BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Latar Belaka Belakang ng
Dift Difter erii
adal adalah ah
peny penyak akit it
infe infeks ksii
san sangat gat
men menular ular
yang ang
diseb isebab abka kan n
oleh leh
Corynebacterium diphtheria. diphtheria. Bakteri ini akan mengelurakan toksin yang menyebabkan terbentuknya pseudomembran atau selaput putih keabu-abuan pada kulit dan atau mukosa. Kuman Kuman difteri akan menular ke orang lain melalui percikan ludah, kontak langsung, langsung, dan luka yang terbuka. Hal inilah yang menyebabkan penularan difteri yang sangat tinggi 1. Difteri sangat berbahaya karena memliki angka mortalitas yang cukup tinggi akibat dari komplikasinya berupa obstruksi jalan nafas dan miokarditis. Penyakit difteri mulai munc muncul ul kemb kembal alii di ndo ndone nesia sia sekit sekitar ar tahu tahun n !""# !""# di Bang Bangka kala lan, n, $a%a $a%a &imur imur yang yang kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten'kota di $a%a &imur dan ditetapkan sebagai K(B )Kejadian (uar Biasa* pada tahun !"11. ! $umlah kasus difteri ini terus meningkat tiap tahunnya di $a%a &imur, yakni + kasus positif, tahun !"", 1+ kasus ) meninggal*, tahun !""+ dan !"", +! dan kasus ) meninggal*, tahun !""/, kasus ) me meni ning ngga gal* l*,, ta tahu hun n !" !"" ",, / ka kasu suss )1 )1! ! me meni ning ngga gal*, l*, ta tahu hun n !" !""0 "0,, 1 1" " ka kasu suss ) meninggal* dan tahun !"1", #" kasus )!1 meninggal* #. Pada kurun %aktu ktober 2o3ember !"1/ ada 11 pro3insi yang melaporkan terjadinya K(B Difteri di %ilayah kabupaten'kota-nya, yaitu 1* 4umatera Barat, !* $a%a &engah, #* 5ceh, * 4umatera 4elatan, +* 4ula%esi 4elatan, * Kalimantan &imur, /* 6iau, * Banten, 0* DK $akarta, 1"* $a%a Barat, dan 11* 11* $a%a &imur &imur. 7pidemiolo 7pidemiologis gis K(B Difteri menurut menurut Kementrian Kementrian Kesehatan sampai tanggal !+ Desember !"1/ telah terkumpul data sebanyak 0"/ kasus yang terdeteksi terdeteksi )kumulatif )kumulatif selama tahun !"1/* dimana di antaranya meninggal meninggal dunia dunia pada 1 Kabupaten kota dari !0 pro3insi. K(B Difteri pada saat ini tidak hanya menyerang Balita namun juga anak ataupun de%asa yang memiliki kerentanan terhadap Difteri cukup tinggi.. Hal ini terbukti terdapat / 8 menyerang anak usia sekolah )+ 1 tahun* dan #8 menyerang umur di atas 1 tahun pada kelompok umur 1-" tahun !. Kasus Kasus difter difterii masih masih sering sering terjadi terjadi karena karena masih masih banyak banyak daerah daerah dengan dengan cakupa cakupan n imunisasi yang rendah. Hal ini disebabkan akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendah rendahnya nya penget pengetahu ahuan an dan partisi partisipas pasii masyar masyaraka akat, t, serta serta letak letak geogra geografis fis yang yang sulit. sulit. Penanggulangan Kejadian (uar Biasa )K(B* Difteri telah dilakukan dengan pemberian obat antitoksin pada penderita dan obat )profilaksis* orang yang memiliki kontak erat dan carrier serta melakukan utbreak 6esponse mmuni9ation )6* dan 4ub P2 difteri. Pencegahan K(B Difteri dapat dilakukan dengan pemberian 3aksin DP&-HB untuk usia ! bulan sampai sa mpai : # tahun, D& untuk usia #-/ tahun dan &d untuk anak usia ; / tahun ta hun dan 1
pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita< penderita< penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada Batita serta anak sekolah s ekolah dasar< meningkatkan cakupan imunisasi yang merata di seluruh %ilayah< serta perbaikan manajemen pengelolaan dan sarana sarana penyim penyimpan panan an 3aksin 3aksin untuk untuk menjag menjagaa mutu mutu 3aksin. 3aksin. leh leh sebab sebab itu, itu, penega penegakan kan diagno diagnosis sis difter difterii secara secara klinis klinis di masyar masyaraka akatt harus harus dilaku dilakukan kan sebaik sebaik mungki mungkin, n, agar agar terputus rantai penularannya. 1.2 Rumusan Rumusan Masala Masalah h
Bagaimana penegakan diagnosa, penatalaksanaan serta prognosis difteri= 1.3 Manfa Manfaat at
>ntuk mengetahui penegakan diagnosa penatalaksanaan serta prognosis difteri 1.4 u!uan u!uan
4ebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosa dan memberi terapi serta edukasi keluarga agar tidak terjadi komplikasi difteri yang berbahaya
!
BAB II LAP"RAN #A$U$
1. Anamnesa a. dentitas 2ama Paisen )('P* &&('>sia 5lamat 5gama 4uku 2ama 5yah >sia Pekerjaan 5lamat 2ama bu >sia Pekerjaan 5lamat 2o 6@ &anggal Pemeriksaan b. Keluhan >tama c. 6. Penyakit 4ekarang
? 5n. P5 )P* ? Bangkalan, "1 $uli !"1! ? Burneh ? slam ? @adura ? &n. 45 ? +"th ? 4%asta ? Burneh ? 2y. $ ? #+ th ? P6& ? Burneh ? 1/0 ? ! $anuari !"1 ? Panas ? Panas hari, naik turun, turun sesaat dengan obat dari
dr. >mum< batuk hari, jarang, berdahak, %arna putih< pilek + hari, ingus kehijauan< nyeri telan # hari, nafsu makan dan minum menurun< bengkak di leher ba%ah dagu # hari< sesak ! hari, bertambah berat< diba%a ke PK@ Burneh
g. h.
didiagnosa suspect difteri dan sudah di s%ab 1 kali. 6. Penyakit Dahulu ? @untah dan diare dira%at + hari di PK@. 6. Penyakit Keluarga ? tidak ada 6. Persalinan ? Kelahiran ? 4pontan, di bidan, langsung menangis >K? 0 bulan 52A? 6utin setiap bulan BB( ? #kg PB ? tdk tahu (K ? tdk tahu (( ?tdk tahu 5nak ke- ? # 6. &umbuh Kembang ? baik sesuai usianya 6. munisasi ? munisasi hanya 1 %aktu lahir di bidan Hb1-", dan 1
i.
campak, selebihnya belum pernah imunisasi 6. 2utrisi ? 54 sampai usia setahun, susu formula setelahnya,
j.
@P54 sejak usia bulan. @akanan dan minum sehari-hari baik. 6. 4osek ? 5n. P5 jarang keluar rumah, lingkungan lebih dekat
d. e. f.
dengan he%an ternak, tinggal dengan ! kakak dan orang tua yang jarang di rumah, tidak ada tetangga atau keluarga yang menderita penyakit sama. k. 6. Pengobatan ? paracetamol dan eritromisin l. @64 ? !! $anuari !"1 2. Pemer%ksaan &%s%k Keadaan >mum ?sedang )kurang aktif* CA4 ?+ && ? BB ? 1+ kg #
H6 66 & &D 4p! 5nemis &urgor Kepala @uka 6ambut @ata Hidung @ulut
? 1!#'menit &B'PB ? 1" cm ? #!'menit (K ? 0 cm o ? #/,1 A ((5 ? 1+ cm ? 11"'/" mmHg ? 0/-08 kterik Ayanosis Dispneu E ? 2ormal 7dema ?? 2ormo >>B ? @enutup ? 4imetris ? %arna? hitam sulit dicabut ? Aekung - Basah kasar- 6efleks pupil? E isokor ukuran? #mm'#mm ? 6inorea - Pernafasan cuping hidung E secret hidung E kehijauan ? &rismus F &enggorokan ? Pseudomembran E
Bibir (idah (eher
? Basah kasar - Pucat ? Kotor - &remor ? Pembesaran Kelenjar Cetah Bening E'± )Bullneck E'±*
h'ra( nspeksi
Palpasi )antung nspeksi Palpasi 5uskultasi Paru nspeksi Palpasi 5uskultasi Perkusi
Pemb Kel &iroid -
? 4imetris E 6etraksi? 4uprasternal )E* ? Cerakan Dada 4imetris E
Bentuk ? 2ormal &hrill -
? ctus Aordis ? ctus Aordis Kuat 5ngkat E ? 41 4! tunggal @urmur )-*
Griction 6ub )-*
? Pengembangan Dada 4imetris E ? &aktil remitus normal, sama antara kanan dan kiri ? 4tridor )E* 6honci E'E hee9ing -'? 4onor
A*+'men
nspeksi
? Datar
kut gerak nafas E
Palpasi
? 4oufel E
Distended -
2yeri &ekan -
Perkusi
? &impani E
@eteorismus -
4hifting Dullness -
5uskultasi
? Bising >sus )E* 2ormal
Hepar
? Pembesaran -
(impa
? &eraba -
&umor
?-
Cinjal
? &eraba -
&urgor kulit
? kembali dengan cepat
Ektrem%tas
, Hangat
>ndulasi -
2yeri Ketok F
7dema )-*
Polidaktil )-* A6&? :! dtk
Neur'l'g%
6eflek Gisiologi ? BP6 ? normal &P6 ? normal KP6 ? normal 5P6 normal 6eflek Patologis? Houffmen -,&romner -, Ahaddok - ,Babin9ki - ,penhem @eningeal 4ign? Kaku Kuduk -, Brud9inski - ,Brud9inski - , (aseIue $tatus -%%
? 0#8 Ci9i Baik
3. Pemer%ksaan Penu!ang ? Hasil (aboratorium &anggal !! $anuari !"1 Pemer%ksaan HA$IL Hemat'l'g% Hb 1!,! Hematokrit #, 7ritrosit ," 1/0 (eukosit &rombosit #/# In+e( Er%tr's%t @A @AH @AHA D%fferent%al Basofil 2eutrofil (imfosit 7usinofil 2etrofil
"," !, ##,"
$AUAN
NILAI N"RMAL
g'd( 8 1"J'cmm cell'cmm cell'cmm
11." F 1.+ ## - / #, F +, +""" F 1.+"" 1+.""" - !."""
#et.
pg'ml f( pg 8
pg'ml 8 "-1 104 0,/ 8 "-/" !!,! 8 !!-" 8 !- 013 ,+ 8 - a*el 1 Has%l Pemer%ksaan Darah lengka
&anggal !0 $anuari !"1
+
Pemer%ksaan Hemat'l'g% Hb Hematokrit 7ritrosit (eukosit &rombosit
HA$IL
$AUAN
11,+ #+,+ ,! 1/06 6
g'd( 8 1"J'cmm cell'cmm cell'cmm
",# !,1 #!,
pg'ml f( pg 8
In+e( Er%tr's%t @A @AH @AHA
4. D%agn's%s Ban+%ng
5. D%agn'sa #er!a /. $"AP
&gl !#'"1'1
#et.
11." F 1.+ ## - / #, F +, +""" F 1.+"" 1+.""" - !."""
pg'ml 8 "-1 1056 ",# 8 "-/" 50// 8 !!-" 8 !- 054 ,+ 8 - a*el 2 Has%l Pemer%ksaan Darah lengka
D%fferent%al Basofil 2eutrofil (imfosit 7usinofil 2etrofil
2o 1
NILAI N"RMAL
? Difteri Bronkitis &onsilitis 5kut ? 4. Difteri
4 Panas )±*, mual
)E*, 4esak )+*, nyeri telan )+*,
batuk )E*, pilek
aktif* CA4 + 2adi?11#'mnt
5 4. Difteri Bronkitis
6r ?#'mnt
)E*, makan minum mulai mau
K> 4edang )kurang
& ? #,+oA
@ata co%ong )-* @ukosa
bibir memerah Aor 414! single reguler Dipsnue )±*, napas
cuping hidung )E*,
P nfus kaen #B 1/tpm Pasang ! 2asal 2ebuli9er Aombi3ent ampul nj. 5ntrain # ",# cc nj. 5D4 ! 3ial drip dengan !"" cc PL nj. PPA /+".""" > @ nj. Deametasone # ",+cc BH # 1 cth p.o 4%ab Pseudomembran
retraksi suprasternal,
rhonki basah kasar E'E Pseudomembran )E*, Pembesaran KCB
!
!'"1'1
Panas naik turun, 4esak MM, nyeri telan MM, batuk )±*,
submandibular detra )E* 5kral hangat K> 5ktif CA4 + 2adi?11!'mnt 6r ?!'mnt
4. Difteri Bronkitis
nfus kaen #B 1/tpm 2ebuli9er PL ! cc Pasang ! 2asal nj. 5ntrain # ",# cc nj. PPA /+".""" > @
& ? #,#oA
pilek )-*, makan minum mau
@ukosa bibir dB2 Aor 414! single reguler Dipsneu )±*, napas
nj. Deametasone #
",+ cc BH # 1 cth p.o 4%ab Pseudomembran
cuping hidung )E*,
retraksi )-*, rhonki basah kasar E'E Pseudomembran )E* mengecil, Pembesaran KCB submandibula
#
!+'"1'1
Panas )-*, 4esak )-*, nyeri telan )±*,
batuk )±*, pilek
4. Difteri
6r ?!!'mnt
)-*, makan minum baik
detra )E* mengecil 5kral Hangat K> 5ktif CA4 + 2adi?'mnt
& ? #,oA
Aor 414! single reguler Dipsnue )-*, napas
nfus kaen #B 1/tpm Pasang ! 2asal nj. 5ntrain # ",# cc nj. PPA /+".""" > @ nj. Deametasone # ",+ cc BH # 1 cth p.o 4%ab Pseudomembran
cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )±*, Pembesaran KCB submandibular detra )±*
!'"1'1
Panas )-*, 4esak )-*, nyeri telan )-*,
batuk )±* jarang,
4. Difteri
& ? #oA
6r ?!'mnt
pilek )-*, makan minum baik
berkurang 5kral hangat K> 5ktif CA4 + 2adi?'mnt
Aor 414! single reguler Dipsnue )-*, napas
nfus kaen #B 1/tpm nj. PPA /+".""" > @ nj. 5ntrain ",# cc K'P nj. Deametason # ".+ cc BH # 1 cth p.o 4%ab Pseudomembran
cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )±* sedikit, Pembesaran KCB submandibular
+
!/'"1'1
Panas )-*, 4esak
)-*, nyeri telan )-*, batuk )-*, pilek )-*,
makan minum
detra )±* sedikit 5kral hangat K> 4edang )kurang aktif* CA4 + 2adi?0!'mnt 6r ?!'mnt
baik
& ? #oA
4. Difteri
nfus kaen #B 1/tpm nj. PPA /+".""" > @ nj. Deametason # ".+ cc nj. 5ntrain ",# cc K'P BH # 1 cth p.o 4%ab Pseudomembran
Aor 414! single reguler Dipsnue )-*, napas
/
cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )±* sedikit, Pembesaran KCB submandibular
!'"1'1
Panas )-*, 4esak
)-*, nyeri telan )-*, batuk )-*, pilek )-*,
makan minum
detra )-* 5kral hangat K> 4edang )kurang
4. Difteri
aktif* CA4 + 2adi?1""'mnt
6r ?!'mnt
baik
& ? #,#oA
nfus Kaen #B 1/ tpm nj. PPA /+".""" > @ nj. Deametason # ".+ cc nj. 5ntrain ",# cc K'P BH # 1 cth p.o 4%ab Pseudomembran
Dipsnue )-*, napas cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )±* sedikit, Pembesaran KCB submandibular
/
!0'"1'1
Panas )-*, 4esak
)-*, nyeri telan )-*, batuk )-*, pilek )-*,
makan minum
detra )-* 5kral hangat K> 4edang )kurang
4. Difteri
aktif* CA4 + 2adi? 0"'mnt
nj. PPA /+".""" > @ BH # 1cth p.o
6r ? !!'mnt
baik
& ? #,!oA
Aor 414! single reguler Dipsnue )-*, napas cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )-*, Pembesaran KCB
#"'"1'1
Panas )-*, 4esak
)-*, nyeri telan )-*, batuk )-*, pilek )-*,
makan minum
submandibular detra )-* 5kral hangat K> 4edang )kurang aktif* CA4 + 2adi?11#'mnt
4. Difteri
nj. PPA /+".""" > @ BH # 1 cth p.o
6r ? !!'mnt
baik
& ? #oA
Aor 414! single reguler Dipsnue )-*, napas cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )-*, Pembesaran KCB
0
#1'"1'1
Panas )-*, 4esak
)-*, nyeri telan )-*, batuk )-*, pilek )-*,
makan minum
submandibular detra )-* 5kral hangat K> 4edang )kurang
4. Difteri
nj. PPA /+".""" > @
aktif* CA4 + 2adi?0"'mnt 6r ?!"'mnt
baik
& ? #oA
Aor 414! single reguler Dipsnue )-*, napas cuping hidung )-*,
3esikuler E'E Pseudomembran )-*, Pembesaran KCB
submandibular detra )-* 5kral hangat Hasil s%ab difteri )-*
. era% Me+%kament'sa - nfus maintenance Kaen #B 1/tpm - nj. 5D4 ".""" K diencerkan dengan PL !"" cc s elama jam - nj. Penicillin procaine /+".""" > dosis tunggal selama 1" hari 7 5ntrain # ",# cc bila panas 7 nj. Deametason # ",+ cc 7 bat Batuk Hitam # 1 cth p.o 7 7ritromisin +"" mg 1 untuk profilaksis keluarga selama / hari N'nme+%kament'sa - stirahat mutlak selama kurang lebih ! minggu - Pemberian cairan dan diet yang adekuat - &empatkan pada ruangan isolasi karena penyakit menular dan berbahaya - 7dukasi keluarga untuk menggunakan 5PD seperti masker pada setiap orang yang
masuk ke ruangan ra%at inap, membatasi orang yang masuk ruangan, menghindari kontak langsung, dan tidak menggunakan alat makan atau mandi yang sama - 7dukasi untuk memberikan 3aksin difteri setelah #- minggu pasien sembuh . Pr'gn's%s
? dubia at malam jika terjadi obstruksi jalan nafas, dubia at
bonam jika komplikasi minimal 6. #'ml%kas% , obstruksi jalan napas, miokarditis pada hari ke +-/, neuritis 1. #IE , 1. &etap tenang dan tidak panik !. 4egera ba%a ke pelayanan kesehatan terdekat dan edukasi untuk menghindarkan anak dari lingkungan luar )isolasi* karena ini penyakit yang menular dan berbahaya #. 7dukasi keluarga untuk menggunakan 5PD )alat perlindungan diri* seperti masker dan sarung tangan setiap akan kontak dengan penderita
0
. 7dukasikan kepada keluarga bah%a anak harus istirahat mutlak ± !-# minggu dan akan dilakukan s%ab'kerokan pada area yang tampak selaput keabu-abuan setiap hari minimal # +. @emberikan informasi mengenai kemungkinan komplikasi dan prognosa penyakit ini
1"
BAB III IN)AUAN PU$A#A
3.1 Def%n%s%
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dengan membentuk pseudomembran atau selaput putih keabuan pada mukosa atau kulit. nfeksi biasanya mengenai hidung, tonsil dan faring, laring, serta kadang pada kulit, konjungti3a, genitalia dan telinga. nfeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal maupun sistemik, akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.1 @asa inkubasi kuman ini antara ! - + hari, dengan penularan melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri tersebar melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bah%a infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.+ 3.2 Et%'l'g% Kuman difteri Corynebacterium diphteriae )basil Klebs-Loeffler * merupakan kuman
berbentuk batang, gram-positif )basil aerob*, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan "NA, tahan dalam keadaan beku dan basah kasar. Pada pe%arnaan, kuman bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk ( atu , atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu )yaitu sistin telurit agar darah* yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphtheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang ber%arna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan ber%arna krem atau putih kelabu. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa . Pada media Tellurite dapat dibedakan # tipe koloni ? a. koloni mitis yang halus, ber%arna hitam dan cembung b. koloni gra3is yang ber%arna kelabu dan setengah kasar c. koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat ber%arna hitam.+ Ketiga tipe utama C.diphtheriae jika dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. 11
C.diphtheriae memiliki kemampuan khas untuk memproduksi eksotoksin baik in-3i3o maupun in-3itro. 7ksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul !.""" dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai ! fragmen yaitu fragmen 5 )aminoterminal* dan fragmen B )karboksi-terminal*. Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toigene. &idak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. &iter anti toksin sebesar ","# satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick./ 3.3 E%+em%'l'g% Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. >mumnya masih tetap terjadi pada indi3idu-indi3idu yang berusia kurang dari 1+ tahun )yang tidak mendapatkan imunisasi primer*. Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan indi3idu. 4erangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bah%a penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada indi3idu yang belum mendapatkan imunisasi. &onsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 1" tahun dan frekuensi tertinggi pada usia !-+ tahun %alaupun pada orang de%asa masih mungkin menderita penyakit ini. 3.4 Pat'f%s%'l'g% Kuman masuk melalui mukosa'kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. &oksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul !.""" dalton, tidak tahan panas'cahaya, mempunyai ! fragmen yaitu fragmen 5 )aminoterminal* dan fragmen B )carboyterminal* yang disatukan dengan ikatan disulfida. Gragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen 5 dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel. 6eseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. 4elanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi 1!
secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. 7fek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan ! asam amino yang telah diikat ! transfer 625 yang menempati kedudukan P dan 5 dari pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru 625, diperlukan proses translokasi. &ranslokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer 625 E dipeptida dari kedudukan 5 ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan en9im translokase )7longation faktor-!* yang aktif. &oksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen 5 akan masuk dan mengakibatkan inakti3asi en9im translokase melalui proses ? 25DE E 7G ! )aktif* ---toksin ---; 5DP-ribosil-7G! )inaktif* E H! E 2icotinamide 5DP-ribosil-7G! yang inaktif. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. 2ekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. 4ebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. &erbentuklah suatu membran yang melekat erat ber%arna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. 4elanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri )misalnya Streptococcus pyogenes*. @embran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan'suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabangcabang tracheobronchial. &oksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. 5ntitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. 4etelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang ber3ariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. @iokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 1"-1 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah #-/ minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem 1#
konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. 2ekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal. 3.5 Man%festas% #l%n%s &anda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum. @asa inkubasi difteri biasanya !-+ hari, %alaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama hari bahkan sampai minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara #/, oA F #,0oA. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih'keabu-abuan. Dalam ! jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, u3ula. @ula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abuabu'hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. @embran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan diba%ahnya. 4ehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan.
$aringan
yang tidak
ada
membran
biasanya
tidak
membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada harihari +-, %alaupun antitoksin tidak diberikan.# Cejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang.
Dan
perubahan
ini
akn
lebih
cepat
bila
diberikan
antitoksin.
Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. >dema tonsil dan u3ula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrose. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi diba%ah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck. Cambaran klinik dibagi dalam # golongan yaitu ? a. gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan b. gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. @embran ini dapat meluas ke palatum molle, u3ula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. @embran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat 1
akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga Burgermeesters hals. c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. D%fter% 'ns%l Cejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis ' periadenitis cer3ical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck )limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher*. 4uhu dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. 0 Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara /-1" hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam -1" hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis. 0 D% fter% H%+ung
Pada permulaan mirip common cold , yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. 4ekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. 5bsorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. 0
1+
D% fter% Lar%ng
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Cejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk basah kasar dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supracla3icular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia. 0 D%fter% a #ul%t0 8ul9'9ag%nal0 #'n!ungt%9a0 el%nga
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya disertai nyeri, eritem, dan eksudat khas< kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. nfeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. &ungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak la9im. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungti3a berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungti3a palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. 0 3./ D%agn's%s Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan ji%a penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Aara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody techni!ue" namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi A, diphtheriae dengan pembiakan pada media (oeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara 3i3o )marmut* dan 3itro )tes 7lek*. Aara #olymerase Chain $eaction )PA6* dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas. Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan ba%ah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.+ 3. D%agn's%s Ban+%ng 3..1 D%fter% H%+ung
1. 6hinorrhea )common cold, sinusitis, adenoiditis* !. Benda asing dalam hidung 1
#. Snuffles )lues congenita*. 3..2 D%fter% &ar%ng ,
1. &onsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus )tonsillitis akuta' septic sore throat) !. %ononucleosis infectiosa #. &onsilitis membranosa non bakterial . &onsillitis herpetika primer +. @oniliasis . Blood dyscrasia /. Pasca tonsilektomi. 3..3 D%fter% Lar%ng ,
1. &nfectious croup yang lain !. Spasmodic croup #. 'ngioneurotic edema pada laring . Benda asing dalam laring. 3..4 D%hther%a #ul%t ,
1. &mpetigo !. nfeksi o.k. streptokokusstafilokokus. 3. Pen:ul%t
1. bstruksi jalan nafas Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cer3ical. !. 7fek toksin Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini )minggu pertama* atau lebih lambat )minggu ke enam*. @anifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Penyulit pada saraf )neuropati* biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-#, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-+, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-+ dan ke-/. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon reflees, peningkatan kadar protein dalam li!uor cerebrospinalis. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat 3asomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung. #. nfeksi sekunder dengan bakteri lain . 4etelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat jarang.1 3.6 Penatalaksanaan
1/
1. Is'las% +an #arant%na Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif !-# kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama !-# minggu. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana ? a. Biakan hidung dan tenggorok b. 4ebaiknya dilakukan tes 4chick )tes kerentanan terhadap diphtheria* c. *ollo+ up gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terle%ati.1" 5nak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria. Bila kultur )-*'Schick test )-* ? bebas isolasi Bila kultur )E*'Schick test )-* ?pengobatan carrier Bila kultur )E*'Schick test )E*'gejala )-*? anti toksin diphtheria E penisilin Bila kultur )-*'Shick test )E* ? toksoid )imunisasi aktif*.+ 2. Peng'*atan &ujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginakti3asi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi A. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.1" 2.1. Umum stirahat tirah baring selama kurang lebih !-# minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita dia%asi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan 7KC pada hari ", #, / dan setiap minggu selama + minggu. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebuli9er. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi. 1" 2.2. #husus , 2.2.1. Ant%t'ks%n , serum anti diphtheria )5D4*
5ntitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Pemberian antitoksin pada hari pertama, akan menurunkan angka kematian pada penderita menjadi 18. 2amun dengan penundaan lebih dari hari ke-, angka kematian ini biasa meningkat sampai #"8. 4ebelum pemberian 5D4 harus dilakukan tes kulit atau tes konjungti3a dahulu. Hal ini disebabkan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan 5drenalin 1 ? 1""" dalam semprit. # &es kulit 1
dilakukan dengan penyuntikan ",1 ml 5D4 dalam larutan garam fisiologis 1 ? 1""" secara intrakutan. &es positif bila dalam !" menit terjadi indurasi ; 1" mm. # &es konjungti3a dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 ? 1" dalam garam faali dan pada mata yang lain diteteskan garam faali. &es positif bila dalam !" menit tampak gejala konjungti3itis dan lakrimasi. 5pabila tes hipersensiti3itas kulit'konjungti3a positif, 5D4 diberikan dengan cara desensitisasi )Besredka*. 2amun, jika negatif, 5D4 harus diberikan sekaligus secara tetesan intra3ena.11 Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara !"."""1!".""" K. Dosis 5D4 di ruang @enular 5nak 64>D Dr. 4oetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut ? 11 1. !".""" K i.m. untuk diphtheria ringan )hidung, kulit, konjungti3a*. !. ".""" K i.3. untuk diphtheria sedang )pseudomembran terbatas pada tonsil, faring, diphtheria laring*. #. ".""" K i.3. untuk diphteria kombinasi lokasi . ".""" - 1"".""" K i.3. untuk diphtheria berat )pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik< disertai O bullneck O, disertai penyulit akibat efek toksin* dan penderita yang terlambat berobat ; /! jam. Pemberian 5D4 secara intra3ena dilakukan secara tetesan dalam larutan !"" ml dalam %aktu kira-kira - jam. 4edangkan untuk pemberian 5D4 intra3ena dalam larutan garam fisiologis atau 1"" ml glukosa +8 dilakukan dalam %aktu 1! jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat'reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama ! jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensiti3itas lambat ) serum sickness*.11
10
2.2.2. Ant%m%kr'*%al
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain +"."""-1"".""" K'BB'hari selama /-1" hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin " mg'kg'hari.11 2.2.3. #'rt%k'ster'%+
Belum terdapat persamaan persepsi mengenai kegunaan obat ini pada diphtheria. Beberapa ahli menyebutkan kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. D's%s , deametason ","-",# mg'kgBB'hari atau 1,!-1" mg'kgBB'hari tiap -1! jam. 11 2.2.4. Peng'*atan en:ul%t
Pengobatan ini ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya re3ersible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. 11 2.2.5. Peng'*atan Carrier
Aarrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin
selama
satu
minggu.
@ungkin
diperlukan
tindakan
tonsilektomi'adenoidektomi.11 &abel #. Pengobatan karier B%akan U!% $;h%;k )-* )-*
)E*
)-*
)E*
)E*
)-*
)E*
%n+akan Bebas isolasi ? anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria Pengobatan karier ? Penisilin 1"" mg'kgBB'hari oral'suntikan, atau eritromisin " mg'kgBB'hari selama 1 minggu Penisilin 1"" mg'kgBB'hari oral'suntikan atau eritromisin " mg'kgBB E 5D4 !".""" K &oksoid difteria ) imunisasi aktif*, sesuaikan dengan status imunisasi
3.1 Pen;egahan 3.1.1 Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak dan orang tua. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi dan pengobatan karier.1" !"
3.1.2 #husus
&erdiri dari imunisasi DP& dan pengobatan carrier .1" 3.11 Imun%tas 3.11.1 est keke*alan , Schick test , menentukan kerentanan )suseptibilitas* terhadap diphtheria. &est
dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria )dilemahkan* secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.11 Moloney test , menentukan sensiti3itas terhadap produk kuman diphtheria. &es
dilakukan dengan memberikan ",1 ml larutan fluid difteri tooid secara suntikan intradermal. 6eaksi positif bila dalam ! jam timbul eritema ;1" mm. ni berarti bah%a ? - pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensiti3itas. - pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya. #eke*alan as%f , diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteri )sampai bulan* dan suntikan antitoksin )sampai !-# minggu*. #eke*alan akt%f , diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent
infection dan imunisasi dengan toksoid difteri. 11 3.12#'ml%kas%
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat akti3itas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik< karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. 1. Komplikasi laringitis difteri dapat berlangsung cepat, pseudomembran akan menjalar ke laring dan segera menyebabkan gejala sumbatan. @akin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini. !. @iokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis. #. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otototot pernafasan. . 5lbuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.
!1
3.13 Pr'gn'sa
4ebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai #"-+" 8. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi +-1"8 dan sering terjadi akibat miokarditis. 4elain itu, prognosa difteri umumnya tergantung dari umur, 3irulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan pera%atan umum. 1. >sia penderita @akin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anakanak kurang dari tahun dan terjadi sebagai akibat obstruksi jalan nafas oleh membran difterik. !. aktu pengobatan antitoksin 4angat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. #. &ipe klinis difteri @ortalitas tertinggi pada difteri faring-laring )+,8* menyusul tipe nasofaring ),8* dan faring )1",+8* . Keadaan umum penderita Prognosa baik pada penderita dengan gi9i baik. Difteri yang disebabkan oleh strain gra3is biasanya memberikan prognosis buruk. 4emakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan kefatalan pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan
pernafasan
ketat.
&erjadinya
trombositopenia
amegakariositik
atau
miokarditis yang disertai disosiasi atrio3entrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.
!!
BAB I8 PEMBAHA$AN 4.1 Penegakan D%agn'sa
Berdasarkan hasil anamnesa pasien datang dengan panas. Panas hari, naik turun, turun sesaat dengan obat dari dr. >mum< batuk hari, jarang, berdahak, %arna putih< pilek + hari, ingus kehijauan< nyeri telan # hari, nafsu makan dan minum menurun< bengkak di leher ba%ah dagu # hari< sesak ! hari, bertambah berat< diba%a ke PK@ Burneh didiagnosa suspect difteri dan sudah di s%ab 1 kali. 6i%ayat imunisasi 5n. P5 juga tidak lengkap atau belum pernah imunisasi. Pemeriksaan klinis didapatkan panas )E*, nyeri telan )E*, pseudomembran di area tonsil dan faring, pembesaran KCB submandibularis )E* yang menyerupai bullneck terutama di detra, serta dispneu )E*, retraksi suprasternal )E*, rhonki basah kasar E'E. Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien pasien didiagnosa suspect difteri. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dengan membentuk pseudomembran atau selaput putih keabuan pada mukosa atau kulit. nfeksi biasanya mengenai hidung, tonsil dan faring, laring, serta kadang pada kulit, konjungti3a, genitalia dan telinga. nfeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal maupun sistemik, akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. # @asa inkubasi kuman ini antara ! - + hari, dengan penularan melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri tersebar melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bah%a infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas. Penegakan diagnose difteri sudah dapat ditegakkan melalui gejala klinis dengan adanya pseudomembran atau selaput putih keabu-abuan pada mukosa atau kulit yang apabila dikerok akan berdarah. 2amun, untuk memastikannya penemuan kuman C. diphteriae merupakan diagnose pasti penyakit difteri. solasi C. diphteriae dari kerokan pseudomembran bagian ba%ah )karena bagian atas terdiri dari jaringan nekrotik* lalu dibiakkan pada media (oeffler )kultur*. Pembiakan bakteri dengan kultur ditunggu selama / hari dan dilakukan minimal # berturut-turut untuk menjadi pembanding hasil. 4elain itu dapat dilakukan Schick test dengan menentukan sistem kekebalan tubuh kita terhadap toksin difteri. Diagnosa difteri harus dilakukan segera untuk memberikan terapi yang tepat. Hal ini berkaitan dengan prognosa penderita. $ika telah terjadi keluhan sistemik berupa sesak nafas, nyeri dada, ataupun nyeri otot maka segera dipertimbangkan komplikasinya.
!#
4.2 Penatalaksanaan
1. nfus Kaen #B Pemilihan cairan maintenance menggunakan Kaen #B karena usia pasien ; !th. Pemilihan jenis infuse menggunakan makro sehingga 1 tetes mengandung !"ml Kebutuhan cairan pasien saat datang hanya memerlukan cairan maintenance. Hal ini terlebih didasarkan dengan keluhan pasien yang sulit menelan dan susah memasukkan makanan atau minuman kedalam lambung sehingga perlu dierhatikan cairan tubuh. $umlah kebutuhan cairan dengan berat badan 1+kg adalah 1!+"! jam. Bila infuse set menggunakan tetesan makro maka pemberiannya 1/ tpm. !. 5D4 ".""" K drip Pemberian antitoksin 5D4 )antidifteri serum* bertujuan untuk mengeradikasi eksotoksin yang telah menyebar ditubuh melalui hematogen maupun limfogen. Dosis 5D4 diberikan sebanyak ".""" K karena pasien menderita
difteria sedang yakni terdapat
psuedomembran pada area tonsil dan faring dengan bullneck yang tidak begitu besar. Pemebrian 5D4 sebanyak ! 3ial karena 1 3ial sebanyak !".""" K. 5D4 diberikan secara drip dilarutkan dalam larutan 2aAl ",08 1"" cc selama ! jam untuk setiap 3ialnya. #. Penicillin Procaine +"."""-1"".""" K'KgBB'hari @ 4elain mengeradikasi toksin juga diperlukan untuk mengeradikasi bakteri C. diphteriae dengan pemberian antimikroba. Pilihan utama antimikroba disini adalah PPA )Penicillin procaine* sebanyak /+".""" K untuk berat pasien yang 1+ kg. PPA diinjeksikan intramuscular di area gluteus sebagai dosis tunggal setiap harinya selama /-1" hari. 2amun jika penderita alergi PPA dapat diberikan eritromisin "mg'KgBB'hari yaitu sebanyak ""mg dalam sehari minum. . nj, Deametason "," F ",# mg'KgBB'kali Pemberian kortikosteroid bertujuan untuk pengurangan reaksi inflamasi terutama jika telah terjadi obstruksi jalan nafas bagian atas dan terdapat peyulit miokardiopati toksik. Pemberian kortikosteroid dapat diberikan prednisone ataupun deametason baik peroral atau . Pada pasien ini dipilih deksametason sebanyak !,+ mg setara dengan ",+ cc. +. nj. 5ntrain 1" mg'KgBB'kali bila demam Pemberian antipiretik untuk mengatasi gejala simtomatiknya berupa demam dengan dosis 1+" mg pada setiap injeksi yaitu setara dengan ",# cc yang diberikan sebanyak # sehari. . bat batuk hitam " ml )#1cth* bat batuk diberikan untuk mengurangi gelaja batuk serta mengencerkan dahak yang dapat menyumbat saluran nafas. 4.3 Pr'gn's%s
!
Prognosa difteri umumnya tergantung dari umur, 3irulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan pera%atan umum. 1. >sia penderita @akin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anakanak kurang dari tahun dan terjadi sebagai akibat obstruksi jalan nafas oleh membran difterik. !. aktu pengobatan antitoksin 4angat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. #. &ipe klinis difteri @ortalitas tertinggi pada difteri faring-laring )+,8* menyusul tipe nasofaring ),8* dan faring )1",+8* . Keadaan umum penderita Prognosa baik pada penderita dengan gi9i baik. +. Difteri yang disebabkan oleh strain gra3is biasanya memberikan prognosis buruk. . 4emakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. /. Difteri laring lebih mudah menimbulkan kefatalan pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. . &erjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrio3entrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk. +
!+
BAB 8 #E$IMPULAN
5.1 #es%mulan
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan segera karena jika tidak akan menyebabkan kematian. Penyebab dari penyakit difteri ini adalah A diphtheriae yang merupakan kuman gram )E*, ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik.. @asa inkubasi kuman ini !-+ hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan #,0NA. Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi pseudomembran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri 3ul3o3aginal, difteri konjungti3a, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring. Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi A. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam )kultur*. Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi A. diphtheriae dengan antibiotik. 5ntibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain A. diphtheriae. Prognosis umumnya tergantung dari umur, 3irulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan pera%atan umum. 5.2 $aran
1. Peningkatan cakupan imunisasi dengan mengedukasi atau meningkatkan kesadaran akan pentingnya imunisasi !. Dibutuhkan penanganan yang tepat dan segera setelah ditegakkan diagnose difteri #. 4elain memberi terapi, seorang klinisi sebaiknya mampu mengedukasi keluarga mengenai bahaya difteri dan penularannya sehingga perlu diisolasi . Diperlukan keluarga yang kooperatif melakukan pera%atan pasien dalam %aktu yang cukup lama +. Pemberian edukasi untuk melakukan 3aksinasi difteri lengkap di pelayanan kesehatan terdekat.
!
DA&AR PU$A#A
,.
(ong 4(. Diphtheriae )Aorynebacterium diphtheria* in ? Behrman 67, Kliegman 6@, $elson HB, eds. 2elson &etbook of Pediatrics. 1 th ed Philadelphia (ondon 2e% ork 4t. (ouis 4ydney &oronto< B 4aunders, !"""< 1/-!". Kementrian Kesehatan 6epublik ndonesia. QDifteri
.
akan dapat diatasiR. 5rtikel. !"1 .
6udi
HP,
4ariadji
K,
4unarno,
6oselinda.
Aorynebacterium diphtheriae diagnosis laboratorium bakteriologi. 7disi pertama. $akarta? ayasan Pustaka bor ndonesia< !"1. /.
Gakultas Kedokteran ndonesia.
Buku 5jar lmu
Penyakit dalam $ilid . 7disi Keempat. $akarta. !"" 0.
harton @. n? Cershon 55, Hote9 P$, Kat9 4(, eds. KrugmanSs nfectious Diseases of Ahildren, 11th ed 4t. (ouis ? &he @osby Ao, !""? +0
1.
Dr. &.H.6ampengan, 4pa )k* dan Dr. .6. (aurent9, 4pa. 100!. Penyakit nfeksi &ropik Pada 5nak, Difteri, 1-1
2.
5dams,
C(.
#enyakit-penyakit
3asfaring
dan
4rofaring . Dalam? B4&5S Buku '6ar #enyakit T7T (*undamentals of 4tolaryngology)" edisi enam. 7CA ? $akarta. !"1. 8.
2ational
nstitute
for
Aomminucable
Disease.
Cuidelines Diphtheria? 2AD 6ecommendation for diagnosis, management, and public health response. !"1. 9.
Carna Herry, dkk. Difteri. Pedoman Diagnosis dan &erapi lmu Kesehatan 5nak. 7disi kedua. Bagian'4@G lmu Kesehatan 5nak GK>P'64H4. !""". 1/#-1/
,:.
2yoman Kadun. @anual Pemberantasan Penyakit @enular. A nfomedika, $akarta. !"".
,,.
Pedoman Diagnosis dan &erapi lmu Kesehatan 5nak. 7disi . 64>D dr. 4oetomo 4urabaya. !""
!/