DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase ( fase syok) sampai fase lanjut. Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi: y
Paparan o
api
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
o
Benda
panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak. y
Scalds Scalds (air panas) Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada
kasus
kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan. y
Uap
panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh
uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru. y
Gas
panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas akibat edema. y
Aliran listrik Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
y
Zat
kimia (asam atau basa)
y
R adiasi adiasi
y
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
K LASIFI LASIFIK ASI ASI LUK A BAK AR AR
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. terbuat dari bulu domba (wol).
Bahan
Bahan
baju yang paling aman adalah yang
sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar
juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar. Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:
Derajat
I
Pajanan
hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk
dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn. sunburn.
Derajat
II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan
adanya
jaringan yang masih ³sehat´ tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi f ull-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat
III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang lebih dalam.
Pada
keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar
regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala
yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena
pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
BERAT DAN LUAS LU K A BAK AR Berat
luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar. o
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 C. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme. Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen
terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu: y
Estimasi
luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak
tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III. y
R umus Pada
9 atau rule o f nine untuk orang dewasa
dewasa digunakan µrumus 9¶, yaitu luas kepala dan
leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masingmasing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.
R umus
ini
membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Pada
anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
y
Metode Lund dan Browder Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan µR umus 9¶ dan disesuaikan dengan usia: o
Pada
anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan
lengan persentasenya sama dengan dewasa. o
Untuk
tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga t ercapai nilai dewasa.
Lund and Br owder char t ill u st ra ting the method f or cal culating the percenta g e o f body sur f ace ar ea a ff ected b y burn s in child re n.
PEMBAGIAN LUK A BAK AR
1. Luka bakar berat (major burn) a.
Derajat
II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b.
Derajat
II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar e. Luka bakar listrik tegangan tinggi f.
Disertai
trauma lainnya
g.
Pasien-pasien
dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moder ate burn) a. Luka bakar dengan luas 15 ± 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 ± 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 % c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum 3. Luka bakar ringan a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
PATOFISIOLOGI LU K A BAK AR
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III. Bila
luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam.
Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi
kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna ge lap akibat jelaga. Dapat
juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat
hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis. Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik. Pada
awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus
Gram
positif yang berasal dari
kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif, P seudomonas aerug inosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti. Bila
luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat
invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila
penyebabnya kuman
Gram
positif, seperti stafilokokus atau basil
Gram
negatif lainnya,
dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah. Bila
penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal,
FASE PADA LUK A BAK AR Dalam
perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok Pada
fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia. 2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut Masalah utama pada fase ini adalah S ystemic I n f lammator y Respon se S ynd ro me ( S IRS) dan M ulti-system Org an Dys f unction S ynd ro me (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka) 3. Fase lanjut Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Pembagian
1.
zona kerusakan jaringan:
Zona
koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis. 2.
Zona
statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan. 3.
Zona
hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama.
INDIK ASI RAWAT INAP PASIEN LU K A BAK AR
Menurut Amer ican Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap bila: 1. Luka bakar derajat III > 5% 2. Luka bakar derajat II > 10% 3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi 4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas 5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya 6. Adanya trauma inhalasi
PEMERIK SAAN PENUNJANG Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah 2. Urinalisis 3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit 4. Analisis gas darah 5. R adiologi ± jika ada indikasi ARDS 6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIR S dan MODS
PENATALAK SANAAN LUK A BAK AR Pasien
luka bakar harus dievaluasi secara sistematik.
Prioritas
utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak.
Pada
pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada
trakeostomi. Pasien
dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak
dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas µtersembunyi¶. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. R iwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal. Pakaian
pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik
pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul. Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas: 1. Intubasi Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas. 2. Krikotiroidotomi Bertujuan
sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan
morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi. 3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan
untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang
menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis. 4. Perawatan jalan nafas 5. Penghisapan sekret (secara berkala) 6. Pemberian terapi inhalasi Bertujuan
mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan
mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial) 7.
Bilasan bronkoalveolar
8.
Perawatan
9.
Eskarotomi
rehabilitatif untuk respirasi pada dinding torak yang bertu juan untuk memperbaiki kompliansi paru
b. Tatalaksana resusitasi cairan R esusitasi
cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang
di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin. R esusitasi
cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara
untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam 2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam 3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
Cara Baxter Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
c.
R esusitasi Pada
nutrisi
pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan.
Bila
pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat
melalui naso- g ast ri c t ube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus.
Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIR S dan MODS.
Perawatan luka bakar Umumnya
untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan µmaintenance¶ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.
K OMPLIK ASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis Pendahuluan
SIR S adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. R espon
ini
merupakan
dampak
dari
pelepasan
mediator-mediator
inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS ( M ulti-system Org an Dis f unction S ynd ro me) bahkan sampai kegagalan berbagai organ ( M ulti-system Org an Fail ur e/MOF). SIR S dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya.
Dalam
penelitian dilaporkan SIR S dan MODS
keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIR S sendiri mengantarkan pasien pada MODS. Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIR S, yaitu in f ection, in jur y, in f lamation, inadequate blood f low, dan ischemia-r eper f u sion in jur y. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus Amer ican C olle g e o f C hest phycisian s dan the S ociety o f C ri tical C ar e Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu: -
Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
-
Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
-
Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2 < 32 mmHg)
-
Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band ). Bila
diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIR S disebut sebagai sepsis. SIR S akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIR S.
Pada
dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ
pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila
ditelusuri lebih lanjut, SIR S sebagai suatu proses yang berkesinambungan
sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIR S. Patofisiologi Perjalanan
SIR S dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa
tahap. Tahap I R espon
inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau
trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi T umor Necr otizing Factor (TNF), interleukin (IL1, IL 6), interferon, C olon y S timulating Factor (CSF), dan lain-lain. respon inflamasi adalah sel-sel
PMN,
Efektor
selular
monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk
sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thr omboxane, P latelet Activating Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease.
Endotel
teraktivasi dan
lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling o ff ) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi. Tahap II Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Gr owth Factor /GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (T ra n s f or ming Gr owth Factor /TGF).
Dengan
demikian mediator-mediator tersebut
menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down r e gulating c ytok ine pr od uction dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIR S); terjadi reaksi sistemik masif.
E fek
predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri
mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan.
R espon
destruktif regional dan sistemik
(terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated I nt ra vascular C oa gulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian. MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIR S. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIR S, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya t erjadi secara simultan. Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna.
Disrupsi
mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barr ier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barr ier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin).
Pada
kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses
degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan. Gangguan Gangguan
sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIR S.
sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi
serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati).
Gangguan
sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute T ubular Necr osis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal ( Acute Renal Fail ur e/AR F).
Gangguan
sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nit ri c Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis.
Gangguan
sirkulasi ke
kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barr ier kulit. Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid P ro tein C omplex (LPC) yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. R espon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik. Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif. Tatalaksana Penatalaksanaan
luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan
SIR S, MODS, dan sepsis. Pemberian
Nutrisi
Enteral Dini
(NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama
pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase f low.
Pemberian
antasida dan
antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus. Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debr idement , dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera immediate ( sk in gr a f ting ) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evapor ative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barr ier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur wakt u dan memperberat stres metabolisme.
Pemberian
bermanfaat.
obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak
Pemberian
steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat
pemberian serta efek sampingnya. Pemberian
zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan
leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxy g enase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian
Omega-6 memiliki efek pada c yclo-oxy g enase pathway asam arakhidonat, sehingga
menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (Thr omboxaneA2) yang bersifat maligna.
OSMOREGULASI K omposisi Cairan Tubuh
Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa.
Prosentase
cairan tubuh ini bervariasi antara
individu sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dati total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relative lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia. Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel.
Dua
pertiga bagian (67%)
dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan sepertiganya (33%) berada d i luar sel (cairan ekstrasel/ CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan, dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompartmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun, volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ekstrasel, sedangkan ion K + di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan de ngan intrasel dan plasma. Perbedaan
komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier
yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan dan elektrolit antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartmen sehingga terjadi keseimbangan kembali.
Perpindahan Substansi Antar K ompartmen
Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atan membran tersebut.
Bila
substansi zat
tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeable untuk substansi tersebut. Membran disebut semipermeabel (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya. Perpindahan
substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif
membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi. a. Difusi Partikel
(ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan ce nderung
menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa
faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick¶ s
law o f di ff u sion). Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi. 2. Peningkatan permeabilitas. 3. Peningkatan luas permukaan d ifusi. 4. Berat molekul substansi. 5. Jarak yang ditempuh untuk difusi b. Osmosis Bila
suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah
dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkat, konsentrasi air akan menurun. Bila
suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan
yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat yang terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah ke larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis. c. Filtrasi
Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran, dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik. d. Transport aktif
Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi.
Perpindahan
seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi.
Contoh: Pompa Na-K. K eseimbangan Cairan dan Elektrolit Pengaturan
keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu:
volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel.
Ginjal
mengontrol volume cairan
ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. a. Pengaturan volume cairan ekstrasel Penurunan
volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan
menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan Pengaturan
volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara sbb.:
1. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intak e & output ) air. Untuk
mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada
keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water t urnover dibagi dalam: y
E xternal f l uid exchang e, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar. (Gambar 3)
y
I nternal f l uid exchang e, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler g injal.
2. Memperhatikan keseimbangan garam Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan.Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urin untuk mempertahankan keseimbangan garam. Ginjal y
mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara: Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerul u s Filt ra tion Rate(GFR ).
y
Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal Jumlah Na+ yang direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem
R enin-Angiotensin-Aldosteron
reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting .
mengatur
R etensi
Na+
meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri . Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, At ri al Nat ri ur etic P eptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi oleh sel atrium jantung jika mengalami distensi akibat peningkatan volume plasma.
Penurunan
reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal
meningkatkan eksresi urin sehingga mengembalikan volume darah kembali normal. b. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi air dalam larutan tersebut. Air akan berpindah dengan cara osmosis dari area yang konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menembus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Io n natrium merupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel.
Distribusi
yang tidak merata dari ion
natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik di kedua ko mpartmen ini. Pengaturan
a.
osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui:
Perubahan Di
osmolaritas di nefron
sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di duktus koligen.
Glomerulus
menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal ( 300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding
tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan
secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsorbsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik.
Permeabilitas
dinding tubulus distal dan
duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urin yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresin/ ADH. b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH) Peningkatan
osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang
osmoreseptor di hypothalamus.
R angsangan
ini akan dihantarkan ke neuron
hypothalamus yang menyintesis vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan vasopressin dengan resptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan
ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.
Pengaturan Neuroendokrin dalam K eseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melali baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotiikus, osmoreseptor di hypothalamus, dan volumereseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atripeptin (ANP) akan meningkatkan ekskresi volume natrium dan air . Perubahan
volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan. Sebagai
contoh Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit diantaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stress, dan penyakit.
K eseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu: 1.
Pembentukan
asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan
bikarbonat 2. Katabolisme zat organik
3.
Disosiasi
asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak
terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H. Fluktuasi konsentrasi ion h dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain: 1.
Perubahan
eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat,
sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas. 2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh. 3. Mempengaruhi konsentrasi ion K Bila
terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H
seperti nilai semula dengan cara: 1. mengaktifkan sistem dapar kimia 2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan 3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan Ada 4 sistem dapar kimia, yaitu: 1.
Dapar
bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama untuk perubahan
yang disebabkan oleh non-bikarbonat. 2.
Dapar
protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.
3.
Dapar
hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam
karbonat. 4.
Dapar
fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan ca iran intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementera. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespons secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernapasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut.
Ginjal
mampu meregulasi
ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan mensekresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan ammonia.