6
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada umumnya, rata-rata guru di indonesia menggunakan penilaian skla 1-10.hal ini tidak jarang menimbulkan kekeliruan bagi siswa, yang beranggapan bahwa nilai10 lah yang paling istimewa namun, pada kenyataannya penilaian sering berubah-ubah tergantung guru yang akan memberikan skala penilaian. Guru bebas menentukan skala penilaian yang akan digunakan. Oleh sebab itu, dibuatnya makalah ini brtujuan untuk memberikan pemahaman kepada calon guru, agar dalam memberikan skala penilaian hendaknya diperjelas agar tidak terjadi kesalah pahaman, bagi siswa yang diajar.
Jika guru tidak memberikan pemahaman terlebih dahulu tentang skla penilaian yang akan digunakan, sebelum memulai kegiatan belajar mengajar siswa yang mengerjakan soal, yang diujikan oleh guru ketika mendapat nilai 10, dianggap itulahyang paling besar. Padahal tidak jarang seorang guru menggunakan skala penilaian 1-100. Inilah yang menyebabkan seorang siswa merasa kecewa dan malu, nilai yang dianggapnya istimewa malah sebaliknya, padahal nilai siswa tersebut sudah diberitahukan kepada kawan-kawannya.
Rumusan masalah
Apa jenis-jenis skala penilaian?
Apa yang dimaksud distribusi nilai?
Apa jenis-jenis standar nilai?
Tujuan
Menjelaskan jenis-jenis skala penilaian
Menjelaskan distribusi nilai
Menjelaskan jenis-jenis standar nilai
BAB II
PEMBAHASAN
Beberapa Skala Penilaian
Skala bebas
Skala bebas adalah skala yang tidak tetap. Dalam hal ini angka tertinggi dan skala yang digunakan tidak selalu sama. Hal itu ditentukan dari banyak dan bentuk soal yang diberikan guru kepada siswa.
Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada suatu hari berlari – lari kegirangan setelah menerima kembali kertas ulangan dari Guru Matematika. Diamatinya sekali lagi angka yang tertera dikertas itu. Benar, ia tidak salah lihat ! Pada sudut kertas itu tertulis angka 10, yaitu angkayang diperoleh Ani dengan ulangan itu.
Pada waktu ulangan memang ani merasa ragu-ragu mengerjakannya. Rumus yang digunakan sedikit ingat sedikit lupa. Dan ketika seluruh rumus hamper teringat, waktu yang disediakan telah habis. Seberapa selesai soal itu dikerjakan kertas ulangan harus dikumpulkan.
Setelah tiba diluar kelas, Ani berdiskusi dengan kawan – kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak sama dengan yang lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu, ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia kegirangan. Baru sampai bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu – sipu. Apakah sebabnya ?
Rupanya ia menyadari kebodohan-nya karena setelah melihat angka yang diperoleh keempat orang kawannya, ternyata kepunyaan Anilah yang paling sedikit. Ada kawannya yang mendapat 15, 20 bahkan ada yang 25. Dan kata Guru, pekerjaan Tika yang mendapat angka 25 itulah yang betul.
Dari gambaran ini tampak bahwa dalam pikiran Ani, terpancang satu pengertian bahwa angka 10 adalah angka tertinggi yang mungkin dicapai, ini memang lazim. Cara pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru tersebut barangkali perlu menerangkan kepada para siswanya, cara mana yang digunakan untuk memberikan angka atau skor. Ia baru pindah dari sekolah lain. Ia sudah terbiasa menggunakan skala bebas, yaitu skala yang tidak tetap. Adakalanya skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi dan skala yang digunakan tidak selalu sama.
Skala 1 – 10
Apa sebab Ani dan kawan – kawannya berpikiran bahwa angka 10 adalah angka tertinggi untuk nilai ? Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru – guru di Indonesia mempunyai kebiasaan menggunakan skala 1-10 untuk laporan prestasi belajar siswa dalam rapor. Adakalanya juga digunakan skala 1-100, sehingga memungkinkan bagi guru untuk memberikan penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10 guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 akan dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir1) akan keluar di rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.
Skala ini pada umumnya banyak digunakan oleh guru dalam penulisan rapor. Dalam skala ini guru sangat jarang memberikan angka pecahan seperti 5,5 yang pada akhirnya angka tersebut akan dibulatkan menjadi angka 6.
Skala 1-100
Memang diseyogyakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1-10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada diantara kedua angka bulat itu. Untuk itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64.
Skala huruf
Selaian menggunakan angka, pemberian nilai dapat dilakukan dengan huruf A,B,C,D, dan E (ada juga yang menggunakan sampai dengan G tetapi pada umumnya 5 huruf lain). Sebenarnya sebutan "skala" diatas ini ada yang mempersoalkan. Jarak antara huruf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak antara B dan C, atau antara C dan D.
Dalam menggunakan angka dapat dibuktikan dengan gratis bilangan bahwa jarak antara 1 dan 2 sama dengan jarak antara 2 dan 3. Demikian pula jarak antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5.
Akan tetapi justru alasan inilah lalu timbul pikiran untuk menggunakan huruf sebagai alat penilaian. Untuk menggambarkan kelemahan dalam menggunkan angka adalah bahwa dengan angka dapat ditafsirkan sebagai nilai perbandingan. Siswa A yang memperoleh angka 8 dalam sejarah tidak berarti memiliki kecakapan sebanyak dua kali lipat kecakapan siswa B yang memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut tidaklah mempunyai 8/9 kali kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya menggunakan angka hanya merupakan simbul yang menunjukkan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8 yang memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka 4, tetapi kecakapannya itu lebih rendah jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi dalam tingkatan prestasi sejarah urutan adalah C,A lalu B.
Huruf terdapat dalam urutan abjad. Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih tepat digunakan karena tidak ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukan kuantitas, tetapi dapat digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kualitas. Oleh karena itu, dalam mengambul jumlah atau rata-rata, akan dijumpai kesulitan. Padahal dalam pengisian rapor, kita tidak dapat terlepas dari pekerjaan mengambil rata-rata. Sebagai contoh, dapat dilihat pada table berikut.
Table perbandingan nilai 3 kali ulangan
Nama Siswa
Ulangan ke-1
Ulangan ke-2
Ulangan ke-3
Sartini
Tono
Aryani
Suryo
Nunung
Sandra
A
B
C
A
A
C
B
A
A
A
C
C
A
C
C
A
C
C
Bagi Suryo dan Sandra, rata-rata dari ketiga nilai ulangan ke-1, ke-2, dan ke-3 dengan mudah dapat ditentukan, yaitu A untuk Suryo dan C untuk Sandra. Akan tetapi tidak mudah untuk mengambil rata-rata bagi siswa yang lain, mudahkah diambil rata-ratanya ? dapatkah nilai tono diambil rata-ratanya menjadi B ? bagaimanakah menentukan nilai rata-rata dari nilai kepunyaan sartini, aryani dan nunung ?
Ada satu cara yang digunakan untuk mengambil rata-rata dari huruf, yaitu dengan mentransfer nilai huruf tersebut menjadi nilai angka dahulu. Yang sering digunakan, satu nilai huruf itu mewakili satu rentangan nilai. Sebagai contoh nilai huruf pada tabel konversi skor.
Angka 100
Angka 10
Huruf
Keterangan
80-100
8,0-10
A
Baik sekali
66-79
6,6-8,0
B
Baik
56-65
5,6-6,5
C
Cukup
40-55
4,1-5,5
D
Kurang
30-39
0-4,0
E
Gagal
Dengan mengembalikan dahulu nilai huruf itu ke nilai angka, maka dengan mudah dapat dicari rata-ratanya.
Distribusi Nilai
Distribusi nilai yang dimiliki oleh siswa-siswanya dalam suatu kelas didasarkan pada dua macam standar,yaitu
a. standar mutlak,dan
b. standar relative.
Distribusi Nilai Berdasarkan Standar Mutlak
Dengan dasar bahwa hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah standar mutlak atau dalam hal ini skor tertinggi yang diharapkan,maka tingkat penguasaan siswa akan terlihat dalam berbagai berbagai kurva. Apabila soal-soal ulangan yang dibuat oleh guru sangat mudah, sebagian besar siswa akan dapat berhasil mengerjakan soal-soal itu,dan tingkat pencapaiannya tinggi. Sebagian besar siswa akan memiliki nilai sekitar 8,9 atau 10 apabila telah diubah ke skala 10. Sebaliknya apabila soal-soal tes yang disusun oleh guru termasuk soal sukar,maka pencapaian siswa akan sebaliknya pula. Sebagian besar siswa akan memiliki niali 3,4 bahkan mungkin 2 atau 1. Hanya beberapa orang siswa yang istimewa saja yang memiliki nilai 6,dan mungkin tidak ada yang yang memiliki nilai 7 ke atas. Namun demikian,dengan standar mutlak ini mungkin pula diperoleh gambar kurva normal jiak soal-soal tes disusun oleh guru dangan tepat seperti gambaran kecakapan siswa-siswanya.
Dibawah ini adalah gambaran tentang kemungkinan prestasi siswa berdasarkan standar mutlak
(i)Gambaran prestasi siswa jika soal ulangan yang disusun oleh guru sangat mudah. Disebut kurva juling negatif karena ekornya di kiri. (ii)Gambaran prestasi siswa jika soal ulangan yang disusun oleh guru terlalu sukar. Disebut kurva juling positif karena ekornya dikanan.
Apabila guru dapat menyusun soal dengan tepat, dan keadaan siswanya bukan siswa dengan kemampuan terpilih, maka akan ada sebagian kecil dari siswa yang memperoleh nilai rendah dan sebagian kecil lagi memperoleh nilai tinggi, sedangkan sebagian besar mencapai nilai rata-rata. Jika hasil ulangan digambarkan dalam kurva,akan terlihat sebagai kurva normal seperti di bawah ini.
Gambaran prestasi siswa jika soal ulangan yang disusun ada yang sukar dan ada yang mudah.
Untuk melihat penyebaran atau distribusi nilai siswa-siswa dalam satu kelas, terlebih dahulu skor-skor yang diperoleh dari ulangan disusun unit dari yang paling tinggi ke yang paling rendah.
Distribusi Nilai Berdasarkan Standar Relatif
Telah diterangkan di depan bahwa dalam menggunakan standar relatif atau norm-referenced, kedudukan seorang selalu dibandingkan dengan kawan-kawannya dalam kelompok. Dalam hal ini tanpa menghiraukan apakah distribusi skor terletak dalam kurva juling positif atau juling negatif tetapi dalam norm-referenced selalu tergambar dalam kurva normal. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa apabila distribusi skor tergambar dalam kurva juling positif, yang kurang sempurna adalah soal-soal tesnya, yaitu terlalu sukar. Dengan demikian, nilai siswa lalu direntangkan sedemikian rupa sehingga tersebar dari nilai tinggi ke nilai rendah, dengan sebagian terbesar terletak pada nilai sedang. Demikian pula sebaliknya apabila skor siswa tergambar dalam kurva juling negatif. Dalam ubahan menjadi nilai, disebar sedemikian rupa sehingga menjadi kurva normal, dengan nilai sedang adalah nilai yang paling banyak.
Ubahan nilai dari skor-skor yang mengumpul di bawah atau di atas dapat dilihat dalam gambar ini:
___ = nilai berdasarkan standar mutlak
------ = nilai berdasarkan standar relative
Standar Nilai
Dari distribusi nilai, kita dapat membicarakan masalah standar nilai. Pendapat Gronlund dalam distribusi nilai ini demikian . Skor-skor siswa direntangkan menjadi 9 nilai ( disebut juga standar nines atau stanines ) seperti berikut ini .
Stanines
Inteprestasi
9
(4%)
Tinggi
(4%)
8
7
(7%)
(12%)
Di atas
rata-rata
(19%)
6
5
4
(17%)
(20%)
(17%)
Rata-rata
(54%)
3
2
(12%)
(7%)
Di bawah
rata-rata
(19%)
1
(4%)
Rendah
(4%)
Dengan adanya presentase yang ditentukan inilah maka semua situasi skor siswadapat direntangkan menjadi nilai 1-9 di atas.
Misalnya kita memiliki skor-skor seperti disebutkan dalam hasil ulangan IPS kelas V yang telah disampaikan dihalaman lain, dengan mudah dapat kita tentukan 4% dari siswa yangt mendapat nilai 9, selanjutnya 7% mendapat nilai 8, 12% mendapat nilai 7, 17%mendapat nilai 6, dan seterusnya .
Selain dengan standar 9 (stanines), adapula yang menggunakkan standar 6. Dalam hal ini, hanyha sekitar 4 sampai 9, yaitu nilai-nilai 4,5,6,7,8 dan 9. Persentase penyebaran nilai dengan standar enam adalah seperti berikut :
Standar Enam
Interprestasi
9
(5%)
Baik sekali
8
(10%)
Baik
7
(20%)
Lebih dari cukup
6
(40%)
Cukup
5
(20%)
Kurang
4
(5%)
Kurang sekali
Catatan :
Untuk menentukan presentase siswa yang mendapat nilai ,di ambil dari nilai gabungan anatara nilai tes formatif dan sumatif. Penyimpangan yang mungkin terjadi adalah apabila nilai-nilai yang diperoleh mengelompok diatas atau dibawah. Sehubungan dengan ini dikeluarkan dua ketentuan.
Jika nilai gabungan formatif dan sumatif hanya berkisar anatara 60-100, maka daerah nilai dari 1 sd 9 diubah menjadi 6,5 sd 9, dengan urutan sebagai berikut 6;5;7;7;5;8;8;5;9.
Jika nilai gabungan formatif dan sumatif hanya 59 kebawah, maka daerah nilai dari 4 sd 9 diatas diubah menjadi 4 sd 6,5 dengan urutan sebagai berikut : 4;4;5;5;5;5;6;6;5.
Standar eleven ( stanel )
Adalagi standar nilai yang lain, yaitu yang selanjutnya dikembangkan oleh fakiultas ilmu pendidikan UGM disesuaikan dengan sistem penilaian di indonesia .
Dengan stanel ini, sistem penilaian membagi skala menjadi 11 golongan, yaitu angka-angka 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 yang satu sama lain berjarak sama. Tiap-tiap angka mendekati interval sebesar 0,55 SD, bertititk tolak dari mean = 5 yang menempati jarak antara -0,275 SD sampai +0,275 SD. Seluruh jarak yang digunakan adalah dari -3,025 SD sampai =3,025 SD.
Bilangan-bilangan persentil untuk menentukan titik dalam stanel ini adalah P1,P3,P8,P21,P39,P61,P79,P92,P97, DAN P99. Bagaimana menentukan P1,P3,P8, dan seterusnya.
Dasar pikiran untuk stanel ini adalah bahwa jarak praktis dalam kurva normal adalah 6 SD yang terbagi atas 11 skala.
11 skala = 6 SD
1 skala = 6 / 11 SD
= 0,55 SD
Standar sepuluh
Didalam buku pedoman penilaian ( buku III B seri kurikulum SMA tahun 1975 ) ditentukan bahwa untuk mengolah hasil tes, digunakan standar relatif, dengan nilai berskala 1-10. Untuk mengubah skor menjadi nilai, diperlukan dahulu :
Mean ( rata-rata skor )
Deviasi standar ( simpangan baku )
Tebel konversi angka kedalam nilai berskala 1-10
Tahap-tahap yang dilalui dalam mengubah skor mentah menjadi nilai berskala 1-10 adalah sebagai berikut :
Menyusun distribusi frekuensi dari angka-angka atau skor mentah
Menghitung rata-rata skor ( mean )
Menghitung deviasi standar atau standar deviasi
Mentransformasi ( mengubah ) nagka-angka mentah kedalam nilai berskala 1-10
Untuk mengingat kembali cara-cara menghitung rata-rata skor dan standar deviasi( deviasi standar) . berikut ini dikutipkan angka-angka mentah yang tertera dalam buku pedoman penilaian untuk SMA sebagai berikut
Angka ulangan bahasa indonesia dari 50 orang siswa
64 58 10 32 45 20 35 40 35 50
45 52 5 46 34 16 28 39 43 38
30 35 15 40 44 22 32 35 39 39
14 44 52 21 46 36 36 42 44 36
56 25 48 29 54 38 42 33 36 38
Setelah dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi terdapatlah gambaran sebagai berikut :
Distribusi frekuensi
no
Kelas interval
f
d
fd
Fd2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
61-66
54-60
47-53
40-46
33-39
26-32
19-25
12-18
5-11
1
3
4
12
15
6
4
3
2
+4
+3
+2
+1
0
-1
-2
-3
-4
+4
+9
+8
+12
0
-6
-8
-9
-8
16
27
16
12
0
6
16
27
32
N= 50
d=0
Fd=2
Df2=152
Menghitung mean
Langkah-langkahnya adalah :
Menentukan mean duga ( atau mean terkaan ), yang biasanya diambil pada kelas interval yang mempunyai frekuensi terbesar ( yang dalam contoh ini )
Besarrnya MT ( mean terkaan ) adalah jumlah batas-batas kelas interval dibagi 2
Jadi MT = 33+392 = 36
Menentukkan deviasi duga ( diberi simbol d ), dimana pada kelas interval yang mengandung MT diberi simbol 0,dan naik satu-satu setiap kelas interval diatasnya dan turun satu-satu setiap kelas interval dibawahnya.
Menghitung mean yang sebenarnya dengan rumus :
Menghitung deviasi standar (DS) atau standar deviasi (SD)
Rumus yang digunakan untuk menghitung SD adalah :
Menghitung nilai berskala 1-10
Tabel konversi yang digunakan dalam mengubah angka menjadi nilai berskala 1-10 adalah sebagai berikut :
TABEL KONVERSI ANGKA KEDALAM NILAI BERSKALA 1-10
Skala sigma
Skala 1-10
Skala angka
+2,25 SD
+1,75 SD
+1,25 SD
+0,75 SD
+0,25 SD
- 0,25 SD
- 0,75 SD
- 1,25 SD
- 1,75 SD
- 2,25 SD
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Mean+ (2,25) SD
Mean +(1,75) SD
Mean + (1,25)SD
Mean+ (0.75) SD
Mean +(0,25) SD
Mean –(0,25) SD
Mean –(0,75) SD
Mean –(1,25) SD
Mean –(1,75) SD
Mean –(2,25) SD
Dengan tabel ini jika diterapkan pada data yang kita peroleh dari perhitungan mean dan deviasi standar didepan, akan terdapat tabel konversi senagai berikut :
TEBEL KONVERSI ANGKA KEDALAM NILAIM BERRSKALA 0 – 100
Skala sigma
Sksala 0 – 10
Skala angka
+2,25 SD
+1,75 SD
+1,25 SD
+0,75 SD
+0,25 SD
- 0,25 SD
- 0,75 SD
- 1,25 SD
- 1,75 SD
- 2,25 SD
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
36,25 + (2,25) (12,2) = 63,73
36,25 + (1,75) (12,2) = 57,63
36,25 + (1,25) (12,2) =51,53
36,25 + (0,75) (12,2) = 45,63
36,25 + (0,75) (12,2) = 39,33
36,25 - (0,25) (12,2) = 33,23
36,25 - (0,75) (12,2) = 27,73
36,25 - (1,25) (12,2) = 21,03
36,25 - (1,75) (12,2) = 14,93
36,25 – (2,25) (12,2) = 8,83
Dalam contoh perhitungan ini siswa yang mendapat skor 63,73 diubah menjadi nilai 10, selanjutnya siswa yang mendapat skor 8,83 diubah menjadi nilai 0 untuk nilai-nilai 1 sampai dengan 9 adalah ubahan dari skor diantara batas-batas skor yang sudah ditentukan dalam tabel.
Dengan berdasarkan atas skala angka ini, maka dengan mudah dapat ditransformasi skor-skor siswa yang ada, menjadi nilai berskala 1-10.
Standar Lima
Kembali kepada Gronlound selain ia mengemukakan penyebaran nilai dengan angka, juga mengemukakan penyebaran nilai dengan huruf yang digambarkan dengan kurva normal sebgai berikut :
Catatan :
1. Gronlund tidak menggunakan huruf E, tetapi huruf F singkatan dari Fail (gagal).
2. Selanjutnya dikatakan oleh Gronlud: Rentangan persentase ini hanya berlaku bagi populasi yang sangat heterogen. Apabila populasi telah terseleksi akibat kenaikan kelas atau pindah ke tingkat sekolah yang lebih tinggi, maka golongan F yang ada di ekor kiri akan berkurang sehingga distribusi tersebut menjadi:
A. --- 10 sampai 20 persen
B. --- 20 samapi 30 persen
C. --- 40 sampai 50 persen
D. --- 10 sampai 20 persen
E. --- 0 sampai 10 persen
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Beberapa Skala Penilaian: Skala bebas , Skala 1 – 10, Skala 1 – 100 dan Skala huruf
Distribusi nilai yang dimiliki oleh siswa-siswanya dalam suatu kelas didasarkan pada dua macam standar, yaitu:
Distribusi nilai berdasarkan standar mutlak.
Distribusi nilai berdasarkan standar relative.
Beberapa standar nilai:
Standard Nines/Stanines
Standard Enam.
Standar Eleven (Stanel)
Standar Sepuluh
Standar Lima
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. PT. Bumi Aksara.Jakarta
Sari. D. I. 2015. Evaluasi Pembelajaran Matematika.
http://stkippgri-bkl.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/EVALUASI-PEMBELAJARAN-MATEMATIKA.pdf