Tugas Kelompok MK. Falsafah Sains
PENGEMBANGAN SISTEM PRODUKSI BUAH DI PEKARANGAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
Oleh : Eka Candra Lina Kusuma Darma Meksy Dianawati
A361090011/ENT A362090031/FIT A261090011/ITB
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGEMBANGAN SISTEM PRODUKSI BUAH DI PEKARANGAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
1.
KONSEP KETAHANAN PAGAN
1.1. Definisi Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi. International Food Policy
Research Institute (IFPRI) memperkirakan terdapat sekitar 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan. Beberapa definisi ketahanan pangan yang sering diacu : 1. Bank Dunia (1986) : akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat. 2. USAID (1992) : kondisi
ketika
semua
orang
setiap saat
mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan yang cukup, aman dan bergizi sesuai dengan kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. 3. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 : kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 4. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
1.2. Aspek dan Indikator Secara umum terdapat tiga aspek ketahanan pangan, yaitu: (1) ketersediaan pangan (availability), (2) akses pangan (accessibility), dan (3) pemanfaatan pangan (utility). Status gizi merupakan outcome 1
dari ketahanan pangan (Gambar 1). Ketersediaan, akses, dan pemanfatan pangan merupakan tiga aspek yang harus dipenuhi secara utuh.
Salah satu aspek tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara
belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Indikator untuk masing-masing aspek ditampilkan pada Tabel 1.
Availability
Stability
Nutritional status
Accessibility
Utility Gambar 1. Aspek ketahanan pangan (Weingärtner, 2004)
Tabel 1. Aspek dan indikator ketahanan pangan (Purwiyatno Hariyadi, 2009) No.
•
Aspek
1.
Availability
2.
Accessibility
3.
Utility
Indikator Kuantitas (Quantity) Kualitas (Quality) Kontinuitas (Stability) Nutrisi (Nutrition) Keamanan (Safety) Fisik (Physical) Ekonomi (Economic) Sosial (Social) kecukupan konsumsi (Intake sufficiency)
Availability: ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, berkualitas, bergizi, dan aman secara teratur untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk hidup aktif dan sehat.
2
•
Accessibility: kemudahan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan.
Akses rumah
tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. •
Utility: yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu,
sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan
layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi, dan pemeliharaan balita. •
Stability merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam
kerawanan
pangan
kronis
(chronic
food
insecurity)
dan
kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial. •
Nutritional status adalah outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang. Umumnya status gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi balita, dan kematian bayi.
2.
PERAN BUAH DALAM KETAHANAN PAGAN
2.1. Nilai bizi buah Buah adalah produk yang fancy, diperlukan dan harus ada meskipun hanya dalam jumlah sedikit.
Buah merupakan sumber nutrisi yang
penting bagi tubuh. Rendahnya konsumsi buah meningkatkan resiko kekurangan mikro nutrisi. 3
Buah-buahan adalah sumber kalori, vitamin, mineral dan serat. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Vitamin B berperan dalam metabolisme makanan untuk menghasilkan energi. Vitamin C dan E berperan sebagai antioksidan yang melindungi konsumen terhadap penyakit kanker.
Vitamin C juga dapat meningkatkan serapan Ca dan besi.
Vitamin K mendukung fungsi otot dan syaraf. Asam folat mengurangi resiko cacat otak bayi lahir dan menjaga kesehatan jantung. Serat pada
(dietary
buah
fibre)
membantu
menghilangkan
senyawa
berbahaya melalui usus dan menjaga tingkat kolesterol darah. Buah juga dipercaya mengandung senyawa “phytochemicals” yang berperan sebagai perlindungan terhadap serangan virus, bakteri, dan fungi.
2.2. Nilai ekonomi buah Selain perannya secara langsung sebagai sumber gizi, buah juga memiliki nilai ekonomi. meningkat
karena
Permintaan terhadap buah akan terus
peningkatan
jumlah
penduduk,
peningkatan
konsumsi perkapita, kesadaran akan nilai gizi, dan peningkatan pendapatan. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, konsumsi buah dan sayur perlu ditingkatkan sebagai substitusi pangan karbohidrat.
Di
negara dengan tingkat pendapatan lebih tinggi, diversifikasi pangan ditunjukkan oleh perubahan pola makan dari biji-bijian sebagai sumber karbohidrat menjadi daging, telur, buah dan sayur sebagai sumber protein, vitamin dan mineral (Gambar 2). Keripik pisang yang dicampur dengan susu atau yoghurt, dapat menjadi menu sarapan pagi di negara Eropa.
4
Gambar 2. Tingkat konsumsi pangan di Indonesia, Malaysia dan Jepang (FAO, 2005) Dalam diet masyarakat Indonesia, peran buah-buahan semakin meningkat. Konsumsi buah-buahan per kapita meningkat dari 17,60 kg pada tahun 1978 menjadi 26,52 kg pada tahun 1988 dan sekitar 34,0 kg pada tahun 1996 (PKBT, 2004). Konsumsi buah nasional tahun 2008 sebesar 35,52 kg/kapita/tahun. Jumlah ini masih jauh di bawah standar FAO sebesar 75 kg/kapita/tahun (Deptan, 2009). Dibandingkan dengan negara Asia lain yaitu Jepang dan Malaysia (Tabel 2), konsumsi buah nasional termasuk rendah. Karena jumlah penduduk Indonesia yang tinggi, maka dengan konsumsi buah yang rendah, tetapi tetap dibutuhkan buah dalam jumlah yang cukup banyak daripada Malaysia, yaitu 7.636 ribu ton, yang harus dimaknai sebagai peluang peningkatan produksi buah nasional Tabel 2. Tingkat konsumsi buah di Indonesia dibandingkan negara Jepang dan Malaysia
No. 1. 2. 3.
Negara Jepang Malaysia Indonesia
Konsumsi perkapita (kg/tahun) 158 138 35,52
Populasi 127.500.000 23.965.000 215.000.000
Kebutuhan (ribu ton) 20.145 3.307 7.636
Sumber : PKBT, 2008. 5
Permintaan buah nasional sebagian besar dipenuhi dari produksi dalam negeri, dan sebagian lagi harus diimpor. Pisang merupakan buah dengan produksi nasional tertinggi, diikuti jeruk, mangga, dan nenas sebagai 4 komoditas produksi tertinggi nasional (Tabel 2). Tabel 2. Produksi buah nasional tahun 2004 – 2008 Komoditi
2004 4.874.439 2.071.084 1.437.665 709.918 800.975 709.857 675.902
Pisang Jeruk Mangga Nenas Salak Rambutan Durian Nangka/ Cempedak Pepaya Alpukat Lainnya Total
Produksi (ton) pada tahun 2005 2006 2007 5.177.608 5.037.472 5.454.226 2.214.020 2.565.543 2.625.884 1.412.884 1.621.997 1.818.619 925.082 1.427.781 2.237.858 937.931 861.950 805.879 675.578 801.077 705.823 566.205 747.848 594.842
2008* 6.004.615 2.467.632 2.105.085 1.433.133 862.465 978.259 682.323
710.795
712.693
683.904
601.929
675.455
732.611 221.774 1.537.901 14.406.597
548.657 227.577 3.602.384 14.786.599
643.451 239.463 4.106.187 16.171.130
621.524 201.635 7.497.471 16.910.586
717.899 244.215 8.757.105 18.241.248
Sumber : Deptan (2009), data 2008 adalah data BPS (2009); diolah. 3.
PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI BUAH
3.1. Justifikasi Pengembangan sistem produksi buah dengan memanfaatkan lahan pekarangan didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut : 1. Ketersediaan lahan yang semakin sempit. Pengembangan pertanian memiliki tantangan dalam hal ketersediaan sumberdaya lahan yang semakin terbatas akibat persaingan yang semakin tinggi dengan sektor non pertanian dalam pemanfaatan lahan. Belum lagi adanya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian menyebabkan lahan pertanian menjadi semakin sempit. Berkurangnya lahan pertanian karena
konversi
akan
bersifat
permanen
terhadap
turunnya
produksi. 6
2. Semakin terbatasnya sumber air. Air merupakan sumberdaya yang utama dalam proses produksi pertanian. Semakin berkurangnya ketersediaan air untuk pertanian menyebabkan upaya pertanian menjadi tidak opimal, baik untuk pemanfaatan lahan maupun untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. 3. Harga sarana produksi pertanian (saprotan) semakin mahal. Proses pertanian membutuhkan input produksi seperti bibit, pupuk, dan pestisida yang semakin waktu semakin mahal. Tidak hanya mahal, tetapi ketersediaan sarana produksi tersebut juga langka. Kelangkaan saprotan memiliki dampak yang tidak permanen terhadap penurunan produksi pertanian. 4. Sistem produksi monokultur dalam skala luas dapat menyebabkan berkurangnya
keragaman
organisme
yang
berakitbat
pada
terganggunya keseimbangan ekosistem. Hal ini memacu terjadinya ledakan (outbreak) serangan OPT.
3.2. Strategi a. Pemilihan Komoditas Tidak semua komoditas buah dapat dikembangkan melalui sistem produksi pekarangan. Pemilihan jenis tanaman buah yang tepat sangat penting untuk menentukan keberhasilan sistem produksi ini.
Selain
memiliki nilai ekonomi dan nilai gizi yang tinggi, beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan
dalam
memilih
jenis
buah
yang
akan
dikembangkan adalah : • Kesesuaian lahan dan agroklimat. Beberapa tanaman hanya dapat berbuah di dataran rendah dan tidak berbuah di dataran tinggi. • Low input.
Tanaman dengan kebutuhan input rendah agar tidak
menjadi beban, tetapi diharapkan dapat meningkatkan gizi dan pendapatan bagi rumah tangga. 7
• Penanganan minimal. Sistem produksi pekarangan merupakan pekerjaan
sampingan,
sehingga
hanya
sedikit
waktu
yang
dicurahkan untuk pemeliharaan komoditas yang dikembangkan. • Masa produksi panjang. Tanaman dengan masa produksi panjang akan lebih baik karena dapat memberikan keuntungan lebih lama.
b. Pihak yang terlibat Peningkatan produksi buah dengan sistem pekarangan melibatkan setidaknya tiga elemen, yaitu : rumah tangga, pemerintah dan pemasar (Gambar 2). Dengan demikian, selain untuk pemenuhan gizi rumah tangga, maka diharapkan pula terjadi peningkatan pendapatan rumah tangga.
Gambar 2. Skema sistem produksi buah di pekarangan
Peran rumah tangga Rumah tangga merupakan pelaksana kegiatan yang berperan dalam proses produksi secara langsung. Rumah tangga tersebut sebaiknya berkelompok sehingga memudahkan dalam pembinaan. Selain itu dengan berkelompok, maka dapat diperoleh skala usaha minimal agar diperoleh efisiensi usaha. 8
Efisiensi usaha dalam berkelompok dapat diperoleh dalam pembelian saprodi, peminjaman alat dan mesin pertanian (alsintan), dan pengolahan hasil. Saprodi dengan jumlah minimal perlu diberikan kepada tanaman buah. Pembuatan kompos secara berkelompok dapat juga dilakukan untuk penambahan hara organic. Saat panen raya, hasil panen dapat diolah menjadi produk olahan skala rumah tangga, untuk kemudian dipasarkan secara bersama yang dikoordinir oleh kelompok tani (Dianawati dkk., 2009). Peran kelompok tani tidak saja dalam mengkoordinir usaha produksi dan pengolahan saja, tetapi juga dapat ditingkatkan perannya dalam menjembatani kerjasama dengan pihak lain seperti dengan pemerintah dan pihak pemasar/investor. Informasi dari berbagai pihak baik teknologi maupun pasar dikoordinir oleh kelompok tani untuk kemudian disebarluaskan kepada seluruh anggota (Dianawati dkk., 2008). Skala kelompok tani bervariasi tergantung kondisi di lapangan. Untuk daerah perkotaan atau pinggir perkotaan, skala usaha RW, dusun, atau kampung sudah cukup, sedangkan untuk daerah pedesaan, skala usaha dapat berupa satu desa atau lebih. Pemilihan komoditas unggulan untuk diusahakan bersama dalam satu desa atau kota ( one
village/city, one product) dapat meningkatkan efisiensi usaha dan menjadi iklan pemasaran yang murah. Sebagai contoh kota Depok sebagai kota belimbing, sehingga dikenal oleh-oleh belimbing baik berupa belimbing segar, maupun olahannya seperti jus, kripik, atau manisan. Peran pemerintah Pemerintah berkontribusi sebagai penyedia bibit dan teknologi.
Bibit
yang diberikan harus varietas unggul yang sesuai dengan selera konsumen
(pasar).
Diseminasi
teknologi
dilakukan
dengan
memberdayakan penyuluh pertanian. Teknologi harus dapat menjamin proses produksi untuk menghasilkan produk berkualitas. 9
Peran pemasar Pemasar berperan sebagai penjamin pasar bagi produk buah yang dihasilkan. Produk buah yang dihasilkan bisa dalam bentuk segar maupun hasil olahan. Pemasar harus membentuk “jalur pasar baru” yang lebih berkeadilan bagi setiap pihak yang terlibat dalam sistem produksi tersebut.
4.
PELUANG DAN TANTANGAN Pengembangan sistem produksi buah di pekarangan dapat mendukung usaha ketahanan pangan. Hal ini karena terjadi pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga secara cukup, berkualitas, bergizi, dan aman secara teratur. Apabila terdapat kelebihan produksi dari rumah tangga, hasil panen dapat dijual atau ditingkatkan nilai tambahnya dengan pengolahan hasil panen. Kerjasama rumah tangga dalam hal ini kelompok tani dengan pemerintah dan pemasar akan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Selain berdampak sosial dalam meningkatkan hubungan silaturami antar
rumah
tangga,
pengembangan
sistem
produksi
buah
di
pekarangan membuat lingkungan menjadi lebih lestari dan terjaga. Polusi udara, air, dan tanah dapat dikurangi, sehingga kesehatan lingkungan menjadi terjaga. Tantangan pengembangan sistem produksi buah di pekarangan adalah bagaimana
memilih
komoditas
unggulan,
meningkatkan
peran
kelompok tani, meningkatkan kerjasama antara petani, pemerintah, dan pemasar, dan membuat kerjasama yang berkeadilan antara petani dan pemasar.
10
SUMBER BACAAN Deptan, 2009. Gambaran Kinerja Makro Hortikultura 2008. http://www.horti kultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=218&Ite mid=2. Deptan, 2009. http://database.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Dianawati M, M. Noch, dan A Sinaga. 2008. Perkembangan Kelembagaan Saprodi Gapoktan Sri Tani di Desa Citarik, Karawang, Jawa Barat. Prosiding Seminar Pekan Padi Nasional 2008. BB Padi. Litbang Pertanian. Dianawati M, M. Noch, dan A. Sinaga. 2009. Rancang Bangun dan Laporan Kegiatan Prima Tani Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Seminar Evaluasi Kegiatan Prima Tani. BP2TP Bogor. IFPRI. 2010.
http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/ifpridp00945.pdf
Nuhfil Hanani AR. 2009. Ketahanan Pangan Dan Pertanian Kota. http://lecture. brawijaya.ac.id/nuhfil/category/journal/pertanian-kota-ketahanan-pangannuhfil-journal. PKBT. 2004. Rencana Induk Riset Unggulan Strategis Nasional Pengembangan Buah-Buahan Unggulan Indonesia. Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. PKBT. 2008. Pengembanganan Bisnis Pangan Berbasis Buah. Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Purwiyatno Hariyadi. 2009. Beyond Food Security. http://www.worldfoodscience. org/cms/?pid=1004751. Weingärtner, L. 2004. The Concept of Food and Nutrition http://www.foodsec.org/tr/fns/BP_I_Concept_Definitions.pdf.
Security.
11