Makalah Hari Raya Nyepi NYEPI I.
Pengertian Nyepi Pengertian Nyepi berasal dari kata sepi, simpeng atau hening. Sedangkan hari raya Nyepi adalah hari raya suci Agama Hindu yang berdasarkan sasih atau bulan dan tahun masehi yang dirayakan dengan penuh keheningan dengan menghentikan segala aktifitas yang bersifat duniawi maupun dalam bentuk keinginan dan hawa nafsu. Berusaha mengendalikan diri agar dapat tenang dan damai lahir bathin dengan menjalankan catur brata penyepian. Hal ini dapat diatur sesuai dengan keperluan. Dasar pemikiran adalah bahwa hari raya Nyepi dikenal dengan sebagai tahun baru saka. Kenapa disebut tahun baru saka. Untuk dapat kita simak dalam sejarah lahirnya tahun saka. Tahun saka juga disebut saka warsa. Warsa artinya tahun sedangkan saka adalah nama keluarga raja yang terkenal di India yang menciptakan kedamaian rakyat. Centarna demikian : Pada tahun 78 Masehi di India dinobatkan seorang raja bernama Kaniska. Raja Kaniska sangat terkenal dibidang pembinaan Agama dan kebudayaan. Beliaulah yang membuat tahun saka pertama kali dan berkembang sampai ke Indonesia. Pada kepeminpinan beliau perkembangan Agama dan kebudayaan sangatlah baik yang menyebabkan pemeluk merasa damai. II. Sejarah Nyepi Kondisi India sebelum Masehi, diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku banggsa yang memperebutkan kekuasaan sehingga penguasa (Raja) yang menguasai India silih berganti dari berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuwana, Malawa, dan Saka. Diantara suku – suku itu yang paling tinggi tingkat kebudayaannya adalah suku Saka. Ketika suku Yuechhi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan system kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi. Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 S), datang ke Indonesia mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa. Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke – 13) sistem kalender tahun saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kertagama. Sejak saat itu Tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penakukan Bali oleh Majapahit pada abad ke 14 dengan sendirinya membakukan system Tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (alkulturasi) Hindu India dengan kearifan local budaya Hindu Indonesia (Bali) dalam perayaan Tahun Baru Caka inilah yang menjadikan pelaksanaan Hari Raya Nyepi unik seperti saat ini. III. Rangkaian Pelaksanaan Nyepi Perayaan Nyepi terdiri dari beberapa rangkaian upacara yaitu: 1. Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/ memusnakan. Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran (buana alit), dan amertha) bagi kesejahtraan manusia. Pelaksanaan melasti ini biasanya dilakukan dengan membawa arca, pretima, barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa diarak oleh umat menuju laut atau sumber air untuk memohon pembersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). Seperti dinyatakan dalam Rg Weda II. “ Apam napatam paritastur apah” yang artinya “Air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan. Selesai melasti Pretima, Arca, dan Sesuhunan Barong biasanya dilinggihkan di Bale Agung (Pura Desa) untuk memberkati umat dan pelaksanaan Tawur Kesanga.
2. Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pengerupukan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Kesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan catuspata pada waktu tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan . apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari – sari alam yang telah dihisap dan digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari – sari alam itu dikembalika dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Butha sehingga tidak mengganggu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (Butha Somya). Filosofi tawur dilaksanaka pada catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambing tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbanga dengan atas (Tuhan), bawah (Alam Lingkungan), kiri kanan (Sesama Manusia). Setelah Tawur pada catuspata, diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar – nyebar nasi tawur, mengobor – obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda apasaja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Pada malam pengerupukan ini, di bali biasannya tiap desa dimeriahkan dengan adanya Ogoh – Ogoh yang diarak keliling desa disertai dengan berbagai suara mulai dari kulkul, petasan dan juga keplug – keplugan yaitu sebuah bom khas bali yang mengeluarkan suara keras dan menggelegar seperti suara bom yang dihasilkan dari proses gas karbit dan air yang dibakar mengeluarkan suara ledakan yang menggelegar. Ogoh – Ogoh umumnya berwajah seram yang melambangkan Butha Kala, juga menunjukan kreatifitas orang Bali yang luar biasa terkenal dengan budayanya.
1.
2.
1. 2.
Nyepi jatuh pada Penanggal Apiisan Sasih Kedasa (Tanggal 1 Bulan ke 10 Tahun Caka). Umat Hindu merayakan Nyepi selama 24 jam, dari matahari terbit (jam 6 pagi) sampai jam 6 pagi besoknya. Umat diharapkan melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu: Amati Geni Tidak boleh menyalakan api. Amati geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakn uopaya mengendalikan sikap perilaku agar tidak dipegaruhi oleh api amarah (kroda) dan api serakah (loba). Menurut Tattwa Hindu (filsafat) yang memakai symbol Geni tidak disimbolkan sebagai kekuatan Dewa Brahma yang sebagai pencipta. Penciptaan terkait denga hasil pemikiran seseorang disisni perlu diadakannya perenungan, apakah kita sudah menghasilkan pemikiran untuk kebaikan umat ataukah sebaliknya. Pernyataan tersebut terungkap dalam berbagai Pustaka Suci Hindu yang menyatakan bahwa “Keunggulan mnausia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, terletak pada proses pemikiran seseorang yang dapat membedakan sikap perilaku yang baik dan buruk (Sarasmuscaya : Sloka 82). Alat kendali proses berpikir paling utama menurut ajaran Agama Hindu adalah keyakinan terhadap karma phala (Sarasmuscaya : Sloka 74). Mengacu pada etika Berata Penyepian diatas sudah menampakan pelaksanaan amati Geni merupakan suati symbol pengendalian diri. Amati Lelanguan Artinya tidak boleh bersenang – senang. Amati lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang mulat sarira atau nawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah perkataan yang benar yang dalam ineraksi dengan sesame maupun dengan Tuhan sudah dilaksanakan atau belum. Menurut tattwa Hindu dalam pustaka suciyang terungkap dalam Sarasamuscaya dan Kekawin Nitisastra mengajarkan sebagi berikut: Kata – kata menyebabkan sukses dalam hidup; Kata – kata menyebabkan orang gagal dalam hidup;
3. Kata – kata menyebabkan orang mendapat hasil sebagai sumbu kehidupan dan 4. Kata – kata menyebabkan orang memiliki relasi. Mengacu pada pemikiran diatas manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang parisudha yang artinya: a) Proses interaksi social (komunikasi) tidak boleh berkata kasar, b) Mencacai maki dan juga tidak boleh menyebabkan orang tersinggu dan menderita (Sarasamuscaya; Sloka 75), Uraian diatas memberikan kita suatu pelajaran bahwa perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata sikap perilaku seseorang agar hidup ini aman dan bahagia. 3. Amati Karya Artinya tidak boleh bekerja. Amati karya sebagai etika Nyepi yang bermaknakan sebagai evaluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja) merenung hasih kerja dalam setahun dan sesebelumnya sudahkah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Aktualialisasi amati karya dalam konteks hari raya merupakan perenungan pikiran yang religious yang mengajarkan umat Hindu dalam evaluasi hasil kerja sebagai berikut, yaitu sisihkan hasil kerja untuk yadnya, Untuk Hyang Widhi Untuk Rsi Untuk Leluhur maupun Untuk Budhi. Hal tertera dalam pustaka suci Atharwa Weda III. 24.5 dan Sarasamuscaya Sloka 262, yadnya itu merupakan implementasi dari ajaran Tri Rna. Diajarkan pula melalui yadnya dapat terjadi proses penyucian diri manusia baik secara rohani maupun jasmani. Amati karya bermakna gada yang artinya tidak bekerja dimaknai sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kerja kita ap[akah aktifitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia terhindar dari penderitaan. Berdasarakan uraian diatas ajaran agama Hindu memandang kerja sebagai yadnya dan titah Hyang Widhi. 4. Amati Lelungan Artinya tidak boleh bepergian. Amati lelungan merupakan salah satu dari empat brata penyepian yang berpunsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. Amati lelengan berarti menghentikan bepergian ke luar rumah, maka pada saat Nyepi jalan raya sangat sepi. Dalam konteks yang lebih luas berarti evaluasi diri. Evaluasi kerja berhubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar apakah sudah baik atau belum, sehingga kita dapat menilai hasil kerja seobyetif mungkin. Mutu meningkat untuk kebaikan atau merosot, langkah selanjutnya bisa menentukan sikap. Diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja untuk hidup manusia. 3. Ngembak Geni berasal dari kata ngembak yang berarti mengalir dan geni yang berarti api yang merupakan symbol dari Brahma (Dewa Pencipta) maknanya pada hari ini tapa berate yang kita laksanakan selama 24 jam (Nyepi) hari ini bisa diakhiri dan kembali beraktifitas seperti biasa, memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta alias berkreatifitas kembali sesuai swadharma/kewajiban masing – masing. Ngembak geni biasanya diisi dengan kegiata mengunjungi kerabat atau saudara untuk bertegur sapa dan bermaaf – maafan. IV. MAKNA NYEPI Jika kita renungi secara mendalam perayaan Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang
dilakukan umat Hindu agar kehidupan ini seimbang dan harmonis sehingga ketenagan dan kedamaian bisa terwujud. Mulai dari Melasti adalah dialog manusia dengan Sang Pencipta serta para leluhur. Tawu Agung dengan segala rangkaiannya merupakan dialog manusia denagan mahluk cptaan Tuhan lainya untuk menyucukan Buana Alit dan Buana Agung. Pelaksanaan Catur Berata Penyepian merupakan dialog sang Atman dan Paramatma. Dalam diri manusia ada atman yang bersumber dari Sang Pencipta. Dan Ngembak Geni dengan Dharma Santhinya merupakan dialog spiritual atar sesame manusia untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian hidup. V. TUJUAN DILAKSANAKANNYA HARI RAYA NYEPI Adapun tujuan dilaksanakannya hari raya Nyepi dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut: 1. Aspek Religius merupakan suatu proses penyucian Buana Agung dan Buana alit untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbina kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), siwam (kesucian), sundaram (keharmonisan) 2. Membiasakan diri untuk melakukan tapa, yoga dan semadi bagi masing – masing pribadi umat, ini mengandung makna evaluasi perbnuatan dala setahun. 3. Aspek social budaya merupakan wahana untuk intergrasi umat bersama – sama ngiring Ida Betara dari awal sampai nyejer di Bale Agung. 1. 1. 2. 3. 4. 5.
VI. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan uraian diatas, pembahasan mengenai Makna Etika Upacara Nyepi Bagi Pengendalian Diri adalah sebagai berikut: Hari raya Nyepi merupakan salah satu hari raya yang digunakan sebagai penentu jati diri umat Hindu karena hanya hari raya inilah yang diakui oleh pemerintah. Catur Brata Penyepian merupakan etika Nyepi yang dapat digunakan sebagai evaluasi diri dan pengendalaian diri. Aspek theology Nyepi merupakan pengewantahan dari moral umat yang mampu. Catur Brata Penyepian merupakan perenungan untuk evaluasi kerja kita selama setahun dan mampu untuk mengendalikan pikiran dan mengendalikan diri. Kemampuan untuk pengendalian diri berarti perlu suatu jalan untuk mengatasi permasalahan hidup, jalan untuk penyucian manacika, wacika, dan kayika akhirnya mampu mewujudkan “Jagadhita ya ca iti dharma”.
2. SARAN Saran yang saya ajukan mengenai tata cara pelaksanaan Nyepi yang dapat dilaksanakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia yaitu: 1. Disarankan dalam melaksanakan Catur Berata Penyepian agar melaksanakan secara hikmat dan khusuk. 2. Dalam melaksanakan hari raya Nyepiu disarankan agar seluruh umat Hindu tidak melanggar Catur Berata Penyepian. 3. Disarankan bagi umat lain selain umat Hindu agar menghargai pelaksanaan hari raya Nyepi di Bali pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya. http://wiideearetha.blogspot.com/2012/06/makalah-hari-raya-nyepi.html
HARI RAYA NYEPI DI BALI - 05. Jul, 2010 | semester 2 0
Harus saya akui bahwa sumber referensi tulisan ini sangat minim. Saya sudah berusaha mencari sumber-sumber tambahan di Perpus Nasional, tetapi di sana pun tidak didapat sumber tentang Nyepi yang saya cari. Walaupun begitu, saya harap, paling tidak pembaca memiliki pandangan yang lebih luas tentang Nyepi. Sebagai orang Bali yang lahir dan besar di Bali, saya sejak kecil ikut mengalami Hari Raya Nyepi walaupun bukan orang Hindu. Yang saya tahu waktu itu sangatlah sedikit. Nyepi bagi saya berarti jalanan sepi dan anak-anak seperti saya biasanya berman-main di jalan raya, pasar-pasar semuanya tutup, dan pada malam harinya adalah malam yang gelap gulita. Saya juga ingat sehari sebelum nyepi adalah hari yang sangat saya nanti karena biasanya saya menyaksikan pawai ogoh-ogoh di depan rumah saya. Apa makna itu semua, tidak saya ketahui. Maka, secara pribadi, tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menambah pengatahuan saya dan untuk mengenali makna perayaan Nyepi secara lebih baik. Untuk kepentingan kuliah, saya ingin menyelesaikan tugas akhir kuliah Antropologi Budaya sebagai penganti ujian akhir semester. Untuk memperoleh pemahaman yang cukup lengkap tentang Hari Raya Nyepi, paper ini akan menjawab beberapa pertanyaan: bagaimana latar belakang lahirnya Hari Raya Nyepi? Rangkaian upacara apa saja yang dilakukan sebelum, saat, dan setelahnya? Secara khusus, paper ini akan membahas tentang ogoh-ogoh yang muncul dari ekspresi kreatif masyarakat Hindu di Bali yang dengannya memperdalam penghayatan Hari Raya Nyepi. Juga, akan menjawab pertanyaan, apa makna antropologis Hari Raya Nyepi? Dan akhirnya, di bagian penutup dituliskan kesan dari pengalaman penulis sendiri. Latar Belakang Lahirnya Hari Raya Nyepi Menurut agama Hindu, alam semesta ini pada mulanya adalah kosong, sunya, tidak ada apaapanya. Gelap gulita. Maka, tibalah suatu permulaan dari penciptaan, sebutir telur dalam Hiranyagharba sakti merupakan benih pertama segala apa yang terciptakan, disebut Mahadivya, pada awal yuga pertama. Inilah cahaya Brahman, Mahatman pertama, kekal abadi, tiada terlukiskan, cemerlang memancar ke mana-mana, ke seluruh penjuru. Ini adalah asal mula paling halus alam benda jasmaniah dan alam bukan benda atau rohaniah. Dari telur cahaya Brahman ini terlahir Pitamaha, satu-satunya makhluk disebut Prajapati pertama. Kemudian, setelah Brahman, Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), tercipta sendiri cahaya suci Wiwaswan atau Sambhu. Demikianlah kemudian Brahman menciptakan surga, ujung surga, planet, angkasa, bulan, udara, ether, air, bumi, kemudian tahun, musim, sasih (bulan), paksha (tilem dan purnama), siang dan malam. Demikianlah tercipta segala-galanya, kecuali manusia. Wiwaswan atau Sambhu sebagai personifikasi Matahari menerima wahyu dari Brahman untuk menciptakan manusia pertama, yaitu Manu. Sambhu, yang menerima wahyu dari Brahman,
Hyang Widhi, mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran suci dalam bentuk Veda-Desa. Manulah manusia pertama di bumi. Bumi kita diperkirakan sudah berusia 4.320.0000 tahun. Segala sesuatunya dalam alam semesta ini, baik makhluk hidup maupun alam benda, yang tercipta, pada akhir dunia ini, di kala yuga datang akan habis menjadi musnah, lenyap kembali kepada asal mula. Pada permulaan yuga yang baru, segala sesuatunya akan kembali terciptakan oleh Brahman, Hyang Widhi. Bagaikan buah jatuh ke tanah dari pohon, lalu tumbuh kembali. Sesuai pesan Sambhu, Manu kemudian mengajarkan wahyu, yaitu isi kitab Veda-Veda kepada Iswaku, undang-undang hukum hidup dalam alam semesta ini agar alam semesta ini dapat dilestarikan dan tidak termusnahkan di kala yuga mendatang. Demikianlah dalam perjalanannya yang amat panjang, umat manusia mengalami hidup pasang surut dan dunia ini mengalami kezaliman, kemusnahan dari zaman ke zaman. Demi melindungi kebajikan dan menegakkan dharma, Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) turun menjelma dalam wujud Sri Khrisna sebagaimana diungkapkan oleh Bhagavadgita: Mana kala dharma hendak sirna Dan adharma hendak merajalela Saat itu, wahai keturunan bharata Aku sendiri turun menjelma Jadi, untuk menyelamatkan manusia dari adharma, Hyang Widhi turun ke dunia dalam wujud Sri Krishna (1000 SM), Mahavira dan Sidharta Gautama (abad ke-6 SM), Aji Saka (78 M) dan sebagainya. Abad I masehi ditandai oleh suatu zaman keemasan bagi umat Hindu. Di India, di mana agama Hindu buat pertama kalinya diwahyukan Hyang Widhi kepada manusia pertama, Manu, zaman gemilang ini dicatat dengan lahirnya Kanishka I dari keturunan dinasti Kushana, masyur karena sikap toleransinya yang terlahir dari kebangkitan umat beragama, baik itu agama Buddha, agama Hindu sekte Siva, sekte Visnu, Tantri, Tirtha, dan sebagainya. Kebangkitan dan toleransi ini berkembang sangat luas, jauh melampaui batas-batas negeri dan kerajaan sampai ke Timur Tengah, Asia Tengah, Tibet, Cina, Jepang, seluruh semenanjung anak benua Asia (India), Birma (Myanmar), Srilanka, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Karena itu, dalam perjalanan ke negeri-negeri mancanegara, misi keagamaan mengemban penyebaran ajaran-ajaran suci sesuai zaman kebangkitan dan toleransi beragama ini. Demikianlah, seorang pendita Saka gelar Aji Saka menyebarkan kebangkitan dan toleransi beragama dan melakukan ekspedisi ke Indonesia, menuju Jawa, mendarat di sekitar desa Waru, Rembang, Jawa Tengah. Kebangkitan dan toleransi beragama ini mendapat gayung bersambut, di mana agama Hindu sudah tersebar luas. Begitu besar antusiasme penduduk bumi tanah Jawa terhadap kebangkitan dan toleransi beragama ini tercermin dalam ungkapan karya Empu Tantular: “Bhineka Tunggal Ika Tan Ana Dharma Mangrwa”. Seperti halnya di India, di Nusantara juga terdapat berbagai ragam agama, dari yang paling sederhana sampai kepada agama Hindu berbagai sekte, dari menyembah berhala, dewa-dewa sampai Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Kehadiran sang pendita Saka gelar Aji Saka yang teramat penting ini, di bumi Indonesia ini, tidak dapat dilewatkan begitu saja. Ini adalah suatu tonggok sejarah kebangkitan dan toleransi beragama yang sangat harmonis, serasi dan selaras dengan sikap dan watak bangsa Indonesia, sejak dahulu kala hingga sekarang. Pendita Saka gelar Aji Saka ini adalah keturunan bangsa Saka dari Kshatrapa Gujarat, Barat Laut India, tiba di Indonesia pada tahun 456 Masehi, tatkala di India berkuasa Maharaja di Raja Skanda Gupta dari dinasti Gupta Yang Agung yang menaklukkan dinasti Kushana dan mengenyahka mereka dari India. Berkat ketekunan dan keuletan Pendita Saka gelar Aji Saka yang menyebarkan doktrin kebangkitan dan toleransi beragama, yang dirintis oleh Maharaja di Raja Kanishka I hampir 400 tahun sebelumnya, yaitu tahun 78 Masehi di India, maka doktrin ini tetap berkembang hingga kini. Makin hari makin subur. Demikianlah hari tanggal 1 bulan 1 tahun 1 Saka yang jatuh pada tahun 78 Masehi diperingati dan dirayakan oleh umat Hindu yang mengagungkan hari kebangkitan dan toleransi beragama sebagai Hari Raya Nyepi. Rangkaian Upacara Nyepi Dalam menyambut Hari Raya Nyepi, umat Hindu melaksanakan serangkaian upacara/upakara. Tujuan hakiki rangkaian upacara ini adalah memarisudha bhumi, menjadikan alam semesta ini bersih, serasi, selaras dan seimbang. Bebas dari kebatilan, malapetaka, kekacauan sehingga umat manusia sejahtera, terbebas dari penindasan, kebodohan, dan kemiskinan. Rangkaian upacara/upakara ini antara lain: a. Mekiis, Melis, dan Melasti Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/ memusnahkan. Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyebutkan tujuan melasti sebagai berikut: “anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana”. Artinya: melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan, dan kekotoran alam. Lontar Sundarigama menyebutkan: “amet sarining amertha kamandalu ring telenging sagara, manusia kabeh ngaturaken prakerti ring prawatak dewata” . Artinya: mencari sari kehidupan di tengah-tengah laut, dan manusia mempersembahkan bhakti kepada Hyang Widhi. Mekiis atau Melasti dilakukan dua hari sebelum Hari Raya Nyepi. Upacaranya adalah melakukan bersih-bersih, penyucian segala sarana dan prasarana perangkat alat-alat yang dipergunakan dalam rangka persembahyangan dan meditasi. Ini disebut upacara Pembersih, dilaksanakan dengan jalan mengarak ramai-ramai sarana dan prasarana perangkat peralatan yang dipergunakan untuk sembahyang dan meditasi ke laut untuk dibersihkan. Bagi umat Hindu, laut adalah lambang pembersih segala kotoran di mana Hyang Widhi dalam wujud Varuna (Baruna) siap untuk membersihkan dan menyucikan manusia dengan air suci, ”thirta”. Alat-alat persembahyangan serta meditasi, sebagai media konsentrasi, perlu dibersihkan/disucikan di laut setahun sekali. b. Tawur Kesanga, Tawur Agung, Mecaru Tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Agar terjadi keseimbangan, sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur.
Upacara Tawur menurut Lontar Ekapratama, dipimpin oleh Sadaka-Sadaka (Pendeta) yang berpaham Siwa, berpaham Boddha, dan berpaham Bujangga masing-masing dengan tugas: Sadaka-sadaka Siwa menyucikan Akasa (Swahloka) dengan Agniangelayang, Sadaka-sadaka Boddha menyucikan Atmosfir (Bhuwahloka) dengan Agnisara, dan Sadaka-sadaka Bujangga menyucikan Sarwaprani (Bhurloka) dengan Agnisinararasa. Upacara Tawur dilaksanakan di Catuspata (Perempatan Agung) pada siang hari, kemudian di setiap rumah tangga diadakan juga Bhuta Yadnya yang lebih sederhana, yaitu dengan cara membuat sanggah cucuk di luar rumah berisi banten: tegteg daksina peras ajuman, dandanan, tumpeng ketan, sesayut, panyeneng, jangan-janganan, tipat kelanan, sujang arak tuak berem, segehan aperancak (segehan agung), nasi warna 9 tanding dan nasi cacahan 100 tanding. Tawur Kesanga atau Tawur Agung atau Mecaru dilakukan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Upacaranya bertahap menurut tingkat dan klasifikasinya: untuk negara, wilayah atau desa, banjar dan di rumah tangga sesuai klas/tingkat persembahan yang disebut Bhutayadnya, korban suci bagi makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia. Upacara/upakara ini disusul pada waktu senja kala dengan pengrupuk, mebuu-buu, yaitu pembersihan total di negeri, desa, banjar dan rumah-rumah. Upacara ini merupakan persembahan korban suci, dilakukan di prapatan jalan, persimbangan lalu lintas, di rumah-rumah, dengan jalan memotong kerbau, ayam, bebek dan sebagainya sesuai tingkat upacara yang diperuntukkan bagi negara, wilayah, atau desa, banjar dan rumah dan seterusnya. Tawur Kesanga, Tawur Agung atau Mecaru adalah korban suci yang khusus diperuntukkan bagi Bhuta Khala, yaitu makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia seperti setan, jin, kuntilanak, dedemit, memedi, gondruwo, leak, kuman, bakteri, virus dan sebagainya yang menimbulkan wabah penyakit, malapetaka, kematian, kesusahan dan sejenisnya agar bhutakala ini tidak menganggu manusia, tidak mengganggu keharmonisan hidup, tidak mengganggu kelestarian alam, supaya hidup berdampingan selaras, seimbang, dan serasi. Pada senja kala, tepat sebelum Hari Raya Nyepi, demi pembersihan total, dilaksanakan pengrupuk dan mebuu-buu, yaitu membunyikan atau mena-buh gamelan, kentongan, meriam mambu, mercon, petasan atau bunyi-bunyian apa saja dengan riuh ramai, keliling desa dengan maksud agar bhutakala yang membangkang lari tunggang langgang, jauh dari banjar dan desa. Tidak itu saja, dengan obor dan kembang api bhutakala diusir supaya enyah. Yang masih tinggal sembunyi-sembunyi di kolong-kolong dan sudut-sudut rumah bersembunyi disembur dengan mesui (semprotan nati nyamuk, kecoak, tikus, dan sebagainya yang kesemuanya membawa dan menyebarkan penyakit). c. Nyepi atau Sipeng Pada penanggal apisan (tanggal 1) Sasih Kadasa, yaitu esok hari setelah Tawur Kasanga, tibalah hari Sipeng, seperti kutipan Lontar Sundarigama: “enjang nyepi amatigni tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirniya agnigni saparaniya tan wenang, kalinganiya wenang sang wruh ring tattwa gelaraken samadi, tapa, yoga ametitis kesunyataan”, artinya: besok Nyepi, tidak menghidupkan api, tidak dibolehkan manusia bekerja apapun, atau berapi-api dalam bentuk apapun, sebaliknya turutilah petunjuk Hyang Widhi, gelarkan samadi, tapa, dan yoga. Ada 4 (empat) pantangan selama Nyepi, yaitu:
Amati gni (tidak menghidupkan api) Amati karya (tidak bekerja) Amati lelungaan (tidak bepergian) Amati lelanguan (tidak bersenang-senang/ menghibur diri dengan tontonan dll) Selain melaksanakan tapa, yoga, dan samadi, baik sekali dilaksanakan juga brata, yaitu berpuasa dan mengekang nafsu. Tujuan brata penyepian adalah menguasai diri (mengendalikan sad ripu: nafsu, lobha, marah, mabuk, sombong, dengki, dan iri hati). Menuju kesucian hidup. Melaksanakan dharma untuk menyeimbangkan adharma. Di hari Nyepi, umat Hindu berada di Pura, Sanggah Pamerajan, atau di tempat suci (kamar suci) asal tidak keluar rumah, untuk melaksanakan brata penyepian, upawasa (berpuasa), mona (tidak berbicara), dhyana (memusatkan pikiran pada Hyang Widhi), dan arcana (bersembahyang) selama 24 jam. d. Ngembak Api atau Ngembak Geni Ngembak Api atau Ngembak Geni dilakukan sehari setelah Hari Raya Nyepi di mana umat kembali menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari sebagaimana biasanya. Mulai hari ini, umat dapat melakukan sima karma atau/ dan dharmasanti, bersilaturahmi satu sama lain. Ini dilaksanakan sebagai rangkaian terakhir upacara Hari Raya Nyepi dengan bersembahyang dan berdoa dini hari sebelum ayak berkokok, seperti diajarkan oleh Bhagavadgita: ”berlindunganlah engkau pada Hyang Widhi dengan seluruh jiwa ragamu. Dan, dengan restuNya engkau akan mencapai kedamaian tertinggi kekal abadi.” Kemudian, pada waktu siang hari, pergi ke tetangga dan sanak saudara untuk melakukan sima karma atau dan dharmasanti, yaitu anjang sana, silaturahmi saling mendoakan kesehatan dan keselamatan masing-masing serta maaf-memaafkan. Dalam hubungan masyarakat yang lebih luas, dharmasanti dilaksanakan dalam bentuk resepsi di balai atau gedung pertemuan umum. Dalam pelaksanaan upacara Hari Raya Nyepi ini, berlaku pula ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa bagi mereka yang tidak mampu dan atau tidak dalam keadaan sanggup, dapat dibebaskan daripadanya, antara lain: - mereka yang sedang hamil tua - menyusui bayi - mereka yang sakit - anak-anak di bawah umur - mereka yang melakukan tugas tertentu bagi keselamatan dan kepentingan umum - tentara yang sedang bertempur Ogoh-Ogoh dalam Rangkaian Perayaan Nyepi Apa itu ogoh-ogoh? Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat mendefinisikan ogoh-ogoh sebagai patung yang terbuat dari bambu, kertas, dan sebagainya yang berbentuk raksasa dan lainlain yang diarak keliling desa pada hari tertentu (biasanya sehari menjelang Nyepi). Sebagaimana telah dijelasksan, Hari Raya Nyepi selalu didahului oleh prosesi pengrupuk. Pengrupukan selalu ditunggu oleh masyarakat terlebih oleh anak-anak muda karena di malam pengrupukan akan diarak ogoh-ogoh keliling desa dan keliling kota diiringi gambelan bleganjur,
kentogan dan muda mudi yang ikut mengarak dengan membawa obor. Ogoh-ogoh ada sekitar tahun 1980-an. Penggagasnya disebut-sebut adalah mantan Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra yang juga merupakan tokoh budayawan Bali. Ogoh-ogoh dilambangkan sebagai sifat buruk dalam diri manusia, kebencian, keserakahan, kemabukan, iri hati, ketamakan, loba yang mengkristal selama satu tahun. Setelah diarak, ogoh-ogoh itu akan dibakar/ dimusnahkan sebagai simbol penyucian sifat-sifat buruk manusia. Dan, di tahun yang baru, diharapkan terlahir kembali, bersih, dan selalu berbuat Dharma sesuai ajaran agama. Sebagai daerah yang kaya akan seni dan budaya, kesenian dan kebudayaan yang berkembang di daerah Bali banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur agama Hindu. Hal ini disebabkan oleh adanya keinginan umat Hindu di Bali untuk memisualisasikan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Dalam perayaan Tahun baru Saka atau Nyepi, ogoh-ogoh memiliki peranan sebagai simbol atau visualisasi prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Khala, yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan yang merusak. Setelah memahami dengan lebih baik makna-makan ritual dalam rangkaian perayaan Nyepi secara religius budaya, kita akan mencoba memahami rangkain Nyepi itu dari sudut makna antropologis Makna Antropologis Rangkaian Nyepi Di dalam upacara Melasti yang diadakan dua hari sebelum Nyepi, dibayangkan perjuangan manusia mencari sumber air amerta yang akan menghidupkan terus semangat mereka dalam menegakkan dharma. Diiringi suara gamelan yang riuh dan meriah, umat berjalan beriringan membawa seluruh perlengkapan upacara ke sumber-sumber air maupun menyusuri pantai. Terutama di pesisir pantai Sanur dan Kuta, diadakan upacara memberi sesaji kepada dewa laut, Baruna. Alunan monoton dari gamelan dan tabuhan membawa suasana magis dan beberapa orang mulai mengalami trance. Dialami bahwa seluruh kenyataan menjadi bulat dan seolah-olah “air amerta” itu sungguh-sungguh diteguk. Upacara berakhir dengan percikan air suci dari pedanda, diikuti oleh perasaan lengkap di hati umatnya. Sehari sebelum Nyepi diadakan upacara Butha Yadnya. Umat beriring membawa obor sambil memukul tabuhan pada senja kala. Kemudian, diadakan juga upacara memotong hewan korban yang secara simbolis ingin mengungkapkan bahwa bila manusia sanggup berkorban, ia baru dapat mencapai cita-citanya. Sesajen-sesajen diberikan bagi Butha Kala. Di sini, Butha Kala adalah kekuatan-kekuatan negatif yang menguasai manusia yang menghasilkan kekacauan dan penderitaan di dunia ini. kekuatan ini diajak berdamai dan dengan jalan ini manusia mencapai keselarasannya. Dalam konteks kita sekarang ini, kemarahan, pemerkosaan martabat manusia, nafsu berperang, pencemaran lingkungan, eksploitasi alam, kerasukan industri, adalah unsurunsur yang dapat dipersonifikasikan ke dalam tokoh mitologis itu. Pada Hari Raya Nyepi, aspek ideal dari penghayatan harmoni antropokosmis dialami. Pada saat
sepi itu, manusia menghayati kesatuan buana alit dan buana agung seperti pernah terjadi. Matra yang dibayangkan terjadi pada saat awal sekarang dibayangkan hadir saat kini. Kejadian primordial itu juga menjadi orientasi bagi tindakan manusia di masa kini, menjadi etika yang menentukan perasaan-perasaan manusia, baik sedih maupun gembira. Perbuatan agresif manusia seperti permusuhan, peperangan, kemarahan, kebencian, dianggap akan menggoncangkan atau bahkan merusak keselarasan. Dalam suasana semadi pada Hari Raya Nyepi ini, manusia ingin mengambil bagian dalam keheningan alam yang harmonis, alam yang berjalan menurut siklus yang selaras. Inilah makna terdalam yang ingin dicapai umat Hindu dalam menjalani Hari Raya Nyepi dan ini pula makna dalam diri umat manusia: harmoni antara dirinya dan alamya. Penutup Setelah mempelajari seluk beluk Perayaan Nyepi dan memahami sedikit makna antropologis perayaan Nyepi, saya merasa betapa kayanya makna Perayaan Nyepi itu. Pengalaman saya secara pribadi, mendekati Nyepi, saya sangat senang karena bersama teman-teman bisa bermain mercon entah itu di rumah ataupun di sekolah dan sore harinya akan melihat pawai ogoh-ogoh. Inilah yang disebut sebagai upacara Pengrupuk. Dan, ternyata, bunyi-bunyian mercon itu tidak hanya sekedar dibunyikan dan ogoh-ogoh itu tidak hanya sekedar dipawaikan, melainkan mengandung makna religius. Sayangnya, tidak semuanya bisa dihayati dengan baik oleh umat Hindu sendiri. Karena, nyatanya, pada saat Nyepi, orang-orang biasanya keluar rumah dan beramai-ramai nongkrong di jalan raya sambil mengobrol, bercanda, ataupun tidur-tiduran. Paling tidak itulah yang pernah saya amati di dekat rumah saya. Padahal, ada larangan tidak boleh berjalan-jalan ke luar rumah. Maka, tidak mengherankan jika ada pecalang (polisi adat) yang biasanya bertugas mengawasi jalannya perayaan Nyepi. Walaupun demikian, kini saya menyadari bahwa Nyepi itu tidak hanya sekedar jalanan sepi, semua toko dan pasar tutup, dan lampu tidak boleh dinyalakan pada malam hari. Nyepi bagi saya adalah saat di mana dalam kesunyian, manusia kembali melihat relasinya dengan Allah (Hyang Widhi), manusia, dan lingkungannya dan dengan demikian, mau berusaha memperbaiki yang kurang baik dan melestarikan yang sudah baik. http://bennybeatus.blog.com/2010/07/05/hari-raya-nyepi-di-bali/
Hari suci agama Hindu ialah hari yang dipandang (dianggap) suci, karena pada harihari suci itu, umat Hindu wajib melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) beserta segala manifestasi-Nya. Hari-hari suci pada hekekatnya merupakan harihari payogaan Hyang Widhi dengan segala manifestasiNya. Oleh karena itu pada hari-hari tersebut merupakan hari-hari yang baik untuk melakukan Yadnya. Yadnya dilakukan oleh umat manusia sebagai penghormatan
dan pemujaan terhadap Hyang Widhi (Tuhan Maha Pencipta) dan pernyataan rasa syukur dan terima kasih manusia kehadapan-Nya. Hari suci agama Hindu jumlahnya cukup banyak dan maknanyapun bermacammacam. Ada hari suci yang dirayakan bersama oleh seluruh umat, hari ini disebut hari raya (rerahman), bhumi (jagat). Dan ada pula hari suci yang dirayakan hanya oleh beberapa keluarga pada hari-hari tertentu. Di antara sekian banyak hari suci yang dimaksudkan ada beberapa hari raya yang menonjol dan terpenting. Demikian pula perayaannya dilakukan oleh umat bersama dan serentak pula dengan segala tata upacaranya. Perayaan itu dilakukan dnegan penuh kehidmatan dan kesungguhan sikap bathin sebagai landasan dan perwujudan sembah bhakti sekala terhadap Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. Adapun hari-hari suci yang dimaksud adalah Nyepi (Tahun Baru), Saraswati, Galungan, Kuningan. Hari Raya Nyepi (Tahun Baru) Hari Nyepi yang disebut juga Tahun Baru Saka. Pada hari ini umat melakukan Tapa, Bratha, Yoga dan Samadhi satu hari penuh, untuk mengekang hawa nafsu. Nafsu ini diperagakan dengan tidak menyalakan api, tidak bekerja dan tidak bepergian. Jelasnya pada Sipeng ini umat menyucikan diri untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian. Hari Raya Saraswati Saraswati adalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Pada hari Saraswati ini diadakan persembahan bersama dengan melakukan Tapa, Brata dan Samadhi, yang kadangkadang dilengkapi dengan Monabrata, yaitu tidak berbicara. Sedangkan di malam harinya diadakan malam sastra dan seni. Hal ini bertujuan untuk menghormati dan mengagungkan Hyang Widhi dan memohon anugerahnya, serta meneliti dan mengkaji secara teliti, sejauhmana umat mampu menjalankan ajaran suci dan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Hari Raya Galungan Galungan adalah hari Pawedalan Jagad, yaitu pemujaan bahwa telah terciptanya jagad (dunia) dengan segala isinya oleh Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa. Persembahan dan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dilakukan dengan penuh kesucian dan ketulusan hati, memohon kebahagiaan hidup dan agar dapat menjauhkan diri dari Avidya (kegelapan). Hari Galungan adalah perlambang perjuangan antara yang benar (Dharma) melawan yang tidak benar (Adharma) dan juga sebagai pernyataan terima kasih atas kemakmuran dalam alam yang diciptakan Tuhan ini. Hari Raya Kuningan
Perayaan ini dilaksanakan setiap enam bulan sepuluh hari setelah lewatnya Galungan. Hari Kuningan dirayakan sebagai hari kemenangan dan kepahlawanan. Diartikan juga hari kembalinya Sang Pitara bersama Dewata di mana umat Hindu menghaturkan Bhakti memohon kesentausaan dan kedirgahayuan (panjang umur, serta perlindungan dan tuntunan lahir bathin selalu). Referensi Makalah® http://www.referensimakalah.com/2012/12/hari-suci-agama-hindu.html