BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi dan parasit merupakan masalah kesehatan yang menonjol dan perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Cacingan merupakan penyakit yang khas di daerah tropis dan sub-tropis dan biasanya meningkat ketika musim hujan. Kriteria ini sangat cocok sekali dengan negara Indonesia sehingga penyebab cacingan di dukung oleh kondisi geografis nya sendiri. Kecacingan merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering di temukan di negara berkembang, infeksi kecacingan di Indonesia mempunyai prevalensi yang cukup tinggi terutama di daerah pedesaan yang kondisi lingkungannya lingkungannya sangat mendukung untuk perkembang biakan cacing dan daur kehidupannya yaitu di dalam tanah. Daerah pedesaan yang masih mempunyai daerah perkebunan sangat memungkinkan untuk perkembang biakan cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang (Maliya dan Susilaningsih, 2010). Infeksi kecacingan tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dengan ganggguan kognitif pada anak. Penyebabnya adalah adalah Ascaris lumbricoides, lumbricoides, Ancylostoma duodenale, duodenale, Necator americanus, americanus, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis. stercoralis. Selain itu infeksi kecacingan dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit penting lainnya seperti malaria, TBC, diare dan anemia (Winita dan Astuty, 2012) Hasil survei di Indonesia menunjukkan bahwa jika prevalensi spesies tertentu tinggi maka spesies yang lainnya pun tinggi, seperti prevalensi Ascaris lumbricoides yang tinggi disertai prevalensi Trichuris trichiura yang tinggi pula. Ascaris lumbricoides lumbricoides ditemukan kosmopolit, pada survei kecacingan tahun 1970-1980 di Indonesia, Ascaris lumbricoides lumbricoides ditemukan dengan prevalensi 70% atau lebih. Hasil survei yang dilakukan Balai Litbang
P2B2 Tanah Bumbu pada tahun 2008 di 6 kabupaten terpilih, didapatkan 189 anak (20,7%) yang positif menderita kecacingan. Infeksi cacing terbanyak yaitu Ascaris lumbricoides (cacing gelang) sebanyak 96 orang (50,79%), Hookworm (cacing kait) sebanyak 39 orang (20,6%) , (20,6%) , Hymenolepis sp, sebanyak 19 orang (10,65%), Trichuri trichiura (cacing cambuk) sebanyak 11 orang (5,8%), infeksi ganda Hookworm Hookworm- Hymenolepis Hymenolepis sp sebanyak 12 orang (6,3%) dan Taenia sp sebanyak 2 orang (1,05%) (Hairani dan Annida, 2012). Mahasiswa Kesehatan Masyakarat berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyakarat, khususnya pada bidang pencegahan penyakit sehingga sangat penting bagi mahasiswa Kesehatan Masyarakat untuk mengetahui agent atau substansi materi penyebab penyakit, khususnya mikroorganisme parasit. Oleh karena itu, praktikum pemeriksaan feses penting untuk dilakukan. dilakukan. 1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakan praktikum Pemeriksaan Feses adalah: 1. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan feses. 2. Untuk mengamati adanya parasit pada sampel feses dewasa, feses anakanak, feses lansia, feses sapi, feses kucing, feses bayi dan feses kambing. 1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum pemeriksaan feses adalah mahasiswa Kesehatan Masyarakat dapat mengetahui teknik pemeriksaan feses sehingga mahasiswa Kesehatan Masyarakat dapat melakukan penelitian mengenai penyakit yang disebabkan oleh parasit yang ada pada feses. Selain itu, mahasiswa Kesehatan Masyarakat juga mengetahui jenis parasit yang dapat menginfeksi manusia sehingga mampu melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menerapkan pola hidup bersih dan sehat agar terhindar dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemeriksaan Feses 2.1.1
Metode Pemeriksaan Feses Kualitatif
Metode kualitatif digunakan untuk menentukan positif atau negatif adanya parasit pada feses. Metode ini dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung pada keperluannya yaitu: 1. Pemeriksaan secara natif ( Direct Slide) Dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Digunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2 %. NaCl 0,9% atau eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan antara telur cacing dengan kotoran di sekitarnya (Natadisastra dan Agoes, 2014). 2. Pemeriksaan dengan metode apung ( Flotation Methode) Pada metode ini dipakai larutan NaCl jenuh atau larutan gula jenuh dan terutama dipakai untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Larutan yang digunakan adalah 250 ml aquadest , 200 ml thimerosal, 25 ml formaldehid 35%, 5 ml gliserin dan larutan lugo 5% (Natadisastra dan Agoes, 2014). 3. Pemeriksaan dengan metode felotip (Cellotape Methode) Pemeriksaan
ini
dilakukan
untuk
pemeriksaan
telur
Enserobius vermicularis. Pemeriksaan dilakukan pada pagi hari sebelum anak kontak dengan air, anak yang diperiksa berumur 1 sampai
10
tahun.
Cara
melakukan
pemeriksaan
dengan
menggunakan plester plsatik yang tipis dan bening, dipotong dengan ukuran 2 × 1,5 cm. Plester tersebut ditempelkan pada permukaan lubang anus lalu ditekan dengan ujung jari, kemudian plester dilepas perlahan-lahan dang langsung ditempelkan pada permukaan kaca objek untuk kemudian dilihat dibawah mikroskop (Natadisastra dan Agoes, 2014).
4. Pemeriksaan dengan metode sedimentasi Formol Ether Metode Formol Ether merupakan metode cukup baik bagi tinja yang telah diambil beberapa hari yang lalu, misalnya kiriman dari daerah yang jauh dari laboratorium. Alat-alat yang diperlukan adalah pot plastik tempat tinja, tabung sentrifuge, tutup tabung sentrifuge, pipet pasteur panjang, kaca objek dan cover glass (kaca penutup) (Natadisastra dan Agoes, 2014). 2.1.2
Metode Pemeriksaan Feses Kuantitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung telur cacing dalam tinja, biasanya dihitung jumlah telur untuk setiap gram tinja. Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur pe gram tinja pada setiap jenis cacing. Dikenal 2 metode pemeriksaan yaitu: 1. Metode Stoll Metode ini menggunakan larutan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Cara ini sangat baik dipergunakan untuk infeksi berat dan sedang, akan tetapi untuk infeksi ringan kurang baik (Natadisastra dan Agoes, 2014). 2. Metode Kato Katz Metode ini menggunakan larutan kato yaitu cairan yang dipakai untuk merendam atau memulas selofan (cellophane tape) dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing. Untuk membuat larutan kato diperlukan campuran
aquadest , glycerin dan
malachite green 3% (Endrawati, 2012). 2.2 Ascaris lumbri coides 2.2.1 Morfologi
Cacing Ascaris merupakan cacing terbesar di antara golongan nematoda, berbentuk silendris, ujung anterior lancip, anterior memiliki tiga bibir (triplet), badan berwarna putih, kuning kecokelatan diselubungi lapisan kutikula bergaris halus (Adam, 2014).
Cacing betina panjangnya 20-35 cm, ujung posterior membulat dan lurus. Sedangkan cacing jantan panjangnya 15-31 cm, ujung posterior lancip melengkung ke ventral, dilengkapi papil kecil dan 2 speklum. Telur memiliki 4 bentuk, yaitu dibuahi ( fertilized ), tidak dibuahi (afertilized ), matang dan dekortikasi (Adam, 2014). 2.2.2 Epidemiologi
Ascaris lumbricoides ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah yang sanitasinya kurang baik sehingga dapat terjadi penularan secara fekal-oral. Ascaris merupakan cacing patogen yang paling sering ditemukan di seluruh dunia karena telurnya dapat bertahan hidup dalam waktu lama (Natadisastra dan Agoes, 2014). Pada umumnya frekuensi tertinggi pernyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan ornag dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehingga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris, misalnya melalui makanan ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides (Syamsu, 2012). 2.2.3
Klasifikasi
Menurut Utari (2002), klasifikasi Ascaris lumbricoides adalah: Kingdom : Animalia Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Ordo
: Ascaridida
Famili
: Ascarididae
Genus
: Ascaris
Spesies
: Ascaris lumbricoides
2.2.4
Siklus Hidup
Setelah menelan telur infektif terjadi pembebasan larva cacing ke dalam duodenum yang kemudian menembus dinding usus kemudian mencapai aliran darah, melewati hepar dan jantung lalu menuju ke sirkulasi paru. Larva cacing ini masuk ke dalam alveolus, bermigrasi melalui bronkus, trakea dan faring. Lalu ditelan dan kembali ke usus halus (Natadisastra dan Agoes, 2014). Cacing jantan dan betina menjadi dewasa dan kawin dalam usus, cacing betina dapat menghasilakn 200.000 telur per hari dan telur tersebut dikeluarkan melalui tinja (Natadisastra dan Agoes, 2014). 2.2.5
Patogenesis
Sebagian besar kasus askariasis tidak menujukkan gejala. Infeksi biasa yang mengandung 10 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru diketahui setelah ditemukan telur pada pemeriksaan tinja rutin atau cacing keluar sendiri tanpa tinja. Pada kasus yang menunjukkan gejala klinis, keluhan yang sering dirasakan adalah sakit perut yang tidak jelas. Selama migrasi larva ke paru, larva dapat menimbulkan manifestasi alergi seperti infiltrasi paru, asma, dan sembam pada bibir. Pada pemeriksaan darah tepi sering menunjukkan peningkatan eosinofil. Selain itu, migrasi larva ke paru juga dapat menyebabkan sindroma Loeffler yang pada foto rontgen thorak akan nampak sebagai infiltrat yang tidak hilang selama 3 minggu (Sakai et al., 2006 dalam Budiyanti, 2010). 2.2.6
Pencegahan
Pencegahan ascariasis ditujukan untuk memutuskan salah satu mata rantai dari siklus hidup Ascaris lumbricoides, antara lain dengan melakukan pengobatan penderita ascariasis, dimaksudkan untuk menghilangkan sumber infeksi. Pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja manusia dianjurkan agar buang air besar tidak pada sembarangan tempat serta mencuci tangan sebelum makan (Natadisastra dan Agoes, 2014).
2.3 Strongyloides stercoralis 2.3.1
Morfologi
Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas cacing betina yang memiliki ukuran 1 mm × 50 m, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbusu esofagus di bagian posterior, ekor lurus meruncing. Cacing jantang berukuran 700 × 45 m, ekor melengkung ke depan memiliki dua buah spikula kecil kecoklatan, esofagus lonjong dilengkapi bubus esofagus (Natadisastra dan Agoes, 2014). 2.3.2
Epidemiologi
Distribusinya luas di seluruh dunia terutama di daerah beriklim tropis dan sub tropis, dapat juga ditemukan di daerah beiklim sedang. Pada umumnya distribusi terbatas pada daerah bercuaca hangat dan lembab karena merupakan situasi yang cocok untuk perkembangan hidup larva Strongyloides stercoralis (Hutagalung, 2008). Seseorang dapat terinfeksi di daerah beriklim hangat lalu berpindah tempat ke daerah beriklim dingin dan menjadi carier infeksi Strongyloides stercoralis bahkan tanpa menyadarinya. Infeksi lebih sering dijumpai di area pedesaan dan pada kelompok-kelompok masyarakat sosial ekonomi rendah (Hutagalung, 2008). 2.3.3 Klasifikasi
Menurut
Hutagalung
(2008),
stercoralis adalah: Kingdom : Animalia Filum
: Nematoda
Kelas
: Secernentea
Ordo
: Rhabditida
Famili
: Strongyloididae
Genus
: Strongyloides
Spesies
: Strongyloides stercoralis
klasifikasi
Strongyloides
2.3.4
Siklus Hidup
Menurut Kartikasari (2008), parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup, yaitu: 1. Siklus Langsung Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rabditiform yang bentuknya kira – kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya kira – kira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi reflek batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira – kira 28 hari sesudah infeksi 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitic. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum.Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes baru, atau larva rabditiform tersebut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropik dengan iklim lembab. 3. Autoinfeksi Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus
atau di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes. Adanya auto infeksi dapat menyebabkan Stongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup didaerah nonendemik. 2.3.5
Patogenesis
Strongyloides stercoralis serupa dengan cacing tambang, hanya saja telur cacing ini menetas menjadi larva di mukosa usus sebelum keluar melalui tinja. Larva yang matang langsung menjadi larva infektif yang dapat menembus kulit, atau masuk ke siklus non parasitik di luar tubuh pejamu manusia. Larva juga dapat menginfeksi kembali pejamu dengan cara menembus mukosa usus (autoinokulasi) hal ini lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan imunitas. Infeksi dapat menjadi inaktif hingga 30 tahun dan kemudian mengalami reaktivasi ketika sistem imun terganggu, misalnya transplantasi organ menyebabkan infeksi diseminata (Elliott, dkk., 2013). 2.3.6 Pencegahan
Autoinfeksi dapat dicegah dengan menghindari terjadinya konstipasi serta memperhatikan kebersihan daerah anus (Natadisastra dan Agoes, 2014). 2.4 F asciola hepatica 2.4.1 Morfologi
Cacing dewasa Fasciola hepatica panjangnya ± 25 cm, batil isap kepala dan batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabang-cabang, kelenjar vitelaria hampir mengisi seluruh bagian tubuhnya (Prianto, Tjahayu dan Darwanto, 2006). Fasciola hepatica berukuran 35 × 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior lancip. Telur Fasciola hepatica memiliki operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 × 90 µ (Anggriana, 2014).
2.4.2
Epidemiologi
Fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica dianggap sebagai salah satu penyakit parasit yang paling penting di dunia. Fasciolosis terdistribusi di seluruh dunia dan prevalensi pada ruminansia diperkiran berkisar hingga 90% di beberapa negara, misalnya Kamboja mencapai 85,2%, Wales 86%, Indonesia 80-90%, Tunisia 68,4% dan Vietnam 30-90% (Nguyen, 2012). Di Indonesia, Fasciolosis merupakan salah satu penyakit ternak yang telah lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi memungkin parasit seperti cacing berkembang dengan baik. Sifat hermaprodit Fasciola sp juga akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut. Cacing ini banyak menyerang ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metaserkaria, tetapi dapat juga menyerang manusia (Mohammed, 2008). 2.4.3
Klasifikasi
Menurut Anggriana (2014) klasifikasi Fasciola hepatica adalah: Kingdom : Animalia
2.4.4
Filum
: Platyhelmintes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Digenea
Famili
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
: Fasciola hepatica
Siklus Hidup
Dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dna manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus kemudian telur keluar bersama dengan feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian berenang mencari siput Lymnea. Mirasidum akan mati bila tidak masuk ke dalam siput air
tawar ( Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama 2 minggu, mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan bereproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehingga terbentuk larva yang banyak (Ditjennak, 2012). Selanjutnya, sporosis melakukan paedogenesis menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria dan segera keluar dari siput dan berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka kista tersebut dapa menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali (Ditjennak, 2012). 2.4.5
Patogenesis
Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada rongga peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari. Fasciolosis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati. Fasciolosis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi (Subronto, 2007 dalam Anggriana, 2014).
2.4.6
Pencegahan
Pencegahan yang efektif sulit dilakukan karena sulit untuk menghindarkan sapi dari sawah atau daerah basah yang merupakan habitat siput, mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk memberantas siput. Pencegahan jangka panjang tergantung eradikasi penyakit pada binatang herbivora, pengobatan untuk binatang peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi untuk binatang liar tidak memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi dapat dicegah dengan tidak makan sayuran mentah (Sayuti, 2007). 2.5 Toxocara cati 2.5.1 Morfologi
Toxocara dewasa yang hidup didalam usus halus anjing atau kucing umumnya dapat mencapai 4 bulan. Cacing jantan mempunyai ekor yang melengkung sedangkan cacing betina mempunyai ekor runcing. Disekeliling mulut cacing dewasa terdapat 3 buah bibir yang berbentuk khas. Larva infektif cacing berukuran 400µ × 20µ. Telur Toxocara berbentuk oval dengan permukaan yang bergerigi kecil, berwarna coklat muda dan berdinding tebal (Fatmawati, 2014). 2.5.2
Epidemiologi
Toxocara cati pada kucing tersebar luas di seluruh dunia. Toxocara dilaporkan dari berbagai tempat di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropics yang penduduknya banyak memelihara anjing dan kucing. Infeksi pada manusia terjadi karena termakan telur infektif cacing yang mencemari makanan atau minuman. Cacing tersebar secara cosmopolitan. Di Jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Manurung, 2013). 2.5.3 Klasifikasi
Menurut Fatmawati (2014) klasifikasi Toxocara cati adalah: Kingdom : Animalia Filum
: Nematoda
2.5.3
Kelas
: Secernentea
Ordo
: Ascaridida
Famili
: Toxocaridae
Genus
: Toxocara
Spesies
: Toxocara cati
Siklus Hidup
Cacing dewasa betina mengeluarkan sejumlah besar telur di dalam tinja hospesnya. Di tanah yang lembab isi telur itu menjadi embrio dalam beberapa minggu. Bila dimakan oleh anjing atau kucing, larva akan menetas di dalam usus halus menembus dinding selaput lendir usus, masuk melalui aliran darah ke hati, paru-paru, bronkus dan trakea. Larva itu tertelan lagi dan menjadi dewasa di dalam usus halus binatang tersebut (Manurung, 2013). 2.5.4
Patogenesis
Perjalanan larva infektif Toxocara melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menyebabkan terjadinya edema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang mengalami edema mengakibatkan batuk, selesma dengan eksudat yang berbusa dan kandung mengandung darah. Infeksi cacing yang berat menyebabkan gangguan usus, yang antara lain ditandai dengan sakit perut dan dalam keadaan ekstrim terjadi perforasi usus hingga tampak gejala peritonitis (Fatmawati, 2014) 2.5.6
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucing peliharaan secara sembarang terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun sayuran. Membersihkan daerah hewan peliharaan setidaknya sekali seminggu. Tinja hewan harus dikubur atau dikantongi dan dibuang di tempat sampah (Fatmwati, 2014).
BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum Pemeriksaan Feses adalah: Hari / tanggal
: Sabtu, 23 Mei 2015
Waktu
: 09.00 WITA - selesai
Tempat
: Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Tadulako.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
1. Mikroskop 2. Kaca Objek 3. Deck glass 4. Wadah 5. Handsprayer 3.2.2 Bahan
1. Sampel feses dewasa, feses anak-anak, feses lansia, feses sapi, feses kucing, feses bayi dan feses kambing. 2. NaCl fisiologis 3. Aquadest 4. Lidi 5. Alkohol 70% 6. Masker 7. Handskun 8. Tissue 3.3 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada praktikum Pemeriksaan Feses adalah: 1. Menyiapkan alat dan bahan. 2. Mensterilkan tangan dengan menggunakan alkohol 70%. 3. Menggunakan masker dan handskun.
4. Membuat lingkaran pada kaca objek sebagai batas untuk meletakkan feses. 5. Meneteskan aquadest secukupnya pada feses kemudian mengaduknya menggunakan lidi steril. 6. Meletakkan feses di atas kaca objek dan meneteskannya dengan larutan NaCl fisiologis secukupnya. 7. Menutup kaca objek dengan menggunakan deck glass, pastikan tidak ada gelembung yang terbentuk. 8. Mengamati feses di bawah mikroskop. 9. Mencatat hasil pengamatan.
BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil pengamatan
Adapun hasil pengamatan yang didapatkan dari praktikum Pemeriksaan Feses adalah sebagai berikut:
No
Sampel Feses
Gambar Spesies Parasit
Hasil Pengamatan
1.
2.
3.
Ket Literatur
Feses
Ascaris
Larva
Dewasa
lumbricoides
Telur
Feses
Ascaris
Anak-anak
lumbricoides
Larva Telur
Feses
Strongyloides
Lansia
stercoralis
Larva
4.
5.
6.
7.
Feses
Fasciola
Larva
Sapi
hepatica
Telur
Toxocara cati
Larva
Feses Kucing
Feses
Ascaris
Bayi
lumbricoides
Feses
Strongyloides
Kambing
stercoralis
Larva
Larva
4.2 Pembahasan
Pemeriksaan feses bertujuan untuk menegakkan diagnosis pasti, ada dan tidaknya infeksi cacing, berat ringannya infeksi serta jenis telur cacing yang ada. Metode pemeriksaan feses dibagi menjadi metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif bertujuan untuk mengetahui ada dan tidaknya parasit pada feses, sedangkan metode kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah parasit pada feses. Pada praktikum ini dilakukan pemeriksaan feses dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan pemeriksaan secara natif ( Direct Slide). Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah larutan NaCl fisiologis dan aquadest . Larutan NaCl fisiologis digunakan untuk lebih memperjelas parasit yang ada dengan kotoran di sekitarnya, sedangkan aquadest digunakan untuk mengencerkan feses. Sampel pertama yang diamati adalah feses dewasa. Berdasarkan pengamatan di bawah mikrosokop diperoleh hasil adanya jenis parasit Ascaris lumbricoides berupa telur dan larva dengan morfologi yaitu berbentuk oval dan lonjong, berwarna kecokelatan dan memiliki dinding yang tipis . Menurut literatur, Ascaris lumbricoides memiliki morfologi berbentuk oval atau lonjong, memiliki dinding yang tebal, badan berwarna putih dan kuning kecokelatan diselubungi lapisan kutikula bergaris halus dan ujung anterior lancip. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan penyakit askariasis. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit. Penyakit ini banyak terjadi pada anak-anak di daerah tropis dan subtropis, terutama pada lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk. Sampel kedua yang diamati adalah feses anak-anak. Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop diperoleh hasil adanya jenis parasit Ascaris lumbricoides berupa telur dan larva dengan morfologi yaitu berbentuk oval dan lonjong, berwarna kecokelatan dan memiliki dinding yang tipis . Menurut
literatur, Ascaris lumbricoides memiliki morfologi berbentuk oval atau lonjong, memiliki dinding yang tebal, badan berwarna putih dan kuning kecokelatan diselubungi lapisan kutikula bergaris halus dan ujung anterior lancip. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan penyakit askariasis. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit. Penyakit ini banyak terjadi pada anak-anak di daerah tropis dan subtropis, terutama pada lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk. Sampel ketiga yang diamati adalah feses lansia. Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop diperoleh hasil adanya jenis parasit Strongyloides stercoralis berupa larva dengan morfologi yaitu berbentuk oval, ekor berujung lancip, tidak mempunyai selubung, mulut terbuka, lebar dan pendek dan esofagus pendek. Menurut literatur, Strongyloides stercoralis memiliki morfologi berbentuk oval, panjang sekitar 225 mikron, ekor berujung lancip, esofagus pendek dengan dua bulbus, ti dak memiliki selubung dan mulut terbuka, lebar dan pendek. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Strongyloides stercoralis dapat menyebabkan penyakit strongiloidiasis. Penyakit ini disebabkan karena kurangnya penggunaan jamban, tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides stercoralis, penggunaan tinja sebagai pupuk dan tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah. Sampel keempat yang diamati adalah feses sapi. Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop diperoleh hasil adanya jenis parasit Fasciola hepatica berupa larva dan telur dengan morfologi yaitu berbentuk pipih, berwarna kuning emas, tubuh ditutupi oleh sisik-sisik kecil, mulut berbentuk runcing. Menurut literatur, Fasciola hepatica memiliki morfologi berbentuk pipih menyerupai daun, bagian tubuh ditutupi oleh sisik-sisik kecil, berwarna kuning keemasan dan mulut berbentuk runcing yang dikelilingi oleh alat pengisap. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Fasciola hepatica dapat menyebabkan penyakit fasciolasis.
Penyakit ini umumnya menyerang ternak sapi, kambing, domba dan ruminansia lain. Sumber infeksi utama adalah kontaminan air dan daging atau produk lain yang telah terinfeksi cacing Fasciola hepatica. Sampel kelima yang diamati adalah feses kucing. Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop diperoleh hasil adanya jenis parasit Toxocara cati berupa larva dengan morfologi yaitu bentuknya mirip Ascaris lumbricoides, memiliki sayap, ekor berbentuk runcing. Menurut literatur, Toxocara cati memiliki morfologi bentuknya mirip Ascaris lumbricoides, pada bagian kepala terdapat struktur seperti sayap yang disebut cephalic alae dan bentuk ekor bulat meruncing. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Toxocara cati dapat menyebabkan penyakit visceral larva migrans atau dalam bahasa indonesia adalah pengembaraan larva di dalam jaring tubuh. Parasit cacing ini hanya mengembara dalam tubuh penderita tanpa tumbuh atau berkembang biak menjadi dewasa. Dan jika terjadi pada manusia akan menimbulkan penyakit demam eosinofilia. Sampel keenam yang diamati adalah feses bayi. Berdasarkan pengamatan di bawah mikrosokop diperoleh hasil adanya jenis parasit Ascaris lumbricoides berupa telur dan larva dengan morfologi yaitu berbentuk oval dan lonjong, berwarna kecokelatan dan memiliki dinding yang tipis . Menurut literatur, Ascaris lumbricoides memiliki morfologi berbentuk oval atau lonjong, memiliki dinding yang tebal, badan berwarna putih dan kuning kecokelatan diselubungi lapisan kutikula bergaris halus dan ujung anterior lancip. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan penyakit askariasis. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit. Penyakit ini banyak terjadi pada anak-anak di daerah tropis dan subtropis, terutama pada lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk. Sampel terakhir yang diamati adalah feses kambing. Sampel ketiga yang diamati adalah feses lansia. Berdasarkan pengamatan di bawah
mikroskop diperoleh hasil adanya jenis parasit Strongyloides stercoralis berupa larva dengan morfologi yaitu berbentuk oval, ekor berujung lancip, tidak mempunyai selubung, mulut terbuka, lebar dan pendek dan esofagus pendek. Menurut literatur, Strongyloides stercoralis memiliki morfologi berbentuk oval, panjang sekitar 225 mikron, ekor berujung lancip, esofagus pendek dengan dua bulbus, tidak memiliki selubung dan mulut terbuka, lebar dan pendek. Dengan demikian, hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang ada. Strongyloides stercoralis dapat menyebabkan penyakit strongiloidiasis. Penyakit ini disebabkan karena kurangnya penggunaan jamban, tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides stercoralis, penggunaan tinja sebagai pupuk dan tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi parasit adalah dengan selalu menjaga kebersihan diri maupun lingkungan, menggunakan alas kaki setiap berpergian dan memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat dengan tujuan untuk mencegah penyebaran penyakit parasit.
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum Pemeriksaan Feses adalah: 1. Teknik yang digunakan dalam pemeriksaan feses adalah metode kualitatif natif dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis. Larutan NaCl fisiologis digunakan untuk lebih memperjelas parasit yang ada dengan kotoran di sekitarnya
2. Berdasarkan hasil pengamatan pada feses dewasa ditemukan parasit Ascaris lumbricoides, pada feses anak-anak ditemukan parasit Ascaris lumbricoides berupa, pada feses lansia ditemukan parasit Strongyloides stercoralis, pada feses sapi ditemukan parasit Fasciola hepatica, pada feses kucing ditemukan parasit Toxocara cati, pada feses bayi ditemukan parasit Ascaris lumbricoides, dan pada feses kambing ditemukan parasit Strongyloides stercoralis. 5.2 Saran
Adapun saran dalam praktikum pemeriksaan feses, untuk praktikan sebaiknya dalam melakukan praktikum diperlukan ketelitian serta kehatihatian agar mendapatkan hasil yang maksimal. Selain itu, untuk asisten, diharapkan agar lebih mengontrol praktikan dalam melakukan praktikum dan memberikan pengarahan agar praktikan lebih memahami tentang praktikum yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, B., 2004. Bijak Memanfaatkan Antibiotika. Kawan Pustaka. Jakarta. Biantoro, IK., 2008. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Dewi, K., 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner. ISSN 0126 – 0421. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Harmita dan Radji M., 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hidayahti, Nurul. 2010. Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit pada Umbi Bawang Putih (Allium sativum), sebagai Penghasil Senyawa Antibakteri terhadap Bakteri Streptococcus mutans dan Escherichia coli. Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang. Indang, N., Guli, M., dan Alwi M., 2013. Uji Resistensi dan Sensitivitas Bakteri Salmonella thypi Pada Orang Yang Sudah Pernah Menderita Demam Tifoid Terhadap Antibiotik . Biocelebes. Vol. 7 No. 1. ISSN 1978-6417. Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah. Indriawan, D., 2012. Optimalisasi Agar Coklat Darah Manusia sebagai Media Uji Sensitivitas Antibiotik terhadap Haemophilus influenza : Peran Pencucian Eritrosit Sebanyak Empat Kali. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro. Semarang. Irianto K., 2013. Mikrobiologi Medis. Alfa Beta. Bandung. Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007. Mikrobiologi Kedokteran EGC. Jakarta.
Kedokteran. Buku
Krisnaningsih, F., Asmara, W., dan Wibowo, H., 2005. Uji Sensitivitas Isolat Escherichia Coli Patogen pada Ayam Terhadap Beberapa Jenis Antibiotik . J Sain Vet. Vol. 1. Universitas Gajah mada. Yogyakarta. Kusuma, F., 2010. Escherichia coli. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Naid, T., dkk., 2013. Produksi Antibiotika Secara Fermentasi Dari Biakan Mikroorganisme Simbion Rumput Laut Eucheuma Cottonii . Vol. 17 No. 3. ISSN 1410-7031. Universitas Hasanuddin. Makassar. Ningsih, P., Nurmiati., dan Agustien, A., 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kental Tanaman Pisang Kepok Kuning (Musa paradisiaca Linn.) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal Biologi Universitas Andalas. ISSN 2303-2162. Universitas Andalas. Sumatera Barat. Nugroho, F., Utami, I., dan Yuniastuti, I., 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Penyakit Pneumonia Di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga. Vol. 8 No. 1. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Semarang. Pratama, 2014. Antibiotik dan Pengaruhnya bagi Kesehatan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Pratiwi, NS., 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Jakarta. Raharjo, R., 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Santosaningsih, D., Zuhriyah, L., dan Nuran, M., 2011. Staphylococcus aureus pada Komunitas Lebih Resisten terhadap Ampisilin dibandingkan Isolat Rumah Sakit . Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol. 26 No. 4. Universitas Brawijaya Malang. Malang. Sulistiyaningsih, 2010. Uji Kepekaan Beberapa Sediaan Antiseptik Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus Resisten Metisilin (Mrsa). Universitas Padjadjaran Jatinangor. Bandung. Syahrurachman, dkk., 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara Publisher . Tangerang. Utami P., 2012. Antibiotik Alami untuk Mengatasi Aneka Penyakit . PT Agromedia Pustaka. Jakarta. Wijaya, K., dan Tahir, I., 2006. Preparasi dan Uji Kualitatif Mont Morillont sebagai Bahan Antibakteri. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Yuliani, R., Indrayudha, P., dan Rahmi, S., 2011. Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal Farmasi Indonesia. Vol. 12 No.2. ISSN 14114283. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
LEMBAR ASISTENSI PEMERIKSAAN FESES
NAMA
: MAGFIRAH HANDAYANI
NIM
: N 201 14 002
KELOMPOK : 1 (SATU) ASISTEN No
: AHMAD TARMIZI Hari / Tanggal
Koreksi
Paraf