BAB I PENDAHULUAN
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Depkes RI, 1996). Anemia menurut World Health Organizatio Organization n (WHO) yang dikutip Stuart Gillespie (1996) diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan normal untuk kelompok yang bersangkutan. Anemia sendiri ada beberapa jenis yaitu anemia mycrocitic hipochrom, anemia sel sabit, anemia megaloblastic dan anemia aplastic. Sedangakan berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan menjadi 3 kelompok (wintrobe at all, 1999) yaitu : 1. Anemia Anemia karena karena kehilan kehilangan gan darah darah Anemia karena kehilangan darah akibat pendarahan yaitu terlalu banyaknya sel-sel darah merah merah yang yang hila hilang ng dari dari tubu tubuh h seseo seseora rang ng kare karena na kecel kecelak akaan aan dima dimana na pend pendar arah ahan an mendad mendadak ak dan banyak banyak jumlah jumlahnya nya,, yang yang disebu disebutt pendar pendaraha ahan n ekster eksternal nal.. Dapat Dapat pula pula disebabkan karena racun, obat-obatan atau yang lainnya.
2. Anemia Anemia karen karenaa pengru pengrusak sakan an sel-sel sel-sel darah darah mera merah h Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi karena bibit penyakit atau parasit yang masuk kedalam tubuh, seperti malaria atau cacing tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia hemolitik.
3. Anemia Anemia karena karena ganggu gangguan an pada pada produ produksi ksi sel-sel sel-sel darah merah Sum-sum tulang mengganti sel darah yang tua dengan sel darah merah yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang hilang, sehingga jumlah sel darah mera merah h yang ang dip diperta ertah hanka ankan n sela selalu lu cuk cukup banya anyak k di dala dalam m darah arah,, dan untu ntuk
mempertahankannya diperlukan cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia zat gizi dalam jumlah yang cukup akan terjadi gangguan pembentukan sel darah merah baru. Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah dapat timbul karena, kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat, asam pantotenat, vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin yang kekurangannya biasa di sebut “anemia gizi”.
-
LATAR BELAKANG
Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat besi. Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika bukan pada anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana merupakan masa terbanyak penggunaan zat besi untuk pertumbuhan. Zat besi dapat masuk ke tubuh melalui sitem pencernaan, akan tetapi bila sistem pencernaan rusak dapat menyebabkan anemia defisiensi zat besi karena jika sistem pencernaan rusak maka zat besi yang masuk ke sistem pecernaan tidak dapat diserap dengan baik. Pengobatan anemia defisiensi zat besi akan sulit untuk pasien yang memiliki penyakit sistem pencernaan karena jika zat besi dimasukan lewat oral atau sistem pencernaan maka penyerapannya akan terganggu.
-
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dapat dirumuskan 3 permasalahan yaitu 1. Bagaimanakah hubungn penyakit slautan pencernaan (GI tract) dengan kejadian IDA? 2. Apakah hubungan antara penyakit anemia kekurangan zat besi (IDA) dengan penyakit IDB (Inflamantory Bowel Diseases)?
3. Bagaimanakah efisiensi dan efikasi terapi pengobatan anemia defisiensi zat besi bagi penderita penyakit sistem pencernaan (GI dan IBD/inflamasi di usus) dengan pemberian zat besi secara oral dan parenteral?
BAB II TELAAH JURNAL
Saluran Gastrointestinal adalah bagian yang banyak dilalui sistem peredaran darah yang mungkin dapat mengacu penyakit IDA atau Anemia Defisiensi Zat Besi. Perawatan terhadap IDA tergantung pada tingkat keparahan gejalanya yang dialami oleh pasien. Sediaan Zat Besi Oral sangat manjur tetapi toleransi obat kurang baik karena non-absorb iron-mediated yang dapat menyebabkan efek samping. Namun dosis dapat dikurangi tanpa mempengaruhi efikasi dan dapat mengurangi efek samping. Terapi Zat Besi secara Parenteral dapat meningkatkan stok Zat Besi dalam tubuh lebih cepat dan lebih baik dibanding terapi Oral. Reaksi yang hipersensitif jarang terjadi pada sediaan intravena. Namun terapi sediaan Parenteral masih yang paling berguna untuk perawatan pada pasien IDA dengan riwayat IBD (Inflammatory Bowel Desease) atau Penyakit Radang/Inflamasi Usus. Bagaimanapun juga, pilihan antara terapi Oral dan Parenteral masih tergantung pada tingkat keparahan dan keakutan pada gejala – gejala yang dialami pasien.
PENDAHULUAN
IDA adalah penyakit yand disebabkan oleh Penurunan
stok Zat Besi dalam tubuh
dikarenakan berkurangnya Zat Besi yang diserap atau penggunaannya yang berlebih. Komponen Zat Besi dalam tubuh lebih diatur oleh pemasukannya melalui pencernaan daripada ekskresinya. Penyakit Gastrointestinal adalah salah satu etiologi yang paling umum pada IDA karena saluran pencernaan banyak dilalui dalam sistem peredaran darah dan dapat
menyebabkan malabsorpsi Zat Besi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap Terapi Zat Besi Parenteral untuk IDA terkait penyakit Gastrointestinal khususnya IBD.
ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI
Kekurangan zat besi dapat menyebabkan Anemia melalui sintesis Heme yang tidak berpasangan dalam proses pematangan prekursor eritrosit. Pasien dengan IDA menunjukkan gejala tidak nafsu makan, atropi pada mukosa Gastrointestinal, dan koilonichia. IDA juga berhubungan dengan Sindrom Plummer – Vinson (selaput tenggorokan), terutama pada wanita lanjut usia. Etiologi IDA dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan: peningkatan penggunaan Zat Besi (kekurangan darah akut/kronik, menstruasi, kehamilan); dan penurunan Serapan Zat Besi (makanan kurang bergizi, malabsorpsi pada penyakit Gastrointestinal atau operasi). Pendarahan luka pada saluran pencernaan dapat menyebabkan kekurangan darah dan penurunan Zat Besi. IDA sering menjadi tanda pertama pada keganasan penyakit Gastrointestinal, penyakit rongga perut, dan gastritis. Jumlah retikulosit (sesuai dengan produksi eritrosit) dan level ferritin (sesuai dengan jumlah stok Zat Besi) biasanya rendah pada IDA yang tidak rumit. Serum Zat Besi tidak terlalu membantu karena variasinya terhadap waktu dan sistemik. Konsentrasi serum ferritin adalah indikator yang baik untuk kadar Zat Besi dalam tubuh. Bagaimanapun juga, ferritin adalah reaktan fase akut dan levelnya bisa tinggi pada inflamasi kronis. Hampir semua pasien dengan konsentrasi ferritin kurang dari 15 ng/mL kekurangan Zat Besi, dengan sensitifitas 59% dan spesifikasi 99%. Pada jumlah 30 ng/mL bisa meningkatkan sensifitasnya sampai 92%. Kapasitas ikatan zat besi transferrin (perbandingan antar Zat Besi tak terikat pada transferrin dengan transferrin) adalah penanda yang membantu untuk mendiagnosis IDA dan pada umumnya lebih rendah daripada 16% dari jumlah pasien dengan IDA. Beberapa kondisi yang mungkin dapat membantu mendiagnosis seperti infeksi, malignansi, gagal ginjal kronik, dan kondisi inflamasi oleh penurunan level ferritin. Tes terbaru seperti ferritin dapat larut dan
komponen retikulosit hemoglobin bisa membantu, walaupun kekurangan standar yang handal, tapi sering digunakan. Walaupun uji sumsum tulang dianggap sebagai uji paling baik dalam mengevaluasi status Zat Besi, uji ini invasif, mahal, dan tergantung-pengoperasian.
PERAWATAN
Seorang tenaga kesehatan tidak boleh menganggap IDA sebagai penyakit yang ringan. Etiologi IDA harus dilihat dari sejarahnya. Utamanya dinilai dari kekurangan darah pada saluran pencernaan dan kandungan. Potensi kesembuhan penyakit Gastrointestinal bisa diperhitungkan dengan bantuan alat kolonoskopi dan endoskopi. Prevalensi luka pada Gastrointestinal bagian atas lebih tinggi dibanding bagian bawah pada pasien dengan IDA. Transfusi eritrosit dibutuhkan untuk pasien dengan hemodinamika tidak stabil yang dikarenakan pendarahan akut pada Gastrointestinal. Tetapi transfusi harus dihindari pada anemia kronis dengan hemodinamika stabil tanpa kormobiditas jantung dan paru, kecuali Hb kurang dari 7 g/dL. Dalam keadaan darurat, terapi yang digunakan adalah terapi Parenteral. Lebih jauh, tes Zat Besi dilakukan setelah perdarahan Gastrointestinal teratasi. Zat Besi sangat dibutuhkan oleh setiap sel dalam tubuh. Dan perpindahan Zat Besi dapat menunda atau mencegah perkembangan IDA pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang berkala seperti IBD dan angiodisplasia. Pada penderita penyakit IBD (Inflamantory Bowel Disease/radang usus) kejadian anemia ini akan sangat memungkinkan untuk timbul terutama disebabkan oleh dua penyebab sekaligus yaitu defisiensi dari zat besi dan anemia kronis. Seorang tenaga kesehatan harus mempertimbangkan efek samping dari terapi zat Besi Oral, dan perdarahan gastrointestinal yang berkala dalam memutuskan suplemen Zat Besi yang diberikan pada pasien yang tidak pucat.
PENGGANTIAN ZAT BESI RUTE ORAL DAN PARENTERAL
Stok Zat Besi dapat dipenuhi melalui terapi oral dan parenteral, namun terapi yang sudah umum digunakan untuk mengobati penyakit IDA tingkat medium adalah terapi oral. Banyak garam Besi telah digunakan untuk terapi ini, namun yang paling umum adalah Besi Sulfat.. Jenis zat besi yang sering digunakan untuk terapi oral antara lain Besi Sulfat, Besi Glukonat dan Besi Fumarad, sediaan Zat Besi lepas lambat dan bersalut Polisakarida. Untuk
menghindari efek samping pada gastrointestinal, sediaan zat Besi Oral dikonsumsi mulai dari dosis rendah sekali sehari setelah makan, untuk kemudian dosis dapat ditingkatkan. Walaupun terapi zat besi oral sudah lazim digunakan, namun penggunaan terapi oral tidak dapat memberikan efek penggantian zat besi yang hilang secara maksimal karena keterbatasan dari saluran gastrointestinal dalam menyerap zat besi ini, dan keterbatasan ini semakin diperparah dengan adanya penyakit pada saluran gastrointestinal dan penyakit inflamasi di usus (IBD) Sedangkan untuk rute parenteral diberikan bagi pasien yang tidak dapat diobati melalui rute oral karena adanya efek samping yang parah dari saluran GI, yaitu penyerapannya yang kurang dan untuk penyakit anemia yang harus diatasi cepat. Untuk penyakit radang usus
(IBD)
kronis yang disertai dengan IDA lebih baik
menggunakan terapi zat besi melalui parenteral karena jika diberikan secara oral maka zat besi yang diberikan tidak akan dapat terserap secara maksimal dan baik akibat aktivitas penyerapan/absorpsi yang sangat rendah di lambung penderita IBD. Namun, terapi zat besi melalui oral juga dapat dilakukan apabila pasien tidak mengalami radang usus yang terlalu parah. Rute pemberian sediaan
zat besi ini tergantung pada tanda-tanda, gejala dan
keparahan dari anemia pada tiap pasien.
BAB III PEMBAHASAN
Anemia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan rendahnya jumlah sel darah merah. Sel darah merah merupakan bagian dari darah yang membawa oksigen ke seluruh bagian tubuh (Tresca, 2011). Sedangkan Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan kadar zat besi dalam tubuh. Tanpa zat besi yang cukup, tubuh tidak dapat menghasilkan hemoglobin (suatu zat dalam sel darah merah yang bertugas membawa/mengikat oksigen) yang cukup,. Akibatnya, anemia defisiensi besi mungkin membuat Anda lelah dan sesak napas (Anonim, 2011). Pada proses pencernaan dalam tubuh, absorpsi fe (zat besi) adalah melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum dan jejenum proksimal; makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah di absorpsi dalam bentuk fero. Selanjutnya ion feri akan masuk kedalam plasma dengan perantara transferin, atau si ubah menjadi feritin dan di simpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak fe di ubah menjadi feritin. Bila cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka fe yang baru di serap akan segera di angkut dari sel mukosa ke sum-sum tulang untuk eritropoesis (Casey, 2010). Kekurangan zat besi adalah gangguan hematologis yang paling umum ditemui dalam praktek umum dan anemia defisiensi besi adalah anemia yang paling sering terjadi di seluruh dunia. Kehilangan darah adalah penyebab utama anemia defisiensi besi. Perdarahan gastrointestinal adalah penyebab paling umum dari kekurangan zat besi pada pria dewasa dan yang kedua
adalah kehilangan darah saat menstruasi sebagai penyebab pada wanita. Anemia kekurangan zat besi itu sendiri bukanlah penyakit, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit yang mendasarinya (Rüfer A, Criblez D, Wuillemin WA, 2006). Pada dasarnya, perkembangan terjadinya kekurangan zat besi dan kecepatan berlangsungnya defisiensi zat besi ini tergantung pada cadangan zat besi awal yang ada pada tubuh tiap individu. Umumnya nilai simpanan/cadangan zat besi pada wanita dewasa lebih rendah, misalnya, mencerminkan efek merugikan dari menstruasi (sekitar 1 mg kehilangan zat besi per hari), asupan kalori yang lebih rendah, penggunaan zat besi tambahan, dan kekurangan zat besi berhubungan dengan kehamilan dan menyusui ( sekitar 1000 mg masing-masing untuk kehamilan, persalinan, dan menyusui) (Stanley, 2013).
Orang yang memiliki penyakit radang usus (IBD) berisiko tinggi untuk menderita anemia. Salah satu alasan yang mendukung kejadian anemia ini adalah tidak adanya penyerapan vitamin dan mineral karena peradangan atau diare. Jika usus tidak dapat menyerap zat besi, folat, vitamin B12, dan nutrisi lain, tubuh tidak akan memiliki apa yang dibutuhkan untuk membuat sel darah merah. Alasan lain untuk timbulnya anemia deifsiensi zat besi pada orang yang memiliki IBD adalah kehilangan darah yang dapat terjadi dengan penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Oleh karena itu, dengan berkurangnya jumlah darah didalam tubuh secara terus-menerus, terutama dalam jumlah yang besar dan tidak dapat diisi ualng oleh tubuh secara cepat, maka hal ini dapat menyebabkan anemia (Tresca, 2011). Pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulserativa (merupakan penyakit yang dipicu oleh timbulnya radang usus) sering mengalami kehilangan darah pada saat BAB. Jumlah darah yang hilang bervariasi tiap pasiennya. Perdarahan lebih umum terjadi ketika penyakit Crohn dan kolitis ulverativ ini menyerang pada bagian usus besar daripada usus kecil. Selain itu, malabsorpsi juga dapat berkontribusi dalam kekurangan zat besi. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang memiliki penyakit Crohn pada usus kecil, karena usus kecil adalah organ pencernaan yang erfungsi menyerap sebagian vitamin dan mineral dalam tubuh (Tresca, 2012). Banyak kasus anemia dianggap ringan, tetapi bahkan penyakit anemia dalam tingkat ringan sekalipun dapat menyebabkan gejala dan mungkin memerlukan pengobatan. Bentuk yang lebih parah jarang terjadi namun dapat menyebabkan sejumlah komplikasi, beberapa
diantaranya yaitu kerusakan organ atau gagal jantung (Harper, 2013). Gejala anemia pada umumny adalah : •
Kelelahan
•
Pusing
•
Iritabilitas
•
Mati rasa atau dingin pada tangan atau kaki
•
Kulit pucat
•
Sesak napas dan detak jantung yang cepat dengan tenaga ringan
•
Nyeri dada (ini jarang terjadi) (Harper, 2013)
Ada beberapa jenis anemia, termasuk aplastik, kekurangan zat besi, kekurangan vitamin, penyakit kronis, dan anemia hemolitik. Terapi pengobatan yang diberikan akan tergantung pada jenis anemia dan penyebab yang mendasarinya. Jika anemia telah menyebabkan perkembangan komplikasi lain, pengobatan mungkin diperlukan untuk masalah tersebut juga.
Anemia defisiensi besi adalah yang paling umum dan dapat disebabkan oleh kurangnya makanan kaya zat besi, malabsorpsi zat besi, dan kehilangan darah. Jenis anemia dapat diobati dengan meningkatkan jumlah makanan kaya zat besi dalam diet atau dengan suplemen zat besi. Jika darah hilang akibat pendarahan internal, penyebab utama perdarahan juga harus ditangani. Pasien dengan anemia defisiensi zat besi dilaporkan memiliki tanda-tanda berikut (Harper, 2013) : •
Mudah merasa lelah ketika melakukan kerja keras
•
Kram kaki saat naik tangga
•
Kinerja skolastik yang rendah
•
Intoleransi pada rasa dingin
•
Ketahanan terhadap infeksi berkurang
•
Disfagia dengan makanan padat (dari anyaman esofagus)
•
Membruknya gejala pada penyakit jantung atau penyakit paru
Temuan pada pemeriksaan fisik mungkin termasuk yang berikut (Harper, 2013): •
Gangguan pertumbuhan pada bayi
•
Pucat pada membran mukosa (penemuan yang spesifik)
•
Kuku berbentuk sendok (koilonikia)
•
Lidah glossy, dengan atrofi papilla lingual
•
Splenomegali (pada kasus yang sudah berat, parah, dan tak terobati)
•
Pseudotumor cerebri (sebuah temuan langka di kasus yang parah)
Pengobatan anemia defisiensi zat besi terdiri dari memperbaiki etiologi yang mendasarinya dan pengisian kembali cadangan zat besi dalam tubuh. Pada Terapi zat perlu melihat hal-hal sebagai berikut (Harper, 2013): •
Garam besi besi oral adalah bentuk yang paling ekonomis dan efektif
•
Ferrous sulfat adalah garam besi yang paling umum digunakan
•
Penyerapan yang lebih baik dan morbiditas yang lebih rendah telah diklaim untuk jenis garam besi lainnya
•
Toksisitas umumnya sebanding dengan jumlah besi yang tersedia untuk penyerapan
•
Gunakanlah terapi besi parenteral untuk pasien yang tidak mampu menyerap zat besi oral denga baik (karena penykit GI) atau pada pasien yang anemianya sudah parah meskipun sediaan yang memadai adalh zat besi oral
•
Terapi transfusi sel darah merah dikemas untuk pasien yang mengalami perdarahan akut signifikan atau berada dalam bahaya hipoksia dan / atau insufisiensi koroner
Terapi Pemberian Zat Besi pada pasien IDA secara Oral, prenteral (IM) dan Transfusi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberi terapi penggantian dengan preparat besi. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. 1. Terapi Oral Senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan peroral adalah ferous glukonat, fumarat, dan suksinat dengan dosis harian 4-6 mg/kg/hari besi elemental diberikan dalam 2-3 dosis. Penyerapan akan lebih baik jika lambung kosong, tetapi ini akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Efek samping yang dapat terjadi adalah iritasi gastrointestinal, yang dapat menyebabkan rasa terbakar, nausea dan diare. Oleh karena itu pemberian besi bisa saat makan atau segera setelah makan, meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40-50%. Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. 2. Terapi IM Pemberian besi secara IM menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Kemampuan untuk meningkatkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Indikasi parenteral: Tidak dapat mentoleransi Fe oral Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi dengan Fe oral. Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan pemberian Fe oral (colitis ulserativa). Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal. Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa 3. Terapi Transfusi Transfusi sel-sel darah merah atau darah lengkap, jarang diperlukan dalam penanganan anemia defisiensi Fe, kecuali bila terdapat pula perdarahan, anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Secara umum untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb
Tubuh manusia sehat mengandung ±3,5 g Fe yang hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Absorbsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum; makin ke distal absorbsinya makin berkurang. Zat besi lebih mudah diabsorbsi dalam bentuk fero. Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara transport aktif. Ion fero yang sudah diabsorbsi akan diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin, atau diubah menjadi ferritin dan disimpan dalam sel mukosa usus. Bila Fe diberikan IV, cepat sekali diikat oleh apoferitin (protein yang membentuk feritin) dan disimpan terutama dalam hati, sedangkan setelah pemberian per oral terutama akan disimpan di limpa dan sum-sum tulang dan absorbsinya dipengaruhi oleh suasana asam lambung. Besi dalam bentuk fero paling mudah diabsorpsi, maka preparat besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk berbagai garam fero seperti fero sulfat, fero glukonat, dan fero fumarat. Ketiga preparat ini umumnya efektif dan tidak mahal (Tjay, 2007). Sediaan fe hanya diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan anemia defisiansi fe. Penggunakan diluar indikasi ini, cenderung menyebabkan penyakit penimbunan besi dan keracunan besi.
Pemberian besi secara oral Vs Intravena pada Paisen IDA dengan IBD 1. Terapi Pemberian Oral Besi oral biasanya cukup untuk pasien PGK non-dialisis atau pasien PGK peritoneal dialisis dengan anemia defisiensi besi. Pada pasien dengan PGK tanpa hemodialisis, terapi besi oral umumnya digunakan tetapi mempunyai beberapa kerugian antara lain efek gastrointestinal dan replesi besi yang lama. Penelitian sebelumnya pada pasien hemodialisis
menunjukkan
besi
oral
tidak
adekuat
untuk
mengganti
dan
mempertahankan simpanan besi. Hal ini disebabkan oleh sejumlah besi yang diabsorbsi dari mukosa usus tidak akan cukup dibandingkan dengan peningkatan permintaan besi yang ditingkatkan oleh eritropoesis pada pasien PGK yang juga menerima EPO. Gejala gastrointestinal yang umum terjadi pada pemberian oral adalah gejala dispepsia, konstipasi dan perut kembung (Cesare, 2010)
Efek yang merugikan dalam pemberian besi secara oral adalah dapat menyebabkan iritasi pada lambung, juga mual, diare, dan/atau konstipasi . Jika efek samping terjadi, dosis harus dikurangi, atau alternatif lain, garam besi lainnya dapat digunakan, tetapi perbaikan dalam toleransi mungkin hanya dihasilkan pada kadar unsur besi yang lebih rendah (Thorp, 2008 ; BNF, 2009). Dosis oral yang dibutuhkan untuk mengisi kembali simpanan besi adalah 200 mg per hari Sediaan besi oral antara lain ferrous gluconate, ferrous sulphate, dan ferrous fumarat. Pemberian obat oral sangat sederhana, namun tidak efektif untuk kebanyakan pasien hemodialisis. Berdasrkan penelitian,terdapat bentuk besi oral yang baru yaitu Heme-Iron Polypeptide (HIP) yang berasal dari hidrolisis hemoglobin bovine. Penelitian saat ini, Heme Iron Polypeptide (HIP) dengan terapi epoitin pada pasien hemodialisa
memperbaiki
mempertahankan parameter
toleransi
dibandingkan
besi sesuai
besi
garam
dan
dapat
nilai yang direkomendasikan
tanpa
membutuhkan pemberian besi intravena.
2. Terapi secara intra vena Bila fe diberikan IV , cepat sekali di ikat oleh apoferitin ( protein yang membentuk feritin ) dan di simpan terutama di dalam hati. Sedangkan setelah pemberian per oral terutama akan di simpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari pemecahan eritrosit akan masuk ke dalam hati dan limpa. Penimbunan fe dalam jumlah abnormal tinggi dapat terjadi akibat transfusi darah yang berulang-ulang atau akibat penggunaan preparat fe dalam jumlah berlebihan yang di ikuti absorpsi yang berlebihan pula.
3. Terapi secara Parenteral Besi parenteral pertama diperkenalkan pada abad ke-20. Indikasi utama untuk terapi besi parenteral adalah intoleransi terhadap besi oral, malabsorpsi usus dan daya absorsi yang lemah di dalam lambung untuk sediaan zat besi oral Rüfer A, Criblez D, Wuillemin WA, 2006). Pada tahun 1947, Nissim memperkenalkan besi sakarida secara injeksi intravena dan menyimpulkan bentuk sediaan besi yang aman. Pada
tahun 1954, Baird dan Podmores memperkenalkan HMWD ID (high molecular weight iron dextran) yang dapat diberikan secara intravena dan intramuskuler, namun terjadi reaksi hipersensitivitas berat dapat terjadi pada HMDW ID.34 Pada tahun 1992, low molecular weight iron dextran (LMWID) dikeluarkan untuk terapi intravena. Kemudian iron sucrose (IS) ditemukan di Amerika Serikat dan juga digunakan di Eropa, dilaporkan keamanan penggunaannya hampir sama dengan FG. Dalam 18 bulan terakhir, ditemukan 3 senyawa besi intravena yang baru untuk pasien PGK. Dua sediaan yang diakui di Eropa yaitu FC ( ferric carboxymaltose) dan iron isomaltoside (II), dan satu diakui di Amerika serikat yaitu ferumoxytol. Pemberian zat besi parenteral bermanfaat untuk terapi dan pencegahan defisiensi zat besi pada pasien hemodialisis yang secara efektif mengisi cadangan zat besi sumsum tulang. Pemberian preparat besi parenteral diindikasikan pada keadaan : (1) untuk koreksi defisiensi zat besi yaitu bila kadar feritin serum awal < 100 ng/ml, terutama bila penderita akan mendapat terapi eritropoietin, (2) untuk keadaan defisiensi zat besi fungsional, dimana pemberian eritropoietin memberikan respon suboptimal atau tidak berespon sama sekali, (3) untuk keadaan defisiensi zat besi tetapi preparat besi per oral tidak dapat ditoleransi oleh penderita. Terapi zat besi parenteral untuk mengatasi anemia defisiensi besi dibagi atas terapi besi fase koreksi dan terapi pemeliharaan besi. Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk koreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional, sampai status besi cukup yaitu feritin serum mencapai > 100 ng/L dan saturasi transferin> 20%.
Pada dasarnya, terapi zat besi secara IV dan besi oral sama-sama efektif meningkatkan kadar hemoglobin dalam kejadian anemia defisiensi besi. Tidak ada bukti yang meyatakan bahwa terapi zat besi secara IV dapat meningkatkan kadar hemoglobin dalam waktu yang lebih cepat. Pada penggunaan terapi oral, efek samping terapi ini mungkin terkait dengan pemberian dosis untuk zat besi yang relatif tinggi. Namun, ada pula data yang menunjukkan bahwa zat besi dosis rendah memiliki khasiat sebanding, dengan efek samping yang lebih sedikit. Dalam kasus pengobatan anemia defisiensi zat besi yang disertai dengan IBD, baik terapi oral maupun IV sama-sama efektif dan baik seta tidak ada bukti yang meyakinkan yang menyatakan bahwa penggunaan zat besi oral mengaktifkan atau memperburuk gejala klinis (Rizvi S, Schoen RE, 2011).
BAB IV PENUTUP
Penyakit GI adalah salah satu penyebab yang paling utama dari kejadian anemia defisiensi zat besi (IDA) karena mengakibatkan penyerapan dari zat besi pada saluran cerna (lambung dan usus) tidak dapat berlangsung secara maksimal. Dalam mengobati penyakit anemia defisiensi zat besi yang disertai dengan penyakit GI dan IBD ini, ada dua terapi yang dapat dilakukan yaitu pemberian secara oral dan perenteral. Penggunaan terapi oral ini bermanfaat tapi memiliki efek samping yang buruk yaitu tidak dapat diabsorbsi pada saluran lambung karena adanya penyakit GI. Sedangkan pada pemberian secara parenteral, proses absorspi dan distribusi dari terapi zat besi ini lebih cepat dan lebih baik ditoleransi daripada terapi oral. Berdasrkan keseimpulan dari jurnal, sediaan zat besi parenteral lebih bermanfaat pada pasien IDA dengan IBD (terutama yang disebabkan karena penyakit GI) karena dengan adanya penyakit IBD dan GI ini zat besi oral mungkin tidak cukup untuk mengatasi kejadian
anemia kronik. Namun berdasarkan jurnal lain dinyatakan bahwa dalam kasus pengobatan anemia defisiensi zat besi yang disertai dengan IBD, baik terapi oral maupun IV sama-sama efektif dan baik seta tidak ada bukti yang meyakinkan yang menyatakan bahwa penggunaan zat besi oral mengaktifkan atau memperburuk gejala klinis. Oleh karena itu, dapat ditari kesimpulan bahwa sebaiknya dalam pemberian keputusan terapi penggantian zat besi ini, harus disesuaikan dengan keakutan dan keparahan penyakit IDA dengan IBD, sehingga pemberian terapi zat besi tersebut dapat bermanfaat dan berefek dengan baik.