri atau bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat. Selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasiaan. Permenkes No. 9 Tahun 2017 mendefenisikan apotek sebagai sarana kesehatan umum bagi masyarakat dan pelayanan kefarmasian dan tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Maka segala kegiatan kefarmasian dalam suatu apotek harus berdasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, sebagaimana yang tertuang dalam Permenkes No. 9 Tahun 2017 tersebut.
BAB II ISI
2.1 KETENTUAN UMUM
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Seorang Apoteker yang telah disumpah harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh konsil tenaga kefarmasian kepada apoteker yang telah diregistrasi. Selain STRA, Apoteker juga harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA), yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin untuk menyelenggarakan Apotek. Untuk menjalankan praktik kefarmasian di Apotek, seorang Apoteker harus memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA), yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian. Pengaturan Apotek bertujuan untuk: a. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek b. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kefarmasian di Apotek c. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek.
2.2 STUDI KASUS PERSYARATAN PENDIRIAN 2.2.1
Kasus
Kota Metro memiliki 21 (dua puluh satu) apotek dan 5 (lima) diantaranya tidak memiliki izin resmi. Pengaturan mengenai izin apotek di Kota Metro didasarkan pada keputusan Menteri Kesehatan dan kebijakan pemerintah daerah Kota Metro.Berdasarkan data yang diperoleh, hampir seluruh apotek telah memilik surat izin apotek dan hanya beberapa apotek yang belum mendapat status izin namun tetap dapat beroperasi mengingat apotek tersebut telah berdiri cukup lama. Apotek Ananda, apotek Bunda, apotek Rizky, apotek Saras, dan apotek Tina Husada merupakan contoh dari Apotek yang tetap beroperasi walaupun belum memiliki izin.
2.2.2
Permasalahan
Banyak apotek yang tidak memiliki izin resmi untuk beroperasi. 2.2.3
Pembahasan
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 mengenai Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, bahwa Izin Apotek diberikan oleh Menteri yang kemudian melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotik sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Untuk menciptakan sarana pelayanan kesehatan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, maka apotek harus memenuhi syarat yang meliputi lokasi, bangunan, perlengkapan apotek, perbekalan farmasi dan tenaga kesehatan yang harus menunjang penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa mengurangi mutu pelayanan. Apotek harus mempunyai luas secukupnya dan memenuhi persyaratan teknis, sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Luas bangunan apotek sekurang-kurangnya 50 m 2 terdiri dari ruang tunggu, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi, ruang penyimpanan obat, dan tempat pencucian alat, kamar mandi dan toilet. Perlengkapan yang wajib dimiliki oleh apotek adalah : 1) Alat pembuatan, pengelolaan dan peracikan obat / sediaan farmasi, seperti lemari obat dan lemari pendingin. Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastik pengemas. 2) Perlengkapan dan alat penyimpanan khusus narkotika dengan ukuran 140 x 80 x 100 cm dan terbuat dari kayu. 3) Kumpulan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan apotek, Farmakope Indonesia dan Ekstra Farmakope Indonesia edisi terbaru, ISO, MIMS, DPHO, serta buku lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. 4) Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan resep dan lain-lain
Dari semua sarana dan prasarana standar persyaratan apotek yang telah tercantum di atas, semuanya harus dipenuhi oleh calon pendiri apotek sebagai dasar pengajuan izin yang nantinya akan dilakukan verifikasi untuk menentukan layak atau tidaknya apotek tersebut menjalankan usahanya. Setelah apotek tersebut dirasa telah melengkapi persyaratan tersebut yang dilakukan oleh Dinas Kesetahatan kemudian akan memberikan rekomendasi kepada Kantor Pelayanan Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu dalam persetujuan pendirian apotek tersebut. 2.2.4
Solusi
1) Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan. 2) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan. 3) Dalam hal pemerikasaan apabila tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi. 4) Dalam jangka 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan, Kepala Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan surat izin apotek. 5) Dalam hasil pemerikasaan tim Dinas Kesehatan setempat atau Kepala Balai POM masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan surat penundaan. 6) Terhadap surat penundaan, apoteker diberikan kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak tanggal surat penundaan. 7) Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Dinas setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasan-alasannya.
8) Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap Usaha Apotek dapat dioptimalkan lagi, agar terdapat kesadaran hukum yang dimiliki oleh pemilik usaha untuk segera mengurus izin terkait dengan usahanya dibidang usaha apotek. 2.2.5
Dasar Hukum Pelanggaran
a. Persyaratan Pendirian Apotek
Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan. Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi: lokasi, bangunan, sarana, prasarana, dan peralatan dan ketenagaan. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian. Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi dan wajib memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Perizinan Apotek
Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri. Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berupa SIA dan berlaku selama lima tahun. Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1. Permohonan harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi: a. fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP); c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker; d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan;dan e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
Apotek dengan menggunakan Formulir 2. Tim pemeriksa sebagaimana harus melibatkan unsur dinas kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas tenaga kefarmasiandan tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang
dilengkapi
Berita
Acara
Pemeriksaan
(BAP)
kepada
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 3. Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi dengan menggunakan Formulir 4. Dalam hal hasil pemeriksaan
dinyatakan
masih
belum
memenuhi
persyaratan,
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan menggunakan Formulir 5. Tehadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan, pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan diterima. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan dengan menggunakan Formulir 6. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka waktu, Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA. Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA), maka penerbitannya bersama dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA.Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA. Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek harus dilakukan perubahan izin. Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek, wajib mengajukan permohonan perubahan izin kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Terhadap Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan nama Apotek tidak perlu dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.
2.3 STUDI KASUS PERIZINAN APOTEK 2.3.1
Kasus
Pada beberapa apotek ditemukan Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi seperti pada penyimpanan obat narkotika dan psikotropika dimana lemari penyimpanan tidak dibuat dalam bentuk double lock.
2.3.2 Pembahasan
Berdasarkan Permenkes no 9 tahun 2017 pasal 6 Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anakanak, dan orang lanjut usia. Apotek harus menyimpan sediaan dalam lemari terkunci, terpisah dengan obat keras lainnya, dst. 2.3.3
Solusi
Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.
2.4 STUDI KASUS PENYELENGGARAAN DAN PENGAWASAN APOTEK 2.4.1 Kasus
Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan psikotropika secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas / lembaga yang berwenang.Kasat Narkoba Polresta Kompol Dodo Hendro Kusumo mengatakan pasien di Apotek KN,Yogyakarta yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta Yogyakarta kondisinya memprihatinkan. Hal Itu dapat dilihat salama pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika. Berdasarkan
penyelidikan
,mereka
adalah
korban
psikotropika
yang
harus
disembuhkan,mereka adalah penderita suatu penyakit yang diresepkan dokter untuk mengonsumsi dua jenis psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan juga karena efek kecelakaan sehingga mempengaruhi syarafnya dan harus tergantung obat tersebut. Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya. Obat Calmlet kerap diberikan dokter sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih giat. Namun, karena mereka telah ketergantungan obat tersebut, mereka kerap kali datang ke apotik untuk membeli obat yang sama tanpa adanya resep dokter. Dan apotek tersebut tetap memberikan obat yang diminta untuk menaikkan penjualan di apotek nya. Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk penyalahgunaan.Dia mengacu pada UU No 5 tahun 1997 tentang psikotropika,bahwa ketentuan pidana adalah penyalahgunaan. Sementara,para pasien itu hanya sebagai orang yang mau menebus obat berdasarkan resep
dokter. Yang menjadi permasalahan adalah menebus obat tersebut tanpa resep dikarenakan sudah ketergantungan. 2.4.2
Permasalahan Kasus
1) Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga Teknis Kefarmasian di sektor pelayanan,apa yang seharusnya dilakukan anda sebagai apoteker pada saat bekerja di Apotek KN tersebut dan ternyata dalam perjalannya Apotek tersebut kedapatan menjual obat-obatan psikotropika secara bebas ? 2) Apakah apotek tersebut sudah berjalan dan terselenggara sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku? Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus apoteker di apotek tersebut langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk menyelesaikan masalah di atas ? 2.4.3
Dasar Hukum Pelanggaran
Dalam Studi kasus diatas perbuatan yang dilakukan oleh apotek merupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24, Undang-undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, UU NO 9 tahun 2017 tentang apotek Pasal 17 ayat 3 tentang penyelenggaraan. a.
UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kes ehatan Pasal 24 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. b. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1 menyatakan Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Pasal 14, Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan
laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya. Pasal 38 menyatakan bahwa setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Dan Pasal 43 mengenai Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter. Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek. c. UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 2 menyatakan Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undangundang ini adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Pasal 14 mengenai Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek
lainnya,
rumah
sakit,
puskesmas,
balai
pengobatan,
dokter
dan
kepada
pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek. Berdasarkan Pasal 51, Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa : a) teguran lisan; b) teguran tertulis; c) penghentian sementara kegiatan: d) denda administratif; e) pencabutan izin praktik.
Pasal 60 menyatakan Barangsiapa : a) memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau b) memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau c) memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. d. Bab IV Penyelenggaraan Apotek pada UU No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek Pasal 17 ayat 3 mengenai Penyerahan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf h hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.4.4
Pembahasan Kasus
Obat-obat narkotika dan psikotropika tidak boleh diserahkan atau diberikan tanpa adanya resep dari dokter, apapun keadaannya. Sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek yang slah satunya adalah penyerahan obat, yaitu penyerahan obat bisa dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. beserta sumpah dan kode etik yang mencakup bahwa kita tidak boleh merugikan, memperburuk keadaan serta hal yang dapat menganggu kesehatan pasien dan masyarakat. Sebagai Apoteker, tentu saja kita pasti sudah tau bahwa obat psikotropik dan narkotika tidak bisa kita serahkan tanpa adanya resep dari dokter, dan jika terjadi kesalahan dalam apotik tersebut yaitu memberikan obat psikotropik dengan cara bebas, otomatis kita sebagai Apoteker sudah tahu kesalahan kita sendiri, maka yang perlu kita lakukan adalah bertanggung jawab dengan cara menindaklanjuti permasalahan itu dan melaporkan ke dinas kesehatan. Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah: a.
Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing – masing dua bulan.
b.
Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c.
Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap : a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang pertama adalah jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan sesuai dengan keputusan bersama apoteker, karna sebagian besar PSA hanya sebagai pemilik usaha dengan modal yang besar, maka PSA mungkin saja tidak mengetahui tentang prosedur farmasi yang ada di apotik tersebut. Yang kedua jika PSA sekaligus sebagai apoteker, jika PSA sekaligus menjadi apoteker di apotik tersebut, maka dia harus tahu hal yang bersangkutan dengan penyerahan obat, misalnya penyerahan psikotropika yang tidak bisa diserahkan tanpa resep dokter, dan kesalahan yang terjadi yaitu penyerahan obat psikotropik secara bebas, jika apoteker sudah tahu akan undang undang tentang penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan terjadi, sekarang yang menjadi pertanyaan juga adalah apa alasan apoteker memberikan obat psikotropik secara bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu tidak boleh diberikan, apakah dengan sekaligus menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan penjualan apotik atau karna kesalahan yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal yang harus dilakukan adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual obat tersebut dan melaporkannya kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh apoteker.
2.6 KETENTUAN PERALIHAN
Permohonan izin Apotek yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses berdasarkan ketentuan.Izin Apotek yang dikeluarkan dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan 5 (lima) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. Apotek yang telah melakukan pelayanan kefarmasian wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 2(dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku. Apotek rakyat yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016 harus menyesuaikan diri menjadi Apotek mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Dalam hal apotek rakyat tidak menyesuaikan diri menjadi Apotek dapat menyesuaikan diri menjadi toko obat/pedagang eceran obat. Penyesuaian diri apotek rakyat menjadi Apotek atau toko obat/pedagang eceran paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016
tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek Rakyat diundangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Menkes RI. 1993. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Menkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek Rakyat. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Menkes RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pemerintahan Republik Indonesia. 1997. Undang-undang Republik Indonesia No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintahan Republik Indonesia. 2009. Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintahan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.