LAPORAN PENDAHULUAN AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA di RUANG 7B RUMAH SAKIT dr SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh : Selfi Safrida NIM 0910720083
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012
AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA
I. DEFINISI AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk darah (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175). Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 ). Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain (Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495). Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi. Acute lympobastic leukemia adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa lymphoblasts. Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian (Ngastiyah, 1997). Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan sel limfosit, berupa proliferasi patologis sel – sel hematopoietik mudah ditandai dengan kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah (I Hartantyo, 1997). Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel – sel prekursor limfoid yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA ini banyak terjadi pada anak – anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T dan sisanya adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak – anak usia < 15 tahun dengan insiden tertinggi pada usia 3 – 5 tahun. Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun dengan 75 % berusia £ 15 tahun, insidensi puncaknya usia 3 – 5 tahun. LLA lebih banyak di temukan pada pria dari pada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk
berkembang menjadi, LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai resiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.
II. ETIOLOGI Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak di ketahui. Faktor keturunan dan sindroma redisposisi genetik lebih berhubungn dengan LLA yang terjadi pada anak – anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungna dengan LLA adalah : 1.
Radiasi Ionik.
2.
Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukemia.
3.
Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia 60 tahun.
4.
Obat kemoterapi.
5.
Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6.
Pasien dengan sindrom down dan wiskott – Aldrich mempunyai resiko yang meningkat untuk menjadi LLA. Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga
kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu: 1. Faktor eksogen a. Sinar x, sinar radioaktif. b. Hormon. c. Bahan
kimia
seperti:
bensol,
arsen,
preparat
sulfat,
chloramphinecol, anti neoplastic agent). 2. Faktor endogen a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam) b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down). c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur). (Ngastiyah,2005)
III. KLASIFIKASI AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA 1. Klasifikasi Imunologi a. Precursor B – Acute Lymploblastic Leukaemia (ALL) – 70% : common ALL (50%), null ALL, pre – B ALL. b. T – ALL (25%). c. B – ALL (5%). Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan adalah common ALL, Null cell. ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada dewasa.B – ALL merupakan penyakit yang jarang dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif (varian Burkirtt). 2. Klasifikasi Morfologi [(the French – American – British (FAB)] a. L1 : sel blas berukuiran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas. b. L2 : sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti sitoplasma yang rendah. c. L3 : sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofalik. Kebanyakan
LLA
pada
dewasa
mempunyai
morfologi
L2,
sedangkan L1 paling sering ditemukan pada anak – anak. Sekitar 95% dari tipe LLA kecualai sel B mempunyai ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl transferasi (TdT), suatu enzim nukklear yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan immunoglobulin. Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA dicurigai.
IV. PATOFISIOLOGI AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai hematopoiesis dan
terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang. LLA meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk menentukan / meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis (60%), kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor. Peningkatan
prosuksi
leukosit
juga
melibatkan
tempat-tempat
ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah- muntah, “seizures” dan gangguan penglihatan (Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart, 1995). Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaNker juga mengganggu metabolisme sehingga sel
kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
V. MANIFESTASI KLINIS AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain: 1. Pilek tak sembuh-sembuh 2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi 3. Demam, anoreksia, mual, muntah 4. Berat badan menurun 5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab 6. Nyeri tulang dan persendian 7. Nyeri abdomen 8. Hepatosplenomegali, limfadenopati 9. Abnormalitas WBC 10. Nyeri kepala (Mansjoer, A, 2000)
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah: 1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction): a. Ditemukan sel blast yang berlebihan b. Peningkatan protein 2. Pemeriksaan darah tepi a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia) b. Peningkatan asam urat serum c. Peningkatan tembaga (Cu) serum d. Penurunan kadar Zink (Zn) e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif 3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut 4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum 5. Sitogenik:
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa: a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a) b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection) c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil (Betz, Sowden. (2002).
ALL dapat didiagnosa pada pemeriksaan : Anamnesis 1. Anamnesis Anemia, kelemahan tubuh, berat badan menurun, anoreksia mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi (Ngastiyah, 2005). Kemudian menurut Celily, 2002 dilakukan kepemeriksaan. 2. Hitung
darah
lengkap
(CBC),
anak
dengan
CBC
kurang
dari
10.000/mm3 saat didiagnosa memiliki prognosis paling baik jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur. 3. Pungsi lumbal – untuk mengkaji keterlibatan SSP. 4. Foto toraks – mendeteksi keterlibatan mediastinum. 5. Aspirasi sumsum tulang – ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis. 6. Pemindahan tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang. 7. Pemindahan ginjal, hati dan limpa untuk mengkaji infiltrasi leukemik. 8. Jumlah trombosit – menunjukkan kapasitas pembekuan.
VII. PENATALAKSANAAN AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA 1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan. 3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti-hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3. 4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama). 5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya t ahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna. 6. Cara pengobatan. Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut: a. Induksi Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%. b.
Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi. c. Rumat (maintenance) Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa. d. Reinduksi Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari. e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi. f.
Pengobatan imunologik Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (Sutarni Nani 2003)
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA A. Pengkajian keperawatan 1. Identitas Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (85%) , puncaknya berada pada usia 2 – 4 tahun. Rasio lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam, lesudan malas makan atau nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan terjadi perdarahan. b. Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga yang erpapar oleh chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr, HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan
obat-obatann seperti phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun kemoterapi.
3. Pola sehari-hari a. Pola
Persepsi – mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan
berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan laporan tentang riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua. b. Pola Latihan dan Aktivitas : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan kordinasi dalam pergerakan, keluhan nyeri pada sendi atau tulang. Anak sering dalam keadaan umum lemah, rewel, dan ketidakmampuan melaksnakan aktivitas rutin seperti berpakaian, mandi, makan, toileting secara mandiri. Dari pemeriksaan fisik dedapatkan penurunan
tonus
otot, kesadaran
somnolence,
keluhan
jantung
berdebar-debar (palpitasi), adanya murmur, kulit pucat, membran mukosa pucat, penurunan fungsi saraf kranial dengan atau disertai tanda-tanda perdarahan serebral.Anak mudah mengalami kelelahan serta sesak saat beraktifitas ringan, dapat ditemukan adanya dyspnea, tachipnea, batuk, crackles, ronchi dan penurunan suara nafas. Penderita ALL mudah mengalami perdarahan spontan yang tak terkontrol dengan trauma minimal, gangguan visual akibat perdarahan retina, , demam, lebam, purpura, perdarahan gusi, epistaksis. c. Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia, muntah, perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan dan gangguan menelan, serta pharingitis. Dari pemerksaan fisik ditemukan adanya distensi
abdomen,
penurunan
bowel
sounds,
pembesaran
limfa,
pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran gusi (bisa menjadi indikasi terhadap acute monolytic leukemia) d. Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada perianal, nyeri abdomen, dan ditemukan darah segar dan faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta adanya hematuria.
e. Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas dan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur /istrahat karena mudah mengalami kelelahan. f. Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan kesadaran (somnolence) , iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan sakit kepala, disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal berinfiltrasi ke susunan saraf pusat. g. Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang lemah dengan pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian dapt ditemukan adanya depresi, withdrawal, cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingung. h. Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji i. Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-teman serta belajar. j. Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum dan ketidakberdayaan melakukan ibadah.
4. Pemeriksaan Diagnostik a. Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia b. Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr% c. Retikulosit : menurun/rendah d. Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm) e. White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (“kiri ke kanan”) f.
Serum/urin uric acid : meningkat
g. Serum zinc : menurun h. Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan erythroid prekursor, sel matur dan penurunan megakaryosit i.
Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu
5. Diagnosa Keperawatan a. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan perubahan maturitas sel darah merah, peningkatan jumlah limfosit imatur, imunosupresi
b.
Resiko
terhadap
penurunan
volume
cairan
berhubungan
dengan
pengeluaran berlebihan seperti muntah, perdarahan, diare, penurunan intake cairan c. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran kelenjar limfe, efek sekunder pemberian anti leukemic agents d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sumber energi,
peningkatan
laju
metabolik
akibat
produksi
lekosit
yang
berlebihan, ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan
6. Rencana Keperawatan Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan perubahan maturitas sel darah merah, peningkatan jumlah l imfosit imatur, imunosupresi Tujuan : setelah dilakukan tindakana keperawatan diharapkan tdak terjadi infeksi. Kriteria Hasil :
Mengidentifikasi faktor resiko yang dapat dikurangi
Menyebutkan tanda dan gejala dini infeksi
Tidak ada tanda infeksi Intervensi
1. Lakukan
tindakan
untuk
Rasional mencegah
1. Kewaspadaan
pemajanan pada sumber yang diketahui
meminimalkan
atau potensial terhadap infeksi :
klien
a. Pertahankan isolasi protektif sesuai kebijakan institusional b. Pertahankan teknik mencuci tangan dengan cermat
pemajanan
terhadap
bakteri,
virus, dan patogen jamur baik
endogen
maupun
eksogen 2. Perubahan
tanda-tanda
c. Beri hygiene yang baik
vital merupakan tanda din
d. Batasi pengunjung yang sedang
terjadinya
demam, flu atau infeksi e. Berikan hygiene perianal 2 x sehari dan setiap BAB f.
Batasi bunga segar dan sayur segar
utamanya
sepsis, bila
peningkatan suhu tubuh 3. Kultur
dapat
mengkonfirmasikan infeksi
g. Gunakan protokol rawat mulut
dan
h. Rawat klien dengan neutropenik
organisme penyebab
terlebih dahulu
terjadi
4. Pengertian
mengidentifikasi
klien
dapat
2. Laporkan bila ada perubahan tanda vital
memperbaiki
3. Dapatkan kultur sputum, urine, diare,
dan
darah
dan
sekresi
tubuh
abnormal
sesuai anjuran 4. Jelaskan
kepatuhan
mengurangi
faktor
resiko 5. Granulositopeniaa
alasan
kewaspadaan
dan
menetap
pantangan
Pengetian
5. Yakinkan klien dan keluarganya bahwa
6-12
dapat minggu.
tentang
sifat
sementara granulositopenia
peningkatan kerentanan pada infeksi
dapat
hanya sementara
mencegah
6. Minimalkan prosedur invasif
membantu kecemasan
klien dan keluarganya 6. Prosedur
tertentu
menyebabkan jaringan,
dapat trauma
menngkatkan
kerentanan infeksi
Resiko
terhadap
penurunan
volume
cairan
berhubungan
dengan
pengeluaran berlebihan seperti muntah, perdarahan, diare, penurunan intake cairan Batasan karakteristik : -
Tidak muntah
-
Perdarahan masif tidak ada
-
Tidak mengalami diare
-
Intake < output
Kriteria Hasil : -
Memperlihatkan keadaaan volume cairan yang adekuat
-
Memperlihatkan tanda-tanda vital dalam bataas normal
-
Memperlihatkan urine output, PH dalam batas normal
Intervensi 1. Monitor intake dan output
Rasional 1. Penurunan sirkulasi sekunder dapat
. Catat penurunan urin,
menyebabkan berkurangnya sirkulasi ke
dan besarnya PH
ginjal atau berkembang menjadi batu ginjal
2. Hitung berat badan setiap hari 3. Motivasi klien untuk
sehingga menyebabkan retensi cairan atau gagal ginjal 2. Sebagai ukuran keadekuatan volume
minum 3 – 4 l/hari jika
cairan. Intake yang lebih besar dari output
tanpa kontra indikasi
dapat diindikasikan menjadi renal obstruksi.
4. Kaji adanya petechie
3. Meningkatkan aliran urin, mencegah asam
pada kulit dan membran
urat, dan membersihkan sisa-sisa obat
mukosa, perdarahan gusi
neoplastik
5. Gunakan alat-alat yang
4. Supresi bone marrow dan prosuduksi
tidak menyebakan resiko
platelet menyebabkan klien beresiko
perdarahan
mengalami perdarahan
6. Berikan diet makanan
5. Jaringan yang mudah robek dan
lunak
mekanisme pembekuan dapat
7. Kolaborasi :
menyebabkan perdarahan meskipun
a. Pemberian cairan
karena trauma ringan
sesuai indikasi
6. Mencegah iritasi gusi
b. Monitor pemeriksaan
7. Mempertahankan cairan dan elektrolit yang
diagnostik : Platelet,
tidak bisa dilakukan per oral, menurunkan
Hb/Hct, bekuan darah
komplikasi renal. Bila platelet <20.000/mm( akibat pengaruh sekunder obat neoplastik ) , klien cenderung mengalami perdarahan. Penurunan Hb/Hct berindikasi terhadap perdarahan.
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran kelenjar limfe, efek sekunder pemberian anti leukemic agents Batasan karakteristik : -
Keluhan nyeri (tulang,sarf, sakit kepala, dll)
-
Distraksi menahan, ekspresi meringis, menangis, perubahan tonus otot
-
Respon-respons autonomik
Kriteria hasil : -
Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
-
Memperlihatkan perilaku positif dalam mengatasi nyeri
Intervensi 1. Kaji
Rasional
tingkat
nyeri, 1. Berguna mengkaji kebutuhan intervensi,
gunakan skala 1 – 10
bisa berindikasi perkembangan komplikasi
2. Monitor vital signs, catat 2. Berguna reaksi non verbal
dalam
validasi
verbal
dan
mengevaluasi keefektifan intervensi
3. Ciptakan lingkungan yang 3. Meningkatkan kemampuan istrahat dan tenang
dan
kurangi
stimulus
memperkuat kemampuan koping 4. Menurunkan gangguan pada tulang dan
4. Berikan
posisi
yang
nyaman
sendi 5. Meningkatkan
5. Latih ROM exercise 6. Evaluasi
7. Kolaborasi : a. Analgetik
jaringan
dan
mobilitas sendi
mekanisme 6. Penggunaan
koping klien
sirkulasi
persepsi
pribadi
untuk
mengatasi nyeri dapat membantu klien memiliki koping yang lebih efektif 7a. Diberikan untuk nyeri ringan
b. Narkotik
Cat : jangan menggunakan aspirin karena
c. Tranguilizer
bisa menyebabkan perdarahan 7b. Diberikan untuk nyeri sedang-berat 7c. Memperkkuat kerja analgetik/narkotik
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sumber energi, peningkatan laju metabolik akibat produksi lekosit yang berlebihan, ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan Batasan karakteristik : -
Keluhan lemah, anak memperlihatkan penurunan kemampuan beraktifitas
-
Anak rewel, dyspnea
-
Abnormal HR atau respon perubahan TD
Kriteria hasil : -
Klien akan menunjukkan partisipasi dalam ADL sesuai kemampuan
Intervensi 1.
Rasional
Evaluasi keluhan lemah, rewel, 1. Efek ketidakberdayaan dalam ADL
2. Ciptakan lingkungan yang tenang dan istrahat yang tidak terganggu
leukemia,
kemoterapi sehingga
dapat
anemia
dan
menjadi
satu
memerlukan
bantuan
dalam pemenuhan aktifitas ADL
3. Bantu dalam setiap pemenuhan 2. Mengumpulkan rawat diri/ADL 4. Jadwalkan sebelum
energi
untuk
beraktifitas dan untuk regenerasi sel pemberian
kemoterapi.
makan 3. Memaksimalkan kemampuan untuk Beri
oral
rawat diri
hidrasi sebelum makan dan anti 4. Meningkatkan emetik sesuai indikasi 5. Kolaborasi :
sebelum
terjadi mual akibat efek samping kemoterapi
Pemberian suplemen O2 sesuai 5. Memaksimalkan anjuran
intake
kemampuan
oksigenasi untuk uptake seluler
DAFTAR PUSTAKA 1. Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC 2. Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC 3. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius 4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001 5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001 6. Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC