Literasi Sains
Makalah disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan IPA
oleh Litasari Aldila Aribowo (0402517032)
PENDIDIKAN IPA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan aspek yang sangat menentukan maju atau mundurnya suatu kehidupan. Pendidikan sains memiliki potensi yang besar dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan upaya memahami berbagai fenomena alam secara sistematis. Sehingga, pembelajaran IPA bukan hanya menekankan pada penguasaan sejumlah pengetahuan sebagai produk, tetapi juga harus menyediakan ruang yang cukup untuk tumbuh kembangnya sikap ilmiah, berlatih melakukan penyelesaian masalah, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata (Subali dkk, 2009). Sains pada hakekatnya merupakan ilmu dan pengetahuan tentang fenomena alam yang meliputi produk dan proses. Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan Indonesia masih mengalami masalah yaitu masih rendahnya mutu pendidikan. Hal ini disebabkan oleh belum meratanya pembangunan di Indonesia dalam berbagai aspek dan keadaan geografis Indonesia yang masih sulit dijangkau sehingga pembangunan dunia pendidikan masih tertinggal dan terjadi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dengan kenyataan tersebut dikhawatirkan Indonesia akan gagal memasuki pasar bebas pada tahun 2020. Tantangan abad 21 ditandai oleh pesatnya perkembangan teknologi yang diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan cara pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik yang memiliki literasi terhadap IPA dan teknologi, serta mampu berpikir secara komprehensif dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, siswa dituntut menguasai IPA secara terpadu (Subali dkk, 2009). Pengukuran literasi sains tidak hanya penting untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta didik terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dan proses sains dalam situasi nyata. Berdasarkan data PISA tahun 2013 yang publikasikan oleh Organization For Economic Cooperation and development (OECD) menunjukkan bahwa tingkat literasi sains siswa Indonesia masih rendah dan di bawah rata-rata OECD. Adapun skor rata-rata literasi sains yang diperoleh Indonsia adalah 382 dengan skor rata-rata OECD adalah 501 (OECD, 2013). Berdasarkan data Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang diterbitkan oleh National Center Education Statistics (NCES) tahun 2011 skor literasi membaca siswa Indonesia adalah 428. Sedangkan skor literasi pengalaman
pada tahun 2011 adalah 418 dan kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan informasi 439 dengan skor rata-rata dari PIRLS adalah 500 untuk semua kategori (NCES, 2012). Rendahnya literasi sains bangsa Indonesia terindikasi dalam banyak hal, misalnya seseorang merasa aman berteduh di bawah pohon rindang ketika hujan berpetir, seseorang membawa skala thermometer di dekat kipas angin dan masih banyak bukti-bukti lain yang dapat menjadi indikator rendahnya literasi sains di Indonesia. Meskipun beberapa siswa Indonesia mampu mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian nasional ataupun mampu menjuarai olimpiade sains, akan tetapi prestasi tersebut belum menjamin bahwa Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang literat terhadap sains. Kurikulum 2013 telah dinyatakan berlaku di Indonesia secara bertahap. Kurikulum 2013 menekankan bahwa pembelajaran IPA adalah pembelajaran berbasis integrated science (IPA terpadu) bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Hal tersebut bermakna bahwa IPA merupakan pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam (Kemendikbud, 2013). Kurikulum sains terpadu merupakan kurikulum yang menghubungkan konten yang berbeda dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan matematika. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan literasi sains pada siswa. Dengan membuat hubungan antara konten ilmu pengetahuan, teknologi, dan matematika serta dengan melibatkan siswa dalam kegiatan ilmu pengetahuan di dunia nyata, siswa dapat mulai mengembangkan keterampilan dan proses yang diperlukan untuk benar-benar memiliki literasi sains (Turpin dan Cage, 2004). literasi sains/IPA ( scientific literacy) dalam pembelajaran IPA ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa itu literasis sains? 2. Apa saja komponen dan aspek-aspek dalam literasi sains? 3. Apa saja karakteristik literasi sains? 4. Bagaimana peranan literasi sains dalam pendidikan? 1.3 TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui apa itu literasis sains 2. Untuk mengetahui komponen dan aspek-aspek dalam literasi sains 3. Untuk mengetahui karakteristik literasi sains 4. Untuk mengetahui peranan literasi sains dalam pendidikan
BAB II PEMBAHASAN A. KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Literasi Sains Akar-akar historis dari apa yang disebut sebagai scientific literacy (literasi sains, keberaksaraan sains, melek sains), menurut Hurd (1997), dapat ditelusuri hingga ke masa pengenalan sains modern ke dalam peradaban Barat pada tahun 1500an. Namun, sebagai sebuah isu tersendiri, literasi sains memperoleh perhatian luas setelah Hurd menggunakan untuk pertama kali istilah scientific literacy dalam tulisannya, Science Literacy: Its meaning for American Schools, yang terbit pada 1958. Ia mengaitkan tujuan pendidikan sains dengan literasi sains (Hodson, 2008). Literasi sains (scientific literacy) menjadi keharusan bagi setiap orang. Literasi sains menjadi sangat penting bagi seseorang karena maju mundurnya suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kualitas daya manusia yang memiliki literasi terhadap sains dan teknologi (UNESCO, 2008). Hurd (1997) menguraikan tujuh dimensi yang harus dimiliki oleh seseorang untuk disebut literat secara keilmuan ( scientifically-literate person). Tujuh dimensi itu mencakup: (1) mengerti watak pengetahuan ilmiah; (2) menerapkan konsep, prinsip, hukum, dan teori sains yang tepat dalam berinteraksi dengan semestanya; (3) menggunakan proses sains dalam memecahkan persoalan, membuat keputusan, maupun melanjutkan pemahamannya mengenai semesta; (4) berinteraksi dengan nilai-nilai yang mendasari sains; (5) memahami dan mengapresiasi perpaduan sains dan teknologi serta keterhubungannya satu sama lain maupun dengan aspek-aspek lain masyarakat; (6) memperluas pendidikan sains di sepanjang hidupnya; (7) mengembangkan sejumlah keterampilan manipulatif terkait dengan sains dan teknologi. Istilah literasi sains kemudian diadopsi oleh penulis-penulis berikutnya dengan pengertian yang mereka kembangkan. Pella et al . (1966), umpamanya, mengusulkan definisi literasi sains sebagai pemahaman atas konsep-konsep dasar sains, watak sains, etika yang mengendalikan para ilmuwan dalam bekerja, kesalinghubungan antara sains dan masyarakat, kesalinghubungan antara sains dan kemanusiaan, serta perbedaan di antara sains dan teknologi. Sembari menekankan pentingnya tiga unsur pertama dalam definisi ini, Pella tidak memasukkan unsur keterampilan manipulatif sebagaimana dirumuskan oleh Hurd. Kira-kira seperempat abad kemudian, proyek Science for All Americans (AAAS, 1989) mendefinisikan seseorang yang literat secara keilmuan ( scientifically literate person) sebagai ‘orang yang menyadari bahwa
sains, matematika, dan teknologi berkaitan dengan manusia secara interdependen beserta kekuatan dan keterbatasannya; memahami konsepkonsep kunci dan prinsip-prinsip sains; akrab dengan dunia alam dan mengakui keragaman dan kesatuannya; serta menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah untuk tujuan-tujuan individu maupun sosial.’ Kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah akan sangat bermanfaat ketika individu dihadapkan pada persoalan sehari-hari maupun dalam konteks memberi kontribusi terhadap pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik. Definisi lain yang disumbangkan oleh Organization for Economic CoOperation and Development (OECD) menyerap semangat serupa. Disebutkan bahwa scientific literacy adalah ‘kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, untuk mengidentifikasi persoalan dan menarik kesimpulan berbasis bukti dalam rangka memahami dan membantu membuat keputusan mengenai dunia alam (natural world ) dan perubahan-perubahan yang dibuat terhadap dunia tersebut melalui kegiatan manusia’. Definisi inilah yang digunakan oleh OECD dalam pengembangan Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah program yang ditujukan untuk menilai tingkat literasi siswa sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD maupun bukan. Setiap tiga tahun sekali, sejak tahun 2000 OECD menerbitkan laporan mengenai tingkat literasi tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa literasi sains berarti pemahaman yang luas mengenai konsep-konsep dasar. Kita tidak perlu mampu mensintensiskan obat baru untuk mengapresiasi pentingnya kemajuan medis, atau mampu menghitung orbit stasiun angkasa luar untuk memahami perannya dalam eksplorasi angkasa luar. Warga yang literat secara keilmuan memiliki fakta dan kosakata yang memadai untuk memahami konteks informasi yang diterima sehari-hari. Apabila kita dapat memahami isu-isu ilmiah yang dipublikasikan di majalah dan surat kabar, jika Anda bisa membaca artikel rekayasa genetik atau lubang ozon sama mudahnya dengan kita membaca sepakbola, politik, atau seni, itu berarti kita literat secara keilmuan. Miller (2007) menggunakan pengertian ini ketika melakukan survei terhadap orang dewasa Amerika Serikat mengenai pemahaman mereka terhadap isu-isu sains. Tolok ukurnya ialah kemampuan responden dalam memahami artikel dan berita sains yang diterbitkan di harian New York Times. Seseorang yang literat secara keilmuan, menurut US National Science Education Standards, dapat mengajukan pertanyaan, menemukan, atau menentukan jawaban atas pertanyaan yang berasal dari keingintahuan mengenai pengalaman sehari-hari. Artinya, orang tersebut memiliki kemampuan untuk menguraikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena
alam. Ia mampu membaca dengan pemahaman artikel mengenai sains di media populer dan terlibat dalam percakapan sosial mengenai isu sains. Ia mampu mengevaluasi kualitas informasi ilmiah berdasarkan sumbernya dan metoda yang digunakan untuk menghasilkan informasi tersebut. Literasi sains berimplikasi bahwa seseorang mampu mengidentifikasi isu-isu sains yang mendasari keputusan nasional dan lokal serta mengungkapkan posisinya berdasarkan informasi ilmiah. Holbrook (2009) dalam jurnalnya The meaning of science, menyatakan literasi sains berarti penghargaan pada ilmu pengetahuan dengan cara meningkatkan komponen-komponen belajar dalam diri agar dapat memberi kontribusi pada lingkungan sosial. Berdasarkan pernyataan diatas literasi sains memiliki arti luas, setiap kalangan dapat memberikan kontribusi dalam mengartikan literasi sains. Setiap kalangan umur memberikan kontribusi terhadap teknolgi berdasarkan tingkat pemahaman yang dimilikinya. Literasi sains berarti pengetahuan dan pemahaman tentang konsepkonsep ilmiah dan proses yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pribadi, partisipasi dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan, dan produktivitas ekonomi (Turiman dkk, 2011). Meningkatkan literasi sains melalui pendidikan sains adalah mengembangkan kemampuan, kreatifitas, memanfaatkan pengetahuan yang tepat berdasarkan bukti ilmiah dan keterampilan, terutama dengan relevansi untuk kehidupan sehari-hari dan karir, dalam memecahkan sendiri masalah ilmiah yang menantang namun bermakna serta membuat keputusan sosial-ilmiah yang bertanggung jawab. Tapi perlu untuk mengakui bahwa meningkatkan literasi sains juga tergantung pada kebutuhan untuk mengembangkan interaksi keterampilan secara kolektif, pengembangan pribadi dan pendekatan komunikasi yang sesuai serta kebutuhan untuk menunjukkan penalaran suara dan persuasif dalam mengajukan argumen sosio-ilmiah (Holbrook and Rannikmae, 2009). Untuk tujuan penilaian, definisi literasi sains PISA dapat dicirikan oleh empat aspek yang saling terkait, yaitu aspek konteks, pengetahuan, kompetensi, dan sikap sains (OECD, 2007). PISA ( Programme for International Student Assessment) adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca ( reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains ( scientific literacy). Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun 2000, 2003, dan 2006. Pada tahun 2000 penelitian PISA difokuskan kepada kemampuan membaca, sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada tahun 2003 aspek matematika menjadi fokus utama kemudian diteruskan aspek sains pada tahun 2006. Studi PISA yang dilaksanakan oleh OECD ( Organisation for
Economic Co-operation & Development ) dan Unesco Institute for Statistics itu mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan masyarakat-pengetahuan (knowledge society) dewasa ini. Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan anak muda itu untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam kurikulum sekolah. Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai “ the capacity to use scientific knowledge , to identify questions and to draw evidence-based conclusions in order to understand and help make decisions about the natural world and the changes made to it through human activity”. Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, mel ainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran akan betapa sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia yang reflektif. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis. Sesuai dengan pandangan di atas, penilaian literasi sains dalam PISA tidak semata-mata berupa pengukuran tingkat pemahaman terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dan proses sains dalam situasi nyata yang dihadapi peserta didik, baik sebagai individu, anggota masyarakat, serta warga dunia. 2.2 Komponen dan Aspek-aspek dalam Literasi Sains Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al ., 2004). PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains. 2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu. 3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu. 4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia. 5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya. Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan konsep-konsep sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya. PISA memandang pendidikan sains untuk mempersiapkan warga negara masa depan, yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang akan semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi, perlu mengembangkan kemampuan anak untuk memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains dan kemampuan untuk menginterpretasikan dan mematuhi fakta. Alasan ini yang menyebabkan PISA tahun 2003 menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam penilaian literasi sains. 1. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains. 2. Memahami penyelidikan sains 3. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains. Pandangan terhadap literasi sains yang dilakukan oleh PISA 2003 yang membagi literasi sains dalam tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan konteks aplikasi sains, yaitu: 1. Aspek konteks, PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan sains di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum kurikulum nasional tiap negara yang mencakup bidang-bidang aplikasi sains dalam seting personal, sosial dan global seperti kesehatan, sumber daya alam, mutu lingkungan, dan perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
2. Aspek konten, konten sains berisi konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. 3. Aspek Kompetensi/Proses, PISA memandang perlunya pendidikan sains untuk mengembangkan kemampuan siswa memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan kelemahan sains. Siswa perlu memahami bagaimana ilmuwan menemukan ilmu yang kemudian dapat diadopsi dalam pembelajaran sains 2.3 Karakteristik scientific literacy (Literasi Sains) a. Kemampuan Dasar yang Diukur Kemampuan yang diukur dalam PISA adalah kemampuan pengetahuan dan keterampilan dalam tiga domain kognitif, yaitu membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Untuk memperoleh data yang dimaksud, disusun dua kategori bentuk soal, yaitu bentuk soal pilihan ganda yang memungkinkan siswa memilih salah satu jawaban yang paling benar dari beberapa alternatif jawaban yang diberikan (sebanyak 44.7% dari keseluruhan soal) dan bentuk soal uraian ( constructed response) yang menuntut siswa untuk dapat menjawab dalam bentuk tulisan atau uraian (sisanya atau 55.3%). Kemampuan yang diukur itu berjenjang dari tingkat kesulitan yang paling rendah kepada tingkat yang lebih sulit. Soal-soal yang harus dijawab pada bentuk pilihan ganda dimulai dari memilih salah satu jawaban alternatif yang sederhana, seperti menjawab ya/tidak, sampai kepada jawaban alternatif yang agak kompleks, seperti merespons beberapa pilihan yang disajikan. Pada soal-soal yang memerlukan jawaban uraian, siswa diminta untuk menjawab dengan jawaban yang singkat dalam bentuk kata atau frase, kemudian jawaban agak panjang dalam bentuk uraian yang dibatasi jumlah kalimatnya, dan jawaban dalam bentuk uraian yang terbuka. b. Sampel dan Variabel Sebanyak 290 sekolah di Indonesia telah dijadikan sampel untuk studi ini, dengan jumlah siswa dalam sampel ini sebanyak 7.355 siswa dari keseluruhan siswa yang berusia 15 tahun dan berada dalam sistem pendidikan. Sekolah tersebut dipilih berdasarkan status sekolah dan jenis sekolah, yang mencakup SLTP (38%), MTs (27.6%), SMU (15.9%), MA (8.5%), dan SMK (9.7%). Data yang dikumpulkan dalam PISA ini terdiri atas tiga kategori data, yaitu literasi siswa, latar belakang siswa, dan latar belakang sekolah. Aspek literasi adalah aspek utama dari data yang dikumpulkan yang terdiri atas pengetahuan dan keterampilan dalam membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
c. Desain Tes Literasi Membaca Soal-soal PISA yang didesain untuk mengukur literasi membaca dapat dibagi menjadi tiga aspek utama, yaitu aspek struktur dan jenis wacana, aspek proses membaca, dan aspek konteks pemanfaatan pengetahuan dan keterampilan membaca. d. Struktur dan Jenis Wacana Struktur dan jenis wacana di dalam PISA dibagi menjadi dua jenis yaitu struktur wacana berkelanjutan (continuous texts) dan wacana tak-berkelanjutan (non-continuous texts). Seperti telah dijelaskan di atas, wacana berkelanjutan adalah jenis wacana yang terdiri atas rangkaian kalimat yang diatur dalam paragraf dalam bentuk deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi atau injungsi; sementara wacana tak-berkelanjutan adalah wacana yang dirancang dalam format matrik, termasuk di dalamnya pengumuman, grafik, gambar, peta, skema, tabel, dan aneka bentuk penyampaian informasi. Sementara jenis soal PISA juga mengukur tiga proses membaca, yaitu kemampuan mencari dan menemukan informasi, kemampuan mengembangkan makna dan menafsirkan isi bacaan, dan kemampuan melakukan refleksi dan evaluasi terhadap isi bacaan dalam kaitannya dengan pengalaman sehari-hari, pengetahuan yang sudah didapat sebelumnya, dan pengembangan gagasan dari informasi yang diperolehnya. Soal-soal itu berhubungan dengan konteks membaca yang mencakup konteks membaca untuk kepentingan pribadi, untuk kepentingan umum, untuk kepentingan bekerja, dan untuk kepentingan pendidikan. Aspek struktur, proses, dan konteks membaca ini selanjutnya diwujudkan dalam serangkaian wacana yang berjumlah 48 wacana. Sebanyak 141 soal kemudian dikembangkan berdasarkan wacana tersebut. 2.4 Peranan Literasi Sains dalam Pendidikan Negara-negara maju sudah membangun literasi sains sejak lama, yang pelaksanaannya terintegrasi dalam pembelajaran. AS dengan “Project 2061” membangun literasi sains di Amerika Serikat melalui riset yang hasilnya digunakan untuk menetapkan “standar pendidikan sains Amerika”. Dibuatnya standar ini untuk mewujudkan literasi sains secara kongkrit dalam pendidikan Amerika, yang tujuan jangka panjangnya adalah kejayaan sains dan teknologi di masa depan. Hasil penelitian sains di Australia menunjukkan bahwa tujuan utama pendidikan sains di Australia adalah meningkatkan literasi (melek) sains (Anonim, 2006). Cina menerapkan strategi yang tak kalah penting: menjadikan "literasi (melek) sains" ( science literacy) sebagai program negara. Cina telah memulainya lima tahun silam dengan mencanangkan Rencana 15 Tahun untuk
meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains. Orang literasi sains akan dapat berkonstribusi terhadap kesejahteraan baik dari aspek social maupun ekonomi. Jadi di negara maju, literasi sains merupakan prioritas utama dalam pendidikan sains (Anonime, 2011). Pengembangan evaluasi untuk mengetahui pencapaian literasi sains merujuk pada proses sains, yaitu proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. PISA (2006) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu: a) Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains. b) Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu. c) Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu. d) Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia. e) Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya. Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain. B. Kajian Empiris Penulisan makalah ini didasarkan dari penelitian-penelitian yang telah ada, yaitu:
Menurut Qulud,dkk (2015) Penilaian kemampuan literasi sains selain diukur dengan tes, peneliti juga menilai dengan produk berupa makalah dan poster sebagai penilaian penunjang. Model learning cycle 7e pada setiap tahapannya mampu menyisipkan aspek-aspek literasi sains, selain itu proses pembelajaran lebih bermakna sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.Hasil siswa yang menerapkan model learning cycle 7e di kelas eksperimen, ternyata terdapat peningkatan kemampuan literasi sains siswa. Siswa pada kelas yang tidak menggnakan model learning cycle 7e juga mengalami peningkatan kemampuan literasi sains namun nilai rata-rata (mean) literasi sainsnya lebih rendah dibandingkan kelas yang menerapkan model learning cycle 7e. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan literasi sains siswa kelas eksperimen yang menggunaka model learning cycle 7e lebih besar daripada peningkatan literasi sains kelas kontrol yang tidak menggunakan model learning cycle 7e. Hasil tes literasi sains siswa khususnya pada domain pengetahuan, konteks, dan kompetensi yaitu bahwa setelah kegiatan pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran IPA berbasis Kurikulum 2013 dengan metode guided discovery, terdapat peningkatan skor dan level literasi sains siswa (Inzanah,2014). Pemahaman terhadap konsep sains yang merupakan domain terpenting dari perkembangan literasi sains siswa (Trowbridge & Bybee 1996). Hal ini sesuai dengan hasil uji coba terbatas, siswa yang memiliki pengetahuan yang baik, juga memiliki literasi sains yang baik. Penialian literasi sains siswa didasarkan pada kompetensi ilmiah yang meliputi mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah (OECD, 2013). Kemampuan iterasi sains siswa sebelum pembelajaran dilihat dari nilai pretest literasi sains. Setelah proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang berbasis inkuiri terbimbing, siswa diberikan posttest . Pada saat pretest belum ada siswa yang tuntas sehingga ketuntasan klasikal belum tercapai. Pada saat posttest 75% tuntas, maka secara klasikal sudah tuntas. Skor peningkatan ( gain-score) yang diperoleh setiap siswa berkisar antara 0,33 (sedang) – 0,77 (tinggi) (Sumarti,dkk. 2015). Hal ini sesuai dengan Fittel (2010) investigasi sains melalui inkuiri meningkatkan pemahaman terhadap literasi sains dan hakikat sains.
BAB IV PENUTUP 3.1 Simpulan Secara harfiah literasi berasal dari “ Literacy” (dari bahasa inggris) yang berarti melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf. Kata sains berasal dari “Science” (dari bahasa inggris) yang berarti ilmu pengetahuan. Salah satu indikator keberhasilan siswa menguasai berpikir logis, berpikir kreatif, dan teknologi dapat dilihat dari penguasaan Literasi Sains siswa dari Program PISA. PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu: 1) Mengenal pertanyaan ilmiah, 2) Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah, 3) Menarik dan mengevaluasi kesimpulan, 4) Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia, 5) Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsepkonsep sains. Berdasarkan hasil penelitian Safitri (2015), Peningkatan kemampuan literasi sains siswa yang Menggunakan Bahan Ajar IPA Terpadu Berbasis Literasi Sains Bertema Gejala Alam lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan buku yang biasa digunakan di sekolah. 3.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti, yaitu : (1) Pembelajaran berbasis literasi sains dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran bagi guru dengan lebih memperhatikan kesesuaian antara isi materi berdasarkan literasi sains dan tingkat pengetahuan siswa dalam menyusun materi yang akan disampaikan serta tes yang diberikan kepada siswa, (2) Selain hasil belajar, ternyata pembelajaran literasi sains juga dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa di kelas, sehingga dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut.
Daftar Pustaka Holbrook, J, & Rannikmae, M. 2009. The Meaning of Scientific Literacy. International Journal of Environmental & Science Education, 4 (3), 275-278. Inzanah, I., M. Ibrahim. & W. Widodo. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Ipa Berbasis Kurikulum 2013 Untuk Melatih Literasi Sains Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, 4(1): 459-467. Kemendikbud. (2013a). Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013SMP/MTS-Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta : Depdikbud NCES. (2012). Highlights From PIRLS 2011 Reading Achievement of U.S. Fourth-Grade Students in an International Context . U.S. Department of Education. OECD. (2013a). PISA 2012 Assesment and Analitycal Framework Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy. s.l. : OECD Publishing. OECD. (2013b). PISA 2012 Result: What Students Know and Can Do-Student Perfomance in Mathematics, Reading and Science (Valume I). s.l. : OECD Publishing. Qulud, Q., Wahidin, W. & Y. Maryuningsih.2015. Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7e Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Siswa Pada Konsep Sistem Reproduksi Kelas Xi Di Sma Negeri 1 Arjawinangun. Scientiae Educatia, 5 (1): 1-14. Rustaman, N. 2007. Keterampilan Proses Sains. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI. Safitri, A.D., A. Rusilowati & Sunarno. 2015. Pengembangan Bahan Ajar IPA Terpadu Berbasis Literasi Sains Bertema Gejala Alam. Unnes Physics Education Journal , 4(2): 31-40 Subali, B., Effendy, Suyono, Raharjo, Wasis, dan Sudibyo, E. (2009). Panduan Pengembangan Model Pembelajaran IPA Terpadu. Departemen pendidikan nasional. Sumarti, S., Y.S. Rahayu & Madlazim. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Inkuiri Terbimbing Untuk Melatih Literasi Sains Siswa. Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, 5(1): 822-829 Toharudin, Uus dkk. 2011. Membangun Litrasi Sains Peserta Didik. Bandung: Humaniora. Trowbridge, Leslie W. and Bybee, Rodger W. (1996). Teaching Secondary School Science-Strategies for Developing Scientific Literacy. New Jersey : Prentice Hall, 1996. UNESCO. (2008). Sceince Eduction Policy-Making Eleven Emerging issues. s.l. : UNESCO.