Islam dan Jaringan Perdagangan antar Pulau
Disusun Oleh: Kelompok 2 : Kelas X MIA 3 Gusti Ketut Budiana Julianti Erawati Iluh Jeniari Komang Indra P Muh Ardiansyah I Made Yoss A W
SMA Negeri 2 Konawe K onawe Selatan Tahun 2017/2018
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis aturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan makalah ini. Adapun makalah ini penulis beri judul “Islam dan Jaringan Perdagangan antar Pulau”, disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata pelajaran Sejarah untuk Kelas X Semester II tahun ajaran 2017/2018. Seperti halnya kata pepatah, “Tak Ada Gading Yang Tak Retak ”. Meskipun dalam penulisan makalah ini penulis telah mengoptimalkan kemampuan yang penulis miliki, tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan didalamnya. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan penulisan makalah atau tugas-tugas berikutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Ranomeeto, Januari 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman Judul
i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi BAB I
iii
Pendahuluan
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1
C. Manfaat dan Tujuan
1
BAB II Pembahasan A. Kedatangan Islam ke Indonesia
2 2
B. Pola Jaringan Perdagangan dan Pelayaran antar Pulau di Indonesia 2 C. Jalur Perdagangan antar Pulau di Indonesia
4
D. Pola Perdagangan Setelah Jatuhnya Malaka
5
BAB III Kesimpulan
8
Daftar Pustaka
9
iii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Masyarakat Nusantara
pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang kehidupan mereka tergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang berada di pedalaman adalah masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung kepada pertanian. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan. Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya pengintegrasian Nusantara lewat nasionalisme keagamaan dan jaringan perdagangan antarpulau. Laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di kepulauan indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Nenek moyang kita telah memiliki keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan, pelayaran dan perdagangan. Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, navigasi, pembuatan kapal dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara. B.
Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan kita bahas pada makalah ini yaitu: a.
Bagaimana kedatangan Islam ke Indonesia?
b.
Bagaimana pola jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia?
C.
c.
Bagaimana jalur perdagangan antar pulau di Indonesia?
d.
Bagaimana pola perdagangan setelah jatuhnya Malaka?
Manfaat dan Tujuan a.
Mengetahui sejarah kedatangan Islam di Indonesia.
b.
Mengetahui pola jaringan perdagangan dan pelayaran pulau di Indonesia.
c.
Mengetahui jalur perdagangan antar pulau di Indonesia.
d.
Mengetahui pola perdagangan setelah jatuhnya Malaka.
1
BAB II PEMBAHASAN A.
Kedatangan Islam ke Indonesia Teori yang menerangkan bahwa Islam pertamakali datang ke Indonesia adalah dari
Persi yang beraliran Syiah. Namun, asumsi atau dugaan tersebut tidak dapat di pertanggungjawabkan. Dapat disimpulakan bahwa mubaligh-mubaligh Islam pertamakali ke Indonesia itu datang dari Gujarat (pantai barat India, daerah sebelah barat Ahambadal). Hal itu diartikan demikian: Mubaligh-mubaligh itu datang dari Mekkah, Madinah, sebagian dari Yaman, lalu singgah beberapa saat di Gujarat sebelum meneruskan perjalanan mereka ke timur (Indonesia, Malaysia dan Filipina). Kemungkinan itu besar juga, mengingat perjalanan ke timur itu ditempuh dengan perahu-perahu layar mengarungi samudera Indonesia dan sangat jauh menenpuh perjalanan. Di sisi lain H. Agus Salim menerangkan antara lain: ”Nyatalah perhubungan dari tanah Islam di barat dengan negeri kita ini sudah ada dari zaman kebesan khalifah dalam abad 9.” Pada masa itu tidak ada kapal-kapal bangsa lain dari pada bangsa Islam yang melayari lautan. Bisa dipastikan, bahwa bangsa kita disini di Sumatera dan Jawa mendapat pelayaran daripada bangsa Islam Arab dan Hindia itu, yang pertama-tama sekali mendapatkan pedoman dan melahirkan pelajaran ilmu falak untuk melayari lautan besar. Bangsa itu pula yang mula-mula mengadakan gambar dan peta laut dan memperhatikan pertukaran angin bermusim-musim. Bahwa pada abad 3 Hijriah Al Mas’udi telah menyinggahi Nusantara kita. Bisa diduga bahwa Al Mas’udi bukanlah satu-satunya orang yang menyinggahi Indonesia. Seperti dikatakan oleh H. Agus Salim bahwa pada abad ke 9 Masehi (kira-kira abad ke 2 Hirirah) hubungan antara orang-orang Islam dari Arab dengan Nusantara sudah terjalin. Sebab, seperti yang dikatakan oleh ahli-ahli sejarah pula, hubungan antar orang-orang Cina di Tiongkok sudah terjalain sebelum itu. Sangatlah masuk akal bahwa pelayaran antara Arab-Tiongkok pastilah menyinggahi Nusantara karena menengarungi lautan yang demikian besar dan jauh itu sangat memerlukan tempat singgah untuk menambah perbekalan dan menantikan iklim yang baik. Dan Indonesia terletak antara negeri Jazirah Arab dan Cina. B.
Pola Jaringan Perdaganan dan Pelayaran antar Pulau di Indonesia Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia telah dimulai sejak
abad pertama Masehi. Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina.
2
Jalur perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut (Jalan Sutera Lama/kuno via darat). Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina mela lui Laut Cina Selatan kemudian Selat Malaka, Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah. Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur – Asia Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya. Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu diketahui, bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis, iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda. Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku). Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau Jawa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya. Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal dari luar (pedagang-pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa 3
menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara.Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku. Perdagangan dan pelayaran yang berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-pulau sekitarnyaDi bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti Pasai/Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan-pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar. C.
Jalur Perdagangan antar Pulau di Indonesia. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran
mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva. Berdasarkan berita Tome Pires, buatlah peta jalur perdagangan di bagian timur kepulauan Indonesia!
4
Gambar Jalur Perdagangan dari Sumber Tome Pires
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat sehingga aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut disebabkan makin majunya perdagangan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan Baghdad sebagai pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan tersebut menjadi semakin ramai saat pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang. D.
Pola Perdagangan Setelah Jatuhnya Malaka Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, mendorong para pedagang untuk
mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus,
5
Pariaman, dan Tiku. Berikut ini adalah gambar jalur perdagangan sebelum dan sesudah Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Gambar Pola Perdagangan Sebelum dan Setelah Malaka Jatuh
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar). Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan 6
cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram. Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok uta ma bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia. Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara-Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya. Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Misalnya di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampungkampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali. Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaankerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
7
BAB III KESIMPULAN Islam dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk karena antarpulau saling membutuhkan barangbarang yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, pembuatan kapal, dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagarsaudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara. Pelaut-pelaut Nusantara juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar pada siang hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gununggunung, tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari mereka memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya. Para pelaut mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari arah selatan dan rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah utara. Hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat di beberapa wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore. Wilayah Nusantara menyimpan berbagai kekayaan di darat dan di laut. Sumber daya alam ini sejak dulu telah dimanfaatkan untuk keperluan sendiri dan diperdagangkan antarpulau atau antarnegara. Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam perdagangan antarpulau, yaitu a.lada, emas, kapur barus, kemenyan, sutera, damar madu, bawang putih, rotan, besi, katun (Sumatera); b.beras, gula, kayu jati (Jawa); c.emas, intan, kayu-kayuan (Kalimantan); d.kayu cendana, kapur barus, beras, ternak, belerang (Nusa Tenggara); e.emas, kelapa (Sulawesi); dan f. perak, sagu, pala, cengkih, burung cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua). Rasi bintang biduk besar dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan melalui system barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya dilakukan oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang lancer. Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau-pulau lain telah berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma); Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu yang dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
8
DAFTAR PUSTAKA http://chyput06.blogspot.co.id/2015/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html diakses pada tanggal 12 Januari 2018 http://www.mikirbae.com/2015/10/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html diakses pada tanggal 12 Januari 2018 http://chandrajunitha07.blogspot.co.id/2014/04/islam-dan-jaringan-perdaganganantar.html diakses pada tanggal 12 Januari 2018
9