KRAMA DESA: MENARUH ASA PADA CAGAR BUDAYA SUB TEMA: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS CAGAR BUDAYA
Disusun Oleh: Sekar Rizqy Amallia Ramadhani (1401405027) I Kadek Sudana Wira Darma
(1401405017)
Jofel Eliezer Malonda
(1401405020)
UNIVERSITAS UDAYANA 2017
i
ii
iii
ABSTRAK
Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai pariwisata merupakan hal yang saat ini mulai dikembangkan. Kawasan Cagar Budaya DAS Pakerisan dimana terdapat Situs Candi Gunung Kawi dan DAS Petanu dengan Situs Goa Gajahnya di wilayah Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata baik mancanegara maupun domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami bagaimana proses pengelolaan di situs bersangkutan dan bagaimana keterlibatan masyarakat dalam memanfaatkan Cagar Budaya di sekitar mereka, serta dampak apa yang dirasakan dari adanya situs tersebut di wilayah mereka tinggal. Pengumpulan data dilakukan dengan car observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Data dianilis melalui pemilihan data yang menunjang dari sekian data yang didapat, disajikan dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengelolaan situs bersangkutan dipegang oleh beberapa stakeholder, dinas pariwisata setemoat, masyarakat desa dan BPCB. Banyak bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wujud dari pemberdayaan masyarakat dengan adanya cagar budaya di wilayah mereka. Kata kunci: pengelolaan, cagar budaya, pemberdayaan masyarakat, daya tarik wisata.
iv
KATA PENGANTAR
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Tentu masih banyak kekurangan di dalam penyajian karya tulis ini, namun besar harapan penulis bahwa karya tulis ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan setiap pembaca. Besar juga harapan penulis bagi semua pihak yang membaca dapat memberikan kritik dan evaluasi yang membangun agar segala kekurangan dapat diperbaiki dan dikembangkan lebih baik lagi agar manfaat dari karya tulis ini bisa lebih optimal. Penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan, kerjasama dan bimbingan yang telah diberikan.
Denpasar, 14 Oktober 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
Cover/Halaman Sampul ............................................................................... i Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii Pernyataan Orisinalitas dan Status Naskah ................................................... iii Abstrak .......................................................................................................... iv Kata Pengantar .............................................................................................. v Daftar Isi ....................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 4 1.4 Kajian Pustaka ............................................................................ 4 BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi Penelitian ........................................................................ 7 2.2 Jenis Penelitian............................................................................ 7 2.3 Sumber Data ................................................................................ 8 2.4 Instrumen Penelitian ................................................................... 8 2.5 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 8 2.6 Analisis Penelitian ...................................................................... 9 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kepurbakalaan .................................................................................... 10 3.1.1 Pura Tirta Empul .............................................................................. 10 3.1.2 Situs Gunung Kawi .......................................................................... 11 3.1.3 Situs Goa Gajah ............................................................................... 11 3.2 Pengelolaan Situs ................................................................................ 12 3.3 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Situs ........................................ 17 3.4 Dampak Pemanfaatan Situs ................................................................ 19
vi
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 22 Daftar Pustaka ............................................................................................... 25 Lampiran
vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Salah satu hasil budaya yang cukup banyak tersebar di Pulau Bali adalah
cagar budaya atau bagi masyarakat awam benda-benda cagar budaya lebih dikenal sebagai benda-benda kuno yang memiliki keunikan tersendiri. Dasar hukum yang mengatur tentang cagar budaya tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, merupakan pembaharuan dari dasar hukum sebelumnya pada masa Orde Baru, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Berdasarkan UU RI No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya mendefinisikan cagar budaya sebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Adapun syarat suatu benda atau bangunan disebut sebagai cagar budaya, diantaranya adalah berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Sebagian besar kondisi dari cagar budaya yang ditemukan adalah sudah tidak utuh lagi atau bahkan rusak karena memang hal tersebut bisa dikatakan menjadi sifat dari cagar budaya yakni rapuh. Jumlah cagar budaya juga terbatas sehingga menjadikan cagar budaya sebagai benda yang unik dan langka. Selain itu keberadaaan dari cagar budaya sendiri tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), sehingga keaslian cagar budaya menjadi faktor yang sangat penting untuk dijaga atau dipertahankan untuk menjaga nilai budaya yang dimiliki. Bali sebagai pulau yang memiliki banyak keindahan dan keunikan alam serta kebudayaannya juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan cagar budaya di pulau
1
ini. Sebagian besar cagar budaya yang berada di Bali bersifat living monument yang artinya benda maupun bangunan cagar budaya masih menjadi bagian yang hidup dalam aktivitas masyarakat Bali, walaupun banyak dari cagar budaya tersebut telah mengalami pergeseran fungsi dari fungsi aslinya. Berbeda dengan cagar budaya di wilayah Indonesia lainnya yang sebagian besar sifatnya dead monument atau tidak difungsikan kembali. Situasi tersebut berdampak positif terhadap pelestarian cagar budaya yang ada di Bali. Masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam menjaga, melindungi dan melestarikannya karena merasa memiliki cagar budaya tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip pelestarian cagar budaya yang diatur dalam UU No 11 tahun 2010. Pada prinsipnya terlestarikannya cagar budaya berkoherensi dengan keikutsertaan atau partisipasi
masyarakat
secara
keseluruhan.
Keterlibatan
masyarakat
dalam
melestarikan begitu juga dalam pemanfaatannya ditujukan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (community-oriented) dalam implementasinya diwujudkan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar Situs. Pendekatan ini mempunyai keuntungan bagi kedua belah pihak, antara pihak pengelola warisan budaya dengan pihak masyarakat di sekitar situs. Pihak pengelola, yakni pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (otonom) dalam upaya pelestarian akan memperoleh dukungan dari masyarakat setempat, karena mereka membutuhkan peran dari warisan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga akan memperoleh keuntungan, baik moril maupun materiil karena warisan budaya dapat memberikan kontribusi konkrit yang dapat meningkatkan taraf perekonomian dalam kehidupannya (Prasodjo, 2004). Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar situs memiliki potensi yang dapat dikembangkan sehingga akan menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Ketergantungan tersebut menunjukkan adanya relasi atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu situs arkeologis dan masyarakat lokal.
2
Pengembangan potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebutlah yang perlu di perdayakan. Pemberdayaan merupakan upaya untuk memampukan masyarakat di sekitar situs, dengan cara mendorong, memotivasi sekaligus membangkitkan kesadaran
masyarakat
akan
potensi
yang
dimilikinya
serta
berupaya
mengembangkannya untuk memperoleh kemandirian dalam meningkatkan taraf hidupnya dengan memanfaatkan wilayah yang ditinggalinya yang merupakan kawasan cagar budaya. Beberapa kawasan cagar budaya yang terdapat di Bali adalah kawasan DAS Pakerisan dan Petanu yang terletak di Kabupaten Gianyar. Salah satu diantara kawasan tersebut, yakni kawasan DAS Pakerisan merupakan kawasan yang sudah ditetapkan menjadi World Heritage Site atau Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Perlu diketahui bahwa kriteria untuk menjadi sebuah warisan dunia adalah terdapatnya nilai-nilai penting yang istimewa dan diakui secara luas oleh dunia. nilainilai penting tersebut dikenal sebagai Outstanding Universal Value. OUV yang dimiliki dalam hal ini adalah filosofi dari konsep Tri Hita Karana yang dipegang oleh masyarakat Bali. Beberapa situs yang termasuk dalam kawasan DAS Pakerisan yaitu Situs Candi Gunung Kawi dan Situs Tirta Empul. Sedangkan untuk di kawasan DAS Petanu terdapat Situs Goa Gajah salah satunya. Ketiga situs yang terdapat dalam dua kawasan tersebut merupakan situs yang mendatangkan daya tarik tersendiri khususnya dalam bidang pariwisata. Dengan banyaknya pengunjung yang tertarik untuk mendatangi situs tersebut, tentunya membawa dampak secara langsung maupun tak langsung kepada masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berangkat dari kondisi situs inilah, maka kami mencoba untuk melihat bagaimana situs tersebut memberi pengaruh kepada masyarakat. Karya tulis ini akan mencoba menggali lebih dalam lagi mengenai pengelolaan serta pemberdayaan masyarakat yang telah diterapkan di situs-situs yang telah disebutkan diatas.
3
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, terdapat dua hal yang mendapat
perhatian. Pertama, situs Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa Gajah merupakan situs yang mendapatkan kunjungan wisatawan yang banyak sehingga perlu dilihat pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan situs tersebut. Kedua, pemberdayaan masyarakat sangat penting dilakukan agar masyarakat dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk menunjang kesejahteraan mereka, sehingga penting melihat pemberdayaan seperti apa saja yang telah diterapkan di situs-situs tersebut.
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami fenomena
pengelolaan situs Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa gajah serta mengetahui sejauh mana suatu situs dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar situs. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan yang mendalam tentang pengelolaan cagar budaya, pemberdayaan masyarakat dan menambah referensi bagi peneliti yang mendalami pengelolaan cagar budaya. Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang proses dan manfaat pengelolaan cagar budaya, serta pemberdayaan masyarakat di sekitar cagar budaya. Gambaran tersebut dapat digunakan oleh pemerintah sebagai acuan dalam menentukan kebijakan pengelolaan cagar budaya. Sementara, oleh pelaku pariwisata dapat digunakan sebagai pedoman pengembangan usaha pariwisata di lingkungan cagar budaya.
1.4
Kajian Pustaka Tinjauan pustaka dalam suatu penelitian sangatlah penting, terutama untuk
memperoleh pandangan-pandangan dan teori-teori yang dapat digunakan sebagai kriteria atau bahan pembanding dalam memahami permasalahan yang diteliti. Hasil pengkajian terhadap bahan pustaka dimanfaatkan sebagai sumber data sekunder.
4
Beberapa bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. Bambang Sulistyanto dalam artikelnya yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pertanggungjawaban Sosial Arkeolog” mengemukakan bahwa pemberdayaan
pada
hakekatnya
memampukan
masyarakat
agar
dapat
mengaktualisasikan diri dalam pengelolaan lingkungan budaya yang terdapat di sekitarnya dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak-pihak lain. Pemberdayaan merupakan upaya mutlak yang perlu dilakukan oleh arkeologi dalam upaya pengelolaan suatu situs warisan budaya masa kini. Program pemberdayaan masyarakat di sekitar situs akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Sebagai contoh adalah pemberdayaan masyarakat di situs sangiran. Tulisan ini memberikan gambaran tentang pentingnya memetakan potensi masyarakat di sekitar situs Tirta Empul, Gunung Kawi dan Goa Gajah. Yadnya Tenaya dalam artikelnya yang berjudul “ Dampak dan Makna Pemanfaatan Situs Goa Gajah Sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar” menjelaskan tentang dampak-dampak yang terjadi di Goa Gajah dengan adanya pemanfaatan sebagai objek wisata, dampak tersebut dapat berupa dampak positif maupun negatif. Tulisan ini memberikan acuan dalam meminimalisir dampak negatif akibat dijadikannya suatu situs sebagai objek wisata. I Wayan Ardika dalam bukunya yang berjudul “Warisan Budaya Perspektif Masa Kini” menyatakan dalam pengelolaan cagar budaya sebagai objek wisata sebaiknya dilakukan secara kemitraan ataupun pendampingan. Masyarakat lokal perlu diberikan pelatihan-pelatihan manajerial, peningkatan kualitas pelayanan, sadar budaya dan wisata, bantuan finansial ataupun prasarana dan sarana penunjang daya tarik wisata. Tulisan ini memberikan kontribusi untuk melihat strategi pemberdayaan yang sudah dilaksanakan di beberapa situs dalam penelitian ini. Tjahjono
Prasodjo
dalam
artikelnya
yang
berjudul
“Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi” menyatakan tentang aspek-
5
aspek penting dan strategi untuk memberdayakan masyarakat masyarakat yang ada disekitar situs. Pustaka ini dapat dijadikan sebgaai data pembanding pemberdayaan masyarakat yang sudah dilaksanakan di situs Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa gajah.
6
BAB II METODE PENELITIAN 2.1
Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga desa yang merupakan wilayah dari DAS
Pakerisan dan DAS Petanu, Kabupaten Gianyar, Bali. Objek penelitian di wilayah DAS Pakerisan meliputi Situs Gunung Kawi di Banjar Penaka, Desa Gunung Kawi dan Situs Pura Tirta Empul di Desa Manukaya Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Objek penelitian lainnya yang diambil adalah Situs Goa Gajah yang berada di Dusun Gua, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali. Pemilihan ketiga lokasi tersebut sebagai objek penelitian karena kawasan DAS Pakerisan dan DAS Petanu merupakan sungai yang terdapat banyak peninggalan budaya berupa candi, pahatan pada tebing, dan ceruk-ceruk pertapaan yang dipahatkan di tebing, diantaranya adalah Situs Pura Tirta Empul, Situs Gunung Kawi dan Situs Goa Gajah yang telah menjadi icon dan cukup terkenal karena keindahannya, nilai sejarah yang penting dan memiliki potensi sebagai daya tarik wisata yang secara nyata berdampak pada masyarakat di sekitarnya.
2.2
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah cara atau upaya yang menekunkan pada aspek pemahaman secara mendalam pada suatu permasalahan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif, menggunakan analisis mendalam. Tujuan dari metode ini adalah menjelaskan permasalah dengan luas dan mendalam yang sedang dikaji.
7
2.3
Sumber Data Data Primer Data primer adalah sumber data utama yang digunakan dalam penelitian.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan dari hasil observasi di lapangan secara langsung ataupun hasil wawancara dengan narasumber. Data Sekunder Data sekunder adalah data penunjang yang digunakan untuk melengkapi data primer. Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan melalui jurnal, artikel dan buku.
2.4
Instrumen Penelitian Nawawi (dalam Laksmi. 2014: 210) mengatakan instrumen penelitian
merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti karena peneliti sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisa dan penyaji hasil penelitian. Instrumen lainnya yang mendukung kegiatan penelitian adalah kamera untuk dokumetasi, handphone untuk merekam proses wawancara, dan buku catatan.
2.5
Teknik Pengumpulan Data Studi pustaka Studi pustaka adalah upaya pengumpulan data sekunder seperti buku, jurnal,
artikel ataupun teks lainnya dalam media cetak maupun media elektronik untuk melengkapi dan menunjang data yang telah didapatkan di lapangan. Studi pustaka yang dikumpulkan merupakan sumber yang berhubungan tentang situs terkait maupun tentang bentuk pengelolaan, pengembangan dan pelestarian yang berhubungan dengan masyarakat. Observasi Observasi adalah kegiatan pengumpulan data secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data primer yang dibutuhkan. Kegiatan observasi dilakukan
8
dengan proses pengamatan, pencatatan, pendokumentasian dan pengukuran untuk mendapatkan data primer. Kegiatan observasi di situs bertujuan untuk mengetahui keadaan situs serta aktivitas masyarakat dalam pengelolaan ataupun pemberdayaan situs sebagai salah satu sarana untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui komunikasi secara langsung antara narasumber dengan pewawancara. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat melengkapi hasil observasi lapangan dan studi pustaka yang telah didapatkan. Narasumber dalam penelitian ini mencakup Bendesa Adat, Juru Pelihara (Jupel), masyarakat setempat dan wisatawan.
2.6
Analisis Penelitian Analisis data menggunakan alisis kualitatif melalui tiga alur kegiatan, yaitu
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Emzir. 2010: 129-135). Reduksi data dilakukan dengan pemilahan dan penyederhanaan data yang didapat. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan peninjauan kembali data yang dimiliki untuk mendapatkan hasil dari penelitian.
9
BAB III PEMBAHASAN
3.1
Kepurbakalaan
3.1.1
Pura Tirta Empul Pura Tirta Empul terletak di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar yang
ada dalam wilayah Daerah Aliras Sungai (DAS) Pakerisan, sebuah sungai yang membentang sepanjang kurang lebih 20 km. Pura Tirta Empul, berdasarkan namanya, diketahui ada tirtha (air) yang keluar berbual-bual dari dalam tanah (empul), oleh karena itu namanya “Tirta Empul” (Susanti, dkk. 2013: 128). Berdasarkan sebuah prasasti yang tersimpan di Pura Sakenan, Manukaya tertera tulisan yang diukir pada batu besar berisi angkata tahun 882 Saka/960 Masehi yang dikeluarkan oleh seorang raja Bali Kuno yang bernama Jayasingha Warmadewa menyebutkan tentang perintah raja untuk memperbaiki tirta di air empul yang rusak akibat derasnya air (Goris dalam Ardika. 2013: 240). Terdapat sumber mata air yang jernih di bagian halaman tengah pura yang airnya dialirkan ke halaman tengah melalui pancuran pada tiga buah kolam dan diterukan ke luar untuk irigasi sawah di sekitar pura. Selain dari pancuran, terdapat tinggalan purbakala lainnya berupa arca Ganesa, lingga-yoni dan arca lembu. Temuan ini menandakan adanya pengaruh Hindu-Siwa yang berkembang pada masa lampau. Ganesa merupakan anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dikenal sebagai Dewa Keselamatan dan Pengetahuan. Lingga-yoni juga adalah salah satu simbol yang berkembang dalam ajaran Hindu. Lingga melambangkan Dewa Siwa atau laki-laki, sedangkan yoni melambangkan sakti dari Siwa yaitu Dewi Parwati atau perempuan. Berdasarkan pemaknaan tersebut persatuan dari lingga-yoni adalah sebagai lambang dari penciptaan atau kesuburan (Ardika. 2013: 238). Lembu pada ajaran Hindu juga bermakna sebagai vahana atau kendaraan dewa, khususnya kendaraan dari Dewa Siwa yang dikenal dengan sebutan Nandhi.
10
3.1.2
Situs Gunung Kawi Situs Gunung Kawi adalah tempat purbakala yang terdiri dari deretan candi
dan ceruk yang dipahatkan pada tebing-tebing cadas yang dibelah oleh Sungai Pakerisan yang terletak di Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali. Komplek percandian ini merupakan komplek percandian terbesar yang ada di Bali. Situs ini pertama kali ditemukan oleh W.O.J Nieuwankamp sekitar tahun 1907. Komplek percandian Gunung Kawi memiliki luas kurang lebih 4 hektar yang terdiri dari empat buah candi tebing pada sisi barat, lima candi pada sisi timur dengan sisi depannya terdapat pertirtaan dengan beberapa jaladwara dan satu lagi di sebelah tenggara dan banyak ceruk pertapaan di kawasan ini. Hal lainnya yang menarik dari situs ini dengan ditemukannya tulisan dengan tipe aksara Kediri Kwadrat yang biasa digunakan sekitar abad ke-XI Masehi. Berdasarkan tipe huruf dan masa perkembangannya diperkirakan komplek percandian ini dibangun pada abad ke-XI Masehi bertepatan dengan pemerintahan (Wiguna. 2008: 30-40). Huruf Kadiri Kwadrat berada pada deretan candi lima yang di sebelah timur di atas pintu semu, yaitu “haji lumah ing jalu” yang berarti “sang raja yang dimakamkan di Jalu”. Orang Bali menganggap “jalu” atau “susuh” (dari ayam jantan) sama dengan keris, sehingga kalimat “ing jalu” ditafsirkan sebagai penunjuk kepada kali (sungai) keris atau Pakerisan. Perkataan “rwa nak ira” dihubungkan dengan Raja Udayana dengan kedua putranya, yaitu Marakata dan Anak Wungsu. Dengan demikian komplek percandian Gunung Kawi didirikan untuk pedharmaan Raja Udayana dan putra-putranya (Ardika dalam Goris. 1957 ; Kempers. 1960).
3.1.3
Situs Goa Gajah Goa Gajah merupakan situs yang terletak di Br Gua, Bedulu, Gianyar. Situs
Goa Gajah terdiri dari sebuah goa yang di pahatkan di sebuah bukit batu membentuk ruang berdenah seperti huruf T. Nama gajah bukan berasal dari bentuk kepala Kala, yang sama sekali tidak menggambarkan gajah. Kepurbakalaan goa telah disebutkan dalam kakawin Nagarakrtagama dengan nama Lwa Gajah sebagai tempat suci bagi
11
umat Buddha di Bali (Nag. 14: 3). Gua dipahatkan dengan penuh hiasan yang menggambarkan batu-batu karang dan daun-daunan, binatang hutan seperti kera dan babi. Bagian tengah terdapat mulut gua dengan hiasan raksasa/ kala. Di dalam gua terdapat arca Ganesha, trilingga, dan beberapa fragmen arca. Di depan gua terdapat kolam yang terdiri dari tiga bagian, dimana airnya dialirlan melalui 6 arca pancuran (jaladwara). Kolam ini merupakan kolam suci yang biasa disebut Petirthaan. Tidak jauh dari patirthaan
menuju kearah tenggara di sebuah Sungai
Pangkung terdapat reruntuhan dari suatu bangunan Stupa yang pada mulanya dipahatkan pada dinding batu padas. Disamping itu juga terdapat 2 buah arca Buddha, namun tinggal satu karena telah hilang dicuri orang. Belum ada sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas tentang keberadaan situs Goa gajah. Namun Goris dalam Ardika (2013) pernah mengajukan hipotesis bahwa kata antakunjarapada dalam prasasti Dawan tahun 975 çaka (1053 masehi) dan prasasti Pandak badung tahun 993 çaka(1071 masehi) adalah nama lain dari Goa Gajah. Pendapat Goris ini berdasarkan kata kunjara yang berarti Gajah. Jika pendapat itu benar, situs Goa Gajah telah ada pada abad XI, pada pemerintahan Anak Wungsu. Pendapat ini diperkuat oleh Stutterheim berdasarkan atas jenis huruf yang terdapat pada dinding timur goa yang berbunyi “kumon sahy(w) angsa” yang berasal dari abad XI. Stutterheim dalam Ardika (2013) juga mengatakan arca pancuran di Goa Gajah memperlihatkan kesamaan langgam dengan arca pancuran yang terdapat di Candi Belahan, Jawa Timur yang berasal dari abad XI.
3.2.
Pengelolaan Situs Masyarakat Bali terkenal dengan budayanya yang masih dijaga walaupun arus
modernisasi dan globalisasi sudah sangat terbuka di Pulau Dewata ini. Masyarakat Pulau Seribu Pura ini memiliki salah satu filosofi hidup yang sangat erat digenggam yaitu Tri Hita Karana. Filosofi Tri Hita Karana adalah landasan masyarakat Bali dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masyarakat Bali meyakini jika konsep Tri Hita Karana dapat dijalankan dengan baik dan harmonis , maka manusia yang hidup
12
dapat merasa bahagia, karena Tri Hita Karana meliputi hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan manusia (Pawongan) dan manusia dengan alam atau lingkungan (Palemahan). Konsep yang telah tertanam pada mindset masyarakat Bali ini secara sadar diterapkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, salah satunya berdampak pada reaksi masyrakat terhadap tinggalan arkeologi yang lebih dimaknai sebagai warisan leluhur yang masih tersisa di kehidupan masa kini yang perlu dijaga dan dihormati. Keyakinan terhadap benda atau bangunan purbakala memiliki nilai spiritual atau unsur magis dilandasi oleh kepercayaan bahwa masih adanya hubungan (koneksi) yang terjalin antara leluhur dengan masyarakat saat ini sehingga memunculkan sifat proteksi atau kesadaran untuk melindungi sebagai respon masyarakat dalam menghormati warisan leluhur. Pemaknaan masyarakat
Bali
yang demikian berujung pada
wujud
penghormatan kepada cagar budaya, secara sadar ataupun tidak telah menerapkan upaya pelestarian terhadap cagar budaya. Pelesatarian cagar budaya sudah menjadi hal yang wajar di kehidupan masyarakat Bali, karena hal itu terkait langsung dengan upaya penguatan identitas diri masyarakat Bali yang berasal dari leluhur hingga berkembang sampai saat ini. Perilaku masyarakat Bali yang demikian selaras dengan tujuan pelestarian cagar budaya yang tertera pada pasal 3 UU RI No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Peran masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya sangat penting, hal ini sesuai dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintah, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Peran serta masyarakat telah mendapat tempat sesuai dengan regulasi yang ada, seperti yang telah diatur pada UU RI No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada pasal 54 bahwa setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai (Srijaya. 2016: 19). Seperti Cagar budaya yang berada di wilayah DAS Pakerisan yskni Pura Tirta Empul dan Gunung Kawi serta situs yang berada di wilayah DAS Petanu seperti Goa
13
Gajah dalam sistem pengelolaannya terdiri dari peran serta masyarakat adat dan dari pemerintah. Ketiga tempat ini masih bersifat living monument karena masih digunakan secara rutin sebagai tempat untuk beribadah, tempat untuk melakukan upacara-upacara keagamaan khususnya agama Hindu. Selain sebagai sarana peribadatan, Tirta Empul, Gunung Kawi dan Goa Gajah dijadikan sebagai Destinasi Tujuan Wisata (DTW) yang berasal dari wisatawan lokal ataupun mancanegara. Padatnya kegiatan yang ada pada ketiga situs tersebut tentu memerlukan regulasi yang jelas dan tepat dalam pengelolaannya yang tentu harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan aturan adat setempat. Secara garis besar pengelolaan memiliki perlindungan dan pelestarian, pemanfaatan, pengembangan, namun pada bagian pengembangan akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Secara umum ketiga situs ini dikelola oleh dua pihak, yaitu desa adat dan pemerintah. Desa adat memiliki peran inti sebagai pelakon utama dalam pengelolaan situs tersebut yang diawasi dan dibantu oleh peran dari pemerintah. Setiap desa memiliki sistem pengelolaan tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kebijakan desa yang diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan. Seperti pada situs Gunung Kawi yang berada di Desa Adat Tampaksiring dimana masyarakat terjun langsung dalam pemberdayaan situs Gunung Kawi bersama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar sebagai fasilitator dalam kegiatan pariwisata serta Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali sebagai instansi yang bertanggung jawab di bidang pelestarian warisan budaya. Kegiatan pariwisata di Gunung Kawi dikelola oleh masyarakat adat setempat bersama Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar yang telah dilakukan sebelum tahun 1986. Hasil dari kegiatan pariwisata disepakati dengan sistem bagi hasil, 60% masuk ke Pemda Gianyar dan 40% diberikan kepada Desa Adat Tampaksiring. Penghasilan tersebut diperoleh dari ticketing dengan tarif Rp 15.000 untuk dewasa dan Rp 7.500 untuk anak-anak serta dari penghasilan biaya parkir yang dibagikan setiap tiga bulan sekali. Dana yang dihasilkan digunakan kembali untuk kebutuhan desa atau untuk peningkatan kepentingan pariwisata. Upaya pemda dalam melengkapi kebutuhan sarana dan prasarana seperti perbaikan akses
14
jalan masuk menuju Situs Gunung Kawi, penyediaan toilet, pembangunan pembatas di sekitar tangga, pembangunan gapura, dan pengadaan tempat sampah. Pengelolaan situs yang dilakukan masyarakat juga serupa, banyak dari sarana dan prasarana yang ada di Gunung Kawi dilengkapi oleh masyarakat desa, seperti pembangunan jalan di beberapa bagian situs dan penataan air untuk pertamanan dan penentuan kebijakankebijakan di sekitar situs yang wajib dihormati dan ditaati oleh masyarakat lokal ataupun pendatang. Hasil dari kegiatan pariwisata yang menjadi bagian dari desa adat biasa digunakan untuk kebutuhan pura mencakup perawatan dan kegiatan-kegiatan upacara atau odalan yang diadakan tiap tahun. Selain dari pada hasil ticketing dan parkir, pemasukan lainnya berasal dari para pedagang yang menyewa tanah pura (sekitar 17 kios) untuk kegiatan usaha. Biaya yang dikenakan per kios sebesar Rp 500.000 per tahun dan dananya digunakan untuk membantu kebutuhan desa. Peran lainnya yang dilakukan masyarakat dalam menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan situs dengan melakukan penjagaan secara bergantian dari organisasiorganisasi desa adat dan kegiatan bersih-bersih yang dilakukan secara berkala oleh masyarakat desa. Selain dari masyarakat desa adat dan Dinas Pariwisata, BPCB juga terlibat di dalam pengelolaan situs, namun lebih memiliki fokus kepada pelestarian situs secara studi arkeologi. BPCB juga menempatkan lima orang Juru Pelihara di Gunung Kawi yang berjaga setiap hari kerja ditempatkan pada titik-titik tertentu karena wilayah situs yang cukup luas. Setiap satu bulan sekali juga ada juga tim yang datang memantau keadaan situs. Serupa dengan pengelolaan di Situs Gunung Kawi, Pura Tirta Empul juga dikelola oleh stakeholder yang sama yakni Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, Desa Adat dan BPCB Bali. Berasaskan pada konsep atau filosofi Tri Hita Karana, hubungan manusia dengan Tuhan nyata terlihat. Pengelolaan berdasarkan kepada pemahaman bahwa Tuhan itu ada, kata Bapak Made Mawiartana selaku Bendesa Adat Manukaya Let. Upacara-upacara yang dilakukan secara rutin (sebulan sekali, enam bulan dan setahun) merupakan wujud syukur masyarakat atas apa yang telah diberikan kepada mereka lalu dipersembahkan kembali melalui persembahan yadnya-
15
yadnya yang ada. Budaya yang ada di Tirta Empul terus dipertahankan sesuai yang telah digariskan oleh leluhur. Melalui tradisi yang dianut, keberadaan Tirta Empul terus terjaga dari segi bentuk dan keamanannya. Masyarakat dapat ikut serta dalam pemanfaatan situs ini sebagai tempat wisata yang terkenal di Bali, sehingga pengelolaan dalam faktor pariwisata juga menjadi perhatian bersama. Dinas Pariwisata memiliki zona pengelolaan di bagian depan yang mencakup wilayah perdagangan, halaman parkir dan ticketing, sedangkan masyarakat desa adat lebih fokus pada pengembangan di bagian dalam yang meliputi kawasan pura dan pertirtaan. Hasil yang diperoleh dari kegiatan wisata dibagi dua kepada Dinas Pariwisata dan Desa Adat Manukaya Let sebesar 60%-40%. Dana yang diperoleh banyak digunakan untuk kebutuhan upacara-upacara yang cukup padat serta perbaikan atau pengembangan infrastruktur pura ataupun fasilitas penunjang lainnya. Sedikit berbeda dengan pengelolaan pada kedua situs sebelumnya, Goa Gajah dalam sistem pengelolaannya meliputi empat stakeholder antara lain Dinas Pariwisata, BPCB, Desa Adat Bedulu dan pengemong (pemangku atau pendeta). Setiap stakeholder memiliki tugas yang berbeda-beda. Desa Adat mendapatkan bagian sebesar 14% dari kegiatan pariwisata di Goa Gajah, sedangkan pengemong mendapatkan bagian sebesar 26% dan Dinas Pariwisata sebesar 60%. Masyarakat desa adat biasanya ngayah ketika ada kegiatan atau ada upacara yang dilaksanakan, sedangkan dari pihak pengemong atau pemangku bertugas sebagai pihak yang mengelola kegiatan atau upacara-upacara dari hasil dana yang didapatkan. Pembangunan pura di Goa Gajah juga menjadi tanggung jawab dari pemangku. Cagar budaya di Bali pada umumnya dapat “menyatukan” aktivitas keagamaan dengan pariwisata sehingga hal itu menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri. Namun tetap ada batasan-batasan tertentu yang harus ditaati oleh masyarakat dan pengunjung, sehingga kegiatan pariwisata harus bisa menyesuaikan dengan aktivitas keagamaan, sebagai contoh adalah bagi perempuan yang sedang menstruasi dilarang untuk memasuki pura atau kawasan suci di pura atau wilayah lainnya yang disakralkan, pada saat memasuki zona sakral setiap orang diwajibkan
16
menggunakan kamen dan selendang, dilarang melewati batas-batas tertentu pada saat ada upacara dan aturan-aturan lainnya yang ditetapkan.
3.3. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Situs Pengelolaannya situs-situs, seperti yang sudah dipaparkan diatas, 3 situs yang merupakan destinasi wisata bagi turis domestik maupun mancanegara ini memiliki keterlibatan khusus dengan masyarakat, khususnya dalam hal pemeliharaan. 2 situs yang terletak di DAS Pakerisan yakni Situs Candi Gunung Kawi dan Situs Tirta Empul serta 1 situs yang terletak di DAS Petanu yaitu Situs Goa Gajah dapat dikatakan hampir sepenuhnya dirawat oleh masyarakat setempat,karena pada dasarnya situs-situs tersebut merupakan tempat atau media warga melakukan ibadah atau persembhayangan. Sehingga kepentingan peribadatan atau keagamaan menjadi hal yang diutamakan dalam pengelolaannya. Masing-masing warga memiliki cara yang berbeda dalam pengelolaannya, sekalipun orientasinya sama tertuju pada nilai religi mereka. Terdapat upacara yang dilakukan di tiap-tiap situs terkait yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Upacara-upacara tersebut memiliki waktu yang berbeda antara satu situs dengan situs lainnya. Sebelum diadakannya upacara itulah biasanya terdapat kegiatan praupacara yang melibatkan masyarakat secara tidak langsung dalam perawatan situs. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dalam segi pemanfaatan situs dibidang ekonomi, terdapat macam-macam cara yang dilakukan masyarakat desa. Pada Situs Gunung Kawi, banyak warga desa yang memanfaatkan tanah pribadi milik mereka di sekitar situs untuk dijadikan artshop yang menjual berbagai macam souvenir khas dari wilayah Tampaksiring. Ada juga warga yang memanfaatkan laba pura atau tanah milik pura untuk dijadikan sebagai artshop. Sehingga mereka menyewa pada pihak desa untuk pendiriannya. Menurut Bendesa Adat Gunung Kawi banyak warga setempat yang berprofesi menjadi pengrajin, seperti pengrajin batok kelapa, rajut, tulang, perhiasan, dsb. Sehingga bagi warga yang tidak memiliki hak milik tanah di sekitar situs yang bisa dimanfaatkan sebagai
17
artshop, mereka bisa menitipkan barang-barang hasil kerajinan mereka kepada warga yang memiliki artshop untuk dijadikan barang dagangan. Dengan dijadikannya Situs Gunung Kawi sebagai destinasi pariwisata, maka kemampuan masyarakat untuk meningkatkan produksinya menjadi lebih berkembang. Dengan perkembangan ekonomi yang ada, makin meringankan beban masyarakat untuk melakukan upaya perawatan situs atau pura. Situs Goa Gajah memiliki bentuk pemberdayaan yang lebih bervariasi. Selain adanya pedagang-pedagang souvenir dari pihak masyarakat, sama seperti pada situs sebelumnya. Pada situs Goa Gajah terdapat guide atau pemandu wisata lokal yang mengetahui seluk beluk dari situs. Mulai dari sejarahnya, fungsinya dan informasiinformasi terkait yang dapat disampaikan kepada turis lokal maupun mancanegara. Berdasarkan informasi yang didapat dari pedagang setempat terkait dengan keberadaan guide lokal, sistemnya adalah dari pihak desa menyediakan di bagian informasi., apabila ada turis yang membutuhkan akan dinegoisasi dulu terkait dengan biayanya, setelah negosiasi berhasil maka guide akan mengantarkan. Akan tetapi untuk jumlah guide lokal yang terdapat di Situs Goa Gajah, menurut Bendesa Desa Adat Bedulu, Bapak Serana, hanya dari pihak pengempon pura atau pemangku yang mengetahui, karena dari pihak tersebut yang mengatur jumlah guide yang diperbolehkan. Sedangkan untuk Situs Tirta Empul dapat dikatakan sebagai situs yang memberdayakan masyarakat sekitar cukup maksimal. Tidak hanya sekedar pedagang souvenir dan guide lokal, situs ini memanfaatkan tenaga masyarakat dalam pengembangannya. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bagaimana situs ini dapat memberdayakan masyarakat. Bapak Made Mawiarnata selaku Bendesa Adat Manukaya Let mengatakan bahwa banyak tenaga masyarakat yang terpakai dalam mengelola situs. Seperti merawat taman-taman di sekitaran situs, tenaga keamanan untuk situs, tenaga untuk menjaga loker dan penyewaan sarung kepada turis yang ingin melukat atau mandi di kolam, tenaga untuk menjaga toilet. Disamping itu terdapat koperasi dari pihak desa yang berinisiatif mendirikan rumah makan di area
18
sekitar situs, melihat kebutuhan makan, minum dan istirahat wisatawan di wilayah destinasi pariwisata. Sehingga dibutuhkan juga tenaga dari masyarakat untuk menjalankan rumah makan ini. Selain tenaga untuk mendukung fasilitas pariwisata di area situs,ada juga ketersediaan guide lokal yang difasilitasi pihak desa yang berjumlah 6-10 orang yang kesemuanya sudah bersertifikasi guide dari Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Guide lokal tersebut merupakan masyarakat setempat yang ditunjuk desa karena dianggap paham dengan Situs Tirta Empul. Sehingga diharapkan tidak ada kesalahan informasi yang disampaikan kepada turis yang mengunjungi situs ini.
3.4.
Dampak Pemanfaatan Situs Mendapat predikat sebagai destinasi pariwisata baik lokal maupun
mancanegara, tentunya menimbulkan dampak positif maupun negatif yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat yang hidup di sekitaran situs tersebut. Dampak positif yang langsung dirasakan oleh masyarakat masing-masing situs bisa dikatakan hampir sama. Pemasukan desa yang didapat dari keberadaan situs baik dari pemerintah ataupun hasil yang didapat mandiri desa, memberikan keringanan bagi warga desa untuk melakukan upacara di situs tersebut. Pada Situs Goa Gajah misalnya, beban tiap rumah yang seharusnya pertahun sebesar Rp2.000.000,00 yang diberikan kepada desa untuk biaya pengadaan upacara untuk seluruh pura yang terdapat di wilayah Desa Pekraman Bedulu, menjadi tidak ada lagi, karena bisa ditutup dari pendapatan yang didapat dari adanya Situs Goa Gajah. Hal ini sangat membantu menurut pihak bendesa adat setempat, mengingat tanggung jawab yang dimiliki oleh warga Desa Pekraman Bedulu yang merupakan desa dengan benda tinggalan yang tersebar di seluruh pura yang terletak di desa, mewajibkan mereka untuk menjaga kelestariannya. Upaya pelestarian tersebut dilakukan dengan melakukan upacara piodalan di pura-pura bersangkutan. Upacara dilakukan bergantian di semua pura yang ada dalam jangka waktu satu tahun.
19
Sama halnya yang terjadi di Situs Candi Gunung Kawi, dimana warga tidak perlu lagi untuk mengadakan patungan dalam hal pengadaan upacara di situs terkait. 40% pemasukan yang didapat dari pemerintah dan sedikit uang hasil sewa laba pura, mampu membiayai perawatan dan pengadaan upacara di Situs Candi Gunung Kawi. Sedangkan pada Situs Tirta Empul pendapatan desa yang jauh lebih banyak daripada pendapatan yang diberikan dari pemerintah setempat, tidak hanya mampu membantu pembiayaan pengadaan upacara. Pembiayaan sosial untuk masyarakat desa juga mampu dianggarkan oleh pihak desa, seperti dana bantuan untuk warga yang sakit, warga yang melahirkan dsb. Selain itu pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana di area situs juga mampu mereka lakukan dengan pendapatan mandiri yang didapat oleh desa. Sesuai dengan kesepakatan bahwa area yang berdekatan dengan pura segala sesuatunya merupakan tanggung jawab dari pihak desa, termasuk perawatan dan pengembangannya. Dampak lain adalah bagaimana kegiatan perekonomian di desa menjadi lebih bergerak. Hal ini tentunya membawa keuntungan bagi masyarakat sekitar yang secara langsung maupun tidak menggantungkan hidupnya pada keberadaan situs tersebut. Dengan kegiatan perekonomian yang terus bergerak, maka akan membawa perubahan pada taraf hidup masyarakat menjadi jauh lebih baik. Akan tetapi pengembangan pariwisata yang terdapat di ketiga situs tersebut tidaklah lepas dari permasalahan ataupun kekurangan. Permasalahan yang ada berdampak pada masyarakat dan ada pula yang berdampak kepada wisatawan. Permasalahan yang berdampak kepada masyarakat antara lain sistem bagi hasil antara pemerintah dengan desa yang dirasa belum adil bagi pihak desa setempat. Selain itu ketersediaan informasi yang akurat untuk para wisatawan masih belum bisa maksimal. Hal ini jelas merugikan apabila mereka membawa informasi yang salah ke tempat mereka berasal. Tersedianya guide lokal yang masih terbatas juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Seperti di Situs Gunung Kawi yang tidak tersedia guide lokal yang mampu menjelaskan, sedangkan wilayah situs yang cukup luas tidak dibarengi dengan ketersediaan informasi yang memadai di setiap areanya, sehingga menyulitkan wisatawan yang
20
ada. Sedangkan untuk guide lokal di Situs Goa Gajah yang semakin berkurang karena kebanyakan memilih menjadi guide di perusahaan travel. Selain itu dari segi tuntutan pengembangan pariwisata terdapat upaya yang sebenarnya baik namun salah dalam penerapannya. Sebagai contoh upaya pengembangan pariwisata di Situs Tirta Empul, dimana dari pihak pengelola desa menginginkan agar wilayah situs Tirta Empul makin indah dengan banyaknya hiasanhiasan patung. Sayangnya penambahan tersebut tidak memperhatikan area mana saja yang boleh untuk ditambahkan. Sesuai dengan UU RI Tahun Nomor 11 Tahun 2010 pasal 78 ayat 1,”Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan,keaslian,dan nilai-nilai yang melekat padanya.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan Cagar Budaya boleh dilakukan asal tidak melanggar ketentuan yang ada. Kasus yang terjadi di Tirta Empul adalah, pada bagian patirthaan yang merupakan Cagar Budaya ditambahkan dua buah patung hiasan berbentuk gajah dengan ukuran yang besar. Hal ini tentu bertentangan dengan kaidah yang ada, karena mengurangi keaslian yang dimiliki oleh bangunan peninggalan masa Kerajaan Bali kuno tersebut. Permasalahan lain yang dihadapi adalah tentang pemahaman masyarakat setempat mengenai Cagar Budaya. Sebagian besar masyarakat desa memang telah melaksanakan upaya pelestarian secara tidak langsung, dalam kegiatan tradisi ataupun peribadatan yang mereka lakukan. Sayangnya upaya tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman bahwa barang-barang atau bangunan tersebut, selain memiliki nilai magis ataupun religius yang mereka percayai berasal dari leluhur, juga memiliki nilai penting dalam beberapa aspek sehingga keberadaannya harus terus dijaga. Kurangnya pemahaman tersebut yang akhirnya menjadikan beberapa tindakan menjadi terkesan salah langkah.
21
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Wilayah DAS Pakerisan dan DAS Petanu memiliki potensi sumber daya arkeologi yang sangat banyak, diantaranya adalah Situs Candi Gunung Kawi dan Situs Tirta Empul di kawasan DAS Pakerisan dan Situs Goa Gajah di kawasan DAS Petanu. Ketiga situs tersebut merupakan situs yang terkenal menjadi situs destinasi pariwisata. Dengan sifat living monumentnya karena terletak di wilayah Bali, situs ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Filosofi Tri Hita Karana yang dipegang oleh masyarakat Bali, menjadikannya sebagai landasan dalam pengelolaan situs oleh masyarakat setempat. Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, proses pengelolaan cagar budaya yang terdapat di kawasan DAS Pakerisan khususnya Situs Candi Gunung Kawi dan Situs Tirta Empul dan di kawasan DAS Petanu yakni Situs Goa Gajah yang menyangkut pengembangan fasilitas pariwisata seperti toilet, akses jalan pada situs, loket tiket, tempat parkir, pasar/kios adalah tanggungjawab dari Dinas Pariwisata setempat dalam hal ini adalah Kabupaten Gianyar Kedua, masyarakat desa adat bertugas dalam hal-hal yang berkaitan dengan perawatan pura. Baik perawatan secara fisik maupun perawatan non fisik seperti melakukan upacara rutin yang diadakan pada waktu yang telah ditentukan. Walaupun ada juga desa yang melakukan hal lebih dari yang telah disepakati, seperti ikut serta membangun sarana dan prasarana pengembangan pariwisata, seperti yang dilakukan di Situs Candi Gunung Kawi. Ketiga, dengan adanya situs yang menjadi destinasi pariwisata di wilayah desa, membuat kehidupan warga menjadi lebih terbantu. Khususnya pada pemenuhan kebutuhan pengadaan upacara di situs yang tadinya dibebankan kepada masyarakat cukup besar, menjadi lebih ringan bahkan ada yang dihapuskan sama sekali, karena sudah tertutupi dari hasil pendapatan situs. Selain itu kegiatan perekonomian juga
22
menjadi lebih hidup dengan adanya keberadaan situs terkait. Potensi masyarakat menjadi lebih berkembang dan mampu meningkatkan taraf hidup. Pengelolaan cagar budaya berbasis masyarakat harus dipertahankan dan terus menjadi perhatian utama karena masyarakat adat secara khusus menjadi pelakon utama yang hidup bersama cagar budaya dan yang menghidupkan cagar budaya. Khususnya di Bali yang membuat cagar budaya bersifat living monument karena kentalnya dengan tradisi dalam bentuk upacara-upacara lainnya yang bermakna sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan dan leluhur, sebagai upaya perlindungan cagar budaya, sebagai cerminan kesejahteraan spiritual bagi masyarakat Bali. Segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus melihat situasi dan kebutuhan masyarakat desa agar segala kebijakan yang diciptakan berdaya guna dengan tepat. Terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, pariwisata merupakan peluang paling efektif dan efisien yang diterapkan pada Situs Goa Gajah, Situs Gunung Kawi, dan Pura Tirta Empul. Namun kegiatan tersebut tidak dapat terlepas dari adanya peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan pembina pengembangan pariwisata. Alangkah baiknya pembagian hasil keseluruhan didiskusikan antara desa adat dengan pemerintah secara intensif agar dapat menerima kejelasan yang tepat dengan mengikuti prosedur atau regulasi yang berlaku. Persentase pembagian hasil perlu ditunjang kembali melihat banyaknya kebutuhan desa adat, khususnya untuk keberlangsungan situs, dalam hal ini seperti pengadaan upacara yang bersifat rutin (memiliki waktu-waktu tertentu), perbaikan infrastruktur, perlindungan cagar budaya dan kebutuhan lainnya. Pemberdayaan terhadap masyarakat desa perlu dioptimalkan lagi sebagai sumber daya manusia yang menunjang kebutuhan cagar budaya sebagai objek wisata, seperti penyediaan dan pelatihan local guide dan peningkatan mutu hasil karya lokal serta pemasarannya. Pemahaman tentang cagar budaya juga perlu menjadi perhatian khusus bagi masyarakat desa adat dan instansi terkait. Peran instansi terkait dalam hal ini dibutuhkan agar pemahaman tersebut tertanam dalam mindset masyarakat sekitar situs. Terkhusus tentang sosialisasi dan pengenalasan UU RI No.11 Tahun 2010
23
Tentang Cagar Budaya perlu ditingkatkan sebagai landasan hukum dalam pengelolaan dan pemberdayaan cagar budaya. Sehingga masyarkat menjadi paham bahwa upaya pelestarian yang mereka lakukan selama ini tidak hanya sebatas dari nilai religius atau magis yang dimiliki suatu benda atau bangunan cagar budaya, melainkan terdapat nilai penting lainnya seperti historis dan edukasi yang tidak kalah penting untuk dijaga keberadaanya. Pengenalan akan regulasi pelesatarian cagar budaya yang sesuai dengan undang-undang penting dikenal agar masyarkat tidak salah langkah dalam upaya pengembangan situs, khususnya karena adanya tuntutan dari kebutuhan pariwisata. Upaya yang dianggap baik bagi kebutuhan pariwisata tidak semuanya sesuai dengan regulasi pemberdayaan cagar budaya yang berlaku.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, A.A Bagus Wirawan 2013, Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern, Udayana University Press, Denpasar. Emzir 2010, Metodologi Penelitiian Kualiatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hadiyanta, IGN Eka 2017, Dinamika Pelestarian Cagar Budaya, Ombak, Yogyakarta. Kempers, A.J. Bernet, Bali Purbakala Seri Tjandi,
Laksmi, A.A. Rai Sita 2014, ‘Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan’, Forum Arkeologi, No. 3, 207-217. Prasodjo, Tjahyono 2004, Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi, disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Tingkat Dasar, di Mojokerto.
Moleong, L. J. 1991, Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Sulistyanto, Bambang, Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pertanggungjawaban Sosial Arkeolog, Majalah Arkeologi Indonesia, diakses pada tanggal 12 Oktober 2017,
Srijaya, I Wayan 2016, ‘Pelestarian Cagar Budaya di Daerah Wisata Sanur’, Sudamala, Vol 3, 14-20. Susanti, Ninie, Agus Aris Munandar, Andriyati Rahayu, Dian Sulistyowati, Chaidir Ashari 2013, Patirthan Masa Lalu dan Masa Kini, Wedatama Widya Sastra, Jakarta. Tenaya, Yadnya 2016, ‘Dampak dan Makna Pemanfaatan Situs Goa Gajah sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar’, Sudamala, Vol. 3, 21-32 Tim Penyusun Pendaftaran Situs Cagar Budaya Komplek Candi Tebing Gunung Kawi sebagai Cagar Budaya Nasional 2017, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
25
Tim Penyusun Pendaftaran Situs Cagar Budaya Pura Tirta Empul sebagai Cagar Budaya Nasional 2017, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Wiguna, I Gusti Ngurah Tara 2008, ‘Penerapan Konsep Mandala dan Tri Angga dalam arsitektur Candi Gunung Kawi’, Pusaka Budaya dan Nilai-Nilai Religiusitas, Seri Penerbitan Ilmiah jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar.
26
Lampiran 1 (Data Foto)
Gambar 1. Aktivitas upacara keagamaan berjalan dengan kegiatan pariwisata. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 2. Wisatawan ikut serta membersihkan diri di Patirthaan Tirta Empul (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Gambar 3. Kios-kios warga di sekitar situs Pura Tirta Empul (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 4. Tempat sewa loker dan kamen yang dikelola oleh masyarakat di Pura Tirta Empul (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 5. Wisatawan ramai mengunjungi koperasi yang dikelola masyarakat di Pura Tirta Empul (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 6. Candi Gunung Kawi yang berjumlah 5 (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Gambar 7. Kios-kios warga di sekitaran situs Situs Gunung Kawi (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 8. Kerajinan yang dibuat oleh masyarakat sekitar situs yang dijual di kios-kios (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 9. Kerajinan dari batok kelapa oleh masyarakat sekitar situs yang dijual di kios-kios (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 11 . Local guide sedang memandu wisatawan (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 13. Fasilitis parkir di Situs Goa Gajah (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 10. Situs Goa Gajah (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 12 . Kios-kios warga eskitar di Situs Goa Gajah (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 14 . Wawancara dengan Bendesa Adat Bedulu (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Biodata Ketua dan Anggota A. Identitas Diri 1
Nama Lengkap (sesuai dengan KTP/KTM)
I Kadek Sudana Wira Darma
2
NIM
1401405017
3
Posisi dalam Penelitian
Anggota
4
Jenis Kelamin
Laki-Laki/Perempuan
5
Tempat dan Tanggal Lahir
Selat Tengah, 19 Juni 1995
6
Jurusan
Arkeologi
7
Alamat Rumah
Jln. Cenigan Sari, Gg Gumuk Sari 26x, Sesetan
8
Nomor Telepon/HP
085792699228
9
Email
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan
SD Nama Institusi
SD N 2 Susut
SMP SMP N 3 Susut
SMA SMA N 1 Bangli
Jurusan
IPA
Tahun Masuk-Lulus
2001-2007
2007-2010
2010-2013
C. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya)
No. 1
Jenis Penghargaan Juara 1 Lomba Tenis Meja
Institusi Pemberi Penghargaan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bangli
Tahun 2007
2 3
Denpasar, 14 Oktober 2017 Tanda Tangan
I Kadek Sudana Wira Darma NIM.1401405017