LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN DI RUANG 17 RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
OLEH DWI RAHAYU SETIYOWATI 1601031028
PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER 2017
A. Pengertian Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent (Irwana, 2009). Cidera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cidera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang paling serius di antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari semua pasien cidera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cidera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien cidera kepala biasanya karena cidera tubuh bagian lainnya (Ariani, 2012). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000). Cedera kepala ringan adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat dari trauma kepala yang tidak disertai muntah, tampak pucat (Haryono, 2005). B. Anatomi Kepala 1. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan perikranium (Japardi, I., 2002). 2. Tulang Tengkorak Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (Pearce, EC.,2008). 3. Meningeal
Meningeal merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningeal yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
a. Durameter (Lapisan sebelah luar) Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah) Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. c. Piameter (Lapisan sebelah dalam) Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum dengan serebellum (Pearce, EC.,2008).
Gambar Lapisan Meningeal C. Etiologi Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, dan cedera olah raga, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau peluru. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan
kecacatan utama pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan dilokasi kejadian dan transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal diruang gawat darurat sangat menentukan pelaksanaan dan prognosis selanjutnya a. Trauma oleh benda tajam Menyebabkan cedera setempat, seperti luka tembus peluru, pisau. b. Trauma oleh benda tumpul Contoh : Pukulan, tabrakan mobil, terjatuh, cedera saat berolah raga, dan lain-lain yang dapat menyebabkan cedera menyeluruh (difus). Kerusakan terjadi ketika energi atau kekuatan diteruskan ke substansi otak. Energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit, kepala, tengkorak dn otak. D. Klasifikasi Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Menurut jenis luka atau cedera a. Cedera kepala terbuka, trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak b. Cedera kepala tertutup, dapat disamakan pada pasien dengan gagar otak ringan dengan edema serebral yang luas 2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Gaslow Coma Scale) a. Cedera kepala ringan (CKR) GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma b. Cedera kepala sedang: (CKS) GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. c. Cedera kepala berat (CKB) GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial. 3. Menurut aktif tidaknya kepala a. Akselerasi Kepala diam, benda aktif mendekati kepala benda b. Deselerasi Kepala aktif mendekati kepala benda E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dari terjadinya cedera kepala ringan adalah: Pingsan tidak lebih dari 10 menit, tanda-tanda vital dalam batas normal atau menurun, setelah sadar timbul nyeri, pusing, muntah, GCS 14-15, tidak terdapat kelainan neurologis. Gejala lain cedera kepala ringan adalah : Pada pernafasan secara progresif menjadi abnormal, respon pupil mungkin lenyap atau progresif memburuk, nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap seiring dengan tekanan intrakranial, dapat timbul muntah-muntah akibat tekanan intrakranial, perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara serta gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat. F. Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan
neuron
berkelanjutan,
iskemia,
peningkatan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi. G. Komplikasi 1.
Herniasi otak : akibat dari edema dan peningkatan TIK
2.
Hidrosefalus : akibat peningkatan akumulasi cairan serebrospinal
tekanan
3.
Infeksi : terjadi pada cedera kepala terbuka
4.
SIADH : terjadi bila lesi mengenai hipotalamus SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone secretion) dapat didefinisikan
sebagai
gangguan
produksi
hormon
antidiuretik
ini
menyebabkan retensi garam atau hiponatremia H. Pemeriksaan Penunjang a.
CT-Scan : untuk mengidentifikasi adanya SOL hemografi, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan.
b.
Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma.
c.
EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya petologis.
d.
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur)
e.
BAER ( Brain Auditori Evoker Respon ) : menentukan fungsi korteks dan batang otak.
f.
PET ( Position Emission Yomography ) menunjukan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
g.
Fungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub araknoid.
h.
Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan status mental.
I. Penatalaksanaan Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut prioritas, yang ideal penatalaksanaan tersebut dilakukan oleh tim yang terdiri dari perawat yang terlatih dan dokter spesialis saraf dan bedah saraf, radiologi, anastesi, dan rehabilitasi medik. Klien dengan cedera kepala harus dipantau terus dari tempat kecelakaan, selama transportasi : di ruang gawat darurat, unit radiology, ruang perawatan dan unit ICU sebab sewaktu-waktu dapat berubah akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Menurut prioritas tindakan pada cedera kepala ditentukan berdasarkan beratnya cedera yang didasarkan atas kesadaran pada saat diperiksa.
1. Klien dalam keadaan sadar ( GCS : 15 ) a. Cedera kepala simpleks ( simple head injury ) Klien mengalami cedera kepala tanpa diikuti dengan gangguan kesadaran, amnesia maupun gangguan kesadaran lainya. Pada klien demikian dilakukan perawatan luka, periksa radiologi hanya atas indikasi, kepada kelurga diminta untuk mengobservasi kesadaran. b. Kesadaran terganggu sesaat Klien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan saat diperiksa sudah sadar kembali, maka dilakukan pemeriksaan foto kepala dan penatalaksanaan selanjutnya seperti cedera kepala simpleks. 2. Klien dengan kesadaran menurun Cedera kepala ringan atau minor head injury (GCS : 14-15). Kesadaran disorientasi atau not abay comand tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dilakukan foto kepala, CT Scan Kepala dilakukan jika dicurigai adanya hematoma intrakranial, misalnya ada interval lusid, pada follow up kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi, observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital. Klien cedera kepala biasanya disertai dengan cedera multipel fraktur, oleh karena itu selain disamping kelainan serebral juga bisa disertai dengan kelainan sistemik. Menurut Satyanegara (2010) indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah: 1. Amnesia antegrade/pascatraumatik 2. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat 3. Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan 4. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan 5. Adanya fraktur tulang tengkorak 6. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (ototore/rinorre) 7. Cedera berat bagian tubuh lain 8. Indikasi sosial (tidak ada keluarga/ pendamping di rumah) Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut : 1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial 2.
atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
3. 4.
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. 6. 7. 8.
Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmhg. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang ct scan Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
J. Asuhan Keperawatan 1.
Fokus Pengkajian Fokus pengkajian pada cedera kepala ringan, meliputi: a. Riwayat kesehatan meliputi: keluhan utama, kapan cidera terjadi, penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu, dan riwayat kesehatan keluarga. b. Pemeriksaan fisik head to toe c. Keadaan umum (tingkat kesadaran dan kondisi umum klien). d. Pemeriksaan persistem dan pemeriksaan fungsional 1) Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa). 2) Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi waktu dan tempat). 3) Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan jalan nafas). 4) Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan frekuensi). 5) Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/ 6) 7) 8) 9)
minum, peristaltik, eliminasi). Sistem integumen (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi). Sistem reproduksi. Sistem perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume BAB) Pola Makan / cairan. Gejala: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. Tanda: muntah kemungkinan muntah proyektil, gangguan menelan (batuk,
air liur keluar,disfagia). 10) Aktifitas / istirahat Gejala: merasa lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan. Tanda: perubahan kesadaran, letargie, hemiparese, kuadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah keseimbangan, kehilangan tonus otot dan tonus spatik. 11) Sirkulasi
Gejala: normal atau perubahan tekanan darah. Tanda: perubahan frekuensi jantung (bradikaria, takikardia yang diselingi disritmia). 12) Integritas ego Gejala: perubahan tingkah laku kepribadian (terang atau dramatis). Tanda: cemas mudah tersinggung, delirium,agitasi, bingung, depresi dan impulsive. 13) Eliminasi Gejala: inkontinensia kandung kemih/usus atau megalami gangguan fungsi, 14) Neurosensori Gejala: kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia. Tanda: perubahan status mental (oreintasi, kewaspadaan, perhatian /konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris), Ketidakmampuan kehilangan pengideraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apaksia, hemiparese, postur dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat sensitivitas terhadap sentuhan dan gerakan. 15) Nyeri dan kenyamanan Gejala: sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda bisaanya sama. Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih. 2. Diagnosa Keperawatan a. b. c. d. e.
Nyeri akut b.d agen cidera fisik: post traumatik. Hambatan mobilitas fisik b.d ketidaknyamanan Ketidakefektian pembersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas. Defisit perawatan diri total b.d hambatan mobilitas fisik Kerusakan integritas kulit: luka lecet dan luka robek b.d faktor mekanik
Perencanaan
DIAGNOSA TUJUAN & KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Nyeri akut b.d agen cidera Tujuan: NIC: Manajemen Nyeri fisik: post traumatik. Nyeri klien berkurang atau hilang setelah 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif dilakukan tindakan keperawatan 2x24 2. Observasi adanya petunjuk non verbal mengenai jam ketidaknyamanan NOC: 3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk Kontrol nyeri mengetahui pengalaman nyeri klien. Kriteria Hasil: 4. Gali bersama klien faktor yang dapat menurunkan dan 1) Mengenali kapan nyeri terjadi memberat nyeri. 2) Menggambarkan faktor penyebab 5. Anjurkan menggunakan teknik non farmakologi dengan 3) Menggunakan tindakan pencegahan teknik distraksi dan relaksasi. 4) Melaporkan perubahan terhadap nyeri 6. Berikan informasi mengenai nyeri yang dirasakan 5) Ekspresi wajah 7. Kolaborasi pemberian analgesik dengan dokter 6) Tanda-tanda vital Hambatan mobilitas fisik b.d Tujuan: NIC: Exercise Therapy: Join Movement ketidaknyamanan Klien dapat melakukan mobilisasi dalam 1. Tentukan batasan gerakan waktu 3 x 24 jam 2. Dorong klien untuk menunjukan gerakan tubuh NOC: sebelum latihan Mobility level 3. Bantu pasien untuk mengoptimalkan posisi tubuh Kriteria Hasil: untuk gerakan pasif atau aktif 1) Klien meningkat dalam aktivitas fisik 4. Lindungi pasien dari trauma selama latihan 2) Mengerti tujuan dari peningkatan 5. Jelaskan pada keluarga/pasien tujuan fungsi mobilitas. melakukan latihan gerak. 3) Klien terlihat mampu melakukan 6. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan mobilisasi secara bertahap dan menentukan program latihan
4) Mempertahankan koordinasi mobilitas sesuai tingkat optimal
dan
DAFTAR PUSTAKA Ariani, I. 2012. Keperawatan Dewasa II Cidera Kepala. Stikes Ngudi Waluyo. Ungaran. Dalam http://www.scribd.com. Bulechek, et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Elsevier: Mocomedia Irwana, O. 2009. Cidera Kepala. Fakultas Kesehatan Universitas Riau. Riau. Dalam http://www.yayanakhyar.co.nr Moorhead, et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Elsevier: Mocomedia NANDA Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC Nurarif dan Kusuma. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC NOC dalam Berbagai Kasus. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction