ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN GERONTIKINSTABILITY GERONTIKINSTABILITY PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS INTRACRANIAL HAEMORAGHEA HAEMORAGHEA DI UNIT RAWAT JALAN (URJ) GERIATRI RSUD dr. SOETOMO SURABAYA
Oleh: KELOMPOK B4b 1. Amanatul Firdaus., S.Kep.
13172312034086 13172312034086
2. Lusia Saun Selong, S.Kep.
13172312034087 13172312034087
3. Nindhita Dyah S., S.Kep. S.Kep.
13172312034088 13172312034088
4. Rifa Rindayani S., S.Kep.
13172312034089 13172312034089
5. Dwiko Nur G., S.Kep.
13172312034085 13172312034085
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N) FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITASAIRLA UNIVERSITASAIRLANGGA NGGA SURABAYA 2018
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Perkembangan penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik untuk diamati karena dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 24 juta jiwa atau sekitar 9,77% dari seluruh jumlah penduduk. Prediksi untuk tahun 2020 adalah sekitar 28,8 juta jiwa atau sekitar 11,34% dari total jumlah penduduk. Usia harapan hidup pada tahun 2010 mencapai lebih dari 70 tahun (Sutriyanto, 2012). Manusia adalah makhluk hidup yang bersifat sebagai makhluk sosial yang eksploratif dan potensial. Dengan menyadari sifat manusia tersebut, tentu manusia erat kaitannya dengan kesehatan. Hal ini dikarenakan dengan memiliki tubuh yang sehat akan membantu melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa memiliki keluhan-keluhan yang membatasi gerak seseorang. Hidup sehat berperan penting dalam kehidupan semua orang. Sehingga hal ini perlu diperhatikan secara seksama terutama kesehatan bagi para lansia (lanjut usia). Jumlah lanjut usia di dunia semakin bertambah sebagai hasil dari peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka kematian (WHO, 2012; Karcharnubarn & Rees, 2009). Usia harapan hidup di Indonesia adalah 69,4 tahun (Menkokesra, 2011). Rata-rata pertumbuhan lansia berusia 80 tahun atau lebih di dunia pertahun adalah adal ah 3,8% dan persentase tersebut 2 kali lebih tinggi daripada usia 60 tahun keatas. Sehingga pada tahun 2050 diperkirakan Indonesia menjadi Negara terbesar keenam dengan jumlah lansia berusia 80 tahun atau lebih setelah Cina, India, USA, Jepang, dan Brasil yaitu mencapai 10 juta (United ( United Nation Population Division, Division , 2002). Indonesia merupakan Negara dengan era penduduk berstruktur lansia karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun keatas semakin meningkat dan lebih besar dari 7% (Kepmenkes RI No. 264, 2010 & Tira, 2012). Lanjut usia adalah suatu kelompok populasi yang berisiko (at ( at risk ). ). Kelompok berisiko yang memiliki karakteristik secara biologis dan usia perubahan pada kondisi sosial, ekonomi, gaya hidup dan kejadian hidup (Stanhope & Lancaster, 2004). Batasan lansia (lanjut usia) menurut WHO meliputi, usia pertengahan (middle (middle age) age) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (eldery) eldery) yaitu usia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua ( old ) yaitu usia antara 76 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very ( very old ) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi, 1999). Pada lansia akan mengalami proses penuaan dimana menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan pada jaringan untuk memperbaiki dirinya atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga akan tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang dideritanya (Constantinedes, 1994).
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Perkembangan penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik untuk diamati karena dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 24 juta jiwa atau sekitar 9,77% dari seluruh jumlah penduduk. Prediksi untuk tahun 2020 adalah sekitar 28,8 juta jiwa atau sekitar 11,34% dari total jumlah penduduk. Usia harapan hidup pada tahun 2010 mencapai lebih dari 70 tahun (Sutriyanto, 2012). Manusia adalah makhluk hidup yang bersifat sebagai makhluk sosial yang eksploratif dan potensial. Dengan menyadari sifat manusia tersebut, tentu manusia erat kaitannya dengan kesehatan. Hal ini dikarenakan dengan memiliki tubuh yang sehat akan membantu melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa memiliki keluhan-keluhan yang membatasi gerak seseorang. Hidup sehat berperan penting dalam kehidupan semua orang. Sehingga hal ini perlu diperhatikan secara seksama terutama kesehatan bagi para lansia (lanjut usia). Jumlah lanjut usia di dunia semakin bertambah sebagai hasil dari peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka kematian (WHO, 2012; Karcharnubarn & Rees, 2009). Usia harapan hidup di Indonesia adalah 69,4 tahun (Menkokesra, 2011). Rata-rata pertumbuhan lansia berusia 80 tahun atau lebih di dunia pertahun adalah adal ah 3,8% dan persentase tersebut 2 kali lebih tinggi daripada usia 60 tahun keatas. Sehingga pada tahun 2050 diperkirakan Indonesia menjadi Negara terbesar keenam dengan jumlah lansia berusia 80 tahun atau lebih setelah Cina, India, USA, Jepang, dan Brasil yaitu mencapai 10 juta (United ( United Nation Population Division, Division , 2002). Indonesia merupakan Negara dengan era penduduk berstruktur lansia karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun keatas semakin meningkat dan lebih besar dari 7% (Kepmenkes RI No. 264, 2010 & Tira, 2012). Lanjut usia adalah suatu kelompok populasi yang berisiko (at ( at risk ). ). Kelompok berisiko yang memiliki karakteristik secara biologis dan usia perubahan pada kondisi sosial, ekonomi, gaya hidup dan kejadian hidup (Stanhope & Lancaster, 2004). Batasan lansia (lanjut usia) menurut WHO meliputi, usia pertengahan (middle (middle age) age) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (eldery) eldery) yaitu usia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua ( old ) yaitu usia antara 76 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very ( very old ) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi, 1999). Pada lansia akan mengalami proses penuaan dimana menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan pada jaringan untuk memperbaiki dirinya atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga akan tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang dideritanya (Constantinedes, 1994).
Semakin bertambahnya usia pada lansia, cenderung akan mengalami berbagai gangguan fungsi dan gerak. Masalah-masalah pada lansia antara lain, mudah jatuh, mudah lelah, gangguan mental akut, nyeri dada, sesak nafas, berdebar-debar, pembengkakan kaki bagian bawah, nyeri punggung bawah atau pinggang, nyeri pada sendi pinggul, berat badan menurun, gangguan penglihatan dan pendengaran, serta kesemutan ( Bandiyah, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh. Kemampuan keseimbangan tentu dapat berkurang seiring penambahan usia karena terjadi perubahan pada sistem saraf pusat atau neurologis, sistem sensori seperti sistem visual, vestibular dan propiosepsi serta sistem muskuloskeletal (Miller, 2004). Berkurangnya keseimbangan pada lansia akan mempengaruhi kondisi lain seperti mengalami gangguan berjalan dan jatuh. Gangguan berjalan dan jatuh adalah salah satu dari banyaknya masalah penting bagi lansia (Farabi, 2007). Menurut WHO, prevalensi jatuh sekitar 28-35% dari penduduk usia 65 tahun keatas dan 32-42% pada usia 70 tahun keatas (WHO, 2007). Berdasarkan survei masyarakat AS, Tenetti (1992) mendapatkan sekitar 30% lansia yang berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang (Tenetti, 1992). Jatuh secara singkat dapat diartikan sebagai kejadian yang dapat menyebabkan seseorang mendadak berada di posisi yang lebih rendah dari posisi semula dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka dan tanpa unsur kesengajaan. Selain jatuh, lansia sering mengalami gangguan berjalan ( gait disorders). disorders). Gangguan berjalan sendiri merupakan terjadinya penurunan pada kecepatan berjalan atau berkurangnya kualitas pada gerakan, simetris tubuh dan kesatuan gerakan tubuh (Farabi, 2007). Berdasarkan kondisi ketidakseimbangan yang dialami lansia terkait degenerasi dalam tubuhnya, maka diperlukan asuhan keperawatan yang komprehensif guna menjaga kondisi lansia agar dapat meningkatkan kestabilan postural dan tidak mengalami kejadian jatuh.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. KF dengan Prioritas masalah resiko jatuh, maka penulis mampu: 1. Melakukan Pengkajian pada klien dengan masalah resiko jatuh. 2. Melakukan Perencanaan pada klien dengan gangguan resiko jatuh. 3. Melaksanakan Implementasi sesuai rencana yang telah ditetapkan pada klien dengan gangguan resiko jatuh. 4. Merumuskan diagnosa Keperawatan berdasarkan analisa masalah resiko jatuh. 5. Mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Manfaat
1. Bagi Mahasiswa Memberikan informasi/evaluasi asuhan keperawatan pada Klien dengan resiko jatuh sehingga dapat mengurangi resiko kejadian jatuh pada pasien.
2. Bagi Pendidikan Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang asuhan keperawatan dengan resiko jatuh.
3. Bagi masyarakat Memberikan informasi yang mudah tentang resiko jatuh pada klien \agar masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan dan perawatan terhadap masalah kesehatan.
BAB II LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN INSTABILITY DAN RESIKO JATUH
1. Lansia 1.1 Definisi
Usia lanjut adalah suatu tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 59 tahun sebagai usia pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 74 tahun disebut lansia (elderly), kelompok usia 75 – 90 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old). Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998 menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Rohana, 2011). Penurunan anatomik dan fungsi organ lebih tepat jika tidak dikaitkan ke dalam umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Dengan kata lain, mungkin seseorang dengan usia kronologik baru mencapai usia dewasa akhir, tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang nyata akibat umur biologiknya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak baiknya faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan, dan kurangnya aktivitas. Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap paparan dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2006). 1.2 Epidemologi
Gangguan keseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada lansia. Apabila keseimbangan postural lansia tidak terkontrol, maka akan dapat meningkatkan resiko jatuh (Siburian, 2006). Faktor risiko jatuh pada lansia meliputi faktor intrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (environmental). Faktor intrinsik terdiri dari: permasalahan keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan permasala han kognitif, serta usia lebih dari 80 tahun. Faktor ekstrinsik meliputi: penggunaan alas kaki yang tidak tepat, permukaan lantai yang licin atau kasar, pencahayaan yang kurang, serta banyaknya hambatan yang terdapat pada lingkungan li ngkungan (Rubenstein, 2002). Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas (British Columbia, 2004). Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13% populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang. Jatuh yang berulang menjadi alasan utama ketergantungan lansia pada lingkungan sekitar. Efek panjang yang dirasakan lansia yaitu berkurangnya rasa percaya diri, depresi, hingga terisolasi secara sosial (Josephson, 2006).
2. KESEIMBANGAN 2.1 Definisi
Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support ). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi
gangguan
yang
dapat
menyebabkan
orang
kehilangan
keseimbangannya (Barnedh, 2006). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung
oleh
sistem
muskuloskeletal
serta
bidang
tumpu.
Tujuan
tubuh
mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika tubuh lain bergerak (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014). 2.2 Fisiologi Keseimbangan
Keseimbangan tercipta apabila terdapat integritas antara tiga sistem sensorik (visual, vestibular, dan proprioseptif), sistem saraf pusat sebagai unit pemroses (central processing), serta sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor melalui respon motorik untuk merespon perubahan gravitasi, pergerakan linear atau angular, dan perubahan lingkungan.
Sistem proprioseptif memiliki peranan dalam menjaga keseimbangan postural dan memiliki hubungan dengan traktus spinoserebralis posterior dan anterior. Traktus ini membawa informasi proprioseptif dan postural dari ekstremitas bawah. Sinyalsinyal yang dijalarkan dalam traktus spinoserebralis posterior terutama berasal dari kumparan otot dan sebagian kecil berasal dari reseptor somatik di seluruh tubuh, seperti organ tendon Golgi, reseptor taktil yang besar pada kulit, dan reseptor-reseptor sendi. Semua sinyal ini memberitahu serebelum tentang bagaimana keadaan (1) kontraksi otot, (2) derajat ketegangan tendon otot, (3) posisi dan kecepatan gerakan bagian tubuh, dan (4) kekuatan kerja pada permukaan tubuh (Guyton, 2008). Traktus ini kemudian naik di medulla spinalis ipsilateral masuk ke pedunkulus serebelum inferior dan berakhir di serebelum. Traktus spinoserebralis anterior menerima masukan somatosensorik dari batang tubuh dan ekstremitas atas, masuk ke radiks dorsalis, traktus tersebut menyilang dan naik ke serebelum melalui pedunkulus serebelum superior. Traktus ini membawa informasi proprioseptif dari batang tubuh dan ekstremitas atas dan sebagian kecil ekstremitas bawah (Barnerdh, 2006). Batang otak juga memiliki sistem dalam mengatur gerakan seluruh tubuh dan keseimbangan. Sistem keseimbangan postural melibatkan nuklei retikular pontin dan nuklei retikular medular. Kedua rangkaian ini berfungsi secara antagonistik satu sama lain dimana nuklei retikular pontin akan merangsang otot-otot antigravitasi dan nuklei retikular medular berfungsi untuk merelaksasi otot yang sama (Guyton, 2008). Nuklei retikular pontin menjalarkan sinyal eksitasi menuju medula melalui traktus retikulospinal pontin pada kolumna anterior medula spinalis. Serabut-serabut dari jaras ini berakhir pada neuron-neuron motorik bagian medial dan anterior yang merangsang otot-otot aksial tubuh yang berfungsi untuk melawan gravitasi, meliputi: otot-otot kolumna vertebra dan otot-otot ekstensor dari anggota tubuh. Sebaliknya nuklei retikular medular menjalarkan sinyal inhibitorik ke neuron-neuron motorik anterior antigravitasi yang sama melalui traktus yang berbeda, yaitu traktus retikulospinal medula yang terletak pada kolumna lateralis medula spinalis. Nuklei retikular medular menerima input kolateral yang kuat dari traktus kortikospinal, traktus rubrospinal, dan jaras motorik lainnya dan secara normal semua sistem ini mengaktifkan sistem inhibitorik retikular medular untuk memberikan umpan balik sinyal eksitasi dari sistem retikular pontin, sehingga dalam keadaan normal, otot-otot tidak tegang secara abnormal (Guyton, 2008). Seluruh nuklei vestibular, fungsinya berkaitan dengan nuklei retikular pontin untuk mengatur otot-otot antigravitasi. Nuklei vestibular menjalarkan sinyal eksitasi
yang kuat ke otot-otot antigravitasi melalui traktus vestibulospinalis medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medulla spinalis. Peran spesifik dari nuklei vestibular adalah untuk mengatur secara selektif sinyal-sinyal eksitatorik dari berbagai otot antigravitasi untuk menjaga keseimbangan sebagai responnya terhadap sinyal dari apparatus vestibular (Guyton, 2008). Traktus vestibulospinalis lateralis mendapatkan informasi lewat macula (utrikulus dan sakulus) dan berperan dalam percepatan linear. Pada waktu gerakan percepatan linear tersebut terjadi eksitasi neuron motorik ekstensor dan inhibisi neuron motorik fleksor. Sedangkan traktus vestibulospinalis medial menjalar ke medulla spinalis servikal dan torakal atas fasikulus longitudinalis medial. Traktus vestibulospinalis medial terutama berfungsi mengatur refleks vestibulospinal untuk stabilisasi kepala dan mata, traktus ini menghubungkan kanalis semisirkularis ke neuron motorik servikalis yang menginervasi otot-otot leher (Barnerdh, 2006). Jika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak bergerak dengan lapang visual yang stabil, maka input visual dan somatosensorik mendominasi kontrol orientasi dan keseimbangan karena mereka merupakan sistem keseimbangan yang lebih sensitif dari sistem vestibular terhadap perubahan posisi tubuh yang halus. Sistem somatosensorik khususnya proprioseptif lebih sensitif terhadap perubahan cepat dari orientasi tubuh, sedangkan sistem visual lebih sensitif terhadap perubahan posisi yang lebih lambat. Sedangkan bila seseorang berdiri di atas permukaan yang bergerak atau miring, otot-otot batang tubuh dan ekstremitas bawah berkontraksi dengan cepat untuk mengembalikan pusat gravitasi tubuh ke posisi seimbang. Dalam hal ini yang berperan adalah sistem proprioseptif dan vestibular. Sistem vestibular terutama berperan dalam perubahan posisi yang lambat. Sedangkan perubahan posisi yang cepat terutama dikompensasi oleh sistem proprioseptif (Barnerdh, 2006). 2.3 Komponen-Komponen Pengontrol Keseimbangan
1) Sistem Informasi Sensoris a. Sistem Visual Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan penglihatan berperan dalam mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang (Irfan, 2012). Sistem visual juga memberikan informasi mengenai posisi kepala, penyesuaian kepala untuk mempertahankan penglihatan, dan mengatur arah serta kecepatan pergerakan kepala karena ketika kepala bergerak, objek sekitar berpindah dengan arah
berlawanan (Colby, 2007). Masukan reseptor visual berperan penting terutama pada landasan penunjang yang tidak stabil, misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan anteroposterior pada tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan dengan mata tertutup (Sugiarto, 2005). Gambar anatomi mata disajikan pada Gambar
(Sistem Visual) Sistem
visual
memegang
peranan
penting
dalam
menjaga
keseimbangan. Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi dengan sistem vestibular. Gangguan visual yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan, di antaranya: -
aneisokonia adalah perbedaan kemampuan magnifikasi atau pembesaran dan pembentukan bayangan di retina pada mata kanan dan kiri,
-
anisometropia adalah keadaan di mana terdapat perbedaan refraksi yang signifikan antara ke dua mata (perbedaan 10 Dioptri),
-
diplopia (double vision) adalah keadaan melihat bayangan ganda akibat sumbu ke dua mata tidak parallel,
-
gangguan fungsi binocular vision, yaitu gangguan dalam mengordinasikan ke dua mata sebagai satu kesatuan dalam aspek konvergensi dan divergensi dengan aspek akomodasi,
-
serta strabismus yaitu gangguan aligment mata kanan dan kiri (Sugiarto, 2005).
b. Sistem Vestibular Aparatus vestibular merupakan organ sensoris untuk mendeteksi sensasi keseimbangan. Alat ini terbungkus di dalam labirin tulang. Dalam sistem ini terdapat tabung membran dan ruangan yang disebut labirin membranosa dan merupakan bagian fungsional dari apparatus vestibular.
Labirin membranosa terdiri atas: koklea (duktus koklearis), tiga kanalis seminiverus, dan ruangan besar yaitu, utrikulus dan sakulus. Koklea merupakan organ sensorik utama pendengaran dan tidak berhubungan dengan keseimbangan.
Kanalis
seminiverus
bertanggung
jawab
terhadap
keseimbangan dinamis, yaitu keseimbangan saat tubuh sedang bergerak seperti berjalan atau dalam keadaan tidak seimbang (tersandung atau tergelincir), sedangkan fungsi dari utrikulus dan sakulus sebagai penjaga keseimbangan statis tubuh, yaitu berperan dalam kontrol postur dan monitoring kepala (Guyton, 2008). Pada permukaan dalam utrikulus dan sakulus terdapat daerah sensorik kecil yang disebut sebagai makula. Makula pada utrikulus berperan penting dalam menentukan orientasi kepala ketika kepala dalam posisi tegak, sebaliknya makula pada sakulus memberikan sinyal orientasi kepala saat seseorang sedang berbaring. Anatomi sistem vestibular dijabarkan pada Gambar
Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh kristal kalsium karbonat kecil yang disebut statokonia. Dalam makula, juga terdapat beribu-ribu sel rambut dan akan menonjolkan silia ke dalam lapisan gelatinosa tersebut. Setiap sel rambut mempunyai 50 sampai 70 silia kecil yang disebut stereosilia, ditambah satu silium besar yang disebut kinosilium. Perlekatan filamentosa yang tipis, menghubungkan ujung setiap stereosilium dengan strereosilum selanjutnya yang lebih panjang dan pada akhirnya ke kinosilium. Apabila stereosilia melekuk ke arah kinosilium pelekatan filamentosa akan menarik stereosilia berikutnya ke arah luar badan sel dan mampu menghantarkan ion positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di
sekelilingnya
sehingga
menimbulkan
depolarisasi
membran
reseptor.
Sebaliknya, pelekukan stereosilia ke arah berlawanan (ke belakang kinosilium) akan menurunkan tegangan pada pelekatan dan keadaan ini mampu menutup saluran ion dan terjadilah hiperpolarisasi reseptor. Pada setiap makula, setiap sel rambut diarahkan ke berbagai jurusan sehingga beberapa dari sel rambut dapat terangsang ketika kepala menunduk ke depan, dan yang lainnya terangsang ketika kepala menengadah ke belakang
atau ketika membelok ke salah satu sisi. Pola inilah yang nantinya memberitahukan kepada otak posisi kepala dalam ruangan.
Setiap apparatus vestibularis terdapat tiga buah kanalis semisirkularis dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral (horizontal) yang tersusun tegak lurus satu sama lain, sehingga kanalis ini terdapat dalam tiga bidang. Sel-sel rambut akan menjalarkan si nyal yang sesuai ke nervus vestibularis untuk memberitahukan sistem saraf pusat mengenai perubahan perputaran kepala dan kecepatan perubahan pada setiap tiga bidang ruangan. Dengan kata lain, mekanisme
kanalis
semisirkularis
dapat
meramalkan akan terjadinya ketidakseimbangan, sehingga menyebabkan pusat keseimbangan mengadakan tindakan pencegahan antisipasi yang sesuai. Dengan cara ini, orang tidak akan jatuh secara tak terduga sama sekali, karena sebelum terjadinya ketidakseimbangan orang itu mulai mengadakan koreksi keadaan tubuhnya (Guyton, 2008). c. Sistem Somatosensorik
Somatosensorik adalah perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang berasal dari somatopleura yaitu kulit, otot, tulang, dan jaringan pengikatnya.
Somatosensorik
tediri
dari
perasaan
dangkal
(perasa
eksteroseptif), perasa dalam (perasa proprioseptif), dan perasa luhur. Somatosensorik eksteroseptif sederhana meliputi rasa n yeri, rasa suhu, dan rasa raba. Somatosensorik proprioseptif terdiri dari rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan, rasa gerak, dan rasa sikap. Somatosensorik luhur adalah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan tiga dimensional, misalnya dengan meraba, menekan, dan merasakan suhu suatu benda dengan mata tertutup, dapat menentukan benda apa yang dipegang, dari bahan apa benda itu dibuat, dan sebagainya. Susunan somatosensorik adalah perantara untuk menyadari dan merasakan rangsang dari dunia luar. Dari susunan saraf perifer, rangsangan diteruskan melalui neuron-neuron ke susunan saraf pusat yang mengolah impuls, sehingga dapat menghasilkan suatu perasaan. Impuls tersebut dinamakan impuls aferen. Ada dua jenis susunan saraf yang digunakan untuk mengalirkan impuls aferen tersebut, yaitu susunan eksteroseptif dan susunan proprioseptif (Sugiarto, 2005). Susunan proprioseptif adalah susunan saraf yang menghantarkan impuls rasa tekan, rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa nyeri dalam, dan rasa diskriminatif. Sel neuron sistem proprioseptif mempunyai neurit dan dendrit yang hampir sama panjangnya. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Willis Jr, 2007). Macammacam reseptor dalam sistem proprioseptif yaitu: korpus vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian bawah kulit dan jaringan ikat, organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi, muscle spindle ada dalam otot berfungsi sebagai stretch reseptor, piring Golgi-Massoni ada dalam kulit untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005). Pengaturan serebral dan sereberal terhadap gerakan voluntar yang melalui sistem somatosensorik dijabarkan pada Gambar
Gambar: Pengaturan Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar Sumber: Guyton dan Hall, 2008 2) Central Processing Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan alligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor yang dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf pusat menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan kemudian menghubungkan pada sistem neuromuskular untuk memberikan output motorik yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis). Komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural yaitu: corteks, thalamus, basal ganglia, nuckelus vestibular , dan cerebellum (Suadnyana, 2013). 3) Efektor a. Respon otot-otot postural yang strategis Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri
tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan (Irfan, 2012). Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu. Gerak dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan gerak yang diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan dan kecepatan yang sesuai (Irfan, 2012). b. Kekuatan Otot Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012). Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu (Irfan, 2012). c. Range of Motion Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh sendi. ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang secara penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan. ROM menentukan
kemampuan
sendi
dalam
membantu
gerak
tubuh
dan
mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan
yang tinggi, serta keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013). 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan 1) Pusat Gravitasi (Center of Gravity-CoG) Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan, 2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar
2) Garis gravitasi ( Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan anterior knee dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.8 (Neumann, 2002). 3) Bidang Tumpu ( Base of Support-BOS ) Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu.
Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009). 2.5 Penyusun Keseimbangan Postural Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistem atau set dalam meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural dianggap sebagai keterampilan motorik yang kompleks berasal dari interaksi antara berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural dipengaruhi oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan penyangga, sistem visual, dan informasi internal. Orientasi spasial pada kontrol postural bergantung pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan somatosensoris. Keseimbangan postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor untuk menstabilkan center of mass dan penjalaran eksternal pada stabilitas postural. Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem kontrol postural, seperti terlihat pada Gambar 2.10. Penurunan kemampuan pada salah satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan meningkatkan kejadian jatuh pada lansia. 1) Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints) Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan adalah ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki. Keterbatasan pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki akan mempengaruhi keseimbangan (Tinetti et al, 1988). Pada posisi berdiri, terdapat area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989).
Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas, sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke belakang, tetapi secara tibatiba mengambil langkah untuk melebarkan bidang tumpu. Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior atau mediolateral tanpa memindahkan bidang tumpu (Sibley et al, 2015). Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas kerucut dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam mengontrol keseimbangan. Pada sebagian besar lansia dengan defisit keseimbangan, stabilitas kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem saraf pusat terhadap stabilitas kerucut mengalami penurunan (Duncan et al, 1990). 2) Strategi Gerakan (Movement Strategies) Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback dan feedforward. Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan posisi tertentu. Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi keadaan ini dengan mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka menstabilisasi pusat gravitasi tubuh sehingga
perubahan sikap atau gerakan terhadap stimulus yang diberikan akan menjadi akurat.
Sementara, feedback berhubungan
dengan
situasi
dimana
tubuh
mendapatkan gaya eksternal, seperti: tergelincir atau terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf pusat berperan dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu. Respon yang diberikan dapat berupa respon protektif atau respon korektif (Guccione, 2001). Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback. Bentuk gerakan yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika pasien berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu dalam melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot). Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini, aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m. abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m. paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang tidak stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal. Pada forward sway akan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps, sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring. (3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan (Nashner et al , 1979).
3) Strategi Sensoris (Sensory Strategies) Informasi
sensoris
dari
somatosensori,
visual,
dan
vestibular,
harus
diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan. Dalam lingkungan yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat
mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular (20%). Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil, mereka meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural (Peterka, 2002). Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang jatuh lebih tinggi (Horak, 2006). 4) Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space) Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang yang sehat dapat mengidentifikasi gravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak 0,5°. Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atau tegak, mungkin memiliki beberapa representasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal visual atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam gelap, tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal; misalnya kemampuan
untuk
Ketiadakakuratan
menyelaraskan
referensi
internal
tubuh pada
dalam
ruang
vertikalitas
akan
tanpa
visual.
menghasilkan
keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan membuat seseorang tidak stabil (Bisdorff et al, 1996). 5) Kontrol Dinamik (Control of Dynamics) Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh. Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter et al, 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral (Bauby dan Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung memiliki penempatan
lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al, 1997). 6) Proses Kognitif (Cognitive Processing) Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural. Bahkan berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapat dilihat oleh peningkatan waktu reaksi pada orang berdiri dibandingkan dengan mereka yang duduk dengan dukungan. Semakin sulit tugas postural, semakin pengolahan kognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam tugas kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale dan Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dan sumber lain berbagi proses kognitif, kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al, 1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbatas karena gangguan neurologis dapat menggunakan lebih dari proses kognitif yang tersedia untuk mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang tidak cukup untuk mengontrol postur sementara sibuk dengan tugas kognitif sekunder lainnya (Horak, 2006).
3
Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem
sensorik
meliputi
gangguan pada sistem
visual,
vestibular,
dan
somatosensoris (Suadnyana, 2013). Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006). Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami
demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006). Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas seharihari,
terutama
yang
melibatkan
gerakan.
Sensitivitas
kulit
berkurang
dengan
bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013). Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009)
II. Resiko Jatuh 1. Definisi Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004). Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh (Stanley, 2006).
2. Faktor Resiko a. Faktor Instrinsik Faktor
instrinsik
adalah
variabel-variabel
yang
menentukan
mengapa
seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah gangguan
muskuloskeletal
misalnya
menyebabkan
gangguan
gaya
berjalan,
kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan pusing (Lumbantobing, 2004). b. Faktor Ekstrinsik Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung benda benda (Nugroho, 2000). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo, 2004). 3. Penyebab Jatuh dari Lingkungan Rumah Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh adalah penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), lantai yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang dan alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang tidak stabil dan tergeletak di bawah. (Darmojo, 2004). Menurut Friedman, 1998 adalah kondisi interior rumah meliputi bagaimana ruanganruangan tersebut dilengkapi oleh perabot , kelayakan perabot, penerangan yang tidak memadai dan eksterior rumah meliputi lantai, tangga, jeruji dalam keadaan buruk, tempat obat-obatan tidak terjangkau dan pintu masuk dan pintu keluar ke rumah tidak terdapat penerangan dan ruang gerak yang cukup untuk keluar dari rumah, kabel listrik telanjang di lantai, kolam renang yang tidak di pagari secara memadai. 4. Akibat Jatuh Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul.
Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Stanley, 2006). 5. Komplikasi Menurut Kane (1996), yang dikutip oleh Darmojo (2004), komplikasi-komplikasi jatuh adalah : a. Perlukaan Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas. b. Disabilitas Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak. c. Kematian 6. Pencegahan Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari Darmojo (2004), ada 3 usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu : a. Identifikasi Faktor Resiko Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. b. Penilaian Gaya Berjalan / Gait Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan pada saat
berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan c. Mengatur/Mengatasi Faktor Situasional Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.
7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk tiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penangananya menjadi lebih mudah, lebih sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh secara efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak. Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh. Padahal terapi ini diperlukan secara terusmenerus sampai terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional. Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi penyebab/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam progam gait training dan pemberian alat bantu berjalan. Biasanya progam rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis.
Penderita dengan dizziness syndrom, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan hipotensi postural seperti beta bloker, diuretic dan antidepresan. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah/tempat kegiatan lanjut usia seperti tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2004).
III. Konsep Askep 1. Fokus Pengkajian Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah ini : ( Kane, 1994; Fischer, 1982 ) 1. Riwayat Penyakit ( Jatuh ) Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau keluarganya. Anamnesis ini meliputi : a. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang menoleh tiba – tiba atau aktivitas lain. b. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas. c. Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism, osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik. d. Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik. e. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat – tempat kegiatannya.
2.Pemeriksaan Fisik a. anda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan ( panas / hipotermi ). b. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus, gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising Jantung : aritmia, kelainan katup. c. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer, kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor. d. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki ( podiatrik ), deformitas.
2. Assesmen Fungsional Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
a. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika dari bangku langsung duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk dibawah. b. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu, memakai kursi roda atau dibantu. c. Aktifitas kehidupan sehari – hari : mandi, berpakaian, bepergian, kontinens.
FORMAT PENGKAJIAN LANSIA ADAPTASI TEORI MODEL CAROL A MILLER Nama Poli
: URJ Geriatri RSDS
1 IDENTITASKLIEN
Tanggal Pengkajian
:
Nama
:
Tn SF
Umur
:
65 Th
Agama
:
Islam
Alamat asal
:
Surabaya
Tanggal datang
:
07 Mei 2018Lama Tinggal di Panti -
2 DATA KELUARGA
: 07 Mei 2018
:
.
Nama
:
Ny. N
Hubungan
:
Istri
Pekerjaan
:
IRT
Alamat
:
Surabaya
Telp : .-
3 STATUS KESEHATAN SEKARANG : . Keluhan utama: Lemas
Pengetahuan, usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan: Menggunakan alat bantu (walker) untuk mobilisasi Obat-obatan: Lacons syrup 60ml 3x1 cth, metronidazole (oral) 3x500 mg, amlodipin 1x10g (oral), vit b complex 1 x 1. 4. AG E R E LATE D CH AN GE S (PERUBAHAN TERKAIT PROSES MENUA) : FUNGSI FISIOLOGIS 1.
Kondisi Umum Ya
2.
Kelelahan
:
Perubahan BB
:
Perubahan nafsu makan
:
Masalah tidur
:
Kemampuan ADL
:
KETERANGAN
:
Tidak
√
Pasien mengatakan merasa sesak saat beraktivitas
Integumen Ya
Lesi / luka
:
Pruritus
:
Perubahan pigmen
:
Memar
:
Tidak
√
3.
Pola penyembuhan lesi
:
KETERANGAN
:
√ Terdapat callus pada punggung kaki dan tumit D/S px
Hematopoetic Ya
4.
Perdarahan abnormal
:
Pembengkakankellimfe
:
Anemia
:
KETERANGAN
:
Tidak
√ Tidak ada gangguan
Kepala Ya
5.
Sakit kepala
:
√
Pusing
:
√
Gatal pada kulit kepala
:
KETERANGAN
:
Tidak
Px mengatakan saat merasa mual akan terasa pusing
Mata Ya
Perubahan
Tidak
√
:
penglihatan
6.
Pakai kacamata
:
Kekeringan mata
:
√
Nyeri
:
√
Gatal
:
Photobobia
:
Diplopia
:
√
Riwayat infeksi
:
√
KETERANGAN
:
Px mengalami presbiopi +3/-1 pada kedua mata
Telinga Ya
Tidak
√
Penurunan pendengaran
:
Discharge
:
Tinitus
:
Vertigo
:
√
Alat bantu dengar
:
√
Riwayat infeksi
:
Kebiasaan membersihkan telinga
:
Dampak pada ADL
:
KETERANGAN
:
Normal, tidak ada gangguan
7.
Hidung sinus Ya
8.
Tidak
√
Rhinorrhea
:
Discharge
:
Epistaksis
:
Obstruksi
:
√
Snoring
:
√
Alergi
:
Riwayat infeksi
:
KETERANGAN
:
Px tidak ada keluhan
Mulut, tenggorokan Ya
9.
Nyeri telan
:
Kesulitan menelan
:
Lesi
:
Perdarahan gusi
:
Caries
:
Perubahan rasa
:
√
Gigi palsu
:
√
Riwayat Infeksi
:
Pola sikat gigi
:
Px menggunakan pasta gigi untuk saat menggosok gigi
KETERANGAN
:
Tidak ada masalah
√
Leher Ya
10.
Tidak
Kekakuan
:
Nyeri tekan
:
Massa
:
KETERANGAN
:
Tidak
√ Tidak ada masalah
Pernafasan Ya
Batuk
:
Nafas pendek
:
Hemoptisis
:
Wheezing
:
Asma
:
KETERANGAN
:
Tidak
√
√
√ Px mengeluhkan sering kehabisan napas saat beraktivitas
11.
Kardiovaskuler Ya
12.
Chest pain
:
Palpitasi
:
√
Dipsnoe
:
√
Paroximal nocturnal
:
√
Orthopnea
:
Murmur
:
Edema
:
KETERANGAN
:
√ Tidak ada keluhan
Gastrointestinal Ya
13.
Tidak
Tidak
√
Disphagia
:
Nausea / vomiting
:
Hemateemesis
:
Perubahan nafsu makan
:
Massa
:
Jaundice
:
Perubahan pola BAB
:
Melena
:
√
Hemorrhoid
:
√
Pola BAB
:
Tidak teratur, seringkali keras
KETERANGAN
:
Px mengatakan sudah satu minggu tidak BAB. Distensi abdomen pada regio 8 dan 9. Bising usus 3x/menit
√
√
Perkemihan Ya
Tidak
Dysuria
:
Frekuensi
:
Hesitancy
:
Urgency
:
Hematuria
:
Poliuria
:
Oliguria
:
√
Nocturia
:
√
Inkontinensia
:
Nyeri berkemih
:
Pola BAK
:
Normal
KETERANGAN
:
Tidak mengalami gangguan
5-6 kali per hari
√
14.
Reproduksi (laki-laki) Ya
Tidak
√
Lesi
:
Disharge
:
Testiculer pain
:
Testiculer massa
:
√
Perubahan gairah sex
:
√
Impotensi
:
Reproduksi (perempuan)
15.
Lesi
:
Discharge
:
Postcoital bleeding
:
Nyeri pelvis
:
Prolap
:
Riwayat menstruasi
:
Aktifitas seksual
:
Pap smear
:
KETERANGAN
:
......................................................................................
Tidak ada gangguan
Muskuloskeletal Ya
Nyeri Sendi
:
√
Bengkak
:
√
Kaku sendi
:
Deformitas
:
Spasme
:
√
Kram
:
√
Kelemahan otot
:
Masalah gaya berjalan
:
Nyeri punggung
:
Pola latihan
:
Dampak ADL KETERANGAN
16.
Tidak
Px mengatakan setiap hari px latihan berjalan menggunakan walker : Karena kelemahan ekstrimitas bagian bawah px tidak bisa ADL secara mandiri : ADl px dibantu sebagian
Persyarafan Ya
Headache
:
√
Tidak
5.
Seizures
:
√
Syncope
:
√
Tic/tremor
:
Paralysis
:
Paresis
:
Masalah memori
:
KETERANGAN
:
√ √ Kelemahan ekstremitas bagian bawah
POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL : Psikososial
YA
Cemas
:
Depresi
:
Ketakutan
:
Insomnia
:
Kesulitan dalam mengambil keputusan
:
Kesulitan konsentrasi
:
Mekanisme koping
:
Tidak
√ √
√
Baik, px segera control ketika ada keluhan
Persepsi tentang kematian: biasa saja, hal alami yang terjadi Dampak pada ADLtidak ada masalah
Spiritual
Aktivitas ibadah : Px mengatakan tidak ibadah karena tidak bisa wudlu (keterbatasan
fisik) Hambatan: keterbatasan fisik
KETERANGAN : Distres spiritual 6.
LINGKUNGAN :
7.
Kamar : di lantai satu, bersama istri, tempat tidur setinggi pinggang, tidak memiliki pagar pembatas Kamar mandi : terpisah dari kamar tidur, jarak selip
±10m,
tidak menggunakan lantai anti
Dalam rumah: perabot diatur normal saja,
Luar rumah : naik turun dua step lantai tidak ada pegangan tangan
ADDITIONAL RISK FACTOR
Riwayatperilaku (kebiasaan, pekerjaan, aktivitas) yang mempengaruhikondisisaatini: Aktivitas latihan kadang tidak diawasi orang lain, px t idak merokok, tidur malam cukup
8. NEGATIVE FUNCTIONAL CONSEQUENCES
1. Kemampuan ADL
: Ketergantungan berat
2. AspekKognitif
: Tidak ada gangguan kognitif
3. TesKeseimbangan
:Risiko tinggi jatuh
4. GDS
: Tidak ada indikasi depresi
5. Status Nutrisi
: Moderate nutritional risk
6. Fungsi social lansia
: Fungsi baik
7. HasilpemeriksaanDiagnostik No
Jenis pemeriksaan Diagnostik
:
Tanggal Pemeriksaan
Hasil
Lampiran 1. Kemampuan ADL Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (Indeks Barthel) No
1
Kriteria
Makan
2
Mandi
3
Berpakaian
4
5
6
7
8
9
10
Berhias
Kontrol Bowel (BAB)
Kotrol Bladder (BAK)
Penggunaan toilet (mencuci, menyeka, menyiram) Naik turun tangga
Mobilisasi di permukaan datar
Berpindah ( dari kursi ke tempat tidur dan sebaliknya
Skor
0 = tidak mampu 5 = dengan bantuan (memaotong makanan, mengoleskan selai , dll atau membutuhkan menu makanan tertentu, misal makana cair, bubur) 10 = mandiri 0 = dependen 5 = mandiri 0 = dependen 5 = butuh bantuan 10 = mandiri (mengancingkan, memakai resleting, menalikan renda/tali) 0 = butuh bantuan dalam perawatan pribadi 5 = mandiri (mencuci wajah. Keramas, gosok gigi, bercukur) 0 = inkontiensia/ membutuhkan bantuan enema untuk BAB 5 = sesekali BAB tidak sadar (occasional accident) 10 = Kontrol BAB baik 0 = inkontiensia atau memakia kateter dan tidak mampu merawat kateter dan baik 5 = sesekali BAK tidak sadar (occasional accident) 10 = Kontrol BAK baik 0 = Tidak mampu 5 = butuh bantuan, tetapi bisa melakukan sesuatu dengan mandiri 10 = mandiri 0 = Tidak mampu 5 = dengan bantuan 10 = mandiri 0 = tidak mampu mobilisasi atau berjalan/kursi roda < 45,72 m (50 yard) 5 = mandiri dengan kursi roda > 45,72 m (50 yard), mampu memosisikan kursi roda di pojok ruangan 10 = berjalan dengan bantuan 1 orang > 45,72 m (50 yard) 15 = berjalan mandiri (mungkin dengan bantuan alat, pegangan) sejauh > 45,72 m (50 yard) 0 = tidak mampu berpindah, tidak dapat duduk dengan seimbang 5 = dengan bantuan lebih banyak (1 aau 2 orang yang membantu) 10 = dengan bantuan lebih sedikit 15 = mandiri TOTAL SKOR
Interpretasi: 0-20 = ketergantungan total 21-60 = Ketergantungan berat
Skor yang didapat
10
0
10
5
10
10
5
0
5
0
55
61-90 = ketergantungan sedang 91-99 = ketergantungan ringan 100 = mandiri (Lewis, Carole & Shaw, Keiba, 2006) 2. Aspek Kognitif
MMSE (Mini Mental Status Exam) Nama : Tgl/Jam:
N o
Aspek Kognitif
1
Orientasi
Nilai maksima l 5
Nilai Klie n 5
2
Orientasi
5
5
3
Registrasi
3
3
4
Perhatiandankalkulas i
5
5
5
Mengingat
3
3
6
Bahasa
9
9
Kriteria
Menyebutkan dengan benar : Tahun : 2018 Hari : Senin Musim :Kemarau Bulan : Mei Tanggal : tujuh Dimanasekarangkitaberada ? Negara: Indonesia Panti :URJ Geriatri Propinsi: Jawa Timur Wisma/Kamar :Ruang Tunggu Kabupaten/kota :Surabaya Sebutkan 3 namaobyek (misal : kursi, piring, kertas), kemudian ditanyakankepadaklien, menjawab : 1) Kursi 2). piring 3). Kertas Meminta klien berhitung mulai dari 100 kemudian kurangi 7 sampai 5 tingkat. Jawaban : 1). 93 2). 86 3). 79 4). 72 5). 65 Mintaklienuntukmengulangiketigaobyekpadapoinke - 3 (tiappoinnilai 1) 1) kursi 2)piring 3) Kertas Menanyakan pada klien tentang benda (sambil menunjukan benda tersebut). 1). Pulpen 2). Kertas 3). Minta klien untuk mengulangi kata berikut :
“ tidak ada, dan, jika, atau tetapi )
Klien menjawab : tidak ada, dan, jika, atau tetapi Minta klien untuk mengikuti perintah berikut yang terdiri 3 langkah. 4). Ambil kertas ditangan anda 5). Lipat dua 6). Taruh dilantai. Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila aktifitas sesuai perintah yang dituliskan di kertas nilai satu poin.
7). “Tutup mata anda”
8). Perintahkan kepada klien untuk menulis kalimat dan 9). Menyalin gambar 2 segi lima yang saling bertumpuk
Total nilai Interpretasihasil :
30
30
24 – 30 : tidakadagangguankognitif 18 – 23 : gangguankognitifsedang 0 - 17 : gangguankognitifberat Kesimpulan : Tidak ada gangguan kognitif 3. Tes Keseimbangan
Time Up Go Test No Tanggal Pemeriksaan 7 Mei 2018 1 2 3 Rata-rata Waktu TUG
Hasil TUG (detik) 60 detik
-
Interpretasi hasil
Resiko tinggi jatuh
Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut: >13,5 detik >24 detik
Resiko tinggi jatuh Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6 bulan >30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan dalam mobilisasi dan melakukan ADL (Bohannon: 2006; Shumway-Cook,Brauer& Woolacott: 2000; Kristensen, Foss & Kehlet: 2007: Podsiadlo & Richardson:1991) 4.
GDS Pengkajian Depresi No
Pertanyaan
Jawaban Ya
Tdk
Hasil
1.
Anda puas dengan kehidupan anda saat ini
0
1
0
2.
Anda merasa bosan dengan berbagai aktifitas dan kesenangan
1
0
0
3.
Anda merasa bahwa hidup anda hampa / kosong
1
0
0
4.
Anda sering merasa bosan
1
0
0
5.
Anda memiliki motivasi yang baik sepanjang waktu
0
1
0
8.
Anda takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada anda
1
0
1
7.
Anda lebih merasa bahagia di sepanjang waktu
0
1
0
8.
Anda sering merasakan butuh bantuan
1
0
1
9.
Anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar melakukan
1
0
1
sesuatu hal 10.
Anda merasa memiliki banyak masalah dengan ingatan anda
1
0
0
11.
Anda menemukan bahwa hidup ini sangat luar biasa
0
1
0
12.
Anda tidak tertarik dengan jalan hidup anda
1
0
0
13.
Anda merasa diri anda sangat energik / bersemangat
0
1
0
14.
Anda merasa tidak punya harapan
1
0
0
15.
Anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari diri anda
1
0
0
Jumlah
3
(Geriatric Depressoion Scale (Short Form) dari Yesafage (1983) dalam Gerontological Nursing, 2006 ) Interpretasi :Jika Diperoleh skore 5 atau lebih, maka diindikasikan depresi
5. Status Nutrisi Pengkajian determinan nutrisi pada lansia: No
Indikators
score
Pemeriksaan
1.
Menderita sakit atau kondisi yang mengakibatkan perubahan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi
2
0
2.
Makan kurang dari 2 kali dalam sehari
3
0
3.
Makan sedikit buah, sayur atau olahan susu
2
0
4.
Mempunyai tiga atau lebih kebiasaan minum minuman beralkohol setiap harinya
2
0
5.
Mempunyai masalah dengan mulut atau giginya sehingga tidak dapat makan makanan yang keras
2
1
6.
Tidak selalu mempunyai cukup uang untuk membeli makanan
4
0
7.
Lebih sering makan sendirian
1
0
8.
Mempunyai keharusan menjalankan terapi minum obat 3 kali atau lebih setiap harinya
1
1
9.
Mengalami penurunan berat badan 5 Kg dalam enam bulan terakhir
2
0
10.
Tidak selalu mempunyai kemampuan fisik yang cukup untuk belanja, memasak atau makan sendiri
2
2
Total score
4
( American Dietetic Association and National Council on the Aging, dalam Introductory Gerontological Nursing, 2001) Interpretasi: 0 – 2 : Good 3 – 5 : Moderate nutritional risk
6≥
: High nutritional risk
6. Fungsi sosial lansia APGAR KELUARGA DENGAN LANSIA Alat Skrining yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi sosial lansia NO
URAIAN
1.
Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga (teman-teman) saya untuk membantu pada waktu sesuatu menyusahkan saya
ADAPTATION
2
2.
Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)saya membicarakan sesuatu dengan saya dan mengungkapkan masalah dengan saya
PARTNERSHIP
2
3.
Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan aktivitas / arah baru
GROWTH
2
4.
Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya mengekspresikan afek dan berespon terhadap emosiemosi saya seperti marah, sedih/mencintai
AFFECTION
2
5.
Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya meneyediakan waktu bersama-sama
R ESOLVE
2
TOTAL
10
Kategori Skor: Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab: 1). Selalu : skore 22). Kadang-kadang : 1 3). Hampir tidak pernah : skore 0 Intepretasi: < 3 = Disfungsi berat 4 - 6 = Disfungsi sedang > 6 = Fungsi baik
FUNGSI
Smilkstein, 1978 dalam Gerontologic Nursing and health aging 2005
SKOR
ANALISA DATA Tanggal
07 Mei 2018
Data
DS : Klien mengatakan badannya lemas setelah jatuh DO : Klien tampak lemas Klien berjalan menggunakan walker dirumah Kelemahan pada eksteremitas bawah Kekuatan otot 5 5 4
Resiko tinggi jatuh
4
TUG 1 menit dengan menggunakan alat bantu jalan
-
07 Mei 2018
DiagnosaKeperawatan
DS: klien mengatakan sudah 1 minggu tidak BAB, dan BAB seringkali sulit dan keras Klien mengatakan mual dan perut penuh
Konstipasi
DO: Distensi pada abdomen regio 8 dan 9 Bising usus 3x/menit 07 Mei 2018
DS: Klien mengatakan kesulitan dalam melakukan ibadah karena kakinya lemah DO: -
-
-
-
Klien menggunakan walker untuk berjalan Kelemahan pada eksteremitas bawah Kekuatan otot 5
5
4
4
TUG 1 menit dengan
Distress spiritual
menggunakan alat bantu jalan
PrioritasMasalah :
1. Resiko tinggi jatuh 2. Konstipasi 3. Distress Spiritual
FORMAT RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NamaKlien
:Tn.SF
Wisma/ Ruang
: URJ Geriatri Rumah sakit Dr.Soetomo Surabaya
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan
Intervensi /NIC
Kriteria Hasil / NOC
1
Resiko tinggi jatuh
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di sekitar pasien (lantai tidak licin, tidak ada penghalang pada jalur berupa modifikasi lingkungan dan pendidikan yang dilewati pasien, cahaya cukup terang, tidak bising, kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan suhu ruangan) klien mampu : 2. Orientasikan pada pasien tentang lingkungan URJ 1. Lingkungan sekitar klien aman dan Geriatri nyaman (lantai tidak licin, tidak ada 3. Berikan HE kepada klien dan keluarga tentang faktor penghalang pada jalur yang dilewati faktor resiko penyebab, komplikasi dan dampak dari pasien, cahaya cukup terang, tidak jatuh bising, suhu ruangan) 4. Motivasi keluarga klien untuk mendampingi klien dalam 2. Klien dan keluargamenyatakan paham mobilisasi faktor-faktor resiko penyebab, 5. Berikan HE kepada keluarga tentang upaya pencegahan komplikasi dan dampak dari jatuh jatuhdengan memodifikasi lingkungan rumah agar 3. Keluarga menyatakan paham tentang nyaman dan aman bagi pasien. upaya pencegahan jatuh dengan 6. Bantu klien menggunakan kursi roda memodifikasi lingkungan rumah agar 7. Latih gerakan ROM aktif nyaman dan aman bagi pasien. 8. Evaluasi pemahaman klien dan keluarga tentang 4. Klien menyatakan paham tentang pengetahuan yang diberikan lingkungan sekitar URJ geriatri
2
Konstipasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa pendidikan kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan klien mampu : 1. Bebas dari ketidaknyaman dan konstipasi 2. Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi
3
Distress Spiritual
Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa pendidikan kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan klien mampu 1.Klien mampu menyatakan kenyamana dari pelaksanan praktek spiritual 2. klien menyatakan kepada perawat tentang konflik spiritual yang dialami klien 3.Klien mampu beradaptasi terhadap ketidakmampuan fisik atau cacat fisik
1. Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi 2. Anjurkan klien dan keluarga untuk meningkatkan asupan cairan 3. Anjurkan klien dan keluarga untuk mencatat warna,volume ,frekuensi dan konsistensi tinja 4. Anjurkan kien untuk diet tinggi serat. 5. Konsultasi dengan dokter untuk terapi selanjutnya
1. Gunakan komunikasi terapeutik untuk membangun kepercayaan dan kepedulian empatik 2. Dorong klien untuk meninjau kehidupan masa lalu dan fokus pada peristiwa dan hubungan yang memberikan kekuatan spiritual dan dukungan. 3. Dorong klien dan keluarga untuk perpartisipasi dalam kelompok keagamaan 4. Ajarkan metode relaksasi,meditasi dan citra dipandu
2
Konstipasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa pendidikan kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan klien mampu : 1. Bebas dari ketidaknyaman dan konstipasi 2. Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi
3
Distress Spiritual
Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa pendidikan kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan klien mampu 1.Klien mampu menyatakan kenyamana dari pelaksanan praktek spiritual 2. klien menyatakan kepada perawat tentang konflik spiritual yang dialami klien
1. Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi 2. Anjurkan klien dan keluarga untuk meningkatkan asupan cairan 3. Anjurkan klien dan keluarga untuk mencatat warna,volume ,frekuensi dan konsistensi tinja 4. Anjurkan kien untuk diet tinggi serat. 5. Konsultasi dengan dokter untuk terapi selanjutnya
1. Gunakan komunikasi terapeutik untuk membangun kepercayaan dan kepedulian empatik 2. Dorong klien untuk meninjau kehidupan masa lalu dan fokus pada peristiwa dan hubungan yang memberikan kekuatan spiritual dan dukungan. 3. Dorong klien dan keluarga untuk perpartisipasi dalam kelompok keagamaan 4. Ajarkan metode relaksasi,meditasi dan citra dipandu
3.Klien mampu beradaptasi terhadap ketidakmampuan fisik atau cacat fisik
(Untuk di Poli Geriatri)
Nama Klien
FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI
: Tn. SF
Tgl/ Jam
DX Keperawatan
Implementasi
07 Mei 2018
Resiko tinggi jatuh
1. Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di sekitar pasien (lantai tidak licin, tidak ada penghalang pada jalur yang dilewati pasien, cahaya cukup terang, tidak bising, suhu ruangan) 2. Mengorientasikan pada pasien tentang lingkungan URJ Geriatri 3. Memberikan HE kepada klien dan keluarga tentang faktor-faktor resiko penyebab, komplikasi dan dampak dari jatuh 4. Memotivasi keluarga klien untuk mendampingi klien dalam mobilisasi 5. Memberikan HE kepada keluarga tentang upaya pencegahan jatuhdengan memodifikasi lingkungan rumah agar nyaman dan aman bagi pasien. 6. Membantu klien menggunakan kursi roda 7. Melatih gerakan ROM aktif 8. Mengevaluasi pemahaman klien dan keluarga tentang pengetahuan yang diberikan
Evaluasi
Paraf
S: 1. Klien dan keluarga menyatakan paham faktor-faktor resiko penyebab, komplikasi dan dampak dari jatuh 2. Keluarga menyatakan paham tentang upaya pencegahan jatuh dengan memodifikasi lingkungan rumah agar nyaman dan aman bagi pasien. 3. Klien menyatakan paham tentang lingkungan sekitar URJ geriatri O: 1. Lingkungan sekitar klien aman dan nyaman (lantai tidak licin, tidak ada penghalang pada jalur yang dilewati pasien, cahaya cukup terang, tidak bising, suhu ruangan) 2. Klien nampak lemah dan duduk dikursi roda dengan kekuatan otot 5 5 4
4
(Untuk di Poli Geriatri)
Nama Klien
FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI
: Tn. SF
Tgl/ Jam
DX Keperawatan
Implementasi
07 Mei 2018
Resiko tinggi jatuh
1. Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di sekitar pasien (lantai tidak licin, tidak ada penghalang pada jalur yang dilewati pasien, cahaya cukup terang, tidak bising, suhu ruangan) 2. Mengorientasikan pada pasien tentang lingkungan URJ Geriatri 3. Memberikan HE kepada klien dan keluarga tentang faktor-faktor resiko penyebab, komplikasi dan dampak dari jatuh 4. Memotivasi keluarga klien untuk mendampingi klien dalam mobilisasi 5. Memberikan HE kepada keluarga tentang upaya pencegahan jatuhdengan memodifikasi lingkungan rumah agar nyaman dan aman bagi pasien. 6. Membantu klien menggunakan kursi roda 7. Melatih gerakan ROM aktif 8. Mengevaluasi pemahaman klien dan keluarga tentang pengetahuan yang diberikan
Evaluasi
Paraf
S: 1. Klien dan keluarga menyatakan paham faktor-faktor resiko penyebab, komplikasi dan dampak dari jatuh 2. Keluarga menyatakan paham tentang upaya pencegahan jatuh dengan memodifikasi lingkungan rumah agar nyaman dan aman bagi pasien. 3. Klien menyatakan paham tentang lingkungan sekitar URJ geriatri O: 1. Lingkungan sekitar klien aman dan nyaman (lantai tidak licin, tidak ada penghalang pada jalur yang dilewati pasien, cahaya cukup terang, tidak bising, suhu ruangan) 2. Klien nampak lemah dan duduk dikursi roda dengan kekuatan otot 5 5 4
4
3. Hasil TUG 1 menit dengan bantuan alat A.: Masalah teratasi sebagian P : Intervensi dilanjutkan 1. Anjurkan klien dan keluarga untuk kontrol rutin 1 bulan sekali atau jika mengalami masalah kesehatan 2. Berikan motivasi kepada keluarga untuk selalu mendampingi klien 3. Anjurkan klien untuk selalu melakukan ROM aktif di rumah
07 Mey 2018
Konstipasi
1. Mengidentifikasi Faktor Penyebab Dan Kontribusi Konstipasi 2. Menganjurkan Klien Dan Keluarga Untuk Meningkatkan Asupan Cairan 3. Menganjurkan Klien Dan Keluarga Untuk Mencatat Warna,Volume ,Frekuensi Dan Konsistensi Tinja 4. Menganjurkan Kien Untuk Diet Tinggi Serat. 5. Konsultasi Dengan Dokter Untuk Terapi Selanjutnya
S : Klien dan keluarga menyatakan paham tentang pencegahan sembelit O : px dan klg dapat menyebutkan kembali faktor penyebab, cara mencegah sembelit dan mencatat pola BAB px A: masalah teratasi P: Hentikan Intervensi dan follow up pada px dan keluarga untuk melakukan tindakan yang telah didiskusikan bersama
3. Hasil TUG 1 menit dengan bantuan alat A.: Masalah teratasi sebagian P : Intervensi dilanjutkan 1. Anjurkan klien dan keluarga untuk kontrol rutin 1 bulan sekali atau jika mengalami masalah kesehatan 2. Berikan motivasi kepada keluarga untuk selalu mendampingi klien 3. Anjurkan klien untuk selalu melakukan ROM aktif di rumah
07 Mey 2018
07Mey 2018
Konstipasi
Distres spiritual
1. Mengidentifikasi Faktor Penyebab Dan Kontribusi Konstipasi 2. Menganjurkan Klien Dan Keluarga Untuk Meningkatkan Asupan Cairan 3. Menganjurkan Klien Dan Keluarga Untuk Mencatat Warna,Volume ,Frekuensi Dan Konsistensi Tinja 4. Menganjurkan Kien Untuk Diet Tinggi Serat. 5. Konsultasi Dengan Dokter Untuk Terapi Selanjutnya
1.
2.
3. 4. 5.
S : Klien dan keluarga menyatakan paham tentang pencegahan sembelit O : px dan klg dapat menyebutkan kembali faktor penyebab, cara mencegah sembelit dan mencatat pola BAB px A: masalah teratasi P: Hentikan Intervensi dan follow up pada px dan keluarga untuk melakukan tindakan yang telah didiskusikan bersama
Menggunakan komunikasi terapeutik untuk S: Px mengatakan akan mencoba sholat dg membangun kepercayaan dan kepedulian duduk dan meminta bantuan klg untuk empatik wudlu. Mendorong klien untuk meninjau kehidupan O: masa lalu dan fokus pada peristiwa dan hubungan yang memberikan kekuatan 1. Px tampak tenang spiritual dan dukungan. 2. Klg memahami bahwa px Mendorong klien dan keluarga untuk membutuhkan bantuan untuk perpartisipasi dalam kelompok keagamaan melaksanakan ibadah. mengajarkan metode relaksasi dan meditasi 3. Px memahami teknik relaksasi atau Anjurkan Klg untuk membantu aktivitas meditasi sholat px (membantu wudlu dan menyiapkan A: Masalah teratasi sebagian px untuk persiapan sholat) P: Hentikan Intervensi dan follow up pada px dan keluarga untuk melakukan tindakan yang telah didiskusikan bersama
07Mey 2018
Distres spiritual
1.
2.
3. 4. 5.
Menggunakan komunikasi terapeutik untuk S: Px mengatakan akan mencoba sholat dg membangun kepercayaan dan kepedulian duduk dan meminta bantuan klg untuk empatik wudlu. Mendorong klien untuk meninjau kehidupan O: masa lalu dan fokus pada peristiwa dan hubungan yang memberikan kekuatan 1. Px tampak tenang spiritual dan dukungan. 2. Klg memahami bahwa px Mendorong klien dan keluarga untuk membutuhkan bantuan untuk perpartisipasi dalam kelompok keagamaan melaksanakan ibadah. mengajarkan metode relaksasi dan meditasi 3. Px memahami teknik relaksasi atau Anjurkan Klg untuk membantu aktivitas meditasi sholat px (membantu wudlu dan menyiapkan A: Masalah teratasi sebagian px untuk persiapan sholat) P: Hentikan Intervensi dan follow up pada px dan keluarga untuk melakukan tindakan yang telah didiskusikan bersama
DAFTAR PUSTAKA
Achmanagara, A. 2007. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dengan Keseimbangan Lansia di Desa Pamijen Sokaraja Banyumas. Depok: Universitas Indonesia Bandiyah, S. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika Berbudi, A. 2014. Core Stability and Balance Board Exercise better Improving Balance Compared with Balance Board Exercise in Students Age 18-24 years with Less Physical Activities. Sport and Fitness Journal, vol. 2, no. 1: p.134-149 Chandler, J.M. 2000. Balance and Falls in The Elderly: Issues In Evaluation and Treatment dalam Guccione, A.A.; Geriatric Physical Therapy. Boston: Mosby Constantinedes, P. 1994. General Pathobiology. New York: Appleton and Lange
Farabi, A. 2007. Hubungan Tes “Timed Up and Go” dengan Frekuensi Jatuh Pasien Lanjut Usia. Semarang: Universitas Diponegoro [Skripsi] Guccione, A. 2001. Geriatric Physical Therapy. USA: Harcourt Health Sciences
DAFTAR PUSTAKA
Achmanagara, A. 2007. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dengan Keseimbangan Lansia di Desa Pamijen Sokaraja Banyumas. Depok: Universitas Indonesia Bandiyah, S. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika Berbudi, A. 2014. Core Stability and Balance Board Exercise better Improving Balance Compared with Balance Board Exercise in Students Age 18-24 years with Less Physical Activities. Sport and Fitness Journal, vol. 2, no. 1: p.134-149 Chandler, J.M. 2000. Balance and Falls in The Elderly: Issues In Evaluation and Treatment dalam Guccione, A.A.; Geriatric Physical Therapy. Boston: Mosby Constantinedes, P. 1994. General Pathobiology. New York: Appleton and Lange
Farabi, A. 2007. Hubungan Tes “Timed Up and Go” dengan Frekuensi Jatuh Pasien Lanjut Usia. Semarang: Universitas Diponegoro [Skripsi] Guccione, A. 2001. Geriatric Physical Therapy. USA: Harcourt Health Sciences Company, p. 280 – 285 17. Guyton, A. & Hall, J. 2008. Fisiologi Kedokteran. Singapore: Elsevier Hyun, J. & Kim, N. 2014. The Effects of Balance Training and Ankle Training on The Gait of Elderly People Who Have Fallen. PhysTherSci. 27: p. 139-142 Irfan. 2010. Physionote. (diakses: 08 Mei 2018) Diunduh dari: http:// www.wordpress.com Jowir, R. 2009. Latihan Keseimbangan. (diakses: 08 mei 2018) Diunduh dari: http://seripayku.blogspot.com/2009/0 4/latihan-keseimbangan.html Karcharnubarn, R. & Rees, P. 2009. Population Ageing and Healthy Life Expectancy in Thailand. (diakses: 15 Januari 2015) Diunduh dari: http://www.geog.leeds.ac.uk/fileadmi n/downloads/school/people/postgrads /r.karcharnurbarn/Population_Ageing _and_Health_Expectancy_in_Thailan d_draft_3_PHR.pdf Kibler, W.B. 2006. The Role of Core Stability in Athletics Function. Sport Med, 36(3), pp.189-198
Kahle, N. 2009. The Effects of Core Stability Training on Balance Testing in Young. The University of Toledo Kloos, A.D. & Heiss, D.G. 2007. Exercise for Impaired Bal ance, dalam Kisner, C. dan Colby, N. 2005, Therapeutic Exercise, Edisi kelima, Philadelpia, FA Davis Company Menkokesra. 2011. Human Development Index. (diakses: 09 Mei 2018) Diunduh dari:http://datakesra.menkokesra.go.id/sites/default/files/pendidikan_file/h uman_development_index_2011.pdf Miller, C.A. 2004. Nursing for Wellness in Older Adults: Theory and Practice (4th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Mauk, K.L. 2010. Gerontological nursing competencies for care (second ed.). Sudbury: Janes and Barlett Publisher Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. p. 19-28, 3435, & 37 Nelson, R T. & Banndy, W.D. 2004. Eccentric Training and Static Stretching Improve Hamstring Flexsibiliti of high School Males. Journal of Athletic Neumann, D. 2000. Kinesiology of the Musculoskeletal System: Foundation for Physical Rehabilitation. Mosby: USA Pudjiastuti & Utomo, B. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC Setiabudhi. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Suadnyana, I.A.A. 2014. Core Stability Exercise Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Lanjut Usia di Banjar Bebengan, Desa Tangeb, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Denpasar: Universitas Udayana [Skripsi] Squire, L., Berg, D., Bloom, F., Lac, S., Ghosh, A., & Spitzer, N. 2008. Fundamental Neuroscience. Elsevier: USA Satria,
H. 2015. Pelatihan 12 Balance Exercise Lebih Meningkatkan Keseimbangan Dinamis daripada Balance Strategy Exercise pada Lansia di Banjar Bumi Shanti, Desa Dauh Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Denpasar : Universitas Udayana
Sibley, K. Beauchamp, M. Ooteghem, K. Straus, S. & Jaglal, S. 2015. Using the System Framework for Postural Control to Analyze the Components of Balance Evaluated in Standardized Balance Measures: A Scoping Review. American Congress of Rehabilitation Medicine. 96: p. 122- 132